Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan Padat

advertisement
Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan
Padat, Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung
Widyastri Atsary Rahmy(1), Budi Faisal(2), Agus R. Soeriaatmadja(3)
(1)
Mahasiswa Program Magister Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), Institut
Teknologi Bandung (ITB)
Staf Pengajar Prodi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), Institut Teknologi
Bandung (ITB)
(3)
Staf Pengajar Luar Biasa Prodi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK),
Institut Teknologi Bandung (ITB)
(2)
Abstrak
Ruang terbuka hijau kota merupakan pertemuan antara sistem alam dan manusia pada wilayah
perkotaan. Saat ini proporsinya semakin berkurang seiring peningkatan populasi dan kepadatan
penduduk, sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan antara kedua sistem tersebut.
Untuk memperbaikinya serta meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan secara umum, ruang
terbuka hijau kota perlu dikembalikan dalam bentuk sistem agar dapat berperan optimal.
Pembentukan sistem ruang terbuka hijau merupakan respon terhadap kebutuhan ruang terbuka
hijau pada suatu wilayah perkotaan. Kebutuhan ini secara ideal harus mengintegrasikan aspek
ekologis, sosial, dan ekonomi dari wilayah tersebut. Tulisan ini membahas identifikasi kebutuhan
ruang terbuka hijau kota dengan lokasi studi pada kawasan padat di wilayah Tegallega, Bandung.
Dalam kasus ini, identifikasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan tata ruang
dalam pembangunan Kota Bandung saat ini, terutama terkait arahan pertumbuhan populasi.
Pada konteks kawasan perkotaan padat seperti kawasan studi, populasi menjadi faktor penting
yang mendasari perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau selain peran kawasan tersebut
dalam keseluruhan sistem ekologi wilayah perkotaan. Temuan dari pembahasan menunjukkan
bahwa proporsi kebutuhan ruang terbuka hijau kota pada suatu kawasan mungkin berbeda
dengan kawasan lainnya walaupun berada dalam satu wilayah perkotaan. Dengan demikian,
diperlukan kajian lebih lanjut untuk merumuskan metode perhitungan ruang terbuka hijau kota
yang lebih terpadu dengan berdasarkan populasi.
Kata-kunci: kawasan perkotaan padat, ruang terbuka hijau kota
Pendahuluan
Ruang terbuka hijau kota merupakan
pertemuan antara sistem alam dan manusia
dalam lingkungan perkotaan (urban). Kawasan
perkotaan yang berkelanjutan ditandai oleh
interaksi dan hubungan timbal balik yang
seimbang antara manusia dan alam yang
hidup berdampingan di dalamnya. Pada kasus
lingkungan perkotaan berkepadatan tinggi,
keseimbangan tersebut mengalami gangguan
akibat berkurangnya ruang terbuka hijau. Oleh
karena itu, mengembalikannya
lingkungan perkotaan dengan
sistem dinilai penting.
ke dalam
berbentuk
Pentingnya keberadaan ruang terbuka hijau
kota, terutama dalam lingkungan tempat
tinggal, telah dibuktikan dalam beberapa
penelitian (Wu, 2008). Ruang terbuka hijau
kota merupakan komponen penting yang
mempengaruhi kualitas kehidupan manusia,
baik secara ekologis maupun sosial-psikologis.
Namun demikian, saat ini proporsinya semakin
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 27
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan Padat, Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung
berkurang sebagai dampak dari tingginya
kepadatan penduduk akibat pertumbuhan
populasi manusia yang semakin meningkat.
Peningkatan populasi tersebut secara tidak
langsung diikuti oleh peningkatan kebutuhan
akan konsumsi energi dan lahan bermukim.
Hal ini tidak diimbangi oleh pengendalian guna
lahan yang berfungsi membatasi intervensi
manusia terhadap lingkungan alam perkotaan.
Pembangunan kawasan perkotaan secara fisik
cenderung menghabiskan ruang-ruang terbuka
dan menjadikannya area terbangun. Proporsi
lahan yang tertutup perkerasan semakin besar
dan secara ekologis mengakibatkan berbagai
gangguan terhadap proses alam dalam
lingkungan perkotaan. Di antara gangguan
tersebut adalah meningkatnya temperatur,
frekuensi banjir dan polusi udara, serta
berkurangnya keragaman hayati. Selain itu,
dari aspek sosial, warga semakin kekurangan
ruang-ruang
terbuka
sebagai
tempat
beraktivitas dan berinteraksi.
Menghadapi permasalahan tersebut, wacana
mengenai konsep pembangunan kota yang
mulai memberikan perhatian pada faktor
ekologi, selain pada faktor ekonomi dan sosial,
semakin berkembang. Salah satunya adalah
konsep “eco-city (ecological cities)”. Konsep
mengenai pembangunan berkelanjutan ini
merupakan bentuk representasi strategi dalam
menghadapi permasalahan yang ditimbulkan
oleh karakter kawasan perkotaan (Heidt dan
Neef, 2008). Berdasarkan konsep ini, salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah
menjaga dan mengembalikan ruang terbuka
hijau ke dalam lingkungan perkotaan dengan
berbentuk sistem, sehingga dapat berperan
optimal dari sisi ekologi, sosial dan ekonomi.
