BAB II SANKSI TINDAKAN KEPADA PECANDU DAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA Narkotika dan psikotropika tidak akan pernah ada habisnya membahas masalah yang satu ini. Suatu benda yang sebenarnya punya manfaat yang luar biasa dalam dunia kedokteran telah melenceng jauh dari fungsi asalnya. Nyatanya narkotika dan psikotropika disalahgunakan oleh para pemakai atau pecandu. Bahkan barang ini merupakan suatu lahan bisnis yang basah untuk meraup kekayaan dan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan dampak yang luar baisa bagi kehancuran bangsa, terutama apabila terjadi pada anak-anak muda yang merupakan generasi penerus bangsa. Pemakai, pengedar, bandar bahkan produsen ditangkap oleh aparat yang berwenang, tapi tetap saja penyalahgunaan barang haram ini masih banyak terjadi di masyarakat layaknya jamur di musim hujan, mati satu tumbuh seribu. ”Penegakan hukum dengan cara memenjarakan pecandu narkoba terbukti gagal. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang seharusnya menjadi tempat pembinaan sering kali menjadi sarang peredaran gelap narkoba”. 54 Maklum saja interaksi dalam kurun waktu tertentu yang berlangsung secara intensif diantara sasaran pelaku narkotika bisa meningkatkan wawasan dan keberanian untuk mencoba sesuatu hal yang lebih. 54 Harian Koran Sindo, “Penjara Bukan Solusi Selamatkan Pecandu Narkotika”, diterbitkan Minggu, 1 April 2014. 36 Universitas Sumatera Utara A. Sanksi Tindakan 1. Pengertian Sistem Satu Jalur (Single Track System) dan Sistem Dua Jalur (Double Track System) Menurut Pandangan Beberapa Ahli Hukum Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan, serta batasan antara keduanya yang dinilai kabur, maka perlu dipaparkan pendapat para sarjana mengenai dua jenis sanksi tersebut, sebagai berikut: a. Satochid Kertanegara Dalam salah satu karya tulisnya, Satochid menerangkan bahwa: ”Di dalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan bersifat siksaan, yaitu apa yang disebut tindakan (maatregel). Dia menunjuk contoh sanksi yang bukan merupakan siksaan itu terdapat dalam Pasal 45 KUHP”. 55 b. Sudarto Pendapatnya menekankan bahwa: ”Sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa sanksi pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat”. 56 c. Andi Hamzah Meskipun perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan menurut Andi Hamzah agak samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa: 55 Satochid Kartanegara, Op.cit., hal. 49. Soedarto, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1973, hal. 7 56 Universitas Sumatera Utara ”Sanksi pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan bertujuan melindungi masyarakat. Selanjutnya dia mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa macam sanksi pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP, sedangkan tindakan (maatregel) diluar pasal tersebut”. 57 d. Utrecht Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan dari sudut tujuannya. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dengan mengutip pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa: ”Sanksi tindakan itu bila ditinjau dari teori-teori pemidanaan merupakan sanksi yang tidak membalas, melainkan semata-mata ditujukan pada prevensi khusus. Sanksi tindakan itu bertujuan melindungi masyarakat terhadap orangorang berbahaya yang mungkin akan melakukan delik-delik yang dapat merugikan masyarakat”. 58 e. J.E. Jonkers Pakar hukum pidana dari Belanda ini juga membedakan jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dikatakannya, “sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial”. 59 Terdapat kesamaan pandangan antara Roeslan Saleh, Utrecht, Andi Hamzah dan Jonkers tentang lingkup di luar Pasal 10 KUHP yang dikatakan oleh mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai sanksi pidana. 57 58 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Op.cit., hal. 3. E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1987, hal. 360. 59 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 350. Universitas Sumatera Utara Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka sanksi pidana sesungguhnya: “Bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah”. 60 Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. 