BAB II SANKSI TINDAKAN KEPADA PECANDU DAN ANAK

advertisement
BAB II
SANKSI TINDAKAN KEPADA PECANDU DAN ANAK PELAKU
TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA
Narkotika dan psikotropika tidak akan pernah ada habisnya membahas
masalah yang satu ini. Suatu benda yang sebenarnya punya manfaat yang luar biasa
dalam dunia kedokteran telah melenceng jauh dari fungsi asalnya. Nyatanya
narkotika dan psikotropika disalahgunakan oleh para pemakai atau pecandu. Bahkan
barang ini merupakan suatu lahan bisnis yang basah untuk meraup kekayaan dan
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan dampak yang luar baisa bagi
kehancuran bangsa, terutama apabila terjadi pada anak-anak muda yang merupakan
generasi penerus bangsa. Pemakai, pengedar, bandar bahkan produsen ditangkap oleh
aparat yang berwenang, tapi tetap saja penyalahgunaan barang haram ini masih
banyak terjadi di masyarakat layaknya jamur di musim hujan, mati satu tumbuh
seribu. ”Penegakan hukum dengan cara memenjarakan pecandu narkoba terbukti
gagal. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang seharusnya menjadi tempat pembinaan
sering kali menjadi sarang peredaran gelap narkoba”. 54
Maklum saja interaksi dalam kurun waktu tertentu yang berlangsung secara
intensif diantara sasaran pelaku narkotika bisa meningkatkan wawasan dan
keberanian untuk mencoba sesuatu hal yang lebih.
54
Harian Koran Sindo, “Penjara Bukan Solusi Selamatkan Pecandu Narkotika”, diterbitkan
Minggu, 1 April 2014.
36
Universitas Sumatera Utara
A.
Sanksi Tindakan
1.
Pengertian Sistem Satu Jalur (Single Track System) dan Sistem Dua
Jalur (Double Track System) Menurut Pandangan Beberapa Ahli
Hukum
Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan, serta
batasan antara keduanya yang dinilai kabur, maka perlu dipaparkan pendapat para
sarjana mengenai dua jenis sanksi tersebut, sebagai berikut:
a. Satochid Kertanegara
Dalam salah satu karya tulisnya, Satochid menerangkan bahwa: ”Di dalam
hukum pidana juga ada sanksi yang bukan bersifat siksaan, yaitu apa yang disebut
tindakan (maatregel). Dia menunjuk contoh sanksi yang bukan merupakan siksaan itu
terdapat dalam Pasal 45 KUHP”. 55
b. Sudarto
Pendapatnya menekankan bahwa:
”Sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi
dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa yang disebut tindakan tata
tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa sanksi pidana adalah
pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan
tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau
perawatan si pembuat”. 56
c. Andi Hamzah
Meskipun perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan menurut Andi
Hamzah agak samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa:
55
Satochid Kartanegara, Op.cit., hal. 49.
Soedarto, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 1973, hal. 7
56
Universitas Sumatera Utara
”Sanksi pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu
perbuatan,
sedangkan
sanksi
tindakan
bertujuan
melindungi
masyarakat. Selanjutnya dia mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa macam
sanksi pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP, sedangkan tindakan
(maatregel) diluar pasal tersebut”. 57
d. Utrecht
Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan
dari sudut tujuannya. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa
(bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya.
Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dengan mengutip
pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa:
”Sanksi tindakan itu bila ditinjau dari teori-teori pemidanaan merupakan
sanksi yang tidak membalas, melainkan semata-mata ditujukan pada prevensi
khusus. Sanksi tindakan itu bertujuan melindungi masyarakat terhadap orangorang berbahaya yang mungkin akan melakukan delik-delik yang dapat
merugikan masyarakat”. 58
e. J.E. Jonkers
Pakar hukum pidana dari Belanda ini juga membedakan jenis sanksi pidana
dan sanksi tindakan. Dikatakannya, “sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang
diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai
tujuan yang bersifat sosial”. 59 Terdapat kesamaan pandangan antara Roeslan Saleh,
Utrecht, Andi Hamzah dan Jonkers tentang lingkup di luar Pasal 10 KUHP yang
dikatakan oleh mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai sanksi pidana.
