60 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 ABSTRAK STRUKTUR POPULASI TUMBUHAN SUNGKAI (Peronema canescens Jack.) DI DESA BELANGIAN KECAMATAN ARANIO KABUPATEN BANJAR KALIMANTAN SELATAN Oleh: Isna Lidia Wati, Hardiansyah, Sri Amintarti Desa Belangian salah satu desa di Kecamatan Aranio yang memiliki sejumlah tumbuhan yang salah satunya adalah tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.). Pemanfaatan tumbuhan Sungkai untuk bahan bangunan, obat sakit gigi dan demam panas. Adanya hal tersebut maka dapat menyebabkan tumbuhan Sungkai mengalami penurunan jumlah. Tumbuhan sungkai dapat tumbuh secara alami dan belum ada pembudidayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui struktur populasi tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik pengambilan sampel secara observasi ke lapangan dengan menggunakan metode kuadrat yang ditetapkan secara acak terpilih sebanyak 33 titik dengan luas area 50 Ha. Pengamatan dilakukan meliputi jumlah semai, sapihan, tiang, dan pohon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur populasi tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) terdiri atas pohon 83 individu, tiang 96 individu, sapihan 203 individu, dan semai 241 individu. Bentuk populasi tumbuhan Sungkai di Desa Belangian ini berbentuk piramida dengan dasar yang lebar, berarti populasi sedang berkembang. Kata kunci : Struktur Populasi, Sungkai (Peronema canescens Jack.) Pendahuluan Keanekaragaman jenis tumbuhan dalam suatu komunitas yang terdapat di alam terdiri atas beberapa populasi. Kebanyakan komunitas tumbuhan yang berada di alam terdiri lebih dari satu populasi, dimana keberadaan mereka memungkinkan adanya interaksi. Interaksi antara berbagai populasi itulah yang dapat memodifikasi potensi genetik tiap jenis untuk menghasilkan suatu komunitas (Loveless, 1989). Menurut Wirakusumah (2003), pada dasarnya tidak ada ekosistem yang homogen, pada sebaran relung yang sempit sekalipun karena pengaruh mikrohabitat ekosistem beragam (heterogen) lebih-lebih pada 61 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 hamparan lingkungan yang luas misalnya, disebabkan perbedaan topografi. Perbedaan faktor lingkungan secara alami itu sangat besar dari satu tempat ke tempat lain hingga heterogenitas ekosistem bersifat alamiah, pada gilirannya keanekaragaman komunitas yang sangat heterogen juga merupakan sifat komunitas secara alamiah. Segala aspek komunitas pada ruangan yang berlainan termasuk struktur komunitas dengan fenomenanya yang terkait seperti stabilitas atau penyebaran geografik populasi dan komunitas tertentu. Menurut Martawijaya & Kartasudjana (1989), Sungkai merupakan tumbuhan perenial berbunga sepanjang tahun dan berkembangbiak dengan menggunakan biji. Tumbuhan ini memiliki nilai dekoratif yaitu sebagai veneer mewah. Sungkai (Peronema canescens Jack.) juga cocok untuk rangka atap karena ringan dan cukup kuat. Selain itu dipakai untuk tiang rumah dan bangunan jembatan karena mempunyai gambar yang menarik berupa garis-garis indah, baik juga untuk furnitur mewah dan meubel. Menurut Anonim (1993), kulit Sungkai (Peronema canescens Jack.) juga dapat digunakan sebagai dinding lumbung padi, begitu pula daunnya digunakan sebagai obat sakit gigi dan demam panas. Berdasarkan observasi di kawasan Desa Belangian, keadaan masyarakatnya masih tradisional dan banyak memanfaatkan sumber daya alam di sekitar adanya hal tersebut maka menyebabkan tumbuhan Sungkai mengalami penurunan jumlah oleh karena itu perlu diketahui tentang struktur populasi tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) yang diamati berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon menurut Mas’ud (1998), meliputi jumlah semai (seedling), sapihan (sapling), tiang (poles), dan pohon (trees) dalam kuadran 10 m x 10 m dengan luas area 50 Ha di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan untuk mengkaji apakah tumbuhan tersebut sudah mendekati langka, kritis atau berkembang (Mace & Lande,1991). 