Skripsi Eko - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia akan selalu berusaha untuk mengembangkan potensinya
untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Semakin maju tingkat kehidupan
seseorang, akan semakin banyak macam kebutuhan dalam hidupnya. Mulai
dari pemenuhan kebutuhan pokok atau primer, kebutuhan sekunder dan sampai
pada kebutuhan tersier. Salah satu cara agar manusia dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya adalah dengan melakukan kerjasama dengan pihak lain.
Dengan adanya kerjasama tersebut, apa yang tidak dapat dilakukan secara
sendiri, akan dapat dilakukan melalui kerjasama. Dalam pepatah disebutkan
“berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.
Pada masa yang lalu ketika kehidupan masih sederhana, hubungan antara
anggota masyarakat dilakukan terbatas pada orang yang saling mengenal satu
sama lain, maka kebanyakan hubungan di antara anggota masyarakat hanya
didasarkan pada kepercayaan satu sama lain. Akan tetapi ketika kehidupan
semakin rumit dan luas, maka hubungan antar anggota masyarakat tidak cukup
hanya didasarkan pada kepercayaan semata, melainkan didasarkan pada
kontrak/perjanjian yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban para pihak,
sekaligus sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa di kemudian hari.
Dewasa ini ditengah persaingan usaha yang semakin kuat, serta lunturnya
nilai-nilai sosial dan kearifan dalam masyarakat, maka peranan hukum menjadi
sangat penting untuk melindungi kepentingan manusia dalam berinteraksi
2
dengan manusia lain. Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa hukum
mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama. Sebagai
konsekuensinya maka hukum bertitik tolak pada penghormatan dan
perlindungan manusia. Penghormatan dan perlindungan manusia ini tidak lain
merupakan percerminan dari kepentingannya sendiri1.
Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu
pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua
pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu
berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri,
serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua
pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam
bentuknya,
perjanjian
itu
berupa
suatu
rangakaian
perikataan
yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Pada dasarnya, tidak ada format baku atau standar tertentu yang
ditentukan dalam pembuatan suatu perjanjian/kontrak karena Indonesia
menganut asas kebebasan berkontrak (lihat Pasal 1338 KUHPerda). Namun,
pembuatan perjanjian tentunya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Ricardo Simanjuntak dalam bukunya “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis”
(hal. 60) menyatakan bahwa bila bentuk kontrak lisan saja mempunyai
kekuatan hukum yang sah dan harus dipatuhi oleh para pihak yang terikat
1
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Edisi Keempat,
Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta, hal 28.
3
padanya, maka prinsip tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya kontrak
tidak mempunyai suatu bentuk yang baku.
Menurut advokat
David M.L. Tobing dari Adams & Co.2 suatu
perjanjian dikatakan cacat apabila tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian,
yaitu : syarat subyektif yang terdiri dari kesepakatan para pihak dalam
perjanjian dan kecakapan para pihak dalam perjanjian, serta syarat obyektif
yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Sehingga, apabila
suatu perjanjian itu tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut
dapat dimintakan pembatalannya, sedangkan apabila suatu perjanjian tidak
memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi
hukum.
Tujuan orang membuat perjanjian adalah layaknya membuat undangundang, yaitu mengatur hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak dan
kewajiban. Bedanya, undang-undang mengatur masyarakat secara umum,
sedangkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang memberikan
kesepakatannya. Karena setiap orang dianggap tahu hukum, maka terhadap
semua undang-undang masyarakat telah dianggap mengetahuinya – sehingga
bagi mereka yang melanggar, siapapun, tak ada alasan untuk lepas dari
hukuman. Demikian pula perjanjian, bertujuan mengatur hubungan-hubungan
hukum namun sifatnya privat, yaitu hanya para pihak yang menandatangani
perjanjian itu saja yang terikat. Jika dalam pelaksanaannya menimbulkan
2
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl454/bagaimana-pembuatan-kontrak-yang-benarsecara-hukum, diakses tanggal 10 April 2013.
4
sengketa, perjanjian itu dapat dihadirkan sebagai alat bukti di pengadilan guna
menyelesaikan sengketa. Perjanjian membuktikan bahwa hubungan hukum
para pihak merupakan sebuah fakta hukum, yang dengan fakta itu
kesalahpahaman dalam sengketa dapat diluruskan – bagaimana seharusnya
hubungan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar.
Dengan demikian pada umumnya setiap orang akan selalu berusaha
untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara bekerja sendiri, akan tetapi
jika tidak mampu dipenuhi secara bekerja sendiri, maka pemenuhan kebutuhan
itu akan dicapai dengan cara bekerjasama dengan orang lain. Berdasarkan sifat
kebutuhan yang hendak dipenuhi, kerjasama dapat bersifat tidak mencari
keuntungan (non komersial) dan kerjasama yang bersifat mencari keuntungan
(komersial).
Kerjasama yang bersifat mencari keuntungan (komersial), dilakukan
dengan menjalankan kegiatan usaha (perusahaan), yaitu keseluruhan
perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk
memperoleh keuntungan,3 meliputi seluruh kegiatan dalam bidang industri
jasa/barang, distribusi dan perdagangan.4 Yang dimaksud dengan perdagangan
adalah kegiatan berupa membeli dan menjual barang dimana keuntungan
diperolah dari selisih harga penjualan dan harga pembelian.
Salah satu bentuk kerjasama di bidang usaha perdagangan yang
ditemukan dalam praktik adalah kerjasama perdagangan pulsa (satuan dalam
3
Molengraaft dalam Abdulkadir Muhammad, 1993, Pengantar Hukum Perusahaan
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hal 7-8.
4
Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, CV. Mandar Maju,
Bandung. Hlm. 28.
5
perhitungan biaya telepon),5 antara Yanu Tri Riska Suwandhi pemilik usaha
grosir pulsa,6 dengan Eko Yunianto pihak penyetor uang (investor). Pola
kerjasama adalah sistem bagi hasil (sharing profit system), dimana pemilik
usaha menjalankan segala kegiatan operasional usahanya, sedang investor
hanya sebatas menyertakan modal. Kerjama tersebut tertuang dalam
“Perjanjian Kerjasama.”
Dari aspek hukum dapat dikemukakan bahwa, Perjanjian Kerjasama
tidak dikenal dalam KUH Perdata Buku III Bab V sampai Bab XVIII yang di
dalamnya mengatur empat belas jenis perjanjian bernama (benoemde atau
nominaat contracten).
Berkaitan dengan perjanjian bernama dapat dikemukakan pendapat para
penulis sebagai berikut :
-
J.Satrio menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian bernama
adalah perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai
pengaturan secara khusus dalam undang-undang, baik dalam KUH Perdata,
KUHD maupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain.7
-
Hamaker mengatakan bahwa setiap perjanjian mempunyai kausa atau
tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak dalam menutup
perjanjian, sehingga setiap perjanjian mempunyai kausa sendiri yang khas,
yang membedakan dari perjanjian yang lain.8
Dari pendapat penulis tersebut dapat dipahami bahwa, secara teoritis kriteria
yang menentukan apakah suatu perjanjian merupakan perjanjian bernama
adalah kausanya bukan sebutan atau nama dari perjanjiannya. Hal ini berarti
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline 1.3.
Ibid.
7
J. Satrio ,1992, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 117.
8
J. Satrio, 1995., Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal 60-61.
6
6
tidak dikenalnya Perjanjian Kerjasama dalam KUH Perdata, tidak serta merta
mengakibatkan perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian bernama.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka adalah tugas (ilmu) hukum untuk
memberikan kualifikasi terhadap Perjanjian Kerjasama apakah termasuk dalam
jenis perjanjian bernama sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata, KUHD
atau peraturan perundang-undangan yang lain.
Dengan mengingat bahwa perjanjian menimbulkan dan berisi perikatan
yang dituju oleh para pihak, selain itu perjanjian juga berisi perikatan-perikatan
lain yang dinyatakan berlaku terhadap mereka berdasarkan hukum yang
menambah (aanvullendrecht), maka adalah penting untuk menentukan
konstruksi hukum Perjanjian Kerjasama, dengan maksud untuk memberikan
kepastian hukum tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang
lahir dari perjanjian tersebut. Untuk mendapatkan jawaban itu semua penulis
merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan maksud untuk melakukan
kajian teoritis tentang aspek hukum dari Perjanjian Kerjasama..
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah konstruksi hubungan hukum dalam perjanjian kerjasama
perdagangan Pulsa ?
2. Bagaimanakah distribusi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
kerjasama perdagangan Pulsa?
C. Tujuan Penelitian
7
1. Untuk mengetahui konstruksi hubungan hukum dalam perjanjian kerjasama
Perdagangan Pulsa.
2. Untuk mengetahui distribusi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
kerjasama perdagangan Pulsa.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis : memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan
ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum perjanjian yang terus
berkembangan mengikuti perkembangan pola-pola hubungan hukum dalam
masyarakat.
2. Manfaat Praktis : sebagai masukan atau penduan bagi pihak-pihak yang
akan melakukan kerjasama pada umumnya dan perdagangan pulsa pada
khususnya di kemudian hari.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian Perjanjian.
Pengertian perjanjian disebutkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata
dengan rumusan sebagai berikut :
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau labih”.
Rumusan perjanjian di atas oleh para sarjana, dikatakan banyak
mengandung kelemahan, karena di satu pihak rumusannya terlalu luas, dan
di pihak lain rumusannya terlalu sempit. Di bawah ini akan dipaparkan
beberapa pendapat sarjana yang membahas mengenai pengertian perjanjian.
Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH
Perdata ini banyak mengandung kelemahan, karena :
a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.
Hal ini dapat dilihat dari kalimat “satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. kata mengikatkan diri
bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya
perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di
antara para pihak.
b. Kata “perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus.
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan
tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum
9
(onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus,
seharusnya dipakai kata persetujuan.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas, karena
mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur
dalam lapangan hukum kekayaan. Padahal yang dimaksud adalah
hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan
saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat
perseorangan.
d. Tanpa menyebut tujuan.
Dalam rumusan tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.9
Menurut Subekti, bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.10
Dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana di atas, maka dapat
dirumuskan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dalam
lapangan hukum kekayaan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih, atau dimana kedua belah pihak saling
mengikatkan dirinya.
2. Asas-asas Dalam Perjanjian
9
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
78.
10
Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1.
10
Paul
Scholten
mengemukakan
bahwa
asas
hukum
sebagai
kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan
pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya
sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada. Seangkan asas hukum
menurut Van Eikema Hommes adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam
pembentukan hukum positif.11
Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang
bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaikbaiknya, tidak bisa hanya melihat peraturan-peraturan hukumnya saja,
melainkan harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya. Asas
hukum inilah yang memberi makna etis pada peraturan-peraturan hukum
serta tata hukum.12
Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang
perlu diketahui. Menurut Abdulkadir Muhammad13, asas- asas tersebut
adalah seperti diuraikan dibawah ini:
1) Asas kebebasan berkontrak atau dengan istilah lain disebut juga sistem
terbuka (open system), pada dasarnya setiap orang boleh mengadakan
perjanjian apa saja, dengan siapa saja dan mengenai apa saja, walaupun
belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata disebutkan bahwa :
11
Yahoo! Answer, http://id.answers.yahoo.com, diakses tanggal 30 Oktober 2010.
Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung, hal. 87.
13
Abdulkadir Muhammad, op.cit. hal 84-86.
12
11
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”.
Dengan menekankan pada kata “semua perjanjian”, seolah-olah berisikan
pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang boleh membuat
perjanjian berupa apa saja asal memenuhi syarat sahnya perjanjian, dan
perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya.
2) Bersifat pelengkap (optional), artinya pasal-pasal undang-undang boleh
disingkirkan, apabila pihak yang membuat perjanjian menghendaki
membuat perjanjian sendiri, yang menyimpang dari kketentuan pasalpasal undang-undang. Akan tetapi apabila dalam perjanjian tidak
diperjanjikan lain, maka berlakulah ketentuan yang ada dalam undangundang.
3) Asas konsensualisme, artinya perjanjian (pada umumnya) itu terjadi atau
telah lahir sejak adanya kata sepakat antara pihak-pihak. A. Qirom
Syamsudin menyebutkan dengan adanya asas konsensualisme maka
perjanjian itu sudah lahir dengan adanya kata sepakat di antara para
pihak, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali dalam
perjanjian yang bersifat formil.14
4) Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu
baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum
memindahkan hak milik (ownership). Hak milik baru berpindah, apabila
14
A. Qirom Syamsudin, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya,
Liberty, Yogyakaarta, hal. 20.
12
diperjanjikan tersendiri yang disebut perjanjian kebendaan (zakelijke
overeenskomst).
5) Asas Daya Mengikat Perjanjian (Pacta Sunt Servanda), bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat para pihak seperti halnya
mengikatnya undang-undang. Dengan kata lain orang yang membuat
perjanjian berarti telah membuat undang-undang bagi dirinya sendiri.
Asas ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
bahwa : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam hal ini Sudikno
berpendapat bahwa kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan dalam
perjanjian yang mereka buat. Perjanjian secara sah mengikat kedua belah
pihak seperti undang-undang. Berarti bahwa kedua belah pihak
berkewajiban mentaati danmelaksanakan perjanjian, sudah selayaknyalah
bahwa sesuatu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dipatuhi pula
oleh kedua belah pihak. 15
6) Asas Iktikad Baik (te goeder trouw), bahwa pelaksanaan perjanjian harus
didasarkan pada kepatutan (redelijkheid) dan keadilan (billijkheid).
3. Syarat sahnya perjanjian
J. Satrio16 dalam bukunya Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata diartikan sebagai untuk “sahnya” suatu
perjanjian diperlukan 4 syarat. Dalam bahasa aslinya sebenarnya tertulis
15
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pemngantar), Liberty,
Yogyakarta, hal. 97.
16
J. Satrio, 2001, Hukum Perjanjian, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 163.
13
untuk “adanya” (bestaanbaarheid) suatu perjanjian diperlukan 4 syarat.
Kata “adanya” adalah tidak tepat, karena ada kalanya, sekalipun suatu
perjanjian tidak memenuhi salah satu dari keempat syarat yang ditentukan
dalam Pasal 1320 KUH Perdata, tetapi tetap diterima sebagai “ada”,
sekalipun mengandung cacat dan karenanya sebagai “tidak sah” sehingga
ada kemungkinan dibatalkan. Tidak sah disini dimaksudkan sebagai “dapat
dibatalkan”.
Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, adalah :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakap untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu; dan
d. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat di atas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
berdasarkan subyeknya dan berdasarkan obyeknya. Dua syarat pertama
disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyek yang menutup
perjanjian, sedangkan dua syarat yang lain disebut syarat obyektif, karena
menyangkut
obyek
dari
perjanjian.
Pembedaan
ini
menimbulkan
konsekuensi hukum, yaitu apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat
subyektif maka perjanjian itu tetap ada walaupun tidak sah dan
menimbulkan kemungkinan untuk dibatalkan. Sedangkan apabila suatu
perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif maka perjanjian tersebut
dianggap tidak pernah ada dan dengan sendirinya batal demi hukum.
14
Mengenai keempat syarat sahnya perjanjian dapat dijabarkan sebagai
berikut :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321-1328 KUH
Perdata).
Dalam suatu perjanjian haruslah ada kata sepakat diantara para pihak
mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang mereka adakan. Yang
dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara dua
pihak, atau dengan perkataan lain ada pertemuan dua kehendak yang
berbeda akan tetapi saling mengisi dan masing-masing pihak menyatakan
persetujuannya masing-masing.
Untuk dapat bertemu, antara kehendak pihak yang satu dengan pihak
yang lain, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Kehendak yang
dinyatakan haruslah nyata dan dapat dimengerti oleh pihak lain.
Sehingga apabila kehendak yang dinyatakan tersebut sampai dan bisa
dimengerti pihak lain, dan pihak lain tersebut kemudian menyatakan
menerimanya, maka disitulah timbul kata sepakat.
Berkaitan dengan masalah kesepakatan, apabila tidak ada kesesuaian
antara pernyataan dan kehendak, telah melahirkan teori-teori hukum
untuk menyelesaikannya, yaitu :
1) Teori Kehendak (Wiltheorie)
Teori kehendak adalah teori tertua dan menekankan pada faktor
kehendak. Menurut teori ini jika mengemukakan suatu pernyataan
yang berbeda dengan apa yang dikehendakinya, maka kita tidak
15
terikat kepada pernyataan tersebut. Teori ini mendapat penerapan
dalam Pasal 1343 KUH Perdata yang menyebutkan : “Jika kata-kata
suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus
dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat
perjanjian itu, dari pada memegang teguh arti kata-kata menurut
huruf.”
2) Teori Pernyataan (Verklaringstheorie)
Menurut teori ini pernyataan sepakat yang dinyatakan seseorang
adalah mengikat dirinya,
tanpa
menghiraukan apakah
yang
dinyatakan kedua belah pihak sesuai atau tidak dengan kehendak
masing-masing pihak. Pernyataan adalah tindakan lahiriah yang dapat
diketahui, sedangkan kehendak adalah tindakan batin seseorang yang
tidak dapat diketahui. Teori ini mendapat penerapan dalam Pasal
1342 KUH Perdata yang menyebutkan : “Jika kata-kata suatu
perjanjian adalah jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang
dari padanya dengan jalan penafsiran”.
3) Teori Kepercayaan (Vetrouwenstheorie)
Teori ini mengajarkan bahwa kata sepakat terjadi, jika ada dua
pernyataan yang saling bertemu dan menimbulkan kepercayaan.
Teori ini mendapat penerapan daalam Pasal 1346 KUH Perdata, yang
menyebutkan : “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut
apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana
perjanjian telah dibuat”.
16
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Pasal 1329-1331 KUH
Perdata).
Dalam KUH Perdata tidak diatur mengenai siapa orang yang cakap untuk
membuat membuat perikatan, yang diatur adalah mengenai orang yang
dinyatakan tidak cakap membuat perikatan, yaitu sebagaimana diatur
dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu :
“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”
Dengan demikian pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk
membuat perjanjian, kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh
undfang-undang.
Berlakunya ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata mendapat perubahan
dengan adanya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang mencabut antara lain
Pasal 108 dan 110 KUH Perdata, dan dengan adanya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya Pasal 31 ayat (2),
maka seorang isteri dinyatakan cakap bertindak dalam hukum.
c. Suatu hal tertentu (Pasal 1332-1334 KUH Perdata).
Dalam Pasal 1332 KUH Perdata disebutkan, bahwa :
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat
menjadi pokok suatu perjanjian”
Berdasarkan pasal tersebut, obyek perjanjian harus merupakan bendabenda yang dapat diperdagangkan. Apabila benda tersebut merupakan
17
benda terlarang untuk diperdagangkan, maka perjanjian tersebut menjadi
batal demi hukum. Pada asasnya suatu benda bisa menjadi pokok suatu
perjanjian, kecuali tujuan dari padanya sebagai suatu dinas/instansi
umum (pelayanan umum) tidak memungkinkannya.17
Selanjutnya dalam Pasal 1333 KUH Perdata disebutkan :
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang
paling sedikit ditentukan jenisnya”.
“Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Perihal syarat “tertentu”, suatu barang minimal dapat ditentukan
jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya boleh saja tidak ditentukan
pada saat dibuatnya perjanjian, asal dikemudian hari dapat ditentukan
atau dihitung. Suatu perjanjian yang obyeknya tidak tentu atau tidak ada,
maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan batal demi
hukum.
Selanjutnya dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa
barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek
suatu perjanjian. Barang yang akan ada dibedakan menjadi dua, yaitu
barang yang akan ada dalam arti mutlak dan barang yang akan ada dalam
arti nisbi. Benda yang akan ada dalam arti mutlak yaitu bahwa pada saat
dibuat perjanjian memang belum ada, sedangkan barang yang akan ada
dalam arti nisbi yaitu barang itu sudah ada tetapi bagi orang tertentu
masih merupakan harapan untuk dimiliki.18
17
J. Satrio, op.cit, hal 49.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata-Hukum Perutangan Bagian B,
Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hal. 28.
18
18
Sementara itu J. Satrio menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “suatu
hal tertentu” adalah :
“Obyek prestasi perjanjian, suatu pokok untuk mana diadakan suatu
perjanjian. Ditinjau dari kreditur dan debitur, “hal tertentu” tidak lain
merupakan isi dari pada perikatan utama yaitu prestasi pokok dari pada
perikatan utama yang muncul dari perjanjian tersebut”
d. Suatu sebab yang halal (Pasal 1335-1337 KUH Perdata).
Dalam Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan, bahwa :
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”.
Menurut Hamaker bahwa yang dimaksud causa suatu perjanjian adalah
akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu
apa yang menjadi tujuan mereka (para pihak bersama) menutup
perjanjian.19 Causa atau sebab berbeda dengan motif, yaitu alasan yang
mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan
causa adalah tujuan dari pada perjanjian.20
Maksud dari “causa atau sebab yang halal” artinya bukan causa atau
sebab yang terlarang, sedangkan mengenai causa yang terlarang
disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu :
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”
Dengan demikian yang dimaksud dengan kata “halal” adalah tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
19
J. Satrio, op.cit, hal. 41.
R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, bandung, hal 62.
20
19
Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa undang-undang tidak
mempedulikan apa yang menjadi sikap batin (motif) orang mengadakan
perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi adalah isi perjanjian, yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum atau tidak21.
4. Saat Lahirnya Perjanjian
Dalam asas konsensualisme, maka suatu perjanjian lahir sejak saat
tercapainya kata sepakat di antara para pihak mengenai pokok perjanjian
atau unsur essensial dari perjanjian. Hal ini hanya dapat terjadi dalam
hubungan hukum yang dilakukan secara langsung, baik dalam arti bertemu
secara nyata dalam suatu tempat dan waktu yang sama, ataupun hubungan
hukum secara langsung yang dilakukan melalui media elektronik, seperti
telepon, webcam , teleconference dan sebagainya. Dalam hubungan yang
seperti ini antara penawaran dan penerimaan dapat langsung diketahui satu
sama lain antara para pihak yang menutup perjanjian.
