IMPLEMENTASI PASAL 31 UNDANG-UNDANG

advertisement
IMPLEMENTASI PASAL 31 UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1981
TENTANG METROLOGI LEGAL TERHADAP BDKT (Barang Dalam Keadaan
Terbungkus) PADA MINIMARKET DI KOTA SAMARINDA
Abstrak
Sandi Oktaviarta, Implementasi Pasal 31 Undang-undang No. 2 Tahun
1981 Tentang Metrologi Terhadap Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT)
Pada Minimarket di Kota Samarinda di bawah bimbingan Bapak Dr. Mahendra
Putra Kurnia, S.H., M.H selaku Pembimbing Utama dan Ibu Erna Susanti, S.H.,
M.H selaku Pembimbing Pendamping.
Dalam rangka untuk melindungi kepentingan umum perlu adanya jaminan dalam
kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian
satuan ukuran, standar satuan, metoda pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya maka dibentuklah Undang-undang No.2 Tahun 1981 tentang Metrologi
Legal, yang didalamnya juga memuat aturan mengenai Barang Dalam Keadaan
Terbungkus (BDKT).
Pada prakteknya banyak terjadi pelanggaran maupun pengabaian hukum dalam
implementasi di lapangan pada ketentuan Pasal 31 Undang-undang No.2 Tahun 1981
tentang Metrologi Legal yang mempunyai dampak sangat merugikan bagi konsumen
pengguna barang dalam keadaan terbungkus tersebut. Berdasarkan hal tersebut, rumusan
masalah yang dikemukakan adalah Bagaimana Implementasi Pasal 31 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal terhadap Barang Dalam Keadaan
Terbungkus (BDKT) pada Minimarket di kota dan apa saja faktor penghambat dalam
penerapan pasal 31 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
terhadap Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT) pada Minimarket di kota Samarinda.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Implementasi Pasal 31
Undang-undang No.2 tentang Metrologi Legal oleh Pelaku Usaha Minimarket Kota
Samarinda belum terlaksana dengan baik. Faktor penghambatnya, yaitu faktor penegak
hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, hambatan
karena faktor sarana atau fasilitas yang mendukung, hambatan karena masyarakat, serta
hambatan budaya hukum yang rendah. Karena itu Perlu adanya komitmen dan konsistensi
bersama dalam menjalankan aturan yang telah ada antara Pemerintah dalam hal ini
Disperindag dan Pelaku Usaha khususnya Pengusaha Minimarket, serta penegakan hukum
yang konsisten dan konsekuen oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Disperindag
terhadap pelanggaran yang terjadi.
Kata Kunci
:Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT), Usaha Minimarket,
Implementasi Hukum
Pendahuluan
Dalam era globalisasi perdagangan yang membawa konsekuensi logis akan
tuntutan kualitas dan kuantitas produk yang memenuhi syarat, maka diperlukan
harmonisasi peraturan agar setiap negara tidak perlu lagi melakukan verifikasi dan
penerapan menejemen mutu ISO 9000 dan 9002 yang salah satu basisnya adalah alat
ukur. Kepastian dalam pengukuran dapat menekan jumlah selisih dan biaya transaksi.
Maka pengukuran memegang peranan penting dan mendapatkan perhatian para
pihak yang berkepentingan setiap melakukan kontrak jual beli.
Salah satu unsur terpenting dalam dunia perdagangan yang diperlukan
ialah terciptanya tertib ukur, takar, timbang guna mencapai tertib niaga. Dalam setiap
transaksi jual beli barang, baik kualitas maupun kuantitasnya harus selalu terjamin
jumlah maupun ukurannya, sehingga produsen/penjual dan konsumen/pembeli tidak
merasa dirugikan karena penggunaan Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya
(UTTP) secara tidak benar. Peran metrologi dalam pengelolaan standar ukuran
sangatlah penting untuk meningkatkan daya saing nasional. Kegiatan pengukuran dan
penimbangan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat
sehari-hari mengingat hasil pengukuran dijadikan sebagai dasar/acuan transaksi
perdagangan.
Permasalahan mengenai segala sesuatu dalam ukur mengukur, takar menakar
dan timbang menimbang secara luas yang lazim disebut permasalahan “metrologi”
mencakup semua teori maupun praktek yang berhubungan dengan pengukuran yaitu
macamnya, sifatnya, keseksamaan dan kebenarannya. Metrologi yang berhubungan
dengan satuan-satuan ukuran, cara-cara atau metode pengukuran dan alat-alat ukur,
takar, timbang dan perlengkapannya dan syarat-syarat, teknik serta peraturanperaturan pelengkap yang ditetapkan dalam atau berdasarkan undang-undang yang
bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pengabdian kepada umum tentang
pengawasan dan kebenaran pengukuran disebut “metrologi legal” (legal metrology
atau metrologie legate).
Selaras dengan perkembangan dan pesatnya kemajuan produksi dan
perdagangan, maka barang-barang dagangan dalam keadan terbungkus mempunyai
peranan yang sangat penting. Diantaranya dapat memberikan kemudahan pelaku
usaha dalam hal penjualan dan pendistribusian barang dari satu tempat ketempat
lainnya.
Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Samarinda Barang Dalam
Keadaan Terbungkus (BDKT) berpotensi menimbulkan permasalahan bagi konsumen.
Dengan dibungkus dan dikemasnya barang tersebut bukan tidak menimbulkan
permasalahan baru bagi konsumen jika BDKT tidak mencantumkan label. Label adalah
setiap keterangan mengenai produk barang yang berbentuk gambar, tulisan,
kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada produk, dimasukan,
ditempelkan dan atau dicantumkan yang merupakan bagian dari bungkus atau
kemasan. Label menjadi sumber informasi bagi konsumen dan merupakan media
komunikasi antara pelaku usaha dan konsumen dalam mengenalkan produknya.
