Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa SMP

advertisement
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
JANUARI 2014
Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik
Siswa SMP Melalui Pendekatan Pembelajaran Problem Posing
Developing critical thinking skills mathematical SMP student through
learning approach problem posing
Lambertus1, Mustamin Anggo2, dan Sulasri Suddin3
(1, 2 & 3 Dosen &Alumni Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP UHO email:
[email protected])
Abstrak: Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematik antara siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing dan
siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional. Penelitian eksperimen ini
menggunakan desain Randomized Control Group Pre Tes-Post Test. Teknik pengambilan sampel
dilakukan secara purposive dan tehnik penentuan kelas secara random. Dari hasil analisis diperoleh
kesimpulan: (1) Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematik yang signifikan antara siswa
setelah diajar mengunakan pendekatan pembelajaran problem posing dan siswa setelah diajar
mengunakan pendekatan pembelajaran konvensional; (2) Peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematik siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing lebih baik secara
signifikan dari peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang diajar menggunakan
pembelajaran konvensional.
Kata kunci: Problem posing, Kemampuan berpikir kritis.
Abstract: The purpose of the study was to determine the difference in an increase in critical thinking
skills among students taught math using problem posing approach to teaching and students taught
using conventional teaching approach. This experimental study using a design Randomized Control
Group Pre-Test Post Test. The sampling technique is purposive and random grading techniques. From
the analysis of the conclusion: (1) There are differences in the ability to think critically significant
mathematics among students after being taught using problem posing approach to teaching and
students after being taught using conventional teaching approach; (2) Improved critical thinking skills
students are taught math using problem posing learning approach better than the increase in critical
thinking skills of students who are taught mathematics using conventional learning.
Keywords: Problem posing, critical thinking skills.
PENDAHULUAN
Salahsatu bidang studi yang sangat
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam upaya pembangunan
suatu bangsa adalah matematika. Matematika
termasuk sarana berpikir ilmiah sangat
diperlukan untuk menumbuh kembangkan
kemampuan berpikir logis, sistematis, dan
kritis dalam diri peserta didik untuk
menunjang keberhasilan belajarnya dalam
menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
Sebagaimana tercantum dalam Permendiknas
No. 22 Tahun 2006, bahwa diberikannya
matematika di jenjang pendidikan dasar dan
menengah antara lain: (1) Agar peserta didik
memiliki kemampuan memahami konsep
matematika; (2) Menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien,
dan tepat; (3) Dalam pemecahan masalah,
menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti,
89
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika; (4) Memecahkan masalah yang
meliputi
kemampuan
memahami
masalah, merancang
model
matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh; (5) Mengomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah, dan (6) Memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta
sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Tujuan
pembelajaran
matematika
tersebut secara tersirat bahwa seorang siswa
diharapkan mampu mempunyai kemampuan
berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis
bukanlah pembawaan manusia sejak lahir
namun bisa ditumbuhkembangkan. Dalam
hal ini, guru memegang peranan penting
dalam usaha pengembangan kemampuan
berpikir
kritis.Mengembangkan
kemampuanberpikir kritis matematik siswa
sangat penting, dikarenakan kemampuan
tersebut
sangat
mendukung
pada
kemampuan-kemampuan matematik yang
lain, dan kemampuan-kemampuan tersebut
juga merupakan tujuan dalam kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tingkat
Sekolah Menengah Pertama.
Namun, keadaan yang sebenarnya
adalah belum sesuai dengan yang diharapkan.
Hudoyo (1998:2) menyatakan bahwa, guru
masih senang mengajar dengan pola
pembelajaran konvensional dan sedikit sekali
melihat peluang-peluang untuk melakukan
kegiatan yang lebih inovatif. Pembelajaran
dilakukan kurang memperhatikan aspek
kemampuan siswa dan sejauh mana
pembelajaran dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan pemahaman dan
penalaran berpikir siswa.Pembelajaran yang
diterapkan hampir semua sekolah cenderung
text book oriented dan kurang terkait dengan
JANUARI 2014
kehidupan sehari-hari siswa. Pembelajaran
matematika
yang
cenderung
abstrak,
sementara itu kebanyakan guru dalam
mengajar masih kurang memperhatikan
kemampuan berpikir siswa, atau dengan kata
lain pembelajaran yang kritis. Seperti metode
yang digunakan kurang bervariasi, tidak
melakukan pengajaran bermakna, dan sebagai
akibatnya motivasi belajar siswa menjadi sulit
ditumbuhkan dan pola belajar cenderung
menghafal dan mekanistik.
