BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT diharapkan para guru memiliki pemahaman yang tepat terhadap tipe tersebut dalam membantu proses belajar. Oleh karena itu, perlu pemahaman akan pokok-pokok bahasan berikut. 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajar Matematika 2.1.1.1 Hakikat Matematika Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani “Mathematikos” secara ilmu pasti, atau “Mathesis” yang berarti ajaran, pengetahuan abstrak dan deduktif, dimana kesimpulan tidak ditarik berdasarkan pengalaman keindraan, tetapi atas kesimpulan yang ditarik dari kaidah–kaidah tertentu melalui deduksi (Suherman, 2004: 4). Pembelajaran Matematika akan menuju arah yang benar dan berhasil apabila kita mengetahui karakteristik yang dimiliki Matematika. Matematika memiliki karakteristik tersendiri baik ditinjau dari aspek kompetensi yang ingin dicapai, maupun dari aspek materi yang dipelajari untuk menunjang tercapainya kompetensi. Ditinjau dari aspek kompetensi yang ingin dicapai, Matematika menekankan penguasaan konsep dan algoritma serta keterampilan memecahkan masalah. Ditinjau dari aspek materi yang dipelajari, ruang lingkup mata pelajaran Matematika meliputi: Aljabar, Geometri, Logika Matematika, Peluang, dan Statistika (Suherman, 2007). Matematika menurut Ruseffendi (Suherman, 2007) adalah bahasa symbol, ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke aksioma atau postulat dan akhirnya ke dalil. Menurut H.W. Fowler (Suyitno, 2004) matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang bilangan dan ruangan yang bersifat abstrak. 6 7 Matematika sebagai ilmu mengenai struktur dan hubungan-hubungannya, simbol-simbol diperlukan. Simbol-simbol itu penting untuk membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang di terapkan (Suherman, 2007). 2.1.1.2 Definisi Belajar Manusia sebagai mahluk hidup yang mempunyai akal dan pikiran tidak akan pernah berhenti dari proses belajar. Belajar secara sadar atau tidak telah dilakukan manusia secara terus menerus untuk memenuhi segala kebutuhan akan pengetahuan. Berikut ini pendapat tentang pengertian belajar: 1. Belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan seseorang yang dicapai melalui upaya yang dilakukan dan perubahan itu bukan diperoleh secara langsung dari proses pertumbuhan dirinya secara alamiah (Gagne dalam Slameto, 2003). 2. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya (Burton W. H dalam Usman 1994:4). 3. Belajar adalah suatu proses dimana ditimbulkan atau diubahnya suatu kegiatan karena mereaksi dengan keadaan (Hilgard E.R dalam Usman 1994: 5). 4. Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan kepribadian atau suatu pengertian (Witherington H. C. dalam Usman 1994:5). Dari berbagai pendapat mengenai belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku dan kemampuan seseorang karena bereaksi dengan keadaan. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia. perubahan tingkah laku ini bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan yang bersifat fisiologis atau proses kematangan. Perubahan yang terjadi karena belajar dapat berupa perubahan-perubahan dalam kebiasaan, kecakapan-kecakapan atau dalam ketiga aspek yakni pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam 8 keseluruhan proses pendidikan. Hal ini mengandung arti, bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh peserta didik atau siswa. Belajar bukan merupakan tujuan melainkan suatu proses untuk mencapai tujuan, jadi belajar merupakan langkah-langkah atau prosedur yang ditempuh (Hamalik, 2001) sehingga dapat dikatakan belajar sebagai suatu kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Hal ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu tergantung dari proses yang dialami siswa, baik ketika di sekolah, lingkungan rumah atau keluarga. 2.1.1.3 Definisi Hasil Belajar Menurut Nana Sudjana hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Adapun Nasution (2003: 22) berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi atau belum. Hasil belajar dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian (formatif), nilai ulangan tengah semester (Sub sumatif), dan nilai ulangan semester (sumatif). Menurut Subiyanto (2008), hasil belajar adalah sesuatu yang digunakan untuk menilai hasil pelajaran yang telah diberikan kepada siswa dalam waktu tertentu. Menurut Sutrisno (2008), hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Selanjutnya Tonga (2011), secara umum hasil belajar dapat diartikan sebagai suatu hasil pekerjaan yang telah dicapai dengan usaha atau diperoleh dengan jalan keuletan bekerja yang dapat diukur dengan alat ukur yang disebut 9 dengan tes. Hasil belajar menurut Sudjana (2006: 22) adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. 