Pembentukan sistem ruang terbuka hijau kota
merupakan respon terhadap kebutuhan ruang
terbuka hijau suatu wilayah perkotaan, yang
meliputi kebutuhan dari aspek ekologis, sosial,
dan ekonomi wilayah tersebut. Dari aspek
ekologis, ruang terbuka hijau kota merupakan
bagian dari keseluruhan sistem ekologi wilayah
perkotaan, sedangkan dari aspek sosial dan
28 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
ekonomi merupakan bagian dari struktur tata
ruang tempat manusia beraktivitas.
Selain itu, penataan ruang terbuka hijau kota
juga merupakan bagian strategi perencanaan
kota untuk membatasi pembangunan serta
mengatasi dampak ekologis berbagai aktivitas
manusia terkait gangguan proses alam pada
lingkungan perkotaan. Di antara strategi
tersebut adalah ruang terbuka hijau sebagai
area resapan, ruang terbuka hijau sebagai
pereduksi polusi, serta ruang terbuka hijau
sebagai penurun temperatur udara.
Masalah utama yang mendasari kajian ini
adalah belum terpenuhinya kebutuhan ruang
terbuka hijau Kota Bandung secara umum,
dan khususnya pada lokasi studi. Proporsi
ruang terbuka hijau Kota Bandung saat ini
belum memenuhi standar kebijakan tata ruang
(berdasarkan UU No.26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang), yaitu 30% dari total luas
wilayah perkotaan. Selain itu, distribusinya
tidak seimbang antara wilayah Kota Bandung
Utara dan Selatan, serta belum membentuk
suatu sistem yang terpadu.
Berdasarkan data dari Dinas Pemakaman dan
Pertamanan Kotamadya Bandung, pada tahun
2010 diketahui luas total ruang terbuka hijau
Kota Bandung adalah sebesar 2.153.587,90 m2.
Proporsi terkecil, yaitu seluas 28.666,87 m2
terdapat pada Wilayah Pengembangan (WP)
Tegallega. Kondisi tersebut menjadi dasar
pemilihan wilayah ini sebagai lokasi kawasan
studi karena dinilai paling membutuhkan
perencanaan sistem ruang terbuka hijau kota.
Kawasan studi seluas +60 Ha berada dalam
lingkup zona pusat kota WP Tegallega, dengan
batas-batas Jalan Panjunan dan Ciateul di
sebelah Utara, Jalan Kopo di sebelah Barat,
Jalan Peta di sebelah Selatan, serta Jalan
Otista dan Taman Tegallega di sebelah Timur.
Ilustrasi kawasan studi serta kedudukannya
terhadap WP Tegallega dan Kota Bandung
sebagai konteks dapat dilihat pada Gambar 1.
Widyastri Atsary Rahmy
hijau per-kapita sesuai Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan
Perkotaan
dari
Departemen
Pekerjaan Umum.
Gambar 1. Peta Lingkup Kawasan Studi.
Tulisan ini membahas identifikasi kebutuhan
ruang terbuka hijau kota pada kawasan studi
yang memiliki karakter sebagai kawasan
terbangun padat. Pembahasan dilakukan
berdasarkan teori urban ecology (ekologi
urban) dengan pendekatan urban landscape
ecology (ekologi lanskap urban) yang
berkembang dari perspektif ecology of cities
as ecosystems. Perspektif ini melihat kota,
termasuk manusia di dalamnya, sebagai
sebuah sistem urban yang terdiri dari
komponen biologis dan sosial-ekonomi.
Penekanan diberikan pada hubungan timbal
balik dan beragam interaksi antara kedua
komponen tersebut serta pada pola-pola
spasial dan dampak ekologisnya, mulai dari
skala kecil pada sepetak lahan (patch) hingga
skala besar pada keseluruhan lanskap urban
maupun pada konteks regional (Wu, 2008).
Karena itu, perhitungan kebutuhan ruang
terbuka hijau kota perlu dilakukan pada
hierarki skala ruang, mulai dari skala terbesar
yaitu wilayah perkotaan hingga skala terkecil
seperti blok lingkungan pemukiman.
Mengacu pada perspektif yang melihat
manusia sebagai bagian integral dari sistem
ekologi kota tersebut, fokus pembahasan ini
diarahkan pada identifikasi kebutuhan ruang
terbuka hijau kota secara kuantitatif dilihat
dari sisi kebutuhan manusia. Kebutuhan
tersebut dihitung melalui pendekatan terhadap
arahan pemanfaatan lahan kawasan terkait
optimalisasi pemanfaatan proporsi ruang
terbuka hijau yang menjadi kewajiban dalam
jenis guna lahan tertentu. Selain itu juga
dapat dihitung dengan pendekatan terhadap
populasi penduduk, terkait kebutuhan oksigen
dan standar kebutuhan luas ruang terbuka
Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk
membentuk sistem ruang terbuka hijau yang
sesuai dengan kebutuhan kawasan serta dapat
memberikan kontribusi terhadap sistem pada
skala yang lebih besar. Diharapkan kajian ini
dapat menghasilkan suatu standar kebutuhan
spasial ruang terbuka hijau bagi satu orang
penduduk kota. Standar ini direpresentasikan
oleh angka luasan per-orang yang harus
dipenuhi dalam proses pembentukan sistem
ruang terbuka hijau kota, pada skala wilayah
perkotaan maupun lingkungan pemukiman.
