5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Prinsip kerja kolektor surya pelat datar adalah memindahkan radiasi matahari ke fluida kerja. Radiasi matahari yang jatuh pada cover (kaca bening) sebagian akan langsung dipantulkan, lalu sebagiannya lagi akan diteruskan ke pelat penyerap. Radiasi yang sampai pada pelat penyerap akan diserap panasnya oleh pelat penyerap kemudian ditransmisikan ke saluran udara dalam kolektor, panas yang diserap oleh pelat penyerap akan digunakan untuk memanaskan fluida kerja yang berupa udara mengalir. Fluida yang sudah panas akan dikeluarkan dari sistem dan dapat digunakan untuk memanaskan material yang akan dikeringkan. Untuk proses perpindahan panas dari radiasi matahari hingga sampai pada fluida kerja terjadi melalui tiga mekanisme perpindahan panas yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. 2.1 Perpindahan Panas Perpindahan panas (heat transfer) adalah ilmu yang meramalkan perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan temperatur, dimana energi yang berpindah tersebut dinamakan kalor atau panas (heat). Panas akan berpindah dari media yang bertemperatur lebih tinggi ke medium yang temperaturnya lebih rendah. Perpindahan panas ini berlangsung terus sampai ada kesetimbangan temperatur diantara kedua media tersebut. Perpindahan panas dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu perpindahan panas secara konduksi, konveksi dan radiasi. 2.1.1 Perpindahan Panas Konduksi Perpindahan panas konduksi adalah merupakan perpindahan panas yang terjadi pada suatu media padat atau pada media fluida yang diam akibat adanya perbedaan temperatur antara permukaan yang satu dengan permukaan yang lain pada media perpindahan panas tersebut. Konsep yang ada pada konduksi adalah merupakan aktivitas atomik dan molekuler. Sehingga peristiwa yang terjadi pada konduksi adalah perpindahan energi 6 dari partikel yang lebih energetik (molekul lebih berenergi/bertemperatur tinggi) menuju partikel yang kurang energetik (molekul kurang berenergi/ bertemperatur lebih rendah), akibat adanya interaksi antara partikel-partikel tersebut. Untuk kondisi perpindahan panas keadaan steady melalui dinding datar satu dimensi seperti ditunjukan pada gambar 2.1 : Gambar 2.1 Perpindahan panas konduksi pada dinding datar Sumber : (Incropera and DeWitt, 1996) Persamaan laju konduksi dikenal dengan Hukum Fourier tentang Konduksi (Fourier Low of Heat Conduction), yang persamaan matematikanya sebagai berikut : qkond = kA dT dx .......................................................................... (2.1) Dimana : qkond = Laju perpindahan panas konduksi (W) k = Konduktivitas termal bahan (W/m.K) A = Luas penampang tegak lurus terhadap arah aliran panas (m ) dT dx = Gradien temperatur pada penampang tersebut (K/m) Tanda negatif (-) diselipkan agar memenuhi hukum kedua termodinamika, yaitu bahwa panas mengalir dari media yang bertemperatur lebih tinggi menuju media yang temperaturnya lebih rendah. 2.1.2 Perpindahan Panas Konveksi Perpindahan panas konveksi adalah perpindahan panas yang terjadi dari suatu permukaan media padat atau fluida yang diam menuju fluida yang mengalir atau 7 bergerak atau sebaliknya akibat adanya perbedaan temperatur. Suatu fluida memiliki temperatur, T, yang bergerak dengan kecepatan, u, di atas permukaan media padat (Gambar 2.2). Temperatur media padat lebih tinggi dari temperatur fluida, maka akan terjadi perpindahan panas konveksi dari media padat ke fluida yang mengalir. Gambar 2.2 Perpindahan panas konveksi dari permukaan media padat ke fluida yang mengalir Sumber : (Incropera and DeWitt, 1996) Laju perpindahan panas konveksi adalah merupakan hukum Newton tentang pendinginan (Newton’s Law of Cooling) yaitu : qkonv = h.As.