amalkan pancasila: makin adil, makin beradab

advertisement
Renungan Harian
AKSI PUASA PEMBANGUNAN 2017
AMALKAN PANCASILA:
MAKIN ADIL, MAKIN BERADAB
i
Renungan Harian
AKSI PUASA PEMBANGUNAN 2017
AMALKAN PANCASILA:
MAKIN ADIL, MAKIN BERADAB
Diterbitkan oleh
Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi
Keuskupan Agung Jakarta
Jalan Katedral no. 7 Jakarta
Telp. 021 3519193 ext 501/502
Fax 021 3855751
Email: [email protected]
ii
AMALKAN PANCASILA:
MAKIN ADIL, MAKIN BERADAB
Para Penulis Renungan Harian ini:
RP J. Sigit Prasadja, SJ
ML Supama
RD B. Hardijantan Dermawan
RD. Romanus Heri Santoso
RD V. Rudy Hartono
RD. Y. Purbo Tamtomo
Ibu Shienta Aswin
RP. Alexander Erwin Santosa, MSF
Suster Gaudensia Suparmi, OP
Widyahadi Seputra
Suster Sebastiana, HK
RD H. Sridanto Aribowo
Maria Ana PL
iii
DAFTAR ISI
Rabu, 1 Maret 2017,
BERLANJUT KE KEDALAMAN ................................... 1
Kamis, 2 Maret 2017,
MEMIKUL SALIB DAN MENGUBAH KEHIDUPAN .....
4
Jumat, 3 Maret 2017,
PUASA DAN PANTANG TIDAK UNTUK
MENYUCIKAN DIRI .....................................................
6
Sabtu, 4 Maret 2017,
KAPOK LOMBOK ........................................................
9
Minggu, 5 Maret 2017, CINTA YANG BERSYARAT
DAN CINTA YANG MEMBEBASKAN .......................... 12
Senin, 6 Maret 2017,
INGIN BERJUMPA YESUS .......................................... 15
Selasa, 7 Maret 2017,
DOA, BERKOMUNIKASI DENGAN TUHAN ................ 18
Rabu, 8 Maret 2017,
TANDA ITU ADALAH KITA ........................................... 20
Kamis, 9 Maret 2017, DOA KRISTIANI
SEHARUSNYA BERBUAH MELIMPAH ...................... 24
Jumat, 10 Maret 2017,
HIDUP DALAM FIRMAN .............................................. 27
Sabtu, 11 Maret 2017,
SEMPURNA SEPERTI ALLAH BAPA .......................... 29
Minggu, 12 Maret 2017,
THE WAY ..................................................................... 31
iv
Senin, 13 Maret 2017,
KEMURAHAN HATI ..................................................... 33
Selasa, 14 Maret 2017,
KEMUNAFIKAN ........................................................... 34
Rabu, 15 Maret 2017,
SERVANT OF THE SERVANT OF GOD ..................... 40
Kamis, 16 Maret 2017,
HIDUP MELIMPAH TAPI PELIT? ................................ 44
Jumat, 17 Maret 2017,
KERAJAAN ALLAH ...................................................... 48
Sabtu, 18 Maret 2017,
ALLAH MURAH HATI, KITAPUN MURAH HATI .......... 50
Minggu, 19 Maret 2017,
BERIMAN ITU PERLU HATI DAN “WAKTU” ............... 52
Senin, 20 Maret 2017,
MENCARI TUHAN SETIAP WAKTU ........................... 55
Selasa, 21 Maret 2017,
MINTA DIKASIHANI, TAPI MENOLAK DIKASIHANI.... 58
Rabu, 22 Maret 2017,
BUKAN MENIADAKAN, TETAPI MELENGKAPI ......... 61
Kamis, 23 Maret 2017,
PERSEPSI TIDAK SELALU BERSAMA
KEBENARAN ............................................................... 64
Jumat, 24 Maret 2017,
MEWUJUDKAN HUKUM KASIH YANG BERMUTU.... 68
v
Sabtu, 25 Maret 2017,
SUKACITA MENURUT ALLAH .................................... 72
Minggu, 26 Maret 2017,
TUHAN MELIHAT HATI ............................................... 74
Senin, 27 Maret 2017,
TUHAN YANG MENYEMBUHKAN HIDUP .................. 77
Selasa, 28 Maret 2017,
KESEMBUHAN DAN PERTOBATAN .......................... 79
Rabu, 29 Maret 2017,
BELAJAR DAN MENJADI TERBIASA ......................... 82
Kamis, 30 Maret 2017,
KESAKSIAN HIDUP YANG MENYELAMATKAN ......... 85
Jumat, 31 Maret 2017,
BERTEGUH DALAM PERBUATAN KASIH ................. 88
Sabtu, 1 April 2017,
KASIH ADALAH PELITA HATI ..................................... 91
Minggu, 2 April 2017,
KEBANGKITAN ............................................................ 94
Senin, 3 April 2017,
MENGAMPUNI ............................................................ 97
Selasa, 4 April 2017,
MEMANDANG SALIB .................................................. 99
Rabu, 5 April 2017,
KEBENARAN ............................................................... 101
Kamis, 6 April 2017,
YESUS ADA SEBELUM ABRAHAM ........................... 104
vi
Jumat, 7 April 2017
YESUS DITOLAK OLEH ORANG YAHUDI ................. 107
Sabtu, 8 April 2017
PERSEPAKATAN UNTUK MEMBUNUH YESUS ........ 109
Minggu, 9 April 2017
YESUS DIELU-ELUKAN DI YERUSALEM .................. 111
Senin, 10 April 2017,
MEMBERIKAN YANG TERBAIK UNTUK TUHAN ....... 113
Selasa, 11 April 2017,
DIKHIANATI PASANGAN HIDUP ................................ 116
Rabu, 12 April 2017,
PENGORBANAN UNTUK BANYAK PETANI
ANGGUR ..................................................................... 118
Kamis, 13 April 2017,
DITOLAK DI TANAH KELAHIRANNYA ........................ 121
Jumat, 14 April 2017,
SIAPAKAH SAHABATMU ............................................ 123
Sabtu, 15 April 2017,
BERPERAN TANPA MENONJOLKAN DIRI ................ 126
Minggu, 16 April 2017
YESUS SELALU ADA DAN SETIA .............................. 129
vii
KATA PENGANTAR
Jika sempat memperhatikan beberapa ruas trotoar
di Jakarta, di tengah trotoar ada sebaris tegel kasar yang
membujur sepanjang alur trotoar itu. Sering kita tidak
memperhatikan fungsi tegel itu. Namun, para penyandang
disabilitas netra amat membutuhkannya. Alur tegel ini
menjadi pemandu jalan. Dengan bantuan tongkatnya,
seorang penyandang disabilitas netra berjalan mengikuti
alur tegel ini. Harusnya, alur tegel itu mengikuti naik turunnya permukaan dan kelak-kelok trotoar. Sayang, kadangkadang dijumpai di beberapa ruas alur tegel itu sering
terputus begitu saja. Atau garis itu bertabrakan dengan tiang
listrik yang berdiri di tengah trotoar.
Tegel yang dipasang sebagai jalur panduan pejalan
kaki penyandang disabilitas netra adalah contoh sarana
aksesibilitas. Sarana yang lain misalnya: bidang miring
untuk memudahkan penyandang disabilitas grahita yang
menggunakan kursi roda. Aksesibilitas adalah sarana-sarana
yang diadakan untuk memudahkan para penyandang
disabilitas dalam berkegiatan di ruang publik.
Setiap orang, termasuk penyandang disabilitas memiliki
hak yang sama memanfaatkan ruang publik. Inilah salah
satu bentuk sikap adil. Semakin maju sebuah negara semakin lengkap sarana aksesibilitas. Tampaknya, keberadaban
sebuah masyarakat juga diukur dari perhatian terhadap
kelompok yang memiliki keterbatasan dalam masyarakat ini.
viii
Adil dan beradab adalah dua sikap yang saling melengkapi. Adil dalam kehidupan bermasyarakat berarti
setiap orang memiliki akses yang sama untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan yang penting bagi keberlangsungan hidupnya. Agar fasilitas-fasilitas sosial dapat
dinikmati setiap warga maka keadilan harus dikaitkan
dengan keadaban. Tanpa keadaban, akan terjadi hukum
rimba dimana hanya orang-orang yang kuat dan berkuasa
yang menang. Dalam masyarakat yang beradab, hukum
dijunjung tinggi, martabat setiap orang dihargai, aksesibilitas bagi anggota masyarakat yang masuk kategori lemah,
miskin, terpinggirkan, dan difabel (KLMTD) diadakan.
Dengan demikian, setiap orang mendapatkan kesempatan
yang sama untuk memenuhi kebutuhan yang penting bagi
keberlangsungan hidupnya.
Habitus yang adil dan berabab harus dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Tahun ini seruan ini semakin
ditegaskan melalui tema APP “Amalkan Pancasila: Makin
Adil, Makin Beradab”. Aksi Puasa Pembangunan (APP)
adalah masa pertobatan. Dengan tema tersebut, pertobatan kita memiliki kerangka sebuah usaha demi mewujudkan keadilan dan keberadaban. Melalui tema ini Gereja
KAJ mengajak kita untuk merenungkan apakah keadilan sudah dinikmati oleh segenap masyarakat kita. Kita
perlu lebih menyadari bahwa bersikap adil dan mewujudkan
keadaban memiliki nilai rohani. APP adalah sebuah gerakan
yang mengajak kita untuk terlibat. Melalui Aksi Puasa
ix
Pembangunan kita diajak semakin peduli pada sesama kita
di lingkungan yang membutuhkan bantuan. Di masa APP
ada gerakan yang disebut Aksi Nyata Prapaskah. ANP
mengajak kita untuk semakin terlibat dalam gerakan keadilan dan keadaban di komunitas kita.
Ada banyak cara untuk membantu mereka: yang
rumahnya tidak sehat untuk ditempati dibantu supaya
layak untuk ditempati. Yang sakit dikunjungi dan dihibur.
Mewujudkan keadilan dan keadaban menjadi cara
pengamalan Pancasila terutama sila kedua. Kita menjadi
tangan-tangan kasih Tuhan saat kita datang kepada
mereka dan memberi perhatian kepada mereka.
Selamat menjalani masa pertobatan. Tuhan memberkati.
Salam,
Editor
x
Rabu, 1 Maret 2017
Hari Rabu Abu, Pantang Puasa
Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17;
Mat. 6:1-6.16-18
BERLANJUT KE KEDALAMAN
Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan
cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa
engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu
yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang
melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
(Mat. 6:18).
Saya dulunya adalah perokok berat. Minimal sebungkus
rokok sehari. Sudah banyak orang memberi masukan dan
sudah banyak artikel kesehatan yang saya baca, namun
yang namanya kenikmatan merokok, tetap tidak bisa
kutinggalkan. Bahkan pada masa Prapaskah pun, saya
memilih untuk berpantang yang lain, asal bukan pantang
rokok. Bagi saya merokok adalah sebuah pilihan yang
tak tergantikan. Saya tidak sadar bahwa asap rokok yang
saya hasilkan mengganggu dan mencelakakan orang lain
di sekitarku. Saya tidak sadar bahwa saya sudah memaksa
orang di sekitarku menerima akibat dari perbuatanku.
Saya tidak sadar sudah bersikap demikian tidak adil
terhadap sesamaku.
Sampai suatu saat entah ide darimana saya tidak bisa
1
mengingatnya, saya ingin mencoba menghentikan rokok
dengan cara merohanikannya. Saya kemudian menyiapkan diri merohanikan niat berhenti merokok dalam bulan
Mei, bulan Maria. Devosi saya pada Bunda Maria saya
wujudnyatakan dengan pantang merokok selama sebulan.
Persis pukul 00.00 tanggal 1 Mei 1996, saya memulai pantang
rokok. Dan ternyata hari-hari pertama dengan mudah bisa
saya lalui, dan kemudian genaplah satu bulan penuh
pantang rokok. Metode yang sama saya ulangi di Bulan
Oktober,
Bulan Rosario. Alasan devosi pada Bunda Maria
kembali muncul. Dan ternyata satu bulan penuh bisa
berjalan dengan baik. Di tahun berikutnya, kembali ritual
pantang rokok di bulan Devosi Maria, bulan Mei saya
ulang dan berjalan lancar. Pada saat-saat itulah saya
yakin bahwa saya bisa mengontrol keinginan merokok,
dengan bantuan dan landasan rohaniah, devosi pada
Bunda Maria. Di saat yang sama pula saya meyakinkan
diri saya kalau ternyata saya bisa mengontrol kehendak
merokok dan berhasil mengalahkannya.
Saya puas bisa berhenti merokok, semua orang tahu saya
bisa dan mampu berhenti merokok. Orang tahu kalau saya
berhasil berhenti merokok karena alasan rohani, orang
merasa bahwa ternyata saya termasuk orang yang cukup
taat beragama. Saya senang dengan penilaian orang dan
larut dalam rasa bangga. Persis seperti bacaan Injil
Matius di atas, saya seakan memproklamasikan hal rohani
2
yang sedang saya lakukan, saya tidak menyimpannya
untuk Tuhan. Saya merasa menjadi seperti orang yang
munafik. Karena rasa puas dan bangga tersebut, saya
kurang berani masuk ke kesadaran lebih lanjut, kurang
berani masuk memaknai peristiwa ini. Saya menyesal
levelku hanya sampai di sana, tidak berlanjut ke kedalaman.
Berhenti merokok sendiri sudah cukup baik, namun
seandainya aku berani berpikir lebih untuk orang lain, aku
akan lebih berguna bagi sesama. Seandainya jatah uang
rokok bisa kuintensikan untuk orang miskin, kusumbangkan
bagi mereka, alangkah bagusnya. Aku makin bisa peka
terhadap kebutuhan sesamaku.
Pertanyaan reflektif:
1. Kapankah aku merasakan adanya rasa bangga akan
keberhasilanku, dan melupakan aspek yang lebih
penting, semisal belarasa dan adil terhadap sesama?
2. Hal-hal apa yang masih kurasakan menutupi hatiku
sehingga aku kurang bisa bersikap adil terhadap
sesamaku?
Marilah berdoa:
Ya Allah yang Maharahim, aku mohon sikap kerendahan
hati agar makin mampu membuka mata dan telinga sehingga
makin mampu bersikap adil dan berbelarasa terhadap
sesamaku, terutama yang membutuhkan. Amin.
(J. Sigit Prasadja, SJ)
3
Kamis, 2 Maret 2017
Hari Kamis setelah hari Rabu
Ul. 30:15-20; Mzm. 1:1-2,3,4,6; Luk. 9:22-25
MEMIKUL SALIB DAN MENGUBAH
KEHIDUPAN
”Anak manusia harus menanggung banyak
penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala
dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan
dibangkitkan pada hari ketiga.”
(Luk. 9:22)
Belum lama berselang, Ibu saya bercerita bahwa saat
Bapak menjabat sebagai Kepala Sekolah sebuah SMA
Negeri di kabupaten kami tinggal, Ibu malah menjadi
menjadi sering “tombok” (Jawa: berkorban, kehilangan,
biasanya masalah barang atau uang). Bahkan untuk rapat di
sekolahpun Bapak seringkali minta Ibu saya menyiapkan
snack dan makanan, kemudian mengirimnya ke sekolah
Bapak. Bagi saya pribadi dan keluarga, kami memakluminya
karena mengenal almarhum Bapak sebagai orang sangat
jujur, lurus dan pekerja keras. Tidak mau merugikan orang
lain, tidak mau bersikap tidak jujur, kadang lebih sering
memilih berkorban. Padahal di masa itu, jabatan kepala
sekolah di sekolah negeri dianggap sebagai menempati
“lahan basah”, banyak rejeki tambahan, banyak peluang
memperkaya diri sendiri. Namun bagi keluarga kami,
posisi itu malah sebagai “lahan kering”. Bapak saya3
4
menentang arus kehidupan dan pilihan di masanya, dengan
memilih bersikap jujur dan berani berkorban. Dan ternyata
guru dan staf di sekolah Bapak kemudian melihat sikap
ini dan terpengaruh. Warna dan aura sekolahpun pelanpelan menjadi berbeda. Kejujuran dan kepedulian, sikap
adil dan kerja keras menjadi warna sehari-hari. Ibaratnya,
Bapak saya tengah mengikuti Kristus dan seringkali harus
menyangkal diri sendiri dan menyangkal keinginan memperkaya diri, dan karenanya memikul salib setiap Kristus
hari (Luk 9:23).
Pertanyaan reflektif:
1. Apakah aku pernah berani menentang arus kehidupan
di sekitarku dengan bersikap jujur dan berani berkorban
bagi sesamaku? Apakah yang mendasari sikap tersebut?
2. Apakah aku punya pengalaman sebaliknya, aku
bersikap egois, tidak jujur dan tidak bersedia berkorban
bagi orang lain? Apa penyebabnya?
Marilah berdoa:
Ya Allah, bantulah kami agar mampu merasa, berpikir,
berucap, dan bertindak seperti Yesus sendiri, sehingga
setiap pertimbangan dan keputusan yang kami buat
sungguh-sungguh makin membuat kami berani memanggul salib kami dan berani berkorban bagi sesamaku, demi
membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Amin.
(J. Sigit Prasadja, SJ)
5
Jumat, 3 Maret 2017
Hari Jumat sesudah Rabu Abu
Yes 58:1-9a; Mzm.51:3-4,5-6a, 18-19;
Mat. 9:14-15
PUASA DAN PANTANG
TIDAK UNTUK MENYUCIKAN DIRI
“Berpuasa yang kukehendaki, ialah supaya engkau
membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan
tali-tali kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu
bagi orang yang lapar....”
(Yes. 58:6-7)
Di setiap masa sebelum Prapaskah, komunitas Frateran
SJ biasanya membuat komitmen bersama untuk memaknai
secara lebih mendalam puasa dan pantang yang akan dijalani bersama. Dari tahun ke tahun, komitmen selalu
dibuat dan dijaga, salah satunya adalah berpantang
daging selama masa Prapaskah dan uang pembelian
dagingnya kami sumbangkan ke kotak APP, serta
menyisihkan sebagian uang saku untuk dimasukkan dan
disumbangkan lewat Gereja melalui kotak APP (Aksi Puasa
Pembangunan).
Intensi pantang daging bersama sebagai sebuah
komitmen komunitas ini ternyata mengajarkan sesuatu
kepada kami semua. Pantang (dan puasa) selama masa
Prapaskah, tidak hanya membuat kami lebih terlatih hidup
berkekurangan, tahan kekurangan gizi, atau menjadi lebih
suci karena sudah berpantang di masa Prapaskah, namun
6
kami bisa juga makin peduli pada sesama.
Prapaskah menjadi menjadi masa dimana kami membantu orang lain dengan lebih mendalam. Berbagi dan
berbelarasa kepada orang miskin mengajarkan kepada kami
bahwa dukungan kepada mereka merupakan perwujudan
sikap membentuk keadilan dan mengangkat martabat orang
miskin.
Bacaan Yesaya di atas mengajak kita untuk mengingat
bahwa hakekat utama berpuasa adalah memberi perhatian
kepada orang miskin, yang tidak punya rumah, yang
mengalami situasi terbelenggu, dan memberi pakaian
kepada yang telanjang. Puasa berpusat kepada orang
lain, terutama orang yang miskin berkekurangan. Puasa
bukan berpusat pada diri kita, bukan untuk menyucikan
diri kita.
Pertanyaan reflektif:
1. Apakah aku sadar dan menginginkan puasa dan pantangku kulakukan demi sesamaku yang mengalami
kemiskinan dan berkekurangan? Sikap-sikap dan pandangan apakah yang harus kuubah dalam diriku agar
sungguh aku bisa menghayati puasa dan pantang
cara baru ini?
2. Niat kehendak baik apakah yang bisa kumunculkan dalam
masa puasa dan pantang kali ini? Aku membicarakannya dengan Yesus, dan mohon kekuatan agar berani
memperbaharui diri agar mampu lebih bersikap adil
dan mengangkat martabat sesamaku.
7
Marilah berdoa:
Allah yang Maharahim, bantulah aku agar makin mampu
mewarnai arah hidupku dalam kesadaran ingin berbagi
dengan sesamaku sebagai pilihan pertama dalam hidupku. Beri aku kekuatan agar gerak langkahku pun makin
mempunyai arti bagi sesamaku yang berkekurangan. Amin
(J. Sigit Prasadja, SJ)
8
Sabtu 4 Maret 2017
Hari Sabtu sesudah Rabu Abu
Yes. 58: 9b-14; Mzm. 51:3-4,5-6a, 18-19;
Luk. 5: 27-32
KAPOK LOMBOK
“Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang
sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar,
tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.”
(Luk. 5:31)
Kapok Lombok. Di dalam budaya Jawa, ada istilah
“kapok lombok” (kapok=bertobat, lombok= cabe). Terjemahan
bebas bahasa Indonesia, kurang lebih berarti “bertobat
tapi tidak sungguh-sungguh, dan masih sering mengulanginya”. Orang akan merasa kepedesan kalau makan
cabe, dan menyatakan stop tidak makan cabe lagi. Tobat
tidak mau makan cabe lagi. Tapi kenyataannya berbeda.
Orang akan selalu mengambil cabe untuk dimakan di lain
waktu. Stop makan cabe, ternyata akan selalu dilanggar.
Orang tidak bisa meninggalkan cabe, walaupun seringkali
sengsara karena kepedesan. Kepuasan karena cabe
ternyata menjadi fokus, yang berarti diri kita pula yang
menjadi fokus.
Seringkali kita dihadapkan pada kejadian hidup seperti
konteks “kapok lombok”, kita merasa yakin menghentikan
sesuatu yang terasa tidak baik, namun ternyata kita kecanduan dan mengulanginya lagi. Entah berupa makanan,
minuman, situasi, kesenangan, hobi, dan lain sebagainya.
Seringkali pula hal-hal yang terkait dengan dosa terkena
kebiasaan “kapok lombok” ini.
9
Dosa biasanya bersifat berulang, dosa masalah habitus (habit – kebiasaaan). Sekali berbuat dosa, kali lain
akan mengulang dosa yang sama tersebut. Orang tahu
dan paham bahwa yang dilakukannya adalah sebuah
dosa dan biasanya orang yang masih punya kesadaran,
akan menyesalinya dan bertobat, membangun niat agar
tidak mengulanginya. Namun biasanya, entah karena dosa
membawa kenyamanan, membawa kenikmatan, dan juga
karena kelemahan manusiawi, dosa yang sama akan diulang lagi. “Kapok lombok” terjadi.
