bab ii tinjauan pustaka, kerangka pemikiran dan hipotesis

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Pustaka.
2.1.1
Batasan dan Pengertian Industri Kecil.
2.1.1.1 Kriteria Usaha Kecil.
Kriteria industri kecil menurut Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1995,
pasal 5 adalah sebagai berikut :
1.
Memilki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta, tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha.
2.
Memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp. 1 Miliar.
3.
Milik Warga Negara Indonesia.
4.
Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan yang dimiliki,
dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
5.
Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum.
Selain memiliki karakteristik sebagaimana yang disebutkan di atas, usaha
kecil mempunyai pekerja 5 sampai dengan 19 orang termasuk pemilik dan pekerja
keluarga. Menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2004 usaha kecil
identik dengan industri kecil dan rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri
berdasarkan jumlah pekerjanya yaitu (1) industri rumah tangga dengan pekerja 14 orang, (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang, (3) industri menengah
9
10
dengan pekerja 20-99 orang dan (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau
lebih.
Menurut BPS (2004) usaha kecil adalah usaha untuk memproduksi
barang atau jasa mempunyai omzet penjualan sebesar satu milyar rupiah, dan bila
berdasarkan pada nilai investasinya, usaha kecil memiliki nilai investasi Rp.
5.000.000 – Rp. 200.000.000.
Sedangkan industri kecil menurut SK. Menteri Perindustrian No.
254/MPP/Kep/1997 sebagai berikut:
1.
Kriteria industri kecil.
a.
Nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan Rp.
200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b.
2.
Pemilik adalah Warga Negara Indonesia.
Kriteria pedagang kecil.
a.
Nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan Rp.
200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b.
Pemilik adalah Warga Negara Indonesia.
2.1.1.2 Ciri-Ciri Usaha Kecil.
Menurut Vernon A. Musselman (1996:161) ciri-ciri usaha kecil adalah
sebagai berikut:
1.
Umumnya dikelola oleh pemiliknya.
2.
Struktur organisasinya yang sederhana.
3.
Pemilik mengenal karyawannya.
4.
Persentase kegagalan perusahaan tinggi.
11
5.
Kekurangan manajer yang ahli.
6.
Modal jangka panjang sulit diperoleh.
2.1.1.3 Kekuatan Usaha Kecil.
1.
Kebebasan untuk bertindak.
2.
Menyesuaikan pada kebutuhan setempat.
3.
Berperan serta pada kegiatan. (Vernon A. Musselman, 1996:161)
2.1.2
Konsep Harga Jual.
2.1.2.1 Pengertian Harga.
Harga merupakan nilai pertukaran dari suatu produk (Vernon A.
Musselman, 1996:329). Harga merupakan indikator utama dalam menentukan
apakah suatu perusahaan mengalami kerugian atau mengalami keuntungan karena
tingkat harga akan mempengaruhi permintaan konsumen terhadap barang yang
ditawarkan. Menurut Kotler (2002:136) harga jual merupakan salah satu unsur
paling penting dalam menentukan bagian pasar dan tingkat keuntungan
perusahaan, dan merupakan satu-satunya elemen bauran pemasaran yang
menghasilkan pendapatan.
Sedangkan menurut Buchari Alma (2004:286) harga merupakan nilai
yang dicapai oleh penjual dan pembeli mengenai suatu barang. Hal ini senada
dengan apa yang dikemukakan oleh Sadono Soekirno (2000:91) bahwa “harga
suatu barang dan jumlah barang yang akan diperjualbelikan adalah ditentukan
dengan melihat keadaan keseimbangan dalam suatu pasar”. Jadi pada umumnya
harga suatu barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan ditentukan oleh
12
permintaan dan penawaran dari barang tersebut di pasar barang. Dan pendapat
tersebut didukung oleh Kotler (2002:136) yang menyatakan bahwa harga jual
ditetapkan oleh pembeli dan penjual dalam suatu proses tawar menawar, dengan
tawar menawar akan sampai pada suatu kesepakatan tentang harga.
Harga yang ditentukan oleh perusahaan haruslah didasarkan pada biaya
produksi seperti biaya tenaga kerja, biaya bahan baku, biaya transportasi dan
biaya lain-lain yang dikeluarkan dalam proses produksi dan harga juga harus
didasarkan pada tingkat laba yang ingin dicapai. Agar produk yang dihasilkan
perusahaan mendapat sambutan yang baik dari konsumen, harga yang ditentukan
haruslah tepat sehingga tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah yang nantinya
akan merugikan perusahaan.
2.1.2.2 Tujuan Penetapan Harga.
Philip Kotler (2002: 138) menyatakan bahwa perusahaan dalam
menentukan harga tergantung pada apa tujuan perusahaan tersebut, yaitu:
1.
Kelangsungan Hidup (Survival).
Perusahaan mengejar kelangsungan hidup sebagai tujuan utamanya jika
ia menemui masalah kelebihan kapasitas, persaingan yang semakin
sempit, atau perubahan keinginan konsumen. Agar pabrik tetap
beroperasi dan persediaan tetap berputar, mereka akan memangkas harga.
Laba kurang penting dibandingkan kelangsungan hidup. Sepanjang harga
masih menutup biaya variabel dan sejumlah biaya tetap, perusahaan akan
tetap bertahan dalam krisis.
13
2.
Laba Berjalan Maksimum (Maximum Current Profit).
Banyak perusahaan mencoba untuk menetapkan harga yang akan
memaksimalkan laba berjalan. Mereka memperkirakan permintaan dan
biaya yang terkait dengan berbagai pilihan harga dan memilih harga yang
menghasilkan laba berjalan, arus kas atau tingkat keuntungan investasi
maksimum. Ada masalah sehubungan dengan maksimasi laba berjalan, ia
menganggap bahwa perusahaan memiliki pengetahuan tentang fungsi
permintaan dan fungsi biaya. Kenyataannya, keduanya sulit diperkirakan.
3.
Pendapatan Berjalan Maksimum (Maximum Current Revenue).
Beberapa perusahaan akan menetapkan harga untuk memaksimalkan
pendapatan penjualan. Maksimasi penjualan hanya membutuhkan
perkiraan terhadap fungsi permintaan. Banyak manajer mempercayai
bahwa maksimasi akan mengarahkan pada maksimasi laba jangka
panjang dan pertumbuhan pangsa pasar.
4.
Pertumbuhan Penjualan Maksimum (Maximum Sales Growth).
Perusahaan yang lain ingin memaksimalkan penjualan unit. Mereka
percaya bahwa volume penjualan yang semakin tinggi akan mengarahkan
pada biaya unit yang lebih rendah dan laba jangka panjang yang lebih
tinggi. Mereka menetapkan harga terendah dengan menganggap pasar
sensitif terhadap harga, hal ini disebut dengan penetapan harga untuk
penetrasi pasar (market penetration pricing). Kondisi-kondisi berikut ini
mendukung penetapan harga rendah : (a) pasar sangat sensitif terhadap
harga, dan harga rendah akan mendorong pertumbuhan pasar lebih besar.
14
(b) biaya produksi dan distribusi turun seiring dengan terakumulasinya
pengalaman produksi. (c) harga rendah menghambat persaingan aktual
dan potensial.
5.
Penjaringan Pasar Maksimum (Maximum Market Skimming).
Banyak Perusahaan lebih suka menetapkan harga tinggi untuk menjaring
pasar (market skimming pricing) dengan cara memberikan inovasiinovasi. Penjaringan pasar dapat diterapkan dalam kondisi : (a) ada cukup
banyak pembeli yang permintaannya sangat banyak (b) biaya unit dari
memproduksi dalam volume kecil tidak lebih tinggi sehingga ia
menghilangkan keuntungan dan harga tinggi yang seharusnya ditanggung
konsumen. (c) harga awal yang lebih tinggi tidak menarik banyak
pesaing. (d) harga tinggi tersebut mengkomunikasikan citra sebuah
produk superior.
6.
Kepemimpinan Kualitas Produk (Produk-Quality Leadership).
Sebuah perusahaan mungkin ingin menjadi pemimpin kualitas produksi
di pasar. Perusahaan tersebut menciptakan harga yang berkualitas tinggi
sehingga harga jualnya pun menjadi tinggi pula. Harga yang tinggi akan
memberikan tingkat keuntungan yang senantiasa lebih tinggi daripada
rata-rata dalam industri.
7.
Tujuan Penetapan Harga yang Lain.
Perusahaan non laba dan organisasi publik memilki tujuan lain dalam
menetapkan harga. Sebuah universitas mencoba menutupi sebagian biaya
(partial cost recovery), menyadari ia mengandalkan sumbangan swasta
15
dan bantuan publik untuk menutupi biaya sisanya. Sebuah rumah sakit
non-laba mencoba menutupi seluruh biaya (full cost recovery) dalam
penetapan harganya. Sebuah layanan sosial berusaha menetapkan harga
social (social price) yang ditujukan kepada berbagai kondisi pendapatan
klien yang berbeda.
Sedangkan menurut Keegan (1997:102) tujuan penetapan harga adalah
sebagai berikut:
1.
Market Skimming.
Merupakan usaha dengan sengaja untuk mencapai suatu segmen pasar
yang bersedia membayar harga tnggi untuk suatu produk, salah satu
sasaran dari strategi ini adalah memaksimumkan penghasilan.
2.
Penetapan harga penetrasi.
Penetapan harga ini menggunakan harga sebagai alat untuk bersaing
untuk memperoleh posisi pasar.
3.
Mempertahankan pasar (market holding).
Penetapan harga ini seringkali dipergunakan oleh perusahaan yang ingin
mempertahankan pangsa pasar, strategi ini seringkali berupa reaksi
terhadap penyesuaian harga oleh pesaing.
4.
Cost-Plus atau peningkatan harga.
Penetapan harga ini harus menambahkan semua biaya yang diperlukan
untuk mengirimkan produk, yaitu biaya pengiriman dan biaya tambahan
lain, serta persentase laba.
16
2.1.2.3 Tahapan Penetapan Harga.
Menurut Keegan (1997:100) ada empat langkah dalam menetapkan
harga jual, penetapan harganya melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1.
Menetapkan elastisitas harga dari permintaan, permintaan yang tidak
fleksibel akan memungkinkan harga yang lebih tinggi.
2.
Buat perkiraan biaya tetap dan biaya variabel.
3.
Tetapkan semua biaya yang berhubungan dengan progam pemasaran.
4.
Pilih harga yang memberikan marjin konstribusi paling tinggi.
2.1.2.4 Harga Jual.
Harga jual merupakan sesuatu yang mutlak harus dihitung oleh para
produsen, sebab harga jual akan menentukan keuntungan atau kerugian bagi para
produsen. Menurut Kotler (2002:147) ada enam metode dalam penetapan harga
jual yaitu:
1.
Metode Mark-Up Pricing dan Cost-Plus.