(Ts - T) .................................................................... (2.2) Dimana : qkonv = Laju perpindahan panas konveksi (W) h = Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2.K) As = Luas permukaan perpindahan panas (m2) Ts = Temperatur permukaan (K) T = Temperatur fluida (K) Menurut aliran fluidanya, perpindahan panas konveksi dapat diklasiflkasikan menjadi : a. Konveksi paksa (forced convection), terjadi bila aliran fluidanya disebabkan oleh gaya luar, seperti: blower, pompa, atau kipas angin. b. Konveksi alamiah (natural convection), terjadi bila aliran fluidanya disebabkan oleh efek gaya apungnya (buoyancy forced effect). Pada fluida, temperatur berbanding terbalik/berlawanan dengan massa jenis (density). Dimana, makin tinggi temperatur fluida maka makin rendah massa jenis fluida tersebut, sebaliknya makin rendah temperatur maka makin tinggi 8 massa jenisnya. Fluida dengan temperatur lebih tinggi akan menjadi lebih ringan karena massa jenisnya mengecil maka akan naik mengapung di atas fluida yang lebih berat. 2.1.3 Perpindahan Panas Radiasi Energi dari medan radiasi ditransportasikan oleh pancaran atau gelombang elektromagnetik (photon), dan asalnya dari energi dalam material yang memancar. Transportasi energi pada peristiwa radiasi tidak harus membutuhkan media, justru radiasi akan lebih efektif dalam ruang hampa. Berbeda dengan perpindahan panas konduksi dan konveksi yang mutlak memerlukan media perpindahan. Besarnya radiasi yang dipancarkan oleh permukaan suatu benda riil (nyata), qrad.g (W), adalah : qrad.g = . . Ts4 .A ..................................................................... (2.3) Sedangkan untuk benda hitam sempurna (black body), dengan emisivitas ( = 1) memancarkan radiasi, qrad.b (W), sebesar : qrad.b = .Ts4. A .......................................................................... (2.4) Dan untuk laju pertukaran panas radiasi keseluruhan antara permukaan dengan sekelilingnya (surrounding), dengan temperatur sekeliling, Tsur, adalah : qrad = . . (Ts4 – Tsur4).A ............................................................. (2.5) Dimana : qrad = Laju pertukaran panas radiasi (W) = Emisivitas (0 1) = Konstanta proporsionalitas dan disebut konstanta Stefan-boltzmann yang nilainya 5,67 x 10-8 (W/m2 K4) A = Luas bidang permukaan (m2) Ts = Temperatur benda (K) Dalam hal ini semua analisis tentang temperatur dalam pertukaran panas radiasi adalah dalam temperatur absolut (mutlak) yaitu Kelvin (K). 2.2 Konstanta Matahari Lapisan luar dari matahari yang disebut fotosfer memancarkan suatu spectrum radiasi yang kontinyu. Untuk maksud yang akan dibahas kiranya cukup untuk 9 menganggap matahari sebagai sebuah benda hitarn, sebuah radiator sempurna pada temperatur 5762 K. Skema letak bumi terhadap matahari ditunjukan oleh gambar 2.3 berikut. Gambar 2.3 Bola matahari Sumber : (Arismunandar Wiranto, 1995) Radiasi yang dipancarkan oleh permukaan matahari, Es, adalah sama dengan hasil perkalian konstanta Stefan-boltzmann, pangkat empat temperatur absolut, Ts4, dan luas . ds2 : Es = . . ds2 . Ts4 (Watt) .......................................................... (2.6) Dimana : Es = Radiasi yang dipancarkan oleh permukaan matahari (W) Ts = Temperatur permukaan (K) ds = Diameter matahari (m) Pada radiasi kesemua arah, lihat gambar 2.3, energi yang diradiasikan mencapai luas permukaan bola dengan matahari sebagai titik tengahnya. Jari-jari R adalah sama dengan jarak rata-rata antara matahari dan bumi. Luas permukaan bola adalah sama dengan 4..R2, dan fluks radiasi, G (W/m2), pada satu satuan luas dari permukaan bola tersebut dinamakan iradiasi. Dari sini didapat persamaan, yaitu : .d s2 .Ts4 G= 4 .R 2 ............................................................................. (2.7) Dengan garis tengah matahari, ds, 1,39 x 109 m, temperatur permukaan matahari, Ts, 5762 K, dan jarak rata-rata antara matahari dan bumi sebesar, R, 1,5 x 1011 m, maka fluks radiasi persatuan luas dalam arah yang tegak lurus pada radiasi tepat atmosfir bumi adalah : G = 5,67 x10 8 W /(m 2 .K 4 ) x (1,39 x10 9 ) 2 m 2 x (5762) 4 K 4 4 x (1,5 x1011 ) 2 m 2 = 1353 W/m2 10 Faktor konversi satuan untuk fluks radiasi yaitu 1,940 cal/cm2; 429 Btu/(jamft2); 4,871 MJ/(M2.jam). 