9 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Workaholism atau

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Workaholism atau Shigoto-chuudoku (仕事中毒
仕事中毒)
仕事中毒
Sama seperti ungkapan “ketagihan bekerja”, istilah workaholic pada
umumnya mengandung konotasi yang negatif. Oates dalam Fujimoto (2014:50),
mendefinisikan kata “workaholism” sebagai “seseorang yang kebutuhan kerjanya
menjadi berlebihan hingga menimbulkan gangguan yang nyata pada kesehatan,
kebahagiaan pribadi, hubungan antar pribadi dan pada kelancaran fungsi
sosialnya”.
Akan tetapi, beberapa orang melihat workaholism memiliki aspek yang
positif seperti senang akan pekerjaan atau mendapatkan banyak keuntungan dari
pekerjaan. Contohnya Machlowitz dalam Fujimoto (2014:50) mengemukakan,
walaupun terdapat aspek yang tidak diinginkan dari workaholism, “menyamaratakan semua workaholism dengan perasaan khawatir, lelah dan tidak senang itu
tidak benar”. Oleh karena itu, workaholism dapat didefinisikan dengan berbagai
cara berdasarkan dari aspek positif atau negatif yang dilihat.
Fujimoto (2014:50-51), mengatakan workaholic sering didefinisikan sebagai
seseorang yang secara sukarela bekerja dalam jangka waktu yang panjang atau
tidak terganggu dengan jam kerja yang panjang. Akan tetapi, aspek sukarela ini
terbagi menjadi dua pihak : seseorang yang “kondisi mentalnya sehat karena dia
‘benar-benar’ tidak merasa terganggu oleh kerja lembur” dan seseorang yang
“kondisi mental yang dapat memburuk karena orang tersebut ‘dibuat untuk
berpikir bahwa dia ingin bekerja’ oleh beberapa tekanan”. Hal ini dikatakan
sebagai perbedaan antara “ditarik untuk bekerja” (tertarik untuk bekerja
dikarenakan adanya kesenangan yang dihasilkan) dan “didorong untuk bekerja”
(didorong untuk bekerja dikarenakan obsesi seseorang)
Tabassum
dan
Rahman
(2012:84)
menjelaskan
tiga
elemen
dari
workaholism : “work involvement”, “driven”, dan “work enjoyment” dengan
contoh, seperti : menghabiskan waktu luangnya dengan mengerjakan proyek dan
aktivitas konstruktif lainnya dapat menjadi contoh dari work involvement. Drive
atau dorongan terhadap pekerjaan dapat lebih dimengerti jika seseorang merasa
9
10
punya kewajiban untuk bekerja meskipun ketika dia tidak merasakan adanya
kesenangan dalam pekerjaannya. Ketika seseorang bekerja lebih dari yang
diharapkan, hanya dikarenakan adanya kesenangan di dalam pekerjaan, maka itu
disebut sebagai adanya kesenangan dalam pekerjaan atau work enjoyment.
Sedangkan Fujimoto (2014:54) di dalam penelitiannya, pada work involvement
menggunakan pertanyaan seperti berikut; pekerjaan terus datang dan saya harus
mengerjakan semuanya dalam sekaligus.
Schaufelli, Taris dan Bakker dalam Fujimoto (2014:51) mendefinisikan
workaholism sebagai suatu keadaan yang tidak diinginkan yang mirip dengan
ketagihan, dan mengarahkan sebuah analisa yang memisahkan aspek positif
workaholism (work engagement) dari aspek negatif workaholism (bekerja keras
dengan terpaksa). Tiga elemen dari Spence dan Robbins dalam Fujimoto
(2014:51) menunjukkan, tingkat “work involvement” dan “work enjoyment”
tinggi dalam aspek positif ketika “driven” rendah. “work involvement” dan
“driven” tinggi dalam aspek negatif ketika tingkat “work enjoyment” rendah.
Gambar 2.1 : Pengaturan Konsep yang Berkaitan dengan Workaholism
Sumber : Workaholism and Mental and Physics Health (Fujimoto, 2014:52)
Konsep pada gambar di atas disusun berdasarkan dua elemen, yaitu : “activity
level”
(tingkat
aktifitas)
dan
“attitude
toward/perception
of
work”
(sikap/pandangan terhadap pekerjaan). “Work engagement” menunjukkan tingkat
11
aktifitas yang tinggi dan sikap/pandangan terhadap pekerjaan (perasaan senang)
yang positif (“saya ingin bekerja”). Di sisi lain, “workaholism” menunjukkan
tingkat aktifitas yang tinggi tapi sikap/pandangan terhadap pekerjaan (tidak
senang) yang negatif (“saya harus bekerja”).
