Berteori dalam Penelitian Komunikasi Sunarto - E

advertisement
Berteori dalam Penelitian Komunikasi
Sunarto
Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP
Email : [email protected]
Abstract :
Theorizing is a crucial problem in communication research. How to build a good theory
in research quantitatively and qualitatively is the main objective in this paper. Solving the problem is be done by explaining the definition and function of theory. Besides that it also describes
the perspectives and paradigm that related with communication theories. One of the perspectives namely tradition in communication theory that developed by Robert T. Craig is used to
understand the communication theories. Several issues that related with theorizing is exposed
to get better understanding in using theory in research namely: the direction of reasoning; the
level of social reality; the scope of theory; the mode of theory’s explanation;and the theoretical
framework. It is suggested to understand better the whole theoretical issues to get theorizing
propherly. Besides that reading more book that related with the topic is also suggested to get
more understanding in choosing a main theory that fit with the topic’s research.
Keywords: theory, perspective, paradigm, quantitative, qualitative
Abstraksi :
Berteori merupakan persoalan krusial dalam penelitan komunikasi. Bagaimana membangun sebuah kerangka teoritis yang baik dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif
dan kualitatif merupakan tujuan utama dalam artikel ini. Untuk mengatasi persoalan tersebut
dilakukan dengan menjelaskan definisi dan fungsi teori. Selain itu, juga menggambarkan perspektif dan paradigma yang berhubungan dengan teori-teori komunikasi. Salah satu perspektif
yaitu tradisi yang dikembangkan oleh Robert T. Craig digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap keberadaan teori-teori komunikasi. Beberapa isu yang berhubungan dengan
proses berteori dipaparkan untuk mendapatkkan pemahaman lebih baik dalam penggunaan
teori, antara lain: arah penalaran, level realita, cakupan teori, cara penjelasan teori dan
kerangka kerja teoritis. Disarakan untuk bisa memahami dengan lebih baik keseluruhan isu-isu
teoritis tersebut untuk bisa berteori dengan memadai. Selain itu juga disarankan memperkaya
diri dengan bacaan-bacaan yang relevan dengan topik yang diteliti untuk mendapatkan pemahaman lebih baik dalam memilih sebuah teori yang relevan dengan topik yang diteliti.
Kata Kunci: teori, perspektif, paradigma, kuantitatif, kualitatif
50
Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi
Pendahuluan
Pembahasan
Mahasiswa yang akan mengerjakan penelitian
untuk studi mereka, apakah itu berupa skripsi, tesis
atau bahkan disertasi, sering menghadapi masalah
krusial: tidak punya masalah untuk diteliti! Biasanya
mereka datang dengan rasa ketertarikan pada sesuatu
untuk diteliti. Misalnya, mau meneliti iklan X, program Y, berita X, atau media Y. Hal ini memang tidak
terlalu keliru karena minat pada suatu bidang tertentu
atau obyek tertentu untuk diteliti juga merupakan tahap yang perlu dilakukan oleh setiap peneliti (Effendi, 1991: 20).
Akan tetapi hal itu menjadi problematik ketika
obyek yang menjadi ketertarikannya itu tidak ada
masalah untuk diteliti. Misalnya saja, bagaimana mau
meneliti efektivitas sebuah iklan produk X terhadap
minat pembelian pada produk X ketika produk X ini
secara empirik telah terjual melampaui targetnya?
Inilah persoalan yang sering dijumpai di lapangan:
ada obyek menarik untuk diteliti, tetapi belum tentu
mempunyai masalah untuk diteliti!
Oleh karena itu, ketika ada mahasiswa datang
dengan wajah gembira sembari mengatakan:” Pak
saya sudah punya masalah untuk penelitian saya!”
– saya senang mendengarnya karena akhirnya ada
juga mahasiswa yang tidak tergantung pada dosennya
untuk menemukan masalah penelitian. Baiklah. Apa
masalah Anda? “Masalah saya adalah saya tidak punya masalah untuk saya teliti, Pak .....!!!” Nah!!!
Dalam penelitian menemukan masalah untuk
diteliti adalah satu persoalan krusial yang harus diatasi setiap mahasiswa untuk bisa melakukan penelitian.
Hal ini disebabkan dari masalah yang berhasil ditemukan nantinya mahasiswa akan bisa mendapatkan
gambaran lebih lanjut mengenai teori dan pendekatan
beserta metoda yang bisa digunakan. Kita akan bahas
mengenai masalah dan metoda ini dalam kesempatan
lain. Sekarang kita akan fokus pada persoalan teori
dulu. Apa itu teori? Apa fungsi teori? Bagaimana
proses berteori dalam penelitian? Bagaimana posisi
teori dalam penelitian?
Artikel singkat ini mencoba untuk membahas
beberapa hal terkait teori: arti, fungsi, perspektif,
peta, dan posisi teori. Semua bahasan diarahkan untuk
memberi pemahaman yang memadai terhadap aktivitas berteori (theorizing) dalam penelitian komunikasi,
baik dalam pendekatan kuantitatif maupun kualitatif
(Creswell, 2003).
1. Teori: Arti dan Fungsi
Mengapa Mbah Maridjan bersikukuh tetap bertahan di puncak Merapi? Mengapa Obama di lempar buku? Mengapa wikileaks membocorkan rumor
diplomatik Amerika? Mengapa pemerintah Amerika
bersikap keras kepada warga negaranya yang mengkonsumsi bocoran informasi dari wikileaks? Mengapa reaksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
atas liputan The Morning Herald dan The Age seperti
itu? Mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dinilai peragu? Mengapa politisi DPR membela penyelundup blackberry dan anggur? Mengapa terjadi
supermoon? Mengapa terjadi tsunami? Mengapa banyak pria perkotaan selingkuh? Mengapa seorang istri
tega mencincang suaminya sendiri? Mengapa pelajar
tawuran? Mengapa pengguna narkoba meningkat?
Mengapa Menpora Roy Suryo diragukan kemampuannya? Mengapa vonis terhadap Angelina Sondakh
dianggap tidak masuk akal? Masih ada banyak mengapa-mengapa yang lain terkait peristiwa publik atau
peristiwa keseharian. Bagaimana kita menjelaskan
semua itu? Kita membutuhkan teori (theory). Apa itu
teori?
Dalam pengertian luas, teori adalah serangkaian
konsep-konsep, penjelasan-penjelasan dan prinsipprinsip yang teratur dari beberapa aspek pengalaman manusia. (Littlejohn dan Foss, 2008: 14). Dalam
pengertian semacam ini, Littlejohn dan Foss juga
menegaskan, bahwa teori adalah abstraksi dan konstruksi. Apa maksudnya?
Teori dikatakan sebagai abstraksi karena teori
mereduksi pengalaman ke dalam serangkaian kategori-kategori tertentu dan meninggalkan kategorikategori yang lain. Kategori ini bisa berupa pola,
hubungan atau variabel. Tidak ada sebuah teori yang
mampu mengungkap seluruh “kebenaran” dari subjek
yang diteliti. Mengapa Menpora yang baru diragukan kemampuannya? Ada yang mengkaitkan dengan
minimnya pengalaman sosok bersangkutan dalam
bidang olah-raga. Ada yang mengatakan ekspektasi
masyarakat atas dirinya rendah. Berdasarkan pandangan yang muncul ini bisa disimpulkan bahwa secara
teoritis keberhasilan seseorang dalam melaksanakan
suatu pekerjaan sangat ditentukan oleh 2 (dua) faktor:
internal (pengalaman) dan eksternal (harapan). Artinya variabel pengalaman dan variabel harapan diasumsikan mempunyai hubungan positif dengan variabel keberhasilan kerja. Apakah keberhasilan kerja
seseorang memang hanya ditentukan oleh dua faktor
51
JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 50-61
ini saja? Tentu saja tidak. Masih ada banyak faktor
lain yang bisa memengaruhi kinerja seseorang. Nah,
seorang peneliti tidak mungkin bisa meneliti semua
faktor yang diasumsikan memengaruhi kinerja seseorang secara mutlak sehingga seluruh “kebenaran”
akan terungkap. Ini maksud dari abstraksi.
