PENGARUH METODE SOSIODRAMA DALAM MATA PELAJARAN AGAMA BUDDHA TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN AFEKTIF SISWA KELAS VII SMP PERGURUAN BUDDHI TANGERANG ARTIKEL OLEH DESI KARTIKAWATI Disusun sebagai Tugas Akhir Di Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang – Banten Jurusan Dharmacarya 2013 ABSTRACT Kartikawati, Desi. 2013. Influence Learning Methods sociodramas in Buddhism Subjects to Improve Ability Affective Seventh Grade Students Junior High School (SMP) Education Buddhi Tangerang. Minithesis. Dharmacarya Department, State Foreign Buddhist College of Sriwijaya, Tangerang, Banten. Preceptor I Gimin Edi Susanto, B.A. (Hons)., Preceptor II Waluyo, M.Pd. Keywords: Methods sociodramas, Affective, Students Issues raised in this study are still many teachers do not use teaching methods well, and many students who have a good attitude and lack of morals on others. Affective abilities of students are still lacking and the low ability of teachers to improve students' affective abilities. This study aims to identify and describe whether there are differences between the methods sociodramas and speech method in Buddhist lessons for junior high school affective abilities students Buddhi Tangerang.This study is an experiment, there were 117 respondents from the total number of junior high school students of Buddhi Tangerang completed questionnaires affective given after learning is complete, the questionnaire is to determine the attitudes, morals, values, interests, and selfconcept of every junior high school of students Buddhi Tangerang. Analysis of the data in this study using the Independent Samples Test or t test. Results of data analysis in this study showed that there was no difference between the methods sociodramas with speech method on the ability affective of junior high school college students Budhi Tangerang. This is evidenced by the probability value of 0.482 which is much higher than the standard of 0.05. Based on these results the authors concluded that in order to change attitudes, morals, values of life, self-concept, and interest someone takes a long time. Therefore, as teachers must continue to provide guidance to the students to moral attitudes and poor students can be better, and the ability to increase students' affective, so that objectives can be achieved. Finally, the author suggests that teachers with good teaching methods, varied and not monotonous, so students do not get bored. Teachers also must always provide guidance and motivation to their students, providing lessons that contain good moral values. As the students also have to follow the lessons of Buddhism well, so that students will develop affective skills. 1. Pendahuluan Pada dasarnya anak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang bersifat formal di sekolah atau informal dalam keluarga dan non formal di sekolah minggu. Pendidikan akan mendukung perkembangan sikap yang baik karena telah dibimbing dan diarahkan ke hal-hal yang baik. Sehingga idealnya anak tumbuh kembang dengan positif seperti ucapan atau perkataan anak sopan, perilaku anak baik, ucapannya bermanfaat. Sikap baik ditunjukan dengan menghormati orang tua, teman, dan guru, memberi salam ketika bertemu orang tua, guru, dan teman. Selain karena adanya faktor keluarga dan sekolah, faktor lingkungan dan teknologi juga memberikan peran penting bagi baik buruknya sikap,konsep diri, nilai, dan moral siswa Sekolah Menengah Pertama. Pergaulan dengan teman yang kurang baik di masyarakat, penggunaan teknologi modern yang tidak terkontrol juga akan membuat anak menjadi bersikap tidak baik dan memiliki moral yang kurang baik. Siswa Sekolah Menengah pertama ini masih ingin mencari dan mengetahui hal-hal yang baru, dan masih sulit untuk mengontrol sikap