Metode
penetapan
harga
yang
paling
sederhana
yaitu
menambahkan sejumlah kenaikan (mark-up) baku pada biaya produk.
Rumus yang digunakan dalam menetapkan harga menurut metode mark
up sebagai berikut:
Harga mark - up =
Biaya Per Unit
(1 - keuntungan penjualan yang diinginkan )
Penetapan harga dengan metode Metode Mark-up Pricing atau Cost-Plus
merupakan suatu “rules of thumb” alias jalan pintas perusahaan dalam
menentukan harga produknya. Dasar utama penetapan harga cost-plus
17
adalah biaya ditambah marjin tertentu sebagai keuntungan. Metode ini
memang tidak menjamin penetapan harga jual yang optimal, namun
demikian metode ini banyak digunakan karena (a) pengetahuan mengenai
biaya biasanya lebih dikuasai oleh perusahaan daripada pemerintah (b)
kalau semua industri menggunakan cara ini, harga cenderung akan sama
tinggi, sehingga mengurangi persaingan diantara produsen, dan (c) costplus dianggap lebih adil baik bagi penjual maupun pembeli.
Penetapan harga mark-up masih populer dengan alasan : (1) penjual lebih
memiliki kepastian mengenai biaya daripada mengenai permintaan (2)
bila semua perusahaan dalam suatu industri menggunakan metode
penetapan harga ini, harga mereka cenderung sama (3) banyak orang
merasakan bahwa penetapan harga biaya plus tersebut lebih adil bagi
pembeli maupun penjual, dimana penjual tidak mengambil keuntungan
yang berlebihan.
2.
Target Return Pricing.
Penetapan harga lain yang menggunakan basis biaya adalah penetapan
harga berdasarkan keuntungan sasaran (Target Return Pricing).
Perusahaan menentukan harga yang akan meningkatkan investasi (Return
On Investment disingkat ROI) sebagai sasarannya. Dalam metode ini
sangat tergantung pada elastisitas harga dan harga pesaing, tetapi
kelemahannya penetapan harga untuk mencapai keuntungan sasaran itu
cenderung mengabaikan pertimbangan tersebut. Rumus yang digunakan
dalam metede ini adalah :
18
Target Return Price = Biaya per unit +
3.
Unit penjualan
Keuntungan yang diinginkan x Modal Investasi
Received-Value Pricing.
Semakin banyak perusahaan yang mendasarkan harga mereka pada nilai
yang dirasakan. (preceived value) dari produk mereka melihat persepsi
nilai pembeli, bukan biaya penjual sebagai kunci bagi penetapan harga.
Mereka menggunakan variabel non harga ini dalam bauran pemasaran
untuk membangun nilai yang dirasakan dalam benak pembeli. Harga
ditetapkan untuk mencerminkan nilai yang dirasakan tersebut.
Kunci bagi penetapan harga berdasarkan nilai yang dirasakan adalah
menentukan secara akurat persepsi pasar terhadap nilai penawaran.
Penjualan dengan pandangan terlalu tinggi terhadap nilai penawaran akan
menghargai produk mereka mereka terlalu mahal. Pandangan terlalu
rendah akan menghargai produknya lebih rendah daripada yang
ditetapkan.
4.
Value Pricing.
Beberapa perusahaan telah mengadopsi penetapan harga berdasarkan
nilai (value pricing) dimana mereka menetapkan harga rendah bagi
penawaran berkualitas.
Value pricing tidak sama dengan perceived-value pricing. Value pricing
menyatakan bahwa harga seharusnya menunjukan tawaran yang luar
biasa baiknya bagi konsumen. Value pricing tidak hanya sekadar
menetapkan harga lebih rendah pada produk suatu perusahaan
19
dibandingkan dengan pesaingnya, ia berkatan dengan masalah rekayasa
ulang operasi perusahaan untuk benar-benar menjadi produsen biaya
rendah tanpa mengorbankan kualitas, dan untuk menurunkan harga suatu
perusahaan secara berarti untuk menarik sejumlah besar pelanggan yang
sadar akan nilai (value-conscious customer)
5.
Sealed Bid Pricing.
Penetapan harga yang berorintasi pada persaingan, umum diterapkan
bilamana perusahaan mengajukan penawaran untuk memperebutkan
suatu pekerjaan. Perusahaan mendasarkan suatu harganya pada
pengharapan tentang bagaimana pesaing akan menghargai tawarannya
daripada hubungan yang kaku dengan biaya atau permintaan perusahaan.
6.
Going Rate Pricing.
Dalam penetapan harga berdasarkan tarif yang berlaku (going rate price)
suatu perusahaan mendasarkan harganya terutama pada harga pesaing
dengan sedikit memperhatikan biaya atau permintaannya sendiri,
bilamana biaya sulit diukur atau respon persaingan bersifat tidak pasti,
perusahaan merasakan bahwa harga yang belaku memberikan solusi yang
terbaik.
Menurut Buchari Alma (2004:287) ada dua pendekatan untuk
menetapkan harga, yaitu harga menurut biaya dan harga menurut permintaan.
1.
Harga menurut biaya.
Di sini ditetapkan bahwa harga jual, harus lebih tinggi dari biaya yang
sudah dikorbankan, agar dapat diperoleh keuntungan.
20
2.
Markup pricing atau cost-plus pricing.
Ini ditetapkan dengan menambahkan sekian persen dari biaya yang sudah
dihabiskan untuk menghasilkan suatu barang. Jadi biaya ditambah
dengan kelebihan atau markup disebut harga jual.
3.
Demand pricing.
Harga di sini ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran.
4.
Prestige pricing.
Harga prestige berlaku untuk barang-barang tertentu, secara rasional
agak kurang masuk akal tetapi seringkali terjadi di pasar. Misalnya harga
suatu barang naik, tetapi permintaan malahan bertambah. Makin naik
harga makin bertambah permintaan, sampai tingkat tertentu.
Sedangkan pendekatan penetapan harga menurut Vernon A. Musselman
(1996:331) adalah sebagai berikut :
1.
Penetapan harga berdasarkan biaya-plus (Cost-Plus Pricing).
a.
Beberapa jenis usaha harus mendasarkan penetapan harga
mereka pada biaya plus laba.
2.
b.
Biaya langsung + biaya eksploitasi = biaya keseluruhan.
c.
Biaya keseluruhan + marjin laba = laba.
Tingkat hasil yang ditargetkan (Target Rate of Return).
Penetapan harga ini digunakan bila kebijaksanaan penetapan harga itu
untuk memperoleh suatu tingkat tertentu dari laba dari jumlah dana yang
diinvestasikan.
21
3.
Penetapan harga berkaitan dengan persaingan, yaitu :
a.
Pada harga yang berlaku, sesuai dengan harga yang berlaku.
b.
Menetapkan harga di atas persaingan, tujuannya untuk memberi
kesan suatu kualitas dari barang yang dibeli.
c.
Menetapkan
harga dibawah pesaingan,
tujuannya untuk
promosi.
d.
Persaingan harga, strateginya menjual barang dibawah harga
pasar yang sedang berlaku.
4.
Penetapan harga yang berorientasi pada permintaan.
Didasarkan pada suatu estimasi tentang bagaimana hasil penjualan
dengan harga yang berbeda-beda, yaitu dengan cara menetapakan harga
tinggi bila permintaan rendah dan menetapkan harga rendah bila
permintaan rendah.
5.
Penetapan harga bagi produk baru.
a.
Pendekatan skimming (skimming approach).
Produsen menetapkan suatu harga yang tinggi dibandingkan
dengan produk-produk yang sama selama tahap perkenalan.
Kemudian harga ini berangsur-angsur diturunkan selama tahaptahap berikutnya. Strategi ini digunakan bila harga merupakan
dasar untuk segmentasi pasar dan untuk mendorong persaingan.
22
b.
Pendekatan penetrasi (penetration approach).
Produsen memperkenalkan produk baru dengan harga rendah
dibandingkan dengan produk-produk yang serupa. Tujuannya
mengantisipasi permintaan pasar dan kemungkinan persaingan.
2.1.3
Konsep Bahan Baku.
2.1.3.1 Pengertian Bahan Baku.
Bahan baku dalam suatu industri merupakan bahan dasar yang digunakan
dalam proses produksi, keberadaan bahan baku ini sangat mempengaruhi
kelangsungan produksi karena bahan baku merupakan salah satu unsur penting
dalam aktifitas produksi yang merupakan mata rantai dalam proses produksi.
Bahan baku adalah bahan utama atau bahan dasar dalam membuat suatu
produk. Bahan baku diperoleh dari alam ataupun dibeli dari supplier atau
perusahaan yang menghasilkan bahan baku yang diperlukan oleh perusahaan
yang menggunakannya.
Mulyadi (1993:14) mengungkapkan
bahwa “bahan baku merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari produk, sehingga harga pokok yang
digunakan untuk pembuatan produk mudah dihitung” .
Pengertian lain tentang bahan baku dikemukakan Sofjan Assauri
(1993:171) bahwa “bahan baku meliputi semua bahan yang dipergunakan dalam
perusahaan pabrik, kecuali terhadap bahan-bahan secara fisik akan digabungkan
dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan pabrik tersebut”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahan baku merupakan
bahan-bahan fisik atau berwujud yang digunakan perusahaan dalam proses
23
produksi untuk menciptakan atau menambah nilai guna yang diperoleh dari
sumber-sumber alam atau dibeli dari pemasok ataupun dari perusahaan lain yang
menghasilkan bahan baku bagi perusahaan yang menggunakan barang tersebut.
Tidak tersedianya bahan baku bagi suatu industri berarti akan terhentinya
proses produksi dari industri tersebut. Dengan kata lain bahan baku merupakan
suatu keharusan dalam setiap proses produksi yang menentukan kelangsungan
hidup industri tersebut.
Hal ini sejalan dengan pendapat F. Kusmana Fachrudin dalam Endang
Supardi (2000:33) yang menyatakan bahwa : “bahan baku diperlukan oleh pabrik
untuk diolah, yang setelah melalui beberapa proses diharapkan menjadi barang
jadi (finished goods)”.
Dalam setiap perusahaan, persediaan bahan baku sangat penting.
Menurut Eddy Herjanto (1997:167) persediaan merupakan bahan atau barang
yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu. Persediaan
bahan baku (Raw Material Stock) menurut Sofjan Assauri (1993:222) yaitu
persediaan dari barang-barang berwujud yang digunakan dalam proses produksi,
barang mana dapat diperoleh dari sumber-sumber alam ataupun dari supplier atau
perusahaan yang menghasilkan bahan baku bagi perusahaan pabrik yang
menggunakannya.
Perusahaan akan memperoleh keuntungan dengan adanya persediaan
bahan baku,. Keuntungan persediaan bahan baku menurut Sofjan Asauri
(1993:221) adalah sebagai berikut :
24
1.