Fauzan (2002: 27) menggambarkan
pembelajaran matematika di kelas bahwa pada
umumnya guru menjadi pusat pembelajaran
pada hampir semua aktivitas pembelajaran
dengan memperlakukan siswa sebagai kotak
kosong yang perlu diisi. Keadaan yang
demikian tidak kondusif untuk pengajaran
matematika atau untuk proses pembelajaran.
Guru menyampaikan pesan berupa informasi
tidak menyentuh pada hal-hal yang
merangsang siswa untuk berpikir kritis. Salah
satu penyebab terjadinya hal ini adalah guru
belum
melakukan
pemilihan
strategi
pendekatan pembelajaran guna tercapainya
iklim pembelajaran aktif yang bermakna dan
tepat untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa.
Salah satu pendekatan pembelajaran
yang dapat melibatkan siswa secara aktif dan
memberikan kesempatan siswa untuk berpikir
kritis yaitu pembelajaran dengan pendekatan
problem posing (pengajuan masalah). Problem
posing dapat memfasilitasi pengembangan
kemampuan berpikir kritis pada siswa agar
dapat mengembangkan kemampuan dan
kesukaan kepada matematika. Brown dan
Walter (2005) juga menjelaskan bahwa problem
posing adalah penting dalam kurikulum
matematika karena di dalamnya terdapat inti
dari aktivitas matematika, termaksud aktivitas
dimana siswa membangun masalah sendiri.
Pendekatan problem posing merupakan
suatu pendekatan yang menekankan pada
kegiatan pengajuan masalah yang dimulai
90
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
dengan pemberian sebuah keadaan atau
situasi oleh guru, siswa kemudian diminta
untuk mengajukan pertanyaan berdasar pada
situasi yang diberikan dengan mengacu
kepada tujuan pembelajaran sehingga
pertanyaan yang muncul tidak keluar dari
materi yang sedang diajarkan. Kegiatan
pengajuan
masalah
ini
memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengontruksi
pengetahuan sesuai dengan perkembangan
dan kemampuan berpikirnya. Sehingga
dengan meningkatnya kemampuan berpikir
kritis matematik siswa diharapkan akan
memberikan efek positif terhadap hasil belajar
yang diperolehnya.
Keberhasilan pendekatan problem posing
dalam meningkatkan kemampuan berpikir
kritis matematik siswa dapat dilihat dengan
mengukur beberapa aspek dalam proses
menyelesaikan permasalahan. Pembelajaran
dengan pendekatan problem posing ini akan
digunakan pada siswa Sekolah Menengah
Pertama, karena pada jenjang ini siswa telah
dapat dilatih untuk berpikir kritis sebagai
dasar untuk melanjutkan kejenjang yang lebih
tinggi.
Menurut Piaget setiap individu
mengalami tingkat perkembangan kognitif
yang teratur dan berurutan, mulai dari tingkat
sensori motor (0-2 tahun), pra-oprasional (2-7
tahun), oprasional konkrit (7-11 tahun) dan
oprasional formal (11 tahun keatas). Pada
tingkat oprasional formal, berpikir kritis dapat
dikembangkan.
Berdasarkan
teori
perkembangan kognitif Piaget, anak seusia
SMP belum sepenuhnya dapat berpikir
abstrak, dalam pembelajarannya kehadiran
benda-benda konkrit masih diperlukan. Meski
begitu harus pula mulai dikenalkan bendabenda semi konkrit. Namun pada level SMP
ini, anak sudah mulai dapat menerapkan pola
berpikir yang dapat menggiringnya untuk
memahami dan memecahkan permasalahan.
