PEMANFAATAN BAKTERI PROBIOTIK UNTUK MENEKAN INFEKSI Colletotrichum acutatum DAN MENINGKATKAN MUTU BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) SELAMA PENYIMPANAN ANNA TEFA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Bakteri Probiotik untuk Menekan Infeksi Colletotrichum acutatum dan Meningkatkan Mutu Benih Cabai (Capsicum annuum L.) Selama Penyimpanan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015 Anna Tefa NIM A251120061 RINGKASAN ANNA TEFA. Pemanfaatan Bakteri Probiotik untuk Menekan Infeksi Colletotrichum acutatum dan Meningkatkan Mutu Benih Cabai (Capsicum annuum L.) Selama Penyimpanan. Dibimbing oleh ENY WIDAJATI, MUHAMAD SYUKUR dan GIYANTO. Cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah salah satu tanaman hortikultura yang mempunyai peranan penting di Indonesia. Salah satu penyakit yang menyerang pertanaman cabai adalah penyakit antraknosa. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan genus Colletotrichum yaitu species Colletotrichum acutatum. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bakteri yang bersifat antagonis terhadap cendawan C. acutatum, meningkatkan mutu benih cabai melalui aplikasi coating benih dan mengetahui kemampuan bakteri probiotik selama penyimpanan dan pembibitan untuk mengendalikan C. acutatum. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama yaitu uji antagonis untuk memperoleh bakteri probiotik yang bersifat antagonis terhadap C. acutatum dengan metode biakan ganda (dual cultura). Pengujian percobaan pertama dilakukan di Laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor. Percobaan kedua yaitu efektivitas seed coating menggunakan bakteri probiotik terhadap viabilitas potensial, vigor dan kesehatan benih cabai. Pengujian percobaan kedua dilakukan di laboratorium dengan metode uji di atas kertas (UDK) dan pengujian di Rumah Kaca. Rancangan pada percobaan kedua adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah perlakuan coating benih yang terdiri atas enam taraf yaitu kontrol, coating benih tanpa bakteri, coating benih dengan bakteri Bacillus sp., coating benih dengan Pseudomonas sp., coating benih dengan Actinomycetes sp., dan coating benih dengan fungisida. Faktor kedua adalah periode simpan yang terdiri atas enam taraf yaitu 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 bulan. Setiap periode simpan dilakukan pengujian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga bakteri yang bersifat antagonis terhadap C. acutatum dilihat dari persentase penghambatan yang paling tinggi yaitu Actinomycetes sp. (ATS6) 56.8%, Bacillus sp. (B48) 56.7% dan Pseudomonas sp. (P12) 46.7%. Aplikasi bakteri probiotik meningkatkan viabilitas dan kesehatan benih cabai pada periode simpan 5 bulan, pada tolok ukur potensi tumbuh maksimum 80-84%, daya berkecambah (DB) 76-78.7%, benih terinfeksi pada coating Actinomycetes sp. 2.67% dan Bacillus sp. 6.7% serta meningkatkan jumlah daun pada bibit cabai. Bacillus sp. mengandung indole acetic acid (IAA) 91.8 ppm dan giberelin (GA3) 103.2 ppm. Actinomycetes sp. mengandung 89.6 ppm IAA dan GA3 92.5 ppm, dan Pseudomonas sp. mengandung 68.9 ppm IAA dan GA3 69.2 ppm. Kata kunci: Actinomycetes sp., Bacillus sp., Pseudomonas sp., coating benih SUMMARY ANNA TEFA. Use of Probiotic Bacteria to Suppress Colletotrichum acutatum Infections and Improve Chilli (Capsicum annuum L.) Seeds Quality During Storage. Supervised by ENY WIDAJATI, MUHAMAD SYUKUR and GIYANTO Chilli (Capsicum annuum L.) is one of important horticultural plant in Indonesia. One of diseases attacking chilli is anthracnose disease, caused by fungi from Colletotrichum genus namely Colletotrichum acutatum species. This research aimed to obtain antagonistic bacteria against C. acutatum, increase chilli seed quality through seed coating application and determine the ability of the probiotic bacteria during storage and nursery to control C. acutatum. This research consisted of two experiment. The first experiment was antagonistic test to obtain probiotic bacteria against C. acutatum using dualculture method. Testing of the first experiment was conducted in laboratory using single-factor completely randomize design. The second experiment was the efficacy of seed coating using probiotic on the potential viability, vigor and the health of chilli seed. Testing for the second experiment was conducted in Laboratory using top of paper method and testing in Green House. Design for the second experiment was factorial completely randomized design with two factor. The first factor was seed coating treatment consisting of six levels, i.e. control, seed coating without bacteria, seed coating with Bacillus sp. seed coating with Pseudomonas sp. seed coating with Actinomycetes sp. and seed coating with fungicide. The second factor was storage period consisting of six level, i.e. 0, 1, 2, 3, 4 and 5 months. Testing was carried out for each storage period. The result revealed that there were three antagonistic bacteria isolates against C. acutatum, seen from the highest percentage of inhibition, i.e. isolates of Actinomycetes sp. (ATS6) 56.8%, Bacillus sp. (B48) 56.7% and Pseudomonas sp. (P12) 46.7%. Application of probiotic bacteria increased viability and the health of chilli seed for storage period of 5 months, seen from maximum growth potential 80-84%, germination capacity 76-78.7%, infected seeds in coating of Actinomycetes sp. 2.6% and Bacillus sp. 6.7% in addition to increase of leaves chilli seedling. Bacillus sp. contained 91.8 ppm indole acetic acid (IAA) and 103.2 ppm giberelins (GA3), Actinomycetes sp. contained 89.6 ppm IAA and 92.5 ppm giberelin and Pseudomonas sp. contained 68.9 ppm IAA and 69.2 ppm giberelin. Keywords: Actinomycetes sp., Bacillus sp., Pseudomonas sp., seed coating © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB PEMANFAATAN BAKTERI PROBIOTIK UNTUK MENEKAN INFEKSI Colletotrichum acutatum DAN MENINGKATKAN MUTU BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) SELAMA PENYIMPANAN ANNA TEFA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala Karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan dengan baik. Judul tesis ini adalah Pemanfaatan Bakteri Probiotik untuk Menekan Infeksi Colletotrichum acutatum dan Meningkatkan Mutu Benih Cabai (Capsicum annuum L.) Selama Penyimpanan. Tesis ini menyumbang pengetahuan yang besar bagi saya khususnya dalam meningkatkan kesehatan benih cabai menggunakan bakteri probiotik. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada Ibu Dr Ir Eny Widajati, MS, Bapak Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi dan Bapak Dr Ir Giyanto, MSi yang telah banyak membantu dan memberi saran kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) yang telah penulis terima selama ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Timor yang telah membantu penulis dalam memberikan dana penelitian. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Orang Tua, Suami serta seluruh keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga tesis ini bermanfaat untuk kemajuan bidang pertanian di Indonesia. Bogor, Maret 2015 Anna Tefa DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 1 2 3 Colletotrichum acutatum Penyebab Penyakit Antraknosa Bakteri Probiotik Penyimpanan dan Coating Benih 3 METODE 3 4 5 6 Waktu dan Tempat Sumber Benih Metode Percobaan Percobaan 1 Pelaksanaan Percobaan Rancangan Percobaan Percobaan 2 Pelaksanaan Percobaan Rancangan Percobaan Peubah Pengamatan 6 6 6 6 7 8 8 8 9 10 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 5 SIMPULAN DAN SARAN 28 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 28 28 29 LAMPIRAN 34 RIWAYAT HIDUP 37 DAFTAR TABEL 1 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap PTM, DB dan KCT pada benih cabai 2 Pengaruh perlakuan periode simpan terhadap bobot kering kecambah normal (BKKN) (g) dan hipokotil terinfeksi (HT) (%) 3 Pengaruh perlakuan coating terhadap bobot kering kecambah normal (BKKN) (g) dan hipokotil terinfeksi (%) 4 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap benih terinfeksi (%) dan populasi cendawan (cfu/g) 5 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap kecepatan tumbuh (%KN/etmal) pada pengamatan di rumah kaca 6 Pengaruh perlakuan periode simpan terhadap tinggi tanaman (cm) umur 4 minggu setelah semai 7 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap jumlah daun (helai) umur 4 minggu setelah semai 8 Pengaruh perlakuan coating terhadap hipokotil terinfeksi (%) di rumah kaca 9 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap kejadian serangan antraknosa (%) 10 Pengaruh perlakuan periode simpan terhadap rebah bibit (%) 18 20 20 21 23 24 25 25 26 27 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 Skema uji antagonis Bagan alir penelitian Persentase uji antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum Uji antagonis terhadap C. acutatum yang ditandai adanya zona hambat (tanda panah) (a) dan hifa C. acutatum yang mengalami lisis (tanda panah) pembesaran 100x (b) Benih cabai sebelum dicoating (a) dan benih cabai yang dicoating dengan bakteri probiotik (b) Hasil analisis kandungan IAA dan GA3 pada bakteri probiotik Benih terinfeksi C. acutatum (a) dan konidia C. acutatum pembesaran 100x (b) Hipokotil terinfeksi C. acutatum (a), rebah kecambah (b) dan mati pucuk (c) 7 13 14 15 17 19 22 26 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 Deskripsi Cabai Varietas Seloka IPB Komposisi media TSA Komposisi media King's B Komposisi media YCED Komposisi media PDA Hasil Analisis Media Tanam di Rumah Kaca 34 36 36 36 36 36 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan produksi tanaman di lapangan salah satunya ditentukan oleh mutu kesehatan atau patologis benih. Penggunaan benih bermutu rendah dan terinfeksi penyakit merupakan penyebab rendahnya produktivitas tanaman cabai (Capsicum annuum L.). Status kesehatan benih belum merupakan prioritas dalam manajemen perbenihan nasional. Penyakit terbawa benih atau tular benih (seed borne diseases) merupakan masalah utama dalam pertanaman karena dapat menurunkan produksi secara nyata (Siregar et al.2007). Penyakit antraknosa merupakan penyakit terbawa benih dan dapat berkembang di penyimpanan. Serangan antraknosa dapat menyebabkan kerugian hasil hingga mencapai 75% (Bernadiknus & Wiranta 2006), oleh karena itu penyakit antraknosa dijadikan salah satu kriteria standar mutu benih cabai di Indonesia. Penyakit ini menyerang pertanaman di daerah tropis dan subtropis. Ivanovic (2007) mengatakan, penyakit antraknosa cepat berkembang dan menimbulkan kerugian yang parah terutama kondisi cuaca yang panas dan hujan yang berkepanjangan. Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan genus Colletotrichum. Menurut AVRDC (2004), Colletotrichum terdiri dari empat species utama yaitu Colletotrichum gloeosporioides, Colletotrichum capsici, Colletotrichum acutatum dan Colletotrichum coccodes. Di Indonesia, diketahui bahwa C. acutatum banyak menyerang tanaman cabai. Syukur et al. (2007) melakukan isolasi 13 isolat Colletotrichum yang dikoleksi dari Bogor, Brebes, Bandung, Pasir Sarongge, Payakumbuh dan Mojokerto. Hasil isolasi menunjukkan bahwa enam isolat yang berasal dari tujuh daerah tersebut merupakan C. acutatum. Hasil penelitian Syukur et al. (2013) tentang eksplorasi cendawan penyebab antraknosa di Pulau Sumatera, Jawa dan Papua, sebanyak 42 isolat dari 67 isolat adalah C. capsici dan 25 isolat adalah C. acutatum/C. gloeosporioides. Penggunaan agens hayati berupa aplikasi bakteri probiotik merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mengendalikan penyakit antraknosa. Menurut FAO & WHO (2001), probiotik adalah mikroorganisme hidup yang ketika digunakan dalam jumlah yang cukup dapat memberi kesehatan/manfaat untuk inangnya. Bakteri probiotik memiliki kemampuan antagonis tinggi terhadap patogen, serta memiliki beberapa keuntungan yaitu tidak berdampak negatif pada lingkungan, mencegah ledakan organisme pengganggu tanaman sekunder, menghasilkan produk yang bebas residu senyawa kimia, aman bagi kesehatan manusia, terdapat disekitar pertanaman sehingga mencegah ketergantungan petani pada pestisida kimiawi sintesis serta dapat menurunkan biaya produksi. Kelemahan penggunaan agens hayati adalah reaksi efikasi terhadap jasad sasaran lebih lambat dan daya simpan produk lebih singkat dibandingkan dengan pestisida kimiawi sintesis (Hanudin & Marwoto 2012). Bakteri probiotik dapat bersaing dengan patogen untuk nutrisi, menghambat multiplikasi patogen dengan mengeluarkan antibiotik dan mengurangi populasi patogen melalui hiperparasitisme (Zivkovic et al. 2010). Kelompok bakteri 2 probiotik yang digunakan sebagai agens pengendali hayati antara lain Bacillus sp., Pseudomonas sp., dan Actinomycetes sp. Menurut Noviana & Raharjo (2009), Bacillus sp. telah terbukti dapat melarutkan fosfat, yang berperan dalam pertumbuhan tanaman, sehingga bakteri ini dapat dimanfaatkan sebagai agen yang diinokulasikan dalam pupuk hayati. Actinomycetes diketahui menghasilkan antibiotik dan enzim kitinase yang dapat merusak dinding sel cendawan yang mengandung kitin (Mujoko et al. 2005). Sallytha et al. (2006) melakukan pengujian antibiosis terhadap Erwinia carotovora. Hasil pengujian menunjukkan bahwa isolat Actinomycetes memiliki sifat antagonis, ditunjukkan dengan terbentuknya zona penghambatan meskipun terdapat variasi diameter penghambatan pada masing-masing isolat. Hasil penelitian Handoko et al. (2014), Bacillus sp. (UB-ABL1) dan Bacillus subtilis (UB-ABS1) efektif menghambat pertumbuhan Fusarium sp. secara in vitro. Hasil penelitian Gunawan (2006), tentang penggunaan mikroba antagonis menunjukkan bahwa biopestisida Pseudomonas fluorescens PFMBO 001 50 WP dan Bacillus subtilis BSBE 001 50 WP dapat digunakan sebagai fungisida biologis untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai merah. Berbagai metode pengendalian penyakit tanaman sangat bervariasi dari satu penyakit ke penyakit lainnya, tergantung dari jenis patogen, jenis inang dan interaksi antara keduanya. Berdasarkan keadaan ini, uji antagonis bakteri probiotik perlu dilakukan dalam rangka menemukan agens hayati baru yang berpotensi sebagai pengendali hayati penyakit tanaman yang ramah lingkungan. Bakteri probiotik yang potensial selanjutnya diaplikasikan melalui proses coating benih untuk memperbaiki mutu dan mengurangi penyebaran penyakit antraknosa melalui benih selama penyimpanan. Tujuan 1. Menguji isolat bakteri probiotik yang bersifat antagonis terhadap C. acutatum; 2. Meningkatkan mutu benih cabai melalui proses coating benih; 3. Mengetahui kemampuan bakteri probiotik selama penyimpanan dan pembibitan untuk mengendalikan C. acutatum. 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Colletotrichum acutatum Penyebab Penyakit Antraknosa Menurut Guerber & Correl 2001, cendawan C. acutatum dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Phylum Subphylum Class Order Family Genus Species : Fungi : Ascomycota : Pezizomycotina : Sordariomycetes : Glomerellales : Glomerellaceae : Colletotrichum : C. acutatum Colletotrichum acutatum adalah patogen utama tanaman buah yang menyebabkan kerugian ekonomi besar terhadap buah-buahan pada iklim sedang, tropis, dan sub-tropis di seluruh dunia. Colletotrichum acutatum dapat merusak hampir semua bagian tanaman, mulai dari akar, daun, bunga, ranting, buah dan menyebabkan berbagai penyakit seperti busuk akar, mati pucuk, defoliasi, hawar bunga, dan busuk buah. Ada dua jenis serangan Colletotrichum yang berbeda yang menyerang buah yaitu yang menyebabkan penyakit pada buah yang belum matang dan masih berkembang di kebun (sebelum panen) dan yang merusak buah matang pada saat panen dan selama penyimpanan (pascapanen). Buah yang dirusak oleh spesies Colletotrichum pasca panen sering tampak benar-benar sehat ketika dipanen, dengan gejala penyakit yang hanya muncul ketika dalam masa penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh kemampuan banyak spesies Colletotrichum untuk menyebabkan infeksi laten atau infeksi pasif dimana cendawan menginfeksi buah belum matang di kebunnya dan menjadi dorman sampai buah masak, kemudian cendawan tersebut melanjutkan pertumbuhannya untuk menyebabkan penyakit pada buah tersebut. Di lapangan C. acutatum disebar oleh percikan air hujan. Konidia sekunder dihasilkan dari perkecambahan konidia primer, bentuknya lebih kecil dan bervariasi. Proses penetrasi patogen khususnya cendawan pada benih dapat melalui luka-luka atau lubang-lubang alami maupun penetrasi langsung (direct penetration) ke permukaan kulit melalui pembentukan suatu badan khusus yang disebut appresoria (Wharton & Uribeondo 2004). Ciri-ciri morfologi C. acutatum adalah konidia berbentuk silindris dengan ujung runcing, miselium berwarna putih hingga abu-abu. Saat dibiakkan pada media potato dextrose agar, warna koloni jika dibalik adalah oranye hingga merah muda. Colletotrichum acutatum membentuk pigmen sederhana tetapi sedikit atau bahkan ada yang tidak memiliki seta, memilik laju pertumbuhan yang lambat, temperatur pertumbuhan optimum 25 0C serta sensitivitas terhadap benomil (Damm et al. 2012). 4 Bakteri Probiotik Bakteri probiotik adalah bakteri baik yang menghasilkan efek kesehatan pada organisme lain atau inangnya. Bakteri probiotik menghasilkan metabolit yaitu asam organik, hidrogen peroksida, karbohidrat dan senyawa yang bersifat antimikroba terhadap patogen. Bakteri ini mampu mengikat senyawa racun hasil metabolisme protein dan lemak serta hasil pemecahan enzim tertentu. Probiotik juga merupakan bakteri hidup yang dapat diberikan sebagai suplemen makanan. Pemberian probiotik dapat berpengaruh menguntungkan bagi kesehatan karena probiotik dapat menghasilkan asam lemak rantai pendek sehingga menekan pertumbuhan patogen serta memperbaiki keseimbangan mikroba (Irianto 2003). Menurut Hatmanti (2000), bakteri merupakan organisme yang mempunyai penyebaran terluas di alam. Hal tersebut karena bakteri mampu hidup pada berbagai habitat dan mampu menguraikan senyawa-senyawa yang lebih sederhana untuk memperoleh zat-zat tertentu yang dibutuhkan dalam rangka mempertahankan hidupnya. Selain itu bakteri merupakan organisme terpenting yang berperan dalam proses penguraian dan dekomposisi unsur hara. Kelompok bakteri yang termasuk probiotik antara lain Bacillus sp. Pseudomonas sp. dan Actinomycetes sp. Bacillus sp. Bacillus sp. ialah kelompok bakteri yang umum ditemukan di berbagai lingkungan ekologi, baik di tanah, air, maupun udara. Bakteri ini merupakan bakteri gram positif, dapat membentuk endospora yang berbentuk oval di bagian sentral sel. Spesies Bacillus sangat cocok digunakan karena mudah ditumbuhkan, tidak memerlukan substrat yang mahal, kemampuan Bacillus untuk bertahan hidup pada temperatur tinggi dan tidak adanya hasil samping metabolik (Sulistiani 2009). Hasil penelitian Arwiyanto et al. (2007) tentang aktivitas Bacillus spp. sebagai agensia hayati penyakit lincat pada tembakau Temanggung menunjukkan bahwa tiga isolat Bacillus spp. yaitu Ba-4, Ba-22, dan Ba-24 mampu menghambat tiga isolat Ralstonia Solanacearum yang diuji. Penelitian Benny et al. (2013) menunjukkan bahwa dosis biofungisida Bacillus sp. (40 ml Bacillus sp. dalam 1 liter air/polibag) efektif menekan perkembangan jamur akar putih pada tanaman karet di pembibitan yaitu penurunan sampai pada intensitas serangan 20.8%. Hasil penelitian Nurjanani (2011) tentang pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman tomat menunjukkan bahwa dalam menekan intensitas penyakit layu bakteri, aplikasi Bacillus subtilis cenderung lebih baik dibanding Pseudomonas fluorescens GI-19 dan Trichoderma Viride serta nyata lebih baik daripada streptomisin sulfat 20%. Pseudomonas sp. Pseudomonas sp. mampu menghasilkan hormon pertumbuhan seperti indol asetic acid (IAA), mampu melarutkan fosfat dan kalium. Pseudomonas sp. mampu menghasilkan enzim hidrolitik dan senyawa antibiosis untuk menghambat pertumbuhan suatu organisme patogen. Hasil penelitian Nurhayati et al. (2012) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens asal tanah dan akar tanaman jagung sehat merupakan isolat antagonis yang paling baik menekan pertumbuhan 5 dan perkembangan Fusarium oxysporum patogen penyakit layu pada pisang. Hasil penelitian Baharuddin et al. (2005), penggunaan Pseudomonas spp. kelompok fluorescens dan “Effective Microorganisme 4” dapat menekan intensitas serangan bakteri layu R. Solanacearum serta dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman . Actinomycetes sp. Actinomycetes sp. menghasilkan enzim kitinase dan glukanase yang menyebabkan dinding sel cendawan tidak dapat tumbuh. Ambarwati et al. (2013) mengisolasi 17 isolat Actinomycetes sp., delapan isolat diantaranya mampu menghasilkan zat antibakteri, dan satu isolat diantara delapan isolat tersebut mampu menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji yaitu NRPR 13 yang menghambat Salmonella typhosa dengan diammeter daerah hambatan 14 mm dan Staphylococcus aureus 12 mm dan berdasarkan ciri koloni dan hasil pewarnaan gram, isolat Actinomycetes menunjukkan morfologi batang bercabang, warna ungu dan termasuk bakteri gram positif. Actinomycetes sp. merupakan anggota bakteri penghasil zat antimikrobial terbesar yaitu 85% dan hampir 2/3 anggotanya diketahui memproduksi antibiotik di dalam tanah. Nurkanto et al. (2012) berhasil melakukan penapisan aktivitas antimikroba dari Actinomycetes sp. yang diisolasi dari Raja Ampat, Papua Barat, Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan beberapa ekstrak Actinomycetes sp. memiliki aktivitas anti bakteri gram negatif 1.5%, anti bakteri gram positif 17%, dan anti fungi 17%. Penyimpanan dan Coating Benih Penyimpanan benih dilakukan terhadap benih-benih yang tidak langsung digunakan setelah diproduksi dengan modifikasi ruang simpan sedemikian rupa agar benih bisa diperlambat kemundurannya. Selama penyimpanan, benih akan mengalami kemunduran. Besarnya laju kemunduran benih untuk setiap jenis benih berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Justice & Bass (2002) proses oksidasi yang terjadi selama penyimpanan dapat memutuskan ikatan rangkap asam lemak tak jenuh sehingga menghasilkan radikal-radikal bebas yang dapat bereaksi dengan lipida lainnya sehingga menyebabkan rusaknya struktur membran sel. Pelapisan benih dengan polimer (coating) merupakan salah satu praperlakuan penyimpanan yang dapat digunakan baik secara tunggal atau dalam kombinasi dengan pestisida lainnya untuk melindungi benih terhadap serangan hama dan penyakit. Coating benih merupakan pelapisan benih menggunakan material tertentu yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan perkecambahan benih tanpa merubah bentuk dasar benih tersebut. Tujuan dari pelapisan ini adalah untuk mengaplikasikan manfaat dari suatu zat terhadap benih seperti mikroba antagonis, insektisida, fungisida, hara mikro dan komponen lainnya yang dapat membantu mengoptimalkan perkecambahan benih disemua kondisi lingkungan. Coating benih merupakan salah satu pendekatan yang paling ekonomis untuk meningkatkan kinerja benih (Copeland & Mc Donald 2001). Hasil penelitian Setiyowati et al. (2007), perlakuan coating dengan benomil 2.5 g/l dan tepung curcuma 1 g/l mampu menekan tingkat infeksi C. capsici pada benih cabai hingga 2% sedangkan kontrol 26%. Setelah berkecambah tingkat infeksi C. capsici mampu ditekan hingga 0% dibandingkan kontrol 25.87%. Hasil 6 penelitian Manggung et al. (2014), perlakuan pelapisan benih kedelai dengan cendawan Mikoriza arbuskula (CMA) dapat mempertahankan viabilitas benih dan CMA selama penyimpanan 6 bulan baik pada suhu kamar maupun AC. Hasil penelitian Palupi et al. (2012), penampilan fisik benih padi lebih menarik setelah dicoating. Widajati et al. (2013) menggunakan isolat Methylobacterium spp. dan tepung curcuma pada perlakuan coating untuk meningkatkan daya simpan benih padi hibrida. Hasil penelitian menunjukkan benih yang dicoating masih memiliki viabilitas yang tinggi setelah penyimpanan 15 minggu untuk tiga varietas benih padi hibrida yaitu DG-1 SHS, SL-8 SHS dan Intnani-2. Penelitian Ilyas et al. (2015), tentang biomatriconditioning dengan Trichoderma harzianum atau Trichoderma pseudokoningii dapat mengurangi tingkat infeksi C. capsici pada benih cabai dan meningkatkan persen perkecambahan dan indeks vigor. 