Memperoleh potongan harga pada harga pembelian.
2.
Memperoleh efesiensi produksi.
3.
Adanya penghematan di dalam biaya angkutan.
Sedangkan fungsi persediaan bahan baku bagi perusahaan menurut Eddy
Herjanto (1997:168) adalah sebagai berikut :
1.
Menghilangkan risiko keterlambatan pengiriman bahan baku.
2.
Menghilangkan risiko jika material yang dipesan tidak baik sehingga
harus dikembalikan.
3.
Menghilangkan risiko terhadap kenaikan harga barang
4.
Untuk menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman,
sehingga perusahaan tidak akan kesulitan bila bahan tersebut tidak
tersedia di pasaran.
Menurut Agus Ahyari dalam Endang Supardi (2000:34) ada beberapa
hal yang harus dipertimbangkan dalam pengadaan bahan baku, yaitu :
1.
Berapa besarnya jumlah unit pengadaan bahan baku yang akan
diselenggarakan dalam perusahaan.
2.
Kapan dan berapa jumlah unit bahan baku akan dibeli perusahaan.
3.
Kapan perusahaan bersangkutan akan mengadakan pembelian kembali
apabila persediaan bahan baku dalam perusahaan tersebut sudah semakin
habis.
2.1.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persediaan Bahan Baku.
Menurut Salim Munabi (2003:57) besarnya bahan baku yang harus
tersedia untuk kelancaran produksi tergantung pada beberapa faktor, seperti :
25
1.
Volume produksi selama satu periode waktu tertentu (ini dapat dilihat
dari anggaran produksi.
2.
Volume bahan baku minimal, yang disebut safety stock (persediaan besi).
3.
Besarnya pembelian yang ekonomis.
4.
Estimasi tentang naik turunnya harga bahan baku pada waktu-waktu
mendatang.
5.
Biaya-biaya penyimpanan dan pemeliharaan bahan baku.
6.
Tingkat kecepatan bahan baku menjadi rusak.
2.1.3.3 Biaya Bahan Baku.
Selain harga jual, di sisi biaya yang harus diperhatikan guna memperoleh
laba yang optimal adalah biaya bahan baku, karena bahan baku dalam suatu
industri merupakan bahan dasar yang digunakan dalam proses produksi,
keberadaan bahan baku ini akan sangat mempengaruhi kelangsungan produksi
yang nantinya berpengaruh pada output yang dihasilkan yang pada akhirnya
berpengaruh pada perolehan laba perusahaan tersebut.
Gasversz (2001:96) mengemukakan bahwa “salah satu faktor yang
mempengaruhi laba adalah biaya bahan baku artinya, semakin rendah biaya bahan
baku maka semakin tinggi laba yang akan diperoleh pengusaha”. Hal itu senada
dengan apa yang dikemukakan oleh Dominick Salvatore (1994:236) bahwa
“dalam usaha memaksimumkan laba, maka produsen berusaha untuk menekan
biaya bahan baku sehingga dapat meminumkan ongkos/biaya produksi sehingga
semakin rendah semakin rendah biaya bahan baku maka semakin rendah pula
26
ongkos produksi sehingga laba yang akan diperoleh produsen pun semakin besar
pula.”
Pendapatan sebagai hasil yang diperoleh suatu perusahaan harus mampu
menutupi biaya produksi termasuk didalammya biaya bahan baku, dan diharapkan
pendapatan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan biaya yang
dikelurkan oleh perusahaan. Besarnya
pendapatan dikurangi semua biaya
termasuk didalamnya biaya bahan baku, inilah yang disebut sebagai laba
perusahaan yang menjadi tujuan umum perusahaan dalam mempertahankan
kinerja usahanya.
Samuelson & Nordhous (1996:142) mengemukakan bahwa “biaya
variabel (variable cost) merupakan biaya yang bervariasai sesuai dengan
perubahan tingkat output termasuk biaya bahan baku, gaji dan bahan bakar
termasuk pula semua biaya yang tidak tetap.”
Bahan baku yang digunakan dalm proses produksi dikelompokan
menjadi bahan baku langsung (direct material) dan bahan baku tidak langsung
(indirect material). Bahan baku langsung adalah semua bahan baku yang
merupakan bagian barang jadi yang dihasilkan. Sedangkan bahan baku tidak
langsung adalah bahan baku yang ikut berperan dalam proses produksi, tetapi
tidak secara langsung tampak pada barang jadi yang dihasilkan. Biaya bahan baku
hanya meliputi kebutuhan dan penggunaan bahan baku langsung
Menurut Salim Munabi (2003:52) biaya bahan baku terdiri atas :
1.
Biaya kebutuhan bahan baku.
2.
Pembelian bahan baku.
27
3.
Persediaan bahan baku.
4.
Biaya bahan baku habis digunakan dalam produksi.
Jadi berdasarkan beberapa pengertian biaya bahan baku di atas, dapat
disimpulkan bahwa biaya bahan baku merupakan biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan untuk memperoleh bahan-bahan yang digunakan perusahaan untuk
menciptakan dan menambah nilai guna yang diperoleh dari alam maupun dari
pemasok, yang meliputi harga bahan baku tersebut, potongan harga yang
diperoleh, dan ongkos angkut pembelian, dan merupakan bagian dari biaya
variabel.
Menurut Buchori Alma (2000:167) ada dua faktor yang harus dihitung
dalam biaya bahan baku yaitu:
1.
Faktor Kuantum, yaitu menetapkan jumlah bahan yang termasuk
kedalam hasil produksi. Untuk menetapkan faktor kuantum atau jumlah
bahan yang terpakai dalam produksi ada dua teori :
a.
Penetapan secara langsung, dapat dilakukan dengan cara
mencatat terus menerus bahan-bahan yang masuk dalam proses
produksi dan menghitung secara berkala persediaan bahan baku.
b.
Penetapan secara tidak langsung, dapat dilakukan dengan cara
mengukur barang selesai dan berdasarkan pengalaman seperti
perbandingan mencampur bahan.
2.
Faktor Finansial, yaitu bagaimana caranya menilaikan barang yang
termasuk kedalam proses produksi.
28
2.1.4
Konsep Perilaku Kewirausahaan.
2.1.4.1 Pengertian Perilaku.
Perilaku menurut Miftah Toha (1995:29) adalah suatu fungsi dari
interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya. Ungkapan pengertian
di atas dapat dirumuskan dengan formula sebagai berikut:
P = f (I, L)
Ket :
P= Perilaku
I= Individu
L= Lingkungan
Jadi perilaku merupakan suatu fungsi dari interkasi antara seseorang
individu dengan lingkunganya, jadi perilaku seseorang dengan orang lain akan
berbeda, dan perilaku seseorang tersebut ditentukan oleh lingkungannya.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sondang P. Siagian
dalam Neeltje SK. Lawalata (2000:13) bahwa “perilaku timbul karena adanya
interaksi antara individu dengan lingkungannya atau simulus tertentu”.
Perilaku menurut England dalam Siti Syamsiar (2002:53) merupakan
bentukan dari nilai-nilai pribadi, dan nilai merupakan suatu kerangka kerja
konseptual secara relatif bersifat permanen, maka kerangka kerja tesebut
membentuk dan mempengaruhi hakikat perilaku seseorang.
Menurut Adam I. Indrawijaya menguraikan tentang perilaku sebagai
berikut : seseorang mendapat input (masukan) dari lingkungannya, kemudian
melakukan proses transformasi dan melakukan suatu tindakan atau berperilaku
seseorang.
29
Menurut Sondang P. Siagian dalam Neeltje SK. Lawalata (2000:13)
perilaku adalah keseluruhan tabiat atau sifat seseorang yang tercermin dalam
ucapan dan tindak tanduknya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Fatmawati (2005:138) bahwa perilaku adalah suatu kelakuan, tabiat atau tingkah
laku.
Miftah Toha (1995:30 mengemukakan lima faktor yang dapat
mempengaruhi seseorang terangsang untuk berperilaku, yaitu sebagai berikut:
1.
Manusia berbeda perilakunya, karena kemampuannya tidak sama.
2.
Manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda.
3.
Orang berfikir tentang masa depan, dan membuat pilihan tentang
bagaimana bertindak.
4.
Seseorang memahami lingkungannya dalam hubungannya dengan
pengalaman masa lalu dan kebutuhannya.
5.
Seseorang itu mempunyai reaksi senang atau tidak senang (affective).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
perilaku adalah tabiat atau sifat seseorang sebagai akibat interaksi seseorang
dengan lingkungannya yang tercermin dalam ucapan dan tingkah lakunya yang
secara relatif bersifat permanen.
2.1.4.2 Kewirausahaan.
2.1.4.2.1 Hakikat kewirausahaan.
Istilah kewirausahaan berasal dari bahasa Perancis yaitu dari kata
entrepreneur, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan arti between
taker atau go-between. (Buchari Alma, 2007: 22). Kewirausahaan diterjemahkan
30
pula dalam kata entrepreneurship, yang dapat diartikan sebagai “the backbone of
economy”,yaitu syaraf pusat perekonomian atau sebagai “tailbone of economy”
yaitu pengendali perekonomian suatu bangsa (Suryana, 2006 :14).
Istilah entrepreneur sendiri pertama kali dikemukakan oleh Schumpeter
dalam Siti Syamsiar (2002:51) yang mengartikan entrepreneur sebagai wirausaha
yaitu pelaksana kombinasi-kombinasi baru yang kreatif, inovatif, inisiatif dan
pekerja keras serta mau berdiri sendiri. Peter F. Drucker (1988:27) menyebut
kewirausahaan dengan istilah kewiraswastaan. Setiap orang yang memiliki
keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wiraswastaan, dan
berperilaku wiraswasta. Maka kewiraswataan lebih merupakan perilaku daripada
gejala kepribadiaan, dan dasarnya terletak pada konsep dan teori bukan instuisi.
Kewirausahaan menurut Zimmerer dalam Suryana (2006:2) adalah
kemampuan kreatif dan inovatif yang dijakdikan dasar, kiat, dan sumber daya
untuk mencari peluang menuju sukses.. Zimmerer dalam Buchari Alma
(2007:71) menyatakan bahwa ” Creativity is the ability to develop new ideas and
to discover new ways of looking at problems and opportunities”, Kreatifitas
adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan
masalah dan menemukan peluang (thinking new things). Sedangkan inovasi
diatikan sebagai ”Innovation is the ability to apply creative solution to those
problems and opportunities to enhance or to enrich people’s lives”, bahwa
inovasi adalah kemampuan menerapkan kreatifitas dalam rangka memecahkan
masalah dan menemukan peluang (doing new thing).
31
Menurut Peter F. Drucker (1988:33) inovasi adalah tindakan yang
memberi sumber daya kekuatan dan kemampuan baru untuk menciptakan
kesejahteraan. Sedangkan kreatifitas menurut Peter F. Drucker (1988:240)
adalah sesuatu yang asli.
