BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemunculan internet dan perkembangan teknologi komunikasi membuka
peluang terbentuknya komunitas yang melakukan gerakan perubahan melalui
media baru baik di bidang lingkungan, pendidikan, sosial, maupun seni
budaya. Aktivitas komunikasi para pengguna internet berpotensi membentuk
komunitas dan gerakan offline karena minat yang sama, salah satunya Jogja
Berkebun. Komunitas Jogja Berkebun adalah komunitas yang bergerak
melalui jejaring sosial dan membentuk gerakan offline dalam menghijaukan
lingkungan melalui kegiatan berkebun. Dalam melakukan aksinya, Jogja
Berkebun menggunakan media komunikasi dalam jaringan menggerakkan
massa, walaupun gerakan mereka bersifat nyata.
Melalui internet, Jogja Berkebun mencoba mengenalkan gaya hidup hijau
bagi masyarakat, khususnya kaum urban dengan mengusung konsep urban
farming. Saat ini kegiatan rutin Jogja Berkebun yaitu berkebun setiap Sabtu
jam 8 pagi di Jalan Harjono PA II/118, Gunung Ketur, Pakualaman, gang
Cempaka1 dan juga rutin kopi darat. Setiap orang boleh mengikuti agendaagenda Jogja Berkebun dalam melakukan gerakan urban farming.
Gerakan urban farming merupakan aksi lingkungan dalam menanggapi
keprihatinan akan krisis pangan dan juga upaya menghijaukan kota. Istilah
urban farming secara awam sering disebut sebagai pertanian kota. Urban
Farming merupakan rangkaian dari proses menghasilkan produk yang dapat
dikonsumsi masyarakat kota, mulai dari membuat media tanam, penyemaian,
penanaman, sampai pada panen dan siap dikonsumsi. Melalui gerakan urban
farming, masyarakat kota diajak untuk belajar cara berkebun dengan
memanfaatkan lahan tidak produktif ataupun lahan sempit. Komunitas Jogja
Berkebun menyebut pelaku urban farming sebagai para penggiat dengan
sebutan petani “kece”. Komunitas ini terbuka dalam melakukan edukasi,
1
Dikutip dari brosur komunitas Jogja Berkebun
1
sharing pengalaman, dan pengetahuan tentang urban farming, dan praktek
urban farming. Selain melakukan edukasi secara langsung di kebun, edukasi
sekolah-sekolah, kolaborasi dengan komunitas lain, komunitas ini juga
mengandalkan media baru sebagai sarana untuk mengenalkan konsep urban
farming.
Pemanfaatan media komunikasi dalam jaringan pada kelompok sudah
menjadi
fenomena
yang
perkembangan teknologi
terjadi
pada
komunikasi
berbagai
komunitas
yang semakin
canggih.
seiring
Media
komunikasi dalam jaringan menjadi bentuk media baru sejak kemunculan
internet dan berpotensi mengubah pola komunikasi dalam kelompok. Interaksi
termediasi media baru secara otomatis tidak mengharuskan pertemuan secara
fisik untuk menyebarkan sebuah informasi atau sekadar berbagi pengalaman.
Media-media yang dimanfaatkan oleh komunitas Jogja Berkebun, antara lain
Twitter, Facebook, dan blog sebagai media komunikasi eksternal, sedangkan
grup Line dan grup chat whatsapp messenger sebagai media komunikasi
internal mereka. Twitter menjadi media utama yang digunakan untuk berbagi
informasi, sharing pengetahuan tentang urban farming, agenda berkebun,
serta mengumpulkan respon para followers. Twitter memungkinkan para
petani “kece” untuk tetap saling berbagi pengalaman dan pengetahuan urban
farming, walaupun tidak pernah saling bertatap muka. Hingga tanggal 29
April 2014 ada 2695 followers Twitter Jogja Berkebun. Saat ini banyak
terbentuk komunitas dan gerakan yang berawal dari interaksi di Twitter,
seperti Earth Hour, Coin a Chance, Jalin Merapi, Akademi Berbagi, dan
masih banyak gerakan lain yang memanfaatkan Twitter sebagai media.
Selain Twitter, Jogja Berkebun lebih banyak memanfaatkan grup chat
whatsapp messenger sebagai media komunikasi internal dibandingkan media
lainnya. Bahkan interaksi di dalam grup chat whatsapp messenger lebih
banyak dilakukan dibandingkan dengan interaksi face to face melalui kopi
darat. Sampai tanggal 29 April 2014 ada 32 anggota grup chat Whatsapp
Messenger Jogja Berkebun. Grup Chat Whatsapp Messenger termasuk media
baru dalam sejarah kemunculannya, tetapi sudah banyak dimanfaatkan oleh
2
para pengguna smartphone. Penggunaan grup chat whatsapp messenger
sebagai media komunikasi internal untuk melakukan koordinasi, sosialisasi,
mengambil keputusan, voting dan interaksi internal lainnya ternyata tidak
hanya digunakan oleh komunitas Jogja Berkebun. Komunikasi termediasi
membutuhkan partisipasi para anggota untuk merespon informasi yang ada
sehingga dapat bersifat interaktif. Aktivitas komunikasi demikian mengambil
andil dalam terbentuknya aksi kolektif gerakan-gerakan sosial termasuk
gerakan urban farming. Berdasarkan survey kecil penulis, beberapa komunitas
juga menggunakan grup chat whatsapp messenger sebagai media komunikasi
antaranggota antara lain, Indonesia Berkebun, School Green Ambasadors
(SGA), Choin a Chance (CaC), Save Street Child (SSC), Buku untuk Papua
(BuP), Jendela, Sahabat Lingkungan, 5cm, Kecil Bergerak, Joint Society for
Nature (JSN). Fakta ini menggambarkan bahwa penggunaan grup chat
whatsapp messenger sebagai media komunikasi internal kelompok telah
menjamur
sejak
kemunculannya.
Selain
itu,
Jogja
Berkebun
juga
memanfaatkan grup Line untuk memfasilitasi penggiat yang tidak memiliki
aplikasi Whatsapp Messenger.
Kemunculan
smartphone
dengan
aplikasi
instant
messenger
memunculkan platform baru bagi komunitas untuk berkomunikasi termediasi
internet dalam bentuk grup chat. Seperti fenomena yang memang terjadi di
masyarakat Indonesia bahwa penggunaan internet dan mobile phone
meningkat seiring kemunculan smartphone beserta aplikasi pesan di
dalamnya. Oleh karena itu tidak heran apabila grup chat whatsapp messenger
digunakan oleh beberapa komunitas untuk melakukan komunikasi internal
kelompok. Berikut adalah data terkait penggunaan whatsapp messenger serta
alokasi waktu pemanfaatan internet:2
2
“Nielsen Reveals Top 10 Smartphone Apps in SE Asia”. Diakses dari asiamediajournal.com
3
Grafik 1.1 data penggunaan aplikasi diakses di asiamediajournal.com
Data tersebut menyatakan bahwa whatsapp messenger menduduki
posisi tinggi dibandingkan instant messenger lainnya. Instant Messenger,
Whatsapp Messenger berpotensi mengubah ataupun menambah penggunaan
media untuk berkomunikasi. Sebelum ada WA, komunitas-komunitas
menggunakan mailing list, grup facebook, dan berkirim info via SMS ataupun
telepon. Jogja berkebun pun secara intens memanfaatkan grup chat whatsapp
messenger sebagai media yang menghubungkan antarpenggiat.