Di sinilah peran berpikir kritis bagi anak usia
SMP tersebut, yang dalam hal ini mengacu
JANUARI 2014
pada pendapat Piaget (mengenai ciri-ciri
kemampuan kognitif anak pada level SMP),
telah dapat diterapkan.
Langrehr
(2003)
mendefenisikan
berpikir kritis sebagai berpikir evaluative yang
melibatkan pemanfaatan kriteria yang relevan
dalam mengakses informasi disertai ketepatan,
relevansi, kepercayaan, ketegapan, dan
biasnya.
Berpikir
kritis
merupakan
perwujudan dari berpikir tingkat tinggi (higher
order
thinking).
Beyer
(1987:33)
mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah
kumpulan operasi-operasi spesifik yang
mungkin dapat digunakan satu persatu atau
dalam banyak kombinasi atau urutan dan
setiap operasi berpikir kritis tesebut memuat
analisis
dan
evaluasi”.Berpikir
kritis
merupakan kegiatan yang sangat penting
untuk dikembangkan di sekolah, guru
diharapkan
mampu
merealisasikan
pembelajaran yang mengaktifkan dan
mengembangkan kemampuan berpikir kritis
pada siswa.
Kaitannya
dengan
pendidikan
matematika, menurut Sumarmo (2010: 4)
secara umum berpikir matematik dapat
diartikan sebagaicara berfikir berkenaan
dengan proses matematika (doing math) atau
cara berfikir dalam menyelesaikan tugas
matematik (mathematical task) baik yang
sederhana maupun yang kompleks. Ditinjau
dari kedalaman atau kompleksitas yang
terlibat, berpikir matematik dapat dibedakan
atas: berpikir tingkat rendah (low-order
thinking), berpikir tingkat rendah (medium-order
thinking), dan berpikir tingkat tinggi (high-order
thinking). Web dan Coxford (1993)
mengatakan bahwa berpikir matematik tingkat
tinggi melibatkan kemampuan memahami ide
matematik lebih dalam, dengan menguji data
dan menyelidiki ide dari bentuk, menyusun
konjektur, analogi, dan generalisasi, menalar
secara
logic,
memecahkan
masalah,
berkomunikasi matematik, dan mengaitkan
91
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
ide matematik dengan kegiatan intelektual
lainnya.
Menurut Ennis (1996) terdapat enam
elemen dasar dalam berpikir kritis yaitu: (1)
Focus (fokus), yaitu hal pertama yang harus
dilakukan untuk mengetahui informasi. Untuk
fokus terhadap permasalahan, diperlukan
pengetahuan. Semakin banyak pengetahuan
yang dimiliki akan semakin mudah mengenali
informasi. (2) Reason (alasan), yaitu mencari
kebenaran dari pernyataan yang akan
dikemukakan.
Dalam
mengemukakan
pernyataan harus disertai alasan-alasan yang
mendukung pernyataan tersebut. (3) Inference
(membuat pernyataan), yaitu mengemukakan
pendapat dengan alasan yang tepat. (4)
Situation (situasi), yaitu kebenaran dari
pernyataan tergantung situasi yang terjadi.
JANUARI 2014
Oleh karena itu, perlu mengetahui
situasi/keadaan permasalahan. (5) Clarity
(kejelasan), yaitu memastikan kebenaran
sebuah pernyataan dari situasi yang terjadi. (6)
Overview (tinjauan ulang), yaitu melihat
kembali sebuah proses dalam memastikan
sebuah kebenaran pernyataan dalam situasi
yang ada sehingga bisa menentukan
keterkaitan dengan situasi lainnya.
Sehubungan
dengan
pendekatan
pembelajaran dalam penelitian ini maka
indicator yang digunakan dalam mengkaji
kemampuan berpikir kritis matematik siswa
adalah
kemampuan
siswa
dalam
mengidentifikasi konsep, menghubungkan
antar konsep, mengevaluasi, memecahkan
masalah, dan menganalisis (Izmaimuza, 2010:
64).
