5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Mangrove Mangrove

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Mangrove
Mangrove merupakan hutan lahan basah pesisir yang terdapat pada zona
intertidal pada estuari, delta, anak sungai, laguna, rawa-rawa, lumpur khususnya
di daerah tropis dan subtropis. Daerah spesifik tempat tanaman mangrove tumbuh
dinamakan sebagai ekosistem mangrove (Sahoo et al. 2008). Sebagai salah satu
ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan.
Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan
mangrove antara lain sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut,
habitat, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran
(nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan,
serta sebagai pengatur iklim mikro. Fungsi ekonomisnya antara lain: penghasil
keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri dan penghasil bibit.
Hutan
mangrove
adalah
sebutan
umum
yang
digunakan
untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh pada perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohonpohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera
tumbuhan berbunga: Avicennia, Sonneratia, Rhizopora, Bruguiera, Ceripos,
Xilocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan
Conocarpus (Bengen, 2000 dalam Rochana, 2012).
5
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup
dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada
wilayah pesisir, dipengaruhi pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies
pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh pada perairan asin/payau
(Santosa, 2000 dalam Rochana, 2012).
Struktur dan fungsi ekosistem mangrove, komposisi dan distribusi spesies,
serta pola pertumbuhan organisme mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor
lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi mangrove dalam jangka
panjang adalah fluktuasi pasang surut dan ketinggian rata-rata permukaan laut.
Secara umum faktor yang mempengaruhi ekosistem mangrove mencakup:
topografi dan fisiografi pantai, tanah, oksigen, nutrien, iklim, cahaya, suhu , curah
hujan, angin dan gelombang laut, pasang-surut laut, serta salinitas.
Ekosistem mangrove yang terdapat di Desa Bulalo, Kecamatan Kwandang,
Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, terdiri dari 10 spesies yakni
Rhizophora apiculata Blume, Rhizophora mucronata Lamk., Ceriops tagal (Perr)
C.B.Rob, Bruguiera parviflora (Roxb) W & A, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk,
Sonneratia alba J.E. Smith, Sonneratia caseolaris (L) Eng, Xylocarpus granatum
Koen (niri), Avicennia alba Blume dan Avicennia marina (Forsk) Vierh (Katili,
2009). Selain itu kawasan ini didominasi oleh spesies Rhizophora apiculata
Blume dan Rhizophora mucronata Lamk dengan pola zonasi yakni jenis
Rhizophora (Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Blume)
pada lapisan terluar. Selanjutnya zona Soneratia yang didampingi oleh jenis
6
Bruguiera dan Ceriops tagal, dan lapisan terakhir adalah zona Avicennia dan
zonasi Xylocarpus granatum Koen (Katili, 2009).
2.1.2 Zonasi Mangrove
Ekosistem mangrove dapat tumbuh dengan baik pada zona pasang-surut di
sepanjang garis pantai daerah tropis seperti laguna, rawa, delta, dan muara sungai.
Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis tetapi labil. Kompleks,
karena di dalam ekosistem mangrove dan perairan maupun tanah di bawahnya
merupakan habitat berbagai jenis satwa daratan dan biota perairan. Dinamis,
karena ekosistem mangrove dapat terus tumbuh dan berkembang serta mengalami
suksesi serta perubahan zonasi sesuai dengan tempat tumbuh. Labil, karena
mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Kusmana, 1995) dalam Talib
(2008). Pertumbuhan mangrove akan menurun jika suplai air tawar dan sedimen
rendah. Keragaman jenis hutan mangrove secara umum relatif rendah jika
dibandingkan dengan hutan alam tipe lainnya, hal ini disebabkan oleh kondisi
lahan hutan mangrove yang senantiasa atau secara periodik digenangi oleh air
laut, sehingga mempunyai salinitas yang tinggi dan berpengaruh terhadap
keberadaan jenisnya. Jenis yang dapat tumbuh pada ekosistem mangrove adalah
jenis halofit, yaitu jenis-jenis tegakan yang mampu bertahan pada tanah yang
mengandung garam dari genangan air laut. Kondisi-kondisi lingkungan luar yang
terdapat di kawasan mangrove cenderung bervariasi di sepanjang gradien dari laut
ke darat. Banyak spesies mangrove telah beradaptasi terhadap gradien ini dengan
berbagai cara, sehingga di dalam suatu kawasan suatu spesies mungkin tumbuh
secara lebih efisien daripada spesies lain, tergantung pada kombinasi dari kondisi
7
kimia dan fisik setempat. Oleh karena itu jalur atau zona dari spesies tunggal atau
asosiasi sederhana sering kali berkembang di sepanjang garis pantai. Faktor
lainnya seperti toleransi keteduhan, metoda penyebaran tumbuhan mangrove
muda serta predasi juga akan berpengaruh terhadap pen-zonaan.
