ISSN 1978-6514 Vol. 9 No. 1, Desember 2015 DEWAN REDAKSI Penanggung Jawab : Dra. Ani Leilani, M.Si Redaktur : Ir. Iis Jubaedah, M.Si Editor : Dr. Ir. Azam Bachur Zaidy, MS Dr. Ir. O.D. Subhakti Hasan, M.Si Dr. Ir. Andin H Taryoto, MS Dr. Ir. Lenny Stansye Syafei, MS Drs. Walson H Sinaga, M.Si Drs. Asep Akhmad Subagio, MM Iskandar Musa, A.Pi, MM Abdul Hanan, SP, M.Si Desain Grafis/Fotografer : Nayu Nurmalia, S.Pd., M.Si. Yuke Eliyani, S.Pi, M.Si Alvi Nur Yudistira Sujono Sekretariat : Muh. Patekai, S.St.Pi Alamat Redaksi Sub Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (UPPM) STP Jurusan Penyuluhan Perikanan Jl. Cikaret No. 2 PO BOX 155, Bogor Selatan, Bogor 16001 Telp. (0251) 8485231, Fax. (0251) 8485169 e-mail:[email protected] i Vol. 9 No. 1, Desember 2015 SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JURUSAN PENYULUHAN PERIKANAN BOGOR J. Penyuluhan Perikanan Volume 9 Nomor 1 Halaman 1 - 78 ii Bogor Desember 2015 ISSN 1978-6514 Vol. 9 No. 1, Desember 2015 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… iii ANALISIS KARYA ILMIAH SEBAGAI KOMPONEN TRI DARMA PERGURUAN TINGGI Andin Taryoto ......................................................................................... 1 - 12 PENGARUH KEDINAMISAN SUATU KELOMPOK TERHADAP FUNGSI KELOMPOK (Studi Kasus Pada Kelompok Perikanan di Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat) Abdul Hanan ........................................................................................... 13 - 25 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA PENYULUHAN (Kasus pada Kelompok Ranca Kembang Desa Luhur Jaya Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi Banten) Nayu Nurmalia, Ani Leilani, Muh. Patekkai ........................................... 26 - 34 KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK IKAN PATIN (Pangasius pangasius) Tatty Yuniarti, Romauli J Napitupulu, Iis Jubaedah, Ganjar Wiryati ... 35 - 43 STUDI KUALITAS AIR DAN KOMUNITAS PLANKTON PADA TAMBAK PESISIR KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT Dinno Sudinno, Pigoselpi Anas, Iis Jubaedah..................................... 44 - 57 PENGARUH PERKEMBANGAN KARIR TERHADAP KEPUASAN KERJA PENYULUH PERIKANAN DI BADAN KETAHANAN PANGAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BKP5K) KABUPATEN BOGOR Sobariah .................................................................................................. 58 - 67 PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK BACILLUS SP. TERHADAP PROFIL KUALITAS AIR, PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN LELE (Clarias gariepinus) Yuke Eliyani, Sujono, Hendria Suhrawardan ........................................ 68 - 78 iii ANALISIS KARYA ILMIAH SEBAGAI KOMPONEN TRI DARMA PERGURUAN TINGGI Oleh: Andin Taryoto Abstrak Menyusun karya tulis ilmiah merupakan kegiatan yang dinilai masih belum dilakukan dengan baik oleh para akademisi dan pejabat fungsional lainnya. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik merupakan aspek yang harus diperhatikan. Aspek plagiasi juga merupakan hal yang dinilai perlu diperhatikan secara khusus. Terdapat sejumlah penyebab terjadinya hal ini. Bahasan dalam analisis ini berfokus pada hal-hal tersebut, dilanjutkan dengan sejumlah rekomendasi untuk dapat memperbaikinya dimasa mendatang. Kata Kunci: penulisan karya ilmiah; plagiasi; rendahnya minat menulis PENDAHULUAN Latar Belakang Tri Dharma perguruan Tinggi adalah acuan utama bagi tenaga fungsional Dosen didalam menjalankan tugas-tugas utamanya. Komponen Tri Darma yang mencakup Pendidikan ataupun pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat, harus secara proporsional dilaksanakan oleh Dosen dalam kegiatan kesehariannya. Dengan pola pikir seperti itu, maka tidak harus terjadi bahwa Dosen hanya mementingkan kegiatan Pendidikan dan Pengajaran saja, mengesampingkan ataupun mengabaikan komponen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Untuk dapat mencapai kondisi yang mendekati ideal dalam hal keseimbangan masing-masing dharma dalam Tri Darma Perguruan tinggi, diperlukan suatu upaya khusus dari para Dosen maupun institusi para Dosen yang bersangkutan untuk secara terencana berupaya membuat keseimbangan pada tiga komponen Tri Dharma tersebut. Upaya khususnya diarahkan untuk memperbesar proporsi kegiatan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Tentu saja semuanya harus dilakukan sesuai dengan peraturan dan regulasi yang berlaku. Regulasi terbaru yang terkait dengan ketiga komponen Tri Dharma tersebut adalah Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2014. Secara rinci pedoman tersebut memutakhirkan acuan-acuan sebelumnya yang berkaitan dengan proporsi komponen-komponen Tri Dharma yang harus diperhatikan oleh para Dosen dalam hubungannya dengan jenjang kepangkatan dan jabatan fungsionalnya. Komponen Penelitian merupakan komponen yanng dinilai agak sering “tertinggal” dibandingkan dengan komponen Pendidikan dan komponen Pengabdian Masyarakat. Hal ini terutama berkaitan dengan diperlukannya upaya tersendiri untuk dapat melaksanakan kegiatan penelitian, 1 yang perlu dilanjutkan dengan upaya menuliskan hasil penelitian yang dilakukan, serta lebih lanjut lagi untuk mengolah hasil-hasil penelitian maupun hasil analisis yang dilakukan untuk dapat diterbitkan dalam media ataupun forumforum ilmiah yang diselenggarakan khusus untuk keperluan tersebut. Tulisan ini dengan demikian diarahkan untuk mencoba mengulas lebih lanjut tentang sejauh mana kegiatan yang terkait dengan Karya Ilmiah secara ideal dapat dilakukan oleh para Dosen. Pengalaman dan pengamatan penulis sebagai Anggota Dewan Redaksi pada 2 (dua) Jurnal dalam lingkup KKP dan 1 (satu) jurnal di Kementerian Pertanian menjadi pendorong utama penyusunan tulisan ini. Diharapkan bahwa dari analisis yang dilakukan dapat diperoleh beberapa pemikiran untuk memperlancar tersusunnya komponen penelitian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya di Jurusan Penyuluhan Sekolah Tinggi Perikanan. Tujuan 1. Melakukan analisis terhadap berbagai aspek kunci yang terkait dengan penyusunan karya ilmiah yang baik 2. Mengidentifikasi beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penyusunan karya ilmiah, untuk menuju perbaikan di masa mendatang 3. Mengajukan beberapa rekomendasi untuk dapat menyusun karya ilmiah yang baik. Pendekatan Analisis Analis Deskriptif digunakan dalam tulisan ini. Analisis mencakup hal-hal yang terkait dengan definisi Karya ilmiah, analisis kaidah dan acuan penulisan Karya Ilmiah, analisis aspek regulasi yang terkait dengan penulisan Karya Ilmiah, serta analisis terhadap faktor-faktor yang menghambat kelancaran penulisan Karya Ilmiah. Kajian referensi dan pustaka yang terkait dengan penulisan Karya Ilmiah dilakukan khusus untuk mendukung pelaksanaan analisis. KARYA ILMIAH Definisi dan Cakupan. Secara umum dikenal 2 (dua) kategori karya atau tulisan: Karya Ilmiah dan tulisan atau karya populer. Diantara keduanya dikenal adanya Tulisan atau Karya Ilmiah Populer, yang menunjuk pada bentuk tulisan yang menyangkut topik atau aspek ilmiah, namun disampaikan dengan bentuk gaya ataupun format bebas/populer. Tulisan populer menunjuk pada bentuk tulisan bebas yang tidak terikat dengan kaidah-kaidah penulisan baku. Sifat tulisan lebih mengarah pada ekspresi ataupun deskripsi dari pendapat, sketsa, ataupun imajinasi penulis. Sementara itu, Karya Ilmiah merupakan suatu bentuk hasil kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh mereka yang berkaitan dengan proses-proses ilmiah. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2014) menyatakan bahwa Karya Ilmiah adalah hasil penelitian atau pemikiran yang dipublikasikan dan ditulis memenuhi Kaidah Ilmiah dan Etika Keilmuan. Dari definisi ini tampak bahwa Karya Ilmiah tidak hanya mencakup suatu hasil penelitian, namun juga mencakup analisis maupun pemikiran yang bukan merupakan hasil suatu penelitian formal, 2 sejauh memenuhi Kaidah Ilmiah dan Etika Keilmuan. Dalam hal ini menarik untuk mengutip pendapat Mulyadi (2011) yang menyatakan bahwa penelitian adalah sebuah proses yang bertujuan untuk mengetahui sesuatu secara teliti serta kritis dalam mencari fakta-fakta dengan menggunakan langkah-langkah tertentu. Ditambahkan Mulyadi bahwa keinginan untuk mengetahui sesuatu tersebut secara teliti muncul karena adanya suatu masalah yang memerlukan jawaban yang benar. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) secara eksplisit menyebutkan terminologi Karya Tulis Ilmiah, buka Karya Ilmiah saja. Disebutkan dalam Peraturan Kepala LIPI No. 04/E/2012 bahwa Karya Tulis Ilmiah adalah tulisan hasil penelitian dan Pengembangan dan/atautinjauan, ulasan, kajian, dan pemikirin sistematis yang dituangkan oleh perseorngan atau kelompok yang memenuhi Kaidah Ilmiah. Selanjutnya disebutkan bahwa Kaidah Ilmiah adalah aturan baku dan berlaku umum yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Dengan demikian tampak disini bahwa istilah Karya Ilmiah dan istilah Karya Tulis Ilmiah dinilai tidak memiliki perbedaan prinsip; penyebutannya dapatlah dipertukarkan satu sama lain dalam penggunaan seharihari. Sementara itu Wahya (2012) menyatakan bahwa Karya Tulis ilmiah adalah karya tulis yang menyajikan ilmu pengetahuan, dikemas dalam format, sistematika, dan konvensi naskah tertentu, serta disampaikan dengan menggunakan bahasa yang resmi. Secara khusus dalam definisi tersebut, Wahya menambahkan faktor bahasa resmi sebagai salah satu syarat tulisan atau karya ilmiah. Untuk melakukan penilaian akreditasi terbitan berkala ilmiah yag ada di Indonesia, diterbitkan kemudian Peraturan Direkturat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI No. 49/DIKTI/Kep/2011 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah. Pedoman antara lain menyebutkan bahwa penilaian terhadap bobot dan mutu substansi lmiah terbitan berkala secara obyektif mutlak diperlukan. Disebutkan selanjutnya bahwa artikel haruslah merupakan tulisan yag didasarkan kepada penelitian empirik, atau hasil kajian teoritis dengan tujuan mengulas dan menyintesis teori-teori yang ada. Kriteria yang digunakan untuk melakukan penilaian itu adalah: (1) cakupan keilmuan; semakin dalam spesialisasinya, semakin tinggi nilainya; (2) aspirasi wawasan; meliputi luas wilayah pengembangan, jumah pembaca, ruang lingkup dan wilayah geografi dan lainnya; (3) kepioneran ilmiah/orisinalitas Karya; (4) makna sumbangan bagi kemajuan; (5) dampak ilmiah; (6) Nisbah sumber aacuan primer berbanding sumber lainnya; (7) derajat kemutakhiran pustaka acuan, (8) analisis dan sintesis, serta (9) Penyimpulan dan pengamatan. Tampak disini pihak Kementerian Pendidikan Nasional ingin benar-benar menjaga bobot dan mutu karya ilmiah yang diterbitkan lembaga-lembaga yang berada dalam binaan dan cakupan kerjanya. Menjadi menarik untuk mengidentifikasi lebih lanjut apa yang disebut sebagai Kaidah Ilmiah dan etika keilmuan. Mulyadi (2011) menyebutkan bahwa kaidah ilmiah sangat berkaitan dengan kegiatan 3 penelitian, yang pada hakekatnya merupakan kegiatan yang dilakukan untuk berupaya menemukan kembali sesuatu yang hilang atau belum ditemukan. Simatupang (2003) menyatakan bahwa Kaidah Ilmiah berkaitan dengan kegiatan pengumpulan informasi secara sistematis dan penarikan kesimpulan yang logis dari informasi tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soeharso dan Widiastuti (2015), yang menyatakan bahwa suatu Karya ilmiah haruslah memiliki ciri-ciri menyajikan fakta obyektif, tidak emosional, disusun secara sistematis, konseptual dan prosedural, serta tidak bersifat argumentatif. Selanjutnya, penulisan karya ilmiah tersebut menurut Dwiloka dan Riana (2012) harus didukung oleh pemilihan topik dan pembatasan topik yang dibahas, serta didukung oleh penyusunan kerangka maupun pengorganisasian tulisan yang baik. Melalui Peraturan Ketua LIPI No. 04/E/2012, disebutkan bahwa Kaidah Ilmiah adalah aturan baku dan berlaku umum yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut dinyatakan dalam peraturan ini bahwa suatu Karya Tulis Ilmiah yang memenuhi kaildah ilmiah adalah karya tulis yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Logis; terdapat kerunutan penjelasan dari data dan informasi yang digunakan; (2) Obyektif; data dan informasi yang digunakan sesuai dengan fakta sebenarnya; (3) Sistematis; data dan informasi diperoleh dari hasil kajian dengan mengikuti urutan pola pikir yang terencana, konsisten, dan berkelanjutan; (4) Andal; data dan informasi yang diperoleh maupun yang digunakan teruji secara sahih dan memungkinkan untuk terus dikaji ulang; (5) Desain; dilakukan secara terencana, denngan mengikuti suatu rancangan kegiatan tertentu; (6) Akumulatif; merupakan kumpulan dari berbagai sumber yang diakui kebenarannya dan keberadaannya, serta memberikan kontribusi bagi khasanah ilmu pengetahuan. Kaidah Bahasa Indonesia yang digunakan. Terdapat berbagai variasi dalam penetapan aturan penggunaan bahasa untuk penulisan ilmiah. Namun demikian dapat dinyatakan bahwa semuanya mengacu kepada Pedoman umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, seperti yang dinyatakan dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/87 tanggal 9 September 1987. Acuan yang ditetapkan oleh Universitas Indonesia (2008), misalnya, menyebutkan bahwa Tugas Akhir (TA) adalah karya ilmiah yang disusun menurut kaidah keilmuan dan ditulis berdasarkan kaidah Bahasa Indonesia, di bawah pengawasan atau pengarahan dosen pembimbing, untuk memenuhi kriteria-kriteria kualitas yang telah ditetapkan sesuai keilmuannya masingmasing1. Program Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, memiliki pedoman tersendiri dalam hal penulisan tesis pada program ini2. Dalam hal Bahasa, misalnya, disebutkan bahwa bahas Indonesia yang digunakan haruslah berupa Bahasa Indonesia yang 1 http://www.ui.ac.id/download/files/PedomanTA-UI-2008.pdf 2 http://luk.staff.ugm.ac.id/riset/panduan/feb/ Maksi2009.pdf 4 baku, dengan adanya subyek, predikat maupun ditambah dengan obyek dan keterangan. Disebutkan juga bahwa istilah yang digunakan dalam penulisan adalah istilah Indonesia, ataupun istilah yang telah di-Indonesia-kan. Pedoman juga memuat tentang kesalahankesalahan yang sering terjadi, yaitu misalnya kata penghubung ditempatkan diawal kalimat, penggunaan tanda baca yang tidak tepat, dsb. Dalam pada itu Universitas Pendidikan Indonesia (2014) memberi peluang adanya karya ilmiah yang ditulis selain dengan menggunakan bahasa Indonesia; karya ilmiah dapat ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda maupun bahasa Inggris. Kaidahkaidah bahasa terkait dengan demikian juga harus diikuti secara konsisten. Universitas Katolik Parahayangan juga membolehkan mahasiswa menggunakan bahasa pengantar Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam menuliskan tesis akhirnya (Universitas Katolik Parahyangan, 2012). Universitas Trisakti pada tahun 2013 menetapkan juga suatu Pedoman dalam penulisan Skripsi3. Dalam pedoman antara lain disebutkan bahwa: (a) Skripsi ditulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang telah dibakukan, baik kata-kata maupun ejaannya; (b) istilah-istilah yang digunakan adalah istilah dalam Bahasa Indonesia, atau yang sudah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia; (c) istilah dalam bahasa asing yang tidak ada padanan kata dalam Bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring; dan (d) kalimat harus jelas maksud dan artinya serta 3 http://www.trisakti.ac.id/fh/files/bagian_isi_ juknis%20skripsi%2022%20Juli%202013.pdf disusun secara singkat dan jelas. Sementara itu, STIE Widya Dharma Surabaya (Usman, 2013), menyebutkan bahwa: Penulisan karya ilmiah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas, tepat, formal, dan lugas.Setiap paragaf berisi satu ide pokok penulis yang biasanya dikemukakan pada kalimat pertama. Oleh karena itu, sebaiknya kalimat pertama setiap paragaf tidak dimulai dengan kutipan (langsung atau tidak langsung) untuk menghindari kesan bahwa ide pokok dalam paragaf tersebut bukanlah ide pokok penulis tetapi ide pokok orang lain (hal. 46). Secara teoritik, menurut Resmini (2003) bahasa yang digunakan dalam artikel ilmiah harus mencakup sifat-sifat Obyektif, impersona, Teknis, dan Praktis. Bahasa yang Obyektif adalah bahasa yang menggambarkan sesuatu pengalaman yang bagi semua pemakai bahasa. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keobjektifan bahasa adalah dengan menghindari atau meminimalkan pendapat dan sikap pribadi dalam melakukan analisis. Sifat impersona digunakan untuk menunjukkan bahwa penulis berupaya untuk tidak terlibat secara pribadi dalam karya ilmiah yanng disusun. Untuk itu dalam penulisan tidak digunakan katakata ganti saya, kami, kita, atau penulis, untuk menghindari ekspresi yang personal dan subyektif. Sifat Teknis berkaitan dengan penggunaan istilahistilah teknis yang sangat spesifik pada disiplin ilmu yang terkait dengan tulisan ilmiah. Istilah Teknis tersebut dapat digunakan, sejauh dinilai dapat 5 dimengerti oleh khalayak pembaca. Apabila diperlukan, dapat ditambahkan penjelasan atau keteranngan terhadap istilah Teknis yang sangat spesifik. Terakhir, sifat Praktis digunakan untuk menghindari bahasa yang berkepanjangan dan yang menimbulkan ketidak-pastian. Uraian-uraian ini menunjukkan bahwa aspek bahasa menempati peran yang sangat utama dalam penulisan karya ilmiah. PLAGIASI Kegiatan yang dinilai sangat mencederai kehidupan akademik adalah kegiatan Plagiasi. Kegiatan ini berkaitan dengan dilakukannya pengutipan karya ilmiah secara tidak sepatutnya. Begitu pentingnya kegiatan Plagiasi ini untuk dihindarkan terjadinya, sehingga secara khusus terdapat aturan resmi dari pemerintah Indonesia untuk menangkalnya. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulanngan Plagiat di Pergurun Tinggi, diatur berbagai hal yang perlu dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kegiatan plagiasi. Plagiat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut dinyatakan sebagai: ….perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai utuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai (Pasal 1) Dalam artikel Panduan Anti Plagiarism4, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada menyebutkan bahwa terdapat 6 (enam) lingkup Plagiarisme: (1) Mengutip kata-kata atau kalimat orang lain tanpa menggunakan tanda kutip dan tanpa menyebutkan identitas sumbernya, (2) Menggunakan gagasan, pandangan atau teori orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya, (3) Menggunakan fakta (data, informasi) milik orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya, (4) Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri, (5) Melakukan parafrase (mengubah kalimat orang lain ke dalam susunan kalimat sendiri tanpa mengubah idenya) tanpa menyebutkan identitas sumbernya, dan (6) Menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan /atau telah dipublikasikan oleh pihak lain seolah-olah sebagai karya sendiri. Satu hal yag dinilai menjadi kunci untuk menghindarkan diri dari kegiatan Plagiasi adalah upaya untuk secara berkelanjutan mengembangkan kemampuan dan potensi diri pihak-pihak yang akan dan sedang menghasilkan karya ilmiah. Apabila hal ini terus diupayakan, dapat diharapkan terjadinya plagiasi dapat dihindarkan. Hal yang benar-benar harus diwaqspadai adalah adanya definisi Plagiat yang menyebutkan bahwa ketoidaksengajaanpun dapat menjadi penyebab terjadinya plagiasi. Hal ini yang harus dengan baik dicermati, sehingga faktor ketidak-sengajaan harus juga diupayakan untuk tidak dilakukan. Aryani (2014) menemukan bahwa penyebab perilaku 4 http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=327 6 plagiat mahasiswa UNM yaitu : (1) tidak yakin dengan kemampuan diri, (2) malas mengerjakan tugas, (3) kesulitan mencari buku referensi, (4) penyalahgunaan teknologi komputer (copy-paste), dan (5) tidak tahu batasan dan sanksi plagiat. penyebab pertama sampai keempat bersifat internal pelaku plagiat, sehingga layak untuk mendapatkan sanksi. Namun demikian, penyebab kelima perlu secara khusus diperhatikan, karena penyebab ini adalah penyebab yang bersifat eksternal, sehingga seyogyanya dapat dihindarkan melalui sosialisasi yang memadai tentang kriteria plagiasi secara massal. Pada tanggal 17 Februari 2014 Profesor Anggito Abimanyu mundur sebagai dosen UGM karena indikasi plagiasi yang dilakukannya, Majalah Tempo (18 Februari 2014) menyebutkan setidaknya terdapat 8 (delapan) kasus plagiasi yang menjadi pembicaraan di Indonesia sejak tahun 1949 sampai dengan tahun 2010.5 Indikasi plagiasi berkaitan dengan standar cara pengutipan yang berbeda, meniru sebagian besar tesis orang lain untuk kepentingan plagiator, adanya laporan pihak ketiga, sampai dengan menggunakan data pihak lain tanpa penyebutan sumber yang jelas. Berbagai hal tersebut berkaitan dengan indikasi plagiasi karena kesengajaan, maupun karena ke-tidak-sengaja-an. Untuk kasus plagiasi karena kesengajaan, maka secara akademik hal tersebut jelas merupakan pelanggaran aturan yang ada, termasuk juga pelanggaran kode etik 5 http://nasional.tempo.co/read/news/2014/02/ 18/0 78555420/8-kasus-plagiat-yangmenghebohkan-indonesia ilmiah. Kesengjaan melakukan plagiasi dengan demikian jelas harus dihindari. Hal yang memerlukan pencermatan lebih lanjut adalah kejadian plagiasi yang tidak disengaja; kondisi ini dapat dihindari dengan benar-benar memahami aturan baku yang terkait dengan tindakan plagiasi ini. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 17 tahun 2010 dapat dijadikan sebagai acuan dasar untuk keperluan ini. Hal-hal yang dinilai sebagai unsur plagiasi dalam peraturan tersebut (Pasal 2) antara lain adalah: a. mengacu dan/atau mengutip istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai; b. mengacu dan/atau mengutip secara acak istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau menyatakan sumber secara memadai; c. menggunakan sumber gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; d. merumuskan dengan kata-kata dan/atau kalimat sendiri dari sumber kata-kata dan/atau kalimat, gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; e. menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara memadai 7 Lima hal diatas memiliki suatu kata kunci: tanpa menyatakan sumber secara memadai. Dengan demikian, plagiasi dapat dihindarkan sejauh pengutipan yang dilakukan saat menyusun suatu karya ilmiah diikuti dengnan penyebutan sumber yang dikutip secara lengkap dan memadai. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa kutipan hanya dilakukan sejauh hal tersebut diperlukan untuk mendukung argumentasi atau pernyataan penulis karya ilmiah dari hasil-hasil analisisnya. Niat baik penulis karya ilmiah untuk menekankan karya sendiri sebagai hal yang utama harus menjadi semangat para penulis karya ilmiah; tulisan ataupun data dan informasi dari penulis lain haruslah ditempatkan sebagai penunjang ataupun pembanding saja. Terkait dengan kasus profesor Anggito Abimanyu, Damang (2014)6 menyatakan bahwa tiga pelajaran yang dapat diambil adalah: (1) negara harus bertanggung jawab untuk membiasakan budaya membaca terhadap semua kalangan; (2) sosialisasi anti plagiarisme perlu digalakkan secara dini; dan (3) institusi pendidikan harus secara rutin mengajarkan ilmu tentang metode penulisan dan karya ilmiah, termasuk cara mengutip yang benar dari berbagi sumber rujukan. Hampir setiap universitas di Amerika Serikat memiliki peraturan maupun komite yang secara khusus menangani urusan penulisan ilmiah dan plagiasi ini. Purdue University, misalnya, memiliki Komisi Penulisan Ilmiah (Council of Writing Program Administrators)7 yang menangani penulisan ilmiah dan plagiasi di lingkup universitas tersebut. Harvard Collage memiliki Harvard College Writing Program8, sementara di Indiana 9 University , School of Education ditugasi untuk mensosialisasikan norma tentang plagiasi ini. Dinilai bahwa perguruan tinggi di Indonesiapun perlu untuk memikirkan ditetapkannya suatu unit kerja yang secara khusus menangani masalah penulisan ilmiah dan plagiasi ini. Sementara itu, kemajuan teknologi komunikasi saat ini telah dimanfaatkan pula untuk mendukung upaya menekan terjadinya plagiasi ini, yaitu misalnya dengan adanya berbagai software untuk mengecek dan mengontrol terjadinya plagiasi ini1011. MINAT MENULIS KARYA ILMIAH Dengan difahaminya ramburambu penulisan ilmiah, prinsip-prinsip dasar serta aturan-aturan baku tulisan ilmiah, serta bahasan tentang plagiasi, faktor-faktor penting terkait dengan karya tulis ilmiah telah diuraikan. Para peneliti sangat berkepentingan dengan hal penulisan ilmiah ini, karena penulisan ilmiah adalah bagian utama kegiatan keseharian para peneliti. Bagi pemangku jabatan fungsional dosen serta penyuluh, aturan pendukung telah pula 7 8 9 10 6 http://www.negarahukum.com/hukum/belajardari-kasus-plagiarisme-anggito-abimanyu.html 11 https://owl.english.purdue.edu/owl/resource/ 589/01/ http://isites.harvard.edu/icb/icb.do?keyword= k70847&pageid=icb.page342054 http://www.indiana.edu/~wts/pamphlets/ plagiarism.shtml#strategies http://www.plagtracker.com/ http://www.dustball.com/cs/plagiarism. checker/ 8 ditetapkan, terutama yang berkaitan dengan tingginya nilai angka kredit terhadap tulisan ilmiah yang dihasilkan, termasuk pula tulisan ilmiah populer. Hal ini seyogyanya dipandang sebagai aspek pendukung dan pendorong bagi pada dosen dan penyuluh untuk mengalokasikan perhatian dan waktunya terhadap kegiatan penulisan ilmiah ini. Berlawanan dengan tingginya insentif angka kredit terhdap tulisan ilmiah, terdapat indikasi bahwa minat menulis karya ilmiah di Indonesia saat ini dinilai masih rendah12. Sejumlah analisis telah dilakukan untuk mengetahui penyebab dari rendahnya minat menulis ilmiah ini. Mudasir 13 (2014) mengidentifikasi bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi rendahnya minat menulis artikel ilmiah di Indonesia antara lain adalah kurangnya pengetahuan tentang cara menulis ilmiah yang baik, penghargaan dari perguruan tinggi terkait masih rendah, serta situasi jurnal ilmiah di Indonesia belum optimal (copy terbatas, sirkulasi terbatas, tidak dilanggan oleh perpustakaan). Dikemukakan selanjutnya bahwa mengingat abstrak tulisan ilmiah dalam bahasa Inggris tidak dilakukan dengan baik, maka tulissan ilmiah dari Indonesia masih terbatas dikutip dalam khasanah tulisan ilmiah internasional. Dalam pada itu, Aziz (2011) menyatakan bahwa rendahnya minat 12 13 http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/ index-berita-bulanan/2014/berita-bulan-april2014/816-minat-ilmuwan-menulis-jurnalilmiah-dinilai-rendah https://ugm.ac.id/id/berita/8905minat.menulis.jurnal.ilmiah.di.indonesia.rend ah menulis ilmiah sangat terkait dengan indikasi bahwa mahasiswa Indonesia saat ini dinilai cenderung berpikir pragmatis; menulis dinilai memerlukan waktu panjang dan untuk menikmati hasilnya juga diperlukan waktu yang panjang. Digabungkan dengan indikasi kurangnya kesadaran temtang manfaat menulis serta kurangnya penghargaan dari perguruang tinggi terkait, maka minat menulis ilmiah menjadi kurang berkembang. Khusus tentang rendahnya minat menulis mahasiswa ini, Darain (2014)14 menyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi kurangnya minat menulis ilmiah mahasiswa adalah rendahnya minat baca mahasiswa, kurangnya sosialisasi dan pembinaan dari pihak kampus kepada mahasiswa, terbatasnya forum-forum diskusi atau organisasi mahasiswa yang membidangi pembinaan karya tulis mahasiswa, tidak adanya pengakuan dari pemerintah terhadap karya tulis mahasiswa yang berkualitas, serta minat/keengganan dari mahasiswa itu sendiri untuk mau menulis. Saihu (2013) dalam skripsinya menemukan bahwa minat mahasiswa Program Studi Seni Rupa Universitas Negeri Malang dalam menulis karya ilmiah adalah rendah. Faktor yang mempengaruhi minat mahasiswa Program Studi Seni Rupa Universitas Negeri Malang dalam menulis karya ilmiah adalah faktor frekuensi membaca, frekuensi menulis, pemahaman karya tulis ilmiah, dan motivasi. Implikasi dari indikasi ini adalah bahwa pengajar 14 http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/ 2014/09/07/116066/menelisik-rendahnyaminat-menulis-mahasiswa/ 9 matakuliah yang berkaitan dengan penulisan karya ilmiah harus mampu mendorong mahasiswa untuk bisa lebih berminat menulis karya ilmiah, dengan mengembangkan metoda pengajaran yang lebih variatif. Lebih lanjut analisis Krisanto (2011) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi rendahnya minat membaca dan menulis mahasiswa UKSW Salatiga adalah rendahnya keterlibahan dalam aktivitas pers mahasiswa, rendahnya hasil karya tulis mahasiswa yang terekspose, rendahnya jumlah kelompok diskusi mahasiswa, serta rendahnya jumlah kunjungan mahasiswa ke perpustakaan. Kristanto menunjukkan dari hasil analisisnya bahwa minat menulis sangat berkaitan denga minat membaca. Dari sisi pengajarpun terdapat indikasi tentang rendahnya minat menulis ilmiah ini. Rendahnya minat dosen menulis terkait dengan penyebab rendahnya kemampuan menulis, serta belum dikembangkannya secara 15 sistematis budaya menulis ini . Sutikno (2014) menyebutkan bahwa rendahnya publikasi ilmiah peneliti dari perguruan tinggi di Indonesia pada jurnal ilmiah bereputasi international merupakan faktor penting penghalang masuk ke jajaran world class university16. Sagala (2013) menghubungkan rendahnya minat menulis dosen ini dengnan rendahnya pendapatan yang mereka 15 16 http://www.republikapenerbit.com/artikel/ detail_ info/62 http://unnes.ac.id/berita/publikasi- ilmiahpeneliti-di-perguruan-tinggi-indonesia-masihrendah/ terima17 Untuk kalangan guru, Larasati (2014) menemukan bahwa faktor-faktor penghambat penulisan karya ilmiah Guru di Yogyakarta adalah keterbatasan waktu karena tuntutan administratif Guru, tugas mengajar, dan keperluan pribadi; gagasan penulisan karya tulis ilmiah tidak dapat dikembangkan dengan baik karena tidak adanya pembimbing dan terbatasnya referensi; faktor sosialisasi oleh pihak terkait belum optimal; serta faktor rendahnya motivasi guru karena usia dan belum adanya pihak yang menginisisasi para guru untuk menulis karya tulis ilmiah. Tampak dari uraian ini bahwa secara umum minat menulis maupun meneliti dalam lingkungan pendidikan memang masih memerlukan upaya-upaya tersendiri untuk dapat terus meningkatkannya. Cukup tingginya angka kredit bagi karya-karya ilmiah seyogyanya menjadi salah satu pendorong utama meningkatkan minat meneliti dqn menulis karya ilmiah tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Karya ilmiah atau karya tulis ilmiah menjadi salah satu penciri kegiatan akademik yang penting di dunia pendidikan, terutama terkait denngan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi. Karya ilmiah menjadi media untuk menyampaikan hasil penelitian maupun analisis yang ditujukan untuk keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, sekaligus media mengekspresikan pendapat dan 17 http://www.jurnalasia.com/2013/12/30/ terkait- kesejahteraankecil-rendah-minatdosen-menulis-buku/ 10 pemikiran penulis secara ilmiah. Pemenuhan kaidah-kaidah ilmiah menjadi kunci utama untuk menilai bobot ke-ilmiah-an karya tulis yang bersanngkutan. Penggunaan bahasa Indonesia baku maupun bahasa lainnya menjadi keharusan suatu karya ilmiah. Perlu dihindari penggunaan bahasa sehari-hari dalam tulisan ilmiah, agar kaidah ilmiah dapat dipertahankan. Kaidah-kaidah yang tercantum dalam Pedoman umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan harus diterapkan secara konsisten. Pencantuman Abstrak dalam bahasa Inggris yang benar juga harus mendapatkan perhatian untuk kesempurnaan karya ilmiah yanng dihasilkan. Dengan cara ini derajat ilmiah dapat dipertahankan dan dikembangkan, sementara abstrak dalam bahasa Inggris akan menjadi sarana pengenalan dan penyebarluasan karya ilmiah yang dihasilkan di Indonesia kepada forum ilmiah internasional. Plagiasi merupakan hal yang harus dihindarkan secara terus menerus dalam khasanah pengembangan karya ilmiah di Indonesia. Berbagai kejadian plagiasi beserta dampak negatifnya perlu menjadi pelajaran untuk tidak harus terulang lagi. Semangat untuk memahami kegiatan yang termasuk sebagai kegiatan plagiat, serta upaya untuk selalu mencantumkan sumber referensi secara baik dan benar, menjadi salah satu cara untuk secara terencana menghindari terjadinya phenomena plagiasi. Perlu terus diupayakan untuk meningkatkan minat menghasilkan karya ilmiah oleh para pelaku kegiatan pendidikan di Indonesia. Disamping upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh institusi, kesadaran bahwa karya ilmiah mendapatkan nilai kredit yang tinggi dalam penilaian peringkat tenaga fungsional pendidikan harus juga menjadi pendorong secara internal untuk keperluan ini. PUSTAKA Aryani, Farida. 2014. Studi Tentang Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Plagiat Mahasiswa UNM. Thesis Universitas Negeri Makassar. http://digilib.unm.ac.id/gdl.php?mod =browse&op=read&id=unmdigilib-unm-faridaarya-304 Aziz, abdul W. 2011. Mahasiswa Enggan Menulis Ilmiah, Tanya Kenapa? http://celotehaziz.blogdetik.com/2 011/04/15/mahasiswa-engganmenulis-ilmiah-tanya-kenapa/ Direktorat Jenderal Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen. Jakarta. Dwiloka, Bambang dan Rati Riana. 2012. Teknis Menulis Karya Ilmiah. PT Rineka Cipta. Jakarta. Krisanto, Yakub A. (2014). Kecenderungan Kurangnya Minat Mahasiswa dalam Membaca dan Menulis. http://www.kompasiana.com/yakuba di/kecenderungan-kurangnya-minat- mahasiswa-dalam-membaca-danmenulis_550093aa813311491afa7 b65 11 Larasati, Rahma R. 2014. Faktor-faktor Penghambat Penulisan Karya Tulis Ilmiah Dalam Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Guru SDN Lempuyangwangi Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta. Mulyadi, M. 2011. Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif serta Pemikiran Dasar Menggabungkannya. Jurnal Studi Komunikasi dan Media. Vol. 15 No. 1. Resmini, Novi. 2003. Penggunaan Bahasa dalam Artikel Ilmiah. Makalah Lokakarya Lomba Karya Tulis Mahasiswa dan Program Kreativitas Mahasiswa Tingkat FPBS UPI. 10 September 2003. Saihu, Ahmad. 2013. Minat Mahasiswa Program Studi Seni Rupa Universitas Negeri Malang dalam Menulis Karya Ilmiah. Skripsi, Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Simatupang, Pantjar. 2003. Analisis Kebijakan: Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 1 No. 1. Soeharso, Y dan Eko H. Widiastuti, 2015. Panduan Penulisan Karya Ilmiah. Majalah Ilmiah Pawiyatan. Edisi Khusus. Vol. XXII, No. 2. Universitas Katolik Parahyangan. 2012. Pedoman Penulisan Tesis. Program Pasca Sarjana UNPAR. Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia. 2014. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia Tahun 2014. UPI. Bandung. Usman, M. 2013. Pedoman Penulisan Skripsi. STIE Widya Dharma. Surabaya. 12 PENGARUH KEDINAMISAN SUATU KELOMPOK TERHADAP FUNGSI KELOMPOK (Studi Kasus Pada Kelompok Perikanan di Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat) Oleh: Abdul Hanan Dosen Jurusan penyuluhan Perikanan Sekolah tinggi Perikanan ABSTRAK Hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia kelompok 63,3% pada rata-rata 3,7 tahun, kelas kelompok menunjukkan 43,3% berada pada kelas yang tinggi (utama), namun yang berada di kelas pemula juga persentasenya mencapai 36,6%. Jika dirata-ratakan maka kelas kelompok di Kabupaten bekasi pada kelas madya. Sebanyak 80% dari kelompok perikanan, jumlah anggota dengan rata-rata 25 orang. Unsur dinamika kelompok pada interval 53,4 % - 93,3%. Namun demikian pada unsur “Suasana Kelompok” tidak ada kelompok yang katagorinya baik, dan pada unsur dinamika kelompok “Keberhasilan kelompok tidak ada kelompok dengan katgori rendah. Nilai Korelasi Faktor Internal kelompok dan tiga fiungsi kelompok memperlihatkan unsur “tekanan pada kelompok” berhubungan erat dengan fungsi kelompok sebagai unir produksi ( 0,378), Sedangkan unsur Keberhasilan kelompok ternyata berhubungan erat dengan berfungsi baiknya kelompok sebagai kelas belajar (0,400) dan berhubungan sangat erat pada unit kerjasama (0,771). Nilai Korelasi delapan unsur dinamika kelompok hanya unsur” pengembangan dan pemeliharaan kelompok yang berhubungan erat dengan usia kelompok (0,393). Sedangkan usur dinamika kelompok lainnya tidak begitu erat hubunganya dengan berfungsi atau belum berfungsinya suatu kelompok perikanan. Nilai Korelasi Antar Unsur Dinamika Kelompok memperlihatkan bahwa tujuan kelompok berhubungan sangat erat dengan struktur kelompok (0,378) dan unsur pengembangan dan pemeliharaan kelompok (0,503). Sedangkan unsur pengembangan kelompok berhubungan erat dengan terbentuknya suasana kelompok yang kondusif (0,422) Nilai Korelasi Antar Fungsi Kelompok menunjukkan bahwa bila kelompok sebagai unit usaha bersama berfungsi dengan baik, maka fungsi sebagai kelas belajarpun akan berfungsi dengan baik, dan demikian sebaliknya. Sedangkan fungsi kelompok yang lain tetap masih ada hubungan yang timbal balik namum pada kasusu kelompok perikanan di Kabupoaten bekasi belum memperlihatkan keeratan yang kuat antar fungsi kelompok sebagai kelas belajar dengan sebagai unit produksi. Kata Kunci: Kelompok, Dinamika, Fungsi, Pelaku Utama PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan Perikanan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Karena tujuan penyuluhan jangka panjang adalah terjadi peningkatan taraf hidup masyarakat, maka hal ini hanya dapat dicapai apabila masyarakat telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut. A. Better Fisheries, mau dan mampu mengubah cara-cara usaha perikanan yang lebih baik, b. Better Business, berusaha yang lebih menguntungkan, mau dan mampu 13 menjauhi para pengijon, lintah darat, dan melakukan teknis pemasaran yang benar, c. Better living, hidup lebih baik dengan mampu menghemat, tidak berfoya-foya dan setelah berlangsungnya masa panen, bisa menabung, bekerja sama memperbaiki hygiene lingkungan, dan mampu mencari alternatif lain dalam hal usaha, misal mendirikan industri rumah tangga yang lain dengan mengikutsertakan keluarganya guna mengisi kekosongan waktu selama menunggu panenan berikutnya. Permasalahan; dalam penelitian ini; fungsi kelompok belum berjalan sesuai harapan karena unsur-unsur dinamika kelompok belum dijalankan, lemahnya dinamika kelompok karena Kohesi/persatuan, Motif/dorongan, Struktur, Pimpinan dan Perkembangan kelompok yang belum baik, Kompetensi pembina kelompok belum sepenuhnya paham pentingnya dinamika kelompok. Adapun tujuan Penelitian; Menjelaskan pengaruh unsur dinamika terhadap fungsi kelompok sebagai kelas belajar, Menjelaskan pengaruh unsur dinamika terhad fungsi kelompok sebagai wadah kerjasama produksi, Menjelaskan pengaruh unsur dinamika terhad fungsi kelompok sebagai unit usaha bersama. Kegunaan Penelitian; Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan kelompok, Memberikan masukan kepada stakeholder terkait dengan kebijakan pembinaan kelompok. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kelembagaan Pelaku Utama Kelembagaan pelaku utama perikanan adalah kumpulan para pelaku utama yang terdiri dari nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan yang terikat secara informal atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta di dalam lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang ketua kelompok pelaku utama kelautan dan perikanan. Kelembagaan pelaku utama kegiatan perikanan dapat berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau korporasi. Fungsi Kelembagaan Pelaku Utama Perikanan a. Wadah Proses Pembelajaran Sebagai wadah proses pembelajaran, kelembagaan pelaku utama perikanan merupakan media interaksi belajar antar pelaku utama dari anggota kelompoknya. b. Wahana Kerjasama Sebagai wahana kerjasama, kelembagaan pelaku utama perikanan merupakan cerminan dari keberadaan suatu kelompok. Kelembagaan pelaku utama perikanan harus dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama antar pelaku utama dalam upaya mengembangkan kelompok dan membina kehidupanpelaku utama. c. Unit Penyedia Sarana dan Prasarana Produksi Perikanan Kelembagaan pelaku utama perikanan sebagai unit penyedia sarana dan prasarana, erat hubungannya dengan fungsi unit produksi perikanan. Misalnya dalam sebuah produksi budidaya ikan gurame, kelompok dapat berperan sebagai penyedia benih ataupun sarana produksi lainnya. d. Unit Produksi Perikanan Kelompok pelaku utama perikanan sebagai unit produksi, erat hubungannya dengan fungsi wadah kerjasama. Misalnya kelompok pembudidaya ikan gurame, dalam pengadaan sarana produksi, perkreditan, dan pemasaran hasil, sehingga dengan melaksanakan 14 kegiatan produksi secara bersamasama akan lebih efisien. e. Unit Pengolahan dan Pemasaran Kelompok pelaku utama perikanan sebagai unit pengolahan dan pemasaran, erat hubungannya dengan fungsi wadah kerjasama. Misalnya kelompok pengolah hasil perikanan, dalam melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil secara bersama-sama akan lebih efisien serta dapat menjamin kestabilan harga produk. f. Unit Jasa Penunjang Kelembagaan pelaku utama perikanan juga dapat berfungsi sebagai sebuah unit usaha yang mengelola usaha diluar usaha pokoknya seperti jasa penyewaan, jasa percontohan, jasa konsultasi, dan lain-lain. g. Organisasi Kegiatan Bersama Kelembagaan pelaku utama berfungsi sebagai organisasi kegiatan bersama dimana pelaku utama akan belajar mengorganisasi kegiatan secara bersama-sama melalui pembagian dan pengkoordinasian pekerjaan dengan mengikuti tata tertib sebagai hasil kesepakatan bersama. mempermudah pemasarannya. dalam akses Dinamika Kelompok Istilah dinamika kelompok berasal dari bahasa inggris ”dynamics” yang berarti mempunyai gairah atau semangat untuk bekerja. Dengan demikian pengertian dinamika kelompok ditinjau dari istilah mengandung arti yaitu berkelompok yang selalu memiliki gairah dan semangat untuk bekerja. Sisi lain dinamika berarti adanya interaksi, saling mempengaruhi dan interdependensi antara anggota kelompok satu sama lain secara timbal balik diantara anggota kelompok dengan kelompok secara keseluruhan. Menurut Santoso (2004) dijelaskan bahwa; Dinamika berarti tingkah laku warga yang satu secara langsung mempengaruhi warga yang lain secara timbal balik. Dinamika berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota klpk yang satu dgn anggota yang lain secara timbal balik dan antara anggota dengan kelompok secara keseluruhan. Selanjutnya disebutkan bahwa selama ada kelompok, semangat kelompok (group spirit) terus-menerus HIDUP dalam kelompok itu. Dan setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah h. Kesatuan Swadaya dan Swadana Kelembagaan pelaku utama perikanan sebagai kesatuan swadaya dan swadana merupakan kelembagaan yang mandiri, baik dalam hal penyelesaian masalah bersama maupun dalam penguatan dan pengembangan modal usaha anggota, misalnya melakukan pemupukan modal bersama untuk menyediakan modal bagi anggotanya melalui penumbuhan budaya menabung, iuran, dan sebagainya. Dengan demikian, anggota mendapatkan kemudahan dalam mendapatkan modal usaha, bermitra dengan lembaga keuangan, serta Dinamika Kelompok merupakan suatu kelompok yang terdiri dari dua atau lebih individu yang memiliki hubungan psikologis secara jelas antara anggota satu dengan yang lain dan berlangsung dalam situasi yang dialami (Purnawan, 2004). Hubungan psikologis yang jelas antara anggota kelompok yang satu dengan yang lain. Dinamika kelompok berkaitan erat dengan tujuan dan fungsi penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan. Kelompok harus bisa produktif, harus bisa menghasilkan sesuatu, bermanfaat bagi anggotanya. Agar kelompok produktif, kelompok harus dinamis. 15 Untuk bisa dinamis, unsur-unsur dinamika sebagai kekuatan kelompok tersebut harus terpenuhi. Unsur-unsur dinamika kelompok tersebut adalah: 1. Tujuan Kelompok Tujuan kelompok dapat diartikan sebagai gambaran yang diharapkan angota yang akan dicapai oleh kelompok. Tujuan kelompok harus jelas dan diketahui oleh seluruh anggota. Untuk mencapai tujuan kelompok tersebut diperlukan aktivitas bersama oleh para anggota. Hubungan antara tujuan kelompok dengan tujuan anggota bisa : a) sepenuhnya bertentangan, b) sebagian bertentangan, c) netral, d) searah dan e) identik. Dengan demikian bentuk hubungan a tidak menguntungkan dan bentuk d adalah yang paling baik. 2. Struktur Kelompok Struktur kelompok adalah bentuk hubungan antara individu-individu dalam kelompok sesuai posisi dan peranan masing-masing. Struktur kelompok harus sesuai/mendukung tercapainya tujuan kelompok. Yang berhubungan dengan struktur kelompok yaitu: a) Struktur Komunikasi, b) Struktur Tugas Atau Pengambilan Keputusan, c) Struktur Kekuasaan Atau Pengambilan Keputusan, d) Sarana Terjadinya Interaksi 3. Fungsi Tugas Fungsi tugas adalah segala kegiatan yang harus dilakukan kelompok dalam rangka mencapai tujuan. Secara keseluruhan fungsi ini sebaiknya dilakukan dengan kondisi menyenangkan, dengan kondisi yang menyenangkan dapat menjamin fungsi tugas ini dapat terpenuhi. Kriteria yang dipergunakan pada fungsi tugas ini terpenuhi atau tidak adalah terdapatnya: a) Fungsi Memberi Informasi, b) Fungsi Koordinasi, c) Fungsi Memuaskan Anggota, d) Fungsi Berinisiatif, e) Fungsi Mengajak Untuk Berpartisipasi, f) Fungsi Menyelaraskan 4. Mengembangkan Dan Membina Kelompok Mengembangkan dan membina kelompok dimaksudkan sebagai usaha mempertahankan kehidupan kelompok, kehidupan berkelompok dapat dilihat dari adanya kegiatan, yaitu: a) Mengusahakan/mendorong agar semua anggota kelompok ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan kelompok. Tersedianya fasilitas, b) Mengusahakan/mendorong menumbuhkan kegiatan, c) Menciptakan norma kelompok. Norma kelompok ini adalah sebagai acuan anggota kelompok bertindak, d) Mengusahakan adanya kesempatan anggota baru, baik untuk menambah jumlah maupun mengganti anggota yang keluar, e) Berjalannya proses sosialisasi. Untuk mensosialisasikan adanya anggota baru adanya norma kelompok adanya kesepakatan, dan sebagainya. 