BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Membuktikan, menurut para ahli, ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa dan mengandung maksud untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran tersebut (Subekti, 2001: 1). Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2006:273). Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tatacara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian (Hary Sasangka dan Lily Rosita, 2003:10). Tujuan dari pembuktian adalah untuk meyakinkan tentang kebenaran peristiwa yang mungkin masih diduga dan menjadi perkara di Pegadilan. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya 1998:133). 13 (Darwan Prinst, b. Prinsip Pembuktian Prinsip-prinsip pembuktian dalam penjabarannya adalah: 1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. 2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:20). 2) Menjadi saksi adalah kewajiban Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP, “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli” 3) Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis) Prinsip ini terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP yang berbunyi: “Dalam pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. Sehingga dapat diartikan berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat 14 bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat (M. Yahya Harahap, 2003:267). 4) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”. 5) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri Prinsip ini diatur dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri (Adnan Paslyadja, 1997:8-15). Menurut paham ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya (M. Yahya Harahap, 2003:321). c. Teori Sistem Pembuktian 1) Conviction in Time Sistem pembuktian conviction in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh Sistem pembuktian ini hakim mengetahui terdakwa memiliki Sabu-Sabu yang sangat besar, jika hakim telah merasa yakin bahwa terdakwa benar 15 melakukan apa yang didakwakan kepadanya maka hakim bisa menjatuhkan pidana terhadapnya. Kelemahan dari sistem pembuktian conviction-in time yaitu jika alat-alat bukti yang diajukan di persidangan mendukung kebenaran dakwaan terhadap terdakwa namun hakim tidak yakin akan itu semua maka tetap saja terdakwa bisa bebas. Sebaliknya, jika alatalat bukti yang dihadirkan di persidangan tidak mendukung adanya kebenaran dakwaan terhadap terdakwa namun hakim meyakini terdakwa benar- benar melakukan apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum maka pidana dapat dijatuhkan oleh Hakim(Sri Ingeten Br Perangin-Angin, 2008:28). 2) Conviction in Raisone Sistem Conviction in Raisone, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa, tetapi dalam sistem pembuktian, faktor keyakinan hakim akan dibatasi. Memang pada akhirnya keputusan terbukti atau tidak terbuktinya dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa ditentukan oleh hakim, tetapi dalam memberikan putusannya hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Penalaran tersebut (keyakinan hakim) haruslah yang reasonable (Yahya Harahap, 1993:256). Arti diterima disini hakim dituntut untuk menguraikan alasanalasan yang logis dan masuk akal. 3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie) Maksud dari pembuktian menurut Undang-Undang secara positif adalah bahwa untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidak bersalah haruslahsesuai dan tunduk terhadap Undang-Undang.Sistem ini sangat berbeda dengan sistem pembuktian convictionin time dan conviction in raisonee. Pada sistem ini tidak ada tempat bagi keyakinan hakim. Seseorang dinyatakan bersalah jika proses 16 pembuktian dan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan telah menunjukkan bahwa terdakwa bersalah. Proses pembuktian serta alat bukti yang diajukan diatur secara tegas dalam Undang-Undang. Pembuktian dalam sistem ini didasarkan pada alat-alat bukti yang sudah ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang, sistem ini merupakan kebalikan dari sistem conviction in time karena dalam sistem ini apabila perbuatan sudah terbukti dengan adanya alat-alat bukti maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi (Andy Hamzah, 2001: 248). 4) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (negatief wettelijk bewcijstheorie) Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif ini mengisyaratkan adanya keyakinan hakim untuk menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak.Alat-alat bukti dalam sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, diatur secara tegas oleh Undang-Undang, demikian juga dengan mekanisme pembuktian yang ditempuh. Ketika alat-alat bukti telah mendukung benarnya dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa, maka haruslah timbul keyakinan pada diri hakim akan kebenaran dari alat-alat bukti tersebut. Jika alatalat bukti telah mendukung kebenaran bahwa terdakwa bersalah namun belum timbul keyakinan pada diri hakim, maka pidana tidak dapat dijatuhkan. Untuk membuktikan salah atau tidaknya Terdakwa menurut sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif, terdapat dua komponen (M.Yahya Harahap, 