Selain itu informasi pada label adalah penentu bagi konsumen untuk memutuskan
membeli atau tidak.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Samarinda juga menyatakan
bahwa terdapat 21 Minimarket yang BDKT tidak sesuai dengan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal dan hasil pengukuran ulang baik, serta
terdapat 32 Minimarket yang BDKT tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 2
Tahun 1981 tentang Metrologi Legal dan hasil pengukuran ulang kurang, dengan
rincian 24 Mini Market pengukuran ulang diatas batas toleransi kesalahan negatif >
1.5% dan 15 g dan 8 Minimarket pengukuran ulang dibawah batas toleransi
kesalahan negatif < 1.5% dan 15 g.
dari
pernyataan
tersebut
menandakan
bahwa banyak produsen/pedagang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 31
Undang-undang Nomor 2 tentang Metrologi Legal yaitu : “Dilarang membuat,
mengedarkan, membungkus atau menyimpan untuk dijual, atau menawarkan untuk
dibeli, semua barang dalam keadaan terbungkus yang ukuran, isi bersih, berat bersih
atau jumlah hitungannya: a. kurang daripada yang tercantum pada bungkus atau
labelnya, atau b. menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 22
Undang-undang ini.”
Sebagaimana yang diketahui bahwa sistem kuantitas BDKT
berdasarkan
Undang-undang Nomor 2 tentang Metrologi Legal adalah sistem kuntitas minimum
yaitu sistem yang mewajibkan pelaku usaha BDKT untuk menjamin kuantitas BDKT
yang dijual tidak kurang dari pada yang tercantum pada bungkus atau lebelnya.
Sistem kuantitas minimum memiliki kepastian hukum dan menjamin perlindungan
terhadap konsumen, karena dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak sehat
atau tidak jujur dari para pembuat, pembungkus, dan atau pengedar barang untuk
mengambil keuntungan dari ukuran, isi, berat, atau jumlah yang diserahkan.
Dalam pelaksanaan pengukuran ulang dan penyuluhan BDKT oleh pihak Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Samarinda melalui seksi metrologi secara berkala
dilaksanakan yaitu dua kali dalam satu tahun meliputi 72 Minimarket.
Pada dasarnya kesalahan terhadap Barang Dalam Keadaan Terbungkus
(BDKT), merupakan tindakan pelanggaran Pasal 31 Undang - undang Nomor 2 Tahun
1981 tentang Metrologi Legal yang harus ditindaklanjuti, karena akibat kesalahan atau
kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan bagi konsumen.
Pengertian Implementasi
Implementasi terhadap suatu produk perundang-undangan tertentu, seakanakan merupakan sesuatu yang dianggap sangat sederhana. Padahal, pada tingkat
implementasi inilah suatu produk hukum dapat diaktualisasikan untuk tercapainya
tujuan yang ingin dikehendaki secara abstrak dan seolah-olah dapat dilaksanakan,
padahal
dalam
prakteknya
pelaksanaannya
senantiasa
menuntut
adanya
ketersediaan sumber daya manusia sebagai individu yang melaksanakan produk
hukum yang diberlakukan dalam kehidupan masyarakat. Implementasi selain
dibutuhkan sumber daya manusia juga diperlukan rincian yang lebih operasional
dari tujuan dan diperlukan faktor komunikasi sumber kecenderungan atau tingkah
laku, serta struktur birokrasi. Pada tingkat implementasi inilah suatu produk hukum
dapat diaktualisasikan untuk tercapainya tujuan yang ingin dikehendaki oleh
hukum itu sendiri.1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Implementasi adalah pelaksanaan
atau penerapan.
1
“Pengertian Implementasi”http://docs.google.com/viewerPengertianImplementasi.html
tanggal 3 mei 2012 pukul 10:15:34 WITA
diakses
Pengertian yang sangat sederhana tentang Implementasi adalah sebagian
yang diungkapkan oleh Charles O. Jones, dimana Implementasi diartikan sebagai
“getting the job done” dan “doing it” yang artinya ialah mendapatkan pekerjaan
yang dilakukan dan melakukannya.2
Teori Penegakan Hukum
Penegakan Hukum menurut Suharto yang dikutip oleh R.Abdussalam
menyebutkan bahwa penegakkan hukum adalah, suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan aparat penegak hukum baik tindakan pencegahan maupun penindakan
dalam menerapkan ketentuanketentuan yang berlaku guna menciptakan suasana
aman, damai, dan tertib demi kepastian hukum bersama.3
Penegakan Hukum disebut dalam bahasa Inggris yaitu Law Enforcement,
dan bahasa Belanda disebut rechtshandhaving. Dalam bahasa Indonesia, istilah
penegakan hukum membawa kita pada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu
dengan force sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya
bersangkutan dengan hukum pidana saja. Hal ini berkaitan dengan seringnya
masyarakat menyebut penegak hukum itu dengan polisi, jaksa, dan hakim.
Sebenarnya pejabat administrasi
(birokrasi) juga selaku penegak hukum.
Penegakan bersiafat “pencegahan”, yang dilakukan dengan melakukan penyuluhan
atau sosialisasi suatu perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan
yang berasal dari pusat maupun peraturan yang dibuat di daerah.4
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan
penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang di lakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil
yang luas, sehingga pedoman prilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh
subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang
diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya
norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat.
2
Ibid.,
3
R.Abdusasalam, Penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri, Gagas Mitra Catur Gemilang, 1997,hlm
4
Supriadi, 2006, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 267.
18
Penegakan hukum merupakan indikator yang sangat penting dalam upaya
menjamin efektifitas hukum, penegakan hukum adalah hasil akhir yang di
harapkan intuk dicapai yang dari awalnya hukum tertulis dalam bentuk undangundang menjadi realisasinya dilapangan. Sebaik apapun hukum yang di bentuk
oleh pembuat kebijakan maka hasil akhir yang di nilai adalah realisasi dilapangan
oleh penegak hukum maupun pilar-pilar lain yang mempengaruhi penegakan
hukum.
Pengertian Barang Dalam Keadaan Terbungkus
Pengertian Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT) berdasarkan Pasal 1
ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-Dag/Per/10/2011 tentang
Barang dalam Keadaan Terbungkus yaitu :
“Barang Dalam Keadaan Terbungkus yang selanjutnya disingkat BDKT
adalah barang atau komoditas tertentu yang dimasukkan ke dalam
kemasan tertutup, dan untuk mempergunakannya harus merusak
kemasan atau segel kemasan yang kuantitasnya telah ditentukan dan
dinyatakan pada label sebelum diedarkan, dijual, ditawarkan, atau
dipamerkan.”5
Jadi BDKT adalah barang yang ditempatkan dalam kemasan tertutup, untuk
mengeluarkan isinya harus merusak kemasannya, membuka tutupnya, merobek
segelnya (kemasan/bungkusnya menjadi tidak utuh lagi).