5. Kekompakan Kelompok Kekompakan kelompok menunjukkan tingkat rasa untuk tetap tinggal dalam kelompok, hal ini dapat berupa : loyalitas, rasa memiliki, rasa keterlibatan, dan keterikatan. Terdapat enam faktor yang mempengaruhi kekompakan kelompok yaitu: 1) Kepemimpinan Kelompok, 2) Keanggotaan Kelompok, 3) Nilai Tujuan Kelompok, 4) Homogenitas Angota Kelompok, 5) Keterpaduan Keiatan Kelompok, 6) Jumlah Anggota Kelompok 6. Suasana Kelompok Suasana kelompok adalah keadaan moral, sikap dan perasaan 16 bersemangat atau apatis yang ada dalam kelompok, suasana kelompok yang baik bila anggotanya merasa saling menerima, saling menghargai, saling mempercayai dan bersahabat. Faktorfaktor yang mempengaruhi suasana kelompok adalah: a) hubungan antar anggota, b) kebebasan berpartisipasi, c) lingkungan fisik yang mendukung. 7. Tekananan pada Kelompok Tekanan pada kelompok dimaksudkan adalah adanya tekanantekanan dalam kelompok yang dapat menimbulkan ketegangan, dengan adanya ketegangan akan timbul dorongan untuk mempertahankan tujuan kelompok. Tekanan kelompok yan cermat, dan terukur akan dapat mendinamiskan kelompok, bila tidak justru akan berakibat sebaliknya. 8. Efektifitas Kelompok Efektifitas kelompok adalah keberhasilan dalam melaksanakan tugastugas kelompok dalam mencapai tujuan. Semakin banyak tujuan yang dapat dicapai, semakin banyak keberhasilan, anggota kelompok akan semakin puas. Bila anggota kelompok merasa puas kekompakan dan kedinamisan kelompok akan semakin kuat. KERANGKA PIKIR PENELITIAN KARAKTERISTIK INTERNAL KELOMPOK (X1) 1. Umur Kelompok (X1.1) 2. Kelas kelompok (X1.2) 3. Jumlah anggota (X1.3) FUNGSI KELOMPOK (Y) UNSUR DINAMIKA KELOMPOK (X2) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. Unit belajar (Y1) 2. Unit Produksi (Y2) 3. Unit usaha bersama (Y3) Tujuan Kelompok (X2.1) Struktur Kelompok (X2.2) Fungsi Tugas (X2.3) Pengembangan Kelompok (X2.4) Kekompakan Kelompok (X2.5) Suasana Kelompok (X2.6) Tekanan Kelompok (X2.7) Keberhasilan Kelompok (X2.8) 4. Dinamika kelompok mempengaruhi HIPOTESIS PENELITIAN 1. Karakteristik Internal mempengaruhi fungsi kelompok sebagai fungsi wadah kerjasama usaha 2. Dinamika kelompok mempengaruhi fungsi kelompok sebagai unit kelas belajar 3. Dinamika kelompok mempengaruhi sebagai fungsi wadah unit produksi METODOLOGI PENELITIAN Penelitian berupa kasus dengan sifat korelatif deskriptif. Bertujuan menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan terbentuknya jenis 17 kelompok. Penelitian dilakukan pada Bulan Maret sampai April 2015, pada 35 kelompok perikanan yang ada di Kabupten Bekasi. Data dikumpulkan melalui daftar pertasnyaan, wawancara mendalam, dan kajian terhadap data sekunder.. Analisa data dilakukan secara deskriftif, analisa kualitatif dilakukan untuk semua tujuan penelitian, analisa kuantitatif dilakukan untuk HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah kelompok pelaku utama perikanan yang dimbil secara rendom. menguji hipotesis yang diajukan. karakteristik internal dan karakteristik eksternal serta karakteristik inovasi diukur dengan menggunakan distribusi frekuensi dan nilai tengah. Untuk mengetahui hubungan antar peubah dilakukan analisis hubungan dengan koefisien korelasi Spearman, sebagai uji korelasi bagi data non parametrik. Karakteriktik internal responden penelitian yaitu umur kelompok, Tingkat Kelas Kelompok, jumlah anggota yang dianalisis dengan pengkatagorian, persentase, interval dan rata-rata , seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran Karakteriktik Internal PERSENTASE (N=30) NO KARAKTERISTIK KATAGORI 1 UMUR KELOMPOK 2 KELAS KELOMPOK 3 JUMLAH ANGGOTA Muda (<1,2 th) Sedang (1,2 – 6,2th) Tua (>6,2 th) Rendah (1) Sedang (2) Tinggi (3) Kurang (< 8) Sedang (8 - 42) Besar (> 42) Pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa usia kelompok 63,3% pada kisaran usia sedang (1,2 -6,2) tahun dengan rata-rata 3,7 tahun, Kisaran umur kelompok tersebut merupakan usia produkstif dalam berkelompok, dalam arti seharunya dapat memperlihat kedinamisan kelompok yang bisa diamamti dari segi fungsi kelompoknya. Dari segi tingkat kerlas kelompok menunjukkan 43,3% berada pada kelas yang tinggi (utama), namun yang berada ( 8) 26,7% (19) 63,3% ( 3) 10% (11) 36,7% (6) 20% (13) 43,3% (5) 16,7% (24) 80% (1) 3,3% INTERVAL RATARATA 1 – 11 th 3,7 th 1-3 2 7 -50 orang 25 orang di kelas pemula juga hampir persentasenya yaitu mencapai 36,6%, Jika dirata-ratakan maka kelas kelompok di Kabupaten bekasi pada kelas madya.. Jumalah anggota kelompok yang terdata menunjukkan bahwa 80% jumlah anggota tiap kelompok katagorinya cukup (antara 8 – 42 orang) dengan ratarata 25 orang. Hal tersebut sudah sesuai dengan pedoman bahwa maksimal jumlah anggota kelompok 30 orang. 18 Tabel 2. Sebaran Karakteriktik Dinamika Kelompok NO 1 2 3 4 5 6 7 8 KARAKTERISTIK DINAMIKA KELOMPOK Tujuan Kelompok Struktur Kelompok Fungsi Tugas Pengembangan Kelompok Kekompakan Kelompok Suasana Kelompok Tekanan Kelompok Keberhasilan Kelompok KATAGORI PERSENTASE (N=30) INTERVAL RATARATA R=5 S = 22 T=3 16,7% 73,3% 20% 1 – 3,4 2,3 R=5 S = 18 T=7 16,7% 60% 23,3% 1,5 – 3,5 2,53 R=3 S =25 T=2 10% 83,3% 6,7% 1,6-3,2 2,53 R=5 S = 19 T=6 16,7% 63,3% 20% 1,5-3,5 2,4 R=5 S= 19 T=6 16,7% 66,3% 17% 1,5-3,7 2,7 R=4 S =26 T=0 13,3% 86,7% 0 1,7-4 3,22 R=7 S=16 T=7 23,3% 53,4% 23,3% 2-4 3,23 R=0 S = 28 T=2 0% 93,3% 6,7% 2-4 2,7 Pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa ke delapan unsur kelompok pada kelompok perikanan di Kabupaten Bekasi pada interval 53,4 % - 93,3%. Namun demikian pada unsur dinamika kelompok “Suasana Kelompok” tidak ada kelompok yang katagorinya baik, dn pada unsur dinamika kelompok “Keberhasilan kelompok tidak ada kelompok dengan katori rendah. Tujuan kelompok dapat diartikan sebagai gambaran yang diharapkan angota yang akan dicapai oleh kelompok. Tujuan kelompok harus jelas dan diketahui oleh seluruh anggota. Untuk mencapai tujuan kelompok tersebut diperlukan aktivitas bersama oleh para anggota. Hubungan antara tujuan kelompok dengan tujuan anggota bisa : a) sepenuhnya bertentangan, b) sebagian bertentangan, c) netral, d) searah dan e) identik. Dengan demikian bentuk hubungan a tidak menguntungkan dan bentuk d adalah yang paling baik. Struktur kelompok adalah bentuk hubungan antara individu-individu dalam kelompok sesuai posisi dan peranan masing-masing. Struktur kelompok harus sesuai/mendukung tercapainya tujuan kelompok. Fungsi tugas adalah segala kegiatan yang harus dilakukan kelompok dalam rangka mencapai tujuan. Secara keseluruhan fungsi ini sebaiknya dilakukan dengan kondisi menyenangkan, dengan kondisi 19 yang menyenangkan dapat menjamin fungsi tugas ini dapat terpenuhi. Mengembangkan dan membina kelompok dimaksudkan sebagai usaha mempertahankan kehidupan kelompok, kehidupan berkelompok dapat dilihat dari adanya kegiatan, yaitu: Mengusahakan/mendorong agar semua anggota kelompok ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan kelompok. Kekompakan kelompok menunjukkan tingkat rasa untuk tetap tinggal dalam kelompok, hal ini dapat berupa : loyalitas, rasa memiliki, rasa keterlibatan, dan keterikatan. Terdapat enam faktor yang mempengaruhi kekompakan kelompok yaitu: Kepemimpinan Kelompok, Keanggotaan Kelompok, Nilai Tujuan Kelompok, Homogenitas Angota Kelompok, Keterpaduan Keiatan Kelo, Jumlah Anggota Kelompok. Suasana kelompok adalah keadaan moral, sikap dan perasaan bersemangat atau apatis yang ada dalam kelompok, suasana kelompok yang baik bila anggotanya merasa saling menerima, saling menghargai, saling mempercayai dan bersahabat. Tekanan pada kelompok dimaksudkan adalah adanya tekanan-tekanan dalam kelompok yang dapat menimbulkan ketegangan, dengan adanya ketegangan akan timbul dorongan untuk mempertahankan tujuan kelompok. Tekanan kelompok yan cermat, dan terukur akan dapat mendinamiskan kelompok, bila tidak justru akan berakibat sebaliknya. Efektifitas kelompok adalah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas kelompok dalam mencapai tujuan. Semakin banyak tujuan yang dapat dicapai, semakin banyak keberhasilan, anggota kelompok akan semakin puas. Bila anggota kelompok merasa puas kekompakan dan kedinamisan kelompok akan semakin kuat. . Tabel 3. Sebaran Karakteriktik Fungsi Kelompok NO FUNGSI KELOMPOK Unit belajar 1 Unit Produksi 2 Unit usaha bersama 3 KATAGORI PERSENTAS E (N=30) INTERVAL RERATA Rendah (< 2,3 ) Sedang (2,3 – 3,1) Tinggi (> 3,1) 6 (20%) 24 (80%) 0 1–3 2,8 Rendah (< 2,1) Sedang (2,1 – 3,1) Tinggi (> 3,1) 12 (40%) 18 (60%) 0 1–3 2,6 Rendah Sedang Tinggi 1 (3%) 26 (87%) 3 (10%) 1–4 2,8 (< 1,1) (1,1 – 3,5) (> 3,5) Berdasarkan hasil analisis seperti pada Tabel 3, menunjukkan bahwa dari ketiga fungsi kelompok yang dianalisis, tidak ada satupun kelompok perikanan yang menjalankan fungsi sebagai unit berlajar pada katagori baik. Sebanyak 80% kelompok perikanan di Kabupaten Bekasi menjalankan fungsi kelomp0k sebagai unit belajar pada katagori cukup baik, dan hanya 20% jumlah kelompok yang katogori menjalankan fungsi unit belajarnya. Pada menjalankan fungsi kelompok sebagai Unit produksi 40% kelompok belum menjalankan fungsi tersbut dcengan baik (rendah), dan sisaanya sebanyak 60% pada katagori 20 cukup baik. Dengan demikian belum ada satupun kelompok dengan katagori menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi kelompok sebagai unit usaha bersama ssudah ada 10% dari jumlah kelompok yang katagorinya sudah baik dalam menjalankan fungsi tersbut, sedangkan yang katagorinya rendah masih ada 3% dan sisanya sebanyak 87% pada katagori cukup baik. Tabel 4. Nilai Korelasi Faktor Internal kelompok Dengan Fungsi Kelompok. NO 1 2 3 FAKTOR INTERNAL USIA KELOMPOK TINGKAT KELAS KELOMPOK JUMLAH ANGGOTA FUNGSI KELOMPOK UNIT BELAJAR UNIT UNIT USAHA PRODUKSI BERSAMA 0,154 0,065 0,208 0.039 0,029 0,164 0.095 0,118 0,198 Pada tabel 4. Terlihat bahwa faktor internal kelompok yang meliputi: umur kelompok jumlah anggota kelompok, tidak ada yang berhubungan erat dengan fungsi kelompok baik sebagai kelas belajar, unit produksi, dan unit usaha bersama. Sebagai wadah proses pembelajaran, kelembagaan pelaku utama perikanan seharunya merupakan media interaksi belajar antar pelaku utama dari anggota kelompoknya. Mereka dapat melakukan proses interaksi edukatif dalam rangka: mengadopsi teknologi inovasi; saling asah, asih dan asuh dalam menyerap suatu informasi dengan fasilitator atau pemandu dari penyuluh perikanan; mengambil kesepakatan dan tindakan bersama apa yang akan diambil dari sebuah kegiatan bersama. Dengan demikian proses kemandirian kelompok akan dapat tercapai. Didalam kelompok sebagai kelas belajar para pelaku utama akan dapat melakukan komunikasi multi dimensional. Mereka dapat mempertukarkan pengalaman masingmasing, sehingga akan membuat pelaku utama semakin dewasa untuk dapat keluar dari masalahnya sendiri, tanpa adanya ketergantungan dari penyuluh perikanan. Sebagai wahana kerjasama, kelembagaan pelaku utama perikanan merupakan cerminan dari keberadaan suatu kelompok. Kelembagaan pelaku utama perikanan harus dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama antar pelaku utama dalam upaya mengembangkan kelompok dan membina kehidupan pelaku utama. Kelompok pelaku utama perikanan sebagai unit produksi, erat hubungannya dengan fungsi wadah kerjasama. Misalnya kelompok pembudidaya ikan gurame, dalam pengadaan sarana produksi, perkreditan, dan pemasaran hasil, sehingga dengan melaksanakan kegiatan produksi secara bersama-sama akan lebih efisien. 21 Tabel 5. Nilai Korelasi Unsur Dinamika Kelompok dengan Fungsi kelompok NO UNSUR DINAMIKA KELOMPOK 1 2 3 4 TUJUAN KELOMPOK STRUKTUR KELOMPOK FUNGSI TUGAS PENGEMBANGAN/PEMELIHARAAN KELOMPOK 5 KEKOMPAKAN ANGGOTA KELOMPOK 6 SUASANA KELOMPOK 7 TEKANAN PADA KELOMPOK 8 KEBERHASILAN KELOMPOK Ket: * nyata pada 0,05, ** nyata pada 0,01 Pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa ddari ke 8 Unsur dinamika kelompok, unsur “tekanan pada kelompok” berhubungan erat dengan fungsi kelompok sebagai unir produksi. Artinya semakin tekanan pada kelompok tinggi dalam hal menghasilkan produksi untuk bisa sama dan melibihi kelompok lain akan semakin meningkatkan fungsi kelompok sebagai unit produksi yaitu menghasilkan produks sesuai dengan usaha yang dijalankan oleh kelompok, baik sebagai kelompok pembenih ikan yang menghasilkan benih ikan, maupun KELAS BELAJAR 0,060 0,103 0,023 0,092 FUNGSI KELOMPOK UNIT UNIT USAHA PRODUKSI BERSAMA 0,069 0,150 0,179 0,198 0,187 0,157 0,270 0,058 0,202 0,246 0,196 0,400* 0,158 0,296 0,378* 0,771** 0,175 0,288 0,139 0,290 kelompok pembesaran ikan yang menghasilkan ikan konsumsi. Sedangkan unsur Keberhasilan kelompok ternyata berhubungan erat dengan berfungsi baiknya kelompok sebagai kelas belajar dan berhungan sangat erat pada unit kerjasama. Hal tersbur dapat dijelaskan bahwa pada kelompok-kelompok yang dibina dan unsur dinamika kelompok berupa keberhasilan kelompok ckup baik, maka fungsi kelompoknya akan berjalan dengan sangat baik pula. Tabel 6. Nilai Korelasi Unsur Dinamika Kelompok Dengan Faktor Internal Kelompok NO UNSUR DINAMIKA KELOMPOK 1 2 3 4 FAKTOR INTERNAL KELOMPOK UMUR TINGKAT JUMLAH KELOMPOK KELAS ANGGOTA KLP 0,205 0,088 0,253 0,233 0,300 0,029 0,152 0,153 0,334 0,102 0,261 0,393* TUJUAN KELOMPOK STRUKTUR KELOMPOK FUNGSI TUGAS PENGEMBANGAN/PEMELIHARAAN KELOMPOK 5 KEKOMPAKAN ANGGOTA KELOMPOK 6 SUASANA KELOMPOK 7 TEKANAN PADA KELOMPOK 8 KEBERHASILAN KELOMPOK Ket. * Signifikan pada pada 0,05, ** Signifikan pada level 0,01 Pada tabel 6. Dari delapan unsur dinamika kelompok hanya unsur” pengembangan dan pemeliharaan 0,019 0,194 0,124 0,109 0,093 0,042 0,199 0,043 0,151 0,138 0,232 0,071 kelompok yang berhubungan erat dengan usia kelompok. Hal tersebut menunjukkan bahwa berkembangnya 22 kelompok perikanan yang ada di Kabueoten Bekasi dipengaruhi atau sangat berhubungan dengan lamanya kelompok tersebut beridiri. Sedangkan usur dinamika kelompok lainnya tidak begitu erat hubunganya dengan berfungsi atau belum berfungsi baiknya suatu kelompok perikanan Tabel 7. Nialai Korelaski antar Usur Dinamika Kelompok NO UNSUR NO UNSUR DINAMIKA KELOMPOK DINAMIKA 1 2 3 4 5 6 7 KELOMPOK 1 TUJUAN 1 0,281 0,231 0,379 0,301 0,503* 0,357 KELOMPOK ** * 2 STRUKTUR 1 0,081 0,309 0,531* 0,242 0,056 KELOMPOK * 3 FUNGSI TUGAS 1 0,095 0,066 0,091 0,102 4 PENGEMBANGAN/ 1 0,289 0,422 0,314 PEMELIHARAAN * KELOMPOK 5 KEKOMPAKAN 1 0,295 0,250 ANGGOTA KELOMPOK 6 SUASANA 1 0,307 KELOMPOK 7 TEKANAN PADA 1 KELOMPOK 8 KEBERHASILAN KELOMPOK Ket: * Siginifikan pada level 0,05, ** Signifikan pada level 0,01 . Pada tabel 7 memperlihatkan bahwa tujuan kelompok berhubungan sangat erat dengan struktur kelompok dan unsur pengembangan dan pemeliharaan kelompok. Hal ini bisa dijelaskan bahwa kelompok yang memilkiki tujuan yang jelas akan berdampak pada terbentuknya struktur kelompok yang baik dan benar, dan akan sangat erat dalam pengembangan 8 0,060 0,103 0,273 0,251 0,193 0,102 0,344 1 kelompom tersebut. Struktur kelompok yang baik dan benar juga akan berhubungan sangat erat dengan terjadinya kekompakan kelompok dalam menjalankan fungsi-fungsi kelompoknya. Sedangkan unsut pengembangan kelompok berhubungan erat dengan terbentuknya suasana kelompok yang kondusif.. Nilai Korelasi Antar Fungsi Kelompok Tabel 8. Nilai Korelasi Antar Fungsi kelompok NO UNSUR DINAMIKA KELOMPOK KELAS BELAJA R 1 KELAS BELAJAR 1 2 UNIT KERJASAMA 0,354 3 UNIT USAHA BERSAMA 0,879** Ket; * Signifikan pada level 0,05, ** Signifikan pada level 0,01 FUNGSI KELOMPOK UNIT UNIT PRODUKSI USAHA BERSAMA 0,354 0,879** 1 0,311 0,311 1 23 Pada Tabel 8. Menunjukkan bahwa bila kelompok sebagai unit usaha bersama berfungsi dengan baik, maka fungsi sebagai kelas belajarpun akan berfungsi dengan baik, dan demikian sebaliknya. Sedangkan fungsi kelompok yang lain tetap masih ada hubungan yang timbal balik namum pada kasusu kelompok perikanan di Kabupoaten bekasi belum memperlihatkan keeratan yang kuat antar fungsi kelompok sebagai kelas belajar dengan sebagai unit produksi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Umur kelompok perikanan yang ada di Kbaupaten Bekasi relatif masih muda yaitu rata-rata baru 3,7 tahun dengan kelas kelompok rata-rata madya, dan jumlah anggota relatif cukup yaitu 25 oanggota per kelompok 2. Ke delapan unsur dinamika kelompok pada 53,4% sampai 93,3% pada katagori cukup, yang pada katagori tinggi hanya 23,3% yaitu pada unsur tekanan pada kelompok. 3. Fungsi kelompok persentase tertinggi pada katagori sedang (60-87%), pada katagori tinggi hanya 10% pada fungsi unit usaha bersama, sedang pada unit kelas belajar dan nunit produksi tidak ada katagori tinggi. 4. Nilai korelasi faktor internal kelompok tidak yang berhubungan erat dengan fungsi kelompok 5. Unsur dinamika kelompok yang berhubungan erat dengan fungsi kelompok yaitu unsur tekanan pada kelompok dan keberhasilan kelompok, sedangkan yang berkorelasi kuat dengan internal kelompok pada pengembangan kelompok.. faktor unsur Saran 1. Pembinaan terhadap unsur-unsur dinamika kelompok sangat penting dalam upaya peningkatan fungsi kelompok 2. Pemahaman tentang unsur dinamika kelompok dan fungsi kelompok oleh anggota kelompok sangat penting dalam peningkatan produktivitas kelompok. DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 1980. ”Pembinaan Kelompoktani”. Pusat Penyuluhan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. ..................., 2006. Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Nomor 16. Tahun 2006. .................., 2011. Per MenKP no. 14/2011 Pedoman Penumbuhan Kelambagaan Pelaku Utama Perikanan. Pranoto, J dan Suprapti, W. 2006. Membangun Kerjasama Tim (Team Building). Lembaga Administrasi Negara – Republik Indonesia, Jakarta. Mardikanto. T, 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press, Surakarta. Margono Slamet, 1989. “Kumpulan Bacaan Penyuluhan Pertanian”.. Institut Pertanian Bogor. 24 Kerlinger, F.N., 2002. Asas-asas Penelitian Behavioral. Diterjemahkan landing R. Simatupang. Yogyakarta: Gajah mada University Press. Rogers, E.M. & FF Shoemaker, 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide baru. Disarikan oleh Abdillah hanafi. Surabaya: Usaha Nasional. 25 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA PENYULUHAN (Kasus pada Kelompok Ranca Kembang Desa Luhur Jaya Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi Banten) Oleh : Nayu Nurmalia, Ani Leilani, Muh. Patekkai Dosen Jurusan Penyuluhan Perikanan Sekolah Tinggi Perikanan ABSTRAK Media penyuluhan merupakan salah satu unsur yang terpenting dalam kegiatan penyuluhan. Penggunaan media massa contohnya, yang harus dipertimbangkan dalam penggunaannya adalah peranannya dalam program penyuluhan, penggunaannya secara efektif. Yang penting adalah efek yang diharapkan, dan cara menggunakannya untuk menjamin agar arti pesan menjadi sejelas mungkin. Pilihan terhadap media massa yang digunakan, dan perbedaan antara media massa dan komunikasi anatar pribadi. Penggunaan media menjadi sangat penting dalam rangka adopsi inovasi oleh pelaku utama perikanan. Dari proses adopsi inovasi dan media yang digunakan juga bisa memperlihatkan tingkat efektifitas masing-masing media. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat efektifitas penggunaan media penyuluhan pada kelompok pembudidayaikan Ranca Kembang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2014 yang berlokasi penelitian di Desa Luhur Jaya Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan jumlah sample sebanyak 30 orang. Data kemudian dianalisis dengan uji Koefisien Korelasi Pearson. Faktor internal berhubungan dengan faktor eksternal pembudidaya ikan tingkat pendidikan, tingkat kekosmopolitan dan tingkat keinovatifan. Sedangkan faktor eksternal pembudidaya yang berhubungan dengan faktor internal adalah materi penyuluhan, kemasan penyuluhan dan penyajian penyuluhan. Faktor internal pembudidaya ikan (umur, pendidikan, tingkat kebutuhan, tingkat kekosmolitan dan tingkat keinovatifan) tidak menunjukkan hubungan dengan penggunaan media penyuluhan baik berupa media cetak maupun media tertayang. Faktor Eksternal yang mempunyai hubungan sangat erat dengan penggunaan media penyuluhan yaitu untuk materi berhubungan erat dengan penggunaan media brosur dan film. Faktor eksternal kemasan media berhubungan dengan penggunaan media peta singkap. Sedangkan faktor eksternal penyajian media penyuluhan berhubungan erat dengan penggunaan media penyuluhan berupa leaflet, peta singkap dan majalah. Kata Kunci: media penyuluhan, adopsi inovasi, kelompok, pelaku utama., PENDAHULUAN Latar Belakang Penyelenggaraan penyuluhan merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi pemodalan, dan sumberdaya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Penyelenggaraan penyuluhan diharapkan mampu memberikan suatu perubahan sosial baik pada individu 26 maupun masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan. Dari pelaksanaan penyuluhan tersebut diharapkan masyarakat mampu mendapatkan atau mengembangkan pengetahuan, keterampilan serta perilakunya maupun keluarganya. Oleh karena itu, proses dan penyelenggaran penyuluhan harus dibuat sedemikian rupa agar masyarakat mau, mampu, tertarik, dan ikut serta dalam penyelenggaraanpenyuluhan sehingga mampu mewujudkan harapan yang diinginkan. Salah satu unsur penting yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan penyuluhan adalah pemilihan Media penyuluhan. Dimana media penyuluhan merupakan segala sesuatu yang berisi pesan atau informasi yang dapat membantu kegiatan penyuluhan. Media penyuluhan perikanan digunakan dalam rangka mengefektifkan penyampaiaan pesan pada proses komunikasi antara penyampai pesan dengan masyarakat sasaran penyuluhan. Pada faktanya, proses komunikasi dalam hal ini penyampaian informasi yang hanya menggunakan kata-kata atau tanpa media jarang bisa dimengerti oleh sasaran penyuluhan sehingga diperlukan adanya media penyuluhan yang mampu membantu dalam proses penyampaian pesan. Penggunaan media setidaknya mampu memberikan banyak manfaat seperti; mempermudah dan mempercepat sasaran dalam menerima pesan, mampu menjangkau sasaran yang lebih luas, alat informasi yang akurat dan tepat, dapat memberikan gambaran yang lebih kongkrit, baik unsur gambar maupun geraknya, lebih atraktif dan komunikatif, dapat menyediakan lingkungan belajar yang amat mirip dengan lingkungan kerja sebenarnya, memberikan stimulus terhadap banyak indera, dapat digunakan sebagai latihan kerja dan latihan simulasi. Pemilihan penggunaan media penyuluhan merupakan faktor yang mutlak diperlukan karena mampu mempengaruhi efektivitas kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan. Sebagai contoh, peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat merupakan hasil suatu proses pembelajaran dalam kegiatan penyuluhan, dimana keberhasilan tersebut sangat dipengaruhi oleh efektivitas penggunaan media. Oleh karenanya, dalam rangka mengefektifkan penggunaan media penyuluhan seyogyanya ada beberapa hal yang diperlukan dalam pemilihan media penyuluhan yakni: tujuan perubahan, karakteristik sasaran, strategi komunikasi, isi pesan, biaya dan karakteristik wilayah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian yang akan dilaksanakan pada kelompok Ranca Kembang Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak adalah efektifitas penggunaan media penyuluhan terhadap peningkatan kemampuan pelaku utama. Dari hasil penelitian tersebut, nantinya diharapkan akan diperoleh hasil dan kajian tentang penggunaan media penyuluhan yang efektif yang diadasarkan pada karakteristik penyelenggaran penyuluhan baik dari aspek sasaran, pengirim pesan, isi pesan serta kondisi wilayah tersebut. 