BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam penerapan pembelajaran

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT diharapkan para
guru memiliki pemahaman yang tepat terhadap tipe tersebut dalam membantu
proses belajar. Oleh karena itu, perlu pemahaman akan pokok-pokok bahasan
berikut.
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hasil Belajar Matematika
2.1.1.1 Hakikat Matematika
Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani “Mathematikos” secara
ilmu pasti, atau “Mathesis” yang berarti ajaran, pengetahuan abstrak dan deduktif,
dimana kesimpulan tidak ditarik berdasarkan pengalaman keindraan, tetapi atas
kesimpulan yang ditarik dari kaidah–kaidah tertentu melalui deduksi (Suherman,
2004: 4).
Pembelajaran Matematika akan menuju arah yang benar dan berhasil
apabila kita mengetahui karakteristik yang dimiliki Matematika. Matematika
memiliki karakteristik tersendiri baik ditinjau dari aspek kompetensi yang ingin
dicapai, maupun dari aspek materi yang dipelajari untuk menunjang tercapainya
kompetensi. Ditinjau dari aspek kompetensi yang ingin dicapai, Matematika
menekankan penguasaan konsep dan algoritma serta keterampilan memecahkan
masalah. Ditinjau dari aspek materi yang dipelajari, ruang lingkup mata pelajaran
Matematika meliputi:
Aljabar, Geometri, Logika Matematika, Peluang, dan
Statistika (Suherman, 2007).
Matematika menurut Ruseffendi (Suherman, 2007) adalah bahasa symbol,
ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola
keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak
didefinisikan, ke aksioma atau postulat dan akhirnya ke dalil.
Menurut H.W. Fowler (Suyitno, 2004) matematika adalah ilmu yang
mempelajari tentang bilangan dan ruangan yang bersifat abstrak.
6
7
Matematika sebagai ilmu mengenai struktur dan hubungan-hubungannya,
simbol-simbol
diperlukan.
Simbol-simbol
itu
penting
untuk
membantu
memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang di terapkan (Suherman, 2007).
2.1.1.2 Definisi Belajar
Manusia sebagai mahluk hidup yang mempunyai akal dan pikiran tidak
akan pernah berhenti dari proses belajar. Belajar secara sadar atau tidak telah
dilakukan manusia secara terus menerus untuk memenuhi segala kebutuhan akan
pengetahuan.
Berikut ini pendapat tentang pengertian belajar:
1. Belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan seseorang yang dicapai
melalui upaya yang dilakukan dan perubahan itu bukan diperoleh secara
langsung dari proses pertumbuhan dirinya secara alamiah (Gagne dalam
Slameto, 2003).
2. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada individu berkat
adanya interaksi antara individu dengan individu dan lingkungannya
sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya (Burton
W. H dalam Usman 1994:4).
3. Belajar adalah suatu proses dimana ditimbulkan atau diubahnya suatu
kegiatan karena mereaksi dengan keadaan (Hilgard E.R dalam Usman 1994:
5).
4. Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri
sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan
kepribadian atau suatu pengertian (Witherington H. C. dalam Usman 1994:5).
Dari berbagai pendapat mengenai belajar tersebut, dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku dan kemampuan seseorang karena
bereaksi dengan keadaan. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah
laku atau kecakapan manusia. perubahan tingkah laku ini bukan disebabkan oleh
proses pertumbuhan yang bersifat fisiologis atau proses kematangan. Perubahan
yang terjadi karena belajar dapat berupa perubahan-perubahan dalam kebiasaan,
kecakapan-kecakapan atau dalam ketiga aspek yakni pengetahuan, sikap, dan
keterampilan. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam
8
keseluruhan proses pendidikan. Hal ini mengandung arti, bahwa berhasil
tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana
proses belajar yang dialami oleh peserta didik atau siswa.
Belajar bukan merupakan tujuan melainkan suatu proses untuk mencapai
tujuan, jadi belajar merupakan langkah-langkah atau prosedur yang ditempuh
(Hamalik, 2001) sehingga dapat dikatakan belajar sebagai suatu kegiatan yang
berproses
dan
merupakan
unsur
yang
sangat
penting
dalam
setiap
penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Hal ini berarti bahwa
berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu tergantung dari proses
yang dialami siswa, baik ketika di sekolah, lingkungan rumah atau keluarga.
2.1.1.3 Definisi Hasil Belajar
Menurut Nana Sudjana hasil belajar adalah suatu akibat dari proses
belajar dengan menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun
secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Adapun
Nasution (2003: 22) berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan
pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga
membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar.
Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi
tertentu
dari
mata
pelajaran
yang
berupa
data
kuantitatif
maupun
kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa
yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi
atau belum. Hasil belajar dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian (formatif),
nilai ulangan tengah semester (Sub sumatif), dan nilai ulangan semester
(sumatif).
Menurut Subiyanto (2008), hasil belajar adalah sesuatu yang digunakan
untuk menilai hasil pelajaran yang telah diberikan kepada siswa dalam waktu
tertentu. Menurut Sutrisno (2008), hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki
siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.
Selanjutnya Tonga (2011), secara umum hasil belajar dapat diartikan
sebagai suatu hasil pekerjaan yang telah dicapai dengan usaha atau diperoleh
dengan jalan keuletan bekerja yang dapat diukur dengan alat ukur yang disebut
9
dengan tes. Hasil belajar menurut Sudjana (2006: 22) adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.
