Renungan Harian AKSI PUASA PEMBANGUNAN 2017 AMALKAN PANCASILA: MAKIN ADIL, MAKIN BERADAB i Renungan Harian AKSI PUASA PEMBANGUNAN 2017 AMALKAN PANCASILA: MAKIN ADIL, MAKIN BERADAB Diterbitkan oleh Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agung Jakarta Jalan Katedral no. 7 Jakarta Telp. 021 3519193 ext 501/502 Fax 021 3855751 Email: [email protected] ii AMALKAN PANCASILA: MAKIN ADIL, MAKIN BERADAB Para Penulis Renungan Harian ini: RP J. Sigit Prasadja, SJ ML Supama RD B. Hardijantan Dermawan RD. Romanus Heri Santoso RD V. Rudy Hartono RD. Y. Purbo Tamtomo Ibu Shienta Aswin RP. Alexander Erwin Santosa, MSF Suster Gaudensia Suparmi, OP Widyahadi Seputra Suster Sebastiana, HK RD H. Sridanto Aribowo Maria Ana PL iii DAFTAR ISI Rabu, 1 Maret 2017, BERLANJUT KE KEDALAMAN ................................... 1 Kamis, 2 Maret 2017, MEMIKUL SALIB DAN MENGUBAH KEHIDUPAN ..... 4 Jumat, 3 Maret 2017, PUASA DAN PANTANG TIDAK UNTUK MENYUCIKAN DIRI ..................................................... 6 Sabtu, 4 Maret 2017, KAPOK LOMBOK ........................................................ 9 Minggu, 5 Maret 2017, CINTA YANG BERSYARAT DAN CINTA YANG MEMBEBASKAN .......................... 12 Senin, 6 Maret 2017, INGIN BERJUMPA YESUS .......................................... 15 Selasa, 7 Maret 2017, DOA, BERKOMUNIKASI DENGAN TUHAN ................ 18 Rabu, 8 Maret 2017, TANDA ITU ADALAH KITA ........................................... 20 Kamis, 9 Maret 2017, DOA KRISTIANI SEHARUSNYA BERBUAH MELIMPAH ...................... 24 Jumat, 10 Maret 2017, HIDUP DALAM FIRMAN .............................................. 27 Sabtu, 11 Maret 2017, SEMPURNA SEPERTI ALLAH BAPA .......................... 29 Minggu, 12 Maret 2017, THE WAY ..................................................................... 31 iv Senin, 13 Maret 2017, KEMURAHAN HATI ..................................................... 33 Selasa, 14 Maret 2017, KEMUNAFIKAN ........................................................... 34 Rabu, 15 Maret 2017, SERVANT OF THE SERVANT OF GOD ..................... 40 Kamis, 16 Maret 2017, HIDUP MELIMPAH TAPI PELIT? ................................ 44 Jumat, 17 Maret 2017, KERAJAAN ALLAH ...................................................... 48 Sabtu, 18 Maret 2017, ALLAH MURAH HATI, KITAPUN MURAH HATI .......... 50 Minggu, 19 Maret 2017, BERIMAN ITU PERLU HATI DAN “WAKTU” ............... 52 Senin, 20 Maret 2017, MENCARI TUHAN SETIAP WAKTU ........................... 55 Selasa, 21 Maret 2017, MINTA DIKASIHANI, TAPI MENOLAK DIKASIHANI.... 58 Rabu, 22 Maret 2017, BUKAN MENIADAKAN, TETAPI MELENGKAPI ......... 61 Kamis, 23 Maret 2017, PERSEPSI TIDAK SELALU BERSAMA KEBENARAN ............................................................... 64 Jumat, 24 Maret 2017, MEWUJUDKAN HUKUM KASIH YANG BERMUTU.... 68 v Sabtu, 25 Maret 2017, SUKACITA MENURUT ALLAH .................................... 72 Minggu, 26 Maret 2017, TUHAN MELIHAT HATI ............................................... 74 Senin, 27 Maret 2017, TUHAN YANG MENYEMBUHKAN HIDUP .................. 77 Selasa, 28 Maret 2017, KESEMBUHAN DAN PERTOBATAN .......................... 79 Rabu, 29 Maret 2017, BELAJAR DAN MENJADI TERBIASA ......................... 82 Kamis, 30 Maret 2017, KESAKSIAN HIDUP YANG MENYELAMATKAN ......... 85 Jumat, 31 Maret 2017, BERTEGUH DALAM PERBUATAN KASIH ................. 88 Sabtu, 1 April 2017, KASIH ADALAH PELITA HATI ..................................... 91 Minggu, 2 April 2017, KEBANGKITAN ............................................................ 94 Senin, 3 April 2017, MENGAMPUNI ............................................................ 97 Selasa, 4 April 2017, MEMANDANG SALIB .................................................. 99 Rabu, 5 April 2017, KEBENARAN ............................................................... 101 Kamis, 6 April 2017, YESUS ADA SEBELUM ABRAHAM ........................... 104 vi Jumat, 7 April 2017 YESUS DITOLAK OLEH ORANG YAHUDI ................. 107 Sabtu, 8 April 2017 PERSEPAKATAN UNTUK MEMBUNUH YESUS ........ 109 Minggu, 9 April 2017 YESUS DIELU-ELUKAN DI YERUSALEM .................. 111 Senin, 10 April 2017, MEMBERIKAN YANG TERBAIK UNTUK TUHAN ....... 113 Selasa, 11 April 2017, DIKHIANATI PASANGAN HIDUP ................................ 116 Rabu, 12 April 2017, PENGORBANAN UNTUK BANYAK PETANI ANGGUR ..................................................................... 118 Kamis, 13 April 2017, DITOLAK DI TANAH KELAHIRANNYA ........................ 121 Jumat, 14 April 2017, SIAPAKAH SAHABATMU ............................................ 123 Sabtu, 15 April 2017, BERPERAN TANPA MENONJOLKAN DIRI ................ 126 Minggu, 16 April 2017 YESUS SELALU ADA DAN SETIA .............................. 129 vii KATA PENGANTAR Jika sempat memperhatikan beberapa ruas trotoar di Jakarta, di tengah trotoar ada sebaris tegel kasar yang membujur sepanjang alur trotoar itu. Sering kita tidak memperhatikan fungsi tegel itu. Namun, para penyandang disabilitas netra amat membutuhkannya. Alur tegel ini menjadi pemandu jalan. Dengan bantuan tongkatnya, seorang penyandang disabilitas netra berjalan mengikuti alur tegel ini. Harusnya, alur tegel itu mengikuti naik turunnya permukaan dan kelak-kelok trotoar. Sayang, kadangkadang dijumpai di beberapa ruas alur tegel itu sering terputus begitu saja. Atau garis itu bertabrakan dengan tiang listrik yang berdiri di tengah trotoar. Tegel yang dipasang sebagai jalur panduan pejalan kaki penyandang disabilitas netra adalah contoh sarana aksesibilitas. Sarana yang lain misalnya: bidang miring untuk memudahkan penyandang disabilitas grahita yang menggunakan kursi roda. Aksesibilitas adalah sarana-sarana yang diadakan untuk memudahkan para penyandang disabilitas dalam berkegiatan di ruang publik. Setiap orang, termasuk penyandang disabilitas memiliki hak yang sama memanfaatkan ruang publik. Inilah salah satu bentuk sikap adil. Semakin maju sebuah negara semakin lengkap sarana aksesibilitas. Tampaknya, keberadaban sebuah masyarakat juga diukur dari perhatian terhadap kelompok yang memiliki keterbatasan dalam masyarakat ini. viii Adil dan beradab adalah dua sikap yang saling melengkapi. Adil dalam kehidupan bermasyarakat berarti setiap orang memiliki akses yang sama untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan yang penting bagi keberlangsungan hidupnya. Agar fasilitas-fasilitas sosial dapat dinikmati setiap warga maka keadilan harus dikaitkan dengan keadaban. Tanpa keadaban, akan terjadi hukum rimba dimana hanya orang-orang yang kuat dan berkuasa yang menang. Dalam masyarakat yang beradab, hukum dijunjung tinggi, martabat setiap orang dihargai, aksesibilitas bagi anggota masyarakat yang masuk kategori lemah, miskin, terpinggirkan, dan difabel (KLMTD) diadakan. Dengan demikian, setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan yang penting bagi keberlangsungan hidupnya. Habitus yang adil dan berabab harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tahun ini seruan ini semakin ditegaskan melalui tema APP “Amalkan Pancasila: Makin Adil, Makin Beradab”. Aksi Puasa Pembangunan (APP) adalah masa pertobatan. Dengan tema tersebut, pertobatan kita memiliki kerangka sebuah usaha demi mewujudkan keadilan dan keberadaban. Melalui tema ini Gereja KAJ mengajak kita untuk merenungkan apakah keadilan sudah dinikmati oleh segenap masyarakat kita. Kita perlu lebih menyadari bahwa bersikap adil dan mewujudkan keadaban memiliki nilai rohani. APP adalah sebuah gerakan yang mengajak kita untuk terlibat. Melalui Aksi Puasa ix Pembangunan kita diajak semakin peduli pada sesama kita di lingkungan yang membutuhkan bantuan. Di masa APP ada gerakan yang disebut Aksi Nyata Prapaskah. ANP mengajak kita untuk semakin terlibat dalam gerakan keadilan dan keadaban di komunitas kita. Ada banyak cara untuk membantu mereka: yang rumahnya tidak sehat untuk ditempati dibantu supaya layak untuk ditempati. Yang sakit dikunjungi dan dihibur. Mewujudkan keadilan dan keadaban menjadi cara pengamalan Pancasila terutama sila kedua. Kita menjadi tangan-tangan kasih Tuhan saat kita datang kepada mereka dan memberi perhatian kepada mereka. Selamat menjalani masa pertobatan. Tuhan memberkati. Salam, Editor x Rabu, 1 Maret 2017 Hari Rabu Abu, Pantang Puasa Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; Mat. 6:1-6.16-18 BERLANJUT KE KEDALAMAN Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. (Mat. 6:18). Saya dulunya adalah perokok berat. Minimal sebungkus rokok sehari. Sudah banyak orang memberi masukan dan sudah banyak artikel kesehatan yang saya baca, namun yang namanya kenikmatan merokok, tetap tidak bisa kutinggalkan. Bahkan pada masa Prapaskah pun, saya memilih untuk berpantang yang lain, asal bukan pantang rokok. Bagi saya merokok adalah sebuah pilihan yang tak tergantikan. Saya tidak sadar bahwa asap rokok yang saya hasilkan mengganggu dan mencelakakan orang lain di sekitarku. Saya tidak sadar bahwa saya sudah memaksa orang di sekitarku menerima akibat dari perbuatanku. Saya tidak sadar sudah bersikap demikian tidak adil terhadap sesamaku. Sampai suatu saat entah ide darimana saya tidak bisa 1 mengingatnya, saya ingin mencoba menghentikan rokok dengan cara merohanikannya. Saya kemudian menyiapkan diri merohanikan niat berhenti merokok dalam bulan Mei, bulan Maria. Devosi saya pada Bunda Maria saya wujudnyatakan dengan pantang merokok selama sebulan. Persis pukul 00.00 tanggal 1 Mei 1996, saya memulai pantang rokok. Dan ternyata hari-hari pertama dengan mudah bisa saya lalui, dan kemudian genaplah satu bulan penuh pantang rokok. Metode yang sama saya ulangi di Bulan Oktober, Bulan Rosario. Alasan devosi pada Bunda Maria kembali muncul. Dan ternyata satu bulan penuh bisa berjalan dengan baik. Di tahun berikutnya, kembali ritual pantang rokok di bulan Devosi Maria, bulan Mei saya ulang dan berjalan lancar. Pada saat-saat itulah saya yakin bahwa saya bisa mengontrol keinginan merokok, dengan bantuan dan landasan rohaniah, devosi pada Bunda Maria. Di saat yang sama pula saya meyakinkan diri saya kalau ternyata saya bisa mengontrol kehendak merokok dan berhasil mengalahkannya. Saya puas bisa berhenti merokok, semua orang tahu saya bisa dan mampu berhenti merokok. Orang tahu kalau saya berhasil berhenti merokok karena alasan rohani, orang merasa bahwa ternyata saya termasuk orang yang cukup taat beragama. Saya senang dengan penilaian orang dan larut dalam rasa bangga. Persis seperti bacaan Injil Matius di atas, saya seakan memproklamasikan hal rohani 2 yang sedang saya lakukan, saya tidak menyimpannya untuk Tuhan. Saya merasa menjadi seperti orang yang munafik. Karena rasa puas dan bangga tersebut, saya kurang berani masuk ke kesadaran lebih lanjut, kurang berani masuk memaknai peristiwa ini. Saya menyesal levelku hanya sampai di sana, tidak berlanjut ke kedalaman. Berhenti merokok sendiri sudah cukup baik, namun seandainya aku berani berpikir lebih untuk orang lain, aku akan lebih berguna bagi sesama. Seandainya jatah uang rokok bisa kuintensikan untuk orang miskin, kusumbangkan bagi mereka, alangkah bagusnya. Aku makin bisa peka terhadap kebutuhan sesamaku. Pertanyaan reflektif: 1. Kapankah aku merasakan adanya rasa bangga akan keberhasilanku, dan melupakan aspek yang lebih penting, semisal belarasa dan adil terhadap sesama? 2. Hal-hal apa yang masih kurasakan menutupi hatiku sehingga aku kurang bisa bersikap adil terhadap sesamaku? Marilah berdoa: Ya Allah yang Maharahim, aku mohon sikap kerendahan hati agar makin mampu membuka mata dan telinga sehingga makin mampu bersikap adil dan berbelarasa terhadap sesamaku, terutama yang membutuhkan. Amin. (J. Sigit Prasadja, SJ) 3 Kamis, 2 Maret 2017 Hari Kamis setelah hari Rabu Ul. 30:15-20; Mzm. 1:1-2,3,4,6; Luk. 9:22-25 MEMIKUL SALIB DAN MENGUBAH KEHIDUPAN ”Anak manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.” (Luk. 9:22) Belum lama berselang, Ibu saya bercerita bahwa saat Bapak menjabat sebagai Kepala Sekolah sebuah SMA Negeri di kabupaten kami tinggal, Ibu malah menjadi menjadi sering “tombok” (Jawa: berkorban, kehilangan, biasanya masalah barang atau uang). Bahkan untuk rapat di sekolahpun Bapak seringkali minta Ibu saya menyiapkan snack dan makanan, kemudian mengirimnya ke sekolah Bapak. Bagi saya pribadi dan keluarga, kami memakluminya karena mengenal almarhum Bapak sebagai orang sangat jujur, lurus dan pekerja keras. Tidak mau merugikan orang lain, tidak mau bersikap tidak jujur, kadang lebih sering memilih berkorban. Padahal di masa itu, jabatan kepala sekolah di sekolah negeri dianggap sebagai menempati “lahan basah”, banyak rejeki tambahan, banyak peluang memperkaya diri sendiri. Namun bagi keluarga kami, posisi itu malah sebagai “lahan kering”. Bapak saya3 4 menentang arus kehidupan dan pilihan di masanya, dengan memilih bersikap jujur dan berani berkorban. Dan ternyata guru dan staf di sekolah Bapak kemudian melihat sikap ini dan terpengaruh. Warna dan aura sekolahpun pelanpelan menjadi berbeda. Kejujuran dan kepedulian, sikap adil dan kerja keras menjadi warna sehari-hari. Ibaratnya, Bapak saya tengah mengikuti Kristus dan seringkali harus menyangkal diri sendiri dan menyangkal keinginan memperkaya diri, dan karenanya memikul salib setiap Kristus hari (Luk 9:23). Pertanyaan reflektif: 1. Apakah aku pernah berani menentang arus kehidupan di sekitarku dengan bersikap jujur dan berani berkorban bagi sesamaku? Apakah yang mendasari sikap tersebut? 2. Apakah aku punya pengalaman sebaliknya, aku bersikap egois, tidak jujur dan tidak bersedia berkorban bagi orang lain? Apa penyebabnya? Marilah berdoa: Ya Allah, bantulah kami agar mampu merasa, berpikir, berucap, dan bertindak seperti Yesus sendiri, sehingga setiap pertimbangan dan keputusan yang kami buat sungguh-sungguh makin membuat kami berani memanggul salib kami dan berani berkorban bagi sesamaku, demi membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Amin. (J. Sigit Prasadja, SJ) 5 Jumat, 3 Maret 2017 Hari Jumat sesudah Rabu Abu Yes 58:1-9a; Mzm.51:3-4,5-6a, 18-19; Mat. 9:14-15 PUASA DAN PANTANG TIDAK UNTUK MENYUCIKAN DIRI “Berpuasa yang kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar....” (Yes. 58:6-7) Di setiap masa sebelum Prapaskah, komunitas Frateran SJ biasanya membuat komitmen bersama untuk memaknai secara lebih mendalam puasa dan pantang yang akan dijalani bersama. Dari tahun ke tahun, komitmen selalu dibuat dan dijaga, salah satunya adalah berpantang daging selama masa Prapaskah dan uang pembelian dagingnya kami sumbangkan ke kotak APP, serta menyisihkan sebagian uang saku untuk dimasukkan dan disumbangkan lewat Gereja melalui kotak APP (Aksi Puasa Pembangunan). Intensi pantang daging bersama sebagai sebuah komitmen komunitas ini ternyata mengajarkan sesuatu kepada kami semua. Pantang (dan puasa) selama masa Prapaskah, tidak hanya membuat kami lebih terlatih hidup berkekurangan, tahan kekurangan gizi, atau menjadi lebih suci karena sudah berpantang di masa Prapaskah, namun 6 kami bisa juga makin peduli pada sesama. Prapaskah menjadi menjadi masa dimana kami membantu orang lain dengan lebih mendalam. Berbagi dan berbelarasa kepada orang miskin mengajarkan kepada kami bahwa dukungan kepada mereka merupakan perwujudan sikap membentuk keadilan dan mengangkat martabat orang miskin. Bacaan Yesaya di atas mengajak kita untuk mengingat bahwa hakekat utama berpuasa adalah memberi perhatian kepada orang miskin, yang tidak punya rumah, yang mengalami situasi terbelenggu, dan memberi pakaian kepada yang telanjang. Puasa berpusat kepada orang lain, terutama orang yang miskin berkekurangan. Puasa bukan berpusat pada diri kita, bukan untuk menyucikan diri kita. Pertanyaan reflektif: 1. Apakah aku sadar dan menginginkan puasa dan pantangku kulakukan demi sesamaku yang mengalami kemiskinan dan berkekurangan? Sikap-sikap dan pandangan apakah yang harus kuubah dalam diriku agar sungguh aku bisa menghayati puasa dan pantang cara baru ini? 2. Niat kehendak baik apakah yang bisa kumunculkan dalam masa puasa dan pantang kali ini? Aku membicarakannya dengan Yesus, dan mohon kekuatan agar berani memperbaharui diri agar mampu lebih bersikap adil dan mengangkat martabat sesamaku. 7 Marilah berdoa: Allah yang Maharahim, bantulah aku agar makin mampu mewarnai arah hidupku dalam kesadaran ingin berbagi dengan sesamaku sebagai pilihan pertama dalam hidupku. Beri aku kekuatan agar gerak langkahku pun makin mempunyai arti bagi sesamaku yang berkekurangan. Amin (J. Sigit Prasadja, SJ) 8 Sabtu 4 Maret 2017 Hari Sabtu sesudah Rabu Abu Yes. 58: 9b-14; Mzm. 51:3-4,5-6a, 18-19; Luk. 5: 27-32 KAPOK LOMBOK “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” (Luk. 5:31) Kapok Lombok. Di dalam budaya Jawa, ada istilah “kapok lombok” (kapok=bertobat, lombok= cabe). Terjemahan bebas bahasa Indonesia, kurang lebih berarti “bertobat tapi tidak sungguh-sungguh, dan masih sering mengulanginya”. Orang akan merasa kepedesan kalau makan cabe, dan menyatakan stop tidak makan cabe lagi. Tobat tidak mau makan cabe lagi. Tapi kenyataannya berbeda. Orang akan selalu mengambil cabe untuk dimakan di lain waktu. Stop makan cabe, ternyata akan selalu dilanggar. Orang tidak bisa meninggalkan cabe, walaupun seringkali sengsara karena kepedesan. Kepuasan karena cabe ternyata menjadi fokus, yang berarti diri kita pula yang menjadi fokus. Seringkali kita dihadapkan pada kejadian hidup seperti konteks “kapok lombok”, kita merasa yakin menghentikan sesuatu yang terasa tidak baik, namun ternyata kita kecanduan dan mengulanginya lagi. Entah berupa makanan, minuman, situasi, kesenangan, hobi, dan lain sebagainya. Seringkali pula hal-hal yang terkait dengan dosa terkena kebiasaan “kapok lombok” ini. 9 Dosa biasanya bersifat berulang, dosa masalah habitus (habit – kebiasaaan). Sekali berbuat dosa, kali lain akan mengulang dosa yang sama tersebut. Orang tahu dan paham bahwa yang dilakukannya adalah sebuah dosa dan biasanya orang yang masih punya kesadaran, akan menyesalinya dan bertobat, membangun niat agar tidak mengulanginya. Namun biasanya, entah karena dosa membawa kenyamanan, membawa kenikmatan, dan juga karena kelemahan manusiawi, dosa yang sama akan diulang lagi. “Kapok lombok” terjadi. Bacaan Injil hari ini memberi gambaran bahwa Yesus sengaja datang pada orang yang berdosa, supaya orang berdosa bertobat. Orang berdosa menjadi fokus Yesus dan karya keselamatannya. Manusia yang berdosa diharapkan sungguh-sungguh bertobat, tidak sekedar “kapok lombok” dan kemudian mengulangi dosa yang sama, bahkan kemudian menambah dosa baru. Pertobatan seperti Lewi dalam Injil Lukas yaitu meninggalkan segala sesuatu (yang bisa kita pahami sebagai sesuatu, situasi, kondisi yang dekat pada dosa) kiranya menjadi salah satu cara kita bertobat. Kemudian pertobatan diwujudnyatakan dengan cara membagikan dan mewartakan pertobatan kepada orang lain, seperti Lewi yang mengundang para pemungut cukai dan orang berdosa makan bersama agar bisa mengenal Yesus yang sudah mempertobatkannya. Lewi ingin agar orang berdosa yang lain juga alami pertobatan. Lewi ingin agar orang berdosa juga mengalami Allah. Pertanyaan reflektif: 1. Apakah aku mempunyai pengalaman untuk bangkit dan bertobat yang bukan a’la “kapok lombok”? Bila tidak 10 mempunyai, adakah faktor yang menyebabkan aku masih belum berani meninggalkan pola “kapok lombok”? 