BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Medis 1. Masa Nifas a. Definisi Masa nifas atau Puerperium adalah masa pemulihan kembali, dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta sampai 42 hari dimana pada masa itu terjadi pemulihan keadaan alat kandungan seperti pada saat sebelum terjadi kehamilan (Prawiroharjo, 2014). Masa nifas adalah suatu periode dalam berminggu-minggu pertama setelah persalinan. Lamanya periode ini tidak pasti, sebagian besar menganggapnya antara 4-6 minggu. Walaupun merupakan masa yang relatif tidak kompleks dibandingkan dengan kehamilan, nifas ditandai oleh banyaknya perubahan fisiologis. Beberapa dari perubahan tersebut hanya sedikit menganggu ibu, walaupun komplikasi serius dapat terjadi (Cunningham dkk, 2014). b. Perubahan Anatomi Dan Fisiologis Masa Nifas Beberapa perubahan terjadi pada aspek anatomis, fisiologis dan klinis yang terjadi pada masa nifas menurut Cunningham (2014) adalah sebagai berikut: 7 8 1) Vagina dan ostium vagina Masa awal nifas vagina dan ostium yang berdinding halus dan lebar, perlahan ukurannya mulai berkurang kembali ke ukuran nulipara. 2) Uterus Pascapartum terjadi perubahan pada peningkatan aliran pembuluh darah yang pada saat kehamilan terjadi perubahan massif, lalu mulai berkurang dan terserap kembali kemudian tergantikan oleh pembuluh darah yang lebih kecil. Pasca persalinan dan pengeluaran plasenta, fundus uteri mulai berkontraksi dan membuat sebagian besar myometrium tertutupi oleh serosa dan terlapisi oleh desidua basalis. Segera setelah pascapartum, berat uterus menjadi kira-kira 1000 g. Selama masa nifas, tour de force destruksi dan dekontruksi yang sungguh luar biasa dimulai. Dua hari setelah persalinan uterus mulai berinvolusi, dan pada minggu pertama beratnya sekitar 500 g, minggu kedua menjadi 300 g dan telah turun ke pelvis sejati. Sekitar 4 minggu setelah persalinan, uterus kembali ke ukuran sebelum hamil yaitu 100 g atau kurang. Ibu dengan primipara, uterus cenderung berkontraksi secara tonik setelah persalinan.Namun, pada multipara, uterus berkontraksi sangat kuat pada interval tertentu dan menyebabkan nyeri setelah persaliana, yang mirip nyeri saat persalinan namun lebih ringan. Meningkatnya paritas menyebabkan nyeri yang 9 terjadi semakin terasa dan akan lebih buruk saat bayi menyusu karena pelepasan oksitosin. 3) Saluran kemih Trauma pada kandung kemih sangat berpengaruh akibat dari lamanya persalinan dan pada tahap tertentu merupakan akibat normal dari persalinan normal.Saat pascapartum, kandung kemih mengalami peningkatan kapasitas dan relative tidak sensitif terhadap tekanan intravesika. Ureter yang berdilatasi dan pelvis renal kembali ke keadaan sebelum hamil dalam 2 sampai 8 minggu setelah persalinan.Infeksi saluran kemih harus diwaspadai karena adanya residu urin dan bakteriuria pada kandung kemih yang mengalami trauma, ditambah dengan sistem saluran yang berdilatasi, sehingga bersifat kondusif untuk terjadi infeksi. 4) Inkontinensia Inkontinensia urin pada beberapa hari pertama pascapartum tidak biasa terjadi.Namun terdapat peningkatan potensi terjadinya inkontinensia urin akibat kehamilan. 5) Perubahan komposisi darah dan cairan Peningkatan jumlah leukosit dan trombosit terjadi cukup signifikan selama dan setelah persalinan. Jumlah sel darah putih (leukosit) bisa mencapai 30.000/µL dan peningkatan ini terjadi karena granulositosis. Normalnya, selama beberapa hari pertama pascapartum, konsentrasi hemoglobin dan hematokrit mengalami 10 fluktuasi yang sedang. Namun, jika jumlahnya turun jauh dibawah level tepat sebelum persalinan, maka telah terjadi kehilangan banyak darah dalam jumlah yang cukup banyak. Pada sebagian wanita, volume darah akan kembali ke keadaan sebelum hamil pada 1 minggu setelah persalinan. Cardiac output (curah jantung) pada 24 sampai 48 jam postpartum akan mengalami kenaikan dan pada 10 hari postpartum akan menurun ke keadaan saat sebelum hamil. Untuk frekuensi jantung mengalami pola perubahan yang sama seperti cardiac output, namun untuk resistensi vascular systemic akan mengalami pola perubahan yang berlawanan. Untuk nilai dari resistensi vascular systemic akan menurun pada kisaran nilai terendah saat kehamilan selama 2 hari postpartum, kemudian akan terus meningkat ke nilai normal saat sebelum kehamilan. Faktor pembekuan darah akibat dari kehamilan akan mengalami perubahan yang bervariasi jangka waktunya selama masa nifas. Peningkatan fibrinogen dalam plasma darah akan dipertahankan sampai minimal melewati minggu pertama, demikian juga dengan laju endap darah. 