2.1.1.4 Ranah Hasil Belajar Hasil belajar menurut Good (Poerwadarminto, 2001) adalah pencapaian atau kecakapan yang dinampakkan dalam suatu keahlian atau sekumpulan pengetahuan. Dalam hal ini pengetahuan yang dicapai atau keterampilan yang dikembangkan dalam mata pelajaran di sekolah, biasanya ditetapkan dengan nilai tes atau ujian yang diberikan oleh guru. Adapun pengetahuan yang dicapai atau keterampilan yang dikembangkan tersebut meliputi: a. Ranah kognitif, seperti informasi dan pengetahuan, konsep dan prinsip, pemecahan masalah dan kreativitas. b. Ranah afektif, seperti perasaan, sikap, nilai dan integritas pribadi. c. Ranah psikomotorik. Sedangkan Sudiro (Hamalik, 2004:26) berpendapat bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku menuju perkembangan yaitu hasilnya dicapai oleh siswa terhadap perubahan tingkah laku dalam kaitanya dengan bahan yang dipelajari. Jadi hasil belajar adalah keberhasilan yang yang dicapai dalam penguasaan pengetahuan dan keterampilan, yang biasanya ditunjukkan dengan nilai yang berupa angka. Koster dalam Sardiman (2006) menyatakan bahwa hasil belajar adalah kegiatan pengajaran yang terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa di mana guru memegang peranan yang menentukan keberhasilan proses belajar mengajar tersebut, sehingga siswa memperoleh pengetahuan yang terwujud dalam bentuk prestasi belajar siswa (kognitif) maupun konsep diri siswa seperti sikap, watak, dan kepribadian siswa. Suryasubrata (2008) menyatakan hasil belajar diwujudkan dengan nilai, baik dengan menggunakan lambang A, B, C, D dan E untuk menunjukkan nilai kelakuan, kerajinan, kerapian dan kegiatan ekstrakurikuler. Untuk penilaian kemampuan atau prestasi dalam mata pelajaran digunakan skala angka 0 sampai 10. 10 2.1.1.5 Definisi Hasil Belajar Matematika Cara mengetahui hasil belajar siswa, guru dapat melakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan melakukan evaluasi dan tes. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjamin, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggara pendidikan (UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas). Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik. Hasil belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Jadi hasil belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang dari proses belajar yang telah dilakukannya. Hasil belajar diwujudkan dari hasil penilaian belajar; baik peniliaian kualitatif naupun hasil penilaian kuantitatif yang terangkum dalam buku laporan pendidikan (rapor). Berdasarkan pendapat tersebut maka definisi hasil belajar matematika dalam penelitian ini mengacu pada definisi hasil belajar sebagai penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu. Jadi hasil belajar matematika merupakan taraf sejauhmana keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah kegiatan proses pembelajaran matematika. 2.1.2 Hakikat Pembelajaran Matematika di SD Pembelajaran Matematika menurut Permendiknas 22 Tahun 2006 berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Simbol-simbol itu penting untuk membantu memanipulasi aturanaturan dengan operasi yang ditetapkan. Simbolisasi menjamin adanya komunikasi dan mampu memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep baru. Konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep 11 sebelumnya, sehingga matematika itu konsep-konsepnya tersusun secara hirarkis. Dengan demikian simbol-simbol itu dapat digunakan untuk mengkomunikasikan ide-ide secara efektif dan efisien. Agar simbol-simbol itu berarti, kita harus memahami ide yang terkandung di dalam simbol tersebut. Karena itu hal terpenting adalah bahwa itu harus dipahami sebelum ide itu disimbolkan. Pembelajaran matematika yang diajarkan di SD merupakan matematika sekolah yang terdiri dari bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi anak serta berpedoman kepada perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa matematika SD tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika, yaitu: (1) memiliki objek kajian yang abstrak (2) memiliki pola pikir deduktif konsisten Suherman (2007: 55). Matematika sebagai studi tentang objek abstrak tentu saja sangat sulit untuk dapat dipahami oleh siswa-siswa SD yang belum mampu berpikir formal, sebab orientasinya masih terkait dengan benda-benda konkret. Teori Piaget menyatakan bahwa anak usia 6-12 memiliki kecenderungan untuk belajar mengenai struktur dan hubungan-hubungannya, simbol-simbol diperlukan. Simbol-simbol itu penting untuk membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang diterapkan. Mengingat pentingnya matematika untuk siswa-siswa usia dini di SD, perlu dicari