Bacaan Injil hari ini memberi gambaran bahwa Yesus
sengaja datang pada orang yang berdosa, supaya orang
berdosa bertobat. Orang berdosa menjadi fokus Yesus
dan karya keselamatannya. Manusia yang berdosa
diharapkan sungguh-sungguh bertobat, tidak sekedar “kapok lombok” dan kemudian mengulangi dosa yang sama,
bahkan kemudian menambah dosa baru. Pertobatan
seperti Lewi dalam Injil Lukas yaitu meninggalkan segala
sesuatu (yang bisa kita pahami sebagai sesuatu, situasi,
kondisi yang dekat pada dosa) kiranya menjadi salah satu
cara kita bertobat. Kemudian pertobatan diwujudnyatakan
dengan cara membagikan dan mewartakan pertobatan
kepada orang lain, seperti Lewi yang mengundang para
pemungut cukai dan orang berdosa makan bersama agar
bisa mengenal Yesus yang sudah mempertobatkannya.
Lewi ingin agar orang berdosa yang lain juga alami
pertobatan. Lewi ingin agar orang berdosa juga mengalami Allah.
Pertanyaan reflektif:
1. Apakah aku mempunyai pengalaman untuk bangkit dan
bertobat yang bukan a’la “kapok lombok”? Bila tidak
10
mempunyai, adakah faktor yang menyebabkan aku
masih belum berani meninggalkan pola “kapok lombok”?
2. Adakah cara praktis yang bisa kulakukan agar aku
sungguh mampu mengalami pertobatan sejati seperti
Lewi dalam bacaan Injil?
Marilah berdoa:
Allah yang Maharahim, bantulah aku agar pertobatan
makin mampu mewarnai arah hidupku dan menumbuhkembangkan niat baik berbagi dengan sesamaku sebagai
pilihan pertama dalam hidupku. Beri aku kekuatan agar
gerak langkahku pun makin mempunyai arti bagi sesamaku yang berkekurangan. Amin.
(J. Sigit Prasadja, SJ)
11
Minggu, 5 Maret 2017
Hari Minggu Prapaskah I
Kej. 2:7-9;3:1-7, Mzm. 51:3-4, 5—6a,
12-13,14,17; Rm.5:12-19; Mat. 4:1-11
CINTA BERSYARAT DAN
CINTA YANG MEMBEBASKAN
“Enyahlah Iblis! Sebab ada tertulis, Engkau
harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan
hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”
Seorang penulis bernama Henry J Nouwen pernah
menulis bahwa cinta dunia adalah cinta yang bersyarat.
Kita sering mendengar penggunaan kata “jika” dalam
pembicaraan. Misalnya, “Ya... saya akan mencintaimu jika
kamu menarik, cantik, pandai, dan kaya. Saya mencintaimu
jika kamu berpendidikan, punya pekerjaan baik, mempunyai banyak relasi. Saya mencintaimu jika kamu menghasilkan banyak, menjual banyak dan membeli banyak.”
Disebut sebagai cinta bersyarat artinya cinta tetap ada
bila kondisi-kondisi yang menjadi syarat-syarat itu ada,
bila kondisi-kondisi tidak ada maka tidak ada lagi alasan
untuk mencintai.
Gagasan tentang cinta bersyarat mengingatkan kita
pada bacaan hari ini. Hubungan bersyarat itu tampak
dalam dialog antara Setan dengan Yesus. Mari kita perhatikan kalimat-kalimat yang dikatakan Setan kepada
Yesus. Setan berkata: Pertama, “Jika Engkau Anak Allah,
12
perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti.” Kedua,
“Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah,
sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang
Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk
kepada batu.” Ketiga, “Semua itu akan kuberikan kepadaMu, jika Engkau sujud menyembah aku.”
Dialog yang terjadi antara Setan dan Yesus, bukan
sekedar peristiwa untuk menguji ketahanan Yesus pada
rasa lapar, pada rasa takut, dan pada nafsu tamak. Dua
hal dapat kita ambil sebagai hikmah dari kisah pencobaan
di padang gurun ini. Pertama, Yesus teguh pada keyakinan
diri-Nya bahwa Ia adalah Anak Allah. Seandainya Yesus
tunduk pada perintah setan, maka Ia bukan Anak Allah
lagi. Hal itu terjadi pada Adam dan Hawa seperti dalam bacaan pertama hari ini. Mereka jatuh ke dalam dosa, karena
tunduk pada bujukan Setan. Kedua, cinta Yesus sangat
berbeda dengan gaya Setan. Cinta Yesus tidak bersyarat.
Yesus mencintai, karena Ia ingin mencintai seperti Bapa
mencintai semua orang. “Cinta” setan selalu bersyarat dan
memperbudak.
Masyarakat kita membutuhkan orang-orang yang tulus
berbagi kasih dan perhatian demi terciptanya keadilan dan
keadaban. Karena itu menerima pemimpin bukan karena
agama, suku sama tetapi karena sikap kepemimpinannya.
Di sisi kita, kita dapat menyumbangkan apa pun yang kita
13
punya tanpa pamrih demi kebaikan masyarakat. Bukan
karena cari untung secara materi, atau demi ketenaran,
bila kita menolong seseorang, kita ingin semata-mata orang
itu terbantu. Tidak ada maksud lain. Kita membutuhkan doa
dan dukungan supaya kita bisa mencintai tanpa syarat.
Pertanyaan reflektif:
Apakah kita sudah memberikan bantuan dan pertolongan
dengan tulus hati?
Marilah berdoa:
Ya, Yesus mampukah kami mencintai seperti Engkau
mencintai. Amin.
(ML Supama)
14
Senin, 6 Maret 2017
Hari Biasa Pekan I Prapaskah
Im. 19:1-2,11-18; Mzm. 19:8,9,10,15;
Mat. 25:31-46
INGIN BERJUMPA YESUS?
“Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan,
ketika Aku haus kamu memberi Aku minum....”
(Mat. 25:35)
Mak Yati bukan orang Katolik. Ia juga bukan orang
kaya. Mak Yati hanyalah seorang pemulung di bilangan Tebet.
Kisahnya pernah membuat haru. Di suatu hari Raya Idul
Adha ia berkurban dua ekor kambing. Sebenarnya, penghasilannya sebagai pemulung hanya pas-pasan saja untuk
makan. Namun, ia bertekad untuk berkurban. Selama 3
tahun ia menabung dari hasil memulung. Pada hari Raya
Idul Adha ia membeli dua ekor kambing untuk disumbangkan
ke mesjid. Kisah Mak Yati mengingatkan kita, bahwa iman
harus diungkapkan melalui perbuatan nyata.
Bagaimana cara mengungkapkan iman kita? Dalam
bacaan pertama (Kitab Im. 19:11 dst) beriman diungkapkan dengan tidak melanggar perintah Tuhan “janganlah
kami mencuri, janganlah kami berbohong, dan janganlah
kami berdusta......dst.” Dalam bacaan Injil, beriman diungkapkan dengan mengasihi sesama “....sesungguhnya,
segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang
dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukan untuk aku” (Mat. 25:40). “.... sesungguhnya, segala
15
sesuatu yang tidak kamu lakukan lakukan untuk salah
seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya
juga untuk Aku.” (Mat. 25:45).
Dua bacaan ini menginspirasi kita mengenai tingkatan beriman. Tingkat pertama, ungkapan iman dengan
melakukan aturan-aturan keagamaan. Dalam peraturan,
ada perintah ada larangan. Beriman artinya melakukan hal
yang diperintahkan dan menghindari hal yang dilarang.
Tingkat kedua, ungkapan iman melalui perbuatan melampaui aturan-aturan kegamaan. Sebagai pengikut Yesus,
beriman artinya melakukan tindakan baik melebihi peraturan
agama. Merayakan Ekaristi, berdevosi kepada Bunda
Maria dan santo dan santa, membaca Kitab Suci adalah
ungkapan iman yang baik. Namun iman kita akan menjadi
lebih sempuna apabila kita juga mengasihi sesama. Yesus
menunjuk dengan jelas siapa sesama itu, yaitu orang yang
lapar, orang haus, orang asing, orang yang tidak punya
pakaian (telanjang), orang sakit, orang yang dipenjarakan.
Dalam masyarakat Yahudi, orang-orang demikian adalah
orang-orang terbuang dari kelompok masyarakatnya.
Acapkali kita memang lebih senang berada di zona
nyaman. Menolong orang yang compang-camping nyaris
telanjang, yang kurus kelaparan, yang kejang kesakitan,
terlunta-lunta tak tentu tempat tinggalnya, yang meringkuk
dalam penjara membutuhkan niat dan usaha yang keras.
Kemanusiaan kita tidak tahan berhadapan muka dengan
16
segala bentuk sakit, dan penderitaan. Kisah orang-orang
sederhana yang mampu mengungkapkan imannya mogamoga mendorong kita peduli pada orang-orang yang sangat
membutuhkan pertolongan. Kita harus bisa menolong
orang yang menderita karena dalam diri orang-orang yang
menderita kita melihat Yesus.
Pertanyaan reflektif:
Sampai pada level berapakah ungkapan iman Anda,
pertama atau kedua?
Marilah berdoa:
Tuhan, mampukan kami untuk mengungkapkan iman kami
dengan peduli pada sesama yang membutuhkan pertolongan.
Amin.
(ML Supama)
17
Selasa, 7 Maret 2017
Hari Biasa Pekan I Prapaskah
Yes. 55:10-11; Mzm. 34:4-5,6-7,16-17, 18-19;
Mat. 6:7-15
DOA, BERKOMUNIKASI DENGAN TUHAN
“Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu berdoa
bertele-tele seperti kebiasaan orang yang
tidak mengenal Allah” (Mat. 6:7)
Sekarang ini hampir setiap orang memiliki handphone. Di
dalamnya, tersimpan sekian banyak nama. Tapi, hanya
satu atau dua orang yang kita merasa dekat. Selebihnya,
sebenarnya kita sering lupa siapa orang itu dan untuk urusan
apa kita menyimpan nama itu. Kita merasa dekat dengan
seseorang karena kita sering menjalin komunikasi dengan
orang itu. Bukan jarak, bukan tempat, dan bukan sarana
yang menyebabkan kita dekat dengan seseorang.
Kedekatan hanya bisa terjalin dengan komunikasi.
Kita juga dapat mengukur kedekatan kita dengan
Tuhan. Caranya adalah dengan mengukur seberapa sering
kita berdoa. Betapa penting sebuah doa bagi para murid
Yesus, untuk itulah Yesus mengajarkan doa Bapa Kami.
Yesus berpesan, jikalau kita berdoa doa kita tidak perlu
bertele-tele. Doa Bapa Kami adalah doa yang sangat ringkas.
Dari antara baris-baris doa Bapa Kami, hanya satu baris
berisi permohonan untuk kepentingan diri si pendoa yaitu
“berilah kami rezeki pada hari ini.”
18
Kita ingin dekat dengan Bapa, untuk itulah kita
berdoa. Komunikasi yang baik terjadi apabila kita
berbicara dan juga mendengarkan. Jikalau kita berdoa
dengan bertele-tele, maka kita tidak memberi kesempatan
Tuhan berbicara. Banyak berdoa tidak berarti banyak
kata-kata terucap. Ada waktunya, kita berhenti mengucapkan kata-kata. Komunikasi dengan Tuhan juga dapat
dilakukan dengan hening. Ada waktunya kita menggunakan hati untuk mendengarkan apa kata Tuhan pada diri
kita. Kita diam untuk mendengarkan apa yang Tuhan
kehendaki atas diri kita.
Pertanyaan reflektif:
Masih sempatkah kita berdoa, bahkan sekedar Doa Bapa
Kami?
Marilah berdoa:
Bapa kami yang ada di surga.......
(ML Supama)
19
Rabu, 8 Maret 2017
Hari Biasa Pekan I Prapaskah
Yun. 3:1-10; Mzm. 51:3-4, 12-13, 18-19;
Luk. 11:29-32
TANDA ITU ADALAH KITA
“Sebab seperti Yunus menjadi tanda untuk orang-orang
Ninive, demikian pulala Anak Manusia akan menjadi tanda
untuk angkatan ini.” (Luk. 11:30)
Gandhi adalah salah seorang tokoh terkenal. Ia berasal
dari India. Ia pernah tinggal di Afrika Selatan. Mungkin tidak
banyak yang tahu, Gandhi muda pernah berniat menjadi Kristen. Pada suatu hari, saat Gandhi tinggal di Afrika
Selatan, masuklah ia ke sebuah gereja. Sayang, ia ditolak bergabung di gereja itu. Jemaat Kristen di gereja itu
mayoritas berkulit putih. Ia disarankan masuk ke gereja
lain yang mayoritas kulit hitam. Karena pengalaman ini, ia
mengurungkan niatnya menjadi orang Kristen.
Kekecewaan Gandhi terungkap dalam dialog yang
terjadi antara Gandhi dan seorang misionaris bernama E.
Stanley Jones. Jones bertanya, “Sekalipun Anda sering
mengutip kata-kata Kristus, mengapa Anda kelihatannya
keras menolak untuk menjadi pengikutNya? Jawab Gandhi,
“Saya tidak pernah menolak Kristus. Saya suka Kristus
Anda. Tapi saya tidak suka dengan orang Kristen Anda.”
Ia menambahkan, “Jika orang Kristen benar-benar hidup
menurut ajaran Kristus, seperti yang ditemukan di dalam
Alkitab, seluruh India sudah menjadi Kristen hari ini,”
20
katanya lagi.
Kekecewaan Gandi menginspirasi kita mengenai
pentingnya kesaksian hidup yang tepat. Kesaksian hidup
adalah tanda yang kelihatan yang mempermudah orang
lain mengenali pesan yang ada di balik tanda itu. Seharusnya, orang kristiani bersikap menerima semua orang
tanpa membedakan suku, ras, tingkat ekonomi karena
sikap ini menjadi tanda kelihatan yang mempermudah
orang memahami ajaran Yesus yang mengasihi semua
orang.
Pentingnya tanda menghantar kita untuk memahami
mengapa Yesus mengangkat kisah tentang Yunus. Kisah
tentang nabi Yunus mudah diingat. Dialah satu-satunya
nabi yang pernah hidup 3 hari dalam perut ikan. Kisah
berawal dari saat Tuhan Allah mengutus Yunus untuk
mempertobatkan bangsa Ninive. Tetapi Yunus menolak. Ia
berniat untuk melarikan diri dari tugas itu dengan pergi ke
ke Tarsis. Dalam perjalanan dengan kapal, terjadi badai
hebat. Singkat cerita Yunus mengaku sebagai penyebab
badai itu dan merelakan diri untuk dilempar ke laut. Ia
kemudian dilempar ke laut dan ditelan oleh seekor ikan.
Yunus berada dalam perut ikan selama 3 hari. Di dalam
perut ikan ini, Yunus bertobat dan menyadari panggilan
baginya adalah menjadi alat Tuhan untuk mempertobatkan
bangsa Ninive. Allah menghendaki Ninive bertobat dan
selamat. Yunus harus mau untuk mewartakan pertobatan
itu.
21
Menceritakan kembali kisah tentang Yunus ini penting
bagi Yesus. Pada waktunya, Yesus akan menderita sengsara dan wafat. Selama 3 hari Ia akan berada di dalam
kubur. Jika para murid dan orang banyak memahami
makna dan tujuan Allah memasukkan Yunus selama 3 hari
dalam perut ikan, maka para murid dan orang banyak akan
mudah memahami maksud dan tujuan wafat Yesus. Allah
menghendaki manusia selamat.
Saat ini pewartaan tentang makna wafat Yesus sudah sering kita dengar. Guru agama di sekolah, katekis
di paroki, para fasilitator pertemuan di lingkungan, kotbah
Pastor di Gereja. Mereka menyatakan bahwa Yesus wafat
untuk menebus dosa kita. Mereka menyerukan agar kita
harus bertobat supaya selamat. Tanpa bermaksud untuk
meragukan pewartaan mereka, kita pun dapat membaca
sendiri Kitab Suci yang telah ditulis dalam bahasa kita.
Orang-orang itu, atau Kitab Suci adalah tanda yang digunakan oleh Allah untuk membantu pertobatan kita.
Pada gilirannya, pertobatan dan tingkah laku kita menjadi tanda bagi orang lain untuk melihat seperti apa ajaran
Yesus itu.
Pertanyaan reflektif:
Sudahkah kita bertobat, sudahkan tingkah laku kita
mencerminkan ajaran Yesus?
22
Marilah berdoa:
Tuhan Yesus, Engkau mengasihi setiap orang. Kuatkanlah
aku agar supaya mampu mengasihi sesama kami supaya
setiap orang melihat kasih Allah bagi mereka. Amin.
(ML Supama)
23
Kamis, 9 Maret 2017
Hari Biasa Pekan I Prapaskah
Est. 14:10a.10c,-12,17-19; Mzm. 138:1-2a,
2bc-3; 7c-8; Mat. 7:7-12
DOA KRISTIANI
SEHARUSNYA BERBUAH MELIMPAH
“Jadi jika kamu yang jahat, tahu memberikan yang baik
kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu di surga! Ia akan
memberikan yang baik kepada mereka yang meminta
kepadaNya” (Mat. 7:11)
Doa “Bapa Kami” yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada
para murid, kini semakin diberi “daging”nya. Permohonan
“Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang
secukupnya” dikuatkan dengan tiga kata kunci “mintalah, carilah, dan ketoklah”. Sikap dan semangat itulah
yang mau dikembangkan di dalam kehidupan para murid
Yesus. Seorang anak Allah pastinya akan diberi yang
terbaik. Anak yang meminta roti pastinya takkan diberi
batu; anak yang meminta ikan takkan diberi ular.
Lantas, semangat apakah yang mau ditanamkan
Tuhan Yesus pada para muridNya? Doa Kristiani selalu
mencapai hasilnya. Kita bisa memetik buah-buah dari
doa itu. Misalnya, semakin berdoa, semakin mengenal diri
sendiri. Semakin berdoa, semakin terasah tajam nurani
kita. semakin berdoa, semakin kasih menyelimuti hati kita.
Semakin berdoa, semakin nyata belas kasih ada pada kita.
24
Semakin berdoa, semakin hasrat untuk berbuat keadilan
pada sesama. Semakin berdoa, semakin hidup kita beradab.
Ajaran Yesus untuk berdoa tak kunjung putus ini agar doadoa kita itu berbuah melimpah. Jika tidak berbuah apa-apa,
mungkin kita harus memeriksa doa-doa kita. Jika Allah
senantiasa menyatakan kebaikan dan kasih sayangNya
pada kita, seharusnya juga kita melakukan hal yang sama
pada sesama.
Pertanyaan reflektif:
Periksalah doa-doa yang kita ucapkan, apakah doa-doa
itu menghasilkan buah-buah kehidupan dalam hidup kita?
Jika belum atau tidak, mengapa?
Marilah berdoa:
(Mzm. 138)
Aku hendak bersyukur kepadaMu dengan segenap
hati, di hadapan para dewata aku bermazmur bagiMu. Aku
hendak bersujud ke arah baitMu yang kudus.
Aku memuji namaMu, oleh karena kasih setiaMu,
sebab Kaubuat namaMu dan janjiMu melebihi segala
sesuatu. Saat aku berseru, Engkau menjawab aku,
Engkau menambahkan kekuatan dalam jiwaku.
Tuhan, tangan kananMu menyelamatkan daku,
Engkau akan menyelesaikan segalanya bagiku! Ya Tuhan,
kasih setiaMu kekal abadi, janganlah Kautinggalkan
buatan tanganMu!
25
Kemuliaan kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus,
Seperti pada permulaan sekarang selalu dan sepanjang
segala abad. Amin.
Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus,
seperti pada permulaan sekarang dan selalu dan
sepanjang segala abad. Amin.
(RD B. Hardijantan Dermawan)
26
Jumat, 10 Maret 2017
Hari Biasa Pekan I Prapaskah
Yeh. 18:21-28; Mzm. 130:1-2, 3-4ab, 4c-6, 7-8;
Mat. 5:20-26
HIDUP DALAM FIRMAN
Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu
tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak
akan masuk ke dalam Kerajaan Surga (Mat. 5:20)
Bacaan Injil hari ini memiliki konteks yang lebih luas.
Judulnya Yesus dan Hukum Taurat. Dan selanjutnya,
perikop ini diberi kerangka hidup dalam Kerajaan Surga
yang konkretnya adalah Amalkan Pancasila: Semakin
Adil Semakin Beradab (Tema APP 2017).
Kalau kita membaca konteksnya, maka terdapat pujian
hebat mengenai pelaksanaan Hukum Taurat, yang seringkali dikritik itu. Ketika Yesus bersabda bahwa Ia datang
untuk menggenapi Hukum Taurat, Ia ingin memulihkan
kedudukan hukum itu dan menempatkannya dalam tata
iman, hidup dalam Kerajaan Surga, menjadi anak-anak
Allah yang merdeka. Oleh karena itu, pelaksanaan Hukum
bukan sekedar melaksanakan sejumlah peraturan belaka,
tetapi ia menjadi pelaku Firman yang terus menerus
mendorong manusia untuk hidup merdeka.
Maka, saya mengusulkan untuk memerhatikan apa
yang disabdakan Tuhan Yesus: Tetapi Aku berkata
27
kepadamu .... maka, ketika Hukum Taurat menuntut ini dan
itu, segala sesuatu ada hukuman fisiknya, Yesus mengemukakan tuntutan persaudaraan sejati, hidup dalam perdamaian, hidup dalam perkataan santun dan ramah. Itulah
hidup dalam Kerajaan Surga. Itulah hidup di dalam
berkeadilan dan beradab. Jika hidup kita berbuah seperti
itu, tak satu hakim pun akan memasukkan kita ke dalam
penjara (bdk. Mat. 5:25)
Pertanyaan reflektif:
Sudahkah aku hidup dalam Firman Allah, bukan untuk
menghukum orang lain, melainkan untuk hidup semakin
adil dan beradab, untuk memperbaharui hati dan hidup
rohani?
Marilah berdoa:
Ya Tuhan, betapa mudahnya orang menghakimi sesamanya,
betapa mudahnya orang memberikan hukuman yang dianggapnya sepadan dengan perbuatannya, dan betapa
mudahnya orang menaruh prasangka buruk pada sesama.
Tuhan, jauhkanlah aku dari pandangan sempit seperti itu
dan semoga FirmanMu senantiasa memperbaharui hati
dan menerangi rohku. Amin.