serta perilakunya sehari-hari, untuk itu lingkungan yang kurang baik akan membuat seseorang berperilaku tidak baik karena terpengaruh keadaan disekelilingnya. Berbagai faktor di atas dapat membawa akibat yang negatif bagi perkembangan sikap seorang anak. Ucapan yang kasar dan tidak sopan akan menyinggung teman dan guru, serta merugikan orang lain, sikap tidak acuh ketika bertemu dengan teman maupun guru, tidak memperhatikan guru ketika mengajar, membuat ramai di kelas, atau sebaliknya menjadi pasif di dalam kelas ketika pembelajaran berlangsung juga merupakan sikap yang tidak terpuji. Sikap seperti ini masih banyak di miliki oleh anak-anak. Apabila sikap anak yang tidak baik seperti di atas dibiarkan maka anak cenderung menjadi buruk dan anak tidak memiliki sikap dan moral yang baik. Anak kurang mengerti mana yang baik dan mana yang buruk, keadaan ini akan membahayakan siswa karena cenderung akan terus berperilaku dan bersikap yang salah. Dari pemaparan tersebut di atas yang membuat penulis ingin mengetahui apakah metode sosiodrama mempengaruhi kemampuan afektif pada siswa Sekolah Menengah Pertama. Seberapa besar pengaruh metode pembelajaran sosidrama yang digunakan oleh guru pendidikan agama Buddha untuk meningkatkan kemampuan afektif siswa. Penulis ingin meneliti permasalahan tersebut antara lain karena guru agama Buddha masih banyak yang menggunakan metode klasikal dalam kegiatan pembelajaran, dan memiliki kemampuan rendah dalam meningkatkan kemampuan afektif siswa Sekolah Menengah Pertama. Dengan adanya penelitian ini diharapkan nilai sikap dan moral anak menjadi lebih baik, baik terhadap orang tua, guru, maupun teman. II. Pembahasan 2.1 Pengertian Metode Pembelajaran Metode pembelajaran sangat penting bagi seorang guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran, yaitu untuk menjadikan pembelajaran semakin menarik dan bervariasi sehingga peserta didik dapat belajar dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Sabri ”metode pembelajaran adalah cara-cara atau teknik penyajian bahan pelajaran yang akan digunakan oleh guru pada saat menyajikan bahan pelajaran, baik secara individual atau secara kelompok” (Ahmad, 2010:57). Agar tercapainya tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, seorang guru harus mengetahui berbagai metode. Dengan memiliki pengetahuan mengenai sifat berbagai metode maka seorang guru akan lebih mudah menetapkan metode yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi. Penggunaan metode mengajar sangat bergantung pada tujuan pembelajaran. 2.2. Pengertian Metode Sosiodrama Dalam pembelajaran, guru harus mampu menggunakan metode pembelajaran yang bermacam-macam dan kreatif salah satunya yaitu metode pembelajaran sosiodrama. “Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk memecahkan masalahmasalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga yang otoriter, dan lain sebagainya (Depdiknas, 2000: 23). Sosiodrama digunakan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan akan masalah-masalah sosial serta mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkannya. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran sosiodrama merupakan metode mengajar dengan cara bermain peran dan siswa mempraktikkan secara langsung tentang pelajaran yang sedang diberikan oleh guru, sehingga akan membuat siswa semakin kreatif karena siswa akan terlibat secara langsung dalam kegiatan pembelajaran tersebut. selain itu siswa juga lebih mampu memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Seperti yang telah dikemukakan oleh Brown “Sociodrama is a learning method that creates deep understanding of the social systems that shape us individually and collectively artinya Sosiodrama adalah metode belajar yang menciptakan pemahaman yang mendalam mengenai sistem sosial yang membentuk kita secara individu dan kolektif” (Brown, 2005: 17). 