BDKT yang diperdagangkan harus memenuhi ketentuan sebagaimana diatur
oleh pasal 22 dan 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi
Legal terhadap BDKT (Barang Dalam Keadaaan Terbungkus). Pada intinya setiap
BDKT yang beredar di Indonesia harus terdapat keterangan pada pembungkusnya,
labelnya, etiketnya, dengan tulisan singkat, jelas dan benar, mengenai :
5
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-Dag/Per/10/2011 tentang Barang
dalam Keadaan Terbungkus
a. nama barang dalam bungkusan itu
b. ukuran, isi, atau berat bersih barang dalam bungkusan itu dengan satuan
atau lambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 7
Undang-undang ini
c. jumlah barang dalam bungkusan itu jika barang itu dijual dengan
hitungan.6
Penulisan Lambang Satuan ditulis dengan huruf latin atau huruf kecil.
Lambang satuan yang berasal dari nama orang ditulis dengan huruf besar untuk
huruf pertama. Lambang satuan tanpa tanda baca titik (.) menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan angka Arab yang benar.
Pengertian Mini Market
Minimarket adalah sebuah jenis usaha yang memnggabungkan antara
konsep swalayan dalam skala kecil dimana pembeli mengambil sendiri barang yang
ia butuhkan dari rak-rak dagangan dan membayarnya dikasir, dengan target pasar
yang sama dengan target pasar pada pasar tradisional. Mini market pada
umumnya terdapat satu atau dua mesin register. Sedangkan di lihat dari luas mini
market itu sendiri berukuran kecil yaitu antara 100m2 sampai dengan 999m2.
Mini Market merupakan salah satu bentuk pasar modern (pasar swalayan)
dengan menggunakan konsep Store Enviroment, yaitu pengembangan konsep
Place yang terfokus pada penjualan retail (eceran) dan langsung ke konsumen
akhir (pemakai). Konsep ini dapat dikatakan sebagai suatu konsep perancangan
lingkungan pasar atau toko yang nyaman dan menyenangkan bagi para
pengunjung,
sehingga
merangsang
pengunjung
menjadi
konsumen
untuk
menghabiskan waktu dan berbelanja disana.
6
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
Minimarket pada dasarnya adalah sebuah bidang usaha yang dilakukan
oleh pengusaha-pengusaha yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk usaha
mikro, atau kecil. Akan tetapi, minimarket adalah sebuah bidang usaha yang
kategori modalnya masuk dalam kategori industri menengah keatas.
Berdasarkan klasifikasi pasar minimarket masuk kedalam kelas pasar
modern. Dikatakan demikian karena minimarket telah dikelola dengan sistem
terintegrasi yang solid dan profesional mulai dari manajemen, sistem keamanan,
pembayaran maupun kebersihan minimarket itu sendiri sehingga keamanan dan
kenyamanan pembeli bisa terwujud.
Tidak seperti pada pasar tradisional, di minimarket antara penjual dengan
pembeli tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga
yang tercantum dalam barang (barcode). Umumnya pelayanan pada minimarket
dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga, sehingga
minimarket juga dikenal dengan sebutan pasar swalayan.
Pengertian Pelaku Usaha
Menurut pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi”.7
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan, pelaku usaha adalah setiap orang
atau badan usaha yang menghasilkan barang atau jasa untuk dikonsumsi oleh
7
Konsumen
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
masyarakat. Ketentuan tersebut dapat kita jabarkan kedalam beberapa syarat,
yakni :
a. Orang perorangan, yakni setiap individu yang melakukan kegiatan
usahanya secara seorang diri.
b. Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersama-sama
melakukan
kegiatan
usaha.
Badan
usaha
selanjutnya
dapat
dikelompokkan kedalam dua kategori, yakni :
a.
Badan
hukum.
Menurut
hukum,
badan
usaha
yang
dapat
dikelompokkan kedalam kategori badan hukum adalah yayasan,
perseroan terbatas dan koperasi.
b. Bukan badan hukum. Jenis badan usaha selain ketiga bentuk badan
usaha di atas dapat dikategorikan sebagai badan usaha bukan badan
hukum, seperti firma, atau sekelompok orangyang melakukan
kegiatan usaha secara insidentil.
Badan usaha tersebut harus memenuhi salah satu kriteria ini:
1. Didirikan dan berkedudukan diwilayah hukum Negara Republik
Indonesia
2. Melakuakan kegiatan diwilayah hukum Negara Republik Indonesia
3. Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian
4. Di dalam berbagai bidang ekonomi. Pengertian ini sangat luas,
bukan hanya bidang produksi.
Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian pelaku usaha menurut
undang-undang perlindungan konsumen sangat luas. Yang di maksud pelaku
usaha bukan hanya produsen, melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi
perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer.
Pengertian Konsumen
Menurut pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen adalah:8
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri ,keluarga
,orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
Manusia dalam kehidupan sehari-hari tak lepas dari predikat konsumen,
sebab dalam setiap aktifitas manusia selalu melakukan konsumsi baik berupa
barang maupun jasa. Konsumen ingin memperoleh barang dengan kualitas yang
baik dengan modal keyakinan bahwa alat ukur yang digunakan sudah benar.
Melihat
pada
prakteknya,
konsumen
seringkali
pernah
mengalami
ketidakpuasan dalam pemakaian barang atau jasa. Ketidakpuasaan biasanya
diakibatkan karena cacat produk atau layanan jasa yang tidak sesuai. Dengan
demikian, setiap produk cacat menimbulkan kerugian pada konsumen.9
Konsumen harus cukup terlindungi dari “tingkah laku” penjual/produsen
yang merugikan. Sehingga hubungan antara penjual dan konsumen bisa lebih
diseimbangkan agar konsumen tidak selalu pada posisi yang lemah. Konsumen
terlindungi karena “Kebenaran (truth)” dalam proses jual beli, demikian pula
persaingan antara penjual juga lebih akan berjalan dengan lebih sehat dan adil
(fair competition).10
8
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
9
Az. Nasution, 2002, Hukum Perlindugan Konsumen : Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
Halaman 25
10
Agung Pramudya, Loc. Cit.