3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Kesehatan Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Rumah Kaca Cikabayan pada bulan September 2013 sampai dengan Juli 2014. Sumber Benih Benih yang digunakan adalah benih dari buah cabai varietas Seloka IPB yang merupakan hasil penanaman dari Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB. Deskripsi varietas Seloka dapat dilihat pada Lampiran 1. Buah cabai ini dipanen pada bulan Juli 2013. Benih dipilih dari buah yang sehat, dikeringkan hingga kadar air 10.1%. Benih sebelum digunakan telah disimpan pada suhu AC 16 0C dengan kelembaban 70% selama empat bulan. Viabilitas awal adalah daya berkecambah 84.7%, indeks vigor 41.7% dan kecepatan tumbuh 11.4%. Metode Percobaan Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama adalah uji antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum. Percobaan kedua adalah efektivitas seed coating menggunakan bakteri probiotik terhadap viabilitas potensial, vigor dan kesehatan benih cabai selama penyimpanan. Percobaan 1 : Uji antagonis bakteri probiotik terhadap cendawan Colletotrichum acutatum. Percobaan ini menggunakan 30 isolat bakteri yaitu 10 isolat dari genus Bacillus sp., 10 isolat dari genus Pseudomonas sp., dan 10 isolat dari genus Actinomycetes sp. 7 Pelaksanaan Percobaan Perbanyakan bakteri probiotik dan cendawan C. acutatum Bakteri probiotik yang digunakan merupakan koleksi dari Laboratorium Bakteri, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Cendawan C. acutatum yang digunakan merupakan hasil isolasi Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Sebelum dilakukan penanaman, media dan cawan petri yang akan digunakan disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 atm selama 20 menit. Perbanyakan bakteri menggunakan metode gores dengan cara mengambil satu ose dari isolat bakteri kemudian digoreskan pada cawan yang berisi media khusus sesuai dengan karakteristik bakteri yang akan diuji, dan dilakukan secara aseptik di laminar air flow cabinet. Kelompok Bacillus sp. ditumbuhkan pada media tryptone soy agar (TSA), kelompok Pseudomonas sp. ditumbuhkan pada media king’s B dan kelompok Actinomycetes sp. ditumbuhkan pada media casamino acid-yeast extract-glucose-agar (YCED). Colletotrichum acutatum diperbanyak pada media potato dextrose agar (PDA) (Atlas 2010). Komposisi media dapat dilihat pada Lampiran 2, 3, 4 dan 5. Setelah penanaman, cawan petri diseal dan diinkubasi pada suhu ruang 30 0C. Uji antagonis Uji antagonis dilakukan dengan metode biakan ganda (dual culture) yaitu menumbuhkan bakteri dan cendawan pada media PDA dalam cawan petri berdiameter 9 cm. Pembiakkan bakteri dilakukan terlebih dahulu untuk memicu pertumbuhan bakteri karena pertumbuhan bakteri cenderung lebih lambat daripada cendawan. Selanjutnya dilakukan penanaman cendawan dengan jarak cendawan dan bakteri adalah 3 cm (Gambar 1) (Muharni & Widjajanti 2011), kemudian diinkubasi pada suhu ruang 30 0C selama 14 hari. Selanjutnya dihitung persentase penghambatan dengan rumus : ersentase engham atan Keterangan : R1 = panjang jari-jari cendawan yang menuju ke tepi cawan petri R2 = panjang jari-jari cendawan yang menuju ke koloni bakteri probiotik Gambar 1 Skema uji antagonis 8 Keterangan: a : Isolat bakteri probiotik b : Isolat cendawan C. acutatum Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor, dengan tiga ulangan untuk tiap bakteri probiotik, sehingga seluruhnya terdapat 90 percobaan. Data persentase uji antagonis dianalisis dengan program statistical analysis sistem (SAS). Jika berpengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji duncan multiple range test (DMRT). Hasil analisis percobaan ini, dipilih tiga bakteri yang paling tinggi persentase antagonisnya untuk dilanjutkan pada percobaan 2 dan dianalisis kandungan indole acetic acid (IAA) dan giberelin (GA3). Analisis IAA menggunakan spektrofotometer sedangkan GA3 menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatograph). Percobaan 2 : Efektivitas seed coating menggunakan bakteri probiotik terhadap viabilitas potensial, vigor dan kesehatan benih cabai (Capsicum annuum L.) selama penyimpanan Pelaksanaan Percobaan Inokulasi Patogen pada Benih Cabai Benih cabai yang akan digunakan sebelum inokulasi disterilisasi menggunakan larutan NaOCl 1 % selama 10 menit kemudian dibilas tiga kali dengan aquadest steril dan dikeringanginkan dalam laminar air flow cabinet selama 1 jam. Benih steril kemudian direndam dalam suspensi C. acutatum dengan kerapatan 106 konidia/ml (Nurhayati 2011), selama 30 menit, kemudian diinkubasi pada suhu ruang 30 0C dengan RH 56% selama empat hari untuk mencapai infeksi tertinggi. Pada hari ke-5 setelah inokulasi, benih dicoating dan disimpan sesuai perlakuan. Teknik Coating pada Benih Cabai Suspensi sel bakteri untuk coating disubkultur dalam media cair dan diinkubasi selama 48 jam. Hasil subkultur kemudian divortex untuk menyamakan kekeruhannya, kemudian dilihat optical density (OD) bakteri menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm (nanometer) agar diketahui kerapatan bakteri tersebut (Ibrahim et al. 2014). Kerapatan ketiga bakteri yang digunakan untuk coating adalah 0.2x108 cfu (coloni forming unit)ml-1. Volume suspensi bakteri untuk coating 20 ml untuk setiap 100 g benih. Proses pelapisan benih (seed coating) dilakukan dengan mencampur bahan perekat natrium alginat dan xantan gum masing-masing 2.5 g untuk setiap 100 ml isolat bakteri (Indahwardani 2013). Perlakuan coating dengan fungisida dilakukan dengan perbandingan 0.2 g : 100 g benih. 9 Benih dimasukkan ke dalam suspensi sambil diaduk selama 20 menit hingga tercampur merata, lalu disaring dengan saringan teh untuk menghilangkan larutan yang tersisa (Setiowaty et al. 2007). Kemudian benih dikeringanginkan dalam laminar air flow selama 24 jam. Untuk membedakan setiap perlakuan, diberikan pewarna makanan merk koepoe-koepeo dengan komposisi air, propilen glikol dan pewarna (eritrosin CI45432). Warna merah muda untuk perlakuan coating Pseudomonas sp., warna kuning untuk perlakuan coating Actinomycetes sp., warna hijau untuk perlakuan coating Bacillus sp., dan warna biru untuk perlakuan coating fungisida. Penyimpanan benih Benih cabai yang telah dicoating dikemas dalam plastik polypropilen 0.8 mm sesuai perlakuan dan ulangan. Selanjutnya benih disimpan pada suhu kamar 30 ºC dengan RH 56% selama periode simpan 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 bulan dengan kadar air benih 10.11%. Setiap bulan dilakukan pengujian viabilitas potensial, vigor, dan kesehatan benih di Laboratorium dan pengujian vigor bibit di Rumah Kaca. Rancangan Percobaan Percobaan ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah perlakuan coating benih (C) yang terdiri atas 6 perlakuan yaitu C0 = tanpa coating (kontrol) C1= coating benih tanpa bakteri, C2 = coating benih dengan Bacillus sp. C3 = coating benih dengan Pseudomonas sp. C4 = coating benih dengan Actinomycetes sp. C5= coating benih dengan fungisida antracol yang bersifat kontak dengan kandungan bahan aktif propineb 70%. Faktor kedua adalah periode simpan (P) yang terdiri dari 6 perlakuan yaitu 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 bulan. Percobaan ini diulang 4 kali, masingmasing ulangan ditanam 25 butir benih. Data yang diperoleh dianalisis dengan program statistical analysis system (SAS). Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan DMRT taraf α , 5 (Mattjik & Sumertajaya 2006). Model linear dalam Rancangan Acak Lengkap Faktorial sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan: Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan coating benih taraf ke-i, perlakuan periode simpan taraf ke-j, dan ulangan ke-k μ = nilai tengah pengamatan karakter yang diamati αi = pengaruh utama dari faktor coating benih ke-i βj = pengaruh utama dari faktor periode simpan ke-j (αβ)ij = komponen interaksi dari faktor coating benih dan faktor periode simpan εijk = pengaruh acak yang menyebar normal i = perlakuan aplikasi coating j = perlakuan periode simpan k = ulangan 1,2,3 10 Peubah Pengamatan a. Pengamatan di Laboratorium Pengujian di laboratorium menggunakan metode uji di atas kertas (UDK) di dalam ekogerminator tipe IPB 73-2A/B. Peubah yang diamati yaitu : 1. Potensi tumbuh maksimum (PTM) (%). Pengamatan meliputi jumlah kecambah normal dan abnormal pada 14 hari setelah tanam. Potensi tumbuh maksimum dihitung dengan rumus : enih yang tum uh enih yang ditanam ( ) 2. Daya berkecambah (DB) (%). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah kecambah normal pada hitungan pertama (hari ke-7) dan hitungan kedua (hari ke-14) (ISTA 2010). Daya berkecambah benih dihitung dengan rumus: itungan ( ) itung enih yang ditanam Keterangan : KN = Kecambah Normal 3. Bobot kering kecambah normal (BKKN) (g) Bobot kering kecambah diperoleh dengan menimbang kecambah normal yang telah dikeringkan di dalam oven bersuhu 60 0C selama 72 jam (Kartika & Ilyas 1994). 