1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia akan selalu berusaha untuk mengembangkan potensinya untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Semakin maju tingkat kehidupan seseorang, akan semakin banyak macam kebutuhan dalam hidupnya. Mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok atau primer, kebutuhan sekunder dan sampai pada kebutuhan tersier. Salah satu cara agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya adalah dengan melakukan kerjasama dengan pihak lain. Dengan adanya kerjasama tersebut, apa yang tidak dapat dilakukan secara sendiri, akan dapat dilakukan melalui kerjasama. Dalam pepatah disebutkan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Pada masa yang lalu ketika kehidupan masih sederhana, hubungan antara anggota masyarakat dilakukan terbatas pada orang yang saling mengenal satu sama lain, maka kebanyakan hubungan di antara anggota masyarakat hanya didasarkan pada kepercayaan satu sama lain. Akan tetapi ketika kehidupan semakin rumit dan luas, maka hubungan antar anggota masyarakat tidak cukup hanya didasarkan pada kepercayaan semata, melainkan didasarkan pada kontrak/perjanjian yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban para pihak, sekaligus sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa di kemudian hari. Dewasa ini ditengah persaingan usaha yang semakin kuat, serta lunturnya nilai-nilai sosial dan kearifan dalam masyarakat, maka peranan hukum menjadi sangat penting untuk melindungi kepentingan manusia dalam berinteraksi 2 dengan manusia lain. Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama. Sebagai konsekuensinya maka hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia. Penghormatan dan perlindungan manusia ini tidak lain merupakan percerminan dari kepentingannya sendiri1. Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perikataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Pada dasarnya, tidak ada format baku atau standar tertentu yang ditentukan dalam pembuatan suatu perjanjian/kontrak karena Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (lihat Pasal 1338 KUHPerda). Namun, pembuatan perjanjian tentunya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Ricardo Simanjuntak dalam bukunya “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis” (hal. 60) menyatakan bahwa bila bentuk kontrak lisan saja mempunyai kekuatan hukum yang sah dan harus dipatuhi oleh para pihak yang terikat 1 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Edisi Keempat, Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta, hal 28. 3 padanya, maka prinsip tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya kontrak tidak mempunyai suatu bentuk yang baku. Menurut advokat David M.L. Tobing dari Adams & Co.2 suatu perjanjian dikatakan cacat apabila tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu : syarat subyektif yang terdiri dari kesepakatan para pihak dalam perjanjian dan kecakapan para pihak dalam perjanjian, serta syarat obyektif yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Sehingga, apabila suatu perjanjian itu tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya, sedangkan apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum. Tujuan orang membuat perjanjian adalah layaknya membuat undangundang, yaitu mengatur hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak dan kewajiban. Bedanya, undang-undang mengatur masyarakat secara umum, sedangkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang memberikan kesepakatannya. Karena setiap orang dianggap tahu hukum, maka terhadap semua undang-undang masyarakat telah dianggap mengetahuinya – sehingga bagi mereka yang melanggar, siapapun, tak ada alasan untuk lepas dari hukuman. Demikian pula perjanjian, bertujuan mengatur hubungan-hubungan hukum namun sifatnya privat, yaitu hanya para pihak yang menandatangani perjanjian itu saja yang terikat. Jika dalam pelaksanaannya menimbulkan 2 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl454/bagaimana-pembuatan-kontrak-yang-benarsecara-hukum, diakses tanggal 10 April 2013. 4 sengketa, perjanjian itu dapat dihadirkan sebagai alat bukti di pengadilan guna menyelesaikan sengketa. Perjanjian membuktikan bahwa hubungan hukum para pihak merupakan sebuah fakta hukum, yang dengan fakta itu kesalahpahaman dalam sengketa dapat diluruskan – bagaimana seharusnya hubungan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar. Dengan demikian pada umumnya setiap orang akan selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara bekerja sendiri, akan tetapi jika tidak mampu dipenuhi secara bekerja sendiri, maka pemenuhan kebutuhan itu akan dicapai dengan cara bekerjasama dengan orang lain. Berdasarkan sifat kebutuhan yang hendak dipenuhi, kerjasama dapat bersifat tidak mencari keuntungan (non komersial) dan kerjasama yang bersifat mencari keuntungan (komersial). Kerjasama yang bersifat mencari keuntungan (komersial), dilakukan dengan menjalankan kegiatan usaha (perusahaan), yaitu keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk memperoleh keuntungan,3 meliputi seluruh kegiatan dalam bidang industri jasa/barang, distribusi dan perdagangan.4 Yang dimaksud dengan perdagangan adalah kegiatan berupa membeli dan menjual barang dimana keuntungan diperolah dari selisih harga penjualan dan harga pembelian. Salah satu bentuk kerjasama di bidang usaha perdagangan yang ditemukan dalam praktik adalah kerjasama perdagangan pulsa (satuan dalam 3 Molengraaft dalam Abdulkadir Muhammad, 1993, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hal 7-8. 4 Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, CV. Mandar Maju, Bandung. Hlm. 28. 5 perhitungan biaya telepon),5 antara Yanu Tri Riska Suwandhi pemilik usaha grosir pulsa,6 dengan Eko Yunianto pihak penyetor uang (investor). Pola kerjasama adalah sistem bagi hasil (sharing profit system), dimana pemilik usaha menjalankan segala kegiatan operasional usahanya, sedang investor hanya sebatas menyertakan modal. Kerjama tersebut tertuang dalam “Perjanjian Kerjasama.” Dari aspek hukum dapat dikemukakan bahwa, Perjanjian Kerjasama tidak dikenal dalam KUH Perdata Buku III Bab V sampai Bab XVIII yang di dalamnya mengatur empat belas jenis perjanjian bernama (benoemde atau nominaat contracten). Berkaitan dengan perjanjian bernama dapat dikemukakan pendapat para penulis sebagai berikut : - J.Satrio menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturan secara khusus dalam undang-undang, baik dalam KUH Perdata, KUHD maupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain.7 - Hamaker mengatakan bahwa setiap perjanjian mempunyai kausa atau tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak dalam menutup perjanjian, sehingga setiap perjanjian mempunyai kausa sendiri yang khas, yang membedakan dari perjanjian yang lain.8 Dari pendapat penulis tersebut dapat dipahami bahwa, secara teoritis kriteria yang menentukan apakah suatu perjanjian merupakan perjanjian bernama adalah kausanya bukan sebutan atau nama dari perjanjiannya. Hal ini berarti 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline 1.3. Ibid. 7 J. Satrio ,1992, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 117. 8 J. Satrio, 1995., Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 60-61. 6 6 tidak dikenalnya Perjanjian Kerjasama dalam KUH Perdata, tidak serta merta mengakibatkan perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian bernama. Atas dasar pemikiran tersebut, maka adalah tugas (ilmu) hukum untuk memberikan kualifikasi terhadap Perjanjian Kerjasama apakah termasuk dalam jenis perjanjian bernama sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata, KUHD atau peraturan perundang-undangan yang lain. Dengan mengingat bahwa perjanjian menimbulkan dan berisi perikatan yang dituju oleh para pihak, selain itu perjanjian juga berisi perikatan-perikatan lain yang dinyatakan berlaku terhadap mereka berdasarkan hukum yang menambah (aanvullendrecht), maka adalah penting untuk menentukan konstruksi hukum Perjanjian Kerjasama, dengan maksud untuk memberikan kepastian hukum tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang lahir dari perjanjian tersebut. Untuk mendapatkan jawaban itu semua penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan maksud untuk melakukan kajian teoritis tentang aspek hukum dari Perjanjian Kerjasama.. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah konstruksi hubungan hukum dalam perjanjian kerjasama perdagangan Pulsa ? 2. Bagaimanakah distribusi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama perdagangan Pulsa? C. Tujuan Penelitian 7 1. Untuk mengetahui konstruksi hubungan hukum dalam perjanjian kerjasama Perdagangan Pulsa. 2. Untuk mengetahui distribusi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama perdagangan Pulsa. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis : memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum perjanjian yang terus berkembangan mengikuti perkembangan pola-pola hubungan hukum dalam masyarakat. 2. Manfaat Praktis : sebagai masukan atau penduan bagi pihak-pihak yang akan melakukan kerjasama pada umumnya dan perdagangan pulsa pada khususnya di kemudian hari. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian. Pengertian perjanjian disebutkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata dengan rumusan sebagai berikut : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau labih”. Rumusan perjanjian di atas oleh para sarjana, dikatakan banyak mengandung kelemahan, karena di satu pihak rumusannya terlalu luas, dan di pihak lain rumusannya terlalu sempit. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa pendapat sarjana yang membahas mengenai pengertian perjanjian. Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata ini banyak mengandung kelemahan, karena : a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat dilihat dari kalimat “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. kata mengikatkan diri bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di antara para pihak. b. Kata “perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum 9 (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, seharusnya dipakai kata persetujuan. c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas, karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum kekayaan. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat perseorangan. d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.9 Menurut Subekti, bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.10 Dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana di atas, maka dapat dirumuskan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dalam lapangan hukum kekayaan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan dirinya. 2. Asas-asas Dalam Perjanjian 9 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 78. 10 Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1. 10 Paul Scholten mengemukakan bahwa asas hukum sebagai kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada. Seangkan asas hukum menurut Van Eikema Hommes adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.11 Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaikbaiknya, tidak bisa hanya melihat peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah yang memberi makna etis pada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.12 Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui. Menurut Abdulkadir Muhammad13, asas- asas tersebut adalah seperti diuraikan dibawah ini: 1) Asas kebebasan berkontrak atau dengan istilah lain disebut juga sistem terbuka (open system), pada dasarnya setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, dengan siapa saja dan mengenai apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa : 11 Yahoo! Answer, http://id.answers.yahoo.com, diakses tanggal 30 Oktober 2010. Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung, hal. 87. 13 Abdulkadir Muhammad, op.cit. hal 84-86. 12 11 “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan pada kata “semua perjanjian”, seolah-olah berisikan pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian berupa apa saja asal memenuhi syarat sahnya perjanjian, dan perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya. 2) Bersifat pelengkap (optional), artinya pasal-pasal undang-undang boleh disingkirkan, apabila pihak yang membuat perjanjian menghendaki membuat perjanjian sendiri, yang menyimpang dari kketentuan pasalpasal undang-undang. Akan tetapi apabila dalam perjanjian tidak diperjanjikan lain, maka berlakulah ketentuan yang ada dalam undangundang. 3) Asas konsensualisme, artinya perjanjian (pada umumnya) itu terjadi atau telah lahir sejak adanya kata sepakat antara pihak-pihak. A. Qirom Syamsudin menyebutkan dengan adanya asas konsensualisme maka perjanjian itu sudah lahir dengan adanya kata sepakat di antara para pihak, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali dalam perjanjian yang bersifat formil.14 4) Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik (ownership). Hak milik baru berpindah, apabila 14 A. Qirom Syamsudin, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakaarta, hal. 20. 12 diperjanjikan tersendiri yang disebut perjanjian kebendaan (zakelijke overeenskomst). 5) Asas Daya Mengikat Perjanjian (Pacta Sunt Servanda), bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat para pihak seperti halnya mengikatnya undang-undang. Dengan kata lain orang yang membuat perjanjian berarti telah membuat undang-undang bagi dirinya sendiri. Asas ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam hal ini Sudikno berpendapat bahwa kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan dalam perjanjian yang mereka buat. Perjanjian secara sah mengikat kedua belah pihak seperti undang-undang. Berarti bahwa kedua belah pihak berkewajiban mentaati danmelaksanakan perjanjian, sudah selayaknyalah bahwa sesuatu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dipatuhi pula oleh kedua belah pihak. 15 6) Asas Iktikad Baik (te goeder trouw), bahwa pelaksanaan perjanjian harus didasarkan pada kepatutan (redelijkheid) dan keadilan (billijkheid). 3. Syarat sahnya perjanjian J. Satrio16 dalam bukunya Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata diartikan sebagai untuk “sahnya” suatu perjanjian diperlukan 4 syarat. Dalam bahasa aslinya sebenarnya tertulis 15 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pemngantar), Liberty, Yogyakarta, hal. 97. 16 J. Satrio, 2001, Hukum Perjanjian, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 163. 13 untuk “adanya” (bestaanbaarheid) suatu perjanjian diperlukan 4 syarat. Kata “adanya” adalah tidak tepat, karena ada kalanya, sekalipun suatu perjanjian tidak memenuhi salah satu dari keempat syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, tetapi tetap diterima sebagai “ada”, sekalipun mengandung cacat dan karenanya sebagai “tidak sah” sehingga ada kemungkinan dibatalkan. Tidak sah disini dimaksudkan sebagai “dapat dibatalkan”. Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, adalah : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakap untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; dan d. Suatu sebab yang halal. Keempat syarat di atas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu berdasarkan subyeknya dan berdasarkan obyeknya. Dua syarat pertama disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyek yang menutup perjanjian, sedangkan dua syarat yang lain disebut syarat obyektif, karena menyangkut obyek dari perjanjian. Pembedaan ini menimbulkan konsekuensi hukum, yaitu apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian itu tetap ada walaupun tidak sah dan menimbulkan kemungkinan untuk dibatalkan. Sedangkan apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan dengan sendirinya batal demi hukum. 14 Mengenai keempat syarat sahnya perjanjian dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321-1328 KUH Perdata). Dalam suatu perjanjian haruslah ada kata sepakat diantara para pihak mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang mereka adakan. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara dua pihak, atau dengan perkataan lain ada pertemuan dua kehendak yang berbeda akan tetapi saling mengisi dan masing-masing pihak menyatakan persetujuannya masing-masing. Untuk dapat bertemu, antara kehendak pihak yang satu dengan pihak yang lain, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Kehendak yang dinyatakan haruslah nyata dan dapat dimengerti oleh pihak lain. Sehingga apabila kehendak yang dinyatakan tersebut sampai dan bisa dimengerti pihak lain, dan pihak lain tersebut kemudian menyatakan menerimanya, maka disitulah timbul kata sepakat. Berkaitan dengan masalah kesepakatan, apabila tidak ada kesesuaian antara pernyataan dan kehendak, telah melahirkan teori-teori hukum untuk menyelesaikannya, yaitu : 1) Teori Kehendak (Wiltheorie) Teori kehendak adalah teori tertua dan menekankan pada faktor kehendak. Menurut teori ini jika mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendakinya, maka kita tidak 15 terikat kepada pernyataan tersebut. Teori ini mendapat penerapan dalam Pasal 1343 KUH Perdata yang menyebutkan : “Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, dari pada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.” 2) Teori Pernyataan (Verklaringstheorie) Menurut teori ini pernyataan sepakat yang dinyatakan seseorang adalah mengikat dirinya, tanpa menghiraukan apakah yang dinyatakan kedua belah pihak sesuai atau tidak dengan kehendak masing-masing pihak. Pernyataan adalah tindakan lahiriah yang dapat diketahui, sedangkan kehendak adalah tindakan batin seseorang yang tidak dapat diketahui. Teori ini mendapat penerapan dalam Pasal 1342 KUH Perdata yang menyebutkan : “Jika kata-kata suatu perjanjian adalah jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”. 3) Teori Kepercayaan (Vetrouwenstheorie) Teori ini mengajarkan bahwa kata sepakat terjadi, jika ada dua pernyataan yang saling bertemu dan menimbulkan kepercayaan. Teori ini mendapat penerapan daalam Pasal 1346 KUH Perdata, yang menyebutkan : “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana perjanjian telah dibuat”. 16 b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Pasal 1329-1331 KUH Perdata). Dalam KUH Perdata tidak diatur mengenai siapa orang yang cakap untuk membuat membuat perikatan, yang diatur adalah mengenai orang yang dinyatakan tidak cakap membuat perikatan, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu : “Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.” Dengan demikian pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh undfang-undang. Berlakunya ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata mendapat perubahan dengan adanya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang mencabut antara lain Pasal 108 dan 110 KUH Perdata, dan dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya Pasal 31 ayat (2), maka seorang isteri dinyatakan cakap bertindak dalam hukum. c. Suatu hal tertentu (Pasal 1332-1334 KUH Perdata). Dalam Pasal 1332 KUH Perdata disebutkan, bahwa : “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian” Berdasarkan pasal tersebut, obyek perjanjian harus merupakan bendabenda yang dapat diperdagangkan. Apabila benda tersebut merupakan 17 benda terlarang untuk diperdagangkan, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Pada asasnya suatu benda bisa menjadi pokok suatu perjanjian, kecuali tujuan dari padanya sebagai suatu dinas/instansi umum (pelayanan umum) tidak memungkinkannya.17 Selanjutnya dalam Pasal 1333 KUH Perdata disebutkan : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. “Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”. Perihal syarat “tertentu”, suatu barang minimal dapat ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya boleh saja tidak ditentukan pada saat dibuatnya perjanjian, asal dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung. Suatu perjanjian yang obyeknya tidak tentu atau tidak ada, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan batal demi hukum. Selanjutnya dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek suatu perjanjian. Barang yang akan ada dibedakan menjadi dua, yaitu barang yang akan ada dalam arti mutlak dan barang yang akan ada dalam arti nisbi. Benda yang akan ada dalam arti mutlak yaitu bahwa pada saat dibuat perjanjian memang belum ada, sedangkan barang yang akan ada dalam arti nisbi yaitu barang itu sudah ada tetapi bagi orang tertentu masih merupakan harapan untuk dimiliki.18 17 J. Satrio, op.cit, hal 49. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata-Hukum Perutangan Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hal. 28. 