(RD B. Hardijantan Dermawan)
28
Sabtu, 11 Maret 2017
Hari Biasa Pekan I Prapaskah
Ul. 26:16-19; Mzm. 119:1-2,4-5, 7-8;
Mat. 5:43-48
SEMPURNA SEPERTI ALLAH BAPA
Tuhan bersabda, “Hendaklah kalian sempurna,
sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya”
(Mat. 5:48)
Di akhir perikop (ay. 48) Yesus bersabda, “Karena itu
hendaknya kalian sempurna, sebagaimana Bapamu
di surga sempurna adanya.” Kita bisa bertanya, “Apakah mungkin, manusia dengan seabrek kelemahan dan
kekurangan bisa menyamai Bapa yang amat sempurna
itu?” Perintah itu berangkat dari sabda Tuhan agar kita
mengasihi musuh-musuh dan mendoakan mereka yang telah
menganiaya. Wowww, mana mungkin? Pastinya hanya
bisa dilakukan oleh manusia setengah malaikat. Lalu, apa
dasarnya? Karena Yesus bicara tentang BapaNya yang
membuat matahari terbit untuk semua orang.
Kasih sempurna memang milik Allah. Dan manusia
hanya berusaha untuk ‘meniru’ Allah sejauh ia mampu.
Nyatanya manusia jatuh lagi. Meskipun sudah menerima
sakramen tobat di ruang pengakuan, tetap saja kedagingan
kita jauh lebih besar. Kita masih iri hati, cemburu, dengki,
marah, sebel dan lain-lain. Berbuat kasih terhadap musuh?
Stop dulu deh. Lalu, disuruh untuk memiliki kasih sempurna?
29
Apakah perintah ini berlebihan, berada di atas awan gemawan yang tak bisa digapai?
Mungkin, kita harus melihat dari cara berbeda tentang
kesempurnaan kasih itu. Kesempurnaan kasih ditafsirkan
dengan berinisiatif, yaitu berusaha untuk memulai, memprakarsai. Maka, sabda Tuhan bisa ditafsirkan: hendaknya
kalian berinisiatif, sebagaimana Bapamu di surga berinisiatif adanya. Saya senang kalau saya berani mengatakan,
“Ibu, bapa, saudara-saudaraku, adakah yang bisa saya
bantu?” Itu artinya, saya sedang membuka hati, membiarkan kasih itu keluar. Dan selanjutnya, biarlah Tuhan yang
menyelesaikan dan menyempurnakan apa yang baik itu.
Pertanyaan reflektif:
Kapan dan dalam peristiwa apa aku berinisiatif? Jika “Ya“,
artinya aku telah berkehendak sempurna seperti Bapa di
surga. Jika “belum” atau “tidak”, aku perlu mengumpulkan
keberanian untuk berprakarsa melakukan kebaikan kasih.
Marilah berdoa:
Syukur kepadaMu Tuhan dengan hati jujur. SabdaMu aku
pelajari untuk mengenal rahasia Allah. Namun, semua tak
mudah. Apalagi ketika Engkau meminta mengasihi musuh
dan mendoakan orang yang telah menganiaya. Ya Tuhan,
jangan tinggalkan daku bila aku gagal, tetapi bantulah aku
untuk berpegang pada ketetapan-ketetapanMu supaya
aku hidup berbahagia. Amin.
(RD Hardijantan Dermawan)
30
Minggu, 12 Maret 2017
Hari Minggu Prapaskah II
Kej. 12: 1-4a; Mzm. 33:4-5.18-19.20-22;
2Tim. 1:8b-10; Mat. 17:1-9
THE WAY
“Inilah AnakKu yang terkasih, kepadaNyalah
Aku berkenan, dengarkanlah Dia” (Mat. 17:5b)
Kisah penampakan di Gunung Tabor disebut transfigurasi. Yesus Sang Mesias sudah ditampilkan dalam
kisah pembaptisan dan cobaan di padang gurun. Kini
kemesias-an dihadirkan setelah pimpinan Yahudi semakin
tidak suka dengan Yesus dan khalayak ramai pun mulai
tidak memahami-Nya. Transfigurasi menggambarkan
kemulian pada akhirnya setelah derita dan wafat di kayu
salib. Peristiwa di Gunung Tabor itu semacam ringkasan
semua tahap rencana penyelamatan Allah. Maka, tampil di
sana tokoh-tokoh Perjanjian Lama, ada Musa dan Elia.
Kita tahu tokoh Musa adalah tokoh luar biasa. Pada
Musalah Hukum Taurat ditorehkan dan ditanamkan pada
umat Israel. Tokoh Elia disebut-sebut dalam Kitab Maleakhi
karena ketaatan pada Taurat, di samping dialah yang
melawan nabi-nabi Baal. Disandingkan pada tokoh-tokoh
kunci itu, penginjil Matius mau mengatakan bahwa Yesus
benar-benar Musa yang baru. Jalan-jalan Kasih sudah
ditunjukkanNya agar semua manusia tetap setia berpegang teguh dan terarah pada Allah. Derita dan wafatNya
31
di kayu salib adalah bukti ketaatanNya pada Bapa,
disejajarkan dengan Elia yang taat pada Taurat.
Ikut Yesus bukan sekadar senang-senang, yang indahindah. Ikut Yesus juga punya tuntutan-tuntutan, berani
untuk memikul salib, masuk ke dalam penderitaan untuk
mengalami kemuliaan Tuhan. bila dikaitkan dengan tema
APP 2017 relevansinya dirumuskan seperti ini: bisa jadi,
semakin berkeadilan dan semakin beradab akan ditempuh
dengan susah payah dan beban salib, entah apa pun
bentuknya. Namun, bacaan hari ini kiranya meneguhkan
bahwa semua tidak pernah akan sia-sia. Di balik susah
derita dan salib yang dipanggul, ada kemuliaan yang akan
dialami. Yakinlah sebab itulah jalan Yesus yang harus Ia
tempuh, derita, wafat dan kemuliaan.
Pertanyaan reflektif:
Jalan manakah yang aku tempuh selama ini? Jalan Salib
dan Kasih Kemuliaan ataukah Jalan “senang” dan jalan
“membabi buta”?
Marilah berdoa:
Ya Tuhan, Engkau telah menunjukkan jalan-jalan keselamatan dan kemuliaan. Sayangnya, jalan-jalan itu penuh
onak dan duri, enggan untuk ditapaki. Semoga aku berani
untuk menempuh jalanMu, Tuhan, meskipun kaki ini berat
untuk melangkah, meskipun batin ini pegal rasanya.
Bersama dengan Engkau, sukacita berlimpah, dan
kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.
(RD. B. Hardijantan Dermawan)
32
Senin, 13 Maret 2017
Hari biasa Pekan II Prapaskah
Dan. 9: 4b-10; Mzm. 79:8, 9,11, 13;
Luk. 6: 36-38
KEMURAHAN HATI
Hendaklah kamu murah hati, seperti Bapamu murah hati
(Luk. 6:36)
Saya mempunyai kesan mendalam pada seorang
imam yang sudah lanjut usia, dimana saya tinggal 2 tahun
bersama beliau. Dalam hidup kesehariannya, dia tak
terlalu banyak kata. Namun, sikap dan tutur katanya sangat
berbicara banyak bagi saya. Dan bahkan penuh dengan
kedalaman insani dan rohani. Di sore hari saya luncurkan
kendaraan saya menuju pastoran tempat saya tinggal. Tak
sengaja, di depan pintu gerbang yang sedang terkunci ada
beliau yang sedang olah raga. Dengan begitu cepat dan
gesit beliau langsung mengambil kunci pintu gerbang dan
membukakan pintu untuk saya. Sungguh pada saat itu
saya merasa tidak enak. “Udah..udah Romo, jangan…biar
saya saja yang membuka”, tegasku kepadanya. Dengan
wajah senyumnya yang tulus dia berkata,”Ga papa Romo,
saya bisa kok, sekaligus olah raga tangan (dengan nada
bercanda yang memang biasa dia lakukan pada kami).
Makasih Romo” , tegasku sekali lagi kepadanya.
Bukan hanya pengalaman ini saja yang saya temukan
dari beliau. Di saat pagi, ketika kami sarapan bersama,
beliau selalu mencuci piringnya sendiri. Dan bahkan tak
33
jarang sikapnya yang baik hati ini, mendorong kami juga
terlibat. Beliau pribadi yang tidak terlalu banyak bicara,
namun sekali lagi sikap dan tuturkatanya berbicara banyak
untuk kami yang tinggal satu rumah. Suatu saat saya juga
datang kepadanya dan mengatakan,”Romo, apakah romo
ada waktu. Saya ingin mengaku dosa?” Dia langsung
menjawab, “O, ada dong! “Mari, kita menuju kamar saya
ya”, katanya kepadaku, sembari kami menuju ke kamar
beliau. Setelah selesai pengakuan dia berkata,”Romanus,
sekarang gantian ya, saya mengaku dosa dengan kamu”.
Sontak saya agak kaget dan tetap menjawab,”Baik Romo.”
(pengakuan dosa dalam hal ini sebagai sesuatu yang
biasa sebagai sesama imam, namun hati saya pada saat
itu cukup tersapa dengan kemurahan hati beliau).
Pengalaman-pengalaman di atas membantu saya
untuk merenungkan apa yang Tuhan katakan pada hari
ini. “Hendaklah kamu murah hati, seperti Bapamu murah
hati”. Kemurahan hati bukan terwujud dalam kata-kata
saja, tetapi dalam kesaksian hidup. Kemurahan hati
mewujud dalam sikap sehari-hari. Kemurahan hati tak
pernah menggunakan “topeng”. Semua mengada dalam
ketulusan. Tak ada pamrih. Tak ada kepalsuan. Yang ada
hanya dalam ketulusan. Inilah yang saya temukan pada
sosok pribadi seorang imam yang sudah usia, di mana
saya tinggal bersama. Ketulusan hati muncul dalam
pribadi yang tak pernah banyak kata-kata. Hadir dalam
pribadi yang tak hanya berteori tentang “omongan yang
34
suci-suci”, melainkan dari sikap hati sehari-hari yang
memberi teladan kesucian. Kerap kali saya merenungkan
kebaikan Tuhan dalam rahmat yang Dia berikan kepada
kita. Mengapa Tuhan memberi 2 telinga dan satu mulut?
Terkadang ku renungkan semua ini, dengan harapan bahwa
Tuhan mengajak saya untuk lebih banyak mendengarkan
dari pada berucap kata-kata. Mengapa Tuhan begitu
banyak memberi dari anggota tubuh kita berjumlah dua
dua? Dia menghendaki agar kita saling mengisi, berbagi
dan kerjasama. Kemurahan hati inilah yang mendasari
semua keutamaan-keutaman yang lainnya, seperti: berbagi, ramah, mengampuni, berani merendahkan diri dll.
Makna kata “murah hati” dalam pengertian bahasa
Ibrani adalah rahamim. Kata rahamim lebih menunjukkan
kasih seorang ibu (rehem: Rahim ibu). Maka, arti ini bisa
kita lihat dari kasih seorang ibu yang begitu mendalam
kepada anaknya. Seorang ibu yang mengandung dan
melahirkannya. Normalnya, seorang ibu itu akan sangat
sayang dan mencintai anaknya. Dengan demikian, kasih
rahamim ini adalah kasih yang memuat kebaikan dan
kelembutan. Kasih yang penuh dengan kesabaran dan
pengertian. Kasih yang terus menerus mau memelihara
dan mengampuni. Kasih rahamim adalah kasih yang
dianugerahkan dan bukan karena jasa. Sebagaimana
seorang bayi dalam kandungan menerima kasih sayang
dan perlindungan dari ibunya, bukan karena si bayi berjasa.
Melainkan murni berkat kemurahan hati sang ibu melalui
35
kasihnya. Maka, dalam masa prapaskah ini, taburkanlah
kemurahan hati bagi siapa saja. Laksanya Bapa menaburkan
kemurahan hati bagi kita semua, tanpa pilih kasih.
Pertanyaan reflektif:
Sudah murah hatikah hidupku?
Marilah berdoa:
Tuhan, ajarilah kami murah hati, sebagaimana Engkau
murah hati. Demi Kristus Tuhan dan penyelamat kami.
Amin.
(RD Romanus Heri Santoso)
36
Selasa, 14 Maret 2017
Hari biasa Pekan II Prapaskah
Yes. 1: 10.16-20; Mzm. 50:8,9,11,13;
Mat. 23: 1-12
KEMUNAFIKAN
Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud
supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang
yang lebar dan jumbai yang panjang (Mat. 23:5)
Secara manusiawi, saya memang tidak terlalu suka
dengan orang yang banyak bicara tetapi tak ada aksi yang
nyata. Indah dalam kata-kata, namun nol dalam tindakan.
Entah, rasa perasaan ini apakah juga Anda alami. Tentunya
tanpa jatuh pada penghakiman pada seseorang, tetapi
banyak dari kita memang tak terlalu tertarik dengan orang
yang banyak cakap dan tak ada aksi. Jika demikian, berhati-hatilah kita, sebab sabda Yesus hari ini juga terarah
pada kita. Bukan hanya pada ahli-ahli Taurat. Mereka
mengajarkan banyak keutamaan, namun tak melakukan
dalam keseharian. Bagi Yesus, semua ini omong kosong.
Bagi Yesus, semua ini tak ada guna.
Maka, begitu banyak istilah yang bermunculan untuk
menggambarkan orang-orang yang hanya bisa mengajarkan tetapi tak mau melakukan. OMDO= Omong Doang.
NATO: No Action Talk only. Berjumpa dengan orang-orang
yang demikian, membuat hati kita juga mudah lelah. Tak
bergairah dalam kerjasama, baik dalam pekerjaan
maupun dalam pelayanan. Yesus pun juga demikian,
37
ketika menghadapi para ahli-ahli taurat yang bertudungkan
omongan dan pakaian suci, namun buruk dalam hati.
Buruk dalam tindakan. Buruk dalam sikap sehari-hari.
Ada dongeng mengenai seorang pemuda yang banyak
bicara. Suatu ketika ia berkelana ke dalam hutan. Tiba-tiba
ia mendengar suara orang berbicara. Setelah dicari-cari,
ternyata yang berbicara adalah tengkorak. Pada mulanya
pemuda itu sangat kaget, namun karena tengkorak tersebut
kelihatannya tidak berbahaya, ia pun mendekatinya.
Selang sesaat pemuda itu bertanya, “Apa yang menyebabkan
Anda di sini?” Lalu tengkorak itu menjawab, “Yang membawa saya ke sini adalah mulut yang banyak bicara.”
Setelah berbicara dengan tengkorak, pemuda itu keluar
dari hutan dan berjalan menuju ke kota. Sepanjang
perjalanan ia terus menceritakan kepada orang-orang
bahwa ia akhirnya bertemu tengkorak yang bisa bicara.
Cerita ini akhirnya sampai ke telinga raja. Raja sangat
tertarik dengan cerita ini dan ingin membuktikannya. Ia
memerintahkan prajuritnya untuk mencari pemuda itu
untuk dijadikan pemandu jalan.
Singkat cerita, sampailah rombongan raja ke hutan
tempat tengkorak tersebut berada. Untuk membuktikan
ceritanya, pemuda itu bertanya kepada tengkorak. Ternyata,
kali ini tidak ada jawaban sama sekali. Karena tengkorak
itu diam saja, pemuda tersebut bertanya lagi dan
lagi. Namun tengkorak itu tetap membisu. Melihat hal ini,
raja sangat marah. Ia merasa dipermainkan. Lalu raja
38
memerintahkan prajuritnya untuk memasukkan si pemuda
tadi ke dalam penjara. Dengan harapan agar dia bisa
memperbaiki sikapnya yang hanya banyak bicara tetapi
kosong isinya dan tak ada fakta. Setelah rombongan raja
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar lagi suara
tengkorak yang bertanya kepada para rombongan raja itu,
“Apa yang membawa Anda ke sini?” Mereka menjawab,
“Yang membawa kami ke sini adalah mulut orang muda itu
yang banyak bicara dan penuh dengan kepalsuan.”
Kisah di atas mengingatkan kita untuk berhati-hati
dalam berbicara. Jangan terlalu banyak berteori. Jangan
terlalu banyak membual. Jangan terlalu banyak omong
yang suci-suci, namun diri sendiri tak melakukan. Maka, di
masa Prapaskah ini, kita diajak untuk tidak terlalu banyak
omong, namun lebih banyak bertindak dengan ketulusan
hati. Jauhkan diri kita dari kepalsuan dan kemunafikan.
Pertanyaan reflektif:
Bagaimana langkah kongkret untuk membuang segala kemunafikan dalam hiduku?
Marilah berdoa:
Tuhan, Engkau selalu memberi kesempatan banyak waktu
bagi kami untuk bersih-bersih diri. Namun kerap kali kami
lalai. Atau bahkan kerap kali kami membandel dalam dosa
berat. Semoga kami dalam masa prapaskah ini kembali
berjuang untuk menjadi pribadi yang seperti Kau kehendaki.
Jadikan kami pribadi yang jauh dari kemunafikan. Amin.
(RD Romanus Heri Santoso)
39
Rabu, 15 Maret 2017
Hari biasa Pekan II Prapaskah
Yer 18: 18-20; Mzm. 31:5-6, 14, 15-16;
Mat. 20:17-28
SERVANT OF THE SERVANT OF GOD
“Anak manusia datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan
nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
(Mat. 20:28)
Abdi para Abdi Allah (Servus Servorum Dei), atau Servant
of the Servants of God adalah semangat pelayanan yang
dimiliki oleh Paus. Secara sederhana ketika mendengar kalimat tersebut hatiku terasa damai. Sebuah keutaman hidup
yang didasarkan pada salah satu nilai Kerendahan hati,
salah satunya. Seorang Paus, sebagai pemimpin umat
katolik seluruh dunia dengan semangat pelayanan dengan
penuh kerendahan hati. Mengalirlah di sana bahasa kasih,
pengampunan, mengalah, dan damai. Tak ada arogansi.
Tak ada ambisi manusiawi. Tak terjebak pada motivasi
tuk menguasai dan membenci. Tak ada kehendak untuk
menjatuhkan dan merendahkan. Namun semuanya dengan
bahasa pengampunan dan belas kasih.
Rasanya, semangat keutamaan dari seorang pelayan
Tuhan ini bisa menjadi inspirasi kita. Baik dalam keluarga
yang kita cintai, dalam dunia kerja ataupun bentuk-bentuk
pelayanan kita yang lainnya. Sebab rasanya sangat sulit di
40
zaman sekarang untuk dapat memiliki hati yang bijaksana.
Jangankan bijaksana, memiliki hati yang mau mengalah
pun sangat tidak mudah. Yang paling mudah adalah hati
yang terbawa emosi. Mudah tersulut amarah dan rasa
benci. Dan jika sudah demikian, maka yang ada adalah
memusuhi dan balas dendam. Mungkin jika salah satunya
kita tarik dalam konteks pelayanan, begitu mudahnya kita
“mutung” jika apa yang tejadi tak seperti yang kita harapkan.
“Buat apa susah-susah lagi pelayanan kayak begini, jika
hasilnya tidak ada yang menghargai. Sudah tidak dibayar,
banyak berkorban lagi. Buang-buang waktu tampaknya. Sudahlah, cukup sampai di sini saja”. Terkadang saya masih
mendengar ungkapan-ungkapan yang bernada demikian.
Memang dalam hidup ini kita membutuhkan proses.
Tak mudah matang begitu saja. Kita sungguh mengalami
pengalaman jatuh bangun. Demikian juga dengan bentukbentuk pelayanan kita. Sangat tidak mudah. Membutuhkan
waktu yang tidak pendek. Mari kita tilik bentuk-bentuk
pelayanan yang kita emban sampai sekarang. Sejauh
maka kita menjalankannya? Dalam dasar apa kita melakukan semuanya itu. Entah sebagai ketua RT, sebagai
seorang romo, suster, sebagai prodiakon, lektor, ketua
lingkungan atau sebagai pribadi-pribadi yang terlibat dalam
seksi-seksi tertentu yang ada di paroki. Atau bentuk-bentuk
pelayanan yang lainnya. Jika sampai saat ini kita sungguh
menjalankan semuanya itu dengan semangat kerendahan
hati, bersyukurlah. Pasti banyak berkat dan siraman rohani
41
yang Tuhan berikan pada kita. Walau memang terkadang,
pelayanan kita yang demikian tak terlepas dari pengalaman
untuk harus berkorban dalam banyak hal. Entah dari sisi
waktu, tenaga, pikiran dan bentuk-bentuk yang lainnya.
Namun, semua itu tidak kita hiraukan. Kita tidak hitunghitung dalam pelayanan.
Indahnya jika segala pelayanan yang kita lakukan kita
maknai sebagai “jalan” dari Tuhan. Jadi, lambat laun kita
memaknai semua itu bukan dengan jalan pikir secara
manusiawi. Melainkan selalu kita pandang dan maknai
dari kaca mata Ilahi. Rasanya ini tidak terlalu muluk-muluk.
Dan inilah yang dikehendaki oleh Yesus dalam bacaan
Injil hari ini. Yesus melihat ada motivasi-motivasi yang tidak
benar dari orang-orang yang mengikuti dia. maka, Yesus
ingin meluruskan mereka. Janganlah berbicara tentang
apa kelak yang akan kamu dapat dalam pelayananmu.
Melainkan teruslah melayani dengan kemurahan hati. Tidak
tebang pilih. Jangan mengharapkan imbalan apalagi mencari
pujian. Jika kita bertahan pada hal yang demikian, niscaya
Tuhan selalu ada di pihak kita. Dan Tuhan akan memberikan
yang terindah di akhir hidup kita.
Pertanyaan reflektif:
Seberapa besar saya mempunyai semangat sebagai
HAMBA dalam segala aktifitas dan pelayanan?
42
Marilah berdoa:
Tuhan, perbaharuilah semangat pelayanan kami. Semangat
hidup kami. Agar kami menjadi pelayan yang seperti Kau
kehendaki. Siap berkorban dan tak haus dengan pujian.
Demi Kristus Tuhan dan penyelamat kami. Amin.
(RD Romanus Heri Santoso)
43
Kamis, 16 Maret 2017
Hari biasa Pekan II Prapaskah
Yer. 17: 5-10; Mzm. 1:1-2, 3, 4,6;
Luk. 16: 19-31
HIDUP MELIMPAH TETAPI PELIT?
Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus,
supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan
menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan
dalam nyala api ini (Luk. 16:23)
Sudah sering kali kita mendengar kisah ini. Kisah orang
kaya dan Lazarus yang miskin. Suatu kali, saya berkisah
tentang kisah Lazarus ini kepada anak-anak BIA. Dalam
perjumpaan dengan mereka, saya dikejutkan oleh satu
anak yang bertanya,”Romo…siapa nama orang kaya itu?”
