TINJAUAN PUSTAKA Feses Kuda Kuda merupakan bangsa dari jenis kuda liar yang berasal dari spesies Equus caballus. Kuda digolongkan dalam filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Perissodactyla, famili Equidae, dan spesies Equus caballus (Ensminger, 1962). Saat ini kuda telah mengalami domestikasi dan menjadi ternak yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Kuda telah menjadi ternak yang memiliki daya tarik tinggi baik bagi anak-anak, maupun orang dewasa (Bogart dan Taylor, 1983). Saluran pencernaan pada ternak kuda tidak seefektif sapi karena proses pencernaan selulosa terjadi satu kali pada sekum, akibatnya tekstur pada feses kuda menjadi lebih kasar dan berserat. Kandungan yang terdapat dalam bahan feses kuda dapat dilihat pada Tabel 1. Imbangan karbon dan nitrogen (C/N) pada feses kuda sebesar 25 (Suriawiria dan Sastramihardja, 1980). Jika rasio C/N tinggi, maka N akan terkonsumsi sangat cepat oleh bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan protein dan tidak akan lagi bereaksi dengan sisa karbonnya, sedangkan jika rasio C/N sangat rendah, maka N akan bebas di udara dalam bentuk NH4OH (Hartono, 2009). Tabel 1. Kandungan Bahan Feses Kuda Komponen Kandungan Bahan -----------%----------- Hemiselulosa 23,5 Selulosa 27,5 Lignin 14,2 Nitrogen (N) 2,29 Fosfor (P) 1,25 Kalium (K) 1,38 Sumber : Sihotang, (2010) Bedding Kuda Bedding atau alas tidur digunakan untuk memberikan kenyamanan bagi kuda saat kuda tersebut istirahat ataupun saat tidur. Selain itu bedding juga berfungsi memberikan kehangatan dan melindungi kaki kuda apabila menggunakan alas tidur 3 yang lunak, terutama untuk kuda olah raga. Bedding yang digunakan adalah serasah kayu. Serasah kayu didapat dari potongan-potongan kayu ataupun bekas serutan kayu. Limbah penggergajian adalah kayu yang tersisa akibat proses penggergajian yang bentuknya dapat berupa serbuk gergaji (sawdust), sebetan (slabs), potongan (trims), dan shaving (Haygreen dan Bowyer, 1989). Kayu adalah suatu karbohidrat yang tersusun terutama atas karbon, hidrogen, dan oksigen. Komposisi unsur kayu berdasarkan persen berat kering yaitu karbon 49%, hidrogen 6%, oksigen 44%, sedikit nitrogen dan abu 0,1% (Haygreen dan Bowyer, 1989). Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair dan dapat diperkaya dengan bahan mineral alami dan mikroba yang bermanfaat memperkaya hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Permentan, 2009). Kandungan minimal pupuk organik yang diperbolehkan untuk diberikan ke tanah menurut Permentan (2009) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik Komponen C-Organik (%) Rasio C/N Kandungan Bahan Padat ≥4 15-25 Nilai pH 4-8 P2O5 (%) <2 K2O (%) <2 Nitrogen (%) <2 Sumber : Peraturan Mentan, No.28/Permentan/SR.130/B/2009 Pupuk organik yang diberikan pada tanah akan mengurangi jumlah pemakaian bahan anorganik karena pemberian bahan organik yang tinggi dapat meningkatkan pH tanah, fosfor (P) yang tersedia, dan kandungan air tanah yang mempermudah tanaman menyerap unsur hara yang diperlukan (Raihan, 2002). Keuntungan dalam penggunaan pupuk organik adalah : (1) memperbaiki sifat fisik tanah, tanah menjadi gembur, tidak menggumpal, aerasi, internal drainage lebih 4 baik, meningkatkan daya mengikat air yang baik sehingga dapat mengatasi erosi atau longsor, (2) memperbaiki sifat kimia tanah yaitu meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), mempercepat