57
58
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Op.cit., hal. 3.
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1987,
hal. 360.
59
J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 1987,
hal. 350.
Universitas Sumatera Utara
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka sanksi pidana sesungguhnya:
“Bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih
bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana
ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui
pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi
tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia
berubah”. 60
Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan
(pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang
pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan
masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. 61 Atau seperti dikatakan J.E.
Jonkers, bahwa: ”Sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk
kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang
bersifat sosial”. 62
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari
ide
dasar
yang
istimewa (bijzonder
berbeda.
Sanksi
leed) kepada
pidana
pelanggar
bertujuan
supaya
memberi
ia
penderitaan
merasakan
akibat
perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi
pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.
Dengan demikian, ”perbedaan prinsip dengan sanksi tindakan terletak pada ada
tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan”. 63 Sedangkan,
”sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik”. 64
60
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.cit., hal. 4.
Soedarto, Hukum Pidana Jilid I A, Op.cit., hal. 7.
62
J.E. Jonkers, Op.cit., hal. 350.
63
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.cit., hal. 5.
64
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, hal. 360.
61
Universitas Sumatera Utara
Teori-teori pemidanaan, maka ”sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak
membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi
masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat
itu”. 65 Singkatnya, ”sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap
pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan
masyarakat”. 66
2.
Kebaikan dan Kelemahan Sanksi Tindakan
a. Kebaikan Sanksi Tindakan
Sanksi tindakan baik diterapkan apabila didukung oleh sarana dan prasarana
Pemerintah untuk itu seperti tempat rehabilitasi dan panti sosial. Fasilitas yang
terdapat di dalam tempat rehabilitasi dan panti sosial tadi pun harus juga memadai,
dalam artian daya tampung dan daya dukungnya harus memenuhi terhadap jumlah
pemakai psikotropika yang ada di Indonesia. Setelah pelaku dan pecandu anak
dimasukkan ke dalam rehabilitasi maka ada kemungkinan kesembuhan akan tercapai.
Namun, bilamana dimasukka ke dalam Lembaga Pemasyarakatan ada kemungkinan
akan meningkatkan ketergantungannya terhadap psikotropika. Karena daya tampung
dan daya dukung dari Lembaga Pemasyarakatan sudah tidak memadai lagi.
65
66
Ibid.
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Op.cit., hal. 53.
Universitas Sumatera Utara
b. Kelemahan Sanksi Tindakan
Kelemahan diterapkannya sanksi tindakan adalah pelaku dan pecandu anak
tindak pidana psikotropika akan dengan mudah mengulangi perbuatannya.
Pengulangan kejahatan dapat terjadi apabila tempat rehabilitasi dan panti sosial
tersebut tidak didukung dengan fasilitas yang baik juga. Selain itu, pengulangan
terjadi juga disebabkan karena pelaku dikembalikan kepada lingkungannya yang
dapat menyebabkan dirinya kembali bergaul dengan teman-teman pelaku dan
pecandu anak.
Selain kelemahan tempat-tempat rehabilitasi dan panti sosial yang tidak
didukung dengan fasilitas yang baik, kelemahan sanksi tindakan lainnya adalah
adanya tanggapan dari masyarakat bahwa ada ‘permainan’ antara Hakim dan
keluarga Terdakwa, masyarakat menganggap Hakim disogok agar putusan hanya
berupa sanksi tindakan.