Grup Chat Whatsapp Messenger Jogja Berkebun memungkinkan antar
anggota untuk saling berbagi dalam bentuk teks pesan, emoticon, gambar,
voice note, dan juga video. Setiap anggota aktif Jogja Berkebun yang memiliki
fasilitas Whatsapp Messenger berhak masuk dalam keanggotaan grup. Mereka
tidak membuat aturan khusus dalam memposting atau sharing informasi
sehingga setiap informasi baik terkait komunitas maupun di luar komunitas
dapat menjadi topik bersama. Di dalam Whatsapp Messenger antarpenggiat,
demikian mereka menyebut anggota Berkebun melakukan interaksi dengan
berbagai topik, mulai dari menentukan agenda kegiatan, share undangan pihak
4
lain, berbagi pengalaman berkebun, tanya jawab, sekedar menyapa, bahkan
beberapa humor dan info hiburan terkini dapat menjadi topik hangat dalam
perbincangan di grup chat.
Berikut adalah salah satu contoh percakapan di dalam grup chat
Whatsapp Messenger yang merupakan salah satu upaya mensosialisasikan
gerakan urban farming pada penggiat aktif dengan saling berbagi pengalaman
dan pengetahuan tentang teknik aquaponic. Upaya edukasi urban farming
tidak hanya dilakukan untuk masyarakat secara umum, tetapi juga para
penggiat aktif Jogja Berkebun.
Gambar 1. 1 Tampilan diskusi teknik aquaponic di grup chat Whatsapp
Messenger Jogja Berkebun
Capture percakapan tersebut menjadi salah satu bukti pemanfaatan
media oleh komunitas Jogja Berkebun dalam membentuk gerakan urban
farming, baik komunikasi internal maupun eksternal. Cara unik komunitas
Jogja Berkebun dalam mensosialisasikan urban farming mengingatkan pada
program pemerintah tentang sosialisasi pertanian atau sering disebut
penyuluhan pertanian. Sejak zaman orde baru, bidang pertanian selalu menjadi
perhatian pemerintah mengingat Indonesia pernah mencapai swasembada
5
pangan pada 1984 yang tidak lepas dari peran penyuluhan pertanian.3 Seiring
perkembangan zaman, sosialisasi terkait bidang pertanian tidak hanya menjadi
perhatian pemerintah. Para penggiat berkebun dengan gerakan urban
farmingnya menunjukkan adanya minat akan keprihatinan dunia pertanian di
negeri ini. Kemunculan media baru memberikan peluang bagi komunitas
Berkebun untuk mensosialisasikan gerakan urban farming sehingga
berpotensi memberikan warna baru dalam pola komunikasi mereka.
Pemanfaatan media baru memungkinkan Jogja Berkebun untuk tidak perlu
datang dari satu wilayah ke wilayah lain, satu sekolah ke sekolah lain untuk
mensosialisasikan konsep urban farming.
Pemanfaatan media baru oleh komunitas dalam gerakan lingkungan
menjadi fenomena baru yang sedang banyak terjadi. Berbeda dengan polapola gerakan lingkungan yang awalnya didominasi dengan cara-cara
konvensional yang berurusan dengan birokrasi pemerintah, aktivis lingkungan
identik dengan mahasiswa yang melakukan demonstrasi, advokasi lingkungan,
dan cara-cara lain yang masih klasik. Apabila menilik ke belakang tentang
pola-pola gerakan lingkungan terdahulu, tentu menarik untuk memahami pola
komunikasi dalam gerakan lingkungan masa kini dengan memanfaatkan
media
baru. Maka perlu memahami budaya yang tercipta dari pola-pola
komunikasi melalui media baru oleh komunitas yang melakukan gerakan
sosial baru, khususnya gerakan lingkungan. Dalam konteks ini, pemanfaatan
media baru oleh komunitas Jogja Berkebun. Peran media baru sebagai sarana
komunikasi dalam membentuk gerakan sosial baru menjadi penting untuk
dikaji mengingat semakin banyak kemunculan gerakan berbasis komunitas.
Pola pemanfaatan media dalam mendukung gerakan urban farming oleh
komunitas Jogja Berkebun menjadi topik penelitian yang layak dan menarik
untuk diteliti. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian etnografi
3
Moehar Daniel, dkk. 2006. PRA (Participatory Rural Appraisal): Pendekatan Efektif Mendukung
Penerapan Penyuluhan Pertanian Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian.
Bumi Aksara: Jakarta. Hal. 58.
6
tentang kajian media baru dengan judul “Pola Komunikasi Komunitas Jogja
Berkebun dalam membentuk gerakan Urban Farming melalui Media Baru”
B. Rumusan Masalah
Bagaimana
pola
komunikasi
komunitas
Jogja
Berkebun
dalam
membentuk gerakan Urban Farming melalui media baru?
C. Tujuan
1. Untuk memetakan pola komunikasi komunitas Jogja Berkebun melalui
media baru
2. Untuk memahami pemanfaatan media baru oleh komunitas Jogja
Berkebun dalam membentuk gerakan urban farming
D. Manfaat
1. Bagi aktivis lingkungan dapat menjadi referensi dalam memanfaatkan
media baru sebagai sarana mencapai tujuan dalam menyebarkan semangat
peduli lingkungan kepada masyarakat
2. Bagi komunitas Jogja Berkebun dapat menjadi bahan evaluasi dalam
memanfaatkan media baru sebagai sarana dalam mendukung gerakan
urban farming
3. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memperkaya penelitian ilmu
komunikasi terutama kajian media baru dan gerakan lingkungan berbasis
komunitas
E. Kerangka Pemikiran
1. Pola komunikasi dalam media baru
Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas keseharian
manusia dan bahkan kita pernah mendengar istilah “A person cannot not
communicate”. Cara seseorang untuk melakukan komunikasi mengalami
perubahan dari waktu ke waktu seiring kemunculan media baru. Relasi
antarindividu tidak hanya terjalin dengan pertemuan tatap muka, tetapi
7
juga termediasi melalui perangkat teknologi. Kemunculan internet sedikit
banyak telah mengubah cara berkomunikasi baik di level interpersonal,
kelompok, organisasi, sampai pada antarbudaya. Holmes menyatakan
bahwa internet merupakan tonggak dari perkembangan teknologi interaksi
global di akhir dekade abad ke-20 yang mengubah cakupan serta sifat
dasar dari medium komunikasi. Transformasi ini yang disebut sebagai
“second media age”, dimana media tradisional seperti radio, koran, dan
televisi telah banyak ditinggalkan oleh khalayak. Media tradisional pada
dasarnya memakai pola menyebarkan informasi dari satu sumber ke
audiens yang banyak, bersifat satu arah, dan minim bahkan tidak ada
pelibatan interaksi pengirim-penerima.4
Melalui istilah medium is the message, Mcluhan memahami
konsekuensi sosial dari kemunculan media-media baru dalam membentuk
pola kehidupan masyarakat, termasuk pola komunikasi.5 Teori New Media
menyatakan dasar dari second media age adalah interaktivitas.6 Teori New
Media sebagai sebuah revolusi pergantian dari pola broadcast menuju pola
jaringan. Internet menjadi media alternatif dari pola lama, yaitu pola
broadcast. Pola-pola komunikasi melalui media baru pun berbeda dengan
pola komunikasi media tradisional.
