BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Teori Kepercayaan, Sikap dan Nilai
Teori kepercayaan, sikap dan nilai merupakan bagian dari teori
konsistensi. Dalam teori kosistensi dijelaskan bahwa manusia akan selalu merasa
lebih lebih nyaman dengan sesuatu yang tetap (konsisten) daripada hal-hal yang
tidak tetap (inkonsisten).
Teori
konsistensi
yang paling komprehensif
adalah teori
yang
dikemukakan oleh Milton Rokeach (dalam Morissan : 2013) karena berhasil
mengembangkan suatu penjelasan yang luas mengenai tingkah laku manusia
berdasarkan kepercayaan (belief), Sikap (attitude) dan Nilai (values). Menurut
teori ini, setiap manusia memiliki kepercayaan, sikap dan nilai yang sangat
terorganisasi yang membimbing tingkah laku atau sikap tindak manusia
(behavior). Dalam konteks hubungan auditor dan klien, rasa percaya auditor
ditentukan oleh sikap klien terhadap auditor sehingga dapat mempengaruhi
penilaian auditor terhadap klien.
2. Teori Identitas Sosial
Teori social identity (identitas sosial) dipelopori oleh Henri Tajfel pada
tahun 1957, menurutnya manusia mempunyai kecenderungan untuk membuat
kategorisasi sosial atau mengklasifikasikan individu-individu dalam kategori-
7
8
kategori atau kelompok-kelompok sosial tertentu. Teori ini fokus terhadap
individu dalam mempersepsikan dan menggolongkan diri mereka berdasarkan
identitas personal dan sosial mereka.
Teori identitas sosial memberikan sebuah sudut pandang yang lebih
relevan untuk memahami indentifikasi klien oleh auditor. Teori Identitas Sosial
menjelaskan bahwa identitas atau karakteristik ganda dapat tetap eksis dan relatif
bersifat independen satu sama lain. Dengan terbentuknya eksistensi klien dalam
mewakili organisasinya, maka auditor dapat melakukan penelitian tentang prilaku
tersebut dan dapat menarik kesimpulan didukung dengan bukti-bukti lain untuk
memberikan sebuah opini mengenai kondisi organisasi klien.
Teori identitas sosial dapat memberikan kerangka kerja (frame work) yang
menyajikan wawasan mendalam untuk menelaah beragam permasalahan
pengauditan dan akuntansi untuk perspektif Indonesia. Dimana pengukuran ini
yang kemudian digunakan sebagai alat ukur langsung terhadap hubungan auditor
dengan pihak klien untuk meneliti dan menelaah ancaman yang terjadi terhadap
obyektivitas auditor.
3. Kepercayaan (Trust)
Menurut Gaurgio dan Ertug (2006) pengertian dari kepercayaan dapat
didefinisikan berbeda-beda sesuai dengan bidang kajiannya, seperti dalam tiga
opsi berikut :
a.
Kepercayaan merupakan keyakinan seseorang terhadap yang lain yang dapat
dipercaya, dapat diramalkan dan wajar.
9
b.
Dalam konteks psikologis ; “Kepercayaan adalah kemauan untuk menjadi
rentan dan saling ketergantungan dibawah risiko: itu adalah keadaan
psikologis dalam pikiran yang bukan hanya dalam perilaku (misalnya
kerjasama) atau hanya pilihan (misalnya
mengambil risiko)
yang
memerlukan perasaan kemungkinan.
c.
Dalam konteks hubungan timbal-balik : “Kepercayaan dapat didefinisikan
sebagai proses penggambaran dalam membangun alasan, kebiasaan dan
refleksivitas, menangguhkan kerentanan sosial dan ketidakpastian yang tidak
dapat diminimalisir seolah-olah mereka menguntungkan untuk dipecahkan,
dan mempertahankan keadaan yang menguntungkan dengan harapan
tindakan kedepan dan intensitas lebih atau kurang spesifik terhadap yang
lain.
Ketika satu pihak mempunyai keyakinan (confidence) bahwa pihak lain
yang terlibat dalam pertukaran mempunyai reliabilitas dan integritas, maka dapat
dikatakan ada kepercayaan. Kepercayaan merupakan kesediaan (willingness)
seseorang untuk menggantungkan dirinya kepada pihak lain yang terlibat dalam
pertukaran karena ia mempunyai keyakinan (confidence) kepada pihak lain
tersebut, kepercayaan merupakan harapan umum yang dimiliki individu bahwa
kata-kata yang muncul dari pihak lainnya dapat diandalkan (Levin et al. 2006).
Menurut Bachmann & Zaheer (2006), kepercayaan dibangun antara pihakpihak yang belum saling mengenal baik dalam interaksi maupun proses transkasi.
Dan ada dua dimensi kepercayaan, yaitu:
10
a.
Trusting Belief
Trusting belief adalah sejauh mana seseorang percaya dan merasa yakin
terhadap orang lain dalam suatu situasi. Trusting belief adalah persepsi pihak
yang percaya (auditor) terhadap pihak yang dipercaya (klien). Ada tiga elemen
yang membangun trusting belief, yaitu benevolence, integrity, competence.
i.
Benevolence (niat baik) berarti seberapa besar seseorang percaya
kepada klien untuk berperilaku baik kepada auditor. Benevolence
merupakan kesediaan klien untuk memberikan bukti-bukti pendukung
audit terhadap auditor.
ii.
Integrity (integritas) adalah seberapa besar keyakinan auditor terhadap
kejujuran klien representatif dalam memberikan bukti-bukti auditnya.
iii.
