TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Taksonomi Fasciola gigantica Fasciola spp yang lebih dikenal dengan nama cacing hati merupakan trematoda paling penting sebagai penyebab kerugian ekonomi pada ternak ruminansia di seluruh dunia. Selain ruminansia cacing ini dapat menginfeksi beberapa jenis hewan lainnya seperti babi, kelinci, anjing, rusa, marmot, kuda, dan bahkan manusia. Kasus infeksi cacing Fasciola pada manusia pernah ditemukan di Kuba, Prancis selatan, Inggris dan Aljazair (Satrija et al. 2009). Cacing hati yang biasa ditemukan di Indonesia adalah spesies Fasciola gigantica, sedangkan spesies Fasciola hepatica umumnya ditemukan pada ternak yang diimpor ke Indonesia (Kusumamiharja 1992). Hal ini dikarenakan inang antara yang berperan dalam siklus hidup Fasciola hepatica yaitu Lymnea truncatula tidak ditemukan di Indonesia, sedangkan inang antara Fasciola gigantica yaitu Lymnea rubiginosa adalah siput endemik Indonesia (Kusumamihardja 1992; Mitchell 2007). Menurut Levine (1990), cacing Fasciola spp mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Platyhelminthes Class : Trematoda Subclass : Digenea Family : Fasciolidae Genus : Fasciola Spesies : Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica Morfologi dan Siklus Hidup Cacing Fasciola gigantica dewasa berbentuk seperti daun, dalam keadaan segar warnanya abu-abu coklat. Ukuran cacing ini 14-54 mm. Cacing ini memiliki dua batil hisap yang berukuran sama besar untuk menempel pada inangnya, yaitu batil hisap ventral (acetabulum), serta batil hisap oral (oral sucker) yang berfungsi juga sebagai lubang mulut. Cacing dewasa dapat 3 dibedakan dari Fasciola hepatica karena ukuran tubuh lebih pendek, dan kerucut kepala lebih panjang. Alat reproduksi terletak lebih posterior, dan batil isap perut lebih kecil (Noble dan Noble 1989). Siklus hidup Fasciola gigantica mirip dengan F. hepatica. Cacing Fasciola dewasa berada dalam saluran empedu mamalia sebagai induk semangnya, cacing dewasa tersebut menghasilkan telur-telur yang terbawa oleh cairan empedu, masuk ke dalam lumen usus dan keluar ke alam bebas bersama tinja. Telur cacing dalam tinja ruminansia atau hewan yang berada di lingkungan berair akan berkembang membentuk mirasidium. Telur akan menetas dan mirasidium ini akan keluar dan mencari siput sebagai inang antaranya (Ross 1996). Mirasidium yang berhasil masuk ke dalam siput akan berkembang dan memperbanyak diri menjadi larva selanjutnya menjadi sporokista, redia dan serkaria (Gambar 1). Selanjutnya serkaria menempel di tanaman air, menanggalkan ekornya membentuk kista larva (metaserkaria) yang merupakan stadium infektif dari cacing hati (Satrija et al. 2009). Hewan akan terinfeksi bila memakan tanaman yang mengandung metaserkaria. Di dalam tubuh hewan, metaserkaria mengalami ekskistasi di dalam usus halus. Cacing muda yang keluar dari kista selanjutnya akan menembus usus dan bermigrasi ke hati. Di dalam hati cacing akan berkembang menjadi dewasa di dalam saluran empedu (Satrija et al. 2009). Gambar 1. Siklus hidup Fasciola spp (www.dfpd.cdc.htm) 4 Gejala Tingkat keparahan fasciolosis pada ruminansia bervariasi mulai dari infeksi akut yang mematikan pada domba sampai infeksi asimptomatik pada sapi. Fasciolosis domba terjadi musiman dengan manifestasi klinis berupa anemia dan kematian mendadak. Fasciolosis subakut ditandai dengan jaundice, anemia dan penurunan berat badan, serta kematian domba umur 8-20 minggu. Fasciolosis kronis terjadi sepanjang musim yang ditandai dengan anemia, perlambatan kondisi umum dan produktivitas kerja (Satrija et al. 2009). Diagnosa Infeksi Fasciola dapat didiagnosa melalui pemeriksaan mikroskopik untuk mengindentifikasi keberadaan telur Fasciola dalam tinja dengan metode sedimentasi atau filtrasi bertingkat. Diagnosa dini infeksi sebelum cacing menghasilkan telur dapat dilakukan dengan metode ELISA untuk mendeteksi keberadaan antigen eksretori-sekretori (E/S) dalam tinja (Satrija et al.2009). Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Ayam petelur merupakan ayam hasil seleksi genetik dari ayam domestik. Ayam domestik berasal dari ayam hutan yang ditangkap dan dipelihara sehingga menjadi unggas yang terdomestikasi. Tahun demi tahun ayam dari berbagai wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar genetik untuk mendapatkan ayam yang memiliki produksi telur atau daging yang tinggi pada waktu singkat. Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (terus dimurnikan). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul (Anonim 2011). Ayam petelur terdiri dari beberapa tipe, tipe ringan berasal dari bangsa White Leghorn, tipe medium dari Rhode Island Red, 5 Australop dan Barred Plymouth Rock, sedangkan tipe berat dari bangsa New Hampshire, White Plymouth Rock dan Cronish (Amrullah 2004). Sistem Kekebalan Unggas Tubuh makhluk hidup memiliki suatu sistem yang disebut sistem kekebalan yang memberikan respon dan melindungi tubuh terhadap bahan asing. Respon kekebalan sangat bergantung pada kemampuan sel-sel kekebalan mengenali molekul asing (antigen) dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen bersangkutan. Sistem pengenalan antigen dilakukan oleh unsur sistem kekebalan yaitu sel limfosit dan fase efektornya yang melibatkan berbagai jenis sel- sel dalam sistem kekebalan lainnya (Kresno 1996). Sistem kekebalan ayam terdiri dari bursa fabricius, sumsum tulang, limpa, timus, kelenjar Herderian, limfonodus, sirkulasi limfosit dan jaringan limfoid ditraktus alimentarius. Sel pembentuk antibodi (sel B) diproduksi oleh bursa fabricius, sedangkan sumsum tulang adalah sumber dari bakal sel limfosit. Limpa adalah pusat proliferasi sel plasma dan sel B memori. Unggas tanpa limpa akan mengalami penurunan produksi antibodi. Timus merupakan tempat pematangan bakal sel T yang berdiferensiasi menjadi limfosit T. Aktivitas limfosit T pada unggas sama dengan limfosit T pada mamalia (Larsson et al.1993). Bursa Fabricius adalah organ limfoid yang fungsinya sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi bagi sel dari sistem pembentuk antibodi. Bursa ini pun berfungsi sebagai organ limfoid sekunder yaitu dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi, juga memiliki sebuah pusat kecil sel T tepat dibelakang lubang salurannya (Tizard 2004). Sistem kekebalan saat terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis respon kekebalan yang mungkin terjadi yaitu respon kebal nonspesifik dan respon kebal spesifik. Respon kebal nonspesifik umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity) artinya respon terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada saat tersebut. Respon kekebalan spesifik merupakan respon tumbuh yang sebelumnya pernah terpapar oleh antigen tertentu (Kresno 1996). Perbedaan yang utama dari kedua jenis respon kekebalan ini adalah respon kebal spesifik memiliki tingkat spesialisasi yang cukup tinggi (ini berarti mekanisme respon imun 6 terhadap berbagai jenis antigen tidak sama), mampu mengenal kembali antigen yang pernah dijumpainya (memiliki memori), sehingga paparan berikutnya meningkatkan efektifitas mekanisme pertahanan tubuh (Kresno 1996). Periode lag (keterlambatan) adalah waktu antigen pertama kali diimunisasikan ke dalam tubuh dan belum terlihat suatu reaksi dari tubuh tersebut. Antibodi baru akan ditemukan sekitar satu minggu setelah dimasukkannya antigen pertama kali, dan kadarnya dalam serum akan meningkat dan mencapai puncaknya pada 10-14 hari selanjutnya mengalami penurunan. Pemberian