BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Konferensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut yang dikenal dengan United Nations Converention on the Law of the Sea 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS) menghasilkan berbagai ketentuan hukum di laut milik suatu negara. Menurut UNCLOS, Indonesia sebagai Negara Kepulauan berhak mengklaim beberapa wilayah laut. Wilayah laut yang dimiliki Indonesia ialah: perairan kepulauan, perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Ketentuan tentang wilayah-wilayah laut meliputi jarak dari daratan, lebar ke laut lepas, penetapan batas dengan negara lain, dan ketentuan lain yang telah dicantumkan dalam UNCLOS. UNCLOS telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia ke dalam Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Salah satu wilayah laut yang dimiliki Indonesia sebagai negara kepulauan yaitu perairan pedalaman. Perairan pedalaman merupakan wilayah laut kedaulatan Indonesia yang belum ditetapkan. Menurut pasal 3 Undang Undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, perairan pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah di pantai-pantai Indonesia, termasuk semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. Ada berbagai jenis garis penutup yang dapat digunakan untuk penarikan batas perairan pedalaman yang ditetapkan dalam Undang Undang No.6 Tahun 1996. Wilayah laut yang menjadi perairan pedalaman seharusnya didata dan dipublikasikan dengan didaftarkan ke PBB. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2008), jika suatu wilayah perairan telah ditetapkan sebagai perairan pedalaman, maka kapal asing dilarang melintasi wilayah tersebut, sehingga penentuan perairan pedalaman sangat diperlukan karena berkaitan dengan keamanan nasional. Salah satu perairan di Indonesia yang memiliki lalu lintas pelayaran cukup ramai yaitu selat Sunda. Selat Sunda merupakan wilayah perairan di antara Pulau Sumatra dan Pulau Jawa. Selat Sunda digunakan sebagai jalur pelayaran nasional maupun internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia I), dan dilakukan pemasangan 1 2 kabel dan pipa bawah laut. Selat Sunda juga merupakan daerah budidaya kerang mutiara, daerah cagar alam flora dan fauna, daerah cagar alam laut, taman nasional dan daerah wisata. Di selat Sunda, Tentara Nasional Indonesia melakukan latihan peperangan laut. Meskipun Selat Sunda saat ini memiliki status sebagai perairan kepulauan, di perairan Selat Sunda terdapat beberapa teluk yang seharusnya dapat diidentifikasi sebagai perairan pedalaman, selanjutnya wilayah perairan pedalaman di Selat Sunda tersebut perlu didefinisikan secara geografis. I.2. Rumusan Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan perlu menetapkan Perairan Pedaaman, didaftarkan ke PBB dan dipublikasikan. Selat Sunda sebagai jalur ALKI yang memiliki lalu lintas pelayaran padat memiliki teluk-teluk yang bila ditutup dengan garis penutup teluk, dapat didefinisikan sebagai perairan pedalaman. Faktanya, di Selat Sunda belum di definisikan perairan pedalaman. Pendefinisian perairan pedalaman di Selat Sunda diperlukan berkaitan dengan keamanan nasional. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah teluk Sarimo, teluk Lampung, teluk Miskam, teluk Paraja, dan teluk Sarimo yang terletak di Selat Sunda dapat dikategorikan sebagai perairan pedalaman? 2. Berapakah luas masing-masing teluk yang dapat dikategorikan sebagai perairan pedalaman? Dimanakah batas-batasnya? 3. Bagaimana peta selat Sunda setelah tertutupnya teluk menjadi bagian dari perairan pedalaman? I.3. Tujuan Penelitian Penelitian mengenai pendefinisian perairan pedalaman di dalam teluk ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Teridentifikasinya perairan pedalaman di Selat Sunda. 2. Terdefinisikannya perairan pedalaman di Selat Sunda secara geografis. 3 I.4. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi instansi yang memiliki kewenangan dalam menentukan perairan pedalaman. I.5. Batasan Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki banyak sekali wilayah perairan pedalaman. Karena pentingnya posisi Selat Sunda sebagai jalur ALKI, maka penelitian ini hanya difokuskan di perairan Selat Sunda, dengan data yang digunakan adalah peta laut nomor 71. Perairan Selat Sunda mengacu pada batas Selat Sunda sesuai publikasi S23 dari International Hydrographic Organization (IHO). Selain itu, karena keterbatasan data, panjang minimal garis penutup teluk yang dikaji pada penelitian ini adalah tiga mil laut. I.6. Tinjauan Pustaka UNCLOS menjelaskan bahwa suatu negara memiliki wilayah laut pada zonazona tertentu. Zona laut yang dimiliki sebuah negara adalah perairan kepulauan, perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengkaji penetapan batas wilayah laut pada zona-zona tersebut. Hani (2007) dan Wulansih (2007) mengkaji batas landas kontinen di Indonesia, Lestiyani (2012) dan Musavia (2012) mengkaji batas zona ekonomi eksklusif, dan Rezkiani (2007) mengkaji batas zona tambahan. Penelitian yang dilakukan oleh Rezkiani (2007) mengambil studi kasus di perarian Manado untuk batas zona tambahan. Data yang digunakan yaitu peta garis pangkal dan peta Rupa Bumi Indonesia. Rezkiani mengacu pada UNCLOS yang menyatakan bahwa zona tambahan memiliki jarak maksimal 24 mil laut dari garis pangkal di luar laut teritorial. Rezkiyani (2007) menghubungkan koordinat titik pangkal untuk mendapat garis pangkal kepulauan Indonesia, kemudian diukur jarak kearah luar dari Indonesia untuk mendapat batas zona tambahan. Seperti kajian zona laut yang dilakukan Rezkiani, kajian mengenai batas zona ekonomi eksklusif yang dilakukan Lestiyani (2012) dan Musavia (2012) juga mengacu pada UNCLOS. UNCLOS memberikan pengertian zona ekonomi eksklusif memiliki batas hingga 200 mil laut dari garis pangkal. Dikarenakan jarak antara 4 Indonesia dan Filipina kurang dari 400 mil laut, Lestiyani (2012) melakukan kajian untuk menetapkan batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan Filipina, sehingga masing-masing negara memperoleh bagian zona ekonomi eksklusifnya. Musavia (2012) mengkaji batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia, Malaysia, dan India di Selat Malaka. Kajian mengenai batas zona laut selain zona ekonomi eksklusif dan zona tambahan telah dilakukan oleh Wulansih (2007) dan Hani (2007), yaitu penelitian mengenai penetapan batas landas kontinen. Landas kontinen sesuai UNCLOS tidak hanya ditentukan berdasarkan batas jarak dari garis pangkal, namun juga kedalaman laut. Dalam penelitian mengenai landas kontinen, baik Hani (2007) maupun Wulansih (2007) melakukan pengolahan data batimetri untuk mendapat informasi kedalaman. Dalam penetapan batas zona laut, aspek lain yang perlu diperhatikan dalam penetapan batas maritim adalah penghitungan luas wilayah. Penghitungan luas wilayah dilakukan dalam penelitian Rahajeng (2007), Lestyani (2012), dan Musavia (2012). Dalam penelitian Rahajeng (2007), data masukan yang digunakan adalah LLN dan wvs, dengan penghitungan luas menggunakan perangkat CARIS LOTS 4.0. Metode penghitungan luas yaitu melingkupi wilayah yang akan diukur luasnya dengan poligon, kemudian luas poligon dicari dengan hasil dalam satuan kilometer persegi (km2). Lestyani (2012) dan Musavia (2012) mengukur luas wilayah laut dengan metode yang sama, namun dilakukan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Penelitian mengenai penetapan batas zona laut yang telah disebutkan merupakan kajian hak suatu negara atas wilayah-wilayah tertentu di laut berdasarkan UNCLOS. Penetapan zona laut dalam penelitian tersebut lebih memperhatikan aspek politis berdasarkan jarak dan tidak memperhatikan bentuk geografi maritimnya. Penelitian mengenai batas zona laut yang memperhatikan batas berdasar bentuk geografinya adalah penelitian yang dilakukan Setiyadi (2007). Setiyadi (2007) melakukan kajian tentang penentuan garis batas untuk laut, selat, dan teluk. Dalam penelitiannya, Setiyadi (2007) menyebutkan bahwa garis penutup diteluk ditarik dari dua tanjung yang berhadapan. Titik awal yang digunakan untuk penarikan garis adalah titik pada posisi garis air rendah di ujung tanjung, 5 sebagai pintu masuk alamiah dari teluk. Sebelum menentukan titik awal, Setiyadi (2007) menggunakan data DEM untuk membandingkan cara penarikan garis penutup teluk yang digunakan International Maritime Organization (IMO) dan International Hydrographic Organization (IHO). Pada draft publikasi IHO maupun IMO tidak membatasi panjang garis penutup teluk, dikarenakan keduanya memberikan penamaan teluk bukan untuk kepentingan yurisdiksi suatu Negara. Penentuan titik awal yang digunakan Setiyadi (2007) dimulai dari pendekatan geografi maritim, dengan bentuk geografi maririm yang dicari adalah tanjung. Penarikan garis dimulai dengan menentukan dua garis pelurusan pada sisi tanjung. Garis pelurusan adalah garis pantai pada posisi muka laut rata-rata yang paling mewakili bentuk kedua sisi tanjung. Perpotongan dari garis pelurusan membentuk sudut, kemudian diukur besar sudut hasil perpotongan. Sudut hasil perpotongan dibagi dua, kemudian membuat garis bisector of tangent sebagai garis yang membagi dua sudut sama besar. Garis bisector of tangent dipotongkan pada garis pantai posisi air surut, yang ditentukan pada posisi kontur nol. Hasil perpotongan kontur nol dan garis bisector of tangent adalah titik awal penarikan garis penutup teluk. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Pada penelitian ini, yang dikaji adalah batas salah satu zona laut dalam UNCLOS, yaitu perairan pedalaman. Dalam penelitian ini, penentuan zona maritim tidak hanya mengacu pada aspek jarak, tapi juga bentuk geografi dari teluk. Lokasi studi kasus juga berbeda karena studi kasus adalah Selat Sunda yang merupakan Perarian Kepulauan, namun pada penelitian ini dikaji batas antara perairan pedalaman dan perairan kepulauan. I.7. Landasan Teori I.7.1. Zona maritim menurut UNCLOS UNCLOS, atau United Nations Convention on the Law of the Sea adalah hasil dari konferensi internasional tentang hukum laut. UNCLOS memberikan berbagai ketentuan hukum di laut bagi negara-negara yang telah meratifikasinya. Di dalam UNCLOS dijelaskan bahwa negara boleh mengklaim zona maritim yang batasnya ditentukan dari garis pangkal. 6 Menurut data dari United Nations (2013), ada 165 negara yang telah meratifikasi ketentuan UNCLOS. Masing-masing negara mendapat hak atas zona maritim yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Ilustrasi dari zona maritim yang dapat diklaim suatu negara disajikan pada Gambar I.1. Dalam penelitian ini, zona maritim yang dikaji yaitu perairan kepulauan, perairan pedalaman, dan laut teritorial. Gambar I.1. Wilayah maritim negara pantai berdasarkan UNCLOS (Sumaryo dan Arsana, 2008) I.7.1.1. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters) Perairan kepulauan adalah zona maritim yang hanya dimiliki negara kepulauan. Negara kepulauan didefinisikan dalam pasal 46 UNCLOS “"archipelagic State" means a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands”. Pasal 46 UNCLOS mendefinisikan bahwa negara kepulauan adalah negara yang terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Meskipun suatu negara memiliki beberapa pulau, tidak semua negara dapat mengklaim sebagai negara kepulauan. Negara kepulauan hanya berlaku bagi negara yang dapat menutup wilayahnya dengan garis pangkal kepulauan. Pasal 47 UNCLOS memberikan syarat bagi garis pangkal kepulauan yang ditarik menghubungkan pulau-pulau terluar suatu negara dengan perbandingan antara wilayah lautan dan daratan haruslah antara 1:1 hingga 9:1. UNCLOS memberikan istilah perairan kepulauan bagi perairan yang berada di dalam garis pangkal kepulauan yang hanya dimiliki negara kepulauan. Dengan 7 ditutupnya suatu negara dengan garis pangkal kepulauan, negara tersebut memiliki wilayah laut yang lebih luas daripada jika negara menggunakan garis pangkal yang lain. Meskipun suatu wilayah laut telah menjadi perairan kepulauan kedaulatan suatu negara, kapal asing tetap dapat melintas di wilayah perairan tersebut seperti yang dijelaskan pada Bagian 3 dan di pasal 52 UNCLOS tentang Hak Lintas Damai dan pasal 53 UNCLOS tentang Hak Lintas Alur Laut Kepulauan. Menurut pasal 53 UNCLOS, suatu negara kepulauan diharuskan membuat alur laut dan rute penerbangan di atasnya bagi negara lain yang hendak melintasi perairan kepulauan negara tersebut. Alur laut kepulauan adalah rangkaian garis yang ditarik dari tempat masuknya yaitu laut teritorial suatu negara, masuk ke perairan kepulauan, dan berakhir pada laut teritorial tempat keluarnya. Apabila suatu negara tidak menentukan alur laut/rute penerbangan, negara lain boleh melewati rute mana saja yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional. I.7.1.2. Perairan Pedalaman (Internal Waters) UNCLOS mendefinisikan perairan pedalaman dalam pasal 8, dengan bunyi “Except as provided in Part IV, waters on the landward side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the State”. Pasal 8 UNCLOS menerangkan bahwa perairan yang berada pada sisi darat dari garis pangkal yang digunakan untuk penarikan laut territorial sebagai bagian dari perairan