BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemunculan internet dan perkembangan teknologi komunikasi membuka peluang terbentuknya komunitas yang melakukan gerakan perubahan melalui media baru baik di bidang lingkungan, pendidikan, sosial, maupun seni budaya. Aktivitas komunikasi para pengguna internet berpotensi membentuk komunitas dan gerakan offline karena minat yang sama, salah satunya Jogja Berkebun. Komunitas Jogja Berkebun adalah komunitas yang bergerak melalui jejaring sosial dan membentuk gerakan offline dalam menghijaukan lingkungan melalui kegiatan berkebun. Dalam melakukan aksinya, Jogja Berkebun menggunakan media komunikasi dalam jaringan menggerakkan massa, walaupun gerakan mereka bersifat nyata. Melalui internet, Jogja Berkebun mencoba mengenalkan gaya hidup hijau bagi masyarakat, khususnya kaum urban dengan mengusung konsep urban farming. Saat ini kegiatan rutin Jogja Berkebun yaitu berkebun setiap Sabtu jam 8 pagi di Jalan Harjono PA II/118, Gunung Ketur, Pakualaman, gang Cempaka1 dan juga rutin kopi darat. Setiap orang boleh mengikuti agendaagenda Jogja Berkebun dalam melakukan gerakan urban farming. Gerakan urban farming merupakan aksi lingkungan dalam menanggapi keprihatinan akan krisis pangan dan juga upaya menghijaukan kota. Istilah urban farming secara awam sering disebut sebagai pertanian kota. Urban Farming merupakan rangkaian dari proses menghasilkan produk yang dapat dikonsumsi masyarakat kota, mulai dari membuat media tanam, penyemaian, penanaman, sampai pada panen dan siap dikonsumsi. Melalui gerakan urban farming, masyarakat kota diajak untuk belajar cara berkebun dengan memanfaatkan lahan tidak produktif ataupun lahan sempit. Komunitas Jogja Berkebun menyebut pelaku urban farming sebagai para penggiat dengan sebutan petani “kece”. Komunitas ini terbuka dalam melakukan edukasi, 1 Dikutip dari brosur komunitas Jogja Berkebun 1 sharing pengalaman, dan pengetahuan tentang urban farming, dan praktek urban farming. Selain melakukan edukasi secara langsung di kebun, edukasi sekolah-sekolah, kolaborasi dengan komunitas lain, komunitas ini juga mengandalkan media baru sebagai sarana untuk mengenalkan konsep urban farming. Pemanfaatan media komunikasi dalam jaringan pada kelompok sudah menjadi fenomena yang perkembangan teknologi terjadi pada komunikasi berbagai komunitas yang semakin canggih. seiring Media komunikasi dalam jaringan menjadi bentuk media baru sejak kemunculan internet dan berpotensi mengubah pola komunikasi dalam kelompok. Interaksi termediasi media baru secara otomatis tidak mengharuskan pertemuan secara fisik untuk menyebarkan sebuah informasi atau sekadar berbagi pengalaman. Media-media yang dimanfaatkan oleh komunitas Jogja Berkebun, antara lain Twitter, Facebook, dan blog sebagai media komunikasi eksternal, sedangkan grup Line dan grup chat whatsapp messenger sebagai media komunikasi internal mereka. Twitter menjadi media utama yang digunakan untuk berbagi informasi, sharing pengetahuan tentang urban farming, agenda berkebun, serta mengumpulkan respon para followers. Twitter memungkinkan para petani “kece” untuk tetap saling berbagi pengalaman dan pengetahuan urban farming, walaupun tidak pernah saling bertatap muka. Hingga tanggal 29 April 2014 ada 2695 followers Twitter Jogja Berkebun. Saat ini banyak terbentuk komunitas dan gerakan yang berawal dari interaksi di Twitter, seperti Earth Hour, Coin a Chance, Jalin Merapi, Akademi Berbagi, dan masih banyak gerakan lain yang memanfaatkan Twitter sebagai media. Selain Twitter, Jogja Berkebun lebih banyak memanfaatkan grup chat whatsapp messenger sebagai media komunikasi internal dibandingkan media lainnya. Bahkan interaksi di dalam grup chat whatsapp messenger lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan interaksi face to face melalui kopi darat. Sampai tanggal 29 April 2014 ada 32 anggota grup chat Whatsapp Messenger Jogja Berkebun. Grup Chat Whatsapp Messenger termasuk media baru dalam sejarah kemunculannya, tetapi sudah banyak dimanfaatkan oleh 2 para pengguna smartphone. Penggunaan grup chat whatsapp messenger sebagai media komunikasi internal untuk melakukan koordinasi, sosialisasi, mengambil keputusan, voting dan interaksi internal lainnya ternyata tidak hanya digunakan oleh komunitas Jogja Berkebun. Komunikasi termediasi membutuhkan partisipasi para anggota untuk merespon informasi yang ada sehingga dapat bersifat interaktif. Aktivitas komunikasi demikian mengambil andil dalam terbentuknya aksi kolektif gerakan-gerakan sosial termasuk gerakan urban farming. Berdasarkan survey kecil penulis, beberapa komunitas juga menggunakan grup chat whatsapp messenger sebagai media komunikasi antaranggota antara lain, Indonesia Berkebun, School Green Ambasadors (SGA), Choin a Chance (CaC), Save Street Child (SSC), Buku untuk Papua (BuP), Jendela, Sahabat Lingkungan, 5cm, Kecil Bergerak, Joint Society for Nature (JSN). Fakta ini menggambarkan bahwa penggunaan grup chat whatsapp messenger sebagai media komunikasi internal kelompok telah menjamur sejak kemunculannya. Selain itu, Jogja Berkebun juga memanfaatkan grup Line untuk memfasilitasi penggiat yang tidak memiliki aplikasi Whatsapp Messenger. Kemunculan smartphone dengan aplikasi instant messenger memunculkan platform baru bagi komunitas untuk berkomunikasi termediasi internet dalam bentuk grup chat. Seperti fenomena yang memang terjadi di masyarakat Indonesia bahwa penggunaan internet dan mobile phone meningkat seiring kemunculan smartphone beserta aplikasi pesan di dalamnya. Oleh karena itu tidak heran apabila grup chat whatsapp messenger digunakan oleh beberapa komunitas untuk melakukan komunikasi internal kelompok. Berikut adalah data terkait penggunaan whatsapp messenger serta alokasi waktu pemanfaatan internet:2 2 “Nielsen Reveals Top 10 Smartphone Apps in SE Asia”. Diakses dari asiamediajournal.com 3 Grafik 1.1 data penggunaan aplikasi diakses di asiamediajournal.com Data tersebut menyatakan bahwa whatsapp messenger menduduki posisi tinggi dibandingkan instant messenger lainnya. Instant Messenger, Whatsapp Messenger berpotensi mengubah ataupun menambah penggunaan media untuk berkomunikasi. Sebelum ada WA, komunitas-komunitas menggunakan mailing list, grup facebook, dan berkirim info via SMS ataupun telepon. Jogja