Ada juga kesulitan-kesulitan lain yang dihadapi Hakim dalam menjatuhkan
sanksi tindakan yaitu orang tua anak yang melakukan tindak pidana keberatan, jika
anak diserahkan ke Negara atau ditempatkan di Departemen/Dinas Sosial. Hakim
berpendapat, penjatuhan sanksi penjara pada anak tidak bermasalah, asalkan tidak
dicampur dengan Narapidana dewasa dan tempatnya memadai, sehingga prisonisasi
tidak akan terjadi, 67 meskipun dalam satu Lapas dengan Narapidana dewasa. 68
67
Pelaksanaan pidana penjara bagi anak, dicampur dengan narapidana dewasa dapat menjadi
proses belajar yang salah (faulty learning) bagi anak, karena ada proses prisonisasi pada anak.
Prisonisasi menurut Clemmer dalam Barda Nawawi Arief adalah proses belajar seorang narapidana
tentang sub kultur atau sistem sosial informal yang ada dalam penjara. Dalam proses prisonisasi ini,
narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat
narapidana dan yang dipelajari adalah kepercayaan, perilaku-perilaku dan tata nilai dalam masyarakat
narapidana di penjara. Proses prisonisasi yang diterima dan dialami oleh napi anak yang ditempatkan
Universitas Sumatera Utara
B.
Aturan Hukum Sanksi Tindakan Terhadap Pecandu dan Anak Sebagai
Pelaku Tindak Pidana Psikotropika
Semua orang Indonesia tentu sudah mengetahui bahwa Negara Indonesia
adalah Negara hukum. Negara yang berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik
hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, oleh karena itu, semua Warga
Negara Indonesia tanpa ada pengecualian wajib taat dan patuh terhadap hukum.
Tidak peduli rakyat kecil, pengusaha, maupun pejabat tinggi wajib untuk menaati
hukum. Seluruh tindak tanduk atau perbuatan yang dilakukan di dalam negara wajib
didasarkan atas hukum yang berlaku. Demikian pula apabila terjadi pelanggaran dan
sengketa hukum, diselesaikan pula secara hukum.
Mengenai psikotropika diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika. Dalam Bagian Menimbang huruf c. ketentuan tersebut telah
mengatur psikotropika yang hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pelanggaran terhadap peraturan ini diancam
dengan hukuman pidana yang tinggi dan berat bahkan sampai hukuman mati.
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
mengenai sanksi tindakan diberikan wewenang kepada Hakim untuk menerapkannya
menurut Pasal 22 Jo. Pasal 25 ayat (2). Mengenai sanksi tindakan yang dapat
dijatuhkan kepada Anak terdapat pada Pasal 24, yang menyatakan bahwa :
“(1)
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
di Lembaga Pemasyarakatan ini akan berdampak negatif bagi perkembangan perilaku anak. Sumber :
Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 7879.
68
Noeke Sri Wardhani, et.al., “Penerapan Pidana Alternatif Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana
di Pengadilan Negeri Bengkulu”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. V, No. II, Agustus 2009, hal. 51.
Universitas Sumatera Utara
a.
b.
c.
Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau
Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan,
dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan
teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim”.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 telah diatur ketentuan pidana yang
dapat diterapkan bagi pelaku kejahatan penyalahgunaan psikotropika, yaitu:
1. Pasal 59 ayat (1) huruf c, yang menyatakan bahwa:
“Barangsiapa mengedarkan psikotropika Golongan I tidak memenuhi
ketentuan yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) yaitu
psikotropika Golongan I hanya dapat diproduksi oleh pabrik dan pedagang
besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna
pengembangan ilmu pengetahuan, dipidana dengan penjara paling singkat 4
(empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Ancaman pidana tersebut akan diperberat apabila tindak pidananya dilakukan
secara terorganisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) dan ayat (3), yaitu:
1. Pasal 59 ayat (2), menyatakan bahwa:
“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
terorganisir dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar
Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
2. Pasal 60, menyatakan bahwa:
(1) “Barangsiapa :
a. Memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan
Pasal 5, atau
b. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, atau
Universitas Sumatera Utara
c. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang
tidak terdaftar dalam yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal
12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal
12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam
Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima
penyerahan itu adalah pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara (3)
bulan”.
