8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep HIV/AIDS 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep HIV/AIDS
2.1.1 Pengertian HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency virus) adalah jenis virus yang dapat
menurunkan kekebalan tubuh (BKKBN, 2007). Menurut Depkes RI (2008)
menyatakan bahwa HIV adalah sejenis retrovirus-RNA yang menerang sistem
kekebalan tubuh manusia.
AIDS
adalah
singkatan
dari
Acquired
Immunodeficiency Syndrome suatu kumpulan gejala penyakit yang didapat akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. HIV/AIDS
adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari
infeksi oleh HIV (Sylvia & Wilson, 2005).
AIDS atau sindrom kehilangan kekebaan tubuh adalah kehilangan
kekebalan tubuh manusia sebuah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV.
Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis
infeksi bakteri, jamur, parasit, dan pirus tertentu yang bersipat oportunistik. Selain
itu penderita AIDS sering sekali menderita keganasan, khususnya sarkoma kaposi
dan limpoma yang hanya menyerang otak (Djuanda, 2007).
Kesimpulan dari beberapa definisi di atas adalah HIV/AIDS adalah suatu
syndrom atau kumpulan tanda dan gejala yang terjadi akibat penurunan dan
kekebalan tubuh yang didapat atau tertular/terinfeksi virus HIV.
8
9
2.1.2
Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV dan saat ini telah diketahui dua
tipe yaitu tipe HIV-1 dan HIV-2. Infeksi yang terjadi sebagian besar disebabkan
oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 benyak terdapat di Afrika Barat. Gambaran klinis
dari HIV-1 dan HIV-2 relatif sama, hanya infeksi oleh HIV-1 jauh lebih mudah
ditularkan dan masa inkubasi sejak mulai infeksi sampai timbulnya penyakit lebih
pendek (Martono, 2006).
HIV yang dahulu disebut virus limpotrofik sel T manusia atau virus
limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili
lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel penjamu. HIV-1 dan HIV-2
adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di
seluruh dunia (Sylvia & Wilson, 2005).
Insiden HIV/AIDS lebih sering pada jenis kelamin laki-laki dari pada
perempuan. Sering terjadi pada kelompok usia produktif (20-49 tahun), dimana
penularan lebih banyak melalui hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan
dengan rendahnya pemakain kondom dan pemakaian jarum suntik di kalangan
pemakai narkoba (Martono, 2006).
2.1.3
Perjalanan Penyakit HIV/AIDS
Perjalanan penyakit HIV/AIDS dibagi dalam tahap - tahap berdasarkan
keadaan klinis dan jumlah CD4 (Cluster of Differentiaton). Menurut WHO (2006)
tahapan infeksi HIV/AIDS terbagi menjadi 4 stadium klinis :
10
a. Stadium klinis I
1) Sejak virus masuk sampai terbentuk anti body (berlangsung 15 hari – 3
bulan).
2) Keluhan yang sering muncul seperti sakit flu biasa dan bila diberi obat akan
berkurang atau sembuh, kadang terdapat limfadenopati generalisata.
3) Hasil tes negatif, namun orang yang sudah terinfeksi ini sudah dapat
menularkan pada orang lain.
4) CD4-nya 500 – 1000.
b. Stadium klinis II
1) Waktunya antara 3 bulan s/d 5-10 tahun.
2) Hasil tes positif.
3) Tidak ada keluhan.
4) CD4-nya 500 – 750.
c. Stadium klinis III (pra AIDS)
1) Sudah tampak gejala tetapi masih umum seperti penyakit lainnya.
2) Keluhan yang sering muncul : sariawan, kandidiasis mulut persisten, selera
makan hilang, demam berkepanjangan > 1 bulan, diare kronis > 1 bulan,
kehilangan BB > 10%, timbul bercak-bercak merah di bawah kulit, TB paru,
anemia yang tidak diketahui sebabnya, trombositopenia, limfisitopenia,
pneumobakterial.
3) CD4-nya 100 – 500.
11
d. Stadium klinis IV
1) Penderita tampak sangat lemah sekali.
2) Daya tahan tubuh menurun.
3) Munculnya beberapa penyakit yang sangat fatal seperti pneumonia bacterial
berulang, herpes simpleks kronis, toksoplasmosis otak, cito megalo virus,
mikobakteriosis, tuberkolosis luar paru, ensefalopati HIV, timbul tumor atau
kanker (limfoma dan sarkoma kaposi).