Kemunculan media baru membuka peluang terbentuknya pola-pola
baru dalam berkomunikasi. McQuail menjelaskan pola baru dalam aliran
informasi telah dikembangkan oleh dua ahli telekomunikasi Belanda, yaitu
J.L Bordewijk dan B.Van Kaam. Mereka mendeskripsikan empat dasar
pola komunikasi dan menunjukkan bagaimana pola-pola tersebut saling
berelasi
Van
Kaam
pada
1986.7
Bordewijk
dan
Van
Kaam
mengidentifikasi pola baru dalam lalu lintas informasi, yaitu alokasi
4
David Holmes. 2005. Communication Theory: Media, Technology, and Society. London: Sage
Publications. Hal. 7.
5
McLuhan. 2002. Understanding Media. Routledge: London. Hal 7.
6
Stephen W Littlejohn dan Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia Communication Theory. London:
SAGE Publications. Hal. 684.
7
McQuail. 2008. McQuail‟s Mass Communication Theory. Sage Publication: London. Hal 145.
8
(allocation), percakapan (conversation), konsultasi (consultation), dan
registrasi (registration).8
a. Alokasi (Allocation)
Pola alokasi terjadi ketika sebuah informasi mengalir dari satu sumber.
Walaupun banyak khalayak yang menerima, tetapi informasi berasal
dari satu sumber yang sama. Berikut gambaran arus informasi dengan
pola alokasi.
Gambar 1. 2 Alokasi: aliran informasi mengalir dari centre (C) ke
individu (i)
Sumber: Bordewijk dan Kaam (1986)
Pola alokasi juga memungkinkan adanya banyak penerima seperti
gambar berikut. Dalam komunikasi konvensional, pola alokasi
biasanya terjadi saat khotbah atau pemberian materi oleh dosen saat
perkuliahan. Pada media baru, pola alokasi dapat terjadi pada
fenomena tweet di jejaring sosial Twitter. Ketika akun Twitter sebuah
komunitas lingkungan mentweet tentang satu topik, misalnya gaya
hidup hijau, maka postingan tersebut akan terbaca oleh seluruh
followers yang sedang online. Namun, posting tweet tersebut tidak
mendapatkan timbal balik, arus informasi demikian masuk dalam pola
alokasi. Pola komunikasi yang tidak menunjukkan adanya timbal balik.
Karakteristik dari pola ini menempatkan „C‟ sebagai pusat sekaligus
pemilik informasi sehingga berpeluang untuk menentukan bagian
informasi yang akan didistribusikan kepada orang lain maupun
khalayak. Misalnya, ketika pembawa berita di televisi menyampaikan
informasi kepada khalayak otomatis informasi berasal dari satu sumber
yang sama tanpa ada timbal balik langsung.
8
Bordewijk dan Van Kaam. 1986. Toward a New Classification of Tele Information Services.
Original Publication Intermedia. Hal. 16-21.
9
Gambar 1. 3 Pola umum alokasi (Sumber: Bordewijk dan Kaam, 1986)
b. Percakapan (conversation)
Pola percakapan terjadi ketika ada pertukaran informasi diantara dua
orang atau lebih. Pola percakapan ideal menunjukkan adanya
keseimbangan dimana pengirim dan penerima pesan berada pada satu
kedudukan yang sama sehingga memungkinkan terjadinya interaksi.
Setiap partisipan memiliki kekuatan yang seimbang untuk saling
menyampaikan informasi. Berbeda dengan alokasi, pola percakapan
membuka peluang terjadinya timbal balik langsung. Pola percakapan
terjadi ketika menggunakan telepon. Dalam media baru, interaksi yang
menunjukkan pola percakapan dapat terjadi pada interaksi di
chatroom, skype, videocall, ataupun forum diskusi online.
Gambar 1. 4 Percakapan: aliran informasi antar individu (Sumber:
Bordewijk dan Kaam, 1986)
Gambar 1. 5 Percakapan melalui pusat „c‟ (Sumber: Bordewijk dan
Kaam, 1986)
10
Gambar 1. 6 percakapan, pola umum (Sumber: Bordewijk dan Kaam,
1986)
c. Konsultasi (consultation)
Pola konsultasi terjadi ketika khalayak atau orang per orang ingin
mencari informasi dari satu sumber yang sama. Dalam konteks ini,
pihak individu atau khalayak aktif meminta aliran informasi dari
sumber informasi sehingga komunikasi hanya terjadi jika hanya jika
ada permintaan dari khalayak. Misalnya saja, internet dengan fasilitas
alat pencariannya membuka peluang bagi banyak orang untuk mencari
informasi melalui internet. Keadaan mengakses jurnal online, ebook
sesuai kebutuhan juga merupakan bentuk pola konsultasi.
Gambar 1. 7 Pola konsultasi (Sumber: Bordewijk dan Kaam, 1986)
Gambar 1. 8 pola umum konsultasi (Sumber: Bordewijk dan Kaam,
1986)
d. Registrasi (registration)
Pola registrasi terjadi ketika pusat informasi menerima informasi dari
berbagai khalayak, lalu mengumpulkannya. Pola ini terbalik dengan
konsultasi karena membuka peluang bagi khalayak untuk memberikan
11
pada pusat lalu pusat bertugas mengumpulkan informasi. Hal ini
terjadi pada media elektronik ketika melakukan tele-polling. Pada
media baru, pola registrasi terjadi ketika melakukan survey online.
Pusat menjadi pengatur arus informasi yang masuk.
McQuail mempertegas bahwa pola di atas dapat direlasikan
melalui dua variabel utama, yaitu kontrol informasi dari pusat dan
individu; kontrol waktu dari pusat dan individu. Tipologi aliran
informasi dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Control of information store
Control of time and
Central
choice of subject
individual
Central
Individual
allocution
registration
Consultation
conversation
Tabel 1.1 Tipologi Arus informasi
Sumber: McQuail (2008: 147)
Media baru memberikan peluang adanya proses komunikasi baru
sebagai
sebuah
konvergensi
informasi.
Konvergensi
informasi
menunjukkan adanya pertukaran informasi antara dua atau lebih partisipan
dalam satu sistem hingga membentuk mutual understanding. Konvergensi
memahami komunikasi sebagai sebuah proses pertukaran informasi yang
akan berulang. Konvergensi mampu menjelaskan pola komunikasi dalam
media baru dimana interaksi tidak hanya terjadi satu arah tetapi ada
pertukaran informasi antara dua atau lebih partisipan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvergensi diartikan
sebagai keadaan menuju ke satu titik pertemuan; memusat.9 Teori
konvergensi dikembangkan oleh Lawrence Kincaid pada 1979 sebagai
model umum dari komunikasi dalam mengatasi kritik dan kekurangan
model yang telah ada, khusunya model komunikasi matematik Shannon
dan Weaver. Model konvergensi mewakili komunikasi sebagai (a) proses
9
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online versi 1.3. April 2014. Diakses dari
www.kbbi.web.id.
