BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Fisiologi Kerja
Terlepas dari pesatnya kemajuan teknologi yang banyak membantu
manusia menyelesaikan pekerjaannya, sejumlah pekerjaan yang menuntut
aktivitas fisik masih dapat diamati di berbagai jenis sektor industri, seperti
manufaktur, transportasi, pertanian, konstruksi, logistik, dan lain-lain. Pekerjaanpekerjaan ini sering kali menuntut aktivitas fisik yang cukup berat dan
melelahkan, terlebih lagi didukung oleh lingkungan kerja yang kurang
kondusif (misalnya panas, lembab, bising, berdebu, dan sebagainya). Untuk
menghadapi pekerjaan-pekerjaan seperti itu, pekerja dituntut untuk memiliki
kapasitas kerja fisik yang memadai; atau, dapat juga dengan penerapan
sejumlah teknik perancangan kerja, seperti penggunaan alat bantu, perbaikan
metode kerja, pengaturan waktu istirahat, dan lain-lain. (Hardianto,2014)
Sejumlah dampak buruk dapat terjadi saat beban fisik suatu pekerjaan telah
melampaui kapasitas fisiologis yang dimiliki pekerja. Dampak buruk ini secara
konseptual diartikan sebagai rendahnya energi yang dihasilkan melalui proses
metabolisme tubuh bila dibandingkan dengan energi yang dibutuhkan untuk
melakukan suatu aktivitas. Keadaan seperti ini secara kronik dapat mengakibatkan
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
terjadinya kelelahan berlebihan, yang bahkan mungkin tidak dapat diatasi
dengan pemberian istirahat saja (akumulasi kelelahan). Dalam jangka panjang,
keadaan ini dapat berpengaruh buruk pada kesehatan kerja, bahkan dapat memicu
penyakit lain yang berakhir dengan kematian, misalnya serangan jantung, atau
kegagalan fungsi-fungsi penting tubuh yang lain.
Beban kerja yang berlebihan juga dapat berakibat buruk pada kualitas dan
performansi kerja. Efek buruk ini, sebagai contoh, ditunjukkan oleh Bridger et al.
(2008), yang dapat mencakup penurunan waktu reaksi, peningkatan kesalahan
dalam mengambil keputusan, penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, serta
peningkatan potensi kecelakaan kerja. Jelas bahwa beban kerja yang secara
fisiologis berlebihan akan berdampak pada kesehatan dan produktivitas kerja.
Dalam konteks ergonomi, tujuan yang ingin dicapai adalah memastikan bahwa
sistem kerja dirancang sedemikian rupa sehingga diperoleh produktivitas dan
kualitas kerja terbaik, yang dapat dicapai jika beban (energy cost) berada di
dalam batas kemampuan fisik.
2.2
Mekanisme Tersedianya Energi untuk Kerja
Agar otot dapat berkontraksi (melakukan kerja), diperlukan adanya energi.
Secara konseptual, energi diperoleh dari zat-zat gizi yang berasal dari makanan
(dan sebagian minuman) yang masuk ke dalam tubuh.
Zat-zat gizi ini melalui proses metabolisme dikonversi menjadi energi
yang siap digunakan oleh otot. Oksigen akan membantu berlangsungnya proses
metabolisme, dan menghasilkan hasil sampingan berupa panas dan sisa- sisa
metabolisme lainnya (CO2
dan H2O) yang akan dikeluarkan dari tubuh.
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
Rangkaian proses ini dapat dianalogikan sebagai kerja sebuah mesin mobil.
Agar mesin dapat berjalan, dibutuhkan bensin yang berfungsi sebagai ―
zat
gizi‖. Dengan adanya oksigen, tekanan, serta panas di ruang pembakaran,
kemudian terjadi ledakan (proses ―
metabolisme‖) yang menggerakkan piston
(―
otot‖), kemudian melalui proses mekanik (putaran roda gigi, poros, roda, dsb)
dikonversi menjadi gerakan mobil. Proses terakhir ini mirip dengan kontraksi otot
yang
kemudian
menggerakkan tubuh
saat
melakukan kerja fisik. Untuk
memahami proses-proses ini, perlu diketahui fungsi-fungsi yang terkait dengan
produksi energi di dalam tubuh. (Yassierli, 2014)
2.2.1 Sistem Pernapasan
Fungsi utama dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen
bagi tubuh dan mengeluarkan karbon dioksida, air, serta panas yang dibawa oleh
darah. Secara umum, pernapasan (respirasi) terdiri atas inspirasi (pemasukan
udara) dan ekspirasi (pengeluaran udara). Sistem ini memiliki hubungan yang erat
dengan sistem peredaran darah (sirkulatori) yang dikontrol dengan suatu
mekanisme tersendiri, misalnya CNS (Central Nervous System) atau sistem
hormonal. Sistem pernapasan dan sistem sirkulatori ini bersama-sama menjamin
jumlah zat gizi dan oksigen yang cukup untuk disuplai ke sel otot.
Pada saat pernapasan berlangsung, udara masuk melalui hidung yang
berfungsi untuk menyaring, melembabkan, dan menghangatkan udara yang masuk
ke dalam tubuh (Bridger et al., 2003). Udara yang masuk akan diteruskan melalui
tenggorokan menuju trachea, yang terbagi atas dua bronchi utama, dan
selanjutnya sampai ke paru-paru. Di dalam paru-paru terdapat jutaan alveoli, yaitu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
kantong-kantong berukuran mikro yang bersentuhan dengan pembuluh darah
kapiler. Di tempat inilah terjadi pertukaran udara (oksigen dan karbondioksida).
Berat atau ringannya aktivitas fisik akan menentukan volume udara
yang
mengalami pertukaran di paru-paru.
Kapasitas paru-paru dapat dilihat dari indikator utama berupa volume
yang dapat berada pada paru-paru. Jumlah udara yang keluar dan masuk
pada saat bernapas normal disebut sebagai volume tidal. Volume udara ekstra
pada saat respirasi secara maksimal disebut sebagai kapasitas cadangan, di
mana volume udara tambahan di atas volume tidal yang dapat masuk ke
paru-paru saat inspirasi maksimum disebut volume cadangan inspirasi, dan
volume udara yang masih dapat dikeluarkan dengan kuat di akhir ekspirasi normal
disebut volume cadangan ekspirasi. Gabungan volume tidal, volume cadangan
inspirasi, dan volume cadangan ekspirasi ini dinamakan kapasitas vital.
Setelah menghembuskan napas dengan kuat, di dalam paru-paru masih tersisa
sejumlah volume udara yang disebut sebagai volume residual. Jumlah dari
kapasitas vital dan volume residual merupakan kapasitas paru-paru total. Berbagai
indeks yang terkait dengan kapasitas paru-paru dapat diukur melalui penggunaan
spirometer. (Hardianto, 2014)
Kapasitas paru-paru seseorang umumnya berhubungan erat dengan sejumlah
faktor, seperti jenis kelamin, training, maupun ukuran tubuh. Sebagai contoh,
untuk seorang atlet pria dengan postur badan tinggi, kapasitas paru- paru total
dapat mencapai 7-8 liter, dengan kapasitas vital sekitar 6 liter Wanita cenderung
memiliki volume
paru-paru
yang lebih rendah (~10%) dibandingkan pria.
Dibandingkan dengan atlet, seseorang yang kurang terlatih secara fisik setidaknya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
memiliki kapasitas paru-paru sebesar 60 – 80% kapasitas yang dimiliki atlet.
(Kroemer et al., 2001).