2.1.4
Manifestasi Klinis
Menurut Sylvia & Wilson (2005) AIDS memiliki beragam manifestasi klinis
meliputi:
a. Keganasan
Sarkoma Kaposi (SK) adalah jenis keganasan yang tersering di jumpai pada
laki-laki homoseks atau biseks yang terinfeksi oleh HIV (20%), tetapi jarang
pada orang dewasa lain (kurang dari 2%) dan sangat jarang pada anak. Tanda
lesi berupa bercak-bercak merah kekuningan di kulit, tetapi warna juga
mungkin bervariasi dari ungu tua, merah muda, sampai merah coklat. Gejala
demam, penurunan berat badan, dan keringat malam.
b. Sistem Syaraf Pusat (SSP)
Gejala tanda awal limfoma sistem syaraf pusat (SSP) primer mencakup nyeri
kepala, berkurangnya ingatan jangka pendek, kelumpuhan syaraf kranialis,
hemiparesis, dan perubahan kepribadian.
12
c. Respiratorius
Pneumonia pneumocystis carini, gejala: demam, batuk kering non produktif,
rasa lemah, dan sesak nafas.
d. Gastro Intestinal
Manifestasi gastrointestinal penyakit AIDS mencakup hilangnya selera
makan, mual, vomitus, kandidiasis oral serta esophagus dan diare kronis.
e. Neurologik
Manifestasi dini nerologik penyakit AIDS ensefalopati HIV mencakup
gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif,
pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia.
f. Integumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunis serta malignasi.
Infeksi oportunistik seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai
dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit.
Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi
yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga dapat
memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering
dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti exzema atau psoriasis.
2.1.5
Cara Penularan
Empat prinsip dasar penularan HIV/AIDS (KPAD, 2010) adalah :
a. Exit, yakni terdapat virus yang keluar tubuh
b. Survival, yakni virus bertahan hidup
c. Suffient, yakni jumlah virus yang cukup
13
d. Enter, yakni terdapat pintu masuk bagi virus ke dalam tubuh
Menurut Martono (2006) virus HIV dapat ditularkan melalui beberapa
cara yaitu :
a. Hubungan seksual
Dengan orang yang menderita HIV/AIDS baik hubungan seksual secara
vagina, oral maupun anal, karena pada umumnya HIV terdapat pada darah,
sperma dan cairan vagina. Ini adalah cara penularan yang paling umum terjadi.
Sekitar 70-80% total kasus HIV/AIDS di dunia (hetero seksual >70% dan
homo seksual 10%) disumbangkan melalui penularan seksual meskipun resiko
terkena HIV/AIDS untuk sekali terpapar kecil yakni 0,1-1,0%.
b. Tranfusi darah yang tercemar HIV
Darah yang mengandung HIV secara otomatis akan mencemari darah
penerima. Bila ini terjadi maka pasien secara langsung terinfeksi HIV, resiko
penularan sekali terpapar >90%. Transfusi darah menyumbang kasus
HIV/AIDS sebesar 3-5% dari total kasus sedunia.
c. Tertusuk atau tubuh tergores oleh alat yang tercemar HIV
Jarum suntik, alat tindik, jarum tattoo atau pisau cukur yang sebelumnya
digunakan oleh orang HIV (+) dapat sebagai media penularan. Resiko
penularannya 0,5-1-1% dan menyumbangkan kasus HIV/AIDS sebesar 5-10%
total seluruh kasus sedunia.
d. Ibu hamil yang menderita HIV (+) kepada janin yang dikandungnya dengan
resiko penularan ±30% dan berkontribusi terhadap total kasus sedunia sebesar
5-10%.
14
2.1.6
Hal – Hal yang Tidak Dapat Menularkan HIV/AIDS
BKKN (2007) menegaskan bahwa HIV/AIDS tidak dapat menular melalui
aktifitas seperti :
a. Berjabat tangan
b. Makan bersama
c. Menggunakan telepon bergantian
d. Bergantian pakaian
e. Tinggal serumah dengan ODHA
f. Mandi bersama di kolam renang
g. Gigitan nyamuk
h. Batuk/bersin
i. Ciuman
j. Duduk bersama
2.1.7
Klasifikasi
Tabel 1
Klasifikasi Infeksi HIV Menurut WHO 2006
Kelas
Kriteria
Stadium Klinis I Asimtomatik
Total CD4 : >500/ml
1. Asimtomatik
2. Limfadenopati
persisten
Stadium Klinis II Sakit Ringan
Total CD4 : 200-499/ml
1. Penurunan berat badan 10%
2. Ispa berulang (sinusitis, tonsillitis,
otitismedia dan faringitis
3. Herpes zoster
4. Kelitis angularis
generalisata
15
Stadium Klinis III Sakit sedang
Penurunan berat badan >10%
Stadium Klinis IV Sakit berat (AIDS)
Total CD4 : < 200/ml
1.
2.
3.
4.