METODE
Penelitian eksperimen ini dilaksanakan
di SMAN 5 Kendari pada semester genap
tahun ajaran 2012/2013. Pelaksanaan
eksperimen melibatkan dua kelas, satu kelas
sebagai kelas eksperimen dan satu kelas
sebagai kelas kontrol. Teknik pengambilan
sampel dilakukan secara purposive, dengan
Tabel 1. Desain Penelitian
pertimbangan bahwa kedua kelas memiliki
kemampuan yang relatif sama.
Penelitian ini menggunakan desain
Randomized Control Group Pre Tes-Post Test.
Desain ini dalam bentuk sederhana seperti
terlihat pada tabel 1 berikut.
Pengukuran
(pre test)
T11
T12
Kelompok Eksperimen (E)
Kelompok Kontrol (K)
(Nazir, 1988: 289)
Keterangan: E = Kelas eksperimen; K =
Kelas control; X = Perlakuan dengan
menerapkan pendekatan pembelajaran Problem
Posing pada kelas eksperimen; T11 dan T12 =
Perlakuan
X
-
Pengukuran
(post test)
T21
T22
Tes kemampuan berpikir kritis sebelum
perlakuan dan T21 dan T22 = Tes kemampuan
berpikir kritis setelah perlakuan
HASIL
Analisis Data Kemampuan Berpikir Kritis
Tes
kemampuan
berpikir
kritis
diberikan kepada kelompok eksperimen
maupun kelompok kontrol, masing-masing
dilakukan dua kali yaitu sebelum pemberian
perlakuan (pretes) dan setelah perlakuan
(postes). Dari skor pretes dan postes,
selanjutnya dihitung gain ternormalisasi (N92
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
JANUARI 2014
Hasil analisis nilai normalized gain pada
kelas eksperimen paling banyak berada pada
klasifikasi sedang yakni sebanyak 25 orang
siswa. Sedangkan pada klasifikasi tinggi
sebanyak 6 orang siswa. Ini menunjukkan
bahwa pada kelas eksperimen, lebih dari
78,79% jumlah siswa memiliki peningkatan
kemampuan berpikir kritis sedang.
Deskripsi hasil perhitungan dapat dilihat pada
tabel 2 berikut ini.
Gain) kemampuan berpikir kritis baik pada
kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol.
Rata-rata N-Gain ternormalisasi yang
diperoleh dari perhitungan ini, merupakan
gambaran peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematik siswa yang menggunakan
pendekatan pembelajaran problem posing
(Kelas Eksperimen) maupun menggunakan
pembelajaran konvensional (Kelas Kontrol).
Analisis Data Kemampuan Berpikir Kritis
Siswa Kelas Eksperimen
Tabel 2. Daftar Distribusi Frekuensi dan Klasifikasi Normalized Gain (N-Gain)
Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa pada Kelas Eksperimen
Frekuensi Relatif
Normalized Gain
Klasifikasi Frekuensi
(%)
G < 0,30
Rendah
2
6.06
0,30 ≤ G ≤ 0,70
Sedang
25
78.79
G > 0,70
Tinggi
6
15.15
∑
33
100
Analisis Data Kemampuan Berpikir Kritis
eksperimen, sebanyak 55,88% siswa memiliki
Siswa Kelas Kontrol
peningkatan kemampuan berpikir kritis
Hasil analisis nilai normalized gain pada
sedang. Dan sisanya sebanyak 44,12% siswa
kelas kontrol paling banyak berada pada
memiliki peningkatan kemampuan berpikir
klasifikasi sedang yakni sebanyak 19 orang
kritis rendah.