Mengapa teori dikatakan sebagai konstruksi?
Teori adalah hasil kreasi manusia untuk menjelaskan
sesuatu yang terjadi di dunia ini. Teori bukan ciptaan
Tuhan. Dalam upayanya untuk menjelaskan sesuatu
tersebut manusia menggunakan kategori-kategori
konseptual yang sudah dimilikinya. Manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan tertentu terhadap serangkaian kategori konseptual yang sudah dimilikinya.
Misalnya dalam kasus vonis terhadap Angie yang
oleh KPK dikatakan tidak masuk akal. Cara pandang
komisioner KPK berbeda dengan cara pandang hakim yang menjatuhkan vonis terhadap Angie. Cara
pandang orang biasa (ordinary people) berbeda terhadap kasus Angie dibandingkan dengan cara pandang
orang-orang dari partai politik. Masing-masing individu mempunyai kategori konseptual tertentu untuk
menjelaskan vonis atas Angie tersebut.
Dalam konteks ini menarik untuk mencermati pernyataan Abraham Kaplan dan Stanley Deetz
(dalam Littlejohn dan Foss, 2008:15). Menurut Kaplan, pembentukan sebuah teori tidak hanya sekedar
menemukan sebuah fakta tersembunyi, tetapi ia sekaligus merupakan sebuah cara untuk melihat, mengatur dan menyajikan fakta itu sendiri. Sejalan dengan
itu, menurut Deetz, sebuah teori adalah sebuah cara
untuk melihat dan memikirkan dunia ini. Teori adalah
sebuah lensa (teropong) untuk melihat dunia, bukan
sebuah cermin.
Apa artinya? Artinya, semua orang boleh menggunakan teropong masing-masing untuk menjelaskan vonis terhadap Angie. Ada yang menggunakan
teropong ala KPK, jaksa, hakim, politisi, atau orangorang kebanyakan. Semua pihak bisa mengkonstruksi
teori masing-masing sesuai kepentingan masing-masing dengan segala implikasi pada klaim kebenaran masing-masing. Ingat pepatah lama yang mengatakan: gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut
di seberang lautan tampak! Demi kepentingan dan
kebenaran tertentu, bisa saja fakta tertentu tidak ditampilkan dalam mengkonstruksi teori tertentu. Kita
akan dalami masalah teropong dan cermin ini pada
penjelasan berikutnya.
Adakah pandangan lain tentang teori? Menurut
Judee Burgoon (dalam Griffin, 2012: 2), teori adalah
a set of systematic, informed hunches about the way
52
things work (teori adalah serangkaian dugaan sistematis dan diinformasikan mengenai cara segala sesuatu bekerja).
Dugaan yang sistematis dan terinformasikan?
Sebelum berteori, seorang ilmuwan mungkin melakukan serangkaian tindakan berikut ini: membaca buku
atau artikel, mendengarkan orang berbicara, mengkonsumsi media, melakukan pengamatan atau percobaan. Pengetahuan yang didapatkan dari kegiatan
tersebut akan mengenalkannya pada serangkaian
konsep-konsep atau simbol-simbol tertentu dan melahirkan dugaan-dugaan tertentu atas kaitan antara konsep atau simbol yang satu dengan konsep atau simbol yang lain. Itu yang dimaksudkan dengan dugaan
sistematis dan terinformasikan. Dengan melihat rangkaian konsep atau simbol inilah seorang ilmuwan bisa
menjelaskan bagaimana segala sesuatu bekerja atau
suatu peristiwa terjadi.
Sebagai contoh, mengapa Mbah Maridjan berkeras hati untuk tetap bertahan di puncak Merapi
sementara penduduk yang lain bersedia turun gunung pada saat Merapi meletus beberapa waktu lalu?
Setelah membaca buku atau artikel, mendengarkan
orang bicara, kita akan dihadapkan dengan kemungkinan konsep atau simbol tentang “raja”, “juru kunci”,
“abdi dalem”, “kraton”, “Mbah Merapi”, “danyang”,
“hajatan”, dan lain-lain. Bagaimana kaitan antara
konsep atau simbol ini satu sama lain akan membantu pemahaman kita mengenai dugaan-dugaan pada
perilaku Mbah Maridjan tersebut.
Apa yang Anda bayangkan ketika membaca atau
mendengar kata “teori”? Kita bisa mempunyai banyak
bayangan. Ada yang menganalogkan dengan lensa
(teropong) seperti Deetz. Ada yang menganalogkan
dengan jaring-jaring (net) seperti Karl Popper (Miller,
2005). Mungkin ada juga yang menganalogkan teori
dengan peta (map) seperti Em Griffin (2012: 5-6).
Analogi-analogi semacam ini sekaligus menunjukkan
fungsi sebuah teori.
Teori adalah jaring-jaring untuk menangkap
“dunia” (theories are nets cast to catch what we
call “the world”). Terma “jaring-jaring” bersinonim
dengan “konsep” sebagaimana dijelaskan terdahulu.
Artinya “dunia” tempat dimana kita hidup dan tinggal
dapat kita tangkap eksistensinya apabila kita punya
jaring (konsep) tertentu sebagai pengetahuan dalam
benak kita (stock of knowledge). Misalnya saja, kita
bisa menyebut suatu tumbuhan sebagai bunga Mawar
ketika kita sudah mempunyai konsep (pengetahuan)
tentang bunga. Dengan memiliki konsep bunga ini
kita kemudian dihadapkan dengan sekian banyak va-
Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi
riasi macam bunga (Mawar, Anggrek, Melati, Cikrakcikrik, Bangkai, dan lain-lain), warna bunga (merah,
putih, kuning, hijau, dan lain-lain), ukuran bunga (besar, sedang, kecil), keharuman bunga (harum, menyengat, busuk), harga bunga (mahal, murah, tidak berharga), tempat hidup (hutan, gunung, rawa, sungai),
dan lain-lain. Tanpa pengetahuan akan adanya konsep
bunga ini, kita tidak akan pernah tahu tentang bunga.
Betapapun indah dan harumnya bunga tersebut!
Teori analog dengan lensa (teropong). Sebuah
lensa atau teropong mampu melihat sesuatu hanya sebagian saja yang masuk dalam cakupan lubang lensa
tersebut. Obyek-obyek lain di luar teropong tersebut
tidak akan terlihat. Misalnya saja dalam kasus Jakarta
darurat banjir bulan Januari 2013 lalu. Mengapa Jakarta banjir? Ada yang mengatakan karena ketidakmampuan mengelola sampah, tidak pandai menata
kota, konsekuensi dari penurunan tanah di Jakarta,
ketidakmampuan bekerja sama dengan pihak lain,
bulan sedang pasang, dan lain-lain. Kita yang berasal
dari disiplin ilmu komunikasi mungkin akan mengatakan karena ketidakmampuan Pemda DKI membujuk penduduk Jakarta untuk tidak membuang sampah
di sungai atau tidak tinggal di bantaran sungai. Bisa
juga karena ketidakmampuan Pemda DKI berkomunikasi dengan pemda lain supaya daerah resapan air
di puncak tidak digunakan sebagai perumahan, dan
lain-lain. Kita hanya akan memberikan segala sesuatu
alasan penyebab (causes) pada gejala atau peristiwa
yang ada terbatas pada segala konsep atau simbol terkait disiplin ilmu kita. Ini batasan alamiah pertama.