2.1.1.4 Ranah Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Good (Poerwadarminto, 2001) adalah pencapaian
atau kecakapan yang dinampakkan dalam suatu keahlian atau sekumpulan
pengetahuan. Dalam hal ini pengetahuan yang dicapai atau keterampilan yang
dikembangkan dalam mata pelajaran di sekolah, biasanya ditetapkan dengan nilai
tes atau ujian yang diberikan oleh guru. Adapun pengetahuan yang dicapai atau
keterampilan yang dikembangkan tersebut meliputi:
a. Ranah kognitif, seperti informasi dan pengetahuan, konsep dan prinsip,
pemecahan masalah dan kreativitas.
b. Ranah afektif, seperti perasaan, sikap, nilai dan integritas pribadi.
c. Ranah psikomotorik.
Sedangkan Sudiro (Hamalik, 2004:26) berpendapat bahwa hasil belajar
adalah perubahan perilaku menuju perkembangan yaitu hasilnya dicapai oleh
siswa terhadap perubahan tingkah laku dalam kaitanya dengan bahan yang
dipelajari. Jadi hasil belajar adalah keberhasilan yang yang dicapai dalam
penguasaan pengetahuan dan keterampilan, yang biasanya ditunjukkan dengan
nilai yang berupa angka.
Koster dalam Sardiman (2006) menyatakan bahwa hasil belajar adalah
kegiatan pengajaran yang terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa di
mana guru memegang peranan yang menentukan keberhasilan proses belajar
mengajar tersebut, sehingga siswa memperoleh pengetahuan yang terwujud
dalam bentuk prestasi belajar siswa (kognitif) maupun konsep diri siswa seperti
sikap, watak, dan kepribadian siswa.
Suryasubrata (2008) menyatakan hasil belajar diwujudkan dengan nilai,
baik dengan menggunakan lambang A, B, C, D dan E untuk menunjukkan nilai
kelakuan, kerajinan, kerapian dan kegiatan ekstrakurikuler. Untuk penilaian
kemampuan atau prestasi dalam mata pelajaran digunakan skala angka 0 sampai
10.
10
2.1.1.5 Definisi Hasil Belajar Matematika
Cara mengetahui hasil belajar siswa, guru dapat melakukan
dengan
berbagai cara salah satunya adalah dengan melakukan evaluasi dan tes. Evaluasi
pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjamin, dan penetapan mutu
pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang
dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggara
pendidikan (UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas). Ulangan adalah proses
yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara
berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan
perbaikan hasil belajar peserta didik.
Hasil belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah
melaksanakan usaha-usaha belajar. Jadi hasil belajar adalah hasil yang diperoleh
seseorang dari proses belajar yang telah dilakukannya. Hasil belajar diwujudkan
dari hasil penilaian belajar; baik peniliaian kualitatif naupun hasil penilaian
kuantitatif yang terangkum dalam buku laporan pendidikan (rapor).
Berdasarkan pendapat tersebut maka definisi hasil belajar matematika
dalam penelitian ini mengacu pada definisi hasil belajar sebagai penilaian hasil
usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf
maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap
anak dalam periode tertentu. Jadi hasil belajar matematika merupakan taraf
sejauhmana keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah kegiatan proses
pembelajaran matematika.
2.1.2 Hakikat Pembelajaran Matematika di SD
Pembelajaran Matematika menurut Permendiknas 22 Tahun 2006
berfungsi
untuk
mengembangkan
kemampuan
berkomunikasi
dengan
menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran yang dapat
membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari. Simbol-simbol itu penting untuk membantu memanipulasi aturanaturan dengan operasi yang ditetapkan. Simbolisasi menjamin adanya
komunikasi dan mampu memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep
baru. Konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep
11
sebelumnya, sehingga matematika itu konsep-konsepnya tersusun secara hirarkis.
Dengan demikian simbol-simbol itu dapat digunakan untuk mengkomunikasikan
ide-ide secara efektif dan efisien. Agar simbol-simbol itu berarti, kita harus
memahami ide yang terkandung di dalam simbol tersebut. Karena itu hal
terpenting adalah bahwa itu harus dipahami sebelum ide itu disimbolkan.
Pembelajaran matematika yang diajarkan di SD merupakan matematika
sekolah yang terdiri dari bagian-bagian matematika yang dipilih guna
menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi anak
serta berpedoman kepada perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hal
ini menunjukkan bahwa matematika SD tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki
matematika, yaitu: (1) memiliki objek kajian yang abstrak (2) memiliki pola pikir
deduktif konsisten Suherman (2007: 55).
Matematika sebagai studi tentang objek abstrak tentu saja sangat sulit
untuk dapat dipahami oleh siswa-siswa SD yang belum mampu berpikir formal,
sebab orientasinya masih terkait dengan benda-benda konkret. Teori Piaget
menyatakan bahwa anak usia 6-12 memiliki kecenderungan untuk belajar
mengenai struktur dan hubungan-hubungannya, simbol-simbol diperlukan.
