1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makna adalah salah

advertisement
 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makna adalah salah satu aspek bahasa yang tidak dapat dipisahkan dari
aspek bentuk bahasa atau dengan kata lain bahasa adalah satuan bentuk dan
makna. Kegiatan berbahasa adalah kegiatan yang mengekspresikan bentuk-bentuk
bahasa tersebut untuk menyampaikan makna-makna yang ada pada bentuk bahasa
tersebut kepada lawan bicara (dalam komunikasi lisan) atau pembacanya (dalam
komunikasi tulis). Satu kata bisa mewakili berbagai macam makna, sebaliknya
satu makna juga bisa diwakilkan oleh berbagai macam kata. Satu kata juga bisa
menyampaikan ekspresi serta perasaan batin penuturnya. Kata yang digunakan
untuk mengungkapkan perasaan batin inilah yang disebut dengan interjeksi
(Chaer, 1994:233). Interjeksi digunakan untuk menyatakan ekspresi spontan
seseorang. Interjeksi merupakan bagian yang penting dalam penyampaian suatu
bahasa, walaupun kadang kala sering diabaikan. Seperti halnya pada bahasa lain,
di dalam bahasa Jawa terdapat interjeksi atau disebut juga dengan tembung
panguwuh (Wedhawati, dkk. 2006:417).
Interjeksi dalam bahasa Jawa juga digunakan untuk menyatakan atau
melahirkan rasa. Secara umum, interjeksi sering dipakai dalam percakapan atau
digunakan diantara orang-orang yang relatif sudah kenal/akrab. Contohnya pada
interjeksi adhuh. Interjeksi adhuh bisa menandai berbagai macam ekspresi,
1
2
tergantung pada konteks pengucapannya. Untuk lebih jelasnya lihat contoh
kalimat sebagai berikut.
(1) “Adhuh, sirahku lara tenan.”
(INT, kepalaku sakit banget.)
(2) “Adhuh, lagi kelingan nek bukuku dijileh Mila.”
(INT, baru ingat kalau bukuku dipinjem Mila)
(3) “Adhuh, gambare kok apik tenan toh iki?”
(INT, gambarnya bagus sekali ini?)
(4) “Adhuh, iki piye ta ra bisa dibuka lawange, aku dadi ra bisa mlebu.”
(INT, ini gimana tidak bisa dibuka pintunya. Aku jadi tidak bisa
masuk.)
Pada data (1) apabila interjeksi adhuh diucapkan oleh seseorang yang
sedang memegang kepalanya dengan wajah pucat, maka yang ditandai oleh kata
adhuh adalah ekspresi rasa kesakitan. Makna ini akan lebih jelas apabila penutur
tersebut melengkapi dengan kalimat, adhuh, sirahku lara tenan. Interjeksi adhuh
dalam kalimat tersebut berfungsi mengekspresikan rasa kesakitan. Data (2) ketika
interjeksi adhuh dituturkan dengan menepuk sediri kepala si penutur, maka yang
ditandai oleh kata adhuh adalah kesadaran teringat kembali terhadap sesuatu.
Maknanya akan lebih jelas jika dilengkapi dengan kalimat, adhuh, lagi kelingan
nek bukuku dijileh Mila. Data (3) yaitu interjeksi adhuh juga bisa menandai
ekspresi kekaguman seseorang ketika melihat gambar yang bagus. Kalimatnya
3
akan lebih jelas jika penutur tersebut menuturkan adhuh, gambare kok apik tenan
toh iki. Dalam data (4) interjeksi adhuh juga bisa mengekspresikan kecemasan
seseorang yang tidak bisa membuka pintu rumahnya sehingga tidak bisa masuk
kedalam rumah tersebut. Makna tersebut akan lebih jelas jika dilengkapi dengan
kalimat, adhuh, iki piye ta ra bisa dibuka lawange, aku dadi ra bisa mlebu. Dari
contoh interjeksi adhuh diketahui bahwa satu kata bisa mewakili berbagai macam
ekspresi, yaitu ekspresi rasa sakit, perasaan sadar teringat kembali terhadap
sesuatu, rasa kagum dan rasa cemas. Sebaliknya satu ekspresi juga bisa dituturkan
oleh berbagai kata, misalnya untuk mengungkapkan kesyukuran menggunakan
kata syukur, alhamdulillah, dan untung.
Interjeksi atau kata seru menurut Moeliono (1988:243) adalah kata tugas
yang mengungkapkan rasa hati manusia. Interjeksi juga digunakan untuk
memperkuat rasa hati, misalnya sedih, heran, dan jijik, orang memakai kata
tertentu disamping kalimat yang mengandung makna pokok yang dimaksud.
Sudaryanto (1992:123-124) menjelaskan bahwa interjeksi merupakan kategori
kata yang ada untuk mengungkapkan rasa hati penuturnya. Dengan demikian
interjeksi memiliki kadar muatan yang tinggi, sehingga bersifat efektif. Dalam
struktur kalimat tunggal, interjeksi tidak merupakan bagian yang integral seperti
kategori lain. Kata ini dapat dipisahkan bahkan berkedudukan sederajat dengan
kalimat, sehingga juga sederajat dengan klausa. Seperti yang dikatakan oleh
Sudaryanto, Wedhawati juga menyebutkan bahwa (2006:417) interjeksi adalah
kata yang mengungkapkan perasaan pembicara. Di dalam kalimat keberadaan
interjeksi memiliki kedudukan sederajat dengan kalimat. interjeksi bukan
4
merupkan bagian integral kalimat seperti kategori kata lain. Interjeksi dapat
bersuku satu dengan pola fonotaktis atau fonemis (K) V (K), misalnya o, ha, ah,
wah. Di samping itu, interjeksi sering memperlihatkan pola urutan bunyi tak lazim
terjadi di dalam sebuah kata, misalnya wh-, yh-, lh- seperti pada whi, yha, lho. Di
dalam tata tulis interjeksi yang dituliskan sebagai bagian dari sebuah kalimat
diberi tanda koma. Tanda ini berfungsi memisahkan interjeksi dari unsur kalimat
lain.