27 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat efektifitas penggunaan media penyuluhan pada kelompok pembudidaya ikan Ranca Kembang Desa Luhur Jaya Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi Jawa Barat. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kemampuan pelaku utama dapat ditingkatkan melalui penyampaian informasi tentang pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan usaha yang dilakukan oleh pelaku utama. Penyampaian informasi/pesan bagi pelaku utama tersebut dapat dilakukan dengan bantuan penggunaan media penyuluhan sebagai alat dalam menciptakan efektivitas dan peningkatan kemampuan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan satu hal yaitu penggunaan dan pemilihan media penyuluhan yang sesuai dengan selera dan kepentingan/ kebutuhan serta menarik bagi sasaran sehingga mampu mempercepat proses adopsi dan difusi suatu inovasi. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu ditelaah hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan pelaku utama dengan penggunaan media penyuluhan baik faktor internal maupun faktor eksternal. Karakteristik Internal Pembudidaya ο· Umur ο· Tingkat pendidikan ο· Tingkat kebutuhan informasi ο· Tingkat kekosmopolitan ο· Tidak keinovatifan Penggunaan media penyuluhan Media tercetak ο· Brosur ο· Folder ο· Leaflet ο· Peta singkap ο· Koran ο· Majalah Media tertayang ο· Power point ο· Film Tingkat Pemanfaatan Media ο· Tingkat pemanfaatan media oleh pelaku utama perikanan/ Pembudidaya ikan Karakteristik Eksternal ο· Materi penyuluhan ο· Kemasan media penyuluhan ο· Penyajian media penyuluhan Gambar 1. Hubungan antara faktor internal dan eksternal pelaku utama dengan penggunaan media penyuluhan 28 METODELOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2014. Lokasi penelitian pada kelompok Ranca Kembang Desa Luhur Jaya Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan pertimbangan bahwa kelompok tersebut merupakan binaan Pusat Penyuluhan BPSDMKP dan Sekolah Tinggi Perikanan Jurusan Penyuluhan Perikanan Bogor Analisa Data Data dan hasil penelitian yang telah dikumpulkan yang bersifat kualitatif ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif diuji dengan uji statistik non parametrik. Keeratan hubungan antara peubah (hubungan antara variabel bebas dengan variabel tidak bebas) digunakan Uji korelasi rank Spearman (rs) (Siegel, 1997) HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Internal Pembudidaya Ikan Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi faktor internal yaitu umur, tingkat pendidikan, tingkat kebutuhan, tingkat kekosmopolitan, dan tingkat keinovatifan. Sebaran karakteristik internal responden seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran karakteristik Internal Responden NO 1 2 3 4 5 Karakteristik Internal Responden Umur Tingkat Pendidikan Tingkat kebutuhan Tingkat Kekosmopolitan Tingkat Keinovatifan Katagori Muda (< 34,9 thn Sedang (34,9-54,7 thn) Tinggi (> 54,7 thn) Rendah SD Sedang SMP Tinggi SMA Ya (3) Kurang (2) Tidak (1) Ya (3) Kadang-kadang (2) Tidak (1) Ya (3) Kadang-kadang (2) Tidak (1) Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa umur responde berkisar antara 27 – 65 tahun dengan umur rata-rata 44,8 tahun. Umur responden didominasi pada umur sedang ( 34,9– 54,7) tahun. Umur N 3 22 5 10 9 11 30 0 0 24 6 0 29 1 0 Persentase n=30 (%) 10 73 17 33 30 37 100 0 0 80 20 0 96,7 3,3 0 Interval 27 - 65 thn SD – SMA 1-3 1–3 1–3 merupakan suatu aspek yang berhubungan dengan kemampuan fisik maupun psikologis seseorang. Berdasarkan data umur tersebut menunjukkan bahwa responden sebagai pembudidaya ikan kelompok Ranca 29 Kembang Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak sebanyak 83 % masih tergolong usia produktif yaitu antara (2754,7) tahun. Umur responden dengan kategori usia tua ( > 54,7 tahun) hanya 17 %. Berdasarkan Tabel 1. menunjukkan bahwa responden memiliki tingkat pendidikan yang berbeda-beda mulai dari tamat SD mencapai 10 orang (33%), sedangkan SLTP yaitu 9 orang petani (30%) dan SLTA yaitu 11 orang (37%). Pengkategorian tingkatan SD, SLTP dan SLTA dinilai dapat membedakan wawasan, pengetahuan dan cara berfikir seseorang terutama dalam menyerap materi usaha budidaya perikanan dengan penggunaan berbagai media penyuluhan. Gambaran tingkat pendidikan pembudidaya anggota kelompok menunjukkan seluruh anggota memiliki kemampuan baca-tulis, berarti memungkinkan untuk menyerap informasi dari media sesuai kebutuhan untuk kemajuan usahanya. Tingkat kebutuhan informasi perikanan terkait dengan kegiatan usaha yang dijalankan, sesuai hasil penelitian pada Tabel 2. menunjukkan bahwa semua responden (100%) membutuhkan informasi perikanan. Hal tersebut artinya dalam mengelola usahanya pembudidaya anggota kelompok membutuhkan informasi yang sesuai dengan usaha budidaya yang sedang dijalankannya. Tingkat kekosmopolitan adalah aktivitas seseorang ke luar lokasi atau daerahnya dalam mencari inovasiinovasi terkait dengan teknologi budidaya ikan. Pembudidaya ikan anggota kelompok Ranca Kembang termasuk pembudidaya ikan dengan tingkat kekosmopolitan yang cukup, data hasil penelitian menunjukan bahwa keaktifan mencari informasi termasuk kategori tinggi sebanyak 80 % dari 30 responden. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggota kelompok Ranca Kembang respon dan aktif dalam mendapatkan informasi yang berhubungan dengan peningkatan usahanya, selain informasi yang diterima dari penyuluh perikanan. Keaktifan mencari informasi merupakan upaya anggota untuk mendapatkan teknologi usahatani yang baru, baik dari sumbernya langsung (lembaga penelitian), lembaga penyuluhan, pakar, dan kontaktani sebagai pemimpin kelompok. Tingkat keinovatifan adalah sikap anggota kelompok pembudidaya ikan untuk mau dan menerapkan inovasi yang diperolehnya pada kegiatan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anggota kelompok pembudidaya ikan sebanyak 96,7% termasuk tingkat keinovatifannya tinggi dan sebanyak 3,3 % termasuk tingkat keinovatifannya sedang. Hal ini menunjukkan bahwa responden dapat menerima informasi baru yang disampaikan oleh penyuluh. Karakteristik Eksternal Pembudidaya Ikan Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi faktor eksernal yaitu materi penyuluhan, kemasan media dan penyajian media. Sebaran karakteristik ekternal responden seperti pada Tabel 2. . 30 Tabel 2. Sebaran Karakteristik Eksternal Responden No 1 2 3 Karakteristik Eksternal Responden Materi penyuluhan Kemasan media penyuluhan Tingkat penyajian media penyuluhan Kategori Ya (3) Kadang-kadang (2) Tidak (1) Selalu (3) Kadang-kadang (2) Tidak (1) Cukup (3) Kurang (2) Tidak (1) Materi penyuluhan, pada hakekatnya merupakan segala pesan yang ingin dikomunikasikan oleh seorang penyuluh kepada masyarakat penerima manfaatnya (Mardikanto, 2009). Definisi materi penyuluhan pada penelitian ini adalah isi informasi yang diberikan penyuluh kepada responden. Berdasarkan data hasil penelitian sebagian besar responden (80%) menunjukkan bahwa materi penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh adalah materi baru yang dibutuhkan oleh responden. Apapun materi penyuluhan yang disampaikan oleh seorang penyuluh, pertama-tama harus diingat bahwa materi tersebut harus selalu mengacu kepada kebutuhan yang telah dirasakan oleh masyarakat sasarannya artinya materi penyuluhan dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan sasaran. Kemasan media penyuluhan adalah hasil produksi media sesuai selera dan N 24 3 3 20 8 2 27 3 0 Persentase (%) n = 30 80 10 10 66,6 26,7 6,7 90 10 0 Interval 1-3 1-3 1–3 keinginan responden. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (66,6%) menunjukkan bahwa kemasan media penyuluhan yang digunakan oleh penyuluh dalam kegiatan penyuluhan cukup sesuai dengan keinginan responden. Tingkat penyajian media penyuluhan adalah kemampuan menyajikan media penyuluhan sesuai dengan jenis media yang digunakan. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan sebagian besar (90%) responen menyatakan bahwa tingkat penyajian pesan media penyuluhan yang diberikan penyuluh cukup menarik dan mudah untuk dipelajari/dipraktekkan. Hubungan antara faktor internal dengan faktor eksternal pelaku utama Hasil analisis hubungan faktor internal dan faktor eksternal pembudidaya ikan (pelaku utama) disajikan pada Tabel 3. 31 Tabel 3. Hubungan Faktor internal dan Faktor Eksternal Responden Internal Eksternal Materi Kemasan media Penyajian media -0,168 Tingkat Kebutuhan a Tingkat Kekosmopolitan 0,547** Tingkat Keinovatfan 0,203 0,021 0,365* a 0,218 0,182 0,391 0,385* a 0,111 0,156* Umur Pendidikan -0,061 Keterangan: * Hubungan yang erat pada taraf kepercayaan 0,05 ** Hubungan yang sangat erat pada taraf kepercayaan 0,01 Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan bahwa umur pembudidaya ikan tidak menunjukkan korelasi (hubungan) yang erat dengan materi, kemasan media dan penyajian media penyuluhan. Pendidikan pembudidaya menunjukkan hubungan yang erat dengan kemasan media dengan korelasi 0,365* dan menunjukkan hubungan yang erat penyajian media penyuluhan dengan korelasi 0,385*, sedangkan pendidikan tidak menunjukkan hubungan dengan materi penyuluhan. Tingkat kekosmopolitan menunjukkan hubungan yang erat dengan materi penyuluhan dengan korelasi 0,547**, tetapi tidak menunjukkan hubungan dengan kemasan dengan penyajian media penyuluhan. Faktor internal tingkat keinovatifan pembudidaya berhubungan erat dengan penyajian media dengan korelasi 0,156*, tetapi tidak menunjukkan hubungan dengan materi dan kemasan media penyuluhan. Hubungan antara faktor internal dengan penggunaan media penyuluhan Hasil analisis hubungan faktor internal pembudidaya ikan (pelaku utama) dengan penggunaan media penyuluhan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hubungan faktor internal dengan penggunaan media Penggunaan media F. Internal Umur Pendidikan Tingkat Kebutuhan Tingkat kekosmolitan Tingkat keinovatifan Brosur Folder Leaflet Peta singkap Power point Film Koran Majalah 0,309 0,104 a 0,133 -0,026 a 0,228 -0,186 a 0,036 -0,083 a 0,73 -0,160 a 0,121 0,037 a -0,94 0,367 A 0,020 0,432 a 0,078 0,075 0,250 0,364 -0,047 0,181 -0,312 -0,508 0,132 0,121 0,093 0,051 0,223 0,551 0,137 0,121 Keterangan: * Hubungan yang erat pada taraf kepercayaan 0,05 ** Hubungan yang sangat erat pada taraf kepercayaan 0,01 32 Berdasarkan data hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan bahwa umur, pendidikan, tingkat kekosmopolitan dan tingkat keinovatifan tidak menunjukkan hubungan (korelasi) dengan penggunaan media penyuluhan baik media cetak berupa brosur, folder, leaflet, peta singkat, koran dan majalah maupun dengan media tertayang yaitu power point dan film. Hubungan antara faktor eksternal pelaku utama dengan penggunaan media penyuluhan Hasil analisis hubungan faktor eksternal pembudidaya ikan (pelaku utama) dengan penggunaan media penyuluhan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hubungan faktor eksternal dengan penggunaan media Penggunaan Brosur Folder Leaflet Peta Power Film Koran Majalah media singkap point F.Ekternal Materi 0,278 0,364 -0,062a 0,364** -0,262 -0,424 0,263** 0,304 Kemasan -0,225 -0,229 0,009 0,362a 0,126 -0,121 -0,147 0,179* media Penyajian 0,015 0,050 0,008a 0,008 -0,013 0,006* 0,259* 0,192* media Keterangan: * Hubungan yang erat pada taraf kepercayaan 0,05 ** Hubungan yang sangat erat pada taraf kepercayaan 0,01 Berdasarkan data hasil analisis pada Tabel 5, materi penyuluhan menunjukkan hubungan yang erat dengan penggunaan media dalam bentuk brosur dengan korelasi 0,263** dan media penyuluhan dalam bentuk film dengan korelasi 0,364**. Sedangkan tidak menunjukkan hubungan antara materi penyuluhan dengan penggunaan media dalam bentuk folder, leaflet, peta singkap, power point, koran dan majalah. Kemasan media penyuluhan menunjukkan hubungan yang erat dengan penggunaan media penyuluhan berupa peta singkap dengan korelasi 0,179*. Sedangkan tidak menunjukkan hubungan kemasan media penyuluhan dengan penggunaan media penyuluhan berupa brosur, folder, leaflet, power point, film, koran dan majalah. Penyajian media penyuluhan menunjukkan hubungan yang erat dengan penggunaan media penyuluhan berupa leaflet, peta singkap dan majalah dengan masing-masing korelasi 0,259*, 0,192 dan 0,006. Sedangkan tidak menunjukkan hubungan antara penyajian media penyuluhan dengan penggunaan media dalam bentuk brosur, folder, power point, film dan koran. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Faktor internal berhubungan dengan faktor eksternal pembudidaya ikan tingkat pendidikan, tingkat kekosmopolitan dan tingkat keinovatifan. Sedangkan faktor eksternal pembudidaya yang berhubungan dengan faktor internal adalah materi penyuluhan, kemasan penyuluhan dan penyajian penyuluhan 33 2. Faktor internal pembudidaya ikan (umur, pendidikan, tingkat kebutuhan, tingkat kekosmolitan dan tingkat keinovatifan) tidak menunjukkan hubungan dengan penggunaan media penyuluhan baik berupa media cetak maupun media tertayang. 3. Faktor Eksternal yang mempunyai hubungan sangat erat dengan penggunaan media penyuluhan yaitu untuk materi berhubungan erat dengan penggunaan media brosur dan film. Faktor eksternal kemasan media berhubungan dengan penggunaan media peta singkap. Sedangkan faktor eksternal penyajian media penyuluhan berhubungan erat dengan penggunaan media penyuluhan berupa leaflet, peta singkap dan majalah.. Saran 1) Penggunaan/pemilihan media penyuluhan harus sesuai dengan kebutuhan sasaran dan sumberdaya di lokasi penyuluhan. 2) Proses penyampaian pesan/informasi teknologi/pembelajaran dalam kegiatan penyuluhan dengan penggunaan media harus jelas dan menarik dan interaktif, sehingga dapat meningkatkan kualitas pesan yang disampaikan Anonimous. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aaparatur Negara Nomor PER/19/M.PAN/10/2008 Tentang Jabatan fungsional penyuluh perikanan dan angka kreditnya. Mardikanto T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Sigel S. 1956. Nonparametric Statistics for Behavioral Sciences. Tokyo: Mc.Graw Hill-Kogakusha. Ltd Singarimbun, M. dan Effendi, S. Editor. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Van Den Ban AW, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. Undang-Unadang No. 16 tahun 2006. Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 34 KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK IKAN PATIN (Pangasius pangasius) Oleh Tatty Yuniarti, Romauli J Napitupulu, Iis Jubaedah, Ganjar Wiryati Dosen Sekolah tinggi Perikanan ABSTRAK Ikan asap adalah salah satu produk olahan tradisional di Indonesia. Berbagai jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku ikan asap. Salah satunya adalah ikan patin (Pangasius-pangasius). Modifikasi pengasapan ikan digunakan untuk menghasilkan ikan asap yang disukai konsumen. Modifikasi ikan asap yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari dua (2) model ikan asap yaitu ikan patin tanpa disayat diasapi (A) dan ikan patin disayat (B) kemudian diasapi. Penyayatan daging pada salah satu model ikan asap diharapkan dapat memperluas permukaan kontak daging ikan dengan asap sehingga menghasilkan profil sensori yang berbeda. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji sensori skala rating hedonik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan model ikan asap yang disukai oleh konsumen. Dari hasil penelitian diketahui bahwa ikan asap dengan bahan baku ikan patin berat rata-rata 280-320 gr menghasilkan rendemen ikan asap sebanyak kurang lebih 60%. Dari hasil uji sensori diketahui bahwa panelis lebih memilih atribut penampakan dan tekstur untuk ikan asap yang disayat dan panelis memilih untuk atribut rasa dan bau pada ikan asap yang tanpa disayat. Komposisi ikan asap tanpa disayat adalah protein 13%, lemak 0,54%, air 73% dan mineral 1,77%, untuk ikan asap bersayat kadar protein 23%, lemak 0,44%, air 65% dan mineral 0,96%. Kata kunci: ikan patin (Pangasius pangasius), ikan asap, ikan asap bersayat PENDAHULUAN Latar belakang Sebagai negara yang 70 persen kawasannya berupa perairan dan laut serta belasan ribu pulau, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi berbasiskan kelautan dan perikanan. Optimalisasi pemanfaatan sektor kelautan dan perikanan tentunya dapat berjalan jika para pemuda turut terjun langsung untuk mengelola potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang bersandar pada prinsip-prinsip Blue Economy. Konsep Blue Economy menawarkan platform yang luas dari ideide inovatif, sehingga dapat merangsang kaum muda untuk berwirausaha di setiap sektor bisnis kelautan dan perikanan melalui pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara berkelanjutan (KKP 2013). Ikan asap adalah salah satu produk unggulan yang dihasilkan dari peserta didik Sekolah Tinggi Perikanan, satuan kerja di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai media pembelajaran menuju wirausaha muda yang tangguh. Pemilihan ikan asap sebagai produk unggulan karena ikan asap 35 adalah salah satu produk tradisional yang populer di Indonesia. Berbagai jenis ikan asap tersebar di wilayah nusantara. Beberapa produk ikan asap khas Indonesia diantaranya adalah ikan salai dari Sumatera Barat, ikan fufu dari Sulawesi Utara, ikan pe dari Jawa Tengah, ikan kayu dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Jenis bahan baku, jenis kayu, metode pengasapan maupun faktor-faktor proses lainnya yang dilakukan di daerah-daerah tersebut memiliki ciri yang khas sehingga menghasilkan karakteristik ikan asap yang berbeda. Bahan baku ikan asap yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan patin (Pangasius pangasius), mengingat ikan patin adalah salah satu komoditas unggulan budidaya ikan air tawar di Kabupaten Bogor (Dinas Peternakan dan Perikanan 2010), dimana Kampus Sekolah Tinggi Perikanan berlokasi. Ikan patin asap yang diproduksi oleh peserta didik (taruna) Sekolah Tinggi Perikanan mempunyai kelemahan yaitu kadar air yang masih tinggi dan bentuk yang biasa, oleh karena itu maka akan dibuat produk ikan asap dibuat dua (2) model ikan asap yaitu ikan asap tidak bersayat (A) dan ikan asap (bersayat). Model tersebut nantinya akan diuji baik uji kimia yaitu uji kadar air, protein, lemak dan mineral, dan uji sensori. Pertimbangan pemilihan model ikan asap ditentukan juga oleh besarnya yield dan lama waktu produksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan model ikan asap yang disukai oleh konsumen. Manfaat dari penelitian ini diharapkan produk ikan asap dapat menjadi contoh produk wirausaha peserta didik yang bisa diterima konsumen, aman dan menguntungkan serta diterima oleh suplier baik toko konvensional maupun retail modern. METODA PENELITIAN Bahan baku penelitian menggunakan ikan patin (Pangasius pangasius) yang diambil dari kolam praktek taruna di Astana Gedhe, Kompleks Sekolah Tinggi Perikanan, Bogor. Waktu penelitian pada bulan Februari-Mei 2013, di Laboratorium Pasca Panen dan Laboratorium Kimia, Sekolah Tinggi Perikanan. Penelitian menggunakan dua (2) model ikan asap, yaitu ikan asap tanpa sayatan (A) dan ikan asap bersayat (B). Prosedur pembuatan ikan asap menggunakan metoda pengasapan panas bertahap (Unlusayin et al. 2007) yang dimodifikasi. Tahapan pengasapan yaitu penyiangan, pencucian, membelah ikan pada bagian punggung sehingga membentuk kupu-kupu, kemudian membagi ikan asap menjadi dua bagian model yaitu yang tidak disayat (A) dan disayat (B), kemudian merendam ikan patin dalam air garam 5% hingga ikan terendam seluruhnya selama 30 menit. Garam yang digunakan adalah garam halus yang telah bersertifikat halal. Selanjutnya ikan cuci dengan air bersih dan ditiriskan, diangin-anginkan selama 30 menit dengan bantuan kipas angin. Ikan diasapi dalam posisi digantung dengan kepala diatas, pengasapan menggunakan bahan bakar asap berupa tempurung kelapa pada suhu 50 oC selama 4 jam dilanjutkan pemanasan 70 o C selama 1 jam dan 80 oC pada jam ke6. Selesai pengasapan, ikan asap 36 diangkat dan dibiarkan semalam, dikemas menggunakan plastik HDPE. Pengujian komposisi kimia berupa uji proksimat meliputi kadar air, protein, lemak, abu dan karbohidrat dan uji TBA. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa antara lain asam thiobarbiturik (TBA), asam klorida (HCl), heksana, natrium hidroksida (NaOH), indikator phenolphtalein, asam sulfat (H2SO4), serbuk selenium, asan borat (H3BO3). Alat yang digunakan antara lain peralatan penyiangan ikan yaitu pisau, talenan, baskom, timbangan, alat pengasapan berupa lemari pengasapan dua pintu dan dua cerobong asap, dimensi lemari tersebut adalah panjang x lebar x tinggi yaitu 2 m x 50 cm x 2 m. Peralatan analisa antara lain spektrofotometer, oven, furnace, timbangan analitik, labu kjeldahl, labu soxchlet dan peralatan gelas kimia. HASIL PENELITIAN Bahan baku ikan patin yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 40 ekor ikan. Berat ikan antara 280-320 gr atau dengan berat rata-rata 301 gr. Ikan patin disiangi, dibuang organ dalam dan insangnya, kemudian dicuci menghasilkan rendemen bahan baku ikan patin siap asap sebesar 73%. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam proses produksi yang menguntungkan dan terkontrol adalah yield dan karakteristik produk akhir. Saat ini selain faktor tersebut, faktor lain yang dipertimbangkan dalam proses produksi antara lain segi kesehatan, komposisi kimia produk seperti protein, lemak, kadar garam, air dan lain lain serta pertimbangan warna, tekstur dan aspek sensori lainnya (Cardinal et al. 2001). Pada ikan salmon asap, yield dan mutu produk tergantung pada proses produksi, seperti penghilangan kepala, filleting dan pemotongan ikan (trimming), pemilihan proses seperti pengasapan, pengasapan kering, penggaraman dan teknik pengasapan, pengendalian parameter proses seperti konsentrasi garam, suhu pengasapan, kelembaban, dan karakteristik dari bahan baku ikan (raw material) (Rora et al. 1998). Karkas berupa organ dalam ikan rainbow trout adalah 13%, atau yield sebesar 87%, yield berkurang menjadi 61% pada perlakuan tanpa pemotongan daging ikan (untrimmed) dan menjadi 41% pada perlakuan pemotongan daging (trimmed) (Bugeon et al. 2010). Selanjutnya ikan patin diasapi dan menghasilkan yield ikan asap tidak bersayat (A) sebesar 61% dan yield ikan asap bersayat (B) sebesar 58%. Ikan lele (Clarias gariepinus) dengan berat 500-400 gr, yang diasapi tradisional selama 4 jam menghasilkan yield ikan lele asap sebesar 40-34% (Agbabiaka et al. 2102). Besarnya yield akan dapat digunakan untuk mempertimbangkan secara ekonomis produk yang dipilih oleh produsen. Komposisi kimia dilakukan dengan menggunakan analisa proksimat untuk mengetahui perkiraan jumlah relatif protein, lemak, air, air dan karbohidrat pada ikan patin segar, ikan asap tidak bersayat (A) dan ikan patin bersayat (B). Kadar air ikan patin sebagai bahan baku adalah 78%. Kadar air ini lebih rendah dari kadar air ikan lele sebesar 79,73% (Nurjanah, Abdullah 2010) dan ikan nike (Awous melanocephalus) sebesar 79,76% (Yusuf at al. 2012). Komposisi kimia setiap 37 spesies dan individu ikan berbeda-beda tergantung pada umur, jenis kelamin, habitat dan musim (Islam, Joadder 2005), jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan (Adewolu, Bafeney 2009). Dari hasil uji proksimat, maka ikan patin digolongkan dalam kelompok ikan kurus sedikit berlemak karena kandungan lemaknya <2%. Proses pengasapan merubah komposisi kimia terutama pada ikan asap B, kadar air berkurang dari 78% menjadi 65%. Unlusayin et al. (2007) pada proses pengasapan ikan yang dibuang organ dalamnya, direndam dalam air garam 20%, dan diasapi 30 oC selama 45 menit, selanjutnya 50 oC, 60 o C dan 70 oC selama 3 jam, dan 80 oC selama 45 menit, komposisi kimia ikan asap sea bass adalah kadar air 58,74%, protein 13,30%, lemak 15,44%, abu 3,61%, karbohidrat 8,915; ikan sea bream kadar air 56,97, protein 13,69%, lemak 17,90%, abu 3,99%, karbohidat 7,45%; ikan rainbow trout kadar air 58,39%, protein 13,47%, lemak 15, 24%, abu 3,98%, karbohidrat 8,92%. Hal ini disebabkan pengasapan pada suhu tinggi menyebabkan air bebas pada daging ikan keluar sehingga kadar air menurun. Ahmed et al. (2010) menyatakan bahwa penurunan prosentase kadar air menyebabkan peningkatan prosentase kadar protein, lemak dan kadar abu pada berat basah ikan asap. Komposisi kimia ikan patin dan ikan patin asap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia ikan patin dan hasil pengasapan (%) Kode Bahan baku Ikan asap tanpa sayat (A) Ikan asap bersayat (B) Air 78 73 65 Penentuan mutu organoleptik menggunakan metoda rating hedonik skala 1-10 untuk menentukan mutu terbaik dengan atribut sensori kenampakan, tekstur, bau dan rasa. Ditentukan juga mutu ikan asap selama penyimpanan pada suhu ruang. Pada atribut kenampakan, panelis memilih ikan asap bersayat (B). Sayatan pada daging ikan membuat luas permukaan kontak antara ikan dengan asap semakin besar sehingga komponen kimia dari asap dapat lebih mempengaruhi ikan hasil pengasapan. Komponen yang menyebabkan perubahan warna kuning keemasan akan nampak pada sayatan Protein 10 13 23 Lemak 0,33 0,54 0,44 Abu 0,83 1,77 0,96 daging ikan sehingga panelis lebih menyukainya. Warna yang terbentuk dari proses pengasapan menurut Rozum (2009), akibat senyawa yang terbentuk dari proses pirolisis selulasa dan hemiselulosa yaitu senyawa aldehid terutama glokoaldehid dan piruvaldehid yang berkontribusi dalam pembentukan warna pada permukaan daging. Pencoklatan terjadi dari reaksi Mailard, yaitu senyawa karbonil dari asap bereaksi dengan asam amino dari protein daging ikan. Warna yang terbentuk berkorelasi dengan suhu, kelembaban, kandungan protein, sumber serta waktu pengasapan. Pada hari ke-0, 2, 4, 6, 8 38 nilai organoleptik atribut kenampakan masih diterima oleh konsumen, tetapi pada hari ke 10, produk sudah tertolak baik pada sampel A dan B. Menurut Rora et al. (1998) kenampakan juga dipengaruhi warna asli dari bahan baku ikan. Pengasapan mengakibatpan terjadinya kehilangan air pada daging ikan sehingga meningkatkan konsentrasi karetenoid pada ikan salmon sehingga mempengaruhi warna produk ikan salmon asap. Grafik tingkat penerimaan konsumen terhadap ikan asap tanpa disayat (A) dan ikan asap disayat (B) disajikan pada Gambar 1. Kenampakan 10 8 6 A 4 B 2 0 0 2 4 6 8 10 Gambar 1 Profil Kenampakan Ikan patin asap Keterangan: A = Ikan asap tanpa sayatan B =Ikan asap bersayat Tekstur pada ikan asap dengan sayatan pada penyimpanan suhu ruang hari ke-0 hingga hari ke 10, lebih disukai daripada ikan asap tanpa sayatan karena sayatan dapat memperluas kontak antara panas pengasapan dengan daging sehingga perpindahanpanas dari asap ke daging ikan dapat berlangsung lebih baik. Hal ini terlihat pada kadar air ikan asap bersayat yang lebih rendah daripada ikan asap tanpa sayat sehingga tekstur ikan asap bersayat menjadi lebih kompak dan padat. Faktor fisik yang terlibat didalam pengeringan ikan asap terdiri dari dua tahap migrasi air dari permukaan produk yaitu penguapan permukaan air dan difusi air dari daging menuju permukaan daging. Faktor yang mempengaruhi mekanisme migrasi adalah komposisi kimia dari daging terutama kandungan lemaknya. Kecepatan difusi air pada daging lean fish lebih cepat dari pada difusi air pada daging berlemak, sehingga pengeringan lebih cepat dan kehilangan air menjadi lebih tinggi. Kehilangan air menyebabkan sifat hardening pada produk (Cardinal et al. 2001). Kulit ikan banyak mengandung kolagen. Kolagen adalah protein fiber yang banyak terdapat kurang lebih 3% pada hewan, terdapat pada kulit, tulang dan jaringan penghubung pada tendon. Sifat reologi kolagen dipengaruhi oleh suhu, pH, konsentrasi kolagen dan ikatan cross linking protein. Pemanasan dan pH dapat meningkatkan sifat rigid pada kolagen kulit cat fish (Zhang et al. 39 2010). Gambar tingkat kesukaan konsumen terhadap atribut tekstur disajikan pada Gambar 2 Tekstur 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 A B 0 2 4 6 8 10 Gambar 2 Profil tekstur ikan patin asap Keterangan: A = Ikan asap tanpa sayatan B =Ikan asap bersayat Tingkat kesukaan panelis pada bau atau aroma ikan asap tanpa disayat (A) lebih rendah daripada ikan bersayat (B). Menurut Simko (2005) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk ikan asap meliputi kualitas psiko kimia bahan baku ikan segar, umur, jenis kelamin ikan, musim penangkapan ikan, proses pengasapan seperti sumber komponen asap dari bahan bakar asap, suhu pengasapan, kelembaban, waktu pengasapan dan densitas asap. Menurut Harmain et al. (2012) lama waktu penyimpanan sosis ikan asap hingga hari ke- 16, tidak berpengaruh terhadap aroma sosis. Gambar tingkat penerimaan panelis terhadap atribut bau ikan patin asap disajikan pada Gambar 3 Bau 10 8 6 A 4 B 2 0 0 2 4 6 8 10 Gambar 3 Profil Bau (aroma) ikan patin asap Keterangan: A = Ikan asap tanpa sayatan B =Ikan asap bersayat 40 Secara umum atribut rasa pada ikan patin asap tanpa sayatan (A) lebih disukai dari pada ikan patin asap bersayat. Hal ini disebabkan luasnya permukaan pada kontak pada ikan patin bersayat memungkinkan kontak senyawa-senyawa asap dengan daging ikan tidak terhalang oleh kulit ikan, sehingga konsentrasi komponen asap menjadi lebih tinggi dan rasa smoky menjadi tajam pada ikan patin bersayat. Ternyata rasa smoky yang tajam tidak disukai oleh konsumen. Hal ini kemungkinan karena konsentrasi senyawa-senya asapyang lebih tinggi pada ikan patin asap bersayat, menyebabkan rasa ikan asap menjadi lebih pahit dan berbau asap yang tajam membuat konsumen lebih menyukai ikan asap tanpa sayatan (A). Menurut Cardinal et al. (2001) suhu pengasapan, tahapan proses pengasapan seperti proses thawing dan freezing raw material ikan mempengaruhi penyerapan garam dan komponen asap, selain mempengaruhi struktur dan mikrostruktur tekstur ikan salmon asap. Suhu pengasapan dan teknik pengasapan menghasilkan intensitas bau dan rasa asap (smoke) yang bervariasi. Semakin tinggi suhu pengasapan maka akan meningkatkan deposit komponen asap. Selain itu jenis kayu, metoda produksi asap, temperatur pirolisis, densitas asap dan waktu pengasapan mempengaruhi atribut sensori ikan asap (Cardinal et al. 1997). Gambar penerimaan konsumen terhadap rasa ikan patin asap disajikan pada Gambar 4 Rasa 10 8 6 A 4 B 2 0 0 2 4 6 8 10 Gambar 4 Profil rasa ikan patin asap Keterangan: A = Ikan asap tanpa sayatan B =Ikan asap bersayat Menurut Cardinal et al. (2006) Tingkat penerimaan konsumen terhadap ikan asap dipengaruhi oleh kebiasaan makan konsumen karena tingkat kebiasaan makan makanan tradisional pada suatu daerah akan berbeda sehingga mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen KESIMPULAN Model ikan patin asap utuh tanpa sayatan secara umum lebih diterima dari atribut rasa dan aroma, akan tetapi produk ikan patin asap bersayat lebih bisa diterima oleh konsumen pada atribut tekstur dan kenampakan. Yield 41 ikan patin asap tanpa sayatan lebih tinggi daripada yield ikan patin asap bersayat. Dari penelitian ini maka produsen dapat memilih model produk ikan asap yang diinginkan dengan mempertimbangkan karakteristik produk yang dihasilkan. Sebagai saran, faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan model ikan asap adalah lama waktu penyayatan, karena lama waktu penyayatan akan berhubungan secara ekonomis terhadap produk ikan asap DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International 18th Edition. Gaithersburg, USA: AOAC International. [KKP]. 2013. Kaidah Blue Economy Sudah Berjalan Puluhan Tahun Di Indonesia. Siaran Pers Pusdatin KKP . 29/04/2013. http://kkp.go.id/index.php/arsip/c/ 9043/kaidah-blue-economy-sudahberjalan-puluhan-tahun-diindonesia/ [Diunduh tanggal 13 Oktober 2013] Adewolu MA, Benfey TJ. 2009. Growth nutrient utilization and body composition of juvenil Bagrid catfish, Chrysichthys nigrodigitatis (Actiinopterygii: Siluriformes: Claroteindae), fed different dietry crude protein level. Acta ichtyologica et Piscatoria Vol 39 No 2 page 95-101. Agbabiaka LA, Amadi AS, Eke LO, Madubuko CU, Ojukannaiye AS. 2012. Nutritional and storage qualities of catfish (Clarias gariepinus) smoked with Anthonatha macrophylla. Science Research Reporter Vol 2 No. 2: 142-145 ISSN: 2249-2321. Ahmed EO, Ali ME, Khalid RA, Taha HM, Mahammed AA. 2010. Investigating the quality changes of raw and hot smoked Oreochromis niloticus and Clarias lazera. Pak J Nutr Vol 9 No. 5: 481-484. BeMiller JN. 2003. Carbohydrate analysis. Di dalam: Nielsen SS, editor. Food Analysis. New York: Kluwer Academic/Plenum. hlm 143-174. Bugeon J, F Lefevre, M Cardinal, A Uyanik, A Davenel, P Haffray. 2010. Flesh quality in large rainbow trout with high or low fillet yield. Journal of Muscle Foods Vol 21 Issue 4: 702-721. Cardinal M, Berdague JL, Dinel V, Knockaert C, Vallet JL. 1997. Effet de differentes technique de fumage sur la nature des compose volatil et les caracteristiques ssensorilles de la chair de saumn. Science des Alments 17:679-696. Cardinal M, C Knockaert, O Torrison S Ssigussgislodottir, T Morkore, M Thomassen. JL Vallet. 2001. Relation of smoking parameters to yield, color and sensory quality of smoked Atlantic salmon (Salmo salar). Food Research International 34 (2001): 537-550. Cardinal M. Cornet J. Serot T. Baron R. 2006. Effect smoking process on odour characteristict of smoked herring (Clupea harengus) and relationships with phenolic compound content. Food Chem. 96: 137-146. 42 Cheftel JC, Cheftel H. 1977. Traitment physiques. In Introduction a Biochimieet a la technologi des aliament: 199-219. Paris. Technic et documentation. Lavoisier. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2010. Data Potensi Perikanan Tahun 2007 s/d 2009. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Bogor. Harmain RM, L Hardjito, W Zahiruddin, 2012. Mutu sosis fermentasi ikan patin (Pangasius sp.) selama penyimpanan suhu ruang. J Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol. 15 No. 2: 80-93. J of Fisheries Sciences. Vol 1 No.1: 20-25. Yusuf N, S Purwaningsih, W Trilaksani, 2012. Formulasi tepung pelapis savory chips ikan nike (Awaous melanocephalus). JPHPI Vol. 15 No. 1 35-44. Zhang M, Y Chen, G Li, Z Du. 2010. Rheological properties of fish skin collagen solution: Effects of temperature and concentration. Korea-Australia Rheology Journal. Vol. 22, No. 2, June 2010 pp. 119-127 . Islam MN, Joadder AR. 2005. Seasonal variation of the proksimat composition of freshwater Gobi, Glossogobius giuris (Hamilton) from the river padma. Pakistan J of Biological Sciences Vol 8 No. 4 page 532-536. Nurjanah, A Abdullah, 2010. Cerdas Memilih Ikan Dan Mempersiapkan Olahannya. Bogor: IPB Press. Rora AMB, Kvale A, Morkore T, Rorvic K A, Steien SH, Thomassen MS. 1998. Process yield, colour and sensory quality of smoked Atlantik salmon in relation to raw material characteristics. Food Research International 31(8) 601-609. Simko. 2005. Factor affecting elimination of polycyclic aromatic hydrocarbons from smoked met foods and liquid smoke flavourings- A review. Mol Nutr Food res 49:637-647. Unlusayin M. S Bilgin, L Izci, A Gunlu. 2007. Chemical and sensory assesment of hot smoked fish pate. 43 STUDI KUALITAS AIR DAN KOMUNITAS PLANKTON PADA TAMBAK PESISIR KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT Oleh Dinno Sudinno, Pigoselpi Anas, Iis Jubaedah Dosen Jurusan Penyuluhan Perikanan Sekolah Tinggi Perikanan ABSTRAK Kabupaten Subang merupakan salah satu wilayah pesisir dengan luas 333,57 km2 atau sekitar 16% dari luas seluruh Kabupaten Subang, memiliki hutan mangrove dan sangat potensial untuk pengembangan usaha budidaya. Telah dilakukan penelitian di tambak silvofishery kawasan pesisir Kabupaten Subang pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014. Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana Kualitas air pada Tambak Silvofishery dan bagaimana komunitas plankton pada Tambak Silvofishery Pesisir Kabupaten Subang Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Pengamatan dilakukan pada 6 (Enam) stasiun pengamatan di Kecamatan Blanakan. Analisa Data terdiri dari analisis kualitas air dan indeks diversitas plankton. Hasil penelitian menunjukan Parameter kualitas air suhu, salinitas, pH, kecerahan, TSS, NO2, NO3, PO4 , DO, BOD dan COD nilainya di semua stasiun memenuhi nilai baku mutunya masingmasing. Sedangkan parameter NH3 dan NO3 di semua stasiun telah melebihi nilai baku mutunya masing masing. Komunitas plankton pada 6 (enam) stasiun pengambilan contoh di tambak Subang mendapatkan data plankton secara keseluruhan berjumlah 13 jenis, terdiri dari 10 jenis fitoplankton dan 3 jenis zooplankton. Pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa jumlah taksa berkisar antara 6 hingga 13 jenis, dengan kelimpahan total berkisar antara 400 hingga 2020 individu/liter. Hasil penghitungan indeks diversitas menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman komunitas plankton pada tambak yang bermangrove secara keseluruhan tergolong rendah yakni dari 1,2299 sampai 1,2731. Sedangkan pada tambak yang tidak bermangrove secara keseluruhan tergolong sangat rendah yakni dari 0,3509 sampai 0,7374. dan Fitoplankton yang mendominasi adalah divisi Chrysophyta. Key word: Kualitas air,Plankton, Silvofishery, Tambak, Kb Subang . PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem di wilayah 44 pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung didalamnya (nutrien, sedimentasi, dan bahan pencemar) yang kesemuanya akan bermuara ke perairan pesisir. Selain itu, pola pergerakan massa air ini juga akan berperan dalam perpindahan biota perairan (plankton,ikan, udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Bengen,2000). Salah satu ekosistem wilayah pesisir adalah hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, penyerap limbah dan pencegah interusi air laut, Kawasan hutan mangrove yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi terus menerus mengalami degradasi akibat dikonversi dan berubah fungsi untuk kegiatan lainnya, seperti pemukiman, pariwisata, perhubungan, reklamasi pantai, budidaya perikanan dan sebagainya. Disinyalir bahwa konversi lahan mangrove untuk pemukiman dan tambak udang merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan yang cukup besar. Untuk melindungi kawasan mangrove dari kerusakan lebih lanjut, salah satu konsep pengembangan yang dapat mengkombinasikan antara pemanfaatan dan sekaligus konservasi di kawasan mangrove adalah silvo-fishery Hutan mangrove merupalan ekosistem hutan yang khas terutama karena posisinya sebagai peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem taut. Kondisi lingkungan fisiknya yang sangat khusus menyebabkan ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang terbatas dan ekosistem ini sangat rentan terhadap adanya pengaruh luar terutama karena species biota pada hutan mangrove memiliki toleransi yang sempit terhadap adanya perubahan dari luar. silvofishery pesisir Kabupaten Subang yang memiliki lahan tambak yang luas. Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal di atas, rumusan masalah adalah sebagai berikut: a. Bagaimana Kualitas air pada Tambak Silvofishery Pesisir Kabupaten Subang Jawa Barat. b. Bagaimana Komunitas plankton pada Tambak Silvofishery Pesisir Kabupaten Subang Jawa Barat. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : a. Mengetahui Kualitas air pada Tambak Silvofishery Pesisir Kabupaten Subang Jawa Barat. b. Mengetahui Komunitas plankton pada Tambak Silvofishery Pesisir Kabupaten Subang Jawa Barat. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tambak silvofishery kawasan Pesisir Kabupaten Subang pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014. Pengamatan dilakukan pada 6 stasiun pengamatan seperti terlihat pada Tabel 1 45 Tabel 1. Stasiun pengamatan penelitian di Pesisir Kabupaten Subang No. st 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kecamatan Blanakan Blanakan Pamanukan Pamanukan Pusakanegara Legon Kulon Lokasi pengamatan 6º14'26,84" S - 107º43'18,45" 6º14'22,08" S - 107º43' 8,86" 6º12'45,19" S - 107º46'25,77" 6º12’55,59” S - 107º46’30,02” 6º15'16,4" S - 107º55'17,17" 6º12'42,03" S - 107º47'25,81" Metoda Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Pengumpulan data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei langsung di lapangan yaitu terhadap : Kualitas Air Untuk mendapatkan data kualitas air dilakukan pengukuran fisika dan kimia langsung dilapangan maupun mengambil sampel air untuk diuji dilaboratorium. Jenis parameter fisika dan kimia yang diukur meliputi suhu, salinitas, pH, kecerahan, TSS, NH3, No2, Keterangan Mangrove tebal di tengah tambak Tanpa mangrove di tambak Tanpa mangrove di tambak Mangrove hanya di pematang Mangrove Tipis di tengah tambak Tanpa mangrove di tambak No3, Po4 , Oksigen terlarut, BOD dan COD. Fitoplankton Untuk mendapatkan contoh plankton, air sebanyak kurang lebih 50 liter disaring menggunakan plankton net No 25 menjadi 50 ml dan diawetkan dengan lugol atau formalin. Identifikasi jenis dilakukan di laboratorium menggunakan mikroskop dan buku identifikasi. ANALISA DATA Kualitas Air Jenis dan cara pengukuran parameter físika dan kimia terlihat pada Tabel 2. 