Batasan lain bisa terkait dengan macam perspektif
teoritis yang digunakan dalam disiplin ilmu itu sendiri dengan segala implikasinya.
Teori adalah lensa, bukan cermin. Analog cermin mengandaikan segala sesuatu terproyeksikan secara kongkrit, jelas dan apa adanya di depan mata.
Semua fakta dan kebenaran tumplek-bleg (hadir dan
mewujud) di depan mata kita. Semua sebab dari akibat (gejala, peristiwa) hadir secara komprehensif.
Dalam bahasa statistik, koefisien korelasinya satu.
Apakah mungkin kita mendapatkan sebuah hubungan
antar variabel sangat sempurna (1,0) yang mengandaikan tidak ada lagi variabel-variabel lain yang perlu
diteliti? Dalam ilmu sosial, jawabannya jelas: tidak
mungkin! Penggunaan pendekatan multi disiplin dan
inter disiplin adalah upaya peneliti untuk memberikan semakin banyak alternatif variabel-variabel penyebab gejala atau peristiwa terjadi. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk mendapatkan jawaban secara
statistik yang bisa mendekati angka sempurna terse-
but. Ingat, hanya mendekati sempurna! Bukan sempurna! Hal itu disebabkan kesempurnaan itu sendiri
adalah milik Tuhan!
Teori analog dengan peta. Teori berfungsi sebagai peta untuk memberikan petunjuk dan panduan
bagaimana menjelajahi dan mengalami dunia ini. Teori adalah buku panduan untuk menjelaskan, menafsirkan dan memahami kerumitan hubungan antar manusia. Dengan teori, kita dibantu untuk menjelaskan
apa yang sedang kita amati yang memungkinkan kita
untuk memahami hubungan-hubungan dan menafsirkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dalam mencermati fungsi teori semacam ini akan lebih baik apabila
kita lebih menekankan pada aspek kebermanfaatan
teori, bukan kebenaran teori. Itu nasihat Littlejohn
dan Foss!
Bagaimana kita bisa menjelaskan, menafsirkan
atau memahami tindakan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) yang dilakukan oleh seorang wakil
walikota terhadap istrinya sendiri? Seorang bupati yang kawin siri dengan seorang gadis belia dan
menceraikannya beberapa hari kemudian? Seorang
wali kota yang melarang kaum wanita membonceng
sepeda motor dengan cara mlangkah? Seorang mantan gubernur, seorang walikota, dan seorang pimpinan lembaga legislatif mengkaitkan perkosaan terhadap wanita dengan pakaian yang dikenakan wanita?
Seorang calon hakim agung tidak setuju hukuman
mati terhadap pemerkosa karena menurutnya antara pelaku dengan korban sama-sama menikmati
perkosaan itu sendiri?
Apabila kita belajar teori gender dan feminisme,
kita akan diberikan panduan penjelasan, pemahaman
dan penafsiran, bahwa semua peristiwa tersebut bisa
terjadi karena terdapat distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pria dan wanita di masyarakat
yang menyebabkan terjadinya relasi gender asimetris
(timpang) diantara keduanya. Dalam relasi semacam
ini, kaum pria lebih diuntungkan karena masyarakat
menempatkannya dalam posisi yang lebih superior.
Sedang posisi kaum wanita lebih inferior. Atas nama
kultur patriarkistik, semua sikap dan tindakan para
pejabat tersebut bisa dibenarkan. Untunglah sekarang
ini kita hidup dalam sebuah sistem politik demokratis yang memungkinkan bagi berlakunya praksis teori
gender dan feminisme dalam kehidupan empiris sehingga bisa dilakukan koreksi sosial secara terbuka
atas semua sikap dan praktek perilaku opresif terhadap kaum wanita tersebut. Contoh ini sekaligus juga
menunjukkan implikasi lain analogi teori sebagai
peta yaitu kemampuan teori untuk menantang ke53
JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 50-61
hidupan budaya tertentu dan mendorong sebuah cara
kehidupan yang baru. Begitulah arti dan fungsi teori.
Bagaimana dengan teori komunikasi?
2. Simbol dan Interaksi
Teori komunikasi adalah sebuah istilah untuk
memayungi prinsip-prinsip umum dan pernyataanpernyataan yang didesain untuk menjelaskan sebabsebab dan hubungan-hubungan kunci diantara aspekaspek yang ada pada perilaku komunikatif (Stacks dan
kawan-kawan, 1991; Griffin, 2011). Apa itu perilaku
komunikatif?
Untuk memahami perilaku komunikatif itu
seperti apa, ada baiknya kita tengok sejenak obyek
kajian disiplin ilmu komunikasi. Secara tradisional,
sebuah disiplin akademik ditentukan oleh 3 (tiga)
kriteria: (1) obyek studi; (2) metoda terhadap obyek
yang dikaji; dan (3) sejarah disiplin itu sendiri (Storey,
1994). Kita akan eksplorasi hal pertama saja. Metoda
untuk mengkaji obyek studi akan kita bahas dalam
kesempatan lain. Sedang sejarah perkembangan disiplin ilmu komunikasi bisa diikuti pada Ruben dan
Stewart (2006), Rogers (1994), dan Delia (1987).
Apa obyek studi (subject matter) disiplin ilmu
komunikasi? Pertanyaan semacam ini terkait dengan
aspek ontologis dalam filsafat ilmu yang mempersoalkan realita yang menjadi bahan kajian utama suatu
disiplin ilmu. Untuk mengetahui obyek studi ilmu komunikasi kita telusuri dari berbagai definisi tentang
komunikasi yang ada.
Disiplin ilmu komunikasi dipahami oleh Berger
dan Chaffee (1987) sebagai seeks to understand the
production, processing, and effects of symbol and signal systems by developing testable theories, containing lawful generalizations, that explain phenomena
associated with production, processing, and effects.
Dari pendapat itu terlihat, secara ontologis, realita yang dikaji dalam ilmu komunikasi adalah simbol
dan sistem tanda. Tujuan pengkajian ilmu komunikasi
sendiri diarahkan untuk memahami dan menjelaskan
gejala-gejala terkait dengan produksi, pemprosesan,
dan efek dari penggunaan sistem tanda dan simbol
tersebut.
Aspek ontologis ilmu komunikasi terkait dengan sistem tanda dan simbol itu tampak dari beberapa
pengertian yang diberikan pada istilah komunikasi
oleh beberapa pakar yang lain. Misalnya Williams
(1992) yang menyatakan, human communication is
(1) an exchange of meaningful symbols, (2) a process
rather than a “thing”, (3) a medium linking partici54
pants, (4) a potential transaction of meanings and
intents, and (5) a basic means for satisfying human
needs. Dari pendapat ini, aspek ontologis ilmu komunikasi tidak hanya tanda atau simbol saja, tapi juga
makna yang muncul dalam proses transaksi diantara para partisipan pengguna simbol tersebut untuk
memuaskan tujuan-tujuan mereka.