Interjeksi berada pada persinggungan antara kelas kata dan maksud. Jadi,
interjeksi bisa berasal dari kelas kata lain, selain juga memang ada yang asli
interjeksi. Interjeksi yang berasal dari kelas kata lain misalnya dari partikel,
misalnya lho, bisa berupa makian misalnya goblok, bajingan, bisa berasal dari
kata benda dan kata sifat misalnya asu dan edan, serta serapan dari bahasa lain.
Menurut Wedhawati dkk. (2006:419) yang membedakan kata-kata tersebut yaitu
termasuk adjektiva dan kata benda dengan yang termasuk interjeksi adalah
adjektiva memiliki rujukan tertentu yang berupa keadaan dan kata benda memiliki
rujukan tertentu berupa benda. Dengan kata lain, kata-kata itu melambangkan
keadaan dan benda yang disebutkannya. Begitu juga yang membedakan makian
dengan interjeksi yaitu apabila kata edan mencangkup makna kata sifat edan, atau
kata asu mencakup makna kata benda asu maka kata tersebut tidak dikategorikan
interjeksi. Namun, jika eksplikasinya tidak mengaharuskan kata sifat atau kata
benda, maka termasuk interjeksi. Begitu juga dengan interjeksi yang berasal dari
serapan bahasa lain. Misalnya adalah sebagai berikut.
5
(5) “Edan, wong tuwa kok dingonoke Guh. Mbok ya dirumat ngana,
disayang-sayang, malah dikon kerja padahal lagi lara.”
(INT! Orang tuwa kok dibegitukan Guh. Harusnya diurusi begitu,
disayang-sayang, malah disuruh kerja padahal sedangg sakit.)
Pada data (5) kata edan termasuk dalam interjeksi, karena merupakan
penanda dari ekspresi marah. Sedangkan kata edan dalam kelas kata adjektiva
berarti rasa gila atau sakit pikirannya, contoh dalam kalimat aku bar ketemu wong
edan mau yang artinya ‘aku baru saja bertemu orang gila tadi’. Interjeksi edan
tersebut digunakan untuk menunjukan ekspresi marah atau makian, tetapi untuk
lebih memahami makna diperlukan konteks agar jelas perbedaan penggunaannya.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami makna interjeksi dan bagaimana
penggunaanya maka diperlukan analisa kontekstual dari penggunaan interjeksi
dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Wedhawati (2006:420-421) di samping muncul sebagai
konstituen kalimat, interjeksi juga dapat berada di luar kalimat. Artinya, interjeksi
itu membentuk kalimat tersendiri seperti pada contoh Adhuh! Adhuh! Adhuh
yhung! ‘Aduh! Aduh! Aduh (sakit)!’. Sebagai pengungkap perasaan dan
keinginan,
interjeksi
memiliki
arti
“komunikatif”.
Interjeksi
semata
mengungkapkan apa yang diinginkan oleh penutur. Berdasarkan hal tersebut,
penulis tertarik untuk membahas lebih mendalam tentang interjeksi bahasa Jawa
terutama yang berkaitan dengan bentuk, distribusi, fungsi dan maknanya.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam
penelitian ini penulis mengajukan tiga rumusan masalah yang berkaitan dengan
interjeksi dalam bahasa Jawa sebagai berikut.
1.
Apa sajakah bentuk satuan kebahasaan dalam interjeksi bahasa Jawa?
2.
Bagaimanakah distribusi interjeksi dalam bahasa Jawa?
3.
Bagaimanakah makna dan fungsi interjeksi bahasa Jawa dalam
komunikasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Mendeskripsikan bentuk satuan kebahasaan dalam interjeksi bahasa
Jawa.
2.
Menjelaskan ditribusi interjeksi dalam bahasa Jawa.
3.
Menjelaskan makna dan fungsi interjeksi bahasa Jawa pada konteks
komunikasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara operasional, manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pada bahasa Jawa tentang konsep,
fungsi dan makna interjeksi bahasa Jawa. Selain itu, dapat memberikan penjelasan
7
mengenai konsep interjeksi sebagai bagian dari penanda percakapan. Manfaat
yang lain yaitu memberikan deskripsi mengenai kekhasan interjeksi bahasa Jawa
yaitu pada bentuk, distribusi, makna dan fungsi interjeksi dalam penggunaannya.
Manfaat selanjutnya adalah memperdalam hasil kajian mengenai interjeksi bahasa
Jawa.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
penelitian mengenai interjeksi bahasa Jawa. Manfaat lainnya yaitu membantu
pembelajar bahasa Jawa dalam mengenali interjeksi yang digunakan dalam
percakapan berikut fungsi dan maknanya. Penelitian ini juga diharapkan
memberikan pengetahuan kepada para penutur bahasa, terutama bahasa Jawa
tentang penggunaan interjeksi dalam percakapan sehari-hari serta dapat
menggunakannya dengan baik dan benar.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, penelitian mengenai interjeksi telah dilakukan
oleh beberapa orang, baik oleh orang Indonesia maupun luar Indonesia. Karyakarya tentang interjeksi tersebut ada yang secara langsung dan khusus membahas
interjeksi, ada pula yang hanya menyinggung perihal interjeksi dalam
hubungannya dengan pembicaraan yang lebih luas. Dalam beberapa buku yang
membahas tentang pragmatik juga ada yang membahas tentang interjeksi, tetapi
untuk yang membahas interjeksi bahasa Jawa masih jarang ditemukan. Berikut
ini beberapa diantaranya yang membahas tentang interjeksi.