2007:279) : a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. b) Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. d. Jenis Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP Kekuatan alat bukti dalam suatu perkara sangat tergantung dari adanya faktor kualitas penegak hukum, kode etik, dan hubungan sosial 17 dengan masyarakat. Pembuktian suatu tindak pidana, hakim akan dibantu dengan alat bukti yang ada. Efektifitas alat bukti telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Hakim dengan sungguh-sungguh harus memeriksa alat-alat bukti yang telah diajukan oleh penuntut umum guna mendapatkan kebenaran sesuai dengan keyakinannya. Alat-alat bukti yang sah merupakan alat-alat bukti yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, guna menambah keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Ayat (1) KUHAP adalah berikut : 1) Keterangan Saksi Pengertian mengenai siapa yang disebut saksi yang diatur dalam Pasal 1 butir (26) KUHAP, adalah seorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan keterangan saksi menurut Pasal 1 butir (27) KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Perkembangan pengertian keterangan saksi mengalami perluasan setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, definisi keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia melihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Dalam hal ini berkaitan dengan hak terdakwa untuk menghadirkan dan mendengarkan meringankan bagi dirinya. 18 keterangan saksi yang Syarat sahnya keterangan saksi sebagai alat bukti dapat bernilai sebagai kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang saksi. Seorang saksi dalam memberikan kesaksiannya, dapat dikatakan sah apabila : a) Harus mengucap janji atau sumpah Umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.Dalam pasal tersebut tersangka berhak mengusulkan saksi.Hal ini dilakukan dengan alasan karena tersangka berhak melakukan pembelaan pada dakwaan yang dituduhkan kepadanya dengan mengajukan seorang saksi, dan karena pada umumnya para saksi itu memberatkan tersangka. Bilamana ada saksi A De Charge ini, maka penyidik harus memeriksanya dicatat dalam berita acara dengan memanggil dan memeriksa saksi tersebut. Saksi yang dalam keterangannya dapat meringankan terdakwa.Serta saksi yang dapat memberatkan terdakwa A Charge diatur dalam Pasal 160 ayat (1). Mengucap sumpah atau janji, hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP dan sudah panjang lebar diuraikan dalam ruang lingkup pemeriksaan saksi. Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberi keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janjinya adalah dilakukan menurut cara agamanya masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya wajib diucapkan dalam saksi memberi keterangan, akan tetapi Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Menurut ketentuan tersebut saat 19 pengucapan sumpah atau janji, pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan dan tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangan. Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji, sudah diterangkan, yakni terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah : dapat dikenakan sandera, penyanderaan dilakukan berdasar penetapan hakm ketua sidang, dan penyanderaan dalam hal seperti ini paling lama empat belas hari (M.Yahya Harahap, 2012:286). b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 butir 27 KUHAP, yaitu: yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu (M.Yahya Harahap, 2012:287). Berkaitan dengan Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil dari pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti (Pasal 185 KUHAP). Berkaitan dengan kesaksian de auditu, tidak diperkenankan sebagai alat bukti dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak menjamin kebenarannya. Maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patuh tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun tidak 20 mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain (Andy Hamzah, 2009:262). c) Keterangan Saksi Harus Diberikan di Sidang Pengadilan Keterangan saksi jika dikemukakan diluar sidang pengadilan (outside the court), bukanlah menjadi alat bukti dan tidak bisa dijadikan sebagai keterangan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Sekalipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum ada yang mendengar keterangan seorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan keterangan itu mereka dengar di halaman kantor pengadilan atau disampaikan seseorang kepada hakim di rumah tempat tinggalnya. Keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena itu tidak dinyatakan di sidang pengadilan. (M.Yahya Harahap,2012: 287). Keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang dinyatakan di sidang pengadilan.Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP. Kalau begitu, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. d) Keterangan Seorang Saksi Saja Dianggap Tidak Cukup Supaya keterangan saksi dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Kalau begitu keterangan seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat 21 bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau unus testis nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Walaupun seandainya keterangan saksi tunggal itu sedemikian rupa jelasnya, tetapi terdakwa tetap mungkir serta kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat bukti lain, kesakasian ini harus dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan unus testis nullus testis. Lain hal nya jika terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya.Hal seperti ini seorang saksi sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah dicukupi dengan alat bukti keterangan/pengakuan terdakwa.Apabila sudah tercukupi pembuktian berarti telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence, yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Memperhatikan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP adalah : untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi, dan atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu atau alat bukti yang lain (M.Yahya Harahap, 2012: 288). e) Keterangan Beberapa Saksi yang Berdiri Sendiri Sering terdapat kekeliruan pendapat sementara orang yang beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan 22 terdakwa. Pendapat yang demikian keliru, karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan secara “kuantitatif” telah melampaui batas minimum pembuktian belum tentu keterangan mereka secara “kualitatif” memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka saling “berdiri sendiri” tanpa adanya saling hubungan antara saksi satu dengan saksi lain, yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Berapa pun banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar keterangannya di sidang pegadilan, hanya pemborosan waktu jika masing-masing keterangan mereka itu berdiri sendiri tanpa hubungan antara yang satu dengan yang lain. Hal seperti ini menegaskan “keterangan saksi satu saja, sedang terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan kepadanya dan keterangan saksi-saksi lainnya tidak memberi petunjuk tehadap kejahatan yang dituduhkan, belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan “terdakwa”.Dalam perkara ini ternyata ada beberapa orang saksi yang didengar keterangannya di sidang pengadilan.Sekian banyak saksi tersebut, hanya satu saksi yang dapat dinilai sebagai alat bukti, sedang saksisaksi selebihnya hanya bersifat keterangan yang berdiri sendiri tanpa saling berhubungan.Sebagai alat bukti petunjuk saja pun tidak mencukupi. Mahkamah Agung menilai keterangan saksi yang banyak itu, sama sekali tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Kemapuan dan keterampilan penyidik dibutuhkan untuk mempersiapkan dan menyediakan saksi-saksi yang secara kualitatif dapat memberikan keterangan yang saling berhubungan, bukan hanya mengumpulkan saksi yang banyak, tapi hanya menyajikan keterangan yang berdiri sendiri. Hal yang seperti inilah yang diperingatkan oleh Pasal 185 ayat (4) yang menegaskan: 23 keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dengan syarat, apabila keterangan saksi itu “ada hubungannya” satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu (M.Yahya Harahap, 2012:289). 2) Keterangan Ahli Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP ini berbeda dengan HIR (Herzience Indonesich Reglement) dahulu yang tidak mencantumkan keterangan ahli sebagai alat bukti. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh keterangan ahli sebagai alat bukti dalam persidangan adalah sebagai berikut: a) Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli Mulai ketentuan Pasal 133 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan Pasal 186 jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut : (1) Diminta dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan penyidikan, jadi, pada saat penyidikan demi untuk kepentingan peradilan, penyidik meminta keterangan ahli, permintaan itu dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebut secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan. Misalnya, apakah untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat ataupun untuk pemeriksaan bedah mayat dan sebagainya. (2) Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat laporan, laporan itu bisa berupa surat keterangan yang lazim disbut visum et repertum. 24 (3) Laporan atau visum et repertum itu dibuat oleh ahli yang bersangkutan mengingat sumpah di waktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan (Andy Hamzah, 2012:272). b) Keterangan Ahli Yang Diminta dan Diberikan di Sidang (1) Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh ketua sidang karena jabatan, maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, dapat menerima pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. (2) Keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk keterangan lisan dan secara langsung diberikan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. (3) Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera. (4) Ahli yang memberi keterangan lebih dulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberi keterangan. Jadi dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan, tidak dapat diberikan hanya berdasar sumpah atau janji pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, tapi harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia memberi keterangan. Dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut UndangUndang, dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian (Andy Hamzah, 2012:273). 