berkebun pun secara intens memanfaatkan grup chat whatsapp messenger sebagai media yang menghubungkan antarpenggiat. Grup Chat Whatsapp Messenger Jogja Berkebun memungkinkan antar anggota untuk saling berbagi dalam bentuk teks pesan, emoticon, gambar, voice note, dan juga video. Setiap anggota aktif Jogja Berkebun yang memiliki fasilitas Whatsapp Messenger berhak masuk dalam keanggotaan grup. Mereka tidak membuat aturan khusus dalam memposting atau sharing informasi sehingga setiap informasi baik terkait komunitas maupun di luar komunitas dapat menjadi topik bersama. Di dalam Whatsapp Messenger antarpenggiat, demikian mereka menyebut anggota Berkebun melakukan interaksi dengan berbagai topik, mulai dari menentukan agenda kegiatan, share undangan pihak 4 lain, berbagi pengalaman berkebun, tanya jawab, sekedar menyapa, bahkan beberapa humor dan info hiburan terkini dapat menjadi topik hangat dalam perbincangan di grup chat. Berikut adalah salah satu contoh percakapan di dalam grup chat Whatsapp Messenger yang merupakan salah satu upaya mensosialisasikan gerakan urban farming pada penggiat aktif dengan saling berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang teknik aquaponic. Upaya edukasi urban farming tidak hanya dilakukan untuk masyarakat secara umum, tetapi juga para penggiat aktif Jogja Berkebun. Gambar 1. 1 Tampilan diskusi teknik aquaponic di grup chat Whatsapp Messenger Jogja Berkebun Capture percakapan tersebut menjadi salah satu bukti pemanfaatan media oleh komunitas Jogja Berkebun dalam membentuk gerakan urban farming, baik komunikasi internal maupun eksternal. Cara unik komunitas Jogja Berkebun dalam mensosialisasikan urban farming mengingatkan pada program pemerintah tentang sosialisasi pertanian atau sering disebut penyuluhan pertanian. Sejak zaman orde baru, bidang pertanian selalu menjadi perhatian pemerintah mengingat Indonesia pernah mencapai swasembada 5 pangan pada 1984 yang tidak lepas dari peran penyuluhan pertanian.3 Seiring perkembangan zaman, sosialisasi terkait bidang pertanian tidak hanya menjadi perhatian pemerintah. Para penggiat berkebun dengan gerakan urban farmingnya menunjukkan adanya minat akan keprihatinan dunia pertanian di negeri ini. Kemunculan media baru memberikan peluang bagi komunitas Berkebun untuk mensosialisasikan gerakan urban farming sehingga berpotensi memberikan warna baru dalam pola komunikasi mereka. Pemanfaatan media baru memungkinkan Jogja Berkebun untuk tidak perlu datang dari satu wilayah ke wilayah lain, satu sekolah ke sekolah lain untuk mensosialisasikan konsep urban farming. Pemanfaatan media baru oleh komunitas dalam gerakan lingkungan menjadi fenomena baru yang sedang banyak terjadi. Berbeda dengan polapola gerakan lingkungan yang awalnya didominasi dengan cara-cara konvensional yang berurusan dengan birokrasi pemerintah, aktivis lingkungan identik dengan mahasiswa yang melakukan demonstrasi, advokasi lingkungan, dan cara-cara lain yang masih klasik. Apabila menilik ke belakang tentang pola-pola gerakan lingkungan terdahulu, tentu menarik untuk memahami pola komunikasi dalam gerakan lingkungan masa kini dengan memanfaatkan media baru. Maka perlu memahami budaya yang tercipta dari pola-pola komunikasi melalui media baru oleh komunitas yang melakukan gerakan sosial baru, khususnya gerakan lingkungan. Dalam konteks ini, pemanfaatan media baru oleh komunitas Jogja Berkebun. Peran media baru sebagai sarana komunikasi dalam membentuk gerakan sosial baru menjadi penting untuk dikaji mengingat semakin banyak kemunculan gerakan berbasis komunitas. Pola pemanfaatan media dalam mendukung gerakan urban farming oleh komunitas Jogja Berkebun menjadi topik penelitian yang layak dan menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian etnografi 3 Moehar Daniel, dkk. 2006. PRA (Participatory Rural Appraisal): Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Pertanian Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Bumi Aksara: Jakarta. Hal. 58. 6 tentang kajian media baru dengan judul “Pola Komunikasi Komunitas Jogja Berkebun dalam membentuk gerakan Urban Farming melalui Media Baru” B. Rumusan Masalah Bagaimana pola komunikasi komunitas Jogja Berkebun dalam membentuk gerakan Urban Farming melalui media baru? C. Tujuan 1. Untuk memetakan pola komunikasi komunitas Jogja Berkebun melalui media baru 2. Untuk memahami pemanfaatan media baru oleh komunitas Jogja Berkebun dalam membentuk gerakan urban farming D. Manfaat 1. Bagi aktivis lingkungan dapat menjadi referensi dalam memanfaatkan media baru sebagai sarana mencapai tujuan dalam menyebarkan semangat peduli lingkungan kepada masyarakat 2. Bagi komunitas Jogja Berkebun dapat menjadi bahan evaluasi dalam memanfaatkan media baru sebagai sarana dalam mendukung gerakan urban farming 3. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memperkaya penelitian ilmu komunikasi terutama kajian media baru dan gerakan lingkungan berbasis komunitas E. Kerangka Pemikiran 1. Pola komunikasi dalam media baru Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas keseharian manusia dan bahkan kita pernah mendengar istilah “A person cannot not communicate”. Cara seseorang untuk melakukan komunikasi mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring kemunculan media baru. Relasi antarindividu tidak hanya terjalin dengan pertemuan tatap muka, tetapi 7 juga termediasi melalui perangkat teknologi. Kemunculan internet sedikit banyak telah mengubah cara berkomunikasi baik di level interpersonal, kelompok, organisasi, sampai pada antarbudaya. Holmes menyatakan bahwa internet merupakan tonggak dari perkembangan teknologi interaksi global di akhir dekade abad ke-20 yang mengubah cakupan serta sifat dasar dari medium komunikasi. Transformasi ini yang disebut sebagai “second media age”, dimana media tradisional seperti radio, koran, dan televisi telah banyak ditinggalkan oleh khalayak. Media tradisional pada dasarnya memakai pola menyebarkan informasi dari satu sumber ke audiens yang banyak, bersifat satu arah, dan minim bahkan tidak ada pelibatan interaksi pengirim-penerima.4 Melalui istilah medium is the message, Mcluhan memahami konsekuensi sosial dari kemunculan media-media baru dalam membentuk pola kehidupan masyarakat, termasuk pola komunikasi.5 Teori New Media menyatakan dasar dari second media age adalah interaktivitas.6 Teori New Media sebagai sebuah revolusi pergantian dari pola broadcast menuju pola jaringan. Internet menjadi media alternatif dari pola lama, yaitu pola broadcast. Pola-pola komunikasi melalui media baru pun berbeda dengan pola komunikasi media tradisional. Kemunculan media baru membuka peluang terbentuknya pola-pola baru dalam berkomunikasi. McQuail menjelaskan pola baru dalam aliran informasi telah dikembangkan oleh dua ahli telekomunikasi Belanda, yaitu J.L Bordewijk dan B.Van Kaam. Mereka mendeskripsikan empat dasar pola komunikasi dan menunjukkan bagaimana pola-pola tersebut saling berelasi Van Kaam pada 1986.7 Bordewijk dan Van Kaam mengidentifikasi pola baru dalam lalu lintas informasi, yaitu alokasi 4 David Holmes. 