18 18 Sementara itu J. Satrio menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” adalah : “Obyek prestasi perjanjian, suatu pokok untuk mana diadakan suatu perjanjian. Ditinjau dari kreditur dan debitur, “hal tertentu” tidak lain merupakan isi dari pada perikatan utama yaitu prestasi pokok dari pada perikatan utama yang muncul dari perjanjian tersebut” d. Suatu sebab yang halal (Pasal 1335-1337 KUH Perdata). Dalam Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan, bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Menurut Hamaker bahwa yang dimaksud causa suatu perjanjian adalah akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan mereka (para pihak bersama) menutup perjanjian.19 Causa atau sebab berbeda dengan motif, yaitu alasan yang mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan causa adalah tujuan dari pada perjanjian.20 Maksud dari “causa atau sebab yang halal” artinya bukan causa atau sebab yang terlarang, sedangkan mengenai causa yang terlarang disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum” Dengan demikian yang dimaksud dengan kata “halal” adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 19 J. Satrio, op.cit, hal. 41. R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, bandung, hal 62. 20 19 Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa undang-undang tidak mempedulikan apa yang menjadi sikap batin (motif) orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi adalah isi perjanjian, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum atau tidak21. 4. Saat Lahirnya Perjanjian Dalam asas konsensualisme, maka suatu perjanjian lahir sejak saat tercapainya kata sepakat di antara para pihak mengenai pokok perjanjian atau unsur essensial dari perjanjian. Hal ini hanya dapat terjadi dalam hubungan hukum yang dilakukan secara langsung, baik dalam arti bertemu secara nyata dalam suatu tempat dan waktu yang sama, ataupun hubungan hukum secara langsung yang dilakukan melalui media elektronik, seperti telepon, webcam , teleconference dan sebagainya. Dalam hubungan yang seperti ini antara penawaran dan penerimaan dapat langsung diketahui satu sama lain antara para pihak yang menutup perjanjian. Berbeda halnya dalam transaksi atau hubungan hukum yang dilakaukan secara tidak langsung, misalnya : melalui surat, telegraf, sms, email, website atau blok di Internet, dalam hubungan yang demikian antara penawaran dan penerimaan dipisahkan oleh waktu. Dalam keadaan demikian seringkali tidak mudah untuk menentukan kapan lahirnya perjanjian. 21 Abdulkadir Muhammad, 1990, op.cit. hal, 94. 20 Untuk itu doktrin telah memberikan berbagai teori yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai kapan saat lahirnya suatu perjanjian, yaitu : a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie) Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat ditulis surat jawaban penerimaan atas suatu penawaran. Dengan kata lain, perjanjian itu ada, pada saat pihak lain menyatakan penerimaan atau akseptasinya. Pada saat tersebut pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan akseptor saling bertemu. Keberatan dari teori ini adalah orang tidak dapat menetapkan secara pasti kapan perjanjian itu lahir, karena sulit membuktikan kapan saat penulisan surat jawaban tersebut. b. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie) Menurut teori ini saat pengiriman jawaban atau akseptasi adalah saat yang menentukan lahirnya perjanjian. Dalam hal ini, biasanya tanggal cap Pos yang dipakai sebagai jawaban, apabila surat tersebut telah dikirim, maka akseptor tidak mempunyai kekuasaan lagi terjhadap surat tersebut dan tidak dfapat merubah lagi saat terjadinya perjanjian. Teori ini merupakan perbaikan dari teori pernyataan. Adapun keberata terhadap teori ini adalah perjanjian sudah lahir dan mengikat orang yang menawarkan pada saat orang yang memberi penawaran sendiri belum tahu akan hal itu. c. Toei Pengetahuan (Vernemingstheorie) 21 Dalam teori ini, saat lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui orang yang melakukan penawaran. Teori ini dianggap paling sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar pertemua dua kehendak yang dinyatakan, dan pernyataan kehendak tersebut harus dapat saling dimengerti antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Keberata teori ini adaalah apabila penerima surat membiarkan suratnya dan tidak dibuka, maka perjanjian tidak lahir dan tidak akan pernah lahir. d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie) Sebagai jawaban dari kekuranga-kekurangan dari teori sebelumnya, maka muncul teori penerimaan ini yang mengajarkan bahwa saat lahirnya perjanjian adaalah saat diterimanya jawaban atau akseptasi oleh orang yang memberikan penawaran. Jadi tidak peduli apakah surat itu dibuka ataukah tidak atau memang dibiarkan tidak dibuka, perjanjian tetap lahir, yang penting surat tersebut telah sampai pada alamat si penerima surat, yaitu pihak yang melakukan penawaran.22 5. Unsur-unsur Perjanjian Dengan mencermati isi prestasi dari suatu perjanjian, maka dapat dikelompokkan dalam tiga unsur perjanjian, yaitu : a. Unsur Essensialia Unsur essensialia adala unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur ini perjanjian tidak mungkin ada. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur 22 J. Satrio, 2001, op.cit, hal. 257-262. 22 essensialia adalah sesuatu yang harus ada, merupakan hal pokok yang harus ada dalam suatu perjanjian.23 Tanpa hal pokok tersebut maka tidak ada perjanjian. Contohnya dalam perjanjian jual beli, maka barang dan harga merupakan unsur essensialia. Pada perjanjian riil, syarat penyerahan obyek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formil. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur essensialia dari suatu perjanjian masing-masing berbeda, atau yang membedakan antara perjanjian yang satu dengan perjanjian lainnya. dalaam jual beli sekurang-kurangnya harus ditentukan mengenai barang dan harganya, untuk hal yang lain dapat diabaikan, sedangkan dalam perjanjian yang lain, disyaratkan menyebut hal-hal pokok yang harus dicantumkan dalam perjanjian (important in highest degree). Dalam suatu perjanjian untuk dapat membedakan perjanjian yang satu dengan perjanjian lainnya, dapat diketahui dari unsur essensialia dan causa perjanjian. Causa adalah tujuan yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak dengan menutup perjanjian tersebut.24 Unsur essensialia dan causa perjamnjian yang satu berbeda dengan perjanjian lainnya, karena setiap perjanjian mempunyai caausa atau tujuannya sendiri yang khas, meskipun kadang terdapat kemiripan. 23 Ibid, hal. 60, baca juga Rai Wijaya, 2004, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Bekasi, hal 118. 24 J. Satrio, op,cit, hal. 60. 23 Misalnya antara perjanjian jual beli dengan perjanjian sewa menyewa, kedua perjanjian ini unsur essensialianya sama yaitu : barang dan harga. Akan tetap causa kedua perjanjian tersebut berbeda, pada perjanjian jual beli causanya adalah penyerahan barang untuk dimiliki pihak lain (pembeli) jadi ada penyerahan barang dan penyerahan hak milik, sedangkan dalam perjanjian sewa menyewa causanya adalah penyerahan kenikmatan atas suatu barang, sedangkan hak miliknya tetap ada pada pihak pemberi sewa. b. Unsur Naturalia Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang di atur tetapi yang oleh para pihak dapat di singkirkan atau di ganti 25 . Unsur ini sebenarnya merupakan bagian-bagian isi perjanjian yang secara umum patut, dan adil bagi para pihak karena merupakan konsekuensi logis dari perjanjian yang bersangkutan. Dalam keadaan normal orang pada umumnya pun akan menghendaki pengaturan demikian sebagaimana logisnya. Unsur naturalia ini oleh undang-undang diatur dengan hukum yang bersifat mengatur atau menambah (regelend rech atau aanvullend rech). Jadi, melalui aturan yang bersifat menambah ini pembuat undang-undang telah menfiksikan kehendak para pihak rata-rata umumnya orang dalam membuat perjanjian. Secara logis (natural) seseorang yang dalam suatu perjanjian misal nya jual beli diwajibkan untuk menyerahkan hak milik 25 Ibid. 24 atas kebendaan tertentu, sebagai konsekuensi logisnya ia diwajibkan pula untuk menjamin bahwa kebendaan yang diserahkan tersebut aman dari tuntutan pihak ketiga dan bebas dari cacat tersembunyi ( Pasal 1491 KUH Perdata). Tanpa memperjanjikan hal ini pun ketentuan pasal tersebut berlaku secara otomatis menambah isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Namun demikian ketentuan tersebut dapat disingkirkan dengan mengaturnya secara lain melalui kesepakatan kedua belah pihak. Contohnya adalah kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin (vrijwaren) dari cacat tersembunyi (Pasal 1491), semua itu dapat disimpangi atas dasar kesepakatan bersama. c. Unsur Accidentalia Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak karena undang-undang tidak mengatur tentang hal tersebut26. Semua janji-janji dalam suatu perjanjian yang sengaja dibuat untuk menyimpangi ketentuan hukum yang menambah merupakan unsur accidentalia27. Pemahaman tentang unsur accidentalia ini akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang umumnya telah mendapatkan pengaturan secara relatif lengkap melalui ketentuan yang bersifat menambah. Meskipun demikian kadang-kadang terkandung hal-hal tertentu undang-undang tidak atau lupa mengaturnya 26 27 Ibid. Ibid., hal 73. 25 sehingga diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sendiri. Dengan demikian unsur accidentalia ini dapat berupa janji-janji yang dibuat oleh para pihak karena undang-undang (yang bersifat menambah) tidak mengaturnya atau berupa janji-janji yang dibuat para pihak dalam hal mereka menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah tersebut. 6. Akibat Hukum Perjanjian KUH Perdata Buku III titel 2 bagian 3 yang berjudul tentang akibat hukum perjanjian, dibuka dengan Pasal 1338 yang menyatakan : “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.“ Dengan demikian setiap perjanjian yang dibuat “ secara sah “ berarti memenuhi syarat untuk sahnya perjanjian yaitu ada kesepakatan untuk membuat perjanjian, mereka yang bersepakat adalah orang yang cakap untuk membuat perjanjian, prestasinya tertentu dan tujuan para pihak mengadakan perjanjian secara jelas tidak melanggar ketentuan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka perjanjian mengikat para pihak yang membuat perjanjian, seperti undang-undang yang mengikat orang terhadap siapa undang-undang berlaku. Perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Pembatalan hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara para pihak yang membuatnya untuk membatalkan perjanjian yang telah ada tersebut. Dengan demikian perjanjian yang dibuat secara sah berlaku 26 mengikat dan para pihak wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian. Sampai kapankah perjanjian mengikat atau sampai kapan suatu perjanjian itu berakhir ? Pada asasnya perjanjian berakhir kalau akibatakibat hukum yang dituju telah selesai terpenuhi. 