Pada saat istirahat, frekuensi pernapasan berkisar antara 10 sampai dengan
20 kali per menit. Saat melakukan aktivitas fisik ringan, jumlah udara yang
digunakan untuk bernapas akan meningkat, terutama akibat kenaikan volume
tidal. Untuk kerja yang lebih berat, jumlah udara pernapasan akan meningkat
akibat peningkatan frekuensi pernapasan, yang dapat mencapai 45 kali/menit,
di samping adanya kenaikan volume tidal pula. Jumlah total udara yang
digunakan untuk bernapas (minute volume) adalah perkalian antara frekuensi
pernapasan dan volume tidal saat mengeluarkan napas. Volume udara yang
digunakan untuk pernapasan saat beraktivitas dapat berkisar dari 5 liter/menit
sampai dengan lebih dari 100 liter/menit. Kenaikan volume pernapasan ini sejalan
dengan peningkatan kebutuhan oksigen walaupun peningkatannya tidak berjalan
secara linear. (Hardianto, 2014)
2.2.2 Sistem Kardiovaskular
Sistem peredaran darah memiliki fungsi utama sebagai pembawa oksigen
dari paru-paru serta berbagai zat gizi (dari makanan yang telah dicerna) untuk
diedarkan ke seluruh sel tubuh di mana proses metabolisme selanjutnya
berlangsung. Transportasi oksigen dimungkinkan karena adanya hemoglobin,
yaitu molekul protein pada sel darah merah. Selain mengikat oksigen, hemoglobin
dapat juga mengikat karbon monoksida (CO). Namun demikian, daya tarik
(afinitas) hemoglobin terhadap karbon monoksida relatif lebih tinggi, sehingga
dapat berdampak pada berkurangnya jumlah oksigen yang dapat diikat dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
dibawa oleh darah. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa CO dianggap
memiliki sifat beracun. Darah juga mengedarkan hormon, enzim, garam, serta
vitamin yang diperlukan oleh tubuh. Di samping fungsi utama yang telah
disebutkan sebelumnya, sistem peredaran darah juga berfungsi untuk membantu
membuang sisa-sisa metabolisme, termasuk karbon dioksida, panas, dan air,
serta berkontribusi penting dalam mekanisme pengaturan temperatur tubuh. Dapat
disimpulkan bahwa sistem ini memiliki fungsi yang sangat penting, dan
berhubungan erat baik dengan sistem pernapasan maupun proses metabolisme.
Jantung, sebagai pemompa darah, terdiri atas dua bagian, yaitu kiri
dan kanan. Bagian sebelah kiri terdiri atas atrium kiri dan ventrikel kiri,
yang khusus berfungsi memompa darah ke seluruh otot-otot tubuh yang
dibutuhkan untuk bekerja melalui pembuluh darah arteri. Melalui pembuluh darah
vena, darah kemudian mengalir kembali ke jantung menuju atrium kanan,
kemudian menuju ventrikel kanan yang bertugas memompa darah ke paru-paru,
tempat proses pertukaran udara terjadi. Orang dewasa memiliki sekitar 5 liter
darah, yang terdiri atas 2,75 liter plasma dan 2,25 liter berupa sel darah.
Peningkatan aktivitas fisik akan memicu peningkatan kebutuhan darah yang
dicapai melalui peningkatan frekuensi pemompaan (denyut jantung) serta naiknya
tekanan darah. Saat istirahat, volume darah yang dipompakan adalah sekitar 5
liter/menit, namun volume ini dapat menjadi 5 kali lipat lebih besar saat
melakukan aktivitas fisik yang berat. Untuk seorang atlet, kenaikan volume ini
dapat mencapai 35 liter/menit. (Bridger et al., 2008)
Peningkatan intensitas kerja fisik menentukan kebutuhan akan tambahan
energi yang dapat berlangsung melalui peningkatan konsumsi oksigen. Untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
memenuhi hal ini, frekuensi kontraksi jantung akan bertambah, sebagaimana
terukur dari kenaikan denyut jantung. Kenaikan konsumsi oksigen dan denyut
jantung cenderung bersifat linear, khususnya untuk beban kerja yang tidak terlalu
ringan ataupun terlalu berat. Untuk pekerjaan dengan beban yang sama,
denyut jantung cenderung akan lebih rendah apabila pekerjaan tersebut dikerjakan
dengan memanfaatkan otot-otot yang lebih besar. Hubungan antara konsumsi
oksigen dan denyut jantung juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan kerja.
Denyut jantung akan lebih tinggi saat pekerjaan dilakukan di tempat panas.
Peningkatan denyut jantung terjadi tidak hanya karena adanya kenaikan
beban kerja, tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya komponen kerja statis
(kontraksi isometrik). Kerja otot yang relatif statis (dengan kontraksi di atas 20%
kontraksi maksimal) menyebabkan tertekannya pembuluh darah kapiler, sehingga
dalam beberapa saat saja, aliran darah menjadi sangat terbatas (ischemia) atau
bahkan tertutup sama sekali. Hal ini akan berdampak pada minimnya
ketersediaan oksigen serta penumpukan sisa metabolisme pada otot yang
tengah bekerja. Akibatnya, rasa sakit akan muncul dan kontraksi otot terpaksa
harus berakhir. Fenomena seperti ini dapat diamati, misalnya saat seseorang
secara terus-menerus memegang peralatan kerja dengan posisi lengan di atas
ketinggian dada.
Perlu dicatat bahwa sistem saraf pusat (CNS) memiliki peran vital dalam
mengatur bagian tubuh mana yang lebih penting menerima aliran darah.
Saat otot bekerja keras misalnya, peningkatan sisa-sisa metabolisme akan
memicu pembuluh darah untuk menjadi lebih longgar dan mengalirkan lebih
banyak darah. Sistem saraf pusat juga akan memerintahkan pengurangan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
aliran darah ke otot maupun organ tubuh yang tidak terlalu memerlukan
darah saat itu, misalnya pencernaan. Namun demikian, sistem saraf akan
terus mengontrol agar aliran darah ke organ-organ penting, seperti otak dan
jantung, tetap terjaga. Secara bersamaan, pengaturan juga akan dilakukan
sedemikian rupa sehingga darah akan dialirkan lebih banyak ke permukaan kulit
dengan tujuan untuk melepas panas. Sebaliknya, saat setelah makan, darah
akan dialirkan lebih banyak ke sistem pencernaan bila dibandingkan terhadap
bagian tubuh lainnya. Fenomena ini juga diatur oleh sistem saraf, sebagai fungsi
dari pengontrol keasaman dan konsentrasi sisa metabolisme di dalam darah.
(Yassierli, 2014)
2.2.3 Proses Metabolisme
Metabolisme dapat diartikan sebagai proses kimia dalam tubuh yang
bertujuan khususnya dalam menghasilkan energi. Aktivitas kerja, baik fisik
maupun non-fisik, hanya dapat dilakukan apabila energi tersedia dalam jumlah
yang memadai. Energi diperoleh dari zat-zat gizi yang masuk dalam bentuk
makanan atau minuman. Namun, proses konversi energi dari makanan (dan
minuman) ini tidak berlangsung efisien. Hanya sekitar 5% dari sumber energi ini
yang diubah menjadi ―
kerja otot‖, sedangkan sisanya diubah dalam bentuk panas.
Sementara seorang atlet dapat memiliki proses konversi yang lebih efisien,
walaupun energi yang diperoleh pun tidak bisa melebihi 25%. Panas yang
dihasilkan dari suatu proses metabolisme terutama akibat viskositas tubuh, friksi
yang terjadi di dalam pembuluh darah, serta gesekan antara tendon dan sendi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
Makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh terutama terdiri atas
zat-zat gizi, serta komponen-komponen lain, seperti air, garam, vitamin, mineral,
dan serat. Zat-zat gizi utama yang mengalami pencernaan adalah karbohidrat,
lemak, dan protein. Karbohidrat merupakan molekul kompleks yang terdiri atas
karbon, oksigen, dan hidrogen. Bentuk molekul karbohidrat yang paling
sederhana terdiri atas satu molekul gula sederhana yang disebut monosakarida,
misalnya glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Rangkaian dua monosakarida disebut
disakarida, sedangkan rantai panjang (yang dapat pula bercabang) yang tersusun
dari molekul gula disebut polisakarida, misalnya glikogen, pati pada tumbuhan,
dan selulosa. Untuk setiap gram karbohidrat, dapat dihasilkan energi sekitar 4.2
kkal (1 kalori = 4,2 Joule = energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu
sebesar 1oC untuk 1 gram air).
Proses pencernaan mengubah karbohidrat menjadi molekul yang sangat
sederhana
(monosakarida).
Molekul
ini
dapat
dengan
mudah
diserap
olehdarah pada dinding usus. Dari makanan yang dikonsumsi, lebih dari
80% hasil katabolisme pati adalah glukosa, sedangkan sisanya adalah fruktosa dan
galaktosa. Setelah penyerapan oleh usus halus, sebagian fruktosa dan hampir
semua galaktosa dengan segera diubah menjadi glukosa, sehingga jumlah fruktosa
dan galaktosa yang terdapat pada sirkulasi darah sangat sedikit. Glukosa yang
telah diserap ke dalam aliran darah kemudian dibawa ke hati, untuk selanjutnya
dikirim dan digunakan oleh sistem saraf pusat. Glukosa juga dapat dikirim ke otot
sebagai sumber energi yang dapat langsung digunakan. Kelebihan glukosa akan
diubah oleh hati menjadi glikogen (polisakarida) yang akan disimpan baik di hati
maupun pada otot-otot skeletal sebagai sumber energi. Apabila tempat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
penyimpanan glikogen ini sudah penuh, glukosa akan diubah menjadi lemak yang
disimpan di bawah jaringan kulit.
