BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan, pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pemerataan adalah hal yang sangat penting. Pada tahun 1950an, orientasi pembangunan negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menaikkan pendapatan per kapita. Tetapi pada akhir dasawarsa 1960, negara-negara tersebut mulai menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi hanya merupakan necessary condition bukan sufficient condition, karena pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai juga dengan munculnya permasalahan ketimpangan pendapatan, kemiskinan dan ketidakseimbangan struktural. Sjafrizal (2008: 149-150) berpendapat bahwa dalam proses pembangunan seringkali terdapat “trade off” yaitu bilamana pertumbuhan lebih diutamakan, maka hal ini cenderung mengurangi aspek pemerataan, dan sebaliknya bilamana pemerataan yang diutamakan cenderung memperlambat proses pertumbuhan. Sementara pembangunan yang diinginkan adalah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pemerataan. Hal yang perlu dilakukan adalah menerapkan konsep pusat pertumbuhan (growth poles), karena konsep ini mengandung dua unsur yaitu konsentrasi dan desentralisasi. Unsur konsentrasi menimbulkan keuntungan aglomerasi, dan desentralisasi diperlukan untuk menyebarkan kegiatan ekonomi ke seluruh wilayah sehingga terjadi pemerataan. Dampak pembangunan suatu daerah Myrdal (1957 dalam Arsyad, 2005: 1 127-133) menyebutkan bahwa adanya perpindahan modal justru akan menimbulkan ketidakmerataan. Pada daerah-daerah berkembang permintaan barang/jasa akan mendorong naiknya investasi sehingga meningkatkan pendapatan. Sebaliknya pada daerah-daerah kurang berkembang, permintaan akan investasi rendah karena pendapatan yang rendah. Semua pengaruh yang tidak menguntungkan bagi daerah tertentu akibat dari ekspansi ekonomi suatu daerah lain disebut backwash effect. Sebaliknya, semua pengaruh yang menguntungkan bagi daerah tertentu akibat dari adanya ekspansi ekonomi suatu daerah lain disebut spread effects. Menanggapi permasalahan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan, Mishra (2009) menjelaskan bahwa keajaiban di Asia Timur bukanlah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi kesanggupan mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar tetap stabil dan berhasil mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan, serta melakukan pembangunan dengan pemerataan. Negara-negara Asia Timur terus mengupayakan dan membuktikan bahwa pasar bebas dan investasi sumber daya manusia yang dimiliki akan mampu membebaskan masyarakat dari jurang kemiskinan. Dalam hal kebijakan yang diambil pemerintah, Rondinelli (1984) menjelaskan kebijakan-kebijakan mengenai kutub pertumbuhan pada negara berkembang khususnya negara-negara di Amerika Latin dan Afrika pada umumnya gagal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pengaruh „trickle down‟ yang diharapkan tidak cukup mampu untuk menggerakkan pembangunan regional. Bahkan kutub pertumbuhan sering menjadi daerah kantung (enclave) 2 tenaga kerja dan tenaga ahli dari wilayah pedesaan. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang membawa pengaruh backwash effect bagi daerah lain pernah diteliti oleh Fallah dan Partridge (2007), menunjukkan bahwa hubungan positif antara ketimpangan dan pertumbuhan terjadi di wilayah metropolitan, sedangkan hubungan negatif antara pertumbuhan dan ketimpangan terjadi pada daerah non-metropolitan. Penjelasan yang diberikan adalah bahwa di daerah perkotaan, ekonomi aglomerasi dan spesialisasi kerja berperan utama dalam menarik tenaga kerja terampil tinggi dari pedesaan ke daerah perkotaan, sehingga menyebabkan terjadinya polarisasi upah di daerah pedesaan. Ketimpangan pendapatan tersebut dapat melemahkan hubungan sosial antarmasyarakat di pedesaan dan pada akhirnya juga menghambat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak selalu berdampak positif pada suatu daerah selama daerah lain di sekitarnya masih miskin. Suatu daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada daerah lain akan menghadapi beban baru, karena banyak penduduk dari daerah lain terus berpindah ke daerah tersebut. Kondisi ini terjadi karena adanya tarikan peluang kesempatan kerja yang lebih banyak di daerah perkotaan tersebut. Permasalahan yang muncul akibat hal tersebut adalah, terjadinya kepadatan penduduk dapat meningkatkan tingkat pengangguran karena lapangan pekerjaan yang tersedia tidak mampu mempekerjakan seluruh penduduk (Yeniwati, 2013). Kenyataan yang terjadi di negara sedang berkembang adalah modernisasi tidak