4. Kecepatan tumbuh (KCT) (%KN/etmal) Kecepatan tumbuh dihitung setiap hari selama 14 hari pada benih yang tumbuh normal. Kecepatan tumbuh dihitung dengan rumus : KCT ( etmal ) ∑tn t Keterangan : t = waktu pengamatan ke- i N = persentase kecambah normal setiap waktu pengamatan tn = waktu akhir pengamatan (hari ke 14) 5. Deteksi benih terinfeksi C. acutatum (%) Metode ini dilakukan dengan metode blotter test. Benih diletakkan dalam cawan petri yang berisi tiga lembar kertas saring lembab. Cawan petri diseal dengan plastik wrap kemudian diletakkan dalam ruang inkubasi pada suhu ruang di bawah penyinaran lampu Near Ultra Violet (NUV) 12 jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian sampai hari ketujuh. Pada hari kedelapan dilakukan identifikasi C. acutatum menggunakan mikroskop stereo dan mikroskop compound (Setiyowati et al. 2007) dan 11 berdasarkan pedoman kunci identifikasi (Mathur & Kongsdal 2003). Persentase benih infeksi C. acutatum pada benih cabai dihitung dengan rumus : ingkat infeksi ( ) enih terinfeksi enih yang ditanam 6. Deteksi hipokotil terinfeksi C. acutatum (%) Hipokotil yang digunakan berasal dari kecambah normal pada pengamatan di laboratorium. Hipokotil direndam dalam larutan NaOCl 1 % selama 3 menit kemudian dibilas dengan air steril, lalu diletakkan dalam cawan petri yang berisi tiga lembar kertas saring lembab. Cawan petri diseal dengan plastik wrap kemudian diletakkan dalam ruang inkubasi dengan suhu ruang di bawah penyinaran lampu near ultra violet (NUV) dengan 12 jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian sampai hari ketujuh. Pada hari kedelapan dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop stereo dan mikroskop compound (Setiyowati et al. 2007) dan berdasarkan pedoman kunci identifikasi (Mathur & Kongsdal 2003). Persentasi infeksi C. acutatum pada hipokotil dihitung dengan rumus : ingkat infeksi ( ) hipokotil terinfeksi hipokotil yang diamati 7. Populasi cendawan C. acutatum selama periode simpan (cfu/g) Populasi cendawan merupakan jumlah spora cendawan yang tumbuh selama periode simpan dan selanjutnya dikonversi ke satuan cfu/g (Indahwardani 2013). Populasi cendawan dihitung dengan rumus : opulasi endawan x Keterangan : X = Jumlah spora yang tumbuh pada cawan dengan faktor pengenceran ke-(cfu/g) P = Faktor pengenceran ke-i V = Volume suspensi yang disebar pada cawan (ml) b. Pengamatan di Rumah Kaca Penanaman di Rumah Kaca menggunakan media tanam campuran tanah dan pupuk kompos dengan perbandingan 1:1 dalam polibag yang berukuran 5 cm x 15 cm. Hasil analisis media tanam dapat dilihat pada Lampiran 6. Tanah dan kompos yang digunakan disterilisasi pada suhu 121 0C selama 20 menit sebelum digunakan dengan tujuan menghindari serangan patogen tular tanah atau mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan penyakit. Persemaian dilakukan sore hari sehingga diharapkan benih yang telah dicoating tidak mengalami perubahan suhu yang ekstrim. Peubah yang diamati yaitu : 12 1. Kecepatan tumbuh (%KN/etmal) Perhitungan kecepatan tumbuh dilakukan pada benih yang berkecambah normal setiap hari selama 14 hari (ISTA 2010). Kecepatan tumbuh dihitung dengan rumus : ⁄etmal) ∑tn KCT ( t Keterangan : t = waktu pengamatan ke- i KN = persentase kecambah normal setiap waktu pengamatan tn = waktu akhir pengamatan (hari ke 14) 2. Tinggi bibit (cm) Tinggi bibit diukur mulai dari pangkal batang di permukaan tanah sampai titik tumbuh. Pengukuran dilakukan saat bibit berumur 4 minggu setelah tanam. 3. Jumlah daun (helai) Perhitungan jumlah daun dilakukan saat bibit berumur 4 minggu setelah tanam. 4. Kejadian serangan antraknosa (%). Penghitungan kejadian serangan dilakukan setiap hari hingga bibit berumur 4 minggu setelah semai. Penghitungan kejadian serangan menggunakan rumus : ( ) n Keterangan : KS = kejadian serangan (%) n = jumlah tanaman yang terinfeksi patogen N = jumlah seluruh tanaman 5. Rebah bibit (%). Pengamatan rebah bibit dilakukan dengan menghitung persentase jumlah bibit yang rebah setiap hari selama 4 minggu. Perhitungan ini dilakukan dengan rumus : e ah i it ( ) i it yang re ah i it yang ditanam 6. Persentase hipokotil terinfeksi C. acutatum (%) Hipokotil yang digunakan berasal dari kecambah normal saat bibit berumur 2 minggu setelah semai. Persentasi hipokotil terinfeksi C. acutatum dihitung dengan rumus : ingkat infeksi ( ) hipokotil terinfeksi hipokotil yang diamati 13 BAKTERI PROBIOTIK UNTUK MENEKAN INFEKSI Colletotrichum acutatum SELAMA PENYIMPANAN Percobaan 1 : Uji Antagonis Tujuan : Mendapat bakteri probiotik yang bersifat antagonis Luaran : Ada bakteri probiotik yang bersifat antagonis (minimal 3) Percobaan 2: Perlakuan Seed Coating dengan Bakteri Probiotik Pengujian di Laboratorium Tujuan : Meningkatkan viabilitas dan kesehatan benih selama penyimpanan Luaran : Bakteri probiotik terbaik untuk mempertahankan daya simpan dan kesehatan benih Pengujian di Rumah Kaca Tujuan : Meningkatkan vigor dan kesehatan bibit Luaran : Bakteri probiotik terbaik untuk meningkatkan vigor dan kesehatan bibit Gambar 2 Bagan alir penelitian 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1. Uji antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum Kemampuan hambatan (%) Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 30 isolat bakteri probiotik yang digunakan, diperoleh 3 bakteri probiotik yang memiliki persentase penghambatan yang paling besar yaitu Actinomycetes sp. (ATS6) 56.8 %, Bacillus sp. (B48) 56.7 % dan Pseudomonas sp. (P12) 46.7 % (Gambar 3). 60 50 a a ab c 40 c c cd 30 20 cde cde deg deg d-i egi gij gij gij gij gij gij gij gij gij gij ij 10 ij ij ij ij ij j ATS6 B48 P12 AB4 APS7 B12 B14 ATS4 B18 AB6 PFD3 ATS5 P24 B13 P14 APS9 APS12 B11 AB3 B34 B45 PFD2 P11 ATS8 P16 P2 B26 B25 P32 P26 0 Zona hambat Kode isolat bakteri Gambar 3 Persentase uji antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum Actinomycetes sp. memiliki persentase penghambatan lebih besar tetapi tidak berbeda nyata dengan Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. Actinomycetes diketahui memiliki kemampuan dalam menghasilkan berbagai antibiotik seperti tetrasiklin, kloramfenikol, makroloda (kelompok eritromisin), limkomisin dan aminoglikosida (Mutschaler 1991 dalam Ambarwati 2013). Selanjutnya Perlman (1970) mengatakan Actinomycetes sp. dapat menghasilkan antibiotik seperti streptomycin, aureomycin, oleandomycin, spirimycin dan eritromycin. Mekanisme kerja antibiotik yang dihasilkan Actinomycetes adalah dengan menghambat sintesis protein. Menururt Suwandi (1993) untuk kelangsungan hidup, mikroorganisme harus mensintesis protein sehingga apabila sintesis protein terganggu maka akan menghambat kelangsungan hidup mikroorganisme tersebut. Hasil penelitian Khucharoenphaisan et al. (2013) tentang efisiensi Actinomycetes terhadap fitopatogenik dari antraknosa cabai menunjukkan bahwa ada 40 isolat yang menunjukkan efisiensi tinggi yang secara signifikan menghambat pertumbuhan C. gloeosporioides lebih dari 60%. Pembentukan zona hambat (Gambar 4a) dan mekanisme antagonis ditandai dengan pertumbuhan dinding hifa yang mengalami lisis (Gambar 4b). Hal ini sesuai hasil penelitian Novina et al. (2012) bahwa mekanisme antagonis ditandai dengan pertumbuhan cendawan yang abnormal yaitu berupa hifa mengalami pembengkokan, menggulung, kerdil, dinding sel lisis, patah, keriting, dan mengecil. 15 Zona hambat yang terbentuk disekitar koloni menandakan bahwa agens hayati tersebut kemungkinan memproduksi suatu senyawa antimikrobial, baik berupa enzim, toksin maupun antibiotik. Antibiotik merupakan suatu substansi yang dihasilkan oleh organisme hidup yang dapat menghambat atau membunuh organisme lainnya. Antibiotik digolongkan sebagai metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri probiotik dalam jalur metabolisme. Adanya senyawa antibiotik yang dihasilkan bakteri antagonis menyebabkan terjadinya penekanan pada pertumbuhan patogen (Asnawi et al. 2012). Hasil penelitian Nabti et al. (2013), Bacillus sp. menghasilkan siderofor dan beberapa enzim seperti selulase, kitinase, protease dan lipase. Menurut Compant et al. (2005), mekanisme biokontrol Pseudomonas terhadap cendawan patogen disebabkan oleh kemampuan Pseudomonas dalam menghasilkan enzim hidrolitik dan senyawa antibiosis. Enzim hidrolitik yang memiliki kemampuan antifungi yang dapat diproduksi Pseudomonas diantaranya adalah enzim kitinase dan glukanase, sedangkan untuk senyawa antibiosis, Pseudomonas diketahui mampu memprodukisi senyawa antifungi seperti 2,4-diacetylphloroglucinol (DAPG), pirolnitrin, pyoluterin, dan phenazin. a b Gambar 4 Uji antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum yang ditandai adanya zona hambat (tanda panah) (a) dan hifa C. acutatum yang mengalami lisis (tanda panah) (pembesaran 100x) (b) Pertumbuhan bakteri probiotik untuk menekan cendawan patogen dengan cara berkompetisi untuk mendapatkan makanan dan ruang untuk tumbuh dengan memproduksi suatu susbtansi yang dapat menghambat atau membunuh patogen lain (Agustono et al. 2012). Penghambatan cendawan patogen yang ditunjukkan oleh bakteri probiotik diduga melibatkan beberapa mekanisme diantaranya senyawa bioaktif seperti siderofor atau enzim kitinase. Namun demikian mekanisme penghambatan C. acutatum perlu diteliti lebih jauh karena dari hasil uji ini belum dapat ditentukan mekanisme yang terlibat secara pasti dalam menghambat cendawan patogen. Bakteri probiotik dikenal sebagai penghasil antibiotik. Antibiotik umumnya adalah senyawa organik dengan berat molekul rendah yang dikeluarkan oleh mikroorganisme. Antibiotik dapat merusak pertumbuhan atau aktivitas metabolit mikroorganisme lain. Selain itu, bakteri juga menghasilkan siderofor. Siderofor adalah senyawa organik selain antibiotik yang dapat berperan dalam pengendalian penyakit tumbuhan. Kemampuan siderofor mengikat besi merupakan pesaing terhadap mikroorganisme lain, terbukti bahwa siderofor berperan aktif dalam menekan pertumbuhan patogen (Soekarno et al. 2013). Pseudomonas sp. 16 menghasilkan metabolit sekunder yang berfungsi sebagai siderofor. Siderofor tersebut berkembang dengan cepat menyelubungi akar tanaman dan memindahkan Fe dalam zona akar sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Baharuddin et al. 2005). Berdasarkan uji antagonis diketahui 27 isolat bakteri lainnya tidak memiliki aktivitas penghambatan terhadap C. acutatum. Variasi diameter zona hambat yang terbentuk diduga karena adanya perbedaan daya antagonisme untuk menghasilkan antibiotik dari masing-masing isolat bakteri probiotik dalam menghambat pertumbuhan patogen (Sallytha et al. 2014). Hasil penelitian Feliatra et al. (2012) tentang antagonis bakteri probiotik yang diisolasi dari usus dan lambung ikan kerapu bebek terhadap bakteri patogen menunjukkan bahwa kemampuan antagonis bakteri probiotik pada bakteri patogen berbedabeda, tergantung kepada isolatnya. Bakteri probiotik Bacillus cereus merupakan bakteri probiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen Vibrio sp. dan Aeromonas sp. tetapi tidak dapat menghambat bakteri Pseudomonas beteli. Muharni & Widjajanti (2011), dalam penelitiannya tentang skrining bakteri kitinolitik antagonis terhadap jamur akar putih menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan tergantung pada indeks kitinolitik dari tiap isolat dimana isolat BRK5 paling tinggi menghasilkan indeks kitinolitik yaitu 0.52 dengan zona hambat 5.57 mm sedangkan yang paling rendah pada isolat BRK11 yaitu 0.21 tidak memiliki zona hambat. Efektivitas bakteri probiotik yang digunakan untuk coating benih dilihat melalui persentase penghambatan terhadap C. acutatum (Gambar 3) dan kandungan zat pengatur tumbuh yang terdapat dalam bakteri tersebut (Gambar 6). Hal ini sesuai pernyataan Saraswati & Sumarno (2008) yang menyatakan penggunaan mikroorganisme sebagai agens hayati memberikan manfaat karena selain menghasilkan enzim kitinolitik juga dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh yang menyediakan nutrisi bagi tanaman untuk perkecambahan. Berdasarkan hasil analisis, bakteri probiotik memiliki kandungan hormon indole acetic acid (IAA) dan giberelin (GA 3). Hormon IAA merupakan salah satu hormon pertumbuhan tanaman yang berperan dalam mengendalikan proses fisiologi dalam pertumbuhan tanaman, meliputi pembesaran dan pembelahan sel, merangsang benih untuk berkecambah, diferensiasi jaringan, mengontrol proses pertumbuhan vegetatif, memulai pembentukan akar lateral dan adventif, tanggapan terhadap cahaya dan gravitasi, dan ketahanan terhadap kondisi stres (Shahab et al. 2009). Hormon giberelin merangsang sintesis protein dan ekskresi enzim (terutama α-amilase) untuk perkecambahan biji. Giberelin juga terlibat dalam induksi beberapa gen yang diperlukan untuk sintesis dan sekresi α-amilase sebelum perkecambahan. Embrio mensintesis giberelin yang berada di aleuron untuk ekspresi gen yang bertanggung jawab untuk sintesis dan sekresi αamilase, protease dan β-glucanase (Miransari & Smith 2009). 