PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAH (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah Oleh: ROKHANA KHALIFAH AL AMIN NIM 21109019 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2013 PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAH (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah Oleh: ROKHANA KHALIFAH AL AMIN NIM 21109019 JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2013 MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO ِ ﻧَﻔَّﺲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻛُﺮْﺑَﺔً ﻣِﻦْ ﻛُﺮَب،ﻣَﻦْ ﻧَﻔَّﺲَ ﻋَﻦْ ﻣُﺆْﻣِﻦٍ ﻛُﺮْﺑَﺔً ﻣِﻦْ ﻛُﺮَبِ اﻟﺪُّﻧْﯿَﺎ ،ِ ﯾَﺴَّﺮَ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ ﻓِﻲ اﻟﺪُّﻧْﯿَﺎ وَاﻵﺧِﺮَة،ٍ وَﻣَﻦْ ﯾَﺴَّﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﻌْﺴِﺮ،ِﯾَﻮْمِ اﻟْﻘِﯿَﺎﻣَﺔ َ وَاﷲُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْنِ اﻟْﻌَﺒْﺪِ ﻣَﺎ ﻛَﺎن،ِوَﻣَﻦْ ﺳَﺘَﺮَ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ ﺳَﺘَﺮَهُ اﷲُ ﻓِﻲ اﻟﺪُّﻧْﯿَﺎ وَاﻵﺧِﺮَة ،ِاﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْنِ أَﺧِﯿﮫ “Barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskannya dari satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan di hari Qiamat. Barangsiapa yang mempermudahkan bagi orang susah, niscaya Allah akan mempermudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutup aiba di dunia dan akhirat. Allah sentiasa bersedia menolong hambaNya selagi mana dia suka menolong saudaranya.” Our greatest glory isn’t in never failing, but in rising up every time we fail “kemenangan terbesar kita bukan terletak pada tidak pernah gagalnya kita, tetapi pada kemampuan kita untuk bangkit setiap kali terjatuh” PERSEMBAHAN Untuk Suamiku tercinta, “Debut Prima Wijaya” yang selalu memberikan Doa dan dukungannya, Bapak Ibuku “Rokhani dan Nining Triyani” yang selalu memberikan kasih sayang dan doa demi keberhasilanku. Putri tercintaku, “Nayra Shafira Wijaya” yang selalu menjadi penyemangat hidupku, dan teman-teman AHS’09 yang kebersamaannya selalu saya rindukan hingga saat ini. ABSTRAK Al Amin, Rokhana Khalifah. 2013. Perkawinan Mahram Mushaharah (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga). Skripsi, Jurusan Syariah, Program Studi al Ahwal al Syakhsiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Munajat Ph.D. Kata Kunci: perkawinan, mahram dan mushaharah Penelitian ini berusaha menguak fenomena perkawinan terlarang yang banyak terjadi di masyarakat, salah satunya adalah perkawinan mahram mushaharah/semenda yang dapat ditemukan di wilayah Kecamatan Sidorejo. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimana makna teks Al Quran yang menjelaskan tentang larangan perkawinan mushaharah khususnya terhadap anak tiri? (2) bagaimana kronologi perkawinan mahram mushaharah di Kecamatan Sidorejo? dan (3) apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan mahram mushaharah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan landasan berfikir normatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan antara ayah dan anak tiri (rabibah) menurut hukum Islam adalah haram dan tidak ada syarat yang dapat menghapuskan hukum tersebut. Meskipun begitu, di wilayah Kecamatan Sidorejo dapat ditemui beberapa perkawinan antara ayah dan anak tirinya yang salah satunya memiliki kutipan akta nikah dan yang lain menikah dibawah tangan. Kedua subyek yang diteliti sama-sama memiliki latar belakang pengetahuan agama yang minim dan kedua subyek pada awalnya menikah secara terpaksa karena sudah berbadan dua akibat perbuatan ayah tirinya. Perkawinan mahram mushaharah tersebut dapat terjadi dikarenakan faktor: a) dominasi orang tua terutama ayah terhadap anak; b) minimnya pengetahuan terhadap agama; c) cinta terlarang yang menafikan prinsip-prinsip Allah; d) kurangnya peran masyarakat sekitar khususnya tokoh agama serta e) kurangnya kecermatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Untuk menanggulangi agar perkawinan yang dilarang oleh Agama ini tidak terjadi lagi, maka diperlukan sinergi positif yang berkelanjutan antara pemerintah dan masyarakat untuk menolak dengan tegas dan memberikan sanksi kepada para pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perkawinan. KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr.wb. Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafaatnya. Saya menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan, pengarahan dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. oleh karena itu, Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Imam Soetomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga; 2. Bapak Munajat Ph. D., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya guna membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini; 3. Bapak Drs. Mubashirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga; 4. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal al Syakhshiyyah; 5. Seluruh dosen STAIN Salatiga, yang selama 8 semester telah membagi ilmunya yang sangat bermanfaat; 6. Suami dan orang tuaku yang telah turut serta membantu dan memberikan dukungan baik materi maupun non-materi; 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Teriring do’a dan harapan semoa amal baik dan jasa semua pihak tersebut diatas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT.Amin. Wassalamualaikum wr.wb. Rokhana Khalifah Al Amin DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv PENGESAHAN KELULUSAN......................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.......................................................... vi MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................... vii ABSTRAK ..................................................................................................... viii KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix DAFTAR ISI ..................................................................................................... x DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A.Latar Belakang Masalah ........................................................................ 2 B.Fokus Penelitian .................................................................................. 6 C.Tujuan Penelitian ................................................................................. 6 D.Kegunaan Penelitian ............................................................................. 7 E.Penegasan Istilah ................................................................................... 7 F.Telaah Pustaka ....................................................................................... 8 G.Metode Penelitian .............................................................................. 12 H.Sistematika Penulisan ......................................................................... 17 BAB II. PERKAWINAN ................................................................................ 10 A.Definisi Perkawinan ........................................................................... 19 B.Tujuan Perkawinan menurut Hukum Islam .......................................... 21 C.Asas Hukum Perkawinan..................................................................... 27 D.Rukun dan Syarat Perkawinan ............................................................. 28 E.Macam-Macam Akad Nikah ................................................................ 32 1.Akad Nikah Sah Murni dan Hukumnya ......................................... 33 2.Akad Nikah Rusak dan Hukumnya ................................................ 34 3.Akad Nikah Batil dan Hukumnya .................................................. 35 F.Perempuan-Perempuan yang Diharamkan (Muharramat)................... 37 1.Keharaman Mutlak ........................................................................ 37 2.Keharaman Sementara................................................................... 45 BAB III. PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAN DI KECAMATAN SIDOREJO ...................................................................................... 49 A.Gambaran Umum Kecamatan Sidorejo ......................................... 49 B.Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo ............ 52 BAB IV. ANALISIS ........................................................................................ 58 A.Larangan Menikah dengan Anak Tiri ........................................... 58 B.Latar Belakang Terjadinya Perkawinan Mahram Mushaharah...... 61 C.Dampak Perkawinan Mahram Mushaharah ................................. 65 D.Upaya Penanggulangan ................................................................ 67 BAB IV. PENUTUP ....................................................................................... 70 A.Kesimpulan ................................................................................. 70 B.Saran ........................................................................................... 74 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75 Lampiran-Lampiran ........................................................................................ 76 Riwayat Hidup Penulis..................................................................................... 80 DAFTAR TABEL 3.1. Data Pendidikan Terakhir Kecamatan Sidorerjo Bulan April 2013 3.2. Data Mutasi Penduduk Kecamatan Sidorejo Bulan April 2013 3.3. Data Pemeluk Agama Kecamatan Sidorejo Bulan April 2013 3.4. Daftar Identitas Pelaku Nikah Mahram Mushaharah DAFTAR LAMPIRAN 1. Laporan Monografi Dinamis Kecamatan Sidorejo Keadaan Bulan April 2013 2. Daftar pertanyaan wawancara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya, tujuan perkawinan salah satunya untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia demi terwujudnya ketenangan, kenyamanan bagi suami istri serta anggota keluarga. Islam dengan segala kesempurnannya, memandang perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena Islam memandang perkawinan merupakan kebutuhan dasar manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan (Latief, 1982:12). Dalam Islam, perkawinan juga merupakan salah satu perintah yang diperuntukkan bagi kaum muslimin sebagaimana terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, bahwa “perkawinan yang sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”(KHI:Pasal 1). Dalam Islam, perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami istri. Ini sesuai dengan bunyi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni: “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah” (KHI:Pasal 3). Jadi, pada dasarnya perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antar dua lawan jenis yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan berhubungan intim. Allah berfirman: Nà6 uZ÷t/ Ÿ@ yèy_ ur $ygøŠs9Î) (#þqãZä3 ó¡ tFÏj9 %[` ºurø—r& öN ä3 Å¡ àÿ Rr& ồ ÏiB /ä3 s9 t, n=y{ ÷b r& ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ồ ÏBur tb rã©3 xÿtGtƒ 5Q öqs)Ïj9 ;M »tƒUy y7 Ï9ºsŒ ’Îûb̈ Î)4ºpyJ ôm u‘ur ZoŠ̈uqB̈ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar Ruum, 30:21). Perkawinan amatlah penting dalam kehidupan manusia, dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Islam mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq (Basyir, 1996:1). Diaturnya kehidupan manusia dalam perkawinan semata-mata adalah demi menjaga kehormatan mereka. Namun, moral manusia yang semakin menipis bahkan sebagian telah hilang, menjadikan mereka buta akan hukum yang mengatur dan membatasi hidup mereka. Dengan bangganya mereka menerobos batas-batas hukum tersebut, termasuk dalam masalah perkawinan ini. Mereka yang buta moral dan hukum, melakukan perkawinannya sesuai keinginan sendiri. Padahal dalam perkawinan, mereka telah diatur oleh kaidah-kaidah hukum yang harus mereka taati. Khususnya bagi umat Islam, aturan ini telah ada sejak turunnya firman Allah yang mengatur tentang perkawinan. Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut selektivitas. Artinya, bahwa seseorang ketika hendak melangsungkan pernikahan terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah (Amir, 2004:144). Hal ini untuk menjaga agar pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada. Terutama bila perempuan yang hendak dinikah ternyata terlarang untuk dinikahi, yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram (orang yang haram dinikahi). Sementara, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia, muncul berbagai permasalahan di dalam kehidupan masyarakat terutama yang terkait dengan perkawinan. Salah satunya yakni sering ditemui perkawinan yang sebetulnya dilarang namun nyata terjadi dalam kehidupan masyarakat. Seperti halnya perkawinan yang terjadi antara saudara (hubungan nasab/incest), antar saudara sepersusuan, ataupun mushaharah/semenda. Hal tersebut dapat dikarenakan ketidaktahuan, pengetahuan agama yang minim, bahkan moral yang rendah. Sehingga meski mereka sudah mengetahui bahwa perkawinan tersebut dilarang, tapi tetap saja aturan yang haq tersebut dilanggar dan terjadilah perkawinan yang terlarang tersebut. Bila perkawinan dilakukan atas dasar cinta, hal ini menabrak garis haram yakni perzinahan. Bila tanpa cinta, menabrak garis haram pemerkosaan dan perampasan hak perempuan. Bahkan perkawinan seperti ini tentu terjadi secara illegal entah itu nikah dibawah tangan atau pemalsuan data nikah saat pendaftaran nikah di KUA. Perkawinan-perkawinan terlarang yang banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat kini, sesungguhnya telah sejak lama diatur dalam Al Quran. Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa yang berbunyi: ßN $oYt/ur öN ä3 çG»n=»yz ur öN ä3 çG»£J tã ur öN à6 è?ºuqyz r&ur öN ä3 è?$oYt/ur öN ä3 çG»ygB̈é& öN à6 ø‹n=tã ôM tBÌhãm Ïpyè»|Ê §9$# šÆ ÏiB Nà6 è?