Sontak saya tak bisa menjawab. Lalu dengan nada agak
bercanda saya berkata,”Boleh nggak kalau orang kaya itu
saya beri nama Romanus.” Spontan banyak dari mereka
menjawab,”Ga boleh…ga boleh…ga boleh.”
Ada satu anak yang berdiri di depan berkata, ”Kan
Romo Romanus baik, ga kayak orang kaya itu.” Jawaban
anak itu saya balas dengan tertawa lepas. Setelah perjumpaan dengan anak-anak BIA tesebut, saya masih
mencoba merenung tentang pengalaman bersama mereka.
Tidak, saya tidak baik, saya belum baik, saya masih seperti
orang kaya tersebut. Saya masih memiliki sikap “pelit”
dalam banyak hal. Laksana orang kaya dalam injil hari ini.
Saya terkadang masih pelit dari sisi waktu buat umat
44
yang sangat membutuhkan. Pelit dalam hal pengorbanan.
Masih mementingkan diri sendiri. Pelit dalam berbagi
dengan yang miskin. Pelit dalam sikap mengampuni. Pelit
dalam hal kesabaran. Pelit dalam memberi senyum
keramahan kepada orang yang tidak saya sukai. Dan
masih banyak “kepelitan” yang lainnya yang masih bercokol
dalam diri saya. Sikap egois inilah yang membuat
saya masih dalam posisi seperti “orang kaya” dalam
kisah Lazarus. Dan sikap-sikap inilah yang harus saya
ubah dalam masa Prapaskah yang baik ini yang diberikan
Tuhan melalui GerejaNya yang kudus.
Ada sebuah kisah demikian. Ada seorang Bapak
bernama Jorok. Suatu saat dia meninggal. Dalam alam
kematian dia mengalami hal demikian. Arwahnya tiba-tiba
sedang berjalan menyusuri jalan yang gelap tanpa cahaya.
Semasa hidupnya dia cukup dikenal sebagai orang kaya
namun sangat serakah dan pelit. Maka, dia diberi julukan si
pelit. Lalu si pelit itu melihat seseorang yang sedang berdiri
tampak sedang menjaga sebuah pintu. Si pelit itu langsung
mendekati orang itu, setelah dilihat ternyata itu malaikat
penjaga pintu surga. Lalu si pelit itu bertanya pada malaikat,
“Hey apakah ini pintu surga?” “Ya benar, dan saya adalah
penjaga pintu surga. Hanya orang-orang yang beriman
yang dapat masuk ke pintu suci ini,” jawab malaikat. “Kalau
begitu, saya orang beriman, berarti saya boleh masuk,”
jawab si pelit. “Tunggu dulu, saya dan asisten saya akan
mengecek dulu amal baikmu,” jawab malaikat.
45
Setelah dicek ternyata malaikat itu mengetahui bahwa
Bapak Jorok itu seorang yang kaya raya namun pelitnya
minta ampun. ”Eiitttttt…, kamu tidak bisa masuk ke surga
karena kamu orang yang pelit, padahal kamu mempunyai
harta yang melimpah,” kata malaikat. “Kata siapa aku pelit,
buktinya saya pernah dua kali menolong orang lain,” jawab
si pelit. “Coba katakan apa saja amal baik itu?” tanya
malaikat. “Ok.. yang pertama saya pernah memberi
bantuan kepada seorang anak yang kelaparan dengan
uang saya,” jawab si pelit. Asisten malaikat itu mengecek
amal baik si pelit apakah benar atau tidak. Ternyata si
pelit itu benar pernah memberi uang kepada anak yang
kelaparan. “Lalu apa amal baik yang ke-2 yang pernah
kamu lakukan?” tanya malaikat. “Ok yang ke-2 adalah
saya pernah menolong pengemis dan saya beri dia uang,”
jawab si pelit. “Kalau begitu kamu duduk dulu di sini!” suruh
malaikat. Malaikat itu berbicara dengan asistennya yang
sedang berdiri agak jauh dari si pelit itu. “Bagaimana nih,
masa si pelit ini harus masuk surga?” tanya asisten kepada
malaikat. “Memang dia pernah beramal tetapi minim sekali,”
jawab malaikat. “Saya punya ide, bagaimana kalau kita
kembalikan uang dia, lalu kita suruh dia menghadap malaikat
penjaga neraka,” jawab asisten.
Rasanya sudah begitu banyak tanda yang diberikan
Tuhan kepada kita. Sudah banyak peringatan yang Tuhan
berikan pada kita. Yesus pun juga demikian. Begitu banyak
sabdaNya yang mengarahkan hidup kita pada kebenaran.
46
Bahkan melalui kisah Lazarus. Yesus juga kembali
mengingatkan hidup kita. Apakah kita masih dalam posisi
seperti orang kaya tersebut? Jika iya, ubahlah haluan
hidup kita. Kembalikan kejalan yang dikehendaki Tuhan.
Tak ada kata terlambat bagi Tuhan. Lakukan sekarang
juga!
Pertanyaan reflektif:
Sudah dermawankah hidupku?
Marilah berdoa:
Tuhan, tuntun langkah hidup kami, agar selalu berani berbagi dengan tulus. Tuntun hidup kami agar selalu berani
berbelarasa kepada mereka yang menderita. Demi Kristus
dan penyelamat kami. Amin.
(RD Romanus Heri Santoso)
47
Jumat, 17 Maret 2017
Hari Biasa Pekan II Prapaskah
Kej. 37.3-4,12-13a, 17b-28;
Mzm. 105:16-17, 18-19, 20-21;
Mat. 21:33-43, 45-46
KERAJAAN ALLAH
Kerajaan Allah akan diambil daripadamu dan akan
diberikan kepada suatu bangsa yang akan
menghasilkan buah kerajaan itu.
(Matius 21:43)
Saudara-saudaraku yang dicintai Tuhan. Kerajaan Allah
adalah sebuah tawaran yang mengundang orang untuk
berbuah. Ketika kondisi Allah merajai seseorang dan orang
merasakan damai sukacita dan pengharapan dalam Tuhan
maka tak heran kalau Kerajaan Allah itu sudah hadir
padaNya. Penerimaan adalah kata kunci untuk menyambut
datangnya Kerajaan Allah itu. Saat kita malah menolak
hadirnya Kerajaan Allah bagi hidup kita sendiri tak pelak
kerajaan Allah takkan hadir dan tak berbuah. Begitulah
akhirnya sifat Kerajaan Allah itu berkembang sesuai
dengan kebebasan Anak-anak Allah.
Pertanyaan buat kita mampukah kita menyadari betapa
Kerajaan Allah membutuhkan tanggapan kepekaan kita
akan penerimaan ataukah sebaliknya sebuah penolakan.
Allah membutuhkan sebuah paham baik daripada sebuah
paham buruk. Dan saat paham baik menjadi pilihan hidup
kita maka berkembanglah kerajaan Allah.
48
Pertanyaan reflektif:
Manakah benih-benih Kerajaan Allah yang sudah kita
terima dan kembangkan? Sharingkan kisah hidupmu
sebagai peneguhan.
Marilah berdoa:
Ya Bapa, ajarilah kami memahami kehendak-Mu di dalam
perumpamaan Yesus hari ini tentang bagaimana mengembangkan Kerajaan Allah. Buatlah agar paham baik menjadi
cara hidup kami mengembangkan Kerajaan Allah. Doa ini
kami sampaikan demi Yesus Kristus Tuhan dan sahabat
kami. Amin.
(RD Rudy Hartono)
49
Sabtu, 18 Maret 2017
Hari biasa Pekan II Prapaskah
Mi. 7:14-15, 18-20; Mzm. 103:1-2, 3-4, 9-10,
11-12; Luk. 15:1-3, 11-32
ALLAH MURAH HATI, KITAPUN MURAH HATI
Kita patut bersukaria dan bergembira karena adikmu
telah mati dan menjadi hidup kembali,
ia telah hilang dan didapat kembali
(Luk. 15:32)
Secara turun temurun, Allah digambarkan sebagai
Allah yang kejam, Allah yang senang menghukum apabila
manusia bersalah, Allah yang murka apabila manusia
berbuat dosa. Gambaran Allah sebagai pemberi ganjaran
dan pemberi hukuman jelas terlihat dalam aturan-aturan
Taurat yang sangat rinci. Berhadapan dengan aturan
tersebut manusia harus tunduk dan taat. Beriman diartikan sebagai sekedar menaati peraturan dan menghindari
pelanggaran. Peraturan-peraturan itu sebenarnya sangat
memberatkan orang-orang miskin, dan orang yang sakit.
Setiap pelanggaran, betapa pun kecil, membuahkan
ganjaran hukuman berupa silih. Orang miskin sulit untuk
menye-diakan silih sebagai tebusan atas kesalahannya.
Ketentuan itu juga memberatkan orang sakit. Orang sakit
bertambah penderitaannya karena ia dianggap manusia
berdosa dan karena sakit ia harus diasingkan dari masyarakat. Sebetulnya, nabi Mikha pernah berseru bahwa
Allah adalah Maha Pengampun. Allah tidak bertahan
50
dalam kemurkaan-Nya (Mi. 7:18-19). Namun seruan itu
tenggelam dalam kuatnya pandangan mengenai Allah
yang keras.
Yesus mengajarkan bahwa Allah adalah kasih. Ia
murah hati. Terhadap orang yang berdosa berat pun Allah
membuka tangan untuk menerima kembali. Dalam perumpamaan tentang anak yang hilang, sang bapa menggambarkan Allah sendiri. Si bungsu sudah jauh sekali
meninggalkan rumah bapaknya. Si bungsu menggambarkan
manusia yang dosanya sungguh sangat berat. Jika Allah
bukan Allah yang murah hati, niscaya manusia yang dosanya sangat berat tidak akan memiliki pengharapan lagi
untuk bertobat.
Dengan perumpamaan Anak yang hilang, Yesus mengajak kita untuk meneladan Allah yang murah hati. Yesus
mengetuk hati setiap orang untuk memilih jalan yang benar.
Yesus mengetuk hati setiap orang untuk berani kembali
pulang dalam pertobatan. Yesus mengetuk hati setiap
orang untuk bersikap murah hati terhadap sesama.
Seperti Allah murah hati, kitapun harus murah hati.
Pertanyaan reflektif:
Sudah bermurahhatikah aku?
Marilah berdoa:
Ya Allah, teguhkanlah niatku agar bisa bermurah hati
seperti Engkau murah hati kepadaku. Amin.
(ML Supama)
51
Minggu, 19 Maret 2017
Hari Minggu Prapaskah III
Kel. 17:3-7; Mzm. 95:1-2, 6-7, 8-9;
Rm. 5:1-2,5-8; Yoh. 4:5-42
BERIMAN ITU PERLU HATI DAN “WAKTU”
“Aku tahu, bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga
Kristus; apabila Ia datang , Ia akan memberikan
segala sesuatu kepada kami.” (Yoh. 4:25)
Dalam suatu perayaan Ekaristi syukur atas pesta perak
Imamatnya, Imam yang berpesta berbagi pengalaman
imannya akan kasih dan kebaikan Tuhan. Selama ini ia
mengalami banyak berkat terutama rahmat kesehatan dan
bahkan merasakan sebagai pribadi yang kuat. Menjelang
perayaan pesta peraknya ia mengalami gangguan kesehatan
yang sering ditandai dengan rasa lemas dan kurang bersemangat. Pada waktu diperiksa kesehatannya, betapa
mengagetkan mengetahui bahwa dalam jantungnya sudah
terjadi blok yang sedemikian hebat sampai mengagetkan
dokter yang memeriksanya. Mengingat kondisi kritis tersebut
dokter mengambil keputusan untuk melakukan operasi by
pass, imam tersebut tidak bisa lain kecuali menurut dan
percaya kepada Tuhan meskipun tetap disertai rasa takut
luar biasa.
Setelah selesai operasi dan menjalani perawatan lanjut,
kondisi semakin membaik dan pulih. Peristiwa operasi
jantung untuk menyelamatkan anugerah kehidupan dari
52
Tuhan sungguh menyadarkan bahwa hidup semata-mata
anugerah dari Tuhan dan kasih Tuhan itu memang luar
biasa. Selama ini bukannya tidak percaya namun lebih
meyakini dalam level pikiran dan kata. Sekarang pengalaman tersebut sungguh hidup dan dirasakan dalam keseluruhan pribadi. Menjadi sungguh beriman ternyata tidak
bisa instan dan cepat, namun membutuhkan keterbukaan
dan kerendahan hati serta waktu yang panjang.
Kisah percakapan Yesus dengan perempuan Samaria menggambarkan proses yang amat panjang sampai
pada titik di mana perempuan Samaria menjadi percaya
bahwa Yesus adalah Mesias, Sang Juruselamat. Ia tidak
bisa mendadak sampai pada keyakinan tersebut. Dibutuhkan perjumpaan, perbincangan untuk semakin mengenali
pribadi Yesus.Yesus Sang Juruselamat penuh misteri bagi
kita manusia yang lemah ini. Untuk beriman kepada-Nya
dibutuhkan sikap keterbukaan dan kerendahan hati disertai
pertobatan. Tidak jarang kita dituntut untuk melepaskan diri
dari berbagai motivasi manusiawi dan semangat mengandalkan kekuatan diri. Kita diajak untuk sampai pada titik di mana
kita percaya dan bergantung sepenuhnya pada Yesus.
Pertanyaan reflektif:
Pernahkah aku mengalami peristiwa hidup yang membuat
semakin disadarkan akan kasih dan kuasa Tuhan? Janganjangan aku belum melepaskan diri dari berbagai sikap dan
sifat yang lebih mengandalkan diri dari pada mengandalkan
Tuhan.
53
Marilah berdoa:
Tuhan, anugerahkanlah kepadaku keterbukaan dan kerendahan hati dalam menjalani waktu-waktu hidupku. Semoga
semuanya membawa aku semakin mengenal dan beriman
kepada-Mu.
(RD Y. Purbo Tamtomo)
54
Senin, 20 Maret 2017
Hari Raya S. Yusuf, Suami SP Maria
2Sam. 7:4-5a, 12-14a, 16; Mzm. 89:2-3,
4-5,27,29; Rm 4:13,16-18,22; Luk. 2:41-51a
MENCARI TUHAN SETIAP WAKTU
“Mengapa kamu mencari Aku? Tidak tahukah kamu,
bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?
(Luk. 2:49)
Kisah tentang Yesus hilang dan ditemukan kembali di
Bait Allah, spontan mengingatkan pengalaman anak yang
hilang di sekitar Monas dan ditemukan kembali di komplek
gereja Katedral , Jakarta. Pada suatu Minggu pagi sepasang suami-isteri muda pergi ke Monas untuk berolahraga
pagi. Ia membawa anaknya yang berusia 6 tahun. Begitu
ramainya suasana di Monas membuat pasangan tersebut
asyik bersenam dan lupa anaknya. Anaknya tersebut bermain sendiri dan tanpa sadar semakin menjauh dari Monas.
Karena kebingungan dan takut rupanya ia berjalan terus
dan tahu-tahu sampai di jalan depan Hotel Borobudur.
Perjalanan cukup jauh dan sulit dibayangkan bagaimana
anak itu sampai di sekitar Hotel Borobudur. Ia menangis
dan “ditemukan” oleh sepasang suami-isteri yang hampir
lanjut usia. Pasangan tersebut membawa anak itu ke gereja Katedral sambil mohon bantuan untuk diinformasikan lewat radio supaya orangtuanya mendengarnya dan
mengambilnya di gereja Katedral. Singkat cerita, orangtua
55
yang bingung karena anaknya hilang pergi ke Katedral untuk mengambil anaknya. Sambil menangis Ibunya merangkul anak tadi. Mereka bersyukur karena anaknya ditemukan kembali.
Ada kemiripan pengalaman Bunda Maria dan St. Yusup
yang kehilangan Yesus kecil dengan orangtua yang senam
di Monas tadi. Mereka bingung, tidak tahu apa yang terjadi; ada perasaan bersalah namun terus mencari anaknya
yang hilang. Akhirnya kegembiraan dialami setelah Yesus
ditemukan kembali. Pengalaman yang sama dirasakan oleh
pasangan yang menemukan anaknya di komplek Katedral.
Beriman adalah proses dan pengalaman hidup untuk
mencari dan mengalami kehadiran Tuhan. Betapa sering
dalam proses tersebut tidak mengerti apa yang sedang
dialami. Bahkan sering sampai bertanya di mana Engkau
Tuhan. Dalam situasi seperti ini kita diajak untuk tidak
menyerah dan tidak putus asa. Kita jalani hidup dengan
tekun. Kita percaya pada saatnya kehadiran Tuhan dan
berkat-Nya akan dialami/dirasakan. Orang beriman diajak
terus menerus tekun mencari Tuhan dalam setiap peristiwa
hidup, termasuk dalam kesulitan dan penderitaan yang
sedang dialami sambil percaya dan berharap pada saatnya kasih dan berkat Tuhan menjadi nyata.
Pertanyaan Reflektif:
Belajar dari renungan di atas bagaimana selama ini aku
menjalani hidup sebagai orang beriman? Pasti sering men56
jumpai pengalaman kebingungan, tidak mengerti mengapa
peristiwa sulit dan sedih terjadi. Apakah aku lebih sering
menyerah dan putus asa? Pernahkah karena yakin akan
karena kebaikan Tuhan aku bangkit melanjutkan kehidupan
dengan penuh syukur dan pengharapan.
Marilah berdoa:
Bapa di surga yang mahabaik sertailah dan tuntunlah
aku dalam setiap langkah hidupku. Jangan biarkan aku
berjalan sendirian sampai mengalami kebingungan dan
keputusasaan. Anugerahkanlah rahmat ketekunan dan
kesetiaan agar dapat mengalami kehadiran dan kasih-Mu
dalam setiap peristiwa hidup. Buatlah aku tekun mencari
Engkau karena pada saatnya aku akan menemukan Engkau.
(RD Y. Purbo Tamtomo)
57
Selasa, 21 Maret 2017
Hari biasa Pekan III Prapaskah
Dan. 3:25,34-43; Mzm. 25:4bc-5ab,6-7bc, 8-9;
Mat. 18:21-35
MINTA DIKASIHANI,
TAPI MENOLAK MENGASIHANI
“Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu
seperti aku telah mengasihani engkau?”
(Mat. 18:23)
Ketika kita membaca tentang sikap hamba yang
menolak mengasihani orang yang berhutang seratus
dinar kepadanya, bahkan mengirimnya ke penjara, hati kita
merasa sedih, prihatin, kecewa dan marah. Bagaimana
tidak? Orang yang tega dan kejam terhadap saudaranya itu
baru saja mendapatkan pengampunan dan pembebasan dari
hutangnya yang berlipat kali lebih besar, yaitu seribu talenta.
Dia tidak mampu membayar dan mohon belas kasihan raja
agar tidak menghukumnya dan minta diberi kelonggaran
waktu untuk membayarnya. Raja yang murah hati itu bahkan
membebaskan dia dari semua hutang dan hukumannya.
Hamba itu telah menerima kebaikan dan kemurahan hati
yang luar biasa dari raja.
Kita bayangkan dia sungguh bersyukur; senang terbebas dari beban penderitaan dan ketidak-berdayaannya. Kita
membatin dia akan menjadi orang yang berbela rasa kepada
mereka yang sedang mengalami kesulitan hidup serupa dan
58
akan bersikap sama: murah hati dan berbelas kasih, seperti
sikap raja terhadapnya.
Ternyata tidak demikian kejadiannya. Dia seolah lupa
akan pengalaman hidupnya sendiri. Keteladanan sang raja
akan kemurahan hati dan belas kasihan menguap tanpa bekas. Dia gagal paham, gagal belajar dan gagal bertumbuh
dalam kasih persaudaraan. Kok bisa? Rupanya, egoisme
yang kuat dan kebodohanlah yang menghambat dia. Dia
merasa lebih baik, lebih benar dan lebih pantas dari pada
orang lain. Dia pikir siapakah manusia itu di mata Allah,
Sang Pencipta, dan di mata manusia? Lupakah dia akan
jatidirinya sebagai manusia? Manusia adalah ciptaan Allah
yang mulia, berharkat dan bermartabat luhur; dan karena
itu beradab!
Sebagai makhluk yang beradab, manusia tidak hanya
punya naluri, tetapi punya nurani dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kehidupan dan moral yang baik. Bertindak kasar,
kejam dan tega/telengas bukanlah ciri manusia yang beradab. Manusia punya hati yang mampu berbela-rasa dan
mengasihi. Manusia punya kemampuan untuk memahami
dan memaafkan kekurangan dan ketidak-berdayaan sesamanya, terutama mereka yang memohon maaf dan pertolongan. Manusia perlu paham bahwa Allah menciptakan
me-reka secara unik, yang satu berbeda dengan yang lain.
Tapi karena bersaudara satu sama lain, maka manusia perlu saling menerima perbedaan dan saling menghormati.
Allah telah berbelas-kasih kepada manusia, maka manusia
59
pun perlu berbelas-kasih kepada sesama manusia.
Pertanyaan reflektif:
Setiap kali berdoa Bapa Kami, sadarkah aku bahwa
Allah hanya berkenan mengampuni dosaku, jika aku mau
mengampuni kesalahan dan kekuranganan sesama
kepadaku? Sadarkah aku bahwa sakit hati dan dendamku
kepada orang lain akan memenjarakan aku di dalam dosa
dan penderitaan batinku?
Marilah berdoa:
Allah Bapa yang Maharahim, aku begitu malu akan
sikapku yang sering menghakimi dan sulit memaafkan
kesalahan orang lain kepadaku. Aku mohon rahmat-Mu
agar aku mampu berdamai dengan diriku sendiri dan
dengan sesamaku. Apakah jadinya aku ini tanpa belaskasih dan pengampunan dari-Mu? Aku bersyukur atas
kemurahan hati-Mu, terutama atas penebusan dosa dan
keselamatan jiwa oleh Tuhan Yesus, Juru Selamat dan
Penebus umat manusia. Amin. (Shienta D. Aswin)
60
Rabu, 22 Maret 2017
Hari biasa Pekan III Prapaskah
Ul. 4:1,5-9; Mzm. 147:12-13, 15-6, 19-20;
Mat. 5:17-19
BUKAN MENIADAKAN, TETAPI MELENGKAPI
“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk
meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi.
Aku datang bukan untuk meniadakannya,
melainkan untuk menggenapinya.”