2.3 Pengertian Afektif Pendidikan sebagai sebuah proses belajar memang tidak cukup dengan sekedar mengejar masalah kecerdasannya saja. Berbagai potensi anak didik atau subyek belajar lainnya juga harus mendapatkan perhatian yang proporsional agar berkembang secara optimal. Aspek atau faktor rasa, emosi, maupun sikap juga perlu mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang. Sejalan dengan pengertian kognitif, afektif, psikomotorik tersebut, juga mengenal istilah cipta, rasa, dan karsa yang dicetuskan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Konsep ini juga mengakomodasi berbagai potensi anak didik. Baik menyangkut aspek cipta yang berhubungan dengan otak dan kecerdasan, aspek rasa yang berkaitan dengan emosi dan perasaan, serta karsa atau keinginan maupun ketrampilan yang lebih bersifat fisik. Konsep kognitif, afektif, dan psikomotorik dicetuskan oleh Benyamin Bloom pada tahun 1956. Karena itulah konsep tersebut juga dikenal dengan istilah Taksonomi Bloom. Seperti yang diungkapkan oleh Kuswana “Afektif atau intelektual adalah mengenai sikap, minat, emosi, nilai hidup dan operasiasi siswa” (Kuswana, 2011:22). Kecerdasan afektif merupakan suatu kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didik yaitu dalam hal sikap/tindakan, mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Bott juga mengungkapkan “the affective domain deals with attitudes, values, feelings, and emotions” (Bott, 1996 :13). Dari penjelasan Bott tersebut bahwa domain afektif merupakan domain mengenai sikap, nilai, perasaan dan emosi seseorang, khususnya peserta didik dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Seorang peserta didik harus mampu mengontrol sikap, emosi dan perasaan yang dimilikinya sehingga kegiatan pembelajaran di kelas akan berjalan dengan baik. 2.3.1 Klasifikasi tujuan domain afektif terbagi lima kategori : 2.3.1.1 Penerimaan (Receiving) Mengacu kepada kemampuan memperhatikan dan memberikan respon terhadap sitimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif. Siswa mampu memberikan respon kepada orang lain, serta mampu mengetahui keadaan di sekelilingnya. 2.3.1.2 Pemberian Respon atau Partisipasi (Responding) Satu tingkat di atas penerimaan, dalam hal ini siswa menjadi terlibat secara afektif, menjadi peserta dan tertarik untuk berpartisipasi aktif dengan orang lain. 2.3.1.3 Penilaian atau Penentuan Sikap (valuing) Mengacu kepada nilai atau pentingnya kita untuk terikat pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak atau tidak menghiraukan apapun dari orang lain. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sikap, nilai moral, dan konsep diri seseorang. 2.3.1.4 Organisasi (organization) Mengacu kepada penyatuan nilai, sikap-sikap yang berbeda dengan orang lain yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal dalam diri seseorang dan membentuk suatu sistem nilai dalam diri, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. 2.3.1.5 Karakterisasi / Pembentukan Pola Hidup (characterization by a value or value complex). Mengacu kepada karakter dan pembentukan pola hidup serta hubungannya dengan sikap seseorang. Nilai-nilai sangat berkembang dan teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih baik dan konsisten serta lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa. 2.4 Pendidikan Agama Buddha Pendidikan berasal dari istilah sikkha (latihan), tersirat bahwa pendidikan merupakan proses belajar, latihan pelajaran, mempelajari, mengembangkan dan pencapaian penerangan. Pada isitilah ini termasuk juga disiplin moral (síla), konsentrasi (samadhi), dan pengetahuan atau kebijaksanaan (pañña). Demikian proses secara terus-menerus dari perhatian pendidikan sebagai sifat fungsional dari