22 bab ii tanggung jawab pembantu pegawai pencatat nikah (p3n)

advertisement
BAB II
TANGGUNG JAWAB PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N)
DENGAN ADANYA GUGATAN PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT
PEMALSUAN IDENTITAS
A. Tugas dan Wewenang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Lembaga
pencatatan
nikah
merupakan
syarat
administratif,
selain
substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai cakupan
manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. 35
Ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
menyebutkan bahwa:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dari apa yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) tersebut dapat diketahui
bahwa di Indonesia perkawinan sudah dianggap sah apabila dilakukan menurut
ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, akan tetapi selanjutnya
dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa “tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal
35
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000), hlm.111.
22
23
ini menggambarkan bahwa perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaan yang dianut oleh kedua pasangan tersebut sudah dapat dianggap sah,
tetapi menurut hukum Negara, perkawinan tersebut belum dianggap sah karena belum
dicatatkan di Lembaran Negara. Agar perkawinan tersebut dianggap sah menurut
hukum Negara maka perkawinan tersebut haruslah dicatat oleh instansi yang
berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan tersebut.36
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur mengenai instansi
yang berwenang untuk melakukan pencatatan, yaitu:37
1. Pegawai Pencatat Nikah Talak dan Rujuk (PPNTR), bagi mereka yang beragama
Islam, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk Di Seluruh Daerah Luar Jawa Dan
Madura jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22
Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk Di Seluruh Daerah Luar
Jawa Dan Madura.
36
Elisa Adhayana, “Pembatalan Nikah Menurut Hukum Islam dan Akibat Hukumnya (Studi
di Pengadilan Agama Pontianak)”, (Tesis, Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro, Semarang, 2006), hlm.18.
37
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) dan (2).
24
2. Kantor Catatan Sipil (KCS) atau instansi/pejabat yang membantunya bagi mereka
yang bukan beragama Islam, sebagaimana yang diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan mengenai catatan sipil.
Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam
suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu syarat diakui atau
tidaknya perkawinan tersebut, dan hal ini banyak membawa konsekuensi bagi yang
bersangkutan. Bilamana suatu perkawinan tidak dicatat, sekalipun perkawinan
tersebut sah menurut ajaran agama dan kepercayaannya, perkawinan tersebut tidak
diakui oleh Negara. Dalam proses pencatatan perkawinan tersebut, peran Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) sangat penting, yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).38
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah atau yang sering dikenal dengan sebutan
P3N merupakan seseorang yang bertugas membantu peran Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) di tingkat desa atau kelurahan. P3N biasa turut serta mengantar calon
pengantin untuk mendaftar di KUA Kecamatan, hal ini yang terjadi di wilayah Jawa.
Lain halnya yang terjadi di luar Jawa, karena P3N di luar Jawa diberi kewenangan
juga untuk menikahkan. Di Sumatera Utara, P3N dikenal dengan sebutan Tuan Kadi
atau Penghulu.39
38
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Medan Selayang, tanggal 13 Desember 2014
39
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Medan Selayang, tanggal 13 Desember 2014.
25
Selain punya tugas dalam kaitannya dengan pernikahan dan rujuk, P3N juga
peran strategis dalam pembangunan agama di masyarakat. Inilah yang perlu menjadi
perhatian bagi para P3N, karena dengan menjadi P3N dapat melaksanakan tugas
membina ibadah, melayani pelaksanaan kegiatan sosial lainnya dan melaksanakan
pembinaan kehidupan beragama pada umumnya bagi masyarakat yang beragama
Islam di wilayahnya. Mengingat pentingnya peran P3N di masyarakat maka P3N
perlu dipertahankan keberadaannya. Disamping itu perlu ada sebuah upaya dalam
rangka peningkatan kualitas P3N, untuk itu Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota melakukan pembinaan kepada P3N agar keberadaan P3N semakin
dirasakan oleh seluruh masyarakat.40
Penghulu merupakan pejabat fungsional PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang
yang diberi tugas tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan
nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.41 Penghulu merupakan
wakil PPN, dalam hal ini Kepala KUA Kecamatan, untuk melaksanakan tugas
pegawasan pelaksanaan nikah dan rujuk di lapangan sehingga dapat menjalankan
kewenangan PPN, yaitu: melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan
pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan
bimbingan pernikahan.42
40
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014.
41
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Nikah, Pasal 1 ayat (3).
42
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Nikah, Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 4.
26
Penghulu diangkat dan diberhentikan oleh pejabat berwenang pada
Kementerian Agama sesuai peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian
yang
berlaku
berdasarkan
pangkat,
golongan
dan
jabatan
fungsional
kepenghuluannya,43 namun dalam menjalankan tugas kepenghuluan selaku wakil
PPN harus mendapat mandat dari PPN, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 4
Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Th. 2007 tentang Pencatatan Nikah (selanjutnya
disebut PMA No. 11 Th. 2007): “Pelaksanaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan atas mandat yang diberikan
oleh PPN”.44
Dengan adanya kewajiban Penghulu mendapatkan mandat dari PPN
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007
tentang Pencatatan Nikah, maka dapat ditafsirkan dari aturan ini (statutory
interpretation), yaitu:
1. Penghulu sebagai wakil PPN tidak dibolehkan menjalankan tugasnya apabila
tidak diberi mandat oleh PPN. Oleh karena itu, PPN sewaktu-waktu dapat
43
Republik Indonesia, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian
Negara Nomor 20 Tahun 2005 dan Nomor 14 A Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Penghulu Dan Angka Kreditnya, Pasal 10. Dalam peraturan tersebut jo. Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6 2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu
dan Angka Kreditnya maka diatur jenjang jabatan fungsional Penghulu ada tiga, yaitu: (i) Penghulu
Pertama yang diangkat dari PNS pangkat Penata Muda, golongan ruang III/a s.d. PNS pangkat Penata
Muda Tingkat I, golongan ruang III/b); (ii) Penghulu Muda yang diangkat dari PNS pangkat Penata,
golongan ruang III/c s.d. PNS pangkat Penata Tingkat I, golongan ruang III/d; serta Penghulu Madya
yang diangkat dari PNS pangkat Pembina, golongan IV/a s.d. PNS pangkat Pembina Utama Muda,
golongan ruang IV/c.
44
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Nikah, Pasal 4.
27
menarik mandat tersebut apabila PPN menemukan pelanggaran yang dilakukan
oleh Penghulu dalam menjalankan kewenangannya.
2. Apabila pada satu KUA Kecamatan hanya terdapat seorang Penghulu maka PPN
dapat memberikan mandat kepada Penghulu untuk menjalankan kewenangan
relatif pada semua wilayah kerjanya. Jika wilayahnya luas maka PPN dapat
memberikan mandat kepada Penghulu untuk menjalankan tugas pada sebagian
wilayah kerjanya yang menjadi kewenangan relatifnya sehingga jelas mana
wilayah yang menjadi kewenangan relatif PPN dan mana pula wilayah yang
menjadi kewenangan relatif Penghulu.
3. Jika terdapat beberapa Penghulu pada satu KUA Kecamatan maka PPN dengan
mandat tersebut dapat membagi-bagi wilayah kerja setiap Penghulu sehingga
setiap Penghulu dapat memahami dan menjalankan tugasnya dengan jelas pada
wilayahnya masing-masing sebagai kewenangan relatifnya sesuai mandat
tersebut.