Berbeda halnya dalam transaksi atau hubungan hukum yang
dilakaukan secara tidak langsung, misalnya : melalui surat, telegraf, sms,
email, website atau blok di Internet, dalam hubungan yang demikian antara
penawaran dan penerimaan dipisahkan oleh waktu. Dalam keadaan
demikian seringkali tidak mudah untuk menentukan kapan lahirnya
perjanjian.
21
Abdulkadir Muhammad, 1990, op.cit. hal, 94.
20
Untuk itu doktrin telah memberikan berbagai teori yang bertujuan
untuk menjawab pertanyaan mengenai kapan saat lahirnya suatu perjanjian,
yaitu :
a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat ditulis surat jawaban
penerimaan atas suatu penawaran. Dengan kata lain, perjanjian itu ada,
pada saat pihak lain menyatakan penerimaan atau akseptasinya. Pada
saat tersebut pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan
akseptor saling bertemu. Keberatan dari teori ini adalah orang tidak
dapat menetapkan secara pasti kapan perjanjian itu lahir, karena sulit
membuktikan kapan saat penulisan surat jawaban tersebut.
b. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie)
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban atau akseptasi adalah saat
yang menentukan lahirnya perjanjian. Dalam hal ini, biasanya tanggal
cap Pos yang dipakai sebagai jawaban, apabila surat tersebut telah
dikirim, maka akseptor tidak mempunyai kekuasaan lagi terjhadap surat
tersebut dan tidak dfapat merubah lagi saat terjadinya perjanjian. Teori
ini merupakan perbaikan dari teori pernyataan. Adapun keberata
terhadap teori ini adalah perjanjian sudah lahir dan mengikat orang yang
menawarkan pada saat orang yang memberi penawaran sendiri belum
tahu akan hal itu.
c. Toei Pengetahuan (Vernemingstheorie)
21
Dalam teori ini, saat lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban
akseptasi diketahui orang yang melakukan penawaran. Teori ini
dianggap paling sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar
pertemua dua kehendak yang dinyatakan, dan pernyataan kehendak
tersebut harus dapat saling dimengerti antara kedua belah pihak yang
membuat perjanjian. Keberata teori ini adaalah apabila penerima surat
membiarkan suratnya dan tidak dibuka, maka perjanjian tidak lahir dan
tidak akan pernah lahir.
d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)
Sebagai jawaban dari kekuranga-kekurangan dari teori sebelumnya,
maka muncul teori penerimaan ini yang mengajarkan bahwa saat
lahirnya perjanjian adaalah saat diterimanya jawaban atau akseptasi oleh
orang yang memberikan penawaran. Jadi tidak peduli apakah surat itu
dibuka ataukah tidak atau memang dibiarkan tidak dibuka, perjanjian
tetap lahir, yang penting surat tersebut telah sampai pada alamat si
penerima surat, yaitu pihak yang melakukan penawaran.22
5. Unsur-unsur Perjanjian
Dengan mencermati isi prestasi dari suatu perjanjian, maka dapat
dikelompokkan dalam tiga unsur perjanjian, yaitu :
a. Unsur Essensialia
Unsur essensialia adala unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur
ini perjanjian tidak mungkin ada. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur
22
J. Satrio, 2001, op.cit, hal. 257-262.
22
essensialia adalah sesuatu yang harus ada, merupakan hal pokok yang
harus ada dalam suatu perjanjian.23 Tanpa hal pokok tersebut maka tidak
ada perjanjian. Contohnya dalam perjanjian jual beli, maka barang dan
harga merupakan unsur essensialia.
Pada perjanjian riil, syarat penyerahan obyek perjanjian merupakan
essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari
perjanjian formil. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur essensialia
dari suatu perjanjian masing-masing berbeda, atau yang membedakan
antara perjanjian yang satu dengan perjanjian lainnya. dalaam jual beli
sekurang-kurangnya harus ditentukan mengenai barang dan harganya,
untuk hal yang lain dapat diabaikan, sedangkan dalam perjanjian yang
lain, disyaratkan menyebut hal-hal pokok yang harus dicantumkan
dalam perjanjian (important in highest degree).
Dalam suatu perjanjian untuk dapat membedakan perjanjian yang
satu dengan perjanjian lainnya, dapat diketahui dari unsur essensialia
dan causa perjanjian. Causa adalah tujuan yang sengaja ditimbulkan
oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan para
pihak dengan menutup perjanjian tersebut.24 Unsur essensialia dan causa
perjamnjian yang satu berbeda dengan perjanjian lainnya, karena setiap
perjanjian mempunyai caausa atau tujuannya sendiri yang khas,
meskipun kadang terdapat kemiripan.
23
Ibid, hal. 60, baca juga Rai Wijaya, 2004, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Bekasi,
hal 118.
24
J. Satrio, op,cit, hal. 60.
23
Misalnya antara perjanjian jual beli dengan perjanjian sewa
menyewa, kedua perjanjian ini unsur essensialianya sama yaitu : barang
dan harga. Akan tetap causa kedua perjanjian tersebut berbeda, pada
perjanjian jual beli causanya adalah penyerahan barang untuk dimiliki
pihak lain (pembeli) jadi ada penyerahan barang dan penyerahan hak
milik, sedangkan dalam perjanjian sewa menyewa causanya adalah
penyerahan kenikmatan atas suatu barang, sedangkan hak miliknya tetap
ada pada pihak pemberi sewa.
b. Unsur Naturalia
Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang
di atur tetapi yang oleh para pihak dapat di singkirkan atau di ganti
25
.
Unsur ini sebenarnya merupakan bagian-bagian isi perjanjian yang secara
umum patut, dan adil bagi para pihak karena merupakan konsekuensi
logis dari perjanjian yang bersangkutan. Dalam keadaan normal orang
pada
umumnya
pun
akan
menghendaki
pengaturan
demikian
sebagaimana logisnya.
Unsur naturalia ini oleh undang-undang diatur dengan hukum yang
bersifat mengatur atau menambah (regelend rech atau aanvullend rech).
Jadi, melalui aturan yang bersifat menambah ini pembuat undang-undang
telah menfiksikan kehendak para pihak rata-rata umumnya orang dalam
membuat perjanjian. Secara logis (natural) seseorang yang dalam suatu
perjanjian misal nya jual beli diwajibkan untuk menyerahkan hak milik
25
Ibid.
24
atas kebendaan tertentu, sebagai konsekuensi logisnya ia diwajibkan pula
untuk menjamin bahwa kebendaan yang diserahkan tersebut aman dari
tuntutan pihak ketiga dan bebas dari cacat tersembunyi ( Pasal 1491
KUH Perdata). Tanpa memperjanjikan hal ini pun ketentuan pasal
tersebut berlaku secara otomatis menambah isi perjanjian yang dibuat
oleh para pihak. Namun demikian ketentuan tersebut dapat disingkirkan
dengan mengaturnya secara lain melalui kesepakatan kedua belah pihak.
Contohnya adalah kewajiban penjual untuk menanggung biaya
penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin (vrijwaren)
dari cacat tersembunyi (Pasal 1491), semua itu dapat disimpangi atas
dasar kesepakatan bersama.
c. Unsur Accidentalia
Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh
para pihak karena undang-undang tidak mengatur tentang hal tersebut26.
Semua janji-janji dalam suatu perjanjian yang sengaja dibuat untuk
menyimpangi ketentuan hukum yang menambah merupakan unsur
accidentalia27.
Pemahaman tentang unsur accidentalia ini akan menjadi jelas bila
dikaitkan dengan perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang
umumnya telah mendapatkan pengaturan secara relatif lengkap melalui
ketentuan yang bersifat menambah. Meskipun demikian kadang-kadang
terkandung hal-hal tertentu undang-undang tidak atau lupa mengaturnya
26
27
Ibid.
Ibid., hal 73.
25
sehingga
diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sendiri.
Dengan demikian unsur accidentalia ini dapat berupa janji-janji yang
dibuat oleh para pihak karena undang-undang (yang bersifat menambah)
tidak mengaturnya atau berupa janji-janji yang dibuat para pihak dalam
hal mereka menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah tersebut.
6. Akibat Hukum Perjanjian
KUH Perdata Buku III titel 2 bagian 3 yang berjudul tentang akibat
hukum perjanjian, dibuka dengan Pasal 1338 yang menyatakan : “ semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.“
Dengan demikian setiap perjanjian yang dibuat “ secara sah “ berarti
memenuhi syarat untuk sahnya perjanjian yaitu ada kesepakatan untuk
membuat perjanjian, mereka yang bersepakat adalah orang yang cakap
untuk membuat perjanjian, prestasinya tertentu dan tujuan para pihak
mengadakan perjanjian secara jelas tidak melanggar ketentuan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka perjanjian mengikat para
pihak yang membuat perjanjian, seperti undang-undang yang mengikat
orang terhadap siapa undang-undang berlaku.
Perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat dibatalkan secara
sepihak. Pembatalan hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara
para pihak yang membuatnya untuk membatalkan perjanjian yang telah ada
tersebut. Dengan demikian perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
26
mengikat dan para pihak wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada
dalam perjanjian.
Sampai kapankah perjanjian mengikat atau sampai kapan suatu
perjanjian itu berakhir ? Pada asasnya perjanjian berakhir kalau akibatakibat hukum yang dituju telah selesai terpenuhi.
7. Risiko
Yang dimaksud dengan risiko adalah suatu kewajiban untuk
menanggung kerugian sebagai akibat dari adanya suatu peristiwa atau
kejadian yang menimpa obyek perjanjian dan bukan karena kesalahan dari
salah satu pihak.28 Hal itu berarti risiko berpokok pangkal pada suatu
peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian,
atau dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang didalam hukum
dinamakan : keadaan memaksa. Dengan demikian maka risiko adalah
merupakan kelanjutan dari keadaan memaksa.
a. Resiko pada Perjanjian Sepihak
Pasal 1237 KUH Perdata : “Dalam hal adanya perikatan untuk
memberikan sesuatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak
perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”. Ketentuan
ini terletak pada bab tentang perikatan pada umumnya; jadi disini diatur
tentang perikatan dalam bentuk dasarnya yaitu hubungan dalam lapangan
hukum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak (kreditur) dan dilain pihak
28
A. Qirom Syamsudin Meliala, op.cit, hlm. 49.
27
ada kewajiban (debitur). Bentuk perikatan seperti ini muncul pada
perjanjian sepihak, seperti pada hibah.
Berdasarkan ketentuan tersebut benda yang harus diserahkan
menjadi tanggungan kreditur. Disini tidak dibicarakan siapa yang
bersalah, tetapi hanya dikatakan yang menanggung kerugian adalah
kreditur; maka ---ditafsirkan bahwa--- kalau terjadi kerugian pada benda
tertentu yang harus diserahkan dan tidak ada yang bersalah atas kerugian
itu, yang menanggung adalah kreditur. Dengan begitu, dalam perikatan
untuk memberikan suatu barang tertentu, jika barang ini sebelum
diserahkan, musnah atau rusak karena suatu peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang”
(kreditur), yaitu pihak yang berhak menerima barang itu. Dalam bahasa
hukum dikatakan pada perikatan untuk memberikan suatu barang
tertentu, yang timbul dari suatu perjanjian yang sepihak resiko ada pada
kreditur.
b. Resiko pada Perjanjian Timbal Balik
Dalam perjanjian timbal balik prestasi yang satu berkaitan erat
sekali dengan prestasi yang lain; dijanjikannya prestasi yang satu adalah
dengan memperhitungkan akan diterimanya
prestasi
yang lain.