Simbol-simbol itu penting untuk membantu memanipulasi aturan-aturan dengan
operasi yang diterapkan. Mengingat pentingnya matematika untuk siswa-siswa
usia dini di SD, perlu dicari suatu cara mengelola proses belajar-mengajar di SD
sehingga matematika dapat dicerna oleh siswa-siswa SD. Disamping itu,
matematika juga harus bermanfaat dan relevan dengan kehidupannya, karena itu
pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar harus ditekankan pada
penguasaan keterampilan dasar dari matematika itu sendiri. Keterampilan yang
menonjol adalah keterampilan terhadap penguasaan operasi-operasi hitung dasar
(penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian).
Untuk itu dalam pembelajaran matematika terdapat dua aspek yang perlu
diperhatikan, yaitu: (1) matematika sebagai alat untuk menyelesaikan masalah,
dan (2) matematika merupakan sekumpulan keterampilan yang harus dipelajari.
Karena itu dua aspek matematika yang dikemukakan di atas, perlu mendapat
perhatian yang proporsional (Syamsuddin, 2003: 11). Konsep yang sudah
12
diterima dengan baik dalam benak siswa akan memudahkan pemahaman konsepkonsep berikutnya. Untuk itu dalam penyajian topik-topik baru hendaknya
dimulai pada tahapan yang paling sederhana ketahapan yang lebih kompleks, dari
yang konkret menuju ke yang abstrak, dari lingkungan dekat anak ke lingkungan
yang lebih luas.
Penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan mempertimbangkan
kesinambungan tujuan antara jenjang pendidikan yang lebih rendah ke jenjang
yang lebih tinggi. Pada mata pelajaran matematika manyajikan tujuan
instruksional sebagai berikut.
1. Siswa mampu menggunakan matematika sebagai alat untuk memecahkan
masalah atau soal yang mencakup : kemampuan memahami model
matematika, operasi penyelesaian model, dan penafsiran solusi model
terhadap masalah semula,
2. Menggunakan
matematika
sebagai
cara
bernalar
dan
untuk
mengkomunikasikan gagasan secara lisan dan tertulis, misalnya menyajikan
masalah ke bentuk model matematika.
Tujuan umum matematika pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar adalah
siswa mampu: (a). Melakukan operasi hitung : penjumlahan, pengurangan,
perkalian, pembagian, beserta operasi campurannya termasuk yang melibatkan
pecahan, (b). Menentukan sifat dan unsur suatu bangun datar dan bangun ruang
sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas dan volume, (c).
Menentukan sifat simetri, kesebangunan dan sistem koordinat, (d). Menggunakan
pengukuran, satuan, kesetaraan antar satuan, dan penaksiran pengukuran, (e).
Menentukan dan menafsirkan data sederhana seperti ukuran tertinggi, terendah,
rata-rata, modus, serta mengumpulkan dan menyajikan data.
13
2.1.2.1 Pembelajaran Matematika di SD
Pembelajaran matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan
tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan (kelas atau sekolah yang
memungkinkan kegiatan siswa belajar matematika di sekolah.
Matematika juga bersifat hirarkis, yaitu suatu materi merupakan
prasyarat untuk materi berikutnya. Untuk belajar Matematika hendaknya
berprinsip padahal-hal berikut (Nurhadi, 2003: 10).
1. Pengorganisasian isi (materi) matematika perlu memperhatikan urutan
(sequence) dalam pencapaian kompetensi dan pentahapan pemelajaran
(learning hierarchy) yang sistematis.
2. Mempertimbangkan
faktor
perkembangan
anak
didik
serta
proses
pembentukan kompetensi secara bertahap.
Ciri utama Matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu
pernyataan diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan
antar pernyataan dalam Matematika bersifat konsisten. Namun demikian,
pembelajaran dan pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif melalui
peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk
mempelajari konsep Matematika. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa
contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai
gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan
secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat
digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari Matematika.
Penerapan cara kerja Matematika seperti ini diharapkan dapat membentuk sikap
kritis, kreatif, jujur, sistematis, logis dan komunikatif
pada siswa. Dengan
demikian diharapkan siswa akan memiliki kemampuan memperoleh, memilih
dan mengelola informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah, tidak
pasti dan kompetitif.
2.1.2.2 Karakteristik Pembelajaran Matematika di SD
Pembelajaran matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di
sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah. Menurut Suherman, dkk (2007:56) fungsi matematika sekolah adalah
14
sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Sedangkan tujuan
pembelajaran matematika sekolah di Indonesia sesuai ketetapan pemerintah
melalui BSNP, bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai
berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah;
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Karakteristik pembelajaran matematika di SD siswa diarahkan untuk
memahami dan menguasai konsep, dalil, teorema, generalisasi, dan prinsipprinsip matematika secara menyeluruh. Sementara melalui efek iringan, mereka
diharapkan mampu berpikir logis, kritis, dan sistematis (Suherman dkk,
2007:300).
2.1.2.3 Karakteristik Siswa SD
Pembelajaran matematika di Sekolah Dasar merupakan salah satu bidang
pengajaran yang membutuhkan kekhususan dalam strategi pembelajaran karena
matematika adalah ilmu yang bersifat abstrak. Menurut teori Jean Piaget
mengatakan bahwa kemampuan intelektual anak berkembang secara bertingkat
atau bertahap, yaitu:
a. Sensori motor (0-2 tahun)
b. Pra operasional (2-7 tahun)
15
c. Operasional kongkrit (7-11 tahun)
d. Operasional lebih dari 11 tahun
Teori ini merekomendasikan perlunya mengamati perkembangan
intelektual anak sebelum suatu bahan pembelajaran matematika diberikan
terutama untuk menyesuaikan "keabstrakan" bahan matematika dengan
kemampuan berfikir abstrak anak pada saat itu.Piaget juga menyatakan bahwa
setiap makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
situasi lingkungan.
