Gempa Vulkanik, Gempa Tektonik Dan Puting Beliung Studi Kasus

advertisement
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
GEMPA VULKANIK, GEMPA TEKTONIK DAN PUTING BELIUNG
STUDI KASUS DI JOGYAKARTA.
Dwi Indah Purnamawati dan Miftahussalam
Program Studi Teknik Geologi, JurusanTeknik Geologi,
Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Jogyakarta.
ABSTRACT
Natural disaster, i.e. tectonic earthquake, volcanic explosion, and hurricane has happened all
over the world. The result of natural disasters can damage the buildings and has the victim of people
as well. Field observation showed that the victims have been caused by the ruins of building materials.
The study in Jogyakarta region after tectonic earthquake 2006, Merapi volcanic explosion 1995, and
Jogyakarta hurricane 2008 showed that almost the victim of people were the result of the ruin of
building materials. In order to minimize the negative impact of each disaster needs the special
requirement of building.
Key words: disaster, victim, building
PENDAHULUAN
Letusan vulkanik, gempa tektonik dan puting beliung, ketiga jenis bencana alam tersebut
dapat terjadi setiap saat, dan dapat mengakibatkan korban jiwa dan harta benda. Di samping ketiga
bencana alam tersebut terdapat bencana alam yang tidak kalah dahsyatnya, yaitu tanah longsor,
banjir, tsunami atau kekeringan. Apabila kita perhatikan, masing-masing bencana
tersebut
mempunyai wilayah kejadian, namun besar dan akibat yang ditimbulkan tidak dapat diramalkan.
Dalam makalah ini khusus dibahas tiga macam bencana alam yang akhir-akhir ini sering terjadi di
Jogyakarta, yaitu letusan vulkanik, gempa tektonik, dan puting beliung.
Latar Belakang
Bencana alam dapat terjadi di mana-mana, dan selalu menimbulkan korban jiwa dan harta
benda. Oleh karenanya kita wajib selalu siap menghadapinya dan berusaha memperkecil korban yang
mungkin terjadi.
Letusan vulkanik yang disertai gempa, terjadi di daerah gunung api yang masih aktif, di
Jogyakarta gunung api tersebut dikenal sebagai Gunung Merapi. Gempa terjadi apabila magma, yang
merupakan cairan pijar akan keluar dari perut bumi melalui lubang kepundan. Apabila jumlah magma
yang akan keluar sangat banyak, sedang lubang kepundan tidak mampu mengalirkan, dipastikan
dapat terjadi gempa vulkanik dan berakibat lanjut dengan letusan vulkanik.
Gempa tektonik, terjadi di daerah tunjaman lempeng benua, di mana lempeng benua selalu bergerak
(walaupun sangat lambat yaitu beberapa milimeter per tahun), dapat menggoncangkan lapisan kulit
bumi bagian luar, di mana manusia bertempat tinggal. Gempa tektonik yang terjadi di Jogyakarta,
terjadi sebagai akibat pergerakan Lempeng Indo-Australia ke Lempeng Eurasia. Pergerakan dengan
kecepatan dan arah yang tidak sama mampu menimbulkan tumbukan yang berakhir dengan
timbulnya gempa tektonik. Besaran gempa dapat ditangkap dengan suatu alat yang disebut sebagai
seismograf, yang mampu merekam gerak-gerak kulit bumi. Kekuatan gempa dapat dinyatakan
dengan Skala Richter (skala 1-9), Mercalli (1-12), dan Omori (1-7).
Puting beliung, pada umumnya terjadi pada musim pancaroba (dari musim kemarau ke musim
hujan). Tiupan angin yang sangat cepat dan sering berputar ini terjadi dari daerah yang bertekanan
tinggi ke daerah bertekanan rendah. Pemanasan sinar matahari yang berlebihan pada siang hari di
suatu tempat yang terjadi selama waktu pagi hingga siang hari mampu menimbulkan perbedaan
tekanan sebagai akibat telah terjadi perbedaan penyinaran. Oleh sebab itu tidak mengherankan
apabila puting beliung selalu terjadi pada waktu lepas siang hari. Besaran kecepatan angin bertiup di
ukur dengan alat yang disebut sebagai aerometer. Kecepatan angin yang dapat menimbulkan
bencana hebat diukur dengan skala Saffir-Simpson (1-5).