Gambar 1. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004, dalam Talib, 2008)
Watson (1928) dalam Talib (2008) berpendapat bahwa hutan mangrove
dapat dibagi menjadi lima bagian (gambar.1) berdasarkan frekuensi air pasang,
yaitu; zonasi yang terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan
Sonneratia sp, tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi.
Avicennia sp tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba
tumbuh pada substrat yang agak lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan
cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi
dan biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi
yang didominasi oleh Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Jenis
Rhyzophora mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan
lumpur yang agak dalam. Pohon ini dapat tumbuh dengan ketinggian 35-40 m.
Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup Bruguiera parviflora dan
8
Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadangkadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang
didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza. Menurut Bengen dan Dutton (2004)
dalam Talib (2008) zonasi mangrove dipengaruhi oleh salinitas, toleransi terhadap
ombak dan angin, toleransi terhadap lumpur (keadaan tanah), serta frekuensi
tergenang oleh air laut. Zonasi ini menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan
dengan perubahan tempat tumbuh. Perubahan tempat tumbuh sangat bersifat
dinamis yang disebabkan oleh laju pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi
tiap jenis akan menentukan komposisi jenis tiap zonasi, termasuk tanaman
Rhizophora sp.
2.1.3 Rhizophora sp. sebagai Salah Satu Jenis Tumbuhan Mangrove
Rhizophora sp. merupakan salah satu jenis hutan bakau yang berkembang
di bawah berbagai kondisi pasang surut, termasuk berbagai tingkat salinitas.
Rhizophora sp. mentolerir berbagai kondisi seperti banjir, jenis tanah, dan faktor
fisik lainnya. Rhizophora sp. umumnya memiliki ukuran yang jauh lebih pendek dari
yang lainnya, yakni sekitar 5-8 m (16-26 kaki), diameter batang berkisar 15-35 cm, akar
tunjang besar dan berkayu dan akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah.
Rhizophora sp. memiliki batang yang berdiameter hingga 70 cm dengan kulit kayu
berwarna gelap hingga hitam dan celah horizontal. Daun berkulit, gagang daun berwarna
hijau dengan panjang 2,5-5,5 cm. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun
berukuran 5.5-8,5 cm. Unik dan letak; sederhana dan berlawanan, bentuk; elips melebar
hingga bulat memanjang. Ujung; meruncing, ukuran: 11-23x 5-13 cm.
Gagang kepala bunga seperti cagak bersifat biseksual, masing-masing
menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. letak: di ketiak daun.
9
Formasi: kelompok (4-8 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4; putih ada
rambut. 9 mm kelopak bunga: 4; kuning, pucat panjangnya 13-19 mm. benang
sari; 8 tak bertangkai. Buah lonjong panjang hingga berbentuk telur berbentuk
telur 5-7 cm, berwarna hijau
kecoklatan, seringkali kasar dibagian pangkal,
berbiji tunggal. Hipokotil silindris, kasar dan berbintil. Leher kotiledon kuning
ketika matang. Ukuran hipokotil: panjang 36-70 cm dan diameter 2-3 cm.
Rhizophora sp. memiliki tipe biji vivipar (biji atau benihnya telah
berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon), berbiji tunggal. Hipokotil
silindris, kasar dan berbintil (Setyabudi, 2007). Dalam sistem klasifikasi
Rhizophora sp. termasuk dalam:
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Rhizophorales
Family : Rhizophoraceae
Genus : Rhizophora
Species : Rhizophora sp.
(Setyabudi, 2007)
2.2
Kajian Tentang Actinomycetes
Actinomycetes merupakan mikroorganisme tanah yang umum dijumpai
pada berbagai jenis tanah (Alexander, 1961; Elberson et al.,2000 dalam Kanti,
2005).