suatu cara mengelola proses belajar-mengajar di SD sehingga matematika dapat dicerna oleh siswa-siswa SD. Disamping itu, matematika juga harus bermanfaat dan relevan dengan kehidupannya, karena itu pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar harus ditekankan pada penguasaan keterampilan dasar dari matematika itu sendiri. Keterampilan yang menonjol adalah keterampilan terhadap penguasaan operasi-operasi hitung dasar (penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian). Untuk itu dalam pembelajaran matematika terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) matematika sebagai alat untuk menyelesaikan masalah, dan (2) matematika merupakan sekumpulan keterampilan yang harus dipelajari. Karena itu dua aspek matematika yang dikemukakan di atas, perlu mendapat perhatian yang proporsional (Syamsuddin, 2003: 11). Konsep yang sudah 12 diterima dengan baik dalam benak siswa akan memudahkan pemahaman konsepkonsep berikutnya. Untuk itu dalam penyajian topik-topik baru hendaknya dimulai pada tahapan yang paling sederhana ketahapan yang lebih kompleks, dari yang konkret menuju ke yang abstrak, dari lingkungan dekat anak ke lingkungan yang lebih luas. Penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan mempertimbangkan kesinambungan tujuan antara jenjang pendidikan yang lebih rendah ke jenjang yang lebih tinggi. Pada mata pelajaran matematika manyajikan tujuan instruksional sebagai berikut. 1. Siswa mampu menggunakan matematika sebagai alat untuk memecahkan masalah atau soal yang mencakup : kemampuan memahami model matematika, operasi penyelesaian model, dan penafsiran solusi model terhadap masalah semula, 2. Menggunakan matematika sebagai cara bernalar dan untuk mengkomunikasikan gagasan secara lisan dan tertulis, misalnya menyajikan masalah ke bentuk model matematika. Tujuan umum matematika pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar adalah siswa mampu: (a). Melakukan operasi hitung : penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, beserta operasi campurannya termasuk yang melibatkan pecahan, (b). Menentukan sifat dan unsur suatu bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas dan volume, (c). Menentukan sifat simetri, kesebangunan dan sistem koordinat, (d). Menggunakan pengukuran, satuan, kesetaraan antar satuan, dan penaksiran pengukuran, (e). Menentukan dan menafsirkan data sederhana seperti ukuran tertinggi, terendah, rata-rata, modus, serta mengumpulkan dan menyajikan data. 13 2.1.2.1 Pembelajaran Matematika di SD Pembelajaran matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan (kelas atau sekolah yang memungkinkan kegiatan siswa belajar matematika di sekolah. Matematika juga bersifat hirarkis, yaitu suatu materi merupakan prasyarat untuk materi berikutnya. Untuk belajar Matematika hendaknya berprinsip padahal-hal berikut (Nurhadi, 2003: 10). 1. Pengorganisasian isi (materi) matematika perlu memperhatikan urutan (sequence) dalam pencapaian kompetensi dan pentahapan pemelajaran (learning hierarchy) yang sistematis. 2. Mempertimbangkan faktor perkembangan anak didik serta proses pembentukan kompetensi secara bertahap. Ciri utama Matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam Matematika bersifat konsisten. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif melalui peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep Matematika. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari Matematika. Penerapan cara kerja Matematika seperti ini diharapkan dapat membentuk sikap kritis, kreatif, jujur, sistematis, logis dan komunikatif pada siswa. Dengan demikian diharapkan siswa akan memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengelola informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. 2.1.2.2 Karakteristik Pembelajaran Matematika di SD Pembelajaran matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Menurut Suherman, dkk (2007:56) fungsi matematika sekolah adalah 14 sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Sedangkan tujuan pembelajaran matematika sekolah di Indonesia sesuai ketetapan pemerintah melalui BSNP, bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh 4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Karakteristik pembelajaran matematika di SD siswa diarahkan untuk memahami dan menguasai konsep, dalil, teorema, generalisasi, dan prinsipprinsip matematika secara menyeluruh. Sementara melalui efek iringan, mereka diharapkan mampu berpikir logis, kritis, dan sistematis (Suherman dkk, 2007:300). 