7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Medis 1. Masa Nifas a

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Medis
1. Masa Nifas
a. Definisi
Masa nifas atau Puerperium adalah masa pemulihan kembali,
dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta sampai 42 hari dimana
pada masa itu terjadi pemulihan keadaan alat kandungan seperti pada
saat sebelum terjadi kehamilan (Prawiroharjo, 2014).
Masa nifas adalah suatu periode dalam berminggu-minggu pertama
setelah persalinan. Lamanya periode ini tidak pasti, sebagian besar
menganggapnya antara 4-6 minggu. Walaupun merupakan masa yang
relatif tidak kompleks dibandingkan dengan kehamilan, nifas ditandai
oleh banyaknya perubahan fisiologis. Beberapa dari perubahan
tersebut hanya sedikit menganggu ibu, walaupun komplikasi serius
dapat terjadi (Cunningham dkk, 2014).
b. Perubahan Anatomi Dan Fisiologis Masa Nifas
Beberapa perubahan terjadi pada aspek anatomis, fisiologis dan
klinis yang terjadi pada masa nifas menurut Cunningham (2014)
adalah sebagai berikut:
7
8
1) Vagina dan ostium vagina
Masa awal nifas vagina dan ostium yang berdinding halus
dan lebar, perlahan ukurannya mulai berkurang kembali ke ukuran
nulipara.
2) Uterus
Pascapartum terjadi perubahan pada peningkatan aliran
pembuluh darah yang pada saat kehamilan terjadi perubahan
massif, lalu mulai berkurang dan terserap kembali kemudian
tergantikan oleh pembuluh darah yang lebih kecil.
Pasca persalinan dan pengeluaran plasenta, fundus uteri
mulai berkontraksi dan membuat sebagian besar myometrium
tertutupi oleh serosa dan terlapisi oleh desidua basalis. Segera
setelah pascapartum, berat uterus menjadi kira-kira 1000 g. Selama
masa nifas, tour de force destruksi dan dekontruksi yang sungguh
luar biasa dimulai. Dua hari setelah persalinan uterus mulai
berinvolusi, dan pada minggu pertama beratnya sekitar 500 g,
minggu kedua menjadi 300 g dan telah turun ke pelvis sejati.
Sekitar 4 minggu setelah persalinan, uterus kembali ke ukuran
sebelum hamil yaitu 100 g atau kurang.
Ibu dengan primipara, uterus cenderung berkontraksi secara
tonik
setelah
persalinan.Namun,
pada
multipara,
uterus
berkontraksi sangat kuat pada interval tertentu dan menyebabkan
nyeri setelah persaliana, yang mirip nyeri saat persalinan namun
lebih ringan. Meningkatnya paritas menyebabkan nyeri yang
9
terjadi semakin terasa dan akan lebih buruk saat bayi menyusu
karena pelepasan oksitosin.
3) Saluran kemih
Trauma pada kandung kemih sangat berpengaruh akibat
dari lamanya persalinan dan pada tahap tertentu merupakan akibat
normal dari persalinan normal.Saat pascapartum, kandung kemih
mengalami peningkatan kapasitas dan relative tidak sensitif
terhadap tekanan intravesika.
Ureter yang berdilatasi dan pelvis renal kembali ke keadaan
sebelum hamil dalam 2 sampai 8 minggu setelah persalinan.Infeksi
saluran kemih harus diwaspadai karena adanya residu urin dan
bakteriuria pada kandung kemih yang mengalami trauma, ditambah
dengan sistem saluran yang berdilatasi, sehingga bersifat kondusif
untuk terjadi infeksi.
4) Inkontinensia
Inkontinensia urin pada beberapa hari pertama pascapartum
tidak biasa terjadi.Namun terdapat peningkatan potensi terjadinya
inkontinensia urin akibat kehamilan.
5) Perubahan komposisi darah dan cairan
Peningkatan jumlah leukosit dan trombosit terjadi cukup
signifikan selama dan setelah persalinan. Jumlah sel darah putih
(leukosit) bisa mencapai 30.000/µL dan peningkatan ini terjadi
karena granulositosis. Normalnya, selama beberapa hari pertama
pascapartum, konsentrasi hemoglobin dan hematokrit mengalami
10
fluktuasi yang sedang. Namun, jika jumlahnya turun jauh dibawah
level tepat sebelum persalinan, maka telah terjadi kehilangan
banyak darah dalam jumlah yang cukup banyak. Pada sebagian
wanita, volume darah akan kembali ke keadaan sebelum hamil
pada 1 minggu setelah persalinan.
Cardiac output (curah jantung) pada 24 sampai 48 jam
postpartum akan mengalami kenaikan dan pada 10 hari postpartum
akan menurun ke keadaan saat sebelum hamil. Untuk frekuensi
jantung mengalami pola perubahan yang sama seperti cardiac
output, namun untuk resistensi vascular systemic akan mengalami
pola perubahan yang berlawanan. Untuk nilai dari resistensi
vascular systemic akan menurun pada kisaran nilai terendah saat
kehamilan selama 2 hari postpartum, kemudian akan terus
meningkat ke nilai normal saat sebelum kehamilan.
Faktor pembekuan darah akibat dari kehamilan akan
mengalami perubahan yang bervariasi jangka waktunya selama
masa nifas. Peningkatan fibrinogen dalam plasma darah akan
dipertahankan sampai
minimal
melewati
minggu
pertama,
demikian juga dengan laju endap darah.