6) Penurunan berat badan Pasca persalinan seorang ibu akan mengalami kehilangan berat badan 5 sampai 6 kilogram karena pengeluaran bayi dan kehilangan darah normal, biasanya juga terdapat penurunan lebih lanjut 2 sampai 3 kilogram karena diuresis. Berat badan akan turun 11 mendekati ukuran sebelum hamil dalam 6 bulan setelah persalinan, tetapi akan tetap berlebih sekitaran 1,4 kilogram. c. Program dan Kebijakan Teknis Paling sedikit 4 kali kunjungan masa nifas dilakukan untuk menilai keadaan ibu dan bayi baru lahir, dan untuk mencegah, mendeteksi dan menangani masalah yang terjadi, berikut adalah frekuensi kunjungan masa nifas 1) 6-8 jam setelah persalinan a) Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. b) Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan; rujuk jika perdarahan berlanjut. c) Memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota keluarga bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. d) Pemberian ASI awal. e) Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir. f) Menjaga bayi tetap sehat dengan mencegah hipotermi. g) Jika petugas kesehatan menolong persalinan, ia harus tinggal dengan ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam pertama setelah kelahiran, atau sampai ibu dan bayi dalam keadaan stabil. 2) 6 hari setelah persalinan a) Memastikan involusi uterus berjalan normal: uterus berkontraksi, fundus di bawah umbilicus, tidak ada perdarahan abnormal, tidak ada bau. 12 b) Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi, atau perdarahan abnormal. c) Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan dan istirahat. d) Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit. e) Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi seharihari. 3) 2 minggu setelah persalinan Memastikan Rahim sudah kembali normal dengan mengukur dan meraba bagian rahim. 4) 6 minggu setelah persalinan a) Menanyakan pada ibu mengenai penyulit yang ia atau bayi alami. b) Memberi konseling untuk KB sejak dini. (Saifuddin, 2014). d. Perawatan Pada Masa Nifas Kebutuhan dan perawatan pada masa nifas, antara lain: 1) Mobilisasi Setelah persalinan, ibu dianjurkan untuk istirahat dan tidur terlentang selama 8 jam. Kemudian, ibu boleh miring kanan artau miring kiriuntuk mencegah terjadinya tromboemboli dan trombosis. Pada hari kedua, ibu diperbolehkan untuk duduk, pada hari ketiga berjalan-jalan dan pada hari keempat atau kelima sudah 13 diperbolehkan pulang. Mobilisasi dapat bervariasi tergantung pada komplikasi persalinan, nifas dan sembuhnya luka-luka. 2) Diet Pada masa nifas kebutuhan akan makanan yang bermutu, bergizi seimbang dan cukup kalori terutama protein, sayur-sayuran, buah-buahan dan mengkonsumsi banyak cairan sangat penting. 3) Miksi Proses buang air kecil dapat dilakukan sewakti-waktu dan dapat dilakukan sendiri. Namun, yang mengalami kesulitan dalam perkemihan dapat dilakukan katerisasi sampai kandung kemih tidak mengalami kesulitan lagi dalam buang air kecil. 4) Defekasi Buang air besar seharusnya dilakukan 3-4 hari pasca persalinan. Namun bila mengalami kesulitan baik itu obstipasi maupun buang air besar keras, dapat diberikan obat laksatif per oral atau per rektal. 5) Perawatan payudara Perawatan payudara telah dimulai sejak wanita hamil agar putting susu lemas, tidak keras dan kering sebagai persiapan untuk menyusui bayinya. 6) Laktasi Proses laktasi sangat dianjurkan untuk semua ibu, terutama untuk pemberian ASI Eksklusif. Proses laktasi akan berjalan lancar apabila bayi sering disusui, isapan pada putting susu merupakan 14 rangsangan psikis yang mencetuskan pengeluaran oksitosin oleh hipofisis. Produksi ASI akan lebih banyak. Sebagai efek positifnya, involusi uteri akan lebih sempurna. Hubungan antara ibu dan bayi akan terjalin erat akibat dari menyusui. 7) Pemeriksaan pascapartum. a) Pemeriksaan Umum: Tekanan Darah, Nadi, Suhu Badan, Selera Makan, Keluhan dan sebagainya. b) Payudara: ASI, Putting susu. c) Dinding perut, perineum, kandung kemih, rektum. d) Sekret yang keluar: misalnya lochea, flour albus. e) Keadaan alat-alat kandung 8) Nasihat untuk ibu postnatal a) Fisioterapi postnatal sangat dianjurkan. b) Anjuran untuk menyusui bayi secara eksklusif. c) Untuk melakukan KB. d) Anjuran untuk mengimunisasikan anaknya.(Sofian, 2013) 2. HIV/AIDS Pada Ibu Nifas a. Pengertian Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang terinfeksi HIV akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala dari suatu penyakit) untuk jangka waktu yang lama. Meski 15 demikian, mereka dapat menularkan kepada orang lain tanpa mereka sadari. Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat AIDS adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virusHIV dalam tubuh seseorang.“acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi didapat; “immune” adalah sistem daya tangkal atau kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit; “deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan “syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS adalah bentuk lanjut dari virus HIV, yang merupakan kumpulan gejala penurunan sistem kekebalan tubuh.Infeksi HIV berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga penderita tidak dapat menahan serangan infeksi jamur, bakteri atau virus. Kebanyakan Orang Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA akan meninggal dalam beberapa tahun setelah tanda pertama AIDS muncul bila tidak ada pelayanan dan eraoi yang diberikan (Kemenkes, 2013). b. Struktur HIV Partikel HIV adalah virus RNA yang ber-envelop, berbentuk bulat sferis dengan diameter 80-120 nm. Partikel yang infeksius terdiri dari dua untai single stranded RNA positif yang berada di dalam inti protein virus (ribonukleoprotein) dan dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid yang ditancapi oleh 72 buah tonjolan (spikes) glikoprotein (Gambar 1). Envelope polipeptida terdiri dari dua subunit yaitu glikoprotein luar (gp120) yang merupakan tempat ikatan reseptor 16 (receptor binding) CD4+ dan glikoprotein transmembran (gp41) yang akan bergabung dengan envelope lipid virus. Protein-protein pada membrane luar ini terutama berfungsi untuk mediasi terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan reseptorkemokin.7,8 Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks (p17), yang kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural virion. Envelope lipid terbungkus dalam protein kapsid yang berbentuk ikosahedral p17.Protein dalam (p24) kapsid virion dan matriks mengelilingi sehingga inti membentuk 'cangkang' di sekeliling material genetik. Protein nukleokapsid terdapat dalam 'cangkang' tersebut dan berikatan langsung dengan molekul-molekul RNA (Suhaimi, 2007). Gambar 2.1 struktur HIV (Suhaimi, 2007) c. Etiologi Penyakit Infeksi Menular Seksual yang selanjutnya disingkat IMS adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual secara vaginal, anal/lewat anus dan oral/dengan mulut. Penularan virus HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik yang tidak steril atau terkontaminasi HIV dan penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke janin dalam kandungannya yang dikenal sebagai penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) (Kemenkes, 2013). 17 Penyebab AIDS adalah retrovirus RNA yang dinamai human immunodefisiency virus (HIV), HIV -1 dan HIV -2. Sebagian besar kasus di dunia disebabkan oleh infeksi HIV -1. Penularan serupa dengan penularan virus hepatitis B, dan hubungan seks adalah rute utama. Virus juga dapat ditularkan melalui darahatau produk yng tercemar darah dan ibu dapat menginfeksi janin mereka (Cunningham dkk, 2013). d. Patofisiologi infeksi HIV Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akanterinfeksi dan virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4 dan makrofag). Virus HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibody untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi terbentuknya antibody yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2 sampai 12 minggu dan disebut masa jendela (window period).Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negative. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik) untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya 18 kepada orang lain. Kita hanya dapat mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratorium antibodi HIV serum.Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus memperbanyak dirisecara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik. Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi HIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV, misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE), Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis (CM), retinitis Cytomegalovirus(CMV), dan Mycobacterium avium (MAC) (Kemenkes, 2013). 19 Human immunodeficiency virus Infeksi pada janin plasenta Menginfeksi sel limfosit T CD4 dan magrofag ASI Infeksi pada bayi Menurunnya kemampuan imun System imun spesifik dan non spesifik turun Sel keganasan immunodefisi ensi Infeksi oportunistik Kaposis sarkoma Penonjolan kulit Gangguan citra tubuh Bagan 2.1 Patofisiologis HIV (Kemenkes,2013) Tuberkulosis Herpes zoster Oral hairy cell leukoplakia Oral candidiasi Papularprurit ic eruption Pneumocytis carinii pneumonia Cryptococcal meningitis Retinitis cytomegalovir us Mycobacteriu m avium e. Faktor Resiko 1) Faktor Ibu a) Jumlah virus (viral load) Resiko penularan HIV menjadi sangat kecil apabila kadar HIV dalam darah rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV dalam darah diatas 100.000 kopi/ml maka resiko penularan akan sangat besar. 