17 Percobaan 2. Efektivitas seed coating menggunakan bakteri probiotik terhadap viabilitas potensial, vigor dan kesehatan benih cabai selama penyimpanan Benih cabai yang dicoating dengan bakteri probiotik diberikan pewarna makanan untuk memberikan efek warna yang menarik, seragam, lebih mengkilat, dapat menghilangkan noda hitam pada benih, menutupi perubahan warna pada benih akibat paparan cahaya, udara atau temperatur yang ekstrim selama penyimpanan (Gambar 5). Siregar et al. (2007) mengatakan pewarnaan pada benih dimaksudkan untuk memudahkan dalam penanaman karena warna benih sangat kontras dengan warna tanah sehingga walaupun benih cabai berukuran kecil dapat dengan mudah terlihat, begitupun jika benih tercampur dengan perlakuan lainnya dapat dengan mudah dibedakan. Selain itu pewarnaan pada benih bertujuan untuk menarik konsumen, membantu produsen dan pedagang benih mengembangkan reputasi atau kesan positif untuk mempertahankan kesinambungan usaha. Beberapa warna diketahui dapat menghalau hama yang dapat merusak benih. Disamping itu pewarnaan merupakan petunjuk perlakuan benih. b b Gambar 5 Benih cabai sebelum dicoating (a) dan benih cabai yang dicoating dengan bakteri probiotik (b) a a. Pengamatan di Laboratorium Aplikasi bakteri probiotik pada coating benih terhadap viabilitas potensial (tolok ukur PTM, DB, BKKN), vigor (tolok ukur KCT) dan kesehatan benih cabai (tolok ukur benih terinfeksi, hipokotil terinfeksi dan populasi cendawan) dapat dilihat pada Tabel 1, 2, 3 dan 4. Pelapisan benih dengan bakteri probitik mampu mempertahankan viabilitas potensial dan vigor benih cabai selama penyimpanan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai PTM yang mencapai 80-84%, DB 7678.7% dan KCT 5.3-6.3%KN/etmal pada periode simpan 5 bulan (Tabel 1). 18 Tabel 1 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap PTM, DB dan KCT pada benih cabai Perlakuan Periode simpan (bulan) benih 0 1 2 3 4 5 Potensi tumbuh maksimum (%) C0 90.7 aBC 78.7 bB 76.0 bD 69.3 bC 58.7 cC 28.7 dB C1 85.3 aC 85.3 aAB 84.0 aC 85.3 aAB 69.3 bBC 77.3 abA C2 97.3 aAB 92.0 abA 97.3 aA 92.0 aAB 78.7 bAB 82.7 bA C3 100.0 aA 93.3 abA 85.3 bcBC 84.0 bcB 77.3 cAB 84.0 bcA C4 96.0 aAB 93.3 aA 92.0 aAB 89.3 aAB 73.3 bABC 80.0 abA C5 94.7 aAB 93.3 aA 90.7 aABC 93.3 abA 88.0 aA 77.3 bA C0 82.7 aB 65.3 bB 50.7 bcC 36.0 cC 46.7 cdBC 21.3 dC C1 82.7 aB 66.8 bB 53.3 bcC 53.3 bcB 41.3 cC 50.7 cB C2 93.3 aA 80.0 abAB 90.7 aA 74.7 bA 66.7 bAB 76.0 bA C3 93.3 aA 85.3 abA 74.7 bB 72.0 bA 49.3 cABC 78.7 abA C4 92.0 aA 80.0 abAB 85.3 abAB 82.7 abA 62.7 bABC 78.7 abA C5 88.0 aAB 88.0 aA 90.7 aA 84.0 aA 72.0 abA 62.7 bAB Daya berkecambah (%) Kecepatan tumbuh (% per etmal) C0 6.6 aA 5.2 abB 4.2 bcC 2.5 cdB 4.2 bcA 1.6 dD C1 7.3 aA 8.1 aA 6.9 aAB 5.2 bA 3.5 cA 4.8 bcBC C2 7.3 aA 7.4 aA 7.5 aAB 6. 0 abA 5.2 bA 5.3 bABC C3 7.0 abA 7.5 aA 6.1 bcB 5.6 cdA 4.7 dA 6.3 bcA C4 6.9 abA 7.5 aA 6.9 abAB 6.6 abA 4.2 cA 5.9 bAB C5 7.0 aA 7.6 aA 7.7 aA 6.5 aA 4.8 bA 4.6 bC Keterangan:C0=kontrol, C1=coating tanpa bakteri, C2=coating Bacillus, C3=coating Pseudomonas, C4=coating Actinomycetes, C5=coating fungisida. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%. Huruf kecil ke samping (dalam satu baris) menunjukkan pengaruh perlakuan periode simpan sedangkan huruf kapital ke bawah (dalam satu kolom) menunjukkan pengaruh perlakuan coating benih. Actinomycetes sp., Bacillus sp., dan Pseudomonas sp., dapat mempertahankan viabilitas benih diduga karena bakteri tersebut memiliki sifat antagonis terhadap C. acutatum dan dapat memacu perkecambahan karena kemampuannya memproduksi hormon indole acetic acid (IAA) dan giberelin (GA3) (Gambar 6). Hal ini sesuai pernyataan Copeland & McDonald (2001), bahwa giberelin berperan dalam memacu perkecambahan benih pada berbagai species sedangkan hormon IAA berfungsi merangsang pembelahan sel, menginduksi pemanjangan akar dan mempengaruhi pertumbuhan pucuk. Hasil penelitian Indahwardani (2013) menunjukkan bahwa perlakuan seed coating menggunakan Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens dan Serratia marcescens dapat meningkatkan viabilitas benih cabai yang ditunjukkan oleh nilai rata-rata daya berkecambah 77.3% hingga periode simpan 24 minggu. Hasil penelitian Setyowati (2013) tentang pelapisan bakteri probiotik pada benih cabai mampu memacu perkecambahan benih serta dapat mempertahankan vigor benih selama penyimpanan 18 minggu. 19 Kandungan hormon (ppm) 120 100 91.8 103.2 92.5 89.5 80 68.9 69.2 60 IAA 40 GA3 20 0 Bacillus (B48) Actinomycetes (ATS6) Pseudomonas (P12) Gambar 6 Hasil analisis kandungan IAA dan GA3 pada bakteri probiotik Perlakuan coating Pseudomonas sp. mengalami penurunan DB dan KCT pada periode simpan 4 bulan, kemudian meningkat pada periode simpan 5 bulan, sedangkan coating Actinomycetes sp. terjadi penurunan KCT pada periode simpan 4 bulan kemudian meningkat pada periode simpan 5 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi variasi viabilitas antar individu benih. Mugnisjah & Setiawan (2004) menyatakan bahwa kemampuan tanaman untuk dapat mempertahankan mutu benih berbeda-beda jika dipandang dari individu benih yang membentuk kelompok (lot). Salah satu tolok ukur vigor kekuatan tumbuh benih adalah kecepatan tumbuh (KCT) (Tabel 1). Kecepatan tumbuh ditunjukkan dengan jumlah benih yang tumbuh normal pada setiap harinya. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan coating dengan bakteri probiotik dan fungisida mengalami penurunan KCT mulai periode simpan 4 bulan, perlakuan tanpa coating mengalami penurunan mulai periode simpan 2 bulan dan perlakuan coating tanpa bakteri pada periode simpan 3 bulan. Kecepatan tumbuh pada perlakuan coating bakteri probiotik mampu dipertahankan hingga mencapai 5.3-6.3%KN/etmal pada periode simpan 5 bulan. Hasil penelitian Setiyowati et al. (2007) tentang pengaruh perlakuan seed coating menggunakan benomil dan tepung curcuma pada benih cabai besar menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh berkisar antara 2.3-3.7%KN/etmal. Viabilitas potensial benih pada tolok ukur bobot kering kecambah normal, mengalami penurunan mulai periode simpan 2 bulan. Pada tolok ukur hipokotil terinfeksi terjadi peningkatan infeksi secara nyata mulai periode simpan 3 bulan (Tabel 2). Periode simpan berpengaruh terhadap viabilitas benih, dimana penurunan viabilitas seiring dengan pertambahan waktu. Peningkatan hipokotil terinfeksi pada periode simpan 3, 4 dan 5 bulan menunjukkan bahwa semakin lama benih disimpan, infeksi pada benih akan meningkat seiring dengan bertambahnya populasi cendawan (Tabel 4) selama penyimpanan. Cendawan yang terdapat pada benih akan masuk dan menginfeksi embrio maupun cadangan makanan. 20 Tabel 2 Pengaruh perlakuan periode simpan terhadap bobot kering kecambah normal (BKKN) (g) dan hipokotil terinfeksi (HT) (%) Peubah Periode simpan (bulan) 0 1 2 3 4 5 BKKN (g) 0.17 a 0.17 a 0.15 b 0.14 b 0.14 b 0.11 c HT (%) 0.97 c 1.34 b 1.17 bc 1.97 a 1.91 a 1.92 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%. Perlakuan kontrol dan coating tanpa bakteri menunjukkan nilai BKKN yang lebih kecil dibandingkan coating dengan bakteri probiotik. Infeksi C. acutatum dapat ditekan dengan perlakuan coating bakteri probiotik dan fungisida yang ditunjukkan oleh penurunan persentase hipokotil terinfeksi (Tabel 3). Tabel 3 Pengaruh perlakuan coating terhadap bobot kering kecambah normal (BKKN) (g) dan hipokotil terinfeksi (HT) (%) Peubah Coating C0 C1 C2 C3 C4 C5 BKKN (g) 0.12 c 1.13 bc 0.15 ab 0.16 a 0.15 ab 0.15 ab HT (%) 2.11 a 1.77 b 1.46 bc 1.52 bc 1.19 c 1.22 c Keterangan:C0=kontrol, C1=coating tanpa bakteri, C2=coating Bacillus, C3=coating Pseudomonas, C4=coating Actinomycetes, C5=coating fungisida. Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%. Keefektivan perlakuan coating dengan bakteri probiotik dan fungisida dalam mempertahankan kecepatan tumbuh benih dikarenakan adanya sifat antagonis pada bakteri probiotik sehingga menghambat pertumbuhan C. acutatum. Salah satu akibat dari infeksi C. acutatum pada benih adalah penghambatan perkecambahan atau benih tumbuh abnormal. Vigor benih sewaktu disimpan merupakan faktor penting yang mempengaruhi umur simpannya. Proses kemunduran benih berlangsung terusmenerus dengan semakin lamanya benih disimpan sampai akhirnya benih mati (Justice & Bass 2002). Julianty et al. (2005) melakukan analisis kinetika pendugaan umur simpan benih cabai merah, hasil penelitian menunjukkan bahwa benih cabai yang disimpan pada suhu kamar (27 0C-30 0C) dan kadar air 6.5-10.6 % umur simpannya dapat mencapai 5-26 bulan. Pada penelitian ini, umur simpan benih cabai mencapai 5 bulan dikarenakan benih yang digunakan sudah diinfeksi patogen dan sebelum benih digunakan sudah melalui penyimpanan selama ± 4 bulan pada suhu AC 16 0C. Bakteri probiotik Pseudomonas sp., Bacillus sp., dan Actinomycetes sp. menghasilkan IAA dan GA3 sehingga secara signifikan meningkatkan PTM, BKKN dan DB pada perlakuan tanpa penyimpanan. Hormon IAA yang disekresikan oleh bakteri probiotik dapat memacu pertumbuhan tanaman secara langsung yakni dengan menstimulasi pemanjangan sel atau pembelahan sel. Perlakuan seed coating dengan bakteri probiotik dan fungisida mampu menekan persentase benih terinfeksi dibandingkan kontrol (Tabel 4). Hasil penelitian Setiyowati et. al. (2007) tentang perlakuan seed coating dengan 21 benomil dan tepung curcuma menekan tingkat infeksi C. capsici pada benih cabai hingga 2% dibandingkan kontrol yang mencapai 26%. Tabel 4 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap benih terinfeksi (%) dan populasi cendawan (cfu/g) Perlakuan Periode simpan (bulan) Benih 0 1 2 3 4 5 Benih terinfeksi C. acutatum (%) C0 18.7 cA 14.7 cA 26.7 cA 97.3 aA 100.0 aA 100.0 aA C1 25.3 bcA 20.0 bcA 10.7 cAB 54.7 aB 29.3 bB 22.7 bB C2 6.7 aB 4.0 aB 2.7aC 8.0 aD 6.7 aC 6.7 aD C3 8.0 bcB 9.3 bcB 5.3 cAB 17.3 aC 12.0 abcC 14.7 abC C4 10.7 abB 5.3 bcB 9.3 abAB 10.7 abD 12.0 aC 2.7 cDE C5 0.0 aC 0.0 aB 0.0 aC 0.0 aE 0.0 aD 0.0 aE Log. Populasi cendawan C. acutatum (cfu/g benih) C0 5.57 dA 7.75 cA 7.82 cA 8.75 bA 8.88 abA 8.92 aA C1 5.30 bB 6.38 aB 6.45 aB 6.38 aB 6.33 aB 6.64 aB C2 5.20 aB 5.02 aC 4.90 aC 5.06 aC 5.07 aC 5.31 aC C3 5.26 abB 5.22 abC 4.96 bC 5.39 aC 5.32 abC 5.40 aC C4 5.27 abB 5.06 bC 4.96 bC 5.27 abC 5.14 abC 5.45 aC C5 3.80 aC 3.96 aD 3.86 aD 4.02 aD 4.10 aD 4.06 aD Keterangan: C0 = kontrol, C1 = coating tanpa bakteri, C2 = coating Bacillus, C3 = coating Pseudomonas, C4 = coating Actinomycetes, C5 = coating fungisida. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%. Huruf kecil ke samping (dalam satu baris) menunjukkan pengaruh perlakuan periode simpan sedangkan huruf kapital ke bawah (dalam satu kolom) menunjukkan pengaruh coating benih. Tingkat infeksi benih pada perlakuan coating Pseudomonas sp. semakin tinggi mulai periode simpan 3 bulan, sedangkan tingkat infeksi benih pada perlakuan coating Bacillus sp. tidak mengalami peningkatan hingga periode simpan 5 bulan. Coating Actinomycetes sp. mengalami penurunan persentase benih terinfeksi pada periode simpan 5 bulan yaitu 2.67%. Peningkatan persentase benih terinfeksi pada perlakuan coating Pseudomonas sp. diduga karena terjadinya penurunan aktivitas antibiosis. Salah satu kekurangan bakteri probiotik yaitu tidak dapat disimpan dalam waktu lama, dibandingkan dengan fungisida sintetik. Semakin lama bakteri disimpan, semakin berkurang aktivitas, densitas dan efektivitas dari bakteri probiotik tersebut. Hal ini sesuai hasil penelitian Muchtar et al. (2014) yang menyatakan bahwa bakteri Pseudomonas kelompok fluorescens tidak mampu bertahan hidup lebih lama sampai periode simpan 24 minggu, dibandingkan dengan Bacillus subtilis. Benih yang terinfeksi C. acutatum (Gambar 7a) akan mengalami kegagalan perkecambahan yang ditandai rendahnya potensi tumbuh maksimum dan daya berkecambah dan dapat masuk ke dalam benih yang ditandai tingginya benih terinfeksi, sedangkan benih yang dicoating dengan bakteri probiotik mampu mengendalikan patogen terbawa benih baik patogen yang berada di permukaan benih maupun patogen yang berada di dalam benih. Ciri-ciri konidia C. acutatum 22 adalah berbentuk hialin (oval), lurus, ujung runcing (Gambar 7b), panjang konidia 8.5-16.5µm dan lebar 2.5-4µm (Akhtur et al. 2009). Gambar 7 Benih terinfeksi C. acutatum (a) dan konidia C. acutatum pembesaran 100 x (b) Aplikasi bakteri probiotik pada coating benih akan memberikan kesempatan kepada bakteri tersebut untuk mengkolonisasi lebih awal pada permukaan benih sehingga lebih efektif dalam menghambat kolonisasi dan perkembangan patogen (Susanna 2006). Pada tolok ukur persentase benih terinfeksi terlihat bahwa coating fungisida lebih efektif menurunkan persentase benih terinfeksi dibandingkan dengan coating bakteri probiotik. Hal ini terjadi karena fungisida antracol yang berbahan aktif propineb 70% termasuk dalam kelompok dithiokarbamat dan tergolong dalam fungisida non sistemik (fungisida kontak). Fungisida kontak bekerja melalui paparan langsung pada cendawan sasaran. Selain itu jumlah populasi cendawan pada coating fungisida lebih sedikit dibandingkan perlakuan coating dengan bakteri sehingga sifat patogenesitasnya juga menurun. Rendahnya populasi C. acutatum pada benih yang dicoating dengan bakteri probiotik dan fungisida menunjukkan bahwa dengan adanya aplikasi bakteri probiotik mampu menekan populasi cendawan. Kemampuan antagonisme bakteri probiotik tentunya berdampak positif untuk menekan keberadaan cendawan patogen. Bakteri probiotik dapat menekan cendawan patogen melalui mekanisme antibiosis, kompetisi dan produksi enzim. Benih yang dicoating tanpa bakteri atau hanya menggunakan bahan perekat natrium alginat dan xantan gum tidak mampu menurunkan persentase benih terinfeksi dan populasi cendawan pada setiap periode simpan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4, dimana perlakuan coating tanpa bakteri berbeda nyata dengan kontrol dan berbeda nyata dengan coating bakteri probiotik dan fungisida. Natrium alginat yang digunakan sebagai bahan coating mengandung residu asam mannuronat serta asam guluronat tetapi tidak bersifat toksin terhadap benih, sehingga banyak digunakan untuk bahan pengawetan pangan karena dapat melindungi bahan pangan dari udara sehingga proses oksidasi dihambat. Xantan gum merupakan bahan eksopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris (Ramirez et al. 1988). Xantan gum banyak digunakan sebagai bahan pengental pada pembuatan makanan dan dalam industri kosmetik. Populasi cendawan mengalami peningkatan setiap periode simpan pada perlakuan kontrol, sedangkan perlakuan coating bakteri probiotik, populasi 23 cendawannya tidak mengalami peningkatan pada setiap periode simpan (Tabel 4). Menurut Syarif et al. (2003), kompetisi yang dilakukan oleh bakteri probiotik yaitu dengan cara mengeluarkan metabolit sekunder yang bisa menghambat pertumbuhan cendawan sehingga cendawan ini tidak dapat mengabsorbsi nutrisi yang lebih banyak dan menyebabkan pertumbuhan cendawan lebih lambat. Hal ini sesuai dengan karakteristik bakteri probiotik yaitu mendorong terjadinya kompetisi dan memungkinkan bakteri terpacu untuk melepaskan senyawa metabolit sekunder sebagai bentuk pertahanan bakteri (Wartono et al. 2012). Toksin yang dihasilkan oleh bakteri probiotik dapat menekan, menghambat atau memusnahkan mikroba lainnya (Feliatra et al. 2012). Pengamatan di Rumah Kaca Hasil analisis pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap kecepatan tumbuh di rumah kaca (Tabel 5) menunjukkan bahwa perlakuan coating benih dengan Actinomycetes sp. mampu mempertahankan kecepatan tumbuh hingga periode simpan 4 bulan yaitu 8.9%KN/etmal, dibandingkan perlakuan coating Bacillus sp., coating Pseudomonas sp., coating fungisida, coating tanpa bakteri maupun kontrol. Penurunan vigor benih pada tolok ukur kecepatan tumbuh selama periode simpan dikarenakan benih mengalami proses penuaan. Proses ini tidak pernah berhenti sampai akhirnya benih mati (Justice & Bass 2002). Kecepatan tumbuh pada benih yang dicoating dengan Pseudomonas sp. mengalami penurunan kecepatan tumbuh selama periode simpan. Yulianti et al. (2012) menyatakan bahwa senyawa toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme antagonis diduga dapat menghambat perkecambahan benih. Tabel 5 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap kecepatan tumbuh (%KN/etmal) pada pengamatan di rumah kaca Perlakuan benih C0 C1 C2 C3 C4 C5 0 6.7 bC 8.6 bBC 7.4 bBC 6.3 bC 9.4 bcA 12.2 aA 1 10.4 aAB 9.3 abB 9.1 abB 8.7 aB 11.1 abcA 9.9 bAB Periode simpan (bulan) 2 3 8.9 aBC 3.4 cCD 10.6 aAB 3.6 cCD 10.4 aAB 4.7 cBC 7.0 bC 2.3 cD 12.3 aA 11.9 abA 10.2 bAB 5.9 cB 4 1.9 cB 2.6 cB 1.9 dB 2.2 cB 8.9 cA 1.9 dB 5 1.2 dC 2.7 cAB 3.3 cdA 1.9 cBC 2.8 cAB 1.6 dC Keterangan : C0 = kontrol, C1 = coating tanpa bakteri, C2 = coating Bacillus, C3 = coating Pseudomonas, C4 = coating Actinomycetes, C5 = coating fungisida. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%. Huruf kecil ke samping (dalam satu baris) menunjukkan pengaruh perlakuan periode simpan sedangkan huruf kapital ke bawah (dalam satu kolom) menunjukkan pengaruh perlakuan coating benih. Penurunan viabilitas benih selama periode simpan,berdampak pada penurunan tinggi bibit (Tabel 6). Penurunan tinggi bibit secara nyata mulai terjadi pada periode simpan 3 bulan. Perlakuan periode simpan 1 dan 2 bulan mampu 24 mempertahankan tinggi bibit lebih baik yaitu 10.34-10.87 cm dibandingkan perlakuan periode simpan 0, 3, 4 dan 5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode simpan 0 bulan diduga benih masih mengalami dormansi sehingga terjadi keterlambatan pertumbuhan yang berdampak pada rendahnya tinggi tanaman. Setelah penyimpanan 1 dan 2 bulan, telah terjadi pematahan dormansi sehingga benih tumbuh cepat dan pertumbuhan bibit lebih tinggi. Pada periode simpan 3 bulan, mulai terjadi penurunan vigor bibit. Akibatnya benih mulai mengalami penghambatan pertumbuhan yang ditandai rendahnya tinggi tanaman. Tabel 6 Pengaruh perlakuan periode simpan terhadap tinggi bibit cabai (cm) umur 4 minggu setelah semai Perlakuan Periode simpan (bulan) Rata-rata benih 0 1 2 3 4 5 C0 7.25 11.13 10.03 9.65 7.39 8.16 8.94 C1 10.81 10.08 10.43 8.87 7.91 7.55 9.27 C2 7.52 12.58 10.72 9.44 7.71 8.77 9.46 C3 7.35 9.88 10.52 8.57 8.90 8.67 8.98 C4 7.73 11.04 10.41 9.73 9.08 9.39 9.60 C5 7.00 10.52 9.95 7.43 8.74 8.18 8.64 Rata-rata 7.94 c 10.87 a 10.34 a 8.99 b 8.24 bc 8.45 bc Keterangan : C0 = kontrol, C1 = coating tanpa bakteri, C2 = coating Bacillus, C3 = coating Pseudomonas, C4 = coating Actinomycetes, C5 = coating fungisida. Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%. Hasil interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap jumlah daun menunjukkan bahwa perlakuan bakteri probiotik mampu meningkatkan jumlah daun selama periode simpan 5 bulan (Tabel 7) dibandingkan perlakuan kontrol dan coating tanpa bakteri. Peningkatan jumlah daun pada tanaman cabai di duga karena adanya zat pengatur tumbuh yang dihasilkan oleh bakteri probiotik. Kusuma et al. (2012) melaporkan bahwa giberelin merupakan zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pertumbuhan daun, mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi akar. Menurut Saraswati & Sumarno (2008), penggunaan mikroorganisme sebagai agens antagonis memberikan manfaat karena selain menghasilkan enzim kitinolitik juga dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh (ZPT) dan menyediakan nutrisi bagi tanaman. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nabti et al. (2013) bahwa Bacillus sp. menghasilkan siderofor dan beberapa enzim seperti selulase, kitinase, protease, dan lipase melalui aktivitas antagonis yang dapat mendegradasi senyawa organik kompleks untuk membentuk senyawa yang larut yang selanjutnya dapat diserap untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. 25 Tabel 7 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap jumlah daun (helai) umur 4 minggu setelah semai Perlakuan benih C0 C1 C2 C3 C4 C5 0 6.4 abAB 8.1 aA 6.3 bAB 6.0 aB 6.2 aB 5.7 bB 1 7.6 aAB 7.2 abAB 8.7 aA 7.1 aB 7.5 aAB 7.5 aAB Periode simpan (bulan) 2 3 6.7 aAB 7.3 aA 6.7 bAB 6.80bAB 7.0 bA 6.9 bAB 6.9 aA 6.6 aAB 7.1 aA 7.4 aA 6.5 bB 5.9 bB 4 5.5 bB 5.7 cB 6.2 bAB 6.1 aB 7.2 aA 6.4 bAB 5 6.5 abB 6.8 bAB 7.1 bA 7.1 aA 7.1 aA 6.7 abAB Keterangan : C0 = kontrol, C1 = coating tanpa bakteri, C2 = coating Bacillus, C3 = coating Pseudomonas, C4 = coating Actinomycetes, C5 = coating fungisida. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%. Huruf kecil ke samping (dalam satu baris) menunjukkan pengaruh perlakuan periode simpan sedangkan huruf kapital ke bawah (dalam satu kolom) menunjukkan pengaruh perlakuan coating benih. Perlakuan coating dengan fungisida (antracol 70 WP) dan bakteri probiotik lebih tinggi menurunkan persentase hipokotil terinfeksi di rumah kaca (Tabel 8). Salah satu sifat dari fungisida sintetik adalah dapat menurunkan populasi patogen dengan cepat sehingga meluasnya serangan patogen dapat dicegah (Munarso et al. 2006). Fungisida antracol mengandung bahan aktif propineb 70%, berbentuk tepung dan bersifat kontak, sehingga lebih tinggi menurunkan persentase hipokotil terinfeksi pada bibit tanaman cabai, sedangkan bakteri probiotik bersifat antagonis diduga menghasilkan toksin, antibiosis dan enzim kitinase sehingga menekan infeksi hipokotil. Tabel 8 Pengaruh perlakuan coating terhadap hipokotil terinfeksi (%) di rumah kaca Perlakuan benih C0 C1 C2 C3 C4 C5 Rata-rata 0 1.3 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1 1.2 0.7 1.2 1.2 1.3 1.3 1.2 Periode simpan (bulan) 2 3 2.8 2.5 2.6 2.4 1.2 1.2 1.5 1.2 1.2 1.9 0.7 0.7 1.7 1.7 Rata-rata 4 2.2 3.1 1.5 0.7 1.7 1.2 1.6 5 2.2 1.3 2.0 1.9 1.2 1.3 1.7 2.0 a 1.9 a 1.4 ab 1.3 ab 1.3 ab 1.1 b Keterangan : C0 = kontrol, C1 = coating tanpa bakteri, C2 = coating Bacillus, C3 = coating Pseudomonas, C4 = coating Actinomycetes, C5 = coating fungisida. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%. Data yang digunakan adalah data yang sudah ditransformasi (x+0.5)^0.5 Hasil analisis pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap kejadian serangan menunjukkan bahwa perlakuan coating menurunkan persentase kejadian serangan pada bibit cabai di rumah kaca selama periode simpan 5 bulan dibandingkan kontrol (Tabel 9). Tingginya populasi C. acutatum 26 (Tabel 4) juga meningkatkan persentase kejadian serangan. Mahartha et al. 2013 menyatakan semakin banyak tanaman terserang penyakit, maka populasi cendawan juga semakin banyak masuk ke dalam jaringan tanaman dan kemudian berkembang biak sehingga menyebabkan serangan penyakit semakin tinggi. Hasil penelitian Nugraheni (2010), isolat Fusarium sp. memiliki sifat patogenik tinggi pada tanaman cabai dengan populasi antara 7.2-7.3 spora/ml. Tabel 9 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap kejadian serangan antraknosa (%) Perlakuan benih C0 C1 C2 C3 C4 C5 0 3.2 cA 2.9 bA 1.7 bA 2.6 abA 2.4 bcA 2.6 bA 1 3.1 cA 3.3 bA 1.2 bB 1.2 bB 2.2 cAB 2.2 bAB Periode simpan (bulan) 2 3 3.3 cA 4.3 bcA 3.4 abA 4.0 abA 3.3 abA 3.3 abA 3.5 abA 3.9 aA 3.5 abcA 4.2 abA 3.3 abA 1.7 bA 4 6.3 abA 5.7 aA 5.5 aAB 4.5 aAB 4.5 aAB 3.60abB 5 7.8 aA 5.2 abB 5.1 aB 4.3 aBC 2.9 abcC 5.1 aB Keterangan : C0 = kontrol, C1 = coating tanpa bakteri, C2 = coating Bacillus, C3 = coating Pseudomonas, C4 = coating Actinomycetes, C5 = coating fungisida. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%. Huruf kecil ke samping (dalam satu baris) menunjukkan pengaruh perlakuan periode simpan sedangkan huruf kapital ke bawah (dalam satu kolom) menunjukkan pengaruh perlakuan coating benih. Data yang digunakan sudah ditransformasi (x+0.5)^0.5. Benih yang hipokotilnya terinfeksi ditandai dengan adanya pertumbuhan C. acutatum pada seluruh badan hipokotil (Gambar 8a). Gejala penyakit yang paling banyak menyerang bibit tanaman cabai di rumah kaca dalam penelitian ini adalah rebah kecambah (Gambar 8b) dan mati pucuk (Gambar 8c) serta kegagalan perkecambahan atau benih banyak yang tumbuh abnormal. a b c Gambar 8 Hipokotil terinfeksi C. acutatum (a), rebah kecambah (b) dan mati pucuk (c) Hasil penelitian Setiyowati et al. (2007) menunjukkan keefektifan perlakuan seed coating dengan benomil dan tepung curcuma dalam menekan tingkat infeksi C. capsici pada hipokotil terinfeksi yang nyata lebih kecil dibandingkan kontrol. Hasil penelitian Ilyas et al. (2015) menunjukkan di lapangan, perlakuan biopriming dengan campuran Bacillus polymixa BG25 atau Pseudomonas fluorescence PG01 mengurangi kejadian penyakit antraknosa dari 80% menurun 9% pada benih kontrol yang terinfeksi. Suwan et al. (2012) mengatakan penyakit 27 antraknosa dapat menginfeksi setiap bagian tanaman dan gejala yang khas seperti mati pucuk, hawar daun, bercak daun, kegagalan perkecambahan dan rebah kecambah. Periode simpan berpengaruh nyata terhadap rebah kecambah. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin lama benih itu disimpan, semakin tinggi kecambah yang rebah, dilihat dari peningkatan jumlah kecambah yang rebah dari periode simpan 0 bulan 1.7% kemudian meningkat setiap bulannya hingga mencapai 2.7% pada periode simpan 5 bulan (Tabel 10). Hal ini terjadi karena C. acutatum penyebab antraknosa dapat berkembang saat benih dalam tempat penyimpanan dan konidia cendawan dapat bertahan dalam waktu yang lama. Serangan patogen pada cendawan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Benih yang digunakan dalam penelitian ini sudah diinfeksi patogen C. acutatum secara buatan. Akibatnya, benih mengalami kegagalan dalam perkecambahan atau terjadinya rebah kecambah. Pada saat benih tumbuh, tunas dan akarnya adalah fase paling rentan bagi tanaman terhadap serangan patogen yang virulen dan saat yang tepat bagi patogen untuk melakukan penetrasi. Benih yang baru tumbuh memiliki jaringan muda yang rentan terjadi rebah kecambah (damping off) (Soekarno et al. 2013). Keberadaan patogen pada benih dapat menyebabkan benih tidak dapat tumbuh. Patogen akan berkembang sejalan dengan perkecambahan benih. Walaupun terdapat patogen lain tetapi jumlahnya lebih sedikit, sehingga pengendalian C. acutatum dengan bakteri probiotik pada benih cabai yang terserang patogen cukup efektif. Tabel 10 Pengaruh perlakuan periode simpan terhadap rebah bibit (%) Perlakuan Periode simpan (bulan) benih 0 1 2 3 4 5 C0 1.6 2.1 2.3 2.5 2.6 2.7 C1 1.6 2.1 2.3 2.5 2.6 2.7 C2 1.6 2.1 2.4 2.5 2.6 2.7 C3 1.7 2.2 2.4 2.5 2.6 2.7 C4 1.7 2.2 2.4 2.5 2.6 2.7 C5 1.8 2.7 2.4 2.5 2.6 2.7 Rata-rata 1.7 f 2.2 e 2.4 d 2.5 c 2.6 b 2.7 a Rata-rata 2.3 2.3 2.3 2.3 2.4 2.4 Keterangan : C0 = kontrol, C1 = coating tanpa bakteri, C2 = coating Bacillus, C3 = coating Pseudomonas, C4 = coating Actinomycetes, C5 = coating fungisida. Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%. Data yang digunakan sudah ditransformasi log x+1. Hasil pengamatan pada percobaan ini menunjukkan bahwa persentase benih terinfeksi pada perlakuan coating fungisida mencapai 0% pada periode simpan 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 bulan, namun saat ditanam di rumah kaca, terdapat hipokotil terinfeksi, kejadian serangan dan rebah kecambah (Tabel 8, 9 dan 10). Hal ini terjadi karena C. acutatum bersifat laten dan sistemik artinya cendawan ini tidak terlihat pada bagian-bagian benih tetapi dapat menimbulkan gejala setelah dikecambahkan bahkan gejalanya muncul setelah tanaman dewasa (Wilia et al. 2012). 28 Keefektifan perlakuan coating dengan bakteri probiotik mampu menekan tingkat infeksi hipokotil, kejadian penyakit dan rebah kecambah di rumah kaca. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan benih dengan bakteri probiotik mampu mengendalikan patogen terbawa benih, baik patogen yang berada di permukaan benih maupun patogen yang berada di luar benih. 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengujian antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum terdapat tiga bakteri yang memiliki sifat antagonis yaitu Actinomycetes sp. (ATS6), Bacillus sp. (B48), dan Pseudomonas sp. (P12). Aplikasi bakteri probiotik mempertahankan viabilitas benih, ditunjukkan oleh potensi tumbuh maksimum 80-84%, daya berkecambah 76-78.7%, kecepatan tumbuh 5.3-6.3%KN/etmal dan meningkatkan kesehatan benih tercermin dari menurunnya benih terinfeksi 2.7-14.7%, populasi cendawan 5.31-5.45 cfu/g benih dan persentase kejadian serangan antraknosa pada periode simpan 5 bulan. Aplikasi bakteri probiotik meningkatkan vigor bibit berdasarkan tolok ukur jumlah daun pada bibit tanaman cabai. Saran Pada penelitian ini belum diketahui mekanisme penghambatan yang pasti dalam uji antagonis, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui mekanisme penghambatan yang pasti dari bakteri probiotik yang digunakan. Bakteri-bakteri yang digunakan perlu juga dilakukan uji antagonis dengan patogen lain. 29 DAFTAR PUSTAKA Agustono, Suprapto H, Mujahir. 2012. Strategi bakteri probiotik untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen di dalam pencernaan kerapu Chromileptes altivelis dengan memproduksi beberapa bakterial substansi. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan 4(2):199-205. Akhtur MS, Alam S, Islam MS, Lee MW. 2009. Identification of the fungal pathogen that causes strawberry anthracnose in Bangladesh and evaluation of in vitro fungicide activity. Mycobiology 37(2):77-81. Ambarwati, Azizah T, Sembiring L, Wahyuono S. 2013. Uji aktivitas antibakteri isolat Actinomycetes dari rizosfer padi (Oryza sativa) terhadap Salmonella typhosa dan Staphylococcus aureus. Seminar Nasional X Pendidikan Biologi FKIP UNS: hal 1-6. Arwiyanto T, Maryudani YMS, Prasetyo AE. 2007. Karakterisasi dan uji aktivitas Bacillus spp sebagai agensia pengendalian hayai penyakit lincat pada tembakau Temanggung. Berk. Penel. Hayati 12: 93-98. Asnawi, Iswati R, Hiasinta, Motulo FJ. 2012. Eksplorasi agens biokontrol Phytopthora palmivora penyebab penyakit gugur buah kelapa. JATT 1(2):61-66. Atlas RM. 2010. Handbook of Microbiological Media. Ed ke-4. Washington (US) : ASM Pr. [AVRDC] Asian Vegetable Research Development Centre 2004, „Fa t heet‟, AVRDC publication 04-174, diunduh 14 September 2014, <www.avrdc.org>. Baharuddin, Nursaba, Kuswinanti T. 2005. Pengaruh pemberian Pseudomonas fluorescens dan “effektive mikroorganism 4” dalam menekan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman cabai (Capsicum annuum L.). Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEJ dan PFJ XVJ Komda Sulawesi Selatan. JSNB 979(95025):6-7. Benny, Lubis L, Oemry S, fairuzah Z. 2013. Uji dosis dan cara aplikasi biofungisida Bacillus sp terhadap penyakit jamur akar putih (Rigidoporus lignosus) pada tanaman karet di pembibitan. Jurnal Online Agroteknologi 1(2):2337-6597. Bernadiknus T, Wiranta W. 2006. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. Tanggerang (ID): Agromedia Pustaka. Compant S, Duffy B, Nowak J, Clement C, Barka EA. 2005. Use of plant growthpromoting bacteria for biocontrol of plant diseases: principles, mechanisms of action, and future prospects. Applied and Environment Microbiology 71(9):4951-4959. Copeland LO, McDonald MB. 2001. Principles of Seed Science and Technologyfourth edition. Burgess Publishing company. Minneapolis (US):Minnesota. Damm U, Cannon PF, Woundenberg JHC, Crous PW. 2012. The Colletotrichum acutatum species complex. Studies in Mycology 73:37-113. 30 [FAO,WHO] Food Agriculture Organization, World Health Organization 2001, „ eport of a joint FAO/W O expert onsultation on evaluation og health and nutritional properties of probiotics in food including powder milk with live lactic acid bacteria, diunduh 15 September 2014, <ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/009/a0512e/a0512e00.pdf. >. Feliatra, Fitria Y, Nursyirwani. 2012. Antagonis bakteri probiotik yang diisolasi dari usus dan lambung ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) terhadap bakteri patogen. Jurnal Perikanan dan Kelautan 17(1):16-25. Guerber JC, Correl JC. 2001. Characterization of Glomorella acutata, the teleomorph of Colletotrichum acutatum. Mycologia 98(1):216-229. Gunawan OS. 2006. Mikroba antagonis untuk pengendalian penyakit antraknos pada cabai besar. J. Hort 16(2):151-155. Handoko A, Abadi, AL, Aini, LQ. 2014. Karakterisasi penyakit penting pada pembibitan tanaman durian di Desa Plangkrongan, Kabupaten Magetan dan pengendalian dengan bakteri antagonis secara in vitro. Jurnal HPT 2( 2):15-22. Hanudin, Marwoto B. 2012. Prospek penggunaan mikroba antagonis sebagai agens pengendali hayati penyakit utama pada tanaman hias dan sayuran. Jurnal Litbang Pertanian 31(1):8-13. Hatmanti A. 2000. Pengenalan Bacillus spp. Oseana 25(1) : 31-41. Ibrahim A, Ilyas S, Manohara D. 2014. Perlakuan benih cabai (Capsicum annuum, L) dengan Rhizobacteri untuk mengendalikan Phytophthora capsici, meningkatkan vigor benih dan pertumbuhan tanaman. Bul. Agrohorti 2(1):22-30. Ilyas S, Asie KV, Sutariati GAK, Sudarsono. 2015. Biomatriconditioning or biopriming with Biofungicide or biological agent applied hot chilli (Capsicum annuum L.) seeds reduced seedborne Colletotrichum capsici and increased seed quality and yield. Journal of Tropical Crop Science. Accepted. Indahwardani H. 2013. Aplikasi bakteri dalam perlakuan seed coating untuk mempertahankan viabilitas dari benih cabai (Capsicum annuum L.) yang sehat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Irianto A. 2003. Probiotik Akuakultur. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. [ISTA] International Seed Testing Association. 2010. International Rules for Seed Testing. Bassersdorf (SW): ISTA. Ivanovic M. 2007. Anthracnose-a new strawberry disease in Serbia and its control by fungicides. Proc. Nat. Sci. Matica Svpska 113:71-81. Julianti E, Soekarto ST, Hariyadi P, Syarief AM. 2005. Analisis kinetika pendugaan umur simpan cabai merah. J. Tek. Ind. Pert. 15(1):34-39. Justice OL, Bass LN. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Jakarta (ID): PT Raja Grafido Persada. Kartika E, Ilyas S. 1994. Pengaruh tingkat kemasakan benih dan metode konservasi terhadap benih dan vigor kacang jogo (Phaseolus vulgaris). Bul. Agron. 22(2):4-59. Khucharoenphaisan K, Sinma K, Lorrungruang C. 2013. Efficiency of Actinomycetes against phytophatogen fungus of Chilli anthracnose. Journal of Apllied Sciences 13(3):472-478. 31 Kusuma YSA, Karno, Sutarno. 