mencapai masyarakat miskin khususnya daerah pedesaan, 3 karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya dicapai daerah-daerah tertentu dan bersifat konvergen. Untuk melihat kondisi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 1.1 sebagai berikut. persen (%) 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumatera Utara 5.74 6.22 6.63 6.42 5.07 6.39 6.9 6.2 Indonesia 5.5 6.35 6.01 4.63 6.22 6.49 6.23 5.69 Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara dan Rata-rata Provinsi di Indonesia, 2005-2012 Sumber: BPS (berbagai tahun terbitan), diolah Jika dilihat dari data statistik di atas, pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2011 masih relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata provinsi di Indonesia. Tetapi pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara mengalami penurunan, menjadi 6,23 persen dari sebelumnya 6,49 persen pada tahun 2011. Angka tersebut hampir sama dengan angka pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,20 persen pada tahun 2012. Sesuai target MP3EI, maka diharapkan Indonesia berada pada posisi 10 kekuatan ekonomi dunia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 8,0-9,0 persen pada tahun 2025. Keberhasilan suatu daerah dalam mencapai tujuan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak hanya dilihat dari keberhasilan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga dilihat dari kemampuan daerah untuk menurunkan tingkat kemiskinan secara menyeluruh. Tingkat 4 kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Nias Mandailing Natal Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Tapanuli Utara Toba Samosir Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi Karo Deli Serdang Langkat Nias Selatan Humbang Hasundutan Pakpak barat Samosir Serdang Bedagai Batubara Padang Lawas Padang Lawas Utara Labuhan Batu Utara Labuhan Batu Selatan Nias Utara Nias Barat Sibolga Tanjung Balai Pematang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjai Padang Sidempuan Gunung Sitoli 1.2 sebagai berikut. 2005 2012 Provinsi Gambar 1.2 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota, Provinsi SumateraUtara, 2005 dan 2012 Sumber: BPS (berbagai tahun terbitan), diolah Tingkat kemiskinan kabupaten/kota pada tahun 2012 menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan tahun 2005. Seperti terlihat pada gambar di atas, masih terdapat kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki tingkat kemiskinan lebih besar dari tingkat kemiskinan Provinsi Sumatera Utara. Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias Barat dan Nias Utara memiliki tingkat kemiskinan yang cukup parah berkisar pada angka 25-30 persen. Angka tersebut sangat jauh dari target pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan hingga 8 persen. 5 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 - Nias Mandailing Natal Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Tapanuli Utara Toba Samosir Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi Karo Deli Serdang Langkat Nias Selatan Humbang Hasundutan Pakpak barat Samosir Serdang Bedagai Batubara Padang Lawas Padang Lawas Utara Labuhan Batu Utara Labuhan Batu Selatan Nias Utara Nias Barat Sibolga Tanjung Balai Pematang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjai Padang Sidempuan Gunung Sitoli 5,000,000 2005 2012**) Provinsi Gambar 1.3 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Provinsi Sumatera Utara Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, 2005 dan 2012 Sumber: BPS (berbagai tahun terbitan), diolah PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara pada gambar di atas menunjukkan trend yang meningkat dari tahun 2005 ke tahun 2012. PDRB per kapita Kabupaten Batubara dan Kota Medan jauh melebihi PDRB per kapita Provinsi Sumatera. Kabupaten Batubara memiliki PDRB per kapita terbesar di Provinsi Sumatera Utara sebesar 21,28 juta rupiah pada tahun 2012 kemudian disusul Kota Medan sebesar 19,55 juta rupiah sedangkan PDRB per kapita Provinsi Sumatera Utara sebesar 10,17 juta rupiah. Pada gambar juga menunjukkan angka PDRB per kapita kabupaten dan kota masih banyak di bawah angka PDRB per kapita Provinsi Sumatera Utara. Terdapatnya variasi PDRB per kapita ini menunjukkan terjadinya ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. 