Deskripsi hasil perhitungan
siswa. Sedangkan pada klasifikasi tinggi tidak
dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
ada. Ini menunjukkan bahwa pada kelas
Tabel 3. Daftar Distribusi Frekuensi dan Klasifikasi Normalized Gain (N-Gain)
Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa pada Kelas kontrol
Frekuensi Relatif
Normalized Gain
Klasifikasi
Frekuensi
(%)
G < 0,30
Rendah
15
44.12
0,30 ≤ G ≤ 0,70
Sedang
19
55.88
G > 0,70
Tinggi
0
0
∑
33
100
Uji Perbedaan Rata-rata (uji peningkatan
KBKM siswa pada kedua kelas)
Untuk mengetahui perbedaan rata-rata
satu, dalam hal ini untuk mengetahui apakah
terdapat peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematik (KBKM) siswa setelah diajar
menggunakan pendekatan problem posing dan
setelah diajar menggunakan pendekatan
konvensional, digunakan rumus uji-t satu
sampel (one-sample test). (Catt: KBKM =
kemampuan berpikir kritis matematik siswa)
Rumusan hipotesis statistik yang diuji adalah:
93
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
Untuk kelas eksperimen:
H0 : = 0 Lawan H1 : > 0
di mana :
= Rata-rata peningkatan KBKM
siswa yang diajar menggunakan pendekatan
pembelajaran Problem posing.
Untuk kelas kontrol:
H0 : = 0 Lawan H1 : > 0
di mana: = Rata-rata peningkatan KBKM
siswa yang diajar menggunakan pendekatan
pembelajaran konvensional.
Hasil perbedaan rata-rata untuk satu
sampel dengan mengunakan uji-t satu sampel
(One-Sample Test) terhadap data normalized gain
Kemampuan Berpikir Kritis Matematik
(KBKM) siswa pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol dengan menggunakan program
SPSS 15. Terlihat bahwa nilai t hitung pada
kelas eksperimen lebih besar dari nilai t
tabel(32; 0,95) (thitung = 26,408 > ttabel = 1,697),
maka H0 ditolak. Atau dengan melihat
setengah sig. (2-tailed) pada kelas eksperimen
JANUARI 2014
lebih kecil dari
( = 0,05) ( sig. 2-tailed =
0,00 < = 0,05), sehingga H0 ditolak. Dengan
demikian, terdapat peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematik siswa yang signifikan
setelah diajar menggunakan pendekatan
pembelajaran problem posing. Begitu pula pada
kelas kontrol terlihat bahwa nilai t hitung pada
kelas kontrol lebih besar dari nilai t tabel(33; 0,95)
(thitung = 19,554> ttabel = 1,697), maka H0
ditolak. Atau dengan melihat nilai setengah
sig. (2-tailed)nya lebih kecil dari ( = 0,05)
( sig. 2-tailed = 0,00 < = 0,05), sehingga H0
ditolak.
Dengan
demikian,
terdapat
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematik siswa yang signifikan setelah diajar
menggunakan pendekatan pembelajaran
konvensional. Untuk lebih jelasnya keadaan
ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Hasil Analisis Statistik Uji Perbedaan Rata-rata Normalized Gain (Uji Peningkatan)
Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Test Value = 0
Sig.
(2-tailed)
Mean
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
t
df
N_Gain_Eksperimen
26.408
32
.000
.57394
.5297
.6182
N_Gain_Kontrol
19.554
33
.000
.31206
.2796
.3445
Sumber: Data Primer Diolah Dengan SPSS/PC Ver. 15
Rumusan hipotesis statistik yang diuji adalah:
Uji Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa
H0 : 1≤ 2 Lawan H1 : 1> 2
antar Kedua Kelompok
di mana:
1 = Rerata peningkatan KBKM
Karena data berdistribusi normal dan
siswa yang diajar menggunakan pendekatan
variansnya homogen maka untuk menguji
pembelajaranproblem posing; dan 2 = Rerata
perbedaan peningkatan KBKM siswa antara
peningkatan KBKM siswa yang diajar
yang diajar menggunakan pendekatan
menggunakan pendekatan pembelajaran
pembelajaran problem posing dan yang diajar
konvensional.
menggunakan pendekatan pembelajaran
Untuk menguji signifikansi beda ratakonvensional digunakan rumus uji t sampel
rata dua kelompok digunakan Independentindependen (Independent-Sample t Test)
Sample t Test dengan menggunakan program
94
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
SPSS 15. Terlihat bahwa nilai t hitung lebih
besar dari nilai t tabel (65; 0,95) (thitung = 9,755 >
ttabel = 1,671), maka H0 ditolak. Atau dengan
melihat nilai setengah sig. (2-tailed) lebih kecil
dari
JANUARI 2014
matematik siswa yang diajar menggunakan
pendekatan pembelajaran problem posing lebih
baik secara signifikan dari peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematik siswa
yang diajar menggunakan pendekatan
konvensional. Untuk lebih jelasnya keadaan
ini dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
( = 0,05) ( sig. 2-tailed = 0,00 < =
0,05), sehingga H0 ditolak. Dengan demikian,
peningkatan kemampuan berpikir kritis
Tabel 5. Hasil Analisis Statistik Uji Perbedaan Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis
Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
t
df
Sig.