pedalaman suatu negara. Dengan demikian, setelah suatu negara menutup pantainya dengan garis pangkal, perairan yang berada di sisi dalam dari garis pangkal adalah perairan pedalaman dan yang berada di sisi luarnya adalah laut teritorial. Pada pasal 8 tertulis pengecualian untuk Bab IV UNCLOS yaitu mengenai negara kepulauan. Bagi negara kepulauan, perairan yang berada pada sisi dalam garis pangkal belum tentu perairan pedalaman, karena negara kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan yang berarti perairan di sisi dalamnya bisa menjadi perairan kepulauan. Di perairan kepulauan, suatu negara boleh menarik garis batas antara Perarian Pedalaman dan perairan kepulauan. Hal ini sesuai bunyi pasal 50 UNCLOS, “Within its archipelagic waters, the archipelagic State may draw closing lines for the 8 delimitation of internal waters, in accordance with articles 9, 10 and 11”. Garis yang dapat digunakan sebagai batas antara perarian Kepulauan dan perairan pedalaman adalah garis yang dijelaskan di pasal 9 UNCLOS (garis penutup sungai), pasal 10 UNCLOS (garis penutup teluk), dan pasal 11 UNCLOS (garis penutup instalasi pelabuhan). I.7.1.3. Laut Teritorial (Territorial Sea) Pasal 2 UNCLOS menjelaskan status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial, serta dasar laut dan lapisan tanah dibawahnya. Dalam pasal 2 disebutkan : 1. The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial sea. 2. This sovereignty extends to the air space over the territorial sea as well as to its bed and subsoil. 3. The sovereignty over the territorial sea is exercised subject to this Convention and to other rules of international law. Sesuai pasal 2 UNCLOS, suatu negara memiliki kedaulatan selain wilayah daratan, perairan pedalaman, dan perairan kepulauan juga termasuk kedaulatan atas Laut Territorial. Batas Laut Territorial dijelaskan dalam pasal 3 dan 4 UNCLOS, yaitu 12 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan negara pantai. Untuk negara kepulauan, pasal 48 UNCLOS menyebutkan bahwa laut territorial diukur dari garis pangkal kepulauan. I.7.1.4. Perairan Pedalaman di dalam teluk Perairan pedalaman (Internal Waters) dijelaskan pada pasal 8 UNCLOS, dan teluk beserta garis penutup teluk dijelaskan secara lengkap pada pasal 10 UNCLOS tentang Teluk (Bays). Pasal 10 terdiri dari 6 ayat yang memuat mengenai teluk dan garis penutup teluk. Pengertian teluk dan penarikan garis penutup teluk menurut UNCLOS telah diadaptasi pemerintah Indonesia dalam beberapa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Hal ini dilakukan karena Indonesia telah meratifikasi UNCLOS dalam Undang Undang No 17 tahun 1985. 9 Menurut pasal 7 Undang Undang No 6 tahun 1996, perairan pedalaman tediri atas laut pedalaman dan perairan darat. Demikian bunyi lengkap pasal 7 : (1) Di dalam perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat menarik garis - garis penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan. (2) Perairan pedalaman terdiri atas : a. laut pedalaman; dan b. perairan darat. (3) Laut pedalaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah. (4) Perairan darat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai. I.7.1.4.1. Pengertian teluk UNCLOS memberi pengertian tentang teluk pada pasal 10 ayat (2) dengan bunyi “a bay is a well-marked indentation whose penetration is in such proportion to the width of its mouth as to contain land-locked waters and constitute more than a mere curvature of the coast. An indentation shall not, however, be regarded as a bay unless its area is as large as, or larger than, that of the semi-circle whose diameter is a line drawn across the mouth of that indentation”. Teluk menurut UNCOS adalah lekukan pantai yang apabila digambar garis penutup antara kedua mulutnya, luas perairan di dalam teluk lebih luas atau sama luas dengan setengah lingkaran yang memiliki dimater sepanjang garis penutup teluk. Dari pengertian teluk dalam UNCLOS dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu lekukan pantai sebagai teluk atau bukan teluk, dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama yaitu menentukan mulut teluk kemudian membuat garis yang menutup teluk. Tahap kedua mengukur panjang garis yang menutup teluk, kemudian membuat lingkaran dengan panjangan tersebut sebagai diameter. Tahap ketiga membagi dua lingkaran yang dimaternya sepanjang garis penutup teluk, 10 kemudian mengukur luasnya. Tahap keempat mengukur luas perairan yang berada di dalam garis penutup. Tahap terakhir adalah membandingkan antara luas perairan di dalam garis penutup teluk dan luas setengah lingkaran. Apabila luas perairan di dalam garis penutup teluk lebih luas atau sama luas, perairan tersebut dapat disebut sebagai teluk. Pengertian teluk menurut UNCLOS hanya digunakan sebagai acuan untuk menentukan batas maritim suatu negara. Pada kenyataannya, ada beberapa teluk di Indonesia yang tidak memenuhi syarat UNCLOS namun masuk dalam toponim teluk. Gambar I.2 menjelaskan perbedaan teluk yang diakui secara hukum internasional (teluk yuridis) dan teluk yang tidak sesuai syarat hukum internasional. Gambar I. 2. Teluk (Arsana, 2007) I.7.1.4.2. Garis penutup teluk UNCLOS pasal 10 ayat (4) menjelaskan bahwa garis yang menutup teluk tidak boleh lebih panjang dari 24 mil laut. Bunyi pasal 10 ayat (4) sebagai berikut “If the distance between the low-water marks of the natural entrance points of a bay does not exceed 24 nautical miles, a closing line may be drawn between these two lowwater marks, and the waters enclosed thereby shall be considered as internal waters”. Perairan yang berada di dalam garis penutup teluk dan sepanjang pantai dapat langsung didefinisikan sebagai perairan pedalaman setelah ditutupnya teluk. Apabila panjang garis penutup teluk lebih dari 24 mil laut, maka dipilih lekukan pantai di dalam teluk yangpanjangnya kurang dari atau sama dengan 24 mil laut. Hal ini sesuai dengan pasal 10 ayat (5) UNCLOS yang berbunyi “Where the 11 distance between the low-water marks of the natural entrance points of a bay exceeds 24 nautical miles, a straight baseline of 24 nautical miles shall be drawn within the bay in such a manner as to enclose the maximum area of water that is possible with a line of that length”. Garis penutup teluk dipilih pada lekukan pantai di dalam teluk sedemikian sehingga mendapat luas maksimum yang bisa diambil oleh suatu negara. Pemilihan luas maksimum dimaksudkan agar negara mendapat keuntungan seluas-luasnya. Cole (1997) menyebutkan jika ada pulau yang terletak di sisi dalam dari garis penutup teluk, pulau-pulau tersebut menjadi bagian