Pengaturan resiko dalam perjanjian timbal-balik, dimana kedua belah
pihak sama-sama berkewajiban memenuhi prestasi, dapat kita simpulkan
28
dari pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata
yang menyatakan :
“Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah, tak
lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga
samasekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka
hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar
salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.”
Disini ditentukan, apabila suatu barang tertentu yang menjadi
bahan perjanjian musnah tak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar
salahnya si berutang maka perikatan antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian menjadi hapus; dan karena seluruh perikatan hapus, maka
dengan sendirinya pihak yang membuat perjanjian tidak dapat menuntut
sesuatu apapun antara yang satu terhadap yang lain.
Hal itu berarti apabila barang yang menjadi obyek perjanjian
timbal-balik selama belum diserahkan telah musnah tak lagi dapat
diperdagangkan atau hilang diluar salahnya salah satu pihak, maka
risikonya ditanggung oleh pemilik; Karena terhadap barang miliknya,
pemilik yang harus menyerahkan barangnya, berkedudukan sebagai
debitur, maka disini dikatakan risiko kerugian dipikul oleh debitur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 1444
KUH Perdata, resiko pada perjanjian timbal-balik ditanggung oleh
pemilik atau debitur.
Karena Pasal 1444 KUH Perdata ini termuat dalam Bagian Umum
Buku III KUH Perdata, maka pasal tersebut merupakan ketentuan umum
tentang resiko yang menjadi pedoman bagi perjanjian-perjanjian pada
29
umumnya. Pasal 1237 KUH Perdata sebagai pedoman tentang resiko
bagi perjanjian sepihak. Sedangkan Pasal 1444 KUH Perdata sebagai
pedoman tentang resiko bagi perjanjian timbal-balik.
Kecuali perihal resiko ini diatur dalam pasal-pasal Bagian Umum
Buku III KUH Perdata yang menjadi pedoman bagi perjanjian pada
umumnya, yang dirasakan mengatur tentang resiko itu sudah seadilnya,
perihal resiko juga diatur dalam pasal-pasal Bagian Khusus Buku III
KUH Perdata tentang perjanjian-perjanjian tertentu pada pasal-pasal
tertentu pula. Misalnya dalam perjanjian jual-beli resikonya diatur pada
Pasal 1460, 1461 dan 1462 KUH Perdata, dalam perjanjian tukarmenukar resikonya diatur pada Pasal 1545 KUH Perdata, selanjutnya
dalam perjanjian sewa-menyewa resikonya diatur dalam Pasal 1553
KUH Perdata dan lain sebagainya.
Pasal-pasal KUH Perdata yang megatur resiko dalam perjanjianperjanjian jual-beli, tukar-menukar, dan sewa-mnyewa itu dirasakan
sebagai sudah seadilnya sesuai dengan Pasal 1444 KUH Perdata. Kecuali
Pasal 1460 KUH Perdata yang mengatur resiko secara tidak adil,
sehingga Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 3 tahun 1963
menyatakan Pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi.
Kemudian bilamana ketentuan mengenai resiko ini kita hubungkan
dengan asas kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa semua orang
dapat membuat perjanjian yang bagaimanapun isinya asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum,
30
maka dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai resiko ini inkonkreto
diserahkan kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk mengatur
dan menentukan sendiri sedemikian rupa, bagaimana perihal resiko itu
diinginkan mereka.
B. Perjanjian Kerjasama
Dewasa ini hampir tidak ada satu orangpun yang bisa melakukan
usahanya dengan hanya mengandalkan dirinya sendiri, apalagi jika usaha itu
sudah tergolong skala besar. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya,
antara lain karena keterbatasan modal, keterbatasan skill, ataupun karena
tuntutan perkembangan usahanya yang semakin maju. Untuk mengatasi
kesulitan tersebut maka berkembanglah apa yang dinamakan kerjasama.
Sebagai dasar dari kerjasama tersebut dibutuhkan apa yang disebut dengan
Perjanjian Kerjasama. Istilah perjanjian kerjasama ini sekarang sudah lazim
dipakai dalam praktek, dan merupakan istilah dalam aspek ekonomi dalam
rangka pemenuhan kebutuhan bersama.
Istilah “kerjasama” berarti kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh
beberapa orang (lembaga, pemerintah, dsb) untuk mencapai tujuan bersama29.
Intinya adalah kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai
tujuan yang bersama. Pembahasan perjanjian kerjasama ini akan ditinjau dari
aspek ekonomi dan aspek hukum
a. Aspek ekonomi
29
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ofline 1.3.
31
Bentuk-bentuk perjanjian kerjasama ditinjau dari aspek ekonomi pada
prinsipnya dibedakan kedalam 3 pola, yaitu 30 :
1. Joint Venture (Usaha Bersama);
2. Joint Operational (Kerjasama Operasional); dan
3. Single Operational (Operasional Sepihak)
Ad 1). Joint Venture.
Joint Venture adalah merupakan bentuk kerjasama umum, dapat
dilakukan pada hampir semua bidang usaha, dimana para pihak masingmasing menyerahkan modal untuk membentuk badan usaha yang
mengelola usaha bersama. Contohnya, para pihak bersepakat untuk
mendirikan pabrik garment. Untuk mendirikan usaha tersebut masingmasing pihak menyerahkan sejumlah modal yang telah disepakati
bersama, lalu mendirikan suatu pabrik.
Ad 2). Joint Operational.
Joint Operational adalah bentuk kerjasama khusus, dimana bidang usaha
yang dilaksanakan merupakan bidang usaha yang :
- merupakan hak / kewenangan salah satu pihak
- bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah beroperasional,
dimana pihak investor memberikan dana
untuk melanjutkan /
mengembangkan usaha yang semula merupakan hak / wewenang pihak
lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai pelaksana kegiatan
5. http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/perjanjian.html, diakses tanggal 10 Maret
2013.
32
usaha. Contoh : Kerjasama Operasional (KSO) antara PT. Telkom
dengan PT. X untuk pengembangan jaringan pemasangan telepon baru.
Untuk pelaksanaannya dibentuk PT. ABC yang sahamnya dimiliki PT.
Telkom dan PT. X.
Ad 3). Single Operational.
Single Operational merupakan bentuk kerjasama khusus dimana bidang
usahanya berupa “bangunan komersial”. Salah satu pihak dalam
kerjasama ini adalah pemilik yang menguasai tanah, sedangkan pihak
lain – investor, diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial di
atas tanah milik yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk
mengoperasionalkan bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu
tertentu dengan pemberian fee tertentu selama jangka waktu operasional
dan setelah jangka waktu operasional berakhir investor wajib
mengembalikan tanah beserta bangunan komersial diatasnya kepada
pihak pemilik / yang menguasai tanah. Bentuk kerjasama ini lazimnya
disebut : BOT (Build, Operate and Transfer), dan variannya adalah :
BOOT (Build, Own, Operate and Transfer), BLT (Build, Lease and
Transfer) dan BOO (Build, Own and Operate).
b. Aspek hukum
Dalam arti hukum pengertian kerjasama dijelaskan secara rinci oleh
Achmad Ichsan31 dalam uraian berikut :
31
Achmad Ichsan dalam Cdhidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 110-112.
33
Landasan kerjasama dalam hukum dimulai dari adanya suatu perjanjian.
Perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang mengadakan, yang kemudian
menimbulkan perikatan bagi masing-masing pihak. Dalam perikatan masingmasing pihak berhadap-hadapan satu sama lain dimana masing-masing pihak
diikat oleh janji-janji yang telah diadakan diantara mereka, kemudian
berkembang menjadi suatu “kerjasama” antara pihak masing-masing untuk
secara bersama mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Kerjasama ini
kemudian menjadi suatu hubungan yang bersifat terus-menerus akhirnya
menimbulkan suatu bentuk lembaga kesatuan kerjasama yang disebut
“perkumpulan”
atau
“Perhimpunan”
“perkumpulan” atau “Perhimpunan”
(vereniging).
Pertama-tama
(verenigingswegen) ini mempunyai
tujuan yang bersifat idiil kemasyarakatan, namun kemudian bagi masyarakat
yang telah maju bertujuan pula untuk pemenuhan tujuan yang bersifat
komersial bagi kebutuhan dan kepentingan anggotanya. Maka dengan
perkembangan itu lahirlah bentuk kesatuan kerjasama
yang disebut
“persekutuan” (Maatschap/Vennootschap).
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam arti hukum, kerjasama
dibedakan menjadi dua yaitu “perkumpulan” atau “perhimpunan” (vereniging)
dan “persekutuan” (Maatschap/Vennootschap).
C. Perkumpulan atau perhimpunan (vereniging).
Dalam “perkumpulan” atau “perhimpunan” beberapa orang yang hendak
mencapai suatu tujuan dalam bidang non ekonomis (tidak untuk mencari
keuntungan) bersepakat mengadakan kerjasama yang bentuk dan caranya
34
diletakkan dalam anggaran dasar atau “reglemen” atau statuten.” Dalam KUH
Perdata, “perkumpulan” atau “perhimpunan” diatur dalam Pasal 1653 – Pasal
1665.
Dalam Pasal 1653 KUH Perdata disebutkan bahwa :
“Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula
perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan,
baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai
demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu
diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud
tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan
baik”.
Dengan
demikian
yang
dimaksud
dengan
“perkumpulan”
atau
“perhimpunan” (organisasi, perserikatan) merupakan suatu bentuk berkumpul
atau berhimpunnya beberapa orang atas dasar kesepakatan untuk berkerjasama
mencapai suatu tujuan tertentu. Pendirian perkumpulan dapat dilakukan secara
resmi dengan akta Notaris atau dengan cara lain asal saja dengan tujuan yang
tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Adapun tujuan perkumpulan adalah sesuatu yang tidak bersifat mencari
keuntungan ekonomis (non profit oreinted), melainkan tujuan yang bersifat
sosial, idiil atau keagamaan, seni, olah raga dan sebagainya. Hal ini untuk
membedakan dengan persekutuan yang bertujuan mencari keuntungan
bersama.
Sejak pendiriannya, maka perkumpulan menjadi subyek hukum yang
mandiri, dapat melakukan tindakan-tindakan perdata, terlepas dari pribadi
masing-masing anggota perkumpulan. Dalam Pasal 1654 KUH Perdata
disebutkan bahwa :
35
“Semua perkumpulan yang sah adalah, seperti halnya dengan orangorang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan
tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu
telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu”
Dengan adanya kata-kata “tindakan-tindakan perdata”, menunjukkan
bahwa kedudukan perkumpulan adalah sebagai subyek hukum perdata yang
dapat melakukan perbuatan hukum di bidang keperdataan. Adapun luas
sempitnya kewenangan perkumpulan untuk melakukan perbuatan hukum
perdata diatur dalam peraturan umum yang berlaku untuk itu.