Competence (kompetensi) adalah keyakinan seseorang terhadap
kemampuan yang dimiliki klien dalam mempresentasikan bukti-bukti
auditnya.
b.
Trusting Intention
Trusting intention adalah suatu hal yang disengaja dimana seseorang siap
bergantung pada orang lain dalam suatu situasi, ini terjadi secara pribadi dan
mengarah langsung kepada orang lain. Trusting intention didasarkan pada
kepercayaan kognitif seseorang kepada orang lain. Ada dua elemen yang
membangun trusting intention yaitu willingness to depend dan subjective
probability of depending.
i.
Willingness to depend adalah kesediaan auditor untuk percaya kepada
penjelasan klien representative.
11
ii.
Subjective probability of depending adalah kesediaan klien secara subjektif
berupa pemberian informasi perusahaan kepada auditor.
Kepercayaan akan lebih jelas jika rasa percaya dipisahkan dan dianggap
sebagai dua hal yang berbeda namun berkaitan. Konsep pertama merupakan
sesuatu persepsi rasa percaya dan konsep kedua merupakan perlaku mempercayai.
Persepsi rasa percaya dan perilaku merupakan hal yang penting bagi kestabilan
dan kelangsungan hubungan antara dua pihak yang saling berhubungan, termasuk
hubungan antara auditor dan kliennya.
Penelitian yang dilakukan oleh Rune Lines, Marcus Selart, Bjarne Espedal
dan Svein T. Johansen (2005), meneliti hubungan antara perubahan organisasi
dan kepercayaan manajemen. Dikatakan bahwa perubahan organisasi merupakan
babak
penting
untuk
produksi
dan
penghancuran
kepercayaan
dalam
manajemen. Meskipun kepercayaan dalam manajemen dipandang sebagai
keadaan psikologis yang setengah stabil, perubahan organisasi membuat masalah
kepercayaan diragukan dan anggota organisasi hadir untuk proses kepercayaan
informasi yang relevan sehingga menghasilkan penilaian ulang kepercayaan
mereka dalam manajemen. Arah dan besarnya perubahan kepercayaan adalah
tergantung pada satu set dimensi perubahan yang mencerminkan pengalaman
yang relevan kepercayaan dari informasi. Disini dijelaskan bahwa kepercayaan
bertindak sebagai lensa dengan apa tindakan individu yang terpercaya
diinterpretasikan, kepercayaan interpersonal terakumulasi melalui seringnya
terjadi pertemuan antar individu (Lines et al. 2005), dan dapat mempengaruhi
penilaian pemberi kepercayaan.
12
Rasa percaya dapat menurunkan tingkat pemantauan terhadap individu
yang dipercaya (Gaurgio dan Ertug 2006), dan pada tingkatan extrim justru dapat
menyebabkan pihak penilai mengikuti hasrat dari individu terpercaya tersebut,
Bijlsma-Frankema et al. (2005).
Rose (2007) menemukan bahwa auditor dengan kepercayaan yang tinggi
terhadap klien representative lebih sedikit menyertakan bukti-bukti agresif dari
laporannya dibandingkan dengan auditor yang tingkat kepercayaannya lebih
kecil. Namun, King (2002) mengungkapkan bahwa peran auditor yang ketat dan
kaku lebih sedikit disukai dibandingkan dengan yang bersikap lebih fleksibel,
tentu ini menjadi dilema tersendiri bagi profesi auditor. Dalam konteks audit
bukti, sikap skeptis mempengaruhi dugaan terhadap bukti (Rose 2007; Nelson
2009). Penyusunan etika profesi, pengalaman, hubungan masa lalu auditor-klien,
posisi auditor dan faktor posisi berhubungan dengan tingkat kepercayaan atau
kecurigaan auditor (Bell et al. 2005).
Rasa saling percaya diyakini berbeda sesuai tugas, situasi dan orangnya.
Rasa percaya dan perilaku mempercayai di konseptualisasikan memiliki banyak
dimensi yang sifat dan kepentingan relatifnya tergantung pada konteks hubungan
spesifik. Kurangnya rasa percaya dalam suatu hubungan bisa diperbaiki dengan
memfokuskan pada tindakan khusus. Tindakan khusus dalam kaitannya dengan
audit tambahan oleh auditor agar di peroleh bukti pendukung yang kompeten
untuk dapat memberikan pendapat atas laporan keuangan klien.
Sedangkan perilaku mempercayai adalah tindakan yang menunjukkan
kesediaan untuk menanggung resiko karena adanya unsur ketidakpastian. Dalam
13
hubungan antara auditor dan klien, resiko yang di tanggung oleh auditor ialah
resiko audit, sehingga auditor dalam memberikan persepsi rasa percaya dan
perilaku mempecayai terhadap kliennya selalu menganalisa resiko yang mungkin
terjadi.
Kepercayaan dan kecurigaan disebutkan secara bersama-sama dalam
konsep tersebut memiliki kerangka yang sama, hanya saja memiliki arti yang
berbeda dan saling bertolak belakang atau memilki sifat yang komplemen.
Memberikan kepercayaan sepenuhnya pada klien akan menyebabkan sikap
idependensi auditor menjadi lemah, sebaliknya mencurigai klien
dapat
menyulitkan auditor selama proses audit berlangsung, kepercayaan dan
kecurigaan dapat dilakukan secara bersamaan oleh auditor dalam melaksanakan
tugasnya.
Perilaku mempercayai atau mencurigai yang dilakukan seseorang terhadap
objek tertentu baik orang maupun benda adalah perwujutan dari rasa percaya atau
rasa curiga yang dimiliki seseorang. Rasa percaya atau rasa curiga ditimbulkan
karena adanya persepsi terhadap interaksi yang terjadi antara auditor dan klien
selama proses audit.