12
daripada aksi tunggal; (b) pertukaran informasi daripada transmisi satu
arah; (c) percakapan dua atau lebih partisipan; (d) sarana untuk
memperjelas kebingungan antara informasi, pengetahuan, pesan, simbol,
dan makna; dan (e) sebuah proses koreksi umpan balik, memungkinkan
komunikator mengumpulkan pada satu tujuan (Littlejohn, 2009: 188).
Littlejohn (2009: 189) menerangkan bahwa konvergensi sering disamakan
dengan konsensus. Konvergensi adalah gerakan menuju satu titik, ke arah
komunikator lain, menuju ketertarikan umum, dan menuju keseragaman
yang lebih besar, tidak pernah cukup mencapai titik itu. Dalam ilmu
komunikasi, tujuan dari proses umpan balik adalah persamaan paham.10
Kincaid, dkk (2002) dalam “Communication for Social Change
Working Paper Series” membuat model dasar dari konvergensi
komunikasi sebagai berikut:
Gambar 1. 9 Model konvergensi (Sumber: Kincaid, dkk: 2002)
10
Stephen W Littlejohn dan Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia Communication Theory. London:
SAGE Publications. hal. 188-189.
13
Bagan model konvergensi di atas menggambarkan sebuah siklus,
proses berulang yang melibatkan paling tidak dua partisipan. Awalnya
partisipan dikoneksikan melalui pertukaran informasi sama satu dengan
yang lain. Informasi berupa bentuk fisik seperti suara, gambar, teks pesan,
ataupun bahasa tubuh. Keterbatasan dalam memanifestasikan informasi
memungkinkan adanya pertukaran makna dan pikiran satu sama lain.
Pemikiran dan pemaknaan didefinisikan sebagai fenomena kognitif dan
biasa disebut sebagai pshychological. Realitas psikologis menuju ke arah
pertemuan para komunikator yang terdiri dari
persepsi, interpretasi,
pemahaman, dan kepercayaaan. Respon emosional masing-masing
partisipan pada informasi dapat memengaruhi proses kognitif. Informasi
yang dipertukarkan dapat mencakup berbagai level mulai dari
interpersonal, kelompok, organisasi, dan komunikasi antarbudaya.
Tindakan kolektif para individu termasuk tindakan terkoordinasi
memerlukan komunikasi dan itu juga menjadi sumber informasi. Proses
berulang demikian sehingga dapat dikatakan model konvergensi
membentuk sebuah siklus. Siklus model konvergensi dapat pula dipetakan
sebagai berikut (1) adanya sebuah informasi yang dipertukankan antara
dua orang atau lebih. Individu mendapatkan informasi dapat dari berbagai
sumber, baik secara langsung maupun melalui media (media lama dan
baru). Setiap individu bertindak atas satu informasi yang sama; (2) setelah
memperoleh informasi, hal penting selanjutnya adalah interpretasi dari
masing-masing partisipan. Interpretasi tidak lepas dari peranan budaya
dalam memahami informasi yang diterima dan dapat dilihat melalui
percakapan kultural; (3) terjadi hubungan horizontal dalam pengolahan
informasi. Hasilnya berupa pemahaman bersama, kesepakatan bersama,
kemudian terjadi tindakan kolektif. Lalu, (4) model berulang membentuk
rangkaian dimana aksi kolektif menghasilkan informasi yang akan
dibagikan pada individu lain dan seterusnya demikian. Bagan tersebut
menunjukkan adanya proses penggabungan hasil olahan informasi
14
menjadi satu tindakan kolektif yang mampu mencerminkan adanya
perubahan sosial.11
Pada 2002, Kincaid memperkenalkan enam fase dari konvergensi
komunikasi. Pertama, scene setting, fase menciptakan informasi dengan
sistem percakapan tertutup. Kedua, buildup, fase terjadinya mutual
understanding.
Ketiga,
fase
resolution,
fase
dimana
partisipan
menyepakati posisi bersama dan muncul sikap saling percaya untuk
melakasanakan misi bersama. Keempat, fase klimaks ketika muncul
emosi dan alasan yang tidak mengubah posisi dan pemahaman yang tetap
sama untuk menyelesaikan konflik. Kelima, fase konflik dimana tak ada
partisipan yang akan mengubah dan karenanya harus mengambil jalan
menuju posisi terancam mundur. Keenam, fase resolusi terakhir, dimana
kerjasama dan konflik diimplementasikan. Apabila para partisipan setuju
pada posisi bersama bahwa mereka akan saling percaya satu sama lain
untuk mengimplementasikan, maka hasilnya akan menjadi sebuah
kerjasama.12
Model konvergensi mendefinisikan komunikasi sebagai sebuah
proses dimana dua atau lebih partisipan saling bertukar informasi dan
menuju pada mutual understanding dan persetujuan untuk melakukan
kerjasama. Apabila sebaliknya, dimana terjadi perselisihan maka akan
menciptakan konflik.
2. Gerakan Sosial Baru dalam Komunitas
Gerakan sosial baru berbasis komunitas menjadi fenomena yang marak
terjadi. Komunitas memiliki berbagai perngertian dari sejumlah ahli dan
konsep komunitas juga digunakan dalam teori dan penelitian komunikasi.
Pernyataan ini ditegaskan Erin Underwood dan Lawrence Frey dengan
pernyataan berikut:13
11
Ibid. Hal. 189.
Ibid. Hal. 189.
13
Ibid. Hal. 146.
12
15
“Community is a concept rich in association and emotional power; it
is a strategically ambiguous idea, but one that treats communication
as central to who people are and how connections are built with
others. For these reasons, we can expect community will remain
favored concept in communication theorizing and research.”
Karen Tracy membagi pengertian komunitas menjadi lima definisi.
Pertama, komunitas1 sebagai sekumpulan orang yang berada dalam satu
wilayah geografis yang sama. Kedua, komunitas2 sebagai sekumpulan
orang dengan satu identitas budaya yang sama. Ketiga, komunitas3 sebagai
sekelompok orang yang melakukan aktivitas atas minat yang sama.
