dampak sosial ekonomi penataan lingkungan bagi pedagang kaki

advertisement
Jejak 6 (1) (2013): 1-9. DOI: 10.15294/jejak.v6i1.3743
JEJAK
Journal of Economics and Policy
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jejak
DAMPAK SOSIAL EKONOMI PENATAAN LINGKUNGAN
BAGI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Abdul Bakhirnudin
Universitas Negeri Semarang, Semarang, Indonesia
Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.15294/v6i1.3743
Received: 2 January 2013; Accepted: 26 january 2013; Published: March 2013
Abstract
Street vendors usually have bad impression because they are dirty and disorderly. It is because they are disorganized and they often occupy
public places. The high interest of consumers, especially from the lower class has made more and more street vendors. By issuing Perda of
2000 No. 11, the local government of Semarang has tried to organize them. However, it is not a comprehensive solution to overcome the
problems of street vendors. The population of this study is 173 street vendors in Perumnas Tlogosari Semarang. The samples are 100 people
who are mostly from outside of Tlogosari. The model of street vendors in Perum Tlogosari is Linear Concentration. The results show that
before organizing the street vendors, there isn’t any association for them, but now they have an association which is called Paguyuban
Pedagang dan Jasa (PPJ). The social impacts of having PPJ are the street vendors have routine social gathering, as well as other regulations
that can minimize conflicts that can arise between them. From the economics point of view, most of them can increase their incomes per
month. Therefore, to maintain the sustainability of the positive effects that arise, the street vendors should maintain and implement rules
that have been agreed, as well as having innovations for the goods they sell so that they have sustainable profit.
Keywords: PKL, dampak social, ekonomi
Abstrak
Pedagang kaki lima identik dengan kesan buruk, kotor dan tidak tertib. Penempatan sarana perdagangan yang tidak teratur dan tidak
tertata serta sering menempati tempat yang menjadi tempat umum dianggap sebagai penyebab kondisi tersebut. Tingginya minat
konsumsi masyarakat menyebabkan pedagang kaki lima menjadi semakin banyak, terutama masyarakat kelas bawah. Melalui Perda
Nomor 11 Tahun 2000, Pemerintah Kota Semarang sudah berusaha menata PKL. Namun pada kenyataannya belum ditemukan solusi
yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan PKL. Populasi penelitian ini adalah PKL Perumnas Tlogosari Kota Semarang
berjumlah 173 pedagang. Sampel yang digunakan berjumlah 100 orang sebagian besar berasal dari luar kawasan Perumnas Tlogosari.
Model PKL di Perum Tlogosari menggunakan Pola Penyebaran Memanjang (Linier Concentration). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebelum ada penataan tidak ada paguyuban. Namun setelah penataan terdapat sebuah paguyuban pedagang dan jasa (PPJ),
dalam bentuk arisan. Dampak sosial selain paguyuban adalah agenda rutin arisan, serta peraturan lainnya sehingga meminimalkan
konflik yang timbul. Dari sisi ekonomi, sebagian besar pedagang mengalami peningkatan pendapatan yang diperoleh per bulan. Oleh
karena itu, untuk menjaga keberlanjutan dari dampak positif yang timbul, diharapkan PKL mampu menjaga dan melaksanakan aturan
yang telah disepakati bersama, sekaligus melakukan inovasi-inovasi agar barang yang dijual lebih bervariatif untuk memperoleh
keuntungan berkesinambungan.
Kata Kunci: street vendors, social impacts, economics
How to Cite: Bakhirnudin, A. (2013). Dampak Sosial Ekonomi Penataan Lingkungan Bagi Pedagang Kaki Lima
(PKL). JEJAK Journal of Economics and Policy, 6(1). 1-9

Corresponding author :
Address: C6 FE Unnes Kampus Sekaran Gunungpati
Semarang Indonesia 50229
E-mail: [email protected]
© 2013 Semarang State University. All rights reserved
ISSN 1979-715X
2
Abdul Bakhirnudin, Dampak Sosial Ekonomi Penataan Lingkungan Bagi Pedagang Kaki Lima (PKL)
PENDAHULUAN
Kota menjadi pusat pembangunan
sektor formal, maka kota dipandang lebih
menjanjikan bagi masyarakat desa. Kota
bagaikan mempunyai kekuatan magis yang
mampu menarik para warga desa, sehingga
terjadi perpindahan penduduk dari desa ke
kota. Kondisi tersebut di atas dikenal dengan
teori faktor pendorong (push factor) dan
faktor penarik (pull factor) dalam urbanisasi.
