PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (Studi

advertisement
PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA
(Studi Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms)
SKRIPSI
Oleh:
ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO
E1A009196
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ii
PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA
(Studi Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh:
ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO
E1A009196
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA
(STUDI PUTUSAN NO : 157/Pid.B/2011/PN.Cms)
Oleh :
ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO
NIM. E1A009196
Maksud Skripsi untuk memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Isi dan Format telah disetujui pada tanggal 21 November 2013
Z
iv
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama :
ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO
NIM
E1A009196
:
Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA
(Studi Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms)
Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil
karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain.
Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dinakan sanksi apapun dari
Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH) yang saya sandang.
Purwokerto, 21 November 2013
ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO
NIM. E1A009196
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kepada Tuhan Yang Maha
Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan nikmat kesehatan
dan hikmat kepada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik
meskipun mengalami banyak hambatan dan tantangan.
Skripsi ini berjudul “PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA
PENISTAAN AGAMA (Studi Putusan No: 157/Pid.B/2011/PN.Cms)”,
disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih setinggi-tingginya dan tak
terhingga kepada yang terhormat :
1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan
seluruh jajarannya;
2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas
segala bantuan, arahan, bimbingan, kesabaran, dan masukan yang telah
diberikan selama penulisan skripsi ini;
3. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala
bantuan, arahan, bimbingan dan masukan yang telah diberikan selama
penulisan skripsi ini;
4. Weda Kupita, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah banyak
member
masukan
demi
perbaikan
skripsi
ini;
v
5. Sanyoto S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Acara dan Dosen
Pembimbing Akademik atas segala arahan dan masukan yang telah
diberikan selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto;
6. Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto;
7. Sunardi sebagai Ayah Kandung tercinta dari penulis atas segala dukungan
baik doa dan usaha serta segala kesabaran dalam membimbing penulis
untuk mengarungi kehidupan;
8. Erlina Bhudianingsih sebagai Ibu Kandung tercinta dari penulis atas segala
dukungan baik doa dan usaha serta segala kesabaran dalam membimbing
penulis untuk mengarungi kehidupan;
9. Arini Budhi Pratiwi sebagai Adik Kandung dari penulis;
10. Devi Kurnia Sofia sebagai orang yang telah mensuport penulis selama
beberapa tahun ini;
11. Teman-teman dan bapak / ibu guru TK Putra III, SD Negeri 07 atau 03
Banjar, SMP Negeri 1 Banjar, SMA Negeri 1 Banjar serta pihak-pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi bantuan,
saran serta doa demi kelancaran penulisan skripsi ini;
12. Teman-Teman Angkatan 2009 Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto, serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu yang telah memberi bantuan, saran serta doa demi kelancaran
penulisan skripsi ini.
v
13. Teman-teman KKN Desa Bakulan Periode Juli-Agustus 2012;
14. Teman-teman Kos Akhomas 2009;
15. Teman-teman kontrakan Q12, Q1, dan P3;
16. Teman-teman Tarung Derajat SATLAT SMAN 1 Banjar yang tidak bisa
saya sebutkan satu persatu.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut
serta memberikan bantuan dan sumbangan pemikiran selama penulis mengikuti
perkuliahan. Akhirnya segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dapat
menjadi karunia yang tidak terhingga dalam hidupnya.
Penulis telah berupaya semaksimal mungkin, namun penulis menyadari
masih banyak kekurangannya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun dari pembaca demi sempurnanya skripsi ini. Kiranya
skripsi ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pendidikan.
Purwokerto, 21 November 2013
Penulis
ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO
NIM. E1A009196
vi
ABSTRAK
PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA
(Studi Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms)
Oleh:
ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO
E1A009196
Pembuktian bukanlah upaya untuk mencari kesalahan pelaku namun yang
menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materil.
Untuk bisa membuktikan kesalahan seseorang dalam pembuktian diperlukan alat
bukti. Alat-alat bukti yang dapat diajukan ke persidangan, yaitu keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, serta keterangan terdakwa.
Seringkali dalam kasus penistaan agama dalam memutus perkara
mendapat intervensi dari masyarakat yang tengah bergejolak emosinya di luar
persidangan. Hal ini menyebabkan hakim cenderung tidak cermat dalam menilai
alat bukti yang dihadirkan di persidangan. Dalam kasus tindak pidana penistaan
agama yang dilakukan oleh OJ alias RJD dalam Putusan Pengadilan Negeri
Ciamis Nomor : 157/Pid.B/2011/PN.Cms, OJ alias RJD dinyatakan bersalah dan
terbukti melanggar Pasal 156a dan Pasal 378 KUHP.
Sistem pembuktian yang digunakan dalam proses pembuktian berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms adalah
sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk).
Alat bukti yang digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara
tersebut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa.
Meskipun menurut keterangan salah satu saksi yang dihadirkan terdapat tulisantulisan yang menunjukkan larangan untuk shalat, wirid/dzikir, dan lain-lain
namun tidak dihadirkan sebagai barang bukti dalam proses pembuktian.
Dalam kasus penistaan agama ini hendaknya dikuatkan dengan barang
bukti agar tidak menimbulkan persepsi bahwa tindak pidana penistaan agama
yang dilakukan oleh Terdakwa hanyalah isu semata yang berkembang di
masyarakat.
Kata Kunci : Pembuktian, Tindak Pidana, Penistaan Agama
vii
ABSTRACT
AUTHENTICATION IN BLASPHEMY CASE
(a Study of a Decision No: 157/Pid.B/2011/PN.Cms)
By:
ARIE WIRAWAN BUDHI PRASETYO
E1A009196
Authentication does not effort to seek the perpetrator’s mistake but it has
special aim to look for the truth and material justice. It need evidential tool to
prove perpetrator’s mistake in authentication. The evidential tools that may be
submitted to the court are: witness’ statement, expert’s statement, official letter,
hints, suspect’s statement.
People out of the court often interven in court’s decision in blasphemy
caseas they are very emotional toward the case. It can affect the judge not
carefully in assessing evidential tools. OJ alias RJD who held for blasphemy
case is convicted of violating law, article 156a and article 378 KUHP based on
Ciamis District Court’s Decision Number : 157/Pid.B/2011/PN.Cms,
Authentication system which is used in authentication process based on
Ciamis District Court’s Decision Number : 157/Pid.B/2011/PN.Cms is system
based on negative law. The evidential tools which is used for judge’s
consideration in deciding the case are witness’s statement, expert’s statement and
suspect’s statement. Although one of witness which is present in court give the
statement that there are articles mentioning disallowance for salat, dhikr, and
other worships, it is not considered as exhibit in authentication process.
In this blashphemy case, the exhibit should be provided in court in order
not to give the perception that blasphemy held by the suspect is ony issue arising
in society.
Key Word : Authentcation, Crime, Blasphemy
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ........................................................................... iv
PRAKATA ................................................................................................... v
ABSTRAK .................................................................................................. vi
ABSTRACT ............................................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Hukum Acara Pidana .................... 7
B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana ................................................... 11
C. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian ........................................................... 22
2. Sistem atau Teori Pembuktian ............................................... 24
3. Alat-Alat Bukti Menurut KUHAP ......................................... 28
4. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP ................................... 38
D. Tindak Pidana Penistaan Agama
1. Pengertian Tindak Pidana Penistaan Agama .......................... 40
viii
2. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Penistaan Agama ...….. 42
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ........................................................................ 47
B. Spesifikasi Penelitian ..................................................................... 47
C. Sumber Data .................................................................................. 48
D. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 49
E. Metode Penyajian Data .................................................................. 49
F. Metode Analisis Data .................................................................... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1.