2. Adakah cara praktis yang bisa kulakukan agar aku sungguh mampu mengalami pertobatan sejati seperti Lewi dalam bacaan Injil? Marilah berdoa: Allah yang Maharahim, bantulah aku agar pertobatan makin mampu mewarnai arah hidupku dan menumbuhkembangkan niat baik berbagi dengan sesamaku sebagai pilihan pertama dalam hidupku. Beri aku kekuatan agar gerak langkahku pun makin mempunyai arti bagi sesamaku yang berkekurangan. Amin. (J. Sigit Prasadja, SJ) 11 Minggu, 5 Maret 2017 Hari Minggu Prapaskah I Kej. 2:7-9;3:1-7, Mzm. 51:3-4, 5—6a, 12-13,14,17; Rm.5:12-19; Mat. 4:1-11 CINTA BERSYARAT DAN CINTA YANG MEMBEBASKAN “Enyahlah Iblis! Sebab ada tertulis, Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” Seorang penulis bernama Henry J Nouwen pernah menulis bahwa cinta dunia adalah cinta yang bersyarat. Kita sering mendengar penggunaan kata “jika” dalam pembicaraan. Misalnya, “Ya... saya akan mencintaimu jika kamu menarik, cantik, pandai, dan kaya. Saya mencintaimu jika kamu berpendidikan, punya pekerjaan baik, mempunyai banyak relasi. Saya mencintaimu jika kamu menghasilkan banyak, menjual banyak dan membeli banyak.” Disebut sebagai cinta bersyarat artinya cinta tetap ada bila kondisi-kondisi yang menjadi syarat-syarat itu ada, bila kondisi-kondisi tidak ada maka tidak ada lagi alasan untuk mencintai. Gagasan tentang cinta bersyarat mengingatkan kita pada bacaan hari ini. Hubungan bersyarat itu tampak dalam dialog antara Setan dengan Yesus. Mari kita perhatikan kalimat-kalimat yang dikatakan Setan kepada Yesus. Setan berkata: Pertama, “Jika Engkau Anak Allah, 12 perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti.” Kedua, “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu.” Ketiga, “Semua itu akan kuberikan kepadaMu, jika Engkau sujud menyembah aku.” Dialog yang terjadi antara Setan dan Yesus, bukan sekedar peristiwa untuk menguji ketahanan Yesus pada rasa lapar, pada rasa takut, dan pada nafsu tamak. Dua hal dapat kita ambil sebagai hikmah dari kisah pencobaan di padang gurun ini. Pertama, Yesus teguh pada keyakinan diri-Nya bahwa Ia adalah Anak Allah. Seandainya Yesus tunduk pada perintah setan, maka Ia bukan Anak Allah lagi. Hal itu terjadi pada Adam dan Hawa seperti dalam bacaan pertama hari ini. Mereka jatuh ke dalam dosa, karena tunduk pada bujukan Setan. Kedua, cinta Yesus sangat berbeda dengan gaya Setan. Cinta Yesus tidak bersyarat. Yesus mencintai, karena Ia ingin mencintai seperti Bapa mencintai semua orang. “Cinta” setan selalu bersyarat dan memperbudak. Masyarakat kita membutuhkan orang-orang yang tulus berbagi kasih dan perhatian demi terciptanya keadilan dan keadaban. Karena itu menerima pemimpin bukan karena agama, suku sama tetapi karena sikap kepemimpinannya. Di sisi kita, kita dapat menyumbangkan apa pun yang kita 13 punya tanpa pamrih demi kebaikan masyarakat. Bukan karena cari untung secara materi, atau demi ketenaran, bila kita menolong seseorang, kita ingin semata-mata orang itu terbantu. Tidak ada maksud lain. Kita membutuhkan doa dan dukungan supaya kita bisa mencintai tanpa syarat. Pertanyaan reflektif: Apakah kita sudah memberikan bantuan dan pertolongan dengan tulus hati? Marilah berdoa: Ya, Yesus mampukah kami mencintai seperti Engkau mencintai. Amin. (ML Supama) 14 Senin, 6 Maret 2017 Hari Biasa Pekan I Prapaskah Im. 19:1-2,11-18; Mzm. 19:8,9,10,15; Mat. 25:31-46 INGIN BERJUMPA YESUS? “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus kamu memberi Aku minum....” (Mat. 25:35) Mak Yati bukan orang Katolik. Ia juga bukan orang kaya. Mak Yati hanyalah seorang pemulung di bilangan Tebet. Kisahnya pernah membuat haru. Di suatu hari Raya Idul Adha ia berkurban dua ekor kambing. Sebenarnya, penghasilannya sebagai pemulung hanya pas-pasan saja untuk makan. Namun, ia bertekad untuk berkurban. Selama 3 tahun ia menabung dari hasil memulung. Pada hari Raya Idul Adha ia membeli dua ekor kambing untuk disumbangkan ke mesjid. Kisah Mak Yati mengingatkan kita, bahwa iman harus diungkapkan melalui perbuatan nyata. Bagaimana cara mengungkapkan iman kita? Dalam bacaan pertama (Kitab Im. 19:11 dst) beriman diungkapkan dengan tidak melanggar perintah Tuhan “janganlah kami mencuri, janganlah kami berbohong, dan janganlah kami berdusta......dst.” Dalam bacaan Injil, beriman diungkapkan dengan mengasihi sesama “....sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukan untuk aku” (Mat. 25:40). “.... sesungguhnya, segala 15 sesuatu yang tidak kamu lakukan lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.” (Mat. 25:45). Dua bacaan ini menginspirasi kita mengenai tingkatan beriman. Tingkat pertama, ungkapan iman dengan melakukan aturan-aturan keagamaan. Dalam peraturan, ada perintah ada larangan. Beriman artinya melakukan hal yang diperintahkan dan menghindari hal yang dilarang. Tingkat kedua, ungkapan iman melalui perbuatan melampaui aturan-aturan kegamaan. Sebagai pengikut Yesus, beriman artinya melakukan tindakan baik melebihi peraturan agama. Merayakan Ekaristi, berdevosi kepada Bunda Maria dan santo dan santa, membaca Kitab Suci adalah ungkapan iman yang baik. Namun iman kita akan menjadi lebih sempuna apabila kita juga mengasihi sesama. Yesus menunjuk dengan jelas siapa sesama itu, yaitu orang yang lapar, orang haus, orang asing, orang yang tidak punya pakaian (telanjang), orang sakit, orang yang dipenjarakan. Dalam masyarakat Yahudi, orang-orang demikian adalah orang-orang terbuang dari kelompok masyarakatnya. Acapkali kita memang lebih senang berada di zona nyaman. Menolong orang yang compang-camping nyaris telanjang, yang kurus kelaparan, yang kejang kesakitan, terlunta-lunta tak tentu tempat tinggalnya, yang meringkuk dalam penjara membutuhkan niat dan usaha yang keras. Kemanusiaan kita tidak tahan berhadapan muka dengan 16 segala bentuk sakit, dan penderitaan. Kisah orang-orang sederhana yang mampu mengungkapkan imannya mogamoga mendorong kita peduli pada orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongan. Kita harus bisa menolong orang yang menderita karena dalam diri orang-orang yang menderita kita melihat Yesus. Pertanyaan reflektif: Sampai pada level berapakah ungkapan iman Anda, pertama atau kedua? Marilah berdoa: Tuhan, mampukan kami untuk mengungkapkan iman kami dengan peduli pada sesama yang membutuhkan pertolongan. Amin. (ML Supama) 17 Selasa, 7 Maret 2017 Hari Biasa Pekan I Prapaskah Yes. 55:10-11; Mzm. 34:4-5,6-7,16-17, 18-19; Mat. 6:7-15 DOA, BERKOMUNIKASI DENGAN TUHAN “Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu berdoa bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah” (Mat. 6:7) Sekarang ini hampir setiap orang memiliki handphone. Di dalamnya, tersimpan sekian banyak nama. Tapi, hanya satu atau dua orang yang kita merasa dekat. Selebihnya, sebenarnya kita sering lupa siapa orang itu dan untuk urusan apa kita menyimpan nama itu. Kita merasa dekat dengan seseorang karena kita sering menjalin komunikasi dengan orang itu. Bukan jarak, bukan tempat, dan bukan sarana yang menyebabkan kita dekat dengan seseorang. Kedekatan hanya bisa terjalin dengan komunikasi. Kita juga dapat mengukur kedekatan kita dengan Tuhan. Caranya adalah dengan mengukur seberapa sering kita berdoa. Betapa penting sebuah doa bagi para murid Yesus, untuk itulah Yesus mengajarkan doa Bapa Kami. Yesus berpesan, jikalau kita berdoa doa kita tidak perlu bertele-tele. Doa Bapa Kami adalah doa yang sangat ringkas. Dari antara baris-baris doa Bapa Kami, hanya satu baris berisi permohonan untuk kepentingan diri si pendoa yaitu “berilah kami rezeki pada hari ini.” 18 Kita ingin dekat dengan Bapa, untuk itulah kita berdoa. Komunikasi yang baik terjadi apabila kita berbicara dan juga mendengarkan. Jikalau kita berdoa dengan bertele-tele, maka kita tidak memberi kesempatan Tuhan berbicara. Banyak berdoa tidak berarti banyak kata-kata terucap. Ada waktunya, kita berhenti mengucapkan kata-kata. Komunikasi dengan Tuhan juga dapat dilakukan dengan hening. Ada waktunya kita menggunakan hati untuk mendengarkan apa kata Tuhan pada diri kita. Kita diam untuk mendengarkan apa yang Tuhan kehendaki atas diri kita. Pertanyaan reflektif: Masih sempatkah kita berdoa, bahkan sekedar Doa Bapa Kami? Marilah berdoa: Bapa kami yang ada di surga....... (ML Supama) 19 Rabu, 8 Maret 2017 Hari Biasa Pekan I Prapaskah Yun. 3:1-10; Mzm. 51:3-4, 12-13, 18-19; Luk. 11:29-32 TANDA ITU ADALAH KITA “Sebab seperti Yunus menjadi tanda untuk orang-orang Ninive, demikian pulala Anak Manusia akan menjadi tanda untuk angkatan ini.” (Luk. 11:30) Gandhi adalah salah seorang tokoh terkenal. Ia berasal dari India. Ia pernah tinggal di Afrika Selatan. Mungkin tidak banyak yang tahu, Gandhi muda pernah berniat menjadi Kristen. Pada suatu hari, saat Gandhi tinggal di Afrika Selatan, masuklah ia ke sebuah gereja. Sayang, ia ditolak bergabung di gereja itu. Jemaat Kristen di gereja itu mayoritas berkulit putih. Ia disarankan masuk ke gereja lain yang mayoritas kulit hitam. Karena pengalaman ini, ia mengurungkan niatnya menjadi orang Kristen. Kekecewaan Gandhi terungkap dalam dialog yang terjadi antara Gandhi dan seorang misionaris bernama E. Stanley Jones. Jones bertanya, “Sekalipun Anda sering mengutip kata-kata Kristus, mengapa Anda kelihatannya keras menolak untuk menjadi pengikutNya? Jawab Gandhi, “Saya tidak pernah menolak Kristus. Saya suka Kristus Anda. Tapi saya tidak suka dengan orang Kristen Anda.” Ia menambahkan, “Jika orang Kristen benar-benar hidup menurut ajaran Kristus, seperti yang ditemukan di dalam Alkitab, seluruh India sudah menjadi Kristen hari ini,” 20 katanya lagi. Kekecewaan Gandi menginspirasi kita mengenai pentingnya kesaksian hidup yang tepat. Kesaksian hidup adalah tanda yang kelihatan yang mempermudah orang lain mengenali pesan yang ada di balik tanda itu. Seharusnya, orang kristiani bersikap menerima semua orang tanpa membedakan suku, ras, tingkat ekonomi karena sikap ini menjadi tanda kelihatan yang mempermudah orang memahami ajaran Yesus yang mengasihi semua orang. Pentingnya tanda menghantar kita untuk memahami mengapa Yesus mengangkat kisah tentang Yunus. Kisah tentang nabi Yunus mudah diingat. Dialah satu-satunya nabi yang pernah hidup 3 hari dalam perut ikan. Kisah berawal dari saat Tuhan Allah mengutus Yunus untuk mempertobatkan bangsa Ninive. Tetapi Yunus menolak. Ia berniat untuk melarikan diri dari tugas itu dengan pergi ke ke Tarsis. Dalam perjalanan dengan kapal, terjadi badai hebat. Singkat cerita Yunus mengaku sebagai penyebab badai itu dan merelakan diri untuk dilempar ke laut. Ia kemudian dilempar ke laut dan ditelan oleh seekor ikan. Yunus berada dalam perut ikan selama 3 hari. Di dalam perut ikan ini, Yunus bertobat dan menyadari panggilan baginya adalah menjadi alat Tuhan untuk mempertobatkan bangsa Ninive. Allah menghendaki Ninive bertobat dan selamat. Yunus harus mau untuk mewartakan pertobatan itu. 21 Menceritakan kembali kisah tentang Yunus ini penting bagi Yesus. Pada waktunya, Yesus akan menderita sengsara dan wafat. Selama 3 hari Ia akan berada di dalam kubur. Jika para murid dan orang banyak memahami makna dan tujuan Allah memasukkan Yunus selama 3 hari dalam perut ikan, maka para murid dan orang banyak akan mudah memahami maksud dan tujuan wafat Yesus. Allah menghendaki manusia selamat. Saat ini pewartaan tentang makna wafat Yesus sudah sering kita dengar. Guru agama di sekolah, katekis di paroki, para fasilitator pertemuan di lingkungan, kotbah Pastor di Gereja. Mereka menyatakan bahwa Yesus wafat untuk menebus dosa kita. Mereka menyerukan agar kita harus bertobat supaya selamat. Tanpa bermaksud untuk meragukan pewartaan mereka, kita pun dapat membaca sendiri Kitab Suci yang telah ditulis dalam bahasa kita. Orang-orang itu, atau Kitab Suci adalah tanda yang digunakan oleh Allah untuk membantu pertobatan kita. Pada gilirannya, pertobatan dan tingkah laku kita menjadi tanda bagi orang lain untuk melihat seperti apa ajaran Yesus itu. Pertanyaan reflektif: Sudahkah kita bertobat, sudahkan tingkah laku kita mencerminkan ajaran Yesus? 22 Marilah berdoa: Tuhan Yesus, Engkau mengasihi setiap orang. Kuatkanlah aku agar supaya mampu mengasihi sesama kami supaya setiap orang melihat kasih Allah bagi mereka. Amin. (ML Supama) 23 Kamis, 9 Maret 2017 Hari Biasa Pekan I Prapaskah Est. 14:10a.10c,-12,17-19; Mzm. 138:1-2a, 2bc-3; 7c-8; Mat. 7:7-12 DOA KRISTIANI SEHARUSNYA BERBUAH MELIMPAH “Jadi jika kamu yang jahat, tahu memberikan yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepadaNya” (Mat. 7:11) Doa “Bapa Kami” yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada para murid, kini semakin diberi “daging”nya. Permohonan “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” dikuatkan dengan tiga kata kunci “mintalah, carilah, dan ketoklah”. Sikap dan semangat itulah yang mau dikembangkan di dalam kehidupan para murid Yesus. Seorang anak Allah pastinya akan diberi yang terbaik. Anak yang meminta roti pastinya takkan diberi batu; anak yang meminta ikan takkan diberi ular. Lantas, semangat apakah yang mau ditanamkan Tuhan Yesus pada para muridNya? Doa Kristiani selalu mencapai hasilnya. Kita bisa memetik buah-buah dari doa itu. Misalnya, semakin berdoa, semakin mengenal diri sendiri. Semakin berdoa, semakin terasah tajam nurani kita. semakin berdoa, semakin kasih menyelimuti hati kita. Semakin berdoa, semakin nyata belas kasih ada pada kita. 24 Semakin berdoa, semakin hasrat untuk berbuat keadilan pada sesama. Semakin berdoa, semakin hidup kita beradab. Ajaran Yesus untuk berdoa tak kunjung putus ini agar doadoa kita itu berbuah melimpah. Jika tidak berbuah apa-apa, mungkin kita harus memeriksa doa-doa kita. Jika Allah senantiasa menyatakan kebaikan dan kasih sayangNya pada kita, seharusnya juga kita melakukan hal yang sama pada sesama. Pertanyaan reflektif: Periksalah doa-doa yang kita ucapkan, apakah doa-doa itu menghasilkan buah-buah kehidupan dalam hidup kita? Jika belum atau tidak, mengapa? Marilah berdoa: (Mzm. 138) Aku hendak bersyukur kepadaMu dengan segenap hati, di hadapan para dewata aku bermazmur bagiMu. Aku hendak bersujud ke arah baitMu yang kudus. Aku memuji namaMu, oleh karena kasih setiaMu, sebab Kaubuat namaMu dan janjiMu melebihi segala sesuatu. Saat aku berseru, Engkau menjawab aku, Engkau menambahkan kekuatan dalam jiwaku. Tuhan, tangan kananMu menyelamatkan daku, Engkau akan menyelesaikan segalanya bagiku! Ya Tuhan, kasih setiaMu kekal abadi, janganlah Kautinggalkan buatan tanganMu! 25 Kemuliaan kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus, Seperti pada permulaan sekarang selalu dan sepanjang segala abad. Amin. Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus, seperti pada permulaan sekarang dan selalu dan sepanjang segala abad. Amin. (RD B. Hardijantan Dermawan) 26 Jumat, 10 Maret 2017 Hari Biasa Pekan I Prapaskah Yeh. 18:21-28; Mzm. 130:1-2, 3-4ab, 4c-6, 7-8; Mat. 5:20-26 HIDUP DALAM FIRMAN Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga (Mat. 5:20) Bacaan Injil hari ini memiliki konteks yang lebih luas. Judulnya Yesus dan Hukum Taurat. Dan selanjutnya, perikop ini diberi kerangka hidup dalam Kerajaan Surga yang konkretnya adalah Amalkan Pancasila: Semakin Adil Semakin Beradab (Tema APP 2017). Kalau kita membaca konteksnya, maka terdapat pujian hebat mengenai pelaksanaan Hukum Taurat, yang seringkali dikritik itu. Ketika Yesus bersabda bahwa Ia datang untuk menggenapi Hukum Taurat, Ia ingin memulihkan kedudukan hukum itu dan menempatkannya dalam tata iman, hidup dalam Kerajaan Surga, menjadi anak-anak Allah yang merdeka. Oleh karena itu, pelaksanaan Hukum bukan sekedar melaksanakan sejumlah peraturan belaka, tetapi ia menjadi pelaku Firman yang terus menerus mendorong manusia untuk hidup merdeka. Maka, saya mengusulkan untuk memerhatikan apa yang disabdakan Tuhan Yesus: Tetapi Aku berkata 27 kepadamu .... maka, ketika Hukum Taurat menuntut ini dan itu, segala sesuatu ada hukuman fisiknya, Yesus mengemukakan tuntutan persaudaraan sejati, hidup dalam perdamaian, hidup dalam perkataan santun dan ramah. Itulah hidup dalam Kerajaan Surga. Itulah hidup di dalam berkeadilan dan beradab. Jika hidup kita berbuah seperti itu, tak satu hakim pun akan memasukkan kita ke dalam penjara (bdk. Mat. 5:25) Pertanyaan reflektif: Sudahkah aku hidup dalam Firman Allah, bukan untuk menghukum orang lain, melainkan untuk hidup semakin adil dan beradab, untuk memperbaharui hati dan hidup rohani? Marilah berdoa: Ya Tuhan, betapa mudahnya orang menghakimi sesamanya, betapa mudahnya orang memberikan hukuman yang dianggapnya sepadan dengan perbuatannya, dan betapa mudahnya orang menaruh prasangka buruk pada sesama. Tuhan, jauhkanlah aku dari pandangan sempit seperti itu dan semoga FirmanMu senantiasa memperbaharui hati dan menerangi rohku. Amin. (RD B. Hardijantan Dermawan) 28 Sabtu, 11 Maret 2017 Hari Biasa Pekan I Prapaskah Ul. 26:16-19; Mzm. 119:1-2,4-5, 7-8; Mat. 5:43-48 SEMPURNA SEPERTI ALLAH BAPA Tuhan bersabda, “Hendaklah kalian sempurna, sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya” (Mat. 5:48) Di akhir perikop (ay. 48) Yesus bersabda, “Karena itu hendaknya kalian sempurna, sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya.” Kita bisa bertanya, “Apakah mungkin, manusia dengan seabrek kelemahan dan kekurangan bisa menyamai Bapa yang amat sempurna itu?” Perintah itu berangkat dari sabda Tuhan agar kita mengasihi musuh-musuh dan mendoakan mereka yang telah menganiaya. Wowww, mana mungkin? Pastinya hanya bisa dilakukan oleh manusia setengah malaikat. Lalu, apa dasarnya? Karena Yesus bicara tentang BapaNya yang membuat matahari terbit untuk semua orang. Kasih sempurna memang milik Allah. Dan manusia hanya berusaha untuk ‘meniru’ Allah sejauh ia mampu. Nyatanya manusia jatuh lagi. Meskipun sudah menerima sakramen tobat di ruang pengakuan, tetap saja kedagingan kita jauh lebih besar. Kita masih iri hati, cemburu, dengki, marah, sebel dan lain-lain. Berbuat kasih terhadap musuh? Stop dulu deh. Lalu, disuruh untuk memiliki kasih sempurna? 