3) Alat Bukti Surat Selain Pasal 184 yang menyebut alat-alat bukti maka hanya ada satu Pasal saja dalam KUHAP yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187 yang terdiri atas 4 ayat : 25 (1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat tentang keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. (2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. (3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. (4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain (Andy Hamzah, 2012:275). 4) Alat Bukti Petunjuk Menurut Pasal 188 Ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.Pasal selanjutnya yaitu Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Disebutkan bahwa petunjuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa. Hanya dari ketiga alat bukti itu bukti petunjuk dapat diolah.Melalui ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan, kejadian, atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan (Andy Hamzah, 2012:277). 26 5) Keterangan Terdakwa Menurut Pasal 189 KUHAP, keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.Ada beberapa asas penilaian terhadap keterangan Terdakwa yang menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa dijadikan sebagai alat bukti,yaitu: a) Tentang Perbuatan yang Dilakukan Terdakwa Arti dari ketentuan ini adalah hakim jangan sampai keliru memasukkan keterangan terdakwa yang berupa pernyataan mengenai perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Pernyataan perbuatan yang dapat dinilai sebagai alat bukti ialah penjelasan tentang perbuatan yang dilakukan terdakwa sendiri. Setiap pertanyaan yang bermaksud hendak mengetahui apa saja yang diakukan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa, akan terarah di sekitar perbuatan yang dilakukannya. Pertanyaan tidak akan melenceng diluar tindakan atau perbuatan yang dilakukannya. Tentu boleh saja menanyakan perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, asal ada kaitan langsung dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa sendiri (Andy Hamzah, 2012:278). b) Tentang Apa yang Diketahui Sendiri Oleh Terdakwa Undang-Undang membuat garis pembatasan antara yang diketahui terdakwa sehubungan dengan peristiwa pidana dengan pengetahuan yang bersifat pendapat sendiri.Ketentuan ini mengenai yang diketahui sendiri oleh terdakwa, bukan pengetahuan yang bersifat “pendapat maupun rekaan” yang terdakwa peroleh dari hasil pemikiran. Arti yang terdakwa ketahui sendiri tiada lain daripada pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya. Bukan 27 pendapat atau rekaan terhadap peristiwa pidana tersebut, tetapi semata- mata pengetahuan langsung yang timbul dari peristiwa tindak pidana itu.Corak dan arah pertanyaan yang diajukan kepada terdakwa harus berkisar dan bertitik tolak tentang hubungan pengetahuannya dengan tindak pidana yang diperiksa.Keterangan atau pernyataan yang berupa pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran terakwa adalah keterangan yang tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti keterangan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012:320). c) Tentang Apa Yang Dialami Sendiri Oleh Terdakwa Mengenai hal ini pun pernyataan terdakwa tentang apa yang dialami baru dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti jika pernyataan pengalaman itu mengenai pengalamannya sendiri. Apa yang terdakwa alami sendiri harus berupa pengalaman yang langsung berhubungan dengan peristiwa pidana yang bersangkutan, mengenai hal-hal yang dialami sendiri oleh terdakwa pada saat terjadi peristiwa pidana. Hal lain diluar pengalaman yang seperti ini, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan terdakwa. d) Keterangan Terdakwa Hanya Merupakan Alat Bukti Terhadap Dirinya Sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya (M. Yahya Harahap, 2012:321). 28 e) Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4)KUHAP yaitu keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.Sedikitpun tidak ada perbedaan penegasan Pasal 189 ayat (4)KUHAP dengan prinsip batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183 KUHAP.Pasal 183 KUHAP telah menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan hukuman pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Asas batas minimum pembuktian ini tidak berbeda dengan apa yang ditentukan pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP, yang menegaskan bahwa keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahannya tapi harus disertai atau didukung dengan alat bukti yang lain (M. Yahya Harahap, 2012:321). f) Keterangan Terdakwa Diluar Sidang (The Confession Outside The Court) Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti, keterangan itu harus terdakwa buktikan di sidang pengadilan. Asas ini menjelaskan bahwa keterangan terdakwa yang dinyatakan diluar sidang pengadilan sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat dipergunakan untuk membantu