Pendapat semacam itu diperkuat oleh Gamble
dan Gamble (2005) yang menyatakan, communication is the deliberate or accidental transfer of
meaning. Dalam pemahaman semacam ini, kegiatan
berkomunikasi terkait dengan transfer interpretasi
terhadap simbol yang bisa bersifat sengaja (intentional) ataupun tidak sengaja (unintentional). Definisi
yang lebih komprehensif diberikan oleh Ruben dan
Stewart (1998) ketika menyatakan, human communication is the process through which individuals – in
relationships, groups, organizations, and societies
– respond to and create message to adapt to the environment and one another. Dalam pandangan mereka,
tersirat bahwa aspek ontologis ilmu komunikasi tidak
hanya simbol saja, tapi juga interaksi yang terjadi diantara para partisipan dalam berbagai konteks yang
memungkinkannya, apakah itu hubungan, kelompok,
organisasi, ataupun masyarakat. Tidak hanya untuk
memuaskan kebutuhan saja, tapi komunikasi juga
mempunyai tujuan yang lebih luas yaitu untuk menyesuaikan diri manusia dengan lingkungan melalui
penciptaan dan penanggapan pesan.
Penegasan interaksi sosial sebagai aspek ontologis ilmu komunikasi diberikan oleh Littlejohn (2005)
ketika menyatakan, in the social sciences, ontology
deals largerly with the nature of human existence;
in communication, ontology centers on the nature of
human social interaction because being is intricately
intertwined with issues of communication.
Dari beberapa pandangan di atas terlihat bahwa
obyek kajian utama (subject matter) ilmu komunikasi
adalah simbol yang dipergunakan dalam interaksi sosial. Tentu obyek kajian semacam ini tidak bisa secara
murni lepas dari pengaruh disiplin lain karena pada
dasarnya ilmu komunikasi sendiri memang bukanlah
ilmu sosial murni (pure social science) apabila kita
merujuk pada perkembangan formalnya semenjak
tahun 1940-an. Pengaruh disiplin lain semacam sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, politik, dan
lain-lain sangat terlihat dalam perkembangan ilmu
komunikasi. Luasnya pengaruh ini akhirnya tidak lagi
memadai apabila mencermati perilaku komunikatif
hanya melulu dilihat dari satu perspektif saja.
Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi
Artinya dengan teori komunikasi ini kita bisa
mempunyai beragam penjelasan, pemahaman, penafsiran dan perkiraan hasil dan efek terkait perilaku
komunikatif yang ada (penggunaan simbol dan interaksi). Misalnya saja, kita menjelaskan mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sewot dengan berita
Sidney Morning Herald dan The Age terkait bocoran
informasi dari wikileaks tentang pemerintahannya?
Terlepas benar tidaknya informasi tersebut, dengan
teori prosesing informasi, misalnya teori elaborasi kemungkinan (the likelihood model), kita bisa menjelaskan latar belakang Pak SBY cenderung menggunakan
jalur sentral (central route) untuk memproses informasi tersebut. Kemauan dan kemampuan untuk memproses informasi secara serius tersebut disebabkan
kekhawatiran jatuhnya popularitas Pak SBY di mata
rakyat Indonesia yang berdampak negatif terhadap
citra Pak SBY di tahun 2014 ketika para politisi kita
sibuk dengan persoalan eleksi.
Apakah teori itu merupakan satu-satunya teori
untuk menjelaskan perilaku SBY tersebut? Tidak
juga. Dalam kelompok teori kognisi dan pemprosesan pesan (cognition and information processing) ini
bisa dijumpai juga adanya teori atribusi (attribution
theory) dan teori penilaian sosial (social-judgement
theory) (Littlejohn dan Foss, 2008: 69-75). Dalam
kelompok teori-teori sosiopsikologis ini, selain ketiga teori tersebut, juga bisa ditemui teori-teori lain
dalam kelompok teori sifat (traits): argumentativeness, social and communicative anxiety, trait-factor
model, traits, temparement and biology. Ini baru teori-teori dalam kelompok teori sosiopsikologis. Padahal dalam kelompok teori komunikator (theories of
the communicator) ini bisa juga dijumpai teori-teori
dalam kelompok teori sibernetika, sosio-kultural dan
kritis. Artinya kita akan dihadapkan dengan demikian
banyaknya teori dengan beragam perspektif yang bisa
digunakan untuk menjelaskan hanya satu peristiwa
saja. Memahami perspektif merupakan sebuah keniscayaan untuk bisa memahami keberadaan sebuah teori dengan lebih baik.
dikte secara virtual pengamatan dan pemahaman
kita pada fenomena komunikasi yang ada. Demikian
ditegasksn Aubrey Fisher (1978) sembari menekankan bahwa pengaruh mendasar dari perspektif adalah
untuk mendefinisikan dan mengarahkan pemahaman
seseorang pada konsep-konsep komunikasi. Dengan
demikian perbedaan perspektif yang digunakan akan
mempunyai implikasi penafsiran berbeda atas sebuah
realita.
Wacana meta-teori dalam disiplin ilmu komunikasi ditandai dengan munculnya beragam perspektif
yang dikemukakan oleh para ilmuwan komunikasi.
Aubrey Fisher (1978) menyebut ada empat perspektif teoritis utama dalam kajian komunikasi: (1)
mekanistik, (2) psikologi, (3) interaksi, dan (4) pragmatik. John Fiske (1982; 1990) menggunakan terma
mahzab (school) untuk menyebut dua perspektifnya:
(1) transmisi dan (2) semiotika. Don Stacks, Mark
Hickson III, dan Sidney R. Hill (1991) menggunakan
terma cetak biru (blueprint) untuk menyebut perspektifnya: (1) sistem, (2) aturan, dan (3) hukum. Stephen W. Littlejohn (1996; 1999) menggunakan terma
genre yang meliputi: (1) struktural-fungsional, (2)
kognitif-perilaku, (3) interaksi, (4) interpretif, dan (5)
kritis. Katherine Miller (2000; 2005) menggunakan
istilah pendekatan (approaches) yang meliputi: (1)
paskapositivis, (2) interpretif, dan (3) kritis. Robert T.
Craig (Craig dan Muller, 2007) menggunakan terma
tradisi yang meliputi: (1) retorika, (2) semiotika, (3)
fenomenologi, (4) sibernetika, (5) sosio-psikologi,
(6) sosio-kultural, dan (7) kritis. Griffin (2000; 2003)
menambahkan etika dalam kelompok tradisi Craig.
Diantara beragam perspektif ini, perspektif tradisi yang digagas Craig sekarang ini, menurut Miller
(2005), merupakan perspektif yang paling banyak
digunakan para ilmuwan komunikasi global. Setidaknya hal itu terlihat dari pemetaan teori komunikasi
yang dilakukan oleh Littlejohn dan Foss (2002; 2005;
2008) dan Griffin (2000; 2003). Kita akan dekati teori-teori komunikasi dengan menggunakan perspektif
tradisi Craig ini sebagai sebuah contoh proses berteori.
3. Berbagai Perspektif dalam Teori Komunikasi
Menurut Muller dan Craig (2007: ix-xviii),
Perspektif adalah kerangka konseptual; seper- dimaksudkan dengan tradisi pada teori komunikasi
angkat asumsi-asumsi; seperangkat nilai-nilai; dan adalah cara-cara berfikir dan berbicara yang telah
seperangkat gagasan-gagasan yang memengaruhi mapan dan disemai terus-menerus sebagai sebuah
persepsi kita dan memengaruhi tindakan dalam suatu wacana khusus. Wacana ini merupakan hasil kajian
situasi (Charon, 1998). Perspektif ini analog dengan dan penjelasan (bahkan pembakuan) para ilmuwan
dan lain-lain yang terlibat dalam kegiatan diskursif
standpoint, viewpoint, outlook dan position.