Fujimoto (2014:52) juga mengatakan “well-being” (keadaan kesehatan,
absen kerja, kebahagiaan) menunjukkan adanya hubungan negatif dengan
workaholism dan hubungan positif terhadap work engagement.
2.2 Konsep Keharmonisan atau Wa (和
和)
Prinsip yang paling dihargai dan masih hidup di dalam lingkungan sosial
Jepang hingga saat ini adalah konsep wa atau harmoni. Dalam bisnis, ‘wa’
tercermin sebagai tindakan menghindari sikap mementingkan diri sendiri atau
individualisme dan pemeliharaan hubungan yang baik meskipun adanya
perbedaan pendapat. (Communicaid)
Berikut adalah penjelasan Araki (2012:12) mengenai “wa”:
十七条憲法の第一条「以和為貴」の「和」は、礼=秩序を踏ま
えた「和」であった。翻って現代の我々が世界の「和」を考
える時、秩序が不可欠であるということを忘れてはならない。
また「和の文化」について考えると、日本の文化のなかで、
外国の影響を受けていない文化は少ないのではないだろうか。
多かれ少なかれ海外からの影響を受けて発展するのが文化な
のである。すなわち「和の文化」とは、様々な文化を融合・
調和させて結実し、現在も発展を続ける日本独自の文化なの
である。
Terjemahan :
Dalam pasal pertama dari ke-17 Pasal Konstitusi, wa( 和 )
berlandaskan dari rei (礼) dan chitsujo (秩序). Sampai sekarang ini,
apabila kita memikirkan dunia wa, chitsujo tidak dapat dipisahkan
dari wa. Selain itu, apabila kita memikirkan “budaya wa”, di dalam
budaya Jepang, budaya yang tidak mendapat pengaruh dari luar
sangat sedikit. Kurang lebih budaya ini berkembang dengan
pengaruh dari luar negeri. Akhirnya, “budaya wa” ini terbentuk
dari hasil pencampuran dan harmonisasi. Sampai sekarang budaya
karakteristik Jepang ini masih terus berkembang.
12
Dalam penjelasan tersebut, dikatakan bahwa chitsujo tidak dapat dipisahkan
dengan wa. Jika diterjemahkan, chitsujo berarti sistem. Kata sistem disini merujuk
pada struktur sosial vertikal atau tateshakai (縦社会) yang ada di Jepang. Hal ini
berarti tateshakai tidak dapat dipisahkan dari budaya wa. Rice (2004:57)
mengatakan istilah wa biasanya diterjemahkan sebagai harmoni. Istilah ini
memiliki makna kedamaian dan pemenuhan di dalamnya; dan merupakan dasar
dari bagaimana orang Jepang menjalani kehidupannya.
Alston dan Takei (2005:13-14) mengatakan menjaga keharmonisan di dalam
anggota kelompok, atau yang biasa disebut dengan wa, adalah hal yang dominan
dalam pengambilan keputusan di dunia bisnis. Dalam perspektif orang Jepang,
tidak memberikan jawaban dianggap lebih sopan daripada memberikan respon
yang negatif. Memberikan jawaban atau respon yang negatif dianggap dapat
merusak keharmonisan sosial atau wa. Mereka akan merasa lebih nyaman untuk
tidak memberikan jawaban apa pun daripada diharuskan untuk menjawab “tidak”.
Hal yang lebih penting lagi, dibutuhkan pertemuan secara langsung sebagai
langkah awal untuk mengembangkan wa.
Adanya desakan untuk mempertahankan harmoni mengakibatkan mereka
sering menunjukkan kerendahan hati secara terus menerus. Rekan kerja Jepang
lebih memilih untuk mengatakan “saya juga merasa demikian” atau “mungkin”
daripada menyatakan “ya” secara langsung. Ungkapan-ungkapan ini dianggap
sebagai suatu bentuk kesopanan, bukan keraguan. Sebagai tambahan, pertanyaan
langsung dianggap terlalu menuntut dan tidak sopan. Seringkali mereka
menghindar untuk bertanya karena adanya perasaan takut dianggap terlalu agresif.