2.2.1 Pengertian Actinomycetes
Actinomycetes adalah bakteri gram positif anaerob atau fakultatif yang
membentuk filamen bercabang atau hifa dan spora aseksual (Rollin dan Josep,
2000 dalam Ambarwati, 2007). Actinomycetes pada awalnya merupakan
kelompok intermediet antara bakteri dan fungi tetapi sekarang dimasukkan
10
kedalam organisme prokaryotik karena memiliki nukleid yang sama dengan
bakteri. Selain itu, chitin dan selulosa sebagai penyusun dinding sel fungi tidak
terdapat pada Actinomycetes. Penyusun dinding sel Actinomycetes adalah
polimer gula, gula amino, dan beberapa asam amino seperti halnya bakteri gram
positif (Locci et al, 1983 dalam Sunaryanto 2011). Berdasarkan klasifikasinya,
Actinomycetes termasuk kelas Schizomycetes, ordo Actinomycetales yang
dikelompokkan
menjadi
empat
familia,
yaitu:
Mycobacteriaceae,
Actinomycetaeceae, Streptomyceae, dan Actinoplanaceae. Genus yang paling
banyak
dijumpai
adalah
Streptomyces
(hampir
70%),
Nocardia,
dan
Micronospora. Pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan adanya miselium
ramping bersel satu yang bercabang membentuk spora aseksual untuk
perkembang biakannya (Lechevalier, 1967 dalam Kanti, 2005)
2.2.2. Karakteristik Actinomycetes
Actinomycetes hidup sebagai safrofit dan aktif mendekomposisi bahan
organik, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah (Nonomura dan Ohara,
1969a,b dalam Kanti, 2005). Jenis Actinomycetes tergantung pada tipe tanah,
karakteristrik fisik, kadar bahan organik, dan pH lingkungan. Jumlah
Actinomycetes meningkat dengan adanya bahan organik yang mengalami
dekomposisi (Nonomura dan Ohara, 1971a,b,c,d dalam Kanti, 2005). Temperatur
yang cocok untuk pertumbuhan Actinomycetes adalah 25-30oC, tetapi pada suhu
55-65oC Actinomycetes masih dapat tumbuh dalam jumlah cukup besar,
khususnya genus Thermoactinomyces dan Streptomyces (Rao, 1994 dalam Kanti,
2005). Rentang pH yang paling cocok untuk perkembangbiakan Actinomycetes
11
adalah antara 6,5-8,0. Tanah yang tergenang air tidak cocok untuk pertumbuhan
Actinomycetes, sedangkan tanah gurun yang kering atau setengah kering dapat
mempertahankan populasi dalam jumlah cukup besar, karena adanya spora
(Nonomura dan Ohara, 1971a,b,c,d; Alexander, 1961 dalam Kanti, 2005)
Actinomycetes tersebar di alam baik secara alami maupun lingkungan
buatan manusia dan memegang peran penting dalam biodegradasi bahan organik.
Actinomycetes juga dikenal sebagai penghasil antibiotik dan molekul bioaktif
yang sangat penting dalam dunia industry, pertanian, kehutanan, dan industri obatobatan. Densitas populasi Actinomycetes pada lingkungan laut pada umumnya
lebih sedikit dibandingkan lingkungan terestrial. Beberapa Actinomycetes yang
berhasil diisolasi dari ekosistem mangrove diketahui mempunyai aktivitas sebagai
antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif maupun
gram negatif (Sahoo et al. 2008). Ravikumar et al. (2011) berhasil mengisolasi
17 Actinomycetes endofitik dari tanaman Avicennia marina, Bruguiera
cylindrica, Rhizophora mucronata, Salicornia brachiata dan Suaeda monoica,
dari ekosistem mangrove Karangkadu dan 10 isolat di antaranya menunjukan
aktivitas antibakteri. Ravikumar et al.(2011) juga berhasil menunjukkan bahwa
diversitas
Actinomycetes
pada
daerah
rhizosfer
khususnya
tanaman
Achrosstichum aereum lebih besar daripada daerah di luar rhizosfer khususnya
pada ekosistem mangrove di Manakkudi India. Kurniati Ari (2011) berhasil
mengisolasi 16 jenis Actinomycetes halotoleran dari kawasan mangrove Segara
Anakan Cilacap.
12
2.2.3 Jenis-jenis Actinomycetes dan Antibiotik yang Dihasilkan
Ketika mulai diterapkan teknik isolasi konvensional, kebanyakan isolat
yang berhasil diisolasi melalui agar plate dan diidentifikasi sebagai genus
streptomyces, merupakan genus yang dominan di tanah. Beberapa faktor yang
harus diperhatikan untuk tujuan skrening molekul bioaktif baru adalah pemilihan
sumber skrining, perlakukan awal, medium selektif, dan kondisi kultur (Sateesh et
al. 2011)
Actinomycetes penting sebagai penghasil antibiotik, hampir tiga perempat
dari antibiotik yang ada merupakan produksi dari Actinomycetes, khususnya
adalah Streptomyces merupakan genus yang paling produktif dan dapat
menghasilkan metabolit sekunder aktif yang lainnya. Hampir sekitar 80% dari
total antibiotik adalah produksi dari kelompok Streptomyces. Kelompok
Micromonospora juga merupakan penghasil antibiotik tetapi tidak sebanyak
streptomyces (Sateesh et al, 2011). Di samping antibiotik, Actinomycetes juga
mampu menghasilkan metabolit sekunder lain yaitu agen anti tumor, agen
immunosupresif dan enzim. Metabolit tersebut juga potensial sebagai antibakteri,
antifungi, neuritogenik, anti kanker, anti alga, anti malaria dan memiliki aktivitas
antiinflamasi (Ravikumar et al. 2011). Oleh karena kepentingannya yang sangat
besar, maka mulai difokuskan untuk melakukan isolasi jenis Actinomycetes yang
baru dari lingkungan terestrial. Di samping itu mulai dikembangkan juga isolasi
Actinomycetes dari lingkungan lain, khususnya lingkungan yang ekstrim,
misalnya perairan laut.