Dengan kata lain, kewenangan relatif Penghulu sangat tergantung dari mandat
yang diberikan oleh Kepala KUA Kecamatan selaku PPN. Namun terdapat problem
serius berkaitan dengan kewenangan absolut Penghulu disebabkan adanya
penyebutan Penghulu sebagai PPN, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala Kepegawaian Negara Nomor 20
Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka
Kreditnya (selanjutnya disebut PB MA dan Kepala BKN No. 20 Th. 2005 dan No. 14
28
A Th. 2005) jo. Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005
tentang Wali Hakim (selanjutnya disebut PMA No. 30 Th. 2005):
“Penghulu, adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang
diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut
agama Islam dan kegiatan kepenghuluan”.45
Dalam praktek pencatatan nikah di lapangan telah terjadi silang pendapat
terkait sahnya mandat yang diberikan PPN untuk Penghulu menandatangani Akta
Nikah/Buku Nikah dan Akta Rujuk/Kutipan Akta Rujuk.46 Sebagian menyatakan sah
karena sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) PMA No. 11 Th. 2007 tentang Pencatatan
Nikah: “PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dalam melaksanakan
tugasnya dapat diwakili oleh Penghulu atau Pembantu PPN”.47 Sedangkan Pasal 2
ayat (1) PMA No. 11 Th. 2007 tentang Pencatatan Nikah menegaskan: “Pegawai
Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah pejabat yang melakukan
45
Pasal 1 ayat (1) PB MA dan BKN No. 20 Th. 2005 dan No. 14 A Th. 2005 jo. Pasal 1 ayat
(3) PMA No. 30 Th. 2005. Definisi ini sebenarnya diadopsi dari Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/62/M.PAN/6 2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu
dan Angka Kreditnya. Jika definisi ini hanya ada pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara tersebut tentu penyebutan Penghulu sebagai PPN pada Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara tersebut dapat diabaikan karena Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara bukanlah
pejabat yang diserahkan undang-undang (intra vires) berwenang untuk menentukan petugas-petugas
pencatatan perkawinan bagi orang beragama Islam. Namun ternyata definisi ini diadopsi secara
leterlek oleh PB MA dan BKN No. 20 Th. 2005 dan No. 14 A Th. 2005 jo. PMA No. 30 Th. 2005,
padahal Menteri Agama sesuai UU. No. 22 Th. 1946 jo. UU. No. 32 Th. 1954 diberikan kewenangan
(intra vires) mengatur masalah petugas-petugas pencatatan perkawinan bagi orang beragama Islam.
46
Adanya praktek yang berbeda mengenai kewenangan Penghulu menandatangani Akta
Nikah/Buku Nikah terungkap pada saat masalah ini diangkat ke permukaan dan menjadi perdebatan
hangat di kalangan Kepala KUA dan Penghulu utusan setiap Kanwil Kementerian Agama Provinsi seIndonesia yang menjadi peserta Diklat Fasilitator Kepenghuluan Tingkat Mahir Angkatan II yang
diselenggarakan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama di Jakarta tanggal 9 s/d 18 Mei 2011.
47
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Nikah, Pasal 3 ayat (1).
29
pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk,
pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan”.48
Ratio legist-nya yaitu penandatangan Akta Nikah/Buku Nikah dan Akta
Rujuk/Kutipan Akta Rujuk adalah bagian dari proses penyiapan bukti pencatatan
nikah dan rujuk, sehingga PPN dapat mewakilkan dan memandatkan tugas ini pada
Penghulu, maka setiap Akta Nikah/Buku Nikah atau Akta Rujuk/Kutipan Akta Rujuk
yang ditandatangani Penghulu adalah sah dan memenuhi syarat sebagai akta otentik.
Lagi pula Pasal 1 ayat (1) PB MA dan BKN No. 20 Th. 2005 dan No. 14 A Th. 2005
jo. Pasal 1 ayat (3) PMA No. 30 Th. 2005 jelas-jelas menyebut Penghulu adalah PPN,
padahal peraturan tersebut merupakan bagian dari produk Peraturan Menteri Agama
sebagai pejabat berwenang mengangkat petugas pencatatan nikah bagi orang yang
beragama Islam dan mengatur kewenangannya.
Sebagian lagi menegaskan bahwa Penghulu memiliki semua kewenangan
PPN jika dimandatir oleh PPN untuk menjalankan kewenangan absolutnya, kecuali
kewenangan menandatangani Akta Nikah/Buku Nikah dan Akta Rujuk/Kutipan Akta
Rujuk yang bukan kewenangan Penghulu dengan alasan:
1. PB MA dan BKN No. 20 Th. 2005 dan No. 14 A Th. 2005 sebagai sumber
masalah ini, bukanlah regulasi yang mengatur pencatatan nikah karena peraturan
tersebut diperuntukkan mengatur masalah jabatan penghulu dan angka kreditnya,
sama kedudukannya dengan PMA No. 30 Th. 2005 yang mengatur masalah Wali
48
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Nikah, Pasal 2 ayat (1).
30
Hakim. Lex specialist yang mengatur pencatatan nikah adalah PMA No. 11 Th.
2007 sebagai aturan khusus dari UU. No 22 Th. 1946 jo. UU. No. 32 Th. 1954
sebagai lex generalist-nya. Oleh karena itu, penyebutan Penghulu sebagai PPN
pada Pasal 1 ayat 1 PB MA dan BKN No. 20 Th. 2005 dan No. 14 A Th. 2005 jo.
Pasal 1 ayat (3) PMA No. 30 Th. 2005 harus diabaikan (disregard) agar tidak
kontradiktif dengan Pasal 2 ayat (2) PMA No. 11 Th. 2007 yang menyebut hanya
Kepala KUA saja sebagai PPN. Dengan kata lain, Penghulu bukan PPN namun
wakil PPN.
2. Pasal 3 ayat (1) PMA No. 11 Th. 2007 akan aneh jika dijadikan dasar
dibolehkannya Penghulu menandatangani Akta Nikah/Buku Nikah dan Akta
Rujuk/Kutipan Akta Rujuk sebab tidak sesuai dengan praktek pencatatan nikah
yang selama ini berjalan karena secara jelas disebutkan: “PPN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya dapat diwakili
oleh Penghulu atau Pembantu PPN”.49 Terlihat jelas kewenangan mewakili PPN
yang dimaksud oleh Pasal ini tidak hanya Penghulu, tetapi juga Pembantu PPN.
Ayat ini jelas memberikan persamaan antara kewenangan Penghulu dan
Pembantu PPN dalam hal mewakili tugas PPN di lapangan. Padahal dalam
praktek pencatatan nikah yang selama ini berjalan yang tidak lagi dipungkiri oleh
siapa pun bahwa Pembantu PPN tidak memiliki kewenangan sama sekali
menandatangani Akta Nikah/Buku Nikah dan Akta Rujuk/Kutipan Akta Rujuk.
49
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Nikah, Pasal 3 ayat (1).
31
3. Pasal 2 ayat (3) PMA No. 11 Th. 2007 menjelaskan: “Kepala KUA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menandatangani Akta Nikah, Akta Rujuk, Buku Nikah
(Kutipan Akta Nikah) dan/atau Kutipan Akta Rujuk”.50 Pasal ini dengan jelas
menegaskan bahwa Akta Nikah, Akta Rujuk, Buku Nikah (Kutipan Akta Nikah)
dan/atau Kutipan Akta Rujuk ditandatangani oleh Kepala KUA Kecamatan bukan
semata-mata ia sebagai PPN saja, namun juga atas nama jabatannya selaku
Kepala KUA Kecamatan sebagai kewenangan intra vires. Penghulu bukanlah
Kepala KUA Kecamatan. Jabatan Penghulu adalah jabatan fungsional, sedangkan
jabatan Kepala KUA Kecamatan adalah jabatan struktural. Sekali pun Pasal 1
ayat 1 PB MA dan BKN No. 20 Th. 2005 dan No. 14 A Th. 2005 jo. Pasal 1 ayat
(3) PMA No. 30 Th. 2005 menyebut Penghulu adalah PPN, dan seandainya pula
penyebutan ini dapat diterima (ontvankelijk) dengan berbagai kewenangan intra
vires-nya, maka tetap saja Penghulu tidak boleh menandatangani Akta
Nikah/Buku Nikah dan Akta Rujuk/Kutipan Akta Rujuk karena ia bukan Kepala
KUA Kecamatan. Apabila ia tetap menandatanganinya maka ia telah melampaui
kewenangannya (ultra vires) kecuali jika ia diangkat pula sebagai Kepala KUA
Kecamatan sebagai tugas tambahan.
