Berteori dalam Penelitian Komunikasi Sunarto Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP Email : [email protected] Abstract : Theorizing is a crucial problem in communication research. How to build a good theory in research quantitatively and qualitatively is the main objective in this paper. Solving the problem is be done by explaining the definition and function of theory. Besides that it also describes the perspectives and paradigm that related with communication theories. One of the perspectives namely tradition in communication theory that developed by Robert T. Craig is used to understand the communication theories. Several issues that related with theorizing is exposed to get better understanding in using theory in research namely: the direction of reasoning; the level of social reality; the scope of theory; the mode of theory’s explanation;and the theoretical framework. It is suggested to understand better the whole theoretical issues to get theorizing propherly. Besides that reading more book that related with the topic is also suggested to get more understanding in choosing a main theory that fit with the topic’s research. Keywords: theory, perspective, paradigm, quantitative, qualitative Abstraksi : Berteori merupakan persoalan krusial dalam penelitan komunikasi. Bagaimana membangun sebuah kerangka teoritis yang baik dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif merupakan tujuan utama dalam artikel ini. Untuk mengatasi persoalan tersebut dilakukan dengan menjelaskan definisi dan fungsi teori. Selain itu, juga menggambarkan perspektif dan paradigma yang berhubungan dengan teori-teori komunikasi. Salah satu perspektif yaitu tradisi yang dikembangkan oleh Robert T. Craig digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap keberadaan teori-teori komunikasi. Beberapa isu yang berhubungan dengan proses berteori dipaparkan untuk mendapatkkan pemahaman lebih baik dalam penggunaan teori, antara lain: arah penalaran, level realita, cakupan teori, cara penjelasan teori dan kerangka kerja teoritis. Disarakan untuk bisa memahami dengan lebih baik keseluruhan isu-isu teoritis tersebut untuk bisa berteori dengan memadai. Selain itu juga disarankan memperkaya diri dengan bacaan-bacaan yang relevan dengan topik yang diteliti untuk mendapatkan pemahaman lebih baik dalam memilih sebuah teori yang relevan dengan topik yang diteliti. Kata Kunci: teori, perspektif, paradigma, kuantitatif, kualitatif 50 Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi Pendahuluan Pembahasan Mahasiswa yang akan mengerjakan penelitian untuk studi mereka, apakah itu berupa skripsi, tesis atau bahkan disertasi, sering menghadapi masalah krusial: tidak punya masalah untuk diteliti! Biasanya mereka datang dengan rasa ketertarikan pada sesuatu untuk diteliti. Misalnya, mau meneliti iklan X, program Y, berita X, atau media Y. Hal ini memang tidak terlalu keliru karena minat pada suatu bidang tertentu atau obyek tertentu untuk diteliti juga merupakan tahap yang perlu dilakukan oleh setiap peneliti (Effendi, 1991: 20). Akan tetapi hal itu menjadi problematik ketika obyek yang menjadi ketertarikannya itu tidak ada masalah untuk diteliti. Misalnya saja, bagaimana mau meneliti efektivitas sebuah iklan produk X terhadap minat pembelian pada produk X ketika produk X ini secara empirik telah terjual melampaui targetnya? Inilah persoalan yang sering dijumpai di lapangan: ada obyek menarik untuk diteliti, tetapi belum tentu mempunyai masalah untuk diteliti! Oleh karena itu, ketika ada mahasiswa datang dengan wajah gembira sembari mengatakan:” Pak saya sudah punya masalah untuk penelitian saya!” – saya senang mendengarnya karena akhirnya ada juga mahasiswa yang tidak tergantung pada dosennya untuk menemukan masalah penelitian. Baiklah. Apa masalah Anda? “Masalah saya adalah saya tidak punya masalah untuk saya teliti, Pak .....!!!” Nah!!! Dalam penelitian menemukan masalah untuk diteliti adalah satu persoalan krusial yang harus diatasi setiap mahasiswa untuk bisa melakukan penelitian. Hal ini disebabkan dari masalah yang berhasil ditemukan nantinya mahasiswa akan bisa mendapatkan gambaran lebih lanjut mengenai teori dan pendekatan beserta metoda yang bisa digunakan. Kita akan bahas mengenai masalah dan metoda ini dalam kesempatan lain. Sekarang kita akan fokus pada persoalan teori dulu. Apa itu teori? Apa fungsi teori? Bagaimana proses berteori dalam penelitian? Bagaimana posisi teori dalam penelitian? Artikel singkat ini mencoba untuk membahas beberapa hal terkait teori: arti, fungsi, perspektif, peta, dan posisi teori. Semua bahasan diarahkan untuk memberi pemahaman yang memadai terhadap aktivitas berteori (theorizing) dalam penelitian komunikasi, baik dalam pendekatan kuantitatif maupun kualitatif (Creswell, 2003). 1. Teori: Arti dan Fungsi Mengapa Mbah Maridjan bersikukuh tetap bertahan di puncak Merapi? Mengapa Obama di lempar buku? Mengapa wikileaks membocorkan rumor diplomatik Amerika? Mengapa pemerintah Amerika bersikap keras kepada warga negaranya yang mengkonsumsi bocoran informasi dari wikileaks? Mengapa reaksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas liputan The Morning Herald dan The Age seperti itu? Mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai peragu? Mengapa politisi DPR membela penyelundup blackberry dan anggur? Mengapa terjadi supermoon? Mengapa terjadi tsunami? Mengapa banyak pria perkotaan selingkuh? Mengapa seorang istri tega mencincang suaminya sendiri? Mengapa pelajar tawuran? Mengapa pengguna narkoba meningkat? Mengapa Menpora Roy Suryo diragukan kemampuannya? Mengapa vonis terhadap Angelina Sondakh dianggap tidak masuk akal? Masih ada banyak mengapa-mengapa yang lain terkait peristiwa publik atau peristiwa keseharian. Bagaimana kita menjelaskan semua itu? Kita membutuhkan teori (theory). Apa itu teori? Dalam pengertian luas, teori adalah serangkaian konsep-konsep, penjelasan-penjelasan dan prinsipprinsip yang teratur dari beberapa aspek pengalaman manusia. (Littlejohn dan Foss, 2008: 14). Dalam pengertian semacam ini, Littlejohn dan Foss juga menegaskan, bahwa teori adalah abstraksi dan konstruksi. Apa maksudnya? Teori dikatakan sebagai abstraksi karena teori mereduksi pengalaman ke dalam serangkaian kategori-kategori tertentu dan meninggalkan kategorikategori yang lain. Kategori ini bisa berupa pola, hubungan atau variabel. Tidak ada sebuah teori yang mampu mengungkap seluruh “kebenaran” dari subjek yang diteliti. Mengapa Menpora yang baru diragukan kemampuannya? Ada yang mengkaitkan dengan minimnya pengalaman sosok bersangkutan dalam bidang olah-raga. Ada yang mengatakan ekspektasi masyarakat atas dirinya rendah. Berdasarkan pandangan yang muncul ini bisa disimpulkan bahwa secara