Persepsi tersebut dapat dirasakan oleh auditor dengan
mengamati dan menilai komunikasi yang dilakukan oleh klien representative,
bagaimana klien representative memahami setiap bukti-bukti dan asersi yang
diberikan oleh pihak manajemen, seberapa sering frekuensi perselisihan yang
terjadi antara auditor-klien mempengaruhi penilaian auditor terhadap klien, dan
factor lamanya hubungan yang terjalin antara auditor-klien.
14
4. Keterbukaan Komunikasi
Kata atau istilah komunikasi berasal dari Bahasa Latin communicates atau
communication atau communicare yang berarti berbagi atau menjadi milik
bersama. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu
pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan.
Berikut beberapa definisi komunikasi menurut para ahli (Riswandi : 2013)
yaitu :
a.
Menurut Carl Hovland, Janis dan Kelley, komunikasi adalah suatu proses
melalui nama seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya
dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk prilaku
orang-orang lainnya (khalayak).
b.
Menurut Bernald Barelson & Gary A. Steiner, komunikasi adalah suatu
proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian melalui penggunaan
symbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka dan lain-lain.
c.
Menurut Harold Lasswel, komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses
yang menggambarkan siapa, mengatakan apa, dengan cara apa, kepada siapa
dan dengan efek apa.
d.
Menurut Barnlund komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan
untuk mengurangi rasa ketidakpastian dengan bertindak secara efektif,
mempertahankan atau memperkuat ego.
e.
Menurut Weaver komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana fikiran
seseorang dapat mempengaruhi prilaku orang lainnya.
15
f.
Menurut Gode komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari
semula yang dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki
oleh dua orang atau lebih.
Dari beberapa pengertian komunikasi menurut para ahli diatas kita dapat
menyimpulkan bahwa komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam
bentuk gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain. Tidak ada kelompok yang
dapat eksis tanpa komunikasi, begitupun dalam dunia auditing, seperti
pentransferan makna yang terkandung dalam asersi yang disampaikan kepada
auditor oleh klien. Hanya lewat pentransferan makna dari klien kepada auditor
maka informasi dan gagasan klien dapat dihantarkan. Namun komunikasi harus
lebih dari sekedar menanamkan makna tetapi juga dapat dipahami.
Komunikasi dapat diidentifikasi
dalam beberapa fungsi meliputi
(Suharsono: 2013) adalah :
a.
Menyampaikan informasi (to inform) : memberikan informasi yang
diperlukan individu dan kelompok untuk mengambil keputusan dengan
meneruskan data untuk digunakan dan untuk menilai pilihan‐pilihan
alternatif. Dalam hubungan auditor-klien, komunikasi dapat digunakan
sebagai informasi sebagai penguatan bukti-bukti, sehingga auditor dapat
memperkuat opini yang diberikan berdasarkan informasi yang diberikan oleh
klien.
b.
Mendidik (to educate) : Idealnya komunikasi dapat memberikan informasi
yang bersifat mendidik dan memotivasi, walaupun aktualnya banyak yang
tidak
demikian.
Dalam
organisasi
komunikasi
dapat
membantu
16
perkembangan motivasi dengan menjelaskan kepada para karyawan apa yang
harus dilakukan bagaimana mereka bekerja baik dan apa yang dapat
dikerjakan untuk memperbaiki kinerja jika itu di bawah standar. Dalam dunia
audit, komunikasi dapat membantu klien untuk meningkatkan kredibilitas
perusahaan dengan perbaikan standar asersi dan bukti-bukti pendukung
lainnya yang disampaikan auditor.
c.
Menghibur (to entertaint) : bagi banyak individu, kelompok kerja mereka
merupakan sumber utama untuk interaksi sosial, komunikasi yang terjadi di
dalam kelompok itu merupakan mekanisme fundamental dengan mana
anggota‐anggota menunjukkan kekecewaan dan rasa puas mereka oleh
karena itu komunikasi menyiarkan ungkapan emosional dari perasaan dan
pemenuhan kebutuhan sosial.
d.
Pengawasan (surveillance) : komunikasi bertindak untuk mengendalikan
prilaku anggota dalam beberapa cara, setiap organisasi mempunyai
wewenang dan garis panduan formal yang harus dipatuhi oleh karyawan.
Begitupun dalam dunia auditing, komunikasi dapat bertindak untuk
mengendalikan klien untuk patuh terhadap standar pelaporan keuangan yang
berlaku.
Dalam setiap organisasi ataupun kelompok dibutuhkan keterbukaan dalam
berkomunikasi. Komunikasi yang terbuka akan mempererat kehangatan hubungan
antar individu. Dengan membuka diri, tidak menutup‑nutupi, menerima
kekurangan dan kelebihan lawan bicara atau dengan kata lain menerima apa
adanya, pastilah hubungan satu dengan lainnya akan terjalin dengan baik. Dengan
17
komunikasi yang terbuka maka organisasi akan semakin kuat, persekutuan akan
semakin kokoh, (Robbin, 2008).
Begitupun dengan hubungan antara auditor-klien, dengan adanya
keterbukaan komunikasi oleh klien representative maka rasa percaya auditor akan
menguat terhadap klien. Auditor akan lebih memahami kondisi organisasi klien
sehingga auditor dapat yakin untuk memberikan penilaian sesuai dengan
informasi yang didapatkannya.