62 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik observasi yaitu terjun langsung ke lapangan melakukan pengamatan dan pengambilan sampel yang ditetapkan secara acak terpilih dengan menggunakan metode kuadrat ukuran 10 m x 10 m sebanyak 33 titik pada daerah penelitian seluas 50 Ha yang dibagi menjadi 4 kawasan, sesuai dengan arah mata angin, dimana lapangan sebagai titik tengahnya. Pembagian titik-titik ini untuk memudahkan pengambilan data. Titik sampel ditentukan berdasarkan adanya Sungkai sehingga semua individu terhitung. Ada sembilan tahap pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian, antara lain : 1. Memilih dan menentukan area pengamatan yang sesuai untuk pengambilan sampel yaitu seluas 50 Ha. 2. Membagi empat daerah pengamatan searah dengan mata angin yaitu Utara, Timur, Selatan, Barat, dimana lapangan sebagai titik tengahnya . 3. Membuat dan meletakkan kuadran sebanyak 33 titik dengan ukuran 10 m x 10 m yang ditetapkan secara acak terpilih yang diletakkan pada 4 kawasan. 4. Mengukur jumlah semai (seedling), sapihan (sapling), tiang (poles), pohon (tress) pada tiap kuadran pengamatan. 5. Mengukur parameter lingkungan terutama disekitar tumbuhan sungkai yang meliputi : suhu udara, kecepatan angin, ketinggian tempat, intensitas cahaya, kelembaban udara, kelembaban tanah, pH tanah. 6. Mentabulasikan data yang didapat. 7. Membuat dokumentasi hasil penelitian. 8. Menganalisis unsur N, P, K, dan tekstur tanah yang dilakukan di laboratorium tanah Fakultas Pertanian Banjarbaru. 9. Melakukan wawancara terhadap masyarakat di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar wawancara sebagai data pendukung. menggunakan lembar 63 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 Data dianalisis secara deskriptif dengan cara : 1. Menghitung besaran-besaran meliputi jumlah rata-rata tiap tahapan yaitu jumlah semai, sapihan, tiang dan pohon dihitung dalam tiap kuadran atau plot dengan ukuran 10 m x 10 m dengan luas area 50 Ha. 2. Menghitung kerapatan menggunakan rumus dari Michael (1994) sebagai berikut : Kerapatan = Jumlah individu yang terdapat dalam tiap plot Luas area 3. Menentukan status tumbuhan menurut Tati (1998), kerapatan minimal suatu populasi tumbuhan berbeda-beda tergantung tempat dan jenis dari tumbuhan tersebut misalnya pada kawasan 1 km2 adalah 25 individu dewasa. 4. Menentukan status tumbuhan menurut Mace & Lande (1991), suatu tumbuhan didefinisikan dalam keadaan kritis apabila dalam area 100 km2 populasi ditaksir jumlahnya kurang dari 50 individu dewasa. 5. Menetapkan bentuk struktur populasi berdasarkan Odum (1996) yaitu bentuk piramida, poligon, dan bentuk pasu atau kendi. Hasil Penelitian Struktur populasi tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1. Struktur Populasi Tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) pada 33 plot dengan luas area 50 Ha di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. No. 1. 2. 3. 4. Struktur Pohon Tiang Sapihan Semai Jumlah individu 83 96 203 241 Kerapatan 251 pohon/Ha 290 pohon/Ha 615 pohon/Ha 730 pohon/Ha 64 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 Data hasil penelitian tabel 1 terlihat bahwa jumlah rata-rata semai mempunyai jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah pohon, sapihan dan tiang. Jika dibuat urutan jumlah berdasarkan umur maka terlihat gambaran yang jelas seperti pada gambar 1 berikut : Keterangan : 83 = pohon 96 = tiang 203 = sapihan = semai 241 Gambar 2. Struktur populasi Tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dalam bentuk grafik umum Jika dibuat dalam grafik batang maka dapat dilihat gambaran yang jelas seperti pada grafik berikut : 250 241 200 203 150 100 50 83 96 0 Pohon Tiang Sapihan Semai Gambar 3. Struktur populasi Tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dalam bentuk grafik batang Hasil penelitian terhadap parameter lingkungan tempat tumbuh Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel 2. 