teoritis keberhasilan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan sangat ditentukan oleh 2 (dua) faktor: internal (pengalaman) dan eksternal (harapan). Artinya variabel pengalaman dan variabel harapan diasumsikan mempunyai hubungan positif dengan variabel keberhasilan kerja. Apakah keberhasilan kerja seseorang memang hanya ditentukan oleh dua faktor 51 JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 50-61 ini saja? Tentu saja tidak. Masih ada banyak faktor lain yang bisa memengaruhi kinerja seseorang. Nah, seorang peneliti tidak mungkin bisa meneliti semua faktor yang diasumsikan memengaruhi kinerja seseorang secara mutlak sehingga seluruh “kebenaran” akan terungkap. Ini maksud dari abstraksi. Mengapa teori dikatakan sebagai konstruksi? Teori adalah hasil kreasi manusia untuk menjelaskan sesuatu yang terjadi di dunia ini. Teori bukan ciptaan Tuhan. Dalam upayanya untuk menjelaskan sesuatu tersebut manusia menggunakan kategori-kategori konseptual yang sudah dimilikinya. Manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan tertentu terhadap serangkaian kategori konseptual yang sudah dimilikinya. Misalnya dalam kasus vonis terhadap Angie yang oleh KPK dikatakan tidak masuk akal. Cara pandang komisioner KPK berbeda dengan cara pandang hakim yang menjatuhkan vonis terhadap Angie. Cara pandang orang biasa (ordinary people) berbeda terhadap kasus Angie dibandingkan dengan cara pandang orang-orang dari partai politik. Masing-masing individu mempunyai kategori konseptual tertentu untuk menjelaskan vonis atas Angie tersebut. Dalam konteks ini menarik untuk mencermati pernyataan Abraham Kaplan dan Stanley Deetz (dalam Littlejohn dan Foss, 2008:15). Menurut Kaplan, pembentukan sebuah teori tidak hanya sekedar menemukan sebuah fakta tersembunyi, tetapi ia sekaligus merupakan sebuah cara untuk melihat, mengatur dan menyajikan fakta itu sendiri. Sejalan dengan itu, menurut Deetz, sebuah teori adalah sebuah cara untuk melihat dan memikirkan dunia ini. Teori adalah sebuah lensa (teropong) untuk melihat dunia, bukan sebuah cermin. Apa artinya? Artinya, semua orang boleh menggunakan teropong masing-masing untuk menjelaskan vonis terhadap Angie. Ada yang menggunakan teropong ala KPK, jaksa, hakim, politisi, atau orangorang kebanyakan. Semua pihak bisa mengkonstruksi teori masing-masing sesuai kepentingan masing-masing dengan segala implikasi pada klaim kebenaran masing-masing. Ingat pepatah lama yang mengatakan: gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan tampak! Demi kepentingan dan kebenaran tertentu, bisa saja fakta tertentu tidak ditampilkan dalam mengkonstruksi teori tertentu. Kita akan dalami masalah teropong dan cermin ini pada penjelasan berikutnya. Adakah pandangan lain tentang teori? Menurut Judee Burgoon (dalam Griffin, 2012: 2), teori adalah a set of systematic, informed hunches about the way 52 things work (teori adalah serangkaian dugaan sistematis dan diinformasikan mengenai cara segala sesuatu bekerja). Dugaan yang sistematis dan terinformasikan? Sebelum berteori, seorang ilmuwan mungkin melakukan serangkaian tindakan berikut ini: membaca buku atau artikel, mendengarkan orang berbicara, mengkonsumsi media, melakukan pengamatan atau percobaan. Pengetahuan yang didapatkan dari kegiatan tersebut akan mengenalkannya pada serangkaian konsep-konsep atau simbol-simbol tertentu dan melahirkan dugaan-dugaan tertentu atas kaitan antara konsep atau simbol yang satu dengan konsep atau simbol yang lain. Itu yang dimaksudkan dengan dugaan sistematis dan terinformasikan. Dengan melihat rangkaian konsep atau simbol inilah seorang ilmuwan bisa menjelaskan bagaimana segala sesuatu bekerja atau suatu peristiwa terjadi. Sebagai contoh, mengapa Mbah Maridjan berkeras hati untuk tetap bertahan di puncak Merapi sementara penduduk yang lain bersedia turun gunung pada saat Merapi meletus beberapa waktu lalu? Setelah membaca buku atau artikel, mendengarkan orang bicara, kita akan dihadapkan dengan kemungkinan konsep atau simbol tentang “raja”, “juru kunci”, “abdi dalem”, “kraton”, “Mbah Merapi”, “danyang”, “hajatan”, dan lain-lain. Bagaimana kaitan antara konsep atau simbol ini satu sama lain akan membantu pemahaman kita mengenai dugaan-dugaan pada perilaku Mbah Maridjan tersebut. Apa yang Anda bayangkan ketika membaca atau mendengar kata “teori”? Kita bisa mempunyai banyak bayangan. Ada yang menganalogkan dengan lensa (teropong) seperti Deetz. Ada yang menganalogkan dengan jaring-jaring (net) seperti Karl Popper (Miller, 2005). Mungkin ada juga yang menganalogkan teori dengan peta (map) seperti Em Griffin (2012: 5-6). Analogi-analogi semacam ini sekaligus menunjukkan fungsi sebuah teori. Teori adalah jaring-jaring untuk menangkap “dunia” (theories are nets cast to catch what we call “the world”). Terma “jaring-jaring” bersinonim dengan “konsep” sebagaimana dijelaskan terdahulu. Artinya “dunia” tempat dimana kita hidup dan tinggal dapat kita tangkap eksistensinya apabila kita punya jaring (konsep) tertentu sebagai pengetahuan dalam benak kita (stock of knowledge). Misalnya saja, kita bisa menyebut suatu tumbuhan sebagai bunga Mawar ketika kita sudah mempunyai konsep (pengetahuan) tentang bunga. Dengan memiliki konsep bunga ini kita kemudian dihadapkan dengan sekian banyak va- Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi riasi macam bunga (Mawar, Anggrek, Melati, Cikrakcikrik, Bangkai, dan lain-lain), warna bunga (merah, putih, kuning, hijau, dan lain-lain), ukuran bunga (besar, sedang, kecil), keharuman bunga (harum, menyengat, busuk), harga bunga (mahal, murah, tidak berharga), tempat hidup (hutan, gunung, rawa, sungai), dan lain-lain. Tanpa pengetahuan akan adanya konsep bunga ini, kita tidak akan pernah tahu tentang bunga. Betapapun indah dan harumnya bunga tersebut! Teori analog dengan lensa (teropong). Sebuah lensa atau teropong mampu melihat sesuatu hanya sebagian saja yang masuk dalam cakupan lubang lensa tersebut. Obyek-obyek lain di luar teropong tersebut tidak akan terlihat. Misalnya saja dalam kasus Jakarta darurat banjir bulan Januari 2013 lalu. Mengapa Jakarta banjir? Ada yang mengatakan karena ketidakmampuan mengelola sampah, tidak pandai menata kota, konsekuensi dari penurunan tanah di Jakarta, ketidakmampuan bekerja sama dengan pihak lain, bulan sedang pasang, dan lain-lain. Kita yang berasal dari disiplin ilmu komunikasi mungkin akan mengatakan karena ketidakmampuan Pemda DKI membujuk penduduk Jakarta untuk tidak membuang sampah di sungai atau tidak tinggal di bantaran sungai. Bisa juga karena ketidakmampuan Pemda DKI berkomunikasi dengan pemda lain supaya daerah resapan air di puncak tidak digunakan sebagai perumahan, dan lain-lain. Kita hanya akan memberikan segala sesuatu alasan