latihan, praktik, dan kemajuan setahap demi setahap (anupubbasikkha anupubbakiriyä anupubbapaëipadä). Pendidikan pada dasarnya bersifat terbuka tidak ada yang disembunyikan, Dhamma yang diajarkan oleh sang Buddha “mengundang untuk dibuktikan disebut ehipasiko, artinya datang dan lihat” (Davids, 2008: 285). Karena itu pendidikan memberi tempat yang seluasluasnya pada pengajian, pemahaman yang rasional, dan pengalaman empiris. Dalam praktiknya orientasi pendidikan harus pada proses, suatu proses pada dasarnya merupakan rangkaian sebab akibat, seseorang yang melihat sebab akibat, yaitu melihat Dhamma. 2.5 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yang menggunakan metode eksperimen. Berdasarkan pendapat Sugiyono eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan. Sedangkan menurut Arikunto, peneliti sengaja membangkitkan timbulnya sesuatu kejadian atau keadaan, kemudian diteliti bagaimana keadaannya. Metode eksperimen ini digunakan karena peneliti ingin memberikan perlakuan mengenai metode sosiodrama. Penelitian ini berusaha untuk menemukan ada tidaknya perbedaan antara metode pembelajaran sosiodrama dengan metode ceramah dalam pendidikan agama Buddha terhadap peningkatan kemampuan afektif anak di Sekolah Menengah Pertama Perguruan Buddhi Tangerang. Penelitian ini akan dilaksanakan dari April 2013 sampai dengan Juni 2013. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Perguruan Buddhi Jalan Imam Bonjol No. 41 Karawaci Tangerang Banten. Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah semua siswa kelas VII SMP Perguruan Buddhi Tangerang tahun ajaran 2012/2013 yang terdiri atas lima kelas. 2.6 Deskripsi Data Berdasarkan data penelitian yang telah diperoleh dan diolah menggunakan bantuan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) maka diperoleh hasil seperti pada tabel 1 berikut ini: Tabel 1 Deskriptif Penelitian Group Statistics afektif metode sosiodrama ceramah N 71 46 Mean 115.38 114.33 Std. Deviation 7.421 8.165 Std. Error Mean .881 1.204 Dari tabel di atas diketahui kelas eksperimen dengan skor rata-rata sebesar 115.38, simpangan baku sebesar 7.421 dari populasi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Perguruan Buddhi Tangerang tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 71 responden yang terdiri dari kelas VII A, B, dan E. Kelas control mempunyai skor rata-rata sebesar 114.33, simpangan baku sebesar 8.165 dari populasi siswa SMP tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 46 responden yang terdiri dari kelas VII C dan D. Secara umum, rata-rata nilai afektif siswa lebih tinggi setelah diberikan pengajaran dengan metode sosiodrama dibandingkan dengan metode ceramah. Tabel 2 Statistik Deskriptif Variabel Afektif Descriptive Statistics afektif Valid N (listwise) N 117 117 Range Minimum Maximum Mean Std. DeviationVariance 37 97 134 114.97 7.705 59.361 Dari tabel di atas diketahui bahwa skor afektif mempunyai rentang sebesar 37, skor terendah yaitu 97, skor tertinggi yaitu 134, rata-rata sebesar 114.97, simpangan baku sebesar 7.705, dan varian sebesar 59.361 dari populasi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Perguruan Buddhi Tangerang tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 117 responden. Rangkuman Hasil Analisis Uji Perbedaan (Uji t) Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means afektif Equal variances Equal variances assumed not assumed .845 .360 .721 .707 F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 115 .472 89.562 .482 1.054 1.054 1.461 1.492 -1.840 3.949 -1.909 4.018 Dari uji independent samples test atau t test, didapat t hitung sebesar 0,707 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,482. Oleh karena itu probabilitasnya (0,482) jauh lebih besar dari 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa Ha ditolak dan Ho diterima. Artinya, tidak ada perbedaan antara metode sosiodrama dengan metode ceramah pada mata pelajaran Agama Buddha terhadap peningkatan kemampuan afektif siswa kelas VII SMP Perguruan Buddhi. 