Rumusan Masalah
Mempertimbangkan pengalaman terjadinya bencana alam dalam bentuk gempa tektonik yang
terjadi di Jogyakarta dan sekitarnya pada hari Sabtu tanggal 27 Mei 2006, letusan Gunung Merapi
yang terjadi selama tahun 1995, dan puting beliung di UGM Jogyakarta yang terjadi pada hari Jumat
tanggal 9 November 2008, baik penulis sebagai penderita ataupun sebagai hasil tinjauan lapangan,
152
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut. Usaha mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi
kerugian yaitu:
1. Sebelum terjadi gempa tektonik
2. Sebelum terjadi kegiatan vulkanisme
3. Sebelum terjadi puting beliung
Metode Penelitian
Dalam rangka menyelesaikan/menjawab masalah tersebut di atas dilakukan penelitian
dengan model observasi di lapangan tempat kejadian dengan studi kasus di daerah Jogyakarta dan
sekitarnya untuk gempa tektonik, daerah Turgo lereng selatan Gunung Merapi untuk bencana
vulkanik, dan daerah UGM Bulaksumur dan sekitarnya untuk puting beliung. Dalam penelitian ini
penulis membatasi diri pada bentuk dan kontruksi fisik bangunan.
Tinjauan Pustaka
Faktor perusak bangunan fisik dari bencana yang dimaksud adalah kekuatan gempa,
kekuatan eksplosif dan kecepatan angin.
1) Skala kekuatan gempa
Kekuatan gempa diukur dengan Skala Richter (1-9), Skala Mercalli (1-12), atau Skala Omori (1-7).
Pada saat ini Skala Omori (Tabel 1) jarang dipergunakan karena dianggap terlalu kasar, Skala
Mercalli (Tabel 2) dapat dicermati oleh kesaksian mata (kenampakan yang rusak) dan Skala Richter
(Tabel 3) dapat dilihat pada seismograf. Skala Richter hanya dapat diterapkan apabila di tempat
tersebut dipasang
alat pencatat gempa (seismograf). Dengan demikian berdasarkan atas
peningkatan kekuatan gempa yang berhasil direkam dapat diprediksi kemungkinan gempa menjadi
semakin kuat atau sebaliknya. Skala Mercalli didasarkan atas kerusakan yang terjadi. Pengetahuan
tentang kerusakan sangat ditentukan oleh keadaan bangunan dan pengalaman penaksir gempa. Oleh
sebab itu lebih bersifat subyektif, dan tidak dapat dipergunakan untuk meramalkan terjadinya
peningkatan kekuatan gempa. Apabila ke dua skala tersebut diterjemahkan pada kemungkinan
kerusakan yang akan terjadi, dapat disajikan sebagai berikut (Katilli, 1963 dengan modifikasi).
Tabel 1. Skala kekuatan gempa menurut Omori
Derajat
I
II
III
IV
V
VI
VII
Keterangan
Getaran-getaran lunak, dirasakan oleh banyak orang tetapi tidak oleh semua
orang
Getaran-getaran sedang kerasnya, semua orang terbangun disebabkan bunyi
barang-barang pecah dan bunyi jendela dan pintu-pintu
Getaran-getaran agak kuat, jam di dinding berhenti, pintu dan jendela terbuka
Getaran-getaran kuat; gambar-gambar dinding jatuh, serta retakan-retakan
terlihat di dinding
Getaran-gertaran sangat kuat, dinding-dinding dan atap runtuh
Rumah-rumah yang kuat runtuh
Kerusakan-kerusakan umum
Tabel 2. Skala kekuatan gempa menurut Mercalli
Derajat
I
II
III
IV
V
Keterangan
Getaran tidak dirasakan kecuali dalam keadaan luar biasa oleh beberapa
orang
Getaran dirasakan oleh beberapa orang yang tinggal diam, lebih-lebih
dirumah tingkat atas, benda-benda ringan yang tergantung bergoyang
Getaran dirasakan nyata dalam rumah, lebih-lebih dirumah tingkat atas.