Hal ini menegaskan bahwa Penghulu bukanlah PPN, sehingga penyebutan
Penghulu sebagai PPN pada PB MA dan Kepala BKN No. 20. Th. 2005 dan Nomor
50
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Nikah, Pasal 2 ayat (3).
32
14 Tahun 2005 harus dihilangkan karena akan memunculkan ambiguitas dan tabrakan
kewenangan antara Penghulu dengan Kepala KUA Kecamatan.
Dalam prakteknya, keberadaan P3N dalam membantu tugas Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) sangat penting, mengingat keberadaan P3N di di tingkat desa atau
kelurahan yang lebih dekat dengan lingkungan masyarakat yang akan melaksanakan
perkawinan, karena itu seharusnya P3N lebih mengetahui mengenai status maupun
kondisi para calon mempelai.51 Apabila terjadi upaya pemalsuan identitas calon
mempelai tentang perkawinan sebelumnya, P3N sebagai lini terdepan harus bisa
menghalau setiap kemungkinan terjadinya upaya pemalsuan identitas tersebut.
Apabila dalam pelaksanaan tugasnya terjadi pemalsuan identitas, P3N seharusnya
turut bertanggung jawab mengenai hal itu. Hanya saja, dalam praktek pelaksanaan
tugas dan wewenang P3N sangat dipengaruhi oleh pandangan/mahzab yang diyakini
oleh P3N, hal tersebut sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara P3N mengatasi
permasalahan yang sering timbul dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. 52
Karena itu tata cara maupun prosedur yang harus dipenuhi oleh masyarakat
yang akan melaksanakan perkawinan seharusnya lebih dipahami, sehingga
perkawinan yang dilaksanakan tersebut tidak akan menimbulkan persoalan atau
masalah di kemudian hari, selain itu agar kepentingan para pihak dalam perkawinan
lebih terlindungi secara hukum.
51
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Medan Selayang, tanggal 13 Desember 2014
52
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014.
33
B. Prosedur Pencatatan Perkawinan
Prosedur atau cara pelaksanaan pencatatan nikah meliputi persiapan
pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah,
akad nikah dan penandatanganan akta nikah serta pembuatan kutipan akta nikah. Hal
tersebut harus dipenuhi dan dilaksanakan secara cermat dan jujur agar pelaksanaan
perkawinan tersebut tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.53
1. Persiapan Pendahuluan
PPN, Pembantu PPN ataupun BP4 dalam memberikan penasehatan dan
bimbingan hendaknya mendorong kepada masyarakat dalam merencanakan
perkawinan agar melakukan persiapan pendahuluan sebagai berikut:
a. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian tentang apakah
mereka
saling
cinta/tahu
dan
apakah
kedua
orang
tua
mereka
menyetujui/merestuinya. Ini erat hubungannya dengan surat-surat persetujuan
calon mempelai dan surat izin orang tua, agar surat-surat tersebut tidak hanya
formalitas saja.
b. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan, baik menurut
hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan.
c. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang rumah tangga hak
dan kewajiban suami isteri dan sebagainya.
53
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014.
34
d. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan, calon
mempelai supaya memeriksa kesehatannya dan kepada calon mempelai wanita
diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.
2. Pemberitahuan Kehendak Nikah
Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang yang
hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN (Pegawai Pencatat
Nikah) yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah sekurangkurangnya 10 hari kerja sebelum akad nikah, jika dilakukan sebelum tenggang waktu
tersebut maka harus dilampiri surat dispensasi dari camat;
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dijabat oleh Kepala KUA, yang melakukan
pemeriksaan persyaratan, pengawasan, dan pencatatan peristiwa nikah dan rujuk serta
melakukan bimbingan pernikahan. Akad nikah dilakukan di Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan setiap hari kerja dari Senin sampai dengan Jum’at jam 07.30
sampai dengan jam 15.30.
Akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA Kecamatan atas permintaan
calon pengantin atau wali setelah mendapat persetujuan dari PPN/ Kepala KUA
Kecamatan setempat.
Biaya pencatatan nikah sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah)
berdasarkan ketentuan Pasal 2 atau 3 PMA No. 71/2009 tentang Pengelolaan Biaya
Pencatatan Nikah dan Rujuk dan Pasal 3 dan 4 Perdirjen Perbendaharaan Nomor :
PER-32/PB/2009 tentang Mekanisme Penyetoran Dan Pencairan Penerimaan Negara
Bukan Pajak Atas Biaya Pencatatan Nikah Dan Rujuk. Selain itu, membebaskan
35
biaya pencatatan nikah /rujuk bagi pasangan calon pengantin yang tidak mampu
dengan menunjukkan surat keterangan miskin yang ditandatangani oleh Kepala Desa/
Lurah serta diketahui oleh Camat setempat;
Bagi calon mempelai yang berasal dari luar wilayah KUA Kecamatan tempat
akad dilangsungkan, maka harus dilampiri dengan surat rekomendasi/pemberitahuan
kehendak nikah KUA Kecamatan tempat tinggalnya. Setelah akad nikah
dilangsungkan, buku kutipan akta nikah (model NA) langsung diberikan kepada yang
bersangkutan.
Pemberitahuan kehendak nikah dilakukan secara tertulis dengan mengisi
formulir pemberitahuan kehendak nikah (model N7) dan dilengkapi persyaratan
sebagai berikut :
a. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon
pengantin masing-masing 1 (satu) lembar;
b. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/meterai
bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui Ketua RT, RW dan
Lurah setempat;
c. Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2, N4,
baik calon Suami maupun calon Istri;
d. Pas photo calon pengantin ukuran 2×3 masing-masing 4 (empat) lembar, bagi
anggota ABRI berpakaian dinas;
36
e. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai dari
Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan surat dari
Lurah setempat (Model N6);
f. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi : calon pengantin laki-laki
yang umurnya kurang dari 19 tahun, calon pengantin perempuan yang umurnya
kurang dari 16 tahun, Laki-laki yang mau berpoligami dan Ijin Orang Tua (Model
N5) bagi calon pengantin yang umurnya kurang dari 21 tahun baik calon
pengantin laki-laki/perempuan menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2) sampai dengan (5) dan Pasal 7 ayat (2);54
g. Bagi calon pengantin yang tempat tinggalnya bukan di wilayah Kecamatan
Setempat harus ada surat Rekomendasi Nikah dari KUA Kecamatan asal;
h. Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari
Pejabat Atasan/Komandan;
i. Bagi calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah
Kecamatan harus ada Surat Rekomendasi Nikah dari KUA Kecamatan setempat;
j. Kedua calon pengantin mendaftarkan diri ke KUA sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan Pernikahan. Apabila kurang dari
10 (sepuluh) hari kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari
Kecamatan;
54
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 6 (2)
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) Tahun
harus mendapat izin dari kedua orang tua.)
37
k. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin a s/d j harus
melampirkan foto copy Akte kelahiran dan status kewarganegaraannya (K1);
l. Izin untuk menikah dari kedutaan / kantor perwakilan negara bagi warga negara
asing dan harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah
resmi;
m. Surat Keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi mereka yang tidak
mampu.
Dalam proses pelaksanaan perkawinan syarat-syarat kelengkapan berkas
secara formal berbentuk formulir nikah, yang terdiri dari:55
a. Formulir Pokok, formulir yang secara langsung menjadi tanggung jawab PPN,
yaitu:
1) Akta nikah (model N)
2) Kutipan akta nikah (model NA)
3) Daftar pemeriksaan nikah (model NB)
4) Pengumuman kehendak nikah (model NC)
b. Formulir pelengkap Formulir yang merupakan kelengkapan dari pelaksanaan
pernikahan dan disisipkan sebelum pelaksanaan pernikahan. Sebagian besar
formulir tersebut pengisiannya dilakukan oleh Kepala Desa. Antara lain:
1) Surat Keterangan untuk nikah (model N1)
2) Surat keterangan asal-usul (model N2)
55
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014
38
3) Surat persetujuan mempelai (model N3)
4) Surat keterangan tentang orang tua (model N4)
5) Surat izin orang tua (model N5)
6) Surat keterangan kematian suami/istri (model N6)
7) Pemberitahuan kehendak nikah (model N7)
8) Pemberitahuan adanya halangan/kekurangan syarat (model N8)
9) Penolakan pernikahan (model N10)
c. Formulir Mutasi Formulir yang dipergunakan untuk memberitahukan perubahan
status seseorang kepada PPN/Pengadilan Agama yang sebelumnya telah mencatat
perceraiannya, yaitu:
1) Pemberitahuan nikah (model ND).