Berdasarkan
jenjang
dan
karakteristik
perkembangan
intelektual
anak seusia siswa SD maka penyajian konsep dan keterampilan dalam
pembelajaran matematika harus dimulai dari nyata (konkrit) ke abstrak; dari
mudah ke sukar; dari sederhana ke rumit, dan dari dekat ke jauh. Dengan kata
lain, mulailah dari apayang ada pada/di sekitar siswa dan yang dikenal, diminati
serta diperlukan siswa. Secara psikologis, anak usia SD berada dalam dunia
bermain. Tugas guru adalah menciptakan dan mengoptimalkan suasana bermain
tersebut dalam kelas sehingga menjadi media yang efektif untuk membelajarkan
siswa dalam matematika.
Dalam pembelajaran matematika, Bruner (1982) menyatakan pentingnya
tekanan pada kemampuan peserta didik dalam berfikir
intuisif dan analistik
(pattern) dan hubungan/keterkaitan (relation). Pembaharuan proses ini dari
proses drill and practice ke proses bermakna, dan dilanjutkan proses berfikir
analitik, merupakan usaha luar biasa untuk meningkatkan mutu pembelajaran
matematika.
Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa
Sekolah dasar adalah mempelajari setiap konsep secara bertahap untuk
mendapatkan
pengertian,
hubungan-hubungan
mengaplikasikan konsep-konsep ke situasi yang baru.
simbol-simbol,
kemudian
16
2.1.3 Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT)
2.1.3.1 Hakikat Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja
sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu
tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Menurut
Suherman dkk (2007:260) cooperative learning menekankan pada kehadiran
teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya sebagai sebuah tim dalam
menyelesaikan atau membahas suatu masalah atau tugas.
Menurut Suherman dkk (2007:260) ada beberapa hal yang perlu dipenuhi
dalam cooperative learning agar lebih menjamin para siswa bekerja secara
kooperatif, hal tersebut meliputi: pertama para siswa yang tergabung dalam suatu
kelompok harus merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim dan
mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai. Kedua para siswa yang tergabung
dalam sebuah kelompok harus menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi
adalah masalah kelompok dan bahwa berhasil atau tidaknya kelompok itu akan
menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok itu. Ketiga
untuk mencapai hasil yang maksimum, para siswa yang tergabung dalam
kelompok itu harus berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang
dihadapinya.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan
sengaja mengembangkan interaksi yang saling asuh antar siswa untuk memahami
materi pelajaran. Unsur-unsur pembelajaran kooperatif paling sedikit ada empat
macam yakni (Fatkhurrohman, 2004: 78):
1. Saling ketergantungan positif, artinya dalam pembelajaran kooperatif, guru
menciptakan
suasana
yang
mendorong
agar
siswa
merasa
saling
membutuhkan antar sesama. Dengan saling membutuhkan antar sesama,
maka mereka merasa saling ketergantungan satu sama lain;
2. Interaksi tatap muka, artinya menuntut para siswa dalam kelompok dapat
saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya
dengan guru, tetapi juga dengan sesama siswa. Dengan interaksi tatap muka,
memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar, sehingga
17
sumber belajar menjadi variasi. Dengan interaksi ini diharapkan akan
memudahkan dan membantu siswa dalam mempelajari suatu materi.
3. Akuntabilitas
individual,
artinya
meskipun
pembelajaran
kooperatif
menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok, tetapi penilaian dalam
rangka mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap suatu materi pelajaran
dilakukan secara individual. Hasil penilaian secara individual tersebut
selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua anggota
kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan
siapa anggota kelompok yang dapat memberikan bantuan
4. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi, artinya, melalui pembelajaran
kooperatif akan menumbuhkan keterampilan menjalin hubungan antar
pribadi. Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran kooperatif menekankan
aspek-aspek: tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan
bukan mengkritik orangnya, berani mempertahankan pikiran logis, tidak
mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat positif lainnya.
Menurut Ibrahim (2008 : 6), pembelajaran kooperatif memiliki sejumlah
karakteristik tertentu yang membedakan dengan model-model pembelajaran
lainnya antara lain:
1. siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi
belajarnya.
2. kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan
rendah.
3. bila memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis
kelamin berbeda-beda.
4. penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu.
Terdapat enam langkah-langkah kooperatif, dimulai dengan guru
menyampaikan tujuan pembelajaran dan motivasi siswa untuk belajar. Fase ini
diikuti oleh penyajian informasi, seringkali dengan bahan bacaan daripada secara
verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahapan ini
diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan
tugas bersama mereka. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi fersentasi
18
hasil kerja kelompok atau evaluasi tentang apa tang telah mereka pelajari dan
memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Adapun
langkah-langkah model pembelajaran kooperatif dapat di lihat pada table berikut.