6) Penurunan berat badan
Pasca persalinan seorang ibu akan mengalami kehilangan
berat badan 5 sampai 6 kilogram karena pengeluaran bayi dan
kehilangan darah normal, biasanya juga terdapat penurunan lebih
lanjut 2 sampai 3 kilogram karena diuresis. Berat badan akan turun
11
mendekati ukuran sebelum hamil dalam 6 bulan setelah persalinan,
tetapi akan tetap berlebih sekitaran 1,4 kilogram.
c. Program dan Kebijakan Teknis
Paling sedikit 4 kali kunjungan masa nifas dilakukan untuk menilai
keadaan ibu dan bayi baru lahir, dan untuk mencegah, mendeteksi dan
menangani masalah yang terjadi, berikut adalah frekuensi kunjungan
masa nifas
1) 6-8 jam setelah persalinan
a) Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri.
b) Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan; rujuk jika
perdarahan berlanjut.
c) Memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota
keluarga bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena
atonia uteri.
d) Pemberian ASI awal.
e) Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir.
f) Menjaga bayi tetap sehat dengan mencegah hipotermi.
g) Jika petugas kesehatan menolong persalinan, ia harus tinggal
dengan ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam pertama setelah
kelahiran, atau sampai ibu dan bayi dalam keadaan stabil.
2) 6 hari setelah persalinan
a) Memastikan
involusi
uterus
berjalan
normal:
uterus
berkontraksi, fundus di bawah umbilicus, tidak ada perdarahan
abnormal, tidak ada bau.
12
b) Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi, atau perdarahan
abnormal.
c) Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan dan
istirahat.
d) Memastikan
ibu
menyusui
dengan
baik
dan
tidak
memperlihatkan tanda-tanda penyulit.
e) Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi,
tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi seharihari.
3) 2 minggu setelah persalinan
Memastikan Rahim sudah kembali normal dengan mengukur
dan meraba bagian rahim.
4) 6 minggu setelah persalinan
a) Menanyakan pada ibu mengenai penyulit yang ia atau bayi
alami.
b) Memberi konseling untuk KB sejak dini. (Saifuddin, 2014).
d. Perawatan Pada Masa Nifas
Kebutuhan dan perawatan pada masa nifas, antara lain:
1) Mobilisasi
Setelah persalinan, ibu dianjurkan untuk istirahat dan tidur
terlentang selama 8 jam. Kemudian, ibu boleh miring kanan artau
miring
kiriuntuk
mencegah
terjadinya
tromboemboli
dan
trombosis. Pada hari kedua, ibu diperbolehkan untuk duduk, pada
hari ketiga berjalan-jalan dan pada hari keempat atau kelima sudah
13
diperbolehkan pulang. Mobilisasi dapat bervariasi tergantung pada
komplikasi persalinan, nifas dan sembuhnya luka-luka.
2) Diet
Pada masa nifas kebutuhan akan makanan yang bermutu,
bergizi seimbang dan cukup kalori terutama protein, sayur-sayuran,
buah-buahan dan mengkonsumsi banyak cairan sangat penting.
3) Miksi
Proses buang air kecil dapat dilakukan sewakti-waktu dan
dapat dilakukan sendiri. Namun, yang mengalami kesulitan dalam
perkemihan dapat dilakukan katerisasi sampai kandung kemih
tidak mengalami kesulitan lagi dalam buang air kecil.
4) Defekasi
Buang air besar seharusnya dilakukan 3-4 hari pasca
persalinan. Namun bila mengalami kesulitan baik itu obstipasi
maupun buang air besar keras, dapat diberikan obat laksatif per
oral atau per rektal.
5) Perawatan payudara
Perawatan payudara telah dimulai sejak wanita hamil agar
putting susu lemas, tidak keras dan kering sebagai persiapan untuk
menyusui bayinya.
6) Laktasi
Proses laktasi sangat dianjurkan untuk semua ibu, terutama
untuk pemberian ASI Eksklusif. Proses laktasi akan berjalan lancar
apabila bayi sering disusui, isapan pada putting susu merupakan
14
rangsangan psikis yang mencetuskan pengeluaran oksitosin oleh
hipofisis. Produksi ASI akan lebih banyak. Sebagai efek positifnya,
involusi uteri akan lebih sempurna. Hubungan antara ibu dan bayi
akan terjalin erat akibat dari menyusui.
7) Pemeriksaan pascapartum.
a) Pemeriksaan Umum: Tekanan Darah, Nadi, Suhu Badan,
Selera Makan, Keluhan dan sebagainya.
b) Payudara: ASI, Putting susu.
c) Dinding perut, perineum, kandung kemih, rektum.
d) Sekret yang keluar: misalnya lochea, flour albus.
e) Keadaan alat-alat kandung
8) Nasihat untuk ibu postnatal
a) Fisioterapi postnatal sangat dianjurkan.
b) Anjuran untuk menyusui bayi secara eksklusif.
c) Untuk melakukan KB.
d) Anjuran untuk mengimunisasikan anaknya.(Sofian, 2013)
2. HIV/AIDS Pada Ibu Nifas
a. Pengertian
Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat
HIV adalah Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS) yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang
terinfeksi HIV akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan
gejala dari suatu penyakit) untuk jangka waktu yang lama. Meski
15
demikian, mereka dapat menularkan kepada orang lain tanpa mereka
sadari.
Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya
disingkat
AIDS adalah suatu kumpulan gejala
berkurangnya
kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virusHIV
dalam tubuh seseorang.“acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi
didapat; “immune” adalah sistem daya tangkal atau kekebalan tubuh
terhadap suatu penyakit; “deficiency” artinya tidak cukup atau kurang;
dan “syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS
adalah bentuk lanjut dari virus HIV, yang merupakan kumpulan gejala
penurunan sistem kekebalan tubuh.Infeksi HIV berjalan sangat
progresif merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga penderita tidak
dapat menahan serangan infeksi jamur, bakteri atau virus. Kebanyakan
Orang Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA akan
meninggal dalam beberapa tahun setelah tanda pertama AIDS muncul
bila tidak ada pelayanan dan eraoi yang diberikan (Kemenkes, 2013).
b. Struktur HIV
Partikel HIV adalah virus RNA yang ber-envelop, berbentuk
bulat sferis dengan diameter 80-120 nm. Partikel yang infeksius terdiri
dari dua untai single stranded RNA positif yang berada di dalam inti
protein virus (ribonukleoprotein) dan dikelilingi oleh lapisan envelope
fosfolipid yang ditancapi oleh 72 buah tonjolan (spikes) glikoprotein
(Gambar 1). Envelope polipeptida terdiri dari dua subunit yaitu
glikoprotein luar (gp120) yang merupakan tempat ikatan reseptor
16
(receptor binding) CD4+ dan glikoprotein transmembran (gp41) yang
akan bergabung dengan envelope lipid virus. Protein-protein pada
membrane luar ini terutama berfungsi untuk mediasi terjadinya ikatan
dengan sel CD4+ dan reseptorkemokin.7,8 Pada permukaan dalam
envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks (p17), yang
kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural
virion. Envelope lipid terbungkus dalam protein kapsid yang berbentuk
ikosahedral
p17.Protein
dalam
(p24)
kapsid
virion
dan
matriks
mengelilingi
sehingga
inti
membentuk
'cangkang' di sekeliling material genetik.
Protein nukleokapsid terdapat dalam
'cangkang'
tersebut
dan
berikatan
langsung dengan molekul-molekul RNA
(Suhaimi, 2007).
Gambar 2.1 struktur HIV
(Suhaimi, 2007)
c. Etiologi
Penyakit Infeksi Menular Seksual yang selanjutnya disingkat
IMS adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual secara
vaginal, anal/lewat anus dan oral/dengan mulut. Penularan virus HIV
dapat ditularkan melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik
yang tidak steril atau terkontaminasi HIV dan penularan HIV dari ibu
yang terinfeksi HIV
ke janin dalam kandungannya yang dikenal
sebagai penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) (Kemenkes, 2013).
17
Penyebab AIDS adalah retrovirus RNA yang dinamai human
immunodefisiency virus (HIV), HIV -1 dan HIV -2. Sebagian besar
kasus di dunia disebabkan oleh infeksi HIV -1. Penularan serupa
dengan penularan virus hepatitis B, dan hubungan seks adalah rute
utama. Virus juga dapat ditularkan melalui darahatau produk yng
tercemar darah dan ibu dapat menginfeksi janin mereka (Cunningham
dkk, 2013).
d. Patofisiologi infeksi HIV
Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh
akanterinfeksi dan virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang
tersebut (terutama sel limfosit T CD4 dan makrofag). Virus HIV akan
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibody
untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi terbentuknya antibody yang
dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2
sampai 12 minggu dan disebut masa jendela (window period).Selama
masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada
orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negative.
Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa
infeksius ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah:
demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam
kulit, sakit kepala dan batuk.
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda
(asimtomatik) untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10
tahun atau lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya
18
kepada orang lain. Kita hanya dapat mengetahui bahwa orang tersebut
terinfeksi
HIV
dari
pemeriksaan
laboratorium
antibodi
HIV
serum.Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke
orang, virus memperbanyak dirisecara cepat dan diikuti dengan
perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga
terjadilah gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif.
Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari
5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu
yang terinfeksi HIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya
daya tahan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV, misalnya infeksi
tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia
(OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE),
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis
(CM), retinitis Cytomegalovirus(CMV), dan Mycobacterium avium
(MAC) (Kemenkes, 2013).
19
Human immunodeficiency virus
Infeksi
pada janin
plasenta
Menginfeksi sel limfosit T CD4 dan
magrofag
ASI
Infeksi
pada bayi
Menurunnya kemampuan imun
System imun spesifik
dan non spesifik turun
Sel keganasan
immunodefisi
ensi
Infeksi
oportunistik
Kaposis sarkoma
Penonjolan kulit
Gangguan citra
tubuh
Bagan 2.1 Patofisiologis HIV (Kemenkes,2013)
 Tuberkulosis
 Herpes zoster
 Oral hairy
cell
leukoplakia
 Oral
candidiasi
 Papularprurit
ic eruption
 Pneumocytis
carinii
pneumonia
 Cryptococcal
meningitis
 Retinitis
cytomegalovir
us
 Mycobacteriu
m avium
e. Faktor Resiko
1) Faktor Ibu
a) Jumlah virus (viral load)
Resiko penularan HIV menjadi sangat kecil apabila
kadar HIV dalam darah rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan
sebaliknya jika kadar HIV dalam darah diatas 100.000 kopi/ml
maka resiko penularan akan sangat besar.
20
b) Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah akan lebih beresiko
menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah sel CD4 maka
resiko penularan HIV semakin besar.
c) Status Gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan
mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita
penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan
risiko penularan HIV ke bayi.
d) Penyakit Infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,
infeksi reproduksi lainnya, malaria dan TBC, berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke
bayinya.
e) Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lainnya,
seperti mastitis, abses dan luka di puting dapat meningkatkan
risiko penularan HIV melalui ASI.