2.7 Pembahasan Hasil Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan antara metode sosiodrama dengan metode ceramah terhadap kemampuan afektif siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan ditolak, artinya tidak ada perbedaan antara metode sosiodrama dengan metode ceramah dalam pelajaran Agama Buddha terhadap kemampuan afektif siswa kelas VII SMP Perguruan Buddhi. Tidak adanya perbedaan dalam penelitian ini dimungkinkan karena adanya kesalahankesalahan atau kata-kata yang kurang dimengerti oleh siswa yang terdapat pada angket afektif yang telah disebar. Angket yang dimungkinkan terjadi kesalahan atau ketidakjelasan terdapat pada butir nomor 22 yang menyebutkan saya berkeyakinan bahwa kinerja pendidik sudah maksimal, pada butir ini siswa cenderung mengisinya dengan jawaban ragu-ragu karena siswa masih bingung dengan pernyataan tersebut. Angket yang kurang mengerti oleh responden, juga terdapat pada butir nomor 23 yaitu saya berkeyakinan bahwa peserta didik yang ikut bimbingan tes cenderung akan diterima di perguruan tinggi. Pernyataan yang masih kurang dipahami siswa juga terdapat pada butir nomor 24 yaitu saya berkeyakinan sekolah tidak akan mampu mengubah tingkat kesejahteraan masyarakat pada pernyataan ini siswa masih belum dapat memahami maksud dari pernyataan tersebut sehingga siswa banyak bertanya maksud dari pernyataan tersebut. Pernyataan yang kurang dimengerti oleh responden juga terdapat pada butir nomor 25 yaitu saya berkeyakinan bahwa perubahan selalu membawa masalah. Ketidakpahaman siswa dalam memahami maksud beberapa butir angket tersebut akan mempengaruhi siswa dalam mengisi angket, sehingga siswa akan mengisinya dengan tidak objektif dan tidak sesuai dengan keadaan yang dialaminya. III. Penutup 3.1 Simpulan Dari hasil analisis data di atas, dapat disimpulkan beberapa hal seperti dibawah ini, yaitu: 3.1.1 Tidak ada perbedaan antara metode sosiodrama dengan metode ceramah dalam pelajaran Agama Buddha terhadap kemampuan afektif siswa kelas VII SMP Perguruan Buddhi Tangerang. 3.1.2 Tidak adanya perbedaan antara kedua metode tersebut dimungkinkan karena ada faktor-faktor lain, seperti keluarga, sekolah, latar belakang siswa, keadaan siswa saat mengisi angket, waktu pengisian angket, dan lingkungan masyarakat. Selain itu untuk mengubah kemampuan afektif seseorang dibutuhkan waktu yang relatif lama, karena kemampuan afektif yang sudah ada dalam diri seseorang sudah menjadi karakter sehingga mampu di rubah dengan waktu yang lama. 3.1.3 Untuk Guru Guru harus menggunakan berbagai metode pembelajaran yang beragam supaya dapat meningkatkan kemampuan afektif siswa. Kemampuan afektif pada siswa dapat ditingkatkan tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama, oleh karena itu hendaknya guru harus selalu membimbing dan mengarahkan siswa ke hal-hal yang baik melalui pembelajaran agama maupun Budi Pekerti. 3.1.4 Untuk Siswa Siswa dituntut untuk belajar dan mengikuti proses pembelajaran dengan baik, siswa harus mampu mengembangkan kemampuan afektifnya sendiri dengan cara belajar dan mengikuti semua pelajaran dengan baik, khususnya pelajaran Agama di Sekolah. 3.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberikan saran, diantaranya yaitu: 3.2.1 Guru disarankan menggunakan berbagai metode pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan afektif siswa. Guru juga harus memberikan materi pelajaran yang bernilai moral seperti pendidikan agama dan budi pekerti sehingga siswa akan belajar tentang sikap dan perilaku yang baik. 3.2.2 Siswa harus belajar dan mengikuti pelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan afektif dengan baik seperti pendidikan Agama Buddha, mata pelajaran Budi Pekerti dan mengikuti bimbingan guru BK (Bimbingan Konseling). DAFTAR PUSTAKA Anguttara Nikaya: of the gradual sayings. 