2.1.3.2 Definisi Numbered Head Together (NHT)
NHT merupakan pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap kelas
tradisional (Slavin, 2003: 34). NHT yang dikembangkan oleh Spencer Kagan
melibatkan banyak siswa dalam menelaah materi dalam suatu pelajaran dan
mengecek pemahaman terhadap isi materi yang dipelajari tersebut.
Pembelajaran
kooperatif
tipe
NHT
merupakan
salah
satu
tipe
pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang
untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk
meningkatkan penguasaan akademik. Tipe ini dikembangkan oleh Kagen
(Ibrahim, 2001: 28) dengan melibatkan para siswa dalam menelaah bahan yang
tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi
pelajaran tersebut. Ibrahim (2008: 29) mengemukakan tiga tujuan yang hendak
dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu:
1.
Hasil belajar akademik stuktural
Bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
2.
Pengakuan adanya keragaman
Bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai
berbagai latar belakang.
3.
Pengembangan keterampilan sosial
Bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan
yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai
pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam
kelompok dan sebagainya.
19
2.1.3.3. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Penerapan pembelajaran kooperatiftipe NHT merujuk pada konsep Kagen
(dalam Ibrahim, 2008: 28) dengan tiga langkah yaitu:
1. Pembentukan kelompok
2. Diskusi masalah
3. Tukar jawaban antar kelompok.
Menurut
Muslimin
Ibrahim,
dkk
(2008:27-28)
tahapan
dalam
pembelajaran kooperatiftipe NHT antara lain yaitu penomoran, mengajukan
pertanyaan, berfikir bersama, dan menjawab.
1.
Tahap 1: Penomoran
Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggotakan 3-5 orang dan setiap
anggota kelompok diberi nomor 1-5, berguna untuk memudahkan dalam
memanggil siswa dengan penomoran kepala.
2.
Tahap 2: Mengajukan pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa.
Pertanyaan dapat
bervariasi. Pertanyaan dapat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya atau
bentuk arahan.
3.
Tahap 3: Berpikir bersama,
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan
meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban itu.
4.
Tahap 4: Menjawab
Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa yang
nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab
pertanyaan untuk seluruh kelas.
20
Tabel 2
Sintak Pembelajaran kooperatif tipe NHT menurut Slavin (2003: 34)
NO
Fase
Kegiatan
1
Penomoran
Guru membagi siswa ke dalam
kelompok beranggotakan 5 orang dan
setiap anggota kelompok diberi
nomor 1-5
2
Mengajukan pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan
kepada siswa. Pertanyaan dapat
bervariasi. Pertanyaan dapat spesifik
dan dalam bentuk kalimat tanya atau
bentuk arahan.
3
Berpikir bersama
Siswa menyatukan pendapatnya
terhadap jawaban pertanyaan itu dan
meyakinkan tiap anggota dalam
timnya mengetahui jawaban itu.
4
Menjawab
Guru memanggil siswa dengan
nomor tertentu, kemudian siswa yang
nomornya sesuai mengacungkan
tangannya dan mencoba untuk
menjawab pertanyaan untuk seluruh
kelas.
Tabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)
Penomoran:
Guru membagi siswa dalam kelompok yang beranggotakan 5
orang dan kepada setiap anggota diberi nomor 1-5. Siswa bergabung engan
anggotanya masing-masing
2)
Mengajukan pertanyaan: Guru mengajukan pertanyaan berupa tugas
untuk mengerjakan soal-soal di LKS.
3)
Berpikir bersama: Siswa berpikir bersama dan menyatukan pendapatnya
terhadap jawaban pertanyaan dalam media pembelajaran tersebut dan
meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tersebut.
21
4)
Menjawab: Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa
yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk
menjawab pertanyaan atau mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
untuk seluruh kelas. Kelompok lain diberi kesempatan untuk berpendapat
dan bertanya terhadap hasil diskusi kelompok tersebut.
Berdasarkan langkah-langkah NHT menurut Slavin, sintak dalam penelitian
ini sama dengan sintak pembelajaran NHT menurut Slavin. Berikut sintak
pembelajaran NHT berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar
Proses. Berikut Tabel 3 sintak pembelajaran NHT berdasarkan standar proses.
Tabel 3
Pemetaan Sintak Pembelajaran NHT
dalam Standar Proses dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007
N
Sintak NHT
Pendahuluan
o
1
Penomoran
2
Mengajukan
Kegiatan Inti Pembelajaran
Eksplorasi
Elaborasi
Penutup
Konfirmasi
an
√
Berpikir
secara lisan
dari
√
Menjawab
materi
yang sudah
Bersama
4
dan
merangkum
√
Pertanyaan
3
Menyimpulk
√
dipelajari
Menutup
pelajaran
dengan
salam
doa
Dalam pembelajaran NHT, terdiri dari 4 tahap dimulai dengan guru
membagi siswa dalam kelompok dimana setiap anggota kelompok diberi nomor
dan diakhiri dengan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru.
dan
22
Tabel 4
Implementasi Pembelajaran NHT
dalam Standar Proses sesuai dengan Permendiknas No. 41 Tahun 2007
Sintak NHT
Langkah dalam
Kegiatan Guru
Standar Proses
Penomoran
Kegiatan Awal
Guru membagi siswa menjadi 4 kelompok,
dimana setiap anggota kelompok dibagikan
topi bernomor dan berwarna.