61 Atau seperti dikatakan J.E. Jonkers, bahwa: ”Sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial”. 62 Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang istimewa (bijzonder berbeda. Sanksi leed) kepada pidana pelanggar bertujuan supaya memberi ia penderitaan merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, ”perbedaan prinsip dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan”. 63 Sedangkan, ”sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik”. 64 60 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.cit., hal. 4. Soedarto, Hukum Pidana Jilid I A, Op.cit., hal. 7. 62 J.E. Jonkers, Op.cit., hal. 350. 63 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.cit., hal. 5. 64 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, hal. 360. 61 Universitas Sumatera Utara Teori-teori pemidanaan, maka ”sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu”. 65 Singkatnya, ”sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat”. 66 2. Kebaikan dan Kelemahan Sanksi Tindakan a. Kebaikan Sanksi Tindakan Sanksi tindakan baik diterapkan apabila didukung oleh sarana dan prasarana Pemerintah untuk itu seperti tempat rehabilitasi dan panti sosial. Fasilitas yang terdapat di dalam tempat rehabilitasi dan panti sosial tadi pun harus juga memadai, dalam artian daya tampung dan daya dukungnya harus memenuhi terhadap jumlah pemakai psikotropika yang ada di Indonesia. Setelah pelaku dan pecandu anak dimasukkan ke dalam rehabilitasi maka ada kemungkinan kesembuhan akan tercapai. Namun, bilamana dimasukka ke dalam Lembaga Pemasyarakatan ada kemungkinan akan meningkatkan ketergantungannya terhadap psikotropika. Karena daya tampung dan daya dukung dari Lembaga Pemasyarakatan sudah tidak memadai lagi. 65 66 Ibid. Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Op.cit., hal. 53. Universitas Sumatera Utara b. Kelemahan Sanksi Tindakan Kelemahan diterapkannya sanksi tindakan adalah pelaku dan pecandu anak tindak pidana psikotropika akan dengan mudah mengulangi perbuatannya. Pengulangan kejahatan dapat terjadi apabila tempat rehabilitasi dan panti sosial tersebut tidak didukung dengan fasilitas yang baik juga. Selain itu, pengulangan terjadi juga disebabkan karena pelaku dikembalikan kepada lingkungannya yang dapat menyebabkan dirinya kembali bergaul dengan teman-teman pelaku dan pecandu anak. Selain kelemahan tempat-tempat rehabilitasi dan panti sosial yang tidak didukung dengan fasilitas yang baik, kelemahan sanksi tindakan lainnya adalah adanya tanggapan dari masyarakat bahwa ada ‘permainan’ antara Hakim dan keluarga Terdakwa, masyarakat menganggap Hakim disogok agar putusan hanya berupa sanksi tindakan. Ada juga kesulitan-kesulitan lain yang dihadapi Hakim dalam menjatuhkan sanksi tindakan yaitu orang tua anak yang melakukan tindak pidana keberatan, jika anak diserahkan ke Negara atau ditempatkan di Departemen/Dinas Sosial. Hakim berpendapat, penjatuhan sanksi penjara pada anak tidak bermasalah, asalkan tidak dicampur dengan Narapidana dewasa dan tempatnya memadai, sehingga prisonisasi tidak akan terjadi, 67 meskipun dalam satu Lapas dengan Narapidana dewasa. 68 67 Pelaksanaan pidana penjara bagi anak, dicampur dengan narapidana dewasa dapat menjadi proses belajar yang salah (faulty learning) bagi anak, karena ada proses prisonisasi pada anak. Prisonisasi menurut Clemmer dalam Barda Nawawi Arief adalah proses belajar seorang narapidana tentang sub kultur atau sistem sosial informal yang ada dalam penjara. Dalam proses prisonisasi ini, narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat narapidana dan yang dipelajari adalah kepercayaan, perilaku-perilaku dan tata nilai dalam masyarakat narapidana di penjara. Proses prisonisasi yang diterima dan dialami oleh napi anak yang ditempatkan Universitas Sumatera Utara B. Aturan Hukum Sanksi Tindakan Terhadap Pecandu dan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Psikotropika Semua orang Indonesia tentu sudah mengetahui bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Negara yang berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, oleh karena itu, semua Warga Negara Indonesia tanpa ada pengecualian wajib taat dan patuh terhadap hukum. Tidak peduli rakyat kecil, pengusaha, maupun pejabat tinggi wajib untuk menaati hukum. Seluruh tindak tanduk atau perbuatan yang dilakukan di dalam negara wajib didasarkan atas hukum yang berlaku. Demikian pula apabila terjadi pelanggaran dan sengketa hukum, diselesaikan pula secara hukum. Mengenai psikotropika diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam Bagian Menimbang huruf c. ketentuan tersebut telah mengatur psikotropika yang hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pelanggaran terhadap peraturan ini diancam dengan hukuman pidana yang tinggi dan berat bahkan sampai hukuman mati. Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mengenai sanksi tindakan diberikan wewenang kepada Hakim untuk menerapkannya menurut Pasal 22 Jo. Pasal 25 ayat (2). Mengenai sanksi tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak terdapat pada Pasal 24, yang menyatakan bahwa : “(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : di Lembaga Pemasyarakatan ini akan berdampak negatif bagi perkembangan perilaku anak. Sumber : Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 7879. 68 Noeke Sri Wardhani, et.al., “Penerapan Pidana Alternatif Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana di Pengadilan Negeri Bengkulu”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. V, No. II, Agustus 2009, hal. 51. Universitas Sumatera Utara a. b. c. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim”. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 telah diatur ketentuan pidana yang dapat diterapkan bagi pelaku kejahatan penyalahgunaan psikotropika, yaitu: 1. Pasal 59 ayat (1) huruf c, yang menyatakan bahwa: “Barangsiapa mengedarkan psikotropika Golongan I tidak memenuhi ketentuan yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) yaitu psikotropika Golongan I hanya dapat diproduksi oleh pabrik dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna pengembangan ilmu pengetahuan, dipidana dengan penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”. Ancaman pidana tersebut akan diperberat apabila tindak pidananya dilakukan secara terorganisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) dan ayat (3), yaitu: 1. Pasal 59 ayat (2), menyatakan bahwa: “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisir dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”. 2. Pasal 60, menyatakan bahwa: (1) “Barangsiapa : a. Memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5, atau b. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, atau Universitas Sumatera Utara c. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar dalam yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima penyerahan itu adalah pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara (3) bulan”. 3. Pasal 61, menyatakan bahwa: (1) “Barangsiapa : a. Mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16, atau b. Mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagiamana dimaksud dalam Pasal 17, atau c. Melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau Pasal 22 ayat (4). (2) Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang bertanggung jawab atas pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”. Universitas Sumatera Utara 4. Pasal 62, menyatakan bahwa: “Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. 5. Pasal 69, menyatakan bahwa: “Percobaan atau perbentukan untuk melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang dipidana sama dengan jika tindak pidana tersebut dilakukan”. Apa yang telah diuraikan di atas adalah pembahasan perbuatan dan percobaan melakukan kejahatan berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang menghendaki supaya pelaku utamanya dapat dihukum sama beratnya dengan orang yang melakukan perbuatan percobaan terhadap tindak pidana psikotropika. Demikian juga dengan percobaan yang dilakukan oleh seseorang sampai selesainya melakukan kejahatan tersebut. 6. Pasal 70, menyatakan bahwa: “Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak kejahatan tersebut dan dapat dilakukan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha”. 