(Mat 5:17)
Kalau kita amati, manusia pada umumnya masih
sangat mementingkan hal-hal yang lebih bersifat lahiriah,
mudah ditangkap oleh indera (yang tangible), dari pada
yang bersifat batiniah (yang intangible). Padahal, sesungguhnya, yang ada di hati, di benak dan pikiran seseoranglah
yang lebih penting karena mendasar. Karena itu, besar
kemungkinan orang mudah menjadi sosok yang munafik,
palsu, penuh kebohongan, pencitraan semata, menipu,
berpura-pura, bermuka dua dan kosong batinnya, rendah
mutu akhlaknya, meskipun penampilan fisiknya santun,
soleh dan ramah.
Ada banyak contoh yang terjadi di sekitar kita. Adalah
baik jika orang mementingkan ritual agama, penampilan
agamis, baca Kitab Suci, belajar tafsir Kitab Suci, hafal
ayat-ayat, ber-rosario novena dan jalan salib, rajin ziarah
dan ikut Misa; tetapi jika pada saat yang sama, dia
61
kehilangan perasaan kasih sayang dan kemampuan bela
rasa, lalu menjadi kasar, tega dan kejam terhadap sesama
dan makhluk ciptaan Allah, Allah pasti tidak berkenan dan
orang itu tak pantas mendapat keselamatan yang dari Allah.
Maka, kehadiran Yesus dan ajaran-Nya dalam Injil
Matius hari ini, tidak untuk meniadakan hukum, aturan dan
kebiasaan baik yang sudah ada, tetapi melengkapinya. Ini
perlu supaya manusia tidak jatuh ke yang lahiriah dan kulit
luar (superficial) saja, tetapi juga, dan terlebih-lebih, yang
dapat menghidupkan cinta kasih. Hendaknya manusia
tidak hanya fokus pada perbuatan yang salah, tetapi juga
mewaspadai niat yang tidak baik.
Jadi, jangan hanya menghukum orang yang membunuh
saja, tetapi hukum pulalah mereka yang memfitnah, mengata-ngatai saudaranya dengan tidak pantas, yang mengkafir-kafirkan orang tanpa dasar, yang membenci dan ingin
mencelakakan orang lain dengan penuh niat jahat! Hukum
jugalah mereka! Begitu juga, jangan hanya menghukum
orang yang (sudah) berzinah, tetapi hukum jugalah mereka
yang bernafsu dan mendorong niat untuk berzinah.
Bagi kita yang mau belajar dan bertobat, khususnya
dalam relasi kita dengan sesama manusia, hendaklah
kita tidak lagi merasa cukup dengan sikap dan perbuatan
baik yang tampak luar saja, tetapi juga yang dijiwai dengan hati yang penuh kasih. Karena itulah sesungguhnya cerminan sikap dan perilaku manusia yang adil dan
beradab.
62
Pertanyaan reflektif:
Cukupkah fisik kami hadir duduk bersama dengan anggota
keluarga atau umat lingkungan kami, namun perasaan,
hati dan pikiran kami masing-masing terpusat pada gawai,
tontonan tv, bacaan atau hal lain, sehingga kami tetap terpisah, tak mampu saling memperhatikan dan mengungkapkan kasih satu dengan yang lain? Sadarkah kami: ini
bukan sikap yang adil terhadap sesama kami; ini bukan
sikap beradab manusia yang bermartabat luhur dan saling
mengasihi?
Marilah berdoa:
Yesus, Tuhan dan Guru kami, terima kasih atas firmanMu hari ini yang menyadarkan kami bahwa hukum, peraturan dan kebiasaan tidak boleh kehilangan Roh Cinta
Kasih. Kami sering terlalu cepat menanggapi ajakan untuk
berubah dengan sikap menentang, menolak atau membela
diri. Curahkanlah rahmat-Mu agar kami mampu bersikap
terbuka untuk bertobat sesuai dengan ajaran dan teladanMu, yang melengkapi hukum dan aturan yang sudah ada.
Karena Engkaulah Tuhan dan Juruselamat kami. Amin.
(Shienta D. Dewi)
63
Kamis, 23 Maret 2017
Hari biasa Pekan III Prapaskah
Yer. 7:23-28; Mzm. 95:1-2, 6-7, 8-9;
Luk. 11:14-23
PERSEPSI TIDAK SELALU
BERSAMA KEBENARAN
“Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa
tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.”
(Luk. 11:23)
Adakah orang baik - yang tulus dan sering peduli
menolong orang lain - dipersepsikan sebagai orang yang
melakukan pencitraan untuk mendapat keuntungan sepihak? Adakah orang jahat - yang pura-pura bersikap baik
dan penuh perhatian demi mendapatkan keuntungan sepihak
- dipersepsikan sebagai idola bahkan pahlawan yang dieluelukan? Ada, bahkan banyak, karena cara memandang
dan menilai orang, banyak dipengaruhi oleh persepsi,
sudut pandang, subyektivitas dan kepentingan orang
yang memandangnya. Persepsi juga bukan sesuatu yang
baku, karena mudah berubah. Persepsi juga tidak selalu
mendasarkan pada kebenaran dan kenyataan. Perbedaan
persepsi pun selalu memunculkan pro dan kontra: dua kubu
atau lebih yang bertentangan.
Jadi tak heran bila Yesus dicurigai dan dipersepsikan
menggunakan kekuatan Beelzebul (setan) untuk menyembuhkan orang yang kemasukan setan bisu. Bagi orang64
orang yang tidak suka, iri hati dan takut akan tersaingi
atau dirugikan akan keberadaan dan kepopuleran Yesus,
mereka cenderung punya persepsi yang negatif, yang buruk dan penuh kecurigaan; tak peduli sebaik apapun, dan
sebenar apapun, tindakan Yesus. Lalu, bagi kawan-kawan
dan pendukung orang-orang ini, persepsi mereka pun
terpengaruh untuk ikut-ikutan menghujat, menghina,
menolak, mengkritik pedas, mengusir, mencelakai, menghukum bahkan mau membunuh Yesus. Sedang bagi orang
yang disembuhkan serta murid-murid Yesus, Yesus adalah
Mesias yang menolong dan menyelamatkan mereka.
Sementara itu, ada orang-orang jahat yang mampu
mengemas kata-kata dan penampilan mereka, bisa
juga ditambah dengan memberi hadiah atau uang, serta
mengintimidasi menggunakan kekuasaan dan kekuatan
fisik mereka, untuk membangun persepsi umum yang
menguntungkan dan mendukung mereka. Orang-orang
yang mudah dikelabui memang kurang mampu mengenali
kebenaran dan kenyataan sebenarnya, sehingga persepsi
mereka keliru. Sayangnya, orang tidak suka mengubah
persepsi. Banyak orang merasa yang paling tahu dan
paling benar, hingga ngotot mempertahankan persepsi
mereka, meskipun sesungguhnya salah karena tidak berdasarkan data, fakta dan bukti yang benar dan masuk akal.
Belum lagi, jika mereka juga tinggi hati, arogan, tidak mau
mengakui kesalahan dan malu untuk berubah.
65
Ternyata hingga jaman sekarang, tidak banyak yang
berubah tentang persepsi orang terhadap orang yang lain.
Meskipun orang tahu bahwa kebenaran dan kenyataan
tak dapat diganggu-gugat, namun banyak orang tetap
membangun persepsi tidak berdasarkan kebenaran dan
kenyataan, melainkan berdasarkan apa yang mereka
sukai dan mereka maui. Fitnah, gosip, kecurigaan,
dan penghakiman sepihak pun bertebaran dan marak dipertontonkan.
Lalu, bagaimana kita dapat mempunyai persepsi yang
baik, tidak keliru? Kita lebih dahulu mencari kebenaran,
dan Allah adalah Kebenaran yang hakiki. Maka, jika manusia setia selalu berada bersama dengan Allah: dalam hening, doa, kasih dan niat serta perbuatan baik untuk keselamatan dan perdamaian seluruh umat manusia, kita pun
terluputkan dari kesalahan yang berpotensi memecah dan
mencerai-beraikan umat manusia.
Pertanyaan reflektif:
Masih seringkah aku reaktif, terlalu cepat menanggapi
berita dan issue yang muncul, lalu membangun persepsi
tanpa mau repot mencari tahu kebenaran dan kenyataan
yang ada, lebih dahulu, dan malahan ikut menyebarkannya? Masih seringkah aku bersikap keras kepala dan
menutup diri terhadap perbedaan pandangan dan mudah
mengobarkan permusuhan dengan mereka yang tidak aku
sukai? Setiakah aku untuk berdiam bersama Tuhanku,
66
dalam keheningan batin dan kehendak baik untuk ikut
menciptakan damai dan persatuan?
Marilah berdoa:
Yesus, Engkau menyadarkan aku supaya berhati-hati
dengan persepsi yang aku bangun dalam cara pandangku.
Terangilah aku dengan Roh Kudus-Mu supaya aku mampu
melihat yang benar, yang kasih dan damai untuk hidup
berdampingan dengan sesamaku yang lain. Semoga nama
Tuhan makin dimuliakan, karena sebagai murid-Mu, aku
mau ikut mengupayakan persatuan dan menghindari
perpecahan. Amin.
(Shienta D. Aswin)
67
Jumat, 24 Maret 2017
Hari biasa Pekan III Prapaskah
Hos. 14:2-10; Mzm. 81:6c-8a, 8bc-9,
10-11ab, 14,17;Mrk. 12:28b-34
MEWUJUDKAN HUKUM KASIH
YANG BERMUTU
“Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan
dengan segenap pengertian dan dengan segenap
kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti
diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua
korban bakaran dan korban sembelihan.”
(Mrk 12:33)
Jika kita berniat meningkatkan kualitas kasih kita
kepada Tuhan Allah dan kepada sesama, sebagai hukum
utama pertama dan kedua yang menghantarkan kita masuk
ke Kerajaan Allah, maka pertama-tama, kita perlu melihat
apa yang kurang dari perwujudan kasih kita selama ini.
Kita pasti menyatakan bahwa kita mengasihi Tuhan
Allah: kita berdoa, bersekutu, menghadiri Misa dan menerima sakramen, baca Kitab Suci, belajar Firman dan
berusaha menjadi pelaku Firman. Tetapi jika mau jujur, kita
masih mengecewakan dalam mengasihi Tuhan, karena
belum segenap hati, segenap pengertian, dan segenap
kekuatan. Sering kali kita masih men”dua”kan Tuhan, mengasihi Tuhan ala kadarnya, setengah hati atau bahkan di
permukaan saja. Hati, pikiran, tenaga dan waktu kita lebih
tertambat pada hal-hal yang tidak menghadirkan Tuhan,
68
melainkan ego kita. Tidak berarti bahwa kita hanya boleh
mengisi hidup dengan kegiatan religius dan ritual saja, dan
menganggap kegiatan lain bersifat sekuler dan tidak penting. Lalu, bagaimana kita bertobat dan berbenah diri ?
Dengan segenap hati, segenap pengertian dan segenap kekuatan adalah sikap mental. Jadi kegiatan baik
apapun yang kita lakukan, yang dipersepsikan religius
maupun sekuler, kita lakukan dengan kesadaran penuh
untuk menghadirkan Tuhan, dan dengan orientasi tunggal
yang bertujuan untuk makin memuliakan Tuhan, bukan
hanya demi kepopuleran dan keuntungan pribadi.
Misalnya, dalam belajar, berkarya atau melayani, kita
tidak hanya bertujuan untuk memperoleh kepandaian, kekayaan dan ketenaran. Namun, secara sadar kita melakukannya dengan sungguh hati dan tulus, sebagai persembahan kepada Tuhan. Untuk bersyukur atas kesempatan
dan kemampuan yang kita peroleh, untuk bermanfaat bagi
sesama dan ciptaan Tuhan yang lain. Maka, dalam belajar
dan bekerja, kita tidak: malas, sering mengeluh, tidak jujur
(menyontek atau korup), bersikap menang-kalah (selalu
mau mengalahkan dan menghancurkan yang lain, kalau
perlu dengan menghalalkan segala cara) dan egois (tidak
mau membagi hasilnya dengan orang lain demi kesejahteraan bersama), bahkan tidak merusak lingkungan hidup.
Kemudian, mengenai hukum utama yang kedua:
kasihilah sesamamu manusia seperti diri sendiri. Pasti kita
sudah mengasihi sesama manusia, sekurang-kurangnya
69
orang-orang yang dekat dan cocok dengan kita. Tapi
bagaimana kita meningkatkan kualitas perwujudan kasih
kita kepada sesama?
Kita perlu melihat ke dalam diri kita. Apakah kita sudah
cukup dapat menerima dan mengasihi diri sendiri terlebih
dulu? Meskipun terdengar kontradiktif, ternyata masih banyak di antara kita yang kurang suka dengan diri sendiri. Ada
yang menolak wajah, rambut dan bentuk tubuh, ada yang
benci kelemahan, ada yang trauma pengalaman hidup,
ada yang kecewa dengan apa dan siapa yang diberikan
Tuhan. Akibatnya adalah mudah marah dan menyalahkan
Tuhan (jangankan bersyukur), mudah iri hati, dengki dan
benci pada orang yang dipandang lebih beruntung, mudah
berkhianat dan selingkuh, dan bisa tega terhadap orang
lain sebagai ungkapan rasa kecewa dan marah terhadap
Tuhan dan sesama.
Ternyata tidak terlalu mudah untuk bisa menerima diri
sendiri apa adanya, tidak menyalahkan pihak manapun,
lalu bisa bersyukur dan bertumbuh imannya dalam pengharapan akan rencana Tuhan yang lebih besar, dan dalam
kasih yang menciptakan hidup damai dan bersaudara satu
dengan yang lain. Untuk mengoreksi kemampuan kita
menerima dan mengasihi diri sendiri, janganlah kita malu
minta pertolongan orang yang lebih tahu, lebih ahli dan
lebih berbobot dalam menyembuhkan luka trauma kita.
Sehingga mengasihi sesama seperti diri sendiri
sungguh merupakan perwujudan: “aku memperlakukan
70
sesamaku, seperti aku ingin diperlakukan oleh mereka;
aku tidak memperlakukan sesamaku dengan cara yang
aku sendiri tidak mau diperlakukan demikian”. Dengan
demikian, sekaligus kita pun boleh menjadi manusia yang
adil dan beradab.
Pertanyaan reflektif:
Maukah aku memperbaiki mutu pengamalan kasihku pada
sesama, dengan mulai bersikap lebih adil dan kasih terhadap diri sendiri? Sadarkah aku bahwa keberhasilanku
memperbaiki mutu kasihku kepada Tuhan banyak tergantung pada keberhasilanku memperbaiki mutu kasihku kepada sesamaku?
Marilah berdoa:
Allah Bapa yang Maha Pengasih dan Penyayang, aku
mau sungguh percaya bahwa Engkau menerima dan
menyayangi diriku seperti apa adanya. Hindarkanlah dan
kuatkanlah hatiku dari penilaian negatif yang sering melukai dan menyedihkan hatiku, sehingga aku mulai tidak menyukai diriku sendiri, sulit mengasihi sesamaku dan kurang
bersyukur serta tidak sepenuh hati mengasihi Engkau.
Putra-Mu, Yesus Kristus, adalah bukti nyata betapa besar
kasih-Mu kepadaku. Dialah Penebus dan Juru Selamat-ku.
Amin.
(Shienta D. Aswin)
71
Sabtu, 25 Maret 2017
Hari Raya Kabar Sukacita
Yes. 7:10-14,8:10 ; Mzm. 40:7-8a, 8b-9,10-11;
Ibr.10:4-10; Luk. 1:26-38
SUKACITA MENURUT ALLAH
“Salam, hai engkau yang dikaruniai,
Tuhan menyertai engkau.”
(Luk. 1:28)
Kisah Maria dan Yusuf yang menerima kabar sukacita
adalah peristiwa yang menakutkan dan membuat mereka
berdua yang mendapat kabar sukacita ini menjadi galau
dan bahkan menghindar. Maria dan Yusuf mengalami
situasi sulit yang tidak mereka mengerti. Tetapi, mereka
menyerahkan diri pada kehendak Allah, sehingga mereka
mendapat berkat istimewa dari ketaatan dan keterbukaan
mereka itu.
Kita sebenarnya bisa menerima kabar sukacita setiap
hari, jika kita bersedia terbuka pada kehendak Allah. Setiap
kehendak-Nya adalah kabar sukacita, meskipun itu tidak
sesuai dengan impian dan kehendak kita. Berbahagialah
mereka yang melakukan kehendak Tuhan dengan sukacita.
Kita hidup dari peristiwa dan kisah hidup. Coba lihat ke
belakang, semua itu adalah kita dan Tuhan.
Dua orang mengalami kegagalan dalam hidupnya.
Yang satu mengalami depresi karena merasa kehilangan
72
segala-galanya, terutama mimpi dan ambisinya. Yang lain
lagi merasa semakin dekat dengan Tuhan karena sekarang
berkat kekecewaan, ia dapat mempunyai “bahan” untuk berbicara dengan Tuhan lebih banyak. Orang kedua merasa
beruntung karena mempunyai kesempatan untuk mengalami situasi sulit, karena ia menjadi lebih tahu bagaimana
rasanya mengalami situasi berkat.
Tergantung bagaimana kita memandang peristiwa
pasangan Yusuf dan Maria. Mereka mengalami situasi
amat sulit, tetapi keduanya menganggap itu berkat dan
kesempatan untuk melayani Allah lebih banyak. Mereka
bergembira dan bersukacita.
Pertanyaan reflektif:
Bila mendapatkan pengalaman hidup yang kurang menyenangkan, bagaimana Anda menanggapinya?
Marilah berdoa:
Ya Allah, aku mau mengikuti kehendak-Mu, terutama ketika
situasi tidak dapat kupahami dan membawa kekecewaan
atau kesedihan. Aku mau menjadi kuat dalam banyak hal,
supaya tampak jelas imanku bagi orang-orang yang berada
di dekatku. Semoga rahmat Roh Kudus memampukan aku
menjalaninya. Amin.
(RP Erwin Santosa, MSF)
73
Minggu, 26 Maret 2017
Hari Minggu Prapaskah IV
ISam. 16:1b,6-7,10-13a; Mzm. 23:1-3a,
3b-4,5,6; Ef. 5:8-14; Yoh. 9:1-41
TUHAN MELIHAT HATI
“Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena
pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”
(Yoh. 9:3)
Renungan hari ini sungguh menentramkan kita: Tuhan
melihat hati, dan bukan seperti yang dilihat mata manusia. Kita
sering merasa kecil dan tidak berarti. Kita merasa sumbangan
kita kecil dan tidak memberi apa-apa pada dunia sekeliling
kita. Akibatnya, kita merasa tidak puas diri dan merasa marah
serta kecewa pada diri sendiri. Sabda hari ini mengingatkan
kita betapa Tuhan mengasihi kita meskipun kita buta, tidak
sempurna dan tak berdaya sekalipun.
Tuhan ingin kita menjadi anak-anak terang. “Terang”
berarti kehadirannya membawa sukacita dan mendekatkan orang lain pada Tuhan sendiri. Jika kita masih hidup
dalam ketakutan dan kekuatiran akan diri sendiri saja,
mana bisa kita menjadi terang? Tentu kita membutuhkan
Allah, agar dijauhkan dari perasaan kecil, tak berarti dan
berujung pada hidup yang tak melakukan apa apa dan malas
berbuat baik. Kita harus hidup dan ikut menyemarakkan
dunia dengan perbuatan baik, agar menjadi terang dunia itu.
Bagai lilin-lilin kecil, jika banyak, maka terang juga sekelilingnya.
74
Kita semua bukan manusia yang sempurna. Kita mungkin seperti orang buta dalam Injil, tetapi Tuhan telah membuka mata kita melalui pengetahuan tentang baik dan buruk. Melalui homili, bacaan, pengajaran iman, kita semakin
mengenal Allah. Pengetahuan dan pengenalan ini menjadi
modal bagi kita sendiri untuk semakin percaya. Kita punya
banyak hal yang bisa diberikan, tetapi iman kepada Allah adalah
yang terbesar, karena Ia melampaui keterbatasan kita.
Jika kita mampu mengatasi keterbatasan diri, maka kita
dijauhkan dari perasaan negatif dan menjadi orang yang
penuh iman, keberani mengalami perubahan setiap hari
dan menjadi semakin dekat dengan Allah, karena percaya
akan penyelenggaraan-Nya dalam hidup kita. Mari percaya,
mari mengenal Tuhan, dan mari semakin diselamatkan
dan menyelamatkan saudara kita yang lain.
Pertanyaan reflektif:
Sudahkah kita menjadi terang bagi orang-orang di sekeliling
kita?
Marilah berdoa:
Ya Allah, jauhkan aku dari kesempitan cinta diri dan buatlah
aku terbuka pada penderitaan sesama. Aku akan menjadi
kuat karena percaya pada penyelenggaraan-Mu. Aku akan
menjadi terang bagi sesama yang buta dan ingin melihat
Engkau. Kiranya rahmat Roh Kudus memampukan aku
mengalami kebaikan-Mu setiap hari. Amin.
(RP Erwin Santosa, MSF)
76
Senin, 27 Maret 2017
Hari biasa pekan IV Prapaskah
Yes. 65:17-21; Mzm. 30:2,4,5-6,11;
Yoh. 4:43-54
TUHAN YANG MENYEMBUHKAN HIDUP
Pegawai istana itu berkata kepada-Nya,
“Tuhan, datanglah sebelum anakku mati.”
(Yoh. 4:49)
Kehadiran Tuhan Yesus membawa kebaikan, keberuntungan dan kesembuhan. Kekuatan iman akan Yesus nyata
menyelamatkan mereka yang percaya. Betapa indahnya
jika kita dapat memiliki iman kepada Tuhan kita! Apapun
yang kita perbuat akan menjadi kebaikan dan tampak
Tuhan ikut bekerja bersama kita. Tetapi telah nyata bahwa
kita memiliki kesulitan untuk sungguh percaya pada kuasaNya. Logika, Rasio, Kecerdasan akal, dan bahkan akal
sehat telah menguasai kita dan membuat kita hanya
percaya pada diri sendiri yang terbatas.
Langit dan bumi baru adalah situasi yang akan dialami
oleh mereka yang percaya, baik di bumi maupun di surga
kelak. Mereka yang percaya tidak pernah kehabisan harapan dan kegembiraan, sebab mereka telah dipenuhi dengan
keyakinan bahwa Tuhan sedang bekerja bersamanya. Hidup
kita sering dipenuhi dengan ketakutan dan kekuatiran, dan
itu tergambar dalam kalimat-kalimat doa-doa kita yang terlalu
banyak memohon dan lupa berterima kasih.