Lemak sebagai zat gizi juga merupakan salah satu sumber energi untuk
kerja, dari setiap gram lemak dapat dihasilkan 9,5 kkal energi. Fungsi lain
lemak adalah sebagai media transportasi vitamin A, D, E, dan K. Salah satu
bentuk lemak dalam tubuh, yaitu trigliserida, merupakan molekul ester yang
terdiri atas satu inti gliserol dan tiga asam lemak. Trigliserida adalah penyusun
utama minyak nabati (tak jenuh, lebih cair) dan lemak hewani (jenuh, lebih
padat). Pada saat makanan yang mengandung lemak masuk ke dalam tubuh,
pencernaan akan mengurai lemak menjadi gliserol dan asam lemak. Gliserol akan
diangkut oleh aliran darah, sementara asam lemak diangkut oleh cairan limpa
untuk kemudian diserap di usus halus. Melalui pengaturan yang dilakukan oleh
hati, lemak akan disimpan sebagai cadangan energi. Lemak akan tersimpan di
bawah kulit (sebagai insulator), atau sebagai ruang penyangga organ-organ vital,
seperti jantung, hati, otak, dll).
Hanya jika diperlukan, zat gizi dalam bentuk protein dapat digunakan
sebagai sumber energi (setelah karbohidrat dan lemak). Setiap gram protein dapat
diubah menjadi energi sekitar 4,5 kkal. Manfaat utama protein adalah untuk
membangun sel-sel tubuh, serta sebagai komponen utama enzim (sebagai katalis
dalam mengontrol reaksi kimia), hemoglobin, antibodi, dan hormon. Protein
merupakan rantai asam amino yang terhubung melalui ikatan peptida. Terdapat
banyak variasi tipe dan ukuran protein. Protein yang terdapat di dalam
makanan akan dicerna dan terurai menjadi asam amino yang kemudian dapat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
diserap oleh darah untuk dikirimkan ke hati. Di samping zat-zat gizi di atas,
alkohol juga dapat menyuplai energi sebesar 7 kkal.
Pencernaan makanan berlemak dalam perut bisa mencapai 6 jam, sementara
protein dicerna lebih cepat, dan karbohidrat dapat kurang dari 2 jam. Penyerapan
zat gizi berlangsung di usus halus selama 3-5 jam, sedangkan penyerapan air,
garam, obat-obatan, dan alkohol berlangsung di usus besar. Sebagai
hasil
pencernaan karbohidrat, glukosa merupakan sumber energi yang dapat segera
digunakan bilamana diperlukan. Glikogen, yang merupakan bentuk penyimpanan
karbohidrat, juga merupakan sumber energi yang dapat dengan mudah digunakan.
Namun demikian, keduanya tersedia dalam jumlah yang relatif terbatas.
Sebaliknya, cadangan energi dalam jumlah lebih besar umumnya disimpan dalam
bentuk lemak netral, yang disintesis dari glukosa, asam lemak, dan asam amino,
namun diperlukan proses yang lebih kompleks dan waktu yang lebih lama untuk
menguraikannya menjadi energi yang siap untuk digunakan. Secara umum, dapat
disimpulkan bahwa pembawa energi utama adalah glukosa (dan glikogen),
lemak netral, dan protein. (Hardianto, 2014)
Di saat awal otot bekerja, energi yang digunakan berasal dari adenosin
trifosfat (ATP), yang tersimpan di mitokondria dan hanya tersedia dalam beberapa
detik saja. ATP merupakan senyawa kimia berenergi tinggi, namun ikatan
kimianya labil dan mudah melepaskan gugus fosfatnya. Ketika energi dibutuhkan,
ATP dapat segera dipecah melalui reaksi hidrolisis sehingga ikatan fosfatnya
terlepas dan terbentuk ADP (Adenosin Difosfat). Reaksi hidrolisis ini
menghasilkan energi yang siap diangkut dan digunakan oleh tubuh. Proses
perubahan ATP menjadi ADP merupakan reaksi yang dapat berbalik, sehingga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
dapat dilakukan proses pembentukan kembali ATP yang dibantu oleh sumber
energi lain, yaitu kreatin fosfat (CP). Proses ini hanya dapat berlangsung selama
maksimal 10 detik, selain itu cadangan kreatin fosfat juga relatif sangat
terbatas (Bridger et al., 2008). Untuk keberlangsungan kerja otot, ATP harus
selalu tersedia, sehingga diperlukan sumber energi lain (glukosa, glikogen, dan
lemak) dari metabolisme, yang digunakan untuk membentuk ATP secara
berkesinambungan dengan memanfaatkan oksigen. Proses ini dinamakan
metabolisme aerobik, yang ditandai dengan adanya penggunaan oksigen.
Terdapat saat-saat ketika oksigen tidak tersedia saat energi dibutuhkan,
seperti pada awal kerja otot atau pada saat intensitas kerja fisik sudah berlebihan.
Untuk mengatasi ini, energi diperoleh dari konversi glukosa dan glikogen menjadi
ATP tanpa bantuan oksigen (anaerobik). Proses ini berlangsung relatif cepat (2,5
kali lebih cepat dari proses aerobik), namun hanya dapat bertahan selama sekitar
satu menit untuk kerja otot maksimal (Bridger et al., 2008). Proses ini sangat
tidak efisien, di samping menghasilkan sisa metabolisme, seperti asam laktat,
yang menyebabkan naiknya keasaman sel otot. Hal ini kemudian berdampak pada
melemahnya afinitas antara filamen aktin dan myosin serta menurunnya
kemampuan kontraksi otot. Penumpukan sisa metabolisme seperti ini tidak
diharapkan karena bisa menyebabkan rasa nyeri, keram, ataupun tremor, sehingga
harus segera dibuang melalui bantuan oksigen. Untuk intensitas tertentu, bisa
jadi penumpukan sisa metabolisme terus terjadi, bahkan setelah kerja fisik
berakhir. Dalam keadaan ini, tingkat kebutuhan oksigen di awal masa istirahat
menjadi cukup tinggi, agar proses pembuangan sisa metabolisme yang belum
terbuang saat kerja dapat diteruskan. Fenomena ini dikenal sebagai oxygen debt
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
(lihat Gambar 4.1). Tingginya kebutuhan oksigen di saat kerja berakhir juga
diperlukan untuk menyiapkan cadangan energi, karena proses ini tidak dapat
dilakukan saat beristirahat.
Gambar 2. 1 Kebutuhan oksigen pada saat maupun sesudah kerja
(Kroemer et al,2001)
Selama kerja otot tidak berlebihan, kebutuhan energi umumnya akan relatif
rendah dan proses pembentukan ATP dapat berlangsung terus-menerus secara
aerobik (dengan bantuan oksigen). Apabila terdapat sisa metabolisme, oksigen
yang tersedia (saat beristirahat) dapat secara cepat membantu proses re-sintesis
sisa metabolisme tersebut. Dengan demikian, jelas bahwa kerja otot hanya dapat
berlangsung secara terus menerus bila energi cukup tersedia melalui proses
metabolisme yang efisien. Dalam hal ini, ketersediaan oksigen dalam jumlah yang
memadai menjadi faktor penting. Implikasinya adalah pekerjaan sebaiknya
bersifat dinamis, dirancang dengan intensitas rendah dan dilakukan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dalam
21
waktu
yang
lebih
lama
dibandingkan
dengan kerja berintensitas tinggi
walaupun dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
Energi yang dibutuhkan terdiri atas metabolisme basal, metabolisme
istirahat, dan metabolisme kerja. Metabolisme basal ialah metabolisme minimal
yang dibutuhkan agar tubuh tetap berfungsi walaupun tidak melakukan aktivitas,
di antaranya untuk gerak denyut jantung, alat pernapasan, alat pencernaan, alat
urogentila, sekresi kelenjar-kelenjar, biolistrik saraf, dan sejenisnya. Nilai
metabolisme basal sangat bervariasi bergantung usia, jenis kelamin, tinggi, dan
bobot badan. Walaupun variasi inter-individual kecil, nilai relatif metabolisme
basal yang dapat diterima adalah 1 kcal (4.2 kJ/kg/ jam) atau 4.9 kJ/menit untuk
seseorang yang berusia 70 tahun. Sementara, metabolisme istirahat adalah
metabolisme yang dibutuhkan saat badan dalam kondisi istirahat atau saat
sebelum beraktivitas. Metabolisme istirahat lebih besar daripada metabolisme
basal dan lebih sering digunakan. Metabolisme istirahat memiliki nilai 10%
sampai 15% lebih tinggi daripada metabolisme basal serta metabolisme kerja.
