4 merah jauh (50–1000 µm) (Giwangkara 2007). Spektrofotometer inframerah dibagi menjadi 3 jenis yaitu spektrofotometer Inframerah dispersive (kualitatif), spektrofotometer inframerah tak dispersive (kuantitatif), dan spektrofotometer inframerah transformasi fourier (kualitatif dan kuantitatif). Spektroskopi FTIR menggunakan prinsip interferometer (Skoog et al. 2004). Spektroskopi FTIR mengukur vibrasi dominan dari gugus fungsi dan ikatan yang memiliki kepolaran yang tinggi (Thor & Jeffery 2005). Prinsip FTIR adalah ketika sampel berinteraksi dengan sinar (radiasi elektromagnetik), maka ikatan kimia pada panjang gelombang tertentu akan menyerap sinar ini dan akan bervibrasi. Vibrasi ini dapat berupa vibrasi tekuk atau vibrsi ulur. Absorbans atau vibrasi ini dihubungkan dengan ikatan tunggal atau gugus fungsi dari molekul untuk identifikasi senyawa yang tidak diketahui (Dunn & David 2005). penangkap radikal superoksida. Hamdiyati et al. (2008) melaporkan bahwa senyawa aktif dari daun patikan kebo yang dapat menghambat pertumbuhan S. epidermidis adalah flavonoid, tanin, alkaloid, dan terpenoid. Sukadana (2009) melaporkan bahwa isolat flavonoid fraksi FB dari ekstrak kental air buah belimbing manis diduga termasuk golongan katekin yang dapat menghambat bakteri gram positif (S. aureus) dan gram negatif (E. coli), masing-masing mulai dari konsentrasi 500 ppm dan 100 ppm. Isolat flavonoid yang berhasil diisolasi dari kulit akar awar-awar adalah golongan flavanon yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap Vibrio cholera dan E. coli (Sukadana 2010). Flavonoid Flavonoid (Gambar 2) merupakan salah satu metabolit sekunder, kemungkinan keberadaannya dalam daun dipengaruhi oleh adanya proses fotosintesis sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung flavonoid (Markham 1988). Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari tumbuhan telah diidentifikasi, namun ada tiga kelompok yang umum dipelajari, yaitu antosianin, flavonol, dan flavon. Flavonoid sering terdapat di sel epidermis. Sebagian besar flavonoid terhimpun di vakuola sel tumbuhan walaupun tempat sintesisnya ada di luar vakuola (Salisbury & Ross 1995) Flavonoid berupa senyawa yang larut dalam air dan dapat diekstrak dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter. Flavonoid berupa senyawa fenol karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi mereka mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan pembuluh dan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mulamula didasarkan kepada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna (Harbone 1987). Menurut Cos et al. (1998), aktivitas flavonoid sebagai penurun kadar asam urat melalui penghambatan enzim xantin oksidase. Selain itu juga bersifat sebagai antioksidan Gambar 2 Struktur Umum Flavonoid BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan adalah serbuk daun kepel, akuades, heksana, etil asetat, kloroform metanol, etil asetat, pelarut DMSO, silika gel, media trypticase soy broth (TSB), bakteri S. epidermidis, tetrasiklin, TCC, dan pelat aluminium jenis silika gel G60F254 dari Merck. Peralatan yang digunakan adalah peralatan gelas, cawan porselen, oven, eksikator, neraca analitik, penguap putar, bejana kromatografi, kromatografi kolom, autoklaf, inkubator, 96well plates, spektrofotometer UV-tampak (Shimadzu), dan FTIR (Brucker). Metode Metode penelitian yang akan dilakukan mengikuti diagram alir pada Lampiran 1 yaitu penentuan kadar air, kadar abu, penentuan ekstrak dengan maserasi, uji flavonoid ekstrak daun kepel, fraksinasi ekstrak dengan eluen terbaik menggunakan kromatografi kolom. Uji aktivitas antimikroba dari semua fraksi yang diperoleh. Selanjutnya, penentuan 5 senyawa yang terkandung dalamfraksi teraktif dengan spekrtofotometer UV-tampak dan FTIR. Identifikasi dan Pengumpulan Sampel Daun kepel (Stelechocarpus burahol) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Cilacap pulau