77
Pegawai istana yang berkuasa itu menundukkan dirinya
pada Yesus demi kesembuhan anak yang dicintainya. Cinta
telah membuat seseorang mempercayai Tuhan. Bukankah
kita juga bisa digerakkan oleh kasih untuk berjumpa dengan
Tuhan setiap hari. Jangan mengisi hidup dengan pikiran
pikiran rasional melulu, karena itu akan memiskinkan hidup
rohani kita. Berilah kesempatan pada dirimu sendiri
melihat kuasa dan penyertaan Allah dalam hidupmu
secara nyata. Bangunlah hidup doa yang rajin dan tekun
dan biarlah kekuatan rohani menuntunmu pada kesembuhan sempurna.
Pertanyaan reflektif:
Sudahkah Anda mempercayakan hidup Anda pada Tuhan
setiap hari?
Marilah berdoa:
Ya Allah, sebagai manusia aku penuh dengan keterbatasan.
Aku mau menyadarinya dan berterima kasih bahwa dalam
keterbatasan itu aku menemukan kuasa kasih-Mu yang tak
terbatas. Semoga hari demi hari aku semakin menemukan
pengalaman dengan-Mu sebagai kekuatan untukku mewartakan kebaikan kepada sesama. Doa ini kami panjatkan dalam nama Yesus Kristus, Tuhan dan Penyelamat
kami. Amin. (RP Erwin Santosa, MSF)
78
Selasa, 28 Maret 2017
Hari biasa Pekan IV Prapaskah
Yeh. 47:1-9, 12; Mzm. 46:2-3, 5-6, 8-9;
Yoh. 5:1-3a. 5-16
KESEMBUHAN DAN PERTOBATAN
“Bangunlah, angkatlah tilammu
dan berjalanlah.” (Yoh. 58)
Hari ini, sabda Tuhan berkata mengenai kesembuhan.
Segala hal yang berdekatan dengan Tuhan mestinya
menyembuhkan dan menghidupkan. Bagaikan air sungai
yang menjadi mata air, dan bagaikan sumber kesuburan
dan kehidupan, demikianlah Tuhan bagi kita. Kedekatan
dengan Dia membuat kita sadar bahwa hidup adalah
anugerah yang cuma cuma dan tergantung pada Sang
Pencipta.
Yesus menyembuhkan orang dengan maksud baik,
agar orang bertobat dari kelakuannya yang buruk. Kita
juga berbuat dosa yang sama terus menerus. Rasanya
kita sulit keluar dari lingkaran kelemahan dan kekurangan
diri kita itu. Seolah-olah kesalahan dan dosa tertentu menjadi ciri khas dan tidak terpisahkan dari diri dan hidup kita.
Akan tetapi, Allah tidak demikian. Ia ingin kita hidup
dan mendapatkan hidup dari Diri-Nya. Kehidupan yang
berasal dari Allah tidak mematikan, melainkan membawa
79
hidup baru.
Kesembuhan yang kita dapatkan dari Tuhan juga diberikan cuma-cuma, tanpa syarat apapun, sebab berasal dari
Kasih-Nya yang besar kepada kita. Manusia tidak dapat
dengan bebas mengekspresikan cinta dan kebaikan, maka
perlu diatur dengan peraturan agar satu sama lain tidak
bertabrakan dan saling merugikan. Peraturan tetaplah
peraturan, dan bukan hidup itu sendiri. Karena itulah Tuhan
Yesus membuka mata kita bahwa hidup yang dianugerahkan Allah itu memerdekakan dan menjadikan kita manusia
baru yang jernih melihat kebenaran dan tindakan kasih
sebagai bukti iman akan Allah.
Marilah dengan berani kita keluar dari kesempitan cinta
diri. Kita yang masih mudah marah, kurang sabar, dan
mudah menghakimi, sekaranglah saatnya sembuh,
bersama kuasa Tuhan kita, Yesus, kita berani menghadapi
hidup, bukan hanya mengikuti peraturan yang kaku dan
tidak membawa kebaikan. Jika kita telah menemukan dan
berhasil dekat dengan Tuhan, maka berusahalah menjaga
hubungan dengan Tuhan itu dengan berdoa dan datang ke
perayaan Ekaristi di Gereja, agar dijauhkan dari yang jahat
dan keterbatasan diri kita yang lama.
Pertanyaan reflektif:
Sudahkah Anda mengundang Tuhan untuk menyembuhkan,
dan menghidupkan hidup Anda?
80
Marilah berdoa:
Ya Yesus, ajarlah kami hidup dari mendengar firmanMu dan melaksanakannya. Kami mau hidup dalam saling
memperhatikan dan saling mengasihi. Kami ingin hidup
dalam keterbukaan pada kebutuhan sesama, supaya
akhirnya kamipun menerima kesembuhan batin dan
kekuatan baru melawan dosa dosa lama kami. Doa ini
kami panjatkan dalam nama-Mu sendiri, yang hidup
bersama Bapa dan Roh Kudus, kini dan sepanjang segala
masa. Amin.
(RP Erwin Santosa, MSF)
81
Rabu, 29 Maret 2017
Hari biasa Pekan IV Prapaskah
Yes. 49:8-15; Mzm. 145:8-9,17-18;
Yoh. 5 :17-30
BELAJAR DAN MENJADI TERBIASA
“Maka Yesus menjawab mereka, kata-Nya: “Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan
sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa
mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu
juga yang dikerjakan Anak.” (Yoh 5:19)
Kebiasaan orang tua dalam bersikap, bertutur
kata bahkan cara berpikir akan sangat mempengaruhi
perkembangan mental maupun spiritual anak-anak dalam
keluarganya. Hal yang sama bisa dilihat dalam lingkup
yang luas lagi, misalnya dalam lingkup sekolah, lingkup
teman sebaya, lingkup lingkungan atau lingkup tempat kerja.
Setiap perilaku dan kebiasaan masing-masing orang, tentu
akan mempengaruhi orang lain disekitarnya. Sebagai
contoh misalnya dalam lingkup keluarga. Suatu hari saya
kedatangan tamu pasangan suami istri bersama anak lakilaki mereka yang masih berusia enam tahun. Mulai dari
perbincangan tentang kehidupan mereka dan maksud
kedatangan mereka. Bapak tersebut mengatakan bahwa
anaknya meskipun masih kecil tetapi galak. Tentu galak
yang dimaksud, bukanlah galak yang sampai kelewatan.
Kemudian saya bertanya kepada mereka berdua, galaknya
82
anak ini kira-kira meniru bapaknya atau ibunya? Bapak
dan ibu tersebut terdiam dan kemudian saling menunjuk.
Bapak mengatakan bahwa anaknya galak karena meniru
istrinya, sedangkan ibu mengatakan bahwa anaknya galak
karena meniru suaminya. Bila dilihat lebih jauh, maka
sikap pasangan suami istri ini kurang mendukung karakter
anak tumbuh menjadi anak yang berjiwa lembut dan
mudah mengampuni.
Dalam injil hari ini,Yesus mengatakan bahwa sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya
sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya;
sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan
Anak. Maka bisa dikatakan bahwa hidup kita ini merupakan
pembelajaran yang kita dapat dari orang-orang disekitar
kita. Menjadi kewajiban setiap orang agar mengusahakan
diri menebar kebaikan, sebab hidup kita ini dilihat, dirasakan dan sungguh mempengaruhi orang lain disekitar kita.
Kiranya pada masa prapaskah ini, kita diberikan waktu
untuk melihat kedalam diri kita untuk merenungkan segala
sikap dan tutur kata kita, kehadiran kita di tengah-tengah
orang disekitar kita. Kita diajak untuk bertobat dan berbuat
adil terhadap diri kita dan juga terhadap orang lain. Kita
akan bisa berbuat adil dengan mempersiapkan diri kita
dan memperbaiki diri kita terlebih dahulu. Kita diajak
untuk belajar melihat kenyataan di sekitar kita, mengambil
segala kebaikan untuk berbenah diri dan belajar melepas
kebiasaan yang tidak baik dari dalam diri kita.
83
Pertanyaan reflektif:
Apakah kehadiranku menyumbangkan kebaikan bagi
orang lain?
Marilah berdoa:
Bapa yang penuh kasih, kami mohon berkat-Mu agar
menuntun kami belajar mengusahakan kebaikan bagi diri
kami dan juga bagi sesama kami. Amin.
(Sr. Gaudensia Suparmi, OP)
84
Kamis, 30 Maret 2017
Hari biasa Pekan IV Prapaskah
Kel. 32:7-14; Mzm. 106:19-23; Yoh. 5:31-47
KESAKSIAN HIDUP
YANG MENYELAMATKAN
“Tetapi Aku mempunyai suatu kesaksian yang lebih
penting dari pada kesaksian Yohanes, yaitu segala
pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku, supaya
Aku melaksanakannya. Pekerjaan itu juga yang
Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi
kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku.”
(Yoh. 5:36)
Ada seorang bapak tengah baya bernama bapak Hikmat.
Bapak tersebut datang secara periodik untuk berbagi kasih dengan anak-anak di panti asuhan. Bapak tersebut
menyumbang beras sekian ratus kilogram. Yang menarik
perhatian adalah cara mengantarkan beras. Caranya bisa
dibilang unik karena setiap karung beliau angkut menggunakan sepeda motor, sehingga bisa bolak balik hingga lima
sampai enam kali. Jarak waktu kedatangannya pun cukup lama. Bila ditanya kenapa jarak kedatangannya lama,
Bapak tersebut memberi keterangan bahwa tempat beliau
membeli beras jaraknya jauh. Kenapa tidak memilih toko
yang lebih dekat, bapak Hikmat menjawab tidak apa-apa.
Rupanya setiap karung beras beliau intensikan untuk tiaptiap anggota keluarganya. Tiap anggota keluarga beliau
85
mintakan doa khusus agar didoakan. Iman dan kepercayaan kepada Tuhan, cintanya kepada keluarga dan
kepedulian terhadap anak-anak panti asuhan mendorong
dan memberi kekuatan yang lebih kepada bapak Hikmat
ini. Kesaksian bapak Hikmat ini mengharukan, sebab
Bapak yang sudah tengah baya tersebut memberikan
kasih dengan rela berkurban. Berkurban waktu, tenaga,
juga materi, dan pengurbanan tersebut dipersembahkan
dengan tulus dan penuh pengharapan.
Dalam kitab Keluaran, bisa ditemukan nuansa tindakan
dengan harapan akan keselamatan yang sama, Musa
berusaha melunakkan hati Tuhan agar tidak murka terhadap bangsa Israel yang telah berdosa. Dan berkat usaha
Musa yang memohon, maka bangsa Israel pun bebas
dari murka Tuhan. Contoh kesaksian hidup yang tulus dan
penuh pengharapan dari nabi Musa kiranya mengajar kita
bahwa pengharapan akan keselamatan menjadi harapan
bagi setiap orang.
Dalam Injil hari ini, Yesus juga memberikan kesaksian
bahwa yang dikerjakan Yesus, itulah yang memberi kesaksian tentang-Nya, bahwa Bapa yang mengutus-Nya. Yesus
mengajarkan kepada kita agar kita percaya kepada-Nya,
mengikuti dan melaksanakan apa yang menjadi kehendakNya. Kehendak Yesus adalah agar kita bertobat dari segala
dosa kita, dan menjadi pembawa kabar baik bagi keluarga
dan sesama kita.
86
Pertanyaan reflektif:
Sudahkah saya menebarkan kasih, meneguhkan pengharapan dan menjadi saluran keselamatan bagi keluarga
dan bagi sesama yang ada disekitar saya?
Marilah berdoa:
Allah Bapa yang maha murah, kami bersyukur atas kasihMu, bantulah kami agar kami mampu memikirkan dan
mengusahakan apa yang baik, yang dapat membawa
sukacita dan keselamatan bagi kami dan juga bagi sesama
kami. Amin
(Sr. Gaudensia Suparmi, OP)
87
Jumat, 31 Maret 2017
Hari biasa Pekan IV Prapaskah
Keb. 2:1a,12-22, Mzm. 34:17-18,19-23,
Yoh. 7:1-2,10,25-30
BERTEGUH DALAM PERBUATAN KASIH
“Dan lihatlah, Ia berbicara dengan leluasa dan mereka
tidak mengatakan apa-apa kepada-Nya. Mungkinkah
pemimpin kita benar-benar sudah tahu,
bahwa Ia adalah Kristus.” (Yoh. 7:26)
Pada suatu hari tidak sengaja berpapasan dengan
seorang ibu yang sudah lama tidak berjumpa. Sangat
kaget karena ibu tersebut sudah tampak tua dan sekarang sudah menggunakan tongkat sebagai penopang saat
berjalan. Rasanya cepat sekali pertambahan umur dan
perubahan keadaan seseorang di dunia ini. Ibu yang
dulunya tegap dan lincah sekarang sudah tua dan tampak
lemah secara fisik. Tetapi yang masih tetap sama dilihat
mata, adalah semangatnya. Semangat untuk memberikan
perhatian, semangat untuk berbagi pengalaman. Bila ibu
ini mulai menceritakan kisahnya dalam mengusahakan
kebaikan bagi sesama, maka kenangan akan hal tersebut
terlintas dalam ingatan. Inspirasi-inspirasi dan semangat
baru seakan menular bagi pendengarnya.
Sangat berbeda bila bertemu dengan seorang yang
hanya banyak omong, tetapi kurang dalam aksi nyatanya.
88
Meskipun banyak bercerita, menyampaikan banyak pengalaman, tetapi cerita hanyalah tinggal cerita. Apalagi kalau
diketahui bahwa orang tersebut hanya pandai mencari
muka dan pandai bersandiwara demi tercapai kepentingan
pribadinya. Maka tidak ada inspirasi baru, tidak ada semangat baru yang bisa didapat oleh pendengarnya. Yang ada
malahan rasa bosan dan tidak krasan untuk melanjutkan
pembicaraan dengannya.
Dua situasi di atas merupakan kenyataan dalam
kehidupan. Ada orang yang bisa sangat serius dalam
mempersiapkan diri agar bisa berguna bagi sesama. Di
lain pihak, ada orang yang acuh tak acuh dengan pilihan
sikap dan tindakannya. Hari ini, Yesus juga berjumpa dan
berhadapan dengan orang Yahudi yang baik dan orang
Yahudi yang jahat. Mereka mempersoalkan darimanakah
asal Yesus. Ada yang mengakui kebaikan Yesus, tetapi
tidak sedikit pula dari mereka yang tidak mau mengakui
kebaikan Yesus dan justru mencari-cari kesalahan Yesus.
Hari ini, kita diajak untuk memilih dan berteguh dalam
perbuatan kasih, kita diajak untuk mengakui kehebatan
orang lain, kita diajak untuk menghormati orang lain. Dengan
cara demikian maka kita akan fokus untuk memperbaiki diri
dan tidak sibuk dengan iri hati. Kita juga akan tergerak
untuk mengusahakan segala hal yang baik demi
kesejahteraan dan persatuan sesama. Dengan memilih
kebaikan, dengan mengusahakan kesejahteraan dan
89
dengan memperjuangkan persatuan maka kita telah berbuat adil bagi diri sendiri dan juga bagi sesama. Karena
keadilan adalah bila sukacita dan kemerdekaan dapat
dirasakan oleh semua orang.
Pertanyaan Reflektif:
Antara kebaikan dan ketidakbaikan, manakah yang lebih
sering saya terapkan dalam sikap dan tindakan saya?
Marilah berdoa:
Bapa yang maha baik, kami berterimakasih kepada-Mu,
karena ada begitu banyak pengalaman dan inspirasi bagi
kami untuk mengusahakan kebaikan. Semoga kami
mampu mengarahkan hati kami terhadap kehendak-Mu
agar sukacita dan ketulusan menghiasi hidup kami. Amin.
(Suster Gaudensia Suparmi, OP)
90
Sabtu, 1 April 2017
Hari Biasa Pekan IV Prapaskah
Yer. 11:18-20, Mzm. 7:2-3,9-12, Yoh. 7:40-53
KASIH ADALAH PELITA HATI
“Nikodemus, seorang dari mereka, yang dahulu telah
datang kepada-Nya, berkata kepada mereka: Apakah
hukum Taurat kita menghukum seseorang, sebelum ia
didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah
dibuat-Nya.” (Yoh. 7:49-50)
Istilah “ngrumpi” atau membicarakan kekurangan dan
kelemahan orang lain adalah hal yang sangat mudah dilakukan dan merupakan satu hal yang seringkali menghiasi
pembicaraan. Akan masuk dalam situasi yang kritis bila
ada unsur memfitnah. Perbuatan memfitnah sudah masuk
dalam dosa, sebab memfitnah sama dengan melakukan
pembunuhan terhadap orang yang difitnah. Orang yang
difitnah adalah orang yang sama sekali tidak tahu, bahwa
dirinya dijadikan obyek pembicaraan yang tidak benar.
Sehingga orang yang difitnah akan dinilai tidak baik dan
akan dibenci. Tetapi pada akhirnya, masing-masing akan
mendapatkan ganjaran sesuai perbuatan. Orang yang
memfitnah, pada waktunya akan ketahuan dan mendapatkan hukuman, sedangkan orang yang difitnah akan
mendapatkan sukacita.
Dalam bacaan pertama, nabi Yeremia mengalami
situasi yang mengancam dirinya di Anatot, ada begitu ban91
yak yang tidak suka dengan nabi Yeremia. Dan mereka yang
tidak suka menghasut banyak orang untuk mencelakakan nabi Yeremia. Tetapi nabi Yeremia berseru kepada
Tuhan dan Tuhan memberikan pertolongan kepada orang
yang sedang dalam keadaan terancam. Sebab pada
dasarnya perbuatan baik akan menang terhadap perbuatan
tidak baik.
Dalam bacaan Injil, Yesus juga mengalami situasi
yang sama yaitu situasi di mana ada banyak orang yang
menyudutkan diri-Nya dan mencari-cari kesalahan-Nya.
Terlebih orang-orang Farisi ingin menghasut orang lain
agar Yesus dapat dihukum. Di antara sekian banyak
orang yang jahat masih tetap ada orang baik yang mempertahankan kebenaran. Salah satunya adalah Nikodemus.
Ia tidak terpengaruh dengan isu yang dihembuskan oleh
orang-orang Farisi. Ia mengambil sikap berdasarkan kenyataan yang ada, sehingga mampu tetap teguh dalam
kasih. Dengan kasih maka Nikodemus tidak terpengaruh.
Dengan kasih ia berani membela kebenaran.
Pada masa Prapaskah ini, kita diberi kesempatan
istimewa untuk memupuk kasih yang telah dianugerahkan
Tuhan dalam hati kita. Marilah kita mengalahkan kejahatan
dengan kebaikan. Membuka mata untuk melihat kenyataan yang ada, membuka hati untuk tetap teguh memilih dan
mempertahankan kebenaran. Marilah menjadi duta kasih
di tengah-tengah keluarga kita, komunitas kita dan dimana
pun kita berada.
92
Pertanyaan Reflektif:
Apakah kehadiranku mampu menebar kasih bagi
sesama?
Marilah berdoa:
Bapa yang maha rahim, kami bersyukur atas kasih yang
menuntun kami pada jalan kebenaran. Kami mohon kepadaMu agar memperkuat iman kami, sehingga kami berani
mempertahankan dan membela kebenaran demi keselamatan sesama kami. Amin.
(Sr. Gaudensia Suparmi, OP)
93
Minggu, 2 April 2017
Hari Minggu Prapaskah V
Yeh. 37:12-14; Mzm. 130:1-2,3-4ab, 4c-6,7-8;
Rom. 8: 8-11; Yoh. 11, 1-45
KEBANGKITAN
“Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya
kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan
setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu,
tidak akan mati selama-lamanya”
(Yoh 11:25-26)
Perikop Injil hari ini mengisahkan kebangkitan Lazarus.
Isinya secara tegas melukiskan hubungan antara percaya
kepada Yesus dengan hidup kekal. Hidup kekal selalu
berarti hidup ilahi yaitu hidup Allah sendiri. Setiap orang
yang menaruh kepercayaan kepada Yesus akan mendapatkan hidup ilahi itu. Kita manusia pasti akan mati. Tetapi
hidup kita berlanjut terus sesudah mengalami kematian
badan. Itulah yang kita yakini sebagai kebangkitan, seperti
dikatakan Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia
sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang
percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya”
(Yoh 11, 25-26).
Orang Yahudi pun percaya akan hidup sesudah mati.
Tetapi itu baru terjadi pada akhir jaman. Mereka percaya
bahwa pada saatnya ada kekuatan ilahi yang datang
94
menggoncangkan alam semesta dan menghidupkan
manusia dari liang kubur. Yesus mengoreksi pendapat
orang Yahudi itu dengan menegaskan bahwa kebangkitan orang mati terjadi dengan perantaraan-Nya. Allah,
lewat Putera-Nya memiliki kuasa untuk mengubah ciptaan, membangkitkan orang agar memperoleh kehidupan.
Semua orang yang pecaya kepada-Nya, sesungguhnya
telah beralih dari kematian menuju kebangkitan.
Bangkit yang ditegaskan Yesus jauh lebih dalam dari
sekedar peristiwa bangkitnya Lazarus. Sebab bangkit yang
dimaksud Yesus merupakan sesuatu yang berciri rohani.
Bangkit dalam arti yang sebenarnya justru terjadi ketika
berkat imannya akan Yesus, orang tergerak untuk melepaskan cara hidupnya yang salah dan membuka diri terhadap kehidupan yang diberikan oleh Allah sendiri. Orang
tergerak untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
menciderai martabat manusia. Berbagai tindakan tidak adil
pada sesama ditinggalkan. Begitu pula perilaku yang mengancam peradaban hidup bersama dibuang jauh-jauh. Kini,
pikiran, hati, ucapan, dan tindakan dilandasi oleh cinta. Kesungguhan iman dalam tindakan kasih inilah yang diharapkan dari hidup kita. Karena itu pertanyaan Yesus kepada
Marta adalah pertanyaan yang menantang kesungguhan
dalam iman. Percayakah engkau akan hal ini?” Pertanyaan
yang sama juga ditujukan kepada kita.
95
Pertanyaan reflektif:
Sudahkah pikiran, hati, ucapan, dan tindakan kita dilandasi
oleh cinta yang tulus untuk mewujudkan kehidupan adil
dan beradab sehingga martabat setiap manusia dihormati?
Marilah berdoa:
Bapa yang maha baik, Yesus Putera-Mu membangkitkan
Lazarus dari kematian. Bangkitkanlah kami juga agar kami
dapat terlepas dari semua belenggu dosa, sehingga
mampu mewujudkan tema APP-KAJ 2017: “Amalkan
Pancasila semakin adil dan beradab”. Amin.
(A. Widyahadi Seputra)
96
Senin, 3 April 2017
Hari biasa Pekan V Prapaskah
Dan. 13: 1-9, 15-17, 19-30.33-62
(Dan.13: 41c-62);
Mzm. 23:1-3a,3b-4,5,6; Yoh. 8: 1-11
MENGAMPUNI
“........ Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah,
dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”
(Yoh. 8:11)
Allah menghendaki agar setiap orang berbuat baik.