7. Pasal 71, menyatakan bahwa: (1) “Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 maka dipidana sebagai suatu permufakatan jahat. (2) Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut”. Universitas Sumatera Utara 8. Pasal 72, menyatakan bahwa: “Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang dibawa perempuan atau ketika dalam melakukan tindak pidana belum lewat 2 (dua) tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut”. Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa kejahatan di bidang psikotropika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, akan tetapi adakalanya kejahatan dilakukan bersama-sama dengan anak di bawah umur (belum genap 18 tahun usianya). Oleh karena anak-anak yang belum dewasa cenderung mudah dipengaruhi untuk melakukan tindak pidana psikotropika, maka perbuatan memanfaatkan anak di bawah umur untuk melakukan tindak pidana psikotropika diatur dalam Pasal 62, Pasal 72 dan Pasal-Pasal lain yang dapat dikenakan terhadap anak sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika apabila permufakatan jahat melibatkan anak-anak yang belum dewasa hukumannya tetap diperberat seperti orang dewasa, yaitu pidana tambahan sepertiga dari pidana yang berlaku pada Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. C. Dasar Hukum Pengadilan Anak Dalam Menjatuhkan Sanksi Tindakan dan Terkait Dengan Pecandu Tindak Pidana Psikotropika Perbedaan perilaku dan ancaman pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak dalam menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu pembedaan tersebut dimaksudkan untuk Universitas Sumatera Utara memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karena dalam Bagian Umum Penjelasan UndangUndang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang ketentuanketentuan pidana, baik ketentuan pidana formil maupun pidana materil bagi anak, maka sesungguhnya maksud dan tujuan undang-undang membentuk pengadilan ini untuk mengadili pidana anak. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga telah diatur mengenai batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke sidang anak seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) yaitu sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Apabila anak yang bersangkutan telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, maka menurut Pasal 4 ayat (2) tetap diajukan ke sidang anak. Kasus mengenai sanksi terhadap anak dalam undang-undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan sanksi tindakan, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menyatakan bahwa: (1) “Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah: a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; Universitas Sumatera Utara b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim”. Uraian di atas terlihat bahwa anak nakal (juvenile delinquency) itu tidak dijatuhi pidana. 69 Kemudian ada dua hal yang sifatnya menentukan yang perlu diperhatikan oleh hakim, yaitu 70 : a. “Pada waktu anak melakukan tindak pidana, anak haruslah telah mencapai umur di atas 12 sampai 18 tahun; b. Pada saat Jaksa melakukan penuntutan terhadap anak, anak harus masih belum dewasa (belum mencapai usia 18 tahun) atau belum kawin”. Pidana yang dijatuhkan terhadap anak nakal menurut Pasal 23 UndangUndang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, meliputi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok meliputi pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan, sedangkan pidana tambahan dapat berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, telah memberikan perlakuan khusus terhadap anak-anak yang melakukan suatu tindak pidana, baik dalam hukum acaranya maupun peradilannya. Terjadi mengingat karena sifat anak dan keadaan psikologinya dalam beberapa hal tertentu memerlukan 69 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak : Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal. 158. 