Perspektif berfungsi untuk memandu dan men- sepanjang waktu terkait persoalan-persoalan komunikasi yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
55
JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 50-61
Proses berteori komunikasi artinya adalah memberikan respon secara praktis pada persoalan-persoalan
komunikasi yang dialami sehari-hari (theory informs
praxis).
Mempelajari teori komunikasi, dalam pandangan Muller dan Craig, adalah mempelajari berbagai
tradisi tersebut melalui dua cara pembelajaran. Pertama, mempelajari bagaimana menggunakan teori-teori
tersebut sebagai lensa untuk mengkaji persoalan-persoalan komunikasi yang ada dengan cara-cara yang
berbeda-beda. Kedua, mempelajari bagaimana terlibat dalam bentuk-bentuk kegiatan diskursif khusus
terkait beragam tradisi teori komunikasi tersebut yang
secara terus-menerus selalu tumbuh, berkembang dan
berubah. Artinya, Muller dan Craig mengajak kita untuk lebih menggunakan pendekatan filosofis pragmatisme reflektif (theory informs praxis) dalam mensikapi teori, bukan dengan pendekatan realisme (theory
describes the world) ataupun idealisme (theory constitutes the world).
Dalam cara pandang semacam itu, mempelajari teori komunikasi dalam tradisi retorika artinya
melihat komunikasi sebagai seni praktis berwacana
(communication as a practical art of discourse). Tradisi semiotika melihat komunikasi sebagai mediasi
intersubjektif dengan tanda-tanda (communication as
intersubjective mediation by signs). Tradisi fenomenologi melihat komunikasi sebagai pengalaman dari
keliyanan (communication as the experience of Otherness). Tradisi sibernetika melihat komunikasi sebagai pemrosesan informasi (communication as information processing). Tradisi sosiopsikologis melihat
komunikasi sebagai ekspresi, interaksi, dan pengaruh
(communication as expression, interaction, and influence). Tradisi sosiokultural melihat komunikasi sebagai (re)produksi tatanan sosial (communication as
(re)production of social order). Tradisi kritis melihat
komunikasi sebagai refleksi diskursif (discursive reflekction) (Craig, 2007: 63-98). Implikasi lebih lanjut berbagai perspektif teoritis ini pada berbagai teori
komunikasi yang ada bisa dicermati lebih lanjut pada
peta teori sebagaimana dikembangkan oleh Littlejohn
dan Foss (2009) dan Griffin (2000; 2003).
Beragam perspektif ini akhirnya mengantarkan
kita pada persoalan kedua Storey terkait disiplin ilmu
yaitu metodologi. Apa metodologi khas dalam disiplin
ilmu komunikasi? Jawaban atas pertanyaan ini mengantarkan kita pada pokok persoalan terkait paradigma. Guba dan Lincoln (1994; 2000) mendefinisikan
paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan
dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubun56
gan dengan prinsip-prinsip utama atau prinsip-prinsip
pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya, sifat dari “dunia” sebagai tempat individu
dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut
beserta bagian-bagiannya. Keyakinan-keyakinan itu
bersifat dasar dalam pengertian harus diterima secara
sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja
disebabkan tidak ada suatu cara final untuk menentukan kebenaran akhir.
Paradigma ada bermacam-macam, antara lain:
positivisme, pospositivisme, teori kritis, konstruktivisme, dan partisipatori (Guba dan Lincoln, 2000);
interpretivisme, hermeneutik, dan konstruksionisme
sosial (Schwandt); positivisme (dan pospositivisme),
interpretivisme (interaksi simbolik, fenomenologi,
dan hermeneutika), kritis, feminisme, dan posmodernisme (Crotty); biografi, fenomenologi, grounded
theory, etnografi, dan studi kasus (Craswell) (dalam
Patton, 2002). Neuman (2000) membedakan tiga
macam pendekatan: ilmu sosial positivis (positivist
social science), ilmu sosial interpretif (interpretive
social science), dan ilmu sosial kritis (critical social
science). Secara detail beragam paradigma ini akan
kita bahas pada kesempatan lain.
4. Posisi Teori dalam Penelitian Komunikasi
Posisi teori dalam penelitian komunikasi bisa
dibedakan berdasarkan pendekatan penelitian yang
digunakan: kuantitatif atau kualitatif. Kedua pendekatan penelitian ini mempunyai karakteristik berbeda.
Menurut Neuman (2000), penelitian dengan
pendekatan kuantitatif mempunyai karakteristik: (1)
mengukur fakta-fakta obyektif; (2) fokus pada variabel; (3) menekankan reliabilitas; (4) bebas nilai; (5)
bebas dari konteks; (6) banyak kasus dan subjek; (7)
analisis statistik; dan (8) peneliti menjaga jarak dengan obyek penelitian. Sedang pendekatan kualitatif
mempunyai karakteristik: (1) konstruksi realita sosial dan makna kultural; (2) fokus pada peristiwa dan
proses interaktif; (3) menekankan otensitas; (4) nilai
hadir secara eksplisit; (5) dibatasi situasi (kontekstual); (6) sedikit kasus maupun subjek; (7) analisis
tema; dan (8) peneliti terlibat dalam penelitian secara
aktif.
Dikaitkan dengan perspektif, apabila kita mengikuti alur pemikiran Griffin (2003), maka teori-teori
komunikasi dalam kelompok tradisi sosio-psikologis semuanya menggunakan pendekatan kuantitatif
(obyektif). Sebagian teori komunikasi dalam kelom-
Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi
pok sibernetika dan retorika ada juga yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sedang teori-teori
komunikasi dalam kelompok tradisi sosio-kultural,
fenomenologi dan kritis menggunakan pendekatan
kualitatif (interpretif). Sebagian teori komunikasi
dalam kelompok tradisi semiotika dan retorika ada
juga yang menggunakan pendekatan kualitatif ini.
Terkait posisi teori, terdapat beberapa hal yang
perlu dicermati, antara lain: (1) arah penalaran; (2)
level realita sosial; (3) cakupan teori; (4) cara penjelasan teori; dan (5) kerangka kerja teoritis (Neuman,
2000).
Arah penalaran teoritis bisa dibedakan menjadi
dua: (a) deduktif; dan (b) induktif. Penalaran deduktif bermula dari gagasan abstrak mengarah pada bukti
empiris. Penalaran semacam ini berawal dari konsep
menuju empiri. Sedang penalaran induktif bermula
dari observasi empiris mengarah pada generalisasi
teoritis yang bastrak. Ia mulai dari bukti-bukti empiri
kemudian dikonseptualisasikan dalam bentuk teoriteori. Arah penalaran deduktif pada umumya digunakan dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif dan arah induktif digunakan dalam pendekatan
kualitatif.
Level realita dalam teori bisa dibedakan menjadi tiga lapis: (a) mikro; (b) meso; dan (c) makro.
Teori mikroskopik menjelaskan realita pada level
individu. Teori-teori komunikasi pada level interpersonal banyak menggunakan penjelasan mikroskopik
ini. Teori mesoskropik menjelaskan realita pada level
kelompok dan organisasi. Teori semacam ini banyak
dijumpai pada teori komunikasi di level organisasi.
Teori makroskopik menjelaskan realita pada level
masyarakat. Teori semacam ini banyak ditemui dalam
teori komunikasi di level masyarakat atau budaya.
Kedua pendekatan penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, bisa menggunakan ketiga macam level
realita ini.
