12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. Tinjauan Mengenai Izin a) Pengertian Izin Kata Izin, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Izin adalah pernyataan mengabulkan (tiada melarang); persetujuan membolehkan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989:341). Menurut Sjahran Basah dalam Ridwan HR (2011:196), tidaklah mudah memberikan definisi apa yang dimaksud dengan izin karena tidak terdapat persesuaian paham antara para pakar. Beberapa definisi izin diantaranya di dalam Kamus Hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai: “Overheidstoestemming door wet of verordening vereist gesteld voor tal van handeling waarop in het algemeen belang speciaal toezicht vereist is, maar die, in het algemeen, niet als onwenselijk worden beschouwd” yang artinya, perkenaan atau izin dari pemerintah berdasarkan undang–undang atau peraturan pemerintah yang diisyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal – hal yang sama sekali tidak dikehendaki. Ateng Syafrudin mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh atau “Als opheffing van een algemene verbodsregel in het conrete geval”, (sebagai peniadaan ketentuan larangan umum dalam peristiwa konkret). Sedangkan menurut E. Utrecht (1986:187) bahwa bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing – masing hal konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). b) Unsur – unsur Izin 13 Izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang–undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian ini ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu instrumen yuridis, peraturan perundang–undangan, organ pemerintah, peristiwa konkret, serta prosedur dan persyaratan (Ridwan HR, 2011:202). c) Fungsi dan Tujuan Izin Fungsi izin adalah sebagai instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret. (Philipus M. Hadjon, 1993:5). Adapun mengenai tujuan perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkret menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini (Ridwan HR, 2011:208). d) Bentuk dan Isi Izin Sesuai dengan sifatnya, yang merupakan bagian dari keputusan, izin selalu dibuat dalam bentuk tertulis. Sebagai keputusan tertulis, secara umum izin memuat hal–hal sebagai berikut (Ridwan HR,2011:209). 1) 2) 3) 4) 5) 6) Organ yang Berwenang; Yang Dialamatkan; Diktum; Ketentuan–ketentuan, Pembatasan–pembatasan,dan Syarat-syarat; Pemberian alasan; dan Pemberitahuan – pemberitahuan Tambahan. 2. Tinjauan Mengenai Lembaga Perwakilan Dalam sistem demokrasi dan negara hukum modern, sudah umum diketahui bahwa kekuasaan negara dibagi dan dipisah–pisahkan antara cabangcabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada pokoknya, kekuaasaan untuk atau membuat aturan dalam kehidupan bernegara dikonstruksikan berasal dari rakyat yang berdaulat yang dilembagakan dalam organisasi negara di lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat (Rachmat Trijono dalam Jurnal Rechtsvinding, 2013:346). Pelembagaan fungsi legislature itulah yang disebut parlemen. Di berbagai negara ada yang melembagakannya dalam satu forum saja (unicameral 14 atau monocameral), ada pula yang dua forum (bicameral),. Bahkan ada pula negara-negara yang mempunyai struktur parlemen multi kameral atau terdiri atas lebih dari dua kamar atau lebih dari dua institusi. Salah satunya adalah Indonesia yang mempunyai tiga institusi atau tiga forum parlemen sekaligus, yaitu DPR, DPD, dan MPR. DPR merupakan lembaga perwakilan politik (political representation), DPR merupakan perwakilan daerah (regional representation), sedangkan MPR merupakan penjelmaan keseluruhan rakyat, baik dari segi politik maupun kedaerahan. (Jimly Asshiddiqie dalam makalah Lembaga Perwakilan dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Pusat diakses melalui www.jimly.com , pada 8 Maret 2016 pukul 21.05 WIB Halaman 1). Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa dalam struktur parlemen Indonesia dewasa ini terdapat tiga forum parlemen yang sama-sama mempunyai fungsi legislasi dalam arti yang luas. Karena itu, Jimly Asshiddiqie menamakan struktur parlemen Indonesia dewasa ini sebagai parlemen trikameral. Indonesia tidak menganut prinsip unikameralisme, bukan pula bikameralisme, melainkan trikameralisme. Dengan demikian, adanya MPR, DPR, dan DPD dalam sistem ketatanegaraan kita berdasarkan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dewasa ini merupakan satu kesatuan kelembagaan parlemen Indonesia yang mempunyai tiga forum perwakilan dan permusyawaratan dalam rangka pengambilan keputusan mengenai kebijakan negara berdasarkan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jimly Asshiddiqie dalam makalah Lembaga Perwakilan dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Pusat diakses melalui www.jimly.com , pada 8 Maret 2016 pukul 21.05 WIB Halaman 2). a) MPR Sebelum perubahan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Republik Indonesia menganut prinsip supremasi MPR sebagai salah satu bentuk varian supremasi parlemen yang di kenal di dunia. Sebagai organ negara atau lembaga yang diberi kedudukan tertinggi sehingga Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan negara diharuskan tunduk dan bertanggung jawab, lembaga MPR itu disebut sebagai pelaku tertinggi 15 kedaulatan rakyat dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan. Namun bunyi pasal tersebut saat ini telah diubah rumusannya menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, sehingga MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara (Ni’matul Huda,2012:157). Pasal 2 Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen keempat mengatakan, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Lebih lanjut dirumuskan dalam Pasal 3 Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. b) DPR Ketentuan mengenai DPR di Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diatur dalam Pasal 19 - 22B. Secara lebih khusus, DPR dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 2 Undang–Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan bahwa, “Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“. Lebih lanjut, dalam Pasal 67 dan 68 dijelaskan DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara dan terdiri atas anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih melalui pemilu. DPR dalam Pasal 20A ayat (1) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 69 Undang–Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 16 disebutkan memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat, dan juga untuk mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan. Pasal 70 menjelaskan bahwa fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang–undang, dan fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang–undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden, serta fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang–undang dan APBN. c) DPD Lembaga baru yang muncul melalui perubahan ketiga Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain DPD. Hadirnya DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia diatur dalam Pasal 22C dan 22D (Ni’matul Huda, 2012:181). Menurut Pasal 22C, Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Kewenangan DPR dituangkan dalam Pasal 22D Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu : (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi 17 lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. 