2.1.2.3 Karakteristik Siswa SD Pembelajaran matematika di Sekolah Dasar merupakan salah satu bidang pengajaran yang membutuhkan kekhususan dalam strategi pembelajaran karena matematika adalah ilmu yang bersifat abstrak. Menurut teori Jean Piaget mengatakan bahwa kemampuan intelektual anak berkembang secara bertingkat atau bertahap, yaitu: a. Sensori motor (0-2 tahun) b. Pra operasional (2-7 tahun) 15 c. Operasional kongkrit (7-11 tahun) d. Operasional lebih dari 11 tahun Teori ini merekomendasikan perlunya mengamati perkembangan intelektual anak sebelum suatu bahan pembelajaran matematika diberikan terutama untuk menyesuaikan "keabstrakan" bahan matematika dengan kemampuan berfikir abstrak anak pada saat itu.Piaget juga menyatakan bahwa setiap makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan. Berdasarkan jenjang dan karakteristik perkembangan intelektual anak seusia siswa SD maka penyajian konsep dan keterampilan dalam pembelajaran matematika harus dimulai dari nyata (konkrit) ke abstrak; dari mudah ke sukar; dari sederhana ke rumit, dan dari dekat ke jauh. Dengan kata lain, mulailah dari apayang ada pada/di sekitar siswa dan yang dikenal, diminati serta diperlukan siswa. Secara psikologis, anak usia SD berada dalam dunia bermain. Tugas guru adalah menciptakan dan mengoptimalkan suasana bermain tersebut dalam kelas sehingga menjadi media yang efektif untuk membelajarkan siswa dalam matematika. Dalam pembelajaran matematika, Bruner (1982) menyatakan pentingnya tekanan pada kemampuan peserta didik dalam berfikir intuisif dan analistik (pattern) dan hubungan/keterkaitan (relation). Pembaharuan proses ini dari proses drill and practice ke proses bermakna, dan dilanjutkan proses berfikir analitik, merupakan usaha luar biasa untuk meningkatkan mutu pembelajaran matematika. Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa Sekolah dasar adalah mempelajari setiap konsep secara bertahap untuk mendapatkan pengertian, hubungan-hubungan mengaplikasikan konsep-konsep ke situasi yang baru. simbol-simbol, kemudian 16 2.1.3 Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) 2.1.3.1 Hakikat Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Menurut Suherman dkk (2007:260) cooperative learning menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan atau membahas suatu masalah atau tugas. Menurut Suherman dkk (2007:260) ada beberapa hal yang perlu dipenuhi dalam cooperative learning agar lebih menjamin para siswa bekerja secara kooperatif, hal tersebut meliputi: pertama para siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harus merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim dan mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai. Kedua para siswa yang tergabung dalam sebuah kelompok harus menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan bahwa berhasil atau tidaknya kelompok itu akan menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok itu. Ketiga untuk mencapai hasil yang maksimum, para siswa yang tergabung dalam kelompok itu harus berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang saling asuh antar siswa untuk memahami materi pelajaran. Unsur-unsur pembelajaran kooperatif paling sedikit ada empat macam yakni (Fatkhurrohman, 2004: 78): 1. Saling ketergantungan positif, artinya dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan antar sesama. Dengan saling membutuhkan antar sesama, maka mereka merasa saling ketergantungan satu sama lain; 2. Interaksi tatap muka, artinya menuntut para siswa dalam kelompok dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan guru, tetapi juga dengan sesama siswa. Dengan interaksi tatap muka, memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar, sehingga 17 sumber belajar menjadi variasi. Dengan interaksi ini diharapkan akan memudahkan dan membantu siswa dalam mempelajari suatu materi. 3. Akuntabilitas individual, artinya meskipun pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok, tetapi penilaian dalam rangka mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap suatu materi pelajaran dilakukan secara individual. Hasil penilaian secara individual tersebut selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa anggota kelompok yang dapat memberikan bantuan 4. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi, artinya, melalui pembelajaran kooperatif akan menumbuhkan keterampilan menjalin hubungan antar pribadi. Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran kooperatif menekankan aspek-aspek: tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik orangnya, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat positif lainnya. Menurut Ibrahim (2008 : 6), pembelajaran kooperatif memiliki sejumlah karakteristik tertentu yang membedakan dengan model-model pembelajaran lainnya antara lain: 1. siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya. 2. kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. 