8
Menurut Nu Bling (2005) (dalam O’Conell, 2008:136) bahwa interjeksi
sering dianggap sesuatu yang diabaikan, karena susah untuk diklasifikasikan.
Berdasarkan pada karakteristik fungsionalnya dalam pragmatik, interjeksi
mempunyai kategori sendiri sebagai pusat prototipe. Nu Bling juga mengatakan
bahwa salah satu unsur pembentuk interjeksi adalah onomatopea. Namun di
dalam tulisan tersebut, Nu Bling belum membahas mengenai anomatopia yang
bagaimana dapat disebut sebagai interjeksi. Hal ini juga sejalan dengan pendapat
dari Wundt (1900/1911) (dalam O’Connell, 2008:134) onomatopea merupakan
salah satu bagian dari interjeksi.
Kowal dan O’Connell (2008:137) melakukan penelitiannya tentang
interjeksi dengan mewawancari politikus dan artis. Ternyata seorang artis yang
sedang diwawancarai akan lebih banyak mengeluarkan interjeksi dibandingkan
dengan seorang politikus yang setiap pembicaraannya sudah diatur dengan
menyiapkan tulisannya terlebih dahulu. Oleh karena itu, Kowal dan O’Connell
menyebutkan bahwa interjeksi lebih kepada ekspresi spontan seseorang, dan
hanya berfokus pada pragmatis dan fungsi psikologi interjeksi. Senada dengan
Kowal dan O’Connell, Goffman juga mengatakan bahwa interjeksi lebih kepada
ekspresi spontan seseorang (O’Connell, 2008: 138).
Reber (2011) dalam jurnal internasionalnya yang berjudul “Interjections in
the EFL classroom: teaching sounds and sequences” mengatakan bahwa interjeksi
atau
kata
seru
digambarkan
sebagai
leksikon
yang
digunakan
untuk
mengungkapkan emosi. Interjeksi sering muncul dalam percakapan. Interjeksi
membentuk bagian dari tata bahasa yang diucapkan saat berinteraksi dan
9
merupakan salah satu sumber yang penting untuk menghasilkan keefektifan dalam
interaksi. Reber juga menyebutkan pentingkan konteks dalam pemaknaan
interjeksi, sehingga apa yang dituturkan oleh penutur akan diartikan sama oleh
lawan bicaranya.
Ameka, wierzbicka, dan wilkins (periksa Wharton, 2009:70) mengatakan
dari sudut pandang konseptual, interjeksi adalah bagian dari bahasa yang
memerlukan analisa semantik yang komplek karena secara semantik interjeksi
kaya akan makna dan memiliki struktur konseptual yang jelas dan dapat
diuraikan. Pendekatan yang dilakukan adalah natural semantic metalanguage
(NSM) yang diajukan oleh wierzbicka (1991). Karya selanjutnya yang membahas
interjeksi adalah Wharton (2009). Dalam tulisannya ini, Wharton mencoba
mengambil jalan tengah dari dua pandangan mengenai interjeksi dengan
menggunakan dua pendekatan natural semantik seperti yang diajukan oleh
kelompok konseptualis (Ameka, Wierzbicka, dan Wilkins), dan pendekatan sosiokomunikatif (pragmatik) yang dikemukakan oleh Goffman. Dalam analisisnya,
Whorton menggunakan pendektan natural semantik dan teori relevansi
(pendekatan pragmatik) yang menekankan perbedaan antara konseptual dan
prosedural.
Penelitian tentang interjeksi juga dilakukan oleh ahli linguistik Indonesia
yaitu Sudaryanto dan Wedhawati. Sudaryanto (1992:123) meneliti tentang
interjeksi bahasa Jawa, yaitu tentang
kategori kata yang digunakan untuk
mengungkapkan rasa hati penuturnya. Sejalan dengan Sudaryanto, Wedhawati
(2006: 417) juga melakukan penelitian tentang interjeksi bahasa Jawa. Beliau
10
mengatakan bahwa interjeksi adalah kata yang mengungkapkan perasaan
pembicara. Perbedaan penelitian Sudaryanto dan Wedhawati dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh peneliti adalah adanya penjelasam tentang distribusi
interjeksi, fungsi dan makna interjeksi bahasa Jawa pada penelitian ini yang tidak
terdapat pada penelitian sebelumnya. Penelitian ini juga dapat memperlengkap
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sudaryanto dan Wedhawati.
Selain penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas, penelitian
tentang interjeksi juga dilakukan oleh Mei Hardiah. Penelitian tentang interjeksi
bahasa Indonesia ini dilakukan pada tahun 2012. Penelitian ini difokuskan pada
bentuk, fungsi dan makna interjeksi bahasa Indonesia. Yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian milik Mei Hardiah adalah objeknya. Dalam
penelitian ini objeknya adalah bahasa Jawa, sedangkan penelitian milik Mei
Hardiah berobjek bahasa Indonesia.