Pembahasan
1. Implementasi Pasal 31 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang
Metrologi Legal terhadap Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT) pada
Minimarket di kota Samarinda
Pertumbuhan ekonomi global telah mendorong perdagangan yang semakin
efektif dan efisien baik bagi produsen maupun konsumen. Pertumbuhan yang
menonjol disektor industri manufaktur dan kegiatan perdagangan tersebut telah
mendorong
baik
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
perkembangan
penyelenggaraan kemetrologian. Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT)
merupakan produk barang bungkusan yang dibuat dan dihasilkan oleh perusahaan
untuk mempermudah distribusi dalam pemasarannya.
Perkembangan produk yang dibungkus atau dikemas dewasa ini sudah
sangat pesat, setiap perusahaan berusaha untuk menjual atau memasarkan hasil
produksinya
dalam
bentuk
BDKT,
karena
lebih
efisien
dalam
transaksi
perdagangan. Hal ini banyak dijumpai di setiap minimarket. Dalam rangka
meningkatkan sistem pengawasan BDKT secara efektif dan efisien serta
kepercayaan konsumen pada para pedagang/produsen saat mengadakan transaksi
jual beli, maka perlu adanya perlindungan terhadap kebenaran hasil pengukuran
sehingga tidak ada yang dirugikan.
Tujuan
penyelenggaraan
kemetrologian
telah
dituangkan
di
dalam
konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1981 tentang
Metrologi Legal yang berbunyi : “bahwa untuk melindungi kepentingan umum
perlu adanya jaminan dalam kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban dan
kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metoda
pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya”.11
Proses pengukuran atau penyelenggaraan kegiatan metrologi legal diatur
melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan umum melalui adanya jaminan dalam
11
Konsideran Undang-undang No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal
kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam
pemakaian satuan ukuran, metode pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang
dan perlengkapannya, dalam hal ini penyelenggaraan kegiatan metrologi legal
tersebut diamanatkan kepada yang bertanggungjawab dalam bidang metrologi
legal.
Jadi, guna untuk melindungi kepentingan umum tersebut pelaksanaan dari
Pasal 31 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal begitu
sangatlah penting. Maka dari itu untuk memastikan terlaksananya aturan tersebut
Dinas perindustrian dan perdagangan kota Samarinda melakukan kegiatan
pengukuran ulang dan penyuluhan barang dalam keadaan terbungkus, sebagai
upaya untuk meningkatkan tertib ukur dan tertib niaga.12
Kegiatan pengukuran ulang yang di lakukan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan kota Samarinda tersebut dilaksanakan karena merupakan salah satu
wujud keberhasilan terhadap pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981
tentang Metrologi Legal.
Kegiatan ini merupakan upaya untuk meningkatkan
kesadaran pelaku usaha dan masyarakat selaku konsumen dalam hal penggunaan
alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya (UTTP) pada setiap transaksi
jual beli barang. Melalui penggunaan UTTP secara tertib, pedagang akan
merasakan adanya kepastian hukum dan terhindar dari prasangka buruk (kurang
baik) masyarakat selaku konsumen, begitu pula kepercayaan masyarakat terhadap
transaksi perdagangan akan menjadi lebih pasti.
Penggunaan UTTP secara tertib juga akan menciptakan persaingan usaha
yang sehat dan mewujudkan iklim usaha perdagangan yang kondusif sebagai salah
satu faktor pendukung pencapaian tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bagi
masyarakat selaku konsumen sendiri, pelaksanaan kegiatan tersebut diharapkan
dapat menumbuhkan dan meningkatkan sifat kritis, hemat dan teliti terhadap
12
Wawancara dengan kepala seksi Metrologi Legal bapak Drs. H. M. Darham
barang-barang yang dibeli khususnya barang-barang yang penetapan kuantanya
berdasarkan pengukuran, penakaran atau penimbangan.
Pada kegiatan pengukuran ulang dan penyuluhan Barang Dalam Keadaan
Terbungkus (BDKT) yang di laksanakan pada minimarket se-kota Samarinda, bisa
di simpulkan bahwa pada kegiatan pengukuran ulang dan penyuluhan barang
dalam keadaan terbungkus masih banyak pelaku usaha yang masih belum
memahami tentang tata cara peredaran barang sebagai barang dalam keadaan
terbungkus. Hal ini bisa dilihat dari presentase minimarket yang tata cara
pengemasan barang sebagai barang dalam keadaan terbungkus tidak sesuai
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal yaitu sebesar 81.54
% atau melanggar ketentuan seperti yang di sebutkan pada pasal 31 Undangundang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal :
Pasal 31
Dilarang membuat, mengedarkan, membungkus atau menyimpan
untuk dijual, atau menawarkan untuk dibeli, semua barang dalam
keadaan terbungkus yang ukuran, isi bersih, berat bersih atau jumlah
hitungannya:
a. kurang daripada yang tercantum pada bungkus atau labelnya,
atau
b. menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 22
Undang-undang ini.
Pasal 22
(1) Semua barang dalam keadaan terbungkus yang diedarkan, dijual,
ditawarkan atau dipamerkan wajib diberitahukan atau dinyatakan
pada bungkus atau pada labelnya dengan tulisan yang singkat, benar
dan jelas mengenai.
a. nama barang dalam bungkusan itu;
b. ukuran, isi, atau berat bersih barang dalam bungkusan itu dengan
satuan atau lambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5
dan Pasal 7 Undang-undang ini;
c. jumlah barang dalam bungkusan itu jika barang itu dijual dengan
hitungan.
(2) Tulisan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini harus
dengan angka Arab dan huruf latin di samping huruf lainnya dan
mudah dibaca.