2) Faktor Bayi
a) Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir premature dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan
sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
21
b) Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke
bayi akan semakin besar.
c) Adanya Luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular
HIV ketika diberikan ASI.
3) Faktor Obstetri
a) Jenis Persalinan
Risiko penularan persalinan pervaginam lebih besar
daripada persalinan melalui bedah sesar (section caesaria).
Namun, apabila VL (Viral Load) ibu rendah karena konsumsi
ARV (Antiretroviral) yang rutin maka persalinan pervaginam
sangat dianjurkan, karena persalinan dengan bedah sesar akan
menimbulkan resiko infeksi lainnya pasca persalinan (Green,
2009).
b) Lama Persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko
penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin
lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
c) Pecahnya ketuban
Ketuban pecah dini lebih dari 4 jam sebelum persalinan
meningkatkan
risiko
penularan
hingga
dua
dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
kali
lipat
22
d) Tindakan
episiotomi,
ekstraksi
vakum
dan
forceps
meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai
ibu atau bayi (Permenkes, 2013)
f. Gambaran klinis
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau
gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan ciri tidak khas pada infeksi
HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.Gejala yang terjadi adalah
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare atau batuk.Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala).Masa tanpa gejala ini umumnya
berlangsung 8-10 tahun.Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun dan
ada pula yang perjalanannya lambat (Kemenkes RI, 2011).
Partikelvirus HIV yang menginfeksi tubuh pasien akan
bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang
terinfeksi HIV, maka seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari
semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian besar berkembang menuju
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien
AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS dan kemudian
meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran
penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh
yang juga bertahap (Sudoyo dkk,2010).
23
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA
mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti
berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar
getah bening, diare, tuberkolusis, infeksi jamur, dan herpes
(Permenkes, 2013)
g. Pencegahan
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilakukan melalui
kegiatan komprehensif yang meliputi empat pilar (4 prong), yaitu
1) Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (1549 tahun).
2) Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan
HIV positif.
3) Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang
dikandungnya.
4) Dukungan psikologis, sosial dan perawatan kesehatan selanjutnya
kepada ibu yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya
(Permenkes RI, 2013)
h. Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan
secara total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti
yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa
obat anti HIV (obat retroviral, atau disingkat ARV) bermanfaat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang
dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan
24
produktif.Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya kerentanan ODHA
terhadap infeksi oportunistik (Sudoyo, 2010).
Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa
jenis, yaitu:
1) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV) jangka pendek maupun ART jangka panjang.
2) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkolusis,
hepatitis, toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks
3) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi
yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikologis dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan
perlu menjaga kebersihan.
(Sudoyo, 2010)
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian
dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang (Sudoyo, 2010).
Penatalaksanaan untuk ibu hamil maupun nifas dengan
HIV/AIDS sedikit berbeda dikarenakan kondisi yang lebih risiko
dan dapat menularkan ke janin maupun lingkungan sekitar dengan
lebih mudah. Menurut Cunningham, dkk (2014) penatalaksanaan
wanita hamil dimulai dari fase kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan. Apabila wanita tersebut sudah diketahui terinfeksi HIV
sebelum hamil maka penatalaksanaan yang di lakukan sesuai
25
dengan penatalaksaan sebelum hamil yaitu pemberian ARV,
pemberian
profilaksis
kotrimoksazol,
pemberian
informasi,
konseling dan dukungan untuk kehamilan ini (Green,2009)
Menurut WHO (2013), penatalaksanaan dilakukan pada
ibu.
1) Merencanakan pemberian ARV tindak lanjut, pemberian harus
dilakuan secara hati-hati tergantung dari pengobatan dan
tingkat VL dalam tubuh (pemberian ARV diberian seumur
hidup atau selama periode risiko penularan dari ibu ke anak,
tergantung pada kebijakan nasional dan kelayakan ARV) serta
lakukan pemantauan pemberian pengobatan.
2) Diperlukan rencana tindak lanjut kepada anak yang terpajan
HIV untuk meninjau rencana pemberian ASI dan berikan
perawatan ARV.
3) Pemberian Profilaksis kotrimoksazol
4) Dukungan psikologis dari keluarga dan lingkungan serta tenaga
kesehatan yang menangani.
5) Pemberikan konseling kepada keluarga mengenai perawatan
dan pengobatan pada ibu dan bayi dengan HIV/AIDS
6) Pilihan untuk menyusui bayinya atau tidak.
Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi melalui menyusui cukup
tinggi 5-20%. Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko
penularan HIV menjadi 20-30% dan akan berkurang jika ibu
mendapatkan ARV. Pemberian ARV jangka pendek dan ASI
26
eksklusif memiliki risiko penularan 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI).
Namun, terapi ARV jangka panjang, risiko penularan menjadi
1-5% dan ibu dapat menyusui secara eksklusif dengan risiko
penularan yang sama (Permenkes RI, 2013)
7) Pemilihan Alat kontrasepsi yang tepat. Apabila salah satu
pasangan tidak terinfeksi maka alat kontrasepsi kondom adalah
pilihan
yang
paling
tepat.
Karena
kondom
dapat
menghindarkan dari berbagai infeksi HIV mapun penyakit IMS
lainnya. Namun, apanila keduanya sudah terinfeksi maka
AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) merupakan pilihan
yang tepat pada kondisi tersebut (Cunningham dkk, 2014).
