tentang partisipasi masyarakat

advertisement
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
---------
SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PARTISIPASI MASYARAKAT
DPD RI
2012
DAFTAR ISI
BAGIAN PERTAMA : NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG
PARTISIPASI MASYARAKAT.
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................
B. Identifikasi Masalah ..........................................................................
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan..........................................................
D. Metode Pendekatan...........................................................................
1
1
12
13
14
BAB II.
KAJIAN TEORITIS DAN PRATIK EMPIRIK
A. Kajian Teoritis...................................................................................
B. Praktik Empirik..................................................................................
15
15
23
BAB III. EVALUASI DAN ANALISA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
30
BAB IV.
LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS DAN SOSIOLOGIS
A. Landasan Filosofis ............................................................................
B. Landasan Yuridis..............................................................................
C. Landasan Sosiologis..........................................................................
33
33
38
39
BAB V.
JANGKAUAN, ARAH PENGUATAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN RUU
A. Jangkauan dan Arah Penguatan.........................................................
B. Arah Pengaturan..............................................................................
41
41
48
BAB VI. PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................
B. Saran...............................................................................................
67
67
67
DAFTAR PUSTAKA
68
BAGIAN KEDUA : DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN … TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT.
!
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
---------
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-------------
BAGIAN KEDUA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR.... TAHUN.....
TENTANG
PARTISIPASI MASYARAKAT
DPD RI
2012
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PARTISIPASI MASYARAKAT
PENJELASAN
RANCANGAN
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
TENTANG
PARTISIPASI MASYARAKAT
PARTISIPASI MASYARAKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
I. UMUM
Menimbang : a.
bahwa untuk mewujudkan hak
konstitusional
warga
negara
sebagaimana
dijamin
dalam
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
maka perlu melibatkan masyarakat
dalam penyelenggaraan negara;
Di dalam Pembukaan UUD 1945 secara jelas
menyatakan “…susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan Rakyat..”.
kemudian Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
menyatakan, “Kedaulatan ada ditangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UUD”. Secara umum,
penegasan tersebut berarti bahwa UUD 1945
menghendaki ataupun menerapkan konsep
Kedaulatan Rakyat yang berarti kekuasaan yang
tertinggi untuk memerintah dalam suatu negara
berada di tangan rakyat. Pengejewantahan dari
konsep itu adalah mengikut-sertakan rakyat
dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan
mengikutsertakan
rakyat dalam pembuatan
kebijakan.
b. bahwa
partisipasi
masyarakat
merupakan unsur penting dalam
pengembangan
sistem
pemerintahan yang demokratis dan
aspiratif, penegakan hukum yang
efektif,
serta
merupakan
perwujudan pemerintahan yang
baik dan terbuka;
Pada
dasarnya
partisipasi
Masyarakat
merupakan insentif moral sebagai alat untuk
mempengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi
di tempat dibuatnya keputusan-keputusan yang
sangat menentukan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian partisipasi tersebut bukanlah
sebuah tujuan akhir (participation is an end it
self). Hal ini tentunya bertolak belakang dengan
asumsi yang berkembang selama ini yang
memandang partisipasi Masyarakat sematamata sebagai penyampaian informasi (public
information), penyuluhan, bahkan hanya
sekedar alat public relation agar proyek-proyek
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
1
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
yang dilakukan pemerintah dapat berjalan
lancar
dan
mendapat
legitimasi
dari
masyarakat.
partisipasi
membutuhkan
keterlibatan orang-orang secara suka rela dan
demokratis dalam hal: (a) sumbangsihnya
terhadap usaha pembangunan, (b) penerimaan
manfaat secara merata, dan (c) pengambilan
keputusan yang menyangkut penentuan tujuan,
perumusan kebijakan dan perencanaan dan
penerapan program pembangunan sosial dan
ekonomi. Mengacu pada pandangan ini,
partisipasi dapat dibedakan menjadi dua hal.
Partisipasi otentik (authentic participation) yang
merujuk pada terpenuhinya ketiga kriteria di
atas. Jika tidak seluruh kriteria tersebut dapat
dipenuhi maka hal ini akan disebut partisipasi
semu (pseudo-participation).
c.
bahwa selama ini ketentuan hukum
yang berkaitan dengan partisipasi
masyarakat yang diatur dalam
beberapa peraturan perundangundangan masih belum mampu
mewujudkan
pelaksanaan
dan
jaminan
partisipasi
masyarakat
secara baik dan berdayaguna;
Sesuai dengan ide negara hukum, maka
partisipasi publik dalam penyusunan RUU mesti
diatur secara jelas dalam suatu aturan hukum
tertentu. Sendi utama negara hukum adalah
hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi
hukum) dalam mengatur dan menentukan
mekanisme hubungan hukum antara negara
dan masyarakat atau antar-anggota masyarakat
yang satu dengan yang lainnya. Hukum
mempunyai dua pengertian, yakni hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis.
Dalam hal inilah di Indonesia sudah saatnya
partisipasi itu sudah dalam konteks partisipasi
otentik, bukan semua sehingga perlu dijamin
dalam sebuah undang-undang.
d.
Mengingat :
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk
Undang-Undang
tentang Partisipasi Masyarakat;
Pasal 20, Pasal 22D ayat (1), Pasal 27,
Pasal 28C, Pasal 28F, dan Pasal 30
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
2
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG
PARTISIPASI MASYARAKAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
1. Partisipasi masyarakat adalah hak setiap orang
dan/atau masyarakat untuk berperan serta
menyampaikan pikiran dan pendapatnya baik
secara langsung maupun tidak langsung, secara
lisan maupun tertulis dalam penyelenggaraan
negara yang meliputi peran serta dalam
pembangunan, pembentukan peraturan perundangundangan, penganggaran, dan pengambilan
kebijakan publik.
2. Pembangunan adalah rangkaian upaya yang
berkesinambungan yang meliputi segala aspek
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk
melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Kebijakan publik adalah rangkaian pilihan-pilihan
yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga
atau pejabat pemerintah atau badan publik yang
menyangkut bidang-bidang tugasnya.
4. Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan
yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, persetujuan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan.
5. Penganggaran adalah proses perencanaan dan
penentuan anggaran keuangan yang mencerminkan
pilihan kebijakan penting untuk jangka waktu
tertentu.
6. Transparansi adalah ketersediaan informasi yang
cukup, akurat dan tepat waktu tentang kebijakan
publik dan proses pembentukannya sehingga
masyarakat secara luas dapat mengetahuinya.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
3
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
7. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan,
dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu
Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara
dan
penyelenggaraan
negara
dan/atau
penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik
lainnya serta informasi lain yang berkaitan dengan
kepentingan publik sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan.
8. Perencanaan
adalah
suatu
proses
untuk
menentukan tindakan masa depan yang tepat,
melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan
sumber daya yang tersedia.
9. Pelibatan Masyarakat adalah suatu kondisi yang
mensyaratkan adanya peran serta atau kontribusi
masyarakat baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam suatu program penyelenggaraan
negara.
10. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi
satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai
sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi
anggaran, atau kegiatan masyarakat yang
dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
11. Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang
termasuk masyarakat hukum adat, organisasi
sosial, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga
kemasyarakatan lainnya dan badan hukum yang
mewakili kepentingan hukum individu atau
kelompok orang.
12. Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara, yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
13. Pejabat Publik adalah orang yang diberi tugas dan
kewenangan untuk menduduki posisi atau jabatan
tertentu pada Badan Publik.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
4
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
14. Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Ombudsman adalah lembaga negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Ombudsman Republik Indonesia.
15. Orang adalah orang perseorangan,
orang, atau badan hukum.
kelompok
16. Hari adalah hari kerja.
BAB II
AZAS DAN TUJUAN
Bagian Kesatu
Azas
Pasal 2
Pasal 2
Partisipasi Masyarakat dilaksanakan atas dasar asas:
a. kepastian hukum;
Huruf a
Yang dimakud dengan asas kepastian
hukum adalah asas dalam Negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan
keadilan
dalam
setiap
kebijakan
penyelenggara pemerintah.
b. tertib penyelenggaraan pemerintahan;
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas tertib
penyelenggaraan pemerintahan adalah
asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan dalam
pengendalian penyelenggaraan Negara.
c. Kepentingan umum;
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas kepentingan
umum
asas
yang
mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif.
d. demokrasi;
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas demokrasi
adalah bahwa partisipasi masyarakat
didsarkan bahwa pemerintahan berasal
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat.
e. efektifitas dan efesiensi;
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas ini adalah
pencapaian tujuan secara tepat dan
optimal dengan sumber daya minimal.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
5
!
f. keterbukaan;
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas keterbukaan
adalah asas yang mebuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan
negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia Negara.
g. proporsionalitas;
Huruf g
Yang
dimaksud
dengan
asas
proporsionalitas adalah asas yang
mengutamakan kesimbangan anatara
hak dan kewajiban penyelenggaran
negara.
h. profesionalitas;
Huruf h
Yang
dimaksud
dengan
asas
profesionalitas
adalah
asas
yang
mengutamakan
keahlian
yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
i. objektifivitas;
Huruf i
Adalah tidak berpihak. Dalam artian
segala
elemen
masyarakat
harus
diperhatikan
j. kesetaraan gender;
Huruf j
Asas ini adalah kondisi yang sama dan
adil antara perempuan dan laki-laki
dalam akses, partisipasi, kontrol dan
penikmatan atas Hak Asasi Manusia dan
semua Warga Negara di semua
kehidupan.
k. keadilan;
Huruf k
Asas ini menghendaki agar dalam
melakukan tindakan pemerintah tidak
berlaku sewenang-wenang atau berlaku
tidak layak. Jika pemerintah melakukan
tindakan sewenang-wenang dan tidak
layak maka keputusan yang berkaitan
dengan tindakannya dapat dibatalkan.
l. responsif; dan
Huruf l
Yang dimaksud dengan asas responsif
adalah asas yang mengehendaki sikap
tanggap
dan
proaktif
pemerintah
terhadap
persoalan-persoalan
di
masyarakat
dengan
menganalisis
kebutuhan masyarakat.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
6
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
m. akuntabilitas.
Huruf m
Yang
dimaksud
dengan
asas
akuntabilitas
adalah
asas
yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggara
negara
harus
dapat
dipertanggungjawabkan
kepada
masyarakat
atau
rakyat
sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundanng-undang yang berlaku.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Pasal 3
Pengaturan Partisipasi Masyarakat bertujuan untuk:
Cukup Jelas.
a. meningkatkan peran aktif pemerintah dalam
menjamin dan memenuhi hak masyarakat untuk
berpartisipasi;
b. menjamin
perlindungan
masyarakat;
hukum
partisipasi
c. memperluas struktur partisipasi dan pembukaan
akses terhadap pengambilan keputusan;
d. meningkatkan
pemerintahan;
arus
informasi
e. memberdayakan masyarakat
program pemerintahan;
dalam
kebijakan
berbagai
f. mewujudkan sinergi kemitraan untuk membangun
sistem pemerintahan yang transparan, partisipatif
dan akuntabel;
g. meningkatkan kesadaran masyarakat akan peran
dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan
pemerintahan; dan
h. memperoleh
manfaat
yang
optimal
atas
penyelenggaraan negara bagi kesejahteraan
seluruh masyarakat secara merata, tertib,
demokrasi, partisipatif, dan berkeadilan.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
7
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 4
Pasal 4
Ruang lingkup Partisipasi Masyarakat meliputi :
a. partisipasi
meliputi:
masyarakat
dalam
pembangunan
Huruf a
Partisipasi
masyarakat
dalam
pembangunan ini termasuk di dalamnya
pembangunan yang dilaksanakan oleh
swasta yang sumber pendanaannya
berasal
dari
APBN
atau
APBD
berdasarkan peraturan perundangan.
1. perencanaan;
Angka 1
Yang dimaksud dengan perencanaan
adalah pola-pola yang mengarahkan
kepada pelaksanaan pembangunan.
2. pelaksanaan;
Angka 2
Yang dimaksud dengan pelaksanaan
adalah
pelaksanaan
kebijakan
pembangunan.
3. pengawasan;
Angka 3
Pengawasan pembangunan adalah
bentuk monitoring dari pelaksanaan
pembangunan
dengan
membandingan
konsep
dengan
perencanaan.
4. evaluasi; dan
Angka 4
Yang dimaksud dengan evaluasi
adalah
kesesuaian
pelaksanaan
perencanaan dengan arah, tujuan,
dan ruang lingkup yang telah
direncanakan dan dilaksanakan.
5. pemeliharaan.
Angka 5
Cukup jelas.
b. partisipasi
masyarakat
dalam
pembentukan
peraturan perundang-undangan meliputi:
Angka 1
Cukup jelas.
1. penyusunan program legislasi;
2. persiapan penyusunan
undangan;
peraturan
Huruf b
Cukup jelas.
perundang-
Angka 2
Cukup jelas.
3. pembahasan;
Angka 3
Cukup jelas.
4. penetapan/pengesahan;
Angka 4
Cukup jelas.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
8
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
5. sosialisasi peraturan perundang-undangan;
Angka 5
Cukup jelas.
6. pelaksanaan peraturan perundang undangan;
dan/atau
Angka 6
7. pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan.
Angka 7
c. partisipasi
meliputi:
masyarakat
dalam
penganggaran
Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan
adalah
pengawasan
yang
dilakukan
masyarakat terhadap implementasi
dan pelaksanaan undang-undang
oleh pemerintah.
Huruf c
Cukup jelas.
1. perencanaan;
2. pengambilan keputusan;
3. pelaksanaan;
4. pengawasan; dan
5. evaluasi.
d. partisipasi masyakat dalam pengambilan kebijakan
meliputi:
Huruf d
Cukup jelas.
1. perencanaan;
2. penetapan keputusan;
3. pelaksanaan;
4. pengawasan; dan
5. evaluasi.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 5
Pasal 5
Setiap orang berhak:
a. memperoleh informasi publik;
Huruf a
Informasi publik yang dimaksud adalah
informasi publik sebagaimana UU tentang
Keterbukaan Informasi Publik.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
9
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
b. menyampaikan dan menyebarluaskan informasi
publik;
Huruf b
c. berserikat dan berkumpul;
Huruf c
Cukup jelas.
Cukup jelas.
d. memiliki kebebasan berpendapat, menyampaikan
pikiran baik lisan maupun tulisan, rasional, tepat
guna dan tepat sasaran serta taat hukum;
Huruf d
e. berpartisipasi dalam proses penyusunan kebijakan
publik;
Huruf e
f. menolak atau menerima proses kebijakan publik;
Huruf f
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
g. berpartisipasi proses pelayanan publik yang
mempengaruhi hak dan kewajiban masyarakat dan
Kebijakan Publik lainnya yang langsung berdampak
dengan kepentingan hajat hidup orang banyak;
Huruf g
h. berpartisipasi dalam evaluasi dan pengawasan
penyelenggaraan negara;
Huruf h
i. diperhitungkan
keputusan;
Huruf i
dalam
kuorum
pengambilan
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Kuorum adalah batas minimal kehadiran
anggota lembaga perwakilan dalam rangka
pengambilan keputusan sesuai dengan Tata
Tertib masing-masing lembaga.
j. melakukan
konfirmasi
berdasarkan
pengawasan penyelenggaraan negara; dan
hasil
k. memberi usulan tindak lanjut atas
pengawasan penyelenggaraan negara.
hasil
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 6
Setiap orang dalam berpartisipasi wajib:
Pasal 6
Cukup jelas.
a. bertanggung jawab atas pendapat dan tindakannya
dalam berpartisipasi;
b. mengutamakan kepentingan dan kemanfaatan bagi
orang banyak;
c.
mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan dalam menyalurkan aspirasinya;
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
10
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
d. mematuhi semua ketentuan yang termuat dalam
kesepakatan atau komitmen bersama antara
masyarakat dan Badan Publik yang bersangkutan;
dan/atau
e. menjaga etika dan sopan santun berdasarkan
budaya masyarakat.
BAB V
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
BADAN PUBLIK
Bagian Kesatu
Wewenang
Pasal 7
Pasal 7
Cukup jelas.
(1) Badan Publik berwenang untuk :
a. mengatur ruang lingkup pelibatan masyarakat
dalam pengambilan kebijakan pulik dalam tahap
perencanaan,
pengambilan
keputusan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi;
b. mengatur pihak yang dapat berpartisipasi baik
orang, kelompok orang, badan hukum, dan/atau
masyarakat adat;
c. menolak partisipasi
patut; dan
masyarakat
d. menindaklanjuti penyimpangan
pembangunan
hasil
evaluasi
dan/atau perseorangan.
yang
tidak
pelaksanaan
masyarakat
(2) Kewenangan mengatur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b disesuaikan
dengan
kemampuan
situasi
dan
kondisi
masyarakat.
(3) Penolakan partisipasi masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib disertai
alasan dan kesempatan untuk melakukan klarifikasi
atau konfirmasi.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
11
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Bagian Kedua
Tanggung Jawab
Pasal 8
Badan Publik bertanggung jawab memberikan
informasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 9
(1) Badan Publik bertanggung jawab menjamin
pemenuhan hak untuk akses informasi kepada
masyarakat.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
(2) Jaminan pemenuhan hak untuk akses informasi
kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a.
memberikan salinan informasi;
b.
menyiapkan media informasi; dan/atau
c.
membangun serta mengembangkan sistem
informasi dan dokumentasi.
Pasal 10
Badan
Publik
bertanggung
jawab
menjamin
terpenuhinya prinsip keadilan dan keterwakilan
masyarakat dalam pengambilan keputusan publik
dengan cara:
a. memberikan kesempatan yang sama pada setiap
orang untuk ambil bagian dalam pembentukan
keputusan publik;
b. memfasilitasi tercapainya pemenuhan keterwakilan
komponen/unsur masyarakat yang berkepentingan
dalam pengambilan keputusan publik; dan
c. mengikutsertakan wakil kelompok atau orang yang
berkebutuhan khusus dalam proses pengambilan
keputusan publik.
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 11
Badan Publik bertanggung jawab menjamin pelibatan
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
publik dengan cara:
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Cukup jelas.