7. Risiko Yang dimaksud dengan risiko adalah suatu kewajiban untuk menanggung kerugian sebagai akibat dari adanya suatu peristiwa atau kejadian yang menimpa obyek perjanjian dan bukan karena kesalahan dari salah satu pihak.28 Hal itu berarti risiko berpokok pangkal pada suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, atau dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang didalam hukum dinamakan : keadaan memaksa. Dengan demikian maka risiko adalah merupakan kelanjutan dari keadaan memaksa. a. Resiko pada Perjanjian Sepihak Pasal 1237 KUH Perdata : “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan sesuatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”. Ketentuan ini terletak pada bab tentang perikatan pada umumnya; jadi disini diatur tentang perikatan dalam bentuk dasarnya yaitu hubungan dalam lapangan hukum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak (kreditur) dan dilain pihak 28 A. Qirom Syamsudin Meliala, op.cit, hlm. 49. 27 ada kewajiban (debitur). Bentuk perikatan seperti ini muncul pada perjanjian sepihak, seperti pada hibah. Berdasarkan ketentuan tersebut benda yang harus diserahkan menjadi tanggungan kreditur. Disini tidak dibicarakan siapa yang bersalah, tetapi hanya dikatakan yang menanggung kerugian adalah kreditur; maka ---ditafsirkan bahwa--- kalau terjadi kerugian pada benda tertentu yang harus diserahkan dan tidak ada yang bersalah atas kerugian itu, yang menanggung adalah kreditur. Dengan begitu, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, jika barang ini sebelum diserahkan, musnah atau rusak karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang” (kreditur), yaitu pihak yang berhak menerima barang itu. Dalam bahasa hukum dikatakan pada perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, yang timbul dari suatu perjanjian yang sepihak resiko ada pada kreditur. b. Resiko pada Perjanjian Timbal Balik Dalam perjanjian timbal balik prestasi yang satu berkaitan erat sekali dengan prestasi yang lain; dijanjikannya prestasi yang satu adalah dengan memperhitungkan akan diterimanya prestasi yang lain. Pengaturan resiko dalam perjanjian timbal-balik, dimana kedua belah pihak sama-sama berkewajiban memenuhi prestasi, dapat kita simpulkan 28 dari pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan : “Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga samasekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.” Disini ditentukan, apabila suatu barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian musnah tak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar salahnya si berutang maka perikatan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian menjadi hapus; dan karena seluruh perikatan hapus, maka dengan sendirinya pihak yang membuat perjanjian tidak dapat menuntut sesuatu apapun antara yang satu terhadap yang lain. Hal itu berarti apabila barang yang menjadi obyek perjanjian timbal-balik selama belum diserahkan telah musnah tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang diluar salahnya salah satu pihak, maka risikonya ditanggung oleh pemilik; Karena terhadap barang miliknya, pemilik yang harus menyerahkan barangnya, berkedudukan sebagai debitur, maka disini dikatakan risiko kerugian dipikul oleh debitur. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 1444 KUH Perdata, resiko pada perjanjian timbal-balik ditanggung oleh pemilik atau debitur. Karena Pasal 1444 KUH Perdata ini termuat dalam Bagian Umum Buku III KUH Perdata, maka pasal tersebut merupakan ketentuan umum tentang resiko yang menjadi pedoman bagi perjanjian-perjanjian pada 29 umumnya. Pasal 1237 KUH Perdata sebagai pedoman tentang resiko bagi perjanjian sepihak. Sedangkan Pasal 1444 KUH Perdata sebagai pedoman tentang resiko bagi perjanjian timbal-balik. Kecuali perihal resiko ini diatur dalam pasal-pasal Bagian Umum Buku III KUH Perdata yang menjadi pedoman bagi perjanjian pada umumnya, yang dirasakan mengatur tentang resiko itu sudah seadilnya, perihal resiko juga diatur dalam pasal-pasal Bagian Khusus Buku III KUH Perdata tentang perjanjian-perjanjian tertentu pada pasal-pasal tertentu pula. Misalnya dalam perjanjian jual-beli resikonya diatur pada Pasal 1460, 1461 dan 1462 KUH Perdata, dalam perjanjian tukarmenukar resikonya diatur pada Pasal 1545 KUH Perdata, selanjutnya dalam perjanjian sewa-menyewa resikonya diatur dalam Pasal 1553 KUH Perdata dan lain sebagainya. Pasal-pasal KUH Perdata yang megatur resiko dalam perjanjianperjanjian jual-beli, tukar-menukar, dan sewa-mnyewa itu dirasakan sebagai sudah seadilnya sesuai dengan Pasal 1444 KUH Perdata. Kecuali Pasal 1460 KUH Perdata yang mengatur resiko secara tidak adil, sehingga Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 3 tahun 1963 menyatakan Pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi. Kemudian bilamana ketentuan mengenai resiko ini kita hubungkan dengan asas kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa semua orang dapat membuat perjanjian yang bagaimanapun isinya asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, 30 maka dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai resiko ini inkonkreto diserahkan kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk mengatur dan menentukan sendiri sedemikian rupa, bagaimana perihal resiko itu diinginkan mereka. B. Perjanjian Kerjasama Dewasa ini hampir tidak ada satu orangpun yang bisa melakukan usahanya dengan hanya mengandalkan dirinya sendiri, apalagi jika usaha itu sudah tergolong skala besar. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain karena keterbatasan modal, keterbatasan skill, ataupun karena tuntutan perkembangan usahanya yang semakin maju. Untuk mengatasi kesulitan tersebut maka berkembanglah apa yang dinamakan kerjasama. Sebagai dasar dari kerjasama tersebut dibutuhkan apa yang disebut dengan Perjanjian Kerjasama. Istilah perjanjian kerjasama ini sekarang sudah lazim dipakai dalam praktek, dan merupakan istilah dalam aspek ekonomi dalam rangka pemenuhan kebutuhan bersama. Istilah “kerjasama” berarti kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang (lembaga, pemerintah, dsb) untuk mencapai tujuan bersama29. Intinya adalah kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang bersama. Pembahasan perjanjian kerjasama ini akan ditinjau dari aspek ekonomi dan aspek hukum a. Aspek ekonomi 29 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ofline 1.3. 31 Bentuk-bentuk perjanjian kerjasama ditinjau dari aspek ekonomi pada prinsipnya dibedakan kedalam 3 pola, yaitu 30 : 1. Joint Venture (Usaha Bersama); 2. Joint Operational (Kerjasama Operasional); dan 3. Single Operational (Operasional Sepihak) Ad 1). Joint Venture. Joint Venture adalah merupakan bentuk kerjasama umum, dapat dilakukan pada hampir semua bidang usaha, dimana para pihak masingmasing menyerahkan modal untuk membentuk badan usaha yang mengelola usaha bersama. Contohnya, para pihak bersepakat untuk mendirikan pabrik garment. Untuk mendirikan usaha tersebut masingmasing pihak menyerahkan sejumlah modal yang telah disepakati bersama, lalu mendirikan suatu pabrik. Ad 2). Joint Operational. Joint Operational adalah bentuk kerjasama khusus, dimana bidang usaha yang dilaksanakan merupakan bidang usaha yang : - merupakan hak / kewenangan salah satu pihak - bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah beroperasional, dimana pihak investor memberikan dana untuk melanjutkan / mengembangkan usaha yang semula merupakan hak / wewenang pihak lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai pelaksana kegiatan 5. http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/perjanjian.html, diakses tanggal 10 Maret 2013. 32 usaha. Contoh : Kerjasama Operasional (KSO) antara PT. Telkom dengan PT. X untuk pengembangan jaringan pemasangan telepon baru. Untuk pelaksanaannya dibentuk PT. ABC yang sahamnya dimiliki PT. Telkom dan PT. X. Ad 3). Single Operational. Single Operational merupakan bentuk kerjasama khusus dimana bidang usahanya berupa “bangunan komersial”. Salah satu pihak dalam kerjasama ini adalah pemilik yang menguasai tanah, sedangkan pihak lain – investor, diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk mengoperasionalkan bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian fee tertentu selama jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu operasional berakhir investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial diatasnya kepada pihak pemilik / yang menguasai tanah. Bentuk kerjasama ini lazimnya disebut : BOT (Build, Operate and Transfer), dan variannya adalah : BOOT (Build, Own, Operate and Transfer), BLT (Build, Lease and Transfer) dan BOO (Build, Own and Operate). b. Aspek hukum Dalam arti hukum pengertian kerjasama dijelaskan secara rinci oleh Achmad Ichsan31 dalam uraian berikut : 31 Achmad Ichsan dalam Cdhidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 110-112. 33 Landasan kerjasama dalam hukum dimulai dari adanya suatu perjanjian. Perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang mengadakan, yang kemudian menimbulkan perikatan bagi masing-masing pihak. Dalam perikatan masingmasing pihak berhadap-hadapan satu sama lain dimana masing-masing pihak diikat oleh janji-janji yang telah diadakan diantara mereka, kemudian berkembang menjadi suatu “kerjasama” antara pihak masing-masing untuk secara bersama mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Kerjasama ini kemudian menjadi suatu hubungan yang bersifat terus-menerus akhirnya menimbulkan suatu bentuk lembaga kesatuan kerjasama yang disebut “perkumpulan” atau “Perhimpunan” “perkumpulan” atau “Perhimpunan” (vereniging). Pertama-tama (verenigingswegen) ini mempunyai tujuan yang bersifat idiil kemasyarakatan, namun kemudian bagi masyarakat yang telah maju bertujuan pula untuk pemenuhan tujuan yang bersifat komersial bagi kebutuhan dan kepentingan anggotanya. Maka dengan perkembangan itu lahirlah bentuk kesatuan kerjasama yang disebut “persekutuan” (Maatschap/Vennootschap). Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam arti hukum, kerjasama dibedakan menjadi dua yaitu “perkumpulan” atau “perhimpunan” (vereniging) dan “persekutuan” (Maatschap/Vennootschap). C. Perkumpulan atau perhimpunan (vereniging). Dalam “perkumpulan” atau “perhimpunan” beberapa orang yang hendak mencapai suatu tujuan dalam bidang non ekonomis (tidak untuk mencari keuntungan) bersepakat mengadakan kerjasama yang bentuk dan caranya 34 diletakkan dalam anggaran dasar atau “reglemen” atau statuten.” Dalam KUH Perdata, “perkumpulan” atau “perhimpunan” diatur dalam Pasal 1653 – Pasal 1665. Dalam Pasal 1653 KUH Perdata disebutkan bahwa : “Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik”. Dengan demikian yang dimaksud dengan “perkumpulan” atau “perhimpunan” (organisasi, perserikatan) merupakan suatu bentuk berkumpul atau berhimpunnya beberapa orang atas dasar kesepakatan untuk berkerjasama mencapai suatu tujuan tertentu. Pendirian perkumpulan dapat dilakukan secara resmi dengan akta Notaris atau dengan cara lain asal saja dengan tujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Adapun tujuan perkumpulan adalah sesuatu yang tidak bersifat mencari keuntungan ekonomis (non profit oreinted), melainkan tujuan yang bersifat sosial, idiil atau keagamaan, seni, olah raga dan sebagainya. Hal ini untuk membedakan dengan persekutuan yang bertujuan mencari keuntungan bersama. Sejak pendiriannya, maka perkumpulan menjadi subyek hukum yang mandiri, dapat melakukan tindakan-tindakan perdata, terlepas dari pribadi masing-masing anggota perkumpulan. Dalam Pasal 1654 KUH Perdata disebutkan bahwa : 35 “Semua perkumpulan yang sah adalah, seperti halnya dengan orangorang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu” Dengan adanya kata-kata “tindakan-tindakan perdata”, menunjukkan bahwa kedudukan perkumpulan adalah sebagai subyek hukum perdata yang dapat melakukan perbuatan hukum di bidang keperdataan. Adapun luas sempitnya kewenangan perkumpulan untuk melakukan perbuatan hukum perdata diatur dalam peraturan umum yang berlaku untuk itu. Pada dasarnya setiap anggota perkumpulan dapat bertindak untuk dan atas nama perkumpulan, mengikat perkumpulan kepada orang-orang pihak ketiga dan sebaliknya, begitu pula bertindak di muka Hakim, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, kecuali ditetapkan lain dalam akta pendiriannya, perjanjiannya atau reglemennya (Pasal 1655 KUH Perdata). Dengan demikian pada dasarnya setiap anggota dalam suatu perkumpulan mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada hubungan hirarkhi atau subordinat antara atasan dan bawahan, kecuali ditetapkan lain dalam akta pendirian, dalam perjanjian atau reglemen. Akan tetapi tindakan anggota atau pengurus perkumpulan yang dilakukan diluar kekuasaan yang diberikan untuk itu, adalah di luar tanggung jawab perkumpulan, kecuali apabila perkumpulan mendapatkan manfaat atau memang perbuatan-perbuatan itu kemudian mendapatkan persetujuan oleh perkumpulan (Pasal 1656 KUH Perdata). Hal ini berarti tindakan pengurus perkumpulan yang telah dilakukan diluar kuasanya dan menimbulkan kerugian, maka harus ditanggung oleh pengurus tersebut secara pribadi, kecuali apabila 36 perkumpulan telah memberikan persetujuan atau mengesahkan dilakukannya perbuatan itu. D. Persekutuan (Maatschap/Vennootschap). 1. Pengertian Persekutuan. Dalam “persekutuan” (Maatschap/ Vennootschap) terdapat beberapa orang yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan bersama dalam bidang ekonomis (untuk mencari keuntungan). Mengenai pengertian, bentuk dan cara mengadakan kerjasama diatur dalam KUH Perdata Pasal 1618 sampai Pasal 1652. Pengertian perkumpulan disebutkan dalam Pasal 1618 KUH Perdata, yaitu : “Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”. Dengan demikian yang disebut persekutuan adalah perjanjian antara dua orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapau dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan bersama.32 Dengan mendasarkan pada pasal di atas dapat diketahui unsur-unsur persekutuan, yaitu : a. Ada dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri; b. Masing-masing orang tersebut melakukan pemasukan (inbreng) dalam persekutuan; dan 32 Subekti, op.cit, hal.75. 37 c. Tujuannya adalah mencari keuntungan. Keanggotaan persekutuan minimal adalah 2 (dua) orang sebagai syarat untuk adanya perjanjian yang merupakan tindakan hukum dua pihak yang saling mengikatkan diri. Dengan demikian merupakan perjanjian timbal balik, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak, sehingga setiap prestasi dari pihak yang satu diikuti dengan kontra prestasi dari pihak yang lain. J. Satrio menyebutkan bahwa perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya juga hak) kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya. 33 Kewajiban utama anggota persekutuan adalah melakukan pemasukan (inbreng) ke dalam persekutuan, sehingga anggota yang tidak atau belum melakukan pemasukan (inbreng) menjadi terhutang karenanya (Pasal 1625 KUH Perdata). Adapun apa yang dimasukkan dalam persekutuan dapat berupa : uang, barang atau kerajinan. Masing-masing anggota persekutuan dapat memasukkan uang saja, barang saja atau hanya kerajinan saja, ataupun gabungan dari semua itu. Kesemuanya itu akan menentukan mengenai kedudukan masing-masing anggota dalam persekutuan, khususnya dalam hal pembagian keuntungan yang dihitung berdasarkan besar kecilnya pemasukan dalam persekutuan. Unsur ketiga dari persekutuan adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Pada dasarnya setiap orang melakukan segala sesuatu baik 33 J. Satrio, 1995, op.cit, hal 43. 38 dengan bekerja sendiri maupun dengan melakukan kerjasama, tentulah dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan. Barangkali hanya orang tidak waraslah (orang gila) yang bekerja atau berusaha dengan tujuan untuk mendapatkan kerugian, sehingga dapat dikatakan tidak ada orang yang menginginkan untuk mengalami kerugian. Akan tetapi keuntungan dan kerugian adalah resiko orang berusaha, adakalanya untung dan adakalanya rugi. Oleh karena itu hakekatnya yang dimaksud dengan kata “keuntungan” dalam Pasal 1618 KUH Perdata adalah hasil yang diperoleh dari usaha bersama, sehingga kata yang tepat sesungguhnya adanya “pembagian hasil usaha” sebagai tujuan persekutuan. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 1623 KUH Perdata yang menyebutkan tentang pembagian “untung dan rugi”. 2. Persekutuan Penuh dan Khusus Dalam KUH Perdata dibedakan antara persekutuan penuh dan persekutuan khusus. Untuk memahami apa itu persekutuan penuh, terlebih dulu dibahas mengenai persekutuan khusus. Dalam Pasal 1623 KUH Perdata disebutkan bahwa : “Persekutuan khusus ialah persekutuan yang sedemikian yang hanya mengenai barang-barang tertentu saja, atau pemakaiannya, atau hasilhasil yang akan didapatnya dari barang-barang itu, atau lagi mengenai suatu perusahaan maupun mengenai hal menjalankan sesuatu perusahaan atau pekerjaan tetap”. Apabila dihubungkan dengan kewajiban memasukkan dalam persekutuan yang berupa uang, barang atau kerajinan, maka yang dimaksud dengan persekutuan khusus adalah apabila pemasukannya berupa barang, pekerjaan, 39 keahlian, atau perusahaan. Yang dimaksud dengan barang itu sendiri dapat berupa keseluruhan barang dimasukkan dalam persekutuan, ataupun hanya hak pakainya saja yang dimasukkan. Selanjutnya mengenai persekutuan penuh disebutkan dalam Pasal 1622 KUH Perdata yaitu : “Persekutuan penuh tentang keuntungan hanyalah mengenai segala apa yang akan diperoleh para pihak dengan nama apa pun, selama berlangsungnya persekutuan sebagai hasil dari kerajinan mereka”. Berdasarkan ketentuan pasal di atas dan dihubungkan dengan pengertian persekutuan khusus, maka yang dimaksud dengan persekutuan penuh adalah menyangkut pembagian hasil (keuntungan/kerugian) dan pemasukan para sekutu semuanya dalam bentuk uang, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam persekutuan itu para sekutu bekerjasama dengan memasukkan uang sebagai modal usaha untuk melakukan usaha bersama. 3. Hubungan Perikatan Antara Para Sekutu. Dalam Pasal 1624 KUH Perdata disebutkan mengenai kapan lahirnya persekutuan, bahwa : “Persekutuan mulai berlaku sejak saat perjanjian, jika dalam perjanjian ini tidak telah ditetapkan suatu saat lain”. Kata “sejak saat perjanjian” artinya pada saat terjadinya kesepakatan di antara para pihak (sekutu). Sehingga pada dasarnya perjanjian persekutuan termasuk dalam perjanjian konsensual, yang sudah lahir sejak saat tercapainya kesepakatan mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian diantara para pihak. Hal pokok itu meliputi : kewajiban pemasukan (inbreng), dan 40 pembagian keuntungan. Akan tetapi para pihak dapat menentukan lain dalam perjanjian mengenai kapan lahirnya perjanjian itu. Sekutu yang memasukkan barang dalam persekutuan mempunyai kewajiban seperti halnya kewajiban seorang penjual barang (Pasal 1625 KUH Perdata), yaitu : menyerahkan barang dan menanggungnya. Maksudnya menanggung adalah menjamin bahwa barang itu dapat digunakan sebagaimana mestinya dan menanggung dari kemungkinan adanya cacat tersembunyi. Apabila yang dimasukkan hanya mengenai hak pemakaiannya, maka barang itu atas tanggungan si sekutu sebagai pemiliknya (Pasal 1631 KUH Perdata). Sekutu yang wajib memasukkan uang dan tidak melakukannya, wajib menyerahkan uang pokok ditambah bunganya yang berlaku demi hukum tanpa harus adanya penagihan untuk itu, terhitung sejak lahirnya kewajiban tersebut (Pasal 1626 KUH Perdata). Kewajiban itu juga berlaku apabila sekutu telah mengambil sejumlah uang dari persekutuan untuk kepentingannya sendiri, dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya tambahan biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu. Sedangkan sekutu yang wajib memasukkan berupa tenaga atau kerajinannya ke dalam persekutuan, wajib memberikan perhitungan kepada persekutuan tentang semua keuntungan yang diperoleh dengan tenaga atau kerajinan tersebut sejak lahirnya kewajiban tersebut. Masing-masing sekutu wajib memberikan ganti kerugian kepada persekutuan tentang kerugian-kerugian yang diderita persekutuan akibat 41 salahnya si sekutu, dan sekutu tersebut tak dapat memperjumpakan dengan haknya dari persekutuan (Pasal 1630 KUH Perdata). 