70 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 30. Universitas Sumatera Utara perlakuan khusus serta perlindungan yang khusus pula, terutama terhadap tindakantindakan yang pada hakekatnya dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani anak. Direalisasikan dengan dimulai pada perlakuan khusus saat penahanan, yaitu dengan menahan anak secara terpisah dengan orang dewasa. Pemeriksaan dilakukan oleh bagian tersendiri yang terpisah dari orang dewasa. Dimaksudkan untuk menghindarkan anak terhadap pengaruh-pengaruh buruk yang dapat diserap yang disebabkan oleh konteks kultural dengan tahanan yang lain. Kemudian dalam penyidikan polisi/jaksa yang bertugas dalam memeriksa dan mengkoreksi keterangan tersangka di bawah umur tidak diperkenankan memakai seragam dan pendekatan secara efektif, afektif dan simpatik. Pasal 6 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menyatakan bahwa: “Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas”. Pemberlakuan ini dimaksudkan agar anak tidak merasa takut dan seram menghadapi Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, Penasehat Hukum serta petugas lainnya. Sehingga dapat mengeluarkan perasaannya kepada hakim mengapa ia melakukan suatu tindak pidana. Disamping itu, guna mewujudkan suasana kekeluargaan agar tidak menjadi peristiwa yang mengerikan bagi anak. Pasal 8 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menyatakan bahwa: (1) “Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup. (2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sidang terbuka. Universitas Sumatera Utara (3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan. (4) Selian mereka yang disebut dalam ayat (3), orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (5) Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali atau orang tua asuhnya. (6) Putusan Pengadilan dalam pemeriksaan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Pemeriksaan perkara pidana anak yang dilakukan secara tertutup agar terciptanya suasana tenang, dan penuh dengan kekeluargaan sehingga anak dapat mengutarakan segala peristiwa dan segala perasaannya secara terbuka dan jujur selama sidang berjalan. “Kemudian digunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali atau orang tua asuhnya dimaksud agar identitas anak dan keluarganya tidak menjadi berita umum yang akan lebih menekan perasaan serta mengganggu kesehatan mental anak”. 71 Pasal 11 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menyebutkan bahwa: (1) “Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal. (2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu ketua pengadilan negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak akan dilakukan dengan hakim majelis”. Alasan perlu diadakannya hakim tunggal dalam sidang tingkat pertama, karena: a. “Perkara dapat diselesaikan dengan lancar; 71 Ibid., hal. 35. Universitas Sumatera Utara b. Hakim tunggal akan lebih dituntut untuk lebih bertanggung jawab secara pribadi; c. Dengan hakim tunggal anak tidak menjadi bingung; d. Kerjasama hakim tunggal dengan pejabat-pejabat pengawasan dan sosial juga lebih mudah diadakan; e. Hakim anak dapat mengikuti perkembangan anak yang sedang menjalani pidana”. 72 Dapat disimpulkan bahwa dengan hakim tunggal adalah pilihan yang paling tepat digunakan untuk sidang anak. Pada Pasal 55 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menyatakan bahwa: “Dalam perkara anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, Orang Tua, Wali atau Orang Tua Asuh, dan Saksi wajib hadir dalam sidang anak”. Kehadiran kerabat dekat si anak dapat membuat perasaan tenang, aman, dan terlindungi bagi anak yang sedang dalam pemeriksaan sehingga kegundahan yang terjadi pada diri anak akibat tuntutan jaksa dapat dihilangkan. Dapat disimpulkan bahwa dalam ketentuan hukum mengenai anak-anak, khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana, diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, baik dalam pembedaan perilaku di dalam hukum acara maupun ancaman pidananya. Ketentuan ini merupakan lex spesialis dari ketentuan KUHP dan KUHAP, maka ketentuan ini sudah mengatur tersendiri hukum acara pidananya, dan juga mengatur tentang sejumlah sanksi pidana terhadap anak yang terlibat dalam tindak kejahatan. Kaitan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika terhadap pecandu dan anak 72 Ibid., hal. 36. Universitas Sumatera Utara sebagai pelaku tindak pidana psikotropika adalah terlihat pada batasan usia pemberlakuan sanksi tindakan. Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, batasan usia anak nakal adalah berumur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, batasan usia terhadap pecandu dan anak sebagai pelaku adalah 18 (delapan belas) tahun. Kasus mengenai sanksi terhadap anak dalam undang-undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan sanksi tindakan, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. D. Dampak-Dampak Penjatuhan Sanksi Tindakan Terhadap Pecandu dan Anak Pelaku Tindak Pidana Psikotropika Praktek penggunaan sanksi pidana dalam perundang-undangan, selain diterapkan tindakan dan hukuman atau diperlakukannya sistem dua jalur dalam pemidanaan (doublé track system), ada juga pemidanaan satu jalur (single track system) tetapi terkesan bukan pidana tetapi hanya suatu tindakan. 73 Demikian pula dalam hal sanksi administratif melalui sistem pidana menggunakan pidana tambahan, tetapi sebagai suatu tindakan tata tertib atau sanksi administratif, sehingga pidana 73 Sudarto dalam E.Z. Leasa, Op.cit., hal. 51. Universitas Sumatera Utara tambahan terkesan sebagai tindakan, atau sanksi tindakan yang terkesan mengandung pidana tambahan. Sanksi yang dapat diberikan terhadap anak nakal, UU Pengadilan Anak telah mengaturnya dan secara garis besarnya sanksi yang dapat dijatuhkan bagi anak yang telah melakukan kenakalan terdiri dari sanksi pidana dan sanksi tindakan (Pasal 22). Perumusan kedua jenis sanksi ini menunjukkan bahwa UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah menganut apa yang disebut double track system, dengan kata lain UU ini secara eksplisit mengatur tentang jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan sekaligus, penggunaan sistim dua jalur (zweipurigkeit) merupakan konsekwensi dianutnya aliran klasik. Pemikiran bahwa seolah-olah sistim tindakan hanya dikenakan bagi orang yang tidak mampu harus ditinggalkan. 74 Adapun sanksi tindakan yang dapat dikenakan kepada anak nakal, yaitu 75 : 1. “Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; 2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; 3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja”. Terkait dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1755K/Pid.Sus/2010 tanggal 8 Oktober 2010 dalam perkara atas nama terdakwa Eljefri Irawan alias Jefri, 74 Hidjaz Yunus, et.al., “Penerapan Sanksi Pidana dan Tindakan Yang Edukatif Terhadap Anak”, Jurnal Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin , Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, tanpa tahun, hal. 6. 75 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Universitas Sumatera Utara usia 17 (tujuh belas) tahun dalam perkara tindak pidana psikotropika yang menolak upaya hukum kasasi dari Jaksa Penuntut Umum dimana dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa :“Pertimbangan judex facti sudah tepat dan benar, karena terdakwa masih berstatus anak dan undang-undang memperbolehkan agar anak/terdakwa tersebut diserahkan kepada orang tuanya untuk dididik”. 76 Seorang anak yang sudah dikenakan sanksi tindakan sudah pasti anak tersebut dikategorikan sebagai anak nakal. Pada Putusan Mahkamah Agung RI No. 1755K/Pid.Sus/2010 tanggal 8 Oktober 2010 tersebut telah diputus bahwa Terdakwa Eljefri Irawan alias Jefri yang berusia 17 (tujuh belas) tahun yang melakukan tindak pidana psikotropika dihukum untuk diserahkan kepada orang tuanya untuk didik dengan pertimbangan hakim bahwa Terdakwa masih berstatus anak, dan tujuan Majelis Hakim menyerahkan kepada orang tuanya agar anak tersebut dapat dididik. Putusan tersebut, jelas bahwa Terdakwa dikembalikan kepada orang tuanya, dan dampak-dampak yang mungkin terjadi apabila anak tersebut kembali kepada orang tuanya dapat dilihat dari dua dampak, yaitu : Dampak Positif dan Dampak Negatif. Adapun dampak positif bagi Terdakwa Eljefri Irawan alias Jefri yang sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun, Jefri tidak merasakan hidup di penjara. Terdakwa Jefri dapat diberikan pendidikan untuk membantu anak tersebut kembali ke dunia 76 Kaitkan Pertimbangan Hakim dalam Putusan MARI Nomor : 1755K/Pid.Sus/2010 tanggal 8 Oktober 2010 dengan Pasal 16 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa : “(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum; (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara bagi anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”. Universitas Sumatera Utara pendidikan agar ia bersekolah. Sedangkan dampak negatif bagi diri anak tersebut adalah bahwa Terdakwa Jefri akan dapat kembali ke dunianya yang dulu, yaitu bergabung kepada pengedar-pengedar psikotropika lainnya. Sehingga dirinya menjadi pengedar lagi, malah dapat merubah Jefri menjadi bandar psikotropika. 