Metode
Metode yang digunakan dalam kajian ini
dirumuskan berdasarkan pendekatan urban
landscape ecology (ekologi lanskap urban).
Faktor manusia dan alam dipertimbangkan
secara
seimbang
dalam
setiap
tahap
pembahasan. Namun demikian, konteks urban
yang kuat pada kawasan studi menjadikan
faktor kebutuhan manusia lebih ditekankan.
Kajian ini terdiri dari tahap pengumpulan data
dan pustaka serta tahap analisis.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer
dan data sekunder. Data pimer diperoleh
melalui rangkaian kegiatan survey yang diikuti
dengan pemetaan kondisi kawasan serta
wawancara terhadap instansi-instansi terkait.
Kegiatan survey terbagi ke dalam dua tahap.
Survey tahap pertama dilakukan secara umum
pada seluruh kawasan Blok A Wilayah
Tegallega dengan tujuan untuk menentukan
kawasan studi secara spesifik. Survey tahap
kedua dilakukan secara lebih detil dan
berfokus pada kawasan studi terpilih dengan
tujuan untuk menilai kualitas ekologi dan
kualitas ruang kota, termasuk aktivitas warga
di dalamnya.
Wawancara instansi terkait bertujuan untuk
memperoleh gambaran mengenai kondisi
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 29
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan Padat, Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung
kawasan studi dan konteks urban-regionalnya,
serta kebijakan terkait perencanaan ruang
terbuka hijau kawasan. Wawancara dilakukan
terhadap Dinas Permakaman dan Pertamanan
Kota Bandung, Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah Kota Bandung, pihak
Kecamatan Astana Anyar dan Bojongloa Kidul,
serta pihak Kelurahan Situ Saeur, Panjunan,
Pelindung Hewan, dan Nyengseret. Data yang
diperoleh dari wawancara meliputi data luas
ruang terbuka hijau Kota Bandung tahun 2010
serta data populasi penduduk kawasan studi.
Data sekunder merupakan hasil studi terhadap
berbagai penelitian yang pernah dilakukan
terkait lokasi kawasan studi dan topik kajian,
khususnya mengenai metoda perhitungan
kebutuhan ruang terbuka hijau pada kawasan
perkotaan. Hasil studi ini didukung dengan
tinjauan pustaka terhadap teori dan wacana
terkini
dalam
perkembangan
keilmuan
arsitektur lanskap, serta hubungannya dengan
disiplin ilmu lainnya terkait topik kajian,
termasuk contoh kasus aplikasi sistem ruang
terbuka hijau kota yang telah ada. Selain itu
dilakukan pula tinjauan terhadap regulasi dan
kebijakan perencanaan tata ruang, khususnya
mengenai ruang terbuka hijau, pada kawasan
setempat. Kebijakan tata ruang yang menjadi
acuan dalam kajian ini antara lain Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung
(RTRW) Tahun 2010-2030 dan Rencana Detil
Tata Ruang Kota Wilayah Pengembangan
(RDTRK WP) Tegallega Tahun 2007-2012. Dari
hasil tinjauan pustaka tersebut digunakan teori
lanskap urban sebagai dasar rangkaian kajian
ini, sedangkan dari hasil tinjauan terhadap
regulasi didapat beberapa pendekatan untuk
menghitung kebutuhan ruang terbuka hijau
bagi penduduk kota.
Tabel 1. Data dan pustaka
No
1
2
3
Data
Primer
Survey umum
Data
Sekunder
Studi
kawasan
Survey
khusus
kawasan studi
Wawancara
instansi
terkait
Studi metode
-
Pustaka dan
Regulasi
Kebijakan tata
ruang
kawasan
Regulasi
terkait RTH
-
30 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
Metode Analisis
Tahap analisis terbagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama merupakan analisis potensi
arahan perencanaan ruang terbuka hijau Kota
Bandung pada skala wilayah perkotaan.
Analisis ini dilakukan terhadap kebijakan tata
ruang khususnya terkait perencanaan ruang
terbuka hijau Kota Bandung, didukung data
kondisi wilayah perkotaan Bandung saat ini.
Bagian kedua merupakan analisis penambahan
ruang terbuka hijau kota pada kawasan studi,
dihitung berdasarkan kebutuhannya melalui
dua pendekatan, yaitu terhadap arahan
rencana guna lahan serta standar kebutuhan
ruang terbuka hijau per-orang. Perhitungan
dengan dua pendekatan ini mengacu pada
perkiraan jumlah populasi hasil optimalisasi
berdasarkan arahan kepadatan pada kawasan.
Melalui pendekatan terhadap arahan rencana
guna lahan kawasan, penambahan luas ruang
terbuka hijau pada kawasan studi merupakan
optimalisasi proporsi ruang terbuka hijau yang
harus diberikan oleh setiap tipe guna lahan,
khususnya pemukiman, di luar guna lahan
ruang terbuka hijau itu sendiri. Melalui
pendekatan terhadap standar ruang terbuka
hijau per-orang, penambahan luas ruang
terbuka
hijau
dihitung
berdasarkan
kebutuhannya untuk setiap orang. Kebutuhan
per-orang ini dillihat dari sisi kebutuhan akan
oksigen serta kebutuhan secara spasial untuk
beraktivitas yang harus dipenuhi oleh
penambahan ruang terbuka hijau tersebut.
