PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAH

advertisement
PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAH
(Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram
Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah
Oleh:
ROKHANA KHALIFAH AL AMIN
NIM 21109019
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2013
PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAH
(Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram
Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah
Oleh:
ROKHANA KHALIFAH AL AMIN
NIM 21109019
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2013
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
ِ‫ ﻧَﻔَّﺲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻛُﺮْﺑَﺔً ﻣِﻦْ ﻛُﺮَب‬،‫ﻣَﻦْ ﻧَﻔَّﺲَ ﻋَﻦْ ﻣُﺆْﻣِﻦٍ ﻛُﺮْﺑَﺔً ﻣِﻦْ ﻛُﺮَبِ اﻟﺪُّﻧْﯿَﺎ‬
،ِ‫ ﯾَﺴَّﺮَ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ ﻓِﻲ اﻟﺪُّﻧْﯿَﺎ وَاﻵﺧِﺮَة‬،ٍ‫ وَﻣَﻦْ ﯾَﺴَّﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﻌْﺴِﺮ‬،ِ‫ﯾَﻮْمِ اﻟْﻘِﯿَﺎﻣَﺔ‬
َ‫ وَاﷲُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْنِ اﻟْﻌَﺒْﺪِ ﻣَﺎ ﻛَﺎن‬،ِ‫وَﻣَﻦْ ﺳَﺘَﺮَ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ ﺳَﺘَﺮَهُ اﷲُ ﻓِﻲ اﻟﺪُّﻧْﯿَﺎ وَاﻵﺧِﺮَة‬
،ِ‫اﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْنِ أَﺧِﯿﮫ‬
“Barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin satu kesusahan daripada
kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskannya dari satu
kesusahan daripada kesusahan-kesusahan di hari Qiamat. Barangsiapa yang
mempermudahkan bagi orang susah, niscaya Allah akan mempermudahkan
baginya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim,
niscaya Allah akan menutup aiba di dunia dan akhirat. Allah sentiasa bersedia
menolong hambaNya selagi mana dia suka menolong saudaranya.”
Our greatest glory isn’t in never failing, but in rising up every time we fail
“kemenangan terbesar kita bukan terletak pada tidak pernah gagalnya kita, tetapi
pada kemampuan kita untuk bangkit setiap kali terjatuh”
PERSEMBAHAN
Untuk Suamiku tercinta, “Debut Prima Wijaya” yang selalu memberikan Doa dan
dukungannya, Bapak Ibuku “Rokhani dan Nining Triyani” yang selalu
memberikan kasih sayang dan doa demi keberhasilanku. Putri tercintaku, “Nayra
Shafira Wijaya” yang selalu menjadi penyemangat hidupku, dan teman-teman
AHS’09 yang kebersamaannya selalu saya rindukan hingga saat ini.
ABSTRAK
Al Amin, Rokhana Khalifah. 2013. Perkawinan Mahram Mushaharah (Studi
Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram Mushaharah di
Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga). Skripsi, Jurusan Syariah,
Program Studi al Ahwal al Syakhsiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Salatiga. Pembimbing: Munajat Ph.D.
Kata Kunci: perkawinan, mahram dan mushaharah
Penelitian ini berusaha menguak fenomena perkawinan terlarang yang
banyak terjadi di masyarakat, salah satunya adalah perkawinan mahram
mushaharah/semenda yang dapat ditemukan di wilayah Kecamatan Sidorejo.
Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimana
makna teks Al Quran yang menjelaskan tentang larangan perkawinan mushaharah
khususnya terhadap anak tiri? (2) bagaimana kronologi perkawinan mahram
mushaharah di Kecamatan Sidorejo? dan (3) apa yang menyebabkan terjadinya
perkawinan mahram mushaharah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan landasan berfikir
normatif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan antara ayah dan
anak tiri (rabibah) menurut hukum Islam adalah haram dan tidak ada syarat yang
dapat menghapuskan hukum tersebut. Meskipun begitu, di wilayah Kecamatan
Sidorejo dapat ditemui beberapa perkawinan antara ayah dan anak tirinya yang
salah satunya memiliki kutipan akta nikah dan yang lain menikah dibawah tangan.
Kedua subyek yang diteliti sama-sama memiliki latar belakang pengetahuan
agama yang minim dan kedua subyek pada awalnya menikah secara terpaksa
karena sudah berbadan dua akibat perbuatan ayah tirinya. Perkawinan mahram
mushaharah tersebut dapat terjadi dikarenakan faktor: a) dominasi orang tua
terutama ayah terhadap anak; b) minimnya pengetahuan terhadap agama; c) cinta
terlarang yang menafikan prinsip-prinsip Allah; d) kurangnya peran masyarakat
sekitar khususnya tokoh agama serta e) kurangnya kecermatan Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah (P3N). Untuk menanggulangi agar perkawinan yang dilarang oleh
Agama ini tidak terjadi lagi, maka diperlukan sinergi positif yang berkelanjutan
antara pemerintah dan masyarakat untuk menolak dengan tegas dan memberikan
sanksi kepada para pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perkawinan.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada
baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafaatnya. Saya menyadari
keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan, pengarahan dan
bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. oleh karena itu, Saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Imam Soetomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga;
2. Bapak Munajat Ph. D., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu,
tenaga, dan pikirannya guna membimbing hingga terselesaikannya skripsi
ini;
3. Bapak Drs. Mubashirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari’ah STAIN
Salatiga;
4. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal al
Syakhshiyyah;
5. Seluruh dosen STAIN Salatiga, yang selama 8 semester telah membagi
ilmunya yang sangat bermanfaat;
6. Suami dan orang tuaku yang telah turut serta membantu dan memberikan
dukungan baik materi maupun non-materi;
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Teriring do’a dan harapan semoa amal baik dan jasa semua pihak tersebut
diatas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT.Amin.
Wassalamualaikum wr.wb.
Rokhana Khalifah Al Amin
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN......................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.......................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................... vii
ABSTRAK ..................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A.Latar Belakang Masalah ........................................................................ 2
B.Fokus Penelitian .................................................................................. 6
C.Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
D.Kegunaan Penelitian ............................................................................. 7
E.Penegasan Istilah ................................................................................... 7
F.Telaah Pustaka ....................................................................................... 8
G.Metode Penelitian .............................................................................. 12
H.Sistematika Penulisan ......................................................................... 17
BAB II. PERKAWINAN ................................................................................ 10
A.Definisi Perkawinan ........................................................................... 19
B.Tujuan Perkawinan menurut Hukum Islam .......................................... 21
C.Asas Hukum Perkawinan..................................................................... 27
D.Rukun dan Syarat Perkawinan ............................................................. 28
E.Macam-Macam Akad Nikah ................................................................ 32
1.Akad Nikah Sah Murni dan Hukumnya ......................................... 33
2.Akad Nikah Rusak dan Hukumnya ................................................ 34
3.Akad Nikah Batil dan Hukumnya .................................................. 35
F.Perempuan-Perempuan yang Diharamkan (Muharramat)................... 37
1.Keharaman Mutlak ........................................................................ 37
2.Keharaman Sementara................................................................... 45
BAB III. PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAN DI KECAMATAN
SIDOREJO ...................................................................................... 49
A.Gambaran Umum Kecamatan Sidorejo ......................................... 49
B.Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo ............ 52
BAB IV. ANALISIS ........................................................................................ 58
A.Larangan Menikah dengan Anak Tiri ........................................... 58
B.Latar Belakang Terjadinya Perkawinan Mahram Mushaharah...... 61
C.Dampak Perkawinan Mahram Mushaharah ................................. 65
D.Upaya Penanggulangan ................................................................ 67
BAB IV. PENUTUP ....................................................................................... 70
A.Kesimpulan ................................................................................. 70
B.Saran ........................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75
Lampiran-Lampiran ........................................................................................ 76
Riwayat Hidup Penulis..................................................................................... 80
DAFTAR TABEL
3.1. Data Pendidikan Terakhir Kecamatan Sidorerjo Bulan April 2013
3.2. Data Mutasi Penduduk Kecamatan Sidorejo Bulan April 2013
3.3. Data Pemeluk Agama Kecamatan Sidorejo Bulan April 2013
3.4. Daftar Identitas Pelaku Nikah Mahram Mushaharah
DAFTAR LAMPIRAN
1. Laporan Monografi Dinamis Kecamatan Sidorejo Keadaan Bulan April 2013
2. Daftar pertanyaan wawancara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya,
tujuan perkawinan salah satunya untuk membentuk sebuah keluarga yang
harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia demi terwujudnya ketenangan,
kenyamanan bagi suami istri serta anggota keluarga. Islam dengan segala
kesempurnannya, memandang perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam
kehidupan manusia, karena Islam memandang perkawinan merupakan kebutuhan
dasar manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan perjanjian suci
antara laki-laki dan perempuan (Latief, 1982:12). Dalam Islam, perkawinan juga
merupakan salah satu perintah yang diperuntukkan bagi kaum muslimin
sebagaimana terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, bahwa “perkawinan yang
sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah”(KHI:Pasal 1).
Dalam Islam, perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam
suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami
istri. Ini sesuai dengan bunyi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni:
“perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah warahmah” (KHI:Pasal 3). Jadi, pada dasarnya perkawinan
merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antar dua lawan jenis yang
semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan berhubungan
intim. Allah berfirman:
Nà6 uZ÷t/ Ÿ@ yèy_ ur $ygøŠs9Î) (#þqãZä3 ó¡ tFÏj9 %[` ºurø—r& öN ä3 Å¡ àÿ Rr& ồ ÏiB /ä3 s9 t, n=y{ ÷b r& ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ồ ÏBur
tb r㍩3 xÿtGtƒ 5Q öqs)Ïj9 ;M »tƒUy y7 Ï9ºsŒ ’Îûb̈ Î)4ºpyJ ôm u‘ur ZoŠ̈uqB̈
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar Ruum, 30:21).
Perkawinan amatlah penting dalam kehidupan manusia, dengan jalan
perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat
sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Islam mengatur
masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat
manusia hidup berkehormatan. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan
ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq
(Basyir, 1996:1).
Diaturnya kehidupan manusia dalam perkawinan semata-mata adalah demi
menjaga kehormatan mereka. Namun, moral manusia yang semakin menipis
bahkan sebagian telah hilang, menjadikan mereka buta akan hukum yang
mengatur dan membatasi hidup mereka. Dengan bangganya mereka menerobos
batas-batas hukum tersebut, termasuk dalam masalah perkawinan ini. Mereka
yang buta moral dan hukum, melakukan perkawinannya sesuai keinginan sendiri.
Padahal dalam perkawinan, mereka telah diatur oleh kaidah-kaidah hukum yang
harus mereka taati. Khususnya bagi umat Islam, aturan ini telah ada sejak
turunnya firman Allah yang mengatur tentang perkawinan.
Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut
selektivitas. Artinya, bahwa seseorang ketika hendak melangsungkan pernikahan
terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa
ia terlarang untuk menikah (Amir, 2004:144). Hal ini untuk menjaga agar
pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada.
Terutama bila perempuan yang hendak dinikah ternyata terlarang untuk dinikahi,
yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram (orang yang haram dinikahi).
Sementara, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia, muncul
berbagai permasalahan di dalam kehidupan masyarakat terutama yang terkait
dengan perkawinan. Salah satunya yakni sering ditemui perkawinan yang
sebetulnya dilarang namun nyata terjadi dalam kehidupan masyarakat. Seperti
halnya perkawinan yang terjadi antara saudara (hubungan nasab/incest), antar
saudara
sepersusuan,
ataupun mushaharah/semenda.
Hal tersebut dapat
dikarenakan ketidaktahuan, pengetahuan agama yang minim, bahkan moral yang
rendah. Sehingga meski mereka sudah mengetahui bahwa perkawinan tersebut
dilarang, tapi tetap saja aturan yang haq tersebut dilanggar dan terjadilah
perkawinan yang terlarang tersebut. Bila perkawinan dilakukan atas dasar cinta,
hal ini menabrak garis haram yakni perzinahan. Bila tanpa cinta, menabrak garis
haram pemerkosaan dan perampasan hak perempuan. Bahkan perkawinan seperti
ini tentu terjadi secara illegal entah itu nikah dibawah tangan atau pemalsuan data
nikah saat pendaftaran nikah di KUA.
Perkawinan-perkawinan terlarang yang banyak terjadi dalam kehidupan
masyarakat kini, sesungguhnya telah sejak lama diatur dalam Al Quran. Allah
SWT berfirman dalam surat An Nisa yang berbunyi:
ßN $oYt/ur öN ä3 çG»n=»yz ur öN ä3 çG»£J tã ur öN à6 è?ºuqyz r&ur öN ä3 è?$oYt/ur öN ä3 çG»ygB̈é& öN à6 ø‹n=tã ôM tBÌhãm
Ïpyè»|Ê §9$# šÆ
ÏiB Nà6 è?ºuqyz r&ur öN ä3 oY÷è|Ê ö‘r& ûÓÉL»©9$# ãN à6 çF»ygB̈é&ur ÏM ÷z W{ $# ßN $oYt/ur Ë̂ F{ $#
£̀ Îg Î/ O çFù=yz yŠ ÓÉL»©9$# ãN ä3 ͬ!$|¡ ÎpS` ÏiB Nà2 Í‘qàf ãm ’ÎûÓÉL»©9$# ãN à6 ç6Í́¯»t/u‘ur öN ä3 ͬ!$|¡ ÎSàM »ygB̈é&ur
ồ ÏB tûïÉ‹ ©9$# ãN à6 ͬ!$oYö/r& ã@ Í́¯»n=ym ur öN à6 ø‹n=tæ y $oYã_ Ÿx sù Æ
#Y‘qàÿxî tb %x. ©! $# žc
Î) 3y# n=y™ ô‰ s% $tB žw Î) Èû÷ütG÷z W{ $# šú
ÎgÎ/ O çFù=yz yŠ (#qçRqä3 s? öN ©9 b Î*sù
÷üt/ (#qãèyJ ôf s? b r&ur öN à6 Î7»n=ô¹ r&
$VJ ŠÏm §‘
“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu
(mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (An Nisa, 4:23).
Berdasarkan pada ayat diatas, anak tiri termasuk dalam golongan wanita
yang
haram
dinikahi,
mushaharah/semenda.
yang
Meskipun
hal
ini
dalam
termasuk
ayat
dalam
tersebut
perkawinan
terdapat
kata
Nà2 Í‘qàf ãm ’Îûyang bermakna “dalam pemeliharaanmu”, sehingga makna ayat
secara tekstual dapat menimbulkan kesimpulan, bahwa larangan menikahi anak
tiri tidak berlaku mutlak ataupun menyeluruh. Secara tekstual ayat tersebut dapat
bermakna bahwa larangan tidak berlaku bagi anak tiri yang tidak berada dalam
pemeliharaan ayah tirinya. Sebaliknya, larangan hanya berlaku bagi anak tiri yang
berada di bawah pemeliharaan ayah tirinya. Sehingga hal ini bisa saja dijadikan
alasan bagi mereka para pelaku perkawinan terlarang khususnya perkawinan
terlarang dengan anak tiri. Pengetahuan agama yang minim memungkinkan
seseorang memaknai firman Allah secara tekstual. Padahal banyak makna yang
terkandung di dalam firman Allah dalam Al Quran bukanlah makna tekstual
melainkan kontesktual.
Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, bahwa banyak kasus
pernikahan terlarang termasuk pula yang terjadi di wilayah Kecamatan Sidorejo
Kota Salatiga. Meskipun dalam setiap daerah, termasuk pula di Kecamatan
Sidorejo, setiap Desa tentu dapat ditemui tokoh Agama, Ustadz, ataupun
komponen masyarakat yang lain, namun keberadaan mereka tidak mampu
melawan pernikahan terlarang yang nyata terjadi dihadapan mereka. Dari sinilah
penulis tertarik mengadakan penelitian mengenai pernikahan antar kerabat
semenda yang terjadi di lingkup Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Pemilihan
tempat penelitian di lingkup Kecamatan Sidorejo ini dikarenakan terdapat dua
kasus perkawinan yang terjadi antara ayah dan anak tirinya di lingkup Kecamatan
Sidorejo.