2005. Communication Theory: Media, Technology, and Society. London: Sage Publications. Hal. 7. 5 McLuhan. 2002. Understanding Media. Routledge: London. Hal 7. 6 Stephen W Littlejohn dan Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia Communication Theory. London: SAGE Publications. Hal. 684. 7 McQuail. 2008. McQuail‟s Mass Communication Theory. Sage Publication: London. Hal 145. 8 (allocation), percakapan (conversation), konsultasi (consultation), dan registrasi (registration).8 a. Alokasi (Allocation) Pola alokasi terjadi ketika sebuah informasi mengalir dari satu sumber. Walaupun banyak khalayak yang menerima, tetapi informasi berasal dari satu sumber yang sama. Berikut gambaran arus informasi dengan pola alokasi. Gambar 1. 2 Alokasi: aliran informasi mengalir dari centre (C) ke individu (i) Sumber: Bordewijk dan Kaam (1986) Pola alokasi juga memungkinkan adanya banyak penerima seperti gambar berikut. Dalam komunikasi konvensional, pola alokasi biasanya terjadi saat khotbah atau pemberian materi oleh dosen saat perkuliahan. Pada media baru, pola alokasi dapat terjadi pada fenomena tweet di jejaring sosial Twitter. Ketika akun Twitter sebuah komunitas lingkungan mentweet tentang satu topik, misalnya gaya hidup hijau, maka postingan tersebut akan terbaca oleh seluruh followers yang sedang online. Namun, posting tweet tersebut tidak mendapatkan timbal balik, arus informasi demikian masuk dalam pola alokasi. Pola komunikasi yang tidak menunjukkan adanya timbal balik. Karakteristik dari pola ini menempatkan „C‟ sebagai pusat sekaligus pemilik informasi sehingga berpeluang untuk menentukan bagian informasi yang akan didistribusikan kepada orang lain maupun khalayak. Misalnya, ketika pembawa berita di televisi menyampaikan informasi kepada khalayak otomatis informasi berasal dari satu sumber yang sama tanpa ada timbal balik langsung. 8 Bordewijk dan Van Kaam. 1986. Toward a New Classification of Tele Information Services. Original Publication Intermedia. Hal. 16-21. 9 Gambar 1. 3 Pola umum alokasi (Sumber: Bordewijk dan Kaam, 1986) b. Percakapan (conversation) Pola percakapan terjadi ketika ada pertukaran informasi diantara dua orang atau lebih. Pola percakapan ideal menunjukkan adanya keseimbangan dimana pengirim dan penerima pesan berada pada satu kedudukan yang sama sehingga memungkinkan terjadinya interaksi. Setiap partisipan memiliki kekuatan yang seimbang untuk saling menyampaikan informasi. Berbeda dengan alokasi, pola percakapan membuka peluang terjadinya timbal balik langsung. Pola percakapan terjadi ketika menggunakan telepon. Dalam media baru, interaksi yang menunjukkan pola percakapan dapat terjadi pada interaksi di chatroom, skype, videocall, ataupun forum diskusi online. Gambar 1. 4 Percakapan: aliran informasi antar individu (Sumber: Bordewijk dan Kaam, 1986) Gambar 1. 5 Percakapan melalui pusat „c‟ (Sumber: Bordewijk dan Kaam, 1986) 10 Gambar 1. 6 percakapan, pola umum (Sumber: Bordewijk dan Kaam, 1986) c. Konsultasi (consultation) Pola konsultasi terjadi ketika khalayak atau orang per orang ingin mencari informasi dari satu sumber yang sama. Dalam konteks ini, pihak individu atau khalayak aktif meminta aliran informasi dari sumber informasi sehingga komunikasi hanya terjadi jika hanya jika ada permintaan dari khalayak. Misalnya saja, internet dengan fasilitas alat pencariannya membuka peluang bagi banyak orang untuk mencari informasi melalui internet. Keadaan mengakses jurnal online, ebook sesuai kebutuhan juga merupakan bentuk pola konsultasi. Gambar 1. 7 Pola konsultasi (Sumber: Bordewijk dan Kaam, 1986) Gambar 1. 8 pola umum konsultasi (Sumber: Bordewijk dan Kaam, 1986) d. Registrasi (registration) Pola registrasi terjadi ketika pusat informasi menerima informasi dari berbagai khalayak, lalu mengumpulkannya. Pola ini terbalik dengan konsultasi karena membuka peluang bagi khalayak untuk memberikan 11 pada pusat lalu pusat bertugas mengumpulkan informasi. Hal ini terjadi pada media elektronik ketika melakukan tele-polling. Pada media baru, pola registrasi terjadi ketika melakukan survey online. Pusat menjadi pengatur arus informasi yang masuk. McQuail mempertegas bahwa pola di atas dapat direlasikan melalui dua variabel utama, yaitu kontrol informasi dari pusat dan individu; kontrol waktu dari pusat dan individu. Tipologi aliran informasi dapat digambarkan dalam bagan berikut: Control of information store Control of time and Central choice of subject individual Central Individual allocution registration Consultation conversation Tabel 1.1 Tipologi Arus informasi Sumber: McQuail (2008: 147) Media baru memberikan peluang adanya proses komunikasi baru sebagai sebuah konvergensi informasi. Konvergensi informasi menunjukkan adanya pertukaran informasi antara dua atau lebih partisipan dalam satu sistem hingga membentuk mutual understanding. Konvergensi memahami komunikasi sebagai sebuah proses pertukaran informasi yang akan berulang. Konvergensi mampu menjelaskan pola komunikasi dalam media baru dimana interaksi tidak hanya terjadi satu arah tetapi ada pertukaran informasi antara dua atau lebih partisipan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvergensi diartikan sebagai keadaan menuju ke satu titik pertemuan; memusat.9 Teori konvergensi dikembangkan oleh Lawrence Kincaid pada 1979 sebagai model umum dari komunikasi dalam mengatasi kritik dan kekurangan model yang telah ada, khusunya model komunikasi matematik Shannon dan Weaver. Model konvergensi mewakili komunikasi sebagai (a) proses 