Tanggung jawab yang dibebankan
kepada Badan Publik pada pasal ini
dimaksudkan untuk membatasi diskresi
agar tidak melanggar kewenangan
maupun peraturan perundang-udangan
(detournement de pouvoir).
12
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
a. melibatkan
kelompok
masyarakat
berkepentingan; dan
b. memfasilitasi masyarakat untuk terlibat
proses pengambilan keputusan.
yang
dalam
Pasal 12
Badan
Publik
bertanggung
jawab
menjamin
terakomodirnya aspirasi masyarakat dengan cara:
Pasal 12
Cukup jelas.
a. membuat jawaban atas permintaan penjelasan
dikeluarkannya suatu keputusan/kebijakan; dan
b. menjelaskan status diterima atau ditolaknya usulan
aspirasi masyarakat dalam suatu laporan kemajuan
penanganan aspirasi masyarakat.
BAB VI
BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 13
Partisipasi Masyarakat dapat berbentuk:
a. pemberian masukan dalam penentuan arah
kebijakan;
b. pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah
pembangunan dan hukum;
c. pemberian masukan dalam perumusan kebijakan
publik;
d. pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau
pendapat dalam penyusunan kebijakan publik;
e. pengajuan keberatan terhadap peraturan atau
kebijakan publik;
f. kerja sama dalam penelitian dan pengembangan;
g. bantuan tenaga ahli; dan/atau
h. pengawasan dan evaluasi pelaksanaan peraturan
dan kebijakan publik.
Pasal 13
Cukup jelas.
BAB VII
PENYELENGGARAAN PARTISIPASI
MASYARAKAT
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
13
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 14
Partisipasi Masyarakat diselenggarakan sesuai dengan
ruang lingkupnya yang meliputi:
Pasal 14
Cukup jelas.
a. partisipasi dalam pembangunan;
b. partisipasi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan;
c. partisipasi dalam penganggaran;
d. partisipasi dalam pengambilan kebijakan; dan
e. partisipasi dalam proses pengawasan pelaksanaan
kebijakan.
Bagian Kedua
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Paragraf 1
Perencanaan
Pasal 15
(1)
Masyarakat di sekitar proyek pembangunan wajib
dimintai persetujuan atas rencana pembangunan
yang akan dilaksanakan.
(2)
Informasi rencana pembangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
(3)
a).
tujuan dan manfaat bagi masyarakat
disekitar proyek pembangunan; dan
b).
peran serta yang dapat dilakukan oleh
masyarakat sekitar proyek;
Tata cara permintaan persetujuan masyarakat
sebagaimana ditentukan pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1)
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan
wajib
dilibatkan
dalam
perencanaan
pembangunan.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Pasal 15
Ayat (1)
Persetujuan tersebut berupa persetujuan
tertulis yang disepakati kedua belah
pihak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Perlibatan lembaga dan perorangan
dilakukan dalam forum Musyawarah
Perencanaan Pembangunan.
14
!
(2)
(3)
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Keterlibatan masyarakat baik lembaga maupun
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan melalui forum Musyawarah
Perencanaan Pembangunan baik ditingkat pusat
maupun daerah.
Tata
cara
Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Pasal 17
Partisipasi
masyarakat
dalam
perencanaan
pembangunan dapat dilaksanakan dengan:
Cukup jelas.
a. merumuskan permasalahan diberbagai bidang
pembangunan dengan menganalisis, menentukan
dan merumuskan permasalahan pokok yang
dihadapi;
b. meminta informasi tentang rencana pembangunan;
c. merumuskan alternatif pemecahan masalah yang
dihadapi dan perlu diatasi oleh instansi yang
berwenang; dan/atau
d. merumuskan rencana program dan kegiatan sesuai
aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Paragraf 2
Pelaksanaan Pembangunan
Pasal 18
Pasal 18
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan wajib
dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan.
Cukup jelas.
Pasal 19
Pasal 19
Partisipasi
masyarakat
dalam
pelaksanaan
pembangunan dapat dilaksanakan dengan:
Cukup jelas.
a. ikut mengajukan konsep rencana pembangunan;
b. melaksanakan pembangunan baik dengan tenaga,
pikiran dan materi;
c. meminta
informasi
tentang
pelaksanaan pembangunan;
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
perkembangan
15
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
d. melaksanakan pembangunan dari dana Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah;
e. membantu kelancaraan pelaksanaan pembangunan;
dan
f. berpartisipasi
memberikan kejelasan mengenai
maksud dan tujuan pembangunan kepada
masyarakat luas.
Paragraf 3
Pengawasan
Pasal 20
Pasal 20
Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan
wajib dilibatkan dalam pengawasan atas setiap
pelaksanaan pembangunan.
Pasal 21
Pasal 21
Partisipasi
masyarakat
dalam
pengawasan
pembangunan dapat dilaksanakan dengan:
a. mengamati
secara
pembangunan;
langsung
Cukup jelas.
Cukup jelas.
pelaksanaan
b. meminta informasi tentang perkembangan hasil
pelaksanaan pembangunan; dan/atau
c. melakukan
koreksi
apabila
ada
kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan.
Paragraf 4
Evaluasi
Pasal 22
(1)
Masyarakat baik secara lembaga maupun
perorangan wajib dilibatkan dalam evaluasi atas
setiap pelaksanaan pembangunan.
(2)
Partisipasi
masyarakat
dalam
evaluasi
pembangunan
dapat
dilaksanakan
dengan
mengkuti rapat atau pertemuan evaluasi yang
dilaksanakan Badan Publik dan pihak lain yang
terkait.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Pasal 22
Cukup jelas.
16
!
(3)
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Dalam hal evaluasi atas setiap pelaksanaan
pembangungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
ditemukan
penyimpangan
pelaksanaan
pembangunan yang telah direncanakan melalui
musrenbang, masyarakat baik secara lembaga
maupun perorangan berhak menyampaikan
laporan kepada badan publik.
Paragraf 5
Pemeliharaan
Pasal 23
Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan
wajib
dilibatkan
dalam
pemeliharaan
hasil
pembangunan.
Pasal 24
Partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan
dapat dilaksanakan dengan tindakan menjaga,
mempertahankan
dan
melestarikan
hasil-hasil
pembangunan yang telah dilaksanakan.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Bagian Ketiga
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
Paragraf 1
Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan
Program Legislasi
Pasal 25
Partisipasi masyarakat dalam penyusunan program
legislasi dapat berupa:
a.
melakukan identifikasi terhadap kebutuhan hukum
masyarakat
yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang akan dibentuk;
dan/atau
b.
pemberian masukan berupa informasi peraturan
perundang-undangan yang perlu dibentuk.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Pasal 25
Cukup jelas.
17
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Paragraf 2
Partisipasi Masyarakat dalam Persiapan
Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 26
Pasal 26
Partisipasi masyarakat dalam persiapan penyusunan
peraturan perundang-undangan dapat berupa:
a.
b.
c.
d.
pemikiran berupa saran-saran dan pertimbanganpertimbangan;
Huruf a
kerjasama
dalam
penelitian
terhadap
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat
yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang akan dibentuk;
Huruf b
bantuan keahlian dalam penyusunan naskah
akademik
dan/atau
rancangan
peraturan
perundang-undangan; dan/atau
Huruf c
pengajuan
keberatan
terhadap
peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Pengajuan
keberatan
terhadap
rancangan undang-undang dilakukan
apabila rancangan undang-undang yang
disusun ternyata ada sebagian atau
keseluruhan rumusannya mengakibatkan
kerugian pada masyarakat dan sosial.
rancangan
Saran-saran
dan
pertimbanganpertimbangan
dapat
langsung
disampaikan kepada pemrakarsa.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Paragraf 3
Partisipasi Masyarakat dalam Pembahasan
Pasal 27
(1) Perwakilan masyarakat baik lembaga maupun
perorangan wajib diberi kesempatan untuk
mengikuti persidangan pembahasan rancangan
peraturan perundang-undangan yang dinyatakan
terbuka untuk umum.
(2) Badan Publik wajib menyediakan tempat yang
memungkinkan perwakilan masyarakat dengan
seksama mengamati seluruh proses pembahasan
rancangan peraturan perundang-undangan.
(3) Masyarakat baik lembaga maupun perorangan
mengajukan permohonan kepada Badan Publik
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Pasal 27
Ayat (1)
Kehadiran dalam pembahasan mengikuti
tata tertib maupun kode etik yang berlaku
di lembaga tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
18
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
untuk mengamati sidang pembahasan rancangan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Partisipasi Masyarakat dalam
Penetapan/Pengesahan
Pasal 28
Partisipasi masyarakat dalam penetapan/pengesahan
peraturan
perundang-undangan
dapat
berupa
mendorong pejabat yang berwenang membentuk
peraturan
perundang-undangan
untuk
segera
menetapkan/mengesahkan
peraturan
perundangundangan.
Pasal 28
Cukup jelas.
Paragraf 5
Partisipasi Masyarakat dalam Sosialisasi
Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 29
Partisipasi masyarakat dalam sosialiasi peraturan
perundang-undangan dapat berupa:
a. penyebarluasan peraturan perundang-undangan;
dan
b. pendidikan hukum kepada masyarakat.
Pasal 29
Cukup jelas.
Paragraf 6
Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan
Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 30
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan peraturan
perundang-undangan dapat berupa :
a. mendukung
penyediaan
sumber
daya
pelaksanaan peraturan perundang-undangan;
b. pendampingan hukum atau bantuan hukum;
dan/atau
c. pengajuan keberatan terhadap pemberlakuan
peraturan perundang-undangan.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Pasal 30
Cukup jelas.
19
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Paragraf 7
Partisipasi dalam Pengawasan terhadap
Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 31
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan perundang-undangan dapat
berbentuk :
Pasal 31
Cukup jelas.
a. pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan;
b. melakukan identifikasi terhadap penyimpangan
pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan;
dan/atau
c. pemberian masukan berupa informasi mengenai
penyimpangan penegakan hukum.
Bagian Keempat
Partisipasi dalam Penganggaran
Paragraf 1
Perencanaan
Pasal 32
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan anggaran
dapat berupa :
a. melakukan
identifikasi
terhadap
kebutuhan
pembiayaan yang perlu ditetapkan;
b. memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan
anggaran negara atau daerah; dan/atau
c. memberi tanggapan terhadap RAPBN atau RAPBD
dan perubahannya.
Pasal 32
Cukup jelas.
Paragraf 2
Pelaksanaan
Pasal 33
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan anggaran
dapat berupa :
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Pasal 33
Cukup jelas.
20
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
a. membantu Badan Publik dalam menyebarluaskan
dokumen
RAPBN
atau
RAPBD
dan/atau
perubahannya; dan/atau
b. pendidikan atau pelatihan analisis anggaran publik
kepada masyarakat.
Paragraf 3
Pengawasan
Pasal 34
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran
dapat berupa identifikasi terhadap penyimpangan
pelaksanaan
RAPBN
atau
RAPBD
dan/atau
perubahannya.
Pasal 34
Cukup jelas.
Paragraf 4
Evaluasi
Pasal 35
Partisipasi masyarakat dalam evaluasi RAPBN atau
RAPBD dan/atau perubahannya dapat berupa masukan
atau pendapat penyempurnaan RAPBN atau RAPBD
dan/atau perubahannya.
Pasal 35
Cukup jelas.
Bagian Kelima
Partisipasi dalam Pengambilan Kebijakan Publik
Paragraf 1
Umum
Pasal 36
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan wajib
dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.
Pasal 36
Cukup jelas.
Paragraf 1
Perencanaan
Pasal 37
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan kebijakan
publik dapat berupa:
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Pasal 37
Cukup jelas.
21
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
a.
melakukan identifikasi terhadap kebutuhan
kebijakan publik yang perlu ditetapkan; dan/atau
b.
pemberian masukan berupa informasi peraturan
perundang-undangan yang perlu dibentuk.
Paragraf 2
Pengambilan Keputusan
Pasal 38
Pasal 38
Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
kebijakan publik dapat berupa :
a.
pemikiran berupa saran-saran dan pertimbanganpertimbangan;
b.
kerjasama
dalam
penelitian
terhadap
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat
yang sesuai dengan kebijakan publik yang akan
dibentuk;
c.
bantuan keahlian dalam penyusunan kebijakan
publik; dan/atau
d.
pengajuan keberatan terhadap kebijakan publik.
Cukup jelas.
Paragraf 3
Pelaksanaan
Pasal 39
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan
publik dapat berupa :
Pasal 39
Cukup jelas.
a. membantu Badan Publik dalam menyebarluaskan
kebijakan publik; dan/atau
b. melakukan identifikasi terhadap
pelaksanaan kebijakan publik.
penyimpangan
Paragraf 4
Pengawasan
Pasal 40
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan kebijakan
publik dapat berupa pemantauan pelaksanaan
kebijakan publik.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Pasal 40
Cukup jelas.
22
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Paragraf 5
Evaluasi
Pasal 41
Partisipasi masyarakat dalam evaluasi kebijakan publik
dapat berupa masukan atau pendapat penyempurnaan
kebijakan publik.
Pasal 41
Cukup jelas.
Bagian Keenam
Perilaku Badan Publik
Pasal 42
Pasal 42
Pelaksana dalam menerima partisipasi masyarakat
wajib berperilaku sebagai berikut:
a. adil dan tidak diskriminatif;
Huruf a
Yang
dimaksud
adil
dan
tidak
diskriminatif
adalah
memberikan
perlakuan yang sama dalam menerima
partisipasi
masyarakat
dan
tidak
membedakan suku, ras, agama, dan
antar golongan.
b. cermat;
Huruf b
Yang dimaksud cermat adalah dalam
menerima
partisipasi
masyarakat
dilaksanakan dengan penuh minat
(perhatian), saksama, dan teliti.
c.
santun dan ramah;
Huruf c
Yang dimaksud santun dan ramah adalah
dalam menerima partisipasi masyarakat
dilakukan
selaras
dengan
budaya
setempat dan kearifan lokal yang berlaku
di masyarakat.
d. tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang
berlarut-larut;
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Huruf d
Yang dimaksud tegas, andal, dan tidak
memberikan putusan yang berlarut-larut
adalah dalam menerima partisipasi
masyarakat disampaikan secara jelas,
dapat dipercaya, dan memberikan
jaminan
terhadap
kepastian
pelaksanaannya.
23
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
e. profesional;
Huruf e
Yang dimaksud profesional adalah
penerimaan
partisipasi
masyarakat
dilakukan sesuai dengan keahlian yang
yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan
peraturan
perundangundangan yang berlaku
f.
tidak mempersulit;
Huruf f
Yang dimaksud tidak mempersulit adalah
dalam menampung dan menerima
partisipasi masyarakat dilakukan secara
sederhana atau tidak mermpergunakan
prosedur birokrasi yang rumit.
g. patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
Huruf g
Cukup jelas.
h. menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan
integritas institusi penyelenggara;
Huruf h
i.
tidak membocorkan informasi atau dokumen yang
wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
Huruf i
terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk
menghindari benturan kepentingan;
Huruf j
k. tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana
serta fasilitas pelayanan publik;
Huruf k
l.
Huruf l
j.
tidak memberikan informasi yang salah atau
menyesatkan dalam menanggapi permintaan
informasi serta proaktif dalam memenuhi
kepentingan masyarakat;
m. tidak
menyalahgunakan
informasi,
dan/atau kewenangan yang dimiliki;
jabatan,
n. sesuai dengan kepantasan; dan
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan kepantasan
adalah menampung dan menerima
partisipasi
masyarakat
dilaksanakan
secara layak dan patut dengan budaya
setempat dan kearifan lokal yang berlaku
di masyarakat.
o. tidak menyimpang dari prosedur dan tata cara
yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Huruf o
Cukup jelas.
24
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
BAB VIII
PENOLAKAN PARTISIPASI DAN
MEKANISME KEBERATAN
Bagian Kesatu
Penolakan Partisipasi
Pasal 43
(1) Badan Publik dapat menolak partisipasi masyarakat
dalam hal partisipasi dilaksanakan:
a.
mengganggu ketertiban umum;
b.
melawan hukum; dan/atau
c.
bertentangan dengan etika dan sopan santun
berdasarkan budaya masyarakat.
Pasal 43
Cukup jelas.
(2) Badan Publik wajib menyampaikan secara tertulis
alasan-alasan tidak diberikannya kesempatan
dan/atau penolakan partisipasi.
(3) Alasan-alasan sebagaimana dimaksud ayat (1),
wajib
disampaikan
selambat-lambatnya
10
(sepuluh) hari setelah diterimanya penyampaian
pikiran dan pendapat untuk berpartisipasi.
Bagian Kedua
Mekanisme Pengajuan Keberatan
Pasal 44
(1) Setiap orang berhak mengajukan keberatan atas
tidak diberikannya kesempatan dan atau penolakan
partisipasi kepada Badan Publik.
Pasal 44
Cukup jelas.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib
diajukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
disampaikannya secara resmi surat penolakan
sebagaimana dimaksud ayat (1).
(3) Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterimanya
surat
keberatan,
Badan
Publik
wajib
menyampaikan tanggapan atas keberatan tersebut
kepada pihak yang mengajukan.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
25
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
(4) Dalam hal tenggat waktu 7 (tujuh) hari
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Badan Publik
tidak menyampaikan tanggapan, setiap orang yang
berhak mengajukan keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan
pembatalan kebijakan publik melalui prosedur
hukum
berdasarkan
peraturan
perundangundangan yang berlaku.
BAB IX
PEMBERDAYAAN PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 45
Pasal 45
(1) Badan
Publik
wajib
menyelenggarakan
pembinaan
untuk
menumbuhkan,
mengembangkan kesadaran, memberdayakan,
dan meningkatkan tanggung jawab masyarakat
dalam partisipasi masyarakat.