Diare kronis > 1 bulan
Kandidiasis oral
TB Paru
Limfadenopati generalisata
persisten
1. HIV wasting syndrome
2. Pneumonia pneu mosistis
3. Herpes simpleks > 1 bulan
4. Kandidiasis esophagus
5. TB ekstra paru
6. Sarkoma Kaposi
7. Retinitis CMV
8. Toksoplasmosis
9. Ensefalopati HIV
10. Meningitis kriptokus
11. Infeksi mykobakterium non TB
iseminata
12. Progresssivemultifocal
13. Mikosis profunda
14. Limfoma
15. Karsinoma
16. Isoproriasis kronis
17. Nefropati dan kardiomiopati terkait
HIV
Berdasarkan klasifikasi tersebut diatas, maka makin kronis suatu penyakit
terutama pada pasien HIV/AIDS dapat mengganggu kemampuan untuk terlibat
dalam aktivitas yang menunjang perasaan berharga atau berhasil, makin besar
pengaruhnya pada peningkatan harga diri. Penyakit HIV/AIDS yang mengubah
pola hidup dapat juga menurunkan perasaan nilai diri. Sedangkan harga diri pada
pasien HIV/AIDS adalah rasa ingin dihormati, diterima, kompeten, dan bernilai.
Orang dengan harga diri rendah, sering merasa tidak dicintai dan sering
mengalami depresi dan ansietas (Perry & Potter, 2005).
16
2.1.8
Pemeriksaan Diagnostik
Ada dua pemeriksaan yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap HIV. Pertama adalah ELISA (enzyme-linked immunosorbent
assay),
bereaksi
terhadap
antibodi
yang
ada
adalam
serum
dengan
memperlihatkan warna yang lebih tua jika terdeteksi antibodi virus dalam jumlah
besar. Pemeriksaan ELISA mempunyai mempunyai sensitifitas 93% sampai 98%
dan spesifitasnya 98% sampai 99%. Tetapi hasil positif palsu (negatif palsu) dapat
berakibat luar biasa, karena akibatnya sangat serius. Oleh sebab itu, pemeriksaan
ELISA diulang dua kali, dan jika keduanya menunjukkan hasil positif, dilanjutkan
dengan pemeriksaan yang lebih spesifik, yaitu Western blot. Pemeriksaan Western
blot juga dilakukan dua kali. Pemeriksaan ini lebih sedikit memberikan hasil
positif palsu atau negatif palsu. Jika seseorang telah dipastikan mempunyai sero
positif terhadap HIV, maka dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik untuk
menilai keadaan penyakit, dan mulai dilakukan usaha untuk mengendalikan
infeksi. (Djoerban, dkk. 2006).
2.1.9
Penatalaksanaan
a. Penanganan pasien HV/AIDS meliputi penanganan umum dengan istirahat
yang cukup, dukungan nutrisi, terapi psikososial dengan konseling serta
penanganan khusus pada pasien HIV/AIDS
b. Penanganan khusus terdiri dari :
1) Penanganan pada wasting syndrom mencakup penanganan penyebab yang
mendasari infeksi oportunistik sistemik maupun gastrointestinal. Diet
seimbang merupakan terapi nutrisi yang esensial bagi pasien HIV/AIDS.
17
Tujuannya adalah untuk mempertahankan berat badan ideal pasien dan jika
bisa menaikkan berat badannya (Brunner and Suddarth, 2002).
2) Prinsip dasar penanganan pasien HIV/AIDS adalah menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat AIDS, memperbaiki/meningkatkan kualitas
hidup pasien, mempertahankan serta memulihkan sistem kekebalan tubuh
pasien, menekan dan menghambat pembelahan virus.
2.1.10 Pelayanan Paliatif
Perawatan pelayanan paliatif terhadap penderita HIV/AIDS adalah
perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh diberikan
terhadap penderita melalui pendekatan multidisiplin keahlian yang terintegrasi.
Tujuan pelayanan perawatan HIV/AIDS di rumah sakit adalah untuk mengurangi
penderitaan,
memperpanjang
umur,
meningkatkan
kualitas
hidup,
juga
memberikan support kepada keluarga, meski pada akhirnya pasien meninggal,
yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual,
serta tidak stres menghadapi penyakit yang dideritanya (Pusat Pengembangan
Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo, 2008).
Paliatif yang dikembangkan mempunyai prinsip sebagai berikut :
a. Menghargai setiap kehidupan
b. Menganggap kematian sebagai proses yang normal
c. Tidak mempercepat atau menunda kematian
d. Menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan
e. Menghilangkan nyeri
18
f. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan
pasien dan keluarga
g. Menghindari tindakan medis yang sia-sia
h. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan
kondisinya sampai akhir hayat
i. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita (Pusat
Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo, 2008).