Keempat,
komunitas4
sebagai
sekelompok
orang
yang
memiliki
keprihatinan yang sama untuk melakukan perubahan. Kelima, komunitas5
sebagai sekelompok orang yang mengerjakan satu tanggung jawab
pekerjaan yang sama.14
Tracy (dalam Littlejohn, 2009: 144) menambahkan ada dua tradisi
untuk memahami konsep komunitas dalam komunikasi, yaitu komunitas
sebagai sebuah term deskriptif dan komunitas sebagai sebuah ideal
normatif. Komunitas dalam term deskriptif meliputi studi deskriptif
tentang speech, wacana, dan komunitas praktis, didominasi oleh
pengertian komunitas1 sampai komunitas3. Tradisi ini menjadi konsep
penting dalam etnografi komunikasi yang dibangun oleh Antropolog, Dell
Hymes dan dibawakan untuk komunikasi pada pertengahan 1970an oleh
Gerry Philipsen. Dalam etnografi komunikasi, kunci dari unit analisis
adalah speech community. Dalam mengidentifikasi komunitas pada term
deskriptif dikenal istilah community of practice yang dipopulerkan oleh
Jean Lave dan Etienne Wenger. Tradisi normatif tentang bagaimana
komunikasi menghubungkan komunitas dan juga efek negatif serta positif
bagi komunitas, secara khusus dalam pengertian komunitas4 dan
14
Ibid. Hal. 143.
16
komunitas5. Komunitas dalam term normatif dapat dilihat dalam gerakan
politik.15
Wenger
(dalam
Littlejohn
2009:145)
mengenalkan
istilah
Community of practice sebgai cara untuk mengidentifikasikan komunitas
dalam term deskriptif. Community of practice diartikan sebagai
sekelompok orang yang saling berbagi lingkungan, masalah, perhatian,
serta memiliki ketertarikan atau kegemaran yang sama dalam suatu topik
dan dapat memperdalam pengetahuan serta keahliaannya dengan saling
berinteraksi secara terus menerus. Robert C. Swieringa (dalam Littlejohn
2009: 147) menjelaskan tiga karakteristik community of practice. Pertama,
sekumpulan individu yang tergabung dalam kelompok yang memiliki
identitas dengan domain minat terterntu. Kedua, terjadi mutual
engagement dimana para anggota terlibat dalam aktivitas, diskusi, saling
membantu satu sama lain untuk belajar bersama. Ketiga, anggota
komunitas mengembangkan shared repertoire dimana mereka melakukan
praktek, saling berbagi pengalaman praktek, cerita dalam mengatasi
masalah.16
Dalam ranah sosiologi, pemahaman komunitas datang dari
pemikirian pakar sosiolog, Ferdinand Tonies dan Louis Wirth. Tonnies
dalam bukunya Community and Asociation (1955) membagi komunitas ke
dalam dua jenis, yaitu Gemeinschaft dan Gesellschaft.17 Gemeinschaft
(paguyuban) merujuk pada jenis komunitas yang berkarakter “total
community” di mana setiap individu maupun aspek-aspek sosial di
dalamnya berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, berjalan secara
stabil dan dalam waktu yang lama, merupakan hasil dari adanya kesamaan
maupun kebutuhan, terbentuk dari adanya pertukaran ritual maupun
symbol-simbol sebagaimana yang terjadi dalam interaksi sosial secara
nyata yang dibangun secara interaksi tatap muka. Inilah yang disebut
komunitas „tradisional‟, dimana setiap orang mengenal yang lain,
15
Ibid. Hal. 144.
Ibid. Hal. 147.
17
David Bell. 2001. An Introduction to Cyberculture, London and New York: Routledge. Hal. 94.
16
17
membantu yang lain, dan ikatan yang terjalin satu dengan yang lain kuat
dan „multiple‟.
Menurut Tonies, Gesellschaft (patembayan) merupakan ikatan
lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu pendek, bersifat sebagai
suatu bentuk dalam pikiran belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat
mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Bentuk
gesellschaft terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang
berdasarkan ikatan timbal balik, misalnya ikatan antara pedagang,
organisasi dalam suatu pabrik atau industri, dan lain sebagainya.18
Interaksi di dalam komunitas pada akhirnya membentuk budaya yang
nantinya menjadi kultur yang diteruskan ke generasi berikutnya. Seperti
yang diutarakan oleh Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski
bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat (komunitas)
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu sendiri. 19 Seiring
dengan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih,
kemunculan internet memengaruhi budaya yang ada pada suatu
komunitas. Pada prosesnya, internet mampu membentuk budaya baru
dalam sebuah komunitas dimana jarak, ruang, dan waktu bukan lagi
menjadi hambatan besar yang menghalangi interaksi antaranggota. Melalui
internet, anggota-anggota komunitas dapat saling berinteraksi di ruang
virtual (virtual space). Oleh karena itu, selanjutnya muncul istilah
komunitas virtual.
Berkaitan dengan fenomena yang “real” dan “virtual”. Kumiko Aoki
memberikan beberapa poin penting tentang komunitas virtual. Pertama,
those which totally overlap with physical communities (mereka yang
tumpang tindih dengan komunitas fisik). Kedua, those that overlap with
these „real life‟ communities to some degree (mereka yang tumpang tindih
dengan komunitas fisik dalam derajat tertentu). Ketiga, those that are
18
Soejono Soekanto. 2010. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal.
117.
19
Kang Arul. “Kebudayaan dan Komunitas Virtual”. Diunggah pada 27 Februari 2012. Diakses
dari http://kangarul.com/kebudayaan-dan-komunitas-virtual/html.
18
totally separated from physical communities (mereka yang sama sekali
terpisah dari komunitas fisik).20
Fenomena tersebut memungkinkan terbentuknya budaya komunikasi
dalam berkomunitas, di mana bentuk media yang lebih personal mampu
menghubungkan secara global. Pemahaman sederhana tentang komunitas
pun perlahan mengalami perubahan. Komunitas yang memanfaatkan
media baru dalam berinteraksi melakukan aksi bersama dalam bentuk
gerakan kolektif. Aksi kolektif tersebut secara teoritis dikenal dengan
istilah gerakan sosial.
Gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif di luar institusi-institusi
negara untuk memperjuangkan kepentingan bersama atau meraih tujuan
bersama.21 Gerakan sosial juga diartikan Blumer sebagai aksi kolektif
sejumlah besar orang untuk menciptakan tatanan kehidupan baru atau
menggapai tujuan atau gagasan bersama.22 Sidney Tarrow juga
mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang didasarkan
pada tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial dalam interaksi yang
berkelanjutan dengan para elit atau pemegang wewenang sehingga ia
menempatkan gerakan sosial di dalam kategori yang lebih umum tentang
politik perlawanan. Namun tidak semua aksi kolektif dapat disebut sebagai
gerakan sosial. Tarrow menjelaskan bahwa konsep gerakan sosial harus
memiliki empat properti dasar. Pertama, tantangan kolektif (colective
challenge) yaitu tantangan-tantangan untuk melawan melalui aksi
langsung yang mengganggu para elit, pemegang otoritas, kelompokkelompok lain, atau aturan-aturan kultural tertentu. Kedua, tujuan bersama
(common purpose). Ketiga, solidaritas dan identitas kolektif. Keempat,
memelihara politik perlawanan.23
20
Rulli Nasrullah. 2012. Komunikasi Antarbudaya: Di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana.
Anthony Giddens. 1992. Sociology. Oxford: Polity Press. Hal. 624-630.
22
Herbert Blumer. 1951; ”Social Movement” dalam Stanford Lyman. 1995; Social Movement:
Critique, Concept, Case Studies. Washington: New York University Press.
