Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya

advertisement
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011), pp. 1-20.
HUKUM PERWALIAN ANAK ZINA DAN HAK WARISNYA
LEGAL GUARDIANSHIP OF ADULTERY CHILD AND THE RIGHT OF THEIR
INHERITENCE
Oleh: Iman Jauhari
*)
ABSTRACT
The review in this paper is to discuss the cause of the child out of wedlock,
understanding and the status of illegitimate children, inheritance law of children out of
wedlock and custody of the child of adultery under Islamic Law Compilation method
used was content analysis (content analysis) of references relevant to the problem
discussed. The legal consequences for the child out of wedlock under Islamic Law
Compilation is a child born outside marriage has only nasab relationship with her
mother and her family alone, so it legally, the child can not be completely attributed to
the father father nature, although the real father/natural father (genetic) are the men
who impregnate women who gave birth to her it. Thus a child outside of marriage
guardian is the guardian of judges who have been appointed by the government.
Keywords: Legal Guardianship, Adultery Child, Right Their Inheritence.
A. PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan
akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang melangsungkan pernikahan itu sendiri,
maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari pernikahan tersebut
dilahirkan anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
Berdasarkan Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hukum antara orang tua dengan
anak menimbulkan kewajiban orang tua, antara lain tanggung jawab untuk memelihara dan
mendidik anak-anaknya sampai mereka mandiri.
Salah satu masalah hukum waris yang ada di Indonesia adalah mengenai anak luar nikah,
dimana terdapat perbedaan-perbedaan yang prinsipil antara hukum Islam yang berlaku bagi Warga
Negara Indonesia yang beragama Islam dengan hukum perdata Barat yang berlaku bagi mereka
*)
Tulisan ini telah disampaikan pada Muzakarah MUI Kota Binjai, hari Minggu tanggal 3 Juli 2011 di Aula MUI Kota
Binjai. DR. Iman Jauhari, SH, M.Hum adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam Banda Aceh
dan Dosen S2 Ilmu Hukum PPs-Unsyiah Darussalam Banda Aceh.
ISSN: 0854-5499
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
yang tunduk atau menundukkan diri kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya
Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa.1
Istilah “anak haram” pada prinsipnya kurang tepat dengan istilah tersebut, karena disamping
istilah itu tidak dikenal dalam hukum positif, juga terdengar kurang nyaman bagi yang
bersangkutan, kelahirannya semata-mata merupakan kehendak sadar kedua orang tuanya. Dengan
demikian tidak ada alasan untuk menyalahkan anak tersebut dengan menyebutnya sebagai anak
haram. Semestinya orang tuanya yang bersalah, terhadap anak tersebut lebih tepatnya dikatakan
sebagai anak yang lahir di luar pernikahan. 2
Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan telah mengatur
bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya. Ketentuan ini dipertegas pula dengan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) di Indonesia bahwa anak yang lahir di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sebagai konsekuensinya akta kelahiran anak tersebut hanya
mencantumkan anak dari ibu kandungnya.
Mengenai hak waris, ia hanya bisa menjadi ahli waris dari ibu dan keluarga ibu. Sekalipun
akta kelahirannya terkesan kurang lengkap, namun sesungguhnya memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan akta kelahiran dari anak yang dilahirkan dalam pernikahan yang sah. Dalam
prakteknya akta tersebut bisa dipergunakan untuk berbagai kepentingan, misalnya untuk
melanjutkan studi, melamar pekerjaan dan sebagainya.3
Apabila suatu ketika ayah biologis mengakui bahwa itu anaknya, lalu menikahi ibu anak
tersebut, maka akan memiliki status keperdataan yang lengkap, sehingga akta anak tersebut bisa
ditingkatkan menjadi anak ayah dan ibu. Sejalan dengan ini Pasal 272 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata memberikan rumusan, bilamana seorang anak dibenihkan di luar pernikahan,
menjadi anak sah apabila sebelum pernikahan orang tuanya telah mengakui anak luar nikah itu
1
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Jakarta, 1993, hlm 25.
Fathurrahman, Ilmu Waris, Al-Ma’arif, Bandung, 1994, hlm. 7.
3
Ibid, hlm. 10
2
2
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
sebagai anaknya. Pengakuan ini membawa serta akibat yuridis, diantaranya tentang kewajiban
dalam pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, menjadi ahli waris dari ayah dan ibu serta
keluarga ayah dan ibu dan sebagainya.4
Pengakuan ayah biologis tidak dianggap, karena anak zina tersebut hasil hubungan di luar
nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami,
jadi anak itu tidak berbapak. Hal ini berdasarkan sabda Rasullah : “Anak itu bagi (pemilik) firasy
dan bagi laki-laki pezina adalah batu ( kerugian dan penyesalan)”.5
Firasy adalah tempat tidur dan disini maksudnya adalah si isteri yang pernah digauli
suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, berdasarkan syarat nikah yang shahih dan
pemilikan yang sah, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau
tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik
firasy, namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya karena
tidak ada firasynya yang sah dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.6
Rasulullah telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu
maksudnya tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu
adalah hak murni Allah SWT. Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki
yang berzina, maka :
a.
b.
c.
d.
e.