46 Tabel 2. Parameter dan cara analisis kualitas air No Parameter Satuan Alat/Cara Analisis A. Fisika 1. Kecerahan cm Secchi disk 2. Suhu ° C Thermometer 3. (TSS) mg/l Gravimetri B. Kimia 4. pH pH meter 0 5. Salinitas ⁄00 Refraktometer 6. Oksigen terlarut Mg/l DO meter 7. BOD mg/l Botol sample ; Titrimetrik 8. COD mg/l Botol sample; Titrimetrik 9 Ammonia mg/l Botol sample; Titrimetrik 10 Nitrat mg/l Botol sample ; Titrimetrik 11 Nitrit mg/l Botol sample ; Titrimetrik 12 Phospat mg/l Botol sampel; Titrimetrik Indeks Diversitas Plankton Analisa terhadap plankton dilakukan dengan menghitung nilai indeks diversitas dari plankton dengan Shannon Wieners formula (Soegianto, 2004) : H = - ∑ ni / N ln ni / N Keterangan In situ In situ Laboratorium In situ In situ In situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Shannon dan Wieners dalam Poole (1974) menyatakan bahwa berdasarkan indeks diversitas (H'), kualitas air dikelompokkan atas 5 kategori seperti yang terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria kualitas air berdasarkan indeks diversitas (H') Indeks Diversitas Kriteria kualitas air < 1,00 Sangat rendah ( tercemar berat) 1,00 – 1,66 Rendah 1,67 – 2,33 Sedang 2,34 – 3,00 Baik > 3,00 Sangat baik (tidak tercemar) Sumber : Shannon dan Weiners dalam Poole (1974) HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Luas Kabupaten Subang adalah 205.176,95 Ha (4,64% dari luas Jawa Barat) dengan ketinggian antara 0 – 1500 m dpl. Dilihat dari segi topografinya dapat dibedakan menjadi 3 zone daerah yaitu : Daerah pegunungan dengan ketinggian 500 – 1500 m dpl dengan luas 41.035,09 Ha (20%), daerah berbukit dengan ketinggian 50 -500 m dpl dengan luas 71.502,16 Ha (35%), 47 daerah dataran rendah dengan ketinggian 0 – 50 m dpl dengan luas 92.939,7 Ha (45%). Sekitar 80,8 % Kabupaten Subang mempunyai kemiringan 0 - 17º, sedangkan sisanya memiliki kemiringan diatas 18º. Secara umum Kabupaten Subang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata pertahun 1593 mm dengan rata-rata hari hujan 91 hari. Dari 20 kecamatan hanya 4 kecamatan yang merupakan kecamatan pesisir dapat dilihat pada Tabel 4. Luas wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Subang adalah 333,57 km² atau 16% dari luas seluruh Kabupaten Subang. Tabel 4. Kecamatan Pesisir di Kabupaten Subang No. Kecamatan 1. Blanakan 2. Pamanukan 3. Legon Kulon 4 Pusakanegara Jumlah Luas (km2) 85,81 80,89 98,47 68,40 333,57 Sumber: Monografi Kabupaten Subang, 2014 Potensi Tambak Potensi tambak Kabupaten Subang ini sangat besar, panjang pantai mencapai 68 km potensial untuk pengembangan usaha budidaya. Komoditas yang sangat cocok untuk dikembangkan adalah Rumput Laut (Euchema spp), Kakap (Lates carcarifer), Kerapu (Ephinephelus spp), Udang Windu (Penaeus monodon), Udang Putih (Penaeus merguensis), Bandeng (Channos channos) dan Kerang-kerangan serta jenis ikan lainnya. Seiring dengan besarnya peluang usaha tambak, maka peluang usaha pembenihan (hatchery) pun sangat luas. Tahun 2011 di Kabupaten Subang memiliki potensi lahan budidaya tambak seluas kurang lebih 14.300 ha yang terletak di lima kecamatan yaitu Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, Sukasari dan Legonkulon. Produksi udang di Subang tahun 2009 tercatat 3.143,50 ton, tahun 2010 sebanyak 2.004 ton, dan pada tahun 2011 produksi udang dari lahan budidaya tambak yang dimanfaatkan adalah sebesar 2106,72 ton . Daerah Pantura Subang saat ini akan dijadikan daerah industri penghasil udang vaname di Jawa Barat maupun tingkat Nasional. Tahap awal, saat ini lahan tambak bandeng sudah mulai dijadikan tambak udang. Daerah pantura subang dulu sempat dijadikan tambak bandeng dan saat ini akan dijadikan sebagai industry udang untuk memenuhi permintaan nasional. (etnikom.net) Dijadikannya pantura Subang sebagai daerah industri penghasil udang tidak terlepas dari program yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang bertujuan untuk membangkitkan kembali masa keemasan tambak udang di daerah pantura dan meningkatkan kembali produksi udang yang sempat terpuruk. Guna mengoptimalkan kawasan pertambakan pantura di Kabupaten Subang, target 48 industrialisasi udang di kawasan ini di tahun 2012 adalah 719 ha. Untuk pencapaian target tersebut maka dilakukan revitalisasi tambak melalui perbaikan infrastruktur berupa saluran primer, sekunder dan tertier dan sekaligus perbaikan tambak. Kondisi Kawasan Pesisir Subang Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai, dimana untuk kedalaman kurang dari 5 m di sekitar Blanakan gradiennya sekitar 0.0027 dan 0.0054 di sekitar Pusakanegara; di perairan antara 5m -10 m gradien kedalaman berkisar antara 0.0006 (di sekitar Blanakan) sampai 0.0027 (di sekitar Pusakanegara). Hal ini berarti bahwa di bagian barat pantai Subang (seperti Kecamatan Blanakan) lebih landai dibandingkan dengan di bagian timur pantai Subang (seperti Kecamatan Pusakanegara). ( Atlas Subang, 2002) Wilayah pantai Blanakan Subang yang berbentuk seperti teluk memungkinkan terjadinya proses pengendapan sedimen dari sungai dan dari angkutan sedimen pantai menjadi lebih besar, sehingga di wilayah ini laju pendangkalan perairan sangat besar. Dari hasil observasi lapangan diperoleh keterangan bahwa luas lahan timbul dari hasil pengendapan sedimen ini mencapai sekitar 400 Ha yang berada di sekitar muara sungai Blanakan. Di wilayah timur pantai Subang dengan garis pantai memanjang dalam arah tenggara – barat laut cenderung mengalami penggerusan garis pantai (abrasi) Arus perairan di wilayah Pantai Subang menunjukkan bahwa di perairan Pantai Mayangan arus pasang berkisar antara 1.4 ± 31.5 cm/det mengalir dominan ke arah barat, dan arus surut berkisar antara 0.7 ± 28.1 cm/det yang mengalir dominan ke arah barat. Di lokasi Pantai Ciasem arus pasang berkisar antara 1.5 ± 30.7 cm/det yang dominan kearah barat,sedangkan arus surut berkisar antara 1.9 cm/det sampai 33.5 cm/det dominan kearah barat (Puslitbang Pengairan, 1985). Arah arus dominan ke arah barat pada waktu pasang maupun surut ini diperkirakan bahwa komponen arus musiman menjadi dominan di wilayah perairan ini. Kabupaten Subang, menurut kajian Atmadipoera (2002) Jenis pasut di lokasi ini memiliki nilai formzal F = (19.3+11.4)/(10.5+7.7) = 1.69, berarti tipe pasut campuran yang condong ke harian tunggal dengan tunggang pasut adalah 61.4 cm. Hal ini berarti dalam satu hari kadang-kadang terdapat hanya satu kali pasang dan satu kali surut, tetapi juga kadang terdapat dua kali pasang dan dua kali surut Gelombang di sekitar pantai Mayangan dan Ciasem Kabupaten Subang dalam musim Peralihan (Mei) menunjukkan bahwa tinggi gelombang berkisar antara 4 cm sampai 42 cm dengan periode gelombang antara 2.0 sampai 6.5 detik. Arah rambatan gelombang yang dominan berasal dari arah Utara dan Timurlaut. Di wilayah Pantai Ciasem tinggi gelombang berkisar antara 2.0 cm sampai 50 cm, dengan periode gelombang antara 1.8 sampai 5.7 detik dan arah gelombang yang dominan adalah Utara dan Timurlaut (Puslitbang Pengairan,1985). 49 Hasil Survey Parameter Fisika-Kimia Air Hasil pengukuran parameter kualitas perairan pesisir Kabupaten Subang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kualitas Air di Lokasi Penelitian Parameter pH Suhu Kecerahan Salinitas TSS DO NH3 COD BOD NO3 PO4 NO2 Sumber : Data primer, 2014 St 1 7,9 St 2 7,5 St 3 7,6 St 4 7,8 St 5 7,8 St 6 7,4 28 30 30 40 4,7 0,46 9,27 3,71 20,33 0,03 0,010 32 50 38 35 3,5 0,54 26,55 5,85 22,1 0,24 0,075 32 55 38 30 3 0,76 14,62 5,55 21,66 0,24 0,052 28 35 30 45 4,5 0,50 10,87 4,35 20,33 0,05 0,019 29 40 30 40 4 0,52 10,82 4,33 20,77 0,03 0,035 32 50 35 35 3 0,53 13,87 10,62 21,77 0,28 0,073 Kecerahan (transparancy) menunjukkan seberapa jernih air disuatu perairan, sehingga kecerahan dapat mencerminkan jumlah plankton disuatu perairan. Kecerahan adalah gambaran kedalaman air yang dapat ditembus oleh cahaya matahari dan dapat dilihat oleh mata pada umumnya. Kecerahan air ditentukan oleh partikel-partikel tersuspensi seperti tanah liat, bahan organik dan mikroorganisme. Boyd (1982) menyatakan bahwa kecerahan akibat lumpur sekitar 30 cm dapat membatasi penetrasi cahaya sehingga tidak dapat menembus kedalaman air dan mengganggu pertumbuhan plankton. Batas kecerahan optimal untuk udang adalah antara 30 – 40 cm (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Kecerahan air yang terukur di tambak Subang berkisar 30 – 55 cm (Gambar 2). Kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun 3 sekitar 55 cm di Kecamatan Blanakan, hal ini karena lokasi tersebut tidak ada mangrove di tambak. Mangrove memerlukan substrat berlumpur untuk hidupnya sehingga pada kecerahan yang tinggi mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik. Pohon mangrove baik daun, ranting maupun pohon maupun pohon yang gugur menjadi serasah membusuk yang dapat menyebabkan kekeruhan pada perairan. Sebaliknya kecerahan paling rendah adalah pada stasiun 1 sekitar 30 cm dimana terdapat tanaman mangrove tebal ditempat tambak. 50 60 33 50 32 31 40 30 Kecerahan Nilai Suhu Nilai Kecerahan . 30 Suhu 29 20 28 10 27 26 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 6 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 Stasiun Pengamatan Stasiun Pengamatan Gambar 2. Konsentrasi Kecerahan Perairan Suhu air terendah hasil pengamatan tedapat pada St 1 sekitar 28 derajat celsius dan suhu air yang tertinggi terdapat pada St 2, St 3 dan St 6 yaitu sekitar 32 derajat Celsius. Suhu air yang terukur di tambak Subang masih dalam kisaran yang normal yaitu berkisar antara 28 - 32°C Gambar 3. Adanya perbedaan suhu antar stasiun dikarenakan tanaman mangrove yang cukup tebal di St 1 sehingga suhu sekitar tambak rendah dibandingkan di St 2, St 3 dan St 6 yang tidak ada tanaman mangrovenya. Kandungan total padatan tersuspensi (TSS) yang terukur di tambak Subang yaitu sekitar 30 - 45 ppm (Gambar 4). Padatan tersuspensi (TSS) Gambar 3. Konsentrasi Suhu di Perairan yang tertinggi terdapat pada St 4. Sekitar 45 ppm, masih termasuk kategori yang baik karena perairan yang mempunyai nilai kandungan padatan tersuspensi sebesar 300 - 400 ppm mutu perairan tersebut tergolong buruk (Allert, 1984). Total padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganik yang dapat disaring dengan kertas millipore berporipori 0,45 μm. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser. 50 45 40 Niali TSS 35 30 25 TSS 20 15 10 5 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 Stas iun Pe ngam atan Gambar 4. Konsentrasi TSS di Perairan 51 Nilai pH di tambak Subang berkisar antara 7,4 – 7,9 (Gambar 5). Nilai pH tertinggi terdapat pada St 1 sekitar 7.9. Nilai ini memenuhi syarat untuk budidaya udang. Air laut memiliki pH yang relatif stabil dan biasanya berkisar antara 7,5 – 8,4 Nilai pH suatu perairan dapat berubah jika perairan tersebut mengalami gangguan seperti pencemaran dan ketidakstabilan lingkungan perairan. Perubahan nilai pH perairan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah aktifitas fotosintesis, suhu serta buangan limbah. 40 35 7,8 7,7 30 7,6 7,5 pH 7,4 7,3 Nilai Salinitas Nilai pH 8 7,9 25 20 Salinitas 15 10 7,2 7,1 5 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 1 St 2 Stasiun Pengamatan St 3 St 4 St 5 St 6 Stasiun Pengamatan Gambar 5. Konsentrasi pH Perairan. Gambar 6. Konsentrasi Salinitas Perairan. Air untuk pengairan tambak udang dapat diperoleh langsung dari laut dengan salinitas antara 30–36o/oo. Udang windu mampu hidup pada kisaran salinitas antara 15 – 50o/oo, pada salinitas <15o/oo udang dapat tumbuh dengan baik asalkan perubahan salinitas itu tidak terjadi secara mendadak. Walaupun udang mempunyai sifat euryhaline, kisaran salinitas yang baik untuk tambak udang adalah 10 – 35o/oo dengan kisaran optimum 15 – 25o/oo (Poernomo,1992). Nilai salinitas di tambak Subang berkisar 30 – 38o/oo.. Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter kimia air yang berperan pada kehidupan biota perairan. Penurunan okasigen terlarut dapat mengurangi efisiensi pengambilan oksigen bagi biota perairan sehingga menurunkan kemampuannya untuk hidup normal. Menurut Lung (1993), kelarutan oksigen minimum untuk mendukung kehidupan ikan adalah sekitar 4 ppm. Nilai oksigen terlarut di tambak Subang adalah berkisar antara 3,0–4,7 ppm. Nilai tersebut masih mendukung kehidupan biota perairan yaitu minimum 4, 0 ppm. 5 12 4,5 10 4 3 2,5 DO 2 1,5 1 Nilai BOD Niali DO 3,5 8 6 BOD 4 2 0,5 0 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 Stasiun Pengamatan Gambar 7. Konsentrasi DO Perairan. St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 Stasiun Pengamatan Gambar 8. Konsentrasi BOD Perairan. 52 BOD merupakan parameter yang dapat digunakan untuk menggambarkan keberadaan bahan organik di perairan. Hal ini disebabkan BOD dapat menggambarkan jumlah bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis, yaitu jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memecahkan atau mengoksidasi bahanbahan organik menjadi karbondioksida dan air. Nilai BOD yang tinggi menunjukkan semakin besarnya bahan organik yang terdekomposisi menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Adapun nilai BOD di tambak Subang berkisar antara 3,71 – 10,62 mg/l, dengan rata-rata 5,7 mg/l. Berdasarkan baku mutu air , nilai BOD yang dipersyaratkan 20 mg/l. Dengan demikian, disimpulkan bahwa tambak di Subang tidak tercemar oleh bahan organik mudah urai (BOD). Parameter lain yang juga dapat digunakan sebagai penduga pencemaran limbah organik adalah COD. Nilai COD menggambarkan total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologi (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Dari hasil analisis kualitas air tambak di Subang menunjukkan bahwa nilai COD perairan berkisar antara 9,27–26,55 mg/l, dengan nilai rata-rata 14,2 mg/l. Berdasarkan baku mutu air yang mempersyaratkan nilai COD adalah 40 mg/l, maka tambak di Subang tidak tercemar oleh bahan organik sulit terurai. (Gambar 9). 30 0,8 0,7 25 15 COD 10 Nilai NH3 Nilai COD 0,6 20 0,5 0,4 NH3 0,3 0,2 5 0,1 0 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 Stasiun Pengamatan St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 Stasiun Pengamatan Gambar 9. Konsentrasi COD Perairan. Gambar 10. Konsentrasi NH3 Perairan. Ammonia di perairan dapat berasal dari nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur. Selain itu, ammonia juga berasal dari denitrifikasi pada dekomposisi limbah oleh mikroba pada kondisi anaerob. Ammonia juga dapat berasal dari limbah domestik dan limbah industri. Hasil analisis kualitas air menunjukkan kadar ammonia di tambak Subang berkisar antara 0,46–0,76 mg/l.. Berdasarkan baku mutu air mensyaratkan kandungan ammonia maksimal 0,3 mg/l. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tambak di Subang diduga tercemar ammonia. (Gambar 10). Hasil pengukuran kadar nitrat di tambak Subang berkisar antara 20,33– 21,77 mg/l. Secara umum, kandungan nitrat di tambak Subang berada di atas baku mutu air , yang mensyaratkan kandungan nitrat untuk air baku 53 maksimal 10 mg/l. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tambak Subang diduga tercemar oleh senyawa nitrat. 22,5 0,3 22 0,25 21 NO3 20,5 Nilai PO4 Nilai NO3 21,5 0,2 0,15 PO4 0,1 20 0,05 19,5 19 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 Stasiun Pengamatan St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 Stasiun Pengamatan Gambar 11. Konsentrasi NO3 Perairan. Gambar 12. Konsentrasi PO4 Perairan. Fosfat yang terdapat di perairan bersumber dari air buangan penduduk (limbah rumah tangga) berupa deterjen, residu hasil pertanian (pupuk), limbah industri, hancuran bahan organik dan mineral fosfat (Saeni, 1989). Umumnya kandungan fosfat dalam perairan alami sangat kecil dan tidak pernah melampaui 0,1 mg/l, kecuali bila ada penambahan dari luar seperti dari sisa pakan ikan dan limbah pertanian . Hasil analisis kualitas air menunjukkan kadar fosfat di tambak Subang berkisar antara 0,03–0,28 mg/l (Gambar 12). kandungan klorofil dalam selnya, adapun peran zooplankton sebagai konsumen primer. Peran plankton lainnya adalah sebagai indikator kesuburan perairan berdasarkan perhitungan kelimpahan plankton. Keberadaan fitoplankton dan zooplankton dikawasan tambak air payau sepanjang tahun secara kualitatif dan kuantitatif selalu berubah-ubah karena pengaruh kadar salinitas dan faktor lingkungan lain yang selalu berubah. Hasil analisis komunitas plankton pada 6 (enam) stasiun pengambilan contoh di tambak Subang mendapatkan data plankton secara keseluruhan berjumlah 13 jenis , terdiri dari 10 jenis fitoplankton dan 3 jenis zooplankton. Pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa jumlah taksa berkisar antara 6 hingga 13 jenis, dengan kelimpahan total berkisar antara 400 hingga 2020 individu/liter. Hasil penghitungan indeks diversitas menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman komunitas plankton pada tambak yang bermangrove tebal tergolong rendah yakni dari 1,2299 sampai 1,2731. Sedangkan pada tambak yang mangrovenya tipis atau sedikit Indeks Diversitas Plankton Dalam bidang perikanan, plankton berperan penting sebagai sumber nutrisi perairan. Adanya proses pasang surut di sekitar perairan Subang berdampak pada kondisi fisika kimia perairan yang relatif berbeda di setiap saat sehingga mempengarui komposisi jenis plankton sebagai sumber pakan alami hewan budidaya. Fungsi fitoplankton adalah sebagai produsen, penyedia oksigen dalam perairan, indikator pencemaran dan lain-lain.. Fitoplankton dapat melakukan aktivitas hidupnya sendiri dengan memanfaatkan cahaya matahari karena adanya 54 tergolong sangat rendah yakni dari 0,3509 sampai 0,7374. Fitoplankton yang mendominasi adalah divisi Chrysophyta, sedangkan zooplankton dari kelompok krustacea . Hal ini terkait dengan hubungan tingkatan tropik di perairan tersebut, dimana krustacea sebagai konsumen pertama yang memiliki kemampuan memecah komponen silikat pada Chrysophyta. Kelimpahan jenis plankton (Tabel 6) berbanding terbalik dengan keanekaragamannya (Odum, 1993) disebabkan adanya kondisi pasang surut yang membawa banyak campuran bahan organik dari perairan laut maupun perairan tawar sehingga dapat digunakan sebagai sumber bahan nutrisi bagi plankton, dan hal ini juga terkait dengan kesuburan perairan tersebut. Plankton di daerah estuaria memiliki keanekaragaman jenis yang sedikit karena kondisi fisika dan kimia perairan yang sering sekali berubah-ubah (Odum, 1993). Chrysophyta sering mendominasi fitoplankton di daerah estuaria, sedangkan zooplankton banyak didominasi oleh jenis krustacea (Nybakken, 1988). Tabel 4. Rangkuman hasil analisis sampel plankton Stasiun I Kelimpahan Total(Sel/Liter) 2020 Jumlah Taksa 13 Indeks Diversitas 1,2731 Tingkat Diversitas Rendah Kriteria kualitas air tercemar II 600 8 0,7374 Sangat rendah Tercemar berat III 400 7 0,4987 Sangat rendah Tercemar berat IV 1880 12 1,2386 Rendah Tercemar V 560 6 1,2299 Rendah Tercemar VI 1320 10 0,3509 Sangat rendah Tercemar berat Sumber : Data primer, 2014 Tambak silvofishery merupakan kegiatan terpadu antara budidaya perikanan dengan pelestarian dan penanaman hutan mangrove (Nuryanto, 2003). Jenis tambak ini memiliki kekhasan tersendiri karena perairan tambak dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang berguna sebagai sumber pengisian air tambak tersebut, selain itu keberadaan vegetasi mangrove juga dapat mempengaruhi tingkat produktiftas tambak. Hal inilah yang membedakan silvofishery dengan jenis tambak budidaya perairan lainnya. Fungsi umum dari tambak silvofishery adalah sebagai salah satu solusi dalam meminimalisir perusakan dan eksploitasi hutan mangrove diwilayah ekosistem peraian dengan sistem silvofishery. Secara tidak langsung luruhan daun mangrove juga berguna sebagai penyedia unsur hara ekosistem perairan tambak, karena luruhan daunnya dapat terdekomposisi oleh detritus aquatic yang memiliki peranan penting dalam rantai makanan. Pentingnya kawasan mangrove bukan hanya sebagai sumber daya hutan tetapi juga dijadikan sebagai kawasan sumber makanan utama bagi organisme 55 air dalam bentuk bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove ataupun sebagai tempat pemijahan bagi hewanhewan akuatik (Nontji, 2002). Adapun kerapatan vegetasi mangrove disetiap tambak silvofishery di Subang berbedabeda, sehingga dapat mempengaruhi tingkat produktifitas setiap tambak. Terkait dengan peranan plankton sebagai sumber pakan alami perairan, menurut Raymont (1963) dalam Kamali (2004) apabila kelimpahan suatu plankton di suatu perairan tinggi, maka perairan tersebut memiliki produktifitas yang tinggi pula. Kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dibagi menjadi 3 (tiga) macam, Basmi (1987) dalam Indryani (2005), yaitu : 1. Eutrofik, kelimpahan plankton > 15000 ind/l dengan ciri-ciri perairan memiliki nilai kecerahan 0,2 meter, perairan berwarna hijau karena kepadatan plankton tinggi dan semakin dalam perairan maka semakin berkurang kandungan oksigen. 2. Mesotrofik, kelimpahan plankton 2000-15000 ind/l merupakan perairan peralihan antara kedua sifat eutrofik dan oligotrofik. 3. Oligotrofik, kelimpahan plankton < 2000 ind/l dengan ciri-ciri perairan cenderung kandungan nutrisi rendah dan air jernih. semua stasiun berada dalam kisaran nilai baku mutunya masing-masing. Sedangkan parameter NH3 dan NO3 di semua stasiun telah melebihi nilai baku mutunya masing masing, ini berarti perairan tercemnar gas amoniak. 2. Komunitas plankton pada 6 (enam) stasiun pengambilan contoh di tambak Subang mendapatkan data plankton secara keseluruhan berjumlah 13 jenis , terdiri dari 10 jenis fitoplankton dan 3 jenis zooplankton. 3. Pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa jumlah taksa berkisar antara 6 hingga 13 jenis, dengan kelimpahan total berkisar antara 400 hingga 2020 individu/liter. 4. Hasil penghitungan indeks diversitas menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman komunitas plankton pada tambak yang bermangrove secara keseluruhan tergolong rendah yakni dari 1,2299 sampai 1,2731. Sedangkan pada tambak yang tidak bermangrove secara keseluruhan tergolong sangat rendah yakni dari 0,3509 sampai 0,7374. dan Fitoplankton yang mendominasi adalah divisi Chrysophyta. Saran Untuk meningkatkan keanekaragaman plankton di tambak subang sebaiknya tambak menggunakan pola silvofishery KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Parameter kualitas air suhu, salinitas, pH, kecerahan, TSS, NO2, NO3, PO4, DO, BOD dan COD nilainya di 56 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL).IPB Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management For Pond Fish Culture. Elsevier Scienctific Publishing Company. Alabama. USA.318 Pages. Dahuri, R. 2002. Integritas Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasioanal Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. ______, R. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. 328 hal Davis, C.C. 1995. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State Univ. Press, 562. Hardjowigeno, S.W. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Indryani, M. 2005. Struktur Komunitas Diatom dan Dinoflagelata Pada Beberapa Daerah Budidaya di Teluk Hurun, Lampung. Skripsi: Program Studi Biologi. Universitas Negeri Jakarta. Jakarta Kamali, D. I. 2004. Kelimpahan Fitoplankton pada Keramba Jaring Apung di Teluk Hurun, Lampung. Skripsi: Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Institut Pertanian Bogor. . 57 PENGARUH PERKEMBANGAN KARIR TERHADAP KEPUASAN KERJA PENYULUH PERIKANAN DI BADAN KETAHANAN PANGAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BKP5K) KABUPATEN BOGOR Oleh Sobariah Dosen Jurusan Penyuluhan Perikanan Sekolah Tinggi Perikanan ABSTRAK Upaya meningkatkan kepuasan kerja penyuluh perikanan banyak factor yang perlu mendapat perhatian, yaitu pengembangan karier dari penyuluh tersebut. Pengembangan karir dapat meningkatkan Kepuasan Kerja bagi penyuluh perikanan sebagai tenaga fungsuional dibidangnya. Sehingga berdampak positif dalam lingkungan ekternal instansi tersebut yakni peningkatan kepercayaan masyarakat dalam pemberian penyuluhan dan transfer teknologi bidang pertanian umumnya dan perikanan khususnya. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian tentang pengembangan karir dan kepuasan kerja penyuluh. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sejauhmana pengaruh pengembangan karir terhadap kepuasan kerja penyuluh perikanan di BKP5K Kabupaten Bogor, dengan menggunakan metode deskriptif eksploratif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh Pengembangan Karier terhadap Kepuasan Kerja di BKP5K terhadap 51 orang penyuluh perikanan dari 209 orang pegawai dan hasil pengolahan data terhadap variabel bebas Pengembangan Karier (X) serta variabel terikat Kepuasan Kerja (Y) BKP5K diperoleh data hitung yang dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil uji t variabel Pengembangan Karier (X) terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada BKP5K menunjukkan bahwa nilai thitung sebesar 8,407 dan ttabel sebesar 1,,588 pada level significants 0,05 dan probabilitas 0,000. Hal ini berarti thitung = 8,407 > ttabel = 1,588, maka H0 ditolak dan Ha diterima, berarti terdapat pengaruh Pengembangan Karier (X) terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada BKP5K kabupaten Bogor. Koefisien korelasi Pengembangan Karier (X) secara bersama-sama terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada BKP5K adalah 0,876 sehingga diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,,876 atau 87,6%. Hal ini berarti bahwa faktor-faktor lain di luar yang tidak diteliti namun berpengaruh juga adalah sebesar 12,4%. Kata kunci : pengembangan karir, kepuasan kerja PENDAHULUAN Latar Belakang Profesionalisme aparatur pemerintah yaitu PNS harus diitingkatkan kualitasnya baik dari segi pengetahuan (intelektual), keahlian (managerial), keterampilan (skill) dan tata sikap (behaviour) secara terencana, terarah, berkesinambungan melalui upaya pengembangan potensi, karier dan kesejahteraan, Mariot TE.Hariandja,( 2002;219) Dengan kejelasan pola karier pegawai negeri sipil tersebut, maka manfaat ganda akan diperoleh baik bagi instansi/lembaga, antara lain memungkinkan akan terlaksananya fungsi dan tercapainya tujuan secara efektif dan efisien, begitupun 58 bagi personal pegawai negeri sipil seperti adanya kepastian arah pengembangan dan pemberdayaan pegawai (Empowering Employeer) serta menghindarkan perilaku tidak adil dan subyektivitas dalam proses manajemen kepegawaian, Danang Sunyoto(2012,184) Dengan demikian pegawai negeri sipil memiliki kesempatan yang sama dalam meniti jenjang karir mulai dari pangkat atau jabatan terendah hingga yang tertinggi sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Badan Ketahanan Pangan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan sebagai salah satu lembaga teknis daerah yang mempunyai fungsi mentransfer teknologi dibidang pertanian,perikanan kepada petani,pembudidaya atau masyarakat merupakan satuan administrasi pangkal penyuluh pertanian, perikanan. Kinerja penyuluh sebagai ujung tombak pembangunan perikanan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah kepuasan kerja. Dalam upaya mengembangkan karier pegawai fungsional pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan, terdapat berbagai faktor yang perlu mendapat perhatian, antara lain pengembangan karier pegawai agar dapat meningkat. Sehingga kepuasan kerja yang dirasakan para pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya juga akan dapat meningkat. Danang sunyoto (2012;191) pengembangan karier dari para pegawai di instansi tersebut akan meningkatkan kepuasan kerja sehingga berdampak positif dalam lingkungan eksternal instansi yakni peningkatan kepercayaan masyarakat dalam memberikan penyuluhan maupun transfer teknologi di bidang pertanian secara umum. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian mengenai PENGEMBANGAN KARIER, dan PENYULUH. KEPUASAN KERJA Rumusan Masalah Berangkat dari paparan di atas dan untuk lebih memfokuskan masalah yang digali, maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pernyataan penelitian yaitu Seberapa besar pengaruh pengembangan karier terhadap kepuasan kerja penyuluh perikanan Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah: Untuk mengtahui pengaruh pengembangan karier terhadap kepuasan kerja penyuluh perikanan di kabupaten Bogor KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka pikir Adapun kerangka pemikiran penelitian adalah untuk mengetahui: Pengembangan Karier (X) adalah variabel bebas kedua merupakan skor yang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan angket sebagai variabel bebas Pengembangan karier mempunyai dua dimensi, (1) dimensi pertama yaitu jenis pengembangan karier dan dapat diukur dengan Promosi, Rotasi/mutasi yaitu seberapa besar peluangnya untuk dapat menduduki posisi tertentu seperti koordinator , penyuluh pbidang merikanan maupun posisi lainnya, mutasi yaitu bagaimana perputaran atau perpindahan dari suatu jabatan atau tempat kerja yang satu ke tempat kerja yang lainnya dan kenaikan pangkat yaitu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk dapat naik pangkat satu tingkat lebih tinggi dari pangkat 59 sebelumnya, sedangkan dimensi kedua adalah efektivitas dan dapat diukur dengan sikap kerja dan kesesuaian jabatan. (2) sedangkan dimensi kedua adalah efektivitas dan dapat diukur dengan sikap kerja,yaitu bagaimana penyuluh melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam rangka mencapai tujuan oraganisasi dan kesesuaian jabatan yaitu jenjang jabatan yang dimiliki apakah sudah sesuai dengan atuan-aturan yang ada.. pengembangan karier merupakan faktor yang mendukung efektivitas individu dan organisasi dalam mencapai tujuan yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan kerja pegawai ataupun mengurangi ketidak seimbangan (sutanto dalam Edy sutrisno,2012;159)Dengan demikian diduga pengembangan karier secara nyata berpengaruh terhadap kepuasan kerja penyuluh perikanan. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh penyuluh yang bekerja pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan baik sebagai pegawai tetap maupun pegawai kontrak yang berjumlah 268 orang terdiri dari pegawai tetap berjumlah 258 orang dan pegawai kontrak berjumlah 16 orang, dengan memperhatikan populasi yang homogen maka teknik sampling yang digunkanan adalah simple random sampling (sampel acak sederhana) yang merupakan bagian dari propability sampling. Dari hasil penghitungan diperoleh data tabel dalam penelitian ini ditetapkan 51 orang jumlah sampelnya sebagai berikut : ο§ Pegawai tetap : 35 Orang ο§ Pegawai kontrak : 16 Orang Hipotesis Dari uraian diatas maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut; Diduga terdapat pengaruh pengembangan karier terhadap kepuasan kerja penyuluh perikanan METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Pengembangan Karier terhadap Kepuasan Kerja Penyuluh dilaksanakan di BKP5K Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan selama empat bulan yaitu dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2013. BKP5K adalah salah satu lembaga teknis daerah di kabupaten Bogor yang mengelola pegawai fungsional khususnya Penyuluh Pertanian, Perikanan, Perkebunan, Kehutanan. 60 Tabel 1. Kisi-kisi Indikator Instrumen No Variabel Dimensi 1 Pengembangan karier Indikator a. Jenis Pengemban gan Karier 1. Promosi 2. Rotasi/mutasi 3. Kenaikan pangkat b. Efektivitas 1. Sikap Kerja 2. Kesesuaian jabatan HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Obyek Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan dibentuk dengan Peraturan Daerah kabupaten Bogor Nomor 15 Tahun 2008, tentang Pembentukan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. Lembaga ini merupakan wadah pengkoordinasian tenaga fungsional penyuluh pertanian dan kehutanan, peternakan dan perikanan, yang mana sebelumnya tenaga fungsional tersebut berada di Dinas teknis, yaitu penyuluih pertanian dan kehutanan di Dinas Pertanian dan Kehutanan, sedangkan penyuluh peternakan dan perikanan berada di Dinas Peternakan dan Perikanan. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,Perikanan dan Kehutanan merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Mempunyai tugas membantu Bupati dalam melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah di bidang penyelenggaraan penyuluhan pertanian, No. Item ∑ Item 1,2,3,4 5,6,7,8 9,10,11,12,1 3 14,15 4 4 5 2 16,17 18,19,20 2 4 perikanan dan kehutanan,.selain itu BKP5K mempunyai fungsi antara, lain : Penyusun kebijakan dan program penyuluhan daerah yang sejalan dengan kebijakan dan program naswional. Pegawai BKP5K adalah 282 orang terdiri dari 14 org pegawai struktural 268 pegawai fungsional, pegawai fungsional terdiri dari 178 orang penyuluh pertanian, 35 orang penyuluh perikanan, 14 orang penyuluh peternakan, penyuluh kehutnan 25 orang, 16 orang THL. obyek yang akan diteliti adalah sebanak 209 pegawai fungsional dan non fungsional. Analisa Deskriptif Data Penelitian Karakteristik Pegawai Untuk melengkapi ataupun memperkuat analisa tentang pengaruh dari variabel-variabel yang diteliti, maka disajikan berbagai karakteristik pegawai, sebagai berikut : a. Karakteristik Pegawai Berdasarkan Pangkat/Golongan Dari keseluruhan jumlah responden yang diteliti diperoleh hasil karakteristik responden menurut golongan yakni responden yang terbanyak mempunyai golongan 2 yaitu 1 orang (52,38%) diikuti oleh responden golongan 3 yakni 25 orang (30,00%), dan responden golongan 4 sebesar 61 10 orang (17,62%). Sedangkan responden tenaga kontrak (THL-TB) adalah 16 orang. Uraian mengenai hal ini disajikan pada Tabel 2. berikut Tabel 2. Karakteristik Penyuluh Berdasarkan Pangkat/Golongan No Pangkat/Gol Jumlah 1 Pengatur T.I/ II/d 1 2 Penata Muda/ III/a 2 3 Penata Muda Tk.I/ III/b 9 4 Penata/III/c 9 5 Penata Tk.I/III/d 5 6 Pembina/IV/a 10 7 Honorer (THL-TB) 16 Jumlah 51 Prosentase 1.96 3.92 17.65 15.69 9.80 19.61 31.37 100.00 Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat untuk meningkatkan kariernya ke jenjang bahwa responden pada level Honorer lebih tinggi. sebanyak 16 orang atau 31,37%, golongan b. Karakteristik Pegawai Berdasarkan IV/a sebanyak 10 orang atau 19,16 %, Tingkat Pendidikan golongan III/b sebanyak 9 orang atau Dari jumlah responden yang diteliti 17,65%, golongan III/c sebanyak 8 orang diperoleh karakteristik responden dilihat dari atau 15,69 %, golongan III/d sebanyak 5 tingkat pendidikan yakni responden orang atau 9,8 %, golongan III/a sebanyak 2 terbanyak berlatar pendidikan S-1 sebesar orang atau 3,92 % dan penyuluh golongan 22 orang (43.14%) diikuti oleh responden II/d sebanyak 1 orang atau1,96%. yang berpendidikan Diploma III 14 orang Dari data diatas dapat disimpulkan (27,45 %), SLTA/sederajat yakni 13 orang bahwa dari sisi golongan/pangkat penyuluh (25,49 %), dan terakhir ialah responden pertanian secara akumulatif didominasi oleh yang berlatar pendidikan Diploma IV penyuluh golongan III yaitu sebanyak 24 sebanyak 2 orang atau 3.92%. Rincian hal orang atau 47,6%, dengan demikian para ini disajikan pada tabel 3.berikut : penyuluh pertanian masih dimungkinkan Tabel 3. Karakteristik Pegawai Berdasarkan Pendidikan No Uraian Jumlah 1 SLTA 13 2 Diploma III 14 3 Diploma IV 2 4 Sarjana (S1) 22 Jumlah 51 Dari tabel diatas bahwa sebagian besar tingkat pendidikan penyuluh adalah sarjana 22 orang atau 43,14% dan Diploma IV Prosentase 25.49 27.45 3.92 43.14 100.00 sebanyak 2 orang (3,92%), yaitu penyuluh pertanian ahli, yang pangkat puncaknya dapat mencapai IV/c, dengan demikian 62 kemungkinan penyuluh masih potensial untuk mengembangkan kariernya. c. Karakteristik Pegawai Berdasarkan Masa Kerja Dari jumlah responden yang diteliti diperoleh hasil karakteristik responden menurut masa kerja yakni responden yang terbanyak dengan masa kerja antara 30 sampai dengan 40 tahun sebesar 86 orang (40,95%) diikuti oleh responden dengan masa kerja di bawah 30 tahun yakni 57 orang (27,14%), responden dengan masa kerja antara 40 sampai dengan 50 tahun sebesar 46 orang (21,90%) dan responden dengan masa kerja di atas 50 tahun sebesar 21 orang (10,00%). Uraian tentang hal ini disajikan pada tabel 5. berikut : Tabel 4 Karakteristik Pegawai Berdasarkan Masa Kerja No Masa Kerja Jumlah 1 > 5 Tahun 16 2 6 - 10 Tahun 0 3 11 - 15 Tahun 4 4 16 - 20 Tahun 7 5 21 - 25 Tahun 17 6 26 - 30 TAhun 5 7 < 30 Tahun 2 Jumlah 51 d.Karakteristik Pegawai Berdasarkan Masa kerja Dari jumlah responden yang diteliti diperoleh hasil karakteristik responden menurut usia yakni responden yang terbanyak berusia antara 30 sampai dengan 40 tahun sebesar 86 orang (40,95%) diikuti oleh responden berusia di bawah 30 tahun yakni 57 orang (27,14%), responden berusia antara 40 sampai dengan 50 tahun sebesar 46 orang (21,90%) dan responden berusia antara di atas 50 tahun sebesar 21 orang (10,00%). Uraian tentang hal ini disajikan pada tabel 5. berikut : Tabel 5. Karakteristik Pegawai Berdasarkan Usia No Usia Jumlah 1 > 30 Tahun 6 2 30 - 35 Tahun 10 3 36 - 40 Tahun 1 4 41 - 45 Tahun 5 5 46 - 50 Tahun 16 6 51 - 55 Tahun 6 7 56 - 60 Tahun 7 Jumlah 51 Diskripsi Data Setiap Variabel A. Pengembangan karier Data Pengembangan Karier dari kuesioner ini menyebar dari skor terendah Prosen tase 31.37 7.84 13.73 33.33 9.80 3.92 100.00 Prosentase 11.76 19.61 1.96 9.80 31.37 11.76 13.73 100.00 76 dan tertinggi 94. Rentangan skor yang muncul adalah sebesar 18 dari 76 sampai 94. Analisis data menghasilkan rata-rata sebesar 75,84 dengan standar deviasi 3,866 dimana 63 jumlah responden yang diukur sebanyak 51. Banyak kelas yang ditetapkan sebanyak 7 kelas dengan panjang kelas 3. Selanjutnya distribusi frekuensi skor Pengembangan Karier menurut aturan Sturges disajikan pada tabel berikut: Tabel 6 Distribusi Skor Pengembangan Karier No 1 2 3 4 5 6 7 Interval Kelas 66-68 69-71 72-74 75-77 78-80 81-83 84-86 Jumlah Frekuensi Frekuensi Frekuensi Absolut Relatif (%) Kumulatif (%) 9.80 5 9.80 9.80 5 19.61 7.84 4 27.45 39.22 20 66.67 17.65 9 84.31 11.76 6 96.08 3.92 2 100.00 51 100.00 Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebanyak 20 responden (39,22%) berada pada kelompok rata-rata, 14 responden (27,24%) berada pada kelompok di bawah rata-rata dan 17 responden (33,33%) berada di atas rata-rata. Dari data tersebut terlihat bahwa Pengembangan Karier para pegawai di Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan sudah cukup baik meskipun harus ditingkatkan, hal ini terlihat dari jawaban responden tentang Pengembangan Karier dimana 20 responden atau 72,55% jawabannya berada pada skor rata-rata dan di atas rata-rata. Distribusi skor variabel Pengembangan Karier. bahwa skor data yang diperoleh cenderung menyebar. Skor tengah cenderung lebih tinggi dari skor atas dan bawah. Gambaran ini terlihat dari histogramnya yang cenderung memiliki angka tengah yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa data skor Variabel Pengembangan Karier cenderung mempunyai distribusi normal. B. Kepuasan Kerja Data Kepuasan Kerja yang berasal dari kuesioner ini menyebar dari skor terendah 65 dan tertinggi 84. Dengan demikian, rentangan skor yang muncul adalah sebesar 19 dari 65 sampai 84. Selanjutnya dilakukan analisis dan hasilnya diperoleh rata-rata sebesar 73,71 dengan tingkat standar deviasi sebesar 3,870 dimana jumlah responden yang diukur sebanyak 51. Banyak kelas yang ditetapkan dalam penelitian ini terdiri dari 7 kelas dengan panjang kelas 3. Selanjutnya distribusi frekuensi skor Kepuasan Kerja menurut aturan Sturges disajikan pada tabel berikut : 64 Tabel 7. Distribusi Skor Kepuasan Kerja No 1 2 3 4 5 6 7 Interval Frekuensi Frekuensi Frekuensi Kelas Absolut Relatif (%) Kumulatif (%) 7.84 65-67 4 7.84 7.84 68-70 4 15.69 9.80 71-73 5 25.49 33.33 74-76 17 58.82 13.73 77-79 7 72.55 15.69 80-82 8 88.24 11.76 83-85 6 100.00 Jumlah 51 100.00 Dari tabel tersebut dapat dilihat cenderung menyebar. Skor tengah bahwa sebanyak 17 responden (33,33%) cenderung lebih tinggi dari skor atas dan berada pada kelompok rata-rata, 13 bawah. Gambaran ini terlihat dari responden (25,28%) berada pada histogramnya yang cenderung memiliki kelompok di bawah rata-rata dan 21 angka tengah yang lebih tinggi. Hal ini responden (41,18%) berada di atas rataberarti skor Variabel Kepuasan Kerja rata. Dari data tersebut terlihat bahwa cenderung mempunyai distribusi normal. Kepuasan Kerja para pegawai di Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan PEMBAHASAN dan Kehutanan sudah cukup baik Pengujian Korelasi meskipun harus ditingkatkan, hal ini Guna mengetahui secara detail terlihat dari jawaban responden tentang hubungan antara variabel Pengembangan Kepuasan Kerja dimana 38 responden atau Karier dengan Kepuasan Kerja maka perlu 74,34% jawabannya berada pada skor ratadilakukan pengujian dengan menggunakan rata dan di atas rata-rata. Gambaran lebih model pengujian korelasi. Hasil pengujian jelas mengenai distribusi skor data variabel korelasi adalah sebagai berikut : Kepuasan Kerja, skor data yang diperoleh Tabel 8. Hasil Pengujian Korelasi Kepuasan Kerja Pengembangan Karier 0,876 Hasil pengolahan data tersebut menjelaskan bahwa : Nilai korelasi antara Pengembangan Karier dengan Kepuasan Kerja pada BKP5K memperlihatkan hasil sebesar 0.876. Dengan demikian menunjukkan adanya hubungan positif sangat kuat antar variabel. Artinya bila variabel Pengembangan Karier ditingkatkan maka akan meningkatkan variabel Kepuasan Kerja pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. Selanjutnya dilakukan uji regresi guna menguji hipotesis terhadap kedua variabel yang diteliti, dan setelah dilakukan pengolahan diperoleh hasil pengujian sebagai berikut : 65 Konstanta Pengembangan Karier Tabel 9. Hasil Uji Regresi Unstandardized Unstandardize Coefficients d Coefficients B Std Error Beta 4,995 3,146 0,624 0,074 0,563 Y = a + b1X1 dimana Y = 4,995 + 0,624X1 Hasil pengolahan data dengan uji regresi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Hasil constanta menunjukkan nilai sebesar 4,995. Dengan demikian, variabel Kepuasan Kerja pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan murni tanpa adanya pengaruh oleh Pengembangan Karier sebesar 4,995. 2. Nilai regresi b1(Pengembangan Karier) didapat sebesar 0,624. Dengan demikian, terdapat kontribusi oleh Variabel Pengembangan Karier, yang berarti bila Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan meningkatkan Kepuasan Kerja 1 skor maka berpengaruh terhadap peningkatan Kepuasan Kerja pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan sebesar 0,624 skor. Uji Hipotesis Individu (Uji t) Dengan kaidah : thitung > ttabel (H0) ditolak dan (Ha) diterima, maka ada hubungan antara X terhadap Y. thitung < ttabel (H0) diterima dan (Ha) ditolak, maka tidak ada hubungan antara X terhadap Y. α = 0,05 atau 5% Variabel Pengembangan Karier Hasil pengolahan data menunjukkan nilai thitung sebesar 8,407 t Sig 1,588 8,407 0,114 0,000 dimana ttabel sebesar 1,588. Dengan demikian thitung 8,407 > ttabel 1,588 maka (H0) ditolak dan (Ha) diterima artinya ada hubungan antara variabel Pengembangan Karier (X) dengan Kepuasan Kerja (Y) pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. Sedangkan probabilitas hasil sebesar 0,000 atau 0% dimana nilai α = 0,05 atau 5% dengan demikian probabilitas di bawah nilai alpha, berarti variabel Pengembangan Karier (X) signifikan terhadap Kepuasan Kerja pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh Motivasi dan Pengembangan Karier terhadap Kepuasan Kerja pada BKP5K dan hasil pengolahan data terhadap variabel bebas Pengembangan Karier (X) serta variabel terikat Kepuasan Kerja (Y) pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Hasil uji t variabel Pengembangan Karier (X) terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada BKP5K menunjukkan bahwa nilai thitung sebesar 8,407 dan ttabel sebesar 1,588 pada level significants 0,05 dan 66 probabilitas 0,000. Hal ini berarti thitung = 8,407 > ttabel = 1,588 maka H0 ditolak dan Ha diterima, berarti terdapat pengaruh Pengembangan Karier (X) terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. 2. Koefisien korelasi Pengembangan Karier (X) secara bersama-sama terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada BKP5K adalah 0,876 sehingga diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,,876 atau 87,6%. Hal ini berarti bahwa faktor-faktor lain di luar yang tidak diteliti namun berpengaruh juga adalah sebesar 12,4%. Saran 1. Selain itu, untuk lebih meningkatkan Kepuasan Kerja pada BKP5Kjuga dapat dilakukan melalui pemenuhan pengembangan Karier. Apabila para Pegawai yang bekerja pada BKP5K merasakan iklim kerja yang kondusif dan adanya pola Pengembangan Karier yang baik dalam bekerja maka bukan tidak mungkin kepuasan Kerja pun akan meningkat. Selain itu perlu ditekankan prinsip “ enangilah apa yang kamu kerjakan dan bukan kerjakanlah apa yang kamu senangi “. 2. Apabila pengembangan karier yang dirasakan para pegawai terpenuhi dimana kondisinya para pegawai mempunyai motivasi yang tinggi dalam bekerja dan sistem kerja serta sarana dan prasarana kerja yang ada sudah mampu meningkatkan Pengembangan Karier maka tidak mustahil kepuasan kerja akan meningkat. Oleh karena itu, pimpinan BKP5k perlu terus memotivasi para pegawai dan menciptakan iklim kerja yang dapat terciptanya Pengembangan Karier untuk meningkatkan kepuasan kerja penyuluh perikanan khususnya. DAFTAR PUSTAKA Handoko T Hani. 2002 . ”Paradigma Baru Manajemen Sumberdaya Manusia”, Asmara Books Jogyakarta. Hasibuan Malahayu. 2001.DM. Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara Jakarta. Mariot T.E.Hariandja,,2002, Manajemen Sumberdaya Manusia, PT.Gramedia, Jakarta Panggabean, Mutiara.,S2002. Manajemen Sumberdaya Manusia , Ghalia Indonesia, Jakarta Sunyoto Danang, 2012, Sumberdaya Manusia Seru,Jakarta Manajemen , PT.Buku 67 PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK Bacillus sp. TERHADAP PROFIL KUALITAS AIR, PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN LELE (Clarias gariepinus) Oleh Yuke Eliyani, Hendria Suhrawardan*), Sujono**), *) Dosen Jurusan Penyuluhan Perikanan STP, **) Staff Unit Hatchery Jurluhkan Bogor ABSTRAK Dalam pengembangan budaiaya perikanan, probiotik dinilai memiliki peranan penting untuk meningkatkan efektifitas kegiatan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian probiotik Bacillus sp terhadap profil kualitas air, kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan lele (Clarias gariepinus), dengan melakukan pemeliharaan ikan pada beberapa perlakuan, yaitu kontrol, penambahan bakteri dengan dosis. 