Apabila ibu sudah memiliki anak yang cukup dan tidak ingin
i. Pemberian Terapi Antiretroviral
Pada kebijakan PPIA 2011, ART diberikan kepada semua
perempuanhamil HIV positif tanpa harus memeriksakan kondisi CD4nya lebih dahulu.Penentuan stadium HIV-AIDS pada ibu hamil dapat
dilakukan berdasarkan kondisi klinis pasien dengan atau tanpa
pemeriksaan CD4. Pemeriksaan CD4 pada ibu hamil HIV positif
terutama digunakan untuk memantau pengobatan.
27
Tabel 2.1 Waktu yang Tepat untuk Pemberian ARV
Populasi Target
Pasien naive
dengan
HIV+
asimtomatik
Pasien naive
HIV+
dengan gejala
Pedoman Pemberian ARV tahun 2010
CD4 ≤350 sel/mm3
Stadium 2 dengan CD4 ≤350 sel/mm3
atau
Stadium 3 atau 4 tanpa memandang nilai
CD4nya
Ibu hamil
Semua ibu hamil diberi ARV
· tanpa indikasi ARV: mulai pada umur
kehamilan≥ 14 minggu,
· dengan indikasi : segera berikan ARV
Populasi Sumber. Permenkes 2013 Pedo
man pemberian ARV tahun 2010
Pemberian ART pada ibu hamil HIV positif selain dapat
mengurangi risikopenularan HIV dari ibu ke anak, adalah untuk
mengoptimalkan kondisikesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar
HIV serendah mungkin. Pemberian ARV sebaiknya disesuaikan
dengan kondisi klinis yang sedangdialami oleh ibu. Data yang tersedia
menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu selama kehamilan
dan dilanjutkan selama menyusui adalahintervensi yang paling efektif
untuk kesehatan ibu dan juga mampumengurangi risiko penularan
HIV dan kematian bayi pada kelompok wanitadengan risiko tinggi.
Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif
adalahterapi menggunakan tiga obat kombinasi (2 NRTI + 1 NNRTI).
Seminimalmungkin hindarkan tripel nuke (3 NRTI). Regimen yang
direkomendasikan adalah sebagai berikut :
28
Tabel 2.2 Rekomendasi Terapi ARV pada Ibu hamil HIV positif
Pada Ibu
AZT + 3TC + NVP
Dapat diberikan sejak trimester 1
atau umur kehamilan
<14 minggu, ibu tidak anemia
dan/atau CD4 < 250
sel/mm3 (karena efek hepatotoksik
NVP pada
perempuan biasa timbul jika CD4
<250 sel/mm3)
AZT + 3TC + EVP*
Dapat diberikan pada trimester 2
atau umur kehamilan
≥ 14 minggu dan ibu tidak anemia
TDF + 3TC + NVP
Dapat diberikan jika ibu anemia,
dapat diberikan sejak
trimester 1
TDF + 3TC + EVP*
Dapat diberikan jika ibu anemia,
diberikan mulai
trimester 2
Sumber. Permenkes 2013
Pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil
HIVpositif adalah sebagai berikut :
1. Indikasi pemberian ARV adalah sama seperti protokol
pemberian ART pada Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi
Antiretroviral HIV pada Orang Dewasa, tahun 2010.
2. Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum
kehamilan, dan pasien sudah mendapatkan ARV, maka saat
hamil ARV tetap diteruskan dengan rejimen yang sama seperti
saat sebelum hamil.
3. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sebelum umur
kehamilannya 14 minggu, jika ada indikasi untuk segera
diberikan ARV, maka kita berikan ARV. Namun jika tidak ada
indikasi, pemberian ARV ditunggu hingga umur kehamilannya
29
14 minggu. Regimen ARV yang diberikan sesuai dengan
kondisi klinis ibu.
4. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur
kehamilan ≥ 14 minggu, segera diberikan ARV berapapun nilai
CD4 dan stadium klinisnya. Regimen ARV yang diberikan
sesuai dengan kondisi klinis ibu.
5. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat
menjelang persalinan, segera diberikan ARV sesuai kondisi
klinis ibu. Pilihan kombinasi rejimen ARV sama dengan ibu
hamil yang lain.
(Kemenkes, 2011)
B. TEORI MANAJEMEN KEBIDANAN
Tujuh langkah proses manajemen kebidanan menurut Helen Varney sebagai
berikut :
1. Langkah I : Pengumpulan Data Dasar Secara Lengkap
Untuk memperoleh data dasar secara lengkap kasus HIV/AIDS dapat
diperoleh melalui :
a. Data Subyektif
Pengumpulan data subyektif pada kasus ibu nifas dengan HIV/AIDS
dapat diperolah melalui :
1) Anamnesa
a) Identitas
Usia pasien perlu dikaji untuk mengetahui faktor resiko. Pada
wanita usia subur (15-44 tahun) sangat rentan terinfeksi
30
HIV/AIDS. Pekerjaan juga mempengaruhi faktor resiko dari
HIV/AIDS,
wanita
tuna
susila
lebih
rentan terkena
HIV/AIDS dan pasangan yang bekerja jauh juga salah satu
factor resiko dari HIV/AIDS (Tharpe dan Farley, 2013).
b) Keluhan Utama
Keluhan utama yang biasanya muncul dari kasus ibu nifas
dengan
HIV/AIDS
yaitu
mengeluh
adanya
demam
berkepanjangan, mengalami penurunan berat badan yang
signifikan, diare berkepanjangan, terdapat herpes zooster
(Tharpe dan Farley, 2013). Keluhan Pada Masa Nifas adalah
mules pada perut dikarenakan proses involusi uteri (saleha,
2010).
c) Data Kebidanan
1) Riwayat Obstetri
Usia kehamilan yang sangat muda (dibawah 15 tahun)
dapat menyebabkan faktor risiko terinfeksi HIV. Memiliki
riwayat
IMS
ataupun
sitologi
serviks
abnormal.Pengakajian lebih lanjut tentang hubungan
seksual juga mempengaruhi tertularnya HIV. Mulai dari
pasangan, penyalahgunaan zat/obat-obatan secara IV,
pasien atau suami yang sering bergonta-ganti pasangan
(Tharpe dan Farley, 2013).