13
Bukti awal yang mendukung keberadaan Actinomycetes laut berasal dari
adanya dekskripsi Rhodococcus marinonascene yang merupakan spesies
Actinomycetes pertama yang berhasil dikarakterisasi. Data terbaru menunjukkan
adanya beberapa genera Actinomycetes yang asli dari laut yaitu: Dietzia,
Rhodococcus,
Streptomyces,
Salinispora,
Arinophilus,
Solwaraspora,
Salinibacterium, Aeromicrobium marinum, Williamsia maris dan Verrucosispora
(Kin S Lam, 2006).
Grossart et al. (2004) menggambarkan bahwa kurang lebih 10% dari
jumlah Actinomycetes mampu membentuk koloni dengan bakteri laut membentuk
agregat organik dan aktivitas antagonistik berpengaruh dalam degradasi dan
mineralisasi bahan organik. Actinomycetes merupakan komponen aktif pada
komunitas mikroba laut. Actinomycetes membentuk populasi yang stabil,
persisten dalam berbagai ekosistem laut. Hasil observasi lain menunjukkan bahwa
senyawa baru dengan aktivitas biologi berhasil diisolasi dari Actinomycetes laut,
hal tersebut mengindikasikan bahwa Actinomycetes laut merupakan sumber
penting untuk penemuan metabolit sekunder baru.
Akhir-akhir ini berhasil diisolasi metabolit sekunder baru termasuk
abyssomicin C dan A. Salinosporamide Abyssomicin C diproduksi oleh strain
Verrucosispora terisolasi dari Laut Jepang pada kedalaman 289 M. Antibiotik
poliketida polisiklik ini bertindak dengan menghambat biosintesis asam paraaminobenzoic dalam jalur asam folat. Salinosporamide adalah inhibitor untuk βlactone-λ-lactam
proteosome
yang
diproduksi
oleh
obligat
baru
laut
Actinomycetes Salinispora tropica. Senyawa ini dalam uji coba fase-I klinis
14
untuk mengobati tumor padat dan limfoma yang sedang disponsori oleh nereus
farmasi dari Diego, California (Baltz, 2007).
Eksploitasi terhadap Actinomycetes laut telah berhasil menemukan
metabolit sekunder. Beberapa metabolit sekunder yang berhasil diisolasi dari
actinomycetses laut adalah:
a.
Abyssomicin C yang merupakan antibiotik poliketida polisiklik baru yang
dihasilkan oleh strain Verrucosispora. Antibiotik tersebut potensial
menghambat
biosinstesis
asam
para-aminobenzoic
dan
menghambat
biosintesis asam folat pada tahap awal. Abyssomicin C berpotensi untuk
menghambat bakteri gram positif Staphylococcus aureus, sehingga antibiotik
ini potensial untuk dikembangkan sebagai agen antibakteri untuk melawan
patogen resisten obat-obatan.
b.
Diazepinomicin yang dihasilkan oleh micromonospora yang potensial sebagai
antibakteri, antiinflamasi dan aktivitas antitumor.
c.
Salinosporamide A yang merupakan β-lactone-λ-lactam yang diisolasi dari
Salinispora tropica (Kin S Lam, 2006).
Tumor research berhasil mengidentifikasi 5 metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh 2 Actinomycetes endofitik tanaman mangrove, yaitu Streptomyces
cinerochromogenes dan Streptomyces parvus var. marinus. Kelima metabollit
sekunder tersebut menunjukkan adanya aktivitas sebagai antitumor. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ekosistem mangrove merupakan sumber untuk penemuan
Actinomycetes baru yang mampu menghasilkan metabolit sekunder yang
potensial untuk anti tumor.
15
Kui Hong et al. (2009) berkesimpulan bahwa habitat mangrove merupakan
lingkungan yang sangat potensial untuk mengeksploitasi Actinomycetes yang
mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder dengan aktivitas anti infeksi,
anti tumor dan agen untuk perlakukan penyakit neurodegeneratif dan diabetes.
Senyawa untuk perlakuan diabetes tersebut dihasilkan khususnya oleh 2 genus
Actinomycetes yakni, Micromonospora dan Streptomyces.
