Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011 ISSN

advertisement
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
1
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
PERTANIAN-UMMI
Jurnal Ilmiah Pertanian dan Perikanan
2
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
SUSUNAN PENGURUS
Pelindung:
Rektor Universitas Muhammadiyah Sukabumi
Penanggung Jawab:
Dekan Fakultas Pertanian
Pemimpin Redaksi:
Pelita Octorina, S.Pi., M.Si.
Wakil Pemimpin Redaksi:
Endang Tri Astuti, SP., M.P.
Mitra Bestari :
Prof. Dr. Ir. Yogi. W.S
Prof. Dr. Ir. Sudrajati Ratnaningtyas, M.P.
Dr. Ir. Niken Tunjung Murti Pratiwi, M.Si.
Dr. Ir Yulfiperius, M.Si.
Dewan Redaksi:
Reni Sukmawani,SP., M.P.
Emma Hilma, SP., M.P.
Amalia Nurmilla, SP., M.P.
Ujang Dindin, S.Pi., M.Si.
Sekretariat:
Fakultas Pertanian-Universitas Muhammadiyah Sukabumi
Alamat Redaksi: Jl.R.Syamsyudin, S.H No.50 Kota Sukabumi 43113 Jawa Barat
Telp. (0266) 218 345, Fax : (0266) 218 342. Email: [email protected]
Sirkulasi dan Distribusi:
Sri Lidianti, S.P.
Wentikasari, S.E.
Yogi Satia, S.Pi.
Desain Sampul:
Pelita Octorina, S.Pi., M.Si.
Edisi ke-1
Jurnal Ilmiah PERTANIAN-UMMI merupakan wadah komunikasi untuk civitas
akademika dan masyarakat ilmiah Fakultas Pertanian yang membuat hasil penelitian
kampus, tulisan tentang konsep/proposal orisinal dan belum pernah dimuat pada
jurnal lain. Redaksi menerima sumbangan tulisan dari pihak lain. Jurnal ini
diterbitkan setahun dua kali pada agustus dan februari
3
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
KATA PENGANTAR
Bismillaahirohmanirrohiim
Alhamdullilahirobbil’aalamiin. Akhirnya jurnal PERTANIAN-UMMI ini terbit.
Kebutuhan akan ruang publikasi hasil-hasil penelitian dari para praktisi pendidikan
diperguruan tinggi semakin nyata. Seiring kesadaran bahwa penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat yang dilakukan perlu dipublikasikan pada media yang seharusnya.
Jurnal PERTANIAN-UMMI yang diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Sukabumi ini bertujuan untuk menjadi wahana yang dapat dipergunakan
oleh para dosen maupun prakrisi pertanian untuk mempublikasikan karya ilmiahnya dalam
ruang lingkup pertanian dan perikanan. Harapannya keberadaan jurnal ini mampu
meningkatan gairah para dosen dan praktisi pertanian untuk terus melakukan penelitian
dan pengabdian masyarakat kemudian menutup rangkaian kegiatan tersebut dengan
publikasi ilmiah. Semoga Jurnal Pertanian-UMMI ini dapat terbit secara berkelanjutan
untuk memberikan kontribusi dalam khazanah keilmuan pertanian dan perikanan.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Sukabumi, Agustus 2011
Redaksi
4
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
DAFTAR ISI
Daftar Isi......................................................................................................................
iv
Petunjuk Penulisan Naskah .........................................................................................
v
1. Analisa Usaha Tani Mawar Potong: Studi Kasus Di Desa Cibodas Kabupaten
Cianjur
Oleh : Ina Herlina Kurniawati ........................................................................
1
2. Peningkatan Oksigen Terlarut dengan Metode ” Aerasi Hipolimnion”
di Daerah Karamba Jaring Apung Danau Lido
Oleh : Juli Nursandi, Enan M. Adiwilaga, dan Niken T.M. Pratiwi ..............
6
3. Morfometrik Kerang Anadara granosa dan Anadara antiquata pada
Wilayah yang Tereksploitasi Di Teluk Lada Perairan Selat Sunda.
Oleh : Ratna Komala, Fredinan Yulianda, Djamar T.F Lumbanbatu
dan Israjad Setyobudiandi ..............................................................................
14
4. Kondisi Biolimnologi Kolong bekas Galian Pasir Cimangkok Kabupaten
Sukabumi dan Kesesuaian Bagi Kegiatan Perikanan.
Oleh : Pelita Octorina .....................................................................................
19
5. Distribusi Spasial dan Kondisi Lingkungan Perairan Ikan Endemik Rasbora
tawarensi (Weber dan de Beaufort 1961) Di Danau Laut Tawar,
Aceh Tengah
Oleh : Iwan Hasri, M, Mukhlis Kamal, Zairion .............................................
26
6. Aspek Biologi Ikan Layang Deles (Decapterus macrosoma)
di Perairan Banda Neira, Maluku.
Oleh : Budiono Senen, Sulistiono, dan Ismudi Muchsin ...............................
34
7. Distribusi Spasial Udang Mantis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina
graviera di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi.
Oleh : Ali Hasri dan Yusli Wardiatno ............................................................
41
5
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
PETUNJUK PENULISAN NASKAH
1. Pemasukan Naskah : naskah yang diterima adalah naskah dengan topik sesuai
dengan latar belakang keilmuan yakni pertanian dan perikanan. Naskah berisikan
hal penelitian/kajian rekayasa/uraian ilmiah yang bercirikan pemikiran inovatif,
efisisen, dan efektif sesuai dengan bidang ilmu.
2. Naskah dikirim dalam bentuk soft copy, dengan menggunakan program microsoft
word, dialamatkan ke : Sekretariat Jurnal Ilmiah PERTANIAN-UMMI, Jl. R,
Syamsudin S.H No 50, Kota. Sukabumi 43113, Jawa Barat., Telp (0266) 218345,
Fax : (0266) 218342, atau dikirim melalui e-mail dalam format microsoft word ke
alamat: [email protected]
3. Naskah :
a. Bahasa yang dipergunakan adalah Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.
Untuk penulisan abstrak mengunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris.
b. Format penulisan : judul (12 pt) dan abstrak pada satu kolom, spasi 1 baris.
Jumlah kata-kata abstrak maksimum 200 kata dilengkapi kata kunci
c. Format penulisan naskah : Isi naskah mengunakan huruf Times New
Romans 12 pt spasi 1 dalam kolom. Isi naskah minimal 8 s.d 10 halaman.
Ukuran halaman A4 dengan margin 3 3 2 2 cm (kiri atas kanan bawah)
d. Naskah belum dipublikasikan
e. Bagian akhir naskah dituliskan daftar riwayat hidup penulis, alamat
lengkapi, email dan nomor telepon.
f. Naskah yang dimuat setelah melalui review dari komisi penyunting dan
mitra bestari.
g. Ketikan/cetakan hanya pada satu sisi kertas, tidak timbal-balik. Ketikan
berisi urutan : halaman Judul, abstrak, teks/naskah (untuk laporan hasil
penelitian : Pendahuluan, Metoda/Teori, diskusi, kesimpulan/hasil, catatan
dan daftar pustaka. Gambar dan Tabel diberi keterangan serta
mencantumkan sumbernya)
h. Naskah yang dikirim dan tidak dimuat menjadi hak redaksi
i. Pengiriman naskah dari sidang pembaca selambat-lambatnya harus diterima
dewan redaksi 2 (dua) bulan sebelum terbitan bekerja
4. Kontak Person
Untuk memudahkan kontak dalam Jurnal Ilmiah PERTANIAN-UMMI inni :
a. Urusan Pengelolaan dan Penyerahan Naskah dapat menghubungi:
Sdr. Pelita Octorina dan Endang Tri
b. Urusan Sirkulasi, Distribusi dan Marketing dapat menghubungi:
Sdr. Sri Lidianti dan Yogie Satia
6
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
ANALISA USAHATANI MAWAR POTONG
(Studi Kasus di Desa Cibodas, Kabupaten Cianjur)
Ina Herlina Kurniawati
Abstract : The research analyzes the system of rose-cut farm in the research area. The purpose
is in order to know the steps to be taken to increase the system of rose-cut farm in the research
2
area.
The results is taken from the analyzes of rose-cut farm in the land of area 5.000 m with
the plant spacing 20 cm x 50 cm. it manages in the green house and it shows the income value.
The amount is Rp. 12.308.125,00, for one period in plant season. In the other side, the results is
taken from the parameter calculation of proper effort that consist of the Revenue Cost Ratio, Net
Present Value and Benefit Cost Ratio. Those are shown, the value is bigger than one or positive
value. It means that the production activity of rose-cut farm is run by the farmers, for instance is in
the research area as financial it still gives a lot of advantages.
PENDAHULUAN
Mawar merupakan salah satu
tumbuhan berbunga yang boleh dikatakan
paling dikenal dan disukai orang sebagai
penghias taman, tanaman rumah dan
sebagai bunga potong. Mawar juga popular
dengan sebutan bunga ros atau rose (dibaca
roos). Mawar sudah dibudidayakan oleh
manusia sejak berabad-abad yang lalu.
Mawar temasuk salah satu jenis bunga
potong terpentinh di dunia. Memiliki kelas
yang paling tinggi serta pengagum yang
paling
banyak
dibandingkan
dengan
tanaman bunga lainnya. Negara produsen
bunga potong di dunia antara lain adalah
Belanda. Diantara 10 jenis bunga potong
komersial Belanda, mawar menempati
urutan pertama.
Pasar potensial bunga potong yang
berdaya serap tinggi diantaranya adalah
Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Swiss,
Australia,
Amerika
Serikat,
Swedia,
Denmark, Jepang dan masih banyak Negara
lainnya.
Fenomena ini menunjukkan
Indonesia
berpeluang mengembangkan
usahatani mawar dengan pola agribisnis,
baik untuk memenuhi kebutuhan pasar
dalam negeri maupun untuk ekspor ke pasar
internasional. Kecuali itu peluang pasar
mawar potong didalam negeripun cenderung
meningkat. Permintaan bunga potong di
Jakarta misalnya, meningkat rata-rata 10%
per tahun.
Pada tahun 1991 nilai
perdagangan bunga potong di DKI Jakarta
mencapai 1 milyar per bulan.
Cukup
banyak
sentra-sentra
produksi tanaman mawar, yang terkenal
seperti sentra mawar Batu, Malang, jawa
Timur.
Juga dataran tinggi Jawa Barat
seperti Sukabumi, Cipanas/Cianjur dan
lembang. Terdapat juga di kawasan Jakarta,
Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek).
Kabupaten
Cianjur,
Kecamatan
Pacet Cipanas, Desa Cibodas adalah salah
satu daerah penghasil mawar potong di
Indonesia yang relative baru dan cukup
potensial untuk dikembangkan sebagai
daerah pengembangan mawar potong.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan
komoditas
ini
adalah
masalah system usahataninya.
Sistem usahatani yang efisien akan
sangat menunjang pengembangan suatu
komoditas. Sistem usahatani yang tidak
optimal akan menyebabkan pendapatan
usahataninya rendah.
Tujuan
Penelitian ini menganalisa system
usahatani mawar potong di Desa Cibodas
dengan tujuan agar diketahui langkahlangkah
yang
perlu
diambil
untuk
meningkatkan efisiensi system usahatani
mawar potong di Desa Cibodas.
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Menurut
Rifai
dalam
Tjakrawiralaksana (1983) dan Soekartawi et
al (1986), usahatani merupakan suatu
bentuk usaha di bidang pertanian, dimana
pihak pengelola sebagai pelaku usaha selalu
berusaha untukmencapai keuntungan yang
maksimal, dengan cara mengorganisasikan
factor alam, kerja dan modal. Selanjutnya
Hernanto (1988) menggolongkan alam, kerja
dan modal ke dalam istilah factor produksi
usahatani.
Dengan kata lain petani melakukan
usahataninya sebagai suatu kegiatan
produksi di lapangan pertanian dengan
tujuan memperoleh pendapatan yang
maksimal. Bentuk dan jumlah pendapatan
iniberfungsi selain
untuk melanjutkan
kegiatan usahanya juga untuk memenuhi
kebutuhan anggota keluarganya.
Banyak factor yang mempengaruhi
pendapatan petani. Diantaranya intensitas
pennggunaan teknologi, luas garapan, status
penguasaan lahan, keadaan irigasi.
Pendapatan
usahatani
aadalah
selisih dari nilai-nilai penerimaan dengan
biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain
7
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
pendapatan usahatani dihitung dari selisih
antara penerimaan tunai usahatani dengan
pengeluaran tunai usahatani. Penerimaan
usahatani didefinisikan sebagai nilai uang
yang diterima dari penjualan produk
usahatani.
Pengeluaran
usahatani
didefinisikan sebagai jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk pembelian dan jasa
usahatani.
Suharjo
dan
Patong
(1973)
menyatakan pendapatan selain diukur
dengan
nilai
mutlak
juga
dianalisa
efisiensinya. Salah satu ukuran efisiensi
adalah penerimaan untuk tiap rupiah yang
dikeluarkan
(Revenue
Cost
Ratio).
Perbedaan antara analisa keuntungan
dengan analisa R/C ratio yaitu analisa
keuntungan digunakan untuk mengetahui
pendapatan yang diperoleh masing-masing
petani dari hasil usahataninya, sedangkan
R/C
ratio
digunakan
untuk
melihat
keuntungan relatif dari suatu cabang
ushatani dengan usahatani lain berdasarkan
perhitungan finansial. Dalam analisa R/C
ratio akan diuji seberapa besar nilai rupiah
yang dipakai dalam kegiatan cabang
usahatani bersangkutan dapat memberikan
sejumlah
nilai
penerimaan
sebagai
manfaatnya.
Analisa Manfaat Tambahan Biaya
(Benefit Cost Ratio atau B/C Ratio)
digunakan untuk membandingkan berapa
besar tambahan manfaat (dalam bentuk
penerimaan rupiah) yang dapat diperoleh
dari setiap tambahan penggunaan satu
rupiah biaya.
Falsafah dari analisa ini
adalah menguji kemungkinan penggunaan
kesempatan ekonomi yang paling baik bagi
investasi modal. Sehingga dapat diperoleh
kesimpulan kegiatan usaha yang mana yang
dapat memberikan keuntungann yang yang
paling besar (Tjakrawiralaksana, 1983).
Menurut Soekartawi (1986), Net
Present Value (NPV) atau nilai bersih
sekarang suatu ushatani merupakan ukuran
yang menggambarkan kemampuan suatu
ushatani tersebut. Bila NVP bernilai positif,
maka ushatani tersebut dapat dikatakan
menguntungkan. Sebaliknya kalau negative,
dapat diartikan bahwa usahatani tersebut
tidak menguntungkan. Dengan kata lain nilai
NPV bernilai positif maka usahatani tersebut
dikatakan layak secara finansial.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan
dengan metode purposive. Daerah yang
terpilih adalah Kecamatan Pacet Cipanas,
ISSN : 2088-8848
Desa Cibodas yang merupakan sentra
produksi mawar potong di dataran tinggi
Jawa Barat .
Metode Pengambilan Contoh
Pengambilan
contoh
potani/responden dilakukan secara acak
sederhana pada lokasi penelitian terpilih.
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data
primer dan data sekunder. Data primer
dikumpulkan melalui wawancara terhadap
responden/petani dan “key informans”
dengan
sejumlah
pertanyaan
yang
dipersiapkan dalam bentuk kuesioner
terstruktur
dan
terbuka,
dan
pengamatan/peninjauan di lapangan.
Data sekunder diperoleh dari
monografi desa/kecamatan,kantor statistic
dan lembaga/instansi terkait lainnya dan
berbagai hasil kepustakaanj/ hasil penelitian
yang tersedia.
Metode Analisa
Suatu sistem usahatani yang optimal
akan memberikan keuntungan yang layak
bagi petaninya.
Untuk menkaji tingkat
kelayakan ushatani digunakan anal tingkat
kelayakan ushatani digunakan analisa
financial yang mencakup perhitungan
pendapatan, Return Cost Ratio (RCR), Net
Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio
(BCR) dan Internal Rate of Return (IRR)
Untuk melihat tingkat pendapatan
usahatani mawar potong di desa penelitian,
dalam penelitian ini didekati dengan
berbagai konsep dan pengukuran:
a) Konsep
Pendapatan
yang
digunakan adalah Return to Owned
Resources dimana biaya yang berasal dari resource yang dimillki
petani tidak diperhitungkan
b) Untuk
menghitung
pendapatan
usahatani mawar potong diperoleh
dari perhitungan (1) hasil fisik yang
dicapai, (2) input yang digunakan,
(3) harga per unit produk, (4) harga
per unit input. Secara matematik
perhitungan tersebut ditulis sebagai
berikut:
n
I = Hy . Y - ∑ Hxi . Xi
(1)
………..
i=1
dimana:
I
= Pendapatan usahatani
Y
= Jumlah produksi (output)
yang
dihasilkan
Hxi = Harga faktor produksi xi per
unit
8
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
suatu usahatani seperti halnya NPV.
Jika B/C ratio bernilai positif maka
usahatani tersebut layak secara
financial/
ekonomis.
Secara
matematik konsep BCR dirumuskan
sebagai berikut :
Xi
= Jumlah faktor produksi xi
yang
digunakan
I
= 1, 2, 3, . . . .n
c) Untuk menghitung tingkat efisiensi
dan usahatani mawar potong
dilakukan analisa nilai imbangan
antara penerimaan dengan besarnya
biaya (R/C ratio). Secara matematik
konsep R/C ratio dirumuskan
sebagai berikut :
RCR = R / C
n
∑ Bt / (1 + r)t
BCR =
t=0
…….. (4)
n
……………. (2)
∑ Ct / (1 + r)t
t=0
dimana :
RCR = Return Cost Ratio
R
= Return (Penerimaan)
C
= Cost (Biaya/pengeluaran)
dimana :
Bt = manfaat yang diperoleh tiap
tahun
Ct = biaya yang dikeluarkan tiap
tahun
Dalam analisa pendapatan
dan RCR, yang dimaksud dengan
penerimaan (return) adalah hasil kali
produksidengan harga yang diterima
petani, sedangkan yang dimaksud
dengan pengeluaran (cost) adalah
semua pengeluaran dalam proses
produksi kecuali sewa tanah, upah
tenaga kerja keluarga dan jasa
petani sebagai manajer.
d) Net Present Value (NSP) atau nilai
bersih sekarang suatu usahatani
merupakan
ukuran
yang
menggambarkan kemampuan suatu
usahatani. Bila NPV bernilai positif,
maka usahatani tersebut dapat
dikatakan
menguntungkan.
Sebaliknya kalau negatif, dapat
diartikan bahwa usahatani tersebut
tidak
menguntungkan.
Semakin
tinggi nilai NPV dari suatu usahatani
maka
semakin
menguntungkan
usahatani
tersebut.
Secara
matematik konsep NPV dirumuskan
sebagai berikut :
NPV =
Bt - Ct
n
∑ -----------
……….
(3)
t=0
( 1 + r )t
Dengan kata lain nilai NPV bernilai
positif maka usahatani tersebut
dikatakan
layak
secara
financial/ekonomis.
e) Benefit Cost Ratio (BCR) atau B/C
ratio merupakan ukuran kelayakan
t = 1, 2, 3, …………, n
n = jumlah tahun
i = tingkat bunga modal
HASIL DAN PEMBAHASAN
Petani bunga mawar potong di lokasi
penelitian menggunakan system tanam
dalam bangunan plastik atau green house.
Adapun luas lahan digunakan sebesar
2
5.000 m dengan jarak tanam 20 cm x 50
cm. Periode produksi rata-rata 6 sampai 8
bulan per musim.
Dari data ekonomis usahatani
mawar potong Petani Bunga di Desa
Cibodas, Kecamatan Pacet-Cipnas pada
tahun 2005 diperoleh hasil analisa usahatani
mawar potong seperti yang disajikan pada
Tabel 2.
Analisa Pendapatan Usahatani Mawar
Potong
Kegiatan produksi di dalam setiap
usahatani dapat dikatakan suatu perusahaan
dimana factor biaya (cost) dan pendapatan
(revenue)
menjadi
pusat
perhatian.
(Kasryno, 1970).
Analisa biya dan pendapatan dalam
usahatani
digunakan
untuk
melihat
keuntungan yang diperoleh dalam usahatani
tersebut. Bagi petani hal ini penting untuk
mengambil keputusan sehubungan dengan
usahataninya.
Konsep pendapatan yang digunakan
untuk analisa ini adalah Return to Owned
Resourcess dimana biaya yang berasal dari
resourse
yang
dimiliki
petani
tidak
diperhitungkan.
Biaya Usahatani
Komponen
biaya
yang
akan
dianalisa didasarkan atas biaya tunai.
Komponen biaya tersebut meliputi biaya
9
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
untuk sarana produksi (bibit, pupuk dan
obat-obatan), biaya tenaga kerja luar
keluarga (nilai tenaga kerja yang diupah)
serta biaya sewa alat-alat pertanian.
Kemudian biaya untuk pajak tanah,
iuran air, iuran desa dan iuran lainnya yang
berkaitan
dengan
kegiatan
produksi
usahatani mawar potong. Selanjutnya biaya
penyusutan dari alat-alat pertanian yang
tidak habis dalam sekali pemakaian, dalam
hal ini tidak diperhitungkan tersendiri
melainkan dimasukkan kepada biaya sewa
alat-alat pertanian. Karena pada umumnya
para petani contoh menggunakan sewa alatalat yang tidak sekali pakai tersebut traktor,
cangkul, sabit dan alat sejenis lainnya,
bukan merupakan milik pribadi melainkan
milik bersama kelompok tani untuk alat
aeperti cangkul, sabit dan sejenisnya,
sedangkan untuk traktor biasanya mereka
nyewa kepada KUD. Dengan deikian biayabiaya tersebut lebih tepat bila dimasukkan
kepada biaya sewa alat-alat yang biasa
petani keluarkan dalam setiap satu periode
produksi mawar potong.
Pada efisiensi
financial penilaian didasarkan pada harga
aktual yang dibayarkan maupun yang
diterima petani.
Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa
jumlah biaya variabel yang dikerluarkan
petani
mawar
potong
sebesar
Rp.
5.250.000,00. Sehingga total biaya yang
harus dikeluarkan petani mawar potong
sebesar Rp. 82.441.875,00 sedangkan
jumlah
biaya
tetap
sebesar
Rp.
5.250.000,00. Sehingga total biaya yang
harus dikeluarkan petani untuk usaha tani
mawar potong untuk satu periode produksi
yaitu sebesar Rp. 87.691.875,00.
Dalam perhitungan biaya ini nilai
upah HKP (Hari Kerja Pria) yang digunakan
sebesar Rp. 15.000,00 dan nilai upah HKW
(Hari Kerja Wanita) sebesar Rp. 10.500,00.
Sedangkan nilai investasi bangunan rumah
plastik (green house) tidak diperhitungkan.
Penerimaan Usahatani
Penerimaan
usahatani
yang
diamaksud dalam pembahasan ini adalah
jumlah tangkai bunga yang dihasilkan
dikalikan dengan harga yang berlaku di
tingkat petani. Dari hasil perhitungan
diperoleh besar penerimaan total usahatani
mawar potong di Desa Cibodas adalah Rp.
100.000.000,00 seperti disajikan pada Tabel
1.
ISSN : 2088-8848
Tabel 1. Biaya Usahatani Mawar Potong
Petani Bunga di Desa Cibodas, Kecamatan
Pacet-Cipanas, 2005.
No.
A
1
2
Uraian
Biaya Tidak Tetap
(Biaya Variabel) :
Biaya produksi
Biaya saran produksi
a. Bibit 75.000 batang
@ Rp. 1.000,00
b. Pupuk :
1) Pupuk kandang
5 ton @ Rp.