proses pelapukan, dan mencukupi ketersediaan tanah, (3) memperbaiki sifat biologi tanah, mempercepat perbanyakan bakteri, fungi, mikro flora dan fauna, dan (4) memperbaiki kondisi sosial, mengurangi dampak lingkungan (Hardjowigeno, 2003). Pupuk Kompos Pengomposan (composting) didefinisikan sebagai penguraian biologi dan stabilisasi dari bahan organik pada temperatur termofilik sebagai hasil produksi panas secara biologis, dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak akan menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan (Haug, 1980). Menurut Rao (1994), proses penguraian bahan organik adalah proses perombakan bahan organik yang melibatkan mikroorganisme pengurai dalam kondisi anaerobik atau aerobik, baik itu mikroorganisme primer maupun sekunder yang dapat menghasilkan asamasam organik berupa asam laktat, asetat, fumurat, suksinat, butirat, dan alkohol. Mekanisme proses pengomposan secara umum diperlihatkan pada Gambar 1. Mikroorganisme pengurai mengambil air, oksigen dari udara dan makanan dari bahan organik. Bahan organik tersebut akan dikonversi menjadi produk metabolisme biologi berupa CO2, H2O, sebagian humus, dan energi. Sebagian dari energi yang dihasilkan tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan gerakan, sisanya dibebaskan sebagai panas. Panas CO2 Air Energi Bahan Organik O2 Air Mikroorganisme Mikroorganisme baru Humus (kompos) Gambar 1. Mekanisme Pengomposan Secara Umum (Dalzell et al., 1987) 5 Menurut Gumbira-Sa'id (1996), sistem pengomposan dapat dibedakan dalam dua operasi, yaitu sistem pengomposan aerobik dan anaerobik. Sistem pengomposan aerobik adalah proses penguraian bahan organik dengan oksigen bebas dan sebagai hasil akhir diperoleh air, CO2, unsur-unsur hara, dan energi. Pengomposan anaerobik adalah penguraian bahan organik tanpa adanya oksigen bebas melalui proses reduksi dengan hasil utamanya CH4, dan CO2. Reaksi untuk kedua sistem pengomposan tersebut dikemukakan berikut ini : 1. Reaksi pada sistem pengomposan aerobik (Crawford, 1984) - Gula, selulosa, hemiselulosa (CH2O)x + xH2O - xCO2 + xH2O + energi Protein NH4+ (N-Organik) - NO3 + energi Sulfur organik SO4-2 + energy S + xO2 - NO2 Fosfor organik (Fitin, lesitin) H3PO4 Ca(HPO4)2 Reaksi keseluruhannya, aktivitas Bahan organik CO2 + H2O + unsur hara + humus + energi mikroorganisme 2. Reaksi pada sistem pengomposan anaerobik (Gaur, 1983) Bakteri penghasil asam - (CH2Ox) xCH3COOH Methanomonas - CH3COOH CH4 + CO2 - N-Organik NH3 Cahaya matahari - 2H2S + CO2 (CH2O)x + S +H2O Menurut Dalzell et al. (1987), kecepatan pengomposan kearah produk akhir yang matang tergantung pada beberapa faktor proses yaitu meliputi pasokan hara, ukuran partikel, kandungan air, kekuatan struktural bahan, aerasi, agitasi, keasaman (pH), dan ukuran tumpukan. Gaur (1983), menambahkan bahwa faktor yang paling penting dalam pengomposan adalah nisbah C/N bahan baku, ukuran potongan, bahan 6 campuran atau perbandingan bahan, kelembaban, aerasi, suhu, dan reaksi keterlibatan mikroorganisme (inokulum). Keuntungan dari pengomposan yaitu : (1) memperbaiki tanah berlempung sehingga menjadi ringan, (2) memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak saling lepas, (3) menambah daya ikat air pada tanah, (4) memperbaiki tata udara dalam tanah, (5) mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara, (6) mengandung hara yang lengkap meskipun dalam jumlah yang