Perkawinan antar kerabat mushaharah ini sangatlah menarik untuk diteliti,
oleh sebab itu, penulis mengangkat persoalan yang terjadi dalam masyarakat ini
yang kemudian dirumuskan dalam sebuah judul penelitian “PERKAWINAN
MAHRAM MUSHAHARAH (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan
Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan, maka perlu
dibuat rumusan masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Hal ini
dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan tema, yaitu:
1. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang definisi perkawinan mahram
mushaharah?
2. Bagaimana kronologi terjadinya perkawinan mahram mushaharah di wilayah
Kecamatan Sidorejo?
3. Faktor
apa
yang
melatarbelakangi
terjadinya
perkawinan
mahram
mushaharah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang perkawinan mahram
mushaharah,
2. Untuk mengetahui kronologi terjadinya perkawinan mahram mushaharah
yang terjadi di lingkup Kecamatan Sidorejo,
3. Untuk mengetahui sebab terjadinya perkawinan mahram mushaharah,
D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat teoritis
a) Untuk
melatih
kemampuan
akademis
sekaligus
penerapan
ilmu
pengetahuan yang telah diperoleh;
b) Dapat menambah wawasan atau memberikan sumbangan informasi
tentang Hukum Islam khususnya dalam masalah hukum perkawinan;
c) Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang mempunyai
keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
a) Sebagai bahan acuan dalam upaya pemecahan masalah yang di hadapi oleh
masyarakat, tokoh masyarakat dalam penyelesaian kasus perkawinan yang
jelas-jelas dilarang oleh Undang-Undang maupun Al Quran khususnya di
wilayah hukum Salatiga;
b) Memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa untuk memperoleh gelar Sarjana
Syariah (S.Sy).
E. Penegasan Istilah
1. Perkawinan: perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.
2. Mushaharah: Ditinjau dari segi bahasa, muhrim mushaharah terdiri dari dua
kata yaitu muhrim dan mushaharah. Muhrim atau mahrom berasal dari
kata harama yang artinya “mencegah”, bentuk mashdar dari kata harama, yang
artinya yang diharamkan atau dilarang. Dengan demikian, maka mahrom
secara istilah adalah orang yang haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi.
Sedangkan mushaharah menurut Abdurrahman al-Juzairi dalam kitab Fiqh Ala
Madzahibil Arba’ah, adalah sifat yang menyerupai kekerabatan. Mushaharoh
menurut istilah ialah hubungan kekeluargaan sebab adanya ikatan pernikahan.
Jadi apabila kata mahram dan mushaharah digabung dapat diartikan orangorang yang haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi sebab adanya ikatan
kekeluargaan dari hasil suatu pernikahan.
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibn Rusyd disebutkan bahwa orangorang yang haram dinikahi karena muhrim mushaharah ada empat macam
yaitu ibu dari istri (mertua), anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak
tiri), istri bapak (ibu tiri), istri anak (menantu).
F. Telaah Pustaka
Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas, menegaskan, melihat
kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan penulis lain dalam
penelitian atau pembahasan masalah yang serupa. Selain itu penelitian terdahulu
perlu disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca melihat
dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan perbedaaan hasil
kesimpulan oleh penulis dengan peneliti yang lain dalam melakukan pembahasan
tema yang hampir serupa.
Penelitian ini tentu saja bukan merupakan penelitian pertama yang
mengangkat permasalahan perkawinan terlarang yang terjadi di kehidupan
masyarakat. Ada beberapa penelitian terkait dengan perkawinan yang dilarang
oleh Agama maupun Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. salah satunya
yang telah dilakukan oleh mahasiswa jurusan Syariah Program Studi Ahwal al
Syakhshiyyah STAIN Salatiga, yang tentunya dengan fokus dan permasalahan
yang berlainan.
Penelitian terhadap perkawinan yang terlarang, sebelumnya pernah
dilakukan oleh Pamungkas (2008), dengan judul “Poligami Dengan Mahram
Ghairu Mu’abbad (Studi Kasus di Dukuh Banjaran Kelurahan Mangunsari
Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga)” dengan menggunakan metode penelitian
field research yang bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian oleh Pamungkas ini
mengangkat permasalahan perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat di
Dukuh Banjaran Kota Salatiga. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Pamungkas, ditemukan beberapa kasus perkawinan yang diharamkan namun
kenyataannya, perkawinan tersebut terjadi di masyarakat. Perkawinan yang
dimaksud adalah perkawinan yang terjadi dengan istri kedua yang berstatus
mahram ghairu mu’abbad. Dalam skripsinya, Pamungkas mencantumkan
kategori perempuan yang berstatus mahram ghairu mu’abbad yakni saudara
perempuan kandung istri, bibi istri dari pihak ayah dan dari pihak ibu, perempuan
yang sedang iddah, perempuan yang masih dalam ikatan perkawinan dengan
orang lain, dan perempuan yang ditalak tiga sebelum ada muhallil. Perempuan
tersebut boleh dinikah jika hilang sebab yang mengharamkannya. Dalam
penelitiannya, ia berfokus pada poligami dengan perempuan yang haram dinikahi
sementara oleh laki-laki yang telah memperistri saudara kandungnya. Penelitian
ini menjelaskan bahwa di dukuh Banjaran terdapat pernikahan dengan mahram
ghairu mu’abbad, beberapa kasus ditemukan menikah secara sah dihadapan
petugas KUA, dan sebagian lain menikah tanpa dicatatkan. Pernikahan tersebut
menimbulkan dampak yakni batalnya pernikahan secara hukum Islam ataupun
Undang-Undang kecuali hilang sebab keharamannya.
Beragam problematika seputar perkawinan banyak ditemui di sekitar kita.
Maka dari itu tidak sedikit pula penelitian yang bertemakan perkawinan
khususnya permasalahan yang terjadi dalam perkawinan, proses perkawinan, dan
apapun yang berhubungan dengan perkawinan. Seperti yang dilakukan oleh
mahasiswi STAIN Salatiga, Sariyanti (2007) dengan judul penelitiannya
“Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah”. Penelitian tersebut berangkat
dari problematika yang terjadi di masyarakat yakni maraknya pemuda pemudi
yang melakukan hubungan luar nikah hingga hamil dan yang lebih parah, perilaku
menyimpang tersebut dilakukan pula oleh anak-anak dibawah umur. Dalam
penelitiannya Sariyanti menganalisis dua kasus pengajuan dispensasi nikah di
Pengadilan Agama Salatiga tahun 2005. Kedua kasus tersebut serupa yakni para
pemohon atau calon mempelai yang mengajukan permohonan seluruhnya berusia
dibawah ketentuan minimal usia perkawinan yang disebut dalam Undang-Undang
Perkawinan pasal 7 (1). Usia minimal bagi pasangan calon mempelai adalah 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Dalam pertimbangan hakim
memberikan dispensasi nikah berlandaskan pada kaidah:
‫درء اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﱠم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ‬
“Menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan”
ُ‫اﻟْﻀَﺮَرُ ﯾُﺰَال‬
“Kemadharatan harus dihilangkan”
Hakim berpendapat jika tidak segera dinikahkan maka akan menambah dosa dan
terjadi perkawinan bawah tangan yang akan mengacaukan proses-proses hukum
yang terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak anak yang dilahirkan.
Hampir serupa dengan penelitian Sariyanti, Maimun (2007) yang juga
mahasiswi STAIN Salatiga melakukan penelitian di wilayah Sumatra Selatan
yang marak terjadi perkawinan di bawah umur. Dalam penelitiannya yang
berjudul “Pernikahan di Bawah Umur di Kalangan Orang Sumatra”, Maimun
memaparkan beberapa faktor yang mendorong terjadinya fenomena nikah bawah
umur di Lubuk Linggau Sumatra. Faktor pertama yang ia sebutkan dan
berpengaruh besar adalah kehendak sewenang-wenang orang tua terhadap
anaknya. Anak tidak mampu menolak perintah orang tua, mayoritas anak terlalu
lemah untuk menentang kehendak orang tuanya. Faktor lainnya adalah kemauan
anak itu sendiri karena melihat kawan-kawan seusianya yang sudah menikah.
Adat dan budaya juga berperan dalam hal ini, kebiasaan masyarakat memberikan
stempel untuk anak yang belum juga menikah dengan stempel “perawan tua” atau
“tidak laku” membuat alam bawah sadar anak bekerja bahwa ada keharusan untuk
segera menikah meski umur belum memenuhi batas minimal yang ditetapkan
undang-undang. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat membuat
masyarakat jauh dari pertimbangan matang dalam memutuskan setiap tindakan.
Faktor agama ternyata juga berperan dalam hal ini, masyarakat Lubuk Linggau
berpedoman pada Siti Aisyah yang juga menikah di usia dini dengan Nabi
Muhammad. Terjadinya perkawinan di bawah umur di Lubuk Linggau juga
disebabkan pada kekhawatiran orang tua terhadap anaknya bila terjerumus dalam
lembah maksiat. Oleh karena itu, perkawinan merupakan jalan yang terbaik yang
ditempuh meski anak belum mampu secara material dan immaterial. Dari
penelitian Maimun pula, ditemukan bahwa dampak negatif dari perkawinan
bawah umur tersebut adalah tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga,
seringnya cekcok dan cemburu yang berlebihan.
G. Metode Penelitian
Untuk mengetahui adanya segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok
permasalahan di perlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi
penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara
seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan penelitian adalah suatu
kegiataan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun
laporan (Narbuko, 1997:23).
Dengan demikian metodologi penelitian adalah cara yang dipakai untuk
mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna mencapai
satu tujuan. Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian, penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif, bertujuan untuk memahami keadaan atau fenomena, dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah. Dalam penelitian kualitatif, metode yang biasa digunakan adalah
wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Moleong, 2006:6).
Landasan berfikir dalam penelitian ini menggunakan landasan berfikir
normatif, yakni metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka atau data sekunder (Soekanto, Mamudji, 2001:13). Dalam hal ini landasan
berfikir menggunakan dalil-dalil yang terdapat dalam al quran. Penelitian ini
untuk mengidentifikasi konsep, asas, serta prinsip syariah yang digunakan untuk
mengatur permasalahan mengenai perkawinan (Sedarmayanti, Hidayat, 2002:23).
2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga,
dengan pertimbangan bahwa di lingkup Kecamatan Sidorejo ditemui dua kasus
pernikahan yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang maupun
Hukum Islam. Salah satu pelaku berada di wilayah kecamatan Sidorejo dan yang
lain berada di wilayah kecamatan Salatiga. Penelitian ini dilakukan terbuka
dengan memberitahukan kepada para objek penelitian dan
para informan
mengenai penelitian yang dilakukan.
3. Sumber Data
a. Data Primer
Merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan
mengadakan peninjauan langsung pada objek yang diteliti. Data ini didapat dari
informan, atau peristiwa-peristiwa yang diamati seperti wawancara, dokumentasi
dan observasi (Moelong, 2006:157).
1) Wawancara
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam
percakapan untuk memperoleh informasi (Nasution, 2001:25). Untuk memperoleh
data yang valid, dilakukan wawancara langsung terhadap beberapa subyek
diantaranya para pelaku, keluarga pelaku, tetangga sekitar tempat tinggal pelaku,
tokoh masyarakat setempat, para saksi nikah, Kiai/Ustadz yang mengetahui
terjadinya perkawinan mushaharah, pembantu PPN, dan tokoh masyarakat yang
menikahkan para pelaku.
2) Dokumentasi
Setelah didapat data dari hasil wawancara, sebagai penunjangnya
diperlukan pula dokumen-dokumen seperti KTP para pelaku, Kartu Keluarga,
salinan Akta Perkawinan bila ada. Dokumen dokumen ini diperlukan untuk
mengecek keabsahan hasil wawancara yang dilakukan dengan para pelaku
perkawinan.
3) Observasi.
Observasi adalah studi yang disengaja, sistematis tentang fenomena sosial
gejala-gejala psikis, dengan jalan pengamatan. Observasi adalah penelitian yang
dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap objek
yang diteliti (Narbuko, 1997:37).
Dalam penelitian ini, observasi dilakukan sebagai pelengkap dan peneliti
bertindak sebagai pengamat penuh yakni mengamati objek yang terjadi di situasi
sebenarnya dalam kesehariannya. Dari observasi ini, peneliti dapat mengetahui
tingkah laku, latar belakang sosial dan agama, intensitas interaksi sosial
beragama. Sehingga dari data observasi penulis dapat menganalisis faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya perkawinan mahram mushaharah.
b.Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan
untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari Al-Quran, Al-Hadist,
perundang-undangan, buku dan literatur yang ada kaitannya dengan materi yang
diteliti. Al Qur’an menjadi landasan utama teori dalam data sekunder ini,
disamping itu, data pustaka juga digali dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
buku-buku mengenai fiqh munakahat, hukum perkawinan Islam, dan artikelartikel dari website.
4. Metode Analisa Data
Setelah data di kumpulkan dengan lengkap, tahapan berikutnya adalah
tahap analisa data. Pada tahap ini data akan dimanfatkan sedemikian rupa
sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab
persoalaan yang diajukan dalam penelitian. Adapun metode analisa data yang
dipilih adalah model analisa interaktif. Didalam model analisa interaktif menurut
Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2006:113) terdapat tiga komponen pokok
berupa:
a. Reduksi data
Reduksi data adalah sajian analisa suatu bentuk analisis yang
mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting
dan mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.
b. Sajian Data
Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data. Peneliti
akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu
pada anailisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut,
c. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang ditarik dari semua hal yang
terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Pada dasarnya makna data harus di uji
validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih kokoh. Adapun
proses analisisnya
adalah sebagai berikut : Langkah pertama adalah
mengumpulkan data, setelah data terkumpul kemudian data direduksi artinya
diseleksi, disederhanakan, menimbang hal-hal yang tidak relevan, kemudian
diadakan penyajian data yaitu rakitan organisasi informasi atau data sehingga
memungkinkan untuk ditarik kesimpulan.
5. Tahap-Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama observasi awal
lapangan, kemudian peneliti menentukan topik penelitian dan mencari informasi
umum mengenai adanya perkawinan terlarang yakni perkawinan mahram
mushaharah. Tahap selanjutnya, peneliti terjun ke lapangan untuk mencari data
informan dan pelaku, juga melakukan observasi dan wawancara terhadap pelaku
dan para informan lain yakni keluarga pelaku, tokoh masyarakat/agama sekitar
dan para tetangga. Tahap akhir yakni penyusunan laporan penelitian dengan cara
menganalisis data/temuan kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif
dengan pendekatan normatif.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan
penelitian, maka secara garis besar dapat di gunakan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAGIAN PERTAMA : Bagian ini berisi latar belakang masalah, fokus penelitian,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka terhadap
penelitian terdahulu untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
yang pernah dilakukan, metode penelitian yang berisi tentang pendekatan dan
jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, analisis data, tahap-tahap
penelitian, dan terakhir yakni sistematika pembahasan.
BAGIAN KEDUA: Dalam bagian kedua ini, berisi tinjauan umum tentang
perkawinan, tujuan perkawinan, dasar hukum perkawinan, syarat sah perkawinan,
macam-macam akad nikah dan akibat hukumnya, dan perkawinan yang
diharamkan.
BAGIAN KETIGA: dalam bagian ini, memaparkan seluruh hasil penelitian yang
peneliti lakukan meliputi letak geografis, kondisi sosial keagamaan, gambaran
penduduk Kecamatan Sidorejo, budaya, kehidupan beragama, profil pasangan
pelaku perkawinan muhrim mushaharah dan data yang berkaitan dengan kasus
perkawinan mushaharah.