3. Tinjauan Mengenai Prinsip Negara Hukum Negara hukum adalah negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat – alat perlengkapan negara atau penguasa, semata – mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya. Pengertian lain negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas hukum (Abdul Aziz Hakim, 2011:8). Konsep Negara Hukum pada zaman modern di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu (Jimly Asshiddiqie dalam Makalah Gagasan Negara Hukum diakses melalui http://www.jimly.com pada tanggal 23 Maret 2016 pukul 18.27 WIB): a) Perlindungan hak asasi manusia. b) Pembagian kekuasaan. c) Pemerintahan berdasarkan undang-undang. d) Peradilan tata usaha Negara. Kemudian A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah The Rule of Law, yaitu: a) Supremacy of Law b) Equality before the law. 18 c) Due Process of Law. Bahkan, oleh The International Commission of Jurist, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Negara Indonesia sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini hanya dinyatakan dalam Penjelasan Umumnya bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (maachsstaat) (Iriyanto A. Baso Ence, 2008:vii). Pernyataan tersebut, dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dipertegas dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Selanjutnya ditegaskan juga dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa, “Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Menurut Mahfud. MD, Negara Republik Indonesia bukan hanya rechtsstaat tapi juga the rule of law. Karena itu, ditiadakannya kalimat rechtsstaat setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukanlah masalah semantik atau gramatikal semata melainkan juga menyangkut masalah yang subtantif dan paradigmatik. Diketahui bahwa, ada dua istilah yang berbeda yaitu rechtsstaat dan the rule of law. Kedua istilah itu, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam satu istilah yang sama yaitu negara hukum, pada hal kedua istilah rechtsstaat dan the rule of law mempunyai konsep dan pelembagaan secara berbeda (Moh. Mahfud. MD, 2007:51). Selain konsep negara hukum sebagaimana dikemukakan di atas, masih ada konsep negara hukum Pancasila, yang menjadi dasar falsafah negara Indonesia yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima. Berbeda dengan negara hukum Barat baik dalam konsep rechtsstaat maupun rule of law menempatkan dignity of man dan leberalisme sebagai elemen utama dan pemisahan antara negara gereja (agama) dengan negara (Philipus M. Hadjon, 1987: 71) 19 Jimly Asshiddiqie telah merumuskan dua belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Disamping itu, jika konsep Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang berKetuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia, maka keduabelas prinsip tersebut patut pula ditambah satu prinsip lagi, yaitu : Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip ketigabelas gagasan Negara Hukum Modern (http://www.jimly.com diakses pada 15 Februari 2015 pukul 20.14 WIB). a) Supremasi Hukum (Supremacy of Law) Perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. b) Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law) Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakantindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. c) Asas Legalitas (Due Process of Law) Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang 20 sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). d) Pembatasan Kekuasaan Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisahmisahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan. e) Organ – organ Eksekutif Independen Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk 21 menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. f) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. g) Peradilan Tata Usaha Negara Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini 22 penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. h) Peradilan Tata Negara (Constitutional Court) Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya. Pentingnya peradilan ataupun mahkamah konstitusi (constitutional court) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern. i) Perlindungan Hak Asasi Manusia Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia 23 terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya. j) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat) Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. k) Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat) Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan bernegara Indonesia itu. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan ‘mission driven’, yang didasarkan atas aturan hukum. l) Transparansi dan Kontrol Sosial 24 Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. m) Berketuhanan Yang Maha Esa Diakuinya prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini sebagai sila pertama dan utama dalam Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap bangsa Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam hukum konstitusi di satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan segenap warga bangsa mengenai prinsip dan nilai-nilai keMaha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu, dan di pihak lain pengakuan akan prinsip supremasi hukum itu juga merupakan pengejawantahan atau ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa yang menyebabkan setiap manusia Indonesia hanya memutlakkan Yang Esa dan menisbikan kehidupan antar sesama warga yang bersifat egaliter dan menjamin persamaan dan penghormatan atas kemajemukan dalam kehidupan bersama dalam wadah Negara Pancasila. 25 B. Kerangka Pemikiran Pasal 245 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 Izin Pemeriksaan DPR dikeluarkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan Izin Pemeriksaan DPR dikeluarkan oleh Presiden Prinsip Negara Hukum Gambar 1 Keterangan : Kerangka pemikiran diatas mencoba memberikan gambaran mengenai alur berfikir dalam menggambarkan, menjabarkan, menelaah dan menemukan jawaban mengenai Izin Pemeriksaan Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat oleh Aparat Penegak Hukum Dikaitkan dengan Prinsip Negara Hukum. Pasal 245 Undang–Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyebutkan bahwa dalam melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak 26 pidana harus dikeluarkan izin terlebih dahulu oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Hal tersebut kemudian diajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi hingga dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang menyatakan Pasal 245 Undang–Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”. Dalam konteks inilah MK telah merekonstruksi mekanisme "izin Mahkamah Kehormatan Dewan" menjadi "izin Presiden". Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 maka akan dianalisa relevansi izin Presiden dalam pemeriksaan terhadap anggota DPR oleh aparat penegak hukum dengan prinsip – prinsip negara hukum.