Jawa Indonesia. Identifikasi dan spesimen contoh disimpan di Laboratorium Uji Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor. Penentuan Kadar Air (AOAC 2006) Cawan porselin dikeringkan pada suhu 105 ºC selama 30 menit lalu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak 3 g contoh daun kepel dimasukkan dalam cawan dan dipanaskan pada suhu 105 ºC selama 3 jam sampai diperoleh bobot konstan, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Penetapan kadar air ini dilakukan berdasarkan penentuan jumlah bobot kering contoh. Penentuan kadar air dilakukan sebanyak tiga kali ulangan (triplo). Kadar air (%) = A B 100% A Keterangan: A = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) B = bobot contoh setelah dikeringkan (g) Penentuan Kadar Abu (AOAC 2006) Cawan porselin dikeringkan di dalam tanur listrik bersuhu 600 °C selama 30 menit. Selanjutnya cawan didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, kemudian ditimbang bobot kosongnya. Sebanyak 1 g contoh dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dipijarkan di atas nyala api pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi. Setelah itu, dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 600 °C sampai contoh menjadi abu. Setelah abu berwarna putih, cawan yang berisi abu diangkat dari dalam tanur dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Penentuan kadar abu dilakukan sebanyak tiga kali ulangan (triplo). Kadar abu (%) = B 100% A Keterangan: A = bobot contoh (g) B = bobot abu (g) Ekstraksi (Sukadana 2009) Serbuk daun kepel dimaserasi dengan metanol sebanyak 3 kali selama 24 jam. Ekstraksi dilakukan dengan perbandingan 1 g serbuk daun kepel : 10 mL metanol. Ekstrak metanol yang diperoleh dipekatkan dengan penguap putar vakum pada suhu 60 °C sampai diperoleh ekstrak kental metanol. Ekstrak kental metanol disuspensikan kedalam campuran pelarut metanol:air (7:3) kemudian dipartisi dengan n-heksana 25 mL. Ekstrak n-heksana yang diperoleh diuapkan sampai kental, sedangkan bagian metanol:air dipartisi dengan 25 mL kloroform sehingga didapat ekstrak metanol:air dan ekstrak kloroform yang selanjutnya masing-masing ekstrak tersebut diuapkan sehingga diperoleh ekstrak kental metanol:air dan ekstrak kental kloroform. Masing-masing ekstrak kental yang diperoleh (ekstrak kental n-heksana, ekstrak kental kloroform dan ekstrak kental metanol:air) dilakukan uji fitokimia flavonoid. Ekstrak yang positif flavonoid dilanjutkan untuk dipisahkan dan dimurnikan dengan teknik kromatografi kolom. Uji Fitokimia (Harborne 1987) Uji Flavonoid. Sebanyak 0.1 g ekstrak daun kepel yang diperoleh ditambahkan 10 mL air panas kemudian dididihkan selama 5 menit dan disaring. Sebanyak 10 mL filtrat ditambahkan 0.5 g serbuk Mg, 1 mL HCl pekat, dan 1 mL amil alkohol. Campuran dikocok kuat-kuat. Uji positif ditandai dengan munculnya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol. Pemilihan Eluen Terbaik(Houghton & Raman 1998) Pelat kromatografi lapis tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat alumunium jenis silika gel G60F254 dari Merck. Ekstrak daun kepel ditotolkan pada pelat KLT sebanyak 15 kali totolan. Setelah kering, langsung dielusi dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhkan oleh uap eluen pengembang. Eluen yang digunakan yaitu n-heksana, etil asetat, aseton, kloroform, butanol dan metanol. Spot yang dihasilkan dari masingmasing eluen diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Eluen yang menghasilkan spot terbanyak dan terpisah dipilih sebagai eluen terbaik. Jika lebih dari 1 eluen menghasilkan spot terbanyak dan terpisah, maka eluen-eluen 6 tersebut dicampurkan dengan perbandingan mengikuti metode konstruksi segitiga. Fraksionasi Fraksionasi dilakukan dengan pengemasan kolom sebanyak 15 g silika gel untuk memisahkan 1.5 g ekstrak dengan diameter kolom 1 cm dan tinggi kolom 30 cm. Ekstrak daun kepel yang paling banyak mengandung flavonoid dilarutkan