menemukan alat bukti di sidang pengadilan.Syarat keterangan diluar sidang harus didukung 29 oleh suatu alat bukti yang sah, dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang hal yang didakwakan kepadanya.Berdasarkan ketentuan ini, keterangan terdakwa yang dinyatakan diluar sidang tidak dapat dinilai sebagai alat bukti, oleh karena itu, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti.Keterangan terdakwa tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti, tetapi dapat dipergunakan membantu menemukan bukti di sidang pengadilan.Keterangan terdakwa dapat digunakan menemukan bukti harus didukung oleh suatu alat bukti yang ada hubungannya mengenai hal yang didakwakan kepadanya.Keterangan diluar sidang tidak didukung oleh salah satu alat bukti yang sah, keterangan itu tidak dapat dipergunakan berfungsi sebagai alat pembantu menemukan bukti di sidang (M. Yahya Harahap, 2012:323). g) Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa Sifat nilai kekuatan pembuktian adalah bebas dan hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa.Hakim bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya.Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya.Apabila terdapat penolakan, hendaknya mengajukan alasan yang berargumentasi proporsional dan akomodatif. Demikian juga sebaliknya, seandainya hakim hendak menjadikan alat bukti keterangan terdakwa sebagai salah satu landasan pembuktian kesalahan terdakwa, harus dilengkapi dengan alasan yang argumentatif dengan menghubungkannya dengan alat bukti yang lain (M. Yahya Harahap, 2012:331). 30 2. Asas Persidangan dan Pertimbangan Hakim a. Asas Persidangan Ada beberapa asas hukum yang berlaku dalam praktek atau proses persidangan, antara lain: 1. Peradilan sederhana,cepat, dan biaya ringan. 2. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum Pasal 153 ayat (3) dan(4)KUHAP: untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. 3. Praduga tak bersalah (presemuption of innocence): setiap orang yangdisangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 4. Asas Opurtunitas: asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum. 5. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap. 6. Asas akusator dan inkisitor. 7. Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum. 8. Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan. 9. Semua orang diperlakukan sama di depan hakim. b. Pengertian Pertimbangan Hakim Seorang hakim dalam menjatuhkan putusan akan mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis dan non yuridis, yaitu: 1) Pertimbangan Yuridis Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argument atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum 31 yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Dalam praktik sebelum pertimbangan yuridis ini dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti. Lilik Mulyadi (2007:193) mengemukakan bahwa: ”Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik, apakah perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan delik yang didakwakan oleh Penuntut Umum/dictum putusan hakim”. 2) Pertimbangan yang Bersifat Non Yuridis Selain mempertimbangkan yang bersifat yuridis, hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis.Pertimbangan non yuridis yang bertitik tolak pada dampak yang merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pertimbangan yang bersifat non yuridis yaitu: a) Kondisi diri terdakwa, Terdakwa dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dalam arti sudah dewasa dan sadar (tidak gila). b) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana, Setiap perbuatan tindak pidana mengandung bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum. 3. Kasasi a. Pengertian Kasasi Kasasi merupakan salah satu upaya yanakan ketentua hukum biasa dan merupakan hak asasi yang diberikan peraturan perundangundangan dalam mencari keadilan. Kasasi berasal dari kata “cassation” dengan kata kerja “casser” yang artinya membatalkan atau memecahkan. Pemeriksaan perkara pidana oleh Mahkamah Agung 32 pada peradilan kasasi, mempergunakan ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Kasasi merupakan upaya hukum yang diberikan kepada terdakwa dan jaksa penuntut umum bila berkeberatan terhadap putusan pengadilan yang diberikan kepadanya (Rusli Muhammad, 2007:26). Upaya hukum kasasi merupakan upaya hukum biasa yang dapat diajukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berpekara, karena belum puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi. Berdasarkan Undang_undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menggantikan Undang-undang nomor 14 Tahun 1985, mengartikan kasasi sebagai pembatalan putusan atau penetapan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 244 KUHAP dijelaskan bahwa “terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Menurut Pasal 20 ayat (2)huruf aUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakimantelah menegaskan Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir (kasasi) bagi semua lingkungan peradilan, atau dengan kata lain, Mahkamah Agung adalah peradilan kasasi bagi semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung (M. Yahya Harahap, 2012:535). b. Tujuan Upaya Hukum Kasasi Tujuan adanya upaya hukum kasasi ini adalah mengoreksi adanya kesalahan terhadap putusan pengadilan tingkat banding yang bertentangan dengan Undang-undang dan mengadili perkara dalam hal penerapan hukumnya. Kewenangan mili perkara yang tidak meliputi seluruh perkara disesuaikan dengan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang 33 Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu : 1) Memeriksa dan memutus tentang tidak berwenang melampaui batas wewenang pengadilan tingkat banding atau dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. 