2) Pemberitahuan poligami (model NE).
3. Pemeriksaan Nikah
Pemeriksaan terhadap calon suami, calon isteri dan wali nikah sebaiknya
dilakukan secara bersama-sama, tetapi tidak ada halangannya jika pemeriksaan itu
dilakukan sendiri-sendiri. Bahkan dalam keadaan yang meragukan, perlu dilakukan
pemeriksaan sendiri-sendiri. Pemeriksaan dianggap selesai apabila ketiga-tiganya
selesai diperiksa secara benar.56
56
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014.
39
Apabila pemeriksaan calon suami isteri and wali itu terpaksa dilakukan pada
hari-hari yang berlainan. Maka kecuali pemeriksaan pada hari pertama, di bawah
kolom tanda tangan yang diperiksa ditulis tanggal dan hari pemeriksaan.
a. Nikah diawasi oleh PPN
1). Pemeriksaan ditulis dalam daftar pemeriksaan nikah (Model NB)
2). Masing-masing calon suami, calon isteri dan wali nikah mengisi ruang I, II
dan IV dalam daftar pemeriksaan nikah dan ruang lainnya diisi oleh PPN.
3). Dibaca dan dimana perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti
oleh yang bersangkutan.
4). Setelah dibaca, kemudian ditandatangani oleh yang diperiksa dan PPN yang
memeriksa, kalau tidak bisa membubuhkan tanda tangan dapat diganti dengan
cap ibu jari tangan kiri.
5). Untuk tertibnya administrasi dan memudahkan ingatan, PPN membuat buku
yang diberi nama “Catatan Pemeriksaan Nikah”.
6). Pada ujung model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang sama dengan
nomor urut buku di atas dan kode-kode desa serta Tahun, contoh: 16/7/2005
angka 16 adalah angka urut pemeriksaan dalam Tahun ini, angka 7 adalah
kode desa tempat dilangsungkannya pernikahan dan 2005 adalah Tahun
pelaksanaan pemeriksaan.
7). PPN mengumumkan kehendak nikah.
b. Nikah diawasi oleh Pembantu PPN (di luar Jawa dan Madura)
40
1). Pemeriksaan ditulis dalam daftar pemeriksaan nikah (model NB) rangkap
dua.
2). Masing-masing calon suami, calon isteri dan wali nikah mengisi ruang I, II
dan IV dalam Daftar Pemeriksaan Nikah dan ruang lainnya diisi oleh
Pembantu PPN.
3). Dibaca dan dimana perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti
oleh yang bersangkutan.
4). Setelah dibaca kemudian kedua lembar model NB di atas ditandatangani
oleh yang diperiksa dan Pembantu PPN yang memeriksa. Kalau tidak bisa
membubuhkan tanda tangan diganti dengan cap ibu jari tangan kiri.
5). Untuk tertibnya administrasi dan memudahkan ingatan, Pembantu PPN
mencatat dalam buku untuk itu.
6). Pada ujung model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang sama dengan
nomor urut buku di atas.
7). Pembantu PPN mengumumkan kehendak nikah.
8). Surat-surat yang diperlukan dikumpulkan menjadi satu dengan model NB
dan disimpan dalam sebuah Map.
9). Setelah lewat masa pengumuman dan akad nikah telah dilangsungkan, maka
nikah itu dicatat dalam halaman 4 model NB. Kemudian dibaca di hadapan
suami, isteri, wali nikah dan saksi-saksi, selanjutnya ditandatangani. Tanda
tangan itu dibubuhkan pada kedua lembar model NB di atas.
41
10). Selambat-lambatnya 15 hari setelah hari akad nikah satu lembar model NB
yang dilampiri surat-surat yang diperlukan dikirimkan kepada PPN yang
bersangkutan beserta biayanya.
11). PPN yang menerima model NB dari pembantu PPN memeriksa dengan
teliti, kemudian mencatat dalam Akta Nikah dan menandatangani.
Kemudian PPN membuat Kutipan Akta Nikah selanjutnya diberikan kepada
Pembantu PPN untuk disampaikan kepada suami dan isteri.
4. Pengumuman Kehendak Nikah
PPN/Pembantu
PPN
mengumumkan
kehendak
nikah
pada
papan
pengumuman (dengan model NC) setelah persyaratan dipenuhi. Pengumuman
dilakukan:
a. Oleh PPN di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan dan di
KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing.
b. Oleh pembantu PPN di luar Jawa di tempat-tempat yang mudah diketahui umum.
PPN/Pembantu PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau
sepuluh hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat
(3) PP No.9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting. Misalnya
salah seorang akan segera bertugas ke luar negeri. Maka dimungkinkan yang
bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas nama
42
Bupati memberikan dispensasi.57 Dalam kesempatan waktu sepuluh hari ini calon
suami isteri seyogyanya mendapat nasihat perkawinan dari Badan Penasihat
Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4) setempat.58
5. Akad Nikah
a. Akad nikah dilangsungkan di bawah pengawasan/dihadapan PPN. Setelah akad
nikah dilangsungkan, nikah itu dicatat dalam Akta Nikah rangkap dua (model N).
b. Kalau nikah dilangsungkan di luar Balai Nikah, nikah itu dicatat pada halaman 4
model NB dan ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah dan saksi-saksi serta
PPN yang mengawasinya. Kemudian segera dicatat dalam Akta Nikah (Model N),
dan ditandatangani hanya oleh PPN atau wakil PPN.
c. Akta Nikah dibaca, kalau perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti
oleh yang bersangkutan dan saksi-saksi kemudian ditandatangani oleh suami,
isteri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN atau wakil PPN.
d. PPN membuat Kutipan Akta Nikah (Model NA) rangkap dua, dengan kode dan
nomor yang sama. Nomor tersebut (…./…./…./…../) menunjukkan nomor urut
dalam tahun, nomor urut dalam bulan, angka romawi bulan dan angka tahun.
e. Kutipan Akta Nikah diberikan kepada suami dan isteri.
f. Nomor di tengah pada model NB (Daftar Pemeriksaan Nikah) diberi nomor yang
sama dengan nomor Akta Nikah.
57
Anjar Any dan Moch. Nursyahid P., Upacara Adat Perkawinan Lengkap, (Surakarta:
Pabelan, 1986), hlm.26.
58
H.S.M. Nasaruddin Latif, Biografi dan Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
hlm.59.
43
g. Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah harus ditandatangani oleh PPN. Dalam hal
wakil PPN yang melakukan pemeriksaan dan menghadiri akad nikah di luar Balai
Nikah, Wakil PPN hanya menandatangani daftar pemeriksaan nikah dan pada
kolom 5 dan 6 menandatangani Akta Nikah pada kolom 6.
h. PPN berkewajiban mengirimkan Akta Nikah kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahinya, apabila folio terakhir pada buku Akta Nikah telah selesai
dikerjakan.
i. Jika mempelai seorang janda atau duda karena cerai talak atau cerai gugat, PPN
memberitahukan kepada Pengadilan Agama yang memberikan Akta Cerainya,
bahwa duda/janda tersebut telah menikah dengan menggunakan formulir ND
rangkap 2. setelah pemberitahuan nikah tersebut diterima, Pengadilan Agama
mengirimkan kembali lembar II kepada PPN setelah membubuhkan stempel dan
tanda tangan penerima. Selanjutnya PPN menyimpan bersama berkas Daftar
Pemeriksaan Nikah (Model NB).