Cukup jelas.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Badan Publik, dengan cara :
a. memberikan
dan
menyelenggarakan
penyuluhan,
bimbingan,
dorongan,
pengayoman, pelayanan, bantuan teknik,
bantuan
hukum,
pendidikan,
dan/atau
pelatihan;
b. menyebarluaskan semua informasi
kepada masyarakat secara terbuka;
publik
c. mengumumkan
dan
menyebarluaskan
rencana pembangunan, peraturan perundangundangan, anggaran, dan kebijakan publik
kepada masyarakat;
d. menghormati hak yang dimiliki masyarakat;
e. memberikan penggantian yang layak kepada
masyarakat atas kondisi yang dialaminya
sebagai
akibat
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan yang merugikan masyarakat;
f. melindungi
hak
masyarakat
berpartisipasi; dan/atau
untuk
g. memperhatikan dan menindaklanjuti saran,
usul, atau keberatan dari masyarakat.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
26
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
BAB X
PENGAWASAN
Pasal 46
(1) Ombudsman melakukan Pengawasan terhadap
pelaksanaan partisipasi masyarakat.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi bimbingan, pembinaan, dorongan,
pengayoman, peningkatan mutu, dan pelayanan
dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat.
Pasal 46
Cukup jelas.
BAB XI
PERLINDUNGAN HUKUM
Pasal 47
(1) Masyarakat mendapat perlindungan hukum atas
keamanan pribadi dan harta bendanya serta
bebas dari ancaman sehubungan dengan
pelaksanaan partisipasi masyarakat.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh lembaga negara yang
tugasnya di bidang penegakan hukum sesuai
peraturan perundang-undangan.
Pasal 47
Pasal 48
Pejabat penegak hukum yang berwenang wajib
merahasiakan identitas masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1).
Pejabat penegak hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat memberikan pengamanan
fisik terhadap masyarakat dan keluarganya.
Pasal 48
(1)
(2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 49
(1) Setiap orang yang ditolak partisipasinya dapat
mengajukan keberatan secara tertulis paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya
penolakan.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Pasal 49
Cukup jelas.
27
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
(2) Badan Publik wajib untuk memberikan jawaban
atau pendapat atau sanggahan paling lambat 7
(tujuh) hari setelah diterimanya surat keberatan.
Pasal 50
(1) Apabila jawaban atau pendapat atau sanggahan
dari
Badan
Publik
belum
menghasilkan
kemufakatan bersama dapat dilanjutkan melalui
musyawarah para pihak, paling lama 7 (tujuh) hari
sejak diterimanya tanggapan atau keberatan.
Pasal 50
Cukup jelas.
(2) Badan Publik wajib memfasilitasi pelaksanaan
musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam
rangka
percepatan
penyelesaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
mediasi melalui pihak ketiga yang independen dan
memiliki kapabilitas terhadap persoalan yang
dimusyawarahkan.
Pasal 51
Apabila penyelesaian secara musyawarah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 tidak mencapai mufakat
maka para pihak yang bersengketa dapat mengadukan
persoalan itu melalui pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 51
Cukup jelas.
BAB XIII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 52
(1) Pegawai atau pejabat Badan Publik yang
melanggar hak setiap orang dalam berpartisipasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dikenai sanksi pembebasan dari jabatan dan/atau
pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 52
Cukup jelas.
(2) Pegawai atau pejabat Badan Publik yang tidak
melaksanakan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal
11, dan/atau Pasal 12 dikenai sanksi pembebasan
dari jabatan dan/atau pemberhentian tidak dengan
hormat.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
28
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
(3) Pejabat Badan Publik yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1),
Pasal 16, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36, Pasal 45,
Pasal 49 ayat (2), dikenai sanksi pembebasan dari
jabatan.
(4) Pegawai atau pejabat Badan Publik yang tidak
melaksanakan perilaku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 dikenai sanksi pembebasan dari
jabatan dan/atau pemberhentian tidak dengan
hormat.
(5) Pegawai atau pejabat Badan Publik yang tidak
menyampaikan secara tertulis alasan-alasan tidak
diberikannya kesempatan dan/atau penolakan
partisipasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (2) dikenai sanksi pembebasan dari jabatan
dan/atau pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 53
Setiap orang yang dalam menyalurkan partisipasinya
dilakukan dengan cara melawan hukum, dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 53
Cukup jelas.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, ketentuan
partisipasi masyarakat dalam Undang-Undang atau
aturan pelaksanaannya masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 55
Peraturan pelaksanan atas Undang-Undang ini
ditetapkan selambat-labatnya 1 (satu) tahun sejak
Undang-Undang ini disahkan.
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
29
!
DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 56
Undang-Undang
diundangkan.
ini
mulai
berlaku
Pasal 56
pada
tanggal
Cukup jelas.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan
Undang-Undang
ini
dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal .....................
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal .......................
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ...
NOMOR ...
RUU tentang Partisipasi Masyarakat
30
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
---------
BAGIAN PERTAMA
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PARTISIPASI MASYARAKAT
DPD RI
2012
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Partisipasi politik adalah sejumlah aktifitas tertentu dari masyarakat
dalam rangka menyampaikan aspirasinya kepada elit politik. Aktifitas
tersebut dapat berupa pemberian suara dalam pemilu, donasi uang
maupun waktu dalam rangka kampanye pemilu, petisi, demontrasi,
penyampaian kehendak dan sebagainya.
Demokrasi dalam skala besar membutuhkan lembaga-lembaga
politk tertentu sebagai jaminan pelaksanaan demokrasi, yaitu:1
1. Pejabat yang dipilih;
2. Pemilihan umum yang bebas, adil, dan beradab;
3. Kebebasan berpendapat;
4. Sumber informasi alternatif;
5. Otonomi asosiasional; dan
6. Hak kewarganegaraan yang inklusif.
Demokrasi berdiri berdasarkan logika persamaan dan gagasan
bahwa
pemerintah
memerlukan
persetujuan
dari
yang
diperintah.
Persetujuan memerlukan perwakilan yang hanya bisa diperoleh dengan
pemilihan
umum.
Gagasan
tersebut
merupakan
fondasi
di
mana
demokratisasi saat ini bergerak maju.2
1
Moh. Mahfud MD. “Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, edisi revisi, Rineka
Cipta, Jakarta, 2001, hal. 240.
2
Robert A. Dahl, “Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara
Singkat”, terjemahan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 31.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
1
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Dari sisi etika politik, masalah demokrasi terkait dengan masalah
legitimasi kekuasaan atas masyarakat. Satu-satunya legitimasi dasar
kekuasaan yang sah adalah legitimasi demokratis, bukan kepercayaam
ideologis
ataupun
keahlian
khusus
suatu
kelompok
(elitis
atau
teknokratis).3
Demokrasi juga berkaitan dengan kesamaan pada semua warga
negara, tidak ada satu kelompok pun yang berhak untuk memerintah
orang lain kecuali berdasarkan penugasan dan persetujuan masyarakat.
Kenyakinan inilah yang menjadi inti dari istilah kedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat berdasarkan atas hak setiap orang untuk menentukan
diri sendiri dan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan
yang menyangkut masyarakat.4
Demokrasi
mengansumsikan
bahwa
setiap
rakyat
memiliki
kesamaan kedudukan dan memegang kekuasaan untuk memerintah. Jadi
demokrasi berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, paling tidak legitimasi
untuk kekuasaan itu berasal dari rakyat itu sendiri.
Oleh karena demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos”
dan “cratos”. ”Demos” artinya “rakyat”, dan “cratos” artinya kekuatan atau
kekuasaan. Jadi demokrasi adalah kekuasaan yang ada pada rakyat
seluruhnya.
Aristoteles
membedakan
tiga
mascam
pemerintahan
berdasarkan jumlah orang yang memerintah, yaitu monarki, oligarki, dan
demokrasi. Jika demokrasi adalah kekuasaan pada rakyat, maka monarki
3
Franz Magnis Suseno, “Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern”,
cetakan Kelima, PT. Gramedi Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal. 289-290.
4
Ibid.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
2
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
adalah kekuasaan pada satu orang , dan oligarki adalah kekuasaan pada
sedikit orang.5
Pemahaman tentang demokrasi merupakan pemahaman yang
bersifat universal. Namun di dalam mengimplementasikannya, tidak
tertutup kemungkinan beradaptasi dengan elemen-elemen nilai lokal
dalam suatu lingkungan politik tertentu.6 Hal inilah yang mendasari
munculnya bermacam-macam variasi ajaran demokrasi.
Menurut Miriam Budiardjo7 pada dasarnya ada dua kelompok aliran
yang penting, yaitu demokrasi konstitusionil dan satu kelompok aliran yang
menamakan dirinya “demokrasi”, tetapi pada hakikatnya mendasarkan
dirinya atas komunisme. Keadaan tersebut menimbulkan pandangan
bahwa pada dasarnya demokrasi bersifat ambigu. Ambiguitas demokrasi
tersebut terletak pada apakah demokrasi itu baik ataukah tidak dan pada
bagaimana mengimplementasikan demokrasi.8
Dalam implementasi demokrasi inilah secara teortik ada dua
bentuk, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi
langsung sebagaimana praktek yang berlaku pada jaman Romawi adalah
seluruh rakyat berkumpul pada waktu dan tempat yang sama untuk
mengambil putusan. Demokrasi langsung menurut Franz Magnis Suseno,
tidak hanya dapat direalisasikan melainkan juga secara etis tidak perlu.
Yang harus dituntut adalah bahwa pemerintahan negara tetap berada di
5
Wirjono Prodjodikoro, “Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik”, dalam Muchammad Ali Safa’at,
“Parlemen Bikameral: Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris,
Austria, dan Indonesia”, UB Press, Malang, 2010, hal. 16-17.
6
Afan Gaffar, 2005, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hal. 3.
7
Meriam Budiardjo, 2005, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustakan Utama, Jakarta,
hal. 51.
8
Moh. Mahfud, MD, 1999, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, FH UII
Press, Yogyakarta, hal. 29.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
3
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
bawah kontrol efektif warga negara. Rakyat membuat undang-undang
melalui para wakil yang mereka pilih.9
Pandangan sebagaimana dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno
tersebut
adalah
pandangan
demokrasi
perwakilan
dimana
fungsi
pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada organ-organ khusus.
Hak dalam menentukan nasib sendiri dalam demokrasi dibatasi pada
prosedur untuk membentuk dan memilih organ ini. Menurut John Stuart
Mill sistem perwakilan ini merupakan penemuan luar biasa di zaman
modern.10
Dalam konteks otonomi daerah, Sentralisasi dan desentralisasi
adalah dua konsepsi yang selalu eksis dalam sebuah organisasi modern,
baik dalam organisasi publik maupun dalam organisasi non publik. Dalam
sebuah sistem negara (baik dalam negara federal maupun negara kesatuan),
kedua konsepsi ini bahkan menentukan derajat hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah (atau negara bagian). Karena itu, tidak kita
temukan sebuah negara yang hidup hanya dengan sentralisasi atau hanya
dengan desentralisasi. Meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat
dalam ruang globalisasi tidak menyurutkan peran negara pusat sebagai
motor dan moderator antara negara nasional dan negara internasional.
Peran negara pusat tersebut, tercakup dalam konsepsi sentralisasi.
Sebaliknya, menguatnya identitas masyarakat lokal (lokalisasi)
menuntut ruang gerak pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk
mengatur dan mengurus kebutuhannya sendiri. Tuntutan inilah yang
melahirkan program desentralisasi. Globalisasi dan lokalisasi (disebut juga
dengan glokalisasi) adalah dua kekuatan dalam masyarakat yang bergerak
9
Franz Magnis Suseno, op.cit, hal. 290-291.
Lihat dalam George H. Sabine, “Historical of Political Theory”, 3d edition, Rinehart and
Winston, New York, 1961, hal 695 yang dikutip oleh Dahl, op.cit, hal 145.
10
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
4
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
dalam arah berlawanan tetapi saling mempengaruhi. Refleksi keduanya
terkandung dalam sentralisasi dan desentralisasi. Meskipun sentralisasi dan
desentralisasi adalah dua konsepsi yang selalu ada dalam sistem
negara, terdapat beberapa kewenangan dan urusan yang tabu untuk
didesentralisasikan. Kewenangan tersebut lazimnya berkaitan dengan
keutuhan kedaulatan negara serta kesatuan hukum dan ekonomi nasional.
Diantara kewenangan tersebut antara lain; kewenangan luar negeri,
kewenangan
pertahanan
dan
keamanan
dan
kewenangan
peradilan.
Sebaliknya, terdapat beberapa kewenangan, yang karena tuntutan efisiensi,
efektivitas dan kedekatan partisipasi masyarakat, diselenggarakan oleh
pemerintah daerah (atau negara bagian).
Di samping untuk menjawab tuntutan efisiensi dan efektivitas
tersebut, latar belakang kewenangan atau urusan yang didesentralisasikan
bersumber dari prinsip-prinsip, yaitu:11
1. Prinsip negara hukum. Di dalam prinsip negara hukum di samping
dikenal
adanya
pemisahan
kekuasaan,
juga
dikenal
adanya
pemencaran kekuasaan, yaitu pendelegasian atau pendistribusian
kekuasaan secara vertikal. Dengan demikian desentralisasi yang
menimbulkan
otonomi
daerah
pada
hakikatnya
merupakan
implementasi dari pemencaran kekuasaan.
2. Prinsip demokrasi. Dalam negara demokrasi kebutuhan akan
partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara merupakan suatu keniscayaan. Bahkan kalau boleh
mengatakan partisipasi merupakan prinsip utama dalam sendi-sendi
demokrasi. Berdasarkan prinsip semacam inilah, maka desentralisasi
11
B. Hestu Cipto Handoyo, Paper disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD)
Implikasi Pengawasan Produk Hukum Daerah Terhadap Pembangunan Hukum
Nasional, diselenggarakan oleh Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah
(SADAR OTDA) UGM bekerjasama dengan DPD-RI, 17 Juli 2009.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
5
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
yang menimbulkan otonomi daerah merupakan sarana yang tepat
untuk mengimplementasikan prinsip demokrasi pemerintahan di
tingkat lokal. Dengan bersumber pada prinsip demokrasi inilah, maka
rakyat di daerah memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk
menentukan sendiri arah dan kebijaksanaan dalam memajukan dan
mengembangkan
daerahnya
sesuai
dengan
potensi
yang
ada.
Kebijakan publik yang mengikut sertakan partisipasi masyarakat
merupakan gambaran nyata dari kehendak masyarakat daerah untuk
melakukan pengaturan dalam memenuhi kebutuhan riil masyarakat
suatu daerah.
3. Prinsip welfare state. Dalam negara kesejahteraan, fungsi negara
adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan umum warganya. Oleh sebab itulah,
untuk mendekatkan pelayanan tersebut dibutuhkan satuan-satuan
pemerintahan di tingkat lokal. Dengan demikian desentralisasi dan
otonomi daerah merupakan prinsip yang paling efektif dipergunakan
untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat tersebut. Sekaligus
mensinkronisasi pelayanan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan masing-masing Daerah.
4. Prinsip ke-bhineka-an. Dalam negara yang komposisi kehidupan
kemasyarakatannya demikian beragam, tidaklah mungkin melakukan
penyeragaman diberbagai aspek kehidupan tersebut. Setiap bentuk
penyeragaman di lingkungan masyarakat yang plural justru akan
menimbulkan rasa ketidak adilan. Dengan demikian desentralisasi dan
otonomi
daerah
menampung
dapat
keaneka
dipergunakan
ragaman
sebagai
masyarakat
sarana
Indonesia.
untuk
Dengan
demikian melalui bingkai ke-Bhineka-an inilah keanekaragaman yang
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
6
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
bernafaskan kearifan lokal akan memperoleh tempat dalam paradigma
pembangunan nasional.
Pada awalnya, konsepsi desentralisasi politik (dikenal juga sebagai
devolusi) dapat dipahami sebagai pendelegasian kewenangan dan tugastugas pemerintahan kepada unit-unit pemerintahan di daerah yang memiliki
independensi terhadap pemerintah pusat. Kontrol pemerintah pusat lazimnya
bersifat tidak langsung dan bertindak hanya sebagai supervisor (Rondinelli,
Nellis, Cheema, 1983). Desentralisasi politik menurut definisi tersebut
memiliki lima karakter: pertama, unit desentralisasi harus memiliki otonomi
dan independensi, kedua unit desentralisasi memiliki batas-batas territorial
yang ditentukan secara legal formal, ketiga memiliki kekuasaan dan
kewenangan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, keempat
memiliki organ dan struktur organisasi untuk menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan, dan kelima unit desentralisasi merupakan bagian tidak
terpisahkan dari keseluruhan sistem suatu negara, sehingga secara
fungsional dan struktural harus berinteraksi dan berkoordinasi dengan
pemerintah pusat.
Berbeda
dengan
desentralisasi
administrasi
(dikenal
sebagai
dekonsentrasi), dimana unit desentralisasi hanya memiliki kewenangan
untuk mengurus (authority to manage), dan secara struktural merupakan
perpanjangan pemerintah pusat di daerah, maka dalam konsepsi
desentralisasi politik unit-unit desentralisasi memiliki kewenangan
mengatur dan mengurus (authority to regulate and to manage) sekaligus
memanfaatkan sumber daya (manusia dan alam) untuk melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan yang didelegasikan kepadanya.
Desentralisasi politik dengan demikian, merupakan proses politik
dalam perubahan dan pembangunan suatu bangsa dan dijadikan sebagai
instrumen
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
politik
untuk
memperkuat
participatory
democracy
7
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
(Pitschas,
2001).
Tujuan-tujuan
yang
akan
dicapai dalam
desentralisasi politik itu sendiri sangatlah luas. Hal ini meliputi antara lain
konsolidasi dan dukungan proses demokratisasi, impuls dan motor
kompetisi dan percepatan pembangunan ekonomi, pengurangan arus
urbanisasi, pemenuhan kepuasaan sosial, 'cultural dan religius, efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik serta kedekatan antara birokrasi dan
masyarakat. Struktur negara sentralistis-hierarkis, sebagaimana yang
dapat dilihat di sebagian besar negara-negara berkembang dan negaranegara transformasi seringkali tidak sejalan dengan proses dinamis
perubahan masyarakat, birokrasi dan negara. Struktur negara sentralistis
hierarkis semacam ini tidak memiliki fleksibilitas dan kemampuan adaptasi
situatif sebagai prasayarat perubahan masyarakat.