Kendaraan yang sedang berhenti agak bergerak, terasa getaran seakan-akan
seperti ada truck lalu. Lamanya dapat ditentukan
Pada siang hari dirasakan oleh banyak orang dalam rumah, diluar oleh
beberapa orang. Pada malam hari beberapa orang terbangun. Barang pecah
belah, jendela pintu menggerincing, dinding berbunyi karena pecah-pecah,
kacau sekan-akan truck besar melanggar rumah. Kendaraan yang sedang
berhenti bergerak dengan nyata
Getaran dirasakan oleh semua penduduk, banyak orang terbangun. Beberapa
barang pecah belah, jendela dan sebagainya pecah, plester didinding pecah,
barang-barang terpelanting, pohon-pohon dan tiang-tiang serta barang besar
153
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
lainnya tampak bergoyang. Jarum jam dinding dapat berhenti.
Getaran-getaran dirasakan oleh semua orang/penduduk, kebanyakan terkejut
dan lari keluar, kadang-kadang meja kursi dan sebagainya bergerak, plester
dinding jatuh dan cerobong asap dari pabrik rusak. Kerusakan ringan
Tiap-tiap orang keluar rumah. Kerusakan ringan dan sedang pada bangunan
yang kuat dan banyak kerusakan pada bangunan yang tidak kuat, cerobong
asap pecah, terasa oleh orang yang naik kendaraan
Kerusakan ringan pada bangunan yang kuat, terjadi lubang-lubang karena
retak-retak pada bangunan yang kuat. Dinding dapat lepas dari rangka rumah,
cerobong asap dari pabrik dan monumen roboh. Meja dan kursi terlempar, air
menjadi keruh, orang naik sepeda motor terasa terganggu
Kerusakan pada bangunan yang kuat, rangka-rangka rumah menjadi tidak
lurus. Banyak lubang-lubang karena retak-retak pada bangunan yang kuat.
Rumah tampak agak berpindah dari dasarnya, pipa dalam tanah putus.
Bangunan dari kayu yang didirikan dengan kuat rusak, rangka rumah lepas
dari fondasinya, tanah terbelah, rel melengkung, tanah longsor di tepi sungai
dan di lereng yang curam. Air bah
Bangunan-bangunan hanya sedikit yang masih berdiri, jembatan rusak terjadi
di lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai sama sekali, tanah terbelah,
rel melengkung sekali.
Hancur sama sekali, gelombang tampak pada permukaan tanah. Tidak dapat
memandang terang, benda-benda terlempar ke udara
Tabel 3. Kesebandingan Skala Mercalli dan Skala Richter
Mercalli
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
Uraian
Hanya dapat dideteksi dengan seismograf
Guncangan pada orang yang istirahat dan tangga
Guncangan pada benda yang tergantung
Perabot bergetar hebat, pohon terkoyak
Pintu bergeser, cairan tu mpah dari gelas
Orang berjalan terhuyung, jendela pecah
Sulit berdiri, batubata dan keramik pecah berkeping
Langit-langit runtuh
Kepanikan massal, kerusakan pada fondasi
Banyak bangunan hancur
Keretakan lebar di tanah dan jalan raya
Kehancuran total, gelombang dapat disaksikan di permukaan
Richter
0
4,3
4,8
6,2
8,9
Catatan: Skala Mercalli berdasarkan observasi saksi mata
Skala Richter berdasarkan gelombang energi akibat gempa
2)
Besaran kekuatan gempa vulkanik dapat dikonversikan ke seismograf (pada Skala Richter),
namun hingga sekarang belum diciptakan alat yang dapat mengukur kekuatan eksplosif. Besaran
eksplosif (letusan) gunung api salah satunya dapat dilihat dari ukuran butir material yang
dilontarkan dari kepundan/kawah gunung api. Pada umumnya makin besar ukuran butir bahan
vulkanik yang dilontarkan makin besar daya eksplosif. Ini merupakan fenomena yang umum
terjadi pada semua gunung api di dunia. Untuk Gunung Merapi, keluarnya awan panas dalam
bentuk wedus gembel merupakan salah satu penciri makin besar eksplosif/letusan terjadi. Awan
panas disertai lava pijar yang keluar dari kepundan gunung api mempunyai suhu yang cukup
tinggi dan dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan. Menurut Neumann van Padang vide
Kusumadinata, (1979), Gunung Merapi pertama kali meletus tahun 1006 dan hingga tahun 1973
telah meletus sebanyak paling tidak 82 kali. Material gunungapi yang dihamburkan berukuran
abu hingga bongkah.