75.0000,00
2) Urea 415 kg @
Rp. 1.500,00
3) ZA 460 kg @
Rp. 1.800,00
4) TSP 52,5 kg @
Rp. 1.800,00
5) KCl 12,5 kg @
Rp. 1.950,00
6) KNO3 237,5 kg
@ Rp. 3.000,00
c. Pestisida dan ZPT
d. Kapur pertanian 1
ton
Biaya tenaga kerja
1) Penyiapan lahan 50
HKP @ Rp.
15.000,00
2) Pemasangan pupuk
10 HKP + 20 HKW
3) Penanaman 5 HKP +
50 HKW
4) Pemeliharaan
tanaman 5 HKP +
100 HKW
5) Panen dan pasca
panen 5 HKP + 50
HKW
Nilai (Rp)
75.000.000,00
375.000,00
622.500,00
828.000,00
94.500,00
24.375,00
712.500,00
750.000,00
600.000,00
79.006.875,00
750.000,00
360.000,00
600.000,00
1.125.000,00
600.000,00
3.435.000,00
B
Jumlah Biaya Tidak
82.441.875,00
Tetap (Biaya Variabel)
C
Biaya Tetap :
3
Nilai sewa tanah
(1 tahun)
4.500.000,00
4
Biaya lain-lain (pajak,
iuran peralatan)
750.000,00
D
Jumlah biaya tetap
5.250.000,00
E
Biaya Total (Input Total)
87.691.875,00
Sumber: Pembukuan Petani Bunga Desa
Cibodas
Pendapatan Usahatani
Dengan menggunakan formulasi
pada persamaan (1) maka dapat diperoleh
nilai pendapatan usahatani mawar potong di
lokasi penelitian seperti yang disajikan pada
Tabel 2.
10
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
Tabel 2. Produksi dan Hasil Analisa
Usahatani Mawar Potong Petani Bunga
Mawar Potong Petani Bunga di Desa
Cibodas, Kecamatan Pacet-Cipanas, 2005.
No.
Uraian
1
Jumlah Produksi
2
Harga jual per tangkai
Hasil Analisa :
Penerimaan
Pendapatan Marjinal
Pendapatan Bersih
R/C ratio
NVP
B/C ratio
3
4
6
8
Nilai (Rp)
250.000 tangkai
Rp. 400,00
100.000.000,00
17.558.125,00
12.308.125,00
1,14
+10.610.452,59
1,14
Pada Tabel 1. terlihat bahwa
pendapatan usahatani mawar potong yang
diperoleh petani contoh di lokasi penelitian
dapat dibedakan menjadi pendapatan
marjinal dan pendapatan bersih. Dimana
pendapatan marjinal yaitu pendapatan yang
diperoleh dari selisih antara jumlah
penerimaan dengan jumlah biaya total (biaya
variabel dan biaya tetap) yaitu sebesar Rp.
12.308.125,00.
Untuk mengetahui tingkat efisiensi
dari kegiatan usahatani mawar potong,
selanjutnya dilakukan analisa imbangan
penerimaan dengan besarnya biaya yang
dikeluarkan
(R/C
Ratio).
Dengan
menggunakan formulasi pada persamaan (2)
diperoleh nilai R/C Ratio sebesar 1,14. Ini
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan
untuk biaya tetap dan tidak tetap akan
memberikan penerimaan yang lebih besar
dari satu yaitu sebesar 1,14. Seperti
disajikan pada Tabel 2.
Untuk mengkaji tingkat kelayakan
usahatani mawar potong, selanjutkan
dilakukan analisa finansial yang mencakup
perhitungan Net Present Value (NPV) dan
Benefit
Cost
Ratio
(BCR).
Dengan
menggunakan tingkat bunga modal 16% per
tahun dan persamaan (3) serta (4) maka
dapat ditentukan Net Present Value (NVP)
dan Benefit Cost Ratio (BCR) atau B/C ratio
dari usahatani mawar potong tersebut
seperti disajikan pada Tabel 2.
Dari Tabel 2. dapat dilihat NVP dan
BCR masing-masing bernilai positif. Berarti
hasil Analisa Pendapatan, R/C ratio, NVP
dan B/C ratio dapat dikatakan bahwa
kegiatan produksi usahatani mawar potong
yang dilakukan petani contoh di lokasi
penelitian masih memberikan keuntungan
layak secara financial/ekonomis.
ISSN : 2088-8848
KESIMPULAN
Dari hasil analisa usahatani mawar
potong di Desa Cibodas Kecamatan Pacet
2
Cipanas dengan luas lahan 5000 m
diperoleh nilai pendapatan sebesar Rp.
12.308.125,00 untuk satu periode musim
tanam.
Sementara
hasil
perhitungan
parameter kelayakan usaha yang terdiri dari
nilai R/C ratio, NVP dan B/C ratio masingmasing menunjukkan nilai yang positif.
Berarti dapat dikatakan bahwa kegiatan
produksi usahatani mawar potong yang
dilakukan petani contoh di lokasi penelitian
masih memberikan keuntungan layak secara
financial/ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA
Aaker A. David. 1983. Strategi Market
Manajemen. John wiley and Son.
Foskr. RV.T. 1999. Costumer Care. Elek
Media Komputindo. Jakarta.
Husen, U. 2000. Business an Introduction.
Gramedia. Jakarta.
_________. 1999. Studi Kelayakan Bisnis.
Gramedia Jakarta.
Kotler, P. 19990. Manajemen Pemasaran
Jilid !. Gelora Aksara Pratama.
Jakarta.
Rismunandar. 1990. Budidaya
Potong. Penebar Swadaya.
Bunga
Soekartawi. 1989. Manajemen Pemasaran
Hasil Pertanian. Rajawali Press.
Jakarta.
Sukarno. 1990. Mawar. Penebar Swadaya.
Supriyono. 1986. Manajemen Strategi dan
Kebijakan Bisnis. BPFE. Yogyakarta.
Suwarsono. 1999. Manajemen
UPP. YKPN. Yogyakarta.
Strategi.
Tjakrawiralaksana, A. 1983. Usahatani,
Dikmenjur, Dirjen Disdakmen. Jakarta
Winardi a. 1992. Promosi dan Periklanan.
Mandar Maju. Bandung
Winardi b. 1992. Harga dan Penetapan
Harga. Citra Adya Bakti. bandung
11
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
PENINGKATAN OKSIGEN TERLARUT DENGAN METODE “AERASI HIPOLIMNION”
DI DAERAH KERAMBA JARING APUNG DANAU LIDO, BOGOR
1)
2)
2)
Juli Nursandi , Enan M. Adiwilaga , dan Niken T.M. Pratiwi
Program Studi Budidaya Perikanan, Politeknik Negeri Lampung,
2)
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB
1)
Abstrak: Budidaya ikan pada keramba jaring apung di perairan danau atau waduk umumnya
dapat menyebabkan permasalahan kualitas air. Permasalahan kualitas air yang sering terjadi
adalah berkurangnya oksigen terlarut dan timbulnya gas-gas beracun pada lapisan dasar perairan
yang dapat mematikan ikan pada saat terjadi umbalan di musim-musim tertentu. Penelitian ini
bertujuan ini untuk mengetahui dampak perlakuan “aerasi hipolimnion” seperti peningkatan dan
penyebaran oksigen terlarut (DO), efisiensi alat aerasi serta pengurangan kandungan gas
ammonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) pada air di sekitar lokasi keramba jaring apung. Data
yang didapat dianalisa secara deskriptif dan statistik dengan program SPSS 13. Hasil yang
didapat dari penelitian ini adalah alat aerasi hipolimnion dapat meningkatkan kandungan oksigen
terlarut (DO) di daerah keramba jaring apung dengan besaran yang berbeda-beda secara spatial
dan temporal. Nilai persen saturasi oksigen tertinggi yang diamati adalah sebesar 50,19%, dengan
nilai efisiensi alat aerasi 0,014-0,022 kgO2/kW-jam. Secara umum alat aerasi hipolimnion yang
dibuat mampu meningkatkan kualitas air sehingga bisa lebih sesuai dengan baku mutu air untuk
budidaya perikanan
Kata kunci: Oksigen terlarut (DO), keramba jaring apung, “aerasi hipolimnion”, efisiensi aerasi.
terutama berkurangnya lapisan oksik pada
perairan.
PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan ini untuk
Oksigen
terlarut
mempunyai
mengetahui dampak perlakuan aerasi yang
peranan penting bagi kehidupan organisme
dibuat, seperti: peningkatan dan penyebaran
yang berada di air. Keberadaannya di air
DO serta pengurangan kandungan gas
secara alami dipengaruhi oleh fotosintesis
amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S)
fitoplankton dan tumbuhan air, kecerahan,
pada air di sekitar lokasi keramba jaring
arus, suhu serta respirasi organisme
apung yang diberi alat aerasi.
perairan (Boyd 1998). Semakin tinggi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
oksigen yang terlarut dalam air berarti
memberikan informasi dan solusi terhadap
semakin banyak ketersediaan oksigen yang
masalah ketersediaan oksigen telarut di
dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup
perairan untuk kelangsungan hidup ikan
organisme air.
alami dan ikan dalam KJA.
Budidaya ikan pada keramba jaring apung
(KJA), merupakan teknologi budidaya ikan
METODOLOGI
yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan
Alat dan Bahan
sumberdaya perairan danau dan waduk.
Alat-alat dan bahan yang digunakan
Namun sistem budidaya yang mengandalkan
dalam penelitian ini adalah seperangkat alat
pakan buatan berupa pelet sebagai
aerasi (Gambar 1), Vandorn water sampler,
makanan utamanya ini, dapat menyebabkan
serta peralatan dan bahan untuk mengukur
terjadinya penumpukan limbah bahan
oksigen terlarut, H2S dan NH3 serta pH.
organik dari sisa metabolisme dan sisa
Pembuatan Alat Aerasi
pakan pada dasar perairan. Sulitnya
Skema gambar alat yang dibuat
pengaturan pembatasan jumlah keramba
dapat
dilihat
pada Gambar 1.
jaring apung di perairan menyebabkan
masalah ketersediaan oksigen terlarut
semakin memburuk dan penting diperhatikan
untuk kelestarian ikan alami dan ikan
budidaya. Simarmata (2007) menyatakan
bahwa aktifitas budidaya ikan dalam KJA
telah menyebabkan penurunan kualitas air,
12
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Gambar 1. Skema gambar alat aerasi yang dibuat
Alat aerasi hipolimnion ini diletakkan pada
daerah keramba jaring apung di Danau Lido
dengan pemberian jarak sepanjang 14 meter
antara pipa inlet dan outlet, alat aerasi ini
akan diletakkan pada kedalaman 2, dan 4
meter. Peletakkan alat aerasi dilakukan
sedemikian rupa sehingga air yang terambil
pada paralon inlet tidak berasal dari air yang
keluar dari paralon outlet. Pada bagian bak
penampungan air (talang air) tempat
pertemuan air dan udara, dibuat bersekatsekat dan bertingkat-tingkat sehingga dapat
membantu proses difusi oksigen dari udara
secara efektif. Menurut Welch (1952),
adsorbsi oksigen dari udara ke air melalui
dua cara yaitu: difusi langsung ke
permukaan air atau melalui berbagai bentuk
agitasi air permukaan, seperti gelombang
dan turbulensi.
Prinsip kerja alat aerasi ini, yaitu
mengambil air pada lapisan tertentu yang
memiliki oksigen rendah. Penambahan
oksigen terlarut dilakukan dengan cara
mempertemukan air dan udara di atas
permukaan perairan. Air yang telah
mendapatkan penambahan oksigen, akan
dikembalikan pada kedalaman semula.
Menurut Chain et al (1952) efisiensi aerasi
adalah tergantung pada kontak permukaan
air yang akan diaerasi dengan udara. Alat
aerasi hipolimnion yang pernah dibuat di
Indonesia “Limnotek” dapat meningkatkan
rata-rata oksigen terlarut secara signifikan,
yaitu menjadi rata-rata lebih besar dari 4 mg
-1
mgL (Hartoto, 1994).
Uji Kinerja Alat Aerasi Hipolimnion
Alat aerasi hipolimnion yang sudah
jadi, diuji kinerjanya di darat dengan
mengambil
air
dari
dalam
sumur.
Sedangkan perakitan alat dan pengujian
kinerja alat secara langsung di Danau Lido,
Bogor.
Data spesifikasi alat aerasi
hipolimnion yang dibuat adalah seperti pada
Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Spesifikasi alat aerasi hipolimnion
yang dibuat
No.
1.
2.
3.
Uraian
Pom
Jenis Pompa Air
pa
Sumber Tegangan
Daya
Jarak Hisap Maks
Debit Air Maks
Ukuran
Berat
Uji
Debit air alat aerasi
kinerj
Lama air mengalir di
a alat talang
aeras Tinggi air dalam
i
di talang
darat
Sudut
kemiringan
talang
Tinggi setting alat
aerasi
Volume
setiap
talang air
Hasil
peningkatan
DO
Uji
Debit air alat aerasi
kinerj
Lama air mengalir di
a alat talang
aeras Tinggi air dalam
i
di talang
dana
Sudut
kemiringan
u
talang
Tinggi setting alat
aerasi
Volume
setiap
talang air
Hasil
peningkatan
DO
Keterangan
Panasonic
model
129JXV
220 V, 50 Hz
125 Watt
30 meter (pipa 1 inch)
30 liter/menit
200 x 156 x 214 mm
6 kg
10 liter/menit
10 menit
GP-
2-3 cm
10-15 derajat
± 120 cm
± 10 liter
6 ppm (2 ppm menjadi 8
ppm dengan test kit O2)
15 liter/menit
5 menit
4-5 cm
20-25 derajat
± 160 cm
± 20 liter
3 ppm (2 ppm menjadi
5 ppm, dengan test kit
O2 pada kedalaman 4
m)
13
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
Penentuan Lokasi Stasiun Penelitian
Lokasi stasiun penelitian adalah di
sekitar lokasi KJA yang umumnya terjadi
penurunan jumlah oksigen terlarut yang
nyata secara vertikal (Widiyastuti 2004)
dengan kedalaman yang masih mampu
dijangkau dengan kemampuan alat aerasi.
Lokasi
stasiun
penelitian
juga
dipertimbangkan berdasarkan keamanan
ikan, dan ketersediaan sumber listrik. karena
mengingat dampak penggunaaan alat aerasi
ini bisa saja mengaduk stratifikasi air secara
vertikal yang mungkin dapat menimbulkan
stres atau bahkan kematian ikan di KJA.
Analisis Data
Analisis deskriptif
Data yang diperoleh ditampilkan
dalam bentuk tabel dan grafik, serta
dibandingkan dengan nilai baku mutu
berdasarkan peraturan Pemerintah RI No.82
tahun 2001 kelas III.
Penentuan Persen Saturasi Oksigen
Konsentrasi oksigen jenuh (saturasi)
akan tercapai jika konsentrasi oksigen yang
terlarut di perairan sama dengan konsentrasi
oksigen terlarut secara teoritis. Tingkat
kejenuhan oksigen terlarut di perairan
dinyatakan dalam persen saturasi (Jeffries
dan Mills 1996)
% Saturasi =
Keterangan :
DO
=
-1
terlarut (mgL )
DOt
=
x 100%
konsentrasi
oksigen
konsentrasi
oksigen
terlarut
jenuh secara
teoritis
pada
suhu
tertentu dengan tekanan
-1
760 mmHg (mgL ).
Distribusi Oksigen pada Daerah Outlet
Aerasi
Data penelitian diperoleh dan
dianalisa dengan model Rancangan Acak
Kelompok (RAK) berdasarkan jarak dan
kedalaman dari peletakan outlet aerasi
hipolimnion. Kedalaman outlet dari aerasi
hipolimnion diujicoba pada tiga kedalaman
yaitu kedalaman 2, 4 dan 6meter. Masingmasing
kedalaman
outlet
dilakukan
ISSN : 2088-8848
pengukuran sebanyak 6 titik terbagi secara
vertikal dan horizontal. Data yang didapat
dianalisa secara statistik one way anova satu
faktor dengan bantuan software Microsoft
excell dan SPSS 13.
Bentuk distribusi oksigen terlarut,
setelah air dikeluarkan dari alat aerasi pada
daerah outlet akan diamati secara vertikal
dan horizontal, dan kemudian akan dibuat
gambar pengelompokan air hasil dari aerasi
hipolimnion, berdasarkan kadar oksigennya.
Efisiensi alat aerasi hipolimnion
Nilai efisiensi alat aerasi dapat
digunakan untuk mengetahui kemampuan
alat aerasi untuk melarutkan oksigen dan
dapat membantu menghitung biaya produksi
pada budidaya perikanan (Boyd 1998).
Jumlah oksigen yang ditambahkan ke dalam
air selama waktu tertentu dan pada tingkat
energi tertentu yang dinyatakan dengan
satuan kgO2/kW/jam digunakan untuk pabrik
aerator sebagai ukuran dari standar efisiensi
aerasi (SAE).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peningkatan Oksigen Terlarut (DO) pada
saat aerasi hipolimnion dioperasikan
Percobaan
penggunaan
aerasi
hipolimnion untuk meningkatkan kandungan
oksigen terlarut dilakukan pada kedalaman
outlet aerasi 2, 4 dan 6 meter. Percobaan
pada kedalaman 2 dan 4 meter dilakukan
pada malam hari mulai dari pukul 19.0005.00 wib, sedangkan pada kedalaman 6
meter dilakukan pada siang hari mulai pukul
07.00-17.00 wib. Waktu pengamatan pada 2
dan 4 meter dilakukan berdasarkan pada
kebutuhan oksigen dimana pada kedalaman
2 dan 4 meter pada malam hari lebih kecil
daripada siang hari.
Pengamatan oksigen terlarut pada
masing-masing perlakuan kedalaman outlet
aerasi (2, 4 dan 6 meter) dibagi menjadi 2
lapisan pengamatan. Dimana lapisan atas
adalah 25 cm di atas outlet, dan lapisan
bawah adalah 25 cm di bawah outlet aerasi.
Pada lapisan atas diamati kandungan
oksigennya pada titik 1, 2 dan 3 meter
secara horizontal dari lubang outlet dan
demikian pula pada lapisan bawah dibuat
tiga titik pengamatan (gambar 2). Untuk
melihat kandungan oksigen pada kedalaman
outlet yang tidak terpengaruh aerasi (DO
14
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
kontrol) dilakukan pengukuran tambahan
pada jarak 8 meter secara horizontal di
kedalaman sejajar dari outlet.
Berdasarkan data, secara umum
peningkatan oksigen terlihat berbeda-beda
antar kedalaman outlet aerasi, antar waktu
pengamatan, cuaca, serta jarak vertikal dan
horizontal dari titik outlet. Menurut Wheaton
(1977) kelarutan oksigen dari udara ke
dalam air dipengaruhi suhu air, derajat
kejenuhan air, dan turbulensi dari kontak air
dan udara. Turbulensi dari kontak air dan
udara akan efektif meningkatkan luas area
kontak air dengan udara. Pelarutan oksigen
ke dalam air hampir seluruhnya berkaitan
dengan sirkulasi, pola arus dan turbulensi.
Peningkatan kandungan oksigen
pada alat aerasi (sebelum air dikembalikan
ke kedalaman semula) dari air kedalaman 6
meter nilainya cenderung lebih tinggi
daripada pada kedalaman 4 dan 2 meter.
Besarnya
peningkatan
oksigen
juga
tergantung pada waktu pengamatan. Selain
itu kenaikan oksigen terlarut dapat
dipengaruhi oleh keadaan cuaca cerah,
mendung atau hujan serta jauh dekatnya titik
pengamatan dari outlet alat aerasi. Boyd
(1979) menyatakan bahwa konsentrasi
oksigen terlarut pada cuaca
mendung
biasanya rendah, disebabkan oleh pengaruh
kecilnya intensitas matahari untuk proses
fotosintesis.
Tabel 2. Uji one way anova antar jarak
pengamatan 1, 2, 3 dan 8 meter
Kedalaman outlet
2 meter
(19.00-05.00 wib)
4 meter
(19.00-05.00 wib)
6 meter
(07.00-17.00 wib)
Kedalaman
pengamatan
1,75 m
2,25 m
3,75 m
4,25 m
5,75 m
7,25 m
Anova
S
TS
S
TS
S
S
Keterangan:
S
= Signifikan (α=95%)
TS
= Tidak signifikan (α= 95%)
Uji statistik one way anova antar
jarak pengamatan (Tabel 2.) dilakukan untuk
mengetahui apakah nilai kandungan oksigen
terlarut pada jarak pengamatan 1, 2, 3 dan 8
meter dari lubang outlet aerasi mempunyai
nilai yang sama atau apakah semakin dekat
outlet aerasi aerasi kandungan oksigen di
perairan akan semakin besar.
ISSN : 2088-8848
Melalui Tabel 2, diketahui bahwa
kandungan oksigen pada kedalaman outlet 2
meter di lapisan pengamatan atas (1,75
meter), antar titik pengamatan horisontal 1,
2, 3, dan 8 meter berbeda nyata. Semakin
dekat dengan titik outlet aerasi, nilai
kandungan oksigen terlarut semakin besar.
Setelah dilakukan uji BNT ternyata nilai
oksigen terlarut antar jarak 1, 2, 3, dan 8 m
adalah berbeda nyata. Pada pengamatan
lapisan bawah (2,25 meter), kandungan
oksigen antar titik pengamatan horisontal
tersebut tidak berbeda nyata.
Pengamatan oksigen terlarut pada
kedalaman outlet 4 meter di lapisan
pengamatan atas (3,75 meter) berbeda
nyata secara horisontal, dan setelah hasil uji
BNT menunjukkan bahwa hanya kandungan
oksigen pada jarak 1 dan 8 meter yang
berbeda nyata. Pada pengamatan di lapisan
atas (4,25 meter), tidak tampak nilai oksigen
yang berbeda nyata.
Kandungan oksigen terlarut pada
kedalaman outlet 6 meter di lapisan
pengamatan atas (5,75 meter) berbeda
nyata secara horisontal. Setelah dilakukan
uji BNT ternyata nilai oksigen yang berbeda
nyata adalah antara jarak 1 dan 8 m serta 2
dan 8 meter. . Pada lapisan pengamatan
bawah
(6,25
meter)
diperoleh
nilai
kandungan oksigen yang berbeda nyata
secara horisontal.
Hasil uji BNT
menunjukkan nilai kandungan oksigen yang
berbeda nyata antara jarak 1 dan 8 m serta
jarak 2 dan 8 meter.
Uji statistik one way anova antar
kedalaman pengamatan (Tabel 3.) dilakukan
untuk mengetahui apakah nilai kandungan
oksigen
terlarut
pada
kedalaman
pengamatan atas (-25 cm) dan bawah (+25
cm) dari lubang outlet aerasi mempunyai
nilai yang sama atau oksigen terlarut pada
lapisan atas (-25 cm) lebih besar
dibandingkan lapisan bawah (+25 cm).
15
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Tabel 3. Uji one way anova antar kedalaman
pengamatan (-25 cm dan +25 cm
dari outlet aerasi)
Kedalaman
outlet
2 meter
4 meter
6 meter
Jarak
pengamatan
horisontal
1m
2m
3m
1m
2m
3m
1m
2m
3m
Anova
S
S
S
S
TS
TS
TS
TS
TS
Kandungan oksigen terlarut di
kedalaman outlet 2 meter pada jarak 1
meter, 2 meter dan 3 meter berbeda nyata
antara kedalaman 1,75 meter (lapisan atas)
dengan kedalaman 2,25 meter (lapisan
bawah), atau dengan kata lain lapisan atas
nilai oksigen terlarutnya lebih besar
dibandingkan dengan lapisan bawah.
Kandungan oksigen terlarut di
lapisan atas dan bawah kedalaman 4 meter
pada jarak 1 meter berbeda nyata, namun
tidak berbeda nyata di jarak 2 dan 3 meter.