29 Apakah perintah ini berlebihan, berada di atas awan gemawan yang tak bisa digapai? Mungkin, kita harus melihat dari cara berbeda tentang kesempurnaan kasih itu. Kesempurnaan kasih ditafsirkan dengan berinisiatif, yaitu berusaha untuk memulai, memprakarsai. Maka, sabda Tuhan bisa ditafsirkan: hendaknya kalian berinisiatif, sebagaimana Bapamu di surga berinisiatif adanya. Saya senang kalau saya berani mengatakan, “Ibu, bapa, saudara-saudaraku, adakah yang bisa saya bantu?” Itu artinya, saya sedang membuka hati, membiarkan kasih itu keluar. Dan selanjutnya, biarlah Tuhan yang menyelesaikan dan menyempurnakan apa yang baik itu. Pertanyaan reflektif: Kapan dan dalam peristiwa apa aku berinisiatif? Jika “Ya“, artinya aku telah berkehendak sempurna seperti Bapa di surga. Jika “belum” atau “tidak”, aku perlu mengumpulkan keberanian untuk berprakarsa melakukan kebaikan kasih. Marilah berdoa: Syukur kepadaMu Tuhan dengan hati jujur. SabdaMu aku pelajari untuk mengenal rahasia Allah. Namun, semua tak mudah. Apalagi ketika Engkau meminta mengasihi musuh dan mendoakan orang yang telah menganiaya. Ya Tuhan, jangan tinggalkan daku bila aku gagal, tetapi bantulah aku untuk berpegang pada ketetapan-ketetapanMu supaya aku hidup berbahagia. Amin. (RD Hardijantan Dermawan) 30 Minggu, 12 Maret 2017 Hari Minggu Prapaskah II Kej. 12: 1-4a; Mzm. 33:4-5.18-19.20-22; 2Tim. 1:8b-10; Mat. 17:1-9 THE WAY “Inilah AnakKu yang terkasih, kepadaNyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia” (Mat. 17:5b) Kisah penampakan di Gunung Tabor disebut transfigurasi. Yesus Sang Mesias sudah ditampilkan dalam kisah pembaptisan dan cobaan di padang gurun. Kini kemesias-an dihadirkan setelah pimpinan Yahudi semakin tidak suka dengan Yesus dan khalayak ramai pun mulai tidak memahami-Nya. Transfigurasi menggambarkan kemulian pada akhirnya setelah derita dan wafat di kayu salib. Peristiwa di Gunung Tabor itu semacam ringkasan semua tahap rencana penyelamatan Allah. Maka, tampil di sana tokoh-tokoh Perjanjian Lama, ada Musa dan Elia. Kita tahu tokoh Musa adalah tokoh luar biasa. Pada Musalah Hukum Taurat ditorehkan dan ditanamkan pada umat Israel. Tokoh Elia disebut-sebut dalam Kitab Maleakhi karena ketaatan pada Taurat, di samping dialah yang melawan nabi-nabi Baal. Disandingkan pada tokoh-tokoh kunci itu, penginjil Matius mau mengatakan bahwa Yesus benar-benar Musa yang baru. Jalan-jalan Kasih sudah ditunjukkanNya agar semua manusia tetap setia berpegang teguh dan terarah pada Allah. Derita dan wafatNya 31 di kayu salib adalah bukti ketaatanNya pada Bapa, disejajarkan dengan Elia yang taat pada Taurat. Ikut Yesus bukan sekadar senang-senang, yang indahindah. Ikut Yesus juga punya tuntutan-tuntutan, berani untuk memikul salib, masuk ke dalam penderitaan untuk mengalami kemuliaan Tuhan. bila dikaitkan dengan tema APP 2017 relevansinya dirumuskan seperti ini: bisa jadi, semakin berkeadilan dan semakin beradab akan ditempuh dengan susah payah dan beban salib, entah apa pun bentuknya. Namun, bacaan hari ini kiranya meneguhkan bahwa semua tidak pernah akan sia-sia. Di balik susah derita dan salib yang dipanggul, ada kemuliaan yang akan dialami. Yakinlah sebab itulah jalan Yesus yang harus Ia tempuh, derita, wafat dan kemuliaan. Pertanyaan reflektif: Jalan manakah yang aku tempuh selama ini? Jalan Salib dan Kasih Kemuliaan ataukah Jalan “senang” dan jalan “membabi buta”? Marilah berdoa: Ya Tuhan, Engkau telah menunjukkan jalan-jalan keselamatan dan kemuliaan. Sayangnya, jalan-jalan itu penuh onak dan duri, enggan untuk ditapaki. Semoga aku berani untuk menempuh jalanMu, Tuhan, meskipun kaki ini berat untuk melangkah, meskipun batin ini pegal rasanya. Bersama dengan Engkau, sukacita berlimpah, dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin. (RD. B. Hardijantan Dermawan) 32 Senin, 13 Maret 2017 Hari biasa Pekan II Prapaskah Dan. 9: 4b-10; Mzm. 79:8, 9,11, 13; Luk. 6: 36-38 KEMURAHAN HATI Hendaklah kamu murah hati, seperti Bapamu murah hati (Luk. 6:36) Saya mempunyai kesan mendalam pada seorang imam yang sudah lanjut usia, dimana saya tinggal 2 tahun bersama beliau. Dalam hidup kesehariannya, dia tak terlalu banyak kata. Namun, sikap dan tutur katanya sangat berbicara banyak bagi saya. Dan bahkan penuh dengan kedalaman insani dan rohani. Di sore hari saya luncurkan kendaraan saya menuju pastoran tempat saya tinggal. Tak sengaja, di depan pintu gerbang yang sedang terkunci ada beliau yang sedang olah raga. Dengan begitu cepat dan gesit beliau langsung mengambil kunci pintu gerbang dan membukakan pintu untuk saya. Sungguh pada saat itu saya merasa tidak enak. “Udah..udah Romo, jangan…biar saya saja yang membuka”, tegasku kepadanya. Dengan wajah senyumnya yang tulus dia berkata,”Ga papa Romo, saya bisa kok, sekaligus olah raga tangan (dengan nada bercanda yang memang biasa dia lakukan pada kami). Makasih Romo” , tegasku sekali lagi kepadanya. Bukan hanya pengalaman ini saja yang saya temukan dari beliau. Di saat pagi, ketika kami sarapan bersama, beliau selalu mencuci piringnya sendiri. Dan bahkan tak 33 jarang sikapnya yang baik hati ini, mendorong kami juga terlibat. Beliau pribadi yang tidak terlalu banyak bicara, namun sekali lagi sikap dan tuturkatanya berbicara banyak untuk kami yang tinggal satu rumah. Suatu saat saya juga datang kepadanya dan mengatakan,”Romo, apakah romo ada waktu. Saya ingin mengaku dosa?” Dia langsung menjawab, “O, ada dong! “Mari, kita menuju kamar saya ya”, katanya kepadaku, sembari kami menuju ke kamar beliau. Setelah selesai pengakuan dia berkata,”Romanus, sekarang gantian ya, saya mengaku dosa dengan kamu”. Sontak saya agak kaget dan tetap menjawab,”Baik Romo.” (pengakuan dosa dalam hal ini sebagai sesuatu yang biasa sebagai sesama imam, namun hati saya pada saat itu cukup tersapa dengan kemurahan hati beliau). Pengalaman-pengalaman di atas membantu saya untuk merenungkan apa yang Tuhan katakan pada hari ini. “Hendaklah kamu murah hati, seperti Bapamu murah hati”. Kemurahan hati bukan terwujud dalam kata-kata saja, tetapi dalam kesaksian hidup. Kemurahan hati mewujud dalam sikap sehari-hari. Kemurahan hati tak pernah menggunakan “topeng”. Semua mengada dalam ketulusan. Tak ada pamrih. Tak ada kepalsuan. Yang ada hanya dalam ketulusan. Inilah yang saya temukan pada sosok pribadi seorang imam yang sudah usia, di mana saya tinggal bersama. Ketulusan hati muncul dalam pribadi yang tak pernah banyak kata-kata. Hadir dalam pribadi yang tak hanya berteori tentang “omongan yang 34 suci-suci”, melainkan dari sikap hati sehari-hari yang memberi teladan kesucian. Kerap kali saya merenungkan kebaikan Tuhan dalam rahmat yang Dia berikan kepada kita. Mengapa Tuhan memberi 2 telinga dan satu mulut? Terkadang ku renungkan semua ini, dengan harapan bahwa Tuhan mengajak saya untuk lebih banyak mendengarkan dari pada berucap kata-kata. Mengapa Tuhan begitu banyak memberi dari anggota tubuh kita berjumlah dua dua? Dia menghendaki agar kita saling mengisi, berbagi dan kerjasama. Kemurahan hati inilah yang mendasari semua keutamaan-keutaman yang lainnya, seperti: berbagi, ramah, mengampuni, berani merendahkan diri dll. Makna kata “murah hati” dalam pengertian bahasa Ibrani adalah rahamim. Kata rahamim lebih menunjukkan kasih seorang ibu (rehem: Rahim ibu). Maka, arti ini bisa kita lihat dari kasih seorang ibu yang begitu mendalam kepada anaknya. Seorang ibu yang mengandung dan melahirkannya. Normalnya, seorang ibu itu akan sangat sayang dan mencintai anaknya. Dengan demikian, kasih rahamim ini adalah kasih yang memuat kebaikan dan kelembutan. Kasih yang penuh dengan kesabaran dan pengertian. Kasih yang terus menerus mau memelihara dan mengampuni. Kasih rahamim adalah kasih yang dianugerahkan dan bukan karena jasa. Sebagaimana seorang bayi dalam kandungan menerima kasih sayang dan perlindungan dari ibunya, bukan karena si bayi berjasa. Melainkan murni berkat kemurahan hati sang ibu melalui 35 kasihnya. Maka, dalam masa prapaskah ini, taburkanlah kemurahan hati bagi siapa saja. Laksanya Bapa menaburkan kemurahan hati bagi kita semua, tanpa pilih kasih. Pertanyaan reflektif: Sudah murah hatikah hidupku? Marilah berdoa: Tuhan, ajarilah kami murah hati, sebagaimana Engkau murah hati. Demi Kristus Tuhan dan penyelamat kami. Amin. (RD Romanus Heri Santoso) 36 Selasa, 14 Maret 2017 Hari biasa Pekan II Prapaskah Yes. 1: 10.16-20; Mzm. 50:8,9,11,13; Mat. 23: 1-12 KEMUNAFIKAN Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang (Mat. 23:5) Secara manusiawi, saya memang tidak terlalu suka dengan orang yang banyak bicara tetapi tak ada aksi yang nyata. Indah dalam kata-kata, namun nol dalam tindakan. Entah, rasa perasaan ini apakah juga Anda alami. Tentunya tanpa jatuh pada penghakiman pada seseorang, tetapi banyak dari kita memang tak terlalu tertarik dengan orang yang banyak cakap dan tak ada aksi. Jika demikian, berhati-hatilah kita, sebab sabda Yesus hari ini juga terarah pada kita. Bukan hanya pada ahli-ahli Taurat. Mereka mengajarkan banyak keutamaan, namun tak melakukan dalam keseharian. Bagi Yesus, semua ini omong kosong. Bagi Yesus, semua ini tak ada guna. Maka, begitu banyak istilah yang bermunculan untuk menggambarkan orang-orang yang hanya bisa mengajarkan tetapi tak mau melakukan. OMDO= Omong Doang. NATO: No Action Talk only. Berjumpa dengan orang-orang yang demikian, membuat hati kita juga mudah lelah. Tak bergairah dalam kerjasama, baik dalam pekerjaan maupun dalam pelayanan. Yesus pun juga demikian, 37 ketika menghadapi para ahli-ahli taurat yang bertudungkan omongan dan pakaian suci, namun buruk dalam hati. Buruk dalam tindakan. Buruk dalam sikap sehari-hari. Ada dongeng mengenai seorang pemuda yang banyak bicara. Suatu ketika ia berkelana ke dalam hutan. Tiba-tiba ia mendengar suara orang berbicara. Setelah dicari-cari, ternyata yang berbicara adalah tengkorak. Pada mulanya pemuda itu sangat kaget, namun karena tengkorak tersebut kelihatannya tidak berbahaya, ia pun mendekatinya. Selang sesaat pemuda itu bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda di sini?” Lalu tengkorak itu menjawab, “Yang membawa saya ke sini adalah mulut yang banyak bicara.” Setelah berbicara dengan tengkorak, pemuda itu keluar dari hutan dan berjalan menuju ke kota. Sepanjang perjalanan ia terus menceritakan kepada orang-orang bahwa ia akhirnya bertemu tengkorak yang bisa bicara. Cerita ini akhirnya sampai ke telinga raja. Raja sangat tertarik dengan cerita ini dan ingin membuktikannya. Ia memerintahkan prajuritnya untuk mencari pemuda itu untuk dijadikan pemandu jalan. Singkat cerita, sampailah rombongan raja ke hutan tempat tengkorak tersebut berada. Untuk membuktikan ceritanya, pemuda itu bertanya kepada tengkorak. Ternyata, kali ini tidak ada jawaban sama sekali. Karena tengkorak itu diam saja, pemuda tersebut bertanya lagi dan lagi. Namun tengkorak itu tetap membisu. Melihat hal ini, raja sangat marah. Ia merasa dipermainkan. Lalu raja 38 memerintahkan prajuritnya untuk memasukkan si pemuda tadi ke dalam penjara. Dengan harapan agar dia bisa memperbaiki sikapnya yang hanya banyak bicara tetapi kosong isinya dan tak ada fakta. Setelah rombongan raja meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar lagi suara tengkorak yang bertanya kepada para rombongan raja itu, “Apa yang membawa Anda ke sini?” Mereka menjawab, “Yang membawa kami ke sini adalah mulut orang muda itu yang banyak bicara dan penuh dengan kepalsuan.” Kisah di atas mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam berbicara. Jangan terlalu banyak berteori. Jangan terlalu banyak membual. Jangan terlalu banyak omong yang suci-suci, namun diri sendiri tak melakukan. Maka, di masa Prapaskah ini, kita diajak untuk tidak terlalu banyak omong, namun lebih banyak bertindak dengan ketulusan hati. Jauhkan diri kita dari kepalsuan dan kemunafikan. Pertanyaan reflektif: Bagaimana langkah kongkret untuk membuang segala kemunafikan dalam hiduku? Marilah berdoa: Tuhan, Engkau selalu memberi kesempatan banyak waktu bagi kami untuk bersih-bersih diri. Namun kerap kali kami lalai. Atau bahkan kerap kali kami membandel dalam dosa berat. Semoga kami dalam masa prapaskah ini kembali berjuang untuk menjadi pribadi yang seperti Kau kehendaki. Jadikan kami pribadi yang jauh dari kemunafikan. Amin. (RD Romanus Heri Santoso) 39 Rabu, 15 Maret 2017 Hari biasa Pekan II Prapaskah Yer 18: 18-20; Mzm. 31:5-6, 14, 15-16; Mat. 20:17-28 SERVANT OF THE SERVANT OF GOD “Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat. 20:28) Abdi para Abdi Allah (Servus Servorum Dei), atau Servant of the Servants of God adalah semangat pelayanan yang dimiliki oleh Paus. Secara sederhana ketika mendengar kalimat tersebut hatiku terasa damai. Sebuah keutaman hidup yang didasarkan pada salah satu nilai Kerendahan hati, salah satunya. Seorang Paus, sebagai pemimpin umat katolik seluruh dunia dengan semangat pelayanan dengan penuh kerendahan hati. Mengalirlah di sana bahasa kasih, pengampunan, mengalah, dan damai. Tak ada arogansi. Tak ada ambisi manusiawi. Tak terjebak pada motivasi tuk menguasai dan membenci. Tak ada kehendak untuk menjatuhkan dan merendahkan. Namun semuanya dengan bahasa pengampunan dan belas kasih. Rasanya, semangat keutamaan dari seorang pelayan Tuhan ini bisa menjadi inspirasi kita. Baik dalam keluarga yang kita cintai, dalam dunia kerja ataupun bentuk-bentuk pelayanan kita yang lainnya. Sebab rasanya sangat sulit di 40 zaman sekarang untuk dapat memiliki hati yang bijaksana. Jangankan bijaksana, memiliki hati yang mau mengalah pun sangat tidak mudah. Yang paling mudah adalah hati yang terbawa emosi. Mudah tersulut amarah dan rasa benci. Dan jika sudah demikian, maka yang ada adalah memusuhi dan balas dendam. Mungkin jika salah satunya kita tarik dalam konteks pelayanan, begitu mudahnya kita “mutung” jika apa yang tejadi tak seperti yang kita harapkan. “Buat apa susah-susah lagi pelayanan kayak begini, jika hasilnya tidak ada yang menghargai. Sudah tidak dibayar, banyak berkorban lagi. Buang-buang waktu tampaknya. Sudahlah, cukup sampai di sini saja”. Terkadang saya masih mendengar ungkapan-ungkapan yang bernada demikian. Memang dalam hidup ini kita membutuhkan proses. Tak mudah matang begitu saja. Kita sungguh mengalami pengalaman jatuh bangun. Demikian juga dengan bentukbentuk pelayanan kita. Sangat tidak mudah. Membutuhkan waktu yang tidak pendek. Mari kita tilik bentuk-bentuk pelayanan yang kita emban sampai sekarang. Sejauh maka kita menjalankannya? Dalam dasar apa kita melakukan semuanya itu. Entah sebagai ketua RT, sebagai seorang romo, suster, sebagai prodiakon, lektor, ketua lingkungan atau sebagai pribadi-pribadi yang terlibat dalam seksi-seksi tertentu yang ada di paroki. Atau bentuk-bentuk pelayanan yang lainnya. Jika sampai saat ini kita sungguh menjalankan semuanya itu dengan semangat kerendahan hati, bersyukurlah. Pasti banyak berkat dan siraman rohani 41 yang Tuhan berikan pada kita. Walau memang terkadang, pelayanan kita yang demikian tak terlepas dari pengalaman untuk harus berkorban dalam banyak hal. Entah dari sisi waktu, tenaga, pikiran dan bentuk-bentuk yang lainnya. Namun, semua itu tidak kita hiraukan. Kita tidak hitunghitung dalam pelayanan. Indahnya jika segala pelayanan yang kita lakukan kita maknai sebagai “jalan” dari Tuhan. Jadi, lambat laun kita memaknai semua itu bukan dengan jalan pikir secara manusiawi. Melainkan selalu kita pandang dan maknai dari kaca mata Ilahi. Rasanya ini tidak terlalu muluk-muluk. Dan inilah yang dikehendaki oleh Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Yesus melihat ada motivasi-motivasi yang tidak benar dari orang-orang yang mengikuti dia. maka, Yesus ingin meluruskan mereka. Janganlah berbicara tentang apa kelak yang akan kamu dapat dalam pelayananmu. Melainkan teruslah melayani dengan kemurahan hati. Tidak tebang pilih. Jangan mengharapkan imbalan apalagi mencari pujian. Jika kita bertahan pada hal yang demikian, niscaya Tuhan selalu ada di pihak kita. Dan Tuhan akan memberikan yang terindah di akhir hidup kita. Pertanyaan reflektif: Seberapa besar saya mempunyai semangat sebagai HAMBA dalam segala aktifitas dan pelayanan? 42 Marilah berdoa: Tuhan, perbaharuilah semangat pelayanan kami. Semangat hidup kami. Agar kami menjadi pelayan yang seperti Kau kehendaki. Siap berkorban dan tak haus dengan pujian. Demi Kristus Tuhan dan penyelamat kami. Amin. (RD Romanus Heri Santoso) 43 Kamis, 16 Maret 2017 Hari biasa Pekan II Prapaskah Yer. 17: 5-10; Mzm. 1:1-2, 3, 4,6; Luk. 16: 19-31 HIDUP MELIMPAH TETAPI PELIT? Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini (Luk. 16:23) Sudah sering kali kita mendengar kisah ini. Kisah orang kaya dan Lazarus yang miskin. Suatu kali, saya berkisah tentang kisah Lazarus ini kepada anak-anak BIA. Dalam perjumpaan dengan mereka, saya dikejutkan oleh satu anak yang bertanya,”Romo…siapa nama orang kaya itu?” Sontak saya tak bisa menjawab. Lalu dengan nada agak bercanda saya berkata,”Boleh nggak kalau orang kaya itu saya beri nama Romanus.” Spontan banyak dari mereka menjawab,”Ga boleh…ga boleh…ga boleh.” Ada satu anak yang berdiri di depan berkata, ”Kan Romo Romanus baik, ga kayak orang kaya itu.” Jawaban anak itu saya balas dengan tertawa lepas. Setelah perjumpaan dengan anak-anak BIA tesebut, saya masih mencoba merenung tentang pengalaman bersama mereka. Tidak, saya tidak baik, saya belum baik, saya masih seperti orang kaya tersebut. Saya masih memiliki sikap “pelit” dalam banyak hal. Laksana orang kaya dalam injil hari ini. Saya terkadang masih pelit dari sisi waktu buat umat 44 yang sangat membutuhkan. Pelit dalam hal pengorbanan. Masih mementingkan diri sendiri. Pelit dalam berbagi dengan yang miskin. Pelit dalam sikap mengampuni. Pelit dalam hal kesabaran. Pelit dalam memberi senyum keramahan kepada orang yang tidak saya sukai. Dan masih banyak “kepelitan” yang lainnya yang masih bercokol dalam diri saya. Sikap egois inilah yang membuat saya masih dalam posisi seperti “orang kaya” dalam kisah Lazarus. Dan sikap-sikap inilah yang harus saya ubah dalam masa Prapaskah yang baik ini yang diberikan Tuhan melalui GerejaNya yang kudus. Ada sebuah kisah demikian. Ada seorang Bapak bernama Jorok. Suatu saat dia meninggal. Dalam alam kematian dia mengalami hal demikian. Arwahnya tiba-tiba sedang berjalan menyusuri jalan yang gelap tanpa cahaya. Semasa hidupnya dia cukup dikenal sebagai orang kaya namun sangat serakah dan pelit. Maka, dia diberi julukan si pelit. Lalu si pelit itu melihat seseorang yang sedang berdiri tampak sedang menjaga sebuah pintu. Si pelit itu langsung mendekati orang itu, setelah dilihat ternyata itu malaikat penjaga pintu surga. Lalu si pelit itu bertanya pada malaikat, “Hey apakah ini pintu surga?” “Ya benar, dan saya adalah penjaga pintu surga. Hanya orang-orang yang beriman yang dapat masuk ke pintu suci ini,” jawab malaikat. “Kalau begitu, saya orang beriman, berarti saya boleh masuk,” jawab si pelit. “Tunggu dulu, saya dan asisten saya akan mengecek dulu amal baikmu,” jawab malaikat. 45 Setelah dicek ternyata malaikat itu mengetahui bahwa Bapak Jorok itu seorang yang kaya raya namun pelitnya minta ampun. ”Eiitttttt…, kamu tidak bisa masuk ke surga karena kamu orang yang pelit, padahal kamu mempunyai harta yang melimpah,” kata malaikat. “Kata siapa aku pelit, buktinya saya pernah dua kali menolong orang lain,” jawab si pelit. “Coba katakan apa saja amal baik itu?” tanya malaikat. “Ok.. yang pertama saya pernah memberi bantuan kepada seorang anak yang kelaparan dengan uang saya,” jawab si pelit. Asisten malaikat itu mengecek amal baik si pelit apakah benar atau tidak. Ternyata si pelit itu benar pernah memberi uang kepada anak yang kelaparan. “Lalu apa amal baik yang ke-2 yang pernah kamu lakukan?” tanya malaikat. “Ok yang ke-2 adalah saya pernah menolong pengemis dan saya beri dia uang,” jawab si pelit. “Kalau begitu kamu duduk dulu di sini!” suruh malaikat. Malaikat itu berbicara dengan asistennya yang sedang berdiri agak jauh dari si pelit itu. “Bagaimana nih, masa si pelit ini harus masuk surga?” tanya asisten kepada malaikat. “Memang dia pernah beramal tetapi minim sekali,” jawab malaikat. “Saya punya ide, bagaimana kalau kita kembalikan uang dia, lalu kita suruh dia menghadap malaikat penjaga neraka,” jawab asisten. Rasanya sudah begitu banyak tanda yang diberikan Tuhan kepada kita. Sudah banyak peringatan yang Tuhan berikan pada kita. Yesus pun juga demikian. Begitu banyak sabdaNya yang mengarahkan hidup kita pada kebenaran. 46 Bahkan melalui kisah Lazarus. Yesus juga kembali mengingatkan hidup kita. Apakah kita masih dalam posisi seperti orang kaya tersebut? Jika iya, ubahlah haluan hidup kita. Kembalikan kejalan yang dikehendaki Tuhan. Tak ada kata terlambat bagi Tuhan. Lakukan sekarang juga! Pertanyaan reflektif: Sudah dermawankah hidupku? Marilah berdoa: Tuhan, tuntun langkah hidup kami, agar selalu berani berbagi dengan tulus. Tuntun hidup kami agar selalu berani berbelarasa kepada mereka yang menderita. Demi Kristus dan penyelamat kami. Amin. (RD Romanus Heri Santoso) 47 Jumat, 17 Maret 2017 Hari Biasa Pekan II Prapaskah Kej. 37.3-4,12-13a, 17b-28; Mzm. 105:16-17, 18-19, 20-21; Mat. 21:33-43, 45-46 KERAJAAN ALLAH Kerajaan Allah akan diambil daripadamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah kerajaan itu. (Matius 21:43) Saudara-saudaraku yang dicintai Tuhan. Kerajaan Allah adalah sebuah tawaran yang mengundang orang untuk berbuah. Ketika kondisi Allah merajai seseorang dan orang merasakan damai sukacita dan pengharapan dalam Tuhan maka tak heran kalau Kerajaan Allah itu sudah hadir padaNya. Penerimaan adalah kata kunci untuk menyambut datangnya Kerajaan Allah itu. Saat kita malah menolak hadirnya Kerajaan Allah bagi hidup kita sendiri tak pelak kerajaan Allah takkan hadir dan tak berbuah. Begitulah akhirnya sifat Kerajaan Allah itu berkembang sesuai dengan kebebasan Anak-anak Allah. Pertanyaan buat kita mampukah kita menyadari betapa Kerajaan Allah membutuhkan tanggapan kepekaan kita akan penerimaan ataukah sebaliknya sebuah penolakan. Allah membutuhkan sebuah paham baik daripada sebuah paham buruk. Dan saat paham baik menjadi pilihan hidup kita maka berkembanglah kerajaan Allah. 48 Pertanyaan reflektif: Manakah benih-benih Kerajaan Allah yang sudah kita terima dan kembangkan? Sharingkan kisah hidupmu sebagai peneguhan. Marilah berdoa: Ya Bapa, ajarilah kami memahami kehendak-Mu di dalam perumpamaan Yesus hari ini tentang bagaimana mengembangkan Kerajaan Allah. Buatlah agar paham baik menjadi cara hidup kami mengembangkan Kerajaan Allah. Doa ini kami sampaikan demi Yesus Kristus Tuhan dan sahabat kami. Amin. (RD Rudy Hartono) 49 Sabtu, 18 Maret 2017 Hari biasa Pekan II Prapaskah Mi. 7:14-15, 18-20; Mzm. 103:1-2, 3-4, 9-10, 11-12; Luk. 15:1-3, 11-32 ALLAH MURAH HATI, KITAPUN MURAH HATI Kita patut bersukaria dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali (Luk. 15:32) Secara turun temurun, Allah digambarkan sebagai Allah yang kejam, Allah yang senang menghukum apabila manusia bersalah, Allah yang murka apabila manusia berbuat dosa. Gambaran Allah sebagai pemberi ganjaran dan pemberi hukuman jelas terlihat dalam aturan-aturan Taurat yang sangat rinci. Berhadapan dengan aturan tersebut manusia harus tunduk dan taat. Beriman diartikan sebagai sekedar menaati peraturan dan menghindari pelanggaran. Peraturan-peraturan itu sebenarnya sangat memberatkan orang-orang miskin, dan orang yang sakit. Setiap pelanggaran, betapa pun kecil, membuahkan ganjaran hukuman berupa silih. Orang miskin sulit untuk menye-diakan silih sebagai tebusan atas kesalahannya. Ketentuan itu juga memberatkan orang sakit. Orang sakit bertambah penderitaannya karena ia dianggap manusia berdosa dan karena sakit ia harus diasingkan dari masyarakat. Sebetulnya, nabi Mikha pernah berseru bahwa Allah adalah Maha Pengampun. Allah tidak bertahan 50 dalam kemurkaan-Nya (Mi. 7:18-19). Namun seruan itu tenggelam dalam kuatnya pandangan mengenai Allah yang keras. Yesus mengajarkan bahwa Allah adalah kasih. Ia murah hati. Terhadap orang yang berdosa berat pun Allah membuka tangan untuk menerima kembali. Dalam perumpamaan tentang anak yang hilang, sang bapa menggambarkan Allah sendiri. Si bungsu sudah jauh sekali meninggalkan rumah bapaknya. Si bungsu menggambarkan manusia yang dosanya sungguh sangat berat. Jika Allah bukan Allah yang murah hati, niscaya manusia yang dosanya sangat berat tidak akan memiliki pengharapan lagi untuk bertobat. Dengan perumpamaan Anak yang hilang, Yesus mengajak kita untuk meneladan Allah yang murah hati. Yesus mengetuk hati setiap orang untuk memilih jalan yang benar. Yesus mengetuk hati setiap orang untuk berani kembali pulang dalam pertobatan. Yesus mengetuk hati setiap orang untuk bersikap murah hati terhadap sesama. Seperti Allah murah hati, kitapun harus murah hati. Pertanyaan reflektif: Sudah bermurahhatikah aku? Marilah berdoa: Ya Allah, teguhkanlah niatku agar bisa bermurah hati seperti Engkau murah hati kepadaku. Amin. (ML Supama) 51 Minggu, 19 Maret 2017 Hari Minggu Prapaskah III Kel. 17:3-7; Mzm. 95:1-2, 6-7, 8-9; Rm. 5:1-2,5-8; Yoh. 4:5-42 BERIMAN ITU PERLU HATI DAN “WAKTU” “Aku tahu, bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; apabila Ia datang , Ia akan memberikan segala sesuatu kepada kami.” (Yoh. 4:25) Dalam suatu perayaan Ekaristi syukur atas pesta perak Imamatnya, Imam yang berpesta berbagi pengalaman imannya akan kasih dan kebaikan Tuhan. Selama ini ia mengalami banyak berkat terutama rahmat kesehatan dan bahkan merasakan sebagai pribadi yang kuat. Menjelang perayaan pesta peraknya ia mengalami gangguan kesehatan yang sering ditandai dengan rasa lemas dan kurang bersemangat. Pada waktu diperiksa kesehatannya, betapa mengagetkan mengetahui bahwa dalam jantungnya sudah terjadi blok yang sedemikian hebat sampai mengagetkan dokter yang memeriksanya. Mengingat kondisi kritis tersebut dokter mengambil keputusan untuk melakukan operasi by pass, imam tersebut tidak bisa lain kecuali menurut dan percaya kepada Tuhan meskipun tetap disertai rasa takut luar biasa. Setelah selesai operasi dan menjalani perawatan lanjut, kondisi semakin membaik dan pulih. Peristiwa operasi jantung untuk menyelamatkan anugerah kehidupan dari 52 Tuhan sungguh menyadarkan bahwa hidup semata-mata anugerah dari Tuhan dan kasih Tuhan itu memang luar biasa. Selama ini bukannya tidak percaya namun lebih meyakini dalam level pikiran dan kata. Sekarang pengalaman tersebut sungguh hidup dan dirasakan dalam keseluruhan pribadi. Menjadi sungguh beriman ternyata tidak bisa instan dan cepat, namun membutuhkan keterbukaan dan kerendahan hati serta waktu yang panjang. Kisah percakapan Yesus dengan perempuan Samaria menggambarkan proses yang amat panjang sampai pada titik di mana perempuan Samaria menjadi percaya bahwa Yesus adalah Mesias, Sang Juruselamat. Ia tidak bisa mendadak sampai pada keyakinan tersebut. Dibutuhkan perjumpaan, perbincangan untuk semakin mengenali pribadi Yesus.Yesus Sang Juruselamat penuh misteri bagi kita manusia yang lemah ini. Untuk beriman kepada-Nya dibutuhkan sikap keterbukaan dan kerendahan hati disertai pertobatan. Tidak jarang kita dituntut untuk melepaskan diri dari berbagai motivasi manusiawi dan semangat mengandalkan kekuatan diri. Kita diajak untuk sampai pada titik di mana kita percaya dan bergantung sepenuhnya pada Yesus. Pertanyaan reflektif: Pernahkah aku mengalami peristiwa hidup yang membuat semakin disadarkan akan kasih dan kuasa Tuhan? Janganjangan aku belum melepaskan diri dari berbagai sikap dan sifat yang lebih mengandalkan diri dari pada mengandalkan Tuhan. 53 Marilah berdoa: Tuhan, anugerahkanlah kepadaku keterbukaan dan kerendahan hati dalam menjalani waktu-waktu hidupku. Semoga semuanya membawa aku semakin mengenal dan beriman kepada-Mu. (RD Y. Purbo Tamtomo) 54 Senin, 20 Maret 2017 Hari Raya S. Yusuf, Suami SP Maria 2Sam. 7:4-5a, 12-14a, 16; Mzm. 89:2-3, 4-5,27,29; Rm 4:13,16-18,22; Luk. 2:41-51a MENCARI TUHAN SETIAP WAKTU “Mengapa kamu mencari Aku? Tidak tahukah kamu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku? (Luk. 2:49) Kisah tentang Yesus hilang dan ditemukan kembali di Bait Allah, spontan mengingatkan pengalaman anak yang hilang di sekitar Monas dan ditemukan kembali di komplek gereja Katedral , Jakarta. Pada suatu Minggu pagi sepasang suami-isteri muda pergi ke Monas untuk berolahraga pagi. Ia membawa anaknya yang berusia 6 tahun. Begitu ramainya suasana di Monas membuat pasangan tersebut asyik bersenam dan lupa anaknya. Anaknya tersebut bermain sendiri dan tanpa sadar semakin menjauh dari Monas. Karena kebingungan dan takut rupanya ia berjalan terus dan tahu-tahu sampai di jalan depan Hotel Borobudur. Perjalanan cukup jauh dan sulit dibayangkan bagaimana anak itu sampai di sekitar Hotel Borobudur. Ia menangis dan “ditemukan” oleh sepasang suami-isteri yang hampir lanjut usia. Pasangan tersebut membawa anak itu ke gereja Katedral sambil mohon bantuan untuk diinformasikan lewat radio supaya orangtuanya mendengarnya dan mengambilnya di gereja Katedral. Singkat cerita, orangtua 55 yang bingung karena anaknya hilang pergi ke Katedral untuk mengambil anaknya. Sambil menangis Ibunya merangkul anak tadi. Mereka bersyukur karena anaknya ditemukan kembali. Ada kemiripan pengalaman Bunda Maria dan St. Yusup yang kehilangan Yesus kecil dengan orangtua yang senam di Monas tadi. Mereka bingung, tidak tahu apa yang terjadi; ada perasaan bersalah namun terus mencari anaknya yang hilang. Akhirnya kegembiraan dialami setelah Yesus ditemukan kembali. Pengalaman yang sama dirasakan oleh pasangan yang menemukan anaknya di komplek Katedral. Beriman adalah proses dan pengalaman hidup untuk mencari dan mengalami kehadiran Tuhan. Betapa sering dalam proses tersebut tidak mengerti apa yang sedang dialami. Bahkan sering sampai bertanya di mana Engkau Tuhan. Dalam situasi seperti ini kita diajak untuk tidak menyerah dan tidak putus asa. Kita jalani hidup dengan tekun. Kita percaya pada saatnya kehadiran Tuhan dan berkat-Nya akan dialami/dirasakan. Orang beriman diajak terus menerus tekun mencari Tuhan dalam setiap peristiwa hidup, termasuk dalam kesulitan dan penderitaan yang sedang dialami sambil percaya dan berharap pada saatnya kasih dan berkat Tuhan menjadi nyata. Pertanyaan Reflektif: Belajar dari renungan di atas bagaimana selama ini aku menjalani hidup sebagai orang beriman? Pasti sering men56 jumpai pengalaman kebingungan, tidak mengerti mengapa peristiwa sulit dan sedih terjadi. Apakah aku lebih sering menyerah dan putus asa? Pernahkah karena yakin akan karena kebaikan Tuhan aku bangkit melanjutkan kehidupan dengan penuh syukur dan pengharapan. Marilah berdoa: Bapa di surga yang mahabaik sertailah dan tuntunlah aku dalam setiap langkah hidupku. Jangan biarkan aku berjalan sendirian sampai mengalami kebingungan dan keputusasaan. Anugerahkanlah rahmat ketekunan dan kesetiaan agar dapat mengalami kehadiran dan kasih-Mu dalam setiap peristiwa hidup. Buatlah aku tekun mencari Engkau karena pada saatnya aku akan menemukan Engkau. (RD Y. Purbo Tamtomo) 57 Selasa, 21 Maret 2017 Hari biasa Pekan III Prapaskah Dan. 3:25,34-43; Mzm. 25:4bc-5ab,6-7bc, 8-9; Mat. 18:21-35 MINTA DIKASIHANI, TAPI MENOLAK MENGASIHANI “Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (Mat. 18:23) Ketika kita membaca tentang sikap hamba yang menolak mengasihani orang yang berhutang seratus dinar kepadanya, bahkan mengirimnya ke penjara, hati kita merasa sedih, prihatin, kecewa dan marah. Bagaimana tidak? Orang yang tega dan kejam terhadap saudaranya itu baru saja mendapatkan pengampunan dan pembebasan dari hutangnya yang berlipat kali lebih besar, yaitu seribu talenta. Dia tidak mampu membayar dan mohon belas kasihan raja agar tidak menghukumnya dan minta diberi kelonggaran waktu untuk membayarnya. Raja yang murah hati itu bahkan membebaskan dia dari semua hutang dan hukumannya. Hamba itu telah menerima kebaikan dan kemurahan hati yang luar biasa dari raja. Kita bayangkan dia sungguh bersyukur; senang terbebas dari beban penderitaan dan ketidak-berdayaannya. Kita membatin dia akan menjadi orang yang berbela rasa kepada mereka yang sedang mengalami kesulitan hidup serupa dan 58 akan bersikap sama: murah hati dan berbelas kasih, seperti sikap raja terhadapnya. Ternyata tidak demikian kejadiannya. Dia seolah lupa akan pengalaman hidupnya sendiri. Keteladanan sang raja akan kemurahan hati dan belas kasihan menguap tanpa bekas. Dia gagal paham, gagal belajar dan gagal bertumbuh dalam kasih persaudaraan. Kok bisa? Rupanya, egoisme yang kuat dan kebodohanlah yang menghambat dia. Dia merasa lebih baik, lebih benar dan lebih pantas dari pada orang lain. Dia pikir siapakah manusia itu di mata Allah, Sang Pencipta, dan di mata manusia? Lupakah dia akan jatidirinya sebagai manusia? Manusia adalah ciptaan Allah yang mulia, berharkat dan bermartabat luhur; dan karena itu beradab! Sebagai makhluk yang beradab, manusia tidak hanya punya naluri, tetapi punya nurani dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan dan moral yang baik. Bertindak kasar, kejam dan tega/telengas bukanlah ciri manusia yang beradab. Manusia punya hati yang mampu berbela-rasa dan mengasihi. Manusia punya kemampuan untuk memahami dan memaafkan kekurangan dan ketidak-berdayaan sesamanya, terutama mereka yang memohon maaf dan pertolongan. Manusia perlu paham bahwa Allah menciptakan me-reka secara unik, yang satu berbeda dengan yang lain. Tapi karena bersaudara satu sama lain, maka manusia perlu saling menerima perbedaan dan saling menghormati. Allah telah berbelas-kasih kepada manusia, maka manusia 59 pun perlu berbelas-kasih kepada sesama manusia. Pertanyaan reflektif: Setiap kali berdoa Bapa Kami, sadarkah aku bahwa Allah hanya berkenan mengampuni dosaku, jika aku mau mengampuni kesalahan dan kekuranganan sesama kepadaku? Sadarkah aku bahwa sakit hati dan dendamku kepada orang lain akan memenjarakan aku di dalam dosa dan penderitaan batinku? Marilah berdoa: Allah Bapa yang Maharahim, aku begitu malu akan sikapku yang sering menghakimi dan sulit memaafkan kesalahan orang lain kepadaku. Aku mohon rahmat-Mu agar aku mampu berdamai dengan diriku sendiri dan dengan sesamaku. Apakah jadinya aku ini tanpa belaskasih dan pengampunan dari-Mu? Aku bersyukur atas kemurahan hati-Mu, terutama atas penebusan dosa dan keselamatan jiwa oleh Tuhan Yesus, Juru Selamat dan Penebus umat manusia. Amin. (Shienta D. Aswin) 60 Rabu, 22 Maret 2017 Hari biasa Pekan III Prapaskah Ul. 4:1,5-9; Mzm. 147:12-13, 15-6, 19-20; Mat. 5:17-19 BUKAN MENIADAKAN, TETAPI MELENGKAPI “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Mat 5:17) Kalau kita amati, manusia pada umumnya masih sangat mementingkan hal-hal yang lebih bersifat lahiriah, mudah ditangkap oleh indera (yang tangible), dari pada yang bersifat batiniah (yang intangible). Padahal, sesungguhnya, yang ada di hati, di benak dan pikiran seseoranglah yang lebih penting karena mendasar. Karena itu, besar kemungkinan orang mudah menjadi sosok yang munafik, palsu, penuh kebohongan, pencitraan semata, menipu, berpura-pura, bermuka dua dan kosong batinnya, rendah mutu akhlaknya, meskipun penampilan fisiknya santun, soleh dan ramah. Ada banyak contoh yang terjadi di sekitar kita. Adalah baik jika orang mementingkan ritual agama, penampilan agamis, baca Kitab Suci, belajar tafsir Kitab Suci, hafal ayat-ayat, ber-rosario novena dan jalan salib, rajin ziarah dan ikut Misa; tetapi jika pada saat yang sama, dia 61 kehilangan perasaan kasih sayang dan kemampuan bela rasa, lalu menjadi kasar, tega dan kejam terhadap sesama dan makhluk ciptaan Allah, Allah pasti tidak berkenan dan orang itu tak pantas mendapat keselamatan yang dari Allah. Maka, kehadiran Yesus dan ajaran-Nya dalam Injil Matius hari ini, tidak untuk meniadakan hukum, aturan dan kebiasaan baik yang sudah ada, tetapi melengkapinya. Ini perlu supaya manusia tidak jatuh ke yang lahiriah dan kulit luar (superficial) saja, tetapi juga, dan terlebih-lebih, yang dapat menghidupkan cinta kasih. Hendaknya manusia tidak hanya fokus pada perbuatan yang salah, tetapi juga mewaspadai niat yang tidak baik. Jadi, jangan hanya menghukum orang yang membunuh saja, tetapi hukum pulalah mereka yang memfitnah, mengata-ngatai saudaranya dengan tidak pantas, yang mengkafir-kafirkan orang tanpa dasar, yang membenci dan ingin mencelakakan orang lain dengan penuh niat jahat! Hukum jugalah mereka! Begitu juga, jangan hanya menghukum orang yang (sudah) berzinah, tetapi hukum jugalah mereka yang bernafsu dan mendorong niat untuk berzinah. Bagi kita yang mau belajar dan bertobat, khususnya dalam relasi kita dengan sesama manusia, hendaklah kita tidak lagi merasa cukup dengan sikap dan perbuatan baik yang tampak luar saja, tetapi juga yang dijiwai dengan hati yang penuh kasih. Karena itulah sesungguhnya cerminan sikap dan perilaku manusia yang adil dan beradab. 