2.3 Radiasi Matahari Bila energi radiasi menimpa permukaan suatu media, maka sebagian energi radiasi tersebut akan di pantulkan (refleksi), sebagian akan diserap (absorpsi), dan sebagian lagi akan diteruskan (transmisi), seperti ditunjukan pada gambar 2.4 dibawah ini : Gambar 2.4. Bagan pengaruh radiasi datang Sumber : (Holman J.P, 1997) Fraksi yang dipantulkan dinamakan refleksivitas (), fraksi yang diserap dinamakan absorsivitas (), dan fraksi yang diteruskan dinamakan transmisivitas (). Pada media bening seperti kaca atau media transparan lainnya, maka : + + = 1 .............................................................................. (2.8) Sedangkan untuk media padat lainnya yang tidak meneruskan radiasi termal dan transmisivitas dianggap nol, sehingga : + = 1 .................................................................................... (2.9) Ada dua fenomena refleksi yang dapat diamati bila radiasi menimpa suatu permukaan. Jika sudut jatuhnya sama dengan sudut refleksi, maka dikatakan refleksi itu spekular (speculer). Dilain pihak, apa bila berkas yang jatuh itu tersebar secara merata kesegala arah sesudah refleksi, maka refleksi itu disebut refleksi baur (difuse). Kedua jenis refleksi itu digambarkan seperti gambar 2.5 berikut : 11 Gambar 2.5. Fenomena refleksi (a) spekular (b) refleksi baur Sumber : (Holman J.P, 1997) Intensitas radiasi matahari akan berkurang oleh karena penyerapan dan pantulan oleh atmosfer, sebelum mencapai permukaan bumi. Ozon di atmosfer menyerap radiasi dengan panjang gelombang pendek (ultraviolet). Sedangkan karbondioksida dan uap air menyerap sebagian radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang (inframerah). Selain pengurangan radiasi bumi langsung (sorotan) oleh penyerapan tersebut, masih ada radiasi yang dipancarkan oleh molekul-molekul gas, debu, dan uap air diatmosfer. Radiasi ini akan mencapai bumi sebagai radiasi sebaran, seperti ditunjukan gambar 2.6. Gambar 2.6. Radiasi sorotan dan radiasi sebaran Sumber : (Arismunandar Wiranto, 1995) Penjumlahan radiasi sorotan atau beam, Ib, dan radiasi sebaran atau difuse, Id, merupakan radiasi total, I, pada permukaan horizontal per jam yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 12 I = Ib + Id .................................................................................... (2.10) Harga I juga dapat diukur dengan menggunakan solar powermeter. 2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Radiasi Matahari di Bumi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan radiasi matahari pada suatu permukaan bumi adalah : a. Posisi matahari b. Lokasi dan kemiringan permukaan c. Waktu matahari d. Keadaan cuaca a. Posisi matahari Sepanjang bumi mengelilingi matahari pada suatu lintasan yang berbentuk elips, yang biasanya disebut dengan bidang “Ekliptika”. Bidang ini membentuk sudut 23,5° terhadap bidang equator. Akibat dari peredaran bumi mengelilingi matahari menimbulkan perubahan-perubahan musim. Untuk di Indonesia terjadi dua perubahan musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi apabila kedudukan matahari paling jauh diselatan untuk belahan bumi bagian utara, ini terjadi pada bulan desember. Kedudukan musim panas yaitu pada waktu kedudukan matahari berada pada titik paling utara, terjadi pada bulan juni. b. Lokasi dan kemiringan permukaan Lokasi dan kemiringan permukaan menentukan besarnya sudut