3. bila memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin berbeda-beda. 4. penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu. Terdapat enam langkah-langkah kooperatif, dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan motivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi, seringkali dengan bahan bacaan daripada secara verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahapan ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas bersama mereka. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi fersentasi 18 hasil kerja kelompok atau evaluasi tentang apa tang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Adapun langkah-langkah model pembelajaran kooperatif dapat di lihat pada table berikut. 2.1.3.2 Definisi Numbered Head Together (NHT) NHT merupakan pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap kelas tradisional (Slavin, 2003: 34). NHT yang dikembangkan oleh Spencer Kagan melibatkan banyak siswa dalam menelaah materi dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman terhadap isi materi yang dipelajari tersebut. Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Tipe ini dikembangkan oleh Kagen (Ibrahim, 2001: 28) dengan melibatkan para siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Ibrahim (2008: 29) mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu: 1. Hasil belajar akademik stuktural Bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. 2. Pengakuan adanya keragaman Bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang. 3. Pengembangan keterampilan sosial Bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya. 19 2.1.3.3. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Penerapan pembelajaran kooperatiftipe NHT merujuk pada konsep Kagen (dalam Ibrahim, 2008: 28) dengan tiga langkah yaitu: 1. Pembentukan kelompok 2. Diskusi masalah 3. Tukar jawaban antar kelompok. Menurut Muslimin Ibrahim, dkk (2008:27-28) tahapan dalam pembelajaran kooperatiftipe NHT antara lain yaitu penomoran, mengajukan pertanyaan, berfikir bersama, dan menjawab. 1. Tahap 1: Penomoran Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggotakan 3-5 orang dan setiap anggota kelompok diberi nomor 1-5, berguna untuk memudahkan dalam memanggil siswa dengan penomoran kepala. 2. Tahap 2: Mengajukan pertanyaan Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya atau bentuk arahan. 3. Tahap 3: Berpikir bersama, Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban itu. 4. Tahap 4: Menjawab Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas. 20 Tabel 2 Sintak Pembelajaran kooperatif tipe NHT menurut Slavin (2003: 34) NO Fase Kegiatan 1 Penomoran Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggotakan 5 orang dan setiap anggota kelompok diberi nomor 1-5 2 Mengajukan pertanyaan Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya atau bentuk arahan. 3 Berpikir bersama Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban itu. 4 Menjawab Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas. Tabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Penomoran: Guru membagi siswa dalam kelompok yang beranggotakan 5 orang dan kepada setiap anggota diberi nomor 1-5. Siswa bergabung engan anggotanya masing-masing 2) Mengajukan pertanyaan: Guru mengajukan pertanyaan berupa tugas untuk mengerjakan soal-soal di LKS. 3) Berpikir bersama: Siswa berpikir bersama dan menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan dalam media pembelajaran tersebut dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tersebut. 21 4) Menjawab: Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan atau mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk seluruh kelas. Kelompok lain diberi kesempatan untuk berpendapat dan bertanya terhadap hasil diskusi kelompok tersebut. Berdasarkan langkah-langkah NHT menurut Slavin, sintak dalam penelitian ini sama dengan sintak pembelajaran NHT menurut Slavin. Berikut sintak pembelajaran NHT berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Berikut Tabel 3 sintak pembelajaran NHT berdasarkan standar proses. Tabel 3 Pemetaan Sintak Pembelajaran NHT dalam Standar Proses dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007 N Sintak NHT Pendahuluan o 1 Penomoran 2 Mengajukan Kegiatan Inti Pembelajaran Eksplorasi Elaborasi Penutup Konfirmasi an √ Berpikir secara lisan dari √ Menjawab materi yang sudah Bersama 4 dan merangkum √ Pertanyaan 3 Menyimpulk √ dipelajari Menutup pelajaran dengan salam doa Dalam pembelajaran NHT, terdiri dari 4 tahap dimulai dengan guru membagi siswa dalam kelompok dimana setiap anggota kelompok diberi nomor dan diakhiri dengan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. dan 22 Tabel 