BAGIAN KEEMPAT: bagian ini berisi analisis praktek perkawinan muhrim
mushaharah, berupa sebab-sebab dan dampak perkawinan muhrim mushaharah,
pendapat-pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat terhadap praktek perkawinan
muhrim mushaharah dan solusi untuk mengatasi permasalahan masyarakat seperti
ini.
BAGIAN KELIMA: berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang
diberikan penulis kepada pihak-pihak yang tekait dengan penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM PERKAWINAN
A. Definisi Perkawinan
Dalam bahasa Arab kata “nikah” (‫ )ﻧﻜـــﺎح‬diartikan adh-dhamm
(berkumpul atau bergabung) dan al-ikhtlath (bercampur). Dalam bahasa Arab
misalnya dikatakan:
ُ ‫ﺗ َ َ َﺎ ﻛ َـﺤ َﺖ ْ اﻷﺷ ْ ـ َﺎرة‬
Artinya: Pohon-pohon itu kawin; dimaksudkan ketika bergabung satu dengan
yang lain. Atau jika dikatakan:
َ ‫ﻧَـﻜ َﺢ َ اﻟ ْﻤــﻄ َ ﺮ ُ اﻷر ْض‬
Artinya:Hujan itu bergabung dengan tanah; maksudnya ketika air hujan itu
bercampur dengan tanah (Azam, Hawwas, 2009:37).
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi yang dikutip oleh
Dr.H. Abd. Rahman Gazaly (2006:8) di antaranya adalah:
ِ ‫و َﺿ َ ﻌ َ ﻪ ُ اﻟﺸ ﺰﺎر ِوع َُ ﻟاج ُِـﯿاﻟُﻔ ِﴍْﺪ َ َﻣ ِ ْ ًﺎ ﻫ ُ ْ َ اﺳ ْ ﺘ ِﻤ ْ ﺘ َﺎع ِ اﻟﺮ ُﻞ ِ ِ ﻟ ْﻤ َﺮ ْ ا َة ِو َ ِﻞ اﺳ ْ ﺘ ِﻤ ْ ﺘ َﺎع‬
ِ ‫ﻤ َﺮ ْ ا َة ِ و َ ِﻞ اﺳ ْ ﺘ ِﻤ ْ ﺘ َﺎع ِ اﳌ َﺮ ْ ا َة ِ ِ اﻟﺮ ُﻞ‬
“Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.”
Ghazaly mengutip dari Abu Yahya Zakariya Al-Anshary dalam Fath al Wahhab
juz 2:
ِ ‫ﴍﻦ ُ َ ْا ِ ًﺎ َﻫ ُﻮ ََﺔﻋَﻘَو ْﺪ ٌَﻃ ْ ﺊ ٍ ﺑِﻠ ْﻔ ِ ﻆِ ا ْﲀ َ ح ٍ أ َو ْ ﳓ َ ْ ﻮ ِﻩ‬
‫ﲀ َ ﯾ َﺘح َُﻀ َ ا َﻤﻟﻨ‬
“Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan
hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan katakata yang semakna dengannya”.
Imam Syafi’i mengartikan nikah sebagai suatu akad yang dengannya
menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti
majazi, nikah itu artinya hubungan seksual. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah
menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengan nikah menjadi halal hubungan
kelamin antara pria dan wanita (Ibrahim, 1971:65). Sedangkan dalam bahasa
Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis atau melakukan hubungan kelamin
(DepDikbud, 1994:456).
Para ulama merinci makna lafal nikah menjadi empat macam. Pertama,
nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti kiasan. Kedua, sebaliknya
nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan akad berarti
kiasan. Ketiga, nikah lafal musytarak (mempunyai dua makna yang sama).
Keempat, nikah diartikan adh-damm (bergabung secara mutlak) dan al-ikhtilath
(pencampuran). Dari keterangan tersebut, jelas bahwa nikah diucapkan pada dua
makna yaitu akad pernikahan dan hubungan intim antara suami dan istri. Nikah
menurut syara’ maknanya tidak keluar dari dua makna tersebut (Azzam, Hawwas,
2009:38).
Adapun perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau
perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa
ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah (Basyir,
1999:14). Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun
1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Kompilasi
Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuan dinyatakan dalam pasal 2
sebagai berikut, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
B. Tujuan Perkawinan
Tujuan utama perkawinan ialah menaati perintah Allah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang
damai dan teratur (Ramulyo, 1996:26). Dalam buku Ny. Soemijati (1982),
disebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi
tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan
kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariat.
Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas
pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuantujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologi, dan agama. Di antaranya
yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
Manusia diciptakan oleh Allah memiliki naluri kecenderungan untuk
mempunyai keturunan yang sah, keabsahan anak keturunan yang diakui oleh
dirinya sendiri, masyarakat, agama dan Negara. Anak merupakan buah hati dan
belahan jiwa. Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga
sebagai pembantu-pembantu dalam hidup di dunia bahkan akan memberi
tambahan amal kebajikan di akhirat, manakala dapat mendidiknya menjadi anak
yang shaleh, sebagaimana sabda Nabi Saw::
ٍ ‫ ِﲅ ْ ٍ ﯾ ُ ْ َﻔ َﻊ ُ ﺑِﻪ ِ ا َو ْ و َ َ ٍﺻ َﺎﻟ ِﺢ‬: ٍْ ‫َﺎر ِﯾَﻼَﺔ ٍ َ أثَو‬
‫اﻣ َﺎت َ ﻹ ِ ْﺴ َ ﺎن ُ إ ِ ﻧْﻘ َﻄ َ ﻊ َ ﲻ َ َ ُ ُﺻ َا ﺪ َِﻻ ﻗ َﺔﻣ ٍ ِ ﻦ ْ ﺛ‬
.(‫َ ُ )رواﻩ ﻟﺒﺨﺮى وﻣﺴﲅ ﻋﻦ أ ﺲ‬
ْ ‫ﯾ َﺪ ْ ﻋ ُﻮ‬
“Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga
hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang
selalu mendoakannya (HR. Muslim dari Anas).
Begitu besarnya peranan anak terhadap amal orang tuanya, sehingga
diterangkan dalam hadits Nabi Saw bahwa seorang yang kehilangan putranya
yang masih kecil akan dimasukkan ke dalam surga dan akan terlepas dari api
neraka, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Anas:
ْ ُ ‫َ ُ ﺛ َﻼ َﻣ ﺛَـﺎَﺔ ٌﻣ ﻟِﻦ َْﻢ ْ ﻣﯾ َﺒُﺴْﻠ ْ ُ ﻐﲅُﻮ ِ ْ ااﳊَﻨ َﺚ َ ا ِﻻ أ َ د ْ َ َ ُ ﷲ ُ اﻟ ْﺠ َﻨﺔ َ ﺑِﻔ َﻀ ْ ﻞ ِ ر َﲪ ْ َﺘ ِﻪ ِ ا ِﳞﻢ‬
(‫)رواﻩ ﻟﺒﺨﺮى وﻣﺴﲅ ﻋﻦ أ ﺲ‬
ُ‫ت‬
“Tiada seorang muslim yang kematian anak yang belum baligh,
melainkan Allah SWT akan memasukkan ke dalam surge karena karunia
rahmat Allah SWT terhadap anak-anak itu” (Ghazaly, 2006:26).
2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung
jawab
Sudah menjadi kodrat iradah Allah Swt, bahwa manusia diciptakan
berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah Swt mempunyai keinginan untuk
berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah Swt:
šÆ
ÏB ÍotsÜ Zs)ßJ ø9$# ÎŽÏÜ »oYs)ø9$#ur tûüÏZt6ø9$#ur Ïä!$|¡ ÏiY9$# šÆ
ÏB ÏN ºuqyg¤± 9$# = ãm Ä̈ $Z̈=Ï9 z̀ Îiƒã—
Ío4qu‹ys ø9$# ßì »tFtB šÏ9ºsŒ 3Ï^ öys ø9$#ur ÉO »yè÷RF{ $#ur ÏptB§q|¡ ßJ ø9$# È@ ø‹y‚ ø9$#ur ÏpžÒ Ïÿø9$#ur É= yd ©%!$#
É> $t«yJ ø9$#ÚÆ
ó¡ ãm ¼çny‰ YÏã ª! $#ur ($u‹÷R‘‰ 9$#
“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga)” (Ali Imran, 3:14).
Oleh Al Quran dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang
satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut pada surat Al Baqarah yang
menyatakan:
… 3£̀ ßg©9 Ó̈ $t6Ï9 öN çFRr&ur öN ä3 ©9 Ó̈ $t6Ï9 £̀ èd 4öN ä3 ͬ!$|¡ ÎS4’n<Î)ß] sù§9$#ÏQ $uŠÅ_Á 9$#s's#ø‹s9 öN à6 s9 ¨@ Ïm é&
“dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka…”(Al Baqoroh, 2:187).
Dalam hal itu, Allah Swt mengetahui bahwa kalau saja wanita dan pria
tidak diberi kesempatan untuk menyalurkan nalurinya itu akan berbuat
pelanggaran, seperti dinyatakan ayat selanjutnya. Disamping perkawinan untuk
pengaturan naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang di
kalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran
cinta dan kasih sayang yang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan
keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan
yang tidak terikat oleh satu norma (Ghazaly, 2006:28).
3. Memelihara diri dari kerusakan
Sesuai dengan surat Ar Ruum 21 bahwa ketenangan hidup dan cinta serta
kasih sayang keluarga dapat diwujudkan melalui perkawinan. Orang-orang yang
tidak
melakukan
penyalurannya
dengan
perkawinan
akan
mengalami
ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan entah kerusakan dirinya sendiri
atau orang lain bahkan masyarakat. Karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan
nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik,
sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran:
…Ï
äþq¡ 9$$Î/ 8ou‘$B̈V{
“….sesungguhnya
nafsu
kejahatan….”(Yusuf, 12:53).
Dorongan nafsu
itu
selalu
menyuruh
yang utama ialah nafsu seksual,
}§ øÿ Z̈9$#b̈ Î)
kepada
karenanya perlulah
menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi
gejolak nafsu seksual seperti tersebut dalam hadits Nabi Saw:
... ِ ‫… َﻪ ُ أِوَ َ أ َﺣ ْ ﺼ َ ﻦ ُ ِﻠ ْ ﻔ َﺮ ْ ج‬
‫َﴫ ِﻧ‬
‫ِﻠ ْﺒ ﻓ َﺎ‬
“...sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnyaa pandangan
dan dapat menjaga kehormatan…” (Ghazaly, 2006:29).
‫ﻏ َﺾ‬
Nikah dapat menjaga diri manusia dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran
yang diharamkan dalam agama. Karena nikah memperbolehkan masing-masing
pasangan melakukan hajat biologisnya secara halal dan mubah (Azzam, Hawwas,
2009:39).
4. Menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab dan mencari harta yang halal
Ghazaly menyatakan bahwa hidup sehari hari menunjukkan bahwa orangorang yang belum berkeluarga tindakannya sering masih dipengaruhi oleh
emosinya sehingga kurang mantap dan kurang bertanggung jawab. Demikian pula
dalam menggunakan hartanya, orang-orang yang telah berkeluarga lebih efektif
dan hemat, karena mengingat kebutuhan keluarga di rumah. Jarang pemuda
pemudi yang belum berkeluarga memikirkan hari depannya, kebanyakan mereka
berfikir untuk hari ini, barulah setelah mereka kawin memikirkan bagaimana
caranya mendapatkan bekal untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Demikian
pula calon ibu setelah memasuki jenjang perkawinan mengetahui bagaimana cara
penggunaan uang agar dapat untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Rasa
tanggung jawab akan kebutuhan itu mendorong semangat untuk mencari rejeki
sebagai bekal hidup sekeluarga dan hidupnya tidak hanya untuk dirinya, tetapi
untuk diri dan keluarganya (Ghazaly, 2006:30).
5. Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang
sejahtera berdasarkan cinta dan kasih sayang
Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri melainkan
bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang
berbentuk melalui perkawinan, seperti tersebut dalam An Nahl 72:
Zoy‰ xÿym ur tûüÏZt/ Nà6 Å_ ºurø—r& ồ ÏiB Nä3 s9 Ÿ@ yèy_ ur %[` ºurø—r& ö/ä3 Å¡ àÿRr& ồ ÏiB Nä3 s9 Ÿ@ yèy_ ª! $#ur
… 4Ï
M
»t6Íh‹©Ü 9$#z̀ ÏiB Nä3 s%y—u‘ur
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucucucu…”(An Nahl, 16:72).
Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup.
Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan
masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota
keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat yang
menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman
masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan
pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah tangga.
Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam
menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga
yang dibina dengan perkawinan antara suami istri dalam membentuk ketenangan
dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya
(Ghazaly, 2006: 32).
Dari keterangan di atas jelas bahwa tujuan nikah dalam syariat Islam
sangat tinggi, yakni sebagai salah satu indikasi tingginya derajat manusia yang
sesuai dengan karakter alam dan sejalan dengan kehidupan sosial alam untuk
mencapai derajat sempurna. Karena hikmah yang besar inilah, Islam sangat
menganjurkan menikah dan Nabi Muhammad SAW sangat melarang umatnya
membujang.
C. Asas Hukum Perkawinan
Perkawinan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat dan juga harus
memperhatikan larangan-larangan perkawinan. Dalam membicarakan larangan
perkawinan menurut hukum Islam ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu:
1. Asas absolut abstrak: suatu asas dalam hukum perkawinan dimana jodoh atau
pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dahulu sudah ditentukan oleh Allah
atas permintaan manusia yang bersangkutan;
2. Asas selektivitas: suatu asas dalam suatu perkawinan dimana seseorang yang
hendak menikah harus menyeleksi terlebih dahulu dengan siapa ia boleh
menikah dan dengan siapa ia dilarang menikah;
3. Asas legalitas: suatu asas dalam perkawinan yang mana pencatatan
perkawinan itu wajib hukumnya (Ramulyo, 1996:34).
Mohammad Daud Ali, Guru Besar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, mengemukakan enam asas hukum perkawinan Islam lainnya antara
lain:
4. Asas kesukarelaan : asas
kesukarelaan tidak hanya ada pada kedua calon
mempelai, tetapi juga harus terdapat pada kesukarelaan kedua orang tua
masing-masing calon mempelai. Kesukarelaan wali pihak perempuan adalah
merupakan salah satu rukun perkawinan yang wajib dipenuhi, sebagaimana
ditentukan dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.
5. Asas persetujuan: dalam memilih pasangan perkawinan, perempuan muslimah
diberikan kebebasan untuk memilih melalui pernyataan menerima atau tidak
pinangan seorang laki-laki.
6. Asas
kebebasan
memilih:
setiap
orang
berhak
memilih
pasangan
perkawinannya secara bebas asalkan sesuai syariat Islam, yaitu tidak
melanggar larangan perkawinan menurut Islam karena perkawinan adalah
lembaga yang membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, selain sebagai
sendi pokok masyarakat dan bangsa (Djubaidah, 2010:101).
7. Asas kemitraan: dalam ajaran Islam, akad nikah dengan sighat ijab qabul itu
tidak berarti terjadinya penguasaan suami terhadap istri atau sebaliknya.
Pembagian tugas antara suami istri pun bukan dalam makna yang satu
menguasai yang lain, tetapi dalam rangka mencapai rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah agar terwujud keturunan yang salih dan
salihah.
8. Asas monogami terbuka: pada asasnya perkawinan menurut Islam adalah
monogami, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, suami diperbolehkan
melakukan poligami atau beristri lebih dari satu orang dan paling banyak
empat orang istri.
9. Asas untuk selama-lamanya: tujuan perkawinan adalah untuk selama-lamanya,
bukan untuk sementara waktu dan sekedar bersenang-senang atau rekreasi
semata (Djubaidah, 2010:106).
D. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan
hukum. Rukun menentukan sah atau tidaknya sesuatu, sehingga jika salah satu
rukun dalam perkawinan tidak dipenuhi, maka berakibat perbuatan hukum
tersebut tidak sah dan statusnya “batal demi hukum” (Djubaidah, 2010:90). Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan bahwa rukun adalah suatu unsur yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidak sahnya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
perbuatan tersebut (Djubaidah, 2010:91). Rukun dapat pula diartikan sesuatu yang
harus ada yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu pekerjaan (ibadah), dan
sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka
untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat.(Ghazaly, 2006:46).
Menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, rukun perkawinan terdiri dari
calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi
lelaki dan ijab kabul. Jika kelima unsur tersebut terpenuhi, maka perkawinan sah,
tetapi sebaliknya jika salah satu atau beberapa rukun dari kelima rukun
perkawinan tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak sah (Djubaidah, 2010:107).
Sedangkan syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang
menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. (Djubaidah,
2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu yang mesti ada yang
menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.
Rukun dan syarat dalam perkawinan keduanya wajib dipenuhi, apabila tidak
dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam
Kitab al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah: Nikah fasid yaitu nikah yang tidak
memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak
memenuhi rukunnya. Dan hukum nikah fasid atau batil adalah sama yakni tidak
sah. KHI menjelaskan rukun nikah dalam pasal 14 yaitu:
1. Adanya calon suami,
2. Adanya calon istri,
3. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita,
4. Adanya dua orang saksi,
5. Sighat akad nikah (Rofiq, 1998:72).
Syarat yang merupakan bagian dari masing masing rukun perkawinan antara lain:
1. Syarat-syarat calon suami:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberikan persetujuan, tidak terpaksa dan atas kemauannya
sendiri.
e. Tidak terdapat halanga perkawinan atau bukan merupakan mahram dari
calon istri
2. Syarat-syarat calon istri:
a. Beragama Islam
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuannya
e. Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Syarat-syarat wali:
a. Laki-laki
b. Islam
c. Baligh
d. Mempunyai hak perwalian
e. Waras akalnya
f. tidak terdapat halangan perwaliannya
4. Syarat-syarat saksi
a. Minimal dua orang laki-laki
b. Islam
c. Baligh
d. Hadir dalam ijab qabul
e. Dapat mengerti maksud akad
5. Syarat-syarat akad
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah, atau
tazwij
d. Antara ijab dan qabul bersambungan
e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
f. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram
haji/umrah
g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon
mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai pria atau wakilnya, dan
dua orang saksi (Rofiq, 1998:72).
Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan dalam Bab II
pasal 6:
a. perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,
b. untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua,
c. dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin
cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya,
d. dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya (Rofiq, 1998:73).
Sedangkan Abdul Aziz Muhammad Azzam (2009:100), seorang Guru
Besar Universitas Al Azhar Mesir dalam bukunya menyebutkan bahwa syarat sah
akad ada tiga yakni:
a. Persaksian
b. Wanita yang dinikah bukan mahram
c. Sighat akad
Pernyataan yang hampir senada dikemukakan oleh Basyir (1999) bahwa syarat
sahnya perkawinan adalah:
a. Mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi
suaminya
b. Dihadiri dua orang saksi laki-laki
c. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad.
E. Macam-Macam Akad Nikah
Hukum suatu pernikahan dan pengaruh yang ditimbulkannya mengikuti
sifat-sifat akad itu sendiri, seperti sah, murni, batal dan lain-lain. Pengaruh ini
akan berbeda karena perbedaan sifat, pengaruh akad yang sah berbeda dengan
akad yang bergantung, fasid dan batil. Beberapa pengaruh yang ditimbulkan dari
keempat macam akad pernikahan sebagai berikut:
1.
Akad Nikah Sah Murni dan Hukumnya
Menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Hawwas dalam
bukunya Fiqh Munakahat, pernikahan sah murni adalah yang memenuhi segala
persyaratan akad, segala syarat sah, dan segala syarat pelaksanaan yakni kedua
orang yang berakad, ahli dalam melaksanakan akad, sighat-nya menunjukkan
pemilikan kesenangan secara abadi, menyatu dalam suat majelis ijab-qabul, pihak
yang mengucapkan ijab dapat mendengar suara pihak yang mengucap qabul dan
sebaliknya, istri merupakan objek penerima pernikahan yang diakadi, dihadiri dua
orang saksi yang memenuhi segala persyaratan persaksian, dan kedua pihak yang
berakad berakal dan baligh. Ketika berkumpul syarat-syarat tersebut, maka akad
pernikahan menjadi sah murni dan menimbulkan pengaruh-pengaruh syara yakni:
a. Timbul beberapa pengaruh yang menjadi kewajiban suami terhadap istri
disebabkan tuntutan akad pernikahan diantaranya, mahar, kewajiban memberi
nafkah, tidak menyakiti istri dengan perbuatan atau perkataan kecuali
diperbolehkan syara’, dan kewajiban suami berlaku adil jika terjadi poligami.
b. Kewajiban istri terhadap suami sebab tuntutan akad diantarnya, patuh
terhadap suami kecuali ada larangan syara’, istri tunduk pada pengajaran
suami dalam hal yang diperbolehkan syara’,
c. Beberapa pengaruh kewajiban atas masing-masing suami-istri terhadap
lainnya sebab tuntutan akad nikah diantaranya, penetapan nasab anak, hak
mewarisi, keharaman saudara sambung, kehalalan bagi masing-masing suami
istri bersenang-senang dengan cara yang diizinkan syara’, wajib mempergauli
pasangannya dengan cara yang baik. (Azzam, Hawwas, 2009:129).
2. Akad Nikah yang Rusak dan Hukumnya
Ulama Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasid (rusak), batil
adalah sesuatu yang tidak disyariatkan pokokdan sifatnya seperti menjual bangkai
atau menikahi wanita yang haram. Sedangkan fasid adalah sesuatu yang
disyariatkan pokoknya, tidak sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari
beberapa syarat seperti akad nikah tanpa saksi. Sehingga, jika cacat terjadi pada
rukun akad maka disebut batil dan jika terjadi diluar rukun akad disebut fasid.
Hukum akad fasid ini tidak mewajibkan sesuatu dari pengaruh-pengaruh
pernikahan. Jika seseorang telah mencampuri wanita berdasarkan akad fasid ini
hukumnya maksiat. Bagi kedua suami istri yang telah melakukan akad fasid
hendaknya berpisah dengan kesadaran sendiri, karena melangsungkan akad fasid
tidak diperbolehkan menurut syara’. Jika tidak berpisah berdasarkan kesadaran
sendiri maka bagi yang mengetahuinya wajib memisahkan mereka atau
melaporkan ke penghulu agar dipisahkan.
Ada beberapa pengaruh akibat percampuran dalam akad fasid, yaitu:
a. Menolak hukuman zina karena adanya syubhat (kesamaran)
b. Jika mahar disebutkan dalam akad, kewajibannya adalah membayar minimal
dari yang disebutkan dan membayar mahar mitsil.
c. Dengan percampuran ini, haram baginya saudara sambung, haram atas lakilaki semua orang tua wanita tersebut dan anak-anaknya. Demikian pula haram
atas wanita semua orang tua laki-laki dan anak-anaknya.
d. Kewajiban iddah yang dihitung sejak hari perpisahan, baik perpisahan ini
dilakukan sendiri atau dipisahkan penghulu atau pengadilan. Waktu iddah
dalam perpisahan ini deperti iddah talak sampai pada kondisi ditinggal wafat
suami, yakni empat bulan sepuluh hari.
e. Penetapan nasab anak yang dikandung istri, karena untuk menghidupkan dan
menjaga ketersia-siaan mereka.
Beberapa hukum yang ditetapkan pada akad fasid, tidak menimbulkan
pengaruh pernikahan seperti, penetapan hak waris antara laki-laki dan perempuan,
kewajiban nafkah, tempat tinggal, dan kepatuhan suami, semua itu tidak ada
dalam akibat pernikahan dengan akad fasid (Azzam, Hawwas, 2009:133).
3.
Akad Nikah Batil dan Hukumnya
Akad batil adalah semua akad yang didalamnya terjadi kecacatan dalam
sighat (ijab-qabul), misalnya ungkapan kedua pihak yang berakad tidak
menunjukkan pemilikan manfaat secara abadi. Atau cacat yang terjadi pada syarat
dua orang yang berakad, misalnya salah satu atau kedua pihak masih kecil dan
tidak mumayyiz, atau mereka gila. Atau kehilangan satu dari beberapa syarat
terjadinya akad. Ditambah lagi wanita tidak menghalalkan bagi seorang suami,
misalnya ia saudara perempuan sesusuan atau ber-iddah dari talak orang lain, atau
saudara perempuan istri, atau sesamanya dan kedua orang yang berakad
mengetahui hal tersebut pada saat akad berlangsung. Maka pernikahan yang tidak
memenuhi syarat dan rukun secara syara’ maka hukumnya batil.
Hukum akad ini tidak menetapkan sesuatu dan tidak menimbulkan
pengaruh sesuatu seperti pengaruh yang ditimbulkan dari akad yang sah. Di sini
tidak ada kewajiban mahar, nafkah, taat, tidak pula menetapkan hubungan waris
dan saudara sambng, dan tidak terjadi talak, karena talak merupakan cabang dari
perwujudan pernikahan yang sah.
Adapun yang termasuk nikah batil ada tiga macam, yaitu:
a. Orang yang tidak mampu melakukan akad dengan sendirinya maka akadnya
batil, seperti orang gila, kurang akal, dan orang yang disamakan dengannya;
b. Seorang laki-laki yang mengadakan akad dengan perempuan yang tidak halal
baginya;
c. Jika nonmuslim berakad menikahi wanita muslimah maka nikahnya batil
karena hilangnya status.
Akad-akad seperti yang telah disebutkan tidak menimbulkan pengaruh
pernikahan, keduanya wajib dipisahkan. Jika telah bercampur, percampuran
tersebut tidak dapat mengangkat kebatilan, hukumnya sama dengan berzina.
Menurut pendapat Abu Hanifah, apabila terjadi akad batil yang bukan termasuk
akad yang syubhat maka harus ditegakkan had (hukuman). Pendapat yang hampir
sepadan datang dari Muhammad, Abu Yusuf, Asy Syafi’i, Malik, dan Ahmad bin
Hambal bahwa kedua pihak yang melakukan akad batil wajib di-had dengan had
zina jika mereka mengetahui keharamanya. Jika kemudian keduanya berpisah,
entah dipisahkan penghulu atau pisah menurut kesadarannya sendiri, maka
wanita tidak wajib iddah. Sedangkan status nasab anak, menurut pendapat Abu
Hanifah, nasab anak tidak diakui. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat
nasab anak tetap diakui demi menjaga hak anak dan kemaslahatannya. Di antara
ulama berpendapat bahwa perzinaan menetapkan keharaman saudara sambung.
Oleh karena itu, karena akad ini pula haram atas salah satu dari orangtua atau
anak-anak seorang pezina menikahi perempuan yang dizinai dan menjadi haram
(mahram) wanita yang dizinai terhadap orang tua dan anak-anaknya (Azzam,
Hawwas, 2009:135).
F. Perempuan-perempuan yang Diharamkan (Muharramat)
Di antara wanita ada yang haram dinikahi seorang laki-laki selamanya,
tidak halal sekarang dan tidak akan halal pada masa-masa akan datang, yang
disebut haram abadi. Dan di antara wanita ada yang haram untuk dinikahi seorang
laki-laki sementara, keharaman berlangsung selama ada sebab dan akan menjadi
halal jika sebab keharaman itu hilang, ini yang disebut keharaman sementara atau
temporal.
1.
Keharaman Mutlak
a. Pertalian Nasab
Allah Ta’ala berfirman:
ßN $oYt/ur öN ä3 çG»n=»yz ur öN ä3 çG»£J tã ur öN à6 è?ºuqyz r&ur öN ä3 è?$oYt/ur öN ä3 çG»ygB̈é& öN à6 ø‹n=tã ô
M tBÌhãm
… ÏM ÷z W{ $#ßN $oYt/ur Ë̂ F{ $#
“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,” (An Nisa, 4:23).
Demikianlah Islam menetapkan batas minimal untuk menikahi kerabat, hal
itu tidak lain agar tatanan keluarga tidak menjadi rusak, agar ikatannya tidak
terlepas, dan agar tatanan masyarakat tidak hancur, yang jika sampai hancur akan
memunculkan ketimpangan-ketimpangan di tengah-tengah masyarakat (Washfi,
2005:418). Makna ayat tersebut sudah jelas bahwa seorang pria dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian
nasab, yakni:
1) Ibu, nenek dan seterusnya ke atas, neneknya bapak, neneknya ibu dan
seterusnya ke atas;
2) anak perempuan, termasuk pula cucu perempuan dan seterusnya ke bawah;
3) wanita keturunan ayah dan ibu atau anak-anaknya orang tua,entah itu
saudara perempuan sekandung ataupun tiri, putri saudara laki-laki, putri
saudara perempuan, putri dari anaknya saudara laki-laki, putri dari anaknya
saudara perempuan dan seterusnya sampai ke bawah;
4) anak-anak kakeknya dan anak-anak neneknya dengan syarat terpisah satu
tingkat (Azzam, Hawwas, 2009:137).
b. Hubungan Persusuan
Perempuaan-perempuan yang haram dinikahi karena persusuan adalah: ibu
yang menyusui dan saudara perempuan sesusuan. Rasulullah saw bersabda:
ِ ‫َ ْﺮ ُ م ُ ﻣ ِﻦ َ اﻟـﺮ ﺿ َ ﺎ ع ِ ﻣ َﺎ ﳛ َ ْﺮ ُ م ُ ﻣ ِ ﻦ َ اﻟـ ﺴ َ ﺐ‬
“Haram sebab persusuan adalah apa yang haram sebab nasab”. (HR.
Ibnu Majah dan A Tirmidzi)
Sehingga wanita yang diharamkan sebab persusuan adalah:
1) Ibu yang menyusuinya da seterusnya menurut garis lurus ke atas;
2) Dengan wanita sepersusuan, anak-anak dari wanita sepersusuan dan
seterusnya ke bawah;
3) Anak-anak kedua orang tua sepersusuan;
4) Anak-anak kakek dan nenek sepersusuan;
5) Istri orang tua sepersusuan, yakni istri bapak sepersusuan, istri kakek
sepersusuan;
6) Istri anak sepersusuan, yakni istri anak laki-laki sepersusuan atau istri cucu
putra dari anak laki-laki.
7) Orang tua istri sepersusuan
8) Anak-anak istrinya sepersusuan, yakni putrinya, cucu putri dari anak putri
dan cucu putri dari anak laki-laki sepersusuan. (Azzam, Hawwas,
2009:155).
c. Hubungan Mushaharah
Disebut juga hubungan persambungan atau semenda, yakni yang
diharamkan akibat adanya hubungan pernikahan, ada empat:
1) Ibu mertua baik telah bercampur dengan istri atau belum,
Diceritakan dari Imam Ali ra. bahwa tidak haram menikahi ibu mertua kecuali
telah melakukan hubungan seksual dengan putrinya. Sebagaimana juga tidak
haram putrinya kecuali telah melakukan hubungan seksual dengan ibunya.
Namun, dalam kitab al Mahalli disebutkan, dari Ali ra. bahwa ia ditanya tentang
laki-laki yang menalak istrinya qabla dukhul, apakah laki-laki tersebut boleh
menikahi ibunya? Ali ra. menjawab: “Keduanya satu tingkat menduduki satu
kedudukan. Jika putri ditalak qabla dukhul maka ia boleh menikahi ibunya”.