4. Asas Proporsionalitas Dalam Pembagian Keuntungan Dalam Pasal 1633 KUH Perdata diatur mengenai cara pembagian keuntungan di antara para sekutu, yaitu : “Jika dalam perjanjian persekutuan tidak telah ditentukan bagian masing-masing sekutu dalam untung dan ruginya persekutuan, maka bagian masing-masing adalah seimbang dengan apa yang ia telah masukkan dalam persekutuan”. Ketentuan pasal di atas mengatur mengenai cara pembagian keuntungan (dan juga kerugian) di antara para sekutu, yaitu menurut keseimbangan besar kecilnya pemasukan para sekutu dalam persekutuan atau yang dikenal dengan asas proporsionalitas. Asas proporsionalitas dapat dirumuskan sebagai berikut : Inbreng sekutu dibagi dengan total inbreng dikalikan dengan hasil (untung/rugi). Kalau inbreng masing-masing sekutu diberi inisial I, total inbreng diberi inisial TI, dan hasil atau keuntungan diberi inisial H, maka rumusnya adalah : I/TI x H. Untuk dapat menghitung berdasarkan asas proporsionalitas, maka semua inbreng harus dihitung dalam nilai sejumlah uang. Untuk itu KUH Perdata telah memberikan pedomannya, yaitu pemasukan berupa barang dihitung berdasarkan taksiran nilai barang sehingga sekutu yang memasukkan barang seperti memasukkan uang sebesar nilai barangnya. Sekutu yang memasukkan tenaga, mendapatkan bagian sebesar keuntungan 42 sekutu yang memasukkan uang (modal) dalam jumlah yang paling kecil (Pasal 1633 ayat 2 KUH Perdata). Mengenai pemasukan berupa tenaga, tentunya harus dibedakan antara tenaga fisik (otot, badan, kasar) dengan tenaga berupa keahlian (skill), pemikiran, keilmuan yang harus diberikan nilai yang tinggi. Mengenai hal ini tidak diatur dalam KUH Perdata, oleh karena itu para pihak dalam persekutuan yang harus menetapkan sendiri. Pada dasarnya pembagian keuntungan dalam persekutuan, diserahkan kepada para sekutu, aturan undang-undang dalam hal ini pada umumnya bersifat mengatur (aanvullendrecht), yang dapat disimpangi oleh para pihak dalam perjanjian. Undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu berupa pembatasan kewenangan para sekutu dalam menentukan pembagian keuntungan dengan dua pengaturan, yaitu : a. Tidak boleh pengaturan mengenai pembagian keuntungan diserahkan kepada salah seorang sekutu atau kepada pihak ketiga (Pasal 1634 ayat 1 KUH Perdata). Larangan ini berkaitan dengan essensi perjanjian berupa perjanjian kerjasama sebagai usaha bersama, sehingga pada prinsipnya semua sekutu mempunyai kedudukan yang sama atau seimbang, tidak ada hubungan atas dasar atasan bawahan atau sub-ordinat. Sehingga semua hal dalam persekutuan harus didasarkan pada kesepakatan bersama anggota persekutuan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan berakibat 43 janji itu bagai tak tertulis dan akan berlaku ketentuan dalam undangundang. b. Tidak boleh diperjanjikan bahwa salah seorang sekutu akan mendapat seluruh keuntungan (Pasal 1635 ayat 1 KUH Perdata). Larangan ini juga berkaitan dengan essensi perjanjian berupa untuk mendapatkan keuntungan bersama, sehingga apabila diperjanjikan bahwa keuntungan hanya untuk seorang sekutu, itu menyalahi tujuan perjanjian persekutuan itu sendiri yaitu mencari keuntungan bersama. Pelanggaran ketentuan ini berakibat perjanjian itu adalah batal demi hukum. Selanjutnya berdasarkan uraian di atas, maka perjanjian yang menyatakan bahwa seseorang akan mendapatkan keuntungan lebih dari pada andilnya dalam pemasukan adalah boleh, dan juga memperjanjikan bahwa salah satu pihak akan menanggung seluruh kerugian adalah juga diperbolehkan. 5. Hubungan Perikatan Antara Sekutu Dengan Pihak Ketiga. Para sekutu tidaklah terikat masing-masing untuk seluruh hutang persekutuan, dan masing-masing sekutu tidaklah dapat mengikat sekutusekutu lainnya, jika mereka ini tidak telah memberikan kuasa kepadanya untuk itu (Pasal 1642 KUH Perdata). Di sini diatur mengenai tanggung jawab pribadi sekutu atas perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukannya kepada pihak ketiga, apa yang dilakukan oleh sekutu yang satu tidak mengikat sekutu lainnya. Subekti menyebutkan bahwa tanggung jawab yang begitu luas (masing-masing terikat untuk seluruh jumlah hutang bersama), 44 yang dikenal dengan nama tanggung jawab secara tanggung menanggung atau solidair hanya terdapat dalam firma, begitu pula kewenangan masingmasing untuk mengikat kawan-kawannya pada pihak ketiga.34 Sedangkan sampai seberapa jauh tanggung jawab para sekutu masingmasing terhadap pihak ketiga, diatur dalam Pasal 1643 KUH Perdata, yaitu : “Para sekutu dapat dituntut oleh si berpiutang dengan siapa mereka telah bertindak, masing-masing untuk suatu jumlah dan bagian yang sama, meskipun bagian sekutu yang satu dalam persekutuan adalah kurang dari pada bagian sekutu yang lainnya; terkecuali apabila sewaktu utang tersebut dibuatnya dengan tegas ditetapkan kewajiban para sekutu itu untuk membayar utangnya menurut imbangan besarnya bagian masing-masing dalam persekutuan.” Menurut Subekti apa yang diatur dalam Pasal 1643 KUH Perdata mengandung asas umum dalam perjanjian kerjasama, yaitu dalam hubungannya dengan pihak ketiga para sekutu dapat dituntut secara bersama-sama untuk jumlah yang sama. Sehingga dalam bertindak keluar (dengan pihak ketiga) masing-masing sekutu dapat dituntut untuk membayar hutang berdasar asas persamaan kedudukan, kecuali apabila pada saat dibuat hutang tersebut telah diperjanjikan bahwa para sekutu akan bertanggung secara proporsional. Adanya janji bahwa atas suatu perbuatan adalah atas tanggung jawab persekutuan, hanya mengikat sekutu yang melakukan perbuatan itu saja, dan tidak mengikat sekutu-sekutu lainnya; kecuali apabila mereka telah memberikan kuasa kepadanya untuk itu, atau urusannya telah memberikan manfaat bagi persekutuan (Pasal 1644 KUH Perdata). 34 Subekti, 1995, op.cit, hal 83. 45 6. Berakhirnya Persekutuan Dalam Pasal 1646 KUH Perdata disebutkan mengenai sebab-sebab berakhirnya persekutuan, yaitu : a. Dengan lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan; b. Dengan musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan; c. Atas kehendak semata-mata dari beberapa atau seorang sekutu; d. Jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh di bawah pengampuan, atau dinyatakan pailit. Cara yang pertama tentang berakhirnya perjanjian persekutuan adalah sebagaimana berakhirnya semua perjanjian dengan ketentuan waktu, maka dengan berakhirnya waktu yang diperjanjikan, berakhir pula perjanjian tersebut. Cara kedua berakhirnya persekutuan adalah musnahnya barang, yaitu apabila persekutuan itu diadakan untuk membeli dan mengusahakan suatu barang, maka musnahnya barang berakibat berakhirnya persekutuan. Sedaangkan yang dimaksud dengan diselesaikannya perbuatan pokok persekutuan, misalnya kerjasama atau persekutuan untuk melakukan kegiatan perdagangan, yaitu perbuatan berupa membeli suatu barang untuk dijual lagi, maka dengan telah dilakukan kegiatan perdagangan tersebut, persekutuan menjadi berakhir, kecuali pada perbuatan yang memang dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang lama. 46 Cara ketiga mengenai hapusnya persekutuan yang dibuat tidak dengan ketentuan waktu, maka setiap saat dapat dimintakan pembatalan atau diakhiri atas permintaan salah seorang atau beberapa orang sekutu. Dalam hala ini harus diperhatikana mengenai jangka waktu yang pantasuntuk menyelesaikan suatu urusan yang sedang berjalan. Cara keempat dari berakhirnya persekutuan menunjukkan sifat pribadinya perjanjian persekutuan. Kalau pada umumnya perjanjian yang dibuat oleh seseorang adalah juga mengikat para ahli warisnya, tidak demikian halnya dengan perjanjian persekutuan, yang berakhir dengan meninggalnya sekutu yang bersangkutan. Dalam Pasal 1651 KUH Perdata diatur mengenai pengecualian terhadap ketentuan Pasal 1646 angka 4 KUH Perdata, yaitu : “Jika telah diperjanjikan banwa apabila salah seorang sekutu meninggal, persekutuannya akan berlangsung terus dengan ahli warisnya, atau akan berlangsung terus diantara sekutu-sekutu yang masih ada maka janji tersebut harus ditaati”. “Dalam hal yang kedua, ahli waris si meninggal tidak mempunyai hak yang lebih dari pada atas pembagian persekutuan menurut keadaannya sewaktu meninggalnya si sekutu; tetapi ia mendapat bagian dari keuntungan serta turut memikul kerugian yang merupakan akibatakibat mutlak dari perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum si sekutu dari siapa ia ahli warisnya, meninggal.” Dari ketentuan di atas, bahwa melalui perjanjian dapat disimpangi bahwa persekutuan itu tidak berakhir dengan meninggalnya sekutu, atau persekutuan itu akan diteruskan oleh ahli warisnya sekutu, ataupun diteruskan oleh para sekutu lainnya. Tentunya janji yang demikian harus dinyatakan secara tegas, dan tidak cukup kalau hanya didasarkan atas anggapan semata. 47 48 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.35 B. Spesifikasi Penelitian Dalam penelitian ini dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif. yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan diteliti. 36 Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian terhadap suatu perjanjian kerjasama mengenai penjualan pulsa elektronik ditinjau dari hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. C. Bahan Hukum 1. Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat37. Bahan hukum primer yang dipakai dalam penelitian ini adalah draf perjanjian para pihak, dan semua peraturan yang berkaitan dengan pengaturan mengenai hukum perjanjian. 35 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal..37. 36 Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.. 35. 37 Ibid, hal.. 113. 49 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum sekunder yang digunakan dengan penelitian ini terdiri dari literatur hukum, hasil penelian para sarjana dan berbagai artikel perjanjian kerjasama. D. Metode Pengambilan Bahan hukum 1. Bahan hukum primer diperoleh dengan melakukan inventarisasi hukum, mempelajari, mencatat dan mensistematisasi berbagai peraturan mengenai perjanjian kerjasama. 2. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi dokumen resmi, literatur, hasil penelitian dan artikel ilmiah yang relevan. E. Metode Penyajian Bahan Hukum Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis. F. Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan menjabarkan dan menginterpretasikan hasil penelitian berlandaskan pada teori-teori ilmu hukum (Theoritical Interpretation) yang ada.38 Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. 38 hal..93. Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghal.ia Indonesia, Jakarta, 50 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap surat perjanjian tentang Kontrak Kerjasama Nomor : 56/KK/BHP/2013 tentang , dengan pokok-pokok sebagai berikut : 1. Pihak-pihak : 1.1. Yanu Tri Riska Suwandhi, Yogyakarta, sebagai pemilik usaha perorangan Grosir Pulsa Louis Sell dengan Nomor Tanda Ijin Gangguan 503/037-GK/02-KB/X/2008, selanjutnya disebut Pemilik Usaha. 1.2. Eko Yunianto, Bantul, DIY, sebagai Pemilik Uang (Investor). 