Pada dasarnya setiap anggota perkumpulan dapat bertindak untuk dan
atas nama perkumpulan, mengikat perkumpulan kepada orang-orang pihak
ketiga dan sebaliknya, begitu pula bertindak di muka Hakim, baik sebagai
penggugat maupun sebagai tergugat, kecuali ditetapkan lain dalam akta
pendiriannya, perjanjiannya atau reglemennya (Pasal 1655 KUH Perdata).
Dengan demikian pada dasarnya setiap anggota dalam suatu perkumpulan
mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada hubungan hirarkhi atau subordinat antara atasan dan bawahan, kecuali ditetapkan lain dalam akta
pendirian, dalam perjanjian atau reglemen.
Akan tetapi tindakan anggota atau pengurus perkumpulan yang dilakukan
diluar kekuasaan yang diberikan untuk itu, adalah di luar tanggung jawab
perkumpulan, kecuali apabila perkumpulan mendapatkan manfaat atau
memang perbuatan-perbuatan itu kemudian mendapatkan persetujuan oleh
perkumpulan (Pasal 1656 KUH Perdata). Hal ini berarti tindakan pengurus
perkumpulan yang telah dilakukan diluar kuasanya dan menimbulkan kerugian,
maka harus ditanggung oleh pengurus tersebut secara pribadi, kecuali apabila
36
perkumpulan telah memberikan persetujuan atau mengesahkan dilakukannya
perbuatan itu.
D. Persekutuan (Maatschap/Vennootschap).
1. Pengertian Persekutuan.
Dalam “persekutuan” (Maatschap/ Vennootschap) terdapat beberapa
orang yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan bersama dalam bidang
ekonomis (untuk mencari keuntungan). Mengenai pengertian, bentuk dan
cara mengadakan kerjasama diatur dalam KUH Perdata Pasal 1618 sampai
Pasal 1652.
Pengertian perkumpulan disebutkan dalam Pasal 1618 KUH Perdata,
yaitu :
“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih
mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan,
dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”.
Dengan demikian yang disebut persekutuan adalah perjanjian antara dua
orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang
akan dicapau dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam
suatu kekayaan bersama.32
Dengan mendasarkan pada pasal di atas dapat diketahui unsur-unsur
persekutuan, yaitu :
a. Ada dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri;
b. Masing-masing orang tersebut melakukan pemasukan (inbreng) dalam
persekutuan; dan
32
Subekti, op.cit, hal.75.
37
c. Tujuannya adalah mencari keuntungan.
Keanggotaan persekutuan minimal adalah 2 (dua) orang sebagai syarat
untuk adanya perjanjian yang merupakan tindakan hukum dua pihak yang
saling mengikatkan diri. Dengan demikian merupakan perjanjian timbal
balik, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak,
sehingga setiap prestasi dari pihak yang satu diikuti dengan kontra prestasi
dari pihak yang lain. J. Satrio menyebutkan bahwa perjanjian timbal balik
adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya
juga hak) kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu
mempunyai hubungan satu dengan lainnya. 33
Kewajiban utama anggota persekutuan adalah melakukan pemasukan
(inbreng) ke dalam persekutuan, sehingga anggota yang tidak atau belum
melakukan pemasukan (inbreng) menjadi terhutang karenanya (Pasal 1625
KUH Perdata). Adapun apa yang dimasukkan dalam persekutuan dapat
berupa : uang, barang atau kerajinan. Masing-masing anggota persekutuan
dapat memasukkan uang saja, barang saja atau hanya kerajinan saja,
ataupun gabungan dari semua itu. Kesemuanya itu akan menentukan
mengenai
kedudukan
masing-masing
anggota
dalam
persekutuan,
khususnya dalam hal pembagian keuntungan yang dihitung berdasarkan
besar kecilnya pemasukan dalam persekutuan.
Unsur ketiga dari persekutuan adalah bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan. Pada dasarnya setiap orang melakukan segala sesuatu baik
33
J. Satrio, 1995, op.cit, hal 43.
38
dengan bekerja sendiri maupun dengan melakukan kerjasama, tentulah
dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan. Barangkali hanya orang tidak
waraslah (orang gila) yang bekerja atau berusaha dengan tujuan untuk
mendapatkan kerugian, sehingga dapat dikatakan tidak ada orang yang
menginginkan untuk mengalami kerugian. Akan tetapi keuntungan dan
kerugian adalah resiko orang berusaha, adakalanya untung dan adakalanya
rugi. Oleh karena itu hakekatnya yang dimaksud dengan kata “keuntungan”
dalam Pasal 1618 KUH Perdata adalah hasil yang diperoleh dari usaha
bersama, sehingga kata yang tepat sesungguhnya adanya “pembagian hasil
usaha” sebagai tujuan persekutuan. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan
Pasal 1623 KUH Perdata yang menyebutkan tentang pembagian “untung
dan rugi”.
2. Persekutuan Penuh dan Khusus
Dalam KUH Perdata dibedakan antara persekutuan penuh dan
persekutuan khusus. Untuk memahami apa itu persekutuan penuh, terlebih
dulu dibahas mengenai persekutuan khusus. Dalam Pasal 1623 KUH
Perdata disebutkan bahwa :
“Persekutuan khusus ialah persekutuan yang sedemikian yang hanya
mengenai barang-barang tertentu saja, atau pemakaiannya, atau hasilhasil yang akan didapatnya dari barang-barang itu, atau lagi mengenai
suatu perusahaan maupun mengenai hal menjalankan sesuatu
perusahaan atau pekerjaan tetap”.
Apabila dihubungkan dengan kewajiban memasukkan dalam persekutuan
yang berupa uang, barang atau kerajinan, maka yang dimaksud dengan
persekutuan khusus adalah apabila pemasukannya berupa barang, pekerjaan,
39
keahlian, atau perusahaan. Yang dimaksud dengan barang itu sendiri dapat
berupa keseluruhan barang dimasukkan dalam persekutuan, ataupun hanya
hak pakainya saja yang dimasukkan.
Selanjutnya mengenai persekutuan penuh disebutkan dalam Pasal
1622 KUH Perdata yaitu :
“Persekutuan penuh tentang keuntungan hanyalah mengenai segala
apa yang akan diperoleh para pihak dengan nama apa pun, selama
berlangsungnya persekutuan sebagai hasil dari kerajinan mereka”.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas dan dihubungkan dengan pengertian
persekutuan khusus, maka yang dimaksud dengan persekutuan penuh adalah
menyangkut pembagian hasil (keuntungan/kerugian) dan pemasukan para
sekutu semuanya dalam bentuk uang, sehingga dapat dikatakan bahwa
dalam persekutuan itu para sekutu bekerjasama dengan memasukkan uang
sebagai modal usaha untuk melakukan usaha bersama.
3. Hubungan Perikatan Antara Para Sekutu.
Dalam Pasal 1624 KUH Perdata disebutkan mengenai kapan lahirnya
persekutuan, bahwa :
“Persekutuan mulai berlaku sejak saat perjanjian, jika dalam
perjanjian ini tidak telah ditetapkan suatu saat lain”.
Kata “sejak saat perjanjian” artinya pada saat terjadinya kesepakatan di
antara para pihak (sekutu). Sehingga pada dasarnya perjanjian persekutuan
termasuk dalam perjanjian konsensual, yang sudah lahir sejak saat
tercapainya kesepakatan mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian diantara
para pihak. Hal pokok itu meliputi : kewajiban pemasukan (inbreng), dan
40
pembagian keuntungan. Akan tetapi para pihak dapat menentukan lain
dalam perjanjian mengenai kapan lahirnya perjanjian itu.
Sekutu yang memasukkan barang dalam persekutuan mempunyai
kewajiban seperti halnya kewajiban seorang penjual barang (Pasal 1625
KUH Perdata), yaitu : menyerahkan barang dan menanggungnya.
Maksudnya menanggung adalah menjamin bahwa barang itu dapat
digunakan sebagaimana mestinya dan menanggung dari kemungkinan
adanya cacat tersembunyi. Apabila yang dimasukkan hanya mengenai hak
pemakaiannya, maka barang itu atas tanggungan si sekutu sebagai
pemiliknya (Pasal 1631 KUH Perdata).
Sekutu yang wajib memasukkan uang dan tidak melakukannya, wajib
menyerahkan uang pokok ditambah bunganya yang berlaku demi hukum
tanpa harus adanya penagihan untuk itu, terhitung sejak lahirnya kewajiban
tersebut (Pasal 1626 KUH Perdata). Kewajiban itu juga berlaku apabila
sekutu
telah
mengambil
sejumlah
uang
dari
persekutuan
untuk
kepentingannya sendiri, dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya
tambahan biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.
Sedangkan sekutu yang wajib memasukkan berupa tenaga atau
kerajinannya ke dalam persekutuan, wajib memberikan perhitungan kepada
persekutuan tentang semua keuntungan yang diperoleh dengan tenaga atau
kerajinan tersebut sejak lahirnya kewajiban tersebut.
Masing-masing sekutu wajib memberikan ganti kerugian kepada
persekutuan tentang kerugian-kerugian yang diderita persekutuan akibat
41
salahnya si sekutu, dan sekutu tersebut tak dapat memperjumpakan dengan
haknya dari persekutuan (Pasal 1630 KUH Perdata).
4. Asas Proporsionalitas Dalam Pembagian Keuntungan
Dalam Pasal 1633 KUH Perdata diatur mengenai cara pembagian
keuntungan di antara para sekutu, yaitu :
“Jika dalam perjanjian persekutuan tidak telah ditentukan bagian
masing-masing sekutu dalam untung dan ruginya persekutuan, maka
bagian masing-masing adalah seimbang dengan apa yang ia telah
masukkan dalam persekutuan”.
Ketentuan pasal di atas mengatur mengenai cara pembagian keuntungan
(dan juga kerugian) di antara para sekutu, yaitu menurut keseimbangan
besar kecilnya pemasukan para sekutu dalam persekutuan atau yang dikenal
dengan asas proporsionalitas. Asas proporsionalitas dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Inbreng sekutu dibagi dengan total inbreng dikalikan dengan hasil
(untung/rugi). Kalau inbreng masing-masing sekutu diberi inisial I, total
inbreng diberi inisial TI, dan hasil atau keuntungan diberi inisial H, maka
rumusnya adalah : I/TI x H.
Untuk dapat menghitung berdasarkan asas proporsionalitas, maka
semua inbreng harus dihitung dalam nilai sejumlah uang. Untuk itu KUH
Perdata telah memberikan pedomannya, yaitu pemasukan berupa barang
dihitung berdasarkan taksiran nilai barang sehingga sekutu yang
memasukkan barang seperti memasukkan uang sebesar nilai barangnya.
Sekutu yang memasukkan tenaga, mendapatkan bagian sebesar keuntungan
42
sekutu yang memasukkan uang (modal) dalam jumlah yang paling kecil
(Pasal 1633 ayat 2 KUH Perdata).
Mengenai pemasukan berupa tenaga, tentunya harus dibedakan antara
tenaga fisik (otot, badan, kasar) dengan tenaga berupa keahlian (skill),
pemikiran, keilmuan yang harus diberikan nilai yang tinggi. Mengenai hal
ini tidak diatur dalam KUH Perdata, oleh karena itu para pihak dalam
persekutuan yang harus menetapkan sendiri.
