60 ABSTRAK STRUKTUR POPULASI TUMBUHAN

advertisement
60
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
ABSTRAK
STRUKTUR POPULASI TUMBUHAN SUNGKAI (Peronema canescens
Jack.) DI DESA BELANGIAN KECAMATAN ARANIO KABUPATEN
BANJAR KALIMANTAN SELATAN
Oleh: Isna Lidia Wati, Hardiansyah, Sri Amintarti
Desa Belangian salah satu desa di Kecamatan Aranio yang memiliki
sejumlah tumbuhan yang salah satunya adalah tumbuhan Sungkai
(Peronema canescens Jack.). Pemanfaatan tumbuhan Sungkai untuk
bahan bangunan, obat sakit gigi dan demam panas. Adanya hal tersebut
maka dapat menyebabkan tumbuhan Sungkai mengalami penurunan
jumlah. Tumbuhan sungkai dapat tumbuh secara alami dan belum ada
pembudidayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui struktur populasi tumbuhan
Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa Belangian Kecamatan
Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Metode yang digunakan
adalah metode deskriptif dengan teknik pengambilan sampel secara
observasi ke lapangan dengan menggunakan metode kuadrat yang
ditetapkan secara acak terpilih sebanyak 33 titik dengan luas area 50 Ha.
Pengamatan dilakukan meliputi jumlah semai, sapihan, tiang, dan pohon.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur populasi tumbuhan Sungkai
(Peronema canescens Jack.) terdiri atas pohon 83 individu, tiang 96
individu, sapihan 203 individu, dan semai 241 individu. Bentuk populasi
tumbuhan Sungkai di Desa Belangian ini berbentuk piramida dengan
dasar yang lebar, berarti populasi sedang berkembang.
Kata kunci : Struktur Populasi, Sungkai (Peronema canescens
Jack.)
Pendahuluan
Keanekaragaman jenis tumbuhan dalam suatu komunitas yang
terdapat di alam terdiri atas beberapa populasi. Kebanyakan komunitas
tumbuhan yang berada di alam terdiri lebih dari satu populasi, dimana
keberadaan mereka memungkinkan adanya interaksi. Interaksi antara
berbagai populasi itulah yang dapat memodifikasi potensi genetik tiap
jenis untuk menghasilkan suatu komunitas (Loveless, 1989).
Menurut Wirakusumah (2003), pada dasarnya tidak ada ekosistem
yang homogen, pada sebaran relung yang sempit sekalipun karena
pengaruh mikrohabitat ekosistem beragam (heterogen) lebih-lebih pada
61
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
hamparan lingkungan yang luas misalnya, disebabkan perbedaan
topografi. Perbedaan faktor lingkungan secara alami itu sangat besar dari
satu tempat ke tempat lain hingga heterogenitas ekosistem bersifat
alamiah, pada gilirannya keanekaragaman komunitas yang sangat
heterogen juga merupakan sifat komunitas secara alamiah. Segala aspek
komunitas pada ruangan yang berlainan termasuk struktur komunitas
dengan fenomenanya yang terkait seperti stabilitas atau penyebaran
geografik populasi dan komunitas tertentu.
Menurut Martawijaya & Kartasudjana (1989), Sungkai merupakan
tumbuhan perenial berbunga sepanjang tahun dan berkembangbiak
dengan menggunakan biji. Tumbuhan ini memiliki nilai dekoratif yaitu
sebagai veneer mewah. Sungkai (Peronema canescens Jack.) juga cocok
untuk rangka atap karena ringan dan cukup kuat. Selain itu dipakai untuk
tiang rumah dan bangunan jembatan karena mempunyai gambar yang
menarik berupa garis-garis indah, baik juga untuk furnitur mewah dan
meubel. Menurut Anonim (1993), kulit Sungkai (Peronema canescens
Jack.) juga dapat digunakan sebagai dinding lumbung padi, begitu pula
daunnya digunakan sebagai obat sakit gigi dan demam panas.
Berdasarkan observasi di kawasan Desa Belangian, keadaan
masyarakatnya masih tradisional dan banyak memanfaatkan sumber daya
alam di sekitar adanya hal tersebut maka menyebabkan tumbuhan
Sungkai mengalami penurunan jumlah oleh karena itu perlu diketahui
tentang struktur populasi tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.)
yang diamati berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon menurut Mas’ud
(1998), meliputi jumlah semai (seedling), sapihan (sapling), tiang (poles),
dan pohon (trees) dalam kuadran 10 m x 10 m dengan luas area 50 Ha di
Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan
untuk mengkaji apakah tumbuhan tersebut sudah mendekati langka, kritis
atau berkembang (Mace & Lande,1991).