Anak itu tidak berbapak
Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu
Anak itu tidak mempunyai wali
Anak itu hanya dihubungkan kepada ibunya yang melahirkan
Kewarisannya hanya dari ibunya dan keluarga dari ibunya.7
Bila anak itu perempuan dan dikala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali
hakim, karena anak itu tidak memiliki wali atau wali nasab. Rasulullah bersabda, “ Maka sulthan (
pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali “.
4
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat (Pewarisan Menurut Undang-undang),
Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 9.
5
Abdullah Syah, Media Ulama, DP MUI SU, Medan, 2010, hlm.18.
6
7
Ibid. hlm. 19.
Ibid, hlm.20.
3
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Di dalam hukum Islam tidak dibenarkan mengakui anak biologis (anak tidak sah) menjadi
anaknya (anak yang sah). Di dalam Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari suami
isteri yang sah yang masih terikat dengan pernikahan yang sah, dan jika proses pembuahannya di
luar rahim, maka setelah terjadi embrio dikembalikan ke dalam rahim isteri yang sah yang punya
bibit, maka anak itu adalah anak yang sah dan anak itu dibangsakan kepada ayahnya, sesuai ayatayat dibawah ini yang artinya : “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (kekerabatan), dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa (Al Furqon)” dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang baik atau ma’ruf” (Al Baqarah ayat 233).
Dalam hal anak biologis yang dihasilkan oleh zina, kumpul kebo dan lainnya, sama sekali
tidak ada hubungannya dengan nasab dan kekerabatan. Oleh karena itu dia secara hukum adalah
orang luar yang diakui sebagai manusia biasa lainnya, karena anak zina itu tidak bersalah dan yang
bersalah adalah pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan. Anak zina tidak menjadi wali kepada
saudara seibunya dan tidak mewarisi dari ayah biologisnya, dia hanya mewarisi dari keturunan
ibunya sebagai saudara seibu.8
Mengenai hal anak luar nikah ini sampai saat ini dapat saja terjadi, hal tersebut dilakukan
oleh :
a.
b.
c.
d.
Pihak-pihak yang masih bujangan
Satu pihak bujangan (ibu) dan bapak dalam status pernikahan atau sebaliknya
Akibat dari adanya perkosaan
Pihak-pihak dalam status pernikahan dan pihak isteri melakukan zina dan dapat dibuktikan.
9
Berdasarkan Pasal 221 ayat (1) KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut : “Een onwettig
kind heft de staat van natuurlijk kind van de moeder. Het verkrijgt doo de erkening de staat van
natuurlijk kind van de vader“ (Seorang anak tidak sah mempunyai status sebagai anak wajar
8
9
4
Ibid. hlm. 21
Iman Jauhari, Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hlm. 10
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
daripada ibunya). Ia memperoleh status sebagai anak wajar dengan adanya pengakuan oleh
ayahnya.10
Pasal 221 ayat (2) KUH Perdata, yang berbunyi: “Onder de vader van een natuurlijk kind
wordt verstaab, hijdie het kind heft erkend” (Yang dimaksud dengan ayah seorang anak wajar, ialah
ia yang mengakui anak tersebut). Dan Pasal 222 KUHPerdata, yang berbunyi: “Een onwettig kind
komt met zijn geboorte en met zijn vader op het tijdstip van erkenning.“ (Seorang anak tidak sah,
mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ibunya sejak saat kelahirannya dan dengan
ayahnya pada saat dilakukan pengakuan).
Dalam Hukum Islam, Pengakuan terhadap anak luar nikah oleh ibunya tidak diperlukan,
hubungan antar ibu dan anak tercipta dengan sendirinya. Sedangkan terhadap ayahnya sama sekali
tidak ada hubungan hukum, maka antar mereka tidak ada hubungan waris-mewaris.
Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya
dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan
tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis
bagi si anak dan ibunya. Ketidakjelasan status si anak dimuka hukum, mengakibatkan hubungan
antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak
tersebut adalah bukan anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya
kehidupan pendidikan nafkah dan warisan dari ayahnya.
Anak tidak sah ialah anak yang dilahirkan di luar pernikahan. Sering anak di luar pernikahan
disebut: anak jadah, anak zinah atau natuurlijke kinderen atau onwettige kinderen, sedang anak sah
disebut wettige kinderen.11
Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin di luar nikah. Dalam
hukum Islam anak tersebut dapat dianggap anak di luar nikah adalah :
1. Anak zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin tanpa pernikahan karena
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menyebabkan kelahiran anak tersebut.
10
11
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Aksara, Jakarta, 1990, hlm. 10
Alhamdani , Risalah Nikah, Hukum Pernikahan Islam, Pustaka Amani, Jakarta, 1960. Hlm.9
5
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
2. Anak mula’anah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang isteri yang mana keberadaan
anak itu dibantah oleh suami dengan pria lain dengan cara melakukan sumpah li’an
terhadap isterinya.