Berdasarkan penelitian tentang interjeksi yang telah dilakukan, peneliti
tertarik untuk meneliti interjeksi bahasa Jawa. Hal tersebut dikarenakan belum ada
penelitian interjeksi bahasa Jawa, khususnya untuk yang membahas bentuk,
distribusi, fungsi dan makna interjeksi bahasa Jawa. Penelitian ini juga
dimaksudkan untuk melengkapi bentuk-bentuk satuan kebahasaan dalam
interjeksi bahasa Jawa.
11
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Definisi dan batasan Interjeksi
Interjeksi menurut Wierzbicka (1991:290) adalah sebuah tanda
linguistik yang memenuhi kondisi antara lain; (1) dapat berdiri sendiri
dalam penggunaannya, (2) mengekspresikan makna tertentu, (3) tidak
termasuk ke dalam tanda lain, (4) tidak homofon dengan bentuk leksikal
lain yang secara semantik berkaitan, dan (5) merupakan pernyataan
mental atau tindakan mental yang spontan dari penutur. Sedangkan
Kowal dan O’Connell (2008:137) menyebutkan bahwa interjeksi lebih
kepada ekspresi spontan seseorang. Hal tersebut juga senada dengan
pendapat Ameka (1997:743) yang mendefinisikan interjeksi sebagai katakata yang menyertai ujaran yang mengekspresikan perasaan mental
spontan pembicara atau reaksi terhadap elemen-elemen linguistik atau
ekstra linguistik (konteks). Interjeksi dapat dijelaskan dengan kriteria
formal, semantik dan pragmatik. Berdasarkan kriteria formal, interjeksi
adalah bentuk leksikal yang memenuhi keadaan; (1) merupakan ujaran
noneliptikal, (2) tidak termasuk kedalam konstruksi kelas kata lain, (3)
tidak memiliki afiks infleksi atau derivasi, dan (4) monomorfemik. Dari
sudut pandang semantik, interjeksi adalah tanda linguistik yang
mengekspresikan pernyataan mental pembicara, atau reaksi terhadap
suatu situasi. Hal ini mempersempit kelas interjeksi dengan tidak
memasukan bunyi anomatopea, misalnya bunyi panggilan memanggil
binatang, yang dianggap lebih bersifat deskriptif daripada ekspresif.
12
Menurut C.A Mees (1957) (dalam Ramlan 1985:13) interjeksi
atau kata seru adalah kata-kata yang menirukan bunyi manusia, yaitu
bunyi panggilan, bunyi yang memperingatkan adanya bahaya, bunyi
yang menyatakan kesakitan dan pelbagai rasa heran. Kadang-kadang kata
seru itu menirukan bunyi yang jelas, seperti hm, yaitu bunyi deham, ha,
sst, dan sebagainya. Beberapa kata yang termasuk dalam kategori kata
seru misalnya kata-kata ya, wah, ah, hai, o, oh, cis, cih, dan sebagainya.
Sejalan dengan C.A Mess, Chaer (1994:233) mendefinisikan kata
seru sebagai kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan
batin, misalnya karena kaget, terharu, kagum, marah, atau sedih. Definisi
interjeksi yang disampaikan oleh Moeliono (1988:243) yaitu kata tugas
yang mengungkapkan rasa hati pembicara. Untuk memperkuat rasa hati
seperti kagum, sedih, heran, dan jijik, orang memakai kata tertentu
disamping kalimat yang mengandung makna pokok yang dimaksud.
Untuk menyatakan betapa cantiknya seseorang teman yang memakai
pakaian baru, misalnya, penutur tidak hanya berkata cantik sekali kau
malam ini, tetapi diawali dengan kata seru Aduh yang mengungkapkan
perasaan penutur. dengan demikian, kalimat Aduh, cantik sekali kau
malam ini tidak hanya menyatakan fakta, tetapi juga rasa hati pembicara.
Sudaryanto (1992:123) dan Wedhawati (2006:417) hampir sama
dalam mendefinisikan interjeksi yaitu kata yang mengungkapkan rasa
hati pembicara. Di dalam bahasa Jawa, interjeksi disebut dengan tembung
panguwuh. Di dalam kalimat keberadaan interjeksi dapat dipisahkan
13
karena memiliki kedudukan yang sederajat dengan kalimat. interjeksi
bukan merupakan bagian integral kalimat seperti kategori kata yang lain.
Dua hal yang perlu dicatat berkaitan dengan pemakaian interjeksi.
Pertama, interjeksi jarang digunakan dalam percakapan formal, sehingga
kedudukannya dalam buku tata bahasa sangat marginal. Kedua, faktor
suprasegmental sangat menentukan makna interjeksi itu.
