Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 1 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 PERTANIAN-UMMI Jurnal Ilmiah Pertanian dan Perikanan 2 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 SUSUNAN PENGURUS Pelindung: Rektor Universitas Muhammadiyah Sukabumi Penanggung Jawab: Dekan Fakultas Pertanian Pemimpin Redaksi: Pelita Octorina, S.Pi., M.Si. Wakil Pemimpin Redaksi: Endang Tri Astuti, SP., M.P. Mitra Bestari : Prof. Dr. Ir. Yogi. W.S Prof. Dr. Ir. Sudrajati Ratnaningtyas, M.P. Dr. Ir. Niken Tunjung Murti Pratiwi, M.Si. Dr. Ir Yulfiperius, M.Si. Dewan Redaksi: Reni Sukmawani,SP., M.P. Emma Hilma, SP., M.P. Amalia Nurmilla, SP., M.P. Ujang Dindin, S.Pi., M.Si. Sekretariat: Fakultas Pertanian-Universitas Muhammadiyah Sukabumi Alamat Redaksi: Jl.R.Syamsyudin, S.H No.50 Kota Sukabumi 43113 Jawa Barat Telp. (0266) 218 345, Fax : (0266) 218 342. Email: [email protected] Sirkulasi dan Distribusi: Sri Lidianti, S.P. Wentikasari, S.E. Yogi Satia, S.Pi. Desain Sampul: Pelita Octorina, S.Pi., M.Si. Edisi ke-1 Jurnal Ilmiah PERTANIAN-UMMI merupakan wadah komunikasi untuk civitas akademika dan masyarakat ilmiah Fakultas Pertanian yang membuat hasil penelitian kampus, tulisan tentang konsep/proposal orisinal dan belum pernah dimuat pada jurnal lain. Redaksi menerima sumbangan tulisan dari pihak lain. Jurnal ini diterbitkan setahun dua kali pada agustus dan februari 3 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 KATA PENGANTAR Bismillaahirohmanirrohiim Alhamdullilahirobbil’aalamiin. Akhirnya jurnal PERTANIAN-UMMI ini terbit. Kebutuhan akan ruang publikasi hasil-hasil penelitian dari para praktisi pendidikan diperguruan tinggi semakin nyata. Seiring kesadaran bahwa penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan perlu dipublikasikan pada media yang seharusnya. Jurnal PERTANIAN-UMMI yang diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sukabumi ini bertujuan untuk menjadi wahana yang dapat dipergunakan oleh para dosen maupun prakrisi pertanian untuk mempublikasikan karya ilmiahnya dalam ruang lingkup pertanian dan perikanan. Harapannya keberadaan jurnal ini mampu meningkatan gairah para dosen dan praktisi pertanian untuk terus melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat kemudian menutup rangkaian kegiatan tersebut dengan publikasi ilmiah. Semoga Jurnal Pertanian-UMMI ini dapat terbit secara berkelanjutan untuk memberikan kontribusi dalam khazanah keilmuan pertanian dan perikanan. Wassalamu’alaikum Wr.Wb Sukabumi, Agustus 2011 Redaksi 4 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 DAFTAR ISI Daftar Isi...................................................................................................................... iv Petunjuk Penulisan Naskah ......................................................................................... v 1. Analisa Usaha Tani Mawar Potong: Studi Kasus Di Desa Cibodas Kabupaten Cianjur Oleh : Ina Herlina Kurniawati ........................................................................ 1 2. Peningkatan Oksigen Terlarut dengan Metode ” Aerasi Hipolimnion” di Daerah Karamba Jaring Apung Danau Lido Oleh : Juli Nursandi, Enan M. Adiwilaga, dan Niken T.M. Pratiwi .............. 6 3. Morfometrik Kerang Anadara granosa dan Anadara antiquata pada Wilayah yang Tereksploitasi Di Teluk Lada Perairan Selat Sunda. Oleh : Ratna Komala, Fredinan Yulianda, Djamar T.F Lumbanbatu dan Israjad Setyobudiandi .............................................................................. 14 4. Kondisi Biolimnologi Kolong bekas Galian Pasir Cimangkok Kabupaten Sukabumi dan Kesesuaian Bagi Kegiatan Perikanan. Oleh : Pelita Octorina ..................................................................................... 19 5. Distribusi Spasial dan Kondisi Lingkungan Perairan Ikan Endemik Rasbora tawarensi (Weber dan de Beaufort 1961) Di Danau Laut Tawar, Aceh Tengah Oleh : Iwan Hasri, M, Mukhlis Kamal, Zairion ............................................. 26 6. Aspek Biologi Ikan Layang Deles (Decapterus macrosoma) di Perairan Banda Neira, Maluku. Oleh : Budiono Senen, Sulistiono, dan Ismudi Muchsin ............................... 34 7. Distribusi Spasial Udang Mantis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina graviera di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Oleh : Ali Hasri dan Yusli Wardiatno ............................................................ 41 5 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 PETUNJUK PENULISAN NASKAH 1. Pemasukan Naskah : naskah yang diterima adalah naskah dengan topik sesuai dengan latar belakang keilmuan yakni pertanian dan perikanan. Naskah berisikan hal penelitian/kajian rekayasa/uraian ilmiah yang bercirikan pemikiran inovatif, efisisen, dan efektif sesuai dengan bidang ilmu. 2. Naskah dikirim dalam bentuk soft copy, dengan menggunakan program microsoft word, dialamatkan ke : Sekretariat Jurnal Ilmiah PERTANIAN-UMMI, Jl. R, Syamsudin S.H No 50, Kota. Sukabumi 43113, Jawa Barat., Telp (0266) 218345, Fax : (0266) 218342, atau dikirim melalui e-mail dalam format microsoft word ke alamat: [email protected] 3. Naskah : a. Bahasa yang dipergunakan adalah Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Untuk penulisan abstrak mengunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. b. Format penulisan : judul (12 pt) dan abstrak pada satu kolom, spasi 1 baris. Jumlah kata-kata abstrak maksimum 200 kata dilengkapi kata kunci c. Format penulisan naskah : Isi naskah mengunakan huruf Times New Romans 12 pt spasi 1 dalam kolom. Isi naskah minimal 8 s.d 10 halaman. Ukuran halaman A4 dengan margin 3 3 2 2 cm (kiri atas kanan bawah) d. Naskah belum dipublikasikan e. Bagian akhir naskah dituliskan daftar riwayat hidup penulis, alamat lengkapi, email dan nomor telepon. f. Naskah yang dimuat setelah melalui review dari komisi penyunting dan mitra bestari. g. Ketikan/cetakan hanya pada satu sisi kertas, tidak timbal-balik. Ketikan berisi urutan : halaman Judul, abstrak, teks/naskah (untuk laporan hasil penelitian : Pendahuluan, Metoda/Teori, diskusi, kesimpulan/hasil, catatan dan daftar pustaka. Gambar dan Tabel diberi keterangan serta mencantumkan sumbernya) h. Naskah yang dikirim dan tidak dimuat menjadi hak redaksi i. Pengiriman naskah dari sidang pembaca selambat-lambatnya harus diterima dewan redaksi 2 (dua) bulan sebelum terbitan bekerja 4. Kontak Person Untuk memudahkan kontak dalam Jurnal Ilmiah PERTANIAN-UMMI inni : a. Urusan Pengelolaan dan Penyerahan Naskah dapat menghubungi: Sdr. Pelita Octorina dan Endang Tri b. Urusan Sirkulasi, Distribusi dan Marketing dapat menghubungi: Sdr. Sri Lidianti dan Yogie Satia 6 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 ANALISA USAHATANI MAWAR POTONG (Studi Kasus di Desa Cibodas, Kabupaten Cianjur) Ina Herlina Kurniawati Abstract : The research analyzes the system of rose-cut farm in the research area. The purpose is in order to know the steps to be taken to increase the system of rose-cut farm in the research 2 area. The results is taken from the analyzes of rose-cut farm in the land of area 5.000 m with the plant spacing 20 cm x 50 cm. it manages in the green house and it shows the income value. The amount is Rp. 12.308.125,00, for one period in plant season. In the other side, the results is taken from the parameter calculation of proper effort that consist of the Revenue Cost Ratio, Net Present Value and Benefit Cost Ratio. Those are shown, the value is bigger than one or positive value. It means that the production activity of rose-cut farm is run by the farmers, for instance is in the research area as financial it still gives a lot of advantages. PENDAHULUAN Mawar merupakan salah satu tumbuhan berbunga yang boleh dikatakan paling dikenal dan disukai orang sebagai penghias taman, tanaman rumah dan sebagai bunga potong. Mawar juga popular dengan sebutan bunga ros atau rose (dibaca roos). Mawar sudah dibudidayakan oleh manusia sejak berabad-abad yang lalu. Mawar temasuk salah satu jenis bunga potong terpentinh di dunia. Memiliki kelas yang paling tinggi serta pengagum yang paling banyak dibandingkan dengan tanaman bunga lainnya. Negara produsen bunga potong di dunia antara lain adalah Belanda. Diantara 10 jenis bunga potong komersial Belanda, mawar menempati urutan pertama. Pasar potensial bunga potong yang berdaya serap tinggi diantaranya adalah Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Swiss, Australia, Amerika Serikat, Swedia, Denmark, Jepang dan masih banyak Negara lainnya. Fenomena ini menunjukkan Indonesia berpeluang mengembangkan usahatani mawar dengan pola agribisnis, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri maupun untuk ekspor ke pasar internasional. Kecuali itu peluang pasar mawar potong didalam negeripun cenderung meningkat. Permintaan bunga potong di Jakarta misalnya, meningkat rata-rata 10% per tahun. Pada tahun 1991 nilai perdagangan bunga potong di DKI Jakarta mencapai 1 milyar per bulan. Cukup banyak sentra-sentra produksi tanaman mawar, yang terkenal seperti sentra mawar Batu, Malang, jawa Timur. Juga dataran tinggi Jawa Barat seperti Sukabumi, Cipanas/Cianjur dan lembang. Terdapat juga di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek). Kabupaten Cianjur, Kecamatan Pacet Cipanas, Desa Cibodas adalah salah satu daerah penghasil mawar potong di Indonesia yang relative baru dan cukup potensial untuk dikembangkan sebagai daerah pengembangan mawar potong. Akan tetapi yang perlu diperhatikan dalam pengembangan komoditas ini adalah masalah system usahataninya. Sistem usahatani yang efisien akan sangat menunjang pengembangan suatu komoditas. Sistem usahatani yang tidak optimal akan menyebabkan pendapatan usahataninya rendah. Tujuan Penelitian ini menganalisa system usahatani mawar potong di Desa Cibodas dengan tujuan agar diketahui langkahlangkah yang perlu diambil untuk meningkatkan efisiensi system usahatani mawar potong di Desa Cibodas. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Menurut Rifai dalam Tjakrawiralaksana (1983) dan Soekartawi et al (1986), usahatani merupakan suatu bentuk usaha di bidang pertanian, dimana pihak pengelola sebagai pelaku usaha selalu berusaha untukmencapai keuntungan yang maksimal, dengan cara mengorganisasikan factor alam, kerja dan modal. Selanjutnya Hernanto (1988) menggolongkan alam, kerja dan modal ke dalam istilah factor produksi usahatani. Dengan kata lain petani melakukan usahataninya sebagai suatu kegiatan produksi di lapangan pertanian dengan tujuan memperoleh pendapatan yang maksimal. Bentuk dan jumlah pendapatan iniberfungsi selain untuk melanjutkan kegiatan usahanya juga untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Banyak factor yang mempengaruhi pendapatan petani. Diantaranya intensitas pennggunaan teknologi, luas garapan, status penguasaan lahan, keadaan irigasi. Pendapatan usahatani aadalah selisih dari nilai-nilai penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain 7 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 pendapatan usahatani dihitung dari selisih antara penerimaan tunai usahatani dengan pengeluaran tunai usahatani. Penerimaan usahatani didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pengeluaran usahatani didefinisikan sebagai jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian dan jasa usahatani. Suharjo dan Patong (1973) menyatakan pendapatan selain diukur dengan nilai mutlak juga dianalisa efisiensinya. Salah satu ukuran efisiensi adalah penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan (Revenue Cost Ratio). Perbedaan antara analisa keuntungan dengan analisa R/C ratio yaitu analisa keuntungan digunakan untuk mengetahui pendapatan yang diperoleh masing-masing petani dari hasil usahataninya, sedangkan R/C ratio digunakan untuk melihat keuntungan relatif dari suatu cabang ushatani dengan usahatani lain berdasarkan perhitungan finansial. Dalam analisa R/C ratio akan diuji seberapa besar nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan cabang usahatani bersangkutan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya. Analisa Manfaat Tambahan Biaya (Benefit Cost Ratio atau B/C Ratio) digunakan untuk membandingkan berapa besar tambahan manfaat (dalam bentuk penerimaan rupiah) yang dapat diperoleh dari setiap tambahan penggunaan satu rupiah biaya. Falsafah dari analisa ini adalah menguji kemungkinan penggunaan kesempatan ekonomi yang paling baik bagi investasi modal. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan kegiatan usaha yang mana yang dapat memberikan keuntungann yang yang paling besar (Tjakrawiralaksana, 1983). Menurut Soekartawi (1986), Net Present Value (NPV) atau nilai bersih sekarang suatu ushatani merupakan ukuran yang menggambarkan kemampuan suatu ushatani tersebut. Bila NVP bernilai positif, maka ushatani tersebut dapat dikatakan menguntungkan. Sebaliknya kalau negative, dapat diartikan bahwa usahatani tersebut tidak menguntungkan. Dengan kata lain nilai NPV bernilai positif maka usahatani tersebut dikatakan layak secara finansial. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive. Daerah yang terpilih adalah Kecamatan Pacet Cipanas, ISSN : 2088-8848 Desa Cibodas yang merupakan sentra produksi mawar potong di dataran tinggi Jawa Barat . Metode Pengambilan Contoh Pengambilan contoh potani/responden dilakukan secara acak sederhana pada lokasi penelitian terpilih. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terhadap responden/petani dan “key informans” dengan sejumlah pertanyaan yang dipersiapkan dalam bentuk kuesioner terstruktur dan terbuka, dan pengamatan/peninjauan di lapangan. Data sekunder diperoleh dari monografi desa/kecamatan,kantor statistic dan lembaga/instansi terkait lainnya dan berbagai hasil kepustakaanj/ hasil penelitian yang tersedia. Metode Analisa Suatu sistem usahatani yang optimal akan memberikan keuntungan yang layak bagi petaninya. Untuk menkaji tingkat kelayakan ushatani digunakan anal tingkat kelayakan ushatani digunakan analisa financial yang mencakup perhitungan pendapatan, Return Cost Ratio (RCR), Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR) Untuk melihat tingkat pendapatan usahatani mawar potong di desa penelitian, dalam penelitian ini didekati dengan berbagai konsep dan pengukuran: a) Konsep Pendapatan yang digunakan adalah Return to Owned Resources dimana biaya yang berasal dari resource yang dimillki petani tidak diperhitungkan b) Untuk menghitung pendapatan usahatani mawar potong diperoleh dari perhitungan (1) hasil fisik yang dicapai, (2) input yang digunakan, (3) harga per unit produk, (4) harga per unit input. Secara matematik perhitungan tersebut ditulis sebagai berikut: n I = Hy . Y - ∑ Hxi . Xi (1) ……….. i=1 dimana: I = Pendapatan usahatani Y = Jumlah produksi (output) yang dihasilkan Hxi = Harga faktor produksi xi per unit 8 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 suatu usahatani seperti halnya NPV. Jika B/C ratio bernilai positif maka usahatani tersebut layak secara financial/ ekonomis. Secara matematik konsep BCR dirumuskan sebagai berikut : Xi = Jumlah faktor produksi xi yang digunakan I = 1, 2, 3, . . . .n c) Untuk menghitung tingkat efisiensi dan usahatani mawar potong dilakukan analisa nilai imbangan antara penerimaan dengan besarnya biaya (R/C ratio). Secara matematik konsep R/C ratio dirumuskan sebagai berikut : RCR = R / C n ∑ Bt / (1 + r)t BCR = t=0 …….. (4) n ……………. (2) ∑ Ct / (1 + r)t t=0 dimana : RCR = Return Cost Ratio R = Return (Penerimaan) C = Cost (Biaya/pengeluaran) dimana : Bt = manfaat yang diperoleh tiap tahun Ct = biaya yang dikeluarkan tiap tahun Dalam analisa pendapatan dan RCR, yang dimaksud dengan penerimaan (return) adalah hasil kali produksidengan harga yang diterima petani, sedangkan yang dimaksud dengan pengeluaran (cost) adalah semua pengeluaran dalam proses produksi kecuali sewa tanah, upah tenaga kerja keluarga dan jasa petani sebagai manajer. d) Net Present Value (NSP) atau nilai bersih sekarang suatu usahatani merupakan ukuran yang menggambarkan kemampuan suatu usahatani. Bila NPV bernilai positif, maka usahatani tersebut dapat dikatakan menguntungkan. Sebaliknya kalau negatif, dapat diartikan bahwa usahatani tersebut tidak menguntungkan. Semakin tinggi nilai NPV dari suatu usahatani maka semakin menguntungkan usahatani tersebut. Secara matematik konsep NPV dirumuskan sebagai berikut : NPV = Bt - Ct n ∑ ----------- ………. (3) t=0 ( 1 + r )t Dengan kata lain nilai NPV bernilai positif maka usahatani tersebut dikatakan layak secara financial/ekonomis. e) Benefit Cost Ratio (BCR) atau B/C ratio merupakan ukuran kelayakan t = 1, 2, 3, …………, n n = jumlah tahun i = tingkat bunga modal HASIL DAN PEMBAHASAN Petani bunga mawar potong di lokasi penelitian menggunakan system tanam dalam bangunan plastik atau green house. Adapun luas lahan digunakan sebesar 2 5.000 m dengan jarak tanam 20 cm x 50 cm. Periode produksi rata-rata 6 sampai 8 bulan per musim. Dari data ekonomis usahatani mawar potong Petani Bunga di Desa Cibodas, Kecamatan Pacet-Cipnas pada tahun 2005 diperoleh hasil analisa usahatani mawar potong seperti yang disajikan pada Tabel 2. Analisa Pendapatan Usahatani Mawar Potong Kegiatan produksi di dalam setiap usahatani dapat dikatakan suatu perusahaan dimana factor biaya (cost) dan pendapatan (revenue) menjadi pusat perhatian. (Kasryno, 1970). Analisa biya dan pendapatan dalam usahatani digunakan untuk melihat keuntungan yang diperoleh dalam usahatani tersebut. Bagi petani hal ini penting untuk mengambil keputusan sehubungan dengan usahataninya. Konsep pendapatan yang digunakan untuk analisa ini adalah Return to Owned Resourcess dimana biaya yang berasal dari resourse yang dimiliki petani tidak diperhitungkan. Biaya Usahatani Komponen biaya yang akan dianalisa didasarkan atas biaya tunai. Komponen biaya tersebut meliputi biaya 9 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 untuk sarana produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan), biaya tenaga kerja luar keluarga (nilai tenaga kerja yang diupah) serta biaya sewa alat-alat pertanian. Kemudian biaya untuk pajak tanah, iuran air, iuran desa dan iuran lainnya yang berkaitan dengan kegiatan produksi usahatani mawar potong. Selanjutnya biaya penyusutan dari alat-alat pertanian yang tidak habis dalam sekali pemakaian, dalam hal ini tidak diperhitungkan tersendiri melainkan dimasukkan kepada biaya sewa alat-alat pertanian. Karena pada umumnya para petani contoh menggunakan sewa alatalat yang tidak sekali pakai tersebut traktor, cangkul, sabit dan alat sejenis lainnya, bukan merupakan milik pribadi melainkan milik bersama kelompok tani untuk alat aeperti cangkul, sabit dan sejenisnya, sedangkan untuk traktor biasanya mereka nyewa kepada KUD. Dengan deikian biayabiaya tersebut lebih tepat bila dimasukkan kepada biaya sewa alat-alat yang biasa petani keluarkan dalam setiap satu periode produksi mawar potong. Pada efisiensi financial penilaian didasarkan pada harga aktual yang dibayarkan maupun yang diterima petani. Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa jumlah biaya variabel yang dikerluarkan petani mawar potong sebesar Rp. 5.250.000,00. Sehingga total biaya yang harus dikeluarkan petani mawar potong sebesar Rp. 82.441.875,00 sedangkan jumlah biaya tetap sebesar Rp. 5.250.000,00. Sehingga total biaya yang harus dikeluarkan petani untuk usaha tani mawar potong untuk satu periode produksi yaitu sebesar Rp. 87.691.875,00. Dalam perhitungan biaya ini nilai upah HKP (Hari Kerja Pria) yang digunakan sebesar Rp. 15.000,00 dan nilai upah HKW (Hari Kerja Wanita) sebesar Rp. 10.500,00. Sedangkan nilai investasi bangunan rumah plastik (green house) tidak diperhitungkan. Penerimaan Usahatani Penerimaan usahatani yang diamaksud dalam pembahasan ini adalah jumlah tangkai bunga yang dihasilkan dikalikan dengan harga yang berlaku di tingkat petani. Dari hasil perhitungan diperoleh besar penerimaan total usahatani mawar potong di Desa Cibodas adalah Rp. 100.000.000,00 seperti disajikan pada Tabel 1. ISSN : 2088-8848 Tabel 1. Biaya Usahatani Mawar Potong Petani Bunga di Desa Cibodas, Kecamatan Pacet-Cipanas, 2005. No. A 1 2 Uraian Biaya Tidak Tetap (Biaya Variabel) : Biaya produksi Biaya saran produksi a. Bibit 75.000 batang @ Rp. 1.000,00 b. Pupuk : 1) Pupuk kandang 5 ton @ Rp. 75.0000,00 2) Urea 415 kg @ Rp. 1.500,00 3) ZA 460 kg @ Rp. 1.800,00 4) TSP 52,5 kg @ Rp. 1.800,00 5) KCl 12,5 kg @ Rp. 1.950,00 6) KNO3 237,5 kg @ Rp. 3.000,00 c. Pestisida dan ZPT d. Kapur pertanian 1 ton Biaya tenaga kerja 1) Penyiapan lahan 50 HKP @ Rp. 15.000,00 2) Pemasangan pupuk 10 HKP + 20 HKW 3) Penanaman 5 HKP + 50 HKW 4) Pemeliharaan tanaman 5 HKP + 100 HKW 5) Panen dan pasca panen 5 HKP + 50 HKW Nilai (Rp) 75.000.000,00 375.000,00 622.500,00 828.000,00 94.500,00 24.375,00 712.500,00 750.000,00 600.000,00 79.006.875,00 750.000,00 360.000,00 600.000,00 1.125.000,00 600.000,00 3.435.000,00 B Jumlah Biaya Tidak 82.441.875,00 Tetap (Biaya Variabel) C Biaya Tetap : 3 Nilai sewa tanah (1 tahun) 4.500.000,00 4 Biaya lain-lain (pajak, iuran peralatan) 750.000,00 D Jumlah biaya tetap 5.250.000,00 E Biaya Total (Input Total) 87.691.875,00 Sumber: Pembukuan Petani Bunga Desa Cibodas Pendapatan Usahatani Dengan menggunakan formulasi pada persamaan (1) maka dapat diperoleh nilai pendapatan usahatani mawar potong di lokasi penelitian seperti yang disajikan pada Tabel 2. 10 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 Tabel 2. Produksi dan Hasil Analisa Usahatani Mawar Potong Petani Bunga Mawar Potong Petani Bunga di Desa Cibodas, Kecamatan Pacet-Cipanas, 2005. No. Uraian 1 Jumlah Produksi 2 Harga jual per tangkai Hasil Analisa : Penerimaan Pendapatan Marjinal Pendapatan Bersih R/C ratio NVP B/C ratio 3 4 6 8 Nilai (Rp) 250.000 tangkai Rp. 400,00 100.000.000,00 17.558.125,00 12.308.125,00 1,14 +10.610.452,59 1,14 Pada Tabel 1. terlihat bahwa pendapatan usahatani mawar potong yang diperoleh petani contoh di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi pendapatan marjinal dan pendapatan bersih. Dimana pendapatan marjinal yaitu pendapatan yang diperoleh dari selisih antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya total (biaya variabel dan biaya tetap) yaitu sebesar Rp. 12.308.125,00. Untuk mengetahui tingkat efisiensi dari kegiatan usahatani mawar potong, selanjutnya dilakukan analisa imbangan penerimaan dengan besarnya biaya yang dikeluarkan (R/C Ratio). Dengan menggunakan formulasi pada persamaan (2) diperoleh nilai R/C Ratio sebesar 1,14. Ini berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya tetap dan tidak tetap akan memberikan penerimaan yang lebih besar dari satu yaitu sebesar 1,14. Seperti disajikan pada Tabel 2. Untuk mengkaji tingkat kelayakan usahatani mawar potong, selanjutkan dilakukan analisa finansial yang mencakup perhitungan Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Dengan menggunakan tingkat bunga modal 16% per tahun dan persamaan (3) serta (4) maka dapat ditentukan Net Present Value (NVP) dan Benefit Cost Ratio (BCR) atau B/C ratio dari usahatani mawar potong tersebut seperti disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2. dapat dilihat NVP dan BCR masing-masing bernilai positif. Berarti hasil Analisa Pendapatan, R/C ratio, NVP dan B/C ratio dapat dikatakan bahwa kegiatan produksi usahatani mawar potong yang dilakukan petani contoh di lokasi penelitian masih memberikan keuntungan layak secara financial/ekonomis. ISSN : 2088-8848 KESIMPULAN Dari hasil analisa usahatani mawar potong di Desa Cibodas Kecamatan Pacet 2 Cipanas dengan luas lahan 5000 m diperoleh nilai pendapatan sebesar Rp. 12.308.125,00 untuk satu periode musim tanam. Sementara hasil perhitungan parameter kelayakan usaha yang terdiri dari nilai R/C ratio, NVP dan B/C ratio masingmasing menunjukkan nilai yang positif. Berarti dapat dikatakan bahwa kegiatan produksi usahatani mawar potong yang dilakukan petani contoh di lokasi penelitian masih memberikan keuntungan layak secara financial/ekonomis. DAFTAR PUSTAKA Aaker A. David. 1983. Strategi Market Manajemen. John wiley and Son. Foskr. RV.T. 1999. Costumer Care. Elek Media Komputindo. Jakarta. Husen, U. 2000. Business an Introduction. Gramedia. Jakarta. _________. 1999. Studi Kelayakan Bisnis. Gramedia Jakarta. Kotler, P. 19990. Manajemen Pemasaran Jilid !. Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Rismunandar. 1990. Budidaya Potong. Penebar Swadaya. Bunga Soekartawi. 1989. Manajemen Pemasaran Hasil Pertanian. Rajawali Press. Jakarta. Sukarno. 1990. Mawar. Penebar Swadaya. Supriyono. 1986. Manajemen Strategi dan Kebijakan Bisnis. BPFE. Yogyakarta. Suwarsono. 1999. Manajemen UPP. YKPN. Yogyakarta. Strategi. Tjakrawiralaksana, A. 1983. Usahatani, Dikmenjur, Dirjen Disdakmen. Jakarta Winardi a. 1992. Promosi dan Periklanan. Mandar Maju. Bandung Winardi b. 1992. Harga dan Penetapan Harga. Citra Adya Bakti. bandung 11 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 PENINGKATAN OKSIGEN TERLARUT DENGAN METODE “AERASI HIPOLIMNION” DI DAERAH KERAMBA JARING APUNG DANAU LIDO, BOGOR 1) 2) 2) Juli Nursandi , Enan M. Adiwilaga , dan Niken T.M. Pratiwi Program Studi Budidaya Perikanan, Politeknik Negeri Lampung, 2) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB 1) Abstrak: Budidaya ikan pada keramba jaring apung di perairan danau atau waduk umumnya dapat menyebabkan permasalahan kualitas air. Permasalahan kualitas air yang sering terjadi adalah berkurangnya oksigen terlarut dan timbulnya gas-gas beracun pada lapisan dasar perairan yang dapat mematikan ikan pada saat terjadi umbalan di musim-musim tertentu. Penelitian ini bertujuan ini untuk mengetahui dampak perlakuan “aerasi hipolimnion” seperti peningkatan dan penyebaran oksigen terlarut (DO), efisiensi alat aerasi serta pengurangan kandungan gas ammonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) pada air di sekitar lokasi keramba jaring apung. Data yang didapat dianalisa secara deskriptif dan statistik dengan program SPSS 13. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah alat aerasi hipolimnion dapat meningkatkan kandungan oksigen terlarut (DO) di daerah keramba jaring apung dengan besaran yang berbeda-beda secara spatial dan temporal. Nilai persen saturasi oksigen tertinggi yang diamati adalah sebesar 50,19%, dengan nilai efisiensi alat aerasi 0,014-0,022 kgO2/kW-jam. Secara umum alat aerasi hipolimnion yang dibuat mampu meningkatkan kualitas air sehingga bisa lebih sesuai dengan baku mutu air untuk budidaya perikanan Kata kunci: Oksigen terlarut (DO), keramba jaring apung, “aerasi hipolimnion”, efisiensi aerasi. terutama berkurangnya lapisan oksik pada perairan. PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan ini untuk Oksigen terlarut mempunyai mengetahui dampak perlakuan aerasi yang peranan penting bagi kehidupan organisme dibuat, seperti: peningkatan dan penyebaran yang berada di air. Keberadaannya di air DO serta pengurangan kandungan gas secara alami dipengaruhi oleh fotosintesis amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) fitoplankton dan tumbuhan air, kecerahan, pada air di sekitar lokasi keramba jaring arus, suhu serta respirasi organisme apung yang diberi alat aerasi. perairan (Boyd 1998). Semakin tinggi Hasil penelitian ini diharapkan dapat oksigen yang terlarut dalam air berarti memberikan informasi dan solusi terhadap semakin banyak ketersediaan oksigen yang masalah ketersediaan oksigen telarut di dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup perairan untuk kelangsungan hidup ikan organisme air. alami dan ikan dalam KJA. Budidaya ikan pada keramba jaring apung (KJA), merupakan teknologi budidaya ikan METODOLOGI yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan Alat dan Bahan sumberdaya perairan danau dan waduk. Alat-alat dan bahan yang digunakan Namun sistem budidaya yang mengandalkan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat pakan buatan berupa pelet sebagai aerasi (Gambar 1), Vandorn water sampler, makanan utamanya ini, dapat menyebabkan serta peralatan dan bahan untuk mengukur terjadinya penumpukan limbah bahan oksigen terlarut, H2S dan NH3 serta pH. organik dari sisa metabolisme dan sisa Pembuatan Alat Aerasi pakan pada dasar perairan. Sulitnya Skema gambar alat yang dibuat pengaturan pembatasan jumlah keramba dapat dilihat pada Gambar 1. jaring apung di perairan menyebabkan masalah ketersediaan oksigen terlarut semakin memburuk dan penting diperhatikan untuk kelestarian ikan alami dan ikan budidaya. Simarmata (2007) menyatakan bahwa aktifitas budidaya ikan dalam KJA telah menyebabkan penurunan kualitas air, 12 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Gambar 1. Skema gambar alat aerasi yang dibuat Alat aerasi hipolimnion ini diletakkan pada daerah keramba jaring apung di Danau Lido dengan pemberian jarak sepanjang 14 meter antara pipa inlet dan outlet, alat aerasi ini akan diletakkan pada kedalaman 2, dan 4 meter. Peletakkan alat aerasi dilakukan sedemikian rupa sehingga air yang terambil pada paralon inlet tidak berasal dari air yang keluar dari paralon outlet. Pada bagian bak penampungan air (talang air) tempat pertemuan air dan udara, dibuat bersekatsekat dan bertingkat-tingkat sehingga dapat membantu proses difusi oksigen dari udara secara efektif. Menurut Welch (1952), adsorbsi oksigen dari udara ke air melalui dua cara yaitu: difusi langsung ke permukaan air atau melalui berbagai bentuk agitasi air permukaan, seperti gelombang dan turbulensi. Prinsip kerja alat aerasi ini, yaitu mengambil air pada lapisan tertentu yang memiliki oksigen rendah. Penambahan oksigen terlarut dilakukan dengan cara mempertemukan air dan udara di atas permukaan perairan. Air yang telah mendapatkan penambahan oksigen, akan dikembalikan pada kedalaman semula. Menurut Chain et al (1952) efisiensi aerasi adalah tergantung pada kontak permukaan air yang akan diaerasi dengan udara. Alat aerasi hipolimnion yang pernah dibuat di Indonesia “Limnotek” dapat meningkatkan rata-rata oksigen terlarut secara signifikan, yaitu menjadi rata-rata lebih besar dari 4 mg -1 mgL (Hartoto, 1994). Uji Kinerja Alat Aerasi Hipolimnion Alat aerasi hipolimnion yang sudah jadi, diuji kinerjanya di darat dengan mengambil air dari dalam sumur. Sedangkan perakitan alat dan pengujian kinerja alat secara langsung di Danau Lido, Bogor. Data spesifikasi alat aerasi hipolimnion yang dibuat adalah seperti pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Spesifikasi alat aerasi hipolimnion yang dibuat No. 1. 2. 3. Uraian Pom Jenis Pompa Air pa Sumber Tegangan Daya Jarak Hisap Maks Debit Air Maks Ukuran Berat Uji Debit air alat aerasi kinerj Lama air mengalir di a alat talang aeras Tinggi air dalam i di talang darat Sudut kemiringan talang Tinggi setting alat aerasi Volume setiap talang air Hasil peningkatan DO Uji Debit air alat aerasi kinerj Lama air mengalir di a alat talang aeras Tinggi air dalam i di talang dana Sudut kemiringan u talang Tinggi setting alat aerasi Volume setiap talang air Hasil peningkatan DO Keterangan Panasonic model 129JXV 220 V, 50 Hz 125 Watt 30 meter (pipa 1 inch) 30 liter/menit 200 x 156 x 214 mm 6 kg 10 liter/menit 10 menit GP- 2-3 cm 10-15 derajat ± 120 cm ± 10 liter 6 ppm (2 ppm menjadi 8 ppm dengan test kit O2) 15 liter/menit 5 menit 4-5 cm 20-25 derajat ± 160 cm ± 20 liter 3 ppm (2 ppm menjadi 5 ppm, dengan test kit O2 pada kedalaman 4 m) 13 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 Penentuan Lokasi Stasiun Penelitian Lokasi stasiun penelitian adalah di sekitar lokasi KJA yang umumnya terjadi penurunan jumlah oksigen terlarut yang nyata secara vertikal (Widiyastuti 2004) dengan kedalaman yang masih mampu dijangkau dengan kemampuan alat aerasi. Lokasi stasiun penelitian juga dipertimbangkan berdasarkan keamanan ikan, dan ketersediaan sumber listrik. karena mengingat dampak penggunaaan alat aerasi ini bisa saja mengaduk stratifikasi air secara vertikal yang mungkin dapat menimbulkan stres atau bahkan kematian ikan di KJA. Analisis Data Analisis deskriptif Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, serta dibandingkan dengan nilai baku mutu berdasarkan peraturan Pemerintah RI No.82 tahun 2001 kelas III. Penentuan Persen Saturasi Oksigen Konsentrasi oksigen jenuh (saturasi) akan tercapai jika konsentrasi oksigen yang terlarut di perairan sama dengan konsentrasi oksigen terlarut secara teoritis. Tingkat kejenuhan oksigen terlarut di perairan dinyatakan dalam persen saturasi (Jeffries dan Mills 1996) % Saturasi = Keterangan : DO = -1 terlarut (mgL ) DOt = x 100% konsentrasi oksigen konsentrasi oksigen terlarut jenuh secara teoritis pada suhu tertentu dengan tekanan -1 760 mmHg (mgL ). Distribusi Oksigen pada Daerah Outlet Aerasi Data penelitian diperoleh dan dianalisa dengan model Rancangan Acak Kelompok (RAK) berdasarkan jarak dan kedalaman dari peletakan outlet aerasi hipolimnion. Kedalaman outlet dari aerasi hipolimnion diujicoba pada tiga kedalaman yaitu kedalaman 2, 4 dan 6meter. Masingmasing kedalaman outlet dilakukan ISSN : 2088-8848 pengukuran sebanyak 6 titik terbagi secara vertikal dan horizontal. Data yang didapat dianalisa secara statistik one way anova satu faktor dengan bantuan software Microsoft excell dan SPSS 13. Bentuk distribusi oksigen terlarut, setelah air dikeluarkan dari alat aerasi pada daerah outlet akan diamati secara vertikal dan horizontal, dan kemudian akan dibuat gambar pengelompokan air hasil dari aerasi hipolimnion, berdasarkan kadar oksigennya. Efisiensi alat aerasi hipolimnion Nilai efisiensi alat aerasi dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan alat aerasi untuk melarutkan oksigen dan dapat membantu menghitung biaya produksi pada budidaya perikanan (Boyd 1998). Jumlah oksigen yang ditambahkan ke dalam air selama waktu tertentu dan pada tingkat energi tertentu yang dinyatakan dengan satuan kgO2/kW/jam digunakan untuk pabrik aerator sebagai ukuran dari standar efisiensi aerasi (SAE). HASIL DAN PEMBAHASAN Peningkatan Oksigen Terlarut (DO) pada saat aerasi hipolimnion dioperasikan Percobaan penggunaan aerasi hipolimnion untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dilakukan pada kedalaman outlet aerasi 2, 4 dan 6 meter. Percobaan pada kedalaman 2 dan 4 meter dilakukan pada malam hari mulai dari pukul 19.0005.00 wib, sedangkan pada kedalaman 6 meter dilakukan pada siang hari mulai pukul 07.00-17.00 wib. Waktu pengamatan pada 2 dan 4 meter dilakukan berdasarkan pada kebutuhan oksigen dimana pada kedalaman 2 dan 4 meter pada malam hari lebih kecil daripada siang hari. Pengamatan oksigen terlarut pada masing-masing perlakuan kedalaman outlet aerasi (2, 4 dan 6 meter) dibagi menjadi 2 lapisan pengamatan. Dimana lapisan atas adalah 25 cm di atas outlet, dan lapisan bawah adalah 25 cm di bawah outlet aerasi. Pada lapisan atas diamati kandungan oksigennya pada titik 1, 2 dan 3 meter secara horizontal dari lubang outlet dan demikian pula pada lapisan bawah dibuat tiga titik pengamatan (gambar 2). Untuk melihat kandungan oksigen pada kedalaman outlet yang tidak terpengaruh aerasi (DO 14 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 kontrol) dilakukan pengukuran tambahan pada jarak 8 meter secara horizontal di kedalaman sejajar dari outlet. Berdasarkan data, secara umum peningkatan oksigen terlihat berbeda-beda antar kedalaman outlet aerasi, antar waktu pengamatan, cuaca, serta jarak vertikal dan horizontal dari titik outlet. Menurut Wheaton (1977) kelarutan oksigen dari udara ke dalam air dipengaruhi suhu air, derajat kejenuhan air, dan turbulensi dari kontak air dan udara. Turbulensi dari kontak air dan udara akan efektif meningkatkan luas area kontak air dengan udara. Pelarutan oksigen ke dalam air hampir seluruhnya berkaitan dengan sirkulasi, pola arus dan turbulensi. Peningkatan kandungan oksigen pada alat aerasi (sebelum air dikembalikan ke kedalaman semula) dari air kedalaman 6 meter nilainya cenderung lebih tinggi daripada pada kedalaman 4 dan 2 meter. Besarnya peningkatan oksigen juga tergantung pada waktu pengamatan. Selain itu kenaikan oksigen terlarut dapat dipengaruhi oleh keadaan cuaca cerah, mendung atau hujan serta jauh dekatnya titik pengamatan dari outlet alat aerasi. Boyd (1979) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut pada cuaca mendung biasanya rendah, disebabkan oleh pengaruh kecilnya intensitas matahari untuk proses fotosintesis. Tabel 2. Uji one way anova antar jarak pengamatan 1, 2, 3 dan 8 meter Kedalaman outlet 2 meter (19.00-05.00 wib) 4 meter (19.00-05.00 wib) 6 meter (07.00-17.00 wib) Kedalaman pengamatan 1,75 m 2,25 m 3,75 m 4,25 m 5,75 m 7,25 m Anova S TS S TS S S Keterangan: S = Signifikan (α=95%) TS = Tidak signifikan (α= 95%) Uji statistik one way anova antar jarak pengamatan (Tabel 2.) dilakukan untuk mengetahui apakah nilai kandungan oksigen terlarut pada jarak pengamatan 1, 2, 3 dan 8 meter dari lubang outlet aerasi mempunyai nilai yang sama atau apakah semakin dekat outlet aerasi aerasi kandungan oksigen di perairan akan semakin besar. ISSN : 2088-8848 Melalui Tabel 2, diketahui bahwa kandungan oksigen pada kedalaman outlet 2 meter di lapisan pengamatan atas (1,75 meter), antar titik pengamatan horisontal 1, 2, 3, dan 8 meter berbeda nyata. Semakin dekat dengan titik outlet aerasi, nilai kandungan oksigen terlarut semakin besar. Setelah dilakukan uji BNT ternyata nilai oksigen terlarut antar jarak 1, 2, 3, dan 8 m adalah berbeda nyata. Pada pengamatan lapisan bawah (2,25 meter), kandungan oksigen antar titik pengamatan horisontal tersebut tidak berbeda nyata. Pengamatan oksigen terlarut pada kedalaman outlet 4 meter di lapisan pengamatan atas (3,75 meter) berbeda nyata secara horisontal, dan setelah hasil uji BNT menunjukkan bahwa hanya kandungan oksigen pada jarak 1 dan 8 meter yang berbeda nyata. Pada pengamatan di lapisan atas (4,25 meter), tidak tampak nilai oksigen yang berbeda nyata. Kandungan oksigen terlarut pada kedalaman outlet 6 meter di lapisan pengamatan atas (5,75 meter) berbeda nyata secara horisontal. Setelah dilakukan uji BNT ternyata nilai oksigen yang berbeda nyata adalah antara jarak 1 dan 8 m serta 2 dan 8 meter. . Pada lapisan pengamatan bawah (6,25 meter) diperoleh nilai kandungan oksigen yang berbeda nyata secara horisontal. Hasil uji BNT menunjukkan nilai kandungan oksigen yang berbeda nyata antara jarak 1 dan 8 m serta jarak 2 dan 8 meter. Uji statistik one way anova antar kedalaman pengamatan (Tabel 3.) dilakukan untuk mengetahui apakah nilai kandungan oksigen terlarut pada kedalaman pengamatan atas (-25 cm) dan bawah (+25 cm) dari lubang outlet aerasi mempunyai nilai yang sama atau oksigen terlarut pada lapisan atas (-25 cm) lebih besar dibandingkan lapisan bawah (+25 cm). 