Mengajukan
Eksplorasi
Pertanyaan
Berpikir
Guru melakukan tanya jawab tentang materi
yang akan disampaikan
Elaborasi
Bersama
Siswa
berdiskusi
kelompok
dalam
mengerjakan soal dalam LK yang diberikan
guru.
Menjawab
Konfirrmasi
Siswa
terpilih mengerjakan
diberikan
guru
di
papan
soal
yang
tulis
tanpa
membawa LK, selanjutnnya guru bersama
siswa membahas soal yang sudah dijawab
oleh siswa terpilih.
Penutup
Guru bersama siswa menyimpulkan dan
merangkum seara lisan dari materi yang
sudah dipelajari, menyampaikan materi yang
akan
dipelajari
selanjutnya,
menutup
pembelajaran dengan salam dan berdoa.
2.1.3.4 Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif tipe NHT
Kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatiftipe NHT menurut
Slavin (2003: 37) adalah
1. Kelebihan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head together:
a. Setiap siswa menjadi siap semua
b. Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh
c. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai
23
d. Tidak ada siswa yang mendominasi dalam kelompok.
2. Kelemahan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together:
a. Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru
b. Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.
2.1.4. Penelitian Tindakan Kelas
2.1.4.1. Definisi Penelitian Tindakan Kelas
Konsep penelitian tindakan bermula dari pandangan seorang ahli
psikologi sosial yang bermana Kurt Lewin (1946). Lewin menggunakan
pendekatan penelitian tindakan setelah usainya perang dunia ke dua dalam usaha
menyelesaikan berbagai masalah sosial. Lewin pada saat itu mengemukakan dua
ide pokok penelitian tindakan yaitu; (1) keputusan bersama, dan (2) komitmen
untuk meningkatkan dan memperbaiki prestasi kerja. Kedua ide pokok tersebut
sekarang menjadi karakteristik dasar penelitian tindakan yang menegaskan
perlunya usaha kolaboratif atau usaha secara bersama-sama dalam meningkat
mutu prestasi kerja.
Pada tahun 1953, ide Lewin dikembangkan oleh Stephen Corey di New
York sebagai pendekatan penelitian yang diselenggarakan oleh guru-guru sekolah.
Pada Tahun 1976 Jhon Elliot menggunakan pendekatan ini untuk membantu guru
mengembangkan usaha inkuiri dalam pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas
yang kemudian dikenal dengan penelitian tindakan kelas (Wiriatmadja, 2008: 54).
Banyak ahli memberikan definisi tentang penelitian tindakan kelas (PTK)
berikut ini akan disajikan beberapa definisi PTK yang dikemukakan oleh para ahli
tersebut, Tim proyek PGSM (1999) mendefinisikan penelitian tindakan kelas
adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang
dilakukan untuk meningkatkan kemantaban rasional dari tindakan mereka dalam
melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang
dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut
dilakukan.
Mukhlis, Abdul dan Nur, Mohamad (2001) mendefinisikan penelitian
tindakan kelas sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat sistematis dan siklustis.
24
Kemis, Stephen dalam D. Hopkins (1992) mendefinisikan penelitian
tindakan kelas adalah ‘action research is a form of self reflective inquiry
undertaken by participants in a social (including educational) situation inorder to
improve the rationality and justice of (a) their own social or educational pratices,
(b) their understanding of these practices, and (c) the situations in which
practices are carried out’ (penelitian tindakan adalah suatu bentuk penelaahan
atau inkuri melalui refleksi diri yang dilakukan oleh peserta kegiatan pendidikan
tertentu dalam situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki
rasionalitas dan kebenaran dari (a) praktek-praktek sosial atau kependidikan yang
mereka lakukan sendiri, (b) pemahaman mereka terhadap praktek-praktek
tersebut, (c) situasi di tempat praktek itu dilaksanakan).
PTK sendiri menurut Saminanto (2010) boleh dilakukan kolaboratif
antara peneliti dengan guru, karena seringkali guru kurang menyadari kekurangan
dalam melaksanakan pembelajaran, sehingga perlu peneliti untuk mengamati,
menganalisis, mendiagnosis permasalahan yang ada dalam pembelajaran.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
penelitian tindakan kelas sebagai sebuah proses investigasi terkendali yang
berdaur ulang (bersiklus) dan bersifat reflektif mandiri, yang memiliki tujuan
untuk melakukan perbaikan-perbaiakan terhadap sistem, cara kerja, proses, isi,
kompetensi, atau situasi.
2.1.4.2 Prinsip Penelitian Tindakan Kelas
Hopkins (1993) menyebutkan ada 6 (enam) prinsip dasar yang melandasi
penelitian tindakan kelas. Prinsip pertama, bahwa tugas guru yang utama adalah
menyelenggarakan pembelajaran yang baik dan berkualitas. Untuk itu, guru
memilki komitmen dalam mengupayakan perbaikan dan peningkatan kualitas
pembelajaran secara terus menerus. Dalam menerapkan suatu tindakan untuk
memperbaiki kualitas pembelajaran ada kemungkinan tindakan yang dipilih
tidak/kurang berhasil, maka ia harus tetap berusaha mencari alternatif lain.