3) Angin ribut
Aliran udara yang umum disebut sebagai angin, akan terjadi apabila terjadi pemanasan udara
yang tidak sama dan dapat menimbulkan adanya perbedaan tekanan udara. Udara bertiup dari
daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah Dalam dimensi kecil
pemanasan udara yang tidak sama dapat terjadi di daerah hutan yang terbakar. Pada saat
kawasan hutan terbakar, temperatur sekitar meningkat, dan tekanan menjadi rendah. Angin
bertiup dari luar kawasan hutan yang terbakar ke kawasan hutan yang terbakar. Pemanasan di
atmosfer terjadi oleh panasnya sinar matahari. Apabila di suatu daerah, sinar matahari terhalang
154
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
oleh awan yang tebal, di lain pihak ada daerah yang tidak tertutup awan tebal, akan
mengakibatkan terjadinya perbedaan penyinaran. Akibat selanjutnya terjadi perbedaan tekanan
dan pada saat itu akan segera diikuti oleh tiupan angin. Hal inilah yang mengakibatkan angin ribut
dan ini akan terjadi di waktu sesudah tengah hari. Angin ribut yang disertai putaran dikenal
sebagai puting beliung atau tornado. Puting beliung kebanyakan terjadi pada musim pancaroba
dari musim kemarau ke musim hujan untuk daerah tropis, atau dari musim panas ke musim
dingin untuk daerah subtropis Walaupun jalur lintasan angin ribut dengan kecepatan tiupan tinggi
sudah dapat dipetakan, namun penyimpangan arah lintasan sudah sering terjadi. Apabila angin
ribut melewati lautan bebas, sangat dimungkinkan mengakibatkan terjadi gelombang laut tinggi
dan sangat kuat dan dapat menenggelamkan kapal.
Kecepatan angin yang mampu menimbulkan angin ribut yang cukup besar dan dikenal
sebagai tornado diklasifikasikan menurut Skala Saffir-Simpson (Sukandarrumidi, 2006) sebagai
berikut
Tabel 4. Skala kecepatan angin menurut Saffir-Simpson
(Sumber: Sukandarrumidi, 2006)
Kategori
I
II
III
IV
V
Kecepatan
119-153 km/jam
154-177 km/jam
178-209 km/jam
210-149 km/jam
> 250 km/jam
Catatan: untuk mengetahui kecepatan angin dipergunakan alat aireometer
Untuk mengantisipasi kerusakan bangunan yang mungkin terjadi, dalam pustaka selalu disebutkan membuat
bangunan yang tahan bencana, namun tidak pernah disebutkan secara khusus.
PEMBAHASAN
Berdasarkan atas observasi di lapangan kejadian, untuk gempa tektonik di daerah Piyungan
Timur, Jogyakarta, untuk letusan vulkanik di Desa Turgo, lereng selatan Gunung Merapi dan untuk
puting beliung di Kampus Universitas Gadjah Mada Bulaksumur. Observasi dilakukan secara acak
pada saat sesudah kejadian. Mencermati dan memperhatikan kearifan lokal masyarakat yang
bermukim di tempat-tempat bahaya dan yang telah dilakukan secara turun-temurun dicoba untuk
dirangkum dengan dasar pemikiran ilmiah.
a. Gempa Tektonik di Jogyakarta
Gempa di Jogyakarta pada Sabtu (27/05/08) pukul 05.53 berkekuatan 5,9 Skala Richter (SR),
episentrum pada jarak 38 km di lepas pantai Samudera Hindia dengan kedalaman (hiposentrum)
33 km. Gempa ini sebagai akibat adanya gerakan Lempeng Indo-Australia ke Lempeng Eurasia,
telah mengakibatkan korban jiwa pada saat kejadian lebih dari 5.100 orang, belum termasuk yang
luka-luka. Hampir semua korban adalah sebagai akibat rumah/bangunan yang roboh,
Apabila merujuk pada Tabel 2, kerusakan yang terjadi mestinya tidak separah dengan kenyataan
yang ada. Berdasarkan hasil diskusi dan komunikasi dengan Pusat Pengembangan dan
Penelitian Gunung Merapi Jogyakarta, ternyata kekompakan tanah yang dipergunakan sebagai
dasar fondasi dan letakan bangunan sangat menentukan terjadinya kerusakan. Makin tidak
kompak tanah letakan bangunan kerusakan dapat semakin parah. Oleh sebab itu tidak
mengherankan, sesaat setelah terjadinya gempa tektonik masih terdapat silang pendapat tentang
besaran kekuatan gempa
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa bangunan yang roboh:
1) bangunan berlantai satu atau lebih,
2) dinding terbuat dari bata merah/batako
3) tahun pembangunan relatif baru (sesudah tahun 1990-an)
4) gaya arsitektur kontemporer
5) bentuk bangunan tidak simetri.