2) Memeriksa dan mengadili kesalahan penerapan atas pelanggaran hukum yang dilakukan pengadilan yang ada dibawah dengan memeriksa dan memutus perkara. 3) Memeriksa dan mengadili kelalaian tentang syarat-syarat yang wajib dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. c. Alasan Pengajuan Kasasi Alasan pengajuan kasasi ditentukan secara “limitatif” dalam Pasal 253 ayat (1).Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan tersebut. Permohonan kasasi harus mendasar pada keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak dari alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1), yang harus diutarakan dalam memori kasasi ialah keberatan atas putusan yang dijatuhkan pengadilan kepadanya, karena isi putusan itu mengandung kekeliruan atau kesalahan yang tidak dibenarkan oleh Pasal 253 ayat (1). Alasan kasasi yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat (1) yaitu adalah : a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undangnar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Selain ketiga alasan ini, keberatan kasasi ditolak karena tidak dibenarkan undang-undang. Penentuan alasan kasasi yang limitatif 34 dengan sendirinya serta sekaligus “membatasi” wewenang Mahkamah Agung memasuki pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi kekeliruan pengadilan atas ketiga hal tersebut (M. Yahya Harahap, 2012 :565). Pemohon Kasasi tidak dapat menggunakan alasan-alasan lain selain dari yang telah ditetapkan oleh undang-undang, atau dengan kata lain, bahwa bila hendak mengajukan kasasi, pemohon kasasi harus menggunakan alasan-alasan kasasi yang telah ditentukan undang-undang ( Harun M. Husein, 1992 :74). d. Tata Cara Pengajuan Kasasi Seringkali dijumpai pengajuan kasasi ditolak atau putusan kasasi terlambat diajukan dan melampui tenggang waktu yang ditentukan Pasal 245 ayat (1), atau juga permohonan kasasi diajukan tidak dibarengi dengan memori kasasi atau memori kasasi terlambat diajukan ke panitera. Semua hal itu merugikan bagi pemohon kasasi (Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1987:207). Oleh karena itu perlu diketahui dan difahami tata cara pengajuan kasasi, sesuai dengan Pasal 248 ayat (1), sebagai berikut : 1) Permohonan diajukan kepada Panitera Pasal 248 ayat (1) menegaskan, bahwa permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada Terdakwa.Jika pemohon kasasi berada di luar tahanan, maka sebaiknya datang sendiri (dengan pengacara) untuk langsung mengajukan permohonan kasasi dan menandatangani akta permohonan kasasi.Jika pemohon berada dalam tahanan, pemohon dapat datang sendiri dengan diantar atau didampingi petugas Rutan.Atau petugas panitera mendatangi Rutan untuk menyuruh pemohon menandatangani akta kasasi. 35 2) Pemohon yang Berhak Mengajukan Kasasi Untuk mengetahui siapa yang berhak mengajukan permohonan kasasi, Pasal 248 KUHAP memberi penegasan bahwa yang berhak mengajukan kasasi adalah :Terdakwa dan penuntut umum, mereka adalah yang berhak mengajukan kasasi, baik sendirisendiri maupun bersama-sama. Terdakwa saja secara sendirian dapat mengajukan kasasi, demikian juga penuntut umum.Hal ini tidak mengurangi kemungkinan keduanya sama-sama mengajukan kasasi, baik Terdakwa maupun penuntut umum sama-sama mengajukan permohonan kasasi. 3) Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa pengajuan permohonan kasasi bisa gugur, karena permohonan kasasi menjadi tidak sah karena telah melampui batas waktu yang ditetapkan. Mengenai tenggang waktu yang diberankan undang-undang untuk mengajukan kasasi adalah : empat belas hari sejak tanggal putusan pengadilan sesuai dengan Pasal 245 ayat(1) yang menegaskan bahwa permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan negeri yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama; dan permohonan diajukan dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang hendak dikasasi diberitahukan kepada Terdakwa. Terlambat dari batas waktu 14 hari mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugurPasal 246 ayat (2). 4) Gugurnya hak untuk mengajukan kasasi. Apabila permohonan kasasi yang diajukan terlambat dari tenggang waktu 14 hari, maka : Hak untuk mengajukan kasasi gugur dan Terdakwa dianggap menerima putusan. 36 4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Narkotika a. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintahan, yang oleh pembentuk UndangUndang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Nama lain tindak pidana adalah strafbaar feit atau sering juga disebut delic (Wirjono Prodjodikoro, 2002:1). Definisi lain tentang tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu (Komariah E. Sapardjaja, 2002:22).Tindak pidana juga dapat diartikan sebagai perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya (Indriyanto Seno Adji, 2002:155), dan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukan (Moeljatno, 1983:11). Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan Hakim.Penegakan hukum seharusnya diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap meningkatnya perdagangan gelap serta peredaran narkotika, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap narkotika tersebut.Simons menyatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (Martiman Projohamidjojo, 1997:15). Berdasarkan pengertian dan uraian-uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tindak pidana merupakan suatu tindakan yang dilarang atau dicela oleh masyarakat dan dilakukan oleh orang yang 37 bersalah yang dapat dikenakan sanksi pidana.Unsur kesalahan atau pertanggung jawaban menjadi bagian pengertian tindak pidana. b. Pengertian Narkotika Pengertian Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosisyang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkom yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius. Narkotika adalah zat yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dengan cara memasukkan obat tersebut kedalam tubuhnya, pengaruh tersebut berupa pembiasan, hilangnya rasa sakit rangsangan, semangat dan halusinasi. Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang (Mardani, 2008:78). Pengertian yuridis tentang narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jenis narkotika berasal dari tanaman atau bukan tanaman, 38 baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan ketergantungan yang rasa nyeri dibedakan ke dan dalam dapat menimbulkan golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini Menurut istilah kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan terutama rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan adiksi atau kecanduan (Mardani, 2008:78). Menurut M. Ridha Ma‟roef berdasarkan buku Mardani jenis narkotika adalah: a) Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintetis. Narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein, dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian narkotika sempit. Narkotika sintetis adalah termasuk dalam pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk didalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu: Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant. b) Bahwa narkotika itu mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Berbahaya apabila disalahgunakan. c) Bahwa narkotika dalam pengertian dalam pengertian ini adalah mencakup obat-obat bius dan obat-obat berbahaya atau narcotic and dangerous drugs (Mardani, 2008:34). Penyalahgunaan narkoba atau narkotika adalah pemakaian narkoba di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter dan pemakaiannya bersifat patologik dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja dan lingkungan sosial (Mardani, 2008:2), namun pada kasus penyalahgunaan 39 narkotika, apabila penggunaan narkotika sampai kepada ketergantungn dan kecanduan, maka perlu proses rehabilitasi dari pada pidana agar terbebas dari ketergantungan terhadap narkotika namun yang terjadi adalah banyak pengguna narkoba yang dihukum penjara yang minimal 4 (empat) tahun (Rosnainah1, Dahlan Ali2, Mohd. Din2, : “Penerapan Unsur Memiliki Atau Menguasai Narkotika terhadap Pemakai Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana”, 85-86,Vol 2, No. 2, November 2013) c. Jenis-jenis Narkoba dan Golongannya Jenis-jenis Narkotika menurut Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009 merupakan penggolongan narkotika sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.Jenis-jenis narkotika ini di bagi dalam beberapa golongan dalam bentuk klasifikasi berdasarkan zat yang dikandungnya. Berikut adalah uraian tentang jenis-jenis narkoba dan beberapa zat yang termasuk dalam golongannya : 1) Narkotika adalah zat atau bahan aktif yang bekerja pada sistem saraf pusat (otak), yang dapat menyebabkan penurunan sampai hilangnya kesadaran dari rasa sakit (nyeri) serta dapat menimbulkan ketergantungan (ketagihan). Zat yang termasuk golongan ini antara lain: morfin, putaw (heroin), ganja, kokain, opium, codein, metadon. Metadon adalah opioida sintetik yang mempunyai daya kerja lebih lama serta lebih efektif daripada morfin dengan pemakaian ditelan. Metadon dipakai untuk methadone maintenance program, yaitu untuk mengobati ketergantungan terhadap morfin atau heroin dan opiat lainnya. 2) Alkohol adalah jenis minuman yang mengandung etil-alkohol (dibagi dalam 3 kelompok), disesuaikan dengan kadar etilalkoholnya. Alkohol dapat menimbulkan adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan). 