Kerendahan hati juga menuntut mereka untuk bertanggungjawab jika ada
kesalahan yang terjadi. Meminta maaf membuat mereka terlihat sebagai seseorang
yang dapat dihormati dan berorientasi pada kelompok. (Alston dan Takei,
2005:14)
Hal yang perlu disayangkan dari sikap orang Jepang yang mempertahankan
keharmonisan dalam kelompok adalah kecenderungan untuk mematuhi atasan
meskipun keliru. Pimpinan kelompok adalah simbol dari kelompok itu sendiri.
Membantah pimpinan dianggap sebagai salah satu bentuk dari ketidakpatuhan
atau ketidaksetiaan terhadap kelompok. Sejarah Jepang memberikan banyak
contoh pimpinan pada jaman feudal yang memberikan permintaan tidak rasional
kepada anak buahnya. Dalam kasus seperti ini, mematuhi perintah dianggap lebih
13
penting daripada mengkritik kebijakan resmi atau menolak permintaan. Di sisi
lain, menerima permintaan yang tidak masuk akal dari atasan seperti; lembur
tanpa digaji, memberikan hiburan yang berlebihan kepada klien yang berpotensi,
atau bahkan mengerjakan permintaan atasan yang bersifat personal, dapat
membuat atasan atau perusahaan merasa berhutang terhadap orang tersebut.
Orang tersebut akan dibalas secara setimpal jika dianggap loyal dan dapat
diandalkan. (Alston dan Takei, 2005:14)
Lebowitz (2011) mengatakan menjaga keharmonisan di dalam kelompok juga
berarti mengikuti hasil keputusan kelompok. Di Jepang, membantah atasan atau
kelompok dapat mengganggu keharmonisan. Jadi, tidak mengatakan apapun dan
pura-pura mendukung keputusan tersebut merupakan hal yang terbaik walaupun
hal tersebut dapat mengakibatkan masalah pada kelompok atau diri sendiri.
Mempertahankan keharmonisan kelompok merupakan hal yang lebih baik
daripada mencoba untuk mencegah terjadinya kesalahan. Selain itu, orang Jepang
juga jarang membela diri mereka ketika mereka dicurangi atau dimanfaatkan.
Sebab, hal itu dapat menyebabkan banyak masalah dan mengganggu
keharmonisan.
Salah satu budaya Jepang yang merupakan bagian dari wa adalah honnetatemae. Honne merujuk pada niat dan perasaan seseorang yang sesungguhnya.
Hal ini jarang diungkapkan oleh masyarakat Jepang karena adanya perasaan takut
akan mengganggu wa dan perasaan orang lain. Honne adalah perasaan jujur dari
seseorang. Sebaliknya, tatemae adalah perkataan yang diucapkan untuk membuat
seseorang merasa lebih baik, menjaga wa, dan menghindari konflik yang
disebabkan oleh kabar buruk, penolakan atau kritik. Tatemae adalah kebohongan
sosial yang tidak memiliki maksud untuk menyampaikan informasi tetapi untuk
menjaga perasaan seseorang dengan menghindari tekanan. Budaya tatemae inilah
yang menjadi alasan kenapa orang Jepang tidak bisa mengatakan “tidak” secara
langsung kepada seseorang. (Alston dan Takei, 2005:19)
Seperti yang dapat kita lihat, harmoni adalah sebuah kunci elemen dari
kemampuan
Jepang
untuk
bertahan
dengan
kemampuannya
sendiri.