Kasus Posisi ........................................................................... 51
2.
Dakwaan Penuntut Umum ..................................................... 55
3.
Pembuktian
a. Alat Bukti Keterangan Saksi ......................................... 57
b. Alat Bukti Keterangan Ahli .......................................... 80
c. Alat
Bukti
Keterangan
Saksi
Yang
Meringankan Bagi Terdakwa ......................................... 82
d. Alat Bukti Keterangan Terdakwa .................................. 96
4.
Tuntutan Penuntut Umum .......................................................103
5.
Putusan Pengadilan
a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim …..........................103
b. Amar Putusan Pengadilan ……..................................... 113
viii
B. Pembahasan
1.
Alat-alat bukti yang menunjukkan terbuktinya
tindak pidana perkosaan dan pencurian dengan
kekerasan
dalam
Putusan
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms ...................................................... 114
2.
Sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan
agama terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms ....................................................... 136
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ....................................................................................... 143
B. Saran ............................................................................................ 145
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penistaan agama merupakan suatu bentuk penyimpangan perilaku.
Apapun penyebabnya pesannya adalah bahwa mengeluarkan perasaan atau
perbuatan yang pada pokoknya dapat menimbulkan permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia sangat berbahaya,
merusak dan menimbulkan gangguan kesejahteraan bagi diri sendiri, keluarga,
masyarakat, bangsa dan umat manusia.
Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di Indonesia
sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta
merta indah pula dalam kenyataannya. Banyak sekali Warga Negara Indonesia
yang merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk agama dan berkeyakinan.
Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang diakui pemerintah, artinya kalau
memeluk agama di luar agama yang diakui itu maka ada efek yang dapat
mengurangi hak-hak sipil warga negara. Bahkan, orang yang mempunyai
keyakinan tertentu, biasa dituduh melakukan penodaan agama.
Pasal 156a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sering disebut dengan pasal
penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Di Indonesia,
Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama yang selama ini dijadikan dasar hukum, selain Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
2
Pidana, upaya penindakan aliran-aliran sesat hanya memuat rumusan sanksi
pidana penjara paling lama lima (5) tahun.
Kasus penistaan agama ini seringkali merupakan penilaian dari
subjektifitas masyarakat terhadap ajaran yang dianut oleh seseorang apakah
menistakan agama ataukah tidak. Seringkali pula ini hanya merupakan persepsi
orang dan menjadikan berita yang mengganggu stabilitas masyarakat di suatu
lingkungan masyarakat padahal patut diduga hal tersebut bisa saja hanya
kesalahpahaman dan dimungkinkan itu hanya isu-isu belaka yang dikeluarkan
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Meskipun mencapai pembuktian
dalam sidang pengadilan, seringkali Majelis Hakim mendapat intervensi dari para
pihak yang emosinya sedang bergejolak di depan pengadilan. Hakim terkesan
terburu-buru dalam memutus perkara karena adanya desakan tersebut sehingga
terkadang keyakinan hakim dalam memutus perkara pun sering terabaikan.
Padahal keyakinan hakim merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam
Majelis Hakim memutus suatu perkara.
Dalam suatu proses peradilan, pada tingkat pemeriksaan di sidang
pengadilan, tahap pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam arti
memiliki peranan yang menentukan apakah seorang Terdakwa benar-benar
bersalah atau tidak, dan seringkali proses pembuktian tidak berjalan sesuai dengan
aturan hukum yang ada. Penegak hukum sekiranya memiliki pedoman dalam
beracara, sehingga hak-hak asasi mereka yang diduga melakukan perbuatan yang
melanggar hukum terlindungi, maka dengan begitu akan berpengaruh terhadap
terciptanya suatu penegakkan hukum yang memenuhi rasa keadilan, ketertiban
3
berdasarkan Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang dasar 1945, serta kepastian
hukum. Kepastian hukum mengandung dua pengertian. Pertama, perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu.1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai pedoman dalam beracara pidana
yang dinyatakan berlaku di Indonesia harus ditaati, dalam pengertian bahwa bagi
para teoritis banyak hal yang dapat diperbuat untuk disumbangkan kepada
kebutuhan penerapan hukum agar dapat berlaku dan hidup sesuai dengan cita-cita
hukum.
Hakim dalam menjatuhkan putusan selalu mendasari pada alat bukti yang
sah. Ketentuan yang mengatur mengenai pembuktian dalam acara pemeriksaan
perkara pidana terdapat dalam Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
merumuskan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
Terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Tujuan dari hukum pidana adalah mencari kebenaran materil, yaitu
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan
1
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Keempat, Jakarta, Kencana
Prenada Media Grup, 2012, hlm. 137.
4
untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakuakan suatu
pelanggaran hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut terkandung ketentuan bahwa
pembuktian harus didasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah yang
dimaksud terdapat dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana disebutkan alat bukti yang sah yang membantu hakim dalam mengambil
keputusan seperti :
1.
2.
3.
4.
5.
Keterangan saksi;
Keterangan Ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan Terdakwa.
Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana sekurang-
kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah serta hakim yakin atas tindak pidana
yang Terdakwa terbukti bersalah (Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Kaitannya dengan penistaan agama, harus dibuktikan kebenarannya
secara materil, dengan kata lain menemukan dan mencari bukti-bukti guna
mempermudah pengelolaan dalam proses suatu perkara pidana. Putusan di
Pengadilan Negeri Ciamis No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms; merupakan suatu kasus
mengenai mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya dapat
menimbulkan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia yang dalam kasus ini adalah agama Islam, dimana hakim
memutus kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan
membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) terbukti melanggar
5
Pasal 156a dan Pasal 378 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut mendasarkan pada
penyesuaian antara alat bukti berupa keterangan para saksi, keterangan ahli, dan
keterangan Terdakwa.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti guna
penyusunan skripsi dengan judul “PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA
PENISTAAN AGAMA (Studi Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
mengambil pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Alat bukti apa saja yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana
penistaan agama dalam Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms ?
2. Bagaimana sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan agama
terhadap Terdakwa dalam Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui alat bukti apa saja yang menunjukkan terbuktinya
tindak
pidana
penistaan
agama
dalam
Putusan
No
:
157/Pid.B/2011/PN.Cms.
2. Untuk mengetahui sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan
agama
terhadap
Terdakwa
157/Pid.B/2011/PN.Cms.
dalam
Putusan
No
:
6
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Dengan
adanya
penelitian
ini
berguna
untuk
menambah
pengetahuan khususnya tentang pembuktian dan pertimbangan
hakim dalam tindak pidana penistaan agama.
b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menambah literature
ilmiah, diskusi hukum seputar perkembangan hukum acara pidana
di Indonesia.