Metabolisme kerja menggambarkan energi yang dibutuhkan saat bekerja, baik
dalam satuan kJ/min atau kcal/min. Proses metabolisme sebelum, selama dan
sesudah bekerja dapat dilihat pada Gambar 2.1 di atas. (Yassierli, 2014)
2.3
Kapasitas Kerja Fisik
Salah satu isu penting dalam fisiologi kerja adalah pemahaman mengenai
kapasitas fisik seseorang pada saat bekerja. Dengan pemahaman ini, para
praktisi ergonomi dapat mengevaluasi berat-ringannya beban fisik yang dialami
seseorang saat bekerja, serta menentukan langkah-langkah perbaikan kerja apabila
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
diperlukan. Dengan menggunakan pendekatan fisiologi kerja, kapasitas kerja
fisik diartikan sebagai kemampuan maksimal tubuh dalam menghasilkan
energi dan merupakan fungsi dari ketersediaan zat-zat gizi serta kemampuan
tubuh dalam memperoleh oksigen. Besarnya energi yang dibutuhkan pada saat
kerja merupakan jumlah dari energi basal (basal metabolic rate), energi yang
diperlukan sekadar untuk hidup, dan energi yang dibutuhkan ketika tengah
melakukan pekerjaan tersebut. Peran ergonomi adalah memastikan bahwa energi
(metabolic cost) yang dibutuhkan saat seseorang bekerja berada dalam kapasitas
fisiologis individu tersebut. (Garet, 2005)
2.3.1 Kapasitas Aerobik Maksimal
Salah satu indikator penting untuk mengevaluasi kapasitas kerja fisik, di
antaranya adalah kapasitas aerobik maksimal. Kapasitas aerobik dikenal pula
sebagai daya aerobik maksimal, dengan daya itu sendiri berarti energi yang
tersedia per unit waktu. Kapasitas aerobik maksimal dapat ditentukan dengan cara
mengukur volume oksigen maksimal (VO2 maks) yang dapat dihirup oleh
seseorang per satuan waktu. VO2 maks dari seorang individu umumnya diukur
dari konsumsi oksigen saat berlari di atas treadmill (atau mengayuh ergocycle)
dengan kecepatan treadmill ditingkatkan secara bertahap dalam waktu yang relatif
singkat (Gambar 4.2a dan 2b). Pengujian kapasitas aerob dengan cara ini
melibatkan kumpulan otot besar. Untuk mengukur konsumsi oksigen, digunakan
Douglas bag, yaitu suatu wadah untuk mengumpulkan gas yang dihembuskan
oleh individu yang sedang diukur tersebut. Analisis dilakukan dengan melihat gas
yang terkumpul dan konsentrasi oksigen dalam wadah tersebut. Kemudian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
,
MERCU BUANA
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
Kapasitas aerobik maksimum dapat ditentukan dengan dua metode, yaitu
metode maximal test dan submaximal test (Åstrand et al., 2003). Pada metode
maksimal, responden diminta untuk mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
mencapai kapasitas aerobik maksimum, seperti pengukuran VO2 maks dengan
treadmill pada contoh di atas. Metode ini akan menghasilkan gejala kelelahan dan
tanda-tanda bahwa usaha pusat kardio-respirasi telah mencapai batasnya, misalnya
terjadi mual, sesak napas yang parah, bahkan sampai pingsan, dan lainnya
(Shephard seperti dikutip dalam Iridiastadi, 1997). Pada metode submaksimal,
responden tidak dipaksakan untuk mencapai kondisi maksimumnya sehingga
dampak kelelahan dan bahayanya lebih rendah, namun keakuratannya pun lebih
rendah dibandingkan metode maksimal. Responden harus melakukan paling
sedikit tiga beban kerja yang berbeda.
Pada pelatihan treadmill, beban kerja yang berbeda diperoleh dengan
meningkatkan kemiringan atau kecepatan pada treadmill. Untuk responden
dengan kapasitas aerobik yang relatif rendah, kecepatan hingga 4 mph dan
kemiringan pada nol persen dapat digunakan untuk pengujian. Pada setiap beban
kerja, denyut jantung dan konsumsi oksigen diukur. Pengukuran pada
responden dimulai dengan beban kerja yang paling ringan, kemudian beban
kerja dinaikkan sampai tingkat paling berat. Metode submaksimal ini
mengasumsikan bahwa konsumsi oksigen merupakan fungsi linear dari denyut
jantung, sehingga terdapat hubungan yang menyatakan bahwa denyut jantung
maksimum menyebabkan volume oksigen maksimum dan volume oksigen
maksimum menghasilkan energi yang maksimum pula. (Hardianto, 2014)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
Sejumlah penelitian yang mengukur VO2 maks telah dilakukan pada
berbagai populasi. Untuk pekerja di Amerika Serikat, NIOSH pada tahun 1981
melaporkan data VO2 maks (untuk persentil 50) sebesar 63 kJ/menit atau
sekitar 3,2 l/menit untuk pekerja pria dan 44 kJ/menit atau sekitar 2,2 l/
menit untuk pekerja wanita. Data untuk persentil 5 adalah 52,3 kJ/menit
(pria) dan 33,5 kJ/menit (wanita).
Di Indonesia sendiri, penelitian serupa telah dilakukan untuk populasi
mahasiswa, anggota TNI, dan pekerja industri. Pada tahun 2007, Widyasmara dan
Rakhmaniar melaporkan data VO2 maks sebesar 2,6 l/menit untuk mahasiswa dan
1,8 l/menit untuk mahasiswi. Untuk anggota TNI, Yadi (2009) melaporkan data
VO2 maks sebesar 4,5 l/menit. Untuk pekerja industri, Yuliani (2010)
melaporkan data VO2 maks sebesar 3,4 l/menit untuk pekerja pria dan 2,3 l/menit
untuk pekerja wanita. Pada penelitiannya, Yuliani menggunakan responden
pekerja pria dan wanita, di mana para pekerja tersebut merupakan pekerja industri
yang telah mempunyai pengalaman bekerja minimal satu tahun pada bagian
produksi (di mana pada bagian ini pekerja banyak melakukan aktivitas fisik),
memiliki riwayat kesehatan yang baik, tidak merokok dan meminum alkohol,
pada rentang usia 25 tahun sampai 40 tahun, dengan jumlah sampel masingmasing sebanyak 30 pekerja. Prosedur penelitian yang digunakan merupakan
modifikasi prosedur yang digunakan dalam penelitian Keytel et al. (2005).
Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia terangkum pada tabel 2.1.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
Tabel 2. 1 Penelitian VO2 berbagai golongan populasi di Indonesia
(Hardianto,2014)
Tabel 2. 2
Peneliti
Widyasmara
(2007)
Responden
10 orang mahasiswa
pria (usia 17-23
tahun)
10 orang mahasiswa
wanita (usia 19-22
tahun)
16 orang pekerja
industri pria (usia
20–25 tahun)
Nilai Konsumsi Oksigen
VO2 max = 2,64 liter/menit (SD = 0,51)
VO2’ max = 42,42 ml/menit/kg (SD =
7,25)
VO2 max = 1,89 liter/menit (SD = 0,27)
VO2’ max = 33,63 ml/menit/kg (SD =
3,30)
VO2 max = 3,7 liter/menit (SD = 0,55)
VO2’ max = 65,11 ml/menit/kg (SD =
9,447)
Soleman
(2009)
15 orang pekerja
industri wanita (usia
20–25 tahun)
VO2 max = 2,5 liter/menit (SD = 0,69)
VO2’ max = 52,84 ml/menit/kg (SD =
15,58)
Yadi
(2009)
30 orang TNI AU,
AD, dan Polisi
(usia 19-25 tahun)
VO2 max = 4,5 liter/menit (SD = 0,67)
VO2’ max = 71,4 ml/menit/kg (SD =
10,63)
Rakhmaniar
(2007)
Satriawan
(2008)
Penelitian Yuliani terdiri atas dua tahap, tahap pertama dilakukan untuk
mengukur kapasitas aerobik maksimal (VO2 maks) dengan menggunakan metode
maximal test, yaitu setiap responden harus berlari di atas treadmill dengan
mengerahkan seluruh tenaganya sampai mencapai kelelahan, dengan kecepatan
awal untuk responden pekerja pria adalah 7 km/jam dan untuk responden wanita
adalah 6 km/jam. Penelitian tahap 2 dilakukan untuk mengembangkan model
persamaan prediksi konsumsi oksigen (VO2) dan konsumsi oksigen relatif
terhadap bobot badan (VO2) bagi pekerja industri berdasarkan faktor fisiologis
denyut jantung, usia, bobot badan dan tinggi badan, dengan menggunakan metode
submaximal test. Responden berlari di atas treadmill pada kecepatan 25%, 50%,
dan 75% dari kecepatan maksimal yang dicapai pada penelitian tahap pertama,
masing-masing dilakukan selama 5 menit tanpa istirahat. Kecepatan ini
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
diasumsikan merupakan pembebanan ringan, sedang, dan berat. Untuk merekam,
menganalisis, dan menampilkan hasil gas (O2 dan CO2), serta mendeteksi dan
menampilkan denyut jantung selama penelitian berlangsung (secara real time)
digunakan metabolicanalyzer.
