DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA --------- SUSUNAN DALAM SATU NASKAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT DPD RI 2012 DAFTAR ISI BAGIAN PERTAMA : NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................. B. Identifikasi Masalah .......................................................................... C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan.......................................................... D. Metode Pendekatan........................................................................... 1 1 12 13 14 BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRATIK EMPIRIK A. Kajian Teoritis................................................................................... B. Praktik Empirik.................................................................................. 15 15 23 BAB III. EVALUASI DAN ANALISA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT 30 BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS DAN SOSIOLOGIS A. Landasan Filosofis ............................................................................ B. Landasan Yuridis.............................................................................. C. Landasan Sosiologis.......................................................................... 33 33 38 39 BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGUATAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RUU A. Jangkauan dan Arah Penguatan......................................................... B. Arah Pengaturan.............................................................................. 41 41 48 BAB VI. PENUTUP A. Kesimpulan...................................................................................... B. Saran............................................................................................... 67 67 67 DAFTAR PUSTAKA 68 BAGIAN KEDUA : DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT. ! DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA --------- DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------------- BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN..... TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT DPD RI 2012 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT PENJELASAN RANCANGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... NOMOR ... TAHUN ... TENTANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, I. UMUM Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka perlu melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan negara; Di dalam Pembukaan UUD 1945 secara jelas menyatakan “…susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat..”. kemudian Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Secara umum, penegasan tersebut berarti bahwa UUD 1945 menghendaki ataupun menerapkan konsep Kedaulatan Rakyat yang berarti kekuasaan yang tertinggi untuk memerintah dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Pengejewantahan dari konsep itu adalah mengikut-sertakan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan mengikutsertakan rakyat dalam pembuatan kebijakan. b. bahwa partisipasi masyarakat merupakan unsur penting dalam pengembangan sistem pemerintahan yang demokratis dan aspiratif, penegakan hukum yang efektif, serta merupakan perwujudan pemerintahan yang baik dan terbuka; Pada dasarnya partisipasi Masyarakat merupakan insentif moral sebagai alat untuk mempengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi di tempat dibuatnya keputusan-keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian partisipasi tersebut bukanlah sebuah tujuan akhir (participation is an end it self). Hal ini tentunya bertolak belakang dengan asumsi yang berkembang selama ini yang memandang partisipasi Masyarakat sematamata sebagai penyampaian informasi (public information), penyuluhan, bahkan hanya sekedar alat public relation agar proyek-proyek RUU tentang Partisipasi Masyarakat 1 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT yang dilakukan pemerintah dapat berjalan lancar dan mendapat legitimasi dari masyarakat. partisipasi membutuhkan keterlibatan orang-orang secara suka rela dan demokratis dalam hal: (a) sumbangsihnya terhadap usaha pembangunan, (b) penerimaan manfaat secara merata, dan (c) pengambilan keputusan yang menyangkut penentuan tujuan, perumusan kebijakan dan perencanaan dan penerapan program pembangunan sosial dan ekonomi. Mengacu pada pandangan ini, partisipasi dapat dibedakan menjadi dua hal. Partisipasi otentik (authentic participation) yang merujuk pada terpenuhinya ketiga kriteria di atas. Jika tidak seluruh kriteria tersebut dapat dipenuhi maka hal ini akan disebut partisipasi semu (pseudo-participation). c. bahwa selama ini ketentuan hukum yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat yang diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan masih belum mampu mewujudkan pelaksanaan dan jaminan partisipasi masyarakat secara baik dan berdayaguna; Sesuai dengan ide negara hukum, maka partisipasi publik dalam penyusunan RUU mesti diatur secara jelas dalam suatu aturan hukum tertentu. Sendi utama negara hukum adalah hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat atau antar-anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Hukum mempunyai dua pengertian, yakni hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dalam hal inilah di Indonesia sudah saatnya partisipasi itu sudah dalam konteks partisipasi otentik, bukan semua sehingga perlu dijamin dalam sebuah undang-undang. d. Mengingat : bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Partisipasi Masyarakat; Pasal 20, Pasal 22D ayat (1), Pasal 27, Pasal 28C, Pasal 28F, dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 2 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 1. Partisipasi masyarakat adalah hak setiap orang dan/atau masyarakat untuk berperan serta menyampaikan pikiran dan pendapatnya baik secara langsung maupun tidak langsung, secara lisan maupun tertulis dalam penyelenggaraan negara yang meliputi peran serta dalam pembangunan, pembentukan peraturan perundangundangan, penganggaran, dan pengambilan kebijakan publik. 2. Pembangunan adalah rangkaian upaya yang berkesinambungan yang meliputi segala aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Kebijakan publik adalah rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah atau badan publik yang menyangkut bidang-bidang tugasnya. 4. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, persetujuan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. 5. Penganggaran adalah proses perencanaan dan penentuan anggaran keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan penting untuk jangka waktu tertentu. 6. Transparansi adalah ketersediaan informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang kebijakan publik dan proses pembentukannya sehingga masyarakat secara luas dapat mengetahuinya. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 3 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT 7. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. 8. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. 9. Pelibatan Masyarakat adalah suatu kondisi yang mensyaratkan adanya peran serta atau kontribusi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu program penyelenggaraan negara. 10. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. 11. Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga kemasyarakatan lainnya dan badan hukum yang mewakili kepentingan hukum individu atau kelompok orang. 12. Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. 13. Pejabat Publik adalah orang yang diberi tugas dan kewenangan untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada Badan Publik. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 4 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT 14. Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia. 15. Orang adalah orang perseorangan, orang, atau badan hukum. kelompok 16. Hari adalah hari kerja. BAB II AZAS DAN TUJUAN Bagian Kesatu Azas Pasal 2 Pasal 2 Partisipasi Masyarakat dilaksanakan atas dasar asas: a. kepastian hukum; Huruf a Yang dimakud dengan asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara pemerintah. b. tertib penyelenggaraan pemerintahan; Huruf b Yang dimaksud dengan asas tertib penyelenggaraan pemerintahan adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara. c. Kepentingan umum; Huruf c Yang dimaksud dengan asas kepentingan umum asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. d. demokrasi; Huruf d Yang dimaksud dengan asas demokrasi adalah bahwa partisipasi masyarakat didsarkan bahwa pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. e. efektifitas dan efesiensi; Huruf e Yang dimaksud dengan asas ini adalah pencapaian tujuan secara tepat dan optimal dengan sumber daya minimal. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 5 ! f. keterbukaan; DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Huruf f Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah asas yang mebuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara. g. proporsionalitas; Huruf g Yang dimaksud dengan asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan kesimbangan anatara hak dan kewajiban penyelenggaran negara. h. profesionalitas; Huruf h Yang dimaksud dengan asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. i. objektifivitas; Huruf i Adalah tidak berpihak. Dalam artian segala elemen masyarakat harus diperhatikan j. kesetaraan gender; Huruf j Asas ini adalah kondisi yang sama dan adil antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dan penikmatan atas Hak Asasi Manusia dan semua Warga Negara di semua kehidupan. k. keadilan; Huruf k Asas ini menghendaki agar dalam melakukan tindakan pemerintah tidak berlaku sewenang-wenang atau berlaku tidak layak. Jika pemerintah melakukan tindakan sewenang-wenang dan tidak layak maka keputusan yang berkaitan dengan tindakannya dapat dibatalkan. l. responsif; dan Huruf l Yang dimaksud dengan asas responsif adalah asas yang mengehendaki sikap tanggap dan proaktif pemerintah terhadap persoalan-persoalan di masyarakat dengan menganalisis kebutuhan masyarakat. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 6 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT m. akuntabilitas. Huruf m Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundanng-undang yang berlaku. Bagian Kedua Tujuan Pasal 3 Pasal 3 Pengaturan Partisipasi Masyarakat bertujuan untuk: Cukup Jelas. a. meningkatkan peran aktif pemerintah dalam menjamin dan memenuhi hak masyarakat untuk berpartisipasi; b. menjamin perlindungan masyarakat; hukum partisipasi c. memperluas struktur partisipasi dan pembukaan akses terhadap pengambilan keputusan; d. meningkatkan pemerintahan; arus informasi e. memberdayakan masyarakat program pemerintahan; dalam kebijakan berbagai f. mewujudkan sinergi kemitraan untuk membangun sistem pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel; g. meningkatkan kesadaran masyarakat akan peran dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan; dan h. memperoleh manfaat yang optimal atas penyelenggaraan negara bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara merata, tertib, demokrasi, partisipatif, dan berkeadilan. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 7 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT BAB III RUANG LINGKUP Pasal 4 Pasal 4 Ruang lingkup Partisipasi Masyarakat meliputi : a. partisipasi meliputi: masyarakat dalam pembangunan Huruf a Partisipasi masyarakat dalam pembangunan ini termasuk di dalamnya pembangunan yang dilaksanakan oleh swasta yang sumber pendanaannya berasal dari APBN atau APBD berdasarkan peraturan perundangan. 1. perencanaan; Angka 1 Yang dimaksud dengan perencanaan adalah pola-pola yang mengarahkan kepada pelaksanaan pembangunan. 2. pelaksanaan; Angka 2 Yang dimaksud dengan pelaksanaan adalah pelaksanaan kebijakan pembangunan. 3. pengawasan; Angka 3 Pengawasan pembangunan adalah bentuk monitoring dari pelaksanaan pembangunan dengan membandingan konsep dengan perencanaan. 4. evaluasi; dan Angka 4 Yang dimaksud dengan evaluasi adalah kesesuaian pelaksanaan perencanaan dengan arah, tujuan, dan ruang lingkup yang telah direncanakan dan dilaksanakan. 5. pemeliharaan. Angka 5 Cukup jelas. b. partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi: Angka 1 Cukup jelas. 1. penyusunan program legislasi; 2. persiapan penyusunan undangan; peraturan Huruf b Cukup jelas. perundang- Angka 2 Cukup jelas. 3. pembahasan; Angka 3 Cukup jelas. 4. penetapan/pengesahan; Angka 4 Cukup jelas. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 8 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT 5. sosialisasi peraturan perundang-undangan; Angka 5 Cukup jelas. 6. pelaksanaan peraturan perundang undangan; dan/atau Angka 6 7. pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Angka 7 c. partisipasi meliputi: masyarakat dalam penganggaran Cukup jelas. Yang dimaksud dengan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan adalah pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap implementasi dan pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah. Huruf c Cukup jelas. 1. perencanaan; 2. pengambilan keputusan; 3. pelaksanaan; 4. pengawasan; dan 5. evaluasi. d. partisipasi masyakat dalam pengambilan kebijakan meliputi: Huruf d Cukup jelas. 1. perencanaan; 2. penetapan keputusan; 3. pelaksanaan; 4. pengawasan; dan 5. evaluasi. BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Hak Pasal 5 Pasal 5 Setiap orang berhak: a. memperoleh informasi publik; Huruf a Informasi publik yang dimaksud adalah informasi publik sebagaimana UU tentang Keterbukaan Informasi Publik. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 9 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT b. menyampaikan dan menyebarluaskan informasi publik; Huruf b c. berserikat dan berkumpul; Huruf c Cukup jelas. Cukup jelas. d. memiliki kebebasan berpendapat, menyampaikan pikiran baik lisan maupun tulisan, rasional, tepat guna dan tepat sasaran serta taat hukum; Huruf d e. berpartisipasi dalam proses penyusunan kebijakan publik; Huruf e f. menolak atau menerima proses kebijakan publik; Huruf f Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. g. berpartisipasi proses pelayanan publik yang mempengaruhi hak dan kewajiban masyarakat dan Kebijakan Publik lainnya yang langsung berdampak dengan kepentingan hajat hidup orang banyak; Huruf g h. berpartisipasi dalam evaluasi dan pengawasan penyelenggaraan negara; Huruf h i. diperhitungkan keputusan; Huruf i dalam kuorum pengambilan Cukup jelas. Cukup jelas. Kuorum adalah batas minimal kehadiran anggota lembaga perwakilan dalam rangka pengambilan keputusan sesuai dengan Tata Tertib masing-masing lembaga. j. melakukan konfirmasi berdasarkan pengawasan penyelenggaraan negara; dan hasil k. memberi usulan tindak lanjut atas pengawasan penyelenggaraan negara. hasil Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Bagian Kedua Kewajiban Pasal 6 Setiap orang dalam berpartisipasi wajib: Pasal 6 Cukup jelas. a. bertanggung jawab atas pendapat dan tindakannya dalam berpartisipasi; b. mengutamakan kepentingan dan kemanfaatan bagi orang banyak; c. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan dalam menyalurkan aspirasinya; RUU tentang Partisipasi Masyarakat 10 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT d. mematuhi semua ketentuan yang termuat dalam kesepakatan atau komitmen bersama antara masyarakat dan Badan Publik yang bersangkutan; dan/atau e. menjaga etika dan sopan santun berdasarkan budaya masyarakat. BAB V WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB BADAN PUBLIK Bagian Kesatu Wewenang Pasal 7 Pasal 7 Cukup jelas. (1) Badan Publik berwenang untuk : a. mengatur ruang lingkup pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan pulik dalam tahap perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi; b. mengatur pihak yang dapat berpartisipasi baik orang, kelompok orang, badan hukum, dan/atau masyarakat adat; c. menolak partisipasi patut; dan masyarakat d. menindaklanjuti penyimpangan pembangunan hasil evaluasi dan/atau perseorangan. yang tidak pelaksanaan masyarakat (2) Kewenangan mengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disesuaikan dengan kemampuan situasi dan kondisi masyarakat. (3) Penolakan partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib disertai alasan dan kesempatan untuk melakukan klarifikasi atau konfirmasi. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 11 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Bagian Kedua Tanggung Jawab Pasal 8 Badan Publik bertanggung jawab memberikan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 Pasal 9 Pasal 9 (1) Badan Publik bertanggung jawab menjamin pemenuhan hak untuk akses informasi kepada masyarakat. Cukup jelas. Cukup jelas. (2) Jaminan pemenuhan hak untuk akses informasi kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. memberikan salinan informasi; b. menyiapkan media informasi; dan/atau c. membangun serta mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi. Pasal 10 Badan Publik bertanggung jawab menjamin terpenuhinya prinsip keadilan dan keterwakilan masyarakat dalam pengambilan keputusan publik dengan cara: a. memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang untuk ambil bagian dalam pembentukan keputusan publik; b. memfasilitasi tercapainya pemenuhan keterwakilan komponen/unsur masyarakat yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan publik; dan c. mengikutsertakan wakil kelompok atau orang yang berkebutuhan khusus dalam proses pengambilan keputusan publik. Pasal 10 Pasal 11 Pasal 11 Badan Publik bertanggung jawab menjamin pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik dengan cara: RUU tentang Partisipasi Masyarakat Cukup jelas. Tanggung jawab yang dibebankan kepada Badan Publik pada pasal ini dimaksudkan untuk membatasi diskresi agar tidak melanggar kewenangan maupun peraturan perundang-udangan (detournement de pouvoir). 