Perubahan dari negara berstruktur sentralistis-hierarkis menjadi
negara terdesentralisasi secara politis, harus berbasis kepada asumsi, bahwa
negara tidak hanya menjadi aktor dan subyek pembangunan, tetapi juga
secara bersamaan menjadi obyek pembangunan dan reformasi. Atas
landasan tersebut, desentralisasi politik dimaksudkan untuk mengurangi
dan atau menghapus defisit struktur sentralistis-birokratis yang selama ini
diterapkan oleh negara-negara berkembang. Desentralisasi politik dengan
demikian, tidak hanya menjadi "mode penyelenggaraan negara"
dalam kaitannya dengan bantuan pembangunan internasional, tetapi juga
memberikan kerangka dasar dan arahan kepada pemerintah pusat untuk
melakukan reformasi dan modernisasi.
Secara
global,
desentralisasi
merupakan
sebuah
isu
yang
berkembang baik secara teoritik dan praktek dalam ranah administrasi
publik. Perkembangan isu desentralisasi ini terkait dengan bantuan-bantuan
negara asing dan lembaga-lembaga donor untuk memperkuat proses
demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang sudah sejak lama bersamaan
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
8
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
dengan mengalirnya dana bantuan donor ke negara-negara berkembang.
Meskipun demikian, pada saat ini isu tersebut semakin kuat dan dirasakan
perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sesuatu yang dinamis dan
tidak berada dalam ruang yang vacuum.
Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu
mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie,
1980). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan separatis yang muncul
di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat terkait dengan aspek
vertical distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap
kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara
(Hoessein, 1995). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan antara Pusat
dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena
berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar.
Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki
yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005). Efek domino
gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai
ditemukannya titik keseimbangan baru antara pusat dan daerah. Pada sisi
lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada
kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan
Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang
telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak hubungan antara Pusat
dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999
dapat dikatakan berhasil meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah.
Desentralisasi yang merupakan refleksi hubungan antara pusat dan
daerah terus akan bergulir dalam proses demokratisasi. Administrasi publik
berperan penting untuk ikut menentukan konstruksi hubungan pusat dan
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
9
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
daerah di Indonesia, juga ikut membangun kapasitas pemerintahan daerah.
Karena isu ini bukan isu sesaat tetapi isu yang terus dan akan berlanjut dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi yang
sangat luas terutama untuk mencipatkan pemerintahan yang efisien dan
efektif, juga untuk meningkatkan proses demokrasi di tingkat lokal.
Penyelenggaraan desentralisasi melalui UU No. 22 Tahun 1999
yang kemudian digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 diharapkan dapat
memberikan sejumlah efek positif terhadap fungsi pelayanan birokrasi di
Daerah dengan sejumlah alasan: pertama, melalui desentralisasi jalur
birokrasi Pusat ke Daerah menjadi lebih singkat; kedua, proses
debirokratisasi negara melalui desentralisasi akan memperkuat basis
participatory democracy; ketiga, debirokratisasi negara akan meningkatkan
kompetisi antar Daerah; keempat, melalui kompetisi akan meningkatkan
kesadaran dan tanggungjawab birokrasi dalam pelayanan publik untuk
mempercepat proses pembangunan di daerah; serta kelima, desentralisasi
akan menjadi struktur direktif (pengarah) dalam penciptaan local good
governance yaitu Pemerintahan Daerah yang berbasis pada transparansi,
akuntabilitas, participatory democracy dan rule of law (Prasojo,
2003b). Dengan kata lain, implementasi elemen-elemen dan good
governance tersebut dapat dilakukan dengan efektif jika unit-unit
Desentralisasi menjadi motor dan katalisator pembangunan dan perubahan di
Daerah. Dengan demikian, desentralisasi politik dan dukungan Administrasi
Publik
lokal
menjadi
salah
satu
instrumen
penting
dalam
pengimplementasian good governance. Hanya saja kondisi ini hanya dapat
terjadi apabila desentralisasi politik dapat dipahami sebagai instrumen
demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat dan tidak hanya sekedar sebagai
instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Selain itu, upaya
mewujudkan
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
good
governance
tidak
bisa
dilepaskan
dan
usaha
10
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
mereformasi
birokrasi
(Prasojo,
2003b).
Dalam
mempersiapkan birokrasi yang telah ada untuk
artian
dapat
bagaimana
mendukung
impelementasi dari prinsip-prinsip good governance tersebut. Karenanya,
pembaruan birokrasi daerah tidak dapat dihindarkan dan merupakan
keharusan.
Perbaikan dan pembaruan birokrasi pemerintah daerah ini harus
diarahkan pada tiga kepentingan: pertama untuk memberikan pelayanan
publik yang lebih baik kepada masyarakat sebagai pembayar pajak.
Kedua
mempertanggungjawabkan
penerimaan
maupun
penggunaan
sumber-sumber keuangan publik, dan ketiga untuk meningkatkan efisiensi
dan effektivitas internal instansi pemerintah dan terutama untuk menjadikan
anggaran
publik
sebagai
salah
satu
basis
pengambilan
keputusan
(management control).
Efek positif dari desentralisasi politik dan reformasi birokrasi
sebagai basis penciptaan local good governance sebagaimana disebutkan
di atas bukan tanpa masalah. Ketidakmampuan Daerah secara personal dan
finansial dapat menjadi hambatan keberhasilan proses tersebut. Hal ini
dapat terjadi jika proses transformasi dari sistem yang sentralistis-hirarkhis
menjadi
desentralistis-partisipatif
tidak
memiliki
kejelasan
peraturan
pelaksanaan di lapangan. Sehingga dalam hal ini, hukum harus menjadi
dasar proses reformasi birokrasi untuk menuju good governance. (Prasojo,
2003)
Faktor lainnya yang akan mempengaruhi implementasi desentralisasi
menurut Rondinelli (1983) adalah: (1) kuatnya dukungan politik dan
administratif dari Pemerintah Pusat; (2) pengaruh perilaku, tingkah laku dan
budaya; (3) faktor-faktor organisasi; (4) sumberdaya keuangan, manusia,
dan fisik yang cukup dan memadai.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
11
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Meskipun demikian, dalam kebanyakan praktek di negara-negara
berkembang, desentralisasi politik ditempatkan lebih sebagai instrumen
efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan,
katimbang sebagai instrumen peningkatan demokrasi lokal dan partisipasi
masyarakat. Dengan kata lain, secara prinsipil desentralisasi politik
dipahami sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik.
Pemahaman dan praktek semacam ini tidaklah mengherankan, karena
konsepsi good governance oleh Bank dunia memang bersifat teknis dan
bukan politis. Atas dasar asumsi itu, tidak sukar untuk dipahami bahwa
diskusi mengenai desentralisasi lebih erat berkaitan dengan modernisasi
administrasi dan negara melalui paradigma baru New Public Management
(Reinermann, 1993). Sejalan dengan perkembangan pemahaman demokrasi
dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, konsepsi awal good
governance yang notebene berkiblat kepada sistem anglosaxon (rule of law)
tidak lagi memenuhi tuntutan tersebut. Atas dasar itulah, negara-negara
Eropa Kontinental mengembangkan perspektif barn good governance yang
lebih menekankan pada aspek demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan (Prasojo, 2003a).
B. Identifikasi Masalah
1. bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan, masyarakat sudah
sewajarnya ikut melakukan (berperan) atau dengan kata lain
Pemerintah
harus
bekerja
bersama
masyarakat,
karena
pada
hakekatnya Pemerintah bekerja bukan untuk dirinya sendiri tetapi
untuk masyarakat. Upaya ini merupakan rangkaian proses untuk
menuju penguatan peran masyarakat,
bukan sekadar peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan (community
driven development).
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
12
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
2. dengan
kuatnya
peran
masyarakat,
maka
penyelenggaraan
pembangunan akan lebih bisa dilakukan secara transparan, akuntabel,
berakhlak, dan berorientasi pada rakyat atau dengan kata lain
bernuansa good governance di segala lapisan.
3. Kendati
perkembangan
memberikan
demokrasi
kesempatan
yang
sejak
luas
reformasi
kepada
1998
telah
masyarakat
untuk
berpartisipasi, namun kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi
masyarakat masih belum optimal bahkan tidak terstruktur dengan
baik. Untuk itu perlu dirumuskan optimalisasi dan struktur partisipasi
masyarakat dalam suatu sistem hukum.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan
Tujuan pembentukan Undang-Undang tentang Partisipasi Masyarakat
sebagai berikut :
a. Menjaring keinginan masyarakat berupa kebutuhan hukum yang
berkembang dalam masyarakat sehingga Undang-Undang yang
dibentuk sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat;
b. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Pembentuk dan
Pelaksana Undang-Undang yakni Pemerintah. serta Penegak hukum;
c. Untuk
meningkatkan
kepatuhan
masyarakat
terhadap
Undang-
Undang.
d. Untuk
menumbuhkan
kesadaran
politik
karena
masyarakat
diikutsertakan dalam pembuatan produk politik seperti UndangUndang.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
13
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
D. Metode pendekatan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris atau penelitian
hukum sosiologis karena data yang diperoleh dalam penelitian ini
merupakan data primer yakni data dari responden. Data ini merupakan
data kualitatif yakni “data yang bersifat menerangkan dalam bentuk uraian
maka data tersebut tidak dapat diwujudkan dalam bentuk angka-angka
melainkan berbentuk suatu penjelasan yang menggambarkan keadaan,
proses, peristiwa tertentu” (P.Joko Subagyo, 1991 : 94). Kemudian data
kualitatif ini dianalisis dengan analisis kualitatif maksudnya analisis
dilakukan terhadap “data yang berupa informasi, uraian dalam bentuk
bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapatkan
kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya sehingga memperoleh
gambaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dan
sebaliknya. Jadi, bentuk analisis ini dilakukan merupakan penjelasanpenjelasan bukan berupa angka-angka statistik atau bentuk angka lainnya”
(ibid.). Analisis ini ditunjang dengan pendekatan Undang-Undang (statute
approach), maksudnya “dengan menelaah semua Undang-Undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani”
(Peter Mahmud Marzuku, 2005 : 92). Dengan demikian, pengkajian juga
didasarkan atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 untuk mencegah terjadinya ketidakharmonisan dengan aturan hukum
yang lebih tinggi. Kemudian dikaitkan dengan aturan hukum yang
sederajat agar tercipta adanya keharmonisan hukum secara horisontal.
Analisis ini juga ditunjang dengan pendekatan konseptual (conceptual
approach) yang beranjak dari “pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang dalam ilmu hukum” (ibid. : 95). Konsep adalah “rupa
atau gambar atau bayangan dalam pikiran yang merupakan hasil
tangkapan akal budi terhadap suatu entitas yang menjadi obyek pikiran”
(Jan Hendrik Rapar, 1996 : 27).
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
14
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK
A.
Kajian Teoritis
Secara garis besar, ruang lingkup partisipasi masyarakat terdiri dari
partisipasi dalam pembangunan dan partisipasi dalam pembentukan
peraturan
perundang-undangan.
Pertama,
partisipasi
dalam
pembangunan meliputi proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan
penerimaan
manfaat
pembangunan
dengan
mempertimbangkan
otonomi dan kemandirian masyarakat. Tampaknya pandangan terakhir
ini sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Sjahrir bahwa :
Pengertian partisipasi dalam pembangunan bukanlah
semata-mata partisipasi dalam pelaksanaan program,
rencana, dan kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga
partisipasi yang emansipatif. Artinya sedapat mungkin
penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin
mengacu pada motto pembangunan, dari, oleh, dan untuk
rakyat12.
Dari penjelasan mengenai cakupan makna dari partisipasi publik di atas,
maka dapat dipahami bahwa partisipasi dalam arti luasnya mencakup
pula involvement dan empowerment. Partisipasi berentang mulai dari
pembuatan
kebijakan,
implementasinya
sampai
dengan
kendali
warganegara terhadapnya. Partisipasi dapat terjadi bila ada demokrasi.
Terjadi perubahan pandangan masyarakat terhadap partisipasi. Kini,
masyarakat tidak lagi memandang partisipasi masyarakat sebagai
sebuah kesempatan yang diberikan oleh pemerintah karena kemurahan
hatinya. Partisipasi lebih dihargai sebagai suatu layanan dasar dan
12
Sjahrir, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, dalam Korten, D.C., & Jahrir,
Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Penerjemah: A Setiawan Abadi, Jakarta, 1988, hal
320
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
15
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
bagian
integral
dari
local
governance.
Dalam
citizen-centred
government, partisipasi publik merupakan alat bagi good governance.13
Antoft dan Novack juga mengungkapkan berbagai bentuk partisipasi
(dalam pengertian lebih sempit) yang bisa dilakukan oleh komunitas
untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya bisa
berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan bagi
penduduk menikmati akses partisipasi yang lebih besar karena tidak
semua penduduk pada waktu yang bersamaan, di tempat yang sama,
dengan kepentingan yang sama dapat berpartisipasi secara langsung
dan bersama-sama. Ada kendala waktu, tenaga, dan sumber daya
lainnya yang membatasi partisipasi publik ini. Bentuk-bentuk partisipasi
tersebut meliputi : electoral participation, lobbying, getting on council
agenda, special purpose bodies, dan special purpose participation.
Berbagai bentuk partisipasi masyarakat (dalam arti luas) dalam
pemerintahan daerah berdasarkan pengalaman berbagai negara di
dunia telah dijelaskan oleh Norton
yang berkisar pada : pertama,
referendum bagi isu-isu vital di daerah tersebut, dan penyediaan
peluang inisiatif warga untuk memperluas isu-isu yang terbatas dalam
referenda. Kedua, melakukan decentralization in cities (desentralisasi di
dalam kota) kepada unit-unit yang lebih kecil sehingga kebutuhan,
tanggung jawab dan pengambilan keputusan lebih dekat lagi kepada
masyarakat. Ketiga, konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat
sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Dan yang keempat
adalah partisipasi dalam bentuk sebagai elected member (anggota yang
13
Antoft&Novack, Grassroots Democracy: Local Government in the Maritimes, Nova Scotia:
Henson College, Dalhousie University, 1998, hal. 81
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
16
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
dipilih)14.
Semakin
banyak
anggota
dewan
yang
dipilih
secara
proporsional jumlah penduduk maka semakin tinggi partisipasinya.
Semakin kecil rasio anggota dewan dibandingkan dengan jumlah
penduduk maka semakin besar derajat partisipasinya. Meski demikian,
rasio tersebut bervariasi antar daerah di seluruh dunia bergantung pada
kondisi masing-masing.
Kedua, partisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Hal terpenting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah partisipasi publik karena tanpa pelibatan masyarakat dalam
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
maka
peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah represif. Sedangkan apabila
dalam pembentukannya melibatkan masyarakat dan meyerap aspirasi
masyarakat maka peraturan perundang-undangan yang dihasilkan akan
responsif.
A.S. Hikam mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat dalam
pembentukan
undang-undang
diperkuat
dengan
adanya
hasil
amandemen UUD 194515. Menurutnya pembukaan UUD 1945 secara
jelas
menyatakan
“…susunan
negara
Republik
Indonesia
yang
berkedaulatan Rakyat..”. kemudian Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
menyatakan, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD”. Secara umum, penegasan tersebut paling tidak dapat
ditafsirkan bahwa UUD 1945 menghendaki ataupun menerapkan konsep
Kedaulatan Rakyat yang berarti kekuasaan yang tertinggi untuk
memerintah
dalam
suatu
negara
berada
di
tangan
rakyat.
Pengejewantahan dari konsep itu adalah mengikut-sertakan rakyat
14
Norton, International Handbook of Local and Regional Government: A Comparative
Analysis of AdvandceDemocracies, Cheltenham: Edwar Elgar, 1994, hal. 103
15
Muhammad A.S. Hikam, Partisipasi publik dalam Pembentukan Undang-Undang, Paper
pada Diskusi dan Peluncuran Buku PSHK di Hotel Cemara, Jakarta 18 Maret 2005
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
17
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan
mengikutsertakan
rakyat dalam pembuatan kebijakan.
Tampak
jelas
keterbukaan,
bahwa
yang
dalam
berkaitan
paham
demokrasi
dengan
asas
terdapat
partisipasi
asas
publik,
sebagaimana pula dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno (1987: 289293), bahwa paham demokrasi atau kedaulatan rakyat mengandung
makna, pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat.
Kontrol ini melalui dua sarana: secara langsung melalui pemilihan para
wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity)
pengambilan
keputusan.
Pertama,
pemilihan
wakil
rakyat
berkonsekuensi pada adanya pertanggungjawaban. Karena, jika partaipartai mau terpilih kembali dalam pemilihan berikut, mereka tidak dapat
begitu saja mempermainkan kepercayaan para pendukung mereka,
sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Kedua, keterbukaan
pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan.
Karena pemerintah bertindak demi dan atas nama seluruh masyarakat,
maka seluruh masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang
dilakukannya. Bukan saja berhak mengetahui, juga berhak berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan.
Dari penjelasan tersebut diatas jelas menunjukan bahwa dalam proses
pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam
bentuk RUU, terdapat hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
penyusunan RUU, yakni memberi masukan secara lisan atau tertulis
dalam persiapan maupun pembahasan RUU.
Menurut Sad Dian Utomo (2003: 267-272), manfaat partisipasi publik
dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam pembuatan RUU
adalah :
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
18
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
1.
Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan
kebijakan publik.
2.
Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena
warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan
publik.
3.
Meningkatkan
kepercayaan
warga
kepada
eksekutif
dan
legislatif.
4.
Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat
dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan
publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi
kebijakan publik dapat dihemat.
Sesuai dengan ide negara hukum, maka partisipasi publik dalam
penyusunan RUU mesti diatur secara jelas dalam suatu aturan hukum
tertentu. Sendi utama negara hukum, menurut Bagir Manan ( 2003:
245) adalah hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum)
dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara
negara dan masyarakat atau antar-anggota masyarakat yang satu
dengan yang lainnya. Hukum mempunyai dua pengertian, yakni hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis. Bapak Pembentuk Negara Indonesia,
mengakui adanya hukum tidak tertulis, sebagaimana pernah dituangkan
dalam Pembukaan UUD 1945 : “Undang-Undang Dasar ialah hukum
dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara
meskipun tidak tertulis” (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, 2004: 11).