Sejumlah faktor dipercaya dapat memengaruhi nilai VO2 maks seorang
individu, termasuk faktor demografi, usia, jenis kelamin, bobot badan, training,
nutrisi, penggunaan rokok, serta faktor-faktor lingkungan lainnya. Puncak nilai
VO2 maks dialami pada usia sekitar 18-20 tahun (Gambar 2.3), kemudian
menurun sejalan dengan bertambahnya usia seseorang. Pada usia 60 tahun, VO2
maks berkisar sekitar 75% dibandingkan pada saat usia 20 tahun (Bridger et al.,
2003). Wanita pada umumnya memiliki VO2 maks yang lebih rendah
dibandingkan pria, di mana VO2 maks wanita setara dengan 65—75% VO2
maks pria. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bentuk tubuh, serta proporsi lemak
tubuh. Namun, sebelum terjadinya pubertas, gender tidak membedakan VO2
maks antar individu.
Gambar 2. 3 Kapasitas aerobik maksimum sebagai fungsi dari usia dan
gender (National Institute for Occupational Safety and Health, 1981)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
Bobot badan juga dapat memengaruhi nilai VO2 maks, namun ini lebih
dikarenakan oleh proporsi lemak yang berlebihan. Latihan fisik secara benar dapat
juga meningkatkan VO2
maks. Job training bukan saja bermanfaat dalam
meningkatkan kapasitas kerja, namun dapat pula meningkatkan output kerja,
kekuatan otot, serta mengurangi potensi cedera. Perokok pada umumnya akan
memiliki VO2 maks yang lebih rendah daripada yang bukan perokok.
Karbondioksida yang ada pada asap rokok mengikat hemoglobin jauh lebih
kuat (200 kali) dibandingkan dengan oksigen. Dengan demikian, untuk
perokok, kemampuan darah untuk mengalirkan oksigen menjadi lebih rendah dan
berdampak pada VO2
maks yang lebih kecil. Faktor-faktor lain yang juga
dapat memengaruhi kapasitas kerja antara lain: kebisingan, iklim, ketinggian,
serta penggunaan pakaian pelindung diri. Secara lebih lengkap, Åstrand et al.
(2003) menuliskan faktor-faktor yang
seseorang (Gambar 2.4).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memengaruhi kapasitas kerja fisik
29
Gambar 2. 4 Faktor-faktor yang memengaruhi kapasitas kerja fisik
(Åstrand, 2003)
Nilai VO2 maks yang dimiliki oleh seorang pekerja juga merupakan
indikator dari tingkat kebugaran dari pekerja yang bersangkutan. Bagi seorang
dokter, kebugaran dapat diartikan sebagai fisik seseorang yang tidak memiliki
penyakit. Dalam konteks kerja, kebugaran merupakan kemampuan untuk
melakukan suatu aktivitas fisik secara terus menerus tanpa kelelahan yang berarti.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa berbagai upaya di perusahaan untuk
meningkatkan VO2
maks pekerja merupakan suatu kontribusi positif bagi
pekerja. Senam secara teratur, larangan merokok, serta keikutsertaan dalam
aktivitas-aktivitas fisik lainnya (olahraga, berenang, mendaki gunung, dll),
merupakan hal-hal positif yang harus didorong oleh pimpinan perusahaan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
2.4
Evaluasi Beban Kerja
Untuk pekerjaan dengan aktivitas fisik yang cenderung tidak statis, evaluasi
beban kerja dapat dilakukan dengan menghitung besarnya energi yang dibutuhkan
(energy cost) saat bekerja, kemudian dievaluasi dengan mengacu pada sejumlah
panduan (tabel) yang ada. Namun, pendekatan yang lebih tepat adalah dengan
membandingkan energi yang dibutuhkan, relatif terhadap kapasitas (fisiologis)
maksimal dari individu yang bersangkutan. Rasio
indikator
untuk
menentukan
suatu
ini
digunakan
sebagai
pekerjaan dapat dikategorikan sebagai
pekerjaan ringan, menengah, atau berat. Evaluasi beban kerja dapat dilakukan
dengan pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dilakukan
dengan menggunakan calorimetric chamber, sedangkan pengukuran tidak
langsung dapat dilakukan dengan mengukur konsumsi oksigen per menit yang
merepresentasikan proses metabolisme, dapat pula dengan mengukur denyut
jantung yang sebenarnya berhubungan linear dengan konsumsi oksigen.
Pada prinsipnya, evaluasi ergonomi dilakukan untuk memastikan bahwa
beban kerja tidak melebihi batas kemampuan yang dimiliki oleh seorang pekerja.
Kelelahan akan terjadi jika beban kerja sebesar 30-40% dari kapasitas kerja, di
samping akibat pekerjaan statis yang dilakukan dalam jangka waktu yang tidak
singkat. Pada pekerjaan dengan beban berlebih, evaluasi fisiologi perlu dilakukan
untuk mengetahui seperti apa perbaikan kerja yang efektif dan layak diterapkan
ditempat kerja. (Yassierli, 2014)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
2.4.1 Konsumsi Oksigen
Pengukuran energi yang dibutuhkan saat seseorang bekerja umumnya
dilakukan secara tidak langsung (indirect calorimetry) melalui pengukuran jumlah
oksigen yang dikonsumsi per satuan waktu (liter/menit). Hal ini dimungkinkan,
namun dengan asumsi bahwa rata-rata sekitar 4,8 – 5 kkal energi dapat
dihasilkan dari setiap liter oksigen yang digunakan dalam proses metabolisme zat
gizi Dengan demikian, energi saat bekerja dapat dihitung dengan cara mengukur
oksigen yang dikonsumsi oleh seorang individu saat melakukan pekerjaan yang
bersangkutan. Perbandingan peningkatan konsumsi oksigen pada saat kerja relatif
terhadap konsumsi oksigen saat istirahat merupakan indeks beban fisiologis yang
dialami seseorang akibat pekerjaan yang dilakukannya. (Kroemer et al., 2001).
Sebagai contoh, anggap seorang pekerja pria melakukan aktivitas pemesinan
dalam posisi berdiri, di samping itu pekerja tersebut harus pula sesekali
mengangkat dan menurunkan benda kerja ke atas palet. Jika konsumsi oksigen
rata-rata pekerja tersebut adalah 0,6 liter/menit, maka jumlah energi yang
dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tersebut adalah sekitar 3 kkal/menit.
Untuk 8 jam kerja, total energi yang dibutuhkan adalah 1440 kkal. Apabila
energi yang diperlukan pekerja tersebut untuk aktivitas di luar jam kerja (tidur,
bersantai, dll) dapat diperkirakan, maka dapat dihitung kebutuhan energi selama
satu hari. Untuk analisis lebih jauh, angka ini dapat dibandingkan dengan diet
pekerja tersebut (jumlah energi yang masuk melalui makanan dan minuman)
untuk menentukan kecukupan gizi dari pekerja yang bersangkutan. (Hardianto,
2014)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
Nilai absolut kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas dan pekerjaan
telah banyak diteliti di berbagai negara. Berdiri sambil mengerjakan pekerjaan
yang relatif ringan membutuhkan energi sebesar 0,95 kkal/menit, sedangkan
berjalan dengan kecepatan 3 km/jam pada permukaan yang tidak kasar
membutuhkan energi 2,6 kkal/menit. Dalam sehari, rata-rata energy cost seorang
mahasiswa pria adalah sebesar 2,930 kkal, relatif lebih rendah bila dibandingkan
dengan energi yang dibutuhkan oleh seorang pekerja tambang (3,660
kkal/hari).(Hardianto,2014)
Berdasarkan Tabel 2.2, berat-ringannya suatu pekerjaan dapat ditentukan
dengan mengevaluasi nilai absolut kebutuhan energi untuk seorang individu.