ºuqyz r&ur öN ä3 oY÷è|Ê ö‘r& ûÓÉL»©9$# ãN à6 çF»ygB̈é&ur ÏM ÷z W{ $# ßN $oYt/ur Ë̂ F{ $# £̀ Îg Î/ O çFù=yz yŠ ÓÉL»©9$# ãN ä3 ͬ!$|¡ ÎpS` ÏiB Nà2 Í‘qàf ãm ’ÎûÓÉL»©9$# ãN à6 ç6Í́¯»t/u‘ur öN ä3 ͬ!$|¡ ÎSàM »ygB̈é&ur ồ ÏB tûïÉ‹ ©9$# ãN à6 ͬ!$oYö/r& ã@ Í́¯»n=ym ur öN à6 ø‹n=tæ y $oYã_ Ÿx sù Æ #Y‘qàÿxî tb %x. ©! $# žc Î) 3y# n=y™ ô‰ s% $tB žw Î) Èû÷ütG÷z W{ $# šú ÎgÎ/ O çFù=yz yŠ (#qçRqä3 s? öN ©9 b Î*sù ÷üt/ (#qãèyJ ôf s? b r&ur öN à6 Î7»n=ô¹ r& $VJ ŠÏm §‘ “diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (An Nisa, 4:23). Berdasarkan pada ayat diatas, anak tiri termasuk dalam golongan wanita yang haram dinikahi, mushaharah/semenda. yang Meskipun hal ini dalam termasuk ayat dalam tersebut perkawinan terdapat kata Nà2 Í‘qàf ãm ’Îûyang bermakna “dalam pemeliharaanmu”, sehingga makna ayat secara tekstual dapat menimbulkan kesimpulan, bahwa larangan menikahi anak tiri tidak berlaku mutlak ataupun menyeluruh. Secara tekstual ayat tersebut dapat bermakna bahwa larangan tidak berlaku bagi anak tiri yang tidak berada dalam pemeliharaan ayah tirinya. Sebaliknya, larangan hanya berlaku bagi anak tiri yang berada di bawah pemeliharaan ayah tirinya. Sehingga hal ini bisa saja dijadikan alasan bagi mereka para pelaku perkawinan terlarang khususnya perkawinan terlarang dengan anak tiri. Pengetahuan agama yang minim memungkinkan seseorang memaknai firman Allah secara tekstual. Padahal banyak makna yang terkandung di dalam firman Allah dalam Al Quran bukanlah makna tekstual melainkan kontesktual. Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, bahwa banyak kasus pernikahan terlarang termasuk pula yang terjadi di wilayah Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Meskipun dalam setiap daerah, termasuk pula di Kecamatan Sidorejo, setiap Desa tentu dapat ditemui tokoh Agama, Ustadz, ataupun komponen masyarakat yang lain, namun keberadaan mereka tidak mampu melawan pernikahan terlarang yang nyata terjadi dihadapan mereka. Dari sinilah penulis tertarik mengadakan penelitian mengenai pernikahan antar kerabat semenda yang terjadi di lingkup Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Pemilihan tempat penelitian di lingkup Kecamatan Sidorejo ini dikarenakan terdapat dua kasus perkawinan yang terjadi antara ayah dan anak tirinya di lingkup Kecamatan Sidorejo. Perkawinan antar kerabat mushaharah ini sangatlah menarik untuk diteliti, oleh sebab itu, penulis mengangkat persoalan yang terjadi dalam masyarakat ini yang kemudian dirumuskan dalam sebuah judul penelitian “PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAH (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)”. B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan, maka perlu dibuat rumusan masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan tema, yaitu: 1. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang definisi perkawinan mahram mushaharah? 2. Bagaimana kronologi terjadinya perkawinan mahram mushaharah di wilayah Kecamatan Sidorejo? 3. Faktor apa yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan mahram mushaharah? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang perkawinan mahram mushaharah, 2. Untuk mengetahui kronologi terjadinya perkawinan mahram mushaharah yang terjadi di lingkup Kecamatan Sidorejo, 3. Untuk mengetahui sebab terjadinya perkawinan mahram mushaharah, D. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat teoritis a) Untuk melatih kemampuan akademis sekaligus penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh; b) Dapat menambah wawasan atau memberikan sumbangan informasi tentang Hukum Islam khususnya dalam masalah hukum perkawinan; c) Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini. 2. Manfaat Praktis a) Sebagai bahan acuan dalam upaya pemecahan masalah yang di hadapi oleh masyarakat, tokoh masyarakat dalam penyelesaian kasus perkawinan yang jelas-jelas dilarang oleh Undang-Undang maupun Al Quran khususnya di wilayah hukum Salatiga; b) Memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy). E. Penegasan Istilah 1. Perkawinan: perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. 2. Mushaharah: Ditinjau dari segi bahasa, muhrim mushaharah terdiri dari dua kata yaitu muhrim dan mushaharah. Muhrim atau mahrom berasal dari kata harama yang artinya “mencegah”, bentuk mashdar dari kata harama, yang artinya yang diharamkan atau dilarang. Dengan demikian, maka mahrom secara istilah adalah orang yang haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi. Sedangkan mushaharah menurut Abdurrahman al-Juzairi dalam kitab Fiqh Ala Madzahibil Arba’ah, adalah sifat yang menyerupai kekerabatan. Mushaharoh menurut istilah ialah hubungan kekeluargaan sebab adanya ikatan pernikahan. Jadi apabila kata mahram dan mushaharah digabung dapat diartikan orangorang yang haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi sebab adanya ikatan kekeluargaan dari hasil suatu pernikahan. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibn Rusyd disebutkan bahwa orangorang yang haram dinikahi karena muhrim mushaharah ada empat macam yaitu ibu dari istri (mertua), anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak tiri), istri bapak (ibu tiri), istri anak (menantu). F. Telaah Pustaka Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas, menegaskan, melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan penulis lain dalam penelitian atau pembahasan masalah yang serupa. Selain itu penelitian terdahulu perlu disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca melihat dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan perbedaaan hasil kesimpulan oleh penulis dengan peneliti yang lain dalam melakukan pembahasan tema yang hampir serupa. Penelitian ini tentu saja bukan merupakan penelitian pertama yang mengangkat permasalahan perkawinan terlarang yang terjadi di kehidupan masyarakat. Ada beberapa penelitian terkait dengan perkawinan yang dilarang oleh Agama maupun Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. salah satunya yang telah dilakukan oleh mahasiswa jurusan Syariah Program Studi Ahwal al Syakhshiyyah STAIN Salatiga, yang tentunya dengan fokus dan permasalahan yang berlainan. Penelitian terhadap perkawinan yang terlarang, sebelumnya pernah dilakukan oleh Pamungkas (2008), dengan judul “Poligami Dengan Mahram Ghairu Mu’abbad (Studi Kasus di Dukuh Banjaran Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga)” dengan menggunakan metode penelitian field research yang bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian oleh Pamungkas ini mengangkat permasalahan perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat di Dukuh Banjaran Kota Salatiga. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas, ditemukan beberapa kasus perkawinan yang diharamkan namun kenyataannya, perkawinan tersebut terjadi di masyarakat. Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang terjadi dengan istri kedua yang berstatus mahram ghairu mu’abbad. Dalam skripsinya, Pamungkas mencantumkan kategori perempuan yang berstatus mahram ghairu mu’abbad yakni saudara perempuan kandung istri, bibi istri dari pihak ayah dan dari pihak ibu, perempuan yang sedang iddah, perempuan yang masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, dan perempuan yang ditalak tiga sebelum ada muhallil. Perempuan tersebut boleh dinikah jika hilang sebab yang mengharamkannya. Dalam penelitiannya, ia berfokus pada poligami dengan perempuan yang haram dinikahi sementara oleh laki-laki yang telah memperistri saudara kandungnya. Penelitian ini menjelaskan bahwa di dukuh Banjaran terdapat pernikahan dengan mahram ghairu mu’abbad, beberapa kasus ditemukan menikah secara sah dihadapan petugas KUA, dan sebagian lain menikah tanpa dicatatkan. Pernikahan tersebut menimbulkan dampak yakni batalnya pernikahan secara hukum Islam ataupun Undang-Undang kecuali hilang sebab keharamannya. Beragam problematika seputar perkawinan banyak ditemui di sekitar kita. Maka dari itu tidak sedikit pula penelitian yang bertemakan perkawinan khususnya permasalahan yang terjadi dalam perkawinan, proses perkawinan, dan apapun yang berhubungan dengan perkawinan. Seperti yang dilakukan oleh mahasiswi STAIN Salatiga, Sariyanti (2007) dengan judul penelitiannya “Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah”. Penelitian tersebut berangkat dari problematika yang terjadi di masyarakat yakni maraknya pemuda pemudi yang melakukan hubungan luar nikah hingga hamil dan yang lebih parah, perilaku menyimpang tersebut dilakukan pula oleh anak-anak dibawah umur. Dalam penelitiannya Sariyanti menganalisis dua kasus pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2005. Kedua kasus tersebut serupa yakni para pemohon atau calon mempelai yang mengajukan permohonan seluruhnya berusia dibawah ketentuan minimal usia perkawinan yang disebut dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 7 (1). Usia minimal bagi pasangan calon mempelai adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Dalam pertimbangan hakim memberikan dispensasi nikah berlandaskan pada kaidah: درء اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﱠم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ “Menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan” ُاﻟْﻀَﺮَرُ ﯾُﺰَال “Kemadharatan harus dihilangkan” Hakim berpendapat jika tidak segera dinikahkan maka akan menambah dosa dan terjadi perkawinan bawah tangan yang akan mengacaukan proses-proses hukum yang terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak anak yang dilahirkan. Hampir serupa dengan penelitian Sariyanti, Maimun (2007) yang juga mahasiswi STAIN Salatiga melakukan penelitian di wilayah Sumatra Selatan yang marak terjadi perkawinan di bawah umur. Dalam penelitiannya yang berjudul “Pernikahan di Bawah Umur di Kalangan Orang Sumatra”, Maimun memaparkan beberapa faktor yang mendorong terjadinya fenomena nikah bawah umur di Lubuk Linggau Sumatra. Faktor pertama yang ia sebutkan dan berpengaruh besar adalah kehendak sewenang-wenang orang tua terhadap anaknya. Anak tidak mampu menolak perintah orang tua, mayoritas anak terlalu lemah untuk menentang kehendak orang tuanya. Faktor lainnya adalah kemauan anak itu sendiri karena melihat kawan-kawan seusianya yang sudah menikah. Adat dan budaya juga berperan dalam hal ini, kebiasaan masyarakat memberikan stempel untuk anak yang belum juga menikah dengan stempel “perawan tua” atau “tidak laku” membuat alam bawah sadar anak bekerja bahwa ada keharusan untuk segera menikah meski umur belum memenuhi batas minimal yang ditetapkan undang-undang. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat membuat masyarakat jauh dari pertimbangan matang dalam memutuskan setiap tindakan. Faktor agama ternyata juga berperan dalam hal ini, masyarakat Lubuk Linggau berpedoman pada Siti Aisyah yang juga menikah di usia dini dengan Nabi Muhammad. Terjadinya perkawinan di bawah umur di Lubuk Linggau juga disebabkan pada kekhawatiran orang tua terhadap anaknya bila terjerumus dalam lembah maksiat. Oleh karena itu, perkawinan merupakan jalan yang terbaik yang ditempuh meski anak belum mampu secara material dan immaterial. Dari penelitian Maimun pula, ditemukan bahwa dampak negatif dari perkawinan bawah umur tersebut adalah tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga, seringnya cekcok dan cemburu yang berlebihan. G. Metode Penelitian Untuk mengetahui adanya segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok permasalahan di perlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan penelitian adalah suatu kegiataan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan (Narbuko, 1997:23). Dengan demikian metodologi penelitian adalah cara yang dipakai untuk mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna mencapai satu tujuan. Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, bertujuan untuk memahami keadaan atau fenomena, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Dalam penelitian kualitatif, metode yang biasa digunakan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Moleong, 2006:6). Landasan berfikir dalam penelitian ini menggunakan landasan berfikir normatif, yakni metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Soekanto, Mamudji, 2001:13). Dalam hal ini landasan berfikir menggunakan dalil-dalil yang terdapat dalam al quran. Penelitian ini untuk mengidentifikasi konsep, asas, serta prinsip syariah yang digunakan untuk mengatur permasalahan mengenai perkawinan (Sedarmayanti, Hidayat, 2002:23). 2. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga, dengan pertimbangan bahwa di lingkup Kecamatan Sidorejo ditemui dua kasus pernikahan yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang maupun Hukum Islam. Salah satu pelaku berada di wilayah kecamatan Sidorejo dan yang lain berada di wilayah kecamatan Salatiga. Penelitian ini dilakukan terbuka dengan memberitahukan kepada para objek penelitian dan para informan mengenai penelitian yang dilakukan. 3. Sumber Data a. Data Primer Merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan mengadakan peninjauan langsung pada objek yang diteliti. Data ini didapat dari informan, atau peristiwa-peristiwa yang diamati seperti wawancara, dokumentasi dan observasi (Moelong, 2006:157). 1) Wawancara Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam percakapan untuk memperoleh informasi (Nasution, 2001:25). Untuk memperoleh data yang valid, dilakukan wawancara langsung terhadap beberapa subyek diantaranya para pelaku, keluarga pelaku, tetangga sekitar tempat tinggal pelaku, tokoh masyarakat setempat, para saksi nikah, Kiai/Ustadz yang mengetahui terjadinya perkawinan mushaharah, pembantu PPN, dan tokoh masyarakat yang menikahkan para pelaku. 2) Dokumentasi Setelah didapat data dari hasil wawancara, sebagai penunjangnya diperlukan pula dokumen-dokumen seperti KTP para pelaku, Kartu Keluarga, salinan Akta Perkawinan bila ada. Dokumen dokumen ini diperlukan untuk mengecek keabsahan hasil wawancara yang dilakukan dengan para pelaku perkawinan. 