40 Efek penggunaan alkohol tergantung dari jumlah yang dikonsumsi, ukuran fisik pemakai serta kepribadian pemakai. Pada dasarnya alkohol dapat mempengaruhi koordinasi anggota tubuh, akal sehat, tingkat energi, dorongan seksual, dan nafsu makan. Menurut Keputusan Presiden RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman beralkohol, minuman beralkohol dikelompokkan dalam 3 golongan dilihat dari kandungan alkoholnya yaitu: (1) Golongan A yaitu berbagai jenis minuman keras yang mengandung kadar alkohol antara 1% sampai dengan 5%. Contoh minuman keras ini adalah bir, green sand, dan lainlain. (2) Golongan B yaitu berbagai jenis minuman keras yang mengandung kadar alkohol antara 5% sampai dengan 20%. Contohnya adalah anggur Malaga, dan lain-lain. (3) Golongan C yaitu minuman keras yang mengandung kadar alkohol antara 20% sampai dengan 50%. Yang termasuk jenis ini adalah brandy, vodka, wine, rhum, champagne, whiski, dan lain-lain. Kebanyakan orang mulai terganggu tugas sehari-harinya bila kadar alkohol dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadar alkohol dalam darah 0,10%. (c) Psikotropika adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika, bekerja pada sistem saraf pusat (otak) dan dapat menyebabkan perasaan khas pada aktifitas mental dan perilaku serta dapat menimbulkan ketagihan atau bahan ketergantungan. Zat yang termasuk golongan ini menurut (Karsono, 2004) antara lain: psikostimulan (Sabu-Sabu, ekstasi, amphetamine), inhalansia seperti aerosol, bensin, perekat, solvent, butyl nitrites (pengharum ruangan). Obat penenang dan obat tidur (nipam, mogadon, diazepam, 41 bromazepam, nitrazepam, flunitrazepam, estazolam, pil KB, dan obat antidepresi. (d) Zat adiktif adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika atau psikotropika, bekerja pada sistem saraf pusat dan dapat menimbulkan ketergantungan/ketagihan. Zat yang termasuk dalam golongan ini antara lain : nikotin, LSD (Lysergic acid diethylamide), psilosin, psilosibin, meskalin, dan lain-lain berdasarkan dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. d. Tindak Pidana Narkotika Unsur-unsur tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdiri dari: a) Unsur “setiap orang”: Adanya subyek hukum, yang dapat dijadikan subyek hukum hanyalah orang b) Unsur “tanpa hak atau melawan hukum”:Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan rumusan delik. Bersifat melawan hukum dapat meliputi: (1) Melawan hukum formal artinya apabila perbuatan yang dilakukan sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang. (2) Melawan hukum material artinya apabila perbuatan yang dilakukan melanggar aturan atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus adanya kesalahan. Kesalahan dimaksud adalah pencelaan dari masyarakat yang apabila melakukan hal tersebut sehingga adanya hubungan batin antara pelaku dengan kejadian yang nantinya akan menimbulkan suatu akibat. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan, sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. (Sudarto, 1973). 42 Kesalahan itu sendiri dapat dibagi 2 yaitu kesengajaan/ dolus dan kealpaan, adalah : (a) Memiliki unsurmemiliki, menyimpan, menguasai, atau berkaitan dengan barang terlarang. (b) Sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (c) unsur "narkotika golongan I berbentuk tanaman, golongan I bukan tanaman, golongan II dan golongan III". Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pengertian dari masing-masing golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 sebagai berikut: a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi dapat mengakibatkan ketergantungan. b. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan 43 pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. c. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk pengetahuan serta tujuan pengembangan mempunyai potensi ilmu ringan mengakibatkan ketergantungan. B. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan penjelasan atas alur pemikiran penulis. Penelitian ini diawali dengan pengamatan terhadap sebuah perkara pidana narkotika yang terjadi di kota Surakarta dengan terdakwa Didit Sulistio Winoto. Perkara ini diajukan dalam persidangan Pengadilan Negeri Surakarta yang menghasilkan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No:162/Pid.Sus/2013/PN.Ska. Selanjutnya, Terdakwa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang yang hasil putusannya yaitu No:109/Pid.Sus/2014/PT.Smg justru memperkuat hasil putusan Pengadilan Negeri Surakarta. Atas hasil judex facti tersebut, Terdakwa dan Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Upaya hukum kasasi tersebut dikabulkan dan menghasilkan putusan yang lebih memuaskan Terdakwa antara lain terkait dengan hukuman pidana yang harus dijalani oleh Terdakwa. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengupas dan menganalisis lebih lanjut putusan Mahkamah Agung Nomor 1469k/Pid.Sus/2014 untuk mengetahui kesalahan penerapan hukum oleh Pengadilan Negeri Surakarta yang digunakan sebagai alasan Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi dan membahas tentang pertimbangan Mahkamah Agung dalam memeriksa dan menentukan putusan terhadap Terdakwa tindak pidana narkotika tersebut. Alur pemikiran penulis ini dijelaskan dalam skema sebagai berikut: 44 Perkara Narkotika Pasal 127 UURI No. 35 TH 2009 Putusan PN Surakarta No:162/Pid.Sus/2013/PN.Ska Putusan PT Semarang No:109/Pid.Sus/2014/PT.Smg Terdakwa Alasan Kasasi Pasal 253 KUHAP Pertimbangan Hakim Putusan M.A Nomor 1469k/Pid.Sus/2014 Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran 45