Sparks (2010). Akan tetapi kota tidak seperti
apa yang diharapkan kaum migran. Tenaga
kerja yang banyak tidak bisa sepenuhnya
ditampung sektor formal. Lapangan kerja
formal
yang
tersedia
mensyaratkan
kemampuan dan latar belakang pendidikan
tertentu yang sifatnya formal, sehingga
tenaga kerja yang tidak tertampung dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya
memilih sektor informal. Sirivanth (2013).
Kota merupakan pusat perdagangan, pusat
industri, pusat pertumbuhan, simpul
distribusi, pusat permukiman dan daerah
modal. Soesilowati (2010).
Kehadiran pedagang kaki lima sering
dikaitkan dengan dampak negatif bagi
lingkungan perkotaan, dengan munculnya
kesan buruk, kotor, kumuh dan tidak tertib.
Wen Hu (2010). Hal ini ditunjukkan oleh
penempatan sarana perdagangan yang tidak
teratur dan tidak tertata serta sering
menempati tempat yang menjadi tempat
umum. Akan tetapi, adanya kebutuhan
terhadap pedagang kaki lima oleh masyarakat menjadikan keberadaan para pedagang
kaki lima pun semakin banyak. Masyarakat
terutama yang kelas bawah masih membutuhkan di untuk memenuhi kebutuhan yang
terjangkau.
Pemerintah Kota Semarang sudah
berusaha menata PKL berdasarkan Perda
Nomor 11 Tahun 2000 tentang pengaturan
pedagang
kaki
lima,
namun
pada
kenyataannya pemerintah kota belum
menemukan solusi yang komprehensif untuk
mengatasi permasalahan pedagang kaki lima.
Berdasarkan Perda No. 11 Tahun 2000 yang
mengatur PKL, tempat-tempat yang boleh
digunakan untuk berjualan antara lain Jl.
Sendang Indah, Jl. Woter monginsidi,
Perumahan Tlogosari, Jl. Pedurungan Kidul,
Jl.Brigjen Sudiarta, Jl. Supriadi, Jl. Soekarno
Hatta Timur
Perumahan Tlogosari yang tergolong
cukup besar ini memiliki luas daerah ±280,5
ha dibangun sekitar tahun 1989an. Daerah
ini dipandang cukup dekat ±10 Km dengan
pusat kota sehingga menarik banyak
masyarakat untuk memiliki rumah di daerah
ini. Sampai tahun 2012, tercatat jumlah
Kepala Keluarga (KK) di daerah ini 9.609 KK,
dengan jumlah penduduk sebesar 35.784
orang. Ini merupakan jumlah penduduk yang
cukup besar, sehingga mengakibatkan
menjamurnya pedagang kaki lima yang
menjadi dilema bagi Pemerintah Kota
Semarang.
Para pedagang yang menjamur di
kawasan Perumnas Tlogosari ini telah
menjadikan ramainya Pedagang Kaki Lima
(PKL) hampir di seluruh pinggir jalan utama
kompleks Perumahan Tlogosari. Penjamuran
PKL di Perumnas ini mendorong pemerintah
melakukan perubahan aturan dalam tata
ruang Perumnas Tlogosari.
Berdasarkan uraian tersebut di atas
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai: “Dampak Sosial dan
Ekonomi
Penataan
Lingkungan
Bagi
Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Kawasan
Perumnas Tlogosari Kota Semarang”. Adanya
Para PKL yang menjamur di Perumnas
Tlogosari Semarang menyebabkan ramainya
daerah tersebut. Berdasarkan latar belakang
JEJAK Journal of Economics and Policy 6 (1) (2013): 1-9
masalah di atas, maka pokok permasalahannya yaitu dapat dirumuskan sebagai
berikut: (1) Bagaimana model penataan
pedagang kaki lima di kawasan Perumnas
Tlogosari Semarang; (2) Bagaimana kendala
dan strategi yang ditempuh dalam penataan
lingkungan pedagang kaki lima di kawasan
Perumnas Tlogosari Semarang?; (3) Bagaimana dampak sosial ekonomi penataan
lingkungan bagi pedagang kaki lima di
kawasan Perumnas Tlogosari Semarang?