1.6.2 Bentuk Satuan Kebahasaan
Bentuk satuan kebahasaan berdasarkan sekala tatarannya terdiri
dari satuan terkecil hingga satuan yang terbesar. Satuan bahasa yang
terkecil disebut fonem, satuan bahasa di atas fonem disebut morfem,
satuan bahasa di atas morfem disebut kata, satuan bahasa di atas kata
disebut frase, satuan bahasa di atas frase disebut kalusa, satuan bahasa di
atas klausa disebut kalimat, dan satuan bahasa terbesar di atas kalimat
disebut wacana (Parera, 2009:5). Masing-masing satuan bahasa itu akan
diidentifikasikan menurut struktur, kategori, fungsi dan makna. Oleh
karena kekompleksan struktur, kategori, fungsi dan makna masingmasing satuan bahasa, maka muncullah subbidang analisis. Lahirlah
sebutan tataran analisis bahasa, yakni fonologi, morfologi, sintaksis dan
analisis wacana. Fonologi menjadikan bunyi dan fonem sebagai objek
analisis, morfologi menjadikan morfem dan kata sebagai objek analisis,
sintaksis menjadikan frase dan kalimat sebagai objek analisis, dan
analisis wacana menjadikan wacana sebagai objek analisis
14
Menurut Lyons (1968,170-171) ada tiga satuan-satuan gramatikal
dalam bahasa yaitu kalimat, kata dan morfem. Diantara kata dan kalimat,
ada dua satuan yang lainnya yang umumnya diakui oleh ahli-ahli tata
bahasa yaitu frase dan klausa. Secara tradisional, perbedaan antara kedua
satuan itu yaitu: satu kelompok kata yang secara gramatikal sepadan
dengan satu kata dan yang tidak mempunyai subjek dan predikat sendiri
adalah frase. Tetapi kelompok kata dengan subjek dan predikat sendiri,
jika termasuk dalam sebuah kalimat yang lebih besar, adalah klausa.
Hubungan antara kelima satuan gramatikal adalah hubungan komposisi.
Jika kalimat kita sebut satuan paling tinggi dan morfem paling rendah,
kita dapat mengatur kelima satuan itu berdasarkan skala tataran yaitu
kalimat, klausa, frase, kata, dan morfem, dengan mengatakan bahwa
satuan-satuan yang lebih tinggi tatarannya terbentuk dari satuan-satuan
yang lebih rendah tatarannya.
1.6.3 Bentuk Interjeksi
Menurut Wundt (1900/1911) (dalam O’Connell, 2008:134)
menjelaskan bahwa interjeksi dibagi dalam tiga bentuk yaitu interjeksi
primer, interjeksi sekunder dan interjeksi anomatopea. Katarina Witt
(dalam O’Connell, 2008:137) menyatakan interjeksi yang sering
digunakan adalah primery tame interjection misalnya na ja dan primery
wild interjection misalnya pff, sedangkan yang sering digunakan hanya
satu secondary interjection yaitu, Mensch. Sedangkan menurut Ameka
15
(1994:743) interjeksi dibagi dalam dua bentuk primary (primer) dan
secondary (sekunder) interjections. Interjeksi primer adalah kata-kata
pendek atau nonwords yang dalam distribusi dapat berupa ujaran
noneleptikal bebas dan tidak termasuk dalam kelas kata lain, misalnya
dalam bahasa Inggris gee, Oops, dalam bahasa Jawa yhe, lha, lho dsb.
Interjeksi sekunder adalah kata-kata yang memiliki makna semantik
bebas namun dapat digunakan secara konvensional sebagai ujaran
noneliptikal yang bebas untuk mengekspresikan tindakan atau pernyataan
mental penuturnya. Misalnya dalam bahasa Inggris help, fire, fuck,
sedangkan dalam bahasa Jawa bangsat, gandrik, dsb.
Sejalan dengan Ameka, Wedhawati (2006:218) juga membagi
interjeksi dalam dua bentuk yaitu interjeksi primer dan interjeksi
sekunder. Interjeksi primer adalah interjeksi yang dari segi bentuk
memperlihatkan bentuk yang sederhana. Bentuk ini lazimnya bersuku
satu dengan pola fonotaktis berupa (K) V (K) interjeksi primer biasanya
memiliki beberapa pola intonasi bergantung pada jenis perasaan yang
akan diungkapkan. Misalnya interjeksi o atau oh yang dapat diucapkan
dengan suara pendek bernada
menurun atau panjang
dengan nada
meninggi. Tergolong ke dalam interjeksi primer ialah bentuk-bentuk
seperti o, e, wo, wu, we, ah, eh, wah, huh. Interjeksi sekunder adalah
interjeksi yang dari segi bentuk sudah memperlihatkan pola fonotaktis
seperti kata pada umumnya. Interjeksi ini telah mengalami artikulasi
sekedarnya. Berkebalikan dengan interjeksi primer, interjeksi sekunder
16
cenderung hanya memiliki sebuah pola intonasi. Contohnya adhuh,
haratanaya.
Sudaryanto (1992:124) juga mengelompokan bentuk interjeksi
menjadi interjeksi primer dan sekunder. Interjeksi primer bentuknya
sederhana, cenderung terdiri atas satu silabe, misalnya ya, wo, lho.
Interjeksi sekunder bentuknya seperti kata bahasa Jawa pada umumnya,
lebih dari satu silabe, misal adhuh, hara, iyung. Sedangkan Chaer
(1994:233) membagi interjeksi dalam dua bentuk interjeksi, yaitu (1)
kata seru yang berupa kata-kata singkat, seperti wah, cih, hai, (2) kata
seru yang berupa kata-kata biasa, seperti aduh, cilaka, gila.
Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada bentuk interjeksi
yang dikemukakan oleh Ameka, Wedhawati dan Sudaryanto. Mereka
mengatakan bahwa bentuk interjeksi yaitu interjeksi primer dan interjeksi
sekunder. Teori ini dipilih karena merupakan teori yang paling
mendukung dengan penelitian yang penulis buat.
1.6.4 Makna Interjeksi
Interjeksi bahasa Jawa dapat diklasifikasikan ke dalam bebrapa
kelompok makna. Secara garis besar interjeksi (Sudaryanto, 1992:124)
dalam bahasa Jawa dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1.
Interjeksi ketakutana: hi, adhuh
2.
Interjeksi ketidaksetujuan: e, wo, whu
3.
Interjeksi kesenangan: hore
17
4.