Analisis dan Interpretasi
Analisis Potensi Arahan Perencanaan Ruang
Terbuka Hijau Kota Bandung
Sebagai bentuk perencanaan ruang terbuka
hijau kota, sistem ruang terbuka hijau wilayah
perkotaan berpotensi menjadi pengendali
pembangunan kota agar tidak melebihi
kapasitas alam yang dapat menopangnya.
Peran ini sangat diperlukan terutama oleh
kota-kota dengan pertumbuhan penduduk
tinggi, salah satunya Kota Bandung. Agar
peran ini dapat berjalan, terlebih dahulu perlu
Widyastri Atsary Rahmy
dilakukan kajian terhadap perencanaan ruang
terbuka hijau Kota Bandung yang tercantum
dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) Kota Bandung Tahun 2010-2030.
dengan ruang terbuka hijau dalam kawasan
perkotaan melalui jejaring sungai pada arah
Utara-Selatan serta jejaring jalan raya pada
arah Barat-Timur (Gambar 3).
Rencana tersebut kemudian didudukkan
terhadap kondisi kawasan perkotaan Bandung
saat ini seperti terlihat dalam ilustrasi pada
Gambar 2. Ruang-ruang terbuka hijau pada
rencana merupakan petak (patch) dan koridor
(corridor) pembentuk struktur ekologi Kota
Bandung dengan kerangka dasar seluruh
kawasan perkotaan Bandung. Dari gambar
terlihat bahwa rencana ruang terbuka hijau
Kota Bandung saat ini belum dapat dikatakan
berperan sebagai pengendali pembangunan.
Proporsi ruang terbuka hijau dalam rencana
tersebut diperkirakan belum memenuhi syarat
minimum sebesar 30%, sehingga dinilai tidak
seimbang terhadap keseluruhan proporsi area
terbangun Kota Bandung. Selain itu, ruangruang terbuka hijau Kota Bandung, baik pada
kondisi di lapangan saat ini maupun pada
arahan rencananya di masa mendatang,
belum saling terkoneksi secara terpadu.
Karakter struktur tersebut berpotensi menjadi
pola dasar pembentukan sistem ruang terbuka
hijau yang terintegrasi pada skala wilayah
perkotaan. Konsep konektivitas ini merupakan
penerapan hasil kajian mengenai konsep tiga
lapis pola ruang terbuka hijau perkotaan
(Forman, 2008), di mana jejaring ruang
terbuka hijau pada area pusat kota terhubung
dengan jejaring pada area tepi kota.
Gambar 3. Kawasan perkotaan Bandung dalam
lingkup wilayah cekungan Bandung.
Analisis Penambahan Ruang Terbuka Hijau
Kota pada Kawasan Studi
Gambar 2. Peta rencana ruang terbuka hijau Kota
Bandung pada RTRW tahun 2010-2030.
Konektivitas tersebut, pada sisi lain, dapat
dibangun apabila melihat karakter struktur
bentang alam kawasan perkotaan Bandung
yang termasuk ke dalam wilayah cekungan
Bandung. Struktur ini berbentuk konsentris, di
mana kawasan perkotaan Bandung dikelilingi
deretan pegunungan sebagai ruang terbuka
hijau tepi kota dengan fungsi utama
konservasi pada skala regional. Ruang terbuka
hijau tepi kota ini kemudian dihubungkan
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam
proses pembentukan sistem ruang terbuka
hijau kota adalah mengetahui kebutuhan
ruang terbuka hijau yang harus dipenuhi oleh
sistem. Pada kajian ini kebutuhan tersebut
dilihat dari sisi kebutuhan penduduk dan
dihitung dengan menggunakan pendekatan
terhadap optimalisasi arahan rencana guna
lahan serta terhadap kebutuhan standar ruang
terbuka hijau per-orang. Standar ini mengacu
pada pedoman arahan yang telah ada, yaitu
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang
Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan dari
Departemen Pekerjaan Umum.
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 31
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan Padat, Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung
Pada bagian analisis sebelumnya disebutkan
bahwa sistem ruang terbuka hijau kota
berpotensi menjadi pengendali pembangunan
di masa mendatang. Karena itu, pertumbuhan
populasi
pada
kawasan
studi
perlu
dipertimbangkan dalam proses perhitungan
kebutuhan ruang terbuka hijau kawasan
tersebut. Dalam kajian ini, perkiraan terhadap
pertumbuhan populasi didasarkan pada
rencana arahan kepadatan penduduk kawasan
perancangan sesuai dengan kebijakan RDTRK
WP Tegallega Tahun 2007-2012, yaitu 450
jiwa/ha. Berdasarkan SNI 03-1733-2004
tentang tata cara perencanaan lingkungan
perumahan di perkotaan, angka tersebut
termasuk ke dalam kategori sangat padat,
yaitu lebih dari 400jiwa/ha.