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
19
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Berkenaan dengan negara hukum, Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih
( 1980: 29 ) mengemukakan, bahwa legalitas dalam arti hukum dalam
segala bentuknya sebagai ciri negara hukum adalah setiap tindakan baik
dari pihak penguasa maupun dari pihak rakyat harus dibenarkan secara
hukum (Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1980: 29). Mengenai asas
legalitas, Jimly Asshiddiqie ( 2005: 155 ) berpendapat, bahwa dalam
setiap Negara Hukum diisyaratkan berlakunya asas legalitas dalam
segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan
yang sah dan tertulis (Jimly Asshiddiqie, 2005: 155).
Peran serta masyarakat dinyatakan oleh Jean Jacques Rousseau (17121778) dalam Du Contract Social sebagai kehendak umum (volonte
generale), sehingga tujuannya selalu umum. Suatu undang-undang
yang terwujud dari kehendak, akan menciptakan suatu tujuan umum,
yakni kepentingan umum. Oleh karena itu, jika dalam masyarakat
tertentu
dibentuk
undang-undang
yang
tidak
mencerminkan
kepentingan umum, sebab berlakunya tidak jelas maka undang-undang
itu dianggap tidak adil.
Undang-Undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (volunte
generale), dimana dalam hal in seluruh rakyat secara langsung
mengambil bagian dalam pembentukan aturan masyrakat tanpa
perantara
wakil-wakilnya,
sedangkan
menurut
Rousseau,
yang
dimaksud dengan rakyat bukanlah penjumlahan dari individu-individu di
dalam negara itu, melainkan adalah kesatuan yang dibentuk oleh
individu-individu itu dan yang mempunyai kehendak, kehendak mana
diperolehnya
dari
individu-individu
tersebut
melalui
perjanjian
masyarakat.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
20
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Sesuai dengan pendapat diatas, dan sebagai pelaksanaan dari Pasal 1
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menganut paham kedaulatan
rakyat, memungkinkan seluruh aspek pemerintahan harus berdasarkan
oleh kehendak rakyat.
Philipus
M.
Hadjon
mengemukakan
bahwa
konsep
partisipasi
masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa
keterbukaan pemerintahan tidak mungkin melaksanakan kehendak
rakyat secara benar dan masyarakat dapat melakukan peran serta
dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon,
keterbukaan baik openheid maupun openbaar-heid sangat penting
artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis.
Dengan
demikian
keterbukaan
dipandang
sebagai
suatu
asas
ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak.16
Menurut Ni Made Ari Yuliartini Griadhi dan Anak Agung Sri Utari dengan
mengutip pendapat Philipus M. Hadjon ( 1997: 4-5 ), mengemukakan
bahwa
konsep
partisipasi
Masyarakat
berkaitan
dengan
konsep
keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak
mungkin masyarakat dapat melakukan partisipasi dalam kegiatankegiatan pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon, keterbukaan, baik
“openheid” maupun “openbaar-heid” sangat penting artinya bagi
pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan demikian
keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai
pelaksanaan wewenang secara layak.
Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana
dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon ( 1997: 7-8 ) bahwa sekitar tahun
1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi
16
Philipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia”, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, hal. 4-5.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
21
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut
memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan.
Dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan
salah satu syarat minimum, sebagaimana dikemukakan oleh Burkens
dalam
buku
yang
“Beginselen
berjudul
van
de
democratische
rechsstaat” bahwa (Philipus M. Hadjon, 1997 : 2) :
1.
pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
pemilihan yang bebas dan rahasia;
2.
pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
3.
setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas
kebebasan berpendapat dan berkumpul;
4.
badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan
melalui
sarana
“(mede)
beslissing-recht”
(hak
untuk
ikut
memutuskan dan atau melalui wewenang pengawas;
5.
asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat
keputusan yang terbuka;
6.
dihormatinya hak-hak kaum minoritas.
Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari demokrasi
terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri Soemantri
Mertosoewignjo. Menurut S.W. Couwenberg, lima asas demokratis yang
melandasi
rechtsstaat,
dua
diantaranya
adalah
asas
pertanggungjawaban dan asas Masyarakat (openbaarheidsbeginsel),
yang lainnya adalah: asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas
perwakilan (Philipus M. Hadjon, 1987: 76). Senada dengan itu, Sri
Soemantri M. ( 1992: 29 ) mengemukakan bahwa ide demokrasi
menjelmakan
dirinya
dalam
lima
hal,
dua
diantaranya
adalah:
pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
22
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
dimungkinkannya
keluhannya
rakyat
mengenai
yang
berkepentingan
tindakan-tindakan
pejabat
menyampaikan
yang
dianggap
merugikan.
Maka dari itulah jaminan kepada setiap warga negara perlu terus
dikembangkan yang salah satunya adalah dengan membentuk UndangUndang tentang Partisipasi Masyarakat.
B.
Praktik Empirik
Ada beberapa praktik menarik terkait dengan partisipasi masyarakat,
good governance dan reformasi birokrasi yang dapat dijadikan tolak
ukur pentingnya UU tentang partisipasi masyarakat ini.
Kabupaten Jembrana
Dalam konteks reformasi birokrasi dan good governance, terdapat
sejumlah program inovasi di Kabupaten Jembrana yang layak dan patut
dicontoh oleh Daerah lainnya di Indonesia. Sejumlah program tersebut
dibagi empat kelompok bidang yakni bidang pendidikan; perekonomian,
tenaga kerja dan kependudukan; pertanian; serta perizinan dan struktur
pemerintahan.
Dalam bidang pendidikan, terdapat lima program yaitu: pembebasan
biaya sekolah SD –SMU Negeri dan program beasiswa untuk siswa SD –
SMU Swasta; pembangunan/perbaikan gedung sekolah dengan pola
block grant dan regrouping sekolah; pemberian beasiswa kepada guru
untuk melanjutkan pendidikan; peningkatan kesejahteraan guru melalui
penambahan insentif tambahan; serta penyelenggaraan sekolah kajian
untuk mencetak anak didik yang memiliki disiplin tinggi, budi pekerti,
keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta mempunyai
wawasan global.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
23
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Dalam hal pembangunan/perbaikan gedung sekolah negeri baik berupa
ruang kelas baru atau ruang penunjang lainnya, maka pola yang dipilih
untuk dilaksanakan adalah melalui pola block grant bukan proyek seperti
yang selama ini biasa dilakukan di daerah-daerah lainnya. Pola ini
dilakukan dengan mengedepankan partisipasi masyarakat melalui
komite sekolah yang ada, sehingga pembangunan sarana dan
prasarana pendidikan tersebut diharapkan sesuai dengan apa yang
diharapkan masyarakat. Melalui pola ini, Pemerintah Kabupaten hanya
memfasilitasi dan memberikan bantuan berupa dana atau material untuk
bangunan yang akan direhab/buat. Pemilihan pola block grant dilakukan
selain untuk memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat juga
bertujuan untuk melakukan efisiensi dan pemanfaatan dana yang lebih
optimal dengan sasaran akhir yang lebih maksimal. Dengan pola ini
diharapkan dapat dilaksanakan rehab/perbaikan gedung SD, SMP,
maupun SMU dengan menggunakan biaya dari APBD dan DAK yang
minimal namun dengan hasil yang lebih optimal.
Dalam bidang perekonomian, tenaga kerja dan kependudukan, terdapat
sembilan program yaitu: dana bergulir; pemberian alat kerja kepada
kelompok masyarakat; pelatihan dan penempatan kerja di kapal pesiar;
pelatihan dan pemagangan kerja di Jepang; info bursa tenaga kerja di
Dinas Kependudukan, pembebasan biaya pembuatan KTP dan Akte
Kelahiran; undian berhadiah KTP; serta asuransi kematian bagi
pemegang KTP.
Dalam bidang pertanian, terdapat tiga program yaitu: program inovasi
dalam pemberian dana talangan kepada KUD untuk membeli gabah
petani, pemberian dana talangan kepada petani cengkeh, dan
pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan untuk areal pertanian.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
24
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Dana talangan pemberian gabah petani dilakukan dalam rangka
mengatasi kesulitan petani terkait dengan murahnya harga gabah pada
waktu musim panen raya. Program ini dilakukan dengan pola kemitraan
antara Pemerintah Kabupaten, KUD dan Kelian Subak. Pemerintah
Kabupaten memberikan bantuan dana kepada KUD yang kekurangan
dana untuk membeli gabah petani melalui Kelian Subak. Selanjutnya
Pemerintah Kabupaten membeli beras dan KUD untuk memenuhi
kebutuhan beras PNS. Selain untuk untuk menanggulangi anjloknya
harga gabah petani pada musim panen puncak, program ini juga
bertujuan
agar
KUD
sebagai
lembaga
pemasaran
(tata
niaga)
beras/gabah dapat menampung gabah petani, dan menciptakan rasa
agar masyarakat Jembrana lebih mencintai dan memanfaatkan
produksi
petani
lokal.
Sejumlah
manfaat
yang
dirasakan
dari
keberadaan program ini antara lain adalah harga gabah petani yang tidak
lagi anjlok meskipun pada saat musim panen puncak, KUD dapat lebih
berperan sebagai lembaga pemasaran hasil pertanian utamanya
gabah/beras
karena
mendapat
bantuan
dana
dari
Pemerintah
Kabupaten berupa uang muka pembayaran beras bagi PNS, serta
Pemerintah Kabupaten sendiri dapat memenuhi kebutuhan beras bagi
PNS dilingkungannya dengan harga sesuai kesepakatan.
Dalam bidang perizinan dan struktur pemerintahan terdapat enam
program, yaitu: pelayanan izin satu atap, perubahan struktur organisasi
Pemerintah Kabupaten sesuai dengan PP 8/2003; absensi pegawai
Pemerintah Kabupaten dengan menggunakan handkey; pembentukan
tim owner estimate (OE) dalam pengadaan barang dan jasa; pemberian
insentif
tahunan
bagi
pegawai
Pemerintah
Kabupaten;
dan
pembatasan penggunaan kendaraan dinas di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Jembrana.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
25
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Tim Owner Estimate (OE) adalah sebuah tim yang dibentuk oleh
Bupati untuk menilai nilai sebenarnya dari suatu proyek pengadaan
barang dan jasa. Dengan adanya tim OE ini dapat dilakukan efisiensi
penggunaan dana dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang dan
jasa tanpa mengurangi spesifikasi dan volume dari proyek pengadaan
barang dan jasa tersebut. Penggunaan tim OE ini juga didukung oleh
kebijakan Bupati untuk mensentralisasikan proyek pengadaan barang
dan jasa melalui 1 (satu) pintu di tingkat Kabupaten, dan adanya nilai
standar yang sama dalam belanja barang yang dilakukan oleh unitunit di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jembrana. Standar harga
tersebut
dibuat
melalui
sebuah
survei
harga
pada
sejumlah
tempat/toko dan senantiasa diperbaharui setiap 3 (tiga) bulan sekali.
Kabupaten Sragen
Seperti halnya di Kabupaten Jembrana, di Kabupaten Sragen terdapat
sejumlah program inovasi di Kabupaten Sragen yang layak dan patut
dicontoh oleh Daerah lainnya di Indonesia. Sejumlah program tersebut
dibagi dalam tiga kelompok besar program yakni program reformasi
birokrasi
sebagai
wujud
pembenahan
aspek-aspek
internal
kelembagaan pemerintahan daerah, program re-engineering pelayanan
publik dengan penataan pelayanan prima dalam fasilitasi dan
pemberian dukungan terhadap upaya masyarakat membangun diri
sendiri, serta program pemberdayaan masyarakat & PNS dengan
paket-paket program yang mendorong masyarakat dan PNS menjadi maju
dengan kapasitas yang mereka miliki.
Dalam bidang reformasi birokrasi, program yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten Sragen terbagi dalam berbagai aspek yakni
aspek struktur pemerintahan, aspek budaya SDM pemerintahan, aspek e-
government serta aspek pengelolaan anggaran daerah. Pada aspek
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
26
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
struktur pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan
berbagai program seperti: restrukturisasi satuan kerja perangkat daerah
yang miskin struktur tapi kaya fungsi dan sesuai dengan kebutuhan
daerah; pembentukan lembaga adhoc seperti marketing unit dan
engineering services yang tidak masuk struktur tetapi mengemban fungsi
yang justru menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan
lainnya secara lebih optimal; serta pengembangan fungsi satuan kerja
sebagai sebuah korporasi yang mengusung fungsi sosial. Dalam hal ini
satuan kerja diupayakan menjalankan berbagai fungsi sebagai pusat
pendapatan (revenue center), pusat produksi (production center) dan
pusat pelatihan (training center).
Fungsi pemerintah sebagai pusat pendapatan dimanifestasikan dengan
mengupayakan segala program yang dapat mendatangkan penghasilan
tambahan yang sah bagi Pemerintah Kabupaten Sragen sebagai suatu
lembaga pemerintahan sekaligus bagi pegawai yang beraktivitas di
dalamnya. Dijalankannya fungsi pemda sebagai revenue center bukan
hanya menutupi kekurangan pemasukan atau PAD melainkan juga
membalik citra negatif pemda sebagai sumber pengeluaran (cost-center).
Sementara itu, fungsi sebagai pusat produksi dan pusat pelatihan
dilaksanakan melalui sinergi dengan agenda pemberdayaan masyarakat
yang banyak diemban satuan kerja lain, misalnya Badan Pendidikan dan
Pelatihan (Badan Diklat) melalui pembentukan production & training
center seperti Sragen Javaniture.
Pada aspek budaya SDM pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Sragen
melaksanakan berbagai program seperti: komunikasi intensif dalam
rangka internalisasi nilai-nilai pelayanan publik dalam pengelolaan roda
pemerintahan sehingga memiliki citra positif di masyarakat; pemberlakuan
sistem handkey dalam absensi pegawai; pendirian klinik terapi holistik
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
27
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
dalam
mewujudkan
pengembangan
kesejahteraan
assessment
center
lahiriah-batiniah
guna
menciptakan
pegawai;
mekanisme
penilaian pegawai yang lebih akurat dan terukur; serta membuka
peluang wirasusaha bagi PNS dalam rangka turut meningkatkan
kesejahteraan pegawai.
Pada
aspek
melaksanakan
e-government,
berbagai
Pemerintah
program
seperti:
Kabupaten
Sragen
pembangunan
jaringan
pemerintahan secara online dengan perangkat wireless; pengoperasian
teleconference
sampai
ke
tingkat
desa/kelurahan
dalam
rangka
memperlancar hubungan komunikasi di lingkungan pemerintah kabupaten;
pembangunan
data
kependudukan
sipil
secara
elektronik
dengan
menggunakan single identity number; serta dengan mengembangkan
mekanisme pemilihan kepala desa secara elektronik.
Pada aspek pengelolaan anggaran daerah, Pemerintah Kabupaten Sragen
melaksanakan program efisiensi anggaran. Hal ini diterapkan dengan
penekanan belanja dinas-dinas yang diarahkan pada sasaran yang jelas
dan bisa dioptimalkan. Sejumlah kegiatan dan belanja lainnya yang
sebelumnya
membutuhkan
anggaran
dalam
jumlah
tertentu
bisa
diturunkan tanpa mengurangi kualitas pencapaian tujuan kegiatan
tersebut.
Dalam
bidang
pelayanan
prima,
Pemerintah
Kabupaten
Sragen
melaksanakan berbagai program seperti: pelayanan dengan konsep small
management dengan melimpahkan sebagian kewenangan dan fungsi
pemerintahan
kabupaten
ke
kecamatan
dan
desa/kelurahan;
mengembangkan wisata pelayanan publik; serta membebaskan biaya
pembuatan akte kelahiran dan pengurusan Surat Ijin Usaha bagi
pengusaha pemula.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
28
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan PNS, program yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen terdiri dari program
penyehatan lingkungan seperti pengelolaan sampah terpadu serta sejumlah
program dalam bidang pertanian. Program dalam bidang pertanian ini
diantaranya meliputi program revitalisasi pertanian organik; peningkatan
teknologi pertanian; pengembangan homebase pengelolaan padi;
pengembangan simbiosis antara petani dengan PNS penyuluh pertanian;
diversifikasi usaha pekerjaan petani; peternakan kandang komunal;
pengembangan kluster peternakan ikan; persiapan alih profesi petani
penggarap; serta pengembangan area wisata terpadu di kawasan waduk
Kedung Ombo.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
29
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
BAB III
EVALUASI DAN ANALISA PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang
mempunyai landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sebagai negara
hukum, maka semua aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan wajib didasarkan pada
hukum. Hukum yang dimaksud adalah hukum yang responsif artinya hukum
yang menanggapi kebutuhan-kebutuhan hukum yang berkembang dalam
masyarakat. Agar hukum itu menjadi responsif maka peranan partisipasi
masyarakat dalam pembentukan hukum sangat penting karena melalui
partisipasi masyarakat ini dapat diketahui perkembangan kebutuhan hukum
yang tumbuh dalam masyarakat. Jadi, dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia keharmonisan keberlakuan hukum baik secara vertikal maupun
secara horisontal sangat diperlukan untuk menjaga tertib hukum dan
keutuhan negara kesatuan.
Selama ini terdapat beberapa Undang-Undang yang mengatur partisipasi
masyarakat sebagai berikut :
No.
UNDANG-UNDANG
1
UU Nomor
tentang
Konsumen
2
UU Nomor 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
8
Tahun 1999
Perlindungan
PASAL YANG TERKAIT
KETERANGAN
Penjelasan Pasal 1 angka 9,
dan Penjelasan Pasal 2 ayat
(2).
Bertujuan
untuk
meningkatkan
partisipasi masyarakat
dalam
upaya
perlindungan
konsumen.
Dalam Penjelasan umum
Timbulnya partisipasi
masyarakat
dalam
mendorong
terwujudnya tertib jasa
konstruksi.