2. Kegunaan Praktis
a. Memberikan data dan informasi mengenai bidang ilmu yang telah
diperoleh dalam teori dengan kenyataan yang ada dalam praktik.
b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta
pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan berminat pada
hal yang sama.
c. Memperluas wawasan, pengetahuan, dan kemampuan analistis
penulis, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
d. Memperoleh data yang akan dipergunakan oleh penulis dalam
penyusunan skripsi sebagai syarat dalam mencapai gelar sarjana
dalam Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil yang berguna untuk
mempertahankan hukum materiil yaitu hukum pidana. Agar hukum pidana
dapat benar-benar dijalankan maka hukum acara pidana yang mempertahankan
berlakunya hukum pidana. Hal itu juga yang dikatakan oleh A. Chanur Arrasjid
bahwa:
“Hukum formil adalah hukum yang mengatur cara mempertahankan
atau menjalankan peraturan-peraturan hukum materiil.”2
Abdoel Djamali juga sependapat dengan Chanur Arrasjid mengatakan
bahwa:
“Hukum acara atau hukum formal adalah peraturan hukum yang
mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan
peraturan hukum material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang
memenuhi norma-norma larangan hukum material melalui suatu
proses dengan berpedomankan kepada peraturan yang dicantumkan
dalam hukum acara.”3
Hukum acara pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan pengertian hukum
acara pidana, namun pengertian hukum acara pidana bisa didapatkan dari
doktrin.
Beberapa ahli
hukum
memberikan pengertian tersebut.
Van
Bemmelen sebagaimana dikutip Mohammmad Taufik Makarao dan Suhasril
mengatakan bahwa:
2
A. Chanur Arrasjid, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. halaman 110.
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010, hlm 193.
3
8
“Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh negara, karena adanya dugaaan terjadi pelanggaran
undang-undang pidana.
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.
2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si
pelaku dan kalau perlu menahannya.
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada
hakim dan membawa Terdakwa ke depan hakim tersebut.
5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dituduhkan kepada Terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib.
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
7. Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib.”4
Penjelasan mengenai hukum acara pidana juga dikemukakan oleh
Kusumadi Pudjosewojo bahwa:
“Hukum pidana beserta hukum acara pidana ada yang menggolongkan ke
dalam hukum publik, karena melindungi tata tertib masyarakat.”5
Perbedaannya dengan Hukum Pidana adalah Hukum Pidana
merupakan peraturan yang menentukan tentang perbuatan yang tergolong
perbuatan pidana. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi agar suatu
perbuatan dapat dikenakan sanksi pidana, pelaku perbuatan pidana dapat
dihukum dan macam- macam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
perbuatan pidana.
Hukum Acara Pidana disebut Hukum Pidana Formil (Formeel
Strafrech), sedang Hukum Pidana disebut sebagai Hukum Pidana Materiil
4
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan
Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 1.
5
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,
hlm 101.
9
(Materieel Strafrecht). Jadi, Kedua hukum tersebut mempunyai hubungan yang
sangat erat.
Hukum acara pidana juga memiliki tugas penting yang sejalan dengan
tujuan hukum acara pidana. Hibnu Nugroho mengatakan bahwa:
“Tugas penting yang diemban oleh hukum acara pidana adalah
memberikan bingkai yang menjadi garis merah kepada para penegak
hukum dalam melaksanakan tugasnya agar tidak melampaui batas
kewenangannnya, mengingat setiap pelaksanaan suatu penegakan
hukum akan berkaitan langsung dengan pelanggaran HAM, terutama
HAM bagi tersangka/Terdakwa.”6
Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa Hukum Acara Pidana tidak
semata-mata menerapkan Hukum Pidana. Akan tetapi lebih menitikberatkan
pada proses dari pertanggungjawaban seseorang atau sekelompok orang yang
diduga dan/atau didakwa telah melakukan perbuatan pidana.
Suatu aturan hukum yang dibuat pasti memiliki tujuan. Tujuan Hukum
Acara Pidana sangat erat hubungannya dengan tujuan Hukum Pidana. Tujuan
Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaknya
mendekati kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan untuk selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
6
Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Media
Prima Aksara, Jakarta, 2012, hlm 31.
10
terbukti bahwa tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa
itu dapat dipersalahkan.7
Hukum Pidana memuat tentang rincian perbuatan yang termasuk
perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana yang dapat dihukum, dan macammacam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar hukum pidana.
Sebaliknya Hukum Acara Pidana mengatur bagaimana proses yang ahrus
dilalui aparat penegak hukum dalam rangka mempertahankan hukum pidana
materiil terhadap pelanggarnya.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedua hukum tersebut
saling melengkapi, karena tanpa hukum pidana, hukum acara pidana tidak
berfungsi. Sebaliknya tanpa hukum acara pidana, hukum pidana juga tidak
dapat dijalankan (tidak berfungsi sesuai dengan tujuan).
Fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran
materiil, putusan hakim, dan pelaksanaan keputusan hakim. Menurut Yulies
Tiena Masriani mengatakan bahwa:
“Fungsi Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran materiil, putusan
hakim dan pelaksanaan keputusan hakim.”8
Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya
didapatkan dengan pembuktian. Pembuktian merupakan ketentuan yang
membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan
7
Sangatta, 2013, Hukum Acara Pidana, http://www. http://statushukum.com. Diakses pada
7 Mei 2013
8
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 83.
11
kebenaran.
Keseluruhan pihak baik hakim, Terdakwa maupun penasihat
hukum terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan
oleh undang-undang.
Selain itu hukum acara pidana memiliki beberapa fungsi, antara lain
adalah fungsi represif dan fungsi preventif. Fungsi represif dalam hukum acara
pidana adalah adanya upaya untuk menegakkan ketentuan pidana dan
melaksanakan hukum pidana. Penegakan ketentuan pidana berarti pemberian
sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan dalam hukum pidana terhadap suatu
perbuatan pidana. Sementara fungsi preventif dalam hukum acara pidana
adalah fungsi pencegahan dan upaya untuk mengurangi tingkat kejahatan.
Fungsi preventif dalam hukum acara pidana ini dapat berjalan dengan baik
apabila seluruh proses hukum acara pidaana dapat diselenggarakan dengan
baik pula agar dapat mencegah terjadinya perbuatan pidana yang sama dalam
masyarakat.9
B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Asas-asas hukum bukanlah aturan
hukum. Asas-asas hukum
merupakan bingkai dari sebuah aturan hukum. Asas-asas hukum tersirat
dalam aturan-aturan hukum. Asas hukum bersifat umum oleh karena itu harus
dituangkan dalam aturan hukumnya agar dapat diterapkan.
Asas-asas hukum harus ada dalam setiap aturan hukum.Jika asas-asas
hukum tidak ada dalam sebuah aturan hukum maka aturan tersebut tidak
9
Sangatta, 2013, Hukum Acara Pidana, http://statushukum.com/hukum-acara-pidana.html,
diakses pada 7 Mei 2013
12
dapat dimengerti. Hal tersebut yang dikatakan oleh Hibnu Nugroho 10 bahwa
asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak akan dimengerti tanpa
asas-asas tersebut.