Salah satu perbuatan disebut baik, apabila hidup kita
selalu diarahkan untuk mengabdi, menghormati, memuji,
dan memuliakan Allah, Tuhan kita. Namun kebebasan
yang diberikan sering disalahgunakan. Bukan perbuatan
baik yang dipilih dan dilakukan, tetapi justru sebaliknya.
Bacaan Injil hari ini menunjukkan sikap Yesus yang
penuh hormat terhadap pendosa. Dia menolak untuk menjatuhkan hukuman terhadap perempuan yang tertangkap
bezinah. Yesus membongkar sikap manusia yang merasa
dirinya benar dan suci, kemudian mnghukum sesama yang
dianggap ternoda dan berdosa. Yesus tidak menghukum
melainkan mengampuni. Cara Yesus untuk mempertobatkan orang bukan dengan menghukum melainkan dengan
menunjukkan pengampunan dan belaskasihan.
Sikap Yesus terhadap perempuan yang berzinah sangat
jelas. Pertama, Yesus tidak menghukum orangnya. Kedua,
97
Ia menuntut supaya jangan berbuat dosa lagi. Itu berarti
dosa sebagai sebuah tindakan yang obyektif tetap tidak
dapat dibenarkan. Pendosa tetap diberi ruang untuk mengubah sikap hidupnya secara mendasar sehingga semua
bentuk hubungan yang rusak akibat dosa dipulihkan dan
orang mengalami keselamatan. Karena itu tuntutan Yesus
jelas dan tegas: “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi!”
Tetapi Yesus tetap menaruh hormat terhadap orangnya.
Maka Dia berkata: “Aku pun tidak menghukum engkau”.
Nilai apakah yang dapat kita ambil dari ajaran Yesus
hari ini? Pertama, hormatilah setiap pribadi orang betapapun buruk perilaku orang itu di mata kita. Kedua, tidak
mudah menghakimi mereka yang menurut kita melakuan
kesalahan. Ketiga, rela mengampuni kalau orang menyatakan diri bertobat. Keempat, memberi ruang kepada
pendosa untuk berubah menjadi orang baik.
Pertanyaan reflektif:
Beranikah kita mengampuni orang yang bersalah kepada
kami tanpa pandang bulu?
Marilah berdoa:
Tuhan, bantulah agar kami pun berani mengampuni
mereka yang bersalah kepada kami, dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan, tetapi bebaskanlah kami
dari yang jahat, agar nama-MU makin dipuji dan dimuliakan setiap saat. Amin. (A. Widyahadi Seputra)
98
Selasa, 4 April 2017
Hari biasa Pekan V Prapaskah
Bil. 21: 4-9; Mzm. 102:2-3,16-18,19-21;
Yoh. 8: 21-30
MEMANDANG SALIB
“Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia,
barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia....”
(Yoh. 8:28a)
Ketika membaca dan merenungkan kisah orang-orang
yang disembuhkan karena memandang ular tembaga
yang dibuat Musa, saya teringat akan kesaksian yang
dilakukan oleh seseorang yang memandang salib. Suatu
kebiasaan yang ia lakukan adalah memandang salib. Ia
berdoa sebentar sebelum memulai aktifitas sehari-hari.
Jika diperhatikan, tampak ada perubahan warna wajahnya
sebelum dan sesudah berdoa. Sesudah berdoa, wajahnya
berbinar-binar dan suaranya terkesan lebih mantap. Hal ini
diteguh-kan Yesus dalam Injil Yohanes: “Apabila kamu
telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu,
bahwa Akulah Dia” (Yoh. 8,28a).
Setiap orang yang percaya dan memandang salib
Yesus akan beroleh keselamatan. Tidak saja dari penyakit,
tetapi lebih dari itu, dari belenggu kuasa dosa dan maut.
Dengan memandang salib Yesus diam-diam, daya
penyelamatan itu bekerja dalam diri kita untuk siap
99
menghadapi tantangan.
Setiap kali merenungkan peristiwa sengsara
dan penyaliban Yesus, saya tidak habis pikir mengapa
kenyataan seperti itu terjadi. Mengapa orang benar,
baik, suci harus mati dengan cara demikian? Salah satu
jawabnya adalah karena Tuhan menghendaki-Nya. Yesus
sendiri kerap mengatakan bahwa Anak Manusia akan diserahkan ...... Hanya dengan memandang salib, kita akan
semakin mengenal Dia. Hanya dengan memandang salib
kita terbantu untuk menerima, memahami dan memberi
makna pada pengalaman duka, kecewa, sakit yang sulit
dimengerti. Hanya dengan memandang salib Yesus, kita
dimampukan untuk memperlakukan sesama manusia
secara hormat dan bermartabat.
Pertanyaan reflektif:
Sudahkah kita selalu memandang salib Yesus dalam
menghadapi dan memaknai segala persoalan yang
menerpa hidup kita dalam keluarga, komunitas, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Pancasila di
Indonesia ini?
Marilah berdoa:
Bantulah kami agar mampu menghayati misteri salib Yesus
dalam kehidupan kami, sehingga boleh ikut ambil bagian
dalam kebagiaan-Mu. Amin.
(A. Widyahadi Seputra)
100
Rabu, 5 April 2017
Hari biasa Pekan V Prapaskah
Dan.3, 14-20.24-25.28; Dan. 3:52,53,54,55,56;
Yoh. 8:31-42
KEBENARAN
“Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar
adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran
dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu”
(Yoh. 8: 31-32)
Kutipan Injil hari ini memberitahukan kepada kita bahwa
Yesus berbicara dengan orang-orang Yahudi yang percaya
kepada-Nya. Orang-orang Yahudi membagi dunia ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah anak-anak
Abraham yaitu orang-orang Yahudi sendiri. Kelompok
kedua adalah orang-orang bukan Yahudi. Orang-orang
Yahudi bangga akan leluhur mereka Abraham. Tetapi
mereka melupakan bahwa semua manusia sama di
hadapan Tuhan bila orang itu tidak terus hidup di dalam
dosa. Yesus mengoreksi pendapat orang-orang Yahudi itu
dengan menjelaskan perutusan-Nya di dunia yaitu menjadi
raja kebenaran. Siapa pun yang mencari kebenaran dan
tetap tinggal di dalamnya adalah murid-murid-Nya tanpa
memperhitungkan dari kelompok sosial mana mereka
berasal. Semua orang yang hidup di dalam kebenaran
adalah milik-Nya.
Sebagai murid Kristus yang sejati, kita harus benarbenar konsisten untuk tetap tinggal di dalam firman-Nya.
101
Kalau kita tetap tinggal di dalam firman-Nya, maka kita
akan mengetahui kebenaran. Kebenaran itu akan memerdekakan kita dari belenggu dosa. Kemerdekaan dari
dosa-dosa menjadikan kita anak-anak Allah. Tindakan kita
selalu dilandasi oleh nilai keadilan dan kasih untuk menghormati martabat manusia. Sebaliknya, mengabaikan nilai
keadilan dan cinta, kita tetap berada di dalam dosa. Kita
hidup bukan selaku orang mereka, tetapi diperbudak oleh
dosa, sehingga dikenal sebagai hamba dosa.
Hidup sebagai hamba dosa berarti kita menjadi budak
dosa. Tandanya hidup kita diwarnai oleh sikap, perilaku,
dan tindakan yang tidak mengedepankan nilai-nilai perikemanusiaan, seperti: sikap acuh tak acuh, tidak peduli terhadap segala kesombongan dan manipulasi, tidak menghormati hak azasi manusia, membiarkan dosa berkuasa di
dalam hidup kita. Yesus mampukan kami untuk melepaskan diri dari status budak dosa, dan jadikan kami sebagai
orang merdeka untuk melakukan kebenaran: “Jikalau kamu
tetap di dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah muridKu dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran
itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8: 31-32).
Pertanyaan reflektif:
Apakah kita tetap konsisten untuk mengikuti Yesus Kristus
dengan berpegang pada firman kebenaran seperti yang
disampaikan pada hari ini?
102
Marilah berdoa:
Tuhan, jangan biarkan kami hidup sebagai budak dosa.
Kuasailah pikiran, perkataan, dan perbuatan kami agar
kami menjadi anak-anak merdeka di dalam firman-Mu,
sehingga mampu mengamalkan tema APP-KAJ 2017 dari
Sila ke dua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Amin.
(A. Widyahadi Seputra)
103
Kamis, 6 April 2017
Hari biasa Pekan V Prapaskah
Kej. 17:3-7; Mzm. 1005:4-5,6-7,8-9;
Yoh. 8:51-59
YESUS ADA SEBELUM ABRAHAM
“Sesungguhnya barang siapa menuruti firmanKu, ia
tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya.”
(Yoh. 8:51.b)
Sebelum kita merenungkan Injil hari ini, baik jika kita
juga membaca dan merenungkan perikop Injil Yohanes
8:37-47 yakni bacaan sebelum perikop Injil Yohanes
8:51-59 hari ini. Dalam renungan saya, muncul peristiwa
perang penolakan yang hebat. Orang-orang Yahudi tidak
mengakui Yesus karena Yesus itu tidak seperti yang
mereka gambarkan. Mereka mengambarkan Kerajaan
Allah itu megah, mewah dan dahsyat tetapi yang ada pada
Yesus justru kebalikannya. Yesus sendiri lahir di kandang
dan bukan istana. Orang tuanya miskin dan sederhana.
Hal yang demikian itu di luar pikiran dan gambaran orang
Yahudi. Maka Yesus tidak diakui karena tidak sesuai
dengan Mesias yang diceritakan dalam Perjanjian Lama
yang megah, hebat dan dahsyat. Yesus ditolak dan
Kerajaan Allah tak dapat mereka lihat apalagi diterima,
padahal Yesus sudah ada bersama mereka, dan Yesus
sudah ada sebelum Abraham.
Ujung ketidaktahuan dan salah sambung dengan
104
misteri Agung jati diri Yesus, membuat orang Yahudi
menyimpulkan bahwa Yesus kerasukan setan dan sebagainya. Bahkan lebih dari itu, mereka sampai mengambil
batu untuk melempari Dia…bayangkan dalam kehidupan
sering kita juga menyalahkan Tuhan untuk sesuatu yang
tidak kita ketahui dan tidak kita mengerti, hanya mendugaduga. Ini sebuah prilaku yang tidak adil dan tindakan yang
tidak manusiawi. Kita sering menutup diri tidak mengakui
keterbatasan kita, kita merasa lebih hebat dari pada
Tuhan sendiri, padahal itu sebuah kebebalan hati kita
dan kebodohan kita dan bukan Dia. Sikap kita yang
terlalu sembrono justru akan menghancurkan diri sendiri
dan orang lain.
Padahal Yesus itu kan Allah. Allah sudah ada sejak
semula, sebelum Abraham sudah ada Allah, Sudah ada
Yesus. Rasa-rasanya pernyataan Yesus keras dengan
mengatakan “Sesungguhnya barang siapa menuruti firmanKu, ia tidak akan mengalami maut sampai selamalamanya (Yoh 8: 51.b.)” kalimat itu keras, karena kita bisa
membayangkan jika saja itu yang berbicara adalah diri kita,
dan kita mengatakan kalimat senada dengan kata “sesungguhnya….” Seakan akan kita mau mengatakan tidak
ada yang lain dari kata yang sebenarnya dan tentu saya
berharap agar orang yang kita ajak bicara untuk mengerti
dan percaya, dengan kata lain itu sudah merupakan penegasan pilihan terakir untuk mengatakan bahwa itulah kebenarannya….
105
Pertanyaan Reflektif:
Benarkah demikian bahwa aku masih sulit melihat kelebihan
sesama dan menyalahkan Tuhan ketika perjalanan hidupku tidak seperti yang saya harapkan?
Marilah kita berdoa:
Ya Tuhan hadirlah di tengah kami yang masih sering
bimbang dan ragu dalam hidup ini. Terangi hati dan budi
kami agar kami tetap hidup di jalanMu dan senantiasa
percaya akan Allah yang adalah Tuhan Yesus sendiri
sumber hidup dan kebenaran. Amiin.
(Sr. Sebastiana, HK)
106
Jumat, 7 April 2017
Hari biasa Pekan V Prapaskah
Yer. 20: 10-13; Mzm. 18:2-3a, 3bc-4,5-6,7;
Yoh. 10:31-42
YESUS DITOLAK OLEH ORANG YAHUDI
“Tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau
percaya kepadaKu, percayalah akan pekerjan-pekerjaan
itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa
Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa”
(Yoh. 10:38).
Banyak energi yang terbuang dan tanpa perhitungan.
Hidup kita sering menghabiskan waktu dengan perkaraperkara yang sesungguhnya kita sendiri belum jelas, bahkan terkadang kita rela debat sampai hebat. Misalnya saja
kalah soal pengetahuan ilmu yang kita miliki atau yang kita
ketahui, kita berdebat antar teman bahkan saudara, bahkan terkadang sampai adu otot dan selisih paham yang
berujung permusuhan sengit. Begitulah yang sering terjadi
karena kedegilan, kepicikan dan keegoisan kita masing
masing…tidak peduli apakah sesamaku sakit, kita tidak
peduli, apalagi sampai merasakan bahwa Tuhan Yesus
akan sakit dan sedih melihat sikapku yang seperti itu.
Dalam keheningan jiwa di bulan yang penuh rahmat,
kita diajak dalam masa Prapaskah ini untuk menyadari
akan misteri rahasia Allah. Umat Allah dan sebagai umat
beriman diajak untuk membuka mata hati kita melihat siapa
107
Yesus yang adalah Allah, melihat relasi Allah yang sejati
dengan Allah Bapa. Atau beranikah kita mengambil waktu
dan jarak untuk berdiam sejenak, membuka telinga untuk
mengakui dan menerima sabdaNya seperti yang dikatakanNya “tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau
percaya kepadaKu, percayalah akan pekerjan-pekerjaan
itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa
Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa” (Yoh. 10:38).
Berani mengakui kehebatan sesama berarti memanusiakan orang lain, berani mengakui karya Allah lewat apapun
yang bisa kita lihat dan kita dengar itulah iman yang
menyelamatkan.
Pertanyaan reflektif:
Apakah selama ini dalam hidupku juga mampu menjadi
tanda kehadiran Allah bagi sesama? atau sering menghabiskan energi dan waktu kita hanya untuk perkaraperkara yang tidak jelas?
Marilah berdoa:
Allah yang Mahabaik, mampukanlah kami selalu terbuka
menerima undangan-Mu untuk mau melaksanakan kehendak-Mu
dengan sukacita. Mampukanlah kami juga menjadi pembawa damai dan kegembiraan bagi siapa saja yang ada di
sekitar kami. Amin
(Sr. Sebastiana, HK)
108
Sabtu, 8 April 2017
Hari biasa Pekan V Prapaskah
Yeh. 37:21-28; Yer 3:10, 11-12ab, 13;
Yoh. 11:45-56
PERSEPAKATAN
UNTUK MEMBUNUH YESUS
“Bagaimana pendapatmu?
Akan datang jugakah Ia ke pesta?”
(Yoh. 11:56.b)
Orang-orang Yahudi bertanya, “Bagaimana pendapatmu? Akan datang jugakah Dia ke pesta?” pertanyaan
orang-orang Yahudi sebenarnya pertanyaan yang
mencobai sesamanya bagi Yesus. Dalam tradisi kita
mengetahui kebiasaan orang pergi ke pesta biasanya
untuk merayakan hari sukacita karena peristiwa yang
indah dan mengembirakan. Pernyataan ini seolah olah
memiliki arti yang mencurigakan, ada apa di balik
pertanyaan ini?
Mengharapkan tokoh hadir dalam sebuah pesta namun
berujung kejahatan. Lihatlah orang-orang Yahudi kini
sedang berbondong-bondong melawat Maria, mereka
juga menyaksikan banyak hal yang terjadi apa yang telah
dilakukan Yesus. Mereka berbondong-bondong bukan untuk ikut suka cita, melainkan mereka ingin membuat siasat
untuk menyiapkan perangkap dan mereka sepakat untuk
tetap membunuh Yesus. Rasionalisasi Orang-orang
Yahudi untuk keselamatan, kenikmatan namun sebenarnya
109
hanya untuk keuntungan sendiri dan kelompoknya. Mereka
melakukan hanya untuk kelompok elit penjaga kerajaannya. Semua itu dilakukan karena takut orang-orang Roma
akan datang, dan merampas tempat suci serta bangsanya.
“Karena itu lebih berguna satu orang mati untuk bangsa
kita dari pada seluruh bangsa kita binasa. Bahkan seolaholah Bapa lewat nubuat Kayafas “mengamini” kejahatan
mereka, agar keselamatan segera tiba.
Pertanyaan reflektif:
Apakah saya masih mampu mempertahankan suara hati
yang murni dan memiliki niat baik dalam pelayanan bagi
sesama?
Marilah berdoa:
Allah Bapa yang maha baik, kami bersyukur atas penyelenggaraanMu dalam hidup ini. Semoga kami tetap tekun dan
setia menapaki jalan yang telah Engkau anugerahkan
kepada hidup kami, meskipun kami sering jatuh dan tidak
setia padaMu. Bantulah kami selalu dijalan yang benar
dan bantulah kami menghayati hidup lewat jalanMu yang
benar, demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin
(Sr. Sebastiana, HK)
110
Minggu, 9 April 2017
Minggu Palma
Mengenangkan Sengsara Tuhan
Yes. 42:1-7; Mzm. 22:8-9,17-18a,23-24;
Flp.2:6-11; Mat. 21:1-11
YESUS DIELU-ELUKAN DI YERUSALEM
“Hosanna Putera Daud, terberkatilah yang datang dalam
nama Tuhan, Raja Israel! Hosanna sembah sujud!”
(Mat. 21:9)
Kalau kita menyimak dalam Injil lain seperti Injil Markus,
di sana dilukiskan bahwa ketika Yesus lewat, “Banyak orang
yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang
menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka ambil dari
ladang” (Mrk.11:8). Tentu semua itu menjadi bentuk sambutan
hangat bagi Yesus. Namun kiranya cukup dengan caracara seperti itukah? Tentu tidak. Hari ini Gereja memasuki
Pekan Suci. Pada hari Minggu Palma ini kita semua
diajak untuk mengenang sengsara Tuhan Yesus, yang
diawali dengan perarakan Yesus memasuki Kota
Yerusalem. Ketika Yesus dan para muridNya telah
dekat Yerusalem, dekat kota Befage dan Betania yang
terletak di dekat bukit Zaitun, Yesus meminta kepada
dua muridNya untuk meminjam seekor keledai muda,
milik seorang warga, yang ditambatkan di depan pintu di
luar rumahnya, di dekat pingir jalan. Keledai itu pun
kemudian dialasinya dengan pakaian, lalu Yesus naik ke
atas keledai muda itu dan kemudian memasuki Kota
111
Yerusalem. Minggu Palma kita rayakan dalam semangat
kasih dan pengorbanan seperti yang diteladankan oleh
Yesus sendiri. Hari ini kita diajak untuk menyambut
Yesus, melibatkan seluruh diri kita, bukan hanya pakaian
dan tampilan kita, apalagi dengan ranting pohon yang kering
mati tak bernyawa. Hari ini kita diajak untuk juga berani
menghamparkan diri kita sebagai pakaian di bawah kaki-Nya.
Mari kita sambut Yesus sambil melambaikan tangan kita
sebagai ranting rohani jiwa yang hidup yang memiliki hati
dan nurani dan berseru “Hosanna-hosanna.. diberkatilah
Dia yang datang dalam nama Tuhan !” (Mat. 21:9).
Pertanyaan Reflektif:
Di jaman ini “kasih “dan bentuk” pengorbanan “apa yang
dapat saya bagikan bagi orang–orang yang kita kasihi dan
bahkan mungkin bagi mereka yang sangat tidak saya
sukai?...
Marilah berdoa:
Allah yang Maha Belaskasih dan Maha Rahim, ampunilah
kami orang berdosa yang sering mudah jatuh dan jatuh lagi
dalam dosa. Semoga hari ini kami dapat mengiringi Raja
Kristus dengan penuh sukacita, dan kami diperkenankan
memasuki Yerusalem abadi bersama Dia, yang hidup dan
berkuasa kini dan sepanjang masa. Amin.
(Sr.Sebastiana, HK)
112
Senin, 10 April 2017
Pekan Suci
Yes. 42:1-7; Mzm.27:1,2,3,13-14; Yoh.12:1-11
MEMBERIKAN YANG TERBAIK
UNTUK TUHAN
“Maria meminyaki kaki Yesus dan menyekanya
dengan rambutnya”
(Yoh.11:3)
Minggu, 16 Oktober 2016 yang lalu, saya mengunjungi
Bina Iman Paroki di Gereja menjelang Misa kedua pukul
08.30. Hari itu hari Minggu biasa. Seperti biasanya anak
anak Bina Iman usia 3 hingga 8 tahun menjelang komuni,
sudah berbaris dengan rapi di depan pintu gerbang Gereja
untuk mendapatkan berkat dari pastor.
Tiba-tiba mata saya tertuju pada seorang anak laki laki
usia sekitar 5 tahun membawa permen coklat di tangannya.
Saya mendekati bocah tersebut dan bertanya,” Nak, kita
akan masuk Gereja, mengapa masih membawa permen
coklat?” Tampaknya anak itu tak ambil peduli dengan
pertanyaan saya. Bocah itu hanya berlari dan terteriak,
”Pastor ini permen kesukaan saya, dibeli mama dari jauh.”
Saya penasaran, karena jangan jangan memang anak ini
mau makan permen dalam Gereja, ketika hendak menerima
berkat khusus untuk anak dari imam yang merayakan
Ekaristi saat itu. Saya berusaha mencegahnya, dan bertanya lagi: ”Nak, ayo simpan permen itu. Di dalam Gereja,
113
hendaknya kita bersikap baik dan sopan terhadap Yesus.”
Lagi-lagi bocah ini berteriak, ”Saya mau bertemu Yesus.
Saya mau bertemu Yesus.”
Saya semakin penasaran. Ketika sudah mendekat
saya bertanya dan sedikit keras meminta permen itu
untuk disimpan. Namun semakin saya mendekat, bocah
itu berteriak-teriak, ”Pastor saya mau bertemu Yesus.