31
2) Riwayat Kehamilan dan Persalinan Sekarang
Pada kasus nifas dengan HIV/AIDS riwayat kehamilan
dan persalinan sekarang perlu dikaji. Status HIV yang
diketahui atau tidak.Sedikit atau tidak ada perawatan
prenatal.
Mula
pemberian
terapi
ART
sangat
mempengaruhi kondisi dan status VL dalam tubuh ibu
sejak masa hamil hingga persalinan, dengan diketahui
proses terapi ART dan status VL dalam tubuh dapat
ditentukan jenis persalinan yang akan dipilih (Tharpe dan
Farley, 2013).
Riwayat persalinan sebelumnya juga mempengaruhi
proses persalianan yang akan datang, jika seorang ibu
dengan HIV/AIDS pada proses persalinan sebelumnya
melakukan proses persalinan menggunakan bedah sesar
maka untuk persalinan selanjutnya juga dianjurkan untuk
bedah sesar (Green, 2009).
3) Data Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada riwayat kesehatan sekarang terdapat keluhan yang
dirasakan oleh ibu sesuai dengan gejala-gejala pada
HIV/AIDS yaitupenurunan berat badan, ISPA (Infeksi
Saluran Pernafasan Akut) berulang, herpes zoster dalam 5
tahun. (Green, 2009).
32
4) Data Kebiasaan Sehari-hari
Pola personal hygiene, kebersihan alat-alat vital dapat
mempengaruhi terjadinya IO (infeksi oportunistik). Ibu
hamil dengan HIV lebih sering terkena herpes zoster
dibanding dengan ibu yang tidak terinfeksi HIV/AIDS.
Data kebiasaan sehari-hari digunakan untuk mengatahui
terjadinya IO dan antisipasinya (Green, 2009).
5) Data Psikososial
Data ini digunakan untuk mengetahui hubungan klien
dengan keluarga dan masyarakat, bagaimana tanggapan
klien terhadap kehamilan dan persalinannya. Apakah
kehamilan ini mendapat dukungan dari keluarga terutama
suami, dikarenakan ibu hamil dan bersalin dengan
HIV/AIDS perlu dukungan baik moril maupun materil
sepenuhnya dari keluarga terdekat (permenkes RI, 2013).
b. Data Objektif
Pengumpulan data Objektifpada kasus ibu nifas dengan
HIV/AIDS antara lain:
1) Pemeriksaan Umum
Nadi akan meningkat setelah persalinan, namun denyut nadi
yang melebihi 100 kali per menit harus curiga kemungkinan
infeksi atau perdarahan post partum. Suhu meningkat sekitar
0,5o Celcius dari keadaan normal, tetapi tidak melebihi 38,0o
33
Celcius. Bila suhu badan lebih dari 38,0o Celcius kemungkinan
ada infeksi, pada kasus HIV/AIDS kemungkinan terjadi
peningkatan suhu tubuh. Sedangkan tekanan darah ibu setelah
melahirkan tidak terjadi perubahan.Memeriksa involusi uteri,
pengeluaran
pervaginam
dan
pemeriksaan
payudara
(Sulityawati, 2009).
2) Pemeriksaan Fisik
Pada kasus HIV/AIDS, perlu dilakukan pemeriksaan fisik pada
seluruh tubuh secara lebih khusus, Pemeriksaan fisik perlu
dilakukan untuk mengetahui terdapat IO pasca persalinan dan
upaya untuk mengatasinya (Green, 2009) diantaranya:
a) Kulit terdapat ruam, ulserasi mukokutan, lesi, herpes zoster.
b) HEENT (kepala, mata, telinga, hidung, tenggorokan)
terdapat nodus limfe servikal, kandidiasis oral atau lesi
ulserasi, eritema faring.
c) Dada terdapat pengkajian jantung, suara paru maupun
adanya batuk; pada abdomen terdapat pembesaran hati atau
limfa, bising usus, ASI sudah keluar, perawatan payudara.
d) Ekstremitas pengkajian rentang gerak, nyeri tekan sendi atau
pembengkakan, nodus limfe femoral; pada pemerikan
panggul terdapat lesi, ulserasi mukokutan pada genital,
rabas, lesi serviks, nyeri tekan uterus (Tharpe dan Farley,
2013).
34
3) Pemeriksaan Khusus Obstetrik
a) Inspeksi
Pasien pada HIV/AIDS perlu pemeriksaan ASI sudah keluar
atau belum, pemeriksaan seluruh tubuh terjadinya IO,
terutama
pada
genitalia
terdapat
herpes
zoster
dan
pengeluaran pervaginam, (Green, 2009).
b) Palpasi
Pemeriksaan abdomen untuk mengetahui TFU dan kontraksi
uterus (Sulistyawati, 2009).