9 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online versi 1.3. April 2014. Diakses dari www.kbbi.web.id. 12 daripada aksi tunggal; (b) pertukaran informasi daripada transmisi satu arah; (c) percakapan dua atau lebih partisipan; (d) sarana untuk memperjelas kebingungan antara informasi, pengetahuan, pesan, simbol, dan makna; dan (e) sebuah proses koreksi umpan balik, memungkinkan komunikator mengumpulkan pada satu tujuan (Littlejohn, 2009: 188). Littlejohn (2009: 189) menerangkan bahwa konvergensi sering disamakan dengan konsensus. Konvergensi adalah gerakan menuju satu titik, ke arah komunikator lain, menuju ketertarikan umum, dan menuju keseragaman yang lebih besar, tidak pernah cukup mencapai titik itu. Dalam ilmu komunikasi, tujuan dari proses umpan balik adalah persamaan paham.10 Kincaid, dkk (2002) dalam “Communication for Social Change Working Paper Series” membuat model dasar dari konvergensi komunikasi sebagai berikut: Gambar 1. 9 Model konvergensi (Sumber: Kincaid, dkk: 2002) 10 Stephen W Littlejohn dan Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia Communication Theory. London: SAGE Publications. hal. 188-189. 13 Bagan model konvergensi di atas menggambarkan sebuah siklus, proses berulang yang melibatkan paling tidak dua partisipan. Awalnya partisipan dikoneksikan melalui pertukaran informasi sama satu dengan yang lain. Informasi berupa bentuk fisik seperti suara, gambar, teks pesan, ataupun bahasa tubuh. Keterbatasan dalam memanifestasikan informasi memungkinkan adanya pertukaran makna dan pikiran satu sama lain. Pemikiran dan pemaknaan didefinisikan sebagai fenomena kognitif dan biasa disebut sebagai pshychological. Realitas psikologis menuju ke arah pertemuan para komunikator yang terdiri dari persepsi, interpretasi, pemahaman, dan kepercayaaan. Respon emosional masing-masing partisipan pada informasi dapat memengaruhi proses kognitif. Informasi yang dipertukarkan dapat mencakup berbagai level mulai dari interpersonal, kelompok, organisasi, dan komunikasi antarbudaya. Tindakan kolektif para individu termasuk tindakan terkoordinasi memerlukan komunikasi dan itu juga menjadi sumber informasi. Proses berulang demikian sehingga dapat dikatakan model konvergensi membentuk sebuah siklus. Siklus model konvergensi dapat pula dipetakan sebagai berikut (1) adanya sebuah informasi yang dipertukankan antara dua orang atau lebih. Individu mendapatkan informasi dapat dari berbagai sumber, baik secara langsung maupun melalui media (media lama dan baru). Setiap individu bertindak atas satu informasi yang sama; (2) setelah memperoleh informasi, hal penting selanjutnya adalah interpretasi dari masing-masing partisipan. Interpretasi tidak lepas dari peranan budaya dalam memahami informasi yang diterima dan dapat dilihat melalui percakapan kultural; (3) terjadi hubungan horizontal dalam pengolahan informasi. Hasilnya berupa pemahaman bersama, kesepakatan bersama, kemudian terjadi tindakan kolektif. Lalu, (4) model berulang membentuk rangkaian dimana aksi kolektif menghasilkan informasi yang akan dibagikan pada individu lain dan seterusnya demikian. Bagan tersebut menunjukkan adanya proses penggabungan hasil olahan informasi 14 menjadi satu tindakan kolektif yang mampu mencerminkan adanya perubahan sosial.11 Pada 2002, Kincaid memperkenalkan enam fase dari konvergensi komunikasi. Pertama, scene setting, fase menciptakan informasi dengan sistem percakapan tertutup. Kedua, buildup, fase terjadinya mutual understanding. Ketiga, fase resolution, fase dimana partisipan menyepakati posisi bersama dan muncul sikap saling percaya untuk melakasanakan misi bersama. Keempat, fase klimaks ketika muncul emosi dan alasan yang tidak mengubah posisi dan pemahaman yang tetap sama untuk menyelesaikan konflik. Kelima, fase konflik dimana tak ada partisipan yang akan mengubah dan karenanya harus mengambil jalan menuju posisi terancam mundur. Keenam, fase resolusi terakhir, dimana kerjasama dan konflik diimplementasikan. Apabila para partisipan setuju pada posisi bersama bahwa mereka akan saling percaya satu sama lain untuk mengimplementasikan, maka hasilnya akan menjadi sebuah kerjasama.12 Model konvergensi mendefinisikan komunikasi sebagai sebuah proses dimana dua atau lebih partisipan saling bertukar informasi dan menuju pada mutual understanding dan persetujuan untuk melakukan kerjasama. Apabila sebaliknya, dimana terjadi perselisihan maka akan menciptakan konflik. 2. Gerakan Sosial Baru dalam Komunitas Gerakan sosial baru berbasis komunitas menjadi fenomena yang marak terjadi. Komunitas memiliki berbagai perngertian dari sejumlah ahli dan konsep komunitas juga digunakan dalam teori dan penelitian komunikasi. Pernyataan ini ditegaskan Erin Underwood dan Lawrence Frey dengan pernyataan berikut:13 11 Ibid. Hal. 189. Ibid. Hal. 189. 13 Ibid. Hal. 146. 12 15 “Community is a concept rich in association and emotional power; it is a strategically ambiguous idea, but one that treats communication as central to who people are and how connections are built with others. For these reasons, we can expect community will remain favored concept in communication theorizing and research.” Karen Tracy membagi pengertian komunitas menjadi lima definisi. Pertama, komunitas1 sebagai sekumpulan orang yang berada dalam satu wilayah geografis yang sama. Kedua, komunitas2 sebagai sekumpulan orang dengan satu identitas budaya yang sama. Ketiga, komunitas3 sebagai sekelompok orang yang melakukan aktivitas atas minat yang sama. Keempat, komunitas4 sebagai sekelompok orang yang memiliki keprihatinan yang sama untuk melakukan perubahan. Kelima, komunitas5 sebagai sekelompok orang yang mengerjakan satu tanggung jawab pekerjaan yang sama.14 Tracy (dalam Littlejohn, 2009: 144) menambahkan ada dua tradisi untuk memahami konsep komunitas dalam komunikasi, yaitu komunitas sebagai sebuah term deskriptif dan komunitas sebagai sebuah ideal normatif. Komunitas dalam term deskriptif meliputi studi deskriptif tentang speech, wacana, dan komunitas praktis, didominasi oleh pengertian komunitas1 sampai komunitas3. Tradisi ini menjadi konsep penting dalam etnografi komunikasi yang dibangun oleh Antropolog, Dell Hymes dan dibawakan untuk komunikasi pada pertengahan 1970an oleh Gerry Philipsen. Dalam etnografi komunikasi, kunci dari unit analisis adalah speech community. Dalam mengidentifikasi komunitas pada term deskriptif dikenal istilah community of practice yang dipopulerkan oleh Jean Lave dan Etienne Wenger. Tradisi normatif tentang bagaimana komunikasi menghubungkan komunitas dan juga efek negatif serta positif bagi komunitas, secara khusus dalam pengertian komunitas4 dan 14 Ibid. Hal. 143. 