Pengujian Anova pada kedalaman 6 meter
menunjukkan bahwa baik pada jarak 1
meter, 2 meter, maupun 3 meter antara
lapisan atas dan bawah tidak mempunyai
kandungan oksigen terlarut yang berbeda
nyata. Berdasarkan pengamatan, gambaran
konsentrasi DO yang terjadi akibat alat
aerasi hipolimnion pada lokasi outlet aerasi
kedalaman 2, 4 dan 6 meter adalah seperti
disjikan pada Gambar 2.
Secara umum, aerasi hipolimnion
akan memberikan pengaruh peningkatan
oksigen secara vertikal dan horinsontal yang
lebih besar pada kedalaman outlet 2 meter
dibandingkan dengan perlakuan titik outlet
kedalaman 4 dan 6 meter. Dari pengamatan
penambahan oksigen terlarut tersebut dapat
disimpulkan bahwa penerapan alat aerasi ini
di lapangan, diperlukan pengaturan luasan
oksigen terlarut di daerah KJA yang sangat
tergantung pada pengaturan kedalaman
outlet aerasi serta jarak vertikal dan
horinsontal outlet aerasi.
Gambar 2. Gambaran konsentrasi DO akibat
alat aerasi Hipolimnion
Penentuan Persen Saturasi Oksigen
Persentase saturasi oksigen dihitung
untuk mengetahui apakah air yang diaerasi
sudah sampai titik jenuh mengikat oksigen
atau
masih
dapat
ditingkatkan
lagi
kandungan oksigennya.
Tabel 4. Data persen saturasi oksigen pada
penggunaan
alat
aerasi
hipolimnion
Letak
Outlet
Ked
alam
an
1,75
2m
2,25
3,75
4m
4,25
5,75
6m
6,25
Jarak
(m)
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Saturasi di alat
aerasi
47,68-66,50%
47,68-66,50%
48,43-54,48%
48,43-54,48%
48,43-61,65%
48,43-61,65%
Saturasi di perairan
44,70 - 50,19%
37,64 - 40,15%
33,88 - 40,15%
32,62 - 37,64%
30,11 - 37,64%
27,60 - 35,13%
19,73 - 36,99%
14,80 - 28,36%
14,80 - 28,36%
16,31 - 23,43%
14,80 - 23,43%
14,80 - 23,43%
9,86 - 20,96%
11,10 - 20,96%
11,10 - 14,80%
10,90 - 16,03%
10,90 - 14,80%
8,63 - 14,80%
Berdasarkan nilai persen saturasi
oksigen pada tabel 4. yang diperoleh dari
hasil pengamatan, tidak didapatkan kadar
oksigen yang melebihi nilai jenuh oksigen
atau supersaturasi. Alat aerasi hipolimnion
mampu meningkatkan persen saturasi
oksigen menjadi 47,68-66,50% di kedalaman
2 meter dan 48,43-54,48% di kedalaman 4
meter. Sebagai perbandingan persen
saturasi oksigen secara alami di KJA Waduk
16
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
Saguling menurut Satria (2007) pada
kedalaman 2 meter adalah 15-38% dan
kedalaman 4 meter adalah sebesar 5-28%.
Berdasarkan nilai persen saturasi
oksigen pada Tabel 4 yang diperoleh dari
hasil pengamatan, tidak didapatkan kadar
oksigen yang melebihi nilai jenuh oksigen
atau supersaturasi. Alat “aerasi hipolimnion”
mampu meningkatkan persen saturasi
oksigen sebesar 47,68-66,50% di kedalaman
2 meter, 48,43-54,48% di kedalaman 4
meter, dan 48,43-61,65% di kedalaman 6
meter.
Hasil pengamatan pada saat air
telah dikembalikan pada kedalaman semula
adalah bahwa secara horinsontal persen
saturasi oksigen cenderung lebih tinggi pada
daerah yang lebih dekat dengan titik outlet
aerasi. Selain itu, kandungan oksigen pada
lapisan atas (-25 cm dari outlet aerasi)
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
lapisan bawah (+25 cm outlet aerasi). Pola
persen saturasi tersebut sama untuk
kedalaman outlet 2, 4, maupun 6 meter.
Sebagai perbandingan, persen saturasi
oksigen secara alami di KJA Waduk
Saguling menurut Satria (2007) pada
kedalaman 2 meter adalah 15-38%,
kedalaman 4 meter 5-28% dan 0-17% pada
kedalaman 6 meter.
Berdasarkan data dan pengamatan
selama penelitian, alat aerasi hipolimnion
yang dibuat masih dapat dikembangkan dan
ditingkatkan
kemampuannya
untuk
menaikkan
oksigen
terlarut
atau
meningkatkan nilai saturasinya menjadi lebih
tinggi.
Persen
saturasi
alat
aerasi
hipolimnion komersial yang ada saat ini
sudah ada yang mampu meningkatkan
persen
saturasi
90-100%
dengan
-1
konsentrasi oksigen 8 mgL dari permukaan
danau hingga kedalaman 20 meter.
Sedangkan Bhuyar LB et al. (2009)
menyatakan bahwa aerator permukaan tipe
curve blade rotor dapat menaikkan oksigen
-1
dari konsentrasi 0,0-8,2 mgL .
Peningkatan
kemampuan
alat
“aerasi hipolimnion” ini di masa yang akan
dating, untuk menaikkan nilai persen saturasi
oksigen dapat diusahakan dengan cara
memodifikasi alat sehingga difusi oksigen
bisa lebih tinggi, menambah waktu kontak air
ISSN : 2088-8848
yang diaerasi dengan udara, serta dapat
juga menambah jumlah outlet aerasi pada
kedalaman yang diinginkan.
Efisiensi alat aerasi hipolimnion
Alat aerasi hipolimnion yang dibuat
mempunyai kemampuan menghisap dan
mengalirkan air dari dalam perairan
-1
sebanyak 30 Lmenit , namun dalam uji coba
-1
hanya
diatur
sebesar
15
Lmenit .
Sedangkan daya yang dibutuhkan untuk
menjalankan alat ini adalah 125 watt.
Pada kedalaman inlet 2 meter, laju
pelarutan oksigennya sebesar 1,98 (mgL
1
)/125W/menit atau 0,014256 kgO2/kW-jam,
sedangkan pada kedalaman 4 meter
-1
sebesar 2,93 (mgL )/125W-menit atau
0,021096 kgO2/kW-jam dan pada kedalaman
-1
6 meter sebesar 3,08 (mgL )/125W-menit
atau 0,022176 kgO2/kW-jam. Menurut Boyd
and Watten (1989) efisiensi alat aerasi
permukaan komersial tipe kincir dapat
mencapai 1.17-2,25 kgO2/kW-h, sedangkan
berdasarkan Bhuyar (2009) adalah 2,95
kgO2/kW-h.
Perbandingan
kemampuan
alat
aerasi hipolimnion yang diujicoba di Danau
Lido dengan alat-alat aerasi yang pernah
dibuat untuk aerasi atau destratifikasi danau
(Seller and Markland 1987) adalah sebagai
berikut:
Tabel 5. Perbandingan efisiensi alat-alat
aerasi danau
Lokasi
penelitian
Tipe aerasi
Kg
O2/
kW-h
Wahnbach
Aerasi
hipolimnion
0,95
Jarlasjon
Aerasi
hipolimnion
0,4
Jarlasjon
Aerasi
hipolimnion
0,95
Situ
Bojongsari
Bogor
Aerasi
hipolimnion
-
Danau Lido
Bogor
Aerasi
hipolimnion
0,014
0,021
Keterangan
Sistem
aerasi
hipolimnion
pertama
(1966)
Buatan
sendiri
“Limno”
alat aerasi
komersial
Hartoto
Dede Irving
(1990)
(2010)
2
meter,
malam hari
4
meter,
malam hari
17
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Berdasarkan Tabel 5, diketahui
bahwa efisiensi alat aerasi yang dibuat
masih di bawah dari efisiensi alat aerasi
danau yang lain. Alat aerasi hipolimnion ini
hanya mengandalkan aerasi secara alami
dari aliran air pada saat berada di bak talang
air, sehingga masih dimungkinkan upaya
untuk meningkatkan nilai efisiensinya pada
masa
yang
akan
datang
dengan
memodifikasi agar oksigen lebih banyak
terdifusi kedalam air.
Perlu dilakukan modifikasi alat
aerasi lebih lanjut, dengan memberikan
perlakuan tertentu pada saat air berada di
dalam alat aerasi, sehingga nilai efisiensi
alat dapat meningkat dan ekonomis untuk
diterapkan pada lokasi budidaya ikan di
keramba jaring apung. Perlu dilakukan pula
penelitian tentang, pemanfaatan sumber
energi listrik alternatif yang tersedia pada
lingkungan danau untuk kebutuhan energi
alat aerasi.
Kualitas air hasil aerasi dan baku mutu air
untuk perikanan
DAFTAR PUSTAKA
Menurut Straskraba dan Tundisi
(1999), aerasi hipolimnion merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan kualitas air
waduk
dan
danau.
Berdasarkan
pengamatan, secara umum kualitas air hasil
dari pengunaan alat aerasi hipolimion di
lokasi sekitar KJA Danau Lido terlihat
menjadi lebih baik daripada kualitas air
sebelumnya,
sehingga
alat
aerasi
hipolimnion ini layak digunakan dalam
membantu secara teknis pengelolaan
kualitas air di daerah KJA.
Pada saat ujicoba di lapangan, alat
“aerasi hipolimnion” yang dibuat tidak
mengakibatkan
perpindahan
atau
teraduknya massa air sehingga tidak
berbahaya pada ikan yang dipelihara di
keramba jaring apung.
Alat “aerasi
hipolimnion” ini layak digunakan dalam
membantu secara teknis pengelolaan
kualitas air didaerah KJA, namun memang
masih harus ditingkatkan kemampuannya
untuk pemakaian lebih lanjut pada masa
yang akan datang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Alat “aerasi hipolimnion” yang
digunakan pada daerah KJA Danau Lido
mampu meningkatkan konsentrasi oksigen
terlarut (DO), serta menurunkan kandungan
ammonia dan sulfida.
Penggunaan alat
“aerasi hipolimnion” dapat dijadikan sebagai
alternatif pengelolaan kualitas air di daerah
sekitar keramba jaring apung agar diperoleh
kualitas air yang lebih sesuai dengan baku
mutu perikanan.
Saran
Bhuyar LB, Thakre SB and Ingole NW. 2009.
Design characteristics of curved
blade
aerator
w.r.t.
aeration
efficiency and
overall
oxygen
transfer coefficient and comparison
with CFD modelling. International
Journal of Engineering, Science and
Technology 1:1-15.
Boyd, CE and CS Tucker. 1979. Emergency
aeration of fish ponds. Transactions
of the American Fisheries Society
108:299-306.
Boyd, CE and Watten BJ. 1989. Aeration
system in aquaculture. CRC Critical
reviews in aquatic science 1:425472.
Boyd Claude C. 1998. Pond water aeration
systems. Aquacultural Engineering
18:9-40.
Chain EB, Paladino S, Callow DS, Ugolini F,
Sluis JVD. 1952. Studies on
aeration. Bull World Hlth Org 6: 7397.
Cole GA. 1983. Text Book of Limnology
Third Edition. Waveland Press Inc.
United States of America
Hartoto
DI and Fakhrudin M. 1990.
Description of study site and
injection reactor Limnotek 3.0.
Research and development center
for limnology. Indonesian Institute for
Science. 7-13.
Hartoto DI. 1994. Experimental aeration of
Lake Bojongsari with LIMNOTEK
3.1. Impacts to Dissolve Oxygen
Level. Limnotek 1:33-43
18
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Satria DK. 2007. Kajian oksigen terlarut
selama 24 jam pada lokasi karamba
jarring apung di Waduk Saguling,
Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor:
Departemen
Manajemen
Sumberdaya
Perairan.
Institut
Pertanian Bogor.
Seller B Henderson and Markland HR. 1987.
Decaying Lakes. The Origins and
Control of Cultural Eutrophication.
John Willey & Son. New York.
Simarmata Asmika Harnalin. 2007. Kajian
keterkaitan
antara
kemantapan
cadangan oksigen dengan beban
masukan bahan organik di Waduk Ir.
H. Juanda Purwakarta, Jawa Barat
[Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Straskraba M and Tundisi JG. 1999.
Guidelines of lake management
Volume 9. Reservoir water quality
management. International Lake
Environment Committee.
Welch PS. 1952. Lymnologi. Mc. Graw - Hill
publication. New York.
Wheaton,
F.W.,
(1977).
Aquaculture
Engineering. John Wiley &. Sons Inc.
New York.
Widiyastuti E. 2004. Ketersediaan oksigen
terlarut selama 24 jam secara
vertikal pada lokasi perikanan
keramba jaring apung di Waduk Ir.
H. Juanda, Purwakarta [skripsi].
Bogor: Departemen Manajemen
Sumberdaya
Perairan.
Institut
Pertanian Bogor.
Willey Jefries and Mills D.1996. Fresh Water
Ecology, Principle and Applications.
John and Sons. UK
19
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
MORFOMETRIK KERANG Anadara granosa dan Anadara antiquata PADA WILAYAH
YANG TEREKSPLOITASI DI TELUK LADA PERAIRAN SELAT SUNDA
Ratna Komala
(1),
(2
(2)
Fredinan Yulianda ), Djamar T.F Lumbanbatu dan Isdrajad Setyobudiandi
(1),
(2),
Universitas Negeri Jakarta
Institut Pertanian Bogor
(2)
Abstrak : Penelitian telah dilakukan di Teluk Lada Perairan Selat Sunda Pandeglang Banten,
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui morfometrik sebagai salah satu aspek
pertumbuhan kerang darah (Anadara granosa) dan Kerang bulu (Anadara antiquta), serta
parameter lingkungan yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukan bahwa A, granosa
mempunyai selang klas ukuran yang lebih banyak dibandingkan A. antiquate,. hubungan panjang
berat pada A. granosa dan , A. antiquata, pada seluruh zona mengikuti pola pertumbuhan
1.459
2.214
allometrik negatif, dengan model persamaan beturut-turut W=0.060L
, , W=0.006L
, ,. yaitu
pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat dan berdasarkan nilai faktor
kondisi, maka kerang tergolong kurus Parameter lingkungan A.granosa penciri utama yang dapat
3mempengaruhi komposisi adalah kecepatan arus, TSS, NO 2 dan NH . Untuk A. antiquate adalah
oksigen terlarut, suhu air, kedalaman dan TOM
KATA KUNCI : Anadara granosa, Anadara antiquata, Morfometrik, Moluska, Teluk Lada
Adanya penangkapan yang intensif serta
banyaknya
aktifitas penduduk disekitar Teluk
PENDAHULUAN
Lada
diduga
dapat
menyebabkan
Bivalvia dikenal sebagai kelompok
perubahan
sifat
fisika-kimia
maupun
biologi
kerang yang merupakan. salah satu kelas
perairan,
sehinggga
akan
mempengaruhi
dari filum Mollusca yang mempunyai
pertumbuhan kerang. . Oleh karena itu
beberapa peranan penting. Secara ekologis
perlu dilakukan studi morfometrik terhadap
bivalvia
berperan dalam siklus rantai
kerang khususnya kerang darah (Anadara
makanan, mempengaruhi struktur komunitas
granosa) dan kerang bulu (Anadara
makrozoobentos dan sebagai bioindikator
antiquate) tersebut. Untuk mengetahui pola
(Meadows dan Campbell,
1990 dalam
pertumbuhan kerang, distribusi frekuensi dan
Jamabo et al 2009)) . Secara ekonomi
faktor kondisi yang berada di alam dan
beberapa spesies mempunyai kandungan
faktor-faktor lingkungan
apa saja yang
gizi yang cukup tinggi dan merupakan
mempengaruhinya, sebagai dasar upaya
sumberdaya perairan yang dapat dijadikan
pengelolaan sumberdaya kerang tersebut.
sebagai sumber mata pencaharian nelayan,
contohnya adalah jenis kerang darah
Metode Penelitian
(Anadara granosa), kerang bulu (Anadara
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juliantiquata) dan kerang hijau (Perna viridis).
September
2010 di perairan Teluk Lada
Keberadaan
kerang
sangat
Selat
Sunda,
Pandeglang Banten. Metode
dipengaruhi oleh parameter fisika- kimia
penelitian
yang
digunakan adalah deskriptif
maupun
biologis
perairan.
Substrat
dengan teknik survey, penentuan Zona
mempunyai peranan penting bagi kerang
pengambilan sampel dengan purposive
karena selain sebagai tempat hidup dan
sampling.
membenamkan diri juga sebagai tempat
Lokasi penelitian terdiri dari 3 Zona,
penyedia sumber makanan. Beberapa
berdasarkan lokasi tempat penangkapan
kerang
hidup pada laut dangkal yang
kerang, yaitu zona I (Pantai Bama), zona II
berlumpur dan berpasir.
( Pantai Cibungur) dan zona III (Pantai
Salah satu perairan yang cocok untuk
Panimbang)
Pada tiap zona terdiri dari 3
habitat kerang adalah di Teluk Lada yang
stasiun pengamatan, sehingga total terdapat
merupakan bagian wilayah Selat Sunda
9 stasiun.
terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau
Jawa. Selat ini merupakan selat yang
Sampel kerang
diambil pada setiap
dinamis, dimana massa air Laut Jawa
stasiun
pengamatan
selama
3 bulan dengan
bercampur dengan massa air yang berasal
interval
waktu
setiap
satu
bulan. dengan
dari Samudera Hindia (Hendiarti et al.,
metode
sapuan
(Swept
Area)
menggunakan
2004). Wilayah ini merupakan sentra kerang
alat
tangkap
kerang
(garok)
yang ditarik
di Indonesia, dengan beberapa jenis kerang
dengan kapal motor. Penentuan titik stasiun
yang potensial antara lain Anadara
dengan
bantuan
alat
GPS
(Global
antiquata, Anadara granosa, Barbatia
Positioning System).
decussata dan Scapharca pilula.
.Sampel yang diperoleh diambil secara
acak dimasukan dalam wadah, dipilah-pilah,
20
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
dibersihkan, dimasukan dalam kantong
plastik
serta
diberi
label
kemudian
dimasukan ke dalam coolbox. Selanjutnya
diidentifikasi
dengan
bantuan
buku
identifikasi dari Abbot (1982) dan Dharma
(1992)
Pengukuran
morfometrik
kerang
dengan menggunakan jangka sorong digital,
meliputi panjang cangkang yang diukur dari
bagian dorsal margin yaitu pada bagian
umbo sampai ventral margin sedangkan
lebar cangkang diukur dari bagian anterior
sampai dengan posterior kerang. Lebar
cangkang ini merupakan jarak vertikal
terpanjang
dari
cangkang
kerang.
Pengukuran berat total dan berat daging ini
dengan menggunakan alat neraca digital.
Berat total kerang diukur dengan cara
menimbang kerang secara keseluruhan
beserta cangkangnya, sedangkan untuk
berat daging diukur dengan cara menimbang
daging kerang yang telah dipisahkan dari
cangkangnya (penimbangan kerang tanpa
menggunakan cangkang)..
. Data parameter lingkungan fisik kimia
yang diukur meliputi: Suhu, salinitas,
kekeruhan, kecerahan, kedalaman, pH,
kecepatan arus, substrat, Dissolved Oxygen
(DO),BOD5, bahan organik total (TOM), nitrat
(NO3), nitrit (NO2), Amoniak dan ortofosfat
(PO4) dan substrat.
Analisis data meliputi :
1.
Distribusi frekuensi-panjang
Pendugaan
kelompok
ukuran
dilakukan
dengan
menganalisis
frekuensi panjang. Distribusi frekuensi
panjang dikelompokan ke dalam
beberapa kelompok panjang yang
diasumsikan
menyebar
normal.
Distribusi
frekuensi
panjang
didapatkan
dengan
menentukan
selang kelas, nilai tengah kelas, dan
frekuensi dalam setiap kelompok
panjang.
2.
Hubungan Panjang-Berat
Analisis data pola pertumbuhan
kerang diketahui melalui hubungan
panjang cangkang dengan berat tubuh
kerang
yang
dianalisis
melalui
hubungan persamaan regresi kuasa
(power regression) sebagai berikut
ISSN : 2088-8848
Log y = a log x + log b
Keterangan:
Log b =
Nilai
b=3
menggambarkan
pertumbuhan isometrik atau pertambahan
penjang seimbang dengan pertambahan
bobotnya.
Nilai
b≠3
menggambarkan
pertumbuhan allometrik. Jika b kurang dari 3
menunjukan keadaan yang kurus dimana
pertambahan
panjang
lebih
cepat
dibandingkan pertambahan bobotnya. Jika b
lebih
dari 3 menunjukan pertambahan
bobot lebih cepat dibandingkan dengan
pertambahan panjangnya (Effendie 1997).
Untuk menguji b > 3 atau b < 3 dilakukan ujit dengan hipotesis:
H0: b > 3, hubungan panjang dengan berat
adalah allometrik positif
H1: b < 3 hubungan panjang dengan berat
adalah allometrik negatif
t hitung =
b1 - b0
Sb1
b1 =nilai b (hubungan dari panjang dan
berat), b0 = 3, dan sb1 = simpangan
koefisien b. Selanjutnya nilai t hitung
dibandingkan dengan nilai ttabel pada
selang kepercayaan 95%. Kemudian
untuk mengetahui pola pertumbuhan,
kaidah keputusan
yang diambil
mengacu pada Nasoetion & Barizi
(1980) yaitu: jika thitung > ttabel maka
terima H1 dan jika thitung < ttabel maka
gagal tolak H0 (hipotesis nol).
Pengolahan
data
menggunakan
Microsoft Excel 2007.
3. Faktor Kondisi
Menurut Effendie (1997) perumusan
faktor kondisi dinyatakan sebagai berikut:
(Hile 1963 dalam Effendie 1997):
Keterangan:
W
= berat total (gr)
L
= panjang total (mm)
a,b
= konstanta
Persamaan diatas dapat dirubah dalam
bentuk linier, yaitu sebagai berikut:
∑ log y - N log b
∑ log x
Kn
Wb
L
a,b
Keterangan:
= Faktor kondisi relatif
= berat individu yang teramati
= panjang cangkang (mm)
= konstanta
21
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
4.
Variasi Karakteristik Lingkungan
Perairan
Untuk
mengkaji
variasi
karekteristik
lingkungan
perairan
antar
waktu
pengamatan, digunakan suatu pendekatan
analisis
statistic
multivariable
yang
didasarkan pada Analisis Komponen Utama
(Principal Component Analysis)
b
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
a. Berdasarkan Frekuensi panjang kerang
A. granosa dan A. Antiquata
pengukuran secara keseluruhan kerang A.
granosa dikelompokan ke dalam 13 kelas
ukuran panjang sedangkan untuk A.
antiquata
terdiri dari, 9 kelas ukuran
panjang.
Ukuran terpanjang pada A.
granosa yaitu 31.84 mm, dengan frekuensi
tertinggi diperoleh pada kisaran ukuran
13.93-16.17 mm berasal dari zona 1
sebanyak 601 individu dan frekuensi
terendah diperoleh pada ukuran 27.3729.61 mm berasal dari zona 1 sebanyak 2
individu.
Ukuran terpanjang pada A.antiquata
yaitu 46.45 mm dengan Frekuensi tertinggi
diperoleh pada kisaran ukuran panjang
13.93-16.17 mm berasal dari zona 1
sebanyak 601 individu. Sedangkan frekuensi
terendah diperoleh pada ukuran 27.37-29.61
mm berasal dari zona 1 sebanyak 2 individu.
Gambaran Data ukuran frekuensi panjang
cangkang dari seluruh zona pada
A.
granosa dan A.
antiquata terlihat pada
Gambar 1.