Pasal 4
Lambang satuan dari satuan-satuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 Undang-undang ini adalah sebagai berikut:
Satuan: Lambang Satuan:
meter............................................................................m
kilogram........................................................................kg
sekon............................................................................s
amper...........................................................................A
kelvin............................................................................K
kandela........................................................................ed
mole...........................................................................mol
Pasal 5
(1) Kecuali yang ditentukan dalam ayat (2) pasal ini, kelipatankelipatan dan bagian-bagian desimal dari satuan-satuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang ini, jika kelipatan-kelipatan
dan bagian-bagian itu tidak dinyatakan dengan sebuah bilangan di
depan satuan atau lambang satuan dari satuan-satuan yang
bersangkutan, maka di depan satuan atau lambang satuan tersebut
dapat dinyatakan dengan membubuhkan salah satu dari awal kata
atau lambang berikut:
Kelipatan/bagian desimal Awal kata Lambang
1 000 000 000 000 000 000 = 1018 eksa E
1 000 000 000 000 000 = 1015 peta P
1 000 000 000 000 = 1012 tera T
1 000 000 000 = 109 giga G
1 000 000 = 106 mega M
1 000 = 103 kilo k
1 00 = 102 hekto h
10 = 101 deka da
0,1 = 10-1 desi d
0,01 = 10-2 senti c
0,001 = 10-3 mili m
0,000 001 = 10-6 mikro u
0,000 000 001 = 10-9 nano n
0,000 000 000 001 = 10-12 piko p
0,000 000 000 000 001 = 10-15 femto f
0,000 000 000 000 000 001 = 10-18 atto a
(2) Seperseribu (0,001) bagian dari kilogram adalah gram yang
dinyatakan dengan lambang satuan g. Kelipatan-kelipatan dan
bagian-bagian desimal dari kilogram, jika tidak dinyatakan dengan
sebuah bilangan di depan satuan atau lambang dari satuan kilogram
ini, maka harus dinyatakan dalam satuan gram.
Pasal 7
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan:
a. satuan-satuan turunan dari satuan-satuan dasar baik mengenai
besaran-besaran,
satuan-satuan
maupun
lambang-lambang
satuannya;
b. satuan-satuan tambahan baik mengenai besaran-besaran, satuansatuan maupun lambang-lambang satuannya;
c. satuan-satuan lain yang berlaku dengan ketentuan-ketentuan
dalam pemakaiannya.
Dalam wawancara dengan bapak Darham selaku kepala bagian metrologi
legal Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Samarinda, mengatakan bahwa
besarnya angka pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981
Tentang Metrologi Legal itu sebabkan oleh faktor kesengajaan maupun faktor
ketidaksengajaan pelaku usaha. Misalnya saja dalam hal pengukuran BDKT ada
pelaku usaha yang dengan sengaja mengurangi timbangan BDKT agar mendapatkan
keuntungan lebih dari penjualan BDKT tersebut. Oleh sebab itu pada kegiatan
pengukuran ulang dan penyuluhan barang dalam keadaan terbungkus oleh
Disperindag keseluruh minimarket di kota Samarinda, melakukan pengecekan
terhadap alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapan (UTTP) yang di gunakan
sebagai transaksi jual beli barang dalam keadaan terbungkus. Selain itu pula
kegiatan tersebut bermanfaat di antaranya sebagai berikut :
a. bagi konsumen untuk mencocokan dan mengecek ulang hasil transaksi
pembelian barang belanjaannya;
b. uji petik terhadap barang-barang non-BDKT yang telah diukur, ditakar,
dan ditimbang sebelumnya;
c. bagi masyarakat untuk memperoleh informasi tentang kemetrologian;
d. untuk memberikan penyuluhan langsung tentang kemetrologian;
e. untuk menerima laporan langsung dan pengaduan tentang adanya
pelanggaran tindak pidana Undang-Undang tentang Metrologi Legal.
Namun, ada pula faktor ketidaksengajaan oleh pelaku usaha yang bisa
terjadi karena alat timbangan yang dimiliki oleh pelaku usaha rusak atau belum di
tera ulang. Dan, dalam hal pengemasan ketidaktahuan aturan oleh pelaku usaha
menjadi salah satu faktornya. Untuk itu salah satu yang menyebabkan tidak
terlaksananya dengan baik ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 2 Tahun
1981 Tentang Metrologi Legal secara langsung maupun tidak, yaitu:
a.
Pengetahuan
awareness);
tentang
peraturan
–
peraturan
hukum
(law
b.
Pengetahuan tentang isi peraturan hukum (law acquaintance);
c.
Sikap terhadap peraturan – peraturan hukum (legal attitude);
d.
Pola perilaku hukum (legal behavior)13
2. Faktor penghambat dalam penerapan pasal 31 Undang-undang
Tahun 1981 tentang
Nomor 2
Metrologi Legal terhadap Barang Dalam Keadaan
Terbungkus (BDKT) pada Minimarket di kota Samarinda
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto,
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor., sebagai berikut:
Pertama, Faktor hukumnya sendiri (undang-undang); kedua, Faktor penegak hukum,
yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; ketiga, Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; keempat, Faktor
masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
kelima, Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.14
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektivitas penegakan hukum. Berdasarkan observasi dan analisis mendalam
dilapangan faktor penghambat Penerapan pasal 31 Undang-undang Nomor 2 Tahun
1981 tentang Metrologi Legal terhadap Barang Dalam Keadaan Terbungkus oleh
pelaku usaha Minimarket yaitu substansi hukum yang ada, aparat penegak hukum,
pemahaman masyarakat, dan budaya yang ada.
Adapun analisis adalah sebagai
berikut:
13
Ibid, Halaman 4
14
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta, Rajawali, 1986,
halaman:8
A. Hambatan Karena Faktor Penegak Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan
dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum
dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan : Dalam rangka
penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan
keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa
kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh
setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran
harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.15
Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas
penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan
masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum,
artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak
hukum. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang
hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi
masyarakat.
Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan
sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat
diterima oleh mereka. Dalam hal ini instansi yang menjadi pengawas dan
penegak hukum adalah Disperindag kota Samarinda.
Penulis
penyuluhan
mencermati
barang
dalam
ketika
mengikuti
keadaan
kegiatan
terbungkus,
pengukuran
melihat
yang
serta
menjadi
penghambat dari terlaksananya pasal 31 Undang-undang Nomor 2 tahun 1981
tentang Metrologi
Legal, yaitu ketidaktegasan petugas dari disperindag
merupakan salah satu faktornya. Kita ketahui bersama bahwa pada dinas
15
J.E. Sahetapy, Paradoks dalam Kriminologi, Jakarta, Rajawali, 1982.
perindustrian dan perdagangan memiliki yang namanya Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Metrologi Legal yang selanjutnya disingkat PPNS Metrologi Legal yakni
Penyidik yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang tentang Metrologi
Legal untuk melakukan pengawasan dan penyidikan terhadap pelanggaran di
bidang metrologi legal.
