BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Teori Kepercayaan, Sikap dan Nilai Teori kepercayaan, sikap dan nilai merupakan bagian dari teori konsistensi. Dalam teori kosistensi dijelaskan bahwa manusia akan selalu merasa lebih lebih nyaman dengan sesuatu yang tetap (konsisten) daripada hal-hal yang tidak tetap (inkonsisten). Teori konsistensi yang paling komprehensif adalah teori yang dikemukakan oleh Milton Rokeach (dalam Morissan : 2013) karena berhasil mengembangkan suatu penjelasan yang luas mengenai tingkah laku manusia berdasarkan kepercayaan (belief), Sikap (attitude) dan Nilai (values). Menurut teori ini, setiap manusia memiliki kepercayaan, sikap dan nilai yang sangat terorganisasi yang membimbing tingkah laku atau sikap tindak manusia (behavior). Dalam konteks hubungan auditor dan klien, rasa percaya auditor ditentukan oleh sikap klien terhadap auditor sehingga dapat mempengaruhi penilaian auditor terhadap klien. 2. Teori Identitas Sosial Teori social identity (identitas sosial) dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957, menurutnya manusia mempunyai kecenderungan untuk membuat kategorisasi sosial atau mengklasifikasikan individu-individu dalam kategori- 7 8 kategori atau kelompok-kelompok sosial tertentu. Teori ini fokus terhadap individu dalam mempersepsikan dan menggolongkan diri mereka berdasarkan identitas personal dan sosial mereka. Teori identitas sosial memberikan sebuah sudut pandang yang lebih relevan untuk memahami indentifikasi klien oleh auditor. Teori Identitas Sosial menjelaskan bahwa identitas atau karakteristik ganda dapat tetap eksis dan relatif bersifat independen satu sama lain. Dengan terbentuknya eksistensi klien dalam mewakili organisasinya, maka auditor dapat melakukan penelitian tentang prilaku tersebut dan dapat menarik kesimpulan didukung dengan bukti-bukti lain untuk memberikan sebuah opini mengenai kondisi organisasi klien. Teori identitas sosial dapat memberikan kerangka kerja (frame work) yang menyajikan wawasan mendalam untuk menelaah beragam permasalahan pengauditan dan akuntansi untuk perspektif Indonesia. Dimana pengukuran ini yang kemudian digunakan sebagai alat ukur langsung terhadap hubungan auditor dengan pihak klien untuk meneliti dan menelaah ancaman yang terjadi terhadap obyektivitas auditor. 3. Kepercayaan (Trust) Menurut Gaurgio dan Ertug (2006) pengertian dari kepercayaan dapat didefinisikan berbeda-beda sesuai dengan bidang kajiannya, seperti dalam tiga opsi berikut : a. Kepercayaan merupakan keyakinan seseorang terhadap yang lain yang dapat dipercaya, dapat diramalkan dan wajar. 9 b. Dalam konteks psikologis ; “Kepercayaan adalah kemauan untuk menjadi rentan dan saling ketergantungan dibawah risiko: itu adalah keadaan psikologis dalam pikiran yang bukan hanya dalam perilaku (misalnya kerjasama) atau hanya pilihan (misalnya mengambil risiko) yang memerlukan perasaan kemungkinan. c. Dalam konteks hubungan timbal-balik : “Kepercayaan dapat didefinisikan sebagai proses penggambaran dalam membangun alasan, kebiasaan dan refleksivitas, menangguhkan kerentanan sosial dan ketidakpastian yang tidak dapat diminimalisir seolah-olah mereka menguntungkan untuk dipecahkan, dan mempertahankan keadaan yang menguntungkan dengan harapan tindakan kedepan dan intensitas lebih atau kurang spesifik terhadap yang lain. Ketika satu pihak mempunyai keyakinan (confidence) bahwa pihak lain yang terlibat dalam pertukaran mempunyai reliabilitas dan integritas, maka dapat dikatakan ada kepercayaan. Kepercayaan merupakan kesediaan (willingness) seseorang untuk menggantungkan dirinya kepada pihak lain yang terlibat dalam pertukaran karena ia mempunyai keyakinan (confidence) kepada pihak lain tersebut, kepercayaan merupakan harapan umum yang dimiliki individu bahwa kata-kata yang muncul dari pihak lainnya dapat diandalkan (Levin et al. 2006). Menurut Bachmann & Zaheer (2006), kepercayaan dibangun antara pihakpihak yang belum saling mengenal baik dalam interaksi maupun proses transkasi. Dan ada dua dimensi kepercayaan, yaitu: 10 a. Trusting Belief Trusting belief adalah sejauh mana seseorang percaya dan merasa yakin terhadap orang lain dalam suatu situasi. Trusting belief adalah persepsi pihak yang percaya (auditor) terhadap pihak yang dipercaya (klien). Ada tiga elemen yang membangun trusting belief, yaitu benevolence, integrity, competence. i. Benevolence (niat baik) berarti seberapa besar seseorang percaya kepada klien untuk berperilaku baik kepada auditor. Benevolence merupakan kesediaan klien untuk memberikan bukti-bukti pendukung audit terhadap auditor. ii. Integrity (integritas) adalah seberapa besar keyakinan auditor terhadap kejujuran klien representatif dalam memberikan bukti-bukti auditnya. iii. Competence (kompetensi) adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki klien dalam mempresentasikan bukti-bukti auditnya. b. Trusting Intention Trusting intention adalah suatu hal yang disengaja dimana seseorang siap bergantung pada orang lain dalam suatu situasi, ini terjadi secara pribadi dan mengarah langsung kepada orang lain. Trusting intention didasarkan pada kepercayaan kognitif seseorang kepada orang lain. Ada dua elemen yang membangun trusting intention yaitu willingness to depend dan subjective probability of depending. i. Willingness to depend adalah kesediaan auditor untuk percaya kepada penjelasan klien representative. 