3. Anak syubhat, adalah anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang digauli dengan cara
syubhat, yang dimaksud dengan syubhat dalam hal ini, menurut jawaad mughaniyah yaitu
seorang laki-laki menggauli seorang wanita yang haram atasnya karena tidak tahu dengan
keharaman itu.12
Oleh karena itu penting yang dibahas dalam kajian tulisan ini tentang hukum perwalian anak
zina dan warisannya. Maka dapat dirumuskan adalah:
1. Apa penyebab terjadinya anak luar nikah
2. Apa pengertian dan status anak luar nikah,
3. Bagaimana hukum waris kedudukan anak luar nikah dan hak perwalian menurut Kompilasi
Hukum Islam.
B. PENYEBAB TERJADINYA ANAK LUAR NIKAH
Anak di luar pernikahan adalah anak yang dilahirkan dari hubungan seorang laki-laki
dengan seorang perempuan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Jika oleh Undang-undang No.1
Tahun 1974 kedudukan anak luar nikah disamakan, hanya punya hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya saja, padahal dalam kenyataan dalam masyarakat, Bapak yang membuahkan dalam
kelahiran anak tersebut juga masih punya peran yang besar terhadap kedudukan anak. Oleh karena
itu perlu diketahui sebab-sebab terjadinya anak luar nikah :
1. Anak yang dilahirkan diketahui dan dikehendaki oleh ibu dan bapaknya, tetapi orang tua
tersebut tidak dalam ikatan pernikahan yang sah, padahal mereka tidak terikat dalam pernikahan
yang lain (misalnya karena memang keinginan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah
atau apa yang dikenal sebagai kumpul kebo), karena fisik anak tersebut dalam asuhan kedua
orang tuanya.
2. Anak yang dilahirkan diketahui dan dikehendaki oleh salah satu atau kedua ibu dan bapaknya,
tetapi salah satu atau keduanya masih dalam ikatan pernikahan lain (antara lain hubungan
12
Huzaemah Tahiho, Kedudukan Anak Di luar Nikah Menurut Hukum Islam, Makalah, Jakarta: KOWANI, hlm. 2.
6
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
seorang laki-laki dengan perempuan lain) anak di luar pernikahan ini. Secara fisik bisa berada
dalam asuhan kedua orang tuanya atau salah satunya.
3. Anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang tidak diketahui bapaknya (antara lain dapat
disebabkan akibat zina/pelacuran/perkosaan), anak di luar pernikahan ini umumnya tidak
dikehendaki dan secara fisik anak ini bisa menjadi beban ibu, kasus seperti ini sering kemudian
diserahkan ke panti atau dalam asuhan ibu/keluarga yang bersangkutan.13
4. Anak yang lahir dari seorang ibu yang masih dalam masa idah setelah perceraiannya, sebagai
hasil hubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya, anak di luar pernikahan ini, masih
banyak menimbulkan kemungkinan dapat diterima secara wajar apabila ibu yang melahirkan
tersebut kemudian nikah dengan laki-laki yang membuahinya
5. Anak yang lahir dari seorang ibu yang masih dalam proses perceraian (masih dalam ikatan
pernikahan) sebagai hasil hubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya, dapat
mengakibatkan terjadinya anak di luar pernikahan.
6. Anak yang lahir dari seorang ibu yang ditinggal suaminya lebih dari 300 hari dan tidak diakui
oleh suami sebagai anaknya, dapat mengakibatkan terjadinya anak di luar pernikahan.
7. Anak yang dilahirkan dari orang tua yang akibat ketentuan agama tidak dapat nikah (seperti
untuk umat Katolik, yang ketentuan Agamanya tidak mengenal cerai mati), dapat
mengakibatkan anak di luar pernikahan.
8. Anak yang dilahirkan dari orang tua yang akibat hukum perdata/Negara tidak dapat nikah
(seperti seorang WNA) nikah dengan WNI tidak mendapat izin dari kedutaan karena masih
terikat pernikahan di Negaranya, contoh kasus ; Negara Filiphina tidak mengenal adanya
Lembaga Perceraian), dapat mengakibatkan anak di luar pernikahan.
13
Iman Jauhari, Perlindungan Hak-hak Anak Dalam Teori Praktek, Pustaka Bangsa Press, Medan 2007, hlm. 150. Lihat
Iman Jauhari , Advokasi Hak-hak Anak (Ditunjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang Undangan), Pustaka Bangsa Press,
Medan, 2008. hlm.158.
7
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
9. Anak yang sama sekali tidak diketahui orang tuanya, sebagai anak Temuan, menjadi
permasalahan pula dalam memberiikan penetapan status dan kedudukannya hukumnya.14
10. Pernikahan secara adat.
Anak yang dilahirkan dari pernikahan orang tua secara adat karena disamping pernikahan
orangtuanya tersebut tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan
Sipil, juga pernikahan tersebut tidak dilaksanakan menurut hukum dan tatacara salah satu
Agama yang diakui oleh Pemerintah, dapat mengakibatkan terjadinya anak di luar pernikahan.