15 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Tabel 3. Uji one way anova antar kedalaman pengamatan (-25 cm dan +25 cm dari outlet aerasi) Kedalaman outlet 2 meter 4 meter 6 meter Jarak pengamatan horisontal 1m 2m 3m 1m 2m 3m 1m 2m 3m Anova S S S S TS TS TS TS TS Kandungan oksigen terlarut di kedalaman outlet 2 meter pada jarak 1 meter, 2 meter dan 3 meter berbeda nyata antara kedalaman 1,75 meter (lapisan atas) dengan kedalaman 2,25 meter (lapisan bawah), atau dengan kata lain lapisan atas nilai oksigen terlarutnya lebih besar dibandingkan dengan lapisan bawah. Kandungan oksigen terlarut di lapisan atas dan bawah kedalaman 4 meter pada jarak 1 meter berbeda nyata, namun tidak berbeda nyata di jarak 2 dan 3 meter. Pengujian Anova pada kedalaman 6 meter menunjukkan bahwa baik pada jarak 1 meter, 2 meter, maupun 3 meter antara lapisan atas dan bawah tidak mempunyai kandungan oksigen terlarut yang berbeda nyata. Berdasarkan pengamatan, gambaran konsentrasi DO yang terjadi akibat alat aerasi hipolimnion pada lokasi outlet aerasi kedalaman 2, 4 dan 6 meter adalah seperti disjikan pada Gambar 2. Secara umum, aerasi hipolimnion akan memberikan pengaruh peningkatan oksigen secara vertikal dan horinsontal yang lebih besar pada kedalaman outlet 2 meter dibandingkan dengan perlakuan titik outlet kedalaman 4 dan 6 meter. Dari pengamatan penambahan oksigen terlarut tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan alat aerasi ini di lapangan, diperlukan pengaturan luasan oksigen terlarut di daerah KJA yang sangat tergantung pada pengaturan kedalaman outlet aerasi serta jarak vertikal dan horinsontal outlet aerasi. Gambar 2. Gambaran konsentrasi DO akibat alat aerasi Hipolimnion Penentuan Persen Saturasi Oksigen Persentase saturasi oksigen dihitung untuk mengetahui apakah air yang diaerasi sudah sampai titik jenuh mengikat oksigen atau masih dapat ditingkatkan lagi kandungan oksigennya. Tabel 4. Data persen saturasi oksigen pada penggunaan alat aerasi hipolimnion Letak Outlet Ked alam an 1,75 2m 2,25 3,75 4m 4,25 5,75 6m 6,25 Jarak (m) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Saturasi di alat aerasi 47,68-66,50% 47,68-66,50% 48,43-54,48% 48,43-54,48% 48,43-61,65% 48,43-61,65% Saturasi di perairan 44,70 - 50,19% 37,64 - 40,15% 33,88 - 40,15% 32,62 - 37,64% 30,11 - 37,64% 27,60 - 35,13% 19,73 - 36,99% 14,80 - 28,36% 14,80 - 28,36% 16,31 - 23,43% 14,80 - 23,43% 14,80 - 23,43% 9,86 - 20,96% 11,10 - 20,96% 11,10 - 14,80% 10,90 - 16,03% 10,90 - 14,80% 8,63 - 14,80% Berdasarkan nilai persen saturasi oksigen pada tabel 4. yang diperoleh dari hasil pengamatan, tidak didapatkan kadar oksigen yang melebihi nilai jenuh oksigen atau supersaturasi. Alat aerasi hipolimnion mampu meningkatkan persen saturasi oksigen menjadi 47,68-66,50% di kedalaman 2 meter dan 48,43-54,48% di kedalaman 4 meter. Sebagai perbandingan persen saturasi oksigen secara alami di KJA Waduk 16 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 Saguling menurut Satria (2007) pada kedalaman 2 meter adalah 15-38% dan kedalaman 4 meter adalah sebesar 5-28%. Berdasarkan nilai persen saturasi oksigen pada Tabel 4 yang diperoleh dari hasil pengamatan, tidak didapatkan kadar oksigen yang melebihi nilai jenuh oksigen atau supersaturasi. Alat “aerasi hipolimnion” mampu meningkatkan persen saturasi oksigen sebesar 47,68-66,50% di kedalaman 2 meter, 48,43-54,48% di kedalaman 4 meter, dan 48,43-61,65% di kedalaman 6 meter. Hasil pengamatan pada saat air telah dikembalikan pada kedalaman semula adalah bahwa secara horinsontal persen saturasi oksigen cenderung lebih tinggi pada daerah yang lebih dekat dengan titik outlet aerasi. Selain itu, kandungan oksigen pada lapisan atas (-25 cm dari outlet aerasi) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan bawah (+25 cm outlet aerasi). Pola persen saturasi tersebut sama untuk kedalaman outlet 2, 4, maupun 6 meter. Sebagai perbandingan, persen saturasi oksigen secara alami di KJA Waduk Saguling menurut Satria (2007) pada kedalaman 2 meter adalah 15-38%, kedalaman 4 meter 5-28% dan 0-17% pada kedalaman 6 meter. Berdasarkan data dan pengamatan selama penelitian, alat aerasi hipolimnion yang dibuat masih dapat dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya untuk menaikkan oksigen terlarut atau meningkatkan nilai saturasinya menjadi lebih tinggi. Persen saturasi alat aerasi hipolimnion komersial yang ada saat ini sudah ada yang mampu meningkatkan persen saturasi 90-100% dengan -1 konsentrasi oksigen 8 mgL dari permukaan danau hingga kedalaman 20 meter. Sedangkan Bhuyar LB et al. (2009) menyatakan bahwa aerator permukaan tipe curve blade rotor dapat menaikkan oksigen -1 dari konsentrasi 0,0-8,2 mgL . Peningkatan kemampuan alat “aerasi hipolimnion” ini di masa yang akan dating, untuk menaikkan nilai persen saturasi oksigen dapat diusahakan dengan cara memodifikasi alat sehingga difusi oksigen bisa lebih tinggi, menambah waktu kontak air ISSN : 2088-8848 yang diaerasi dengan udara, serta dapat juga menambah jumlah outlet aerasi pada kedalaman yang diinginkan. Efisiensi alat aerasi hipolimnion Alat aerasi hipolimnion yang dibuat mempunyai kemampuan menghisap dan mengalirkan air dari dalam perairan -1 sebanyak 30 Lmenit , namun dalam uji coba -1 hanya diatur sebesar 15 Lmenit . Sedangkan daya yang dibutuhkan untuk menjalankan alat ini adalah 125 watt. Pada kedalaman inlet 2 meter, laju pelarutan oksigennya sebesar 1,98 (mgL 1 )/125W/menit atau 0,014256 kgO2/kW-jam, sedangkan pada kedalaman 4 meter -1 sebesar 2,93 (mgL )/125W-menit atau 0,021096 kgO2/kW-jam dan pada kedalaman -1 6 meter sebesar 3,08 (mgL )/125W-menit atau 0,022176 kgO2/kW-jam. Menurut Boyd and Watten (1989) efisiensi alat aerasi permukaan komersial tipe kincir dapat mencapai 1.17-2,25 kgO2/kW-h, sedangkan berdasarkan Bhuyar (2009) adalah 2,95 kgO2/kW-h. Perbandingan kemampuan alat aerasi hipolimnion yang diujicoba di Danau Lido dengan alat-alat aerasi yang pernah dibuat untuk aerasi atau destratifikasi danau (Seller and Markland 1987) adalah sebagai berikut: Tabel 5. Perbandingan efisiensi alat-alat aerasi danau Lokasi penelitian Tipe aerasi Kg O2/ kW-h Wahnbach Aerasi hipolimnion 0,95 Jarlasjon Aerasi hipolimnion 0,4 Jarlasjon Aerasi hipolimnion 0,95 Situ Bojongsari Bogor Aerasi hipolimnion - Danau Lido Bogor Aerasi hipolimnion 0,014 0,021 Keterangan Sistem aerasi hipolimnion pertama (1966) Buatan sendiri “Limno” alat aerasi komersial Hartoto Dede Irving (1990) (2010) 2 meter, malam hari 4 meter, malam hari 17 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa efisiensi alat aerasi yang dibuat masih di bawah dari efisiensi alat aerasi danau yang lain. Alat aerasi hipolimnion ini hanya mengandalkan aerasi secara alami dari aliran air pada saat berada di bak talang air, sehingga masih dimungkinkan upaya untuk meningkatkan nilai efisiensinya pada masa yang akan datang dengan memodifikasi agar oksigen lebih banyak terdifusi kedalam air. Perlu dilakukan modifikasi alat aerasi lebih lanjut, dengan memberikan perlakuan tertentu pada saat air berada di dalam alat aerasi, sehingga nilai efisiensi alat dapat meningkat dan ekonomis untuk diterapkan pada lokasi budidaya ikan di keramba jaring apung. Perlu dilakukan pula penelitian tentang, pemanfaatan sumber energi listrik alternatif yang tersedia pada lingkungan danau untuk kebutuhan energi alat aerasi. Kualitas air hasil aerasi dan baku mutu air untuk perikanan DAFTAR PUSTAKA Menurut Straskraba dan Tundisi (1999), aerasi hipolimnion merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas air waduk dan danau. Berdasarkan pengamatan, secara umum kualitas air hasil dari pengunaan alat aerasi hipolimion di lokasi sekitar KJA Danau Lido terlihat menjadi lebih baik daripada kualitas air sebelumnya, sehingga alat aerasi hipolimnion ini layak digunakan dalam membantu secara teknis pengelolaan kualitas air di daerah KJA. Pada saat ujicoba di lapangan, alat “aerasi hipolimnion” yang dibuat tidak mengakibatkan perpindahan atau teraduknya massa air sehingga tidak berbahaya pada ikan yang dipelihara di keramba jaring apung. Alat “aerasi hipolimnion” ini layak digunakan dalam membantu secara teknis pengelolaan kualitas air didaerah KJA, namun memang masih harus ditingkatkan kemampuannya untuk pemakaian lebih lanjut pada masa yang akan datang. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Alat “aerasi hipolimnion” yang digunakan pada daerah KJA Danau Lido mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (DO), serta menurunkan kandungan ammonia dan sulfida. Penggunaan alat “aerasi hipolimnion” dapat dijadikan sebagai alternatif pengelolaan kualitas air di daerah sekitar keramba jaring apung agar diperoleh kualitas air yang lebih sesuai dengan baku mutu perikanan. Saran Bhuyar LB, Thakre SB and Ingole NW. 2009. Design characteristics of curved blade aerator w.r.t. aeration efficiency and overall oxygen transfer coefficient and comparison with CFD modelling. International Journal of Engineering, Science and Technology 1:1-15. Boyd, CE and CS Tucker. 1979. Emergency aeration of fish ponds. Transactions of the American Fisheries Society 108:299-306. Boyd, CE and Watten BJ. 1989. Aeration system in aquaculture. CRC Critical reviews in aquatic science 1:425472. Boyd Claude C. 1998. Pond water aeration systems. Aquacultural Engineering 18:9-40. Chain EB, Paladino S, Callow DS, Ugolini F, Sluis JVD. 1952. Studies on aeration. Bull World Hlth Org 6: 7397. Cole GA. 1983. Text Book of Limnology Third Edition. Waveland Press Inc. United States of America Hartoto DI and Fakhrudin M. 1990. Description of study site and injection reactor Limnotek 3.0. Research and development center for limnology. Indonesian Institute for Science. 7-13. Hartoto DI. 1994. Experimental aeration of Lake Bojongsari with LIMNOTEK 3.1. Impacts to Dissolve Oxygen Level. Limnotek 1:33-43 18 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Satria DK. 2007. Kajian oksigen terlarut selama 24 jam pada lokasi karamba jarring apung di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. Seller B Henderson and Markland HR. 1987. Decaying Lakes. The Origins and Control of Cultural Eutrophication. John Willey & Son. New York. Simarmata Asmika Harnalin. 2007. Kajian keterkaitan antara kemantapan cadangan oksigen dengan beban masukan bahan organik di Waduk Ir. H. Juanda Purwakarta, Jawa Barat [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Straskraba M and Tundisi JG. 1999. Guidelines of lake management Volume 9. Reservoir water quality management. International Lake Environment Committee. Welch PS. 1952. Lymnologi. Mc. Graw - Hill publication. New York. Wheaton, F.W., (1977). Aquaculture Engineering. John Wiley &. Sons Inc. New York. Widiyastuti E. 2004. Ketersediaan oksigen terlarut selama 24 jam secara vertikal pada lokasi perikanan keramba jaring apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. Willey Jefries and Mills D.1996. Fresh Water Ecology, Principle and Applications. John and Sons. UK 19 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 MORFOMETRIK KERANG Anadara granosa dan Anadara antiquata PADA WILAYAH YANG TEREKSPLOITASI DI TELUK LADA PERAIRAN SELAT SUNDA Ratna Komala (1), (2 (2) Fredinan Yulianda ), Djamar T.F Lumbanbatu dan Isdrajad Setyobudiandi (1), (2), Universitas Negeri Jakarta Institut Pertanian Bogor (2) Abstrak : Penelitian telah dilakukan di Teluk Lada Perairan Selat Sunda Pandeglang Banten, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui morfometrik sebagai salah satu aspek pertumbuhan kerang darah (Anadara granosa) dan Kerang bulu (Anadara antiquta), serta parameter lingkungan yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukan bahwa A, granosa mempunyai selang klas ukuran yang lebih banyak dibandingkan A. antiquate,. hubungan panjang berat pada A. granosa dan , A. antiquata, pada seluruh zona mengikuti pola pertumbuhan 1.459 2.214 allometrik negatif, dengan model persamaan beturut-turut W=0.060L , , W=0.006L , ,. yaitu pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat dan berdasarkan nilai faktor kondisi, maka kerang tergolong kurus Parameter lingkungan A.granosa penciri utama yang dapat 3mempengaruhi komposisi adalah kecepatan arus, TSS, NO 2 dan NH . Untuk A. antiquate adalah oksigen terlarut, suhu air, kedalaman dan TOM KATA KUNCI : Anadara granosa, Anadara antiquata, Morfometrik, Moluska, Teluk Lada Adanya penangkapan yang intensif serta banyaknya aktifitas penduduk disekitar Teluk PENDAHULUAN Lada diduga dapat menyebabkan Bivalvia dikenal sebagai kelompok perubahan sifat fisika-kimia maupun biologi kerang yang merupakan. salah satu kelas perairan, sehinggga akan mempengaruhi dari filum Mollusca yang mempunyai pertumbuhan kerang. . Oleh karena itu beberapa peranan penting. Secara ekologis perlu dilakukan studi morfometrik terhadap bivalvia berperan dalam siklus rantai kerang khususnya kerang darah (Anadara makanan, mempengaruhi struktur komunitas granosa) dan kerang bulu (Anadara makrozoobentos dan sebagai bioindikator antiquate) tersebut. Untuk mengetahui pola (Meadows dan Campbell, 1990 dalam pertumbuhan kerang, distribusi frekuensi dan Jamabo et al 2009)) . Secara ekonomi faktor kondisi yang berada di alam dan beberapa spesies mempunyai kandungan faktor-faktor lingkungan apa saja yang gizi yang cukup tinggi dan merupakan mempengaruhinya, sebagai dasar upaya sumberdaya perairan yang dapat dijadikan pengelolaan sumberdaya kerang tersebut. sebagai sumber mata pencaharian nelayan, contohnya adalah jenis kerang darah Metode Penelitian (Anadara granosa), kerang bulu (Anadara Penelitian dilaksanakan pada bulan Juliantiquata) dan kerang hijau (Perna viridis). September 2010 di perairan Teluk Lada Keberadaan kerang sangat Selat Sunda, Pandeglang Banten. Metode dipengaruhi oleh parameter fisika- kimia penelitian yang digunakan adalah deskriptif maupun biologis perairan. Substrat dengan teknik survey, penentuan Zona mempunyai peranan penting bagi kerang pengambilan sampel dengan purposive karena selain sebagai tempat hidup dan sampling. membenamkan diri juga sebagai tempat Lokasi penelitian terdiri dari 3 Zona, penyedia sumber makanan. Beberapa berdasarkan lokasi tempat penangkapan kerang hidup pada laut dangkal yang kerang, yaitu zona I (Pantai Bama), zona II berlumpur dan berpasir. ( Pantai Cibungur) dan zona III (Pantai Salah satu perairan yang cocok untuk Panimbang) Pada tiap zona terdiri dari 3 habitat kerang adalah di Teluk Lada yang stasiun pengamatan, sehingga total terdapat merupakan bagian wilayah Selat Sunda 9 stasiun. terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Selat ini merupakan selat yang Sampel kerang diambil pada setiap dinamis, dimana massa air Laut Jawa stasiun pengamatan selama 3 bulan dengan bercampur dengan massa air yang berasal interval waktu setiap satu bulan. dengan dari Samudera Hindia (Hendiarti et al., metode sapuan (Swept Area) menggunakan 2004). Wilayah ini merupakan sentra kerang alat tangkap kerang (garok) yang ditarik di Indonesia, dengan beberapa jenis kerang dengan kapal motor. Penentuan titik stasiun yang potensial antara lain Anadara dengan bantuan alat GPS (Global antiquata, Anadara granosa, Barbatia Positioning System). decussata dan Scapharca pilula. .Sampel yang diperoleh diambil secara acak dimasukan dalam wadah, dipilah-pilah, 20 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 dibersihkan, dimasukan dalam kantong plastik serta diberi label kemudian dimasukan ke dalam coolbox. Selanjutnya diidentifikasi dengan bantuan buku identifikasi dari Abbot (1982) dan Dharma (1992) Pengukuran morfometrik kerang dengan menggunakan jangka sorong digital, meliputi panjang cangkang yang diukur dari bagian dorsal margin yaitu pada bagian umbo sampai ventral margin sedangkan lebar cangkang diukur dari bagian anterior sampai dengan posterior kerang. Lebar cangkang ini merupakan jarak vertikal terpanjang dari cangkang kerang. Pengukuran berat total dan berat daging ini dengan menggunakan alat neraca digital. Berat total kerang diukur dengan cara menimbang kerang secara keseluruhan beserta cangkangnya, sedangkan untuk berat daging diukur dengan cara menimbang daging kerang yang telah dipisahkan dari cangkangnya (penimbangan kerang tanpa menggunakan cangkang).. . Data parameter lingkungan fisik kimia yang diukur meliputi: Suhu, salinitas, kekeruhan, kecerahan, kedalaman, pH, kecepatan arus, substrat, Dissolved Oxygen (DO),BOD5, bahan organik total (TOM), nitrat (NO3), nitrit (NO2), Amoniak dan ortofosfat (PO4) dan substrat. Analisis data meliputi : 1. Distribusi frekuensi-panjang Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang. Distribusi frekuensi panjang dikelompokan ke dalam beberapa kelompok panjang yang diasumsikan menyebar normal. Distribusi frekuensi panjang didapatkan dengan menentukan selang kelas, nilai tengah kelas, dan frekuensi dalam setiap kelompok panjang. 2. Hubungan Panjang-Berat Analisis data pola pertumbuhan kerang diketahui melalui hubungan panjang cangkang dengan berat tubuh kerang yang dianalisis melalui hubungan persamaan regresi kuasa (power regression) sebagai berikut ISSN : 2088-8848 Log y = a log x + log b Keterangan: Log b = Nilai b=3 menggambarkan pertumbuhan isometrik atau pertambahan penjang seimbang dengan pertambahan bobotnya. Nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Jika b kurang dari 3 menunjukan keadaan yang kurus dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobotnya. Jika b lebih dari 3 menunjukan pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjangnya (Effendie 1997). Untuk menguji b > 3 atau b < 3 dilakukan ujit dengan hipotesis: H0: b > 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik positif H1: b < 3 hubungan panjang dengan berat adalah allometrik negatif t hitung = b1 - b0 Sb1 b1 =nilai b (hubungan dari panjang dan berat), b0 = 3, dan sb1 = simpangan koefisien b. Selanjutnya nilai t hitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Kemudian untuk mengetahui pola pertumbuhan, kaidah keputusan yang diambil mengacu pada Nasoetion & Barizi (1980) yaitu: jika thitung > ttabel maka terima H1 dan jika thitung < ttabel maka gagal tolak H0 (hipotesis nol). Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel 2007. 