(2-tailed)
Mean
Difference
N_Gain
Equal variances
9.755 65
.000 .26188
assumed
Sumber: Data Primer Diolah Dengan SPSS/PC Ver. 15
Uji perbedaan peningkatan KBKM siswa
antar kedua kelompok
Karena data berdistribusi normal dan
variansnya homogen maka untuk menguji
perbedaan peningkatan KBKM siswa antara
yang diajar menggunakan pendekatan
pembelajaran problem posing dan yang diajar
menggunakan pendekatan pembelajaran
konvensional digunakan rumus uji t sampel
Std. Error
Difference
.02685
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
.20826 .31550
independen (Independent-Sample t Test)
Rumusan hipotesis statistik yang diuji adalah:
H0 : 1≤ 2 Lawan H1 : 1> 2
di mana:: 1 = Rerata peningkatan KBKM
siswa yang diajar menggunakan pendekatan
pembelajaranproblem
posing;
=
2
Reratapeningkatan KBKM siswa yang diajar
dmenggunakan pendekatan pembelajaran
konvensional.
Tabel 6. Hasil Analisis Statistik Uji Perbedaan Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis
Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2tailed)
N_Gain
Mean
Differen
ce
Equal
variances
9.755
65
.000
.26188
assumed
Sumber: Data Primer Diolah Dengan SPSS/PC Ver. 15
95
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
.02685
.2082
6
Upper
.31550
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
Untuk menguji signifikansi beda ratarata dua kelompok digunakan IndependentSample t Test dengan menggunakan program
SPSS 15. Terlihat bahwa nilai t hitung lebih
besar dari nilai t tabel (65; 0,95) (thitung = 9,755 >
ttabel = 1,671), maka H0 ditolak. Atau dengan
melihat nilai setengah sig. (2-tailed) lebih kecil
dari
JANUARI 2014
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematik siswa yang diajar menggunakan
pendekatan pembelajaran problem posing lebih
baik secara signifikan dari peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematik siswa
yang diajar menggunakan pendekatan
konvensional. Untuk lebih jelasnya keadaan
ini dapat dilihat pada Tabel 6 di atas.
( = 0,05) ( sig. 2-tailed = 0,00 < =
0,05), sehingga H0 ditolak. Dengan demikian,
PEMBAHASAN
Data kemampuan berpikir kritis
matematik diperoleh melalui tes kemampuan
berpikir kritis matematik (KBKM). Tes
tersebut diberikan kepada siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol, sebelum
perlakuan (pre test) dan setelah perlakuan (post
test). Setelah dilaksanakan pembelajaran pada
kelas eksperimen menggunakan pendekatan
pembelajaran problem posing dan pada kelas
kontrol
menggunakan
pendekatan
pembelajaran konvensional, diperoleh data
normalized gain yang merupakan selisih antara
pre test dengan post test kemampuan berpikir
kritis matematik siswa dibagi dengan selisih
skor maksimum dengan pretest.