30
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
No.
UNDANG-UNDANG
3
UU Nomor 25 Tahun 1999
tentang
Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Penjelasan umum
penyelenggararaan
pemerintahan daerah
memperhatikan
partisipasi masyarakat
dan
pertanggungjawaban
kepada masyarakat
4
UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Pasal 14 ayat (1) huruf c
Tugas
pokok
Kepolisian
adalah
membina masyarakat
untuk
meningkatkan
partisipasi masyarakat.
5
UU Nomor 10 Tahun 2004
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundangundangan
Pasal 53
Mengatur
partisipasi
masyarakat
dalam
memberikan masukan
secara
lisan
atau
tertulis dalam rangka
penyiapan
atau
pembahasan RUU dan
Raperda.
6
UU Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan
Pasal 8, dan Penjelasan
Pasal 8.
Perencanaan
perkebunan
harus
melibatkan partisipasi
masyarakat dan pihak
terkait.
7
UU Nomor 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Pasal 2 ayat (4), Pasal 5
ayat (3), Pasal 6 ayat (2),
Pasal 7 ayat (2).
Sistem
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
harus
mendorong Partisipasi
Masyarakat.
8
UU Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi
dan Korban
Dalam penjelasan umum
Menumbuhkan
partisipasi masyarakat
dalam
mengungkap
tindak pidana.
9
UU Nomor 2 Tahun
tentang Partai Politik
Pasal 10 ayat (2) huruf a,
Pasal 11 ayat (1) huruf d,
Pasal 31 ayat 1 huruf b.
Mengatur
partisipasi
masyarakat
dalam
berpolitik
melalui
partai politik.
10
UU Nomor 14 Tahun 2008
tentang
Keterbukaan
Informasi Publik
Pasal 3 huruf b
Bertujuan
untuk
mendorong partisipasi
masyarakat
dalam
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
PASAL YANG TERKAIT
2008
KETERANGAN
31
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
No.
UNDANG-UNDANG
PASAL YANG TERKAIT
KETERANGAN
proses
pengambilan
kebijakan publik.
11
UU Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik
Indonesia
Pasal 15 ayat (4)
12
UU No. 12
tentang
Peraturan
undangan
Pasal 96
Tahun 2011
Pembentukan
Perundang-
Undang-Undang
ini
hanya
Mengatur
partisipasi
masyarakat
dalam
memberikan masukan
secara
lisan
atau
tertulis dalam rangka
penyiapan
atau
pembahasan RUU dan
Raperda.
mengatur
secara
ringkas
atau
sumir
maksudnya hanya mengatur tentang pemberian kesempatan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dan dapat dilakukan secara langsung atau
tidak langsung sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai payung bagi
partisipasi masyarakat dalam pembentukan, pelaksanaan, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan Undang-Undang. Berdasarkan uraian ini maka perlu
dibuat Undang-Undang tentang Partisipasi Masyarakat sebagai landasan
pembentukan
undang-undang
agar
ketentuan-ketentuan
hukum
yang
terdapat dalam Undang-Undang sesuai dengan perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat sehingga ketentuan-ketentuan hukum tersebut dianggap
benar dan mulia oleh masyarakat serta dapat menimbulkan kewajiban moral
untuk mematuhinya. Kondisi demikian ini dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada pembentuk dan pelaksana hukum yakni pemerintah.
serta meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
32
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Berdasarkan uraian di atas, pengaturan Partisipasi Masyarakat dalam sebuah
undang-undang sangat mendesak di Indonesia, hal ini di dasar argumentasi
sebagai berikut:
A.
Landasan Filosofis
Pada dasarnya partisipasi Masyarakat merupakan insentif moral sebagai
alat untuk mempengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi di tempat
dibuatnya keputusan-keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian partisipasi tersebut bukanlah sebuah
tujuan akhir (participation is an end it self). Hal ini tentunya bertolak
belakang dengan asumsi yang berkembang selama ini yang memandang
partisipasi Masyarakat semata-mata sebagai penyampaian informasi
(public information), penyuluhan, bahkan hanya sekedar alat public
relation agar proyek-proyek yang dilakukan pemerintah dapat berjalan
lancar
dan
mendapat
legitimasi
dari
masyarakat.
partisipasi
membutuhkan keterlibatan orang-orang secara suka rela dan demokratis
dalam hal: (a) sumbangsihnya terhadap usaha pembangunan, (b)
penerimaan manfaat secara merata, dan (c) pengambilan keputusan
yang
menyangkut
penentuan
tujuan,
perumusan
kebijakan
dan
perencanaan dan penerapan program pembangunan sosial dan ekonomi.
Mengacu pada pandangan ini, partisipasi dapat dibedakan menjadi dua
hal. Partisipasi otentik (authentic participation) yang merujuk pada
terpenuhinya ketiga kriteria di atas. Jika tidak seluruh kriteria tersebut
dapat dipenuhi maka hal ini akan disebut partisipasi semu (pseudo-
participation). Dalam hal inilah di Indonesia sudah saatnya partisipasi itu
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
33
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
sudah dalam konteks partisipasi otentik, bukan semua sehingga perlu
dijamin dalam sebuah undang-undang.
Samuel P. Huntington mencatat dalam negara demokrasi, perubahan
dramatis jarang terjadi dalam satu malam. Perubahan itu selalu bersifat
moderat dan sedikit demi sedikit. Sistem demokrasi jauh lebih kebal
terhadap pergolakan besar revolusioner ketimbang sistem otoriter. Proses
yang relatif lambat itu karena perubahan sistem otoritarian menuju sistem
demokrasi pada umumnya melalui tiga tahapan. Pertama; pengakhiran
rezim non-demokratis. Kedua; pengukuhan rezim demokratis, dan ketiga;
pengkonsolidasian sistem demokrasi. (Huntington, 1997).
Konsolidasi demokrasi yang berarti suatu langkah untuk memperteguh
atau memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan tentu tidak
dengan serta merta dapat dihitung dalam jangka waktu tertentu. Bahkan
dengan
memberikan
diungkapkan
oleh
patokan
Akbar
setelah
Tanjung
tahun
atau
2009,
Daniel
seperti
yang
Sparringga
yang
menganggap sebagai masa transisi dengan ukuran progresif berlangsung
2 tahun, dan ukuran konvensional sekitar 10 tahun. (Kompas, 16/2/2009).
Sebagai sebuah langkah pemantapan atau penguatan sistem demokrasi,
maka bagi negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi seperti
Indonesia, konsolidasi demokrasi tentu akan melewati beberapa langkah
eksperimentasi atau uji coba. Seperti uji coba infra struktur demokrasi,
perumusan perangkat hukum untuk mengawal jalannya sistem demokrasi,
serta uji coba penerapan sistem demokrasi. Eksperimentasi itu diarahkan
untuk membangun budaya demokrasi dalam konsolidasi demokrasi.
Dengan demikian, sebenarnya prasyarat penguatan atau peneguhan
demokrasi melalui konsolidasi memang tidak hanya berpijak pada sistem
demokrasi prosedural belaka, melainkan yang lebih utama adalah
menyangkut substansi demokrasi yakni kultur demokrasi itu sendiri. Henry
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
34
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
B. Mayo mengemukakan bahwa demokrasi di samping sebagai suatu
sistem pemerintahan dapat juga dikatakan sebagai suatu life style yang
mengandung unsur-unsur moril, seperti penyelesaian secara damai dan
melembaga,
pergantian
terjadinya
perubahan
kepemimpinan
secara
secara
teratur,
damai,
menyelesaikan
membatasi
pemakaian
kekerasan, menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan menjamin
tegaknya keadilan. Unsur-unsur moril seperti ini jelas belum semuanya
diterapkan dalam budaya demokrasi di Indonesia.
Banyak contoh yang dapat dikemukakan di sini. Maraknya demonstrasi
yang dibarengi dengan aksi kekerasan dan memakan korban, hilangnya
kesantunan dalam berpendapat atau berargumentasi, black campaign
para elit politik, menunjukkan bahwa budaya demokrasi di Indonesia
masih jauh dari nilai-nilai yang dikemukakan oleh Henry B. Mayo tersebut.
Dengan demikian sejak tahun 1998 ketika reformasi dikumandangkan
sampai dengan amandemen UUD 1945, semuanya tidak termasuk
kategori konsolidasi demokrasi, melainkan eksperimentasi demokrasi.
Semenjak gerakan reformasi dikumandangkan oleh kaum intelektual
muda (baca:mahasiswa) dan berhasil menumbangkan kekuasaan rezim
Orde Baru pada tanggal 20 Mei 1998 yang ditandai dengan mundurnya
Seoharto sebagai Presiden RI dan diganti oleh BJ. Habibie, maka mulai
saat itulah bangsa Indonesia memasuki babakan baru yang sering disebut
sebagai era demokratisasi.
Babakan semacam ini, pada intinya menghendaki adanya keterlibatan
secara aktif dan diberikannya ruang publik yang seluas-luasnya kepada
masyarakat (rakyat) dalam setiap gerak dan langkah negara diberbagai
aspek kehidupan ketatanegaraan. Pendek kata, rakyat tidak hanya
sekedar sebagai obyek, penonton, pelengkap penderita dalam setiap
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
35
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
gerak sistem ketatanegaraan Indonesia. Mereka harus menjadi subyek
yang menantukan warna dari sistem ketatanegaraan Indonesia.
Ciri-ciri dari demokratisasi, secara umum dapat digambarkan sebagai
berikut : Pertama; ditegakannya prinsip supremasi hukum. Penegakan
prinsip negara hukum menjadi pilar dalam demokratisasi, karena dalam
prinsip demokrasi itu sendiri mengandung unsur anarkhis. Tentunya hal
ini jikalau tidak dikelola dengan baik. Nah instrumen untuk mengelola
demokratisasi agar tetap berjalan seseuai dengan peradaban masyarakat
modern tidak lain adalah perangkat hukum yang tegas dan responsif.
Harus disadari bahwa, dalam dataran implementatif yang namanya
demokrasi – khususnya dalam tatanan formal – sebenarnya merupakan
suatu konsep yang utopis. Tidaklah mungkin jikalau rakyat dengan jumlah
yang sedemikian besar, memerintah segolongan orang yang kuantitasnya
relatif sedikit. Oleh sebab itulah aturan main (rule of the game) mutlak
diperlukan dalam penguatan demokratisasi. Aturan main yang dimaksud,
tidak hanya dalam tataran moral dan etik, melainkan harus melalui hukum
dan perundang-undangan. Sanksi dalam pelanggaran hukum dan atau
perundang-undangan lebih tegas dan nyata.
Kedua; Terjaminnya perlindungan Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
Demokratisasi pada intinya membutuhkan adanya jaminan perlindungan
terhadap HAM. Mengapa demikian ? Di dalam demokratisasi percaturan
hak dan kewajiban dari manusia, baik Individu maupun kelompok, akan
semakin terbuka. Oleh sebab itu penegasan mengenai hak-hak yang
dimiliki oleh manusia (baik yang bersifat personal maupun sosial) sangat
diperlukan. Hal ini dimaksud agar setiap orang mengetahui dan
memahami
serta
kemudian
menghormati
hak-hak
asasi
manusia
sesamanya.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
36
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Di dalam persoalan perlindungan HAM tentunya harus menyangkut juga
penegasan
mengenai
kewajiban-kewajiban
asasi
manusia.
Hal
ini
mengingat secara konseptual di dalam HAM terkandung juga KAM
(Kewajiban Asasi Manusia). Anthony Giddens mengemukakan bahwa
motto yang mungkin bisa ditawarkan kepada politik baru itu adalah tak
ada hak tanpa tanggung jawab. Dan meluasnya individualisme seharusnya
juga
disertai
dengan
perluasan
kewajiban
individual
(Anthony
Giddens;1999:75).
Lain daripada itu di dalam demokratisasi pengakuan akan HAM justru
diperlukan, ketika rakyat mulai berhadap-hadapan dengan kekuasaan
(baca:negara). Mengapa demikian ?
Kekuasaan itu mengandung dua
dimensi, yakni dimensi pesona dan dimensi menakutkan. Dimensi pesona
ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk mempengaruhi orang lain
seturut kehendak pemilik kekuasaan, melalui kekuatan kharismatik,
kemampuan intelektual, maupun kemampuan fisik (power, sakti, digdaya,
dsb).
Sementara itu dimensi menakutkan, diperlihatkan dari sifat kekuasaan itu
yang cenderung korup, menindas, sewenang-wenang. Nah dimensi yang
terakhir inilah upaya untuk memperkuat masyarakat (rakyat) dengan
memberikan penegasan terhadap perlindungan HAM sangat dibutuhkan.
Penguatan ini diperlukan agar dimensi yang kedua tersebut dapat
dieleminir alias dibatasi, bahkan kalau mungkin dihilangkan dari fenomena
kekuasaan.
Ketiga; terjalinnya komunikasi yang transparan dan bebas. Demokratisasi
membutuhkan transparansi dan kebebasan komunikasi politik. Dalam hal
ini komunikasi, termasuk informasi harus dapat berjalan dengan selaras,
baik yang berdimensi dari atas ke bawah (top down) maupun dari bawah
ke atas (bottom up).
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
37
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Dalam demokratisasi segala sesuatu yang menyangkut tuntutan (demand)
maupun dukungan (support) harus dapat disalurkan secara lebih terbuka
melalui kepada lembaga-lembaga resmi (supra struktur politik) dan harus
menjadi referensi utama dalam setiap pengambilan keputusan politik.
Oleh sebab itu komunikasi politik harus dapat terjalin secara transparan.
Lain daripada itu, demokratisasi juga membutuhkan adanya pertanggung
jawaban publik, sehingga komunikasi politik juga dapat dipergunakan
sebagai sarana untuk menilai pertanggungjawaban (politik, moral, hukum)
dari pemegang kekuasaan kepada rakyat.
Keempat; terbentuknya kemandirian masyarakat dalam menentukan
pilihan-pilihan politiknya. Demokratisasi sebagai suatu proses dan sarana
dalam kehidupan ketatanegaraan ditandai dengan adanya keterlibatan
rakyat dalam setiap pengambilan keputusan politik. Hal ini berarti rakyat
dijamin kebebasannya untuk menentukan pilihan dari berbagai alternatif
politik yang ditawarkan.
Oleh sebab itu kemandirian (otonomi) rakyat harus benar-benar terjamin
dan dilaksanakan dengan baik. Berbagai macam tuntutan maupun
dukungan masyarakat tidak mungkin untuk diseragamkan. Setiap bentuk
penyeragaman mengenai hal tersebut, pada akhirnya justru akan
menimbulkan rasa ketidak adilan. Dengan demikian dalam demokratisasi
pilihan-pilihan rakyat dalam menentukan arah kehidupan sosial, budaya
maupun politik harus diletakkan dalam konteks kemandirian rakyat.
B.
Landasan Yuridis
Di dalam Pembukaan UUD 1945 secara jelas menyatakan “…susunan
negara
Republik
Indonesia
yang
berkedaulatan
Rakyat..”.
kemudian Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan ada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Secara umum,
penegasan tersebut berarti bahwa UUD 1945 menghendaki ataupun
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
38
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
menerapkan konsep Kedaulatan Rakyat yang berarti kekuasaan yang
tertinggi untuk memerintah dalam suatu negara berada di tangan rakyat.
Pengejewantahan dari konsep itu adalah mengikut-sertakan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan mengikutsertakan rakyat dalam
pembuatan kebijakan. Belum lagi pengaturan lebih lanjut dalam UUD
1945:
a. Pasal 27
(1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2)
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara. **)
b. Pasal 28C
(2)
Setiap
orang
berhak
untuk
memajukan
dirinya
dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya. **)
c. Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia. **)
d. Pasal 30
(1)
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara. **)
C.
Landasan Sosiologis
Perkembangan demokrasi di Indonesia pasca transisi demokrasi setelah
reformasi 1998 perlu dijaga dengan memantapkan perlindungan dan
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
39
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
jaminan hukum atas partisipasi Masyarakat menuju tata pemerintahan
yang baik (good governance). Salah satu karakteristik dari good
governance
atau
tata
kelola
pemerintahan
yang
baik
atau
kepemerintahan yang baik adalah partisipasi. Di dalam partisipasi,
keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan sangat
penting. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi
dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif (Hetifah Sj Sumarto,
2003: 3).
Senada dengan itu, Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin
Abeyserkere (2001: 8) memaknai partisipasi sebagai berikut: bahwa
pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the
stakeholders (pihak yang mempunyai kepentingan)-memiliki kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil
bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan. Apa yang
dikemukakan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, yaitu bahwa
partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi,
yang
dimaksud
untuk
mempengaruhi
pembuatan
keputusan oleh pemerintah ( Mariam Budiardjo, 1981: 2), akan terwujud
apabila partisipasi yang selama ini berkembang di masyarakat dikukuhkan
jaminannya dalam sebuah undang-undang.
Warga negara harus terlibat dalam proses pengambilan keputusan, yang
dalam kepustakaan kebijakan Masyarakat di Belanda disebut inspraak
atau partisipasi politik langsung (H.H.F.M Demen dan J.J.A. Thomassen,
1983: 229-262, 245-249). Ciri terpenting dari partisipasi politik langsung
adalah tidak melalui proses perwakilan, melainkan warga negara
berhubungan langsung dengan para pengambil keputusan.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
40
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGUATAN, DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RUU
A.
Jangkauan dan Arah Penguatan
RUU
ini
mengatur
bagaimana
partisipasi
masyarakat
dilakukan.
Meskipun telah banyak Undang-Undang yang mengatur tentang
partipasi masyarakat namun pelaksanaan dan jaminan partisipasi
masyarakat yang baik dan berdayaguna untuk melaksanakan sistem
pemerintahan yang demokratis dan aspiratif, penegakan hukum yang
efektif, serta dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik (good
governance) dan terbuka belum sepenuhnya dilakukan, oleh karena itu
perlu ada jaminan dan perlindungan bagi masyarakat untuk dalam
rangka melaksanakan partisipasi masyarakat.
Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan mampu menjalankan
tugasnya untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan
rakyatnya dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan
dari masyarakat seluruhnya. Sebagaimana dikatakan Laski dalam Miriam
Budiarjo, masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama
dan berkerja sama untuk mencapai keinginan-keinginan mereka
bersama (a society is a group of human beings living together and
working together for the satisfaction of their mutual wants). Oleh
karena itu dibutuhkan hubungan yang sinergis antara pemerintah dan
masyarakat agar tujuan-tujuan dari pembangunan bisa tercapai.
Hubungan tersebut dapat dijalankan melalui koordinasi, integrasi,
simplifikasi dan sinkronisasi yang baik. Sehingga program dan kegiatan
antara pemerintah pusat dan lokal, atau pemerintah lokal dengan
masyarakat tidak tumpang tindih atau berseberangan. Beberapa
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
41
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
persyaratan yang perlu dipenuhi untuk terjadinya sinergi antara
masyarakat dengan pemerintah yaitu :
a.
adanya komplementaritas, dimana pembagian tugas diatur sedemikian
rupa sehingga memungkinkan komunitas dan badan pemerintah dapat
menggunakan keunggulan komparatif mereka dengan sebaik-baiknya
dan berbagi beban kerja sesuai dengan kesanggupan masing-masing
untuk mengerjakannya dengan cara yang terbaik;
b.
keterhubungan
(embededness),
adalah
interaksi
yang
berkesinambungan antara pejabat-pejabat instansi pemerintah dengan
para individu-individu dan dengan komunitas masyarakat.
c.
Kedua hal diatas tentu saja harus berdasarkan pada :
! kapital sosial (social capital), dimana komunitas harus memberikan
sumbangan pemikiran terhadap tujuan umum, memungkinkan
terlaksananya penyampaian informasi yang relevan diantara anggota
dan memungkinkan untuk melakukan koordinasi usaha-usaha yang
dilakukan oleh anggota secara individual;
!
kapasitas
instansi
pemerintah
(institutional
capacity), instansi
pemerintah harus mampu memberikan 2 istilah yang digunakan
Mahatma
Gandhi
untuk
menggambarkan
konsep
dan
tujuan
pembangunan.
Konsep pemberdayaan masyarakat tersebut tercermin dalam paradigma
baru pembangunan, seperti yang diungkapkan Chambers bahwa
pembangunan itu harus bersifat masyarakat sentris, mengusung
partisipasi,
pemberdayaan,
dan
berkelanjutan
(people
centered,
participatory, empowering, and sustainable). Pelayanan barang kolektif
dan mampu untuk mempersatukan pembagian tugas yang kompleks
dengan komunitas lokal dengan agenda organisasinya. Secara makro,
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
42
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
peranan pemerintah di dalam pembangunan adalah sebagai : (1)
modernisator, (2) katalisator, (3) dinamisator, (4) stabilisator, dan (5)
pelopor.
Sebagai modernisator, pemerintah harus mampu membawa perubahanperubahan dan pembaharuan kepada masyarakat. Sebagai katalisator,
pemerintah
harus
dapat
mengenali
faktor-faktor
yang
mampu
mendorong laju pembangunan nasional dan menarik manfaat yang
sebesar-besarnya. Sebagai dinamisator, memberikan bimbingan dan
pengarahan. Sebagai stabilisator, pemerintah berusaha menciptakan
suasana yang tertib yang aman. Sebagai pelopor, pemerintah harus
mampu menunjukkan contoh-contoh nyata yang baik dan membangun
dalam tindakan. Peran yang ada di masyarakat antara lain memberikan
kontribusi atau bantuan (baik materil maupun non materil), bersikap
responsif bukan reaktif terhadap perubahan atau pembangunan,
komunitas yang belajar, dan berusaha untuk keluar dari masalah sendiri
tanpa bergantung pada pihak lain (self reliance).
Good Governance melibatkan 3 pelaku utama yaitu Negara atau
Pemerintah (state), Sektor swasta (private sector), dan Masyarakat
madani (Civil Society). Pelaku tentu saja mempunyai peran dan fungsi
masing-masing.
Namun
secara
filosofis
dapat
dikatakan
bahwa
penerapan dan perwujudan merupakan tanggung jawab sepenuhnya
negara atau pemerintah artinya tugas pertama (initial duties) ada di
pundak pemerintah, sedangkan peran swasta dan masyarakat adalah
pendukung dan bagian sinergisasi tanggung jawab tersebut. Konsep
good governance adalah konsep manajerial. Manajerial tersebut harus
tercipta dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
pembangunan. Partisipasi masyarakat sebagai salah satu pilar Good
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
43
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Governance dalam roda pembangunan cukup luas. Tambahan teori
Prinsip-prinsip Good Governance, yaitu :
1. Partisipasi Masyarakat, semua warga masyarakat mempunyai suara
dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun
melalui
lembaga-lembaga
perwakilan
sah
yang
mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun
berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat,
serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum, kerangka hukum harus adil dan
diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukumhukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparansi, tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang
bebas.
Seluruh
informasi
proses
perlu
dapat
pemerintahan,
diakses
lembaga-lembaga
oleh
pihak-pihak
dan
yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar
dapat dimengerti dan dipantau oleh masyarakat. Peduli pada
Stakeholder Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan
harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
4. Berorientasi
pada
menjembatani
Konsensus
Tata
pemerintahan
kepentingan-kepentingan
yang
yang
berbeda
baik
demi
terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang
terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin,
konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
Kerangka diatas, apabila dikonstruksikan dalam bagan akan terlihat
seperti bagan di bawah ini.17
17
Himawan Estu Bagijo, “RUU Partispasi Masyarakat” Bahan Penyusunan RUU tentang
Partisipasi Masyarakat.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
44
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Oleh karena itu, RUU ini merumuskan maksud-maksud diatas. Bentukbentuk partisipasi apa yang memungkinkan dan dalam bentuk apa
dilakukan. Himawan Estu Bagijo mengemukakan ada 5 bentuk
partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat yaitu:18
a.
Manipulatif,
yaitu
masyarakat
dilibatkan
dalam
proses
perencanaan, tapi tidak dalam proses pengambilan keputusan,
contohnya penyusunan APBD. Tujuannya untuk memobilisasi
sumber daya manusia dan sumber dana yang ada di masyarakat
untuk mendukung maksud pembangunan yang dicanangkan oleh
pemerintah.
b.
Informasi, yaitu masyarakat diberi informasi tentang tujuan-tujuan
pemerintah. Informasi/aspirasi ditampung dari masyarakat tapi
tidak ada kontrol terhadap bagaimana informasi/aspirasi dari
masyarakat tersebut digunakan.
c.
Konsultatif,
memberikan
18
yaitu
Banyak
tempat
bagi
forum-forum
masyarakat
yang
dibuat
untuk
mengkomunikasikan
Ibid.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
45
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
pandangannya terhadap usulan pemerintah tertentu. Namun,
informasi dan pengambilan keputusan tetap dikontrol oleh
pemerintah .
d.
Kooperatif, yaitu Pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk
meningkatkan responsivenes kebijakan pembangunan.
e.
Kontrol Masyarakat, yaitu Masyarakat berada dalam posisi mampu
mengawasi
dan mengarahkan proses pengambilan keputusan.
Pemerintah bersikap memfasilitasi masyarakat untuk mengontrol
inisiatif mereka sendiri dalam proses pengambilan keputusan.
Apabila digambarkan dalam bentuk bagan maka akan dapat dipetakan
sebagai berikut:
Sebagian
besar
permasalahan
tersebut
adalah
warisan
dari
Pemerintahan yang bernuansa sentralistik, sebagian lainnya merupakan
hasil dari dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Beberapa ciri dari
Pemerintahan yang bernuansa sentralistik antara lain adalah sebagai
berikut:
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
46
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
a. banyaknya kebijakan Pemerintah yang bernuansa “top-down”,
sehingga dominasi Pemerintah Pusat sangat tinggi. Akibatnya antara
lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai dengan aspirasi
daerah, tidak sesuai dengan potensi dan keunggulan daerah, dan
tidak banyak mempertimbangkan keunggulan dan kebutuhan lokal.
Lebih jauh dampaknya akan menimbulkan perbedaan dan konflikkonflik
sosial
dan
lingkungan
yang
menjadi
mahal
untuk
mengatasinya.
b. rendahnya semangat untuk melibatkan dan bekerja bersama
masyarakat. Hal ini menyebabkan tidak terfahaminya masalah yang
sebenarnya terjadi dan berkembang di masyarakat. Dampaknya
antara lain beberapa kegiatan Pemerintah tidak sepenuhnya
diterima oleh masyarakat setempat sehingga akhirnya tidak
menjamin pembangunan yang berkelanjutan.
c.
kurang terbukanya Pemerintah dalam proses penyelenggaraan
pembangunan menunjukan masyarakat hanya sekedar objek
pembangunan
Masyarakat
yang
belum
harus
menjadi
memenuhi
subyek
keinginan
Pemerintah.
pembangunan
atau
masyarakat belum ditempatkan pada posisi inisiator (sumber
bertindak).
Dengan kuatnya kebijakan sentralisasi tersebut membuat semakin
tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat. Kondisi tersebut
nyaris mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh perangkat
pemerintah di daerah.
Sementara itu dalam era otonomi daerah, tuntutan dan harapan
daerah, khususnya masyarakat, antara lain mencakup hal-hal berikut:
a.
penguatan
peran
masyarakat
(tidak
sekedar
peranserta
masyarakat) yaitu menempatkan masyarakat secara bertahap
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
47
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
dalam posisi menjadi tuan dan terlibat pada proses pengambilan
keputusan dalam pembangunan,
b.
penguatan semangat good governance yaitu adanya transparansi,
akuntabilitas, peningkatan profesionalisme, kepedulian terhadap
rakyat, dan komitmen moral yang tinggi dalam segala proses
pembangunan,
penyelenggaraan
lebih
mendesentralisasikan
pembangunan
kepada
daerah,
proses
sehingga
Pemerintah Pusat dituntut untuk lebih banyak menyusun dan
mengembangkan Norma, Standar, Pedoman dan Manual serta
memfasilitasi pelaksanaan pembangunan yang memang diminta
dan diharapkan oleh pemerintah daerah. Kondisi tersebut yang
secara
mendasar
membedakan
karakteristik
kegiatan
yang
dilaksanakan pada masa Pemerintahan yang bernuansa sentralistik
dan Pemerintahan yang desentralistik seperti yang diharapkan
sekarang ini.
B.
Arah Pengaturan
B.1. Batasan Partisipasi
Untuk maksud tersebut, dalam konteks RUU ini maka batasan dari
partisipasi dilakukan dalam hal dalam penyelenggaraan negara
yang meliputi partisipasi dalam pembangunan, pembentukan
peraturan perundang-undangan, penganggaran, dan pengambilan
kebijakan
publik.
Secara
umum
yang
melatarbelakangi
terbentuknya partisipasi adalah sistem penyelenggaraan negara
dan pemerintahan yang demokratis. Sistem pemerintahan yang
demokratis memiliki makna pemerintahan yang berasal dari rakyat
yang dilaksanakan oleh pejabat pemerintahan yang dipilih oleh
rakyat melalui pemilu.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
48
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Ruang lingkup Partisipasi Masyarakat meliputi :
1. partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang terdiri atas
partisipasi dalam:
a.
perencanaan;
b.
pelaksanaan;
c.
pengawasan;
d.
evaluasi; dan
e.
pemeliharaan.
2. partisipasi
masyarakat
dalam
pembentukan
peraturan
perundang-undangan yang terdiri atas partisipasi dalam:
a.
penyusunan program legislasi;
b.
persiapan penyusunan peraturan perundang-undangan;
c.
pembahasan;
d.
penetapan/pengesahan; dan/atau
e.
sosialisasi peraturan perundang-undangan;
f.
pelaksanaan peraturan perundang-undangan; dan
g.
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan.
3. partisipasi masyarakat dalam penganggaran yang terdiri atas
partisipasi dalam:
a.
perencanaan;
b.
pengambilan keputusan;
c.
pelaksanaan;
d.
pengawasan; dan/atau
e.
evaluasi.
4. partisipasi masyakat dalam pengambilan kebijakan yang terdiri
atas partisipasi dalam:
a.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
perencanaan;
49
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
b.
penetapan keputusan;
c.
pelaksanaan;
d.
pengawasan; dan/atau
e.
evaluasi.
B.2. Asas, Tujuan, dan Dasar Pengaturan
Berdasarkan
hal
tersebut,
partisipasi
masyarakat
yang
dilaksanakan berdasarkan atas dasar:
1.
demokrasi. Demokrasi mengajarkan adanya kesetaraan setiap
orang dalam pemerintahan, memberikan aspirasi sesuai dengan
pilihannya, dan melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan.
Ide-ide
dasar
welfare
state
menimbang
bahwa
negara
hendaknya mempunyai kekuasaan untuk mensejahterakan
masyarakatnya. Di dalam konsep welfare state, pemerintah
harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat sehingga
kesejahteraan bagi semua dapat terjamin. Oleh karena itu,
tugas
pemerintah
yang
utama
adalah
melindungi
dan
mensejahterakan masyarakat.
Ciri-ciri atau persyaratan welfare state adalah:
1. Perlindungan konstitusional dalam arti bahwa konstusi
selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga
cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hakhak yang dijamin itu.
2. Badan kehakiman yang bebas (independent and inpertial
tribunals).
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
50
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
dan
6. Pendidikan kewarganegaraan.
2.
efektifitas dan efesiensi.
3.
Transparansi. transparansi menjadi kunci dari semua prinsip
ini.19 Prinsip ini menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab
(answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen
pertama (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah
berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab
secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka,
kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah
dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.
transparansi publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan
seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan
dengan ukuran nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang
dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan
pelayanan tersebut. Sehingga, berdasarkan tahapan sebuah
program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah :
1. Pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa
indikator untuk menjamin transparansi adalah :
a. pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara
tertulis
dan
tersedia
bagi
setiap
warga
yang
membutuhkan;
b. pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika
dan nilai-nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan
19
Dikutip dari artikel “Publik Administration in the 21-st Century”, yang diterbitkan oleh Asian
Development Bank.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
51
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
prinsip-prinsip administrasi yang benar maupun nilai-nilai
yang berlaku di stakeholders;
c.
adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil,
dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta
standar yang berlaku;
d. adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah
terpenuhi,
dengan
pertanggungjawaban
konsekuensi
jika
standar
mekanisme
tersebut
tidak
terpenuhi; dan
e. konsistensi maupun kelayakan dari target operasional
yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai
target tersebut.
2. Pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk
menjamin transparansi adalah :
a. penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan,
melalui media massa, media nirmassa, maupun media
komunikasi personal;
b. akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan
dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program;
c.
akses publik pada informasi atas suatu keputusan
setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan
masyarakat; dan
d. ketersediaan
sistem
informasi
manajemen
dan
monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah.
4.
obyektifivitas;
5.
kesetaraan gender; dan
6.
keadilan.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
52
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Berkaitan dengan hal diatas, Pengaturan Partisipasi Masyarakat
bertujuan untuk:
1. meningkatkan peran aktif pemerintah dalam menjamin dan
memenuhi hak masyarakat untuk berpartisipasi;
2. menjamin perlindungan hukum partisipasi masyarakat;
3. perluasan struktur partisipasi dan pembukaan akses terhadap
pengambilan keputusan;
4. peningkatan arus informasi kebijakan pemerintahan;
5. pemberdayaan
masyarakat
dalam
berbagai
program
pemerintahan;
6. mewujudkan
sinergi
kemitraan
untuk
membangun
sistem
pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel;
7. meningkatkan
kesadaran
masyarakat
akan
peran
dan
tanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan; dan
8. untuk memperoleh manfaat yang optimal atas penyelenggaraan
negara bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara merata,
tertib, demokrasi, partisipatif, dan berkeadilan.
B.3. Hak dan Kewajiban Warganegara dalam Hukum dan
Pemerintahan
Setiap orang berhak atas:
•
memperoleh informasi publik;
•
menyampaikan dan menyebarluaskan informasi publik;
•
kebebasan berpendapat, menyampaikan pikiran baik lisan maupun
tulisan, rasional, tepat guna dan tepat sasaran serta taat hukum;
•
berpartisipasi dalam proses penyusunan kebijakan publik,
•
menolak atau menerima proses kebijakan publik;
•
berpartisipasi proses pelayanan publik yang mempengaruhi hak
dan kewajiban masyarakat dan Kebijakan Publik lainnya yang
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
53
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
langsung berdampak dengan kepentingan hajat hidup orang
banyak;
•
berpartisipasi dalam evaluasi dan pengawasan penyelenggaraan
negara;
•
diperhitungkan dalam quorum pengambilan keputusan;
•
melakukan
konfirmasi
berdasarkan
hasil
pengawasan
penyelenggaraan negara; dan
•
memberi
usulan
tindak
lanjut
atas
hasil
pengawasan
penyelenggaraan negara.
Setiap orang dalam berpartisipasi wajib:
•
bertanggung
jawab
atas
pendapat
dan
tindakannya
dalam
berpartisipasi.
•
mengutamakan kepentingan dan kemanfaatan bagi orang banyak;
•
mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan;
•
mematuhi semua ketentuan yang termuat dalam kesepakatan atau
komitmen bersama antara masyarakat dan Badan Publik yang
bersangkutan; dan/atau
•
menjaga etika dan sopan santun berdasarkan budaya masyarakat.
B.4. Wewenang dan Tanggung Jawab Badan Publik
Badan Publik berwenang untuk :
•
mengatur ruang lingkup pelibatan masyarakat dalam pengambilan
kebijakan
publik
dalam
tahap
perencanaan,
pengambilan
keputusan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi;
•
mengatur pihak yang dapat berpartisipasi baik orang, kelompok
orang, badan hukum, dan/atau masyarakat adat; dan
•
menolak dan menerima partisipasi masyarakat yang tidak rasional.
Badan Publik bertanggung jawab memberikan informasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
54
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Badan Publik bertanggung jawab menjamin pemenuhan hak untuk
akses informasi dengan memberikan salinan dan membangun serta
mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi.