2. Obyek perjanjian : Menjalankan usaha di bidang perdagangan pulsa. 3. Syarat Perjanjian : 3.1. Usaha dilakukan dengan sistem bagi hasil (sharing profit system), 3.2. Segala operasional usaha dikelola oleh Pemilik Usaha, dan Investor hanya sebatas inbreng/penyertaan modal sebagai uang pokok investasi. 3.3. Investor wajib melakukan penyetoran uang pokok investasi sebesar dua ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) kepada Pemilik Usaha. 4. Jangka Waktu : Perjanjian berlangsung untuk jangka waktu 1 (satu) tahun mulai 02 Januari 2013 sampai 31 Desember 2013. 51 5. Pembagian Keuntungan : 5.1. Pemilik Usaha sepakat memberikan Profit (keuntungan) kepada Investor sebesar dua ratus ribu rupiah (Rp. 200.000,-) per hari, terhitung sejak tanggal tiga Januari dua ribu tiga belas (03-01-2013) hingga tanggal tiga puluh satu Desember dua ribu tiga belas (31-12-2013). 5.2. Profit tersebut akan dibayarkan oleh Pemilik Usaha setiap hari kecuali hari-hari libur resmi nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. 6. Wanprestasi : 6.1. Apabila Pemilik Usaha tidak bisa membayar profit selama 3 (tiga) hari berturut-turut, maka Investor pada hari ke 4 (empat) berhak untuk menagih profit kepada Pemilik Usaha. 6.2. Apabila Pemilik Usaha sampai dengan 7 (tujuh) hari sejak ditagih oleh Investor masih tidak/belum bisa memberikan Profit yang dimaksud, maka Pemilik Usaha wajib mengembalikan uang pokok investasi yaitu sebesar dua ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) pada hari tersebut ditambah dengan Profit harian yang berlangsung. Apabila sampai pada hari tersebut uang pokok investasi tidak/belum dikembalikan dan Profit belum diberikan, maka Pemilik Usaha dikenakan uang paksa (dwangsom) sebesar lima puluh ribu rupiah (Rp. 50.000,-) per hari. Akibat dari keterlambatan ini, maka Kontrak dianggap berakhir setelah semua kewajiban Pemilik Usaha dibayarkan. 52 6.3 Pemilik Usaha berkewajiban mengembalikan uang pokok investasi kepada Investor sebesar dua ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) pada tanggal tiga puluh satu Desember dua ribu tiga belas (31-12-2013). Apabila sampai pada tanggal tersebut uang pokok investasi tidak/belum dikembalikan, maka Pemilik Usaha dikenakan uang paksa (dwangsom) sebesar dua puluh lima ribu rupiah (Rp. 25.000,-) per hari dan Kontrak dianggap berakhir setelah semua kewajiban PemilikUsaha dibayarkan. 6.4. Apabila hal-hal di atas tidak terpenuhi dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal yang ditentukan tersebut, maka Investor berhak dan berwenang untuk mengambil/menyita asset Pemilik Usaha senilai jumlah tersebut. Kontrak dianggap berakhir setelah semua kewajiban Pemilik Usaha dibayarkan. B. Pembahasan a. Pembahasan Umum Istilah kerjasama dapat diartikan sebagai kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang (lebih dari satu) untuk mencapai tujuan bersama,39 baik yang bersifat tidak mencari keuntungan maupun yang mencari keuntungan. Pembahasan terhadap permasalahan yang diteliti akan dilihat dari dua ranah, yaitu ranah ekonomi dan ranah hukum. Dalam ranah ekonomi dikenal tiga bentuk kerjasama untuk mendapatkan keuntungan bersama, yaitu : 39 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline 1.3. 53 1. Joint Venture (Usaha Bersama) : Joint Venture adalah merupakan bentuk kerjasama umum, dapat dilakukan pada hampir semua bidang usaha, dimana para pihak masing-masing menyerahkan modal untuk membentuk badan usaha yang mengelola usaha bersama. 2. Joint Operational (Kerjasama Operasional) : Joint Operational adalah bentuk kerjasama khusus, dimana bidang usaha yang dilaksanakan merupakan bidang usaha yang : - merupakan hak / kewenangan salah satu pihak - bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah beroperasional, dimana pihak investor memberikan dana untuk melanjutkan / mengembangkan usaha yang semula merupakan hak / wewenang pihak lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai pelaksana kegiatan usaha. 3. Single Operational (Operasional Sepihak) : Single Operational merupakan bentuk kerjasama khusus dimana bidang usahanya berupa “bangunan komersial”. Salah satu pihak dalam kerjasama ini adalah pemilik yang menguasai tanah, sedangkan pihak lain – investor, diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk mengoperasionalkan bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian fee tertentu selama jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu operasional berakhir investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial diatasnya kepada pihak pemilik / yang menguasai tanah. 54 Apabila dihubungkan dengan ketiga bentuk kerjasama diatas, maka kerjasama dalam penelitian ini dapat dikelompokkan sebagai Kerjasama Operasional (Joint Operational), yang pada intinya hubungan kerjasama ini unsur-unsurnya : - pihak pertama adalah pemilik kegiatan usaha yang menjalankan segala operasional kegiatan usaha, - pihak kedua adalah pemilik uang yang menyerahkan uangnya untuk melanjutkan atau mengembangkan usaha tersebut. - pembagian keuntungan yang diperoleh dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dalam ranah hukum pengertian kerjasama dijelaskan secara rinci oleh Achmad Ichsan dalam uraian berikut.40 Landasan kerjasama dalam hukum dimulai dari adanya suatu perjanjian. Perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang mengadakan, yang kemudian menimbulkan perikatan bagi masing-masing pihak. Dalam perikatan masingmasing pihak berhadap-hadapan satu sama lain dimana masing-masing pihak diikat oleh janji-janji yang telah diadakan diantara mereka, kemudian berkembang menjadi suatu “kerjasama” antara pihak masing-masing untuk secara bersama mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Kerjasama ini kemudian menjadi suatu hubungan yang bersifat terus-menerus akhirnya menimbulkan suatu bentuk lembaga kesatuan kerjasama yang disebut “perkumpulan” 40 atau “Perhimpunan” (vereniging). Pertama-tama Achmad Ichsan dalam Cdhidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 110-112. 55 “perkumpulan” atau “Perhimpunan” (verenigingswegen) ini mempunyai tujuan yang bersifat idiil kemasyarakatan, namun kemudian bagi masyarakat yang telah maju bertujuan pula untuk pemenuhan tujuan yang bersifat komersial bagi kebutuhan dan kepentingan anggotanya. Maka dengan perkembangan itu lahirlah bentuk kesatuan kerjasama yang disebut “persekutuan” (Maatschap/Vennootschap). Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam arti hukum, kerjasama dibedakan menjadi dua yaitu “perkumpulan” atau “perhimpunan” (vereniging) dan “persekutuan” (Maatschap/Vennootschap). Dalam “perkumpulan” atau “perhimpunan” beberapa orang yang hendak mencapai suatu tujuan dalam bidang non ekonomis (tidak untuk mencari keuntungan) bersepakat mengadakan kerjasama yang bentuk dan caranya diletakkan dalam anggaran dasar atau “reglemen” atau statuten.” Dalam KUH Perdata, “perkumpulan” atau “perhimpunan” diatur dalam Pasal 1653 – Pasal 1665. Dalam “Persekutuan” (Maatschap/ Vennootschap) beberapa orang yang hendak mencapai suatu tujuan dalam bidang ekonomis (untuk mencari keuntungan). Mengenai pengertian, bentuk dan cara mengadakan kerjasama diatur dalam KUH Perdata Pasal 1618 sampai Pasal 1652. “Persekutuan” (Maatschap/ Vennootschap) adalah kesatuan kerjasama yang termasuk dalam bidang hukum Perdata (umum), sehingga disebut Persekutuan Perdata (burgerlijk maatschap). Pada umumnya persekutuan perdata tidak menjalankan perusahaan, akan tetapi berdasarkan Pasal 1623 KUH Perdata yang manyatakan : “Persekutuan khusus ialah persekutuan yang 56 sedemikian yang hanya mengenai barang-barang tertentu saja, atau pemakaiannya, atau hasil-hasil yang akan didapat dari barang-barang itu, atau lagi mengenai sutau perusahaan maupun mengenai hal menjalankan perusahaan atau pekerjaan tetap”; maka dapat diketahui bahwa Persekutuan Perdata dapat menjalankan perusahaan. Setelah dipahami secara teoritis bahwa dalam arti hukum, kerjasama yang bertujuan untuk mencapai tujuan dalam bidang ekonomis (untuk mencari keuntungan) disebut “Persekutuan Perdata,” pembahasan selanjutnya adalah menganalisis konstruksi hukum “Persekutuan Perdata” sebagaimana ditentukan dalam KUH Perdata. Pembahasan ini dimaksudkan untuk menguji apakah konstruksi hukum Perjanjian Kerjasama Perdagangan Pulsa sesuai dengan konstruksi hukum “Persekutuan Perdata.” b. Konstruksi hukum Perjanjian Kerjasama “Persekutuan Perdata” dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III Bab Ke Delapan yang berjudul tentang “Persekutuan” Pasal 1618 sampai Pasal 1652. Batasan yuridis tentang “Persekutuan” dimuat dalam Pasal 1618 KUH Perdata yang dirumuskan sebagai berikut : “Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”. Intinya Persekutuan adalah : suatu bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu (inbreng) dalam 57 persekutuan. Dari pengertian yang demikian dapat dinyatakan unsur-unsur dalam persekutuan yaitu : a. Terdapat dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri; b. Para pihak melakukan inbreng ke dalam persekutuan; dan c. Tujuan membagi keuntungan. Dalam Pasal 1619 (2) disebutkan Inbreng dapat berupa : Pemasukan uang (inbreng van geld), Pemasukan barang (inbreng van zaken), Pemasukan tenaga - fisik atau tenaga pikiran (inbreng van arbeid). Berdasarkan ketiga unsur tersebut dapat dinyatakan bahwa : - Kausa Persekutuan atau tujuan para pihak dengan menutup perjanjian persekutuan adalah para pihak (sekutu) sama-sama menghendaki membagi keuntungan dengan cara memasukkan uang, barang, tenaga fisik atau tenaga pikiran. Dari data hasil penelitian no. 1 tentang subyek perjanjian, no. 2 tentang obyek perjanjian, no. 3 tentang syarat perjanjian dan no. 5 tentang pembagian keuntungan, dapat dideskripsikan dalam Perjanjian Kerjasama tersebut bahwa : a. Terdapat dua orang yang saling mengikatkan diri, yaitu Pemilik Usaha dan Pemilik Uang. b. Para pihak saling melakukan inbreng, yaitu Pemilik Usaha melakukan inbreng berupa segala inventaris dan kegiatan usahanya, sedangkan Pemilik Uang melakukan inbreng dengan uangnya atau melakukan investasi. c. Tujuan kerjasama ini dimaksudkan untuk membagi keuntungan bersama yang ditentukan dalam perjanjian. 