Untitled - Sekolah Tinggi Perikanan

advertisement
ISSN 1978-6514
Vol. 9 No. 1, Desember 2015
DEWAN REDAKSI
Penanggung Jawab
: Dra. Ani Leilani, M.Si
Redaktur
: Ir. Iis Jubaedah, M.Si
Editor
: Dr. Ir. Azam Bachur Zaidy, MS
Dr. Ir. O.D. Subhakti Hasan, M.Si
Dr. Ir. Andin H Taryoto, MS
Dr. Ir. Lenny Stansye Syafei, MS
Drs. Walson H Sinaga, M.Si
Drs. Asep Akhmad Subagio, MM
Iskandar Musa, A.Pi, MM
Abdul Hanan, SP, M.Si
Desain Grafis/Fotografer
: Nayu Nurmalia, S.Pd., M.Si.
Yuke Eliyani, S.Pi, M.Si
Alvi Nur Yudistira
Sujono
Sekretariat
: Muh. Patekai, S.St.Pi
Alamat Redaksi
Sub Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(UPPM)
STP Jurusan Penyuluhan Perikanan
Jl. Cikaret No. 2 PO BOX 155, Bogor Selatan,
Bogor 16001
Telp. (0251) 8485231, Fax. (0251) 8485169
e-mail:[email protected]
i
Vol. 9 No. 1, Desember 2015
SEKOLAH TINGGI PERIKANAN
JURUSAN PENYULUHAN PERIKANAN BOGOR
J.
Penyuluhan
Perikanan
Volume
9
Nomor
1
Halaman
1 - 78
ii
Bogor
Desember
2015
ISSN
1978-6514
Vol. 9 No. 1, Desember 2015
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………
iii
ANALISIS KARYA ILMIAH
SEBAGAI KOMPONEN TRI DARMA PERGURUAN TINGGI
Andin Taryoto ......................................................................................... 1 - 12
PENGARUH KEDINAMISAN SUATU KELOMPOK TERHADAP FUNGSI
KELOMPOK (Studi Kasus Pada Kelompok Perikanan di Kabupaten Bekasi
Provinsi Jawa Barat)
Abdul Hanan ........................................................................................... 13 - 25
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA PENYULUHAN
(Kasus pada Kelompok Ranca Kembang Desa Luhur Jaya
Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi Banten)
Nayu Nurmalia, Ani Leilani, Muh. Patekkai ........................................... 26 - 34
KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK IKAN PATIN (Pangasius pangasius)
Tatty Yuniarti, Romauli J Napitupulu, Iis Jubaedah, Ganjar Wiryati ... 35 - 43
STUDI KUALITAS AIR DAN KOMUNITAS PLANKTON
PADA TAMBAK PESISIR KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT
Dinno Sudinno, Pigoselpi Anas, Iis Jubaedah..................................... 44 - 57
PENGARUH PERKEMBANGAN KARIR TERHADAP KEPUASAN
KERJA PENYULUH PERIKANAN DI BADAN KETAHANAN PANGAN
PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN PERIKANAN DAN
KEHUTANAN (BKP5K) KABUPATEN BOGOR
Sobariah .................................................................................................. 58 - 67
PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK BACILLUS SP. TERHADAP
PROFIL KUALITAS AIR, PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP
BENIH IKAN LELE (Clarias gariepinus)
Yuke Eliyani, Sujono, Hendria Suhrawardan ........................................ 68 - 78
iii
ANALISIS KARYA ILMIAH
SEBAGAI KOMPONEN TRI DARMA PERGURUAN TINGGI
Oleh: Andin Taryoto
Abstrak
Menyusun karya tulis ilmiah merupakan kegiatan yang dinilai masih belum
dilakukan dengan baik oleh para akademisi dan pejabat fungsional lainnya.
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik merupakan aspek yang harus diperhatikan.
Aspek plagiasi juga merupakan hal yang dinilai perlu diperhatikan secara khusus.
Terdapat sejumlah penyebab terjadinya hal ini. Bahasan dalam analisis ini berfokus
pada hal-hal tersebut, dilanjutkan dengan sejumlah rekomendasi untuk dapat
memperbaikinya dimasa mendatang.
Kata Kunci: penulisan karya ilmiah; plagiasi; rendahnya minat menulis
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tri Dharma perguruan Tinggi
adalah acuan utama bagi tenaga
fungsional Dosen didalam menjalankan
tugas-tugas utamanya. Komponen Tri
Darma yang mencakup Pendidikan
ataupun pengajaran, Penelitian, dan
Pengabdian Masyarakat, harus secara
proporsional dilaksanakan oleh Dosen
dalam kegiatan kesehariannya. Dengan
pola pikir seperti itu, maka tidak harus
terjadi
bahwa
Dosen
hanya
mementingkan kegiatan Pendidikan dan
Pengajaran saja, mengesampingkan
ataupun
mengabaikan
komponen
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Untuk dapat mencapai kondisi
yang mendekati ideal dalam hal
keseimbangan masing-masing dharma
dalam Tri Darma Perguruan tinggi,
diperlukan suatu upaya khusus dari para
Dosen maupun institusi para Dosen yang
bersangkutan untuk secara terencana
berupaya membuat keseimbangan pada
tiga komponen Tri Dharma tersebut.
Upaya khususnya diarahkan untuk
memperbesar
proporsi
kegiatan
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Tentu saja semuanya harus dilakukan
sesuai dengan peraturan dan regulasi
yang berlaku.
Regulasi terbaru yang terkait
dengan ketiga komponen Tri Dharma
tersebut adalah Pedoman Operasional
Penilaian Angka Kredit Kenaikan
Pangkat/Jabatan Akademik Dosen yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan
Tinggi
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2014.
Secara
rinci
pedoman
tersebut
memutakhirkan
acuan-acuan
sebelumnya yang berkaitan dengan
proporsi
komponen-komponen
Tri
Dharma yang harus diperhatikan oleh
para Dosen dalam hubungannya dengan
jenjang kepangkatan dan jabatan
fungsionalnya.
Komponen Penelitian merupakan
komponen yanng dinilai agak sering
“tertinggal”
dibandingkan
dengan
komponen Pendidikan dan komponen
Pengabdian Masyarakat.
Hal ini
terutama
berkaitan
dengan
diperlukannya upaya tersendiri untuk
dapat melaksanakan kegiatan penelitian,
1
yang perlu dilanjutkan dengan upaya
menuliskan hasil penelitian yang
dilakukan, serta lebih lanjut lagi untuk
mengolah hasil-hasil penelitian maupun
hasil analisis yang dilakukan untuk dapat
diterbitkan dalam media ataupun forumforum ilmiah yang diselenggarakan
khusus untuk keperluan tersebut.
Tulisan ini dengan demikian
diarahkan untuk mencoba mengulas
lebih lanjut tentang sejauh mana
kegiatan yang terkait dengan Karya
Ilmiah secara ideal dapat dilakukan oleh
para
Dosen.
Pengalaman
dan
pengamatan penulis sebagai Anggota
Dewan Redaksi pada 2 (dua) Jurnal
dalam lingkup KKP dan 1 (satu) jurnal
di Kementerian Pertanian menjadi
pendorong utama penyusunan tulisan ini.
Diharapkan bahwa dari analisis yang
dilakukan dapat diperoleh beberapa
pemikiran
untuk
memperlancar
tersusunnya komponen penelitian dari
Tri
Dharma
Perguruan
Tinggi,
khususnya di Jurusan Penyuluhan
Sekolah Tinggi Perikanan.
Tujuan
1. Melakukan
analisis
terhadap
berbagai aspek kunci yang terkait
dengan penyusunan karya ilmiah
yang baik
2. Mengidentifikasi
beberapa
kelemahan dan keterbatasan dalam
penyusunan karya ilmiah, untuk
menuju
perbaikan
di
masa
mendatang
3. Mengajukan beberapa rekomendasi
untuk dapat menyusun karya ilmiah
yang baik.
Pendekatan Analisis
Analis Deskriptif digunakan dalam
tulisan ini. Analisis mencakup hal-hal
yang terkait dengan definisi Karya
ilmiah, analisis kaidah dan acuan
penulisan Karya Ilmiah, analisis aspek
regulasi yang terkait dengan penulisan
Karya Ilmiah, serta analisis terhadap
faktor-faktor
yang
menghambat
kelancaran penulisan Karya Ilmiah.
Kajian referensi dan pustaka yang terkait
dengan
penulisan
Karya
Ilmiah
dilakukan khusus untuk mendukung
pelaksanaan analisis.
KARYA ILMIAH
Definisi dan Cakupan.
Secara
umum dikenal 2 (dua) kategori karya
atau tulisan: Karya Ilmiah dan tulisan
atau karya populer. Diantara keduanya
dikenal adanya Tulisan atau Karya
Ilmiah Populer, yang menunjuk pada
bentuk tulisan yang menyangkut topik
atau aspek ilmiah, namun disampaikan
dengan bentuk gaya ataupun format
bebas/populer.
Tulisan populer
menunjuk pada bentuk tulisan bebas
yang tidak terikat dengan kaidah-kaidah
penulisan baku.
Sifat tulisan lebih
mengarah pada ekspresi ataupun
deskripsi dari pendapat, sketsa, ataupun
imajinasi penulis.
Sementara itu, Karya Ilmiah
merupakan suatu bentuk hasil kegiatan
ilmiah yang dilakukan oleh mereka yang
berkaitan dengan proses-proses ilmiah.
Dalam hal ini Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (2014) menyatakan
bahwa Karya Ilmiah adalah hasil
penelitian
atau
pemikiran
yang
dipublikasikan dan ditulis memenuhi
Kaidah Ilmiah dan Etika Keilmuan.
Dari definisi ini tampak bahwa Karya
Ilmiah tidak hanya mencakup suatu hasil
penelitian, namun juga mencakup
analisis maupun pemikiran yang bukan
merupakan hasil suatu penelitian formal,
2
sejauh memenuhi Kaidah Ilmiah dan
Etika Keilmuan. Dalam hal ini menarik
untuk mengutip pendapat Mulyadi
(2011) yang menyatakan bahwa
penelitian adalah sebuah proses yang
bertujuan untuk mengetahui sesuatu
secara teliti serta kritis dalam mencari
fakta-fakta
dengan
menggunakan
langkah-langkah tertentu. Ditambahkan
Mulyadi bahwa keinginan untuk
mengetahui sesuatu tersebut secara teliti
muncul karena adanya suatu masalah
yang memerlukan jawaban yang benar.
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia (LIPI) secara eksplisit
menyebutkan terminologi Karya Tulis
Ilmiah, buka Karya Ilmiah saja.
Disebutkan dalam Peraturan Kepala LIPI
No. 04/E/2012 bahwa Karya Tulis
Ilmiah adalah tulisan hasil penelitian dan
Pengembangan dan/atautinjauan, ulasan,
kajian, dan pemikirin sistematis yang
dituangkan oleh perseorngan atau
kelompok yang memenuhi Kaidah
Ilmiah. Selanjutnya disebutkan bahwa
Kaidah Ilmiah adalah aturan baku dan
berlaku umum yang berkaitan dengan
ilmu pengetahuan. Dengan demikian
tampak disini bahwa istilah Karya
Ilmiah dan istilah Karya Tulis Ilmiah
dinilai tidak memiliki perbedaan prinsip;
penyebutannya dapatlah dipertukarkan
satu sama lain dalam penggunaan seharihari.
Sementara itu Wahya (2012)
menyatakan bahwa Karya Tulis ilmiah
adalah karya tulis yang menyajikan ilmu
pengetahuan, dikemas dalam format,
sistematika, dan konvensi naskah
tertentu, serta disampaikan dengan
menggunakan bahasa yang resmi.
Secara khusus dalam definisi tersebut,
Wahya menambahkan faktor bahasa
resmi sebagai salah satu syarat tulisan
atau karya ilmiah.
Untuk
melakukan
penilaian
akreditasi terbitan berkala ilmiah yag
ada di Indonesia, diterbitkan kemudian
Peraturan
Direkturat
Jenderal
Pendidikan
Tinggi
Kementerian
Pendidikan
Nasional
RI
No.
49/DIKTI/Kep/2011 tentang Pedoman
Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah.
Pedoman
antara lain menyebutkan
bahwa penilaian terhadap bobot dan
mutu substansi lmiah terbitan berkala
secara obyektif mutlak diperlukan.
Disebutkan selanjutnya bahwa artikel
haruslah
merupakan
tulisan
yag
didasarkan kepada penelitian empirik,
atau hasil kajian teoritis dengan tujuan
mengulas dan menyintesis teori-teori
yang ada. Kriteria yang digunakan
untuk melakukan penilaian itu adalah:
(1) cakupan keilmuan; semakin dalam
spesialisasinya, semakin tinggi nilainya;
(2) aspirasi wawasan; meliputi luas
wilayah
pengembangan,
jumah
pembaca, ruang lingkup dan wilayah
geografi dan lainnya; (3) kepioneran
ilmiah/orisinalitas Karya; (4) makna
sumbangan bagi kemajuan; (5) dampak
ilmiah;
(6) Nisbah sumber aacuan
primer berbanding sumber lainnya; (7)
derajat kemutakhiran pustaka acuan, (8)
analisis dan sintesis, serta (9)
Penyimpulan dan pengamatan. Tampak
disini pihak Kementerian Pendidikan
Nasional ingin benar-benar menjaga
bobot dan mutu karya ilmiah yang
diterbitkan
lembaga-lembaga
yang
berada dalam binaan dan cakupan
kerjanya.
Menjadi
menarik
untuk
mengidentifikasi lebih lanjut apa yang
disebut sebagai Kaidah Ilmiah dan
etika keilmuan.
Mulyadi (2011)
menyebutkan bahwa kaidah ilmiah
sangat berkaitan dengan kegiatan
3
penelitian, yang pada hakekatnya
merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk berupaya menemukan kembali
sesuatu yang hilang atau belum
ditemukan.
Simatupang
(2003)
menyatakan bahwa Kaidah Ilmiah
berkaitan dengan kegiatan pengumpulan
informasi
secara
sistematis
dan
penarikan kesimpulan yang logis dari
informasi tersebut.
Hal ini sejalan
dengan pernyataan Soeharso dan
Widiastuti (2015), yang menyatakan
bahwa suatu Karya ilmiah haruslah
memiliki ciri-ciri menyajikan fakta
obyektif, tidak emosional, disusun secara
sistematis, konseptual dan prosedural,
serta tidak bersifat argumentatif.
Selanjutnya, penulisan karya ilmiah
tersebut menurut Dwiloka dan Riana
(2012) harus didukung oleh pemilihan
topik dan pembatasan topik yang
dibahas, serta didukung oleh penyusunan
kerangka maupun pengorganisasian
tulisan yang baik.
Melalui Peraturan Ketua LIPI No.
04/E/2012, disebutkan bahwa Kaidah
Ilmiah adalah aturan baku dan berlaku
umum yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan. Lebih lanjut dinyatakan
dalam peraturan ini bahwa suatu Karya
Tulis Ilmiah yang memenuhi kaildah
ilmiah adalah karya tulis yang memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: (1) Logis;
terdapat kerunutan penjelasan dari data
dan informasi yang digunakan; (2)
Obyektif;
data dan informasi yang
digunakan
sesuai
dengan
fakta
sebenarnya; (3) Sistematis; data dan
informasi diperoleh dari hasil kajian
dengan mengikuti urutan pola pikir yang
terencana, konsisten, dan berkelanjutan;
(4) Andal; data dan informasi yang
diperoleh maupun yang digunakan teruji
secara sahih dan memungkinkan untuk
terus dikaji ulang;
(5) Desain;
dilakukan secara terencana, denngan
mengikuti suatu rancangan kegiatan
tertentu; (6) Akumulatif; merupakan
kumpulan dari berbagai sumber yang
diakui kebenarannya dan keberadaannya,
serta memberikan kontribusi bagi
khasanah ilmu pengetahuan.
Kaidah Bahasa Indonesia yang
digunakan. Terdapat berbagai variasi
dalam penetapan aturan penggunaan
bahasa untuk penulisan ilmiah. Namun
demikian dapat dinyatakan bahwa
semuanya mengacu kepada Pedoman
umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
disempurnakan, seperti yang dinyatakan
dalam Surat
Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No.
0543a/U/87 tanggal 9 September 1987.
Acuan yang ditetapkan oleh Universitas
Indonesia
(2008),
misalnya,
menyebutkan bahwa Tugas Akhir (TA)
adalah karya ilmiah yang disusun
menurut kaidah keilmuan dan ditulis
berdasarkan kaidah Bahasa Indonesia, di
bawah pengawasan atau pengarahan
dosen pembimbing, untuk memenuhi
kriteria-kriteria kualitas yang telah
ditetapkan sesuai keilmuannya masingmasing1.
Program Magister Akuntansi,
Fakultas Ekonomika dan Bisnis,
Universitas Gadjah Mada, memiliki
pedoman tersendiri dalam hal penulisan
tesis pada program ini2. Dalam hal
Bahasa, misalnya, disebutkan bahwa
bahas Indonesia yang digunakan
haruslah berupa Bahasa Indonesia yang
1
http://www.ui.ac.id/download/files/PedomanTA-UI-2008.pdf
2
http://luk.staff.ugm.ac.id/riset/panduan/feb/
Maksi2009.pdf
4
baku, dengan adanya subyek, predikat
maupun ditambah dengan obyek dan
keterangan. Disebutkan juga bahwa
istilah yang digunakan dalam penulisan
adalah istilah Indonesia, ataupun istilah
yang telah di-Indonesia-kan. Pedoman
juga memuat tentang kesalahankesalahan yang sering terjadi, yaitu
misalnya kata penghubung ditempatkan
diawal kalimat, penggunaan tanda baca
yang tidak tepat, dsb. Dalam pada itu
Universitas Pendidikan Indonesia (2014)
memberi peluang adanya karya ilmiah
yang ditulis selain dengan menggunakan
bahasa Indonesia; karya ilmiah dapat
ditulis dengan menggunakan bahasa
Sunda maupun bahasa Inggris. Kaidahkaidah bahasa terkait dengan demikian
juga harus diikuti secara konsisten.
Universitas Katolik Parahayangan juga
membolehkan mahasiswa menggunakan
bahasa pengantar Bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris dalam menuliskan tesis
akhirnya
(Universitas
Katolik
Parahyangan, 2012).
Universitas Trisakti pada tahun
2013 menetapkan juga suatu Pedoman
dalam penulisan Skripsi3.
Dalam
pedoman antara lain disebutkan bahwa:
(a) Skripsi ditulis dengan menggunakan
Bahasa Indonesia yang telah dibakukan,
baik kata-kata maupun ejaannya; (b)
istilah-istilah yang digunakan adalah
istilah dalam Bahasa Indonesia, atau
yang sudah dialihbahasakan ke dalam
Bahasa Indonesia; (c) istilah dalam
bahasa asing yang tidak ada padanan
kata dalam Bahasa Indonesia ditulis
dengan huruf miring; dan (d) kalimat
harus jelas maksud dan artinya serta
3
http://www.trisakti.ac.id/fh/files/bagian_isi_
juknis%20skripsi%2022%20Juli%202013.pdf
disusun secara singkat dan jelas.
Sementara itu, STIE Widya Dharma
Surabaya (Usman, 2013), menyebutkan
bahwa:
Penulisan
karya
ilmiah
hendaknya menggunakan bahasa
yang jelas, tepat, formal, dan
lugas.Setiap paragaf berisi satu
ide pokok penulis yang biasanya
dikemukakan
pada
kalimat
pertama. Oleh karena itu,
sebaiknya kalimat pertama setiap
paragaf tidak dimulai dengan
kutipan (langsung atau tidak
langsung) untuk menghindari
kesan bahwa ide pokok dalam
paragaf tersebut bukanlah ide
pokok penulis tetapi ide pokok
orang lain (hal. 46).
Secara teoritik, menurut Resmini
(2003) bahasa yang digunakan dalam
artikel ilmiah harus mencakup sifat-sifat
Obyektif, impersona, Teknis, dan
Praktis. Bahasa yang Obyektif adalah
bahasa yang menggambarkan sesuatu
pengalaman yang bagi semua pemakai
bahasa. Upaya yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan keobjektifan bahasa
adalah dengan menghindari
atau
meminimalkan pendapat dan sikap
pribadi dalam melakukan analisis. Sifat
impersona
digunakan
untuk
menunjukkan bahwa penulis berupaya
untuk tidak terlibat secara pribadi dalam
karya ilmiah yanng disusun. Untuk itu
dalam penulisan tidak digunakan katakata ganti saya, kami, kita, atau penulis,
untuk menghindari ekspresi yang
personal dan subyektif. Sifat Teknis
berkaitan dengan penggunaan istilahistilah teknis yang sangat spesifik pada
disiplin ilmu yang terkait dengan tulisan
ilmiah. Istilah Teknis tersebut dapat
digunakan,
sejauh
dinilai
dapat
5
dimengerti oleh khalayak pembaca.
Apabila diperlukan, dapat ditambahkan
penjelasan atau keteranngan terhadap
istilah Teknis yang sangat spesifik.
Terakhir, sifat Praktis digunakan untuk
menghindari
bahasa
yang
berkepanjangan dan yang menimbulkan
ketidak-pastian. Uraian-uraian
ini
menunjukkan bahwa aspek bahasa
menempati peran yang sangat utama
dalam penulisan karya ilmiah.
PLAGIASI
Kegiatan yang dinilai sangat
mencederai kehidupan akademik adalah
kegiatan Plagiasi. Kegiatan ini berkaitan
dengan dilakukannya pengutipan karya
ilmiah secara tidak sepatutnya. Begitu
pentingnya kegiatan Plagiasi ini untuk
dihindarkan terjadinya, sehingga secara
khusus terdapat aturan resmi dari
pemerintah
Indonesia
untuk
menangkalnya.
Melalui Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 17
tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Penanggulanngan Plagiat di Pergurun
Tinggi, diatur berbagai hal yang perlu
dilakukan
untuk
mencegah
dan
menanggulangi kegiatan plagiasi.
Plagiat dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional tersebut dinyatakan
sebagai:
….perbuatan secara sengaja
atau tidak sengaja dalam
memperoleh
atau
mencoba
memperoleh kredit atau nilai
utuk suatu karya ilmiah, dengan
mengutip sebagian atau seluruh
karya dan/atau karya ilmiah
pihak lain yang diakui sebagai
karya
ilmiahnya,
tanpa
menyatakan sumber secara tepat
dan memadai (Pasal 1)
Dalam artikel Panduan Anti
Plagiarism4, Perpustakaan Universitas
Gadjah Mada menyebutkan bahwa
terdapat 6 (enam) lingkup Plagiarisme:
(1) Mengutip kata-kata atau kalimat
orang lain tanpa menggunakan tanda
kutip dan tanpa menyebutkan identitas
sumbernya, (2) Menggunakan gagasan,
pandangan atau teori orang lain tanpa
menyebutkan identitas sumbernya, (3)
Menggunakan fakta (data, informasi)
milik orang lain tanpa menyebutkan
identitas sumbernya,
(4) Mengakui tulisan orang lain
sebagai tulisan sendiri, (5) Melakukan
parafrase (mengubah kalimat orang lain
ke dalam susunan kalimat sendiri tanpa
mengubah idenya) tanpa menyebutkan
identitas
sumbernya,
dan
(6)
Menyerahkan suatu karya ilmiah yang
dihasilkan dan /atau telah dipublikasikan
oleh pihak lain seolah-olah sebagai
karya sendiri.
Satu hal yag dinilai menjadi kunci
untuk menghindarkan diri dari kegiatan
Plagiasi adalah upaya untuk secara
berkelanjutan
mengembangkan
kemampuan dan potensi diri pihak-pihak
yang akan dan sedang menghasilkan
karya ilmiah. Apabila hal ini terus
diupayakan, dapat diharapkan terjadinya
plagiasi dapat dihindarkan. Hal yang
benar-benar harus diwaqspadai adalah
adanya
definisi
Plagiat
yang
menyebutkan
bahwa
ketoidaksengajaanpun dapat menjadi penyebab
terjadinya plagiasi. Hal ini yang harus
dengan baik dicermati, sehingga faktor
ketidak-sengajaan harus juga diupayakan
untuk tidak dilakukan. Aryani (2014)
menemukan bahwa penyebab perilaku
4
http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=327
6
plagiat mahasiswa UNM yaitu : (1) tidak
yakin dengan kemampuan diri, (2) malas
mengerjakan tugas, (3) kesulitan
mencari
buku
referensi,
(4)
penyalahgunaan teknologi komputer
(copy-paste), dan (5) tidak tahu batasan
dan sanksi plagiat. penyebab pertama
sampai keempat bersifat internal pelaku
plagiat,
sehingga
layak
untuk
mendapatkan sanksi. Namun demikian,
penyebab kelima perlu secara khusus
diperhatikan, karena penyebab ini adalah
penyebab yang bersifat eksternal,
sehingga seyogyanya dapat dihindarkan
melalui sosialisasi yang memadai
tentang kriteria plagiasi secara massal.
Pada tanggal 17 Februari 2014
Profesor Anggito Abimanyu mundur
sebagai dosen UGM karena indikasi
plagiasi yang dilakukannya, Majalah
Tempo (18 Februari 2014) menyebutkan
setidaknya terdapat 8 (delapan) kasus
plagiasi yang menjadi pembicaraan di
Indonesia sejak tahun 1949 sampai
dengan tahun 2010.5 Indikasi plagiasi
berkaitan
dengan
standar
cara
pengutipan yang berbeda, meniru
sebagian besar tesis orang lain untuk
kepentingan plagiator, adanya laporan
pihak
ketiga,
sampai
dengan
menggunakan data pihak lain tanpa
penyebutan sumber yang jelas. Berbagai
hal tersebut berkaitan dengan indikasi
plagiasi karena kesengajaan, maupun
karena ke-tidak-sengaja-an.
Untuk
kasus plagiasi karena kesengajaan, maka
secara akademik hal tersebut jelas
merupakan pelanggaran aturan yang ada,
termasuk juga pelanggaran kode etik
5
http://nasional.tempo.co/read/news/2014/02/
18/0 78555420/8-kasus-plagiat-yangmenghebohkan-indonesia
ilmiah. Kesengjaan melakukan plagiasi
dengan demikian jelas harus dihindari.
Hal yang memerlukan pencermatan lebih
lanjut adalah kejadian plagiasi yang
tidak disengaja;
kondisi ini dapat
dihindari dengan benar-benar memahami
aturan baku yang terkait dengan
tindakan plagiasi ini. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 17 tahun 2010
dapat dijadikan sebagai acuan dasar
untuk keperluan ini.
Hal-hal yang
dinilai sebagai unsur plagiasi dalam
peraturan tersebut (Pasal 2) antara lain
adalah:
a. mengacu dan/atau mengutip
istilah,
kata-kata
dan/atau
kalimat, data dan/atau informasi
dari suatu sumber tanpa
menyebutkan sumber dalam
catatan kutipan dan/atau tanpa
menyatakan
sumber
secara
memadai;
b. mengacu dan/atau mengutip
secara acak istilah, kata-kata
dan/atau kalimat, data dan/atau
informasi dari suatu sumber
tanpa
menyebutkan
sumber
dalam catatan kutipan dan/atau
menyatakan
sumber
secara
memadai;
c. menggunakan sumber gagasan,
pendapat, pandangan, atau teori
tanpa menyatakan sumber secara
memadai;
d. merumuskan dengan kata-kata
dan/atau kalimat sendiri dari
sumber
kata-kata
dan/atau
kalimat, gagasan, pendapat,
pandangan, atau teori tanpa
menyatakan
sumber
secara
memadai;
e. menyerahkan suatu karya ilmiah
yang dihasilkan dan/atau telah
dipublikasikan oleh pihak lain
sebagai karya ilmiahnya tanpa
menyatakan
sumber
secara
memadai
7
Lima hal diatas memiliki suatu
kata kunci: tanpa menyatakan sumber
secara memadai. Dengan demikian,
plagiasi dapat dihindarkan sejauh
pengutipan
yang
dilakukan
saat
menyusun suatu karya ilmiah diikuti
dengnan penyebutan sumber yang
dikutip secara lengkap dan memadai.