METODE PENELITIAN
Populasi adalah keseluruhan subyek
penelitian (Arikunto, 1998:103). Populasi
dalam penelitian ini adalah pedagang kaki
lima Perumnas Tlogosari Kota Semarang
berjumlah 173 pedagang. Sampel adalah
sebagian atau wakil dari populasi yang
diteliti (Arikunto, 1998:117). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah
purposive sample yaitu cara pengambilan
sampel didasarkan atas tujuan tertentu.
Teknik ini dilakukan atas beberapa pertimbangan yaitu karena keterbatasan tenaga,
waktu, dan dana sehingga tidak dapat
mengambil sampel secara besar dan jauh.
Variabel penelitian adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian (Arikunto, 2002:96). Adapun yang pertama adalah variabel sosial.
Sosial yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kehidupan sosial pedagang kaki lima
(PKL) di Perumnas Tlogosari Kota Semarang
yang memiliki beberapa indikator antara lain
hubungan antar pedagang, hubungan dengan masyarakat, hubungan dengan aparat.
Selanjutnya variabel ekonomi, yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah
pendapatan Pedagang Kaki Lima (PKL) di
Perumnas
Tlogosari
Kota
Semarang.
Pendapatan yang diterima seorang Pedagang
3
Kaki Lima berupa uang yang sifatnya regular
dan biasanya sebagai balas jasa. Sumber
utama berupa laba atau keuntungan serta
balas jasa lain-lain.
Kemudian variabel Model Penataan
Lingkungan. yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penataan lingkungan bagi
Pedagang Kaki Lima (PKL) di Perumnas
Tlogosari Kota Semarang yang memiliki
beberapa indikator seperti bagaimana tata
ruang lokasi pedagang kaki lima, bagaimana
tata kelola pedagang kaki lima, bagaimana
peraturan pedagang kaki lima, bagaimana
sangsi pedagang kaki lima.
Keberhasilan dalam pengumpulan data
merupakan syarat bagi keberhasilan suatu
penelitian. Sedangkan keberhasilan dalam
pengumpulan data tergantung pada metode
yang digunakan. Chen (2012). Berkaitan
dengan hal tersebut maka pengumpulan data
diperlukan guna mendapatkan data-data
yang obyektif dan lengkap sesuai dengan
permasalahan yang diambil. Metode pengumpulan data merupakan suatu cara
untuk memperoleh kenyataan yang mengungkapkan data-data yang diperlukan dalam
suatu penelitian.
Pengumpulan data yang diperlukan
dalam penelitian ini digunakan metode
dokumentasi, yaitu suatu cara memperoleh
data atau informasi tentang hal-hal yang ada
kaitannya dengan penelitian dengan jalan
melihat kembali laporan tertulis yang lalu
baik berupa angka maupun keterangan
(Arikunto 1998:131). Untuk kepentingan
penelitian ini digunakan data primer melalui
metode angket, observasi dan dokumentasi
berupa data.
Wawancara dalam penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh informasi
tentang
kendala/hambatan
penataan
4
Abdul Bakhirnudin, Dampak Sosial Ekonomi Penataan Lingkungan Bagi Pedagang Kaki Lima (PKL)
lingkungan bagi Pedagang Kaki Lima (PKL)
Di Perumnas Tlogosari Kota Semarang,
mekanisme target dan upaya yang dilakukan
oleh Dinas Pengelola pasar untuk mengatasi
kendala, hambatan dan strategi dalam
penataan lingkungan bagi Pedagang Kaki
Lima (PKL). Wawancara dilakukan dengan
petugas dari Dinas Pasar. Wawancara
dilakukan dengan pedoman umum dimana
dalam proses wawancara ini peneliti
dilengkapi dengan pedoman wawancara yang
sangat umum yang mencantumkan isu-isu
yang harus diliput untuk mengingatkan
peneliti mengenai aspek-aspek yang harus
dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek.
Selanjutnya,
observasi
adalah
pengamatan peninjauan langsung ke lokasi
penelitian, dalam hal ini adalah Lokasi PKL
Perumnas Tlogosari. Penggunaan kuesioner
didasari keyakinan bahwa responden adalah
orang yang paling paham masalahnya.