Misalnya pada sebagian masyarakat Keturunan Cina yang sering dijumpai pernikahan adat,
sedangkan pada suku Tengger, Badui, Dayak dan suku-suku pedalaman lainnya masih terus
dipertimbangkan bahwa anak-anak mereka
anak sah dalam ikatan pernikahan, mengingat
bahwa adat adalah religious Agama mereka berbeda dengan suku lainnya yang telah menganut
salah satu dari 5 agama, berbeda aturan hukum adat dengan agama.
11. Pernikahan secara agama
Anak yang dilahirkan dari pernikahan orang tua secara agama karena pernikahan orang tuanya
tersebut tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil, baik Islam
maupun Non-Islam. Pada sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, disebut
sebagai Anak Luar Nikah, oleh karena masalah pernikahan pada waktu itu adalah masalah
Perdata (BW/KUH) Perdata tidak dipengaruhi oleh Agama. Sedangkan setelah berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berlaku sama terhadap semua golongan tersebut di atas,
sebagai anak sah. Sekalipun dalam praktek administrasi pencatatannya dilanjutkan dengan
pencatatan pernikahan orang tua dan Kantor Catatan Sipil, praktek ini dimulai ini dimulai
sejak Tahun 1989, karena sebelum Tahun 1989 tersebut
Kantor Catatan Sipil masih
mempraktekkan melagsungkan Pernikahan mengenyampingkan sahnya agama, utamanya bagi
14
Iman Jauhari, Perlindungan Hak Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003. hlm. 97.
8
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
WNI Keturunan. Khusus untuk Umat Islam, secara umum pernikahan Agama dilaksanakan
bersamaan waktunya dengan pencatatan oleh Negara (KUA) 15
C. PENGERTIAN DAN STATUS ANAK LUAR NIKAH.
1. Pengertian anak di luar nikah
Anak di luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedang perempuan
itu tidak berada dalam ikatan pernikahan yang sah dengan yang menyetubuhinya. 16 Sedangkan
pengertian di luar nikah adalah hubungan seorang pria dan seorang wanita yang dapat melahirkan
keturunan sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan pernikahan yang sah menurut hukum
positif dan agama yang di peluknya17.
Menurut Ictijanto S.A., mengatakan bahwa:
Seorang wanita hamil di luar nikah hanya dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya..Pernikahan dengan wanita hamil tersebut dapat dilaksanakan secara
langsung tanpa menunggu wanita itu melahirkan, tidak diperlukan nikah ulang (tajdidun
nikah). Jika anak tersebut lahir maka anak tersebut menjadi sah. Dalam Undang-Undang
Pernikahan di sebutkan bahwa anak yang lahir di luar pernikahan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak di luar nikah ini
akan di atur dalam Peraturan Pemerintah, tetapi sampai sekarang Peraturan Pemerintah
belum diterbitkan18.
Dalam hukum Islam melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan
pernikahan yang sah di sebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak di bedakan apakah pelakunya
gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum
perdata.
Ada dua macam istilah yang dipergunakan bagi zina yaitu (1) zina muhson yaitu zina yang
dilakukan orang telah atau pernah menikah, (2 ) zina ghairu muhson adalah zina yang
dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka/perawan.
Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap
perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu kualitasnya
15
Enty Lafina Nasution, Perlindungan Hak Berdasarkan Akta Kelahiran Terhadap Anak yang Tidak Diketahui Asal
Usulnya Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Di Kota Binjai). Tesis PPs-UNPAB, Medan, 2009. hlm. 130-132
16
Iman Jauhari, Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam, Op Cit. hlm. 12
17
H. Abdul Manan, 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Editor Iman Jauhari,
Pustaka Bangsa Press, Jakarta. hlm. 103. Lihat BPHN, 1996, Masalah Anak di luar Nikah di Indopnesia. Depkeh , Jakarta,.hlm.3
18
Ictijanto, SA. 1996, Kedudukan Anak Luar Nikah Menurut Undang-Undang Perkawinan, Makalah, KOWANI, Jakarta,
hlm.7. Lihat Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan lihat Keputusan Menteri Agama No. 154
Tahun 1991.
9
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
berbeda, bagi pezina muhhson dirajam sampai mati, sedangkan yang ghairu muhson di
cambuk 100 kali. Anak yang di lahirkan sebagai akibat zina ghairu muhson di sebut anak di
luar pernikahan19
Di samping hal tersebut di atas, hukum Islam juga menetapkan anak di luar nikah adalah (1)
anak mula’anah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang dili’an oleh suaminya.
Kedudukan anak mula’anah ini hukumnya sama saja dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab
suami ibunya yang melahirkannya, ketentuan ini berlaku juga terhadap kewarisan, pernikahan dan
lain-lain, (2) anak syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan dengan nasab kepada laki-laki yang
menggauli ibunya, kecuali kalau laki-laki itu ikut mengakuinya.