11 ii. Subjective probability of depending adalah kesediaan klien secara subjektif berupa pemberian informasi perusahaan kepada auditor. Kepercayaan akan lebih jelas jika rasa percaya dipisahkan dan dianggap sebagai dua hal yang berbeda namun berkaitan. Konsep pertama merupakan sesuatu persepsi rasa percaya dan konsep kedua merupakan perlaku mempercayai. Persepsi rasa percaya dan perilaku merupakan hal yang penting bagi kestabilan dan kelangsungan hubungan antara dua pihak yang saling berhubungan, termasuk hubungan antara auditor dan kliennya. Penelitian yang dilakukan oleh Rune Lines, Marcus Selart, Bjarne Espedal dan Svein T. Johansen (2005), meneliti hubungan antara perubahan organisasi dan kepercayaan manajemen. Dikatakan bahwa perubahan organisasi merupakan babak penting untuk produksi dan penghancuran kepercayaan dalam manajemen. Meskipun kepercayaan dalam manajemen dipandang sebagai keadaan psikologis yang setengah stabil, perubahan organisasi membuat masalah kepercayaan diragukan dan anggota organisasi hadir untuk proses kepercayaan informasi yang relevan sehingga menghasilkan penilaian ulang kepercayaan mereka dalam manajemen. Arah dan besarnya perubahan kepercayaan adalah tergantung pada satu set dimensi perubahan yang mencerminkan pengalaman yang relevan kepercayaan dari informasi. Disini dijelaskan bahwa kepercayaan bertindak sebagai lensa dengan apa tindakan individu yang terpercaya diinterpretasikan, kepercayaan interpersonal terakumulasi melalui seringnya terjadi pertemuan antar individu (Lines et al. 2005), dan dapat mempengaruhi penilaian pemberi kepercayaan. 12 Rasa percaya dapat menurunkan tingkat pemantauan terhadap individu yang dipercaya (Gaurgio dan Ertug 2006), dan pada tingkatan extrim justru dapat menyebabkan pihak penilai mengikuti hasrat dari individu terpercaya tersebut, Bijlsma-Frankema et al. (2005). Rose (2007) menemukan bahwa auditor dengan kepercayaan yang tinggi terhadap klien representative lebih sedikit menyertakan bukti-bukti agresif dari laporannya dibandingkan dengan auditor yang tingkat kepercayaannya lebih kecil. Namun, King (2002) mengungkapkan bahwa peran auditor yang ketat dan kaku lebih sedikit disukai dibandingkan dengan yang bersikap lebih fleksibel, tentu ini menjadi dilema tersendiri bagi profesi auditor. Dalam konteks audit bukti, sikap skeptis mempengaruhi dugaan terhadap bukti (Rose 2007; Nelson 2009). Penyusunan etika profesi, pengalaman, hubungan masa lalu auditor-klien, posisi auditor dan faktor posisi berhubungan dengan tingkat kepercayaan atau kecurigaan auditor (Bell et al. 2005). Rasa saling percaya diyakini berbeda sesuai tugas, situasi dan orangnya. Rasa percaya dan perilaku mempercayai di konseptualisasikan memiliki banyak dimensi yang sifat dan kepentingan relatifnya tergantung pada konteks hubungan spesifik. Kurangnya rasa percaya dalam suatu hubungan bisa diperbaiki dengan memfokuskan pada tindakan khusus. Tindakan khusus dalam kaitannya dengan audit tambahan oleh auditor agar di peroleh bukti pendukung yang kompeten untuk dapat memberikan pendapat atas laporan keuangan klien. Sedangkan perilaku mempercayai adalah tindakan yang menunjukkan kesediaan untuk menanggung resiko karena adanya unsur ketidakpastian. Dalam 13 hubungan antara auditor dan klien, resiko yang di tanggung oleh auditor ialah resiko audit, sehingga auditor dalam memberikan persepsi rasa percaya dan perilaku mempecayai terhadap kliennya selalu menganalisa resiko yang mungkin terjadi. Kepercayaan dan kecurigaan disebutkan secara bersama-sama dalam konsep tersebut memiliki kerangka yang sama, hanya saja memiliki arti yang berbeda dan saling bertolak belakang atau memilki sifat yang komplemen. Memberikan kepercayaan sepenuhnya pada klien akan menyebabkan sikap idependensi auditor menjadi lemah, sebaliknya mencurigai klien dapat menyulitkan auditor selama proses audit berlangsung, kepercayaan dan kecurigaan dapat dilakukan secara bersamaan oleh auditor dalam melaksanakan tugasnya. Perilaku mempercayai atau mencurigai yang dilakukan seseorang terhadap objek tertentu baik orang maupun benda adalah perwujutan dari rasa percaya atau rasa curiga yang dimiliki seseorang. Rasa percaya atau rasa curiga ditimbulkan karena adanya persepsi terhadap interaksi yang terjadi antara auditor dan klien selama proses audit. Persepsi tersebut dapat dirasakan oleh auditor dengan mengamati dan menilai komunikasi yang dilakukan oleh klien representative, bagaimana klien representative memahami setiap bukti-bukti dan asersi yang diberikan oleh pihak manajemen, seberapa sering frekuensi perselisihan yang terjadi antara auditor-klien mempengaruhi penilaian auditor terhadap klien, dan factor lamanya hubungan yang terjalin antara auditor-klien. 