Pada dasarnya pembagian keuntungan dalam persekutuan, diserahkan
kepada para sekutu, aturan undang-undang dalam hal ini pada umumnya
bersifat mengatur (aanvullendrecht), yang dapat disimpangi oleh para pihak
dalam perjanjian. Undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu berupa
pembatasan kewenangan para sekutu dalam menentukan pembagian
keuntungan dengan dua pengaturan, yaitu :
a. Tidak boleh pengaturan mengenai pembagian keuntungan diserahkan
kepada salah seorang sekutu atau kepada pihak ketiga (Pasal 1634 ayat 1
KUH Perdata).
Larangan ini berkaitan dengan essensi perjanjian berupa perjanjian
kerjasama sebagai usaha bersama, sehingga pada prinsipnya semua
sekutu mempunyai kedudukan yang sama atau seimbang, tidak ada
hubungan atas dasar atasan bawahan atau sub-ordinat. Sehingga semua
hal dalam persekutuan harus didasarkan pada kesepakatan bersama
anggota persekutuan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan berakibat
43
janji itu bagai tak tertulis dan akan berlaku ketentuan dalam undangundang.
b. Tidak boleh diperjanjikan bahwa salah seorang sekutu akan mendapat
seluruh keuntungan (Pasal 1635 ayat 1 KUH Perdata).
Larangan ini juga berkaitan dengan essensi perjanjian berupa untuk
mendapatkan keuntungan bersama, sehingga apabila diperjanjikan bahwa
keuntungan hanya untuk seorang sekutu, itu menyalahi tujuan perjanjian
persekutuan itu sendiri yaitu mencari keuntungan bersama. Pelanggaran
ketentuan ini berakibat perjanjian itu adalah batal demi hukum.
Selanjutnya berdasarkan uraian di atas, maka perjanjian yang
menyatakan bahwa seseorang akan mendapatkan keuntungan lebih dari
pada andilnya dalam pemasukan adalah boleh, dan juga memperjanjikan
bahwa salah satu pihak akan menanggung seluruh kerugian adalah juga
diperbolehkan.
5. Hubungan Perikatan Antara Sekutu Dengan Pihak Ketiga.
Para sekutu tidaklah terikat masing-masing untuk seluruh hutang
persekutuan, dan masing-masing sekutu tidaklah dapat mengikat sekutusekutu lainnya, jika mereka ini tidak telah memberikan kuasa kepadanya
untuk itu (Pasal 1642 KUH Perdata). Di sini diatur mengenai tanggung
jawab pribadi sekutu atas perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukannya
kepada pihak ketiga, apa yang dilakukan oleh sekutu yang satu tidak
mengikat sekutu lainnya. Subekti menyebutkan bahwa tanggung jawab yang
begitu luas (masing-masing terikat untuk seluruh jumlah hutang bersama),
44
yang dikenal dengan nama tanggung jawab secara tanggung menanggung
atau solidair hanya terdapat dalam firma, begitu pula kewenangan masingmasing untuk mengikat kawan-kawannya pada pihak ketiga.34
Sedangkan sampai seberapa jauh tanggung jawab para sekutu masingmasing terhadap pihak ketiga, diatur dalam Pasal 1643 KUH Perdata, yaitu :
“Para sekutu dapat dituntut oleh si berpiutang dengan siapa mereka
telah bertindak, masing-masing untuk suatu jumlah dan bagian yang
sama, meskipun bagian sekutu yang satu dalam persekutuan adalah
kurang dari pada bagian sekutu yang lainnya; terkecuali apabila
sewaktu utang tersebut dibuatnya dengan tegas ditetapkan kewajiban
para sekutu itu untuk membayar utangnya menurut imbangan
besarnya bagian masing-masing dalam persekutuan.”
Menurut Subekti apa yang diatur dalam Pasal 1643 KUH Perdata
mengandung asas umum dalam perjanjian kerjasama, yaitu dalam
hubungannya dengan pihak ketiga para sekutu dapat dituntut secara
bersama-sama untuk jumlah yang sama. Sehingga dalam bertindak keluar
(dengan pihak ketiga) masing-masing sekutu dapat dituntut untuk
membayar hutang berdasar asas persamaan kedudukan, kecuali apabila pada
saat dibuat hutang tersebut telah diperjanjikan bahwa para sekutu akan
bertanggung secara proporsional.
Adanya janji bahwa atas suatu perbuatan adalah atas tanggung jawab
persekutuan, hanya mengikat sekutu yang melakukan perbuatan itu saja, dan
tidak mengikat sekutu-sekutu lainnya; kecuali apabila mereka telah
memberikan kuasa kepadanya untuk itu, atau urusannya telah memberikan
manfaat bagi persekutuan (Pasal 1644 KUH Perdata).
34
Subekti, 1995, op.cit, hal 83.
45
6. Berakhirnya Persekutuan
Dalam Pasal 1646 KUH Perdata disebutkan mengenai sebab-sebab
berakhirnya persekutuan, yaitu :
a. Dengan lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan;
b. Dengan musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi
pokok persekutuan;
c. Atas kehendak semata-mata dari beberapa atau seorang sekutu;
d. Jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh di bawah pengampuan,
atau dinyatakan pailit.
Cara yang pertama tentang berakhirnya perjanjian persekutuan adalah
sebagaimana berakhirnya semua perjanjian dengan ketentuan waktu, maka
dengan berakhirnya waktu yang diperjanjikan, berakhir pula perjanjian
tersebut.
Cara kedua berakhirnya persekutuan adalah musnahnya barang, yaitu
apabila persekutuan itu diadakan untuk membeli dan mengusahakan suatu
barang, maka musnahnya barang berakibat berakhirnya persekutuan.
Sedaangkan yang dimaksud dengan diselesaikannya perbuatan pokok
persekutuan, misalnya kerjasama atau persekutuan untuk melakukan
kegiatan perdagangan, yaitu perbuatan berupa membeli suatu barang untuk
dijual lagi, maka dengan telah dilakukan kegiatan perdagangan tersebut,
persekutuan menjadi berakhir, kecuali pada perbuatan yang memang
dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang lama.
46
Cara ketiga mengenai hapusnya persekutuan yang dibuat tidak dengan
ketentuan waktu, maka setiap saat dapat dimintakan pembatalan atau
diakhiri atas permintaan salah seorang atau beberapa orang sekutu. Dalam
hala ini harus diperhatikana mengenai jangka waktu yang pantasuntuk
menyelesaikan suatu urusan yang sedang berjalan.
Cara keempat dari berakhirnya persekutuan menunjukkan sifat
pribadinya perjanjian persekutuan. Kalau pada umumnya perjanjian yang
dibuat oleh seseorang adalah juga mengikat para ahli warisnya, tidak
demikian halnya dengan perjanjian persekutuan, yang berakhir dengan
meninggalnya sekutu yang bersangkutan.
Dalam Pasal 1651 KUH Perdata diatur mengenai pengecualian
terhadap ketentuan Pasal 1646 angka 4 KUH Perdata, yaitu :
“Jika telah diperjanjikan banwa apabila salah seorang sekutu
meninggal, persekutuannya akan berlangsung terus dengan ahli
warisnya, atau akan berlangsung terus diantara sekutu-sekutu yang
masih ada maka janji tersebut harus ditaati”.
“Dalam hal yang kedua, ahli waris si meninggal tidak mempunyai hak
yang lebih dari pada atas pembagian persekutuan menurut keadaannya
sewaktu meninggalnya si sekutu; tetapi ia mendapat bagian dari
keuntungan serta turut memikul kerugian yang merupakan akibatakibat mutlak dari perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum si sekutu
dari siapa ia ahli warisnya, meninggal.”
Dari ketentuan di atas, bahwa melalui perjanjian dapat disimpangi bahwa
persekutuan itu tidak berakhir dengan meninggalnya sekutu, atau
persekutuan itu akan diteruskan oleh ahli warisnya sekutu, ataupun
diteruskan oleh para sekutu lainnya. Tentunya janji yang demikian harus
dinyatakan secara tegas, dan tidak cukup kalau hanya didasarkan atas
anggapan semata.
47
48
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian yuridis normatif yaitu
penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum
identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang
hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan
terlepas dari kehidupan masyarakat.35
B. Spesifikasi Penelitian
Dalam penelitian ini dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif. yaitu
suatu penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan diteliti. 36
Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian terhadap suatu perjanjian
kerjasama mengenai penjualan pulsa elektronik ditinjau dari hukum perjanjian
yang diatur dalam KUH Perdata.
C. Bahan Hukum
1. Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat37.
Bahan hukum
primer yang dipakai dalam penelitian ini adalah draf perjanjian para pihak,
dan semua peraturan yang berkaitan dengan pengaturan mengenai hukum
perjanjian.
35
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hal..37.
36
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.. 35.
37
Ibid, hal.. 113.
49
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum
dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum sekunder yang
digunakan dengan penelitian ini terdiri dari literatur hukum, hasil penelian
para sarjana dan berbagai artikel perjanjian kerjasama.
D. Metode Pengambilan Bahan hukum
1. Bahan hukum primer diperoleh dengan melakukan inventarisasi hukum,
mempelajari, mencatat dan mensistematisasi berbagai peraturan mengenai
perjanjian kerjasama.
2. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi dokumen
resmi, literatur, hasil penelitian dan artikel ilmiah yang relevan.
E. Metode Penyajian Bahan Hukum
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara
sistematis.
F. Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan menjabarkan
dan menginterpretasikan hasil penelitian berlandaskan pada teori-teori ilmu
hukum (Theoritical Interpretation) yang ada.38 Berdasarkan hasil pembahasan
diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
38
hal..93.
Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghal.ia Indonesia, Jakarta,
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap surat perjanjian tentang Kontrak
Kerjasama Nomor : 56/KK/BHP/2013 tentang , dengan pokok-pokok sebagai
berikut :
1. Pihak-pihak :
1.1. Yanu Tri Riska Suwandhi, Yogyakarta, sebagai pemilik usaha
perorangan Grosir Pulsa Louis Sell dengan Nomor Tanda Ijin Gangguan
503/037-GK/02-KB/X/2008, selanjutnya disebut Pemilik Usaha.
1.2. Eko Yunianto, Bantul, DIY, sebagai Pemilik Uang (Investor).
2. Obyek perjanjian : Menjalankan usaha di bidang perdagangan pulsa.
3. Syarat Perjanjian :
3.1. Usaha dilakukan dengan sistem bagi hasil (sharing profit system),
3.2. Segala operasional usaha dikelola oleh Pemilik Usaha, dan Investor
hanya sebatas inbreng/penyertaan modal sebagai uang pokok investasi.
3.3. Investor wajib melakukan penyetoran uang pokok investasi sebesar dua
ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) kepada Pemilik Usaha.
4. Jangka Waktu
:
Perjanjian berlangsung untuk jangka waktu 1 (satu) tahun mulai 02 Januari
2013 sampai 31 Desember 2013.
51
5. Pembagian Keuntungan
:
5.1. Pemilik Usaha sepakat memberikan Profit (keuntungan) kepada
Investor sebesar dua ratus ribu rupiah (Rp. 200.000,-) per hari, terhitung
sejak tanggal tiga Januari dua ribu tiga belas (03-01-2013) hingga
tanggal tiga puluh satu Desember dua ribu tiga belas (31-12-2013).