Interjeksi kesedihan: adhuh
5.
Interjeksi persetujuan: o
6.
Interjeksi meniadakan yang telah disebut lebih dahulu: ah
7.
Interjeksi keheranan: o
8.
Interjeksi terkejut: lho
9.
Interjeksi mengolok-olok: yhe
10. Interjeksi kekaguman: wadhuh
11. Interjeksi kesakitan: adhuh biyung
12. Interjeksi kesenangan melihat orang lain menderita: sokur, harataya.
Sedangkan klasifikasi makna interjeksi bahasa Jawa menurut
Wedhawati (2006:419) yaitu:
1.
O menandai perasaan heran;
2.
É menandai permintaan perhatian; perasaan heran; menandai tidak
setuju;
3.
E menandai keragu-raguan; atau untuk mengingat;
4.
È menandai perasaan sadar bahwa telah membuat kekeliruan;
5.
Ha, lha menandai perasaan setuju; menandai maksud akan
melanjutkan pembicaraan;
6.
Ah menandai isyarat untuk meniadakan apa yang telah disebutkan
sebelumnya;
7.
Hem menandai perasaan geram;
8.
Hi menandai perasaan takut;
9.
Lho menandai perasaan heran campur terkejut;
18
10. Wu menandai perasaan tidak setuju atau jengkel;
11. Yhe menandai maksud memperolok-olok;
12. Adhuh menandai kesadaran tingkat kembali kepada sesuatu; menadai
perasaan takjub dan kagum;
13. Wadhuh menandai perasaan ketakutan;
14. Adhuh biyung menandai perasaan kesakitan;
15. Iyung menandai rasa kesakitan;
16. Hore menadai perasaan girang;
17. Lhadalah menandai rasa terkejut; kaget yang bercampur rasa takut;
18. “allah” menandai perasaan heran;
19. Allah lhailah menandai perasaan heran;
20. Gusti Allah menandai perasaan heran; menandai perasaan jengkel;
21. Hara menandai makna penyangatan
22. Haratanaya/harataya menandai perasaan tidak senang karena
ketidaksesuaian dengan kenyataan atau adat.
Menurut Wierzbicka (1991:291) mengelompokan interjeksi
berdasarkan mental dan tindakan penutur menjadi tiga kelompok yaitu;
interjeksi emotif, volitif dan kognitif. Interjeksi emotif yaitu yang dalam
maknanya mengandung “saya merasakan sesuatu:. Interjeksi ini terbagi
lagi menjadi, interjeksi yang menunjukan perasaan jijik dan perasaan
yang mirip dan interjeksi untuk mengekspresikan tujuan umum.
Interjeksi volitif yaitu interjeksi yang maknanya mengandung “saya
menginginkan sesuatu” dan tidak memiliki komponen “saya merasakan
19
sesuatu”. Interjeksi ini dibagi menjadi interjeksi yang ditunjukan kepada
binatang (memanggil atau mengusir binatang) dan interjeksi yang
ditunjukan kepada manusia (memanggil manusia). Interjeksi kognitif
yaitu interjeksi yang dalam maknanya mengandung “saya berfikir
sesuatu” atau “saya mengetahui sesuatu” dan tidak mengandung
komponan emotif dan volitif.
Menurut Goffman (dalam Wharton, 2009:98) dalam analisisnya
tentang interjeksi dia menggunakan pendekatan sosio-komunikatif
(pragmatik). Di dalam pendekatannya itu Goffman menggunakan asumsi
lawan tutur melalui konteks yang ada dalam tuturan untuk memperoleh
makna dalam interjeksi. Konteks sangat berpengaruh dalam pemaknaan
sebuah interjeksi. Satu interjeksi dengan konteks berbeda maka
maknanyapun akan berbeda. Pemerolehan makna interjeksi yang akan
digunakan oleh penulis adalah pendekatan milik Goffman karena teori ini
dipilih karena merupakan teori yang paling mendukung dengan
penelitian yang penulis buat. Akan tetapi pengelompokan makna dalam
interjeksi menggunakan kelompok makna interjeksi milik Wierzbicka
yaitu interjeksi emotif, volitif dan kognitif.
1.6.5 Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa yang dijelaskan oleh Leech (1977:47-50) terbagi
menjadi menjadi lima. Pertama adalah fungsi informatif, yaitu bahasa
yang berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan informasi. Kedua
20
adalah fungsi ekspresif bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan
perasaan dan sikap penuturnya, misalnya kata makian. Jika dalam fungsi
informatif yang dipentingkan adalah makna konseptual, dalam fungsi
ekspresif yang dipentingkan adalah makna afektif. Ketiga adalah fungsi
direktif yaitu jika bahasa yang kita gunakan bertujuan untuk
mempengaruhi perilaku orang lain. Fungsi direktif bahasa adalah pada
ujaran yang berupa kalimat perintah dan permohonan. Keempat adalah
fungsi estetis bahasa yaitu penggunaan bahasa berkaitan dengan karya
seni. Kelima adalah fungsi fatis, yaitu fungsi bahasa yang digunakan
untuk menjaga hubungan sosial secara baik dan menjaga agar
komunikasi tetap berkesinambungan. Dalam budaya Inggris misalnya
basa-basi memicarakan tentang cuaca (Leech, 1977:47-48).