Hal yang perlu juga diperhatikan adalah
bahwa kutipan hanya dilakukan sejauh
hal
tersebut
diperlukan
untuk
mendukung argumentasi atau pernyataan
penulis karya ilmiah dari hasil-hasil
analisisnya. Niat baik penulis karya
ilmiah untuk menekankan karya sendiri
sebagai hal yang utama harus menjadi
semangat para penulis karya ilmiah;
tulisan ataupun data dan informasi dari
penulis lain haruslah ditempatkan
sebagai penunjang ataupun pembanding
saja.
Terkait dengan kasus profesor
Anggito Abimanyu, Damang (2014)6
menyatakan bahwa tiga pelajaran yang
dapat diambil adalah: (1) negara harus
bertanggung jawab untuk membiasakan
budaya membaca terhadap semua
kalangan;
(2)
sosialisasi
anti
plagiarisme perlu digalakkan secara dini;
dan (3) institusi pendidikan harus secara
rutin mengajarkan ilmu tentang metode
penulisan dan karya ilmiah, termasuk
cara mengutip yang benar dari berbagi
sumber rujukan.
Hampir setiap universitas di
Amerika Serikat memiliki peraturan
maupun komite yang secara khusus
menangani urusan penulisan ilmiah dan
plagiasi ini.
Purdue University,
misalnya, memiliki Komisi Penulisan
Ilmiah (Council of Writing Program
Administrators)7
yang
menangani
penulisan ilmiah dan plagiasi di lingkup
universitas tersebut. Harvard Collage
memiliki Harvard College Writing
Program8,
sementara
di
Indiana
9
University , School of Education
ditugasi untuk mensosialisasikan norma
tentang plagiasi ini. Dinilai bahwa
perguruan tinggi di Indonesiapun perlu
untuk memikirkan ditetapkannya suatu
unit kerja yang secara khusus menangani
masalah penulisan ilmiah dan plagiasi
ini. Sementara itu, kemajuan teknologi
komunikasi saat ini telah dimanfaatkan
pula untuk mendukung upaya menekan
terjadinya plagiasi ini, yaitu misalnya
dengan adanya berbagai software untuk
mengecek dan mengontrol terjadinya
plagiasi ini1011.
MINAT MENULIS KARYA ILMIAH
Dengan
difahaminya
ramburambu penulisan ilmiah, prinsip-prinsip
dasar serta aturan-aturan baku tulisan
ilmiah, serta bahasan tentang plagiasi,
faktor-faktor penting terkait dengan
karya tulis ilmiah telah diuraikan. Para
peneliti sangat berkepentingan dengan
hal penulisan ilmiah ini, karena
penulisan ilmiah adalah bagian utama
kegiatan keseharian para peneliti. Bagi
pemangku jabatan fungsional dosen serta
penyuluh, aturan pendukung telah pula
7
8
9
10
6
http://www.negarahukum.com/hukum/belajardari-kasus-plagiarisme-anggito-abimanyu.html
11
https://owl.english.purdue.edu/owl/resource/
589/01/
http://isites.harvard.edu/icb/icb.do?keyword=
k70847&pageid=icb.page342054
http://www.indiana.edu/~wts/pamphlets/
plagiarism.shtml#strategies
http://www.plagtracker.com/
http://www.dustball.com/cs/plagiarism.
checker/
8
ditetapkan, terutama yang berkaitan
dengan tingginya nilai angka kredit
terhadap tulisan ilmiah yang dihasilkan,
termasuk pula tulisan ilmiah populer.
Hal ini seyogyanya dipandang sebagai
aspek pendukung dan pendorong bagi
pada dosen dan penyuluh untuk
mengalokasikan perhatian dan waktunya
terhadap kegiatan penulisan ilmiah ini.
Berlawanan dengan tingginya
insentif angka kredit terhdap tulisan
ilmiah, terdapat indikasi bahwa minat
menulis karya ilmiah di Indonesia saat
ini dinilai masih rendah12. Sejumlah
analisis
telah
dilakukan
untuk
mengetahui penyebab dari rendahnya
minat menulis ilmiah ini.
Mudasir
13
(2014) mengidentifikasi bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi rendahnya
minat menulis artikel ilmiah di Indonesia
antara
lain
adalah
kurangnya
pengetahuan tentang
cara menulis
ilmiah yang baik, penghargaan dari
perguruan tinggi terkait masih rendah,
serta situasi jurnal ilmiah di Indonesia
belum optimal (copy terbatas, sirkulasi
terbatas,
tidak
dilanggan
oleh
perpustakaan).
Dikemukakan
selanjutnya bahwa mengingat abstrak
tulisan ilmiah dalam bahasa Inggris tidak
dilakukan dengan baik, maka tulissan
ilmiah dari Indonesia masih terbatas
dikutip dalam khasanah tulisan ilmiah
internasional.
Dalam pada itu, Aziz (2011)
menyatakan bahwa rendahnya minat
12
13
http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/
index-berita-bulanan/2014/berita-bulan-april2014/816-minat-ilmuwan-menulis-jurnalilmiah-dinilai-rendah
https://ugm.ac.id/id/berita/8905minat.menulis.jurnal.ilmiah.di.indonesia.rend
ah
menulis ilmiah sangat terkait dengan
indikasi bahwa mahasiswa Indonesia
saat ini dinilai cenderung berpikir
pragmatis; menulis dinilai memerlukan
waktu panjang dan untuk menikmati
hasilnya juga diperlukan waktu yang
panjang. Digabungkan dengan indikasi
kurangnya kesadaran temtang manfaat
menulis serta kurangnya penghargaan
dari perguruang tinggi terkait, maka
minat menulis ilmiah menjadi kurang
berkembang. Khusus tentang rendahnya
minat menulis mahasiswa ini, Darain
(2014)14 menyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi kurangnya
minat menulis ilmiah mahasiswa adalah
rendahnya minat baca mahasiswa,
kurangnya sosialisasi dan pembinaan
dari pihak kampus kepada mahasiswa,
terbatasnya forum-forum diskusi atau
organisasi mahasiswa yang membidangi
pembinaan karya tulis mahasiswa, tidak
adanya pengakuan dari pemerintah
terhadap karya tulis mahasiswa yang
berkualitas, serta minat/keengganan dari
mahasiswa itu sendiri untuk mau
menulis.
Saihu (2013) dalam skripsinya
menemukan bahwa minat mahasiswa
Program Studi Seni Rupa Universitas
Negeri Malang dalam menulis karya
ilmiah adalah rendah. Faktor yang
mempengaruhi
minat
mahasiswa
Program Studi Seni Rupa Universitas
Negeri Malang dalam menulis karya
ilmiah adalah faktor frekuensi membaca,
frekuensi menulis, pemahaman karya
tulis ilmiah, dan motivasi. Implikasi dari
indikasi ini adalah bahwa pengajar
14
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/
2014/09/07/116066/menelisik-rendahnyaminat-menulis-mahasiswa/
9
matakuliah yang berkaitan dengan
penulisan karya ilmiah harus mampu
mendorong mahasiswa untuk bisa lebih
berminat menulis karya ilmiah, dengan
mengembangkan metoda pengajaran
yang lebih variatif. Lebih lanjut analisis
Krisanto (2011) menunjukkan bahwa
faktor yang mempengaruhi rendahnya
minat membaca dan menulis mahasiswa
UKSW Salatiga adalah
rendahnya
keterlibahan dalam aktivitas
pers
mahasiswa, rendahnya hasil karya tulis
mahasiswa yang terekspose, rendahnya
jumlah kelompok diskusi mahasiswa,
serta
rendahnya jumlah kunjungan
mahasiswa ke perpustakaan. Kristanto
menunjukkan
dari hasil analisisnya
bahwa minat menulis sangat berkaitan
denga minat membaca.
Dari sisi pengajarpun terdapat
indikasi tentang rendahnya minat
menulis ilmiah ini. Rendahnya minat
dosen menulis terkait dengan penyebab
rendahnya kemampuan menulis, serta
belum
dikembangkannya
secara
15
sistematis budaya menulis ini . Sutikno
(2014) menyebutkan bahwa rendahnya
publikasi ilmiah peneliti dari perguruan
tinggi di Indonesia pada jurnal ilmiah
bereputasi international merupakan
faktor penting penghalang masuk ke
jajaran world class university16. Sagala
(2013) menghubungkan rendahnya
minat menulis dosen ini dengnan
rendahnya pendapatan yang mereka
15
16
http://www.republikapenerbit.com/artikel/
detail_ info/62
http://unnes.ac.id/berita/publikasi- ilmiahpeneliti-di-perguruan-tinggi-indonesia-masihrendah/
terima17 Untuk kalangan guru, Larasati
(2014) menemukan bahwa faktor-faktor
penghambat penulisan karya ilmiah
Guru di Yogyakarta adalah keterbatasan
waktu karena tuntutan administratif
Guru, tugas mengajar, dan keperluan
pribadi; gagasan penulisan karya tulis
ilmiah tidak dapat dikembangkan dengan
baik karena tidak adanya pembimbing
dan terbatasnya referensi;
faktor
sosialisasi oleh pihak terkait belum
optimal;
serta
faktor rendahnya
motivasi guru karena usia dan belum
adanya pihak yang menginisisasi para
guru untuk menulis karya tulis ilmiah.
Tampak dari uraian ini bahwa secara
umum minat menulis maupun meneliti
dalam lingkungan pendidikan memang
masih
memerlukan
upaya-upaya
tersendiri
untuk
dapat
terus
meningkatkannya.
Cukup tingginya
angka kredit bagi karya-karya ilmiah
seyogyanya
menjadi
salah
satu
pendorong utama meningkatkan minat
meneliti dqn menulis karya ilmiah
tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Karya ilmiah atau karya tulis
ilmiah menjadi salah satu penciri
kegiatan akademik yang penting di dunia
pendidikan, terutama terkait denngan
pelaksanaan Tri Darma Perguruan
Tinggi. Karya ilmiah menjadi media
untuk menyampaikan hasil penelitian
maupun analisis yang ditujukan untuk
keperluan
pengembangan
ilmu
pengetahuan,
sekaligus
media
mengekspresikan
pendapat
dan
17
http://www.jurnalasia.com/2013/12/30/
terkait- kesejahteraankecil-rendah-minatdosen-menulis-buku/
10
pemikiran penulis secara ilmiah.
Pemenuhan
kaidah-kaidah
ilmiah
menjadi kunci utama untuk menilai
bobot ke-ilmiah-an karya tulis yang
bersanngkutan.
Penggunaan bahasa Indonesia
baku maupun bahasa lainnya menjadi
keharusan suatu karya ilmiah. Perlu
dihindari penggunaan bahasa sehari-hari
dalam tulisan ilmiah, agar kaidah ilmiah
dapat dipertahankan.
Kaidah-kaidah
yang tercantum dalam Pedoman umum
Ejaan
Bahasa
Indonesia
yang
disempurnakan harus diterapkan secara
konsisten. Pencantuman Abstrak dalam
bahasa Inggris yang benar juga harus
mendapatkan
perhatian
untuk
kesempurnaan karya ilmiah yanng
dihasilkan. Dengan cara ini derajat
ilmiah
dapat
dipertahankan
dan
dikembangkan, sementara abstrak dalam
bahasa Inggris akan menjadi sarana
pengenalan dan penyebarluasan karya
ilmiah yang dihasilkan di Indonesia
kepada forum ilmiah internasional.
Plagiasi merupakan hal yang harus
dihindarkan secara terus menerus dalam
khasanah pengembangan karya ilmiah di
Indonesia. Berbagai kejadian plagiasi
beserta dampak negatifnya perlu menjadi
pelajaran untuk tidak harus terulang lagi.
Semangat untuk memahami kegiatan
yang termasuk sebagai kegiatan plagiat,
serta upaya untuk selalu mencantumkan
sumber referensi secara baik dan benar,
menjadi salah satu cara untuk secara
terencana
menghindari
terjadinya
phenomena plagiasi.
Perlu terus diupayakan untuk
meningkatkan minat menghasilkan karya
ilmiah oleh para pelaku kegiatan
pendidikan di Indonesia. Disamping
upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh
institusi, kesadaran bahwa karya ilmiah
mendapatkan nilai kredit yang tinggi
dalam penilaian peringkat tenaga
fungsional pendidikan harus juga
menjadi pendorong secara internal untuk
keperluan ini.
PUSTAKA
Aryani, Farida. 2014. Studi Tentang
Faktor-Faktor Penyebab Perilaku
Plagiat Mahasiswa UNM. Thesis
Universitas Negeri Makassar.
http://digilib.unm.ac.id/gdl.php?mod
=browse&op=read&id=unmdigilib-unm-faridaarya-304
Aziz, abdul W. 2011. Mahasiswa
Enggan Menulis Ilmiah, Tanya
Kenapa?
http://celotehaziz.blogdetik.com/2
011/04/15/mahasiswa-engganmenulis-ilmiah-tanya-kenapa/
Direktorat Jenderal Dikti Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
2014.
Pedoman Operasional
Penilaian Angka Kredit Kenaikan
Pangkat/Jabatan
Akademik
Dosen. Jakarta.
Dwiloka, Bambang dan Rati Riana.
2012.
Teknis Menulis Karya
Ilmiah. PT Rineka
Cipta. Jakarta.
Krisanto,
Yakub A.
(2014).
Kecenderungan Kurangnya Minat
Mahasiswa dalam Membaca dan
Menulis.
http://www.kompasiana.com/yakuba
di/kecenderungan-kurangnya-minat-
mahasiswa-dalam-membaca-danmenulis_550093aa813311491afa7
b65
11
Larasati, Rahma R. 2014. Faktor-faktor
Penghambat Penulisan Karya
Tulis
Ilmiah
Dalam
Pengembangan
Keprofesian
Berkelanjutan
Guru
SDN
Lempuyangwangi Yogyakarta.
Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta.
Yogyakarta.
Mulyadi, M. 2011.
Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif serta
Pemikiran
Dasar
Menggabungkannya. Jurnal Studi
Komunikasi dan Media. Vol. 15
No. 1.
Resmini, Novi. 2003. Penggunaan
Bahasa dalam Artikel Ilmiah.
Makalah Lokakarya Lomba Karya
Tulis Mahasiswa dan Program
Kreativitas Mahasiswa Tingkat
FPBS UPI. 10 September 2003.
Saihu, Ahmad. 2013. Minat Mahasiswa
Program Studi Seni Rupa
Universitas Negeri Malang dalam
Menulis Karya Ilmiah. Skripsi,
Jurusan Seni dan Desain Fakultas
Sastra
Universitas
Negeri
Malang.
Simatupang, Pantjar. 2003. Analisis
Kebijakan: Konsep Dasar dan
Prosedur Pelaksanaan. Analisis
Kebijakan Pertanian Vol. 1 No. 1.
Soeharso, Y dan Eko H. Widiastuti,
2015. Panduan Penulisan Karya
Ilmiah.
Majalah
Ilmiah
Pawiyatan. Edisi Khusus. Vol.
XXII, No. 2.
Universitas Katolik Parahyangan. 2012.
Pedoman
Penulisan
Tesis.
Program Pasca Sarjana UNPAR.
Bandung.
Universitas Pendidikan Indonesia. 2014.
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
Universitas Pendidikan Indonesia
Tahun 2014. UPI. Bandung.
Usman, M. 2013. Pedoman Penulisan
Skripsi. STIE Widya Dharma.
Surabaya.
12
PENGARUH KEDINAMISAN SUATU KELOMPOK
TERHADAP FUNGSI KELOMPOK
(Studi Kasus Pada Kelompok Perikanan di Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat)
Oleh:
Abdul Hanan
Dosen Jurusan penyuluhan Perikanan Sekolah tinggi Perikanan
ABSTRAK
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia kelompok 63,3% pada rata-rata 3,7 tahun, kelas
kelompok menunjukkan 43,3% berada pada kelas yang tinggi (utama), namun yang berada di
kelas pemula juga persentasenya mencapai 36,6%. Jika dirata-ratakan maka kelas kelompok
di Kabupaten bekasi pada kelas madya. Sebanyak 80% dari kelompok perikanan, jumlah
anggota dengan rata-rata 25 orang. Unsur dinamika kelompok pada interval 53,4 % - 93,3%.
Namun demikian pada unsur “Suasana Kelompok” tidak ada kelompok yang katagorinya
baik, dan pada unsur dinamika kelompok “Keberhasilan kelompok tidak ada kelompok
dengan katgori rendah. Nilai Korelasi Faktor Internal kelompok dan tiga fiungsi kelompok
memperlihatkan unsur “tekanan pada kelompok” berhubungan erat dengan fungsi kelompok
sebagai unir produksi ( 0,378), Sedangkan unsur Keberhasilan kelompok ternyata
berhubungan erat dengan berfungsi baiknya kelompok sebagai kelas belajar (0,400) dan
berhubungan sangat erat pada unit kerjasama (0,771). Nilai Korelasi delapan unsur dinamika
kelompok hanya unsur” pengembangan dan pemeliharaan kelompok yang berhubungan erat
dengan usia kelompok (0,393). Sedangkan usur dinamika kelompok lainnya tidak begitu erat
hubunganya dengan berfungsi atau belum berfungsinya suatu kelompok perikanan. Nilai
Korelasi Antar Unsur Dinamika Kelompok memperlihatkan bahwa tujuan kelompok
berhubungan sangat erat dengan struktur kelompok (0,378) dan unsur pengembangan dan
pemeliharaan kelompok (0,503). Sedangkan unsur pengembangan kelompok berhubungan
erat dengan terbentuknya suasana kelompok yang kondusif (0,422) Nilai Korelasi Antar
Fungsi Kelompok menunjukkan bahwa bila kelompok sebagai unit usaha bersama berfungsi
dengan baik, maka fungsi sebagai kelas belajarpun akan berfungsi dengan baik, dan demikian
sebaliknya. Sedangkan fungsi kelompok yang lain tetap masih ada hubungan yang timbal
balik namum pada kasusu kelompok perikanan di Kabupoaten bekasi belum memperlihatkan
keeratan yang kuat antar fungsi kelompok sebagai kelas belajar dengan sebagai unit produksi.
Kata Kunci: Kelompok, Dinamika, Fungsi, Pelaku Utama
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyuluhan Perikanan adalah
proses pembelajaran bagi pelaku utama
serta pelaku usaha agar mereka mau dan
mampu
menolong
dan
mengorganisasikan
dirinya
dalam
mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan, dan sumberdaya lainnya
sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas,
efisiensi
usaha,
pendapatan, dan kesejahteraannya, serta
meningkatkan
kesadaran
dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Karena tujuan penyuluhan jangka
panjang adalah terjadi peningkatan taraf
hidup masyarakat, maka hal ini hanya
dapat dicapai apabila masyarakat telah
melakukan langkah-langkah sebagai
berikut. A. Better Fisheries, mau dan
mampu mengubah cara-cara usaha
perikanan yang lebih baik, b. Better
Business,
berusaha
yang
lebih
menguntungkan, mau dan mampu
13
menjauhi para pengijon, lintah darat, dan
melakukan teknis pemasaran yang benar,
c. Better living, hidup lebih baik dengan
mampu menghemat, tidak berfoya-foya
dan setelah berlangsungnya masa panen,
bisa
menabung,
bekerja
sama
memperbaiki hygiene lingkungan, dan
mampu mencari alternatif lain dalam hal
usaha, misal mendirikan industri rumah
tangga
yang
lain
dengan
mengikutsertakan keluarganya guna
mengisi kekosongan waktu selama
menunggu panenan berikutnya.
Permasalahan; dalam penelitian ini;
fungsi kelompok belum berjalan sesuai
harapan karena unsur-unsur dinamika
kelompok belum dijalankan, lemahnya
dinamika
kelompok
karena
Kohesi/persatuan,
Motif/dorongan,
Struktur, Pimpinan dan Perkembangan
kelompok yang belum baik, Kompetensi
pembina kelompok belum sepenuhnya
paham pentingnya dinamika kelompok.
Adapun tujuan Penelitian; Menjelaskan
pengaruh unsur dinamika terhadap
fungsi kelompok sebagai kelas belajar,
Menjelaskan pengaruh unsur dinamika
terhad fungsi
kelompok sebagai
wadah kerjasama produksi, Menjelaskan
pengaruh unsur dinamika terhad fungsi
kelompok sebagai unit usaha bersama.
Kegunaan
Penelitian;
Memberikan
kontribusi bagi pengembangan ilmu dan
teknologi yang berkaitan dengan
kelompok, Memberikan masukan kepada
stakeholder terkait dengan kebijakan
pembinaan kelompok.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Kelembagaan Pelaku
Utama
Kelembagaan
pelaku
utama
perikanan adalah kumpulan para pelaku
utama yang terdiri dari nelayan, pembudi
daya ikan, dan pengolah ikan yang
terikat secara informal atas dasar
keserasian dan kebutuhan bersama serta
di dalam lingkungan pengaruh dan
pimpinan seorang ketua kelompok
pelaku utama kelautan dan perikanan.
Kelembagaan pelaku utama kegiatan
perikanan dapat berbentuk kelompok,
gabungan kelompok, asosiasi, atau
korporasi.
Fungsi Kelembagaan Pelaku
Utama Perikanan
a. Wadah Proses Pembelajaran
Sebagai
wadah
proses
pembelajaran, kelembagaan pelaku
utama perikanan merupakan media
interaksi belajar antar pelaku utama
dari anggota kelompoknya.
b. Wahana Kerjasama
Sebagai
wahana
kerjasama,
kelembagaan pelaku utama perikanan
merupakan cerminan dari keberadaan
suatu
kelompok.
Kelembagaan
pelaku utama perikanan harus dapat
berfungsi sebagai wadah kerjasama
antar pelaku utama dalam upaya
mengembangkan kelompok dan
membina kehidupanpelaku utama.
c. Unit Penyedia Sarana dan Prasarana
Produksi Perikanan
Kelembagaan
pelaku
utama
perikanan sebagai unit penyedia
sarana
dan
prasarana,
erat
hubungannya dengan fungsi unit
produksi perikanan. Misalnya dalam
sebuah produksi budidaya ikan
gurame, kelompok dapat berperan
sebagai penyedia benih ataupun
sarana produksi lainnya.
d. Unit Produksi Perikanan
Kelompok pelaku utama perikanan
sebagai
unit
produksi,
erat
hubungannya dengan fungsi wadah
kerjasama.
Misalnya
kelompok
pembudidaya ikan gurame, dalam
pengadaan
sarana
produksi,
perkreditan, dan pemasaran hasil,
sehingga
dengan
melaksanakan
14
kegiatan produksi secara bersamasama akan lebih efisien.
e. Unit Pengolahan dan Pemasaran
Kelompok pelaku utama perikanan
sebagai
unit
pengolahan
dan
pemasaran, erat hubungannya dengan
fungsi wadah kerjasama. Misalnya
kelompok pengolah hasil perikanan,
dalam
melaksanakan
kegiatan
pengolahan dan pemasaran hasil
secara bersama-sama akan lebih
efisien serta dapat menjamin
kestabilan harga produk.
f. Unit Jasa Penunjang
Kelembagaan
pelaku
utama
perikanan juga dapat berfungsi
sebagai sebuah unit usaha yang
mengelola usaha diluar usaha
pokoknya seperti jasa penyewaan,
jasa percontohan, jasa konsultasi, dan
lain-lain.
g. Organisasi Kegiatan Bersama
Kelembagaan pelaku utama berfungsi
sebagai organisasi kegiatan bersama
dimana pelaku utama akan belajar
mengorganisasi
kegiatan
secara
bersama-sama melalui pembagian
dan pengkoordinasian pekerjaan
dengan mengikuti tata tertib sebagai
hasil kesepakatan bersama.
mempermudah
pemasarannya.
dalam
akses
Dinamika Kelompok
Istilah
dinamika
kelompok
berasal dari bahasa inggris ”dynamics”
yang berarti mempunyai gairah atau
semangat untuk bekerja. Dengan
demikian pengertian dinamika kelompok
ditinjau dari istilah mengandung arti
yaitu berkelompok yang selalu memiliki
gairah dan semangat untuk bekerja. Sisi
lain dinamika berarti adanya interaksi,
saling
mempengaruhi
dan
interdependensi
antara
anggota
kelompok satu sama lain secara timbal
balik diantara anggota kelompok dengan
kelompok secara keseluruhan. Menurut
Santoso (2004) dijelaskan bahwa;
Dinamika berarti tingkah laku warga
yang
satu
secara
langsung
mempengaruhi warga yang lain secara
timbal balik. Dinamika berarti adanya
interaksi dan interdependensi antara
anggota klpk yang satu dgn anggota
yang lain secara timbal balik dan antara
anggota dengan kelompok secara
keseluruhan.
Selanjutnya disebutkan
bahwa selama ada kelompok, semangat
kelompok (group spirit) terus-menerus
HIDUP dalam kelompok itu. Dan setiap
saat kelompok yang bersangkutan dapat
berubah
h. Kesatuan Swadaya dan Swadana
Kelembagaan
pelaku
utama
perikanan sebagai kesatuan swadaya
dan
swadana
merupakan
kelembagaan yang mandiri, baik
dalam hal penyelesaian masalah
bersama maupun dalam penguatan
dan pengembangan modal usaha
anggota,
misalnya
melakukan
pemupukan modal bersama untuk
menyediakan modal bagi anggotanya
melalui
penumbuhan
budaya
menabung, iuran, dan sebagainya.
Dengan
demikian,
anggota
mendapatkan kemudahan dalam
mendapatkan modal usaha, bermitra
dengan lembaga keuangan, serta
Dinamika
Kelompok
merupakan suatu kelompok yang terdiri
dari dua atau lebih individu yang
memiliki hubungan psikologis secara
jelas antara anggota satu dengan yang
lain dan berlangsung dalam situasi yang
dialami (Purnawan, 2004). Hubungan
psikologis yang jelas antara anggota
kelompok yang satu dengan yang lain.
Dinamika kelompok berkaitan erat
dengan
tujuan
dan
fungsi
penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan.
Kelompok harus bisa produktif, harus
bisa menghasilkan sesuatu, bermanfaat
bagi anggotanya. Agar kelompok
produktif, kelompok harus dinamis.
15
Untuk bisa dinamis, unsur-unsur
dinamika sebagai kekuatan kelompok
tersebut harus terpenuhi. Unsur-unsur
dinamika kelompok tersebut adalah:
1. Tujuan Kelompok
Tujuan kelompok dapat diartikan
sebagai gambaran yang diharapkan
angota yang akan dicapai
oleh
kelompok. Tujuan kelompok harus jelas
dan diketahui oleh seluruh anggota.
Untuk mencapai tujuan kelompok
tersebut diperlukan aktivitas bersama
oleh para anggota. Hubungan antara
tujuan kelompok dengan tujuan anggota
bisa : a) sepenuhnya bertentangan, b)
sebagian bertentangan, c) netral, d)
searah dan e) identik. Dengan demikian
bentuk
hubungan
a
tidak
menguntungkan dan bentuk d adalah
yang paling baik.
2. Struktur Kelompok
Struktur kelompok adalah bentuk
hubungan
antara
individu-individu
dalam kelompok sesuai posisi dan
peranan
masing-masing.
Struktur
kelompok harus sesuai/mendukung
tercapainya tujuan kelompok. Yang
berhubungan dengan struktur kelompok
yaitu:
a) Struktur Komunikasi, b) Struktur
Tugas Atau Pengambilan Keputusan,
c) Struktur Kekuasaan Atau
Pengambilan Keputusan, d) Sarana
Terjadinya Interaksi
3. Fungsi Tugas
Fungsi tugas adalah segala
kegiatan yang harus dilakukan kelompok
dalam rangka mencapai tujuan. Secara
keseluruhan fungsi ini sebaiknya
dilakukan
dengan
kondisi
menyenangkan, dengan kondisi yang
menyenangkan dapat menjamin fungsi
tugas ini dapat terpenuhi. Kriteria yang
dipergunakan pada fungsi tugas ini
terpenuhi atau tidak adalah terdapatnya:
a) Fungsi Memberi Informasi, b) Fungsi
Koordinasi, c) Fungsi Memuaskan
Anggota, d) Fungsi Berinisiatif, e)
Fungsi Mengajak Untuk Berpartisipasi,
f) Fungsi Menyelaraskan
4. Mengembangkan Dan Membina
Kelompok
Mengembangkan dan membina
kelompok dimaksudkan sebagai usaha
mempertahankan kehidupan kelompok,
kehidupan berkelompok dapat dilihat
dari adanya kegiatan, yaitu: a)
Mengusahakan/mendorong agar semua
anggota kelompok ikut berpartisipasi
dalam setiap kegiatan kelompok.
