PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (Studi Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms) SKRIPSI Oleh: ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO E1A009196 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 ii PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (Studi Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh: ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO E1A009196 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 iii LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (STUDI PUTUSAN NO : 157/Pid.B/2011/PN.Cms) Oleh : ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO NIM. E1A009196 Maksud Skripsi untuk memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Isi dan Format telah disetujui pada tanggal 21 November 2013 Z iv SURAT PERNYATAAN Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO NIM E1A009196 : Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (Studi Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms) Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dinakan sanksi apapun dari Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH) yang saya sandang. Purwokerto, 21 November 2013 ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO NIM. E1A009196 v KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan nikmat kesehatan dan hikmat kepada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik meskipun mengalami banyak hambatan dan tantangan. Skripsi ini berjudul “PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (Studi Putusan No: 157/Pid.B/2011/PN.Cms)”, disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih setinggi-tingginya dan tak terhingga kepada yang terhormat : 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan seluruh jajarannya; 2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala bantuan, arahan, bimbingan, kesabaran, dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini; 3. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala bantuan, arahan, bimbingan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini; 4. Weda Kupita, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah banyak member masukan demi perbaikan skripsi ini; v 5. Sanyoto S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Acara dan Dosen Pembimbing Akademik atas segala arahan dan masukan yang telah diberikan selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 6. Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 7. Sunardi sebagai Ayah Kandung tercinta dari penulis atas segala dukungan baik doa dan usaha serta segala kesabaran dalam membimbing penulis untuk mengarungi kehidupan; 8. Erlina Bhudianingsih sebagai Ibu Kandung tercinta dari penulis atas segala dukungan baik doa dan usaha serta segala kesabaran dalam membimbing penulis untuk mengarungi kehidupan; 9. Arini Budhi Pratiwi sebagai Adik Kandung dari penulis; 10. Devi Kurnia Sofia sebagai orang yang telah mensuport penulis selama beberapa tahun ini; 11. Teman-teman dan bapak / ibu guru TK Putra III, SD Negeri 07 atau 03 Banjar, SMP Negeri 1 Banjar, SMA Negeri 1 Banjar serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi bantuan, saran serta doa demi kelancaran penulisan skripsi ini; 12. Teman-Teman Angkatan 2009 Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi bantuan, saran serta doa demi kelancaran penulisan skripsi ini. v 13. Teman-teman KKN Desa Bakulan Periode Juli-Agustus 2012; 14. Teman-teman Kos Akhomas 2009; 15. Teman-teman kontrakan Q12, Q1, dan P3; 16. Teman-teman Tarung Derajat SATLAT SMAN 1 Banjar yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut serta memberikan bantuan dan sumbangan pemikiran selama penulis mengikuti perkuliahan. Akhirnya segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dapat menjadi karunia yang tidak terhingga dalam hidupnya. Penulis telah berupaya semaksimal mungkin, namun penulis menyadari masih banyak kekurangannya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca demi sempurnanya skripsi ini. Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pendidikan. Purwokerto, 21 November 2013 Penulis ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO NIM. E1A009196 vi ABSTRAK PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (Studi Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms) Oleh: ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO E1A009196 Pembuktian bukanlah upaya untuk mencari kesalahan pelaku namun yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materil. Untuk bisa membuktikan kesalahan seseorang dalam pembuktian diperlukan alat bukti. Alat-alat bukti yang dapat diajukan ke persidangan, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, serta keterangan terdakwa. Seringkali dalam kasus penistaan agama dalam memutus perkara mendapat intervensi dari masyarakat yang tengah bergejolak emosinya di luar persidangan. Hal ini menyebabkan hakim cenderung tidak cermat dalam menilai alat bukti yang dihadirkan di persidangan. Dalam kasus tindak pidana penistaan agama yang dilakukan oleh OJ alias RJD dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor : 157/Pid.B/2011/PN.Cms, OJ alias RJD dinyatakan bersalah dan terbukti melanggar Pasal 156a dan Pasal 378 KUHP. Sistem pembuktian yang digunakan dalam proses pembuktian berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Alat bukti yang digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa. Meskipun menurut keterangan salah satu saksi yang dihadirkan terdapat tulisantulisan yang menunjukkan larangan untuk shalat, wirid/dzikir, dan lain-lain namun tidak dihadirkan sebagai barang bukti dalam proses pembuktian. Dalam kasus penistaan agama ini hendaknya dikuatkan dengan barang bukti agar tidak menimbulkan persepsi bahwa tindak pidana penistaan agama yang dilakukan oleh Terdakwa hanyalah isu semata yang berkembang di masyarakat. Kata Kunci : Pembuktian, Tindak Pidana, Penistaan Agama vii ABSTRACT AUTHENTICATION IN BLASPHEMY CASE (a Study of a Decision No: 157/Pid.B/2011/PN.Cms) By: ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO E1A009196 Authentication does not effort to seek the perpetrator’s mistake but it has special aim to look for the truth and material justice. It need evidential tool to prove perpetrator’s mistake in authentication. The evidential tools that may be submitted to the court are: witness’ statement, expert’s statement, official letter, hints, suspect’s statement. People out of the court often interven in court’s decision in blasphemy caseas they are very emotional toward the case. It can affect the judge not carefully in assessing evidential tools. OJ alias RJD who held for blasphemy case is convicted of violating law, article 156a and article 378 KUHP based on Ciamis District Court’s Decision Number : 157/Pid.B/2011/PN.Cms, Authentication system which is used in authentication process based on Ciamis District Court’s Decision Number : 157/Pid.B/2011/PN.Cms is system based on negative law. The evidential tools which is used for judge’s consideration in deciding the case are witness’s statement, expert’s statement and suspect’s statement. Although one of witness which is present in court give the statement that there are articles mentioning disallowance for salat, dhikr, and other worships, it is not considered as exhibit in authentication process. In this blashphemy case, the exhibit should be provided in court in order not to give the perception that blasphemy held by the suspect is ony issue arising in society. Key Word : Authentcation, Crime, Blasphemy viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii SURAT PERNYATAAN ........................................................................... iv PRAKATA ................................................................................................... v ABSTRAK .................................................................................................. vi ABSTRACT ............................................................................................... vii DAFTAR ISI ............................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Perumusan Masalah ......................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5 D. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Hukum Acara Pidana .................... 7 B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana ................................................... 11 C. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian ........................................................... 22 2. Sistem atau Teori Pembuktian ............................................... 24 3. Alat-Alat Bukti Menurut KUHAP ......................................... 28 4. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP ................................... 38 D. Tindak Pidana Penistaan Agama 1. Pengertian Tindak Pidana Penistaan Agama .......................... 40 viii 2. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Penistaan Agama ...….. 42 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ........................................................................ 47 B. Spesifikasi Penelitian ..................................................................... 47 C. Sumber Data .................................................................................. 48 D. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 49 E. Metode Penyajian Data .................................................................. 49 F. Metode Analisis Data .................................................................... 50 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Kasus Posisi ........................................................................... 51 2. Dakwaan Penuntut Umum ..................................................... 55 3. Pembuktian a. Alat Bukti Keterangan Saksi ......................................... 57 b. Alat Bukti Keterangan Ahli .......................................... 80 c. Alat Bukti Keterangan Saksi Yang Meringankan Bagi Terdakwa ......................................... 82 d. Alat Bukti Keterangan Terdakwa .................................. 96 4. Tuntutan Penuntut Umum .......................................................103 5. Putusan Pengadilan a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim …..........................103 b. Amar Putusan Pengadilan ……..................................... 113 viii B. Pembahasan 1. Alat-alat bukti yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana perkosaan dan pencurian dengan kekerasan dalam Putusan Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms ...................................................... 114 2. Sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan agama terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms ....................................................... 136 BAB V PENUTUP A. Simpulan ....................................................................................... 143 B. Saran ............................................................................................ 145 DAFTAR PUSTAKA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penistaan agama merupakan suatu bentuk penyimpangan perilaku. Apapun penyebabnya pesannya adalah bahwa mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya dapat menimbulkan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia sangat berbahaya, merusak dan menimbulkan gangguan kesejahteraan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia. Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta merta indah pula dalam kenyataannya. Banyak sekali Warga Negara Indonesia yang merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk agama dan berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang diakui pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar agama yang diakui itu maka ada efek yang dapat mengurangi hak-hak sipil warga negara. Bahkan, orang yang mempunyai keyakinan tertentu, biasa dituduh melakukan penodaan agama. Pasal 156a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sering disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Di Indonesia, Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang selama ini dijadikan dasar hukum, selain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum 2 Pidana, upaya penindakan aliran-aliran sesat hanya memuat rumusan sanksi pidana penjara paling lama lima (5) tahun. Kasus penistaan agama ini seringkali merupakan penilaian dari subjektifitas masyarakat terhadap ajaran yang dianut oleh seseorang apakah menistakan agama ataukah tidak. Seringkali pula ini hanya merupakan persepsi orang dan menjadikan berita yang mengganggu stabilitas masyarakat di suatu lingkungan masyarakat padahal patut diduga hal tersebut bisa saja hanya kesalahpahaman dan dimungkinkan itu hanya isu-isu belaka yang dikeluarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Meskipun mencapai pembuktian dalam sidang pengadilan, seringkali Majelis Hakim mendapat intervensi dari para pihak yang emosinya sedang bergejolak di depan pengadilan. Hakim terkesan terburu-buru dalam memutus perkara karena adanya desakan tersebut sehingga terkadang keyakinan hakim dalam memutus perkara pun sering terabaikan. Padahal keyakinan hakim merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam Majelis Hakim memutus suatu perkara. Dalam suatu proses peradilan, pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, tahap pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam arti memiliki peranan yang menentukan apakah seorang Terdakwa benar-benar bersalah atau tidak, dan seringkali proses pembuktian tidak berjalan sesuai dengan aturan hukum yang ada. Penegak hukum sekiranya memiliki pedoman dalam beracara, sehingga hak-hak asasi mereka yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum terlindungi, maka dengan begitu akan berpengaruh terhadap terciptanya suatu penegakkan hukum yang memenuhi rasa keadilan, ketertiban 3 berdasarkan Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang dasar 1945, serta kepastian hukum. Kepastian hukum mengandung dua pengertian. Pertama, perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai pedoman dalam beracara pidana yang dinyatakan berlaku di Indonesia harus ditaati, dalam pengertian bahwa bagi para teoritis banyak hal yang dapat diperbuat untuk disumbangkan kepada kebutuhan penerapan hukum agar dapat berlaku dan hidup sesuai dengan cita-cita hukum. Hakim dalam menjatuhkan putusan selalu mendasari pada alat bukti yang sah. Ketentuan yang mengatur mengenai pembuktian dalam acara pemeriksaan perkara pidana terdapat dalam Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya” Tujuan dari hukum pidana adalah mencari kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan 1 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Keempat, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2012, hlm. 137. 4 untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakuakan suatu pelanggaran hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut terkandung ketentuan bahwa pembuktian harus didasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah yang dimaksud terdapat dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan alat bukti yang sah yang membantu hakim dalam mengambil keputusan seperti : 1. 2. 3. 4. 5. Keterangan saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa. Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana sekurang- kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah serta hakim yakin atas tindak pidana yang Terdakwa terbukti bersalah (Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Kaitannya dengan penistaan agama, harus dibuktikan kebenarannya secara materil, dengan kata lain menemukan dan mencari bukti-bukti guna mempermudah pengelolaan dalam proses suatu perkara pidana. Putusan di Pengadilan Negeri Ciamis No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms; merupakan suatu kasus mengenai mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya dapat menimbulkan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia yang dalam kasus ini adalah agama Islam, dimana hakim memutus kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) terbukti melanggar 5 Pasal 156a dan Pasal 378 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut mendasarkan pada penyesuaian antara alat bukti berupa keterangan para saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti guna penyusunan skripsi dengan judul “PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (Studi Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Alat bukti apa saja yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana penistaan agama dalam Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms ? 2. Bagaimana sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan agama terhadap Terdakwa dalam Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms ? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui alat bukti apa saja yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana penistaan agama dalam Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms. 2. Untuk mengetahui sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan agama terhadap Terdakwa 157/Pid.B/2011/PN.Cms. dalam Putusan No : 6 D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Dengan adanya penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan khususnya tentang pembuktian dan pertimbangan hakim dalam tindak pidana penistaan agama. b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menambah literature ilmiah, diskusi hukum seputar perkembangan hukum acara pidana di Indonesia. 2. Kegunaan Praktis a. Memberikan data dan informasi mengenai bidang ilmu yang telah diperoleh dalam teori dengan kenyataan yang ada dalam praktik. b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan berminat pada hal yang sama. c. Memperluas wawasan, pengetahuan, dan kemampuan analistis penulis, khususnya dalam Hukum Acara Pidana. d. Memperoleh data yang akan dipergunakan oleh penulis dalam penyusunan skripsi sebagai syarat dalam mencapai gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Hukum Acara Pidana Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil yang berguna untuk mempertahankan hukum materiil yaitu hukum pidana. Agar hukum pidana dapat benar-benar dijalankan maka hukum acara pidana yang mempertahankan berlakunya hukum pidana. Hal itu juga yang dikatakan oleh A. Chanur Arrasjid bahwa: “Hukum formil adalah hukum yang mengatur cara mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan hukum materiil.”2 Abdoel Djamali juga sependapat dengan Chanur Arrasjid mengatakan bahwa: “Hukum acara atau hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan hukum material melalui suatu proses dengan berpedomankan kepada peraturan yang dicantumkan dalam hukum acara.”3 Hukum acara pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan pengertian hukum acara pidana, namun pengertian hukum acara pidana bisa didapatkan dari doktrin. Beberapa ahli hukum memberikan pengertian tersebut. Van Bemmelen sebagaimana dikutip Mohammmad Taufik Makarao dan Suhasril mengatakan bahwa: 2 A. Chanur Arrasjid, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. halaman 110. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 193. 3 8 “Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana. 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya. 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa Terdakwa ke depan hakim tersebut. 5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada Terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7. Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.”4 Penjelasan mengenai hukum acara pidana juga dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo bahwa: “Hukum pidana beserta hukum acara pidana ada yang menggolongkan ke dalam hukum publik, karena melindungi tata tertib masyarakat.”5 Perbedaannya dengan Hukum Pidana adalah Hukum Pidana merupakan peraturan yang menentukan tentang perbuatan yang tergolong perbuatan pidana. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi pidana, pelaku perbuatan pidana dapat dihukum dan macam- macam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku perbuatan pidana. Hukum Acara Pidana disebut Hukum Pidana Formil (Formeel Strafrech), sedang Hukum Pidana disebut sebagai Hukum Pidana Materiil 4 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 1. 5 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm 101. 9 (Materieel Strafrecht). Jadi, Kedua hukum tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum acara pidana juga memiliki tugas penting yang sejalan dengan tujuan hukum acara pidana. Hibnu Nugroho mengatakan bahwa: “Tugas penting yang diemban oleh hukum acara pidana adalah memberikan bingkai yang menjadi garis merah kepada para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya agar tidak melampaui batas kewenangannnya, mengingat setiap pelaksanaan suatu penegakan hukum akan berkaitan langsung dengan pelanggaran HAM, terutama HAM bagi tersangka/Terdakwa.”6 Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa Hukum Acara Pidana tidak semata-mata menerapkan Hukum Pidana. Akan tetapi lebih menitikberatkan pada proses dari pertanggungjawaban seseorang atau sekelompok orang yang diduga dan/atau didakwa telah melakukan perbuatan pidana. Suatu aturan hukum yang dibuat pasti memiliki tujuan. Tujuan Hukum Acara Pidana sangat erat hubungannya dengan tujuan Hukum Pidana. Tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan untuk selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah 6 Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Media Prima Aksara, Jakarta, 2012, hlm 31. 10 terbukti bahwa tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.7 Hukum Pidana memuat tentang rincian perbuatan yang termasuk perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana yang dapat dihukum, dan macammacam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar hukum pidana. Sebaliknya Hukum Acara Pidana mengatur bagaimana proses yang ahrus dilalui aparat penegak hukum dalam rangka mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggarnya. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedua hukum tersebut saling melengkapi, karena tanpa hukum pidana, hukum acara pidana tidak berfungsi. Sebaliknya tanpa hukum acara pidana, hukum pidana juga tidak dapat dijalankan (tidak berfungsi sesuai dengan tujuan). Fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran materiil, putusan hakim, dan pelaksanaan keputusan hakim. Menurut Yulies Tiena Masriani mengatakan bahwa: “Fungsi Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran materiil, putusan hakim dan pelaksanaan keputusan hakim.”8 Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya didapatkan dengan pembuktian. Pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan 7 Sangatta, 2013, Hukum Acara Pidana, http://www. http://statushukum.com. Diakses pada 7 Mei 2013 8 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 83. 11 kebenaran. Keseluruhan pihak baik hakim, Terdakwa maupun penasihat hukum terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Selain itu hukum acara pidana memiliki beberapa fungsi, antara lain adalah fungsi represif dan fungsi preventif. Fungsi represif dalam hukum acara pidana adalah adanya upaya untuk menegakkan ketentuan pidana dan melaksanakan hukum pidana. Penegakan ketentuan pidana berarti pemberian sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan dalam hukum pidana terhadap suatu perbuatan pidana. Sementara fungsi preventif dalam hukum acara pidana adalah fungsi pencegahan dan upaya untuk mengurangi tingkat kejahatan. Fungsi preventif dalam hukum acara pidana ini dapat berjalan dengan baik apabila seluruh proses hukum acara pidaana dapat diselenggarakan dengan baik pula agar dapat mencegah terjadinya perbuatan pidana yang sama dalam masyarakat.9 B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Asas-asas hukum bukanlah aturan hukum. Asas-asas hukum merupakan bingkai dari sebuah aturan hukum. Asas-asas hukum tersirat dalam aturan-aturan hukum. Asas hukum bersifat umum oleh karena itu harus dituangkan dalam aturan hukumnya agar dapat diterapkan. Asas-asas hukum harus ada dalam setiap aturan hukum.Jika asas-asas hukum tidak ada dalam sebuah aturan hukum maka aturan tersebut tidak 9 Sangatta, 2013, Hukum Acara Pidana, http://statushukum.com/hukum-acara-pidana.html, diakses pada 7 Mei 2013 12 dapat dimengerti. Hal tersebut yang dikatakan oleh Hibnu Nugroho 10 bahwa asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak akan dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Hukum acara pidana juga memiliki asas-asas hukum acara pidana agar hukum acara pidana dapat dimengerti. Asas-asas hukum acara pidana yaitu: 1. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas ini sebenarnya telah ada sejak berlakunya HIR. Peradilan cepat dalam HIR misalnya dalam Pasal 71 HIR ada kata-kata satu kali 24 jam. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di dalamnya terdapat peradilan cepat misalnya dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan: “(1)Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.” Perumusan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut terdapat kata “segera” yaitu agar dilakukan secara cepat. Berdasarkan perbandingan antara HIR dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di atas, sebenarnya ketentuan dalam HIR lebih pasti karena telah dirumuskan berapa lama waktunya, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 10 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.hlm.33. 13 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kata “segera” belum menunjukan kepastian. Perumusan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga di dalamnya tersirat asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dirumuskan: “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.” Berdasarkan rumusan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut, Yahya Harahap11 mengatakan bahwa bertitik tolak ansich dari sudut kepentingan kepastian hukum bagi Terdakwa untuk mempercepat proses penyelesaian perkara, ketentuan ini sangat menguntungkan Terdakwa. Akan tetapi kalau dipertentangkan dari sudut kepentingan hukum dan keadilan dalam mewujudkan kebenaran yang hakiki, barangkali terlampau berat sebelah melindungi kepentingan Terdakwa, sehingga dirasakan kurang bernafas keselarasan dan keseimbangan dengan perlindungan ketertiban masyarakat. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan wujud penghargaan terhadap hak asasi manusia dan juga agar negara dapat menghemat pengeluaran sehingga dapat dipergunakan untuk kesejahteraan 11 Ibid, hlm.54. 14 rakyat. Hal serupa juga dikemukakan oleh Andi Hamzah12 yang mengatakan bahwa peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut. Implementasi lainnya terhadap asas peradilan cepat terdapat pula dalam hal batas waktu penahanan dalam proses beracara pidana. Penahanan merupakan suatu hak dari para penegak hukum pidana yang menggunakan suatu pedoman berupa hukum acara pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pengaturan mengenai batas waktu penahanan bagi penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang atas izin penuntut umum selama 40 hari yang diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini batas waktu 60 hari tidak selalu digunakan, hal ini hanya batas waktu maksimum yang dapat dipergunakan oleh penyidik apabila diperlukan perpanjangan waktu penahanan guna memperlancar proses penyidikan. Dan apabila telah sampai batas waktu maksimal penyidik belum juga menyelesaikan apa yang dituju maka Terdakwa harus segera dikeluarkan demi hukum dan tanpa syarat apapun. Maka dalam hal ini penyidik harus segera menyelesaikan proses penyidikan. Begitu pula halnya dalam proses 12 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,.hlm.13. 15 beracara di Penuntut Umum, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Dengan melihat hal tersebut maka jelaslah UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan jaminan untuk dilaksanakannya asas peradilan cepat dalam proses beracara. 2. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence) Asas ini berarti seseorang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak boleh dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dirumuskan: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Asas ini merupakan bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia. Asas ini memiliki tujuan untuk memberi perlindungan terhadap hak asasi dan nama baik seseorang. Hal itu disebabkan karena karena seseorang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan di muka sidang pengadilan belum tentu dia bersalah melakukan tindak pidana yang disangkakan kepadanya. 16 3. Asas Oportunitas Asas Oportunitas yaitu suatu asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan untuk menuntut seseorang jika karena penuntutannya akan merugikan kepentingan umum. A.Z. Abidin Farid dalam Andi Hamzah memberi perumusan tentang asas oportunitas yaitu asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.13 Asas oportunitas merupakan pertentangan asas legalitas. Asas oportunitas mengedepankan kepentingan umum sedangkan asas legalitas mengedepankan kepentingan hukum. Wujud dari asas oportunitas yaitu perkara tersebut dideponir. Asas oportunitas tidak sembarangan dapat dilakukan. Asas ini hanya berlaku jika kepentingan umum benar-benar dirugikan, selain itu tidak semua jaksa dapat memberlakukan asas ini. Hal ini diatur oleh Pasal 35 c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang merumuskan: “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.” Perumusan Pasal 35 c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dapat diartikan hanya Jaksa Agung yang dapat mendeponir perkara yang merugikan kepentingan umum. 13 Ibid, hlm.17. 17 4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum Asas pengadilan terbuka untuk umum berarti menghendaki adanya transparansi atau keterbukaan dalam sidang pengadilan. Asas ini terdapat dalam rumusan Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan: “(3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak.” Arti dari rumusan pasal tersebut berarti asas ini hanya berlaku dalam sidang pengadilan tidak berlaku dalam tahap penyidikan maupun praperadilan. Meskipun demikian, asas ini pun tidak dapat diterapkan dalam semua sidang pengadilan Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi pengecualian terhadap sidang pengadilan mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak. Pengecualian ini dijelaskan oleh M. Yahya Harahap yang mengatakan bahwa: “Secara singkat dapat dapat dikemukakan bahwa mengenai perkara kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut mengungkapkan dan memaparkannya secara terbuka di muka umum. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan sidang anakanak, cara-cara pemeriksaan persidangannya memerlukan kekhususan. Timbul suatu kecenderungan yang agaknya bisa dijadikan dasar filosofis yang mengajarkan anak-anak melakukan tindak pidana, bukanlah benar-benar, tetapi melainkan bersifat “kenakalan” semata-mata.”14 14 M. Yahya Harahap, Op.Cit.hlm.56-57. 18 Terlaksananya asas ini terdapat di dalam Pasal 153 ayat (4) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan: “(4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.” Dengan melihat ketentuan Pasal 153 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini maka asas pemeriksaan pengadilan harus diterapkan karena jika tidak maka putusan batal demi hukum. 5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum Asas ini berarti tidak membeda-bedakan orang di hadapan hukum. Tidak peduli seseorang berasal dari mana, memiliki jenis kelamin apa, miskin ataupun kaya semuanya diperlakukan sama di depan hukum. Jika seseorang bersalah maka harus dihukum dan jika tidak maka harus dibebaskan. Selain itu dihukum sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya dengan tidak mendiskriminatifkan. Asas ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan : “(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.” Asas ini juga terdapat dalam penjelasan umum butir 3 a UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan: 19 “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.” Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ditegaskan kembali oleh Hibnu Nugroho15 yang mengatakan bahwa: “Semangat menjujung tinggi HAM yang mendasari lahirnya KUHAP semakin memperkokoh kedudukan asas ini. Dalam hal ini mulai dari ditangkapnya seseorang hingga akhir menjalani proses penegakan hukum, orang tersebut tetap mendapat perlindungan yang memadai. Setiap tahap pemeriksaan diberikan jangka waktu limitatif yang secara terang tertulis dalam ketentuan KUHAP dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dilakukan pra peradilan.” 6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannnya dan Tetap Asas ini menentukan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk menyatakan salah tidaknya Terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini berbeda dengan sistem juri. Andi Hamzah16 mengatakan bahwa sistem juri yang menetukan salah tidaknya Terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka awam terhadap ilmu hukum. 7. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Salah satu asas yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bahwa tersangka atau Terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum. Asas ini terdapat dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang 15 16 Hibnu Nugroho, Op.Cit.hlm 36-37. Andi Hamzah, Op.Cit.hlm 22. 20 Hukum Acara Pidana (KUHAP). Asas ini berlaku secara universal di negara-negara demokrasi. Hal ini terbukti dengan terdapatnya asas ini dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah17 bahwa tersangka atau Terdakwa diberi jaminan sebagai berikut: “To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have legal assistance, of this right and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interest justice so require, and without payment by him in any such case, if he does not have sufficient means topay for it. (Diadili dengan kehadiran Terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannnya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran).” 8. Asas Akusator Asas akusator adalah asas yang menempatkan kedudukan tersangka/Terdakwa sebagai subjek bukan sebagai objek dari setiap tindakan pemeriksaan. Asas ini adalah asas yang dianut oleh UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbeda dengan yang dianut oleh HIR yang masih menggunakan asas inkuisatoir yang masih menempatkan kedudukan tersangka/Terdakwa sebagai objek pemeriksaan. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril mengatakan bahwa: “Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/Terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan: - Adalah subyek; bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau Terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan 17 Ibid, hlm .3. 21 - dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan yang dialakukan tersangka atau Terdakwa.”18 Perbedaan asas inkuisatoir yang dianut HIR dengan asas akusator yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) salah satunya ditandai dengan perubahan istilah salah satu alat bukti. Dalam HIR disebut dengan pengakuan Terdakwa sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebut dengan keterangan Terdakwa. Pengakuan Terdakwa dalam HIR sebagai alat bukti memiliki kecenderungan bahwa Terdakwa harus mengakui bahwa dia bersalah. 9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Asas ini mensyaratkan bahwa dalam pemeriksaan sidang perkara pidana pemeriksaan tersebut dilaksanakan secara langsung dan lisan. Hal ini yang membedakan dengan acara perdata. Dalam acara perdata tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu tidak diperbolehkan pemeriksaan dengan perantaraan tulisan. Asas ini memiliki tujuan agar pemeriksaan tersebut dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Pemeriksaan secara langsung dan lisan memberikan kesempatan kepada hakim untuk lebih 18 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit, hlm.3. 22 teliti dan cermat dimana tidak hanya keterangannya saja yang bisa diteliti tetapi juga sikap dan cara mereka dalam memberikan keterangan. C. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya didapatkan dengan pembuktian. Pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Keseluruhan pihak baik hakim, Terdakwa maupun penasihat hukum terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Mengenai pembuktian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan pengertian. Pengertian tentang pembuktian diperoleh dari doktrin. Beberapa pengertian tentang pembuktian diantaranya M. Yahya Harahap yang mengatakan: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang yang didakwakan kepada Terdakwa.”19 Pengertian pembuktian juga dikemukakan Leden Marpaung yang mengatakan bahwa: “Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak 19 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 273. 23 bersalah” (presumption of innocence.). Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk menentukan “kebenaran”.20 Pengertian yang dikemukakan oleh Leden Marpaung berarti dalam mencari kebenaran diperlukan bukti-bukti. Hal itu seperti yang dijelaskan oleh Darwan Prinst yang mengatakan bahwa: “Pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan Terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Untuk membuktikan kesalahan Terdakwa pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa Terdakwa. Pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang pengadilan.”21 Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib Terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa, Terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan yang didakwakan Terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Terdakwa harus dinyatakan bersalah. 2. Sistem atau Teori Pembuktian 20 Leden Marpaung, Proses Penangan Perkara Pidana(Penyelidikan & Penyidikan) Bagian Pertama Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 22-23. 21 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm 137. 24 Sistem pembuktian yang dikenal tidak hanya satu macam, tetapi terdapat beberapa macam sistem pembuktian yaitu: 1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Melulu (Convictim in Time). Sistem pembuktian berdasarkan pada keyakinan hakim benarbenar diserahkan pada keyakinan hakim sepenuhnya yang boleh diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti maupun tanpa alat bukti langsung menarik keyakinan. Menurut Yahya Harahap22 sistem pembuktian convictim in time menentukan salah tidaknya seseorang Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan Terdakwa. Sistem ini sangat tergantung pada subjektivitas dan kebijaksanaan hakim. Oleh karena itu, kebijaksanaan hakim sangat diperlukan untuk mencapai tujuan hukum yaitu keadilan. Sistem pembuktian ini ada karena ketika dahulu pengakuan Terdakwa memiliki andil yang besar pada keterbuktian kesalahan Terdakwa, padahal pengakuan Terdakwa itu belum tentu benar. Pengakuan Terdakwa terkadang dilakukan karena dibayar oleh seseorang sehingga orang yang bersalah berlindung dibelakangnya, sehingga diperlukan keyakinan hakim. 22 M Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 277. 25 Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu juga dijelaskan D. Simons sebagaimana dikutip Andi Hamzah23 yang menyatakan bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undangundang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis. Sistem pembuktian hakim berdasarkan keyakinan hakim melulu memiliki kelemahan yaitu dalam menjalankan tugasnya hakim tidak dibatasi oleh apapun sehingga hakim terlalu bebas yang dapat menimbulkan ketidakadilan maupun kesewenang-wenangan. Hal itu juga diungkapkan oleh A. Minkenhof dalam Andi Hamzah yang menyatakan bahwa: “Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, Terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana Terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Praktik peradilan juri di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh.”24 2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction Raisonee). Keyakinan hakim dapat dikatakan tetap memegang peranan penting untuk menentukan salah tidaknya Terdakwa dalam sistem ini. 23 24 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. hlm.252. Ibid, hlm.252-253. 26 Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hal ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap25 bahwa keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benarbenar dapat diterima akal . Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. Sistem ini dan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif pada dasarnya memiliki sebuah kesamaan dimana kedua-duanya tetap berdasarkan keyakinan hakim, hanya saja perbedaannya terletak pada dasar keyakinan hakim timbul. Jika pada sistem pembuktian conviction raisonnne keyakinan itu di dasarkan pada alasan-alasan yang logis. Alasan-alasan tersebut bisa didapatkan dari ilmu-ilmu pengetahuan. Sedangkan pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif keyakinan hakim didasarkan pada aturan undang-undang. 3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Positif. Sistem ini tidak berdasarkan atas keyakinan hakim artinya dalam hal ini keyakinan hakim tidak memiliki peranan. Sistem ini hanya mendasarkan pada undang-undang saja. 25 M Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 277. 27 Pembuktian dengan sistem ini mendasarkan pada alat-alat bukti menurut undang-undang. Oleh karena itu sistem pembuktian ini memiliki kelemahan dimana hakim hanya sebagai corong dari undang-undang. 4. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Negatif. Sistem pembuktian ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif dan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa: “Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.”26 Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen: a. pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, b. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 26 Ibid, hlm 278. 28 3. Alat-Alat Bukti Menurut KUHAP Mengenai macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdiri dari : 1. Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah alat bukti urutan pertama dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan saksi memiliki pengertian dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Penting untuk diketahui tidak semua alat bukti keterangan saksi adalah alat bukti yang sah, keterangan saksi harus memenuhi ketentuan agar dapat menjadi alat bukti yang sah. Ketentuan tersebut yaitu: 1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Saksi harus mengucapkan sumpah agar keterangannya dapat menjadi alat bukti yang sah. Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan: “ (3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya,.” 29 Jika saksi tidak mau mengucapkan sumpah maka akibat hukumnya keterangan saksi tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti. Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan: “(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.” 2. Keterangan saksi harus diberikan di dalam persidangan. Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan: “(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” 3. Keterangan tersebut adalah keterangan tentang apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri yang berkaitan dengan peristiwa pidana. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti adalah keterangan saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu keterangan yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri. 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup 30 Hal ini sesuai dengan prinsip minimum pembuktian bahwa untuk menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti. Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan: “(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.” Sebenarnya Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan kembali apa yang dirumuskan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai batas minimum pembuktian. P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang27 mengatakan bahwa seperti yang pernah dikatakan di muka, dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa terkandung suatu asas yang sangat penting untuk diperhatikan, baik oleh penyidik, penuntut umum, hakim maupun penasihat hukum, yakni asas unus testis nullus testis, atau yang di dalam praktik juga sering disebut dengan perkataan satu saksi bukan saksi. 2. Keterangan Ahli 27 Ibid., hlm.417-418. 