Jadi inti dari kewirausahaan yaitu berfikir kreatif dan bertindak inovatif.
Seorang pengusaha akan berhasil apabila ia selalu berfikir kreatif dan
menggunakan hasil kreatifitasnya dalam bentuk tindakan inovatif dalam setiap
kegiatan usaha yang dilakukannya.
2.1.4.2.2 Pengertian Kewirausahaan.
Beberapa pengertian kewirausahaan adalah sebagai berikut :
Menurut
Thomas
W.
Zimmerer dalam
Suryana
(2006
:18)
kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat,
dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses.
Peter F. Drucker (1988:24) mendefinisikan kewirausahaan sebagai
kemampuan untuk meningkatkan hasil dari sumber-sumber daya yang ada, dan
menciptakan pasar serta pelanggan baru.
Menurut Geoffrey G. Meredith (2002:3) kewirausahaan adalah
kemampuan menemukan dan mengevaluasi peluang-peluang, mengumpulkan
sumber-sumber daya yang diperlukan dan bertindak untuk memperoleh
keuntungan dari peluang-peluang itu.
Sedangkan Mc. Clelland dalam Fatmawati (2005:138) mendefinisikan
seorang entrepreneur adalah seseorang yang memiliki pengendalian tertentu
32
terhadap alat produksi serta menghasilkan lebih banyak daripada yang
dikonsumsinya atau dijual (ditukarkan) agar memperoleh pendapatan.
Dari
beberapa
pengertian
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
kewirausahaan dapat didefenisikan sebagai kemampuan mengumpulkan sumber
daya untuk menciptakan peluang dengan cara menciptakan nilai tambah melalui
proses kreatif dan inovatif yang dilakukan dengan keberanian untuk menghadapi
risiko.
2.1.4.2.3 Karektiristik dan Ciri-Ciri Kewirausahaan.
Para ahli mengemukakan karakteristik kewirausahaan dengan konsep
yang berbeda-beda. Geoffrey G. Meredith (2002: 5-6) misalnya, mengemukakan
cirri-ciri dan watak kewirausahaan seperti berikut :
Tabel 2.1
Karakteristik dan Watak Kewirausahaan
Karakteristik
• Percaya diri
• Berorientasi tugas dan hasil
• Pengambil risiko
• Kepemimpinan
• Keorsinilan
• Berorientasi masa depan
Watak
Keyakinan, ketidaktergantungan, individualis,
optimisme.
Kebutuhan untuk berprestasi, berorientasi laba,
ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras,
mempunyai dorongan kuat, energetic, dan
inisiatif.
Kemampuan mengambil resiko, suka pada
tantangan.
Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul
dengan orang lain, menanggapi saran-saran dan
kritik.
Inovatif dan kreatif, fleksibel, punya banyak
sumber, serba bias, mengetahui banyak.
Pandangan ke depan, perseptif.
Sumber : Geoffrey G. Meredith (2002: 5-6)
Ahli lain seperti M Scarborough dan Thomas W. Zimmerer dalam
Suryana (2006:24) mengemukakan delapan karakteristik kewirausahaan sebagai
berikut :
33
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab atas usahausaha yang dilakukannya.
Preference for moderate risk, yaitu lebih memelih resiko yang moderat,
artinya selalu menghindari resiko, baik yang terlalu rendah maupun
terlalu tinggi.
Confidence in their ability to success, yaitu memiliki kepercayaan diri
untuk memperoleh kesuksesan.
Desire for immediate feedback, yaitu selalu menghendaki umpan balik
dengan segera.
High level of energy, yaitu memiliki semangat dan kerja keras untuk
mewujudkan keinginannya demi masa depan yang lebih baik.
Future orientation, yaitu berorientasi serta memiliki perspektif dan
wawasan ke depan.
Skill
at
organizing,
yaitu
memiliki
keterampilan
dalam
mengorganisasikan sumber daya untuk menciptakan nilai tambah.
Value of achievement over money, yaitu lebih menghargai prestasi
daripada uang.
Selanjutnya Bygrave dalam Buchari Alma (2007:57) karakteristik dari
wirausaha yang berhasil memiliki sifat-sifat yang dikenal dengan istilah 10 D,
yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dream.
Seorang pengusaha mempunyai visi bagaimana keinginannya terhadap
masa depan dan yang paling penting mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan impiannya tersebut.
Decisivenes.
Seorang wirausaha adalah orang yang tidak bekerja lambat.
Doers.
Begitu seorang wirausaha membuat keputusan maka dia langsung
menindak lanjutinya.
Determination.
Seorang wirausaha melaksanakan kegiatannya dengan penuh perhatian.
Dedication.
Dedikasi seorang wirausaha terhadap bisnisnya sangat tinggi, kadangkadang dia mengorbankan hubungan dengan keluarganya umtuk
sementara.
Devotion.
Seorang wirausaha mencintai pekerjaan bisnisnya dan dia mencintai
pekerjaan dan produk yang dihasilkannya.
Details.
Seorang wirausaha sangat memperhatikan faktor-faktor kritis secara
rinci.
34
8.
9.
10.
Destiny.
Seorang wirausaha bertanggung jawab terhadap nasib dan tujuan yang
hendak dicapainya.
Dollars.
Wirausahawan tidak sangat mengutamakan mencapai kekayaan, uang
dianggap sebagai ukuran kesuksesan bisnisnya
Distribute.
Seorang wirausaha bersedia mendistribusikan kepemilikan bisnisnya
terhadap orang-orang kepercayaannya.
Sedangkan ciri-ciri wirausaha menurut BN Marbun dalam Buchari
Alma (2007:52) adalah orang yang memiliki jiwa, sikap, dan perilaku
kewirausahaan, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
Penuh percaya diri, indikatornya adalah penuh keyakinan, optimis,
berkomitmen, disiplin, bertanggung jawab.
Memiliki inisiatif, indikatornya adalah penuh energi, cekatan dalam
bertindak dan aktif.
Memiiki motif berprestasi, indikatornya adalah orientasi pada hasil dan
wawasan kedepan.
Memiliki jiwa kepemimpinan, indikatornya adalah berani tampil beda,
dapat dipercaya, dan tangguh dalam bertindak.
Berani mengambil risiko, indikatornya adalah menyukai tantangan.
2.1.4.3 Perilaku Kewirausahaan.
Menurut M. Amin Azis dalam Ineu Erni (1999:18) yaitu : “tingkah
laku kewirausahaan adalah kegiatan-kegiatan sosial yang polanya dicirikan oleh
unsur-unsur kewirausahaan’. Selanjutnya rumusan kewirausahaan adalah sebagai
berikut:
Tingkah laku kewirausahaan dibina oleh lima ciri utama yaitu menerima
atau menemukan ide-ide (inovasional), pembinaan modal (capital accumulation),
kepemimpinan (leadership behavior), keberanian mengambil resiko (risk-taking
behavior), dan manusia laksana (managemen behavior).
35
Menurut Mc. Clelland dalam Siti Syamsiar (2002:56) mengemukakan
bahwa ”perilaku pada umumnya didasari oleh motif berprestasi”. Motif
berprestasi tersebut sebagai akibat adanya kebutuhan dasar. Kebutuhan yang
bertingkat yang disebabkan oleh adanya nilai-nilai, Nilai-nilai pribadi tersebut
tentunya mendasari jiwa dan perilaku kewirausahaan.
Menurut Fatmawati (2005:138) perilaku kewirausahaan adalah seorang
pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi produktif, berupa kegiatan
perdagangan dan jasa, seperti melakukan perubahan sumber daya fisik, alam dan
manusia ke dalam suatu produksi yang bermanfaat.
Sedangkan menurut Peter F. Drucker (1988:28) setiap orang yang
memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi
wiraswastaan, dan berperilaku wiraswasta. Maka kewiraswataan lebih merupakan
perilaku daripada gejala kepribadiaan, dan dasarnya terletak pada konsep dan teori
bukan instuisi
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku
kewirausahaan merupakan aktifitas-aktifitas seseorang yang tercermin dalam
kemampuan mengumpulkan sumber daya untuk menciptakan peluang dengan cara
meningkatkan nilai tambah melalui proses kreatif dan inovatif, keberanian
mengambil risiko, dan kepemimpinan.
2.1.5
Kinerja Usaha.
2.1.5.1 Konsep Kinerja Usaha.
Istilah kinerja atau prestasi sebenarnya adalah pengalihbahasaan dari kata
bahasa Inggris yaitu ”performance”. Kamus The New Webster Dictionary
36
memberikan tiga arti bagi kata ”performance”, yaitu prestasi, pertunjukan, dan
pelaksanaan tugas. (Ahmad Ruky, 2006:14).
Dalam bahasa Inggris sendiri sebenarnya ada sebuah kata atau istilah lain
yang lebih menggambarkan prestasi atau kinerja, dalam pengertian bahasa
Indonesia atau sebagaimana digunakan dalam bahasa Indonesia yaitu kata
”achievement”. Tetapi karena kata itu berasal dari kata ”to achive” yang berarti
”mencapai”, kita lebih sering menerjemahkannya menjadi ”pencapaian” atau ”apa
yang dicapai”. (Ahmad Ruky, 2006:15).
Sedangkan Nurimansjah (1994:129) mengemukakan mengenai apa
yang dimaksud dengan kinerja sebagai berikut:
Pada dasarnya suatu industri itu mempunyai motivasi untuk mengusai
pasar, maka ada tindakan-tindakan yang digunakan untuk mencapai
tujuan itu. Tujuan itu secara lebih khusus disebut performance (kinerja).
Kinerja lebih terperinci seperti apa yang sering dikenal dengan laba,
efisiensi, pertumbuhan (termasuk perluasan pasar), kesempatan kerja,
prestise profesional, kesejahteraan personalia dan juga kebanggaan
kelompok.
Sedangkan Ferry Laurensius (2005:43), mengemukakan beberapa
pengertian kinerja yang ia kutip dari beberapa sumber, adapun uraiannya
dikemukakan sebagai berikut:
”Menurut Oxford Dictionary, kinerja (Performance) merupakan suatu
tindakan, proses atau cara bertindak atau melakukan fungsi. Kinerja
merupakan suatu konstruk, dimana banyak para ahli yang memilki sudut
pandang yang berbeda dalam mendefinisikan kinerja (Puteri Mentari,
2005). Beberapa ahli mengemukakan kinerja berkaitan dengan
melakukan pekerjaan dan juga tentang hasil yang dicapai, harus
didefinisikan sebagai outcome dari pekerjaan karena memberikan
hubungan yang kuat dengan tujuan strategis perusahaan, kepuasan
pelanggan dan kontribusi ekonomi (Puteri Mentari, 2005). Kinerja juga
dapat dipandang dari model produksi, yang terdiri dari tiga tahap; input,
output dan hasil, kemudian kinerja dapat diartikan dalam efisiensi dan
keefektifan (Hyndman dan Anderson,1997)”
37
2.1.5.2 Indikator-Indikator untuk Menilai Kinerja Perusahaan.
Pada akhir kurun waktu (periode) yang ditetapkan, tibalah saatnya untuk
melakukan penilaian, yaitu membandingkan antara hasil yang sebenarnya
diperoleh dengan apa yang direncanakan. Dengan kata lain, sasaran-sasaran
tersebut harus diteliti satu persatu, mana yang telah dicapai sepenuhnya (100%),
mana yang dibawah standar (target), dan mana yang di atas target.