Cakupan teori dibedakan menjadi dua: (a) teori
substantif; dan (b) teori formal. Teori substantif hanya
memberi perhatian pada satu area tertentu saja. Teori
substantif ini bisa ditemui pada semua teori komunikasi di semua level realita (interpersonal, kelompok,
organisasi, massa). Sedang teori formal memberi perhatian pada area konseptual yang relatif luas. Teoriteori yang dikategorikan sebagai “teori besar” (grand
theory) semacam teori Marxisme atau Darwinisme
bisa dikelompokkan dalam teori formalistik. Dalam
disiplin komunikasi, teori formalistik semacam ini
misalnya saja ditemui dalam teori stimulus-organisme-respon (S-O-R).
Cara penjelasan teori bisa dibedakan menjadi
tiga macam: (a) penjelasan kausalitas (causal explanation); (b) penjelasan struktural (structural explanation); dan (c) penjelasan interpretif (interpretive explanation).
Penjelasan kausalitas (causal explanation) terkait dengan penjelasan berbagai fenomena sosial
dalam rangkaian sebab-akibat. Penjelasan semacam
ini banyak dijumpai pada teori-teori dengan cara berfikir linieristik. Teori-teori komunikasi dalam kelompok tradisi sosiopsikologis hampir semuanya menggunakan penjelasan semacam ini. Sebagian teori-teori
komunikasi dalam kelompok tradisi sibernetika (misalnya, teori konsistensi) dan retorika (misalnya, teori
retorika Aristoteles) menggunakan penjelasan kausalitas ini.
Sedang penjelasan struktural (structural explanation) merupakan bentuk penjelasan yang mengkaitkan berbagai asumsi, konsep, dan relasi dalam satu
kesatuan sehingga merupakan satu jaringan teoritis
tersendiri. Penjelasan struktural ini sering menggunakan metafora atau analogi untuk menjadikannya
masuk akal. Apabila penjelasan kausalitas diibaratkan
satu garus lurus, maka penjelasan struktural bagaikan
sebuah roda atau sarang laba-laba dimana satu sama
lain saling menunjang sehingga merupakan satu kesatuan konsep yang utuh. Penjelasan semacam ini bisa
dijumpai pada teori-teori komunikasi yang masuk
dalam kelompok tradisi kritis.
Penjelasan interpretif (interpretive explanation)
terkait dengan upaya untuk membantu pembentukan
pemahaman. Penjelasan semacam ini mencoba untuk
menemukan makna dari sebuah peristiwa atau praktik dengan menempatkannya dalam sebuah konteks
sosial tertentu. Proses penjelasan semacam ini sama
dengan proses penafsiran teks atau karya sastra. Teori-teori komunikasi dalam kelompok tradisi fenomenologis, semiotika dan sosio-kultural bisa dikategorikan menggunakan model penjelasan interpretif ini.
Kerangka kerja teoritis (theoritical framework)
merupakan sistem teoritis atau paradigma yang lebih
abstrak daripada teori substantif ataupun teori formal
yang digunakan peneliti sebagai panduan besar dari
topik penelitiannya. Kerangka kerja teoritis semacam
ini terdiri dari bermacam asumsi, konsep, dan bentuk-bentuk penjelasan yang melibatkan teori formal
maupun substantif. Dalam disiplin sosiologi terdapat
beberapa kerangka kerja teoritis (paradigma atau
perspektif) semacam ini, antara lain struktural-fungsional, pertukaran, interaksi, dan konflik. Dalam disiplin komunikasi juga dikenal kerangka kerja teoritis
57
JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 50-61
semacam ini yang dalam bahasa Craig disebut tradisi
(retorika, semiotika, fenomenologi, sibernetika, sosio-psikologis, sosio-kultural, kritis) dan dalam bahasa
Miller disebut dengan pendekatan (paskapositivis, interpretif, kritis).
5. Berteori dalam Penelitian Komunikasi
Bagaimana berteori (theorizing) dalam kedua
pendekatan penelitian komunikasi bisa diikuti pada
bagan berikut ini yang berasal dari Neuman (2000)
dengan modifikasi.
Bagan 1
Berteori dalam Pendekatan Kuantitatif (Deduktif)
Dalam Bagan 1 terlihat bahwa proses berteori
dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif dicirikan dengan arah penalaran bersifat
deduktif (dari teori ke empiri). Dalam berteori, peneliti berangkat dari paradigma yang mau digunakan
(theoretical framework). Keberadaan paradigma ini
bisa diketahui setelah peneliti memaparkan terlebih
dahulu berbagai hasil penelitian sebelumnya yang
relevan (state of the art). Setelah persoalan paradigma
diatasi, peneliti akan dihadapkan dengan pilihan perspektif yang relevan dengan topik yang diteliti (formal
theory). Sekali lagi, kegunaan state of the art sangat
besar dalam mengidentifikasi macam paradigma dan
perspektif ini untuk menunjukkan signifikansi akademis (teoritis) dalam penelitian.
Kemudian peneliti akan dihadapkan pada sekian banyak macam teori yang bisa digunakan untuk
menjelaskan topik penelitiannya. Dalam pemilihan
satu teori utama ini peneliti perlu membandingkan
diantara teori-teori yang ada berbagai kelebihan dan
kelemahan masing-masing teori yang ada. Petimbangan kegunaan atau manfaat yang paling besarlah yang
58
membuat sebuah teori dipilih untuk menjadi teori
utama. Manfaat ini bisa diketetahui dari kelengkapan
konsep dan relasi dalam teori tersebut yang dirasakan
relevan untuk bisa diturunkan sebagai variabel-variabel penelitian sesuai topik yang diteliti. Proses pemilihan satu teori utama ini membutuhkan kecermatan
dan pemahaman konseptual teoritis yang memadai
dalam diri peneliti. Dibutuhkan cukup banyak bacaan
pendukung untuk bisa dengan tepat menentukan teori
mana yang dirasakan paling bermanfaat oleh peneliti
ini.
Sekedar ilustrasi. Misalnya saja peneliti mempunyai masalah penelitian terkait dengan rendahnya
minat beli produk X di kalangan konsumen. Beragam
penyebab bisa dimunculkan terkait masalah ini: kegiatan promosi tidak efektif, distribusi produk lambat, kualitas produk jelek, kompetitor agresif, dan
lain-lain. Model pemikiran semacam ini lebih tepat
didekati dengan paradigma positivistik. Dalam paradigma ini kita berhadapan dengan beberapa kelompok
teori: komunikator, pesan, percakapan, hubungan, kelompok, organisasi, media, dan masyarakat/budaya.
Peneliti harus mempertimbangkan pilihan-pilihan
yang relevan dengan topiknya. Misalnya saja dengan
pertimbangan tertentu pilihan jatuh pada kelompok
komunikator. Peneliti belum boleh bernafas lega dulu.
Hal ini disebabkan dalam kelompok komunikator dijumpai beragam sub kelompok lagi berdasarkan perspektif tertentu. Misalnya, perspektif tradisi. Dalam
sub kelompok tradisi ini peneliti dihadapkan pada dua
kemungkinan tradisi: sosio-psikologis dan sibernetika. Dengan pertimbangan tertentu pilihan jatuh pada
kelompok tradisi sosio-psikologis. Peneliti kembali
harus membandingkan kemungkinan menggunakan
kelompok teori yang ada dalam tradisi ini: teori sifat
atau teori pemrosesan informasi dan pengetahuan.
Dengan pertimbangan tertentu pilihan diberikan pada kelompok teori pemrosesan informasi dan
pengetahuan. Dalam kelompok teori ini ternyata ada
beberapa teori: teori atribusi, teori penilaian sosial
dan teori elaborasi kemungkinan. Sekali lagi, peneliti
dihadapkan pada pilihan untuk menentukan satu diantara ketiga teori ini yang dinilai paling relevan atau
bermanfaat. Misalnya, dengan pertimbangan tertentu
pilihan jatuh pada teori elaborasi kemungkinan (substantive theory).