penyebab (causes) pada gejala atau peristiwa yang ada terbatas pada segala konsep atau simbol terkait disiplin ilmu kita. Ini batasan alamiah pertama. Batasan lain bisa terkait dengan macam perspektif teoritis yang digunakan dalam disiplin ilmu itu sendiri dengan segala implikasinya. Teori adalah lensa, bukan cermin. Analog cermin mengandaikan segala sesuatu terproyeksikan secara kongkrit, jelas dan apa adanya di depan mata. Semua fakta dan kebenaran tumplek-bleg (hadir dan mewujud) di depan mata kita. Semua sebab dari akibat (gejala, peristiwa) hadir secara komprehensif. Dalam bahasa statistik, koefisien korelasinya satu. Apakah mungkin kita mendapatkan sebuah hubungan antar variabel sangat sempurna (1,0) yang mengandaikan tidak ada lagi variabel-variabel lain yang perlu diteliti? Dalam ilmu sosial, jawabannya jelas: tidak mungkin! Penggunaan pendekatan multi disiplin dan inter disiplin adalah upaya peneliti untuk memberikan semakin banyak alternatif variabel-variabel penyebab gejala atau peristiwa terjadi. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan jawaban secara statistik yang bisa mendekati angka sempurna terse- but. Ingat, hanya mendekati sempurna! Bukan sempurna! Hal itu disebabkan kesempurnaan itu sendiri adalah milik Tuhan! Teori analog dengan peta. Teori berfungsi sebagai peta untuk memberikan petunjuk dan panduan bagaimana menjelajahi dan mengalami dunia ini. Teori adalah buku panduan untuk menjelaskan, menafsirkan dan memahami kerumitan hubungan antar manusia. Dengan teori, kita dibantu untuk menjelaskan apa yang sedang kita amati yang memungkinkan kita untuk memahami hubungan-hubungan dan menafsirkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dalam mencermati fungsi teori semacam ini akan lebih baik apabila kita lebih menekankan pada aspek kebermanfaatan teori, bukan kebenaran teori. Itu nasihat Littlejohn dan Foss! Bagaimana kita bisa menjelaskan, menafsirkan atau memahami tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh seorang wakil walikota terhadap istrinya sendiri? Seorang bupati yang kawin siri dengan seorang gadis belia dan menceraikannya beberapa hari kemudian? Seorang wali kota yang melarang kaum wanita membonceng sepeda motor dengan cara mlangkah? Seorang mantan gubernur, seorang walikota, dan seorang pimpinan lembaga legislatif mengkaitkan perkosaan terhadap wanita dengan pakaian yang dikenakan wanita? Seorang calon hakim agung tidak setuju hukuman mati terhadap pemerkosa karena menurutnya antara pelaku dengan korban sama-sama menikmati perkosaan itu sendiri? Apabila kita belajar teori gender dan feminisme, kita akan diberikan panduan penjelasan, pemahaman dan penafsiran, bahwa semua peristiwa tersebut bisa terjadi karena terdapat distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pria dan wanita di masyarakat yang menyebabkan terjadinya relasi gender asimetris (timpang) diantara keduanya. Dalam relasi semacam ini, kaum pria lebih diuntungkan karena masyarakat menempatkannya dalam posisi yang lebih superior. Sedang posisi kaum wanita lebih inferior. Atas nama kultur patriarkistik, semua sikap dan tindakan para pejabat tersebut bisa dibenarkan. Untunglah sekarang ini kita hidup dalam sebuah sistem politik demokratis yang memungkinkan bagi berlakunya praksis teori gender dan feminisme dalam kehidupan empiris sehingga bisa dilakukan koreksi sosial secara terbuka atas semua sikap dan praktek perilaku opresif terhadap kaum wanita tersebut. Contoh ini sekaligus juga menunjukkan implikasi lain analogi teori sebagai peta yaitu kemampuan teori untuk menantang ke53 JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 50-61 hidupan budaya tertentu dan mendorong sebuah cara kehidupan yang baru. Begitulah arti dan fungsi teori. Bagaimana dengan teori komunikasi? 2. Simbol dan Interaksi Teori komunikasi adalah sebuah istilah untuk memayungi prinsip-prinsip umum dan pernyataanpernyataan yang didesain untuk menjelaskan sebabsebab dan hubungan-hubungan kunci diantara aspekaspek yang ada pada perilaku komunikatif (Stacks dan kawan-kawan, 1991; Griffin, 2011). Apa itu perilaku komunikatif? Untuk memahami perilaku komunikatif itu seperti apa, ada baiknya kita tengok sejenak obyek kajian disiplin ilmu komunikasi. Secara tradisional, sebuah disiplin akademik ditentukan oleh 3 (tiga) kriteria: (1) obyek studi; (2) metoda terhadap obyek yang dikaji; dan (3) sejarah disiplin itu sendiri (Storey, 1994). Kita akan eksplorasi hal pertama saja. Metoda untuk mengkaji obyek studi akan kita bahas dalam kesempatan lain. Sedang sejarah perkembangan disiplin ilmu komunikasi bisa diikuti pada Ruben dan Stewart (2006), Rogers (1994), dan Delia (1987). Apa obyek studi (subject matter) disiplin ilmu komunikasi? Pertanyaan semacam ini terkait dengan aspek ontologis dalam filsafat ilmu yang mempersoalkan realita yang menjadi bahan kajian utama suatu disiplin ilmu. Untuk mengetahui obyek studi ilmu komunikasi kita telusuri dari berbagai definisi tentang komunikasi yang ada. Disiplin ilmu komunikasi dipahami oleh Berger dan Chaffee (1987) sebagai seeks to understand the production, processing, and effects of symbol and signal systems by developing testable theories, containing lawful generalizations, that explain phenomena associated with production, processing, and effects. Dari pendapat itu terlihat, secara ontologis, realita yang dikaji dalam ilmu komunikasi adalah simbol dan sistem tanda. Tujuan pengkajian ilmu komunikasi sendiri diarahkan untuk memahami dan menjelaskan gejala-gejala terkait dengan produksi, pemprosesan, dan efek dari penggunaan sistem tanda dan simbol tersebut. Aspek ontologis ilmu komunikasi terkait dengan sistem tanda dan simbol itu tampak dari beberapa pengertian yang diberikan pada istilah komunikasi oleh beberapa pakar yang lain. Misalnya Williams (1992) yang menyatakan, human communication is (1) an exchange of meaningful symbols, (2) a process rather than a “thing”, (3) a medium linking partici54 pants, (4) a potential transaction of meanings and intents, and (5) a basic means for satisfying human needs. Dari pendapat ini, aspek ontologis ilmu komunikasi tidak hanya tanda atau simbol saja, tapi juga makna yang muncul dalam proses transaksi diantara para partisipan pengguna simbol tersebut untuk memuaskan tujuan-tujuan mereka. Pendapat semacam itu diperkuat oleh Gamble dan Gamble (2005) yang menyatakan, communication is the deliberate or accidental transfer of meaning. Dalam pemahaman semacam ini, kegiatan berkomunikasi terkait dengan transfer interpretasi terhadap simbol yang bisa bersifat sengaja (intentional) ataupun tidak sengaja (unintentional). Definisi yang lebih komprehensif diberikan oleh Ruben dan Stewart (1998) ketika menyatakan, human communication is the process through