4 Implementasi Pembelajaran NHT dalam Standar Proses sesuai dengan Permendiknas No. 41 Tahun 2007 Sintak NHT Langkah dalam Kegiatan Guru Standar Proses Penomoran Kegiatan Awal Guru membagi siswa menjadi 4 kelompok, dimana setiap anggota kelompok dibagikan topi bernomor dan berwarna. Mengajukan Eksplorasi Pertanyaan Berpikir Guru melakukan tanya jawab tentang materi yang akan disampaikan Elaborasi Bersama Siswa berdiskusi kelompok dalam mengerjakan soal dalam LK yang diberikan guru. Menjawab Konfirrmasi Siswa terpilih mengerjakan diberikan guru di papan soal yang tulis tanpa membawa LK, selanjutnnya guru bersama siswa membahas soal yang sudah dijawab oleh siswa terpilih. Penutup Guru bersama siswa menyimpulkan dan merangkum seara lisan dari materi yang sudah dipelajari, menyampaikan materi yang akan dipelajari selanjutnya, menutup pembelajaran dengan salam dan berdoa. 2.1.3.4 Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif tipe NHT Kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatiftipe NHT menurut Slavin (2003: 37) adalah 1. Kelebihan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head together: a. Setiap siswa menjadi siap semua b. Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh c. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai 23 d. Tidak ada siswa yang mendominasi dalam kelompok. 2. Kelemahan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together: a. Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru b. Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru. 2.1.4. Penelitian Tindakan Kelas 2.1.4.1. Definisi Penelitian Tindakan Kelas Konsep penelitian tindakan bermula dari pandangan seorang ahli psikologi sosial yang bermana Kurt Lewin (1946). Lewin menggunakan pendekatan penelitian tindakan setelah usainya perang dunia ke dua dalam usaha menyelesaikan berbagai masalah sosial. Lewin pada saat itu mengemukakan dua ide pokok penelitian tindakan yaitu; (1) keputusan bersama, dan (2) komitmen untuk meningkatkan dan memperbaiki prestasi kerja. Kedua ide pokok tersebut sekarang menjadi karakteristik dasar penelitian tindakan yang menegaskan perlunya usaha kolaboratif atau usaha secara bersama-sama dalam meningkat mutu prestasi kerja. Pada tahun 1953, ide Lewin dikembangkan oleh Stephen Corey di New York sebagai pendekatan penelitian yang diselenggarakan oleh guru-guru sekolah. Pada Tahun 1976 Jhon Elliot menggunakan pendekatan ini untuk membantu guru mengembangkan usaha inkuiri dalam pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas yang kemudian dikenal dengan penelitian tindakan kelas (Wiriatmadja, 2008: 54). Banyak ahli memberikan definisi tentang penelitian tindakan kelas (PTK) berikut ini akan disajikan beberapa definisi PTK yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, Tim proyek PGSM (1999) mendefinisikan penelitian tindakan kelas adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantaban rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut dilakukan. Mukhlis, Abdul dan Nur, Mohamad (2001) mendefinisikan penelitian tindakan kelas sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat sistematis dan siklustis. 24 Kemis, Stephen dalam D. Hopkins (1992) mendefinisikan penelitian tindakan kelas adalah ‘action research is a form of self reflective inquiry undertaken by participants in a social (including educational) situation inorder to improve the rationality and justice of (a) their own social or educational pratices, (b) their understanding of these practices, and (c) the situations in which practices are carried out’ (penelitian tindakan adalah suatu bentuk penelaahan atau inkuri melalui refleksi diri yang dilakukan oleh peserta kegiatan pendidikan tertentu dalam situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran dari (a) praktek-praktek sosial atau kependidikan yang mereka lakukan sendiri, (b) pemahaman mereka terhadap praktek-praktek tersebut, (c) situasi di tempat praktek itu dilaksanakan). PTK sendiri menurut Saminanto (2010) boleh dilakukan kolaboratif antara peneliti dengan guru, karena seringkali guru kurang menyadari kekurangan dalam melaksanakan pembelajaran, sehingga perlu peneliti untuk mengamati, menganalisis, mendiagnosis permasalahan yang ada dalam pembelajaran. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas sebagai sebuah proses investigasi terkendali yang berdaur ulang (bersiklus) dan bersifat reflektif mandiri, yang memiliki tujuan untuk melakukan perbaikan-perbaiakan terhadap sistem, cara kerja, proses, isi, kompetensi, atau situasi. 