20 b) Jumlah sel CD4 Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah akan lebih beresiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah sel CD4 maka resiko penularan HIV semakin besar. c) Status Gizi selama hamil Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi. d) Penyakit Infeksi selama hamil Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi reproduksi lainnya, malaria dan TBC, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayinya. e) Gangguan pada payudara Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lainnya, seperti mastitis, abses dan luka di puting dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI. 2) Faktor Bayi a) Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir premature dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik. 21 b) Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar. c) Adanya Luka di mulut bayi Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI. 3) Faktor Obstetri a) Jenis Persalinan Risiko penularan persalinan pervaginam lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar (section caesaria). Namun, apabila VL (Viral Load) ibu rendah karena konsumsi ARV (Antiretroviral) yang rutin maka persalinan pervaginam sangat dianjurkan, karena persalinan dengan bedah sesar akan menimbulkan resiko infeksi lainnya pasca persalinan (Green, 2009). b) Lama Persalinan Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. c) Pecahnya ketuban Ketuban pecah dini lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam. kali lipat 22 d) Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi (Permenkes, 2013) f. Gambaran klinis Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan ciri tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk.Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung 8-10 tahun.Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun dan ada pula yang perjalanannya lambat (Kemenkes RI, 2011). Partikelvirus HIV yang menginfeksi tubuh pasien akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, maka seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian besar berkembang menuju tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap (Sudoyo dkk,2010). 23 Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkolusis, infeksi jamur, dan herpes (Permenkes, 2013) g. Pencegahan Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilakukan melalui kegiatan komprehensif yang meliputi empat pilar (4 prong), yaitu 1) Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (1549 tahun). 2) Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif. 3) Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya. 4) Dukungan psikologis, sosial dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya (Permenkes RI, 2013) h. Penatalaksanaan HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat retroviral, atau disingkat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan 24 produktif.Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya kerentanan ODHA terhadap infeksi oportunistik (Sudoyo, 2010). Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu: 1) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV) jangka pendek maupun ART jangka panjang. 2) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkolusis, hepatitis, toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks 3) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikologis dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. (Sudoyo, 2010) Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang (Sudoyo, 2010). Penatalaksanaan untuk ibu hamil maupun nifas dengan HIV/AIDS sedikit berbeda dikarenakan kondisi yang lebih risiko dan dapat menularkan ke janin maupun lingkungan sekitar dengan lebih mudah. Menurut Cunningham, dkk (2014) penatalaksanaan wanita hamil dimulai dari fase kehamilan, persalinan dan pasca persalinan. Apabila wanita tersebut sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil maka penatalaksanaan yang di lakukan sesuai 25 dengan penatalaksaan sebelum hamil yaitu pemberian ARV, pemberian profilaksis kotrimoksazol, pemberian informasi, konseling dan dukungan untuk kehamilan ini (Green,2009) Menurut WHO (2013), penatalaksanaan dilakukan pada ibu. 1) Merencanakan pemberian ARV tindak lanjut, pemberian harus dilakuan secara hati-hati tergantung dari pengobatan dan tingkat VL dalam tubuh (pemberian ARV diberian seumur hidup atau selama periode risiko penularan dari ibu ke anak, tergantung pada kebijakan nasional dan kelayakan ARV) serta lakukan pemantauan pemberian pengobatan. 