16 komunitas5. Komunitas dalam term normatif dapat dilihat dalam gerakan politik.15 Wenger (dalam Littlejohn 2009:145) mengenalkan istilah Community of practice sebgai cara untuk mengidentifikasikan komunitas dalam term deskriptif. Community of practice diartikan sebagai sekelompok orang yang saling berbagi lingkungan, masalah, perhatian, serta memiliki ketertarikan atau kegemaran yang sama dalam suatu topik dan dapat memperdalam pengetahuan serta keahliaannya dengan saling berinteraksi secara terus menerus. Robert C. Swieringa (dalam Littlejohn 2009: 147) menjelaskan tiga karakteristik community of practice. Pertama, sekumpulan individu yang tergabung dalam kelompok yang memiliki identitas dengan domain minat terterntu. Kedua, terjadi mutual engagement dimana para anggota terlibat dalam aktivitas, diskusi, saling membantu satu sama lain untuk belajar bersama. Ketiga, anggota komunitas mengembangkan shared repertoire dimana mereka melakukan praktek, saling berbagi pengalaman praktek, cerita dalam mengatasi masalah.16 Dalam ranah sosiologi, pemahaman komunitas datang dari pemikirian pakar sosiolog, Ferdinand Tonies dan Louis Wirth. Tonnies dalam bukunya Community and Asociation (1955) membagi komunitas ke dalam dua jenis, yaitu Gemeinschaft dan Gesellschaft.17 Gemeinschaft (paguyuban) merujuk pada jenis komunitas yang berkarakter “total community” di mana setiap individu maupun aspek-aspek sosial di dalamnya berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, berjalan secara stabil dan dalam waktu yang lama, merupakan hasil dari adanya kesamaan maupun kebutuhan, terbentuk dari adanya pertukaran ritual maupun symbol-simbol sebagaimana yang terjadi dalam interaksi sosial secara nyata yang dibangun secara interaksi tatap muka. Inilah yang disebut komunitas „tradisional‟, dimana setiap orang mengenal yang lain, 15 Ibid. Hal. 144. Ibid. Hal. 147. 17 David Bell. 2001. An Introduction to Cyberculture, London and New York: Routledge. Hal. 94. 16 17 membantu yang lain, dan ikatan yang terjalin satu dengan yang lain kuat dan „multiple‟. Menurut Tonies, Gesellschaft (patembayan) merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Bentuk gesellschaft terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik, misalnya ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu pabrik atau industri, dan lain sebagainya.18 Interaksi di dalam komunitas pada akhirnya membentuk budaya yang nantinya menjadi kultur yang diteruskan ke generasi berikutnya. Seperti yang diutarakan oleh Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat (komunitas) ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu sendiri. 19 Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih, kemunculan internet memengaruhi budaya yang ada pada suatu komunitas. Pada prosesnya, internet mampu membentuk budaya baru dalam sebuah komunitas dimana jarak, ruang, dan waktu bukan lagi menjadi hambatan besar yang menghalangi interaksi antaranggota. Melalui internet, anggota-anggota komunitas dapat saling berinteraksi di ruang virtual (virtual space). Oleh karena itu, selanjutnya muncul istilah komunitas virtual. Berkaitan dengan fenomena yang “real” dan “virtual”. Kumiko Aoki memberikan beberapa poin penting tentang komunitas virtual. Pertama, those which totally overlap with physical communities (mereka yang tumpang tindih dengan komunitas fisik). Kedua, those that overlap with these „real life‟ communities to some degree (mereka yang tumpang tindih dengan komunitas fisik dalam derajat tertentu). Ketiga, those that are 18 Soejono Soekanto. 2010. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal. 117. 19 Kang Arul. “Kebudayaan dan Komunitas Virtual”. Diunggah pada 27 Februari 2012. Diakses dari http://kangarul.com/kebudayaan-dan-komunitas-virtual/html. 18 totally separated from physical communities (mereka yang sama sekali terpisah dari komunitas fisik).20 Fenomena tersebut memungkinkan terbentuknya budaya komunikasi dalam berkomunitas, di mana bentuk media yang lebih personal mampu menghubungkan secara global. Pemahaman sederhana tentang komunitas pun perlahan mengalami perubahan. Komunitas yang memanfaatkan media baru dalam berinteraksi melakukan aksi bersama dalam bentuk gerakan kolektif. Aksi kolektif tersebut secara teoritis dikenal dengan istilah gerakan sosial. Gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif di luar institusi-institusi negara untuk memperjuangkan kepentingan bersama atau meraih tujuan bersama.21 Gerakan sosial juga diartikan Blumer sebagai aksi kolektif sejumlah besar orang untuk menciptakan tatanan kehidupan baru atau menggapai tujuan atau gagasan bersama.22 Sidney Tarrow juga mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial dalam interaksi yang berkelanjutan dengan para elit atau pemegang wewenang sehingga ia menempatkan gerakan sosial di dalam kategori yang lebih umum tentang politik perlawanan. Namun tidak semua aksi kolektif dapat disebut sebagai gerakan sosial. Tarrow menjelaskan bahwa konsep gerakan sosial harus memiliki empat properti dasar. Pertama, tantangan kolektif (colective challenge) yaitu tantangan-tantangan untuk melawan melalui aksi langsung yang mengganggu para elit, pemegang otoritas, kelompokkelompok lain, atau aturan-aturan kultural tertentu. Kedua, tujuan bersama (common purpose). Ketiga, solidaritas dan identitas kolektif. Keempat, memelihara politik perlawanan.23 20 Rulli Nasrullah. 2012. Komunikasi Antarbudaya: Di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana. Anthony Giddens. 1992. Sociology. Oxford: Polity Press. Hal. 624-630. 22 Herbert Blumer. 1951; ”Social Movement” dalam Stanford Lyman. 1995; Social Movement: Critique, Concept, Case Studies. Washington: New York University Press. 23 Sydney Tarrow. 1998. Power in movement, social movement, and contentius Politics. Cambridge: Cambridge University Press dalam Suharko. Gerakan Sosial Baru di Indoensia: Repertoar Gerakan Petani. Volume 10, Nomor 1, juli 2006. Hal 5. 