Penilaian hasil atau kinerja sendiri tidak boleh diserahkan pada atasan,
tetapi harus dilakukan oleh bawahan sendiri karena seyogyanya setiap orang
memang mampu melakukannya.(Achmad Ruky, 2006: 159).
Menurut Dermawan Wibisono (2006 : 85) pengukuran kinerja suatu
perusahaan dibagi dua bagian yaitu:
1.
2.
Keluaran finansial, diantaranya yaitu dilihat dari:
a.
Pendapatan (earning).
b.
Arus kas (cash flow).
c.
Biaya (cost).
d.
Pangsa pasar (market share).
e.
Pengembangan produk (product development).
Keluaran nonfinansial.
a.
Pelanggan.
b.
Pemerintah dan masyarakat.
c.
Pemasok.
Menurut Mulyadi (1993 435), membagi ukuran kinerja menjadi tiga,
yaitu:
38
1.
Ukuran kriteria tunggal (single criteria) meliputi : target kuantitas produk
yang dihasilkan.
2.
Ukuran kriteria beragam (multiple criteria) meliputi : profitabilitas,
pangsa pasar, produktifitas, pengembangan karyawan.
3.
Ukuran kriteria gabungan (composite criteria).
Menurut Siropolis dalam Sudrajati (2000: 58) untuk mengevaluasi
kinerja finansial, maka teknik yang digunakan disebut ratio analysis yaitu :
1.
2.
Test of profitability, meliputi :
a.
Return On Investment (ROI), yaitu kemampuan pengembalian
modal yang ditanamkan.
b.
Return On Sales (ROS), yaitu berapa sen harus dikeluarkan
untuk memperoleh satu dollar laba.
Test of financia healts, meliputi :
a.
A ventura solvency, yaitu kemampuan untuk membayar hutang
jangka panjang, termasuk bunganya bila sudah jatuh tempo.
b.
Liquidity, yaitu mengukur kemampuan untuk membayar hutang
jangka pendek.
Pada umumnya pengukuran kinerja dalam organisasi pada sektor swasta
fokus pada profitabilitas dimana output dari sektor swasta semuanya dapat diukur
dalam satuan moneter. Pengukuran output sektor swasta mudah dilakukan karena
tersedia pasar sehingga nilai output dapat diketahui dari harga pertukaran.
Selanjutnya Ferry L (2005:45), mengemukakan bahwa penetapan indikator
kinerja harus mencerminkan pencapaian tujuan dan sasaran program, kegiatan
atau organisasi.
Indikator kinerja yang biasa dipakai dalam mengukur kinerja suatu
organisasi adalah indikator input (economy), output, outcome, efisiensi (input per
output atau cost menghasilkan suatu output) dan efektifitas (mengukur
39
keberhasilan mencapai tujuan organisasi atau program, biasanya yang
mencerminkan pencapaian tujuan adalah outcome).
Menurut Tulus Tambunan (2001 : 80) ada beberapa indikator untuk
menilai kinerja perusahaan yaitu dapat dilihat pada tingkat makro, meso dan
mikro sebagai berikut :
1.
Pada tingkat makro, hasilnya dapat diukur dengan sejumlah indikator
diantaranya :
a.
Besarnya nilai Tambah Sektor Industri Manufakur (NTSIM) dan
rata-rata pertumbuhannya pertahun.
b.
Pangsa PDB sektor industri manufaktur atau secara relatif
terhadap pangsa PDB sektor-sektor ekonomi lain.
c.
NTSIM per kapita dan rata-rata pertumbuhannya per tahun.
d.
Besarnya ekspor manufaktur, atau secara relatif terhadap ekspor
sektor-sektor lain.
e.
Pangsa ekspor manufaktur didalam total ekspor atau ekspor non
migas.
2.
Pada tingkat meso, keberhasilan industrialisasi dapat diukur dari tiga
aspek :
a.
Tingkat diversifikasi output baik didalam satu kelompok barang
(misalnya barang konsumsi) atau untuk semua kategori,
terutama barang-barang modal dan input perantara.
b.
Adanya pergeseran dari barang-barang berbobot teknologi
rendah ke barang-barang dengan kandungan teknologi tinggi.
40
c.
Adanya keterikatan produksi (production linkage) yang kuat
antara industri, mencerminkan rendahnya ketergantungan sektor
terhadap impor.
3.
Pada tingkat mikro, keberhasilan industrialisasi dapat diukur pada kinerja
perusahaan secar individu atau kelompok mulai dari pertumbuhan
volume output rata-rat pertahun, kualitas sumber daya manusia, jenis
teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, skala usaha hingga
keuntungan bersih per satu unit.
Sedangkan menurut Nurimansjah (1994 : 17) Kinerja industri adalah
hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri, antara lain
kesempatan kerja, tingkat keuntungan, pertumbuhan industri, pemerataan
pendapatan dan kemajuan. Dalam mungukur kinerja laba relatif sulit di negaranegara sedang berkembang, sehingga sering diukur dengan variabel proksi.
Variabel proksi yang paling dekat adalah harga-ongkos. Dikatakan masih
proksi, oleh karena masih dipertanyakan unsur-unsur ongkos yang masuk dalam
perhitungan. Setidak-tidaknya telah mendekati laba bruto dalam suatu industri.
Tingkat pertumbuhan industri tergantung pada pertumbuhan apa yang diamati
seperti tingkat pertumbuhan laba, tingkat pertumbujan perusahaan atau
pertumbuhan tenaga kerja dan sebagainya.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa ada beberapa indikator dalam
menilai kinerja usaha. Oleh karena objek penelitian ini adalah pengusaha industri
kecil tahu, sehingga termasuk pada tingkat mikro, maka dari uraian di atas yang
41
dapat dijadikan indikator untuk mengujur kinerja usaha terutama dalam penelitian
ini adalah pertumbuhan volume produksi dan laba.
2.1.5.3 Volume Produksi.
Output sering dikenal dengan istilah hasil produksi, sedangkan volume
produksi adalah banyaknya hasil produksi yang dihasilkan oleh suatu perusahaan
dalam periode tertentu. Produksi merupakan suatu kegiatan mengubah input
menjadi output, biasanya dalam ekonomi dinyatakan dalam fungsi produksi.
Fungsi produksi menunjukan jumlah maksimum output yang dihasilkan dari
pemakaian sejumlah input dengan teknologi tertentu. Proses produksi dapat
digambarkan sebagai berikut :
INPUT
FUNGSI PRODUKSI
OUTPUT
Gambar 2.1
Proses Fungsi Produksi
Secara matematik fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut :
Dimana :
Q = f (K, L, X,........,AZ)
Q = Output
K, L, X = Input (kapital, tenaga kerja, bahan baku)
AZ = Learning by doing (pengalaman)
Sedangkan menurut Samuelson (2003:125), bahwa “hubungan antara
jumlah input yang diperlukan dan jumlah output yang dapat dihasilkan disebut
fungsi produksi. Fungsi produksi menentukan output maksimum yang dapat
42
dihasilkan dari sejumlah input. Dalam kondisi keahlian dan pengetahuan teknis
tertentu.”
Perusahaan sebagai pelaku ekonomi yang bertanggung jawab dalam
menghasilkan barang dan jasa harus dapat menentukan kombinasi input-input
yang akan dipakai untuk mengahasilkan output tertentu. Dengan perusahaan itu
dapat meningkatkan volume produksi berarti perusahaan itu dapat meningkatkan
kinerjanya.
2.1.5.4 Laba.
Pada dasarnya setiap perusahaan selalu berusaha untuk memaksimalkan
laba, karena peroleh laba yang maksimal merupakan salah satu tujuan utama
perusahaan. Menurut Samuelson (2003:125), bahwa pada dasarnya perusahaan
selalu berusaha keras untuk memproduksi secara efisien, yaitu dengan biaya yang
serendah-rendahnnya. Dengan kata lain, mereka selalu berusaha untuk
berproduksi pada tingkat output yang maksimum dengan menggunakan sejumlah
input tertentu dan mencegah pemborosan.
Hal ini juga senada denganan pendapat Memers dan Miller (1993:252),
bahwa “perusahaan senantiasa berusaha memaksimalkan laba. Oleh karenanya
harus diasumsikan adalah perilaku mereka selalu konsisten dengan prinsip
maksimalisasi
laba”.
Mengenai
defenisi
laba,
Samuelson
(1999:327)
mengemukakan bahwa “laba adalah selisih antara total hasil pendapatan dengan
total biaya”. Sedangkan menurut Kaplan dan Afkinson dalam Sudrajati (2000
: 57) bahwa profit = sales – variable cost – fixed cost.
43
Sedangkan William A. McEachhern (2001 : 67) membagi laba menjadi
tiga bagian yaitu :
1.
Laba akuntansi, yaitu penerimaan total dikurangi biaya eksplisit.
2.
Laba ekonomi, yaitu penerimaan total dikurangi biaya eksplisit dan biaya
implisit.
3.
Laba normal, yaitu laba akuntansi yang dibutuhkan untuk mendorong
pemilik perusahaan menggunakan sumber daya milik mereka dalam
perusahaan.
Laba dapat dijadikan salah satu indikator untuk menilai kinerja sebuah
perusahaan. Suatu perusahaan yang dapat terus meningkatkan perolehan labanya
dapat disimpulkan bahwa perusahaan itu memiliki kinerja tinggi.
2.1.6
Hubungan Harga Jual, Biaya Bahan Baku, Perilaku Kewirausahaan
Terhadap Kinerja Usaha.
2.1.6.1 Hubungan Harga Jual Terhadap Kinerja Usaha.
Suatu perusahaan menghasilkan barang dan jasa dengan maksud untuk
dijual. Dalam penjualan tidak hanya memindahkan barang atau jasa ke konsumen
tetapi juga terkandung keinginan perusahaan atau produsen untuk memuaskan
konsumen dengan hasil produksinya, maka dengan demikian perusahaan dapat
mencapai tujuannya memperoleh laba. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Billas (1989:165) bahwa “perusahaan sebenarnya berusaha memaksimalkan
penjualan dalam batas-batas laba tertentu. Dengan alasan kita lebih mudah bekerja
dengan angka-angka penjualan, gaji manajemen tergantung dari penjualan, dan
kita mudah menaikan modal dengan angka penjualan”.