2) Diperlukan rencana tindak lanjut kepada anak yang terpajan HIV untuk meninjau rencana pemberian ASI dan berikan perawatan ARV. 3) Pemberian Profilaksis kotrimoksazol 4) Dukungan psikologis dari keluarga dan lingkungan serta tenaga kesehatan yang menangani. 5) Pemberikan konseling kepada keluarga mengenai perawatan dan pengobatan pada ibu dan bayi dengan HIV/AIDS 6) Pilihan untuk menyusui bayinya atau tidak. Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi melalui menyusui cukup tinggi 5-20%. Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan ARV. Pemberian ARV jangka pendek dan ASI 26 eksklusif memiliki risiko penularan 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Namun, terapi ARV jangka panjang, risiko penularan menjadi 1-5% dan ibu dapat menyusui secara eksklusif dengan risiko penularan yang sama (Permenkes RI, 2013) 7) Pemilihan Alat kontrasepsi yang tepat. Apabila salah satu pasangan tidak terinfeksi maka alat kontrasepsi kondom adalah pilihan yang paling tepat. Karena kondom dapat menghindarkan dari berbagai infeksi HIV mapun penyakit IMS lainnya. Namun, apanila keduanya sudah terinfeksi maka AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) merupakan pilihan yang tepat pada kondisi tersebut (Cunningham dkk, 2014). Apabila ibu sudah memiliki anak yang cukup dan tidak ingin i. Pemberian Terapi Antiretroviral Pada kebijakan PPIA 2011, ART diberikan kepada semua perempuanhamil HIV positif tanpa harus memeriksakan kondisi CD4nya lebih dahulu.Penentuan stadium HIV-AIDS pada ibu hamil dapat dilakukan berdasarkan kondisi klinis pasien dengan atau tanpa pemeriksaan CD4. Pemeriksaan CD4 pada ibu hamil HIV positif terutama digunakan untuk memantau pengobatan. 27 Tabel 2.1 Waktu yang Tepat untuk Pemberian ARV Populasi Target Pasien naive dengan HIV+ asimtomatik Pasien naive HIV+ dengan gejala Pedoman Pemberian ARV tahun 2010 CD4 ≤350 sel/mm3 Stadium 2 dengan CD4 ≤350 sel/mm3 atau Stadium 3 atau 4 tanpa memandang nilai CD4nya Ibu hamil Semua ibu hamil diberi ARV · tanpa indikasi ARV: mulai pada umur kehamilan≥ 14 minggu, · dengan indikasi : segera berikan ARV Populasi Sumber. Permenkes 2013 Pedo man pemberian ARV tahun 2010 Pemberian ART pada ibu hamil HIV positif selain dapat mengurangi risikopenularan HIV dari ibu ke anak, adalah untuk mengoptimalkan kondisikesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin. Pemberian ARV sebaiknya disesuaikan dengan kondisi klinis yang sedangdialami oleh ibu. Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu selama kehamilan dan dilanjutkan selama menyusui adalahintervensi yang paling efektif untuk kesehatan ibu dan juga mampumengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi pada kelompok wanitadengan risiko tinggi. Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalahterapi menggunakan tiga obat kombinasi (2 NRTI + 1 NNRTI). Seminimalmungkin hindarkan tripel nuke (3 NRTI). Regimen yang direkomendasikan adalah sebagai berikut : 28 Tabel 2.2 Rekomendasi Terapi ARV pada Ibu hamil HIV positif Pada Ibu AZT + 3TC + NVP Dapat diberikan sejak trimester 1 atau umur kehamilan <14 minggu, ibu tidak anemia dan/atau CD4 < 250 sel/mm3 (karena efek hepatotoksik NVP pada perempuan biasa timbul jika CD4 <250 sel/mm3) AZT + 3TC + EVP* Dapat diberikan pada trimester 2 atau umur kehamilan ≥ 14 minggu dan ibu tidak anemia TDF + 3TC + NVP Dapat diberikan jika ibu anemia, dapat diberikan sejak trimester 1 TDF + 3TC + EVP* Dapat diberikan jika ibu anemia, diberikan mulai trimester 2 Sumber. Permenkes 2013 Pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil HIVpositif adalah sebagai berikut : 1. Indikasi pemberian ARV adalah sama seperti protokol pemberian ART pada Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral HIV pada Orang Dewasa, tahun 2010. 2. Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan, dan pasien sudah mendapatkan ARV, maka saat hamil ARV tetap diteruskan dengan rejimen yang sama seperti saat sebelum hamil. 3. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sebelum umur kehamilannya 14 minggu, jika ada indikasi untuk segera diberikan ARV, maka kita berikan ARV. Namun jika tidak ada indikasi, pemberian ARV ditunggu hingga umur kehamilannya 29 14 minggu. Regimen ARV yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu. 4. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur kehamilan ≥ 14 minggu, segera diberikan ARV berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya. Regimen ARV yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu. 5. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang persalinan, segera diberikan ARV sesuai kondisi klinis ibu. Pilihan kombinasi rejimen ARV sama dengan ibu hamil yang lain. (Kemenkes, 2011) B. TEORI MANAJEMEN KEBIDANAN Tujuh langkah proses manajemen kebidanan menurut Helen Varney sebagai berikut : 1. Langkah I : Pengumpulan Data Dasar Secara Lengkap Untuk memperoleh data dasar secara lengkap kasus HIV/AIDS dapat diperoleh melalui : a. Data Subyektif Pengumpulan data subyektif pada kasus ibu nifas dengan HIV/AIDS dapat diperolah melalui : 1) Anamnesa a) Identitas Usia pasien perlu dikaji untuk mengetahui faktor resiko. Pada wanita usia subur (15-44 tahun) sangat rentan terinfeksi 30 HIV/AIDS. Pekerjaan juga mempengaruhi faktor resiko dari HIV/AIDS, wanita tuna susila lebih rentan terkena HIV/AIDS dan pasangan yang bekerja jauh juga salah satu factor resiko dari HIV/AIDS (Tharpe dan Farley, 2013). b) Keluhan Utama Keluhan utama yang biasanya muncul dari kasus ibu nifas dengan HIV/AIDS yaitu mengeluh adanya demam berkepanjangan, mengalami penurunan berat badan yang signifikan, diare berkepanjangan, terdapat herpes zooster (Tharpe dan Farley, 2013). Keluhan Pada Masa Nifas adalah mules pada perut dikarenakan proses involusi uteri (saleha, 2010). c) Data Kebidanan 1) Riwayat Obstetri Usia kehamilan yang sangat muda (dibawah 15 tahun) dapat menyebabkan faktor risiko terinfeksi HIV. Memiliki riwayat IMS ataupun sitologi serviks abnormal.Pengakajian lebih lanjut tentang hubungan seksual juga mempengaruhi tertularnya HIV. Mulai dari pasangan, penyalahgunaan zat/obat-obatan secara IV, pasien atau suami yang sering bergonta-ganti pasangan (Tharpe dan Farley, 2013). 31 2) Riwayat Kehamilan dan Persalinan Sekarang Pada kasus nifas dengan HIV/AIDS riwayat kehamilan dan persalinan sekarang perlu dikaji. Status HIV yang diketahui atau tidak.Sedikit atau tidak ada perawatan prenatal. Mula pemberian terapi ART sangat mempengaruhi kondisi dan status VL dalam tubuh ibu sejak masa hamil hingga persalinan, dengan diketahui proses terapi ART dan status VL dalam tubuh dapat ditentukan jenis persalinan yang akan dipilih (Tharpe dan Farley, 2013). Riwayat persalinan sebelumnya juga mempengaruhi proses persalianan yang akan datang, jika seorang ibu dengan HIV/AIDS pada proses persalinan sebelumnya melakukan proses persalinan menggunakan bedah sesar maka untuk persalinan selanjutnya juga dianjurkan untuk bedah sesar (Green, 2009). 3) Data Kesehatan Riwayat Kesehatan Sekarang Pada riwayat kesehatan sekarang terdapat keluhan yang dirasakan oleh ibu sesuai dengan gejala-gejala pada HIV/AIDS yaitupenurunan berat badan, ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) berulang, herpes zoster dalam 5 tahun. (Green, 2009). 32 4) Data Kebiasaan Sehari-hari Pola personal hygiene, kebersihan alat-alat vital dapat mempengaruhi terjadinya IO (infeksi oportunistik). Ibu hamil dengan HIV lebih sering terkena herpes zoster dibanding dengan ibu yang tidak terinfeksi HIV/AIDS. Data kebiasaan sehari-hari digunakan untuk mengatahui terjadinya IO dan antisipasinya (Green, 2009). 5) Data Psikososial Data ini digunakan untuk mengetahui hubungan klien dengan keluarga dan masyarakat, bagaimana tanggapan klien terhadap kehamilan dan persalinannya. Apakah kehamilan ini mendapat dukungan dari keluarga terutama suami, dikarenakan ibu hamil dan bersalin dengan HIV/AIDS perlu dukungan baik moril maupun materil sepenuhnya dari keluarga terdekat (permenkes RI, 2013). b. Data Objektif Pengumpulan data Objektifpada kasus ibu nifas dengan HIV/AIDS antara lain: 1) Pemeriksaan Umum Nadi akan meningkat setelah persalinan, namun denyut nadi yang melebihi 100 kali per menit harus curiga kemungkinan infeksi atau perdarahan post partum. Suhu meningkat sekitar 0,5o Celcius dari keadaan normal, tetapi tidak melebihi 38,0o 33 Celcius. Bila suhu badan lebih dari 38,0o Celcius kemungkinan ada infeksi, pada kasus HIV/AIDS kemungkinan terjadi peningkatan suhu tubuh. Sedangkan tekanan darah ibu setelah melahirkan tidak terjadi perubahan.Memeriksa involusi uteri, pengeluaran pervaginam dan pemeriksaan payudara (Sulityawati, 2009). 2) Pemeriksaan Fisik Pada kasus HIV/AIDS, perlu dilakukan pemeriksaan fisik pada seluruh tubuh secara lebih khusus, Pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk mengetahui terdapat IO pasca persalinan dan upaya untuk mengatasinya (Green, 2009) diantaranya: a) Kulit terdapat ruam, ulserasi mukokutan, lesi, herpes zoster. b) HEENT (kepala, mata, telinga, hidung, tenggorokan) terdapat nodus limfe servikal, kandidiasis oral atau lesi ulserasi, eritema faring. c) Dada terdapat pengkajian jantung, suara paru maupun adanya batuk; pada abdomen terdapat pembesaran hati atau limfa, bising usus, ASI sudah keluar, perawatan payudara. d) Ekstremitas pengkajian rentang gerak, nyeri tekan sendi atau pembengkakan, nodus limfe femoral; pada pemerikan panggul terdapat lesi, ulserasi mukokutan pada genital, rabas, lesi serviks, nyeri tekan uterus (Tharpe dan Farley, 2013). 