Hujjah jumhur ulama adalah keumuman lafadz firman Allah dalam surat
An Nisa 23:
àö…Nä3 ͬ!$|¡ ÎS M »ygB̈é&ur … yang diakadi wanitanya kemudian masuklah
ibunya dalam keumuman ayat. Ibnu Abbas berkata: “Samarkanlah apa yang telah
disamarkan Al Quran”, maksudnya umumkanlah hukum di segala keadaan,
jangan memperinci antara yang telah dicampuri atau tidak karena yang dimaksud
nikah disini adalah akadnya. Sehingga akad inilah yang menyebabkan keharaman,
baik telah bercampur atau belum (Azzam, Hawwas, 2009:142).
2) Anak-anak perempuan tiri,
Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan telah bercampur, dan
wanita ini mempunyai anak perempuan dari orang lain maka tidak halal bagi lakilaki tersebut menikahi anak dari perempuan yang telah ia nikahi ba’da dukhul.
Baik perempuan tersebut masih tetap menjadi istri atau telah ditalak atau telah
meninggal dunia. Sebagaimana lanjutan firman Allah swt dalam surah An Nisa:
(#qçRqä3 s? öN ©9 b Î*sù £̀ ÎgÎ/ O çFù=yz yŠ ÓÉL»©9$# ãN ä3 ͬ!$|¡ ÎpS ` ÏiB Nà2 Í‘qàf ãm ’Îû ÓÉL»©9$# ãN à6 ç6Í́¯»t/u‘ur
… öN à6 ø‹n=tæ y $oYã_ Ÿx sù Æ
ÎgÎ/ O çFù=yz yŠ
“…anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya…” (An
Nisa, 4:23)
Ayat di atas menunjukkan keharaman anak-anak istri dengan syarat telah
bercampur dengan istri. Dengan demikian, tidak haram bagi laki-laki yang
menikahi putri istrinya atau putri anak-anaknya jika ia mencerai istri sebelum
bercampur. Jumhur fuqaha mengharamkan putri tiri atas suami ibunya apabila ia
telah mencampurinya walaupun putri tiri tidak berada dalam pangkuannya
(pemeliharaaan ayah tiri), keharamannya adalah sama, baik di pangkuannya atau
tidak, karena pangkuan tidak menjadi syarat keharaman. Penyandaran putri tiri ke
pangkuan dilihat dari keumumannya, karena umumnya putri tiri berada dalam
pemeliharaan suami ibunya tidak ada pemahaman lain, tidak hilang keharaman
sebab hilangnya syarat ini. Perbandingannya seperti firman Allah:
(… (Zpxÿyè»ŸÒ •B $Zÿ»yèôÊ r&(##qt/Ìh9$#(#qè=à2 ù's? Ÿw (#qãYtB#uä šú
ïÏ%©!$#$yg •ƒr'¯»tƒ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda…” (Ali Imron, 3:130).
Keharaman riba tidak hanya pada riba yang berlipat ganda sebagaimana
pemahaman sebagian manusia. Akan tetapi, umum pada riba yang berlipat ganda
atau sedikit. Catatan berlipat ganda dalam Al Quran karena kondisi umumnya
manusia dalam bisnis riba yang mendorong kelipatan uang menjadi berlipat-lipat.
Sebagaimana makna ayat tentang riba tersebut, makna sebenarnya dari
kata “anak tiri yang dalam pangkuanmu”, adalah sifat “dalam pangkuanmu”
tersebut tidak merupakan syarat, tetapi keluar dari tradisi dan menjelaskan
buruknya menikahi anak tiri karena pada umumnya di pangkuan mereka sama
seperti anak kandung sendiri.
Sebagian fuqaha seperti Ali Zhahir berpendapat bahwa putri tiri tidak
haram atas suami ibunya kecuali memenuhi dua syarat: salah satunya telah
berhubungan intim dengan ibunya. Kedua, putri tiri dalam pangkuan suami
istrinya. Jikalau putri tiri ini tidak tinggal dalam satu tempat tinggal bersamanya,
maka ia tidak haram. Demikian juga tidak haram jika ia tinggal bersama, tetapi
suami ibunya tidak memiliki perhatian dan tidak pula berada dalam
tanggungannya. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari malik bin
Aus Al Hudtsan An Nashari berkata: “Aku punya seorang istri yang telah
melahirkan kemudian meninggal dunia, aku bertemu Ali bin Abi Thalib, ia
berkata padaku: “Apa yang terjadi padamu?” Aku menjawab: “istriku teleh
meninggal dunia” Beliau bertanya lagi: “Apakah ia punya anak perempuan?
Jawabku:”ya” beliau bertanya: “Apakah ia dulunya di pangkuanmu?aku katakan
tidak, ia tinggal di Thaif.” Beliau berkata: “maka nikahilah ia” Aku bertanya:
“dimana
makna
firman
Allah:
dan
anak-anak
istrimu
yang
dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri (An Nisa, 4:23)”. Beliau
menjawab: ‘wanita itu tidak dalam pemeliharaanmu, sedangkan maksud ayat
tersebut adalah jika ia dalam pemeliharaanmu.”
Jumhur fuqaha mengambil dalil mencampuri, mengharamkan putrinya
secara mutlak baik dalam pangkuan suami ibunya atau tidak. Sebagaimana hadits
yang diriwayatkan dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi
Muhammad saw bersabda:
‫ﻣ ْﺮ َ أة ً ﻓ َـﺪ َ َ ﻞ َ أ َﲠ ِﯾﻤَﺎَﺎﻓر ََﻸ َ ُﻞ ٍﳛ َ ِﻞ َ ُ ِﲀ َ ح ُ ﺑ ْ َـﳤ ِ َﺎ و َ إ ِن ْ ﻟ َﻢ ْ َﻜ ُﻦ ْ د َ َ ﻞ َ ﲠ ِ َﺎ ﻓ َﻠ ْﯿ َﻨ ْﻜ ِﺢ‬
‫ﻞ ٍ َﻜ َﺢ َ اﻣ ْﺮ َ أة ً ﻓ َﺪ َاﺑ ْ َﳤﻞَﺎَ وﲠ ِ َﺎ أ َو ْ ﻟ َﻢ ْ ﯾ َﺪ ْ ُﻞ ْ ﲠ ِ َﺎ ﻓ َﻼ َ ﳛ َ ِﻞ َ ُ ِﲀ َ ح ُ ا ُﻣ ﻬَﺎ‬
“Barangsiapa laki-laki yang menikahi perempuan kemudian
mencampurinya, maka tidak halal baginya menikahi putrinya dan jikalau
ia belum mencampurinya, nikahilah putrinya. Barangsiapa laki-laki yang
menikahi seorang perempuan kemudian mencampurinya atau belum
mencampurinya, maka tidak halal baginya menikahi ibunya”. (HR. At
Tirmidzi)
Menurut ulama Malikiyah, mencampuri istri atau menyentuhnya dengan
syahwat meskipun dengan penghalang atau memandangnya dengan syahwat
meskipun di belakang cermin atau di dalam air, maka haram putrinya bagi suami
tersebut. Seperti itu pula, jika seorag istri memandang suaminya dengan syahwat
atau menyentuhnya meskipun dengan penghalang, maka haram putrinya atas
suami ibunya. Alasan semua itu dikarenakan kehalalan untuk “bersenang-senang”
dalam hubungan pernikahan adalah dengan akad. Akan tetapi jika seorang
memandang wanita lain yang bukan istrinya, maka tidak haram atas putrinya,
walaupun memandangnya dengan syahwat (Azzam, Hawwas, 2009:145).
3) Istri-istri dari bapak, istri-istri dari kakek, dan seterusnya ke atas
َ ‫َﻜ َﺢ َ آ َ ؤ ُﰼ ُ ْ ﻣ ِو َﻦ َﻻ ﺗاﻟَﻨ ْﻜﺴ ِ َ ﺎء ِ إ ِﻻ ﻣ َﺎ ﻗ َﺪ ْ ﺳ َ ﻠ َﻒ َ إ ِﻧﻪ ُ ﰷ َ ن َ ﻓ َﺎﺣ ِﺸ َ ﺔ ً و َ ﻣ َ ﻘ ْ ًﺎ و َﺳ َ ﺎء‬
‫ﺳَ ِﻼ‬
Artinya: “dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).(An Nisa, 4:22)
Ayat di atas menunjukkan dengan jelas tentang keharaman istri bapak.
Sifat durhaka dan keji dinyatakan pada orang yang terbukti menikahi istri
bapaknya ke atas. Istri kakek sama dengan istri bapak karena kakek adalah bapak
secara maknawi. Penetapan keharaman istri kakek ini berdasarkan ijma’ ulama.
Adapun hikmah dari keharaman ini bahwa menikahi istri orangtua, baik bapak
atau kakek menimbulkan pemutusan rahim, karena jika orangtua mencerainya
kemudian menyesali ingin rujuk, jika telah dinikahi oleh anak atau cucu berarti
memutus jalan yang tidak dikehendaki. Alangkah buruknya hal tersebut dan fitrah
yang normal menjauhi pernikahan seperti itu yang Allah sebut sebagai kemurkaan
dan perbuatan keji (Azzam, Hawwas, 2009:146).
4) Istri-istri anak, istri-istri cucu
Istri anak, istri cucu dari anak laki-laki dan istri cucu dari anak perempuan ke
bawah, haram bagi bapak dan kakek ke atas selama anak tersebut masih
keturunannya, bukan anak angkat. Keharaman istri anak terhadap bapak tidak
disyaratkan anak harus sudah mencampuri istrinya, tetapi cukup dengan akad
karena kemutlakan firman Allah:
š...ãN à6 ͬ!$oYö/r&@ Í́¯»n=ym ur...
Artinya: “...dan (diharamkan menikahi) istri-istri anak kalian...” (An Nisa, 4:23).
@ Í́¯»n=ym
artinya istri yang halal baik telah bercampur atau belum. Hikmah
keharaman istri anak adalah memelihara hubungan antara individu keluarga dan
mencegah segala sesuatu yang mendatangkan pemutusan rahim antara mereka
(Azzam, Hawwas, 2009:148).
2.
Keharaman Sementara
a. Wanita yang Bersuami / belum Selesai Masa Iddah
*zÏôN à6 ãY»yJ ÷ƒ&rM s3 n=tB$tBw Î)ä!$|¡ ÏiY9$#žà̀ ÏBM »oY|Á ós ßJ ø9$#urö(....
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
hamba sahaya (tawanan perang) yang kamu miliki....” (An Nisa, 4:24).
Wanita yang sedang ber-iddah atau belum selesai masa iddahnya baik
karena talak raj’i (talak satu dan dua) atau ba’in (talak tiga) baik ba’in sughra
ataupun kubra. Alasanya karena masih ada hubungan hak suami bagi wanita yang
dinikahi atau ber-iddah karena talak raj’i. Dan karena masih ada sebagian
pengaruh nikah bagi wanita yang di talak ba’in pada istri yang ditinggal
meninggal oleh suaminya. Dan untuk membebaskan rahim bagi istri yang telah
dicampuri. (Azzam, Hawwas, 2009:164). Dalil keharaman mereka adalah:
ª! $# t, n=y{ $tB z̀ ôJ çFõ3 tƒ b r&£̀ çlm; ‘@ Ïts† Ÿw ur 4&äÿrãè% spsW»n=rO £̀ ÎgÅ¡ àÿ Rr'Î/ šÆ
óÁ ­/uŽtItƒ àM »s)¯=sÜ ßJ ø9$#ur
£̀ ÎgÏB%tn ö‘r&þ’Îû
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya...” (Al Baqarah, 2:228).
¼ã&s#y_ r&Ü= »tFÅ3 ø9$#x÷ è=ö6tƒ 4Ó ®Lym Çy %x6 ÏiZ9$#noy‰ ø)ã (#qãBÌ“÷ès? Ÿw ur
“...dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya...” (Al Baqarah, 2:235).
b. Wanita yang Tertalak Tiga (bagi Suaminya)
Bagi seorang suami, menceraikan istrinya dengan talak tiga, dia tidak
boleh merujuknya kembali, kecuali jika mantan istrinya sudah menikah dengan
laki-laki lain, kemudian dia menjanda kembali dan masa iddahnya sudah selesai.
Pernikahan yang dilakukan istrinya dengan laki-laki lain juga dilandasi dengan
kerelaan dan atas dasar suka sama suka, bukan pernikahan yang hanya sebatas
untuk memenuhi persyaratan belaka.
Allah swt. berfirman,
‘@ ÏtrB Ÿx sù $yg s)¯=sÛ b Î*sù … 39̀ »|¡ ôm Î*Î/ 7x ƒÎŽô£ s? ÷rr&>$ rá÷èoÿÏ3 8 $|¡ øBÎ*sù (Èb $s?§sD ß, »n=©Ü 9$#
… ¼ç
nuŽöxî
%¹̀ ÷ry— yx Å3 Ys? 4Ó ®Lym ߉ ÷èt/ .̀ ÏB ¼ã&s!
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik..... kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan
itu tidak lagi halal baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain....”
(Al Baqarah, 2:229-230).
Perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya, dia tidak boleh
menikah lagi dengannya kecuali jika syarat-syarat berikut telah terpenuhi, yaitu:
1) Pernikahan yang dilakukan oleh perempuan yang ditalak tiga dengan
suaminya yang baru (yang kedua) haruslah pernikahan yang sah secara
agama;
2) Pernikahan di antara keduanya dilandasi rasa saling mencintai;
3) Keduanya sudah pernah melakukan persetubuhan.
Talak yang dilakukan suami kepada istri sampai kedua kalinya merupakan ujian
bagi sang istri karena pada perceraian yang pertama, suaminya mungkin tidak
bermaksud atau tidak menyadari ketika dia mengucapkan kalimat talak
kepadanya. Tidak lama setelah dia mengucapkannya, dia menyesali ucapannya
tersebut lantas merujuknya. Berbeda dengan perceraiannya yang kedua, suaminya
tidak menceraikannya, kecuali setelah ada penyesalan atas perceraian yang
pertama. Jika kemudian suaminya merujuk istrinya kembali, hal itu merupakan
bukti penguat bahwa sang suami benar-benar tidak ingin melepaskan
hubungannya dengan sang istri. Jika ia kembali menceraikan istrinya untuk ketiga
kalinya, setelah melihat penderitaan yang dialami istrinya, sungguh dia termasuk
sosok orang yang akalnya tidak sempurna, sehingga ia tidak diberi hak lagi untuk
berkumpul dengan istrinya yang sudah dicerai tiga, karena sang istri hanya akan
dijadikan sebagai permainan belaka. Sehingga hikmah larangan menikahi istri
yang sudah ditalak tiga adalah agar sang istri terlepas dari kuasa suaminya.
(Sabiq, 2011:262).
c. Menikahi Dua Wanita yang Masih Muhrim
Seorang laki-laki diharamkan mengumpulkan dua perempuan bersaudara
dalam sebuah ikatan perkawinan. Seorang yang menikahi seorang wanita haram
menikahi saudara perempuannya, baik saudara perempuan kandung atau tunggal
bapak atau tunggal ibu. Keharaman mengumpulkan dua saudara perempuan
tersebut dijelaskan dalam firman Allah:
… 3y# n=y™ ô‰ s% $tB žw Î)Èû ÷ütG÷z W{ $#šú
÷üt/ (#qãèyJ ôf s? ôb r&ur…
“...dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi di masa lampau...” (An Nisa,
4:23).
Dalam buku Marasil Abu Daud, dari Husain bin Thalhah, dia berkata,
“Rasulullah saw. melarang memadu seorang perempuan dengan saudarasaudaranya, demi menghindari putusnya silaturahmi di antara mereka.”
Hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas dan Husain bin Thalhah di atas
dapat dipahami bahwa dibalik larangan menikahi perempuan yang masih ada
hubungan keluarga (muhrim), adalah untuk menghindari terputusnya tali
silaturahmi, di mana dengan memadu dua perempuan yang bersaudara dapat
menimbulkan kedengkian dan permusuhan sebagai akibat dari rasa cemburu
(Sabiq, 2011:317).