Dalam hal perceraian itu terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama:
a. PPN membuat catatan pinggir (catatan lain-lain) pada Buku Pendaftaran Talak
atau Cerai terdahulu bahwa orang tersebut telah menikah dengan menyebutkan
tempat, tanggal dan nomor Kutipan Akta Nikah serta ditandatangani dan dibubuhi
tanggal oleh PPN.
44
b. Dalam hal perceraiannya di daftar di tempat lain, PPN memberitahukan kepada
PPN yang mendaftar perceraian tersebut bahwa duda/janda tersebut telah menikah
dengan menggunakan formulir ND rangkap 2.
PPN penerima pemberitahuan mencatat hal tersebut dalam catatan lain-lain
pada buku pendaftaran Talak atau Cerai sebagaimana pada poin a. Kemudian
mengembalikan lembar II model ND setelah dibubuhi stempel dan tanda tangan
penerima. Selanjutnya PPN pengirim memberitahukan setelah menerima kembali,
menyimpan model ND lembar II tersebut bersama berkas Daftar Pemeriksaan Nikah
(model NB).59
Di samping pembahasan-pembahasan prosedur pencatatan perkawinan di atas,
ada juga pembahasan yang berkenaan dengan permasalahan pencatatan perkawinan,
di antaranya adalah:
a. Persetujuan Mempelai, Izin dan Dispensasi
Dalam UUP No. 1 Tahun 1974 terkandung beberapa prinsip untuk menjamin citacita luhur perkawinan, yaitu asa sukarela, partisipasi keluarga, poligami dibatasi
secara ketat, dan kematangan fisik dan mental calon mempelai.
Sebagai realisasi dari asas sukarela maka perkawinan harus berdasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai. Oleh karena itu setiap perkawinan harus
mendapat persetujuan kedua calon mempelai, tanpa adanya paksaan dari pihak
59
Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah,
(Bandung: Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Departemen Agama Islam Propinsi Jawa Barat,
1992), hlm.4-11.
45
manapun. Dengan demikian dapat dihindari terjadinya kawin paksa. Untuk itu
diisi Surat Persetujuan Mempelai (model N3).
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, karena ia
akan memasuki dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari
keluarga bangsa Indonesia yang religius dan kekeluagaan, maka diperlukan
partisipasi keluarga untuk merestui perkawinan itu. Oleh karena itu, bagi yang
berada di bawah umur 21 Tahun baik pria maupun wanita diperlukan izin dari
orang tua. Untuk itu perlu diisi Surat Izin Orang Tua dengan formulir model N5.
Dalam keadaan orang tua tidak ada, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas. Akhirnya izin
dapat diperoleh dari Pengadilan, apabila karena suatu dan lain sebab izin tidak
dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga tersebut di atas.60
Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami,
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agamanya
mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian hal
itu, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi persyaratan tertentu dan memperoleh
izin dari Pengadilan Agama.
Prinsip kematangan calon mempelai dimaksudkan bahwa calon suami isteri harus
telah matang jasmani dan rohani untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya
dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik
60
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014.
46
dan sehat. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah
kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk
kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Oleh karena itu ditentukan
batas umur untuk kawin yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Bahkan dianjurkan perkawinan itu dilakukan pada usia sekitar 25 tahun bagi pria
dan 20 tahun bagi wanita. Namun demikian dalam keadaan yang sangat memaksa
(darurat), perkawinan di bawah batas umur minimum sebagaimana yang
ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut dimungkinkan, setelah
memperoleh dispensasi dari Pengadilan atas permintaan orang tua.
b. Penolakan Kehendak Nikah61
Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah, ternyata tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan baik persyaratan menurut hukum munakahat
maupun persyaratan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
PPN atau Pembantu PPN harus menolak pelaksanaan pernikahan, dengan cara
memberikan surat penolakan kepada yang bersangkutan serta alasan-alasan
penolakannya (model N9).
Atas penolakan tersebut yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan melalui
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya. Pengadilan Agama
memeriksa perkara penolakan dengan acara singkat (sumir), menguatkan
penolakan, atau memerintahkan pernikahan dilangsungkan. Jika Pengadilan
61
Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan
Ulasan Secara Sosiologi Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hlm.164-165.
47
Agama memerintahkan pernikahan dilangsungkan, maka PPN atau Pembantu
PPN harus melaksanakan perintah tersebut.
c. Pencegahan Pernikahan62
Pernikahan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk
melangsungkan pernikahan, yang mengajukan pencegahan pernikahan adalah :
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
2) Saudara dari salah seorang calon mempelai;
3) Wali Nikah;
4) Pengampu (curatele) dari salah seorang calon mempelai
5) Pihak yang berkepentingan.
Pencegahan pernikahan diajukan ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum
tempat pernikahan akan dilangsungkan oleh mereka yang dapat mencegah
pernikahan ini. Mereka yang melakukan pencegahan pernikahan harus
memberitahukan pula kepada PPN atau Pembantu PPN yang bersangkutan
tentang usaha pencegahannya PPN atau Pembantu PPN harus memberitahukan
kepada masing-masing calon mempelai.
Setelah mengetahui adanya usaha pencegahan pernikahan, PPN atau Pembantu
PPN tidak boleh melangsungkan pernikahan, kecuali pencegahan itu telah dicabut
dengan putusan Pengadilan Agama atau pencegahan ditarik kembali oleh yang
mencegah.
62
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm.95-96.
48
d. Pembatalan Pernikahan63
Pernikahan dapat dibatalkan, apabila setelah berlangsung akad nikah diketahui
adanya larangan menurut hukum peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan. Pembatalan pernikahan dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam
daerah hukum tempat pernikahan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami
isteri. Yang dapat mengajukan pembatalan pernikahan yaitu:
1) Dari keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
2) Suami atau isteri;
3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4) Pejabat yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 16 ayat (2).
e. Biaya Pencatatan Nikah
Besarnya biaya pencatatan perkawinan menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 51 Tahun 2000 tentang Tarif atas jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Agama adalah
Rp.30.000,00.-.
C. Gugatan Pembatalan Perkawinan
1. Sebab-Sebab Pembatalan Perkawinan
Kata pembatalan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
dasar “batal”, yang berarti tidak sah lagi, tidak berlaku, sia-sia.64 Adapun kata batal
63
Ibid., hlm.97-99.
49
berasal dari bahasa Arab bāṭil yang berarti batal, binasa, tidak sah.65 Istilah batal
juga dikenal dengan istilah fasad ataupun fasakh. Kata fasad berasal dari bahasa Arab
fasid yang berarti rusak, binasa, busuk.66 Sedangkan fasakh berasal dari bahasa Arab
yang berarti batal, rusak, binasa.67 Ketiga kata tersebut semakna dan berakibat sama
terhadap suatu perbuatan yang telah dilangsungkan.
Istilah batal, fasad, maupun istilah fasakh sama-sama berarti suatu
pelaksanaan ibadah atau nikah misalnya yang dilaksanakan dengan tidak mencukupi
syarat atau rukunnya. Ibadah yang tidak sah karena tidak lengkap syarat atau
rukunnya atau karena ada penghalang (mani’) bisa disebut akad fasad dan boleh pula
disebut akad batal.68 Batal, fasad, dan fasakh adalah lawan dari istilah sah, artinya
bila mana suatu akad tidak dinilai sah berarti batal, fasad, atau fasakh.69 Kitab al-Fiqh
‘ala al-Mazahib al-Arba’ah menyatakan bahwa “Nikah fasid adalah nikah yang tidak
memenuhi salah satu dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah bathil ialah apabila tidak
memenuhi rukunnya, hukum nikah fasid dan bathil adalah sama yaitu tidak sah”.70
Menurut Slamet Abidin dan Aminuddin dalam bukunya Fiqih Munakahat 2
menyatakan bahwa fasakh artinya putus atau batal. Yang dimaksud memfasakh akad
64
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. 3, (Jakarta: Balai Pustaka,
2006), hlm.105.