Gambar
1.
Sebaran frekuensi panjang
gabungan seluruh zona (a)
A. granosa, (b) A. antiquata
b. Hubungan panjang-berat
Kerang A. granosa dari zona 1, zona 2
dan zona 3 memiliki persamaan hubungan
panjang-berat berturut-turut zona yaitu
2.398
0.899
W=0.004L
;
W=0.284L
dan
0.841
W=0.339L
. Pada A.antiquata dari dari
zona 1, zona 2 dan zona 3
memiliki
persamaan hubungan panjang berturut-turut
2.759
2.194
pada yaitu W=0.001L
; W=0.706L
;
2.169
dan W=0.008L
. Persamaan hubungan
panjang berat dari seluruh zona dari
A.granosa dan A. antiquata mempunyai nilai
b kurng dari 3 sehingga pola pertumbuhan
allometrik negativ (Gambar 2)
a
b
a
Gambar 2. Persamaan hubungan panjang
berat kerang seluruh zona
(a) A. granosa, (b) A.
antiquata
22
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Untuk nilai koefisien a dan b dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil perhitungan hubungan panjang bobot total kerang A. granosa dan
di Perairan Teluk Lada
Jenis
A.granosa
A.antiquata
Zona
1
2
3
Total
1
2
3
Total
n
1616
368
643
2627
6
195
66
267
b
2.398
0.899
0.841
1.459
2.759
2.194
2.169
2.214
r
0.768
0.469
0.578
0.625
0.763
0.840
0.972
0.878
c. Faktor Kondisi (Kn)
Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai b
pola pertumbuhan diperoleh nilai faktor
kondisi (Kn) kerang A. granosa dan A.
antiquate (Gambar 3).
Gambar 3. Grafik faktor kondisi (Kn) A.
granosa dan A. antiquate
berdasarkan ukuran selang
kelas
d .Parameter lingkungan
Berdasarkan analisis PCA, parameter
lingkungan di zona 1, 2 maupun 3 memiliki
kemiripan yang yang sama dan berkorelasi
positif dengan kecepatan arus, TSS,
salinitas, NH3 da NO2 (zona 1), kedalaman,
oksigen terlarut dan TOM (zona 2) dan
kelembaban, pH, kecerahan dan pasang
surut (zona 3)
Pembahasan
Jika dibandingkan dengan A. granosa,
walaupun selang ukuran A. antiquata lebih
sedikit, namun ukuran makismum
lebih
besar dengan frekuensi terpanjang berada
pada kisaran 42.71-46.45 mm. sedangkan A
granosa selang kelas lebih banyak , namun
ukuran maksimal lebih kecil dengan
frekuensi terpanjang pada ukuran 29.6131.84mm.
Menurut Matsuura (2000)
dalam
Hendiati (2004) panjang cangkang pada A.
antiquata bisa mencapai 70 mm. Sedangkan
R2
0.590
0.220
0.334
0.390
0.953
0.706
0.945
0.772
T hit
12.0755
23.795
46.041
43.332
0.7887
7.9127
12.805
10.649
T tab
1.9614
1.9665
1.9637
1.9609
2.7764
1.9723
1.9977
1.969
A. antiquata
Pola pertumbuhan
allometrik negatif
allometrik negatif
allometrik negatif
allometrik negatif
allometrik negatif
allometrik negatif
allometrik negatif
allometrik negatif
Narasimham (1969) dalam Broom
(1982) menjelaskan bahwa panjang total
kerang A. granosa dapat mencapai 49.5
mm. Dapat dikatakan bahwa kerang-kerang
yang didapatkan di Teluk ini ukurannya
tergolong kecil-kecil dan kurus , Ukuran
maksimum pada setiap zona berbeda-beda
diduga kondisi lingkungan yang kurang
optimum khususnya substrat atau karena
adanya aktifitas penangkapan yang intensif,
Perbedaan frekuensi tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor, seperti keturunan,
jenis kelamin, umur, parasit, penyakit,
makanan, suhu, kualitas air (Effendie, 1997).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi
laju pertumbuhan kerang. yaitu temperatur
air. makanan. dan aktivitas reproduksi
(pemijahan)
(Jamabo,
et.al.
2009).
Perbedaan
panjang
maksimum
yang
diperoleh dapat disebabkan beberapa
kemungkinanantara lain perbedaan lokasi,
keterwakilan contoh yang diambil dan
adanya tekanan penangkapan yang tinggi
atau terdapat faktor yang sulit dikontrol
seperti keturunan, umur, parasit, dan
penyakit.
Faktor
luar
yang
utama
mempengaruhi pertumbuhan biota air yaitu
suhu dan makanan (Aldrich, 1986)
Secara uum pola pertumbuhan baik A
granosa maupun A. antiquata bersifat
allometrik negatif yang berarti kerag dalam
kondisi kuru. Berdasarkan grafik hubungan
panjang berat kerang A. granosa didapatkan
2
nilai koefisien determinasi (R ) adalah 0.334
menunjukan
bahwa
panjang
kerang
mempengaruhi berat total kerang sebesar
33.4%. nilai koefisien korelasi (r) adalah
0.58,
Sedangkan kerang A. antiquata
2
didapatkan nilai koefisien determinasi (R )
adalah 0.945 menunjukan bahwa panjang
kerang mempengaruhi berat total kerang
sebesar 94.5%. Berdasarkan perhitungan
didapatkan pula nilai koefisien korelasi (r)
adalah 97, hal ini berarti hubungan antara
panjang dengan berat kerang Anadara
antiquata pada zona 3 adalah sangat erat.
Kerang
yang
berukuran
kecil
mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi,
23
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
kemudian menurun ketika kerang tersebut
bertambah besar, serta peningkatan nilai
faktor
kondisi
dapat
terjadi
karena
perkembangan gonad yang akan mencapai
puncak sebelum memijah (Broom, 1980).
Nilai indeks kondisi yang paling besar
berada pada selang kelas 2.73-4.96 yaitu
sebesar 2,274, dan terkecil pada selang
kelas 13.93-16.16 mm yaitu 1.061. Pada A.
antiquata nilai Kn terbesar pada selang kelas
42.71-46.45 mm yaitu 1.215, sedangkan
terkecil pada selang kelas 38.96-42.70 mm
yaitu 0.877.
Menurut Jamabo (2009)
A.granosa mulai berkembang pada ukuran
15 sampai 16 mm. Perbedaan faktor kondisi
pada masing-masing selang kelas ini diduga
disebabkan oleh umur dan strategi
reproduksi dari setiap individu. karena
menentukan apakah suatu individu mau
mengumpulkan
energi
untuk
pertumbuhannya ataukah untuk persiapan
reproduksi (Beesley, 1988).
Parameter lingkungan tiap zona dan
tiap bulan berfluktuasi sangat kecil, dan
mempunyai kemiripan antar stasiun. Hal ini
diduga karena penelitian dilakukan karena
masih dalam satu musim
KESIMPULAN
1.
Ukuran
maksimum
kerang
A.
antiquata lebih besar dibandingkan
dengan ukuan maksimum A, granosa
2.
Berdasarkan hubungan panjang berat
dan faktor kondisi pada A. grnosa dan
A. antiquate mempunyai . pola
pertumbuhan allometrik negative, dan
kerang dalam keadaan kurus.
3.
Secara
umum
nilai
parameter
lingkungan tiap stasiun mempunyai
kemiripan dengan walaupun tidak
optimum masih dalam kisaran yang
normal untuk mendukung kehidupan
kerang A.granosa dan A. antiquate.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrich
ISSN : 2088-8848
Department of Zoology. Andhra
University. Visakhapatnam. India
Broom MJ. 1980. The effect of exposure and
density on the growth and mortality of
Anadara granosa with an extimate of
environmental carrying capacity. Asian
symposium on mangrove environment
research and management Kuala
Lumpur 25 th – 29 th augustus.
Broom, M. J. 1982. Structure and
Seasonality in Malaysia Mud flat
Community, Estuarine Coastal and
Shelf Science (15): 1.
Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang
Indonesia (Indonesian Shell II). PT.
Sarana Graha. Jakarta.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan.
Yayasan
Pustaka
Nusatama.
Yogyakarta.
Fresi E., MC. Gambi, S. Pocardi, R. Bagagli,
F. Badli and L. Falcial.
1983.
Benthic community and sedimen
types : Stuktural analysis . Mar.
Ecol. 4(2) : 101-121
Hendiarti, N., H. Siegel, and T. Ohde. 2004.
Investif]gation of Different Coastal
Processes in Indonesia Waters Using
Sea WiFS data. Deef Sea Res., Part
II. 51:85-97.
Jamabo NA, AC Chindah and JF Alfred
Ockiya.
2009.
Length-Weight
relationship of
a mangrove
Prosobranch
Tympanotonus
fuscatus var fuscatus (Linnaeus
1758) from the Bonny Estuary,
Niger Delta. Nigeria. World Journal
of Agricultural Sciences 5(4) : 384388
JC. And Crowley M.
1986.
Condition and variabiity in Mytilus
edulis (L.) from different habitat in
Ireland. Aquaculture, 52 : 273-286
Beesley, Pamela L & Graham B.J.B.Ross.
Allice Wells 1998. Mollusca The
Southern Syntesis. Csiko Publishing.
Australia.
Bharathi, C.H. 1994. Toxicity of Insectisidies
and effect on The Behavior of The
Blood
Clam
Anadara
granosa.
24
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
KONDISI BIOLIMNOLOGI KOLONG BEKAS GALIAN PASIR CIMANGKOK KABUPATEN
SUKABUMI DAN KESESUAIANNYA BAGI KEGIATAN PERIKANAN
Pelita Octorina
Program Studi MSP Universitas Muhammadiyah Sukabumi
Abstrak : Penelitian mengenai kondisi Biolimnologi dan Status Trofik Kolong Bekas Galian Pasir
Cimangkok Kabupaten Sukabumi dan Kesesuaiannya Bagi Budidaya Perikanan telah dilakukan
pada bulan Maret – November 2009. Tujuan dari penelitian adalah menelaah parameter fisika,
kimia dan biologi dari perairan kolong bekas galian pasir. Sedangkan kondisi status trofik dari
kolong galian pasir digunakan untuk dapat mengetahui tingkat kesuburan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa berdasarkan parameter fisika kondisi perairan kolong galian pasir memenuhi
kriteria air yang diperlukan untuk kegiatan perikanan. Berdasarkan keberadaan fitoplankton
stasiun 1 didominasi cyanophyceae dan stasiun 2 didominasi oleh chlorophyceae. Kelimpahan
plankton di stasiun 1 lebih tinggi dari stasiun 2. Produktivitas primer stasiun 1 lebih tinggi dari
stasiun 2. Berdasarkan parameter total P, total N , produktivitas primer, PO4 dan kecerahan maka
status trofik kedua stasiun adalah mesotrofik- eutrofik dimana stasiun 1 lebih subur dari stasiun 2.
Kata Kunci : Parameter fisika-kimia, Produktivitas Primer, Status Trofik, Budidaya Ikan.
PENDAHULUAN
Bekas galian pasir di Cimangkok
menimbulkan berbagai masalah pada
kehidupan masyarakat mulai dari minimnya
kontribusi perusahaan penggali pasir pada
kegiatan perekonomian rakyat hingga
kerusakan lingkungan. Namun dibalik
dampak merugikan yang ditinggalkan bekas
galian pasir cimangkok dapat dicari sebuah
solusi yang diharapkan mampu untuk
menambah pendapatan masyarakat yaitu
dengan mengkonversi kolong bekas galian
pasir menjadi lokasi budidaya perikanan
(Gunardi dan Wardoyo, 2006).
Dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan dikolong galian pasir, kegiatan
tersebut harus bersifat produktif, efisien dan
berkelanjutan,
keberhasilan
dilihat
berdasarkan besarnya produksi biomassa
ikan yang dihasilkan dan keberlanjutannya.
Biomassa ikan sebagai bagian puncak dari
piramida
makanan
sangat
ditentukan
produksi primer di tingkat dasar, namun
produktvitas ikan tidak hanya tergantung
pada ketersediaan pakan, tetapi juga oleh
kondisi lingkungan perairan yang dapat
mendukung kenyamanan ikan.
Kolong
bekas
galian
pasir
merupakan badan perairan baru yang tidak
didesain untuk sebuah lingkungan usaha
perikanan baik perikanan tangkap maupun
perikanan budidaya (Wardoyo dan Ismail,
1998). Pemanfaatan sumberdaya hayati
yang terdapat di perairan kolong bekas
galian pasir terbentur kondisi lingkungan
perairan yang tidak menentu (Krismono dkk,
1998). Morfometri danau yang belum
diketahui dan sumber air masuk serta
saluran pengeluaran yang tidak terlalu besar
dikhawatirkan tidak mampu menyediakan
unsur hara yang cukup serta lingkungan
yang cocok untuk pembentukan biomassa
hayati perairan baik plankton maupun ikan.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan apakah
ekosistem perairan kolong tersebut cukup
stabil
sehingga
dapat
mendukung
pemanfaatan sumberdaya ikan
dengan
produksi yang maksimal. Dengan demikian
perlu dilakukan sebuah kajian mengenai
kondisi biolimnologi dan status trofik kolong
bekas galian pasir.
METODE
Pengamatan
kondisi
biolimnogi
sumberdaya perairan bekas kolong galian
pasir di wilayah Cimangkok Kecamatan
Sukalarang Kabupaten Sukabumi dilakukan
selama 8 bulan. Pengambilan sampel
dilakukan pada bulan Maret - November
yang mewakili musim penghujan, musim
peralihan dan musim kering.
Pengambilan data dilakukan dengan
cara observasi dan pengukuran langsung
serta wawancara. Metode sampling yang
digunakan merujuk pada stratified method
25
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
sampling (Nielson dan Johnson dalam
Mariyam, 2007) yaitu :
1. Stratifikasi secara horizontal, penentuan
stasiun pengamatan mulai dari inlet,
bagian tengah sampai outlet sebanyak
tiga stasiun yang dianggap mewakili.
2. Stratifikasi secara horizantal, yaitu
pengamatan strata kedalaman
3. Stratifikasi musim yaitu pengambilan
sampel dan pengamatan di setiap lokasi
pada musim hujan, musim peralihan dan
musim kering.
Setiap stasiun penelitian dilakukan
pengambilan contoh air pada setiap
kedalaman dengan menggunakan water
sampler , kemudian analisa kualitas air
dilakukan secara insitu dan di laboratorium.
Pengambilan
contoh
plankton
dilakukan dengan plankton net. Penentuan
status
trofik
perairan
menggunakan
parameter O2, total N, P-PO4, total P,
Produktivitas primer dan kecerahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Fisika dan Kimia
Suhu perairan bekas galian pasir
pada stasiun 1 selama penelitian berkisar
o
antara 24 – 26 C, sedangkan pada stasiun 2
o
berkisar antara 22 – 23 C. Suhu pada
stasiun 1 relatif lebih tinggi jika dibandingkan
dengan suhu di stasiun 2, hal ini disebabkan
pada stasiun 2 hampir seluruh permukaan
tertutupi oleh eceng gondok sehingga
penetrasi cahaya matahari terhalang dan
tidak dapat memanaskan perairan. Selain itu
pun jumlah inlet yang lebih banyak dan
berukuran besar dan outlet yang juga cukup
besar membawa air masuk dan air keluar
yang cukup banyak air cukup cepat sehingga
cahaya matahari tidak sempat memanaskan
secara maksimal.
Kecerahan perairan
di stasiun 1 pada saat penelitian berkisar
antara 44-80 cm. Pada daerah inlet dan
outlet yang dangkal kecerahan mencapai
100%. Sedangkan pada substasiun tengah
memiliki rata-rata kecerahan sekitar 68,8 cm.
Pada stasiun 2 tingkat kecerahan lebih tinggi
jika dibandingkan dengan stasiun 1. Pada
substasiun
tengah
kecerahan
dapat
mencapai 220 cm. Tingginya kecerahan di
stasiun dua dapat disebabkan oleh tingginya
populasi eceng gondok baik di derah inlet,
outlet maupun tengah yang dapat menyaring
prtikel-partikel yang masuk ke perairan dari
ISSN : 2088-8848
daratan. Selain itu penutupan eceng gondok
yang nyaring 60% juga menghalang
kesempatan tumbuhnya fitoplankton yang
juga dapat mempengaruhi tingkat kecerahan
suatu perairan.
Nilai kecerahan 30 – 60 pada
umumnya masih baik untuk produksi
perikanan (Kordi dan Tancung, 2007). Ratarata situ bekas galian pasir memiliki tingkat
kecerahan yang cukup baik untuk kegiatan
budidaya yaitu lebih dari 40 cm.
Hasil pengukuran mengenai padatan
tersuspensi (total suspended solids/ TSS) di
stasiun 1 berkisar antara 10 – 18 mg/l dan
pada stasiun 2 antara 1,4-12 mg/l, pada
bagian dasar nilai TSS cukup tinggi karena
mengandung sediment dasar. Sedangkan
nilai padatan terlarut (total dissolved solids)
pada stasiun 1 berkisar antara 86-260 mg/l
dan di stasiun 2 berkisar antara 116 – 840
mg/l. Nilai TSS di stasiun 1 lebih tinggi jika
dibandingkan dengan stasiun 2, jika
dihubungkan dengan tingkat kecerahan
maka kedua nilai ini berhubungan.
Alabaster dan Llyod (1980) dalam
Wardianto, dkk (2003) menyebutkan bahwa
muatan tersuspensi sebesar 25-80 mg/l
menunjukan pengaruh sedang hingga baik
(sedikit
berpengaruh)
untuk
kegiatan
perikanan, sedangkan muatan padatan
tersuspensi antara 80-400 mg/l kurang
menunjang usaha perikanan. Nilai TDS yang
disarankan untuk perairan golongan tiga
adalah 1000 mg/l (PP No 82 tahun 2001).
Secara umum pada permukaan
stasiun 1 memiliki pH antara 7 hingga 9
berarti perairan tersebut cenderung alkalis,
sedangkan Stasiun 2 memiliki pH sekitar 6
hingga 7 yang berarti normal cenderung
asam. Distribusi vertikal pH berdasarkan
kedalaman pada Stasiun 1 menunjukan
penurunan yaitu bernilai 7 hal ini disebabkan
sisa basa yang berasal dari limbah kegiatan
penduduk tidak mencapai dalam perairan
terutama bagian hipolimnion, sedangkan
pada Stasiun 2 tetap yaitu 6 hingga 7.
Fluktuasi nilai pH pada masing-masing
stasiun pada setiap waktu pengamatan tidak
menampakan perbedaan yang mencolok.
Tingginya nilai pH pada Stasiun 1
disebabkan oleh minimnya konsentrasi CO 2
dan dipergunakannya perairan tersebut
26
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
sebagai lokasi tempat pencucian kendaraan
sehingga
bagian
permukaan
banyak
mendapat masukan ion-ion OH- yang
bersifat basa.
Nilai DO di stasiun 1 berkisar antara
1,17-13,27 mg/ldan di stasiun 2 berkisar
antara 0-9,83 mg/l. Pada stasiun 1 rata- rata
memiliki nilai DO yang lebih tinggi di stasiun
2 hal ini berkaitan dengan jumlah fitoplankton
yang melakukan fotosintesis sebagai sumber
O2 di stasiun 1 lebih banyak dari pada di
stasiun 2. Umumnya konsentrasi DO
dipermukaan relatif lebih besar dari pada
lapisan yang lebih dalam. Penurunan
konsentrasi DO berdasarkan kedalaman
berkaitan dengan semakin kedasar maka
kandungan bahan-bahan organik semakin
meningkat sehingga diperlukan lebih banyak
okigen untuk mengurai bahan-bahan organik
tersebut.
Effendi (2003) melaporkan bahwa
perairan dengan kelarutan oksigen antara
4,5-6,4 mg/l merupakan perairan dengan
kondisi tercemar sangat ringan, berdasarkan
hal tersebut kolong galian pasir merupakan
perairan dengan tingkat pencemaran yang
sangat ringan. Beberapa ikan mampu
bertahan hidup pada perairan dengan
konsentrasi oksigen terlarut sekitar 3 ppm,
namun sebagian besar organisme air
budidaya hidup optimal pada konsentrasi
oksigen 5- 7 ppm.
Nilai BOD yang didapat dari stasiun
1 berkisar antara 0,9- 5,01 mg/l, sedangkan
di stasiun 2 berkisar antara 0 – 3,24 mg/l.
Nilai BOD di kedua perairan cenderung kecil
diduga berhubungan dengan nilai TOM yang
juga kecil sehingga tidak banyak oksigen
yang diperlukan untuk merombak bahan
organic menjadi nutrient. Umumnya nilai
BOD di dasar perairan lebih tinggi dari pada
di daerah lainnya hal ini disebabkan
konsentrasi bahan organic cukup tinggi
sehingga diperlukan oksigen yang lebih
banyak untuk mengurainya.
Lee et al, (1978) dalam Widhiasari
(2003) menyatakan bahwa perairan dengan
nilai BOD 3-5 mg/l memiliki status tercemar
ringan sedangkan nilai di bawah 2,9 mg/l
memiliki status tidak tercemar. Pada
pengamatan pertama saat musim kemarau
nilai BOD lebih tinggi jika dibandingkan
ISSN : 2088-8848
pengamatan selanjutnya ketika musim hujan.
Hal ini disebabkan saat musim hujan terjadi
pengenceran air sehingga kadar bahan
organic
berkurang
dengan
demikian
kebutuhan oksigen untuk penguraian sedikit
berkurang.
Hasil analisis di lapangan pada saat
penelitian menunjukan bahwa perairan
stasiun 1 pada bagian permukaan umumnya
memiliki kadar CO2 bebas 0 mg/l namun
pada kedalaman 5 meter kebawah mulai
terdeteksi kandungan CO2 yang cukup tinggi,
konsentrasi yang tertinggi ditemukan pada
dasar
perairan.
Pada
stasiun
dua
konsentrasi CO2 terdeteksi pada permukaan
baik inlet, outlet maupun di daerah tengah.
Pada stasiun 1 kelimpahan fitoplankton yang
tinggi pada kolom epilimnion menyebabkan
konsentrasi CO2 tidak terdeteksi. Pada
stasiun 2 tingginya konsentrasi CO2
disebabkan sediitnya fitoplankton yang dapat
memanfaatkan CO2 di perairan dan
banyaknya sisa-sisa eceng gondok yang
membusuk dan menjadi bahan organic yang
penguraiannya menghasilkan CO2.
Tingginya konsentrasi CO2 di
perairan dapat mengganggu kehidupan biota
air. Konsentrasi CO2 lebih dari 12 mg/l dapat
menyebabkan tekanan pada ikan karena
menghambat pernafasan dan pertukaran
gas. Kandungan CO2 ayang aman dalam air
tidak boleh melebihi 25 mg/l sedangkan
konsentrasi
diatas
100
mg/l
dapat
menyebabkan kematian pada seluruh biota.
Nilai CO2 yang tinggi di stasiun 2 umumnya
melebihi ambang batas konsentrasi yang
disarankan, namun pada permukaan kadar
CO2 masih dapat ditolelir ikan sehingga
perairan ini masih dapat dijadikan lokasi
budidaya ikan.
Nilai COD yang terukur di stasiun 1
berkisar antara 6,32 – 13,43 mg/l sedangkan
di stasiun 2 sekitar 0,2 – 7,90 mg/l. Nilai
COD di kedua stasiun pengamatan termasuk
kecil yaitu dan berada dibawah ambang
batas nilai COD yang diperuntukan bagi
kegiatan perikanan yaitu 50 mg/l (Effendi,
2003).
Kisaran kadar nitrit perairan adalah
sekitar 0,019-0.330 mg/l dan stasiun 2
sekitar 0,01 – 0,098 mg/l. Tingginya
konsentrasi nitrit disebabkan oleh tingginya
27
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
kandungan bahan organik dengan unsur
nitrogen yang masuk ke perairan.