2.1.11 Komplikasi
Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAD, 2003)
komplikasi yang terjadi pada pasien HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
a. Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru-paru
b. Kandidiasis esophagus
c. Kriptokokosis ekstra paru
d. Kriptosporidiosis intestinal kronis (>1 bulan)
e. Renitis CMV (gangguan penglihatan)
f. Herpes simplek, ulkus kronik (> 1 bulan)
g. Mycobacterium tuberculasis di paru atau ekstra paru
h. Ensefalitis toxoplasma.
19
2.2 Persepsi
2.2.1 Pengertian Persepsi
Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan.
Penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui
alat penerima yaitu alat indera (Walgito, 2003). Persepsi adalah proses
pengetahuan atau mengenali objek atau kejadian objektif dengan bantuan indera.
Secara umum persepsi dianggap sebagai variabel yang mempengaruhi faktorfaktor perangsang, cara belajar, keadaan psikis, suasana hati dan faktor-faktor
motivasional. Sehingga persepsi antara seorang dengan orang yang lainnya akan
berbeda karena setiap individu mengalami situasi yang berbeda (Chaplin, 2004).
Jadi dapat disimpulkan persepsi adalah proses dimana seseorang
memberikan makna terhadap stimulus dari lingkungan yang diterima oleh alat
indera orang tersebut.
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi
Menurut Robbins (2006) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya perbedaan persepsi seseorang, yaitu:
a. Orang yang melakukan persepsi
1) Sikap individu yang bersangkutan terhadap objek persepsi.
2) Motif atau keinginan yang belum terpenuhi yang ada dalam diri seseorang
akan berpengaruh terhadap persepsi yang dimunculkan.
3) Pengalaman
20
4) Harapan dapat menyebabkan distorsi terhadap objek yang dipersepsikan atau
dengan kata lain seseorang akan mempersepsikan suatu objek atau kejadian
sesuai dengan apa yang diharapkan.
b. Target dan objek persepsi
Karakter dari objek yang dipersepsikan dapat mempengaruhi apa yang
dipersepsikan. Karakter orang yang dipersepsikan, baik itu karakter personal sikap
ataupun tingkah laku dapat berpengaruh terhadap orang yang mempersepsikan.
Orang tua yang berinteraksi dengan anaknya dengan penuh perhatian, hangat,
selalu antusias, dan sebagainya akan berpengaruh terhadap persepsi anak akan
orang tuanya.
2.2.3 Proses Persepsi
Mempersepsikan sesuatu tidak akan terjadi begitu saja, tetapi ada unsur
yang dapat menciptakan sebuah persepsi atau suatu proses yang dapat membuat
terjadinya suatu persepsi. Proses persepsi dimulai dengan perhatian (attention)
yang merupakan proses pengamatan yang selektif. Orang terlebih dahulu
menentukan apa yang akan diperhatikan. Dengan memusatkan perhatian akan
lebih besar kemungkinan bagi individu akan memperoleh makna dari apa yang
ditangkap, lalu menghubungkan dengan pengalaman masa lalu (Chaplin, 2004).
2.3 Stigma Sosial
2.3.1
Pengertian Stigma Sosial
Stigma sosial adalah suatu cacat atau cela pada karakter seseorang. Stigma
adalah suatu ciri negatif yang menempel pada diri pribadi seseorang karena
21
pengaruh lingkungannya (Chaplin, 2004). Menurut Goffman (dalam Heatherton;
2003) stigma sosial sebagai suatu isyarat atau pertanda yang dianggap sebagai
“ganggguan” dan karenanya dinilai kurang dibanding orang-orang normal.
Individu-individu yang diberi stigma dianggap sebagai individu yang cacat,
membahayakan, dan agak kurang dibandingkan orang lain pada umumnya.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan stigma sosial adalah ciri
negatif yang diberikan kepada seseorang dalam hal ini adalah pasien HIV/AIDS.
Ciri negatif ini diberikan kepada pasien HIV/AIDS diantaranya karena dianggap
membahayakan karena menular, akibat perilaku yang tidak wajar (seks
menyimpang) dan belum ada obatnya.
2.3.2
Tipe-tipe Stigma
Goffman (dalam Heatherton; 2003) membedakan tiga jenis stigma, yaitu:
a. Kebencian terhadap tubuh (seperti, cacat tubuh)
b. Mencela karakter individu (gangguan mental, pecandu, pengangguran)
c. Identitas kesukuan (seperti ras, jenis kelamin, agama dan kewarganegaraan)
2.3.3
Stigma pada Pasien HIV/AIDS
Green (dalam Cholil; 1997) mengatakan stigma pada pasien HIV/AIDS
ada tiga sumber, diantaranya:
a. Ketakutan, semua tahu HIV/AIDS adalah penyakit infeksi yang sampai saat
ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya.
b. Moril, fakta yang ada penyakit HIV/AIDS sering terkait dengan seks bebas
dan penyalahgunaan obat terlarang atau obat bius, kutukan Tuhan dengan
22
alasan bahwa ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) adalah orang-orang yang
melanggar norma agama.
c. Ketidakacuhan oleh media masa, adanya pemikiran dan ketakutan dan pikiran
moril pembaca tentang HIV/AIDS.