Untuk dapat memberikan opini auditor perlu mengetahui berbagai jenis
informasi mengenai sebuah organisasi, atau mungkin mendapatkan informasi
detail dan mendalam mengenai satu atau dua aspek dalam organisasi klien.
Auditor memerlukan keterbukaan diri (self-disclosure) klien. Dalam social
penetration theory menurut Altman dan Taylor (Morissan :2013) manusia
membuat keputusan didasarkan atas prinsip biaya (cost) dan imbalan (reward).
Dengan kata lain ketika imbalan (informasi) yang diterima lambat laun semakin
besar, sedangkan resiko semakin berkurang, maka hubungan antara individu akan
semakin dekat dan intim, dan mereka masing-masing akan lebih banyak
memberikan informasi mengenai diri mereka masing-masing. Altman dan Taylor
mengajukan empat tahap perkembangan hubungan antar individu sebagai berikut:
a. Tahap orientasi : tahap dimana komunikasi yang terjadi bersifat tidak pribadi
(impersonal). Dalan konteks hubungan auditor-klien, para individu yang
terlibat hanya menyampaikan informasi yang bersifat sangat umum saja,
seperti memberikan laporan keuangan secara gobal. Jika pada tahap ini mereka
yang terlibat merasa cukup mendapatkan imbalan dari interaksi awal, maka
18
mereka akan melanjutkan ketahap berikutnya, yaitu tahap pertukaran efek
eksploratif.
b. Tahap pertukaran efek eksploratif (exploratory affective exchange); tahap
dimana muncul gerakan menuju ke arah keterbukaan yang lebih dalam. Pada
tahap ini auditor menghendaki untuk mengetahui akun-akun apa saja yang
terdapat dalam laporan keuangan klien.
c. Tahap pertukaran efek (affective exchange); tahap munculnya perasaan kritis
dan evaluatif pada level yang lebih dalam. Tahap ini tidak akan dimasuki
auditor, kecuali pada tahap sebelumnya telah mendapatkan respon yang baik
dari klien. Dalam tahap ini auditor dapat dapat mengkritisi dan mengevaluasi
tiap akun dalam laporan keuangan dengan mengkaji tiap transaksi yang terjadi
selama tahun audit berjalan.
d. Tahap pertukaran stabil (stable exchange); adanya keintiman pada tahap ini,
masing-masing individu dimungkinkan untuk memperkiran masing-masing
tindakan mereka dan memberikan tanggapan dengan sangat baik. Dalam tahap
ini auditor dapat memberikan kesimpulan mengenai opini yang akan diberikan
berdasarkan interaksi yang telah terjalin selama proses audit berlangsung.
Kopp et al. (2010), menilai bahwa kualitas komunikasi dan karakteristik
klien representatif berpengaruh terhadap kepercayaan auditor. Kurangnya
komunikasi dalam suatu hubungan akan mengakibatkan komunikasi itu akan bias.
Secara umum klien yang terbuka dalam berkomunikasi, menjelaskan dan
mempresentasikan setiap pertanyaan yang diutarakan oleh auditor dengan jelas
dan dapat difahami, maka akan ada kecenderungan bahwa tingkat kepercayaan
19
auditor terhadap klien juga tinggi. Rasa percaya dalam komunikasi bisa
berpengaruh positif terhadap kepercayaan auditor terhadap klien.
5. Trampil Mempresentasikan Bukti-bukti
Menurut Kopp et al. (2010), dalam hubungan auditor dan klien, klien
yang trampil dalam mempresentasikan bukti-bukti audit, mengusai setiap
komponen yang terdapat dalam asersi manajemen dan laporan keuangan dan
dapat mempertanggungjawabkan setiap ucapannya, hal tersebut akan dapat
mempengaruhi kepercayaan auditor.
Presentasi yang dipaparkan oleh klien representatif dapat berfungsi
meyakinkan auditor mengenai kredibilitas perusahaan klien. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008) presentasi berarti pemberian, pengucapan pidato,
perkenalan, penyajian atau pertunjukan. Dalam konteks audit, presentasi dapat
diartikan dengan penyajian berbagai informasi mengenai laporan keuangan dan
segala sesuatu yang berkaitan dengannya oleh klien refresentatif kepada auditor.
Presentasi yang disampaikan oleh klien representative memerlukan
wawasan (pengetahuan), tekhnik, persiapan, dan rencana yang baik karena akan
berpengaruh terhadap efektivitas pencapaian tujuan presentasi, yaitu memperoleh
keyakinan dan rasa percaya auditor sehingga penilaian auditor terhadap
perusahaan baik.
Menurut Yuyun dalam Suharsono (2013 : 191) presentasi bisnis
“merupakan bentuk komunikasi yang disajikan dalam suatu lingkungan bisnis
kepada khalayak yang relatif homogen (lebih banyak persamaannya daripada
20
perbedaannya) dari berbagai tingkatan”. Dalam konteks audit presentasi laporan
keuangan dan bukti audit merupakan kegiatan yang sangat penting untuk
menyampaikan informasi dan proses pengambilan keputusan oleh auditor. Opini
auditor juga ditentukan oleh kemampuan klien representatif dalam melakukan
berbagai macam pendekatan kepada auditor melalui proses presentasi bukti-bukti
sehingga auditor dapat mempercayai klien.
Menurut Messier, Glover dan Prawitt (2014) bukti audit adalah informasi
yang digunakan oleh auditor untuk kesimpulan yang menjadi dasar opini audit,
mencakup informasi yang terkandung dalam catatan akuntansi yang mendasari
laporan keuangan dan sumber lainnya. Auditor mengumpulkan bukti dengan
melakukan prosedur audit untuk menguji asersi manajemen. Bukti ini merupakan
pendukung opini auditor apakah laporan keuangan klien telah diisajikan secara
wajar. Bukti-bukti inilah yang harus dikuasai oleh klien refresentatif untuk
menyakinkan auditor.