Pada umumnya konsentrasi nitrit di
alam sangat kecil berkisar antara 0,0 – 0,01
mg/l dan dapat mencapai 1 mg/l pada batas
air – sedimen. Nitrit bersifat sangat toksik
bagi hewan perairan yang sangat sensitif jika
kandunganya lebih dari 0,05 mg/l dimana
jenis toksisitasnya dipengaruhi oleh stadia
organisme, suhu perairan dan bahan toksik
lainnya yang dapat bersifat sinergis maupun
antagonis (Boyd, 1990). Prescod (1973) juga
menyatakan bahwa kandungan nitrit dan
amonia perairan di bawah 1 mg/l tidak
membahayakan untuk kegiatan perikanan.
Berdasarkan
kandungan
nitrit
perairan kolong galian pasir terutama stasiun
1 dapat dikatagorikan tercemar yaitu lebih
dari 0,014 mg/l (Wardoyo, 1998) namun
masih memungkinkan untuk kegiatan
budidaya ikan dengan intensitas yang cukup
terbatas.
Nilai nitrat yang terukur di stasiun 1
pada saat pengamatan adalah sebesar
0,034 – 0,175 mg/l sedangkan pada stasiun
2 sekitar 0,041 – 0,453 mg/l. Kandungan nilai
nitrat yang bervariasi tergantung dari limbah
buangan organic yang mengandung unsur
nitrogen.
Nilai total nitrogen yang terukur di
stasiun 1 berkisar antara 0 – 3,02 mg/l
sedangkan pada stasiun2 berkisar antara 0 –
2,43 mg/l. di perairan alami kadungan
nitrogen organic diperairan berkisar antara
0,1 – 5 mg/l, sedangkan di perairan tercemar
dapat mencapai 100 mg/l (Dojlido dan Best,
1992). Berdasarkan nilai tersebut maka
kandungan nitrogen di kedua perairan masih
berada dalam batasan yang normal.
Nilai kandungan ortofosfat perairan
di stasiun 1 berkisar antara 0,019 – 0,271
mg/l dimana kandungan ortofosfat di daerah
inlet dan dasar lebih tinggi jika dibandingkan
dengan di daerah outlet. Tingginya
kandungan ortofosfat di daerah inlet
disebabkan beban masukan ke dalam
perairan
yang
berasal
dari
limbah
pemukiman sedangkan nilai tinggi di dasar
perairan sesuai dengan salah satu sumber
ortofosfat di alam yaitu tanah. Nilai
kandungan ortofosfat pada stasiun 2
berkisar antara 0,01 – 0,039 mg/l. nilai
ISSN : 2088-8848
ortofosfat yan tinggi di daerah inlet
disebabkan beban masukan dari limbah
pertanian dan limbah pemukiman yang
masuk terbawa saluran irigasi dan aliran
sungai
Cisalopa.
Lebih
rendahnya
kandungan ortofosfat di daerah tengah dan
outlet stasiun 2 disebabkan tingginya
populasi eceng gondok yang langsung dapat
memanfaatkan ortofosfat dalam perairan.
Nilai ortofosfat dalam kisaran tersebut
menurut Wetzel (2001) digolongkan ke
dalam perairan mesotrofik sampai eutrofik.
Besarnya total bahan organik yang
masuk ke situ bekas galian pasir baik
Stasiun 1 maupun Stasiun 2 berasal dari
aktivitas masyarakat sekitar situ. Inlet di
Stasiun 1 meskipun cukup kecil namun
menyumbang bahan organic yang cukup
banyak sebab inlet merupakan saluran
pembuangan limbah rumah tangga. Pada
Stasiun 2 bahan organic yang masuk ke
perairan melalui inlet 1 cukup banyak karena
inlet satu merupakan saluran irigasi yang
juga merupakan cabang sungai Cisalopa
yang telah melewati pemukiman sehingga
membawa cukup banyak bahan organik
yang berasal dari kegiatan penduduk. Nilai
TOM yang berkisar antara 8 – 29,07 mg/l
pada kedua stasiun menggambarkan
kecilnya bahan organic dari luar yang masuk
ke perairan (1-30 mg/l) (Wetzel, 2001).
Berdasarkan nilai kesadahan yang
terukur pada stasiun 1 yang berkisar antara
45,05-51,05 mg/l dan nilai pada stasiun 2
yang berkisar antara 33,03 – 57,06
menggambarkan bahwa kedua perairan
termasuk memiliki air yang lunak. Dengan
demikian dapat disebutkan bahwa kedua
perairan tersebut mengandung garam-garam
Ca dan Mg yang relative sedikit.
Alkalinitas yang terukur merupakan
alkalinitas total dari persenyawaan antara
kation Ca2+ dan Mg 2+ dengan karbonat
atau bikarbonat. Hasil penggukuran di
stasiun 1 mendapatkan kisaran alkalinitas
antara 35-71 mg/l dan di stasiun 2
mendapatkan kisaran antara 43 – 52 mg/l.
Kisaran alkalinitas ini cukup tinggi sehingga
perairan dapat dikatakan cenderung alkali,
sebab Boyd (1990) menyatakan bahwa
perairan alami memiliki nilai alkalinitas
28
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
sekitar 40 mg/l. tingginya nilai alkalinitas
menggambarkan besarnya kadar CaCO3.
Kadar besi yang terukur pada
masing-masing
stasiun
adalah
pada
permukaan berkisar antara 0,042 – 0,069
mg/l sedangkan pada bagian dasar
kandungan Fe lebih tinggi yaitu 0,32 – 0,485
mg/l. tingginya kandungan Fe pada bagian
dasar perairan disebabkan sumber Fe
berasal dari sediment pasir. Pada bagian
permukaan nilai Fe masih berada di bawah
ambang batas yaitu 0,3 mg/l (PP No 84
tahun 2001).
Parameter Biologi
Fitoplankton yang ditemukan pada
kolong bekas galian pasir kebanyakan
merupakan anggota filum chlorophyceae,
cyanophyceae dan diatom. Pada Stasiun 1
ditemukan lebih banyak (kelimpahan)
fitoplankton jika dibandingkan dengan
Stasiun 2. Hal ini disebabkan ketersediaan
nutrien dan cahaya matahari pada Stasiun 2
tidak mendukung kehidupan fioplankton
karena terhalang oleh eceng gondok yang
menutupi hampir 70% permukaan perairan.
Microcistis sp dan Anabaena sp
merupakan fitoplankton dengan kelimpahan
sangat tinggi di stasiun 1. Pratiwi (2003)
menyebutkan jika suatu perairan telah
didominasi oleh filum Cyanofita (Microcistis
sp dan Anabaena sp) maka perairan tersebut
memiliki status eutrofik. Selain itu Cyanofita
pun mampu beradaftasi dengan perairan
yang memiliki penetrasi cahaya rendah
seperti di stasiun 1 (Widhiasari, 2003).
Anabaena sp merupakan fitoplakton yang
banyak ditemukan di perairan agak basa
sehingga menjelaskan kehadirannya dalam
jumlah banyak di stasiun 1.Stasiun 2
fitoplankton dari filum Chlorofita yang banyak
ditemukan
yaitu
Oodogonium
dan
Ankistrodesmus sehingga dapat disebutkan
perairan berada dalam status oligotrofik mesotrofik (Pratiwi, 2003)
Produktivitas Primer Perairan
Dalam konsep produktivitas primer
dikenal istilah Produktivitas Primer Kotor
atau Gross Primery Productivity (GPP) dan
Produktivitas Primer Bersih atau Net Primery
Productivity (NPP). GPP adalah laju produksi
ISSN : 2088-8848
primer dari zat organik dalam jaringan
tumbuhan termasuk yang digunakan untuk
respirasi. NPP adalah laju produktivitas
primer zat organik dikurangi dengan yang
digunakan untuk proses respirasi.
Nilai rata-rata produktivitas primer di
stasiun 1 adalah sebesar 1440 – 5760
2
mgC/m /hari dan di stasiun 2 adalah 480 –
2
960 mgC/m /hari. Nilai produktivitas primer
stasiun1 lebih tinggi jika dibandingkan
dengan stasiun 2 sehingga dapat dikatakan
bahwa stasiun 1 lebih subur dari pada
stasiun 2. Hal ini disebabkan kelimpahan
fitoplankton pada stasiun 1 lebih tinggi jika
dibandingkan stasiun 2. Pada stasiun 2
padatnya
populasi
eceng
gondok
mengurangi
kesempatan
munculnya
biomassa fitoplankton karena menutupi
penetrasi cahaya matahari dan mengambil
nutrient yang tersedia di perairan sehingga
pertumbuhan fitoplankton terhambat.
Status Trofik
Kesuburan
perairan
tergenang
umumnya disebabkan oleh pengkayaan
unsur hara.Status trofik atau status nutrient
dapat dijadikan indikasi kesuburan suatu
badan air. Kondisi stastus trofik suatu
perairan tergantung pada ketersediaan
nitrogen dan fosfat sebab kedua unsur
tersebut akan mempengaruhi biomassa
fitoplankton dan sturasi oksigen.
Status
trofik atau tingkat kesuburan dapat
dinyatakan berdasarkan kandungan total
nitrogen, total fosfat, khlorofil a dan
biomassa fitoplankton (Jorgensen, 1990).
Jika dilihat dari kandungan P-PO4
dan tingkat kecerahan, total P dan total N
dari kedua stasiun maka dapat ditentukan
bahwa status trofik kedua stasiun itu adalah
eutrofik
Sedangkan
berdasarkan
produktivitas primer kedua perairan tersebut
bersifat mesotrofik (Wetzel, 2001).
Tabel 1. Status Trofik Stasiun Pengamatan
Parameter
P-PO4 (mg/l)
Total P (mg/l)
Total N (mg/l)
Produktivitas
Primer
(mgC/m2/hr)
Kecerahan
Secchidisk
(m)
Status trofik
Stasiun 1
0,019 – 0,271
0,023 – 0,082
0,45 – 3,02
1440 – 5760
Stasiun 2
0,01 – 0,039
0,05 – 0,142
0,0 – 2,43
480 – 960
70
220
Mesotrofikeutrofik
MesotrofikEutrofik
29
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
Kesesuaian Bagi Budidaya Perikanan
Berasarkan parameter fisika dan
kimia yang diamati di kedua stasiun secara
umum kedua perairan yang dijadikan stasiun
pengamatan dapat dijadikan lokasi kegiatan
perikanan namun pengelolaan yang akan
diterapkan pada kedua perairan berbeda.
Kondisi perairan di stasiun 1 telah
menunjukan gejala eutrofikasi maka harus
hati-hati dalam memutuskan jenis kegiatan
perikanan yang akan dilakukan. Untuk
kegiatan
penangkapan
maka
dapat
dilakukan introduksi ikan terutama ikan-ikan
pemakan
fitoplankton
agar
dapat
memanfaatkan kelimpahan fitoplankton yang
cukup
banyak.
Meskipun
beberapa
parameter kimia melebihi ambang batas
kesesuaian air bagi kegiatan budidaya, di
stasiun satu dapat di pasang karamba jaring
apung sebab kelarutan oksigen masih cukup
tinggi, tetapi harus mempertimbangkan
jumlah karamba dan ikan yang akan di
budidayakan agar tidak melebihi daya
dukung perairan terhadap karamba jaring
apung.
Kondisi stasiun 2 jika dilihat dari
dimensi situ lebih cocok untuk dijadikan
lokasi budidaya ikan karena stasiun dua
memiliki sumber air yang baik dan tempat
pengeluaran air yang cukup. Namun
permasalah yang muncul dari stasiun 2
adalah populasi eceng gondok yang
menutupi perairan hingga hampir 70% akan
menyulitkan kegiatan penangkapan maupun
usaha karamba jaring apung. Sebagai
langkah awal dari pengelolaan stasiun 2
adalah mengurangi populasi eceng gondok
dengan melakukan penebaran ikan koan
sehingga diperoleh dua keuntungan yaitu
produksi ikan koan dan berkurangnya
presentase penutupan permukaan air oleh
eceng gondok.
Kondisi stasiun 2 yang masih
berstatus mesotrofik memungkinkan pada
lokasi tersebut dilakukan kugiatan budidaya
intensif seperti pen culture atau KJA, namun
tetap harus memperhatikan daya dukung
perairan dalam mendukung kegiatan budiaya
agar perairan tersebut mampu memberikan
fungsi ekologis dan fungsi ekonomis secara
berkelanjutan.
ISSN : 2088-8848
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil
pengamatan
aspek fisika dan kimia dari kolong bekas
galian pasir yang rata-rata memang melebihi
ambang batas kualitas air yang disarankan ,
namun perairan tersebut masih layak untuk
dipertimbangkan
sebagai
lokasi
pengembangan budidaya ikan. Hal ini
ditunjang dari parameter biologi yang
menunjukan bahwa kolong galian pasir
termasuk perairan yang subur dan memiliki
potensi
pakan
alami
yang
dapat
dimanfaatkan oleh ikan serta kelarutan
oksigen yang masih baik.
Usaha
perikanan
yang
dapat
dilakukan di kolong galian pasir adalah
introduksi ikan-ikan bernilai ekonomis
penting seperti nila (Oreocromis niloticus) di
stasiun 1 atau stasiun 2.
Sehubungan dengan terbatasnya
kemampuan kolong galian pasir untuk
mendukung kegiatan budidaya ikan, maka
diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
daya dukung kolong galian pasir dalam
menopang usaha perikanan terutama usaha
karamba jaring apung. Hal ini diperlukan
agar usaha karamba jaring apung yang
diterapkan di kolong galian pasir bersifat
ramah lingkungan dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi
Pengelolaan
Sumberdaya
dan
Lingkungan
Perairan.
Kanisius,
Yogyakarta.
Gunadi, B. dan S.E. Wardoyo. 2006. Kajian
Aspek Fisika Kimia dan Biologi
Perairan
Situ
Rawabebek,
Karawang,
Dalam
Rangka
Pengelolaan Berbasis Perikanan.
Jurnal Riset Aquakultur 1(1).
Jorgensen, S.E. 1980. Lake Management.
Water Development, Supply and
Management Vol 14. Pergamon
Press.
Kordi, K. M.G.H dan A.B. Tancung. 2007.
Pengelolaan Kualitas Air Dalam
Budidaya
Perikanan.
Penerbit
Rineka Cipta. Jakarta.
Krismono, A.S.N., S. Nuroniah dan E.S.
Kartamiharja.
1998.
Kondisi
30
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Biolimnologi Sumberdaya Perairan
Kolong Bekas Galian Pasir di Jawa
Barat
dan
Kesesuainya
Bagi
Budidaya
Perikanan.
Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia IV
(1).
Mariyam, Siti. 2007. Monitoring Kualitas Air
Di Waduk Ir. H. Juanda. Buletin
Teknik Litkayasa Akuakultur 2(2).
Pescod,M.B. 1973. Investigation of Rational
Effluent and Stream Standart for
Tropical Countries. AIT. BAngkok
Pratiwi, N T M. 2003. Peran Plankton Dalam
Mengevaluai
Kualitas
Air.
Manajemen Regional Jabodetabek :
Profil dan Statrgi Pengelolaan
Danau. Puslit Biologi. LIPI
Wardiatno Y, Anggreni, R. Ubaidillah dan
Maryanto.
2003.
Profil
dan
Permasalahan Perairan Tergenang
(Situ, Rawa dan Danau). Manajemen
Regional Jabodetabek : Profil dan
Statrgi Pengelolaan Danau. Puslit
Biologi. LIPI
Widhiasari, Rahma. 2003. Kandungan Unsur
Hara N dan P Serta Struktur
Komunitas Fitoplankton di Perairan
Litoral Danau Montano, Sulawesi
selatan. Skripsi. IPB. Bogor
Wardoyo, S.E dan Wardana Ismail. 1998.
Aspek Fisika Kimia dan Biologi
Kolong-kolong Di Pulau Bangka
Untuk Pengembangan Perikanan.
Jurnal
Penelitian
Perikanan
Indonesia IV(2).
Wetzel, R.G. 2001. Lymnology. W.B
Saunders Co. Philadelphia
31
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Distribusi Spasial dan Kondisi Lingkungan Perairan Ikan Endemik
Rasbora Tawarensis (Weber dan de Beaufort 1916)
Di Danau Laut Tawar, Aceh Tengah
1
1
2
2
Iwan Hasri , M. Mukhlis Kamal , Zairion
Jurusan Budidaya Perairan, Universitas Gajah Putih Takengon
2
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB
Abstrak :Rasbora tawarensis merupakan ikan endemik yang ditemukan di Danau Laut Tawar
Kabupaten Aceh Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan distribusi spatial dan konsisi
lingkungan perairan ikan R. tawarensis. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan
Mei 2010 di 5 stasiun yang mewakili seluruh zona di Danau Laut Tawar. Ikan ditangkap
menggunakan jaring insang eksperimental (stasiun I, II, III, dan IV) dan perangkap (didisen)
(stasiun V). Ukuran mata jaring yang digunakan 3/8, 5/9, 5/8 dan 3/4 inchi. Analisis yang
digunakan yaitu distribusi spasial menggunakan uji non parametric Kruskal-Wallis program Minitab
14 dan kondisi lingkungan perairan menggunakan PCA program Statistica 6.0. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ikan R. tawarensis jantan maupun betina menyebar luas di seluruh Danau
Laut Tawar (α=0.05) dan menunjukkan tidak adanya perbedaan kelimpahan ikan R. tawarensis
baik jantan maupun betina antar stasiun (α=0.05). Nilai rata-rata kualitas air di semua stasiun di
Danau Laut Tawar selama penelitian berfluktuasi relatif sempit dan antar stasiun tidak berbeda
nyata (α=0.05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ikan endemik R. tawarensis
memiliki karateristik lingkungan perairan yaitu : alkalinitas, kecerahan, oksigen terlarut dan pH
yang tinggi serta suhu yang rendah.
Kata kunci : distribusi spasial, kondisi lingkungan perairan, Rasbora tawarensis, Danau Laut
Tawar
PENDAHULUAN
Danau Laut Tawar merupakan salah
satu perairan tergenang alami yang terletak
di utara pulau Sumatera. Memiliki luas 5 472
Ha, panjang 17 km, lebar 3.2 km, dan
kedalaman rata-rata 51.13 m (Saleh 2000).
Danau Laut Tawar terletak pada ketinggian
1200 diatas permukaan laut dan memiliki 25
inlet dan 1 outlet (Bappeda Kab. Aceh
Tengah 2004).
Ikan R. tawarensis merupakan ikan
endemik karena penyebarannya yang
terbatas ditemukan di Danau Laut Tawar
(Weber dan de Beaufort 1916) dan bersifat
pelagis (Muchlisin dan Azizah 2009).
Berdasarkan Muchlisin et al. (2010) bahwa
R. tawarensis di Danau Laut Tawar
merupakan ikan yang dikenal masyarakat
dengan nama depik dan eyas. Kedua ikan ini
memiliki haplotype yang sama di Gen-Bank
dengan
nomor
akses
(HM100243HM100250, dan HM345923-HM345928).
Penangkapan ikan R. tawarensis dilakukan
sepanjang tahun. Alat tangkap yang
digunakan yaitu jaring insang, anco, dan
perangkap. Ikan R. tawarensis merupakan
ikan tangkapan utama karena memiliki nilai
ekonims tinggi.
Keanekaragaman biologi, kepadatan
atau biomassa populasi merupakan hasil dari
sejumlah besar variabel lingkungan dan
sepanjang tahun besaran variable ini
bervariasi karena berpengaruh radiasi sinar
matahari dan curah hujan (Matthews 1990;
Meador dan Mattews 1992). Berdasarkan
data Dinas Perikanan Provinsi D.I Aceh
(1989) hasil tangkapan ikan di Danau Laut
Tawar pada tahun 1988 sebesar 455 ton.
Pada tahun 1994, produksi menurun menjadi
223 ton (Kartamihardja et al. 1995). Tahun
2006 menjadi 79,1 ton (Bappeda Aceh
Tengah 2007) dan terus menurun menjadi
74,5 ton tahun 2008 (Bappeda Aceh Tengah
2009). Penurunan hasil tangkapan ini diduga
disebabkan oleh laju eksploitasi yang tinggi
(Hasri 2010) dan peningkatan status perairan
menjadi eutraof (Nurfadillah 2010).
Pengelolaan perikanan bertujuan
untuk meningkatkan produksi ikan dan
memeliharanya pada tingkat hasil yang stabil
mendekati produksi optimumnya. Sehingga
data dan Informasi mengenai
distribusi
spasial dan kondisi lingkungan perairan
sangat
diperlukan
untuk
optimalisasi
pemanfaatan sumber daya ikan tersebut
pada suatu perairan dan usaha domestifikasi
ikan R. tawarensis. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan distribusi spasial dan
konsisi lingkungan perairan ikan
R.
tawarensis.
BAHAN DAN METODE
Pengumpulan data
Penelitian dilakukan di perairan
Danau Laut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah
(Gambar 1). Pengamatan dilakukan setiap
bulan selama tiga bulan dari bulan Maret
sampai dengan Mei 2010.
Stasiun
pengambilan ikan contoh dibagi kedalam 5
stasiun yaitu Stasiun I (One-one) merupakan
32
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
kawasan keramba jaring apung, II (Mepar)
merupakan kawasan yang menerima limbah
dari kota Takengon, III (Gegarang)
merupakan fishing ground, IV (Bewang)
merupakan
kawasan
yang
aktivitas
manusianya sedikit dan V (didisen)
merupakan salah satu inlet yang dipasang
alat tangkap didisen.
ISSN : 2088-8848
Tabel 1. Parameter, metode, dan alat
pengukuran contoh kualitas air
Parameter
Sat
uan
Metode dan Alat
Lokasi
Fiska
Suhu
◦C
in situ
Kedalaman
M
Pembacaan skala (water
checker)
Visual, tongkat berskala
Kecerahan
m
Visual, keping secchi
in situ
pH
Unit
Sensorik, pH meter
in situ
DO
ppm
Sensorik, DO meter
in situ
Alkalinitas
mg/l
Titrimetri, titrasi
Lab.
N-Nitrat
mg/l
Spektrofotometer/Brucine
Lab.
N-Nitrit
mg/l
Lab.
N-Amonium
mg/l
Spektrofotometer/
Colorimetric
Spektrofotometer/ Phenate
Orthoposfat
mg/l
Spektrofotometer/amonium
molybdate
Lab.
in situ
Kimia
ST I
ST II
ST IV
ST III
ST V
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Danau
Laut Tawar
Pengambilan ikan contoh dilakukan
dengan tinggi 4 m, panjang jaring 200 m
menggunakan jaring insang eksperimental
dengan ukuran mata jaring ¾, 5/8, 5/9 dan
3/8 inchi. Jaring dipasang pada sore hari dan
kemudian diangkat pada pagi hari. Sampel
ikan juga dikumpulkan dari alat tangkap
didisen (trap) di salah satu inlet danau
karena diduga ikan R. tawarensis memijah di
daerah ini. Ikan yang ditangkap segera
diawetkan dengan formalin 10% dan
dikelompokkan
berdasarkan
daerah
penangkapannya. Panjang ikan total ikan
contoh diukur dari ujung kepala terdepan
sampai ujung sirip ekor paling belakang
menggunakan penggaris.
Sebagai data penunjang dilakukan
pengukuran terhadap karateristik habitat.
Pengamatan dan pengukuran dilakukan
bersamaan dengan pengambilan contoh
ikan. Pegamatan dan pengukuran
parameter kualitas air yang diamati beserta
metode dan alat yang digunakan dalam
penelitian disajikan pada Table 1.