sedikit, (7) mempercepat dalam proses pelapukan bahan mineral, (8) memberikan bahan makanan untuk mikroba, dan (9) menurunkan aktivitas mikroba yang merugikan (Sutanto, 2002). Menurut De Bertoldi et al. (1984), cara pembuatan pengomposan dapat diklasifikasikan menjadi sistem terbuka dan sistem tertutup. Metode untuk masingmasing sistem dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi Pengomposan Berdasarkan Cara Pembuatan Klasifikasi Sistem Terbuka Metode Dengan pembalikan tumpukan Tumpukan statis : Sistem Tertutup - penyedotan udara - penghembusan udara - ventilasi - penghembusan udara dengan kontrol suhu Reaktor vertikal : - Kontinyu - Tidak kontinyu Reaktor horizontal : - Material diam (Statis) - Material bergerak Sumber : De Bertoldi et al. (1984) Aktivator Mikroba Aktivator adalah bahan tambahan yang mampu meningkatkan penguraian mikrobiologis dalam tumpukkan bahan organik (Gaur, 1983). Aktivator dikenal dengan dua macam yaitu aktivator organik dan anorganik. Aktivator organik adalah 7 bahan-bahan yang mengandung N tinggi dalam bentuk bervariasi seperti protein dan asam amino. Beberapa contoh aktivator organik yaitu fungi, pupuk kandang, darah kering, sampah, dan tanah yang kaya akan humus. Aktivator anorganik antara lain amonium sulfat, urea, amoniak, dan natrium nitrat. Aktivator organik dan anorganik mempengaruhi tumpukan kompos melalui dua cara yaitu cara pertama dengan penginokulasian strain mikroorganisme yang efektif dalam menghancurkan bahan organik. Cara kedua dengan meningkatkan kadar N yang merupakan makanan tambahan bagi mikroorganisme. Aktivitas mikroorganisme meningkat jika jumlah N mencukupi, sehingga proses penguraian bahan organik berlangsung lebih cepat dan efektif. Nitrogen (N) dalam senyawa NH3 jumlahnya semakin rendah karena digunakan oleh mikroorganisme pengurai untuk sintesa protein dalam mempercepat aktivitasnya, hal ini menunjukkan proses penguraian berlangsung normal. Beberapa aktivator yang terdapat dipasaran dan digunakan dalam pengomposan yaitu: EM4, Stardec dan Orgadec. Effective Microorganisme4 (EM4) Higa (1993), memperkenalkan suatu kultur mikroorganisme yang disebut EM4 di dalamnya mengandung mikroorganisme yang menguntungkan dan secara efektif mengatur keseimbangan mikroorganisme tanah dan tanaman. Mikroorganisme tersebut terdiri dari bakteri asam laktat, bakteri fotosintetik, aktinomisetes, khamir, dan jamur. Bakteri asam laktat Lactobacillus sp. memproduksi asam laktat sebagai hasil penguraian gula dan karbohidrat yang dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme merugikan. Bakteri fotosintetik (bakteri fototropik) bakteri ini membentuk zat-zat bermanfaat dari sekresi akar-akar tumbuhan, bahan organik, dan gas-gas berbahaya dengan menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi. Zat-zat ini bermanfaat seperti asam amino, asam nukleit, zat bioaktif, dan gula yang dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan pertumbuhan mikroorganisme lain. Actinomycetes sp. mikroorganisme yang strukturnya merupakan bentuk antara bakteri dan jamur dimana menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik dan bahan organik. Jamur fermentasi seperti Aspergillus dan Penicillium menguraikan bahan organik secara tepat untuk menghasilkan alkohol, ester, dan zat anti mikroba. Ragi membentuk zat-zat anti bakteri dan bermanfaat bagi 8 pertumbuhan tanaman (dalam meningkatkan jumlah sel aktif) dari asam-asam