23
Sydney Tarrow. 1998. Power in movement, social movement, and contentius Politics.
Cambridge: Cambridge University Press dalam Suharko. Gerakan Sosial Baru di Indoensia:
Repertoar Gerakan Petani. Volume 10, Nomor 1, juli 2006. Hal 5.
21
19
Dalam perkembangannya gerakan sosial dibedakan menjadi dua, yaitu
gerakan sosial klasik dan gerakan sosial kontemporer atau baru. Gerakan
sosial klasik atau tradisional biasanya dicirikan secara kuat oleh tujuan
ekonomis-material sebagaimana tercermin dari gerakan kaum buruh.
Sementara Gerakan sosial baru (GSB) lebih berpusat pada tujuan-tujuan
non material. GSB biasanya menekankan pada perubahan-perubahan
dalam gaya hidup dan kebudayaan daripada mendorong perubahanperubahan spesifik dalam kebijakan publik atau perubahan ekonomi
sebagaimana tercermin dari gerakan lingkungan, antiperang, perdamaian,
feminisme, dan sejenisnya. Istilah gerakan sosial baru dipergunakan secara
luas untuk merujuk pada fenomena gerakan sosial yang muncul sejak
pertengahan 1960-an terutama di negara maju. Gerakan-gerakan
lingkungan, feminisme, hak asasi manusia, perdamaian, dan sebagainya
yang biasa dirujuk sebagai bagian dari GSB terus berlangsung baik di
negara-negara maju maupun negara-negara berkembang.24
Herbert Blumer memetakan empat tahapan terjadinya gerakan sosial
yang dikembangkan oleh para ilmuwan setelahnya, antara lain tahap
kemunculan (emergence), tahap koalisi (coalesence), tahap birokratisasi
(bureaucratizion), dan tahap surut (decline).25 Pertama, tahap kemunculan
yang ditandai dengan ketidakpuasan yang meluas. Calon inisiator dan
peserta gerakan kurang puas dengan kebijakan atau kondisi sosial tertentu.
Namun, pada tahapan ini mereka belum mengambil tindakan apapun
secara bersama-sama maupun strategis.
Kedua, tahap koalisi dimana ketidakpuasan sosial telah menjelma dari
tidak terkoordinasi dan individual menjadi mengrucut dan kolektif.
Pemimpin muncul dan kepemimpinan berjalan. Strategi untuk mencapai
tujuan mulai disusun. Gerakan makin terorganisir. Ketiga, tahap
24
Suharko. Gerakan Sosial Baru di Indoensia: Repertoar Gerakan Petani. Volume 10, Nomor 1,
juli 2006. Hal 9.
25
De la Porta, D. & Diani, M. (2006). “Social Movements: An Introduction” (2nd Ed). Malden
MA:Blackwell Publishing. Hal. 150., seperti dikutip dalam Christiansen, Jonathan. 2009. “Four
Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc.
20
birokratisasi ketika gerakan sosial telah berhasil membangkitkan
kesadaran dimana semua individu, kelompok, organisasi yang terlibat
secara sukarela telah mengadopsi strategi yang sama. Pada tahap ini,
kekuatan atau akses ke kekuasaan politik membesar. Keempat, tahap surut
menunjukkan situasi gerakan tersebut telah merosot dan mencapai babak
akhir dari siklus hidupnya.26
Kemunculan  Koalisi  Birokratisasi  Surut
Tabel. 1.2 Tahapan terbentuknya Gerakan Sosial
Salah satu bentuk gerakan sosial baru adalah gerakan lingkungan.
Gerakan lingkungan sebenarnya sudah sejak lama menjadi concern
beberapa kelompok di berbagai negara termasuk Indonesia. Menurut
sejumlah pakar sosiologi lingkungan di Amerika Serikat (AS) gerakan
lingkungan di setiap negara dapat dibagi dalam tiga komponen:27
a.
Public enviromentalist, yakni para warga khalayak ramai yang
berusaha memperbaiki kondisi lingkungan sekitar, langsung lewat
tindakan dan sikap mereka masing-masing
b.
Organized enviromentalist atau voluntary enviromentalist, yakni
mereka yang bergerak melalui organisasi-organisasi yang khusus
didirikan untuk berusaha memperbaiki lingkungan hidup mereka,
yang kadang sampai melintas batas negara. Termasuk kategori ini
adalah organisasi-organisasi lingkungan seperti Enviromental
Devense Fund, Sierra Club, GreenPeace. Atau di Indonesia,
WALHI, Jaringan Kerjasama Pelestarian Hutan “Skephi” dan
KRAPP (Komite Relawan Anti Penyalahgunaan Pestisida) alias
PAN (Pestocodes Action Network)
26
Macionis, J. J. (2001) Sociology (8th ed). Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall dalam
tulisan Karisma Nugroho dan Kwan Men Yon. November 2011. Pengurangan Resiko Bencana
Berbasis Komunitas di Indonesia.
27
George Junus Aditjondro. 2003. Pola-Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menyelamatkan
dari Ekspansi Modal. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal. 149.
21
c. Institusional enviromental movement organization, yakni mereka
yang bergerak melalui birokrasi-birokrasi resmi yang mengklaim
diri punya kewenangan terhadap masalah-masalah lingkungan
Isu lingkungan dapat pula digolongkan sebagai isu politik sebab
perdebatan tentang suatu masalah ekologis, tidak terlepas dari interaksi
kekuatan politik serta momen historis tertentu dalam suatu masyarakat
atau negara, di samping tingkat pengetahuan masyarakat atau bangsa itu
tentang masalah lingkungan yang bersangkutan. Gerakan lingkungan
(enviromental movement) menurut literatur sosiologi lingkungan, istilah
gerakan lingkungan digunakan dalam tiga pengertian sebagai berikut:28
a. Sebagai penggambaran perkembangan tingkah laku kolektif
(collective behavior) tertentu
b. Sebagai jaringan konflik-konflik dan interaksi politis di seputar isuisu lain yang terkait
c. Sebagai perwujudan dari perubahan opini publik dan nilai-nilai
yang meyangkut lingkungan
Pendek kata, dari literatur di bidang sosiologi lingkungan, gerakan
lingkungan dapat dimanifestasikan dalam tiga bentuk yakni;
a. Gerakan aktor-aktor
b. Gerakan ide-ide yang muncul dan berkembang dalam masyarakat,
baik melalui media komunikasi massa maupun melalui komuikasi
antarpribadi
c. Gerakan termasuk pasang surut konflik-konflik politik yang
semuanya menyangkut aspek pengelolaan lingkungan hidup.
Gerakan lingkungan di Indonesia secara resmi ditetapkan oleh Negara,
atau dalam terminologi Morrison et.al gerakan lingkungan institusional,
mulai 5 Juni 1972. Enviromentalisme yang terorganisir atau sukarela
merupakan fenomena baru, dan bermula dalam kelompok-kelompok
mahasiswa pecinta alam yang muncul pada tahun 1970an. Dua diantaranya
28
Ibid. Hal. 163.
22
yang terkenal adalah Mapala UI yang bermarkas di kampus di Jakarta, dan
di luar kampus adalah Wanadri Bandung.