10 ml/m3 serta 20 ml/m3 Nilai DO dari media kontrol Perlakuan I dan Perlakuan II secara berturut-turut adalah 6,80 ppm; 6,89 ppm dan 6,92 ppm. Nilai suhu mulai dari kontrol sampai perlakuan I dan II adalah 280C. Nilai pH untuk kontrol perlakuan I dan II adalah 6,6; 6,4 dan 6,6. Berdasarkan uji lanjut (p<0.05) dapat dilihat bahwa perlakuan I (pemberian probiotik 10 ml/m3) memiliki nilai pertumbuhan harian tertinggi sebesar 12,52 ± 0,29b, disusul perlakuan II (pemberian probiotik 20 ml/m3 ) sebesar 12,42 ± 0,33b, serta kontrol sebesar 10,72 ± 0,09a. Perlakuan penambahan bakteri probiotik memberikan hasil yang terbaik untuk pertumbuhan berat pada dosis 10 ml/m3 dengan nilai 12,52 ± 0,29 dibanding dengan kontrol dan perlakuan yang lain. Tingkat kelangsungan hidup ikan uji selama masa pemeliharaan berkisar antara 79,8 –87,5 %. Kata kunci : benih lele, pertumbuhan, probiotik, Bacillus sp, Nitrogen PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan suatu kegiatan budidaya ikan sangat ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya adalah kualitas air yang meliputi berbagai parameter yakni fisika, kimia maupun biologi. Kualitas air yang tidak memenuhi persyaratan untuk mendukung pertumbuhan ikan seringkali disebabkan oleh berbagai faktor seperti akumulasi bahan organik di dasar kolam yang berasal dari feses ikan, sisa pakan, penggunaan pupuk organik yang berlebihan maupun bahan lainnya. Kondisi ini dapat ditemukan pada budidaya dengan padat tebar tinggi sehingga input produksi yang dibutuhkan akan semakin meningkat pula, contohnya pada kegiatan pembesaran lele baik di ruang tertutup seperti dalam bak, maupun di luar ruangan seperti pada kolam tanah ataupun terpal. Penurunan nilai kualitas air dalam media budidaya tentu akan 68 berpengaruh pada tingkat produksi, sehingga berbagai upaya telah dicoba diantaranya dengan memanfaatkan mikroorganisma yang menguntungkan atau yang lebih dikenal dengan istilah probiotik. Probiotik dapat diaplikasikan untuk memperbaiki kondisi kualitas air dengan bertindak sebagai agen pengurai berbagai unsur seperti NH3, NO3, NO2, maupun bahan organik lainnya, dan mampu menekan pertumbuhan populasi alga biru. Beberapa jenis mikroorganisma sebagai probiotik pengurai antara lain Bacillus sp dan Pseudomonas fluorescense (Balcazar et al , 2006). Efektivitas probiotik sangat tergantung pada jenis mikroorganisma yang digunakan karena populasi mikroorganisma yang hidup pada suatu lingkungan dengan kondisi fisika kimia berbeda kemungkinan akan berbeda pula. Akan lebih efektif apabila probiotik menggunakan jenis mikro organisme indigenous (asli) yaitu yang diperoleh berasal dari lingkungan yang sama dengan ikan yang dibudiayakan. Mikroorganisme tersebut dipastikan akan lebih mampu beradaptasi dengan lokasi perlakuan dibandingkan jika mikro organisma diperoleh dari lingkungan yang berbeda. Pemanfaatan probiotik dalam menekan atau mendegradasi unsur- unsur yang berpengaruh terhadap kualitas air media budidaya diharapkan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sistem keseimbangan ekologis mikrobia, ramah lingkungan, serta tidak meninggalkan residu (food security dan food safety). Pengendalian hayati dalam akuakultur dengan menggunakan probiotik merupakan salah satu cara yang perlu dikembangkan untuk menciptakan sistem akuakultur yang ramah lingkungan. Pengendalian hayati ini dapat diterapkan pada berbagai tahapan akuakultur dan pada berbagai komoditas perikanan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian probiotik Bacillus sp terhadap profil kualitas air, kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan lele (Clarias gariepinus). Manfaat Penelitian Pemberian bakteri probiotik Bacillus sp. diharapkan dapat digunakan pada media pemeliharaan benih ikan lele (Clarias gariepinus), serta diharapkan juga dapat diperoleh informasi metoda pengaplikasiannya di lapangan. Kerangka Permasalahan Kerangka Permasalahan Bakteri Probiotik Bacillus sp. In vitro :Kualitas Air Media . In vivo : Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 69 BAHAN DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September sampai dengan Oktober 2015 di Hatchery STP Jurusan Penyuluhan Perikanan, Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Balai Besar Industri Agro. Alat dan Bahan Hewan Uji Hewan uji yang digunakan adalah benih lele ukuran 4 + 0,3 cm/ekor yang diperoleh dari pembudidaya di Parung Kabupaten Bogor. Sebelum diberikan perlakuan, hewan uji diadaptasikan terlebih dahulu dalam wadah uji. Bakteri Nitrifikasi Bakteri yang digunakan merupakan produk komersial yang memiliki kandungan bakteri Bacillus sp. Sumber Karbon Sumber karbon yang digunakan adalah molase dengan kandungan karbon sebesar 61,45%. Wadah dan Media Pemeliharaan Wadah yang digunakan adalah bak semen berukuran 100 x 150 x 80 cm3 sebanyak 9 buah sebagai wadah pemeliharaan ikan. Pada masing-masing bak diisi air tawar sebanyak 400 liter dan benih ikan lele sebanyak 200 ekor/bak lengkap dengan sistem aerasinya. Peralatan Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan aerasi, serokan ikan, penggaris, timbangan digital, tabung reaksi, cawan petri, pembakar bunsen, jarum ose, inkubator goyang (shaker), penangas air, inkubator (suhu ruang), autoklaf, oven, penangas air, mikropipet, heater, termometer, pH meter, DO meter, pipet, bulp, gelas piala, erlenmeyer, spektrofotometer, erlenmeyer, lemari es, vortex, alumunium foil, dan tissue. Metode Penelitian Persiapan Wadah Sebelum digunakan bak dicuci dengan deterjen dan diisi air. Selanjutnya wadah berisi air tersebut disterilisasi menggunakan kaporit dengan dosis 10 ppm dan dibiarkan selama 4 hari, tanpa aerasi. Setelah itu air dibuang dan wadah diisi air tawar yang telah diendapkan sebanyak 400 liter dan diberi aerasi. Peralatan aerasi sebelum digunakan direndam terlebih dahulu dengan kaporit 10 ppm. Pemeliharaan Ikan Pemeliharaan ikan dilakukan selama 30 hari pada bak dengan volume air 400 liter. Jumlah ikan yang ditebar sebanyak 200 ekor/bak dengan bobot rata-rata 4 + 0,3 gram dan panjang ratarata 7 cm. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 2 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00 dan 17.00 WIB. Jumlah pakan yang diberikan didasarkan pada dosis 3 %biomass. Pemberian molase dilakukan satu kali dalam seminggu pada pukul 08,00 WIB pemberian probiotik dilakukan setiap satu minggu sekali dengan konsentrasi masing-masing bak perlakuan 1 sebanyak 10 ml/m3 dan bak perlakuan 2 sebanyak 20 ml/m3. Perlakuan Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pemeliharaan ikan pada beberapa perlakuan, yaitu kontrol, penambahan bakteri dengan dosis. 10 ml/m3 serta 20 ml/m3. Parameter Pengamatan 70 Selama masa pemeliharaan dilakukan sampling kualitas air, yang meliputi pH, suhu, dissolved oxygen (DO), nitrit, nitrat,. Adapun total bakteri dihitung diawal dan akhir penelitian. Pengujian DO, suhu dan pH dilakukan di Laboratorium Kualitas Air STP Jurusan Penyuluhan Perikanan, sedangkan penghitungan nitrit, nitrat dan total bakteri dilakukan di Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Balai Besar Industri Agro Bogor. Untuk parameter tingkat kelangsungan hidup (SR), pertumbuhan, dan efisiensi pakan dilakukan pada akhir pengamatan. Tingkat Kelangsungan Hidup atau Survival Rate (SR) Tingkat kelangsungan hidup (SR) ikan dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1979) : ππ‘ ππ = π₯ 100% ππ Keterangan : SR = tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = jumlah ikan pada waktu panen No = jumlah udang pada awal penebaran Tingkat Pertumbuhan Sampling pertumbuhan ikan uji dilakukan setiap dua minggu. Perhitungan pertumbuhan harian dilakukan menggunakan rumus berdasarkan Huismann (1987). π‘ ππ‘ πΌ = [ √( ) − 1] π₯ 100% ππ Keterangan : α = laju pertumbuhan bobot harian (%) Wt = bobot rata – rata akhir ( gr/ekor ) Wo = bobot rata – rata awal ( gr/ekor ) T = waktu (hari) Pertumbuhan panjang Sampling pertumbuhan ikan uji dilakukan setiap dua minggu. Perhitungan pertumbuhan panjang dilakukan menggunakan rumus berdasarkan Effendie (1979): P = Lt – Lo Keterangan: P = pertumbuhan panjang (cm) Lt = panjang rata-rata ikan di akhir pemeliharaan (cm) Lo = panjang rata-rata ikan di awal pemeliharaan (cm) FCR Pengukuran FCR dilakukan setelah selesai pemberian pakan perlakuan pada hari ke-30. Perhitungan yang digunakan berdasarkan NRC (1993). FCR = ΣF/(βB+BD) ; BD=0 Keterangan : ΣF = jumlah pakan (gram) βB = Perubahan biomassa ikan (gram) BD = biomassa ikan mati (gram) Penghitungan Total Bakteri Total bakteri pada media pemeliharaan dihitung dengan menggunakan rumus = Total Bakteri = ∑ koloni x 1 x 1 Fp ml sampel Keterangan : Fp = faktor pengenceran Kualitas Air pH dan Suhu Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer, sedangkan pH diukur dengan menggunakan pH meter. - Nitrit (NO2 ) Konsentrasi nitrit dihitung dengan rumus : (NO2) mg/L = As x Cst Ast 71 Prosedur Pengolahan Data Keterangan : Cst = konsentrasi larutan standar (2 mg/L) Ast = nilai absorbansi larutan standar As = nilai absorbansi air sampel Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor. Data dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95%. Apabila terdapat perbedaan maka analisis data dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan program Xl-stat. - Nitrat (NO3 ) Konsentrasi nitrat dihitung dengan rumus : (NO3) mg/L = As x Cst Ast Keterangan : Cst = konsentrasi larutan standar (2 mg/L) Ast = nilai absorbansi larutan standar As = nilai absorbansi air sampel HASIL DAN PEMBAHASAN Kelimpahan Bakteri dan Kualitas Air Penambahan bakteri probiotik dari jenis Bacillus sp. Pada penelitian ini, memberikan nilai kelimpahan bakteri (koloni/ml) yang berbeda pada kontrol, perlakuan 1 serta 2. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Data Kelimpahan Bakteri (koloni/ml) Perlakuan Kontrol. 10 ml/m2 20 ml/m2 Tebar 2,0 x 103 2,0 x 103 2,0 x 103 Dari tabel diatas, diketahui bahwa Jumlah total bakteri pada perlakuan I (10 ml/m3) dan II (20 ml/m3) lebih tinggi dibandingkan kontrol, dengan nilai 1,9 x 104 koloni/ml, 3,3 x 105 koloni/ml, dan 1,9 x 105 ml/koloni. Hal ini karena bakteri nitrifikasi yang ditambahkan ke dalam media uji Perlakuan I dan II mampu untuk tumbuh dan berkembang Panen 1,9 x 104 3,3 x 105 1,9 x 105 biak, sehingga menambah jumlah populasi bakteri dalam media uji. Kondisi ini dapat terjadi karena didukung oleh nilai beberapa parameter kualitas air media uji seperti DO,pH serta suhu yang sesuai untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri nitrifikasi ( Tabel 2). Tabel 2. Data Kualitas Air Perlakuan Kontrol. 10 ml/m2 20 ml/m2 DO 7,89 7,89 7,89 Nitrit 0,004 0,004 0,004 Awal Nitrat 0,37 0,37 0,37 Suhu 28 28 28 pH 6,8 6,8 6,8 DO 6,80 6,89 6,92 Nitrit 0,63 0,02 0,1 Panen Nitrat 13,1 0,22 0,22 Suhu 28 28 28 pH 6,6 6,4 6,6 72 Riple (2003) menyatakan bahwa :terdapat beberapa parameter kualitas air yang dibutuhkan bakteri nitrifikasi, seperti oksigen terlarut, pH, suhu serta BOD (Tabel 3.). Tabel 3. Parameter Kualitas Air untuk Bakteri Nitrifikasi Parameter Dissolved oxygen (DO) Kandungan BOD pH Suhu Rentan terhadap toksin Keterangan Nitrifikasi mengkonsumsi oksigen dalam jumlah yang besar. Bakteri nitrifikasi membutuhkan 4.6 mg O2 untuk mengoksidasi 1 mg amonia. Untuk dapat bekerja bakteri nitrifikasi membutuhkan DO minimal 2 mg/l Bakteri nitrifikasi akan kalah berkompetisi dengan bakteri heterotrof dalam perebutan DO dan nutrien. Oleh karenanya agar proses nitrifikasi dapat mengambil alih, maka BOD terlarut harus dikurangi hingga nilainya turun menjadi 20-30 mg/l untuk mengurangi kompetisi tersebut. pH ideal untuk bakteri nitrifikasi adalah 7.5 – 8.5, tetapi bakteri masih dapat beradaptasi pada pH diluar kisaran 20 – 35oC, proses nitrifikasi akan melambat drastis pada suhu dibawah 5oC Bakteri nitrifikasi sensitif terhadap pencemar (ex: logam berat). Bakteri nitrifikasi menjadi yang pertama mati jika ada pencemaran Sumber : Riple (2003) Penambahan bakteri dari kelompok Nitrifikasi kedalam perlakuan I (10 ml/m3) dan II (20 ml/m3 ) bertujuan untuk mendukung proses nitritasi dan nitratasi di dalam masing-masing media pemeliharaan ikan uji. Reaksi dari kedua proses tersebut adalah sebagai berikut: Nitritasi: oksidasi amonia menjadi nitrit oleh bakteri nitrit. Proses ini dilakukan oleh kelompok bakteri Nitrosomonas dan Nitrosococcus. Nitratasi: oksidasi senyawa nitrit menjadi nitrat oleh bakteri nitrat. Proses ini dilakukan oleh kelompok bakteri ] Nitrobacter Dari hasil penelitian, diketahui bahwa bakteri yang digunakan diduga dapat bekerja sesuai dengan kedua rekasi diatas, terlihat dari adanya perbedaan dari nilai nitrit dan nitrat pada bak kontrol, perlakuan I dan II (Tabel 2.). Bakteri nitrifikasi merupakan bakteri aerobik, sehingga dalam prosesnya selalu membutuhkan oksigen. Hal ini dapat dilihat pada persamaan reaksi diatas, dimana bakteri nitrifikasi membutuhkan oksigen untuk dapat mengubah NH4+ menjadi NO3-. Ripple (2003) menyatakan bakteri nitrifikasi membutuhkan 4.6 mg/l oksigen untuk dapat mengoksidasi 1 mg amonia. Dan untuk dapat bekerja bakteri nitrifikasi membutuhkan DO minimal 2 mg/l. Berfungsinya bakteri nitrifikasi jenis Bacillus sp yang digunakan sebagai probiotik dalam penelitian ini, sesuai dengan hasil dari penelitian Cruz et al (2012), menyatakan bahwa Bacillus sp merupakan bakteri probiotik yang dapat diaplikasikan untuk memperbaiki kualitas air (Tabel 4.) 73 Tabel 4. Pengaplikasian Bakteri Probiotik Application Water Quality Identity of the probiotic Bacillus sp. 48 Bacillus NL 110, Vibrio sp. NE 17 Lactobacillus acidophilus B. coagulans SC8168 Bacillus sp., Saccharomyces sp. Applied to aquatic species Penaeus monodon Macrobrachium rosenbergii Clarias gariepinus Pennaeus vannamei Penaeus monodon Sumber: Cruz et al (2012) Subuntith et al (2012), menyatakan bahwa penggunaan probiotik Bacillus sp meningkatkan pertumbuhan Litopenaeus vannamei , dan menurunkan nilai nitrit di media uji. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukan adanya penurunan nilai nitrit pada media perlakuan I dan II diabndingkan dengan kontrol, dimana masing-masing nilai nitrit berturut-turut adalah : 0,02 ppm; 0,1 dan 0,63. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat (nitrifikasi), reaksinya berlangsung dengan cepat dan dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi ammonia yang dioksidasi sehingga memiliki orde reaksi 2. Nitrit berbahaya karena nitrit bergabung dengan ion hidrogen membentuk asam nitrous (HNO2-N) yang berupa asam kuat dan karena tidak bermuatan listrik sehingga dengan bebas dapat berdifusi melintasi membran insang atau melalui transport aktif. Mekanisme efek toksik nitrit adalah ketika asam nitrous berdifusi ke dalam darah melalui insang lalu bereaksi dengan besi II (Fe2+) menghasilkan besi III (Fe3+). Hal ini akan mengurangi kemampuan sel darah merah untuk mengikat oksigen, yang mengakibatkan penyakit darah coklat (methemoglobin) yang dapat mematikan ikan karena kekurangan oksigen (hypoxia) (Boyd, 1990). Bakteri Bacillus sp. banyak digunakan sebagai probiotik karena kemampuannya dalam menghasilkan senyawa antimikroba yang dapat menghambat perkembangan mikroorganisme lain yang merugikan. Semua jenis golongan Bacillus akan menghasilkan senyawa antimikroba ini dalam kondisi tertentu apabila ada senyawa inducer yang mampu menginduksi biosintesis senyawa antimikroba ini dalam sel nya. Seperti halnya tiram dalam memproduksi mutiara harus diinduksi oleh benda asing yang masuk dalam cangkangnya. Begitu juga dengan biosintesis antimikroba ini akan terjadi apabila diinduksi oleh senyawa-senyawa tertentu. Kandungan senyawa inducer ini terdapat dalam prebiotik yang mengatur alur metabolisme bakteri melaui modifikasi nutrisi yang komplek. Jadi agar probiotik berfungsi maksimal maka harus dilengkapi dengan prebiotik yang mengandung senyawa-senyawa inducer yang menginduksi metabolisme bakteri supaya menghasilkan metabolitmetabolit yang menguntungkan. Selain senyawa inducer, keberhasilan probiotik juga tergantung dari pH optimum spesies bakteri yang terkandung dalam probiotik tersebut. Masing-masing spesies bakteri tersebut punya karakter spesifik dan dan punya daya kerja pH optimum. Berikut 74 adalah daya kerja pH optimum dari masing-masing bakteri sebagai berikut: Tabel 5. Nilai Ph Optimum untuk Bacillus sp Bakteri Bacillus subtilis Bacillus brevis Bacillus megaterium Bacillus polymixa Bacillus amyloliquefaciens Bacillus alvei Bacillus coagulans Bacillus licheniformis Bacillus pumilus pH Optimum 7.3 - 8.1 6.5 - 7.5 7.0 - 7.5 6.0 - 7.2 8.2 - 9.7 6.5 - 7.5 7.5 - 9.0 7.3 - 8.8 8.3 - 9.8 . Beberapa produk sediaan bakteri mengandung lebih dari tiga macam bakteri dengan maksud untuk mengantisipasi fluktuasi parameter kimia dilingkungan tersebut. Sehingga semakin beragam kandungan bakteri dalam suatu produk maka semakin besar kemungkinan beberapa spesies dapat bekerja optimum. Nilai DO, suhu dan pH selama masa pemeliharaan cenderung relatif sama disemua perlakuan dan kontrol. Nilai DO dari media kontrol Perlakuan I dan Perlakuan II secara berturut-turut adalah 6,80 ppm; 6,89 ppm dan 6,92 ppm. Nilai suhu mulai dari kontrol sampai perlakuan I dan II adalah 280C. Nilai pH untuk kontrol perlakuan I dan II adalah 6,6; 6,4 dan 6,6. Berdasarkan Cruz et al (2012), DO, suhu dan pH pada penelitian ini berada dalam rentang nilai yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri probiotik Bacillus sp. Pertumbuhan, Kelangsungan Hidup, dan Feed Conversi Ratio (FCR) Berdasarkan uji statistik pada selang kepercayaan 95%, terdapat perbedaan nilai pertumbuhan (berat) yang nyata antar kontrol dan perlakuan, sedangkan antara perlakuan I dan II tidak berbeda nyata (Gambar 1 dan Tabel 6 ). Gambar 1. Grafik Pertumbuhan (Berat) Ikan Uji 75 Tabel 6. Nilai Pertumbuhan (Berat) Ikan Uji Perlakuan Kontrol. 10 ml/m2 20 ml/m2 Tebar 4,27 ± 0,31a 4,33 ± 0,15a 4,30 ± 0,20a Berdasarkan uji lanjut (p<0.05) dapat dilihat bahwa perlakuan I (pemberian probiotik 10 ml/m3) memiliki nilai pertumbuhan harian tertinggi sebesar 12,52 ± 0,29b, disusul perlakuan II (pemberian probiotik 20 Sampling I 7,45 ± 0,08a 8,58 ± 0,36b Panen 10,72 ± 0,09a 12,52 ± 0,29b 8,46 ± 0,12b 12,42 ± 0,33b ml/m3 ) sebesar 12,42 ± 0,33b, serta kontrol sebesar 10,72 ± 0,09a. Nilai pertumbuhan untuk panjang ikan uji, dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 7. Berikut ini. Gambar 2. Grafik Pertumbuhan (Panjang) Ikan Uji Tabel 7. Nilai Pertumbuhan (Panjang) ikan Uji Perlakuan Tebar Sampling I Panen Kontrol. 7,4 ± 0,2a 8,1 ± 0,3a 12,2 ± 0,5a 10 ml/m2 7,4 ± 0,2a 8,6 ± 0,4ab 12,5 ± 0,3a 7,4 ± 0,2a 8,59 ± 0,1b 12,5 ± 0,4a 20 ml/m2 Berdasarkan uji statistik (p<0.05), tidak terdapat beda nyata antara perlakuan dengan kontrol. Laju pertumbuhan ikan uji mulai dari perlakuan I, II serta kontrol adalah 12,5 ± 0,3a; 12,5 ± 0,4a dan 12,2 ± 0,5a .Menurut Effendie, (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ada 2, yaitu faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal). Faktor dalam berupa keturunan, dan jenis kelamin, . Sedangkan faktor luar berupa ketersediaan makanan, kualitas air, dan ruang gerak. Tingkat kelangsungan hidup ikan uji selama masa pemeliharaan berkisar antara 79,8 –87,5 % (Gambar 3, dan Tabel 8). 76 Gambar 3. Grafik Kelangsungan Hidup Ikan Uji Tabel 8. Data Sintasan (kelangsungan hidup) ikan uji (%) Perlakuan Kontrol. 10 ml/m2 20 ml/m2 Tebar 100 ± 0,0 100 ± 0,0 100 ± 0,0 Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa pada selang kepercayaan 95%, uji statistik yang dilakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata untuk kontrol dan semua perlakuan . Hal ini menandakan bahwa pemberian bakteri probiotik Bacillus sp. tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan uji selama masa pemeliharaan. Nilai FCR kontrol, perlakuan I dan II, berturut-turut adalah 0,71 : 0,63; 0,60. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa nilai FCR tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan. Nilai kecernaan menggambarkan banyaknya nutrisi yang dapat diserap ikan dari pakan (NRC, 1993), dan berkorelasi dengan tingkat efisiensi terhadap pakan dan pertumbuhan. Panen 79,8 ± 5,0a 87,5 ± 8,4a 85,3 ± 75a KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penambahan bakteri probiotik dari jenis Bacillus sp mempengaruhi profil kualitas air untuk parameter nitrit dengan nilai kontrol, perlakuan 1 dan 2 berturut-turut sebesar 0,63 ppm; 0,02 ppm dan 0,1 ppm. Nilai nitrat mulai dari kontrol, perlakuan 1 dan 2 berturutturut adalah sebesar 13,1 ppm; 0,22 ppm dan 0,22 ppm. Parameter. kualitas air yang terdiri dari DO, suhu serta pH pada semua perlakuan selama masa pemeliharaan masih berada dalam kisaran toleransi ikan uji. Perlakuan penambahan bakteri probiotik memberikan hasil yang terbaik untuk pertumbuhan berat pada dosis 10 ml/m3 dengan nilai 12,52 ± 0,29 dibanding dengan kontrol dan perlakuan yang lain. Tingkat kelangsungan hidup, tidak menunjukkan beda nyata di semua 77 perlakuan dan kontrol, dengan rentang nilai antara 79,8 –87,5 %. Saran Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan oleh pembudidaya maupun masayarakat luas, pada media budidaya yang lebih luas, seperti kolam tanah atau kolam terpal. Perlu dilakukan penyusunan analisa kelayakanusaha untuk kegiatan ini DAFTAR PUSTAKA Balca´zar , Jose´ Luis. Ignacio de Blas. Imanol Ruiz-Zarzuela. David Cunningham. Daniel Vendrell. Jose´ Luis Mu´zquiz. Review The role of probiotics in aquaculture. 2006. Veterinary Microbiology 114( 173–186 ). Boyd AW. 1990. Water quality in pond for aquaculture. Auburn University. Birmingham Publishing Co. Alabama. Chamberlain G, Avnimelech Y, McIntosh RP, Velasco M. 2001. Advantages of aerated microbial reuse systems with balanced C/N : Nutrient tranformation and water quality benefits. Global Aquaculture Alliance : April 2001. Cruz, PatriciaMart´Δ±nez., Ana L. Ib´a˜nez., Oscar A. Monroy Hermosillo., Hugo C. Ram´Δ±rez Saad. Use of Probiotics in Aquaculture. 2012. ISRN Microbiology . Volume 2012, Article ID 916845, 13 pages culture and fisheries Wageningen Agricultural University. Wageningen/Netherland. Linggarjati, Kharisma Firdaus. Ali Djunaedi. Subagiyo. 2013. Uji Penggunaan Bacillus sp. sebagai Kandidat Probiotik Untuk Pemeliharaan Rajungan (Portunus sp.). Journal Of Marine Research. Volume 2, Nomor 1 (1-6). Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater engineering : treatment, disposal, and reuse. McGraw-Hill, New York Montoya R dan Velasco M. 2000. Role of bacteria on nutritional and management strategies in aquaculture systems. Global Aquaculture Alliance National Research Council (NRC). 1993. Nutrient requirements of fish. Sub committee on fish nutrition, National Research Council. National Academic Press (USA). 114p. Subuntith Nimrat.,Sunisa ., Suksawat ,Traimat Boonthai.,Verapong Vuthiphandchai. Potential Bacillus probiotics enhance bacterial numbers, water quality and growth during early development of white shrimp (Litopenaeus vannamei). 2012. Veterinary MicrobiologyVolume 159, Issues 3–4, 12 October 2012, Pages 443–450 Effendie MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Huisman EA. 1987. Principles of fish production. Departemen of fish 78