14 4. Keterbukaan Komunikasi Kata atau istilah komunikasi berasal dari Bahasa Latin communicates atau communication atau communicare yang berarti berbagi atau menjadi milik bersama. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. Berikut beberapa definisi komunikasi menurut para ahli (Riswandi : 2013) yaitu : a. Menurut Carl Hovland, Janis dan Kelley, komunikasi adalah suatu proses melalui nama seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk prilaku orang-orang lainnya (khalayak). b. Menurut Bernald Barelson & Gary A. Steiner, komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian melalui penggunaan symbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka dan lain-lain. c. Menurut Harold Lasswel, komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menggambarkan siapa, mengatakan apa, dengan cara apa, kepada siapa dan dengan efek apa. d. Menurut Barnlund komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian dengan bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat ego. e. Menurut Weaver komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana fikiran seseorang dapat mempengaruhi prilaku orang lainnya. 15 f. Menurut Gode komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari semula yang dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih. Dari beberapa pengertian komunikasi menurut para ahli diatas kita dapat menyimpulkan bahwa komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain. Tidak ada kelompok yang dapat eksis tanpa komunikasi, begitupun dalam dunia auditing, seperti pentransferan makna yang terkandung dalam asersi yang disampaikan kepada auditor oleh klien. Hanya lewat pentransferan makna dari klien kepada auditor maka informasi dan gagasan klien dapat dihantarkan. Namun komunikasi harus lebih dari sekedar menanamkan makna tetapi juga dapat dipahami. Komunikasi dapat diidentifikasi dalam beberapa fungsi meliputi (Suharsono: 2013) adalah : a. Menyampaikan informasi (to inform) : memberikan informasi yang diperlukan individu dan kelompok untuk mengambil keputusan dengan meneruskan data untuk digunakan dan untuk menilai pilihan‐pilihan alternatif. Dalam hubungan auditor-klien, komunikasi dapat digunakan sebagai informasi sebagai penguatan bukti-bukti, sehingga auditor dapat memperkuat opini yang diberikan berdasarkan informasi yang diberikan oleh klien. b. Mendidik (to educate) : Idealnya komunikasi dapat memberikan informasi yang bersifat mendidik dan memotivasi, walaupun aktualnya banyak yang tidak demikian. Dalam organisasi komunikasi dapat membantu 16 perkembangan motivasi dengan menjelaskan kepada para karyawan apa yang harus dilakukan bagaimana mereka bekerja baik dan apa yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja jika itu di bawah standar. Dalam dunia audit, komunikasi dapat membantu klien untuk meningkatkan kredibilitas perusahaan dengan perbaikan standar asersi dan bukti-bukti pendukung lainnya yang disampaikan auditor. c. Menghibur (to entertaint) : bagi banyak individu, kelompok kerja mereka merupakan sumber utama untuk interaksi sosial, komunikasi yang terjadi di dalam kelompok itu merupakan mekanisme fundamental dengan mana anggota‐anggota menunjukkan kekecewaan dan rasa puas mereka oleh karena itu komunikasi menyiarkan ungkapan emosional dari perasaan dan pemenuhan kebutuhan sosial. d. Pengawasan (surveillance) : komunikasi bertindak untuk mengendalikan prilaku anggota dalam beberapa cara, setiap organisasi mempunyai wewenang dan garis panduan formal yang harus dipatuhi oleh karyawan. Begitupun dalam dunia auditing, komunikasi dapat bertindak untuk mengendalikan klien untuk patuh terhadap standar pelaporan keuangan yang berlaku. Dalam setiap organisasi ataupun kelompok dibutuhkan keterbukaan dalam berkomunikasi. Komunikasi yang terbuka akan mempererat kehangatan hubungan antar individu. Dengan membuka diri, tidak menutup‑nutupi, menerima kekurangan dan kelebihan lawan bicara atau dengan kata lain menerima apa adanya, pastilah hubungan satu dengan lainnya akan terjalin dengan baik. Dengan 17 komunikasi yang terbuka maka organisasi akan semakin kuat, persekutuan akan semakin