31 Pasal 1 angka (28) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai berikut: “Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” 3. Surat Pengertian surat tidak didapatkan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi bisa didapatkan dari para ahli. Pengertian surat menurut Asser-Anema dalam Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril28 surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai berikut: “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; 28 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril,Op.Cit.hlm.127. 32 c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.” Surat dari rumusan pasal tersebut agar dapat dijadikan alat bukti yang sah yaitu : - dibuat atas sumpah jabatan atau - dikuatkan dengan sumpah. Ketentuan dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menimbulkan persoalan karena surat pada huruf d yaitu surat lain tidak dibuat atas sumpah maupun dikuatkan dengan sumpah. Selain itu surat pada huruf d hanya dapat berlaku jika ada hubungannnya dengan isi alat bukti lain. Hal ini dapat diartikan keberadaan surat lain sangat bergantung dengan isi alat bukti lain. Oleh karena itu, nilainya sebagai alat bukti, tergantung pada isinya. Jika isinya tidak ada hubungan dengan alat bukti yang lain, surat bentuk “yang lain” tidak mempunyai nilai pembuktian. Nilai kekuatan pembuktian surat: a. Secara formal alat bukti surat sebagaimana pada Pasal 187 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bukti yang sempurna. Alasan kesempurnaan tersebut dikemukakan Mohammad Taufik 33 Makarao dan Suhasril29 bahwa alat bukti surat dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti surat sempurna hal ini dapat diartikan: - Surat tersebut benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain. - Semua pihak tak dapat menilai lagi kesempurnaan baik bentuk dan pembuatannya. - Semua pihak juga tidak bisa menilai lagi keterangan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang sepanjang isi dari keterangan itu tidak dapat dilumpuhkan oleh alat bukti lain. b. Secara materiil surat bukan alat bukti yang mengikat dan menentukan. Artinya hakim memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian. Secara materiil surat bukan alat bukti yang mengikat dan menentukan memiliki beberapa alasan yang dikemukakan oleh Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril yang mengatakan bahwa: “Alasan ketidak terikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa asas antara lain: asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formil. Lalu asas keyakinan hakim sebagaimana terncantum dalam Pasal 183, bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana kepada seorang Terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa Terdakwalah yang bersalah 29 Ibid, hlm.128. 34 melakukannya. pembuktian.”30 Kemudian asas batas minimum 4. Petunjuk Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai berikut: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Dilihat dari bunyi pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa alat bukti petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain. Dalam hal ini penilaian yang dilakukan oleh hakim diperlukan sikap arif lagi bijaksana setelah hakim mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. 5. Keterangan Terdakwa. Keterangan Terdakwa merupakan alat bukti terakhir dalam proses pembuktian. Terdakwa juga dalam memberikan keterangan di persidangan harus bebas tanpa tekanan. Ketika Terdakwa ditempatkan sebagai subjek dan bebas dari tekanan dalam memberikan keterangannya diharapkan Terdakwa akan memberikan keterangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Keterangan Terdakwa 30 Loc. Cit. 35 diberikan tanpa harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu hal itu yang sering membuat keterangan Terdakwa seringkali diabaikan oleh hakim. Selain itu keterangan Terdakwa seringkali diabaikan karena ada kecenderungan seseorang untuk mengelak melakukan kejahatan yang dilakukannya yang disebabkan faktor psikologis. Andi Hamzah mengatakan bahwa31 psikologi memegang peranan penting. Pada umumnya manusia takut menerima pidana. Dan walaupun dalam hatinya terbenih keinginan menerangkan yang sebenarnya, kadangkadang takut menerima pidana itu akhirnya yang menang, sehingga pada umumnya Terdakwa mengkhianati hati nuraninya sendiri. Keterangan Terdakwa meskipun demikian, seharusnya hakim jangan selalu mengabaikan keterangan Terdakwa karena keterangan Terdakwa merupakan alat bukti yang sah di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan Terdakwa memang ditempatkan di posisi terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hal itu salah satu alasan agar dalam pemeriksaan Terdakwa memberikan keterangannya paling akhir agar Terdakwa dapat secara jelas mengerti tidak pidana yang didakwakan kepadanya. 31 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm.281. 36 Keterangan Terdakwa sebenarnya memiliki sifat yang sama dengan keterangan saksi. Menurut Andi Hamzah32 yang mengatakan bahwa perubahan alat pembuktian dari pengakuan Terdakwa menjadi keterangan Terdakwa sangat penting dan membawa akibat jauh, bahwa keterangan Terdakwa itu mempunyai sifat yang sama dengan keterangan saksi. Alat bukti keterangan Terdakwa diatur dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdiri dari empat ayat yang terumuskan sebagai berikut: 1. Keterangan Terdakwa ialah apa yang Terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 2. Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 3. Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4. Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas dapat ditarik beberapa asas untuk menentukan keterangan Terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, yakni di antaranya: 1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan; 32 Ibid, hlm.280. 37 2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.33 Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan Terdakwa menutur Yahya Harahap adalah sebagai berikut: 1. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan Terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. 2. Harus memenuhi batas minimum pembuktian Adanya keharusan untuk mencukupkan alat bukti keterangan Terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. 3. Harus memenuhi asas keyakinan hakim. Kendati kesalahan Terdakwa telah terbukti memenuhi asas batas minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan keyakinan hakim, bahwa memang Terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP.34 Dengan melihat penjelasan di atas maka yang keterangan Terdakwa tersebut haruslah dinyatakan di dalam persidangan yang berisi apa yang Terdakwa lakukan berdasarkan pengalamannya dan hakim bebas menentukan apakah keterangan Terdakwa dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim ataupun tidak sesuai dengan keyakinan hakim. 33 34 M. Yahya Harahap, 2001, Op. cit., hlm. 299 M. Yahya Harahap, 2001, Op. cit., hlm. 311-312. 38 4. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP Sistem pembuktian ada bermacam-macam. Setiap negara menganut sistem pembuktian yang berbeda. Pengertian pembuktian telah dijelaskan di atas. Sedangkan sistem sendiri juga memiliki pengertian. Menurut Tatang M. Amirin dalam Hibnu Nugroho menyatakan bahwa: “....sistem dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian skema atau metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu , atau model tata cara. Dapat juga dalam arti suatu bentuk atau pola pengaturan, pelaksanaan, atau pemrosesan; dan juga dalam pengertian metode pengelompokan, pengkodifikasian dan sebagainya....”35 Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu adalah: a. Menurut undang-undang artinya hakim tidak dapat secara bebas menentukan jenis alat bukti apa saja yang dapat digunakan dalam pembuktian di persidangan maupun minimal banyaknya alat bukti yang harus ada untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Hal itu juga dikemukakan oleh P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang bahwa: “wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian, undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada”.36 b. Negatif artinya meskipun telah memenuhi minimal alat bukti yang telah ditentukan undang-undang, tetapi belum dapat dijatuhkan pidana apabila hal tersebut belum dapat menimbulkan keyakinan hakim. Jadi di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah jua 35 36 Hibnu Nugroho, Op.Cit.hlm. 9. Loc.Cit. 39 harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang telah didakwakan kepadanya. Menurut M Yahya Harahap, Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen 37: a. b. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalamnya terkandung dua hal, yakni : 1. Batas minimum pembuktian Terdakwa dinyatakan bersalah apabila telah memenuhi dua alat bukti yang sah dan baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Dalam hal ini alat bukti yang sah didefinisikan sebagai alat bukti yang tercantum di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2. Asas keyakinan hakim Menurut Lilik Mulyadi38, Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 37 M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika hal. 279 38 Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Normatif, Teeoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung : P.T. ALUMNI hal : 199 40 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.” adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Artinya di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan hakim memperoleh “keyakinan” bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. D. Tindak Pidana Penistaan Agama 1. Pengertian Tindak Pidana Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak Pidana (strafbaar feit). Menurut Moeljatno, Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.39 Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsurunsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 39 Syarof, Uwais Rifqon, 2012, Pengertian tindak Pidana, http://kakpanda.blogspot.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana.html, diakses pada 7 Mei 2013 41 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.40 Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa); 2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 40 Anonim, 2012, Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Menurut Para Ahli, http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html, diakses pada 7 Mei 2013 42 5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 2. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Penistaan Agama Perlu diketahui bahwa Code Penal sendiri tidak mengatur mengenai delik agama, yang ada hanyalah undang-undang mengenai Godslastering di Negeri Belanda pada tahun 1932 yang terkenal dengan nama Lex Donner oleh Menteri Donner yang menciptakan undang-undang tersebut. Undang-undang di Jerman dalam Strafgesetzbuch mencantumkan delik agama dalam Pasal 166, tampaknya menjadi model dan ilham bagi Negeri Belanda, yang tidak memiliki aturan mengenai delik agama tersebut di tengah-tengah kehidupan hukum di sana dan tidak mengadakan transfer ke Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.41 Akhirnya tindak pidana penistaan terhadap agama diatur di dalam Pasal 156 dan Pasal 156a huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang merumuskan: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Di negeri Belanda, Jerman dan lain-lain, bahwa ucapan, pernyataan ataupun perbuatan-perbuatan yang mengejek Tuhan, memiliki peraturan 41 Ismuhadi. 2008. Analisa Pidana Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana di Indonesia. www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12134/1/09E02103.pdf . Diakses pada 22 Mei 2013 43 sendiri, suatu Godslasteringswet di samping peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan delik¬delik agama, ataupun pernyataan terhadap Tuhan, Nabi dan lain-lainnya dituangkan dalam satu ketentuan seperti di Inggris, yaitu blasphemy.42 Selanjutnya menurut Oemar Seno Aji yang dikutip oleh Ismuhadi, tindak pidana penistaan terhadap agama di Indonesia sendiri diatur di dalam Pasal 156 dan Pasal 156a huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dimasukkan pada tahun 1965 dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama kedalam kodifikasi mengenai delik agama. Namun demikian, Indonesia dengan Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima, tidak memiliki suatu afweer terhadap serangan kata-kata mengejek terhadap Tuhan. Tidak terdapat di sini suatu perundang-undangan semacam Godslasteringswet ataupun blasphemous libel di atas. Hal ini dikemukakan sebagai suatu kekurangan yang vital dalam suatu negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 43 Tindak pidana penistaan terhadap agama yang diatur di dalam Pasal 156 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, adalah salah satu dari haatzaai-artikelen yang befaamd dirumuskan dengan perbuatan pidana yang kontroversial, yaitu mengeluarkan pernyataan perasaan bermusuhan, benci atau merendahkan dengan objek dari perbuatan pidana tersebut, ialah golongan penduduk, yang 42 43 Loc.Cit. Loc.Cit 44 kemudian diikuti oleh interprestasi otentik. Dikatakan dalam Pasal 156 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana kemudian, bahwa yang dimaksudkan dengan golongan penduduk ialah golongan yang berbeda, antara lain karena agama dengan golongan penduduk yang lain. Maka suatu pernyataan perasaan di muka umum yang bermusuhan, benci atau merendahkan terhadap golongan agama, dapat dipidanakan berdasarkan Pasal 156a Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selanjutnya istilah dalam bahasa Belanda, yaitu ongelukkig adalah pernyataan yang ditujukan terhadap golongan agama itu ditempatkan dalam salah satu haatzaaiartikelen (pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia).44 Selanjutnya Pasal 156a huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memidanakan barangsiapa di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalagunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti telah dikemukakan di atas, pasal ini dimasukkan dalam kodifikasi delik agama pada Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 44 Loc.CIt 45 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dimana dalam Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama melarang untuk dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok ajaran agama itu. Selanjutnya barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ia diberi peringatan dan diperintahkan untuk menghentikan perbuatannya itu ke dalam suatu keputusan bersama menteri agama, jaksa agung dan menteri dalam negeri. Jika yang melanggar itu suatu organisasi atau aliran kepercayaan, ia oleh presiden setelah mendapat pertimbangan dari menteri agama, menteri/jaksa agung dan menteri dalam negeri, dapat dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi/aliran terlarang. Jika setelah diadakan tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di atas, ia masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, maka orang/anggota atau anggota pengurus dari organisasi/aliran tersebut dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. Sandaran dari peraturan tersebut adalah pertama-tama melindungi ketenteraman beragama dari pernyataan ataupun perbuatan 46 penodaan/penghinaan serta ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. 47 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas45 dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis (Analitical Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.46 Sedangkan pendekatan analitis (Analitical Approach) maksud utamanya adalah mengetahui makna yang dikandung dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik. 47 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah preskriptif, yaitu suatu penelitian yang menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum, 45 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.118. 46 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2008, hlm. 302. 47 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi), Bayu Media Publishing, Malang, 2007, hlm. 303 48 sehingga apa yang senyatanya berhadapan dengan apa yang seharusnya, agar dapat memberikan rumusan-rumusan tertentu.48 Atau dengan kata lain penelitian ini menganalisis persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum.49 Peter Mahmud Marzuki50 menyatakan bahwa ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai hukum, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menciptakan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. C. Sumber Data Mengingat penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, maka data pokok yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang berasal dari bahan hukum primer yaitu bahan - bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang - undangan yang berlaku dan bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer misalnya rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya yang meliputi: a. Bahan Hukum Primer, ialah semua aturan hukum yang dibentuk dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan 48 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi), Malang, Bayu Media Publishing, 2007, hlm. 303 dan 310. 49 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencara Media Group, Jakarta, 2010, hlm 22 50 Ibid, hlm 91. 49 pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Penulis menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor : 157/Pid.B/2011/PN.Cms. b. Bahan Hukum Sekunder, ialah bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum.51 D. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan yaitu mencarinya dalam misal buku-buku literatur , jurnal ilmiah, dan sebagainya. Selain itu juga menggunakan metode dokumenter yaitu dengan menelaah terhadap dokumen pemerintah maupun non pemerintah (Putusan Pengadilan, Risalah Rapat, dan sebagainya). E. Metode Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara 51 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 32. 50 keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan penelitian. Penelitian ini akan menyajikan bahan hukum dalam bentuk teks naratif yaitu dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun secara logis dan sistematis. F. Metode Analisis Data Metode analisis dalam penelitian ini yaitu normatif kualitatif, yakni merupakan cara menginterprestasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Dari hasil penelitian terhadap Putusan Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms diperoleh data sebagai berikut: 1. Kasus Posisi Berawal pada sekitar tahun 2000, Terdakwa dapat mengobati orang yang sakit melalui pengobatan alternatif. Keberhasilan Terdakwa mengobati orang sakit tersiar dari mulut ke mulut dari perbincangan antara orang yang pernah diobati oleh Terdakwa dengan orang lain sehingga kemampuan Terdakwa mulai dikenal oleh masyarakat. Adapun nama Terdakwa saat mengobati orang yang sakit dikenal dengan nama RJD. Melihat semakin banyaknya orang yang datang kepada Terdakwa, akhirnya pada sekitar tahun 2003, Terdakwa mendirikan sebuah saung tempat mengobati orang sakit sampai kemudaan Terdakwa mendirikan bangunan-bangunan atau saung-saung lainnya secara bertahap hingga menjadi sebuah padepokan yang kemudian diberi nama Padepokan Jati Sampurna. Dalam melakukan pengobatan terhadap pasiennya, Terdakwa menggunakan metode totok saraf pada bagian kepala, perut, punggung, lutut, lalu diberi makan mie rebus dengan irisan cabai rawit dan disuruh meminum kopi hitam. Dalam melakukan pengobatan tersebut, Terdakwa tidak menetapkan biaya pengobatan secara khusus, akan tetapi pasien-pasien dapat memberikan sumbangan secara sukarela yang diletakkan di dalam kotak yang sudah disediakan Terdakwa. 52 Pada bulan Juni sampai dengan bulan Oktober tahun 2005, terdapat pasangan suami istri, yaitu SA dan W yang datang ke tempat Terdakwa untuk berobat dan menginap di rumah Terdakwa. Pada saat berobat Terdakwa selalu mengatakan kepada saksi SA dan W bahwa apabila ingin sembuh, maka kedua saksi tersebut harus menjalankan perintah Terdakwa, yaitu : - Tidak shalat karena shalat merupakan olahraga umat Islam. - Tidak wirid. - Mengakui bahwa Terdakwa adalah pengganti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. - Masjid adalah tempat paguyuban atau tempat ngobrol. - Dilarang mengunjungi tempat keramat karena sudah berada di padepokan Terdakwa. Pelarangan melaksanakan ibadah tersebut tidak hanya disampaikan kepada saksi SA dan W, tetapi juga kepada pasien lainnya yang datang berobat kepada Terdakwa. Hal tersebut dilakukan di saung tempat para pasien menunggu untuk diobati. Selama saksi SA dan W berada di tempat Terdakwa keduanya tidak pernah melaksanakan shalat karena dilarang oleh Terdakwa. Kemudian pada tahun 2007, ada sepasang suami-isteri yang sedang sakit mendengar bahwa Terdakwa mempunyai kelebihan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, sehingga suami-isteri tersebut yaitu NN dan ES datang ke padepokan milik Terdakwa karena NN menderita pegal-pegal dan diobati oleh Terdakwa dengan cara dipijat pada bagian persendian lalu disuruh minum kopi dan makam mie rebus dengan irisan 53 cabai rawit. Pada saat berada di padepokan milik Terdakwa, NN dan suaminya selalu diingatkan oleh Terdakwa mengenai beberapa hal, yaitu: - Untuk apa shalat karena di dalam Al-Qur’an tidak ada perintah praktik shalat, yang ada hanya tegakkan shalat dan praktik shalat itu hanya ada dalam hadits dan hadits itu buatan manusia. - Untuk apa melaksanakan puasa, jaman dahulu puasa itu karena tidak ada makanan sedangkan sekarang sudah merdeka dan banyak makanan. - Melarang untuk berdzikir/wirid karena hanya memanggil khoddam dan membuat pusing kepala. - Sesama muslim dilarang mengucapkan Assalamu’alaikum karena ucapan Assalamu’alaikum tidak ada bedanya dengan apa kabar. - Dilarang memakai kerudung karena kerudung itu bukan untuk menutupi aurat tetapi hanya untuk menutupi debu. - Untuk apa naik haji, karena haji itu hanya untuk menyembah batu hitam, tidak ada bedanya dengan umat kristen dan cina yang membakar dupa/hio, menyembah patung. - Dan kalau datang ke padepokannya serta mengikuti ajarannya harus siap untuk dikucilkan. Perbuatan Terdakwa membuat larangan tersebut diucapkan di saung yang berada di tempat Terdakwa. Larangan-larangan tersebut juga disampaikan kepada setiap pasien lainnya yang datang berobat kepada Terdakwa. Kemudian pada tahun 2007 pula nama padepokannya berubah menjadi Padepokan Tri Tunggal. 