3. Pasal 61, menyatakan bahwa:
(1) “Barangsiapa :
a. Mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan
dalam Pasal 16, atau
b. Mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan
ekspor atau surat persetujuan impor sebagiamana dimaksud dalam
Pasal 17, atau
c. Melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa
dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan
impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau Pasal 22
ayat (4).
(2) Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang
yang bertanggung jawab atas pengangkutan ekspor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
Universitas Sumatera Utara
4. Pasal 62, menyatakan bahwa:
“Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa
psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
5. Pasal 69, menyatakan bahwa:
“Percobaan atau perbentukan untuk melakukan tindak pidana psikotropika
sebagaimana diatur dalam undang-undang dipidana sama dengan jika tindak
pidana tersebut dilakukan”.
Apa yang telah diuraikan di atas adalah pembahasan perbuatan dan percobaan
melakukan kejahatan berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika yang menghendaki supaya pelaku utamanya dapat dihukum sama
beratnya dengan orang yang melakukan perbuatan percobaan terhadap tindak pidana
psikotropika. Demikian juga dengan percobaan yang dilakukan oleh seseorang
sampai selesainya melakukan kejahatan tersebut.
6. Pasal 70, menyatakan bahwa:
“Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal
61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi dikenakan
pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak
kejahatan tersebut dan dapat dilakukan pidana tambahan berupa pencabutan
izin usaha”.
7. Pasal 71, menyatakan bahwa:
(1) “Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan,
melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau
mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 maka dipidana sebagai suatu
permufakatan jahat.
(2) Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana
tersebut”.
Universitas Sumatera Utara
8. Pasal 72, menyatakan bahwa:
“Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang dibawa
perempuan atau ketika dalam melakukan tindak pidana belum lewat 2 (dua)
tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang
berlaku untuk tindak pidana tersebut”.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa kejahatan di bidang
psikotropika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, akan tetapi adakalanya
kejahatan dilakukan bersama-sama dengan anak di bawah umur (belum genap 18
tahun usianya). Oleh karena anak-anak yang belum dewasa cenderung mudah
dipengaruhi untuk melakukan tindak pidana psikotropika, maka perbuatan
memanfaatkan anak di bawah umur untuk melakukan tindak pidana psikotropika
diatur dalam Pasal 62, Pasal 72 dan Pasal-Pasal lain yang dapat dikenakan terhadap
anak sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika apabila
permufakatan jahat melibatkan anak-anak yang belum dewasa hukumannya tetap
diperberat seperti orang dewasa, yaitu pidana tambahan sepertiga dari pidana yang
berlaku pada Pasal 60 sampai dengan Pasal 63.
C.
Dasar Hukum Pengadilan Anak Dalam Menjatuhkan Sanksi Tindakan
dan Terkait Dengan Pecandu Tindak Pidana Psikotropika
Perbedaan perilaku dan ancaman pidana yang diatur dalam Undang-Undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini dimaksudkan untuk lebih
memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak dalam menyongsong masa
depannya yang masih panjang. Selain itu pembedaan tersebut dimaksudkan untuk
Universitas Sumatera Utara
memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan diperoleh
jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang berguna bagi diri, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Karena dalam Bagian Umum Penjelasan UndangUndang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang ketentuanketentuan pidana, baik ketentuan pidana formil maupun pidana materil bagi anak,
maka sesungguhnya maksud dan tujuan undang-undang membentuk pengadilan ini
untuk mengadili pidana anak.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga telah diatur
mengenai batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke sidang anak seperti yang
tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) yaitu sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Apabila
anak yang bersangkutan telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, maka
menurut Pasal 4 ayat (2) tetap diajukan ke sidang anak. Kasus mengenai sanksi
terhadap anak dalam undang-undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan umur
anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun
hanya dikenakan sanksi tindakan, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai
umur 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana.
Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, dan sosial anak.
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, menyatakan bahwa:
(1) “Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah:
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
Universitas Sumatera Utara
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,
dan latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan
teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim”.
Uraian di atas terlihat bahwa anak nakal (juvenile delinquency) itu tidak
dijatuhi pidana. 69 Kemudian ada dua hal yang sifatnya menentukan yang perlu
diperhatikan oleh hakim, yaitu 70 :
a. “Pada waktu anak melakukan tindak pidana, anak haruslah telah mencapai
umur di atas 12 sampai 18 tahun;
b. Pada saat Jaksa melakukan penuntutan terhadap anak, anak harus masih
belum dewasa (belum mencapai usia 18 tahun) atau belum kawin”.
Pidana yang dijatuhkan terhadap anak nakal menurut Pasal 23 UndangUndang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, meliputi pidana pokok dan
pidana tambahan. Pidana pokok meliputi pidana penjara, pidana kurungan, pidana
denda atau pidana pengawasan, sedangkan pidana tambahan dapat berupa
perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, telah
memberikan perlakuan khusus terhadap anak-anak yang melakukan suatu tindak
pidana, baik dalam hukum acaranya maupun peradilannya. Terjadi mengingat karena
sifat anak dan keadaan psikologinya dalam beberapa hal tertentu memerlukan
69
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak : Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal. 158.
70
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
perlakuan khusus serta perlindungan yang khusus pula, terutama terhadap tindakantindakan yang pada hakekatnya dapat merugikan perkembangan mental maupun
jasmani anak. Direalisasikan dengan dimulai pada perlakuan khusus saat penahanan,
yaitu dengan menahan anak secara terpisah dengan orang dewasa. Pemeriksaan
dilakukan oleh bagian tersendiri yang terpisah dari orang dewasa. Dimaksudkan
untuk menghindarkan anak terhadap pengaruh-pengaruh buruk yang dapat diserap
yang disebabkan oleh konteks kultural dengan tahanan yang lain. Kemudian dalam
penyidikan polisi/jaksa yang bertugas dalam memeriksa dan mengkoreksi keterangan
tersangka di bawah umur tidak diperkenankan memakai seragam dan pendekatan
secara efektif, afektif dan simpatik.
Pasal 6 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
menyatakan bahwa: “Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat Hukum, serta
petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas”.
Pemberlakuan ini dimaksudkan agar anak tidak merasa takut dan seram menghadapi
Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, Penasehat Hukum serta petugas lainnya.
Sehingga dapat mengeluarkan perasaannya kepada hakim mengapa ia melakukan
suatu tindak pidana. Disamping itu, guna mewujudkan suasana kekeluargaan agar
tidak menjadi peristiwa yang mengerikan bagi anak.
Pasal 8 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
menyatakan bahwa:
(1) “Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sidang
terbuka.
Universitas Sumatera Utara
(3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh
anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh,
penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan.
(4) Selian mereka yang disebut dalam ayat (3), orang-orang tertentu atas izin
hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(5) Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat
sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari
nama anak, orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
(6) Putusan Pengadilan dalam pemeriksaan anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
Pemeriksaan perkara pidana anak yang dilakukan secara tertutup agar
terciptanya suasana tenang, dan penuh dengan kekeluargaan sehingga anak dapat
mengutarakan segala peristiwa dan segala perasaannya secara terbuka dan jujur
selama sidang berjalan. “Kemudian digunakan singkatan dari nama anak, orang tua,
wali atau orang tua asuhnya dimaksud agar identitas anak dan keluarganya tidak
menjadi berita umum yang akan lebih menekan perasaan serta mengganggu
kesehatan mental anak”. 71
Pasal 11 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
menyebutkan bahwa:
(1) “Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama
sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu ketua pengadilan negeri dapat
menetapkan pemeriksaan perkara anak akan dilakukan dengan hakim
majelis”.