amino dan gula yang dihasilkan bakteri fotosintetik, bahan organik dan akar-akar tanaman. Menurut Wididana dan Riga (1993), EM4 merupakan kultur campuran dalam medium cair berwama coklat kekuning-kuningan, berbau asam dan terdiri dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Bahan tersebut mampu meningkatkan penguraian bahan organik dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman, menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen, mempercepat pengomposan sampah organik atau kotoran hewan, membersihkan air limbah, serta dapat melarutkan senyawa fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman. Sewaktu diinokulasikan ke tanah atau pada tanaman, EM4 secara aktif memfermentasi bahan organik di dalam tanah dan menghasilkan gula, alkohol, asam amino, asam laktat, dan senyawa lain yang semuanya dapat langsung diserap akar tanaman. Selain memfermentasi bahan organik dari tanaman EM4 juga merangsang perkembangan mikroorganisme lainnya yang menguntungkan pertumbuhan tanaman, seperti bakteri pengikat N, bakteri pelarut fosfat, mikoriza, dan mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap penyakit tanaman (Wididana dan Riga, 1993). Stardec Stardec merupakan salah satu probiotik yang mempercepat proses penguraian bahan organik. Stardec adalah salah satu bioaktivator pengomposan yang banyak digunakan industri pupuk kompos karena Stardec memiliki keunggulan dalam hal kepraktisan dan kandungan mikroorganisme yang terkandung di dalamnya. Stardec merupakan koloni mikroorganisme aerob lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik, aminolitik, dan mikroba fiksasi N non-simbiotik yang mampu merubah bahan organik menjadi kompos dalam waktu empat minggu. Mikroba yang terkandung di dalam Stardec diperoleh dari isolasi tanah lembab dihutan, akar rumput-rumputan, dan kolon sapi. Digunakan tanah lembab karena pada tanah ini banyak mengandung mikroba lignolitik dan selulolitik, digunakan akar rumput-rumputan karena pada akar rumput diperoleh bakteri N fiksasi non-simbiosis yang berfungsi untuk mengikat N bebas dari udara sehingga kandungan N di dalam pupuk bertambah dan akan meningkatkan kandungan KTK (kapasitas tukar kation) pupuk, digunakan kolon sapi karena pada kolon sapi diperoleh bakteri lignolitik yang berfungsi untuk memecah 9 ikatan lignin. Bakteri yang terkandung dari ketiga bahan tersebut kemudian diisolasi dalam media agar lalu dibiarkan pada media jerami atau ampas tebu (Indriani, 2002). Peran mikroba yang berada dalam Stardec adalah mikroorganisme lignolitik dalam menguraikan ikatan lignoselulosa menjadi selulosa dan lignin. Lignin selanjutnya akan diuraikan lagi oleh enzim lignase menjadi derivat lignin yang lebih sederhana sehingga mampu mengikat (NH4+). Mikroorganisme selulolitik akan mengeluarkan enzim selulose yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi selobiosa yang lalu dihidrolisis kembali menjadi D-glukosa dan akhirnya difermentasikan sehingga menghasilkan asam laktat, etanol, (CO2), dan ammonia yang dibutuhkan tanaman. Mikroorganisme proteolitik adalah bakteri yang memproduksi enzim protease ekstraseluler yaitu enzim pemecah protein menjadi asam-asam amino yang akan deaminasi dan menghasilkan ammonia (NH3) yang diperlukan oleh tanaman dan bakteri. Mikroorganisme lipolitik akan menghasilkan enzim lipase yang berperan dalam perombakan lemak. Mikroorganisme aminolitik akan menghasilkan enzim