21 19 Dalam perkembangannya gerakan sosial dibedakan menjadi dua, yaitu gerakan sosial klasik dan gerakan sosial kontemporer atau baru. Gerakan sosial klasik atau tradisional biasanya dicirikan secara kuat oleh tujuan ekonomis-material sebagaimana tercermin dari gerakan kaum buruh. Sementara Gerakan sosial baru (GSB) lebih berpusat pada tujuan-tujuan non material. GSB biasanya menekankan pada perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan daripada mendorong perubahanperubahan spesifik dalam kebijakan publik atau perubahan ekonomi sebagaimana tercermin dari gerakan lingkungan, antiperang, perdamaian, feminisme, dan sejenisnya. Istilah gerakan sosial baru dipergunakan secara luas untuk merujuk pada fenomena gerakan sosial yang muncul sejak pertengahan 1960-an terutama di negara maju. Gerakan-gerakan lingkungan, feminisme, hak asasi manusia, perdamaian, dan sebagainya yang biasa dirujuk sebagai bagian dari GSB terus berlangsung baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang.24 Herbert Blumer memetakan empat tahapan terjadinya gerakan sosial yang dikembangkan oleh para ilmuwan setelahnya, antara lain tahap kemunculan (emergence), tahap koalisi (coalesence), tahap birokratisasi (bureaucratizion), dan tahap surut (decline).25 Pertama, tahap kemunculan yang ditandai dengan ketidakpuasan yang meluas. Calon inisiator dan peserta gerakan kurang puas dengan kebijakan atau kondisi sosial tertentu. Namun, pada tahapan ini mereka belum mengambil tindakan apapun secara bersama-sama maupun strategis. Kedua, tahap koalisi dimana ketidakpuasan sosial telah menjelma dari tidak terkoordinasi dan individual menjadi mengrucut dan kolektif. Pemimpin muncul dan kepemimpinan berjalan. Strategi untuk mencapai tujuan mulai disusun. Gerakan makin terorganisir. Ketiga, tahap 24 Suharko. Gerakan Sosial Baru di Indoensia: Repertoar Gerakan Petani. Volume 10, Nomor 1, juli 2006. Hal 9. 25 De la Porta, D. & Diani, M. (2006). “Social Movements: An Introduction” (2nd Ed). Malden MA:Blackwell Publishing. Hal. 150., seperti dikutip dalam Christiansen, Jonathan. 2009. “Four Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc. 20 birokratisasi ketika gerakan sosial telah berhasil membangkitkan kesadaran dimana semua individu, kelompok, organisasi yang terlibat secara sukarela telah mengadopsi strategi yang sama. Pada tahap ini, kekuatan atau akses ke kekuasaan politik membesar. Keempat, tahap surut menunjukkan situasi gerakan tersebut telah merosot dan mencapai babak akhir dari siklus hidupnya.26 Kemunculan Koalisi Birokratisasi Surut Tabel. 1.2 Tahapan terbentuknya Gerakan Sosial Salah satu bentuk gerakan sosial baru adalah gerakan lingkungan. Gerakan lingkungan sebenarnya sudah sejak lama menjadi concern beberapa kelompok di berbagai negara termasuk Indonesia. Menurut sejumlah pakar sosiologi lingkungan di Amerika Serikat (AS) gerakan lingkungan di setiap negara dapat dibagi dalam tiga komponen:27 a. Public enviromentalist, yakni para warga khalayak ramai yang berusaha memperbaiki kondisi lingkungan sekitar, langsung lewat tindakan dan sikap mereka masing-masing b. Organized enviromentalist atau voluntary enviromentalist, yakni mereka yang bergerak melalui organisasi-organisasi yang khusus didirikan untuk berusaha memperbaiki lingkungan hidup mereka, yang kadang sampai melintas batas negara. Termasuk kategori ini adalah organisasi-organisasi lingkungan seperti Enviromental Devense Fund, Sierra Club, GreenPeace. Atau di Indonesia, WALHI, Jaringan Kerjasama Pelestarian Hutan “Skephi” dan KRAPP (Komite Relawan Anti Penyalahgunaan Pestisida) alias PAN (Pestocodes Action Network) 26 Macionis, J. J. (2001) Sociology (8th ed). Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall dalam tulisan Karisma Nugroho dan Kwan Men Yon. November 2011. Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas di Indonesia. 27 George Junus Aditjondro. 2003. Pola-Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menyelamatkan dari Ekspansi Modal. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal. 149. 21 c. Institusional enviromental movement organization, yakni mereka yang bergerak melalui birokrasi-birokrasi resmi yang mengklaim diri punya kewenangan terhadap masalah-masalah lingkungan Isu lingkungan dapat pula digolongkan sebagai isu politik sebab perdebatan tentang suatu masalah ekologis, tidak terlepas dari interaksi kekuatan politik serta momen historis tertentu dalam suatu masyarakat atau negara, di samping tingkat pengetahuan masyarakat atau bangsa itu tentang masalah lingkungan yang bersangkutan. Gerakan lingkungan (enviromental movement) menurut literatur sosiologi lingkungan, istilah gerakan lingkungan digunakan dalam tiga pengertian sebagai berikut:28 a. Sebagai penggambaran perkembangan tingkah laku kolektif (collective behavior) tertentu b. Sebagai jaringan konflik-konflik dan interaksi politis di seputar isuisu lain yang terkait c. Sebagai perwujudan dari perubahan opini publik dan nilai-nilai yang meyangkut lingkungan Pendek kata, dari literatur di bidang sosiologi lingkungan, gerakan lingkungan dapat dimanifestasikan dalam tiga bentuk yakni; a. Gerakan aktor-aktor b. Gerakan ide-ide yang muncul dan berkembang dalam masyarakat, baik melalui media komunikasi massa maupun melalui komuikasi antarpribadi c. Gerakan termasuk pasang surut konflik-konflik politik yang semuanya menyangkut aspek pengelolaan lingkungan hidup. Gerakan lingkungan di Indonesia secara resmi ditetapkan oleh Negara, atau dalam terminologi Morrison et.al gerakan lingkungan institusional, mulai 5 Juni 1972. Enviromentalisme yang terorganisir atau sukarela merupakan fenomena baru, dan bermula dalam kelompok-kelompok mahasiswa pecinta alam yang muncul pada tahun 1970an. Dua diantaranya 28 Ibid. Hal. 163. 22 yang terkenal adalah Mapala UI yang bermarkas di kampus di Jakarta, dan di luar kampus adalah Wanadri Bandung. 