65
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. 25, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 2002), hlm.92.
66
Ibid., hlm.1054.
67
Ibid., hlm.1055.
68
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
hlm.21.
69
Ibid., hlm.20-21.
70
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995), hlm.145-146.
50
nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan
istri.71
Definisi Fasakh menurut pendapat Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah
3 menyebutkan bahwa Fasakh adalah membatalkan akad nikah dan melepaskan
hubungan yang terjalin antara suami-isteri. Fasakh terjadi apabila ada celah pada
akad nikah atau ada sebab baru yang mencegah berlangsungnya hubungan suamiisteri.72
Pendapat Imam Muhammad Abu Zahroh dalam Kitabnya Al-Ahwal AlSyakhsiyyah menyebutkan: ”Fasakh hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau
terjadi belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya pernikahan,
atau merupakan konsekuensi dan diketahuinya sesuatu yang mengiringi aqad, yang
menjadikan aqad tersebut tidak sah”. Sedangkan pengertian fasakh nikah menurut
pendapat Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah 8 menyatakan bahwa
memfasakh akad nikah berarti membatalkan dan melepaskan ikatan tali perkawinan
antara suami istri.73
Menurut Zahry Hamid, suatu perkawinan dikatakan sah jika dalam akad
perkawinan tersebut telah dipenuhi segala rukun dan syaratnya, sedangkan jika suatu
perkawinan kurang salah satu atau beberapa rukun atau syarat-syaratnya disebut
perkawinan yang tidak sah. Tidak sahnya suatu perkawinan dapat terjadi sebab tidak
71
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, Cet. 1, (Bandung: CV Pustaka Setia,
1999), hlm.73.
72
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 3, Cet. 1, (Jakarta: PT Pena Pundi Aksara, 2009), hlm.99-100.
73
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, Cet. 2, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1983), hlm.124.
51
dipenuhinya salah satu di antara rukun-rukunnya, disebut akad perkawinan yang
batal, dan dapat pula terjadi sebab tidak dipenuhinya salah satu di antara syaratsyaratnya, disebut akad perkawinan yang fasid.74 Andi Tahir Hamid berpendapat
suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan terlanjur dilangsungkan dapat
dimohonkan pembatalannya (fasid).75
Masalah pembatalan perkawinan diatur dalam fiqih Islam yang dikenal
dengan sebutan nikah al-batil. Di dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) dinyatakan dengan tegas:
“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan pernikahan”.
Dalam penjelasannya kata “dapat” dalam Pasal ini bisa diartikan bisa batal
atau tidak bisa batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing
tidak menentukan lain. Istilah batalnya perkawinan dapat menimbulkan salah paham,
karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal
berarti nietig zonde kracht (tidak ada kekuatan), zonder waarde (tidak ada nilai).
Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedangkan absolute nietig adalah
pembatalan mutlak. Istilah dapat dibatalkan dalam undang-undang ini berarti dapat
di-fasid-kan jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti
74
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia, Cet. 1, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), hlm.48.
75
Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Cet. 1,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.22.
52
sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran
terhadap aturan-aturan tertentu.76
Permohonan pembatalan perkawinan dibuat dalam bentuk permohonan yang
bersifat kontensius (sengketa). Sehingga dapat lebih jelas dalam melangsungkan
pembatalan perkawinan, yaitu sama halnya dengan cara gugatan perceraian yang
diatur secara terperinci dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam pembatalan
perkawinan. Menarik pengertian-pengertian tersebut, menyimpulkan pembatalan
terhadap perkawinan yang dapat dibatalkan adalah usaha membatalkan nikah yang
telah dilaksanakan secara sah antara suami istri disebabkan suatu alasan yang
dibenarkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan.77
Ayat-ayat Al-Qur'an banyak yang membicarakan mengenai perkawinan.
Termasuk ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas perkawinan yang dilarang disebabkan
karena melanggar ketentuan-ketentuan hukum agama dalam perkawinan, misalnya
larangan kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur'an surat An-Nisa: 23:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan. Anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusukan kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
76
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. 3,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.106-107.
77
Elisa Adhiyana, Op.Cit., hlm.35.
53
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu), isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.78
Ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dasar pembatalan perkawinan tersebut bisa
diambil kesimpulan bahwa perkawinan yang dibatalkan/di-fasakh karena melanggar
aturan-aturan syar’i. Hadits Rasulullah SAW yang membicarakan di-fasakh-nya
perkawinan disebabkan karena adanya cacat atau adanya salah sangka disebutkan
dalam sahih al-Bukhari, “Diriwayatkan dari Khansa binti Khidzam Al-Anshariyah
r.a., bahwa ayahnya menikahkannya dalam keadaan janda. Ia tidak menyukai
pernikahan itu. Maka ia mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW menyatakan
pernikahannya tidak sah”. (HR. Bukhari).79
Undang-Undang Perkawinan yang mengatur batalnya perkawinan dan cara
penyelesaiannya terdapat pada Bab IV Pasal 22-28. Dalam Kompilasi Hukum Islam
diatur dalam Bab XI Pasal 70-76. Pasal 70 KHI yang menerangkan batalnya
perkawinan terhadap wanita-wanita yang haram dikawini tidak ada perbedaan dengan
konseptual yang terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi dalam hal batalnya perkawinan
terdapat dua pengertian yaitu perkawinan batal demi hukum dan perkawinan yang
dapat dibatalkan.80
78
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989),
79
Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, (Bandung: Mizan, 1997), hlm.791.
Elisa Adhiyana, Op.Cit., hlm.39.
hlm.120.
80
54
Pembatalan perkawinan karena adanya pemalsuan identitas dalam perkawinan
poligami termasuk memenuhi unsur pelanggaran terhadap Undang-Undang
Perkawinan Pasal 9 yaitu “Seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-Undang ini”.
Pasal 27 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), “Seorang suami atau isteri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila dalam waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri”.
Pasal 71 huruf a KHI yang berbunyi “Seorang suami melakukan poligami tanpa izin
Pengadilan Agama”.
Pasal 72 ayat (2) KHI, “Seorang suami atau istri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan
terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri”. Penipuan menurut
penjelasannya ialah bila suami mengaku jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata
diketahui sudah beristri sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan.
Sama halnya dengan pencegahan, pembatalan perkawinan pun diarahkan
kepada kepastian hukum dan ketertiban umum dengan jalan campur tangan penguasa,
yakni Pengadilan Agama. Dengan demikian, batalnya suatu perkawinan baru sah dan
55
mengikat harus berdasar putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap.81
Faktor yang menjadi dasar terjadinya batal, fasad, atau fasakh-nya perkawinan
adalah syarat dan rukun. “Rukun” yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam
perkawinan. Sedangkan “Syarat” yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti dalam Islam, calon pengantin laki-laki atau
perempuan itu harus beragama Islam.82
Rukun dan Syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak
ada atau tidak lengkap.83
Dalam Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
81
Cik Hasan Bisri, et.al., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.60.
82
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet.2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), hlm.45-46.
83
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Cet. 2, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm.59.
56
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedang dalam penjelasan
disebutkan pengertian “dapat” dalam Pasal ini adalah bisa batal bilamana menurut
ketentuan hukum agamanya tidak menentukan lain. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh seseorang bisa batal demi
hukum dan bisa dibatalkan apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan
Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan.84
Tanpa adanya salah satu rukunnya maka perkawinan itu tidak mungkin dapat
dilaksanakan, hal ini berarti jika suatu perkawinan dilakukan tanpa unsur pokoknya
yaitu sarat dan rukun perkawinan maka akan batal menurut hukum, karena rukun
merupakan pokok, sedangkan syarat merupakan pelengkap dalam suatu perbuatan
hukum. Para ahli ushul fikih telah merumuskan kaidah: “Apa yang disyaratkan
dengan beberapa syarat, salah satu syarat tidak ada, maka tidak ada pula sesuatu
itu”.85 “Sesuatu yang menjadikan kewajiban sempurna karenanya adalah wajib
adanya”.86
Rukun dan syarat perkawinan telah ditentukan menurut hukum syara’.