amilase yang berperan dalam mengubah karbohidrat menjadi volatile fatty acid dan keto acids (Indriani, 2002). Stardec dilengkapi dengan mikroorganisme fiksasi N non-simbiosis yang mampu mengikat N dari udara. Mikroba fiksasi N non-simbiosis diperkirakan dapat mengikat 5–20 gram N dari 1.000 gram bahan organik yang dirombak. Stardec juga dilengkapi dengan cendawan antagonis Trichoderma yaitu cendawan yang dapat mengendalikan penyebab penyakit akar yang disebabkan oleh mikroorganisme Gonoderma sp., JAP (jamur akar putih) dan Phytoptora sp. Mikroorganisme pelarut fosfat yang ada pada Stardec akan memecah P yang ada di dalam tanah sehingga dapat diserap tanaman. Dosis aplikasi penggunaan Stardec 2,5% (b/b) (Indriani, 2002). Orgadec Orgadec merupakan salah satu aktivator mikroba yang terdiri dari mikrobamikroba yang baik dan bermanfaat untuk tanah. Orgadec diformulasikan dengan bahan aktif mikroba asli Indonesia yang memiliki kemampuan menurunkan rasio C/N secara cepat dan bersifat antagonis terhadap beberapa jenis penyakit akar. Cendawan yang digunakan adalah Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp.. 10 Trichoderma pseudokoningii berfungsi untuk mengendalikan penyakit dan sebagai perombak bahan organik. Kedua mikroba tersebut memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan enzim penghancur lignin dan selulosa secara bersamaan. Untuk menjamin ketersediaan kedua mikroba ini maka dilakukan pengemasan khusus yang menjamin masa simpan efektif sampai 12 bulan. Keuntungan dari penggunaan Orgadec ini adalah sesuai untuk kondisi tropis, menurunkan rasio C/N secara cepat, tidak membutuhkan tambahan nutrisi, mudah, dan tahan disimpan, antagonis terhadap penyakit jamur akar, efisiensi tenaga kerja karena tidak perlu pembalikan bahan baku dan mengurangi pertumbuhan gulma. Dosis aplikasi Orgadec untuk bahan organik keras adalah 1.25% (b/b). Unsur Hara Proses pembuatan kompos tergantung pada aktivitas mikroorganisme yang memerlukan sumber C untuk mendapatkan energi dan bahan bagi sel-sel baru, bersama dengan pasokan N untuk protein sel. Menurut Dalzell et al. (1987) rasio C/N dalam campuran pertama berkisar antara 25-35, jika rasio C/N terlalu tinggi maka prosesnya akan memakan waktu lama sebelum cukup karbon (C) dioksidasi menjadi karbon dioksida dan sebaliknya jika terlalu rendah, maka N yang merupakan komponen pupuk penting dari kompos akan dibebaskan sebagai amonia. Apabila rasio C/N terlalu tinggi dapat ditambahkan dengan bahan yang banyak mengandung N seperti kotoran temak, sedangkan apabila terlalu rendah dapat ditambahkan dengan bahan yang kaya C seperti jerami atau serbuk kayu. Kandungan Air Kandungan (kadar) air berpengaruh pada reaksi biologis mikroorgansime dalam menpenguraian bahan organik. Kandungan air dibawah 30% dalam bobot segar reaksi biologis dalam tumpukan kompos menjadi lambat. Pada kadar air yang terlalu tinggi ruang antara partikel dari bahan menjadi penuh air, sehingga mencegah gerakan udara dalam tumpukan. Kandungan air optimum dari bahan kompos adalah 50%-60% (Dalzell et al., 1987). Menurut Golueke (1977), kandungan air pengomposan yang ideal tergantung dari jenis bahan organik yang digunakan ataupun jenis bahan organik yang paling banyak terdapat dalam campuran. Nilai kadar air bahan kompos yang ideal dapat dilihat pada Tabel 4. 