6 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan buah hasil pemikiran penulis yang membahas tentang kabupaten/kota yang menjadi kutub-kutub pertumbuhan, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jurnal, tesis, maupun publikasi lain, maka dipastikan bahwa tidak ada judul dan isi tesis yang persis sama dengan yang dibuat oleh peneliti. Sebelumnya terdapat tesis yang pernah membahas kutubkutub pertumbuhan dan jurnal yang membahas masalah ketimpangan, sehingga yang membedakan dengan penelitian ini adalah, peneliti membahas kutub-kutub pertumbuhan dan ketimpangan secara bersamaan, hal lain yang membedakan adalah lokasi dan tahun penelitian. Lokasi penelitian ini adalah di Povinsi Sumatera Utara dengan menggunakan data tahun 2005-2012. 1.3 Rumusan Masalah Seperti dijelaskan pada latar belakang sebelumnya, pembangunan yang diinginkan adalah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pemerataan. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2012, relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata provinsi di Indonesia. Tetapi yang dikhawatirkan adalah justru konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi pada suatu wilayah akan menyebabkan munculnya masalah ketimpangan. Bila dilihat dari tingkat kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara, masih terdapat tingkat kemiskinan beberapa kabupaten/kota di atas angka provinsi, bahkan sangat parah karena mencapai 25-30 persen. Hal ini khususnya terjadi pada wilayah pantai barat. Permasalahan mendasar di Provinsi Sumatera 7 Utara adalah, masih banyak kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita di bawah provinsi, bahkan antarkabupaten/kota sendiri terdapat perbedaan tingkat PDRB per kapita yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antarwilayah. Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengidentifikasi kabupaten/kota yang menjadi kutub pertumbuhan, serta melihat konsentrasi pertumbuhan di wilayah sekitarnya. Tujuannya adalah untuk melihat apakah kabupaten/kota yang menjadi kutub pertumbuhan memberikan spillover effect, dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan antarwilayah. Dengan begitu dapat memberi masukan kepada pemerintah dalam melakukan upaya-upaya yang tepat, untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Provinsi Sumatera Utara. 1.4 Pertanyaan Penelitian 1. Di manakah lokasi kutub-kutub pertumbuhan menurut kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara? 2. Apakah terdapat konsentrasi pertumbuhan secara spasial di Provinsi Sumatera Utara, 2005-2012? 3. Bagaimana efek limpahan dari kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, 2005-2012? 4. Bagaimana pengaruh sumber daya alam, aglomerasi dan investasi terhadap ketimpangan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara, 2005-2012? 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 8 1. Untuk mengidentifikasi kutub-kutub pertumbuhan di Provinsi Sumatera Utara. 2. Untuk menganalisis konsentrasi pertumbuhan yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, 2005-2012. 3. Untuk menganalisis efek limpahan spasial (spillover effect) di Provinsi Sumatera Utara, 2005-2012. 4. Untuk mengidentifikasi bagaimana pengaruh investasi, aglomerasi dan sumber daya alam terhadap ketimpangan wilayah di Provinsi Sumatera Utara, 2005-2012. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Masukan bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, dalam perencanaan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional, dan menentukan arah dan kebijakan dalam mengatasi ketimpangan ekonomi. 2. Menambah kajian penelitian tentang kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) dan ketimpangan wilayah, atau sebagai bahan referensi bagi para peneliti yang berminat pada masalah sejenis di masa yang akan datang. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian memiliki sistematika penulisan yaitu Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori, 9 menguraikan tentang landasan teori yang berkaitan dengan kutub-kutub pertumbuhan, efek limpahan spasial, pro poor growth, hubungan ketimpangan dengan investasi, hubungan ketimpangan dengan aglomerasi, hubungan ketimpangan dengan sumber daya alam, kajian penelitian terdahulu, model penelitian, dan formulasi hipotesis. Bab III Metoda Penelitian, menguraikan tentang desain penelitian, metoda pengumpulan data, definisi operasional, dan metoda analisis data. Pada bab ini terdiri dari subbab yaitu identifikasi pusat pertumbuhan dengan analisis tipologi spasial, konsentrasi pertumbuhan secara spasial menggunakan metoda autokorelasi spasial dengan Morans‟I dan LISA, efek limpahan dan regresi. Bab IV Pembahasan, menampilkan hasil pengolahan data dan analisisnya. Bab V Simpulan dan Saran, menjelaskan temuan penting dari penelitian ini, saran, implikasi dari penelitian dan keterbatasan penulis. 10