Banjir di Jember Bukan Bencana Alam SURABAYA--MIOL

advertisement
Sumber Berita
Media Indonesia
03 Januari 2006
Banjir di Jember Bukan Bencana Alam
SURABAYA--MIOL: Pakar hukum lingkungan Dr Suparto Wijoyo menilai banjir
bandang di Jember yang menewaskan 51 orang , 800-an orang mengungsi, dan
500-an orang terisolir bukanlah bencana alam, melainkan bencana ekologi.
"Itu bukan bencana alam, karena kalau bencana alam berarti kesalahan Tuhan,
apa mungkin Tuhan di-mejahijau-kan? Menurut saya, banjir bandang di Jember itu
bencana
ekologi
dan
karenanya
Bupati
Jember
harus
dimintai
pertanggungjawaban," katanya di Surabaya, Selasa pagi.
Menurut dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu,
bupati atau walikota yang wilayahnya rawan bencana banjir, longsor, dan bencana
lingkungan lainnya harus dimintai pertanggungjawaban.
"Karena itu, saya minta Kapolwil dan Kapolda Jatim menindak secara hukum
terhadap bupati dan walikota yang tak memiliki kebijakan untuk mencegah
bencana lingkungan. Bagaimana pun, kepala daerah itu harus memiliki manajemen
penataan lingkungan," katanya.
Doktor alumnus Fakultas Pasca Sarjana (FPS) Unair Surabaya itu menyatakan
banjir bandang di Jember bukan problem primer, melainkan problem ikutan yang
diakibatkan buruknya manajemen lingkungan dari kepala daerah setempat.
"Boleh saja, bupati atau walikota yang ada mengelak dengan menyebut kebijakan
lingkungan yang salah merupakan warisan bupati atau walikota terdahulu, namun
dia tetap dapat dikatakan bersalah, karena dia seharusnya melakukan koreksi atas
kebijakan yang salah," katanya.
Manajemen lingkungan yang buruk, katanya, menyebabkan hutan menjadi gundul.
"Hutan menjadi gundul akibat dipotong setan gundul. Saya katakan setan gundul,
karena orang-nya tak tersentuh hukum.
Dia tak tersentuh hukum, karena aparat-nya tidak beres," katanya.
Oleh karena itu, katanya, manajemen lingkungan yang buruk lebih tepat dikatakan
sebagai bencana ekologi atau bencana lingkungan yang menuntut adanya
pertanggungjawaban dari kepala daerah dan sejumlah kepala dinas.
"Kepala dinas yang harus bertanggungjawab antara lain kepala dinas kehutanan
(kadishut), kepala dinas tata ruang, kepala dinas pertamanan atau lingkungan, dan
kepala dinas lainnya yang terkait dengan masalah ekologi," katanya.
Sama halnya dengan bupati/walikota, katanya, para kepala dinas itu dapat saja
mengelak bahwa mereka bukan pelaku di lapangan, namun polisi tetap dapat
©
http://www.huma.or.id
menjerat mereka dengan kesalahan mereka sebagai pemangku hutan atau
pemangku wilayah.
"Jadi, polisi dapat menuntut kadishut secara hukum dengan adanya bencana banjir
bandang dan hutan gundul sebagai bukti yuridis, apalagi bupati/walikota dalam
konteks otonomi daerah juga menjadi pemegang otoritas kewilayahan," katanya.
Hingga Selasa dinihari, korban tewas mencapai 51 orang, ratusan korban lukaluka, ratusan warga mengungsi, dan ratusan warga terjebak di wilayah yang
terisolir akibat putusnya jembatan. (ant/OL-1)
©
http://www.huma.or.id
Download