Manajemen bertanggung jawab atas penyajian laporan keuangan secara
wajar. Asersi adalah pernyataan manajemen yang terkandung dalam laporan
keuangan. Pernyataan tersebut dapat bersifat implisit atau eksplisit serta dapat
diklasifikasikan berdasarkan penggolongan besar sebagai berikut (SPAP IAPI :
2011) :
a. Keberadaan atau keterjadian (existence or occurrence).
b. Kelengkapan (completeness).
c. Hak dan kewajiban (right and obligation).
21
d. Penilaian (valuation) atau alokasi.
e. Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure).
Dalam tabel berikut disajikan definisi tiap asersi berdasarkan kategori dan
menunjukan bagaimana asersi dikaitkan antar kategori (Messier, Glover dan
Prawitt : 2014).
Tabel 2.1
Asersi Berdasarkan Kategori dan Keterkaitan Antar Kategori
Kategori Asersi-Asersi
Golongan Transaksi
dan Kejadian
selama Periode
Kejadian /
Keberadaan
Transaksi dan
peristiwa yang telah
dicatat telah terjadi
dan terjadi pada
entitas yang
bersangkutan.
Hak dan
Kewajiban
Saldo Akun di Akhir
Periode
Penyajian dan
Pengungkapan
Aset, liabilitas, dan
ekuitas adalah benar
adanya.
Peristiwa dan
transaksi yang
diungkapkan telah
terjadi dan
merupakan milik
entitas.
Entitas memiliki
atau mengendalikan
hak atas asset dan
liabilitas merupakan
tanggung jawab
entitas.
Kelengkapan
Seluruh transaksi
dan peristiwa yang
seharusnya dicatat
telah dicatat.
Otorisasi
Seluruh transaksi
dan peristiwa yang
seharusnya dicatat
telah diotorisasi.
Akurasi/Penila
ian dan
Jumlah dan data lain
terkait transaksi dan
Seluruh asset,
liabilitas, dan ekuitas
yang seharusnya
dicatat telah dicatat.
Seluruh
pengungkapan yang
seharusnya
dimasukan dalam
laporan keuangan
telah dimasukan.
Aset, liabilitas, dan
ekuitas dimasukan
Informasi keuangan
dan lainnya
22
Alokasi
peristiwa yang
dicatat telah dicatat
secara tepat.
Pisah Batas
Transaksi dan
peristiwa telah
dicatat pada periode
akuntansi yang
benar.
Klasifikasi dan Transaksi dan
Keterpahaman peristiwa telah
dicatat dalam akun
yang tepat.
dalam laoran
keuangan dalam
jumlah yang tepat
dan berbagai hasil
penilaian atau
alokasi penyesuaian
yang telah dicatat
secara tepat.
diungkapkan secara
wajar dan dalam
jumlah yang tepat.
Informasi keuangan
disajikan dan
dideskripsi secara
tepat, dan
pengungkapan
dinyatakan secara
jelas.
Keberhasilan presentasi bukti oleh klien tidak hanya ditentukan oleh
laporan keuangan yang sudah sesuai dengan standar pelaporan keuangan yang
berlaku, tetapi juga proses penyampaian yang baik. Untuk itu, klien representatif
harus memahami betul-betul bukti yang diajukan dan menguasai tehnik presentasi
yang dapat diterima dan difahami oleh auditor, sehingga auditor dapat percaya.
Auditor dapat menilai ketrampilan klien dalam mempresentasikan buktibukti dengan mengamati bagaimana persiapan klien representative dalam
mempresentasikan bukti-bukti, sejauh mana klien representative memahami
bukti-bukti tersebut, dan butuh berapa lama klien representative dalam
memaparkan bukti-bukti serta menjawab setiap pertanyaan auditor.
23
6. Frekuensi Perselisihan Selama Proses Audit
Seksi 100.10 dan 200.3 Kode Etik Profesi Akuntan Publik, kepatuhan
terhadap prinsip dasar etika profesi dapat terancam oleh berbagai situasi.
Ancaman-ancaman tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut (SPAP IAPI :
2011)
a.
Ancaman kepentingan pribadi : ancaman yang terjadi sebagai akibat dari
kepentingan keuangan maupun kepentingan lainnya dari praktisi maupun
anggota keluarga langsung atau anggota keluarga dekat dari praktisi.
b.
Ancaman telaah pribadi : ancaman yang terjadi ketika pertimbangan yang
diberikan sebelumnya harus dievaluasi kembali oleh Praktisi yang
bertanggung jawab atas pertimbangan tersebut.
c.
Ancaman advokasi : ancaman yang terjadi ketika praktisi menyatakan sikap
atau pendapat mengenai suatu hal yang dapat mengurangi objektifitas
selanjutnya dari Praktisi tersebut.
d.
Ancaman kedekatan : ancaman yang terjadi ketika Praktisi terlalu bersimpati
terhadap kepentingan pihak lain sebagai akibat dari kedekatan hubungannya.
e.
Ancaman intimidasi : ancaman yang terjadi ketika Praktisi dihalangi untuk
bersikap objektif.
Dengan adanya beberapa factor ancaman tersebut, auditor dapat
menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat
diterima dapat diklasifikasikan kedalam pencegahan yang dibuat oleh profesi,
perundang-undangan, atau peraturan dan pencegahan dalam lingkungan kerja
(Seksi 100.11 SPAP IAPI : 2011).