62 Pertanyaan reflektif: Cukupkah fisik kami hadir duduk bersama dengan anggota keluarga atau umat lingkungan kami, namun perasaan, hati dan pikiran kami masing-masing terpusat pada gawai, tontonan tv, bacaan atau hal lain, sehingga kami tetap terpisah, tak mampu saling memperhatikan dan mengungkapkan kasih satu dengan yang lain? Sadarkah kami: ini bukan sikap yang adil terhadap sesama kami; ini bukan sikap beradab manusia yang bermartabat luhur dan saling mengasihi? Marilah berdoa: Yesus, Tuhan dan Guru kami, terima kasih atas firmanMu hari ini yang menyadarkan kami bahwa hukum, peraturan dan kebiasaan tidak boleh kehilangan Roh Cinta Kasih. Kami sering terlalu cepat menanggapi ajakan untuk berubah dengan sikap menentang, menolak atau membela diri. Curahkanlah rahmat-Mu agar kami mampu bersikap terbuka untuk bertobat sesuai dengan ajaran dan teladanMu, yang melengkapi hukum dan aturan yang sudah ada. Karena Engkaulah Tuhan dan Juruselamat kami. Amin. (Shienta D. Dewi) 63 Kamis, 23 Maret 2017 Hari biasa Pekan III Prapaskah Yer. 7:23-28; Mzm. 95:1-2, 6-7, 8-9; Luk. 11:14-23 PERSEPSI TIDAK SELALU BERSAMA KEBENARAN “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.” (Luk. 11:23) Adakah orang baik - yang tulus dan sering peduli menolong orang lain - dipersepsikan sebagai orang yang melakukan pencitraan untuk mendapat keuntungan sepihak? Adakah orang jahat - yang pura-pura bersikap baik dan penuh perhatian demi mendapatkan keuntungan sepihak - dipersepsikan sebagai idola bahkan pahlawan yang dieluelukan? Ada, bahkan banyak, karena cara memandang dan menilai orang, banyak dipengaruhi oleh persepsi, sudut pandang, subyektivitas dan kepentingan orang yang memandangnya. Persepsi juga bukan sesuatu yang baku, karena mudah berubah. Persepsi juga tidak selalu mendasarkan pada kebenaran dan kenyataan. Perbedaan persepsi pun selalu memunculkan pro dan kontra: dua kubu atau lebih yang bertentangan. Jadi tak heran bila Yesus dicurigai dan dipersepsikan menggunakan kekuatan Beelzebul (setan) untuk menyembuhkan orang yang kemasukan setan bisu. Bagi orang64 orang yang tidak suka, iri hati dan takut akan tersaingi atau dirugikan akan keberadaan dan kepopuleran Yesus, mereka cenderung punya persepsi yang negatif, yang buruk dan penuh kecurigaan; tak peduli sebaik apapun, dan sebenar apapun, tindakan Yesus. Lalu, bagi kawan-kawan dan pendukung orang-orang ini, persepsi mereka pun terpengaruh untuk ikut-ikutan menghujat, menghina, menolak, mengkritik pedas, mengusir, mencelakai, menghukum bahkan mau membunuh Yesus. Sedang bagi orang yang disembuhkan serta murid-murid Yesus, Yesus adalah Mesias yang menolong dan menyelamatkan mereka. Sementara itu, ada orang-orang jahat yang mampu mengemas kata-kata dan penampilan mereka, bisa juga ditambah dengan memberi hadiah atau uang, serta mengintimidasi menggunakan kekuasaan dan kekuatan fisik mereka, untuk membangun persepsi umum yang menguntungkan dan mendukung mereka. Orang-orang yang mudah dikelabui memang kurang mampu mengenali kebenaran dan kenyataan sebenarnya, sehingga persepsi mereka keliru. Sayangnya, orang tidak suka mengubah persepsi. Banyak orang merasa yang paling tahu dan paling benar, hingga ngotot mempertahankan persepsi mereka, meskipun sesungguhnya salah karena tidak berdasarkan data, fakta dan bukti yang benar dan masuk akal. Belum lagi, jika mereka juga tinggi hati, arogan, tidak mau mengakui kesalahan dan malu untuk berubah. 65 Ternyata hingga jaman sekarang, tidak banyak yang berubah tentang persepsi orang terhadap orang yang lain. Meskipun orang tahu bahwa kebenaran dan kenyataan tak dapat diganggu-gugat, namun banyak orang tetap membangun persepsi tidak berdasarkan kebenaran dan kenyataan, melainkan berdasarkan apa yang mereka sukai dan mereka maui. Fitnah, gosip, kecurigaan, dan penghakiman sepihak pun bertebaran dan marak dipertontonkan. Lalu, bagaimana kita dapat mempunyai persepsi yang baik, tidak keliru? Kita lebih dahulu mencari kebenaran, dan Allah adalah Kebenaran yang hakiki. Maka, jika manusia setia selalu berada bersama dengan Allah: dalam hening, doa, kasih dan niat serta perbuatan baik untuk keselamatan dan perdamaian seluruh umat manusia, kita pun terluputkan dari kesalahan yang berpotensi memecah dan mencerai-beraikan umat manusia. Pertanyaan reflektif: Masih seringkah aku reaktif, terlalu cepat menanggapi berita dan issue yang muncul, lalu membangun persepsi tanpa mau repot mencari tahu kebenaran dan kenyataan yang ada, lebih dahulu, dan malahan ikut menyebarkannya? Masih seringkah aku bersikap keras kepala dan menutup diri terhadap perbedaan pandangan dan mudah mengobarkan permusuhan dengan mereka yang tidak aku sukai? Setiakah aku untuk berdiam bersama Tuhanku, 66 dalam keheningan batin dan kehendak baik untuk ikut menciptakan damai dan persatuan? Marilah berdoa: Yesus, Engkau menyadarkan aku supaya berhati-hati dengan persepsi yang aku bangun dalam cara pandangku. Terangilah aku dengan Roh Kudus-Mu supaya aku mampu melihat yang benar, yang kasih dan damai untuk hidup berdampingan dengan sesamaku yang lain. Semoga nama Tuhan makin dimuliakan, karena sebagai murid-Mu, aku mau ikut mengupayakan persatuan dan menghindari perpecahan. Amin. (Shienta D. Aswin) 67 Jumat, 24 Maret 2017 Hari biasa Pekan III Prapaskah Hos. 14:2-10; Mzm. 81:6c-8a, 8bc-9, 10-11ab, 14,17;Mrk. 12:28b-34 MEWUJUDKAN HUKUM KASIH YANG BERMUTU “Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.” (Mrk 12:33) Jika kita berniat meningkatkan kualitas kasih kita kepada Tuhan Allah dan kepada sesama, sebagai hukum utama pertama dan kedua yang menghantarkan kita masuk ke Kerajaan Allah, maka pertama-tama, kita perlu melihat apa yang kurang dari perwujudan kasih kita selama ini. Kita pasti menyatakan bahwa kita mengasihi Tuhan Allah: kita berdoa, bersekutu, menghadiri Misa dan menerima sakramen, baca Kitab Suci, belajar Firman dan berusaha menjadi pelaku Firman. Tetapi jika mau jujur, kita masih mengecewakan dalam mengasihi Tuhan, karena belum segenap hati, segenap pengertian, dan segenap kekuatan. Sering kali kita masih men”dua”kan Tuhan, mengasihi Tuhan ala kadarnya, setengah hati atau bahkan di permukaan saja. Hati, pikiran, tenaga dan waktu kita lebih tertambat pada hal-hal yang tidak menghadirkan Tuhan, 68 melainkan ego kita. Tidak berarti bahwa kita hanya boleh mengisi hidup dengan kegiatan religius dan ritual saja, dan menganggap kegiatan lain bersifat sekuler dan tidak penting. Lalu, bagaimana kita bertobat dan berbenah diri ? Dengan segenap hati, segenap pengertian dan segenap kekuatan adalah sikap mental. Jadi kegiatan baik apapun yang kita lakukan, yang dipersepsikan religius maupun sekuler, kita lakukan dengan kesadaran penuh untuk menghadirkan Tuhan, dan dengan orientasi tunggal yang bertujuan untuk makin memuliakan Tuhan, bukan hanya demi kepopuleran dan keuntungan pribadi. Misalnya, dalam belajar, berkarya atau melayani, kita tidak hanya bertujuan untuk memperoleh kepandaian, kekayaan dan ketenaran. Namun, secara sadar kita melakukannya dengan sungguh hati dan tulus, sebagai persembahan kepada Tuhan. Untuk bersyukur atas kesempatan dan kemampuan yang kita peroleh, untuk bermanfaat bagi sesama dan ciptaan Tuhan yang lain. Maka, dalam belajar dan bekerja, kita tidak: malas, sering mengeluh, tidak jujur (menyontek atau korup), bersikap menang-kalah (selalu mau mengalahkan dan menghancurkan yang lain, kalau perlu dengan menghalalkan segala cara) dan egois (tidak mau membagi hasilnya dengan orang lain demi kesejahteraan bersama), bahkan tidak merusak lingkungan hidup. Kemudian, mengenai hukum utama yang kedua: kasihilah sesamamu manusia seperti diri sendiri. Pasti kita sudah mengasihi sesama manusia, sekurang-kurangnya 69 orang-orang yang dekat dan cocok dengan kita. Tapi bagaimana kita meningkatkan kualitas perwujudan kasih kita kepada sesama? Kita perlu melihat ke dalam diri kita. Apakah kita sudah cukup dapat menerima dan mengasihi diri sendiri terlebih dulu? Meskipun terdengar kontradiktif, ternyata masih banyak di antara kita yang kurang suka dengan diri sendiri. Ada yang menolak wajah, rambut dan bentuk tubuh, ada yang benci kelemahan, ada yang trauma pengalaman hidup, ada yang kecewa dengan apa dan siapa yang diberikan Tuhan. Akibatnya adalah mudah marah dan menyalahkan Tuhan (jangankan bersyukur), mudah iri hati, dengki dan benci pada orang yang dipandang lebih beruntung, mudah berkhianat dan selingkuh, dan bisa tega terhadap orang lain sebagai ungkapan rasa kecewa dan marah terhadap Tuhan dan sesama. Ternyata tidak terlalu mudah untuk bisa menerima diri sendiri apa adanya, tidak menyalahkan pihak manapun, lalu bisa bersyukur dan bertumbuh imannya dalam pengharapan akan rencana Tuhan yang lebih besar, dan dalam kasih yang menciptakan hidup damai dan bersaudara satu dengan yang lain. Untuk mengoreksi kemampuan kita menerima dan mengasihi diri sendiri, janganlah kita malu minta pertolongan orang yang lebih tahu, lebih ahli dan lebih berbobot dalam menyembuhkan luka trauma kita. Sehingga mengasihi sesama seperti diri sendiri sungguh merupakan perwujudan: “aku memperlakukan 70 sesamaku, seperti aku ingin diperlakukan oleh mereka; aku tidak memperlakukan sesamaku dengan cara yang aku sendiri tidak mau diperlakukan demikian”. Dengan demikian, sekaligus kita pun boleh menjadi manusia yang adil dan beradab. Pertanyaan reflektif: Maukah aku memperbaiki mutu pengamalan kasihku pada sesama, dengan mulai bersikap lebih adil dan kasih terhadap diri sendiri? Sadarkah aku bahwa keberhasilanku memperbaiki mutu kasihku kepada Tuhan banyak tergantung pada keberhasilanku memperbaiki mutu kasihku kepada sesamaku? Marilah berdoa: Allah Bapa yang Maha Pengasih dan Penyayang, aku mau sungguh percaya bahwa Engkau menerima dan menyayangi diriku seperti apa adanya. Hindarkanlah dan kuatkanlah hatiku dari penilaian negatif yang sering melukai dan menyedihkan hatiku, sehingga aku mulai tidak menyukai diriku sendiri, sulit mengasihi sesamaku dan kurang bersyukur serta tidak sepenuh hati mengasihi Engkau. Putra-Mu, Yesus Kristus, adalah bukti nyata betapa besar kasih-Mu kepadaku. Dialah Penebus dan Juru Selamat-ku. Amin. (Shienta D. Aswin) 71 Sabtu, 25 Maret 2017 Hari Raya Kabar Sukacita Yes. 7:10-14,8:10 ; Mzm. 40:7-8a, 8b-9,10-11; Ibr.10:4-10; Luk. 1:26-38 SUKACITA MENURUT ALLAH “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” (Luk. 1:28) Kisah Maria dan Yusuf yang menerima kabar sukacita adalah peristiwa yang menakutkan dan membuat mereka berdua yang mendapat kabar sukacita ini menjadi galau dan bahkan menghindar. Maria dan Yusuf mengalami situasi sulit yang tidak mereka mengerti. Tetapi, mereka menyerahkan diri pada kehendak Allah, sehingga mereka mendapat berkat istimewa dari ketaatan dan keterbukaan mereka itu. Kita sebenarnya bisa menerima kabar sukacita setiap hari, jika kita bersedia terbuka pada kehendak Allah. Setiap kehendak-Nya adalah kabar sukacita, meskipun itu tidak sesuai dengan impian dan kehendak kita. Berbahagialah mereka yang melakukan kehendak Tuhan dengan sukacita. Kita hidup dari peristiwa dan kisah hidup. Coba lihat ke belakang, semua itu adalah kita dan Tuhan. Dua orang mengalami kegagalan dalam hidupnya. Yang satu mengalami depresi karena merasa kehilangan 72 segala-galanya, terutama mimpi dan ambisinya. Yang lain lagi merasa semakin dekat dengan Tuhan karena sekarang berkat kekecewaan, ia dapat mempunyai “bahan” untuk berbicara dengan Tuhan lebih banyak. Orang kedua merasa beruntung karena mempunyai kesempatan untuk mengalami situasi sulit, karena ia menjadi lebih tahu bagaimana rasanya mengalami situasi berkat. Tergantung bagaimana kita memandang peristiwa pasangan Yusuf dan Maria. Mereka mengalami situasi amat sulit, tetapi keduanya menganggap itu berkat dan kesempatan untuk melayani Allah lebih banyak. Mereka bergembira dan bersukacita. Pertanyaan reflektif: Bila mendapatkan pengalaman hidup yang kurang menyenangkan, bagaimana Anda menanggapinya? Marilah berdoa: Ya Allah, aku mau mengikuti kehendak-Mu, terutama ketika situasi tidak dapat kupahami dan membawa kekecewaan atau kesedihan. Aku mau menjadi kuat dalam banyak hal, supaya tampak jelas imanku bagi orang-orang yang berada di dekatku. Semoga rahmat Roh Kudus memampukan aku menjalaninya. Amin. (RP Erwin Santosa, MSF) 73 Minggu, 26 Maret 2017 Hari Minggu Prapaskah IV ISam. 16:1b,6-7,10-13a; Mzm. 23:1-3a, 3b-4,5,6; Ef. 5:8-14; Yoh. 9:1-41 TUHAN MELIHAT HATI “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yoh. 9:3) Renungan hari ini sungguh menentramkan kita: Tuhan melihat hati, dan bukan seperti yang dilihat mata manusia. Kita sering merasa kecil dan tidak berarti. Kita merasa sumbangan kita kecil dan tidak memberi apa-apa pada dunia sekeliling kita. Akibatnya, kita merasa tidak puas diri dan merasa marah serta kecewa pada diri sendiri. Sabda hari ini mengingatkan kita betapa Tuhan mengasihi kita meskipun kita buta, tidak sempurna dan tak berdaya sekalipun. Tuhan ingin kita menjadi anak-anak terang. “Terang” berarti kehadirannya membawa sukacita dan mendekatkan orang lain pada Tuhan sendiri. Jika kita masih hidup dalam ketakutan dan kekuatiran akan diri sendiri saja, mana bisa kita menjadi terang? Tentu kita membutuhkan Allah, agar dijauhkan dari perasaan kecil, tak berarti dan berujung pada hidup yang tak melakukan apa apa dan malas berbuat baik. Kita harus hidup dan ikut menyemarakkan dunia dengan perbuatan baik, agar menjadi terang dunia itu. Bagai lilin-lilin kecil, jika banyak, maka terang juga sekelilingnya. 74 Kita semua bukan manusia yang sempurna. Kita mungkin seperti orang buta dalam Injil, tetapi Tuhan telah membuka mata kita melalui pengetahuan tentang baik dan buruk. Melalui homili, bacaan, pengajaran iman, kita semakin mengenal Allah. Pengetahuan dan pengenalan ini menjadi modal bagi kita sendiri untuk semakin percaya. Kita punya banyak hal yang bisa diberikan, tetapi iman kepada Allah adalah yang terbesar, karena Ia melampaui keterbatasan kita. Jika kita mampu mengatasi keterbatasan diri, maka kita dijauhkan dari perasaan negatif dan menjadi orang yang penuh iman, keberani mengalami perubahan setiap hari dan menjadi semakin dekat dengan Allah, karena percaya akan penyelenggaraan-Nya dalam hidup kita. Mari percaya, mari mengenal Tuhan, dan mari semakin diselamatkan dan menyelamatkan saudara kita yang lain. Pertanyaan reflektif: Sudahkah kita menjadi terang bagi orang-orang di sekeliling kita? Marilah berdoa: Ya Allah, jauhkan aku dari kesempitan cinta diri dan buatlah aku terbuka pada penderitaan sesama. Aku akan menjadi kuat karena percaya pada penyelenggaraan-Mu. Aku akan menjadi terang bagi sesama yang buta dan ingin melihat Engkau. Kiranya rahmat Roh Kudus memampukan aku mengalami kebaikan-Mu setiap hari. Amin. (RP Erwin Santosa, MSF) 76 Senin, 27 Maret 2017 Hari biasa pekan IV Prapaskah Yes. 65:17-21; Mzm. 30:2,4,5-6,11; Yoh. 4:43-54 TUHAN YANG MENYEMBUHKAN HIDUP Pegawai istana itu berkata kepada-Nya, “Tuhan, datanglah sebelum anakku mati.” (Yoh. 4:49) Kehadiran Tuhan Yesus membawa kebaikan, keberuntungan dan kesembuhan. Kekuatan iman akan Yesus nyata menyelamatkan mereka yang percaya. Betapa indahnya jika kita dapat memiliki iman kepada Tuhan kita! Apapun yang kita perbuat akan menjadi kebaikan dan tampak Tuhan ikut bekerja bersama kita. Tetapi telah nyata bahwa kita memiliki kesulitan untuk sungguh percaya pada kuasaNya. Logika, Rasio, Kecerdasan akal, dan bahkan akal sehat telah menguasai kita dan membuat kita hanya percaya pada diri sendiri yang terbatas. Langit dan bumi baru adalah situasi yang akan dialami oleh mereka yang percaya, baik di bumi maupun di surga kelak. Mereka yang percaya tidak pernah kehabisan harapan dan kegembiraan, sebab mereka telah dipenuhi dengan keyakinan bahwa Tuhan sedang bekerja bersamanya. Hidup kita sering dipenuhi dengan ketakutan dan kekuatiran, dan itu tergambar dalam kalimat-kalimat doa-doa kita yang terlalu banyak memohon dan lupa berterima kasih. 