65 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 Tabel 2. Kisaran pengukuran faktor lingkungan terhadap keadaan lingkungan di daerah penelitian No. Parameter Lingkungan Kisaran Standar Optimal Pertumbuhan Khusus Umum 20 – 32 * 1. Suhu udara (oC) 2. 3. 4. 5. 6. 50 – 80 ▪ Kelembaban udara (%) 84 - 92 Intensitas cahaya (K.Lux) 3,1 – 10,5 5 – 7,5 ** pH tanah 6,6 – 7,0 80 – 100*** Kelembaban tanah (%) 56 - 74 0,41 – 1,25 *** Kecepatan angin (m/s) 0 – 1,03 Ketinggian tempat 60 (m.dpl) Unsur Tanah (%) N (Nitrogen) 0,33 0,20 – 0,50 • 0,01 – 0,20 • P (Fosfor) 0,003 0,17 – 3,30 • K (Kalium) 0,034 Tekstur Tanah (%) Pasir 0,90 < 20 •• 37,2 • Debu 57,61 27 – 40 •• Liat 41,49 7. 8. 9. 27 – 30 4 - 10 ••• 0 – 600 ▪▪ 5,85 ▪▪▪ 1,56 ▪▪▪ Keterangan : * = Fitter & Hay (1998) ** = Syafei & Taufikurahman (1994) *** = Michael (1994) ▪ = Anonim (2007) ▪▪ = Prawira (1976) ▪▪▪ = Hairiah,dkk (2000) • = Buckman & Brady (1982) •• = Purwowidodo (1991) ••• = Irwanto (2006) Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan di temukan yaitu jumlah semai 241, sapihan 203, tiang 96, dan pohon 83. Berdasarkan jumlah tersebut maka semai lebih besar dari sapihan, sapihan lebih besar dari 66 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 tiang dan tiang lebih besar dari pohon, berarti populasi tersebut dalam keadaan normal atau sedang berkembang. Dilihat secara keseluruhan, tumbuhan Sungkai pada area penelitian ini memiliki kerapatan 1886 pohon/Ha berarti 188600 pohon/km2. Untuk pohon memiliki kerapatan sebesar 251 pohon/Ha atau 25100 pohon/km2 untuk tiang dengan kerapatan sebesar 290 pohon/Ha atau 29000 pohon/km2, sapihan dengan kerapatan 615 pohon/Ha atau 61500 pohon/km2, dan semai dengan kerapatan 730 pohon/Ha atau 73000 pohon/km2. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tumbuhan Sungkai memiliki kerapatan yang tinggi. Sesuai yang dikemukakan Tati (1998), kerapatan minimal suatu populasi tumbuhan berbeda tergantung tempat dan jenis dari tumbuhan tersebut. Misalnya untuk tumbuhan di daerah tropis jumlah minimal yang harus ditemukan pada kawasan 1 km2 adalah 25 individu agar populasi tumbuhan tersebut dapat mempertahankan keberadaan di suatu kawasan, sedangkan pengamatan di Desa Belangian bahwa tumbuhan Sungkai di dapatkan kerapatan pohon sebesar 251 pohon/Ha atau 25100 pohon/km2. Hal ini menandakan bahwa Sungkai tidak tergolong tumbuhan langka. Diketahuinya kerapatan populasi tumbuhan sungkai ini, maka dapat dilihat status tumbuhan tersebut. Menurut Mace & Lande (1991), suatu takson disebut mengalami keadaan kritis jika dalam area 100 km2 status populasinya ditaksir kurang dari 50 pohon dewasa maka populasi tersebut berada dalam kondisi kritis. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 83 pohon dewasa dalam area 50 Ha atau 0,5 km2 sehingga dapat dinyatakan bahwa tumbuhan Sungkai di daerah tersebut berada dalam kondisi normal atau sedang berkembang. Dari data hasil pengamatan terhadap struktur populasi tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, didapat gambaran yang jelas mengenai struktur populasi umur dalam bentuk piramida umur yaitu 67 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 berbentuk piramida dengan dasar yang lebar dengan ciri jumlah Sungkai muda yang besar. Hal ini menunjukkan Sungkai masih tetap bertahan hidup di tempat tersebut, karena tumbuhan dewasa atau tua dapat digantikan oleh tumbuhan muda. Selain itu, penelitian juga menemukan