Mempertahankan keharmonisan merupakan hal yang lebih penting daripada
konsep kebenaran yang abstrak. Hal ini menyebabkan banyaknya keambiguitas
yang disengaja. (Rice, 2004:74)
14
Keambiguitas
adalah
‘senjata
seseorang
untuk
mempertahankan
keharmonisan dengan orang lain’. Ambiguitas dapat menghindari terjadinya
konflik dan mendorong kerja tim, dan membiarkan seseorang untuk lebih mudah
berbaur ke dalam sebuah kelompok. Pernyataan ini memiliki definisi umum dari
‘kerja tim’. Akan tetapi, menjaga keharmonisan adalah peraturan utama dari
tempat kerja Jepang. Konflik – antar pribadi atau dalam tim – adalah hal yang
tabu. (Rice, 2004:74)
Kawanishi (2009:20) menyebutkan terdapat sebuah survei besar yang
meneliti tentang bagaimana cara seseorang mengatasi masalahnya. Survei tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan keinginan untuk menghadapi masalah tergantung
pada latar belakang budaya. Orang Jepang akan mencoba untuk menahan situasi
tersebut sebisa mungkin. Mereka tidak percaya akan konfrontasi terbuka atau
tindakan nyata. Sebaliknya, mereka akan berpikir bahwa menunggu hingga
masalah tersebut terselesaikan dengan sendirinya adalah cara yang terbaik. Jika
tidak ada jalan keluar, mereka akan pasrah pada keadaan. Walaupun mereka tidak
akan mengabaikan tugasnya, tampaknya menerima keadaan lebih baik daripada
mencari “penyebab” masalah. Mereka juga lebih memilih untuk mengalihkan
perhatian mereka dengan melakukan hal lain atau melupakannya daripada
menghadapi “penyebab” masalah secara langsung. Mereka tampaknya berpikir
bahwa terlalu banyak memberi perhatian pada masalah dan memenuhi pikiran
dengan masalah tersebut adalah hal yang merepotkan. “Akirameru” (諦める)atau
menyerah dianggap sebagai tindakan yang dewasa untuk dilakukan.
2.3 Struktur Sosial dan Karakter Jepang
Hofstede, seorang profesor yang berasal dari Belanda, mengidentifikasi
Jepang sebagai suatu negara kolektif atau negara yang berorientasi pada kelompok
dan kebersamaan. Oleh karena itu, menjaga keharmonisan atau wa menjadi hal
yang penting di dalam budaya sosial mereka. Seorang sosiolog bernama Yoshio
Sugimoto merangkum 3 pola atau kerangka kerja yang berbeda untuk
menjelaskan struktur sosial dan karakter Jepang (Kawanishi, 2009:8), yaitu :
1. Kesediaan Orang Jepang untuk Menekankan Harmonisasi, Persatuan
dan Stabilitas Antar Grup Demi Mencapai Persatuan Sosial
15
Sugimoto dalam Kawanishi (2009:8) mengatakan, kesusastraan telah
menekankan bahwa integrasi dan harmoni telah dicapai secara efektif di
antara kelompok masyarakat Jepang dan membentuknya menjadi
‘masyarakat konsensus’. Hal ini disebutkan untuk menjelaskan kestabilan
dan kekompakan tingkat tinggi dalam masyarakat Jepang yang
membantu para politikus dan pemimpin lainnya untuk mengatur dan
memobilisasi populasi Jepang secara efektif. Selain itu, kemudahan yang
didapat dari energi orang Jepang yang memfokuskan diri ke dalam
pekerjaannya, telah memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan
ekonomi Jepang yang pesat.
2. Kurangnya Kepribadian yang Individualistis dan Kebebasan Diri
atau Ego
Kesetiaan terhadap kelompok dianggap lebih berharga daripada
memuaskan kebutuhan individu (Kawanishi, 2009:8). A-type adalah
kumpulan perilaku dan gaya hidup yang terlihat dan ditandai dengan
persaingan, terburu-buru, tidak sabar, gelisah, agresif, cara bicara yang
berapi-api, kewaspadaan yang tinggi disertai dengan menegangnya otot
(Jenkins, 2011). Orang A-type dipercaya selalu mengejar kesuksesan
individual dengan penuh semangat. Mereka bisa menjadi sangat agresif
dan bahkan berseteru dengan orang lain. Akan tetapi, karakter pria A-type
di Jepang berbeda dengan kepribadian A-type di Amerika Serikat
(Kawanishi, 2009:57).
Pria A-type di Jepang memiliki kecenderungan untuk menahan
perasaan mereka hingga pada tingkatan yang ekstrim dan sangat berhatihati untuk tidak menciptakan konflik dengan orang lain di tempat kerja.
Rasa tanggung jawab dan kewajiban yang kuat – terutama dalam
hubungan relasi antar manusia – adalah ciri khas dari pria A-type Jepang.
Kesediaan untuk mengorbankan diri sendiri demi mendapatkan nilai
positif dari orang lain juga merupakan karakter pria A-type Jepang.