kokoh, (Robbin, 2008). Begitupun dengan hubungan antara auditor-klien, dengan adanya keterbukaan komunikasi oleh klien representative maka rasa percaya auditor akan menguat terhadap klien. Auditor akan lebih memahami kondisi organisasi klien sehingga auditor dapat yakin untuk memberikan penilaian sesuai dengan informasi yang didapatkannya. Untuk dapat memberikan opini auditor perlu mengetahui berbagai jenis informasi mengenai sebuah organisasi, atau mungkin mendapatkan informasi detail dan mendalam mengenai satu atau dua aspek dalam organisasi klien. Auditor memerlukan keterbukaan diri (self-disclosure) klien. Dalam social penetration theory menurut Altman dan Taylor (Morissan :2013) manusia membuat keputusan didasarkan atas prinsip biaya (cost) dan imbalan (reward). Dengan kata lain ketika imbalan (informasi) yang diterima lambat laun semakin besar, sedangkan resiko semakin berkurang, maka hubungan antara individu akan semakin dekat dan intim, dan mereka masing-masing akan lebih banyak memberikan informasi mengenai diri mereka masing-masing. Altman dan Taylor mengajukan empat tahap perkembangan hubungan antar individu sebagai berikut: a. Tahap orientasi : tahap dimana komunikasi yang terjadi bersifat tidak pribadi (impersonal). Dalan konteks hubungan auditor-klien, para individu yang terlibat hanya menyampaikan informasi yang bersifat sangat umum saja, seperti memberikan laporan keuangan secara gobal. Jika pada tahap ini mereka yang terlibat merasa cukup mendapatkan imbalan dari interaksi awal, maka 18 mereka akan melanjutkan ketahap berikutnya, yaitu tahap pertukaran efek eksploratif. b. Tahap pertukaran efek eksploratif (exploratory affective exchange); tahap dimana muncul gerakan menuju ke arah keterbukaan yang lebih dalam. Pada tahap ini auditor menghendaki untuk mengetahui akun-akun apa saja yang terdapat dalam laporan keuangan klien. c. Tahap pertukaran efek (affective exchange); tahap munculnya perasaan kritis dan evaluatif pada level yang lebih dalam. Tahap ini tidak akan dimasuki auditor, kecuali pada tahap sebelumnya telah mendapatkan respon yang baik dari klien. Dalam tahap ini auditor dapat dapat mengkritisi dan mengevaluasi tiap akun dalam laporan keuangan dengan mengkaji tiap transaksi yang terjadi selama tahun audit berjalan. d. Tahap pertukaran stabil (stable exchange); adanya keintiman pada tahap ini, masing-masing individu dimungkinkan untuk memperkiran masing-masing tindakan mereka dan memberikan tanggapan dengan sangat baik. Dalam tahap ini auditor dapat memberikan kesimpulan mengenai opini yang akan diberikan berdasarkan interaksi yang telah terjalin selama proses audit berlangsung. Kopp et al. (2010), menilai bahwa kualitas komunikasi dan karakteristik klien representatif berpengaruh terhadap kepercayaan auditor. Kurangnya komunikasi dalam suatu hubungan akan mengakibatkan komunikasi itu akan bias. Secara umum klien yang terbuka dalam berkomunikasi, menjelaskan dan mempresentasikan setiap pertanyaan yang diutarakan oleh auditor dengan jelas dan dapat difahami, maka akan ada kecenderungan bahwa tingkat kepercayaan 19 auditor terhadap klien juga tinggi. Rasa percaya dalam komunikasi bisa berpengaruh positif terhadap kepercayaan auditor terhadap klien. 5. Trampil Mempresentasikan Bukti-bukti Menurut Kopp et al. (2010), dalam hubungan auditor dan klien, klien yang trampil dalam mempresentasikan bukti-bukti audit, mengusai setiap komponen yang terdapat dalam asersi manajemen dan laporan keuangan dan dapat mempertanggungjawabkan setiap ucapannya, hal tersebut akan dapat mempengaruhi kepercayaan auditor. Presentasi yang dipaparkan oleh klien representatif dapat berfungsi meyakinkan auditor mengenai kredibilitas perusahaan klien. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) presentasi berarti pemberian, pengucapan pidato, perkenalan, penyajian atau pertunjukan. Dalam konteks audit, presentasi dapat diartikan dengan penyajian berbagai informasi mengenai laporan keuangan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya oleh klien refresentatif kepada auditor. Presentasi yang disampaikan oleh klien representative memerlukan wawasan (pengetahuan), tekhnik, persiapan, dan rencana yang baik karena akan berpengaruh terhadap efektivitas pencapaian tujuan presentasi, yaitu memperoleh keyakinan dan rasa percaya auditor sehingga penilaian auditor terhadap perusahaan baik. Menurut Yuyun dalam Suharsono (2013 : 191) presentasi bisnis “merupakan bentuk komunikasi yang disajikan dalam suatu lingkungan bisnis kepada khalayak yang relatif homogen (lebih banyak persamaannya daripada 20 perbedaannya) dari berbagai tingkatan”. Dalam konteks audit presentasi laporan keuangan dan bukti audit merupakan kegiatan yang sangat penting untuk menyampaikan informasi