4) Pemeriksaan Laboratorium
a) Skrining HIV
pertama kali pasien melakukan skrining HIV. Skrining HIV
dapat dilakukan kepada semua wanita usia 13-63 tahun. Pada
semua ibu hamil TM 1.Krining juga dilakukan pada wanita
dengan risiko tinggi. Skrining antibody positif dapat dilakukan
>2-14 minggu pasca infeksi (Tharpe dan Farley, 2013).
b) Pemeriksaan antibody HIV-1
Pemeriksaan HIV -1 cepat dilakukan melalui oral, darah atau
plasma. Hasil positit palsu dapat terjadi. Pemeriksaan cepat apat
lakukan apabila status HIV yang tidak diketahuidan sedikit atau
tidak
ada
perawatan
prenatal.
Pemeriksaan
Enzyme
immonuassay dengan sample vena (tiger-top tube) (Tharpe dan
Farley, 2013).
35
c) Pemeriksaan laboratorium lain
Melakukan pemeriksaan laboratorium lain guna mengantisipasi
dan mengetahui kondisi pasien untuk dilakukan terapi dengan
pemeriksaan hematokrit, interpretasi jumlah sel T CD4,
pengukuran viral load, resistensi obat-obatan, pemeriksaan
gonore dan klamidia, pap smear, serologi hepatitis A,B,dan C,
serologi sifilis, pemeriksaan tuberculosis, skrining IMS, serologi
toksoplasma, serologi CMV (cytomegalovirus) (sabarudin,
2015)
2. Langkah II : Interpretasi Data Dasar
Interpretasi data dari data ibu nifas dengan HIV/AIDS yang telah
dikumpulkan pada langkah pengkajian data mengacu pada :
1) Diagnosa kebidanan
Diagnosa kebidanan pada kasus ibu nifasHIV/AIDS adalah Ny. D
P2A0 umur 33 tahun postpartum hari ke 1 dengan HIV/AIDS.
Data Subjektif
Pernyataan dari pasien mengenai identitas dan keluhan yang dialami.
Keluhan utama yang dialami yaitu mengeluh adanya demam
berkepanjangan, mengalami penurunan berat badan yang signifikan,
diare berkepanjangan, terdapat herpes zooster (Tharpe dan Farley,
2013).
Data Objektif
36
Data objektif dihasilkan dari pemeriksaan umum yang meliputi
Keadaan umum dan vital sign. Hasil pemeriksaan fisik pada genitalia
meliputi pemeriksaan pengeluaran pervaginam, proses involusi uteri
dan terdapat herpes zoster (Green, 2009)
2) Masalah
Masalah pada ibu nifas dengan HIV/AIDS adalah menurunnya
kondisi fisik pasca persalinan menyebabkan meningkatnya risiko ibu
untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi. Berat badan rendah serta
kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko
ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.Mastitis dan abses
pada puting dapat meningkatkan risiko penularan ke bayi dengan
menyusui. Tindakan pada saat persalinan dapat mempengaruhi
tingkat infeksi pasca persalinan. Rasa khawatir tidak dapat menjadi
ibu dan mengasuh anaknya dengan baik dikarenakan kondisi pasien
yang menderita HIV/AIDS (Green, 2009; permenkes, 2013)
3) Kebutuhan
Kebutuhan ibu nifas dengan HIV/AIDS terhadap masalah dapat
berupapemberian
informasi
mengenai
penatalaksanaan
pasca
persalinan dengan pemberian dukungan psikologis untuk ibu dan
keluarga. Memberikan informasi mengenai kebiasaan sehari-hari di
rumah agar pada masa nifas HIV pada darah nifas tidak menularkan
37
ke keluarga dan masyarakat. Memberikan informasi tentang
kebutuhan bayi dan penanganannya (Green, 2009).
3. Langkah III : Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial
atau Diagnosa dan Mengantisipasi Penanganannya
Diagnosa potensial yang terkait pada kasus HIV/AIDS adalah
meningkatnya
Infeksi
oportunistik
pasca
persalinan
dan
meningkatnyarisiko transmisi penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi pada
masa nifas (Green, 2009).
Antisipasi penanganan yang dapat dilakukan oleh bidan adalah observasi
pengeluaran pervaginam, proses involusi uteri, perawatan payudara,
kebutuhan nutrisi dan personal hygiene (Therpe dan Farley 2013).
4. Langkah IV : Menetapkan Kebutuhan terhadap Tindakan Segera
Pada kasus ibu nifas dengan HIV/AIDS kebutuhan segera yang perlu
diberikan adalah kolaborasi dengan dokter SpOG dan SpPD dalam
pemberian profilaksis kotrimoksazol dan pemberian ART pada ibu dan
bayi (Green, 2009). Kolaborasi pada kasus ini perlu dilakukan
dikarenakan bidan sebagai anggota tim dari layanan kolaborasi di rumah
sakit. Layanan kolaborasi adalah layanan yang dilakukan oleh bidan
sebagai anggota tim yang kegiatannya dilakukan secara bersamaan atau
sebagai salah satu dari sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan
(KMK No. 369/MENKES/SK/III/2007).
5. Langkah V : Menyusun Rencana Asuhan yang Menyeluruh
38
Rencana tindakan pada ibu nifas dengan HIV/AIDS menurut Kemenkes
RI
(2013),
Green
(2009),
Therpe
dan
Farley (2013),
WHO
(2013)meliputi :
1) Jelaskan pada ibu dan keluarga mengenai keadaan yang dialami ibu
2) Motivasi pada ibu dan keluarga untuk dapat menerima kondisi ibu
dan bayinya.