Salah satu contoh, ketika Disperindag melakukan kegiatan pengukuran
ulang pada bulan juni 2012, di Toko Sambutan Raya (Perum Ariesco) yang
dengan sengaja mengurangi berat timbangan, seperti gula yang diambil 10
sample.
Tabel 1 : Hasil Pengukuran Ulang
NAMA BARANG
BERAT NETTO
DIUKUR
YANG DI
KEMAS
ULANG
(g)
(g)
(+)
(-)
(g)
(g)
938
-
62
958
-
42
956
-
44
966
-
34
936
-
64
958
-
42
950
-
50
940
-
60
956
-
44
936
-
64
/MEREK
Gula Pasir
HASIL UJI
1000
Sumber Data : DISPERINDAG kota Samarinda
Pengukuran ulang tersebut menunjukan adanya pelanggaran dalam hal
penimbangan barang dalam keadaan terbungkus, UTTP saat itu telah di periksa
pula dengan hasil yang menunjukan bahwa tidak ada kerusakan pada
perlengkapan UTTP, hal tersebut menunjukan bahwa adanya kesengajaan dari
pihak pelaku usaha untuk mengurangi timbangan, namun tindakan dari pihak
disperindag hanya melakukan himbauan agar hasil penimbangan yang kurang bisa
di tambahkan.
Hal tersebut menunjukan penegak hukum terkesan tidak tegas atau
memberi belaskasihan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran, yang
akibatnya bisa menimbulkan kerugian terhadap konsumen pengguna barang dalam
keadaan terbungkus tersebut.
Kasus lain, ketika Disperindag melakukan pengukuran ulang barang dalam
keadaan terbukungkus di minimarket lain, yakni Agen Mart yang terletak di jl. P.
Antasari, dilakukan pengukuran ulang dengan barang dalam keadaan terbungkus
yakni gula pasir, dengan hasil :
Tabel 2 : Hasil Pengukuran Ulang
NAMA BARANG
BERAT NETTO
YANG DI
KEMAS
DIUKUR
ULANG
(g)
(g)
(+)
(-)
(g)
(g)
970
-
30
966
-
34
956
-
44
984
-
16
974
-
26
1006
6
-
978
-
22
972
-
28
972
-
28
/MEREK
Gula Pasir
HASIL UJI
1000
972
-
28
Sumber Data : DISPERINDAG kota Samarinda
Tabel tersebut juga menunjukan bahwa sebagian besar hasil penimbangan
BDKT kurang dari pada yang tercantum pada bungkus atau lebelnya. Pada sistem
kuantitas BDKT berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang
Metrologi Legal adalah sistem kuantitas minimum yaitu sistem yang mewajibkan
pelaku usaha BDKT untuk menjamin kuantitas BDKT yang dijualnya tidak kurang
dari pada yang tercantum pada bungkus atau lebelnya.
Pada kasus ini yang menjadi permasalahan atas kurangnya kuantitas BDKT
adalah pada perlengkapan UTTP karena tidak sesuai dengan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal. Dan, pada kasus ini pula
disperindag tidak belaku tegas padahal dalam petunjuk teknis pelaksanaan
pengukuran ulang PPNS Metrologi Legal bisa segera melakukan penyidikan
dengan:
1) memperhatikan barang yang akan dijadikan barang bukti;
2) mengamankan UTTP yang digunakan oleh pedagang; dan
3) mencatat semua kejadian.
Jika hasil pemeriksaan UTTP yang dipergunakan oleh pelaku usaha tidak
terdapat
metrologi
pelanggaran
legal,
terhadap
maka
peraturan
dapat
perundang-undangan
diberikan
peringatan
di
tertulis
bidang
dan
penjelasan/penyuluhan tentang tata cara penggunaan UTTP yang baik dan benar
agar perbuatan tersebut tidak diulang kembali. Apabila terdapat pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang metrologi legal, maka PPNS
metrologi legal wajib melakukan penyitaan/ penyegelan UTTP yang dipergunakan
dalam transaksi untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut. Tindakan yang harus
dilakukan jika terjadi pelanggaran:
a. memastikan adanya kesalahan/penyimpangan;
b. memeriksa ulang apa yang sudah dikerjakan;
c. penyegelan/penyitaan UTTP yang melanggar;
d.
pemanggilan
pemilik
dan/atau
pemakai
UTTP
tersebut
untuk
menyaksikan bahwa terjadi pelanggaran;
e. membuat berita acara pelanggaran (disesuaikan dengan pedoman
pengawasan UTTP).
Selain berbagai permasalahan di atas terdapat masalah lain pada
penegakan hukum yaitu komposisi pegawai/personil dari segi kuantitas dan
kualitas yang ada masih minim dibandingkan intensitas dan beban kerja dalam
pelaksanaan kegiatan, hal itu terbukti dalam melakukan kegiatan pengawasan
dalam satu tahun hanya dua kali Disperindag melakukanya.
B. Hambatan Karena Faktor Sarana atau Fasilitas yang Mendukung
Hambatan yang ada pada aspek kelembagaan yang terjadi antara lain
sebagai berikut :
1) Komposisi pegawai/personil dari segi kuantitas dan kualitas yang ada masih
minim dibandingkan intensitas dan beban kerja dalam pelaksanaan kegiatan;
2) Koordinasi internal antar bagian, sub bagian dan seksi, ada sedikit tumpang
tindih tupoksi.
3) Keterbatasan dana dan pembiayaan kegiatan sering kali terhambat sebagai
akibat terlambatnya dropping dana bagi hasil (dana perimbangan) dari pusat,
sehingga berpengaruh pada waktu pelaksanaan kegiatan menjadi relatif lebih
pendek atau singkat, yaitu sekitar 4 (empat) bulan;
4) kurang tegasnya penerapan sanksi bagi pelaku pelanggaran aturan di bidang
perdagangan dan pelaku usaha perindustrian, sehingga banyak kasus yang
belum tuntasnya penyelesaiannya.
5) Sarana dan prasarana perindustrian dan perdagangan baik untuk masyarakat
maupun aparatur belum lengkap dan memadai.