dan proses pengambilan keputusan oleh auditor. Opini auditor juga ditentukan oleh kemampuan klien representatif dalam melakukan berbagai macam pendekatan kepada auditor melalui proses presentasi bukti-bukti sehingga auditor dapat mempercayai klien. Menurut Messier, Glover dan Prawitt (2014) bukti audit adalah informasi yang digunakan oleh auditor untuk kesimpulan yang menjadi dasar opini audit, mencakup informasi yang terkandung dalam catatan akuntansi yang mendasari laporan keuangan dan sumber lainnya. Auditor mengumpulkan bukti dengan melakukan prosedur audit untuk menguji asersi manajemen. Bukti ini merupakan pendukung opini auditor apakah laporan keuangan klien telah diisajikan secara wajar. Bukti-bukti inilah yang harus dikuasai oleh klien refresentatif untuk menyakinkan auditor. Manajemen bertanggung jawab atas penyajian laporan keuangan secara wajar. Asersi adalah pernyataan manajemen yang terkandung dalam laporan keuangan. Pernyataan tersebut dapat bersifat implisit atau eksplisit serta dapat diklasifikasikan berdasarkan penggolongan besar sebagai berikut (SPAP IAPI : 2011) : a. Keberadaan atau keterjadian (existence or occurrence). b. Kelengkapan (completeness). c. Hak dan kewajiban (right and obligation). 21 d. Penilaian (valuation) atau alokasi. e. Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure). Dalam tabel berikut disajikan definisi tiap asersi berdasarkan kategori dan menunjukan bagaimana asersi dikaitkan antar kategori (Messier, Glover dan Prawitt : 2014). Tabel 2.1 Asersi Berdasarkan Kategori dan Keterkaitan Antar Kategori Kategori Asersi-Asersi Golongan Transaksi dan Kejadian selama Periode Kejadian / Keberadaan Transaksi dan peristiwa yang telah dicatat telah terjadi dan terjadi pada entitas yang bersangkutan. Hak dan Kewajiban Saldo Akun di Akhir Periode Penyajian dan Pengungkapan Aset, liabilitas, dan ekuitas adalah benar adanya. Peristiwa dan transaksi yang diungkapkan telah terjadi dan merupakan milik entitas. Entitas memiliki atau mengendalikan hak atas asset dan liabilitas merupakan tanggung jawab entitas. Kelengkapan Seluruh transaksi dan peristiwa yang seharusnya dicatat telah dicatat. Otorisasi Seluruh transaksi dan peristiwa yang seharusnya dicatat telah diotorisasi. Akurasi/Penila ian dan Jumlah dan data lain terkait transaksi dan Seluruh asset, liabilitas, dan ekuitas yang seharusnya dicatat telah dicatat. Seluruh pengungkapan yang seharusnya dimasukan dalam laporan keuangan telah dimasukan. Aset, liabilitas, dan ekuitas dimasukan Informasi keuangan dan lainnya 22 Alokasi peristiwa yang dicatat telah dicatat secara tepat. Pisah Batas Transaksi dan peristiwa telah dicatat pada periode akuntansi yang benar. Klasifikasi dan Transaksi dan Keterpahaman peristiwa telah dicatat dalam akun yang tepat. dalam laoran keuangan dalam jumlah yang tepat dan berbagai hasil penilaian atau alokasi penyesuaian yang telah dicatat secara tepat. diungkapkan secara wajar dan dalam jumlah yang tepat. Informasi keuangan disajikan dan dideskripsi secara tepat, dan pengungkapan dinyatakan secara jelas. Keberhasilan presentasi bukti oleh klien tidak hanya ditentukan oleh laporan keuangan yang sudah sesuai dengan standar pelaporan keuangan yang berlaku, tetapi juga proses penyampaian yang baik. Untuk itu, klien representatif harus memahami betul-betul bukti yang diajukan dan menguasai tehnik presentasi yang dapat diterima dan difahami oleh auditor, sehingga auditor dapat percaya. Auditor dapat menilai ketrampilan klien dalam mempresentasikan buktibukti dengan mengamati bagaimana persiapan klien representative dalam mempresentasikan bukti-bukti, sejauh mana klien representative memahami bukti-bukti tersebut, dan butuh berapa lama klien representative dalam memaparkan bukti-bukti serta menjawab setiap pertanyaan auditor. 23 6. Frekuensi Perselisihan Selama Proses Audit Seksi 100.10 dan 200.3 Kode Etik Profesi Akuntan Publik, kepatuhan terhadap prinsip dasar etika profesi dapat terancam oleh berbagai situasi. Ancaman-ancaman tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut (SPAP IAPI : 2011) a. Ancaman kepentingan pribadi : ancaman yang terjadi sebagai akibat dari kepentingan keuangan maupun kepentingan lainnya dari praktisi maupun anggota keluarga langsung atau anggota keluarga dekat dari praktisi. b. Ancaman telaah pribadi : ancaman yang terjadi ketika pertimbangan yang diberikan sebelumnya harus dievaluasi kembali oleh Praktisi yang bertanggung jawab atas pertimbangan tersebut. c. Ancaman advokasi : ancaman yang terjadi ketika praktisi menyatakan sikap atau pendapat mengenai suatu hal yang dapat mengurangi objektifitas selanjutnya dari Praktisi tersebut. d. Ancaman kedekatan : ancaman yang terjadi ketika Praktisi terlalu bersimpati terhadap kepentingan pihak lain sebagai akibat dari kedekatan hubungannya. e. Ancaman intimidasi : ancaman yang terjadi ketika Praktisi dihalangi untuk bersikap objektif. Dengan adanya beberapa factor ancaman tersebut, auditor dapat menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima dapat diklasifikasikan kedalam pencegahan yang dibuat oleh profesi, perundang-undangan, atau peraturan dan pencegahan dalam lingkungan kerja (Seksi 100.11 SPAP IAPI : 2011). 