datang radiasi pada permukaan tersebut. Hubungan geometrik antara sebuah permukaan dengan radiasi matahari yang datang dapat dinyatakan dalam beberapa sudut seperti yang ditunjukan pada gambar 2.7 dibawah : 13 Gambar 2.7 Sudut zenith, sudut kemiringan, sudut azimuth permukaan, sudut azimuth surya Sumber : (Duffie and Backman, 1991) Berikut ini adalah beberapa pengertian sudut-sudut dalam hubungannya dengan posisi bumi-surya : = Sudut lintang, sudut lokasi suatu tempat dipermukaan bumi terhadap equator,dimana arah utara-selatan, -90 90 dengan utara positif. = Sudut datang berkas sinar (angel of incident), sudut yang dibentuk antar radiasi langsung pada suatu permukaan dengan garis normal permukaan tersebut. z = Sudut zenith, sudut antara radiasi langsung dari matahari dengan garis normal bidang horisontal. = Sudut kemiringan, yaitu sudut antara permukaan bidang yang dimaksud terhadap horisontal: 0° 180°. = Sudut ketinggian matahari, yaitu sudut antara radiasi langsung dari matahari dengan bidang horizontal. = Sudut jam (hour of angel), sudut antara bidang yang dimaksud dengan horizontal, berharga nol pada saat jam 12.00 waktu surya, setiap jam setara dengan 15, kearah pagi negatif dan kearah sore positif. 14 = Sudut azimuth permukaan, antara proyeksi permukaan pada bidang horizontal dengan meridian, titik nol diselatan, negatif timur, positif barat. s = Sudut azimuth surya, adalah pergeseran angguler proyeksi radiasi langsung pada bidang datar terhadap arah selatan. = Deklinasi, posisi anguler matahari dibidang equator pada saat jam 12.00 waktu matahari. Sudut deklinasi dapat juga ditentukan dengan rumus: 284 n = 23,45 sin 360 365 ini menurut Cooper (1969). Dimana n adalah nomer urutan hari dalam satu tahun dimulai 1 januari. Untuk sudut pada permukaan yang dimiringkan ke selatan maupun ke utara mempunyai hubungan anguler pada seperti permukaan datar pada lintang ( - ). Untuk belahan bumi bagian utara hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 2.8. Gambar 2.8 Bagian bumi yang menunjukan , , dan (-) untuk belahan utara Sumber : (Duffie and Backman, 1991) c. Waktu matahari Perhitungan intensitas matahari pada saat tertentu umumnya didasarkan pada waktu matahari, yaitu waktu tertentu dalam hubungannya dengan matahari yang didasarkan pada garis bujur lokasi tersebut. Waktu matahari dihitung dengan persamaan sebagai berikut : ts = waktu standar + E + 4 (Lst-Lloc) ............................................. (2.11) 15 Dimana : E = 9,87 sin 2B-7 cos B – 1,5 sin B B = 360(n 81) 364 Lloc = Garis bujur lokasi Lst = Garis bujur waktu standar d. Keadaan cuaca Jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi dipengaruhi oleh faktor transmisi kandungan atmosfer. Di atmosfer radiasi matahari diserap oleh unsur-unsur Ozon, uap air, dan karbondioksida. Disamping diserap, radiasi matahari juga dihamburkan oleh partikel-partikel seperti udara, uap air, dan debu. Pada kenyataannya radiasi matahari sering dihalangi oleh bermacam-macam tipe awan. Masing-masing tipe awan mempunyai koefisien transmisi sendiri-sendiri. Jadi untuk meramalkan radiasi matahari di bumi perlu diketahui pula tipe awan dan ketebalannya. 2.4 Kolektor Surya Pelat Datar Standar Kolektor surya pelat datar standar memiliki kontruksi yang hampir sama dengan kolektor surya pelat datar yang sudah divariasikan atau dimodifikasi. Kolektor surya pelat datar standar memiliki komponen yang hampir sama yaitu, kaca bening (cover), pelat penyerap dan isolasi. 