Berdasarkan data yang diperoleh dari pihak
kelurahan, saat ini jumlah penduduk pada
kawasan studi adalah +16.983 jiwa. Dengan
total kawasan perancangan seluas +60.7 ha,
maka kepadatan rata-rata kawasan adalah
sekitar +280 jiwa/ha. Berdasarkan SNI 031733-2004, angka ini sudah termasuk ke
dalam kategori kepadatan tinggi, yaitu 201400 jiwa/ha. Apabila kepadatan kawasan
dioptimalkan menjadi 450 jiwa/ha, maka akan
diperoleh jumlah penduduk +27.315 jiwa.
1. Analisis kebutuhan ruang terbuka hijau kota
dengan pendekatan terhadap arahan rencana
guna lahan kawasan
Optimalisasi kepadatan penduduk diikuti oleh
peningkatan kebutuhan hunian dan fasilitas
penunjang lainnya seperti fasilitas umum dan
fasilitas sosial, termasuk ruang terbuka hijau.
Melalui pendekatan terhadap arahan rencana
guna lahan, hal ini dapat disikapi dengan dua
pilihan strategi pengembangan kawasan, yaitu
strategi pembangunan secara horizontal dan
strategi pembangunan secara vertikal. Pilihan
terakhir dimungkinkan apabila terdapat usulan
peningkatan nilai Koefisien Lantai Bangunan
(KLB) pada lahan. Nilai ini menentukan luas
bangunan total yang boleh terbangun dan
umumnya diimbangi dengan penurunan nilai
Koefisien Dasar Bangunan (KDB). Nilai KDB
32 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
yang berkurang diikuti dengan bertambahnya
proporsi ruang terbuka yang berpotensi untuk
menjadi ruang terbuka hijau. Strategi
pembangunan secara vertikal merupakan
salah satu upaya meningkatkan proporsi ruang
terbuka hijau yang digunakan pada beberapa
rencana pengembangan rumah susun di Kota
Bandung (BAPPEDA Kota Bandung, 2011).
Berdasarkan arahan kepadatan bangunan
dalam RDTRK WP Tegallega 2007-2012, area
pemukiman pada kawasan perancangan tidak
diarahkan untuk pembangunan vertikal.
Walaupun demikian, apabila dilihat dari
struktur
rencana
pengembangan
Kota
Bandung pada RTRW Kota Bandung 20102030, kawasan perancangan diperkirakan akan
mengalami peningkatan nilai lahan mengingat
lokasinya yang dekat pusat pengembangan
primer atau pusat kota, serta berbatasan
langsung dengan koridor arteri sekunder Jalan
Lingkar Selatan (Jl. Peta). Pada analisis ini
optimalisasi kepadatan penduduk digunakan
sebagai dasar usulan untuk meningkatkan nilai
KLB area pemukiman kawasan perancangan.
Terdapat tiga alternatif usulan peningkatan
nilai KLB lahan, yang masing-masing diikuti
dengan penyesuaian nilai KDB, sehingga akan
didapat tiga alternatif perhitungan potensi
peningkatan proporsi ruang terbuka hijau.
Alternatif pertama sepenuhnya mengikuti
ketentuan yang terdapat dalam dokumen
RDTRK WP Tegallega 2007-2012 di mana nilai
KLB dipertahankan tetap 1,2 dengan nilai KDB
maksimum 60% untuk ketinggian maksimal 2
lantai.
Alternatif
kedua
menawarkan
peningkatan nilai KLB lahan pada beberapa
area pemukiman menjadi 2 dengan nilai KDB
maksimum 50% untuk tinggi bangunan
maksimal 4 lantai.
Pemilihan area-area
tersebut disesuaikan dengan kualitas ekologi
serta kualitas ruang kota, baik berdasarkan
hasil
pengamatan
lapangan
maupun
berdasarkan kajian terhadap data sekunder
Dokumen Laporan Survey dan Analisis RDTRK
WP Tegallega 2007-2012. Adapun alternatif
ketiga menawarkan peningkatan nilai KLB
yang mencapai 3,2 dengan nilai KDB 40%
Widyastri Atsary Rahmy
untuk ketinggian maksimal 8 lantai. Tabel 2
menunjukkan rekapitulasi tiga alternatif
perhitungan potensi peningkatan proporsi
ruang terbuka hijau tersebut. Dari analisis ini
akan diketahui potensi peningkatan proporsi
ruang terbuka yang berpotensi menjadi ruang
terbuka hijau kota.
kadang penetapan nilai KDB ini lebih banyak
dipengaruhi oleh nilai ekonomi lahan tersebut,
seperti pada area komersial.