Hukum acara pidana juga memiliki asas-asas hukum acara pidana agar
hukum acara pidana dapat dimengerti. Asas-asas hukum acara pidana yaitu:
1. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Asas ini sebenarnya telah ada sejak berlakunya HIR. Peradilan cepat
dalam HIR misalnya dalam Pasal 71 HIR ada kata-kata satu kali 24 jam.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) di dalamnya terdapat peradilan cepat
misalnya dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
merumuskan:
“(1)Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan
selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”
Perumusan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut
terdapat kata “segera” yaitu agar dilakukan secara cepat. Berdasarkan
perbandingan antara HIR dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di atas,
sebenarnya ketentuan dalam HIR lebih pasti karena telah dirumuskan
berapa lama waktunya, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8
10
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.hlm.33.
13
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) kata “segera” belum menunjukan kepastian.
Perumusan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga di dalamnya
tersirat asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang
dirumuskan:
“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang
tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara
cepat.”
Berdasarkan rumusan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
tersebut, Yahya Harahap11 mengatakan bahwa bertitik tolak ansich dari
sudut kepentingan kepastian hukum bagi Terdakwa untuk mempercepat
proses penyelesaian perkara, ketentuan ini sangat menguntungkan
Terdakwa. Akan tetapi kalau dipertentangkan dari sudut kepentingan
hukum dan keadilan dalam mewujudkan kebenaran yang hakiki,
barangkali terlampau berat sebelah melindungi kepentingan Terdakwa,
sehingga dirasakan kurang bernafas keselarasan dan keseimbangan dengan
perlindungan ketertiban masyarakat.
Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan wujud
penghargaan terhadap hak asasi manusia dan juga agar negara dapat
menghemat pengeluaran sehingga dapat dipergunakan untuk kesejahteraan
11
Ibid, hlm.54.
14
rakyat. Hal serupa juga dikemukakan oleh Andi Hamzah12 yang
mengatakan bahwa peradilan cepat (terutama untuk menghindari
penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian
dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak
memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.
Implementasi lainnya terhadap asas peradilan cepat terdapat pula
dalam hal batas waktu penahanan dalam proses beracara pidana.
Penahanan merupakan suatu hak dari para penegak hukum pidana yang
menggunakan suatu pedoman berupa hukum acara pidana yang terdapat di
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pengaturan mengenai batas
waktu penahanan bagi penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang atas
izin penuntut umum selama 40 hari yang diatur di dalam Pasal 24 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini batas waktu 60
hari tidak selalu digunakan, hal ini hanya batas waktu maksimum yang
dapat dipergunakan oleh penyidik apabila diperlukan perpanjangan waktu
penahanan guna memperlancar proses penyidikan. Dan apabila telah
sampai batas waktu maksimal penyidik belum juga menyelesaikan apa
yang dituju maka Terdakwa harus segera dikeluarkan demi hukum dan
tanpa syarat apapun. Maka dalam hal ini penyidik harus segera
menyelesaikan proses penyidikan. Begitu pula halnya dalam proses
12
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,.hlm.13.
15
beracara di Penuntut Umum, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung. Dengan melihat hal tersebut maka jelaslah UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) memberikan jaminan untuk dilaksanakannya asas
peradilan cepat dalam proses beracara.
2. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Asas ini berarti seseorang
yang disangka,
ditangkap, ditahan,
dituntut, dan dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak boleh dianggap
bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah serta
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini terdapat dalam
Penjelasan Umum butir 3 c Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
dirumuskan:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Asas ini merupakan bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Asas ini memiliki tujuan untuk memberi perlindungan terhadap hak asasi
dan nama baik seseorang. Hal itu disebabkan karena karena seseorang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan di muka
sidang pengadilan belum tentu dia bersalah melakukan tindak pidana yang
disangkakan kepadanya.
16
3. Asas Oportunitas
Asas Oportunitas yaitu suatu asas dimana penuntut umum tidak
diwajibkan untuk menuntut seseorang jika karena penuntutannya akan
merugikan kepentingan umum. A.Z. Abidin Farid dalam Andi Hamzah
memberi perumusan tentang asas oportunitas yaitu asas hukum yang
memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak
menuntut dengan tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan umum.13
Asas oportunitas merupakan pertentangan asas legalitas. Asas
oportunitas mengedepankan kepentingan umum sedangkan asas legalitas
mengedepankan kepentingan hukum. Wujud dari asas oportunitas yaitu
perkara tersebut dideponir.
Asas oportunitas tidak sembarangan dapat dilakukan. Asas ini hanya
berlaku jika kepentingan umum benar-benar dirugikan, selain itu tidak
semua jaksa dapat memberlakukan asas ini. Hal ini diatur oleh Pasal 35 c
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia yang merumuskan:
“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan
umum.”
Perumusan Pasal 35 c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia dapat diartikan hanya Jaksa Agung yang
dapat mendeponir perkara yang merugikan kepentingan umum.
13
Ibid, hlm.17.
17
4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas pengadilan terbuka untuk umum berarti menghendaki adanya
transparansi atau keterbukaan dalam sidang pengadilan. Asas ini terdapat
dalam rumusan Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
dirumuskan:
“(3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam
perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak.”
Arti dari rumusan pasal tersebut berarti asas ini hanya berlaku dalam
sidang pengadilan tidak berlaku dalam tahap penyidikan maupun
praperadilan. Meskipun demikian, asas ini pun tidak dapat diterapkan
dalam semua sidang pengadilan Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) memberi pengecualian terhadap sidang pengadilan
mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak. Pengecualian ini
dijelaskan oleh M. Yahya Harahap yang mengatakan bahwa:
“Secara singkat dapat dapat dikemukakan bahwa mengenai perkara
kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut
mengungkapkan dan memaparkannya secara terbuka di muka
umum. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan sidang anakanak, cara-cara pemeriksaan persidangannya memerlukan
kekhususan. Timbul suatu kecenderungan yang agaknya bisa
dijadikan dasar filosofis yang mengajarkan anak-anak melakukan
tindak pidana, bukanlah benar-benar, tetapi melainkan bersifat
“kenakalan” semata-mata.”14
14
M. Yahya Harahap, Op.Cit.hlm.56-57.
18
Terlaksananya asas ini terdapat di dalam Pasal 153 ayat (4) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) merumuskan:
“(4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
Dengan melihat ketentuan Pasal 153 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) ini maka asas pemeriksaan pengadilan harus diterapkan karena
jika tidak maka putusan batal demi hukum.
5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas ini berarti tidak membeda-bedakan orang di hadapan hukum.
Tidak peduli seseorang berasal dari mana, memiliki jenis kelamin apa,
miskin ataupun kaya semuanya diperlakukan sama di depan hukum. Jika
seseorang bersalah maka harus dihukum dan jika tidak maka harus
dibebaskan. Selain itu dihukum
sesuai dengan kesalahan
yang
dilakukannya dengan tidak mendiskriminatifkan.
Asas ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan :
“(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.”
Asas ini juga terdapat dalam penjelasan umum butir 3 a UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan:
19
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”
Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ditegaskan kembali oleh
Hibnu Nugroho15 yang mengatakan bahwa:
“Semangat menjujung tinggi HAM yang mendasari lahirnya KUHAP
semakin memperkokoh kedudukan asas ini. Dalam hal ini mulai dari
ditangkapnya seseorang hingga akhir menjalani proses penegakan
hukum, orang tersebut tetap mendapat perlindungan yang memadai.