Dalam kitab Al-Ahwal al Syakhshiyyah karangan Muhyidin sebagaimana yang di kutip
oleh Muhammad Jawad Mughniyah diketemukan bahwa nasab tidak dapat ditetapkan
dengan subhat macam apapun, kecuali orang yang melakukan syubhat itu
mengakuinya, karena ia sebenarnya lebih mengetahui tentang dirinya.Tentang hal yang
terakhir ini disepakati oleh para ahli hukum dikalangan sunny dan syi’ah.20
Hukum Islam membedakan syubhat kepada dua bentuk, yaitu:
a. Anak Syubhat yang dilahirkan dari syubhat perbuatan adalah hubungan seksual yang di
lakukan karena suatu kesalahan misalnya salah kamar, suami menyangka yang sedang tidur
di kamar A adalah istrinya ternyata adalah iparnya atau wanita lain. Demikian pula istrinya
menyangka yang datang kekamarnya adalah suaminya, kemudian terjadilah hubungan
seksual dan menyebabkan hamil serta melahirkan anak di luar nikah.
b. Anak syubhat yang dilahirkan dari suatu aqad, misalnya seorang laki-laki menikahi seorang
wanita, kemudian diketahui bahwa yang dinikahi itu adalah adik kandungnya sendiri atau
saudara sepersusuannya sendiri yang haram dinikahi. Jika melahirkan anak dari dua syubhat
ini, maka anak tersebut dapat dihubungkan nasabnya kepada bapak syubhatnya atas
pengakuannya21.
2. Status anak luar nikah
a. Anak zina
Kedudukan hukum bagi anak zina tidak bernasab kepada laki- laki yang melakukan zina
terhadap ibunya, yang menyebabkan kelahirannya, tetapi nasabnya mengikuti kepada ibu yang telah
19
Fuad Mohd. Fachruddin, 1991. Masalah Anak Dalam Hukum Islam, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta.hlm.35. Lihat
Fathurrahman Djamil, 1964, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta.hlm.75
20
Muhammad Jawad Mughniyah, 1994 Fiqh Madzahib al Khamsah, Terjemahan Afif Muhammad, Cet. Pertama, Basrie
Press, Jakarta.hlm.106
21
Ibid.hlm.108
10
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
melahirkannya, maka hal ini berakibat pula pada hilangnya kewajiban/tanggung jawab ayah kepada
anak dan hilangnya hak anak kepada ayah. Antara keduanya adalah sebagai orang lain. 22
Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan: “anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah”.
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan sebagai
berikut :
(1) Anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Dalam hubungan dengan ibunya dan keluarga Ibunya, anak di luar nikah mempunyai
kedudukan sebagai ”anak”, artinya hubungan hukumnya penuh tidak kurang sedikitpun. Artinya
anak tersebut mempunyai hak dan kewajiban sebagai anak bahkan sewaktu anak itu masih dalam
kandungan. Dilihat dari segi macam-macam hak, anak mempunyai hak:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Hak anak sebelum dan sesudah di lahirkan.
Hak anak dalam kesucian keturunannya
Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik
Hak anak dalam menerima susunan
Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan
Hak anak dalam pemilihan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidupnya
Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.23
Bila diperhatikan hak-hak tersebut maka terlihat bahwa:
a. Anak luar nikah tidak boleh dibunuh (digugurkan)
b. Anak luar nikah adalah suci dan tidak berdosa. Karenanya tidak boleh diperlakukan sebagai
orang yang bersalah dan harus dilindungi dari penderitaan akibat penghukuman (penahanan)
terhadap ibunya.
c. Anak luar nikah mempunyai hak untuk mendapat makanan yang cukup, terutama ASI yang
merupakan bakal hidup dan kehidupan yang paling berharga
22
Iman Jauhari, Kajian Yuridis Perlindungan Anak Luar Nikah, Laporan Penelitian pada Lembaga Penelitian Unsyiah
Darussalam-Banda Aceh, 1998.hlm.18
23
Abdur Rozaq Husein, Hak Anak Dalam Islam, Fikahati Aneska, Jakarta, 1992.hlm.22
11
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
d. Anak luar nikah dapat mendapat hak untuk diasuh sebaik-baiknya oleh ibunya dan keluarga
ibunya. Ibunya dan keluarga ibunya mempunyai hak penuh karena anak luar nikah mempunyai
hubungan perdata dengan mereka. Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa ibunya dan
keluarga ibunya memepunyai hubungan kasih sayang yang tinggi. Walaupun demikian, kepada
lelaki pembangkit anak luar nikah dapat memberikan beban oleh Negara untuk menanggung
pembiayaan yang dapat di tetapkan oleh pengadilan.
e. Anak luar nikah (walaupun belum lahir) mempunyai hak atas harta dan warisan sesuai dengan
ketentuan hukum. Besarnya haknya dalam kewarisan ditentukan setelah kelahirannya. Sekarang
ini karena, kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah dapat di tentukan jenis kelamin
anak walaupun masih dalam kandungan.
f. Kalau telah lahir dan mencapai usia pendidikan, anak luar nikah mempunyai hak terhadap
pendidikan dan pengajaran, termasuk pendidikan agama dan pendidikan moral dan mental yang
mengangkat derajat budi pekerti manusia. Pada dasarnya ibunya dan keluarga ibunya
berkewajiban menyelenggarakan hak anak ini. Namun pemerintah dapat memberikan kewajiban
kepada lelaki pembangkit (bapak alami) anak luar nikah untuk menanggung pembiayaan
tersebut. Hal tersebut mungkin saja dituangkan dalam peraturan perundang-undangan atau di
tetapkan oleh hakim pengadilan.
b. Anak Mula’anah.