24 Ancaman-ancaman tersebut kadang terjadi diluar pengamatan auditor, sehingga tindak lanjut dari proses pencegahan tidak berfungsi, oleh karena itu diperlukan sikap skeptisme professional auditor sebagai detektor adanya kecurangan yang dilakukan klien. Kecurigaan merupakan komplemen dari kepercayaan, yang juga ada di dalam auditing. Dalam melakukan audit, auditor diharapkan mengumpulkan bukti yang memadai untuk mendukung atau menolak pernyataan manajemen. Auditor harus mencerminkan tingkatan dimana para audit melakukan sikap mempertanyakan. Skeptisisme professional berakar dari konsep keberatan. Para auditor diharapkan untuk skeptis mengenai motif-motif manajer dan akurasi serta sifat bisa di percaya dari neraca dan pengungkapan yang dibuat oleh manajemen. Dalam menerapkan sikap skeptis untuk menghindari adanya ancamanancaman tersebut, auditor terkadang berselisih faham selama proses audit berlansung. Namun, perselisihan tersebut bila dapat dijelaskan dengan baik oleh klien representatif tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap rasa percaya auditor, terkecuali jika ada benturan kepentingan antara auditor dan klien representatif. Auditor sebagai tenaga professional mencatat pentingnya penilaian frekuensi perselisihan selama proses audit untuk melakukan penilaian audit. Penilaian frekuensi kesalahan pada seluruh audit juga mempengaruhi penilaian resiko kontrol. Konteks perselisihan antara auditor dan klien representatif dapat digunakan sebagai platform untuk membantu mempelajari factor yang mempengaruhi rasa percaya audr terhadap klien refresentatif. Karena pada 25 dasarnya manusia cendrung tidak sadar terhadap tingkatan rasa percaya mereka hingga mereka berada dalam kondisi test kepercayaan. Salah satu kondisinya yaitu perselisihan tersebut. Mereview tiap perselisihan yang terjadi selama proses audit berlangsung dan mempelajari bagaimana penyelesaiannya, lebih mudah untuk menimbulkan adanya rasa percaya auditor dibandingkan tanpa adanya perselisihan sama sekali, (Levin et.al : 2006). Frekuensi perselisihan dapat dilihat dari pengalaman antara auditor dan klien, (Shaub :1996), dan frekuensi perselisihan yang tinggi antara auditor dengan klien dapat mengurasi rasa percaya auditor, sehingga meningkatkan sikap kehati-hatian atau skeptisme professional auditor, (Kopp et al. 2010) 7. Lamanya Hubungan antara Auditor dengan Klien Refresentatif Rasa percaya seseorang terhadap obyak tertentu bisa timbul karena telah mengenal obyek tersebut terlebih dahulu, atau dapat dikatakan bahwa probabilitas rasa percaya subyektif seseorang terhadap obyek tersebut dipengaruhi oleh pengalaman. Pengalaman bisa bersifat positif sehingga menambah rasa percaya yang dimiliki, atau dapat juga bersifat negatif sehingga mengurangi rasa percaya. Tingkat rasa percaya auditor dan klien representatif juga dibentuk oleh pengalaman sebelumnya antara individu tersebut (Kopp et.al : 2010). Dalam teori kosistensi dijelaskan bahwa manusia akan selalu merasa lebih lebih nyaman dengan sesuatu yang tetap (konsisten) daripada hal-hal yang tidak tetap (Morissan : 2014). Hubungan auditor dan klien yang lebih lama dapat mempengaruhi rasa percaya auditor, karena lamanya hubungan memiliki 26 kontribusi pengalaman yang dapat dijadikan acuan penilaian auditor terhadap klien representatif. Hubungan yang lebih baru antara auditor dan klien refresentatif cendrung lebih meningkatkan sikap kehati-hatian auditor, karena auditor belum memahami sepenuhnya proses bisnis klien dan karakter klien representative. 8. Penelitian Terdahulu Bukti mengenai pentingnya rasa percaya auditor terhadap klien representative berpotensi mempengaruhi penilaian auditor. Telah banyak pula penelitian yang membahas kepercayaan auditor dan hubungannya dengan klien representatif, seperti terangkum dibawah ini : a. Penelitian Morina D. Rennie, Lori S. Kopp dan W. Morley Lemon (2010) mengeksplorasi kepercayaan dan hubungan auditor-klien dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan auditor. b. Putu Saka Sumarsana Putra dan naniek Noviari (2013) dalam Jurnal “Pemanfaatan Teknologi Informasi, Kepercayaan, dan Kompetensi pada Penerapan Teknik Audit Sekitar Komputer” c. Penelitian Rune Lines, Marcus Selart, Bjarne Espedal dan Svein T. Johansen (2005), produksi kepercayaan selama perubahan organisasi. d. Model dal literature review skeptisme professional dalam auditing yang diteliti oleh Mark W. Nelson (2005). 