Analisis Data
Data hasil tangkapan contoh ikan
Rasbora tawarensis tiap stasiun dianalisis
secara diskriptif
analitik bardasarkan
tabulasi data dan histogram kemudian
dilakukan uji menggunakan uji non
parametrik Kruskal-Wallis Program Minitab
14. Data kondisi lingkungan perairan
dianalisis menggunakan Principal Camponen
Analysis (PCA) dengan menggunakan
program Statistica 6.0.
Lab.
HASIL
Distribusi Spasial
Jumlah ikan R. tawarensis yang
tertangkap di Danau Laut Tawar selama
penelitian 1 211 ekor yang terdiri dari 581
ekor ikan jantan dan 630 ekor ikan betina.
Ikan yang tertangkap disusun berdasarkan
kelimpahan terendah hingga tertinggi yaitu
pada stasiun I (ikan jantan = 41 ekor, ikan
betina = 82 ekor), stasiun II (ikan jantan = 94
ekor, ikan betina = 140 ekor), stasiun V (ikan
jantan = 173 ekor, ikan betina = 98 ekor),
stasiun IV (ikan jantan = 108 ekor, ikan
betina = 120 ekor), dan stasiun III (ikan
jantan = 167 ekor, ikan betina = 154 ekor).
Uji non parametrik Kruskal-Wallis
terhadap kelimpahan ikan R. tawarensis
masing-masing antar stasiun menunjukan
bahwa, kelimpahan ikan R. tawarensis baik
2
jantan (H=2.54 dan X hitung= 9.4877 dengan
α=0.05) maupun ikan R. tawarensis betina
2
(H=1.87 dan X hitung= 9.4877 dengan α=0.05)
tidak berbeda nyata (Lampiran 4). Dapat
disimpulkan bahwa ikan R. tawarensis jantan
maupun betina menyebar luas diseluruh
Danau Laut Tawar. Uji non parametrik
Kruskal-Wallis juga menunjukkan tidak
adanya perbedaan kelimpahan ikan R.
tawarensis baik jantan maupun betina antar
stasiun.
Kelimpahan ikan di stasiun III
merupakan yang tertinggi dibanding stasiun
yang lain dengan ukuran panjang ikan yang
didapatkan lebih lebar. Ukuran ikan yang
tertangkap di stasiun III mulai dari ukuran 54
hingga 110 mm untuk betina dan 61 hingga
103 mm untuk jantan. Kelimpahan terkecil
terdapat pada stasiun I dengan ukuran
33
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
panjang ikan yang didapatkan sedikit sempit untuk betina 75 hingga 124 mm dan 75
hingga 103 mm untuk jantan.
Nilai Tengah Kelas Panjang (mm)
Gambar 2. Distribusi spasial ikan R. tawarensis jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian
di Danau Laut Tawar
Hubungan
Kualitas
Air
dengan
Kelimpahan Ikan
Nilai rata-rata kualitas air di semua
stasiun di Danau Laut Tawar selama
penelitian
berfluktuasi
relatif
sempit.
Berdasarkan uji Kruskal-Wallis terhadap
perameter kualitas air menunjukkan nilai
perbandingan masing-masing parameter
antar stasiun tidak berbeda nyata (H=1.18
2
dan X hitung= 9.4877 dengan α=0.05). ini
menunjukkan bahwa secara spasial bahwa
parameter yang diukur bukan merupakan
faktor yang mempengaruhi perbedaan
kelimpahan ikan R. tawarensis yang tidak
merata di Danau Laut Tawar.
34
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Tabel 2. Nilai rata-rata kualitas air masing-masing stasiun selama penelitian
Stasiun
Parameter
Satuan
I
II
III
IV
V
Suhu
°C
25.63±0.87
25.50±0.66
25.63±0.67
25.10±0.44
17.30±0.46
Kecerahan
cm
401.7±0.7
455.00±93.3
546.7±47.5
546.7±88.1
73.3±2.9
Kedalaman
m
5.5-39
19-52.5
8.5-42
50-67
0.25-0.75
pH
DO
Alkalinitas
8.36±0.37
8.28±0.16
8.42±0.20
8.17±0.30
7.82±0.19
ppm
6.60±0.43
6.50±0.26
6.61±0.18
6.06±0.05
-
mg/lCaCO3
86.61±1.03
86.60±2.59
79.84±2.10
81.20±0.69
131.63±1.38
N-Nitrat
mg/l
0.09±0.15
0.30±0.43
0.02±0.03
0.04±0.03
-
N-Nitrit
mg/l
0.0022±0.0008
0.0024±0.0009
0.0023±0.0008
0.0019±0.0005
0.0011±0.00
N-Amonia
mg/l
0.0240±0.0046
0.0510±0.0096
0.0329±0.0092
0.0452±0.0015
0.0669±0.00
Orthoposfat
mg/l
0.0163±0.0053 0.0215±0.0145 0.0110±0.0029 0.0139±0.0077
Keterangan : stasiun V kecerahan 100% terdapat di salah satu inlet Danau Laut Tawar
0.0190±0.00
Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2)
Cases with sum of cosine square >= 0.00
Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2)
3,0
1,0
2,5
Kelimpahan
2,0
3
1,5
0,5
4
Factor 2: 21.11%
Factor 2 : 21.11%
1,0
Kecerahan
pH
Alkalinitas
0,0
N-Amonia
Suhu
DO
N-Nitrit
0,5
5
0,0
1
-0,5
-1,0
-1,5
-0,5
2
-2,0
-2,5
N-Nitrat
Ortofosfat
-3,0
-1,0
-3,5
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
-7
Active
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Active
Factor 1: 66.72%
Factor 1 : 66.72%
Keterangan : 1=St I; 2=St II; 3=St III; 4=St IV; 5=St V
Gambar 3. Grafik hasil analisis komponen utama kondisi lingkungan perairan pada sumbu 1 dan
2 (F1XF2)
Distribusi ikan di suatu perairan
dipengaruhi oleh interaksi dengan faktor
lingkungan (Bhukaswan 1980). Untuk
mengetahui kondisi lingkungan perairan
pada habitat ikan R. tawarensis dilakukan
pengamatan masing-masing stasiun selama
pengamatan kecuali stasiun V. Nilai rata-rata
kualitas air masing-masing stasiun dari bulan
Maret hingga Mei 2010 (Tabel 2).
Hasil komponen utama karateristik
fisika kimia lingkungan menunjukan bahwa
sebagian berpusat pada dua sumbu utama,
dengan kontribusi masing-masing sumbu
sebesar 66,72% untuk faktor satu; 21,11%
untuk faktor dua. Faktor yang berpengaruh
pada faktor satu adalah DO (0.992), suhu
(0.991) dan alkalinitas (-0.98). Faktor dua
komponen yang berpengaruh adalah N-Nitrat
(0.89) dan ortofospat (-0.87). Hubungan
korelasi dapat dilihat dari gambar 3.
PEMBAHASAN
Penyebaran
ikan
Rasbora
tawarensis di masing-masing stasiun diduga
bahwa habitat yang ada masih baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan ikan ini.
Bhukaswan (1980) menyatakan bahwa
distribusi spasial ikan dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain seperti tingkah
laku dalam memilih habitat. Tingkah laku
pemilihan habitat menyebabkan adanya
perbedaan kelimpahan ikan R. tawarensis di
Danau Laut Tawar. Tingkah laku pemilihan
29
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
habitat menurut Hartoto (1998) ditentukan
oleh aktivitas ikan yang dikelompokkan
antara lain dalam aktivitas mencari makan
(feeding)
dan
pemijahan
(spawning).
Berdasarkan Hasri (2010) ikan R. tawarensis
yang tertangkap di daerah inlet bagian utara
ukurannya relatif lebih besar dan merupakan
ikan yang siap untuk memijah.
Ikan R. tawarensis yang ditemukan
pada stasiun II dan III memiliki penyebaran
yang lebih merata karena pada stasiun ini
ditemukan ukuran
Panjang
maksimum
ikan
R.
tawarensis yang tertangkap (125 mm) lebih
besar dengan yang ditemukan oleh Kottelat
et al. (1993) sebesar 120 mm dan Brojo et
al. (2001) 110 mm. Besarnya ukuran ikan R.
tawarensis yang ditemukan mencerminkan
bahwa perairan Danau Laut Tawar
mengalami
perubahan
status
tropik
(Kartamihardja et al. 1995) dari oligotropik
menjadi mesotropik dan berubah menjadi
eutrofik (Nurfadilla 2010). Perubahan status
perairan disebabkan meningkatnya limbah
antropogenik yang masuk kedalam perairan,
hal ini meningkatkan produktivitas primer
fitoplankton sehingga ketersediaan pakan
alami tinggi. Menurut Winnemiller dan
Jeppsen (1998) perubahan lingkungan
perairan yang baik bagi ikan,
masih
menyediakan kondisi yang baik untuk
pertumbuhan ikan seperti ketersediaan
sumberdaya makanan alami dan tingginya
heterogenitas habitat. Berdasarkan Edwards
et al. (2010) perbedaan ukuran ikan pada
danau disebabkan oleh perbedaan musim.
Kondisi ukuran tubuh relatif menurun dari
musim panas hingga musim dingin dan
meningkat kembali pada saat musim semi.
Suhu perairan yang diperoleh dalam
penelitian berkisar antara 17.30±0.46 hingga
25.63±0.67 °C (Tabel 3). Berdasarkan Boyd
dan Licthkopper (1982) suhu perairan yang
sesuai untuk kehidupan ikan dan biota air
lainnya di daerah tropis rata-rata 25-30 °C.
Perbedaan suhu antar stasiun tidak terlalu
bervariasi, perbedaan nilai suhu ditemukan
pada stasiun V hal ini disebabkan oleh di
stasiun ini merupakan daerah inlet danau.
Stasiun V banyak ditemukan ikan yang
bergerombol dan matang gonad diduga
bawa ikan R. tawarensis membutuhkan suhu
yang relatif rendah untuk siklus hidupnya.
Suhu perairan ini relatif rendah
juga
disebabkan oleh ketinggian Danau Laut
Tawar 1 200 di permukaan laut (altitude).
Berdasarkan Said dan Triyanto (2010)
bahwa ikan R. argyrotaenia tidak mampu
hidup pada suhu 32-34 °C.
Menurut
Welcomme
(1985)
faktor
yang
ISSN : 2088-8848
mempengaruhi suhu air di perairan sungai
dan rawa banjiran adalah derajat penyinaran,
komposisi substrat, kekeruhan, aliran air
bawah tanah dan air hujan, angin serta
penutupan oleh vegetasi. Suhu perairan
dalam penelitian ini masih mendukung
proses biologis organisme khusunya ikan R.
tawarensis.
Kecerahan
merupakan
suatu
parameter yang sangat menentukan tingkat
produktivitas fitoplankton di suatu perairan.
Kecerahan rata-rata perairan Danau Laut
Tawar selama penelitian yaitu 73.33±2.89
sampai dengan 546.67±88.08 cm (Tabel 3).
Tingkat kecerahan tertinggi terdapat pada
stasiun III dan IV. Stasiun V memiliki nilai
kecerahan yang rendah disebabkan oleh
kedalaman yang relatif rendah sehingga nilai
kecarahan sama dengan kedalaman. Pada
stasiun I relatif rendah disebabkan karena
pada stasiun ini merupakan daerah keramba
apung. Berdasarkan nilai kecerahan yang
didapat
perairan Danau Laut Tawar
tergolong dalam perairan yang memiliki
tingkat kesuburan sedang (mesotrofik) (Lowe
dan Cowel 1966 diacu dalam Effendi 2003).
Hasil pengukuran pH
selama
penelitian berkisar 7.82±0.19
hingga
8.42±0.20 (Tabel 3). Tingkat keasaman
Danau Laut Tawar tergolong basa hal ini
disebabkan oleh pembentukan danau
melalui proses vulkanik. Kondisi perairan
basa juga disebabkan oleh masukan aliran
air permukaan yang bersifat basa yang
masuk kedalam danau. Nilai pH hasil
pengukuran merupakan kisaran optimum
bagi ikan khusunya ikan R. tawarensis.
Berdasarkan Boyd dan Licthkopper (1982)
nilai pH yang optimum bagi kehidupan ikan
adalah 6.5 sampai dengan 9.
Kelarutan oksigen merupakan salah
satu faktor kualitas air yang paling kritis
untuk kehidupan ikan. Hasil pengukuran
oksigen terlarut selama penelitian memiliki
kisaran yang sempit yaitu antara 6.06±0.05
sampai dengan 6.61±0.18 (Tabel 3).
Kebutuhan oksigen bagi ikan bervariasi
tergantung kepada jenis ikan, umur, ukuran
ikan dan faktor lingkungan seperti temperatur
(Beveridge
1996).
Berdasarkan
hasil
penelitian bahwa kelarutan oksigen di Danau
Laut Tawar mendukung untuk kehidupan
ikan karena kadarnya lebih besar dari 5 mg/l.
Alkalinitas
adalah
gambaran
kapasitas air untuk menetralkan asam, atau
kuantitas anion di dalam air yang dapat
menetralkan kation hidrogen. Nilai alkalinitas
tertinggi terdapat pada stasiun V yaitu
131.63±1.38 mg/lCaCO3 dan terendah
79.84±2.10 mg/lCaCO3. Perbedaan nilai
30
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
alkalinitas disebabkan oleh perbedaan
kandungan karbonat dari batuan dan tanah
oleh air serta sedimen dasar perairan. Pada
stasiun V sumber inlet berasal dari bebatuan
tebing yang ada di tepi danau. Bebatuan ini
mengalami pelapukan kemudian dilarutkan
oleh karbondioksida dan air sehingga
menambah nilai alkalinitas dalam air. Nilai
alkalinitas Danau Laut Tawar masih dalam
batas yang dapat di tolelir oleh ikan
Berdasarkan Boyd (1981) nilai alkalinitas
yang baik dalam penyediaan CO2 adalah 20150 mg/l.
Nitrat (NO3-N) merupakan bentuk
nitrogen utama di perairan alami, sangat
mudah larut dalam air dan bersifat stabil.
Hasil dari pengamatan nitrat diperoleh nilai
nitrat diperoleh bervariasi berkisar antara
0.04±0.03 mg/l sampai dengan 0.30±0.43
mg/l. Stasiun II nilai nitral relatif tinggi
disebabkan karena stasiun ini merupakan
stasiun yang dekat dengan pemukiman
masyarakat. Stasiun I juga relatif tinggi hal ini
disebabkan karena bahan organik yang
masuk berasal dari keramba apung. Pada
stasiun IV memiliki nilai relatif rendah akibat
pada lokasi ini relatif tertutup dan sedikit
terdapat aktivitas oleh manusia. Nilai NO3-N
di Danau Laut Tawar masih dalam kisaran
yang
baik
bagi
pertumbuhan
ikan.
Berdasarkan Vollenweider (1974) diacu
dalam Effendi (2003) bahwa perairan yang
memiliki kandungan nitrat 0.0 sampai 1.0
mg/l merupakan perairan yang dikategorikan
sebagai perairan kurang subur.
Kandungan Nitrit (NO2-N) pada
penelitian ini berkisar antara 0.0011±0.00
mg/l sampai dengan 0.0024±0.0009 mg/l.
Nilai Nitrit di waduk Kuto Panjang pada
permukaan lebih rendah dibandingkan
dengan bagian yang lebih dalam hal ini
disebabkan sifat nitrit yang tidak stabil
sehingga kemungkinannya sebagian NO2-N
telah teroksidasi menjadi
NO3-N (Hatta
2007). Kandungan nitrit di Danau Laut Tawar
masih aman bagi ikan karena nilai nitrit yang
aman bagi kehidupan organisme adalah kecil
dari 0.5 mg/l.
Hasil pengamatan ammonia selama
penelitian di kelima stasiun diperoleh kisaran
0.0240±0.0046
mg/l
sampai
dengan
0.0669±0.00 mg/l. Boyd (1982) menyatakan
keberadaan ammonia di perairan merupakan
hasil proses dekomposisi dari bahan organik
yang banyak mengandung senyawa nitrogen
oleh mikroba, ekskresi organisme, reduksi
nitrit oleh bakteri, dan kegiatan pemupukan.
Tingginya nilai ammonia di stasiun V diduga
karena pada stasiun ini merupakan prangkap
ikan R. tawarensis dan pengukuran
ISSN : 2088-8848
dilakukan pada pagi hari jadi ammonia tinggi
akibat ikan terperangkap melakukan eksresi.
Berdasarkan Boyd (1982) bahwa konsentrasi
ammonia yang bersifat toksik bagi sebagian
besar biota perairan berkisar 0.6 sampai
dengan 2.0 mg/l. Kandungan amonia di
Danau Laut Tawar masih aman bagi
kehidupan biota perairan.
Hasil rata-rata kisaran konsentrasi
ortofosfat
(PO4-P)
berkisar
antara
0.0110±0.0029
mg/l
sampai
dengan
0.0215±0.0145 mg/l. Stasiun II memiliki nilai
yang tinggi akibat stasiun ini dekat dengan
pemukiman penduduk. Nilai orthofospat di
Danau Laut Tawar tergolong rendah.
Kelimpahan ikan memiliki korelasi
positif
dengan
kecerahan.
hal
ini
mengindikasikan semakin tinggi kecerahan
semakin tinggi kelimpahan ikan. kondisi ini
diduga berkaitan dengn intensitas cahaya
yang masuk kedalam kolom perairan. Ikan R.
tawarensis merupakan ikan yang bersifat
plankton feeder dan pelagik (Muchlisin et al.
2009), diduga sangat tergantung pada
keberadaan plankton sebagai makanannya.
Studi
individu
memperlihatkan
(Gambar 3) stasiun IV
berkorelasi erat
dengan sumbu satu positif, maka stasiun ini
dicirikan dengan kecerahan yang relatif
tinggi. Kemudian stasiun II berkorelasi positif
dengan Nitrat dan stasiun I dicirikan dengan
N-Nitrit. Bila dilihat dari sumbu dua positif
stasiun V dicirikan dengan Alkalinitas yang
tinggi. Selanjutnya bila dihubungkan dengan
ciri stasiun stasiun V dicirikan dengan
Akalinitas yang tinggi hal ini disebabkan
karena pada stasiun ini merupakan salah
satu inlet Danau Laut Tawar yang memiliki
substrat batu dan air yang masuk melalui
tebing tepi danau, diduga aliran air ini
membawa banyak karbonat yang berasal
dari pelapukan bebatuan yang ada. Stasiun
III tidak memiliki penciri, artinya memiliki
karakter yang relatif sama.
Kondisi lingkungan yang berbeda
dapat menyebabkan terjadinya perbedaan
komunitas dan komponen penyusun suatu
ekosistem. Berdasarkan informasi data
kondisi lingkungan Danau Laut Tawar dapat
diduga bahwa, ikan endemik R. tawarensis
memiliki karateristik habitat yaitu : alkalinitas,
kecerahan, oksigen terlarut dan pH yang
tinggi serta suhu yang rendah. Terutama di
stasiun V berdasarkan informasi nelayan dan
hasil
pengamatan
selama
penelitian
merupakan tempat memijah ikan R.
tawarensis ditemukan karateristik lingkungan
yang berbeda walaupun perbedaan tersebut
tidak berbeda nyata berdasarkan uji statistik.
31
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
KESIMPULAN
1. Ikan R. tawarensis menyebar secara
merata di seluruh stasiun penelitian
2. Kondisi lingkungan perairan masih
mendukung
pertumbuhan
ikan
R.
tawarensis
dengan
karateristik
lingkungan perairan yaitu : alkalinitas,
kecerahan, oksigen terlarut dan pH yang
tinggi serta suhu yang rendah.
ISSN : 2088-8848
Effendi H.. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi
Pengelolaan
Sumeberdaya
dan
Lingkungan Perairan. Bogor : Penerbit
Kanasius.
Hatta
M.
2007.
Hubungan
antara
produktivitas
primer
fitoplankton
dengan unsur hara pada kedalaman
secchi di perairan Waduk PLTA Koto
Panjang, Riau [tesis]. Bogor. Program
Pascasarjana.
Institut
Pertanian
Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
[Bappeda]
Badan
Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten
Aceh Tengah. 2004. Laut Tawar
Selayang
Pandang
(Karateristik
Danau
Laut
Tawar).
Brosur.
Takengon. 9 hal.
[Bappeda] Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh
Tengah. 2007. Aceh Tengah dalam
angka.Takengon.
[Bappeda] Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh
Tengah. 2009. Aceh Tengah dalam
angka.Takengon.
Bhukaswan T. 1980. Management of Asian
Reservoir
Fisheries.
FAO
Fish
Technical paper 207:69.
Boyd CE. 1981. Water Qualityfor in Warm
Water Fish Pond. Auburn University.
Auburn. Alabama. 358p
Boyd CE. 1982. Water Quality in Ponds for
Aquaculture.
Elsevier
Scientific
Publishing Company. Amsterdam.
312p.
Boyd CE dan Litchkopler. 1982. Water
Quality Management in Pond Fish
Culture. Auburn University. Auburn
Alabama. 30p
Brojo M, Sukimin S, dan Mutiarsih I. 2001.
Reproduksi ikan depik (Rasbora
tawarenisis) di perairan Danau Laut
Tawar,
Aceh
Tengah.
Iktiologi
Indonesia 1( 2) : 19-23.
[Diskan] Dinas Perikanan Daerah Istimewa
Aceh. 1989. Laporan Tahun 1989 Dinas
Perikanan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Banda Aceh.
Edwars TM, Toft G, Louis J, Guillette Jr.
2010. Seasonal reproductive patterns
of female Gambusia holbrooki from
two Florida lakes. WWW J Science of
the Total Environment . [terhubung
berkala].
http://www.elsevier.com/located/
scitotenv. [10 Desember 2009]
Hartoto DI, Sarniat AS, Sjafei DS, Satya A,
Syawal Y, Sulastri, Kamal MM, dan
Siddik Y. 1998. Kriteria Evaluasi
Suaka
Perikanan
Darat.
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Limnologi LIPI. Cibinong.
Hasri I. 2010. Pertumbuhan, reproduksi,
tingkat eksploitasi dan alternative
pengelolaan ikan endemic Rasbora
tawarensis (Weber dan de Beaufort
1916) di danau Laut Tawar, Aceh
Tengah [tesis]. Bogor. Program
Pascasarjana.
Institut
Pertanian
Bogor.
Kartamihardja ES, Satria H, Sarnita AS.
1995. Limnologi dan potensi produksi
ikan Danau Laut Tawar, Aceh Tengah.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia
1(3) : 11-25.
Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN,
Wiryoatmodjo S. 1993. Ikan Air Tawar
Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi.
Periplus Edition. 293 hal.
Matthews WJ. 1990. Spatoal and temporal
variation in fishes of riffele habitats; a
comparison of analytical approaches
for Roanoke River. American Midland
Naturalist 124:31-45.
Meador MR and Matthews WJ. 1992. Spatial
and temporal patterns in fish
assemblage structure of an intermitten
Texas stream. American Midland
Naturalist 127: 106-114.
Muchlisin ZA dan MNS Azizah. 2009.
Diversity and distribution of freshwater
fishers in Aceh waters. NorternSumatra,
Indonesia.
International
Journal of Zoological Research 1-8
Muchlisin ZA dan Azizah SMN, Rudi E, Fadli
N. 2009. Danau Laut Tawar dan
Permasalahannya. Seminar Danau
Laut Tawar “Save Depik”. Paper. 1-10
Muchlisin ZA, M Musman dan MNS Azizah.
2010. Depik, eyas, dan relo manakah
Rasbora
tawarensis?.
Prosiding
Seminar Nasional Ikan VI dan Kongres
Masyarakat Iktiologi III. Cibinong, 8-9
Juni 2010. siap terbit.
32
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Nurfadillah.
2010.
Dinamika
struktur
komunitas fitoplankton dan status
trofik perairan Danau laut tawar
kabupaten Aceh Tengah [tesis].