24
Ancaman-ancaman tersebut kadang terjadi diluar pengamatan auditor,
sehingga tindak lanjut dari proses pencegahan tidak berfungsi, oleh karena itu
diperlukan sikap skeptisme professional auditor sebagai detektor adanya
kecurangan yang dilakukan klien.
Kecurigaan merupakan komplemen dari kepercayaan, yang juga ada di
dalam auditing. Dalam melakukan audit, auditor diharapkan
mengumpulkan
bukti yang memadai untuk mendukung atau menolak pernyataan manajemen.
Auditor harus mencerminkan tingkatan dimana para audit melakukan sikap
mempertanyakan. Skeptisisme professional berakar dari konsep keberatan. Para
auditor diharapkan untuk skeptis mengenai motif-motif manajer dan akurasi serta
sifat bisa di percaya dari neraca dan pengungkapan yang dibuat oleh manajemen.
Dalam menerapkan sikap skeptis untuk menghindari adanya ancamanancaman tersebut, auditor terkadang berselisih faham selama proses audit
berlansung. Namun, perselisihan tersebut bila dapat dijelaskan dengan baik oleh
klien representatif
tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap rasa
percaya auditor, terkecuali jika ada benturan kepentingan antara auditor dan klien
representatif. Auditor sebagai tenaga professional mencatat pentingnya penilaian
frekuensi perselisihan selama proses audit untuk melakukan penilaian audit.
Penilaian frekuensi kesalahan pada seluruh audit juga mempengaruhi penilaian
resiko kontrol.
Konteks perselisihan antara auditor dan klien representatif dapat
digunakan sebagai platform untuk membantu mempelajari factor yang
mempengaruhi rasa percaya audr terhadap klien refresentatif. Karena pada
25
dasarnya manusia cendrung tidak sadar terhadap tingkatan rasa percaya mereka
hingga mereka berada dalam kondisi test kepercayaan. Salah satu kondisinya
yaitu perselisihan tersebut. Mereview tiap perselisihan yang terjadi selama proses
audit berlangsung dan mempelajari bagaimana penyelesaiannya, lebih mudah
untuk menimbulkan adanya rasa percaya auditor dibandingkan tanpa adanya
perselisihan sama sekali, (Levin et.al : 2006). Frekuensi perselisihan dapat dilihat
dari pengalaman antara auditor dan klien, (Shaub :1996), dan frekuensi
perselisihan yang tinggi antara auditor dengan klien dapat mengurasi rasa percaya
auditor, sehingga meningkatkan sikap kehati-hatian atau skeptisme professional
auditor, (Kopp et al. 2010)
7. Lamanya Hubungan antara Auditor dengan Klien Refresentatif
Rasa percaya seseorang terhadap obyak tertentu bisa timbul karena telah
mengenal obyek tersebut terlebih dahulu, atau dapat dikatakan bahwa probabilitas
rasa percaya subyektif seseorang terhadap obyek tersebut dipengaruhi oleh
pengalaman. Pengalaman bisa bersifat positif sehingga menambah rasa percaya
yang dimiliki, atau dapat juga bersifat negatif sehingga mengurangi rasa percaya.
Tingkat rasa percaya auditor dan klien representatif juga dibentuk oleh
pengalaman sebelumnya antara individu tersebut (Kopp et.al : 2010).
Dalam teori kosistensi dijelaskan bahwa manusia akan selalu merasa lebih
lebih nyaman dengan sesuatu yang tetap (konsisten) daripada hal-hal yang tidak
tetap (Morissan : 2014). Hubungan auditor dan klien yang lebih lama dapat
mempengaruhi rasa percaya auditor, karena lamanya hubungan memiliki
26
kontribusi pengalaman yang dapat dijadikan acuan penilaian auditor terhadap
klien representatif. Hubungan yang lebih baru antara auditor dan klien
refresentatif cendrung lebih meningkatkan sikap kehati-hatian auditor, karena
auditor belum memahami sepenuhnya proses bisnis klien dan karakter klien
representative.
8. Penelitian Terdahulu
Bukti mengenai pentingnya rasa percaya auditor terhadap klien
representative berpotensi mempengaruhi penilaian auditor. Telah banyak pula
penelitian yang membahas kepercayaan auditor dan hubungannya dengan klien
representatif, seperti terangkum dibawah ini :
a. Penelitian Morina D. Rennie, Lori S. Kopp dan W. Morley Lemon (2010)
mengeksplorasi kepercayaan dan hubungan auditor-klien dan faktor-faktor
yang mempengaruhi kepercayaan auditor.
b. Putu Saka Sumarsana Putra dan naniek Noviari (2013) dalam Jurnal
“Pemanfaatan Teknologi Informasi, Kepercayaan, dan Kompetensi pada
Penerapan Teknik Audit Sekitar Komputer”
c. Penelitian Rune Lines, Marcus Selart, Bjarne Espedal dan Svein T.
Johansen (2005), produksi kepercayaan selama perubahan organisasi.
d. Model dal literature review skeptisme professional dalam auditing yang
diteliti oleh Mark W. Nelson (2005).
27
e. Penelitian selanjutnya oleh Rose (2007) yang meneliti tentang focus
terhadap bukti agresif laporan keuangan dan intensitas kesalahan penilaian
yang merupakan pengaruh dari pengalaman dan kepercayaan.
f. Daniel Z. Levin at al. (2006) meneliti persepsi sumber pengetahuan
kepercayaan sebagai pengaruh dari lamanya hubungan kerja sama.
g. Michael Gibbins et al. (2005) mengupas tentang isu negosiasi dalam
akuntansi.