44
Maksimisasi penjualan pada gilirannya tetap berujung pada pendapatan
yang diharapkan. Dari pemasaran itu juga diharapkan akan meningkatkan hasil
produksi perusahaan yang bersangkutan. Penjualan bagi perusahaan merupakan
aktivitas yang sangat penting, hal ini disebabkan karena kelangsungan hidup dan
perkembangan usaha sangat tergantung pada banyaknya produk yang berhasil
dijualnya. Agar dapat sukses dalam memasarkan barang dan jasa, perusahaan
harus menetapkan harga secara tepat, karena harga merupaka satu-satunya unsur
bauran pemasaran yang bersifat fleksibel, yang berarti dapat diubah dengan cepat.
Harga jual merupakan sesuatu yang mutlak harus dihitung oleh para
produsen, sebab harga jual akan menentukan keuntungan atau kerugian bagi para
produsen.
Menurut Kotler (2002:136) harga jual merupakan salah satu unsur paling
penting dalam menentukan bagian pasar dan tingkat keuntungan perusahaan, dan
merupakan
satu-satunya
elemen
bauran
pemasaran
yang
menghasilkan
pendapatan.
Penetapan harga oleh produsen akan berpengaruh terhadap pendapatan
yang diperoleh perusahaan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap laba.
Semakin tinggi laba yang diperoleh suatu perusahaan mengindikasikan tingginya
kinerja usaha.
2.1.6.2 Hubungan Biaya Bahan Baku Terhadap Kinerja Usaha.
Selain harga jual, di sisi biaya yang harus diperhatikan guna memperoleh
laba yang optimal adalah biaya bahan baku, karena bahan baku dalam suatu
industri merupakan bahan dasar yang digunakan dalam proses produksi,
45
keberadaan bahan baku ini akan sangat mempengaruhi kelangsungan produksi
yang nantinya berpengaruh pada output yang dihasilkan yang pada akhirnya
berpengaruh pada perolehan laba perusahaan tersebut.
Harga
bahan
baku
suatu
produk dapat mempengaruhi tingkat
perolehan dari laba produk tersebut, hal ini bisa terjadi karena dengan naiknya
harga bahan baku menyebabkan semakin besar biaya bahan baku yang harus
dikeluarkan sehingga makin kecilnya keuntungan yang diperoleh dari produk
tersebut.
Gasvertz (2002:96) mengemukakan bahwa “salah satu faktor yang
mempengaruhi laba adalah biaya bahan baku artinya, semakin rendah biaya bahan
baku maka semakin tinggi laba yang akan diperoleh pengusaha”. Jadi pengaruh
biaya bahan baku terhadap laba bersifat negatif.
Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dominick Salvatore
(1994:236) bahwa “dalam usaha memaksimumkan laba, maka produsen berusaha
untuk menekan biaya bahan baku sehingga dapat meminumkan ongkos/biaya
produksi sehingga semakin rendah biaya bahan baku maka semakin rendah pula
ongkos produksi sehingga laba yang akan diperoleh produsen pun semakin besar
pula”.
Adanya pengaruh biaya bahan baku terhadap laba yang akan diperoleh
akan berpengaruh terhadap kinerja usaha. Penurunan laba yang disebabkan oleh
naiknya biaya bahan baku akan menyebabkan turunnya kinerja usaha, dan.
peningkatan laba yang disebabkan oleh turunnya biaya bahan baku akan
menyebabkan meningkatnya kinerja usaha.
46
2.1.6.3 Hubungan Perilaku Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usaha.
Modal merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan suatu
perusahaan agar produksi dan pendapatan yang dihasilkan dapat maksimal. Faktor
kewirausahaan pun sangat menentukan dan berpengaruh terhadap pencapaian
tujuan, sebab meskipun tersedia modal yang cukup tetapi kurang ditunjang oleh
kemampuan dalam pengelolaan perusahaan yang baik, maka akan kesulitan dalam
mencapai sasaran yang hendak dicapai dan diharapkan. Pengaruh perilaku
kewirausahaan terhadap laba perusahaan dapat dilihat dari aspek pendapatan,
produksi dan lain-lain.
Menurut Thomas W Zimmerer
dalam Suryana (2007:14) bahwa
kewirausahaan adalah penerapan kreatifitas dan inovasi untuk memecahkan
masalah dalam upaya mamanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari. Dengan
memanfaatkan peluang yang ada maka kita akan memperoleh keuntungankeuntungan.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
J. A
Schumpeter dalam Abdullah N.S (1987:4) bahwa :
“profit terdapat pada kehidupan perekonomian yang dinamis dan
diperoleh oleh pengusaha yang dinamis pula. Pengusaha yang dinamis
tadi disebut Capten Entrepreneur yaitu pengusaha-pengusaha pionir,
yang berani menempuh jalan baru, menggunakan teknik baru dan
mencoba metode-metode produksi baru maka pada mereka akan
menerima keuntungan-keuntungan mendahului pengusaha lainnya.
Dari pernyataan diatas bahwa seorang Entrepreneur akan melakukan
inovasi- inovasi sehingga pada akhirnya
keuntungan mendahului pengusaha lainnya.
akan memperoleh keuntungan-
47
Secara logis jika seseorang pengusaha telah meyakini, merasa senang dan
ingin melakukan inovasi, mau menangunag resiko atas ketidakpastian dalam
menjalankan usahanya, mau meningkatkan laba perusahaan maka hal tersebut
akan memberikan pengaruh terhadap besarnya laba yang akan diperoleh dalam
melakukan kegiatan usahanya.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Yuyun
Wirasasmita dalam Sudrajati Ratnaningtiyas (2007) yang mengartikan
kewirausahaan sebagai proses kemanusiaan (human process) yang berkaitan
dengan kreatifitas dan inovasi dalam memahami peluang, mengorganisasi sumbersumber, dan mengelola sehingga peluang tersebut terwujud menjadi suatu usaha
yang mampu menghasilkan laba.
Menurut Siti Syamsiar (2002: 58) output dari perilaku kewirausahaan
bagi seorang wirausaha adalah kinerja perusahaan. Seperti pendapat Dumairy dan
Z. Hadiprabowo dalam Siti Syamsiar (2002: 58) menyatakan bahwa seorang
pengusaha yang memilki jiwa kewirausahaan yang positif akan selalu jeli melihat
kesempatan-kesempatan ekonomi yang terbuka. Tindakan dalam memanfaatkan
kesempatan ekonomi tersebut yang pada gilirannya akan menciptakan lapangan
kerja baru dan lebih lanjut akan mendatangkan keuntungan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang
pengusaha memiliki perilaku kewirausahaan yang tinggi maka pengusaha tersebut
sangat besar kemungkinannya untuk dapat meningkatkan laba perusahaannya,
yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kinerja usaha.
48
2.2
Kerangka Pemikiran.
Keberadaan industri kecil sangat berarti bagi perekonomian nasional,
industri kecil mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi
jumlah penganguran. Walaupun industri kecil ini memiliki kelemahan-kelemahan,
namun terlihat dari berbagai keunggulan UKM tersebut, maka industri kecil
haruslah dapat lebih dikembangkan mengingat potensinya yang besar bagi
perekonomian masyarakat pada umumnya. Salah satu caranya dengan adanya
peningkatan kinerja usaha kecil tersebut..
Dari sudut pandang ekonomi kinerja usaha ini dapat dilihat dari berbagai
indikator diantanya yaitu dari pertumbuhan volume produksi, perolehan laba yang
dicapai atau diperoleh. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh
(Nurimansjah 1994:129) bahwa :
Pada dasarnya suatu industri itu mempunyai motivasi untuk menguasai
pasar, maka ada tindakan-tindakan yang digunakan untuk mencapai
tujuan itu. Tujuan itu secara lebih khusus disebut performance (kinerja).
Kinerja secara terperinci seperti apa yang sering dikenal dengan laba,
efisiensi, pertumbuhan (termasuk perluasan pasar), kesempatan kerja,
prestise, profesional, kesejahteraan personalia dan juga kebanggaan
kelompok.
Setiap pengusaha dalam melaksanakan kegiatan operasi sehari-hari perlu
melihat bagaimana efektifitas dari operasi perusahaannya, hasil dari penelitian
tersebut dapat digunakan oleh pengusaha dalam melakukan evaluasi dan menilai
kinerja usahanya. Kinerja (performance) atau prestasi dalam pengertian bahasa
Indonesia berasal dari kata ”to achive” yang berarti ”mencapai”, kita lebih sering
menerjemahkannya menjadi ”pencapaian” atau ”apa yang dicapai”. (Ahmad
Ruky, 2006:15).
49
Menurut Komarudin Sastradipoera (2004;247) kinerja pengusaha
diukur dari profitabilitasnya, profitabilitas bisnis perusahaan adalah kesanggupan
bisnis pengusaha dalam perusahaan
untuk memperoleh laba berdasarkan
invesatasi yang dilakukannya.
Profitabilitas pengusaha yang tinggi akan menguntungkan perusahaan
karena dapat menarik calon investor untuk menanamkan modalnya dan
menambah kredibilitas perusahaan tersebut. Laba diperoleh setelah diketahui nilai
seluruh pendapatan dan nilai biaya secara keseluruhan. Apabila nilai total
pendapatan lebih besar daripada nilai biaya dalam kurun waktu yang sama maka
pengusaha manghasilkan laba. Sebaliknya apabila nilai total pendapatan lebih
kecil daripada nilai total biaya maka pengusaha mengalami kerugian.
Dalam teori mikro untuk menilai kinerja usaha ini dapat dilihat dari
indikator laba dan volume produksi. Dengan adanya peningkatan laba, maka hal
itu menandakan bahwa dalam hal ini pengusaha berarti telah memiliki kinerja
yang tinggi. Demikian juga dengan pengusaha berusaha untuk meningkatkan
volume produksinya, adalah adanya perolehan pertumbuhan produksi yang tinggi
berarti pengusaha itu memiliki kinerja yang tinggi.
Perusahaan yang terjun ke dunia bisnis bertujuan untuk mendapatkan
laba, dalam analisis perusahaan persaingan sempurna kita akan mengasumsikan
bahwa perusahaan kompetitif bertujuan memaksimumkan laba, yaitu memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini Domonick Salvatore
(1992:140) menjelaskan pengertian laba sebagai : keuntungan total sama dengan
penerimaan total (TR) dikurangi biaya total (TC) dan bahwasanya maksimasi laba
50
adalah tujuan utama setiap perusahaan. Sedangkan menurut Kaplan dan
Afkinson dalam Sudrajati (2000: 57) laba diperoleh dari pendapatan dikurangi
biaya tetap dan biaya variabel.