Kuesioner dapat dilakukan langsung atau
tidak langsung. Kuesioner dapat dibagi
menjadi dua, yakni kuesioner terbuka dan
kuesioner tertutup. Kuesioner dikatakan
terbuka jika responden dapat menyatakan
pendapat sesuai keyakinannya. Sedangkan
tertutup jika sudah disediakan alternatif
pilihan jawaban. Sirivanth (2013). Pada
penelitian ini, kuesioner yang digunakan
adalah kuesioner tertutup. Ada pula data
yang diperoleh dari dokumentasi Berupa
rekaman saat melakukan penelitian, berupa
rekaman audio video menggunakan kamera
saat mengambil data melalui kuesioner.
Analisis deskriptif dalam penelitian ini
digunakan untuk mengetahui dampak sosial
ekonomi
penataan
lingkungan
bagi
Pedagang Kaki Lima, maka analisis datanya
menggunakan rumus persentase yaitu sebagai berikut: (Ali 1992:184)
%=
x 100%
Dimana:
n = Nilai yang diperoleh
N = Jumlah seluruh nilai
% = Tingkat keberhasilan yang dicapai.
Untuk
mengetahui
faktor-faktor
penghambat yang dihadapi oleh pemerintah
Kota Semarang pada penataan Lingkungan
bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah
sebagai berikut: (1) Dilihat dari kualitas
aparat pemerintah Kota Semarang; (2)
Ditinjau dari segi faktor-faktor (eksternal
(segi masyarakat), internal (PKL)) yang dapat
mempengaruhi
pelaksanaan
penataan
Lingkungan bagi Pedagang Kaki Lima (PKL).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perumnas
Tlogosari
merupakan
perumahan yang tergolong cukup besar. Hal
ini ditunjukkan dengan kondisi luas
wilayahnya, yakni memiliki luas daerah
±280,5 ha dan telah mulai dibangun sekitar
tahun 1989an. Daerah ini dipandang cukup
dekat ±10 KM dengan pusat kota sehingga
menarik banyak masyarakat untuk memiliki
rumah di daerah ini. Pada tahun 2012 telah
tercatat 9.609 Kepala Keluarga (KK), dengan
jumlah penduduk sebesar 35.784 orang. Ini
merupakan jumlah penduduk yang cukup
besar yang menghuni di dalam satu
kelurahan yaitu Kelurahan Tlogosari Kulon.
Dari gambaran tersebut merupakan peluang
pasar yang potensial bagi pedagang kaki lima
untuk menggelar barang dagangannya.
5
JEJAK Journal of Economics and Policy 6 (1) (2013): 1-9
berjualan kaki lima terdiri dapat dilihat di
Tabel 1.
Dalam Perumnas
Luar Perumnas
26%
74%
Sumber: Data Primer Diolah 2011
Gambar 1. Rekapitulasi
Data
Responden
Berdasarkan Asal Daerah
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan pada 100 orang responden di
kompleks PKL Perumnas Tlogosari jika
dilihat dari asal daerah pada gambar 1, dapat
dilihat bahwa responden sebagian besar
berasal dari luar kawasan Perumnas
Tlogosari. Hal tersebut ditunjukkan dengan
prosentase sebesar 74, sedangkan sisa nya
26% atau sebanyak 26 orang berasal dari
dalam kawasan Perumnas Tlogosari itu
sendiri.
Berdasarkan rekapitulasi data kuesioner responden menurut jenis sarana
berdagang yang digunakan seperti yang
ditunjukkan pada tabel 1, menunjukkan
bahwa seluruh pedagang yang termasuk ke
dalam PPJ kesemuanya menggunakan
warung tenda sebagai sarana berjualannya.
Dengan kata lain tidak ada para pedagang
yang menggunakan gerobak, pikulan
maupun gelaran dan kios. Sedangkan
kepemilikan kios dilakukan secara swadaya
dimana setiap yang ingin memiliki kios
mengeluarkan dana kurang lebih 2,2 juta
untuk mendapatkan 1 kotak lapak. Selain
karakteristik responden dalam penelitian ini
juga meneliti mengenai antara lain:
Variabel Model Penataan Pedagang Kaki
Lima Perum Tlogosari
tidak
22%
Tabel 1. Rekapitulasi Data Responden Berdasarkan Jenis Sarana yang digunakan
No.