3. Faktor Kondisi Menurut Effendie (1997) perumusan faktor kondisi dinyatakan sebagai berikut: (Hile 1963 dalam Effendie 1997): Keterangan: W = berat total (gr) L = panjang total (mm) a,b = konstanta Persamaan diatas dapat dirubah dalam bentuk linier, yaitu sebagai berikut: ∑ log y - N log b ∑ log x Kn Wb L a,b Keterangan: = Faktor kondisi relatif = berat individu yang teramati = panjang cangkang (mm) = konstanta 21 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 4. Variasi Karakteristik Lingkungan Perairan Untuk mengkaji variasi karekteristik lingkungan perairan antar waktu pengamatan, digunakan suatu pendekatan analisis statistic multivariable yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) b HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil a. Berdasarkan Frekuensi panjang kerang A. granosa dan A. Antiquata pengukuran secara keseluruhan kerang A. granosa dikelompokan ke dalam 13 kelas ukuran panjang sedangkan untuk A. antiquata terdiri dari, 9 kelas ukuran panjang. Ukuran terpanjang pada A. granosa yaitu 31.84 mm, dengan frekuensi tertinggi diperoleh pada kisaran ukuran 13.93-16.17 mm berasal dari zona 1 sebanyak 601 individu dan frekuensi terendah diperoleh pada ukuran 27.3729.61 mm berasal dari zona 1 sebanyak 2 individu. Ukuran terpanjang pada A.antiquata yaitu 46.45 mm dengan Frekuensi tertinggi diperoleh pada kisaran ukuran panjang 13.93-16.17 mm berasal dari zona 1 sebanyak 601 individu. Sedangkan frekuensi terendah diperoleh pada ukuran 27.37-29.61 mm berasal dari zona 1 sebanyak 2 individu. Gambaran Data ukuran frekuensi panjang cangkang dari seluruh zona pada A. granosa dan A. antiquata terlihat pada Gambar 1. Gambar 1. Sebaran frekuensi panjang gabungan seluruh zona (a) A. granosa, (b) A. antiquata b. Hubungan panjang-berat Kerang A. granosa dari zona 1, zona 2 dan zona 3 memiliki persamaan hubungan panjang-berat berturut-turut zona yaitu 2.398 0.899 W=0.004L ; W=0.284L dan 0.841 W=0.339L . Pada A.antiquata dari dari zona 1, zona 2 dan zona 3 memiliki persamaan hubungan panjang berturut-turut 2.759 2.194 pada yaitu W=0.001L ; W=0.706L ; 2.169 dan W=0.008L . Persamaan hubungan panjang berat dari seluruh zona dari A.granosa dan A. antiquata mempunyai nilai b kurng dari 3 sehingga pola pertumbuhan allometrik negativ (Gambar 2) a b a Gambar 2. Persamaan hubungan panjang berat kerang seluruh zona (a) A. granosa, (b) A. antiquata 22 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Untuk nilai koefisien a dan b dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil perhitungan hubungan panjang bobot total kerang A. granosa dan di Perairan Teluk Lada Jenis A.granosa A.antiquata Zona 1 2 3 Total 1 2 3 Total n 1616 368 643 2627 6 195 66 267 b 2.398 0.899 0.841 1.459 2.759 2.194 2.169 2.214 r 0.768 0.469 0.578 0.625 0.763 0.840 0.972 0.878 c. Faktor Kondisi (Kn) Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai b pola pertumbuhan diperoleh nilai faktor kondisi (Kn) kerang A. granosa dan A. antiquate (Gambar 3). Gambar 3. Grafik faktor kondisi (Kn) A. granosa dan A. antiquate berdasarkan ukuran selang kelas d .Parameter lingkungan Berdasarkan analisis PCA, parameter lingkungan di zona 1, 2 maupun 3 memiliki kemiripan yang yang sama dan berkorelasi positif dengan kecepatan arus, TSS, salinitas, NH3 da NO2 (zona 1), kedalaman, oksigen terlarut dan TOM (zona 2) dan kelembaban, pH, kecerahan dan pasang surut (zona 3) Pembahasan Jika dibandingkan dengan A. granosa, walaupun selang ukuran A. antiquata lebih sedikit, namun ukuran makismum lebih besar dengan frekuensi terpanjang berada pada kisaran 42.71-46.45 mm. sedangkan A granosa selang kelas lebih banyak , namun ukuran maksimal lebih kecil dengan frekuensi terpanjang pada ukuran 29.6131.84mm. Menurut Matsuura (2000) dalam Hendiati (2004) panjang cangkang pada A. antiquata bisa mencapai 70 mm. Sedangkan R2 0.590 0.220 0.334 0.390 0.953 0.706 0.945 0.772 T hit 12.0755 23.795 46.041 43.332 0.7887 7.9127 12.805 10.649 T tab 1.9614 1.9665 1.9637 1.9609 2.7764 1.9723 1.9977 1.969 A. antiquata Pola pertumbuhan allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif Narasimham (1969) dalam Broom (1982) menjelaskan bahwa panjang total kerang A. granosa dapat mencapai 49.5 mm. Dapat dikatakan bahwa kerang-kerang yang didapatkan di Teluk ini ukurannya tergolong kecil-kecil dan kurus , Ukuran maksimum pada setiap zona berbeda-beda diduga kondisi lingkungan yang kurang optimum khususnya substrat atau karena adanya aktifitas penangkapan yang intensif, Perbedaan frekuensi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keturunan, jenis kelamin, umur, parasit, penyakit, makanan, suhu, kualitas air (Effendie, 1997). Ada tiga faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan kerang. yaitu temperatur air. makanan. dan aktivitas reproduksi (pemijahan) (Jamabo, et.al. 2009). Perbedaan panjang maksimum yang diperoleh dapat disebabkan beberapa kemungkinanantara lain perbedaan lokasi, keterwakilan contoh yang diambil dan adanya tekanan penangkapan yang tinggi atau terdapat faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan biota air yaitu suhu dan makanan (Aldrich, 1986) Secara uum pola pertumbuhan baik A granosa maupun A. antiquata bersifat allometrik negatif yang berarti kerag dalam kondisi kuru. Berdasarkan grafik hubungan panjang berat kerang A. granosa didapatkan 2 nilai koefisien determinasi (R ) adalah 0.334 menunjukan bahwa panjang kerang mempengaruhi berat total kerang sebesar 33.4%. nilai koefisien korelasi (r) adalah 0.58, Sedangkan kerang A. antiquata 2 didapatkan nilai koefisien determinasi (R ) adalah 0.945 menunjukan bahwa panjang kerang mempengaruhi berat total kerang sebesar 94.5%. Berdasarkan perhitungan didapatkan pula nilai koefisien korelasi (r) adalah 97, hal ini berarti hubungan antara panjang dengan berat kerang Anadara antiquata pada zona 3 adalah sangat erat. Kerang yang berukuran kecil mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi, 23 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 kemudian menurun ketika kerang tersebut bertambah besar, serta peningkatan nilai faktor kondisi dapat terjadi karena perkembangan gonad yang akan mencapai puncak sebelum memijah (Broom, 1980). Nilai indeks kondisi yang paling besar berada pada selang kelas 2.73-4.96 yaitu sebesar 2,274, dan terkecil pada selang kelas 13.93-16.16 mm yaitu 1.061. Pada A. antiquata nilai Kn terbesar pada selang kelas 42.71-46.45 mm yaitu 1.215, sedangkan terkecil pada selang kelas 38.96-42.70 mm yaitu 0.877. Menurut Jamabo (2009) A.granosa mulai berkembang pada ukuran 15 sampai 16 mm. Perbedaan faktor kondisi pada masing-masing selang kelas ini diduga disebabkan oleh umur dan strategi reproduksi dari setiap individu. karena menentukan apakah suatu individu mau mengumpulkan energi untuk pertumbuhannya ataukah untuk persiapan reproduksi (Beesley, 1988). Parameter lingkungan tiap zona dan tiap bulan berfluktuasi sangat kecil, dan mempunyai kemiripan antar stasiun. Hal ini diduga karena penelitian dilakukan karena masih dalam satu musim KESIMPULAN 1. Ukuran maksimum kerang A. antiquata lebih besar dibandingkan dengan ukuan maksimum A, granosa 2. Berdasarkan hubungan panjang berat dan faktor kondisi pada A. grnosa dan A. antiquate mempunyai . pola pertumbuhan allometrik negative, dan kerang dalam keadaan kurus. 3. Secara umum nilai parameter lingkungan tiap stasiun mempunyai kemiripan dengan walaupun tidak optimum masih dalam kisaran yang normal untuk mendukung kehidupan kerang A.granosa dan A. antiquate. DAFTAR PUSTAKA Aldrich ISSN : 2088-8848 Department of Zoology. Andhra University. Visakhapatnam. India Broom MJ. 1980. The effect of exposure and density on the growth and mortality of Anadara granosa with an extimate of environmental carrying capacity. Asian symposium on mangrove environment research and management Kuala Lumpur 25 th – 29 th augustus. Broom, M. J. 1982. Structure and Seasonality in Malaysia Mud flat Community, Estuarine Coastal and Shelf Science (15): 1. Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shell II). PT. Sarana Graha. Jakarta. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Fresi E., MC. Gambi, S. Pocardi, R. Bagagli, F. Badli and L. Falcial. 1983. Benthic community and sedimen types : Stuktural analysis . Mar. Ecol. 4(2) : 101-121 Hendiarti, N., H. Siegel, and T. Ohde. 2004. Investif]gation of Different Coastal Processes in Indonesia Waters Using Sea WiFS data. Deef Sea Res., Part II. 51:85-97. Jamabo NA, AC Chindah and JF Alfred Ockiya. 2009. Length-Weight relationship of a mangrove Prosobranch Tympanotonus fuscatus var fuscatus (Linnaeus 1758) from the Bonny Estuary, Niger Delta. Nigeria. World Journal of Agricultural Sciences 5(4) : 384388 JC. And Crowley M. 1986. Condition and variabiity in Mytilus edulis (L.) from different habitat in Ireland. Aquaculture, 52 : 273-286 Beesley, Pamela L & Graham B.J.B.Ross. Allice Wells 1998. Mollusca The Southern Syntesis. Csiko Publishing. Australia. Bharathi, C.H. 1994. Toxicity of Insectisidies and effect on The Behavior of The Blood Clam Anadara granosa. 24 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 KONDISI BIOLIMNOLOGI KOLONG BEKAS GALIAN PASIR CIMANGKOK KABUPATEN SUKABUMI DAN KESESUAIANNYA BAGI KEGIATAN PERIKANAN Pelita Octorina Program Studi MSP Universitas Muhammadiyah Sukabumi Abstrak : Penelitian mengenai kondisi Biolimnologi dan Status Trofik Kolong Bekas Galian Pasir Cimangkok Kabupaten Sukabumi dan Kesesuaiannya Bagi Budidaya Perikanan telah dilakukan pada bulan Maret – November 2009. Tujuan dari penelitian adalah menelaah parameter fisika, kimia dan biologi dari perairan kolong bekas galian pasir. Sedangkan kondisi status trofik dari kolong galian pasir digunakan untuk dapat mengetahui tingkat kesuburan. Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan parameter fisika kondisi perairan kolong galian pasir memenuhi kriteria air yang diperlukan untuk kegiatan perikanan. Berdasarkan keberadaan fitoplankton stasiun 1 didominasi cyanophyceae dan stasiun 2 didominasi oleh chlorophyceae. Kelimpahan plankton di stasiun 1 lebih tinggi dari stasiun 2. Produktivitas primer stasiun 1 lebih tinggi dari stasiun 2. Berdasarkan parameter total P, total N , produktivitas primer, PO4 dan kecerahan maka status trofik kedua stasiun adalah mesotrofik- eutrofik dimana stasiun 1 lebih subur dari stasiun 2. Kata Kunci : Parameter fisika-kimia, Produktivitas Primer, Status Trofik, Budidaya Ikan. PENDAHULUAN Bekas galian pasir di Cimangkok menimbulkan berbagai masalah pada kehidupan masyarakat mulai dari minimnya kontribusi perusahaan penggali pasir pada kegiatan perekonomian rakyat hingga kerusakan lingkungan. Namun dibalik dampak merugikan yang ditinggalkan bekas galian pasir cimangkok dapat dicari sebuah solusi yang diharapkan mampu untuk menambah pendapatan masyarakat yaitu dengan mengkonversi kolong bekas galian pasir menjadi lokasi budidaya perikanan (Gunardi dan Wardoyo, 2006). Dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dikolong galian pasir, kegiatan tersebut harus bersifat produktif, efisien dan berkelanjutan, keberhasilan dilihat berdasarkan besarnya produksi biomassa ikan yang dihasilkan dan keberlanjutannya. Biomassa ikan sebagai bagian puncak dari piramida makanan sangat ditentukan produksi primer di tingkat dasar, namun produktvitas ikan tidak hanya tergantung pada ketersediaan pakan, tetapi juga oleh kondisi lingkungan perairan yang dapat mendukung kenyamanan ikan. Kolong bekas galian pasir merupakan badan perairan baru yang tidak didesain untuk sebuah lingkungan usaha perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya (Wardoyo dan Ismail, 1998). Pemanfaatan sumberdaya hayati yang terdapat di perairan kolong bekas galian pasir terbentur kondisi lingkungan perairan yang tidak menentu (Krismono dkk, 1998). Morfometri danau yang belum diketahui dan sumber air masuk serta saluran pengeluaran yang tidak terlalu besar dikhawatirkan tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup serta lingkungan yang cocok untuk pembentukan biomassa hayati perairan baik plankton maupun ikan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan apakah ekosistem perairan kolong tersebut cukup stabil sehingga dapat mendukung pemanfaatan sumberdaya ikan dengan produksi yang maksimal. Dengan demikian perlu dilakukan sebuah kajian mengenai kondisi biolimnologi dan status trofik kolong bekas galian pasir. METODE Pengamatan kondisi biolimnogi sumberdaya perairan bekas kolong galian pasir di wilayah Cimangkok Kecamatan Sukalarang Kabupaten Sukabumi dilakukan selama 8 bulan. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Maret - November yang mewakili musim penghujan, musim peralihan dan musim kering. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi dan pengukuran langsung serta wawancara. Metode sampling yang digunakan merujuk pada stratified method 25 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 sampling (Nielson dan Johnson dalam Mariyam, 2007) yaitu : 1. Stratifikasi secara horizontal, penentuan stasiun pengamatan mulai dari inlet, bagian tengah sampai outlet sebanyak tiga stasiun yang dianggap mewakili. 2. Stratifikasi secara horizantal, yaitu pengamatan strata kedalaman 3. Stratifikasi musim yaitu pengambilan sampel dan pengamatan di setiap lokasi pada musim hujan, musim peralihan dan musim kering. Setiap stasiun penelitian dilakukan pengambilan contoh air pada setiap kedalaman dengan menggunakan water sampler , kemudian analisa kualitas air dilakukan secara insitu dan di laboratorium. Pengambilan contoh plankton dilakukan dengan plankton net. Penentuan status trofik perairan menggunakan parameter O2, total N, P-PO4, total P, Produktivitas primer dan kecerahan. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisika dan Kimia Suhu perairan bekas galian pasir pada stasiun 1 selama penelitian berkisar o antara 24 – 26 C, sedangkan pada stasiun 2 o berkisar antara 22 – 23 C. Suhu pada stasiun 1 relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan suhu di stasiun 2, hal ini disebabkan pada stasiun 2 hampir seluruh permukaan tertutupi oleh eceng gondok sehingga penetrasi cahaya matahari terhalang dan tidak dapat memanaskan perairan. Selain itu pun jumlah inlet yang lebih banyak dan berukuran besar dan outlet yang juga cukup besar membawa air masuk dan air keluar yang cukup banyak air cukup cepat sehingga cahaya matahari tidak sempat memanaskan secara maksimal. Kecerahan perairan di stasiun 1 pada saat penelitian berkisar antara 44-80 cm. Pada daerah inlet dan outlet yang dangkal kecerahan mencapai 100%. Sedangkan pada substasiun tengah memiliki rata-rata kecerahan sekitar 68,8 cm. Pada stasiun 2 tingkat kecerahan lebih tinggi jika dibandingkan dengan stasiun 1. Pada substasiun tengah kecerahan dapat mencapai 220 cm. Tingginya kecerahan di stasiun dua dapat disebabkan oleh tingginya populasi eceng gondok baik di derah inlet, outlet maupun tengah yang dapat menyaring prtikel-partikel yang masuk ke perairan dari ISSN : 2088-8848 daratan. Selain itu penutupan eceng gondok yang nyaring 60% juga menghalang kesempatan tumbuhnya fitoplankton yang juga dapat mempengaruhi tingkat kecerahan suatu perairan. Nilai kecerahan 30 – 60 pada umumnya masih baik untuk produksi perikanan (Kordi dan Tancung, 2007). Ratarata situ bekas galian pasir memiliki tingkat kecerahan yang cukup baik untuk kegiatan budidaya yaitu lebih dari 40 cm. Hasil pengukuran mengenai padatan tersuspensi (total suspended solids/ TSS) di stasiun 1 berkisar antara 10 – 18 mg/l dan pada stasiun 2 antara 1,4-12 mg/l, pada bagian dasar nilai TSS cukup tinggi karena mengandung sediment dasar. Sedangkan nilai padatan terlarut (total dissolved solids) pada stasiun 1 berkisar antara 86-260 mg/l dan di stasiun 2 berkisar antara 116 – 840 mg/l. Nilai TSS di stasiun 1 lebih tinggi jika dibandingkan dengan stasiun 2, jika dihubungkan dengan tingkat kecerahan maka kedua nilai ini berhubungan. Alabaster dan Llyod (1980) dalam Wardianto, dkk (2003) menyebutkan bahwa muatan tersuspensi sebesar 25-80 mg/l menunjukan pengaruh sedang hingga baik (sedikit berpengaruh) untuk kegiatan perikanan, sedangkan muatan padatan tersuspensi antara 80-400 mg/l kurang menunjang usaha perikanan. Nilai TDS yang disarankan untuk perairan golongan tiga adalah 1000 mg/l (PP No 82 tahun 2001). Secara umum pada permukaan stasiun 1 memiliki pH antara 7 hingga 9 berarti perairan tersebut cenderung alkalis, sedangkan Stasiun 2 memiliki pH sekitar 6 hingga 7 yang berarti normal cenderung asam. Distribusi vertikal pH berdasarkan kedalaman pada Stasiun 1 menunjukan penurunan yaitu bernilai 7 hal ini disebabkan sisa basa yang berasal dari limbah kegiatan penduduk tidak mencapai dalam perairan terutama bagian hipolimnion, sedangkan pada Stasiun 2 tetap yaitu 6 hingga 7. Fluktuasi nilai pH pada masing-masing stasiun pada setiap waktu pengamatan tidak menampakan perbedaan yang mencolok. Tingginya nilai pH pada Stasiun 1 disebabkan oleh minimnya konsentrasi CO 2 dan dipergunakannya perairan tersebut 26 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 sebagai lokasi tempat pencucian kendaraan sehingga bagian permukaan banyak mendapat masukan ion-ion OH- yang bersifat basa. Nilai DO di stasiun 1 berkisar antara 1,17-13,27 mg/ldan di stasiun 2 berkisar antara 0-9,83 mg/l. Pada stasiun 1 rata- rata memiliki nilai DO yang lebih tinggi di stasiun 2 hal ini berkaitan dengan jumlah fitoplankton yang melakukan fotosintesis sebagai sumber O2 di stasiun 1 lebih banyak dari pada di stasiun 2. Umumnya konsentrasi DO dipermukaan relatif lebih besar dari pada lapisan yang lebih dalam. Penurunan konsentrasi DO berdasarkan kedalaman berkaitan dengan semakin kedasar maka kandungan bahan-bahan organik semakin meningkat sehingga diperlukan lebih banyak okigen untuk mengurai bahan-bahan organik tersebut. Effendi (2003) melaporkan bahwa perairan dengan kelarutan oksigen antara 4,5-6,4 mg/l merupakan perairan dengan kondisi tercemar sangat ringan, berdasarkan hal tersebut kolong galian pasir merupakan perairan dengan tingkat pencemaran yang sangat ringan. Beberapa ikan mampu bertahan hidup pada perairan dengan konsentrasi oksigen terlarut sekitar 3 ppm, namun sebagian besar organisme air budidaya hidup optimal pada konsentrasi oksigen 5- 7 ppm. Nilai BOD yang didapat dari stasiun 1 berkisar antara 0,9- 5,01 mg/l, sedangkan di stasiun 2 berkisar antara 0 – 3,24 mg/l. Nilai BOD di kedua perairan cenderung kecil diduga berhubungan dengan nilai TOM yang juga kecil sehingga tidak banyak oksigen yang diperlukan untuk merombak bahan organic menjadi nutrient. Umumnya nilai BOD di dasar perairan lebih tinggi dari pada di daerah lainnya hal ini disebabkan konsentrasi bahan organic cukup tinggi sehingga diperlukan oksigen yang lebih banyak untuk mengurainya. Lee et al, (1978) dalam Widhiasari (2003) menyatakan bahwa perairan dengan nilai BOD 3-5 mg/l memiliki status tercemar ringan sedangkan nilai di bawah 2,9 mg/l memiliki status tidak tercemar. Pada pengamatan pertama saat musim kemarau nilai BOD lebih tinggi jika dibandingkan ISSN : 2088-8848 pengamatan selanjutnya ketika musim hujan. Hal ini disebabkan saat musim hujan terjadi pengenceran air sehingga kadar bahan organic berkurang dengan demikian kebutuhan oksigen untuk penguraian sedikit berkurang. Hasil analisis di lapangan pada saat penelitian menunjukan bahwa perairan stasiun 1 pada bagian permukaan umumnya memiliki kadar CO2 bebas 0 mg/l namun pada kedalaman 5 meter kebawah mulai terdeteksi kandungan CO2 yang cukup tinggi, konsentrasi yang tertinggi ditemukan pada dasar perairan. Pada stasiun dua konsentrasi CO2 terdeteksi pada permukaan baik inlet, outlet maupun di daerah tengah. Pada stasiun 1 kelimpahan fitoplankton yang tinggi pada kolom epilimnion menyebabkan konsentrasi CO2 tidak terdeteksi. Pada stasiun 2 tingginya konsentrasi CO2 disebabkan sediitnya fitoplankton yang dapat memanfaatkan CO2 di perairan dan banyaknya sisa-sisa eceng gondok yang membusuk dan menjadi bahan organic yang penguraiannya menghasilkan CO2. Tingginya konsentrasi CO2 di perairan dapat mengganggu kehidupan biota air. Konsentrasi CO2 lebih dari 12 mg/l dapat menyebabkan tekanan pada ikan karena menghambat pernafasan dan pertukaran gas. Kandungan CO2 ayang aman dalam air tidak boleh melebihi 25 mg/l sedangkan konsentrasi diatas 100 mg/l dapat menyebabkan kematian pada seluruh biota. Nilai CO2 yang tinggi di stasiun 2 umumnya melebihi ambang batas konsentrasi yang disarankan, namun pada permukaan kadar CO2 masih dapat ditolelir ikan sehingga perairan ini masih dapat dijadikan lokasi budidaya ikan. Nilai COD yang terukur di stasiun 1 berkisar antara 6,32 – 13,43 mg/l sedangkan di stasiun 2 sekitar 0,2 – 7,90 mg/l. Nilai COD di kedua stasiun pengamatan termasuk kecil yaitu dan berada dibawah ambang batas nilai COD yang diperuntukan bagi kegiatan perikanan yaitu 50 mg/l (Effendi, 2003). Kisaran kadar nitrit perairan adalah sekitar 0,019-0.330 mg/l dan stasiun 2 sekitar 0,01 – 0,098 mg/l. Tingginya konsentrasi nitrit disebabkan oleh tingginya 27 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 kandungan bahan organik dengan unsur