Saya hendak memberikan permen kesukaan saya untuk
Yesus, agar Yesus bisa merasakan enaknya coklat dari
mama ini.” Saya berhenti, terkejut dengan jawaban
seorang bocah kecil 5 tahun yang sangat beriman. Bocah
ini memang tidak akan makan permen coklat, namun
hendak berbagi dan diberikan kepada Yesus setelah nanti
ia mendapat berkat dari Romo. Saya menyesal telah
berprasangka buruk kepada bocah kecil ini.
Saya tetap mengamati bocah ini, sesampainya di depan
pastor yang memberikan berkat khusus untuk anak,
anak ini diberi berkat di dahi. Setelah itu dengan lirih saya
dengar bocah ini berbicara kepada pastor tersebut: ”Pastor
saya titip coklat kesukaan saya untuk Yesus ya…” Bocah
ini telah mengajarkan kepada saya untuk memberikan
yang terbaik bagi Tuhan, memberikan apa yang dia
punya sebagai kegemaran untuk Yesus. Ini persis seperti
sosok Maria yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak
narwastu yang paling mahal, dan menyekanya dengan
rambutnya.
114
Pertanyaan reflektif:
Apakah aku pernah mempunyai perasaan mencintai Yesus
lebih dari segalanya? Kapan dan saat apa peristiwanya?
Marilah berdoa:
Ya Allah Bapa, ajarilah aku untuk senantiasa mencintai
Yesus dengan apa yang kupunya, dengan apa yang
kumiliki lebih dari segala sesuatu. Amin.
(RD. Sridanto Aribowo)
115
Selasa, 11 April 2017
Pekan Suci
Yes. 49:1-6; Mzm.71:1-2, 3-4a, 5-6ab, 15,17;
Yoh.13:21-33, 36-38
DIKHIANATI PASANGAN HIDUP
“…sesungguhnya seseorang di antara kamu
akan menyerahkan Aku”
(Yoh.13:21)
“Sakitnya tuh di sini, di sini dan di sini” begitu ekspresi
seorang ibu muda sambil menekan kedua telapak tangannya di dadanya dengan mata berkaca-kaca. Setelah misa
kedua di hari Minggu, ibu ini datang kepada saya dan sedikit
mensharingkan pengalaman hidupnya,”Romo, pernahkah
Romo merasa dikhianati oleh orang yang paling dicintai?
Betapa sakitnya Romo. Suami saya kepergok melakukan
affair dengan sekretaris kantor di depan mata saya. Aduh
rasanya, dunia ini mau runtuh Romo. Kalau saya tidak
ingat dua anak kami yang masih kecil dan manis-manis,
saya sudah berniat meninggalkan suami saya.”
Pengalaman dikhianati adalah pengalaman yang
menyakitkan. Pengalaman dikhianati oleh pasangan hidup
yang kita cintai, adalah pengalaman yang paling pahit dalam
hidup dan tak akan mudah terlupakan. Yesus pun pernah
mempunyai pengalaman pahit, dikhianati oleh murid yang
hidup bersama dia dan senantiasa ada bersama dia.
116
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara
kamu akan menyerahkan Aku.” Namun Yesus tidak berhenti dalam pengalaman pahit itu. Ia bahkan menembus
pengalaman pahit itu, dengan tetap taat kepada BapaNya,
memikul salib dan siap menghadapi penderitaan yang lebih
pahit, dan getir yaitu disiksa dan disalib.
Seorang pengikut Yesus yang sejati adalah seorang
yang mampu bertahan dalam pengalaman pahit dan
mentransformasinya menjadi ungkapan kasih yang siap
diwartakan kepada setiap orang yang dijumpai.
Pertanyaan Reflektif:
Pernahkan aku mempunyai pengalaman pahit? Bagaimana
rasanya aku mempunyai pengalaman dikhianati oleh orang
yang aku cintai? Pernah coba kubayangkan bagaimana rasanya Yesus dikhianati oleh murid yang dicintaiNya?
Marilah berdoa:
Allah Bapa yang penuh kasih, kami bersyukur karena dengan
kasih sayangMu Engkau berkenan mengorbankan Putera
tunggal satu satunya, yaitu Yesus Kristus. Ajarlah dan
kuatkanlah iman kami, agar kami bisa belajar dari PuteraMu Yesus Kristus, yang tetap memberikan kasih walaupun
Ia pernah dikhianati oleh murid-muridNya. Amin.
(RD.Sridanto Aribowo)
117
Rabu, 12 April 2017
Pekan Suci
Yes.50:4-9a;Mzm.69:8-10,21bcd-22,31,33-34;
Mat.26:14-25
PENGORBANAN UNTUK
BANYAK PETANI ANGGUR
“…anak Manusia akan pergi sesuai dengan yang ada
tertulis tentang Dia” (Mat. 26:24)
Dalam suatu kesempatan mengikuti Konferensi Internasional Liturgi di Bali, tanggal 11- 15 Oktober 2016 yang
lalu ada pengalaman yang menyentuh. Pengalaman itu
bukan pengalaman tentang bagaimana ahli ahli liturgi berbicara tentang Sakramen Perdamaian dalam Konferensi,
melainkan pengalaman ringan ketika para peserta diajak
bereksposure ke pabrik anggur (winery). Pabrik anggur ini
adalah milik seorang ibu beriman Katolik. Yang menarik
dari pabrik anggur ini adalah kisah kisah di belakangnya.
Pemilik anggur adalah seorang ibu yang sebelum
mendirikan anggur adalah seorang akuntan publik yang
cukup disegani di suatu perusahaan multi nasional. Dalam
sebuah perjalanan, ibu ini bertemu dengan petani anggur
yang sangat miskin di daerah Bali Utara. Saat itu
buah anggur hanya dijual Rp. 400 saja per-kilo. Ibu ini sedih
melihat banyak petani anggur yang miskin. Panen yang
melimpah tidak serta merta mengangkat kesejahteraan mereka. Setelah berdiskusi dengan putrinya, ibu ini
118
akhirnya memberanikan membangun pabrik anggur, yang
anggurnya dibeli dari para petani anggur di Bali Utara.
Anggur yang saat itu harga pasarannya hanya Rp. 400 per
kilo, dibeli dengan harga Rp.7000 per kilo sebagai bahan
dasar pembuatan minuman anggur. Luar biasa, anggur
dalam kemasan botol yang sudah difermentasi itu dijual
ke hotel hotel dengan kisaran harga Rp.150.000 hingga
Rp.600.000 per botol. Petani anggur di Bali Utara tidak lagi
merana dan hidup miskin. Kesejahteraan mereka bertambah dengan berfungsinya pabrik anggur di Gianyar Bali
ini. Yang menarik dari kisah ibu ini adalah: bagaimana
pengalaman mendirikan pabrik diawali dengan keprihatinan atas petani anggur yang miskin. Ibu ini berkorban dengan meninggalkan pekerjaan yang menjanjikan, memulai
suatu usaha baru yang masih gelap mengingat mendirikan
pabrik anggur di negeri ini termasuk sangat sulit proses
perijinannya. Tangan Tuhan tampaknya bekerja, dan pengorbanan ibu tadi tidak sia-sia.
Pengorbanan adalah salah satu bentuk keutamaan
kristiani. Kita belajar berkorban karena Tuhan kita Yesus
Kristus juga berkorban demi kita. “…anak Manusia akan
pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia”. Ia
berkorban untuk menebus dosa manusia.
Pertanyaan Reflektif:
Pernahkah aku mempunyai pengalaman berkorban?
119
Dalam pengalaman itu apakah aku juga menemukan
Yesus yang juga berkorban untuk aku?
Marilah berdoa:
Allah Bapa yang penuh kasih, aku bersyukur atas
pengalaman berkorban yang pernah menjadi bagian
dari hidupku. Semoga pengalaman berkorban ku ini juga
membawa aku untuk mampu merenungkan pengorbanan
Yesus menjelang saat saat terakhir hidupNya menjelang
di salib. Amin.
(RD. Sridanto Aribowo)
120
Hari Kamis, 13 April 2017
Pekan Suci
Bc.E.Yes.61:1-3a,6a,8b-9; Mzm.89:21-22,25,27; Why.1:5-8; Luk.4:16-21.
DITOLAK DI TANAH KELAHIRANNYA
“…sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai
di tempat asalnya.” (Luk.4:24)
Dalam sebuah pertemuan forum Internasional, saya
bertemu dengan seorang pastor Belanda yang lebih dari
45 tahun menjadi misionaris di Ambon. Saya bertanya kepada pastor ini, ”Pastor apakah masih ada panggilan
di Belanda?” Pastor ini menjawab, “Sudah tidak ada lagi.
Zero vocation katanya.” Saya masih bertanya lagi, “Pastor
akan menghabiskan masa tua di Ambon atau kembali ke
Belanda?” Dengan tampak emosional dan berkaca kaca
pastor ini menjawab,”Di Belanda saya sudah tidak punya
kerabat. Gereja banyak yang tutup, dan anak muda hampir
tidak ada yang terpanggil. Masa depan Gereja di Belanda
tinggal kenangan. Dulu kami bangga menjadi misionaris
mewartakan Kerajaan Allah di tanah misi. Kini kondisi
serba terbalik. Saya ingin mati di tanah misi ini.”
Mendengar kisahnya, hati saya ikut trenyuh dan sedih
memikirkan Gereja di Belanda. Romo ini tampaknya
“ditolak” oleh situasi tanah kelahirannya yang tidak lagi
seperti dulu. Ditolak dalam arti menjadi tempat yang tidak
nyaman lagi untuk Gereja bertumbuh dan berkembang.
121
Dalam sejarahnya Gereja justru berkembang di tempat
tempat yang tidak nyaman, terjadi banyak penderitaan dan
kesengsaraan. Pengalaman Petrus dan Paulus dalam
Kisah Para Rasul sungguh mengingatkan kita akan sejarah
ini. Ditolak memang menyakitkan apalagi merasa ditolak
di tempat asal, tempat kita lahir dan dibesarkan. Namun
tidak perlu kuatir, Yesus Tuhan yang kita junjung tinggi pun
juga pernah ditolak.Injil hari ini sungguh menguatkan kita.
“…sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat
asalnya.”(Luk. 4:24)
Pertanyaan Reflektif:
Pernahkah aku mempunyai pengalaman ditolak? Bagaimana perasaanku saat itu?
Pernahkah aku tahu bahwa Yesus pun pernah ditolak?
Menurutmu bagaimana perasaan Yesus saat itu? Namun
apa yang Dia lakukan?
Marilah berdoa:
Allah Bapa yang penuh kasih, aku bersyukur bahwa aku
pernah mempunyai pengalaman ditolak. Ditolak oleh orang
yang aku cintai, ditolak oleh keluargaku, ditolak oleh rekan
kerjaku, dan juga ditolak oleh masyarakat tempat kelahiranku.
Tuhan berilah aku kekuatan, agar aku senantiasa tetap
mewartakan kabar gembira Injil, sekalipun aku harus ditolak
di tempat asalku. Amin.
(RD. Sridanto Aribowo)
122
Jumat, 14 April 2016
Hari Jumat Agung
Yes.52:13-53:12 ; Mzm.31:2,6,12-13,14-15,17,25;
Ibr.4:14-16;5:7-9; Yoh. 18:1-19:42
SIAPAKAH SAHABATMU?
Simon Petrus masih berdiri berdiang. Kata orang-orang di
situ kepadanya: ”Bukankah engkau juga seorang muridNya?” ia menyangkalnya, katanya:”Bukan.”Kata seorang
hamba Imam Besar, seorang keluarga dari hamba yang
ditelinganya dipotong Petrus: “ Bukankah engkau kulihat
di taman itu bersama-sama dengan Dia?” Maka Petrus
menyangkalnya pula dan ketika itu berkokoklah ayam.
(Yoh. 18:25-27)
Semasa SMA, salah satu teman saya adalah anak
orang kaya. Ketika ia berulang tahun ke 17 kami temanteman satu sekolah diundang dalam pesta itu. Pesta itu
sangat meriah, diadakan di salah satu hotel ternama di
pusat Jakarta. Ruang pesta ditata dengan dekorasi indah
dengan tata cahaya mempesona. Aneka rupa hidangan
tersaji. Banyak sekali teman yang datang, kami larut dalam
tawa gembira bersama. Betapa indah dan mewahnya
pesta ulang tahun itu. Saya sangat terkagum-kagum dan
terheran-heran, banyak sekali temannya ya.
Kemeriahan pesta itu kadang masih terngiang dalam
ingatan sekarang ini. Pikir saya, sudah kaya banyak teman
pula, sungguh masa muda yang sangat menyenangkan.
123
Tetapi tiba-tiba terlintas dalam pikiran kecil ini apakah
semua ini akan abadi? Kata orang kan hidup itu selalu
berputar. Bagaimana jika tiba-tiba orang tuanya jatuh
miskin atau mengalami kesulitan, apakah hidupnya tetap
seperti itu, tetap setiakah teman-temannya? Adakah mereka
akan memberi penghiburan di kala temannya berkesusahan
tetap menemaninya di saat merasa ditinggalkan oleh teman
dan kerabat-kerabatnya. Seribu orang teman datang saat
kamu tertawa tapi mungkin hanya satu orang sahabat yang
akan datang saat kamu berderai air mata. Hanya sedikit
orang mengulurkan tangannya untuk membantu. Tapi yang
terakhir inilah teman yang sesungguhnya.
Ingatan ini mengantar pada peristiwa yang dialami oleh
Yesus pada saat malam Ia diadili. Sebelumnya, Yesus
sangat dielu-elukan, sangat dipuja-puji karena ajaran dan
mujizatnya. Banyak murid yang setia mengikutinya dan selalu bangga berada di sekitar-Nya. Apa yang terjadi ketika
Yesus ditangkap dan akan dihukum mati? Petrus murid
yang sangat dekat dan disayangi meninggalkan-Nya dan
menyangkal-Nya bahkan sampai 3 kali. Apakah kita akan
seperti Petrus yang akan meninggalkan teman kita ketika
dia mengalami kesulitan? Atau bahkan seperti Yudas yang
mengkhianati-Nya demi keuntungannya sendiri.
Kisah sengsara yang kita peringati hari ini membawa
kita pada sosok Yesus. Beruntunglah kita, Yesus sungguh
teman kita yang setia. Ketika kita jatuh dalam dosa, Ia tidak
meninggalkan kita. Ia justru rela menderita untuk kita. Mari,
124
kita meneladan sikap Yesus agar kita menjadi teman setia,
dimana pun dan kapan pun.
Pertanyaan Reflektif:
Apakah kita akan selalu setia pada iman kita untuk
mengikuti Yesus walaupun banyak tawaran duniawi yang
lebih menjanjikan?
Marilah berdoa:
Ya Bapa yang maha baik tuntunlah dan teguhkanlah iman
kami agar selalu setia dan tidak pernah meninggalkanMu,
beri hati kami selalu bersyukur untuk kasih dan karuniaMu
sepanjang hidup kami. Amin
(Maria Ana PL)
125
Sabtu, 15 April 2016
Hari Sabtu Suci
Kej. 1:1-2;2; Mzm.51:12-13,14-15,18-19;
Rm. 6:3-11;Mzm.118:1-2,16ab-17,22-23;
Mat.28:1-10
BERPERAN TANPA MENONJOLKAN DIRI
“Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria
Magdalena dan Maria yang lain, menengok kubur itu.
Maka terjadilah gempa bumi yang hebat sebab seorang
malaikat Tuhan turun dari langit dan datang ke batu itu
dan menggulingkannya lalu duduk di atasnya. Wajahnya
bagaikan kilat dan pakaiannya putih bagaikan salju. Dan
penjaga-penjaga itu gentar ketakutan dan menjadi seperti
orang-orang mati. Akan tetapi malaikat itu berkata
kepada perempuan-perempuan itu: “Janganlah kamu
takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus
yang disalibkan itu.”
Saya pernah menginap di rumah seorang sahabat
untuk beberapa hari. Sahabat saya terbilang sudah mapan.
Saya mengamati kegiatan rutinnya setiap pagi. Saya
heran, dia menangani sendiri keperluan sehari-hari
keluarganya. Setiap pagi, di saat suami dan anaknya masih
tertidur lelap, dia menyiapkan masakan untuk sarapan dan
bekal siang untuk mereka. Kemudian, ia merapikan rumah
dan mencuci pakaian. Sebagai ibu rumah tangga, kirakira pekerjaan itu yang selalu rutin dilakukannya tiap
126
hari. Pengalaman ini mengingatkan saya pada ibu saya
juga ibu rumah tangga lain yang tidak memiliki pembantu.
Mereka pasti akan melakukan hal serupa. Kendati, kurang
bergengsi, sering dianggap remeh, namun saya kagum
bahwa mereka melakukan pekerjaan mereka dengan
setia, tanpa mengeluh, tanpa haus pujian. Semua dilakukan demi orang-orang yang dikasihinya.
Kesetiaan ibu rumah tangga membantu saya untuk
memahami peristiwa kebangkitan Yesus. Dalam kisah ini,
ditampilkan beberapa perempuan-perempuan dalam
peristiwa kebangkitan Yesus. Perempuan-perempuan ini
dalam kitab suci tidak menonjol. Jauh lebih banyak kisah
yang bercerita tentang para Rasul yang adalah laki-laki.
Dengan ditampilkan perempuan dalam kisah kebangkitan
ini, saya menjadi yakin bahwa peran murid-murid Yesus
yang perempuan juga luar biasa.
Sudah tiga hari jazad Yesus dikubur. Siapa yang peduli?
Tanpa banyak kata, para perempuan mewujudkan rasa
hormat dan kasih mereka pada sang Guru. Perempuanperempuan itu pagi-pagi benar datang ke kubur Yesus.
Mereka ini ingin menengok jazad Guru yang mereka
kasihi. Mereka adalah kelompok pertama yang melihat kubur kosong. Melalui tindakan ini, mereka membuktikan diri
mereka sebagai murid-murid Yesus.
Kita tak cukup hanya kagum pada perempuanperempuan itu. Jika kita ingin disebut sebagai murid Yesus
tampaknya kita bisa meneladan sikap para perempuan
127
itu yaitu berperan, melakukan apa yang menjadi tugas
kita, tanpa mengeluh, dan bukan demi pujian. Agar bertumbuh menjadi orang beriman, kita harus setia dalam
perkara-perkara kecil. Dan yang tak kalah penting, kita
harus menghargai para perempuan yang telah mengajari
bagaimana kita harus beriman.
Pertanyaan reflektif:
Apakah kita tulus untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan
dalam komunitas kita?
Marilah berdoa:
Tuhan Yesus, kuatkanlah kami supaya dapat meneladan
para perempuan murid Yesus. Semoga kami tulus dalam
pelayanan terhadap sesama kami. Amin
(Maria Ana PL)
128
Minggu, 16 April 2017
Hari Raya Paskah Kebangkitan Tuhan
Kis. 10:34a,37-43; Mzm. 118:1-2,
16AB-17,22-23; Kl. 3:1-4; Luk. 24:13-35
YESUS SELALU ADA DAN SETIA
“Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar
pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu
berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi ada
sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga
mereka tidak dapat mengenal Dia. “ (Luk. 24:15)
Mungkin Anda pernah bertemu dengan seseorang dan
orang itu begitu tahu tentang Anda begitu dalam, tetapi
Anda tidak ingat namanya atau pernah bertemu kapan
dan dimana dengan orang itu. Setelah beberapa lama bercakap-cakap dan Anda mengingat-ingat pengalaman apa
yang pernah dilalui, barulah Anda sadar siapakah orang
itu. Pengalaman seperti ini mengingatkan kita pada
pengalaman dua murid yang sedang berjalan ke Emaus.
Mereka berjalan bersama-sama dengan Yesus tetapi
mereka tidak mengenali Yesus yang berjalan bersama
mereka. Kejadian ini sungguh membuat heran, sebab dua
orang ini adalah murid-murid Yesus. Mereka selalu
bersama-sama kemanapun Yesus pergi. Belum genap
sebulan, sejak Yesus wafat dan tiga hari kemudian
dikabarkan bangkit, mereka berpisah dengan Yesus. Belum
lama mereka berpisah, tapi mereka tidak tahu sama sekali
bahwa orang yang berjalan bersama dengan mereka
129
adalah Yesus. Apa yang sedang terjadi pada kedua murid itu?
Tampaknya, dua orang murid sedang mengalami
beban batin yang sangat berat. Mereka sedang merasa
kehilangan harapan. Dulu mereka meninggalkan kota
Emaus menuju ke Yerusalem dan menjadi murid Yesus.
Yesus adalah tokoh yang begitu terkenal, dan banyak
orang mengikuti kemana pun Ia pergi. Mereka merenda
harapan bahwa mereka akan hidup mulia, hidup senang
bersama Yesus. Harapan itu dengan cepat sirna saat tahu
bahwa Yesus disalibkan, dan kemudian Yesus wafat. Maka
mereka pulang ke Emaus dengan lunglai. Perasaan yang
hancur, harapan yang terputus membuat mereka tidak
mengenali Yesus berjalan bersama mereka.
Hidup kita ibarat sebuah perjalanan. Yesus selalu ada
bersama kita, setiap saat, dan dimana pun. Namun, ada
kalanya kehadiranNya tidak dikenali. Beberapa hal dapat
menyebabkan orang mengalami kegelapan hidup dan
tidak mengenali kehadiran Yesus: sakit dan penderitaan
yang berkepanjangan, pengalaman hidup yang tidak
sesuai harapan, kesedihan, kepahitan hidup, dll. Pada
saat seperti itu mungkin hanya ada rintihan, “Apakah
Tuhan benar mencintai saya, Apakah Tuhan itu ada,
jika ada mengapa saya mengalami hal begini?” Bukan hal yang mudah untuk meyakinkan bahwa Yesus tetap
hadir. Yang dapat kita lakukan adalah menjadi teman bagi
mereka dan berdoa supaya melalui cara-Nya, Tuhan
menyentuh hati-nya. Dalam Ekaristi, kita seharusnya
130
menemukan Yesus.
Pertanyaan Reflektif:
Apakah kita sudah merasakan kehadiran Allah melalui
Ekaristi dan menjadikan pegangan hidup kita ketika
mengalami banyak sekali cobaan?
Marilah berdoa:
Ya Tuhan, berikanlah hati kami selalu bersyukur untuk
rahmat penyertaanmu dan buatkan kami selalu berpegang
pada SabdaMu. Amin
(Maria Ana PL)
131
(Ucapan Selamat Raya Paskah)
SEMOGA KEBANGKITAN TUHAN
MENEGUHKAN KITA
UNTUK BERSIKAP ADIL
DAN MEWUJUDKAN KEADABAN
Komisi PSE KAJ
Komisi Liturgi
Komisi Kateketik
Komisi Kerasulan Kitab Suci
Komisi Komunikasi Sosial
132
Download