2.3
Antibiotika
Antibiotik adalah agen antimikroba, yang diproduksi oleh beberapa
mikroorganisme untuk menghambat atau membunuh banyak mikroorganisme
lainnya termasuk bakteri yang berbeda, virus dan sel eukariotik. Antibiotik
merupakan metabolit sekunder (Abass et al.
2010). Metabolit sekunder adalah
senyawa kimia yang dihasilkan mikroba, tumbuhan, atau hewan yang tidak secara
langsung terlibat dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi. Metabolit
sekunder merupakan produk spesifik dari setiap spesies (atau hanya ditemukan
dalam bagian kecil dari spesies dalam 15 grup filogenik). Tanpa senyawa ini maka
organisme akan berakibat menderita karena kurang dapat mempertahankan diri.
Akan tetapi tidak menyebabkan kematian secara langsung, contohnya antifungi,
antibakteri, antikolesterol, enziminhibitor, dan lain-lain. Fungsi utama dari
metabolit sekunder dalam organisme adalah sebagai fungsi ekologi yaitu sebagai
alat pertahanan melawan predator, parasit, dan kompetisi antar spesies (Prescot et
al. 2002; Bennett et al.1989; Luckner 1990 dalam Sunaryanto, 2011).
Antibiotik yang digunakan saat ini selain dihasilkan oleh mikroorganisme
juga telah ditemukan antibiotik sintetik. Istilah antibiotik disebut juga sebagai
16
antimikroba, yaitu senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan secara
sintetik. Mekanisme kerja antimikroba dengan cara menekan atau menghentikan
suatu proses biokimia di dalam organisme, misalnya terikat pada protein atau
organel sel dan merusak fungsi penting yang berhubungan dengan pertumbuhan
ataupun bentuk adaptasi mikroorganisme. Antimikroba dapat bersifat membunuh
atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Atlas et al. 1997). Penggunaan
antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun
dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi
terhadap mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan
menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah
bakteri. Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan
membunuh bakteri dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi bakteri
untuk hidup.
2.3.1 Jenis-Jenis Antibiotik
Secara garis besar, jenis-jenis antibiotika dan kemoterapetika adalah
sebagai berikut:
1. Golongan Penisilin.
Golongan penisilin bersifat bakterisid dan bekerja dengan mengganggu
sintesis dinding sel. Antibiotika pinisilin mempunyai ciri khas secara kimiawi
adanya nukleus asam amino-penisilinat, yang terdiri dari cincin tiazolidin dan
cincin betalaktam. Spektrum bakteri terutama untuk bakteri kokus gram positif.
Beberapa golongan penisilin ini juga aktif terhadap bakteri gram negatif.
Golongan penisilin masih dapat terbagi menjadi beberapa kelompok, yakni:
17
Penisilin yang rusak oleh enzim penisilinase, tetapi spektrum anti bakteri terhadap
gram positif paling kuat. Termasuk penisilin G (benzil penisilin) dan derivatnya
yakni penisilin prokain dan penisilin benzatin, dan penisilin V (fenoksimetil
penisilin). Penisilin G dan penisilin prokain rusak oleh asam lambung sehingga
tidak bisa diberikan secara oral, sedangkan penisilin V dapat diberikan secara oral.
Spektrum antimikroba golongan ini masih merupakan pilihan utama meliputi
infeksi-infeksi
streptokokus
beta
hemolitikus
grup
A,
pneumokokus,
meningokokus, gonokokus, Streptococcus viridans, staphyloccocus, pyoneges
(yang
tidak
memproduksi
Corynebacterium
diphteriae,
penisilinase),
Treponema
Bacillus
anthracis,
pallidum,
Clostridia,
Leptospirae
dan
Actinomycetes sp. Penisilin yang tidak rusak oleh enzime penisilinase, termasuk
kloksasilin, flukloksasilin, dikloksasilin, oksasilin, nafsilin dan metisilin, sehingga
hanya digunakan untuk bakteri yang memproduksi enzim penisilinase.
Penisilin dengan spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram
negatif, tetapi rusak oleh enzim penisilinase. Termasuk ampisilin dan amoksisilin.
Kombinasi obat ini dengan bahan-bahan penghambat enzim penisiline, seperti
asam klavulanat atau sulbaktam, dapat memperluas spektrum terhadap bakteri
penghasil enzim penisilinase. Penisilin antipseudomonas meliputi karbenisilin,
tikarsilin, meklosilin dan piperasilin diindikasikan khusus untuk bakteri
Pseudomonas aeruginosa.
2. Golongan Sefalosporin.
Golongan sefalosporin hampir sama dengan penisilin karena mempunyai
cincin beta laktam. Secara umum aktif terhadap bakteri gram positif dan gram
18
negatif, tetapi spektrum anti bakteri dari masing-masing antibiotika sangat
beragam, terbagi menjadi 3 kelompok, yakni:
- Generasi pertama yang paling aktif terhadap bakteri gram positif secara in vitro,
contohnya sefalotin, sefaleksin, sefazolin, sefradin. Generasi
pertama kurang
aktif terhadap bakteri gram negatif.