dari perairan. Selain itu, jika dalam penarikan garis penutup teluk terhalang oleh pulau-pulau kecil, maka panjang teluk yang diukur adalah penjumlahan dari garis yang menghubungkan mulut teluk dan pulau-pulau. Diameter yang digunakan untuk membuat setengah lingkaran yang menjadi syarat adalah penjumlahan dari garis yang menghubungkan pulau-pulau. Pasal 10 ayat (3) mengatur mengenai peran pulau yang terletak di dalam teluk, dengan bunyi “For the purpose of measurement, the area of an indentation is that lying between the low-water mark around the shore of the indentation and a line joining the low-water mark of its natural entrance points. Where, because of the presence of islands, an indentation has more than one mouth, the semi-circle shall be drawn on a line as long as the sum total of the lengths of the lines across the different mouths. Islands within an indentation shall be included as if they were part of the water area of the indentation”. Pasal 10 ayat (3) dijelaskan dalam Gambar I.3. Dari Gambar I.3, panjang garis penutup untuk mengukur diameter adalah penjumlahan dari garis X, Y dan Z. Gambar I.3. Pulau di dalam teluk (Prescott dan Schofield, 2005) 12 I.7.1.4.3. Titik masuk alamiah dari teluk Pasal 10 ayat (3) UNCLOS menyebutkan untuk maksud pengukuran, yang digunakan adalah garis air rendah di sepanjang pantai dan garis air rendah pada pintu masuk alamiah. Penentuan titik yang digunakan sebagai mulut teluk atau pintu masuk alamiah menjadi penting karena digunakan sebagai titik awal pengukuran panjang garis penutup dan luas teluk. Suatu negara bebas menentukan titik masuk alamiah dari teluknya. Menurut Prescott dan Schofield (2005), garis biasanya akan digambarkan sejauh mungkin menuju ke laut. Pemilihan garis agar mendapat panjang maksimal dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi negara. Dalam Cole (1997) disebutkan mulut teluk yang dipilih adalah tanjung yang terletak di salah satu sisi teluk menuju tanjung di sisi yang lain. Ada dua cara menentukan natural entrance points atau titik masuk alamiah, cara pertama dikembangkan oleh Shalowitz, dan cara kedua dikembangkan oleh Hodgson dan Alexander (Prescott dan Schofield, 2005). Cara pertama dengan menggambar garis lurus pada dua sisi mulut teluk yang dianggap mewakili arah pantai, disebut tangent. Perpotongan dari dua tangent pada salah satu mulut teluk akan membentuk sudut. Sudut yang terbentuk dibagi dua sama besar, disebut bisector of tangent, kemudian dicari perpotongan antara bisector of tanget dengan garis air rendah pada pantai sebagai titik masuk alamiah. Garis penutup teluk bermula pada titik masuk alamiah dari tanjung di salah satu sisi menuju titik masuk alamiah di sebrangnya. Cara pertama dijelaskan dalam Gambar I.4. Gambar I.4. Titik masuk alamiah dari teluk (Prescott dan Schofield, 2005) 13 Cara kedua yang dikembangkan Hodgson dan Alexander disebut 45-degree test. Cara kedua memiliki asumsi bahwa titik masuk diidentifikasikan pada sudut antara garis penutup teluk dan garis air rendah yang mewakili arah pantai. Jika sudut antara garis air rendah dan garis penutup teluk sebesar 45˚ atau lebih, titik masuk alamiah berada di mulut teluk yang tepat dan garis dapat langsung digunakan sebagai garis penutup teluk. Penjelasan mengenai cara yang disampaikan oleh Hodgson dan Alexander diilustrasikan dengan Gambar I.5. Hodgson dan Alexander dalam Cole (1997) menyatakan bahwa ada konfigurasi tertentu dari sebuah teluk yang menyebabkan 45-degree test tidak menghasilkan titik masuk alamiah yang tepat, dicontohkan pada Gambar I.6. Dalam Gambar I.6 titik A tidak sesuai dengan 45degree test dan yang sesuai adalah titik B. Namun demikian, titik A adalah tanjung yang benar sebagai mulut teluk. Gambar I.5. 45-degree test untuk menentukan mulut teluk (Prescott dan Schofield, 2005) Salah satu lembaga formal di Indonesia yaitu Dinas Hidro-Oseanografi (Dishidros) TNI AL mengadaptasi cara penentuan titik masuk alamiah dari Shalowitz. Dalam Setiyadi (2007) dijelaskan titik awal terletak pada tanjung yang berada di ujung pulau dan relaitif berhadapan dengan tanjung di ujung pulau lainnya. Penentuan titik awal dimulai dari membuat pelurusan (tangent) dari mulut teluk pada daerah kering, ditunjukkan dengan warna kuning pada peta laut. Garis bisector of tangent diluruskan hingga bertemu garis air rendah pada pantai, ditunjukkan dengan warna hijau pada peta laut. Kriteria penentuan titik awal yang digunakan oleh Dishidros lebih jelas dapat dilihat pada Gambar I.7. Prinsip dari pemilihan titik awal 14 oleh Setiyadi (2007) adalah membagi dua garis pelurusan agar ditemukan garis bisector of tangent. Pada tahap pelaksanaannya, Setiyadi (2007) menggunakan pembagian dari selisih kedua azimuth pelurusan Gambar I.6. 45-degree test yang tidak sesuai (Cole, 1997) Gambar I.7. Penentuan titik awal (Setiyadi, 2007) 15 Setiyadi (2007) menyebutkan ada beberapa permasalahan saat memilih ujung tanjung. Ujung ranjung dengan mudah di tentukan apabila ujung dari tanjung memiliki garis pantai yang cenderung lancip. Sedangkan dilapangan, bentuk dari ujung tanjung adalah tumpul. Kesulitan menentukan ujung bertambah karena sisi kanan dan sisi kiri (garis pantai) dari tanjung tidak satu garis. I.7.1.4.4. Teluk “Sejarah” (Historic Bays) Dari peraturan pasal 10 UNCLOS ayat (2), (4), dan (5) dapat diambil kesimpulan bahwa teluk sesuai UNCLOS memiliki dua syarat, yaitu : a. Panjang garis penutup teluk maksimal 24 mil laut b. Luas teluk lebih dari atau sama dengan luas setengah lingkaran dengan diameter sepanjang garis penutup teluk Apabila salah satu syarat tidak ditemukan pada suatu lekukan pantai menyerupai teluk, maka dibuat garis lain sedemikian sehingga kedua syarat terpenuhi. Jika kedua syarat tidak terpenuhi, maka suatu lekukan pantai tidak dapat dianggap teluk meskipun bentuknya menyerupai teluk. Meskipun demikian, pasal 10 ayat (6) memberikan pengecualian atas kedua syarat tersebut. Pasal 10 ayat (6) memberikan toleransi bagi teluk Sejarah (Historic Bays). Pasal 10 ayat (6) UNCLOS berbunyi “The foregoing provisions do not apply to socalled "historic" bays, or in any case where the system of straight baselines provided for in article 7 is applied”. IHO memberikan pengertian tentang Historic bays dalam Special Publication No.32 sebagai berikut : Historic bays are those over which the coastal state has publicly claimed and exercised jurisdiction and this jurisdiction has been accepted by other states. Historic bays need not match the definition of "bay" contained in the United Nations Convention on the Law of the Sea. Menurut