2008. Vol. III, RHYS. Davids. London: Pali Text Society. Arifin, Zaenal. 2009. “Evaluasi Pembelajaran”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Boeree, George. 2008. “Metode Pembelajaran dan Pengajaran Kritik dan Sugesti Terhadap Dunia Pendidikan, Pembelajaran, Kecerdasan”. Jogja: AR_Ruzz Media. Bhikkhu Bodhi. 2010. Samyutta Nikaya. Jakarta: DhammaCitta Press. Bott, A.Paul. 1996. “Testing and Assessment in Occupational and Technical Education”. United States Of America. Cintiawati, Wena dan Lanny Anggawati. 2003. Petikan Anguttara Nikaya. Klaten: Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna. Desmita. 2007. “Psikologi Perkembangan”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Digha Nikaya: The Long Discourses of the Buddha. 1987-1995. Maurice Walshe. London: Pali Text Society. __________ Sacred Books Of The Buddhist. 2002. Vols. I. RHYS. Davids. London: Pali Text Society. __________Sacred Books Of The Buddhist. 2002. Vols. III. RHYS. Davids. London: Pali Text Society. Djamarah, Syaiful Bahri dan A. Zain. 2010. “Strategi Belajar Mengajar”. Jakarta: Rineka Cipta. Emil, Rosmali. 2005. Tugas Dan Peranan Guru, (online), (http://alfurqon.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=58&Itemid=110, diakses 2 januari 2013). Gulo. 2002. “Metodologi Penelitian”. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Hurlock, Elizabeth. 1980. “Psikologi Perkembangan”. Jakarta: Erlangga Kuswana, wowo sunaryo. 2011. “Taksonomi Berpikir”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Linawati. 2007. Pengaruh Metode Sosiodrama dalam Mata Pelajaran Aqidah Akhlak Terhadap Tingkat Afeksi Peserta Didik Kelas 4 di MI NU Sabilul Khoirot Desa Jojo Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus Tahun 2006/2007". Skripsi tidak diterbitkan. Kudus: STAIN Kudus. Purwanto, Ngalim. 2006. “Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rizkiyaturrohmah, Peni. 2009. “Pengaruh Penerapan Metode Sosiodrama (Bermain Peran) Terhadap Minat dan Prestasi Belajar Kimia Siswa Kelas X MAN Klaten Semester Gasal Tahun Ajaran 2008/2009”. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sabri, Ahmad. 2010. “Strategi Belajar Mengajar Microteaching”. Ciputat: Quantum Teaching. Sudijono, Anas. 2009. “Pengantar Evaluasi Pendidikan”. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D”. Bandung: Alfabeta. Supandi, Cunda. J. (penterjemah). 1997. Dhammapada. Bandung: Karaniya. Suparman, Atwi. “Desain Intruksional Modern”. Jakarta: Erlangga. Syamrilaode. http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2116351-kelebihan-dan- kekurangan-metode-tanya/#ixzz2LDT9Geo2. 12 februari 2011. Diakses tanggal 18 februari 2013 pukul 10.09 WIB. Tanireja, Tukiman dan Hidayati Mustafidah. 2011. Penelitian Kuantitatif. Bandung: Alfabeta. Tim Ekayana. 1997. “Guru-Guru Pewaris Jalan”. Bandung: Ekayana. Tim Penerjemah. 2009. Khotbah-Khotbah Panjang Sang Buddha Digha Nikaya. DhammaCitta. Tim Penulis. 1999. Pengantar Pendidikan. Semarang: CV. IKIP Semarang Press. U Ko Lay. 2000. “Panduan Tipitaka”. Klaten: Vihara Bodhivamsa. . Uno, Hamzah. 2008. “Perencanaan Pembelajaran”. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Widya, Surya dan Sasanadhaja. 2002. Dhammapada. Jakarta: Yayasan Abdi Dhamma Indonesia. Wijaya-mukti, Krishnanda, 2003. Wacana Buddha-Dhamma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan dan Ekayana Buddhist Centre. Wibowo, Hari. 2002. “Pengantar Teori-Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran”. Banten: Dinas Pendidikan Propinsi Banten.