Kedudukan anak mula’anah hukumnya sama dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab
suami ibunya yang meli’an, tetapi mengikuti nasab ibunya, berdasarkan hadist riwayat Malik dari
Nafi dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk melakukan li’an antara seorang
suami dengan isterinya dan suami tersebut menyanggah puteranya (dari kehamilan istrinya) maka
Nabi SAW menyuruh untuk meli’an isterinya dan mengikutkan anak tersebut kepada ibunya.
Hadis ini menjelaskan tentang putusnya hubungan kekeluargaan antara anak li’an dengan
ayahnya, karena anak tersebut dinilai asing oleh ayahnya dan antara keduanya tidak ada hubungan
12
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
nasab, oleh sebab itu Imam Syafi’i dan Imam Malik membolehkan si ayah mengawini si anak
tersebut, jika sang anak lahir adalah perempuan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kedudukan hukum anak mula’anah sama dengan
kedudukan hukum anak zina baik dalam masalah hubungan nasab dan kewarisan maupun dalam hal
perwalian dan lain-lain.
c. Anak syubhat
Kedudukan anak syubhat tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang membuahinya
(laki-laki yang menggauli ibunya), kecuali bila laki-laki itu mengakuinya24
D. HUKUM WARIS ANAK LUAR NIKAH DAN PERWALIAN ANAK LUAR NIKAH
MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM
Secara nyata akibat yang di terima adalah:
1) Hilangnya martabat muhrim dalam keluarga. Bila anak itu wanita,maka antara bapak (pemilik
sperma) dengan anak itu di bolehkan menikah. Demikian dikemukakan oleh M. Jawad
Mughniyah menurut pandangan Imam Malik dan Imam Syafi’i sbb: “Imam Malik dan Imam
Syafi’I berpendapat : dibolehkan bagi seseorang mengawini putrinya (anak zina), saudara
perempuannya, cucu perempuannya, keponakannya yang semuanya itu dari hasil zina.
Selanjutnya Jawad Mughniyah menjelaskan, bahwa mazhab syi’ah Imamiyah, Abu Hanifah dan
Ahmad Ibnu Hanbal berpendapat sebagai berikut:
“Ayah dengan anak perempuan hasil perbuatan zina yang dilakukannya, haram
menikah dengan alasan bahwa anak zina itu tetap dianggap sebagai anak menurut
pengertian bahasa (lughah)dan ’urf. Karena itu haram menikah antara anak zina
dengan ayahnya. Sebagaimana ayah dengan anak kandungnya sendiri.25
Pandangan syi’ah Imamiyah, Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal Tersebut, adalah
suatu
24
pandangan yang manusiawi, artinya menempatkan
kedudukan manusia tetap pada
Iman Jauhari, 1998.Op Cit. hlm.7
13
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
tempatnya, walaupun anak itu lahir dari hasil perbuatan zina, tetapi anak itu tetap sebagai
anaknya menurut bahasa dan ‘urf. Oleh sebab itu haram pulalah anak itu terhadap bapaknya.
Meskipun demikian, dalam segi hukum anak itu bukanlah anak yang sah menurut syara’.
Karena itu ayah tersebut tidak bisa menjadi wali bagi anak perempuan ini bila ia akan menikah.
Sebagaimana telah di sebutkan sebelumnya, bahwa anak zina hanya bernasab kepada ibunya,
Sedangkan wali dalam pernikahan disyaratkan harus laki-laki Menurut Imam Malik, Syafi’i dan
Ahmad Ibn Hanbal, bahwa tidak sah pernikahannya yang diwalikan oleh dirinya sendiri, maka
SulthanIah (Kepala KUA) yang menjadi walinya, karena berdasarkan hadist Nabi SAW,
Sulthan (Penguasa) adalah wali bagi yang tidak ada wali. (Hadist Turmuziy dari Aisyah).
Mengenai wanita tidak sah nikah menjadi wali dan mewalikan dirimnya sendiri,juga
berdasarkan hadist darul quthniy dan ibnu Majah dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
Bersabda : “Tidak sah wanita menikahkan wanita lain dan tidak sah pula menikahkan dirinya,
karena hanya wanita yang berzinalah yang menikahkan dirinya”.
2) Hilangnya kewarisan antara anak dengan bapaknya:
Hukum Islam tidak menerapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina dengan ayah
(laki-laki yang membuahinya), karena anak zina tidak mempunyai hubungan kekerabatan
dengannya. Sedang hubungan kekerabatan itu, timbul atas dasar akad nikah yang sah
sebagaimana yang telah di tentukan oleh syari’at Islam. Tetapi seorang anak mempunyai
hubungan dengan ibu dan kerabat ibunya dan ia berhak mendapat warisan dari pihak ibu dan
kerabat ibunya. Tidak ada pengakuan dan pengesahan terhadap anak zina, karena hukum Islam
hanya mengenal anak sah, yaitu anak yang lahir dari pernikahan suami-isteri yang sah menurut
syara’.