Berdasarkan hasil uji hipotesis pertama
(menggunakan uji t dua sampel bebas) terlihat
bahwa rata-rata post test kemampuan berpikir
kritis matematik kelas eksperimen dan kelas
kontrol berbeda secara nyata. Dengan kata
lain, rata-rata kemampuan berpikir kritis
matematik siswa setelah diajar menggunakan
pendekatan pembelajaran problem posing lebih
baik
secara
signifikan
darirata-rata
kemampuan berpikir kritis matematik siswa
setelah diajar menggunakan pembelajaran
konvensional. Terjadinya perbedaan rata-rata
kemampuan berpikir kritis matematik ini
disebabkan adanya penggunaan pendekatan
pembelajaran problem posing pada kelas
eksperimen. Kondisi seperti ini, secara tidak
langsung
memperlihatkan
perbedaan
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematika siswa antara kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
Untuk
mengetahui
peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematik siswa
kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan
uji hipotesis rata-rata nilai normalized gain
kemampuan berpikir kritis matematik pada
kedua kelas dengan menggunakan statistik uji
t satu sampel. Hasil uji menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematik yang signifikan pada siswa
yang diajar menggunakan pendekatan
pembelajaran problem posing dan siswa yang
diajar menggunakan pendekatan pembelajaran
konvensional. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematik terjadi pada kedua
kelas. Selanjutnya, hasil uji hipotesis rata-rata
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematik kelas eksperimen dan kelas
kontrol, terlihat bahwa rata-rata peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematik kelas
eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara
nyata. Hal ini berdasarkan hasil uji t diperoleh
thitung> ttabel, yang berarti H0 ditolak. Dengan
kata lain, peningkatan kemampuan berpikir
kritis
matematik
siswa
yang
diajar
menggunakan pendekatan pembelajaran
problem posing lebih baik secara signifikan dari
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematik siswa yang diajar menggunakan
pembelajaran konvensional.
Terjadinya perbedaan peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematik ini
96
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
disebabkan adanya penggunaan pendekatan
pembelajaran problem posing pada kelas
eksperimen. Pembelajaran pada kelas
eksperimen mendorong siswa untuk lebih
mengembangkan
kemampuan
berpikir
kritisnya. Hal ini dapat dipahami karena dalam
proses
pembelajarannya,
pendekatan
pembelajaran problem posing lebih menekankan
pada peran aktif siswa untuk mengajukan atau
menyusun soal dari situasi yang diberikan.
Kegiatan pengajuan masalah (soal) ini
memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengontruksi pengetahuan sesuai dengan
perkembangan dan kemampuan berpikirnya
dan menemukan berbagai cara penyelesaian
masalah matematika.
Hasil yang lebih baik dari siswa yang
diajar dengan pendekatan pembelajaran
problem posing
tersebut disebabkan oleh
pelaksanaan pembelajaran problem posing
memberi kesempatan seluas-luasnya kepada
siswa
untuk
memproduksi
banyak
gagasan/ide, mengajukan berbagai masalah
dari situasi yang diberikan atau membentuk
soal baru dari soal yang ada, dan mampu
menyelesaikan dari masalah yang dibentuk.
Disini
kemampuan
mengevaluasi
ini
menuntut pemikiran yang matang dalam
menentukan nilai sesuatu dengan berbagai
kriteria yang adasehingga dapat menghasilkan
berbagai ide dan jawaban yang bervariasi
dapat berkembang. Pembelajaran ini juga
memudahkan siswa dalam mengidentifikasi
JANUARI 2014
dari suatu permasalahan yang diberikan serta
mampu menghubungkan antara konsep yang
satu dengan yang lainnya.
Selain itu, adanya korelasi positif antara
kemampuan membentuk soal dan latihan
membentuk soal merupakan cara efektif
untuk meningkatkan kritis siswa dalam
memecahkan suatu masalah. Siswa juga dapat
memperkaya suatu gagasan atau produk dan
memiliki kemampuan menganalisis untuk
memerinci detail-detail dari suatu objek,
ide/gagasan, dan menguraikan sebuah
struktur ke dalam komponen-komponen agar
mengetahui
pengorganisasian
struktur
tersebut. Ketika siswa dihadapkan pada suatu
masalah, siswa diberikan kesempatan untuk
terlibat aktif dalam proses pemecahan
masalah secara kritis dan menyenangkan, yang
mana dapat dilakukan dengan pembelajaran
yang berkelompok. Sehingga dengan belajar
berkelompok, masalah yang berat menjadi
lebih mudah dipahami dan dipecahkan karena
masalah tersebut menjadi tanggung jawab
bersama dalam tiap-tiap kelompok.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka
dapat
dikatakan
bahwa
pendekatan
pembelajaran problem posing memiliki potensi
besar untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis matematik siswa SMP. Hal ini
tentunya akan berdampak pada peningkatan
mutu hasil belajar matematika siswa yang
sangat diharapkan dalam pendidikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir
kritis matematik yang signifikan antara
siswa
setelah
diajar
mengunakan
pendekatan pembelajaran problem posing dan
siswa
setelah
diajar
mengunakan
pendekatan pembelajaran konvensional.