Tersedianya
fasilitas,
b)
Mengusahakan/mendorong
menumbuhkan kegiatan, c) Menciptakan
norma kelompok. Norma kelompok ini
adalah sebagai acuan anggota kelompok
bertindak, d) Mengusahakan adanya
kesempatan anggota baru, baik untuk
menambah jumlah maupun mengganti
anggota yang keluar, e) Berjalannya
proses
sosialisasi.
Untuk
mensosialisasikan adanya anggota baru
adanya norma kelompok adanya
kesepakatan, dan sebagainya.
5. Kekompakan Kelompok
Kekompakan
kelompok
menunjukkan tingkat rasa untuk tetap
tinggal dalam kelompok, hal ini dapat
berupa : loyalitas, rasa memiliki, rasa
keterlibatan, dan keterikatan.
Terdapat enam faktor yang
mempengaruhi kekompakan kelompok
yaitu: 1) Kepemimpinan Kelompok, 2)
Keanggotaan Kelompok, 3) Nilai Tujuan
Kelompok, 4) Homogenitas Angota
Kelompok, 5) Keterpaduan Keiatan
Kelompok,
6)
Jumlah
Anggota
Kelompok
6. Suasana Kelompok
Suasana
kelompok
adalah
keadaan moral, sikap dan perasaan
16
bersemangat atau apatis yang ada dalam
kelompok, suasana kelompok yang baik
bila
anggotanya
merasa
saling
menerima, saling menghargai, saling
mempercayai dan bersahabat. Faktorfaktor yang mempengaruhi suasana
kelompok adalah: a) hubungan antar
anggota, b) kebebasan berpartisipasi, c)
lingkungan fisik yang mendukung.
7. Tekananan pada Kelompok
Tekanan
pada
kelompok
dimaksudkan adalah adanya tekanantekanan dalam kelompok yang dapat
menimbulkan
ketegangan,
dengan
adanya
ketegangan
akan
timbul
dorongan untuk mempertahankan tujuan
kelompok. Tekanan kelompok yan
cermat, dan terukur akan dapat
mendinamiskan kelompok, bila tidak
justru akan berakibat sebaliknya.
8. Efektifitas Kelompok
Efektifitas kelompok adalah
keberhasilan dalam melaksanakan tugastugas kelompok dalam mencapai tujuan.
Semakin banyak tujuan yang dapat
dicapai, semakin banyak keberhasilan,
anggota kelompok akan semakin puas.
Bila anggota kelompok merasa puas
kekompakan dan kedinamisan kelompok
akan semakin kuat.
KERANGKA PIKIR PENELITIAN
KARAKTERISTIK INTERNAL
KELOMPOK (X1)
1. Umur Kelompok (X1.1)
2. Kelas kelompok (X1.2)
3. Jumlah anggota (X1.3)
FUNGSI KELOMPOK (Y)
UNSUR DINAMIKA KELOMPOK (X2)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1. Unit belajar (Y1)
2. Unit Produksi (Y2)
3. Unit usaha bersama (Y3)
Tujuan Kelompok (X2.1)
Struktur Kelompok (X2.2)
Fungsi Tugas (X2.3)
Pengembangan Kelompok (X2.4)
Kekompakan Kelompok (X2.5)
Suasana Kelompok (X2.6)
Tekanan Kelompok (X2.7)
Keberhasilan Kelompok (X2.8)
4. Dinamika kelompok mempengaruhi
HIPOTESIS PENELITIAN
1. Karakteristik Internal mempengaruhi
fungsi kelompok
sebagai fungsi wadah kerjasama
usaha
2. Dinamika kelompok mempengaruhi
fungsi kelompok sebagai unit kelas
belajar
3. Dinamika kelompok mempengaruhi
sebagai fungsi wadah unit produksi
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian berupa kasus dengan
sifat korelatif deskriptif. Bertujuan
menjelaskan
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan terbentuknya jenis
17
kelompok. Penelitian dilakukan pada
Bulan Maret sampai April 2015, pada 35
kelompok perikanan yang ada di
Kabupten Bekasi. Data dikumpulkan
melalui daftar pertasnyaan, wawancara
mendalam, dan kajian terhadap data
sekunder..
Analisa data dilakukan
secara deskriftif, analisa kualitatif
dilakukan untuk semua tujuan penelitian,
analisa kuantitatif dilakukan untuk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini
adalah
kelompok
pelaku
utama
perikanan yang dimbil secara rendom.
menguji hipotesis yang diajukan.
karakteristik internal dan karakteristik
eksternal serta karakteristik inovasi
diukur dengan menggunakan distribusi
frekuensi dan nilai tengah.
Untuk
mengetahui hubungan antar peubah
dilakukan analisis hubungan dengan
koefisien korelasi Spearman, sebagai uji
korelasi bagi data non parametrik.
Karakteriktik
internal
responden
penelitian yaitu umur kelompok, Tingkat
Kelas Kelompok, jumlah anggota yang
dianalisis
dengan
pengkatagorian,
persentase, interval dan rata-rata , seperti
pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran Karakteriktik Internal
PERSENTASE
(N=30)
NO
KARAKTERISTIK
KATAGORI
1
UMUR KELOMPOK
2
KELAS KELOMPOK
3
JUMLAH
ANGGOTA
Muda
(<1,2 th)
Sedang (1,2 – 6,2th)
Tua
(>6,2 th)
Rendah (1)
Sedang (2)
Tinggi
(3)
Kurang (< 8)
Sedang (8 - 42)
Besar (> 42)
Pada Tabel 1 memperlihatkan
bahwa usia kelompok 63,3% pada
kisaran usia sedang (1,2 -6,2) tahun
dengan rata-rata 3,7 tahun, Kisaran umur
kelompok tersebut merupakan usia
produkstif dalam berkelompok, dalam
arti seharunya dapat memperlihat
kedinamisan kelompok yang bisa
diamamti dari segi fungsi kelompoknya.
Dari segi tingkat kerlas kelompok
menunjukkan 43,3% berada pada kelas
yang tinggi (utama), namun yang berada
( 8) 26,7%
(19) 63,3%
( 3) 10%
(11) 36,7%
(6) 20%
(13) 43,3%
(5) 16,7%
(24) 80%
(1) 3,3%
INTERVAL
RATARATA
1 – 11 th
3,7 th
1-3
2
7 -50 orang
25
orang
di
kelas
pemula
juga
hampir
persentasenya yaitu mencapai 36,6%,
Jika dirata-ratakan maka kelas kelompok
di Kabupaten bekasi pada kelas madya..
Jumalah anggota kelompok yang terdata
menunjukkan bahwa 80% jumlah
anggota tiap kelompok katagorinya
cukup (antara 8 – 42 orang) dengan ratarata 25 orang. Hal tersebut sudah sesuai
dengan pedoman bahwa maksimal
jumlah anggota kelompok 30 orang.
18
Tabel 2. Sebaran Karakteriktik Dinamika Kelompok
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
KARAKTERISTIK
DINAMIKA
KELOMPOK
Tujuan Kelompok
Struktur Kelompok
Fungsi Tugas
Pengembangan
Kelompok
Kekompakan Kelompok
Suasana Kelompok
Tekanan Kelompok
Keberhasilan Kelompok
KATAGORI
PERSENTASE
(N=30)
INTERVAL
RATARATA
R=5
S = 22
T=3
16,7%
73,3%
20%
1 – 3,4
2,3
R=5
S = 18
T=7
16,7%
60%
23,3%
1,5 – 3,5
2,53
R=3
S =25
T=2
10%
83,3%
6,7%
1,6-3,2
2,53
R=5
S = 19
T=6
16,7%
63,3%
20%
1,5-3,5
2,4
R=5
S= 19
T=6
16,7%
66,3%
17%
1,5-3,7
2,7
R=4
S =26
T=0
13,3%
86,7%
0
1,7-4
3,22
R=7
S=16
T=7
23,3%
53,4%
23,3%
2-4
3,23
R=0
S = 28
T=2
0%
93,3%
6,7%
2-4
2,7
Pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa ke
delapan unsur kelompok pada kelompok
perikanan di Kabupaten Bekasi pada
interval 53,4 % - 93,3%.
Namun
demikian
pada
unsur
dinamika
kelompok “Suasana Kelompok” tidak
ada kelompok yang katagorinya baik, dn
pada
unsur
dinamika
kelompok
“Keberhasilan kelompok tidak ada
kelompok dengan katori rendah. Tujuan
kelompok dapat diartikan sebagai
gambaran yang diharapkan angota yang
akan dicapai oleh kelompok. Tujuan
kelompok harus jelas dan diketahui oleh
seluruh anggota. Untuk mencapai tujuan
kelompok tersebut diperlukan aktivitas
bersama oleh para anggota. Hubungan
antara tujuan kelompok dengan tujuan
anggota bisa : a) sepenuhnya
bertentangan, b) sebagian bertentangan,
c) netral, d) searah dan e) identik.
Dengan demikian bentuk hubungan a
tidak menguntungkan dan bentuk d
adalah yang paling baik.
Struktur kelompok adalah bentuk
hubungan
antara
individu-individu
dalam kelompok sesuai posisi dan
peranan
masing-masing.
Struktur
kelompok harus sesuai/mendukung
tercapainya tujuan kelompok. Fungsi
tugas adalah segala kegiatan yang harus
dilakukan kelompok dalam rangka
mencapai tujuan. Secara keseluruhan
fungsi ini sebaiknya dilakukan dengan
kondisi menyenangkan, dengan kondisi
19
yang menyenangkan dapat menjamin
fungsi tugas ini dapat terpenuhi.
Mengembangkan
dan
membina
kelompok dimaksudkan sebagai usaha
mempertahankan kehidupan kelompok,
kehidupan berkelompok dapat dilihat
dari
adanya
kegiatan,
yaitu:
Mengusahakan/mendorong agar semua
anggota kelompok ikut berpartisipasi
dalam setiap kegiatan kelompok.
Kekompakan
kelompok
menunjukkan tingkat rasa untuk tetap
tinggal dalam kelompok, hal ini dapat
berupa : loyalitas, rasa memiliki, rasa
keterlibatan, dan keterikatan. Terdapat
enam faktor yang mempengaruhi
kekompakan
kelompok
yaitu:
Kepemimpinan Kelompok, Keanggotaan
Kelompok, Nilai Tujuan Kelompok,
Homogenitas
Angota
Kelompok,
Keterpaduan Keiatan Kelo, Jumlah
Anggota Kelompok. Suasana kelompok
adalah keadaan moral, sikap dan
perasaan bersemangat atau apatis yang
ada dalam kelompok, suasana kelompok
yang baik bila anggotanya merasa saling
menerima, saling menghargai, saling
mempercayai dan bersahabat. Tekanan
pada kelompok dimaksudkan adalah
adanya
tekanan-tekanan
dalam
kelompok yang dapat menimbulkan
ketegangan, dengan adanya ketegangan
akan
timbul
dorongan
untuk
mempertahankan tujuan kelompok.
Tekanan kelompok yan cermat, dan
terukur akan dapat mendinamiskan
kelompok, bila tidak justru akan
berakibat
sebaliknya.
Efektifitas
kelompok adalah keberhasilan dalam
melaksanakan tugas-tugas kelompok
dalam mencapai tujuan. Semakin banyak
tujuan yang dapat dicapai, semakin
banyak keberhasilan, anggota kelompok
akan semakin puas. Bila anggota
kelompok merasa puas kekompakan dan
kedinamisan kelompok akan semakin
kuat.
.
Tabel 3. Sebaran Karakteriktik Fungsi Kelompok
NO
FUNGSI
KELOMPOK
Unit belajar
1
Unit Produksi
2
Unit usaha
bersama
3
KATAGORI
PERSENTAS
E (N=30)
INTERVAL
RERATA
Rendah
(< 2,3 )
Sedang (2,3 – 3,1)
Tinggi
(> 3,1)
6 (20%)
24 (80%)
0
1–3
2,8
Rendah
(< 2,1)
Sedang (2,1 – 3,1)
Tinggi
(> 3,1)
12 (40%)
18 (60%)
0
1–3
2,6
Rendah
Sedang
Tinggi
1 (3%)
26 (87%)
3 (10%)
1–4
2,8
(< 1,1)
(1,1 – 3,5)
(> 3,5)
Berdasarkan hasil analisis seperti
pada Tabel 3, menunjukkan bahwa dari
ketiga fungsi kelompok yang dianalisis,
tidak ada satupun kelompok perikanan
yang menjalankan fungsi sebagai unit
berlajar pada katagori baik. Sebanyak
80% kelompok perikanan di Kabupaten
Bekasi menjalankan fungsi kelomp0k
sebagai unit belajar pada katagori cukup
baik, dan hanya 20% jumlah kelompok
yang katogori menjalankan fungsi unit
belajarnya. Pada menjalankan fungsi
kelompok sebagai Unit produksi 40%
kelompok belum menjalankan fungsi
tersbut dcengan baik (rendah), dan
sisaanya sebanyak 60% pada katagori
20
cukup baik. Dengan demikian belum ada
satupun kelompok dengan katagori
menjalankan fungsinya dengan baik.
Fungsi kelompok sebagai unit usaha
bersama ssudah ada 10% dari jumlah
kelompok yang katagorinya sudah baik
dalam menjalankan fungsi tersbut,
sedangkan yang katagorinya rendah
masih ada 3% dan sisanya sebanyak
87% pada katagori cukup baik.
Tabel 4. Nilai Korelasi Faktor Internal kelompok Dengan Fungsi Kelompok.
NO
1
2
3
FAKTOR INTERNAL
USIA KELOMPOK
TINGKAT KELAS KELOMPOK
JUMLAH ANGGOTA
FUNGSI KELOMPOK
UNIT BELAJAR
UNIT
UNIT USAHA
PRODUKSI
BERSAMA
0,154
0,065
0,208
0.039
0,029
0,164
0.095
0,118
0,198
Pada tabel 4. Terlihat bahwa faktor
internal kelompok yang meliputi: umur
kelompok jumlah anggota kelompok,
tidak ada yang berhubungan erat dengan
fungsi kelompok baik sebagai kelas
belajar, unit produksi, dan unit usaha
bersama.
Sebagai
wadah
proses
pembelajaran, kelembagaan pelaku
utama perikanan seharunya merupakan
media interaksi belajar antar pelaku
utama dari anggota kelompoknya.
Mereka dapat melakukan proses
interaksi edukatif dalam rangka:
mengadopsi teknologi inovasi; saling
asah, asih dan asuh dalam menyerap
suatu informasi dengan fasilitator atau
pemandu dari penyuluh perikanan;
mengambil kesepakatan dan tindakan
bersama apa yang akan diambil dari
sebuah kegiatan bersama. Dengan
demikian proses kemandirian kelompok
akan dapat tercapai. Didalam kelompok
sebagai kelas belajar para pelaku utama
akan dapat melakukan komunikasi multi
dimensional.
Mereka
dapat
mempertukarkan pengalaman masingmasing, sehingga akan membuat pelaku
utama semakin dewasa untuk dapat
keluar dari masalahnya sendiri, tanpa
adanya ketergantungan dari penyuluh
perikanan.
Sebagai wahana kerjasama,
kelembagaan pelaku utama perikanan
merupakan cerminan dari keberadaan
suatu kelompok. Kelembagaan pelaku
utama perikanan harus dapat berfungsi
sebagai wadah kerjasama antar pelaku
utama dalam upaya mengembangkan
kelompok dan membina kehidupan
pelaku utama. Kelompok pelaku utama
perikanan sebagai unit produksi, erat
hubungannya dengan fungsi wadah
kerjasama.
Misalnya
kelompok
pembudidaya ikan gurame, dalam
pengadaan sarana produksi, perkreditan,
dan pemasaran hasil, sehingga dengan
melaksanakan kegiatan produksi secara
bersama-sama akan lebih efisien.
21
Tabel 5. Nilai Korelasi Unsur Dinamika Kelompok dengan Fungsi kelompok
NO
UNSUR DINAMIKA KELOMPOK
1
2
3
4
TUJUAN KELOMPOK
STRUKTUR KELOMPOK
FUNGSI TUGAS
PENGEMBANGAN/PEMELIHARAAN
KELOMPOK
5
KEKOMPAKAN ANGGOTA KELOMPOK
6
SUASANA KELOMPOK
7
TEKANAN PADA KELOMPOK
8
KEBERHASILAN KELOMPOK
Ket: * nyata pada 0,05, ** nyata pada 0,01
Pada Tabel 5 memperlihatkan
bahwa ddari ke 8 Unsur dinamika
kelompok,
unsur
“tekanan
pada
kelompok” berhubungan erat dengan
fungsi kelompok sebagai unir produksi.
Artinya semakin tekanan pada kelompok
tinggi dalam hal menghasilkan produksi
untuk bisa sama dan melibihi kelompok
lain akan semakin meningkatkan fungsi
kelompok sebagai unit produksi yaitu
menghasilkan produks sesuai dengan
usaha yang dijalankan oleh kelompok,
baik sebagai kelompok pembenih ikan
yang menghasilkan benih ikan, maupun
KELAS
BELAJAR
0,060
0,103
0,023
0,092
FUNGSI KELOMPOK
UNIT
UNIT USAHA
PRODUKSI
BERSAMA
0,069
0,150
0,179
0,198
0,187
0,157
0,270
0,058
0,202
0,246
0,196
0,400*
0,158
0,296
0,378*
0,771**
0,175
0,288
0,139
0,290
kelompok pembesaran ikan yang
menghasilkan
ikan
konsumsi.
Sedangkan
unsur
Keberhasilan
kelompok ternyata berhubungan erat
dengan berfungsi baiknya kelompok
sebagai kelas belajar dan berhungan
sangat erat pada unit kerjasama. Hal
tersbur dapat dijelaskan bahwa pada
kelompok-kelompok yang dibina dan
unsur dinamika kelompok berupa
keberhasilan kelompok ckup baik, maka
fungsi kelompoknya akan berjalan
dengan
sangat
baik
pula.
Tabel 6. Nilai Korelasi Unsur Dinamika Kelompok Dengan Faktor Internal Kelompok
NO
UNSUR DINAMIKA KELOMPOK
1
2
3
4
FAKTOR INTERNAL KELOMPOK
UMUR
TINGKAT
JUMLAH
KELOMPOK
KELAS
ANGGOTA
KLP
0,205
0,088
0,253
0,233
0,300
0,029
0,152
0,153
0,334
0,102
0,261
0,393*
TUJUAN KELOMPOK
STRUKTUR KELOMPOK
FUNGSI TUGAS
PENGEMBANGAN/PEMELIHARAAN
KELOMPOK
5
KEKOMPAKAN ANGGOTA KELOMPOK
6
SUASANA KELOMPOK
7
TEKANAN PADA KELOMPOK
8
KEBERHASILAN KELOMPOK
Ket. * Signifikan pada pada 0,05, ** Signifikan pada level 0,01
Pada tabel 6. Dari delapan unsur
dinamika kelompok hanya unsur”
pengembangan
dan
pemeliharaan
0,019
0,194
0,124
0,109
0,093
0,042
0,199
0,043
0,151
0,138
0,232
0,071
kelompok yang berhubungan erat
dengan usia kelompok. Hal tersebut
menunjukkan bahwa berkembangnya
22
kelompok perikanan
yang ada di
Kabueoten Bekasi dipengaruhi atau
sangat berhubungan dengan lamanya
kelompok tersebut beridiri. Sedangkan
usur dinamika kelompok lainnya tidak
begitu
erat
hubunganya
dengan
berfungsi atau belum berfungsi baiknya
suatu kelompok perikanan
Tabel 7. Nialai Korelaski antar Usur Dinamika Kelompok
NO
UNSUR
NO UNSUR DINAMIKA KELOMPOK
DINAMIKA
1
2
3
4
5
6
7
KELOMPOK
1
TUJUAN
1
0,281 0,231
0,379 0,301 0,503* 0,357
KELOMPOK
**
*
2
STRUKTUR
1
0,081
0,309
0,531* 0,242 0,056
KELOMPOK
*
3
FUNGSI TUGAS
1
0,095
0,066
0,091 0,102
4
PENGEMBANGAN/
1
0,289
0,422 0,314
PEMELIHARAAN
*
KELOMPOK
5
KEKOMPAKAN
1
0,295 0,250
ANGGOTA
KELOMPOK
6
SUASANA
1
0,307
KELOMPOK
7
TEKANAN PADA
1
KELOMPOK
8
KEBERHASILAN
KELOMPOK
Ket: * Siginifikan pada level 0,05, ** Signifikan pada level 0,01 .
Pada tabel 7 memperlihatkan
bahwa tujuan kelompok berhubungan
sangat erat dengan struktur kelompok
dan
unsur
pengembangan
dan
pemeliharaan kelompok. Hal ini bisa
dijelaskan bahwa kelompok yang
memilkiki tujuan yang jelas akan
berdampak pada terbentuknya struktur
kelompok yang baik dan benar, dan akan
sangat erat dalam pengembangan
8
0,060
0,103
0,273
0,251
0,193
0,102
0,344
1
kelompom tersebut. Struktur kelompok
yang baik dan benar juga akan
berhubungan sangat erat dengan
terjadinya kekompakan kelompok dalam
menjalankan
fungsi-fungsi
kelompoknya.
Sedangkan unsut
pengembangan kelompok berhubungan
erat dengan terbentuknya suasana
kelompok yang kondusif..
Nilai Korelasi Antar Fungsi Kelompok
Tabel 8. Nilai Korelasi Antar Fungsi kelompok
NO
UNSUR DINAMIKA KELOMPOK
KELAS
BELAJA
R
1
KELAS BELAJAR
1
2
UNIT KERJASAMA
0,354
3
UNIT USAHA BERSAMA
0,879**
Ket; * Signifikan pada level 0,05, ** Signifikan pada level 0,01
FUNGSI KELOMPOK
UNIT
UNIT
PRODUKSI
USAHA
BERSAMA
0,354
0,879**
1
0,311
0,311
1
23
Pada Tabel 8. Menunjukkan bahwa
bila kelompok sebagai unit usaha
bersama berfungsi dengan baik, maka
fungsi sebagai kelas belajarpun akan
berfungsi dengan baik, dan demikian
sebaliknya. Sedangkan fungsi kelompok
yang lain tetap masih ada hubungan
yang timbal balik namum pada kasusu
kelompok perikanan di Kabupoaten
bekasi belum memperlihatkan keeratan
yang kuat antar fungsi kelompok sebagai
kelas belajar dengan sebagai unit
produksi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Umur kelompok perikanan yang ada
di Kbaupaten Bekasi relatif masih
muda yaitu rata-rata baru 3,7 tahun
dengan kelas kelompok rata-rata
madya, dan jumlah anggota relatif
cukup yaitu 25 oanggota per
kelompok
2. Ke delapan unsur dinamika kelompok
pada 53,4% sampai 93,3% pada
katagori cukup, yang pada katagori
tinggi hanya 23,3% yaitu pada unsur
tekanan pada kelompok.
3. Fungsi kelompok persentase tertinggi
pada katagori sedang (60-87%), pada
katagori tinggi hanya 10% pada
fungsi unit usaha bersama, sedang
pada unit kelas belajar dan nunit
produksi tidak ada katagori tinggi.
4. Nilai
korelasi
faktor
internal
kelompok tidak yang berhubungan
erat dengan fungsi kelompok
5. Unsur dinamika kelompok yang
berhubungan erat dengan fungsi
kelompok yaitu unsur tekanan pada
kelompok
dan
keberhasilan
kelompok,
sedangkan
yang
berkorelasi kuat dengan
internal kelompok pada
pengembangan kelompok..
faktor
unsur
Saran
1.
Pembinaan terhadap unsur-unsur
dinamika kelompok sangat penting
dalam upaya peningkatan fungsi
kelompok
2.
Pemahaman
tentang
unsur
dinamika kelompok dan fungsi
kelompok oleh anggota kelompok
sangat penting dalam peningkatan
produktivitas kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous,
1980.
”Pembinaan
Kelompoktani”.
Pusat
Penyuluhan
Pertanian,
Departemen
Pertanian,
Jakarta.
..................., 2006. Undang-Undang
Sistem
Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan,
Nomor
16.
Tahun 2006.
.................., 2011. Per MenKP no.
14/2011
Pedoman
Penumbuhan Kelambagaan
Pelaku Utama Perikanan.
Pranoto, J dan Suprapti, W. 2006.
Membangun Kerjasama Tim
(Team Building). Lembaga
Administrasi
Negara
–
Republik Indonesia, Jakarta.
Mardikanto. T, 1993. Penyuluhan
Pembangunan
Pertanian.
Sebelas Maret University
Press, Surakarta.
Margono Slamet, 1989. “Kumpulan
Bacaan
Penyuluhan
Pertanian”..
Institut
Pertanian Bogor.
24
Kerlinger,
F.N., 2002.
Asas-asas
Penelitian
Behavioral.
Diterjemahkan landing R.
Simatupang.
Yogyakarta:
Gajah mada University Press.
Rogers, E.M. & FF Shoemaker, 1987.
Memasyarakatkan
Ide-Ide
baru.
Disarikan oleh
Abdillah hanafi. Surabaya:
Usaha Nasional.
25
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA PENYULUHAN
(Kasus pada Kelompok Ranca Kembang Desa Luhur Jaya
Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi Banten)
Oleh :
Nayu Nurmalia, Ani Leilani, Muh. Patekkai
Dosen Jurusan Penyuluhan Perikanan Sekolah Tinggi Perikanan
ABSTRAK
Media penyuluhan merupakan salah satu unsur yang terpenting dalam kegiatan
penyuluhan. Penggunaan media massa contohnya, yang harus dipertimbangkan dalam
penggunaannya adalah peranannya dalam program penyuluhan, penggunaannya
secara efektif. Yang penting adalah efek yang diharapkan, dan cara menggunakannya
untuk menjamin agar arti pesan menjadi sejelas mungkin. Pilihan terhadap media
massa yang digunakan, dan perbedaan antara media massa dan komunikasi anatar
pribadi. Penggunaan media menjadi sangat penting dalam rangka adopsi inovasi oleh
pelaku utama perikanan. Dari proses adopsi inovasi dan media yang digunakan juga
bisa memperlihatkan tingkat efektifitas masing-masing media. Tujuan dari penelitian
ini adalah mengetahui tingkat efektifitas penggunaan media penyuluhan pada
kelompok pembudidayaikan Ranca Kembang. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Januari sampai Februari 2014 yang berlokasi penelitian di Desa Luhur Jaya
Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan jumlah sample
sebanyak 30 orang. Data kemudian dianalisis dengan uji Koefisien Korelasi Pearson.
Faktor internal berhubungan dengan faktor eksternal pembudidaya ikan tingkat
pendidikan, tingkat kekosmopolitan dan tingkat keinovatifan. Sedangkan faktor
eksternal pembudidaya yang berhubungan dengan faktor internal adalah materi
penyuluhan, kemasan penyuluhan dan penyajian penyuluhan. Faktor internal
pembudidaya ikan (umur, pendidikan, tingkat kebutuhan, tingkat kekosmolitan dan
tingkat keinovatifan) tidak menunjukkan hubungan dengan penggunaan media
penyuluhan baik berupa media cetak maupun media tertayang. Faktor Eksternal yang
mempunyai hubungan sangat erat dengan penggunaan media penyuluhan yaitu untuk
materi berhubungan erat dengan penggunaan media brosur dan film. Faktor eksternal
kemasan media berhubungan dengan penggunaan media peta singkap. Sedangkan
faktor eksternal penyajian media penyuluhan berhubungan erat dengan penggunaan
media penyuluhan berupa leaflet, peta singkap dan majalah.
Kata Kunci: media penyuluhan, adopsi inovasi, kelompok, pelaku utama.,
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyelenggaraan
penyuluhan
merupakan proses pembelajaran bagi
pelaku utama serta pelaku usaha agar
mereka mau dan mampu menolong serta
mengorganisasikan
dirinya
dalam
mengakses informasi pasar, teknologi
pemodalan, dan sumberdaya lainnya
sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas,
efisiensi
usaha,
pendapatan dan kesejahteraannya, serta
meningkatkan
kesadaran
dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Penyelenggaraan
penyuluhan
diharapkan mampu memberikan suatu
perubahan sosial baik pada individu
26
maupun masyarakat agar dapat terwujud
perubahan yang lebih baik sesuai dengan
yang diharapkan. Dari pelaksanaan
penyuluhan
tersebut
diharapkan
masyarakat mampu mendapatkan atau
mengembangkan
pengetahuan,
keterampilan serta perilakunya maupun
keluarganya. Oleh karena itu, proses dan
penyelenggaran penyuluhan harus dibuat
sedemikian rupa agar masyarakat mau,
mampu, tertarik, dan ikut serta dalam
penyelenggaraanpenyuluhan
sehingga
mampu mewujudkan harapan yang
diinginkan.