62
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan
metode deskriptif
dengan teknik
observasi yaitu terjun langsung ke lapangan melakukan pengamatan dan
pengambilan sampel yang ditetapkan secara acak terpilih dengan
menggunakan metode kuadrat ukuran 10 m x 10 m sebanyak 33 titik
pada daerah penelitian seluas 50 Ha yang dibagi menjadi 4 kawasan,
sesuai dengan arah mata angin, dimana lapangan sebagai titik
tengahnya. Pembagian titik-titik ini untuk memudahkan pengambilan
data. Titik sampel ditentukan berdasarkan adanya Sungkai sehingga
semua individu terhitung.
Ada sembilan tahap pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian,
antara lain :
1. Memilih dan menentukan area pengamatan yang sesuai untuk
pengambilan sampel yaitu seluas 50 Ha.
2. Membagi empat daerah pengamatan searah dengan mata angin yaitu
Utara, Timur, Selatan, Barat, dimana lapangan sebagai titik tengahnya .
3. Membuat dan meletakkan kuadran sebanyak 33 titik dengan ukuran 10
m x 10 m yang ditetapkan secara acak terpilih yang diletakkan pada 4
kawasan.
4. Mengukur jumlah semai (seedling), sapihan (sapling), tiang (poles),
pohon (tress) pada tiap kuadran pengamatan.
5. Mengukur parameter lingkungan terutama disekitar tumbuhan sungkai
yang meliputi : suhu udara, kecepatan angin, ketinggian tempat,
intensitas cahaya, kelembaban udara, kelembaban tanah, pH tanah.
6. Mentabulasikan data yang didapat.
7. Membuat dokumentasi hasil penelitian.
8. Menganalisis unsur
N, P, K, dan tekstur tanah yang dilakukan di
laboratorium tanah Fakultas Pertanian Banjarbaru.
9. Melakukan wawancara terhadap masyarakat di Desa Belangian
Kecamatan
Aranio
Kabupaten
Banjar
wawancara sebagai data pendukung.
menggunakan
lembar
63
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
Data dianalisis secara deskriptif dengan cara :
1. Menghitung besaran-besaran meliputi jumlah rata-rata tiap tahapan
yaitu jumlah semai, sapihan, tiang dan pohon dihitung dalam tiap
kuadran atau plot dengan ukuran 10 m x 10 m dengan luas area 50
Ha.
2. Menghitung kerapatan menggunakan rumus dari Michael (1994)
sebagai berikut :
Kerapatan =
Jumlah individu yang terdapat dalam tiap plot
Luas area
3. Menentukan status tumbuhan menurut Tati (1998), kerapatan minimal
suatu populasi tumbuhan berbeda-beda tergantung tempat dan jenis
dari tumbuhan tersebut misalnya pada kawasan 1 km2 adalah 25
individu dewasa.
4. Menentukan status tumbuhan menurut Mace & Lande (1991), suatu
tumbuhan didefinisikan dalam keadaan kritis apabila dalam area 100
km2 populasi ditaksir jumlahnya kurang dari 50 individu dewasa.
5. Menetapkan bentuk struktur populasi berdasarkan Odum (1996) yaitu
bentuk piramida, poligon, dan bentuk pasu atau kendi.
Hasil Penelitian
Struktur populasi tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) di
Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Struktur Populasi Tumbuhan Sungkai (Peronema canescens
Jack.) pada 33 plot dengan luas area 50 Ha di Desa Belangian
Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.
No.
1.
2.
3.
4.
Struktur
Pohon
Tiang
Sapihan
Semai
Jumlah individu
83
96
203
241
Kerapatan
251 pohon/Ha
290 pohon/Ha
615 pohon/Ha
730 pohon/Ha
64
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
Data hasil penelitian tabel 1 terlihat bahwa jumlah rata-rata semai
mempunyai jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah
pohon, sapihan dan tiang. Jika dibuat urutan jumlah berdasarkan umur
maka terlihat gambaran yang jelas seperti pada gambar 1 berikut :
Keterangan :
83
= pohon
96
= tiang
203
= sapihan
= semai
241
Gambar 2. Struktur populasi Tumbuhan Sungkai (Peronema canescens
Jack.) di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan dalam bentuk grafik umum
Jika dibuat dalam grafik batang maka dapat dilihat gambaran yang jelas
seperti pada grafik berikut :
250
241
200
203
150
100
50
83
96
0
Pohon
Tiang
Sapihan
Semai
Gambar 3. Struktur populasi Tumbuhan Sungkai (Peronema canescens
Jack.) di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan dalam bentuk grafik batang
Hasil penelitian terhadap parameter lingkungan tempat tumbuh
Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa Belangian Kecamatan
Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel 2.