Untuk lebih jelasnya dapat terlihat dalam table 2.1 berikut :
Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu
Peneliti
Morina D.
Rennie, Lori
S. Kopp dan
W. Morley
Lemon
(2010)
Variabel
Penelitian
Variabel
Independen :
Trust Variabel
Dependen :
keterbukaan
komunikasi,
kemampuan
mendemonstrasi
kan bukti,
frekuensi
perselisihan dan
lamanya
hubungan kerja
sama. Variabel
Kontrol :
kepuasan
auditor terhadap
output dan
kecendrungan
auditor untuk
percaya.
Metode
Penelitian
Hasil
Analisis
Hasil penelitian menunjukan
Regresi
bahwa keterbukaan komunikasi,
Hierarki
perhatian klien dalam
menyampaikan bukti-bukti
audit dan lamanya hubungan
auditor-klien berpengaruh
positif terhadap kepercayaan
yang diberikan oleh auditor
tesebut, dengan variabel
kontrolnya kepuasan auditor
terhadap output dan
kecendrungan yang dapat
menambah kepercayaan
auditor.
28
Rune Lines,
Marcus
Selart, Bjarne
Espedal dan
Svein T.
Johansen
(2005)
Variabel
Independen :
Trust Variabel
Dependen :
Identivication,
Competency,
Fairness dan
Oppenness.
Variabel
Moderat :
Tennure
Analisis
Regresi
Mark W.
Nelson
(2009)
Variabel
Studi
Independen :
Litelatur
Skeptisme
Profesional
Variabel
Dependen :
Incentive,
Pengetahuan,
Sifat, Bukti,
Pengalaman dan
latihan auditor.
Rose (2007)
Variabel
Independen :
Perhatian
terhadap bukti
agresif ,
penilaian fraud.
Variabel
Dependen :
Perngalaman
dan
kepercayaan.
Analisis
Regresi
Hasil empiris menunjukkan
bahwa peningkatan perubahan
pasca stres emosional dan
penggunaan referensi akunakun untuk menilai perubahan
keduanya berpengaruh negatif
terhadap perubahan
kepercayaan dalam
manajemen. Penggunaan
ideologi dan partisipan
berpengaruh positif terhadap
perubahan kepercayaan
manajemen, sehingga
keputusan dianggap berkualitas
. Temuan juga menunjukkan
bahwa efek perubahan
kepercayaan yang negatif
dimoderatori oleh kepemilikan.
Studi literatur menemukan
bahwa insentive, pengetahuan
auditor, sifat/karakter,
pengalaman, pelatihan yang
sudah diperoleh dan bukti-bukti
pendukung lainnya berpengaruh
terhadap skeptisme judgement
yang selanjutnya akan
mempengaruhi tindakan
auditor, sehingga ini dapat
dijadikan model dalam
penerapan sikap skeptisme
profesional auditor.
Bahwa auditor yang lebih
berpengalaman terhadap adanya
kecurangan akan lebih
memperhatikan bukti audit dari
laporan keuangan yang agresif.
Oleh karena itu, walaupun
seorang auditor telah lama
bekerja dan banyak
mendapatkan penugasan audit
tetapi jarang menemui laporan
keuangan dengan fraud yang
material maka sikap skeptisme
profesionalnya tidak berbeda
dengan auditor yang kurang
berpengalaman.
29
Daniel Z.
Levin at al.
(2006)
Variabel
Independen :
Waktu
kepercayaan
yang diberikan
Variabel
Dependen :
Kesamaan
demograpis,
Prilaku
terpercaya dan
berbagi
pandangan dan
saling percaya
satu sama lain.
Michael Gibb Variabel
ins et al.
Independen :
(2005)
Kesepakatan
Partner Audit
dengan CFO
Variabel
Dependen :
Negosiasi
akuntansi.
Putu Saka
Sumarsana
Putra dan
naniek
Noviari
(2013)
Variabel
Independen :
Tehnik Audit
Sekitar
Komputer
Variabel
Dependen :
Pemanfaatan
teknologi
informasi,
kepercayaan
dan kompetensi.
Analisis
Regresi
Berganda
Kesamaan demografi dapat
menimbulkan rasa saling
percaya jangka pendek antara
pihak terkait, sedangkan prilaku
yang jujur dan terpercaya dapat
menimbulkan rasa saling
percaya antar pihak terkait
dalam jangka waktu yang
cukup lama, dan kepercayaan
yang cukup lama dapat
bertahan antar pihak terkait
dipengaruhi oleh sikap saling
percaya dan saling berbagi
persepsi.
Analisis
Analisis komparatif
Komparati memberikan kepada kita untuk
f
mengidentifikasi dengan pasti
elemen-elemen dan fitur
kontekstual yang dapat
mempengaruhi keduanya
Partner Audit dan CFO untuk
mempertimbangkan negosiasi
akuntansi yang diatur sebagai
distributor utama.
Analisis
Pemanfaatan teknologi,
Regresi
kepercayaan terhadap
Linear
teknologi, dan kompetensi
Berganda auditor berpengaruh positif
terhadap penerapan teknik audit
sekitar komputer oleh auditor
kantor akuntan publik di Bali.