Salah satu unsur penting yang
perlu
diperhatikan
dalam
penyelenggaraan penyuluhan adalah
pemilihan Media penyuluhan. Dimana
media penyuluhan merupakan segala
sesuatu yang berisi pesan atau informasi
yang
dapat
membantu
kegiatan
penyuluhan.
Media
penyuluhan
perikanan digunakan dalam rangka
mengefektifkan penyampaiaan pesan
pada
proses
komunikasi
antara
penyampai pesan dengan masyarakat
sasaran penyuluhan. Pada faktanya,
proses komunikasi dalam hal ini
penyampaian informasi yang hanya
menggunakan kata-kata atau tanpa media
jarang bisa dimengerti oleh sasaran
penyuluhan sehingga diperlukan adanya
media penyuluhan
yang mampu
membantu dalam proses penyampaian
pesan.
Penggunaan media setidaknya
mampu memberikan banyak manfaat
seperti; mempermudah dan mempercepat
sasaran dalam menerima pesan, mampu
menjangkau sasaran yang lebih luas, alat
informasi yang akurat dan tepat, dapat
memberikan gambaran yang lebih
kongkrit, baik unsur gambar maupun
geraknya, lebih atraktif dan komunikatif,
dapat menyediakan lingkungan belajar
yang amat mirip dengan lingkungan
kerja sebenarnya, memberikan stimulus
terhadap banyak indera, dapat digunakan
sebagai latihan kerja dan latihan
simulasi.
Pemilihan penggunaan media
penyuluhan merupakan faktor yang
mutlak diperlukan karena mampu
mempengaruhi efektivitas
kegiatan
penyuluhan yang dilaksanakan. Sebagai
contoh,
peningkatan
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap masyarakat
merupakan
hasil
suatu
proses
pembelajaran
dalam
kegiatan
penyuluhan,
dimana
keberhasilan
tersebut sangat dipengaruhi oleh
efektivitas penggunaan media. Oleh
karenanya, dalam rangka mengefektifkan
penggunaan
media
penyuluhan
seyogyanya ada beberapa hal yang
diperlukan dalam pemilihan media
penyuluhan yakni: tujuan perubahan,
karakteristik
sasaran,
strategi
komunikasi, isi pesan, biaya dan
karakteristik wilayah.
Berdasarkan
pertimbangan
tersebut,
penelitian
yang
akan
dilaksanakan pada kelompok Ranca
Kembang
Kecamatan
Cipanas
Kabupaten Lebak adalah efektifitas
penggunaan media penyuluhan terhadap
peningkatan kemampuan pelaku utama.
Dari hasil penelitian tersebut, nantinya
diharapkan akan diperoleh hasil dan
kajian tentang penggunaan media
penyuluhan
yang
efektif
yang
diadasarkan
pada
karakteristik
penyelenggaran penyuluhan baik dari
aspek sasaran, pengirim pesan, isi pesan
serta kondisi wilayah tersebut.
27
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui
tingkat
efektifitas
penggunaan media penyuluhan pada
kelompok pembudidaya ikan Ranca
Kembang Desa Luhur Jaya Kecamatan
Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi Jawa
Barat.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Kemampuan pelaku utama
dapat ditingkatkan melalui penyampaian
informasi tentang pengetahuan dan
keterampilan yang terkait dengan usaha
yang dilakukan oleh pelaku utama.
Penyampaian
informasi/pesan
bagi
pelaku utama tersebut dapat dilakukan
dengan bantuan penggunaan media
penyuluhan
sebagai
alat
dalam
menciptakan efektivitas dan peningkatan
kemampuan. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan satu hal yaitu penggunaan
dan pemilihan media penyuluhan yang
sesuai dengan selera dan kepentingan/
kebutuhan serta menarik bagi sasaran
sehingga mampu mempercepat proses
adopsi dan difusi suatu inovasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu
ditelaah hubungan antara faktor-faktor
yang mempengaruhi kemampuan pelaku
utama dengan penggunaan media
penyuluhan baik faktor internal maupun
faktor eksternal.
Karakteristik
Internal
Pembudidaya
ο‚· Umur
ο‚· Tingkat pendidikan
ο‚· Tingkat kebutuhan informasi
ο‚· Tingkat kekosmopolitan
ο‚· Tidak keinovatifan
Penggunaan media
penyuluhan
Media tercetak
ο‚· Brosur
ο‚· Folder
ο‚· Leaflet
ο‚· Peta singkap
ο‚· Koran
ο‚· Majalah
Media tertayang
ο‚· Power point
ο‚· Film
Tingkat Pemanfaatan
Media
ο‚· Tingkat
pemanfaatan media
oleh pelaku utama
perikanan/
Pembudidaya ikan
Karakteristik Eksternal
ο‚· Materi penyuluhan
ο‚· Kemasan media penyuluhan
ο‚· Penyajian media penyuluhan
Gambar 1. Hubungan antara faktor internal dan eksternal pelaku utama dengan
penggunaan media penyuluhan
28
METODELOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Januari sampai Februari 2014. Lokasi
penelitian pada kelompok Ranca
Kembang Desa Luhur Jaya Kecamatan
Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi
Banten dengan pertimbangan bahwa
kelompok tersebut merupakan binaan
Pusat Penyuluhan BPSDMKP dan
Sekolah Tinggi Perikanan Jurusan
Penyuluhan Perikanan Bogor
Analisa Data
Data dan hasil penelitian yang
telah dikumpulkan yang bersifat
kualitatif ditabulasi dan dianalisis secara
deskriptif, sedangkan data kuantitatif
diuji dengan uji statistik non parametrik.
Keeratan hubungan antara peubah
(hubungan antara variabel bebas dengan
variabel tidak bebas) digunakan Uji
korelasi rank Spearman (rs) (Siegel,
1997)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Internal Pembudidaya
Ikan
Karakteristik responden yang
diamati dalam penelitian ini meliputi
faktor internal yaitu umur, tingkat
pendidikan, tingkat kebutuhan, tingkat
kekosmopolitan,
dan
tingkat
keinovatifan.
Sebaran
karakteristik
internal responden seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran karakteristik Internal Responden
NO
1
2
3
4
5
Karakteristik
Internal
Responden
Umur
Tingkat
Pendidikan
Tingkat
kebutuhan
Tingkat
Kekosmopolitan
Tingkat
Keinovatifan
Katagori
Muda (< 34,9 thn
Sedang (34,9-54,7 thn)
Tinggi (> 54,7 thn)
Rendah SD
Sedang SMP
Tinggi SMA
Ya (3)
Kurang (2)
Tidak (1)
Ya (3)
Kadang-kadang (2)
Tidak (1)
Ya (3)
Kadang-kadang (2)
Tidak (1)
Hasil penelitian pada Tabel 1
menunjukkan bahwa umur responde
berkisar antara 27 – 65 tahun dengan
umur rata-rata 44,8 tahun.
Umur
responden didominasi pada
umur
sedang ( 34,9– 54,7) tahun. Umur
N
3
22
5
10
9
11
30
0
0
24
6
0
29
1
0
Persentase
n=30
(%)
10
73
17
33
30
37
100
0
0
80
20
0
96,7
3,3
0
Interval
27 - 65 thn
SD – SMA
1-3
1–3
1–3
merupakan
suatu
aspek
yang
berhubungan dengan kemampuan fisik
maupun
psikologis
seseorang.
Berdasarkan
data
umur
tersebut
menunjukkan bahwa responden sebagai
pembudidaya ikan kelompok Ranca
29
Kembang
Kecamatan
Cipanas
Kabupaten Lebak sebanyak 83 % masih
tergolong usia produktif yaitu antara (2754,7) tahun. Umur responden dengan
kategori usia tua ( > 54,7 tahun) hanya
17 %.
Berdasarkan
Tabel
1.
menunjukkan bahwa responden memiliki
tingkat pendidikan yang berbeda-beda
mulai dari tamat SD mencapai 10 orang
(33%), sedangkan SLTP yaitu 9 orang
petani (30%) dan SLTA yaitu 11 orang
(37%). Pengkategorian tingkatan SD,
SLTP dan SLTA dinilai dapat
membedakan wawasan, pengetahuan dan
cara berfikir seseorang terutama dalam
menyerap materi usaha budidaya
perikanan dengan penggunaan berbagai
media penyuluhan. Gambaran tingkat
pendidikan
pembudidaya
anggota
kelompok menunjukkan seluruh anggota
memiliki kemampuan baca-tulis, berarti
memungkinkan
untuk
menyerap
informasi dari media sesuai kebutuhan
untuk kemajuan usahanya.
Tingkat
kebutuhan
informasi
perikanan terkait dengan kegiatan usaha
yang dijalankan, sesuai hasil penelitian
pada Tabel 2. menunjukkan bahwa
semua responden (100%) membutuhkan
informasi perikanan. Hal tersebut artinya
dalam mengelola usahanya pembudidaya
anggota
kelompok
membutuhkan
informasi yang sesuai dengan usaha
budidaya yang sedang dijalankannya.
Tingkat kekosmopolitan adalah
aktivitas seseorang ke luar lokasi atau
daerahnya dalam mencari inovasiinovasi terkait dengan teknologi
budidaya ikan.
Pembudidaya ikan
anggota kelompok Ranca Kembang
termasuk pembudidaya ikan dengan
tingkat kekosmopolitan yang cukup, data
hasil penelitian menunjukan bahwa
keaktifan mencari informasi termasuk
kategori tinggi sebanyak 80 % dari 30
responden. Hal tersebut menunjukkan
bahwa anggota kelompok Ranca
Kembang respon dan aktif dalam
mendapatkan
informasi
yang
berhubungan
dengan
peningkatan
usahanya, selain informasi yang diterima
dari penyuluh perikanan. Keaktifan
mencari informasi merupakan upaya
anggota untuk mendapatkan teknologi
usahatani yang baru, baik dari
sumbernya
langsung
(lembaga
penelitian), lembaga penyuluhan, pakar,
dan kontaktani sebagai pemimpin
kelompok.
Tingkat keinovatifan adalah sikap
anggota kelompok pembudidaya ikan
untuk mau dan menerapkan inovasi yang
diperolehnya pada kegiatan usaha. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar anggota kelompok pembudidaya
ikan sebanyak 96,7% termasuk tingkat
keinovatifannya tinggi dan sebanyak 3,3
% termasuk tingkat keinovatifannya
sedang. Hal ini menunjukkan bahwa
responden dapat menerima informasi
baru yang disampaikan oleh penyuluh.
Karakteristik Eksternal
Pembudidaya Ikan
Karakteristik responden yang
diamati dalam penelitian ini meliputi
faktor eksernal yaitu materi penyuluhan,
kemasan media dan penyajian media.
Sebaran karakteristik ekternal responden
seperti pada Tabel 2.
.
30
Tabel 2. Sebaran Karakteristik Eksternal Responden
No
1
2
3
Karakteristik
Eksternal
Responden
Materi
penyuluhan
Kemasan media
penyuluhan
Tingkat penyajian
media penyuluhan
Kategori
Ya (3)
Kadang-kadang (2)
Tidak (1)
Selalu (3)
Kadang-kadang (2)
Tidak (1)
Cukup (3)
Kurang (2)
Tidak (1)
Materi
penyuluhan,
pada
hakekatnya merupakan segala pesan
yang ingin dikomunikasikan oleh
seorang penyuluh kepada masyarakat
penerima manfaatnya (Mardikanto,
2009). Definisi materi penyuluhan pada
penelitian ini adalah isi informasi yang
diberikan penyuluh kepada responden.
Berdasarkan data hasil penelitian
sebagian besar responden (80%)
menunjukkan bahwa materi penyuluhan
yang diberikan oleh penyuluh adalah
materi baru yang dibutuhkan oleh
responden. Apapun materi penyuluhan
yang
disampaikan
oleh
seorang
penyuluh, pertama-tama harus diingat
bahwa materi tersebut harus selalu
mengacu kepada kebutuhan yang telah
dirasakan oleh masyarakat sasarannya
artinya materi penyuluhan dapat
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan
sasaran.
Kemasan media penyuluhan adalah
hasil produksi media sesuai selera dan
N
24
3
3
20
8
2
27
3
0
Persentase
(%)
n = 30
80
10
10
66,6
26,7
6,7
90
10
0
Interval
1-3
1-3
1–3
keinginan responden. Data hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden (66,6%) menunjukkan
bahwa kemasan media penyuluhan yang
digunakan oleh penyuluh dalam kegiatan
penyuluhan cukup sesuai dengan
keinginan responden.
Tingkat
penyajian
media
penyuluhan
adalah
kemampuan
menyajikan media penyuluhan sesuai
dengan jenis media yang digunakan.
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel
2 menunjukkan sebagian besar (90%)
responen menyatakan bahwa tingkat
penyajian pesan media penyuluhan yang
diberikan penyuluh cukup menarik dan
mudah untuk dipelajari/dipraktekkan.
Hubungan antara faktor internal
dengan faktor eksternal pelaku utama
Hasil analisis hubungan faktor
internal
dan
faktor
eksternal
pembudidaya ikan (pelaku utama)
disajikan pada Tabel 3.
31
Tabel 3. Hubungan Faktor internal dan Faktor Eksternal Responden
Internal
Eksternal
Materi
Kemasan
media
Penyajian
media
-0,168
Tingkat
Kebutuhan
a
Tingkat
Kekosmopolitan
0,547**
Tingkat
Keinovatfan
0,203
0,021
0,365*
a
0,218
0,182
0,391
0,385*
a
0,111
0,156*
Umur
Pendidikan
-0,061
Keterangan: * Hubungan yang erat pada taraf kepercayaan 0,05
** Hubungan yang sangat erat pada taraf kepercayaan 0,01
Berdasarkan hasil analisis pada
Tabel 3 menunjukkan bahwa umur
pembudidaya ikan tidak menunjukkan
korelasi (hubungan) yang erat dengan
materi, kemasan media dan penyajian
media
penyuluhan.
Pendidikan
pembudidaya menunjukkan hubungan
yang erat dengan kemasan media dengan
korelasi 0,365* dan menunjukkan
hubungan yang erat penyajian media
penyuluhan dengan korelasi 0,385*,
sedangkan
pendidikan
tidak
menunjukkan hubungan dengan materi
penyuluhan.
Tingkat
kekosmopolitan
menunjukkan hubungan yang erat
dengan materi penyuluhan dengan
korelasi
0,547**,
tetapi
tidak
menunjukkan hubungan dengan kemasan
dengan penyajian media penyuluhan.
Faktor internal tingkat keinovatifan
pembudidaya berhubungan erat dengan
penyajian media dengan korelasi 0,156*,
tetapi tidak menunjukkan hubungan
dengan materi dan kemasan media
penyuluhan.
Hubungan antara faktor internal
dengan penggunaan media
penyuluhan
Hasil analisis hubungan faktor
internal pembudidaya ikan (pelaku
utama) dengan penggunaan media
penyuluhan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan faktor internal dengan penggunaan media
Penggunaan
media
F. Internal
Umur
Pendidikan
Tingkat
Kebutuhan
Tingkat
kekosmolitan
Tingkat
keinovatifan
Brosur
Folder
Leaflet
Peta
singkap
Power
point
Film
Koran
Majalah
0,309
0,104
a
0,133
-0,026
a
0,228
-0,186
a
0,036
-0,083
a
0,73
-0,160
a
0,121
0,037
a
-0,94
0,367
A
0,020
0,432
a
0,078
0,075
0,250
0,364
-0,047
0,181
-0,312
-0,508
0,132
0,121
0,093
0,051
0,223
0,551
0,137
0,121
Keterangan: * Hubungan yang erat pada taraf kepercayaan 0,05
** Hubungan yang sangat erat pada taraf kepercayaan 0,01
32
Berdasarkan data hasil analisis
pada Tabel 4 menunjukkan bahwa umur,
pendidikan, tingkat kekosmopolitan dan
tingkat keinovatifan tidak menunjukkan
hubungan (korelasi) dengan penggunaan
media penyuluhan baik media cetak
berupa brosur, folder, leaflet, peta
singkat, koran dan majalah maupun
dengan media tertayang yaitu power
point dan film.
Hubungan antara faktor eksternal
pelaku utama dengan penggunaan
media penyuluhan
Hasil analisis hubungan faktor
eksternal pembudidaya ikan (pelaku
utama) dengan penggunaan media
penyuluhan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hubungan faktor eksternal dengan penggunaan media
Penggunaan Brosur
Folder
Leaflet
Peta
Power
Film
Koran Majalah
media
singkap
point
F.Ekternal
Materi
0,278
0,364
-0,062a 0,364** -0,262 -0,424
0,263** 0,304
Kemasan
-0,225
-0,229
0,009
0,362a
0,126 -0,121 -0,147
0,179*
media
Penyajian
0,015
0,050
0,008a
0,008 -0,013 0,006*
0,259*
0,192*
media
Keterangan: * Hubungan yang erat pada taraf kepercayaan 0,05
** Hubungan yang sangat erat pada taraf kepercayaan 0,01
Berdasarkan data hasil analisis
pada Tabel 5, materi penyuluhan
menunjukkan hubungan
yang erat
dengan penggunaan media dalam bentuk
brosur dengan korelasi 0,263** dan
media penyuluhan dalam bentuk film
dengan korelasi 0,364**. Sedangkan
tidak menunjukkan hubungan antara
materi penyuluhan dengan penggunaan
media dalam bentuk folder, leaflet, peta
singkap, power point, koran dan majalah.
Kemasan media penyuluhan
menunjukkan hubungan yang erat
dengan penggunaan media penyuluhan
berupa peta singkap dengan korelasi
0,179*. Sedangkan tidak menunjukkan
hubungan kemasan media penyuluhan
dengan penggunaan media penyuluhan
berupa brosur, folder, leaflet, power
point, film, koran dan majalah.
Penyajian media penyuluhan
menunjukkan hubungan yang erat
dengan penggunaan media penyuluhan
berupa leaflet, peta singkap dan majalah
dengan masing-masing korelasi 0,259*,
0,192 dan 0,006. Sedangkan tidak
menunjukkan hubungan antara penyajian
media penyuluhan dengan penggunaan
media dalam bentuk brosur, folder,
power point, film dan koran.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Faktor internal berhubungan dengan
faktor eksternal pembudidaya ikan
tingkat
pendidikan,
tingkat
kekosmopolitan
dan
tingkat
keinovatifan.
Sedangkan
faktor
eksternal
pembudidaya
yang
berhubungan dengan faktor internal
adalah materi penyuluhan, kemasan
penyuluhan dan penyajian penyuluhan
33
2. Faktor internal pembudidaya ikan
(umur, pendidikan, tingkat kebutuhan,
tingkat kekosmolitan dan tingkat
keinovatifan)
tidak menunjukkan
hubungan dengan penggunaan media
penyuluhan baik berupa media cetak
maupun media tertayang.
3. Faktor Eksternal yang mempunyai
hubungan
sangat
erat
dengan
penggunaan media penyuluhan yaitu
untuk materi berhubungan erat
dengan penggunaan media brosur dan
film. Faktor eksternal kemasan media
berhubungan dengan penggunaan
media peta singkap. Sedangkan faktor
eksternal penyajian media penyuluhan
berhubungan erat dengan penggunaan
media penyuluhan berupa leaflet, peta
singkap dan majalah..
Saran
1) Penggunaan/pemilihan
media
penyuluhan harus sesuai dengan
kebutuhan sasaran dan sumberdaya
di lokasi penyuluhan.
2) Proses penyampaian pesan/informasi
teknologi/pembelajaran
dalam
kegiatan
penyuluhan
dengan
penggunaan media harus jelas dan
menarik dan interaktif, sehingga
dapat meningkatkan kualitas pesan
yang disampaikan
Anonimous. Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan
Aaparatur
Negara
Nomor
PER/19/M.PAN/10/2008
Tentang
Jabatan
fungsional
penyuluh perikanan dan angka
kreditnya.
Mardikanto T.
2009.
Sistem
Penyuluhan
Pertanian.
Surakarta:
Sebelas
Maret
University Press.
Sigel S. 1956. Nonparametric Statistics
for Behavioral Sciences. Tokyo:
Mc.Graw Hill-Kogakusha. Ltd
Singarimbun, M. dan Effendi, S. Editor.
1989. Metode Penelitian Survei.
Jakarta: Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial.
Van Den Ban AW, Hawkins HS. 1999.
Penyuluhan
Pertanian.
Yogyakarta: Kanisius.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. Undang-Unadang No. 16
tahun 2006. Sistem Penyuluhan
Pertanian,
Perikanan
dan
Kehutanan
34
KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK IKAN PATIN (Pangasius pangasius)
Oleh
Tatty Yuniarti, Romauli J Napitupulu, Iis Jubaedah, Ganjar Wiryati
Dosen Sekolah tinggi Perikanan
ABSTRAK
Ikan asap adalah salah satu produk olahan tradisional di Indonesia. Berbagai
jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku ikan asap. Salah satunya adalah ikan
patin (Pangasius-pangasius). Modifikasi pengasapan ikan digunakan untuk
menghasilkan ikan asap yang disukai konsumen. Modifikasi ikan asap yang dilakukan
pada penelitian ini terdiri dari dua (2) model ikan asap yaitu ikan patin tanpa disayat
diasapi (A) dan ikan patin disayat (B) kemudian diasapi. Penyayatan daging pada
salah satu model ikan asap diharapkan dapat memperluas permukaan kontak daging
ikan dengan asap sehingga menghasilkan profil sensori yang berbeda. Metoda yang
digunakan dalam penelitian ini adalah uji sensori skala rating hedonik. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menentukan model ikan asap yang disukai oleh konsumen.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa ikan asap dengan bahan baku ikan patin berat
rata-rata 280-320 gr menghasilkan rendemen ikan asap sebanyak kurang lebih 60%.
Dari hasil uji sensori diketahui bahwa panelis lebih memilih atribut penampakan dan
tekstur untuk ikan asap yang disayat dan panelis memilih untuk atribut rasa dan bau
pada ikan asap yang tanpa disayat. Komposisi ikan asap tanpa disayat adalah protein
13%, lemak 0,54%, air 73% dan mineral 1,77%, untuk ikan asap bersayat kadar
protein 23%, lemak 0,44%, air 65% dan mineral 0,96%.
Kata kunci: ikan patin (Pangasius pangasius), ikan asap, ikan asap bersayat
PENDAHULUAN
Latar belakang
Sebagai negara yang 70 persen
kawasannya berupa perairan dan laut
serta belasan ribu pulau, Indonesia
memiliki potensi untuk mengembangkan
ekonomi berbasiskan kelautan dan
perikanan. Optimalisasi pemanfaatan
sektor kelautan dan perikanan tentunya
dapat berjalan jika para pemuda turut
terjun langsung untuk mengelola potensi
sumber daya kelautan dan perikanan
yang bersandar pada prinsip-prinsip Blue
Economy. Konsep Blue Economy
menawarkan platform yang luas dari ideide inovatif, sehingga dapat merangsang
kaum muda untuk berwirausaha di setiap
sektor bisnis kelautan dan perikanan
melalui pemanfaatan sumber daya yang
tersedia secara berkelanjutan (KKP
2013). Ikan asap adalah salah satu
produk unggulan yang dihasilkan dari
peserta didik Sekolah Tinggi Perikanan,
satuan kerja di bawah Kementerian
Kelautan dan Perikanan sebagai media
pembelajaran menuju wirausaha muda
yang tangguh.
Pemilihan ikan asap sebagai
produk unggulan karena ikan asap
35
adalah salah satu produk tradisional
yang populer di Indonesia. Berbagai
jenis ikan asap tersebar di wilayah
nusantara. Beberapa produk ikan asap
khas Indonesia diantaranya adalah ikan
salai dari Sumatera Barat, ikan fufu dari
Sulawesi Utara, ikan pe dari Jawa
Tengah, ikan kayu dari Sulawesi
Tenggara, Sulawesi
Selatan dan
Sulawesi Utara. Jenis bahan baku, jenis
kayu, metode pengasapan maupun
faktor-faktor proses lainnya yang
dilakukan di daerah-daerah tersebut
memiliki ciri yang khas sehingga
menghasilkan karakteristik ikan asap
yang berbeda.
Bahan baku ikan asap yang
digunakan pada penelitian ini adalah
ikan patin (Pangasius pangasius),
mengingat ikan patin adalah salah satu
komoditas unggulan budidaya ikan air
tawar di Kabupaten Bogor (Dinas
Peternakan dan Perikanan 2010), dimana
Kampus Sekolah Tinggi Perikanan
berlokasi. Ikan patin asap yang
diproduksi oleh peserta didik (taruna)
Sekolah Tinggi Perikanan mempunyai
kelemahan yaitu kadar air yang masih
tinggi dan bentuk yang biasa, oleh
karena itu maka akan dibuat produk ikan
asap dibuat dua (2) model ikan asap
yaitu ikan asap tidak bersayat (A) dan
ikan asap (bersayat). Model tersebut
nantinya akan diuji baik uji kimia yaitu
uji kadar air, protein, lemak dan mineral,
dan uji sensori. Pertimbangan pemilihan
model ikan asap ditentukan juga oleh
besarnya yield dan lama waktu produksi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan model ikan asap yang
disukai oleh konsumen. Manfaat dari
penelitian ini diharapkan produk ikan
asap dapat menjadi contoh produk
wirausaha peserta didik yang bisa
diterima
konsumen,
aman
dan
menguntungkan serta diterima oleh
suplier baik toko konvensional maupun
retail modern.
METODA PENELITIAN
Bahan
baku
penelitian
menggunakan ikan patin (Pangasius
pangasius) yang diambil dari kolam
praktek taruna di Astana Gedhe,
Kompleks Sekolah Tinggi Perikanan,
Bogor. Waktu penelitian pada bulan
Februari-Mei 2013, di Laboratorium
Pasca Panen dan Laboratorium Kimia,
Sekolah Tinggi Perikanan. Penelitian
menggunakan dua (2) model ikan asap,
yaitu ikan asap tanpa sayatan (A) dan
ikan asap bersayat (B). Prosedur
pembuatan ikan asap menggunakan
metoda pengasapan panas bertahap
(Unlusayin
et
al.
2007)
yang
dimodifikasi. Tahapan pengasapan yaitu
penyiangan, pencucian, membelah ikan
pada bagian punggung sehingga
membentuk
kupu-kupu,
kemudian
membagi ikan asap menjadi dua bagian
model yaitu yang tidak disayat (A) dan
disayat (B), kemudian merendam ikan
patin dalam air garam 5% hingga ikan
terendam seluruhnya selama 30 menit.
Garam yang digunakan adalah garam
halus yang telah bersertifikat halal.
Selanjutnya ikan cuci dengan air bersih
dan ditiriskan, diangin-anginkan selama
30 menit dengan bantuan kipas angin.
Ikan diasapi dalam posisi digantung
dengan kepala diatas, pengasapan
menggunakan bahan bakar asap berupa
tempurung kelapa pada suhu 50 oC
selama 4 jam dilanjutkan pemanasan 70
o
C selama 1 jam dan 80 oC pada jam ke6. Selesai pengasapan, ikan asap
36
diangkat dan dibiarkan semalam,
dikemas menggunakan plastik HDPE.
Pengujian komposisi kimia berupa
uji proksimat meliputi kadar air, protein,
lemak, abu dan karbohidrat dan uji TBA.
Bahan kimia yang digunakan untuk
analisa antara lain asam thiobarbiturik
(TBA), asam klorida (HCl), heksana,
natrium hidroksida (NaOH), indikator
phenolphtalein, asam sulfat (H2SO4),
serbuk selenium, asan borat (H3BO3).
Alat yang digunakan antara lain
peralatan penyiangan ikan yaitu pisau,
talenan, baskom, timbangan, alat
pengasapan berupa lemari pengasapan
dua pintu dan dua cerobong asap,
dimensi lemari tersebut adalah panjang x
lebar x tinggi yaitu 2 m x 50 cm x 2 m.
Peralatan
analisa
antara
lain
spektrofotometer,
oven,
furnace,
timbangan analitik, labu kjeldahl, labu
soxchlet dan peralatan gelas kimia.