6) Kondisi gedung kantor sangat memprihatinkan, sehingga perlu adanya
perhatian pemerintah kota dalam rehab ataupun pembangunan gedung baru
untuk Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Samarinda. 16
Hasil Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2011 Dinas
Perindustrian Dan Perdagangan Kota Samarinda, menunjukan salah satu point
yang menunjukan bahwa sarana dan prasarana yang di miliki oleh Dinas
Perindustrian dan Perdagangan kota Samarinda belum lengkap dan memadai.
Dalam melakukan kegiatan pengukuran dan penyuluhan barang dalam
keadaan terbungkus, sarana dan prasarana merupakan salah satu bagian yang
terpenting, Karena tanpa hal tersebut kegiatan akan tidak berjalan dengan
maksimal, contohnya saja ketika melakukan kegiatan pengukuran ulang beberapa
perlengkapan yang diperlukan menurut petunjuk teknis kegiatan adalah sebagai
berikut :
1. timbangan elektronik kekuatan 30 kg sampai dengan 300 kg kelas III yang
bertanda tera sah yang berlaku;
2. takaran kering 5 dL,1 L,2 L,5L,10 L dan pemaras yang bertanda tera sah
yang berlaku;
3. takaran basah 5 dL,1 L,2 L,5L,10 L yang bertanda tera sah yang berlaku;
4. bejana ukur standar 20 liter yang bertanda tera sah yang berlaku;
5. pengukur panjang (meteran) yang bertanda tera sah yang berlaku.
16
Hasil Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2011 Dinas Perindustrian Dan
Perdagangan Kota Samarinda
Pada saat kegitan berlangsung, penulis mencermati adanya hambatan dalam
hal pengukuran terhadap barang dalam keadaan terbungkus karena ketiadaan
perlengkapan seperti yang di sebutkan di atas.
Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat
penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut,
tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual.
C. Hambatan Karena Pemilik Minimarket
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian didalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit
banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf
kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, dan kurang atau
heterogennya masyarakat yang terdiri dari berbagai karakter, tingkat pemahaman
dan berbagai perbedaan pola pikir, adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang
bersangkutan. heterogennya masyarakat yang terdiri dari berbagai karakter,
tingkat pemahaman dan berbagai perbedaan pola pikir sering menimbulkan salah
pengertian dan beda pendapat serta persepsi dengan pihak pemerintah,
dampaknya adalah beragamnya tingkat kepatuhan, kesadaran hukum dan
toleransi.
Pelaku usaha minimarket yaitu pelaku usaha yang merupakan penduduk
yang sangat berperan dalam implementasi pasal 31 Undang-undang Nomor 2
tahun 1981 tentang Metrologi Legal mengenai tingkat pemahaman dan pola
pikirpelaku usaha tentang peraturan – peraturan hukum (law awareness) dan
pengetahuan tentang isi peraturan hukum (law acquaintance) hasil observasi
dilapangan menunjukan pelaku usaha yang tidak mengetahui adanya aturan
hukum tentang pasal 31 Undang-undang Noomor 2 tahun 1981 tentang Metrologi
Legal. Sedangkan, pelaku usaha minimarket yang mengetahui tentang aturan ini
tidak mau atau bahkan ada yang mengabaikan aturan tersebut begitu saja dengan
alasan-alasan tertentu.
Hasil wawancara dengan pemilik minimarket Pas Mart di Jl. Otto
iskandardinata, mengutarakan bahwa pihaknya telah mengetahui mengenai aturan
tersebut akan tetapi mereka beralasan apabila BDKT di kemas berdasarkan
Undang-undang Nomor 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal, hal itu akan
menambah biaya produksi dan kalah saing terhadap produk bermerek yang
diproduksi dipabrik. Contohnya saja, tepung terigu yang di kemas dengan plastik
seadanya bisa dijual lebih murah dari pada tepung bermerek seperi tepung terigu
Bogasari.17
Berdasarkan wawancara di sebagian besar minimarket rata-rata pemilik
atau
pengelola
minimarket
belum
mengetahui
tentang
bagaimana
cara
pengemasan BDKT yang baik dan benar menurut Undang-undang Nomor 2 tahun
1981 tentang Metrologi Legal. Jadi, dari observasi di lapangan menunjukan bahwa
tingkat perkembangan dan pemahaman serta pola pikir pelaku usaha minimarket
tidak memadai untuk menerapkan aturan hukum yang ada. dalam menerapkan
hukum membutuhkan prasyarat-prasyarat tertentu seperti sumber daya manusia
yang siap, terlatih, terdidik, berwawasan luas.
D. Hambatan Karena Kebudayaan Hukum
Dalam
kehidupan
sehari-hari,
orang
begitu
sering
membicarakan
soal
kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang
sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak,berbuat dan menentukan sikapnya
kalau mereka berhubungan dengan orang lain. dengan demikian kebudayaan
adalah suatu garis pokok yang menentukan peraturan dan menetapkan mengenai
apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.18
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi
abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap
buruk (sehingga dihindari).
2012
17
Wawancara dengan Bapak Ambo Asse Pemilik Minimarket Pas Mart jl. Otoo iskandardinata 5 juni
18
Soerjono Soekanto, hukum dan masyarakat, universitas Airlangga 1977, halaman 2
Dalam masalah ini kesadaran hukum menjadi permasalahan yang utama dalam
implementasi aturan ini kesadaran hukum tidak hanya ditunjukkan kepada masyarakat
yang dikatakan kurang sadar hukum, tetapi juga aparat penegak hukum turut serta
memberikan kontribusi tingkat kuat lemahnya kesadaran hukum masyarakat.
Dalam implementasinya sikap pelaku usaha minimarket menganggap bahwa
ketentuan pada pasal 31 Undang-undang Nomor 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal
secara substansial merugikan dan menghambat usaha mereka sehingga masyarakat
pun beramai–ramai melanggar ketentuan tesebut. Ini tidak terlepas juga tidak adanya
tindakan tegas dari aparat penegak hukum yang berwenang. Dari segi sosial, perilaku
yang mengabaikan hukum ini itu lebih disebabkan oleh moral yang tidak sejalan
dengan tujuan ketentuan pada pasal 31 Undang-undang Nomor 2 tahun 1981 tentang
Metrologi Legal.
