4 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Mawar Mawar berasal dari dataran Cina, Timur Tengah dan Eropa Timur. Dalam perkembangannya, menyebar luas di daerah-daerah beriklim dingin (sub-tropis) dan panas (tropis) (Diamond, 1990). Terdapat ribuan varietas dari mawar, masingmasing memiliki aroma yang berbeda-beda, jumlah petal yang berbeda, begitu juga warna dan nama yang berbeda. Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), mawar diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub-Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rosanales Famili : Rosaceae Genus : Rosa Mawar termasuk tanaman tahunan (perennial) yang mempunyai struktur batang berkayu keras, berduri, bercabang banyak, menghasilkan bunga dan biji terus-menerus (Rukmana, 1995). Selama siklus hidupnya, tanaman mawar terus tumbuh seolah-olah tidak terbatas dan masa produksinya berulang-ulang. Mawar berdasarkan cara tumbuhnya dibedakan menjadi dua, yaitu merambat dan semak. Tipe pertumbuhan semak dibagi dalam tiga kelompok yaitu polyantha, floribunda dan hybrid tea (Dole dan Wilkins, 2005). Mawar mini termasuk dalam kelompok polyantha. Widyawan dan Prahastuti (1994) menyatakan bahwa Polyantha merupakan jenis mawar taman yang sangat beraneka ragam, bunganya kecil dengan garis tengah sekitar 5 cm dan di dekat pucuk cabangnya terdapat banyak ranting yang masing-masing memiliki sekuntum bunga. Mattjik (2009) menambahkan bahwa Polyantha merupakan tanaman semak pendek (50-60 cm), memiliki ciri menghasilkan bunga terus-menerus, bunganya bergerombol dengan 5 ukuran kecil, diameter bunga ± 5 cm, daun bunga kelipatan 5 dan warna bunga biasanya merah, kuning, putih, merah jambu, salmon dan orange. Meskipun mawar memiliki sangat banyak jenis yang berbeda-beda, namun hanya sedikit yang dapat dijadikan tanaman pot. Polyantha sejauh ini merupakan kelompok yang paling baik untuk dijadikan tanaman pot berdasarkan ukuran tanaman, bentuk dan tampilan bunganya (Hammer, 1992). Kegunaan dan Syarat Tumbuh Mawar Mawar merupakan salah satu tanaman hias bunga yang paling terkenal di dunia (Dole dan Wilkins, 2005). Permintaan tanaman hias mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Meningkatnya permintaan tanaman hias di dalam negeri disebabkan oleh semakin meningkatnya kesejahteraan dan tanggapan masyarakat terhadap kenyamanan dan keindahan lingkungan (Ashari, 1995). Tabel 1. Produksi Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2006-2010 Tanaman Krisan Mawar Sedap malam Anggrek 2006 63 716 256 40 394 027 30 373 679 10 703 444 2007 66 979 260 59 492 699 21 687 493 9 484 393 Tahun (Tangkai) 2008 2009 99 158 942 107 847 072 39 131 603 60 191 362 25 180 043 51 047 807 15 430 040 16 205 949 2010 120 485 784 82 643 413 59 340 715 16 897 181 Sumber: www.bps.go.id Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah produksi mawar terus mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2010. Pada tahun 2010 jumlah produksi mawar menduduki peringkat kedua setelah krisan, yaitu 120 485 784 tangkai. Peningkatan produksi tersebut merupakan dampak dari peningkatan permintaan konsumen terhadap tanaman mawar. Widyawan dan Prahastuti (1994) menyatakan bahwa mawar termasuk bunga yang paling disenangi di seluruh dunia dan sering dipakai sebagai lambang keindahan, ketenangan, kedamaian, dan pemujaan juga dapat dimanfaatkan sebagai bunga potong dan tanaman hias, serta sebagai bunga tabur dan bahan industri kosmetika atau pewangi makanan. Dole dan Wilkins (2005) menambahkan bahwa mawar biasanya dimanfaatkan sebagai bunga potong, 6 tanaman hias dalam pot atau tanaman bedengan. Bunga merupakan hasil utama tanaman mawar. Gardner et al. (1985) menyatakan bahwa proses pembungaan sangat dikendalikan oleh lingkungan terutama