34 3) Pemeriksaan Khusus Obstetrik a) Inspeksi Pasien pada HIV/AIDS perlu pemeriksaan ASI sudah keluar atau belum, pemeriksaan seluruh tubuh terjadinya IO, terutama pada genitalia terdapat herpes zoster dan pengeluaran pervaginam, (Green, 2009). b) Palpasi Pemeriksaan abdomen untuk mengetahui TFU dan kontraksi uterus (Sulistyawati, 2009). 4) Pemeriksaan Laboratorium a) Skrining HIV pertama kali pasien melakukan skrining HIV. Skrining HIV dapat dilakukan kepada semua wanita usia 13-63 tahun. Pada semua ibu hamil TM 1.Krining juga dilakukan pada wanita dengan risiko tinggi. Skrining antibody positif dapat dilakukan >2-14 minggu pasca infeksi (Tharpe dan Farley, 2013). b) Pemeriksaan antibody HIV-1 Pemeriksaan HIV -1 cepat dilakukan melalui oral, darah atau plasma. Hasil positit palsu dapat terjadi. Pemeriksaan cepat apat lakukan apabila status HIV yang tidak diketahuidan sedikit atau tidak ada perawatan prenatal. Pemeriksaan Enzyme immonuassay dengan sample vena (tiger-top tube) (Tharpe dan Farley, 2013). 35 c) Pemeriksaan laboratorium lain Melakukan pemeriksaan laboratorium lain guna mengantisipasi dan mengetahui kondisi pasien untuk dilakukan terapi dengan pemeriksaan hematokrit, interpretasi jumlah sel T CD4, pengukuran viral load, resistensi obat-obatan, pemeriksaan gonore dan klamidia, pap smear, serologi hepatitis A,B,dan C, serologi sifilis, pemeriksaan tuberculosis, skrining IMS, serologi toksoplasma, serologi CMV (cytomegalovirus) (sabarudin, 2015) 2. Langkah II : Interpretasi Data Dasar Interpretasi data dari data ibu nifas dengan HIV/AIDS yang telah dikumpulkan pada langkah pengkajian data mengacu pada : 1) Diagnosa kebidanan Diagnosa kebidanan pada kasus ibu nifasHIV/AIDS adalah Ny. D P2A0 umur 33 tahun postpartum hari ke 1 dengan HIV/AIDS. Data Subjektif Pernyataan dari pasien mengenai identitas dan keluhan yang dialami. Keluhan utama yang dialami yaitu mengeluh adanya demam berkepanjangan, mengalami penurunan berat badan yang signifikan, diare berkepanjangan, terdapat herpes zooster (Tharpe dan Farley, 2013). Data Objektif 36 Data objektif dihasilkan dari pemeriksaan umum yang meliputi Keadaan umum dan vital sign. Hasil pemeriksaan fisik pada genitalia meliputi pemeriksaan pengeluaran pervaginam, proses involusi uteri dan terdapat herpes zoster (Green, 2009) 2) Masalah Masalah pada ibu nifas dengan HIV/AIDS adalah menurunnya kondisi fisik pasca persalinan menyebabkan meningkatnya risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi. Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.Mastitis dan abses pada puting dapat meningkatkan risiko penularan ke bayi dengan menyusui. Tindakan pada saat persalinan dapat mempengaruhi tingkat infeksi pasca persalinan. Rasa khawatir tidak dapat menjadi ibu dan mengasuh anaknya dengan baik dikarenakan kondisi pasien yang menderita HIV/AIDS (Green, 2009; permenkes, 2013) 3) Kebutuhan Kebutuhan ibu nifas dengan HIV/AIDS terhadap masalah dapat berupapemberian informasi mengenai penatalaksanaan pasca persalinan dengan pemberian dukungan psikologis untuk ibu dan keluarga. Memberikan informasi mengenai kebiasaan sehari-hari di rumah agar pada masa nifas HIV pada darah nifas tidak menularkan 37 ke keluarga dan masyarakat. Memberikan informasi tentang kebutuhan bayi dan penanganannya (Green, 2009). 3. Langkah III : Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial atau Diagnosa dan Mengantisipasi Penanganannya Diagnosa potensial yang terkait pada kasus HIV/AIDS adalah meningkatnya Infeksi oportunistik pasca persalinan dan meningkatnyarisiko transmisi penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi pada masa nifas (Green, 2009). Antisipasi penanganan yang dapat dilakukan oleh bidan adalah observasi pengeluaran pervaginam, proses involusi uteri, perawatan payudara, kebutuhan nutrisi dan personal hygiene (Therpe dan Farley 2013). 4. Langkah IV : Menetapkan Kebutuhan terhadap Tindakan Segera Pada kasus ibu nifas dengan HIV/AIDS kebutuhan segera yang perlu diberikan adalah kolaborasi dengan dokter SpOG dan SpPD dalam pemberian profilaksis kotrimoksazol dan pemberian ART pada ibu dan bayi (Green, 2009). Kolaborasi pada kasus ini perlu dilakukan dikarenakan bidan sebagai anggota tim dari layanan kolaborasi di rumah sakit. Layanan kolaborasi adalah layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim yang kegiatannya dilakukan secara bersamaan atau sebagai salah satu dari sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan (KMK No. 369/MENKES/SK/III/2007). 