which individuals – in relationships, groups, organizations, and societies – respond to and create message to adapt to the environment and one another. Dalam pandangan mereka, tersirat bahwa aspek ontologis ilmu komunikasi tidak hanya simbol saja, tapi juga interaksi yang terjadi diantara para partisipan dalam berbagai konteks yang memungkinkannya, apakah itu hubungan, kelompok, organisasi, ataupun masyarakat. Tidak hanya untuk memuaskan kebutuhan saja, tapi komunikasi juga mempunyai tujuan yang lebih luas yaitu untuk menyesuaikan diri manusia dengan lingkungan melalui penciptaan dan penanggapan pesan. Penegasan interaksi sosial sebagai aspek ontologis ilmu komunikasi diberikan oleh Littlejohn (2005) ketika menyatakan, in the social sciences, ontology deals largerly with the nature of human existence; in communication, ontology centers on the nature of human social interaction because being is intricately intertwined with issues of communication. Dari beberapa pandangan di atas terlihat bahwa obyek kajian utama (subject matter) ilmu komunikasi adalah simbol yang dipergunakan dalam interaksi sosial. Tentu obyek kajian semacam ini tidak bisa secara murni lepas dari pengaruh disiplin lain karena pada dasarnya ilmu komunikasi sendiri memang bukanlah ilmu sosial murni (pure social science) apabila kita merujuk pada perkembangan formalnya semenjak tahun 1940-an. Pengaruh disiplin lain semacam sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, politik, dan lain-lain sangat terlihat dalam perkembangan ilmu komunikasi. Luasnya pengaruh ini akhirnya tidak lagi memadai apabila mencermati perilaku komunikatif hanya melulu dilihat dari satu perspektif saja. Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi Artinya dengan teori komunikasi ini kita bisa mempunyai beragam penjelasan, pemahaman, penafsiran dan perkiraan hasil dan efek terkait perilaku komunikatif yang ada (penggunaan simbol dan interaksi). Misalnya saja, kita menjelaskan mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sewot dengan berita Sidney Morning Herald dan The Age terkait bocoran informasi dari wikileaks tentang pemerintahannya? Terlepas benar tidaknya informasi tersebut, dengan teori prosesing informasi, misalnya teori elaborasi kemungkinan (the likelihood model), kita bisa menjelaskan latar belakang Pak SBY cenderung menggunakan jalur sentral (central route) untuk memproses informasi tersebut. Kemauan dan kemampuan untuk memproses informasi secara serius tersebut disebabkan kekhawatiran jatuhnya popularitas Pak SBY di mata rakyat Indonesia yang berdampak negatif terhadap citra Pak SBY di tahun 2014 ketika para politisi kita sibuk dengan persoalan eleksi. Apakah teori itu merupakan satu-satunya teori untuk menjelaskan perilaku SBY tersebut? Tidak juga. Dalam kelompok teori kognisi dan pemprosesan pesan (cognition and information processing) ini bisa dijumpai juga adanya teori atribusi (attribution theory) dan teori penilaian sosial (social-judgement theory) (Littlejohn dan Foss, 2008: 69-75). Dalam kelompok teori-teori sosiopsikologis ini, selain ketiga teori tersebut, juga bisa ditemui teori-teori lain dalam kelompok teori sifat (traits): argumentativeness, social and communicative anxiety, trait-factor model, traits, temparement and biology. Ini baru teori-teori dalam kelompok teori sosiopsikologis. Padahal dalam kelompok teori komunikator (theories of the communicator) ini bisa juga dijumpai teori-teori dalam kelompok teori sibernetika, sosio-kultural dan kritis. Artinya kita akan dihadapkan dengan demikian banyaknya teori dengan beragam perspektif yang bisa digunakan untuk menjelaskan hanya satu peristiwa saja. Memahami perspektif merupakan sebuah keniscayaan untuk bisa memahami keberadaan sebuah teori dengan lebih baik. dikte secara virtual pengamatan dan pemahaman kita pada fenomena komunikasi yang ada. Demikian ditegasksn Aubrey Fisher (1978) sembari menekankan bahwa pengaruh mendasar dari perspektif adalah untuk mendefinisikan dan mengarahkan pemahaman seseorang pada konsep-konsep komunikasi. Dengan demikian perbedaan perspektif yang digunakan akan mempunyai implikasi penafsiran berbeda atas sebuah realita. Wacana meta-teori dalam disiplin ilmu komunikasi ditandai dengan munculnya beragam perspektif yang dikemukakan oleh para ilmuwan komunikasi. Aubrey Fisher (1978) menyebut ada empat perspektif teoritis utama dalam kajian komunikasi: (1) mekanistik, (2) psikologi, (3) interaksi, dan (4) pragmatik. John Fiske (1982; 1990) menggunakan terma mahzab (school) untuk menyebut dua perspektifnya: (1) transmisi dan (2) semiotika. Don Stacks, Mark Hickson III, dan Sidney R. Hill (1991) menggunakan terma cetak biru (blueprint) untuk menyebut perspektifnya: (1) sistem, (2) aturan, dan (3) hukum. Stephen W. Littlejohn (1996; 1999) menggunakan terma genre yang meliputi: (1) struktural-fungsional, (2) kognitif-perilaku, (3) interaksi, (4) interpretif, dan (5) kritis. Katherine Miller (2000; 2005) menggunakan istilah pendekatan (approaches) yang meliputi: (1) paskapositivis, (2) interpretif, dan (3) kritis. Robert T. Craig (Craig dan Muller, 2007) menggunakan terma tradisi yang meliputi: (1) retorika, (2) semiotika, (3) fenomenologi, (4) sibernetika, (5) sosio-psikologi, (6) sosio-kultural, dan (7) kritis. Griffin (2000; 2003) menambahkan etika dalam kelompok tradisi Craig. Diantara beragam perspektif ini, perspektif tradisi yang digagas Craig sekarang ini, menurut Miller (2005), merupakan perspektif yang paling banyak digunakan para ilmuwan komunikasi global. Setidaknya hal itu terlihat dari pemetaan teori komunikasi yang dilakukan oleh Littlejohn dan Foss (2002; 2005; 2008) dan Griffin (2000; 2003). Kita akan dekati teori-teori komunikasi dengan menggunakan perspektif tradisi Craig ini sebagai sebuah contoh proses berteori. 3. Berbagai Perspektif dalam Teori Komunikasi Menurut Muller dan Craig (2007: ix-xviii), Perspektif adalah kerangka konseptual; seper- dimaksudkan dengan tradisi pada teori komunikasi angkat asumsi-asumsi; seperangkat nilai-nilai; dan adalah cara-cara berfikir dan berbicara yang telah seperangkat gagasan-gagasan yang memengaruhi mapan dan disemai terus-menerus sebagai sebuah persepsi kita dan memengaruhi tindakan dalam suatu wacana khusus. Wacana ini merupakan hasil kajian situasi (Charon, 1998). Perspektif ini analog dengan dan penjelasan (bahkan pembakuan) para ilmuwan dan lain-lain yang terlibat dalam kegiatan diskursif standpoint, viewpoint, outlook dan position. Perspektif berfungsi untuk memandu dan men- sepanjang waktu terkait persoalan-persoalan komunikasi yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. 