Alasan perlu diadakannya hakim tunggal dalam sidang tingkat pertama,
karena:
a. “Perkara dapat diselesaikan dengan lancar;
71
Ibid., hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
b. Hakim tunggal akan lebih dituntut untuk lebih bertanggung jawab secara
pribadi;
c. Dengan hakim tunggal anak tidak menjadi bingung;
d. Kerjasama hakim tunggal dengan pejabat-pejabat pengawasan dan sosial
juga lebih mudah diadakan;
e. Hakim anak dapat mengikuti perkembangan anak yang sedang menjalani
pidana”. 72
Dapat disimpulkan bahwa dengan hakim tunggal adalah pilihan yang paling
tepat digunakan untuk sidang anak. Pada Pasal 55 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, menyatakan bahwa: “Dalam perkara anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Pembimbing
Kemasyarakatan, Orang Tua, Wali atau Orang Tua Asuh, dan Saksi wajib hadir
dalam sidang anak”. Kehadiran kerabat dekat si anak dapat membuat perasaan
tenang, aman, dan terlindungi bagi anak yang sedang dalam pemeriksaan sehingga
kegundahan yang terjadi pada diri anak akibat tuntutan jaksa dapat dihilangkan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam ketentuan hukum mengenai anak-anak,
khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana, diatur dalam Undang-Undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, baik dalam pembedaan perilaku di
dalam hukum acara maupun ancaman pidananya. Ketentuan ini merupakan lex
spesialis dari ketentuan KUHP dan KUHAP, maka ketentuan ini sudah mengatur
tersendiri hukum acara pidananya, dan juga mengatur tentang sejumlah sanksi pidana
terhadap anak yang terlibat dalam tindak kejahatan.
Kaitan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika terhadap pecandu dan anak
72
Ibid., hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
sebagai pelaku tindak pidana psikotropika adalah terlihat pada batasan usia
pemberlakuan sanksi tindakan. Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, batasan usia anak nakal adalah berumur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, batasan usia terhadap
pecandu dan anak sebagai pelaku adalah 18 (delapan belas) tahun. Kasus mengenai
sanksi terhadap anak dalam undang-undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan
umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas)
tahun hanya dikenakan sanksi tindakan, sedangkan terhadap anak yang telah
mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan
pidana.
Pembedaan
perlakuan
tersebut
didasarkan
atas
pertumbuhan
dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
D.
Dampak-Dampak Penjatuhan Sanksi Tindakan Terhadap Pecandu dan
Anak Pelaku Tindak Pidana Psikotropika
Praktek penggunaan sanksi pidana dalam perundang-undangan, selain
diterapkan tindakan dan hukuman atau diperlakukannya sistem dua jalur dalam
pemidanaan (doublé track system), ada juga pemidanaan satu jalur (single track
system) tetapi terkesan bukan pidana tetapi hanya suatu tindakan. 73 Demikian pula
dalam hal sanksi administratif melalui sistem pidana menggunakan pidana tambahan,
tetapi sebagai suatu tindakan tata tertib atau sanksi administratif, sehingga pidana
73
Sudarto dalam E.Z. Leasa, Op.cit., hal. 51.
Universitas Sumatera Utara
tambahan terkesan sebagai tindakan, atau sanksi tindakan yang terkesan mengandung
pidana tambahan.
Sanksi yang dapat diberikan terhadap anak nakal, UU Pengadilan Anak telah
mengaturnya dan secara garis besarnya sanksi yang dapat dijatuhkan bagi anak yang
telah melakukan kenakalan terdiri dari sanksi pidana dan sanksi tindakan (Pasal 22).
Perumusan kedua jenis sanksi ini menunjukkan bahwa UU No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak telah menganut apa yang disebut double track system, dengan kata
lain UU ini secara eksplisit mengatur tentang jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan
sekaligus, penggunaan sistim dua jalur (zweipurigkeit) merupakan konsekwensi
dianutnya aliran klasik. Pemikiran bahwa seolah-olah sistim tindakan hanya
dikenakan bagi orang yang tidak mampu harus ditinggalkan. 74
Adapun sanksi tindakan yang dapat dikenakan kepada anak nakal, yaitu 75 :
1. “Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;
2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,
dan latihan kerja;
3. Menyerahkan
kepada
Departemen
Sosial,
atau
organisasi
sosial
kemanusiaan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja”.