Sedang bangunan yang tidak mengalami rusak parah, terindikasi salah satu atau secara
keseluruhan adalah:
155
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
1) rumah terbuat dari kayu
2) rumah berbentuk bangunan simetri
3) merupakan bangunan semi permanen
4) tiang bangunan merupakan beton bertulang atau kayu
Semua balai desa yang terbuat dari kayu jati bangunan jaman penjajahan Belanda (sebelum
tahun 1945) ternyata masih kokoh berdiri
Korban meninggal atau luka luka kebanyakan karena:
1) korban meninggal, sebagian besar tertimpa oleh bangunan yang roboh
2) korban luka-luka tertimpa oleh kayu/dinding bangunan rumah
Bertitik tolak pada metode induksi, dapat disimpulkan sementara sebagai berikut, bahwa untuk
mengurangi korban yang diakibatkan oleh gempa tektonik disarankan:
1) Arsitektur bangunan dibuat semetris, dengan bentuk seperti gerakan gaya horisontal akan
saling terimbangi oleh konstruksi yang saling mengkait, dan mampu mengembalikan pada
posisi semula.
2) Bahan bangunan dipilih bahan yang relatif ringan antara lain kayu. Jenis bahan bangunan
kayu, apabila kena gaya desak tidak akan patah, paling melengkung atau retak-retak.
Catatan: Model rumah seperti yang telah diterapkan di Jepang, merupakan salah satu model di
negara atau di dunia yang sering terkena gempa tektonik.
b. Gempa Vulkanik
Indonesia termasuk daerah ring of fire, artinya dikitari oleh gunung api yang masih aktif.
Tidak kurang dari 130 gunung api aktif atau 13-17 % dari jumlah gunung api yang ada di dunia
terdapat di Indonesia. Letusan gunung api yang tidak terduga telah menimbulkan banyak korban.
Letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 dan Gunung Krakatau pada tahun 1883 merupakan
dua di antara letusan yang paling hebat yang telah memakan banyak korban yaitu masing-masing
90.000 dan 36.000 jiwa. (Kusumadinata, 1979) Dalam usaha mencegah terjadinya korban jiwa,
Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Gunung api, telah membangun Pos Pengamatan
Gunung api yang aktif di seluruh Indonesia. Di tempat-tempat ini telah dipasang alat seismograf
untuk mengetahui peningkatan aktivitas gunung api
Khusus untuk Gunung Merapi, Jawa Tengah, diawasi dari 7 buah observasi yaitu dari
Plawangan, Ngepos, Krinjing, Babadan, Jrakah, Selo dan Deles, yang dikoordinasikan oleh
Pengawasan Gunung Merapi di jalan Cendana Jogyakarta. Dalam rangka penyelamatan
sementara penduduk setempat telah dibangun dua buah bunker (bangunan bawah tanah), yang
pertama dibangun di daerah Kaliurang dekat Gerdu Pandang, dan yang kedua dibangun di Desa
Kaliadem, Kaliurang Timur.
Desa Turgo, terletak di lereng selatan Gunung Merapi, berjarak kurang lebih 5 km dari
puncak Gunung Merapi. Dari tempat ini apabila terjadi peningkatan kegiatan vulkanisme,
keluarnya lava pijar dapat dilihat dengan jelas, bahkan desa ini pernah tersapu awan panas, yang
lebih dikenal dengan nama wedus gembel pada tahun 1995. Hampir semua rumah yang ada di
desa tersebut terbakar, di samping juga menimbulkan korban manusia. Sesudah terjadi bencana
tersebut, daerah telah dinyatakan aman, sehingga masyarakat kembali membangun rumah
mereka. Di tempat ini dilakukan pengamatan mengenai bentuk rumah dan atap. Sampel untuk
pengamatan diambil secara acak dengan jumlah sampel 10 rumah. Dari hasil pengamatan bentuk
dan atap rumah adalah sebagai berikut:
1) Rumah terbuat dari kayu atau bambu. Hal ini dilakukan masyarakat
dengan
mempertimbangkan daerah Desa Turgo yang terletak di daerah rawan gempa vulkanik setiap
saat dapat terkena imbas dari gempa, rumah tidak rusak ataupun retak.