27 e. Penelitian selanjutnya oleh Rose (2007) yang meneliti tentang focus terhadap bukti agresif laporan keuangan dan intensitas kesalahan penilaian yang merupakan pengaruh dari pengalaman dan kepercayaan. f. Daniel Z. Levin at al. (2006) meneliti persepsi sumber pengetahuan kepercayaan sebagai pengaruh dari lamanya hubungan kerja sama. g. Michael Gibbins et al. (2005) mengupas tentang isu negosiasi dalam akuntansi. Untuk lebih jelasnya dapat terlihat dalam table 2.1 berikut : Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu Peneliti Morina D. Rennie, Lori S. Kopp dan W. Morley Lemon (2010) Variabel Penelitian Variabel Independen : Trust Variabel Dependen : keterbukaan komunikasi, kemampuan mendemonstrasi kan bukti, frekuensi perselisihan dan lamanya hubungan kerja sama. Variabel Kontrol : kepuasan auditor terhadap output dan kecendrungan auditor untuk percaya. Metode Penelitian Hasil Analisis Hasil penelitian menunjukan Regresi bahwa keterbukaan komunikasi, Hierarki perhatian klien dalam menyampaikan bukti-bukti audit dan lamanya hubungan auditor-klien berpengaruh positif terhadap kepercayaan yang diberikan oleh auditor tesebut, dengan variabel kontrolnya kepuasan auditor terhadap output dan kecendrungan yang dapat menambah kepercayaan auditor. 28 Rune Lines, Marcus Selart, Bjarne Espedal dan Svein T. Johansen (2005) Variabel Independen : Trust Variabel Dependen : Identivication, Competency, Fairness dan Oppenness. Variabel Moderat : Tennure Analisis Regresi Mark W. Nelson (2009) Variabel Studi Independen : Litelatur Skeptisme Profesional Variabel Dependen : Incentive, Pengetahuan, Sifat, Bukti, Pengalaman dan latihan auditor. Rose (2007) Variabel Independen : Perhatian terhadap bukti agresif , penilaian fraud. Variabel Dependen : Perngalaman dan kepercayaan. Analisis Regresi Hasil empiris menunjukkan bahwa peningkatan perubahan pasca stres emosional dan penggunaan referensi akunakun untuk menilai perubahan keduanya berpengaruh negatif terhadap perubahan kepercayaan dalam manajemen. Penggunaan ideologi dan partisipan berpengaruh positif terhadap perubahan kepercayaan manajemen, sehingga keputusan dianggap berkualitas . Temuan juga menunjukkan bahwa efek perubahan kepercayaan yang negatif dimoderatori oleh kepemilikan. Studi literatur menemukan bahwa insentive, pengetahuan auditor, sifat/karakter, pengalaman, pelatihan yang sudah diperoleh dan bukti-bukti pendukung lainnya berpengaruh terhadap skeptisme judgement yang selanjutnya akan mempengaruhi tindakan auditor, sehingga ini dapat dijadikan model dalam penerapan sikap skeptisme profesional auditor. Bahwa auditor yang lebih berpengalaman terhadap adanya kecurangan akan lebih memperhatikan bukti audit dari laporan keuangan yang agresif. Oleh karena itu, walaupun seorang auditor telah lama bekerja dan banyak mendapatkan penugasan audit tetapi jarang menemui laporan keuangan dengan fraud yang material maka sikap skeptisme profesionalnya tidak berbeda dengan auditor yang kurang berpengalaman. 29 Daniel Z. Levin at al. (2006) Variabel Independen : Waktu kepercayaan yang diberikan Variabel Dependen : Kesamaan demograpis, Prilaku terpercaya dan berbagi pandangan dan saling percaya satu sama lain. Michael Gibb Variabel ins et al. Independen : (2005) Kesepakatan Partner Audit dengan CFO Variabel Dependen : Negosiasi akuntansi. Putu Saka Sumarsana Putra dan naniek Noviari (2013) Variabel Independen : Tehnik Audit Sekitar Komputer Variabel Dependen : Pemanfaatan teknologi informasi, kepercayaan dan kompetensi. Analisis Regresi Berganda Kesamaan demografi dapat menimbulkan rasa saling percaya jangka pendek antara pihak terkait, sedangkan prilaku yang jujur dan terpercaya dapat menimbulkan rasa saling percaya antar pihak terkait dalam jangka waktu yang cukup lama, dan kepercayaan yang cukup lama dapat bertahan antar pihak terkait dipengaruhi oleh sikap saling percaya dan saling berbagi persepsi. Analisis Analisis komparatif Komparati memberikan kepada kita untuk f mengidentifikasi dengan pasti elemen-elemen dan fitur kontekstual yang dapat mempengaruhi keduanya Partner Audit dan CFO untuk mempertimbangkan negosiasi akuntansi yang diatur sebagai distributor utama. Analisis Pemanfaatan teknologi, Regresi kepercayaan terhadap Linear teknologi, dan kompetensi Berganda auditor berpengaruh positif terhadap penerapan teknik audit sekitar komputer oleh auditor kantor akuntan publik di Bali. B. Kerangka Pemikiran Rasa percaya auditor terhadap klien itu penting tanpa harus menyalahi independensi dan skeptisme professional auditor, karena auditor membutuhkan informasi mengenai detail proses bisnis klien