2. Analisis kebutuhan ruang terbuka hijau kota
dengan
pendekatan
terhadap
standar
kebutuhan ruang terbuka hijau per-orang
Tabel 2. Potensi peningkatan proporsi ruang terbuka hijau berdasarkan arahan rencana guna lahan
Berdasarkan Optimalisasi Kepadatan Penduduk
Di sini ruang terbuka hijau kota dilihat sebagai
komponen penyusun struktur ruang kota yang
termasuk pada area lahan terbuka, bersama
dengan jaringan struktur jalan serta sungai
dan area sempadannya. Ruang terbuka hijau
juga diatur sebagai bagian dari peruntukan
lahan hunian maupun non-hunian yang
ditetapkan melalui nilai koefisien dasar hijau
(KDH). Nilai KDH yang setara dengan besaran
ruang terbuka ditentukan oleh kebutuhan akan
infiltrasi air pada sebidang lahan. Perhitungan
nilai KDH kemudian digunakan untuk
menentukan nilai KDB lahan. Bagaimana pun
Pada analisis ini, populasi penduduk hasil
optimalisasi kepadatan merupakan acuan
dalam menghitung kebutuhan ruang terbuka
hijau pada kawasan studi berdasarkan standar
yang terdapat dalam Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan
Perkotaan
dari
Departemen
Pekerjaan Umum. Kebutuhan per-orang ini
dillihat dari sisi kebutuhan oksigen (Tabel 3)
serta kebutuhan spasial untuk beraktivitas
(Tabel 4) yang harus dipenuhi pada
penambahan ruang terbuka hijau tersebut.
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 33
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan Padat, Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung
Kebutuhan ruang terbuka hijau
penyedia
oksigen
dihitung
menggunakan rumus berikut :
sebagai
dengan
Lt = (Pt + Kt + Tt) / {(54 )x(0,9375 )x(2)}
Dari hasil perhitungan, diperoleh angka
kebutuhan ruang terbuka hijau sebagai
penyedia oksigen per-orang seluas 8,3 m2.
Angka ini kemudian dikalikan dengan populasi
hasil pertumbuhan sesuai arahan kepadatan
pada kawasan studi untuk memperoleh total
Tabel 3. Kebutuhan ruang terbuka hijau kota berdasarkan fungsi penyediaan oksigen per-orang
Berdasarkan Optimalisasi Kepadatan Penduduk
Dalam Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan
Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan,
rumus tersebut digunakan untuk menghitung
total luas hutan kota (Lt) dalam kaitannya
dengan penyediaan kebutuhan oksigen.
Terdapat tiga variabel yang diperhitungkan,
yaitu kebutuhan oksigen bagi penduduk (Pt),
bagi kendaraan bermotor (Kt), serta bagi
hewan ternak (Tt). Pada penggunaan rumus
tersebut untuk menghitung kebutuhan ruang
terbuka hijau kota per-orang terkait fungsinya
sebagai penyedia oksigen, variabel yang
dihitung hanya kebutuhan oksigen untuk
manusia
(penduduk)
dengan
koefisien
konsumsi oksigen 840 gram/hari.
Selain itu terdapat tiga angka tetapan yang
menjadi pembagi sebagai berikut :
• 54, yaitu tetapan yang menunjukkan bahwa
1 (satu) m2 luas lahan menghasilkan 54
gram berat kering tanaman per hari,
• 0,9375, yaitu tetapan yang menunjukan
bahwa 1 (satu) gram berat kering tanaman
setara dengan produksi oksigen 0,9375
gram, dan
• 2, yaitu jumlah musim di Indonesia.
34 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
kebutuhan ruang terbuka hijau pada kawasan
tersebut, yaitu seluas 22,67 Ha atau 37,35%
dari 60,7 Ha luas total kawasan studi.
Selain untuk memenuhi kebutuhan penyediaan
oksigen, kebutuhan ruang terbuka hijau juga
dihitung berdasarkan fungsi spasial sebagai
ruang beraktivitas warga. Perhitungan ini juga
mengacu pada standar yang terdapat dalam
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang
Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (Tabel 4).
Dalam kajian ini, standar tersebut mengalami
beberapa penyesuaian dengan pertimbangan
terhadap skala dan konteks kawasan studi.
Taman kota dan hutan kota tidak termasuk ke
dalam perhitungan mengingat skala wilayah
studi tidak memungkinkan untuk mencakup
keberadaan kedua elemen tersebut. Selain itu,
pada perhitungan ruang terbuka hijau dengan
fungsi tertentu (termasuk jalur hijau) standar
luas minimal per-kapita disesuaikan dari
12,5m2 menjadi 8,3m2 mengingat kuatnya
konteks urban pada kawasan studi. Dengan
demikian, perhitungan fungsi khusus tersebut
difokuskan pada kebutuhan manusia, dalam
hal ini khususnya adalah fungsi penyediaan
oksigen, sehingga digunakan standar 8,3m2
Widyastri Atsary Rahmy
per-kapita. Pada kasus kajian ini, angka
tersebut juga diasumsikan dapat memenuhi
fungsi khusus lainnya, yaitu sebagai pelindung
tiga sungai yang berada dalam lingkup
kawasan studi.
Kesimpulan
Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat
diambil dari rangkaian pembahasan di atas.
Kesimpulan pertama, Kota Bandung belum
memiliki rencana ruang terbuka hijau kota
Tabel 4. Kebutuhan ruang terbuka hijau kota berdasarkan fungsi standar untuk beraktivitas per-o
rang
Berdasarkan Optimalisasi Kepadatan Penduduk
Dari hasil perhitungan, diperoleh angka
kebutuhan spasial ruang terbuka hijau peorang seluas 11,5m2 per-orang (standar
sebelum penyesuaian adalah 20m2). Apabila
standar ini dikalikan dengan populasi pada
kawasan studi, diperoleh angka kebutuhan
spasial ruang terbuka hijau kota seluas 31,41
Ha atau 51,75% dari luas total kawasan studi.