- Generasi kedua agak kurang aktif terhadap bakteri gram positif tetapi lebih aktif
terhadap bakteri gram negatif, contohnya sefamandol dan sefaklor.
- Generasi ketiga lebih aktif lagi terhadap bakteri gram negatif, termasuk
Enterobacteriaceae dan kadang-kadang Peudomonas. Termasuk sefoksitin
(termasuk suatu antibiotika sefamisin), sefotaksim dan moksalatam.
3. Golongan Amfenikol
Golongan amfenikol mencakup senyawa induk kloramfenikol maupun
derivat-derivatnya
yakni,
kloramfenikol
palmitat,
natrium
suksinat
dan
tiamfenikol. Antibiotika ini aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif
maupun ricketsia, klamidia, spirokaeta dan mikoplasma. Karena toksisitasnya
terhadap sumsum tulang, terutama anemia aplastika, maka kloramfenikol hanya
dipakai untuk infeksi S. typhi dan H. influenzae.
4. Golongan Tetrasiklin
Tetrasiklin Merupakan antibiotika spektrum luas bersifat bakteriostatik
untuk bakteri gram positif dan gram negatif, tetapi indikasi pemakaiannya sudah
sangat terbatas oleh karena masalah resistensi. Akan tetapi antibiotika ini masih
merupakan pilihan utama untuk infeksi-infeksi yang disebabkan oleh klamidia,
riketsia, mikoplasma dan juga efektif terhadap N. meningitidis, N. gonorhoeae dan
19
H. influenzae, termasuk tetrasiklin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, doksisiklin,
minosiklin, metasiklin dan demeklosiklin.
5. Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan golongan antibiotika yang bersifat bakterisid
dan terutama aktif untuk bakteri gram negatif. Aktif terhadap gram positif.
Streptomisin dan kanamisin juga aktif terhadap bakteri TBC. Selain itu yang
termasuk golongan ini adalah amikasin, gentamisin, kanamisin, streptomisin,
neomisin, metilmisin dan tobramisin, antibiotika ini punya sifat khas toksisitas
berupa nefrotoksik, ototoksik dan neurotoksik.
6. Golongan Makrolida
Golongan makrolida hampir sama dengan penisilin dalam hal spektrum
antibakteri, sehingga merupakan alternatif untuk pasien-pasien yang alergi
penisilin. Bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri. Aktif secara in
vitro terhadap bakteri gram positif, gram negatif, mikoplasma, klamidia, riketsia
dan actinomysetes. Selain sebagai alternatif penisilin, eritromisin juga merupakan
pilihan utama untuk infeksi pneumonia atipik (disebabkan oleh Mycoplasma
pneumoniae) dan penyakit Legionnaires (disebabkan Legionella pneumophilla)
termasuk
dalam
roksitromisin,
golongan
spiramisin,
makrolida
josamisin,
selain
eritromisin
rosaramisin,
juga
termasuk
oleandomisin
dan
trioleandomisin.
7. Golongan Linkosamid.
Golongan Linkosami meliputi linkomisin dan klindamisin, aktif terhadap
bakteri gram positif termasuk stafilokokus yang resisten terhadap penisilin. Juga
20
aktif terhadap bakteri anaerob, misalnya bakteroides. Golongan ini sering dipakai
sebagai alternatif penisilin antistafilokokus pada infeksi tulang dan sendi serta
infeksi-infeksi abdominal. Akan tetapi pemakaiannya sering diikuti dengan
superinfeksi C. difficile, dalam bentuk kolitis pseudomembranosa yang fatal.
8. Golongan Polipeptida.
Golongan polipeptida meliputi polimiksin A, B, C, D dan E, merupakan
kelompok antibiotika yang terdiri dari rangkaian polipeptida dan secara selektif
aktif terhadap bakteri gram negatif, misalnya psedudomonas maupun bakteri
koliform yang lain. Toksisitas polimiksin membatasi pemakaiannya, terutama
dalam bentuk neurotoksisitas dan nefrotoksisitas.
9. Golongan Antimikobakterium
Golongan antimikobakterium aktif terhadap bakteri mikobakterium,
termasuk anti TBC dan lepra.
10. Golongan Sulfonamida dan Trimetropim
Kepentingan sulfonamida dalam kemoterapi infeksi banyak menurun
karena masalah resistensi. Tetapi beberapa mungkin masih aktif terhadap bentukbentuk infeksi tertentu misalnya sulfisoksazol untuk infeksi dan infeksi saluran
kencing. Kombinasi sulfamektoksazol dan trimetoprim untuk infeksi saluran
kencing, salmonelosis, bakteri bronkitis, prostatitis. Spektrum bakteri mencakup
bakteri gram positif dan gram negatif.