Seorang mukallaf tidak boleh menggantungkan akad atau pengelolaan apa saja
84
Abdul Manan, Op.Cit., hlm.45.
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999), hlm.200.
86
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
(Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986), hlm.344.
85
57
kepada syarat apa saja yang dia kehendaki.87 Adapun rukun dan syarat perkawinan
menurut para Ulama Mazhab diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang
mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang
melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan
dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya
akad.88
2. Syarat bagi kedua pihak yang melakukan nikah adalah berakal dan baligh
merupakan syarat dalam perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai,
terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena
hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik yang bersifat permanen
maupun sementara. Selanjutnya mereka juga sepakat bahwa orang yang
melakukan akad itu harus pasti dan tentu orangnya.89
3. Para Ulama sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi
Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang lakilaki dengan dua orang perempuan, tanpa disyaratkan harus adil. Namun mereka
berpendapat bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak
sah.90
87
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), hlm.182.
88
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), hlm.309.
89
Ibid., hlm.315.
90
Ibid., hlm.313.
58
Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam dapat terjadi karena dua hal,
yaitu:
1. Terdapat hal-hal yang membatalkan akad nikah yang dilaksanakan:
a. Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istri merupakan saudara sesusuan
pihak suami.
b. Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau
datuknya.
Kemudian
setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan
perkawinannya dahulu atau mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar
balig. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut
fasakh balig.91
Selain itu hal yang membatalkan perkawinan dalam Al-Qur’an juga diatur dalam
Surat An-Nisa ayat 22, 23, dan 24, yaitu larangan menikah dengan yang masih
mahram, misalnya suami istri yang telah melangsungkan perkawinan tiba-tiba
diketahui bahwa antara mereka terdapat hubungan saudara sesusuan. Sejak
diketahui hal itu maka perkawinan menjadi batal. Perkawinan tersebut dibatalkan
karena tidak memenuhi sarat sahnya akad, yaitu adanya hubungan mahram antara
laki-laki dan perempuan. Misalnya lagi, perkawinan antara laki-laki dan
perempuan ternyata akhirnya diketahui bahwa perempuan tersebut masih
mempunyai hubungan perkawinan dengan laki-laki lain atau dalam masa iddah
91
Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.Cit., hlm.73.
59
talak laki-laki lain. Sejak diketahuinya hal itu, perkawinan mereka dibatalkan
sebab tidak memenuhi syarat sahnya akad nikah.
2. Terdapat hal baru yang dialami sesudah akad nikah terjadi dan hubungan
perkawinan berlangsung.
a. Bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari Islam dan tidak
mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan
yang terjadi belakangan.
b. Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam
kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain
halnya kalau istri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula.
Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.92
Selain hal itu, yaitu dalam hal perkawinan dilakukan dengan penipuan, yakni
suami yang semula beragama non Islam kemudian masuk Islam hanya untuk
menikahi wanita Islam (secara formalitas). Setelah pernikahan terjadi suami kembali
pada agamanya semula, maka perkawinan yang demikian dapat dilakukan
pembatalan. Dalam Surat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 221, Al-Mumtahanah
ayat 10 mengenai larangan orang Islam menikahi orang non Islam, misalnya suamiistri pada waktu berlangsungnya akad nikah beragama Islam tetapi setelah berumah
tangga tiba-tiba suami murtad, keluar dari agama Islam.
92
Ibid.
60
Apabila telah diusahakan agar suami kembali lagi beragama Islam tetapi
masih menolak, maka hubungan perkawinan diputuskan sebab terdapat penghalang
perkawinan. Begitu pula apabila dalam suatu perkawinan terjadi penipuan mengenai
status salah satu pihak, baik suami maupun istri dan penipuan tersebut baru diketahui
setelah akad perkawinan telah dilangsungkan, maka perkawinan tersebut dapat
dimintakan pembatalannya oleh para pihak yang mempunyai hak untuk mengajukan
pembatalan perkawinan tersebut.93
Hukum Islam yang diambil dari sumber hukum yang utama, yaitu Al-Qur'an
mengenai adanya larangan perkawinan yang dalam fikih disebut mahram (orang yang
dinikahi). Ulama fikih telah membagi mahram ini kepada dua macam. Pertama
disebut dengan mahram mu’aqqat (larangan untuk waktu tertentu) dan kedua
mahram mu’abbad (larangan untuk selamanya). Wanita yang haram dinikahi untuk
waktu yang selamanya terbagi atas tiga kelompok yaitu, wanita-wanita seketurunan
(al muharramat min an-nasab), wanita-wanita sepersusuan (al-muharramat min arrada’ah), dan wanita-wanita yang haram dikawini karena hubungan persemandaan
(al-muharramat min al-musaharah).94
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur larangan perkawinan menjelaskan
lebih rinci dan tegas. Masalah larangan kawin ini dimuat pada Bab VI Pasal 39
sampai 44. Pasal 39 KHI menyatakan:
93
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014.
94
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit., hlm.145-146.
61
“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah dan ibu.
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2. Karena pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla
aldukhul.
d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
3. Karena pertalian sesusuan:
a. Dengan seorang wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas.
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke
bawah.
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke
bawah.
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke
bawah.
e. Dengan anak yang disusui istrinya dan keturunannya”.
Pasal 40 KHI, mengatur:
“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan
pria lain.
b. Seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam”.95
Pasal 41 KHI :
1. Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai
hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya;
a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
95
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1976), hlm.77-78.
62
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2. Larangan pada ayat 1 ini tetap berlaku meskipun istrinya telah ditalak raj’i
tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42 KHI menyatakan:
“Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
apabila pria tersebut sedang mempunyai empat istri yang keempat-empatnya
masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah
seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya
masih dalam iddah talak raj’i”.
Pasal 43 KHI menyatakan
Larangan perkawinan terhadap wanita yang ditalak tiga dan di li’an.
1. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria.
a. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang telah ditalak tiga kali.
b. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang telah di li’an.
2. Larangan tersebut pada ayat 1 huruf a gugur kalau bekas istri tadi telah
kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da aldukhul
dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 KHI menyebutkan larangan kawin dengan pria non Islam: “Seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam”.96
Selanjutnya dalam Pasal 54 KHI juga dijelaskan bahwa:
1. Selama seseorang masih dalam keadaan ihram tidak boleh melangsungkan
perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah.
2. Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram atau wali nikahnya masih
berada dalam ihram, perkawinannya tidak sah.97
96
Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm.32.
Republik Indonesia, Instruksi Presiden R.I No.1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, hlm.33.
97
63
Menurut Kompilasi Hukum Islam di dalam Pasal 70, perkawinan dinyatakan
batal (batal demi hukum) apabila:
1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat
istrinya itu dalam masa iddah talak raj’i.
2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.
3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian
bercerai lagi ba’da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu dan ayah tiri.
d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau
paman sesusuan.
5. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istriistrinya.
64
Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam mengatur perkawinan yang dapat dibatalkan
adalah:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria
yang mafqud.
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami yang lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan
Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan.
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.98
Penyebab-penyebab larangan perkawinan di atas, baik dalam Al-Qur'an
maupun Kompilasi Hukum Islam tidak menunjukkan adanya perbedaan, hal ini
disebabkan karena masalah larangan perkawinan di atas adalah masalah normatif
yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang taken of granted. Perkawinan yang terjadi
karena melanggar larangan-larangan tersebut batal demi hukum.99
2. Pihak yang Berhak Membatalkan Perkawinan
98
Ibid., hlm.39-40.
Nova Helida, “Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Yang Disebabkan
Ketiadaan Izin Istri Pertama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor 822/Pdt.G/2004/PA.Dpk)”, (Tesis, Magister
Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm.26.