77 Begitu juga dampak bagi anak-anak nakal lainnya apabila dijatuhi sanksi tindakan. Sanksi pidana maupun sanksi tindakan yang diterapkan dapat mempunyai dampak positif dan negatif. 1. Dampak Positif a. Dapat melanjutkan pendidikannya sebagai penerus bangsa; 78 b. Tidak merasakan hukuman penjara; 79 c. Dapat hidup normal apabila selesai melakukan rehabilitasi; 80 2. Dampak Negatif a. Dapat kembali kepada lingkungannya terdahulu sehingga dapat mengulangi kejahatan; 81 77 Putusan Majelis Hakim Agung ini sejalan dengan putusan Terdakwa Muhammad Azuar alias Raju yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP Jo. UU No. 3 Tahun 1997, dan menjatuhkan hukuman kepada Raju berupa sanksi tindakan dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya. Sumber : Putusan Pengadilan Negeri Stabat No. 828/Pid.B/2005/PN.Stb. an. Terdakwa Muhammad Azuar alias Raju. 78 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 79 Sudah dapat dipastikan apabila seseorang dikenakan sanksi tindakan oleh Hakim, maka Terdakwa tersebut tidak masuk dan merasakan kehidupan di penjara. 80 Dengan direhabilitasinya anak di bawah umur, maka anak tersebut berhak untuk mendapatkan perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri. Sumber : Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 22. 81 Seorang Anak yang dikenakan sanksi tindakan rehabilitasi dan dikembalikan kepada orang tuanya, pasti anak tersebut kembali ke rumah orang tuanya dan bergaul dengan lingkungan yang sama yang menjerumuskan anak tersebut sebelumnya. Universitas Sumatera Utara b. Pandangan negatif masyarakat tentang sanksi tindakan yang ‘diurus’ oleh keluarga Terdakwa. Berangkat dari dampak positif dan negatif tersebut di atas, menurut penulis, dampak positif dari penjatuhan sanksi tindakan terhadap anak dan anak pelaku tindak pidana psikotropika jauh lebih baik daripada dampak negatifnya. Dalam hal penerapan sanksi tindakan terhadap anak dan anak pelaku tindak pidana psikotropika sangat diperlukan dukungan, bimbingan, dan pengawasan ketat dari orang tua anak tersebut agar kembali ke jalan yang benar dan tidak mengulangi kejahatannya. Anak-anak nakal tersebut dijatuhi hukuman sanksi tindakan untuk direhabilitasi, maka Pemerintah harus menyediakan sarana dan pasarana terkait dengan tempat rehabilitasi bagi anak pelaku tindak pidana psikotropika. Upaya pencegahan terjadinya tindak pidana psikotropika bagi anak dilakukan secara integral dan dinamis antara unsur-unsur aparat dan potensi masyarakat, merupakan upaya yang terus menerus dan berkesinambungan, untuk merubah sikap perilaku, cara berfikir dari kelompok masyarakat yang sudah mempunyai kecenderungan menyalahgunakan serta melakukan tindak pidana perdagangan/ peredara gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. 82 Upaya pencegahan yang dimaksudkan adalah untuk menciptakan kesadaran kewaspadaan dan daya tangkal terhadap bahaya-bahaya dan memiliki kemampuan untuk menolak zat-zat berbahaya tersebut, untuk selanjutnya dapat menentukan 82 Arif Dwi Atmoko dan Imzacka Titah, “Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika Polwiltabes Surabaya”, Junal Universitas Narotama, Surabaya, 2009. Universitas Sumatera Utara rencana masa depannya dengan hidup sehat, produktif, kreatif dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Kebijaksanaan internasional dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya tetap mengacu pada piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional yang ada. 83 83 Andi Muhammad Yasir Arafat, “Pernan Granat Bogor Dalam Membantu Tugas Kepolisian Guna Menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika”, Universitas Pakuan, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:KnFvwxLwq7AJ:ejournal.unpak.ac.id/downl oad.php%3Ffile%3Dmahasiswa%26id%3D422%26name%3DANDI%2520MUHAMAD%2520YASI R%2520ARAFAT%2520010105249.pdf+&cd=9&hl=id&ct=clnk&gl=id., diakses 29 Juni 2014, hal. 2. Universitas Sumatera Utara