HASIL PENELITIAN
Bahan baku ikan patin yang
digunakan pada penelitian ini sebanyak
40 ekor ikan. Berat ikan antara 280-320
gr atau dengan berat rata-rata 301 gr.
Ikan patin disiangi, dibuang organ dalam
dan insangnya, kemudian dicuci
menghasilkan rendemen bahan baku
ikan patin siap asap sebesar 73%.
Faktor-faktor
yang
perlu
dipertimbangkan dalam proses produksi
yang menguntungkan dan terkontrol
adalah yield dan karakteristik produk
akhir. Saat ini selain faktor tersebut,
faktor lain yang dipertimbangkan dalam
proses produksi antara lain segi
kesehatan, komposisi kimia produk
seperti protein, lemak, kadar garam, air
dan lain lain serta pertimbangan warna,
tekstur dan aspek sensori lainnya
(Cardinal et al. 2001). Pada ikan salmon
asap, yield dan mutu produk tergantung
pada
proses
produksi,
seperti
penghilangan kepala, filleting dan
pemotongan ikan (trimming), pemilihan
proses seperti pengasapan, pengasapan
kering, penggaraman dan teknik
pengasapan, pengendalian parameter
proses seperti konsentrasi garam, suhu
pengasapan,
kelembaban,
dan
karakteristik dari bahan baku ikan (raw
material) (Rora et al. 1998). Karkas
berupa organ dalam ikan rainbow trout
adalah 13%, atau yield sebesar 87%,
yield berkurang menjadi 61% pada
perlakuan tanpa pemotongan daging ikan
(untrimmed) dan menjadi 41% pada
perlakuan pemotongan daging (trimmed)
(Bugeon et al. 2010). Selanjutnya ikan
patin diasapi dan menghasilkan yield
ikan asap tidak bersayat (A) sebesar 61%
dan yield ikan asap bersayat (B) sebesar
58%. Ikan lele (Clarias gariepinus)
dengan berat 500-400 gr, yang diasapi
tradisional selama 4 jam menghasilkan
yield ikan lele asap sebesar 40-34%
(Agbabiaka et al. 2102). Besarnya yield
akan
dapat
digunakan
untuk
mempertimbangkan secara ekonomis
produk yang dipilih oleh produsen.
Komposisi kimia dilakukan
dengan menggunakan analisa proksimat
untuk mengetahui perkiraan jumlah
relatif protein, lemak, air, air dan
karbohidrat pada ikan patin segar, ikan
asap tidak bersayat (A) dan ikan patin
bersayat (B). Kadar air ikan patin
sebagai bahan baku adalah 78%. Kadar
air ini lebih rendah dari kadar air ikan
lele sebesar 79,73% (Nurjanah, Abdullah
2010)
dan
ikan
nike
(Awous
melanocephalus) sebesar 79,76% (Yusuf
at al. 2012). Komposisi kimia setiap
37
spesies dan individu ikan berbeda-beda
tergantung pada umur, jenis kelamin,
habitat dan musim (Islam, Joadder
2005), jenis makanan yang dikonsumsi
oleh ikan (Adewolu, Bafeney 2009).
Dari hasil uji proksimat, maka ikan patin
digolongkan dalam kelompok ikan kurus
sedikit berlemak karena kandungan
lemaknya <2%.
Proses
pengasapan
merubah
komposisi kimia terutama pada ikan
asap B, kadar air berkurang dari 78%
menjadi 65%. Unlusayin et al. (2007)
pada proses pengasapan ikan yang
dibuang organ dalamnya, direndam
dalam air garam 20%, dan diasapi 30 oC
selama 45 menit, selanjutnya 50 oC, 60
o
C dan 70 oC selama 3 jam, dan 80 oC
selama 45 menit, komposisi kimia ikan
asap sea bass adalah kadar air 58,74%,
protein 13,30%, lemak 15,44%, abu
3,61%, karbohidrat 8,915; ikan sea
bream kadar air 56,97, protein 13,69%,
lemak 17,90%, abu 3,99%, karbohidat
7,45%; ikan rainbow trout kadar air
58,39%, protein 13,47%, lemak 15,
24%, abu 3,98%, karbohidrat 8,92%. Hal
ini disebabkan pengasapan pada suhu
tinggi menyebabkan air bebas pada
daging ikan keluar sehingga kadar air
menurun. Ahmed et al. (2010)
menyatakan
bahwa
penurunan
prosentase kadar air menyebabkan
peningkatan prosentase kadar protein,
lemak dan kadar abu pada berat basah
ikan asap. Komposisi kimia ikan patin
dan ikan patin asap disajikan pada Tabel
1.
Tabel 1 Komposisi kimia ikan patin dan hasil pengasapan (%)
Kode
Bahan baku
Ikan asap tanpa sayat (A)
Ikan asap bersayat (B)
Air
78
73
65
Penentuan mutu organoleptik
menggunakan metoda rating hedonik
skala 1-10 untuk menentukan mutu
terbaik
dengan
atribut
sensori
kenampakan, tekstur, bau dan rasa.
Ditentukan juga mutu ikan asap selama
penyimpanan pada suhu ruang. Pada
atribut kenampakan, panelis memilih
ikan asap bersayat (B). Sayatan pada
daging ikan membuat luas permukaan
kontak antara ikan dengan asap semakin
besar sehingga komponen kimia dari
asap dapat lebih mempengaruhi ikan
hasil pengasapan. Komponen yang
menyebabkan perubahan warna kuning
keemasan akan nampak pada sayatan
Protein
10
13
23
Lemak
0,33
0,54
0,44
Abu
0,83
1,77
0,96
daging ikan sehingga panelis lebih
menyukainya. Warna yang terbentuk
dari proses pengasapan menurut Rozum
(2009), akibat senyawa yang terbentuk
dari proses pirolisis selulasa dan
hemiselulosa yaitu senyawa aldehid
terutama glokoaldehid dan piruvaldehid
yang berkontribusi dalam pembentukan
warna
pada
permukaan
daging.
Pencoklatan terjadi dari reaksi Mailard,
yaitu senyawa karbonil dari asap
bereaksi dengan asam amino dari protein
daging ikan. Warna yang terbentuk
berkorelasi dengan suhu, kelembaban,
kandungan protein, sumber serta waktu
pengasapan. Pada hari ke-0, 2, 4, 6, 8
38
nilai organoleptik atribut kenampakan
masih diterima oleh konsumen, tetapi
pada hari ke 10, produk sudah tertolak
baik pada sampel A dan B.
Menurut Rora et al. (1998)
kenampakan juga dipengaruhi warna asli
dari bahan baku ikan. Pengasapan
mengakibatpan terjadinya kehilangan air
pada
daging
ikan
sehingga
meningkatkan konsentrasi karetenoid
pada
ikan
salmon
sehingga
mempengaruhi warna produk ikan
salmon asap. Grafik tingkat penerimaan
konsumen terhadap ikan asap tanpa
disayat (A) dan ikan asap disayat (B)
disajikan pada Gambar 1.
Kenampakan
10
8
6
A
4
B
2
0
0
2
4
6
8
10
Gambar 1 Profil Kenampakan Ikan patin asap
Keterangan: A = Ikan asap tanpa sayatan
B =Ikan asap bersayat
Tekstur pada ikan asap dengan
sayatan pada penyimpanan suhu ruang
hari ke-0 hingga hari ke 10, lebih disukai
daripada ikan asap tanpa sayatan karena
sayatan dapat memperluas kontak antara
panas pengasapan dengan daging
sehingga perpindahanpanas dari asap ke
daging ikan dapat berlangsung lebih
baik. Hal ini terlihat pada kadar air ikan
asap bersayat yang lebih rendah daripada
ikan asap tanpa sayat sehingga tekstur
ikan asap bersayat menjadi lebih
kompak dan padat. Faktor fisik yang
terlibat didalam pengeringan ikan asap
terdiri dari dua tahap migrasi air dari
permukaan produk yaitu penguapan
permukaan air dan difusi air dari daging
menuju permukaan daging. Faktor yang
mempengaruhi mekanisme migrasi
adalah komposisi kimia dari daging
terutama
kandungan
lemaknya.
Kecepatan difusi air pada daging lean
fish lebih cepat dari pada difusi air pada
daging berlemak, sehingga pengeringan
lebih cepat dan kehilangan air menjadi
lebih
tinggi.
Kehilangan
air
menyebabkan sifat hardening pada
produk (Cardinal et al. 2001).
Kulit ikan banyak mengandung
kolagen. Kolagen adalah protein fiber
yang banyak terdapat kurang lebih 3%
pada hewan, terdapat pada kulit, tulang
dan jaringan penghubung pada tendon.
Sifat reologi kolagen dipengaruhi oleh
suhu, pH, konsentrasi kolagen dan ikatan
cross linking protein. Pemanasan dan pH
dapat meningkatkan sifat rigid pada
kolagen kulit cat fish (Zhang et al.
39
2010). Gambar tingkat kesukaan
konsumen terhadap atribut tekstur
disajikan pada Gambar 2
Tekstur
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
A
B
0
2
4
6
8
10
Gambar 2 Profil tekstur ikan patin asap
Keterangan: A = Ikan asap tanpa sayatan
B =Ikan asap bersayat
Tingkat kesukaan panelis pada bau
atau aroma ikan asap tanpa disayat (A)
lebih rendah daripada ikan bersayat (B).
Menurut
Simko
(2005)
terdapat
beberapa
faktor
yang
dapat
mempengaruhi
tingkat
penerimaan
konsumen terhadap produk ikan asap
meliputi kualitas psiko kimia bahan baku
ikan segar, umur, jenis kelamin ikan,
musim penangkapan ikan, proses
pengasapan seperti sumber komponen
asap dari bahan bakar asap, suhu
pengasapan,
kelembaban,
waktu
pengasapan dan densitas asap. Menurut
Harmain et al. (2012) lama waktu
penyimpanan sosis ikan asap hingga hari
ke- 16, tidak berpengaruh terhadap
aroma sosis. Gambar tingkat penerimaan
panelis terhadap atribut bau ikan patin
asap disajikan pada Gambar 3
Bau
10
8
6
A
4
B
2
0
0
2
4
6
8
10
Gambar 3 Profil Bau (aroma) ikan patin asap
Keterangan: A = Ikan asap tanpa sayatan
B =Ikan asap bersayat
40
Secara umum atribut rasa pada
ikan patin asap tanpa sayatan (A) lebih
disukai dari pada ikan patin asap
bersayat. Hal ini disebabkan luasnya
permukaan pada kontak pada ikan patin
bersayat
memungkinkan
kontak
senyawa-senyawa asap dengan daging
ikan tidak terhalang oleh kulit ikan,
sehingga konsentrasi komponen asap
menjadi lebih tinggi dan rasa smoky
menjadi tajam pada ikan patin bersayat.
Ternyata rasa smoky yang tajam tidak
disukai oleh konsumen. Hal ini
kemungkinan
karena
konsentrasi
senyawa-senya asapyang lebih tinggi
pada ikan patin asap bersayat,
menyebabkan rasa ikan asap menjadi
lebih pahit dan berbau asap yang tajam
membuat konsumen lebih menyukai ikan
asap tanpa sayatan (A). Menurut
Cardinal et al. (2001) suhu pengasapan,
tahapan proses pengasapan seperti
proses thawing dan freezing raw
material ikan mempengaruhi penyerapan
garam dan komponen asap, selain
mempengaruhi
struktur
dan
mikrostruktur tekstur ikan salmon asap.
Suhu pengasapan dan teknik
pengasapan menghasilkan intensitas bau
dan rasa asap (smoke) yang bervariasi.
Semakin tinggi suhu pengasapan maka
akan meningkatkan deposit komponen
asap. Selain itu jenis kayu, metoda
produksi asap, temperatur pirolisis,
densitas asap dan waktu pengasapan
mempengaruhi atribut sensori ikan asap
(Cardinal et al. 1997). Gambar
penerimaan konsumen terhadap rasa
ikan patin asap disajikan pada Gambar 4
Rasa
10
8
6
A
4
B
2
0
0
2
4
6
8
10
Gambar 4 Profil rasa ikan patin asap
Keterangan: A = Ikan asap tanpa sayatan
B =Ikan asap bersayat
Menurut Cardinal et al. (2006)
Tingkat penerimaan konsumen terhadap
ikan asap dipengaruhi oleh kebiasaan
makan konsumen karena tingkat
kebiasaan makan makanan tradisional
pada suatu daerah akan berbeda
sehingga
mempengaruhi
tingkat
penerimaan konsumen
KESIMPULAN
Model ikan patin asap utuh tanpa
sayatan secara umum lebih diterima dari
atribut rasa dan aroma, akan tetapi
produk ikan patin asap bersayat lebih
bisa diterima oleh konsumen pada
atribut tekstur dan kenampakan. Yield
41
ikan patin asap tanpa sayatan lebih tinggi
daripada yield ikan patin asap bersayat.
Dari penelitian ini maka produsen dapat
memilih model produk ikan asap yang
diinginkan dengan mempertimbangkan
karakteristik produk yang dihasilkan.
Sebagai saran, faktor lain yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan model
ikan asap
adalah
lama waktu
penyayatan,
karena
lama
waktu
penyayatan akan berhubungan secara
ekonomis terhadap produk ikan asap
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official
Analytical Chemist. 2005. Official
Methods of Analysis of AOAC
International
18th
Edition.
Gaithersburg,
USA:
AOAC
International.
[KKP]. 2013. Kaidah Blue Economy
Sudah Berjalan Puluhan Tahun Di
Indonesia. Siaran Pers Pusdatin
KKP
.
29/04/2013.
http://kkp.go.id/index.php/arsip/c/
9043/kaidah-blue-economy-sudahberjalan-puluhan-tahun-diindonesia/ [Diunduh tanggal 13
Oktober 2013]
Adewolu MA, Benfey TJ. 2009. Growth
nutrient utilization and body
composition of juvenil Bagrid
catfish, Chrysichthys nigrodigitatis
(Actiinopterygii:
Siluriformes:
Claroteindae), fed different dietry
crude
protein
level.
Acta
ichtyologica et Piscatoria Vol 39
No 2 page 95-101.
Agbabiaka LA, Amadi AS, Eke LO,
Madubuko CU, Ojukannaiye AS.
2012. Nutritional and storage
qualities of catfish (Clarias
gariepinus)
smoked
with
Anthonatha macrophylla. Science
Research Reporter Vol 2 No. 2:
142-145 ISSN: 2249-2321.
Ahmed EO, Ali ME, Khalid RA, Taha
HM, Mahammed AA. 2010.
Investigating the quality changes
of raw and hot smoked
Oreochromis niloticus and Clarias
lazera. Pak J Nutr Vol 9 No. 5:
481-484.
BeMiller JN. 2003. Carbohydrate
analysis. Di dalam: Nielsen SS,
editor. Food Analysis. New York:
Kluwer Academic/Plenum. hlm
143-174.
Bugeon J, F Lefevre, M Cardinal, A
Uyanik, A Davenel, P Haffray.
2010. Flesh quality in large
rainbow trout with high or low
fillet yield. Journal of Muscle
Foods Vol 21 Issue 4: 702-721.
Cardinal M, Berdague JL, Dinel V,
Knockaert C, Vallet JL. 1997.
Effet de differentes technique de
fumage sur la nature des compose
volatil et les caracteristiques
ssensorilles de la chair de saumn.
Science des Alments 17:679-696.
Cardinal M, C Knockaert, O Torrison S
Ssigussgislodottir, T Morkore, M
Thomassen. JL Vallet. 2001.
Relation of smoking parameters to
yield, color and sensory quality of
smoked Atlantic salmon (Salmo
salar).
Food
Research
International 34 (2001): 537-550.
Cardinal M. Cornet J. Serot T. Baron R.
2006. Effect smoking process on
odour characteristict of smoked
herring (Clupea harengus) and
relationships
with
phenolic
compound content. Food Chem.
96: 137-146.
42
Cheftel JC, Cheftel H. 1977. Traitment
physiques. In Introduction
a
Biochimieet a la technologi des
aliament: 199-219. Paris. Technic
et documentation. Lavoisier.
Dinas
Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bogor. 2010. Data
Potensi Perikanan Tahun 2007 s/d
2009. Dinas Peternakan dan
Perikanan
Kabupaten
Bogor,
Bogor.
Harmain RM, L Hardjito, W Zahiruddin,
2012. Mutu sosis fermentasi ikan
patin (Pangasius sp.) selama
penyimpanan suhu ruang. J
Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia. Vol. 15 No. 2: 80-93.
J of Fisheries Sciences. Vol 1
No.1: 20-25.
Yusuf N, S Purwaningsih, W Trilaksani,
2012. Formulasi tepung pelapis
savory chips ikan nike (Awaous
melanocephalus). JPHPI Vol. 15
No. 1 35-44.
Zhang M, Y Chen, G Li, Z Du. 2010.
Rheological properties of fish
skin collagen solution: Effects of
temperature and concentration.
Korea-Australia
Rheology
Journal. Vol. 22, No. 2, June
2010 pp. 119-127
.
Islam MN, Joadder AR. 2005. Seasonal
variation
of
the
proksimat
composition of freshwater Gobi,
Glossogobius giuris (Hamilton)
from the river padma. Pakistan J
of Biological Sciences Vol 8 No. 4
page 532-536.
Nurjanah, A Abdullah, 2010. Cerdas
Memilih Ikan Dan Mempersiapkan
Olahannya. Bogor: IPB Press.
Rora AMB, Kvale A, Morkore T, Rorvic
K A, Steien SH, Thomassen MS.
1998. Process yield, colour and
sensory quality of smoked Atlantik
salmon in relation to raw material
characteristics. Food Research
International 31(8) 601-609.
Simko.
2005.
Factor
affecting
elimination of polycyclic aromatic
hydrocarbons from smoked met
foods
and
liquid
smoke
flavourings- A review. Mol Nutr
Food res 49:637-647.
Unlusayin M. S Bilgin, L Izci, A Gunlu.
2007. Chemical and sensory
assesment of hot smoked fish pate.
43
STUDI KUALITAS AIR DAN KOMUNITAS PLANKTON PADA TAMBAK
PESISIR KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT
Oleh
Dinno Sudinno, Pigoselpi Anas, Iis Jubaedah
Dosen Jurusan Penyuluhan Perikanan Sekolah Tinggi Perikanan
ABSTRAK
Kabupaten Subang merupakan salah satu wilayah pesisir dengan luas 333,57 km2
atau sekitar 16% dari luas seluruh Kabupaten Subang, memiliki hutan mangrove
dan sangat potensial untuk pengembangan usaha budidaya. Telah dilakukan
penelitian di tambak silvofishery kawasan pesisir Kabupaten Subang pada bulan
Mei sampai dengan Agustus 2014. Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana
Kualitas air pada Tambak Silvofishery dan bagaimana komunitas plankton pada
Tambak Silvofishery Pesisir Kabupaten Subang Jawa Barat. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Pengamatan dilakukan pada 6
(Enam) stasiun pengamatan di Kecamatan Blanakan. Analisa Data terdiri dari
analisis kualitas air dan indeks diversitas plankton. Hasil penelitian menunjukan
Parameter kualitas air suhu, salinitas, pH, kecerahan, TSS, NO2, NO3, PO4 , DO,
BOD dan COD nilainya di semua stasiun memenuhi nilai baku mutunya masingmasing. Sedangkan parameter NH3 dan NO3 di semua stasiun telah melebihi nilai
baku mutunya masing masing. Komunitas plankton pada 6 (enam) stasiun
pengambilan contoh di tambak Subang mendapatkan data plankton secara
keseluruhan berjumlah 13 jenis, terdiri dari 10 jenis fitoplankton dan 3 jenis
zooplankton. Pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa jumlah taksa berkisar
antara 6 hingga 13 jenis, dengan kelimpahan total berkisar antara 400 hingga 2020
individu/liter. Hasil penghitungan indeks diversitas menunjukkan bahwa tingkat
keanekaragaman komunitas plankton pada tambak yang bermangrove secara
keseluruhan tergolong rendah yakni dari 1,2299 sampai 1,2731. Sedangkan pada
tambak yang tidak bermangrove secara keseluruhan tergolong sangat rendah yakni
dari 0,3509 sampai 0,7374. dan Fitoplankton yang mendominasi adalah divisi
Chrysophyta.
Key word: Kualitas air,Plankton, Silvofishery, Tambak, Kb Subang
.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah pantai dan pesisir
memiliki arti yang strategis karena
merupakan wilayah interaksi/peralihan
(interface) antara ekosistem darat dan
laut yang memiliki sifat dan ciri yang
unik, dan mengandung produksi biologi
cukup besar serta jasa lingkungan
lainnya. Wilayah pesisir merupakan
ekosistem transisi yang dipengaruhi
daratan dan lautan, yang mencakup
beberapa ekosistem, Salah satu bentuk
keterkaitan antara ekosistem di wilayah
44
pesisir dapat dilihat dari pergerakan air
sungai, aliran limpasan (run-off), aliran
air tanah (ground water) dengan
berbagai materi yang terkandung
didalamnya (nutrien, sedimentasi, dan
bahan pencemar) yang kesemuanya akan
bermuara ke perairan pesisir. Selain itu,
pola pergerakan massa air ini juga akan
berperan dalam perpindahan biota
perairan (plankton,ikan, udang) dan
bahan pencemar dari satu lokasi ke
lokasi lainnya (Bengen,2000).
Salah satu ekosistem wilayah
pesisir adalah hutan mangrove. Hutan
mangrove merupakan ekosistem utama
pendukung kehidupan penting di
wilayah pesisir dan kelautan. Selain
mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia nutrien bagi biota perairan,
tempat pemijahan dan asuhan (nursery
ground) berbagai macam biota, penahan
abrasi pantai, penyerap limbah dan
pencegah interusi air laut, Kawasan
hutan mangrove yang memiliki nilai
ekologi dan ekonomi yang tinggi terus
menerus mengalami degradasi akibat
dikonversi dan berubah fungsi untuk
kegiatan lainnya, seperti pemukiman,
pariwisata, perhubungan, reklamasi
pantai,
budidaya
perikanan
dan
sebagainya. Disinyalir bahwa konversi
lahan mangrove untuk pemukiman dan
tambak udang merupakan salah satu
faktor penyebab kerusakan yang cukup
besar. Untuk melindungi kawasan
mangrove dari kerusakan lebih lanjut,
salah satu konsep pengembangan yang
dapat
mengkombinasikan
antara
pemanfaatan dan sekaligus konservasi di
kawasan mangrove adalah silvo-fishery
Hutan mangrove merupalan
ekosistem hutan yang khas terutama
karena posisinya sebagai peralihan
antara ekosistem darat dan ekosistem
taut. Kondisi lingkungan fisiknya yang
sangat khusus menyebabkan ekosistem
mangrove memiliki keanekaragaman
hayati yang terbatas dan ekosistem ini
sangat rentan terhadap adanya pengaruh
luar terutama karena species biota pada
hutan mangrove memiliki toleransi yang
sempit terhadap adanya perubahan dari
luar.
silvofishery pesisir Kabupaten
Subang yang memiliki lahan tambak
yang luas.
Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal di atas,
rumusan masalah adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana Kualitas air pada Tambak
Silvofishery
Pesisir Kabupaten
Subang Jawa Barat.
b. Bagaimana Komunitas plankton pada
Tambak
Silvofishery
Pesisir
Kabupaten Subang Jawa Barat.
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
untuk :
a. Mengetahui Kualitas air pada Tambak
Silvofishery
Pesisir Kabupaten
Subang Jawa Barat.
b. Mengetahui Komunitas plankton pada
Tambak
Silvofishery
Pesisir
Kabupaten Subang Jawa Barat.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan
di tambak
silvofishery kawasan Pesisir Kabupaten
Subang pada bulan Mei sampai dengan
Agustus 2014. Pengamatan dilakukan
pada
6 stasiun pengamatan seperti
terlihat pada Tabel 1
45
Tabel 1. Stasiun pengamatan penelitian di Pesisir Kabupaten Subang
No. st
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kecamatan
Blanakan
Blanakan
Pamanukan
Pamanukan
Pusakanegara
Legon Kulon
Lokasi pengamatan
6º14'26,84" S - 107º43'18,45"
6º14'22,08" S - 107º43' 8,86"
6º12'45,19" S - 107º46'25,77"
6º12’55,59” S - 107º46’30,02”
6º15'16,4" S - 107º55'17,17"
6º12'42,03" S - 107º47'25,81"
Metoda Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode survei.
Pengumpulan data
Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh
melalui survei langsung di lapangan
yaitu terhadap :
Kualitas Air
Untuk
mendapatkan
data
kualitas air dilakukan pengukuran fisika
dan kimia langsung dilapangan maupun
mengambil sampel air untuk diuji
dilaboratorium. Jenis parameter fisika
dan kimia yang diukur meliputi suhu,
salinitas, pH, kecerahan, TSS, NH3, No2,
Keterangan
Mangrove tebal di tengah tambak
Tanpa mangrove di tambak
Tanpa mangrove di tambak
Mangrove hanya di pematang
Mangrove Tipis di tengah tambak
Tanpa mangrove di tambak
No3, Po4 , Oksigen terlarut, BOD dan
COD.
Fitoplankton
Untuk mendapatkan contoh
plankton, air sebanyak kurang lebih 50
liter disaring menggunakan plankton net
No 25 menjadi 50 ml dan diawetkan
dengan lugol atau formalin. Identifikasi
jenis
dilakukan
di
laboratorium
menggunakan mikroskop dan buku
identifikasi.
ANALISA DATA
Kualitas Air
Jenis dan cara pengukuran
parameter físika dan kimia terlihat pada
Tabel 2.
46
Tabel 2. Parameter dan cara analisis kualitas air
No
Parameter
Satuan
Alat/Cara Analisis
A. Fisika
1.
Kecerahan
cm
Secchi disk
2.
Suhu
° C Thermometer
3.
(TSS)
mg/l
Gravimetri
B. Kimia
4.
pH
pH meter
0
5.
Salinitas
⁄00
Refraktometer
6.
Oksigen terlarut Mg/l
DO meter
7.
BOD
mg/l
Botol sample ; Titrimetrik
8.
COD
mg/l
Botol sample; Titrimetrik
9
Ammonia
mg/l
Botol sample; Titrimetrik
10 Nitrat
mg/l
Botol sample ; Titrimetrik
11 Nitrit
mg/l
Botol sample ; Titrimetrik
12 Phospat
mg/l
Botol sampel; Titrimetrik
Indeks Diversitas Plankton
Analisa
terhadap
plankton
dilakukan dengan menghitung nilai
indeks diversitas dari plankton dengan
Shannon Wieners formula (Soegianto,
2004) :
H = - ∑ ni / N ln ni / N
Keterangan
In situ
In situ
Laboratorium
In situ
In situ
In situ
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Shannon dan Wieners
dalam Poole (1974) menyatakan bahwa
berdasarkan indeks diversitas (H'),
kualitas air dikelompokkan atas 5
kategori seperti yang terdapat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria kualitas air berdasarkan indeks diversitas (H')
Indeks Diversitas
Kriteria kualitas air
< 1,00
Sangat rendah ( tercemar berat)
1,00 – 1,66
Rendah
1,67 – 2,33
Sedang
2,34 – 3,00
Baik
> 3,00
Sangat baik (tidak tercemar)
Sumber : Shannon dan Weiners dalam Poole (1974)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah
Luas Kabupaten Subang adalah
205.176,95 Ha (4,64% dari luas Jawa
Barat) dengan ketinggian antara 0 –
1500 m dpl. Dilihat dari segi
topografinya dapat dibedakan menjadi 3
zone daerah yaitu : Daerah pegunungan
dengan ketinggian 500 – 1500 m dpl
dengan luas 41.035,09 Ha (20%), daerah
berbukit dengan ketinggian 50 -500 m
dpl dengan luas 71.502,16 Ha (35%),
47
daerah dataran rendah dengan ketinggian
0 – 50 m dpl dengan luas 92.939,7 Ha
(45%). Sekitar 80,8 % Kabupaten
Subang mempunyai kemiringan 0 - 17º,
sedangkan sisanya memiliki kemiringan
diatas 18º. Secara umum Kabupaten
Subang beriklim tropis dengan curah
hujan rata-rata pertahun 1593 mm
dengan rata-rata hari hujan 91 hari.
Dari 20 kecamatan hanya 4
kecamatan yang merupakan kecamatan
pesisir dapat dilihat pada Tabel 4. Luas
wilayah kecamatan pesisir Kabupaten
Subang adalah 333,57 km² atau 16% dari
luas seluruh Kabupaten Subang.