Bogor. Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Said DS dan Triyanto. 2010. Respon biologis
ikan
hias
endemis
terhadap
perubahan lingkungan keasaman dan
suhu perairan. Prosiding Seminar
Nasional Ikan VI dan Kongres
Masyarakat Iktiologi III. Cibinong, 8-9
Juni 2010.
Saleh M. 2000. Ekosistem Danau Laut
Tawar Tahun 2000. Yayasan Abdi
Lingkungan Hidup D.I. Aceh. Banda
Aceh.
Welcomme RL. 1985. River Fisheries. FAO
Technical Paper. Rome. p 262
Weber M dan de Beaufort LF. 1916. The
Fishes
Of
The
Indo-Australian
Archipelago. Vol. III Ostariophysi: II
Cyprinoidae, Apodes, Synbranchi. E-JBrill Ltd. Leiden.
Winemiller
KO dan DB Jepsen. 1998.
Effects of seasonality and fish
movement on tropical river food webs.
J of Fish Biology . Texas. p 267–296 .
33
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
ASPEK BIOLOGI IKAN LAYANG DELES (Decapterus macrosoma)
DI PERAIRAN BANDA NEIRA, MALUKU
1
2
2
Budiono Senen , Sulistiono , dan Ismudi Muchsin
Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir, Banda Neira
2
Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, FPIK IPB
1
Abstrac : Shortfin Scad (Decapterus macrosoma) is one of the fish resource found in Banda Neira
waters, which at the moment is being commercially exploited by mini purse seine. This research was
carried out from February to August 2010 to investigate growth and reproduction. Method used in this
research was descriptive analysis. Samples were randomly taken once a week for as many as 50-100
individual of fish (N = 1937, male = 979, female = 958). The result obtained from this study shows that
sex ratio of the fish was of 1:1. The total body length ranged between 75 and 315 mm. In general, the
fish is spawned between February and March. The size of the first male and female mature gonad was
250 mm total body length. The highest gonad somatic index was 2.19% (February) and the lowest one
was 1.7% (June).
Keywords: Gonado maturity, gonado somatic index and sex ratio.
PENDAHULUAN
Banda Neira merupakan bagian dari
gugusan pulau-pulau yang terdapat di Propinsi
Maluku. Daerah ini secara administratif masuk
dalam Kabupaten Maluku.
Sumberdaya
Perikanan pelagis kecil di Perairan Banda Neira
pada umumnya didominasi oleh ikan layang
deles (Decapterus macrosoma).
Ikan ini
mempunyai peranan yang sangat penting tidak
saja sebagai sumber makanan bergizi tetapi
juga sebagai sumber mata pencaharian dan
sumber lapangan kerja bagi banyak penduduk.
Nama lokal ikan layang (Decapterus sp.) di
Banda Neira adalah ikan ”tali-tali” (Burhanuddin
1975).
Ikan layang D.macrosoma
pada
awalnya dieksploitasi menggunakan pancing
ulur dan jaring insang (gill net). Namun akhirakhir ini penangkapan D.macrosoma telah
menggunakan mini purse seine. Sampai saat
ini penangkapan ikan layang dengan armada
mini purse seine dilakukan tanpa mengikuti
kaidah-kaidah
pengelolaan
sumberdaya
perikanan sehingga timbul kecenderungan
penangkapan ikan-ikan berukuran kecil dan
muda terus dilakukan (Atmadja & Haluan 2003).
Penelitian ini bertujuan sebagai
informasih dasar untuk menjelaskan aspek
biologi diantaranya nisbah kelamin, tingkat
kematangan, ukuran pertama kali matang
gonad dan musim pemijahan di Perairan Banda
Neira.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Perairan Banda
Neira (Gambar 2) selama tujuh bulan
(Februari-Agustus) 2010. Pengambilan ikan
sampel setiap satu kali dalam seminggu dari
hasil tangkap nelayan mini purse seine.
Ikan
sampel
dibedah
dengan
menggunakan gunting bedah, dimulai dari anus
menuju bagian atas perut dibawah garis sisi dan
menyusuri garis sisi sampai kebagian belakang
operculum dilanjutkan sampai ke arah ventral
hingga ke dasar perut. Daging dibuka sehingga
organ dalam dapat terlihat. Jenis kelamin
dilakukan dengan cara mengamati gonadnya.
Gambar 2. Lokasi penelitian di Perairan
Banda Neira
Penentuan tingkat kematangan gonad
ikan jantan dan betina ditentukan secara
morfologis mencakup warna, bentuk, dan
ukuran gonad. Gonad dipisahkan dari organ
dalam lainnya kemudian diawetkan dengan
formalin 4%. Kemudian dilakukan analisis
34
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
terhadap aspek reproduksi ikan, meliputi
tingkat kematangan goad, indeks kematangan
gonad, ukuran pertama kali matang gonad.
Analisis hubungan panjang berat ikan
menggunakan uji regresi, dengan rumus
b
sebagai berikut: W = aL dengan W adalah
berat ikan (gram), L adalah panjang tubuh ikan
(mm), serta a dan b adalah konstanta (Effendie
1979). Analisis rasio kelamin dihitung dengan
cara membendingkan jumlah ikan jantan dan
ikan betina yang menggunakan rumus:
ISSN : 2088-8848
perhitungan dengan menggunakan metode
Bathacarya ditemukan dua kelompok ukuran
ikan jantan maupun betina dari seluruh
sampel yang ada.
Kelompok ukuran
pertama ikan jantan pada kelas panjang 75–
95 mm sampai dengan 138–158 mm
sebanyak 493 ekor.
Kelompok ukuran
kedua pada kelas panjang 159–179 mm,
sebanyak 486 ekor.
Kelompok ukuran
pertama untuk ikan betina pada kelas
panjang 75–95 mm sampai dengan 138–158
mm, sebanyak 446 ekor dan jumlah rata-rata
148 ekor, kelompok ukuran kedua pada
kelas panjang 159–179 mm sampai dengan
306-326 mm, sebanyak 512. Jumlah individu
terbanyak berada pada ukuran 136.5 mm
dan terendah pada ukuran 304.5 mm
(Gambar 3).
,
dengan X adalah rasio kelamin, J adalah
jumlah ikan jantan (ekor) dan B adalah jumlah
ikan betina (ekor).
Faktor
kondisi
(K)
dianalisis
berdasarkan persamaan Ponderal Index, untuk
pertumbuhan isometric (b=3) faktor kondisi
(K ) dengan menggunakan rumus (Effendie
Jantan
TL
allometrik
. Untuk pertumbuhan bersifat
(b≠3)
faktor
menggunakan rumus;
kondisi
dihitung
dengan K adalah
faktor kondisi, W adalah berat ikan (gram), L
panjang baku (gram) dan a,b konstanta
regresi.
Tingkat kematangan gonad (TKG)
ditentukan secara morfologi gonad ikan
contoh. Indeks kematangan gonad (IKG)
dihitung dengan rumus:
Frekuensi
1979):
Betina
dengan Bg adalah berat
gonad (gram), Bt adalah berat tubuh (gram)
(Effendie 1979).
Ukuran pertama kali matang gonad,
dianalisis dengan menggunakan fungsi
logistik (Arocha & Barrios 2009), sebagai
berikut :
, dengan Mf proporsi
dari induk yang matang gonad, Li adalah
panjang total, a dalah kemiringan dari kurva
Mr dan b panjang pada saat 50% matang
gonad (L50).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Frekuensi Panjang
Ikan layang deles (Decapterus
macrosoma)
yang
dianalisis
selama
penelitian berjumlah 1937 ekor yang terdiri
dari 979 jantan dan 958 betina. Berdasarkan
Panjang total (mm)
Gambar 3.
Sebaran ukuran panjang ikan
layang D.macrosoma Jantan,
N = 979 dan ikan D.
macrosoma betina, N = 958
Banyaknya ikan yang berukuran
136.5 mm, diduga berasal dari populasi ikanikan muda yang masuk di kawasan
penangkapan yang terjadi pada bulan Mei
dan Juli. Manik (2003), melaporkan bahwa
kelompok umur ikan layang D.macrosoma
yang pertama tertangkap pada bulan April
dengan panjang rata-rata 99.5 mm. Hal yang
sama seperti yang ditemukan di sepanjang
pantai utara Karimun Jawa dari bula April
35
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
sampai Agustus banyak ditemukan ikan-ikan
(Decapterus spp.) Muda Hendiarti et al.
(2005).
ISSN : 2088-8848
sekitar Perairan Kepulauan Banda Neira setiap
bulan berfluktuasi seperti yang dicantumkan
pada Tabel 1. Pola pertumbuhan alometrik
positif yaitu pada ikan layang bulan Februari,
Mei, Juli dan Agustus; kemudian pada bulan
Maret, April dan Juni menunjukan pola
alometrik negatif.
Hubungan panjang berat
Hasil uji-t nilia-nilai b baik ikan jantan
maupun betina terhadap nilai 3 menunjukkan
bahwa pola pertumbuhan ikan layang deles di
Tabel 1. Nilai hubungan panjang berat ikan D.macrosoma
Persamaan
Bulan
Kisaran Nilai b
r
2
Februari
W = 9E-07L
3.435
Maret
W = 5E-05L
2.693
April
W = 0.00037L
Mei
W = 5E-06L
Juni
Hasil
n
α 0.05
(α 0.05)
Panjang berat
0.771
3.3282–3.5418
b>3
111
Alometrik Positif
0.934
2.6305–2.7554
b<3
48
Alometrik Negatif
9.949
2.2731–2.3789
b<3
30
Alometrik Negatif
3.097
0.986
3.0858–3.1082
b>3
380
Alometrik Positif
W = 8E-05L
2.618
0.796
2.5679–2.6681
b<3
116
Alometrik Negatif
Juli
W = 4E-06L
3.187
0.993
3.1812–3.1928
b>3
1134
Alometrik Positif
Agustus
W = 7E-06L
3.054
0.902
2.9953–3.1127
b>3
118
Alometrik Positif
2.326
Tingginya nilai b tersebut karena
sebagian besar (90,5%) contoh ikan pada
bulan-bulan tersebut mulai matang gonad dan
hanya 9,5% sampel yang dalam kondisi baru
selesai memijah.
Sementara dari hasil penelitian
Bustaman dan Badarudin (1993) di Perairan
Maluku, Irian Jaya dan Laut Banda termasuk
Halmahera pada ikan yang sama menemukan
pola allometrik negatif (b < 3), yaitu b = 2.42002.5478; yang sama seperti di Teluk Ambon,
yaitu b = 2.30 (Syahailatua 2004). Adapun
perbedaan nilai b seperti ini menurut Ricker
(1975), tidak saja antara populasi dari spesies
yang sama, tetapi juga antar populasi yang
sama pada tahun-tahun yang berbeda yang
diduga dapat diasosiasikan dengan kondisi
nutrisi mereka. Hal ini bisa terjadi karena
pengaruh faktor ekologis dan biologis. Merta
(1993), menyatakan karena sering keadaan
lingkungan berubah dan atau kondisi ikannya
berubah, maka hubungan panjang berat akan
sedikit menyimpang dari hukum kubik
(b ≠ 3). Secara biologis nilai b berhubungan
dengan kondisi ikan; sementara kondisi ikan
bergantung pada makanan, umur, jenis kelamin
dan kematangan gonad (Effendie 1979).
Faktor kondisi
Faktor kondisi ikan dipengaruhi
oleh berbagai faktor eksternal lingkungan
dan
faktor
biologis
diantaranya
kematangan gonad untuk reproduksi.
Rata-rata faktor kondisi ikan layang
D.macrosoma berfluktuasi setiap bulan.
Berdasarkan hasil penelitian faktor kondisi
ikan betina lebih tinggi dibandingkan
jantan. Kisaran rata-rata
faktor kondisi ikan layang jantan antara
0.91-1.06
dengan nilai tertinggi (1.06)
ditemukan pada bulan Juni dan terendah
pada bulan Juli (0.91), dan ikan betina
memiliki kondisi 0.92-1.11, nilai tertinggi
ditemukan pada bulan Maret dan terendah
pada bulan Juli. Faktor kondisi yang tinggi
merupakan
indikasi
terjadinya
36
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
peningkatan
aktivitas
reproduksi.
Menurut Weatherley dan Gill (1987),
selain bisa menggambarkan kondisi
aktivitas reproduksi, nilai faktor kondisi
juga menggambarkan kondisi kelimpahan
makanan di Alam. Selanjutnya Hukom et
al. (2006) juga mengatakan bahwa
peningkatan nilai kondisi ikan berkaitan
erat dengan tingkat kematangan gonad.
memijah hampir setiap bulan dengan puncak
pemijahan terjadi antara bulan Februari dan
Maret (Gambar 4).
Terjadi pemijahan ikan layang deles di
Perairan Banda yang ditandai oleh adanya
peningkatan jumlah ikan yang matang gonad
(TKG IV) yaitu pada bulan Februari dan maret.
Menurut Sumadhiharga (1991;1994), ikan
layang di Teluk Ambon memijah sepanjang
tahun dan puncak pemijahan D. macrosoma
terjadi pada bulan Agustus - Februari. Kondisi
serupa seperti yang dilaporkan oleh Widodo
(1988), dari hasil penelitian terhadap musim
pemijahan ikan layang di Laut Jawa, bahwa
tingkat kematangan gonad IV banyak terdapat
pada bulan Maret dan Juli dan puncak
pemijahan terjadi pada bulan April sampai Mei
dan bulan Agustus sampai dengan September.
Selain
melakukan
penelitian
tingkat
kematangan gonad, musim pemijahan ikan
dilakukan pada suatu perairan dapat diteliti
melalui penelitian terhadap jumlah telur yang
sudah masak sebelum dikeluarkan pada waktu
ikan memijah (Batts 1972).
J antan
Aspek reproduksi
Rasio Kelamin
Tingkat Kematangan Gonad
TKG dan IG dapat dipergunakan
unatuk menduga musim pemijahan.
Ikan
layang deles jantan dan betin dengn TKG III
dan IV dapat ditemukan hampir setiap bulan
penelitian. Meningkatnya TKG III dan IV
menunjukkan bahwa ikan layang deles diduga
100
80
Jantan
60
40
20
0
F eb
Frekuensi (%)
Berdasarkan uji Chi-kuadrat terhadap
rasio kelamin jantan dan betina diperoleh rasio
kelamin tidak berbeda nyata pada taraf nyata
2
2
0.05 (95%) (X hitung (0.23) < X tabel (v=(7-1)*(2-1))
(3.81). Rasio kelamin antara jantan dan betina
setiap bulan penelitian seimbang (1:2) ini
diduga karena ikan jantan dan betina
keduanya
aktif
sehingga
peluang
tertangkapnya kedua jenis ikan tersebut
seimbang. Setiap bulan rasio kelamin berkisar
antara 0.87-1.40. Menurut Ganisa (1998). D.
macrosoma di Perairan Tegal jantan dan
betina seimbang dan di Selat Makasar D.
macrosoma jantan dan betina seimbang.
Sumadhiharga (1991;1994) mengatakan
bahwa perbandingan rasio kelamin antara
ikan jantan dan betina di Teluk Ambon selalu
seimbang. Keseimbangan jumlah ikan jantan
dan betina mengindikasikan bahwa satu ikan
layang deles jantan akan membuahi satu ikan
layang betina. Berdasarkan Ball dan Rao
(1984) in Sulistiono et al. (2009),
perbandingan (1:1) merupakan kondisi ideal.
Penyimpangan rasio kelamin dari pola
(1:1) dapat timbul dari berbagai faktor yang
mencakup perbedaan distribusi, aktivitas dan
gerakan ikan (Turkmen et al. 2002);
pergantian dan variasi seksual jantan dan
betina dalam masa pertumbuhan, mortalitas
dan lama hidup (Sadovy 1996, in
Simanjuntak 2007).
ISSN : 2088-8848
100
Mar
B etina
Apr
Mei
J un
J ul
Ags
TK G I
80
TK G II
60
TK G III
40
TK G IV
20
TK G V
0
F eb
Mar
Apr
Mei
J un
J ul
Ags
Bulan pengamatan
Gambar 4. Tingkat kematangan gonad
(TKG) ikan layang D.macrosoma
37
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
Ukuran pertama kali matang gonad
reproduksinya. Ikan yang mengalami tekanan
karena tangkap lebih, cendrung matang gonad
pada ukuran lebih kecil (Trippel et al. 1997).
Indeks Kematangan Gonad
Berdasarkan hasil penelitian secara
keseluruhan nilai indeks kematangan gonad
ikan layang bervariasi pada setiap bulan
penelitian. Nilai indeks kematangan gonad
jantan berkisar antara 0.38-2.19%, nilai banyak
dicapai pada bulan Februari (2.19%) dan
terendah pada bulan Juni 0.38%. IKG ikan
layang betina berkisar antara 0.51-1.70%
dengan nilai banyak pada bulan Februari (1.7%)
dan terendah bulan Juni 0.51%. Menurut
Bagenal (1978), bahwa ikan betina yang
mempunyai nilai IKG lebih kecil dari 20%, dapat
melakukan pemijahan beberpa kali sepanjang
tahun (Gambar 6).
Indeks kematangan gonad (%)
Penelitian ukuran ikan pertama kali
matang gonad secara berkala dapat dijadikan
sebagai indikator adanya tekanan terhadap
populasi.
Berdasarkan hasil
perhitungan
dengan menggunakan fungsi logistik dalam
penelitian ini, ditemukan ukuran pertama kali
matang gonad ikan jantan dan betina pada
ukuran panjang total yang sama yaitu 250 mm.
Sementara penelitian yang dilakukan di Teluk
Ambon ditemukan ukuran pertama kali matang
gonad pada ukuran panjang total D.macrosoma
jantan (163 mm) dan betina (155 mm)
(Syahailatua 2008). Najamuddin et al. (2004)
melaporkan ikan layang deles (D.macrosoma)
jantan pertama kali matang gonad pada kisaran
panjang cagak antara 196-201 mm dan untuk
ikan
betina
198-203
mm.
Ukuran
D.macrosoma pertama kali matang kelamin
148.6-148.9 mm (Widodo 1988). Keadaan
ini terjadi akibat tangkapan yang berlebih
(over fishing). Ukuran pertama kali matang
gonad ikan layang D.macrosoma ditampilkan
pada Gambar 5.
ISSN : 2088-8848
Bulan pengamatan
Gambar 5.
Ukuran panjang ikan layang
D. macrosoma pertama kali
matang gonad
Menurut Sulistiono et al. (2009) ukuran
setiap ikan pertama kali matang gonad berbeda,
bahkan spesies yang sama namun berbeda
habitatnya dapat matang gonad pada ukuran
yang berbeda pula.
Ukuran pertama kali
matang gonad memiliki hubungan dengan
pertumbuhan dan pengaruh lingkungan
terhadap
pertumbuhan
serta
strategi
Gambar 6.
Indeks kematangan gonad
(IKG) ikan layang deles
berdasarkan bulan penelitian
Berdasarkan tingkat kematangan
gonad, nilai IKG layang deles jantan dan
betina cendrung meningkat sejalan dengan
bertambahnya TKG, kemudian nilai IKG
menurun pada saat mencapai TKG V, hal ini
terjadi akibat proses pemijahan yang
38
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
menyebabkan berat gonad berkurang. Kondisi
ini terjadi pada setiap stasiun penelitian selama
penelitian. Tamsil (2000) menyatakan bahwa
umumnya gonad ikan akan terus berkembang
dan akan mencapai nilai maksimum pada TKG
IV, kemudian menurun saat memasuki TKG V,
karena ikan telah melakukan pemijahan.
KESIMPULAN
Rasio kelamin ikan jantan dan betina
setiap bulan pengamatan seimbang (1:2).
Ukuran ikan layang D.macrosoma pertama
kali matang gonad pada panjang 250 mm,
baik ikan jantan maupun ikan betina. Musim
pemijahan terjadi antara bulan Februari dan
Maret.
DAFTAR PUSTAKA
Arocha, F, Barios A. 2009. Sex rations,
spawning seasonality, sexual maturity,
and
fecundity
of
white
marlin
(Tetrapturus albidus) from the western
central Atlantic. WWW J Fish Res
95:98-111.
[terhubung
berkala].
http://www.elsevier.com/located/fishres.
Atmaja, SB. dan Haluan, J. 2003. Perubahan
hasil tangkapan lestari Ikan pelagis kecil
Di Laut Jawa dan sekitarnya. Buletin PSP
Volume XII No.2 /10/20.
Bagenal, TB. 1978. Aspects of fish fecundity.
Ecology of freshwater fish production.
Blackwell scientific publications. Oxford.
P 77-101.
Betts, BS. 1972. Sexsual maturity, fecundity
and Sex ratio of skipjack tuna
(Katsuwonus pelamis, Linn.) in North
Carolina waters trans. Amer.fish.Soc.,
101 (4) : 626-637.
Burhanuddin. 1975. Tali-tali ikan layang
“Raksasa” dari Pulau Banda. Oseane 2
(2) : 6-8.
ISSN : 2088-8848
Genisa, AS. 1998. Beberapa catatan tentang
biologi ikan layang marga Deacpterus.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pusat penenlitian dan pengembangan
osionologi Jakarta. Oseana, Volume
XXIII. No. 2. 1998 : 27-36.
Hendiarti, N.; Suwarso.; Aldrian, E.; Amri, K.;
Andiastuti,
R.;
Sachoemar,
S.I.;
Wahyono, I.B.
2005.
Seasonal
variation of pelagic fish catch, around
Java. Fishery Oceanography I Vol. 18,
No.4, Dec. 2005.
Hukom, FD.; Purnama, DR. dan Rahardjo,
MF. 2006. Tingkat kematangan gonad,
faktor kondisi, dan hubungan panjang
berat ikan tajuk (Aphareus rutilans
Cuvier, 1830) di perairan laut dalam
Pelabuhanratu, Jawa Barat. Jurnal
Ikhtiologi Indonesia, 6(1): 1-9.
Manik, N. 2003. Beberapa parameter
populasi ikan layang (Decapterus
russelli) di Perairan Maluku Utara.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia.
No. 35: 65-74.
Merta, IGS. 1993. Hubungan panjang – berat
dan faktor kondisi ikan lamuru,
Sardinella lemuru BLEEKER, 1853 dari
perairan Selat Bali. Jur. Pen. Per. Laut
(73) : 35-44.
Najamuddin, M.; Achmar.; Budimawan dan
Indar, M. 2004. Pendugaan ukuran
pertama kali matang gonad ikan layang
deles (Decapterus macrosoma Bleker)
J. Sains & Teknologi. No. 1. Vol. 4 : 1-8.
Ricker, WE. 1975. Comutation and
interpretation of biological statistics of
fish population. Ottawa: Departemen of
the environment. Fisheries and marine
service. Pacific Biological Station. 382
p.
Bustaman, S. dan M. Badaruddin. 1993.
Pengusahaan ikan layang (Decapterus
spp.) di Perairan Maluku-Irian Jaya.
Jurnal Pen. Perik. Laut 76 : 44-49.
Simanjuntak, CPH. 2007. Reproduksi ikan
selais, Ompok hypopthalmus (Bleeker)
berkaitan
dengan
perubahan
hidromorfologi perairan di rawa banjiran
Sungai Ampar Kiri [tesis]. Bogor.
Program
Pascasarjana.
Institut
Pertanian Bogor.
Effendie, MI. 1997. Metode Biologi
Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Sulistiono.; Soenanthi, KD,; Ernawati, Y.
2009.
Aspek reproduksi ikan lidah,
39
Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
Cynoglossus linguna H.B. 1822 di
perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur.
Jurnal Iktilogi Indonesia, 9(2): 175-185,
2009.
ISSN : 2088-8848
VENEMA, J.M. CHRISTENSEN, dan D.