Sarana
1 Warung Tenda
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
98
98
2 Gerobak/kereta dorong
2
2
3 Pikulan/Keranjang
-
-
4 Gelaran
-
-
5 Kios
-
-
Jumlah
98
Sumber: Data Primer Diolah 2011
ya
78%
Sumber: Data Primer Diolah 2011
Gambar 2. Rekapitulasi Data Responden
Mengenai Variabel Model Penataan Lingkungan
Berdasarkan Perlu Tidaknya Ada Pengaturan Lagi
100,00
Sarana merupakan tempat yang digunakan seorang pedagang untuk menjajakan
dagangannya. Pada penelitian ini, sarana
berjualan yang digunakan responden yang
Dari Gambar 2 terlihat ada 78 orang
berpendapat bahwa penataan masih perlu
adanya pengaturan lagi, terutama untuk
mengatasi pelbagai permasalahan yang
masih dialami oleh para pedagang. Tidak
jarang di menyarankan agar adanya campur
6
Abdul Bakhirnudin, Dampak Sosial Ekonomi Penataan Lingkungan Bagi Pedagang Kaki Lima (PKL)
Tabel 4. Variabel Sosial Berdasarkan
Tidaknya Paguyuban.
tangan dari pihak pemkot untuk mampu
mengadakan pengaturan lebih lanjut.
Kondisi atau model PKL di perum
Tlogosari menggunakan Pola Penyebaran
Memanjang (Linier Concentration). Menurut
Mc. Gee dan Yeung (dalam Budi 2006; 35),
umumnya pola penyebaran memanjang atau
linier concentration terjadi di sepanjang atau
di pinggir jalan utama (main street) atau
pada jalan yang menghubungkan jalan
utama. Dengan kata lain pola perdagangan
ini ditentukan oleh pola jaringan jalan itu
sendiri. Sesuai dengan keadaan di lapangan,
para PKL di Tlogosari membuka lapaknya di
sepanjang jalan utama. Model atau pola
tersebut dapat di lihat pada gambar 3
berikut.
No. Keberadaan
1 Ada
2 Tidak Ada
Jumlah
Sebelum
Jumlah %
100
100
-
-
100
100,00
100
100,00
Baik tidaknya hubungan juga mampu
dilihat bagaimana paguyuban tersebut
mampu berjalan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan pada 100 orang responden
mengenai ada tidaknya paguyuban antar
sesama pedagang kaki lima, dari tabel 4
ternyata dapat diketahui bahwa sebelum
adanya penataan memang tidak ada
paguyuban. Namun setelah adanya penataan
terdapat sebuah paguyuban pedagang dan
jasa (PPJ), yang dinyatakan bulat oleh 100
orang responden (100 %).
Tabel 5. Variabel Sosial Berdasarkan Ada Tidaknya Aturan yang Tidak
Tertulis Antar Sesama Pedagang dalam Berjualan Sehari-hari
Keberadaan
Sesudah
Jumlah
%
100
100
Sumber: Data Primer Diolah 2011.
Analisis Variabel Sosial
Keberadaan paguyuban merupakan
salah satu cerminan dari kerukunan antar
pedagang kaki lima.
No.
Ada
Sebelum
Sesudah
Jumlah
%
Jumlah
%
1 Ada
16
16
100
100
2 Tidak Ada
84
84
100
100,00
Jumlah
100
100,00
Sumber: Data Primer Diolah 2011
Gambar 3. Pola Penyebaran PKL Perum Tlogosari
7
JEJAK Journal of Economics and Policy 6 (1) (2013): 1-9
60
50
40
30
Sebelum
20
sesudah
10
0
Pungurtan Liar
Konflik
Konflik antar
dengan satpol pedagang
PP
Tidak ada
Sumber: Data Primer Diolah 2011
Gambar 4. Grafik Variabel Sosial Berdasarkan Konflik yang Dialami Selama Berjualan Kaki Lima
Tabel 7. Variabel Ekonomi Berdasarkan Keuntungan Bersih yang diperoleh tiap satu bulan
No.
Sebelum
Sesudah
Perubahan Setelah Adanya
Penataan (Rp)
Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1
> 2.500.000
10
10
13
13
2
1.250.000 – 2.500.000
35
35
42
42
3
500.000 – 1.250.000
20
20
37
37
35
35
8
8
4
<
500.000
Sumber: Data Primer Diolah 2011
Wujud terjalinnya hubungan keakraban yang baik antar pedagang, mampu dilihat
dari adanya sebuah agenda rutin pertemuan
yang dihadiri oleh seluruh anggotanya. Dan
salah satu bentuk dari agenda rutin tersebut
adalah arisan.