Tabel 4. Kecamatan Pesisir di Kabupaten Subang
No.
Kecamatan
1.
Blanakan
2.
Pamanukan
3.
Legon Kulon
4
Pusakanegara
Jumlah
Luas (km2)
85,81
80,89
98,47
68,40
333,57
Sumber: Monografi Kabupaten Subang, 2014
Potensi Tambak
Potensi
tambak
Kabupaten
Subang ini sangat besar, panjang pantai
mencapai 68 km potensial untuk
pengembangan
usaha
budidaya.
Komoditas yang sangat cocok untuk
dikembangkan adalah Rumput Laut
(Euchema
spp),
Kakap
(Lates
carcarifer),
Kerapu
(Ephinephelus
spp),
Udang
Windu
(Penaeus
monodon), Udang Putih (Penaeus
merguensis),
Bandeng
(Channos
channos) dan Kerang-kerangan serta
jenis ikan lainnya. Seiring dengan
besarnya peluang usaha tambak, maka
peluang usaha pembenihan (hatchery)
pun
sangat
luas.
Tahun
2011
di Kabupaten Subang memiliki potensi
lahan budidaya tambak seluas kurang
lebih 14.300 ha yang terletak di lima
kecamatan yaitu Blanakan, Pamanukan,
Pusakanagara, Sukasari dan Legonkulon.
Produksi udang di Subang tahun 2009
tercatat
3.143,50
ton,
tahun
2010 sebanyak 2.004 ton, dan pada
tahun 2011 produksi udang dari lahan
budidaya tambak yang dimanfaatkan
adalah sebesar 2106,72 ton .
Daerah Pantura Subang saat ini
akan dijadikan daerah industri penghasil
udang vaname di Jawa Barat maupun
tingkat Nasional. Tahap awal, saat ini
lahan tambak bandeng sudah mulai
dijadikan tambak udang. Daerah pantura
subang dulu sempat dijadikan tambak
bandeng dan saat ini akan dijadikan
sebagai industry udang untuk memenuhi
permintaan
nasional.
(etnikom.net)
Dijadikannya pantura Subang sebagai
daerah industri penghasil udang tidak
terlepas dari program yang dicanangkan
oleh
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
yang bertujuan untuk
membangkitkan kembali masa keemasan
tambak udang di daerah pantura dan
meningkatkan kembali produksi udang
yang
sempat
terpuruk.
Guna
mengoptimalkan kawasan pertambakan
pantura di Kabupaten Subang, target
48
industrialisasi udang di kawasan ini di
tahun 2012 adalah 719 ha. Untuk
pencapaian target tersebut
maka
dilakukan revitalisasi tambak melalui
perbaikan infrastruktur berupa saluran
primer, sekunder dan tertier dan
sekaligus perbaikan tambak.
Kondisi Kawasan Pesisir Subang
Perairan pantai Subang memiliki
kedalaman yang relatif dangkal (kurang
dari 20 m) dengan gradien kedalaman
yang relatif landai, dimana untuk
kedalaman kurang dari 5 m di
sekitar Blanakan gradiennya sekitar
0.0027
dan
0.0054
di
sekitar
Pusakanegara; di perairan antara 5m -10
m gradien kedalaman berkisar antara
0.0006 (di sekitar Blanakan) sampai
0.0027 (di sekitar Pusakanegara). Hal ini
berarti bahwa di bagian barat pantai
Subang (seperti Kecamatan Blanakan)
lebih landai dibandingkan dengan di
bagian timur pantai Subang (seperti
Kecamatan Pusakanegara). ( Atlas
Subang, 2002)
Wilayah pantai Blanakan Subang
yang
berbentuk
seperti
teluk
memungkinkan
terjadinya
proses pengendapan sedimen dari sungai
dan dari angkutan sedimen pantai
menjadi lebih besar, sehingga di wilayah
ini laju pendangkalan perairan sangat
besar. Dari hasil observasi lapangan
diperoleh keterangan bahwa luas lahan
timbul dari hasil pengendapan sedimen
ini mencapai sekitar 400 Ha yang berada
di sekitar muara sungai Blanakan. Di
wilayah timur pantai Subang dengan
garis pantai memanjang dalam arah
tenggara – barat laut cenderung
mengalami penggerusan garis pantai
(abrasi)
Arus perairan di wilayah Pantai
Subang menunjukkan bahwa di perairan
Pantai Mayangan arus pasang berkisar
antara 1.4 ± 31.5 cm/det mengalir
dominan ke arah barat, dan arus surut
berkisar antara 0.7 ± 28.1 cm/det yang
mengalir dominan ke arah barat. Di
lokasi Pantai Ciasem arus pasang
berkisar antara 1.5 ± 30.7 cm/det yang
dominan kearah barat,sedangkan arus
surut berkisar antara 1.9 cm/det sampai
33.5 cm/det dominan kearah barat
(Puslitbang Pengairan, 1985). Arah arus
dominan ke arah barat pada waktu
pasang maupun surut ini diperkirakan
bahwa komponen arus musiman menjadi
dominan di wilayah perairan ini.
Kabupaten Subang, menurut
kajian Atmadipoera (2002) Jenis pasut di
lokasi ini memiliki nilai formzal F =
(19.3+11.4)/(10.5+7.7) = 1.69, berarti
tipe pasut campuran yang condong ke
harian tunggal dengan tunggang pasut
adalah 61.4 cm. Hal ini berarti dalam
satu hari kadang-kadang terdapat hanya
satu kali pasang dan satu kali surut,
tetapi juga kadang terdapat dua kali
pasang dan dua kali surut
Gelombang
di sekitar pantai
Mayangan dan Ciasem
Kabupaten
Subang dalam musim Peralihan (Mei)
menunjukkan bahwa tinggi gelombang
berkisar antara 4 cm sampai 42 cm
dengan periode gelombang antara 2.0
sampai 6.5 detik. Arah rambatan
gelombang yang dominan berasal dari
arah Utara dan Timurlaut. Di wilayah
Pantai Ciasem tinggi gelombang berkisar
antara 2.0 cm sampai 50 cm, dengan
periode gelombang antara 1.8 sampai 5.7
detik dan arah gelombang yang dominan
adalah Utara dan Timurlaut (Puslitbang
Pengairan,1985).
49
Hasil Survey Parameter Fisika-Kimia
Air
Hasil pengukuran parameter
kualitas perairan pesisir Kabupaten
Subang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kualitas Air di Lokasi Penelitian
Parameter
pH
Suhu
Kecerahan
Salinitas
TSS
DO
NH3
COD
BOD
NO3
PO4
NO2
Sumber : Data primer, 2014
St 1
7,9
St 2
7,5
St 3
7,6
St 4
7,8
St 5
7,8
St 6
7,4
28
30
30
40
4,7
0,46
9,27
3,71
20,33
0,03
0,010
32
50
38
35
3,5
0,54
26,55
5,85
22,1
0,24
0,075
32
55
38
30
3
0,76
14,62
5,55
21,66
0,24
0,052
28
35
30
45
4,5
0,50
10,87
4,35
20,33
0,05
0,019
29
40
30
40
4
0,52
10,82
4,33
20,77
0,03
0,035
32
50
35
35
3
0,53
13,87
10,62
21,77
0,28
0,073
Kecerahan
(transparancy)
menunjukkan seberapa jernih air disuatu
perairan, sehingga kecerahan dapat
mencerminkan jumlah plankton disuatu
perairan. Kecerahan adalah gambaran
kedalaman air yang dapat ditembus oleh
cahaya matahari dan dapat dilihat oleh
mata pada umumnya. Kecerahan air
ditentukan
oleh
partikel-partikel
tersuspensi seperti tanah liat, bahan
organik dan mikroorganisme. Boyd
(1982) menyatakan bahwa kecerahan
akibat lumpur sekitar 30 cm dapat
membatasi penetrasi cahaya sehingga
tidak dapat menembus kedalaman air
dan mengganggu pertumbuhan plankton.
Batas kecerahan optimal untuk udang
adalah antara 30 – 40 cm (Hardjowigeno
dan Widiatmaka, 2001). Kecerahan air
yang terukur di tambak Subang berkisar
30 – 55 cm (Gambar 2). Kecerahan
tertinggi terdapat pada stasiun 3 sekitar
55 cm di Kecamatan Blanakan, hal ini
karena lokasi tersebut tidak ada
mangrove di tambak.
Mangrove
memerlukan substrat berlumpur untuk
hidupnya sehingga pada kecerahan yang
tinggi mangrove tidak dapat tumbuh
dengan baik. Pohon mangrove baik
daun, ranting maupun pohon maupun
pohon yang gugur menjadi serasah
membusuk yang dapat menyebabkan
kekeruhan pada perairan. Sebaliknya
kecerahan paling rendah adalah pada
stasiun 1 sekitar 30 cm dimana terdapat
tanaman mangrove tebal ditempat
tambak.
50
60
33
50
32
31
40
30
Kecerahan
Nilai Suhu
Nilai Kecerahan
.
30
Suhu
29
20
28
10
27
26
0
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 1
St 6
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
Stasiun Pengamatan
Stasiun Pengamatan
Gambar 2. Konsentrasi Kecerahan Perairan
Suhu
air
terendah
hasil
pengamatan tedapat pada St 1 sekitar
28 derajat celsius dan suhu air yang
tertinggi terdapat pada St 2, St 3 dan St 6
yaitu sekitar 32 derajat Celsius. Suhu air
yang terukur di tambak Subang masih
dalam kisaran yang normal yaitu
berkisar antara 28 - 32°C Gambar 3.
Adanya perbedaan suhu antar stasiun
dikarenakan tanaman mangrove yang
cukup tebal di St 1 sehingga suhu sekitar
tambak rendah dibandingkan di St 2, St
3 dan St 6 yang tidak ada tanaman
mangrovenya.
Kandungan
total
padatan
tersuspensi (TSS) yang terukur di
tambak Subang yaitu sekitar 30 - 45 ppm
(Gambar 4). Padatan tersuspensi (TSS)
Gambar 3. Konsentrasi Suhu di Perairan
yang tertinggi terdapat pada St 4.
Sekitar
45 ppm,
masih termasuk
kategori yang baik karena perairan yang
mempunyai nilai kandungan padatan
tersuspensi sebesar 300 - 400 ppm mutu
perairan tersebut tergolong buruk
(Allert, 1984).
Total padatan tersuspensi adalah
padatan yang tersuspensi di dalam air
berupa bahan-bahan organik dan
inorganik yang dapat disaring dengan
kertas millipore berporipori 0,45 μm.
Materi yang tersuspensi mempunyai
dampak buruk terhadap kualitas air
karena mengurangi penetrasi matahari ke
dalam badan air, kekeruhan air
meningkat yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan bagi organisme produser.
50
45
40
Niali TSS
35
30
25
TSS
20
15
10
5
0
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
Stas iun Pe ngam atan
Gambar 4. Konsentrasi TSS di Perairan
51
Nilai pH di tambak Subang
berkisar antara 7,4 – 7,9 (Gambar 5).
Nilai pH tertinggi terdapat pada St 1
sekitar 7.9. Nilai ini memenuhi syarat
untuk budidaya udang. Air laut memiliki
pH yang relatif stabil dan biasanya
berkisar antara 7,5 – 8,4 Nilai pH suatu
perairan dapat berubah jika perairan
tersebut mengalami gangguan seperti
pencemaran
dan
ketidakstabilan
lingkungan perairan. Perubahan nilai pH
perairan
dapat
dipengaruhi
oleh
beberapa faktor diantaranya adalah
aktifitas fotosintesis, suhu serta buangan
limbah.
40
35
7,8
7,7
30
7,6
7,5
pH
7,4
7,3
Nilai Salinitas
Nilai pH
8
7,9
25
20
Salinitas
15
10
7,2
7,1
5
0
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 1
St 2
Stasiun Pengamatan
St 3
St 4
St 5
St 6
Stasiun Pengamatan
Gambar 5. Konsentrasi pH Perairan.
Gambar 6. Konsentrasi Salinitas Perairan.
Air untuk pengairan tambak
udang dapat diperoleh langsung dari laut
dengan salinitas antara 30–36o/oo. Udang
windu mampu hidup pada kisaran
salinitas antara 15 – 50o/oo, pada salinitas
<15o/oo udang dapat tumbuh dengan baik
asalkan perubahan salinitas itu tidak
terjadi secara mendadak. Walaupun
udang mempunyai sifat euryhaline,
kisaran salinitas yang baik untuk tambak
udang adalah 10 – 35o/oo dengan kisaran
optimum 15 – 25o/oo (Poernomo,1992).
Nilai salinitas di tambak Subang berkisar
30 – 38o/oo..
Oksigen terlarut merupakan salah
satu parameter kimia air yang berperan
pada
kehidupan
biota
perairan.
Penurunan okasigen terlarut dapat
mengurangi
efisiensi
pengambilan
oksigen bagi biota perairan sehingga
menurunkan kemampuannya untuk
hidup normal. Menurut Lung (1993),
kelarutan oksigen minimum untuk
mendukung kehidupan ikan adalah
sekitar 4 ppm. Nilai oksigen terlarut di
tambak Subang adalah berkisar antara
3,0–4,7 ppm. Nilai tersebut masih
mendukung kehidupan biota perairan
yaitu minimum 4, 0 ppm.
5
12
4,5
10
4
3
2,5
DO
2
1,5
1
Nilai BOD
Niali DO
3,5
8
6
BOD
4
2
0,5
0
0
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
Stasiun Pengamatan
Gambar 7. Konsentrasi DO Perairan.
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
Stasiun Pengamatan
Gambar 8. Konsentrasi BOD Perairan.
52
BOD merupakan parameter yang
dapat digunakan untuk menggambarkan
keberadaan bahan organik di perairan.
Hal ini disebabkan BOD dapat
menggambarkan jumlah bahan organik
yang dapat diuraikan secara biologis,
yaitu jumlah oksigen terlarut yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
memecahkan atau mengoksidasi bahanbahan organik menjadi karbondioksida
dan air. Nilai BOD yang tinggi
menunjukkan semakin besarnya bahan
organik
yang
terdekomposisi
menggunakan sejumlah oksigen di
perairan. Adapun nilai BOD di tambak
Subang berkisar antara 3,71 – 10,62
mg/l, dengan rata-rata 5,7 mg/l.
Berdasarkan baku mutu air , nilai BOD
yang dipersyaratkan 20 mg/l. Dengan
demikian, disimpulkan bahwa tambak di
Subang tidak tercemar oleh bahan
organik mudah urai (BOD).
Parameter lain yang juga dapat
digunakan sebagai penduga pencemaran
limbah organik adalah COD. Nilai COD
menggambarkan total oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan
organik secara kimiawi, baik yang dapat
didegradasi
secara
biologi
(biodegradable) maupun yang sukar
didegradasi
(non
biodegradable)
menjadi CO2 dan H2O. Dari hasil
analisis kualitas air tambak di Subang
menunjukkan bahwa nilai COD perairan
berkisar antara 9,27–26,55 mg/l, dengan
nilai rata-rata 14,2 mg/l. Berdasarkan
baku mutu air yang mempersyaratkan
nilai COD adalah 40 mg/l, maka
tambak di Subang tidak tercemar oleh
bahan organik sulit terurai. (Gambar 9).
30
0,8
0,7
25
15
COD
10
Nilai NH3
Nilai COD
0,6
20
0,5
0,4
NH3
0,3
0,2
5
0,1
0
0
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
Stasiun Pengamatan
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
Stasiun Pengamatan
Gambar 9. Konsentrasi COD Perairan.
Gambar 10. Konsentrasi NH3 Perairan.
Ammonia di perairan
dapat
berasal dari nitrogen organik dan
nitrogen anorganik yang terdapat dalam
tanah dan air berasal dari dekomposisi
bahan organik oleh mikroba dan jamur.
Selain itu, ammonia juga berasal dari
denitrifikasi pada dekomposisi limbah
oleh mikroba pada kondisi anaerob.
Ammonia juga dapat berasal dari limbah
domestik dan limbah industri. Hasil
analisis kualitas air menunjukkan kadar
ammonia di tambak Subang berkisar
antara 0,46–0,76 mg/l.. Berdasarkan
baku mutu air mensyaratkan kandungan
ammonia maksimal 0,3 mg/l. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa
tambak di Subang diduga tercemar
ammonia. (Gambar 10).
Hasil pengukuran kadar nitrat di
tambak Subang berkisar antara 20,33–
21,77 mg/l. Secara umum, kandungan
nitrat di tambak Subang berada di atas
baku mutu air , yang mensyaratkan
kandungan nitrat untuk air baku
53
maksimal 10 mg/l. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tambak
Subang diduga tercemar oleh senyawa
nitrat.
22,5
0,3
22
0,25
21
NO3
20,5
Nilai PO4
Nilai NO3
21,5
0,2
0,15
PO4
0,1
20
0,05
19,5
19
0
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
Stasiun Pengamatan
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
Stasiun Pengamatan
Gambar 11. Konsentrasi NO3 Perairan.
Gambar 12. Konsentrasi PO4 Perairan.
Fosfat yang terdapat di perairan
bersumber dari air buangan penduduk
(limbah rumah tangga) berupa deterjen,
residu hasil pertanian (pupuk), limbah
industri, hancuran bahan organik dan
mineral fosfat (Saeni, 1989). Umumnya
kandungan fosfat dalam perairan alami
sangat kecil dan tidak pernah melampaui
0,1 mg/l, kecuali bila ada penambahan
dari luar seperti dari sisa pakan ikan dan
limbah pertanian . Hasil analisis kualitas
air menunjukkan kadar fosfat di tambak
Subang berkisar antara 0,03–0,28 mg/l
(Gambar 12).
kandungan klorofil dalam selnya,
adapun peran zooplankton sebagai
konsumen primer. Peran plankton
lainnya adalah sebagai indikator
kesuburan
perairan
berdasarkan
perhitungan
kelimpahan
plankton.
Keberadaan
fitoplankton
dan
zooplankton dikawasan tambak air
payau sepanjang tahun secara kualitatif
dan kuantitatif selalu berubah-ubah
karena pengaruh kadar salinitas dan
faktor lingkungan lain yang selalu
berubah.
Hasil
analisis
komunitas
plankton pada 6 (enam) stasiun
pengambilan contoh di tambak Subang
mendapatkan data
plankton secara
keseluruhan berjumlah 13 jenis , terdiri
dari 10 jenis fitoplankton dan 3 jenis
zooplankton.
Pada
masing-masing
stasiun menunjukkan bahwa jumlah
taksa berkisar antara 6 hingga 13 jenis,
dengan kelimpahan total berkisar antara
400 hingga 2020 individu/liter. Hasil
penghitungan
indeks
diversitas
menunjukkan
bahwa
tingkat
keanekaragaman komunitas plankton
pada tambak yang bermangrove tebal
tergolong rendah
yakni dari 1,2299
sampai 1,2731. Sedangkan pada tambak
yang mangrovenya tipis atau sedikit
Indeks Diversitas Plankton
Dalam
bidang
perikanan,
plankton berperan penting sebagai
sumber nutrisi perairan. Adanya proses
pasang surut di sekitar perairan Subang
berdampak pada kondisi fisika kimia
perairan yang relatif berbeda di setiap
saat sehingga mempengarui komposisi
jenis plankton sebagai sumber pakan
alami
hewan
budidaya.
Fungsi
fitoplankton adalah sebagai produsen,
penyedia oksigen dalam perairan,
indikator pencemaran dan lain-lain..
Fitoplankton dapat melakukan aktivitas
hidupnya sendiri dengan memanfaatkan
cahaya
matahari
karena
adanya
54
tergolong sangat rendah yakni dari
0,3509 sampai 0,7374. Fitoplankton
yang mendominasi adalah divisi
Chrysophyta, sedangkan zooplankton
dari kelompok krustacea .
Hal ini terkait dengan hubungan
tingkatan tropik di perairan tersebut,
dimana krustacea sebagai konsumen
pertama yang memiliki kemampuan
memecah komponen silikat pada
Chrysophyta. Kelimpahan jenis plankton
(Tabel 6) berbanding terbalik dengan
keanekaragamannya (Odum, 1993)
disebabkan adanya kondisi pasang surut
yang membawa banyak campuran bahan
organik dari perairan laut maupun
perairan tawar sehingga dapat digunakan
sebagai sumber bahan nutrisi bagi
plankton, dan hal ini juga terkait dengan
kesuburan perairan tersebut. Plankton di
daerah
estuaria
memiliki
keanekaragaman jenis yang sedikit
karena kondisi fisika dan kimia perairan
yang sering sekali berubah-ubah (Odum,
1993). Chrysophyta sering mendominasi
fitoplankton
di
daerah
estuaria,
sedangkan
zooplankton
banyak
didominasi
oleh
jenis
krustacea
(Nybakken, 1988).
Tabel 4. Rangkuman hasil analisis sampel plankton
Stasiun
I
Kelimpahan
Total(Sel/Liter)
2020
Jumlah
Taksa
13
Indeks
Diversitas
1,2731
Tingkat
Diversitas
Rendah
Kriteria
kualitas air
tercemar
II
600
8
0,7374
Sangat rendah
Tercemar berat
III
400
7
0,4987
Sangat rendah
Tercemar berat
IV
1880
12
1,2386
Rendah
Tercemar
V
560
6
1,2299
Rendah
Tercemar
VI
1320
10
0,3509
Sangat rendah
Tercemar berat
Sumber : Data primer, 2014
Tambak silvofishery merupakan
kegiatan terpadu antara budidaya
perikanan dengan pelestarian dan
penanaman hutan mangrove (Nuryanto,
2003). Jenis tambak ini memiliki
kekhasan tersendiri karena perairan
tambak dipengaruhi oleh pasang surut
air laut yang berguna sebagai sumber
pengisian air tambak tersebut, selain itu
keberadaan vegetasi mangrove juga
dapat
mempengaruhi
tingkat
produktiftas tambak. Hal inilah yang
membedakan silvofishery dengan jenis
tambak budidaya perairan lainnya.
Fungsi umum dari tambak silvofishery
adalah sebagai salah satu solusi dalam
meminimalisir perusakan dan eksploitasi
hutan mangrove diwilayah ekosistem
peraian dengan sistem silvofishery.
Secara tidak langsung luruhan daun
mangrove
juga
berguna
sebagai
penyedia unsur hara ekosistem perairan
tambak, karena luruhan daunnya dapat
terdekomposisi oleh detritus aquatic
yang memiliki peranan penting dalam
rantai makanan.
Pentingnya kawasan mangrove
bukan hanya sebagai sumber daya hutan
tetapi juga dijadikan sebagai kawasan
sumber makanan utama bagi organisme
55
air dalam bentuk bahan organik
(detritus)
yang
dihasilkan
dari
dekomposisi serasah mangrove ataupun
sebagai tempat pemijahan bagi hewanhewan akuatik (Nontji, 2002). Adapun
kerapatan vegetasi mangrove disetiap
tambak silvofishery di Subang berbedabeda, sehingga dapat mempengaruhi
tingkat produktifitas setiap tambak.
Terkait dengan peranan plankton sebagai
sumber pakan alami perairan, menurut
Raymont (1963) dalam Kamali (2004)
apabila kelimpahan suatu plankton di
suatu perairan tinggi, maka perairan
tersebut memiliki produktifitas yang
tinggi pula.
Kesuburan perairan berdasarkan
kelimpahan plankton dibagi menjadi 3
(tiga) macam, Basmi (1987) dalam
Indryani (2005), yaitu :
1. Eutrofik, kelimpahan plankton >
15000 ind/l dengan ciri-ciri perairan
memiliki nilai kecerahan 0,2 meter,
perairan berwarna hijau karena
kepadatan plankton tinggi dan
semakin dalam perairan maka
semakin
berkurang
kandungan
oksigen.
2. Mesotrofik, kelimpahan plankton
2000-15000
ind/l
merupakan
perairan peralihan antara kedua sifat
eutrofik dan oligotrofik.
3. Oligotrofik, kelimpahan plankton <
2000 ind/l dengan ciri-ciri perairan
cenderung kandungan nutrisi rendah
dan air jernih.
semua stasiun berada dalam kisaran
nilai baku mutunya masing-masing.
Sedangkan parameter NH3 dan NO3
di semua stasiun telah melebihi nilai
baku mutunya masing masing, ini
berarti perairan tercemnar gas
amoniak.
2. Komunitas plankton pada 6 (enam)
stasiun pengambilan contoh di
tambak Subang mendapatkan data
plankton
secara
keseluruhan
berjumlah 13 jenis , terdiri dari 10
jenis fitoplankton dan 3 jenis
zooplankton.
3. Pada
masing-masing
stasiun
menunjukkan bahwa jumlah taksa
berkisar antara 6 hingga 13 jenis,
dengan kelimpahan total berkisar
antara
400
hingga
2020
individu/liter.
4. Hasil penghitungan indeks diversitas
menunjukkan
bahwa
tingkat
keanekaragaman komunitas plankton
pada tambak yang bermangrove
secara keseluruhan tergolong rendah
yakni dari 1,2299 sampai 1,2731.
Sedangkan pada tambak yang tidak
bermangrove secara keseluruhan
tergolong sangat rendah yakni dari
0,3509
sampai
0,7374.
dan
Fitoplankton yang mendominasi
adalah divisi Chrysophyta.
Saran
Untuk
meningkatkan
keanekaragaman plankton di tambak
subang sebaiknya tambak menggunakan
pola silvofishery
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Parameter kualitas air suhu, salinitas,
pH, kecerahan, TSS, NO2, NO3, PO4,
DO, BOD dan COD nilainya di
56
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Teknik
Pengambilan
Contoh
dan
Analisis Biofisik Sumberdaya
Pesisir.
Pusat
Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan
(PKSPL).IPB
Boyd, C.E. 1982. Water Quality
Management For Pond Fish
Culture. Elsevier Scienctific
Publishing Company. Alabama.
USA.318 Pages.
Dahuri, R. 2002. Integritas Kebijakan
Pengelolaan
Sumberdaya
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Makalah disampaikan pada
Lokakarya
Nasioanal
Pengelolaan
Ekosistem
Mangrove di Jakarta, 6-7
Agustus 2002.
______,
R.
2001.
Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu.
328 hal
Davis, C.C. 1995. The Marine and Fresh
Water Plankton. Michigan
State Univ. Press, 562.
Hardjowigeno, S.W. 2001. Kesesuaian
Lahan dan Perencanaan Tata
Guna
Tanah.
Fakultas
Pertanian. IPB.
Indryani, M. 2005. Struktur Komunitas
Diatom dan Dinoflagelata Pada
Beberapa Daerah Budidaya di
Teluk
Hurun,
Lampung.
Skripsi: Program Studi Biologi.
Universitas Negeri Jakarta.
Jakarta
Kamali, D. I. 2004. Kelimpahan
Fitoplankton pada Keramba
Jaring Apung di Teluk Hurun,
Lampung. Skripsi: Program
Studi Manajemen Sumber Daya
Perairan. Institut Pertanian
Bogor.
.
57
PENGARUH PERKEMBANGAN KARIR TERHADAP KEPUASAN KERJA
PENYULUH PERIKANAN DI BADAN KETAHANAN PANGAN PELAKSANA
PENYULUHAN PERTANIAN PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BKP5K)
KABUPATEN BOGOR
Oleh
Sobariah
Dosen Jurusan Penyuluhan Perikanan Sekolah Tinggi Perikanan
ABSTRAK
Upaya meningkatkan kepuasan kerja penyuluh perikanan banyak factor yang perlu
mendapat perhatian, yaitu pengembangan karier dari penyuluh tersebut. Pengembangan karir
dapat meningkatkan Kepuasan Kerja bagi penyuluh perikanan sebagai tenaga fungsuional
dibidangnya. Sehingga berdampak positif dalam lingkungan ekternal instansi tersebut yakni
peningkatan kepercayaan masyarakat dalam pemberian penyuluhan dan transfer teknologi
bidang pertanian umumnya dan perikanan khususnya. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan
penelitian tentang pengembangan karir dan kepuasan kerja penyuluh. Adapun tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui sejauhmana pengaruh pengembangan karir terhadap
kepuasan kerja penyuluh perikanan di BKP5K Kabupaten Bogor, dengan menggunakan
metode deskriptif eksploratif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh
Pengembangan Karier terhadap Kepuasan Kerja di BKP5K terhadap 51 orang penyuluh
perikanan dari 209 orang pegawai dan hasil pengolahan data terhadap variabel bebas
Pengembangan Karier (X) serta variabel terikat Kepuasan Kerja (Y) BKP5K diperoleh data
hitung yang dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil uji t variabel
Pengembangan Karier (X) terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada BKP5K menunjukkan bahwa
nilai thitung sebesar 8,407 dan ttabel sebesar 1,,588 pada level significants 0,05 dan probabilitas
0,000. Hal ini berarti thitung = 8,407 > ttabel = 1,588, maka H0 ditolak dan Ha diterima, berarti
terdapat pengaruh Pengembangan Karier (X) terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada BKP5K
kabupaten Bogor. Koefisien korelasi Pengembangan Karier (X) secara bersama-sama
terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada BKP5K adalah 0,876 sehingga diperoleh nilai koefisien
determinasi sebesar 0,,876 atau 87,6%. Hal ini berarti bahwa faktor-faktor lain di luar yang
tidak diteliti namun berpengaruh juga adalah sebesar 12,4%.