2) bentuk atap runcing, mirip rumah tipe joglo, konstruksi simetri. Hal ini dilakukan masyarakat
dengan mempertimbangkan apabila terjadi lontaran debu vulkanik, tumpukan debu dapat
segera turun, tidak membebani atap rumah, sehingga rumah tahan lama.
3) atap terbuat dari genteng, bukan dari seng, asbes maupun rumbia/alang-alang. Hal ini
dilakukan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan daerah lereng gunung selalu bertiup
angin yang cukup kencang. Atap yang terbuat dari seng atau asbes, diyakini oleh masyarakat
akan dapat terbang tertiup angin. Atap yang terbuat dari rumbia/alang-alang, diyakini oleh
masyarakat mudah terbakar apabila gunungapi mengeluarkan awan panas.
156
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Dengan mengacu pada metode induksi dengan studi kasus di daerah Desa Turgo, dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1) rumah dengan arsitektur simetri, atap runcing.
2) rangka dan bahan rumah terdiri dari kayu, bahan yang relatif ringan.
3) Atap rumah terdiri dari genteng, yang tidak mudah terbang dan tidak mudah terbakar.
c. Puting Beliung
Puting beliung merupakan tiupan angin yang ”cukup kencang” dan berputar sehingga
menerbangkan atap rumah. Puting beliung terjadi pada masa pancaroba khususnya dari musim
kemarau ke musim hujan. Tiupan angin ini akan terjadi apabila terjadi pemanasan yang tidak
merata, sebagian atmosfer tertutup oleh awan. Dengan demikian akan terjadi pemanasan udara
yang tidak sama. Pemanasan yang tidak sama ini dapat mengakibatkan terjadi daerah dengan
tekanan udara tinggi dan daerah dengan tekanan udara rendah. Adanya perbedaan tekanan
udara ini mengakibatkan terjadi aliran udara dengan kecepatan tinggi. Kejadian ini akan
berlangsung sesudah siang hari. Puting beliung yang terjadi di Jogyakarta pada hari Jumat
tanggal 7 Nopember 2008, kecepatan angin tercatat kurang dari 100 km/jam.
Mengambil kasus di kompleks Gedung Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada, puting
beliung telah:
1) memporak porandakan pohon-pohon berdaun lebar. Pohon berdaun lebar mampu
menghalangi tiupan angin kencang.
2) mencabut tanaman pohon beringin yang rimbun dan berakar memanjang,
3) menerbangkan genteng pada bangunan-bangunan tinggi,
4) menerbangkan atap seng.
Walaupun demikian, apabila mempertimbangkan dan dibandingkan dengan kerusakan yang
diakibatkan oleh tornado di Amerika, kekuatan angin pada puting beliung ini masih berada di
bawah Kategori I (berdasarkan Skala Saffir dan Simpson). Jalur arah pergerakan puting beliung
secara garis besar sudah dapat dipetakan, namun jalur yang pasti belum dapat diketahui dengan
ilmu yang saat ini telah dikuasai manusia.
Kenyataan di lapangan, apabila di suatu daerah terkena puting beliung ataupun tornado dan
sejenisnya, manusia hanya mampu untuk menghindarkan diri, dengan tujuan tidak menjadi
korban.
Mengacu pada metode induksi dengan studi kasus di daerah seputar Gedung Grha Sabha
Pramana Universitas Gadjah Mada, dapat disimpulkan sementara bahwa:
1) puting beliung atau tornado dan sejenisnya tidak akan memilih korbannya, gedung satu lantai
maupun gedung bertingkat tetap dapat diporak porandakan.
2) atap yang berbentuk lembaran akan mudah dicerabut dari rangkaiannya, dibandingkan
dengan atap genteng.