BAB III
PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAH DI KECAMATAN SIDOREJO
A. Gambaran Umum Kecamatan Sidorejo
Kecamatan Sidorejo berada pada posisi paling utara kota Salatiga,
sebagian wilayah Kecamatan Sidorejo dilalui oleh Jalan Negara yang
menghubungkan antara Semarang dan Solo. Kecamatan Sidorejo terletak di
ketinggian 750-850 mdpl, dan terletak di lereng timur Gunung Merbabu yang
membuat daerah ini menjadi lebih sejuk. Kecamatan Sidorejo memiliki luas
16.247 km2 yang terbagi menjadi 6 kelurahan yakni :
1. Kelurahan Blotongan
2. Kelurahan Bugel
3. Kelurahan Kauman Kidul
4. Kelurahan Pulutan
5. Kelurahan Salatiga
6. Kelurahan Sidorejo Lor
Secara geografis, sebelah timur Kecamatan Sidorejo berbatasan dengan
Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Tingkir dan Kecamatan Sidomukti, sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Tuntang dan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pabelan.
Berdasarkan data Monografi Dinamis Kecamatan bulan April, jumlah kepala
keluarga di Kecamatan Sidorejo ada 14.147KK dengan total jumlah penduduk
51.597 individu. Angka tersebut terdiri dari 25.313 laki-laki dan 26.284
perempuan.
Di
Kecamatan
Sidorejo
terdapat
beberapa
lembaga
pendidikan,
diantaranya adalah Universitas Kristen Satya Wacana dan Institut Roncali, selain
itu tercatat kurang lebih 9 pondok pesantren yang berada di wilayah Kecamatan
Sidorejo.
Meskipun begitu, jumlah penduduk tamatan perguruan tinggi di
Kecamatan Sidorejo tidaklah banyak. Namun penduduk di kecamatan Sidorejo
terlihat sudah sadar akan pentingnya pendidikan. Pernyataan ini disimpulkan dari
rincian data tabel pendidikan di kecamatan Sidorejo bahwa angka tidak sekolah
sangat kecil dibandingkan dengan angka tamatan sekolah lainnya.
Tabel 3.1 Data Pendidikan Terakhir Kecamatan Sidorejo Bulan April-Juni
No
Pendidikan Terakhir
Jumlah
1
Tamat Akademi Perguruan Tinggi
5.947
2
Tamatan SLTA
12.661
3
Tamatan SLTP
7.964
4
Tamatan SD
9.218
5
Tidak tamat SD
3.991
6
Belum Tamat SD
4.906
7
Tidak Sekolah
1.748
Total
46.435
Laporan Triwulan Monografi Kependudukan Kecamatan Sidorejo, 2013:2
Dari data tabel 3.1, terlihat bahwa tamatan SD, SLTP dan SLTA
jumlahnya lebih besar dibandingkan tamatan akademi perguruan tinggi, dari data
tabel tersebut pula, dapat diketahui bahwa lulusan perguruan tinggi di kecamatan
Sidorejo jumlahnya hanya 12%. Dari angka ini terlihat bahwa kemampuan dan
minat masyarakat di Kecamatan Sidorejo untuk meneruskan ke jenjang perguruan
tinggi sangat sedikit atau kecil.
Berdasarkan data laporan triwulan kecamatan Sidorejo pula, terlihat
bahwa kecamatan Sidorejo merupakan wilayah favorit yang menjadi tujuan
pendatang, tercatat ada 98 orang pendatang dalam kurun waktu 3 bulan dengan
rincian dalam tabel 3.2.
Tabel 3.2 Data Mutasi Penduduk Kecamatan Sidorejo Bulan April-Juni
No
Mutasi
Pindah
Datang
1
Antar Desa/Kel
17
30
2
Antar Kecamatan
20
8
3
Antar Kabupaten
27
45
4
Antar Provinsi
11
15
5
Antar Negara
0
0
Jumlah
75
98
Laporan Triwulan Monografi Kependudukan Kecamatan Sidorejo, 2013:2
Dari segi agama, tercatat 78,8% penduduk Kecamatan Sidorejo beragama
Islam, sisanya Kristen, Katolik, Budha dan Hindu dengan rincian dalam tabel 3.3.
Tabel 3.3 Data Pemeluk Agama Kecamatan Sidorejo Bulan April-Juni
No
Agama
Jumlah
Prosentase
1
Islam
40.680
78.8%
2
Kristen Protestan
3.129
6.2%
3
Kristen Katolik
6.999
13.6%
4
Budha
552
1.1%
5
Hindu
237
0.5%
51.597
100%
Jumlah
Laporan Triwulan Monografi Kependudukan Kecamatan Sidorejo, 2013:2
B. Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo
Subyek adalah dua pasang pelaku perkawinan mahram mushaharah di
Kecamatan Sidorejo. Salah satu berada di wilayah Kelurahan Salatiga, dan satu
yang lain berada di wilayah Kelurahan Sidorejo Lor. Nama dari seluruh subyek
entah itu pelaku maupun informan dalam penelititan ini disamarkan untuk
melindungi hak masing-masing subyek dan informan. Keterangan masing-masing
subyek dapat dilihat dari tabel 3.4 berikut.
Tabel 3.4 Daftar Identitas Pelaku Nikah Mahram Mushaharah
Istri
Tasiyah
(alm)
Yani (40)
Pasangan
Pasangan
Status
Tahun
Jumlah
Laki-Laki
Perempuan
Perkawinan
nikah
anak
Darno (72)
Darni (52)
Tercatatkan
1979
5
Karyo (42)
Ika (20)
Belum tercatatkan
2011
1
Wawancara, 8 Juni 2013
1. Pasangan Darno dan Darni dari Kelurahan Salatiga
Pasangan ini mengaku menikah sejak tahun 1979, dan kini telah dikaruniai
lima orang anak yang sudah dewasa, tiga diantaranya telah menikah dan memiliki
anak. Mereka masing-masing bernama Surani, Paryanto, Yulianto, Slamet
Widodo, dan Sri Wahyuni. Kehidupan sehari-hari Darni adalah sebagai penjual
kecambah di Pasar Blauran Salatiga. Kurang lebih Darni sudah lima tahun
menjalani profesi ini. Setiap pagi pukul 06:00 wib ia sudah tiba di pasar Blauran
dengan dagangan kecambahnya yang hanya 3-5 kilogram. Suaminya, Darno yang
sudah renta tidak mampu bekerja menghidupi keluarga lagi. Darni mengaku,
pendapatannya sehari-hari hanya cukup untuk menghidupi ia, suami dan kedua
anaknya yang masih tinggal serumah dengannya.
Darni mengaku beragama Islam sejak kecil. Menurut Marni tetangga dekat
Darni, Darni bukan merupakan orang yang sepenuhnya taat kepada agamanya,
pengajian tidak pernah mau ikut, shalat juga jarang-jarang. Sedang untuk kegiatan
sosial kemasyarakatan, Darni juga jarang terlihat berbaur dengan masyarakat,
entah alasan mengurus suaminya yang sudah renta ataupun urusan berdagang.
Menurut Marni pula, keluarga Darni sangat tertutup, kalau tidak ditanya tidak
pernah mau bicara. Marni sebagai warga yang sudah menetap lama di Kalitaman,
mengetahui betul sejarah tetangganya yang bernama Darni tersebut. Marni
mengetahui bahwa dahulu Darni hamil di luar nikah dan para tetangganya tidak
ada yang tahu siapa yang menghamili Darni. Tiba-tiba saja warga mendengar
kalau Darni akan dinikahi oleh ayahnya. Saat itu warga kaget dan hampir akan
mengusir keluarga mereka karena setahu warga, Darno adalah ayah kandung
Darni. Setelah dijelaskan oleh Tasiyah (ibu kandung Darni) bahwa itu ayah tiri
Darni, dan Tasiyah memohon belas kasihan warga untuk tidak diusir. Karena
tidak ada yang bersedia menikahi Darni dengan kondisi fisik mata yang tidak
sempurna dan sudah terlanjur hamil, kecuali ayah tirinya itu.
Hal senada juga terucap dari Yayuk, tetangga Darni, bahwa menurut
sepengetahuan Yayuk, keluarga Ibu Tasiyah merupakan pendatang dari daerah
Boyolali. Saat menetap di Kalitaman, Tasiyah sudah memiliki satu orang anak
perempuan yang bernama Darni. Menurut Yayuk, Darni dan keluarganya jarang
bersosialisasi di masyarakat, apalagi dalam hal yang bersifat keagamaan.
Darni menikah saat usianya 18 tahun, ia tidak mengetahui betul siapa yang
menikahkan saat itu. Yang ia tahu, petugas yang menikahkan didatangkan dari
KUA dan Darni juga mendapat salinan akta nikah. Ia bersedia menikah dengan
ayahnya karena ia terpaklsa sudah hamil karena perilaku ayah tirinya tersebut dan
tidak ada yang bersedia menikahi Darni kecuali ayah tirinya itu. Setelah menikah,
Darni tetap tinggal di Kalitaman bersama Tasiyah, ibu kandung Darni sekaligus
Istri dari Darno, suami Darni.
2. Pasangan Karyo dan Ika dari Kelurahan Sidorejo Lor
Karyo berasal dari keluarga yang kurang berada, ia mengaku bersekolah
sampai SMP. Hingga pertengahan tahun 2012, ia tinggal di sebuah rumah di Desa
Bancaan Barat Kelurahan Sidorejo Lor bersama Orang tua perempuannya, satu
orang anak laki-laki yang kondisinya lumpuh sejak lahir bernama Hari dari istri
pertamanya yang telah meninggal tahun 1992. Menurut penuturan Bapak Udin,
ketua RT di tempat tinggal Karyo, istri pertama Karyo yang bernama Siti
meninggal karena di racuni oleh suaminya sendiri yakni Karyo. Sehingga karena
hal ini pula Karyo sempat menetap di jeruji besi selama 5 tahun. Tidak hanya itu,
menurut penuturan warga lain yakni Bapak Pardi yang merupakan kepala
keamanan di wilayah tempat tinggal Karyo, Karyo diketahui berulang kali masuk
jeruji besi, karena kasus pencurian dan minuman keras. Hal ini dibenarkan pula
oleh Bp. Udin, sebagai ketua RT tempat tinggal Karyo:
“Inggih mbak, Karyo niku riyin kerep damel resah masyarakat. Gawene
mabok wonten prapatan mriko saban ndalu, nate nyolong. Warga mriki
wedi amargo sifate Karyo sing temperamental. Menawi sanjang boten
keleresan sekedhik mawon, piyambake nesu. Malah nate wonten warga
ingkang dioyak-oyak diancem badhe dipateni. Niku masalahe geh sepele
amargi omong sing damel Karyo loroati. Untung saged kulo lerem
mbak. Nek mboten lak geh sampun rame ndeso mriki”.
Menurut Bp. Udin, Karyo sering membuat resah masyarakat desa Bancaan karena
tingkah lakunya yang kriminal dan sifatnya yang tempramental. Tidak lama
setelah dia dikeluarkan dari rutan karena membunuh istrinya, ia menikah dengan
janda bernama Yani yang memiliki anak bernama Ika dari pernikahan
sebelumnya. Kemudian dari pernikahan Karyo dengan janda tersebut, Karyo
sama sekali belum dikaruniai anak. Beberapa tahun berlalu, ternyata tumbuh
perasaan cinta Karyo terhadap anak tirinya yakni Ika. Hal ini sempat dicurigai
oleh Pardi:
“Aku ki wes curiga, wong ning ngendi-ngendi kok mesti cah loro,
rangkulan.ora koyo bapak karo anak. Sempat tak takoni ngene mbak,
“Mo, anakmu ki opo ra pengen kerjo to? Aku duwe lowongan gone
kancaku” piyambake jawab ngeten: “ora Om, makasih, biyen wes tau
kerjo tapi tak penging kok. Wes ben ning omah wae”. Nek wong tuo
normal ki kan mesti pengen anake sukses, iso kerjo to mbak?”.
Kecurigaan Pardi muncul karena Karyo melarang anaknya bekerja dan
kemanapun Karyo pergi, selalu berdua dengan anaknya seperti orang sedang
memadu kasih. Kecurigaan ini ternyata benar, karena tidak lama kemudian
terbukti bahwa Ika telah berbadan dua.
Mengetahui warganya ada yang tidak beres, Bp. Udin selaku ketua RT
memanggil warganya Karyo, pemanggilan dilakukan di kediaman Bp. Udin dan
dihadiri pula oleh Ketua RW Bp. Sutikno. Dan pada akhirnya terjadilah
pernikahan antara Karyo dengan anak tirinya bernama Ika yang dinikahkan oleh
Harto dan diketahui oleh BP. Udin, BP. Sutikno, dan 2 warga lain.
Saat ini Karyo sudah tidak menetap di wilayah RT pimpinan Bp Udin lagi.
Melainkan di RT 5 RW 6 Kelurahan Sidorejo Lor bersama Istrinya Ika dan anak
mereka yang kini berusia 11 bulan bernama Imawati. Menurut penuturan Ika,
sejak ia menikah dengan ayah tirinya, Karyo sudah tidak lagi berhubungan dengan
ibunya (Yani), kini janda tersebut kembali ke rumah orang tuanya di Soko,
Blotongan. Ika mengaku pada awalnya ia dipaksa untuk melayani nafsu bejat ayah
tirinya itu, keadaan saat itu hanya ada mereka berdua di rumah, dan Ika diancam
akan dibunuh jIka ia berteriak, melawan atau melaporkan hal ini kepada siapapun
termasuk Ibunya. Hal ini terus berkelanjutan dan Ika tidak mampu melawan,
namun lama-kelamaan, ia mengaku merasakan jatuh cinta pada ayah tirinya
tersebut. Karena itu, hubungan yang mereka lakukan menjadi sering hingga pada
akhirnya Ika hamil.
Haji Sugeng, tokoh agama di wilayah tersebut tidak berani ikut campur
permasalahan keluarga Karyo yang telah menghamili anak tirinya, maka dari itu,
terjadilah perkawinan antara keduanya. Haji Sugeng beranggapan bahwa hal
seperti itu merupakan permasalahan pribadi, beliau sebagai orang lain merasa
tidak berhak ikut campur dalam rumah tangga Karyo kecuali jIka dimintai
pendapat, barulah Haji Sugeng akan bicara. Haji Sugeng sangat paham bahwa
perkawinan antara Karyo dan Ika memang dilarang Agama. Namun apa boleh
buat, Haji Sugeng merasa tidak memiliki keberanian untuk mencegah atau
membatalkan perkawinan itu.
Para saksi saat perkawinan tersebut mengaku tidak tahu menahu soal
hukum agama. Yang mereka tahu, pernikahan tersebut boleh-boleh saja karena
Harto mantan pegawai KUA sendiri yang menikahkan, sehinga para saksi pada
saat itu percaya saja. Meskipun para saksi tersebut juga tahu bahwa pekerjaan
Harto setelah dipecat dari KUA tersebut memang membantu perkawinanperkawinan yang “bermasalah” hingga kesediaan untuk menyediakan Kutipan
Akta Nikah ASPAL (asli tapi palsu).
Pasangan Karyo dan Ika mengaku berusaha mencari akta nikah untuk
melegalkan perkawinannya, namun karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk
membeli kutipan akta nikah ‘aspal’, maka hingga sekarang pasangan ini belum
memiliki kutipan akta nikah.
BAB IV
ANALISIS
A. Larangan Menikah dengan Anak Tiri
Pernikahan yang dilakukan antara ayah dengan anak tirinya, pada dasarnya
diperbolehkan dengan syarat istrinya sudah dicerai qobla dukhul. Pernikahan ini
diperbolehkan karena ayah dan anak tirinya tersebut pada dasarnya memang
bukan merupakan mahram. Namun ketika Ibu dari seorang anak tersebut menikah
dengan laki-laki lain, maka secara otomatis hubungan antara anak tersebut dengan
laki-laki yang menikahi ibunya adalah hubungan ayah dan anak meski tiri. Maka
anak tiri tersebut secara langsung menjadi mahram bagi ayah tirinya.