5.2. Profit tersebut akan dibayarkan oleh Pemilik Usaha setiap hari kecuali
hari-hari libur resmi nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
6. Wanprestasi :
6.1. Apabila Pemilik Usaha tidak bisa membayar profit selama 3 (tiga) hari
berturut-turut, maka Investor pada hari ke 4 (empat) berhak untuk
menagih profit kepada Pemilik Usaha.
6.2. Apabila Pemilik Usaha sampai dengan 7 (tujuh) hari sejak ditagih oleh
Investor masih tidak/belum bisa memberikan Profit yang dimaksud,
maka Pemilik Usaha wajib mengembalikan uang pokok investasi yaitu
sebesar dua ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) pada hari tersebut
ditambah dengan Profit harian yang berlangsung. Apabila sampai pada
hari tersebut uang pokok investasi tidak/belum dikembalikan dan Profit
belum diberikan, maka Pemilik Usaha dikenakan uang paksa
(dwangsom) sebesar lima puluh ribu rupiah (Rp. 50.000,-) per hari.
Akibat dari keterlambatan ini, maka Kontrak dianggap berakhir setelah
semua kewajiban Pemilik Usaha dibayarkan.
52
6.3 Pemilik Usaha berkewajiban mengembalikan uang pokok investasi
kepada Investor sebesar dua ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) pada
tanggal tiga puluh satu Desember dua ribu tiga belas (31-12-2013).
Apabila sampai pada tanggal tersebut uang pokok investasi tidak/belum
dikembalikan, maka Pemilik Usaha dikenakan uang paksa (dwangsom)
sebesar dua puluh lima ribu rupiah (Rp. 25.000,-) per hari dan Kontrak
dianggap berakhir setelah semua kewajiban PemilikUsaha dibayarkan.
6.4. Apabila hal-hal di atas tidak terpenuhi dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal yang ditentukan tersebut, maka Investor berhak
dan berwenang untuk mengambil/menyita asset Pemilik Usaha senilai
jumlah tersebut. Kontrak dianggap berakhir setelah semua kewajiban
Pemilik Usaha dibayarkan.
B. Pembahasan
a. Pembahasan Umum
Istilah kerjasama dapat diartikan sebagai kegiatan atau usaha yang
dilakukan oleh beberapa orang (lebih dari satu) untuk mencapai tujuan
bersama,39 baik yang bersifat tidak mencari keuntungan maupun yang mencari
keuntungan. Pembahasan terhadap permasalahan yang diteliti akan dilihat dari
dua ranah, yaitu ranah ekonomi dan ranah hukum. Dalam ranah ekonomi
dikenal tiga bentuk kerjasama untuk mendapatkan keuntungan bersama, yaitu :
39
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline 1.3.
53
1. Joint Venture (Usaha Bersama) : Joint Venture adalah merupakan bentuk
kerjasama umum, dapat dilakukan pada hampir semua bidang usaha, dimana
para pihak masing-masing menyerahkan modal untuk membentuk badan
usaha yang mengelola usaha bersama.
2. Joint Operational (Kerjasama Operasional) : Joint Operational adalah
bentuk kerjasama khusus, dimana bidang usaha yang dilaksanakan
merupakan bidang usaha yang :
- merupakan hak / kewenangan salah satu pihak
- bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah beroperasional,
dimana pihak investor memberikan dana
untuk melanjutkan /
mengembangkan usaha yang semula merupakan hak / wewenang pihak
lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai pelaksana kegiatan
usaha.
3. Single Operational (Operasional Sepihak) : Single Operational merupakan
bentuk kerjasama khusus dimana bidang usahanya berupa “bangunan
komersial”. Salah satu pihak dalam kerjasama ini adalah pemilik yang
menguasai tanah, sedangkan pihak lain – investor, diijinkan untuk
membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik yang dikuasai
pihak lain, dan diberi hak untuk mengoperasionalkan bangunan komersial
tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian fee tertentu selama
jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu operasional berakhir
investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial diatasnya
kepada pihak pemilik / yang menguasai tanah.
54
Apabila dihubungkan dengan ketiga bentuk kerjasama diatas, maka
kerjasama dalam penelitian ini dapat dikelompokkan sebagai Kerjasama
Operasional (Joint Operational), yang pada intinya hubungan kerjasama ini
unsur-unsurnya :
-
pihak pertama adalah pemilik kegiatan usaha yang menjalankan segala
operasional kegiatan usaha,
-
pihak kedua adalah pemilik uang yang menyerahkan uangnya untuk
melanjutkan atau mengembangkan usaha tersebut.
-
pembagian keuntungan yang diperoleh dalam menjalankan kegiatan
usahanya.
Dalam ranah hukum pengertian kerjasama dijelaskan secara rinci oleh
Achmad Ichsan dalam uraian berikut.40
Landasan kerjasama dalam hukum dimulai dari adanya suatu perjanjian.
Perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang mengadakan, yang kemudian
menimbulkan perikatan bagi masing-masing pihak. Dalam perikatan masingmasing pihak berhadap-hadapan satu sama lain dimana masing-masing pihak
diikat oleh janji-janji yang telah diadakan diantara mereka, kemudian
berkembang menjadi suatu “kerjasama” antara pihak masing-masing untuk
secara bersama mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Kerjasama ini
kemudian menjadi suatu hubungan yang bersifat terus-menerus akhirnya
menimbulkan suatu bentuk lembaga kesatuan kerjasama yang disebut
“perkumpulan”
40
atau
“Perhimpunan”
(vereniging).
Pertama-tama
Achmad Ichsan dalam Cdhidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 110-112.
55
“perkumpulan” atau “Perhimpunan”
(verenigingswegen) ini mempunyai
tujuan yang bersifat idiil kemasyarakatan, namun kemudian bagi masyarakat
yang telah maju bertujuan pula untuk pemenuhan tujuan yang bersifat
komersial bagi kebutuhan dan kepentingan anggotanya. Maka dengan
perkembangan itu lahirlah bentuk kesatuan kerjasama
yang disebut
“persekutuan” (Maatschap/Vennootschap).
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam arti hukum, kerjasama
dibedakan menjadi dua yaitu “perkumpulan” atau “perhimpunan” (vereniging)
dan “persekutuan” (Maatschap/Vennootschap).
Dalam “perkumpulan” atau “perhimpunan” beberapa orang yang hendak
mencapai suatu tujuan dalam bidang non ekonomis (tidak untuk mencari
keuntungan) bersepakat mengadakan kerjasama yang bentuk dan caranya
diletakkan dalam anggaran dasar atau “reglemen” atau statuten.” Dalam KUH
Perdata, “perkumpulan” atau “perhimpunan” diatur dalam Pasal 1653 – Pasal
1665. Dalam “Persekutuan” (Maatschap/ Vennootschap) beberapa orang yang
hendak mencapai suatu tujuan dalam bidang ekonomis (untuk mencari
keuntungan). Mengenai pengertian, bentuk dan cara mengadakan kerjasama
diatur dalam KUH Perdata Pasal 1618 sampai Pasal 1652.
“Persekutuan” (Maatschap/ Vennootschap) adalah kesatuan kerjasama
yang termasuk dalam bidang hukum Perdata (umum), sehingga disebut
Persekutuan Perdata (burgerlijk maatschap). Pada umumnya persekutuan
perdata tidak menjalankan perusahaan, akan tetapi berdasarkan Pasal 1623
KUH Perdata yang manyatakan : “Persekutuan khusus ialah persekutuan yang
56
sedemikian yang hanya mengenai barang-barang tertentu
saja,
atau
pemakaiannya, atau hasil-hasil yang akan didapat dari barang-barang itu, atau
lagi mengenai sutau perusahaan maupun mengenai hal menjalankan
perusahaan atau pekerjaan tetap”; maka dapat diketahui bahwa Persekutuan
Perdata dapat menjalankan perusahaan.
Setelah dipahami secara teoritis bahwa dalam arti hukum, kerjasama
yang bertujuan untuk mencapai tujuan dalam bidang ekonomis (untuk mencari
keuntungan) disebut “Persekutuan Perdata,” pembahasan selanjutnya adalah
menganalisis konstruksi hukum “Persekutuan Perdata” sebagaimana ditentukan
dalam KUH Perdata. Pembahasan ini dimaksudkan untuk menguji apakah
konstruksi hukum Perjanjian Kerjasama Perdagangan Pulsa
sesuai dengan
konstruksi hukum “Persekutuan Perdata.”
b. Konstruksi hukum Perjanjian Kerjasama
“Persekutuan Perdata” dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III Bab
Ke Delapan yang berjudul tentang “Persekutuan” Pasal 1618 sampai Pasal
1652.
Batasan yuridis tentang “Persekutuan” dimuat dalam Pasal 1618 KUH
Perdata yang dirumuskan sebagai berikut :
“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih
mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan
maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”.
Intinya Persekutuan adalah : suatu bentuk kerjasama antara dua orang atau
lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai
dengan
jalan
masing-masing
memasukkan
sesuatu
(inbreng)
dalam
57
persekutuan. Dari pengertian yang demikian dapat dinyatakan unsur-unsur
dalam persekutuan yaitu :
a. Terdapat dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri;
b. Para pihak melakukan inbreng ke dalam persekutuan; dan
c. Tujuan membagi keuntungan.
Dalam Pasal 1619 (2) disebutkan Inbreng dapat berupa : Pemasukan uang
(inbreng van geld), Pemasukan barang (inbreng van zaken), Pemasukan tenaga
- fisik atau tenaga pikiran (inbreng van arbeid).
Berdasarkan ketiga unsur tersebut dapat dinyatakan bahwa :
-
Kausa Persekutuan atau tujuan para pihak dengan menutup perjanjian
persekutuan adalah para pihak (sekutu) sama-sama menghendaki membagi
keuntungan dengan cara memasukkan uang, barang, tenaga fisik atau
tenaga pikiran.
Dari data hasil penelitian no. 1 tentang subyek perjanjian, no. 2 tentang obyek
perjanjian, no. 3 tentang syarat perjanjian dan no. 5 tentang pembagian
keuntungan, dapat dideskripsikan dalam Perjanjian Kerjasama tersebut bahwa :
a. Terdapat dua orang yang saling mengikatkan diri, yaitu Pemilik Usaha dan
Pemilik Uang.
b. Para pihak saling melakukan inbreng, yaitu Pemilik Usaha melakukan
inbreng berupa segala inventaris dan kegiatan usahanya, sedangkan Pemilik
Uang melakukan inbreng dengan uangnya atau melakukan investasi.
c. Tujuan kerjasama ini dimaksudkan untuk membagi keuntungan bersama
yang ditentukan dalam perjanjian.
58
Berdasarkan ketiga unsur tersebut dapat dinyatakan bahwa kausa atau tujuan
para pihak dengan menutup perjanjian kerjasama adalah para pihak (sekutu)
menghendaki membagi keuntungan dengan cara pihak yang satu memasukkan
uang dan pihak yang lain memasukkan tenaga berupa keahlian menjalankan
kegiatan usaha perdagangan pulsa.