Dari hasil penelitian, sebanyak 84
orang berpendapat bahwa sebelum ada
penataan belum atau bahkan tidak ada
aturan yang tidak tertulis terkait dengan
keseharian antar pedagang. Namun setelah
ada penataan ternyata sejumlah 100 responden menyatakan bahwa saat ini terdapat
aturan yang harus ditaati walau hal tersebut
tidak tertulis, yaitu antar sesama pedagang
harus mampu menjaga kerukunan.
Dari gambar 4 mampu diketahui
bahwa sebelum ada penataan dari 100 orang
responden, banyak sekali permasalahan yang
di kemukakan, tampak 10 orang atau 10%
seringkali mengalami konflik antar pedagang
sendiri, 50 orang konflik dengan masyarakat
dan satpol PP, setelah ada penataan adanya
konflik antar satpol pp sebesar 30%. 30%
tersebut merupakan pedagang yang tidak
mengikuti paguyuban dan tidak meggunakan
lapak.
Hasil Analisis Variabel Ekonomi
Ekonomi sebagai salah satu indikator
tingkat kesejahteraan seseorang ikut pula
berubah seiring pula terjadinya penataan
pedagang kaki lima di kawasan Tlogosari ini.
8
Abdul Bakhirnudin, Dampak Sosial Ekonomi Penataan Lingkungan Bagi Pedagang Kaki Lima (PKL)
Berikut merupakan data responden berdasarkan variabel ekonominya dilihat dari
keuntungan bersih yang diperoleh selama
berjualan kaki lima (lihat tabel 7).
Selain itu dari hasil wawancara dapat
disimpulkan bahwa banyak sekali upaya yang
harus dilakukan oleh para pedagang kaki
lima untuk mengatasi berbagai kendala yang
di hadapi dalam berjualan, misalnya saja
untuk mengatasi adanya pedagang liar yang
harus pandai mempromosikan serta mengadakan inovasi terkait dengan barang
dagangannya.
Sedangkan untuk mengatasi permasalahan sering matinya lampu penerangan,
PKL lebih memilih menggunakan genset
pribadi maupun penerangan lampu penerangan emergency daripada menunggu listrik
menyala kembali, dan untuk sampah para
PKL lebih suka membakarnya di sekitar
lingkungan. Lalu untuk menanggapi lahan
parkir yang dirasa kurang memadai dengan
jumlah para pembeli, para pedagang
berinisiatif untuk menggunakan tepian jalan
sebagai sarana parkir.
PENUTUP
Model penataan Pedagang Kaki Lima di
kawasan Tlogosari berawal dari ketidak
kondusifan lingkungan yang digunakan
sebagai sarana berjualan. Kemudian atas
dasar persamaan pola pikir dan tujuan atas
kepedulian lingkungan di sepakat membentuk sebuah paguyuban yang akrab di sebut
PPJ, (Paguyuban Pedagang dan Jasa). Dengan
keberadaan PPJ inilah penataan PKL di
Kawasan Tlogosari dimulai, den gan pola
penyebaran memanjang (Linier Concentration).
Dampak sosial yang mampu dilihat
setelah adanya penataan adalah dengan
adanya paguyuban, agenda arisan, serta
peraturan lain yang sebelumnya belum ada
sekarang sudah terwujud. Selain itu juga,
berbagai konflik yang keberadaannya kian
menurun. Sedangkan dari sisi ekonomi
mampu dirasakan oleh sebagian besar
pedagang, yang kini telah mengalami
perbaikan dalam tingkat kesejahteraannya
dengan meningkatnya tingkat pendapatan
yang di peroleh tiap bulannya
Saran yang diajukan dari penelitian ini;
(1) Bagi para pedagang kaki lima, PKL harus
mampu menjaga dan melaksanakan aturan
yang telah disepakati bersama; (2). Guna
menjaga kunjungan konsumen, PKL harus
mampu senantiasa mengadakan inovasiinovasi agar barang yang dijual lebih
bervariatif, agar tidak senantiasa berorientasi
terhadap keuntungan sesaat, namun bertujuan untuk memperoleh keuntungan
berkesinambungan.