nitrogen yang masuk ke perairan. Pada umumnya konsentrasi nitrit di alam sangat kecil berkisar antara 0,0 – 0,01 mg/l dan dapat mencapai 1 mg/l pada batas air – sedimen. Nitrit bersifat sangat toksik bagi hewan perairan yang sangat sensitif jika kandunganya lebih dari 0,05 mg/l dimana jenis toksisitasnya dipengaruhi oleh stadia organisme, suhu perairan dan bahan toksik lainnya yang dapat bersifat sinergis maupun antagonis (Boyd, 1990). Prescod (1973) juga menyatakan bahwa kandungan nitrit dan amonia perairan di bawah 1 mg/l tidak membahayakan untuk kegiatan perikanan. Berdasarkan kandungan nitrit perairan kolong galian pasir terutama stasiun 1 dapat dikatagorikan tercemar yaitu lebih dari 0,014 mg/l (Wardoyo, 1998) namun masih memungkinkan untuk kegiatan budidaya ikan dengan intensitas yang cukup terbatas. Nilai nitrat yang terukur di stasiun 1 pada saat pengamatan adalah sebesar 0,034 – 0,175 mg/l sedangkan pada stasiun 2 sekitar 0,041 – 0,453 mg/l. Kandungan nilai nitrat yang bervariasi tergantung dari limbah buangan organic yang mengandung unsur nitrogen. Nilai total nitrogen yang terukur di stasiun 1 berkisar antara 0 – 3,02 mg/l sedangkan pada stasiun2 berkisar antara 0 – 2,43 mg/l. di perairan alami kadungan nitrogen organic diperairan berkisar antara 0,1 – 5 mg/l, sedangkan di perairan tercemar dapat mencapai 100 mg/l (Dojlido dan Best, 1992). Berdasarkan nilai tersebut maka kandungan nitrogen di kedua perairan masih berada dalam batasan yang normal. Nilai kandungan ortofosfat perairan di stasiun 1 berkisar antara 0,019 – 0,271 mg/l dimana kandungan ortofosfat di daerah inlet dan dasar lebih tinggi jika dibandingkan dengan di daerah outlet. Tingginya kandungan ortofosfat di daerah inlet disebabkan beban masukan ke dalam perairan yang berasal dari limbah pemukiman sedangkan nilai tinggi di dasar perairan sesuai dengan salah satu sumber ortofosfat di alam yaitu tanah. Nilai kandungan ortofosfat pada stasiun 2 berkisar antara 0,01 – 0,039 mg/l. nilai ISSN : 2088-8848 ortofosfat yan tinggi di daerah inlet disebabkan beban masukan dari limbah pertanian dan limbah pemukiman yang masuk terbawa saluran irigasi dan aliran sungai Cisalopa. Lebih rendahnya kandungan ortofosfat di daerah tengah dan outlet stasiun 2 disebabkan tingginya populasi eceng gondok yang langsung dapat memanfaatkan ortofosfat dalam perairan. Nilai ortofosfat dalam kisaran tersebut menurut Wetzel (2001) digolongkan ke dalam perairan mesotrofik sampai eutrofik. Besarnya total bahan organik yang masuk ke situ bekas galian pasir baik Stasiun 1 maupun Stasiun 2 berasal dari aktivitas masyarakat sekitar situ. Inlet di Stasiun 1 meskipun cukup kecil namun menyumbang bahan organic yang cukup banyak sebab inlet merupakan saluran pembuangan limbah rumah tangga. Pada Stasiun 2 bahan organic yang masuk ke perairan melalui inlet 1 cukup banyak karena inlet satu merupakan saluran irigasi yang juga merupakan cabang sungai Cisalopa yang telah melewati pemukiman sehingga membawa cukup banyak bahan organik yang berasal dari kegiatan penduduk. Nilai TOM yang berkisar antara 8 – 29,07 mg/l pada kedua stasiun menggambarkan kecilnya bahan organic dari luar yang masuk ke perairan (1-30 mg/l) (Wetzel, 2001). Berdasarkan nilai kesadahan yang terukur pada stasiun 1 yang berkisar antara 45,05-51,05 mg/l dan nilai pada stasiun 2 yang berkisar antara 33,03 – 57,06 menggambarkan bahwa kedua perairan termasuk memiliki air yang lunak. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa kedua perairan tersebut mengandung garam-garam Ca dan Mg yang relative sedikit. Alkalinitas yang terukur merupakan alkalinitas total dari persenyawaan antara kation Ca2+ dan Mg 2+ dengan karbonat atau bikarbonat. Hasil penggukuran di stasiun 1 mendapatkan kisaran alkalinitas antara 35-71 mg/l dan di stasiun 2 mendapatkan kisaran antara 43 – 52 mg/l. Kisaran alkalinitas ini cukup tinggi sehingga perairan dapat dikatakan cenderung alkali, sebab Boyd (1990) menyatakan bahwa perairan alami memiliki nilai alkalinitas 28 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 sekitar 40 mg/l. tingginya nilai alkalinitas menggambarkan besarnya kadar CaCO3. Kadar besi yang terukur pada masing-masing stasiun adalah pada permukaan berkisar antara 0,042 – 0,069 mg/l sedangkan pada bagian dasar kandungan Fe lebih tinggi yaitu 0,32 – 0,485 mg/l. tingginya kandungan Fe pada bagian dasar perairan disebabkan sumber Fe berasal dari sediment pasir. Pada bagian permukaan nilai Fe masih berada di bawah ambang batas yaitu 0,3 mg/l (PP No 84 tahun 2001). Parameter Biologi Fitoplankton yang ditemukan pada kolong bekas galian pasir kebanyakan merupakan anggota filum chlorophyceae, cyanophyceae dan diatom. Pada Stasiun 1 ditemukan lebih banyak (kelimpahan) fitoplankton jika dibandingkan dengan Stasiun 2. Hal ini disebabkan ketersediaan nutrien dan cahaya matahari pada Stasiun 2 tidak mendukung kehidupan fioplankton karena terhalang oleh eceng gondok yang menutupi hampir 70% permukaan perairan. Microcistis sp dan Anabaena sp merupakan fitoplankton dengan kelimpahan sangat tinggi di stasiun 1. Pratiwi (2003) menyebutkan jika suatu perairan telah didominasi oleh filum Cyanofita (Microcistis sp dan Anabaena sp) maka perairan tersebut memiliki status eutrofik. Selain itu Cyanofita pun mampu beradaftasi dengan perairan yang memiliki penetrasi cahaya rendah seperti di stasiun 1 (Widhiasari, 2003). Anabaena sp merupakan fitoplakton yang banyak ditemukan di perairan agak basa sehingga menjelaskan kehadirannya dalam jumlah banyak di stasiun 1.Stasiun 2 fitoplankton dari filum Chlorofita yang banyak ditemukan yaitu Oodogonium dan Ankistrodesmus sehingga dapat disebutkan perairan berada dalam status oligotrofik mesotrofik (Pratiwi, 2003) Produktivitas Primer Perairan Dalam konsep produktivitas primer dikenal istilah Produktivitas Primer Kotor atau Gross Primery Productivity (GPP) dan Produktivitas Primer Bersih atau Net Primery Productivity (NPP). GPP adalah laju produksi ISSN : 2088-8848 primer dari zat organik dalam jaringan tumbuhan termasuk yang digunakan untuk respirasi. NPP adalah laju produktivitas primer zat organik dikurangi dengan yang digunakan untuk proses respirasi. Nilai rata-rata produktivitas primer di stasiun 1 adalah sebesar 1440 – 5760 2 mgC/m /hari dan di stasiun 2 adalah 480 – 2 960 mgC/m /hari. Nilai produktivitas primer stasiun1 lebih tinggi jika dibandingkan dengan stasiun 2 sehingga dapat dikatakan bahwa stasiun 1 lebih subur dari pada stasiun 2. Hal ini disebabkan kelimpahan fitoplankton pada stasiun 1 lebih tinggi jika dibandingkan stasiun 2. Pada stasiun 2 padatnya populasi eceng gondok mengurangi kesempatan munculnya biomassa fitoplankton karena menutupi penetrasi cahaya matahari dan mengambil nutrient yang tersedia di perairan sehingga pertumbuhan fitoplankton terhambat. Status Trofik Kesuburan perairan tergenang umumnya disebabkan oleh pengkayaan unsur hara.Status trofik atau status nutrient dapat dijadikan indikasi kesuburan suatu badan air. Kondisi stastus trofik suatu perairan tergantung pada ketersediaan nitrogen dan fosfat sebab kedua unsur tersebut akan mempengaruhi biomassa fitoplankton dan sturasi oksigen. Status trofik atau tingkat kesuburan dapat dinyatakan berdasarkan kandungan total nitrogen, total fosfat, khlorofil a dan biomassa fitoplankton (Jorgensen, 1990). Jika dilihat dari kandungan P-PO4 dan tingkat kecerahan, total P dan total N dari kedua stasiun maka dapat ditentukan bahwa status trofik kedua stasiun itu adalah eutrofik Sedangkan berdasarkan produktivitas primer kedua perairan tersebut bersifat mesotrofik (Wetzel, 2001). Tabel 1. Status Trofik Stasiun Pengamatan Parameter P-PO4 (mg/l) Total P (mg/l) Total N (mg/l) Produktivitas Primer (mgC/m2/hr) Kecerahan Secchidisk (m) Status trofik Stasiun 1 0,019 – 0,271 0,023 – 0,082 0,45 – 3,02 1440 – 5760 Stasiun 2 0,01 – 0,039 0,05 – 0,142 0,0 – 2,43 480 – 960 70 220 Mesotrofikeutrofik MesotrofikEutrofik 29 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 Kesesuaian Bagi Budidaya Perikanan Berasarkan parameter fisika dan kimia yang diamati di kedua stasiun secara umum kedua perairan yang dijadikan stasiun pengamatan dapat dijadikan lokasi kegiatan perikanan namun pengelolaan yang akan diterapkan pada kedua perairan berbeda. Kondisi perairan di stasiun 1 telah menunjukan gejala eutrofikasi maka harus hati-hati dalam memutuskan jenis kegiatan perikanan yang akan dilakukan. Untuk kegiatan penangkapan maka dapat dilakukan introduksi ikan terutama ikan-ikan pemakan fitoplankton agar dapat memanfaatkan kelimpahan fitoplankton yang cukup banyak. Meskipun beberapa parameter kimia melebihi ambang batas kesesuaian air bagi kegiatan budidaya, di stasiun satu dapat di pasang karamba jaring apung sebab kelarutan oksigen masih cukup tinggi, tetapi harus mempertimbangkan jumlah karamba dan ikan yang akan di budidayakan agar tidak melebihi daya dukung perairan terhadap karamba jaring apung. Kondisi stasiun 2 jika dilihat dari dimensi situ lebih cocok untuk dijadikan lokasi budidaya ikan karena stasiun dua memiliki sumber air yang baik dan tempat pengeluaran air yang cukup. Namun permasalah yang muncul dari stasiun 2 adalah populasi eceng gondok yang menutupi perairan hingga hampir 70% akan menyulitkan kegiatan penangkapan maupun usaha karamba jaring apung. Sebagai langkah awal dari pengelolaan stasiun 2 adalah mengurangi populasi eceng gondok dengan melakukan penebaran ikan koan sehingga diperoleh dua keuntungan yaitu produksi ikan koan dan berkurangnya presentase penutupan permukaan air oleh eceng gondok. Kondisi stasiun 2 yang masih berstatus mesotrofik memungkinkan pada lokasi tersebut dilakukan kugiatan budidaya intensif seperti pen culture atau KJA, namun tetap harus memperhatikan daya dukung perairan dalam mendukung kegiatan budiaya agar perairan tersebut mampu memberikan fungsi ekologis dan fungsi ekonomis secara berkelanjutan. ISSN : 2088-8848 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengamatan aspek fisika dan kimia dari kolong bekas galian pasir yang rata-rata memang melebihi ambang batas kualitas air yang disarankan , namun perairan tersebut masih layak untuk dipertimbangkan sebagai lokasi pengembangan budidaya ikan. Hal ini ditunjang dari parameter biologi yang menunjukan bahwa kolong galian pasir termasuk perairan yang subur dan memiliki potensi pakan alami yang dapat dimanfaatkan oleh ikan serta kelarutan oksigen yang masih baik. Usaha perikanan yang dapat dilakukan di kolong galian pasir adalah introduksi ikan-ikan bernilai ekonomis penting seperti nila (Oreocromis niloticus) di stasiun 1 atau stasiun 2. Sehubungan dengan terbatasnya kemampuan kolong galian pasir untuk mendukung kegiatan budidaya ikan, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai daya dukung kolong galian pasir dalam menopang usaha perikanan terutama usaha karamba jaring apung. Hal ini diperlukan agar usaha karamba jaring apung yang diterapkan di kolong galian pasir bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. Gunadi, B. dan S.E. Wardoyo. 2006. Kajian Aspek Fisika Kimia dan Biologi Perairan Situ Rawabebek, Karawang, Dalam Rangka Pengelolaan Berbasis Perikanan. Jurnal Riset Aquakultur 1(1). Jorgensen, S.E. 1980. Lake Management. Water Development, Supply and Management Vol 14. Pergamon Press. Kordi, K. M.G.H dan A.B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perikanan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Krismono, A.S.N., S. Nuroniah dan E.S. Kartamiharja. 1998. Kondisi 30 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Biolimnologi Sumberdaya Perairan Kolong Bekas Galian Pasir di Jawa Barat dan Kesesuainya Bagi Budidaya Perikanan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia IV (1). Mariyam, Siti. 2007. Monitoring Kualitas Air Di Waduk Ir. H. Juanda. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur 2(2). Pescod,M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standart for Tropical Countries. AIT. BAngkok Pratiwi, N T M. 2003. Peran Plankton Dalam Mengevaluai Kualitas Air. Manajemen Regional Jabodetabek : Profil dan Statrgi Pengelolaan Danau. Puslit Biologi. LIPI Wardiatno Y, Anggreni, R. Ubaidillah dan Maryanto. 2003. Profil dan Permasalahan Perairan Tergenang (Situ, Rawa dan Danau). Manajemen Regional Jabodetabek : Profil dan Statrgi Pengelolaan Danau. Puslit Biologi. LIPI Widhiasari, Rahma. 2003. Kandungan Unsur Hara N dan P Serta Struktur Komunitas Fitoplankton di Perairan Litoral Danau Montano, Sulawesi selatan. Skripsi. IPB. Bogor Wardoyo, S.E dan Wardana Ismail. 1998. Aspek Fisika Kimia dan Biologi Kolong-kolong Di Pulau Bangka Untuk Pengembangan Perikanan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia IV(2). Wetzel, R.G. 2001. Lymnology. W.B Saunders Co. Philadelphia 31 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Distribusi Spasial dan Kondisi Lingkungan Perairan Ikan Endemik Rasbora Tawarensis (Weber dan de Beaufort 1916) Di Danau Laut Tawar, Aceh Tengah 1 1 2 2 Iwan Hasri , M. Mukhlis Kamal , Zairion Jurusan Budidaya Perairan, Universitas Gajah Putih Takengon 2 Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB Abstrak :Rasbora tawarensis merupakan ikan endemik yang ditemukan di Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan distribusi spatial dan konsisi lingkungan perairan ikan R. tawarensis. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2010 di 5 stasiun yang mewakili seluruh zona di Danau Laut Tawar. Ikan ditangkap menggunakan jaring insang eksperimental (stasiun I, II, III, dan IV) dan perangkap (didisen) (stasiun V). Ukuran mata jaring yang digunakan 3/8, 5/9, 5/8 dan 3/4 inchi. Analisis yang digunakan yaitu distribusi spasial menggunakan uji non parametric Kruskal-Wallis program Minitab 14 dan kondisi lingkungan perairan menggunakan PCA program Statistica 6.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan R. tawarensis jantan maupun betina menyebar luas di seluruh Danau Laut Tawar (α=0.05) dan menunjukkan tidak adanya perbedaan kelimpahan ikan R. tawarensis baik jantan maupun betina antar stasiun (α=0.05). Nilai rata-rata kualitas air di semua stasiun di Danau Laut Tawar selama penelitian berfluktuasi relatif sempit dan antar stasiun tidak berbeda nyata (α=0.05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ikan endemik R. tawarensis memiliki karateristik lingkungan perairan yaitu : alkalinitas, kecerahan, oksigen terlarut dan pH yang tinggi serta suhu yang rendah. Kata kunci : distribusi spasial, kondisi lingkungan perairan, Rasbora tawarensis, Danau Laut Tawar PENDAHULUAN Danau Laut Tawar merupakan salah satu perairan tergenang alami yang terletak di utara pulau Sumatera. Memiliki luas 5 472 Ha, panjang 17 km, lebar 3.2 km, dan kedalaman rata-rata 51.13 m (Saleh 2000). Danau Laut Tawar terletak pada ketinggian 1200 diatas permukaan laut dan memiliki 25 inlet dan 1 outlet (Bappeda Kab. Aceh Tengah 2004). Ikan R. tawarensis merupakan ikan endemik karena penyebarannya yang terbatas ditemukan di Danau Laut Tawar (Weber dan de Beaufort 1916) dan bersifat pelagis (Muchlisin dan Azizah 2009). Berdasarkan Muchlisin et al. (2010) bahwa R. tawarensis di Danau Laut Tawar merupakan ikan yang dikenal masyarakat dengan nama depik dan eyas. Kedua ikan ini memiliki haplotype yang sama di Gen-Bank dengan nomor akses (HM100243HM100250, dan HM345923-HM345928). Penangkapan ikan R. tawarensis dilakukan sepanjang tahun. Alat tangkap yang digunakan yaitu jaring insang, anco, dan perangkap. Ikan R. tawarensis merupakan ikan tangkapan utama karena memiliki nilai ekonims tinggi. Keanekaragaman biologi, kepadatan atau biomassa populasi merupakan hasil dari sejumlah besar variabel lingkungan dan sepanjang tahun besaran variable ini bervariasi karena berpengaruh radiasi sinar matahari dan curah hujan (Matthews 1990; Meador dan Mattews 1992). Berdasarkan data Dinas Perikanan Provinsi D.I Aceh (1989) hasil tangkapan ikan di Danau Laut Tawar pada tahun 1988 sebesar 455 ton. Pada tahun 1994, produksi menurun menjadi 223 ton (Kartamihardja et al. 1995). Tahun 2006 menjadi 79,1 ton (Bappeda Aceh Tengah 2007) dan terus menurun menjadi 74,5 ton tahun 2008 (Bappeda Aceh Tengah 2009). Penurunan hasil tangkapan ini diduga disebabkan oleh laju eksploitasi yang tinggi (Hasri 2010) dan peningkatan status perairan menjadi eutraof (Nurfadillah 2010). Pengelolaan perikanan bertujuan untuk meningkatkan produksi ikan dan memeliharanya pada tingkat hasil yang stabil mendekati produksi optimumnya. Sehingga data dan Informasi mengenai distribusi spasial dan kondisi lingkungan perairan sangat diperlukan untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan tersebut pada suatu perairan dan usaha domestifikasi ikan R. tawarensis. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan distribusi spasial dan konsisi lingkungan perairan ikan R. tawarensis. BAHAN DAN METODE Pengumpulan data Penelitian dilakukan di perairan Danau Laut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah (Gambar 1). Pengamatan dilakukan setiap bulan selama tiga bulan dari bulan Maret sampai dengan Mei 2010. Stasiun pengambilan ikan contoh dibagi kedalam 5 stasiun yaitu Stasiun I (One-one) merupakan 32 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 kawasan keramba jaring apung, II (Mepar) merupakan kawasan yang menerima limbah dari kota Takengon, III (Gegarang) merupakan fishing ground, IV (Bewang) merupakan kawasan yang aktivitas manusianya sedikit dan V (didisen) merupakan salah satu inlet yang dipasang alat tangkap didisen. ISSN : 2088-8848 Tabel 1. Parameter, metode, dan alat pengukuran contoh kualitas air Parameter Sat uan Metode dan Alat Lokasi Fiska Suhu ◦C in situ Kedalaman M Pembacaan skala (water checker) Visual, tongkat berskala Kecerahan m Visual, keping secchi in situ pH Unit Sensorik, pH meter in situ DO ppm Sensorik, DO meter in situ Alkalinitas mg/l Titrimetri, titrasi Lab. N-Nitrat mg/l Spektrofotometer/Brucine Lab. N-Nitrit mg/l Lab. N-Amonium mg/l Spektrofotometer/ Colorimetric Spektrofotometer/ Phenate Orthoposfat mg/l Spektrofotometer/amonium molybdate Lab. in situ Kimia ST I ST II ST IV ST III ST V Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Danau Laut Tawar Pengambilan ikan contoh dilakukan dengan tinggi 4 m, panjang jaring 200 m menggunakan jaring insang eksperimental dengan ukuran mata jaring ¾, 5/8, 5/9 dan 3/8 inchi. Jaring dipasang pada sore hari dan kemudian diangkat pada pagi hari. Sampel ikan juga dikumpulkan dari alat tangkap didisen (trap) di salah satu inlet danau karena diduga ikan R. tawarensis memijah di daerah ini. Ikan yang ditangkap segera diawetkan dengan formalin 10% dan dikelompokkan berdasarkan daerah penangkapannya. Panjang ikan total ikan contoh diukur dari ujung kepala terdepan sampai ujung sirip ekor paling belakang menggunakan penggaris. Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran terhadap karateristik habitat. Pengamatan dan pengukuran dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh ikan. Pegamatan dan pengukuran parameter kualitas air yang diamati beserta metode dan alat yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Table 1. Analisis Data Data hasil tangkapan contoh ikan Rasbora tawarensis tiap stasiun dianalisis secara diskriptif analitik bardasarkan tabulasi data dan histogram kemudian dilakukan uji menggunakan uji non parametrik Kruskal-Wallis Program Minitab 14. Data kondisi lingkungan perairan dianalisis menggunakan Principal Camponen Analysis (PCA) dengan menggunakan program Statistica 6.0. Lab. HASIL Distribusi Spasial Jumlah ikan R. tawarensis yang tertangkap di Danau Laut Tawar selama penelitian 1 211 ekor yang terdiri dari 581 ekor ikan jantan dan 630 ekor ikan betina. Ikan yang tertangkap disusun berdasarkan kelimpahan terendah hingga tertinggi yaitu pada stasiun I (ikan jantan = 41 ekor, ikan betina = 82 ekor), stasiun II (ikan jantan = 94 ekor, ikan betina = 140 ekor), stasiun V (ikan jantan = 173 ekor, ikan betina = 98 ekor), stasiun IV (ikan jantan = 108 ekor, ikan betina = 120 ekor), dan stasiun III (ikan jantan = 167 ekor, ikan betina = 154 ekor). Uji non parametrik Kruskal-Wallis terhadap kelimpahan ikan R. tawarensis masing-masing antar stasiun menunjukan bahwa, kelimpahan ikan R. tawarensis baik 2 jantan (H=2.54 dan X hitung= 9.4877 dengan α=0.05) maupun ikan R. tawarensis betina 2 (H=1.87 dan X hitung= 9.4877 dengan α=0.05) tidak berbeda nyata (Lampiran 4). Dapat disimpulkan bahwa ikan R. tawarensis jantan maupun betina menyebar luas diseluruh Danau Laut Tawar. Uji non parametrik Kruskal-Wallis juga menunjukkan tidak adanya perbedaan kelimpahan ikan R. tawarensis baik jantan maupun betina antar stasiun. Kelimpahan ikan di stasiun III merupakan yang tertinggi dibanding stasiun yang lain dengan ukuran panjang ikan yang didapatkan lebih lebar. Ukuran ikan yang tertangkap di stasiun III mulai dari ukuran 54 hingga 110 mm untuk betina dan 61 hingga 103 mm untuk jantan. Kelimpahan terkecil terdapat pada stasiun I dengan ukuran 33 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 panjang ikan yang didapatkan sedikit sempit untuk betina 75 hingga 124 mm dan 75 hingga 103 mm untuk jantan. Nilai Tengah Kelas Panjang (mm) Gambar 2. Distribusi spasial ikan R. tawarensis jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian di Danau Laut Tawar Hubungan Kualitas Air dengan Kelimpahan Ikan Nilai rata-rata kualitas air di semua stasiun di Danau Laut Tawar selama penelitian berfluktuasi relatif sempit. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis terhadap perameter kualitas air menunjukkan nilai perbandingan masing-masing parameter antar stasiun tidak berbeda nyata (H=1.18 2 dan X hitung= 9.4877 dengan α=0.05). ini menunjukkan bahwa secara spasial bahwa parameter yang diukur bukan merupakan faktor yang mempengaruhi perbedaan kelimpahan ikan R. tawarensis yang tidak merata di Danau Laut Tawar. 34 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Tabel 2. Nilai rata-rata kualitas air masing-masing stasiun selama penelitian Stasiun Parameter Satuan I II III IV V Suhu °C 25.63±0.87 25.50±0.66 25.63±0.67 25.10±0.44 17.30±0.46 Kecerahan cm 401.7±0.7 455.00±93.3 546.7±47.5 546.7±88.1 73.3±2.9 Kedalaman m 5.5-39 19-52.5 8.5-42 50-67 0.25-0.75 pH DO Alkalinitas 8.36±0.37 8.28±0.16 8.42±0.20 8.17±0.30 7.82±0.19 ppm 6.60±0.43 6.50±0.26 6.61±0.18 6.06±0.05 - mg/lCaCO3 86.61±1.03 86.60±2.59 79.84±2.10 81.20±0.69 131.63±1.38 N-Nitrat mg/l 0.09±0.15 0.30±0.43 0.02±0.03 0.04±0.03 - N-Nitrit mg/l 0.0022±0.0008 0.0024±0.0009 0.0023±0.0008 0.0019±0.0005 0.0011±0.00 N-Amonia mg/l 0.0240±0.0046 0.0510±0.0096 0.0329±0.0092 0.0452±0.0015 0.0669±0.00 Orthoposfat mg/l 0.0163±0.0053 0.0215±0.0145 0.0110±0.0029 0.0139±0.0077 Keterangan : stasiun V kecerahan 100% terdapat di salah satu inlet Danau Laut Tawar 0.0190±0.00 Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2) Cases with sum of cosine square >= 0.00 Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2) 3,0 1,0 2,5 Kelimpahan 2,0 3 1,5 0,5 4 Factor 2: 21.11% Factor 2 : 21.11% 1,0 Kecerahan pH Alkalinitas 0,0 N-Amonia Suhu DO N-Nitrit 0,5 5 0,0 1 -0,5 -1,0 -1,5 -0,5 2 -2,0 -2,5 N-Nitrat Ortofosfat -3,0 -1,0 -3,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 -7 Active -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 Active Factor 1: 66.72% Factor 1 : 66.72% Keterangan : 1=St I; 2=St II; 3=St III; 4=St IV; 5=St V Gambar 3. Grafik hasil analisis komponen utama kondisi lingkungan perairan pada sumbu 1 dan 2 (F1XF2) Distribusi ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh interaksi dengan faktor lingkungan (Bhukaswan 1980). Untuk mengetahui kondisi lingkungan perairan pada habitat ikan R. tawarensis dilakukan pengamatan masing-masing stasiun selama pengamatan kecuali stasiun V. Nilai rata-rata kualitas air masing-masing stasiun dari bulan Maret hingga Mei 2010 (Tabel 2). Hasil komponen utama karateristik fisika kimia lingkungan menunjukan bahwa sebagian berpusat pada dua sumbu utama, dengan kontribusi masing-masing sumbu sebesar 66,72% untuk faktor satu; 21,11% untuk faktor dua. Faktor yang berpengaruh pada faktor satu adalah DO (0.992), suhu (0.991) dan alkalinitas (-0.98). Faktor dua komponen yang berpengaruh adalah N-Nitrat (0.89) dan ortofospat (-0.87). Hubungan korelasi dapat dilihat dari gambar 3. PEMBAHASAN Penyebaran ikan Rasbora tawarensis di masing-masing stasiun diduga bahwa habitat yang ada masih baik untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan ini. Bhukaswan (1980) menyatakan bahwa distribusi spasial ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain seperti tingkah laku dalam memilih habitat. Tingkah laku pemilihan habitat menyebabkan adanya perbedaan kelimpahan ikan R. tawarensis di Danau Laut Tawar. Tingkah laku pemilihan 29 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 habitat menurut Hartoto (1998) ditentukan oleh aktivitas ikan yang dikelompokkan antara lain dalam aktivitas mencari makan (feeding) dan pemijahan (spawning). Berdasarkan Hasri (2010) ikan R. tawarensis yang tertangkap di daerah inlet bagian utara ukurannya relatif lebih besar dan merupakan ikan yang siap untuk memijah. Ikan R. tawarensis yang ditemukan pada stasiun II dan III memiliki penyebaran yang lebih merata karena pada stasiun ini ditemukan ukuran Panjang maksimum ikan R. tawarensis yang tertangkap (125 mm) lebih besar dengan yang ditemukan oleh Kottelat et al. (1993) sebesar 120 mm dan Brojo et al. (2001) 110 mm. Besarnya ukuran ikan R. tawarensis yang ditemukan mencerminkan bahwa perairan Danau Laut Tawar mengalami perubahan status tropik (Kartamihardja et al. 1995) dari oligotropik menjadi mesotropik dan berubah menjadi eutrofik (Nurfadilla 2010). Perubahan status perairan disebabkan meningkatnya limbah antropogenik yang masuk kedalam perairan, hal ini meningkatkan produktivitas primer fitoplankton sehingga ketersediaan pakan alami tinggi. Menurut Winnemiller dan Jeppsen (1998) perubahan lingkungan perairan yang baik bagi ikan, masih menyediakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan ikan seperti ketersediaan sumberdaya makanan alami dan tingginya heterogenitas habitat. Berdasarkan Edwards et al. (2010) perbedaan ukuran ikan pada danau disebabkan oleh perbedaan musim. Kondisi ukuran tubuh relatif menurun dari musim panas hingga musim dingin dan meningkat kembali pada saat musim semi. Suhu perairan yang diperoleh dalam penelitian berkisar antara 17.30±0.46 hingga 25.63±0.67 °C (Tabel 3). Berdasarkan Boyd dan Licthkopper (1982) suhu perairan yang sesuai untuk kehidupan ikan dan biota air lainnya di daerah tropis rata-rata 25-30 °C. Perbedaan suhu antar stasiun tidak terlalu bervariasi, perbedaan nilai suhu ditemukan pada stasiun V hal ini disebabkan oleh di stasiun ini merupakan daerah inlet danau. Stasiun V banyak ditemukan ikan yang bergerombol dan matang gonad diduga bawa ikan R. tawarensis membutuhkan suhu yang relatif rendah untuk siklus hidupnya. Suhu perairan ini relatif rendah juga disebabkan oleh ketinggian Danau Laut Tawar 1 200 di permukaan laut (altitude). Berdasarkan Said dan Triyanto (2010) bahwa ikan R. argyrotaenia tidak mampu hidup pada suhu 32-34 °C. Menurut Welcomme (1985) faktor yang ISSN : 2088-8848 mempengaruhi suhu air di perairan sungai dan rawa banjiran adalah derajat penyinaran, komposisi substrat, kekeruhan, aliran air bawah tanah dan air hujan, angin serta penutupan oleh vegetasi. Suhu perairan dalam penelitian ini masih mendukung proses biologis organisme khusunya ikan R. tawarensis. Kecerahan merupakan suatu parameter yang sangat menentukan tingkat produktivitas fitoplankton di suatu perairan. Kecerahan rata-rata perairan Danau Laut Tawar selama penelitian yaitu 73.33±2.89 sampai dengan 546.67±88.08 cm (Tabel 3). Tingkat kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun III dan IV. Stasiun V memiliki nilai kecerahan yang rendah disebabkan oleh kedalaman yang relatif rendah sehingga nilai kecarahan sama dengan kedalaman. Pada stasiun I relatif rendah disebabkan karena pada stasiun ini merupakan daerah keramba apung. Berdasarkan nilai kecerahan yang didapat perairan Danau Laut Tawar tergolong dalam perairan yang memiliki tingkat kesuburan sedang (mesotrofik) (Lowe dan Cowel 1966 diacu dalam Effendi 2003). Hasil pengukuran pH selama penelitian berkisar 7.82±0.19 hingga 8.42±0.20 (Tabel 3). Tingkat keasaman Danau Laut Tawar tergolong basa hal ini disebabkan oleh pembentukan danau melalui proses vulkanik. Kondisi perairan basa juga disebabkan oleh masukan aliran air permukaan yang bersifat basa yang masuk kedalam danau. Nilai pH hasil pengukuran merupakan kisaran optimum bagi ikan khusunya ikan R. tawarensis. Berdasarkan Boyd dan Licthkopper (1982) nilai pH yang optimum bagi kehidupan ikan adalah 6.5 sampai dengan 9. Kelarutan oksigen merupakan salah satu faktor kualitas air yang paling kritis untuk kehidupan ikan. Hasil pengukuran oksigen terlarut selama penelitian memiliki kisaran yang sempit yaitu antara 6.06±0.05 sampai dengan 6.61±0.18 (Tabel 3). Kebutuhan oksigen bagi ikan bervariasi tergantung kepada jenis ikan, umur, ukuran ikan dan faktor lingkungan seperti temperatur (Beveridge 1996). Berdasarkan hasil penelitian bahwa kelarutan oksigen di Danau Laut Tawar mendukung untuk kehidupan ikan karena kadarnya lebih besar dari 5 mg/l. Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam, atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Nilai alkalinitas tertinggi terdapat pada stasiun V yaitu 131.63±1.38 mg/lCaCO3 dan terendah 79.84±2.10 mg/lCaCO3. Perbedaan nilai 30 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 alkalinitas disebabkan oleh perbedaan kandungan karbonat dari batuan dan tanah oleh air serta sedimen dasar perairan. Pada stasiun V sumber inlet berasal dari bebatuan tebing yang ada di tepi danau. Bebatuan ini mengalami pelapukan kemudian dilarutkan oleh karbondioksida dan air sehingga menambah nilai alkalinitas dalam air. Nilai alkalinitas Danau Laut Tawar masih dalam batas yang dapat di tolelir oleh ikan Berdasarkan Boyd (1981) nilai alkalinitas yang baik dalam penyediaan CO2 adalah 20150 mg/l. Nitrat (NO3-N) merupakan bentuk nitrogen utama di perairan alami, sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Hasil dari pengamatan nitrat diperoleh nilai nitrat diperoleh bervariasi berkisar antara 0.04±0.03 mg/l sampai dengan 0.30±0.43 mg/l. Stasiun II nilai nitral relatif tinggi disebabkan karena stasiun ini merupakan stasiun yang dekat dengan pemukiman masyarakat. Stasiun I juga relatif tinggi hal ini disebabkan karena bahan organik yang masuk berasal dari keramba apung. Pada stasiun IV memiliki nilai relatif rendah akibat pada lokasi ini relatif tertutup dan sedikit terdapat aktivitas oleh manusia. Nilai NO3-N di Danau Laut Tawar masih dalam kisaran yang baik bagi pertumbuhan ikan. Berdasarkan Vollenweider (1974) diacu dalam Effendi (2003) bahwa perairan yang memiliki kandungan nitrat 0.0 sampai 1.0 mg/l merupakan perairan yang dikategorikan sebagai perairan kurang subur. Kandungan Nitrit (NO2-N) pada penelitian ini berkisar antara 0.0011±0.00 mg/l sampai dengan 0.0024±0.0009 mg/l. Nilai Nitrit di waduk Kuto Panjang pada permukaan lebih rendah dibandingkan dengan bagian yang lebih dalam hal ini disebabkan sifat nitrit yang tidak stabil sehingga kemungkinannya sebagian NO2-N telah teroksidasi menjadi NO3-N (Hatta 2007). Kandungan nitrit di Danau Laut Tawar masih aman bagi ikan karena nilai nitrit yang aman bagi kehidupan organisme adalah kecil dari 0.5 mg/l. Hasil pengamatan ammonia selama penelitian di kelima stasiun diperoleh kisaran 0.0240±0.0046 mg/l sampai dengan 0.0669±0.00 mg/l. Boyd (1982) menyatakan keberadaan ammonia di perairan merupakan hasil proses dekomposisi dari bahan organik yang banyak mengandung senyawa nitrogen oleh mikroba, ekskresi organisme, reduksi nitrit oleh bakteri, dan kegiatan pemupukan. Tingginya nilai ammonia di stasiun V diduga karena pada stasiun ini merupakan prangkap ikan R. tawarensis dan pengukuran ISSN : 2088-8848 dilakukan pada pagi hari jadi ammonia tinggi akibat ikan terperangkap melakukan eksresi. Berdasarkan Boyd (1982) bahwa konsentrasi ammonia yang bersifat toksik bagi sebagian besar biota perairan berkisar 0.6 sampai dengan 2.0 mg/l. Kandungan amonia di Danau Laut Tawar masih aman bagi kehidupan biota perairan. Hasil rata-rata kisaran konsentrasi ortofosfat (PO4-P) berkisar antara 0.0110±0.0029 mg/l sampai dengan 0.0215±0.0145 mg/l. Stasiun II memiliki nilai yang tinggi akibat stasiun ini dekat dengan pemukiman penduduk. Nilai orthofospat di Danau Laut Tawar tergolong rendah. Kelimpahan ikan memiliki korelasi positif dengan kecerahan. hal ini mengindikasikan semakin tinggi kecerahan semakin tinggi kelimpahan ikan. kondisi ini diduga berkaitan dengn intensitas cahaya yang masuk kedalam kolom perairan. Ikan R. tawarensis merupakan ikan yang bersifat plankton feeder dan pelagik (Muchlisin et al. 2009), diduga sangat tergantung pada keberadaan plankton sebagai makanannya. Studi individu memperlihatkan (Gambar 3) stasiun IV berkorelasi erat dengan sumbu satu positif, maka stasiun ini dicirikan dengan kecerahan yang relatif tinggi. Kemudian stasiun II berkorelasi positif dengan Nitrat dan stasiun I dicirikan dengan N-Nitrit. Bila dilihat dari sumbu dua positif stasiun V dicirikan dengan Alkalinitas yang tinggi. Selanjutnya bila dihubungkan dengan ciri stasiun stasiun V dicirikan dengan Akalinitas yang tinggi hal ini disebabkan karena pada stasiun ini merupakan salah satu inlet Danau Laut Tawar yang memiliki substrat batu dan air yang masuk melalui tebing tepi danau, diduga aliran air ini membawa banyak karbonat yang berasal dari pelapukan bebatuan yang ada. Stasiun III tidak memiliki penciri, artinya memiliki karakter yang relatif sama. Kondisi lingkungan yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya perbedaan komunitas dan komponen penyusun suatu ekosistem. Berdasarkan informasi data kondisi lingkungan Danau Laut Tawar dapat diduga bahwa, ikan endemik R. tawarensis memiliki karateristik habitat yaitu : alkalinitas, kecerahan, oksigen terlarut dan pH yang tinggi serta suhu yang rendah. Terutama di stasiun V berdasarkan informasi nelayan dan hasil pengamatan selama penelitian merupakan tempat memijah ikan R. tawarensis ditemukan karateristik lingkungan yang berbeda walaupun perbedaan tersebut tidak berbeda nyata berdasarkan uji statistik. 31 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 KESIMPULAN 1. Ikan R. tawarensis menyebar secara merata di seluruh stasiun penelitian 2. Kondisi lingkungan perairan masih mendukung pertumbuhan ikan R. tawarensis dengan karateristik lingkungan perairan yaitu : alkalinitas, kecerahan, oksigen terlarut dan pH yang tinggi serta suhu yang rendah. ISSN : 2088-8848 Effendi H.. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumeberdaya dan Lingkungan Perairan. Bogor : Penerbit Kanasius. Hatta M. 2007. Hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan unsur hara pada kedalaman secchi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang, Riau [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. DAFTAR PUSTAKA [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Tengah. 2004. Laut Tawar Selayang Pandang (Karateristik Danau Laut Tawar). Brosur. Takengon. 9 hal. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Tengah. 2007. Aceh Tengah dalam angka.Takengon. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Tengah. 2009. Aceh Tengah dalam angka.Takengon. Bhukaswan T. 1980. Management of Asian Reservoir Fisheries. FAO Fish Technical paper 207:69. Boyd CE. 1981. Water Qualityfor in Warm Water Fish Pond. Auburn University. Auburn. Alabama. 358p Boyd CE. 1982. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. 312p. Boyd CE dan Litchkopler. 1982. Water Quality Management in Pond Fish Culture. Auburn University. Auburn Alabama. 30p Brojo M, Sukimin S, dan Mutiarsih I. 2001. Reproduksi ikan depik (Rasbora tawarenisis) di perairan Danau Laut Tawar, Aceh Tengah. Iktiologi Indonesia 1( 2) : 19-23. [Diskan] Dinas Perikanan Daerah Istimewa Aceh. 1989. Laporan Tahun 1989 Dinas Perikanan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh. Edwars TM, Toft G, Louis J, Guillette Jr. 2010. Seasonal reproductive patterns of female Gambusia holbrooki from two Florida lakes. WWW J Science of the Total Environment . [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/located/ scitotenv. [10 Desember 2009] Hartoto DI, Sarniat AS, Sjafei DS, Satya A, Syawal Y, Sulastri, Kamal MM, dan Siddik Y. 1998. Kriteria Evaluasi Suaka Perikanan Darat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi LIPI. Cibinong. Hasri I. 2010. Pertumbuhan, reproduksi, tingkat eksploitasi dan alternative pengelolaan ikan endemic Rasbora tawarensis (Weber dan de Beaufort 1916) di danau Laut Tawar, Aceh Tengah [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Kartamihardja ES, Satria H, Sarnita AS. 1995. Limnologi dan potensi produksi ikan Danau Laut Tawar, Aceh Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 1(3) : 11-25. Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wiryoatmodjo S. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition. 293 hal. Matthews WJ. 1990. Spatoal and temporal variation in fishes of riffele habitats; a comparison of analytical approaches for Roanoke River. American Midland Naturalist 124:31-45. Meador MR and Matthews WJ. 1992. Spatial and temporal patterns in fish assemblage structure of an intermitten Texas stream. American Midland Naturalist 127: 106-114. Muchlisin ZA dan MNS Azizah. 2009. Diversity and distribution of freshwater fishers in Aceh waters. NorternSumatra, Indonesia. International Journal of Zoological Research 1-8 Muchlisin ZA dan Azizah SMN, Rudi E, Fadli N. 2009. Danau Laut Tawar dan Permasalahannya. Seminar Danau Laut Tawar “Save Depik”. Paper. 1-10 Muchlisin ZA, M Musman dan MNS Azizah. 2010. Depik, eyas, dan relo manakah Rasbora tawarensis?. Prosiding Seminar Nasional Ikan VI dan Kongres Masyarakat Iktiologi III. Cibinong, 8-9 Juni 2010. siap terbit. 32 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Nurfadillah. 2010. Dinamika struktur komunitas fitoplankton dan status trofik perairan Danau laut tawar kabupaten Aceh Tengah [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Said DS dan Triyanto. 2010. Respon biologis ikan hias endemis terhadap perubahan lingkungan keasaman dan suhu perairan. Prosiding Seminar Nasional Ikan VI dan Kongres Masyarakat Iktiologi III. Cibinong, 8-9 Juni 2010. Saleh M. 2000. Ekosistem Danau Laut Tawar Tahun 2000. Yayasan Abdi Lingkungan Hidup D.I. Aceh. Banda Aceh. Welcomme RL. 1985. River Fisheries. FAO Technical Paper. Rome. p 262 Weber M dan de Beaufort LF. 1916. The Fishes Of The Indo-Australian Archipelago. Vol. III Ostariophysi: II Cyprinoidae, Apodes, Synbranchi. E-JBrill Ltd. Leiden. Winemiller KO dan DB Jepsen. 1998. Effects of seasonality and fish movement on tropical river food webs. J of Fish Biology . Texas. p 267–296 . 