99
65
Pembatalan perkawinan diajukan semata-mata agar tidak menimbulkan akibat
yang menjadikan hasil dari perkawinan itu tidak terlindungi oleh hukum. Hal ini
dikarenakan adanya kekurangan-kekurangan persyaratan tersebut atau dengan adanya
pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan,
perkawinannya menjadi tidak sah.100 Pembatalan perkawinan juga dapat membawa
akibat yang jauh, baik terhadap suami istri maupun terhadap keluarganya. Maka
untuk menghalangi timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan, pembatalan perkawinan
hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak tertentu pengadilan dalam daerah hukum
berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal dari kedua belah pihak suami atau
istri.101
UU Perkawinan menentukan siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan.102 Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 23, sedangkan dalam Kompilasi Hukum
Islam diatur oleh Pasal 73. Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 23, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
b. Suami atau istri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
100
Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam (Suatu Tinjauan dan
Ulasan Secara Sosiologi Hukum), (Jakarta: Pradya Paramita, 1987), hlm.63.
101
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm.177.
102
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987),
hlm.30.
66
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.103
Menurut Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 73 KHI, antara lain:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami istri.
b. Suami atau istri.
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut UndangUndang.
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat hukum dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangundangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.104
Pada gugatan pembatalan perkawinan sebagaimana ternyata dalam perkara
nomor 435/Pdt.G/2013/PA-Mdn tanggal 19 Agustus 2013, pihak yang mengajukan
gugatan pembatalan perkawinan, bukan dari pihak suami-istri atau keluarga masingmasing suami istri tersebut, namun dari Pejabat Pencatan Nikah (PPN) yang merasa
proses perkawinan suami istri tersebut didasari oleh pemalsuan identitas dan ketidak
adaannya wali nikah yang sah.105
103
Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm.39.
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm.99.
105
Petitum Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 435/Pdt.G/2013/PA-Mdn tanggal 19
Agustus 2013
104
67
D. Tanggung Jawab P3N Dengan Adanya Gugatan Pembatalan Perkawinan
Akibat Pemalsuan Identitas
Keberadaan Kantor Urusan Agama amat penting bagi umat Islam. Sebab ia
adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan
pencatatan perkawinan yang terjadi di kalangan umat Islam. Artinya, ia ada bukan
semata-mata
pemenuhan
tuntutan
birokrasi
tetapi
secara
substansial
bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan kewajiban berkenaan dengan
pengabsahan sebuah perkawinan.106 Dalam konteks seperti itu, seorang Pegawai
Pencatat Nikah dituntut untuk betul-betul menguasai tugasnya. Ini hanya bisa
dilakukan apabila yang bersangkutan mempunyai kualifikasi yang dibutuhkan
seorang Pegawai Pencatat Nikah kemampuan birokrasi yang baik dan penguasaan
ilmu-ilmu keislaman (hukum Islam) secara baik pula.
Menurut Undang-Undang Perkawinan sahnya suatu perkawinan diukur
dengan terpenuhinya ketentuan-ketentuan hukum agama yang dipeluk para calon
pengantin. Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan itu
adalah sah menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Sedang pencatatan perkawinan sendiri bersifat administratif. Suatu
perkawinan yang tidak dilakukan pencatatan di KUA mengurangi sahnya suatu
106
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014.
68
perkawinan. Namun perlu diketahui bahwa terpenuhinya syarat-syarat perkawinan
perlu penilaian-penilaian oleh pejabat yang berwenang.107
Pencatatan perkawinan merupakan persyaratan administrasi, tidak bedanya
dengan pencatatan peristiwa kelahiran dan kematian. Pemenuhan syarat-syarat
perkawinan sebagai penjabaran dari “dilakukan menurut hukum agama” disamping
menjadi tanggungjawab calon pengantin (dan masyarakat), juga menjadi tanggung
jawab pemerintah. Sehingga selain mencatat, tugas pokok Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) adalah melaksanakan tugas PPN di Kantor Urusan Agama dan memberi
mandat kepada Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan dalam melaksanakan
tugasnya.
Tugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Catatan Sipil, adalah
meneliti apakah calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki telah
memenuhi syarat-syarat agama, syarat-syarat negara untuk melangsungkan
perkawinan sebagaimana ditetapkan oleh hukum agama dan Undang-Undang.
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di KUA meneliti lebih lanjut syarat-syarat dalam
perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam maupun syarat-syarat dalam
ketentuan perundangan dan menandatangani Surat Nikah.108
Dengan demikian perkawinan yang akan dilaksanakan seharusnya telah
melewati penelitian secara seksama oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N),
107
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014
108
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014.
69
apabila ada keganjilan mengenai persyaratan menurut hukum agama maupun hukum
positif seharusnya pihak P3N yang mengetahui pertama kali. Karena itu, apabila P3N
melakukan suatu tindakan yang menyebabkan syarat-syarat ketentuan Agama
maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka P3N seharusnya turut
bertanggung jawab secara hukum karena kewenangannya menyebabkan perkawinan
yang tidak memenuhi syarat baik secara agama maupun hukum positif dapat
berlangsung.
Selain itu, karena kedudukan Penghulu sebagai wakil PPN tidak dibolehkan
menjalankan tugasnya apabila tidak diberi mandat oleh PPN, maka apabila PPN
menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh Penghulu dalam menjalankan
kewenangannya, mandat yang diberikan kepada P3N sewaktu-waktu dapat ditarik
atau dicabut oleh PPN.109
Faktor yang menjadi dasar terjadinya batal, fasad, atau fasakhnya
perkawinan adalah syarat dan rukun. “Rukun” yaitu sesuatu yang mesti ada
yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah),
dan sesuatu itu
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki- laki
dan perempuan dalam perkawinan. Sedangkan “Syarat” yaitu sesuatu yang mesti
ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu
109
Hasil wawancara dengan Bapak Efendi Rambe, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Kelurahan Simpang Selayang Medan, tanggal 13 Desember 2014
70
tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti dalam Islam, calon pengantin
laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam.110
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak
ada atau tidak lengkap.111
Sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangan P3N terkait pelayanan
pendaftaran, pemeriksaan dan pengawasan nikah, maka:
1. Proses pendaftaran nikah pada prinsipnya setelah calon mempelai memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan yang dibuktikan dengan pengisian model N1
sampai dengan N7, kemudian berkas tersebut dibawa ke KUA untuk
pemberitahuan kehendak nikah.
2. Pemeriksaan nikah ini dilakukan untuk meneliti kelengkapan persyaratan yang
telah diajukan oleh calon mempelai kepada Penghulu.
3. Penolakan kehendak nikah ini, biasanya terjadi setelah diadakannya pemeriksaan
nikah dan ternyata tidak memenuhi persyarataan yang telah ditentukan, baik
persyaratan menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang110
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hlm.45-46.
111
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Cet. 2, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm.59.
71
undangan, maka Penghulu dan P3N harus memberitahukan kekurangan
persyaratan itu dengan menggunakan Formulis model N8. Apabila persyaratan
tidak dilengkapi, maka PPN memberikan penolakan pernikahan menggunakan
formulir model N9.
Dari uraian tersebut tampak bahwa P3N mempunyai tugas untuk turut
mengawasi dan memeriksa seluruh persyaratan kedua calon mempelai, maka apabila
sampai ada tuntutan pembatalan perkawinan, yang telah dilaksanakan di hadapan
P3N, P3N seharusnya turut mendapat sanksi atas kelalaiannya melangsungkan
perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan.
Apabila terjadi pemalsuan identitas atau sebenarnya P3N mengetahui status
sebenarnya dari calon mempelai namun tetap saja melangsungkan perkawinan, maka
P3N tersebut dapat dipidanakan menurut ketentuan Pasal 45 Undang-Undang
Perkawinan, dan juga dapat dituntut atas tuduhan turut serta melakukan pemalsuan
surat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 266 KUHP.
Download