3) Observasi. Observasi adalah studi yang disengaja, sistematis tentang fenomena sosial gejala-gejala psikis, dengan jalan pengamatan. Observasi adalah penelitian yang dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap objek yang diteliti (Narbuko, 1997:37). Dalam penelitian ini, observasi dilakukan sebagai pelengkap dan peneliti bertindak sebagai pengamat penuh yakni mengamati objek yang terjadi di situasi sebenarnya dalam kesehariannya. Dari observasi ini, peneliti dapat mengetahui tingkah laku, latar belakang sosial dan agama, intensitas interaksi sosial beragama. Sehingga dari data observasi penulis dapat menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya perkawinan mahram mushaharah. b.Data Sekunder Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari Al-Quran, Al-Hadist, perundang-undangan, buku dan literatur yang ada kaitannya dengan materi yang diteliti. Al Qur’an menjadi landasan utama teori dalam data sekunder ini, disamping itu, data pustaka juga digali dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, buku-buku mengenai fiqh munakahat, hukum perkawinan Islam, dan artikelartikel dari website. 4. Metode Analisa Data Setelah data di kumpulkan dengan lengkap, tahapan berikutnya adalah tahap analisa data. Pada tahap ini data akan dimanfatkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalaan yang diajukan dalam penelitian. Adapun metode analisa data yang dipilih adalah model analisa interaktif. Didalam model analisa interaktif menurut Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2006:113) terdapat tiga komponen pokok berupa: a. Reduksi data Reduksi data adalah sajian analisa suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan. b. Sajian Data Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data. Peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada anailisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut, c. Penarikan kesimpulan Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang ditarik dari semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Pada dasarnya makna data harus di uji validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih kokoh. Adapun proses analisisnya adalah sebagai berikut : Langkah pertama adalah mengumpulkan data, setelah data terkumpul kemudian data direduksi artinya diseleksi, disederhanakan, menimbang hal-hal yang tidak relevan, kemudian diadakan penyajian data yaitu rakitan organisasi informasi atau data sehingga memungkinkan untuk ditarik kesimpulan. 5. Tahap-Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama observasi awal lapangan, kemudian peneliti menentukan topik penelitian dan mencari informasi umum mengenai adanya perkawinan terlarang yakni perkawinan mahram mushaharah. Tahap selanjutnya, peneliti terjun ke lapangan untuk mencari data informan dan pelaku, juga melakukan observasi dan wawancara terhadap pelaku dan para informan lain yakni keluarga pelaku, tokoh masyarakat/agama sekitar dan para tetangga. Tahap akhir yakni penyusunan laporan penelitian dengan cara menganalisis data/temuan kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif dengan pendekatan normatif. H. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan penelitian, maka secara garis besar dapat di gunakan sistematika penulisan sebagai berikut: BAGIAN PERTAMA : Bagian ini berisi latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka terhadap penelitian terdahulu untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, metode penelitian yang berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, analisis data, tahap-tahap penelitian, dan terakhir yakni sistematika pembahasan. BAGIAN KEDUA: Dalam bagian kedua ini, berisi tinjauan umum tentang perkawinan, tujuan perkawinan, dasar hukum perkawinan, syarat sah perkawinan, macam-macam akad nikah dan akibat hukumnya, dan perkawinan yang diharamkan. BAGIAN KETIGA: dalam bagian ini, memaparkan seluruh hasil penelitian yang peneliti lakukan meliputi letak geografis, kondisi sosial keagamaan, gambaran penduduk Kecamatan Sidorejo, budaya, kehidupan beragama, profil pasangan pelaku perkawinan muhrim mushaharah dan data yang berkaitan dengan kasus perkawinan mushaharah. BAGIAN KEEMPAT: bagian ini berisi analisis praktek perkawinan muhrim mushaharah, berupa sebab-sebab dan dampak perkawinan muhrim mushaharah, pendapat-pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat terhadap praktek perkawinan muhrim mushaharah dan solusi untuk mengatasi permasalahan masyarakat seperti ini. BAGIAN KELIMA: berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang diberikan penulis kepada pihak-pihak yang tekait dengan penelitian ini. BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN A. Definisi Perkawinan Dalam bahasa Arab kata “nikah” ( )ﻧﻜـــﺎحdiartikan adh-dhamm (berkumpul atau bergabung) dan al-ikhtlath (bercampur). Dalam bahasa Arab misalnya dikatakan: ُ ﺗ َ َ َﺎ ﻛ َـﺤ َﺖ ْ اﻷﺷ ْ ـ َﺎرة Artinya: Pohon-pohon itu kawin; dimaksudkan ketika bergabung satu dengan yang lain. Atau jika dikatakan: َ ﻧَـﻜ َﺢ َ اﻟ ْﻤــﻄ َ ﺮ ُ اﻷر ْض Artinya:Hujan itu bergabung dengan tanah; maksudnya ketika air hujan itu bercampur dengan tanah (Azam, Hawwas, 2009:37). Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi yang dikutip oleh Dr.H. Abd. Rahman Gazaly (2006:8) di antaranya adalah: ِ و َﺿ َ ﻌ َ ﻪ ُ اﻟﺸ ﺰﺎر ِوع َُ ﻟاج ُِـﯿاﻟُﻔ ِﴍْﺪ َ َﻣ ِ ْ ًﺎ ﻫ ُ ْ َ اﺳ ْ ﺘ ِﻤ ْ ﺘ َﺎع ِ اﻟﺮ ُﻞ ِ ِ ﻟ ْﻤ َﺮ ْ ا َة ِو َ ِﻞ اﺳ ْ ﺘ ِﻤ ْ ﺘ َﺎع ِ ﻤ َﺮ ْ ا َة ِ و َ ِﻞ اﺳ ْ ﺘ ِﻤ ْ ﺘ َﺎع ِ اﳌ َﺮ ْ ا َة ِ ِ اﻟﺮ ُﻞ “Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.” Ghazaly mengutip dari Abu Yahya Zakariya Al-Anshary dalam Fath al Wahhab juz 2: ِ ﴍﻦ ُ َ ْا ِ ًﺎ َﻫ ُﻮ ََﺔﻋَﻘَو ْﺪ ٌَﻃ ْ ﺊ ٍ ﺑِﻠ ْﻔ ِ ﻆِ ا ْﲀ َ ح ٍ أ َو ْ ﳓ َ ْ ﻮ ِﻩ ﲀ َ ﯾ َﺘح َُﻀ َ ا َﻤﻟﻨ “Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan katakata yang semakna dengannya”. Imam Syafi’i mengartikan nikah sebagai suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi, nikah itu artinya hubungan seksual. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengan nikah menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita (Ibrahim, 1971:65). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis atau melakukan hubungan kelamin (DepDikbud, 1994:456). Para ulama merinci makna lafal nikah menjadi empat macam. Pertama, nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti kiasan. Kedua, sebaliknya nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan akad berarti kiasan. Ketiga, nikah lafal musytarak (mempunyai dua makna yang sama). Keempat, nikah diartikan adh-damm (bergabung secara mutlak) dan al-ikhtilath (pencampuran). Dari keterangan tersebut, jelas bahwa nikah diucapkan pada dua makna yaitu akad pernikahan dan hubungan intim antara suami dan istri. Nikah menurut syara’ maknanya tidak keluar dari dua makna tersebut (Azzam, Hawwas, 2009:38). Adapun perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah (Basyir, 1999:14). Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuan dinyatakan dalam pasal 2 sebagai berikut, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. B. Tujuan Perkawinan Tujuan utama perkawinan ialah menaati perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur (Ramulyo, 1996:26). Dalam buku Ny. Soemijati (1982), disebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariat. Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuantujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologi, dan agama. Di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan Manusia diciptakan oleh Allah memiliki naluri kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah, keabsahan anak keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, agama dan Negara. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa. Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai pembantu-pembantu dalam hidup di dunia bahkan akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat, manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang shaleh, sebagaimana sabda Nabi Saw:: ٍ ِﲅ ْ ٍ ﯾ ُ ْ َﻔ َﻊ ُ ﺑِﻪ ِ ا َو ْ و َ َ ٍﺻ َﺎﻟ ِﺢ: ٍْ َﺎر ِﯾَﻼَﺔ ٍ َ أثَو اﻣ َﺎت َ ﻹ ِ ْﺴ َ ﺎن ُ إ ِ ﻧْﻘ َﻄ َ ﻊ َ ﲻ َ َ ُ ُﺻ َا ﺪ َِﻻ ﻗ َﺔﻣ ٍ ِ ﻦ ْ ﺛ .(َ ُ )رواﻩ ﻟﺒﺨﺮى وﻣﺴﲅ ﻋﻦ أ ﺲ ْ ﯾ َﺪ ْ ﻋ ُﻮ “Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendoakannya (HR. Muslim dari Anas). Begitu besarnya peranan anak terhadap amal orang tuanya, sehingga diterangkan dalam hadits Nabi Saw bahwa seorang yang kehilangan putranya yang masih kecil akan dimasukkan ke dalam surga dan akan terlepas dari api neraka, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Anas: ْ ُ َ ُ ﺛ َﻼ َﻣ ﺛَـﺎَﺔ ٌﻣ ﻟِﻦ َْﻢ ْ ﻣﯾ َﺒُﺴْﻠ ْ ُ ﻐﲅُﻮ ِ ْ ااﳊَﻨ َﺚ َ ا ِﻻ أ َ د ْ َ َ ُ ﷲ ُ اﻟ ْﺠ َﻨﺔ َ ﺑِﻔ َﻀ ْ ﻞ ِ ر َﲪ ْ َﺘ ِﻪ ِ ا ِﳞﻢ ()رواﻩ ﻟﺒﺨﺮى وﻣﺴﲅ ﻋﻦ أ ﺲ ُت “Tiada seorang muslim yang kematian anak yang belum baligh, melainkan Allah SWT akan memasukkan ke dalam surge karena karunia rahmat Allah SWT terhadap anak-anak itu” (Ghazaly, 2006:26). 2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung jawab Sudah menjadi kodrat iradah Allah Swt, bahwa manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah Swt mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah Swt: šÆ ÏB ÍotsÜ Zs)ßJ ø9$# ÎŽÏÜ »oYs)ø9$#ur tûüÏZt6ø9$#ur Ïä!$|¡ ÏiY9$# šÆ ÏB ÏN ºuqyg¤± 9$# = ãm Ä̈ $Z̈=Ï9 z̀ Îiƒã— Ío4qu‹ys ø9$# ßì »tFtB šÏ9ºsŒ 3Ï^ öys ø9$#ur ÉO »yè÷RF{ $#ur ÏptB§q|¡ ßJ ø9$# È@ ø‹y‚ ø9$#ur ÏpžÒ Ïÿø9$#ur É= yd ©%!$# É> $t«yJ ø9$#ÚÆ ó¡ ãm ¼çny‰ YÏã ª! $#ur ($u‹÷R‘‰ 9$# “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (Ali Imran, 3:14). Oleh Al Quran dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut pada surat Al Baqarah yang menyatakan: … 3£̀ ßg©9 Ó̈ $t6Ï9 öN çFRr&ur öN ä3 ©9 Ó̈ $t6Ï9 £̀ èd 4öN ä3 ͬ!$|¡ ÎS4’n<Î)ß] sù§9$#ÏQ $uŠÅ_Á 9$#s's#ø‹s9 öN à6 s9 ¨@ Ïm é& “dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…”(Al Baqoroh, 2:187). Dalam hal itu, Allah Swt mengetahui bahwa kalau saja wanita dan pria tidak diberi kesempatan untuk menyalurkan nalurinya itu akan berbuat pelanggaran, seperti dinyatakan ayat selanjutnya. Disamping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang di kalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran cinta dan kasih sayang yang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma (Ghazaly, 2006:28). 3. Memelihara diri dari kerusakan Sesuai dengan surat Ar Ruum 21 bahwa ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat diwujudkan melalui perkawinan. Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan entah kerusakan dirinya sendiri atau orang lain bahkan masyarakat. Karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran: …Ï äþq¡ 9$$Î/ 8ou‘$B̈V{ “….sesungguhnya nafsu kejahatan….”(Yusuf, 12:53). Dorongan nafsu itu selalu menyuruh yang utama ialah nafsu seksual, }§ øÿ Z̈9$#b̈ Î) kepada karenanya perlulah menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi gejolak nafsu seksual seperti tersebut dalam hadits Nabi Saw: ... ِ … َﻪ ُ أِوَ َ أ َﺣ ْ ﺼ َ ﻦ ُ ِﻠ ْ ﻔ َﺮ ْ ج َﴫ ِﻧ ِﻠ ْﺒ ﻓ َﺎ “...sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnyaa pandangan dan dapat menjaga kehormatan…” (Ghazaly, 2006:29). ﻏ َﺾ Nikah dapat menjaga diri manusia dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran yang diharamkan dalam agama. Karena nikah memperbolehkan masing-masing pasangan melakukan hajat biologisnya secara halal dan mubah (Azzam, Hawwas, 2009:39). 4. Menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab dan mencari harta yang halal Ghazaly menyatakan bahwa hidup sehari hari menunjukkan bahwa orangorang yang belum berkeluarga tindakannya sering masih dipengaruhi oleh emosinya sehingga kurang mantap dan kurang bertanggung jawab. Demikian pula dalam menggunakan hartanya, orang-orang yang telah berkeluarga lebih efektif dan hemat, karena mengingat kebutuhan keluarga di rumah. Jarang pemuda pemudi yang belum berkeluarga memikirkan hari depannya, kebanyakan mereka berfikir untuk hari ini, barulah setelah mereka kawin memikirkan bagaimana caranya mendapatkan bekal untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Demikian pula calon ibu setelah memasuki jenjang perkawinan mengetahui bagaimana cara penggunaan uang agar dapat untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Rasa tanggung jawab akan kebutuhan itu mendorong semangat untuk mencari rejeki sebagai bekal hidup sekeluarga dan hidupnya tidak hanya untuk dirinya, tetapi untuk diri dan keluarganya (Ghazaly, 2006:30). 5. Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta dan kasih sayang Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang berbentuk melalui perkawinan, seperti tersebut dalam An Nahl 72: Zoy‰ xÿym ur tûüÏZt/ Nà6 Å_ ºurø—r& ồ ÏiB Nä3 s9 Ÿ@ yèy_ ur %[` ºurø—r& ö/ä3 Å¡ àÿRr& ồ ÏiB Nä3 s9 Ÿ@ yèy_ ª! $#ur … 4Ï M »t6Íh‹©Ü 9$#z̀ ÏiB Nä3 s%y—u‘ur “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucucucu…”(An Nahl, 16:72). Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat yang menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga yang dibina dengan perkawinan antara suami istri dalam membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya (Ghazaly, 2006: 32). Dari keterangan di atas jelas bahwa tujuan nikah dalam syariat Islam sangat tinggi, yakni sebagai salah satu indikasi tingginya derajat manusia yang sesuai dengan karakter alam dan sejalan dengan kehidupan sosial alam untuk mencapai derajat sempurna. Karena hikmah yang besar inilah, Islam sangat menganjurkan menikah dan Nabi Muhammad SAW sangat melarang umatnya membujang. C. Asas Hukum Perkawinan Perkawinan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat dan juga harus memperhatikan larangan-larangan perkawinan. Dalam membicarakan larangan perkawinan menurut hukum Islam ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu: 1. Asas absolut abstrak: suatu asas dalam hukum perkawinan dimana jodoh atau pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dahulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan manusia yang bersangkutan; 2. Asas selektivitas: suatu asas dalam suatu perkawinan dimana seseorang yang hendak menikah harus menyeleksi terlebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia dilarang menikah; 3. Asas legalitas: suatu asas dalam perkawinan yang mana pencatatan perkawinan itu wajib hukumnya (Ramulyo, 1996:34). Mohammad Daud Ali, Guru Besar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengemukakan enam asas hukum perkawinan Islam lainnya antara lain: 4. Asas kesukarelaan : asas kesukarelaan tidak hanya ada pada kedua calon mempelai, tetapi juga harus terdapat pada kesukarelaan kedua orang tua masing-masing calon mempelai. Kesukarelaan wali pihak perempuan adalah merupakan salah satu rukun perkawinan yang wajib dipenuhi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. 5. Asas persetujuan: dalam memilih pasangan perkawinan, perempuan muslimah diberikan kebebasan untuk memilih melalui pernyataan menerima atau tidak pinangan seorang laki-laki. 6. Asas kebebasan memilih: setiap orang berhak memilih pasangan perkawinannya secara bebas asalkan sesuai syariat Islam, yaitu tidak melanggar larangan perkawinan menurut Islam karena perkawinan adalah lembaga yang membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, selain sebagai sendi pokok masyarakat dan bangsa (Djubaidah, 2010:101). 7. Asas kemitraan: dalam ajaran Islam, akad nikah dengan sighat ijab qabul itu tidak berarti terjadinya penguasaan suami terhadap istri atau sebaliknya. Pembagian tugas antara suami istri pun bukan dalam makna yang satu menguasai yang lain, tetapi dalam rangka mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah agar terwujud keturunan yang salih dan salihah. 8. Asas monogami terbuka: pada asasnya perkawinan menurut Islam adalah monogami, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, suami diperbolehkan melakukan poligami atau beristri lebih dari satu orang dan paling banyak empat orang istri. 9. Asas untuk selama-lamanya: tujuan perkawinan adalah untuk selama-lamanya, bukan untuk sementara waktu dan sekedar bersenang-senang atau rekreasi semata (Djubaidah, 2010:106). D. Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum. Rukun menentukan sah atau tidaknya sesuatu, sehingga jika salah satu rukun dalam perkawinan tidak dipenuhi, maka berakibat perbuatan hukum tersebut tidak sah dan statusnya “batal demi hukum” (Djubaidah, 2010:90). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan bahwa rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidak sahnya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya perbuatan tersebut (Djubaidah, 2010:91). Rukun dapat pula diartikan sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat.(Ghazaly, 2006:46). Menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, rukun perkawinan terdiri dari calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi lelaki dan ijab kabul. Jika kelima unsur tersebut terpenuhi, maka perkawinan sah, tetapi sebaliknya jika salah satu atau beberapa rukun dari kelima rukun perkawinan tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak sah (Djubaidah, 2010:107). Sedangkan syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. (Djubaidah, 2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Rukun dan syarat dalam perkawinan keduanya wajib dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam Kitab al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah: Nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya. Dan hukum nikah fasid atau batil adalah sama yakni tidak sah. KHI menjelaskan rukun nikah dalam pasal 14 yaitu: 1. Adanya calon suami, 2. Adanya calon istri, 3. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita, 4. Adanya dua orang saksi, 5. Sighat akad nikah (Rofiq, 1998:72). Syarat yang merupakan bagian dari masing masing rukun perkawinan antara lain: 1. Syarat-syarat calon suami: a. Beragama Islam b. Laki-laki c. Jelas orangnya d. Dapat memberikan persetujuan, tidak terpaksa dan atas kemauannya sendiri. e. Tidak terdapat halanga perkawinan atau bukan merupakan mahram dari calon istri 2. Syarat-syarat calon istri: a. Beragama Islam b. Perempuan c. Jelas orangnya d. Dapat dimintai persetujuannya e. Tidak terdapat halangan perkawinan 3. Syarat-syarat wali: a. Laki-laki b. Islam c. Baligh d. Mempunyai hak perwalian e. Waras akalnya f. tidak terdapat halangan perwaliannya 4. Syarat-syarat saksi a. Minimal dua orang laki-laki b. Islam c. Baligh d. Hadir dalam ijab qabul e. Dapat mengerti maksud akad 5. Syarat-syarat akad a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah, atau tazwij d. Antara ijab dan qabul bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya f. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai pria atau wakilnya, dan dua orang saksi (Rofiq, 1998:72). Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan dalam Bab II pasal 6: a. perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, b. untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, c. dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya, d. dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Rofiq, 1998:73). Sedangkan Abdul Aziz Muhammad Azzam (2009:100), seorang Guru Besar Universitas Al Azhar Mesir dalam bukunya menyebutkan bahwa syarat sah akad ada tiga yakni: a. Persaksian b. Wanita yang dinikah bukan mahram c. Sighat akad Pernyataan yang hampir senada dikemukakan oleh Basyir (1999) bahwa syarat sahnya perkawinan adalah: a. Mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya b. Dihadiri dua orang saksi laki-laki c. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. E. Macam-Macam Akad Nikah Hukum suatu pernikahan dan pengaruh yang ditimbulkannya mengikuti sifat-sifat akad itu sendiri, seperti sah, murni, batal dan lain-lain. Pengaruh ini akan berbeda karena perbedaan sifat, pengaruh akad yang sah berbeda dengan akad yang bergantung, fasid dan batil. Beberapa pengaruh yang ditimbulkan dari keempat macam akad pernikahan sebagai berikut: 1. Akad Nikah Sah Murni dan Hukumnya Menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Hawwas dalam bukunya Fiqh Munakahat, pernikahan sah murni adalah yang memenuhi segala persyaratan akad, segala syarat sah, dan segala syarat pelaksanaan yakni kedua orang yang berakad, ahli dalam melaksanakan akad, sighat-nya menunjukkan pemilikan kesenangan secara abadi, menyatu dalam suat majelis ijab-qabul, pihak yang mengucapkan ijab dapat mendengar suara pihak yang mengucap qabul dan sebaliknya, istri merupakan objek penerima pernikahan yang diakadi, dihadiri dua orang saksi yang memenuhi segala persyaratan persaksian, dan kedua pihak yang berakad berakal dan baligh. Ketika berkumpul syarat-syarat tersebut, maka akad pernikahan menjadi sah murni dan menimbulkan pengaruh-pengaruh syara yakni: a. Timbul beberapa pengaruh yang menjadi kewajiban suami terhadap istri disebabkan tuntutan akad pernikahan diantaranya, mahar, kewajiban memberi nafkah, tidak menyakiti istri dengan perbuatan atau perkataan kecuali diperbolehkan syara’, dan kewajiban suami berlaku adil jika terjadi poligami. b. Kewajiban istri terhadap suami sebab tuntutan akad diantarnya, patuh terhadap suami kecuali ada larangan syara’, istri tunduk pada pengajaran suami dalam hal yang diperbolehkan syara’, c. Beberapa pengaruh kewajiban atas masing-masing suami-istri terhadap lainnya sebab tuntutan akad nikah diantaranya, penetapan nasab anak, hak mewarisi, keharaman saudara sambung, kehalalan bagi masing-masing suami istri bersenang-senang dengan cara yang diizinkan syara’, wajib mempergauli pasangannya dengan cara yang baik. (Azzam, Hawwas, 2009:129). 2. Akad Nikah yang Rusak dan Hukumnya Ulama Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasid (rusak), batil adalah sesuatu yang tidak disyariatkan pokokdan sifatnya seperti menjual bangkai atau menikahi wanita yang haram. Sedangkan fasid adalah sesuatu yang disyariatkan pokoknya, tidak sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari beberapa syarat seperti akad nikah tanpa saksi. Sehingga, jika cacat terjadi pada rukun akad maka disebut batil dan jika terjadi diluar rukun akad disebut fasid. Hukum akad fasid ini tidak mewajibkan sesuatu dari pengaruh-pengaruh pernikahan. Jika seseorang telah mencampuri wanita berdasarkan akad fasid ini hukumnya maksiat. Bagi kedua suami istri yang telah melakukan akad fasid hendaknya berpisah dengan kesadaran sendiri, karena melangsungkan akad fasid tidak diperbolehkan menurut syara’. Jika tidak berpisah berdasarkan kesadaran sendiri maka bagi yang mengetahuinya wajib memisahkan mereka atau melaporkan ke penghulu agar dipisahkan. Ada beberapa pengaruh akibat percampuran dalam akad fasid, yaitu: a. Menolak hukuman zina karena adanya syubhat (kesamaran) b. Jika mahar disebutkan dalam akad, kewajibannya adalah membayar minimal dari yang disebutkan dan membayar mahar mitsil. c. Dengan percampuran ini, haram baginya saudara sambung, haram atas lakilaki semua orang tua wanita tersebut dan anak-anaknya. Demikian pula haram atas wanita semua orang tua laki-laki dan anak-anaknya. d. Kewajiban iddah yang dihitung sejak hari perpisahan, baik perpisahan ini dilakukan sendiri atau dipisahkan penghulu atau pengadilan. Waktu iddah dalam perpisahan ini deperti iddah talak sampai pada kondisi ditinggal wafat suami, yakni empat bulan sepuluh hari. e. Penetapan nasab anak yang dikandung istri, karena untuk menghidupkan dan menjaga ketersia-siaan mereka. Beberapa hukum yang ditetapkan pada akad fasid, tidak menimbulkan pengaruh pernikahan seperti, penetapan hak waris antara laki-laki dan perempuan, kewajiban nafkah, tempat tinggal, dan kepatuhan suami, semua itu tidak ada dalam akibat pernikahan dengan akad fasid (Azzam, Hawwas, 2009:133). 3. Akad Nikah Batil dan Hukumnya Akad batil adalah semua akad yang didalamnya terjadi kecacatan dalam sighat (ijab-qabul), misalnya ungkapan kedua pihak yang berakad tidak menunjukkan pemilikan manfaat secara abadi. Atau cacat yang terjadi pada syarat dua orang yang berakad, misalnya salah satu atau kedua pihak masih kecil dan tidak mumayyiz, atau mereka gila. Atau kehilangan satu dari beberapa syarat terjadinya akad. Ditambah lagi wanita tidak menghalalkan bagi seorang suami, misalnya ia saudara perempuan sesusuan atau ber-iddah dari talak orang lain, atau saudara perempuan istri, atau sesamanya dan kedua orang yang berakad mengetahui hal tersebut pada saat akad berlangsung. Maka pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun secara syara’ maka hukumnya batil. Hukum akad ini tidak menetapkan sesuatu dan tidak menimbulkan pengaruh sesuatu seperti pengaruh yang ditimbulkan dari akad yang sah. Di sini tidak ada kewajiban mahar, nafkah, taat, tidak pula menetapkan hubungan waris dan saudara sambng, dan tidak terjadi talak, karena talak merupakan cabang dari perwujudan pernikahan yang sah. Adapun yang termasuk nikah batil ada tiga macam, yaitu: a. Orang yang tidak mampu melakukan akad dengan sendirinya maka akadnya batil, seperti orang gila, kurang akal, dan orang yang disamakan dengannya; b. Seorang laki-laki yang mengadakan akad dengan perempuan yang tidak halal baginya; c. Jika nonmuslim berakad menikahi wanita muslimah maka nikahnya batil karena hilangnya status. Akad-akad seperti yang telah disebutkan tidak menimbulkan pengaruh pernikahan, keduanya wajib dipisahkan. Jika telah bercampur, percampuran tersebut tidak dapat mengangkat kebatilan, hukumnya sama dengan berzina. Menurut pendapat Abu Hanifah, apabila terjadi akad batil yang bukan termasuk akad yang syubhat maka harus ditegakkan had (hukuman). Pendapat yang hampir sepadan datang dari Muhammad, Abu Yusuf, Asy Syafi’i, Malik, dan Ahmad bin Hambal bahwa kedua pihak yang melakukan akad batil wajib di-had dengan had zina jika mereka mengetahui keharamanya. Jika kemudian keduanya berpisah, entah dipisahkan penghulu atau pisah menurut kesadarannya sendiri, maka wanita tidak wajib iddah. Sedangkan status nasab anak, menurut pendapat Abu Hanifah, nasab anak tidak diakui. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat nasab anak tetap diakui demi menjaga hak anak dan kemaslahatannya. Di antara ulama berpendapat bahwa perzinaan menetapkan keharaman saudara sambung. Oleh karena itu, karena akad ini pula haram atas salah satu dari orangtua atau anak-anak seorang pezina menikahi perempuan yang dizinai dan menjadi haram (mahram) wanita yang dizinai terhadap orang tua dan anak-anaknya (Azzam, Hawwas, 2009:135). F. Perempuan-perempuan yang Diharamkan (Muharramat) Di antara wanita ada yang haram dinikahi seorang laki-laki selamanya, tidak halal sekarang dan tidak akan halal pada masa-masa akan datang, yang disebut haram abadi. Dan di antara wanita ada yang haram untuk dinikahi seorang laki-laki sementara, keharaman berlangsung selama ada sebab dan akan menjadi halal jika sebab keharaman itu hilang, ini yang disebut keharaman sementara atau temporal. 1. Keharaman Mutlak a. Pertalian Nasab Allah Ta’ala berfirman: ßN $oYt/ur öN ä3 çG»n=»yz ur öN ä3 çG»£J tã ur öN à6 è?ºuqyz r&ur öN ä3 è?