2.4.1 Karakteristik Bagian-Bagian Penting Kolektor Surya Pelat Datar Standar Komponen-komponen sebuah kolektor surya pelat datar terdiri dari penutup tembus cahaya (transparan) yang berfungsi untuk menimbulkan efek rumah kaca. Gelombang radiasi yang dipancarkan matahari memiliki panjang yang mampu menembus penutup transparan, tetapi beberapa gelombang radiasi panas yang dipantulkan oleh pelat penyerap lebih pendek, sehingga akan dapat dipantulkan kembali. Perubahan sifat panjang gelombang ini sangat diharapkan, sebab dengan demikian penutup tersebut akan menjadi penghalang radiasi antara pelat penyerap dengan lingkungan yang lebih dingin, sementara masih meneruskan radiasi matahari. Permukaan “hitam” sebagai penyerap energi radiasi matahari yang kemudian dipindahkan ke fluida. Saluran fluida kerja berfungsi untuk mengalirkan fluida yang 16 akan dipanaskan serta isolasi untuk mengurangi kerugian panas (losses) ke lingkungan. Skema kolektor surya pelat datar ditunjukkan pada gambar 2.9. Gambar 2.9 Skema kolektor surya pelat datar standar Adapun krakteristik bagian-bagian penting dari kolektor surya pelat datar adalah sebagai berikut : a. Penutup transparan Penutup transparan di harapkan memiliki sifat transmisivitas yang tinggi dan sifat absorsivitas serta refleksivitas serendah mungkin. Refleksivitas (daya pantul) tergantung pada indek bias dan sudut datang yang dibentuk oleh sinar datang terhadap garis normal permukaan. Sedangkan transmisivitas suatu permukaan dapat mempengaruhi intensitas energi matahari yang diserap oleh pelat penyerap. Transmisivitas kaca akan menurun bila sudut datangnya melebihi 45° terhadap vertical. Sedangkan absorsivitas akan bertambah sebanding dengan panjang lintasan pada penutup transparan, sehingga bagian yang diteruskan menjadi berkurang. b. Pelat penyerap Pelat penyerap yang ideal memiliki permukaan dengan tingkat absorsivitas yang tinggi guna menyerap radiasi matahari sebanyak mungkin dan tingkat emisivitas yang serendah mungkin agar kerugian panas karena radiasi balik sekecil mungkin disamping itu pelat penyerap diharapkan memiliki konduktivitas thermal (K) yang tinggi. c. Isolasi (Isolation) Merupakan material dengan sifat konduktivitas termal (K) dipergunakan untuk menghindari terjadinya kehilangan panas kelingkungan. rendah, 17 2.4.2 Radiasi yang Diserap Kolektor Surya Pada kolektor surya untuk pemanas udara, radiasi matahari tidak akan sepenuhnya diserap oleh pelat penyerap. Sebagian dari radiasi itu akan dipantulkan (refleksi) menuju bagian dalam penutup transparan. Dan penutup transparan ini beberapa akan dipantulkan kembali dan sebagian lainnya akan terbuang kelingkungan. Proses penyerapan radiasi matahari oleh kolektor akan diperlihatkan pada gambar 2.10. Gambar 2.10 Penyerapan radiasi matahari oleh kolektor Berkas radiasi matahari yang menimpa kolektor, pertama akan menembus penutup transparan kemudian menimpa pelat penyerap. Sebagian radiasi akan dipantulkan kembali menuju penutup dan sebagian lagi diserap pelat penyerap. Radiasi yang menuju ke penutup kemudian dipantulkan kembali menuju penyerap, sehingga terjadi proses pemantulan berulang. Simbul menyatakan transmisivitas penutup, menyatakan absorsivitas anguler penyerap dan d menyatakan refleksivitas radiasi hambur dari penutup. Dari energi yang menimpa masuk kolektor, maka ( ) adalah energi yang diserap oleh pelat penyerap, dan sebesar (1 – ) dipantulkan menuju penutup. Pantulan yang mengenai penutup tersebut merupakan radiasi hambur, sehingga energi yang sebesar (1 – ) d kemudian dipantulkan kembali oleh penutup menuju pelat penyerap. Proses pemantulan tersebut akan berulang terus. Dan besarnya energi maksimum yang diserap oleh kolektor adalah : n () = (1 ) d n 0 1 (1 ) d .................................... (2.12) 18 Untuk mendekatkan perhitungan kolektor dapat digunakan : ()ave 1,01 ......................................................................... Perkalian antara transmittance-absorptance product (2.13) rata-rata ()ave, didefinisikan sebagai perbandingan radiasi matahari yang terserap, S, terhadap radiasi matahari yang menimpa