IHO, teluk “Sejarah” adalah teluk yang telah diklaim dan dipublikasikan oleh suatu negara pantai dan negara pantai tersebut melaksanakan yurisdiksinya, dan yurisdiksi negara pantai atas teluk diterima oleh negara lain. Syarat teluk menurut UNCLOS belum tentu ada pada teluk Sejarah. Teluk Sejarah lebih kepada penamaan atas teluk yang memiliki nilai historis, berhubungan dengan sejarah masyarakat di sekitar, dan berbagai pertimbangan yang lain. 16 I.7.1.5. Perairan Indonesia I.7.1.5.1. Kedaulatan Indonesia atas laut Pada awalnya, Indonesia hanya memiliki laut sejauh 3 mil dari garis pantai pulau-pulau (Salam dkk, 2008). Perairan yang berada diluar 3 mil, meskipun menghubungkan pulau-pulau, adalah perairan Internasional, yang berarti bebas dilewati oleh kapal asing. Gambar I.8 menunjukkan pulau-pulau di Indonesia beserta batas laut yang bisa dikuasai Indonesia sebelum Deklarasi Djoeanda. Melalui Deklarasi Djoeanda, pada tahun 1957 Indonesia mengumumkan konsep Wawasan Nusantara yang memandang laut sebagai satu wilayah dengan daratan, sehingga perairan yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dianggap sebagai bagian dari Indonesia. Gambar I.8. Batas Maritim Indonesia Sebelum Deklarasi Djoeanda (Salam dkk, 2008) Pengumuman Pemerintah Indonesia mengenai Wawasan Nusantara mendapat protes keras dari Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda, dan New Zealand, tetapi mendapat dukungan dari Uni Soviet (waktu itu), dan Republik Rakyat Cina, Filipina, dan Ekuador (Salam dkk, 2008). Konsep Wawasan Nusantara, meskipun mendapat protes keras tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia. Melalui UNCLOS 1982, keinginan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan atas perairan dikabulkan dengan dicantumkannya pasal mengenai negara kepulauan, yaitu seluruh pasal yang tercantum dalam Bab IV mengenai Negara-negara Kepulauan 17 (Archipelagic States). Batas laut yang dikuasai Indonesia setelah Deklarasi Djuanda dan sesuai UNCLOS 1982 dapat dilihat pada Gambar I.9. Gambar I.9. Batas Maritim Indonesia setelah Deklarasi Djuanda dan sesuai UNCLOS 1982 (Salam dkk, 2008) Dalam Arsana (2007) disebutkan ada perbedaan antara kedaulatan (sovereignty) dan hak berdaulat (sovereign rights). Kedaulatan adalah kewenangan absolut untuk menjalankan kekuasaan terhadap wilayah atau masyarakat, sedangkan hak berdaulat adalah kewenangan suatu negara terhadap wilayah. Dalam wilayah kedaulatan sebuah negara, yang berlaku adalah hukum negara tersebut, sementara di wilayah yang menjadi hak kedaulatan, yang berlaku adalah hukum internasional. Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial. Pada wilayah yang menjadi zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen, Indonesia hanya memiliki hak berdaulat. Kedaulatan negara atas perairan kepulauan meliputi ruang udara, dasar laut, tanah dibawahnya, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (pasal 49 UNCLOS). Hal ini juga diungkapkan pada Undang Undang Republik Indonesia No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia pasal 4 yang berbunyi “Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. 18 I.7.1.5.2. Garis pangkal Indonesia Negara kepulauan seperti Indonesia diijinkan menarik garis pangkal kepulauan seperti yang tertuang dalam pasal 47 UNCLOS. Garis pangkal kepulauan menghubungkan pulau-pulau terluar di Indonesia. Pada daerah yang tidak bisa ditarik garis yang menghubungkan pulau terluar, garis pangkal yang digunakan adalah garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus (Pasal 5 UU No.6 tahun 1996). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa garis pangkal yang digunakan Indonesia adalah kombinasi dari garis pangkal kepulauan, garis pangkal normal, dan garis pangkal lurus. Sebelum Indonesia menarik garis pangkal, terlebih dahulu dilakukan penentuan titik pangkal. Titik pangkal/titik dasar adalah titik yang menjadi acuan dalam melakukan klaim maritim dalam menentukan batas maritim (Arsana, 2007). Garis pangkal lurus maupun garis pangkal kepulauan digambar dengan menghubungkan titik pangkal/titik dasar yang telah ditentukan. Indonesia membuat peraturan mengenai penarikan garis pangkal dalam Peraturan Pemerintah No.38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, yang telah direvisi dalam Peraturan Pemerintah No.37 tanun 2008. Koordinat geografis titik pangkal yang dilakukan di Indonesia dicantumkan pada lampiran PP No 38 tahun 2002 dan PP No 37 tahun 2008. Koordinat geografis adalah koordinat yang besarannya ditetapkan dalam derajat, menit, dan detik sudut pada sistem sumbu lintang dan bujur geografis. I.7.1.5.3. Perairan Kepulauan Indonesia Tahun 1996, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang Undang No.6 Tentang Perairan Indonesia. Pasal 2 Undang Undang tersebut menyatakan “Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”. Di dalam perairan kepulauan, negara lain diijinkan melintas asalkan yang dilalui adalah lintas damai (pasal 52 UNCLOS). Pengertian lintas damai (Innocent 19 Passage) sesuai pasal 19 UNCLOS yaitu navigasi oleh kapal asing yang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara. Penjelasan lengkap mengenai hak lintas damai dicantumkan dalam Bab 3 UNCLOS. Hak lintas damai juga dimiliki kapal asing di laut teritorial. Ada beberapa kegiatan perlintasan kapal yang tidak dianggap lintas damai menurut UNCLOS, diantaranya : a. Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB; b. Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun; c. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai; d. Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan Negara pantai; e. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal; f. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer; g. Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundangundangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara Pantai; h. Setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan ketentuan Konvensi ini; i. Setiap kegiatan perikanan; j. Kegiatan riset atau survei; k. Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai; l. Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas. I.7.1.5.4. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) UNCLOS pasal 53 ayat (1) menyebutkan “An archipelagic State may designate sea lanes and air routes thereabove, suitable for the continuous and expeditious passage of foreign ships and aircraft through or over its archipelagic waters and the 20 adjacent territorial sea”. Suatu Negara Kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. ALKI adalah jalur yang telah disiapkan pemerintah Indonesia bagi kapal asing yang akan melakukan lintas damai. Jalur ALKI adalah rangkaian garis yang dimulai dari laut teritorial menuju perairan kepulauan dan berakhir pada laut teritorial di sisi yang lain. Kapal asing diberikan toleransi sejauh 25 mil dari kedua sisi ALKI, sehingga lintasan kapal tidak boleh melebihi koridor yang telah disediakan tersebut. Apabila ditemukan pulau pada jarak kurang dari 25 mil laut dari rute ALKI, kapal asing tidak boleh berlayar dekat ke pantai kurang dari 10% yang dihitung antara tepi pantai dan titik terdekat ALKI. Peraturan demikian tidak hanya berlaku bagi kapal laut asing, namun juga bagi pesawat udara asing. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada pasal 53 UNCLOS. Jalur ALKI yang sudah ditetapkan Indonesia ada tiga, yaitu ALKI I, ALKI II, ALKI III. Ilustrasi mengenai masing-masing jalur ALKI dapat dilihat pada Gambar I.10. Soegiyono (2011) menyebutkan tiga cabang ALKI yang sudah ditetapkan pemerintah, yaitu: a) ALKI I i) ALKI I : Laut Cina Selatan – Laut Natuna – Selat Karimata – Laut Jawa dan Selat Sunda ke Samudra Hindia (atau sebaliknya) ii) ALKI I-A : (a) Dari Selat Singapura – Laut Natuna – Selat Karimata – Laut Jawa dan Selat Sunda ke Samudra Hindia(atau sebaliknya) atau (b) Melintasi Laut Natuna langsung ke Laut Cina Selatan (atau sebaliknya b) ALKI II Laut Sulawesi – Selat Makasar Laut Flores – Selat Lombok ke Samudra Hindia (atau sebaliknya) c) ALKI III (ii) ALKI III-A : Samudra Pasifik – Laut Maluku – Laut Seram – Laut Banda – Selat Ombai – Laut Sawu (aau sebaliknya) (iii) ALKI III-B : Samudra Pasifik – Laut Maluku – Laut Seram – Laut Banda – Selat Leti ke Laut Timor (sebaliknya) 21 (iv) ALKI III-C : Samudra Pasifik – Laut Maluku – Laut Seram – Laut Banda – Laut Arafuru (sebaliknya) (v) ALKI III-D : Samudra Pasifik – Laut Maluku – Laut Seram – Sela Ombai – Laut Sawu (timur Pulau Sawu) ke Samudra Hindia (sebaliknya) (vi) ALKI III-E : (a) Laut Sulawesi – Laut Maluku – Laut Seram – Selat Ombai; (b) Laut Sawu (barat/timur Pulau Sawu) sebaliknya, atau melintasi Laut Maluku dan (c) Laut Seram – Laut Banda – Selat Leti – Laut Timor ke Samudera Hindia, atau Laut Seram – Laut Banda – Laut Arafuru (sebaliknya). Gambar I.10. Tiga jalur ALKI (IMO ,1998 dalam Puspitawati, 2005) Menurut Soegiyono (2011), negara maju seperti Amerika Serikat (AS) belum meratifikasi UNCLOS, sehingga apabila kapal atau pesawat udara AS yang melintas ruang udara di atas perairan Indonesia masih berpedoman kepada aturan-aturan lama (Traditional Route for Navigation) dan tidak menikuti ALKI. I.7.1.5.5. Perbedaan kewenangan negara di Laut Teritorial, Perairan Pedalaman, dan Perairan Kepulauan Seperti yang telah dijelaskan, negara memiliki kedaulatan penuh pada tiga wilayah maritim yaitu laut teritorial, perairan pedalaman, dan perairan kepulauan. Kedaulatan yang berlaku di atas tiga wilayah maritim tersbut adalah kedaulatan penuh baik di dasar laut, bagian perairan, maupun ruang udara di atasnya seperti yang tercantum pada Undang Undang No 6 tahun 1996. Hal ini berarti negara kepulauan seperti Indonesia tidak hanya berhak mengatur lalu lintas pelayaran di 22 laut, tapi juga berhak mengatur alur penerbangan pesawat asing di atas tiga wilayah maritim tersebut. Tiga wilayah maritim yang berbeda, yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial memiliki peraturan yang berbeda pula. Dilihat dari letaknya dari garis pangkal, Laut Territorial adalah wilayah diluar garis pangkal hingga jarak maksimum 12 mil laut, perairan pedalaman berada di sisi dalam garis pangkal lurus hingga daratan, sedangkan perairan kepulauan berada di sisi dalam garis pangkal kepulauan sekaligus sebagai bagian air yang menghubungkan pulaupulau. Di dalam perairan kepulauan, negara kepulauan diijinkan membuat garis penutup sebagai batas antara perairan kepulauan dan perairan pedalaman. Hak lintas damai berlaku di laut teritorial dan perairan kepulauan, namun tidak berlaku di perairan pedalaman kecuali negara pantai memberikan ijin. Kapal asing tidak diijinkan melintas di perairan pedalaman, seperti yang tercantum dalam pasal 18 ayat (1) berikut : Passage means navigation through the territorial sea for the purpose of: (a) traversing that sea without entering internal waters or calling at a roadstead or port facility outside internal waters; or (b) proceeding to or from internal waters or a call at such roadstead or port facility. Dalam pasal 18 ayat (1) tersebut terulis bahwa kapal diijinkan melintasi laut teritorial tanpa memasuki perairan pedalaman. Ketentuan serupa juga berlaku di perairan kepulauan bagi negara kepulauan. Dalam lintas damai, seperti yang diterangkan pada pasal 18 ayat (1), kapal diijinkan masuk atau keluar dari perairan pedalaman. Namun, hak untuk masuk ke perairan pedalaman hanya berlaku bagi kapal asing yang telah mendapat ijin dari negara pantai. Negara diijinkan memberikan syarat khusus bagi kapal asing yang akan masuk ke perairan pedalaman maupun tempat berlabuh di tengah laut (roadsstead). Hal ini merupakan ketentuan yang tertulis di pasal 25 ayat (2) berikut : In the case of ships proceeding to internal waters or a call at a port facility outside internal waters, the coastal State also has the right to take the necessary steps to prevent any breach of the conditions to which admission of those ships to internal waters or such a call is subject. 23 Apabila ada kapal asing yang melakukan kejahatan sebelum masuk ke laut teritorial suatu negara, negara tersebut tidak meiliki hak untuk melakukan tindakan apapun terhadap kapal asing yang demikian, kecuali kapal asing tersebut masuk ke perairan pedalaman. Seperti yang tertulis dalam pasal 27 ayat (5) berikut : Except as provided in Part XII or with respect to violations of laws and regulations adopted in accordance with Part V, the coastal State may not take any steps on board a foreign ship passing through the territorial sea to arrest any person or to conduct any investigation in connection with any crime committed before the ship entered the territorial sea, if the ship, proceeding from a foreign port, is only passing through the territorial sea without entering internal waters. Pengecualian bagi ketentuan di atas adalah yang tercantum dalam Bab XII tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut (Protection and Preservation of the Marine Environtment) dan Bab V tentang zona ekonomi eksklusif. Perairan pedalaman adalah wilayah yang khusus karena dianggap setara dengan daratan. Dari berbagai peraturan yang tercantum dalam UNCLOS tersebut, dapat disimpulkan bahwa kapal asing tidak boleh