$oYt/ur öN ä3 çG»ygB̈é& öN à6 ø‹n=tã ô M tBÌhãm … ÏM ÷z W{ $#ßN $oYt/ur Ë̂ F{ $# “diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,” (An Nisa, 4:23). Demikianlah Islam menetapkan batas minimal untuk menikahi kerabat, hal itu tidak lain agar tatanan keluarga tidak menjadi rusak, agar ikatannya tidak terlepas, dan agar tatanan masyarakat tidak hancur, yang jika sampai hancur akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan di tengah-tengah masyarakat (Washfi, 2005:418). Makna ayat tersebut sudah jelas bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian nasab, yakni: 1) Ibu, nenek dan seterusnya ke atas, neneknya bapak, neneknya ibu dan seterusnya ke atas; 2) anak perempuan, termasuk pula cucu perempuan dan seterusnya ke bawah; 3) wanita keturunan ayah dan ibu atau anak-anaknya orang tua,entah itu saudara perempuan sekandung ataupun tiri, putri saudara laki-laki, putri saudara perempuan, putri dari anaknya saudara laki-laki, putri dari anaknya saudara perempuan dan seterusnya sampai ke bawah; 4) anak-anak kakeknya dan anak-anak neneknya dengan syarat terpisah satu tingkat (Azzam, Hawwas, 2009:137). b. Hubungan Persusuan Perempuaan-perempuan yang haram dinikahi karena persusuan adalah: ibu yang menyusui dan saudara perempuan sesusuan. Rasulullah saw bersabda: ِ َ ْﺮ ُ م ُ ﻣ ِﻦ َ اﻟـﺮ ﺿ َ ﺎ ع ِ ﻣ َﺎ ﳛ َ ْﺮ ُ م ُ ﻣ ِ ﻦ َ اﻟـ ﺴ َ ﺐ “Haram sebab persusuan adalah apa yang haram sebab nasab”. (HR. Ibnu Majah dan A Tirmidzi) Sehingga wanita yang diharamkan sebab persusuan adalah: 1) Ibu yang menyusuinya da seterusnya menurut garis lurus ke atas; 2) Dengan wanita sepersusuan, anak-anak dari wanita sepersusuan dan seterusnya ke bawah; 3) Anak-anak kedua orang tua sepersusuan; 4) Anak-anak kakek dan nenek sepersusuan; 5) Istri orang tua sepersusuan, yakni istri bapak sepersusuan, istri kakek sepersusuan; 6) Istri anak sepersusuan, yakni istri anak laki-laki sepersusuan atau istri cucu putra dari anak laki-laki. 7) Orang tua istri sepersusuan 8) Anak-anak istrinya sepersusuan, yakni putrinya, cucu putri dari anak putri dan cucu putri dari anak laki-laki sepersusuan. (Azzam, Hawwas, 2009:155). c. Hubungan Mushaharah Disebut juga hubungan persambungan atau semenda, yakni yang diharamkan akibat adanya hubungan pernikahan, ada empat: 1) Ibu mertua baik telah bercampur dengan istri atau belum, Diceritakan dari Imam Ali ra. bahwa tidak haram menikahi ibu mertua kecuali telah melakukan hubungan seksual dengan putrinya. Sebagaimana juga tidak haram putrinya kecuali telah melakukan hubungan seksual dengan ibunya. Namun, dalam kitab al Mahalli disebutkan, dari Ali ra. bahwa ia ditanya tentang laki-laki yang menalak istrinya qabla dukhul, apakah laki-laki tersebut boleh menikahi ibunya? Ali ra. menjawab: “Keduanya satu tingkat menduduki satu kedudukan. Jika putri ditalak qabla dukhul maka ia boleh menikahi ibunya”. Hujjah jumhur ulama adalah keumuman lafadz firman Allah dalam surat An Nisa 23: àö…Nä3 ͬ!$|¡ ÎS M »ygB̈é&ur … yang diakadi wanitanya kemudian masuklah ibunya dalam keumuman ayat. Ibnu Abbas berkata: “Samarkanlah apa yang telah disamarkan Al Quran”, maksudnya umumkanlah hukum di segala keadaan, jangan memperinci antara yang telah dicampuri atau tidak karena yang dimaksud nikah disini adalah akadnya. Sehingga akad inilah yang menyebabkan keharaman, baik telah bercampur atau belum (Azzam, Hawwas, 2009:142). 2) Anak-anak perempuan tiri, Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan telah bercampur, dan wanita ini mempunyai anak perempuan dari orang lain maka tidak halal bagi lakilaki tersebut menikahi anak dari perempuan yang telah ia nikahi ba’da dukhul. Baik perempuan tersebut masih tetap menjadi istri atau telah ditalak atau telah meninggal dunia. Sebagaimana lanjutan firman Allah swt dalam surah An Nisa: (#qçRqä3 s? öN ©9 b Î*sù £̀ ÎgÎ/ O çFù=yz yŠ ÓÉL»©9$# ãN ä3 ͬ!$|¡ ÎpS ` ÏiB Nà2 Í‘qàf ãm ’Îû ÓÉL»©9$# ãN à6 ç6Í́¯»t/u‘ur … öN à6 ø‹n=tæ y $oYã_ Ÿx sù Æ ÎgÎ/ O çFù=yz yŠ “…anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya…” (An Nisa, 4:23) Ayat di atas menunjukkan keharaman anak-anak istri dengan syarat telah bercampur dengan istri. Dengan demikian, tidak haram bagi laki-laki yang menikahi putri istrinya atau putri anak-anaknya jika ia mencerai istri sebelum bercampur. Jumhur fuqaha mengharamkan putri tiri atas suami ibunya apabila ia telah mencampurinya walaupun putri tiri tidak berada dalam pangkuannya (pemeliharaaan ayah tiri), keharamannya adalah sama, baik di pangkuannya atau tidak, karena pangkuan tidak menjadi syarat keharaman. Penyandaran putri tiri ke pangkuan dilihat dari keumumannya, karena umumnya putri tiri berada dalam pemeliharaan suami ibunya tidak ada pemahaman lain, tidak hilang keharaman sebab hilangnya syarat ini. Perbandingannya seperti firman Allah: (… (Zpxÿyè»ŸÒ •B $Zÿ»yèôÊ r&(##qt/Ìh9$#(#qè=à2 ù's? Ÿw (#qãYtB#uä šú ïÏ%©!$#$yg •ƒr'¯»tƒ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda…” (Ali Imron, 3:130). Keharaman riba tidak hanya pada riba yang berlipat ganda sebagaimana pemahaman sebagian manusia. Akan tetapi, umum pada riba yang berlipat ganda atau sedikit. Catatan berlipat ganda dalam Al Quran karena kondisi umumnya manusia dalam bisnis riba yang mendorong kelipatan uang menjadi berlipat-lipat. Sebagaimana makna ayat tentang riba tersebut, makna sebenarnya dari kata “anak tiri yang dalam pangkuanmu”, adalah sifat “dalam pangkuanmu” tersebut tidak merupakan syarat, tetapi keluar dari tradisi dan menjelaskan buruknya menikahi anak tiri karena pada umumnya di pangkuan mereka sama seperti anak kandung sendiri. Sebagian fuqaha seperti Ali Zhahir berpendapat bahwa putri tiri tidak haram atas suami ibunya kecuali memenuhi dua syarat: salah satunya telah berhubungan intim dengan ibunya. Kedua, putri tiri dalam pangkuan suami istrinya. Jikalau putri tiri ini tidak tinggal dalam satu tempat tinggal bersamanya, maka ia tidak haram. Demikian juga tidak haram jika ia tinggal bersama, tetapi suami ibunya tidak memiliki perhatian dan tidak pula berada dalam tanggungannya. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari malik bin Aus Al Hudtsan An Nashari berkata: “Aku punya seorang istri yang telah melahirkan kemudian meninggal dunia, aku bertemu Ali bin Abi Thalib, ia berkata padaku: “Apa yang terjadi padamu?” Aku menjawab: “istriku teleh meninggal dunia” Beliau bertanya lagi: “Apakah ia punya anak perempuan? Jawabku:”ya” beliau bertanya: “Apakah ia dulunya di pangkuanmu?aku katakan tidak, ia tinggal di Thaif.” Beliau berkata: “maka nikahilah ia” Aku bertanya: “dimana makna firman Allah: dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri (An Nisa, 4:23)”. Beliau menjawab: ‘wanita itu tidak dalam pemeliharaanmu, sedangkan maksud ayat tersebut adalah jika ia dalam pemeliharaanmu.” Jumhur fuqaha mengambil dalil mencampuri, mengharamkan putrinya secara mutlak baik dalam pangkuan suami ibunya atau tidak. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: ﻣ ْﺮ َ أة ً ﻓ َـﺪ َ َ ﻞ َ أ َﲠ ِﯾﻤَﺎَﺎﻓر ََﻸ َ ُﻞ ٍﳛ َ ِﻞ َ ُ ِﲀ َ ح ُ ﺑ ْ َـﳤ ِ َﺎ و َ إ ِن ْ ﻟ َﻢ ْ َﻜ ُﻦ ْ د َ َ ﻞ َ ﲠ ِ َﺎ ﻓ َﻠ ْﯿ َﻨ ْﻜ ِﺢ ﻞ ٍ َﻜ َﺢ َ اﻣ ْﺮ َ أة ً ﻓ َﺪ َاﺑ ْ َﳤﻞَﺎَ وﲠ ِ َﺎ أ َو ْ ﻟ َﻢ ْ ﯾ َﺪ ْ ُﻞ ْ ﲠ ِ َﺎ ﻓ َﻼ َ ﳛ َ ِﻞ َ ُ ِﲀ َ ح ُ ا ُﻣ ﻬَﺎ “Barangsiapa laki-laki yang menikahi perempuan kemudian mencampurinya, maka tidak halal baginya menikahi putrinya dan jikalau ia belum mencampurinya, nikahilah putrinya. Barangsiapa laki-laki yang menikahi seorang perempuan kemudian mencampurinya atau belum mencampurinya, maka tidak halal baginya menikahi ibunya”. (HR. At Tirmidzi) Menurut ulama Malikiyah, mencampuri istri atau menyentuhnya dengan syahwat meskipun dengan penghalang atau memandangnya dengan syahwat meskipun di belakang cermin atau di dalam air, maka haram putrinya bagi suami tersebut. Seperti itu pula, jika seorag istri memandang suaminya dengan syahwat atau menyentuhnya meskipun dengan penghalang, maka haram putrinya atas suami ibunya. Alasan semua itu dikarenakan kehalalan untuk “bersenang-senang” dalam hubungan pernikahan adalah dengan akad. Akan tetapi jika seorang memandang wanita lain yang bukan istrinya, maka tidak haram atas putrinya, walaupun memandangnya dengan syahwat (Azzam, Hawwas, 2009:145). 3) Istri-istri dari bapak, istri-istri dari kakek, dan seterusnya ke atas َ َﻜ َﺢ َ آ َ ؤ ُﰼ ُ ْ ﻣ ِو َﻦ َﻻ ﺗاﻟَﻨ ْﻜﺴ ِ َ ﺎء ِ إ ِﻻ ﻣ َﺎ ﻗ َﺪ ْ ﺳ َ ﻠ َﻒ َ إ ِﻧﻪ ُ ﰷ َ ن َ ﻓ َﺎﺣ ِﺸ َ ﺔ ً و َ ﻣ َ ﻘ ْ ًﺎ و َﺳ َ ﺎء ﺳَ ِﻼ Artinya: “dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(An Nisa, 4:22) Ayat di atas menunjukkan dengan jelas tentang keharaman istri bapak. Sifat durhaka dan keji dinyatakan pada orang yang terbukti menikahi istri bapaknya ke atas. Istri kakek sama dengan istri bapak karena kakek adalah bapak secara maknawi. Penetapan keharaman istri kakek ini berdasarkan ijma’ ulama. Adapun hikmah dari keharaman ini bahwa menikahi istri orangtua, baik bapak atau kakek menimbulkan pemutusan rahim, karena jika orangtua mencerainya kemudian menyesali ingin rujuk, jika telah dinikahi oleh anak atau cucu berarti memutus jalan yang tidak dikehendaki. Alangkah buruknya hal tersebut dan fitrah yang normal menjauhi pernikahan seperti itu yang Allah sebut sebagai kemurkaan dan perbuatan keji (Azzam, Hawwas, 2009:146). 4) Istri-istri anak, istri-istri cucu Istri anak, istri cucu dari anak laki-laki dan istri cucu dari anak perempuan ke bawah, haram bagi bapak dan kakek ke atas selama anak tersebut masih keturunannya, bukan anak angkat. Keharaman istri anak terhadap bapak tidak disyaratkan anak harus sudah mencampuri istrinya, tetapi cukup dengan akad karena kemutlakan firman Allah: š...ãN à6 ͬ!$oYö/r&@ Í́¯»n=ym ur... Artinya: “...dan (diharamkan menikahi) istri-istri anak kalian...” (An Nisa, 4:23). @ Í́¯»n=ym artinya istri yang halal baik telah bercampur atau belum. Hikmah keharaman istri anak adalah memelihara hubungan antara individu keluarga dan mencegah segala sesuatu yang mendatangkan pemutusan rahim antara mereka (Azzam, Hawwas, 2009:148). 2. Keharaman Sementara a. Wanita yang Bersuami / belum Selesai Masa Iddah *zÏôN à6 ãY»yJ ÷ƒ&rM s3 n=tB$tBw Î)ä!$|¡ ÏiY9$#žà̀ ÏBM »oY|Á ós ßJ ø9$#urö(.... “dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali hamba sahaya (tawanan perang) yang kamu miliki....” (An Nisa, 4:24). Wanita yang sedang ber-iddah atau belum selesai masa iddahnya baik karena talak raj’i (talak satu dan dua) atau ba’in (talak tiga) baik ba’in sughra ataupun kubra. Alasanya karena masih ada hubungan hak suami bagi wanita yang dinikahi atau ber-iddah karena talak raj’i. Dan karena masih ada sebagian pengaruh nikah bagi wanita yang di talak ba’in pada istri yang ditinggal meninggal oleh suaminya. Dan untuk membebaskan rahim bagi istri yang telah dicampuri. (Azzam, Hawwas, 2009:164). Dalil keharaman mereka adalah: ª! $# t, n=y{ $tB z̀ ôJ çFõ3 tƒ b r&£̀ çlm; ‘@ Ïts† Ÿw ur 4&äÿrãè% spsW»n=rO £̀ ÎgÅ¡ àÿ Rr'Î/ šÆ óÁ ­/uŽtItƒ àM »s)¯=sÜ ßJ ø9$#ur £̀ ÎgÏB%tn ö‘r&þ’Îû “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya...” (Al Baqarah, 2:228). ¼ã&s#y_ r&Ü= »tFÅ3 ø9$#x÷ è=ö6tƒ 4Ó ®Lym Çy %x6 ÏiZ9$#noy‰ ø)ã (#qãBÌ“÷ès? Ÿw ur “...dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya...” (Al Baqarah, 2:235). b. Wanita yang Tertalak Tiga (bagi Suaminya) Bagi seorang suami, menceraikan istrinya dengan talak tiga, dia tidak boleh merujuknya kembali, kecuali jika mantan istrinya sudah menikah dengan laki-laki lain, kemudian dia menjanda kembali dan masa iddahnya sudah selesai. Pernikahan yang dilakukan istrinya dengan laki-laki lain juga dilandasi dengan kerelaan dan atas dasar suka sama suka, bukan pernikahan yang hanya sebatas untuk memenuhi persyaratan belaka. Allah swt. berfirman, ‘@ ÏtrB Ÿx sù $yg s)¯=sÛ b Î*sù … 39̀ »|¡ ôm Î*Î/ 7x ƒÎŽô£ s? ÷rr&>$ rá÷èoÿÏ3 8 $|¡ øBÎ*sù (Èb $s?§sD ß, »n=©Ü 9$# … ¼ç nuŽöxî %¹̀ ÷ry— yx Å3 Ys? 4Ó ®Lym ߉ ÷èt/ .̀ ÏB ¼ã&s! “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik..... kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain....” (Al Baqarah, 2:229-230). Perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya, dia tidak boleh menikah lagi dengannya kecuali jika syarat-syarat berikut telah terpenuhi, yaitu: 1) Pernikahan yang dilakukan oleh perempuan yang ditalak tiga dengan suaminya yang baru (yang kedua) haruslah pernikahan yang sah secara agama; 2) Pernikahan di antara keduanya dilandasi rasa saling mencintai; 3) Keduanya sudah pernah melakukan persetubuhan. Talak yang dilakukan suami kepada istri sampai kedua kalinya merupakan ujian bagi sang istri karena pada perceraian yang pertama, suaminya mungkin tidak bermaksud atau tidak menyadari ketika dia mengucapkan kalimat talak kepadanya. Tidak lama setelah dia mengucapkannya, dia menyesali ucapannya tersebut lantas merujuknya. Berbeda dengan perceraiannya yang kedua, suaminya tidak menceraikannya, kecuali setelah ada penyesalan atas perceraian yang pertama. Jika kemudian suaminya merujuk istrinya kembali, hal itu merupakan bukti penguat bahwa sang suami benar-benar tidak ingin melepaskan hubungannya dengan sang istri. Jika ia kembali menceraikan istrinya untuk ketiga kalinya, setelah melihat penderitaan yang dialami istrinya, sungguh dia termasuk sosok orang yang akalnya tidak sempurna, sehingga ia tidak diberi hak lagi untuk berkumpul dengan istrinya yang sudah dicerai tiga, karena sang istri hanya akan dijadikan sebagai permainan belaka. Sehingga hikmah larangan menikahi istri yang sudah ditalak tiga adalah agar sang istri terlepas dari kuasa suaminya. (Sabiq, 2011:262). c. Menikahi Dua Wanita yang Masih Muhrim Seorang laki-laki diharamkan mengumpulkan dua perempuan bersaudara dalam sebuah ikatan perkawinan. Seorang yang menikahi seorang wanita haram menikahi saudara perempuannya, baik saudara perempuan kandung atau tunggal bapak atau tunggal ibu. Keharaman mengumpulkan dua saudara perempuan tersebut dijelaskan dalam firman Allah: … 3y# n=y™ ô‰ s% $tB žw Î)Èû ÷ütG÷z W{ $#šú ÷üt/ (#qãèyJ ôf s? ôb r&ur… “...dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi di masa lampau...” (An Nisa, 4:23). Dalam buku Marasil Abu Daud, dari Husain bin Thalhah, dia berkata, “Rasulullah saw. melarang memadu seorang perempuan dengan saudarasaudaranya, demi menghindari putusnya silaturahmi di antara mereka.” Hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas dan Husain bin Thalhah di