Nah, di tahap terakhir ini peneliti menjelaskan berbagai konsep dan relasi yang ada dalam teori
tersebut untuk kemudian dipilih konsep-konsep tertentu yang dirasakan paling relevan dengan topik
yang diteliti. Hasil penurunan konsep menjadi vari-
Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi
abel-variabel penelitian inilah yang nantinya akan
dikembangkan menjadi proposisi dan hipotesis untuk
diuji di lapangan. Ini adalah proses verifikasi teori.
Demikian kurang lebihnya proses berteori dalam
penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif (deduktif).
Dalam pandangan Creswell (2003: 125), tahapan dalam pendekatan deduktif meliputi: (a) menguji
atau verifikasi sebuah teori; (b) menguji hipotesis
yang diturunkan dari teori; (c) mendefinisikan dam
mengoperasionalisasikan variabel-variabel yang diturunkan dari teori; dan (d) mengukur variabel-variabel dengan menggunakan sebuah instrumen untuk
mendapatkan skor. Bagaimana dengan proses berteori
dalam pendekatan induktif?
Bagan berikut menjelaskan proses berteori
dalam penelitian komunikasi dengan menggunakan
pendekatan kualitatif.
Bagan 2
Berteori dalam Pendekatan Kualitatif (Induktif)
Pada Bagan 2 ini bisa dicermati terdapat perbedaan signifikan dengan pendekatan sebelumnya.
Proses berteori dalam penelitian komunikasi dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dimulai dengan,
secara ekstrim, tanpa teori. Berteori dengan tanpa
teori! Demikianlah memang sifat dari arah penalaran
induktif (dari empiri ke teori). Pada umumnya penelitian dalam pendekatan kualitatif memang dimulai
dengan data (empiri) untuk digunakan menyusun
teori. Menurut hemat saya, tidak harus selalu demikian. Kita kembali pada keberadaan teori sebagaimana
dijelaskan sebelumnya.
Teori adalah jaring untuk menangkap “dunia”.
Artinya, jaring yang dianalogkan dengan konsep,
betapapun sederhananya, tetap dibutuhkan. Kita
tidak akan tahu suatu obyek adalah bunga atau bukan apabila kita tidak punya konsep tentang bunga.
Bahwa bunga yang kita lihat itu belum ada namanya
dalam kosa kata kita, itu satu hal. Hal lain yang penting adalah bahwa kita tahu obyek itu bunga. Fakta
tentang bunga telah hadir di hadapan kita. Pengetahuan tentang bunga telah menjadikan obyek tersebut
sebagai fakta yang mewujud. Kita tahu fakta bahwa
obyek tersebut adalah bunga dan bukan pohon, buah
atau binatang. Obyek itu bunga! Bukan yang lainlain. Berdasarkan fakta sederhana ini, peneliti mulai
menyusun atau mengkonstruksi realita: memberi label atas bunga tersebut.
Analog sederhana ini ingin menunjukkan bahwa keberadaan teori dalam penelitian kualitatif tetap
diperlukan, meskipun bersifat tentatif. Artinya, teori
yang sudah disiapkan bisa dibuang dan diganti dengan teori baru sama sekali. Dalam proses berteori ini
sebenarnya peneliti sedang melakukan upaya untuk
mengkonstruksi teori: memberi label atas realita tertentu. Persoalannya adalah apakah label itu baru sama
sekali atau mlipir-mlipir atau mengikuti label-label
yang sudah ada adalah masalah strategi penelitian.
Disinilah arti penting peneliti menyiapkan sebuah
teori.
Menurut Seale dan kawan-kawan (2004: 95),
dalam kebanyakan sejarah penelitian kualitatif,
“teori” dianggap sebagai sebuah kata kotor. Padahal
sebagaimana telah diakui oleh para filsuf ilmu pengetahuan lama sebelumnya, teori merupakan latar
belakang esensial penelitian. Penelitian tidak dapat
tanpa kondisi awal sebelumnya. Tanpa posisi analitik
tertentu tidak akan ada “fakta” untuk dikaji. Dengan
lain perkataan, tanpa teori tertentu, fakta tidak akan
mewujud di hadapan peneliti.
Menurut Creswell (2003: 131-133), posisi teori
dalam penelitian kualitatif bisa dicermati dengan beberapa kemungkinan. Pertama, teori digunakan sebagai sebuah penjelasan luas sama seperti dalam penelitian kuantitatif. Teori dalam posisi ini memberikan
sebuah penjelasan terhadap sikap atau perilaku tertentu yang bisa dilengkapi dengan variabel, konstruk dan
hipotesis. Hal ini bisa dijumpai pada penelitian etnografi yang menggunakan tema-tema kultural (aspekaspek kultural) semacam kontrol sosial, bahasa, stabilitas dan perubahan atau organisasi sosial semacam
kekerabatan atau keluarga.
Kedua, teori bisa digunakan sebagai perspektif
59
JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 50-61
atau lensa teoritis untuk membimbing penelitian dan
memunculkan pertanyaan-pertanyaan penelitian terkait isu gender, klas dan ras (kombinasi ketiganya).
Posisi teori semacam ini digunakan dalam kajian etnografi kritis.
Ketiga, teori merupakan tujuan akhir (end point)
dari penelitian. Posisi teori semacam ini melewati beberapa tahap: (a) peneliti mengumpulkan data; (b)
mempertanyakan secara terus-menerus (open-ended
questions) pada data yang diperoleh; (c) analisis data
untuk mencari tema-tema atau kategori-kategori; (d)
mencari pola luas, generalisasi atau teori dari tematema atau ketegori-kategori yang sudah ditemukan;
(e) mendiskusikan generalisasi atau teori dengan pengalaman dan literatur yang sudah ada di masa lalu.
Keempat, tidak menggunakan teori apapun secara eksplisit. Posisi teori semacam ini bisa dijumpai
pada kajian fenomenologi dimana peneliti mencoba
untuk mencari esensi dari pengalaman-pengalaman
partisipan melalui deskripsi rinci dan kaya dari sebuah fenomena sentral yang dikaji.
Sekadar ilustrasi. Ada sebuah iklan yang menggambarkan sekelompok wanita sedang bersuka ria
sambil menjinjing tas belanjaan berlimpah barangbarang mewah. Apa masalah yang ada dalam iklan
ini? Apakah produk yang diiklankan tidak laku? Tidak juga. Dalam realitanya produk yang diiklankan
terjual habis. Lalu apa masalahnya? Lihatlah aktor
yang ditampilkan iklan tersebut. Mengapa hanya
wanita? Mengapa semuanya berkulit putih? Mengapa
tidak ada yang berjilbab? Mengapa rambutnya lurus
semua? Mengapa wajahnya indo semua? Kita sedang
menghadapi sebuah fakta tentang iklan yang berpotensi untuk dipersoalkan karena di dalamnya ada bias
gender, bias ras, bias etnisitas, bias religi, bias klas
dan lain-lain kemungkinan bias. Fakta semacam itu
muncul karena peneliti sudah mempunyai pengetahuan tentang teori gender atau teori feminisme tertentu. Tanpa teori semacam ini, iklan itu tampil sebagai
sebuah pesan dengan kebenaran alamiah.