Prinsip kedua bahwa meneliti merupakan bagian integral dari
pembelajaran, yang tidak menuntut kekhususan waktu maupun metode
pengumpulan data. Tahapan-tahapan penelitian tindakan selaras dengan
25
pelaksanaan pembelajaran, yaitu: persiapan (planning), pelaksanaan pembelajaran
(action), observasi kegiatan pembelajaran (observation), evaluasi proses dan hasil
pembelajaran (evaluation), dan refleksi dari proses dan hasil pembelajaran
(reflection).
Prinsip ketiga bahwa kegiatan meneliti, yang merupakan bagian integral
dari pembelajaran, harus diselenggarakan dengan tetap bersandar pada alur dan
kaidah ilmiah. Alur pikir yang digunakan dimulai dari pendiagnosisan masalah
dan faktor penyebab timbulnya masalah, pemilihan tindakan yang sesuai dengan
permasalahan dan penyebabnya, merumuskan hipotesis tindakan yang tepat,
penetapan skenario tindakan, penetapan prosedur pengumpulan data dan analisis
data.
Prinsip keempat bahwa masalah yang ditangani adalah masalah-masalah
pembelajaran yang riil dan merisaukan tanggungjawab profesional dan komitmen
terhadap pemerolehan mutu pembelajaran. Prinsip ini menekankan bahwa
diagnosis masalah bersandar pada kejadian nyata yang berlangsung dalam konteks
pembelajaran yang sesungguhnya.
Prinsip kelima bahwa konsistensi sikap dan kepedulian dalam
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran sangat diperlukan. Hal ini
penting karena upaya peningkatan kualitas pembelajaran tidak dapat dilakukan
sambil lalu, tetapi menuntut perencanaan dan pelaksanaan yang sungguh-sungguh.
Prinsip keenam adalah cakupan permasalahan penelitian tindakan tidak
seharusnya dibatasi pada masalah pembelajaran di ruang kelas, tetapi dapat
diperluas pada tataran di luar ruang kelas, misalnya: tataran sistem atau lembaga.
Perspektif yang lebih luas akan memberi sumbangan lebih signifikan terhadap
upaya peningkatan kualitas pendidikan.
2.1.4.3 Model Penelitian Tindakan Kelas
Model penelitian tindakan kelas menurut Arikunto (2006) ada beberapa
macam, diantaranya adalah model Spiral Stringer, Lewin yang ditafsirkan oleh
Kemmis, Model Tindakan Calhoun, Model Tindakan Spiral Bachman, Model
Masalah Progresif Riel, Model Tindakan Piggot-Irvin, model Tindakan Hendrick
dan Model Spiral Kemmis dan Taggart. Model Lewin yang ditafsirkan oleh
26
Kemmis menggambarkan sebuah spiral dari beberapa siklus kegiatan. Kegiatan
yang terdapat pada siklus terdiri dari mengidentifikasi gagasan umum, menyusun
rencana
umum,
mengembangkan
langkah
tindakan
yang
pertama,
mengimplementasikan langkah tindakan yang pertama, mengevaluasi dan
memperbaiki rancangan umum.
1. Model Penelitian Tindakan Berinteraksi Spiral Stringer, menggambarkan
penelitian tindakan sebagai suatu kerangka kerja yang sederhana, namun
berpengaruh kuat yang terdiri dari rutinitas melihat, berpikir dan bertindak.
Gambar 1 Penelitian Tindakan Berinteraksi Spiral Stringer
2. Model Penelitian Tindakan Spiral Kurt Lewin, yang melukiskan suatu
penelitian tindakan spiral yang mencangkup penemuan fakta, perencanaan,
pengambilan keputusan, evaluasi dan rencana amandemen sebelum masuk
pada langkah selanjutnya.
Gambar 2 Penelitian Tindakan Spiral Kurt Lewin
3. Model Siklus Penelitian Tindakan Calhoun, dalam penelitian tindakan ini
masih menggambarkan satu proses yang dibangun di sekitar siklikal. Dalam
27
gambar, garis yang tidak terputus mengindikasikan arah utama pada siklus,
namun garis yang terputus-putus menunjukan arah maju dan mundur ketika
permulusan atau klarifikasi informasi.
Gambar 3 Siklus Penelitian Tindakan Calhoun
4. Model Penelitian Tindakan Spiral Bachman, penelitian tindakan ini para
peserta mengumpulkan informasi, merencanakan tindakan, mengobservasi,
dan mengevaluasi tindakan-tindakan itu, dan kemudian merefleksikan dan
merencanakan satu siklus spiral baru berdasarkan kajian yang dikumpulkan
pada siklus sebelumnya.
Gambar 4 Penelitian Tindakan Spiral Bachman
28
5. Model Pemecahan Masalah Progresif Riel, dalam model penelitian tindakan
ini peserta dibawa pada empat langkah pada setiap siklus yaitu perencanaan,
pengambilan tindakan, pengumpulan bukti dan refleksi.
Gambar 5 Pemecahan Masalah Progresif Riel
6. Model Penelitian Tindakan Piggot-Irvin, dalam penelitian tindakan ini
melukiskan sifat spiral dengan menunjukan langkah perencanaan, tindakan
dan refleksi melalui tiga siklus penelitian yang berurutan.
Gambar 6 Penelitian Tindakan Piggot-Irvin
7. Model Penelitian Tindakan Hendrick, dalam penelitian tindakan ini berfokus
pada langkah bertindak, evaluasi dan refleksi.