54 Pada akhir tahun 2010, kegiatan pengobatan yang dilakukan oleh Terdakwa mulai dibicarakan dan menimbulkan keresahan di masyarakat karena tersiar kabar kalau dalam melakukan pengobatan tersebut oleh Terdakwa diselipkan pelarangan beribadah yang bertentangan dengan ajaran agama Islam hingga muncul di beberapa media massa. Untuk menanggapi situasi yang berkembang di masyarakat tersebut, Pemerintah Kabupaten Ciamis melakukan pembinaan dengan Terdakwa oleh karena Terdakwa masih berstatus sebagai PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ciamis, yaitu: - Pembinaan ke- I, pada hari Rabu tanggal 12 Januari 2011 di Kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Ciamis. - Pembinaan ke- II, pada hari Senin tanggal 31 Januari 2011 di Kantor Kecamatan Cijeungjing. - Pembinaan ke- III, pada hari Selasa tanggal 1 Februari 2011 di Kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Ciamis. Dari tiga kali pembinaan tersebut Terdakwa tetap bersikukuh mempertahankan keberadaan Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh miliknya tersebut karena Terdakwa menganggap bahwa dirinya tidak pernah melakukan hal-hal sebagaimana yang diisukan masyarakat. Melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat tersebut kemudian DPD MUI Kab. Ciamis mengirim surat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis Nomor: 65/DPD MUI/Kab.Cms/2011 tanggal 30 Januari 2011 perihal permohonan dialog dengan Bupati Kabupaten Ciamis tentang keberadaan 55 Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh. Selanjutnya untuk menjawab surat tersebut maka kemudian Pemerintah Kabupaten Ciamis telah membuat surat Nomor: 222.4/III-Pem-Um.1 tanggal 1 Februari 2011 perihal Permohonan Dialog kepada Ketua DPD Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Ciamis, dimana dialog tersebut kemudian dialaksanakan di tingkat Kecamatan dengan dipimpin oleh Camat Cijeungjing yang dilaksanakan tanggal 2 Februari 2011 yang dihadiri oleh MUI, dari unsur pesantren, elemen masyarakat seperti Front Pembela Islam, LPI, GEMPUR, dan tokoh masyarakat Cijeungjing dan Terdakwa sendiri, namun dalam pertemuan tersebut tidak ditemukan titik temu, karena Terdakwa tetap tidak mengakui atas apa yang dituduhkan kepadanya dan tetap tidak mau menutup padepokan tersebut sehingga situasi menjadi tidak kondusif. 2. Dakwaan Penuntut Umum Terdakwa diajukan ke persidangan dengan dakwaan kumulatif sebagai berikut: KESATU Bahwa Terdakwa OJ Alias RJD pada suatu hari yang tidak dapat ditentukan secara pasti antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2010, setidaknya dalam suatu waktu antara 2003 sampai dengan 2010, bertempat di Dusun Timbangwindu, RT 25/08, Desa Pamalayan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, setidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Ciamis yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili, telah dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau 56 perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a KUH Pidana. DAN KEDUA Bahwa Terdakwa OJ Alias RJD pada suatu hari yang tidak dapat ditentukan secara pasti antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2010, setidaknya dalam suatu waktu antara 2003 sampai dengan 2010, bertempat di Dusun Timbangwindu, RT 25/08, Desa Pamalayan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, setidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Ciamis yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili, telah dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 KUH Pidana. 3. Pembuktian Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang bukti dalam persidangan, yaitu : a. Alat Bukti Keterangan Saksi 57 1. S, di bawah sumpah di persidangan yang pada ppokoknya menerangkan sebagai berikut: - Pada bulan Desember 2010 saksi selaku koordinator LSM Kabupaten Ciamis mnendengar dan membaca di beberapa media massa adanya kabar dugaan penodaan agama Islam dan/atau pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan oleh Terdakwa OJ selaku pendiri Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh. - Kemudian pada awal bulan Januari 2011, saksi bersama elemenelemen ORMAS mendatangi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Ciamis untuk kordinasi dan menanyakan tentang dugaan tersebut, dan hasil kordinasi adalah sepakat untuk menindaklanjuti hasil kordinasi tersebut. - Pada pertengahan bulan Januari 2011 diadakan pertemuan di rumah Ketua MUI Kabupaten Ciamis dengan maksud untuk membahas isuisu tersebut. Pada saat itu pertemuan dihadiri Ketua MUI Kabupaten Ciamis, Ketua MUI Kecamatan cijeungjing, dan ORMAS-ORMAS Islam diantaranya Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gempur dan menghasilkan kesepakatan untuk mencari fakta-fakta tentang adanya dugaan penodaan agama yang dilakukan Terdakwa OJ. 58 - Sekitar akhir bulan Januari 2011 diadakan lagi pertemuan di rumah Penasihat MUI dan hasil pertemuan dengan MUI menyatakan sepakat membuat surat yang ditujukan kepada Bupati Kabupaten Ciamis untuk mengadakan dialog 3 (tiga) pihak diantaranya dari PEMDA, MUI, elemen masyarakat, dan pihak Terdakwa yang dijadwalkan pada tanggal 2 Februari 2011 yang dilaksanakan di Kantor Desa Pamalayan Kec. Cijeungjing Kabupaten Ciamis yang dipimpin Ketua MUI Kab. Ciamis dan dihadiri oleh Camat Cijeungjing, Kapolsek, elemen masyarakat, warga masyarakat, aparat desa, anggota Polres Ciamis, anggota KODIM Ciamis, dan Terdakwa OJ beserta pengurus Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh. - Awalnya dialog berjalan lancar namun pada saat MUI menghadirkan orang yang mengetahui adanya penodaan agama, suasana dialog menjadi panas dan tidak terkendali sehingga saksi memberhentikan acara tersebut untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. - Dalam pertemuan tersebut disepakati semua pihak bahwa pengusutan masalah ini harus melalui jalur hukum sebelum acara ditutup oleh Ketua MUI. - Kemudian saksi melaporkan kejadian ini ke Polres Ciamis untuk dijadikan dasar penyidikan sambil membawa tiga orang lainnya yang mengetahui adanya dugaan penodaan agama tersebut, yaitu SA, W, dan Drs. E. 59 Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan atas keterangan saksi yang menyatakan bahwa Terdakwa telah melarang shalat, wirid/dzikir, dan mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. Atas keberatan Terdakwa tersebut, saksi menyatakan tetap pada keterangannya semula. 2. SA Binti ES, di bawah sumpah di persidangan yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: - Saksi pernah berobat kepada Terdakwa karena saksi menderita sakit dalam perut dan suami saksi menderita sesak nafas. Saksi mengetahui tempat Terdakwa karena suami saksi diberi tahu teman kerjanya bahwa ada tempat pengobatan alternatif yang letaknya di daerah Cijeungjing. - Pada waktu datang, saksi langsung bertemu dengan Terdakwa dan Terdakwa mengaku sebagai RJD. Saksi baru mengetahui nama asli Terdakwa OJ di kemudian hari. - Setelah bertemu dengan Terdakwa lalu saksi diajak ke suatu ruangan kemudian saksi menyampaikan keluhan mengenai penyakit yang saksi derita. Setelah itu saksi disuruh ke sebuah kamar yang letaknya di pinggir padepokan bersama suami saksi. Di dalam kamar terdapat tikar dan bed cover, serta tulisan-tulisan yang ditempel di dinding kamar yang berbunyi dilarang melaksanakan shalat, dilarang 60 wirid/dzikir, dilarang mendatangi tempat keramat, dilarang minum air keramat dan ada juga tulisan atas nama RJD. - Metode pengobatan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan cara menarik urat di bagian tangan, punggung dan lutut serta saksi disuruh minum kopi dan makan mie instan yang dicampur dengan cabai rawit. - Setelah dilakukan pengobatan, saksi disuruh Terdakwa untuk tinggal di padepokan, katanya karena saksi sedang hamil dan akan melahirkan yang tidak wajar dan jika melahirkan di luar padepokan akan ada terjadi hal aneh seperti melahirkan ular. - Karena hawatir dan takut atas ucapan Terdakwa maka saksi sekeluarga langsung tinggal di padepokan Terdakwa dan ditempatkan di saung bekas kandang ayam yang lokasinya agak jauh dari rumah Terdakwa. - Ketika saksi tinggal di padepokan, pengobatan oleh Terdakwa hanya diberikan jika saksi merasa sakit dan kemudian diberi minum kopi namun perut saksi tetap saja merasa sakit dan menurut Terdakwa bahwa nanti juga akan sembuh asal saksi tetap mengabdi kepada Terdakwa. - Setelah dilakukan pengobatan, kemudian saksi bersama suami saksi (saksi W bin K) mendengar pengarahan/nasehat Terdakwa yaitu: a. Tidak boleh shalat karena shalat hanya olahraga agama Islam. b. Dilarang wirid yang berlebihan karena akan mengundang jin. 61 c. Masjid adalah tempat paguyuban atau tempat ngobrol. d. Dilarang mengunjungi tempat-tempat keramat karena sudah ada di padepokan Terdakwa OJ. e. Terdakwa mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. - Perbuatan tersebut dilakukan Terdakwa pada hari Kamis tanggal 16 Juni 2005 sekitar jam 17.00 WIB di tempat/bangunan yang disediakan untuk pengobatan yang terletak di pinggir rumah Terdakwa OJ. - Saksi tidak pernah melihat ada tempat khusus ibadah seperti mushola, yang ada hanya saung-saung. Selain itu saksi tidak pernah melihat orang yang melaksanakan ibadah shalat di padepokan Terdakwa, kalaupun ada pasien yang melaksanakan ibadah shalat pasti dipojokkan/dicemooh. - Saksi berada di padepokan Terdakwa selama 5 (lima) bulan yaitu dari bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Oktober 2005. - Selama saksi berada di padepokan Terdakwa, saksi hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Raspati oleh Terdakwa. Bayi saksi lahir di WC yang ada di lokasi pengobatan pada bulan Oktober 2005. Selanjutnya bayi tersebut dipisahkan dengan saksi karena Terdakwa mengatakan bahwa bayi saksi tersebut mempunyai kelainan lalu bayi tersebut disimpan di dalam kotak kayu dan diletakkan di tempat terbuka dan diberitahukan kepada orang-orang yang datang ke padepokan bahwa bayi tersebut 62 adalah bayi ajaib. Kemudian di samping kotak penyimpanan bayi diletakkan kotak tempat penyimpanan uang dan di pinggir kotak tersebut dibubuhi nama RASPATI dan uangnya diambil oleh Terdakwa. - Setelah bayi saksi lahir, Terdakwa mengatakan tidak perlu untuk diAdzan-in serta saksi tidak diberi kesempatan untuk menyusui atau mengurus bayi karena Terdakwa mengatakan bahwa bayi tersebut ada kelainan dan saksi dianggap Terdakwa tidak akan kuat karena kalau dirawat sendiri oleh saksi bayi tersebut bisa berubah jadi ular. Bayi tersebut hanya diberi minum air gula aren oleh D dan E. Bayi saksi dipisahkan oleh Terdakwa dari saksi selama 14 (empat belas) hari. Setelah itu saksi mengambil paksa bayi tersebut sebab saksi sudah melihat keadaan bayi yang menderita. Selanjutnya saksi keluar dari padepokan. - Selama saksi tinggal di padepokan saksi juga disuruh membuat sebuah saung oleh Terdakwa agar penyakit saksi sembuh. Untuk membangun saung tersebut saksi mengeluarkan uang sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah). - Penyakit yang saksi derita tidak sembuh hingga sekarang. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa menyatakan keberatan, yaitu: 63 - Terdakwa tidak menyuruh saksi tinggal di tempat Terdakwa, tetapi saksi sendiri yang minta kepada Terdakwa untuk tinggal di tempat Terdakwa. - Tidak benar Terdakwa melarang untuk shalat, wirid, dan mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. - Tidak benar di dalam kamar ada tulisan-tulisan yang berisi larangan shalat. - Tidak benar Terdakwa melarang untuk menyusui bayi saksi, tetapi saksi sendiri yang mengatakan kepada Terdakwa bahwa payudaranya tidak ada air susunya. - Terdakwa tidak pernah menyuruh saksi untuk membangun saung, tetapi saksi sendiri yang meminta untuk ikut membangun. - Tidak benar di padepokan Terdakwa tidak ada mushola, tetapi ada saung yang bisa dipakai shalat. Atas bantahan Terdakwa tersebut saksi tetap pada keterangannya. 3. Saksi W Bin K, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sama dengan yang diterangkan isti saksi, yaitu SA Binti ES Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan karena Terdakwa tidak pernah melarang untuk melaksanakan shalat, melarang melakukan wirid, dan tidak pernah mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. 64 Bahwa atas keberatan Terdakwa tersebut, saksi menyatakan tetap pada keterangannya. 4. EI Bin IR, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: - Saksi mempunyai hubungan keluarga akan tetapi tidak ada hubungan pekerjaan dengan Terdakwa OJ. - Saksi pernah kedatangan I dan H yang menceritakan kepada saksi bahwa sewaktu silaturahmi Idul Fitri bahwa mereka pernah berobat kepada Terdakwa tetapi tidak sembuh. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak merasa keberatan dan menerima keterangan saksi tersebut. 5. DS Bin M, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: - Saksi mulai mengenal Terdakwa sejak tahun 2005, ketika berobat kepada Terdakwa karena menderita sakit pegal-pegal di rumah Terdakwa karena diberitahu oleh S bahwa Terdakwa suka mengobati. - Saksi langsung bertemu dengan Terdakwa dan saksi langsung diobati Terdakwa dengan cara ditotok bagian syaraf dan setelah ditotok saksi langsung disuruh minum kopi dan yang memberikan kopi adalah istri Terdakwa namun hingga saat ini belum sembuh. 65 - Setelah berobat kepada Terdakwa saksi tidak dimintai biaya pengobatan namun setelah selesai berobat saksi langsung ikut Terdakwa sebagai balas jasa atas kebaikannya terhadap saksi. - Saksi ikut Terdakwa sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 dengan alasan setelah saksi ikut Terdakwa hidup saksi menjadi lebih tenang. Saksi sering konsultasi dengan Terdakwa, dimana dalam pembicaraan tersebut saksi sering disuruh untuk berlaku sabar. - Saksi sampai sekarang masih sesekali datang ke padepokan dan selama 2 tahun saksi bersama Terdakwa, Terdakwa tidap pernah mangajak saksi untuk shalat. - Pada waktu saksi SA melahirkan yang membantu melahirkan adalah suaminya. Setelah dilahirkan, yang merawat bayi tersebut adalah saksi sendiri karena disuruh Terdakwa. Bayi tersebut kemudian diberi nama RESPATI dan tidak dirawat sendiri oleh ibu kandungnya yaitu saksi SA karena Terdakwa melarang ibunya untuk merawatnya. - Setelah bayi dilahirkan, saksi disuruh Terdakwa agar menyimpan bayi tersebut di atas kotak karena Terdakwa mengatakan kepada saksi bahwa bayi tersebut merupakan bayi istimewa yang akan mengangkat martabat dan derajat padepokan. - Setiap pasien yang melihat bayi tersebut menyimpan uang ke dalam kotak yang sudah disediakan di samping kotak bayi atas perintah Terdakwa tetapi uangnya kemudian diambil sendiri oleh Terdakwa. 66 - Bayi tersebut berada di padepokan selama 2 minggu karena setelah itu bayi tersebut diambil oleh ibunya. Selama dua minggu berada di padepokan, bayi tersebut oleh saksi hanya diberi air gula sesuai perintah Terdakwa. - Selama di padepokan yang sering dikatakan Terdakwa kepada saksi adalah bahwa shalat lima waktu itu hanya olahraganya orang Islam, bedzikir/wirid itu hanya akan menimbulkan rasa sakit dan pusing di kepada, serta melarang untuk membaca Al-Qur’an yang juga disampaikan Terdakwa kepada para pasien lain yang datang. - Saksi keluar dari padepokan karena saksi ingat keluarga dan keluarga juga menyuruh saksi keluar dari padepokan, selain itu saksi merasakan bahwa padepokan sudah menyimpang oleh karena itu saksi tidak kembali lagi ke padepokan. - Saksi sempat kenal dengan saksi U yang datang ke padepokan untuk mengobati anaknya dan pernah membangun saung di lingkungan padepokan. Setahu saksi setelah saung dibangun anak U tidak sembuh. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan karena tidak pernah melarang shalat dan wirid. Atas keberatan Terdakwa tersebut, saksi menyatakan tetap pada keterangannya. 6. EN Bin H. ME, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: 67 - Saksi adalah Kepala Dusun Timbangwindu . - Terdakwa adalah PNS pada Kantor Kecamatan Cijeungjing Kab. Ciamis dan Terdakwa membuka praktik pengobatan alternatif di rumahnya atau padepokannya. - Saksi tidak pernah menerima laporan atas berdirinya padepokan tersebut. Saksi baru tahu pada tahun 2008 ketika saksi menjabat sebagai Kepala Dusun. - Dengan adanya padepokan tersebut warga sekitar menjadi resah setelah ada kabar karena ajaran di padepokan tersebut telah menyimpang dari ajaran agama Islam yaitu melarang untuk melaksanakan shalat, dzikir, dan membaca syahadat kepada para pasiennya. - Kemudian saksi selaku kepala dusun pernah meredam gejolak yang terjadi di dusun Timbangwindu yang dilakukan oleh para pemuda sehubungan dengan keresahan yang disebabkan oleh perbuatan Terdakwa dengan cara diadakan rapat musyawarah di desa untuk menutup padepokan tersebut. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan karena Terdakwa tidak pernah melarang untuk melaksanakan shalat dan melarang melakukan wirid. Atas keberatan Terdakwa tersebut, saksi menyatakan tetap pada keterangannya. 68 7. OSQ, S. Ag. Bin D, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: - Saksi mengenal Terdakwa sejak tahun 2004 karena adik ipar saksi (saksi DS bin M) pernah tinggal di padepokan milik Terdakwa untuk berguru ilmu hikmah. - Saksi pernah datang ke padepokan tersebut dengan maksud dan tujuan ingin mengetahui bahwa di padepokan tersebut terdapat indikasi yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, yaitu tidak boleh mendirikan shalat. Saksi datang ketempat tersebut antara waktu Dzuhur sampai Ashar dan disana tidak ada kegiatan Shalat. - Saksi pernah berdialog tentang Islam dengan Terdakwa dan Terdakwa mengatakan kalau kita melaksanakan amalan harus dengan penuh keikhlasan, apakah artinya shalat dengan gerakangerakan shalat sementara kita tidak ikhlas dan mendekatkan diri kepada Allah SWT itu sia-sia. - Terdakwa mengatakan tidak perlu shalat yang penting berbuat baik, malah Terdakwa mengatakan kepada saksi bahwa KH. IH pimpinan Pondok Pesantren Darussalam ketika shalat sendiri sering menengok ke atas dan ke bawah, ke belakang, ke kiri, dan ke kanan oleh karena itu dia telah membodohi murid-muridnya. Terdakwa pun mengatakan bahwa KH. ASM itu tidak benar karena dia punya hijib untuk kekayaan. 69 - Saksi pernah berdialog dengan Terdakwa mengenai kelebihan yang Terdakwa punya dan Terdakwa mengatakan suatu ketika Terdakwa menyendiri kemudian seolah-olah ada kekuatan yang memaksa dengan membentur-benturkan kepala ke dinding sampai muntah seperti Rosul dibersihkan dari kotoran oleh malaikat, oleh karena itu setelah kejadian tersebut Terdakwa diberi kelebihan seperti itu. - Cara pengobatan yang dilakukan Terdakwa adalah dengan cara ditotok kemudian pasien disuruh minum kopi hitam dan makan mie instan pedas. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa merasa keberatan, yaitu: a. Saksi DS datang ke Padepokan bukan untuk berguru ilmu Hikmah, tetapi saksi DS datang untuk berobat karena ia ketergantungan obat. b. Terdakwa tidak pernah melarang untuk melaksanakan shalat. c. Terdakwa tidak pernah menjelekan KH. IH dan KH. ASM. Atas keberatan Terdakwa tersebut, saksi menyatakan tetap pada keterangannya. 8. U Bin S, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: - Saksi pernah membawa anaknya yang benrnama N atau Y untuk berobat kepada Terdakwa sekitar tahun 2005 karena saksi mengetahui Terdakwa bisa melakukan pengobatan alternatif dari O. 70 - Setibanya di tempat Terdakwa, saksi tidak langsung bertemu dengan Terdakwa tetapi ditemui oleh pegawainya. Setelah menunggu sekitar 3 (tiga) jam baru saksi bertemu dengan Terdakwa. - Setelah bertemu dengan Terdakwa saksi menyampaikan tentang penyakit anak saksi dan Terdakwa mengatakan penyakit anak saksi gampang disembuhkan dan tidak akan lama diobati kemudian saksi mengatakan insyaAllah mudah-mudahan sembuh, lalu Terdakwa mengatakan kepada saksi jangan mengatakan InsyaAllah dan jangan mengucapkan asma Allah dan mengucapkan istigfar. - Pengobatan yang dilakukan oleh Terdakwa adalah dengan cara menotok bagian tubuh kemudian setelah selesai disuruh minum kopi hitam dan makan mie instan pedas. - Setelah dilakukan pengobatan saksi dan anak saksi langsung pulang dan oleh Terdakwa saksi disuruh kembali lagi pada malam Jum’at, sehingga pada hari Kamis siang saksi datang lagi bersama anak saksi ke tempat Terdakwa dan langsung bertemu dengan Terdakwa. - Anak saksi diobati pada malam hari karena katanya pada malam itu akan datang yang ghoib yang akan menyembuhkan anak saksi. - Pada malam hari saksi dan anak saksi dibawa tempat yang berada di belakang rumah Terdakwa, kemudian Terdakwa mengatakan bahwa saksi harus membangun saung di tempat tersebut agar anak saksi sembuh. 71 - Saksi menyanggupi permintaan Terdakwa itu. 5 (lima) hari kemudian saksi datang lagi ke tempat Terdakwa untuk membangun saung di tempat Terdakwa dan selesai kurang lebih selama 1 (satu) minggu dengan biaya sekitar Rp. 11.000.000,- (sebelas juta rupiah). - Saksi membangun saung tersebut pada saat bulan puasa, dan saksi memperhatikan bahwa orang-orang yang ada di padepokan Terdakwa tidak ada yang melaksanakan shalat termasuk shalat tarawih. - Setelah saung tersebut selesai dibangun ternyata anak saksi tetap tidak sembuh sebagaimana yang dijanjikan oleh Terdakwa. - Terdakwa tidak pernah melarangnya untuk melaksanakan shalat atau berdzikir, tetapi menurut pengamatannya memang disana tidak ada aktifitas shalat atau dzikir, bahkan waktu itu ada pasien dari Majalengka yang sedang melaksanakan shalat tetapi disana malah dibunyikan musik dengan suara keras. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan yaitu mengenai pembangunan saung, tujuan Terdakwa menyuruh membangun saung adalah untuk ditempati saksi dan anaknya selama berobat ditempat Terdakwa, selain itu Terdakwa tidak penah melarang untuk mengucapkan insyaAllah, mudah-mudahan, membaca istighfar dan Asmaul husna . Atas keberatan Terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada keterangannya. 72 9. E Bin A, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: - Saksi kenal dengan Terdakwa karena saksi pernah berobat ke rumah Terdakwa sekitar tahun 2003 karena sakit pegal-pegal. Ketika saksi datang saksi langsung bertemu dengan Terdakwa. Saat itu saksi langsung disuruh masuk kamar dan setelah berada dikamar saksi disuruh berbaring kemudian dipijit oleh Terdakwa. Setelah selesai dipijit saksi disuruh kembali lagi ke paviliun dan diberi minum air aqua. - Ketika di paviliun itu Terdakwa menceritakan bahwa di dalam kamar tadi Terdakwa pernah dibelah dadanya oleh malaikat seperti Nabi Muhammad SAW dan mengaku bahwa Terdakwa adalah pengganti Nabi Muhammad SAW. Kemudian Terdakwa melarang saksi untuk melaksanakan shalat, berdzikir, dan shalat tahajud. Terdakwa pun mengatakan bahwa KH. IH (pimpinan Ponpes Darussalam) ketika sedang berdakwah itu bukan suaranya. - Ketika itu saksi langsung pulang karena saksi tidak percaya atas segala kata-kata yang diucapkan Terdakwa. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan yaitu Terdakwa tidak pernah mengatakan mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW dan tidak pernah melarang shalat, wirid/dzikir dan shalat tahajud juga tidak pernah mengatakan KH. IH kalau sedang berdakwah itu bukan suaranya . 73 Atas keberatan Terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada keterangannya. 10. ETR Bin S, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: - Saksi adalah Ketua RT di Dusun Timbangwindu, Desa Pamalayan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis. - Terdakwa adalah PNS pada Kantor Kecamatan Cijeungjing, Kab. Ciamis, dan Terdakwa juga membuka praktik pengobatan alternatif di rumahnya atau padepokannya yang bernama Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh sejak tahun 2000. - Saksi mengetahui praktik Terdakwa tersebut dari warga sekitar padepokan. - Dengan adanya padepokan tersebut warga sekitar menjadi resah setelah ada kabar karena ajaran di padepokan tersebut telah menyimpang dari ajaran agama Islam karena Terdakwa melarang untuk melaksanakan Shalat, Dzikir, dan membaca Syahadat kepada para pasiennya. - Sekarang ini praktik pengobatan Terdakwa ditutup setelah ada gejolak di masyarakat dan setelah diberitakan di media massa . Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan karena Terdakwa tidak pernah melarang shalat dan wirid/ dzikir. Atas keberatan Terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada keterangannya. 74 11. NN Binti H, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: - Saksi datang ke padepokan milik Terdakwa pada sekitar tahun 2008 bersama suami saksi yaitu saksi ES dengan tujuan untuk berobat karena saksi sakit maag dan suami saksi sakit reumatik/sakit pada lutut. Ketika itu Terdakwa mengobati saksi di dalam kamar dengan cara dipijit urat dan sendi-sendi tubuh saksi kemudian setelah selesai saksi disuruh Terdakwa minum kopi dan makan mie instan yang ditambah cabai rawit. Saksi berobat seminggu sekali selama kurang lebih 4 bulan. - Sewaktu saksi berobat kepada Terdakwa di padepokan milik Terdakwa, Terdakwa pernah mengatakan kepada saksi dan suami saksi yaitu: a. Untuk apa melaksanakan Shalat karena di dalam Al Qur’an tidak ada perintah praktik shalat, yang ada hanya tegakan shalat dan praktik shalat itu hanya ada dalam hadist dan hadist itu hanya buatan manusia. b. Untuk apa melaksanakan puasa, jaman dahulu puasa itu karena tidak ada makanan sedangkan sekarang sudah merdeka dan banyak makanan. c. Melarang untuk berdzikir/wirid karena berdzikir/wirid itu hanya memanggil khodam dan membuat pusing kepala. 75 d. Sesama muslim dilarang untuk mengucapkan Assalamualaikum karena ucapan Assalamualaikum itu tidak ada bedanya dengan apa kabar. e. Dilarang untuk memakai kerudung karena memakai kerudung itu bukan untuk menutupi aurat tetapi hanya untuk menutup debu. f. Untuk apa naik haji karena naik haji itu hanya untuk menyembah batu hitam, tidak ada bedanya dengan umat Kristen dan Cina yang membakar dupa/hio, menyembah patung. g. Terdakwa juga mengatakan kalau datang ke padepokan serta mengikuti ajaran Terdakwa harus siap untuk dikucilkan. - Setelah diobati Terdakwa sakit maag yang saksi derita memang sembuh tetapi sakit suami saksi tetap tetap tidak sembuh. - Saksi percaya dengan ucapan Terdakwa karena ternyata penyakit saksi sembuh, sehingga saksi takut jika shalat penyakit saksi kambuh lagi namun kemudian saksi sadar bahwa hal tersebut salah dan tidak berobat lagi kepada Terdakwa. - Selama saksi berobat Terdakwa tidak pernah meminta biaya pengobatan, tetapi memberi alakadarnya dan dimasukan kedalam kotak yang sudah disediakan. - Setelah perkara ini ditangani oleh Polisi saksi pernah bertemu kembali dengan Terdakwa di Polres Ciamis, dan saat itu Terdakwa 76 berkata, “Ibu Enung, sekarang kita tidak usah melawan arus. Saya juga sekarang sudah Shalat Jum’at, karena sudah dibicarakan banyak orang jadi ikut-ikutan saja”. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan yaitu Terdakwa tidak pernah melarang shalat, puasa, dzikir, mengucap salam, memakai kerudung dan naik haji. Atas keberatan Terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada keterangannya. 12. ES Bin MS, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan yang sama dengan saksi NN. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan yaitu Terdakwa tidak pernah melarang shalat, puasa, dzikir, mengucap salam, memakai kerudung dan naik haji. Atas keberatan Terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada keterangannya. 13. M, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi kenal dengan Terdakwa karena sama-sama sebagai PNS di lingkungan Pemda Kab. Ciamis dimana Terdakwa adalah seorang PNS pada kantor Kecamatan Cijeungjing Kab. Ciamis sedangkan saksi adalah sebagai Asisten Daerah Bidang Pemerintahan. - Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis telah membuat Surat Nomor : 223.4/III-Pem-Um.1 tanggal 1 Februari 2011 perihal Permohonan 77 Dialog kepada Ketua DPD Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Ciamis yang maksud dan tujuan surat tersebut yaitu untuk membalas surat dari DPD MUI Kab. Ciamis No: 65/DPD MUI/Kab.Cms/I/2011 tanggal 30 Januari 2011 perihal permohonan dialog dengan Bapak Bupati Kabupaten Ciamis tentang keberadaan Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh. - Dialog tersebut dilaksanakan di tingkat Kecamatan dipimpin oleh Camat Cijeungjing yang dilaksanakan tanggal 02 Februari 2011. Berdasarkan laporan dari Camat Cijeungjing kesimpulannya adalah dalam pertemuan tersebut tidak ditemukan titik temu karena Terdakwa tetap tidak mengakui atas apa yang dituduhkan kepadanya. Karena situasi menjadi tidak kondusif akhirnya pertemuan diputuskan bahwa Terdakwa akan diajukan melalui proses hukum dan padepokan Terdakwa ditutup. - Pembinaan yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah, Asisten Pemerintahan Setda Kab. Ciamis serta Kepala SKPD terhadap Terdakwa pada waktu itu sebatas pembinaan sebagai PNS dan apabila dalam praktik pengobatan yang dilakukan oleh Terdakwa sudah menimbulkan atau mengganggu ketertiban umum lebih baik praktik pengobatan tersebut dihentikan saja. - Pembinaan tersebut dilakukan pada : a. Pembinaan ke-I pada hari Rabu tanggal 12 Januari 2011 di Kantor Sekretariat Daerah Kab. Ciamis yang dihadiri oleh 78 Sekretaris Daerah, Para Asisten Setda kab. Ciamis, Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kab. Ciamis, Kepala Kesbangpolinmas Kab. Ciamis, Kepala Bagian Umum, Camat Cijeungjing dan Terdakwa. b. Pembinaan ke-II pada hari Senin tanggal 31 Januari 2011 di Kantor Kecamatan Cijeungjing yang dihadairi oleh Kepala Bagian Pemerintahan Umum, Camat Cijeungjing, Sekretaris Camat, Kasubag Tata Pemerintahan dan Terdakwa. c. Pembinaan ke-III pada hari Selasa tanggal 1 Februari 2011 di Kantor Sekretariat Daerah Kab. Ciamis yang dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kab. Ciamis, Para Asisten Setda Kab. Ciamis, Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kab. Ciamis, Kepala Kesbangpolinmas Kab. Ciamis, Kepala Bagian Umum, Camat Cijeungjing dan Terdakwa. - Dari 3 (tiga) kali pembinaan tersebut Terdakwa tetap bersikukuh mempertahankan keberadaan padepokan tersebut karena menganggap bahwa dirinya tidak pernah melakukan hal-hal sebagaimana yang diisukan masyarakat. - Saksi mengetahui mengenai surat yang dikirimkan Terdakwa kepada elemen masyarakat seperti FPI, LPI, Ormas Gempur dan MUI yang inti surat tersebut berisi permohonan maaf dari Terdakwa dan kesediaan untuk mengucapkan dua kalimah syahadat. 79 Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa membenarkan dan tidak keberatan. 14. Drs. US Bin CS, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan yang sama dengan saksi M. Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut Terdakwa membenarkan dan tidak keberatan. 15. I Bin E, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi pernah bertemu dengan Terdakwa di Kantor Kecamatan Cijeungjing pada saat saksi akan membuat KTP, lalu Terdakwa memanggil saksi dan menanyakan kabar saksi dan dijawab oleh saksi bahwa sakit rematik karena sudah tua. - Terdakwa mengatakan kalau ingin sehat seperti Terdakwa, Terdakwa mengatakan kepadanya agar tidak Shalat, tidak boleh Wudhlu, tidak membaca sholawat dan tidak berziarah ke daerah Pamijahan Tasikmalaya karena dulunya Terdakwa juga punya sakit, tetapi bisa sembuh karena Terdakwa tidak wudhlu, tidak shalat, dan tidak dzikir. Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan karena tidak pernah mengatakan hal-hal seperti itu kepada saksi pada saat bertemu di Kantor Kecamatan Cijeungjing. Menimbang, bahwa atas keberatan tersebut saksi menyatakan tetap pada keterangannya. 80 b. Alat Bukti Keterangan Ahli Drs. KH. AHMAD HIDAYAT, SH. Bin KH. MUH. SIROD selaku Ketua MUI Kabupaten Ciamis, yang telah memberikan keterangan dibawah sumpah, pada pokoknya sebagai berikut : - Ahli pernah mendapat laporan dari LSMdan berdasarkan laporan LSM tersebut perbuatan Terdakwa yang dikatagorikan telah menodai Agama Islam adalah Terdakwa melarang untuk melaksanakan shalat 5 (lima) waktu, melarang membaca Sholawat, melarang membaca ayat Qursy, melarang berdzikir, dan mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. - Perbuatan Terdakwa tersebut menurut pandangan Islam adalah bahwa pokok-pokok ajaran Agama Islam bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist (Sunnah Rosululloh Saw) dan setiap muslim berkewajiban untuk melaksanakan Akidah Islamiyah dan Syariat Islam. - Yang dimaksud dengan Akidah Islamiyah adalah keimanan yang bersumber kepada tauhid diantaranya Rukun Islam sedangkan yang dimaksud dengan Syariat Islam tertuang dalam rukun Islam, jadi perbuatan Terdakwa dapat dikatagorikan sebagai orang yang telah melakukan penodaan terhadap Agama Islam karena telah melanggar Rukun Iman dan Rukun Islam, melanggar Rukun Iman karena telah mengaku sebagai pengganti Nabi, melanggar Rukun Islam karena Terdakwa telah melarang untuk melaksanakan shalat, melarang 81 membaca ayat-ayat Al-Qur’an, melarang berdzikir dan melarang untuk melaksanakan aktifitas ibadah Agama Islam. - Dampak dari perbuatan Terdakwa tersebut akan mengganggu segi-segi kehidupan umat beragama dan dapat juga menimbulkan permusuhan sesama pemeluk Agama Islam dan menggangu Ukhuwah Islamiah. - Pengobatan yang dilakukan oleh Terdakwa tidak menjadi masalah. - Oleh karena melarang shalat bertentangan dengan ajaran agama Islam maka orang yang melarang shalat adalah kafir. - Dengan adanya perbuatan tersebut bagi umat Islam berdampak sebagai berikut : a. Merupakan penghinaan terhadap kehidupan beragama Islam; b. Merupakan penyimpangan dari fungsi agama Islam itu sendiri. c. Merupakan penodaan terhadap hakekat ajaran agama Islam yang diturunkan berdasarkan wahyu/Al-Qur’an/Sunnah Rosul. d. Ditinjau dari segi kehidupan umat beragama mengganggu kerukunan intern umat beragama. e. Dapat menimbulkan permusuhan sesama pemeluk agama Islam yang mengganggu Ukuwah Islamiyah. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan bahwa Terdakwa tidak pernah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya yaitu melarang untuk melaksanakan shalat, melarang membaca ayat-ayat Al Qur’an, melarang berdzikir dan melarang untuk melaksanakan aktifitas ibadah Agama Islam. 82 Atas keberatan Terdakwa tersebut ahli menyatakan tetap pada keterangannya. c. Alat Bukti Keterangan Saksi Yang Meringankan Bagi Terdakwa Adapun saksi yang meringankan bagi Terdakwa yang berasal dari pengajuan Penuntut Umum, yaitu: 1. IHA Bin S, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi mengenal dengan Terdakwa sejak tahun 2003 sejak saksi mulai berobat kepada Terdakwa karena menderita sakit radang otak dan ambeian. - Ketika pertama kali saksi datang langsung bertemu Terdakwa dan langsung diobati dengan cara dipijit pada bagian yang sakit kemudian disuruh minum kopi hitam dan makan mie instan rebus yang dibubuhi dengan irisan cabai. - Saksi datang berobat kepada Terdakwa sebanyak 4 (empat) kali dan setelah berobat kepada Terdakwa penyakit saksi langsung sembuh kemudian ikut Terdakwa sampai dengan sekarang untuk membantu. - Selain membantu saksi juga membuka warung di samping rumah Terdakwa tetapi saksi tidak menetap di tempat Terdakwa. - Menurut Terdakwa minum kopi dan makan mie rebus hanya sekedar tes saja apakah sudah sembuh atau belum. - Dalam melakukan pengobatan Terdakwa dibantu oleh saksi Y, tetapi pengobatan lebih banyak dilakukan oleh Terdakwa. 83 - Selain saksi yang membantu di rumah Terdakwa ada DS, I, J dan E. - Di sebelah warung milik saksi terdapat sebuah saung yang ditempati oleh saksi U dan anaknya yang dibuat oleh saksi U. - Terdakwa mengobati pasiennya di ruang tertutup dan jarang ada pasien yang menginap kecuali saksi SA dan saksi W, serta saksi U. - Saksi SA pernah melahirkan seorang bayi yang diberi nama RASPATI. - Di padepokan milik Terdakwa, terdapat sebuah mushola, tetapi tidak pernah ada pengajian serta saksi tidak pernah mendengar adanya larangan beribadah atau tulisan yang berisi larangan beribadah. - Padepokan milik Terdakwa adalah padepokan yang terbuka dan boleh didatangi oleh siapapun. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya. 2. TM Binti D, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi adalah istri Terdakwa. - Cara pengobatan yang dilakukan Terdakwa adalah dengan cara ditotok dibagian tubuh pasien yang sakit, setelah ditotok kemudian disuruh minum air putih, selanjutnya disuruh minum kopi pahit, kemudian makan mie instan yang pedas. - Ssaksi tidak mengetahui mengenai nasehat, ajaran atau pelarangan ibadah yang disampaikan Terdakwa kepada pasiennya. 84 - Saksi mulai mengetahui adanya tuduhan kepada suami saksi/Terdakwa telah melakukan penodaan Agama setelah membaca dari Media Massa dan setelah itu banyak gunjingan di masyarakat pada sekitar akhir tahun 2010. - Atas adanya berita tersebut dari keluarga tidak ada reaksi apa-apa karena merasa tidak pernah melakukan hal-hal yang jadi berita tersebut. - Saksi pernah menanyakannya kepada suami saksi/Terdakwa atas berita tersebut, tetapi suami saksi/Terdakwa menjawab tidak pernah melakukannya hal yang dituduhkan tersebut. - Terdakwa pernah dipanggil ke PEMDA sebanyak 2 (dua) kali serta pernah juga ada pertemuan sebanyak 2 (dua) kali di Balai Desa Pamalayan sehubungan dengan tuduhan tersebut dan disuruh untuk menutup padepokan. - Setelah pertemuan tersebut, padepokan tempat pengobatan ditutup. - Tempat dilakukan pengobatan tersebut adalah di suatu tempat di dalam padepokan dan apabila ada pasien datang untuk berobat atau setelah berobat kemudian berkonsultasi dengan Terdakwa. - Padepokan tersebut hanya dipergunakan untuk balai pengobatan saja dan dapat dikunjungi oleh siapa saja/umum. - Pasien yang datang berobat, setelah berobat memberikan balas jasa semampunya. 85 - Ada pasien yang tinggal menetap di padepokan tersebut yaitu diantaranya saksi SA dan suaminya, yaitu saksi W dan menetap selama 5 (lima) bulan pada tahun 2005 karena saksi SA hamil dan kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki di padepokan yang kemudian diberi nama RASPATI dan disimpan di dalam kotak kayu dan berada di dalam padepokan selama kurang lebih 2 (dua) minggu dan bayi tersebut tidak dirawat sendiri oleh saksi SA. - Selama berada di padepokan, saksi SA tinggal di sebuah saung milik Terdakwa. Saksi SA pernah memperbaiki saung tersebut, karena saung tersebut akan dijadikan tempat tinggal oleh saksi SA, yaitu membeli biliknya. - Selain saksi SA, ada pasien lain yang pernah membangun saung di lingkungan padepokan, yaitu saksi U. Saung yang dibangun oleh saksi U berada di atas kolam ikan. - Terdakwa telah membuat surat pernyataan tertanggal 7 Maret 2011 yang dikirimkan ke beberapa elemen masyarakat, yang isinya pada pokoknya berupa permohonan maaf dari Terdakwa kepada seluruh lapisan masyarakat. - Setiap harinya suami saksi melaksanakan shalat, masalah membaca wirid, menurut suami saksi/ Terdakwa bahwa Terdakwa mengatakan kalau membaca wirid jangan karena ada yang diharapkan tapi kalau membaca wirid itu harus ikhlas karena Allah jadi pasien-pasiennya menerima nasehat dari Terdakwa hanya setengah-setengah. 86 Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya 3. ES Binti S, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi mengenal Terdakwa pada sekitar tahun 2003 karena saksi pernah berobat kepada Terdakwa karena kram usus. - Terdakwa mengobati penyakit saksi dengan cara ditotok dibagian perut dan setelah diobati kurang lebih sebanyak 3 (tiga) kali penyakit saksi menjadi sembuh. - Sebelum dan sesudahnya saksi berkonsultasi dengan Terdakwa di balai saung yang berada di samping rumah Terdakwa. - Setelah sembuh, saksi sering datang ke rumah Terdakwa untuk silaturahmi dan membantu pekerjaan mengasuh anak-anak Terdakwa dan sekarang di padepokan saksi ikut berjualan dengan membuka warung. - Ada pasien yang tinggal menetap di padepokan tersebut yaitu diantaranya saksi SA dan suaminya, yaitu saksi W dan menetap selama 4 bulan pada tahun 2005. - Sewaktu menetap saksi SA melahirkan seorang bayi laki-laki di sebuah WC yang kemudian diberi nama “Raden Raspati” dan yang menolong kelahirannya adalah saksi karena dimintai tolong Terdakwa. 87 - Bayi tersebut diurus oleh saksi dan saksi D atas perintah Terdakwa kurang lebih selama 14 hari karena setelah itu dibawa pergi saksi SA. - Bayi tersebut tidak dipertontonkan kepada pasien yang datang, tapi bayi tersebut disimpan ditempat terbuka di dalam saung. - Yang bekerja di tempat Terdakwa adalah : a. D, T, dan E mengurus anak-anak b. J : membantu Terdakwa mengobati pasien dan mengurus sawah Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya. 4. JS Bin J, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi mengenal dengan Terdakwa sekitar tahun 2003 ketika saksi berobat kepada Terdakwa karena sakit maag yang saksi derita selama kurang lebih 30 tahun. - Cara pengobatan yang dilakukan Terdakwa yaitu dengan cara ditotok di bagian perut kemudian makan pisang muli dan disuruh minum kopi serta makan mie instan ditambah irisan cabai dan setelah diobati penyakitnya menjadi sembuh. - Setelah diobati saksi tidak diminta untuk membayar biaya pengobatan, tapi saksi memberi seikhlasnya dan dimasukan dalam kotak yang disediakan. 88 - Sejak penyakit saksi sembuh sampai sekarang saksi terkadang datang di padepokan Terdakwa ikut membantu pekerjaan misalnya mencangkul di sawah atau pekerjaan lainnya. - Selain membantu mencangkul disawah saksi juga membantu Terdakwa melakukan penotokan kepada para pasien yang datang karena disuruh oleh Terdakwa. Saksi dapat melakukan hal tersebut karena saksi melihat cara Terdakwa melakukan totokan pada pasien. - Padepokan milik Terdakwa adalah padepokan yang terbuka dan bisa didatangi oleh siapa saja. - Saksi tidak pernah mendengar bahwa Terdakwa suka melarang shalat atau melarang dzikir baik kepada saksi maupun kepada pasien yang berobat. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya. 5. SS Bin D, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi mengenal Terdakwa sekitar tahun 2003. Ketika itu saksi pertama kali datang berobat kepada Terdakwa karena sakit gula. - Ketika saksi berobat tempat pengobatan Terdakwa belum merupakan padepokan. - Cara Terdakwa mengobati pasiennya dengan cara ditotok dibagian urat syaraf kemudian setelah dua kali berobat saksi disuruh minum 89 kopi dan makan mie instan ditambah irisan cabai. Setelah berobat sebanyak 3 (tiga) kali penyakit saksi menjadi sembuh. - Setelah diobati saksi tidak diminta untuk membayar biaya pengobatan, tetapi saksi memberi seikhlasnya dan dimasukan dalam kotak yang disediakan. - Setelah diobati, saksi pernah datang ke tempat Terdakwa untuk membantu jika saksi pulang kerja, itupun tidak lama. - Selama di padepokan, saksi juga shalat sebagaimana biasanya. - Padepokan milik saksi adalah padepokan yang bisa didatangi oleh siapa saja Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya. 6. YK Bin S, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi mengenal Terdakwa sekitar tahun 2005. Ketika itu saksi pertama kali datang berobat kepada Terdakwa karena sakit hernia. - Saksi datang berobat kepada Terdakwa dua kali dan penyakit saksi menjadi sembuh. - Cara Terdakwa mengobati pasiennya dengan cara ditotok dibagian kening, dada, di atas kemaluan, dan di bagian kaki. Setelah ditotok saksi hanya disuruh untuk minum kopi tidak disuruh makan mie instan pedas. 90 - Pada waktu Terdakwa mengobatai saksi Terdakwa tidak pernah mengatakan tentang larangan shalat shalat agar penyakit saksi sembuh. - Setelah sembuh saksi pernah datang lagi ke tempat Terdakwa untuk mengantar saksi SA dan suaminya, yaitu saksi W, dengan maksud mau berobat, karena saksi SA menderita sakit pada perutnya. - Setelah mengantar mereka saksi langsung pulang, tetapi kemudian saksi mendengar bahwa kedua orang itu menetap di tempat Terdakwa bahkan sampai SA melahirkan. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya. Adapun saksi yang meringankan bagi Terdakwa yang diajukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa, yaitu: 1. CSM, SPd,MM., di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi pertama kali mengenal Terdakwa sejak pertama kali datang berobat ke tempat Terdakwa pada tanggal 10 November 2010 karena saksi menderita sakit maag akut karena diajak oleh teman yang pernah berobat kepada Terdakwa. - Saksi datang bersama dengan isteri yang juga ikut berobat seminggu sekali. - Saksi datang berobat kepada Terdakwa sebanyak 3 kali, sedangkan isteri saksi berobat sebanyak 4 kali. Ketika datang yang keempat 91 kalinya itu sekaligus saksi membawa adik ipar saksi yang menderita sakit gula. - Cara pengobatan yang dilakukan Terdakwa dengan cara ditotok di bagian urat syaraf. Setelah itu disuruh minum kopi dimana menurut Terdakwa minum kopi itu bukan bagian dari pengobatan tapi hanya untuk mendeteksi saja. - Setelah beberapa kali berobat kepada Terdakwa akhirnya penyakit saksi dan istri saksi sembuh. - Setelah selesai diobati tidak ada paksaan dari Terdakwa untuk membayar biaya pengobatan, tetapi saksi memberi secara suka rela. - Selama saksi berobat kepada Terdakwa tidak pernah melarang saksi untuk melaksanakan shalat, hanya saja pada waktu Terdakwa melihat saksi memakai cincin, Terdakwa pernah melarang untuk menggunakannya karena katanya memakai perhiasan seperti itu riya hukumnya dan saksi pernah menerima nasehat dari Terdakwa katanya bahwa “kita itu kalau hidup harus jujur, bageur dan cageur”. - Saksi tidak pernah mendengar Terdakwa melarang untuk melaksanakan shalat lima waktu. - Mengenai wirid Terdakwa pernah cerita kepada saksi katanya jika melakukan wirid itu harus dengan ikhlas jangan dibarengi dengan keinginan yang lain. Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya. 92 2. C, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi pertama kali mengenal Terdakwa sejak pertama kali datang berobat ke tempat Terdakwa pada sekitar bulan Oktober 2010 karena isteri saksi menderita sakit rheumatik dan anak saksi menderita sakit maag. - Cara pengobatan yang dilakukan Terdakwa dengan cara ditotok dan setelah ditotok lalu disuruh minum kopi dan makan mie rebus memakai irisan cabai. - Saksi, isteri serta anak saksi datang berobat kepada sebanyak 6 (enam) kali, datang dua minggu sekali. - Untuk biaya pengobatan tidak ada tarif khusus, tapi memberi secara suka rela dan dimasukan kedalam kotak yang tersedia. - Saksi tidak pernah mendengar Terdakwa melarang untuk melaksanakan shalat. - Padepokan milik Terdakwa terbuka untuk siapa saja yang mau berobat kepada Terdakwa. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya. 3. TAW, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : 93 - Saksi mengenal Terdakwa sejak tahun 2006 ketika saksi datang berobat kepada Terdakwa karena sakit migran dengan ditemani suami saksi. - Saksi mengetahui Terdakwa membuka praktik pengobatan alternatif dari saudara saksi yang pernah berobat kepada Terdakwa. - Cara pengeobatan yang dilakukan Terdakwa dengan cara ditotok dan setelah ditotok lalu disuruh minum kopi dan makan mie instan pedas. - Menurut Terdakwa minum kopi dan makan mie itu hanya untuk menetralkan karena makanan itu akan menimbulkan penyakit. - Selama pengobatan Terdakwa hanya menyampaikan laranganlarangan agar jangan makan obat-obat kimia. - Setelah melakukan pengobatan saksi suka berbincang dengan Terdakwa, mengenai falsafah hidup Terdakwa, yaitu Terdakwa mengatakan bahwa “hidup itu harus jujur, bener dan bageur dan jangan jadikan Agama sebagai suatu perbedaan”. - Saksi pertama kali berobat di balai-balai terbuka dan saung milik Terdakwa boleh didatangi oleh siapa saja. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya. 4. AM, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : 94 - Saksi mengenal Terdakwa sekitar bulan Februari 2010 ketika saksi datang berobat ke tempat pengobatan Terdakwa di Padepokan Terdakwa karena diberi tahu oleh S yang perobat kepada terdalwa. - Saksi menderita sakit maag, sakit jantung, sakit lambung, dan sesak napas. - Saksi datang berobat kepada Terdakwa sebanyak 5 kali dengan datang seminggu sekali. - Setelah berobat kepada Terdakwa sakit saksi menjadi sembuh. - Selama saksi berobat kepada Terdakwa tidak pernah mendengar Terdakwa mengatakan hal-hal seperti itu. - Selama berobat ke Terdakwa, saksi membayar hanya sekadarnya saja. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya. 5. DZM, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Saksi mengenal Terdakwa pada tahun 2003 sejak saksi pertama kali berobat kepada Terdakwa karena sakit maag karena diberitahu oleh orang tua saksi yaitu saksi S dan dan saksi E yang sebelumnya pernah berobat kepada Terdakwa. - Saksi datang berobat kepada Terdakwa sebanyak 4 (empat) kali dan datang seminggu sekali. 95 - Terdakwa melakukan pengobatan dengan cara ditotok pada bagian syaraf dan disuruh minum kopi. - Menurut Terdakwa minum kopi dan makan mie pedas bukan merupakan bagian dari pengobatan tapi hanya untuk mendeteksi pengaruh kopi dan mie pedas kepada penyakit yang diderita pasien. - Terdakwa tidak pernah melarang shalat kepada saksi. - Setelah saksi sembuh saksi setiap hari datang ke tempat Terdakwa karena saksi bekerja ditempat Terdakwa sebagai pembantu rumah tangga dengan tugas mengasuh anak-anak Terdakwa dan mengantarkan ke sekolah dengan bayaran per-minggu. - Ketika berobat, saksi tidak pernah membayar biaya pengobatan. - Baru sekitar tahun 2004 ada padepokan. - Ketika saksi tinggal di tempat Terdakwa saksi pernah mengenal pasien yang hamil dan melahirkan ditempat Terdakwa yaitu saksi SA yang ditemani suaminya yang bernama W. - Saksi SA berada di padepokan Terdakwa sampai melahirkan anaknya kurang lebih 4 (empat ) bulan. - Saksi mengetahui saksi U ikut membangun saung karena diberitahu oleh Terdakwa, kata Terdakwa untuk istirahat saksi U ketika kontrol dan sampai sekarang masih ada dan masih dipakai jika ada tamu yang menginap. - Saung tersebut tidak dikunci dan digembok karena suka ada yang memakai. 96 Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya. d. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Di persidangan telah pula didengar keterangan Terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut : - Terdakwa belum pernah dihukum atau terlibat tindak pidana lainnya sebelumnya. - Terdakwa bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Kecamatan Cijeungjing dan membuka praktik pengobatan alternatif setelah menyelesaikan jam kerja di kantor. - Terdakwa membuka praktik pengobatan alternatif sejak tahun 2000, pada awalnya Terdakwa membuka pengobatan di rumah Terdakwa sendiri, namun kemudian Terdakwa membuat tempat padepokan setelah banyak orang yang datang yaitu sejak tahun 2003. - Semenjak tahun 2003 padepokan Terdakwa diberi nama Jati Sampurna, kemudian tahun 2007 berubah menjadi Tri Tunggal kemudian pada tahun 2010 berubah lagi menjadi Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh yang berarti bahwa hati, ucapan dan perbuatan harus seiring dan sejalan. - Di padepokan Terdakwa memakai nama RJD dan biasa dipanggil “Kang Aden”, dengan maksud hanya untuk lebih dikenal saja. - Tempat pengobatan Terdakwa sudah terdata di Kantor Kejaksaan Negeri Ciamis sejak tanggal 23 Maret 2003 dibawah Nomor : B- 97 24/0.2.24/Dsb.I/03/2010 dan sudah pula mempunyai akta pendiriannya yaitu Akta Notaris No.13 tanggal 20 Oktober 2010 yang dibuat oleh Notaris IS ,S.H. - Terdakwa mendapatkan ilmu pengobatan tersebut merupakan anugrah dari Allah SWT karena keprihatinan hidup Terdakwa. - Terdakwa melakukan pengobatan kepada pasien-pasiennya dengan cara ditotok pada bagian syaraf atau bagian yang sakit dan minum kopi dan makan mie instan rebus yang dicampur irisan cabai, akan tetapi minum kopi dan makan mie pedas bukan suatu keharusan, hanya merupakan anjuran saja. - Manfaat dari kopi dan cabai, intinya adalah cabai untuk membuka aliran darah yang beku, sedangkan kopi fungsinya untuk membuka peredaran darah. - Terdakwa kenal dengan saksi SA ketika yang bersangkutan datang ke tempat pengobatan milik Terdakwa untuk keperluan berobat kirakira pada tahun 2005 karena menderita sakit perut yang tidak kunjung sembuh yang berkunjung bersama dengan suaminya yaitu saksi W. - Metode pengobatan yang dilakukan untuk mengobati penyakit saksi SA dengan cara mengelus/mengusap pada bagian perut yang sakit kemudian diberi air putih untuk diminum dan diusapkan pada bagian perut yang sakit. 98 - Terdakwa mengobati sakit perut saksi SA kurang lebih sekitar 3 bulan sampai yang bersangkutan melahirkan anak laki-laki di tempat pengobatan miliknya dan setelah saksi SA obati selama kurang lebih 3 bulan penyakit sakit perut berhasil Terdakwa sembuhkan. - Terdakwa tidak pernah mengatakan kepada pasien-pasien bahwa Terdakwa sebagai penganti Nabi Muhammad SAW dan tidak pernah melarang shalat dan dzikir terhadap pasien SA dan saksi W. - Terdakwa tidak pernah melarang saksi SA untuk keluar padepokan dan juga tidak pernah mengintimidasi atau menakut-nakuti apabila keluar padepokan akan terjadi sesuatu. - Saksi SA melahirkan anak laki-laki, tetapi tidak benar Terdakwa akan mengambil bayi tersebut dan tidak benar Terdakwa menjadikan bayi tersebut sebagai tontonan di padepokan. - Bayi itu ditaruh disebelah tempat praktik pengobatan ditaruh di dalam tempat bayi terbuat dari kayu yang dikelilingi oleh kelambu atas keinginan saksi SA sendiri. - Saksi E Bin A pernah berobat kepadanya tetapi Terdakwa tidak pernah melarang untuk melakukan shalat, dzikir, shalat tahajud dan juga tidak pernah mengaku sebagai nabi. - Saksi U datang ke padepokan milik Terdakwa untuk mengobati anaknya pada tahun 2005 yang menderita temperamen atau gangguan jiwa dan menginap satu malam. 99 - Terdakwa mengobati anaknya saksi U dengan cara ditotok di bagian kepala dan bagian perut kemudian disuruh minum air putih yang sudah diberi doa-doa olehnya. - Pada waktu itu anaknya saksi U belum sembuh karena memaksa untuk pulang. - Saksi U membuat bangunan yang terbuat dari kayu disekitar padepokan miliknya bukan atas perintahnya dan Terdakwa pun tidak pernah menjanjikan kepada saksi U bahwa anaknya pasti sembuh asal saksi U membuat bangunan tersebut. - Bangunan saung yang dibangun oleh saksi U hanya khusus untuk saksi U dan ketika saksi U pulang maka saung tersebut tidak dipergunakan sampai saat ini dan digembok sejak U pulang dari padepokan Terdakwa. - Terdakwa kenal dengan saksi ES karena pernah datang berobat ke padepokan miliknya bersama-sama dengan isterinya (saksi N) dan datang ke padepokan milik Terdakwa untuk berobat pada tahun 2007 karena menderita reumatik dan maag sedangkan penyakit yang diderita oleh isterinya yaitu reumatik dan Terdakwa mengobati saksi ES dan isterinya dengan cara ditotok di bagian lutut, bagian perut, dan bagian kepala kemudian disuruh minum kopi dan makan mie instan ditambah irisan cabai rawit. - Terdakwa mengetahui adanya tuduhan penodaan agama kepada dirinya setelah membaca media massa sekitar akhir Desember 2010. 100 - Dengan adanya keresahan di masyarakat tersebut Terdakwa selaku PNS pernah dipanggil oleh SEKDA di Kantor SEKDA yang dihadiri oleh SEKDA, Asda Bidang Pemerintahan, Kabag Pemerintahan, Kepala BKD, Camat Cijeungjing, dan Terdakwa sendiri dengan tujuan menanyakan kepada Terdakwa mengenai kebenaran terhadap apa yang diberitakan dalam media massa dan Terdakwa menolak atas apa yang dituduhkan kepada Terdakwa karena Terdakwa merasa tidak melakukan hal-hal yang dituduhkan kepada dirinya. - Dalam pertemuan itu SEKDA menyarankan kepada Terdakwa agar menghentikan kegiatan pengobatan di padepokan Terdakwa, namun Terdakwa tidak melaksanakan saran dari SEKDA tersebut karena kasihan banyak pasien yang datang dari jauh. - Setelah pertemuan pertama Terdakwa kemudian dipanggil lagi oleh SEKDA, yang dibicarakan dalam pertemuan kedua hanya mempertegas isi pertemuan pertama dan masalah gejolak yang ditimbul di masyarakat akan tetapi Terdakwa tetap menolak apa yang dituduhkan bahwa dirinya telah melakukan penodaan agama. - Kemudian Terdakwa membuat surat pernyataan yang di tujukan kepada pemerintah daerah yang pada pokoknya berisi bahwa Terdakwa lebih baik keluar dari Pegawai Negeri Sipil daripada harus berhenti menolong orang yang sakit. - Setelah pertemuan dengan Pemerintah Daerah kemudian Terdakwa mendapat undangan untuk melakukan dialog di Kantor Desa 101 Pamalayan yang diselenggarakan pada tanggal 2 Februari 2011, yang dihadiri oleh MUI Kabupaten Ciamis, Camat Cijeungjing Kepala Desa Pamalayan, elemen masyarakat seperti FPI, LPI, HMI, PMII, dan Ormas Gempur. - Dialog tersebut tidak menghasilkan apa-apa karena terjadi deadlock dimana masing-masing pihak mempertahankan sikapnya dan terlalu memaksakan kehendak dan akhirnya diputuskan bahwa masalahnya diselesaikan melalui jalur hukum dan Terdakwa langsung dilaporkan kepada pihak Kepolisian dengan tuduhan bahwa Terdakwa telah melakukan penodaan agama. - Terdakwa tidak pernah mengatakan melarang shalat karena shalat hanya olah raga orang Muslim, tetapi Terdakwa hanya mengatakan bahwa shalat itu mengandung unsur oleh raga serta Terdakwa tidak pernah melarang melakukan wirid, yang pernah Terdakwa katakan bahwa kalau wirid itu harus dilakukan secara ikhlas, jangan dilakukan karena ada yang diharapkan. - Terdakwa tidak pernah mengatakan bahwa Terdakwa sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW, tetapi Terdakwa mengatakan bahwa kita sebagai pengikut nabi kita harus melaksanakan segala ajarannya secara konsekwen. - Terdakwa mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan agama tersebut karena mereka menanyakan kepada Terdakwa masalah sumbersumber penyakit. 102 - Perkataan tersebut disampaikan untuk menjawab pertanyaan dari saksi ES saja. - Terdakwa memang pernah melarang wirid kepada saksi ES, karena pada waktu itu saksi ES mengatakan bahwa dia suka wirid di atas kuburan, waktu itu Terdakwa melarangnya karena wirid di kuburan hanya akan memanggil khodam. - Tujuan Terdakwa mendirikan padepokan adalah untuk menyediakan tempat bagi orang-orang yang berobat dan terbuka untuk umum. - Setiap orang yang datang dicatat dan ada buku tamunya. - Terdakwa tidak pernah mengatakan kepada saksi ES bahwa Terdakwa telah dibelah dada untuk dibersihkan seperti halnya Nabi Muhammad SAW. - Terhadap saksi NN Terdakwa tidak pernah melarang shalat dan tidak pernah melarang memakai kerudung dan tidak pernah mengatakan memakai kerudung itu bukan untuk menutup aurat tapi hanya menghalangi dari debu. - Terdakwa tidak pernah melarang puasa, tapi Terdakwa pernah mengatakan bahwa kalau melaksanakan puasa itu harus sabar dan ikhlas. - Saksi U membangun saung atas kemauannya sendiri. 103 4. Tuntutan Penuntut Umum Setelah mendengar keterangan para saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa yang diajukan dipersidangan, maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa OJ Alias RJS Bin M, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dan tindak pidana “penipuan” sebagaimana dalam pasal 156a huruf a KUHP dan pasal 378 KUHP. 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut di atas dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap ditahan. 3. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah). 5. Putusan Pengadilan a. Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa yang telah didengar di persidangan, maka Majelis Hakim telah memperoleh fakta-fakta yuridis yang pada pokoknya sebagai berikut : 104 - Bahwa saat ini Terdakwa bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Kecamatan Cijeungjing. - Bahwa selain menjadi PNS Terdakwa membuka praktik pengobatan Alternatif setelah menyelesaikan jam kerja di Kantor yang bertempat di rumah Terdakwa yang beralamat di di Dsn. Timbangwindu Ds. Pamalayan Kec. Cijeungjing Kab.Ciamis atau sekarang dikenal dengan nama Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh. - Bahwa Terdakwa membuka praktik pengobatan Alternatif sejak tahun 2000, pada awalnya Terdakwa membuka pengobatan di rumah Terdakwa sendiri, namun kemudian Terdakwa membuat tempat padepokan setelah banyak orang yang datang dengan mendirikan beberapa saung. - Bahwa Terdakwa membuat saung-saung sejak tahun 2003, awalnya Terdakwa membuat satu buah saung untuk khusus melayani pengobatan kemudian Terdakwa mendirikan bangunan-bangunan atau saung-saung lainnya secara bertahap. - Bahwa pada awal membuka praktik belum ada namanya, namun sejak tahun 2003 diberi nama Jati sampurna, kemudian tahun 2007 berubah menjadi Tri Tunggal kemudian pada tahun 2010 berubah lagi menjadi Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh. - Bahwa nama tersebut berubah-rubah maksudnya tahapan-tahapan karena semakin banyak orang/pasien yang datang. 105 - Bahwa di padepokan Terdakwa memakai nama RJD dan biasa dipanggil “Kang Aden”, dengan maksud hanya untuk lebih dikenal saja. - Bahwa tempat pengobatan Terdakwa sudah terdata di Kantor Kejaksaan Negeri Ciamis sejak tanggal 23 Maret 2003 dibawah Nomor: B-24/0.2.24/Dsb.I/03/2010 dan sudah pula mempunyai akta pendiriannya yaitu Akta Notaris No.13 tanggal 20 Oktober 2010 yang dibuat oleh Notaris IS ,S.H. - Bahwa Terdakwa melakukan pengobatan kepada pasien-pasiennya dengan cara di totok pada bagian syaraf atau bagian yang sakit. - Bahwa setelah melakukan pengobatan Terdakwa menyuruh pasienpasiennya untuk minum kopi dan makan mie instan rebus yang dicampur irisan cabai. - Bahwa pada saat Terdakwa mengobati pasiennya, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang diajukan Penuntut Umum yang merupakan pasien-pasien Terdakwa, pada saat Terdakwa melakukan pengobatan di padepokan miliknya, Terdakwa juga memberikan ajaran kepada pasiennya yang isinya adalah: a. Untuk apa shalat karena di dalam Al-Qur’an tidak ada perintah praktik shalat, yang ada hanya tegakkan shalat dan praktik shalat itu hanya ada dalam hadist dan hadist itu buatan manusia. 106 b. Untuk apa melaksanakan puasa, jaman dahulu puasa itu karena tidak ada makanan sedangkan sekarang sudah merdeka dan banyak makanan. c. Melarang untuk berdzikir/wirid karena itu hanya memanggil khoddam. d. Dilarang untuk memakai kerudung karena kerudung itu bukan untuk menutupi aurat tetapi hanya untuk menutupi debu. e. Untuk apa naik haji, karena naik haji itu hanya untuk menyembah batu hitam, tidak ada bedanya dengan umat kristen dan cina yang membakar dupa/hio, menyembah patung. f. Dan kalau datang ke padepokannya serta mengikuti ajarannya harus siap untuk dikucilkan. - Bahwa ajaran tersebut disampaikan Terdakwa kepada pasiennya di padepokan dan pernah juga dilakukan di kantor kecamatan Cijeunjing. - Bahwa padepokan milik Terdakwa bersifat terbuka kepada semua orang dan bisa didatangi oleh siapa saja. - Bahwa pada bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Oktober tahun 2005, ada pasangan suami istri yaitu saksi SA Binti ES dan saksi W Bin K, yang datang ke padepokan Terdakwa untuk berobat dan menginap di padepokan Terdakwa. 107 - Bahwa pada saat berobat, Terdakwa menjanjikan kepada saksi SA dan saksi W akan sembuh apabila mereka tinggal di padepokan dan membuat sebuah saung di padepokan Terdakwa. - Bahwa saksi SA dan saksi W percaya dengan kata-kata dan janjijanji Terdakwa sehingga saksi SA dan saksi W membuat sebuah saung sebagaimana permintaan Terdakwa. - Bahwa setelah saung tersebut berdiri, sakit yang diderita oleh SA dan saksi W tidak kunjung sembuh dan keduanya hendak meninggalkan rumah Terdakwa, tetapi dilarang oleh Terdakwa dengan alasan apabila keluar dari areal padepokan, maka akan terjadi sesuatu pada diri saksi SA Binti ES dan saksi W Bin K. - Bahwa selain saksi SA dan saksi W, juga terdapat pasien bernama Y yang dibawa oleh orangtuanya yaitu saksi U Bin S untuk berobat kepada Terdakwa karena suka menyendiri dan tidak bisa diatur. - Bahwa pada saat berobat kepada Terdakwa, Terdakwa mengatakan bahwa sakit yang diderita oleh Y akan sembuh apabila saksi U Bin S mendirikan sebuah saung di padepokan Terdakwa. - Bahwa mendengar kata-kata dan janji-janji Terdakwa tersebut, saksi U Bin S menjawabnya dengan kata-kata, “Insya Allah mudahmudahan anak saya cepat sembuh”, tetapi ucapan saksi U Bin S tersebut dipotong oleh Terdakwa dengan mengatakan bahwa Allah sudah menentukan segala-galanya dan InsyaAllah itu merupakan suatu ketidakpastian. 108 - Bahwa mendengar kata-kata dan janji-janji Terdakwa serta didorong oleh keinginan untuk melihat anaknya cepat sembuh, akhirnya saksi U Bin S mendirikan sebuah saung di atas kolam ikan di dalam padepokan Terdakwa. - Bahwa setelah saung selesai dibuat dan menghabiskan dana sebesar Rp 11.000.000,00 (sebelas juta rupiah), sakit yang diderita Y tidak sembuh sebagaimana yang dijanjikan oleh Terdakwa sehingga saksi U Bin S merasa kecewa dan dibohongi. - Bahwa saung yang dibangun oleh saksi U tersebut, setelah ditinggal pulang oleh saksi U, saung tersebut tetap dipergunakan oleh Terdakwa dalam kegiatan sehari-hari padepokan, yaitu digunakan sebagai tempat istirahat pasien Terdakwa. - Bahwa pada akhir tahun 2010, kegiatan pengobatan yang dilakukan oleh Terdakwa mulai meresahkan masyarakat karena masyarakat mendengar kabar kalau dalam pengobatan tersebut oleh Terdakwa diselipkan pelarangan beribadah yang bertentangan dengan ajaran Agama Islam sehingga berita mengenai perbuatan Terdakwa tersebut muncul di beberapa media massa. - Bahwa karena melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat maka kemudian Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis telah membuat Surat Nomor : 223.4/III-Pem-Um.1 tanggal 1 Februari 2011 perihal Permohonan Dialog kepada Ketua DPD Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Ciamis yang maksud dan tujuan surat tersebut 109 yaitu untuk membalas surat dari DPD MUI Kab. Ciamis No : 65/DPD MUI/Kab.Cms/I/2011 tanggal 30 Januari 2011 perihal permohonan dialog dengan Bapak Bupati Kabupaten Ciamis (tentang keberadaan Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh). - Bahwa dialog tersebut dilaksanakan di tingkat Kecamatan dipimpin oleh Camat Cijeungjing yang dilaksanakan tanggal 02 Februari 2011 yang dihadiri oleh MUI, dari unsur pesantren, elemen masyarakat seperti FPI, LPI, Gempur, dan tokoh masyarakat Cijeungjing dan Terdakwa sendiri, namun dalam pertemuan tersebut tidak ditemukan titik temu, karena Terdakwa tetap tidak mengakui atas apa yang dituduhkan kepadanya, karena situasi menjadi tidak kondusif akhirnya pertemuan diputuskan bahwa Terdakwa akan diajukan melalui proses hukum dan Padepokan Terdakwa ditutup. - Bahwa menanggapi situasi yang berkembang di masyarakat Pemkab Ciamis juga telah melakukan pembinaan/ dialog dengan Terdakwa yaitu : a. Pembinaan ke I pada hari Rabu tanggal 12 Januari 2011 di Kantor Sekretariat Daerah Kab. Ciamis yang dihadiri oleh Sekretaris Daerah, Para Asisten Setda Kab. Ciamis, Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kab. Ciamis, Kepala Kesbangpolinmas Kab. Ciamis, Kepala Bagian Umum, Camat Cijeungjing dan Terdakwa. 