atas dapat dipahami bahwa dibalik larangan menikahi perempuan yang masih ada hubungan keluarga (muhrim), adalah untuk menghindari terputusnya tali silaturahmi, di mana dengan memadu dua perempuan yang bersaudara dapat menimbulkan kedengkian dan permusuhan sebagai akibat dari rasa cemburu (Sabiq, 2011:317). BAB III PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAH DI KECAMATAN SIDOREJO A. Gambaran Umum Kecamatan Sidorejo Kecamatan Sidorejo berada pada posisi paling utara kota Salatiga, sebagian wilayah Kecamatan Sidorejo dilalui oleh Jalan Negara yang menghubungkan antara Semarang dan Solo. Kecamatan Sidorejo terletak di ketinggian 750-850 mdpl, dan terletak di lereng timur Gunung Merbabu yang membuat daerah ini menjadi lebih sejuk. Kecamatan Sidorejo memiliki luas 16.247 km2 yang terbagi menjadi 6 kelurahan yakni : 1. Kelurahan Blotongan 2. Kelurahan Bugel 3. Kelurahan Kauman Kidul 4. Kelurahan Pulutan 5. Kelurahan Salatiga 6. Kelurahan Sidorejo Lor Secara geografis, sebelah timur Kecamatan Sidorejo berbatasan dengan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tingkir dan Kecamatan Sidomukti, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tuntang dan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pabelan. Berdasarkan data Monografi Dinamis Kecamatan bulan April, jumlah kepala keluarga di Kecamatan Sidorejo ada 14.147KK dengan total jumlah penduduk 51.597 individu. Angka tersebut terdiri dari 25.313 laki-laki dan 26.284 perempuan. Di Kecamatan Sidorejo terdapat beberapa lembaga pendidikan, diantaranya adalah Universitas Kristen Satya Wacana dan Institut Roncali, selain itu tercatat kurang lebih 9 pondok pesantren yang berada di wilayah Kecamatan Sidorejo. Meskipun begitu, jumlah penduduk tamatan perguruan tinggi di Kecamatan Sidorejo tidaklah banyak. Namun penduduk di kecamatan Sidorejo terlihat sudah sadar akan pentingnya pendidikan. Pernyataan ini disimpulkan dari rincian data tabel pendidikan di kecamatan Sidorejo bahwa angka tidak sekolah sangat kecil dibandingkan dengan angka tamatan sekolah lainnya. Tabel 3.1 Data Pendidikan Terakhir Kecamatan Sidorejo Bulan April-Juni No Pendidikan Terakhir Jumlah 1 Tamat Akademi Perguruan Tinggi 5.947 2 Tamatan SLTA 12.661 3 Tamatan SLTP 7.964 4 Tamatan SD 9.218 5 Tidak tamat SD 3.991 6 Belum Tamat SD 4.906 7 Tidak Sekolah 1.748 Total 46.435 Laporan Triwulan Monografi Kependudukan Kecamatan Sidorejo, 2013:2 Dari data tabel 3.1, terlihat bahwa tamatan SD, SLTP dan SLTA jumlahnya lebih besar dibandingkan tamatan akademi perguruan tinggi, dari data tabel tersebut pula, dapat diketahui bahwa lulusan perguruan tinggi di kecamatan Sidorejo jumlahnya hanya 12%. Dari angka ini terlihat bahwa kemampuan dan minat masyarakat di Kecamatan Sidorejo untuk meneruskan ke jenjang perguruan tinggi sangat sedikit atau kecil. Berdasarkan data laporan triwulan kecamatan Sidorejo pula, terlihat bahwa kecamatan Sidorejo merupakan wilayah favorit yang menjadi tujuan pendatang, tercatat ada 98 orang pendatang dalam kurun waktu 3 bulan dengan rincian dalam tabel 3.2. Tabel 3.2 Data Mutasi Penduduk Kecamatan Sidorejo Bulan April-Juni No Mutasi Pindah Datang 1 Antar Desa/Kel 17 30 2 Antar Kecamatan 20 8 3 Antar Kabupaten 27 45 4 Antar Provinsi 11 15 5 Antar Negara 0 0 Jumlah 75 98 Laporan Triwulan Monografi Kependudukan Kecamatan Sidorejo, 2013:2 Dari segi agama, tercatat 78,8% penduduk Kecamatan Sidorejo beragama Islam, sisanya Kristen, Katolik, Budha dan Hindu dengan rincian dalam tabel 3.3. Tabel 3.3 Data Pemeluk Agama Kecamatan Sidorejo Bulan April-Juni No Agama Jumlah Prosentase 1 Islam 40.680 78.8% 2 Kristen Protestan 3.129 6.2% 3 Kristen Katolik 6.999 13.6% 4 Budha 552 1.1% 5 Hindu 237 0.5% 51.597 100% Jumlah Laporan Triwulan Monografi Kependudukan Kecamatan Sidorejo, 2013:2 B. Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Subyek adalah dua pasang pelaku perkawinan mahram mushaharah di Kecamatan Sidorejo. Salah satu berada di wilayah Kelurahan Salatiga, dan satu yang lain berada di wilayah Kelurahan Sidorejo Lor. Nama dari seluruh subyek entah itu pelaku maupun informan dalam penelititan ini disamarkan untuk melindungi hak masing-masing subyek dan informan. Keterangan masing-masing subyek dapat dilihat dari tabel 3.4 berikut. Tabel 3.4 Daftar Identitas Pelaku Nikah Mahram Mushaharah Istri Tasiyah (alm) Yani (40) Pasangan Pasangan Status Tahun Jumlah Laki-Laki Perempuan Perkawinan nikah anak Darno (72) Darni (52) Tercatatkan 1979 5 Karyo (42) Ika (20) Belum tercatatkan 2011 1 Wawancara, 8 Juni 2013 1. Pasangan Darno dan Darni dari Kelurahan Salatiga Pasangan ini mengaku menikah sejak tahun 1979, dan kini telah dikaruniai lima orang anak yang sudah dewasa, tiga diantaranya telah menikah dan memiliki anak. Mereka masing-masing bernama Surani, Paryanto, Yulianto, Slamet Widodo, dan Sri Wahyuni. Kehidupan sehari-hari Darni adalah sebagai penjual kecambah di Pasar Blauran Salatiga. Kurang lebih Darni sudah lima tahun menjalani profesi ini. Setiap pagi pukul 06:00 wib ia sudah tiba di pasar Blauran dengan dagangan kecambahnya yang hanya 3-5 kilogram. Suaminya, Darno yang sudah renta tidak mampu bekerja menghidupi keluarga lagi. Darni mengaku, pendapatannya sehari-hari hanya cukup untuk menghidupi ia, suami dan kedua anaknya yang masih tinggal serumah dengannya. Darni mengaku beragama Islam sejak kecil. Menurut Marni tetangga dekat Darni, Darni bukan merupakan orang yang sepenuhnya taat kepada agamanya, pengajian tidak pernah mau ikut, shalat juga jarang-jarang. Sedang untuk kegiatan sosial kemasyarakatan, Darni juga jarang terlihat berbaur dengan masyarakat, entah alasan mengurus suaminya yang sudah renta ataupun urusan berdagang. Menurut Marni pula, keluarga Darni sangat tertutup, kalau tidak ditanya tidak pernah mau bicara. Marni sebagai warga yang sudah menetap lama di Kalitaman, mengetahui betul sejarah tetangganya yang bernama Darni tersebut. Marni mengetahui bahwa dahulu Darni hamil di luar nikah dan para tetangganya tidak ada yang tahu siapa yang menghamili Darni. Tiba-tiba saja warga mendengar kalau Darni akan dinikahi oleh ayahnya. Saat itu warga kaget dan hampir akan mengusir keluarga mereka karena setahu warga, Darno adalah ayah kandung Darni. Setelah dijelaskan oleh Tasiyah (ibu kandung Darni) bahwa itu ayah tiri Darni, dan Tasiyah memohon belas kasihan warga untuk tidak diusir. Karena tidak ada yang bersedia menikahi Darni dengan kondisi fisik mata yang tidak sempurna dan sudah terlanjur hamil, kecuali ayah tirinya itu. Hal senada juga terucap dari Yayuk, tetangga Darni, bahwa menurut sepengetahuan Yayuk, keluarga Ibu Tasiyah merupakan pendatang dari daerah Boyolali. Saat menetap di Kalitaman, Tasiyah sudah memiliki satu orang anak perempuan yang bernama Darni. Menurut Yayuk, Darni dan keluarganya jarang bersosialisasi di masyarakat, apalagi dalam hal yang bersifat keagamaan. Darni menikah saat usianya 18 tahun, ia tidak mengetahui betul siapa yang menikahkan saat itu. Yang ia tahu, petugas yang menikahkan didatangkan dari KUA dan Darni juga mendapat salinan akta nikah. Ia bersedia menikah dengan ayahnya karena ia terpaklsa sudah hamil karena perilaku ayah tirinya tersebut dan tidak ada yang bersedia menikahi Darni kecuali ayah tirinya itu. Setelah menikah, Darni tetap tinggal di Kalitaman bersama Tasiyah, ibu kandung Darni sekaligus Istri dari Darno, suami Darni. 2. Pasangan Karyo dan Ika dari Kelurahan Sidorejo Lor Karyo berasal dari keluarga yang kurang berada, ia mengaku bersekolah sampai SMP. Hingga pertengahan tahun 2012, ia tinggal di sebuah rumah di Desa Bancaan Barat Kelurahan Sidorejo Lor bersama Orang tua perempuannya, satu orang anak laki-laki yang kondisinya lumpuh sejak lahir bernama Hari dari istri pertamanya yang telah meninggal tahun 1992. Menurut penuturan Bapak Udin, ketua RT di tempat tinggal Karyo, istri pertama Karyo yang bernama Siti meninggal karena di racuni oleh suaminya sendiri yakni Karyo. Sehingga karena hal ini pula Karyo sempat menetap di jeruji besi selama 5 tahun. Tidak hanya itu, menurut penuturan warga lain yakni Bapak Pardi yang merupakan kepala keamanan di wilayah tempat tinggal Karyo, Karyo diketahui berulang kali masuk jeruji besi, karena kasus pencurian dan minuman keras. Hal ini dibenarkan pula oleh Bp. Udin, sebagai ketua RT tempat tinggal Karyo: “Inggih mbak, Karyo niku riyin kerep damel resah masyarakat. Gawene mabok wonten prapatan mriko saban ndalu, nate nyolong. Warga mriki wedi amargo sifate Karyo sing temperamental. Menawi sanjang boten keleresan sekedhik mawon, piyambake nesu. Malah nate wonten warga ingkang dioyak-oyak diancem badhe dipateni. Niku masalahe geh sepele amargi omong sing damel Karyo loroati. Untung saged kulo lerem mbak. Nek mboten lak geh sampun rame ndeso mriki”. Menurut Bp. Udin, Karyo sering membuat resah masyarakat desa Bancaan karena tingkah lakunya yang kriminal dan sifatnya yang tempramental. Tidak lama setelah dia dikeluarkan dari rutan karena membunuh istrinya, ia menikah dengan janda bernama Yani yang memiliki anak bernama Ika dari pernikahan sebelumnya. Kemudian dari pernikahan Karyo dengan janda tersebut, Karyo sama sekali belum dikaruniai anak. Beberapa tahun berlalu, ternyata tumbuh perasaan cinta Karyo terhadap anak tirinya yakni Ika. Hal ini sempat dicurigai oleh Pardi: “Aku ki wes curiga, wong ning ngendi-ngendi kok mesti cah loro, rangkulan.ora koyo bapak karo anak. Sempat tak takoni ngene mbak, “Mo, anakmu ki opo ra pengen kerjo to? Aku duwe lowongan gone kancaku” piyambake jawab ngeten: “ora Om, makasih, biyen wes tau kerjo tapi tak penging kok. Wes ben ning omah wae”. Nek wong tuo normal ki kan mesti pengen anake sukses, iso kerjo to mbak?”. Kecurigaan Pardi muncul karena Karyo melarang anaknya bekerja dan kemanapun Karyo pergi, selalu berdua dengan anaknya seperti orang sedang memadu kasih. Kecurigaan ini ternyata benar, karena tidak lama kemudian terbukti bahwa Ika telah berbadan dua. Mengetahui warganya ada yang tidak beres, Bp. Udin selaku ketua RT memanggil warganya Karyo, pemanggilan dilakukan di kediaman Bp. Udin dan dihadiri pula oleh Ketua RW Bp. Sutikno. Dan pada akhirnya terjadilah pernikahan antara Karyo dengan anak tirinya bernama Ika yang dinikahkan oleh Harto dan diketahui oleh BP. Udin, BP. Sutikno, dan 2 warga lain. Saat ini Karyo sudah tidak menetap di wilayah RT pimpinan Bp Udin lagi. Melainkan di RT 5 RW 6 Kelurahan Sidorejo Lor bersama Istrinya Ika dan anak mereka yang kini berusia 11 bulan bernama Imawati. Menurut penuturan Ika, sejak ia menikah dengan ayah tirinya, Karyo sudah tidak lagi berhubungan dengan ibunya (Yani), kini janda tersebut kembali ke rumah orang tuanya di Soko, Blotongan. Ika mengaku pada awalnya ia dipaksa untuk melayani nafsu bejat ayah tirinya itu, keadaan saat itu hanya ada mereka berdua di rumah, dan Ika diancam akan dibunuh jIka ia berteriak, melawan atau melaporkan hal ini kepada siapapun termasuk Ibunya. Hal ini terus berkelanjutan dan Ika tidak mampu melawan, namun lama-kelamaan, ia mengaku merasakan jatuh cinta pada ayah tirinya tersebut. Karena itu, hubungan yang mereka lakukan menjadi sering hingga pada akhirnya Ika hamil. Haji Sugeng, tokoh agama di wilayah tersebut tidak berani ikut campur permasalahan keluarga Karyo yang telah menghamili anak tirinya, maka dari itu, terjadilah perkawinan antara keduanya. Haji Sugeng beranggapan bahwa hal seperti itu merupakan permasalahan pribadi, beliau sebagai orang lain merasa tidak berhak ikut campur dalam rumah tangga Karyo kecuali jIka dimintai pendapat, barulah Haji Sugeng akan bicara. Haji Sugeng sangat paham bahwa perkawinan antara Karyo dan Ika memang dilarang Agama. Namun apa boleh buat, Haji Sugeng merasa tidak memiliki keberanian untuk mencegah atau membatalkan perkawinan itu. Para saksi saat perkawinan tersebut mengaku tidak tahu menahu soal hukum agama. Yang mereka tahu, pernikahan tersebut boleh-boleh saja karena Harto mantan pegawai KUA sendiri yang menikahkan, sehinga para saksi pada saat itu percaya saja. Meskipun para saksi tersebut juga tahu bahwa pekerjaan Harto setelah dipecat dari KUA tersebut memang membantu perkawinanperkawinan yang “bermasalah” hingga kesediaan untuk menyediakan Kutipan Akta Nikah ASPAL (asli tapi palsu). Pasangan Karyo dan Ika mengaku berusaha mencari akta nikah untuk melegalkan perkawinannya, namun karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membeli kutipan akta nikah ‘aspal’, maka hingga sekarang pasangan ini belum memiliki kutipan akta nikah. BAB IV ANALISIS A. Larangan Menikah dengan Anak Tiri Pernikahan yang dilakukan antara ayah dengan anak tirinya, pada dasarnya diperbolehkan dengan syarat istrinya sudah dicerai qobla dukhul. Pernikahan ini diperbolehkan karena ayah dan anak tirinya tersebut pada dasarnya memang bukan merupakan mahram. Namun ketika Ibu dari seorang anak tersebut menikah dengan laki-laki lain, maka secara otomatis hubungan antara anak tersebut dengan laki-laki yang menikahi ibunya adalah hubungan ayah dan anak meski tiri. Maka anak tiri tersebut secara langsung menjadi mahram bagi ayah tirinya. Jika mengacu pada hukum Syar’i, maka pernikahan semenda adalah pernikahan yang diharamkan tanpa ada sebab yang bisa menghapuskan hukumnya. Tidak seperti pernikahan mahram ghairu mu’abbad yang diperbolehkan jika sebab yang mengharamkannya hilang. Pernikahan yang terjadi antar hubungan semenda, dalam hukum Islam disamakan dengan perzinahan, meski dalam kenyataan terdapat pasangan semenda yang menikah secara resmi dan memiliki akta nikah yang sah. Perkawinan yang terjadi antara ayah dan anak tirinya tersebut batal demi hukum karena melanggar larangan pernikahan yang terdapat dalam pasal 8 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, yakni, perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; selain itu