Setiap tahap pemeriksaan diberikan jangka waktu limitatif yang
secara terang tertulis dalam ketentuan KUHAP dan pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut dapat dilakukan pra peradilan.”
6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannnya dan Tetap
Asas ini menentukan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk
menyatakan salah tidaknya Terdakwa dilakukan oleh hakim karena
jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini berbeda dengan sistem juri. Andi
Hamzah16 mengatakan bahwa sistem juri yang menetukan salah tidaknya
Terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam
masyarakat. Pada umumnya mereka awam terhadap ilmu hukum.
7. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Salah satu asas yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) adalah bahwa tersangka atau Terdakwa berhak mendapatkan
bantuan hukum. Asas ini terdapat dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 74
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
15
16
Hibnu Nugroho, Op.Cit.hlm 36-37.
Andi Hamzah, Op.Cit.hlm 22.
20
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Asas ini berlaku secara universal di
negara-negara demokrasi. Hal ini terbukti dengan terdapatnya asas ini
dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14
sub 3d sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah17 bahwa tersangka atau
Terdakwa diberi jaminan sebagai berikut:
“To be tried in his presence, and to defend himself in person or through
legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not
have legal assistance, of this right and to have legal assistance
assigned to him, in any case where the interest justice so require,
and without payment by him in any such case, if he does not have
sufficient means topay for it.
(Diadili dengan kehadiran Terdakwa, membela diri sendiri secara
pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannnya
sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai
penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu
untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia
dibebaskan dari pembayaran).”
8. Asas Akusator
Asas
akusator
adalah
asas
yang
menempatkan
kedudukan
tersangka/Terdakwa sebagai subjek bukan sebagai objek dari setiap
tindakan pemeriksaan. Asas ini adalah asas yang dianut oleh UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang berbeda dengan yang dianut oleh HIR yang
masih menggunakan asas inkuisatoir yang masih menempatkan kedudukan
tersangka/Terdakwa sebagai objek pemeriksaan. Mohammad Taufik
Makarao dan Suhasril mengatakan bahwa:
“Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/Terdakwa dalam
setiap tingkat pemeriksaan:
- Adalah subyek; bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu
tersangka atau Terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan
17
Ibid, hlm .3.
21
-
dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan
martabat harga diri.
Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah
kesalahan yang dialakukan tersangka atau Terdakwa.”18
Perbedaan asas inkuisatoir yang dianut HIR dengan asas akusator
yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) salah satunya ditandai
dengan perubahan istilah salah satu alat bukti. Dalam HIR disebut dengan
pengakuan Terdakwa sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) disebut dengan keterangan Terdakwa. Pengakuan Terdakwa
dalam HIR sebagai alat bukti memiliki kecenderungan bahwa Terdakwa
harus mengakui bahwa dia bersalah.
9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Asas ini mensyaratkan bahwa dalam pemeriksaan sidang perkara
pidana pemeriksaan tersebut dilaksanakan secara langsung dan lisan. Hal
ini yang membedakan dengan acara perdata. Dalam acara perdata tergugat
dapat diwakili oleh kuasanya.
Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang
Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Oleh karena itu tidak diperbolehkan pemeriksaan
dengan perantaraan tulisan. Asas ini memiliki tujuan agar pemeriksaan
tersebut dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Pemeriksaan secara
langsung dan lisan memberikan kesempatan kepada hakim untuk lebih
18
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit, hlm.3.
22
teliti dan cermat dimana tidak hanya keterangannya saja yang bisa diteliti
tetapi juga sikap dan cara mereka dalam memberikan keterangan.
C. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya
didapatkan dengan pembuktian. Pembuktian merupakan ketentuan yang
membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan
kebenaran.
Keseluruhan pihak baik hakim, Terdakwa maupun penasihat
hukum terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan
oleh undang-undang. Mengenai pembuktian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
memberikan pengertian.
Pengertian tentang pembuktian diperoleh dari doktrin. Beberapa
pengertian tentang pembuktian diantaranya M. Yahya Harahap yang
mengatakan:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang yang didakwakan kepada Terdakwa.”19
Pengertian pembuktian juga dikemukakan Leden Marpaung yang
mengatakan bahwa:
“Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak
dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak
19
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm
273.
23
bersalah” (presumption of innocence.). Untuk menyatakan seseorang
“melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran”
diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran
suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk
menentukan “kebenaran”.20
Pengertian yang dikemukakan oleh Leden Marpaung berarti dalam
mencari kebenaran diperlukan bukti-bukti. Hal itu seperti yang dijelaskan oleh
Darwan Prinst yang mengatakan bahwa:
“Pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
Terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya. Untuk membuktikan kesalahan
Terdakwa pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan
pembuktian sebagaimana yang diatur oleh undang-undang.
Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan
yang memeriksa Terdakwa. Pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus
dilakukan di depan sidang pengadilan.”21
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah
ditentukan nasib Terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada Terdakwa, Terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Sebaliknya, kalau kesalahan yang didakwakan Terdakwa dapat dibuktikan
dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Terdakwa harus dinyatakan bersalah.
2. Sistem atau Teori Pembuktian
20
Leden Marpaung, Proses Penangan Perkara Pidana(Penyelidikan & Penyidikan) Bagian
Pertama Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 22-23.
21
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm 137.
24
Sistem pembuktian yang dikenal tidak hanya satu macam, tetapi
terdapat beberapa macam sistem pembuktian yaitu:
1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Melulu
(Convictim in Time).
Sistem pembuktian berdasarkan pada keyakinan hakim benarbenar diserahkan pada keyakinan hakim sepenuhnya yang boleh
diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti maupun tanpa alat bukti
langsung menarik keyakinan. Menurut Yahya Harahap22 sistem
pembuktian convictim in time menentukan salah tidaknya seseorang
Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim.
Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan
Terdakwa.
Sistem
ini
sangat
tergantung
pada
subjektivitas
dan
kebijaksanaan hakim. Oleh karena itu, kebijaksanaan hakim sangat
diperlukan untuk mencapai tujuan hukum yaitu keadilan. Sistem
pembuktian ini ada karena ketika dahulu pengakuan Terdakwa
memiliki andil yang besar pada keterbuktian kesalahan Terdakwa,
padahal pengakuan Terdakwa itu belum tentu benar. Pengakuan
Terdakwa terkadang dilakukan karena dibayar oleh seseorang
sehingga orang yang bersalah berlindung dibelakangnya, sehingga
diperlukan keyakinan hakim.
22
M Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 277.
25
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu juga
dijelaskan D. Simons sebagaimana dikutip Andi Hamzah23 yang
menyatakan bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori
berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan
hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa Terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan
dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undangundang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.
Sistem pembuktian hakim berdasarkan keyakinan hakim
melulu
memiliki kelemahan yaitu dalam menjalankan tugasnya
hakim tidak dibatasi oleh apapun sehingga hakim terlalu bebas yang
dapat menimbulkan ketidakadilan maupun kesewenang-wenangan.