Menurut Ahlu Al Sunnah, anak zina mempunyai hubungan kewarisan dengan ibu dan kerabat ibu
saja. Dengan demikian maka ini hanya dapat menjadi ahli waris bagi ibu dan kerabat seibu, tidak
dari neneknya karena anak zina bagi si nenek adalah anak dari anak perempuannya dan menurut
25
14
Huzaemah Tahido, Kedudukan Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam, Makalah KOWANI, Jakarta, 1966.hlm.3
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
golongan ini anak dari anak perempuan itu bukan ahli waris, kecuali dalam istilah ahli waris Zul
Arham.26
Selanjutnya golongan syi’ah berpendapat bahwa ;”Anak zina tidak tidak mempunyai hubungan
kewarisan dengan laki-laki yang membuahinya atau dengan kerabat laki-laki itu, sebagaimana
yang berlaku di kalangan Ulama Ahlu Al Sunnah”. Tetapi berbeda dengan mereka golongan syi’ah
berpendapat bahwa anak zina juga tidak mempunyai hubungan kewarisan dengan ibunya.
Alasannya bahwa hak kewarisan itu merupakan suatu nikmat, sedangkan zina adalah suatu
perbuatan maksiat. Nikmat tidak dapat di dasarkan pada maksiat perbuatan zina.
Al Zaila’iy dari golongan Hanafiah berpendapat, bahwa hak pusaka itu (anak zina) hanya dari
jurusan ibunya saja, sebab pertalian nasabnya dari jurusan ayah sudah terputus, sedang pertalian
nasabnya dengan ibunya masih tetap. Mereka dapat mempusakai ibunya dan kerabat-kerabat dari
ibunya. Demikian juga ibunya dan kerabat-kerabat ibunya dapat mewarisi harta peninggalannya 27
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa, tidak ada hubungan kewarisan antara anak zina dengan
ayahnya.
Sebagai jalan keluar dari hal ini, hubungan anak zina dengan ayah yang membuahinya dapat di
hubungkan melalui jalan hibah atau wasiat, bila sang ayah tersebut merasa bertanggung jawab atas
perbuatannya yang menyebabkan kelahiran anak itu, karena dalam hal hukum Islam di kenal adanya
hibah dan wasiat. Ketentuan ini dapat berlaku untuk anak yang lahir di luar nikah yang sah.
Para ulama telah sepakat mengenai tetapnya hubungan nasab seseorang anak yang di lahirkan
dalam suatu pernikahan yang sah, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tetapnya hubungan
nasab semata-mata karena akad nikah saja tanpa adanya persetubuhan di dalamnya.
Sebagian ulama berpendapat , bahwa akad nikah itu merupakan sebab utama timbulnya hubungan
nasab antara seorang anak dengan orang tuanya. Jika terjadi kehamilan tanpa adanya hubungan
kelamin diantara suami-istri, maka anak tersebut dapat dinasabkan kepada ayahnya, sebagaimana
telah di jelaskan oleh Imam Abu Hanifah sbb:
26
H. Herusuko, Anak di Luar Perkawinan. Makalah, KOWANI, Jakarta, 1996. hlm.12
15
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
“Sesungguhnya akad nikah yang shahih dengan sendirinya menjadi sebab tetapnya nasab seorang
anak, meskipun di dalam pernikahan itu antara suami isteri itu tidak pernah bertemu sama sekali,
sehingga jika terjadi suatu pernikahan dimana si isteri berada di ujung Barat dan suami di ujung
Timur dan pernikahan keduanya hanya melalui surat, kemudian si isteri melahirkan anak, maka
nasab anak itu dihubungkan kepada ayahnya, meskipun tidak pernah bertemu sama sekali sesudah
terjadinya akad”
Jumhur Fuqaha berpendapat, bahwa akad nikah dan hubungan kelamin (dukhul) merupakan sebab
terjadinya hubungan nasab. Kemudian jika telah melahirkan sebelum enam bulan semenjak
terjadinya akad, maka anak tersebut tidak dapat di hubungkan nasabnya pada ayahnya dengan
demikian, dukhul merupakan sebab utama timbulnya hubungan nasab di samping akad nikah yang
sah di antara kedua orang tuanya.28
Dari dua pendapat di atas dapat dipahami bahwa anak yang di hamilkan di luar nikah, kemudian
ibunya menikah dengan orang yang menghamilinya dan minimal enam bulan dari akad nikah baru
melahirkan anak tersebut, maka anak itu dapat di hubungkan nasabnya pada ayahnya dengan
demikian anak tersebut menjadi anak yang sah dan berlaku baginya semua ketentuan yang berlaku
bagi anak yang sah.
Ketentuan bahwa istri melahirkan anaknya setelah berlalu enam bulan dari akad, adalah
batas masa hamil yang paling sedikit menurut hukum Islam, berdasarkan firman Allah SWT dalam
Alquran surah Al Ahqaf ayat 15 dan surah Lukman ayat 14.