Laba atau keuntungan adalah nilai penerimaan total perusahaan dikurangi
biaya total yang dikeluarkan perusahaan. Menurut Pratama Rahardja (2004;151)
secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
TR = P X Q
Π = TR – TC laba positif dimana TR >TC
Ada tiga pendekatan perhitungan laba maksimum , yaitu :
1.
Pendekatan Totalitas.
2.
Pendekatan Rata-rata.
3.
Pendekatan Marginal.
Pendekatan totalitas membedakan pendapatan total (TR) dan biaya total
(TC). Pendapatan total adalah sama dengan jumlah unit output yang terjual (Q)
dikalikan harga (P) output per unit. Jika harga jual per unit adalah P maka TR =
P.Q. Pada saat membahas teori biaya maka TC adalah sama dengan FC + VC.
Dalam penelitian ini, yang menjadi unsur pembentuk penerimaan total adalah
harga jual, sedangkan yang membentuk biaya total adalah biaya bahan baku. Hal
ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
51
Gambar 2.2
Kurva TR dan TC
Setiap perusahaan berusaha memaksimumkan keuntungan. Keuntungan
atau kerugian adalah perbedaan di antara penjualan dan ongkos produksi.
Keuntungan diperoleh apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari ongkos
produksi dan kerugian akan dialami apabila hasil penjualan lebih sedikit dari
ongkos produksi. (Sadono Soekirno 2000:191)
Dalam usahanya memaksimumkan laba, maka produsen berusaha untuk
meminumkan ongkos/biaya produksi. Semakin besar biaya produksi maka
semakin kecil kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan. Produksi adalah
segala kegiatan dalam penciptaan dan menambah kegiatan sesuatu barang atau
jasa untuk kegiatan mana yang membutuhkan faktor-faktor produksi dalam ilmu
ekonomi berupa tanah, modal, tenaga kerja, dan skill.
52
Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang menunjukan
hubungan antara tingkat output dan tenaga kerja (dan kombinasi) penggunaan
input-input. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
Q = f (X1, X2, X1……………XN)
Q = Tingkat produksi (output)
X1, X2, X1……………XN = Berbagai input yang digunakan
Kenaikan harga input akan menyebabkan kenaikan biaya produksi.
Dalam suatu produksi diperlukan biaya yang disebut dengan biaya produksi.
Biaya produksi adalah biaya-biaya yang terjadi dalam hubungannya dengan
proses pengolahan bahan baku menjadi produk jadi. Biaya produksi dibagi dalam
tiga elemen : (1) biaya bahan baku (2) biaya tenaga kerja (3) biaya overhead
pabrik. (Mulyadi, 1993:9). Dengan demikian, biaya produksi meningkat (apakah
dikarenakan kenaikan harga faktor produksi atau penyebab lainnya), maka
produsen akan mengurangi hasil produksinya.
Laba bagi pengusaha merupakan pendapatan bersih dari usaha yang
dilakukannya. Menurut Abdulah N.S (1987:46) laba pengusaha adalah selisih
antara penjualan dikurangi dengan biaya-biaya seperti rente tanah, upah buruh,
bunga modal, bahan-bahan yang dipakai ditambah dengan pengahapusan atas alatalat modal.
Beberapa teori tentang laba yang dikemukakan oleh Abdullah N.S
(1987:4) :
53
1.
Teori Residu.
David Ricardo berpendapat bahwa laba pengusaha bukan merupakan
harga yang diterima pengusaha, seperti pendapatan yang diterima oleh
pemilik faktor produksi lain, akan tetapi merupakan sisa (residu) dari
penghasilan perusahaan setelah dikurangi biaya-biaya untuk faktor
produksi yang lainnya. Menurut David Ricardo profit (laba pengusaha)
dapat dianggap sebagai premi organisasi seperti halnya pada rente tanah.
2.
Teori Friksi.
Teori ini dikemukakan oleh Von Bohm dan JP. Clark bahwa profit
terjadi karena adanya pergeseran (friksi) antara dua pasar yaitu pasar
pembelian (faktor produksi) dan pasar penjualan (barang konsumsi)
profit dapat diperoleh apabila pergeseran itu positif.
3.
Teori Dinamis.
J. A Schumpeter mengemukakan bahwa profit terdapat pada kehidupan
perekonomian yang dinamis dan diperoleh oleh pengusaha yang dinamis
pula. Pengusaha yang dinamis tadi disebut Capten Entrepreneur yaitu
pengusaha-pengusaha pionir, yang berani menempuh jalan baru,
menggunakan teknik baru dan mencoba metode-metode produksi baru
maka pada mereka akan menerima keuntungan-keuntungan mendahului
pengusaha lainnya.
54
4.
Profit sebagai Premi Risiko.
F.
Knight
mengemukakan
bahwa
profit
dihubungkan
dengan
ketidakpastian, yaitu ketidakpastian pada masa yang akan datang, yang
merupakan suatu risiko. Penanaman modal menanggung risiko.
Sedangkan Lincolin Arsyad (1999:25), mengemukakan
teori laba
sebagai berikut :
1.
Teori laba ekonomis friksional.
Dalam jangka panjang, dengan adanya hambatan-hambatan (barriers to
entry) untuk keluar masuk pasar, maka sumberdaya-sumberdaya akan
mengalir keluar atau masuk kedalam suatu industri dan pada akhirnya
mengakibatkan tingkat kembalian menjadi ketingkat normal kembali.
Tetapi untuk sementara waktu, laba bisa di atas atau dibawah harga
normal karena adanya faktor-faktor friksional yang mengahambat
penyesuaian yang seketika dengan keadaan-keadaan pasar yang baru.
2.
Teori laba ekonomis monopolis.
Teori ini menyatakan bahwa beberapa perusahaan-karena faktor-faktor
seperti skala ekonomis, kebutuhan-kebutuhan modal, atau hak paten-bisa
bertindak sebagai monopolis yang memungkinkan mereka untuk
mempertahankan laba di atas normal untuk jangka panjang.
3.
Teori laba ekonomis inovatif.
Laba di atas normal merupakan konpensasi dari inovasi yang berhasil.
55
4.
Teori laba ekonomis konpensasi.
Teori laba ekonomis konpensasi ini menyatakan bahwa tingkat
penerimaan di atas harga normal merupakan suatu imbalan bagi
perusahaan yang berhasil memenuhi keinginan konsumen.
Menurut Miller (1993 :252) mengemukan bahwa “Perusahaan senantiasa
berusaha memaksimalkan laba, oleh karenanya yang harus diasumsikan adalah
perilaku mereka selalu konsisten dengan prinsip maksimalisasi laba”. Sejalan
dengan yang dikemukakan Case dan Fair (2002 ;59) mengenai perilaku
perusahaan yang memaksimalkan laba bahwa, “ Perilaku perusahaan yang ingin
mencapai laba maksimal tergantung dari karakteristik pasar dimana perusahaan itu
bersaing”. Adapun struktur pasar teoritis yang terdapat dalam masyarakat adalah
sebagai berikut :
1.
Pasar persaingan sempurna.
2.
Pasar persaingan tidak sempurna, diantanya monopoli, monopolistik, dan
oligopoli.
Persaingan antara pengusaha tahu dapat dikelompokan sebagai perilaku
pengusaha yang memaksimalkan laba dalam pasar persaingan monopolistik. Yang
menurut Richard Billas (1992:173) memilki ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Terdapat banyak perusahaan dalam industri.
2.
Adanya diferensiasi produk.
3.
Adanya derajat kekuasaan monopoli tertentu yang timbul dari
penggunaan merek dan tanda dagang.
4.
Perusahaan secara bebas mewmasuki dan meninggalkan industri.
56
Karakteristik yang palin utama pada pasar monopolistic yaitu adanya
price leader yaitu ada beberapa perusahaan yang dijadikan patokan oleh
perusahaa lain yang serupa di dalam menentukan harga jual. Begitu pun yang
terjadi pada pengusaha tahu Sumedang, ada beberapa pengusaha besar yang
menentukan harga jual tahu, sehingga pengusaha-pengusaha lain mengikuti harga
jual dari pengusaha besar tersebut.
Untuk menentukan kondisi laba maksimum sebuah perusahaan dalam
industri monopolistik dapat digunakan analisis marginal. Laba maksimum akan
dicapai apabila tambahan penerimaan dari unit output yang terakhir sama dengan
biaya untuk memproduksinya. Secara matematik hal ini dapat dituliskan sebagai
berikut:
MR = MC
Dimana :
MR = Penerimaan Marginal (Marginal Revenue)
MC = Biaya Marginal (Marginal Cost)
Laba maksimum sebuah perusahaan dalam industri monopolistik dengan
menggunakan analisis marginal dapat dilihat pada gambar berikut dibawah ini:
57
Gambar 2.3
Grafik Pendekatan Laba Maksimum Menurut Pendekatan Marjinal Pada
Pasar Monopolistik
Gambar tersebut menunjukan perusahaan memperoleh keuntungan pada
pasar monopolistik dalam jangka pendek karena harga yang tercipta (P) berada di
atas kurva biaya rata-ratanya (AC) sehingga menghasilkan keuntungan per unit
positif sebesar AB. Total penerimaan perusahaan sebesar OPAQ, sedangkan total
biayanya OCBQ. Dengan demikian, keuntungan totalnya adalah sebesar PABC.
Sedangkan menurut Vincent Gasversz (2001 : 320) terdapat beberapa
situasi untuk memaksimumkan keuntungan ekonomis dalam pasar persaingan
monopolistik, yaitu :
1.
Jika harga jual yang ditetapkan perusahaan, P, lebih besar daripada biaya
total rata-rata, ATC, jadi P > ATC, maka perusahaan harus beroperasi
pada kondisi output yang memaksimumkan keuntungan ekonomis, yaitu
MR = MC.
58
2.
Jika AVC < P < ATC, perusahaan tetap melanjutkan produksi dengan
beroperasi pada tingkat output yang meminimumkan kerugian ekonomis,
yaitu : pada kondisi keseimbangan MR = MC. Kerugian ekonomis yang
diderita adalah lebih kecil daripada biaya tetap total, TFC.
3.
Jika, P < AVC, perusahaan harus menghentikan produksi atau menutup
usaha, dan untuk itu akan menderita kerugian sebesar biaya tetap total.