Terkait dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1755K/Pid.Sus/2010
tanggal 8 Oktober 2010 dalam perkara atas nama terdakwa Eljefri Irawan alias Jefri,
74
Hidjaz Yunus, et.al., “Penerapan Sanksi Pidana dan Tindakan Yang Edukatif Terhadap
Anak”, Jurnal Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin , Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, tanpa
tahun, hal. 6.
75
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Universitas Sumatera Utara
usia 17 (tujuh belas) tahun dalam perkara tindak pidana psikotropika yang menolak
upaya hukum kasasi dari Jaksa Penuntut Umum dimana dalam pertimbangannya
Mahkamah Agung menyatakan bahwa :“Pertimbangan judex facti sudah tepat dan
benar, karena terdakwa masih berstatus anak dan undang-undang memperbolehkan
agar anak/terdakwa tersebut diserahkan kepada orang tuanya untuk dididik”. 76
Seorang anak yang sudah dikenakan sanksi tindakan sudah pasti anak tersebut
dikategorikan sebagai anak nakal. Pada Putusan Mahkamah Agung RI No.
1755K/Pid.Sus/2010 tanggal 8 Oktober 2010 tersebut telah diputus bahwa Terdakwa
Eljefri Irawan alias Jefri yang berusia 17 (tujuh belas) tahun yang melakukan tindak
pidana psikotropika dihukum untuk diserahkan kepada orang tuanya untuk didik
dengan pertimbangan hakim bahwa Terdakwa masih berstatus anak, dan tujuan
Majelis Hakim menyerahkan kepada orang tuanya agar anak tersebut dapat dididik.
Putusan tersebut, jelas bahwa Terdakwa dikembalikan kepada orang tuanya,
dan dampak-dampak yang mungkin terjadi apabila anak tersebut kembali kepada
orang tuanya dapat dilihat dari dua dampak, yaitu : Dampak Positif dan Dampak
Negatif.
Adapun dampak positif bagi Terdakwa Eljefri Irawan alias Jefri yang sudah
berumur 17 (tujuh belas) tahun, Jefri tidak merasakan hidup di penjara. Terdakwa
Jefri dapat diberikan pendidikan untuk membantu anak tersebut kembali ke dunia
76
Kaitkan Pertimbangan Hakim dalam Putusan MARI Nomor : 1755K/Pid.Sus/2010 tanggal
8 Oktober 2010 dengan Pasal 16 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
yang menyatakan bahwa : “(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; (2) Setiap anak berhak
untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum; (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana
penjara bagi anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Universitas Sumatera Utara
pendidikan agar ia bersekolah. Sedangkan dampak negatif bagi diri anak tersebut
adalah bahwa Terdakwa Jefri akan dapat kembali ke dunianya yang dulu, yaitu
bergabung kepada pengedar-pengedar psikotropika lainnya. Sehingga dirinya menjadi
pengedar lagi, malah dapat merubah Jefri menjadi bandar psikotropika. 77
Begitu juga dampak bagi anak-anak nakal lainnya apabila dijatuhi sanksi
tindakan. Sanksi pidana maupun sanksi tindakan yang diterapkan dapat mempunyai
dampak positif dan negatif.