33 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 ASPEK BIOLOGI IKAN LAYANG DELES (Decapterus macrosoma) DI PERAIRAN BANDA NEIRA, MALUKU 1 2 2 Budiono Senen , Sulistiono , dan Ismudi Muchsin Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir, Banda Neira 2 Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, FPIK IPB 1 Abstrac : Shortfin Scad (Decapterus macrosoma) is one of the fish resource found in Banda Neira waters, which at the moment is being commercially exploited by mini purse seine. This research was carried out from February to August 2010 to investigate growth and reproduction. Method used in this research was descriptive analysis. Samples were randomly taken once a week for as many as 50-100 individual of fish (N = 1937, male = 979, female = 958). The result obtained from this study shows that sex ratio of the fish was of 1:1. The total body length ranged between 75 and 315 mm. In general, the fish is spawned between February and March. The size of the first male and female mature gonad was 250 mm total body length. The highest gonad somatic index was 2.19% (February) and the lowest one was 1.7% (June). Keywords: Gonado maturity, gonado somatic index and sex ratio. PENDAHULUAN Banda Neira merupakan bagian dari gugusan pulau-pulau yang terdapat di Propinsi Maluku. Daerah ini secara administratif masuk dalam Kabupaten Maluku. Sumberdaya Perikanan pelagis kecil di Perairan Banda Neira pada umumnya didominasi oleh ikan layang deles (Decapterus macrosoma). Ikan ini mempunyai peranan yang sangat penting tidak saja sebagai sumber makanan bergizi tetapi juga sebagai sumber mata pencaharian dan sumber lapangan kerja bagi banyak penduduk. Nama lokal ikan layang (Decapterus sp.) di Banda Neira adalah ikan ”tali-tali” (Burhanuddin 1975). Ikan layang D.macrosoma pada awalnya dieksploitasi menggunakan pancing ulur dan jaring insang (gill net). Namun akhirakhir ini penangkapan D.macrosoma telah menggunakan mini purse seine. Sampai saat ini penangkapan ikan layang dengan armada mini purse seine dilakukan tanpa mengikuti kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya perikanan sehingga timbul kecenderungan penangkapan ikan-ikan berukuran kecil dan muda terus dilakukan (Atmadja & Haluan 2003). Penelitian ini bertujuan sebagai informasih dasar untuk menjelaskan aspek biologi diantaranya nisbah kelamin, tingkat kematangan, ukuran pertama kali matang gonad dan musim pemijahan di Perairan Banda Neira. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Perairan Banda Neira (Gambar 2) selama tujuh bulan (Februari-Agustus) 2010. Pengambilan ikan sampel setiap satu kali dalam seminggu dari hasil tangkap nelayan mini purse seine. Ikan sampel dibedah dengan menggunakan gunting bedah, dimulai dari anus menuju bagian atas perut dibawah garis sisi dan menyusuri garis sisi sampai kebagian belakang operculum dilanjutkan sampai ke arah ventral hingga ke dasar perut. Daging dibuka sehingga organ dalam dapat terlihat. Jenis kelamin dilakukan dengan cara mengamati gonadnya. Gambar 2. Lokasi penelitian di Perairan Banda Neira Penentuan tingkat kematangan gonad ikan jantan dan betina ditentukan secara morfologis mencakup warna, bentuk, dan ukuran gonad. Gonad dipisahkan dari organ dalam lainnya kemudian diawetkan dengan formalin 4%. Kemudian dilakukan analisis 34 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 terhadap aspek reproduksi ikan, meliputi tingkat kematangan goad, indeks kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad. Analisis hubungan panjang berat ikan menggunakan uji regresi, dengan rumus b sebagai berikut: W = aL dengan W adalah berat ikan (gram), L adalah panjang tubuh ikan (mm), serta a dan b adalah konstanta (Effendie 1979). Analisis rasio kelamin dihitung dengan cara membendingkan jumlah ikan jantan dan ikan betina yang menggunakan rumus: ISSN : 2088-8848 perhitungan dengan menggunakan metode Bathacarya ditemukan dua kelompok ukuran ikan jantan maupun betina dari seluruh sampel yang ada. Kelompok ukuran pertama ikan jantan pada kelas panjang 75– 95 mm sampai dengan 138–158 mm sebanyak 493 ekor. Kelompok ukuran kedua pada kelas panjang 159–179 mm, sebanyak 486 ekor. Kelompok ukuran pertama untuk ikan betina pada kelas panjang 75–95 mm sampai dengan 138–158 mm, sebanyak 446 ekor dan jumlah rata-rata 148 ekor, kelompok ukuran kedua pada kelas panjang 159–179 mm sampai dengan 306-326 mm, sebanyak 512. Jumlah individu terbanyak berada pada ukuran 136.5 mm dan terendah pada ukuran 304.5 mm (Gambar 3). , dengan X adalah rasio kelamin, J adalah jumlah ikan jantan (ekor) dan B adalah jumlah ikan betina (ekor). Faktor kondisi (K) dianalisis berdasarkan persamaan Ponderal Index, untuk pertumbuhan isometric (b=3) faktor kondisi (K ) dengan menggunakan rumus (Effendie Jantan TL allometrik . Untuk pertumbuhan bersifat (b≠3) faktor menggunakan rumus; kondisi dihitung dengan K adalah faktor kondisi, W adalah berat ikan (gram), L panjang baku (gram) dan a,b konstanta regresi. Tingkat kematangan gonad (TKG) ditentukan secara morfologi gonad ikan contoh. Indeks kematangan gonad (IKG) dihitung dengan rumus: Frekuensi 1979): Betina dengan Bg adalah berat gonad (gram), Bt adalah berat tubuh (gram) (Effendie 1979). Ukuran pertama kali matang gonad, dianalisis dengan menggunakan fungsi logistik (Arocha & Barrios 2009), sebagai berikut : , dengan Mf proporsi dari induk yang matang gonad, Li adalah panjang total, a dalah kemiringan dari kurva Mr dan b panjang pada saat 50% matang gonad (L50). HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Frekuensi Panjang Ikan layang deles (Decapterus macrosoma) yang dianalisis selama penelitian berjumlah 1937 ekor yang terdiri dari 979 jantan dan 958 betina. Berdasarkan Panjang total (mm) Gambar 3. Sebaran ukuran panjang ikan layang D.macrosoma Jantan, N = 979 dan ikan D. macrosoma betina, N = 958 Banyaknya ikan yang berukuran 136.5 mm, diduga berasal dari populasi ikanikan muda yang masuk di kawasan penangkapan yang terjadi pada bulan Mei dan Juli. Manik (2003), melaporkan bahwa kelompok umur ikan layang D.macrosoma yang pertama tertangkap pada bulan April dengan panjang rata-rata 99.5 mm. Hal yang sama seperti yang ditemukan di sepanjang pantai utara Karimun Jawa dari bula April 35 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 sampai Agustus banyak ditemukan ikan-ikan (Decapterus spp.) Muda Hendiarti et al. (2005). ISSN : 2088-8848 sekitar Perairan Kepulauan Banda Neira setiap bulan berfluktuasi seperti yang dicantumkan pada Tabel 1. Pola pertumbuhan alometrik positif yaitu pada ikan layang bulan Februari, Mei, Juli dan Agustus; kemudian pada bulan Maret, April dan Juni menunjukan pola alometrik negatif. Hubungan panjang berat Hasil uji-t nilia-nilai b baik ikan jantan maupun betina terhadap nilai 3 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan layang deles di Tabel 1. Nilai hubungan panjang berat ikan D.macrosoma Persamaan Bulan Kisaran Nilai b r 2 Februari W = 9E-07L 3.435 Maret W = 5E-05L 2.693 April W = 0.00037L Mei W = 5E-06L Juni Hasil n α 0.05 (α 0.05) Panjang berat 0.771 3.3282–3.5418 b>3 111 Alometrik Positif 0.934 2.6305–2.7554 b<3 48 Alometrik Negatif 9.949 2.2731–2.3789 b<3 30 Alometrik Negatif 3.097 0.986 3.0858–3.1082 b>3 380 Alometrik Positif W = 8E-05L 2.618 0.796 2.5679–2.6681 b<3 116 Alometrik Negatif Juli W = 4E-06L 3.187 0.993 3.1812–3.1928 b>3 1134 Alometrik Positif Agustus W = 7E-06L 3.054 0.902 2.9953–3.1127 b>3 118 Alometrik Positif 2.326 Tingginya nilai b tersebut karena sebagian besar (90,5%) contoh ikan pada bulan-bulan tersebut mulai matang gonad dan hanya 9,5% sampel yang dalam kondisi baru selesai memijah. Sementara dari hasil penelitian Bustaman dan Badarudin (1993) di Perairan Maluku, Irian Jaya dan Laut Banda termasuk Halmahera pada ikan yang sama menemukan pola allometrik negatif (b < 3), yaitu b = 2.42002.5478; yang sama seperti di Teluk Ambon, yaitu b = 2.30 (Syahailatua 2004). Adapun perbedaan nilai b seperti ini menurut Ricker (1975), tidak saja antara populasi dari spesies yang sama, tetapi juga antar populasi yang sama pada tahun-tahun yang berbeda yang diduga dapat diasosiasikan dengan kondisi nutrisi mereka. Hal ini bisa terjadi karena pengaruh faktor ekologis dan biologis. Merta (1993), menyatakan karena sering keadaan lingkungan berubah dan atau kondisi ikannya berubah, maka hubungan panjang berat akan sedikit menyimpang dari hukum kubik (b ≠ 3). Secara biologis nilai b berhubungan dengan kondisi ikan; sementara kondisi ikan bergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (Effendie 1979). Faktor kondisi Faktor kondisi ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal lingkungan dan faktor biologis diantaranya kematangan gonad untuk reproduksi. Rata-rata faktor kondisi ikan layang D.macrosoma berfluktuasi setiap bulan. Berdasarkan hasil penelitian faktor kondisi ikan betina lebih tinggi dibandingkan jantan. Kisaran rata-rata faktor kondisi ikan layang jantan antara 0.91-1.06 dengan nilai tertinggi (1.06) ditemukan pada bulan Juni dan terendah pada bulan Juli (0.91), dan ikan betina memiliki kondisi 0.92-1.11, nilai tertinggi ditemukan pada bulan Maret dan terendah pada bulan Juli. Faktor kondisi yang tinggi merupakan indikasi terjadinya 36 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 peningkatan aktivitas reproduksi. Menurut Weatherley dan Gill (1987), selain bisa menggambarkan kondisi aktivitas reproduksi, nilai faktor kondisi juga menggambarkan kondisi kelimpahan makanan di Alam. Selanjutnya Hukom et al. (2006) juga mengatakan bahwa peningkatan nilai kondisi ikan berkaitan erat dengan tingkat kematangan gonad. memijah hampir setiap bulan dengan puncak pemijahan terjadi antara bulan Februari dan Maret (Gambar 4). Terjadi pemijahan ikan layang deles di Perairan Banda yang ditandai oleh adanya peningkatan jumlah ikan yang matang gonad (TKG IV) yaitu pada bulan Februari dan maret. Menurut Sumadhiharga (1991;1994), ikan layang di Teluk Ambon memijah sepanjang tahun dan puncak pemijahan D. macrosoma terjadi pada bulan Agustus - Februari. Kondisi serupa seperti yang dilaporkan oleh Widodo (1988), dari hasil penelitian terhadap musim pemijahan ikan layang di Laut Jawa, bahwa tingkat kematangan gonad IV banyak terdapat pada bulan Maret dan Juli dan puncak pemijahan terjadi pada bulan April sampai Mei dan bulan Agustus sampai dengan September. Selain melakukan penelitian tingkat kematangan gonad, musim pemijahan ikan dilakukan pada suatu perairan dapat diteliti melalui penelitian terhadap jumlah telur yang sudah masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah (Batts 1972). J antan Aspek reproduksi Rasio Kelamin Tingkat Kematangan Gonad TKG dan IG dapat dipergunakan unatuk menduga musim pemijahan. Ikan layang deles jantan dan betin dengn TKG III dan IV dapat ditemukan hampir setiap bulan penelitian. Meningkatnya TKG III dan IV menunjukkan bahwa ikan layang deles diduga 100 80 Jantan 60 40 20 0 F eb Frekuensi (%) Berdasarkan uji Chi-kuadrat terhadap rasio kelamin jantan dan betina diperoleh rasio kelamin tidak berbeda nyata pada taraf nyata 2 2 0.05 (95%) (X hitung (0.23) < X tabel (v=(7-1)*(2-1)) (3.81). Rasio kelamin antara jantan dan betina setiap bulan penelitian seimbang (1:2) ini diduga karena ikan jantan dan betina keduanya aktif sehingga peluang tertangkapnya kedua jenis ikan tersebut seimbang. Setiap bulan rasio kelamin berkisar antara 0.87-1.40. Menurut Ganisa (1998). D. macrosoma di Perairan Tegal jantan dan betina seimbang dan di Selat Makasar D. macrosoma jantan dan betina seimbang. Sumadhiharga (1991;1994) mengatakan bahwa perbandingan rasio kelamin antara ikan jantan dan betina di Teluk Ambon selalu seimbang. Keseimbangan jumlah ikan jantan dan betina mengindikasikan bahwa satu ikan layang deles jantan akan membuahi satu ikan layang betina. Berdasarkan Ball dan Rao (1984) in Sulistiono et al. (2009), perbandingan (1:1) merupakan kondisi ideal. Penyimpangan rasio kelamin dari pola (1:1) dapat timbul dari berbagai faktor yang mencakup perbedaan distribusi, aktivitas dan gerakan ikan (Turkmen et al. 2002); pergantian dan variasi seksual jantan dan betina dalam masa pertumbuhan, mortalitas dan lama hidup (Sadovy 1996, in Simanjuntak 2007). ISSN : 2088-8848 100 Mar B etina Apr Mei J un J ul Ags TK G I 80 TK G II 60 TK G III 40 TK G IV 20 TK G V 0 F eb Mar Apr Mei J un J ul Ags Bulan pengamatan Gambar 4. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan layang D.macrosoma 37 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 Ukuran pertama kali matang gonad reproduksinya. Ikan yang mengalami tekanan karena tangkap lebih, cendrung matang gonad pada ukuran lebih kecil (Trippel et al. 1997). Indeks Kematangan Gonad Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan nilai indeks kematangan gonad ikan layang bervariasi pada setiap bulan penelitian. Nilai indeks kematangan gonad jantan berkisar antara 0.38-2.19%, nilai banyak dicapai pada bulan Februari (2.19%) dan terendah pada bulan Juni 0.38%. IKG ikan layang betina berkisar antara 0.51-1.70% dengan nilai banyak pada bulan Februari (1.7%) dan terendah bulan Juni 0.51%. Menurut Bagenal (1978), bahwa ikan betina yang mempunyai nilai IKG lebih kecil dari 20%, dapat melakukan pemijahan beberpa kali sepanjang tahun (Gambar 6). Indeks kematangan gonad (%) Penelitian ukuran ikan pertama kali matang gonad secara berkala dapat dijadikan sebagai indikator adanya tekanan terhadap populasi. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan fungsi logistik dalam penelitian ini, ditemukan ukuran pertama kali matang gonad ikan jantan dan betina pada ukuran panjang total yang sama yaitu 250 mm. Sementara penelitian yang dilakukan di Teluk Ambon ditemukan ukuran pertama kali matang gonad pada ukuran panjang total D.macrosoma jantan (163 mm) dan betina (155 mm) (Syahailatua 2008). Najamuddin et al. (2004) melaporkan ikan layang deles (D.macrosoma) jantan pertama kali matang gonad pada kisaran panjang cagak antara 196-201 mm dan untuk ikan betina 198-203 mm. Ukuran D.macrosoma pertama kali matang kelamin 148.6-148.9 mm (Widodo 1988). Keadaan ini terjadi akibat tangkapan yang berlebih (over fishing). Ukuran pertama kali matang gonad ikan layang D.macrosoma ditampilkan pada Gambar 5. ISSN : 2088-8848 Bulan pengamatan Gambar 5. Ukuran panjang ikan layang D. macrosoma pertama kali matang gonad Menurut Sulistiono et al. (2009) ukuran setiap ikan pertama kali matang gonad berbeda, bahkan spesies yang sama namun berbeda habitatnya dapat matang gonad pada ukuran yang berbeda pula. Ukuran pertama kali matang gonad memiliki hubungan dengan pertumbuhan dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan serta strategi Gambar 6. Indeks kematangan gonad (IKG) ikan layang deles berdasarkan bulan penelitian Berdasarkan tingkat kematangan gonad, nilai IKG layang deles jantan dan betina cendrung meningkat sejalan dengan bertambahnya TKG, kemudian nilai IKG menurun pada saat mencapai TKG V, hal ini terjadi akibat proses pemijahan yang 38 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 menyebabkan berat gonad berkurang. Kondisi ini terjadi pada setiap stasiun penelitian selama penelitian. Tamsil (2000) menyatakan bahwa umumnya gonad ikan akan terus berkembang dan akan mencapai nilai maksimum pada TKG IV, kemudian menurun saat memasuki TKG V, karena ikan telah melakukan pemijahan. KESIMPULAN Rasio kelamin ikan jantan dan betina setiap bulan pengamatan seimbang (1:2). Ukuran ikan layang D.macrosoma pertama kali matang gonad pada panjang 250 mm, baik ikan jantan maupun ikan betina. Musim pemijahan terjadi antara bulan Februari dan Maret. DAFTAR PUSTAKA Arocha, F, Barios A. 2009. Sex rations, spawning seasonality, sexual maturity, and fecundity of white marlin (Tetrapturus albidus) from the western central Atlantic. WWW J Fish Res 95:98-111. [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/located/fishres. Atmaja, SB. dan Haluan, J. 2003. Perubahan hasil tangkapan lestari Ikan pelagis kecil Di Laut Jawa dan sekitarnya. Buletin PSP Volume XII No.2 /10/20. Bagenal, TB. 1978. Aspects of fish fecundity. Ecology of freshwater fish production. Blackwell scientific publications. Oxford. P 77-101. Betts, BS. 1972. Sexsual maturity, fecundity and Sex ratio of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis, Linn.) in North Carolina waters trans. Amer.fish.Soc., 101 (4) : 626-637. Burhanuddin. 1975. Tali-tali ikan layang “Raksasa” dari Pulau Banda. Oseane 2 (2) : 6-8. ISSN : 2088-8848 Genisa, AS. 1998. Beberapa catatan tentang biologi ikan layang marga Deacpterus. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat penenlitian dan pengembangan osionologi Jakarta. Oseana, Volume XXIII. No. 2. 1998 : 27-36. Hendiarti, N.; Suwarso.; Aldrian, E.; Amri, K.; Andiastuti, R.; Sachoemar, S.I.; Wahyono, I.B. 2005. Seasonal variation of pelagic fish catch, around Java. Fishery Oceanography I Vol. 18, No.4, Dec. 2005. Hukom, FD.; Purnama, DR. dan Rahardjo, MF. 2006. Tingkat kematangan gonad, faktor kondisi, dan hubungan panjang berat ikan tajuk (Aphareus rutilans Cuvier, 1830) di perairan laut dalam Pelabuhanratu, Jawa Barat. Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 6(1): 1-9. Manik, N. 2003. Beberapa parameter populasi ikan layang (Decapterus russelli) di Perairan Maluku Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. No. 35: 65-74. Merta, IGS. 1993. Hubungan panjang – berat dan faktor kondisi ikan lamuru, Sardinella lemuru BLEEKER, 1853 dari perairan Selat Bali. Jur. Pen. Per. Laut (73) : 35-44. Najamuddin, M.; Achmar.; Budimawan dan Indar, M. 2004. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan layang deles (Decapterus macrosoma Bleker) J. Sains & Teknologi. No. 1. Vol. 4 : 1-8. Ricker, WE. 1975. Comutation and interpretation of biological statistics of fish population. Ottawa: Departemen of the environment. Fisheries and marine service. Pacific Biological Station. 382 p. Bustaman, S. dan M. Badaruddin. 1993. Pengusahaan ikan layang (Decapterus spp.) di Perairan Maluku-Irian Jaya. Jurnal Pen. Perik. Laut 76 : 44-49. Simanjuntak, CPH. 2007. Reproduksi ikan selais, Ompok hypopthalmus (Bleeker) berkaitan dengan perubahan hidromorfologi perairan di rawa banjiran Sungai Ampar Kiri [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Effendie, MI. 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Sulistiono.; Soenanthi, KD,; Ernawati, Y. 2009. Aspek reproduksi ikan lidah, 39 Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 Cynoglossus linguna H.B. 1822 di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Iktilogi Indonesia, 9(2): 175-185, 2009. ISSN : 2088-8848 VENEMA, J.M. CHRISTENSEN, dan D. PAULY (eds.) Contributions to tropical fisheris biology. FAO Fish. Rep. 389 : 308 – 323. Sumadhiharga, OK. 1991. Struktur populasi dan reproduksi ikan momar marah (Decapterus russelli) di Teluk Ambon. Dalam: Perairan Maluku dan sekitarnya (Editor: Praseno, et al.) Balai penelitian dan pengembangan sumberdaya laut, Puslitbang Oseanologi–LIPI: 39-47. Sumadhiharga, OK. 1994. Reproduksi dan makanan ikan momar puti (Decapterus macrosoma) di Teluk Ambon. Perairan Maluku dan sekitarnya 6 : 27 – 40. Syahailatua, A. 2008. Aspek biologi dan eksploitasi sumberdaya perikanan ikan layang Decapterus russelli dan D. macrosoma di Teluk Ambon. Tamsil, A. 2000. Studi beberapa kerakteristik reproduksi pemijahan dan kemungkinan pemijahan buatan ikan bungo (Glossogobius cf aureus di Danau Tempe dan di Danau Sidenreng Sulawesi Selatan. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 177 p. Trippel, EA.; Kjesbu, OS.; dan Solemial, P. 1997. Effects of adult age and size structure on reproductive output in marine fishes. In R. Christopher Chambers and Edward A. Trippel (eds.). Early life history and recruitment in fish populations. Fish and Fisheries Series 21, Chapman and Hall. p 31-62. Turkmen, M.; Erdogan, O.; Yildirim, A. dan Akhyurt, I. 2002. Reproductive tactics, age and growth of Capoeta capoeta umla Heckel 1843 from the Askale Region of the Karasu River, Turkey. WWW J Fish Res 54:317-328. [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/located/fishres. Weatherly, AH. dan Gill, HS. 1987. The biology of fish growth. Academic Press, London.433 p. Widodo, J. 1988. Population biology of Russell’s scad (Decapterus russelli) in the Java sea, Indonesia. In : S.C. 40 [Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Distribusi Spasial Udang Mantis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi Ali Mashar dan Yusli Wardiatno Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor Abstrak :Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji habitat dan pola distribusi spasial udang mantis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri sebagai salah satu dasar untuk upaya pengelolaan udang mantis secara optimal dan berkelanjutan. Penelitian dilakukan pada bulan MeiJuli 2010 di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang mantis jenis H. raphidea dan O. gravieri mempunyai habitat dan pola distribusi spasial yang sama. Habitat kedua jenis udang mantis tersebut adalah dasar perairan berlumpur dengan tipe substrat lempung berpasir. Daerah pasang surut merupakan habitat dari udang mantis muda atau ukuran kecil. Adapun pola distribusi kedua jenis udang mantis tersebut adalah mengelompok sempurna. Kata Kunci: habitat, distribusi spasial, Harpiosquilla raphidea, Oratosquillina gravieri, Kuala Tungkal PENDAHULUAN Udang mantis, juga dikenal dengan udang ronggeng, udang nenek dan udang ketak, merupakan salah satu sumberdaya perikanan ekonomis penting dan juga merupakan komoditas ekspor, diantaranya ke Hongkong dan Taiwan (Kompas 27 Juli 2004). Udang mantis banyak dijumpai di perairan laut Indonesia, salah satunya di perairan Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Kuala Tungkal terkenal sebagai penghasil utama udang mantis, terutama jenis Harpiosquilla raphidea di Indonesia dan menyuplai sekitar 60% dari total volume ekspor udang mantis. Kegiatan penangkapan udang mantis di Kuala Tungkal dilakukan setiap saat (tidak mengenal musim). Selain jenis H. raphidea, di Kuala Tungkal juga ditemukan jenis udang mantis lain dalam jumlah tidak sedikit, yaitu Oratosquillina gravieri, namun sampai saat ini belum menjadi target tangkapan (Gambar 1). Udang mantis cenderung memilih habitat yang sesuai untuk kehidupannya. Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui secara pasti sebaran habitat jenis-jenis udang mantis di Kuala Tungkal. Oleh karena itu, perlu dikaji distribusi udang mantis secara spasial agar upaya pemanfaatan udang mantis tersebut dapat efektif dan optimal dengan tetap menjaga kelestariannya. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengkaji jenis habitat dan pola distribusi udang mantis secara spasial sebagai salah satu dasar untuk upaya pengelolaan udang mantis secara optimal dan berkelanjutan. (A) (B) Gambar 1. Udang mantis yang ditemukan di lokasi penelitian: (A) Harpiosquilla raphidea; (B) Oratosquillina gravieri METODE PENELITIAN 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei hingga Juli 2010 di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi (Gambar 2). Analisis sampel tanah dilakukan di Laboratorium Analisis Tanah, Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. 41 [Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN : 2088-8848 Sedangkan tipe substrat udang mantis dilihat dengan menggunakan Segitiga Miller (Brower et al. 1990) (Gambar 3). Gambar 2. Lokasi penelitian (Diadopsi dari Wardiatno & Mashar 2010) 2. Pengambilan Contoh Udang Mantis dan Substrat Lokasi pengamatan terdiri dari 3 stasiun, yaitu Stasiun 1 dan 2 terletak di sebelah kiri Muara Sungai Pangabuan, dan stasiun 3 terletak di sebelah kanan Muara Sungai Pangabuan. Adapun lokasi pengambilan contoh, yaitu udang mantis contoh dan contoh substrat, pada masing-masing stasiun pengamatan dilakukan secara acak dengan bantuan alat GPS untuk menandai lokasi pengamatan. Penangkapan udang mantis contoh dan pengambilan contoh substrat dilakukan dengan bantuan nelayan udang mantis di lokasi penelitian dengan menggunakan alat tangkap sondong. Udang mantis yang tertangkap dipisahkan per jenis per stasiun pengamatan dan kemudian masing-masing dihitung jumlahnya. Pengambilan contoh substrat dilakukan dengan menggunakan pipa yang ditancapkan ke dalam lumpur. Kedalaman lumpur berkisar antara 2-5 cm. Contoh substrat dimasukkan ke dalam kantong plastik lalu diberi label untuk masing-masing stasiun pengamatan, kemudian dianalisis di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB untuk mengetahui komposisi (%) liat, debu, pasir serta tipe substrat. 3. Analisis Data a. Analisis Distribusi Udang Mantis Kelompok ukuran udang ini diperoleh dengan menggunakan software FISAT II. Gambar 3. Segitiga miller Pola distribusi populasi udang mantis dihitung dengan menggunakan Indeks Sebaran Morisita (Brower et al. 1990), yaitu: xi Id 2 N nN ( N 1) Keterangan: Id = Indeks Sebaran Morista n = Jumlah stasiun pengambilan contoh xi = Jumlah individu pada setiap stasiun pengambilan contoh N = Jumlah total individu pada seluruh stasiun Kriteria hasil perhitungan Indeks Sebaran Morisita: Id = 0 Pola sebaran bersifat seragam sempurna Id = 1 Pola sebaran bersifat acak Id = n Pola sebaran bersifat mengelompok sempurna Untuk menguji kebenaran Indeks Sebaran Morisita, digunakan Uji Chi-Kuadrat (Brower et al. 1990) sebagai berikut: X Xi 2 nN 2 N Keterangan: 2 χ = Nilai Chi-Kuadrat n = Jumlah unit pengambilan contoh Xi = Jumlah individu tiap stasiun N = Jumlah total individu yang diperoleh i = 1, 2, 3,…, s Nilai Chi-Kuadrat Perhitungan dibandingkan dengan nilai Chi-Kuadrat Tabel Statistika pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05). 42 [Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 HASIL Habitat Udang Mantis Substrat di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, masukan yang berasal dari sungai dan laut serta kecepatan arus. Perairan yang arusnya kuat lebih banyak ditemukan substrat pasir, karena partikel yang berukuran kecil akan terbawa ke tempat yang lebih jauh oleh aktivitas arus dan gelombang. Habitat udang mantis yang ditemukan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat berada pada daerah pasang surut (intertidal). Daerah ini menyebar sepanjang pantai dan pesisir Kuala Tungkal. Secara visual, daerah intertidal ini mempunyai substrat dasar berupa lumpur. Di daerah intertidal ini, udang mantis berlindung dalam lubang di dalam substrat lumpur dengan diameter dan kedalaman lubang yang bervariasi sesuai dengan ukuran udang mantis. Hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian ini memperkuat pernyataan Edyson (1986) in Wardiatno et al. (2009) bahwa udang mantis cenderung membenamkan diri ke dasar perairan untuk berlindung. Untuk mengetahui tipe substrat dasar perairan tersebut secara lebih pasti, maka dilakukan analisis fraksi penyusun substrat yang secara ringkas hasilnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi fraksi penyusun tanah pada habitat udang mantis Stasiu n Tahun 2010 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Tahun 2009 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Fraksi Penyusun Substrat Pasir Debu Liat Tipe Substrat 46,9751,94 57,5759,73 51,3759,90 Lempung Berpasir Lempung Berpasir Lempung Berpasir 1,27-4,85 1,46-4,75 - 26,3434,63 23,4227,78 21,1732,61 43,0869,54 47,9456,50 - 15,7421,72 12,4919,01 16,0218,94 4,48-9,77 6,41-10,14 - Lempung Berpasir Lempung Berpasir - Berdasarkan analisis terhadap fraksi penyusun substrat dengan menggunakan Segitiga Miller didapatkan hasil bahwa tipe substrat udang mantis, baik Harpiosquilla raphidea maupun Oratosquillina gravieri adalah lempung berpasir. Hal ini sesuai dengan pendapat Aziz et al. (2001) ISSN : 2088-8848 menyatakan bahwa udang ronggeng menyenangi dasar perairan yang terdiri dari pasir atau pasir campur lumpur dan udang ini juga hidup pada dasar perairan atau celah-celah batu-batuan, sehingga perairan yang dasarnya terdiri dari pasir dan berbatu merupakan habitat utama udang ronggeng. Udang ronggeng hidup terutama di pantai berlumpur dan juga kawasan terumbu karang. H. raphidea memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap tipe substrat. H. raphidea dapat hidup dasar perairan dengan tipe substrat lempung berpasir, lempung liat berpasir dan lempung. Sedangkan O. gravieri lebih menyukai dasar perairan dengan tipe substrat lempung berpasir. Distribusi Udang Mantis Jumlah udang mantis yang teramati selama penelitian berdasarkan kelompok ukuran secara ringkas disajikan pada Gambar 4 untuk H. raphidea dan Gambar 5 untuk O. squillina. Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Jarak dari Pantai (meter) Gambar 4. Jumlah Harpiosquilla raphidea berdasarkan kelompok ukuran Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat kelompok ukuran udang mantis jenis H. raphidea yang didapatkan pada penelitian 43 [Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ini, yaitu 3,75-8,75 cm; 8,75 -13,75 cm; 13,75-18,75; >18,75 cm. Dari seluruh kelompok ukuran tersebut, jumlah udang mantis H. raphidea paling banyak ditemukan pada kelompok ukuran 8,75-13,75 cm; sedangkan paling sedikit ditemukan pada kelompok ukuran >18,75 cm. Kemudian dari sisi jumlah udang yang tertangkap, udang mantis H. raphidea paling banyak ditemukan pada stasiun 3, yaitu sejumlah 344 individu. Kemudian disusul pada stasiun 2 dan stasiun 3 masing-masing sejumlah 132 individu dan 91 individu. Dari Gambar 4 terlihat bahwa di stasiun 1 udang mantis H. raphidea kelompok ukuran 3,75–8,75 cm banyak ditemukan pada jarak 970-1170 meter dari pantai, yaitu sekitar muara Sungai Pangabuan, Kuala Tungkal dan dekat dengan ekosistem mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan habitat yang cocok bagi udang mantis muda atau ukuran kecil. Pada daerah ini diduga banyak pasokan makanan alami yang dibutuhkan untuk pertumbuhan berasal dari arah daratan, termasuk dari ekosistem mangrove. Setelah dewasa, udang mantis akan bermigrasi menuju ke perairan dengan salinitas yang lebih tinggi. Fakta ini sesuai dengan pendapat Yusuda in Suwandi (1978) bahwa secara umum, kelompok udang muda banyak terdapat di daerah payau dekat pantai, sedangkan kelompok udang dewasa banyak terdapat pada perairan laut yang lebih jauh dari pantai dengan kadar garam yang lebih tinggi untuk memijah. Kemudian pada stasiun 2, udang mantis kelompok ukuran 3,75–8,75 cm lebih banyak ditemukan pada jarak 2.860–3.060 m dan jarak 3.160–3.460 m dibandingkan jarak 2.560–2.760 m. Hal ini dapat diakibatkan adanya arus yang kuat sehingga udang mantis yang berukuran kecil terbawa ke arah laut. Pada stasiun 3, udang mantis yang paling banyak ditemukan adalah udang mantis kelompok ukuran 3,75–8,75 cm dan 8,75–13,75 cm. Jika dilihat dari keberadaan stasiun tersebut, hal tersebut disebabkan oleh kondisi habitatnya. Stasiun 3 terletak di sepanjang muara Sungai Pangabuan. Muara sungai ini banyak mendapatkan pasokan makanan dari daratan dan merupakan ISSN : 2088-8848 habitat dari jenis udang-udangan yang lain kelompok muda atau ukuran kecil sebagai daerah pengasuhan dan mencari makan. Setelah dewasa udang-udang tersebut akan menuju ke laut untuk mencari perairan dengan salinitas yang lebih tinggi untuk kebutuhan kehidupannya. Kemudian berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat kelompok ukuran udang mantis jenis O. gravieri yang didapatkan pada penelitian ini, yaitu <5,3 cm; 5,3-7,8 cm; 7,9-10,3 cm; >10,3 cm. Dari seluruh kelompok ukuran tersebut, jumlah udang mantis O. gravieri paling banyak ditemukan pada kelompok ukuran 7,9-10,3 cm. Hal ini diduga karena kelompok ukuran ini merupakan ukuran yang sudah mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya. Adapun udang mantis O. gravieri paling sedikit ditemukan pada kelompok ukuran >10,3 cm. Hal ini dapat disebabkan karena udang mantis kelompok ukuran besar banyak yang ikut tertangkap oleh nelayan ketika para nelayan menangkap udang mantis H. raphidea, walaupun udang mantis O. gravieri ini bukan target tangkapan. Stasiun 1 Stasiun 2 Gambar 5. Jumlah Oratosquillina gravieri berdasarkan kelompok ukuran 44 [Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 Sedangkan pada stasiun 1 dan 2 dapat dilihat bahwa udang mantis O. gravieri kelompok ukuran <5,3 cm banyak ditemukan pada jarak yang lebih jauh mengarah ke laut. Hal ini disebabkan udang mantis ukuran kecil tersebut terbawa arus Sungai Pangabuan atau arus pasang surut menuju ke arah laut. Kemudian dari sisi jumlah udang yang tertangkap, udang mantis O. gravieri paling banyak ditemukan juga pada stasiun 3, yaitu sejumlah 112 individu. Kemudian disusul pada stasiun 2 dan stasiun 3 masing-masing sejumlah 46 individu dan 30 individu. Hal ini disebabkan karena di stasiun 3 merupakan habitat yang sesuai untuk udang mantis ini dan merupakan daerah yang selama ini jarang dilakukan penangkapan. Pada stasiun 3 tersebut, arusnya kecil sehingga udang mantis lebih dapat beradaptasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moore (1978) in Martanti (2001) bahwa arus yang cepat akan membahayakan tempat hidup biota yang biasanya hidup di dalam lumpur dan hewan perayap di dasar perairan. Aziz (1986) melaporkan distribusi dan kepadatan (jumlah) udang di suatu perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan perairan, seperti arus, salinitas, pasang surut, serta tindakan manusia di sekitar perairan tersebut, seperti pembuangan sisa-sisa industri atau limbah rumah tangga yang dapat menimbulkan pencemaran perairan. Berdasarkan wawancara terhadap nelayan bahwa stasiun 3 belum mengalami penangkapan. Hal ini dikarenakan stasiun 3 berada pada lokasi yang sempit sehingga mengakibatkan nelayan tidak melakukan penangkapan di daerah tersebut. Secara keseluruhan, berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5, jumlah udang mantis jenis Harpiosquilla raphidea yang tertangkap selama penelitian di semua stasiun pengamatan lebih banyak dibanding jenis Oratosquillina gravieri. Hal ini diduga karena H. raphidea bersifat superior atau pemangsa karena ukuran tubuh dan capitnya (propundus) lebih besar dari O. gravieri sehingga O. gravieri kalah bersaing dengan H. raphidea, baik dalam kompetisi ruang maupun makan. Selain itu, juga dapat disebabkan karena O. gravieri memiliki ISSN : 2088-8848 kisaran toleransi yang lebih sempit dibandingkan H. raphidea sehingga lebih sulit beradaptasi terhadap lingkungan. Pola Distribusi Udang Mantis Untuk mengetahui pola distribusi kedua jenis udang mantis, digunakan Indeks Sebaran Morisita (Id) dan kemudian dilanjutkan dengan Uji Chi-Kuadrat. Hasil perhitungan Id tersebut didapatkan hasil bahwa nilai Id untuk H. raphidea adalah 1,2043-1,6678; sedangkan nilai Id untuk O. gravieri adalah 1,0561-2,2208. Berdasarkan kriteria pada Indeks Sebaran Morisita, maka udang mantis H. raphidea dan O. gravieri mempunyai pola distribusi yang sama, yaitu Mengelompok Sempurna. Udang mantis hidup mengelompok sesuai dengan jenisnya. Pola sebaran bersifat mengelompok diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan, ketersediaan makanan, dan tipe substrat. Ketersediaan makanan yang tinggi pada suatu tempat memungkinkan suatu jenis organisme akan mengelompok pada tempat tersebut. Tipe substrat berpengaruh terhadap pola sebaran karena udang mantis akan berkumpul pada tipe substrat yang disukainya. Pola sebaran mengelompok berarti kedua jenis udang mantis H. raphidea dan O. gravieri ditemukan ditempat tertentu sesuai dengan preferensi habitatnya. Faktor fisik terpenting yang bereaksi pada komunitas dasar adlah turbulensi atau gerakan ombak (Nybakken 1988). Pada perairan yang dangkal interaksi ombak, arus, up welling akan menimbulkan gerakan turbulensi. Pada dasar yang lunak, ombak ini dapat menimbulkan gerakan bergelombang besar di dasar perairan yang sangat berpengaruh terhadap stabilitas subsrat. Hewan infauna yang hidup di dasar substrat sangat dipengaruhi oleh partikel substrat yang teraduk. Selain itu, pergerakan ombak juga dapat menentukan tipe partikel yang terkandung dan apabila pergerakan ombak tersebut kuat maka akan memindahkan partikel halus sebagai suspensi dan menyisakan pasir. Pola sebaran mengelompok berkaitan erat dengan kemampuan larva hewan bentik untuk memilih daerah yang akan 45 [Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ditempatinya. Kebanyakan hewan larva lebih senang menetap di tempat yang terdapat spesies dewasanya. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut cocok unyuk habitat hidupnya. Kemampuan larva memilih daerah untuk menetap serta kemampuannya untuk menunda metamorfosis membuat penyebarannya tidak acak. Penyebaran secara acak relatif jarang terjadi di alam (Nybakken 1988). KESIMPULAN Udang mantis jenis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri yang ditemukan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi mempunyai habitat dan pola distribusi yang sama. Habitat kedua jenis udang mantis tersebut adalah dasar perairan berlumpur dengan tipe substrat lempung berpasir. Daerah penelitian, yang merupakan daerah pasang surut, adalah habitat dari udang mantis muda atau ukuran kecil. Adapun pola distribusi kedua jenis udang mantis tersebut adalah mengelompok sempurna. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Sdr/i Elin Pratiwi, Novi Ariyanti, Adrian Damora, dan Wahyu Muzammil, alumni Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB angkatan 43 yang telah membantu Penulis dalam kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Aziz KA. 1986. Distribusi dan komposisi udang palaemonidae yang tertangkap di Perairan Teluk Banten. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Aziz KA, Boer M, Widodo J, Djamali A, Gofar A, & Rahmawati R. 2001. Perikanan udang di Perairan Indonesia. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Brower JE, JH Zar, & CN von Ende. 1990. Field and Laboratory methods for rd general ecology. 3 edition. Wm. C. Brown Publishers. ISSN : 2088-8848 Martanti D. 2001. Pola distribusi dan struktur populasi keong macan (Babylonia spirata L.) di Teluk Pelabuhan Ratu pada musim timur. [skripsi]. Departeman Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nybakken JW. 1988. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari Marine Biology: An ecological approach, 3 rd edition]. Eidman HM, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo S (penerjemah). PT Gramedia. Jakarta. xv + 443 hlm. Suwandi E.1978. Beberapa aspek bilogi udang penaeid yang tertangkap oleh trawl di laut Arafura, Irian Jaya, dan Teluk Carpentaria, Australia [tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hlm. Wardiatno Y, A Farajallah, & A Mashar. 2009. Kajian aspek reproduksi dan genetika udang mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi sebagai upaya lanjutan domestifikasi udang mantis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wardiatno Y & A Mashar. 2010. Biological information on the mantis shrimp, Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798) (Stomatopoda, Crustacea) in Indonesia with a highlight of its reproductive aspects. Journal of Tropical and Conservation, 7: 63-73. 46