2.1.4.2 Prinsip Penelitian Tindakan Kelas Hopkins (1993) menyebutkan ada 6 (enam) prinsip dasar yang melandasi penelitian tindakan kelas. Prinsip pertama, bahwa tugas guru yang utama adalah menyelenggarakan pembelajaran yang baik dan berkualitas. Untuk itu, guru memilki komitmen dalam mengupayakan perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran secara terus menerus. Dalam menerapkan suatu tindakan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran ada kemungkinan tindakan yang dipilih tidak/kurang berhasil, maka ia harus tetap berusaha mencari alternatif lain. Prinsip kedua bahwa meneliti merupakan bagian integral dari pembelajaran, yang tidak menuntut kekhususan waktu maupun metode pengumpulan data. Tahapan-tahapan penelitian tindakan selaras dengan 25 pelaksanaan pembelajaran, yaitu: persiapan (planning), pelaksanaan pembelajaran (action), observasi kegiatan pembelajaran (observation), evaluasi proses dan hasil pembelajaran (evaluation), dan refleksi dari proses dan hasil pembelajaran (reflection). Prinsip ketiga bahwa kegiatan meneliti, yang merupakan bagian integral dari pembelajaran, harus diselenggarakan dengan tetap bersandar pada alur dan kaidah ilmiah. Alur pikir yang digunakan dimulai dari pendiagnosisan masalah dan faktor penyebab timbulnya masalah, pemilihan tindakan yang sesuai dengan permasalahan dan penyebabnya, merumuskan hipotesis tindakan yang tepat, penetapan skenario tindakan, penetapan prosedur pengumpulan data dan analisis data. Prinsip keempat bahwa masalah yang ditangani adalah masalah-masalah pembelajaran yang riil dan merisaukan tanggungjawab profesional dan komitmen terhadap pemerolehan mutu pembelajaran. Prinsip ini menekankan bahwa diagnosis masalah bersandar pada kejadian nyata yang berlangsung dalam konteks pembelajaran yang sesungguhnya. Prinsip kelima bahwa konsistensi sikap dan kepedulian dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran sangat diperlukan. Hal ini penting karena upaya peningkatan kualitas pembelajaran tidak dapat dilakukan sambil lalu, tetapi menuntut perencanaan dan pelaksanaan yang sungguh-sungguh. Prinsip keenam adalah cakupan permasalahan penelitian tindakan tidak seharusnya dibatasi pada masalah pembelajaran di ruang kelas, tetapi dapat diperluas pada tataran di luar ruang kelas, misalnya: tataran sistem atau lembaga. Perspektif yang lebih luas akan memberi sumbangan lebih signifikan terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan. 2.1.4.3 Model Penelitian Tindakan Kelas Model penelitian tindakan kelas menurut Arikunto (2006) ada beberapa macam, diantaranya adalah model Spiral Stringer, Lewin yang ditafsirkan oleh Kemmis, Model Tindakan Calhoun, Model Tindakan Spiral Bachman, Model Masalah Progresif Riel, Model Tindakan Piggot-Irvin, model Tindakan Hendrick dan Model Spiral Kemmis dan Taggart. Model Lewin yang ditafsirkan oleh 26 Kemmis menggambarkan sebuah spiral dari beberapa siklus kegiatan. Kegiatan yang terdapat pada siklus terdiri dari mengidentifikasi gagasan umum, menyusun rencana umum, mengembangkan langkah tindakan yang pertama, mengimplementasikan langkah tindakan yang pertama, mengevaluasi dan memperbaiki rancangan umum. 1. Model Penelitian Tindakan Berinteraksi Spiral Stringer, menggambarkan penelitian tindakan sebagai suatu kerangka kerja yang sederhana, namun berpengaruh kuat yang terdiri dari rutinitas melihat, berpikir dan bertindak. Gambar 1 Penelitian Tindakan Berinteraksi Spiral Stringer 2. Model Penelitian Tindakan Spiral Kurt Lewin, yang melukiskan suatu penelitian tindakan spiral yang mencangkup penemuan fakta, perencanaan, pengambilan keputusan, evaluasi dan rencana amandemen sebelum masuk pada langkah selanjutnya. Gambar 2 Penelitian Tindakan Spiral Kurt Lewin 3. Model Siklus Penelitian Tindakan Calhoun, dalam penelitian tindakan ini masih menggambarkan satu proses yang dibangun di sekitar siklikal. Dalam 27 gambar, garis yang tidak terputus mengindikasikan arah utama pada siklus, namun garis yang terputus-putus menunjukan arah maju dan mundur ketika permulusan atau klarifikasi informasi. Gambar 3 Siklus Penelitian Tindakan Calhoun 4. Model Penelitian Tindakan Spiral Bachman, penelitian tindakan ini para peserta mengumpulkan informasi, merencanakan tindakan, mengobservasi, dan mengevaluasi tindakan-tindakan itu, dan kemudian merefleksikan dan merencanakan satu siklus spiral baru berdasarkan kajian yang dikumpulkan pada siklus sebelumnya. Gambar 4 Penelitian Tindakan Spiral Bachman 28 5. Model Pemecahan Masalah Progresif Riel, dalam model penelitian tindakan ini peserta dibawa pada empat langkah pada setiap siklus yaitu perencanaan, pengambilan tindakan, pengumpulan bukti dan refleksi. Gambar 5 Pemecahan Masalah Progresif Riel 6. Model Penelitian Tindakan Piggot-Irvin, dalam penelitian tindakan ini melukiskan sifat spiral dengan menunjukan langkah perencanaan, tindakan dan refleksi melalui tiga siklus penelitian yang berurutan. Gambar 6 Penelitian Tindakan Piggot-Irvin 7. Model Penelitian Tindakan Hendrick, dalam penelitian tindakan ini berfokus pada langkah bertindak, evaluasi dan refleksi. 