Apabila kausa dalam perjanjian kerjasama tersebut dihubungkan dengan kausa
perjanjian persekutuan, ternyata kedua kausa tersebut bersesuaian. Dengan
adanya kesamaan kausa tersebut, maka perjanjian kerjasama ini termasuk
dalam konstruksi hukum persekutuan (maatschap) sebagaimana diatur dalam
Bab VIII Buku III KUH Perdata. Dengan demikian Perjanjian Kerjasama
tersebut tunduk pada ketentuan tentang Persekutuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1618 sampai Pasal 1652 KUH Perdata.
b. Distribusi hak dan kewajiban para pihak dan akibat hukumnya apabila
salah satu pihak melakukan wanprestasi.
Dalam KUH Perdata diatur mengenai hubungan perikatan antara para
sekutu satu sama lain dan hubungan perikatan antara para sekutu dengan pihak
ketiga. Oleh karena itu perjanjian kerjasama ini juga akan dianalisis
berdasarkan kedua hal ini di atas untuk mengetahui hak dan kewajiban yang
timbul dalam perjanjian ini di antara para pihak dan dalam hubungannya
dengan pihak ketiga.
Secara umum hubungan perikatan antara para sekutu adalah sebagai
berikut :
59
a. Persekutuan terjadi saat terjadinya kesepakatan, kecuali diperjanjikan lain
oleh para pihak (Pasal 1624 KUH Perdata).
b. Kecuali
ditentukan
lain dalam
perjanjian,
masing-masing sekutu
menanggung segala keuntungan dan kerugian persekutuan menurut
keseimbangan apa yang telah dimasukkan dalam persekutuan (Pasal 1633
KUH Perdata).
c. Para sekutu tidak dapat memperjanjikan untuk menyerahkan pengaturan
besarnya bagian masing-masing dalam persekutuan kepada salah seorang
sekutu atau pihak ketiga, dan segala janji yang bertentangan dengan itu
adalah batal demi hukum (Pasal 1634 KUH Perdata).
d. Janji bahwa salah seorang sekutu akan mendapat seluruh keuntungan
adalah batal, akan tetapi janji bahwa salah seorang sekutu akan
menanggung seluruh kerugian adalah sah (Pasal 1635 KUH Perdata).
e. Sekutu
yang
berdasarkan
surat
perjanjian
ditugaskan
melakukan
pengurusan persekutuan, dapat melakukan segala perbuatan yang
berhubungan dengan kepengurusannya asal dilakukan dengan iktikad baik
(Pasal 1636 KUH Perdata).
Berbagai hubungan perikatan di atas apabila dihubungkan dengan hasil
penelitian dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Dalam Pasal 1624 KUH Perdata ditentukan bahwa pada prinsipnya
perjanjian persekutuan lahir sejak terjadinya kesepakatan, kecuali ditetapkan
lain oleh para pihak. Dengan demikian pada prinsipnya perjanjian persekutuan
termasuk dalam perjanjian konsensual. Apabila dihubungkan data no. 4 tentang
60
jangka waktu perjanjian diketahui bahwa perjanjian kerjasama ini berlaku
selama satu tahun terhitung sejak saat penanda tanganan surat perjanjian, yaitu
tanggal 2 Januari 2013. Dengan demikian dalam perjanjian ini telah ditentukan
bahwa saat lahirnya perjanjian adalah saat tercapainya kesepakatan kedua
belah pihak yang diwujudkan dengan adanya penandatanganan akta, sehingga
dapat dikatakan merupakan perjanjian konsensual.
Dalam Pasal 1633 KUH Perdata ditentukan asas umum pembagian
keuntungan dalam perjanjian persekutuan berdasarkan pembagian untung dan
rugi dan asas keseimbangan menurut besar kecilnya inbreng para sekutu dalam
persekutuan. Apabila dihubungkan dengan data no. 3 tentang syarat perjanjian,
diketahui bahwa kewajiban inbreng Pemilik Usaha adalah tenaga atau
keahliannya, sedangkan kewajiban inbreng Pemilik Uang adalah membayar
sejumlah uang (investasi). Selanjutnya data no. 5 tentang pembagian
keuntungan, bahwa Pemilik Uang akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp.
200.000,- per hari selama satu tahun, mulai tanggal 3 Januari 2013 sampai
tangal 31 Desember 2013. Dalam hal ini berarti para pihak hanya
memperjanjikan
tentang
keuntungan
(janji
untung)
dan
tidak
memperjanjikan tentang kemungkinan terjadinya kerugian. Sehingga dapat
dikatakan bahwa dalam perjanjian ini menyimpangi prinsip keseimbangan
(proporsionalitas) yaitu pembagian keuntungan dan kerugian menurut
keseimbangan besar kecilnya pemasukan dalam persekutuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 1633 KUH Perdata. Dapat pula diartikan bahwa dalam
pejanjian ini seluruh kerugian yang timbul akan ditanggung oleh Pemilik
61
Usaha, perjanjian yang demikian sesuai dengan prinsip yang diatur dalam Pasal
1635 KUH Perdata bahwa memperjanjikan seluruh keuntungan untuk salah
satu sekutu adalah dilarang - - - karena bertentangan dengan tujuan
persekutuan yaitu mendapatkan keuntungan bersama - - -, sedangkan janji
untuk menanggung seluruh kerugian adalah sah. Hal ini juga sesuai dengan
karakter perjanjian ini yang mana semua kegiatan operasional dilakukan oleh
Pemilik Usaha
Dalam data no. 6.1 ditentukan bahwa apabila Pemilik Usaha tidak
membayar keuntungan harian kepada Pemilik Uang selama tiga hari berturutturut, maka pada hari ke empat Pemilik Uang dapat menagih kepada Pemilik
Usaha. Janji ini berisikan pembatasan mengenai kapan Pemilik Uang dapat
melakukan penagihan kepada Pemilik Usaha, yaitu
apabila terjadi
keterlambatan pembayaran keuntungan selama tiga hari berturut-turut, dan
penagihan dapat dilakukan pada hari ke empat. Hal ini menunjukkan bahwa
kapan Pemilik Usaha dapat dinyatakan lalai memenuhi kewajibannya atau
melakukan wanprestasi berupa terlambat berprestasi yaitu apabila tidak
melakukan pembayaran keuntungan harian selama tiga hari berturut-turut.
Selanjutnya dalam data no. 6.2, ditentukan bahwa apabila Pemilik Usaha
sampai dengan hari ke 7 (tujuh) sejak ditagih oleh Pemilik Uang belum bisa
membayar profit atau keuntungan, maka pemilik Usaha wajib mengembalikan
uang pokok investasi ditambah profit atau keuntungan harian yang
berlangsung. Dengan adanya ketentuan ini menunjukkan bahwa perjanjian
62
kerjasama ini merupakan perjanjian dengan syarat batal, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1253 KUH Perdata, yaitu :
“Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu
peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan
terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa
semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau
tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
Perikatan bersyarat dibedakan menjadi dua, yaitu syarat tangguh dan syarat
batal, syarat tangguh adalah syarat yang menangguhkan lahirnya perjanjian
pada terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa tertentu, sedangkan syarat
batal adalah syarat yang membatalkan perikatan dengan terjadi atau tidak
terjadinya suatu peristiwa tertentu. Dengan terjadinya syarat batal, maka syarat
itu berlaku surut sampai saat terjadinya perjanjian (Pasal 1261 KUH Perdata).
Dalam arti perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, dan segala sesuatu harus
dikembalikan seperti keadaan semula. Apabila dihubungkan dengan data no.
6.2 yang menentukan pemilik Usaha wajib mengembalikan uang pokok
investasi ditambah profit atau keuntungan harian, secara yuridis artinya
perjanjian persekutuan menjadi batal sehingga dikembalikan pada keadaan
semula, yaitu pengembalian inbreng dalam persekutuan.
Pada akhirnya berdasarkan data no. 6.4, dalam perjanjian kerjasama ini
juga diperjanjikan bahwa : Apabila setelah terpenuhi jangka waktu 14 hari
Pemilik Usaha tidak dapat mengembalikan uang pokok investasi, maka Pemilik
Uang dapat mengambil atau menyita asset usaha milik Pemilik Usaha yang
senilai dengan jumlah tersebut. Hal ini disebut sebagai hak verhaal, yaitu hak
kreditur untuk menyita atau menuntut penyitaan kekayaan debitur, apabila
63
debitur wanprestasi. Dalam bahasa sehari-hari, klausula seperti ini disebut
sebagai klausula jaminan, yaitu yang memberikan jaminan pelunasan tagihan
kreditur atas kekayaan debitur.
64
BAB V
PENUTUP
1. Dalam aspek ekonomi perjanjian kerjasama (perdagangan pulsa) termasuk
dalam kelompok Kerjasama Operasional (Joint Operational), sedangkan
dalam aspek hukum masuk dalam kualifikasi perjanjian bernama yaitu
“Persekutuan” (Maatschap/Vennootschap).
2. Perjanjian persekutuan ini mengandung syarat batal yaitu dan berisikan janji
untung yang menyimpangi asas keseimbangan atau asas proporsionalitas.
a. Pemilik Uang/Investor wajib menyerahkan uang pokok investasi sebesar
dua ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) kepada Pemilik Usaha.
b. Pemilik Usaha Pemilik Usaha wajib melakukan pekerjaan menjalankan
usaha perdagangan yaitu membeli dan menjual pulsa dan memberikan
keuntungan kepada sekutu Pemilik Uang sebesar Rp. 200.000,- per hari.
Dalam hal lalai melakukan pembayaran keuntungan kepada Pemilik
Uang selama tiga hari berturut-turut, dengan akibat hukum :
a. Menuntut pemenuhan prestasi berupa pembayaran keuntungan pada hari
keempat apabila Pemilik Usaha tidak memberikan keuntungan selama
tiga hari berturut-turut.
b. Menuntut pembatalan perjanjian apabila Pemilik Usaha tetap tidak
melakukan kewajiban prestasinya pada hari ke tujuh setelah dilakukan
penagihan.
65
c. Menyita atau menuntut penyitaan aset usaha milik Pemilik Usaha apabila
setelah 14 hari berakhirnya perjanjian tidak mengembalikan uang
investasi dan keuntungan usaha.
66
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Achmad Ichsan Dalam Cdhidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung.
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial, Prenada Media Group, Jakarta.
A. Qirom
Syamsudin, 1985, Pokok-Pokok Hukum
Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.
Perikatan
Beserta
B. Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
J. Satrio ,1992, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
..................., 1995., Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,
Buku II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
...................., Hukum Perjanjian, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung
Molengraaft dalam Abdulkadir Muhammad, 1993,
Pengantar Hukum
Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hal 7-8.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghal.ia Indonesia,
Jakarta.
R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung
Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung.
Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, CV. Mandar
Maju, Bandung
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata-Hukum Perutangan
Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.
67
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pemngantar), Liberty,
Yogyakarta.
Sumber Lain :
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline 1.3.
Yahoo! Answer, http://id.answers.yahoo.com, diakses tanggal 30 Oktober 2010.
http://myklangenan.blogspot.com/2009/10/sewa-menyewa.html, diakses tanggal
05 Maret 2013.
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html,
diakses tanggal 07 April 2013.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl454/bagaimana-pembuatan-kontrakyang-benar-secara-hukum, diakses tanggal 10 April 2013.
http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/perjanjian.html, diaklses tangggal
10 Maret 2013.
-----------------------------
Download