65
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
Tabel 2. Kisaran pengukuran faktor lingkungan terhadap keadaan
lingkungan di daerah penelitian
No.
Parameter Lingkungan
Kisaran
Standar Optimal
Pertumbuhan
Khusus
Umum
20 – 32 *
1.
Suhu udara (oC)
2.
3.
4.
5.
6.
50 – 80 ▪
Kelembaban udara (%)
84 - 92
Intensitas cahaya (K.Lux) 3,1 – 10,5
5 – 7,5 **
pH tanah
6,6 – 7,0
80 – 100***
Kelembaban tanah (%)
56 - 74
0,41 – 1,25 ***
Kecepatan angin (m/s)
0 – 1,03
Ketinggian tempat
60
(m.dpl)
Unsur Tanah (%)
N (Nitrogen)
0,33
0,20 – 0,50 •
0,01 – 0,20 •
P (Fosfor)
0,003
0,17 – 3,30 •
K (Kalium)
0,034
Tekstur Tanah (%)
Pasir
0,90
< 20 ••
37,2 •
Debu
57,61
27 – 40 ••
Liat
41,49
7.
8.
9.
27 – 30
4 - 10 •••
0 – 600 ▪▪
5,85 ▪▪▪
1,56 ▪▪▪
Keterangan :
* = Fitter & Hay (1998)
** = Syafei & Taufikurahman (1994)
*** = Michael (1994)
▪ = Anonim (2007)
▪▪ = Prawira (1976)
▪▪▪ = Hairiah,dkk (2000)
• = Buckman & Brady (1982)
•• = Purwowidodo (1991)
••• = Irwanto (2006)
Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan di temukan yaitu jumlah
semai 241, sapihan 203, tiang 96, dan pohon 83. Berdasarkan jumlah
tersebut maka semai lebih besar dari sapihan, sapihan lebih besar dari
66
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
tiang dan tiang lebih besar dari pohon, berarti populasi tersebut dalam
keadaan normal atau sedang berkembang.
Dilihat secara keseluruhan, tumbuhan Sungkai pada area penelitian
ini memiliki kerapatan 1886 pohon/Ha berarti 188600 pohon/km2. Untuk
pohon memiliki kerapatan sebesar 251 pohon/Ha atau 25100 pohon/km2
untuk
tiang dengan kerapatan sebesar 290 pohon/Ha atau 29000
pohon/km2, sapihan dengan kerapatan 615 pohon/Ha atau 61500
pohon/km2, dan semai dengan kerapatan 730 pohon/Ha atau 73000
pohon/km2.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tumbuhan Sungkai
memiliki kerapatan yang tinggi. Sesuai yang dikemukakan Tati (1998),
kerapatan minimal suatu populasi tumbuhan berbeda tergantung tempat
dan jenis dari tumbuhan tersebut. Misalnya untuk tumbuhan di daerah
tropis jumlah minimal yang harus ditemukan pada kawasan 1 km2 adalah
25 individu agar populasi tumbuhan tersebut dapat mempertahankan
keberadaan di suatu kawasan, sedangkan pengamatan di Desa Belangian
bahwa tumbuhan Sungkai di dapatkan kerapatan pohon sebesar 251
pohon/Ha atau 25100 pohon/km2. Hal ini menandakan bahwa Sungkai
tidak tergolong tumbuhan langka.
Diketahuinya kerapatan populasi tumbuhan sungkai ini, maka dapat
dilihat status tumbuhan tersebut. Menurut Mace & Lande (1991), suatu
takson disebut mengalami keadaan kritis jika dalam area 100 km2 status
populasinya ditaksir kurang dari 50 pohon dewasa maka populasi tersebut
berada dalam kondisi kritis. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 83
pohon dewasa dalam area 50 Ha atau 0,5 km2 sehingga dapat dinyatakan
bahwa tumbuhan Sungkai di daerah tersebut berada dalam kondisi normal
atau sedang berkembang.