55 JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 50-61 Proses berteori komunikasi artinya adalah memberikan respon secara praktis pada persoalan-persoalan komunikasi yang dialami sehari-hari (theory informs praxis). Mempelajari teori komunikasi, dalam pandangan Muller dan Craig, adalah mempelajari berbagai tradisi tersebut melalui dua cara pembelajaran. Pertama, mempelajari bagaimana menggunakan teori-teori tersebut sebagai lensa untuk mengkaji persoalan-persoalan komunikasi yang ada dengan cara-cara yang berbeda-beda. Kedua, mempelajari bagaimana terlibat dalam bentuk-bentuk kegiatan diskursif khusus terkait beragam tradisi teori komunikasi tersebut yang secara terus-menerus selalu tumbuh, berkembang dan berubah. Artinya, Muller dan Craig mengajak kita untuk lebih menggunakan pendekatan filosofis pragmatisme reflektif (theory informs praxis) dalam mensikapi teori, bukan dengan pendekatan realisme (theory describes the world) ataupun idealisme (theory constitutes the world). Dalam cara pandang semacam itu, mempelajari teori komunikasi dalam tradisi retorika artinya melihat komunikasi sebagai seni praktis berwacana (communication as a practical art of discourse). Tradisi semiotika melihat komunikasi sebagai mediasi intersubjektif dengan tanda-tanda (communication as intersubjective mediation by signs). Tradisi fenomenologi melihat komunikasi sebagai pengalaman dari keliyanan (communication as the experience of Otherness). Tradisi sibernetika melihat komunikasi sebagai pemrosesan informasi (communication as information processing). Tradisi sosiopsikologis melihat komunikasi sebagai ekspresi, interaksi, dan pengaruh (communication as expression, interaction, and influence). Tradisi sosiokultural melihat komunikasi sebagai (re)produksi tatanan sosial (communication as (re)production of social order). Tradisi kritis melihat komunikasi sebagai refleksi diskursif (discursive reflekction) (Craig, 2007: 63-98). Implikasi lebih lanjut berbagai perspektif teoritis ini pada berbagai teori komunikasi yang ada bisa dicermati lebih lanjut pada peta teori sebagaimana dikembangkan oleh Littlejohn dan Foss (2009) dan Griffin (2000; 2003). Beragam perspektif ini akhirnya mengantarkan kita pada persoalan kedua Storey terkait disiplin ilmu yaitu metodologi. Apa metodologi khas dalam disiplin ilmu komunikasi? Jawaban atas pertanyaan ini mengantarkan kita pada pokok persoalan terkait paradigma. Guba dan Lincoln (1994; 2000) mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubun56 gan dengan prinsip-prinsip utama atau prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya, sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya. Keyakinan-keyakinan itu bersifat dasar dalam pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja disebabkan tidak ada suatu cara final untuk menentukan kebenaran akhir. Paradigma ada bermacam-macam, antara lain: positivisme, pospositivisme, teori kritis, konstruktivisme, dan partisipatori (Guba dan Lincoln, 2000); interpretivisme, hermeneutik, dan konstruksionisme sosial (Schwandt); positivisme (dan pospositivisme), interpretivisme (interaksi simbolik, fenomenologi, dan hermeneutika), kritis, feminisme, dan posmodernisme (Crotty); biografi, fenomenologi, grounded theory, etnografi, dan studi kasus (Craswell) (dalam Patton, 2002). Neuman (2000) membedakan tiga macam pendekatan: ilmu sosial positivis (positivist social science), ilmu sosial interpretif (interpretive social science), dan ilmu sosial kritis (critical social science). Secara detail beragam paradigma ini akan kita bahas pada kesempatan lain. 4. Posisi Teori dalam Penelitian Komunikasi Posisi teori dalam penelitian komunikasi bisa dibedakan berdasarkan pendekatan penelitian yang digunakan: kuantitatif atau kualitatif. Kedua pendekatan penelitian ini mempunyai karakteristik berbeda. Menurut Neuman (2000), penelitian dengan pendekatan kuantitatif mempunyai karakteristik: (1) mengukur fakta-fakta obyektif; (2) fokus pada variabel; (3) menekankan reliabilitas; (4) bebas nilai; (5) bebas dari konteks; (6) banyak kasus dan subjek; (7) analisis statistik; dan (8) peneliti menjaga jarak dengan obyek penelitian. Sedang pendekatan kualitatif mempunyai karakteristik: (1) konstruksi realita sosial dan makna kultural; (2) fokus pada peristiwa dan proses interaktif; (3) menekankan otensitas; (4) nilai hadir secara eksplisit; (5) dibatasi situasi (kontekstual); (6) sedikit kasus maupun subjek; (7) analisis tema; dan (8) peneliti terlibat dalam penelitian secara aktif. Dikaitkan dengan perspektif, apabila kita mengikuti alur pemikiran Griffin (2003), maka teori-teori komunikasi dalam kelompok tradisi sosio-psikologis semuanya menggunakan pendekatan kuantitatif (obyektif). Sebagian teori komunikasi dalam kelom- Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi pok sibernetika dan retorika ada juga yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sedang teori-teori komunikasi dalam kelompok tradisi sosio-kultural, fenomenologi dan kritis menggunakan pendekatan kualitatif (interpretif). Sebagian teori komunikasi dalam kelompok tradisi semiotika dan retorika ada juga yang menggunakan pendekatan kualitatif ini. Terkait posisi teori, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati, antara lain: (1) arah penalaran; (2) level realita sosial; (3) cakupan teori; (4) cara penjelasan teori; dan (5) kerangka kerja teoritis (Neuman, 2000). Arah penalaran teoritis bisa dibedakan menjadi dua: (a) deduktif; dan (b) induktif. Penalaran deduktif bermula dari gagasan abstrak mengarah pada bukti empiris. Penalaran semacam ini berawal dari konsep menuju empiri. Sedang penalaran induktif bermula dari observasi empiris mengarah pada generalisasi teoritis yang bastrak. Ia mulai dari bukti-bukti empiri kemudian dikonseptualisasikan dalam bentuk teoriteori. Arah penalaran deduktif pada umumya digunakan dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif dan arah induktif digunakan dalam pendekatan kualitatif. Level realita dalam teori bisa dibedakan menjadi tiga lapis: (a) mikro; (b) meso; dan (c) makro. Teori mikroskopik menjelaskan realita pada level individu. Teori-teori komunikasi pada level interpersonal banyak menggunakan penjelasan mikroskopik ini. Teori mesoskropik menjelaskan realita pada level kelompok dan organisasi. Teori semacam ini banyak dijumpai pada teori komunikasi di level organisasi. Teori makroskopik menjelaskan realita pada level masyarakat. Teori semacam ini banyak ditemui dalam teori komunikasi di level masyarakat atau budaya. Kedua pendekatan penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, bisa menggunakan ketiga macam level realita ini. Cakupan teori dibedakan menjadi dua: (a) teori substantif; dan (b) teori formal. Teori substantif hanya memberi perhatian pada satu area tertentu saja. Teori substantif ini bisa ditemui pada semua