1. Dampak Positif
a. Dapat melanjutkan pendidikannya sebagai penerus bangsa; 78
b. Tidak merasakan hukuman penjara; 79
c. Dapat hidup normal apabila selesai melakukan rehabilitasi; 80
2. Dampak Negatif
a. Dapat kembali kepada lingkungannya terdahulu sehingga dapat
mengulangi kejahatan; 81
77
Putusan Majelis Hakim Agung ini sejalan dengan putusan Terdakwa Muhammad Azuar
alias Raju yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP Jo. UU No. 3 Tahun 1997,
dan menjatuhkan hukuman kepada Raju berupa sanksi tindakan dikembalikan kepada orang tua, wali
atau orang tua asuhnya. Sumber : Putusan Pengadilan Negeri Stabat No. 828/Pid.B/2005/PN.Stb. an.
Terdakwa Muhammad Azuar alias Raju.
78
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
79
Sudah dapat dipastikan apabila seseorang dikenakan sanksi tindakan oleh Hakim, maka
Terdakwa tersebut tidak masuk dan merasakan kehidupan di penjara.
80
Dengan direhabilitasinya anak di bawah umur, maka anak tersebut berhak untuk
mendapatkan perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu
sendiri. Sumber : Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 22.
81
Seorang Anak yang dikenakan sanksi tindakan rehabilitasi dan dikembalikan kepada orang
tuanya, pasti anak tersebut kembali ke rumah orang tuanya dan bergaul dengan lingkungan yang sama
yang menjerumuskan anak tersebut sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
b. Pandangan negatif masyarakat tentang sanksi tindakan yang ‘diurus’
oleh keluarga Terdakwa.
Berangkat dari dampak positif dan negatif tersebut di atas, menurut penulis,
dampak positif dari penjatuhan sanksi tindakan terhadap anak dan anak pelaku tindak
pidana psikotropika jauh lebih baik daripada dampak negatifnya. Dalam hal
penerapan sanksi tindakan terhadap anak dan anak pelaku tindak pidana psikotropika
sangat diperlukan dukungan, bimbingan, dan pengawasan ketat dari orang tua anak
tersebut agar kembali ke jalan yang benar dan tidak mengulangi kejahatannya.
Anak-anak nakal tersebut dijatuhi hukuman sanksi tindakan untuk
direhabilitasi, maka Pemerintah harus menyediakan sarana dan pasarana terkait
dengan tempat rehabilitasi bagi anak pelaku tindak pidana psikotropika.
Upaya pencegahan terjadinya tindak pidana psikotropika bagi anak dilakukan
secara integral dan dinamis antara unsur-unsur aparat dan potensi masyarakat,
merupakan upaya yang terus menerus dan berkesinambungan, untuk merubah sikap
perilaku, cara berfikir dari kelompok masyarakat yang sudah mempunyai
kecenderungan menyalahgunakan serta melakukan tindak pidana perdagangan/
peredara gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. 82
Upaya pencegahan yang dimaksudkan adalah untuk menciptakan kesadaran
kewaspadaan dan daya tangkal terhadap bahaya-bahaya dan memiliki kemampuan
untuk menolak zat-zat berbahaya tersebut, untuk selanjutnya dapat menentukan
82
Arif Dwi Atmoko dan Imzacka Titah, “Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika dan
Psikotropika Polwiltabes Surabaya”, Junal Universitas Narotama, Surabaya, 2009.
Universitas Sumatera Utara
rencana masa depannya dengan hidup sehat, produktif, kreatif dan bermanfaat bagi
dirinya dan lingkungannya. Kebijaksanaan internasional dalam menanggulangi
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
tetap mengacu pada piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional yang ada. 83
83
Andi Muhammad Yasir Arafat, “Pernan Granat Bogor Dalam Membantu Tugas Kepolisian
Guna
Menanggulangi
Penyalahgunaan
Narkotika”,
Universitas
Pakuan,
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:KnFvwxLwq7AJ:ejournal.unpak.ac.id/downl
oad.php%3Ffile%3Dmahasiswa%26id%3D422%26name%3DANDI%2520MUHAMAD%2520YASI
R%2520ARAFAT%2520010105249.pdf+&cd=9&hl=id&ct=clnk&gl=id., diakses 29 Juni 2014, hal.
2.
Universitas Sumatera Utara
Download