PAULY (eds.) Contributions to tropical
fisheris biology. FAO Fish. Rep. 389 :
308 – 323.
Sumadhiharga, OK. 1991. Struktur populasi
dan reproduksi ikan momar marah
(Decapterus russelli) di Teluk Ambon.
Dalam: Perairan Maluku dan sekitarnya
(Editor: Praseno, et al.) Balai penelitian
dan pengembangan sumberdaya laut,
Puslitbang Oseanologi–LIPI: 39-47.
Sumadhiharga, OK. 1994. Reproduksi dan
makanan ikan momar puti (Decapterus
macrosoma) di Teluk Ambon. Perairan
Maluku dan sekitarnya 6 : 27 – 40.
Syahailatua, A. 2008. Aspek biologi dan
eksploitasi sumberdaya perikanan ikan
layang Decapterus russelli dan D.
macrosoma di Teluk Ambon.
Tamsil, A. 2000. Studi beberapa kerakteristik
reproduksi pemijahan dan kemungkinan
pemijahan
buatan
ikan
bungo
(Glossogobius cf aureus di Danau
Tempe dan di Danau Sidenreng
Sulawesi Selatan. Disertasi. Tidak
dipublikasikan. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 177 p.
Trippel, EA.; Kjesbu, OS.; dan Solemial, P.
1997. Effects of adult age and size
structure on reproductive output in
marine fishes. In R. Christopher
Chambers and Edward A. Trippel (eds.).
Early life history and recruitment in fish
populations. Fish and Fisheries Series
21, Chapman and Hall. p 31-62.
Turkmen, M.; Erdogan, O.; Yildirim, A. dan
Akhyurt, I. 2002. Reproductive tactics,
age and growth of Capoeta capoeta
umla Heckel 1843 from the Askale
Region of the Karasu River, Turkey.
WWW J Fish Res 54:317-328.
[terhubung
berkala].
http://www.elsevier.com/located/fishres.
Weatherly, AH. dan Gill, HS. 1987. The
biology of fish growth. Academic Press,
London.433 p.
Widodo, J. 1988. Population biology of
Russell’s scad (Decapterus russelli) in
the Java sea, Indonesia. In : S.C.
40
[Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Distribusi Spasial Udang Mantis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri
di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi
Ali Mashar dan Yusli Wardiatno
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor
Abstrak :Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji habitat dan pola distribusi spasial udang mantis
Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri sebagai salah satu dasar untuk upaya
pengelolaan udang mantis secara optimal dan berkelanjutan. Penelitian dilakukan pada bulan MeiJuli 2010 di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa udang mantis jenis H. raphidea dan O. gravieri mempunyai habitat dan pola
distribusi spasial yang sama. Habitat kedua jenis udang mantis tersebut adalah dasar perairan
berlumpur dengan tipe substrat lempung berpasir. Daerah pasang surut merupakan habitat dari
udang mantis muda atau ukuran kecil. Adapun pola distribusi kedua jenis udang mantis tersebut
adalah mengelompok sempurna.
Kata Kunci: habitat, distribusi spasial, Harpiosquilla raphidea, Oratosquillina gravieri, Kuala
Tungkal
PENDAHULUAN
Udang mantis, juga dikenal dengan udang
ronggeng, udang nenek dan udang ketak,
merupakan
salah
satu
sumberdaya
perikanan ekonomis penting dan juga
merupakan komoditas ekspor, diantaranya
ke Hongkong dan Taiwan (Kompas 27 Juli
2004). Udang mantis banyak dijumpai di
perairan laut Indonesia, salah satunya di
perairan Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Jambi. Kuala Tungkal terkenal
sebagai penghasil utama udang mantis,
terutama jenis Harpiosquilla raphidea di
Indonesia dan menyuplai sekitar 60% dari
total volume ekspor udang mantis. Kegiatan
penangkapan udang mantis di Kuala
Tungkal dilakukan setiap saat (tidak
mengenal musim).
Selain jenis H. raphidea, di Kuala Tungkal
juga ditemukan jenis udang mantis lain
dalam
jumlah
tidak
sedikit,
yaitu
Oratosquillina gravieri, namun sampai saat
ini belum menjadi target tangkapan (Gambar
1). Udang mantis cenderung memilih habitat
yang sesuai untuk kehidupannya. Namun
demikian, hingga saat ini belum diketahui
secara pasti sebaran habitat jenis-jenis
udang mantis di Kuala Tungkal. Oleh karena
itu, perlu dikaji distribusi udang mantis
secara spasial agar upaya pemanfaatan
udang mantis tersebut dapat efektif dan
optimal
dengan
tetap
menjaga
kelestariannya.
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk
mengkaji jenis habitat dan pola distribusi
udang mantis secara spasial sebagai salah
satu dasar untuk upaya pengelolaan udang
mantis secara optimal dan berkelanjutan.
(A)
(B)
Gambar 1. Udang mantis yang ditemukan di
lokasi
penelitian:
(A)
Harpiosquilla
raphidea;
(B)
Oratosquillina gravieri
METODE PENELITIAN
1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei
hingga Juli 2010 di Kuala Tungkal,
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi
(Gambar 2). Analisis sampel tanah dilakukan
di Laboratorium Analisis Tanah, Departemen
Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, IPB.
41
[Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ISSN : 2088-8848
Sedangkan tipe substrat udang mantis dilihat
dengan menggunakan Segitiga Miller
(Brower et al. 1990) (Gambar 3).
Gambar 2. Lokasi penelitian (Diadopsi dari
Wardiatno & Mashar 2010)
2. Pengambilan Contoh Udang Mantis dan
Substrat
Lokasi pengamatan terdiri dari 3 stasiun,
yaitu Stasiun 1 dan 2 terletak di sebelah kiri
Muara Sungai Pangabuan, dan stasiun 3
terletak di sebelah kanan Muara Sungai
Pangabuan. Adapun lokasi pengambilan
contoh, yaitu udang mantis contoh dan
contoh substrat, pada masing-masing
stasiun pengamatan dilakukan secara acak
dengan bantuan alat GPS untuk menandai
lokasi pengamatan.
Penangkapan udang mantis contoh dan
pengambilan contoh substrat dilakukan
dengan bantuan nelayan udang mantis di
lokasi penelitian dengan menggunakan alat
tangkap sondong. Udang mantis yang
tertangkap dipisahkan per jenis per stasiun
pengamatan dan kemudian masing-masing
dihitung jumlahnya. Pengambilan contoh
substrat dilakukan dengan menggunakan
pipa yang ditancapkan ke dalam lumpur.
Kedalaman lumpur berkisar antara 2-5 cm.
Contoh substrat dimasukkan ke dalam
kantong plastik lalu diberi label untuk
masing-masing
stasiun
pengamatan,
kemudian
dianalisis
di
Laboratorium
Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB
untuk mengetahui komposisi (%) liat, debu,
pasir serta tipe substrat.
3. Analisis Data
a. Analisis Distribusi Udang Mantis
Kelompok ukuran udang ini diperoleh
dengan menggunakan software FISAT II.
Gambar 3. Segitiga miller
Pola distribusi populasi udang mantis
dihitung dengan menggunakan Indeks
Sebaran Morisita (Brower et al. 1990), yaitu:
xi
Id
2
N
nN ( N 1)
Keterangan:
Id = Indeks Sebaran Morista
n
= Jumlah stasiun pengambilan contoh
xi = Jumlah individu pada setiap stasiun
pengambilan contoh
N = Jumlah total individu pada seluruh
stasiun
Kriteria hasil perhitungan Indeks Sebaran
Morisita:
Id = 0  Pola sebaran bersifat seragam
sempurna
Id =
1  Pola sebaran bersifat acak
Id =
n

Pola
sebaran
bersifat
mengelompok sempurna
Untuk menguji kebenaran Indeks Sebaran
Morisita, digunakan Uji Chi-Kuadrat (Brower
et al. 1990) sebagai berikut:
X
Xi
2
nN
2
N
Keterangan:
2
χ
= Nilai Chi-Kuadrat
n
= Jumlah unit pengambilan contoh
Xi = Jumlah individu tiap stasiun
N = Jumlah total individu yang diperoleh
i
= 1, 2, 3,…, s
Nilai Chi-Kuadrat Perhitungan dibandingkan
dengan nilai Chi-Kuadrat Tabel Statistika
pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).
42
[Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
HASIL
Habitat Udang Mantis
Substrat di perairan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain, masukan yang
berasal dari sungai dan laut serta kecepatan
arus. Perairan yang arusnya kuat lebih
banyak ditemukan substrat pasir, karena
partikel yang berukuran kecil akan terbawa
ke tempat yang lebih jauh oleh aktivitas arus
dan gelombang. Habitat udang mantis yang
ditemukan di Kabupaten Tanjung Jabung
Barat berada pada daerah pasang surut
(intertidal). Daerah ini menyebar sepanjang
pantai dan pesisir Kuala Tungkal. Secara
visual, daerah intertidal ini mempunyai
substrat dasar berupa lumpur. Di daerah
intertidal ini, udang mantis berlindung dalam
lubang di dalam substrat lumpur dengan
diameter dan kedalaman lubang yang
bervariasi sesuai dengan ukuran udang
mantis. Hasil pengamatan langsung di lokasi
penelitian ini memperkuat pernyataan
Edyson (1986) in Wardiatno et al. (2009)
bahwa
udang
mantis
cenderung
membenamkan diri ke dasar perairan untuk
berlindung.
Untuk mengetahui tipe substrat dasar
perairan tersebut secara lebih pasti, maka
dilakukan analisis fraksi penyusun substrat
yang secara ringkas hasilnya disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi fraksi penyusun tanah
pada habitat udang mantis
Stasiu
n
Tahun
2010
Stasiun
1
Stasiun
2
Stasiun
3
Tahun
2009
Stasiun
1
Stasiun
2
Stasiun
3
Fraksi Penyusun Substrat
Pasir
Debu
Liat
Tipe
Substrat
46,9751,94
57,5759,73
51,3759,90
Lempung
Berpasir
Lempung
Berpasir
Lempung
Berpasir
1,27-4,85
1,46-4,75
-
26,3434,63
23,4227,78
21,1732,61
43,0869,54
47,9456,50
-
15,7421,72
12,4919,01
16,0218,94
4,48-9,77
6,41-10,14
-
Lempung
Berpasir
Lempung
Berpasir
-
Berdasarkan
analisis
terhadap
fraksi
penyusun substrat dengan menggunakan
Segitiga Miller didapatkan hasil bahwa tipe
substrat udang mantis, baik Harpiosquilla
raphidea maupun Oratosquillina gravieri
adalah lempung berpasir. Hal ini sesuai
dengan pendapat Aziz et al. (2001)
ISSN : 2088-8848
menyatakan
bahwa
udang
ronggeng
menyenangi dasar perairan yang terdiri dari
pasir atau pasir campur lumpur dan udang
ini juga hidup pada dasar perairan atau
celah-celah batu-batuan, sehingga perairan
yang dasarnya terdiri dari pasir dan berbatu
merupakan habitat utama udang ronggeng.
Udang ronggeng hidup terutama di pantai
berlumpur dan juga kawasan terumbu
karang. H. raphidea memiliki kisaran
toleransi yang luas terhadap tipe substrat. H.
raphidea dapat hidup dasar perairan dengan
tipe substrat lempung berpasir, lempung liat
berpasir dan lempung. Sedangkan O.
gravieri lebih menyukai dasar perairan
dengan tipe substrat lempung berpasir.
Distribusi Udang Mantis
Jumlah udang mantis yang teramati selama
penelitian berdasarkan kelompok ukuran
secara ringkas disajikan pada Gambar 4
untuk H. raphidea dan Gambar 5 untuk O.
squillina.
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3 Jarak dari
Pantai (meter)
Gambar 4. Jumlah Harpiosquilla raphidea
berdasarkan kelompok ukuran
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat
kelompok ukuran udang mantis jenis H.
raphidea yang didapatkan pada penelitian
43
[Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ini, yaitu 3,75-8,75 cm; 8,75 -13,75 cm;
13,75-18,75; >18,75 cm. Dari seluruh
kelompok ukuran tersebut, jumlah udang
mantis H. raphidea paling banyak ditemukan
pada kelompok ukuran 8,75-13,75 cm;
sedangkan paling sedikit ditemukan pada
kelompok ukuran >18,75 cm. Kemudian dari
sisi jumlah udang yang tertangkap, udang
mantis H. raphidea paling banyak ditemukan
pada stasiun 3, yaitu sejumlah 344 individu.
Kemudian disusul pada stasiun 2 dan
stasiun 3 masing-masing sejumlah 132
individu dan 91 individu.
Dari Gambar 4 terlihat bahwa di stasiun 1
udang mantis H. raphidea kelompok ukuran
3,75–8,75 cm banyak ditemukan pada jarak
970-1170 meter dari pantai, yaitu sekitar
muara Sungai Pangabuan, Kuala Tungkal
dan dekat dengan ekosistem mangrove. Hal
ini menunjukkan bahwa daerah tersebut
merupakan habitat yang cocok bagi udang
mantis muda atau ukuran kecil. Pada daerah
ini diduga banyak pasokan makanan alami
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan berasal
dari arah daratan, termasuk dari ekosistem
mangrove. Setelah dewasa, udang mantis
akan bermigrasi menuju ke perairan dengan
salinitas yang lebih tinggi. Fakta ini sesuai
dengan pendapat Yusuda in Suwandi (1978)
bahwa secara umum, kelompok udang muda
banyak terdapat di daerah payau dekat
pantai, sedangkan kelompok udang dewasa
banyak terdapat pada perairan laut yang
lebih jauh dari pantai dengan kadar garam
yang lebih tinggi untuk memijah.
Kemudian pada stasiun 2, udang mantis
kelompok ukuran 3,75–8,75 cm lebih banyak
ditemukan pada jarak 2.860–3.060 m dan
jarak 3.160–3.460 m dibandingkan jarak
2.560–2.760 m. Hal ini dapat diakibatkan
adanya arus yang kuat sehingga udang
mantis yang berukuran kecil terbawa ke arah
laut.
Pada stasiun 3, udang mantis yang
paling banyak ditemukan adalah udang
mantis kelompok ukuran 3,75–8,75 cm dan
8,75–13,75 cm. Jika dilihat dari keberadaan
stasiun tersebut, hal tersebut disebabkan
oleh kondisi habitatnya. Stasiun 3 terletak di
sepanjang muara Sungai Pangabuan. Muara
sungai ini banyak mendapatkan pasokan
makanan dari daratan dan merupakan
ISSN : 2088-8848
habitat dari jenis udang-udangan yang lain
kelompok muda atau ukuran kecil sebagai
daerah pengasuhan dan mencari makan.
Setelah dewasa udang-udang tersebut akan
menuju ke laut untuk mencari perairan
dengan salinitas yang lebih tinggi untuk
kebutuhan kehidupannya.
Kemudian berdasarkan Gambar 5 dapat
dilihat kelompok ukuran udang mantis jenis
O. gravieri yang didapatkan pada penelitian
ini, yaitu <5,3 cm; 5,3-7,8 cm; 7,9-10,3 cm;
>10,3 cm. Dari seluruh kelompok ukuran
tersebut, jumlah udang mantis O. gravieri
paling banyak ditemukan pada kelompok
ukuran 7,9-10,3 cm. Hal ini diduga karena
kelompok ukuran ini merupakan ukuran yang
sudah mampu beradaptasi terhadap kondisi
lingkungannya. Adapun udang mantis O.
gravieri paling sedikit ditemukan pada
kelompok ukuran >10,3 cm. Hal ini dapat
disebabkan karena udang mantis kelompok
ukuran besar banyak yang ikut tertangkap
oleh
nelayan
ketika
para
nelayan
menangkap udang mantis H. raphidea,
walaupun udang mantis O. gravieri ini bukan
target tangkapan.
Stasiun 1
Stasiun 2
Gambar 5. Jumlah Oratosquillina gravieri
berdasarkan kelompok ukuran
44
[Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
Sedangkan pada stasiun 1 dan 2 dapat
dilihat bahwa udang mantis O. gravieri
kelompok ukuran <5,3 cm banyak ditemukan
pada jarak yang lebih jauh mengarah ke laut.
Hal ini disebabkan udang mantis ukuran
kecil tersebut terbawa arus Sungai
Pangabuan atau arus pasang surut menuju
ke arah laut.
Kemudian dari sisi jumlah udang yang
tertangkap, udang mantis O. gravieri paling
banyak ditemukan juga pada stasiun 3, yaitu
sejumlah 112 individu. Kemudian disusul
pada stasiun 2 dan stasiun 3 masing-masing
sejumlah 46 individu dan 30 individu. Hal ini
disebabkan karena di stasiun 3 merupakan
habitat yang sesuai untuk udang mantis ini
dan merupakan daerah yang selama ini
jarang dilakukan penangkapan. Pada stasiun
3 tersebut, arusnya kecil sehingga udang
mantis lebih dapat beradaptasi. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Moore (1978) in
Martanti (2001) bahwa arus yang cepat akan
membahayakan tempat hidup biota yang
biasanya hidup di dalam lumpur dan hewan
perayap di dasar perairan. Aziz (1986)
melaporkan
distribusi
dan
kepadatan
(jumlah) udang di suatu perairan dipengaruhi
oleh faktor lingkungan perairan, seperti arus,
salinitas, pasang surut, serta tindakan
manusia di sekitar perairan tersebut, seperti
pembuangan sisa-sisa industri atau limbah
rumah tangga yang dapat menimbulkan
pencemaran
perairan.
Berdasarkan
wawancara terhadap nelayan bahwa stasiun
3 belum mengalami penangkapan. Hal ini
dikarenakan stasiun 3 berada pada lokasi
yang sempit sehingga mengakibatkan
nelayan tidak melakukan penangkapan di
daerah tersebut.
Secara keseluruhan, berdasarkan Gambar 4
dan Gambar 5, jumlah udang mantis jenis
Harpiosquilla raphidea yang tertangkap
selama penelitian di semua stasiun
pengamatan lebih banyak dibanding jenis
Oratosquillina gravieri. Hal ini diduga karena
H. raphidea bersifat superior atau pemangsa
karena
ukuran
tubuh
dan
capitnya
(propundus) lebih besar dari O. gravieri
sehingga O. gravieri kalah bersaing dengan
H. raphidea, baik dalam kompetisi ruang
maupun makan. Selain itu, juga dapat
disebabkan karena O. gravieri memiliki
ISSN : 2088-8848
kisaran toleransi yang lebih sempit
dibandingkan H. raphidea sehingga lebih
sulit beradaptasi terhadap lingkungan.
Pola Distribusi Udang Mantis
Untuk mengetahui pola distribusi kedua jenis
udang mantis, digunakan Indeks Sebaran
Morisita (Id) dan kemudian dilanjutkan
dengan Uji Chi-Kuadrat. Hasil perhitungan Id
tersebut didapatkan hasil bahwa nilai Id
untuk H. raphidea adalah 1,2043-1,6678;
sedangkan nilai Id untuk O. gravieri adalah
1,0561-2,2208. Berdasarkan kriteria pada
Indeks Sebaran Morisita, maka udang
mantis H. raphidea dan O. gravieri
mempunyai pola distribusi yang sama, yaitu
Mengelompok Sempurna.
Udang mantis hidup mengelompok sesuai
dengan jenisnya. Pola sebaran bersifat
mengelompok diduga berkaitan dengan
kondisi lingkungan, ketersediaan makanan,
dan tipe substrat. Ketersediaan makanan
yang
tinggi
pada
suatu
tempat
memungkinkan suatu jenis organisme akan
mengelompok pada tempat tersebut. Tipe
substrat berpengaruh terhadap pola sebaran
karena udang mantis akan berkumpul pada
tipe substrat yang disukainya.
Pola sebaran mengelompok berarti kedua
jenis udang mantis H. raphidea dan O.
gravieri ditemukan ditempat tertentu sesuai
dengan preferensi habitatnya. Faktor fisik
terpenting yang bereaksi pada komunitas
dasar adlah turbulensi atau gerakan ombak
(Nybakken 1988). Pada perairan yang
dangkal interaksi ombak, arus, up welling
akan menimbulkan gerakan turbulensi. Pada
dasar yang lunak, ombak ini dapat
menimbulkan gerakan bergelombang besar
di dasar perairan yang sangat berpengaruh
terhadap stabilitas subsrat. Hewan infauna
yang hidup di dasar substrat sangat
dipengaruhi oleh partikel substrat yang
teraduk. Selain itu, pergerakan ombak juga
dapat menentukan tipe partikel yang
terkandung dan apabila pergerakan ombak
tersebut kuat maka akan memindahkan
partikel halus sebagai suspensi dan
menyisakan pasir.
Pola sebaran mengelompok berkaitan erat
dengan kemampuan larva hewan bentik
untuk
memilih
daerah
yang
akan
45
[Jurnal Pertanian-UMMI Volume 1 Nomor 1, Agustus 2011
ditempatinya. Kebanyakan hewan larva lebih
senang menetap di tempat yang terdapat
spesies dewasanya. Hal ini menunjukkan
bahwa daerah tersebut cocok unyuk habitat
hidupnya. Kemampuan larva memilih daerah
untuk menetap serta kemampuannya untuk
menunda
metamorfosis
membuat
penyebarannya tidak acak. Penyebaran
secara acak relatif jarang terjadi di alam
(Nybakken 1988).
KESIMPULAN
Udang mantis jenis Harpiosquilla raphidea
dan Oratosquillina gravieri yang ditemukan di
Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung
Barat, Provinsi Jambi mempunyai habitat
dan pola distribusi yang sama. Habitat kedua
jenis udang mantis tersebut adalah dasar
perairan berlumpur dengan tipe substrat
lempung berpasir. Daerah penelitian, yang
merupakan daerah pasang surut, adalah
habitat dari udang mantis muda atau ukuran
kecil. Adapun pola distribusi kedua jenis
udang mantis tersebut adalah mengelompok
sempurna.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Sdr/i Elin Pratiwi, Novi Ariyanti, Adrian
Damora, dan Wahyu Muzammil, alumni
Departemen
Manajemen
Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB angkatan 43 yang telah
membantu Penulis dalam kegiatan penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz KA. 1986. Distribusi dan komposisi
udang palaemonidae yang tertangkap
di Perairan Teluk Banten. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Aziz KA, Boer M, Widodo J, Djamali A, Gofar
A, & Rahmawati R. 2001. Perikanan
udang di Perairan Indonesia. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Brower JE, JH Zar, & CN von Ende. 1990.
Field and Laboratory methods
for
rd
general ecology. 3 edition. Wm. C.
Brown Publishers.
ISSN : 2088-8848
Martanti D. 2001. Pola distribusi dan struktur
populasi keong macan (Babylonia
spirata L.) di Teluk Pelabuhan Ratu
pada
musim
timur.
[skripsi].
Departeman Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Nybakken JW. 1988. Biologi laut: suatu
pendekatan ekologis. [Terjemahan dari
Marine
Biology:
An
ecological
approach, 3 rd edition]. Eidman HM,
Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M,
& Sukardjo S (penerjemah). PT
Gramedia. Jakarta. xv + 443 hlm.
Suwandi E.1978. Beberapa aspek bilogi
udang penaeid yang tertangkap oleh
trawl di laut Arafura, Irian Jaya, dan
Teluk Carpentaria, Australia [tesis].
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70
hlm.
Wardiatno Y, A Farajallah, & A Mashar.
2009. Kajian aspek reproduksi dan
genetika udang mantis (Harpiosquilla
raphidea Fabricius, 1798) di Kuala
Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung
Barat, Jambi sebagai upaya lanjutan
domestifikasi udang mantis. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Wardiatno Y & A Mashar. 2010. Biological
information on the mantis shrimp,
Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798)
(Stomatopoda, Crustacea) in Indonesia
with a highlight of its reproductive
aspects. Journal of Tropical and
Conservation, 7: 63-73.
46
Download