Dalam penelitian ini, yang menjadi unsur pembentuk penerimaan total
yaitu harga jual, sedangkan biaya bahan baku dijadikan sebagai unsur pembentuk
biaya total.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu indikator
dari kinerja adalah laba, dan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan
dalam peningkatan laba adalah harga. Tidak ada pemasar yang dapat menawarkan
produk tanpa harga, karena harga yang ditetapkan oleh perusahaan akan
berpengaruh pada besarnya penjualan dan jumlah laba yang akan diterima oleh
perusahaan. Kombinasi dari produk, distribusi, harga, dan promosi merupakan
suatu usaha untuk mencapai laba maksimal. (Buchari Alma, 1998:265)
Suatu perusahaan menghasilkan barang dan jasa dengan maksud untuk
dijual. Dalam penjualan tidak hanya memindahkan barang atau jasa ke konsumen
tetapi juga terkandung keinginan perusahaan atau produsen untuk memuaskan
konsumen dengan hasil produksinya, maka dengan demikian perusahaan dapat
mencapai tujuannya memperoleh laba. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Billas (1989:165) bahwa “perusahaan sebenarnya berusaha memaksimalkan
penjualan dalam batas-batas laba tertentu. Dengan alasan kita lebih mudah bekerja
59
dengan angka-angka penjualan, gaji manajemen tergantung dari penjualan, dan
kita mudah menaikan modal dengan angka penjualan”.
Pada umumnya harga suatu barang dan jumlah barang yang
diperjualbelikan ditentukan oleh permintaan dan penawaran dari barang tersebut
di pasar barang. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Sadono
Soekirno (2000:91) “harga suatu barang dan jumlah barang yang akan
diperjualbelikan adalah ditentukan dengan melihat keadaan keseimbangan dalam
suatu pasar”.
Harga suatu produk berpengaruh terhadap jumlah permintaan akan
produk tersebut. Menurut Kotler (2002:136), harga adalah nilai yang tertera pada
suatu produk dan beberapa sebagai penentu pilihan pembeli yang merupakan satusatunya elemen bauran pemasaran yang menghasilkan pendapatan.
Selain harga jual, di sisi biaya yang harus diperhatikan guna memperoleh
laba yang optimal adalah biaya bahan baku, karena bahan baku dalam suatu
industri merupakan bahan dasar yang digunakan dalam proses produksi,
keberadaan bahan baku ini akan sangat mempengaruhi kelangsungan produksi
yang nantinya berpengaruh pada output yang dihasilkan yang pada akhirnya
berpengaruh pada perolehan laba perusahaan tersebut.
Tidak tersedianya bahan baku bagi suatu industri berarti akan terhentinya
proses produksi dari industri tersebut. Dengan kata lain bahan baku merupakan
suatu keharusan dalam setiap proses produksi yang menentukan kelangsungan
hidup industri tersebut.
60
Hal ini sejalan dengan pendapat F. Kusmana Fachrudin dalam Endang
Supardi (2000:33) yang menyatakan bahwa : “bahan baku diperlukan oleh pabrik
untuk diolah, yang setelah melalui beberapa proses diharapkan menjadi barang
jadi (finished goods)”.
Soeprano (1994:20) mengartikan biaya bahan baku sebagai “harga
perolehan dari bahan baku yang dipakai dalam pengolahan produksi”. Sedangkan
yang termasuk kedalam biaya bahan baku yaitu sejumlah sejumlah harga beli
bahan baku ditambah biaya-biaya pengelolaan, penggudangan dan biaya
perolehan. Jadi biaya bahan baku adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan bahan baku yang membentuk produk jadi.
Gasversz (2001:96) mengemukakan bahwa “salah satu faktor yang
mempengaruhi laba adalah biaya bahan baku artinya, semakin rendah biaya bahan
baku maka semakin tinggi laba yang akan diperoleh pengusaha”. Hal itu senada
dengan apa yang dikemukakan oleh Dominick Salvatore (1994:236) bahwa
“dalam usaha memaksimumkan laba, maka produsen berusaha untuk menekan
biaya bahan baku sehingga dapat meminumkan ongkos/biaya produksi sehingga
semakin rendah semakin rendah biaya bahan baku maka semakin rendah pula
ongkos produksi sehingga laba yang akan diperoleh produsen pun semakin besar
pula”
Di sini, sifat harga bahan baku merupakan beban yang harus dikelurkan
perusahaan dalam memenuhi input produksi yang selanjutnya akan diolah menjadi
produk jadi. Setiap perusahaan diharapkan dapat menekan biaya produksi, karena
semakin tinggi biaya yang dikelurkan, maka harga harga produk jadi yang akan
61
ditetapkan oleh produsen juga kan tinggi sehingga kan mempengaruhi tingkat laba
yang akan diperoleh. Oleh karena itu setiap perusahaan harus memperhatikan
tingkat efisiensi yang tinggi. Dengan efisiensi, maka perusahaan akan menjual
barangnya dengan harga yang rendah sehingga dapat meningkatkan jumlah
permintaan.
Mulyadi (1994:14) mengungkapkan
bahwa “bahan baku merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari produk, sehingga harga pokok yang
digunakan untuk pembuatan produk mudah dihitung” .
Pendapatan sebagai hasil yang diperoleh suatu perusahaan harus mampu
menutupi biaya produksi termasuk didalammya biaya bahan baku, dan diharapkan
pendapatan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan biaya yang
dikelurkan oleh perusahaan. Besarnya pendapatan dikurangi semua biaya
termasuk didalamnya biaya bahan baku, inilah yang disebut sebagai laba
perusahaan yang menjadi tujuan umum perusahaan dalam mempertahankan
kinerja usahanya.
Samuelson & Nordhous (1996:142) mengemukakan bahwa “biaya
variabel (variable cost) merupakan biaya yang bervariasai sesuai dengan
perubahan tingkat output termasuk biaya bahan baku, gaji dan bahan bakar
termasuk pula semua biaya yang tidak tetap.”
Dalam buku Pegangan Kewirausahaan (1994), kunci keberhasilan dalam
berbisnis adalah dengan memahami diri sendiri. Sebelum memulai suatu usaha,
hal penting yang harus diketahui adalah apakah seseorang sudah memiliki
semangat berwirausaha. Berapa banyak karakteristik wirausaha sukses yang telah
62
dimilikinya? Apakah ia memiliki motivasi yang tepat untuk memasuki dinia
usaha? Apakah latar belakang dan lingkungan mendukungnya untuk berperan
dalam kewirausahaan?.
Dengan mengenali potensi diri sendiri, maka pengusaha tersebut akan
memiliki perilaku kewirausahaan yang tinggi. Dengan mengembangkan perilaku
kewirausahaan, bukan suatu yang mustahil jika pengusaha tersebut dapat
meningkatkan pendapatnnya.
Para wirausaha yang berhasil adalah orang-orang yang berbeda, yaitu
mereka yang memperlihatkan pola perilaku yang luar biasa. Perilaku mereka yang
luar biasa tersebut bukan bawaan sejak lahir, namun dipelajarinya dari
pengalaman dan pengamatan.
Menurut Mc Clelland dalam Siti Syamsiar (2002:52) kewirausahaan
(entrepreneurship) merupakan bentukan dari sifat, watak, dan nilai-nilai yang
dimiliki oleh seseorang yang dipengaruhi oleh pribadi, pendidikan dan
lingkungan, sedangkan wirausaha (entrepreneur) lebih mengarah pada perilaku
seseorang.
Thomas W Zimmerer dalam Suryana (2007:14) bahwa kewirausahaan
adalah penerapan kreatifitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dalam upaya
mamanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari. Kewirausahaan merupakan
gabungan dari kreatifitas, inovasi, dan keberanian menanggung risiko.
Seseorang akan mempunyai perilaku kewirausahaan apabila memiliki
motovasi berprestasi. Ia memiliki sikap motivasi berprestasi dalam berwirausaha,
bila memilki sikap kewirausahaan. Sikap dipengaruhi pengetahuan dan
63
pengalaman. Sikap wirausaha biasanya terbuka terhadap inovasi dan kreatif.
Sikap-sikap itulah yang membentuk perilaku kewirausahaan.
Menurut Yuyun Wirasasmita dalam Siti Syamsiar (2002: 56)
membetuk perilaku kewirausahaan dalam diri seseorang dapat dipelajari melalui
proses pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
Harga Jual (X1)
Kinerja Usaha (Y)
Y1= Laba
Y2= Volume Produksi
Biaya Bahan
Baku (X2)
Perilaku
Kewirausahan
(X3)
Gambar 2.4
Kerangka Pemikiran
64
2.3
Hipotesis.
Hipotesis merupakan dugaan sementara yang ditentukan oleh peneliti
yang harus diuji kebenarannya. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.
Hipotesis Mayor.
Harga jual, biaya bahan baku, dan perilaku kewirausahaan berpengaruh
terhadap kinerja usaha para pengusaha tahu di Kabupaten Sumedang.
2.
Hipotesis Minor.
a.
Harga jual berpengaruh positif terhadap kinerja usaha para
pengusaha tahu di Kabupaten Sumedang.
b.
Biaya bahan baku berpengaruh negatif terhadap kinerja usaha
para pengusaha tahu di Kabupaten Sumedang.
c.
Perilaku kewirausahaan berpengaruh positif terhadap kinerja
usaha para pengusaha tahu di Kabupaten Sumedang.
2.4
Hasil Penelitian Terdahulu.
Dalam melakukan penelitian ini, yang menjadi acuan penulis adalah
membandingkan dengan penelitian sebelumnya, yakni penelitian mengenai
kinerja, karena salah satu indikator kinerja usaha yaitu laba, maka penelitian yang
menjadi acuan ada di antaranya penelitian mengenai laba. Adapun perbedaan
penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :
65
No
1
2
3
4
Nama
Peneliti
Siti Syamsiar
(2002)
Tabel 2.2
Hasil Penelitian Terdahulu
Judul
Variabel yang diteliti
Pengaruh Pengadaan Pengadaan bahan
Bahan
Baku, baku
Pengolahan
Pengolahan
Pemasaran
dan pemasaran
Kewirausahaan
Kewirausahaan
Terhadap
Kinerja
Perusahaan
Pengaruh
Upah,
Biaya Bahan Baku,
dan
Perilaku
Kewirausaan
Terhadap Laba pada
Industri Tahu di
Desa
Cisambeng
Kabupaten
Majalengka
FaktorOki Kardinah Analisis
Faktor
yang
(2006)
Mempengaruhi Laba
Usaha Industri Kecil
Kalua
Jeruk
di
Kecamatan
Pasir
Jambu Kabupaten
Bandung
Kurnia
Yunita
(2007)
Kurniati
(2001)
Upah
Biaya bahan baku
Perilaku
kewirausahaan
Harga jual
Harga bahan baku
Diferensiasi produk
Analisis
Faktor- Modal
Faktor
yang Kemampuan
Mempengaruhi
manajerial
Kinerja Usaha pada Perilaku
Pengusaha Pakaian kewirausahaan
Jadi di Kecamatan
Soreang
Hasil
penelitian
Secara parsial
semua variabel
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
kinerja
perusahaan
Secara parsial
hanya upah dan
biaya
bahan
baku
yang
berpengaruh
signifikan
terhadap laba
usaha
Secara parsial
hanya
harga
jual dan harga
bahan
baku
yang
berpengaruh
signifikan
terhadap laba
Secara parsial
semua variabel
berpengaruh
signifikan
terhadap
kinerja usaha
Download