3. Teori New Media
Internet sendiri dapat didekati dengan dua aspek, yakni internet
sebagai budaya dan internet sebagai artefak kebudayaan. Sebagai sebuah
budaya (culture), internet memiliki model komunikasi yang lebih
sederhana dibandingkan dengan komunikasi
tatap muka. Dalam
komunikasi termediasi, interaksi terjadi berdasarkan teks, sedangkan
komunikasi tatap muka memungkinkan adanya interaksi melalui ekspresi
wajah, bahasa tubuh, intonasi, dan konteks-konteks yang melekat pada
seseorang. Interaksi melalui internet menggunakan simbol-simbol yang
mengandung makna. Internet sebagai artefak kebudayaan, memahami
internet sebagai perangkat komputer yang memungkinkan pengguna untuk
melakukan interaksi, memunculkan berbagai bentuk komunikasi, dan
bertukar informasi.29
Fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada interaksi tatap muka juga
dapat ditemukan pada interaksi melalui media baru. Pemanfaatan internet
memunculkan budaya baru, yang sering disebut sebagai budaya siber.
Budaya siber tidak hanya terjadi pada level komunikasi interpersonal,
tetapi juga level komunikasi kelompok. Hal ini dapat dilihat dari
komunitas yang memanfaatkan media baru sebagai sarana interaksi. Saat
ini fenomena pemanfaatan media baru oleh komunitas dalam membentuk
gerakan perubahan sudah tidak asing lagi. Beberapa gerakan berbasis
komunitas, baik bergerak di bidang pendidikan, sosial, maupun
lingkungan memanfaatkan media baru dalam berkegiatan. Pemahaman
mengenai pemanfaatan internet dengan karakteristiknya dalam melakukan
gerakan dapat dijelaskan dalam teori New Media.
Kemunculan teknologi komunikasi canggih menciptakan bentuk
komunikasi baru melalui cyberspace. Pada akhir abad ke-20 terjadi
29
Christine Hine. 2001. Virtual Etnography. London: Sage Publication. Hal. 14.
23
kemunculan teknologi interaktif secara global, internet, yang secara
dramatis mengubah sifat dan ruang lingkup media komunikasi. Saat itulah
muncul istilah second media age, muncul di tengah dominasi media
broadcast, seperti televisi, radio, dan surat kabar. Secara signifikan,
second media age menandai kemunculan media yang interaktif, yaitu
internet.30 Teori New Media telah diformulasikan sejak 1990an. McLuhan,
salah satu ilmuwan yang banyak membahas tentang perkembangan media,
mulai dari media dengan pola broadcast menjadi bentuk jaringan dalam
media elektronik. McLuhan meneliti tentang globalisasi media dan
konvergensi sehingga mampu membangun beberapa dasar dari penelitian
media baru. Walaupun demikian revolusi media yang menginspirasi
perhatian dari teori New Media adalah investigasi mengenai second media
age yang berdasar pada prinsip interaktivitas.31 Menurut Mark Poster
istilah the second media age mengacu pada pengertian dimana internet
menjadi media yang menyediakan alternatif dari model broadcast (first
media age).32
Poster dan Rheingold menjelaskan perbedaan karakteristik dari pola
broadcast (first media age) dan pola interaktivitas (second media age)
dalam tabel berikut:33
First media age
Second media age
Centred (few speak to many)
Decentred (many speak to many)
One-way communication
Two ways communication
Predisposed to state control
Evades state control
An
instrument
of
regimes
of Democratizing: facilitates universal
stratification and inequality
citizenship
Participant are fragmented and Participant are seen to retain their
30
David Holmes. 2005. Communication Theory: Media, Technology, and Society. London: Sage
Publication. Hal 4.
31
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory.
London: Sage Publication. hal. 684.
32
Ibid. Hal. 685.
33
David Holmes. 2005. Communication Theory: Media, Technology, and Society. London: Sage
Publication. Hal. 9.
24
constituted as a mass
individuality
Influences consciousness
Influences individual experience of
space and time
Tabel 1.3 Perbedaan karakteristik first media age dan second media
age (Sumber: Holmes, 2005:9)
Tabel tersebut menunjukkan perkembangan media, dimana media baru
telah memunculkan bentuk baru dalam berinteraksi. Broadcast dan
komunikasi media dalam jaringan menawarkan perbedaan keterhubungan
dalam masyarakat informasi. Perbedaan historis antara first dan second
media age menjadi dasar bagi kaum utopian untuk mengkalim
kemunculan media baru.34 Media baru memungkinkan adanya banyak
partisipan dalam sebuah interaksi yang dua arah. Media baru juga
memfasilitasi proses demokrsasi yang jauh dari kontrol pusat karena setiap
individu memiliki kebebasan untuk mencari informasi melalui internet.
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dijabarkan, maka untuk
memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian guna menjawab
rumusan masalah, penelitian ini menggunakan operasionalisasi konsep
sebagai berikut:
No
Konsep
1.
Pola
Makna
Indikator
Komunikasi Bentuk arus lalu a. Allocation (alokasi)
Termediasi
lintas
informasi -
pada media baru
Pengiriman informasi dari
pengirim ke penerima satu
arah tidak memungkinkan
adanya timbal balik. Arus
informasi satu arah dan
tanpa feedback. Dalam hal
ini informan memegang
kendali
dalam
penyampaian informasi.
34
Ibid. Hal. 83.
25
b. Conversation (percakapan)
-
Ada
pertukaran
informasi
tentang
antaranggota
suatu
topik.
Dalam hal ini informan
memiliki
kedudukan
setara dengan penerima
informasi
sehingga
memungkinkan
terjadinya feedback.
c. Consultation (konsultasi)
-
permintaan
informasi
kepada informan. Dalam
hal
ini
penerima
informasi
memegang
kendali
atas
informasi.
aliran
Pola
berkebalikan
ini
dengan
pola alokasi.
d. Registrasi (pendaftaran)
-
Pengumpulan informasi
ke satu sumber. Dalam
hal ini, informan sebagai
pihak yang pasif dan
hanya menampung serta
mengumpulkan
informasi dari berbagai
pihak.
2.
Gerakan Sosial
Proses terjadinya 1. Tahap
Baru
gerakan
sosial
26
(emerge)
Kemunculan
menunjukkan
dalam
sebuah
komunitas
terbentuknya
yang
kelompok
berawal
dari
keprihatinan akan situasi
atau isu
2. Tahap koalisi yang ditandai
dengan
adanya
aktivitas
koordinasi secara bersama
3. Tahap
birokrasi,
ada
keterlibatan para anggota
untuk melakukan aktivitas
yang telah disepakati dan
melibatkan
pihak-pihak
terkait
4. Tahap surut ketika tidak
ada aktivitas terkait tujuan
yang akan dicapai
3.