Moral pada pelaku usaha minimarket menunjukan pengabaian terhadap ketentuan
ini maka berakibat pada penyimpangan terhadap hukum. diperlukan perubahan secara
perlahan dan bertahap serta berkesinambungan terhadap perilaku sosial masyarakat
yang umumnya lewat sosialisasi aturan yang ada dan pendidikan khususnya pendidikan
hukum.
Penutup
Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa
kesimpulan Implementasi Pasal 31 Undang-undang Nomor 2 tahun 1981 tentang
Metrologi Legal oleh pelaku usaha Minimarket di Kota Samarinda belum terlaksana
dengan baik. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya menunjukan para
pelaku usaha minimarket menjual Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT) yang
ukuran, isi bersih, berat bersihnya kurang daripada yang tercantum, serta
menyimpang dari ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 2 tahun 1981 tentang
Metrologi Legal yakni BDKT yang di jual tidak mencantumkan label yang berisi nama
barang dalam kemasan tersebut, berat bersih, ukuran, dan isi barang dalam kemasan
tersebut. Faktor penghambat dalam
Penerapan Pasal 31 Undang-undang Nomor 2
tahun 1981 tentang Metrologi Legal oleh Pelaku Minimarket di Kota Samarinda adalah:
a.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum yaitu kurang tegasnya penerapan sanksi bagi pelaku
pelanggaran
sehingga
pelanggaran
bisa
membuat
melakukan
pelaku
pelanggaran
usaha
kembali
yang
dan
melakukan
komposisi
pegawai/personil dari segi kuantitas dan kualitas yang ada masih minim
dibandingkan intensitas dan beban kerja dalam pelaksanaan kegiatan.
b. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung yaitu kurangnya perlengkapan
pada saat melakukan kegiatan pengukuran dan penyuluhan barang dalam
keadaan terbungkus, karena hal tersebut kegiatan tidak berjalan dengan
maksimal.
c. Faktor Pelaku Usaha adalah taraf kepatuhan hukum oleh pelaku usaha, yaitu
kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, dan kurang atau heterogennya
masyarakat yang terdiri dari berbagai karakter, tingkat pemahaman dan
berbagai perbedaan pola pikir, adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat
terhadap hukum.
d. Faktor kebudayaan yaitu kesadaran hukum yang menjadi permasalahan utama
dalam implementasi Pasal 31 Undang-undang Nomor 2 tahun 1981 tentang
Metrologi Legal, Kesadaran hukum tidak hanya ditunjukkan kepada masyarakat
yang dikatakan kurang sadar hukum, tetapi juga aparat penegak hukum turut
serta memberikan konstribusi tingkat kuat lemahnya kesadaran hukum
masyarakat.
Adapun saran yang dapat dikemukakan bagi Pelaku usaha khususnya
Minimarket yang membuat, membungkus atau menyimpan untuk dijual Barang Dalam
Keadaan
Terbungkus
(BDKT)
perlu
meningkatkan
perbaikan
sistem
pembungkusan/kemasan agar mengacu pada peraturan Undang-undang Nomor 2
Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Guna menciptakan iklim usaha perdagangan yang
jujur, sehat dan kondusif sejalan dengan upaya perwujudan keadilan sosial yang
menjadi tujuan nasional. Bagi Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Samarinda
perlu ditingkatkannya
komitmen dan konsistensi dalam menjalankan peraturan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal aturan, terutama
terhadap pelanggaran yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Juhir Jusuf, Situmorang M Victor, 1994, Aspek Pengawasan Hukum Melekat Dalam
lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta
Nasution Az, 2002, “Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar”, Diadit Media,
Jakarta.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Disperindagkop, 2006, “Transaksi Atas Dasar:
Ukuran, Takaran, Timbangan Dan Perlengkapannya (UTTP)”, Samarinda.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta.
R.Abdussalam, 1997, Penegakan Oleh Hukum di Lapangan oleh Polri, Gagas Mitra Catur
Gemilang.
Sahetapy, J. E , 1982, Paradoks dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta.
Soekanto,Soerjono,
1986,
Faktor-Faktor
yang
mempengaruhi
penegakan
hukum,Rajawali, Jakarta.
Sunggono, Bambang 1997, Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Supranto, 2003, Metode Riset, PT. Rineka, Jakarta.
Supriadi, 2006, Hukum Lingkungan di Indonesia, sinar Grafika, Jakarta.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3131)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-Dag/Per/10/2011 tentang Barang dalam
Keadaan Terbungkus ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 698 )
C. Dokumen Hukum, Hasil Penelitian, dan tesis
Sandi Hanum Menghiashati (2009) Efektifitas Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen Mengenai Kebenaran Ukuran Barang Dalam Keadan Terbungkus di
Balai Pelayanan Kemetrologian Surabaya. Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas
Muhammadiyah, Malang.
Hadi Wisnu Prabawa (2008) Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Barang Dalam
Keadaan Terbungkus diwilayah Banyumas. Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.
D. Artikel Jurnal Ilmiah, Artikel Koran, Artikel Internet, dan Makalah Seminar
Amin, Rusmin, 2009, “Perspektif Ekonomi: Sebagai Arah Baru Bagi Metrologi”, Media
Kemetrologian”, Bandung.
Kifflie, Sunarto, 2009, “Ketertelusuran Standar Ukuran: Bagi Kegiatan Metrologi Legal”,
Media Kemetrologian”, Yogyakarta.
Usman
dan
Pengertian
Nurdin,
Implementasi
http://www.muniryusuf.com/pengertian-implementasi-kurikulum.html,
Kurikulum,
diakses
tanggal 3 mei 2012
Pengertian
Minimarket,
http://liputankita.com/liputan-ekonomi-dan-keuangan/7-
minimarket-terlaris-di-indonesia-liputankita.html diakses tanggal 4 juli 2012 pukul
20:15:34 WITA
Pramudya, Agung, 2009, “Tertib Ukur,
Tertib Niaga”, Media Kemetrologian “
,
Yogyakarta.
Samarinda Dalam Angka 2010, www.bappeda.samarindakota.go.id diakses tanggal 15
juli 2012 pukul 21:20:34 WITA
Winardi, 2010, Pengertian Pengawasan, http://itjen-depdagri.go.id/article-25-pengertianpengawasan.html, diakses tanggal 1 mei 2012 Pukul 11:53 Wita
Download