Sedangkan Takahashi (dalam Rudianto, 2005) mengatakan stigma terjadi
pada penderita HIV/AIDS karena tiga hal yaitu:
a. Fungsi mereka ditengah masyarakat.
Dalam hal ini mereka dianggap kurang produktif dan karena itu merugikan
masyarakat. Produktifitas adalah norma sosial yang ada dalam masyarakat.
b. Keberadaan mereka yang merupakan ancaman bagi masyarakat.
Kelompok
penderita
HIV/AIDS
dianggap
potensial
membahayakan
masyarakat karena penyakit yang disandangnya. Mereka dianggap potensial
menulari orang-orang yang sehat dengan AIDS.
c. Anggapan masyarakat pada penderita HIV/AIDS.
Persepsi bahwa penderita AIDS bertanggung jawab secara pribadi atas
penyakit yang disandangnya dari publikasi besar-besaran mengenai kalangan
yang beresiko tertinggi tertular HIV/AIDS.
2.3.4
Stigma Masyarakat Tentang HIV/AIDS
Menurut Merati (dalam Cholil; 1997) stigma utama masyarakat terhadap
penderita HIV/AIDS adalah karena infeksi HIV/AIDS berkonotasi segala macam
bentuk yang “negatif” karena fakta menyebutkan 80% ditularkan melalui
hubungan “seksual”, sisanya adalah pecandu narkoba dengan jarum suntik, PSK
23
(Pekerja Seks Komersial), istri yang tertular dari suami dan seorang istri yang
melahirkan anak positif HIV. Singkatnya, penderita HIV/AIDS adalah orang yang
pergaulannya bebas (hubungan seks bebas), pecandu narkoba, orang yang
melanggar norma-norma agama dan sosial.
2.3.5
Persepsi Pasien HIV/AIDS Terhadap Stigma Masyarakat
Hasil penelitian Waluyo, dkk (2007) membuktikan bahwa persepsi pasien
HIV/AIDS terhadap stigma yang diberikan kepada penderita HIV/AIDS
bermacam-macam yaitu, menjauhi pasien HIV/AIDS karena pandangan dan
pengetahuan masyarakat sempit tentang pasien HIV/AIDS, penyakit yang tidak
bisa disembuhkan, sangat menular, penyakit yang paling buruk, penyakit sebagai
hukuman dari Tuhan.
Masyarakat memandang pasien HIV/AIDS sebagai orang yang perlu
dihindari. ODHA memang layak terinfeksi HIV karena perilaku yang
melatarbelakangi pasien HIV/AIDS. Masyarakat takut dan pada akhirnya
mengucilkan penderita HIV/AIDS. Masyarakat berpikir bahwa penyakit
HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat ditakuti, sangat menular dan sangat
mematikan.
Persepsi pasien HIV/AIDS terhadap stigma yang diberikan masyarakat
kepada mereka diantaranya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
HIV/AIDS, penyakit tidak bisa disembuhkan, penyakit buruk, penyakit hukuman
Tuhan. ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) layak terinfeksi karena perilaku yang
melatar belakangi mereka.
24
2.3.6
Dampak Stigma Sosial
Phulf (dalam Simajuntak; 2005) menjelaskan dari hasil penelitian
menemukan ada beberapa akibat dari stigma yaitu:
a. Sulit mencari bantuan
b. Membuat semakin sulit memulihkan kehidupan karena stigma dapat
menyebabkan erosinya self-confidence sehingga menarik diri dari masyarakat
c. Menyebabkan diskriminasi sehingga sulit mendapatkan akomodasi dan
pekerjaan
d. Masyarakat bisa lebih kasar dan kurang manusiawi
e. Keluarganya menjadi lebih terhina dan terganggu
Penelitian dari International Centre for Research on Women (ICRW)
(dalam Iswandi, 2005) menunjukkan konsekuensi stigma:
a. Kehilangan pendapatan/kehidupan
b. Kehilangan kesempatan menikah dan memiliki keturunan
c. Mendapat pelayanan kesehatan yang buruk
d. Dikeluarkan dari rumah
e. Kehilangan harapan dan perasaan sebagai orang yang berguna
f. Kehilangan reputasi
g. Diberhentikan dari pekerjaan
h. Larangan traveling (bepergian)
25
2.4 Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS
2.4.1
Pengertian Kualitas Hidup
WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai suatu persepsi individu
tentang harkat dan martabatnya di dalam konteks budaya dan sistem nilai, yang
berhubungan dengan tujuan hidup dan target individu (WHO, 2004). Persepsi
tersebut terdiri dari dua aspek yaitu: aspek fisik yang dirasakan penderita
HIV/AIDS seperti sehat, rasa sakit atau penyakit dan aspek psikologis seperti:
stres, cemas, kenyamanan, kesenangan. Konsep sudut pandang bisa ditinjau dari
karakter fisik, psikologis dan sosial, dan berhubungan dengan kepuasan terhadap
keadaan lingkungan sekitarnya (Hicks, 2002).
Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat
diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional,
pekerjaan dan hubungan antara keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya
kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam
melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan
sosialisasi dengan orang lain.
2.4.2
Komponen Kualitas Hidup
Menurut
Trbojevic
(1998)
kualitas
hidup
dikembangkan
untuk
memberikan suatu pengukuran komponen dan determinan kesehatan dan
kesejahteraan. Pengukuran kualitas hidup ini penting berhubungan dengan
prioritas kesehatan sepanjang atau semasa hidup yang tidak hanya membutuhkan
pengobatan tetapi juga kualitas dari kelangsungan hidup.
26
Menurut Hay (1992) kualitas hidup dapat disimpulkan menjadi
dua komponen yaitu kesehatan fisik dan kesehatan mental. Untuk mengkaji
kualitas hidup tersebut maka didapat dari pertanyaan tentang kemampuan pasien
yang dibagi menjadi delapan subvariabel yaitu:
a. Fungsi fisik terdiri dari beberapa pernyataan yaitu aktivitas yang memerlukan
energi, aktivitas yang ringan, mengangkat dan membawa barang yang ringan,
menaiki beberapa anak tangga, menaiki satu anak tangga, membungkuk,
berjalan beberapa gang, berjalan satu gang dan mandi atau memakai baju
sendiri.
b. Keterbatasan peran fisik terdiri dari pertanyaan penggunaan waktu yang
singkat, penyelesaian pekerjaan yang tidak tepat waktu, terbatas pada
beberapa pekerjaan dan mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan.
c. Nyeri pada tubuh terdiri dari pernyataan seberapa besar rasa nyeri pada tubuh
dan seberapa besar nyeri mengganggu aktivitas.
d. Pesepsi kesehatan secara umum terdiri dari pernyataan bagaimana kondisi
kesehatan saat ini dan satu tahun yang lalu, mudah terserang sakit, sama
sehatnya dengan orang lain, kesehatan yang buruk dan kesehatan yang sangat
baik.
e. Vitalitas terdiri dari pernyataan yang menggambarkan tentang bagaimana
pasien dalam melaksanakan aktivitasnya apakah semangat memiliki energi
yang banyak, bosan dan lelah.
f. Fungsi sosial terdiri dari pernyataan seberapa besar masalah emosi
mengganggu aktivitas sosial dan mempengaruhi aktivitas sosial.
27
g. Keterbatasan peran emosional terdiri dari pernyataan apakah masalah emosi
mempengaruhi penggunaan waktu yang singkat dalam pekerjaan atau lebih
lama lagi melakukan pekerjaan dan tidak berhati-hati sebagai mana mestinya.
h. Kesehatan mental terdiri dari pernyataan apakah pasien sering gugup, merasa
tertekan, tenang, sedih dan periang.
2.4.3
Aspek Kualitas Hidup
Kualitas hidup berarti hidup yang baik, hidup yang baik sama seperti
hidup dengan kehidupan yang berkualitas tinggi (Ventegodt et.all. 2003). Hal ini
digambarkan pada kebahagiaan, pemenuhan kebutuhan, fungsi dalam konteks
sosial dan lain-lain. Dalam hal ini dapat dikelompokkan dalam 3 bagian yang
berpusat pada suatu aspek hidup yang baik, yaitu :
a. Kualitas hidup subjektif, yaitu bagaimana suatu hidup yang baik dirasakan
oleh masing-masing indivindu yang memilikinya. Masing-masing indivindu
secara personal mengevaluasi bagaimana meraka menggambarkan sesuatu dan
perasaan mereka.
b. Kualitas hidup eksistensial, yaitu seberapa baik hidup seseorang merupukan
level yang dalam. Ini mengansumsikan bahwa indivindu memiliki suatu sifat
dasar yang lebih dalamyang berhak untuk dihormati dan dimana indivindu
dapat hidup dalam keharmonisan.
c. Kualitas hidup objektif, yaitu bagaimana hidup seseorang dirasakan oleh dunia
luar. Kualitas hidup objektif dinyatakan dalam kemampuan seseorang untuk
beradaptasi pada nilai-nilai budaya dan menyatakan tentang kehidupannya.