bahwa jumlah semai lebih banyak daripada sapihan dan individu dewasa. Bagi tumbuhan sungkai yang penyebarannya tidak merata di Desa Belangian tersebut disebabkan adanya sumber daya pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa sumber daya pendukung pertumbuhan, cahaya, unsur hara dan faktor lingkungan yang tidak merata selain itu adanya persaingan antar populasi atau dengan jenis lainnya, sehingga dapat menyebabkan tumbuhan Sungkai dapat mengalami penyusutan atau penambahan. Menurut Michael (1994), bahwa tumbuhan yang bertahan hidup terhadap faktor lingkungan dan bersaing terhadap sesamanya akan tetap berkembang dan jenis yang tidak mampu akan musnah. Organisme pada suatu lingkungan berkait erat dengan yang ada di sekelilingnya, sehingga mereka akan membantu bagian dari lingkungannya sendiri. Suatu tumbuhan khususnya pohon Sungkai dapat tumbuh berhasil pada suatu lingkungan tertentu, maka lingkungan tersebut harus mampu menyediakan berbagai keperluan untuk tumbuh dan mampu melengkapi hidupnya. Keberadaan tumbuhan di alam tidak tersebar begitu saja. Perbedaan kondisi lingkungan, ketersediaan daya dukung atau sumber daya penunjang kehidupan, ekosistem dan gangguan yang muncul, hanyalah beberapa sekian faktor yang mempengaruhi jumlah populasi dan pola penyebarannya. Menurut Ramli & Hardiansyah (2000), kondisi lingkungan yang berbeda tidak cuma mengubah penyebaran dan keberadaan suatu jenis tumbuhan saja tetapi juga tingkat pertumbuhan kesuburan, kelebatan, percabangan, sebaran daun, jangkauan akar dan ukuran individu itu sendiri. 68 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 Menurut Irwan (1996), struktur populasi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu lingkungan, cara reproduksi dan aktivitas manusia. Status suatu populasi ditentukan oleh status reproduktif yang sedang berlangsung dari populasi. Biasanya populasi yang sedang berkembang cepat mengandung sebagian besar individu-individu muda. Faktor lain yang juga mempengaruhi pertumbuhan Sungkai adalah kandungan-kandungan bahan organik di dalam tanah. Tanah merupakan campuran yang heterogen dan beragam dari partikel mineral anorganik, hasil rombakan bahan organik dan berbagai jenis mikroorganisme yang bersama-sama dengan udara dan air yang di dalamnya terlarut berbagai garam-garam anorganik serta senyawa organik (Lakitan, 2000). Menurut Khadijah (2002), suhu udara, cahaya, akan dapat mempengaruhi pembentukan humus di dalam tanah. Nutrien yang berasal dari dalam tanah tersebut berasal dari mineral anorganik seperti nitrat, fosfat, potasium dan kalium. Disamping unsur hara maka tekstur tanah juga sangat berpengaruh terhadap petumbuhan tanaman. Menurut Sasmitamihardja & Siregar (1996), kemampuan tanah untuk mengikat air dapat berbeda-beda tergantung halus dan kasarnya tekstur tanah. Semakin halus tekstur tanah maka semakin besar kemampuan tanah tersebut untuk mengikat air. Tipe tanah di kawasan tersebut adalah geluh lempung debuan. Menurut Purwowidodo (1991), tanah seperti ini umumnya memiliki daya menahan air rendah, lekat, bergumpal, gerakan air dan udara lambat. Tanah semacam ini sangat ideal untuk tanah pertanian bukan untuk tanah perkebunan. Gerakan air dan udara yang lambat dapat mempengaruhi pertumbuhan Sungkai yang cocok hidup di tanah liat atau berpasir. Berdasarkan hasil wawancara bahwa tumbuhan Sungkai jumlahnya tidak sebanyak dulu disebabkan aktivitas masyarakat setempat yang memanfaatkan tumbuhan Sungkai untuk bahan bangunan yang dapat mempengaruhi keadaan populasi tumbuhan sungkai, sedangkan dari masyarakat itu sendiri belum ada upaya pelestarian meskipun belum 69 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 dilakukan secara menyeluruh. Walaupun pemanfaatan terus menerus dilakukan oleh masyarakat dengan penebangan terpilih sedangkan untuk penanaman kembali mereka tanpa melakukan pembudidayaan secara langsung. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa struktur populasi tumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack.) di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan ditemukan 623 individu yang terdiri atas 83 pohon, 96 tiang, 203 sapihan, dan 241 semai. Populasi tumbuhan Sungkai berbentuk piramida dengan dasar yang lebar, yang berarti sedang berkembang. Saran 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai Dinamika Populasi Tumbuhan Sungkai di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, mengingat dimasa-masa yang akan datang apabila tidak kita jaga dan lestarikan akan berkurang atau habis. 2. Perlu dilakukan usaha pembudidayaan dan penanaman tumbuhan Sungkai oleh masyarakat guna melindungi tanaman di habitat aslinya yang di bantu oleh pemerintah setempat untuk menghimbau masyarakat di daerah lain agar menjaga kelestarian tumbuhan Sungkai dengan menanam dan memelihara di berbagai daerah agar masyarakat yang awalnya tidak mengenal tumbuhan Sungkai dapat mengetahui bagaimana tumbuhan Sungkai tersebut beserta kegunaannya. Daftar Pustaka Anonim, 1993. Sungkai. http://www.edu170008 blog.com/Basusuran. Akses tanggal 16 Juli 2008. ----------, 2007. http :/www. Iptek. Net.id/ind/warintek/?mnu = 6 & ttg = 2 & doc = 2a12. Akses tanggal 18 Desember 2008. 70 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 Buckman, H. O. & N. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Soegiman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Fitter, A. H. & Hay. 1981. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Hairiah, Kurniatun, S. Rahayu Utami, B. Lusiana, M. Van Noordwijk. 2000. Neraca Hara dan Karbon Dalam Sistem Agroforestri. http://www. Worldagroforestry. Org/ sea/ products/ AFModels/ wanulcas/ Files14110002/Lecture Notes/Lecture Note6.pdf. Akses tanggal 21 Oktober 2008. Irwan, Z. D. 1996. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta. Irwanto. 2006. Prespektif Silvika Dalam Keanekaragaman Hayati dan Silvikultur. http://www.irwantoshut.com. Akses tanggal 29 Januari 2009. Khadijah, Siti. 2002. Struktur Populasi Tumbuhan Ulin (Eusideroxylon zwageri) Di Hutan Hamarau Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar. Skripsi Sarjana. Unlam. Tidak dipublikasikan. Lakitan, Benjamin. 2000. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Loveless, A. R. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropika 2. PT Gramedia. Jakarta. Mace, G. M. & R. Lande. 1991. Assessing Extinctionof IUCN Threatened Species of Categorie. Conservation Biology 5. Martawijaya, A & I. Kartasudjana. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Mas’ud. 1998. Dasar Umum Ilmu Kehutanan. Badan Kerjasama PTN Indonesia Bagian Utara. Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koestoer. Usaha Nasional. Jakarta. Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi Edisi ke-3. Terjemahan Tjahjono Samingan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 71 Jurnal Wahana-Bio Volume III Juni 2010 Prawira, R.S.A. 1976. Pengenalan Jenis-Jenis Pohon Ekspor Seri Ke VII. Lembaga Penelitian. Bogor. Purwowidodo. 1991. Genesa Tanah : Proses Genesa dan Morfologi. CV. Rajawali, Jakarta. Ramli, D & Hardiansyah. 2000. Ekologi Tumbuhan. Unlam. Banjarmasin. Sasmitamihardja, D. & A. Siregar. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Jurusan Biologi FMIPA-ITB. Bandung. Syafei, E.S. & Taufikurahman. 1994. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Fakultas MIPA ITB. Bandung. Tati, S. 1998. Pengukuran Kuantitatif Populasi. (Makalah Seminar Kapita Selekta Pasca Sarjana Biologi ITB). ITB. Bandung. Tidak dipublikasikan. Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas. UI Press. Jakarta.