77 Pegawai istana yang berkuasa itu menundukkan dirinya pada Yesus demi kesembuhan anak yang dicintainya. Cinta telah membuat seseorang mempercayai Tuhan. Bukankah kita juga bisa digerakkan oleh kasih untuk berjumpa dengan Tuhan setiap hari. Jangan mengisi hidup dengan pikiran pikiran rasional melulu, karena itu akan memiskinkan hidup rohani kita. Berilah kesempatan pada dirimu sendiri melihat kuasa dan penyertaan Allah dalam hidupmu secara nyata. Bangunlah hidup doa yang rajin dan tekun dan biarlah kekuatan rohani menuntunmu pada kesembuhan sempurna. Pertanyaan reflektif: Sudahkah Anda mempercayakan hidup Anda pada Tuhan setiap hari? Marilah berdoa: Ya Allah, sebagai manusia aku penuh dengan keterbatasan. Aku mau menyadarinya dan berterima kasih bahwa dalam keterbatasan itu aku menemukan kuasa kasih-Mu yang tak terbatas. Semoga hari demi hari aku semakin menemukan pengalaman dengan-Mu sebagai kekuatan untukku mewartakan kebaikan kepada sesama. Doa ini kami panjatkan dalam nama Yesus Kristus, Tuhan dan Penyelamat kami. Amin. (RP Erwin Santosa, MSF) 78 Selasa, 28 Maret 2017 Hari biasa Pekan IV Prapaskah Yeh. 47:1-9, 12; Mzm. 46:2-3, 5-6, 8-9; Yoh. 5:1-3a. 5-16 KESEMBUHAN DAN PERTOBATAN “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.” (Yoh. 58) Hari ini, sabda Tuhan berkata mengenai kesembuhan. Segala hal yang berdekatan dengan Tuhan mestinya menyembuhkan dan menghidupkan. Bagaikan air sungai yang menjadi mata air, dan bagaikan sumber kesuburan dan kehidupan, demikianlah Tuhan bagi kita. Kedekatan dengan Dia membuat kita sadar bahwa hidup adalah anugerah yang cuma cuma dan tergantung pada Sang Pencipta. Yesus menyembuhkan orang dengan maksud baik, agar orang bertobat dari kelakuannya yang buruk. Kita juga berbuat dosa yang sama terus menerus. Rasanya kita sulit keluar dari lingkaran kelemahan dan kekurangan diri kita itu. Seolah-olah kesalahan dan dosa tertentu menjadi ciri khas dan tidak terpisahkan dari diri dan hidup kita. Akan tetapi, Allah tidak demikian. Ia ingin kita hidup dan mendapatkan hidup dari Diri-Nya. Kehidupan yang berasal dari Allah tidak mematikan, melainkan membawa 79 hidup baru. Kesembuhan yang kita dapatkan dari Tuhan juga diberikan cuma-cuma, tanpa syarat apapun, sebab berasal dari Kasih-Nya yang besar kepada kita. Manusia tidak dapat dengan bebas mengekspresikan cinta dan kebaikan, maka perlu diatur dengan peraturan agar satu sama lain tidak bertabrakan dan saling merugikan. Peraturan tetaplah peraturan, dan bukan hidup itu sendiri. Karena itulah Tuhan Yesus membuka mata kita bahwa hidup yang dianugerahkan Allah itu memerdekakan dan menjadikan kita manusia baru yang jernih melihat kebenaran dan tindakan kasih sebagai bukti iman akan Allah. Marilah dengan berani kita keluar dari kesempitan cinta diri. Kita yang masih mudah marah, kurang sabar, dan mudah menghakimi, sekaranglah saatnya sembuh, bersama kuasa Tuhan kita, Yesus, kita berani menghadapi hidup, bukan hanya mengikuti peraturan yang kaku dan tidak membawa kebaikan. Jika kita telah menemukan dan berhasil dekat dengan Tuhan, maka berusahalah menjaga hubungan dengan Tuhan itu dengan berdoa dan datang ke perayaan Ekaristi di Gereja, agar dijauhkan dari yang jahat dan keterbatasan diri kita yang lama. Pertanyaan reflektif: Sudahkah Anda mengundang Tuhan untuk menyembuhkan, dan menghidupkan hidup Anda? 80 Marilah berdoa: Ya Yesus, ajarlah kami hidup dari mendengar firmanMu dan melaksanakannya. Kami mau hidup dalam saling memperhatikan dan saling mengasihi. Kami ingin hidup dalam keterbukaan pada kebutuhan sesama, supaya akhirnya kamipun menerima kesembuhan batin dan kekuatan baru melawan dosa dosa lama kami. Doa ini kami panjatkan dalam nama-Mu sendiri, yang hidup bersama Bapa dan Roh Kudus, kini dan sepanjang segala masa. Amin. (RP Erwin Santosa, MSF) 81 Rabu, 29 Maret 2017 Hari biasa Pekan IV Prapaskah Yes. 49:8-15; Mzm. 145:8-9,17-18; Yoh. 5 :17-30 BELAJAR DAN MENJADI TERBIASA “Maka Yesus menjawab mereka, kata-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak.” (Yoh 5:19) Kebiasaan orang tua dalam bersikap, bertutur kata bahkan cara berpikir akan sangat mempengaruhi perkembangan mental maupun spiritual anak-anak dalam keluarganya. Hal yang sama bisa dilihat dalam lingkup yang luas lagi, misalnya dalam lingkup sekolah, lingkup teman sebaya, lingkup lingkungan atau lingkup tempat kerja. Setiap perilaku dan kebiasaan masing-masing orang, tentu akan mempengaruhi orang lain disekitarnya. Sebagai contoh misalnya dalam lingkup keluarga. Suatu hari saya kedatangan tamu pasangan suami istri bersama anak lakilaki mereka yang masih berusia enam tahun. Mulai dari perbincangan tentang kehidupan mereka dan maksud kedatangan mereka. Bapak tersebut mengatakan bahwa anaknya meskipun masih kecil tetapi galak. Tentu galak yang dimaksud, bukanlah galak yang sampai kelewatan. Kemudian saya bertanya kepada mereka berdua, galaknya 82 anak ini kira-kira meniru bapaknya atau ibunya? Bapak dan ibu tersebut terdiam dan kemudian saling menunjuk. Bapak mengatakan bahwa anaknya galak karena meniru istrinya, sedangkan ibu mengatakan bahwa anaknya galak karena meniru suaminya. Bila dilihat lebih jauh, maka sikap pasangan suami istri ini kurang mendukung karakter anak tumbuh menjadi anak yang berjiwa lembut dan mudah mengampuni. Dalam injil hari ini,Yesus mengatakan bahwa sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak. Maka bisa dikatakan bahwa hidup kita ini merupakan pembelajaran yang kita dapat dari orang-orang disekitar kita. Menjadi kewajiban setiap orang agar mengusahakan diri menebar kebaikan, sebab hidup kita ini dilihat, dirasakan dan sungguh mempengaruhi orang lain disekitar kita. Kiranya pada masa prapaskah ini, kita diberikan waktu untuk melihat kedalam diri kita untuk merenungkan segala sikap dan tutur kata kita, kehadiran kita di tengah-tengah orang disekitar kita. Kita diajak untuk bertobat dan berbuat adil terhadap diri kita dan juga terhadap orang lain. Kita akan bisa berbuat adil dengan mempersiapkan diri kita dan memperbaiki diri kita terlebih dahulu. Kita diajak untuk belajar melihat kenyataan di sekitar kita, mengambil segala kebaikan untuk berbenah diri dan belajar melepas kebiasaan yang tidak baik dari dalam diri kita. 83 Pertanyaan reflektif: Apakah kehadiranku menyumbangkan kebaikan bagi orang lain? Marilah berdoa: Bapa yang penuh kasih, kami mohon berkat-Mu agar menuntun kami belajar mengusahakan kebaikan bagi diri kami dan juga bagi sesama kami. Amin. (Sr. Gaudensia Suparmi, OP) 84 Kamis, 30 Maret 2017 Hari biasa Pekan IV Prapaskah Kel. 32:7-14; Mzm. 106:19-23; Yoh. 5:31-47 KESAKSIAN HIDUP YANG MENYELAMATKAN “Tetapi Aku mempunyai suatu kesaksian yang lebih penting dari pada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku, supaya Aku melaksanakannya. Pekerjaan itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku.” (Yoh. 5:36) Ada seorang bapak tengah baya bernama bapak Hikmat. Bapak tersebut datang secara periodik untuk berbagi kasih dengan anak-anak di panti asuhan. Bapak tersebut menyumbang beras sekian ratus kilogram. Yang menarik perhatian adalah cara mengantarkan beras. Caranya bisa dibilang unik karena setiap karung beliau angkut menggunakan sepeda motor, sehingga bisa bolak balik hingga lima sampai enam kali. Jarak waktu kedatangannya pun cukup lama. Bila ditanya kenapa jarak kedatangannya lama, Bapak tersebut memberi keterangan bahwa tempat beliau membeli beras jaraknya jauh. Kenapa tidak memilih toko yang lebih dekat, bapak Hikmat menjawab tidak apa-apa. Rupanya setiap karung beras beliau intensikan untuk tiaptiap anggota keluarganya. Tiap anggota keluarga beliau 85 mintakan doa khusus agar didoakan. Iman dan kepercayaan kepada Tuhan, cintanya kepada keluarga dan kepedulian terhadap anak-anak panti asuhan mendorong dan memberi kekuatan yang lebih kepada bapak Hikmat ini. Kesaksian bapak Hikmat ini mengharukan, sebab Bapak yang sudah tengah baya tersebut memberikan kasih dengan rela berkurban. Berkurban waktu, tenaga, juga materi, dan pengurbanan tersebut dipersembahkan dengan tulus dan penuh pengharapan. Dalam kitab Keluaran, bisa ditemukan nuansa tindakan dengan harapan akan keselamatan yang sama, Musa berusaha melunakkan hati Tuhan agar tidak murka terhadap bangsa Israel yang telah berdosa. Dan berkat usaha Musa yang memohon, maka bangsa Israel pun bebas dari murka Tuhan. Contoh kesaksian hidup yang tulus dan penuh pengharapan dari nabi Musa kiranya mengajar kita bahwa pengharapan akan keselamatan menjadi harapan bagi setiap orang. Dalam Injil hari ini, Yesus juga memberikan kesaksian bahwa yang dikerjakan Yesus, itulah yang memberi kesaksian tentang-Nya, bahwa Bapa yang mengutus-Nya. Yesus mengajarkan kepada kita agar kita percaya kepada-Nya, mengikuti dan melaksanakan apa yang menjadi kehendakNya. Kehendak Yesus adalah agar kita bertobat dari segala dosa kita, dan menjadi pembawa kabar baik bagi keluarga dan sesama kita. 86 Pertanyaan reflektif: Sudahkah saya menebarkan kasih, meneguhkan pengharapan dan menjadi saluran keselamatan bagi keluarga dan bagi sesama yang ada disekitar saya? Marilah berdoa: Allah Bapa yang maha murah, kami bersyukur atas kasihMu, bantulah kami agar kami mampu memikirkan dan mengusahakan apa yang baik, yang dapat membawa sukacita dan keselamatan bagi kami dan juga bagi sesama kami. Amin (Sr. Gaudensia Suparmi, OP) 87 Jumat, 31 Maret 2017 Hari biasa Pekan IV Prapaskah Keb. 2:1a,12-22, Mzm. 34:17-18,19-23, Yoh. 7:1-2,10,25-30 BERTEGUH DALAM PERBUATAN KASIH “Dan lihatlah, Ia berbicara dengan leluasa dan mereka tidak mengatakan apa-apa kepada-Nya. Mungkinkah pemimpin kita benar-benar sudah tahu, bahwa Ia adalah Kristus.” (Yoh. 7:26) Pada suatu hari tidak sengaja berpapasan dengan seorang ibu yang sudah lama tidak berjumpa. Sangat kaget karena ibu tersebut sudah tampak tua dan sekarang sudah menggunakan tongkat sebagai penopang saat berjalan. Rasanya cepat sekali pertambahan umur dan perubahan keadaan seseorang di dunia ini. Ibu yang dulunya tegap dan lincah sekarang sudah tua dan tampak lemah secara fisik. Tetapi yang masih tetap sama dilihat mata, adalah semangatnya. Semangat untuk memberikan perhatian, semangat untuk berbagi pengalaman. Bila ibu ini mulai menceritakan kisahnya dalam mengusahakan kebaikan bagi sesama, maka kenangan akan hal tersebut terlintas dalam ingatan. Inspirasi-inspirasi dan semangat baru seakan menular bagi pendengarnya. Sangat berbeda bila bertemu dengan seorang yang hanya banyak omong, tetapi kurang dalam aksi nyatanya. 88 Meskipun banyak bercerita, menyampaikan banyak pengalaman, tetapi cerita hanyalah tinggal cerita. Apalagi kalau diketahui bahwa orang tersebut hanya pandai mencari muka dan pandai bersandiwara demi tercapai kepentingan pribadinya. Maka tidak ada inspirasi baru, tidak ada semangat baru yang bisa didapat oleh pendengarnya. Yang ada malahan rasa bosan dan tidak krasan untuk melanjutkan pembicaraan dengannya. Dua situasi di atas merupakan kenyataan dalam kehidupan. Ada orang yang bisa sangat serius dalam mempersiapkan diri agar bisa berguna bagi sesama. Di lain pihak, ada orang yang acuh tak acuh dengan pilihan sikap dan tindakannya. Hari ini, Yesus juga berjumpa dan berhadapan dengan orang Yahudi yang baik dan orang Yahudi yang jahat. Mereka mempersoalkan darimanakah asal Yesus. Ada yang mengakui kebaikan Yesus, tetapi tidak sedikit pula dari mereka yang tidak mau mengakui kebaikan Yesus dan justru mencari-cari kesalahan Yesus. Hari ini, kita diajak untuk memilih dan berteguh dalam perbuatan kasih, kita diajak untuk mengakui kehebatan orang lain, kita diajak untuk menghormati orang lain. Dengan cara demikian maka kita akan fokus untuk memperbaiki diri dan tidak sibuk dengan iri hati. Kita juga akan tergerak untuk mengusahakan segala hal yang baik demi kesejahteraan dan persatuan sesama. Dengan memilih kebaikan, dengan mengusahakan kesejahteraan dan 89 dengan memperjuangkan persatuan maka kita telah berbuat adil bagi diri sendiri dan juga bagi sesama. Karena keadilan adalah bila sukacita dan kemerdekaan dapat dirasakan oleh semua orang. Pertanyaan Reflektif: Antara kebaikan dan ketidakbaikan, manakah yang lebih sering saya terapkan dalam sikap dan tindakan saya? Marilah berdoa: Bapa yang maha baik, kami berterimakasih kepada-Mu, karena ada begitu banyak pengalaman dan inspirasi bagi kami untuk mengusahakan kebaikan. Semoga kami mampu mengarahkan hati kami terhadap kehendak-Mu agar sukacita dan ketulusan menghiasi hidup kami. Amin. (Suster Gaudensia Suparmi, OP) 90 Sabtu, 1 April 2017 Hari Biasa Pekan IV Prapaskah Yer. 11:18-20, Mzm. 7:2-3,9-12, Yoh. 7:40-53 KASIH ADALAH PELITA HATI “Nikodemus, seorang dari mereka, yang dahulu telah datang kepada-Nya, berkata kepada mereka: Apakah hukum Taurat kita menghukum seseorang, sebelum ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah dibuat-Nya.” (Yoh. 7:49-50) Istilah “ngrumpi” atau membicarakan kekurangan dan kelemahan orang lain adalah hal yang sangat mudah dilakukan dan merupakan satu hal yang seringkali menghiasi pembicaraan. Akan masuk dalam situasi yang kritis bila ada unsur memfitnah. Perbuatan memfitnah sudah masuk dalam dosa, sebab memfitnah sama dengan melakukan pembunuhan terhadap orang yang difitnah. Orang yang difitnah adalah orang yang sama sekali tidak tahu, bahwa dirinya dijadikan obyek pembicaraan yang tidak benar. Sehingga orang yang difitnah akan dinilai tidak baik dan akan dibenci. Tetapi pada akhirnya, masing-masing akan mendapatkan ganjaran sesuai perbuatan. Orang yang memfitnah, pada waktunya akan ketahuan dan mendapatkan hukuman, sedangkan orang yang difitnah akan mendapatkan sukacita. Dalam bacaan pertama, nabi Yeremia mengalami situasi yang mengancam dirinya di Anatot, ada begitu ban91 yak yang tidak suka dengan nabi Yeremia. Dan mereka yang tidak suka menghasut banyak orang untuk mencelakakan nabi Yeremia. Tetapi nabi Yeremia berseru kepada Tuhan dan Tuhan memberikan pertolongan kepada orang yang sedang dalam keadaan terancam. Sebab pada dasarnya perbuatan baik akan menang terhadap perbuatan tidak baik. Dalam bacaan Injil, Yesus juga mengalami situasi yang sama yaitu situasi di mana ada banyak orang yang menyudutkan diri-Nya dan mencari-cari kesalahan-Nya. Terlebih orang-orang Farisi ingin menghasut orang lain agar Yesus dapat dihukum. Di antara sekian banyak orang yang jahat masih tetap ada orang baik yang mempertahankan kebenaran. Salah satunya adalah Nikodemus. Ia tidak terpengaruh dengan isu yang dihembuskan oleh orang-orang Farisi. Ia mengambil sikap berdasarkan kenyataan yang ada, sehingga mampu tetap teguh dalam kasih. Dengan kasih maka Nikodemus tidak terpengaruh. Dengan kasih ia berani membela kebenaran. Pada masa Prapaskah ini, kita diberi kesempatan istimewa untuk memupuk kasih yang telah dianugerahkan Tuhan dalam hati kita. Marilah kita mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Membuka mata untuk melihat kenyataan yang ada, membuka hati untuk tetap teguh memilih dan mempertahankan kebenaran. Marilah menjadi duta kasih di tengah-tengah keluarga kita, komunitas kita dan dimana pun kita berada. 92 Pertanyaan Reflektif: Apakah kehadiranku mampu menebar kasih bagi sesama? Marilah berdoa: Bapa yang maha rahim, kami bersyukur atas kasih yang menuntun kami pada jalan kebenaran. Kami mohon kepadaMu agar memperkuat iman kami, sehingga kami berani mempertahankan dan membela kebenaran demi keselamatan sesama kami. Amin. (Sr. Gaudensia Suparmi, OP) 93 Minggu, 2 April 2017 Hari Minggu Prapaskah V Yeh. 37:12-14; Mzm. 130:1-2,3-4ab, 4c-6,7-8; Rom. 8: 8-11; Yoh. 11, 1-45 KEBANGKITAN “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh 11:25-26) Perikop Injil hari ini mengisahkan kebangkitan Lazarus. Isinya secara tegas melukiskan hubungan antara percaya kepada Yesus dengan hidup kekal. Hidup kekal selalu berarti hidup ilahi yaitu hidup Allah sendiri. Setiap orang yang menaruh kepercayaan kepada Yesus akan mendapatkan hidup ilahi itu. Kita manusia pasti akan mati. Tetapi hidup kita berlanjut terus sesudah mengalami kematian badan. Itulah yang kita yakini sebagai kebangkitan, seperti dikatakan Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh 11, 25-26). Orang Yahudi pun percaya akan hidup sesudah mati. Tetapi itu baru terjadi pada akhir jaman. Mereka percaya bahwa pada saatnya ada kekuatan ilahi yang datang 94 menggoncangkan alam semesta dan menghidupkan manusia dari liang kubur. Yesus mengoreksi pendapat orang Yahudi itu dengan menegaskan bahwa kebangkitan orang mati terjadi dengan perantaraan-Nya. Allah, lewat Putera-Nya memiliki kuasa untuk mengubah ciptaan, membangkitkan orang agar memperoleh kehidupan. Semua orang yang pecaya kepada-Nya, sesungguhnya telah beralih dari kematian menuju kebangkitan. Bangkit yang ditegaskan Yesus jauh lebih dalam dari sekedar peristiwa bangkitnya Lazarus. Sebab bangkit yang dimaksud Yesus merupakan sesuatu yang berciri rohani. Bangkit dalam arti yang sebenarnya justru terjadi ketika berkat imannya akan Yesus, orang tergerak untuk melepaskan cara hidupnya yang salah dan membuka diri terhadap kehidupan yang diberikan oleh Allah sendiri. Orang tergerak untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang menciderai martabat manusia. Berbagai tindakan tidak adil pada sesama ditinggalkan. Begitu pula perilaku yang mengancam peradaban hidup bersama dibuang jauh-jauh. Kini, pikiran, hati, ucapan, dan tindakan dilandasi oleh cinta. Kesungguhan iman dalam tindakan kasih inilah yang diharapkan dari hidup kita. Karena itu pertanyaan Yesus kepada Marta adalah pertanyaan yang menantang kesungguhan dalam iman. Percayakah engkau akan hal ini?” Pertanyaan yang sama juga ditujukan kepada kita. 95 Pertanyaan reflektif: Sudahkah pikiran, hati, ucapan, dan tindakan kita dilandasi oleh cinta yang tulus untuk mewujudkan kehidupan adil dan beradab sehingga martabat setiap manusia dihormati? Marilah berdoa: Bapa yang maha baik, Yesus Putera-Mu membangkitkan Lazarus dari kematian. Bangkitkanlah kami juga agar kami dapat terlepas dari semua belenggu dosa, sehingga mampu mewujudkan tema APP-KAJ 2017: “Amalkan Pancasila semakin adil dan beradab”. Amin. (A. Widyahadi Seputra) 96 Senin, 3 April 2017 Hari biasa Pekan V Prapaskah Dan. 13: 1-9, 15-17, 19-30.33-62 (Dan.13: 41c-62); Mzm. 23:1-3a,3b-4,5,6; Yoh. 8: 1-11 MENGAMPUNI “........ Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yoh. 8:11) Allah menghendaki agar setiap orang berbuat baik. Salah satu perbuatan disebut baik, apabila hidup kita selalu diarahkan untuk mengabdi, menghormati, memuji, dan memuliakan Allah, Tuhan kita. Namun kebebasan yang diberikan sering disalahgunakan. Bukan perbuatan baik yang dipilih dan dilakukan, tetapi justru sebaliknya. Bacaan Injil hari ini menunjukkan sikap Yesus yang penuh hormat terhadap pendosa. Dia menolak untuk menjatuhkan hukuman terhadap perempuan yang tertangkap bezinah. Yesus membongkar sikap manusia yang merasa dirinya benar dan suci, kemudian mnghukum sesama yang dianggap ternoda dan berdosa. Yesus tidak menghukum melainkan mengampuni. Cara Yesus untuk mempertobatkan orang bukan dengan menghukum melainkan dengan menunjukkan pengampunan dan belaskasihan. Sikap Yesus terhadap perempuan yang berzinah sangat jelas. Pertama, Yesus tidak menghukum orangnya. Kedua, 97 Ia menuntut supaya jangan berbuat dosa lagi. Itu berarti dosa sebagai sebuah tindakan yang obyektif tetap tidak dapat dibenarkan. Pendosa tetap diberi ruang untuk mengubah sikap hidupnya secara mendasar sehingga semua bentuk hubungan yang rusak akibat dosa dipulihkan dan orang mengalami keselamatan. Karena itu tuntutan Yesus jelas dan tegas: “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi!” Tetapi Yesus tetap menaruh hormat terhadap orangnya. Maka Dia berkata: “Aku pun tidak menghukum engkau”. Nilai apakah yang dapat kita ambil dari ajaran Yesus hari ini? Pertama, hormatilah setiap pribadi orang betapapun buruk perilaku orang itu di mata kita. Kedua, tidak mudah menghakimi mereka yang menurut kita melakuan kesalahan. Ketiga, rela mengampuni kalau orang menyatakan diri bertobat. Keempat, memberi ruang kepada pendosa untuk berubah menjadi orang baik. Pertanyaan reflektif: Beranikah kita mengampuni orang yang bersalah kepada kami tanpa pandang bulu? Marilah berdoa: Tuhan, bantulah agar kami pun berani mengampuni mereka yang bersalah kepada kami, dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan, tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat, agar nama-MU makin dipuji dan dimuliakan setiap saat. Amin. (A. Widyahadi Seputra) 98 Selasa, 4 April 2017 Hari biasa Pekan V Prapaskah Bil. 21: 4-9; Mzm. 102:2-3,16-18,19-21; Yoh. 8: 21-30 MEMANDANG SALIB “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia....” (Yoh. 8:28a) Ketika membaca dan merenungkan kisah orang-orang yang disembuhkan karena memandang ular tembaga yang dibuat Musa, saya teringat akan kesaksian yang dilakukan oleh seseorang yang memandang salib. Suatu kebiasaan yang ia lakukan adalah memandang salib. Ia berdoa sebentar sebelum memulai aktifitas sehari-hari. Jika diperhatikan, tampak ada perubahan warna wajahnya sebelum dan sesudah berdoa. Sesudah berdoa, wajahnya berbinar-binar dan suaranya terkesan lebih mantap. Hal ini diteguh-kan Yesus dalam Injil Yohanes: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia” (Yoh. 8,28a). Setiap orang yang percaya dan memandang salib Yesus akan beroleh keselamatan. Tidak saja dari penyakit, tetapi lebih dari itu, dari belenggu kuasa dosa dan maut. Dengan memandang salib Yesus diam-diam, daya penyelamatan itu bekerja dalam diri kita untuk siap 99 menghadapi tantangan. Setiap kali merenungkan peristiwa sengsara dan penyaliban Yesus, saya tidak habis pikir mengapa kenyataan seperti itu terjadi. Mengapa orang benar, baik, suci harus mati dengan cara demikian? Salah satu jawabnya adalah karena Tuhan menghendaki-Nya. Yesus sendiri kerap mengatakan bahwa Anak Manusia akan diserahkan ...... Hanya dengan memandang salib, kita akan semakin mengenal Dia. Hanya dengan memandang salib kita terbantu untuk menerima, memahami dan memberi makna pada pengalaman duka, kecewa, sakit yang sulit dimengerti. Hanya dengan memandang salib Yesus, kita dimampukan untuk memperlakukan sesama manusia secara hormat dan bermartabat. Pertanyaan reflektif: Sudahkah kita selalu memandang salib Yesus dalam menghadapi dan memaknai segala persoalan yang menerpa hidup kita dalam keluarga, komunitas, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Pancasila di Indonesia ini? Marilah berdoa: Bantulah kami agar mampu menghayati misteri salib Yesus dalam kehidupan kami, sehingga boleh ikut ambil bagian dalam kebagiaan-Mu. Amin. (A. Widyahadi Seputra) 100 Rabu, 5 April 2017 Hari biasa Pekan V Prapaskah Dan.3, 14-20.24-25.28; Dan. 3:52,53,54,55,56; Yoh. 8:31-42 KEBENARAN “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8: 31-32) Kutipan Injil hari ini memberitahukan kepada kita bahwa Yesus berbicara dengan orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya. Orang-orang Yahudi membagi dunia ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah anak-anak Abraham yaitu orang-orang Yahudi sendiri. Kelompok kedua adalah orang-orang bukan Yahudi. Orang-orang Yahudi bangga akan leluhur mereka Abraham. Tetapi mereka melupakan bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan bila orang itu tidak terus hidup di dalam dosa. Yesus mengoreksi pendapat orang-orang Yahudi itu dengan menjelaskan perutusan-Nya di dunia yaitu menjadi raja kebenaran. Siapa pun yang mencari kebenaran dan tetap tinggal di dalamnya adalah murid-murid-Nya tanpa memperhitungkan dari kelompok sosial mana mereka berasal. Semua orang yang hidup di dalam kebenaran adalah milik-Nya. Sebagai murid Kristus yang sejati, kita harus benarbenar konsisten untuk tetap tinggal di dalam firman-Nya. 101 Kalau kita tetap tinggal di dalam firman-Nya, maka kita akan mengetahui kebenaran. Kebenaran itu akan memerdekakan kita dari belenggu dosa. Kemerdekaan dari dosa-dosa menjadikan kita anak-anak Allah. Tindakan kita selalu dilandasi oleh nilai keadilan dan kasih untuk menghormati martabat manusia. Sebaliknya, mengabaikan nilai keadilan dan cinta, kita tetap berada di dalam dosa. Kita hidup bukan selaku orang mereka, tetapi diperbudak oleh dosa, sehingga dikenal sebagai hamba dosa. Hidup sebagai hamba dosa berarti kita menjadi budak dosa. Tandanya hidup kita diwarnai oleh sikap, perilaku, dan tindakan yang tidak mengedepankan nilai-nilai perikemanusiaan, seperti: sikap acuh tak acuh, tidak peduli terhadap segala kesombongan dan manipulasi, tidak menghormati hak azasi manusia, membiarkan dosa berkuasa di dalam hidup kita. Yesus mampukan kami untuk melepaskan diri dari status budak dosa, dan jadikan kami sebagai orang merdeka untuk melakukan kebenaran: “Jikalau kamu tetap di dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah muridKu dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8: 31-32). Pertanyaan reflektif: Apakah kita tetap konsisten untuk mengikuti Yesus Kristus dengan berpegang pada firman kebenaran seperti yang disampaikan pada hari ini? 102 Marilah berdoa: Tuhan, jangan biarkan kami hidup sebagai budak dosa. Kuasailah pikiran, perkataan, dan perbuatan kami agar kami menjadi anak-anak merdeka di dalam firman-Mu, sehingga mampu mengamalkan tema APP-KAJ 2017 dari Sila ke dua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Amin. (A. Widyahadi Seputra) 103 Kamis, 6 April 2017 Hari biasa Pekan V Prapaskah Kej. 17:3-7; Mzm. 1005:4-5,6-7,8-9; Yoh. 8:51-59 YESUS ADA SEBELUM ABRAHAM “Sesungguhnya barang siapa menuruti firmanKu, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya.” (Yoh. 8:51.b) Sebelum kita merenungkan Injil hari ini, baik jika kita juga membaca dan merenungkan perikop Injil Yohanes 8:37-47 yakni bacaan sebelum perikop Injil Yohanes 8:51-59 hari ini. Dalam renungan saya, muncul peristiwa perang penolakan yang hebat. Orang-orang Yahudi tidak mengakui Yesus karena Yesus itu tidak seperti yang mereka gambarkan. Mereka mengambarkan Kerajaan Allah itu megah, mewah dan dahsyat tetapi yang ada pada Yesus justru kebalikannya. Yesus sendiri lahir di kandang dan bukan istana. Orang tuanya miskin dan sederhana. Hal yang demikian itu di luar pikiran dan gambaran orang Yahudi. Maka Yesus tidak diakui karena tidak sesuai dengan Mesias yang diceritakan dalam Perjanjian Lama yang megah, hebat dan dahsyat. Yesus ditolak dan Kerajaan Allah tak dapat mereka lihat apalagi diterima, padahal Yesus sudah ada bersama mereka, dan Yesus sudah ada sebelum Abraham. Ujung ketidaktahuan dan salah sambung dengan 104 misteri Agung jati diri Yesus, membuat orang Yahudi menyimpulkan bahwa Yesus kerasukan setan dan sebagainya. Bahkan lebih dari itu, mereka sampai mengambil batu untuk melempari Dia…bayangkan dalam kehidupan sering kita juga menyalahkan Tuhan untuk sesuatu yang tidak kita ketahui dan tidak kita mengerti, hanya mendugaduga. Ini sebuah prilaku yang tidak adil dan tindakan yang tidak manusiawi. Kita sering menutup diri tidak mengakui keterbatasan kita, kita merasa lebih hebat dari pada Tuhan sendiri, padahal itu sebuah kebebalan hati kita dan kebodohan kita dan bukan Dia. Sikap kita yang terlalu sembrono justru akan menghancurkan diri sendiri dan orang lain. Padahal Yesus itu kan Allah. Allah sudah ada sejak semula, sebelum Abraham sudah ada Allah, Sudah ada Yesus. Rasa-rasanya pernyataan Yesus keras dengan mengatakan “Sesungguhnya barang siapa menuruti firmanKu, ia tidak akan mengalami maut sampai selamalamanya (Yoh 8: 51.b.)” kalimat itu keras, karena kita bisa membayangkan jika saja itu yang berbicara adalah diri kita, dan kita mengatakan kalimat senada dengan kata “sesungguhnya….” Seakan akan kita mau mengatakan tidak ada yang lain dari kata yang sebenarnya dan tentu saya berharap agar orang yang kita ajak bicara untuk mengerti dan percaya, dengan kata lain itu sudah merupakan penegasan pilihan terakir untuk mengatakan bahwa itulah kebenarannya…. 105 Pertanyaan Reflektif: Benarkah demikian bahwa aku masih sulit melihat kelebihan sesama dan menyalahkan Tuhan ketika perjalanan hidupku tidak seperti yang saya harapkan? Marilah kita berdoa: Ya Tuhan hadirlah di tengah kami yang masih sering bimbang dan ragu dalam hidup ini. Terangi hati dan budi kami agar kami tetap hidup di jalanMu dan senantiasa percaya akan Allah yang adalah Tuhan Yesus sendiri sumber hidup dan kebenaran. Amiin. (Sr. Sebastiana, HK) 106 Jumat, 7 April 2017 Hari biasa Pekan V Prapaskah Yer. 20: 10-13; Mzm. 18:2-3a, 3bc-4,5-6,7; Yoh. 10:31-42 YESUS DITOLAK OLEH ORANG YAHUDI “Tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepadaKu, percayalah akan pekerjan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa” (Yoh. 10:38). Banyak energi yang terbuang dan tanpa perhitungan. Hidup kita sering menghabiskan waktu dengan perkaraperkara yang sesungguhnya kita sendiri belum jelas, bahkan terkadang kita rela debat sampai hebat. Misalnya saja kalah soal pengetahuan ilmu yang kita miliki atau yang kita ketahui, kita berdebat antar teman bahkan saudara, bahkan terkadang sampai adu otot dan selisih paham yang berujung permusuhan sengit. Begitulah yang sering terjadi karena kedegilan, kepicikan dan keegoisan kita masing masing…tidak peduli apakah sesamaku sakit, kita tidak peduli, apalagi sampai merasakan bahwa Tuhan Yesus akan sakit dan sedih melihat sikapku yang seperti itu. Dalam keheningan jiwa di bulan yang penuh rahmat, kita diajak dalam masa Prapaskah ini untuk menyadari akan misteri rahasia Allah. Umat Allah dan sebagai umat beriman diajak untuk membuka mata hati kita melihat siapa 107 Yesus yang adalah Allah, melihat relasi Allah yang sejati dengan Allah Bapa. Atau beranikah kita mengambil waktu dan jarak untuk berdiam sejenak, membuka telinga untuk mengakui dan menerima sabdaNya seperti yang dikatakanNya “tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepadaKu, percayalah akan pekerjan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa” (Yoh. 10:38). Berani mengakui kehebatan sesama berarti memanusiakan orang lain, berani mengakui karya Allah lewat apapun yang bisa kita lihat dan kita dengar itulah iman yang menyelamatkan. Pertanyaan reflektif: Apakah selama ini dalam hidupku juga mampu menjadi tanda kehadiran Allah bagi sesama? atau sering menghabiskan energi dan waktu kita hanya untuk perkaraperkara yang tidak jelas? Marilah berdoa: Allah yang Mahabaik, mampukanlah kami selalu terbuka menerima undangan-Mu untuk mau melaksanakan kehendak-Mu dengan sukacita. Mampukanlah kami juga menjadi pembawa damai dan kegembiraan bagi siapa saja yang ada di sekitar kami. Amin (Sr. Sebastiana, HK) 108 Sabtu, 8 April 2017 Hari biasa Pekan V Prapaskah Yeh. 37:21-28; Yer 3:10, 11-12ab, 13; Yoh. 11:45-56 PERSEPAKATAN UNTUK MEMBUNUH YESUS “Bagaimana pendapatmu? Akan datang jugakah Ia ke pesta?” (Yoh. 11:56.b) Orang-orang Yahudi bertanya, “Bagaimana pendapatmu? Akan datang jugakah Dia ke pesta?” pertanyaan orang-orang Yahudi sebenarnya pertanyaan yang mencobai sesamanya bagi Yesus. Dalam tradisi kita mengetahui kebiasaan orang pergi ke pesta biasanya untuk merayakan hari sukacita karena peristiwa yang indah dan mengembirakan. Pernyataan ini seolah olah memiliki arti yang mencurigakan, ada apa di balik pertanyaan ini? Mengharapkan tokoh hadir dalam sebuah pesta namun berujung kejahatan. Lihatlah orang-orang Yahudi kini sedang berbondong-bondong melawat Maria, mereka juga menyaksikan banyak hal yang terjadi apa yang telah dilakukan Yesus. Mereka berbondong-bondong bukan untuk ikut suka cita, melainkan mereka ingin membuat siasat untuk menyiapkan perangkap dan mereka sepakat untuk tetap membunuh Yesus. Rasionalisasi Orang-orang Yahudi untuk keselamatan, kenikmatan namun sebenarnya 109 hanya untuk keuntungan sendiri dan kelompoknya. Mereka melakukan hanya untuk kelompok elit penjaga kerajaannya. Semua itu dilakukan karena takut orang-orang Roma akan datang, dan merampas tempat suci serta bangsanya. “Karena itu lebih berguna satu orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita binasa. Bahkan seolaholah Bapa lewat nubuat Kayafas “mengamini” kejahatan mereka, agar keselamatan segera tiba. Pertanyaan reflektif: Apakah saya masih mampu mempertahankan suara hati yang murni dan memiliki niat baik dalam pelayanan bagi sesama? Marilah berdoa: Allah Bapa yang maha baik, kami bersyukur atas penyelenggaraanMu dalam hidup ini. Semoga kami tetap tekun dan setia menapaki jalan yang telah Engkau anugerahkan kepada hidup kami, meskipun kami sering jatuh dan tidak setia padaMu. Bantulah kami selalu dijalan yang benar dan bantulah kami menghayati hidup lewat jalanMu yang benar, demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin (Sr. Sebastiana, HK) 110 Minggu, 9 April 2017 Minggu Palma Mengenangkan Sengsara Tuhan Yes. 42:1-7; Mzm. 22:8-9,17-18a,23-24; Flp.2:6-11; Mat. 21:1-11 YESUS DIELU-ELUKAN DI YERUSALEM “Hosanna Putera Daud, terberkatilah yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel! Hosanna sembah sujud!” (Mat. 21:9) Kalau kita menyimak dalam Injil lain seperti Injil Markus, di sana dilukiskan bahwa ketika Yesus lewat, “Banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka ambil dari ladang” (Mrk.11:8). Tentu semua itu menjadi bentuk sambutan hangat bagi Yesus. Namun kiranya cukup dengan caracara seperti itukah? Tentu tidak. Hari ini Gereja memasuki Pekan Suci. Pada hari Minggu Palma ini kita semua diajak untuk mengenang sengsara Tuhan Yesus, yang diawali dengan perarakan Yesus memasuki Kota Yerusalem. Ketika Yesus dan para muridNya telah dekat Yerusalem, dekat kota Befage dan Betania yang terletak di dekat bukit Zaitun, Yesus meminta kepada dua muridNya untuk meminjam seekor keledai muda, milik seorang warga, yang ditambatkan di depan pintu di luar rumahnya, di dekat pingir jalan. Keledai itu pun kemudian dialasinya dengan pakaian, lalu Yesus naik ke atas keledai muda itu dan kemudian memasuki Kota 111 Yerusalem. Minggu Palma kita rayakan dalam semangat kasih dan pengorbanan seperti yang diteladankan oleh Yesus sendiri. Hari ini kita diajak untuk menyambut Yesus, melibatkan seluruh diri kita, bukan hanya pakaian dan tampilan kita, apalagi dengan ranting pohon yang kering mati tak bernyawa. Hari ini kita diajak untuk juga berani menghamparkan diri kita sebagai pakaian di bawah kaki-Nya. Mari kita sambut Yesus sambil melambaikan tangan kita sebagai ranting rohani jiwa yang hidup yang memiliki hati dan nurani dan berseru “Hosanna-hosanna.. diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan !” (Mat. 21:9). Pertanyaan Reflektif: Di jaman ini “kasih “dan bentuk” pengorbanan “apa yang dapat saya bagikan bagi orang–orang yang kita kasihi dan bahkan mungkin bagi mereka yang sangat tidak saya sukai?... Marilah berdoa: Allah yang Maha Belaskasih dan Maha Rahim, ampunilah kami orang berdosa yang sering mudah jatuh dan jatuh lagi dalam dosa. Semoga hari ini kami dapat mengiringi Raja Kristus dengan penuh sukacita, dan kami diperkenankan memasuki Yerusalem abadi bersama Dia, yang hidup dan berkuasa kini dan sepanjang masa. Amin. (Sr.Sebastiana, HK) 112 Senin, 10 April 2017 Pekan Suci Yes. 42:1-7; Mzm.27:1,2,3,13-14; Yoh.12:1-11 MEMBERIKAN YANG TERBAIK UNTUK TUHAN “Maria meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya” (Yoh.11:3) Minggu, 16 Oktober 2016 yang lalu, saya mengunjungi Bina Iman Paroki di Gereja menjelang Misa kedua pukul 08.30. Hari itu hari Minggu biasa. Seperti biasanya anak anak Bina Iman usia 3 hingga 8 tahun menjelang komuni, sudah berbaris dengan rapi di depan pintu gerbang Gereja untuk mendapatkan berkat dari pastor. Tiba-tiba mata saya tertuju pada seorang anak laki laki usia sekitar 5 tahun membawa permen coklat di tangannya. Saya mendekati bocah tersebut dan bertanya,” Nak, kita akan masuk Gereja, mengapa masih membawa permen coklat?” Tampaknya anak itu tak ambil peduli dengan pertanyaan saya. Bocah itu hanya berlari dan terteriak, ”Pastor ini permen kesukaan saya, dibeli mama dari jauh.” Saya penasaran, karena jangan jangan memang anak ini mau makan permen dalam Gereja, ketika hendak menerima berkat khusus untuk anak dari imam yang merayakan Ekaristi saat itu. Saya berusaha mencegahnya, dan bertanya lagi: ”Nak, ayo simpan permen itu. Di dalam Gereja, 113 hendaknya kita bersikap baik dan sopan terhadap Yesus.” Lagi-lagi bocah ini berteriak, ”Saya mau bertemu Yesus. Saya mau bertemu Yesus.” Saya semakin penasaran. Ketika sudah mendekat saya bertanya dan sedikit keras meminta permen itu untuk disimpan. Namun semakin saya mendekat, bocah itu berteriak-teriak, ”Pastor saya mau bertemu Yesus. Saya hendak memberikan permen kesukaan saya untuk Yesus, agar Yesus bisa merasakan enaknya coklat dari mama ini.” Saya berhenti, terkejut dengan jawaban seorang bocah kecil 5 tahun yang sangat beriman. Bocah ini memang tidak akan makan permen coklat, namun hendak berbagi dan diberikan kepada Yesus setelah nanti ia mendapat berkat dari Romo. Saya menyesal telah berprasangka buruk kepada bocah kecil ini. Saya tetap mengamati bocah ini, sesampainya di depan pastor yang memberikan berkat khusus untuk anak, anak ini diberi berkat di dahi. Setelah itu dengan lirih saya dengar bocah ini berbicara kepada pastor tersebut: ”Pastor saya titip coklat kesukaan saya untuk Yesus ya…” Bocah ini telah mengajarkan kepada saya untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan, memberikan apa yang dia punya sebagai kegemaran untuk Yesus. Ini persis seperti sosok Maria yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu yang paling mahal, dan menyekanya dengan rambutnya. 