Kata kunci : pengembangan karir, kepuasan kerja
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Profesionalisme aparatur pemerintah
yaitu PNS harus diitingkatkan kualitasnya
baik dari segi pengetahuan (intelektual),
keahlian (managerial), keterampilan (skill)
dan tata sikap (behaviour) secara terencana,
terarah, berkesinambungan melalui upaya
pengembangan
potensi,
karier
dan
kesejahteraan,
Mariot
TE.Hariandja,(
2002;219)
Dengan kejelasan pola karier
pegawai negeri sipil tersebut, maka manfaat
ganda
akan
diperoleh
baik
bagi
instansi/lembaga, antara lain memungkinkan
akan terlaksananya fungsi dan tercapainya
tujuan secara efektif dan efisien, begitupun
58
bagi personal pegawai negeri sipil seperti
adanya kepastian arah pengembangan dan
pemberdayaan
pegawai
(Empowering
Employeer) serta menghindarkan perilaku
tidak adil dan subyektivitas dalam proses
manajemen
kepegawaian,
Danang
Sunyoto(2012,184)
Dengan demikian
pegawai negeri sipil memiliki kesempatan
yang sama dalam meniti jenjang karir mulai
dari pangkat atau jabatan terendah hingga
yang tertinggi sesuai dengan kompetensi
yang dimilikinya.
Badan Ketahanan Pangan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan sebagai salah satu lembaga
teknis daerah yang mempunyai fungsi
mentransfer
teknologi
dibidang
pertanian,perikanan
kepada
petani,pembudidaya
atau
masyarakat
merupakan satuan administrasi pangkal
penyuluh pertanian, perikanan.
Kinerja
penyuluh
sebagai
ujung
tombak
pembangunan perikanan sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor diantaranya adalah
kepuasan kerja.
Dalam upaya mengembangkan
karier pegawai fungsional pada Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan
dan Kehutanan, terdapat berbagai faktor
yang perlu mendapat perhatian, antara lain
pengembangan karier pegawai agar dapat
meningkat. Sehingga kepuasan kerja yang
dirasakan para pegawai dalam melaksanakan
pekerjaannya juga akan dapat meningkat.
Danang sunyoto (2012;191) pengembangan
karier dari para pegawai di instansi tersebut
akan meningkatkan kepuasan kerja sehingga
berdampak positif dalam lingkungan
eksternal instansi yakni peningkatan
kepercayaan masyarakat dalam memberikan
penyuluhan maupun transfer teknologi di
bidang pertanian secara umum. Berdasarkan
latar belakang tersebut maka dilakukan
penelitian mengenai PENGEMBANGAN
KARIER, dan
PENYULUH.
KEPUASAN KERJA
Rumusan Masalah
Berangkat dari paparan di atas dan
untuk lebih memfokuskan masalah yang
digali, maka masalah yang dibahas dalam
penelitian ini dirumuskan dalam bentuk
pernyataan penelitian
yaitu Seberapa
besar pengaruh pengembangan karier
terhadap kepuasan kerja penyuluh
perikanan
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah: Untuk
mengtahui pengaruh pengembangan karier
terhadap kepuasan kerja penyuluh perikanan
di kabupaten Bogor
KERANGKA BERPIKIR DAN
HIPOTESIS
Kerangka pikir
Adapun kerangka pemikiran penelitian
adalah untuk mengetahui:
Pengembangan Karier (X) adalah
variabel bebas kedua merupakan skor yang
diperoleh
dari
pengukuran
dengan
menggunakan angket sebagai variabel
bebas Pengembangan karier mempunyai
dua dimensi, (1) dimensi pertama yaitu
jenis pengembangan karier dan dapat
diukur dengan Promosi, Rotasi/mutasi yaitu
seberapa besar peluangnya untuk dapat
menduduki
posisi
tertentu
seperti
koordinator , penyuluh pbidang merikanan
maupun posisi lainnya, mutasi yaitu
bagaimana perputaran atau perpindahan
dari suatu jabatan atau tempat kerja yang
satu ke tempat kerja yang lainnya dan
kenaikan pangkat yaitu berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk dapat naik pangkat
satu tingkat lebih tinggi dari pangkat
59
sebelumnya, sedangkan dimensi kedua
adalah efektivitas dan dapat diukur dengan
sikap kerja dan kesesuaian jabatan. (2)
sedangkan dimensi kedua adalah efektivitas
dan dapat diukur dengan sikap kerja,yaitu
bagaimana penyuluh melakukan pekerjaan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
dalam rangka mencapai tujuan oraganisasi
dan kesesuaian jabatan yaitu
jenjang
jabatan yang dimiliki apakah sudah sesuai
dengan atuan-aturan yang ada..
pengembangan karier merupakan
faktor yang mendukung
efektivitas
individu dan organisasi dalam mencapai
tujuan yang mengarah kepada pencapaian
kebutuhan, memberi kepuasan kerja
pegawai
ataupun mengurangi ketidak
seimbangan
(sutanto
dalam
Edy
sutrisno,2012;159)Dengan demikian diduga
pengembangan
karier
secara
nyata
berpengaruh terhadap kepuasan kerja
penyuluh perikanan.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh
penyuluh yang bekerja pada Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan
dan Kehutanan baik sebagai pegawai tetap
maupun pegawai kontrak yang berjumlah
268 orang terdiri dari pegawai tetap
berjumlah 258 orang dan pegawai kontrak
berjumlah
16
orang,
dengan
memperhatikan populasi yang homogen
maka teknik sampling yang digunkanan
adalah simple random sampling (sampel
acak sederhana) yang merupakan bagian
dari propability sampling. Dari hasil
penghitungan diperoleh data tabel dalam
penelitian ini ditetapkan 51 orang jumlah
sampelnya sebagai berikut :
 Pegawai tetap
:
35 Orang
 Pegawai kontrak
:
16 Orang
Hipotesis
Dari uraian diatas maka
dapat
dikemukakan hipotesis sebagai berikut;
Diduga terdapat pengaruh pengembangan
karier terhadap kepuasan kerja penyuluh
perikanan
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
tentang
Pengaruh
Pengembangan Karier terhadap Kepuasan
Kerja Penyuluh dilaksanakan di BKP5K
Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan
selama empat bulan yaitu dari bulan
Agustus sampai dengan bulan November
2013. BKP5K adalah salah satu lembaga
teknis daerah di kabupaten Bogor yang
mengelola pegawai fungsional khususnya
Penyuluh
Pertanian,
Perikanan,
Perkebunan, Kehutanan.
60
Tabel 1. Kisi-kisi Indikator Instrumen
No
Variabel
Dimensi
1
Pengembangan
karier
Indikator
a. Jenis
Pengemban
gan Karier
1. Promosi
2. Rotasi/mutasi
3. Kenaikan pangkat
b. Efektivitas
1. Sikap Kerja
2. Kesesuaian jabatan
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Obyek
Badan
Pelaksana
Penyuluhan
Pertanian Perikanan dan Kehutanan
dibentuk
dengan
Peraturan Daerah
kabupaten Bogor Nomor 15 Tahun 2008,
tentang Pembentukan Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan.
Lembaga ini merupakan
wadah pengkoordinasian tenaga fungsional
penyuluh pertanian dan kehutanan,
peternakan dan perikanan, yang mana
sebelumnya tenaga fungsional tersebut
berada di Dinas teknis, yaitu penyuluih
pertanian dan kehutanan di Dinas Pertanian
dan Kehutanan, sedangkan penyuluh
peternakan dan perikanan berada di Dinas
Peternakan dan Perikanan.
Badan
Pelaksana
Penyuluhan
Pertanian,Perikanan
dan
Kehutanan
merupakan unsur pelaksana pemerintah
daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala
Badan
yang berada dibawah dan
bertanggungjawab kepada Bupati melalui
Sekretaris Daerah. Mempunyai
tugas
membantu Bupati dalam melaksanakan
urusan Pemerintahan Daerah di bidang
penyelenggaraan penyuluhan pertanian,
No. Item
∑ Item
1,2,3,4
5,6,7,8
9,10,11,12,1
3
14,15
4
4
5
2
16,17
18,19,20
2
4
perikanan dan kehutanan,.selain itu BKP5K
mempunyai fungsi antara, lain : Penyusun
kebijakan dan program penyuluhan daerah
yang sejalan dengan kebijakan dan program
naswional. Pegawai BKP5K adalah 282
orang terdiri dari 14 org pegawai struktural
268 pegawai fungsional, pegawai fungsional
terdiri dari 178 orang penyuluh pertanian, 35
orang penyuluh perikanan, 14 orang
penyuluh peternakan, penyuluh kehutnan 25
orang, 16 orang THL. obyek yang akan
diteliti adalah sebanak 209 pegawai
fungsional dan non fungsional. Analisa
Deskriptif Data Penelitian
Karakteristik Pegawai
Untuk
melengkapi
ataupun
memperkuat analisa tentang pengaruh dari
variabel-variabel yang diteliti, maka
disajikan berbagai karakteristik pegawai,
sebagai berikut :
a. Karakteristik Pegawai Berdasarkan
Pangkat/Golongan
Dari keseluruhan jumlah responden
yang diteliti diperoleh hasil karakteristik
responden
menurut
golongan
yakni
responden yang terbanyak mempunyai
golongan 2 yaitu 1 orang (52,38%) diikuti
oleh responden golongan 3 yakni 25 orang
(30,00%), dan responden golongan 4 sebesar
61
10 orang (17,62%). Sedangkan responden
tenaga kontrak (THL-TB) adalah 16 orang.
Uraian mengenai hal ini disajikan pada
Tabel 2. berikut
Tabel 2. Karakteristik Penyuluh Berdasarkan Pangkat/Golongan
No
Pangkat/Gol
Jumlah
1
Pengatur T.I/ II/d
1
2
Penata Muda/ III/a
2
3
Penata Muda Tk.I/ III/b
9
4
Penata/III/c
9
5
Penata Tk.I/III/d
5
6
Pembina/IV/a
10
7
Honorer (THL-TB)
16
Jumlah
51
Prosentase
1.96
3.92
17.65
15.69
9.80
19.61
31.37
100.00
Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat untuk meningkatkan kariernya ke jenjang
bahwa responden
pada level Honorer lebih tinggi.
sebanyak 16 orang atau 31,37%, golongan b. Karakteristik
Pegawai
Berdasarkan
IV/a sebanyak 10 orang atau 19,16 %,
Tingkat Pendidikan
golongan III/b sebanyak 9 orang atau
Dari jumlah responden yang diteliti
17,65%, golongan III/c sebanyak 8 orang diperoleh karakteristik responden dilihat dari
atau 15,69 %, golongan III/d sebanyak 5 tingkat pendidikan yakni
responden
orang atau 9,8 %, golongan III/a sebanyak 2 terbanyak berlatar pendidikan S-1 sebesar
orang atau 3,92 % dan penyuluh golongan 22 orang (43.14%) diikuti oleh responden
II/d sebanyak 1 orang atau1,96%.
yang berpendidikan Diploma III 14 orang
Dari data diatas dapat disimpulkan (27,45 %), SLTA/sederajat yakni 13 orang
bahwa dari sisi golongan/pangkat penyuluh (25,49 %), dan terakhir ialah responden
pertanian secara akumulatif didominasi oleh yang berlatar pendidikan Diploma IV
penyuluh golongan III yaitu sebanyak 24 sebanyak 2 orang atau 3.92%. Rincian hal
orang atau 47,6%, dengan demikian para ini disajikan pada tabel 3.berikut :
penyuluh pertanian masih dimungkinkan
Tabel 3. Karakteristik Pegawai Berdasarkan Pendidikan
No
Uraian
Jumlah
1
SLTA
13
2
Diploma III
14
3
Diploma IV
2
4
Sarjana (S1)
22
Jumlah
51
Dari tabel diatas bahwa sebagian besar
tingkat pendidikan penyuluh adalah sarjana
22 orang atau 43,14% dan Diploma IV
Prosentase
25.49
27.45
3.92
43.14
100.00
sebanyak 2 orang (3,92%), yaitu penyuluh
pertanian ahli, yang pangkat puncaknya
dapat mencapai IV/c, dengan demikian
62
kemungkinan penyuluh masih potensial
untuk mengembangkan kariernya.
c. Karakteristik Pegawai Berdasarkan Masa
Kerja
Dari jumlah responden yang diteliti
diperoleh hasil karakteristik responden
menurut masa kerja yakni responden yang
terbanyak dengan masa kerja antara 30
sampai dengan 40 tahun sebesar 86 orang
(40,95%) diikuti oleh responden dengan
masa kerja di bawah 30 tahun yakni 57
orang (27,14%), responden dengan masa
kerja antara 40 sampai dengan 50 tahun
sebesar 46 orang (21,90%) dan responden
dengan masa kerja di atas 50 tahun sebesar
21 orang (10,00%). Uraian tentang hal ini
disajikan pada tabel 5. berikut :
Tabel 4 Karakteristik Pegawai Berdasarkan Masa Kerja
No
Masa Kerja
Jumlah
1
> 5 Tahun
16
2
6 - 10 Tahun
0
3
11 - 15 Tahun
4
4
16 - 20 Tahun
7
5
21 - 25 Tahun
17
6
26 - 30 TAhun
5
7
< 30 Tahun
2
Jumlah
51
d.Karakteristik Pegawai Berdasarkan
Masa kerja Dari jumlah responden yang
diteliti
diperoleh
hasil
karakteristik
responden menurut usia yakni responden
yang terbanyak berusia antara 30 sampai
dengan 40 tahun sebesar 86 orang (40,95%)
diikuti oleh responden berusia di bawah 30
tahun yakni 57 orang (27,14%), responden
berusia antara 40 sampai dengan 50 tahun
sebesar 46 orang (21,90%) dan responden
berusia antara di atas 50 tahun sebesar 21
orang (10,00%). Uraian tentang hal ini
disajikan pada tabel 5. berikut :
Tabel 5. Karakteristik Pegawai Berdasarkan Usia
No
Usia
Jumlah
1
> 30 Tahun
6
2
30 - 35 Tahun
10
3
36 - 40 Tahun
1
4
41 - 45 Tahun
5
5
46 - 50 Tahun
16
6
51 - 55 Tahun
6
7
56 - 60 Tahun
7
Jumlah
51
Diskripsi Data Setiap Variabel
A. Pengembangan karier
Data Pengembangan Karier dari
kuesioner ini menyebar dari skor terendah
Prosen tase
31.37
7.84
13.73
33.33
9.80
3.92
100.00
Prosentase
11.76
19.61
1.96
9.80
31.37
11.76
13.73
100.00
76 dan tertinggi 94. Rentangan skor yang
muncul adalah sebesar 18 dari 76 sampai 94.
Analisis data menghasilkan rata-rata sebesar
75,84 dengan standar deviasi 3,866 dimana
63
jumlah responden yang diukur sebanyak 51.
Banyak kelas yang ditetapkan sebanyak 7
kelas dengan panjang kelas 3. Selanjutnya
distribusi frekuensi skor Pengembangan
Karier menurut aturan Sturges disajikan
pada tabel berikut:
Tabel 6 Distribusi Skor Pengembangan Karier
No
1
2
3
4
5
6
7
Interval
Kelas
66-68
69-71
72-74
75-77
78-80
81-83
84-86
Jumlah
Frekuensi Frekuensi Frekuensi
Absolut Relatif (%) Kumulatif (%)
9.80
5
9.80
9.80
5
19.61
7.84
4
27.45
39.22
20
66.67
17.65
9
84.31
11.76
6
96.08
3.92
2
100.00
51
100.00
Dari tabel tersebut dapat dilihat
bahwa sebanyak 20 responden (39,22%)
berada pada kelompok rata-rata, 14
responden (27,24%) berada pada kelompok
di bawah rata-rata dan 17 responden
(33,33%) berada di atas rata-rata. Dari data
tersebut terlihat bahwa Pengembangan
Karier para pegawai di Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan sudah cukup baik meskipun
harus ditingkatkan, hal ini terlihat dari
jawaban responden tentang Pengembangan
Karier dimana 20 responden atau 72,55%
jawabannya berada pada skor rata-rata dan
di atas rata-rata. Distribusi skor variabel
Pengembangan Karier. bahwa skor data
yang diperoleh cenderung menyebar. Skor
tengah cenderung lebih tinggi dari skor atas
dan bawah. Gambaran ini terlihat dari
histogramnya yang cenderung memiliki
angka tengah yang lebih tinggi. Hal ini
berarti bahwa data skor Variabel
Pengembangan
Karier
cenderung
mempunyai distribusi normal.
B. Kepuasan Kerja
Data Kepuasan Kerja yang berasal dari
kuesioner ini menyebar dari skor terendah
65 dan tertinggi 84. Dengan demikian,
rentangan skor yang muncul adalah sebesar
19 dari 65 sampai 84. Selanjutnya dilakukan
analisis dan hasilnya diperoleh rata-rata
sebesar 73,71 dengan tingkat standar deviasi
sebesar 3,870 dimana jumlah responden
yang diukur sebanyak 51. Banyak kelas
yang ditetapkan dalam penelitian ini terdiri
dari 7 kelas dengan panjang kelas 3.
Selanjutnya distribusi frekuensi skor
Kepuasan Kerja menurut aturan Sturges
disajikan pada tabel berikut :
64
Tabel 7. Distribusi Skor Kepuasan Kerja
No
1
2
3
4
5
6
7
Interval Frekuensi Frekuensi
Frekuensi
Kelas
Absolut Relatif (%) Kumulatif (%)
7.84
65-67
4
7.84
7.84
68-70
4
15.69
9.80
71-73
5
25.49
33.33
74-76
17
58.82
13.73
77-79
7
72.55
15.69
80-82
8
88.24
11.76
83-85
6
100.00
Jumlah
51
100.00
Dari tabel tersebut dapat dilihat
cenderung menyebar. Skor tengah
bahwa sebanyak 17 responden (33,33%)
cenderung lebih tinggi dari skor atas dan
berada pada kelompok rata-rata, 13
bawah. Gambaran ini terlihat dari
responden
(25,28%)
berada
pada
histogramnya yang cenderung memiliki
kelompok di bawah rata-rata dan 21
angka tengah yang lebih tinggi. Hal ini
responden (41,18%) berada di atas rataberarti skor Variabel Kepuasan Kerja
rata. Dari data tersebut terlihat bahwa
cenderung mempunyai distribusi normal.
Kepuasan Kerja para pegawai di Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan
PEMBAHASAN
dan Kehutanan sudah cukup baik
Pengujian Korelasi
meskipun harus ditingkatkan, hal ini
Guna mengetahui secara detail
terlihat dari jawaban responden tentang
hubungan antara variabel Pengembangan
Kepuasan Kerja dimana 38 responden atau
Karier dengan Kepuasan Kerja maka perlu
74,34% jawabannya berada pada skor ratadilakukan pengujian dengan menggunakan
rata dan di atas rata-rata. Gambaran lebih
model pengujian korelasi. Hasil pengujian
jelas mengenai distribusi skor data variabel
korelasi adalah sebagai berikut :
Kepuasan Kerja, skor data yang diperoleh
Tabel 8. Hasil Pengujian Korelasi
Kepuasan
Kerja
Pengembangan Karier
0,876
Hasil
pengolahan
data
tersebut
menjelaskan bahwa :
Nilai korelasi antara Pengembangan
Karier dengan Kepuasan Kerja pada
BKP5K memperlihatkan hasil sebesar
0.876. Dengan demikian menunjukkan
adanya hubungan positif sangat kuat antar
variabel.
Artinya
bila
variabel
Pengembangan Karier ditingkatkan maka
akan meningkatkan variabel Kepuasan
Kerja pada Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian Perikanan dan Kehutanan.
Selanjutnya dilakukan uji regresi guna
menguji hipotesis terhadap kedua variabel
yang diteliti, dan setelah dilakukan
pengolahan diperoleh hasil pengujian
sebagai berikut :
65
Konstanta
Pengembangan
Karier
Tabel 9. Hasil Uji Regresi
Unstandardized
Unstandardize
Coefficients
d Coefficients
B
Std Error
Beta
4,995
3,146
0,624
0,074
0,563
Y = a + b1X1
dimana
Y = 4,995 + 0,624X1
Hasil pengolahan data dengan uji regresi di
atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Hasil constanta menunjukkan nilai
sebesar 4,995. Dengan demikian,
variabel Kepuasan Kerja pada Badan
Pelaksana
Penyuluhan
Pertanian
Perikanan dan Kehutanan murni tanpa
adanya pengaruh oleh Pengembangan
Karier sebesar 4,995.
2. Nilai regresi b1(Pengembangan Karier)
didapat sebesar 0,624. Dengan demikian,
terdapat kontribusi oleh Variabel
Pengembangan Karier, yang berarti bila
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian
Perikanan dan Kehutanan meningkatkan
Kepuasan Kerja 1 skor maka
berpengaruh
terhadap
peningkatan
Kepuasan Kerja pada Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan sebesar 0,624 skor.
Uji Hipotesis Individu (Uji t) Dengan
kaidah :
thitung > ttabel (H0) ditolak dan (Ha) diterima,
maka ada hubungan antara X terhadap Y.
thitung < ttabel (H0) diterima dan (Ha) ditolak,
maka tidak ada hubungan antara X terhadap
Y.
α = 0,05 atau 5%
Variabel Pengembangan Karier
Hasil
pengolahan
data
menunjukkan nilai thitung sebesar 8,407
t
Sig
1,588
8,407
0,114
0,000
dimana ttabel sebesar 1,588. Dengan demikian
thitung 8,407 > ttabel 1,588 maka (H0) ditolak
dan (Ha) diterima artinya ada hubungan
antara variabel Pengembangan Karier (X)
dengan Kepuasan Kerja (Y) pada Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan
dan Kehutanan.
Sedangkan
probabilitas
hasil
sebesar 0,000 atau 0% dimana nilai α = 0,05
atau 5% dengan demikian probabilitas di
bawah nilai alpha, berarti variabel
Pengembangan Karier (X) signifikan
terhadap Kepuasan Kerja pada Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan
dan Kehutanan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
mengenai
pengaruh
Motivasi
dan
Pengembangan Karier terhadap Kepuasan
Kerja pada BKP5K dan hasil pengolahan
data terhadap variabel bebas Pengembangan
Karier (X) serta variabel terikat Kepuasan
Kerja (Y) pada Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan
dapat
diambil
beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil uji t variabel Pengembangan
Karier (X) terhadap Kepuasan Kerja (Y)
pada BKP5K menunjukkan bahwa nilai
thitung sebesar 8,407 dan ttabel sebesar
1,588 pada level significants 0,05 dan
66
probabilitas 0,000. Hal ini berarti thitung =
8,407 > ttabel = 1,588 maka H0 ditolak
dan Ha diterima, berarti terdapat
pengaruh Pengembangan Karier (X)
terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian
Perikanan dan Kehutanan.
2. Koefisien korelasi
Pengembangan
Karier (X) secara bersama-sama
terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada
BKP5K adalah 0,876 sehingga diperoleh
nilai koefisien determinasi sebesar
0,,876 atau 87,6%. Hal ini berarti bahwa
faktor-faktor lain di luar yang tidak
diteliti namun berpengaruh juga adalah
sebesar 12,4%.
Saran
1. Selain itu, untuk lebih meningkatkan
Kepuasan Kerja pada BKP5Kjuga dapat
dilakukan
melalui
pemenuhan
pengembangan Karier. Apabila para
Pegawai yang bekerja pada BKP5K
merasakan iklim kerja yang kondusif dan
adanya pola Pengembangan Karier yang
baik dalam bekerja maka bukan tidak
mungkin kepuasan Kerja pun akan
meningkat. Selain itu perlu ditekankan
prinsip “ enangilah apa yang kamu
kerjakan dan bukan kerjakanlah apa yang
kamu senangi “.
2. Apabila pengembangan karier yang
dirasakan para pegawai terpenuhi dimana
kondisinya para pegawai mempunyai
motivasi yang tinggi dalam bekerja dan
sistem kerja serta sarana dan prasarana
kerja
yang
ada
sudah
mampu
meningkatkan Pengembangan Karier
maka tidak mustahil kepuasan kerja akan
meningkat. Oleh karena itu, pimpinan
BKP5k perlu terus memotivasi para
pegawai dan menciptakan iklim kerja
yang dapat terciptanya Pengembangan
Karier untuk meningkatkan kepuasan
kerja penyuluh perikanan khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Handoko T Hani. 2002 . ”Paradigma Baru
Manajemen Sumberdaya Manusia”,
Asmara Books Jogyakarta.
Hasibuan Malahayu. 2001.DM. Sumber
Daya Manusia, Bumi Aksara Jakarta.
Mariot T.E.Hariandja,,2002, Manajemen
Sumberdaya Manusia, PT.Gramedia,
Jakarta
Panggabean, Mutiara.,S2002. Manajemen
Sumberdaya Manusia , Ghalia
Indonesia, Jakarta
Sunyoto Danang, 2012,
Sumberdaya Manusia
Seru,Jakarta
Manajemen
, PT.Buku
67
PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK Bacillus sp. TERHADAP
PROFIL KUALITAS AIR, PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN
HIDUP BENIH IKAN LELE (Clarias gariepinus)
Oleh
Yuke Eliyani, Hendria Suhrawardan*), Sujono**),
*)
Dosen Jurusan Penyuluhan Perikanan STP, **) Staff Unit Hatchery Jurluhkan Bogor
ABSTRAK
Dalam pengembangan budaiaya perikanan, probiotik dinilai memiliki peranan
penting untuk meningkatkan efektifitas kegiatan tersebut. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh pemberian probiotik Bacillus sp terhadap profil kualitas
air, kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan lele (Clarias gariepinus),
dengan melakukan pemeliharaan ikan pada beberapa perlakuan, yaitu kontrol,
penambahan bakteri dengan dosis. 10 ml/m3 serta 20 ml/m3 Nilai DO dari media
kontrol Perlakuan I dan Perlakuan II secara berturut-turut adalah 6,80 ppm; 6,89 ppm
dan 6,92 ppm. Nilai suhu mulai dari kontrol sampai perlakuan I dan II adalah 280C.
Nilai pH untuk kontrol perlakuan I dan II adalah 6,6; 6,4 dan 6,6. Berdasarkan uji
lanjut (p<0.05) dapat dilihat bahwa perlakuan I (pemberian probiotik 10 ml/m3)
memiliki nilai pertumbuhan harian tertinggi sebesar 12,52 ± 0,29b, disusul perlakuan
II (pemberian probiotik 20 ml/m3 ) sebesar 12,42 ± 0,33b, serta kontrol sebesar 10,72
± 0,09a. Perlakuan penambahan bakteri probiotik memberikan hasil yang terbaik
untuk pertumbuhan berat pada dosis 10 ml/m3 dengan nilai 12,52 ± 0,29 dibanding
dengan kontrol dan perlakuan yang lain. Tingkat kelangsungan hidup ikan uji selama
masa pemeliharaan berkisar antara 79,8 –87,5 %.
Kata kunci : benih lele, pertumbuhan, probiotik, Bacillus sp, Nitrogen
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan
suatu kegiatan
budidaya ikan sangat ditentukan oleh
berbagai faktor diantaranya adalah
kualitas air yang meliputi berbagai
parameter yakni fisika, kimia maupun
biologi. Kualitas air yang tidak
memenuhi
persyaratan
untuk
mendukung pertumbuhan ikan seringkali
disebabkan oleh berbagai faktor seperti
akumulasi bahan organik di dasar kolam
yang berasal dari feses ikan, sisa pakan,
penggunaan pupuk organik yang
berlebihan
maupun bahan lainnya.