Teori New Media
Media
sebagai
sarana
interaksi
antarindividu
berdasar
1. Interaksi
banyak
ke
banyak
2. Komunikasi dua arah
pada 3. Jauh dari kontrol pusat
prinsip
4. Bersifat
interaktivitas
memfasilitasi
demokratis:
kebebasan
individu
5. Partisipan
terlihat
mempertahankan
individualitas
6. Pengaruh
pengalaman
individu pada ruang dan
waktu
27
F. Metodologi Penelitian
1. Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif. Inti tujuan penelitian yaitu memetakan
pola komunikasi termediasi melalui pemahaman tentang pemanfaatan
media baru oleh komunitas Jogja Berkebun yang bertujuan dalam
membentuk
gerakan
urban
farming.
Penelitian
ini
memerlukan
pengamatan yang mendalam untuk memahami fenomena komunikasi
dalam komunitas yang melakukan gerakan lingkungan melalui media
baru. Oleh karena itu penelitian ini bersifat kualitatif. Kualitatif cocok
karena mampu memahami fenomena secara mendalam dan terperinci.
2. Jenis Penelitian
Penelitian kualitatif ini menggunakan jenis penilitian deskriptif. Hasil
penelitian ini akan dijabarkan dengan analisis secara deskriptif sehingga
dapat menggambarkan secara sistematis fenomena komunikasi yang
terjadi pada komunitas, yaitu pola komunikasi melalui media baru.
3. Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi observasi
partisipan.
Spradley
menyatakan
etnografi
adalah
pekerjaan
mendeskripsikan suatu pandangan kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini
adalah memahami sudut pandang penduduk asli.35 Untuk dapat memahami
secara menyeluruh proses komunikasi yang berlangsung pada gerakan
urban farming komunitas Jogja Berkebun, peneliti telah bergabung
menjadi bagian dari komunitas sejak Maret 2013 dan mengikuti beberapa
agenda kegiatan gerakan urban farming Jogja Berkebun serta masuk
menjadi bagian dari anggota di dalam media grup chat mereka. Cara ini
dapat memudahkan peneliti dalam memetakan masalah dan melakukan
pengamatan secara mendalam. Secara umum tahapan metode etnografi,
yaitu (1) memilih topik etnografi, (2) membuat pertanyaan etnografi, (3)
mengumpulkan data etnografi, (4) membuat catatan etnografi, (5)
menganalisis data etnografi (6) menulis laporan etnografi.
35
James P. Spradley. 1997. Metode Etnografi. Yogya: PT Tiara Wacana. Hal. 3.
28
4. Informan penelitian
Informan adalah manusia yang mempunyai masalah, keprihatinan, dan
kepentingan.36 Informan penelitian adalah anggota aktif Jogja Berkebun
yang dianggap mengetahui dan memahami dinamika komunikasi
komunitas secara mendalam. Informan ini adalah orang yang memiliki
tingkat keaktifan lebih dibandingkan dengan anggota lain. Maka, penulis
memilih dua informan utama yaitu koordinator Jogja Berkebun
(Krishandiara Aryandini) dan mantan koordinator Jogja Berkebun (Maria
Ulfa). Informan tambahan adalah penggiat lain yang memiliki peran
penting dalam komunitas Jogja Berkebun, antara lain Savrina (inisiator),
Anjela (admin jejaring sosial), Mutya (Humas). Peneliti juga melakukan
wawancara dengan informan pendukung, antara lain penggiat Jogja
Berkebun lainnya dan penggiat Bandung Berkebun serta Makasar
Berkebun yang pernah melakukan kegiatan bersama Jogja Berkebun.
5. Sumber data
Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan
budaya dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang, (2) dari cara
orang bertindak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. 37 Sumber
data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder.
Sumber primer didapat dari wawancara mendalam (in-depth interview)
dan transkrip percakapan serta percakapan di media sosial. Wawancara
mendalam dilakukan guna memperoleh informasi mendalam dari
informan. Data transkrip berupa bukti fisik hasil percakapan di dalam
komunitas seperti transkrip chatting dan juga lapak online komunitas Jogja
Berkebun. Melalui kedua data tersebut maka dapat melakukan kroscek
informasi interview melalui online. Data sekunder didapat dari dokumendokumen terkait dengan masalah penelitian.
6. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu
36
37
Ibid. Hal. 46.
Ibid. Hal. 10.
29
a. Wawancara mendalam (in-dept interview)
Wawancara dilakukan pada anggota komunitas Jogja Berkebun
yang
telah
ditetapkan
sebagai
informan
penelitian.
Peneliti
menggunakan interview guide dalam melakukan wawancara mendalam
sebagai panduan, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk improvisasi
pertanyaan. Wawancara dilakukan melalui dua cara, yaitu tatap muka
(face to face) dan melalui ruang virtual (chatting). Wawancara
dilakukan sebagai usaha untuk mempelajari dan memahami gejalagejala yang tidak tampak dalam observasi.
b.Observasi (pengamatan)
Observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan dalam
agenda-agenda komunitas Jogja Berkebun dalam membentuk gerakan
urban famring. Pengamatan juga dilakukan terhadap rekaman atau
transkrip percakapan antaranggota komunitas Jogja berkebun di dalam
grup chat dan lapak online lainnya (Twitter, Facebook, blog). Rekaman
diperoleh dengan mengirimkan obrolan dalam grup chat ke email
conversation sehingga memungkinkan penulis untuk mendapatkan
seluruh hasil percakapan di dalam grup chat. Selain itu juga dapat
dilakukan dengan cara mengcapture hasil obrolan para penggiat Jogja
Berkebun. Lapak online dapat diakses secara langsung. Selain kedua
data primer tersebut, penulis melakukan pengumpulan data sekunder
melalui dokumen dan pustaka yang berhubungan dengan topik
penelitian.
7. Teknik analisis data
Ada tiga tahapan dalam analisis data etnografi observasi partisipan,
yakni data management, data reduction, dan conceptual development
(Lindlof dan Taylor, 2002). Pertama, data management adalah
pengelompokan data. Tahap kedua, data reduction adalah identifikasi dan
pemilahan
data.
Ketiga
tahap
conceptual
development
dengan
menghubungkan konsep, teori, dan data yang diperoleh. Pada tahap ini
30
peneliti
mengintrepetasikan
data
sehingga
menghasilkan
temuan
berdasarkan hasil kajian.
G. Sistematika Penulisan
Pada penelitian ini, penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I
Pendahuluan
Bab pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan, manfaat, kerangka pemikiran, metodologi
penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini menjadi
dasar untuk melakukan penelitian hingga selesai.
BAB II
Profil Komunitas Jogja Berkebun
Bab dua berisi tentang profil dari objek penelitian, yaitu
komunitas
Jogja
Berkebun.
Pada
bab
ini
penulis
memaparkan tinjauan umum tentang Komunitas Jogja
Berkebun mulai dari hubungannya dengan Indonesia
Berkebun, sejarah dan kegiatan komunitas Jogja Berkebun,
hingga media-media yang digunakan komunitas dalam
mendukung gerakannya.
BAB III
Hasil Penelitian
Bab ini memaparkan data dan analisis dari hasil penelitian
yang telah dilakukan di lapangan.
BAB IV
Penutup
Penutup berisi kesimpulan dan saran yang disampaikan
penulis berdasarkan atas hasil penelitian dan pembahasan
pada bab sebelumnya.
31
Download