3) Observasi kondisi umun dan vital sign ibu.
4) Observasi pengeluaran pervaginam,TFU dan kontraksi uterus.
5) Berikan informasi mengenai pemilihan pemberian ASI Eksklusif
atau PASI.
6) Anjurkan ibu untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi.
7) Menjaga payudara tetap bersih dan kering serta tidak ada luka.
8) Berikan dukungan psikologis untuk ibu dan keluarga.
9) Berikan konseling kepada keluarga mengenai perawatan dan
pengobatan pada ibu dengan HIV/AIDS.
10) Berikan informasi tentang pemilihan alat kontrasepsi yang tepat
yaitu AKDR atau kondom.
11) Berkolaborasi dengan SpOG dan SpPD untuk pemberian terapiART
dan profilaksis kotrimoksazol.
12) Lakukan pemantauan kondisi klinis terkait HIV.
13) Berkolaborasi dengan SpOG dan SpPD untuk menilai dan mengobati
untuk kondisi terkait misal paparan TB, infeksi oportunistik dan
malaria.
39
6. Langkah VI : Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan
Aman
Pada kasus ibu nifas dengan HIV/AIDS, bidan telah melaksanakan
asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah kelima
secara efisien dan aman. Realisasi dari perencaan dapat dilakukan oleh
dokter, bidan, pasien atau anggota keluarga lain. Meskipun bidan tidak
melakukan asuhan dan terapi secara seluruhnya ia tetap memikul
tanggungjawab
atas
terlaksananya
seluruh
perencanaan
(Sulistyawati,2009).
7. Langkah VII : Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada kasus asuhan kebidanan Ny. D dengan
HIV/AIDSadalah keluarga dapat mengerti dan memahami kondisi ibu
dan bayi yang terinfeksi HIV/AIDS, pasien dengan HIV/AIDS
mendapatkan terapi dan perawatan sesuai dengan kondisinya.
C. Follow Up Catatan Perkembangan Kondisi Klien
Varney (2007) menyatakan bahwa alur berfikir bidan saat menghadapi
klien meliputi 7 langkah.Tujuh langkah Varney disarikan menjadi 4 langkah,
yaitu SOAP (Subjektif, Objektif, Assessment, dan Planning).
S : Subjektif
Menggambarkan pengumpulan data pasien melalui anamnesa. Pada kasus
ibu nifas dengan HIV/AIDS, diharapkan ibu sudah dapat menerima
keadaan dan kodisinya serta mengerti tentang penatalaksanaan dan
perawatan pasca persalinan secara tepat (Green, 2009)
O: Objektif
40
Menggambarkan
pendokumentasian
hasil
pemeriksaan
fisik
dan
pemeriksaan penunjang.Data objektif pada kasus HIV/AIDS adalah hasil
pemeriksaan umum dan pemeriksaan fisik pada ibu.Untuk mengetahui
keadaan umum ibu meliputi tekanan darah, suhu, nadi, dan respirasi.
Dalam keadaan normal tekanan darah 120/80 mmHg, suhu tidak melebihi
380C, nadi 60-80 kali per menit, pengeluaran pervaginam, kontraksi uterus
dan TFU serta pemeriksaan khusus yang terdiri dari pemeriksaan infeksi
oportunistik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium
tentang jumlah virus dalam tubuh (Sulistyawati, 2009; Green, 2009).
A :Assesment
Menggambarkan
pendokumentasian
analisis
dan
interpretasi
data
subjekstif dan objektif dalam suatu identifikasi diagnose atau masalah
potensial serta perlunya tindakan segera pada kasus HIV/AIDS. Diagnosa
dalam studi kasus ini: Ny. D umur 33 tahun, P2A0 dengan HIV/AIDS
(Varney, 2007)
P :Planning
Penatalaksanaan, mencatat seluruh perencanaan dan penatalaksanaan yang
sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan
secara komprehensif, penyuluhan dan dukungan, kolaborasi, evaluasi atau
follow up dari rujukan sebagai langkah 3, 4, 5, 6, dan 7 Varney.
Perencanaan yang dapat dilakukan untuk ibu dengan HIV/AIDS adalah
memberitahu pada ibu dan keluarga mengenai keadaan yang dialami ibu,
memotivasi ibu dan keluarga untuk dapat menerima kondisi ibu dan
bayinya, mengobservasi kondisi umun dan vital sign ibu mengobservasi
41
perdarahan pervaginam,TFU dan kontraksi uterus, memberikan informasi
mengenai pemilihan pemberian ASI Eksklusif atau PASI, memberikan
informasi tentang kebutuhan nutrisi pada ibu dan bayi, menjaga payudara
tetap bersih dan kering serta tidak ada luka, memberikan dukungan
psikologis untuk ibu dan keluarga, memberikan konseling kepada keluarga
mengenai perawatan dan pengobatan pada ibu dan bayi dengan
HIV/AIDS, memberikan informasi tentang pemilihan alat kontrasepsi
yang tepat yaitu AKDR atau kondom, melakukan kolaborasi dengan
SpOG dan SpPD untuk pemberian terapi ART dan profilaksis
kotrimoksazol dan penilaian serta pengobatan terkait infeksi oportunistik.
Evaluasi dari tindakan yang dilakukan adalah kondisi ibu tidak memburuk
dikarenakan infeksi oportunistik dan keluarga dapat menerima serta
memberi dukungan dan partisipasi untuk perawatan serta asuhan yang
dapat di berikan untuk ibu.
Download