29 Gambar 7 Penelitian Tindakan Hendrick 8. Model Penelitian Tindakan Spiral Kemmis & Mc Taggart (Hamid, 2009: 14), dalam penelitian ini terdapat 4 tahap yang perlu dilakukan yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (act), observasi dan refleksi. Dalam penelitian ini tindakan dan observasi dijadikan menjadi satu kesatuan. Gambar 8 Penelitian Tindakan Spiral Kemmis & Mc Taggart Peneliti memilih untuk menggunakan model penelitian Spiral Kemmis & Mc Taggart. Karena dalam penelitian ini karena menggambarkan tahap yang dilalui menggunakan 4 tahap, yaitu diawali dengan perencanaan, dilanjutkan tindakan, observasi, dan diakhiri dengan refleksi. Selain itu, pada model ini saat pelaksanaannya, observasi dan tindakan dilakukan secara bersama sesuai yang diharapkan peneliti. 30 2.2 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penerapan NHT dapat meningkatkan hasil belajar matematika, diantaranya penelitian Ratnaningsih (2008), Supadmi (2007),dan Russefendi (2010). Ketiga penelitian tersebut berturut-turut menerapkan NHT pada materi akar dan pangkat, skala dan perbandingan, serta luas gabungan bangun datar pada siswa kelas VI, kelas V dan kelas IV. Ketiga penelitian tersebut telah menyimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Ratnaningsih (2008) menyimpulkan bahwa dengan adanya pembelajaran dengan pendekatan NHThasil belajar siswa dalam belajar mengalami peningkatan, mengingat siswa lebih aktif dalam kelompok untuk memahami materi, berbagi gagasan dan pengetahuan sehingga hasil belajar mengalami peningkatan. Supadmi (2007) menyimpulkan bahwa penerapan tipe NHT pada siswa selain mampu meningkatkan hasil belajar, dapat meningkatkan motivasi dan keaktifan siswa dalam belajar.Hal ini menunjukkan bahwa NHT dapat diterapkan pada pembelajaran matematika di SD. Seperti halnya dengan penelitian Ratnaningsih (2008), Supadmi (2007), dan Russefendi (2010) penelitian ini juga akan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam pembelajaran matematika SD. Penelitian ini akan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe NHT pada penelitian berbentuk PTK. Meskipun demikian, materi dan subjek pada penelitian ini berbeda dengan materi dan subjek pada penelitian sebelumnya. Penelitian ini dilakukan pada subjek siswa kelas V SD N Ngajaran 02 pada materi Perkalian dan Pembagian Pecahan. Pelaksanaan pembelajaran NHT yang dilaksanakan oleh Ratnaningsih, Supadmi dan Russefendi dalam pelaksanaan kegiatannya juga membutuhkan waktu yang lama karena pada sintak menjawab pertanyaan, ketiga penelitian ini memanggil siswa dengan cara satu persatu dalam kelompok dan bergantian untuk menjawab pertanyaan yang diberikan. 31 2.3 Kerangka Pikir Berdasarkan informasi-informasi yang telah terkumpul pada kajian pustaka, pembelajaran NHT merupakan sebuah konsep pembelajaran yang melibatkan para siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut Penggunan pembelajaran kooperatif tipe NHT ini selain guru menjelaskan materi, disini siswa juga akan dibuat aktif belajar, mengajukan pertanyaan tentang materi yang telah disampaikan, terlibat untuk berdiskusi dengan teman kelompoknya. Pembelajaran tidak hanya monoton guru yang aktif, tetapi siswa dapat aktif dalam kegiatan diskusi kelompok. Selanjutnya, guru melakukan pemanggilan siswa dan siswa yang disebutkan kodenya dipersilakan untuk mengerjakan soal di papan tulis dengan kesempatan yang sama. Adapun kerangka pikir dapat digambarkan sebagai berikut. Penomoran Proses Pembelajaran Dominasi Siswa NHT Mengajukan Pertanyaan Hasil Belajar Berpikir Bersama Menjawab Gambar 9 Bagan Kerangka Pikir Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa pembelajaran kooperatif tipe NHT sebagai variabel bebas, sedangkan hasil belajar matematika sebagai variabel terikat. Keadaan pembelajaran yang selama ini masih terfokus pada guru yang menyebabkan siswa kurang aktif, dengan pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe NHT ini akan meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajarnya akan mengalami peningkatan. 32 2.4 Hipotesis Tindakan Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian iniadalah: “Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri 02 Ngajaran tahun pelajaran 2015/2016 pada materi perkalian dan pembagian pecahan”. Dengan perencanaan yang sesuai dengan sintak NHT dan kurikulum yang berlaku, perencanaan yang sesuai dengan langkah-langkah yang telah dirancang, dan pelaksanaan sesuai dengan langkahlangkah yang telah direncanakan.