Dari data hasil pengamatan terhadap struktur populasi tumbuhan
Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa Belangian Kecamatan
Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, didapat gambaran yang
jelas mengenai struktur populasi umur dalam bentuk piramida umur yaitu
67
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
berbentuk piramida dengan dasar yang lebar dengan ciri jumlah Sungkai
muda yang besar. Hal ini menunjukkan Sungkai masih tetap bertahan
hidup di tempat tersebut, karena tumbuhan dewasa atau tua dapat
digantikan oleh tumbuhan muda. Selain itu, penelitian juga menemukan
bahwa jumlah semai lebih banyak daripada sapihan dan individu dewasa.
Bagi tumbuhan sungkai yang penyebarannya tidak merata di Desa
Belangian tersebut disebabkan adanya sumber daya pemenuhan
kebutuhan hidupnya baik berupa sumber daya pendukung pertumbuhan,
cahaya, unsur hara dan faktor lingkungan yang tidak merata selain itu
adanya persaingan antar populasi atau dengan jenis lainnya, sehingga
dapat menyebabkan tumbuhan Sungkai dapat mengalami penyusutan
atau penambahan.
Menurut Michael (1994), bahwa tumbuhan yang bertahan hidup
terhadap faktor lingkungan dan bersaing terhadap sesamanya akan tetap
berkembang dan jenis yang tidak mampu akan musnah. Organisme pada
suatu lingkungan berkait erat dengan yang ada di sekelilingnya, sehingga
mereka akan membantu bagian dari lingkungannya sendiri. Suatu
tumbuhan khususnya pohon Sungkai dapat tumbuh berhasil pada suatu
lingkungan
tertentu,
maka
lingkungan
tersebut
harus
mampu
menyediakan berbagai keperluan untuk tumbuh dan mampu melengkapi
hidupnya. Keberadaan
tumbuhan di alam tidak tersebar begitu saja.
Perbedaan kondisi lingkungan, ketersediaan daya dukung atau sumber
daya penunjang kehidupan, ekosistem dan gangguan yang muncul,
hanyalah beberapa sekian faktor yang mempengaruhi jumlah populasi
dan pola penyebarannya.
Menurut Ramli & Hardiansyah (2000), kondisi lingkungan yang
berbeda tidak cuma mengubah penyebaran dan keberadaan suatu jenis
tumbuhan saja tetapi juga tingkat pertumbuhan kesuburan, kelebatan,
percabangan, sebaran daun, jangkauan akar dan ukuran individu itu
sendiri.
68
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
Menurut Irwan (1996), struktur populasi dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu lingkungan, cara reproduksi dan aktivitas manusia. Status suatu
populasi ditentukan oleh status reproduktif yang sedang berlangsung dari
populasi.
Biasanya
populasi
yang
sedang
berkembang
cepat
mengandung sebagian besar individu-individu muda.
Faktor lain yang juga mempengaruhi pertumbuhan Sungkai adalah
kandungan-kandungan bahan organik di dalam tanah. Tanah merupakan
campuran yang heterogen dan beragam dari partikel mineral anorganik,
hasil rombakan bahan organik dan berbagai jenis mikroorganisme yang
bersama-sama dengan udara dan air yang di dalamnya terlarut berbagai
garam-garam anorganik serta senyawa organik (Lakitan, 2000). Menurut
Khadijah (2002), suhu udara, cahaya, akan dapat mempengaruhi
pembentukan humus di dalam tanah. Nutrien yang berasal dari dalam
tanah tersebut berasal dari mineral anorganik seperti nitrat, fosfat,
potasium dan kalium.
Disamping unsur hara maka tekstur tanah juga sangat berpengaruh
terhadap petumbuhan tanaman. Menurut Sasmitamihardja & Siregar
(1996), kemampuan tanah untuk mengikat air dapat berbeda-beda
tergantung halus dan kasarnya tekstur tanah. Semakin halus tekstur tanah
maka semakin besar kemampuan tanah tersebut untuk mengikat air. Tipe
tanah di kawasan tersebut adalah geluh lempung debuan. Menurut
Purwowidodo (1991), tanah seperti ini umumnya memiliki daya menahan
air rendah, lekat, bergumpal, gerakan air dan udara lambat. Tanah
semacam ini sangat ideal untuk tanah pertanian bukan untuk tanah
perkebunan. Gerakan air dan udara yang lambat dapat mempengaruhi
pertumbuhan Sungkai yang cocok hidup di tanah liat atau berpasir.