3) tumbuhan berdaun lebat dan berakar memanjang ke samping, masih mampu untuk
ditumbangkan
4) tumbuhan dengan pohon yang berlubang karena usia, akan mudah untuk dipatahkan oleh
hembusan angin yang dahsyat.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, dalam upaya melakukan mitigasi pada masing-masing bencana
alam, memerlukan kondisi tersendiri untuk masing-masing kasus bencana. Manusia tidak dapat
mencegah, namun dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kearifan lokal
masyarakat dalam usaha mengurangi kerugian jiwa dan harta yang tentu saja tidak dikehendaki oleh
kita semua.
Khusus tentang bangunan fisik termasuk rumah tempat tinggal, disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
a. Untuk daerah yang rawan bencana gempa tektonik.
1) rumah dibangun dengan bahan-bahan yang ringan, seperti kayu atau bambu
2) bentuk rumah simetris
3) apabila mempergunakan tiang yang terbuat dari beton, wajib ada tulangan
4) kaitan tulangan/kerangka bangunan harus kuat
b. Untuk rumah di daerah rawan letusan vulkanik
1) kerangka rumah terbuat dari kayu atau bambu
157
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
2) rumah dibangun berbentuk simetri
3) rumah dibangun dengan bentuk atap yang lancip bertipe joglo
4) atap rumah dibuat dari bahan yang tidak mudah diterbangkan oleh angin dan tidak mudah
terbakar
c. Untuk rumah di daerah rawan puting beliung
1) atap rumah terdiri dari bahan yang relatif berat dan rangkaian kuat
2) rangka rumah dikaitkan satu sama lain dengan baik dan kuat
Perlu kita sadari bersama, tidak ada seorangpun yang mampu meramalkan bencana yang
mungkin terjadi di suatu wilayah. Dapat juga bencana alam dalam bentuk gempa tektonik, gempa
vulkanik/bahaya vulkanisme dan puting beliung pada waktu yang berbeda dapat melalui/menerjang
daerah yang sama.
Apabila terjadi hal yang demikian, manusia wajib berusaha menyelamatkan diri, menghindar
secepatnya dari bencana.
PUSTAKA
Anonim, 2006. Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Daerah
Rawan Bencana Alam dan Pantai Selatan Pulau Jawa, Seminar di Jogyakarta, Departemen
Pekerjaan Umum, Jakarta.
Anonim, 1995. Profil Kelautan Nasional, Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan Serta
Industri Maritim, Jakarta.
Bemellen R.W.Van, 1949. The Geology of Indonesia, Goverment Printing Office, The Hague,
Netherland.
Katilli dan Marks,P.,1963. Geologi, Departemen Urusan Riset Nasional. Jakarta.
Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi, Bandung.
Sukandarrumidi, 2006. Jogyakarta Sabtu Kelabu, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,
Jogyakarta.
158
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Lampiran 1
Konsep Rumah Tahan Gempa
Denah bangunan:
1. Denah yang terlalu panjang harus dipisahkan (Gambar 1a)
2. Denah berbentuk L harus dipisahkan (Gambar 1b)
3. Denah berbentuk U harus dipisahkan (Gambar 1c)
Bangunan Tembok:
1. Dinding bata harus kuat dengan kolom,sloof, rinf balok dari beton atau kayu
2. Dinding bata harus angker terhadap kolom,sloof dan ring balok
3. Sloof harus diberi angker terhadap pundasi
Bangunan Kayu:
1. Hubungan antara kolom dan balok atap harus diberi balok penapong diagonal dan datar
2. Hubungan antara balok lantai dan kolon harus diberi balok panopang diagonal dan datar
3. Pundasi umpak harus tertanam sedalam > 20 cm ke dalam tanah
159
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Lampiran 2
Contoh rumah minimalis instan beton baja tahan gempa
Keunggulan Rumah Minimalis Instan Beton Baja Tahan Gempa
1. Kedap panas dan suara sehingga teduh sangat nyaman.
2. Tahan gempa s.d 9 SR
3. Tahan kebakaran dan ledakan bom
4. Hemat energi listrik
5. Perawatan mudah dan murah
6. Tahan angin puting beliung s.d 240 km/jam
7. Konsep rumah tumbuh, minim investasi awal
8. Max 3 minggu pengerjaan
9. Fully furnished siap huni
10. Kekuatan design life minimal 100 tahun
11. Garansi international
160
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Lampiran 3
Contoh rumah bambu tahan gempa
Keunggulan rumah bambu tahan gempa
Struktur atap, struktur dinding dan struktur pondasi ringan
161
Download