3. Teori New Media Internet sendiri dapat didekati dengan dua aspek, yakni internet sebagai budaya dan internet sebagai artefak kebudayaan. Sebagai sebuah budaya (culture), internet memiliki model komunikasi yang lebih sederhana dibandingkan dengan komunikasi tatap muka. Dalam komunikasi termediasi, interaksi terjadi berdasarkan teks, sedangkan komunikasi tatap muka memungkinkan adanya interaksi melalui ekspresi wajah, bahasa tubuh, intonasi, dan konteks-konteks yang melekat pada seseorang. Interaksi melalui internet menggunakan simbol-simbol yang mengandung makna. Internet sebagai artefak kebudayaan, memahami internet sebagai perangkat komputer yang memungkinkan pengguna untuk melakukan interaksi, memunculkan berbagai bentuk komunikasi, dan bertukar informasi.29 Fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada interaksi tatap muka juga dapat ditemukan pada interaksi melalui media baru. Pemanfaatan internet memunculkan budaya baru, yang sering disebut sebagai budaya siber. Budaya siber tidak hanya terjadi pada level komunikasi interpersonal, tetapi juga level komunikasi kelompok. Hal ini dapat dilihat dari komunitas yang memanfaatkan media baru sebagai sarana interaksi. Saat ini fenomena pemanfaatan media baru oleh komunitas dalam membentuk gerakan perubahan sudah tidak asing lagi. Beberapa gerakan berbasis komunitas, baik bergerak di bidang pendidikan, sosial, maupun lingkungan memanfaatkan media baru dalam berkegiatan. Pemahaman mengenai pemanfaatan internet dengan karakteristiknya dalam melakukan gerakan dapat dijelaskan dalam teori New Media. Kemunculan teknologi komunikasi canggih menciptakan bentuk komunikasi baru melalui cyberspace. Pada akhir abad ke-20 terjadi 29 Christine Hine. 2001. Virtual Etnography. London: Sage Publication. Hal. 14. 23 kemunculan teknologi interaktif secara global, internet, yang secara dramatis mengubah sifat dan ruang lingkup media komunikasi. Saat itulah muncul istilah second media age, muncul di tengah dominasi media broadcast, seperti televisi, radio, dan surat kabar. Secara signifikan, second media age menandai kemunculan media yang interaktif, yaitu internet.30 Teori New Media telah diformulasikan sejak 1990an. McLuhan, salah satu ilmuwan yang banyak membahas tentang perkembangan media, mulai dari media dengan pola broadcast menjadi bentuk jaringan dalam media elektronik. McLuhan meneliti tentang globalisasi media dan konvergensi sehingga mampu membangun beberapa dasar dari penelitian media baru. Walaupun demikian revolusi media yang menginspirasi perhatian dari teori New Media adalah investigasi mengenai second media age yang berdasar pada prinsip interaktivitas.31 Menurut Mark Poster istilah the second media age mengacu pada pengertian dimana internet menjadi media yang menyediakan alternatif dari model broadcast (first media age).32 Poster dan Rheingold menjelaskan perbedaan karakteristik dari pola broadcast (first media age) dan pola interaktivitas (second media age) dalam tabel berikut:33 First media age Second media age Centred (few speak to many) Decentred (many speak to many) One-way communication Two ways communication Predisposed to state control Evades state control An instrument of regimes of Democratizing: facilitates universal stratification and inequality citizenship Participant are fragmented and Participant are seen to retain their 30 David Holmes. 2005. Communication Theory: Media, Technology, and Society. London: Sage Publication. Hal 4. 31 Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. London: Sage Publication. hal. 684. 32 Ibid. Hal. 685. 33 David Holmes. 2005. Communication Theory: Media, Technology, and Society. London: Sage Publication. Hal. 9. 24 constituted as a mass individuality Influences consciousness Influences individual experience of space and time Tabel 1.3 Perbedaan karakteristik first media age dan second media age (Sumber: Holmes, 2005:9) Tabel tersebut menunjukkan perkembangan media, dimana media baru telah memunculkan bentuk baru dalam berinteraksi. Broadcast dan komunikasi media dalam jaringan menawarkan perbedaan keterhubungan dalam masyarakat informasi. Perbedaan historis antara first dan second media age menjadi dasar bagi kaum utopian untuk mengkalim kemunculan media baru.34 Media baru memungkinkan adanya banyak partisipan dalam sebuah interaksi yang dua arah. Media baru juga memfasilitasi proses demokrsasi yang jauh dari kontrol pusat karena setiap individu memiliki kebebasan untuk mencari informasi melalui internet. Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dijabarkan, maka untuk memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian guna menjawab rumusan masalah, penelitian ini menggunakan operasionalisasi konsep sebagai berikut: No Konsep 1. Pola Makna Indikator Komunikasi Bentuk arus lalu a. Allocation (alokasi) Termediasi lintas informasi - pada media baru Pengiriman informasi dari pengirim ke penerima satu arah tidak memungkinkan adanya timbal balik. Arus informasi satu arah dan tanpa feedback. Dalam hal ini informan memegang kendali dalam penyampaian informasi. 34 Ibid. Hal. 83. 25 b. Conversation (percakapan) - Ada pertukaran informasi tentang antaranggota suatu topik. Dalam hal ini informan memiliki kedudukan setara dengan penerima informasi sehingga memungkinkan terjadinya feedback. c. Consultation (konsultasi) - permintaan informasi kepada informan. Dalam hal ini penerima informasi memegang kendali atas informasi. aliran Pola berkebalikan ini dengan pola alokasi. d. Registrasi (pendaftaran) - Pengumpulan informasi ke satu sumber. Dalam hal ini, informan sebagai pihak yang pasif dan hanya menampung serta mengumpulkan informasi dari berbagai pihak. 2. Gerakan Sosial Proses terjadinya 1. Tahap Baru gerakan sosial 26 (emerge) Kemunculan menunjukkan dalam sebuah komunitas terbentuknya yang kelompok berawal dari keprihatinan akan situasi atau isu 2. Tahap koalisi yang ditandai dengan adanya aktivitas koordinasi secara bersama 3. Tahap birokrasi, ada keterlibatan para anggota untuk melakukan aktivitas yang telah disepakati dan melibatkan pihak-pihak terkait 4. Tahap surut ketika tidak ada aktivitas terkait tujuan yang akan dicapai 3. Teori New Media Media sebagai sarana interaksi antarindividu berdasar 1. Interaksi banyak ke banyak 2. Komunikasi dua arah pada 3. Jauh dari kontrol pusat prinsip 4. Bersifat interaktivitas memfasilitasi demokratis: kebebasan individu 5. Partisipan terlihat mempertahankan individualitas 6. Pengaruh pengalaman individu pada ruang dan waktu 27 F. Metodologi Penelitian 1. Sifat penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif. Inti tujuan penelitian yaitu memetakan pola komunikasi termediasi melalui pemahaman tentang pemanfaatan media baru oleh komunitas Jogja Berkebun yang bertujuan dalam membentuk gerakan urban farming. Penelitian ini memerlukan pengamatan yang mendalam untuk memahami fenomena komunikasi dalam komunitas yang melakukan gerakan lingkungan melalui media baru. Oleh karena itu penelitian ini bersifat kualitatif. Kualitatif cocok karena mampu memahami fenomena secara mendalam dan terperinci. 