Ketika mereka diminta oleh rekan kerjanya untuk melakukan sesuatu,
sulit bagi mereka untuk mengatakan “tidak”. Selain itu, mereka
cenderung merasa bersalah jika mereka tidak kerja lembur atau jika
16
mengambil waktu istirahat ketika yang lain masih bekerja. Semakin Atype seseorang, semakin mereka akan mencoba untuk berusaha
memenuhi ekspektasi orang lain, dengan resiko frustasi, cemas dan
marah pada diri mereka sendiri. (Kawanishi, 2009:57)
Apa yang menyiksa orang Jepang adalah bentuk relasi tradisional
yang disebut shigarami. Shigarami mengacu pada belenggu yang
membatasi psikologi seseorang untuk bertindak bebas. Shigarami
mengingatkan orang Jepang atas kewajiban, tanggung jawab dan
loyalitas yang dibutuhkan dalam kelompok dimana mereka berada.
Walaupun shigarami telah melindungi orang Jepang dari rasa kesepian
yang didapat dari kemandirian, kata ini secara mengejutkan mengandung
makna yang berat dan tak tertahankan bagi siapa saja yang
memikirkannya. Hal ini direspon dengan sikap menyerah biasanya;
“shikata ga nai” atau “apa boleh buat, saya harus pasrah padanya”. Di
tempat kerja maupun di rumah, shigarami mengekang orang Jepang
untuk menjadi dirinya sendiri. (Kawanishi, 2009:139)
Hubungan di dalam kantor berkaitan dengan shigarami. Shigarami
berarti tambak, sebuah pagar yang digunakan untuk memerangkap ikan
di sungai. Kata shigarami sering digunakan oleh orang Jepang untuk
mendeskripsikan diri mereka. Hal ini merujuk pada bagaimana cara relasi
manusia itu saling berhubungan. Jika salah satu ikatannya rusak, maka
keseluruhan strukturnya akan rusak. Mereka berhati-hati untuk tidak
merusak hubungan ini. (Lo, 1990:48)
Matsui dalam Lo (1990:49) mengatakan, penggunaan istilah
shigarami mirip dengan amae, sebuah teori ‘manja’ yang dijelaskan oleh
Doi. Jika seorang atasan tidak ingin mengerjakan sebuah proyek dan
memberikannya kepada bawahannya, bawahannya akan mengerjakan
pekerjaan
tersebut
dikarenakan
adanya
rasa
persahabatan
atau
ketergantungan pada atasan. Itu adalah amae. Orang Jepang memiliki
sistem shigarami ketika atasannya memberikan perintah kepada
bawahannya. Bawahan tidak memiliki perasaan yang spesial terhadap
atasannya, tetapi mengerjakan perintah tersebut agar mereka tidak
merusak hubungan kerja yang ada.
17
3. Penggambaran Masyarakat ke Dalam Hubungan Antar Grup
Sugimoto dalam Kawanishi (2009:8), mengatakan masyarakat
Jepang digambarkan dalam hubungan antar grup. Terutama pada
orientasi kelompok orang Jepang dan kesadaran akan adanya hirarki dan
klasifikasi secara vertikal yang kuat. Menurut Nipoda (2002), hirarki
adalah bagian yang penting dari budaya Jepang. Struktur ini tercermin di
semua bagian dalam kehidupan Jepang. Terbentuknya hirarki tergantung
pada senioritas, peran sosial dan jenis kelamin. (Nipoda, 2002)
Alston dan Takei (2005:61) mengatakan terdapat kesadaran hirarki
yang kuat di antara orang Jepang yang memaksa orang yang berada di
peringkat lebih rendah untuk tunduk kepada senior dalam hal berbicara,
bertanya dan memberi respon terhadap apa yang dikatakan oleh lawan
bicara. Bawahan harus mematuhi dan menghormati atasan dankata
hormat harus digunakan saat berbicara kepada senior.
Menurut Takekuro (2010), ungkapan hormat orang Jepang
dideskripsikan berdasarkan sifat tetap secara keseluruhan dari konteks
sosial (seperti pidato formal, hubungan hirarki dengan lawan bicara
dilihat dari umur dan status, tidak memiliki hubungan yang dekat dengan
lawan bicara). Takekuro mengatakan referent honorifics dibagi menjadi
dua yaitu : bentuk ungkapan hormat atau sonkeigo (尊敬語) dan bentuk
ungkapan rendah hati atau kenjougo ( 謙 譲 語 ). Sonkeigo dapat
menaikkan status orang yang menjadi subjek pembicaraan, sedangkan
kenjougo dapat menurunkan status orang yang berada pada posisi subjek
atau pembicara.
18
Download