110 b. Pembinaan ke II pada hari Senin tanggal 31 Januari 2011 di Kantor Kecamatan Cijeungjing yang dihadairi oleh Kepala Bagian Pemerintahan Umum, Camat Cijeungjing, Sekretaris Camat, Kasubag Tata Pemerintahan dan Terdakwa. c. Pembinaan ke III pada hari Selasa tanggal 1 Februari 2011 di Kantor Sekretariat Daerah Kab. Ciamis yang dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kab. Ciamis, Para Asisten Setda Kab. Ciamis, Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kab. Ciamis, Kepala Kesbangpolinmas Kab. Ciamis, Kepala Bagian Umum, Camat Cijeungjing dan Terdakwa. - Bahwa dari tiga kali pembinaan tersebut Terdakwa tetap bersikukuh mempertahankan keberadaan padepokan. - Bahwa pada tanggal 7 Maret 2011, Terdakwa membuat surat pernyataan yang berisi tentang pernyataan membubarkan padepokan milik Terdakwa. - Bahwa pada tanggal 9 Maret 2011, Terdakwa juga mengirimkan surat kepada Ketua MUI dan beberapa organisasi lainnya di Kabupaten Ciamis yang berisi tentang permohonan maaf Terdakwa. Menimbang, bahwa untuk menentukan seseorang dapat dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya adalah apabila seluruh unsur-unsur dari ketentuan pidana yang didakwakan kepadanya telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Oleh karena itulah kini 111 dipertimbangkan, apakah dengan fakta-fakta hukum tersebut di atas, Terdakwa sudah dapat dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan pasalpasal tindak pidana yang didakwakan kepadanya; Menimbang, bahwa karena Dakwaan Penuntut Umum disusun secara Komulatif, maka konsekuensi yuridis pembuktiannya adalah Majelis Hakim harus mempertimbangkan kedua dakwaan Komulatif tersebut untuk dibuktikan; Menimbang, bahwa oleh karena itu Majelis Hakim akan membuktikan terlebih dahulu Dakwaan PERTAMA yaitu apakah Terdakwa telah melakukan perbuatan atau tindak pidana sebagimana dirumuskan dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a KUHP, yang unsur-unsurnya sebagai berikut : Ad. 1. Barangsiapa; Ad. 2. Dengan Sengaja di muka Umum Mengeluarkan Perasaan atau Perbuatan yang pada pokoknya bersifat Permusuhan, Penyalahgunaan atau Penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yuridis yang dihasilkan berdasarkan pembuktian maka Majelis Hakim berpendapat seluruh unsur-unsur dari dakwaan KESATU Penuntut Umum telah terpenuhi. Selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dan membuktikan dakwaan KEDUA yang pada pokoknya perbuatan 112 Terdakwa sebagimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang unsurunsurnya sebagai berikut : Ad. 1. Barangsiapa. Ad. 2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yuridis yang dihasilkan berdasarkan pembuktian maka Majelis Hakim berpendapat seluruh unsur-unsur dari dakwaan KEDUA Penuntut Umum telah terpenuhi. Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan PERTAMA dan KEDUA telah terpenuhi dan terbukti sebagaimana telah dipertimbangkan Majelis Hakim secara cermat maka terhadap Pembelaan/Pledooi Terdakwa/Penasihat Hukum Terdakwa dengan semua analisanya yang pada pokoknya memohon kepada Majelis Hakim agar Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan Penuntut Umum tidak beralasan sehingga harus ditolak; Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap diri Terdakwa pernah dikenakan penahanan yang sah dengan jenis Penahanan Rutan maka sesuai dengan ketentuan pasal 22 ayat (4) KUHAP, beralasan 113 hukum untuk menetapkan agar lamanya masa penahanan yang pernah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka harus pula dibebani untuk membayar biaya perkara sesuai dengan ketentuan dalam pasal 197 ayat (1) huruf (i) KUHAP yang besarnya sebagaimana ditentukan dalam amar putusan ini; Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana atas diri Terdakwa, terlebih dahulu akan dipertimbangkan mengenai hal-hal yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan bagi Terdakwa sebagaimana ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) huruf (f) KUHAP, yaitu : Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa belum pernah dihukum; - Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga. Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat; - Terdakwa berbelit-belit di persidangan dan tidak mengakui perbuatannya. b. Amar Putusan Pengadilan 1. Menyatakan Terdakwa OJ Alias RJD Bin M telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ PENODAAN AGAMA DAN PENIPUAN”; 114 2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5. Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah). B. Pembahasan 1) Alat-alat bukti yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana perkosaan dan pencurian dengan kekerasan dalam Putusan Nomor : 157/Pid.B/2011/PN.Cms Proses persidangan hasilnya adalah sebuah putusan yang menyatakan Terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Dalam proses persidangan tersebut akan dilakukan pembuktian untuk membuktikan apakah Terdakwa bersalah atau tidak. Pembuktian untuk menyatakan Terdakwa bersalah atau tidak bersalah dilakukan dengan memeriksa alatalat bukti dan barang bukti yang ada. M. Yahya Harahap mengemukakan pendapatnya mengenai pembuktian sebagai berikut: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang yang didakwakan kepada Terdakwa.”52 52 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan. Banding. Kasasi. dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta. 2009. hlm 273. 115 Pengertian pembuktian juga dikemukakan Leden Marpaung yang mengatakan bahwa: “Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence.). Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk menentukan “kebenaran”.53 Pengertian yang dikemukakan oleh Leden Marpaung berarti dalam mencari kebenaran diperlukan bukti-bukti. Hal itu seperti yang dijelaskan oleh Darwan Prinst yang mengatakan bahwa: “Pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan Terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Untuk membuktikan kesalahan Terdakwa pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa Terdakwa. Pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang pengadilan.”54 Berdasarkan pendapat di atas pembuktian merupakan proses yang terjadi di dalam sidang pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidaknya Terdakwa berdasarkan dakwaan yang diajukan penuntut umum. Pembuktian juga meupakan hal yang sangat penting karena di sinilah ditentukannya nasib Terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa, Terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan yang didakwakan Terdakwa dapat dibuktikan 53 Leden Marpaung. Proses Penangan Perkara Pidana(Penyelidikan & Penyidikan) Bagian Pertama Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 2009. hlm 22-23. 54 Darwan Prinst. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Djambatan. Jakarta. 2002. hlm 137. 116 dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Terdakwa harus dinyatakan bersalah. Hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan terjadinya tindak pidana tersebut, sehingga hakim secara arif dan bijaksana menentukan alat-alat bukti yang secara limitatif telah ditentukan oleh undang-undang yang dengan alat-alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana yangdidakwakan kepadanya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana kita menganut sistem pembuktian secara negatif hal itu diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Selanjutnya dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 diatur mengenai alat-alat bukti yang telah ditentukan secara limitatif yang dirumuskan: “ (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan Terdakwa.” 117 Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor : 157/ Pid.B/ 2011/ PN. Cms yang menjadi dasar OJ Alias RJD Bin M menjadi Terdakwa adalah alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa sebagaimana akan diuraikan sebagai berikut: a. Alat Bukti Keterangan Saksi Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/ Pid.B/ 2011/ PN. Cms di dalam proses persidangan pada saat pembuktian dihadirkan 26 saksi termasuk 5 orang saksi yang diajukan Terdakwa yang memberikan keterangannya di bawah sumpah di persidangan. Keterangan saksi adalah alat bukti urutan pertama dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan saksi memiliki pengertian dalam Pasal 1 angka 27 UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Penting untuk diketahui tidak semua alat bukti keterangan saksi adalah alat bukti yang sah, keterangan saksi harus memenuhi ketentuan agar dapat menjadi alat bukti yang sah. Ketentuan tersebut yaitu: 1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Saksi harus mengucapkan sumpah agar keterangannya dapat menjadi alat bukti yang sah. Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 118 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan: “ (3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya,.” Jika saksi tidak mau mengucapkan sumpah maka akibat hukumnya keterangan saksi tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti. Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan: “(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.” Saksi-saksi dihadirkan dalam proses pembuktian perkara tindak pidana penistaan agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms., yaitu saksi S, SA Binti ES, W Bin K, EI Bin IR, DS Bin M, EN Bin H. ME, OSQ, S. Ag. Bin D, U Bin S, E Bin A, ETR Bin S, NN Bin H, ES Bin MS, M, US Bin CS, I Bin E, IHA Bin S, TM Binti D, ES Binti S, JS Bin J, SS Bin D, dan YK Bin S yang dihadirkan oleh Penuntut Umum dan saksi CSM, C, TAW, AM, dan DZM yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum dalam memberikan keterangannya tersebut berada di bawah sumpah. 119 2. Keterangan saksi harus diberikan di dalam persidangan. Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan: “(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Saksi-saksi yang dihadirkan dalam proses pembuktian perkara tindak pidana penistaan agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms berupa 21 orang saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum dan 5 orang saksi yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum dalam memberikan keterangan tersebut dilakukan di dalam persidangan. a. Keterangan tersebut adalah keterangan tentang apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri yang berkaitan dengan peristiwa pidana. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti adalah keterangan saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu keterangan yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri. Saksi-saksi dihadirkan dalam proses pembuktian perkara tindak pidana penistaan agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms., yaitu saksi S, SA Binti ES, W Bin K, EI Bin IR, DS Bin M, EN Bin H. ME, OSQ, S. Ag. Bin D, U Bin S, E Bin A, ETR Bin S, NN Bin H, ES Bin MS, M, US Bin CS, I Bin E, IHA Bin S, TM 120 Binti D, ES Binti S, JS Bin J, SS Bin D, dan YK Bin S yang dihadirkan oleh Penuntut Umum dan saksi CSM, C, TAW, AM, dan DZM yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum yang diberikan di bawah sumpah di dalam persidangan isi keterangannya sesuai dengan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan tersebut yaitu apa yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri. Seperti apa yang dinyatakan oleh saksi SA Binti ES yang menyatakan bahwa setelah dilakukan pengobatan, kemudian saksi bersama suami saksi (saksi W bin K) mendengar pengarahan/nasehat Terdakwa yaitu: a. Tidak boleh shalat karena shalat hanya olahraga agama Islam. b. Dilarang wirid yang berlebihan karena akan mengundang jin. c. Masjid adalah tempat paguyuban atau tempat ngobrol. d. Dilarang mengunjungi tempat-tempat keramat karena sudah ada di padepokan Terdakwa OJ. e. Terdakwa mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. Kemudian yang diterangkan oleh NN Binti H, sewaktu saksi berobat kepada Terdakwa di padepokan milik Terdakwa, Terdakwa pernah mengatakan kepada saksi dan suami saksi yaitu: a. Untuk apa melaksanakan Shalat karena di dalam Al Qur’an tidak ada perintah praktik shalat, yang ada hanya tegakan shalat dan praktik shalat itu hanya ada dalam hadist dan hadist itu hanya buatan manusia. 121 b. Untuk apa melaksanakan puasa, jaman dahulu puasa itu karena tidak ada makanan sedangkan sekarang sudah merdeka dan banyak makanan. c. Melarang untuk berdzikir/wirid karena berdzikir/wirid itu hanya memanggil khodam dan membuat pusing kepala. d. Sesama muslim dilarang untuk mengucapkan Assalamualaikum karena ucapan Assalamualaikum itu tidak ada bedanya dengan apa kabar. e. Dilarang untuk memakai kerudung karena memakai kerudung itu bukan untuk menutupi aurat tetapi hanya untuk menutup debu. f. Untuk apa naik haji karena naik haji itu hanya untuk menyembah batu hitam, tidak ada bedanya dengan umat Kristen dan Cina yang membakar dupa/hio, menyembah patung. g. Terdakwa juga mengatakan kalau datang ke padepokan serta mengikuti ajaran Terdakwa harus siap untuk dikucilkan. Begiu pula dengan saksi-saksi lainnya yang dihadirkan dalam persidangan berupa 21 saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum dan 5 orang saksi yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms. telah memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang pada intinya merumuskan bahwa keterangan tersebut berdasarkan apa yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri. 122 b. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup Hal ini sesuai dengan prinsip minimum pembuktian bahwa untuk menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti. Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan: “(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.” Sebenarnya Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan kembali apa yang dirumuskan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai batas minimum pembuktian. P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang55 mengatakan bahwa seperti yang pernah dikatakan di muka, dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa terkandung suatu asas yang sangat penting untuk diperhatikan, baik oleh penyidik, penuntut umum, hakim maupun penasihat hukum, yakni asas unus testis nullus testis, atau yang di dalam praktik juga sering disebut dengan perkataan satu saksi bukan saksi. Putusan Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms dalam persidangan hadir 26 orang saksi termasuk 11 saksi meringankan yang memberikan keterangan 55 Ibid.. hlm.417-418. 123 di bawah sumpah sehingga memenuhi batas minimum pembuktian sesuai dengan Pasal 183 dan Pasal 185 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan melihat penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterangan saksi yang dihadirkan dalam persidangan berupa 26 orang saksi termasuk 11 saksi meringankan merupakan alat bukti sah yang dapat digunakan hakim dalam pertimbangan hukumnya untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa OJ Alias RJD Bin M. b. Keterangan Ahli Keterangan ahli merupakan alat bukti yang tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana pada urutan kedua. Bukan berarti keterangan saksi lebih penting daripada keterangan ahli, karena alat-alat bukti yang terumuskan dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sama, yakni nilai kekuatan pembuktian bebas. Definisi keterangan ahli terdapat di dalam Pasal 1 angka (28) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai berikut: “Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Kemudian dalam Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pun memberikan definisi mengenai istilah tersebut bahwa keterangan ahli ialah apa yang 124 seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli berdasarkan penjelasan Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dibuat dalam bentuk suatu laporan dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, dan dapat pula keterangan ahli diberikan di sidang pengadilan setelah mengucapkan sumpah dihadapan hakim. Penjelasan Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas dapat dilihat bahwa alat bukti keterangan ahli memiliki dua bentuk dalam tata cara pembuktian, yakni dalam bentuk laporan dan ahli memberikan keterangan secara lisan dan langsung di sidang pengadilan. Syarat sahnya keterangan ahli, yaitu: a. b. c. d. keterangan diberikan oleh ahli; memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu; menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya; diberikan di bawah sumpah.56 Dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, di dalam proses persidangan pada saat pembuktian selain dihadirkan beberapa orang saksi, Penuntut Umum juga menghadirkan seorang ahli yaitu Drs. KH. Ahmad Hidayat, SH. Bin KH. Muh. Sirod selaku Ketua MUI Kabupaten Ciamis yang memberikan keterangannya di bawah sumpah di persidangan. 56 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Sinar Grafika. Jakarta. 2002 . hlm. 296 125 Data tersebut di atas perlu diuraikan untuk menentukan termasuk atau tidaknya keterangan tersebut sebagai keterangan ahli dengan dihubungkan dengan syarat sahnya keterangan ahli. Pertama, syarat keterangan diberikan oleh ahli. Perlu diketahui terlebih dahulu mengenai siapa itu ahli. Berdasarkan Pasal 1 angka 28 KUHAP bahwa seorang ahli adalah orang yang mempunyai keahlian khusus. Ahli yang memberikan keterangan di persidangan ada dua kelompok ahli hal itu dapat diketahui dari Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, 180 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril dari pasalpasal tersebut membagi ahli menjadi dua kelompok. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril57 mengatakan bahwa: “Dari pasal-pasal tersebut di atas, maka terlihat ada dua kelompok ahli. 1. Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan. 2. Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang-bidang tertentu, misalnya notaris, ahli pajak, pendeta, ulama dan sebagainya. Bila melihat hal di atas maka ahli yang dihadirkan dalam persidangan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms adalah seorang ulama karena berdasarkan identitas yang diberikan oleh ahli menyebutkan bahwa ahli adalah seorang ulama dari Majelis Ulama Indonesia. Maka dari hal ini ahli yang dihadirkan dalam persidangan merupakan kelompok ahli pada umumnya. 57 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. Op.Cit.. hlm.125. 126 Kedua, syarat memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa orang memberikan keterangan selaku ahli di persidangan menurut Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 157/Pid.B/2011/PN.Cms memiliki keahlian khusus berupa pengetahuan mengenai ilmu agama yaitu agama Islam yang merupakan keahliannya dalam bidang keagamaan sebagai seorang ulama. Ketiga, syarat menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Dari data berupa Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 157/Pid.B/2011/PN.Cms dapat dilihat bahwa ahli telah memberikan keterangan berdasarkan pengetahuan dalam bidang keahliannya, yakni menerangkan mengenai apakah perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut telah menyimpang dari akidah-akidah dalam agama Islam atau berdasarkan pengetahuannya sebagai ulama mengenai keagamaan yaitu agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan keterangannya yang menilai apa yang dilakukan oleh Terdakwa berdasarkan kajian Agama yaitu Agama Islam yaitu bahwa Perbuatan Terdakwa tersebut tidak sesuai dengan pandangan Islam dan perbuatan Terdakwa dapat dikatagorikan sebagai orang yang telah melakukan penodaan terhadap Agama Islam karena telah melanggar Rukun Iman dan Rukun Islam, melanggar Rukun Iman karena telah mengaku sebagai pengganti Nabi, melanggar Rukun Islam karena Terdakwa telah melarang untuk melaksanakan shalat, melarang membaca ayat-ayat Al-Qur’an, melarang berdzikir dan melarang untuk melaksanakan aktifitas ibadah Agama Islam. 127 Keempat, syarat diberikan di bawah sumpah. Jelas sekali terlihat berdasarkan hasil penelitian, di dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms disebutkan bahwa ahli memberikan keterangannya di dalam persidangan dan berada di bawah sumpah. Dengan melihat penjelasan di atas, maka syarat-syarat sahnya keterangan ahli telah terpenuhi, maka dapat dikatakan keterangan ahli dalam kasus ini merupakan alat bukti sah yang dapat digunakan hakim dalam pertimbangan hukumnya untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa OJ Alias RJD Bin M. c. Alat Bukti Petunjuk Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdiri dari tiga ayat yang isinya mengenai definisi petunjuk, sumber diperolehnya petunjuk, dan cara penggunaannya, yang terumuskan sebagai berikut: 1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan Terdakwa. 3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Pengertian petunjuk dalam Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 128 memang tidak jelas adanya. Seharusnya pengertian tersebut menjadi seperti berikut: Petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan di mana isyarat itu mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan Terdakwalah pelakunya. Sumber perolehan petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan Terdakwa. Selain dari ketiga hal tersebut tidaklah dapat dijadikan sumber untuk memperoleh petunjuk karena ketentuan Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana membatasinya secara limitatif yang dapat dilihat dari penggunaan kata “hanya” pada ketentuan tersebut. Penggunaan alat bukti petunjuk jarang sekali digunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan Terdakwa karena dalam praktik peradilan pun penerapannya sering mengalami kesulitan. Apabila kurang hati-hati mempergunakannya, putusan yang bersangkutan bisa mengambang pertimbangannya dalam suatu keadaan yang samar, sehingga putusan itu lebih dekat kepada sifat penerapan hukum secara sewenang-wenang. P.A.F. Lamintang berpendapat mengenai alat bukti petunjuk, bahwa: “Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 188 KUHAP tersebut di atas, kiranya orang dapat mengetahui bahwa pembuktian yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk di dalam berbagai alat bukti itu tidak mungkin akan diperoleh oleh hakim tanpa mempergunakan suatu 129 redenering atau suatu pemikiran tentang adanya suatu persesuaian antara kenyataan satu dengan kenyataan lain, atau suatu kenyataan dengan tindak pidananya sendiri”.58 Berdasarkan data dalam hasil penelitian tidak ditemukan adanya petunjuk dalam perkara tindak pidana “dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dan tindak pidana “penipuan” pada Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, maka dapat dikatakan hakim tidak menggunakan alat bukti petunjuk dalam membuktikan kesalahan Terdakwa karena alat-alat bukti lainnya seperti keterangan saksi dan keterangan ahli yang telah dibahas di atas sudah mencukupi untuk membuktikan bahwa Terdakwa OJ Alias RJD bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, dan hal tersebut telah memenuhi prinsip minimum pembuktian, sehingga tidak perlu lagi alat bukti petunjuk. d. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, Terdakwa OJ Alias RJD Bin M memberikan keterangannya. Keterangan Terdakwa merupakan alat bukti terakhir dalam proses pembuktian. Terdakwa juga dalam memberikan keterangan di persidangan harus bebas tanpa tekanan. Ketika Terdakwa ditempatkan sebagai subjek dan bebas dari tekanan dalam memberikan keterangannya diharapkan Terdakwa akan memberikan keterangan sesuai dengan keadaan 58 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang. 2010. Op. cit.. hlm. 428 130 yang sebenarnya. Keterangan Terdakwa diberikan tanpa harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu hal itu yang sering membuat keterangan Terdakwa seringkali diabaikan oleh hakim. Selain itu keterangan Terdakwa seringkali diabaikan karena ada kecenderungan seseorang untuk mengelak melakukan kejahatan yang dilakukannya yang disebabkan faktor psikologis. Andi Hamzah mengatakan bahwa59 psikologi memegang peranan penting. Pada umumnya manusia takut menerima pidana. Dan walaupun dalam hatinya terbenih keinginan menerangkan yang sebenarnya, kadang-kadang takut menerima pidana itu akhirnya yang menang, sehingga pada umumnya Terdakwa mengkhianati hati nuraninya sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Terdakwa dimana ia selama memberikan keterangannya di persidangan dinilai Majels Hakim terlalu berbelit-belit dan tidak mengingkari apa yang dikatakan oleh saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum yang menyatakan bahwa Terdakwa mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW, melarang shalat karena hanya merupakan olahraga orang Islam, melarang dzikir karena hanya memanggil khadam, dan menyatakan buat apa pergi ibadah Haji karena hanya menyembah batu hitam (Ka’bah) tidak ada bedanya dengan dengan umat kristen dan cina yang membakar dupa/hio serta menyembah patung. Keterangan Terdakwa meskipun demikian, seharusnya hakim jangan selalu mengabaikan keterangan Terdakwa karena keterangan Terdakwa merupakan alat bukti yang sah di dalam Undang-Undang Nomor 59 Andi Hamzah. Op.Cit.. hlm.281. 131 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan Terdakwa memang ditempatkan di posisi terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hal itu salah satu alasan agar dalam pemeriksaan Terdakwa memberikan keterangannya paling akhir agar Terdakwa dapat secara jelas mengerti tidak pidana yang didakwakan kepadanya. Keterangan Terdakwa sebenarnya memiliki sifat yang sama dengan keterangan saksi. Menurut Andi Hamzah60 yang mengatakan bahwa perubahan alat pembuktian dari pengakuan Terdakwa menjadi keterangan Terdakwa sangat penting dan membawa akibat jauh, bahwa keterangan Terdakwa itu mempunyai sifat yang sama dengan keterangan saksi. Alat bukti keterangan Terdakwa diatur dalam Pasal 189 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdiri dari empat ayat yang terumuskan sebagai berikut: 1. Keterangan Terdakwa ialah apa yang Terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 2. Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 3. Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4. Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. 60 Ibid. hlm.280. 132 Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas dapat ditarik beberapa asas untuk menentukan keterangan Terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, yakni di antaranya: 1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan; 2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.61 Data dari hasil penelitian ditemukan bahwa keterangan Terdakwa OJ Alias RJD Bin M diberikan di persidangan, maka asas keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan telah terpenuhi. Kemudian apa yang Terdakwa terangkan merupakan perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Meskipun berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms keterangan Terdakwa OJ ada yang memiliki persesuaian dengan alat bukti keterangan saksi yang ada dan ada pula yang bertentangan. Terdakwa tetap tidak mau mengakui bahwa dirinya telah melakukan hal-hal yang dituduhkan padanya yaitu telah melakukan penistaan terhadap agama tertentu yaitu agama Islam dan banyak yang bertentangan dengan keterangan-keterangan para saksi yang dihadirkan, namun terdapat pula beberapa keterangan Terdakwa yang memiliki persamaan dengan keterangan beberapa saksi yang diantaranya adalah: 61 M. Yahya Harahap. 2009. Op. cit.. hlm. 319 133 - Bahwa Terdakwa seorang PNS di Kantor Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis; - Bahwa Terdakwa membuka sebuah praktik pengobatan alternatif; - Bahwa Terdakwa adalah pemilik dari Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh yang terletak di Wilayah Dusun Timbangwindu Desa Pamalayan Kec. Cijeungjing Kab Ciamis; - Bahwa Terdakwa melakukan pengobatan dengan cara memberikan makan kepada pasien berupa mie yang telah diberi irisan cabai rawit dan minuman kopi hitam; - Bahwa Terdakwa mengenal para saksi; - Bahwa beberapa saksi merupakan pasien Terdakwa; - Bahwa saksi SA melahirkan di padepokan Terdakwa; - Bahwa Terdakwa pernah dipanggil oleh Pemda Kabupaten Ciamis terkait isu tentang Terdakwa telah melakukan penistaan agama, yaitu agama Islam; - Setelah dilakukan perundingan tersebut Terdakwa tetap tidak mau menutup padepokan tersebut; - dll. Keterangan Terdakwa yang tidak sesuai dengan alat bukti lainnya yaitu: - Terdakwa tidak pernah mengatakan kepada pasien-pasien bahwa Terdakwa sebagai penganti Nabi Muhammad SAW. 134 - Terdakwa tidak pernah melarang saksi SA untuk keluar padepokan dan juga tidak pernah mengintimidasi atau menakut-nakuti apabila keluar padepokan akan terjadi sesuatu. - Terdakwa tidak pernah melarang shalat dan dzikir terhadap pasien SA dan saksi W. - Terdakwa tidak pernah menyuruh saksi SA untuk menaruh anaknya di tempat seperti itu, hal tersebut atas keinginan saksi SA sendiri. - Terdakwa tidak pernah menyuruh atau menganjurkan sesuatu kepada saksi U atau anaknya selain dari cara-cara pengobatan yang Terdakwa lakukan. - Bangunan saung yang dibangun oleh saksi U hanya khusus untuk saksi U dan ketika saksi U pulang maka saung tersebut tidak dipergunakan sampai saat ini. - dll. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan Terdakwa menurut Yahya Harahap adalah sebagai berikut: 1. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan Terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. 2. Harus memenuhi batas minimum pembuktian Adanya keharusan untuk mencukupkan alat bukti keterangan Terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. 3. Harus memenuhi asas keyakinan hakim. Kendati kesalahan Terdakwa telah terbukti memenuhi asas batas minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan keyakinan hakim, bahwa memang Terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana 135 yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP.62 Dengan melihat penjelasan di atas maka Majelis Hakim dapat menilai bahwa beberapa dari keterangan Terdakwa memiliki keterkaitan dengan alat bukti lainnya yaitu keterangan saksi sesuai dengan keyakinan hakim, maka keterangan Terdakwa tersebut dapat diambil sebagai alat bukti yang sah untuk memutus perkara tersebut di dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms. Alat-alat bukti pada Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diuraikan di atas yang telah dihubungkan dengan alat-alat bukti yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, diperoleh alat-alat bukti yang sah dalam putusan tersebut yang telah memenuhi syarat-syarat dikatakan sebagai alat bukti yang sah, yakni keterangan saksi (26 saksi yang diajukan berupa 15 orang saksi yang memberatkan dan 11 orang saksi meringankan), keterangan ahli berupa keterangan langsung ahli di dalam persidangan, dan keterangan Terdakwa OJ Alias RJD. 62 M. Yahya Harahap. 2009. Op. cit.. hlm. 332-333. 136 2) Sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan agama terhadap Terdakwa dalam Putusan Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana ada bermacam-macam. Setiap negara menganut sistem pembuktian yang berbeda tergantung dengan sistem hukum yang dianut di negara tersebut. Pengertian tentang pembuktian diperoleh dari doktrin. Beberapa pengertian tentang pembuktian diantaranya diperoleh menurut M. Yahya Harahap yang mengatakan: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang yang didakwakan kepada Terdakwa.”63 Pengertian pembuktian juga dikemukakan Leden Marpaung yang mengatakan bahwa: “Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence.). Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk menentukan “kebenaran”.64 Pengertian yang dikemukakan oleh Leden Marpaung berarti dalam mencari kebenaran diperlukan bukti-bukti. Hal itu seperti yang dijelaskan oleh Darwan Prinst yang mengatakan bahwa: “Pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan Terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Untuk membuktikan kesalahan Terdakwa pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Pembuktian yang sah 63 64 M. Yahya Harahap. 2009. Op. Cit. hlm 273. Leden Marpaung. Op. Cit. hlm 22-23. 137 harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa Terdakwa. Pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang pengadilan.”65 Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib Terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa, Terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan yang didakwakan Terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Terdakwa harus dinyatakan bersalah. Seperti yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, Terdakwa OJ Alias RJD yang dinyatakan bersalah setelah melewati proses persidangan yang didasarkan atas hal-hal yang diajukan baik oleh pihak Penasihat Hukum dan Terdakwa maupun yang diajukan oleh pihak Penuntut Umum. Sedangkan sistem sendiri juga memiliki pengertian. Menurut Tatang M. Amirin dalam Hibnu Nugroho menyatakan bahwa: “....sistem dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian skema atau metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu, atau model tata cara. Dapat juga dalam arti suatu bentuk atau pola pengaturan, pelaksanaan, atau pemrosesan; dan juga dalam pengertian metode pengelompokan, pengkodifikasian dan sebagainya....”66 65 Darwan Prinst. Op. Cit. hlm 137. 66 Hibnu Nugroho. Op.Cit.hlm. 9. 138 Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu adalah: a. Menurut undang-undang artinya hakim tidak dapat secara bebas menentukan jenis alat bukti apa saja yang dapat digunakan dalam pembuktian di persidangan maupun minimal banyaknya alat bukti yang harus ada untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Hal ini juga diungkapkan oleh Andi Hamzah yang mengatakan : “Indonesia sendiri menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang negative (negatief wettelijk). Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dapat disimpulkan bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam PAsal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.”67 Hal itu juga dikemukakan oleh P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang bahwa: “wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian, undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada”.68 Dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, hakim tidak menentukan alat bukti apa saja yang harus diajukan di persidangan. Dalam persidangan tersebut digunakan alat bukti yang bersifat limitatif berdasarkan Pasal 184 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan masalah pengajuan alat bukti diserahkan kepada kedua pihak yaitu Penasihat Hukum dan Terdakwa serta Penuntut Umum. 67 Andi Hamzah. Op. Cit. hlm 254. 68 Loc.Cit. 139 b. Negatif artinya meskipun telah memenuhi minimal alat bukti yang telah ditentukan undang-undang, tetapi belum dapat dijatuhkan pidana apabila hal tersebut belum dapat menimbulkan keyakinan hakim. Jadi di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah jua harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang telah didakwakan kepadanya. Menurut M Yahya Harahap, Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen 69: a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang b. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Adami Chazawi yang mengatakan: “Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan Terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas faktafakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undangundang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alatalat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri.”70 Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalamnya terkandung dua hal, yakni : 69 M. Yahya Harahap. 2009. Op. Cit. hal. 279 70 Adami Chazawi. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : P.T Alumni. 2008. hlm 26 140 1. Batas minimum pembuktian Terdakwa dinyatakan bersalah apabila telah memenuhi dua alat bukti yang sah dan baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Dalam hal ini alat bukti yang sah didefinisikan sebagai alat bukti yang tercantum di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms telah diajukan alat bukti yaitu keterangan saksi sejumlah 26 orang saksi yang terbagi dalam 15 orang saksi yang memberatkan (saksi S, SA Binti ES, W Bin K, EI Bin IR, DS Bin M, EN Bin H. ME, OSQ, S. Ag. Bin D, U Bin S, E Bin A, ETR Bin S, NN Bin H, ES Bin MS, M, US Bin CS, dan I Bin E yang dihadirkan oleh Penuntut Umum) dan 11 orang saksi meringankan (saksi IHA Bin S, TM Binti D, ES Binti S, JS Bin J, SS Bin D, dan YK Bin S yang dihadirkan oleh Penuntut Umum dan saksi CSM, C, TAW, AM, dan DZM yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum), keterangan ahli (Drs. KH. Ahmad Hidayat, SH. Bin KH. Muh. Sirod), dan keterangan Terdakwa OJ Alias RJD. Dengan demikian pembuktian tersebut telah memenuhi batas minimum pembuktian. 2. Asas keyakinan hakim Menurut Lilik Mulyadi71, Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 71 Mulyadi. Lilik. Op. Cit. hal : 199 141 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.” adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Artinya di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan hakim memperoleh “keyakinan” bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Dengan diajukannya alat bukti berupa 15 orang saksi yang memberatkan (saksi S, SA Binti ES, W Bin K, EI Bin IR, DS Bin M, EN Bin H. ME, OSQ, S. Ag. Bin D, U Bin S, E Bin A, ETR Bin S, NN Bin H, ES Bin MS, M, US Bin CS, dan I Bin E yang dihadirkan oleh Penuntut Umum) dan 11 orang saksi meringankan (saksi IHA Bin S, TM Binti D, ES Binti S, JS Bin J, SS Bin D, dan YK Bin S yang dihadirkan oleh Penuntut Umum dan saksi CSM, C, TAW, AM, dan DZM yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum), keterangan ahli (Drs. KH. Ahmad Hidayat, SH. Bin KH. Muh. Sirod), dan keterangan Terdakwa OJ Alias RJD berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms hakim telah mendapatkan keyakinan bahwa Terdakwalah bersalah telah melakukan tindak pidana penistaan agama dengan adanya kalimat dalam Amar Putusan berupa: 142 “Menyatakan Terdakwa ONDON JUHANA Alias RADEN JAYADININGRAT Bin MANSUR telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ PENODAAN AGAMA DAN PENIPUAN”72 Dengan melihat penjelasan di atas, maka berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, hakim dalam menjatuhkan putusan atas suatu tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa telah memenuhi asas minimal pembuktian yang sah di persidangan dan hakim telah memperoleh keyakinan atas kesalahan Terdakwa dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini menjelaskan bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yang diterapkan terhadap kasus tindak pidana penistaan agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms dengan alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa yang diajukan di persidangan. 72 Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms. hlm. 85. 143 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Alat-alat bukti yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana penistaan agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, yakni: a. keterangan saksi. Terdiri dari 26 orang saksi berupa 15 orang saksi yang memberatkan dan 11 orang saksi yang meringankan yang dihadirkan di persidangan. Dari keterangan beberapa saksi diperoleh keterangan bahwa Terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana penistaan agama berupa melarang shalat karena shalat hanya olahraga agama Islam, dilarang wirid yang berlebihan karena akan mengundang jin, masjid adalah tempat paguyuban atau tempat ngobrol, dilarang mengunjungi tempat-tempat keramat karena sudah ada di padepokan Terdakwa OJ, dan Terdakwa mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. b. keterangan ahli. Berupa keterangan seorang ahli yang merupakan seorang ulama dari Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Ciamis yang bernama Drs. KH. Ahmad Hidayat, SH. Bin KH. Muh. Sirod yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa merupakan bertentangan dengan akidah dan syariat dalam agama Islam. Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut dapat berakibat : Merupakan penghinaan terhadap kehidupan beragama Islam, merupakan penyimpangan dari 144 fungsi agama Islam itu sendiri, merupakan penodaan terhadap hakekat ajaran agama Islam yang diturunkan berdasarkan wahyu/Al Qur’an/Sunnah Rosul, ditinjau dari segi kehidupan umat beragama mengganggu kerukunan intern umat beragama, dan dapat menimbulkan permusuhan sesama pemeluk agama Islam yang mengganggu Ukuwah Islamiyah. c. keterangan Terdakwa. Adapun Keterangan Terdakwa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan, yaitu: 1) Terdakwa membenarkan identitasnya pada saat pemeriksaan identitas di sidang pengadilan dan membenarkan bahwa Terdakwa adalah pemilik dari Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna; 2) Terdakwa seorang PNS di Kantor Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis; 3) Terdakwa membuka sebuah praktik pengobatan alternatif; 4) Terdakwa melakukan pengobatan dengan cara memberikan makan kepada pasien berupa mie yang telah diberi irisan cabai rawit dan minuman kopi hitam; 5) Terdakwa pernah diundang untuk dilakukan pembicaraan terkait isu yang beredar bahwa Terdakwa telah melakukan penodaan agama; Hingga akhir pertemuan Terdakwa tetap tidak mau menutup padepokan tersebut. 2. Sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan agama terhadap Terdakwa dalam Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms B. 145 a. Menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada Terdakwa harus: 1) Kesalahannya terbukti sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”; 2) Dan atas terbuktinya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah. b. Dalam membuktikan kesalahan Terdakwa, Majelis Hakim telah menerapkan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif dengan alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa yang diajukan di persidangan. B. Saran Hakim di dalam proses pembuktian hendaknya cermat dalam menggunakan alat-alat bukti yang berkaitan dengan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum serta alat-alat bukti tersebut harus saling berkesinambungan dengan pertimbangan dan penjatuhan pidananya. Dalam kasus penistaan agama ini hendaknya dikuatkan dengan barang bukti agar tidak menimbulkan persepsi bahwa tindak pidana penistaan agama yang dilakukan oleh Terdakwa hanyalah isu semata yang berkembang di masyarakat. DAFTAR PUSTAKA PUTUSAN : Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 157/Pid.B/2011/PN.Cms BUKU : Abdoel, R. Djamali. 2010. Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Asikin, Zainal & Amiruddin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada ______________________. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Chanur, A. Arrasjid. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : P.T Alumni. Hamzah, Andi. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Ibrahim, Johny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi). Malang: Bayu Media Publishing ____________. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media Publishing Lamintang, P.A.F & Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika Mahmud, Peter Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencara Media Group ___________________. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Cetakan Keempat, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup Marpaung, Leden. 2009. Proses Penangan Perkara Pidana(Penyelidikan & Penyidikan) Bagian Pertama Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Normatif, Teeoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung : P.T. ALUMNI Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara Prinst, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan Pudjosewojo, Kusumadi. 2004. Pedoman Pelajaran Tata Hukum. Jakarta: Sinar Grafika Taufik, Mohammad Makarao & Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia Tiena, Yulies Masriani. 2008. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Wisnubroto. 2002. Praktek Peradilan Pidana Proses Persidangan Perkara Pidana. Jakarta: Galaxy Puspa Mega Yahya, M. Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika ________________. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika. JURNAL : Diane, Zulfi Zaini. 2011. Implementasi Pendekatan Yuridis Normatif dan Pendekatan Normatif Sosiologis Dalam Penelitian Ilmu Hukum, Jurnal Ilmu Hukum Pranata Hukum, Juli 2011 volume 6 no.2 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Indonesia, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tentang Pencegahan ________, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ________, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum ________, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ________, Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama SUMBER INTERNET : Ismuhadi. 2008. Analisa Pidana Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana di Indonesia. www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12134/1/09E02103.pdf. diakses pada 22 Mei 2013 Syarof, Uwais Rifqon. 2012. Pengertian Tindak Pidana. http://kakpanda.blogspot.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana.html, diakses pada 7 Mei 2013 Sangatta. 2013. Hukum Acara Pidana. http://www. http://statushukum.com. diakses pada 7 Mei 2013 Anonim. 2012. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Menurut Para Ahli. http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-danunsur.html, diakses pada 7 Mei 2013