28
Ketiga aspek kualitas hidup ini keseluruhan dikelompokkan dengan
pernyataan yang relevan pada kualitas hidup yang dapat ditempatkan dalam suatu
rentang spectrum dari subjektif ke objektif, elemen eksistensial berada
diantaranya yang merupakan teori kualitas hidup meliputi kesejahteraan, kepuasan
hidup, kebahagiaan, makna dalam hidup, gambaran biologis kualitas hidup,
mencapai potensi hidup, pemenuhan kebutuhan dan faktor-faktor objektif.
a. Kesejahteraan
Kesejahteraan berhubungan dekat dengan bagaimana sesuatu berfungsi dalam
suatu dunia objektif dan dengan faktor eksternal hidup. Ketika kita
membicarakan tentang perasaan baik maka kesejahteraan merupakan
pemenuhan kebutuhan dan relasasi diri.
b. Kepuasan hidup
Menjadi puas berarti merasakan bahwa hidup yang seharusnya, ketika
pengharapan-pengharapan, kebutuhan dan gairah hidup diperoleh disekitarnya
maka seseorang puas. Kepuasan adalah pernyataan mental yaitu keadaan
kognitif.
c. Kebahagiaan
Menjadi bahagia bukan hanya menjadi menyenangkan dan hati puas, ini
merupaka perasaan yang special yang berharga dan sangat diinginkan tetapi
sulit diperoleh. Tidak banyak orang yang percaya bahwa kebahagiaan
diperoleh dari adaptasi tehadap budaya seseorang, kebahagiaan di asosiasikan
dengan dimensi-dimensi non rasional seperti cinta, ikatan erat dengan sifat
29
dasar tetapi bukan dengan uang, status kesehatan atau faktor-faktor objektif
lain.
d. Makna dalam hidup
Makna dalam hidup merupakan suatu konsep yang sangat penting dan jarang
digunakan. Pencarian makna hidup melibatkan suatu penerimaan dari ketidak
berartian dan kesangat berartian dari hidup dan suatu kewajiban untuk
mengarahkan diri seseorang membuat perbaikan apa yang tidak berarti.
e. Gambaran Biologis Kualitas Hidup
Gambaran biologis kualitas hidup yaitu system informasi biologis dan tingkat
keseimbangan eksistensial dilihat dari segi ini kesehatan fisik mencerminkan
tingkat system informasi biologi seperti sel-sel dalam tubuh membutuhkan
informasi yang tepat untuk berfungsi secara benar dan untuk menjaga
kesehatan dan kebaikan tubuh. Kesadaran kita dan pengalaman hidup juga
terkondisi secara biologis. Pengalaman dimana hidup bermakna atau tidak
dapat dilihat sebagai kondisi dari suatu system informasi biologis. Orang yang
hidup tanpa makna juga merupakan jenis orang yang rentan terhadap penyakit
yang mempengaruhi penampilan fisik dan kesejahteraan dari tubuh, terlihat
tanpa penyebab. Hubungan antara kualitas hidup dan penyakit diilustrasikan
dengan baik menggunakan suatu teori individual sebagai suatu sistem
informasi biologis.
f. Mencapai Potensi Hidup
Teori pencapaian potensi hidup merupakan suatu teori dari hubungan antara
sifat dasarnya. Titik permulaan biologis ini tidak mengurangi kekhususan dari
30
mahluk hidup tetapi hanya tingkat dimana ini merupakan teori umum dari
pertukaran informasi yang bermakna dalam sistem hidup dari sel ke organism
sosial.
g. Pemenuhan kebutuhan
Kebutuhan dihubungkan dengan kualitas hidup dimana ketika kebutuhan
seseorang terpenuhi kualitas hidup tinggi. Kebutuhan merupakan suatu
ekspresi sifat dasar kita yang pada umumnya dimiliki oleh mahluk hidup.
Pemenuhan kebutuhan dihubungkan pada aspek sifat dasar manusia.
Kebutuhan yang kita rasakan baik ketika kebutuhan kita sudah terpenuhi.
Informasi ini berada dalam suatu bentuk komplek yang dapat dikurangi
menjadi sederhana yakni kebutuhan aktual.
h. Faktor-faktor objektif
Aspek faktor objektif dari kualitas hidup di hubungkan dengan faktor-faktor
eksternal hidup secara mudah diwujutkan. Hal tesebut mencakup pendapatan,
status perkawinan, setatus kesehatan dan jumlah hubungan dengan orang lain.
Kualitas hidup objektif sangat mencerminkan kemampuan untuk beradaptasi
pada budaya dimana kita tinggal. Derajat adaptasi pada budaya normal secara
dangkal sama dengan gagasan kesejahteraan.