5. Langkah V : Menyusun Rencana Asuhan yang Menyeluruh 38 Rencana tindakan pada ibu nifas dengan HIV/AIDS menurut Kemenkes RI (2013), Green (2009), Therpe dan Farley (2013), WHO (2013)meliputi : 1) Jelaskan pada ibu dan keluarga mengenai keadaan yang dialami ibu 2) Motivasi pada ibu dan keluarga untuk dapat menerima kondisi ibu dan bayinya. 3) Observasi kondisi umun dan vital sign ibu. 4) Observasi pengeluaran pervaginam,TFU dan kontraksi uterus. 5) Berikan informasi mengenai pemilihan pemberian ASI Eksklusif atau PASI. 6) Anjurkan ibu untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi. 7) Menjaga payudara tetap bersih dan kering serta tidak ada luka. 8) Berikan dukungan psikologis untuk ibu dan keluarga. 9) Berikan konseling kepada keluarga mengenai perawatan dan pengobatan pada ibu dengan HIV/AIDS. 10) Berikan informasi tentang pemilihan alat kontrasepsi yang tepat yaitu AKDR atau kondom. 11) Berkolaborasi dengan SpOG dan SpPD untuk pemberian terapiART dan profilaksis kotrimoksazol. 12) Lakukan pemantauan kondisi klinis terkait HIV. 13) Berkolaborasi dengan SpOG dan SpPD untuk menilai dan mengobati untuk kondisi terkait misal paparan TB, infeksi oportunistik dan malaria. 39 6. Langkah VI : Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman Pada kasus ibu nifas dengan HIV/AIDS, bidan telah melaksanakan asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah kelima secara efisien dan aman. Realisasi dari perencaan dapat dilakukan oleh dokter, bidan, pasien atau anggota keluarga lain. Meskipun bidan tidak melakukan asuhan dan terapi secara seluruhnya ia tetap memikul tanggungjawab atas terlaksananya seluruh perencanaan (Sulistyawati,2009). 7. Langkah VII : Evaluasi Evaluasi yang diharapkan pada kasus asuhan kebidanan Ny. D dengan HIV/AIDSadalah keluarga dapat mengerti dan memahami kondisi ibu dan bayi yang terinfeksi HIV/AIDS, pasien dengan HIV/AIDS mendapatkan terapi dan perawatan sesuai dengan kondisinya. C. Follow Up Catatan Perkembangan Kondisi Klien Varney (2007) menyatakan bahwa alur berfikir bidan saat menghadapi klien meliputi 7 langkah.Tujuh langkah Varney disarikan menjadi 4 langkah, yaitu SOAP (Subjektif, Objektif, Assessment, dan Planning). S : Subjektif Menggambarkan pengumpulan data pasien melalui anamnesa. Pada kasus ibu nifas dengan HIV/AIDS, diharapkan ibu sudah dapat menerima keadaan dan kodisinya serta mengerti tentang penatalaksanaan dan perawatan pasca persalinan secara tepat (Green, 2009) O: Objektif 40 Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.Data objektif pada kasus HIV/AIDS adalah hasil pemeriksaan umum dan pemeriksaan fisik pada ibu.Untuk mengetahui keadaan umum ibu meliputi tekanan darah, suhu, nadi, dan respirasi. Dalam keadaan normal tekanan darah 120/80 mmHg, suhu tidak melebihi 380C, nadi 60-80 kali per menit, pengeluaran pervaginam, kontraksi uterus dan TFU serta pemeriksaan khusus yang terdiri dari pemeriksaan infeksi oportunistik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium tentang jumlah virus dalam tubuh (Sulistyawati, 2009; Green, 2009). A :Assesment Menggambarkan pendokumentasian analisis dan interpretasi data subjekstif dan objektif dalam suatu identifikasi diagnose atau masalah potensial serta perlunya tindakan segera pada kasus HIV/AIDS. Diagnosa dalam studi kasus ini: Ny. D umur 33 tahun, P2A0 dengan HIV/AIDS (Varney, 2007) P :Planning Penatalaksanaan, mencatat seluruh perencanaan dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan secara komprehensif, penyuluhan dan dukungan, kolaborasi, evaluasi atau follow up dari rujukan sebagai langkah 3, 4, 5, 6, dan 7 Varney. Perencanaan yang dapat dilakukan untuk ibu dengan HIV/AIDS adalah memberitahu pada ibu dan keluarga mengenai keadaan yang dialami ibu, memotivasi ibu dan keluarga untuk dapat menerima kondisi ibu dan bayinya, mengobservasi kondisi umun dan vital sign ibu mengobservasi 41 perdarahan pervaginam,TFU dan kontraksi uterus, memberikan informasi mengenai pemilihan pemberian ASI Eksklusif atau PASI, memberikan informasi tentang kebutuhan nutrisi pada ibu dan bayi, menjaga payudara tetap bersih dan kering serta tidak ada luka, memberikan dukungan psikologis untuk ibu dan keluarga, memberikan konseling kepada keluarga mengenai perawatan dan pengobatan pada ibu dan bayi dengan HIV/AIDS, memberikan informasi tentang pemilihan alat kontrasepsi yang tepat yaitu AKDR atau kondom, melakukan kolaborasi dengan SpOG dan SpPD untuk pemberian terapi ART dan profilaksis kotrimoksazol dan penilaian serta pengobatan terkait infeksi oportunistik. Evaluasi dari tindakan yang dilakukan adalah kondisi ibu tidak memburuk dikarenakan infeksi oportunistik dan keluarga dapat menerima serta memberi dukungan dan partisipasi untuk perawatan serta asuhan yang dapat di berikan untuk ibu.