Berdasarkan hasil wawancara bahwa tumbuhan Sungkai jumlahnya
tidak sebanyak dulu disebabkan aktivitas masyarakat setempat yang
memanfaatkan tumbuhan Sungkai untuk bahan bangunan yang dapat
mempengaruhi keadaan populasi tumbuhan sungkai, sedangkan dari
masyarakat itu sendiri belum ada upaya pelestarian meskipun belum
69
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
dilakukan secara menyeluruh. Walaupun pemanfaatan terus menerus
dilakukan oleh masyarakat dengan penebangan terpilih sedangkan untuk
penanaman kembali mereka tanpa melakukan pembudidayaan secara
langsung.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa struktur
populasi tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa
Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan
ditemukan 623 individu yang terdiri atas 83 pohon, 96 tiang, 203 sapihan,
dan 241 semai. Populasi tumbuhan Sungkai berbentuk piramida dengan
dasar yang lebar, yang berarti sedang berkembang.
Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai Dinamika Populasi
Tumbuhan Sungkai di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten
Banjar Kalimantan Selatan, mengingat dimasa-masa yang akan
datang apabila tidak kita jaga dan lestarikan akan berkurang atau
habis.
2. Perlu dilakukan usaha pembudidayaan dan penanaman tumbuhan
Sungkai oleh masyarakat guna melindungi tanaman di habitat aslinya
yang di bantu oleh pemerintah setempat untuk menghimbau
masyarakat di daerah lain agar menjaga kelestarian tumbuhan
Sungkai dengan menanam dan memelihara di berbagai daerah agar
masyarakat yang awalnya tidak mengenal tumbuhan Sungkai dapat
mengetahui
bagaimana
tumbuhan
Sungkai
tersebut
beserta
kegunaannya.
Daftar Pustaka
Anonim, 1993. Sungkai. http://www.edu170008 blog.com/Basusuran.
Akses tanggal 16 Juli 2008.
----------, 2007. http :/www. Iptek. Net.id/ind/warintek/?mnu = 6 & ttg = 2 &
doc = 2a12. Akses tanggal 18 Desember 2008.
70
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
Buckman, H. O. & N. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Soegiman.
Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Fitter, A. H. & Hay. 1981. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Hairiah, Kurniatun, S. Rahayu Utami, B. Lusiana, M. Van Noordwijk.
2000. Neraca Hara dan Karbon Dalam Sistem Agroforestri.
http://www. Worldagroforestry. Org/ sea/ products/ AFModels/
wanulcas/ Files14110002/Lecture Notes/Lecture Note6.pdf. Akses
tanggal 21 Oktober 2008.
Irwan, Z. D. 1996. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem
Komunitas Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta.
Irwanto. 2006. Prespektif Silvika Dalam Keanekaragaman Hayati dan
Silvikultur. http://www.irwantoshut.com. Akses tanggal 29 Januari
2009.
Khadijah, Siti. 2002. Struktur Populasi Tumbuhan Ulin (Eusideroxylon
zwageri) Di Hutan Hamarau Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar.
Skripsi Sarjana. Unlam. Tidak dipublikasikan.
Lakitan, Benjamin. 2000. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Loveless, A. R. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah
Tropika 2. PT Gramedia. Jakarta.
Mace, G. M. & R. Lande. 1991. Assessing Extinctionof IUCN Threatened
Species of Categorie. Conservation Biology 5.
Martawijaya, A & I. Kartasudjana. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid I.
Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Bogor.
Mas’ud. 1998. Dasar Umum Ilmu Kehutanan. Badan Kerjasama PTN
Indonesia Bagian Utara.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan
Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koestoer. Usaha Nasional.
Jakarta.
Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi Edisi ke-3. Terjemahan Tjahjono
Samingan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
71
Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010
Prawira, R.S.A. 1976. Pengenalan Jenis-Jenis Pohon Ekspor Seri Ke VII.
Lembaga Penelitian. Bogor.
Purwowidodo. 1991. Genesa Tanah : Proses Genesa dan Morfologi. CV.
Rajawali, Jakarta.
Ramli, D & Hardiansyah. 2000. Ekologi Tumbuhan. Unlam. Banjarmasin.
Sasmitamihardja, D. & A. Siregar. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Jurusan
Biologi FMIPA-ITB. Bandung.
Syafei, E.S. & Taufikurahman. 1994. Pengantar Ekologi Tumbuhan.
Fakultas MIPA ITB. Bandung.
Tati, S. 1998. Pengukuran Kuantitatif Populasi. (Makalah Seminar Kapita
Selekta Pasca Sarjana Biologi ITB). ITB. Bandung. Tidak
dipublikasikan.
Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi Bagi Populasi dan
Komunitas. UI Press. Jakarta.
Download