Sebagai contoh, suatu pekerjaan dapat dikatakan ―
ringan‖ jika kebutuhan energi
untuk pekerjaan tersebut tidak melebihi 2,5 kkal/menit. Pekerjaan yang dianggap
―
berat‖ akan membutuhkan sekitar 7,5 kkal/menit, sementara suatu aktivitas fisik
dapat dikatakan ―
sangat berat‖ jika energi yang dibutuhkan mencapai 12,5 kkal
atau lebih.(Hardianto,2014)
Tabel 2. 3 Kebutuhan energi untuk setiap klasifikasi pekerja
(Kroemer et al., 2001, p:117)
Klasifikasi Pekerjaan
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Berat
Ekstrem Berat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Total Energi
Ekspenditur
(kj/
(kkal/
menit)
menit)
10
2.5
20
5
30
7.5
40
10
50
12.5
Denyut Jantung
(denyut/menit)
≤ 90
90 - 100
100 - 120
120 - 140
140 - 160
33
Besarnya beban fisiologis seorang pekerja dapat pula dievaluasi dengan cara
mengukur
konsumsi
oksigen
saat
pekerja
yang
bersangkutan
tengah
melakukan pekerjaannya, kemudian membandingkannya dengan VO2 maks
pekerja tersebut. Rasio ini merupakan ukuran objektif beban kerja yang dialami
oleh pekerja tersebut. Pendekatan ini dianggap lebih tepat bila konsumsi oksigen
tersebut dibandingkan dengan penggunaan nilai absolut kebutuhan energi, dengan
pertimbangan bahwa kapasitas fisiologis (VO2 maks) bersifat spesifik dan
berbeda untuk setiap individu sehingga sulit digeneralisasi. Dengan menggunakan
contoh
di
atas, energi yang
diperlukan
oleh
seorang pekerja pria
saat
melakukan pekerjaan pemesinan adalah sebesar 0,6 kkal/menit. Bila VO2 maks
pekerja tersebut adalah 3,0 liter/menit, maka beban untuk pekerjaan tersebut
adalah 20%. Jika pekerjaan tersebut dilakukan oleh pekerja wanita yang memiliki
VO2 maks sebesar 2,0 liter/menit, maka besar beban fisiologis menjadi sebesar
30%. Jelas bahwa metabolic cost pekerja wanita ini lebih tinggi bila
dibandingkan dengan pekerja pria, walaupun pekerjaan yang dilakukan oleh
keduanya adalah pekerjaan yang persis sama. (Hardianto, 214)
Seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam penelitian tahap kedua Yuliani
(2010), dilakukan pengukuran konsumsi oksigen untuk mengembangkan suatu
model persamaan prediksi konsumsi oksigen (VO2), yaitu:
VO2 = 1,168 + 0,20HR – 0,035A + 0,019W (liter/menit), untuk pria
VO2 = -1,991 + 0,013 + 0,024W (liter/menit), untuk wanita
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
dengan,
VO2
= Konsumsi oksigen (liter/menit)
HR
= Denyut jantung (denyut/menit)
A
= Usia (tahun)
W
= Bobot badan (kg)
Model persamaan di atas dapat digunakan untuk mengukur konsumsi
oksigen dan kebutuhan energi pekerja Indonesia dengan umur 20 – 40
tahun. Sebagai contoh, seorang pekerja pria berusia 30 tahun mempunyai
bobot badan 65 kg dan denyut jantung 140 denyut/menit, maka konsumsi oksigen
(VO2) dan kebutuhan energi pekerja tersebut adalah 1,82 liter/ menit dan
8,74 kkal/menit. VO2 maks untuk pekerja pria berada di rentang 3,4 ± 0.55
liter/menit, sedangkan pekerja wanita adalah 2,3 ± 0,6 liter/ menit. Dengan
diketahuinya kebutuhan energi seorang pekerja, maka dapat ditentukan klasifikasi
pekerjaan bagi pekerja tersebut. Dengan menganggap seorang pekerja berusia 25
tahun dan mempunyai bobot badan 50 kg, jika menggunakan
nilai
denyut
jantung pada Tabel 2.2 (Kroemer et al., 2001) maka klasifikasi pekerjaan bagi
pekerja tersebut adalah:
Tabel 2. 4 Hasil klasifikasi pekerjaan untuk pekerja pria (Satriawan, 2008)
Klasifikasi
Pekerjaan
Ringan
Moderat
Berat
Sangat Berat
Ekstrem Berat
Denyut
Jantung
(denyut/
menit)
90
100
120
140
160
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Konsumsi
Oksigen
(1/menit)
0,706
0,906
1,306
1,706
2,106
Energi Ekxpenditur
(kj/menit)
(kkal/menit)
3,3888
4,3488
6,2688
8,1888
10,1088
1.219,968
1.565,568
2.256,768
2.947,968
3.639,168
35
Tabel 2. 5 Hasil klasifikasi pekerjaan untuk wanita (Soleman, 2009)
Klasifikasi
Pekerjaan
Ringan
Moderat
Berat
Sangat Berat
Ekstrem Berat
Denyut
Jantung
(denyut/
menit)
90
100
120
140
160
Konsumsi
Oksigen
(l/menit)
Energi Ekxpenditur
(kj/menit)
(kkal/menit)
1,8192
2,4432
3,6912
4,9392
6,1872
654,912
879,552
1.328,832
1.778,112
2.227,392
0,379
0,509
0,769
1,029
1,289
Isu lain yang menjadi bahan diskusi para ahli ergonomi adalah batas
maksimum beban kerja (%VO2 maks) yang diperbolehkan dalam suatu durasi
waktu tertentu, agar tidak terjadi kelelahan yang berlebihan. Untuk 8 jam
kerja, sejumlah studi (NIOSH, 1981) menyarankan angka 33% (dari VO2 maks),
atau sekitar sepertiga dari kapasitas aerobik seseorang sebagai batas maksimal.
Hal ini berarti bahwa seorang pekerja umumnya tidak akan mengalami rasa lelah
yang berlebihan, jika pekerjaannya membutuhkan energi yang tidak lebih dari
sepertiga dari VO2 maks pekerja yang bersangkutan. Di bawah batas tersebut,
seorang pekerja dianggap masih memiliki energi yang cukup untuk melakukan
aktivitas lain di luar pekerjaannya (misalnya aktivitas rumah tangga). Chengalur et
al. (2004) menyarankan angka 33% untuk 8 jam, 30% untuk 10 jam, dan 25%
untuk 12 jam kerja. Hasil penelitian Louhevaara et al. pada tahun 1986 (Bridger,
2008) menyarankan waktu kerja maksimum sebagai fungsi dari beban kerja
relatif.
Pengukuran VO2 maupun VO2 maks tidak dapat dilakukan dengan mudah
di tempat kerja. Walau sejumlah alat ukur bersifat portable, namun pengukuran
umumnya
dilakukan di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
laboratorium.
Tempat
seperti ini
tentu tidak
36
mencerminkan situasi kerja yang sesungguhnya, sehingga penggunaan indikator
ini harus dilakukan secara hati-hati. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah
apakah pengukuran dilakukan dengan menggunakan treadmill, ergocycle, atau
dengan
prosedur
perbedaan
nilai
lainnya.
VO2
Perbedaan prosedur
maks,
salah
satunya
ini akan
berakibat
pada
disebabkan oleh perbedaan
kelompok otot yang aktif saat pengukuran dilakukan. Uji dengan treadmill dapat
menghasilkan VO2 maks yang lebih besar (sekitar 7%) jika dibandingkan uji
dengan ergocycle. Selain itu, VO2 maks dapat pula lebih tinggi sekitar 5-11 %
apabila pengujian dilakukan pada treadmill yang landai.
Penelitian yang dilakukan oleh Iridiastadi dan Aghazadeh (2006),
menggambarkan perbedaan antara VO2 maks yang diperoleh melalui treadmill
dibandingkan dengan yang diperoleh dari (simulasi) kerja yang sesungguhnya.
Hasil penelitian ini lebih jauh menyarankan penggunaan batas kapasitas kerja
fisiologis (8 jam kerja) sebesar sekitar 25% dari nilai VO2 maks yang diperoleh
melalui treadmill.