terdapat juga larangan nikah dalam pasal 39 ayat 2 KHI, sehingga jelas bahwa perkawinan semenda yang terjadi di wilayah kecamatan Sidorejo ini haram hukumnya. Menurut KHI pasal 70 point b, perkawinan yang dilakukan antar hubungan semenda batal atau tidak sah. Menurut pendapat Abu Hanifah, apabila terjadi akad nikah batil yang bukan termasuk akad yang syubhat maka harus ditegakkan had (hukuman). Pendapat yang hampir sepadan datang dari Muhammad, Abu Yusuf, Asy Syafi’i, Malik, dan Ahmad bin Hambal bahwa kedua pihak yang melakukan akad batil wajib di-had dengan had zina jika mereka mengetahui keharamanya. Jika kemudian keduanya berpisah, entah dipisahkan penghulu atau pisah menurut kesadarannya sendiri, maka wanita tidak wajib iddah. Sayangnya, aturan hukum negara kita belum memiliki sanksi yang tegas bagi pelaku nikah terlarang seperti nikah semenda ini. Hukum Islam telah melarang perkawinan ini dalam surat An Nisa ayat 23 bahkan Islam telah menunjukkan bahaya kelainan ini dan memerintahkan untuk membunuh orang yang mengidapnya, sebagaimana dikisahkan dalam hadits, bahwa Yazid bin al Barra’ menceritakan dari ayahnya, dia berkata: aku bertemu pamanku sedang membawa seekor binatang, lalu aku bertanya kepadanya: “Paman hendak kemana?” Dia menjawab: “Rasulullah mengutusku pada seorang yang menyetubuhi istri anaknya. Beliau menyuruhku untuk memukul lehernya (membunuhnya) dan mengambil hartanya (Washfi, 138). Larangan Allah juga terhadap pernikahan ini, terdapat dalam firman Nya surat An Nisa 23. Namun dalam terjemahan ayat tersebut, terdapat kata yang bisa kita garis bawahi mengenai pernyataan tentang wanita yang haram dinikahi, yaitu “anak istri yang dalam pemeliharaanmu”. Maksud anak istri disini adalah anak tiri, yakni ketika seorang laki-laki menikahi wanita, wanita tersebut janda yang memiliki anak perempuan yang sudah dewasa dan juga siap menikah. Pada ayat tersebut memang diberi tambahan keterangan “dalam pemeliharaanmu”. Sehingga muncul kesan bahwa bila anak perempuan tiri itu tidak berada dalam peliharaan ayah tirinya, berarti tidak termasuk yang haram dinikahi?. Metode pemahaman seperti ini hanya mengandalkan semata-mata mafhum mukhalafah saja. Dan menurut para ahli fiqih, tidak tepat untuk mengambil kesimpulan hukum semata-mata berdasarkan mahfum mukhalafah. Sebab di dalam ayat Al-Quran banyak bertaburan hal serupa dan tidak mungkin digunakan mafhum mukhalafah. Sebagai contoh, bila ayat tentang zina dipahami secarara mafhum mukhalafah, “jangan dekati zina”. Maka yang tidak boleh hanya mendekatnya saja, sedangkan berzina itu sendiri malah tidak dilarang. Tentu cara penyimpulan dan pemahaman ayat Al Quran seperti ini tidaklah benar. Ketika Allah SWT menyebutkan tentang anak istri yang berada dalam pemeliharaanmu, tidaklah pemeliharaan itu menjadi syarat. Keterangan yang menceritakan tentang kebiasaan bahwa anak tiri itu ada dalam pemeliharaanmu. Tujuannya untuk menegaskan bahwa anak tiri itu seperti anak sendiri sehingga tidak boleh dinikahi. Dan hubungan antara ayah tiri dengan anak tiri adalah hubungan mahram, tidak boleh terjadi pernikahan antara mereka. Sebaliknya, sebagai mahram, maka anak tiri dibenarkan terlihat sebagian auratnya di hadapan ayah tirinya. Juga mereka berdua dibolehkan berdua , karena memang mahram. Namun bila sampai terjadi perbuatan yang tidak senonoh, seperti zina dan yang sejenisnya, tentu saja dosanya sangat besar. B. Latar Belakang Terjadinya Perkawinan Mahram Mushaharah di Sidorejo Pada kasus yang diteliti dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya perkawinan antara ayah dan rabibahnya dilatarbelakangi oleh beberapa hal diantaranya: a. Faktor dominansi orang tua terhadap anak Sosok ayah dalam keluarga yang selalu berada di posisi terkuat, menyebabkan anak harus tunduk kepadanya. Dalam Islam pun mengajarkan agar kita mentaati orang tua selama perintahnya itu baik dan benar, namun ketika perintah orang tua tersebut keluar dari ajaran agama Islam, maka anak tidak wajib untuk mentaatinya lagi. Dari kasus yang diteliti, tampak bahwa pada awalnya anak memang tidak bisa menolak perintah ayah tiri mereka. Ika mengaku bahwa pertama kali, ia dipaksa untuk melayani ayahnya dan ia tidak bisa menolak, karena diancam akan dilukai. Ika pun juga tidak bisa melaporkan hal ini kepada ibunya, karena diancam oleh Karyo. Sedangkan pada keluarga Darno, Darni juga mengaku bahwa ia dahulu sama sekali tidak cinta terhadap Darno, pernikahannya dikarenakan dorongan dari ibunya juga. Namun setelah sekian lama dan keduanya telah memiliki buah hati yang tumbuh dewasa, baru cinta itu sedikit demi sedikit muncul. b. Minimnya pengetahuan terhadap agama Minimnya pengetahuan terhadap agama menjadikan para subyek tidak memahami kebolehan dan larangan yang telah diatur dalam agamanya. Larangan Allah yang mereka lakukan, dikarenakan mereka kurang paham bahkan minim pengetahuan di bidang agama maupun hukum syar’i. Ketidaktahuan mereka terhadap hukum syar’i, menjadikan mereka dengan mudah melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Jika saja mereka taat terhadap agama, hal itu dapat menjadi gerbang bagi mereka agar tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran agamanya. Seperti pengakuan Karyo bahwa ia tidak pernah belajar agama, apalagi ngaji, ia pun sama sekali tidak bisa. Karyo pun mengaku bahwa ia ke masjid itu hanya setahun sekali saat lebaran yakni sholat Idul Fitri. Kartu identitas penduduknya memang Islam namun ia mengaku ia tidak tahu banyak tentang Islam. Sama halnya dengan keluarga Darno, agama bukan merupakan satu hal yang diutamakan di keluarga ini, Darni mengaku terakhir shalat saat ia menikah dengan Darno. Kebiasaan Darno yang kurang taat terhadap agama, membawa pengaruh pada diri Darni. Darni menjadi ringan untuk melalaikan kewajibannya sebagai muslimah. Menurut tetangganya pula, keluarga Darni tidak pernah terlihat dalam setiap kegiatan masjid, termasuk pula saat Idul Fitri. c. Rasa cinta yang menafikan peraturan Allah Cinta yang terlarang, cinta yang menafikan prinsip dan peraturan Allah, yang sudah dicemari oleh kehendak nafsu dan kepentingan diri. Rasa cinta yang menafikan peraturan dan prinsi-prinsip Allah yang muncul dalam diri para pelaku dan mereka tidak bersedia menghentikan rasa cintanya. Sebagaimana cinta yang dimiliki oleh para pasangan pelaku perkawinan mahram mushaharah ini. Dalam pernikahan antara ayah dan rabibahnya, cinta terlaranag mereka merupakan faktor yang kesekian dan bukan merupakan faktor utama. Karena menurut kasus yang diteliti, para subyek terutama rabibah mengaku pada awalnya tidak ada perasaan cinta terhadap ayah tirinya. Cinta ini kemudian muncul setelah hubungan rabibah dengan ayah tirinya semakin dekat. Jika saja anak dapat menolak kedekatan dengan ayah tirinya, maka tumbuhnya benih-benih cinta ini dapat dicegah. Namun karena para pelaku tidak dapat mencegah tumbuhnya benih-benih cinta antara mereka dengan ayah tirinya, bahkan mereka terkesan membiarkan cinta antara mereka mengalir seiring berjalannya waktu. Maka hubungan antara keduanyapun tidak dapat dihentikan. Sehingga membawa mereka ke pernikahan yang terlarang ini. d. Kurangnya peran masyarakat sekitar khususnya tokoh agama Keberadaan tokoh agama dalam masyarakat tentunya dapat membimbing dan membawa pengaruh masyarakat sekitarnya ke arah yang baik sesuai ajaran agamanya. Mereka dianggap lebih faham mengenai ilmu agama dibanding masyarakat umum. Namun, tokoh agama sekitar terkesan menutup mata terhadap hal ini. Haji Sugeng sebagai tokoh agama yang berada di lingkungan tempat tinggal Karyo tidak mau ikut campur mengenai masalah Karyo meski ia sendiri sangat tahu bahwa yang dilakukan Karyo itu sangat dilarang dalam Islam. Menurut Haji Sugeng sendiri, ia tidak berani mengingatkan Karyo karena watak Karyo yang terkenal keras dan tempramental. Hal yang hampir senada juga diucapkan oleh Haji Saleh di wilayah tempat tinggal Darni. Karena beliau merupakan pendatang di wilayah Kalitaman, maka beliau tidak berani mengurusi urusan yang sudah terjadi sebelum beliau menjadi warga Kalitaman. e. Kurang cermatnya Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Keberadaan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah di setiap wilayah tidak hanya sebagai pembantu calon pengantin dalam mengurus administrasi perkawinan. Keberadaan P3N diharapkan juga mampu membantu KUA dalam meminimalisir adanya perkawinan yang terlarang, seperti penuturan pak Toha Mahsun, Ketua paguyuban P3N wilayah Kecamatan Sidorejo, beliau menyatakan bahwa yang seharusnya mengetahui ada atau tidaknya hubungan mahram dari kedua calon mempelai itu ya P3N, karena wilayah kerja P3N yang sempit dan memungkinkan untuk mengidentifikasi setiap calon pengantin yang mendaftar lewat bantuan P3N. Kalau data sudah sampai di KUA, KUA sulit memeriksa ada atau tidaknya hubungan mahram antara kedua calon. Selain itu, beliau selalu menekankan kepada para anggota nya sesama P3N untuk berlaku sesuai aturan, tidak menabrak garis syar’i meskipun dengan iming-iming materi, seperti yang selama ini biasa terjadi di masyarakat. Beliau mengaku mendapat laporan bahwa di wilayah kerjanya terdapat P3N yang nakal, yang bersedia menikahkan perkawinan yang bermasalah dengan imbalan materi. Namun kepada peneliti, Bp.Toha tidak menyebutkan nama P3N tersebut. Memang tidak adil bila hanya menyalahkan P3N saja, karena proses pasangan menuju perkawinan tidak hanya melewati P3N, melainkan pegawai KUA yang memeriksa administrasi, dan PPN yang berada di lokasi akad nikah untuk memeriksa ulang mengenai keabsahan administrasi dan syarat-syarat perkawinan. Namun dalam praktiknya, setiap calon pengantin yang akan menikah, pada awalnya melewati P3N yang bertugas di setiap wilayah tempat tinggal calon pengantin dan karena wilayah kerja P3N yang terjangkau, maka memungkinkan untuk mengenal dan memeriksa setiap dokumen yang menjadi syarat pengajuan nikah. Maka dari itu, jika P3N tidak memeriksa ada atau tidaknya hubungan mahram antara calon pengantin, maka pegawai KUA yang memeriksa dokumen syarat nikah pun tidak akan mengetahui adanya hubungan mahram antara pasangan calon pengantin. C. Dampak Perkawinan Mahram Mushaharah Sebagaimana yang dinyatakan oleh Azzam dan Hawwas (2009:135), bahwa akad nikah seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak halal baginya, misalnya dengan mahramnya maka akad tersebut adalah batil karena tidak ada tempat karena hilangnya status pokok yang merupakan syarat sah terjadinya akad. Akad seperti ini tidak menimbulkan pengaruh ke pernikahan, keduanya wajib dipisahkan. Jika telah bercampur pada akad ini, percampuran pun tidak dapat mengangkat kebatilan, hukumnya tetap sama dengan berzina. Dampak utama yang ditimbulkan dari perkawinan terlarang antara ayah dengan anak tirinya ini adalah hubungan suami istri yang hukumnya disamakan dengan zina karena akad nikah antara keduanya batil. Dan sampai kapanpun tidak ada hal yang dapat menghapus hukum keharaman menikahi anak tirinya ini. Dan apabila terlanjur lahir anak, maka status anak ini menjadi anak luar nikah. sebagaimana status anak menurut hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia yakni : 1. Anak sah adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 42: adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan, anak sah adalah: a) Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. b) Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. 2. Anak luar nikah: anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional antara lain: a) UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. b) Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pada akhirnya bila dicermati makna dari pasal-pasal yang telah disebutkan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan orang tua, yakni timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan keluarga ibunya. Agaknya dapat dinyatakan mafhum mukhalafah dari pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam bentuk nasab, hak dan kewajiban secara timbal balik dan waris. D. Upaya Penanggulangan Upaya penanggulangan suatu pelanggaran terhadap hukum apalagi munakahat tidaklah mudah seperti yang dibayangkan, karena banyak pihak yang berperan di dalamnya. Selain pasangan pengantin, ada juga para saksi, wali, Pegawai Pencatat Nikah, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, KUA, dll. Sehingga sangat sulit untuk menghilangkan penyimpangan terhadap hukum munakahat jika pihak-pihak tersebut tidak bersinergi secara positif. Berikut penulis akan menguraikan pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk menanggulangi penyimpangan dalam pernikahan agar tidak ada lagi pernikahan-pernikahan terlarang dan pernikahan-pernikahan yang tidak sesuai hukum syar’i dan Undang-undang. 1. Individu Yang harus dilakukan oleh setiap individu adalah berusaha untuk tidak menjadi korban, salah satunya adalah tidak memberikan ruang kesempatan kepada setiap pelaku salah satunya dengan menghindari pakaian yang dapat merangsang hawa nafsu, tidak tidur bersama dengan orang tua saat sudah baligh, tanggap terhadap perilaku ayah atau saudara yang tidak wajar. 2. Masyarakat Kehidupan masyarakat adalah suatu komunitas manusia yang mempunyai watak yang berbeda satu dengan yang lain. Sehingga kehidupan masyarakat merupakan salah satu hal yang penting dimana menentukan dapat atau tidaknya kejahatan dapat dilakukan. Pencegahan terhadapa kejahatan asusila merupakan suatu usaha bersama yang harus dimulai sedini mungkin pada setiap anggota mayarakat. Upaya yang dilakukan agar dapat mencegah tindakan asusila yaitu menciptakan suasana yang tidak menyimpang dengan tata nilai yang dianut oleh masyarakat. Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan adalah dengan menjalin silaturahmi antara anggota masyarakat yang diisi dengan tausiah yang dibawakan tokoh masyarakat sekitar, mendirikan majelis pengajian, menambah khasanah ilmu agama dengan mengadakan kajian kitab. 