Hanya berdasarkan sebuah iklan saja, seorang
peneliti bisa mendapatkan banyak kemungkinan topik
untuk dikaji. Apabila peneliti tertarik dengan isu gender, maka ia akan memfokuskan perhatiannya pada
keberadaan wanita dengan aktivitas belanja. Untuk
menjelaskan realita ini peneliti misalnya saja tertarik
dengan konsep “konsumtivisme”. Mengapa kegiatan
mengkonsumsi barang identik dengan aktivitas wanita
di ranah publik? Mengapa wanita tidak digambarkan
sedang melakukan pekerjaan serius tertentu di ranah
publik? Berdasarkan konsep ini, peneliti akan men60
cari kemungkinan teori yang bisa menjelaskan konsep gender dan konsumtivisme dalam kajian komunikasi. Peneliti ini mungkin mempertimbangkan teori
kelompok dibisukan (muted group theory) atau teori
sudut pandang (standpoint theory). Diantara teori ini,
peneliti akan mencermati teori mana yang menjelaskan secara eksplisit maupun implisit keberadaan
konsep konsumtivisme ini. Teori inilah yang nantinya akan digunakan sebagai teori tentatif penelitian.
Berbagai temuan dalam penelitian bisa mengantarkan
peneliti untuk mengkonstruksi teori melalui proses
penambahan konsep baru atau penggantian total pada
teori yang sudah disiapkan dengan sebuah teori baru
sama sekali (substantive theory).
Proses konstruksi teori ini terjadi melalui kegiatan analisis komparatif yang berupaya untuk menemukan kesamaan dari berbagai fakta obyektif dari
berbagai unit sosial yang ada untuk kemudian ditarik
generalisasi. Proses reduksi temuan-temuan empiri
menjadi teori bisa disederhanakan sebagai berikut:
fakta-tema-kategori-konsep-teori awal (teori substansif)-analisis komparatif (konfirmasi dan diskusi teori
awal dengan keseluruhan data)-teori akhir (teori formal) (Moleong, 1997; Muhadjir, 1998; Faisal, 1990).
Kegiatan analisis komparatif akan mengantarkan peneliti pada kemungkinan konstruksi teori formal (formal theory) yaitu membawa teori awal dalam
diskusi lebih luas dan komprehensif dengan keseluruhan fakta lapangan yang ada dan teori-teori lain
dalam perspektif teoritis yang sama. Bahkan kemudian, peneliti bisa membawa diskusi ini dalam jangkauan yang lebih luas lagi ke level paradigma (theoretical framework). Dalam contoh konsumtivisme di
atas, konstruksi teori pada topik ini akan membawa
peneliti pada diskusi dalam ranah perspektif kritis dan
paradigma kritis.
Proses konstruksi teori semacam ini relevan
dengan apa yang telah dikemukakan oleh Creswell
di atas. Artinya, peneliti mempunyai beberapa kemungkinan untuk menempatkan teori dalam penelitian dengan segala implikasi yang mengikutinya.
Dalam penelitian dengan menggunakan desain etnografi, misalnya, kehadiran teori tampaknya tidak bisa
ditinggalkan begitu saja. Akan tetapi, apabila menggunakan desain fenomenologi, kehadiran teori tidak
diperlukan sama sekali pada awal kajian. Bagaimana
dengan desain penelitian kualitatif lain semacam semiotika, hermeneutika, naratif, wacana atau analisis
teks kualitatif yang lain? Sebuah pertanyaan menarik
untuk dijadikan bahan diskusi dengan mencermati
pendapat Creswell di atas!
Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi
Penutup
Simpulan
Kegiatan berteori (theorizing) merupakan satu
tahap penting dalam kegiatan penelitian komunikasi.
Untuk bisa memahami dengan baik bagaimana proses berteori ini, perlu pemahaman pada arti dan fungsi
teori, perspektif, paradigma dan peta teori, serta posisi teori dalam pendekatan yang digunakan: verifikasi
teori atau konstruksi teori.
Proses berteori dalam penelitian komunikasi
bisa dibedakan berdasarkan pendekatan penelitian
yang digunakan: kuantitatif atau kualitatif. Konsekuensi pemilihan pendekatan ini akan menentukan arah
proses berteori --- deduktif atau induktif --- dengan
segala implikasinya pada level realita dikaji, cakupan teori, model penjelasan teori, dan kerangka kerja
teori.
Saran
Dalam rangka mendukung kegiatan berteori
dalam penelitian komunikasi diperlukan upaya keras
untuk memahami segala sesuatu terkait teori: arti,
fungsi, perspektif, paradigma, arah, level realita, cakupan, model penjelasan dan posisi. Memperkaya diri
dengan bacaan-bacaan relevan sangat direkomendasikan untuk bisa melakukan kegiatan berteori dengan
baik.
Daftar Pustaka
Bryant, Jennings and Dorina Miron. (2007). “Historical Contexts and Trends in Development of Communication Ttheory”. Dalam Whaley, Bryan B.
and Wendy Samter (Eds.). Explaining Communication: Contemporary Theories and Exemplars.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc.:
403-431
Craig, Robert T. (2007). “Communication Theory as
A Field”. Dalam Robert T. Craig and Heidi L.
Muller (Eds.). Theorizing Communication: Reading Across Traditions. Los Angeles: Sage Publications: 63-98
Creswell, John W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches (2nd ed.). Thousand Oaks: Sage Publications
Effendi, Sofian. (1991). “Proses Penelitian Survai”.
Dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi
(Ed.). Metode Penelitian Survai (Edisi Kedua).
Jakarta: LP3ES: 16-30.
Faisal, Sanapiah. (1990). Penelitian Kualitatif: Dasar-
dasar dan Aplikasi. Malang: YA3
Fisher, B. Aubrey. (1978). Perspectives on Human
Communication. New York: MacMillan Publisihing Co. Inc.
Fiske, John. (2003). Introduction to Communication
Theories (2nd ed.). London: Routledge
Griffin, Em. (2000; 2003; 2012). A First Look At
Communication Theory (5th ed.). Boston: McGraw-Hill
Littlejohn, Stephen W. (1996 & 1999). Theories of
Human Communication. (7th & 8th Edition).
Belmont: Wadsworth Publishing Company.
Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss. (2008).
Theories of Human Communication (9th ed.).
Belmont,CA: Thomson-Wadsworth
Lincoln, Yvonna S dan Egon G. Guba. (1994; 2000).
“Paradigmatic Controversies, Contradictions, and
Emerging Confluences”. Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds.), Handbook of
Qualitative Research (2nd ed.).Thousand Oaks:
Sage Publications Inc.: 163-188
Miller, Katherine. (2005). Communication Theories:
Perspectives, Processes and Contexts.Boston:
McGraw-Hill
Moleong, Lexy J. (1997). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Muhadjir, Noeng. (1998). Metodologi Penelitian
Kualitatif (edisi 3).Yogyakarta: Rake Sarasin
Muller, Heidi L. and Robert T. Craig. (2007). “Introduction”. Dalam Robert T Craig and Heidi
L. Muller. Theorizing Communication: Reading
Across Traditions. Los Angeles: Sage Publications: ix-xviii
Neuman, W. Lawrence. (1997). Social Research
Methods: Qualitative and Quantitative Approach
(3rd ed.). Boston: Allyn and Bacon
Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research
& Evaluation Methods (3rd ed.). Thousand Oaks:
Sage Publication
Ruben, Brent D. and Lea P. Stewart. (2006). Communication and Human Behavior (5th ed.). Boston:
Pearson
Stacks, Don, Mark Hickson, III & Sidney R.Hill, Jr.
(1991). Introduction to Communication Theory.
Fort Worth: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Storey, John. (1993). An Introduction Guide to Cultural Theory and Popular Culture. New York:
Harvester Wheatsheaf
West, Richard and Lynn H. Turner. (2007). Introducing Communication Theory: Analysis and Applications (3rd ed.). Boston: McGraw-Hill
61
Download