2. Terdapat peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematik yang signifikan pada siswa
yang diajar menggunakan pendekatan
pembelajaran problem posing maupun siswa
yang diajar menggunakan pendekatan
pembelajaran konvensional, namun siswa
yang
menggunakan
pendekatan
pembelajaran problem posing peningkatannya
lebih baik dengan rata-rata peningkatan
97
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
JANUARI 2014
sebesar 0,57 sehingga memiliki klasifikasi
sedang dengan peningkatan terbesar 0,78
dan peningkatan terkecil 0,27. Sedangkan
kelas yang menggunakan pendekatan
pembelajaran konvensional, dengan ratarata peningkatan sebesar 0,31 sehingga
memiliki klasifikasi sedang dengan
peningkatan terbesar 0,54 dan peningkatan
terkecil 0,15.
3. Peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematik siswa yang diajar menggunakan
pendekatan pembelajaran problem posing
lebih baik secara signifikan dari
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematik siswa yang diajar menggunakan
pembelajaran
konvensional.Terdapat
perbedaan kemampuan berpikir kritis
matematik siswa yang signifikan antara
siswa setelah diajar dengan mengunakan
pendekatan pembelajaran problem posing dan
siswa setelah diajar dengan mengunakan
pendekatan pembelajaran konvensional.
Saran
1. Guru dapat menerapkan pendekatan
pembelajaran problem posing sebagai
alternatif pendekatan pembelajaran
untuk
meningkatkan
kemampuan
berpikir kritis matematik siswa.
2. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa
belum menguasai dengan baik hubungan
antara bangun-bangun geometri, dalam
hal ini berkaitan kemampuan berpikir
kritis pada aspek “menghubungkan antar
konsep”.
Oleh karena itu dalam
pembelajaran matematika, aspek ini
diperlukan mendapat perhatian khusus
oleh guru dalam upaya mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Beyer, B.K. 1987. Practical Strategies for the
Teaching of Thinking. Boston: Allyn and
Bacon
Inc.[online]Tersedia
di:
http://www.natefacs.org/JFCSE/v23
no2/v23no2 Mimbs.pdf. [20Januari
2013]
Brown, S.I dan Walter, M.I. 1990. The Art of
Problem Posing (2nd ed& 3nd). Hillslade.
(New Jersey, Marwah: Lawrences
Erlbaum Associaties, Inc).
Ennis, Robert H. 1996. Critical Thingking. New
jersey: prentice – Hall, Inc. [online].
Tersedia
di:
http://faculty.ed.uiuc.edu/rhennis.ht
ml.[20 Januari 2013].
Fauzan, Ahmad. 2002. Applying mathemathics
education (RME) in teaching geometry
in indonesia primary schools. Tesis Master,
University of Twete.
Hudoyo, Herman. 1988. Belajar Mengajar
Matematika. (Jakarta: P2LPTK)
Ismaimuza, Dasa. 2010. Kemampuan Berpikir
Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP
Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah
dengan
Strategi
Konflik
Kognitif.
(Bandung: Disertasi pada PPs
UPI.Tidak Dipublikasi)
Langrehr, J. 2003. Teaching Children Thinking
Skills. (Jakarta: PT Gramedia).
Sumarmo, U. 2010. Berpikir dan Disposisi
Matematik:
Apa,
Mengapa,
dan
Bagaimana Dikembangkan pada Peserta
Didik.FPMIPA UPI
(Bandung.
Tersedia di: http://math.sps.upi.edu.
[20 Januari 2013]).
Web, N.L. and Coxford, A.F. (Eds, 1993).
Assesment in mathematics classroom.
(Virginia: NCTM).
98
Download