2012. Perbanyakan vegetatif cara stek Desmodium cinereum dan Hibiscus rosa sinensis L. dengan pemberian zat pengatur tumbuh alami dan auksin sintetis. Animal Agriculture Journal 1(1):557565 Mahartha KA, Khalimi K, Wirya GNAS. 2013. Uji efektivitas rizobakteri sebagai agen antagonis terhadap Fusarium oxysporum f.sp. capsici penyebab penyakit layu fusarium pada tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.). E-Jurnal Agroteknologi Tropika 2(3):145-154. Manggung RER, Ilyas S, Bakhtiar Y. 2014. Evaluasi daya simpan benih kedelai yang diberi perlakuan pelapisan benih dengan cendawan Mikoriza arbuskula. J. Agron. Indonesia 42(2): 103-109. Mathur SB, Kongsdal O. 2003. Common Laboratory Seed Health Testing Methods For Detecting Fungi. Copenhagen (DK): International seed Testing Association. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan. Bogor (ID): IPBPres. Miransari M, Smith D. 2009. Rhizobial lipo-chitooligosaccharides and gibberellins enhance barley (Hordeum vulgare L.) seed germination. Biotechnology 8(2):270-275. Muchtar SD, Widajati E, Giyanto. 2014. Pelapisan benih menggunakan bakteri probiotik untuk mempertahankkan viabilitas benih jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) selama penyimpanan. Buletin Agrohorti 1(4):2633. Mugnisjah WQ, Setiawan A. 2004. Produksi Benih. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Muharni, Widjajanti H. 2011. Skrining bakteri kitinolitik antagonis terhadap pertumbuhan jamur akar putih (Rigidopones lignosus) dari rizozfer tanaman karet. Jurnal Penelitian Sains (ID) 14(1):51-56. Mujoko T, Sastrahidayat IR, Hadiastono T. 2005. Pemanfaatan Actinomycetes antagonis sebagai pengendali hayati Fusarium oxysporum f.sp.lycopersici pada tanaman tomat. Agrivita 27(1):41-46. Munarso SJ, Miskiyah, Broto W. 2006. Studi kandungan residu pestisida pada kubis, tomat dan wortel di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian 2:28-32. Mutschler E. 1991. dalam Ambarwati, Azizah T, Sembiring L, Wahyuono S. 2013. Uji aktivitas antibakteri isolat Actinomycetes dari rizosfer padi (Oryza sativa) terhadap Salmonella typhosa dan Staphylococcus aureus. Seminar Nasional X Pendidikan Biologi FKIP UNS: hal 1-6. Nabti EH, Mokrane N, Ghoul M, Manyani H, Dary M, Megias MG. 2013. Isolation and characterization of two halophilic Bacillus (B. licheniformis and Bacillus sp.) with antifungal activity. J. Eco.Heal. Env. 1(1): 13-37. Nugraheni ES. 2010. Karakterisasi biologi isolat-isolat Fusarium sp. pada tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) asal Boyolali. [Skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Nurhayati. 2011. Efektivitas ekstrak daun sirih terhadap infeksi Colletotrichum capsici pada buah cabai. Dharmapala 3(2):54-59. 32 Nurhayati, Umayah A, Juharto. 2012. Antagonism of Pseudomonas fluorescens Migule. from soil and rhizospheres of banana, chilli and corn on Fusarium oxysporum f.sp.cubense (E.F.Sm) Sdny the banana‟s wilt pathogen . Majalah Ilmiah Sriwijaya 22(15):37-40. Nurkanto A, Julistiono H, Agusta A, Sjamsuridzal W. 2012. Screening antimikroba activity of Actinomycetes isolated from Raja Ampat, West Papua, Indonesia. Makala Journal of Science 16(1):21-26. Nurjanani. 2011. Kajian pengendalian penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) menggunakan agens hayati pada tanaman tomat. Suara Perlindungan Tanaman 1(4):1-8. Noviana L, Raharjo B. 2009. Viabilitas rhizobakteri Bacillus sp. DUCC-BR-K1.3 pada media pembawa tanah gambut disubstitusi dengan padatan limbah cair industri rokok. BIOMA 11(1):30-39. Novina D, Suryanto D, Elimasni. 2012. Uji potensi bakteri kitinolitik dalam menghambat pertumbuhan Rhizoctonia solani penyebab rebah kecambah pada kentang varietas granola. Saintia Biologi 1(1):1-7 Palupi T, Ilyas S, Machmud M, Widajati E. 2012. Pengaruh formula coating terhadap viabilitas dan vigor serta daya simpan benih padi (Oryza sativa L). Jurnal Agronomi Indonesia 40(1):21-28. Perlman D. 1970. Antibiotics. Vhicago (US): Rand MSNally an Company. Ramirez ME, Fucikovsky L, Jimenez FG, Quintero R, Galindo E. 1988. Xantan gum production by altered pathogenicity variants of Xanthomonas campestris. Applied Microbiology and Biotechnology 29(1):5-10. Sallytha AAM. Addy HS. Mihardjo PA. 2014. Penghambatan Actinomycetes Erwinia carotovora subsp. Carotovora secara in vitro. Berkala Ilmiah Pertanian 1(4): 70-72. Saraswati R, Sumarno. 2008. Pemanfaatan mikroba penyubur tanaman sebagai komponen pertanian. Iptek Tanaman Pangan 3(1):41-58. Setiyowati H, Surahman M, Wiyono S. 2007. Pengaruh seed coating dengan fungisida benomil dan tepung curcuma terhadap patogen antraknosa terbawa benih dan viabilitas benih cabai besar (Capsicum annuum L). Buletin Agronomi 35(3):176-182. Setyowati E. 2013. Aplikasi bakteri probiotik untuk meningkatkan vigor bibit cabai (Capsicum annuum L.). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Shahab S, Ahmad N, Khan NS. 2009. Indole acetic acid production and enhanced plant growth promotion by indigenous PSBs. African Journal of Agricultural Research 4(11):1312-1316. Siregar AN, Ilyas S, Fardiaz D, Murniati E, Wiyono S. 2007. Penggunaan agens biokontrol Bacillus polymixa dan Trichoderma harzianum untuk peningkatan mutu benih cabai dan pengendalian penyakit antraknosa. Jurnal Penyuluhan Pertanian 2 (2):105-114. Soekarno BPW, Surono, Hendra. 2013. Optimalisasi peran kompos bioaktif dengan penambahan asam humat dan asam fulvat untuk meningkatkan ketahanan tanaman mentimun terhadap serangan Phythium sp. Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati dan Fisik 15(1):35-43. 33 Sulistiani. 2009. Formulasi spora Bacillus subtilis sebagai agens hayati dan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) pada berbagai bahan pembawa. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB. Susanna. 2006. Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen biokontrol penyakit layu (Fusarium oxysporum f. sp. cubense) pada tanaman pisang. Jurnal Floratek 2:114-121. Sutariati GAK, Widodo, Sudarsono, Ilyas S. 2006. Pengaruh perlakuan rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman terhadap viabilitas benih serta pertumbuhan bibit tanaman cabai. Buletin Agronomi 34(1):46-55. Suwan N, Boonying W, Nalumpang S. 2012. Antifungal activity of soil Actinomycetes to control chilli anthracnose caused by Colletotrichum gloeosporioides. Jurnal of Agricultural Technology 8(2):725-757. Suwandi U. 1993. Skrining mikroorganisme penghasil antibiotika. Cermin Dunia Kedokteran 89(48):46-48. Syarif R, Egad L & Nurwitri CC. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. Bogor (ID): IPBPress. Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J, Widodo. 2007. Pewarisan ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Bul. Agron. 35(2):112-117. Syukur M, Yunianti R, Rustam, Widodo. 2013. Pemanfaatan sumber daya genetik lokal dalam perakitan varietas unggul cabai (Capsicum annuum L.) tahan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) 18(2):67-72. Wharton PS, Uribeondo JD. 2004. The biology of Colletotrichum acutatum. Anales del Jardin Botanico de Madrid 61(1): 3-33. Widajati E, Salma S, Lastiandika YA. 2013. Perlakuan coating dengan menggunakan isolat Methylobacterium spp. dan tepung curcuma untuk meningkatkan daya simpan benih padi hibrida. Bul. Agrohorti 1(1):79-88. Wilia W, Widodo, Wiyono, S. 2012. Potensi khamir untuk mengendalikan penyakit antraknosa (Colletotrichum acutatum) pada tanaman cabai. Online Journal UNJA 1(4):65-72. Wartono, Suryadi Y, Susilowati DN. 2012. Keefektifan formulasi bakteri Burkholderia cepacia isolat E76 terhadap Rhizoctonia solani kuhn pada pertumbuhan tanaman padi di Laboratorium. Jurnal Agrotropika 17(2):39-42. Yulianti T, Hidayah N, Suhara C. 2012. Pengaruh inkubasi bahan organik yang diperkaya dengan mimba terhadap keparahan penyakit rebah kecambah (Rhizoctonia solani) pada tanaman kapas. Buletin Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak Industri 4(2): 68-75. Zivkovic S, Stojanovic S, Ivanovic Z, Garrilovic V. 2010. Screening to anthagonistic activity of microorganisms against Colletotrichum acutatum and Colletotrichum gloeosporioides. Arc. Biol. Sci. Belgrade 62(3):611-623. 34 LAMPIRAN Lampiran 1 Deskripsi Cabai Besar Varietas Seloka IPB Deskripsi Cabai Besar Varietas Seloka IPB Asal Silsilah Golongan varietas Tinggi tanaman Bentuk penampang batang Diameter batang Warna batang Warna daun Bentuk daun Ukuran daun Bentuk bunga Warna kelopak bunga Warna mahkota bunga Warna kepala putik Warna benangsari Umur mulai berbunga Umur mulai panen Bentuk buah Ukuran buah Warna buah muda Warna buah tua Tebal kulit buah Rasa buah Bentuk biji Warna biji Berat 1.000 biji Berat per buah Jumlah buah per tanaman Berat buah per tanaman Daya simpan buah pada suhu 27-28oC Hasil buah per hektar Populasi per hektar Kebutuhan benih per hektar Penciri utama : dalam negeri : seleksi bulk dimodifikasi hasil persilangan IPB C2 x IPB C5 : bersari bebas : 45.09 – 76.87 cm : bulat : 0.99 – 1.72 cm : hijau : hijau : oval : panjang 7.66 – 11.91 cm, lebar 2.78 – 3.7 cm : intermediate : hijau : putih : putih : biru : 25 - 29 hari setelah tanam : 71 – 78 hari setelah tanam : memanjang : panjang 12.07 – 15.77 cm, diamater 1.49 1.88 cm : hijau : merah : 0.11 – 0.19 cm : sangat pedas (kadar capcaisin 917.25-979.15 ppm) : pipih : kuning jerami : 5.0-5.2 g : 10.33-12.57 g : 51-80 buah : 482.16 g (320.97-695.66 g) : 8-10 hari setelah panen : 11.59 ton ( 7.34-17.49 ton) : 25.000 tanaman : 200-300 g : perubahan warna buah muda hingga buah matang : hijau tua-cokelat-merah,daun tua mengarah ke bawah, bentuk tajuk melebar, ujung buah agak melengkung 35 Keunggulan varietas Wilayah adaptasi Pemohon Pemulia Peneliti : umur panen genjah (62.42-86.87 hari setelah tanam), tingkat kepedasan sangat tinggi (939.12-1000.98 ppm), produktivitas dapat mencapai 17 ton/ha : beradaptasi dengan baik di dataran rendah dengan ketinggian 100-250 m dpl : Pusat Kajian Tropika Institut Pertanian Bogor, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor : Muhamad Syukur, Sriani Sujiprihati, Rahmi Yuniati : Widodo, Undang, Abdul Hakim, Tiara Yudilastari, Arya Widura Ritonga, Vitria P. Rahadi. 36 Lampiran 2 Komposisi media TSA Bahan Jumlah 15 g 15 g 1l Trypticase soy Broth Agar Aquadest Lampiran 3 omposisi media ing‟s Bahan Jumlah 5g 0.375 g 0.375 g 15 ml 1l Protease peptone K2HPO4 MgSO4. 7H2O Gliserol Aquadest Lampiran 4 Komposisi media YCED Bahan Jumlah 0.3 g 0.3 g 0.3 g 2g 1l Yeast extract Casamino acids D-Glucose K2HPO4 Aquadest Lampiran 5 Komposisi media PDA Bahan Agar Dextrose Kentang Aquadest Jumlah 15 g 20 g 200 g 1l Lampiran 6 Hasil analisis media tanam di rumah kaca No. Lab AR 1793 No. Lapang pH 1:1 H2O 6.70 Kjeldhal N-Total % 0.4 Bray P K (ppm) 76.90 500.00 37 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Noemuti pada tanggal 28 Februari 1982 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Mikhael Tefa dan Yulita Naif. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Udayana, lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2012, penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2015. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) diperoleh dari Dirjen Pendidikan Tinggi. Penulis bekerja sebagai Dosen di Universitas Timor sejak tahun 2008. Bidang penelitian yang pernah diteliti adalah Market Research bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Care International. Selama mengikuti program S2, penulis menjadi anggota Forum Pascasarjana (FORSCA) Departemen Agronomi dan Hortikultura, bidang olahraga dan kesenian. Disamping itu, penulis dipercayakan menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Dasar Ilmu dan Teknologi Benih semester genap 2013/2014 dan semester ganjil 2014/2015. 38