Badan Publik bertanggung jawab menjamin terpenuhinya prinsip
keadilan dan keterwakilan masyarakat dalam pengambilan keputusan
publik dengan cara :
•
memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang untuk ambil
bagian dalam pembentukan keputusan publik;
•
memfasilitasi tercapainya pemenuhan keterwakilan komponen/unsur
masyarakat yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan
publik; dan
•
mengikutsertakan wakil kelompok atau orang yang berkebutuhan
khusus dalam proses pengambilan keputusan publik.
Badan Publik bertanggung jawab menjamin pelibatan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan publik dengan cara :
•
melibatkan kelompok masyarakat yang berkepentingan; dan
•
memfasilitasi masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan.
Badan Publik bertanggung jawab menjamin terakomodirnya aspirasi
masyarakat dengan cara :
•
membuat jawaban atas permintaan penjelasan dikeluarkannya
suatu keputusan/kebijakan; dan
•
menjelaskan status diterima atau ditolaknya usulan aspirasi
masyarakat dalam suatu laporan kemajuan penangan aspirasi
masyarakat.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
55
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
B.5. Bentuk Partisipasi Masyarakat
Partisipasi Masyarakat dapat berbentuk:
•
pemberian masukan dalam penentuan arah kebijakan;
•
pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan dan
hukum;
•
pemberian masukan dalam perumusan kebijakan publik;
•
pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam
penyusunan kebijakan publik;
•
pengajuan keberatan terhadap peraturan atau kebijakan publik;
•
kerja sama dalam penelitian dan pengembangan;
•
bantuan tenaga ahli; dan/atau
•
pengawasan dan evaluasi pelaksanaan peraturan dan kebijakan
publik;
B.6. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
B.6.1. Perencanaan
•
Masyarakat di sekitar proyek pembangunan harus dimintai
persetujuan
atas
rencana
pembangunan
yang
akan
dilaksanakan.
•
Masyarakat disekitar proyek pembangunan dapat menolak
rencana pembangunan apabila akan merugikan kepentingan
sosial ekonomi dan lingkungan
•
Tata cara permintaan persetujuan masyarakat sebagaimana
ditentukan pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
•
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan harus dilibatkan
dalam perencanaan pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan dapat
dilaksanakan dengan:
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
56
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
•
merumuskan permasalahan diberbagai bidang pembangunan
dengan
menganalisis,
menentukan
dan
merumuskan
permasalahan pokok yang dihadapi;
•
meminta informasi tentang rencana pembangunan;
•
merumuskan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dan
perlu diatasi oleh instansi yang berwenang; dan/atau
•
merumuskan rencana program dan kegiatan sesuai aspirasi
dan kebutuhan masyarakat.
B.6.2. Pelaksanaan
Masyarakat
baik
lembaga
maupun
perorangan
harus
dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
dapat dilaksanakan dengan:
•
ikut melaksanakan pembangunan baik dengan tenaga,
pikiran dan materi;
•
meminta informasi tentang perkembangan pelaksanaan
pembangunan;
•
melaksanakan pembangunan dari dana Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah;
•
membantu kelancaraan pelaksanaan pembangunan;
dan
•
berpartisipasi memberikan kejelasan mengenai maksud
dan tujuan pembangunan kepada masyarakat luas.
B.6.3. Pengawasan
Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan
dilibatkan dalam pengawasan atas setiap pelaksanaan
pembangunan.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
57
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Partisipasi
masyarakat dalam pengawasan pembangunan
dapat dilaksanakan dengan:
•
mengamati secara langsung pelaksanaan pembangunan;
•
meminta
informasi
tentang
perkembangan
hasil
pelaksanaan pembangunan; dan/atau
•
melakukan koreksi apabila ada kegiatan pembangunan
yang
tidak
sesuai
dengan
ketentuan
yang
telah
ditetapkan.
B.6.4. Evaluasi
Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan
dilibatkan dalam dalam
evaluasi atas setiap pelaksanaan
pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan dapat
dilaksanakan dengan mengikuti rapat atau pertemuan
evaluasi yang dilaksanakan Badan Publik dan pihak lain
yang terkait.
B.6.5. Pemeliharaan
Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan harus
dilibatkan dalam pemeliharaan hasil pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan dapat
dilaksanakan dengan tindakan menjaga, mempertahankan
dan melestarikan hasil-hasil pembangunan yang telah
dilaksanakan.
B.7. Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
B.7.1. Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Program
Legislasi
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
58
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Partisipasi
masyarakat
dalam
penyusunan
program
legislasi dapat berupa:
•
melakukan identifikasi terhadap kebutuhan hukum
masyarakat
yang
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan yang akan dibentuk; dan/atau
•
pemberian
masukan
berupa
informasi
peraturan
perundang-undangan yang perlu dibentuk.
B.7.2. Partisipasi Masyarakat dalam Persiapan Penyusunan
Peraturan Perundang-Undangan
Partisipasi
masyarakat
dalam
persiapan
penyusunan
peraturan perundang-undangan dapat berupa:
•
pemikiran berupa saran-saran dan pertimbanganpertimbangan;
•
kerjasama dalam penelitian terhadap perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk;
•
bantuan
keahlian
dalam
penyusunan
naskah
akademik dan/atau rancangan peraturan perundangundangan; dan/atau
•
pengajuan keberatan terhadap rancangan peraturan
perundang-undangan.
B.7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Pembahasan
Perwakilan masyarakat baik lembaga maupun perorangan
diberi
kesempatan
untuk
mengikuti
persidangan
pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan
yang dinyatakan terbuka untuk umum.
Badan
Publik
harus
menyediakan
tempat
yang
memungkinkan perwakilan masyarakat dengan seksama
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
59
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
mengamati
seluruh
proses
pembahasan
rancangan
maupun
perorangan
peraturan perundang-undangan.
Masyarakat
baik
lembaga
mengajukan permohonan kepada Badan Publik untuk
mengamati sidang pembahasan rancangan peraturan
perundang-undangan.
B.7.4. Partisipasi
Masyarakat
dalam
Penetapan/Pengesahan
Partisipasi
masyarakat
dalam
penetapan/pengesahan
peraturan perundang-undangan dapat berupa mendorong
pejabat
yang
berwenang
membentuk
perundang-undangan
untuk
menetapkan/mengesahkan
peraturan
segera
peraturan
perundang-
undangan.
B.7.5. Partisipasi Masyarakat dalam Sosialisasi Peraturan
Perundang-Undangan
Partisipasi
masyarakat
dalam
sosialiasi
peraturan
perundang-undangan dapat berupa:
a. penyebarluasan peraturan perundang-undangan; dan
b. pendidikan hukum kepada masyarakat.
B.7.6. Partisipasi
Masyarakat
dalam
Pelaksanaan
Peraturan Perundang-Undangan
Partisipasi
masyarakat
dalam
pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan dapat berupa :
•
mendukung penyediaan sumber daya pelaksanaan
peraturan perundang-undangan;
•
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
pendampingan hukum atau bantuan hukum; dan/atau
60
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
•
pengajuan
keberatan
terhadap
pemberlakuan
peraturan perundang-undangan.
B.7.7. Partisipasi
dalam
Pengawasan
terhadap
Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan
Partisipasi
masyarakat
pelaksanaan
dalam
peraturan
pengawasan
terhadap
perundang-undangan
dapat
berbentuk:
•
pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan;
•
melakukan
identifikasi
pelaksanaan
terhadap
peraturan
penyimpangan
perundang-undangan;
dan/atau
•
pemberian
masukan
berupa
informasi
mengenai
penyimpangan penegakan hukum.
B.8. Partisipasi dalam Penganggaran
B.8.1. Perencanaan
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan anggaran dapat
berupa :
•
melakukan
identifikasi
terhadap
kebutuhan
pembiayaan yang perlu ditetapkan; dan/atau
•
memberi tanggapan terhadap RAPBN atau RAPBD dan
perubahannya.
B.8.2. Pelaksanaan
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan anggaran dapat
berupa :
•
membantu Badan Publik dalam menyebarluaskan
dokumen RAPBN atau RAPBD dan/atau perubahannya;
dan/atau
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
61
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
•
pendidikan atau pelatihan analisis anggaran publik
kepada masyarakat.
B.8.3. Pengawasan
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran dapat
berupa identifikasi terhadap penyimpangan pelaksanaan
RAPBN atau RAPBD dan/atau perubahannya.
B.8.4. Evaluasi
Partisipasi masyarakat dalam evaluasi RAPBN atau RAPBD
dan/atau
perubahannya
dapat
berupa
masukan
atau
pendapat penyempurnaan RAPBN atau RAPBD dan/atau
perubahannya.
B.9. Partisipasi Dalam Pengambilan Kebijakan Publik
B.9.1. Perencanaan
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan kebijakan publik
dapat berupa :
•
melakukan identifikasi terhadap kebutuhan kebijakan
publik yang perlu ditetapkan; dan/atau
•
pemberian
masukan
berupa
informasi
peraturan
perundang-undangan yang perlu dibentuk.
B.9.2. Pengambilan Keputusan
Partisipasi
masyarakat
dalam
pengambilan
keputusan
kebijakan publik dapat berupa :
•
pemikiran
berupa
saran-saran
dan
pertimbangan-
pertimbangan;
•
kerjasama dalam penelitian terhadap perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dengan
kebijakan publik yang akan dibentuk;
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
62
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
•
bantuan keahlian dalam penyusunan kebijakan publik;
dan/atau
•
pengajuan keberatan terhadap kebijakan publik.
B.9.3. Pelaksanaan
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan publik
dapat berupa :
•
membantu
Badan
Publik
dalam
menyebarluaskan
kebijakan publik; dan/atau
•
melakukan
identifikasi
terhadap
penyimpangan
pelaksanaan kebijakan publik.
•
Pengawasan
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan kebijakan publik
dapat berupa pemantauan pelaksanaan kebijakan publik.
B.9.4. Evaluasi
Partisipasi masyarakat dalam evaluasi kebijakan publik
dapat berupa masukan atau pendapat penyempurnaan
kebijakan publik.
B.10. Penolakan Partisipasi Dan Mekanisme Keberatan
B.10.1. Penolakan Partisipasi
Badan Publik dapat menolak partisipasi masyarakat
dalam hal partisipasi dilaksanakan :
•
mengganggu ketertiban umum;
•
melawan hukum; dan/atau
•
bertentangan dengan etika dan sopan santun
berdasarkan budaya masyarakat.
Badan Publik wajib menyampaikan secara tertulis alasanalasan
tidak
diberikannya
kesempatan
dan/atau
penolakan partisipasi.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
63
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Alasan-alasan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib
disampaikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah diterimanya penyampaian pikiran dan pendapat
untuk berpartisipasi.
B.10.2. Mekanisme Pengajuan Keberatan
-
Setiap orang berhak mengajukan keberatan atas
tidak diberikannya kesempatan dan atau penolakan
partisipasi kepada Badan Publik.
-
Keberatan sebagaimana dimaksud ayat (1), harus
diajukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
disampaikannya
secara
resmi
surat
penolakan
sebagaimana dimaksud ayat (1).
-
Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat
keberatan,
Badan
Publik
wajib
menyampaikan
tanggapan atas keberatan tersebut kepada pihak
yang mengajukan.
B.11. Pemberdayaan partisipasi masyarakat
-
Badan
Publik
menyelenggarakan
menumbuhkan,
memberdayakan,
pembinaan
mengembangkan
dan
meningkatkan
untuk
kesadaran,
tanggung
jawab
masyarakat dalam partisipasi masyarakat.
-
Pembinaan tersebut dilakukan oleh Badan Publik, dengan
cara :
•
memberikan
dan
menyelenggarakan
penyuluhan,
bimbingan, dorongan, pengayoman, pelayanan, bantuan
teknik, bantuan hukum, pendidikan, dan/atau pelatihan;
•
menyebarluaskan
semua
informasi
publik
kepada
masyarakat secara terbuka;
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
64
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
•
mengumumkan
dan
menyebarluaskan
pembangunan,
peraturan
rencana
perundang-undangan,
anggaran, dan kebijakan publik kepada masyarakat;
•
menghormati hak yang dimiliki masyarakat;
•
memberikan penggantian yang layak kepada masyarakat
atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang merugikan masyarakat;
•
melindungi
hak
masyarakat
untuk
berpartisipasi;
dan/atau
•
memperhatikan dan menindaklanjuti saran, usul, atau
keberatan dari masyarakat.
B.12. Pengawasan
-
Badan Publik melakukan Pengawasan terhadap pelaksanaan
partisipasi masyarakat.
-
Pengawasan
tersebut
meliputi
bimbingan,
pembinaan,
dorongan, pengayoman, peningkatan mutu, dan pelayanan
dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat.
B.13. Perlindungan Hukum
-
Masyarakat mendapat perlindungan hukum atas keamanan
pribadi dan harta bendanya serta bebas dari ancaman
sehubungan dengan pelaksanaan partisipasi masyarakat.
-
Perlindungan tersebut dilaksanakan oleh lembaga negara
yang tugasnya di bidang penegakan hukum sesuai peraturan
perundang-undangan.
-
Pejabat
penegak
hukum
yang
berwenang
wajib
merahasiakan identitas masyarakat.
-
Pejabat penegak hukum yang berwenang dapat memberikan
pengamanan fisik terhadap masyarakat dan keluarganya.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
65
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
B.14. Penyelesaian Sengketa
-
Setiap orang yang ditolak partisipasinya dapat mengajukan
keberatan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
diterimanya penolakan.
-
Badan
Publik
wajib
untuk
memberikan
jawaban
atau
pendapat atau sanggahan paling lambat 7 (tujuh) hari
setelah diterimanya surat keberatan.
-
Apabila jawaban atau pendapat atau sanggahan dari Badan
Publik belum menghasilkan kemufakatan bersama dapat
dilanjutkan melalui musyawarah para pihak, paling lama 7
(tujuh) hari sejak diterimanya tanggapan atau keberatan.
-
Badan Publik wajib memfasilitasi pelaksanaan musyawarah
tersebut.
-
Dalam rangka percepatan penyelesaian tersebut dilakukan
mediasi melalui pihak ketiga yang independen dan memiliki
kapabilitas terhadap persoalan yang dimusyawarahkan.
-
Apabila penyelesaian secara musyawarah tidak mencapai
mufakat
maka
para
pihak
yang
bersengketa
dapat
mengadukan persoalan itu melalui pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
66
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
BAB VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Undang-Undang tentang Partisipasi Masyarakat perlu dibentuk agar dapat
dipergunakan sebagai pedoman untuk membuat ketentuan-ketentuan
hukum
yang
responsif
artinya
ketentuan-ketentuan
hukum
yang
merespons perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Ketentuanketentuan hukum demikian ini mencerminkan kebenaran dan keadilan
sehingga dapat menimbulkan kewajiban moral untuk mematuhinya. Selain
itu, ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk berdasarkan partisipasi
masyarakat dapat berlaku secara efektif dan dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah karena ketentuan-ketentuan
hukum tersebut sesuai dengan kebutuhan hukumnya.
B.
Saran
Sebaiknya
ketentuan-ketentuan
hukum
itu
dibentuk
berdasarkan
partisipasi masyarakat karena hukum itu dibuat adalah untuk manusia
bukan sebaliknya manusia untuk hukum.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
67
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
DAFTAR PUSTAKA
Alex Lanur OFM, Logika Selayang Pandang, Kanisius, Yogyakarta, 1983.
A. Mukthie Fadjar, Teori-teori Hukum Kontemporer, In-TRANS Publishing,
Malang, 2008.
Bruggink,J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Alih bahasa : B.Arief Sidharta,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat" in Walter Thomi, Markus
Steinich and Winfried Polte (editor), Dezentralisierung in Entwicklungslandem:
Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven staatlicher Reformpolitik,
Baden-Baden
H. Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006).
Irham Rosyidi, Society Need : Peraturan Daerah Berbasis Riset (Gagasan
Mewujudkan Peraturan Daerah Yang baik”, dalam Jazim Hamidi, et al.,
Meneropong Legislasi Di Daerah, Editor M. Fauzi, Universitas Negeri,
Malang, 2008.
Lembaga Administrasi Negara, Model Partisipasi Masyarakat Dalam Rangka
Peningkatan Kualitas Pelayanan Dasar Di Beberapa Negara Asia
Pasifik, LAN Press, Jakarta, 2008.
Mahendra Putra Kurnia, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif,
Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.
Peter Mahmud Marzuku, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.
P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek,
Cipta, Jakarta, 1991.
Rineka
Prasojo, Eko, 2003a, Politische Dezentralisierung in Indonesia: Die
Foderalismusdebatte in Politik- und Rechtsvergleich, Frankfurt:
Prasojo, Eko, 2003b, "Agenda Politik dan Pemerintahan Daerah di
Indonesia: Desentralisasi Politik, Reformasi Birokrasi dan Good
Governance", Bisnis & Birokrasi, Volume XI, No. 1
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
68
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT
Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Azwar Hasan, 2004, Reformasi Birokrasi
dalam Praktek: Kasus di Kabupaten Jembrana, Depok: Pusat Kajian
Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota DIA FISIP UI
Prasojo, Eko, 2005, Demokrasi di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap
Pemilu 2004 dan Good Governance, Depok: Departemen Ilmu
Administrasi FISIP UI
Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Defny Holidin, 2007, Reformasi
dan Inovasi Birokrasi: Studi di Kabupaten Sragen, Jakarta: Yappika
dan Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
R. Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1989.
Reinennann, Heinrich, 1993, "Ein Neues Paradigma fur die offentliche
Verwaltung?", Speyerer Hefte, Speyer
Rondinelli, Dennis A, John R Nellis and G Shabbir Cheema, 1983,
"Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent
Experience", World Bank Staff Working Papers Number 581, Washington
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
-------, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009.
Shidarta, Karakteristik Penalaran HukumDalam Konteks Keindonesiaan,
Utomo, Bandung, 2006).
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 1999.
Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan Di Indonesia, Perca,
Jakarta. 2003.
NA RUU tentang Partisipasi Masyarakat
69
Download