114 Pertanyaan reflektif: Apakah aku pernah mempunyai perasaan mencintai Yesus lebih dari segalanya? Kapan dan saat apa peristiwanya? Marilah berdoa: Ya Allah Bapa, ajarilah aku untuk senantiasa mencintai Yesus dengan apa yang kupunya, dengan apa yang kumiliki lebih dari segala sesuatu. Amin. (RD. Sridanto Aribowo) 115 Selasa, 11 April 2017 Pekan Suci Yes. 49:1-6; Mzm.71:1-2, 3-4a, 5-6ab, 15,17; Yoh.13:21-33, 36-38 DIKHIANATI PASANGAN HIDUP “…sesungguhnya seseorang di antara kamu akan menyerahkan Aku” (Yoh.13:21) “Sakitnya tuh di sini, di sini dan di sini” begitu ekspresi seorang ibu muda sambil menekan kedua telapak tangannya di dadanya dengan mata berkaca-kaca. Setelah misa kedua di hari Minggu, ibu ini datang kepada saya dan sedikit mensharingkan pengalaman hidupnya,”Romo, pernahkah Romo merasa dikhianati oleh orang yang paling dicintai? Betapa sakitnya Romo. Suami saya kepergok melakukan affair dengan sekretaris kantor di depan mata saya. Aduh rasanya, dunia ini mau runtuh Romo. Kalau saya tidak ingat dua anak kami yang masih kecil dan manis-manis, saya sudah berniat meninggalkan suami saya.” Pengalaman dikhianati adalah pengalaman yang menyakitkan. Pengalaman dikhianati oleh pasangan hidup yang kita cintai, adalah pengalaman yang paling pahit dalam hidup dan tak akan mudah terlupakan. Yesus pun pernah mempunyai pengalaman pahit, dikhianati oleh murid yang hidup bersama dia dan senantiasa ada bersama dia. 116 “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.” Namun Yesus tidak berhenti dalam pengalaman pahit itu. Ia bahkan menembus pengalaman pahit itu, dengan tetap taat kepada BapaNya, memikul salib dan siap menghadapi penderitaan yang lebih pahit, dan getir yaitu disiksa dan disalib. Seorang pengikut Yesus yang sejati adalah seorang yang mampu bertahan dalam pengalaman pahit dan mentransformasinya menjadi ungkapan kasih yang siap diwartakan kepada setiap orang yang dijumpai. Pertanyaan Reflektif: Pernahkan aku mempunyai pengalaman pahit? Bagaimana rasanya aku mempunyai pengalaman dikhianati oleh orang yang aku cintai? Pernah coba kubayangkan bagaimana rasanya Yesus dikhianati oleh murid yang dicintaiNya? Marilah berdoa: Allah Bapa yang penuh kasih, kami bersyukur karena dengan kasih sayangMu Engkau berkenan mengorbankan Putera tunggal satu satunya, yaitu Yesus Kristus. Ajarlah dan kuatkanlah iman kami, agar kami bisa belajar dari PuteraMu Yesus Kristus, yang tetap memberikan kasih walaupun Ia pernah dikhianati oleh murid-muridNya. Amin. (RD.Sridanto Aribowo) 117 Rabu, 12 April 2017 Pekan Suci Yes.50:4-9a;Mzm.69:8-10,21bcd-22,31,33-34; Mat.26:14-25 PENGORBANAN UNTUK BANYAK PETANI ANGGUR “…anak Manusia akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia” (Mat. 26:24) Dalam suatu kesempatan mengikuti Konferensi Internasional Liturgi di Bali, tanggal 11- 15 Oktober 2016 yang lalu ada pengalaman yang menyentuh. Pengalaman itu bukan pengalaman tentang bagaimana ahli ahli liturgi berbicara tentang Sakramen Perdamaian dalam Konferensi, melainkan pengalaman ringan ketika para peserta diajak bereksposure ke pabrik anggur (winery). Pabrik anggur ini adalah milik seorang ibu beriman Katolik. Yang menarik dari pabrik anggur ini adalah kisah kisah di belakangnya. Pemilik anggur adalah seorang ibu yang sebelum mendirikan anggur adalah seorang akuntan publik yang cukup disegani di suatu perusahaan multi nasional. Dalam sebuah perjalanan, ibu ini bertemu dengan petani anggur yang sangat miskin di daerah Bali Utara. Saat itu buah anggur hanya dijual Rp. 400 saja per-kilo. Ibu ini sedih melihat banyak petani anggur yang miskin. Panen yang melimpah tidak serta merta mengangkat kesejahteraan mereka. Setelah berdiskusi dengan putrinya, ibu ini 118 akhirnya memberanikan membangun pabrik anggur, yang anggurnya dibeli dari para petani anggur di Bali Utara. Anggur yang saat itu harga pasarannya hanya Rp. 400 per kilo, dibeli dengan harga Rp.7000 per kilo sebagai bahan dasar pembuatan minuman anggur. Luar biasa, anggur dalam kemasan botol yang sudah difermentasi itu dijual ke hotel hotel dengan kisaran harga Rp.150.000 hingga Rp.600.000 per botol. Petani anggur di Bali Utara tidak lagi merana dan hidup miskin. Kesejahteraan mereka bertambah dengan berfungsinya pabrik anggur di Gianyar Bali ini. Yang menarik dari kisah ibu ini adalah: bagaimana pengalaman mendirikan pabrik diawali dengan keprihatinan atas petani anggur yang miskin. Ibu ini berkorban dengan meninggalkan pekerjaan yang menjanjikan, memulai suatu usaha baru yang masih gelap mengingat mendirikan pabrik anggur di negeri ini termasuk sangat sulit proses perijinannya. Tangan Tuhan tampaknya bekerja, dan pengorbanan ibu tadi tidak sia-sia. Pengorbanan adalah salah satu bentuk keutamaan kristiani. Kita belajar berkorban karena Tuhan kita Yesus Kristus juga berkorban demi kita. “…anak Manusia akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia”. Ia berkorban untuk menebus dosa manusia. Pertanyaan Reflektif: Pernahkah aku mempunyai pengalaman berkorban? 119 Dalam pengalaman itu apakah aku juga menemukan Yesus yang juga berkorban untuk aku? Marilah berdoa: Allah Bapa yang penuh kasih, aku bersyukur atas pengalaman berkorban yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Semoga pengalaman berkorban ku ini juga membawa aku untuk mampu merenungkan pengorbanan Yesus menjelang saat saat terakhir hidupNya menjelang di salib. Amin. (RD. Sridanto Aribowo) 120 Hari Kamis, 13 April 2017 Pekan Suci Bc.E.Yes.61:1-3a,6a,8b-9; Mzm.89:21-22,25,27; Why.1:5-8; Luk.4:16-21. DITOLAK DI TANAH KELAHIRANNYA “…sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.” (Luk.4:24) Dalam sebuah pertemuan forum Internasional, saya bertemu dengan seorang pastor Belanda yang lebih dari 45 tahun menjadi misionaris di Ambon. Saya bertanya kepada pastor ini, ”Pastor apakah masih ada panggilan di Belanda?” Pastor ini menjawab, “Sudah tidak ada lagi. Zero vocation katanya.” Saya masih bertanya lagi, “Pastor akan menghabiskan masa tua di Ambon atau kembali ke Belanda?” Dengan tampak emosional dan berkaca kaca pastor ini menjawab,”Di Belanda saya sudah tidak punya kerabat. Gereja banyak yang tutup, dan anak muda hampir tidak ada yang terpanggil. Masa depan Gereja di Belanda tinggal kenangan. Dulu kami bangga menjadi misionaris mewartakan Kerajaan Allah di tanah misi. Kini kondisi serba terbalik. Saya ingin mati di tanah misi ini.” Mendengar kisahnya, hati saya ikut trenyuh dan sedih memikirkan Gereja di Belanda. Romo ini tampaknya “ditolak” oleh situasi tanah kelahirannya yang tidak lagi seperti dulu. Ditolak dalam arti menjadi tempat yang tidak nyaman lagi untuk Gereja bertumbuh dan berkembang. 121 Dalam sejarahnya Gereja justru berkembang di tempat tempat yang tidak nyaman, terjadi banyak penderitaan dan kesengsaraan. Pengalaman Petrus dan Paulus dalam Kisah Para Rasul sungguh mengingatkan kita akan sejarah ini. Ditolak memang menyakitkan apalagi merasa ditolak di tempat asal, tempat kita lahir dan dibesarkan. Namun tidak perlu kuatir, Yesus Tuhan yang kita junjung tinggi pun juga pernah ditolak.Injil hari ini sungguh menguatkan kita. “…sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”(Luk. 4:24) Pertanyaan Reflektif: Pernahkah aku mempunyai pengalaman ditolak? Bagaimana perasaanku saat itu? Pernahkah aku tahu bahwa Yesus pun pernah ditolak? Menurutmu bagaimana perasaan Yesus saat itu? Namun apa yang Dia lakukan? Marilah berdoa: Allah Bapa yang penuh kasih, aku bersyukur bahwa aku pernah mempunyai pengalaman ditolak. Ditolak oleh orang yang aku cintai, ditolak oleh keluargaku, ditolak oleh rekan kerjaku, dan juga ditolak oleh masyarakat tempat kelahiranku. Tuhan berilah aku kekuatan, agar aku senantiasa tetap mewartakan kabar gembira Injil, sekalipun aku harus ditolak di tempat asalku. Amin. (RD. Sridanto Aribowo) 122 Jumat, 14 April 2016 Hari Jumat Agung Yes.52:13-53:12 ; Mzm.31:2,6,12-13,14-15,17,25; Ibr.4:14-16;5:7-9; Yoh. 18:1-19:42 SIAPAKAH SAHABATMU? Simon Petrus masih berdiri berdiang. Kata orang-orang di situ kepadanya: ”Bukankah engkau juga seorang muridNya?” ia menyangkalnya, katanya:”Bukan.”Kata seorang hamba Imam Besar, seorang keluarga dari hamba yang ditelinganya dipotong Petrus: “ Bukankah engkau kulihat di taman itu bersama-sama dengan Dia?” Maka Petrus menyangkalnya pula dan ketika itu berkokoklah ayam. (Yoh. 18:25-27) Semasa SMA, salah satu teman saya adalah anak orang kaya. Ketika ia berulang tahun ke 17 kami temanteman satu sekolah diundang dalam pesta itu. Pesta itu sangat meriah, diadakan di salah satu hotel ternama di pusat Jakarta. Ruang pesta ditata dengan dekorasi indah dengan tata cahaya mempesona. Aneka rupa hidangan tersaji. Banyak sekali teman yang datang, kami larut dalam tawa gembira bersama. Betapa indah dan mewahnya pesta ulang tahun itu. Saya sangat terkagum-kagum dan terheran-heran, banyak sekali temannya ya. Kemeriahan pesta itu kadang masih terngiang dalam ingatan sekarang ini. Pikir saya, sudah kaya banyak teman pula, sungguh masa muda yang sangat menyenangkan. 123 Tetapi tiba-tiba terlintas dalam pikiran kecil ini apakah semua ini akan abadi? Kata orang kan hidup itu selalu berputar. Bagaimana jika tiba-tiba orang tuanya jatuh miskin atau mengalami kesulitan, apakah hidupnya tetap seperti itu, tetap setiakah teman-temannya? Adakah mereka akan memberi penghiburan di kala temannya berkesusahan tetap menemaninya di saat merasa ditinggalkan oleh teman dan kerabat-kerabatnya. Seribu orang teman datang saat kamu tertawa tapi mungkin hanya satu orang sahabat yang akan datang saat kamu berderai air mata. Hanya sedikit orang mengulurkan tangannya untuk membantu. Tapi yang terakhir inilah teman yang sesungguhnya. Ingatan ini mengantar pada peristiwa yang dialami oleh Yesus pada saat malam Ia diadili. Sebelumnya, Yesus sangat dielu-elukan, sangat dipuja-puji karena ajaran dan mujizatnya. Banyak murid yang setia mengikutinya dan selalu bangga berada di sekitar-Nya. Apa yang terjadi ketika Yesus ditangkap dan akan dihukum mati? Petrus murid yang sangat dekat dan disayangi meninggalkan-Nya dan menyangkal-Nya bahkan sampai 3 kali. Apakah kita akan seperti Petrus yang akan meninggalkan teman kita ketika dia mengalami kesulitan? Atau bahkan seperti Yudas yang mengkhianati-Nya demi keuntungannya sendiri. Kisah sengsara yang kita peringati hari ini membawa kita pada sosok Yesus. Beruntunglah kita, Yesus sungguh teman kita yang setia. Ketika kita jatuh dalam dosa, Ia tidak meninggalkan kita. Ia justru rela menderita untuk kita. Mari, 124 kita meneladan sikap Yesus agar kita menjadi teman setia, dimana pun dan kapan pun. Pertanyaan Reflektif: Apakah kita akan selalu setia pada iman kita untuk mengikuti Yesus walaupun banyak tawaran duniawi yang lebih menjanjikan? Marilah berdoa: Ya Bapa yang maha baik tuntunlah dan teguhkanlah iman kami agar selalu setia dan tidak pernah meninggalkanMu, beri hati kami selalu bersyukur untuk kasih dan karuniaMu sepanjang hidup kami. Amin (Maria Ana PL) 125 Sabtu, 15 April 2016 Hari Sabtu Suci Kej. 1:1-2;2; Mzm.51:12-13,14-15,18-19; Rm. 6:3-11;Mzm.118:1-2,16ab-17,22-23; Mat.28:1-10 BERPERAN TANPA MENONJOLKAN DIRI “Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria Magdalena dan Maria yang lain, menengok kubur itu. Maka terjadilah gempa bumi yang hebat sebab seorang malaikat Tuhan turun dari langit dan datang ke batu itu dan menggulingkannya lalu duduk di atasnya. Wajahnya bagaikan kilat dan pakaiannya putih bagaikan salju. Dan penjaga-penjaga itu gentar ketakutan dan menjadi seperti orang-orang mati. Akan tetapi malaikat itu berkata kepada perempuan-perempuan itu: “Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu.” Saya pernah menginap di rumah seorang sahabat untuk beberapa hari. Sahabat saya terbilang sudah mapan. Saya mengamati kegiatan rutinnya setiap pagi. Saya heran, dia menangani sendiri keperluan sehari-hari keluarganya. Setiap pagi, di saat suami dan anaknya masih tertidur lelap, dia menyiapkan masakan untuk sarapan dan bekal siang untuk mereka. Kemudian, ia merapikan rumah dan mencuci pakaian. Sebagai ibu rumah tangga, kirakira pekerjaan itu yang selalu rutin dilakukannya tiap 126 hari. Pengalaman ini mengingatkan saya pada ibu saya juga ibu rumah tangga lain yang tidak memiliki pembantu. Mereka pasti akan melakukan hal serupa. Kendati, kurang bergengsi, sering dianggap remeh, namun saya kagum bahwa mereka melakukan pekerjaan mereka dengan setia, tanpa mengeluh, tanpa haus pujian. Semua dilakukan demi orang-orang yang dikasihinya. Kesetiaan ibu rumah tangga membantu saya untuk memahami peristiwa kebangkitan Yesus. Dalam kisah ini, ditampilkan beberapa perempuan-perempuan dalam peristiwa kebangkitan Yesus. Perempuan-perempuan ini dalam kitab suci tidak menonjol. Jauh lebih banyak kisah yang bercerita tentang para Rasul yang adalah laki-laki. Dengan ditampilkan perempuan dalam kisah kebangkitan ini, saya menjadi yakin bahwa peran murid-murid Yesus yang perempuan juga luar biasa. Sudah tiga hari jazad Yesus dikubur. Siapa yang peduli? Tanpa banyak kata, para perempuan mewujudkan rasa hormat dan kasih mereka pada sang Guru. Perempuanperempuan itu pagi-pagi benar datang ke kubur Yesus. Mereka ini ingin menengok jazad Guru yang mereka kasihi. Mereka adalah kelompok pertama yang melihat kubur kosong. Melalui tindakan ini, mereka membuktikan diri mereka sebagai murid-murid Yesus. Kita tak cukup hanya kagum pada perempuanperempuan itu. Jika kita ingin disebut sebagai murid Yesus tampaknya kita bisa meneladan sikap para perempuan 127 itu yaitu berperan, melakukan apa yang menjadi tugas kita, tanpa mengeluh, dan bukan demi pujian. Agar bertumbuh menjadi orang beriman, kita harus setia dalam perkara-perkara kecil. Dan yang tak kalah penting, kita harus menghargai para perempuan yang telah mengajari bagaimana kita harus beriman. Pertanyaan reflektif: Apakah kita tulus untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan dalam komunitas kita? Marilah berdoa: Tuhan Yesus, kuatkanlah kami supaya dapat meneladan para perempuan murid Yesus. Semoga kami tulus dalam pelayanan terhadap sesama kami. Amin (Maria Ana PL) 128 Minggu, 16 April 2017 Hari Raya Paskah Kebangkitan Tuhan Kis. 10:34a,37-43; Mzm. 118:1-2, 16AB-17,22-23; Kl. 3:1-4; Luk. 24:13-35 YESUS SELALU ADA DAN SETIA “Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia. “ (Luk. 24:15) Mungkin Anda pernah bertemu dengan seseorang dan orang itu begitu tahu tentang Anda begitu dalam, tetapi Anda tidak ingat namanya atau pernah bertemu kapan dan dimana dengan orang itu. Setelah beberapa lama bercakap-cakap dan Anda mengingat-ingat pengalaman apa yang pernah dilalui, barulah Anda sadar siapakah orang itu. Pengalaman seperti ini mengingatkan kita pada pengalaman dua murid yang sedang berjalan ke Emaus. Mereka berjalan bersama-sama dengan Yesus tetapi mereka tidak mengenali Yesus yang berjalan bersama mereka. Kejadian ini sungguh membuat heran, sebab dua orang ini adalah murid-murid Yesus. Mereka selalu bersama-sama kemanapun Yesus pergi. Belum genap sebulan, sejak Yesus wafat dan tiga hari kemudian dikabarkan bangkit, mereka berpisah dengan Yesus. Belum lama mereka berpisah, tapi mereka tidak tahu sama sekali bahwa orang yang berjalan bersama dengan mereka 129 adalah Yesus. Apa yang sedang terjadi pada kedua murid itu? Tampaknya, dua orang murid sedang mengalami beban batin yang sangat berat. Mereka sedang merasa kehilangan harapan. Dulu mereka meninggalkan kota Emaus menuju ke Yerusalem dan menjadi murid Yesus. Yesus adalah tokoh yang begitu terkenal, dan banyak orang mengikuti kemana pun Ia pergi. Mereka merenda harapan bahwa mereka akan hidup mulia, hidup senang bersama Yesus. Harapan itu dengan cepat sirna saat tahu bahwa Yesus disalibkan, dan kemudian Yesus wafat. Maka mereka pulang ke Emaus dengan lunglai. Perasaan yang hancur, harapan yang terputus membuat mereka tidak mengenali Yesus berjalan bersama mereka. Hidup kita ibarat sebuah perjalanan. Yesus selalu ada bersama kita, setiap saat, dan dimana pun. Namun, ada kalanya kehadiranNya tidak dikenali. Beberapa hal dapat menyebabkan orang mengalami kegelapan hidup dan tidak mengenali kehadiran Yesus: sakit dan penderitaan yang berkepanjangan, pengalaman hidup yang tidak sesuai harapan, kesedihan, kepahitan hidup, dll. Pada saat seperti itu mungkin hanya ada rintihan, “Apakah Tuhan benar mencintai saya, Apakah Tuhan itu ada, jika ada mengapa saya mengalami hal begini?” Bukan hal yang mudah untuk meyakinkan bahwa Yesus tetap hadir. Yang dapat kita lakukan adalah menjadi teman bagi mereka dan berdoa supaya melalui cara-Nya, Tuhan menyentuh hati-nya. Dalam Ekaristi, kita seharusnya 130 menemukan Yesus. Pertanyaan Reflektif: Apakah kita sudah merasakan kehadiran Allah melalui Ekaristi dan menjadikan pegangan hidup kita ketika mengalami banyak sekali cobaan? Marilah berdoa: Ya Tuhan, berikanlah hati kami selalu bersyukur untuk rahmat penyertaanmu dan buatkan kami selalu berpegang pada SabdaMu. Amin (Maria Ana PL) 131 (Ucapan Selamat Raya Paskah) SEMOGA KEBANGKITAN TUHAN MENEGUHKAN KITA UNTUK BERSIKAP ADIL DAN MEWUJUDKAN KEADABAN Komisi PSE KAJ Komisi Liturgi Komisi Kateketik Komisi Kerasulan Kitab Suci Komisi Komunikasi Sosial 132