58 Berdasarkan ketiga unsur tersebut dapat dinyatakan bahwa kausa atau tujuan para pihak dengan menutup perjanjian kerjasama adalah para pihak (sekutu) menghendaki membagi keuntungan dengan cara pihak yang satu memasukkan uang dan pihak yang lain memasukkan tenaga berupa keahlian menjalankan kegiatan usaha perdagangan pulsa. Apabila kausa dalam perjanjian kerjasama tersebut dihubungkan dengan kausa perjanjian persekutuan, ternyata kedua kausa tersebut bersesuaian. Dengan adanya kesamaan kausa tersebut, maka perjanjian kerjasama ini termasuk dalam konstruksi hukum persekutuan (maatschap) sebagaimana diatur dalam Bab VIII Buku III KUH Perdata. Dengan demikian Perjanjian Kerjasama tersebut tunduk pada ketentuan tentang Persekutuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1618 sampai Pasal 1652 KUH Perdata. b. Distribusi hak dan kewajiban para pihak dan akibat hukumnya apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi. Dalam KUH Perdata diatur mengenai hubungan perikatan antara para sekutu satu sama lain dan hubungan perikatan antara para sekutu dengan pihak ketiga. Oleh karena itu perjanjian kerjasama ini juga akan dianalisis berdasarkan kedua hal ini di atas untuk mengetahui hak dan kewajiban yang timbul dalam perjanjian ini di antara para pihak dan dalam hubungannya dengan pihak ketiga. Secara umum hubungan perikatan antara para sekutu adalah sebagai berikut : 59 a. Persekutuan terjadi saat terjadinya kesepakatan, kecuali diperjanjikan lain oleh para pihak (Pasal 1624 KUH Perdata). b. Kecuali ditentukan lain dalam perjanjian, masing-masing sekutu menanggung segala keuntungan dan kerugian persekutuan menurut keseimbangan apa yang telah dimasukkan dalam persekutuan (Pasal 1633 KUH Perdata). c. Para sekutu tidak dapat memperjanjikan untuk menyerahkan pengaturan besarnya bagian masing-masing dalam persekutuan kepada salah seorang sekutu atau pihak ketiga, dan segala janji yang bertentangan dengan itu adalah batal demi hukum (Pasal 1634 KUH Perdata). d. Janji bahwa salah seorang sekutu akan mendapat seluruh keuntungan adalah batal, akan tetapi janji bahwa salah seorang sekutu akan menanggung seluruh kerugian adalah sah (Pasal 1635 KUH Perdata). e. Sekutu yang berdasarkan surat perjanjian ditugaskan melakukan pengurusan persekutuan, dapat melakukan segala perbuatan yang berhubungan dengan kepengurusannya asal dilakukan dengan iktikad baik (Pasal 1636 KUH Perdata). Berbagai hubungan perikatan di atas apabila dihubungkan dengan hasil penelitian dapat dideskripsikan sebagai berikut : Dalam Pasal 1624 KUH Perdata ditentukan bahwa pada prinsipnya perjanjian persekutuan lahir sejak terjadinya kesepakatan, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak. Dengan demikian pada prinsipnya perjanjian persekutuan termasuk dalam perjanjian konsensual. Apabila dihubungkan data no. 4 tentang 60 jangka waktu perjanjian diketahui bahwa perjanjian kerjasama ini berlaku selama satu tahun terhitung sejak saat penanda tanganan surat perjanjian, yaitu tanggal 2 Januari 2013. Dengan demikian dalam perjanjian ini telah ditentukan bahwa saat lahirnya perjanjian adalah saat tercapainya kesepakatan kedua belah pihak yang diwujudkan dengan adanya penandatanganan akta, sehingga dapat dikatakan merupakan perjanjian konsensual. Dalam Pasal 1633 KUH Perdata ditentukan asas umum pembagian keuntungan dalam perjanjian persekutuan berdasarkan pembagian untung dan rugi dan asas keseimbangan menurut besar kecilnya inbreng para sekutu dalam persekutuan. Apabila dihubungkan dengan data no. 3 tentang syarat perjanjian, diketahui bahwa kewajiban inbreng Pemilik Usaha adalah tenaga atau keahliannya, sedangkan kewajiban inbreng Pemilik Uang adalah membayar sejumlah uang (investasi). Selanjutnya data no. 5 tentang pembagian keuntungan, bahwa Pemilik Uang akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 200.000,- per hari selama satu tahun, mulai tanggal 3 Januari 2013 sampai tangal 31 Desember 2013. Dalam hal ini berarti para pihak hanya memperjanjikan tentang keuntungan (janji untung) dan tidak memperjanjikan tentang kemungkinan terjadinya kerugian. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian ini menyimpangi prinsip keseimbangan (proporsionalitas) yaitu pembagian keuntungan dan kerugian menurut keseimbangan besar kecilnya pemasukan dalam persekutuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1633 KUH Perdata. Dapat pula diartikan bahwa dalam pejanjian ini seluruh kerugian yang timbul akan ditanggung oleh Pemilik 61 Usaha, perjanjian yang demikian sesuai dengan prinsip yang diatur dalam Pasal 1635 KUH Perdata bahwa memperjanjikan seluruh keuntungan untuk salah satu sekutu adalah dilarang - - - karena bertentangan dengan tujuan persekutuan yaitu mendapatkan keuntungan bersama - - -, sedangkan janji untuk menanggung seluruh kerugian adalah sah. Hal ini juga sesuai dengan karakter perjanjian ini yang mana semua kegiatan operasional dilakukan oleh Pemilik Usaha Dalam data no. 6.1 ditentukan bahwa apabila Pemilik Usaha tidak membayar keuntungan harian kepada Pemilik Uang selama tiga hari berturutturut, maka pada hari ke empat Pemilik Uang dapat menagih kepada Pemilik Usaha. Janji ini berisikan pembatasan mengenai kapan Pemilik Uang dapat melakukan penagihan kepada Pemilik Usaha, yaitu apabila terjadi keterlambatan pembayaran keuntungan selama tiga hari berturut-turut, dan penagihan dapat dilakukan pada hari ke empat. Hal ini menunjukkan bahwa kapan Pemilik Usaha dapat dinyatakan lalai memenuhi kewajibannya atau melakukan wanprestasi berupa terlambat berprestasi yaitu apabila tidak melakukan pembayaran keuntungan harian selama tiga hari berturut-turut. Selanjutnya dalam data no. 6.2, ditentukan bahwa apabila Pemilik Usaha sampai dengan hari ke 7 (tujuh) sejak ditagih oleh Pemilik Uang belum bisa membayar profit atau keuntungan, maka pemilik Usaha wajib mengembalikan uang pokok investasi ditambah profit atau keuntungan harian yang berlangsung. Dengan adanya ketentuan ini menunjukkan bahwa perjanjian 62 kerjasama ini merupakan perjanjian dengan syarat batal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata, yaitu : “Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”. Perikatan bersyarat dibedakan menjadi dua, yaitu syarat tangguh dan syarat batal, syarat tangguh adalah syarat yang menangguhkan lahirnya perjanjian pada terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa tertentu, sedangkan syarat batal adalah syarat yang membatalkan perikatan dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa tertentu. Dengan terjadinya syarat batal, maka syarat itu berlaku surut sampai saat terjadinya perjanjian (Pasal 1261 KUH Perdata). Dalam arti perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, dan segala sesuatu harus dikembalikan seperti keadaan semula. Apabila dihubungkan dengan data no. 6.2 yang menentukan pemilik Usaha wajib mengembalikan uang pokok investasi ditambah profit atau keuntungan harian, secara yuridis artinya perjanjian persekutuan menjadi batal sehingga dikembalikan pada keadaan semula, yaitu pengembalian inbreng dalam persekutuan. Pada akhirnya berdasarkan data no. 6.4, dalam perjanjian kerjasama ini juga diperjanjikan bahwa : Apabila setelah terpenuhi jangka waktu 14 hari Pemilik Usaha tidak dapat mengembalikan uang pokok investasi, maka Pemilik Uang dapat mengambil atau menyita asset usaha milik Pemilik Usaha yang senilai dengan jumlah tersebut. Hal ini disebut sebagai hak verhaal, yaitu hak kreditur untuk menyita atau menuntut penyitaan kekayaan debitur, apabila 63 debitur wanprestasi. Dalam bahasa sehari-hari, klausula seperti ini disebut sebagai klausula jaminan, yaitu yang memberikan jaminan pelunasan tagihan kreditur atas kekayaan debitur. 64 BAB V PENUTUP 1. Dalam aspek ekonomi perjanjian kerjasama (perdagangan pulsa) termasuk dalam kelompok Kerjasama Operasional (Joint Operational), sedangkan dalam aspek hukum masuk dalam kualifikasi perjanjian bernama yaitu “Persekutuan” (Maatschap/Vennootschap). 2. Perjanjian persekutuan ini mengandung syarat batal yaitu dan berisikan janji untung yang menyimpangi asas keseimbangan atau asas proporsionalitas. a. Pemilik Uang/Investor wajib menyerahkan uang pokok investasi sebesar dua ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) kepada Pemilik Usaha. b. Pemilik Usaha Pemilik Usaha wajib melakukan pekerjaan menjalankan usaha perdagangan yaitu membeli dan menjual pulsa dan memberikan keuntungan kepada sekutu Pemilik Uang sebesar Rp. 200.000,- per hari. Dalam hal lalai melakukan pembayaran keuntungan kepada Pemilik Uang selama tiga hari berturut-turut, dengan akibat hukum : a. Menuntut pemenuhan prestasi berupa pembayaran keuntungan pada hari keempat apabila Pemilik Usaha tidak memberikan keuntungan selama tiga hari berturut-turut. b. Menuntut pembatalan perjanjian apabila Pemilik Usaha tetap tidak melakukan kewajiban prestasinya pada hari ke tujuh setelah dilakukan penagihan. 65 c. Menyita atau menuntut penyitaan aset usaha milik Pemilik Usaha apabila setelah 14 hari berakhirnya perjanjian tidak mengembalikan uang investasi dan keuntungan usaha. 66 DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Achmad Ichsan Dalam Cdhidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung. Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Prenada Media Group, Jakarta. A. Qirom Syamsudin, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta. Perikatan Beserta B. Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. J. Satrio ,1992, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ..................., 1995., Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ...................., Hukum Perjanjian, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Molengraaft dalam Abdulkadir Muhammad, 1993, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hal 7-8. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghal.ia Indonesia, Jakarta. R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung. Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, CV. Mandar Maju, Bandung Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata-Hukum Perutangan Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. 67 Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pemngantar), Liberty, Yogyakarta. Sumber Lain : Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline 1.3. Yahoo! Answer, http://id.answers.yahoo.com, diakses tanggal 30 Oktober 2010. http://myklangenan.blogspot.com/2009/10/sewa-menyewa.html, diakses tanggal 05 Maret 2013. http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html, diakses tanggal 07 April 2013. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl454/bagaimana-pembuatan-kontrakyang-benar-secara-hukum, diakses tanggal 10 April 2013. http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/perjanjian.html, diaklses tangggal 10 Maret 2013. -----------------------------