Hal itu juga diungkapkan oleh A. Minkenhof dalam Andi Hamzah
yang menyatakan bahwa:
“Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar,
sehingga sulit diawasi. Di samping itu, Terdakwa atau
penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam
hal ini hakim dapat memidana Terdakwa berdasarkan
keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang
didakwakan. Praktik peradilan juri di Prancis membuat
pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan
banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh.”24
2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas
Alasan yang Logis (Conviction Raisonee).
Keyakinan hakim dapat dikatakan tetap memegang peranan
penting untuk menentukan salah tidaknya Terdakwa dalam sistem ini.
23
24
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. hlm.252.
Ibid, hlm.252-253.
26
Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim
dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran
keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction
raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang
jelas. Hal ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap25 bahwa keyakinan
hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benarbenar dapat diterima akal . Tidak semata-mata atas dasar keyakinan
yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
Sistem ini dan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang
secara negatif pada dasarnya memiliki sebuah kesamaan dimana
kedua-duanya tetap berdasarkan keyakinan hakim, hanya saja
perbedaannya terletak pada dasar keyakinan hakim timbul. Jika pada
sistem pembuktian conviction raisonnne keyakinan itu di dasarkan
pada alasan-alasan yang logis. Alasan-alasan tersebut bisa didapatkan
dari ilmu-ilmu pengetahuan. Sedangkan pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif keyakinan hakim didasarkan pada
aturan undang-undang.
3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara
Positif.
Sistem ini tidak berdasarkan atas keyakinan hakim artinya
dalam hal ini keyakinan hakim tidak memiliki peranan. Sistem ini
hanya mendasarkan pada undang-undang saja.
25
M Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 277.
27
Pembuktian dengan sistem ini mendasarkan pada alat-alat
bukti menurut undang-undang. Oleh karena itu sistem pembuktian ini
memiliki kelemahan dimana hakim hanya sebagai corong dari
undang-undang.
4. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara
Negatif.
Sistem pembuktian ini merupakan gabungan dari sistem
pembuktian berdasar undang-undang secara positif dan sistem
pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu. M. Yahya Harahap
mengatakan bahwa:
“Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif
dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in
time.”26
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa
menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat
dua komponen:
a. pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang,
b. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
26
Ibid, hlm 278.
28
3. Alat-Alat Bukti Menurut KUHAP
Mengenai macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang terdiri dari :
1. Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah alat bukti urutan pertama dalam Pasal
184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan saksi memiliki
pengertian dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
merumuskan:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Penting untuk diketahui tidak semua alat bukti keterangan saksi
adalah alat bukti yang sah, keterangan saksi harus memenuhi ketentuan
agar dapat menjadi alat bukti yang sah. Ketentuan tersebut yaitu:
1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.
Saksi harus mengucapkan sumpah agar keterangannya dapat
menjadi alat bukti yang sah. Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) merumuskan:
“ (3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada
yang sebenarnya,.”
29
Jika saksi tidak mau mengucapkan sumpah maka akibat
hukumnya keterangan saksi tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti.
Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang merumuskan:
“(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai
dengan satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti,
namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari
saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti sah yang lain.”
2. Keterangan saksi harus diberikan di dalam persidangan.
Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang merumuskan:
“(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan.”
3. Keterangan tersebut adalah keterangan tentang apa yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri yang berkaitan dengan
peristiwa pidana.
Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti adalah
keterangan saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 UndangUndang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu keterangan yang saksi lihat
sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri.
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
30
Hal ini sesuai dengan prinsip minimum pembuktian bahwa
untuk menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
di dakwakan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti. Pasal 185 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan:
“(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya.”
Sebenarnya Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan
kembali apa yang dirumuskan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 mengenai batas minimum pembuktian. P.A.F Lamintang
dan Theo Lamintang27 mengatakan bahwa seperti yang pernah
dikatakan di muka, dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 185 ayat
(2) KUHAP, yang mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa terkandung suatu
asas yang sangat penting untuk diperhatikan, baik oleh penyidik,
penuntut umum, hakim maupun penasihat hukum, yakni asas unus testis
nullus testis, atau yang di dalam praktik juga sering disebut dengan
perkataan satu saksi bukan saksi.
2. Keterangan Ahli
27
Ibid., hlm.417-418.
31
Pasal 1 angka (28) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”
3. Surat
Pengertian surat tidak didapatkan di dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), tetapi bisa didapatkan dari para ahli. Pengertian surat
menurut Asser-Anema dalam Mohammad Taufik Makarao dan
Suhasril28 surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda baca yang
dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai
berikut:
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
28
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril,Op.Cit.hlm.127.
32
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”
Surat dari rumusan pasal tersebut agar dapat dijadikan alat
bukti yang sah yaitu :
-
dibuat atas sumpah jabatan atau
-
dikuatkan dengan sumpah.
Ketentuan dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menimbulkan persoalan karena surat pada huruf d
yaitu surat lain tidak dibuat atas sumpah maupun dikuatkan
dengan sumpah. Selain itu surat pada huruf d hanya dapat berlaku
jika ada hubungannnya dengan isi alat bukti lain. Hal ini dapat
diartikan keberadaan surat lain sangat bergantung dengan isi alat
bukti lain. Oleh karena itu, nilainya sebagai alat bukti, tergantung
pada isinya. Jika isinya tidak ada hubungan dengan alat bukti
yang lain, surat bentuk “yang lain” tidak mempunyai nilai
pembuktian.
Nilai kekuatan pembuktian surat:
a.
Secara formal alat bukti surat sebagaimana pada Pasal 187
huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
adalah
bukti
yang
sempurna.
Alasan
kesempurnaan tersebut dikemukakan Mohammad Taufik
33
Makarao dan Suhasril29 bahwa alat bukti surat dibuat secara
resmi
menurut
formalitas
yang
ditentukan
peraturan
perundang-undangan.
Alat bukti surat sempurna hal ini dapat diartikan:
-
Surat tersebut benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan
alat bukti yang lain.
-
Semua pihak tak dapat menilai lagi kesempurnaan baik
bentuk dan pembuatannya.
-
Semua pihak juga tidak bisa menilai lagi keterangan yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang sepanjang isi dari
keterangan itu tidak dapat dilumpuhkan oleh alat bukti lain.
b.
Secara materiil surat bukan alat bukti yang mengikat dan
menentukan. Artinya hakim memiliki kebebasan dalam
memberikan penilaian. Secara materiil surat bukan alat bukti
yang mengikat dan menentukan memiliki beberapa alasan
yang dikemukakan oleh Mohammad Taufik Makarao dan
Suhasril yang mengatakan bahwa:
“Alasan ketidak terikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan
pada beberapa asas antara lain: asas proses pemeriksaan
perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materil atau
kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari
kebenaran formil. Lalu asas keyakinan hakim sebagaimana
terncantum dalam Pasal 183, bahwa hakim boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang Terdakwa telah terbukti
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan
keyakinan hakim bahwa Terdakwalah yang bersalah
29
Ibid, hlm.128.
34
melakukannya.
pembuktian.”30
Kemudian
asas
batas
minimum
4. Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan sebagai berikut:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.”