Bagi penduduk sekitar sebagai pemilik
kawasan seharusnya penduduk sekitar
mampu membaca peluang terkait dengan
kurang nya fasilitas yang ada disana. Seperti
halnya penyediaan toilet umum, lahan parkir
yang memadai dan aman, merupakan contoh
sebuah peluang bisnis yang mampu untuk
dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (1998). Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Arikunto, Suharsimi.(2002).Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan. Reneka Cipta. Jakarta
Artanti, Riski. (2008). Konstribusi Retribusi Pedagang
Kaki Lima (PKL) Terhadap Pendapatan Asli
Daerah Di Kabupaten Kendal. Ekonomi Pembangunan. Universitas Negeri Semarang.
Ali, Muhammad, (1992). Penelitian Kependidikan dan
Strategi. Bandung: Rineka Cipta.
Bhowmik, S. K. (2007). Street Vendors in Urban India:
The struggle For Recognition, Morales and J.
Cross (Eds.), Street Entrepreneurs: People, Place
and Politics: 92–107. New York: Routledge.
JEJAK Journal of Economics and Policy 6 (1) (2013): 1-9
9
Bhowmik, S. K.,(Ed.). (2010). Street Vendors in the
Global Urban Economy, New Delhi: Routledge.
Growth Centre, London School of Economics
and Political Science.
Budi, Ari Sulistyo (2006). Kajian Lokasi Pedagang Kaki
Lima Berdasarkan Preferensi PKL Serta Persepsi
Masyarakat Sekitar dikota Pemalang. Program
Pasca Sarjana Magister Pembangunan Wilayah
dan Kota Universitas Diponegoro, Semarang.
Sirivanh, Thongvanh. Et al. (2013). Growth of Small and
Medium Enterprises in the Lao People’s
Democratic Republic: A Structural Equation
Modeling Study. International Journal of
Business and Social Science. Vol. 4 No. 2;
February 2013
Chen, Martha Alter. (2007). Rethinking The Informal
Economy: Linkages With The Formal Economy
And The Formal Regulatory Environment.
Diunduh dari www.un.org/esa/desa/papers/
2007/wp46_2007. Maret 2011.
Chen, Martha Alter. (2012). The Informal Economy:
Definitions, Theories and Policies. Working
Paper No 1 August 2012, Women in Informal
Employment: Globalizing and Organizing
(WIEGO), Cambridge.
Masri, Singarimbun. (1995). Metode Penelitian Survey.
Jakarta: LP3ES.
Soesilowati, Etty 2008). Dampak Pertumbuhan
Ekonomi Kota Semarang Terhadap Kemacetan
Lalulintas di Wilayah Pinggiran dan Kebijakan
yang Ditempuhnya. Jurnal Jejak Vol 1 No 1;
September 2008
Sparks, Donald L., dan Stephen T. Barnett, (2010). The
Informal Sector In Sub-Saharan Africa: Out Of
The Shadows To Foster Sustainable Employment
And Equity?. International Business & Economics Research Journal Volume 9, Number 5
May 2010.
Ng, Hee song., and Kee Daisy Mui Hung. (2012). The
Issues and Development of Critical Success in a
Developing Country. International Business
Management 6, (6) 680-691
Sukirno, Sadono. (1993). Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Panuntun, Fajar Bagus. (2010). Pengaruh Modal, Motivasi dan Waktu Usaha Terhadap Pendapatan
Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Ungaran
Timur Kabupaten Semarang. Ekonomi Pembangunan, Universitas Negeri Semarang..
Wen Hu, Ming. (2010). Smes and Economic Growth:
Entrepreneurship Or Employment. ICIC Express
Letters. Volume 4, Number 6(A), December
2010
Rachbini., Didik, J., dan Abdul Hamid. (1994). Ekonomi
Informal Perkotaan Gejala Involusi Gelombang
Kedua, Jakarta: LP3ES.
Shah, Manju Kedia. (2012). The Informal Sector in
Zambia: Can it Disappear? Should it Disappear?.
Working Paper 12/0425 June 2012, International
Suryana. (2000). Ekonomi Pembangunan.Bandung: PT
Rosdakarya.
Widodo, Ahmadi. (2000). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Usaha PKL, Studi
Kasus Kota Semarang. Tesis tidak diterbitkan.
Semarang: Program Pascasarjana, Magister
Teknik Pembangunan Kota, Universitas
Diponegoro.
Download