3. Pemerintah (Depag, KUA, PPN, P3N) Dalam usaha penanggulangan perkawinan bermasalah, pemerintah juga tidak lepas dari hal ini, mengingat pemerintah merupakan perpanjangan tanga dari negara. Maka pemerintah memiliki kekuasaan dan wewenang yang lebih tinggi dari masyarakat dan pemerintah bertanggung jawab atas kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dan tentram. Pemerintah melalui KUA atau Depag dapat melakukan penyuluhan hukum munkahat yang diharapkan masyarakat dapat memahami jauh mengenai fiqh munakahat sehingga dapat maminimalisir adanya perkawinan yang bertentangan dengan hukum Islam. Agama merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mendapat kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Melalui penyuluhan keagamaan, diharapkan keimanan seseorang terhadap agamanya semakin bertambah dan semakin kokoh serta dapat memanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menanggulangi agar perkawinan yang dilarang tidak terjadi lagi di keluarga muslim Indonesia, maka pemerintah perlu memberi sanksi tegas terhadap pelanggaran aturan dalam perkawinan. Tujuan diberikannya sanksi, agar membuat seorang jera melakukan pelanggaran hukum. Untuk itu, pidana dan denda terhadap pelanggaran aturan perkawinan harus segera dibuat agar tidak ada pihak-pihak yang menukil keuntungan pribadi dibalik pelanggaran-pelanggaran aturan perkawinan seperti yang selama ini umum terjadi di masyarakat. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Melihat adanya kasus perkawinan mahram mushaharah yang dapat ditemui di wilayah Kecamatan Sidorejo, peneliti tergerak untuk membuat suatu penelitian yang mampu menjawab beberapa pertanyaan dalam benak peneliti yakni: 1) pandangan hukum Islam tentang definisi perkawinan mahram mushaharah, pertanyaan ini muncul karena terdapat sejumlah orang yang masih memahami bahwa menikahi anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tiri itu diperbolehkan dalam agama Islam; 2) kronologi terjadinya perkawinan mahram mushaharah di wilayah Kecamatan Sidorejo, dan 3) faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan mahram mushaharah. Dari penelitian yang dilakukan terhadap pelaku perkawinan mahram mushaharah, menghasilkan kesimpulan yang merupakan gambaran menyeluruh dari pembahasan dalam skripsi ini, yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. menikahi anak tiri tidak diperbolehkan atau haram hukumnya karena bunyi dari makna surah An Nisa ayat 23 adalah: “anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya”. Sebagian orang memahami ayat ini sepenggal, mereka hanya mengambil sebagian dari potongan pemeliharaanmu” ayat tersebut. Kata “anak-anak istrimu diartikan secara mafhum mukhalafah yang dalam sehingga mereka mengartikan bahwa anak tiri yang tidak berada dalam pemeliharaan ayah tirinya itu boleh dinikahi. Pendapat mayoritas ulama dalam hal ini adalah bahwa syarat anak tiri harus tinggal dalam pemeliharaan ayah tirinya tidak berlaku. Artinya meskipun anak tiri tinggal jauh dari ayah tirinya, sementara ayah tiri ini telah melakukan hubungan badan dengan ibunya maka ayah tidak boleh menikah dengan putri istrinya tersebut. Karena keterangan firman Allah “Yang dalam pemeliharaanmu” ini hanyalah berdasarkan kebiasaan pada umumnya dan tidak mengandung makna apapun, sehingga tidak bisa disimpulkan sebaliknya atau diartikan secara mafhum mukhalafah (Katsir, 2008:270). Demikianlah Islam menetapkan batas minimal untuk menikahi kerabat, hal itu tidak lain agar tatanan keluarga tidak menjadi rusak, agar ikatannya tidak terlepas, dan agar tatanan masyarakat tidak hancur, yang jika sampai hancur akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan di tengah-tengah masyarakat (Washfi, 2005:418). 2. perkawinan antar hubungan mushaharah yang terjadi di wilayah Kecamatan Sidorejo terdapat 6 (enam) kasus. Sebagian besar pelaku merupakan warga pendatang, yakni pidah dari daerah lain menuju wilayah Kecamatan Sidorejo. Perkawinan antara anak tiri dengan ayah tirinya ini dapat ditemui di Desa Banca’an Kelurahan Sidorejo Lor, di Kalitaman dan Krajan Kelurahan Salatiga, dan di Sawo Kelurahan Bugel. Dari keseluruhan pelaku, yang dapat ditemui hanya dua subyek. Dikarenakan di daerah Sawo yang kebetulan terdapat 3 (tiga) pasang pelaku ini, sudah tidak dapat ditemui seluruhnya. Menurut informasi dari warga, para pelaku sudah diusir dari Desa Sawo. Karena warga setempat mengharapkan kampungnya bersih dari orang-orang yang melakukan maksiat. Dari dua subyek yang dapat diteliti, subyek pertama berada di lokasi kelurahan Salatiga menikah saat usia 18 tahun dengan ayah tirinya. Darni bersedia menikah dengan ayah tirinya Darno dikarenakan sudah hamil akibat perbuatan ayah tirinya tersebut. Keduanya sama-sama tidak mengetahui kalau perkawinan yang mereka lakukan itu haram karena mereka sendiri minim pengetahuan di bidang agama apalagi hukum Islam. Namun yang mengherankan, pasangan ini memiliki kutipan akta nikah dari perkawinan mereka berdua. Sedangkan subyek yang kedua, Karyo dan Ika yang berada di wilayah kelurahan Sidorejo Lor, juga menikah dengan ayah tirinya saat usia Ika 18 tahun. Ika pada awalnya diancam untuk melayani nafsu bejat ayah tirinya hingga kemudian hamil dan terpaksa menikah. Ika dan Karyo juga sangat minim pengetahuan di bidang hukum Islam sehingga tidak mengerti jika perkawinan yang mereka lakukan itu haram. Ika dan Karyo menikah di bawah tangan disaksikan oleh RT dan dinikahkan oleh Tokoh Agama setempat. 3. Terjadinya kasus perkawinan antar hubungan mushaharah di wilayah kecamatan Sidorejo, diantaranya didorong oleh beberapa faktor: a. Faktor dominasi orang tua terhadap anak Sosok ayah dalam keluarga yang selalu berada di posisi terkuat, menyebabkan anak harus tunduk kepadanya. Dalam Islam pun mengajarkan agar anak selalu mentaati orang tua selama perintahnya itu baik dan benar, namun ketika perintah orang tua tersebut keluar dari ajaran agama Islam, maka anak tidak wajib untuk mentaatinya lagi. b. Minimnya pengetahuan terhadap agama Minimnya pengetahuan terhadap agama menjadikan para subyek tidak memahami kebolehan dan larangan yang telah diatur dalam agamanya. Sehingga dengan alasan ketidaktahuan mengenai hukum syar’i, mereka dengan mudah melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Jika saja mereka taat terhadap agama, hal itu dapat menjadi gerbang agar tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran agamanya. c. Rasa cinta yang menafikan peraturan Allah Rasa cinta terlarang yang tidak dapat mereka hentikan, membawa para pelaku menerobos garis hukum syar’i yang telah ditetapkan, mereka tidak peduli pada hukum Allah yang telah ada. Yang ada di benak mereka hanya cinta yang tumbuh antara kedua pelaku perkawinan mushaharah. Walau pada awalnya mereka belum mengerti hukum perkawinan yang mereka laksanakan. Namun, kini setelah mereka tahu bahwa perkawinan mereka harampun, mereka tetap tidak mau dipisahkan. d. Kurangnya peran masyarakat sekitar khususnya tokoh agama Keberadaan tokoh agama yang tentunya lebih faham hukum syar’i dalam masyarakat selayaknya dapat membimbing dan membawa pengaruh masyarakat sekitarnya ke arah yang baik sesuai ajaran agamanya. Namun tokoh agama disekitar terkesan menutup mata terhadap permasalahan ini. e. Kurangnya kejelian Pembantu Pencatat Nikah (P3N), PPN dan KUA Kurangnya kejelian para komponen dalam KUA, mendorong perkawinan terlarang ini bisa terlaksana dengan lancar. Setiap calon pengantin yang akan menikah, mayoritas menggunakan jasa P3N, jika dari awal P3N sudah mengabaikan dengan sengaja syarat-syarat perkawinan, maka pegawai KUA pun hanya memeriksa dokumen-dokumen syarat nikah, dan tidak memeriksa secara intensif mengenai ada atau tidaknya hubungan mahram antara kedua calon pasangan. Lagipula wilayah kerja KUA yang luas tidak memugkinkan untuk memeriksa satu per satu ada atau tidaknya hubungan mahram. Melihat semakin kompleksnya problematika perkawinan yang terjadi di masyarakat, maka harus segera ada gerakan untuk mengupayakan agar perkawinan yang bermasalah khususnya perkawinan antar mahram tidak terjadi lagi di masyarakat,. Untuk menanggulangi hal ini, diperlukan peran dari individu itu sendiri, masyarakat sekitar, dan juga pemerintah. Ketiganya harus bersinergi bersama untuk menghambat agar perkawinan yang dilarang oleh syar’i tidak terjadi lagi di masyarakat. B. Saran 1. Pemerintah (KUA) Lebih maksimal dalam kegiatan penyuluhan keagamaan dan maksimal dalam menyeleksi calon pengantin. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pengarahan kepada masyarakat tentang fiqh munakahat, sehingga masyarakat dapat mengerti hukum perkawinan dan diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang beralasan melanggar peraturan perkawinan karena tidak mengetahui hukumnya. Selain penanggulangan, dapat juga dilakukan pemberantasan, dengan membentuk aturan pidana mengenai pelanggaran terhadap aturan perkawinan. Seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara muslim dunia yang memiliki aturan mengenai Hukum Keluarga sekaligus aturan pidana bagi yang melanggarnya. 2. Masyarakat Masyarakat seharusnya dapat dengan tegas menolak warga yang dengan sengaja melakukan pernikahan yang terlarang. Seperti warga Desa Sawo Kelurahan Bugel secara tegas mengusir beberapa warganya yang dengan sengaja melakukan pernikahan dengan anak tirinya. Dengan tindakan seperti ini, diharapkan dapat menjadi tamparan keras bagi pelaku, sehingga diharapkan perkawinan yang dialarang oleh Islam tidak akan terjadi lagi. Masyarakat juga seharusnya respon terhadap perilaku masyarakat yang terlihat mencurigakan, seperti terlihat ayah yang selalu bepergian berduaan mesra bersama anak tirinya. Hal ini dapat mengindikasikan adanya suatu hubungan yang spesial antara ayah dan anak tersebut. Sehingga, jika masyarakat respon terhadap keadaan seperti itu, dan sigap untuk mengambil tindakan preventif, diharapkan tidak akan terjadi kasus anak yang dihamili ayah tirinya yang berujung ke perkawinan terlarang. DAFTAR PUSTAKA ______. UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Yudistira. ______. 2010. Al Quranulkarim Miracle The Reference. Bandung:Sygma Publishing. Amiur, Nuruddin. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. Azzam, Abdul Aziz Muhamm & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah Basyir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Djubaidah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta:Sinar Grafika. Ghazaly, Abdur Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hadikusuma, Hilman. 1991. Pembuatan Kertas Kerja Skripsi Hukum. Bandung: Mandar Maji. Ibrahim, Hosen. 1971. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk.Jakarta:Ihya Ulmuddin Latief, Djamal. 1982. Aneka Hukum Peceraian Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Maimun. 2007. Pernikahan di Bawah Umur di kalangan Orang Sumatra (Studi Kasus di Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Sumatra Selatan Tahun 2004-2006).Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga. Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Narbuko, Cholid, Abu Achmadi. 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Pustaka. Nasution, S. 2001. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara. Pamungkas, Wahyu. 2008. Poligami dengan Mahram Ghairu Mu’abbad (Studi Kasus di Dukuh Banjaran Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga).Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga. Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah jilid 3. Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin. .2011. Jakarta: Cakrawala Publishing. Sariyanti. 2007. Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah (Studi Penetapan Hakim di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2005).Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga. Sutopo. H.B. 2006. Metode Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Syaikh, Abdullah bin Muhammad. 1994. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Terjemahan oleh M. ‘Abdul Ghoffar. 2008. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers. Washfi, Muhammad. 2005. Mencapai Keluarga Barokah. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Daftar Pertanyaan Wawancara A. Subyek/Pelaku 1. Identitas lengkap, nama, alamat, usia, 2. Pekerjaan, pendidikan terakhir 3. Tahun berapa menikah, pernikahan ke-? 4. Nama istri pertama, nama anak-anak hasil perkawinan 5. Identitas istri kedua, nama anak hasil perkawinan 6. Hubungan dengan istri pertama seperti apa sekarang 7. Alasan menikahi anak tirinya 8. Hubungan pernikahannya sekarang seperti apa 9. Nikahnya dimana, saksi siapa, yang menikahkan siapa, bayar berapa 10. Orang tua masing-masing menyaksikan/ mengetahui , bagaimana komentarnya 11. Ada surat nikahnya tidak, usaha buat nyari surat nikah 12. Tahu/tidak kalau pernikahannya itu dilarang agama dan undang-undang? B. Informan 1. Identitas lengkap (KTP) 2. Mengetahui pernikahan antara......dengan ...... tidak? 3. Yang diketahui pernikahan tersebut sah atau tidak 4. Apa usaha anda untuk mencegah perkawinan terlarang tersebut 5. Apa menjadi saksi saat perkawinan? 6. Kenapa mau jadi saksi terhadap perkawinan yang dilarang agama? C. Tokoh agama, tokoh masyarakat 1. Kegiatan keagamaan di lingkungan anda seperti apa? 2. Apa pendapat anda tentang pernikahan yang terjadi antara anak tiri dengan ayahya 3. Bagaimana anda sebagai tokoh masyarakat menyikapi permasalahan ini 4. Bagaimana cara anda untuk mencegah agar ini tidak terjadi lagi 5. Bagaimana makna surat an nisa menurut anda?dalam pemeliharaanmu? 6. Apa yang akan anda lakukan terhadap pernikahan terlarang yang telah terjadi/terlanjur terjadi