2. Jenis Penelitian Penelitian kualitatif ini menggunakan jenis penilitian deskriptif. Hasil penelitian ini akan dijabarkan dengan analisis secara deskriptif sehingga dapat menggambarkan secara sistematis fenomena komunikasi yang terjadi pada komunitas, yaitu pola komunikasi melalui media baru. 3. Metode penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi observasi partisipan. Spradley menyatakan etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu pandangan kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah memahami sudut pandang penduduk asli.35 Untuk dapat memahami secara menyeluruh proses komunikasi yang berlangsung pada gerakan urban farming komunitas Jogja Berkebun, peneliti telah bergabung menjadi bagian dari komunitas sejak Maret 2013 dan mengikuti beberapa agenda kegiatan gerakan urban farming Jogja Berkebun serta masuk menjadi bagian dari anggota di dalam media grup chat mereka. Cara ini dapat memudahkan peneliti dalam memetakan masalah dan melakukan pengamatan secara mendalam. Secara umum tahapan metode etnografi, yaitu (1) memilih topik etnografi, (2) membuat pertanyaan etnografi, (3) mengumpulkan data etnografi, (4) membuat catatan etnografi, (5) menganalisis data etnografi (6) menulis laporan etnografi. 35 James P. Spradley. 1997. Metode Etnografi. Yogya: PT Tiara Wacana. Hal. 3. 28 4. Informan penelitian Informan adalah manusia yang mempunyai masalah, keprihatinan, dan kepentingan.36 Informan penelitian adalah anggota aktif Jogja Berkebun yang dianggap mengetahui dan memahami dinamika komunikasi komunitas secara mendalam. Informan ini adalah orang yang memiliki tingkat keaktifan lebih dibandingkan dengan anggota lain. Maka, penulis memilih dua informan utama yaitu koordinator Jogja Berkebun (Krishandiara Aryandini) dan mantan koordinator Jogja Berkebun (Maria Ulfa). Informan tambahan adalah penggiat lain yang memiliki peran penting dalam komunitas Jogja Berkebun, antara lain Savrina (inisiator), Anjela (admin jejaring sosial), Mutya (Humas). Peneliti juga melakukan wawancara dengan informan pendukung, antara lain penggiat Jogja Berkebun lainnya dan penggiat Bandung Berkebun serta Makasar Berkebun yang pernah melakukan kegiatan bersama Jogja Berkebun. 5. Sumber data Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang, (2) dari cara orang bertindak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. 37 Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Sumber primer didapat dari wawancara mendalam (in-depth interview) dan transkrip percakapan serta percakapan di media sosial. Wawancara mendalam dilakukan guna memperoleh informasi mendalam dari informan. Data transkrip berupa bukti fisik hasil percakapan di dalam komunitas seperti transkrip chatting dan juga lapak online komunitas Jogja Berkebun. Melalui kedua data tersebut maka dapat melakukan kroscek informasi interview melalui online. Data sekunder didapat dari dokumendokumen terkait dengan masalah penelitian. 6. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu 36 37 Ibid. Hal. 46. Ibid. Hal. 10. 29 a. Wawancara mendalam (in-dept interview) Wawancara dilakukan pada anggota komunitas Jogja Berkebun yang telah ditetapkan sebagai informan penelitian. Peneliti menggunakan interview guide dalam melakukan wawancara mendalam sebagai panduan, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk improvisasi pertanyaan. Wawancara dilakukan melalui dua cara, yaitu tatap muka (face to face) dan melalui ruang virtual (chatting). Wawancara dilakukan sebagai usaha untuk mempelajari dan memahami gejalagejala yang tidak tampak dalam observasi. b.Observasi (pengamatan) Observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan dalam agenda-agenda komunitas Jogja Berkebun dalam membentuk gerakan urban famring. Pengamatan juga dilakukan terhadap rekaman atau transkrip percakapan antaranggota komunitas Jogja berkebun di dalam grup chat dan lapak online lainnya (Twitter, Facebook, blog). Rekaman diperoleh dengan mengirimkan obrolan dalam grup chat ke email conversation sehingga memungkinkan penulis untuk mendapatkan seluruh hasil percakapan di dalam grup chat. Selain itu juga dapat dilakukan dengan cara mengcapture hasil obrolan para penggiat Jogja Berkebun. Lapak online dapat diakses secara langsung. Selain kedua data primer tersebut, penulis melakukan pengumpulan data sekunder melalui dokumen dan pustaka yang berhubungan dengan topik penelitian. 7. Teknik analisis data Ada tiga tahapan dalam analisis data etnografi observasi partisipan, yakni data management, data reduction, dan conceptual development (Lindlof dan Taylor, 2002). Pertama, data management adalah pengelompokan data. Tahap kedua, data reduction adalah identifikasi dan pemilahan data. Ketiga tahap conceptual development dengan menghubungkan konsep, teori, dan data yang diperoleh. Pada tahap ini 30 peneliti mengintrepetasikan data sehingga menghasilkan temuan berdasarkan hasil kajian. G. Sistematika Penulisan Pada penelitian ini, penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I Pendahuluan Bab pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, kerangka pemikiran, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini menjadi dasar untuk melakukan penelitian hingga selesai. BAB II Profil Komunitas Jogja Berkebun Bab dua berisi tentang profil dari objek penelitian, yaitu komunitas Jogja Berkebun. Pada bab ini penulis memaparkan tinjauan umum tentang Komunitas Jogja Berkebun mulai dari hubungannya dengan Indonesia Berkebun, sejarah dan kegiatan komunitas Jogja Berkebun, hingga media-media yang digunakan komunitas dalam mendukung gerakannya. BAB III Hasil Penelitian Bab ini memaparkan data dan analisis dari hasil penelitian yang telah dilakukan di lapangan. BAB IV Penutup Penutup berisi kesimpulan dan saran yang disampaikan penulis berdasarkan atas hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya. 31