antigen kedua akan diikuti dengan pembentukan antibodi dengan periode lag yang lebih cepat yakni 3 atau 4 hari. Jumlah antibodi yang ditemukan meningkat dengan cepat ke tingkat yang tinggi sebelum menurun kembali dengan lambat (Tizard 2004). Sel B adalah sel yang bertanggung jawab atas pembentukan imunoglobulin (Ig) dan merupakan 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Sel B yang terdapat dalam sumsum tulang dan belum pernah terpapar pada antigen, umumnya menunjukkan respon yang lebih lambat dibandingkan dengan sel B yang terdapat dalam jaringan limfoid perifer. Perangsangan antigen pada limfosit B akan menyebabkan sel B mengalami proses perkembangan melalui dua jalur, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk imunoglobulin, dan membelah dan lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai limfosit B memori. Pembentukan sel B memori adalah suatu proses yang bergantung pada proses sel T, sedangkan yang merangsang sel B tanpa sel T tidak merangsang pembentukan sel memori (Kresno 1996). Immunoglobulin Y Immunoglobulin Y (Ig Y) merupakan antibodi yang terdapat di dalam serum darah dan kuning telur pada hewan amfibi, reptil dan unggas. Imunoglobulin Y merupakan antibodi humoral utama pada ayam. Zat ini pertama kali ditemukan oleh Klemperer pada tahun 1893, yang menggambarkan adanya kekebalan pasif terhadap toksin tetanus yang diturunkan dari induk ke anak ayam. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya induk ayam adalah produsen antibodi (Ig Y) yang sangat potensial. Telur merupakan sumber Ig Y yang sangat penting, 7 selain itu Ig Y unggas lebih tahan terhadap suhu dan perubahan pH dibandingkan dengan Ig G serta tidak menyebabkan reaksi silang dengan komponen struktural jaringan dan sel darah mamalia (Larsson et al.1993). Ayam dapat digunakan untuk memproduksi antibodi selama masa produksi telurnya. Ayam yang telah digunakan untuk memproduksi antibodi selama 3 bulan harus di imunisasi booster setiap bulan berikutnya untuk memastikan antibodi yang tetap tinggi. Ayam mampu menghasilkan antibodi dengan aviditas yang tinggi segera setelah dilakukan satu kali vaksinasi. Aviditas yang sama dapat ditemukan pada domba setelah empat kali vaksinasi (Warr et al.1995). Immunoglobulin Y terdiri atas 4 rantai polipeptida dasar yang terdiri atas dua rantai berat (heavy chain) yang identik dan dua rantai ringan (light chain) yang identik. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfide (S-S), demikian pula rantai berat satu dengan lainnya dihubungkan dengan ikatan S-S. Enzim proteolitikpapin dapat memecah struktur ini menjadi tiga fragmen yaitu 2 fragmen yang memiliki susunan sama terdiri atas rantai berat (H) dan rantai ringan (L), fragmen ini dapat bereaksi dengan antigen sehingga disebut fragmen antibody binding site (Fab) serta satu fragmen yang tidak dapat mengikat antigen, tetapi terkristalkan disebut Fc. Fragmen Fab dibentuk oleh dominan terminal N, sedangkan fragmen Fc dibentuk oleh dominan terminal C dengan Fc dihubungkan dengan leher atau hinge yang fleksibel (Wibawan et al.2003). Immunoglobulin Y adalah protein yang sensitif terhadap denaturasi, aktifitas Ig Y mampu bertahan setelah dipanaskan selama 15 menit pada suhu 70 °C. Inkubasi pada pH 4 dapat ditoleransi dengan baik, tetapi pada pH 2 suhu 37 °C aktifitas antibodi akan turun secara cepat (Shimizu et al. 1992). Sedangkan menurut Larsson et al.