teori komunikasi di semua level realita (interpersonal, kelompok, organisasi, massa). Sedang teori formal memberi perhatian pada area konseptual yang relatif luas. Teoriteori yang dikategorikan sebagai “teori besar” (grand theory) semacam teori Marxisme atau Darwinisme bisa dikelompokkan dalam teori formalistik. Dalam disiplin komunikasi, teori formalistik semacam ini misalnya saja ditemui dalam teori stimulus-organisme-respon (S-O-R). Cara penjelasan teori bisa dibedakan menjadi tiga macam: (a) penjelasan kausalitas (causal explanation); (b) penjelasan struktural (structural explanation); dan (c) penjelasan interpretif (interpretive explanation). Penjelasan kausalitas (causal explanation) terkait dengan penjelasan berbagai fenomena sosial dalam rangkaian sebab-akibat. Penjelasan semacam ini banyak dijumpai pada teori-teori dengan cara berfikir linieristik. Teori-teori komunikasi dalam kelompok tradisi sosiopsikologis hampir semuanya menggunakan penjelasan semacam ini. Sebagian teori-teori komunikasi dalam kelompok tradisi sibernetika (misalnya, teori konsistensi) dan retorika (misalnya, teori retorika Aristoteles) menggunakan penjelasan kausalitas ini. Sedang penjelasan struktural (structural explanation) merupakan bentuk penjelasan yang mengkaitkan berbagai asumsi, konsep, dan relasi dalam satu kesatuan sehingga merupakan satu jaringan teoritis tersendiri. Penjelasan struktural ini sering menggunakan metafora atau analogi untuk menjadikannya masuk akal. Apabila penjelasan kausalitas diibaratkan satu garus lurus, maka penjelasan struktural bagaikan sebuah roda atau sarang laba-laba dimana satu sama lain saling menunjang sehingga merupakan satu kesatuan konsep yang utuh. Penjelasan semacam ini bisa dijumpai pada teori-teori komunikasi yang masuk dalam kelompok tradisi kritis. Penjelasan interpretif (interpretive explanation) terkait dengan upaya untuk membantu pembentukan pemahaman. Penjelasan semacam ini mencoba untuk menemukan makna dari sebuah peristiwa atau praktik dengan menempatkannya dalam sebuah konteks sosial tertentu. Proses penjelasan semacam ini sama dengan proses penafsiran teks atau karya sastra. Teori-teori komunikasi dalam kelompok tradisi fenomenologis, semiotika dan sosio-kultural bisa dikategorikan menggunakan model penjelasan interpretif ini. Kerangka kerja teoritis (theoritical framework) merupakan sistem teoritis atau paradigma yang lebih abstrak daripada teori substantif ataupun teori formal yang digunakan peneliti sebagai panduan besar dari topik penelitiannya. Kerangka kerja teoritis semacam ini terdiri dari bermacam asumsi, konsep, dan bentuk-bentuk penjelasan yang melibatkan teori formal maupun substantif. Dalam disiplin sosiologi terdapat beberapa kerangka kerja teoritis (paradigma atau perspektif) semacam ini, antara lain struktural-fungsional, pertukaran, interaksi, dan konflik. Dalam disiplin komunikasi juga dikenal kerangka kerja teoritis 57 JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 50-61 semacam ini yang dalam bahasa Craig disebut tradisi (retorika, semiotika, fenomenologi, sibernetika, sosio-psikologis, sosio-kultural, kritis) dan dalam bahasa Miller disebut dengan pendekatan (paskapositivis, interpretif, kritis). 5. Berteori dalam Penelitian Komunikasi Bagaimana berteori (theorizing) dalam kedua pendekatan penelitian komunikasi bisa diikuti pada bagan berikut ini yang berasal dari Neuman (2000) dengan modifikasi. Bagan 1 Berteori dalam Pendekatan Kuantitatif (Deduktif) Dalam Bagan 1 terlihat bahwa proses berteori dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dicirikan dengan arah penalaran bersifat deduktif (dari teori ke empiri). Dalam berteori, peneliti berangkat dari paradigma yang mau digunakan (theoretical framework). Keberadaan paradigma ini bisa diketahui setelah peneliti memaparkan terlebih dahulu berbagai hasil penelitian sebelumnya yang relevan (state of the art). Setelah persoalan paradigma diatasi, peneliti akan dihadapkan dengan pilihan perspektif yang relevan dengan topik yang diteliti (formal theory). Sekali lagi, kegunaan state of the art sangat besar dalam mengidentifikasi macam paradigma dan perspektif ini untuk menunjukkan signifikansi akademis (teoritis) dalam penelitian. Kemudian peneliti akan dihadapkan pada sekian banyak macam teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan topik penelitiannya. Dalam pemilihan satu teori utama ini peneliti perlu membandingkan diantara teori-teori yang ada berbagai kelebihan dan kelemahan masing-masing teori yang ada. Petimbangan kegunaan atau manfaat yang paling besarlah yang 58 membuat sebuah teori dipilih untuk menjadi teori utama. Manfaat ini bisa diketetahui dari kelengkapan konsep dan relasi dalam teori tersebut yang dirasakan relevan untuk bisa diturunkan sebagai variabel-variabel penelitian sesuai topik yang diteliti. Proses pemilihan satu teori utama ini membutuhkan kecermatan dan pemahaman konseptual teoritis yang memadai dalam diri peneliti. Dibutuhkan cukup banyak bacaan pendukung untuk bisa dengan tepat menentukan teori mana yang dirasakan paling bermanfaat oleh peneliti ini. Sekedar ilustrasi. Misalnya saja peneliti mempunyai masalah penelitian terkait dengan rendahnya minat beli produk X di kalangan konsumen. Beragam penyebab bisa dimunculkan terkait masalah ini: kegiatan promosi tidak efektif, distribusi produk lambat, kualitas produk jelek, kompetitor agresif, dan lain-lain. Model pemikiran semacam ini lebih tepat didekati dengan paradigma positivistik. Dalam paradigma ini kita berhadapan dengan beberapa kelompok teori: komunikator, pesan, percakapan, hubungan, kelompok, organisasi, media, dan masyarakat/budaya. Peneliti harus mempertimbangkan pilihan-pilihan yang relevan dengan topiknya. Misalnya saja dengan pertimbangan tertentu pilihan jatuh pada kelompok komunikator. Peneliti belum boleh bernafas lega dulu. Hal ini disebabkan dalam kelompok komunikator dijumpai beragam sub kelompok lagi berdasarkan perspektif tertentu. Misalnya, perspektif tradisi. Dalam sub kelompok tradisi ini peneliti dihadapkan pada dua kemungkinan tradisi: sosio-psikologis dan sibernetika. Dengan pertimbangan tertentu pilihan jatuh pada kelompok tradisi sosio-psikologis. Peneliti kembali harus membandingkan kemungkinan menggunakan kelompok teori yang ada dalam tradisi ini: teori sifat atau teori pemrosesan informasi dan pengetahuan. Dengan pertimbangan tertentu pilihan diberikan pada kelompok teori pemrosesan informasi dan pengetahuan. Dalam kelompok teori ini ternyata ada beberapa teori: teori atribusi, teori penilaian sosial dan teori elaborasi kemungkinan. Sekali lagi, peneliti dihadapkan pada pilihan untuk menentukan satu diantara ketiga teori ini yang dinilai paling relevan atau bermanfaat. Misalnya, dengan