Jika mengacu pada hukum Syar’i, maka pernikahan semenda adalah
pernikahan yang diharamkan tanpa ada sebab yang bisa menghapuskan
hukumnya.
Tidak
seperti pernikahan
mahram
ghairu
mu’abbad
yang
diperbolehkan jika sebab yang mengharamkannya hilang. Pernikahan yang terjadi
antar hubungan semenda, dalam hukum Islam disamakan dengan perzinahan,
meski dalam kenyataan terdapat pasangan semenda yang menikah secara resmi
dan memiliki akta nikah yang sah. Perkawinan yang terjadi antara ayah dan anak
tirinya tersebut batal demi hukum karena melanggar larangan pernikahan yang
terdapat dalam pasal 8 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, yakni,
perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
selain itu terdapat juga larangan nikah dalam pasal 39 ayat 2 KHI, sehingga jelas
bahwa perkawinan semenda yang terjadi di wilayah kecamatan Sidorejo ini haram
hukumnya.
Menurut KHI pasal 70 point b, perkawinan yang dilakukan antar
hubungan semenda batal atau tidak sah. Menurut pendapat Abu Hanifah, apabila
terjadi akad nikah batil yang bukan termasuk akad yang syubhat maka harus
ditegakkan had (hukuman). Pendapat yang hampir sepadan datang dari
Muhammad, Abu Yusuf, Asy Syafi’i, Malik, dan Ahmad bin Hambal bahwa
kedua pihak yang melakukan akad batil wajib di-had dengan had zina jika mereka
mengetahui keharamanya. Jika kemudian keduanya berpisah, entah dipisahkan
penghulu atau pisah menurut kesadarannya sendiri, maka wanita tidak wajib
iddah. Sayangnya, aturan hukum negara kita belum memiliki sanksi yang tegas
bagi pelaku nikah terlarang seperti nikah semenda ini.
Hukum Islam telah melarang perkawinan ini dalam surat An Nisa ayat 23
bahkan Islam telah menunjukkan bahaya kelainan ini dan memerintahkan untuk
membunuh orang yang mengidapnya, sebagaimana dikisahkan dalam hadits,
bahwa Yazid bin al Barra’ menceritakan dari ayahnya, dia berkata: aku bertemu
pamanku sedang membawa seekor binatang, lalu aku bertanya kepadanya:
“Paman hendak kemana?” Dia menjawab: “Rasulullah mengutusku pada seorang
yang menyetubuhi istri anaknya. Beliau menyuruhku untuk memukul lehernya
(membunuhnya) dan mengambil hartanya (Washfi, 138).
Larangan Allah juga terhadap pernikahan ini, terdapat dalam firman Nya
surat An Nisa 23. Namun dalam terjemahan ayat tersebut, terdapat kata yang bisa
kita garis bawahi mengenai pernyataan tentang wanita yang haram dinikahi, yaitu
“anak istri yang dalam pemeliharaanmu”. Maksud anak istri disini adalah anak
tiri, yakni ketika seorang laki-laki menikahi wanita, wanita tersebut janda yang
memiliki anak perempuan yang sudah dewasa dan juga siap menikah. Pada ayat
tersebut memang diberi tambahan keterangan “dalam pemeliharaanmu”.
Sehingga muncul kesan bahwa bila anak perempuan tiri itu tidak berada dalam
peliharaan ayah tirinya, berarti tidak termasuk yang haram dinikahi?. Metode
pemahaman seperti ini hanya mengandalkan semata-mata mafhum mukhalafah
saja. Dan menurut para ahli fiqih, tidak tepat untuk mengambil kesimpulan hukum
semata-mata berdasarkan mahfum mukhalafah. Sebab di dalam ayat Al-Quran
banyak bertaburan hal serupa dan tidak mungkin digunakan mafhum mukhalafah.
Sebagai contoh, bila ayat tentang zina dipahami secarara mafhum mukhalafah,
“jangan dekati zina”. Maka yang tidak boleh hanya mendekatnya saja, sedangkan
berzina itu sendiri malah tidak dilarang. Tentu cara penyimpulan dan pemahaman
ayat Al Quran seperti ini tidaklah benar. Ketika Allah SWT menyebutkan tentang
anak istri yang berada dalam pemeliharaanmu, tidaklah pemeliharaan itu menjadi
syarat. Keterangan yang menceritakan tentang kebiasaan bahwa anak tiri itu ada
dalam pemeliharaanmu. Tujuannya untuk menegaskan bahwa anak tiri itu seperti
anak sendiri sehingga tidak boleh dinikahi. Dan hubungan antara ayah tiri dengan
anak tiri adalah hubungan mahram, tidak boleh terjadi pernikahan antara mereka.
Sebaliknya, sebagai mahram, maka anak tiri dibenarkan terlihat sebagian auratnya
di hadapan ayah tirinya. Juga mereka berdua dibolehkan berdua , karena memang
mahram. Namun bila sampai terjadi perbuatan yang tidak senonoh, seperti zina
dan yang sejenisnya, tentu saja dosanya sangat besar.
B. Latar Belakang Terjadinya Perkawinan Mahram Mushaharah di
Sidorejo
Pada kasus yang diteliti dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan
bahwa terjadinya perkawinan antara ayah dan rabibahnya dilatarbelakangi oleh
beberapa hal diantaranya:
a. Faktor dominansi orang tua terhadap anak
Sosok ayah dalam keluarga yang selalu berada di posisi terkuat,
menyebabkan anak harus tunduk kepadanya. Dalam Islam pun mengajarkan agar
kita mentaati orang tua selama perintahnya itu baik dan benar, namun ketika
perintah orang tua tersebut keluar dari ajaran agama Islam, maka anak tidak wajib
untuk mentaatinya lagi. Dari kasus yang diteliti, tampak bahwa pada awalnya
anak memang tidak bisa menolak perintah ayah tiri mereka. Ika mengaku bahwa
pertama kali, ia dipaksa untuk melayani ayahnya dan ia tidak bisa menolak,
karena diancam akan dilukai. Ika pun juga tidak bisa melaporkan hal ini kepada
ibunya, karena diancam oleh Karyo. Sedangkan pada keluarga Darno, Darni juga
mengaku bahwa ia dahulu sama sekali tidak cinta terhadap Darno, pernikahannya
dikarenakan dorongan dari ibunya juga. Namun setelah sekian lama dan keduanya
telah memiliki buah hati yang tumbuh dewasa, baru cinta itu sedikit demi sedikit
muncul.
b. Minimnya pengetahuan terhadap agama
Minimnya pengetahuan terhadap agama menjadikan para subyek tidak
memahami kebolehan dan larangan yang telah diatur dalam agamanya. Larangan
Allah yang mereka lakukan, dikarenakan mereka kurang paham bahkan minim
pengetahuan di bidang agama maupun hukum syar’i. Ketidaktahuan mereka
terhadap hukum syar’i, menjadikan mereka dengan mudah melakukan
pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Jika saja mereka taat terhadap agama,
hal itu dapat menjadi gerbang bagi mereka agar tidak melakukan hal-hal yang
menyimpang dari ajaran agamanya. Seperti pengakuan Karyo bahwa ia tidak
pernah belajar agama, apalagi ngaji, ia pun sama sekali tidak bisa. Karyo pun
mengaku bahwa ia ke masjid itu hanya setahun sekali saat lebaran yakni sholat
Idul Fitri. Kartu identitas penduduknya memang Islam namun ia mengaku ia tidak
tahu banyak tentang Islam. Sama halnya dengan keluarga Darno, agama bukan
merupakan satu hal yang diutamakan di keluarga ini, Darni mengaku terakhir
shalat saat ia menikah dengan Darno. Kebiasaan Darno yang kurang taat terhadap
agama, membawa pengaruh pada diri Darni. Darni menjadi ringan untuk
melalaikan kewajibannya sebagai muslimah. Menurut tetangganya pula, keluarga
Darni tidak pernah terlihat dalam setiap kegiatan masjid, termasuk pula saat Idul
Fitri.
c. Rasa cinta yang menafikan peraturan Allah
Cinta yang terlarang, cinta yang menafikan prinsip dan peraturan Allah,
yang sudah dicemari oleh kehendak nafsu dan kepentingan diri. Rasa cinta yang
menafikan peraturan dan prinsi-prinsip Allah yang muncul dalam diri para pelaku
dan mereka tidak bersedia menghentikan rasa cintanya. Sebagaimana cinta yang
dimiliki oleh para pasangan pelaku perkawinan mahram mushaharah ini. Dalam
pernikahan antara ayah dan rabibahnya, cinta terlaranag mereka merupakan faktor
yang kesekian dan bukan merupakan faktor utama. Karena menurut kasus yang
diteliti, para subyek terutama rabibah mengaku pada awalnya tidak ada perasaan
cinta terhadap ayah tirinya. Cinta ini kemudian muncul setelah hubungan rabibah
dengan ayah tirinya semakin dekat. Jika saja anak dapat menolak kedekatan
dengan ayah tirinya, maka tumbuhnya benih-benih cinta ini dapat dicegah. Namun
karena para pelaku tidak dapat mencegah tumbuhnya benih-benih cinta antara
mereka dengan ayah tirinya, bahkan mereka terkesan membiarkan cinta antara
mereka mengalir seiring berjalannya waktu. Maka hubungan antara keduanyapun
tidak dapat dihentikan. Sehingga membawa mereka ke pernikahan yang terlarang
ini.
d. Kurangnya peran masyarakat sekitar khususnya tokoh agama
Keberadaan tokoh agama dalam masyarakat tentunya dapat membimbing
dan membawa pengaruh masyarakat sekitarnya ke arah yang baik sesuai ajaran
agamanya. Mereka dianggap lebih faham mengenai ilmu agama dibanding
masyarakat umum. Namun, tokoh agama sekitar terkesan menutup mata terhadap
hal ini. Haji Sugeng sebagai tokoh agama yang berada di lingkungan tempat
tinggal Karyo tidak mau ikut campur mengenai masalah Karyo meski ia sendiri
sangat tahu bahwa yang dilakukan Karyo itu sangat dilarang dalam Islam.
Menurut Haji Sugeng sendiri, ia tidak berani mengingatkan Karyo karena watak
Karyo yang terkenal keras dan tempramental. Hal yang hampir senada juga
diucapkan oleh Haji Saleh di wilayah tempat tinggal Darni. Karena beliau
merupakan pendatang di wilayah Kalitaman, maka beliau tidak berani mengurusi
urusan yang sudah terjadi sebelum beliau menjadi warga Kalitaman.
e. Kurang cermatnya Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Keberadaan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah di setiap wilayah tidak
hanya sebagai pembantu calon pengantin dalam mengurus administrasi
perkawinan. Keberadaan P3N diharapkan juga mampu membantu KUA dalam
meminimalisir adanya perkawinan yang terlarang, seperti penuturan pak Toha
Mahsun, Ketua paguyuban P3N wilayah Kecamatan Sidorejo, beliau menyatakan
bahwa yang seharusnya mengetahui ada atau tidaknya hubungan mahram dari
kedua calon mempelai itu ya P3N, karena wilayah kerja P3N yang sempit dan
memungkinkan untuk mengidentifikasi setiap calon pengantin yang mendaftar
lewat bantuan P3N. Kalau data sudah sampai di KUA, KUA sulit memeriksa ada
atau tidaknya hubungan mahram antara kedua calon. Selain itu, beliau selalu
menekankan kepada para anggota nya sesama P3N untuk berlaku sesuai aturan,
tidak menabrak garis syar’i meskipun dengan iming-iming materi, seperti yang
selama ini biasa terjadi di masyarakat. Beliau mengaku mendapat laporan bahwa
di wilayah kerjanya terdapat P3N yang nakal, yang bersedia menikahkan
perkawinan yang bermasalah dengan imbalan materi. Namun kepada peneliti,
Bp.Toha tidak menyebutkan nama P3N tersebut.
Memang tidak adil bila hanya menyalahkan P3N saja, karena proses
pasangan menuju perkawinan tidak hanya melewati P3N, melainkan pegawai
KUA yang memeriksa administrasi, dan PPN yang berada di lokasi akad nikah
untuk memeriksa ulang mengenai keabsahan administrasi dan syarat-syarat
perkawinan. Namun dalam praktiknya, setiap calon pengantin yang akan menikah,
pada awalnya melewati P3N yang bertugas di setiap wilayah tempat tinggal calon
pengantin dan karena wilayah kerja P3N yang terjangkau, maka memungkinkan
untuk mengenal dan memeriksa setiap dokumen yang menjadi syarat pengajuan
nikah. Maka dari itu, jika P3N tidak memeriksa ada atau tidaknya hubungan
mahram antara calon pengantin, maka pegawai KUA yang memeriksa dokumen
syarat nikah pun tidak akan mengetahui adanya hubungan mahram antara
pasangan calon pengantin.
C. Dampak Perkawinan Mahram Mushaharah
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Azzam dan Hawwas (2009:135),
bahwa akad nikah seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak halal baginya,
misalnya dengan mahramnya maka akad tersebut adalah batil karena tidak ada
tempat karena hilangnya status pokok yang merupakan syarat sah terjadinya akad.
Akad seperti ini tidak menimbulkan pengaruh ke pernikahan, keduanya wajib
dipisahkan. Jika telah bercampur pada akad ini, percampuran pun tidak dapat
mengangkat kebatilan, hukumnya tetap sama dengan berzina.
Dampak utama yang ditimbulkan dari perkawinan terlarang antara ayah
dengan anak tirinya ini adalah hubungan suami istri yang hukumnya disamakan
dengan zina karena akad nikah antara keduanya batil. Dan sampai kapanpun tidak
ada hal yang dapat menghapus hukum keharaman menikahi anak tirinya ini. Dan
apabila terlanjur lahir anak, maka status anak ini menjadi anak luar nikah.
sebagaimana status anak menurut hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia
yakni :
1. Anak sah adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 pasal 42: adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat dari perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal
99 yang menyatakan, anak sah adalah:
a) Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
b) Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut.
2. Anak luar nikah: anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang
sah, sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan
Nasional antara lain:
a) UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
b) Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang
lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
Pada akhirnya bila dicermati makna dari pasal-pasal yang telah
disebutkan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah mempunyai
hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini
biasa disebut dengan kekuasaan orang tua, yakni timbulnya hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak. Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah
hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan
ibu dan keluarga ibunya. Agaknya dapat dinyatakan mafhum mukhalafah dari
pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan
dengan bapak biologisnya dalam bentuk nasab, hak dan kewajiban secara timbal
balik dan waris.
D. Upaya Penanggulangan
Upaya penanggulangan suatu pelanggaran terhadap hukum apalagi
munakahat tidaklah mudah seperti yang dibayangkan, karena banyak pihak yang
berperan di dalamnya. Selain pasangan pengantin, ada juga para saksi, wali,
Pegawai Pencatat Nikah, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, KUA, dll. Sehingga
sangat sulit untuk menghilangkan penyimpangan terhadap hukum munakahat jika
pihak-pihak tersebut tidak bersinergi secara positif.
Berikut penulis akan menguraikan pihak-pihak yang bertanggung jawab
untuk menanggulangi penyimpangan dalam pernikahan agar tidak ada lagi
pernikahan-pernikahan terlarang dan pernikahan-pernikahan yang tidak sesuai
hukum syar’i dan Undang-undang.
1. Individu
Yang harus dilakukan oleh setiap individu adalah berusaha untuk tidak
menjadi korban, salah satunya adalah tidak memberikan ruang kesempatan kepada
setiap pelaku salah satunya dengan menghindari pakaian yang dapat merangsang
hawa nafsu, tidak tidur bersama dengan orang tua saat sudah baligh, tanggap
terhadap perilaku ayah atau saudara yang tidak wajar.