Dari kedua perhitungan di atas dapat
diperkirakan kawasan studi tidak mungkin
secara maksimal dapat memenuhi kebutuhan
ruang terbuka hijau bagi populasi yang dapat
diwadahinya. Dengan demikian, dalam tahap
perumusan sistem ruang terbuka hijau perlu
untuk dilakukan antisipasi untuk mengimbangi
kekurangan tersebut melalui peningkatan
kualitas pada ruang-ruang terbuka hijau yang
dapat terwadahi.
yang diarahkan baik untuk menjadi pengendali
pembangunan maupun sebagai representasi
komponen ekosistem skala wilayah perkotaan.
Kesimpulan kedua, dari hasil analisis terhadap
perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau
dengan pendekatan terhadap arahan guna
lahan kawasan, diketahui bahwa penambahan
proporsi ruang terbuka hijau secara signifikan
dimungkinkan antara lain melalui optimalisasi
penataan jalur hijau koridor komersial. Selain
itu juga berpotensi untuk dilakukan dalam
blok-blok pemukiman, dengan berbentuk
taman lingkungan, taman poket, pekarangan
bangunan hunian, maupun jalur hijau jalan
lingkungan, melalui stategi pembangunan
kembali kawasan (urban redevelopment).
Kesimpulan ketiga, penambahan proporsi
ruang terbuka hijau kota maksimum dihasilkan
melalui
pendekatan
terhadap
populasi
penduduk
sebagai
acuan
perhitungan
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 35
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan Padat, Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung
berdasarkan standar kebutuhan luas ruang
terbuka hijau diikuti oleh standar kebutuhan
oksigen per-kapita sesuai dengan Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka
Hijau. Standar kebutuhan luas ruang terbuka
hijau per-kapita merupakan representasi
kebutuhan ruang terbuka hijau kota dalam
memenuhi fungsi ekologis dan fungsi sosial
sebagai tempat beraktivitas bagi warga.
Walaupun demikian, standar tersebut tidak
secara komprehensif menunjukkan proses
perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau
kota berdasarkan beragam fungsi yang
dijalankannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud
antara lain sebagai habitat flora dan fauna
dalam kota, sebagai pengendali iklim mikro
dan genangan air hujan, sebagai pelindung
sumber daya alam seperti sungai dan mata air,
sebagai pereduksi polutan dan peredam
kebisingan, serta sebagai pengendali guna
lahan. Selain itu, perhitungan yang mengacu
pada standar kebutuhan oksigen pun perlu
dikaji kembali mengenai variabel penggunanya
yang dibatasi hanya manusia, hewan ternak,
dan kendaraan bermotor. Pada sisi lain, secara
ekologis, proses alam yang melibatkan
perputaran oksigen juga penting untuk
dipertimbangkan dalam perhitungan tersebut.
Untuk memperoleh total kebutuhan ruang
terbuka hijau pada perhitungan di atas,
digunakan faktor pengali populasi penduduk
setempat yang diperoleh melalui perhitungan
optimalisasi kepadatan berdasarkan arahan
dalam RDTRK WP Tegallega 2007-2012.
Optimalisasi ini dilakukan dengan menghitung
perkiraan
ruang
terbuka
hijau
yang
dibutuhkan seiring dengan peningkatan
populasi penduduk kawasan. Hal ini adalah
untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan
oksigen serta kebutuhan ruang per-orang
yang harus dipenuhi ruang terbuka hijau
tersebut. Titik temu antara populasi optimal
kawasan serta luas ruang terbuka hijau yang
dibutuhkan untuk mengimbanginya menjadi
dasar pembentukan sistem ruang terbuka
hijau kota, khususnya dalam penentuan
tipologi
serta
proporsinya.
Dari
hasil
perhitungan pada analisis terlihat bahwa
36 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
kebutuhan ruang terbuka hijau kota pada
kawasan studi melebihi 30% dari keseluruhan
luas kawasan. Dengan demikian, secara umum
syarat mengenai ruang terbuka hijau kota
minimum sebesar 30% menjadi perlu untuk
dikaji kembali dasar perhitungannya.
Pada bagian pendahuluan disebutkan bahwa
kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk
membentuk sistem ruang terbuka hijau yang
sesuai dengan kebutuhan kawasan. Karena itu
diharapkan dapat menghasilkan suatu standar
kebutuhan spasial ruang terbuka hijau bagi
satu orang penduduk kota yang harus
dipenuhi dalam proses pembentukan sistem
ruang terbuka hijau kota ini. Namun demikian,
dari hasil pembahasan ini, hal tersebut tidak
memungkinkan dikarenakan tidak ada rumus
perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau
yang secara terpadu mempertimbangkan
ketiga aspek ekologis, sosial dan ekonomi.
Selain itu juga terdapat perbedaan pada
pertimbangan dalam perhitungan kebutuhan
ruang terbuka hijau untuk setiap kawasan,
bergantung pada faktor-faktor sebagai berikut.
1. Arahan kebijakan tata ruang pada kawasan,
khususnya tata guna lahan terkait potensi
optimalisasi pemanfaatan proporsi ruang
terbuka hijau yang harus disediakan dalam
lingkup guna lahan tertentu.