Kondisi ini dapat ditemukan pada
budidaya dengan padat tebar tinggi
sehingga
input
produksi
yang
dibutuhkan akan semakin meningkat
pula,
contohnya
pada
kegiatan
pembesaran lele baik di ruang tertutup
seperti dalam bak, maupun di luar
ruangan seperti pada kolam tanah
ataupun terpal.
Penurunan nilai kualitas air
dalam media budidaya tentu akan
68
berpengaruh pada tingkat produksi,
sehingga berbagai upaya telah dicoba
diantaranya
dengan
memanfaatkan
mikroorganisma yang menguntungkan
atau yang lebih dikenal dengan istilah
probiotik. Probiotik dapat diaplikasikan
untuk memperbaiki kondisi kualitas air
dengan bertindak sebagai agen pengurai
berbagai unsur seperti NH3, NO3, NO2,
maupun bahan organik lainnya, dan
mampu menekan pertumbuhan populasi
alga
biru.
Beberapa
jenis
mikroorganisma
sebagai probiotik
pengurai antara lain Bacillus sp dan
Pseudomonas fluorescense (Balcazar et
al , 2006).
Efektivitas probiotik sangat
tergantung pada jenis mikroorganisma
yang digunakan karena populasi
mikroorganisma yang hidup pada suatu
lingkungan dengan kondisi fisika kimia
berbeda kemungkinan akan berbeda
pula. Akan lebih efektif apabila
probiotik menggunakan jenis mikro
organisme indigenous (asli) yaitu yang
diperoleh berasal dari lingkungan yang
sama dengan ikan yang dibudiayakan.
Mikroorganisme tersebut dipastikan
akan lebih mampu beradaptasi dengan
lokasi perlakuan dibandingkan jika
mikro
organisma
diperoleh
dari
lingkungan yang berbeda.
Pemanfaatan probiotik dalam
menekan atau mendegradasi unsur-
unsur
yang berpengaruh terhadap
kualitas air media budidaya diharapkan
tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap sistem keseimbangan ekologis
mikrobia, ramah lingkungan, serta tidak
meninggalkan residu (food security dan
food safety). Pengendalian hayati dalam
akuakultur
dengan
menggunakan
probiotik merupakan salah satu cara
yang perlu dikembangkan untuk
menciptakan sistem akuakultur yang
ramah lingkungan. Pengendalian hayati
ini dapat diterapkan pada berbagai
tahapan akuakultur dan pada berbagai
komoditas perikanan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui
pengaruh
pemberian
probiotik Bacillus sp terhadap profil
kualitas air, kelangsungan hidup dan
pertumbuhan benih ikan lele (Clarias
gariepinus).
Manfaat Penelitian
Pemberian
bakteri probiotik
Bacillus sp. diharapkan dapat digunakan
pada media pemeliharaan benih ikan lele
(Clarias gariepinus), serta diharapkan juga
dapat
diperoleh
informasi
metoda
pengaplikasiannya di lapangan.
Kerangka Permasalahan
Kerangka Permasalahan
Bakteri Probiotik
Bacillus sp.
In vitro :Kualitas
Air Media
.
In vivo :
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
69
BAHAN DAN METODA
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai
bulan September sampai dengan Oktober
2015 di Hatchery STP Jurusan
Penyuluhan Perikanan, Laboratorium
Analisis dan Kalibrasi Balai Besar
Industri Agro.
Alat dan Bahan
Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah
benih lele ukuran 4 + 0,3 cm/ekor yang
diperoleh dari pembudidaya di Parung
Kabupaten Bogor. Sebelum diberikan
perlakuan, hewan uji diadaptasikan
terlebih dahulu dalam wadah uji.
Bakteri Nitrifikasi
Bakteri
yang
digunakan
merupakan produk komersial yang
memiliki kandungan bakteri Bacillus sp.
Sumber Karbon
Sumber karbon yang digunakan
adalah molase dengan kandungan karbon
sebesar 61,45%.
Wadah dan Media Pemeliharaan
Wadah yang digunakan adalah
bak semen berukuran 100 x 150 x 80
cm3 sebanyak 9 buah sebagai wadah
pemeliharaan ikan. Pada masing-masing
bak diisi air tawar sebanyak 400 liter
dan benih ikan lele sebanyak 200
ekor/bak
lengkap dengan sistem
aerasinya.
Peralatan
Alat-alat yang digunakan meliputi
peralatan aerasi, serokan ikan, penggaris,
timbangan digital, tabung reaksi, cawan
petri, pembakar bunsen, jarum ose,
inkubator goyang (shaker), penangas air,
inkubator (suhu ruang), autoklaf, oven,
penangas air, mikropipet, heater,
termometer, pH meter, DO meter, pipet,
bulp,
gelas
piala,
erlenmeyer,
spektrofotometer, erlenmeyer, lemari es,
vortex, alumunium foil, dan tissue.
Metode Penelitian
Persiapan Wadah
Sebelum digunakan bak dicuci
dengan deterjen dan diisi air.
Selanjutnya wadah berisi air tersebut
disterilisasi
menggunakan
kaporit
dengan dosis 10 ppm dan dibiarkan
selama 4 hari, tanpa aerasi. Setelah itu
air dibuang dan wadah diisi air tawar
yang telah diendapkan sebanyak 400
liter dan diberi aerasi. Peralatan aerasi
sebelum digunakan direndam terlebih
dahulu dengan kaporit 10 ppm.
Pemeliharaan Ikan
Pemeliharaan ikan dilakukan
selama 30 hari pada bak dengan volume
air 400 liter. Jumlah ikan yang ditebar
sebanyak 200 ekor/bak dengan bobot
rata-rata 4 + 0,3 gram dan panjang ratarata 7 cm. Pemberian pakan dilakukan
sebanyak 2 kali sehari, yaitu pada pukul
07.00 dan 17.00 WIB. Jumlah pakan
yang diberikan didasarkan pada dosis 3
%biomass. Pemberian molase dilakukan
satu kali dalam seminggu pada pukul
08,00 WIB pemberian probiotik
dilakukan setiap satu minggu sekali
dengan konsentrasi masing-masing bak
perlakuan 1 sebanyak 10 ml/m3 dan bak
perlakuan 2 sebanyak 20 ml/m3.
Perlakuan
Penelitian ini dilakukan dengan
melakukan pemeliharaan ikan pada
beberapa perlakuan, yaitu kontrol,
penambahan bakteri dengan dosis. 10
ml/m3 serta 20 ml/m3.
Parameter Pengamatan
70
Selama
masa
pemeliharaan
dilakukan sampling kualitas air, yang
meliputi pH, suhu, dissolved oxygen
(DO), nitrit, nitrat,. Adapun total bakteri
dihitung diawal dan akhir penelitian.
Pengujian DO, suhu dan pH dilakukan di
Laboratorium Kualitas Air STP Jurusan
Penyuluhan
Perikanan,
sedangkan
penghitungan nitrit, nitrat dan total
bakteri dilakukan di Laboratorium
Analisis dan Kalibrasi Balai Besar
Industri Agro Bogor. Untuk parameter
tingkat kelangsungan hidup (SR),
pertumbuhan, dan efisiensi pakan
dilakukan pada akhir pengamatan.
Tingkat Kelangsungan Hidup atau
Survival Rate (SR)
Tingkat kelangsungan hidup (SR) ikan
dihitung dengan menggunakan rumus
Effendie (1979) :
𝑁𝑑
𝑆𝑅 =
π‘₯ 100%
π‘π‘œ
Keterangan :
SR = tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = jumlah ikan pada waktu panen
No = jumlah udang pada awal penebaran
Tingkat Pertumbuhan
Sampling pertumbuhan ikan uji
dilakukan
setiap
dua
minggu.
Perhitungan
pertumbuhan
harian
dilakukan
menggunakan
rumus
berdasarkan Huismann (1987).
𝑑
π‘Šπ‘‘
𝛼 = [ √( ) − 1] π‘₯ 100%
π‘Šπ‘œ
Keterangan :
α
= laju pertumbuhan bobot harian (%)
Wt
= bobot rata – rata akhir ( gr/ekor )
Wo = bobot rata – rata awal ( gr/ekor )
T
= waktu (hari)
Pertumbuhan panjang
Sampling pertumbuhan ikan uji
dilakukan
setiap
dua
minggu.
Perhitungan pertumbuhan
panjang
dilakukan
menggunakan
rumus
berdasarkan Effendie (1979):
P = Lt – Lo
Keterangan:
P = pertumbuhan panjang (cm)
Lt = panjang rata-rata ikan di akhir pemeliharaan
(cm)
Lo = panjang rata-rata ikan di awal pemeliharaan
(cm)
FCR
Pengukuran FCR dilakukan setelah
selesai pemberian pakan perlakuan pada
hari ke-30. Perhitungan yang digunakan
berdasarkan NRC (1993).
FCR = ΣF/(βˆ†B+BD) ; BD=0
Keterangan :
ΣF
= jumlah pakan (gram)
βˆ†B
= Perubahan biomassa ikan (gram)
BD = biomassa ikan mati (gram)
Penghitungan Total Bakteri
Total bakteri pada media
pemeliharaan
dihitung
dengan
menggunakan rumus =
Total Bakteri = ∑ koloni x 1 x 1
Fp ml sampel
Keterangan :
Fp = faktor pengenceran
Kualitas Air
pH dan Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan
menggunakan termometer, sedangkan
pH diukur dengan menggunakan pH
meter.
-
Nitrit (NO2 )
Konsentrasi nitrit dihitung dengan rumus
:
(NO2) mg/L = As x Cst
Ast
71
Prosedur Pengolahan Data
Keterangan :
Cst = konsentrasi larutan standar (2 mg/L)
Ast = nilai absorbansi larutan standar
As = nilai absorbansi air sampel
Penelitian
ini
menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
satu faktor. Data dianalisis dengan sidik
ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan
95%. Apabila terdapat perbedaan maka
analisis data dilanjutkan dengan uji Duncan
menggunakan program Xl-stat.
-
Nitrat (NO3 )
Konsentrasi nitrat dihitung dengan
rumus :
(NO3) mg/L = As x Cst
Ast
Keterangan :
Cst = konsentrasi larutan standar (2
mg/L)
Ast = nilai absorbansi larutan standar
As = nilai absorbansi air sampel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelimpahan Bakteri dan Kualitas Air
Penambahan bakteri probiotik dari jenis
Bacillus sp. Pada penelitian ini, memberikan
nilai kelimpahan bakteri (koloni/ml) yang
berbeda pada kontrol, perlakuan 1 serta 2.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Data Kelimpahan Bakteri (koloni/ml)
Perlakuan
Kontrol.
10 ml/m2
20 ml/m2
Tebar
2,0 x 103
2,0 x 103
2,0 x 103
Dari tabel diatas, diketahui bahwa
Jumlah total bakteri pada perlakuan I (10
ml/m3) dan II (20 ml/m3) lebih tinggi
dibandingkan kontrol, dengan nilai 1,9 x
104 koloni/ml, 3,3 x 105 koloni/ml, dan
1,9 x 105 ml/koloni. Hal ini karena
bakteri nitrifikasi yang ditambahkan ke
dalam media uji Perlakuan I dan II
mampu untuk tumbuh dan berkembang
Panen
1,9 x 104
3,3 x 105
1,9 x 105
biak, sehingga menambah jumlah
populasi bakteri dalam media uji.
Kondisi ini dapat terjadi karena
didukung oleh nilai beberapa parameter
kualitas air media uji seperti DO,pH
serta suhu yang sesuai untuk tumbuh dan
berkembangbiaknya bakteri nitrifikasi (
Tabel 2).
Tabel 2. Data Kualitas Air
Perlakuan
Kontrol.
10 ml/m2
20 ml/m2
DO
7,89
7,89
7,89
Nitrit
0,004
0,004
0,004
Awal
Nitrat
0,37
0,37
0,37
Suhu
28
28
28
pH
6,8
6,8
6,8
DO
6,80
6,89
6,92
Nitrit
0,63
0,02
0,1
Panen
Nitrat
13,1
0,22
0,22
Suhu
28
28
28
pH
6,6
6,4
6,6
72
Riple (2003) menyatakan bahwa :terdapat beberapa parameter kualitas air yang
dibutuhkan bakteri nitrifikasi, seperti oksigen terlarut, pH, suhu serta BOD (Tabel 3.).
Tabel 3. Parameter Kualitas Air untuk Bakteri Nitrifikasi
Parameter
Dissolved oxygen (DO)
Kandungan BOD
pH
Suhu
Rentan terhadap toksin
Keterangan
Nitrifikasi mengkonsumsi oksigen dalam jumlah yang besar. Bakteri
nitrifikasi membutuhkan 4.6 mg O2 untuk mengoksidasi 1 mg amonia.
Untuk dapat bekerja bakteri nitrifikasi membutuhkan DO minimal 2 mg/l
Bakteri nitrifikasi akan kalah berkompetisi dengan bakteri heterotrof dalam
perebutan DO dan nutrien. Oleh karenanya agar proses nitrifikasi dapat
mengambil alih, maka BOD terlarut harus dikurangi hingga nilainya turun
menjadi 20-30 mg/l untuk mengurangi kompetisi tersebut.
pH ideal untuk bakteri nitrifikasi adalah 7.5 – 8.5, tetapi bakteri masih dapat
beradaptasi pada pH diluar kisaran
20 – 35oC, proses nitrifikasi akan melambat drastis pada suhu dibawah 5oC
Bakteri nitrifikasi sensitif terhadap pencemar (ex: logam berat). Bakteri
nitrifikasi menjadi yang pertama mati jika ada pencemaran
Sumber : Riple (2003)
Penambahan bakteri dari kelompok
Nitrifikasi kedalam perlakuan I (10 ml/m3)
dan II (20 ml/m3 ) bertujuan untuk
mendukung proses nitritasi dan nitratasi di
dalam masing-masing media pemeliharaan
ikan uji. Reaksi dari kedua proses tersebut
adalah sebagai berikut:
Nitritasi: oksidasi amonia menjadi nitrit
oleh bakteri nitrit. Proses ini dilakukan oleh
kelompok bakteri Nitrosomonas dan
Nitrosococcus.
Nitratasi: oksidasi senyawa nitrit menjadi
nitrat oleh bakteri nitrat. Proses ini
dilakukan
oleh
kelompok
bakteri
]
Nitrobacter
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa
bakteri yang digunakan diduga dapat bekerja
sesuai dengan kedua rekasi diatas, terlihat
dari adanya perbedaan dari nilai nitrit dan
nitrat pada bak kontrol, perlakuan I dan II
(Tabel 2.). Bakteri nitrifikasi merupakan
bakteri aerobik, sehingga dalam prosesnya
selalu membutuhkan oksigen. Hal ini dapat
dilihat pada persamaan reaksi diatas,
dimana bakteri nitrifikasi membutuhkan
oksigen untuk dapat mengubah NH4+
menjadi NO3-. Ripple (2003) menyatakan
bakteri nitrifikasi membutuhkan 4.6 mg/l
oksigen untuk dapat mengoksidasi 1 mg
amonia. Dan untuk dapat bekerja bakteri
nitrifikasi membutuhkan DO minimal 2
mg/l.
Berfungsinya bakteri nitrifikasi jenis
Bacillus sp yang digunakan sebagai
probiotik dalam penelitian ini, sesuai dengan
hasil dari penelitian Cruz et al (2012),
menyatakan bahwa Bacillus sp merupakan
bakteri probiotik yang dapat diaplikasikan
untuk memperbaiki kualitas air (Tabel 4.)
73
Tabel 4. Pengaplikasian Bakteri Probiotik
Application
Water Quality
Identity of the probiotic
Bacillus sp. 48
Bacillus NL 110, Vibrio sp. NE 17
Lactobacillus acidophilus
B. coagulans SC8168
Bacillus sp., Saccharomyces sp.
Applied to aquatic species
Penaeus monodon
Macrobrachium rosenbergii
Clarias gariepinus
Pennaeus vannamei
Penaeus monodon
Sumber: Cruz et al (2012)
Subuntith et al (2012), menyatakan
bahwa penggunaan probiotik Bacillus sp
meningkatkan pertumbuhan Litopenaeus
vannamei , dan menurunkan nilai nitrit di
media uji. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang menunjukan adanya
penurunan nilai nitrit pada media
perlakuan I dan II diabndingkan dengan
kontrol, dimana masing-masing nilai
nitrit berturut-turut adalah : 0,02 ppm;
0,1 dan 0,63.
Nitrit merupakan bentuk peralihan
antara ammonia dan nitrat (nitrifikasi),
reaksinya berlangsung dengan cepat dan
dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi
ammonia yang dioksidasi sehingga
memiliki orde reaksi 2. Nitrit berbahaya
karena nitrit bergabung dengan ion
hidrogen membentuk asam nitrous
(HNO2-N) yang berupa asam kuat dan
karena tidak bermuatan listrik sehingga
dengan bebas dapat berdifusi melintasi
membran insang atau melalui transport
aktif. Mekanisme efek toksik nitrit
adalah ketika asam nitrous berdifusi ke
dalam darah melalui insang lalu bereaksi
dengan besi II (Fe2+) menghasilkan besi
III (Fe3+). Hal ini akan mengurangi
kemampuan sel darah merah untuk
mengikat oksigen, yang mengakibatkan
penyakit darah coklat (methemoglobin)
yang dapat mematikan ikan karena
kekurangan oksigen (hypoxia) (Boyd,
1990).
Bakteri Bacillus sp. banyak
digunakan sebagai probiotik karena
kemampuannya dalam menghasilkan
senyawa antimikroba yang dapat
menghambat
perkembangan
mikroorganisme lain yang merugikan.
Semua jenis golongan Bacillus akan
menghasilkan senyawa antimikroba ini
dalam kondisi tertentu apabila ada
senyawa
inducer
yang
mampu
menginduksi
biosintesis
senyawa
antimikroba ini dalam sel nya. Seperti
halnya tiram dalam memproduksi
mutiara harus diinduksi oleh benda asing
yang masuk dalam cangkangnya. Begitu
juga dengan biosintesis antimikroba ini
akan terjadi apabila diinduksi oleh
senyawa-senyawa tertentu.
Kandungan senyawa inducer ini
terdapat dalam prebiotik yang mengatur
alur metabolisme bakteri melaui
modifikasi nutrisi yang komplek. Jadi
agar probiotik berfungsi maksimal maka
harus dilengkapi dengan prebiotik yang
mengandung senyawa-senyawa inducer
yang menginduksi metabolisme bakteri
supaya
menghasilkan
metabolitmetabolit yang menguntungkan. Selain
senyawa inducer, keberhasilan probiotik
juga tergantung dari pH optimum spesies
bakteri yang terkandung dalam probiotik
tersebut. Masing-masing spesies bakteri
tersebut punya karakter spesifik dan dan
punya daya kerja pH optimum. Berikut
74
adalah daya kerja pH optimum dari
masing-masing bakteri sebagai berikut:
Tabel 5. Nilai Ph Optimum untuk Bacillus sp
Bakteri
Bacillus subtilis
Bacillus brevis
Bacillus megaterium
Bacillus polymixa
Bacillus amyloliquefaciens
Bacillus alvei
Bacillus coagulans
Bacillus licheniformis
Bacillus pumilus
pH Optimum
7.3 - 8.1
6.5 - 7.5
7.0 - 7.5
6.0 - 7.2
8.2 - 9.7
6.5 - 7.5
7.5 - 9.0
7.3 - 8.8
8.3 - 9.8
.
Beberapa produk sediaan bakteri
mengandung lebih dari tiga macam
bakteri
dengan
maksud
untuk
mengantisipasi
fluktuasi
parameter
kimia dilingkungan tersebut. Sehingga
semakin beragam kandungan bakteri
dalam suatu produk maka semakin besar
kemungkinan beberapa spesies dapat
bekerja optimum.
Nilai DO, suhu dan pH selama
masa pemeliharaan cenderung relatif
sama disemua perlakuan dan kontrol.
Nilai DO dari media kontrol Perlakuan I
dan Perlakuan II secara berturut-turut
adalah 6,80 ppm; 6,89 ppm dan 6,92
ppm. Nilai suhu mulai dari kontrol
sampai perlakuan I dan II adalah 280C.
Nilai pH untuk kontrol perlakuan I dan
II adalah 6,6; 6,4 dan 6,6. Berdasarkan
Cruz et al (2012), DO, suhu dan pH
pada penelitian ini berada dalam rentang
nilai
yang
dapat
mendukung
pertumbuhan dan perkembangbiakan
bakteri probiotik Bacillus sp.
Pertumbuhan, Kelangsungan Hidup,
dan Feed Conversi Ratio (FCR)
Berdasarkan uji statistik pada
selang kepercayaan 95%, terdapat
perbedaan nilai pertumbuhan (berat)
yang nyata antar kontrol dan perlakuan,
sedangkan antara perlakuan I dan II
tidak berbeda nyata (Gambar 1 dan
Tabel 6 ).
Gambar 1. Grafik Pertumbuhan (Berat) Ikan Uji
75
Tabel 6. Nilai Pertumbuhan (Berat) Ikan Uji
Perlakuan
Kontrol.
10 ml/m2
20 ml/m2
Tebar
4,27 ± 0,31a
4,33 ± 0,15a
4,30 ± 0,20a
Berdasarkan uji lanjut (p<0.05)
dapat dilihat bahwa perlakuan I
(pemberian probiotik
10 ml/m3)
memiliki nilai pertumbuhan harian
tertinggi sebesar 12,52 ± 0,29b, disusul
perlakuan II (pemberian probiotik 20
Sampling I
7,45 ± 0,08a
8,58 ± 0,36b
Panen
10,72 ± 0,09a
12,52 ± 0,29b
8,46 ± 0,12b
12,42 ± 0,33b
ml/m3 ) sebesar 12,42 ± 0,33b, serta
kontrol sebesar 10,72 ± 0,09a.
Nilai pertumbuhan untuk panjang
ikan uji, dapat dilihat pada Gambar 2
dan Tabel 7. Berikut ini.
Gambar 2. Grafik Pertumbuhan (Panjang) Ikan Uji
Tabel 7. Nilai Pertumbuhan (Panjang) ikan Uji
Perlakuan
Tebar
Sampling I
Panen
Kontrol.
7,4 ± 0,2a
8,1 ± 0,3a
12,2 ± 0,5a
10 ml/m2
7,4 ± 0,2a
8,6 ± 0,4ab
12,5 ± 0,3a
7,4 ± 0,2a
8,59 ± 0,1b
12,5 ± 0,4a
20 ml/m2
Berdasarkan
uji
statistik
(p<0.05), tidak terdapat beda nyata
antara perlakuan dengan kontrol. Laju
pertumbuhan ikan uji mulai dari
perlakuan I, II serta kontrol adalah 12,5
± 0,3a; 12,5 ± 0,4a dan 12,2 ± 0,5a
.Menurut Effendie, (1997) faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan ada 2,
yaitu faktor dalam (internal) dan faktor
luar (eksternal). Faktor dalam berupa
keturunan, dan jenis kelamin, . Sedangkan
faktor luar berupa ketersediaan makanan,
kualitas air, dan ruang gerak.
Tingkat kelangsungan hidup ikan
uji selama masa pemeliharaan berkisar
antara 79,8 –87,5 % (Gambar 3, dan
Tabel 8).
76
Gambar 3. Grafik Kelangsungan Hidup Ikan Uji
Tabel 8. Data Sintasan (kelangsungan hidup) ikan uji (%)
Perlakuan
Kontrol.
10 ml/m2
20 ml/m2
Tebar
100 ± 0,0
100 ± 0,0
100 ± 0,0
Berdasarkan Tabel 8, terlihat
bahwa pada selang kepercayaan 95%, uji
statistik yang dilakuan tidak memberikan
hasil yang berbeda nyata untuk kontrol
dan semua perlakuan . Hal ini
menandakan bahwa pemberian bakteri
probiotik Bacillus sp. tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap tingkat
kelangsungan hidup ikan uji selama
masa pemeliharaan.
Nilai FCR kontrol, perlakuan I
dan II, berturut-turut adalah 0,71 : 0,63;
0,60. Dari hasil perhitungan diketahui
bahwa nilai FCR tidak berbeda nyata
untuk semua perlakuan. Nilai kecernaan
menggambarkan banyaknya nutrisi yang
dapat diserap ikan dari pakan (NRC,
1993), dan berkorelasi dengan tingkat
efisiensi
terhadap
pakan
dan
pertumbuhan.
Panen
79,8 ± 5,0a
87,5 ± 8,4a
85,3 ± 75a
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penambahan bakteri probiotik
dari jenis Bacillus sp mempengaruhi
profil kualitas air untuk parameter nitrit
dengan nilai kontrol, perlakuan 1 dan 2
berturut-turut sebesar 0,63 ppm; 0,02
ppm dan 0,1 ppm. Nilai nitrat mulai
dari kontrol, perlakuan 1 dan 2 berturutturut adalah sebesar 13,1 ppm; 0,22 ppm
dan 0,22 ppm. Parameter. kualitas air
yang terdiri dari DO, suhu serta pH
pada semua perlakuan selama masa
pemeliharaan masih berada dalam
kisaran toleransi ikan uji. Perlakuan
penambahan
bakteri
probiotik
memberikan hasil yang terbaik untuk
pertumbuhan berat pada dosis 10 ml/m3
dengan nilai 12,52 ± 0,29 dibanding
dengan kontrol dan perlakuan yang lain.
Tingkat kelangsungan hidup, tidak
menunjukkan beda nyata di semua
77
perlakuan dan kontrol, dengan rentang
nilai antara 79,8 –87,5 %.
Saran
Hasil penelitian ini dapat
diaplikasikan oleh pembudidaya maupun
masayarakat luas, pada media budidaya
yang lebih luas, seperti kolam tanah atau
kolam terpal.
Perlu dilakukan
penyusunan analisa kelayakanusaha
untuk kegiatan ini
DAFTAR PUSTAKA
Balca´zar , Jose´ Luis. Ignacio de Blas.
Imanol Ruiz-Zarzuela.
David
Cunningham. Daniel Vendrell.
Jose´ Luis Mu´zquiz. Review The
role of probiotics in aquaculture.
2006. Veterinary Microbiology
114( 173–186 ).
Boyd AW. 1990. Water quality in pond
for
aquaculture.
Auburn
University.
Birmingham
Publishing Co. Alabama.
Chamberlain G, Avnimelech Y,
McIntosh RP, Velasco M. 2001.
Advantages of aerated microbial
reuse systems with balanced C/N :
Nutrient tranformation and water
quality
benefits.
Global
Aquaculture Alliance : April 2001.
Cruz,
PatriciaMart´Δ±nez., Ana L.
Ib´a˜nez., Oscar A. Monroy
Hermosillo., Hugo C. Ram´Δ±rez
Saad.
Use of Probiotics in
Aquaculture.
2012.
ISRN
Microbiology . Volume 2012,
Article ID 916845, 13 pages
culture and fisheries Wageningen
Agricultural
University.
Wageningen/Netherland.
Linggarjati, Kharisma Firdaus. Ali
Djunaedi. Subagiyo. 2013. Uji
Penggunaan Bacillus sp. sebagai
Kandidat
Probiotik
Untuk
Pemeliharaan
Rajungan
(Portunus sp.).
Journal Of
Marine Research. Volume 2,
Nomor 1 (1-6).
Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater
engineering : treatment, disposal,
and reuse. McGraw-Hill, New
York
Montoya R dan Velasco M. 2000. Role
of bacteria on nutritional and
management
strategies
in
aquaculture systems. Global
Aquaculture Alliance
National Research Council (NRC).
1993. Nutrient requirements of
fish. Sub committee on fish
nutrition, National Research
Council.
National Academic
Press (USA). 114p.
Subuntith
Nimrat.,Sunisa
.,
Suksawat ,Traimat
Boonthai.,Verapong
Vuthiphandchai.
Potential
Bacillus
probiotics enhance
bacterial numbers, water quality
and
growth
during
early
development of white shrimp
(Litopenaeus vannamei). 2012.
Veterinary MicrobiologyVolume
159, Issues 3–4, 12 October
2012, Pages 443–450
Effendie MI. 1979. Metode biologi
perikanan. Yayasan Dewi Sri.
Bogor.
Huisman EA. 1987. Principles of fish
production. Departemen of fish
78
Download