29
Gambar 7 Penelitian Tindakan Hendrick
8. Model Penelitian Tindakan Spiral Kemmis & Mc Taggart (Hamid, 2009: 14),
dalam penelitian ini terdapat 4 tahap yang perlu dilakukan yaitu perencanaan
(plan), pelaksanaan (act), observasi dan refleksi. Dalam penelitian ini
tindakan dan observasi dijadikan menjadi satu kesatuan.
Gambar 8 Penelitian Tindakan Spiral Kemmis & Mc Taggart
Peneliti memilih untuk menggunakan model penelitian Spiral Kemmis &
Mc Taggart. Karena dalam penelitian ini karena menggambarkan tahap yang
dilalui menggunakan 4 tahap, yaitu diawali dengan perencanaan, dilanjutkan
tindakan, observasi, dan diakhiri dengan refleksi. Selain itu, pada model ini
saat pelaksanaannya, observasi dan tindakan dilakukan secara bersama
sesuai yang diharapkan peneliti.
30
2.2
Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penerapan NHT
dapat meningkatkan hasil belajar matematika, diantaranya penelitian Ratnaningsih
(2008), Supadmi (2007),dan Russefendi (2010). Ketiga penelitian tersebut
berturut-turut menerapkan NHT pada materi akar dan pangkat, skala dan
perbandingan, serta luas gabungan bangun datar pada siswa kelas VI, kelas V dan
kelas IV. Ketiga penelitian tersebut telah menyimpulkan bahwa penerapan
pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Ratnaningsih (2008) menyimpulkan bahwa
dengan adanya pembelajaran dengan pendekatan NHThasil belajar siswa dalam
belajar mengalami peningkatan, mengingat siswa lebih aktif dalam kelompok
untuk memahami materi, berbagi gagasan dan pengetahuan sehingga hasil belajar
mengalami peningkatan. Supadmi (2007) menyimpulkan bahwa penerapan tipe
NHT pada siswa selain mampu meningkatkan hasil belajar, dapat meningkatkan
motivasi dan keaktifan siswa dalam belajar.Hal ini menunjukkan bahwa NHT
dapat diterapkan pada pembelajaran matematika di SD.
Seperti halnya dengan penelitian Ratnaningsih (2008), Supadmi (2007),
dan Russefendi (2010) penelitian ini juga akan menerapkan pembelajaran
kooperatif tipe NHT dalam pembelajaran matematika SD. Penelitian ini akan
menerapkan pembelajaran kooperatif tipe NHT pada penelitian berbentuk PTK.
Meskipun demikian, materi dan subjek pada penelitian ini berbeda dengan materi
dan subjek pada penelitian sebelumnya. Penelitian ini dilakukan pada subjek
siswa kelas V SD N Ngajaran 02 pada materi Perkalian dan Pembagian Pecahan.
Pelaksanaan pembelajaran NHT yang dilaksanakan oleh Ratnaningsih,
Supadmi dan Russefendi dalam pelaksanaan kegiatannya juga membutuhkan
waktu yang lama karena pada sintak menjawab pertanyaan, ketiga penelitian ini
memanggil siswa dengan cara satu persatu dalam kelompok dan bergantian untuk
menjawab pertanyaan yang diberikan.
31
2.3 Kerangka Pikir
Berdasarkan informasi-informasi yang telah terkumpul pada kajian pustaka,
pembelajaran NHT merupakan sebuah konsep pembelajaran yang melibatkan para
siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek
pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut
Penggunan pembelajaran kooperatif tipe NHT ini selain guru menjelaskan
materi, disini siswa juga akan dibuat aktif belajar, mengajukan pertanyaan tentang
materi yang telah disampaikan, terlibat untuk berdiskusi dengan teman
kelompoknya. Pembelajaran tidak hanya monoton guru yang aktif, tetapi siswa
dapat aktif dalam kegiatan diskusi kelompok. Selanjutnya, guru melakukan
pemanggilan siswa dan siswa yang disebutkan kodenya dipersilakan untuk
mengerjakan soal di papan tulis dengan kesempatan yang sama. Adapun kerangka
pikir dapat digambarkan sebagai berikut.
Penomoran
Proses
Pembelajaran
Dominasi
Siswa
NHT
Mengajukan
Pertanyaan
Hasil
Belajar
Berpikir
Bersama
Menjawab
Gambar 9 Bagan Kerangka Pikir
Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa pembelajaran
kooperatif tipe NHT sebagai variabel bebas, sedangkan hasil belajar matematika
sebagai variabel terikat. Keadaan pembelajaran yang selama ini masih terfokus
pada guru yang menyebabkan siswa kurang aktif, dengan pelaksanaan
pembelajaran kooperatif tipe NHT ini akan meningkatkan keaktifan siswa dalam
pembelajaran sehingga hasil belajarnya akan mengalami peningkatan.
32
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian
iniadalah: “Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan
hasil belajar siswa kelas V SD Negeri 02 Ngajaran tahun pelajaran 2015/2016
pada materi perkalian dan pembagian pecahan”. Dengan perencanaan yang sesuai
dengan sintak NHT dan kurikulum yang berlaku, perencanaan yang sesuai dengan
langkah-langkah yang telah dirancang, dan pelaksanaan sesuai dengan langkahlangkah yang telah direncanakan.
Download