Jacobson (dalam Chaer dan Leonie, 2004:15-16) membagi fungsi
bahasa berdasarkan penekanannya menjadi lima yaitu; pertama, ujaran
yang penekanannya pada acuan atau konteks mempunyai fungsi
referensial. Kedua, jika penekanannya pada pengirim pesan ujaran
tersebut berfungsi emotif atau ekspresif. Ketiga, ujaran yang berorientasi
pada penerima pesan mempunyai fungsi konatif. Fungsi konatif bahasa
terdapat dalam kalimat perintah, contohnya pada Drink!. Keempat, jika
sebuah ujaran menekankan pada kontak yang dihasilkan maka
menempati fungsi fatis bahasa (phatic). Fungsi fatis bahasa biasanya
berfungsi
untuk
memulai,
mempertahankan,
atau
memutuskan
komunikasi, untuk memastikan berfungsinya saluran komunikasi
21
(contohnya, hallo, do you hear me?), dan untuk menarik perhatian lawan
bicara atau menjaga kawan bicara tetap memperhatikan. Kelima, fungsi
puitis (poetic) bahasa terjadi bila suatu ujaran penekanannya pada pesan
yang disampaikan. Fungsi metabahasa (metalingual) adalah fungsi
bahasa yang penekanannya pada kode (CODE) .
1.6.6 Pragmatik
Pragmatik menurut Leech (1993) adalah kajian pemakaian bahasa
yang digunakan dalam berkomunikasi secara umum. Sedangkan menurut
Yule (1998) menyebutkan bahwa pragmatik adalah suatu ilmu tentang
makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar.
Pragmatik dapat dikatakan juga sebagai kajian tentang makna yang
kontekstual, artinya sangat tergantung pada konteks saat pembicaraan
berlangsung. Konteks sangat berperan kuat di sini, sebab dengan konteks
akan dapat menentukan maksud penutur berinterkasi dengan lawan tutur.
Dalam penelitiannya, Goffman meneliti interjeksi menggunakan
pendekatan pragmatik yaitu lebih pada sosio komunikatif (dalam
Wharton, 2009:98). Di dalam pendekatannya itu Goffman menggunakan
asumsi lawan tutur melalui konteks yang ada dalam tuturan untuk
memperoleh makna dalam interjeksi. Konteks sangat berpengaruh dalam
pemaknaan sebuah interjeksi
Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat
macam, yaitu: (1) konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya
22
pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, (2) konteks epidermis atau
latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh penutur dan
mitra tuturnya, (3) konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimayt
atau ujaran-ujaran yang mendahului dan mengikuti ujaran tertentu dalam
suatu peristiwa komunikasi; konteks linguistik ini disebut juga dengan
istilah koteks, dan (4) konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar yang
melengkapi hubungan antara penutur dan mitra tuturnya.
1.7 Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian bahasa
berdasarkan cara pembahasannya, lebih spesifik lagi adalah jenis penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang cara membahasnya
hanya menjabarkan atau memberikan deskripsi data apa adanya. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitain kualitatif
menurut Subroto memiliki ciri antara lain: 1) peneliti merupakan instrument
kunci, 2) deskriptis, 3) lebih mengutamakan proses daripada hasil, dan 4)
analisis secara induktif. Metode ini digunakan karena memungkinkan peneliti
untuk menggali informasi mengenai sebuah fenomena secara komprehensif.
Penelitian ini dibagi menjadi empat tahapan, yaitu penyusunan konsep dan
klasifikasi, penyediaan data, analisis data dan penyajian hasil analisis data.
23
1.7.1 Penyusunan Konsep dan Klasifikasi
Objek dalam penelitian ini adalah interjeksi bahasa Jawa. Bahasa
Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa dialek Jogja Solo. Sumber
yang digunakan dalam mengumpulkan data yang digunakan terdiri atas
dua jenis yaitu lisan dan tertulis. Sumber data tertulis tentang interjeksi
bahasa Jawa diambil dari majalah Djaka Lodang. Majalah Djaka Lodang
ini terbit setiap satu minggu sekali, yang berisi info, cerita, puisi,
guyonan, yang semuanya ditulis menggunakan bahasa Jawa. Majalah
Djaka Lodang yang diambil adalah edisi 26. Selain sumber tertulis,
digunakan juga sumber lisan yaitu percakapan yang diambil dari acara
angkringan TVRI dan percakapan langsung penutur asli bahasa Jawa.
Percakapan sehari-hari yang dilakukan oleh anak-anak kos Callista dan
anak-anak UGM jurusan Linguistik 2013. Acara Angkringan TVRI
tayang distasiun televisi TVRI Yogyakarta periode tayang bulan Mei-Juli
2014. Pemilihan sumber data ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
sumber data tersebut menggunakan bahasa Jawa secara spontan, dalam
percakapan dengan situasi informal, dan mewakili penggunaan bahasa
Jawa sehari-hari dalam masyarakat. Sebelum mengumpulkan data,
peneliti harus memahami terlebih dahulu definisi interjeksi. Selanjutnya
konsep tersebut digunakan sebagai dasar dalam mengidentifikasi unsur
yang berpotensi sebagai interjeksi.