kolektor , IT. Sehingga radiasi matahari yang diserap oleh permukaan pelat penyerap adalah : S = ()ave .IT .............................................................................. (2.14) Seorang ilmuwan, Klein (1979) seperti dikutip dari Ref. [6], menyatakan dengan sudut datang radiasi , pada kolektor surya yang menggunakan hubungan penutup kaca dengan indeks bias 1,526 seperti tampak pada gambar 2.11. Gambar 2.11 Grafik hubungan antara sudut timpa dengan transmisivitas Sumber : (Duffie and Backman, 1991) 2.5 Rancangan Kolektor Surya Pelat Datar dengan Pelat Pengganggu yang Disusun Aligned Rancangan kolektor surya pelat datar dengan pelat sebagai pengganggu laju aliran fluida yang disusun aligned memiliki kontruksi yang hampir sama dengan kolektor surya pelat datar biasa. Bedanya terdapat pada saluran udara mengalir, diberikan pengganggu aliran berupa pelat melintang yang disusun aligned. Penambahan pelat pengganggu laju aliran diletakkan diantara pelat penyerap dengan pelat bawah. 2.5.1 Aliran Laminer dan Turbulen pada Pelat Hal pertama yang sangat penting dalam memperhatikan semua persoalan konveksi adalah menentukan apakah lapisan batas tersebut adalah laminer dan 19 turbulen. Gesekan permukaan dan laju perpindahan panas. Konveksi sangat tergantung pada keberadaan kondisi tersebut. Gambar 2.12 Pengembangan lapisan batas kecepatan pada pelat datar Ada perbedaan antara kondisi aliran laminer dan turbulen. Pada lapisan batas laminer, pergerakan fluida adalah sangat teratur dan memungkinkan untuk mengidentifikasaikan pergerakan partikel memanjang garis stramline dikarakteristikan oleh komponen kecepatan pada kedua arah (x) dan (y). Sedangkan pergerakan fluida pada lapisan batas turbulen sangat tidak teratur dan dikarakteristikan oleh fluktuasi kecepatan. Fluktuasi ini menambah perpindahan momentum, panas atau species, karena itu menambah gesekan permukaan, begitu pula menanbah laju perpindahan panas konveksi. Sebagai akibat hasil pencampuran dari fluktuasi, ketebalan, lapisan batas turbulen adalah lebih besar dan profil lapisan batas (kecepatan, temperatur, dan konsentrasi) adalah lebih datar daripada aliran laminer. w b Aliran udara Gambar 2.13 Penampang lintang pemanas udara Sumber : (Arismunandar Wiranto, 1995) 20 = . . ........................................................................ (2.15) Untuk saluran tidak berpenampang lingkaran, seperti pemanas udara surya dengan penampang-lintang yang lebar dan sempit,(gambar 2.13), diameter pipa D dapat diganti dengan diameter hidrolik, Dh. Untuk saluran segi empat panjang seperti terlihat dalam gambar 2.13, dengan b kecil dibandingkan dengan w (b,w, dengan b/w=1/50 atau (lebih kecil). Maka Reynold number yang digunakan adalah : = =2 ....................................................................... (2.16) 2.5.2 Sirip (fin) Istilah permukaan yang diperluas secara umum digunakan pada benda padat yang mengalami transfer energi melalui konduksi sesuai kondisi batasnya dan transfer energi yang sama akan dilakukan kelingkungannya melalui konveksi dan/atau radiasi. Untuk meningkatkan laju perpindahan dapat dilakukan dengan menambah luas penampang permukaan, dimana konveksi terjadi. Cara ini dapat dilakukan dengan menggunakan sirip yang meluas dari permukaan media padat ke dalam fluida yang berada di sekelilingnya seperti ditunjukan pada gambar 2.14. Gambar 2.14 Kegunaan sirip untuk memperbesar perpindahan panas media padat Sumber : (Incropera and DeWitt, 1996) 21 A. Analisis Konduksi Umum Bentuk umum dari persamaan energi untuk kondisi satu dimensi pada permukaan yang diperluas atau sirip adalah : d 2T 1 dAc dT 1 h dAs (T T ) 0 dx 2 Ac dx dx Ac k dx Dimana : ..................... (2.17) Ac = Penampang melintang yang bervariasi dengan x As = Luas permukaan dari pangkal