dalam metanol:air (7:3). Komponen-komponennya kemudian dipisahkan menggunakan kolom kromatografi dengan elusi isokratik. Eluat ditampung setiap 5 mL dalam tabung reaksi yang telah diberi nomor kemudian diuji dengan KLT. Noda pemisahan dideteksi di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Eluat yang memiliki nilai Rf dan pola KLT yang sama digabungkan sebagai satu fraksi. Semua fraksi yang diperoleh, diuji aktivitas antibakterinya. Fraksi yang memiliki aktivitas antibakteri paling tinggi dipisahkan lebih lanjut menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif sehingga diperoleh fraksi traktif yang memiliki noda tunggal. Pendugaan Senyawa dengan spektrofotometer UV-tampak Sebanyak 1 mg fraksi teraktif dilarutkan dengan metanol, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL dan ditera dengan akuades. Setelah itu, larutan dimasukkan kedalam kuvet dan ditempatkan ke dalam tempat sampel pada alat spektrofometer UV-tampak untuk dianalisis. Pendugaan Senyawa dengan FTIR Sedikit fraksi teraktif (kira-kira 1−2 mg) ditambahkan bubuk KBr murni (kira-kira 200 mg) kemudian diaduk hingga rata. Campuran ditempatkan dalam cetakan dan ditekan dengan menggunakan alat penekan mekanik. Tekanan ini dipertahankan beberapa menit, kemudian sampel (pelet KBr yang terbentuk) diambil dan ditempatkan dalam tempat sampel pada alat spektrofotometer FTIR untuk dianalisis. Uji Aktivitas Antibakteri (Batubara et al 2009) Organisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah Staphylococcus epidermidis. Media yang digunakan trypticase soy broth (TSB). Sebanyak 100 µL medium steril, 40 µL sampel dilarutkan dalam DMSO 20% atau kontrol dan 5 µL inokulum bakteri dimasukkan ke dalam masing-masing sumur (96-well plate). Inokulum telah disiapkan pada konsentrasi 10-2 CFU/mL. S. epidermidis diinkubasi dalam media selama 48 jam pada suhu 37 oC. Konsentrasi ekstrak yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri (bening) secara visual dideskripsikan sebagai konsentrasi hambat minimum (KHM). Sebanyak 100 µL dari media yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri diinokulasikan pada 100 µL media baru. Kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 oC. Konsentrasi yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri setelah inokulasi kedua dideskripsikan sebagai konsentrasi bunuh minimum (KBM). Kontrol negatif yang digunakan adalah DMSO dan kontrol positifnya adalah tetrasiklin dan TCC. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar air dan Kadar Abu Kadar air ditentukan untuk mengidentifikasi banyaknya air yang terkandung dalam sampel sebagai persen bahan kering. Selain itu, penentuan kadar air berfungsi mengetahui masa simpan serbuk kering sampel dan sebagai salah satu syarat bahan baku herbal (Depkes RI 1995). Suatu sampel dikatakan baik dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama apabila memiliki kadar air <10%, karena pada tingkat kadar air tersebut sampel dapat terhindar dari pertumbuhan jamur yang cepat (Soetarno & Soediro 1997). Air yang terkandung dalam serbuk daun kepel dihilangkan dengan pemanasan pada suhu 105 oC. Menurut Harjadi (1993), air yang terikat secara fisik dapat dihilangkan dengan pemanasan pada suhu 100−105 oC. Pada penelitian ini, kadar air serbuk daun kepel diperoleh sebesar 12.79%(b/b) (Lampiran 2). Kadar air tersebut lebih dari 10%, sehingga tidak memenuhi standar mutu MMI (1995). Kadar air dalam suatu sampel dapat dipengaruhi oleh kelembapan udara, cara penyimpanan, dan lama pengeringan. Penentuan kadar abu bertujuan memberikan gambaran kandungan mineralmineral logam dalam daun kepel. Dalam hal ini, serbuk daun kepel dipanaskan hingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap dan tertinggal unsur mineralnya saja. Kadar abu serbuk daun kepel diperoleh sebesar 11.44%(b/b) (Lampiran 3). Dilihat dari standar mutu, hasil tersebut memenuhi standar mutu MMI (1995), yaitu di bawah 12.00%.