2. Karakter bentang alam serta proses alam
pada kawasan terkait fungsi khusus yang
harus disediakan ruang terbuka hijau.
3. Arahan kepadatan penduduk terkait
perkiraan pertumbuhan populasi warga
sebagai faktor pengali dalam perhitungan
kebutuhan ruang terbuka hijau per orang.
Kebutuhan ini dilihat baik dari sisi ekologis
maupun sisi sosial.
Saat ini kajian mengenai perhitungan
kuantitatif terhadap kebutuhan ruang terbuka
hijau
kota
dilakukan
secara
terpisah
berdasarkan masing-masing fungsinya seperti
yang tersebut pada uraian mengenai
kesimpulan ketiga di atas. Agar dapat
merumuskan sistem ruang terbuka hijau
wilayah
perkotaan
secara
keseluruhan,
Widyastri Atsary Rahmy
diperlukan suatu kajian khusus untuk
mengintegrasikan setiap bentuk perhitungan
yang ada. Semakin komprehensif proses
perhitungan
yang
dilakukan,
semakin
komprehensif sistem ruang terbuka hijau kota
yang dapat dirumuskan.
Berikut ini adalah beberapa faktor yang dinilai
penting
untuk
dipertimbangkan
dalam
perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau
(RTH) kota :
A. Faktor Ekologi Kota
1. Peningkatan proporsi RTH kota sebagai
penyeimbang proporsi area terbangun
2. RTH sebagai produsen O2
3. RTH sebagai pereduksi CO2
4. RTH sebagai jalur angin
5. RTH sebagai area resapan air hujan
6. RTH sebagai penjaga kestabilan tanah
7. RTH yang saling terkoneksi
8. RTH yang terintegrasi dengan sistem
drainase dan pengolahan limbah rumah
tangga (lingkungan)
B. Faktor Ruang Kota - Fisik
1. Terbentuknya tipologi RTH kota dalam
hierarki berdasarkan :
• skala lingkungan pelayanan
• ukuran luas
• aktivitas yang diwadahi
2. RTH kota yang terintegrasi dengan
jaringan sirkulasi kawasan
C. Faktor Ruang Kota - Non-Fisik
1. Tersedianya RTH pada skala lingkungan
minimal dalam setiap radius tempuh
pejalan kaki (200-300 meter)
2. Tersedianya RTH sebagai ruang interaksi
yang sesuai dengan pola berhuni warga
Perhitungan tersebut juga sebaiknya dilakukan
pada setiap skala ruang kota, sehingga untuk
kawasan studi skala mikro seperti dalam kajian
ini, standar kebutuhan ruang terbuka hijau
per-orang menjadi jelas dasar perhitungannya.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu, khususnya
dalam hal penyediaan data yang menunjang
penyusunan tulisan ini, termasuk dokumendokumen terkait kebijakan tata ruang di Kota
Bandung serta standar penyediaan ruang
terbuka hijau kawasan perkotaan. Terima
kasih kepada pihak Dinas Pemakaman dan
Pertamanan Kotamadya Bandung, pihak
Badan Perencanaan Daerah Kotamadya
Bandung, pihak Kecamatan Astana Anyar dan
Bojongloa Kaler, pihak Kelurahan Situ Saeur,
Panjunan, Nyengseret, dan Pelindung Hewan,
serta pihak-pihak lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. Bandung
Dalam Angka Tahun 2009
Badan Standardisasi Nasional. SNI 03-17332004 tentang Tata Cara Perencanaan
Lingkungan Perumahan di Perkotaan
Forman, R.T. (2008). Urban Regions - Ecology
and Planning Beyond the City, New York:
Cambridge University Press
Heidt, V. dan Neef, M. (2008). Benefits of
Urban Green Space for Improving Urban
Climate. Dalam Ecology, Planning, and
Management of Urban Forests International
Perspectives, ed. Margaret M. Carreiro,
Yong-Chang Song and Jianguo Wu. New
York: Springer Science+Business Media, LLC,
84-96
Kunto, Haryoto (1986). Semerbak Bunga di
Bandung Raya, Bandung: PT. Granesia
Pemerintah Kotamadya Bandung. Rencana
Detail Tata Ruang Kota WP Tegallega 20072012
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 37
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan Padat, Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor :
05/PRT/M/2008
Tentang
Pedoman
Penyediaan
dan
Pemanfaatan
Ruang
Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
Purnomohadi, N. (2006). Ruang Terbuka Hijau
Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota.
Direktorat
Jenderal
Penataan
Ruang,
Departemen Pekerjaan Umum
Rahmy, Widyastri A. (2012). Perancangan
Urban Green Spaces System Pada Kawasan
Terbangun Padat, Studi Kasus di Wilayah
Pengembangan Tegallega, Bandung. Institut
Teknologi Bandung
Wu, J. (2008). Toward a Landscape Ecology of
Cities:Beyond Buildings, Trees, and Urban
Forests. Dalam Ecology, Planning, and
Management of Urban Forests International
Perspectives, ed. Margaret M. Carreiro,
Yong-Chang Song and Jianguo Wu. New
York: Springer Science+Business Media, LLC,
10-28
38 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
Download