sirip sampai x T∞ = Temperatur sekeliling B. Sirip dengan Luas Penampang Melintang Seragam Sirip dengan luas pempang seragam dimana terjadi kombinasi antara konduksi dengan konveksi dalam elemen struktur dapat ditunjukan pada gambar 2.15 berikut. Gambar 2.15 Sirip dengan luas penampang seragam Sumber : (Incropera and DeWitt, 1996) Tipe sirip yang mempunyai penampang segi empat luasnya dapat dinyatakan sebagai perkalian tebal sirip (t) dan lebar (w). Situasi pertama, kasus A, memperhatikan perpindahan panas konveksi dari ujung sirip. Dengan mengetahui distribusi temperatur , θ (x),maka laju perpindahan panas dari sirip, , dapat dihitung, dan memberikan : 22 q f hPkAc b sinh m h mk cosh mL ................................ (2.18) cosh mL h mk sinh mL Kondisi ujung kedua , kasus B, berhubungan dengan asumsi, bahwa kehilangan panas konveksi dari ujung sirip diabaikan. Pada kasus ini ujung sirip diperlakukan sebagai adiabatik. Menggunakan distribusi temperatur ini, laju perpindahan panas sirip adalah : q f hkAc b tanh mL ............................................................. (2.19) Kondisi ujung ketiga, kasus C, Didapatkan distribusi temperatur sirip dan laju perpindahan panas, dimana pada ujung ditentukan. Dengan demikian kondisi batas kedua adalah θ (L) = θ , hasilnya dapat dinyatakan dalam suatu persamaan sebagai berikut : q f hPkAc b cosh mL L b sinh mL ........................................... (2.20) Kondisi keempat, kasus D, sirip panjang sekali L→ ∞, L → 0, didapatkan : e mx , b q f hPkAc b ............................................. (2.21) Efektivitas sirip (Effectiveness fin, ) didefinisikan sebagai perbandingan antara laju perpindahan panas dari sirip dengan laju perpindahan panas tanpa sirip. Ef qf hAc ,b b Dimana , .......................................................................... (2.22) adalah luas penampang melintang pada pangkal sirip. 23 Gambar 2.16 Effisiensi dari sirip lurus (bentuk rectangular, triangular, dan parabolic) Sumber : (Incropera and DeWitt, 1996) Pada pembahasan selanjutnya, akan digunakan asumsi kondisi sirip pada kondisi kondisi ke-2 (kasus B). Hal ini disebabkan ketebalan dari sirip yang sangat kecil jika dibandingkan dengan dengan luas permukaannya. 2.5.3 Kolektor Surya Pelat Datar dengan Pelat Pengganggu Disusun Aligned Kolektor surya pelat datar ini memiliki rancangan yaitu, fluida mengalir diantara pelat penyerap dengan pelat bawah. Sedangkan pada bagian atas pelat penyerap, fluida dikondisikan diam. a. Skema Kolektor Skema kolektor surya pelat datar ini ditunjukan pada gambar 2.17 Gambar 2.17 Skema kolektor surya dengan pelat pengganggu yang disusun aligned 24 b. Tahanan Thermal Untuk tahanan thermal pada kolektor di atas ditunjukan pada gambar 2.18 berikut ini : Ta 1 Keterangan : hc c a = Temp. ambient Tc = Temp. cover Tp = Temp. pelat penyerap Ps = Temp. pelat samping 1 hra p TC 1 Ta Tb = Temp. pelat pengganggu hc c p Tf = Temp. Udara dalam Tpb = Temp. Pelat bawah Qu = Energi berguna Tp k 1 x p s Ps k k 1 hcs b Tb 1 x s b hcb f x s pb 1 ℎ = Perpindahan panas konveksi 1 ℎ = Perpindahan panas radiasi ∆ = Perpindahan panas konduksi hc p f QU Tf 1 hc pb f Tpb Gambar 2.18 Rangkaian thermal c. Kesetimbangan Energi - Kesetimbangan energi pada cover : 1. Radiasi dari lingkungan ke pelat penyerap 1 ℎ 2. Konveksi dari cover ke lingkungan 1 ℎ . − 3. Konveksi dari cover ke pelat penyerap 1 ℎ − − . . 25 - Kesetimbangan energi pada pelat penyerap : 1. Konduksi dari pelat penyerap ke pelat samping 2. Konveksi dari pelat penyerap ke fluida kerja 1 ℎ - . − Kesetimbangan energi pada pelat pengganggu : 1. Konduksi dari pelat samping ke pelat pengganggu . − Kesetimbangan energi pada pelat bawah : 1. Konduksi dari pelat samping ke pelat bawah 2. Konveksi dari pelat bawah ke fluida kerja 1 ℎ 2.6 . − 2. Konveksi dari pelat pengganggu ke fluida kerja 1 ℎ - . − . − − . Energi Berguna dan Effisiensi Kolektor Surya Energi yang berguna dipakai untuk menghitung seberapa besar panas yang berguna yang ditimbulkan kolektor surya. Sedangkan effisiensi digunakan untuk menghitung performansi atau unjuk kerja dari kolektor surya. 