24
1.7.2 Penyediaan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan
metode simak atau observasi. Yang dimaksud dengan metode simak
adalah mengumpulkan data dengan cara mendengarkan atau membaca
penggunaan bahasa (Kesuma, 2007:43). Teknik dasar yang digunakan
adalah teknik sadap, sementara teknik lanjutan yang digunakan adalah
teknik simak bebas libat cakap atau observasi tidak berpartisipasi yang
dilanjutkan dengan transkripsi ortografis pada lembar tersendiri, dan
teknik catat yaitu pencatatan pada lembar tersendiri. Dari penjabaran
tersebut, langkah pengumpulan data yang didapat adalah:
a. pada data lisan, dikhususkan pemilihan data dari acara Angkringan
TVRI stasiun televisi Yogyakarta. Data dibatasi pada periode tayang
bulan Mei-Juli 2014. Selain dari acara Angkringan TVRI, data lisan
diperoleh dari percakapan sehari-hari. Data tertulis dikhususkan dari
majalah Djaka Lodang edisi 26,
b. setelah membatasi data, pada data lisan percakapan dipilah dengan
menggunakan teknik sadap, yaitu mendengarkan apa yang dituturkan
oleh penutur. Pada data acara Angkringan, peneliti mendownload
video acara Angkringan pada laman Youtube. Data tertulis dipilah
dengan membaca wacana yang didalamnya terdapat tuturan yang
mengandung interjeksi,
c. dari data lisan berupa video Angkringan TVRI kemudian
ditranskripsi ke dalam lembaran tersendiri, kemudian dipilah dan
25
dikalsifikasikan data yang dicurigai termasuk interjeksi bahasa Jawa
dengan cara pengamatan. Pada tahap pengamatan inilah diterapkan
metode observasi dengan teknik simak bebas libat cakap. Hal
tersebut dilakukan juga pada data lisan percakapan sehari-hari. Pada
data
tertulis
tidak
dilakukan
transkripsi,
langsung
dipilah
menggunakan metode observasi dengan teknik simak bebas libat
cakap,
d. data hasil pengamatan yang telah dipilih kemudian dicatat dalam
lembar tersendiri. Tahap ini menerapkan teknik lanjutan berupa
teknik catat.
Tahap pengumpulan data telah dilakukan sehingga didapatkan
data penelitian. Data tersebut akan dianalisis dalam tahap selanjutnya,
yaitu tahap analisis data penelitian
1.7.3 Analisis Data
Setelah diadakan penyediaan data, tahap selanjutnya adalah
menganalisis data. Analisis data dilakukan untuk memperoleh jawaban
dari pertanyaan yang di rumuskan dalam permasalahan. Untuk
menentukan apakah data tersebut termasuk dalam interjeksi bahasa Jawa
menggunakan metode distribusi. Metode distribusi adalah metode yang
alat penentunya ada dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang
diteliti (Sudaryanto, 1993:15). Dalam melakukan analisis, data harus
diklasifikasikan terlebih dahulu. Alat penentu klasifikasi ini adalah
26
bahasa Indonesia. Adapun penjabaran cara menganalisis data secara lebih
rinci adalah sebagai berikut:
a. setelah data dikumpulkan, kemudian mengklasifikasi data sesuai
dengan bentuk satuan kebahasaan,
b. mendata interjeksi bahasa Jawa berdasarkan bentuk satuan
kebahasaan,
c. menentukan distribusi interjeksi bahasa Jawa dengan teknik lesap.
Teknik lesap adalah teknik analisis data dengan cara melesapkan
satuan kebahasaan yang dianalisis. Alat penentunya adalah satuan
kebahasaan yang dilesapkan (Sudaryanto, 1993:41). Teknik ini
bertujuan untuk membuktikan kadar keintian satuan kebahasaan
dalam suatu konstruksi (Kusuma, 2007:57).
d. mendata kecenderungan letak interjeksi bahasa Jawa sesuai dengan
data distribusi interjeksi bahasa Jawa,
e. menentukan makna interjeksi bahasa Jawa berdasarkan konteks
tuturan,
f. menentukan fungsi interjeksi bahasa Jawa berdasarkan makna
interjeksi bahasa Jawa.
Dengan analisis data di atas didapatkan bentuk satuan kebahasaan
dari interjeksi bahasa Jawa, distribusi interjeksi bahasa Jawa, makna dan
fungsi interjeksi bahasa Jawa dalam komunikasi.
27
1.7.4 Penyajian Data
Setelah adanya teknik analisis data, kemudian data disajikan
dengan cara yaitu informal. Dalam penyajiannya dilakukan secara
deskripstif. Dalam penyajian bentuk informal dilakukan dengan cara
menuliskan data-data dalam bahasa Jawa yang kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan tersebut untuk memudahkan
pembaca agar dapat memahami data yang disajikan.
1.8 Sistematika Penulisan Laporan
Penelitian Interjeksi Bahasa Jawa ini disajikan dalam lima bab dengan
rincian sebagai berikut: bab I pendahuluan, bab II bentuk satuan kebahasaan
dalam interjeksi bahasa Jawa, bab III distribusi bahasa Jawa, bab IV makna dan
fungsi interjeksi bahasa Jawa dalam komunikasi, dan bab V penutup. Bab I
pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penyajian. Pada bab II bentuk satuan kebahasaan dalam interjeksi
bahasa Jawa mencakup bentuk satuan kebahasaan meliputi jumlah morfem pada
interjeksi, asal kata dari interjeksi dan interjeksi berdasarkan makna. Bab III
distribusi interjeksi bahasa Jawa akan membahas distribusi interjeksi dalam
bahasa Jawa. Bab IV makna dan fungsi interjeksi bahasa Jawa dalam komunikasi
membahas makna dan fungsi interjeksi bahasa Jawa dalam komunikasi dilihat dari
konteks yang mengikuti interjeksi tersebut. Pada bab V penutup meliputi
kesimpulan dan saran. Kesimpulan akan merangkum poin-poin penting dalam
28
penelitian “Interjeksi Bahasa Jawa”, sedangkan saran akan membahas tentang
saran peneliti terhadap penelitian selanjutnya.
Download