12 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT a. melibatkan kelompok masyarakat berkepentingan; dan b. memfasilitasi masyarakat untuk terlibat proses pengambilan keputusan. yang dalam Pasal 12 Badan Publik bertanggung jawab menjamin terakomodirnya aspirasi masyarakat dengan cara: Pasal 12 Cukup jelas. a. membuat jawaban atas permintaan penjelasan dikeluarkannya suatu keputusan/kebijakan; dan b. menjelaskan status diterima atau ditolaknya usulan aspirasi masyarakat dalam suatu laporan kemajuan penanganan aspirasi masyarakat. BAB VI BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 13 Partisipasi Masyarakat dapat berbentuk: a. pemberian masukan dalam penentuan arah kebijakan; b. pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan dan hukum; c. pemberian masukan dalam perumusan kebijakan publik; d. pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam penyusunan kebijakan publik; e. pengajuan keberatan terhadap peraturan atau kebijakan publik; f. kerja sama dalam penelitian dan pengembangan; g. bantuan tenaga ahli; dan/atau h. pengawasan dan evaluasi pelaksanaan peraturan dan kebijakan publik. Pasal 13 Cukup jelas. BAB VII PENYELENGGARAAN PARTISIPASI MASYARAKAT RUU tentang Partisipasi Masyarakat 13 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Bagian Kesatu Umum Pasal 14 Partisipasi Masyarakat diselenggarakan sesuai dengan ruang lingkupnya yang meliputi: Pasal 14 Cukup jelas. a. partisipasi dalam pembangunan; b. partisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; c. partisipasi dalam penganggaran; d. partisipasi dalam pengambilan kebijakan; dan e. partisipasi dalam proses pengawasan pelaksanaan kebijakan. Bagian Kedua Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Paragraf 1 Perencanaan Pasal 15 (1) Masyarakat di sekitar proyek pembangunan wajib dimintai persetujuan atas rencana pembangunan yang akan dilaksanakan. (2) Informasi rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (3) a). tujuan dan manfaat bagi masyarakat disekitar proyek pembangunan; dan b). peran serta yang dapat dilakukan oleh masyarakat sekitar proyek; Tata cara permintaan persetujuan masyarakat sebagaimana ditentukan pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 16 (1) Masyarakat baik lembaga maupun perorangan wajib dilibatkan dalam perencanaan pembangunan. RUU tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 15 Ayat (1) Persetujuan tersebut berupa persetujuan tertulis yang disepakati kedua belah pihak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Perlibatan lembaga dan perorangan dilakukan dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan. 14 ! (2) (3) DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Keterlibatan masyarakat baik lembaga maupun perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah. Tata cara Musyawarah Perencanaan Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Pasal 17 Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan dapat dilaksanakan dengan: Cukup jelas. a. merumuskan permasalahan diberbagai bidang pembangunan dengan menganalisis, menentukan dan merumuskan permasalahan pokok yang dihadapi; b. meminta informasi tentang rencana pembangunan; c. merumuskan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dan perlu diatasi oleh instansi yang berwenang; dan/atau d. merumuskan rencana program dan kegiatan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Paragraf 2 Pelaksanaan Pembangunan Pasal 18 Pasal 18 Masyarakat baik lembaga maupun perorangan wajib dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan. Cukup jelas. Pasal 19 Pasal 19 Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat dilaksanakan dengan: Cukup jelas. a. ikut mengajukan konsep rencana pembangunan; b. melaksanakan pembangunan baik dengan tenaga, pikiran dan materi; c. meminta informasi tentang pelaksanaan pembangunan; RUU tentang Partisipasi Masyarakat perkembangan 15 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT d. melaksanakan pembangunan dari dana Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; e. membantu kelancaraan pelaksanaan pembangunan; dan f. berpartisipasi memberikan kejelasan mengenai maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat luas. Paragraf 3 Pengawasan Pasal 20 Pasal 20 Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan wajib dilibatkan dalam pengawasan atas setiap pelaksanaan pembangunan. Pasal 21 Pasal 21 Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pembangunan dapat dilaksanakan dengan: a. mengamati secara pembangunan; langsung Cukup jelas. Cukup jelas. pelaksanaan b. meminta informasi tentang perkembangan hasil pelaksanaan pembangunan; dan/atau c. melakukan koreksi apabila ada kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Paragraf 4 Evaluasi Pasal 22 (1) Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan wajib dilibatkan dalam evaluasi atas setiap pelaksanaan pembangunan. (2) Partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan dapat dilaksanakan dengan mengkuti rapat atau pertemuan evaluasi yang dilaksanakan Badan Publik dan pihak lain yang terkait. RUU tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 22 Cukup jelas. 16 ! (3) DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Dalam hal evaluasi atas setiap pelaksanaan pembangungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan penyimpangan pelaksanaan pembangunan yang telah direncanakan melalui musrenbang, masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan berhak menyampaikan laporan kepada badan publik. Paragraf 5 Pemeliharaan Pasal 23 Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan wajib dilibatkan dalam pemeliharaan hasil pembangunan. Pasal 24 Partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan dapat dilaksanakan dengan tindakan menjaga, mempertahankan dan melestarikan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Bagian Ketiga Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Paragraf 1 Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Program Legislasi Pasal 25 Partisipasi masyarakat dalam penyusunan program legislasi dapat berupa: a. melakukan identifikasi terhadap kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk; dan/atau b. pemberian masukan berupa informasi peraturan perundang-undangan yang perlu dibentuk. RUU tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 25 Cukup jelas. 17 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Paragraf 2 Partisipasi Masyarakat dalam Persiapan Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 26 Pasal 26 Partisipasi masyarakat dalam persiapan penyusunan peraturan perundang-undangan dapat berupa: a. b. c. d. pemikiran berupa saran-saran dan pertimbanganpertimbangan; Huruf a kerjasama dalam penelitian terhadap perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang akan dibentuk; Huruf b bantuan keahlian dalam penyusunan naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan; dan/atau Huruf c pengajuan keberatan terhadap peraturan perundang-undangan. Huruf d Pengajuan keberatan terhadap rancangan undang-undang dilakukan apabila rancangan undang-undang yang disusun ternyata ada sebagian atau keseluruhan rumusannya mengakibatkan kerugian pada masyarakat dan sosial. rancangan Saran-saran dan pertimbanganpertimbangan dapat langsung disampaikan kepada pemrakarsa. Cukup jelas. Cukup jelas. Paragraf 3 Partisipasi Masyarakat dalam Pembahasan Pasal 27 (1) Perwakilan masyarakat baik lembaga maupun perorangan wajib diberi kesempatan untuk mengikuti persidangan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan terbuka untuk umum. (2) Badan Publik wajib menyediakan tempat yang memungkinkan perwakilan masyarakat dengan seksama mengamati seluruh proses pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan. (3) Masyarakat baik lembaga maupun perorangan mengajukan permohonan kepada Badan Publik RUU tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 27 Ayat (1) Kehadiran dalam pembahasan mengikuti tata tertib maupun kode etik yang berlaku di lembaga tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 18 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT untuk mengamati sidang pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Partisipasi Masyarakat dalam Penetapan/Pengesahan Pasal 28 Partisipasi masyarakat dalam penetapan/pengesahan peraturan perundang-undangan dapat berupa mendorong pejabat yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan untuk segera menetapkan/mengesahkan peraturan perundangundangan. Pasal 28 Cukup jelas. Paragraf 5 Partisipasi Masyarakat dalam Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan Pasal 29 Partisipasi masyarakat dalam sosialiasi peraturan perundang-undangan dapat berupa: a. penyebarluasan peraturan perundang-undangan; dan b. pendidikan hukum kepada masyarakat. Pasal 29 Cukup jelas. Paragraf 6 Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 30 Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dapat berupa : a. mendukung penyediaan sumber daya pelaksanaan peraturan perundang-undangan; b. pendampingan hukum atau bantuan hukum; dan/atau c. pengajuan keberatan terhadap pemberlakuan peraturan perundang-undangan. RUU tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 30 Cukup jelas. 19 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Paragraf 7 Partisipasi dalam Pengawasan terhadap Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 31 Partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan dapat berbentuk : Pasal 31 Cukup jelas. a. pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan; b. melakukan identifikasi terhadap penyimpangan pelaksanaan peraturan perundang-undangan; dan/atau c. pemberian masukan berupa informasi mengenai penyimpangan penegakan hukum. Bagian Keempat Partisipasi dalam Penganggaran Paragraf 1 Perencanaan Pasal 32 Partisipasi masyarakat dalam perencanaan anggaran dapat berupa : a. melakukan identifikasi terhadap kebutuhan pembiayaan yang perlu ditetapkan; b. memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan anggaran negara atau daerah; dan/atau c. memberi tanggapan terhadap RAPBN atau RAPBD dan perubahannya. Pasal 32 Cukup jelas. Paragraf 2 Pelaksanaan Pasal 33 Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan anggaran dapat berupa : RUU tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 33 Cukup jelas. 20 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT a. membantu Badan Publik dalam menyebarluaskan dokumen RAPBN atau RAPBD dan/atau perubahannya; dan/atau b. pendidikan atau pelatihan analisis anggaran publik kepada masyarakat. Paragraf 3 Pengawasan Pasal 34 Partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran dapat berupa identifikasi terhadap penyimpangan pelaksanaan RAPBN atau RAPBD dan/atau perubahannya. Pasal 34 Cukup jelas. Paragraf 4 Evaluasi Pasal 35 Partisipasi masyarakat dalam evaluasi RAPBN atau RAPBD dan/atau perubahannya dapat berupa masukan atau pendapat penyempurnaan RAPBN atau RAPBD dan/atau perubahannya. Pasal 35 Cukup jelas. Bagian Kelima Partisipasi dalam Pengambilan Kebijakan Publik Paragraf 1 Umum Pasal 36 Masyarakat baik lembaga maupun perorangan wajib dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Pasal 36 Cukup jelas. Paragraf 1 Perencanaan Pasal 37 Partisipasi masyarakat dalam perencanaan kebijakan publik dapat berupa: RUU tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 37 Cukup jelas. 21 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT a. melakukan identifikasi terhadap kebutuhan kebijakan publik yang perlu ditetapkan; dan/atau b. pemberian masukan berupa informasi peraturan perundang-undangan yang perlu dibentuk. Paragraf 2 Pengambilan Keputusan Pasal 38 Pasal 38 Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dapat berupa : a. pemikiran berupa saran-saran dan pertimbanganpertimbangan; b. kerjasama dalam penelitian terhadap perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dengan kebijakan publik yang akan dibentuk; c. bantuan keahlian dalam penyusunan kebijakan publik; dan/atau d. pengajuan keberatan terhadap kebijakan publik. Cukup jelas. Paragraf 3 Pelaksanaan Pasal 39 Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan publik dapat berupa : Pasal 39 Cukup jelas. a. membantu Badan Publik dalam menyebarluaskan kebijakan publik; dan/atau b. melakukan identifikasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik. penyimpangan Paragraf 4 Pengawasan Pasal 40 Partisipasi masyarakat dalam pengawasan kebijakan publik dapat berupa pemantauan pelaksanaan kebijakan publik. RUU tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 40 Cukup jelas. 22 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Paragraf 5 Evaluasi Pasal 41 Partisipasi masyarakat dalam evaluasi kebijakan publik dapat berupa masukan atau pendapat penyempurnaan kebijakan publik. Pasal 41 Cukup jelas. Bagian Keenam Perilaku Badan Publik Pasal 42 Pasal 42 Pelaksana dalam menerima partisipasi masyarakat wajib berperilaku sebagai berikut: a. adil dan tidak diskriminatif; Huruf a Yang dimaksud adil dan tidak diskriminatif adalah memberikan perlakuan yang sama dalam menerima partisipasi masyarakat dan tidak membedakan suku, ras, agama, dan antar golongan. b. cermat; Huruf b Yang dimaksud cermat adalah dalam menerima partisipasi masyarakat dilaksanakan dengan penuh minat (perhatian), saksama, dan teliti. c. santun dan ramah; Huruf c Yang dimaksud santun dan ramah adalah dalam menerima partisipasi masyarakat dilakukan selaras dengan budaya setempat dan kearifan lokal yang berlaku di masyarakat. d. tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut; RUU tentang Partisipasi Masyarakat Huruf d Yang dimaksud tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut adalah dalam menerima partisipasi masyarakat disampaikan secara jelas, dapat dipercaya, dan memberikan jaminan terhadap kepastian pelaksanaannya. 23 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT e. profesional; Huruf e Yang dimaksud profesional adalah penerimaan partisipasi masyarakat dilakukan sesuai dengan keahlian yang yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku f. tidak mempersulit; Huruf f Yang dimaksud tidak mempersulit adalah dalam menampung dan menerima partisipasi masyarakat dilakukan secara sederhana atau tidak mermpergunakan prosedur birokrasi yang rumit. g. patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar; Huruf g Cukup jelas. h. menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara; Huruf h i. tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Huruf i terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan; Huruf j k. tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik; Huruf k l. Huruf l j. tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat; m. tidak menyalahgunakan informasi, dan/atau kewenangan yang dimiliki; jabatan, n. sesuai dengan kepantasan; dan Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Yang dimaksud dengan kepantasan adalah menampung dan menerima partisipasi masyarakat dilaksanakan secara layak dan patut dengan budaya setempat dan kearifan lokal yang berlaku di masyarakat. o. tidak menyimpang dari prosedur dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundangundangan. RUU tentang Partisipasi Masyarakat Huruf o Cukup jelas. 24 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT BAB VIII PENOLAKAN PARTISIPASI DAN MEKANISME KEBERATAN Bagian Kesatu Penolakan Partisipasi Pasal 43 (1) Badan Publik dapat menolak partisipasi masyarakat dalam hal partisipasi dilaksanakan: a. mengganggu ketertiban umum; b. melawan hukum; dan/atau c. bertentangan dengan etika dan sopan santun berdasarkan budaya masyarakat. Pasal 43 Cukup jelas. (2) Badan Publik wajib menyampaikan secara tertulis alasan-alasan tidak diberikannya kesempatan dan/atau penolakan partisipasi. (3) Alasan-alasan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib disampaikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya penyampaian pikiran dan pendapat untuk berpartisipasi. Bagian Kedua Mekanisme Pengajuan Keberatan Pasal 44 (1) Setiap orang berhak mengajukan keberatan atas tidak diberikannya kesempatan dan atau penolakan partisipasi kepada Badan Publik. Pasal 44 Cukup jelas. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib diajukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah disampaikannya secara resmi surat penolakan sebagaimana dimaksud ayat (1). (3) Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat keberatan, Badan Publik wajib menyampaikan tanggapan atas keberatan tersebut kepada pihak yang mengajukan. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 25 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT (4) Dalam hal tenggat waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Badan Publik tidak menyampaikan tanggapan, setiap orang yang berhak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan pembatalan kebijakan publik melalui prosedur hukum berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. BAB IX PEMBERDAYAAN PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 45 Pasal 45 (1) Badan Publik wajib menyelenggarakan pembinaan untuk menumbuhkan, mengembangkan kesadaran, memberdayakan, dan meningkatkan tanggung jawab masyarakat dalam partisipasi masyarakat. Cukup jelas. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Publik, dengan cara : a. memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, dorongan, pengayoman, pelayanan, bantuan teknik, bantuan hukum, pendidikan, dan/atau pelatihan; b. menyebarluaskan semua informasi kepada masyarakat secara terbuka; publik c. mengumumkan dan menyebarluaskan rencana pembangunan, peraturan perundangundangan, anggaran, dan kebijakan publik kepada masyarakat; d. menghormati hak yang dimiliki masyarakat; e. memberikan penggantian yang layak kepada masyarakat atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang merugikan masyarakat; f. melindungi hak masyarakat berpartisipasi; dan/atau untuk g. memperhatikan dan menindaklanjuti saran, usul, atau keberatan dari masyarakat. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 26 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT BAB X PENGAWASAN Pasal 46 (1) Ombudsman melakukan Pengawasan terhadap pelaksanaan partisipasi masyarakat. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi bimbingan, pembinaan, dorongan, pengayoman, peningkatan mutu, dan pelayanan dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Pasal 46 Cukup jelas. BAB XI PERLINDUNGAN HUKUM Pasal 47 (1) Masyarakat mendapat perlindungan hukum atas keamanan pribadi dan harta bendanya serta bebas dari ancaman sehubungan dengan pelaksanaan partisipasi masyarakat. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga negara yang tugasnya di bidang penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 47 Pasal 48 Pejabat penegak hukum yang berwenang wajib merahasiakan identitas masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1). Pejabat penegak hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan pengamanan fisik terhadap masyarakat dan keluarganya. Pasal 48 (1) (2) Cukup jelas. Cukup jelas. BAB XII PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 49 (1) Setiap orang yang ditolak partisipasinya dapat mengajukan keberatan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya penolakan. RUU tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 49 Cukup jelas. 27 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT (2) Badan Publik wajib untuk memberikan jawaban atau pendapat atau sanggahan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat keberatan. Pasal 50 (1) Apabila jawaban atau pendapat atau sanggahan dari Badan Publik belum menghasilkan kemufakatan bersama dapat dilanjutkan melalui musyawarah para pihak, paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya tanggapan atau keberatan. Pasal 50 Cukup jelas. (2) Badan Publik wajib memfasilitasi pelaksanaan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam rangka percepatan penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan mediasi melalui pihak ketiga yang independen dan memiliki kapabilitas terhadap persoalan yang dimusyawarahkan. Pasal 51 Apabila penyelesaian secara musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 tidak mencapai mufakat maka para pihak yang bersengketa dapat mengadukan persoalan itu melalui pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 51 Cukup jelas. BAB XIII KETENTUAN SANKSI Pasal 52 (1) Pegawai atau pejabat Badan Publik yang melanggar hak setiap orang dalam berpartisipasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi pembebasan dari jabatan dan/atau pemberhentian tidak dengan hormat. Pasal 52 Cukup jelas. (2) Pegawai atau pejabat Badan Publik yang tidak melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12 dikenai sanksi pembebasan dari jabatan dan/atau pemberhentian tidak dengan hormat. RUU tentang Partisipasi Masyarakat 28 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT (3) Pejabat Badan Publik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 16, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36, Pasal 45, Pasal 49 ayat (2), dikenai sanksi pembebasan dari jabatan. (4) Pegawai atau pejabat Badan Publik yang tidak melaksanakan perilaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dikenai sanksi pembebasan dari jabatan dan/atau pemberhentian tidak dengan hormat. (5) Pegawai atau pejabat Badan Publik yang tidak menyampaikan secara tertulis alasan-alasan tidak diberikannya kesempatan dan/atau penolakan partisipasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dikenai sanksi pembebasan dari jabatan dan/atau pemberhentian tidak dengan hormat. Pasal 53 Setiap orang yang dalam menyalurkan partisipasinya dilakukan dengan cara melawan hukum, dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 53 Cukup jelas. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 54 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, ketentuan partisipasi masyarakat dalam Undang-Undang atau aturan pelaksanaannya masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 55 Peraturan pelaksanan atas Undang-Undang ini ditetapkan selambat-labatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini disahkan. RUU tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. 29 ! DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 56 Undang-Undang diundangkan. ini mulai berlaku Pasal 56 pada tanggal Cukup jelas. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal ..................... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal ....................... MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NEGARA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ... RUU tentang Partisipasi Masyarakat 30 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA --------- BAGIAN PERTAMA NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT DPD RI 2012 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partisipasi politik adalah sejumlah aktifitas tertentu dari masyarakat dalam rangka menyampaikan aspirasinya kepada elit politik. Aktifitas tersebut dapat berupa pemberian suara dalam pemilu, donasi uang maupun waktu dalam rangka kampanye pemilu, petisi, demontrasi, penyampaian kehendak dan sebagainya. Demokrasi dalam skala besar membutuhkan lembaga-lembaga politk tertentu sebagai jaminan pelaksanaan demokrasi, yaitu:1 1. Pejabat yang dipilih; 2. Pemilihan umum yang bebas, adil, dan beradab; 3. Kebebasan berpendapat; 4. Sumber informasi alternatif; 5. Otonomi asosiasional; dan 6. Hak kewarganegaraan yang inklusif. Demokrasi berdiri berdasarkan logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Persetujuan memerlukan perwakilan yang hanya bisa diperoleh dengan pemilihan umum. Gagasan tersebut merupakan fondasi di mana demokratisasi saat ini bergerak maju.2 1 Moh. Mahfud MD. “Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, edisi revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 240. 2 Robert A. Dahl, “Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat”, terjemahan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 31. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 1 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Dari sisi etika politik, masalah demokrasi terkait dengan masalah legitimasi kekuasaan atas masyarakat. Satu-satunya legitimasi dasar kekuasaan yang sah adalah legitimasi demokratis, bukan kepercayaam ideologis ataupun keahlian khusus suatu kelompok (elitis atau teknokratis).3 Demokrasi juga berkaitan dengan kesamaan pada semua warga negara, tidak ada satu kelompok pun yang berhak untuk memerintah orang lain kecuali berdasarkan penugasan dan persetujuan masyarakat. Kenyakinan inilah yang menjadi inti dari istilah kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat berdasarkan atas hak setiap orang untuk menentukan diri sendiri dan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masyarakat.4 Demokrasi mengansumsikan bahwa setiap rakyat memiliki kesamaan kedudukan dan memegang kekuasaan untuk memerintah. Jadi demokrasi berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, paling tidak legitimasi untuk kekuasaan itu berasal dari rakyat itu sendiri. Oleh karena demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “cratos”. ”Demos” artinya “rakyat”, dan “cratos” artinya kekuatan atau kekuasaan. Jadi demokrasi adalah kekuasaan yang ada pada rakyat seluruhnya. Aristoteles membedakan tiga mascam pemerintahan berdasarkan jumlah orang yang memerintah, yaitu monarki, oligarki, dan demokrasi. Jika demokrasi adalah kekuasaan pada rakyat, maka monarki 3 Franz Magnis Suseno, “Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern”, cetakan Kelima, PT. Gramedi Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal. 289-290. 4 Ibid. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 2 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT adalah kekuasaan pada satu orang , dan oligarki adalah kekuasaan pada sedikit orang.5 Pemahaman tentang demokrasi merupakan pemahaman yang bersifat universal. Namun di dalam mengimplementasikannya, tidak tertutup kemungkinan beradaptasi dengan elemen-elemen nilai lokal dalam suatu lingkungan politik tertentu.6 Hal inilah yang mendasari munculnya bermacam-macam variasi ajaran demokrasi. Menurut Miriam Budiardjo7 pada dasarnya ada dua kelompok aliran yang penting, yaitu demokrasi konstitusionil dan satu kelompok aliran yang menamakan dirinya “demokrasi”, tetapi pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas komunisme. Keadaan tersebut menimbulkan pandangan bahwa pada dasarnya demokrasi bersifat ambigu. Ambiguitas demokrasi tersebut terletak pada apakah demokrasi itu baik ataukah tidak dan pada bagaimana mengimplementasikan demokrasi.8 Dalam implementasi demokrasi inilah secara teortik ada dua bentuk, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung sebagaimana praktek yang berlaku pada jaman Romawi adalah seluruh rakyat berkumpul pada waktu dan tempat yang sama untuk mengambil putusan. Demokrasi langsung menurut Franz Magnis Suseno, tidak hanya dapat direalisasikan melainkan juga secara etis tidak perlu. Yang harus dituntut adalah bahwa pemerintahan negara tetap berada di 5 Wirjono Prodjodikoro, “Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik”, dalam Muchammad Ali Safa’at, “Parlemen Bikameral: Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia”, UB Press, Malang, 2010, hal. 16-17. 6 Afan Gaffar, 2005, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 3. 7 Meriam Budiardjo, 2005, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustakan Utama, Jakarta, hal. 51. 8 Moh. Mahfud, MD, 1999, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 29. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 3 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT bawah kontrol efektif warga negara. Rakyat membuat undang-undang melalui para wakil yang mereka pilih.9 Pandangan sebagaimana dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno tersebut adalah pandangan demokrasi perwakilan dimana fungsi pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada organ-organ khusus. Hak dalam menentukan nasib sendiri dalam demokrasi dibatasi pada prosedur untuk membentuk dan memilih organ ini. Menurut John Stuart Mill sistem perwakilan ini merupakan penemuan luar biasa di zaman modern.10 Dalam konteks otonomi daerah, Sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsepsi yang selalu eksis dalam sebuah organisasi modern, baik dalam organisasi publik maupun dalam organisasi non publik. Dalam sebuah sistem negara (baik dalam negara federal maupun negara kesatuan), kedua konsepsi ini bahkan menentukan derajat hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (atau negara bagian). Karena itu, tidak kita temukan sebuah negara yang hidup hanya dengan sentralisasi atau hanya dengan desentralisasi. Meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat dalam ruang globalisasi tidak menyurutkan peran negara pusat sebagai motor dan moderator antara negara nasional dan negara internasional. Peran negara pusat tersebut, tercakup dalam konsepsi sentralisasi. Sebaliknya, menguatnya identitas masyarakat lokal (lokalisasi) menuntut ruang gerak pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk mengatur dan mengurus kebutuhannya sendiri. Tuntutan inilah yang melahirkan program desentralisasi. Globalisasi dan lokalisasi (disebut juga dengan glokalisasi) adalah dua kekuatan dalam masyarakat yang bergerak 9 Franz Magnis Suseno, op.cit, hal. 290-291. Lihat dalam George H. Sabine, “Historical of Political Theory”, 3d edition, Rinehart and Winston, New York, 1961, hal 695 yang dikutip oleh Dahl, op.cit, hal 145. 10 NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 4 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT dalam arah berlawanan tetapi saling mempengaruhi. Refleksi keduanya terkandung dalam sentralisasi dan desentralisasi. Meskipun sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsepsi yang selalu ada dalam sistem negara, terdapat beberapa kewenangan dan urusan yang tabu untuk didesentralisasikan. Kewenangan tersebut lazimnya berkaitan dengan keutuhan kedaulatan negara serta kesatuan hukum dan ekonomi nasional. Diantara kewenangan tersebut antara lain; kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan dan keamanan dan kewenangan peradilan. Sebaliknya, terdapat beberapa kewenangan, yang karena tuntutan efisiensi, efektivitas dan kedekatan partisipasi masyarakat, diselenggarakan oleh pemerintah daerah (atau negara bagian). Di samping untuk menjawab tuntutan efisiensi dan efektivitas tersebut, latar belakang kewenangan atau urusan yang didesentralisasikan bersumber dari prinsip-prinsip, yaitu:11 1. Prinsip negara hukum. Di dalam prinsip negara hukum di samping dikenal adanya pemisahan kekuasaan, juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan, yaitu pendelegasian atau pendistribusian kekuasaan secara vertikal. Dengan demikian desentralisasi yang menimbulkan otonomi daerah pada hakikatnya merupakan implementasi dari pemencaran kekuasaan. 2. Prinsip demokrasi. Dalam negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu keniscayaan. Bahkan kalau boleh mengatakan partisipasi merupakan prinsip utama dalam sendi-sendi demokrasi. Berdasarkan prinsip semacam inilah, maka desentralisasi 11 B. Hestu Cipto Handoyo, Paper disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Implikasi Pengawasan Produk Hukum Daerah Terhadap Pembangunan Hukum Nasional, diselenggarakan oleh Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah (SADAR OTDA) UGM bekerjasama dengan DPD-RI, 17 Juli 2009. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 5 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT yang menimbulkan otonomi daerah merupakan sarana yang tepat untuk mengimplementasikan prinsip demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. Dengan bersumber pada prinsip demokrasi inilah, maka rakyat di daerah memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk menentukan sendiri arah dan kebijaksanaan dalam memajukan dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang ada. Kebijakan publik yang mengikut sertakan partisipasi masyarakat merupakan gambaran nyata dari kehendak masyarakat daerah untuk melakukan pengaturan dalam memenuhi kebutuhan riil masyarakat suatu daerah. 3. Prinsip welfare state. Dalam negara kesejahteraan, fungsi negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum warganya. Oleh sebab itulah, untuk mendekatkan pelayanan tersebut dibutuhkan satuan-satuan pemerintahan di tingkat lokal. Dengan demikian desentralisasi dan otonomi daerah merupakan prinsip yang paling efektif dipergunakan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat tersebut. Sekaligus mensinkronisasi pelayanan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing Daerah. 4. Prinsip ke-bhineka-an. Dalam negara yang komposisi kehidupan kemasyarakatannya demikian beragam, tidaklah mungkin melakukan penyeragaman diberbagai aspek kehidupan tersebut. Setiap bentuk penyeragaman di lingkungan masyarakat yang plural justru akan menimbulkan rasa ketidak adilan. Dengan demikian desentralisasi dan otonomi daerah menampung dapat keaneka dipergunakan ragaman sebagai masyarakat sarana Indonesia. untuk Dengan demikian melalui bingkai ke-Bhineka-an inilah keanekaragaman yang NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 6 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT bernafaskan kearifan lokal akan memperoleh tempat dalam paradigma pembangunan nasional. Pada awalnya, konsepsi desentralisasi politik (dikenal juga sebagai devolusi) dapat dipahami sebagai pendelegasian kewenangan dan tugastugas pemerintahan kepada unit-unit pemerintahan di daerah yang memiliki independensi terhadap pemerintah pusat. Kontrol pemerintah pusat lazimnya bersifat tidak langsung dan bertindak hanya sebagai supervisor (Rondinelli, Nellis, Cheema, 1983). Desentralisasi politik menurut definisi tersebut memiliki lima karakter: pertama, unit desentralisasi harus memiliki otonomi dan independensi, kedua unit desentralisasi memiliki batas-batas territorial yang ditentukan secara legal formal, ketiga memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, keempat memiliki organ dan struktur organisasi untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, dan kelima unit desentralisasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan sistem suatu negara, sehingga secara fungsional dan struktural harus berinteraksi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Berbeda dengan desentralisasi administrasi (dikenal sebagai dekonsentrasi), dimana unit desentralisasi hanya memiliki kewenangan untuk mengurus (authority to manage), dan secara struktural merupakan perpanjangan pemerintah pusat di daerah, maka dalam konsepsi desentralisasi politik unit-unit desentralisasi memiliki kewenangan mengatur dan mengurus (authority to regulate and to manage) sekaligus memanfaatkan sumber daya (manusia dan alam) untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang didelegasikan kepadanya. Desentralisasi politik dengan demikian, merupakan proses politik dalam perubahan dan pembangunan suatu bangsa dan dijadikan sebagai instrumen NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat politik untuk memperkuat participatory democracy 7 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT (Pitschas, 2001). Tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam desentralisasi politik itu sendiri sangatlah luas. Hal ini meliputi antara lain konsolidasi dan dukungan proses demokratisasi, impuls dan motor kompetisi dan percepatan pembangunan ekonomi, pengurangan arus urbanisasi, pemenuhan kepuasaan sosial, 'cultural dan religius, efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta kedekatan antara birokrasi dan masyarakat. Struktur negara sentralistis-hierarkis, sebagaimana yang dapat dilihat di sebagian besar negara-negara berkembang dan negaranegara transformasi seringkali tidak sejalan dengan proses dinamis perubahan masyarakat, birokrasi dan negara. Struktur negara sentralistis hierarkis semacam ini tidak memiliki fleksibilitas dan kemampuan adaptasi situatif sebagai prasayarat perubahan masyarakat. Perubahan dari negara berstruktur sentralistis-hierarkis menjadi negara terdesentralisasi secara politis, harus berbasis kepada asumsi, bahwa negara tidak hanya menjadi aktor dan subyek pembangunan, tetapi juga secara bersamaan menjadi obyek pembangunan dan reformasi. Atas landasan tersebut, desentralisasi politik dimaksudkan untuk mengurangi dan atau menghapus defisit struktur sentralistis-birokratis yang selama ini diterapkan oleh negara-negara berkembang. Desentralisasi politik dengan demikian, tidak hanya menjadi "mode penyelenggaraan negara" dalam kaitannya dengan bantuan pembangunan internasional, tetapi juga memberikan kerangka dasar dan arahan kepada pemerintah pusat untuk melakukan reformasi dan modernisasi. Secara global, desentralisasi merupakan sebuah isu yang berkembang baik secara teoritik dan praktek dalam ranah administrasi publik. Perkembangan isu desentralisasi ini terkait dengan bantuan-bantuan negara asing dan lembaga-lembaga donor untuk memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang sudah sejak lama bersamaan NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 8 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT dengan mengalirnya dana bantuan donor ke negara-negara berkembang. Meskipun demikian, pada saat ini isu tersebut semakin kuat dan dirasakan perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sesuatu yang dinamis dan tidak berada dalam ruang yang vacuum. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat terkait dengan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005). Efek domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan baru antara pusat dan daerah. Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah. Desentralisasi yang merupakan refleksi hubungan antara pusat dan daerah terus akan bergulir dalam proses demokratisasi. Administrasi publik berperan penting untuk ikut menentukan konstruksi hubungan pusat dan NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 9 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT daerah di Indonesia, juga ikut membangun kapasitas pemerintahan daerah. Karena isu ini bukan isu sesaat tetapi isu yang terus dan akan berlanjut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi yang sangat luas terutama untuk mencipatkan pemerintahan yang efisien dan efektif, juga untuk meningkatkan proses demokrasi di tingkat lokal. Penyelenggaraan desentralisasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 diharapkan dapat memberikan sejumlah efek positif terhadap fungsi pelayanan birokrasi di Daerah dengan sejumlah alasan: pertama, melalui desentralisasi jalur birokrasi Pusat ke Daerah menjadi lebih singkat; kedua, proses debirokratisasi negara melalui desentralisasi akan memperkuat basis participatory democracy; ketiga, debirokratisasi negara akan meningkatkan kompetisi antar Daerah; keempat, melalui kompetisi akan meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab birokrasi dalam pelayanan publik untuk mempercepat proses pembangunan di daerah; serta kelima, desentralisasi akan menjadi struktur direktif (pengarah) dalam penciptaan local good governance yaitu Pemerintahan Daerah yang berbasis pada transparansi, akuntabilitas, participatory democracy dan rule of law (Prasojo, 2003b). Dengan kata lain, implementasi elemen-elemen dan good governance tersebut dapat dilakukan dengan efektif jika unit-unit Desentralisasi menjadi motor dan katalisator pembangunan dan perubahan di Daerah. Dengan demikian, desentralisasi politik dan dukungan Administrasi Publik lokal menjadi salah satu instrumen penting dalam pengimplementasian good governance. Hanya saja kondisi ini hanya dapat terjadi apabila desentralisasi politik dapat dipahami sebagai instrumen demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat dan tidak hanya sekedar sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Selain itu, upaya mewujudkan NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat good governance tidak bisa dilepaskan dan usaha 10 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT mereformasi birokrasi (Prasojo, 2003b). Dalam mempersiapkan birokrasi yang telah ada untuk artian dapat bagaimana mendukung impelementasi dari prinsip-prinsip good governance tersebut. Karenanya, pembaruan birokrasi daerah tidak dapat dihindarkan dan merupakan keharusan. Perbaikan dan pembaruan birokrasi pemerintah daerah ini harus diarahkan pada tiga kepentingan: pertama untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat sebagai pembayar pajak. Kedua mempertanggungjawabkan penerimaan maupun penggunaan sumber-sumber keuangan publik, dan ketiga untuk meningkatkan efisiensi dan effektivitas internal instansi pemerintah dan terutama untuk menjadikan anggaran publik sebagai salah satu basis pengambilan keputusan (management control). Efek positif dari desentralisasi politik dan reformasi birokrasi sebagai basis penciptaan local good governance sebagaimana disebutkan di atas bukan tanpa masalah. Ketidakmampuan Daerah secara personal dan finansial dapat menjadi hambatan keberhasilan proses tersebut. Hal ini dapat terjadi jika proses transformasi dari sistem yang sentralistis-hirarkhis menjadi desentralistis-partisipatif tidak memiliki kejelasan peraturan pelaksanaan di lapangan. Sehingga dalam hal ini, hukum harus menjadi dasar proses reformasi birokrasi untuk menuju good governance. (Prasojo, 2003) Faktor lainnya yang akan mempengaruhi implementasi desentralisasi menurut Rondinelli (1983) adalah: (1) kuatnya dukungan politik dan administratif dari Pemerintah Pusat; (2) pengaruh perilaku, tingkah laku dan budaya; (3) faktor-faktor organisasi; (4) sumberdaya keuangan, manusia, dan fisik yang cukup dan memadai. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 11 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Meskipun demikian, dalam kebanyakan praktek di negara-negara berkembang, desentralisasi politik ditempatkan lebih sebagai instrumen efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, katimbang sebagai instrumen peningkatan demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, secara prinsipil desentralisasi politik dipahami sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Pemahaman dan praktek semacam ini tidaklah mengherankan, karena konsepsi good governance oleh Bank dunia memang bersifat teknis dan bukan politis. Atas dasar asumsi itu, tidak sukar untuk dipahami bahwa diskusi mengenai desentralisasi lebih erat berkaitan dengan modernisasi administrasi dan negara melalui paradigma baru New Public Management (Reinermann, 1993). Sejalan dengan perkembangan pemahaman demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, konsepsi awal good governance yang notebene berkiblat kepada sistem anglosaxon (rule of law) tidak lagi memenuhi tuntutan tersebut. Atas dasar itulah, negara-negara Eropa Kontinental mengembangkan perspektif barn good governance yang lebih menekankan pada aspek demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Prasojo, 2003a). B. Identifikasi Masalah 1. bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan, masyarakat sudah sewajarnya ikut melakukan (berperan) atau dengan kata lain Pemerintah harus bekerja bersama masyarakat, karena pada hakekatnya Pemerintah bekerja bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk masyarakat. Upaya ini merupakan rangkaian proses untuk menuju penguatan peran masyarakat, bukan sekadar peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan (community driven development). NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 12 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT 2. dengan kuatnya peran masyarakat, maka penyelenggaraan pembangunan akan lebih bisa dilakukan secara transparan, akuntabel, berakhlak, dan berorientasi pada rakyat atau dengan kata lain bernuansa good governance di segala lapisan. 3. Kendati perkembangan memberikan demokrasi kesempatan yang sejak luas reformasi kepada 1998 telah masyarakat untuk berpartisipasi, namun kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat masih belum optimal bahkan tidak terstruktur dengan baik. Untuk itu perlu dirumuskan optimalisasi dan struktur partisipasi masyarakat dalam suatu sistem hukum. C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Tujuan pembentukan Undang-Undang tentang Partisipasi Masyarakat sebagai berikut : a. Menjaring keinginan masyarakat berupa kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat sehingga Undang-Undang yang dibentuk sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat; b. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Pembentuk dan Pelaksana Undang-Undang yakni Pemerintah. serta Penegak hukum; c. Untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap Undang- Undang. d. Untuk menumbuhkan kesadaran politik karena masyarakat diikutsertakan dalam pembuatan produk politik seperti UndangUndang. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 13 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT D. Metode pendekatan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis karena data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data primer yakni data dari responden. Data ini merupakan data kualitatif yakni “data yang bersifat menerangkan dalam bentuk uraian maka data tersebut tidak dapat diwujudkan dalam bentuk angka-angka melainkan berbentuk suatu penjelasan yang menggambarkan keadaan, proses, peristiwa tertentu” (P.Joko Subagyo, 1991 : 94). Kemudian data kualitatif ini dianalisis dengan analisis kualitatif maksudnya analisis dilakukan terhadap “data yang berupa informasi, uraian dalam bentuk bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya sehingga memperoleh gambaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dan sebaliknya. Jadi, bentuk analisis ini dilakukan merupakan penjelasanpenjelasan bukan berupa angka-angka statistik atau bentuk angka lainnya” (ibid.). Analisis ini ditunjang dengan pendekatan Undang-Undang (statute approach), maksudnya “dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani” (Peter Mahmud Marzuku, 2005 : 92). Dengan demikian, pengkajian juga didasarkan atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mencegah terjadinya ketidakharmonisan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Kemudian dikaitkan dengan aturan hukum yang sederajat agar tercipta adanya keharmonisan hukum secara horisontal. Analisis ini juga ditunjang dengan pendekatan konseptual (conceptual approach) yang beranjak dari “pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum” (ibid. : 95). Konsep adalah “rupa atau gambar atau bayangan dalam pikiran yang merupakan hasil tangkapan akal budi terhadap suatu entitas yang menjadi obyek pikiran” (Jan Hendrik Rapar, 1996 : 27). NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 14 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK A. Kajian Teoritis Secara garis besar, ruang lingkup partisipasi masyarakat terdiri dari partisipasi dalam pembangunan dan partisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pertama, partisipasi dalam pembangunan meliputi proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan manfaat pembangunan dengan mempertimbangkan otonomi dan kemandirian masyarakat. Tampaknya pandangan terakhir ini sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Sjahrir bahwa : Pengertian partisipasi dalam pembangunan bukanlah semata-mata partisipasi dalam pelaksanaan program, rencana, dan kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga partisipasi yang emansipatif. Artinya sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pembangunan, dari, oleh, dan untuk rakyat12. Dari penjelasan mengenai cakupan makna dari partisipasi publik di atas, maka dapat dipahami bahwa partisipasi dalam arti luasnya mencakup pula involvement dan empowerment. Partisipasi berentang mulai dari pembuatan kebijakan, implementasinya sampai dengan kendali warganegara terhadapnya. Partisipasi dapat terjadi bila ada demokrasi. Terjadi perubahan pandangan masyarakat terhadap partisipasi. Kini, masyarakat tidak lagi memandang partisipasi masyarakat sebagai sebuah kesempatan yang diberikan oleh pemerintah karena kemurahan hatinya. Partisipasi lebih dihargai sebagai suatu layanan dasar dan 12 Sjahrir, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, dalam Korten, D.C., & Jahrir, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Penerjemah: A Setiawan Abadi, Jakarta, 1988, hal 320 NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 15 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT bagian integral dari local governance. Dalam citizen-centred government, partisipasi publik merupakan alat bagi good governance.13 Antoft dan Novack juga mengungkapkan berbagai bentuk partisipasi (dalam pengertian lebih sempit) yang bisa dilakukan oleh komunitas untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya bisa berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan bagi penduduk menikmati akses partisipasi yang lebih besar karena tidak semua penduduk pada waktu yang bersamaan, di tempat yang sama, dengan kepentingan yang sama dapat berpartisipasi secara langsung dan bersama-sama. Ada kendala waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya yang membatasi partisipasi publik ini. Bentuk-bentuk partisipasi tersebut meliputi : electoral participation, lobbying, getting on council agenda, special purpose bodies, dan special purpose participation. Berbagai bentuk partisipasi masyarakat (dalam arti luas) dalam pemerintahan daerah berdasarkan pengalaman berbagai negara di dunia telah dijelaskan oleh Norton yang berkisar pada : pertama, referendum bagi isu-isu vital di daerah tersebut, dan penyediaan peluang inisiatif warga untuk memperluas isu-isu yang terbatas dalam referenda. Kedua, melakukan decentralization in cities (desentralisasi di dalam kota) kepada unit-unit yang lebih kecil sehingga kebutuhan, tanggung jawab dan pengambilan keputusan lebih dekat lagi kepada masyarakat. Ketiga, konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Dan yang keempat adalah partisipasi dalam bentuk sebagai elected member (anggota yang 13 Antoft&Novack, Grassroots Democracy: Local Government in the Maritimes, Nova Scotia: Henson College, Dalhousie University, 1998, hal. 81 NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 16 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT dipilih)14. Semakin banyak anggota dewan yang dipilih secara proporsional jumlah penduduk maka semakin tinggi partisipasinya. Semakin kecil rasio anggota dewan dibandingkan dengan jumlah penduduk maka semakin besar derajat partisipasinya. Meski demikian, rasio tersebut bervariasi antar daerah di seluruh dunia bergantung pada kondisi masing-masing. Kedua, partisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal terpenting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah partisipasi publik karena tanpa pelibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah represif. Sedangkan apabila dalam pembentukannya melibatkan masyarakat dan meyerap aspirasi masyarakat maka peraturan perundang-undangan yang dihasilkan akan responsif. A.S. Hikam mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang diperkuat dengan adanya hasil amandemen UUD 194515. Menurutnya pembukaan UUD 1945 secara jelas menyatakan “…susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat..”