fotoperiode, suhu dan faktor genetik terutama pengatur tumbuhan, hasil fotosintesa dan pasokan hara. Tanaman mawar dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi di daerah tropis (Mattjik, N. A., 2009). Tanaman mawar yang dibudidayakan di daerah yang beriklim sejuk (dataran tinggi) warna bunganya lebih cerah dengan ukuran bunga yang lebih besar (Ashari, 1995). Mawar dapat ditanam di lapang maupun di rumah kaca. Cahaya, suhu dan karbon dioksida merupakan faktor yang perlu diperhatikan untuk mawar yang ditanam di rumah kaca. Karena cahaya, suhu dan karbon dioksida merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mawar yang tumbuh di dalam rumah kaca (Dole dan Wilkins, 2005). Mattjik (2009) menyatakan bahwa tanaman mawar merupakan tanaman terbuka (full sun), membutuhkan intensitas cahaya sampai 3000 fc, dengan lama penyinaran 12 jam untuk daerah tropis. Cahyono (1990) menyatakan bahwa tanaman mawar membutuhkan cahaya/penyinaran matahari penuh sepanjang hari, karena bila tempatnya terlindung akan mudah terserang cendawan dan pertumbuhannya kurang baik. Bila ditanam di rumah kaca intesitas cahaya yang dibutuhkan antara 300-1000 fc (60-200 µmol m-2 s-1) (Dole dan Wilkins, 2005). Mawar mini dapat tumbuh dengan baik pada suhu 18-24 °C, suhu yang baik untuk pengakaran mawar yaitu 23-24 0C dan umumnya memerlukan karbon dioksida 700-1000 ppm (Dole dan Wilkins, 2005). Kelembaban udara yang baik untuk tanaman mawar sekitar 60-75%. Beberapa penyakit yang menjadi masalah bagi tanaman mawar adalah bercak daun cendawan (Fungus leaf spot), Embun tepung (powdery mildew), karat (Rust), dan tumor atau puru (Crown gall) (Mattjik, N. A., 2009). Sanitasi dan pengendalian lingkungan merupakan hal yang mutlak diperlukan pada produksi mawar pot (Dole dan Wilkins, 2005). 7 Setek Tanaman dapat diperbanyak secara seksual dengan biji, atau secara aseksual dengan setek, sambung, okulasi atau dengan cara vegetatif lain (Alam dan Chong, 2006). Pada tanaman mawar perbanyakan dengan biji membutuhkan waktu yang relatif lama dan biasanya dilakukan hanya untuk kegiatan pemuliaan. Konemann (2004) menyatakan bahwa untuk dapat berkecambah dengan baik, benih mawar membutuhkan perlakuan stratifikasi selama 8-12 minggu sebelum ditanam. Dole dan Wilkins (2005) menambahkan bahwa biji hanya digunakan untuk kegiatan pemuliaan atau proyek genetik. Perbanyakan dengan okulasi membutuhkan keahlian khusus yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah terampil. Keterbatasan sistem okulasi yaitu membutuhkan batang bawah yang tepat untuk menunjang pertumbuhan selanjutnya, serta bibit yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu terbatas jumlahnya (Hasek, 1980). Perbanyakan dengan setek dilakukan jika ingin memperoleh tanaman yang sama dengan induk, dengan waktu yang lebih singkat dan tidak memerlukan suatu keahlian khusus. Setek merupakan proses perbanyakan tanaman menggunakan bagian vegetatif dan ketika ditempatkan pada kondisi yang sesuai akan berkembang menjadi tanaman sempurna (Adriance dan Brisco, 1979). Setek terbagi atas setek akar, batang dan daun. Setek batang terdiri dari hardwood, semi hardwood, softwood, dan herbaceous setek. Perbanyakan dengan setek digunakan secara luas untuk tujuan komersial pada banyak industri bunga, industri tanaman hias daun, dan untuk perbanyakan spesies buah tertentu. Perbanyakan dengan setek merupakan merupakan salah satu cara perbanyakan yang penting untuk regenerasi klon dari banyak tanaman hortikultura termasuk di dalamnya buah, bunga dan tanaman hias (Hartmann, 1990). Faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan setek adalah kondisi fisiologis tanaman induk (stock plant), umur tanaman induk, jenis bahan setek, waktu pengambilan setek, zat