masuk ke perairan pedalaman kecuali mendapat ijin khusus dari negara pantai. Namun bagi daerah yang sebelumnya bukan merupakan perairan pedalaman namun setelah ditutup garis pangkal lurus berubah menjadi perairan pedalaman, maka di dalam perairan tersebut berlaku hak lintas damai sebagaimana tertulis dalam pasal 8 ayat (2) berikut : Where the establishment of a straight baseline in accordance with the method set forth in article 7 has the effect of enclosing as internal waters areas which had not previously been considered as such, a right of innocent passage as provided in this Convention shall exist in those waters. I.7.2. Aspek teknis delimitasi batas maritim I.7.2.1. Garis pangkal (baselines) Garis pangkal adalah garis darimana batas terluar Laut Territorial dan zona laut negara pantai lainnya diukur (Johan, 2009). Menurut TALOS (Technical Aspect on the Law of the Sea, 2006) ada tiga tipe garis pangkal, yaitu garis pangkal normal, garis pangkal lurus, dan garis pangkal lurus kepulauan. TALOS adalah panduan mengenai berbagai aspek teknis terkait UNCLOS secara umum dan membahas 24 secara rinci yang terkait delimitasi batas maritim (Sumaryo dan Arsana, 2008). TALOS dibuat oleh tiga organisasi intenasional yaitu International Association of Geodesy (IAG), International Hydrographic Organization (IHO), dan International Oceanographic Commission (IOC). Sistem garis pangkal diilustrasikan dalam Gambar I.11. Gambar I.11. Perbedaan garis pangkal normal, garis pangkal lurus, dan garis pangkal kepulauan (Arsana, 2007) Garis pangkal lurus dapat berupa garis lurus, garis penutup sungai, garis penutup teluk, dan garis penutup instalasi pelabuhan. Masing-masing garis pangkal telah diatur dalam UNCLOS. Suatu negara diijinkan menggunakan garis pangkal yang paling sesuai dengan kondisi garis pantainya, dan diijinkan pula menggunakan kombinasi dari beberapa garis pangkal, sesuai dengan pasal 14 UNCLOS yang berbunyi “The coastal State may determine baselines in turn by any of the methods provided for in the foregoing articles to suit different conditions”. Jika suatu negara tidak menyatakan secara khusus garis pangkalnya maka dapat disimpulkan bahwa negara tersebut menggunakan garis pangkal normal, yaitu garis yang mengikuti bentuk garis pantai saat air laut surut (Sumaryo dan Arsana, 2008). Garis pangkal normal dijelaskan di pasal 5 UNCLOS “the normal baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State”. Garis pangkal normal adalah garis air rendah disepanjang pantai. 25 Garis pangkal lurus dijelaskan pada pasal 7 UNCLOS. Dalam TALOS disebutkan bahwa garis pangkal lurus didefinisikan sebagai garis lurus yang menghubungkan titik-titik di sepanjang pantai yang telah dipilih menurut kriteria pasal 7. Sesuai pasal 7 UNCLOS, garis pangkal lurus berupa garis penutup sungai dijelaskan pada pasal 9, garis penutup teluk dijelaskan pada pasal 10, dan garis penutup instalasi pelabuhan dijelaskan pada pasal 11. Garis pangkal kepulauan adalah garis yang hanya dimiliki negara kepulauan. Kriteria teknis untuk penggunaan garis pangkal kepulauan dijelaskan pada UNCLOS pasal 47, sedangan kriteria untuk negara kepulauan dijelaskan pada pasal 46. Menurut Prescott dan Schofield (2005) kunci dari penentuan garis pangkal adalah menentukan dimana letak garis air rendah. Dalam peta laut, garis air rendah biasa disebut dengan “kontur nol”, dan ditunjukkan dengan warna hijau. Garis pangkal harus dipublikasikan pada peta laut atau dengan daftar koordinat geografis (TALOS, 2006). Koordinat geografis adalah koordinat yang disebutkan dalam lintang dan bujur. Peta laut dan daftar koordinat geografis yang telah dibuat didaftarkan ke PBB untuk dipublikasikan ke negara-negara yang lain. I.7.2.2. Peta laut (Chart) Dari pasal 5 UNCLOS yang berbunyi “the normal baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State” diketahui ada dua aspek teknis yang penting saat penentuan garis batas laut. Pertama, pemilihan garis pantai yang sesuai sebagai dasar penarikan batas wilayah laut. Kedua, penggunaan peta laut dengan skala besar yang diakui negara pantai. Dalam TALOS disebutkan, peta laut adalah peta yang dibuat dengan tujuan khusus. Istilah peta laut (chart) yang digunakan dalam UNCLOS sesungguhnya adalah nautical chart yaitu peta yang dirancang khusus untuk keperluan navigasi di laut. Menurut Prescott (2010), perbedaan prinsip antara peta laut (chart) dengan peta lainnya adalah: 1. Chart khusus digunakan untuk navigasi 2. Chart digambar dengan sistem proyeksi Mercator karena sifatnya yang konform dan arah di peta tetap sama dengan arah sebenarnya di lapangan 26 3. Chart selalu diperbaharui dengan data terbaru secara terus menerus 4. Chart hanya sedikit menggambarkan fitur-fitur daratan, namun menggambarkan sangat detail fitur-fitur di laut termasuk fitur di dasar laut 5. Skala chart tidak seragam pada suatu lembar peta laut skala menengah dan skala kecil. Skala chart akan bertambah besar ke arah kutub. 6. Skala pada chart ditemui bersifat linier pada batas yang berupa garis lintang dari arah timur ke barat 7. Chart menggunakan meridian dan paralel tidak berbentuk grid 8. Chart lebih banayak menggunakan titik-titik kedalaman (spot depths) dibanding kontur untuk menampilkan informasi kedalaman dasar laut 9. Chart juga menggambarkan daerah pantai 10. Chart memiliki tabel konversi untuk ukuran feet, fathom dan meter Peta Laut di Indonesia dikeluarkan oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut (Dishidros TNI AL). Dishidros TNI AL sendiri telah diakui sebagai perwakilan dari Indonesia oleh IHO sesuai yang dikutip dari situs resmi IHO, http://iho.int/. Sumaryo dan Arsana (2008) menyebutkan pembuatan dan pengeluaran peta laut harus memenuhi berbagai standar yang dikeluarkan oleh IHO dan juga perangkat teknis dan hukum lainnya yang relevan. Pasal 75 UNCLOS berbunyi “The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list with the Secretary-General of the United Nations”. Dari pasal 75 tersebut diketahui bahwa negara pantai harus mengumumkan peta dan daftar koordinat geografisnya. Peta dan daftar koordinat tersebut didepositkan kepada Sekretaris Jendral PBB sekaligus untuk mendapat pengakuan dari negara lain. I.7.2.3. Geoid dan elipsoid Geoid adalah bidang ekuipotensial gaya berat bumi (bidang nivo) yang berimpit dengan muka laut rata-rata (Prihandito, 2010). Bidang ekuipotensial merupakan bidang khayal yang bentuknya tidak teratur. Geoid digunakan sebagai referensi tinggi yang digunakan pada penentuan posisi vertikal. Elipsoid adalah bentuk yang digunakan untuk mewakili bentuk yang tidak beraturan