11. Golongan Kuinolon
Golongan Kuinolon merupakan kemoterapetika sintetis yang akhir-akhir
ini mulai populer dengan spektrum antibakteri yang luas terutama untuk bakteri
21
gram negatif dan gram positif, enterobakteriaceae dan pseudomonas. Terutama
dipakai untuk infeksi-infeksi nosokomial. Termasuk asam nalidiksat, norfloksasin,
ofloksasin, pefloksasin dan lain-lain.
12. Golongan lain-lain
Masih banyak jenis-jenis antibiotika dan kemoterapetika lain yang tidak
tercakup dalam kelompok yang disebutkan di atas. Misalnya vankomisin,
spektinomisin, basitrasin, metronidazol, dan lain-lain (Farmakologi, 2004).
2.3.2 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakterial
Pemusnahan mikroba dengan antimikroba yang bersifat bakteriostatik
masih tergantung dari kesanggupan reaksi daya tahan tubuh hospes. Peranan
lamanya kontak antara mikroba dan antimikroba dalam kadar efektif juga sangat
menentukan
untuk
mendapatkan
efek,
khususnya
pada
tuberkulostatik.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam lima kelompok:
1. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba.
Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid,
trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Berdasarkan mekanisme
kerja ini diperoleh bakteriostatik. Mikroba membutuhkan asam folat untuk
kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan mamalia yang mendapatkan asam folat
dari luar. Bakteri patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam amino
benzoat (PABA). Apabila sulfonamid dan sulfon menang bersaing dengan PABA
untuk diikutsertakan dalam pembentukan asam folat, maka terbentuk analog asam
folat yang nonfungsional. Akibatnya, kehidupan mikroba akan terganggu.
Berdasarkan sifat kompetisi, efek sulfonamid dapat diatasi dengan meningkatkan
22
kadar PABA. Untuk dapat bekerja, dihidrofolat harus diubah menjadi bentuk
aktifnya yaitu asam tetrahidrofolat. Enzim dihidrofolat reduktase yang berperan
dihambat oleh trimetoprim, sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi
menjadi asam tetrahidrofolat yang fungsional.
2. Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin,
sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin. Dinding sel bakteri, terdiri
dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida).
Sikloserin menghambat reaksi yang paling dini dalam proses sintesis dinding sel;
diikuti berturut-turut oleh basitrasin, vankomisin, dan diakhiri oleh penisilin dan
sefalosporin, yang menghambat reaksi terakhir (transpeptidase) dalam rangkaian
reaksi tersebut. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel bakteri lebih tinggi
daripada di luar sel maka kerusakan dinding sel bakteri akan menyebabkan
terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada bakteri yang peka.
3. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba.
Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah polimiksin,
golongan polien serta berbagai antimikroba kemoterapeutik, contohnya antiseptik
surface active agents. Pollimiksin sebagai senyawa amonium-kuatener dapat
merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel
mikroba. Polimiksin tidak efektif terhadap bakteri gram positif karena jumlah
fosfor bakteri ini rendah. Bakteri gram negatif yang menjadi resisten terhadap
polimiksin, ternyata jumlah fosfornya menurun. Antibiotik polien bereaksi dengan
struktur sterol yang terdapat pada membran sel sehingga mempengaruhi
23
permeabilitas selektif membran tersebut. Bakteri tidak sensitif terhadap antibiotik
polien, karena tidak memiliki struktur sterol pada membran selnya. Antiseptik
yang mengubah tegangan permukaan (surface active agents), dapat merusak
permeabelitas selektif dari membran sel menyebabkan keluarnya berbagai
komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat, nukleotida,
dan lain-lain.
4. Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba.
Antimikroba
yang
termasuk
kelompok
ini
adalah
golongan
aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol. Untuk
kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein
berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom
terdiri atas dua sub unit, yang berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan
sebagai ribosom 30S dan 50S. Untuk berfungsi pada sintesis protein, kedua
komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S.
Penghambatan sintesis protein terjadi dengan berbagai cara. Streptomisin
berikatan dengan komponen ribosom 30S dan menyebabkan kode pada mRNA
salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk
protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel mikroba. Antibiotik
aminoglikosid lainnya yaitu gentamisin, kanamisin, dan neomisin memiliki
mekanisme kerja yang sama, namun potensinya berbeda. Eritromisin berikatan
dengan ribosom 50S dan menghambat translokasi kompleks tRNA-peptida dari
likasi asam amino ke lokasi peptida. Akibatnya, rantai polipeptida tidak dapat
diperpanjang karena lokasi asam amino tidak dapat menerima kompleks tRNA-
24
asam amino yang baru. Linkomisin juga berikatan dengan ribosom 50S dan
menghambat sintesis protein. Tetrasiklin berikatan dengan ribosom 30S dan
menghalangi masuknya kompleks tRNA asam amino pada lokasi asam amino.