3. Hak Perwalian Anak Zina Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai
kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.29
27
Ictijanto, SA. 1996, Op, Cit. hlm.9
Iman Jauhari, 1998. Op.Cit. hlm.7. Lihat Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Medan,
2007.hlm 4-5
29
Pasal 1 huruf h Kompilasi Hukum Islam
28
16
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Apabila anak yang lahir akibat dari perbuatan zina (di luar pernikahan) tersebut ternyata
perempuan, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka ayah/bapak alami (genetik)
tersebut tidak berhak atau tidak sah untuk menikahkannya (menjadi wali nikah), yang menjadi wali
nikahnya adalah wali hakim, sebagaimana ketentuan wali nikah yang ditentukan dalam Pasal19
Kompilasi Hukum Islam, yakni :
a. Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai
wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
b. Yang berhak sebagai wali nikah ialah orang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, akil dan baligh.
c. Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak luar nikah
tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir di luar pernikahan yang
sah sebagaimana disebutkan di atas.30
Wali Hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang
ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.31
Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan pernikahan. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
Apabila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan
Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan
kerabat tersebut. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang
sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.32
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hokum untuk melakukan
perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.33
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk,
penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai
wali demi kepentingan orang yang berada dibawah perwaliannya. 34
30
Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam
Pasal 1 huruf b Kompilasi Hukum Islam
32
Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam
33
Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam
34
Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam
31
17
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya
dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan
keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. Wali dilarang
mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya,
kecuali apabila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya
yang tidak dapat dihindarkan. Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada dibawah
perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1
tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut harus dibuktikan pembukuan yang ditutup tiap satu
tahun satu kali.35
Pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1 tahun 1974, berbunyi sebagai berikut: “Wali wajib
membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaanya pada waktu memulai
jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.”
Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya,
apabila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah. Apabila perwalian
telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang
yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. 36
Wali dapat mempergunakan harta yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali fakir.37
E. PENUTUP
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, anak luar nikah adalah anak yang lahir sah menurut
syara’. Akibat hukum bagi anak luar nikah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang lahir
di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, hal
demikian secara hukum, anak tersebut sama sekali tidak dapat dinisbatkan kepada ayah/bapak
35
18
Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik) tersebut merupakan laki-laki yang
menghamili perempuan yang melahirkannya itu. Sedangkan dalam kitab Undang-undang Hukum
Perdata, anak luar nikah terbagi dua yakni anak luar nikah yang diakui dan anak luar nikah yang
tidak diakui. Apabila anak luar nikah tersebut diakui oleh ayahnya, maka kedudukan anak luar
nikah tersebut sama dengan kedudukan anak sah, sedangkan apabila anak luar nikah tersebut tidak
diakui oleh ayahnya,maka anak luar nikah tersebut tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan
ayahnya,akan tetapi anak luar nikah tersebut hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan
ibunya dan keluarga ibunya saja, dan walinya adalah wali hakim.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Syah, Media Ulama, DP MUI SU, Medan, 2010
Abdur Rozaq Husein, Hak Anak Dalam Islam, Fikahati Aneska, Jakarta, 1992.
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Aksara, Jakarta, 1990
Alhamdani, Risalah Nikah, Hukum Pernikahan Islam, Pustaka Amani, Jakarta, 1960
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Jakarta, 1993
BPHN, Masalah Anak di luar Nikah di Indopnesia. Depkeh , Jakarta, 1996
Enty Lafina Nasution, Perlindungan Hak Berdasarkan Akta Kelahiran Terhadap Anak yang Tidak
Diketahui Asal Usulnya Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Di Kota Binjai).
Tesis PPs-UNPAB, Medan, 2009
Fathurrahman, Ilmu Waris, Al-Ma’arif, Bandung, 1994
Fathurrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya, PT. Pustaka Firdaus,
Jakarta, 1964.
Fuad Mohd Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1991.
H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Editor Iman
Jauhari, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003.
H. Herusuko, Anak di Luar Perkawinan. Makalah, KOWANI, Jakarta, 1996
36
37
Pasal 111 Kompilasi Hukum Islam
Pasal 112 Kompilasi Hukum Islam
19
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011).
Hukum Perwalian Anak Zina dan Hak Warisnya
Iman Jauhari
Huzaemah Tahido, Kedudukan Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam, Makalah KOWANI,
Jakarta, 1966.
Ictijanto, SA. 1996, Kedudukan Anak Luar Nikah Menurut Undang-Undang Perkawinan, Makalah,
KOWANI, Jakarta
Iman Jauhari, Advokasi Hak-hak Anak (Ditunjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang
Undangan), Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008
---------------, Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003
----------------, Kajian Yuridis Perlindungan Anak Luar Nikah, Laporan Penelitian pada Lembaga
Penelitian Unsyiah Darussalam-Banda Aceh, 1998
----------------, Kapita Selekta Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007
----------------, Perlindungan Hak Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa,
Jakarta, 2003
---------------, Perlindungan Hak-hak Anak Dalam Teori Dan Praktik, Pustaka Bangsa Press, Medan
2007
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Madzahib al Khamsah, Terjemahan Afif Muhammad, Cet.
Pertama, Basrie Press, Jakarta. 1994.
Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah Sjarif, Hukum Kewarisan Perdata Barat (Pewarisan Menurut
Undang-undang), Kencana, Jakarta, 2005
Peraturan Perundang-undangan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991.
20
Download