(1993), Ig Y relativ stabil untuk dipertahankan aktivitasnya jika disimpan pada suhu ruang. Aktivitas Ig Y dapat dipertahankan dengan baik jika disimpan pada suhu 37 °C untuk jangka waktu 1 bulan atau pada suhu kamar untuk jangka 6 bulan dan aktivitas Ig Y dapat dipertahankan selama 10 tahun jika disimpan pada suhu 4 °C. Analisis antibodi ayam secara fungsional setara dengan antibodi kelinci atau mamalia dan telah berhasil diuji menggunakan metode preparasi afinitas kolom, analisa western blot, ELISA, immonohistokimia maupun Sodium Dodecyl 8 Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE)(Gordon 1983, Carlander 2002). Pemanfaatan Imunoglobulin Y Produksi Ig Y sebagai sumber antibodi terhadap antigen tertentu memiliki beberapa keuntungan yaitu: a) biaya pemeliharaan ayam relatif lebih murah, b) kandungan Ig Y tinggi di dalam telur dan dapat diproduksi dalam jumlah besar, c) immunoglobulin Y menghasilkan respon imun yang lebih spesifik dan tidak memiliki efek samping karena tidak bereaksi dengan Ig G mamalia d) memiliki daya simpan yang lebih lama, e) jarak filogenik antara unggas dan mamalia sangat jauh sehingga tidak menunjukkan reaksi silang dengan komponen jaringan mamalia. Beberapa kelebihan yang dimiliki Ig Y akan menjadi hal pendukung potensi ayam sebagai inang untuk memproduksi Ig Y spesifik terhadap antigen tertentu sehingga dapat digunakan sebagai perangkat imunodiagnostik dan imuno terapi. Antigen Ekskretori/Sekretori (E/S) Cacing umumnya melepaskan protein ekskretori/sekretori sebagai produk metabolisme. E/S dapat berperan sebagai molekul antigen pemicu respon kekebalan spesifik (Rhoads dan Fetterer 1997). Antigen Ekskretori/Sekretori cacing umumnya antigen yang imunogenik dan terdiri dari makromolekul protein, polisakarida, polipeptida, atau polimer sintetik misalnya polivinilpirolidon (PVP). Namun hanya bagian tertentu saja yang dapat berikatan dengan situs pengikatan antigen dari antibodi anti cacing parasitik baik golongan cestoda, trematoda, maupun nematoda (Guyton dan Hall 2007). Ekskretori/Sekretori juga merupakan metabolit senyawa protease yang dihasilkan oleh cacing. Enzim proteolitik tersebut berperan penting untuk proses perkembangan dan kelangsungan hidup seperti penetasan telur, molting, serta penetrasi dan migrasi cacing ke jaringan inang definitif. E/S yang dihasilkan oleh cacing parasitik berperan sebagai antigen yang memicu kehadiran antibodi dalam tubuh (Balqis 2004). Ciri pokok antigenitas suatu bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard 2004). Limitasi fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa dapat berupa ukuran molekulnya. Suatu antigen agar dapat 9 bersifat antigenik harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia kompleks. Ciri pokok yang kedua yaitu derajat keasingan atau tingkat keasingan suatu bahan atau senyawa di dalam tubuh. Selain limitasi fisikokimiawi dan derajat keasingan, antigenitas suatu bahan atau senyawa juga ditentukan oleh derajat keasingan antigen dalam tubuh (Kindt et al. 2007). Protein merupakan antigen yang terbaik karena ukuran dan kerumitan strukturnya. Hampir semua protein yang berat molekulnya lebih besar dari 8000 dalton bersifat antigenik. Antigen E/S mengandung glikoprotein yang menutupi kulit cacing dan juga susunannya berupa enzim sehingga mempermudah migrasi cacing (Bird dan Jean 1991). Oleh karena itu, antigen E/S sering digunakan untuk kontrol biologi, pembuatan vaksin, atau bahan untuk memanipulasi respon kekebalan inang (Wulandari 2004). Ikatan antigen antibodi merupakan ikatan yang kuat karena merupakan ikatan hidrogen multipel, ikatan ion, dan interaksi hidrofobik (Perez 2000). Antigen untuk dapat memicu pembentukan antibodi harus memiliki dua epitop, dan sedikitnya satu epitop harus mampu menggertak rangsangan limfosit T. Epitop antigen yang berbeda pada suatu molekul protein dapat menggertak respons subpopulasi limfosit T yang berlainan, salah satu epitop mungkin menggertak respons limfosit T helper (Th), tetapi epitop yang lain mungkin menggertak respon limfosit T supresor (Ts) (Kresno 1996) 10