2. Masyarakat
Kehidupan masyarakat adalah suatu komunitas manusia yang mempunyai
watak yang berbeda satu dengan yang lain. Sehingga kehidupan masyarakat
merupakan salah satu hal yang penting dimana menentukan dapat atau tidaknya
kejahatan dapat dilakukan. Pencegahan terhadapa kejahatan asusila merupakan
suatu usaha bersama yang harus dimulai sedini mungkin pada setiap anggota
mayarakat. Upaya yang dilakukan agar dapat mencegah tindakan asusila yaitu
menciptakan suasana yang tidak menyimpang dengan tata nilai yang dianut oleh
masyarakat. Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan adalah dengan menjalin
silaturahmi antara anggota masyarakat yang diisi dengan tausiah yang dibawakan
tokoh masyarakat sekitar, mendirikan majelis pengajian, menambah khasanah
ilmu agama dengan mengadakan kajian kitab.
3. Pemerintah (Depag, KUA, PPN, P3N)
Dalam usaha penanggulangan perkawinan bermasalah, pemerintah juga
tidak lepas dari hal ini, mengingat pemerintah merupakan perpanjangan tanga dari
negara. Maka pemerintah memiliki kekuasaan dan wewenang yang lebih tinggi
dari masyarakat dan pemerintah bertanggung jawab atas kehidupan berbangsa dan
bernegara yang aman dan tentram. Pemerintah melalui KUA atau Depag dapat
melakukan penyuluhan hukum munkahat yang diharapkan masyarakat dapat
memahami jauh mengenai fiqh munakahat sehingga dapat maminimalisir adanya
perkawinan yang bertentangan dengan hukum Islam.
Agama merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mendapat
kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Melalui penyuluhan keagamaan,
diharapkan keimanan seseorang terhadap agamanya semakin bertambah dan
semakin kokoh serta dapat memanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menanggulangi agar perkawinan yang dilarang tidak terjadi lagi di
keluarga muslim Indonesia, maka pemerintah perlu memberi sanksi tegas
terhadap pelanggaran aturan dalam perkawinan. Tujuan diberikannya sanksi, agar
membuat seorang jera melakukan pelanggaran hukum. Untuk itu, pidana dan
denda terhadap pelanggaran aturan perkawinan harus segera dibuat agar tidak ada
pihak-pihak yang menukil keuntungan pribadi dibalik pelanggaran-pelanggaran
aturan perkawinan seperti yang selama ini umum terjadi di masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melihat adanya kasus perkawinan mahram mushaharah yang dapat
ditemui di wilayah Kecamatan Sidorejo, peneliti tergerak untuk membuat suatu
penelitian yang mampu menjawab beberapa pertanyaan dalam benak peneliti
yakni: 1) pandangan hukum Islam tentang definisi perkawinan mahram
mushaharah, pertanyaan ini muncul karena terdapat sejumlah orang yang masih
memahami bahwa menikahi anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tiri itu
diperbolehkan dalam agama Islam; 2) kronologi terjadinya perkawinan mahram
mushaharah di wilayah Kecamatan Sidorejo, dan 3) faktor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya perkawinan mahram mushaharah.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap pelaku perkawinan mahram
mushaharah, menghasilkan kesimpulan yang merupakan gambaran menyeluruh
dari pembahasan dalam skripsi ini, yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
menikahi anak tiri tidak diperbolehkan atau haram hukumnya karena
bunyi dari makna surah An Nisa ayat 23 adalah:
“anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya”.
Sebagian orang memahami ayat ini sepenggal, mereka hanya mengambil sebagian
dari
potongan
pemeliharaanmu”
ayat
tersebut.
Kata
“anak-anak
istrimu
diartikan secara mafhum mukhalafah
yang
dalam
sehingga mereka
mengartikan bahwa anak tiri yang tidak berada dalam pemeliharaan ayah tirinya
itu boleh dinikahi. Pendapat mayoritas ulama dalam hal ini adalah bahwa syarat
anak tiri harus tinggal dalam pemeliharaan ayah tirinya tidak berlaku. Artinya
meskipun anak tiri tinggal jauh dari ayah tirinya, sementara ayah tiri ini telah
melakukan hubungan badan dengan ibunya maka ayah tidak boleh menikah
dengan putri istrinya tersebut. Karena keterangan firman Allah “Yang dalam
pemeliharaanmu” ini hanyalah berdasarkan kebiasaan pada umumnya dan tidak
mengandung makna apapun, sehingga tidak bisa disimpulkan sebaliknya atau
diartikan secara mafhum mukhalafah (Katsir, 2008:270). Demikianlah Islam
menetapkan batas minimal untuk menikahi kerabat, hal itu tidak lain agar tatanan
keluarga tidak menjadi rusak, agar ikatannya tidak terlepas, dan agar tatanan
masyarakat tidak hancur, yang jika sampai hancur akan memunculkan
ketimpangan-ketimpangan di tengah-tengah masyarakat (Washfi, 2005:418).
2.
perkawinan antar hubungan mushaharah yang terjadi di wilayah
Kecamatan Sidorejo terdapat 6 (enam) kasus. Sebagian besar pelaku merupakan
warga pendatang, yakni pidah dari daerah lain menuju wilayah Kecamatan
Sidorejo. Perkawinan antara anak tiri dengan ayah tirinya ini dapat ditemui di
Desa Banca’an Kelurahan Sidorejo Lor, di Kalitaman dan Krajan Kelurahan
Salatiga, dan di Sawo Kelurahan Bugel. Dari keseluruhan pelaku, yang dapat
ditemui hanya dua subyek. Dikarenakan di daerah Sawo yang kebetulan terdapat 3
(tiga) pasang pelaku ini, sudah tidak dapat ditemui seluruhnya. Menurut informasi
dari warga, para pelaku sudah diusir dari Desa Sawo. Karena warga setempat
mengharapkan kampungnya bersih dari orang-orang yang melakukan maksiat.
Dari dua subyek yang dapat diteliti, subyek pertama berada di lokasi kelurahan
Salatiga menikah saat usia 18 tahun dengan ayah tirinya. Darni bersedia menikah
dengan ayah tirinya Darno dikarenakan sudah hamil akibat perbuatan ayah tirinya
tersebut. Keduanya sama-sama tidak mengetahui kalau perkawinan yang mereka
lakukan itu haram karena mereka sendiri minim pengetahuan di bidang agama
apalagi hukum Islam. Namun yang mengherankan, pasangan ini memiliki kutipan
akta nikah dari perkawinan mereka berdua. Sedangkan subyek yang kedua, Karyo
dan Ika yang berada di wilayah kelurahan Sidorejo Lor, juga menikah dengan
ayah tirinya saat usia Ika 18 tahun. Ika pada awalnya diancam untuk melayani
nafsu bejat ayah tirinya hingga kemudian hamil dan terpaksa menikah. Ika dan
Karyo juga sangat minim pengetahuan di bidang hukum Islam sehingga tidak
mengerti jika perkawinan yang mereka lakukan itu haram. Ika dan Karyo menikah
di bawah tangan disaksikan oleh RT dan dinikahkan oleh Tokoh Agama setempat.
3.
Terjadinya kasus perkawinan antar hubungan mushaharah di wilayah
kecamatan Sidorejo, diantaranya didorong oleh beberapa faktor:
a. Faktor dominasi orang tua terhadap anak
Sosok ayah dalam keluarga yang selalu berada di posisi terkuat,
menyebabkan anak harus tunduk kepadanya. Dalam Islam pun mengajarkan
agar anak selalu mentaati orang tua selama perintahnya itu baik dan benar,
namun ketika perintah orang tua tersebut keluar dari ajaran agama Islam,
maka anak tidak wajib untuk mentaatinya lagi.
b. Minimnya pengetahuan terhadap agama
Minimnya pengetahuan terhadap agama menjadikan para subyek tidak
memahami kebolehan dan larangan yang telah diatur dalam agamanya.
Sehingga dengan alasan ketidaktahuan mengenai hukum syar’i, mereka
dengan mudah melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Jika
saja mereka taat terhadap agama, hal itu dapat menjadi gerbang agar tidak
melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran agamanya.
c. Rasa cinta yang menafikan peraturan Allah
Rasa cinta terlarang yang tidak dapat mereka hentikan, membawa para
pelaku menerobos garis hukum syar’i yang telah ditetapkan, mereka tidak
peduli pada hukum Allah yang telah ada. Yang ada di benak mereka hanya
cinta yang tumbuh antara kedua pelaku perkawinan mushaharah. Walau
pada awalnya mereka belum mengerti hukum perkawinan yang mereka
laksanakan. Namun, kini setelah mereka tahu bahwa perkawinan mereka
harampun, mereka tetap tidak mau dipisahkan.
d. Kurangnya peran masyarakat sekitar khususnya tokoh agama
Keberadaan tokoh agama yang tentunya lebih faham hukum syar’i dalam
masyarakat selayaknya dapat membimbing dan membawa pengaruh
masyarakat sekitarnya ke arah yang baik sesuai ajaran agamanya. Namun
tokoh agama disekitar terkesan menutup mata terhadap permasalahan ini.
e. Kurangnya kejelian Pembantu Pencatat Nikah (P3N), PPN dan KUA
Kurangnya kejelian para komponen dalam KUA, mendorong perkawinan
terlarang ini bisa terlaksana dengan lancar. Setiap calon pengantin yang
akan menikah, mayoritas menggunakan jasa P3N, jika dari awal P3N sudah
mengabaikan dengan sengaja syarat-syarat perkawinan, maka pegawai KUA
pun hanya memeriksa dokumen-dokumen syarat nikah, dan tidak
memeriksa secara intensif mengenai ada atau tidaknya hubungan mahram
antara kedua calon pasangan. Lagipula wilayah kerja KUA yang luas tidak
memugkinkan untuk memeriksa satu per satu ada atau tidaknya hubungan
mahram.
Melihat semakin kompleksnya problematika perkawinan yang terjadi di
masyarakat, maka harus segera ada gerakan untuk mengupayakan agar
perkawinan yang bermasalah khususnya perkawinan antar mahram tidak terjadi
lagi di masyarakat,. Untuk menanggulangi hal ini, diperlukan peran dari individu
itu sendiri, masyarakat sekitar, dan juga pemerintah. Ketiganya harus bersinergi
bersama untuk menghambat agar perkawinan yang dilarang oleh syar’i tidak
terjadi lagi di masyarakat.
B. Saran
1. Pemerintah (KUA)
Lebih maksimal dalam kegiatan penyuluhan keagamaan dan maksimal
dalam menyeleksi calon pengantin. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan pengarahan kepada masyarakat tentang fiqh munakahat, sehingga
masyarakat dapat mengerti hukum perkawinan dan diharapkan tidak ada lagi
masyarakat yang beralasan melanggar peraturan perkawinan karena tidak
mengetahui
hukumnya.
Selain
penanggulangan,
dapat
juga
dilakukan
pemberantasan, dengan membentuk aturan pidana mengenai pelanggaran terhadap
aturan perkawinan. Seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara muslim
dunia yang memiliki aturan mengenai Hukum Keluarga sekaligus aturan pidana
bagi yang melanggarnya.
2. Masyarakat
Masyarakat seharusnya dapat dengan tegas menolak warga yang dengan
sengaja melakukan pernikahan yang terlarang. Seperti warga Desa Sawo
Kelurahan Bugel secara tegas mengusir beberapa warganya yang dengan sengaja
melakukan pernikahan dengan anak tirinya. Dengan tindakan seperti ini,
diharapkan dapat menjadi tamparan keras bagi pelaku, sehingga diharapkan
perkawinan yang dialarang oleh Islam tidak akan terjadi lagi.
Masyarakat juga seharusnya respon terhadap perilaku masyarakat yang
terlihat mencurigakan, seperti terlihat ayah yang selalu bepergian berduaan mesra
bersama anak tirinya. Hal ini dapat mengindikasikan adanya suatu hubungan yang
spesial antara ayah dan anak tersebut. Sehingga, jika masyarakat respon terhadap
keadaan seperti itu, dan sigap untuk mengambil tindakan preventif, diharapkan
tidak akan terjadi kasus anak yang dihamili ayah tirinya yang berujung ke
perkawinan terlarang.
DAFTAR PUSTAKA
______. UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Yudistira.
______. 2010. Al Quranulkarim Miracle The Reference. Bandung:Sygma
Publishing.
Amiur, Nuruddin. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media.
Azzam, Abdul Aziz Muhamm & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009.
Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah
Basyir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta:
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Djubaidah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak
Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta:Sinar
Grafika.
Ghazaly, Abdur Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Hadikusuma, Hilman. 1991. Pembuatan Kertas Kerja Skripsi Hukum.
Bandung: Mandar Maji.
Ibrahim, Hosen. 1971. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak
dan Rujuk.Jakarta:Ihya Ulmuddin
Latief, Djamal. 1982. Aneka Hukum Peceraian Di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Maimun. 2007. Pernikahan di Bawah Umur di kalangan Orang Sumatra
(Studi Kasus di Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Sumatra
Selatan Tahun 2004-2006).Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah
STAIN Salatiga.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Narbuko, Cholid, Abu Achmadi. 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi
Pustaka.
Nasution, S. 2001. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.
Pamungkas, Wahyu. 2008. Poligami dengan Mahram Ghairu Mu’abbad
(Studi Kasus di Dukuh Banjaran Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti
Kota Salatiga).Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN
Salatiga.
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah jilid 3. Penerjemah Abdurrahim dan
Masrukhin. .2011. Jakarta: Cakrawala Publishing.
Sariyanti. 2007. Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah (Studi
Penetapan Hakim di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2005).Skripsi tidak
diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga.
Sutopo. H.B. 2006. Metode Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan
Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Syaikh, Abdullah bin Muhammad. 1994. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2.
Terjemahan oleh M. ‘Abdul Ghoffar. 2008. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers.
Washfi, Muhammad. 2005. Mencapai Keluarga Barokah. Yogyakarta:
Mitra Pustaka.
Daftar Pertanyaan Wawancara
A. Subyek/Pelaku
1. Identitas lengkap, nama, alamat, usia,
2. Pekerjaan, pendidikan terakhir
3. Tahun berapa menikah, pernikahan ke-?
4. Nama istri pertama, nama anak-anak hasil perkawinan
5. Identitas istri kedua, nama anak hasil perkawinan
6. Hubungan dengan istri pertama seperti apa sekarang
7. Alasan menikahi anak tirinya
8. Hubungan pernikahannya sekarang seperti apa
9. Nikahnya dimana, saksi siapa, yang menikahkan siapa, bayar berapa
10. Orang tua masing-masing menyaksikan/ mengetahui , bagaimana komentarnya
11. Ada surat nikahnya tidak, usaha buat nyari surat nikah
12. Tahu/tidak kalau pernikahannya itu dilarang agama dan undang-undang?
B. Informan
1. Identitas lengkap (KTP)
2. Mengetahui pernikahan antara......dengan ...... tidak?
3. Yang diketahui pernikahan tersebut sah atau tidak
4. Apa usaha anda untuk mencegah perkawinan terlarang tersebut
5. Apa menjadi saksi saat perkawinan?
6. Kenapa mau jadi saksi terhadap perkawinan yang dilarang agama?
C. Tokoh agama, tokoh masyarakat
1. Kegiatan keagamaan di lingkungan anda seperti apa?
2. Apa pendapat anda tentang pernikahan yang terjadi antara anak tiri dengan
ayahya
3. Bagaimana anda sebagai tokoh masyarakat menyikapi permasalahan ini
4. Bagaimana cara anda untuk mencegah agar ini tidak terjadi lagi
5. Bagaimana makna surat an nisa menurut anda?dalam pemeliharaanmu?
6. Apa yang akan anda lakukan terhadap pernikahan terlarang yang telah
terjadi/terlanjur terjadi
Download