pertimbangan tertentu pilihan jatuh pada teori elaborasi kemungkinan (substantive theory). Nah, di tahap terakhir ini peneliti menjelaskan berbagai konsep dan relasi yang ada dalam teori tersebut untuk kemudian dipilih konsep-konsep tertentu yang dirasakan paling relevan dengan topik yang diteliti. Hasil penurunan konsep menjadi vari- Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi abel-variabel penelitian inilah yang nantinya akan dikembangkan menjadi proposisi dan hipotesis untuk diuji di lapangan. Ini adalah proses verifikasi teori. Demikian kurang lebihnya proses berteori dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif (deduktif). Dalam pandangan Creswell (2003: 125), tahapan dalam pendekatan deduktif meliputi: (a) menguji atau verifikasi sebuah teori; (b) menguji hipotesis yang diturunkan dari teori; (c) mendefinisikan dam mengoperasionalisasikan variabel-variabel yang diturunkan dari teori; dan (d) mengukur variabel-variabel dengan menggunakan sebuah instrumen untuk mendapatkan skor. Bagaimana dengan proses berteori dalam pendekatan induktif? Bagan berikut menjelaskan proses berteori dalam penelitian komunikasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Bagan 2 Berteori dalam Pendekatan Kualitatif (Induktif) Pada Bagan 2 ini bisa dicermati terdapat perbedaan signifikan dengan pendekatan sebelumnya. Proses berteori dalam penelitian komunikasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif dimulai dengan, secara ekstrim, tanpa teori. Berteori dengan tanpa teori! Demikianlah memang sifat dari arah penalaran induktif (dari empiri ke teori). Pada umumnya penelitian dalam pendekatan kualitatif memang dimulai dengan data (empiri) untuk digunakan menyusun teori. Menurut hemat saya, tidak harus selalu demikian. Kita kembali pada keberadaan teori sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Teori adalah jaring untuk menangkap “dunia”. Artinya, jaring yang dianalogkan dengan konsep, betapapun sederhananya, tetap dibutuhkan. Kita tidak akan tahu suatu obyek adalah bunga atau bukan apabila kita tidak punya konsep tentang bunga. Bahwa bunga yang kita lihat itu belum ada namanya dalam kosa kata kita, itu satu hal. Hal lain yang penting adalah bahwa kita tahu obyek itu bunga. Fakta tentang bunga telah hadir di hadapan kita. Pengetahuan tentang bunga telah menjadikan obyek tersebut sebagai fakta yang mewujud. Kita tahu fakta bahwa obyek tersebut adalah bunga dan bukan pohon, buah atau binatang. Obyek itu bunga! Bukan yang lainlain. Berdasarkan fakta sederhana ini, peneliti mulai menyusun atau mengkonstruksi realita: memberi label atas bunga tersebut. Analog sederhana ini ingin menunjukkan bahwa keberadaan teori dalam penelitian kualitatif tetap diperlukan, meskipun bersifat tentatif. Artinya, teori yang sudah disiapkan bisa dibuang dan diganti dengan teori baru sama sekali. Dalam proses berteori ini sebenarnya peneliti sedang melakukan upaya untuk mengkonstruksi teori: memberi label atas realita tertentu. Persoalannya adalah apakah label itu baru sama sekali atau mlipir-mlipir atau mengikuti label-label yang sudah ada adalah masalah strategi penelitian. Disinilah arti penting peneliti menyiapkan sebuah teori. Menurut Seale dan kawan-kawan (2004: 95), dalam kebanyakan sejarah penelitian kualitatif, “teori” dianggap sebagai sebuah kata kotor. Padahal sebagaimana telah diakui oleh para filsuf ilmu pengetahuan lama sebelumnya, teori merupakan latar belakang esensial penelitian. Penelitian tidak dapat tanpa kondisi awal sebelumnya. Tanpa posisi analitik tertentu tidak akan ada “fakta” untuk dikaji. Dengan lain perkataan, tanpa teori tertentu, fakta tidak akan mewujud di hadapan peneliti. Menurut Creswell (2003: 131-133), posisi teori dalam penelitian kualitatif bisa dicermati dengan beberapa kemungkinan. Pertama, teori digunakan sebagai sebuah penjelasan luas sama seperti dalam penelitian kuantitatif. Teori dalam posisi ini memberikan sebuah penjelasan terhadap sikap atau perilaku tertentu yang bisa dilengkapi dengan variabel, konstruk dan hipotesis. Hal ini bisa dijumpai pada penelitian etnografi yang menggunakan tema-tema kultural (aspekaspek kultural) semacam kontrol sosial, bahasa, stabilitas dan perubahan atau organisasi sosial semacam kekerabatan atau keluarga. Kedua, teori bisa digunakan sebagai perspektif 59 JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 50-61 atau lensa teoritis untuk membimbing penelitian dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan penelitian terkait isu gender, klas dan ras (kombinasi ketiganya). Posisi teori semacam ini digunakan dalam kajian etnografi kritis. Ketiga, teori merupakan tujuan akhir (end point) dari penelitian. Posisi teori semacam ini melewati beberapa tahap: (a) peneliti mengumpulkan data; (b) mempertanyakan secara terus-menerus (open-ended questions) pada data yang diperoleh; (c) analisis data untuk mencari tema-tema atau kategori-kategori; (d) mencari pola luas, generalisasi atau teori dari tematema atau ketegori-kategori yang sudah ditemukan; (e) mendiskusikan generalisasi atau teori dengan pengalaman dan literatur yang sudah ada di masa lalu. Keempat, tidak menggunakan teori apapun secara eksplisit. Posisi teori semacam ini bisa dijumpai pada kajian fenomenologi dimana peneliti mencoba untuk mencari esensi dari pengalaman-pengalaman partisipan melalui deskripsi rinci dan kaya dari sebuah fenomena sentral yang dikaji. Sekadar ilustrasi. Ada sebuah iklan yang menggambarkan sekelompok wanita sedang bersuka ria sambil menjinjing tas belanjaan berlimpah barangbarang mewah. Apa masalah yang ada dalam iklan ini? Apakah produk yang diiklankan tidak laku? Tidak juga. Dalam realitanya produk yang diiklankan terjual habis. Lalu apa masalahnya? Lihatlah aktor yang ditampilkan iklan tersebut. Mengapa hanya wanita? Mengapa semuanya berkulit putih? Mengapa tidak ada yang berjilbab? Mengapa rambutnya lurus semua? Mengapa wajahnya indo semua? Kita sedang menghadapi sebuah fakta tentang iklan yang berpotensi untuk dipersoalkan karena di dalamnya ada bias gender, bias ras, bias etnisitas, bias religi, bias klas dan lain-lain kemungkinan bias. Fakta semacam itu muncul karena peneliti sudah mempunyai pengetahuan tentang teori gender atau teori feminisme tertentu. Tanpa teori semacam ini, iklan itu tampil sebagai sebuah pesan dengan kebenaran alamiah. Hanya berdasarkan sebuah iklan saja, seorang peneliti bisa mendapatkan banyak kemungkinan topik untuk dikaji. Apabila peneliti tertarik dengan isu gender, maka ia akan memfokuskan perhatiannya pada keberadaan wanita dengan aktivitas belanja. Untuk menjelaskan realita ini peneliti misalnya saja tertarik dengan konsep “konsumtivisme”. Mengapa kegiatan mengkonsumsi barang identik dengan aktivitas