. kemudian Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Secara umum, penegasan tersebut paling tidak dapat ditafsirkan bahwa UUD 1945 menghendaki ataupun menerapkan konsep Kedaulatan Rakyat yang berarti kekuasaan yang tertinggi untuk memerintah dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Pengejewantahan dari konsep itu adalah mengikut-sertakan rakyat 14 Norton, International Handbook of Local and Regional Government: A Comparative Analysis of AdvandceDemocracies, Cheltenham: Edwar Elgar, 1994, hal. 103 15 Muhammad A.S. Hikam, Partisipasi publik dalam Pembentukan Undang-Undang, Paper pada Diskusi dan Peluncuran Buku PSHK di Hotel Cemara, Jakarta 18 Maret 2005 NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 17 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan mengikutsertakan rakyat dalam pembuatan kebijakan. Tampak jelas keterbukaan, bahwa yang dalam berkaitan paham demokrasi dengan asas terdapat partisipasi asas publik, sebagaimana pula dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno (1987: 289293), bahwa paham demokrasi atau kedaulatan rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat. Kontrol ini melalui dua sarana: secara langsung melalui pemilihan para wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity) pengambilan keputusan. Pertama, pemilihan wakil rakyat berkonsekuensi pada adanya pertanggungjawaban. Karena, jika partaipartai mau terpilih kembali dalam pemilihan berikut, mereka tidak dapat begitu saja mempermainkan kepercayaan para pendukung mereka, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Kedua, keterbukaan pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Karena pemerintah bertindak demi dan atas nama seluruh masyarakat, maka seluruh masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang dilakukannya. Bukan saja berhak mengetahui, juga berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Dari penjelasan tersebut diatas jelas menunjukan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam bentuk RUU, terdapat hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan RUU, yakni memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam persiapan maupun pembahasan RUU. Menurut Sad Dian Utomo (2003: 267-272), manfaat partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam pembuatan RUU adalah : NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 18 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT 1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik. 2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik. 3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif. 4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat. Sesuai dengan ide negara hukum, maka partisipasi publik dalam penyusunan RUU mesti diatur secara jelas dalam suatu aturan hukum tertentu. Sendi utama negara hukum, menurut Bagir Manan ( 2003: 245) adalah hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat atau antar-anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Hukum mempunyai dua pengertian, yakni hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Bapak Pembentuk Negara Indonesia, mengakui adanya hukum tidak tertulis, sebagaimana pernah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 : “Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis” (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2004: 11). NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 19 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Berkenaan dengan negara hukum, Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih ( 1980: 29 ) mengemukakan, bahwa legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya sebagai ciri negara hukum adalah setiap tindakan baik dari pihak penguasa maupun dari pihak rakyat harus dibenarkan secara hukum (Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1980: 29). Mengenai asas legalitas, Jimly Asshiddiqie ( 2005: 155 ) berpendapat, bahwa dalam setiap Negara Hukum diisyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis (Jimly Asshiddiqie, 2005: 155). Peran serta masyarakat dinyatakan oleh Jean Jacques Rousseau (17121778) dalam Du Contract Social sebagai kehendak umum (volonte generale), sehingga tujuannya selalu umum. Suatu undang-undang yang terwujud dari kehendak, akan menciptakan suatu tujuan umum, yakni kepentingan umum. Oleh karena itu, jika dalam masyarakat tertentu dibentuk undang-undang yang tidak mencerminkan kepentingan umum, sebab berlakunya tidak jelas maka undang-undang itu dianggap tidak adil. Undang-Undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (volunte generale), dimana dalam hal in seluruh rakyat secara langsung mengambil bagian dalam pembentukan aturan masyrakat tanpa perantara wakil-wakilnya, sedangkan menurut Rousseau, yang dimaksud dengan rakyat bukanlah penjumlahan dari individu-individu di dalam negara itu, melainkan adalah kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu itu dan yang mempunyai kehendak, kehendak mana diperolehnya dari individu-individu tersebut melalui perjanjian masyarakat. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 20 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Sesuai dengan pendapat diatas, dan sebagai pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menganut paham kedaulatan rakyat, memungkinkan seluruh aspek pemerintahan harus berdasarkan oleh kehendak rakyat. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin melaksanakan kehendak rakyat secara benar dan masyarakat dapat melakukan peran serta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon, keterbukaan baik openheid maupun openbaar-heid sangat penting artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak.16 Menurut Ni Made Ari Yuliartini Griadhi dan Anak Agung Sri Utari dengan mengutip pendapat Philipus M. Hadjon ( 1997: 4-5 ), mengemukakan bahwa konsep partisipasi Masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan partisipasi dalam kegiatankegiatan pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon, keterbukaan, baik “openheid” maupun “openbaar-heid” sangat penting artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak. Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon ( 1997: 7-8 ) bahwa sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi 16 Philipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia”, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal. 4-5. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 21 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan. Dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum, sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang “Beginselen berjudul van de democratische rechsstaat” bahwa (Philipus M. Hadjon, 1997 : 2) : 1. pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan yang bebas dan rahasia; 2. pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih; 3. setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul; 4. badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui sarana “(mede) beslissing-recht” (hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui wewenang pengawas; 5. asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang terbuka; 6. dihormatinya hak-hak kaum minoritas. Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari demokrasi terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo. Menurut S.W. Couwenberg, lima asas demokratis yang melandasi rechtsstaat, dua diantaranya adalah asas pertanggungjawaban dan asas Masyarakat (openbaarheidsbeginsel), yang lainnya adalah: asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas perwakilan (Philipus M. Hadjon, 1987: 76). Senada dengan itu, Sri Soemantri M. ( 1992: 29 ) mengemukakan bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam lima hal, dua diantaranya adalah: pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 22 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT dimungkinkannya keluhannya rakyat mengenai yang berkepentingan tindakan-tindakan pejabat menyampaikan yang dianggap merugikan. Maka dari itulah jaminan kepada setiap warga negara perlu terus dikembangkan yang salah satunya adalah dengan membentuk UndangUndang tentang Partisipasi Masyarakat. B. Praktik Empirik Ada beberapa praktik menarik terkait dengan partisipasi masyarakat, good governance dan reformasi birokrasi yang dapat dijadikan tolak ukur pentingnya UU tentang partisipasi masyarakat ini. Kabupaten Jembrana Dalam konteks reformasi birokrasi dan good governance, terdapat sejumlah program inovasi di Kabupaten Jembrana yang layak dan patut dicontoh oleh Daerah lainnya di Indonesia. Sejumlah program tersebut dibagi empat kelompok bidang yakni bidang pendidikan; perekonomian, tenaga kerja dan kependudukan; pertanian; serta perizinan dan struktur pemerintahan. Dalam bidang pendidikan, terdapat lima program yaitu: pembebasan biaya sekolah SD –SMU Negeri dan program beasiswa untuk siswa SD – SMU Swasta; pembangunan/perbaikan gedung sekolah dengan pola block grant dan regrouping sekolah; pemberian beasiswa kepada guru untuk melanjutkan pendidikan; peningkatan kesejahteraan guru melalui penambahan insentif tambahan; serta penyelenggaraan sekolah kajian untuk mencetak anak didik yang memiliki disiplin tinggi, budi pekerti, keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta mempunyai wawasan global. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 23 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Dalam hal pembangunan/perbaikan gedung sekolah negeri baik berupa ruang kelas baru atau ruang penunjang lainnya, maka pola yang dipilih untuk dilaksanakan adalah melalui pola block grant bukan proyek seperti yang selama ini biasa dilakukan di daerah-daerah lainnya. Pola ini dilakukan dengan mengedepankan partisipasi masyarakat melalui komite sekolah yang ada, sehingga pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tersebut diharapkan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Melalui pola ini, Pemerintah Kabupaten hanya memfasilitasi dan memberikan bantuan berupa dana atau material untuk bangunan yang akan direhab/buat. Pemilihan pola block grant dilakukan selain untuk memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat juga bertujuan untuk melakukan efisiensi dan pemanfaatan dana yang lebih optimal dengan sasaran akhir yang lebih maksimal. Dengan pola ini diharapkan dapat dilaksanakan rehab/perbaikan gedung SD, SMP, maupun SMU dengan menggunakan biaya dari APBD dan DAK yang minimal namun dengan hasil yang lebih optimal. Dalam bidang perekonomian, tenaga kerja dan kependudukan, terdapat sembilan program yaitu: dana bergulir; pemberian alat kerja kepada kelompok masyarakat; pelatihan dan penempatan kerja di kapal pesiar; pelatihan dan pemagangan kerja di Jepang; info bursa tenaga kerja di Dinas Kependudukan, pembebasan biaya pembuatan KTP dan Akte Kelahiran; undian berhadiah KTP; serta asuransi kematian bagi pemegang KTP. Dalam bidang pertanian, terdapat tiga program yaitu: program inovasi dalam pemberian dana talangan kepada KUD untuk membeli gabah petani, pemberian dana talangan kepada petani cengkeh, dan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan untuk areal pertanian. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 24 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Dana talangan pemberian gabah petani dilakukan dalam rangka mengatasi kesulitan petani terkait dengan murahnya harga gabah pada waktu musim panen raya. Program ini dilakukan dengan pola kemitraan antara Pemerintah Kabupaten, KUD dan Kelian Subak. Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan dana kepada KUD yang kekurangan dana untuk membeli gabah petani melalui Kelian Subak. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten membeli beras dan KUD untuk memenuhi kebutuhan beras PNS. Selain untuk untuk menanggulangi anjloknya harga gabah petani pada musim panen puncak, program ini juga bertujuan agar KUD sebagai lembaga pemasaran (tata niaga) beras/gabah dapat menampung gabah petani, dan menciptakan rasa agar masyarakat Jembrana lebih mencintai dan memanfaatkan produksi petani lokal. Sejumlah manfaat yang dirasakan dari keberadaan program ini antara lain adalah harga gabah petani yang tidak lagi anjlok meskipun pada saat musim panen puncak, KUD dapat lebih berperan sebagai lembaga pemasaran hasil pertanian utamanya gabah/beras karena mendapat bantuan dana dari Pemerintah Kabupaten berupa uang muka pembayaran beras bagi PNS, serta Pemerintah Kabupaten sendiri dapat memenuhi kebutuhan beras bagi PNS dilingkungannya dengan harga sesuai kesepakatan. Dalam bidang perizinan dan struktur pemerintahan terdapat enam program, yaitu: pelayanan izin satu atap, perubahan struktur organisasi Pemerintah Kabupaten sesuai dengan PP 8/2003; absensi pegawai Pemerintah Kabupaten dengan menggunakan handkey; pembentukan tim owner estimate (OE) dalam pengadaan barang dan jasa; pemberian insentif tahunan bagi pegawai Pemerintah Kabupaten; dan pembatasan penggunaan kendaraan dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jembrana. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 25 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Tim Owner Estimate (OE) adalah sebuah tim yang dibentuk oleh Bupati untuk menilai nilai sebenarnya dari suatu proyek pengadaan barang dan jasa. Dengan adanya tim OE ini dapat dilakukan efisiensi penggunaan dana dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa tanpa mengurangi spesifikasi dan volume dari proyek pengadaan barang dan jasa tersebut. Penggunaan tim OE ini juga didukung oleh kebijakan Bupati untuk mensentralisasikan proyek pengadaan barang dan jasa melalui 1 (satu) pintu di tingkat Kabupaten, dan adanya nilai standar yang sama dalam belanja barang yang dilakukan oleh unitunit di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jembrana. Standar harga tersebut dibuat melalui sebuah survei harga pada sejumlah tempat/toko dan senantiasa diperbaharui setiap 3 (tiga) bulan sekali. Kabupaten Sragen Seperti halnya di Kabupaten Jembrana, di Kabupaten Sragen terdapat sejumlah program inovasi di Kabupaten Sragen yang layak dan patut dicontoh oleh Daerah lainnya di Indonesia. Sejumlah program tersebut dibagi dalam tiga kelompok besar program yakni program reformasi birokrasi sebagai wujud pembenahan aspek-aspek internal kelembagaan pemerintahan daerah, program re-engineering pelayanan publik dengan penataan pelayanan prima dalam fasilitasi dan pemberian dukungan terhadap upaya masyarakat membangun diri sendiri, serta program pemberdayaan masyarakat & PNS dengan paket-paket program yang mendorong masyarakat dan PNS menjadi maju dengan kapasitas yang mereka miliki. Dalam bidang reformasi birokrasi, program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen terbagi dalam berbagai aspek yakni aspek struktur pemerintahan, aspek budaya SDM pemerintahan, aspek e- government serta aspek pengelolaan anggaran daerah. Pada aspek NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 26 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT struktur pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan berbagai program seperti: restrukturisasi satuan kerja perangkat daerah yang miskin struktur tapi kaya fungsi dan sesuai dengan kebutuhan daerah; pembentukan lembaga adhoc seperti marketing unit dan engineering services yang tidak masuk struktur tetapi mengemban fungsi yang justru menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan lainnya secara lebih optimal; serta pengembangan fungsi satuan kerja sebagai sebuah korporasi yang mengusung fungsi sosial. Dalam hal ini satuan kerja diupayakan menjalankan berbagai fungsi sebagai pusat pendapatan (revenue center), pusat produksi (production center) dan pusat pelatihan (training center). Fungsi pemerintah sebagai pusat pendapatan dimanifestasikan dengan mengupayakan segala program yang dapat mendatangkan penghasilan tambahan yang sah bagi Pemerintah Kabupaten Sragen sebagai suatu lembaga pemerintahan sekaligus bagi pegawai yang beraktivitas di dalamnya. Dijalankannya fungsi pemda sebagai revenue center bukan hanya menutupi kekurangan pemasukan atau PAD melainkan juga membalik citra negatif pemda sebagai sumber pengeluaran (cost-center). Sementara itu, fungsi sebagai pusat produksi dan pusat pelatihan dilaksanakan melalui sinergi dengan agenda pemberdayaan masyarakat yang banyak diemban satuan kerja lain, misalnya Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) melalui pembentukan production & training center seperti Sragen Javaniture. Pada aspek budaya SDM pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan berbagai program seperti: komunikasi intensif dalam rangka internalisasi nilai-nilai pelayanan publik dalam pengelolaan roda pemerintahan sehingga memiliki citra positif di masyarakat; pemberlakuan sistem handkey dalam absensi pegawai; pendirian klinik terapi holistik NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 27 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT dalam mewujudkan pengembangan kesejahteraan assessment center lahiriah-batiniah guna menciptakan pegawai; mekanisme penilaian pegawai yang lebih akurat dan terukur; serta membuka peluang wirasusaha bagi PNS dalam rangka turut meningkatkan kesejahteraan pegawai. Pada aspek melaksanakan e-government, berbagai Pemerintah program seperti: Kabupaten Sragen pembangunan jaringan pemerintahan secara online dengan perangkat wireless; pengoperasian teleconference sampai ke tingkat desa/kelurahan dalam rangka memperlancar hubungan komunikasi di lingkungan pemerintah kabupaten; pembangunan data kependudukan sipil secara elektronik dengan menggunakan single identity number; serta dengan mengembangkan mekanisme pemilihan kepala desa secara elektronik. Pada aspek pengelolaan anggaran daerah, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan program efisiensi anggaran. Hal ini diterapkan dengan penekanan belanja dinas-dinas yang diarahkan pada sasaran yang jelas dan bisa dioptimalkan. Sejumlah kegiatan dan belanja lainnya yang sebelumnya membutuhkan anggaran dalam jumlah tertentu bisa diturunkan tanpa mengurangi kualitas pencapaian tujuan kegiatan tersebut. Dalam bidang pelayanan prima, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan berbagai program seperti: pelayanan dengan konsep small management dengan melimpahkan sebagian kewenangan dan fungsi pemerintahan kabupaten ke kecamatan dan desa/kelurahan; mengembangkan wisata pelayanan publik; serta membebaskan biaya pembuatan akte kelahiran dan pengurusan Surat Ijin Usaha bagi pengusaha pemula. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 28 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan PNS, program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen terdiri dari program penyehatan lingkungan seperti pengelolaan sampah terpadu serta sejumlah program dalam bidang pertanian. Program dalam bidang pertanian ini diantaranya meliputi program revitalisasi pertanian organik; peningkatan teknologi pertanian; pengembangan homebase pengelolaan padi; pengembangan simbiosis antara petani dengan PNS penyuluh pertanian; diversifikasi usaha pekerjaan petani; peternakan kandang komunal; pengembangan kluster peternakan ikan; persiapan alih profesi petani penggarap; serta pengembangan area wisata terpadu di kawasan waduk Kedung Ombo. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 29 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT BAB III EVALUASI DAN ANALISA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sebagai negara hukum, maka semua aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan wajib didasarkan pada hukum. Hukum yang dimaksud adalah hukum yang responsif artinya hukum yang menanggapi kebutuhan-kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat. Agar hukum itu menjadi responsif maka peranan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum sangat penting karena melalui partisipasi masyarakat ini dapat diketahui perkembangan kebutuhan hukum yang tumbuh dalam masyarakat. Jadi, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia keharmonisan keberlakuan hukum baik secara vertikal maupun secara horisontal sangat diperlukan untuk menjaga tertib hukum dan keutuhan negara kesatuan. Selama ini terdapat beberapa Undang-Undang yang mengatur partisipasi masyarakat sebagai berikut : No. UNDANG-UNDANG 1 UU Nomor tentang Konsumen 2 UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 8 Tahun 1999 Perlindungan PASAL YANG TERKAIT KETERANGAN Penjelasan Pasal 1 angka 9, dan Penjelasan Pasal 2 ayat (2). Bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen. Dalam Penjelasan umum Timbulnya partisipasi masyarakat dalam mendorong terwujudnya tertib jasa konstruksi. 30 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT No. UNDANG-UNDANG 3 UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Penjelasan umum penyelenggararaan pemerintahan daerah memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat 4 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 14 ayat (1) huruf c Tugas pokok Kepolisian adalah membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Pasal 53 Mengatur partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan RUU dan Raperda. 6 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Pasal 8, dan Penjelasan Pasal 8. Perencanaan perkebunan harus melibatkan partisipasi masyarakat dan pihak terkait. 7 UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 2 ayat (4), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2). Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional harus mendorong Partisipasi Masyarakat. 8 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Dalam penjelasan umum Menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam mengungkap tindak pidana. 9 UU Nomor 2 Tahun tentang Partai Politik Pasal 10 ayat (2) huruf a, Pasal 11 ayat (1) huruf d, Pasal 31 ayat 1 huruf b. Mengatur partisipasi masyarakat dalam berpolitik melalui partai politik. 10 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 3 huruf b Bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat PASAL YANG TERKAIT 2008 KETERANGAN 31 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT No. UNDANG-UNDANG PASAL YANG TERKAIT KETERANGAN proses pengambilan kebijakan publik. 11 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia Pasal 15 ayat (4) 12 UU No. 12 tentang Peraturan undangan Pasal 96 Tahun 2011 Pembentukan Perundang- Undang-Undang ini hanya Mengatur partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan RUU dan Raperda. mengatur secara ringkas atau sumir maksudnya hanya mengatur tentang pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai payung bagi partisipasi masyarakat dalam pembentukan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang. Berdasarkan uraian ini maka perlu dibuat Undang-Undang tentang Partisipasi Masyarakat sebagai landasan pembentukan undang-undang agar ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat sehingga ketentuan-ketentuan hukum tersebut dianggap benar dan mulia oleh masyarakat serta dapat menimbulkan kewajiban moral untuk mematuhinya. Kondisi demikian ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pembentuk dan pelaksana hukum yakni pemerintah. serta meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 32 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS Berdasarkan uraian di atas, pengaturan Partisipasi Masyarakat dalam sebuah undang-undang sangat mendesak di Indonesia, hal ini di dasar argumentasi sebagai berikut: A. Landasan Filosofis Pada dasarnya partisipasi Masyarakat merupakan insentif moral sebagai alat untuk mempengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi di tempat dibuatnya keputusan-keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian partisipasi tersebut bukanlah sebuah tujuan akhir (participation is an end it self). Hal ini tentunya bertolak belakang dengan asumsi yang berkembang selama ini yang memandang partisipasi Masyarakat semata-mata sebagai penyampaian informasi (public information), penyuluhan, bahkan hanya sekedar alat public relation agar proyek-proyek yang dilakukan pemerintah dapat berjalan lancar dan mendapat legitimasi dari masyarakat. partisipasi membutuhkan keterlibatan orang-orang secara suka rela dan demokratis dalam hal: (a) sumbangsihnya terhadap usaha pembangunan, (b) penerimaan manfaat secara merata, dan (c) pengambilan keputusan yang menyangkut penentuan tujuan, perumusan kebijakan dan perencanaan dan penerapan program pembangunan sosial dan ekonomi. Mengacu pada pandangan ini, partisipasi dapat dibedakan menjadi dua hal. Partisipasi otentik (authentic participation) yang merujuk pada terpenuhinya ketiga kriteria di atas. Jika tidak seluruh kriteria tersebut dapat dipenuhi maka hal ini akan disebut partisipasi semu (pseudo- participation). Dalam hal inilah di Indonesia sudah saatnya partisipasi itu NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 33 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT sudah dalam konteks partisipasi otentik, bukan semua sehingga perlu dijamin dalam sebuah undang-undang. Samuel P. Huntington mencatat dalam negara demokrasi, perubahan dramatis jarang terjadi dalam satu malam. Perubahan itu selalu bersifat moderat dan sedikit demi sedikit. Sistem demokrasi jauh lebih kebal terhadap pergolakan besar revolusioner ketimbang sistem otoriter. Proses yang relatif lambat itu karena perubahan sistem otoritarian menuju sistem demokrasi pada umumnya melalui tiga tahapan. Pertama; pengakhiran rezim non-demokratis. Kedua; pengukuhan rezim demokratis, dan ketiga; pengkonsolidasian sistem demokrasi. (Huntington, 1997). Konsolidasi demokrasi yang berarti suatu langkah untuk memperteguh atau memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan tentu tidak dengan serta merta dapat dihitung dalam jangka waktu tertentu. Bahkan dengan memberikan diungkapkan oleh patokan Akbar setelah Tanjung tahun atau 2009, Daniel seperti yang Sparringga yang menganggap sebagai masa transisi dengan ukuran progresif berlangsung 2 tahun, dan ukuran konvensional sekitar 10 tahun. (Kompas, 16/2/2009). Sebagai sebuah langkah pemantapan atau penguatan sistem demokrasi, maka bagi negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, konsolidasi demokrasi tentu akan melewati beberapa langkah eksperimentasi atau uji coba. Seperti uji coba infra struktur demokrasi, perumusan perangkat hukum untuk mengawal jalannya sistem demokrasi, serta uji coba penerapan sistem demokrasi. Eksperimentasi itu diarahkan untuk membangun budaya demokrasi dalam konsolidasi demokrasi. Dengan demikian, sebenarnya prasyarat penguatan atau peneguhan demokrasi melalui konsolidasi memang tidak hanya berpijak pada sistem demokrasi prosedural belaka, melainkan yang lebih utama adalah menyangkut substansi demokrasi yakni kultur demokrasi itu sendiri. Henry NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 34 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT B. Mayo mengemukakan bahwa demokrasi di samping sebagai suatu sistem pemerintahan dapat juga dikatakan sebagai suatu life style yang mengandung unsur-unsur moril, seperti penyelesaian secara damai dan melembaga, pergantian terjadinya perubahan kepemimpinan secara secara teratur, damai, menyelesaikan membatasi pemakaian kekerasan, menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan menjamin tegaknya keadilan. Unsur-unsur moril seperti ini jelas belum semuanya diterapkan dalam budaya demokrasi di Indonesia. Banyak contoh yang dapat dikemukakan di sini. Maraknya demonstrasi yang dibarengi dengan aksi kekerasan dan memakan korban, hilangnya kesantunan dalam berpendapat atau berargumentasi, black campaign para elit politik, menunjukkan bahwa budaya demokrasi di Indonesia masih jauh dari nilai-nilai yang dikemukakan oleh Henry B. Mayo tersebut. Dengan demikian sejak tahun 1998 ketika reformasi dikumandangkan sampai dengan amandemen UUD 1945, semuanya tidak termasuk kategori konsolidasi demokrasi, melainkan eksperimentasi demokrasi. Semenjak gerakan reformasi dikumandangkan oleh kaum intelektual muda (baca:mahasiswa) dan berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru pada tanggal 20 Mei 1998 yang ditandai dengan mundurnya Seoharto sebagai Presiden RI dan diganti oleh BJ. Habibie, maka mulai saat itulah bangsa Indonesia memasuki babakan baru yang sering disebut sebagai era demokratisasi. Babakan semacam ini, pada intinya menghendaki adanya keterlibatan secara aktif dan diberikannya ruang publik yang seluas-luasnya kepada masyarakat (rakyat) dalam setiap gerak dan langkah negara diberbagai aspek kehidupan ketatanegaraan. Pendek kata, rakyat tidak hanya sekedar sebagai obyek, penonton, pelengkap penderita dalam setiap NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 35 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT gerak sistem ketatanegaraan Indonesia. Mereka harus menjadi subyek yang menantukan warna dari sistem ketatanegaraan Indonesia. Ciri-ciri dari demokratisasi, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : Pertama; ditegakannya prinsip supremasi hukum. Penegakan prinsip negara hukum menjadi pilar dalam demokratisasi, karena dalam prinsip demokrasi itu sendiri mengandung unsur anarkhis. Tentunya hal ini jikalau tidak dikelola dengan baik. Nah instrumen untuk mengelola demokratisasi agar tetap berjalan seseuai dengan peradaban masyarakat modern tidak lain adalah perangkat hukum yang tegas dan responsif. Harus disadari bahwa, dalam dataran implementatif yang namanya demokrasi – khususnya dalam tatanan formal – sebenarnya merupakan suatu konsep yang utopis. Tidaklah mungkin jikalau rakyat dengan jumlah yang sedemikian besar, memerintah segolongan orang yang kuantitasnya relatif sedikit. Oleh sebab itulah aturan main (rule of the game) mutlak diperlukan dalam penguatan demokratisasi. Aturan main yang dimaksud, tidak hanya dalam tataran moral dan etik, melainkan harus melalui hukum dan perundang-undangan. Sanksi dalam pelanggaran hukum dan atau perundang-undangan lebih tegas dan nyata. Kedua; Terjaminnya perlindungan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Demokratisasi pada intinya membutuhkan adanya jaminan perlindungan terhadap HAM. Mengapa demikian ? Di dalam demokratisasi percaturan hak dan kewajiban dari manusia, baik Individu maupun kelompok, akan semakin terbuka. Oleh sebab itu penegasan mengenai hak-hak yang dimiliki oleh manusia (baik yang bersifat personal maupun sosial) sangat diperlukan. Hal ini dimaksud agar setiap orang mengetahui dan memahami serta kemudian menghormati hak-hak asasi manusia sesamanya. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 36 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Di dalam persoalan perlindungan HAM tentunya harus menyangkut juga penegasan mengenai kewajiban-kewajiban asasi manusia. Hal ini mengingat secara konseptual di dalam HAM terkandung juga KAM (Kewajiban Asasi Manusia). Anthony Giddens mengemukakan bahwa motto yang mungkin bisa ditawarkan kepada politik baru itu adalah tak ada hak tanpa tanggung jawab. Dan meluasnya individualisme seharusnya juga disertai dengan perluasan kewajiban individual (Anthony Giddens;1999:75). Lain daripada itu di dalam demokratisasi pengakuan akan HAM justru diperlukan, ketika rakyat mulai berhadap-hadapan dengan kekuasaan (baca:negara). Mengapa demikian ? Kekuasaan itu mengandung dua dimensi, yakni dimensi pesona dan dimensi menakutkan. Dimensi pesona ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk mempengaruhi orang lain seturut kehendak pemilik kekuasaan, melalui kekuatan kharismatik, kemampuan intelektual, maupun kemampuan fisik (power, sakti, digdaya, dsb). Sementara itu dimensi menakutkan, diperlihatkan dari sifat kekuasaan itu yang cenderung korup, menindas, sewenang-wenang. Nah dimensi yang terakhir inilah upaya untuk memperkuat masyarakat (rakyat) dengan memberikan penegasan terhadap perlindungan HAM sangat dibutuhkan. Penguatan ini diperlukan agar dimensi yang kedua tersebut dapat dieleminir alias dibatasi, bahkan kalau mungkin dihilangkan dari fenomena kekuasaan. Ketiga; terjalinnya komunikasi yang transparan dan bebas. Demokratisasi membutuhkan transparansi dan kebebasan komunikasi politik. Dalam hal ini komunikasi, termasuk informasi harus dapat berjalan dengan selaras, baik yang berdimensi dari atas ke bawah (top down) maupun dari bawah ke atas (bottom up). NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 37 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Dalam demokratisasi segala sesuatu yang menyangkut tuntutan (demand) maupun dukungan (support) harus dapat disalurkan secara lebih terbuka melalui kepada lembaga-lembaga resmi (supra struktur politik) dan harus menjadi referensi utama dalam setiap pengambilan keputusan politik. Oleh sebab itu komunikasi politik harus dapat terjalin secara transparan. Lain daripada itu, demokratisasi juga membutuhkan adanya pertanggung jawaban publik, sehingga komunikasi politik juga dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menilai pertanggungjawaban (politik, moral, hukum) dari pemegang kekuasaan kepada rakyat. Keempat; terbentuknya kemandirian masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihan politiknya. Demokratisasi sebagai suatu proses dan sarana dalam kehidupan ketatanegaraan ditandai dengan adanya keterlibatan rakyat dalam setiap pengambilan keputusan politik. Hal ini berarti rakyat dijamin kebebasannya untuk menentukan pilihan dari berbagai alternatif politik yang ditawarkan. Oleh sebab itu kemandirian (otonomi) rakyat harus benar-benar terjamin dan dilaksanakan dengan baik. Berbagai macam tuntutan maupun dukungan masyarakat tidak mungkin untuk diseragamkan. Setiap bentuk penyeragaman mengenai hal tersebut, pada akhirnya justru akan menimbulkan rasa ketidak adilan. Dengan demikian dalam demokratisasi pilihan-pilihan rakyat dalam menentukan arah kehidupan sosial, budaya maupun politik harus diletakkan dalam konteks kemandirian rakyat. B. Landasan Yuridis Di dalam Pembukaan UUD 1945 secara jelas menyatakan “…susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat..”. kemudian Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Secara umum, penegasan tersebut berarti bahwa UUD 1945 menghendaki ataupun NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 38 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT menerapkan konsep Kedaulatan Rakyat yang berarti kekuasaan yang tertinggi untuk memerintah dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Pengejewantahan dari konsep itu adalah mengikut-sertakan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan mengikutsertakan rakyat dalam pembuatan kebijakan. Belum lagi pengaturan lebih lanjut dalam UUD 1945: a. Pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. **) b. Pasal 28C (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. **) c. Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. **) d. Pasal 30 (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. **) C. Landasan Sosiologis Perkembangan demokrasi di Indonesia pasca transisi demokrasi setelah reformasi 1998 perlu dijaga dengan memantapkan perlindungan dan NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 39 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT jaminan hukum atas partisipasi Masyarakat menuju tata pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu karakteristik dari good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik atau kepemerintahan yang baik adalah partisipasi. Di dalam partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan sangat penting. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif (Hetifah Sj Sumarto, 2003: 3). Senada dengan itu, Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere (2001: 8) memaknai partisipasi sebagai berikut: bahwa pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders (pihak yang mempunyai kepentingan)-memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan. Apa yang dikemukakan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, yaitu bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah ( Mariam Budiardjo, 1981: 2), akan terwujud apabila partisipasi yang selama ini berkembang di masyarakat dikukuhkan jaminannya dalam sebuah undang-undang. Warga negara harus terlibat dalam proses pengambilan keputusan, yang dalam kepustakaan kebijakan Masyarakat di Belanda disebut inspraak atau partisipasi politik langsung (H.H.F.M Demen dan J.J.A. Thomassen, 1983: 229-262, 245-249). Ciri terpenting dari partisipasi politik langsung adalah tidak melalui proses perwakilan, melainkan warga negara berhubungan langsung dengan para pengambil keputusan. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 40 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGUATAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RUU A. Jangkauan dan Arah Penguatan RUU ini mengatur bagaimana partisipasi masyarakat dilakukan. Meskipun telah banyak Undang-Undang yang mengatur tentang partipasi masyarakat namun pelaksanaan dan jaminan partisipasi masyarakat yang baik dan berdayaguna untuk melaksanakan sistem pemerintahan yang demokratis dan aspiratif, penegakan hukum yang efektif, serta dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) dan terbuka belum sepenuhnya dilakukan, oleh karena itu perlu ada jaminan dan perlindungan bagi masyarakat untuk dalam rangka melaksanakan partisipasi masyarakat. Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan mampu menjalankan tugasnya untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan rakyatnya dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Sebagaimana dikatakan Laski dalam Miriam Budiarjo, masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama dan berkerja sama untuk mencapai keinginan-keinginan mereka bersama (a society is a group of human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants). Oleh karena itu dibutuhkan hubungan yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat agar tujuan-tujuan dari pembangunan bisa tercapai. Hubungan tersebut dapat dijalankan melalui koordinasi, integrasi, simplifikasi dan sinkronisasi yang baik. Sehingga program dan kegiatan antara pemerintah pusat dan lokal, atau pemerintah lokal dengan masyarakat tidak tumpang tindih atau berseberangan. Beberapa NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 41 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT persyaratan yang perlu dipenuhi untuk terjadinya sinergi antara masyarakat dengan pemerintah yaitu : a. adanya komplementaritas, dimana pembagian tugas diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan komunitas dan badan pemerintah dapat menggunakan keunggulan komparatif mereka dengan sebaik-baiknya dan berbagi beban kerja sesuai dengan kesanggupan masing-masing untuk mengerjakannya dengan cara yang terbaik; b. keterhubungan (embededness), adalah interaksi yang berkesinambungan antara pejabat-pejabat instansi pemerintah dengan para individu-individu dan dengan komunitas masyarakat. c. Kedua hal diatas tentu saja harus berdasarkan pada : ! kapital sosial (social capital), dimana komunitas harus memberikan sumbangan pemikiran terhadap tujuan umum, memungkinkan terlaksananya penyampaian informasi yang relevan diantara anggota dan memungkinkan untuk melakukan koordinasi usaha-usaha yang dilakukan oleh anggota secara individual; ! kapasitas instansi pemerintah (institutional capacity), instansi pemerintah harus mampu memberikan 2 istilah yang digunakan Mahatma Gandhi untuk menggambarkan konsep dan tujuan pembangunan. Konsep pemberdayaan masyarakat tersebut tercermin dalam paradigma baru pembangunan, seperti yang diungkapkan Chambers bahwa pembangunan itu harus bersifat masyarakat sentris, mengusung partisipasi, pemberdayaan, dan berkelanjutan (people centered, participatory, empowering, and sustainable). Pelayanan barang kolektif dan mampu untuk mempersatukan pembagian tugas yang kompleks dengan komunitas lokal dengan agenda organisasinya. Secara makro, NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 42 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT peranan pemerintah di dalam pembangunan adalah sebagai : (1) modernisator, (2) katalisator, (3) dinamisator, (4) stabilisator, dan (5) pelopor. Sebagai modernisator, pemerintah harus mampu membawa perubahanperubahan dan pembaharuan kepada masyarakat. Sebagai katalisator, pemerintah harus dapat mengenali faktor-faktor yang mampu mendorong laju pembangunan nasional dan menarik manfaat yang sebesar-besarnya. Sebagai dinamisator, memberikan bimbingan dan pengarahan. Sebagai stabilisator, pemerintah berusaha menciptakan suasana yang tertib yang aman. Sebagai pelopor, pemerintah harus mampu menunjukkan contoh-contoh nyata yang baik dan membangun dalam tindakan. Peran yang ada di masyarakat antara lain memberikan kontribusi atau bantuan (baik materil maupun non materil), bersikap responsif bukan reaktif terhadap perubahan atau pembangunan, komunitas yang belajar, dan berusaha untuk keluar dari masalah sendiri tanpa bergantung pada pihak lain (self reliance). Good Governance melibatkan 3 pelaku utama yaitu Negara atau Pemerintah (state), Sektor swasta (private sector), dan Masyarakat madani (Civil Society). Pelaku tentu saja mempunyai peran dan fungsi masing-masing. Namun secara filosofis dapat dikatakan bahwa penerapan dan perwujudan merupakan tanggung jawab sepenuhnya negara atau pemerintah artinya tugas pertama (initial duties) ada di pundak pemerintah, sedangkan peran swasta dan masyarakat adalah pendukung dan bagian sinergisasi tanggung jawab tersebut. Konsep good governance adalah konsep manajerial. Manajerial tersebut harus tercipta dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Partisipasi masyarakat sebagai salah satu pilar Good NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 43 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Governance dalam roda pembangunan cukup luas. Tambahan teori Prinsip-prinsip Good Governance, yaitu : 1. Partisipasi Masyarakat, semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. 2. Tegaknya Supremasi Hukum, kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukumhukum yang menyangkut hak asasi manusia. 3. Transparansi, tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh informasi proses perlu dapat pemerintahan, diakses lembaga-lembaga oleh pihak-pihak dan yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau oleh masyarakat. Peduli pada Stakeholder Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. 4. Berorientasi pada menjembatani Konsensus Tata pemerintahan kepentingan-kepentingan yang yang berbeda baik demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. Kerangka diatas, apabila dikonstruksikan dalam bagan akan terlihat seperti bagan di bawah ini.17 17 Himawan Estu Bagijo, “RUU Partispasi Masyarakat” Bahan Penyusunan RUU tentang Partisipasi Masyarakat. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 44 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Oleh karena itu, RUU ini merumuskan maksud-maksud diatas. Bentukbentuk partisipasi apa yang memungkinkan dan dalam bentuk apa dilakukan. Himawan Estu Bagijo mengemukakan ada 5 bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat yaitu:18 a. Manipulatif, yaitu masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan, tapi tidak dalam proses pengambilan keputusan, contohnya penyusunan APBD. Tujuannya untuk memobilisasi sumber daya manusia dan sumber dana yang ada di masyarakat untuk mendukung maksud pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. b. Informasi, yaitu masyarakat diberi informasi tentang tujuan-tujuan pemerintah. Informasi/aspirasi ditampung dari masyarakat tapi tidak ada kontrol terhadap bagaimana informasi/aspirasi dari masyarakat tersebut digunakan. c. Konsultatif, memberikan 18 yaitu Banyak tempat bagi forum-forum masyarakat yang dibuat untuk mengkomunikasikan Ibid. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 45 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT pandangannya terhadap usulan pemerintah tertentu. Namun, informasi dan pengambilan keputusan tetap dikontrol oleh pemerintah . d. Kooperatif, yaitu Pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk meningkatkan responsivenes kebijakan pembangunan. e. Kontrol Masyarakat, yaitu Masyarakat berada dalam posisi mampu mengawasi dan mengarahkan proses pengambilan keputusan. Pemerintah bersikap memfasilitasi masyarakat untuk mengontrol inisiatif mereka sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Apabila digambarkan dalam bentuk bagan maka akan dapat dipetakan sebagai berikut: Sebagian besar permasalahan tersebut adalah warisan dari Pemerintahan yang bernuansa sentralistik, sebagian lainnya merupakan hasil dari dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Beberapa ciri dari Pemerintahan yang bernuansa sentralistik antara lain adalah sebagai berikut: NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 46 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT a. banyaknya kebijakan Pemerintah yang bernuansa “top-down”, sehingga dominasi Pemerintah Pusat sangat tinggi. Akibatnya antara lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai dengan aspirasi daerah, tidak sesuai dengan potensi dan keunggulan daerah, dan tidak banyak mempertimbangkan keunggulan dan kebutuhan lokal. Lebih jauh dampaknya akan menimbulkan perbedaan dan konflikkonflik sosial dan lingkungan yang menjadi mahal untuk mengatasinya. b. rendahnya semangat untuk melibatkan dan bekerja bersama masyarakat. Hal ini menyebabkan tidak terfahaminya masalah yang sebenarnya terjadi dan berkembang di masyarakat. Dampaknya antara lain beberapa kegiatan Pemerintah tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat setempat sehingga akhirnya tidak menjamin pembangunan yang berkelanjutan. c. kurang terbukanya Pemerintah dalam proses penyelenggaraan pembangunan menunjukan masyarakat hanya sekedar objek pembangunan Masyarakat yang belum harus menjadi memenuhi subyek keinginan Pemerintah. pembangunan atau masyarakat belum ditempatkan pada posisi inisiator (sumber bertindak). Dengan kuatnya kebijakan sentralisasi tersebut membuat semakin tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat. Kondisi tersebut nyaris mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh perangkat pemerintah di daerah. Sementara itu dalam era otonomi daerah, tuntutan dan harapan daerah, khususnya masyarakat, antara lain mencakup hal-hal berikut: a. penguatan peran masyarakat (tidak sekedar peranserta masyarakat) yaitu menempatkan masyarakat secara bertahap NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 47 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT dalam posisi menjadi tuan dan terlibat pada proses pengambilan keputusan dalam pembangunan, b. penguatan semangat good governance yaitu adanya transparansi, akuntabilitas, peningkatan profesionalisme, kepedulian terhadap rakyat, dan komitmen moral yang tinggi dalam segala proses pembangunan, penyelenggaraan lebih mendesentralisasikan pembangunan kepada daerah, proses sehingga Pemerintah Pusat dituntut untuk lebih banyak menyusun dan mengembangkan Norma, Standar, Pedoman dan Manual serta memfasilitasi pelaksanaan pembangunan yang memang diminta dan diharapkan oleh pemerintah daerah. Kondisi tersebut yang secara mendasar membedakan karakteristik kegiatan yang dilaksanakan pada masa Pemerintahan yang bernuansa sentralistik dan Pemerintahan yang desentralistik seperti yang diharapkan sekarang ini. B. Arah Pengaturan B.1. Batasan Partisipasi Untuk maksud tersebut, dalam konteks RUU ini maka batasan dari partisipasi dilakukan dalam hal dalam penyelenggaraan negara yang meliputi partisipasi dalam pembangunan, pembentukan peraturan perundang-undangan, penganggaran, dan pengambilan kebijakan publik. Secara umum yang melatarbelakangi terbentuknya partisipasi adalah sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis. Sistem pemerintahan yang demokratis memiliki makna pemerintahan yang berasal dari rakyat yang dilaksanakan oleh pejabat pemerintahan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 48 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Ruang lingkup Partisipasi Masyarakat meliputi : 1. partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang terdiri atas partisipasi dalam: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. pengawasan; d. evaluasi; dan e. pemeliharaan. 2. partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdiri atas partisipasi dalam: a. penyusunan program legislasi; b. persiapan penyusunan peraturan perundang-undangan; c. pembahasan; d. penetapan/pengesahan; dan/atau e. sosialisasi peraturan perundang-undangan; f. pelaksanaan peraturan perundang-undangan; dan g. pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan. 3. partisipasi masyarakat dalam penganggaran yang terdiri atas partisipasi dalam: a. perencanaan; b. pengambilan keputusan; c. pelaksanaan; d. pengawasan; dan/atau e. evaluasi. 4. partisipasi masyakat dalam pengambilan kebijakan yang terdiri atas partisipasi dalam: a. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat perencanaan; 49 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT b. penetapan keputusan; c. pelaksanaan; d. pengawasan; dan/atau e. evaluasi. B.2. Asas, Tujuan, dan Dasar Pengaturan Berdasarkan hal tersebut, partisipasi masyarakat yang dilaksanakan berdasarkan atas dasar: 1. demokrasi. Demokrasi mengajarkan adanya kesetaraan setiap orang dalam pemerintahan, memberikan aspirasi sesuai dengan pilihannya, dan melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan. Ide-ide dasar welfare state menimbang bahwa negara hendaknya mempunyai kekuasaan untuk mensejahterakan masyarakatnya. Di dalam konsep welfare state, pemerintah harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua dapat terjamin. Oleh karena itu, tugas pemerintah yang utama adalah melindungi dan mensejahterakan masyarakat. Ciri-ciri atau persyaratan welfare state adalah: 1. Perlindungan konstitusional dalam arti bahwa konstusi selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hakhak yang dijamin itu. 2. Badan kehakiman yang bebas (independent and inpertial tribunals). 3. Pemilihan umum yang bebas; 4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat; NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 50 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT 5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan 6. Pendidikan kewarganegaraan. 2. efektifitas dan efesiensi. 3. Transparansi. transparansi menjadi kunci dari semua prinsip ini.19 Prinsip ini menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen pertama (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut. transparansi publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Sehingga, berdasarkan tahapan sebuah program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah : 1. Pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator untuk menjamin transparansi adalah : a. pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan; b. pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan 19 Dikutip dari artikel “Publik Administration in the 21-st Century”, yang diterbitkan oleh Asian Development Bank. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 51 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT prinsip-prinsip administrasi yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di stakeholders; c. adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku; d. adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi, dengan pertanggungjawaban konsekuensi jika standar mekanisme tersebut tidak terpenuhi; dan e. konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut. 2. Pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin transparansi adalah : a. penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media massa, media nirmassa, maupun media komunikasi personal; b. akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program; c. akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat; dan d. ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah. 4. obyektifivitas; 5. kesetaraan gender; dan 6. keadilan. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 52 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Berkaitan dengan hal diatas, Pengaturan Partisipasi Masyarakat bertujuan untuk: 1. meningkatkan peran aktif pemerintah dalam menjamin dan memenuhi hak masyarakat untuk berpartisipasi; 2. menjamin perlindungan hukum partisipasi masyarakat; 3. perluasan struktur partisipasi dan pembukaan akses terhadap pengambilan keputusan; 4. peningkatan arus informasi kebijakan pemerintahan; 5. pemberdayaan masyarakat dalam berbagai program pemerintahan; 6. mewujudkan sinergi kemitraan untuk membangun sistem pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel; 7. meningkatkan kesadaran masyarakat akan peran dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan; dan 8. untuk memperoleh manfaat yang optimal atas penyelenggaraan negara bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara merata, tertib, demokrasi, partisipatif, dan berkeadilan. B.3. Hak dan Kewajiban Warganegara dalam Hukum dan Pemerintahan Setiap orang berhak atas: • memperoleh informasi publik; • menyampaikan dan menyebarluaskan informasi publik; • kebebasan berpendapat, menyampaikan pikiran baik lisan maupun tulisan, rasional, tepat guna dan tepat sasaran serta taat hukum; • berpartisipasi dalam proses penyusunan kebijakan publik, • menolak atau menerima proses kebijakan publik; • berpartisipasi proses pelayanan publik yang mempengaruhi hak dan kewajiban masyarakat dan Kebijakan Publik lainnya yang NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 53 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT langsung berdampak dengan kepentingan hajat hidup orang banyak; • berpartisipasi dalam evaluasi dan pengawasan penyelenggaraan negara; • diperhitungkan dalam quorum pengambilan keputusan; • melakukan konfirmasi berdasarkan hasil pengawasan penyelenggaraan negara; dan • memberi usulan tindak lanjut atas hasil pengawasan penyelenggaraan negara. Setiap orang dalam berpartisipasi wajib: • bertanggung jawab atas pendapat dan tindakannya dalam berpartisipasi. • mengutamakan kepentingan dan kemanfaatan bagi orang banyak; • mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan; • mematuhi semua ketentuan yang termuat dalam kesepakatan atau komitmen bersama antara masyarakat dan Badan Publik yang bersangkutan; dan/atau • menjaga etika dan sopan santun berdasarkan budaya masyarakat. B.4. Wewenang dan Tanggung Jawab Badan Publik Badan Publik berwenang untuk : • mengatur ruang lingkup pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dalam tahap perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi; • mengatur pihak yang dapat berpartisipasi baik orang, kelompok orang, badan hukum, dan/atau masyarakat adat; dan • menolak dan menerima partisipasi masyarakat yang tidak rasional. Badan Publik bertanggung jawab memberikan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 54 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Badan Publik bertanggung jawab menjamin pemenuhan hak untuk akses informasi dengan memberikan salinan dan membangun serta mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi. Badan Publik bertanggung jawab menjamin terpenuhinya prinsip keadilan dan keterwakilan masyarakat dalam pengambilan keputusan publik dengan cara : • memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang untuk ambil bagian dalam pembentukan keputusan publik; • memfasilitasi tercapainya pemenuhan keterwakilan komponen/unsur masyarakat yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan publik; dan • mengikutsertakan wakil kelompok atau orang yang berkebutuhan khusus dalam proses pengambilan keputusan publik. Badan Publik bertanggung jawab menjamin pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik dengan cara : • melibatkan kelompok masyarakat yang berkepentingan; dan • memfasilitasi masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Badan Publik bertanggung jawab menjamin terakomodirnya aspirasi masyarakat dengan cara : • membuat jawaban atas permintaan penjelasan dikeluarkannya suatu keputusan/kebijakan; dan • menjelaskan status diterima atau ditolaknya usulan aspirasi masyarakat dalam suatu laporan kemajuan penangan aspirasi masyarakat. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 55 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT B.5. Bentuk Partisipasi Masyarakat Partisipasi Masyarakat dapat berbentuk: • pemberian masukan dalam penentuan arah kebijakan; • pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan dan hukum; • pemberian masukan dalam perumusan kebijakan publik; • pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam penyusunan kebijakan publik; • pengajuan keberatan terhadap peraturan atau kebijakan publik; • kerja sama dalam penelitian dan pengembangan; • bantuan tenaga ahli; dan/atau • pengawasan dan evaluasi pelaksanaan peraturan dan kebijakan publik; B.6. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan B.6.1. Perencanaan • Masyarakat di sekitar proyek pembangunan harus dimintai persetujuan atas rencana pembangunan yang akan dilaksanakan. • Masyarakat disekitar proyek pembangunan dapat menolak rencana pembangunan apabila akan merugikan kepentingan sosial ekonomi dan lingkungan • Tata cara permintaan persetujuan masyarakat sebagaimana ditentukan pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. • Masyarakat baik lembaga maupun perorangan harus dilibatkan dalam perencanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan dapat dilaksanakan dengan: NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 56 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT • merumuskan permasalahan diberbagai bidang pembangunan dengan menganalisis, menentukan dan merumuskan permasalahan pokok yang dihadapi; • meminta informasi tentang rencana pembangunan; • merumuskan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dan perlu diatasi oleh instansi yang berwenang; dan/atau • merumuskan rencana program dan kegiatan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat. B.6.2. Pelaksanaan Masyarakat baik lembaga maupun perorangan harus dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat dilaksanakan dengan: • ikut melaksanakan pembangunan baik dengan tenaga, pikiran dan materi; • meminta informasi tentang perkembangan pelaksanaan pembangunan; • melaksanakan pembangunan dari dana Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; • membantu kelancaraan pelaksanaan pembangunan; dan • berpartisipasi memberikan kejelasan mengenai maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat luas. B.6.3. Pengawasan Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan dilibatkan dalam pengawasan atas setiap pelaksanaan pembangunan. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 57 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pembangunan dapat dilaksanakan dengan: • mengamati secara langsung pelaksanaan pembangunan; • meminta informasi tentang perkembangan hasil pelaksanaan pembangunan; dan/atau • melakukan koreksi apabila ada kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. B.6.4. Evaluasi Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan dilibatkan dalam dalam evaluasi atas setiap pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan dapat dilaksanakan dengan mengikuti rapat atau pertemuan evaluasi yang dilaksanakan Badan Publik dan pihak lain yang terkait. B.6.5. Pemeliharaan Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan harus dilibatkan dalam pemeliharaan hasil pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan dapat dilaksanakan dengan tindakan menjaga, mempertahankan dan melestarikan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. B.7. Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan B.7.1. Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Program Legislasi NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 58 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Partisipasi masyarakat dalam penyusunan program legislasi dapat berupa: • melakukan identifikasi terhadap kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk; dan/atau • pemberian masukan berupa informasi peraturan perundang-undangan yang perlu dibentuk. B.7.2. Partisipasi Masyarakat dalam Persiapan Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Partisipasi masyarakat dalam persiapan penyusunan peraturan perundang-undangan dapat berupa: • pemikiran berupa saran-saran dan pertimbanganpertimbangan; • kerjasama dalam penelitian terhadap perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk; • bantuan keahlian dalam penyusunan naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundangundangan; dan/atau • pengajuan keberatan terhadap rancangan peraturan perundang-undangan. B.7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Pembahasan Perwakilan masyarakat baik lembaga maupun perorangan diberi kesempatan untuk mengikuti persidangan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan terbuka untuk umum. Badan Publik harus menyediakan tempat yang memungkinkan perwakilan masyarakat dengan seksama NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 59 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT mengamati seluruh proses pembahasan rancangan maupun perorangan peraturan perundang-undangan. Masyarakat baik lembaga mengajukan permohonan kepada Badan Publik untuk mengamati sidang pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan. B.7.4. Partisipasi Masyarakat dalam Penetapan/Pengesahan Partisipasi masyarakat dalam penetapan/pengesahan peraturan perundang-undangan dapat berupa mendorong pejabat yang berwenang membentuk perundang-undangan untuk menetapkan/mengesahkan peraturan segera peraturan perundang- undangan. B.7.5. Partisipasi Masyarakat dalam Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan Partisipasi masyarakat dalam sosialiasi peraturan perundang-undangan dapat berupa: a. penyebarluasan peraturan perundang-undangan; dan b. pendidikan hukum kepada masyarakat. B.7.6. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dapat berupa : • mendukung penyediaan sumber daya pelaksanaan peraturan perundang-undangan; • NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat pendampingan hukum atau bantuan hukum; dan/atau 60 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT • pengajuan keberatan terhadap pemberlakuan peraturan perundang-undangan. B.7.7. Partisipasi dalam Pengawasan terhadap Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan Partisipasi masyarakat pelaksanaan dalam peraturan pengawasan terhadap perundang-undangan dapat berbentuk: • pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan; • melakukan identifikasi pelaksanaan terhadap peraturan penyimpangan perundang-undangan; dan/atau • pemberian masukan berupa informasi mengenai penyimpangan penegakan hukum. B.8. Partisipasi dalam Penganggaran B.8.1. Perencanaan Partisipasi masyarakat dalam perencanaan anggaran dapat berupa : • melakukan identifikasi terhadap kebutuhan pembiayaan yang perlu ditetapkan; dan/atau • memberi tanggapan terhadap RAPBN atau RAPBD dan perubahannya. B.8.2. Pelaksanaan Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan anggaran dapat berupa : • membantu Badan Publik dalam menyebarluaskan dokumen RAPBN atau RAPBD dan/atau perubahannya; dan/atau NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 61 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT • pendidikan atau pelatihan analisis anggaran publik kepada masyarakat. B.8.3. Pengawasan Partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran dapat berupa identifikasi terhadap penyimpangan pelaksanaan RAPBN atau RAPBD dan/atau perubahannya. B.8.4. Evaluasi Partisipasi masyarakat dalam evaluasi RAPBN atau RAPBD dan/atau perubahannya dapat berupa masukan atau pendapat penyempurnaan RAPBN atau RAPBD dan/atau perubahannya. B.9. Partisipasi Dalam Pengambilan Kebijakan Publik B.9.1. Perencanaan Partisipasi masyarakat dalam perencanaan kebijakan publik dapat berupa : • melakukan identifikasi terhadap kebutuhan kebijakan publik yang perlu ditetapkan; dan/atau • pemberian masukan berupa informasi peraturan perundang-undangan yang perlu dibentuk. B.9.2. Pengambilan Keputusan Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dapat berupa : • pemikiran berupa saran-saran dan pertimbangan- pertimbangan; • kerjasama dalam penelitian terhadap perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dengan kebijakan publik yang akan dibentuk; NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 62 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT • bantuan keahlian dalam penyusunan kebijakan publik; dan/atau • pengajuan keberatan terhadap kebijakan publik. B.9.3. Pelaksanaan Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan publik dapat berupa : • membantu Badan Publik dalam menyebarluaskan kebijakan publik; dan/atau • melakukan identifikasi terhadap penyimpangan pelaksanaan kebijakan publik. • Pengawasan Partisipasi masyarakat dalam pengawasan kebijakan publik dapat berupa pemantauan pelaksanaan kebijakan publik. B.9.4. Evaluasi Partisipasi masyarakat dalam evaluasi kebijakan publik dapat berupa masukan atau pendapat penyempurnaan kebijakan publik. B.10. Penolakan Partisipasi Dan Mekanisme Keberatan B.10.1. Penolakan Partisipasi Badan Publik dapat menolak partisipasi masyarakat dalam hal partisipasi dilaksanakan : • mengganggu ketertiban umum; • melawan hukum; dan/atau • bertentangan dengan etika dan sopan santun berdasarkan budaya masyarakat. Badan Publik wajib menyampaikan secara tertulis alasanalasan tidak diberikannya kesempatan dan/atau penolakan partisipasi. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 63 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Alasan-alasan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib disampaikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya penyampaian pikiran dan pendapat untuk berpartisipasi. B.10.2. Mekanisme Pengajuan Keberatan - Setiap orang berhak mengajukan keberatan atas tidak diberikannya kesempatan dan atau penolakan partisipasi kepada Badan Publik. - Keberatan sebagaimana dimaksud ayat (1), harus diajukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah disampaikannya secara resmi surat penolakan sebagaimana dimaksud ayat (1). - Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat keberatan, Badan Publik wajib menyampaikan tanggapan atas keberatan tersebut kepada pihak yang mengajukan. B.11. Pemberdayaan partisipasi masyarakat - Badan Publik menyelenggarakan menumbuhkan, memberdayakan, pembinaan mengembangkan dan meningkatkan untuk kesadaran, tanggung jawab masyarakat dalam partisipasi masyarakat. - Pembinaan tersebut dilakukan oleh Badan Publik, dengan cara : • memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, dorongan, pengayoman, pelayanan, bantuan teknik, bantuan hukum, pendidikan, dan/atau pelatihan; • menyebarluaskan semua informasi publik kepada masyarakat secara terbuka; NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 64 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT • mengumumkan dan menyebarluaskan pembangunan, peraturan rencana perundang-undangan, anggaran, dan kebijakan publik kepada masyarakat; • menghormati hak yang dimiliki masyarakat; • memberikan penggantian yang layak kepada masyarakat atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang merugikan masyarakat; • melindungi hak masyarakat untuk berpartisipasi; dan/atau • memperhatikan dan menindaklanjuti saran, usul, atau keberatan dari masyarakat. B.12. Pengawasan - Badan Publik melakukan Pengawasan terhadap pelaksanaan partisipasi masyarakat. - Pengawasan tersebut meliputi bimbingan, pembinaan, dorongan, pengayoman, peningkatan mutu, dan pelayanan dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. B.13. Perlindungan Hukum - Masyarakat mendapat perlindungan hukum atas keamanan pribadi dan harta bendanya serta bebas dari ancaman sehubungan dengan pelaksanaan partisipasi masyarakat. - Perlindungan tersebut dilaksanakan oleh lembaga negara yang tugasnya di bidang penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan. - Pejabat penegak hukum yang berwenang wajib merahasiakan identitas masyarakat. - Pejabat penegak hukum yang berwenang dapat memberikan pengamanan fisik terhadap masyarakat dan keluarganya. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 65 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT B.14. Penyelesaian Sengketa - Setiap orang yang ditolak partisipasinya dapat mengajukan keberatan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya penolakan. - Badan Publik wajib untuk memberikan jawaban atau pendapat atau sanggahan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat keberatan. - Apabila jawaban atau pendapat atau sanggahan dari Badan Publik belum menghasilkan kemufakatan bersama dapat dilanjutkan melalui musyawarah para pihak, paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya tanggapan atau keberatan. - Badan Publik wajib memfasilitasi pelaksanaan musyawarah tersebut. - Dalam rangka percepatan penyelesaian tersebut dilakukan mediasi melalui pihak ketiga yang independen dan memiliki kapabilitas terhadap persoalan yang dimusyawarahkan. - Apabila penyelesaian secara musyawarah tidak mencapai mufakat maka para pihak yang bersengketa dapat mengadukan persoalan itu melalui pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 66 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Undang-Undang tentang Partisipasi Masyarakat perlu dibentuk agar dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum yang responsif artinya ketentuan-ketentuan hukum yang merespons perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Ketentuanketentuan hukum demikian ini mencerminkan kebenaran dan keadilan sehingga dapat menimbulkan kewajiban moral untuk mematuhinya. Selain itu, ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk berdasarkan partisipasi masyarakat dapat berlaku secara efektif dan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah karena ketentuan-ketentuan hukum tersebut sesuai dengan kebutuhan hukumnya. B. Saran Sebaiknya ketentuan-ketentuan hukum itu dibentuk berdasarkan partisipasi masyarakat karena hukum itu dibuat adalah untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk hukum. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 67 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT DAFTAR PUSTAKA Alex Lanur OFM, Logika Selayang Pandang, Kanisius, Yogyakarta, 1983. A. Mukthie Fadjar, Teori-teori Hukum Kontemporer, In-TRANS Publishing, Malang, 2008. Bruggink,J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Alih bahasa : B.Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat" in Walter Thomi, Markus Steinich and Winfried Polte (editor), Dezentralisierung in Entwicklungslandem: Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven staatlicher Reformpolitik, Baden-Baden H. Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006). Irham Rosyidi, Society Need : Peraturan Daerah Berbasis Riset (Gagasan Mewujudkan Peraturan Daerah Yang baik”, dalam Jazim Hamidi, et al., Meneropong Legislasi Di Daerah, Editor M. Fauzi, Universitas Negeri, Malang, 2008. Lembaga Administrasi Negara, Model Partisipasi Masyarakat Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Dasar Di Beberapa Negara Asia Pasifik, LAN Press, Jakarta, 2008. Mahendra Putra Kurnia, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007. Peter Mahmud Marzuku, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005. P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Cipta, Jakarta, 1991. Rineka Prasojo, Eko, 2003a, Politische Dezentralisierung in Indonesia: Die Foderalismusdebatte in Politik- und Rechtsvergleich, Frankfurt: Prasojo, Eko, 2003b, "Agenda Politik dan Pemerintahan Daerah di Indonesia: Desentralisasi Politik, Reformasi Birokrasi dan Good Governance", Bisnis & Birokrasi, Volume XI, No. 1 NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 68 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Azwar Hasan, 2004, Reformasi Birokrasi dalam Praktek: Kasus di Kabupaten Jembrana, Depok: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota DIA FISIP UI Prasojo, Eko, 2005, Demokrasi di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Defny Holidin, 2007, Reformasi dan Inovasi Birokrasi: Studi di Kabupaten Sragen, Jakarta: Yappika dan Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI R. Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1989. Reinennann, Heinrich, 1993, "Ein Neues Paradigma fur die offentliche Verwaltung?", Speyerer Hefte, Speyer Rondinelli, Dennis A, John R Nellis and G Shabbir Cheema, 1983, "Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience", World Bank Staff Working Papers Number 581, Washington Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009. -------, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009. Shidarta, Karakteristik Penalaran HukumDalam Konteks Keindonesiaan, Utomo, Bandung, 2006). Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999. Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan Di Indonesia, Perca, Jakarta. 2003. NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat 69