yang justru lebih difahami oleh 30 klien dibandingkan auditor. Namun, bukan berarti auditor harus percaya sepenuhnya terhadap informasi yang diberikan tersebut. Dalam penelitian Kopp et al. (2010) menguji bahwa kepercayaan auditor dipengaruhi oleh keterbukaan komunikasi dan ketrampilan dalam mempresentasikan bukti oleh klien representative. Selain itu, peneliti menguji juga pengaruh faktor frekuensi perselisihan selama proses audit dan lamanya hubungan kerja sama antara auditor-klien selama proses audit terhadap kepercayaan auditor. Berdasarkan permasalahan dan pengembangan hipotesis dalam penelitian ini maka kerangka teoritis yang dibangun adalah sebagai berikut: Keterbukaan Komunikasi Klien representatif Selama Proses Audit H1 + H2 + Ketrampilan Klien representatif dalam mempresentasikan buktibukti H3 - Kepercayaan Auditor Frekuensi Perselisihan Lamanya kerjasama H4 + Gambar 2.1 Diagram Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konseptual dapat diketahui bahwa perilaku mempercayai atau perilaku mencurigai yang dilakukan seseorang terhadap obyek tertentu baik orang maupun benda adalah merupakan kompetensi yang dibentuk dari faktor keterbukaan komunikasi, ketrampilan mempresentasikan bukti, faktor 31 frekuensi perselisihan selama proses audit berlangsung, dan faktor lamanya hubungan antara auditor dan klien. C. Hipotesis 1. Pengaruh Faktor keterbukaan komunikasi terhadap kepercayaan auditor Kopp et al. (2010), menilai bahwa kualitas komunikasi dan karakteristik klien representatif berpengaruh terhadap kepercayaan auditor. Kurangnya komunikasi dalam suatu hubungan akan mengakibatkan komunikasi itu akan bias. Secara umum klien yang terbuka dalam berkomunikasi, menjelaskan dan mempresentasikan setiap pertanyaan yang diutarakan oleh auditor dengan jelas dan dapat difahami, maka akan ada kecenderungan bahwa tingkat kepercayaan auditor terhadap klien juga tinggi. Rasa percaya dalam komunikasi bisa berpengaruh positif terhadap kepercayaan auditor terhadap klien dan bahwa kualitas komunikasi secara signifikan mempengaruhi kepercayaan auditor terhadap klien, hipotesis yang terkain dengan hal ini adalah : H1 : Semakin terbukanya klien representatif dalam mengkomunikasikan kondisi perusahaan berpengaruh positif terhadap kepercayaan auditor. 2. Pengaruh Ketrampilan Mempresentasikan Bukti-bukti oleh Klien representatif Berpengaruh Positif Terhadap Kepercayaan Auditor Hal ini dapat disebut sebagai "perilaku menarik-kepercayaan", klien representatif yang terampil menunjukkan beberapa peluang perilaku menarik- 32 kepercayaan kepada auditor selama proses audit berlangsung. Ketika klien representatif dengan trampil mempresentasikan bukti audit baik berupa laporan keuangan maupun asersi manajemen dapat lebih meyakinkan auditor untuk percaya. Sebaliknya, klien representatif yang tidak mampu berkomunikasi secara terbuka atau tidak menunjukkan kepedulian mungkin tidak menghasilkan rasa percaya auditor, dan bahkan mungkin menciptakan kecurigaan auditor, hipotesisnya adalah : H2 : Semakin trampil klien representatif dalam mempresentasikan bukti-bukti berpengaruh positif terhadap kepercayaan auditor. 3. Pengaruh Faktor Frekuensi Perselisihan Selama Proses Audit Terhadap Kepercayaan Auditor Konteks perselisihan antara auditor dan klien representatif dapat digunakan sebagai platform untuk membantu mempelajari factor yang mempengaruhi rasa percaya auditor terhadap klien refresentatif. Karena pada dasarnya manusia cendrung tidak sadar terhadap tingkatan rasa percaya mereka hingga mereka berada dalam kondisi test kepercayaan. Salah satu kondisinya yaitu perselisihan tersebut. Mereview tiap perselisihan yang terjadi selama proses audit berlangsung dan mempelajari bagaimana penyelesaiannya, lebih mudah untuk menimbulkan adanya rasa percaya auditor dibandingkan tanpa adanya perselisihan sama sekali, (Levin et.al : 2006), hipotesisnya adalah : H3 : Frekuensi perselisihan antara auditor-klien selama proses audit berpengaruh negative terhadap kepercayaan auditor 33 4. Pengaruh Faktor Lamanya Kerjasama Auditor-klien terhadap Kepercayaan Auditor. Rasa percaya seseorang terhadap obyak tertentu bisa timbul karena telah mengenal obyek tersebut terlebih dahulu, atau dapat dikatakan bahwa probabilitas rasa percaya subyektif seseorang terhadap obyek tersebut dipengaruhi oleh pengalaman. Pengalaman bisa bersifat positif sehingga menambah rasa percaya yang dimiliki, atau dapat juga bersifat negatif sehingga mengurangi rasa percaya. Tingkat rasa percaya auditor dan klien representatif juga dibentuk oleh pengalaman sebelumnya antara individu tersebut (Kopp et.al : 2010), Hipotesis yang terkait dengan hal ini ialah : H4: Semakin lama hubungan auditor-klien berpengaruh positif terhadap kepercayaan auditor.