Kloramfenikol berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat pengikatan asam
amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil transferase.
5. Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba.
Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin, dan
golongan kuinolon. Walaupun bersifat antimikroba, karena sifat sitotoksisitasnya,
pada umumnya hanya digunakan sebagai obat antikanker; tetapi beberapa obat
dalam kelompok terakhir ini dapat pula digunakan sebagai antivirus. Rifampisin,
salah satu derivat rifamisin, berikatan dengan enzim polimerase-RNA (pada sub
unit) sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut.
Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada bakteri yang fungsinya
menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral sehingga bisa
masuk dalam sel bakteri yang kecil (Akhyar, 2010).
2.3.3 Bakteri Uji
Bakteri yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri yaitu S.
aureus, B. subtilis, dan E. coli. Alasan penggunaan kedua bakteri tersebut adalah
untuk melihat aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram postif dan bakteri gram
negatif. S. aureus dan B. subtilis adalah bakteri gram positif, sedangkan E. coli
adalah bakteri gram negatif. Perbedaan antara dinding sel bakteri gram positif
degan gram negatif dapat dilihat pada gambar 2.
25
Gambar 2. Perbedaan antara Struktur Dinding Sel Bakteri Gram Positif dan
Gram Negatif (sumber: biobacteri.com).
1. Staphylococus aureus
S. aureus adalah bakteri yang bersifat anaerobik fakultatif, termasuk dalam
kelompok bakteri gram positif dan menghasilkan asam laktat. Sel S. aureus
berbentuk bulat memiliki diameter sekitar 1 μm, berwarna kuning terang dan
cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur atau tersusun dalam
kelompok-kelompok yang tidak teratur, tidak berspora, dan dapat menghemolisis
sel darah. S. aureus dapat menyebabkan beberapa infeksi yang serius seperti
radang paru-paru (pneumonia), radang otot, dan pembengkakan otak bagian luar
(Todar, 2002 dalam Agung, 2012). Bakteri ini juga bersifat patogen terhadap
manusia dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada kulit seperti bisul dan
luka gores.
2. Escherichia coli
E. coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam
saluran pencernaan baik manusia maupun hewan yang sehat. E. coli merupakan
bakteri dengan struktur dinding sel yang relatif tipis dan berlapis tiga, dinding
26
selnya memiliki kandungan lipida tinggi dengan kandungan peptidoglikan relatif
rendah dan tidak memiliki asam terikoat. Membran luar bakteri gram negatif
mempunyai peranan sebagai barier masuknya senyawa-senyawa yang tidak
dibutuhkan oleh sel, diantaranya bakteriosin, enzim dan senyawa-senyawa yang
bersifat hidrofobik (Alokomi et al., 2000 dalam Agung, 2012). Bakteri ini
memiliki bentuk batang (basil) dengan ukuran lebar 0,5 nm dan panjang 1,0-3,0
nm serta tidak berkapsul (Agung, 2012)
3. Basilus subtilis
Basilus subtilis merupakan bakteri gram positif berbentuk batang lurus
berukuran 1,5-4,5 µm, sendiri-sendiri atau tersusun dalam bentuk rantai, bergerak
dan tidak bersimpai.
2.4 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi
komponen-komponennya. Kromatografi merupakan pemisahan campuran senyawa
menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya. Oleh karena itu, kemurnian
bahan atau komposisi campuran dengan kandungan yang berbeda dapat dianalisis
dengan benar. Tidak hanya kontrol kualitas, analisis bahan makanan dan lingkungan,
tetapi juga kontrol dan optimasi reaksi kimia dan proses berdasarkan penentuan
analitik dari kuantitas material. Teknologi yang penting untuk analisis dan pemisahan
preparatif pada campuran bahan adalah prinsip dasar kromatografi. Pemisahan
senyawa biasanya menggunakan beberapa tekhnik kromatografi. Pemilihan teknik
kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat kelarutan senyawa yang akan
dipisahkan. Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau
kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak
27
mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam
campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda.
Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit,
baik penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk memisahkan
senyawa–senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida dan hidrokarbon yang sukar
dikerjakan dengan kromatografi kertas. Identifikasi senyawa secara kromatografi dan
isolasi senyawa murni skala kecil. Pelarut yang dipilih untuk pengembang
disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapisan tipis
seperti silika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi-pereaksi yang
lebih reaktif seperti asam sulfat (Arista, 2010).
28
Download