2.4.2 Denyut Jantung
Evaluasi beban fisiologis yang dialami oleh seorang pekerja dapat pula
dilakukan dengan mengukur denyut jantung. Pendekatan ini dapat dilakukan
mengingat bahwa semakin berat kerja fisik seseorang, semakin berat pula kerja
jantung, yang diindikasikan oleh kenaikan denyut jantung. Dengan demikian,
dapat diasumsikan bahwa kenaikan denyut jantung semata-mata disebabkan oleh
peningkatan intensitas kerja fisik. Untuk pekerja industri, Brouha (1960)
menyarankan agar denyut jantung tidak melebihi 110 – 155 bpm. Penelitian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
Brouha dilakukan dengan mengukur temperatur badan dan denyut nadi selama
masa pemulihan (istirahat) setelah suatu siklus kerja ataupun waktu-waktu tertentu
selama bekerja dengan tujuan untuk melihat apakah pemulihan cukup atau apakah
beban kerja berlebihan. Di akhir siklus kerja, pekerja duduk di sebuah bangku,
kemudian diukur temperatur melalui mulutnya, dan denyut nadi dicatat pada tiga
kondisi berikut:
-
HR1 : denyut nadi dihitung dari detik ke-30 sampai 1 menit
-
HR2 : denyut nadi dihitung dari menit ke-1,5 sampai menit ke-2
-
HR3 : denyut nadi dihitung dari menit ke-2,5 sampai menit ke-3
Setelah selesai pengukuran, dilakukan analisis sebagai berikut:
-
Jika HR1-HR3 ≥ 10 dan jika HR1, HR2, HR3
≤ 90, maka pemulihan
setelah kerja terjadi secara normal
-
Jika rata-rata HR selama pengukuran ≤ 110, dan HR1-HR3 ≥ 10, maka
beban kerja tidak berlebihan.
-
Jika HR1-HR3 < 10 dan jika HR3> 90, maka pemulihan masih kurang.
Berat-ringannya
suatu
pekerjaan
dapat
pula
dievakuasi
dengan
menggunakan Tabel 2.5 berikut:
Tabel 2. 6 Evaluasi beban kerja fisiologis menggunakan data denyut jantung
(Kroemer et al., 2001)
Klasifikasi Pekerjaan
Ringan
Agak ringan
Berat
Sangat berat
Amat sangat berat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Denyut Jantung/menit
90
100
120
140
160
38
Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa semua individu memiliki
batas atas kapasitas yang relatif sama, sesuatu yang tidak tepat. Untuk itu,
pendekatan lain menyarankan penggunaan data denyut jantung yang dibandingkan
dengan maksimal heart rate (HRmaks) yang mungkin dimiliki oleh seorang
individu. Denyut jantung maksimal dipercaya merupakan fungsi dari usia, dan
dapat dinyatakan sebagai berikut:
Max HR
= 220 – umur
= 260 – (0,62 x umur), atau
= 190 – 0,62 x (umur – 25)
Namun sebenarnya prediksi melalui formula ini tidak didasari dengan
latar belakang ilmiah yang kuat, mempunyai eror hingga 10 bpm, dan tidak bisa
diaplikasikan pada anak-anak.
Setelah HRmaks kita ketahui, beban fisiologis dapat dihitung dengan
menggunakan indikator Heart Rate Range (HRR) dengan formula sebagai berikut:
Dengan,
HRR
= heart rate range
HRkerja
= denyut jantung diukur saat bekerja
HRrest
= denyut jantung diukur saat istirahat (diukur setelah istirahat pada
posisi berbaring selama 20 menit)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
HRmaks
= denyut jantung maksimal
Untuk pekerja yang melakukan aktivitasnya selama 8 jam berturut-turut,
nilai HRR rata-rata yang disarankan ialah tidak melebihi 33% (Chengalur et al.,
2004). Idealnya, evaluasi beban kerja dengan menggunakan HRR maupun
konsumsi oksigen akan memberikan hasil yang sama. Namun, denyut jantung
dapat dengan mudah dipengaruhi oleh aspek-aspek yang tidak berhubungan
langsung dengan pekerjaan, misalnya beban mental atau panas lingkungan.
Perbedaan antara HRR dan %VO2 maks dapat dimanfaatkan sebagai indikator
beban tambahan yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. Sebagai contoh,
evaluasi terhadap pekerjaan seorang sopir truk menunjukkan nilai HRR
sebesar 40% dengan konsumsi oksigen sebesar 30% VO2 maks. Data ini
menunjukkan bahwa 25% peningkatan denyut jantung terkait erat dengan
stress yang diperoleh dari hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan
aktivitas fisik (misalnya konsentrasi saat mengendarai truk).
Besarnya energi yang dikeluarkan untuk suatu pekerjaan dapat diukur
dengan memperhitungkan denyut jantung dan faktor demografi. Kamalakannan
(2007) menyatakan model persamaan untuk menghitung beban kerja seperti
berikut:
Dengan,
Ecost : beban kerja (Watt)
HR
: denyut jantung saat bekerja (bpm)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
HT
: tinggi badan (inci)
A
: umur (tahun)
RHR : denyut jantung saat beristirahat
G
: jenis kelamin (m = 0, f = 1)
1 Watt setara dengan 0,0143 kkal/menit
Sementara, Keytel (2005) mengukur beban kerja dalam persamaan berikut.
Dengan,
Ecost : beban kerja (kJ/menit)
W
: bobot badan (kg)
1 kJ/menit setara dengan 0,239 kkal/menit
Beberapa penelitian tentang pengukuran energi lainnya dinyatakan dalam
persamaan-persamaan dalam tabel 2.6 berikut.
Tabel 2. 7 Persamaan pengukuran energi berdasarkan beberapa penelitian
PERSAMAAN
Astuti (1985)
Y = 1,8041 – 0,229038 X + 4,71733 . 10 -4 X2
Y = energi (kkal/menit)
X = denyut jantung (denyut/menit)
Keytel (2005)
EE = -20,4022 + (0,4472 HR) – (0,1263 w) + (0,074 A)
EE = pengeluaran energi
HR = denyut jantung (denyut/menit)
w = bobot badan (kg)
A = usia (tahun)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
Rakhmaniar
(2007)
Y = 0,014 HR+ 0,017 w– 1,706
Y = konsumsi oksigen (liter/menit)
HR = denyut jantung (denyut/menit)
w = bobot badan (kg)
Kamalakannan
et al. (2007)
MWR = -1967 + 8.58 HR + 25.1 HT + 4.50 A – 7.47
RHR + 67.8 G
MWR = metabolic work rate (W)
HR = denyut jantung bekerja (denyut/menit)
HT = tinggi badan (inchi)
A = usia (tahun)
RHR = denyut jantung istirahat (denyut/menit)
G = 1 untuk wanita, 0 untuk pria
Saat tubuh bekerja lebih keras, sejumlah respons fisiologis akan secara
bersama-sama meningkat, termasuk denyut jantung maupun konsumsi oksigen.
Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa kerja yang lebih keras membutuhkan
lebih banyak energi. Energi ini dapat disediakan apabila oksigen (dan nutrisi)
untuk proses metabolisme tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini terkait erat
dengan kemampuan jantung dalam meningkatkan jumlah aliran darah ke otot
yang memerlukan. Peningkatan intensitas kerja dalam batas tertentu cenderung
meningkatkan konsumsi oksigen dan denyut jantung secara simultan dengan
hubungan yang bersifat linear.
Hubungan antara denyut jantung dan konsumsi oksigen dapat diteliti di
laboratorium, dan dapat dikembangkan suatu persamaan untuk menggambarkan
hubungan tersebut. Dengan menggunakan persamaan tersebut, konsumsi oksigen
untuk seseorang yang tengah melakukan suatu pekerjaan dapat diperkirakan
(dan lebih jauh dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan energi). Apabila
data VO2 maks untuk seorang individu (atau populasi tertentu) tersedia, evaluasi
beban kerja dapat dilakukan dengan membandingkan konsumsi O2 terhadap nilai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
VO2 maks dari pekerja (populasi) yang bersangkutan. Pendekatan ini merupakan
suatu cara yang lebih tepat dalam mengevaluasi beban kerja. Namun,
pengembangan persamaan tersebut membutuhkan proses
pengukuran yang
kompleks.
Denyut jantung juga merupakan suatu respons fisiologis yang relatif sensitif
terhadap hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan intensitas kerja
fisik. Sebagai contoh, stress dari lingkungan kerja dapat meningkatkan denyut
jantung walaupun tidak ada peningkatan intensitas kerja. Dengan demikian,
pendekatan ini tidak disarankan untuk pekerjaan di mana kontribusi non-fisik
dapat memberi pengaruh cukup besar. Pendekatan ini juga tidak tepat untuk
mengevaluasi beban kerja dengan intensitas kerja sangat tinggi, mendekati
kapasitas fisik seseorang. Pada keadaan seperti ini, variabilitas denyut jantung
cenderung cukup tinggi. Namun demikian, pengukuran denyut jantung sering kali
merupakan
pilihan
yang terbaik
mempertimbangkan
kemudahan
dalam
pengukurannya, serta sifatnya yang dapat mengintegrasikan seluruh aspek stress
baik dari pekerjaan maupun lingkungan tempat pekerjaan tersebut dilakukan.