B. Kerangka Pemikiran
Rasa percaya auditor terhadap klien itu penting tanpa harus menyalahi
independensi dan skeptisme professional auditor, karena auditor membutuhkan
informasi mengenai detail proses bisnis klien yang justru lebih difahami oleh
30
klien dibandingkan auditor. Namun, bukan berarti auditor harus percaya
sepenuhnya terhadap informasi yang diberikan tersebut. Dalam penelitian Kopp et
al. (2010) menguji bahwa kepercayaan auditor dipengaruhi oleh keterbukaan
komunikasi dan ketrampilan dalam mempresentasikan bukti oleh klien
representative. Selain itu, peneliti menguji juga pengaruh faktor frekuensi
perselisihan selama proses audit dan lamanya hubungan kerja sama antara
auditor-klien selama proses audit terhadap kepercayaan auditor.
Berdasarkan permasalahan dan pengembangan hipotesis dalam penelitian
ini maka kerangka teoritis yang dibangun adalah sebagai berikut:
Keterbukaan Komunikasi Klien
representatif Selama Proses
Audit
H1 +
H2 +
Ketrampilan Klien representatif
dalam mempresentasikan buktibukti
H3 -
Kepercayaan
Auditor
Frekuensi Perselisihan
Lamanya kerjasama
H4 +
Gambar 2.1
Diagram Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konseptual dapat diketahui bahwa perilaku
mempercayai atau perilaku mencurigai yang dilakukan seseorang terhadap obyek
tertentu baik orang maupun benda adalah merupakan kompetensi yang dibentuk
dari faktor keterbukaan komunikasi, ketrampilan mempresentasikan bukti, faktor
31
frekuensi perselisihan selama proses audit berlangsung, dan faktor lamanya
hubungan antara auditor dan klien.
C. Hipotesis
1. Pengaruh Faktor keterbukaan komunikasi terhadap kepercayaan
auditor
Kopp et al. (2010), menilai bahwa kualitas komunikasi dan karakteristik
klien representatif berpengaruh terhadap kepercayaan auditor. Kurangnya
komunikasi dalam suatu hubungan akan mengakibatkan komunikasi itu akan bias.
Secara umum klien yang terbuka dalam berkomunikasi, menjelaskan dan
mempresentasikan setiap pertanyaan yang diutarakan oleh auditor dengan jelas
dan dapat difahami, maka akan ada kecenderungan bahwa tingkat kepercayaan
auditor terhadap klien juga tinggi. Rasa percaya dalam komunikasi bisa
berpengaruh positif terhadap kepercayaan auditor terhadap klien dan bahwa
kualitas komunikasi secara signifikan mempengaruhi kepercayaan auditor
terhadap klien, hipotesis yang terkain dengan hal ini adalah :
H1 :
Semakin terbukanya klien representatif dalam mengkomunikasikan kondisi
perusahaan berpengaruh positif terhadap kepercayaan auditor.
2.
Pengaruh Ketrampilan Mempresentasikan Bukti-bukti oleh Klien
representatif Berpengaruh Positif Terhadap Kepercayaan Auditor
Hal ini dapat disebut sebagai "perilaku menarik-kepercayaan", klien
representatif yang terampil menunjukkan beberapa peluang perilaku menarik-
32
kepercayaan kepada auditor selama proses audit berlangsung. Ketika klien
representatif dengan trampil mempresentasikan bukti audit baik berupa laporan
keuangan maupun asersi manajemen dapat lebih meyakinkan auditor untuk
percaya. Sebaliknya, klien representatif yang tidak mampu berkomunikasi secara
terbuka atau tidak menunjukkan kepedulian mungkin tidak menghasilkan rasa
percaya auditor, dan bahkan mungkin menciptakan kecurigaan auditor,
hipotesisnya adalah :
H2 : Semakin trampil klien representatif dalam mempresentasikan bukti-bukti
berpengaruh positif terhadap kepercayaan auditor.
3.
Pengaruh Faktor Frekuensi Perselisihan Selama Proses Audit
Terhadap Kepercayaan Auditor
Konteks perselisihan antara auditor dan klien representatif dapat digunakan
sebagai platform untuk membantu mempelajari factor yang mempengaruhi rasa
percaya auditor terhadap klien refresentatif. Karena pada dasarnya manusia
cendrung tidak sadar terhadap tingkatan rasa percaya mereka hingga mereka
berada dalam kondisi test kepercayaan. Salah satu kondisinya yaitu perselisihan
tersebut. Mereview tiap perselisihan yang terjadi selama proses audit berlangsung
dan mempelajari bagaimana penyelesaiannya, lebih mudah untuk menimbulkan
adanya rasa percaya auditor dibandingkan tanpa adanya perselisihan sama sekali,
(Levin et.al : 2006), hipotesisnya adalah :
H3 : Frekuensi perselisihan antara auditor-klien selama proses audit berpengaruh
negative terhadap kepercayaan auditor
33
4.
Pengaruh Faktor Lamanya Kerjasama Auditor-klien terhadap
Kepercayaan Auditor.
Rasa percaya seseorang terhadap obyak tertentu bisa timbul karena telah
mengenal obyek tersebut terlebih dahulu, atau dapat dikatakan bahwa probabilitas
rasa percaya subyektif seseorang terhadap obyek tersebut dipengaruhi oleh
pengalaman. Pengalaman bisa bersifat positif sehingga menambah rasa percaya
yang dimiliki, atau dapat juga bersifat negatif sehingga mengurangi rasa percaya.
Tingkat rasa percaya auditor dan klien representatif juga dibentuk oleh
pengalaman sebelumnya antara individu tersebut (Kopp et.al : 2010), Hipotesis
yang terkait dengan hal ini ialah :
H4:
Semakin lama hubungan auditor-klien berpengaruh positif terhadap
kepercayaan auditor.
Download