pengatur tumbuh (ZPT), adanya tunas dan daun, umur bahan setek, dan kondisi lingkungan (Dawson dan King, 1994). Adriance dan Brisco (1979) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kedewasaan jaringan yang disetek dengan dan kecepatan membentuk akar, Jika 8 setek terlalu lunak dan muda, lebih mudah mengalami transpirasi dan tidak tahan kebusukan dan jika jaringan terlalu tua diperlukan waktu yang lama untuk pengakaran. Dole dan Wilkins (2005) menambahkan bahwa pengakaran akan lambat dan perbanyakan akan tertunda jika setek terlalu tua. Pembentukan akar adventif terdiri dari beberapa tahap, yaitu inisiasi sel-sel meristematik, diferensiasi sel-sel meristematik tersebut menjadi akar primordia, serta pertumbuhan dan perkembangan akar baru (Hartmann, 1990). Pada masa pengakaran lingkungan tumbuh diusahakan untuk tetap terjaga kelembabannya. Seringkali munculnya akar didahului oleh pembentukan kalus, akan tetapi adanya kalus tak merupakan tanda bahwa setek dapat menghasilkan akar (Hartman, 1990). Kalus adalah kumpulan sel parenkim yang bentuknya tidak beraturan dalam tahap lignifikasi yang bervariasi. Pembentukan kalus dan pembentukan akar tersendiri satu dengan lain, meskipun keduanya berhubungan dengan pembelahan sel (Hartman, 1990). Lakitan (1996) menambahkan bahwa pembentukan akar adventif dapat timbul dari dua sumber: 1) jaringan kalus (wounded root). Akar yang keluar dari jaringan kalus akan lebih kuat dan lebih baik daripada akar yang keluar dari setek yang tidak berkalus. 2) bakal akar (morfologi atau akar primordial). Akar primer dari kalus muncul di daerah kambium vaskular (Febrijanti, 1999). Akar merupakan bagian tumbuhan yang biasanya tertanam di dalam tanah sebagai penegak dan penyerap air dan hara. Fungsi dari akar adalah menyerap unsur hara dan air yang diperlukan dalam metabolisme tanaman (Sitompul & Guritno, 1995). Menurut Schuurman dan Goedewaagen (1971) bahwa jumlah akar menunjukkan kemampuan dalam melakukan penyerapan unsur hara. Tanaman dengan jumlah akar yang banyak akan meningkatkan penyerapan unsur hara dan air yang dapat mendukung pertumbuhan dari tanaman pula. Hartmann et al., (1997) menambahkan bahwa akar sebagai organ tumbuh geotrofik, selain berfungsi sebagai penegak batang, juga berperan sebagai organ penghisap hara dalam mendukung laju pertumbuhan. Perakaran yang baik akan mampu menopang pertumbuhan dari tanaman. Panjang akar menunjukkan batas kemampuan tanaman untuk menjangkau wilayah tertentu dalam penyerapan unsur hara, sehingga semakin panjang akar 9 memungkinkan setek untuk menyerap unsur hara, mineral dan air lebih banyak daripada akar yang pendek (Schuurman dan Goedewagen, 1971). Semakin bertambah panjang akar maka tanaman akan lebih kokoh dan air serta garamgaram mineral di dalam media tumbuh akan mudah diserap untuk disalurkan ke batang dan daun (Darliah, et al., 1994). Suhu dan kelembaban merupakan hal yang penting dalam pengakaran. Salah satu hal yang dapat menjaga kelembaban tanaman adalah dengan memberikan irigasi yang teratur. Irigasi semprot dan pengkabutan menyemprotkan air langsung ke setek untuk mengurangi transpirasi dan menjaga turgiditas setek sehingga memungkinkan perkembangan akar (Dole dan Wilkins, 2005). Penyemprotan pada siang hari dapat menyebakan kelembaban yang berlebihan, sehingga dapat menghambat pengakaran dan memacu perkembangan pathogen (Dole dan Wilkins, 2005). Sanitasi dan pengendalian lingkungan merupakan pencegahan terhadap perkembangan pathogen yang menyebabkan penyakit. Penyakit harus dikendalikan pada semua tahap pertumbuhan. Selanjutnya, karena setek diambil dari tanaman produksi, penyakit seringkali ikut terbawa ke keturunan berikutnya (Dole dan Wilkins, 2005). Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (< 1 µM) dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan (Wattimena, 1988). Ahli biologi tumbuhan telah mengidentifikasi 5 tipe utama zat pengatur tumbuh yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat, dan etilen. Menurut Weaver (1972) terdapat 3 cara aplikasi zat pengatur tumbuh yang sering digunakan yaitu: (1) commercial powder preparation (pasta), (2) dilute solution soaking method (perendaman), dan (3) concentrated solution dip method (pencelupan cepat). Pemakaian zat pengatur tumbuh pada setek dapat menstimulasi akar, meningkatkan presentase pengakaran dan memberikan keseragaman waktu perakaran. Auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang menstimulasi pengakaran. 10 Zat pengatur tumbuh yang paling baik untuk merangsang akar adalah IBA dan NAA (Weaver, 1972). IBA memiliki aktivitas auksin yang lemah, zat kimia bersifat stabil dan tetap berada pada daerah pemberian perlakuan, translokasinya lemah berlangsung lebih lambat sehingga bahan aktifnya akan tertahan di dekat tempat aplikasinya dan NAA memiliki sifat lebih beracun dari IBA dengan penggunaan konsentrasi yang tinggi harus dihindari karena dapat menyebabkan pelukaan pada tanaman (Weaver, 1972). Auksin Auksin merupakan kelas hormon tumbuhan yang pertama kali ditemukan, awalnya diketemukan pada urine manusia. Istilah auksin berasal dari bahasa Yunani auxein yang berarti tumbuh (Arteca, 2006). Sintesis auksin terjadi di daun, diangkut melalui sel, pergerakannya sampai ke batang. Pengangkutan dari batang ke akar mungkin juga melalui jaringan floem (Zong, et al., 2008). Auksin adalah satu-satunya kelas hormon tumbuhan yang mempengaruhi pengakaran dan digunakan secara komersial untuk menstimulasi pengakaran adventif (Arteca, 2006). Zong et al. (2008) menambahkan bahwa peran utama auksin pada perbanyakan tanaman adalah menstimulasi akar pada setek batang dan daun dan meningkatkan cabang akar. Kegunaan dari hormon pengakaran yaitu secara keseluruhan meningkatkan persentase pengakaran, mempercepat inisiasi pengakaran, meningkatkan jumlah dan kualitas dari akar, dan mendorong pengakaran yang seragam (Macdonald, 2002). Auksin yang secara alami ada dalam tubuh tumbuhan adalah Indole-3Acetic Acid (IAA), namun IAA tidak digunakan secara komersil (Arteca, 2006). Zong et al. (2008) menyatakan bahwa semenjak diketahui bahwa IAA cepat rusak dengan cahaya dan mikroorganisme, IAA tidak digunakan lagi secara luas dalam perbanyakan tanaman. Arteca (2006) menyatakan bahwa IBA (indole-3-butyric acid) dan NAA (naphthalene acetic acid) merupakan dua macam auksin yang paling sering digunakan untuk pembentukan akar adventif. NAA memiliki sifat yang lebih tahan, tidak terdegradasi dan lebih murah. Menurut Zaer dan Mapes (1985), NAA memiliki sifat lebih stabil dibanding IAA dan tidak mudah teroksidasi oleh enzim. 11 Zong et al. (2008) menambahkan bahwa IBA dan NAA lebih tahan terhadap degradasi mikroba dan tanaman, IBA dan NAA terlihat lebih baik dan efektif lebih lama daripada IAA dan oleh karena itu digunakan secara lebih luas pada industri hortikultura untuk perbanyakan tanaman. Auksin pada konsentrasi rendah akan memacu pertumbuhan akar adventif sedangkan pada konsentrasi tinggi mendorong terbentuknya kalus (Pierik, 1987). Zong et al. (2008) menambahkan bahwa meskipun dibutuhkan dan berguna untuk menginduksi akar primordial, auksin pada konsentrasi yang tinggi seringkali menghambat pertumbuhan akar primordial dan pemanjangan akar pada setek batang dan mikrosetek. Arteca (2006) menyatakan bahwa auksin terlibat dalam banyak proses fisiologi tanaman seperti menginduksi pemanjangan sel, fototropisme, gravitropisme, dominansi apikal, inisiasi akar, produksi etilen, perkembangan buah, ekspresi seks dan pengendalian gulma.