Secara umum pengkajian kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan
yang menggambarkan suatu usaha untuk menentukan bagian variabel-variabel
dalam dimensi kesehatan, berhubungan dengan dimensi khusus dari hidup yang
telah ditentukan untuk menjadi penting secara umum untuk orang yang memiliki
penyakit spesifik. Konseptualisasi kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan
31
menegaskan efek penyakit pada fisik, peran sosial, psikologi/emosional dan
fungsi koknitif. Gejala-gejala persepsi kesehatan dan keseluruhan kualitas hidup
sering tercakup dalam konsep kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan
(American Thoracic Society, 2004).
2.5 Pengaruh Stigma Sosial dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS
Menurut Hutapea (2004) seorang yang menderita HIV/AIDS sering
mengalami masalah-masalah psikologis, terutama kecemasan, depresi, rasa
bersalah (akibat perilaku seks dan penyalahgunaan obat), marah dan dorongan
untuk melakukan bunuh diri. Orang yang tertular HIV/AIDS sering marah kepada
kalangan medis karena ketidakberdayaan mereka menemukan obat atau vaksin
penangkal HIV/AIDS. Mereka juga jengkel terhadap masyarakat luas yang
mendiskriminasikan/ memberikan stiga negatif pada pasien HIV/AIDS.
Untuk sebagian pasien HIV/AIDS, ketidakpastian nasib pengidap HIV dan
potensi untuk menderita AIDS akan menimbulkan perasaan cemas dan depresi.
Sering dihinggapi perasaan menjelang maut, rasa bersalah akan perilaku yang
membuat infeksi dan rasa diasingkan oleh orang lain. Stress akan ikut
melemahkan sistem imun, yang terlebih dahulu sudah dilumpuhkan oleh HIV.
Banyak orang yang tertular HIV/AIDS ditinggalkan oleh teman atau kekasih
mereka. Stress yang disebabkan kehilangan ini pun akan ikut melemahkan sistem
imun mereka.
Penderita HIV/AIDS berbeda kondisinya dengan orang yang menderita
penyakit parah lainnya seperti kanker dan stroke. Infeksi HIV/AIDS selain
berpengaruh terhadap fisik pengidapnya juga memiliki pengaruh terhadap
32
psikososial seperti hubungan status emosi, perubahan dalam pola adaptasi
perilaku dan fungsi kognitifnya, perilaku hidup sehat, perubahan tujuan, hidup
dan peranannya di masyarakat serta kualitas hidup.
Berbagai penelitian pengaruh stigma pasien HIV/AIDS terhadap kualitas
hidup serta pengukuran kualitas hidup banyak dilakukan. Penelitian Miller, dkk
(2006) tentang kualitas hidup bagi wanita penderita HIV di Amerika yang sudah
menggunakan ARV selama 8 tahun menunjukkan bahwa kualitas hidup menurun
jika pelayanan kesehatan yang mereka terima buruk, kurangnya perhatian. Gejala
yang sering dijumpai akibat menurunnya kualitas hidup adalah depresi mental.
Penelitian di Kota Washington yang meneliti 125 penderita HIV/AIDS,
menemukan kualitas hidup berhubungan dengan variabel-variabel tentang
kedekatan keluarga, perhatian keperawatan. Penelitian menunjukkan bahwa
kualitas hidup tidak berhubungan dengan kemajuan penyakit (CD4 sel) (Michael,
dkk, 2006).
Penelitian kualitas hidup pada penderita HIV/AIDS di Nigeria menemukan
hampir 25% penderita dengan diagnosa depressi, juga kualitas hidup berhubungan
dengan rendahnya pendidikan dan sosio ekonomi (Abiodun, 2008). Penelitian
kualitas hidup di Brazilia menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan
antara kualitas hidup pada kulit putih dan hitam. Kualitas hidup lebih rendah pada
warna kulit hitam dibandingkan kulit putih, sedangkan wanita mempunyai angka
paling rendah untuk lingkup psikologis dan lingkungan. Kualitas hidup ditemukan
meningkat pada penderita yang mempunyai penghasilan yang lebih tinggi
(Elisabette, dkk., 2007).
33
Penelitian Siagian (2008) berjudul Pengaruh stigma dan depresi terhadap
kualitas hidup penderita lepra. Tujuan penelitian itu untuk mengetahui apakah
stigma dan depresi berpengaruh lebih besar terhadap kualitas hidup dibanding
faktor-faktor lain pada penderita lepra di poliklinik kulit dan kelamin RSUP dr.
Sardjito Yogyakarta. Kesimpulannya stigma dan depresi mempunyai pengaruh
terhadap penurunan kualitas hidup penderita lepra.
Download