(Yassierli, 2014)
2.5
Penilaian Subjektif
Penilaian atas beban kerja dapat pula dilakukan dengan memanfaatkan
persepsi seseorang atas beban yang dirasakan oleh tubuh pada saat melakukan
pekerjaan. Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menilai besarnya
usaha yang dilakukan sebagai fungsi dari intensitas kerja. Dengan memanfaatkan
psychophysics, dapat dikembangkan suatu model matematis yang memperlihatkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43
hubungan suatu stimulus fisik (intensitas kerja) dengan sensasi psikologis yang
dirasakan oleh seorang individu. Dengan memanfaatkan model seperti ini, berat
atau ringannya suatu aktivitas fisik dapat dievaluasi dengan cara memperoleh
masukan berupa nilai (rating) dari pekerja yang bersangkutan.
Borg pada tahun 1960 mengembangkan suatu skala yang disebut sebagai
rating of perceived exertion (RPE), yang dapat digunakan untuk menilai seberapa
besar usaha yang dikeluarkan oleh seseorang dalam melakukan suatu aktivitas
tertentu. Skala ini terdiri atas sejumlah angka (antara 6 – 20), yang
merepresentasikan besarnya usaha kerja. Angka-angka pada skala ini bila
dikalikan dengan 10, akan mencerminkan denyut jantung per menit. Skala ini
kemudian diperbaiki dengan rentang nilai antara 0 – 10 (atau lebih) dan
diakui bersifat sebagai skala rasio (Borg, 1990). Skala ini dapat pula
digunakan oleh pekerja dalam menilai tingkat ketidaknyamanan atau rasa nyeri
yang muncul dikarenakan usaha fisik yang dibutuhkan untuk melakukan suatu
pekerjaan.
Tabel 2. 8 Skala RPE (Kroemer,2001, p:111)
Skala
6
7.5
9
11
13
15
17
19
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Deskripsi
Tidak ada usaha sama sekali
Amat sangat ringan
Sangat ringan
Ringan
Agak berat
Berat
Sangat berat
Amat sangat berat
Usaha maksimal
44
Tabel 2. 9 Skala CR-10 (Kroemer, 2001, p:111)
Skala
0
0.5
1
3
5
7
10
Deskripsi
Tidak ada usaha sama sekali
Amat sangat lemah
Sangat lemah
Moderat
Kuat
Sangat kuat
Amat sangat kuat
Dalam praktiknya, skala Borg ini dapat digunakan untuk menilai upaya fisik
yang bersifat keseluruhan (whole body), ataupun intensitas atau ketidaknyamanan
yang bersifat lokal (bagian tubuh tertentu). Skala ini telah digunakan di banyak
penelitian yang mengevaluasi beban kerja fisik. Namun, penggunaan skala ini
sebagai satu-satunya indikator beban kerja tidaklah disarankan. Di samping itu,
perlu diperhatikan bahwa penggunaan bahasa Inggris pada skala tersebut mungkin
tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh pekerja Indonesia, sehingga tentunya dapat
menghasilkan informasi yang bersifat bias.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.6
Penelitian Terdahulu
Tabel 2. 10 Jurnal Penelitian Terdahulu
No
1.
2.
Nama Penulis
Billat, V. et al. (2013).
Garet, M. et al. (2005).
Metode
Kuantitatif
- Subjek Karakeristik,
- Konsumsi Oksigen Maksimal,
- Analisis Statistik,
- VPT and CPT Test
Kuantitatif
- Subjek Karakteristik,
- Pengukuran pengeluaran energi
relatif di ruang kalorimetrik,
- Analisis Statistik.
Kesimpulan
Model latihan baru ini yang dikendalikan oleh VO2max dapat
menjadi pendekatan baru untuk penyelidikan lebih lanjut dari
batas kemampuan aerobik pada manusia. Dalam penelitian ini,
kami berhenti tes karena subjek tidak mampu mempertahankan
VO2max meskipun pada kekuatan submaksimal. Lebih jauh
studi yang diperlukan untuk menjelaskan kemungkinan untuk
mengoptimalkan variasi daya dengan memplot RPE
dibandingkan variasi pekerjaan di VO2max di sebuah persamaan
diferensial (Billat et al. 2009) dan mungkin masih
memperpanjang VO2max dengan variasi daya yang tepat.
Kesimpulannya, dalam ini sangat standar lingkungan kondisi,
dan dengan populasi khusus kami, % ER = 1.002 · CHREEE +
0,4, atau dengan cara sederhana, % ER = CHREEE. CHREEE
tampaknya lebih cocok daripada HREEE dalam memperkirakan
daya metabolisme relatif. Nilai-nilai ekstrim menentukan jantung
dan energik cadangan perlu dieksplorasi lebih lanjut, terutama
dalam hal reproduktifitas dan signifikansi fisiologis. dalam kerja
kedokteran, rekaman HR berubah di CHREEE mengacu pada
HRrest + 15 tampaknya sah dan Perkiraan direkomendasikan
45
http://digilib.mercubuana.ac.id/
beban kerja fisik relatif antara 15% dan 65% selama hari kerja 8jam, dan mungkin menarik untuk menggunakannya dalam
bidang lain seperti aktivitas fisik atau rehabilitasi.
3.
4.
Ekelund,
(2000).
U.
et
Kuantitatif
- Total Pengeluaran Energi Harian
al.
(TDEE),
- Pemantauan Denyut Jantung,
- Konsumsi Oksigen.
Kuantitatif
- Prediksi Konsumsi Oksigen dari
Lambrick, D. M. et al.
RPE13 (Peringkat Tenaga Yang
(2009).
Dirasakan),
- Ambang Pertukaran Gas
Anak laki-laki dan perempuan Swedia, berumur 14 ± 15 yang
aktif secara fisik dengan tingkat yang sama. Mayoritas aktivitas
fisik yang berhubungan pengeluaran energi disebut pengeluaran
energi dalam cahayaaktivitas fisik intensitas, yang tampaknya
memiliki dampakaktivitas fisik secara keseluruhan. Setidaknya
sepertiga dari remaja tampaknya tidak mencapai tingkat yang
tepat aktivitas fisik sesuai dengan rekomendasi yang ditetapkan.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini telah menunjukkan bahwa
akurat prediksi VO2max dapat diperoleh dari, tes latihan estimasi
tunggal untuk intensitas sedang (RPE 13) di rendah-fit wanita,
terutama ketika ekstrapolasi ke puncak RPE terminal (RPE19).
Perkiraan Selanjutnya, lebih akurat tenaga dirasakan dan
akibatnya lebih akurat prediksi VO2max dapat menimbulkan dari
tes latihan terus menerus daripada tes dinilai-latihan. Prediksi
VO2max dari ambang pertukaran gas tidak dianjurkan karena
potensi besar untuk ketidakakuratan. Ekstrapolasi submaksimal
HR (menyamakan sebuah RPE 13) untuk usia diperkirakan
HRmax (Gellish et al. 2007) mungkin juga memberikan prediksi
yang akurat dari VO2max rendah-fit wanita. Dokter disarankan
bahwa RPE mungkin menjadi alat yang berharga yang dapat
dengan mudah digunakan sebagai tambahan untuk SDM, dan
46
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mungkin memberikan informasi klinis tambahan yang lebih
unggul menggunakan SDM saja. Sebuah protokol jalan terus
menerus dapat mengurangi durasi, dan dengan demikian biaya
yang terkait dan motivasi usaha yang terlibat dalam tes latihan
stres.
5.
Reiser, M. et al. (2000).
Singkatnya, validitas mengukur output daya di bawah kondisi
lapangan diperkuat oleh penyelidikan kami. VO2 dan denyut
Kuantitatif
jantung tidak dipengaruhi olehdua perbedaan. Mode ergometer
- Subjek Karakteristik,
stasioner, dan egometri rawat jalan. Untuk keperluan pelatihan
- Sepeda Pengukur (Denyut Jantung pemantauan, dapat disimpulkan bahwa hasil tes dapat ditransfer
dan Kalori),
dari laboratorium ke lapangan situasi tanpa perlu menyesuaikan
- Spiroergonometry,
pengukuran. Penggunaan jenis siklus ergometer diuji dalam hal
- Konsumsi Oksigen,
ini studi tersebar luas di bidang kedokteran olahraga.
- Denyut Jantung,
Oleh karena itu, hasil kami memiliki implikasi untuk berbagai
- Analisis Statistik.
peneliti, pelatih, dan fisiologi dokter / olahraga. Mereka
membenarkan penerapan dipertukarkan dari pengukuran
ergonomi ini.
47
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download