2.6.1 Energi Berguna Kolektor Surya Untuk perhitungan energi yang diserap atau energi yang berguna pada kolektor surya dapat digunakan persamaan : = ̇. Dimana : .( − ) ................................................................... (2.23) = Panas berguna (W) ̇ = Laju alir massa fluida (kg/s) Cp = Kapasitas panas jenis fluida (J/kg.oC) To = Temperatur fluida keluar (oC) Ti = Temperatur fluida masuk (oC) 2.6.2 Effisiensi Kolektor Surya Effisiensi kolektor merupakan perbandingan panas yang diserap oleh fluida atau energi berguna dan intensitas matahari yang mengenai kolektor. Performansi dari kolektor dapat dinyatakan dengan effisiensi thermalnya. Akan tetapi, intensitas 26 radiasi matahari berubah terhadap waktu, oleh karena itu effisiensi termal kolektor dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : 1. Instantaneous efficiency atau effisiensi sesaat adalah effisiensi keadaan steady untuk selang waktu tertentu. 2. Long term atau all-day efficiency adalah effisiensi yang duhitung dalam jangka waktu yang relatif lama (biasanya per hari atau per bulan). Performansi secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh performansi dari kolektor. Oleh sebab itu, ada dua cara pengujian sistem kolektor surya, yaitu : 1. Pengujian untuk menentukan performansi kolektor 2. Pengujian untuk menentukan performansi sistem secara keseluruhan Dalam penelitian ini pengujian dilakukan hanya untuk menentukan performansi dari kolektor saja. Metode yang digunakan adalah Long term atau allday efficiency adalah effisiensi yang dihitung dalam jangka waktu yang relatif lama (per hari). Sehingga effisiensi dari kolektor dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut : = Dimana : . = ̇. .( ) . ..................................................... (2.24) = Effisiensi kolektor = Panas berguna (W) ̇ = Laju alir massa fluida (kg/s) Cp = Kapasitas panas jenis fluida (J/kg.oC) To = Temperatur fluida keluar (oC) Ti = Temperatur fluida masuk (oC) AC = Luas bidang penyerapan kolektor (m2) IT = Radiasi surya yang jatuh pada bidang kolektor (W/m2) 2.7 Laju Aliran Massa Sasaran dalam pengujian yang dilakukan adalah mengetahui perfomansi dari kolektor surya pelat datar dengan pengganggu laju aliran fluida berupa pelat melintang yang disusun sebaris (aligned). Untuk mengetahui laju aliran massanya dapat diketahui dari tinggi atau rendahnya perubahan ketinggian dari manometer pada saat pengujian. 27 Gambar 2.19 Inclined manometer - Menghitung laju aliran massa : Menghitung perbedaan ketinggian fluida manometer : h sin .r ................................................................................... (2.25) Menghitung kecepatan udara : 2.g.h ..................................................................................... (2.26) Menghitung luas pipa saluran masuk fluida kerja : Ap 1 .D p 2 4 ................................................................................ (2.27) Setelah didapatkan kecepatan udara dan luas pipa maka dapat dihitung laju aliran massanya : m . u . A p ..................................................................... (2.28) Dimana : ∆ℎ = Perbedaan ketinggian = Sudut kemiringan ( o ) r = Jarak ketinggian V = Kecepatan udara (m/s) Ap = Luas pipa saluran udara (m2) Dp = Diameter pipa (m) Setelah itu langkah-langkah perhitungan untuk effisiensi aktual, mengikuti alur perhitungan pada diagram alir perhitungan (gambar 3.5) dan menggunakan persamaan-persamaan yang telas dijelaskan.