wanita di ranah publik? Mengapa wanita tidak digambarkan sedang melakukan pekerjaan serius tertentu di ranah publik? Berdasarkan konsep ini, peneliti akan men60 cari kemungkinan teori yang bisa menjelaskan konsep gender dan konsumtivisme dalam kajian komunikasi. Peneliti ini mungkin mempertimbangkan teori kelompok dibisukan (muted group theory) atau teori sudut pandang (standpoint theory). Diantara teori ini, peneliti akan mencermati teori mana yang menjelaskan secara eksplisit maupun implisit keberadaan konsep konsumtivisme ini. Teori inilah yang nantinya akan digunakan sebagai teori tentatif penelitian. Berbagai temuan dalam penelitian bisa mengantarkan peneliti untuk mengkonstruksi teori melalui proses penambahan konsep baru atau penggantian total pada teori yang sudah disiapkan dengan sebuah teori baru sama sekali (substantive theory). Proses konstruksi teori ini terjadi melalui kegiatan analisis komparatif yang berupaya untuk menemukan kesamaan dari berbagai fakta obyektif dari berbagai unit sosial yang ada untuk kemudian ditarik generalisasi. Proses reduksi temuan-temuan empiri menjadi teori bisa disederhanakan sebagai berikut: fakta-tema-kategori-konsep-teori awal (teori substansif)-analisis komparatif (konfirmasi dan diskusi teori awal dengan keseluruhan data)-teori akhir (teori formal) (Moleong, 1997; Muhadjir, 1998; Faisal, 1990). Kegiatan analisis komparatif akan mengantarkan peneliti pada kemungkinan konstruksi teori formal (formal theory) yaitu membawa teori awal dalam diskusi lebih luas dan komprehensif dengan keseluruhan fakta lapangan yang ada dan teori-teori lain dalam perspektif teoritis yang sama. Bahkan kemudian, peneliti bisa membawa diskusi ini dalam jangkauan yang lebih luas lagi ke level paradigma (theoretical framework). Dalam contoh konsumtivisme di atas, konstruksi teori pada topik ini akan membawa peneliti pada diskusi dalam ranah perspektif kritis dan paradigma kritis. Proses konstruksi teori semacam ini relevan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Creswell di atas. Artinya, peneliti mempunyai beberapa kemungkinan untuk menempatkan teori dalam penelitian dengan segala implikasi yang mengikutinya. Dalam penelitian dengan menggunakan desain etnografi, misalnya, kehadiran teori tampaknya tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Akan tetapi, apabila menggunakan desain fenomenologi, kehadiran teori tidak diperlukan sama sekali pada awal kajian. Bagaimana dengan desain penelitian kualitatif lain semacam semiotika, hermeneutika, naratif, wacana atau analisis teks kualitatif yang lain? Sebuah pertanyaan menarik untuk dijadikan bahan diskusi dengan mencermati pendapat Creswell di atas! Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi Penutup Simpulan Kegiatan berteori (theorizing) merupakan satu tahap penting dalam kegiatan penelitian komunikasi. Untuk bisa memahami dengan baik bagaimana proses berteori ini, perlu pemahaman pada arti dan fungsi teori, perspektif, paradigma dan peta teori, serta posisi teori dalam pendekatan yang digunakan: verifikasi teori atau konstruksi teori. Proses berteori dalam penelitian komunikasi bisa dibedakan berdasarkan pendekatan penelitian yang digunakan: kuantitatif atau kualitatif. Konsekuensi pemilihan pendekatan ini akan menentukan arah proses berteori --- deduktif atau induktif --- dengan segala implikasinya pada level realita dikaji, cakupan teori, model penjelasan teori, dan kerangka kerja teori. Saran Dalam rangka mendukung kegiatan berteori dalam penelitian komunikasi diperlukan upaya keras untuk memahami segala sesuatu terkait teori: arti, fungsi, perspektif, paradigma, arah, level realita, cakupan, model penjelasan dan posisi. Memperkaya diri dengan bacaan-bacaan relevan sangat direkomendasikan untuk bisa melakukan kegiatan berteori dengan baik. Daftar Pustaka Bryant, Jennings and Dorina Miron. (2007). “Historical Contexts and Trends in Development of Communication Ttheory”. Dalam Whaley, Bryan B. and Wendy Samter (Eds.). Explaining Communication: Contemporary Theories and Exemplars. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc.: 403-431 Craig, Robert T. (2007). “Communication Theory as A Field”. Dalam Robert T. Craig and Heidi L. Muller (Eds.). Theorizing Communication: Reading Across Traditions. Los Angeles: Sage Publications: 63-98 Creswell, John W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches (2nd ed.). Thousand Oaks: Sage Publications Effendi, Sofian. (1991). “Proses Penelitian Survai”. Dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (Ed.). Metode Penelitian Survai (Edisi Kedua). Jakarta: LP3ES: 16-30. Faisal, Sanapiah. (1990). Penelitian Kualitatif: Dasar- dasar dan Aplikasi. Malang: YA3 Fisher, B. Aubrey. (1978). Perspectives on Human Communication. New York: MacMillan Publisihing Co. Inc. Fiske, John. (2003). Introduction to Communication Theories (2nd ed.). London: Routledge Griffin, Em. (2000; 2003; 2012). A First Look At Communication Theory (5th ed.). Boston: McGraw-Hill Littlejohn, Stephen W. (1996 & 1999). Theories of Human Communication. (7th & 8th Edition). Belmont: Wadsworth Publishing Company. Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss. (2008). Theories of Human Communication (9th ed.). Belmont,CA: Thomson-Wadsworth Lincoln, Yvonna S dan Egon G. Guba. (1994; 2000). “Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluences”. Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds.), Handbook of Qualitative Research (2nd ed.).Thousand Oaks: Sage Publications Inc.: 163-188 Miller, Katherine. (2005). Communication Theories: Perspectives, Processes and Contexts.Boston: McGraw-Hill Moleong, Lexy J. (1997). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Muhadjir, Noeng. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi 3).Yogyakarta: Rake Sarasin Muller, Heidi L. and Robert T. Craig. (2007). “Introduction”. Dalam Robert T Craig and Heidi L. Muller. Theorizing Communication: Reading Across Traditions. Los Angeles: Sage Publications: ix-xviii Neuman, W. Lawrence. (1997). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach (3rd ed.). Boston: Allyn and Bacon Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods (3rd ed.). Thousand Oaks: Sage Publication Ruben, Brent D. and Lea P. Stewart. (2006). Communication and Human Behavior (5th ed.). Boston: Pearson Stacks, Don, Mark Hickson, III & Sidney R.Hill, Jr. (1991). Introduction to Communication Theory. Fort Worth: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Storey, John. (1993). An Introduction Guide to Cultural Theory and Popular Culture. New York: Harvester Wheatsheaf West, Richard and Lynn H. Turner. (2007). Introducing Communication Theory: Analysis and Applications (3rd ed.). Boston: McGraw-Hill 61