11 Tabel 4. Kadar Air Ideal Pengomposan Beberapa Jenis Bahan Organik Jenis Bahan Kadar Air ---------------%------------ Jerami 75-85 Kayu 75-90 Kertas 55-65 Limbah basah 50-65 Sampah kota 55-65 Pupuk kandang 55-65 Sumber: Golueke (1977) Air yang dihasilkan pada saat proses pengomposan dapat hilang karena evaporasi ke udara. Pada beberapa proses pengomposan dengan cara aerasi buatan kehilangan air dapat berlebihan dan hal ini dapat pula terjadi pada pengomposan dengan aerasi alami dalam iklim yang sangat panas. Karenanya mungkin diperlukan air tambahan untuk membuat kompos yang dapat dipasok dari air biasa atau dari bahan lain seperti limbah buah-buahan (Dalzell et al., 1987). Aerasi dan Agitasi Dalam proses pengomposan diperlukan udara yang cukup kesemua bagian tumpukan kompos untuk memasok oksigen pada mikroorganisme dan mengeluarkan karbon dioksida yang dihasilkan. Menurut Dalzell et al. (1987), tidak adanya udara (kondisi anaerobik) akan menimbulkan perkembangbiakan berbagai macam mikroorganisme yang menyebabkan keasaman dan pembusukan tumpukan yang menimbulkan bau busuk, jika aerasi dilakukan secara alami daerah pusat bawah dari tumpukan mungkin kekurangan oksigen (O2). Oleh karena itu, dibutuhkan agitasi (pengadukan) untuk membantu pergerakan udara dan membentuk permukaan baru untuk dikerjakan oleh mikroorganisme. Pengendalian agitasi pada tumpukan menjamin agar semua bahan organik mengalami suhu tertinggi yang dapat dicapai. Namun pada umumnya agitasi dapat menimbulkan pendinginan dan pengeringan berlebihan dari bahan kompos. 12 Temperatur Pengomposan Pengomposan akan berjalan optimal pada temperatur yang sesuai dengan temperatur optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Menurut Dalzell et al. (1987), kisaran temperatur ideal tumpukan adalah 55-65°C yang dipertahankan selama tiga hari dengan temperatur minimum 45°C selama proses pengomposan. Kurva hubungan antara waktu dan temperatur normal dari tumpukan kompos tertera pada Gambar 2, yang menunjukkan tahap-tahap temperatur yang dialami tumpukan kompos yaitu tahap penghangatan, temperatur puncak, pendinginan dan kematangan. Pada tahap penghangatan yaitu temperatur mesofilik 15-40oC mikroba mulai berkembang dan beraktivitas mengurai bahan organik. Tahap temperatur puncak yaitu temperatur termofilik 40-70oC pada tahap ini aktivitas mikroba mengalami titik puncak. Tahap pendinginan aktivitas mikroba mengalami penurunan. Pada tahap kematangan mikroba tidak lagi beraktivitas dan temperatur stabil dibawah 25oC. Temperatur (OC) Temperatur puncak (titik keseimbangan) 70 Kerusakan 60 larutan 050 Membunuh jamur 40 Kerusakan polimer Pembentukan fungi kembali 30 20 Kotoran ternak membentuk humus 10 Waktu 0 A B C D Keterangan: A = Mesofilik ; B = Termofilik ; C = Pendinginan ; dan D = Pematangan Gambar 2. Perbedaan Temperatur dalam Tumpukan Kompos (Dalzell et al., 1987) Keseimbangan antara panas yang dihasilkan dan yang dilepaskan akan tergantung pada kemampuan tumpukan untuk menghambat panas yang keluar. Besarnya kemampuan tersebut tergantung pada ukuran tumpukan. Ketinggian yang sesuai untuk berbagai jenis bahan adalah minimum 1 sampai 1,2 meter dan maksimum 1,5 sampai 1,8 meter. Tumpukan yang terlalu rendah akan menyebabkan 13 kehilangan panas dengan cepat, sehingga temperatur optimum untuk membunuh mikroorganisme patogen serta proses penguraian oleh mikroorganisme termofilik tidak akan tercapai. Selain itu akan menyebabkan hilangnya kadar air secara berlebihan (Dalzell et al., 1987). 14