dari geoid. Dalam TALOS disebutkan bahwa ellipsoid memiliki bentuk 27 gemetrik yang sederhana yang sangat dekat bentuknya dengan geoid. Perbandingan antara elipsoid dan geoid dalam dilihat pada Gambar I.12. Gambar I.12. Representasi geoid dan ellipsoid di sebagian permukaan bumi (adaptasi dari TALOS, 2006) I.7.2.4. Proyeksi peta Proyeksi Peta adalah metode penyajian permukaan bumi pada suatu bidang datar dari koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada elipsoid (Prihandito, 2010). Bumi yang berbentuk bulat didekatkan ke dalam bentuk yang dapat dilakukan perhitungan matematis, yaitu elipsoid atau bola. Peta adalah gambaran permukaan bumi pada bidang datar, sehingga perlu dilakukan suatu cara agar bumi yang didekatkan ke model bola ataupun elips menjadi datar. Proses untuk mendatarkan bumi itulah yang dimaksud dengan proyeksi peta. Dalam proyeksi peta dikenal istilah bidang datum dan bidang proyeksi. Menurut Prihandito (2010), bidang datum adalah bidang yang akan digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinat geografis/geodetiknya. Koordinat geografis adalah koordinat suatu titik di permukaan bumi dengan asumsi bumi berbentuk bola, sementara koordinat geodetik adalah koordinat suatu titik di permukaan bumi dengan asumsi bumi berbentuk elips. Koordinat geodetik maupun geografik dinyatakan dalam lintang (φ) dan bujur (λ). Bidang proyeksi adalah bidang 28 yang digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang mempunyai sistem koordinat absis (x) dan ordinatnya (y). Penyajian permukaan bumi menjadi bidang datar dapat dilakukan dengan berbagai cara. Prihandito (2010) menjelaskan proyeksi dapat berdasarkan pertimbangan ekstrinsik atau pertimbangan intrinsiknya. Pertimbangan ekstrinsik meliputi kriteria berdasarkan macam bidang proyeksi yang digunakan, persinggungan, atau posisi sumbu simetri. Berdasarkan bidang yang digunakan, ada tiga macam proyeksi yaitu azimutal (bidang datar), kerucut, dan silinder. Berdasar persinggungan, dikenal dua macam bidang proyeksi yaitu tangent (bersinggungan), secant (berpotongan), dan polysuperficial (banyak bidang proyeksi). Pertimbangan ekstrinsik yang terakhir adalah berdasar posisi sumbu simetri, yaitu transversal (tegak lurus), normal, dan miring. Pertimbangan intrinsik dibagi berdasarkan sifat asli yang dipertahankan dan berdasar generasi. Berdasar sifat asli yang dipertahankan ada dua macam proyeksi yaitu ekuivalen (sama luas), konform (sama sudutnya), dan ekuidistan (sama jarak). Berdasar generasi, dikenal tiga criteria proyeksi yaitu geometris (proyeksi persepektif), matermatis (berdasar perhitungan), dan semi geometris. Siregar (1998) dalam Setiyadi (2007) menyebutkan sistem proyeksi yang digunakan dalam pemetaan laut di Indonesia ada dua, yaitu Merkator (Mercator) dan UTM (Universal Transverse Mercator). Sistem proyeksi Merkator digunakan pada peta-peta navigasi, ZEE, garis pangkal, ALKI, batimetri GEBCO, dan sebagian peta khusus militer. Sistem proyeksi UTM dipakai pada peta-peta lingkungan pantai, lingkungan laut, dan sebagian peta khusus militer. I.7.2.4.1. Universal Transverse Mercator (UTM) Proyeksi UTM adalah proyeksi permukaan bumi dengan bidang proyeksi yang digunakan silinder, yang mempertahankan sudut di peta sama dengan sudut sebenarnya (konform). Sumbu simetri pada proyeksi UTM berada pada bidang ekuator atau tegak lurus dengan sumbu bumi. Bumi berpotongan pada bidang proyeksi (secant) pada dua meridian standar. Pada proyeksi UTM bumi dibagi menjadi 60 zone dengan lebar masing masing zone 6˚. Zone nomor satu dimulai dari 29 daerah di permukaan bumi dibatasi meridian 180˚-174˚ BB, dilanjutkan zone selanjutnya menuju ke timur. (Prihandito, 2010). I.7.2.4.2. Merkator (Mercator) Proyeksi merkator adalah proyeksi permukaan bumi dengan bidang proyeksi yang digunakan berupa silinder, dan posisi sumbu simetri berimpit dengan sumbu bumi (normal). Meredian bumi tergambar sebagai garis lurus yang berjarak sama sedangkan paralel tergambar sebagai garis lurus yang memiliki jarak makin pendek bila mendekati ekuator. Hal ini disebabkan silinder menyinggung permukaan bumi (tangent) di ekuator. Semakin menjauhi ekuator, distorsi/perubahan-perubahan semakin besar, dengan demikian kutub tidak dapat tergambarkan karena letaknya tak terhingga. Garis grid dalam proyeksi merkator dinyatakan dalam kilometer sebearnya (Prihandito, 2010). I.7.2.5. Satuan TALOS telah memberikan satuan baku dalam penentuan batas maritim. Dalam TALOS dituliskan bahwa satuan yang digunakan terdiri dari satuan jarak dan satuan luas. Untuk mencari jarak, satuan yang digunakan adalah mil laut internasional (M). Satu mil laut internasional nilainya sama dengan 1852 meter (1,852 km), atau setara dengan panjang satu menit busur meridian geografik pada sekitar lintang 44˚. Semakin mendekati ekuator, panjang 1˚ semakin besar. Panjang 1˚ di ekuator sama dengan 111,322 km (Prihandito, 2010). Bila dikonversi, satu menit di ekuator nilainya 1,855 km. Meskipun satuan untuk panjang adalah mil laut, satuan luas bukan mil laut persegi (M²) melainkan kilometer persegi (km²). I.7.2.6. Penentuan Luas dan Penghitungan Panjang Garis Panjang garis yang didapat dari peta adalah jarak antara dua titik yang diketahui koordinatnya. Untuk menghitung jarak digunakan rumus jarak dari data koordinat sebagai berikut (Gutama dkk, 2011) : Dimana : d = jarak antara kedua titik X1, Y1 = koordinat titik pertama 30 X2, Y2 = koordinat titik kedua Luas diatas peta dapat dihitung dengan dua cara, yaitu cara grafis dan cara numeris. Penghitungan luas dengan cara grafis dilakukan apabila pada gambar hanya diketahui skalanya, tanpa dilengkapi data lain seperti angka ukur, dan lain lain. Penghitungan luas dengan cara numeris dapat dilakukan dengan memakai koordinatkoordinat atau angka-angka ukur yang diketahui yang diketahui (Basuki, 2006). Penghitungan luas pada penelitian ini dilakukan menggunakan cara numeris dengan memakai koordinat karena koordinat-koordinat batas yang akan dicari luasnya telah diketahui. Misal penghitungan luas pada areal yang dibatasi titik-titik A, B, C, D yang diketahui koordinatnya pada Gambar I.13 berikut A(X1, Y1), B(X2, Y2), C(X3, Y3), D(X4, Y4). Y B C A D X A1 B1 D1 C1 Gambar I.13. Luasan dengan angka koordinat (Basuki, 2006) Maka luas ABCD dapat dicari menggunakan rumus berikut (Basuki, 2006) : ……………..… (2) ……………….. (3) ………………………………………….. (4) Disederhanakan menjadi : Apabila gambar diproyeksikan ke dalam sumbu – Y, maka akan menjadi : ………………………………………..… (5) 31 Kedua rumus diatas dapat disederhanakan menjadi : …………………………………………..………. (6)