Dilihat dari bunyi pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa
alat bukti petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung, karena
hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian haruslah
menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih
yang ada persesuaiannya satu sama lain. Dalam hal ini penilaian yang
dilakukan oleh hakim diperlukan sikap arif lagi bijaksana setelah hakim
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya.
5. Keterangan Terdakwa.
Keterangan Terdakwa merupakan alat bukti terakhir dalam
proses pembuktian. Terdakwa juga dalam memberikan keterangan di
persidangan harus bebas tanpa tekanan. Ketika Terdakwa ditempatkan
sebagai
subjek
dan
bebas
dari
tekanan
dalam
memberikan
keterangannya diharapkan Terdakwa akan memberikan keterangan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Keterangan Terdakwa
30
Loc. Cit.
35
diberikan tanpa harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu hal itu
yang sering membuat keterangan Terdakwa seringkali diabaikan oleh
hakim. Selain itu keterangan Terdakwa seringkali diabaikan karena ada
kecenderungan seseorang untuk mengelak melakukan kejahatan yang
dilakukannya yang disebabkan faktor psikologis. Andi Hamzah
mengatakan bahwa31 psikologi memegang peranan penting. Pada
umumnya manusia takut menerima pidana. Dan walaupun dalam
hatinya terbenih keinginan menerangkan yang sebenarnya, kadangkadang takut menerima pidana itu akhirnya yang menang, sehingga
pada umumnya Terdakwa mengkhianati hati nuraninya sendiri.
Keterangan Terdakwa meskipun demikian, seharusnya hakim
jangan selalu mengabaikan keterangan Terdakwa karena keterangan
Terdakwa merupakan alat bukti yang sah di dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Keterangan Terdakwa memang ditempatkan di posisi terakhir
di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hal itu salah satu
alasan agar dalam pemeriksaan Terdakwa memberikan keterangannya
paling akhir agar Terdakwa dapat secara jelas mengerti tidak pidana
yang didakwakan kepadanya.
31
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm.281.
36
Keterangan Terdakwa sebenarnya memiliki sifat yang sama
dengan keterangan saksi. Menurut Andi Hamzah32 yang mengatakan
bahwa perubahan alat pembuktian dari pengakuan Terdakwa menjadi
keterangan Terdakwa sangat penting dan membawa akibat jauh, bahwa
keterangan Terdakwa itu mempunyai sifat yang sama dengan
keterangan saksi.
Alat bukti keterangan Terdakwa diatur dalam Pasal 189
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang terdiri dari empat ayat yang terumuskan
sebagai berikut:
1. Keterangan Terdakwa ialah apa yang Terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri.
2. Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan
untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu
didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal
yang didakwakan kepadanya.
3. Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri.
4. Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas dapat
ditarik beberapa asas untuk menentukan keterangan Terdakwa dinilai
sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, yakni di
antaranya:
1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan;
32
Ibid, hlm.280.
37
2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau alami sendiri.33
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan Terdakwa
menutur Yahya Harahap adalah sebagai berikut:
1. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya bebas
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti
keterangan Terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang
terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau
menyingkirkannya
sebagai
alat
bukti
dengan
jalan
mengemukakan alasan-alasannya.
2. Harus memenuhi batas minimum pembuktian
Adanya keharusan untuk mencukupkan alat bukti keterangan
Terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang
lain, baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup.
3. Harus memenuhi asas keyakinan hakim.
Kendati kesalahan Terdakwa telah terbukti memenuhi asas batas
minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan
keyakinan hakim, bahwa memang Terdakwa yang bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Asas
keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya
sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183
KUHAP.34
Dengan melihat penjelasan di atas maka yang keterangan
Terdakwa tersebut haruslah dinyatakan di dalam persidangan yang
berisi apa yang Terdakwa lakukan berdasarkan pengalamannya dan
hakim bebas menentukan apakah keterangan Terdakwa dapat
digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim ataupun tidak
sesuai dengan keyakinan hakim.
33
34
M. Yahya Harahap, 2001, Op. cit., hlm. 299
M. Yahya Harahap, 2001, Op. cit., hlm. 311-312.
38
4. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP
Sistem pembuktian ada bermacam-macam. Setiap negara menganut
sistem pembuktian yang berbeda. Pengertian pembuktian telah dijelaskan di
atas. Sedangkan sistem sendiri juga memiliki pengertian. Menurut Tatang M.
Amirin dalam Hibnu Nugroho menyatakan bahwa:
“....sistem dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian skema atau
metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu , atau model tata
cara. Dapat juga dalam arti suatu bentuk atau pola pengaturan,
pelaksanaan, atau pemrosesan; dan juga dalam pengertian metode
pengelompokan, pengkodifikasian dan sebagainya....”35
Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu adalah:
a.
Menurut undang-undang artinya hakim tidak dapat secara bebas
menentukan jenis alat bukti apa saja yang dapat digunakan dalam
pembuktian di persidangan maupun minimal banyaknya alat bukti yang
harus ada untuk membuktikan kesalahan Terdakwa.
Hal itu juga dikemukakan oleh P.A.F Lamintang dan Theo
Lamintang bahwa:
“wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian,
undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat
bukti yang harus ada”.36
b.
Negatif artinya meskipun telah memenuhi minimal alat bukti yang telah
ditentukan undang-undang, tetapi belum dapat dijatuhkan pidana apabila
hal tersebut belum dapat menimbulkan keyakinan hakim. Jadi di samping
dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah jua
35
36
Hibnu Nugroho, Op.Cit.hlm. 9.
Loc.Cit.
39
harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa Terdakwalah yang
bersalah melakukan tindak pidana yang telah didakwakan kepadanya.
Menurut M Yahya Harahap, Untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang Terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara
negatif, terdapat dua komponen 37:
a.
b.
Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang
Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalamnya
terkandung dua hal, yakni :
1. Batas minimum pembuktian
Terdakwa dinyatakan bersalah apabila telah memenuhi dua alat bukti
yang sah dan baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Dalam hal ini
alat bukti yang sah didefinisikan sebagai alat bukti yang tercantum di dalam
Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2. Asas keyakinan hakim
Menurut Lilik Mulyadi38, Asas keyakinan hakim harus melekat pada
putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut
Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
37
M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar
Grafika hal. 279
38
Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Normatif, Teeoritis, Praktik dan
Permasalahannya. Bandung : P.T. ALUMNI hal : 199
40
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
Terdakwalah yang bersalah melakukannya.” adalah pembuktian menurut
undang-undang secara negatif. Artinya di samping dipenuhi batas minimum
pembuktian dengan alat bukti yang sah maka dalam pembuktian yang cukup
tersebut harus dibarengi dengan hakim memperoleh “keyakinan” bahwa
tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa
telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
D. Tindak Pidana Penistaan Agama
1. Pengertian Tindak Pidana
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian
Tindak Pidana (strafbaar feit). Menurut Moeljatno, Tindak Pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut.39
Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsurunsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu
tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu
tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang
terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946
39
Syarof, Uwais Rifqon, 2012, Pengertian tindak Pidana,
http://kakpanda.blogspot.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana.html, diakses pada 7 Mei 2013
41
tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat
dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur
objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif
adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di
dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di
lakukan.40
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP);
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
40
Anonim, 2012, Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Menurut Para Ahli,
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html, diakses pada 7 Mei
2013
42
5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Penistaan Agama
Perlu diketahui bahwa Code Penal sendiri tidak mengatur mengenai
delik agama, yang ada hanyalah undang-undang mengenai Godslastering di
Negeri Belanda pada tahun 1932 yang terkenal dengan nama Lex Donner oleh
Menteri Donner yang menciptakan undang-undang tersebut. Undang-undang di
Jerman dalam Strafgesetzbuch mencantumkan delik agama dalam Pasal 166,
tampaknya menjadi model dan ilham bagi Negeri Belanda, yang tidak memiliki
aturan mengenai delik agama tersebut di tengah-tengah kehidupan hukum di
sana dan tidak mengadakan transfer ke Undang-Undang Republik Indonesia
No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.41
Akhirnya tindak pidana penistaan terhadap agama diatur di dalam
Pasal 156 dan Pasal 156a huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 1
Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang merumuskan:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa
pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Di negeri Belanda, Jerman dan lain-lain, bahwa ucapan, pernyataan
ataupun perbuatan-perbuatan yang mengejek Tuhan, memiliki peraturan
41
Ismuhadi. 2008. Analisa Pidana Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana di
Indonesia. www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12134/1/09E02103.pdf . Diakses pada
22 Mei 2013
43
sendiri, suatu Godslasteringswet di samping peraturan-peraturan yang
bersangkutan dengan delik¬delik agama, ataupun pernyataan terhadap Tuhan,
Nabi dan lain-lainnya dituangkan dalam satu ketentuan seperti di Inggris, yaitu
blasphemy.42
Selanjutnya menurut Oemar Seno Aji yang dikutip oleh Ismuhadi,
tindak pidana penistaan terhadap agama di Indonesia sendiri diatur di dalam
Pasal 156 dan Pasal 156a huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 1
Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dimasukkan
pada tahun 1965 dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama kedalam kodifikasi mengenai delik
agama. Namun demikian, Indonesia dengan Pancasila dengan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai causa prima, tidak memiliki suatu afweer terhadap
serangan kata-kata mengejek terhadap Tuhan. Tidak terdapat di sini suatu
perundang-undangan semacam Godslasteringswet ataupun blasphemous libel
di atas. Hal ini dikemukakan sebagai suatu kekurangan yang vital dalam suatu
negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 43
Tindak pidana penistaan terhadap agama yang diatur di dalam Pasal
156 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, adalah salah satu dari haatzaai-artikelen yang
befaamd dirumuskan dengan perbuatan pidana yang kontroversial, yaitu
mengeluarkan pernyataan perasaan bermusuhan, benci atau merendahkan
dengan objek dari perbuatan pidana tersebut, ialah golongan penduduk, yang
42
43
Loc.Cit.
Loc.Cit
44
kemudian diikuti oleh interprestasi otentik. Dikatakan dalam Pasal 156
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana kemudian, bahwa yang dimaksudkan dengan golongan
penduduk ialah golongan yang berbeda, antara lain karena agama dengan
golongan penduduk yang lain. Maka suatu pernyataan perasaan di muka umum
yang bermusuhan, benci atau merendahkan terhadap golongan agama, dapat
dipidanakan berdasarkan Pasal 156a Undang-Undang Republik Indonesia No.
1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selanjutnya
istilah dalam bahasa Belanda, yaitu ongelukkig adalah pernyataan yang
ditujukan terhadap golongan agama itu ditempatkan dalam salah satu haatzaaiartikelen
(pasal-pasal
dalam
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
Indonesia).44
Selanjutnya Pasal 156a huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia
No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
memidanakan barangsiapa di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan :
a. yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalagunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Seperti telah dikemukakan di atas, pasal ini dimasukkan dalam
kodifikasi delik agama pada Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965
44
Loc.CIt
45
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dimana dalam Pasal 1
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama melarang untuk dengan sengaja dimuka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan dari
agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok
ajaran agama itu.
Selanjutnya barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 1
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama, ia diberi peringatan dan diperintahkan untuk
menghentikan perbuatannya itu ke dalam suatu keputusan bersama menteri
agama, jaksa agung dan menteri dalam negeri. Jika yang melanggar itu suatu
organisasi atau aliran kepercayaan, ia oleh presiden setelah mendapat
pertimbangan dari menteri agama, menteri/jaksa agung dan menteri dalam
negeri, dapat dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi/aliran terlarang.
Jika setelah diadakan tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di atas,
ia masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1
Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, maka
orang/anggota atau anggota pengurus dari organisasi/aliran tersebut dipidana
penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun.
Sandaran dari peraturan tersebut adalah pertama-tama melindungi
ketenteraman
beragama
dari
pernyataan
ataupun
perbuatan
46
penodaan/penghinaan serta ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
47
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas45 dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
analitis (Analitical Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan
karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus
tema sentral suatu penelitian.46 Sedangkan pendekatan analitis (Analitical
Approach) maksud utamanya adalah mengetahui makna yang dikandung dalam
peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui
penerapannya dalam praktik. 47
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
preskriptif, yaitu suatu penelitian yang menetapkan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum,
45
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hlm.118.
46
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Malang, 2008, hlm. 302.
47
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi), Bayu
Media Publishing, Malang, 2007, hlm. 303
48
sehingga apa yang senyatanya berhadapan dengan apa yang seharusnya, agar
dapat memberikan rumusan-rumusan tertentu.48
Atau dengan kata lain penelitian ini menganalisis persoalan hukum
dengan aturan yang berlaku dan cara mengoperasionalkan aturan tersebut
dalam peristiwa hukum.49
Peter Mahmud Marzuki50 menyatakan bahwa ilmu hukum mempunyai
karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang
bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai hukum,
validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai
ilmu terapan ilmu hukum menciptakan standar prosedur, ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
C. Sumber Data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, maka
data pokok yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data
yang berasal dari bahan hukum primer yaitu bahan - bahan hukum yang mengikat
berupa peraturan perundang - undangan yang berlaku dan bahan hukum sekunder
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer misalnya rancangan
undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya
yang meliputi:
a. Bahan Hukum Primer, ialah semua aturan hukum yang dibentuk dan/atau
dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan
48
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi), Malang,
Bayu Media Publishing, 2007, hlm. 303 dan 310.
49
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencara Media Group, Jakarta, 2010,
hlm 22
50
Ibid, hlm 91.
49
pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa
yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Penulis
menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan
Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor : 157/Pid.B/2011/PN.Cms.
b. Bahan Hukum Sekunder, ialah bahan yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, atau pendapat para pakar hukum.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum.51
D.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode studi
kepustakaan yaitu mencarinya dalam misal buku-buku literatur , jurnal ilmiah, dan
sebagainya. Selain itu juga menggunakan metode dokumenter yaitu dengan
menelaah terhadap dokumen pemerintah maupun non pemerintah (Putusan
Pengadilan, Risalah Rapat, dan sebagainya).
E. Metode Penyajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun
secara sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh akan dihubungkan satu
dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara
51
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2006, hlm. 32.
50
keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan
penelitian.
Penelitian ini akan menyajikan bahan hukum dalam bentuk teks naratif
yaitu dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun secara logis
dan sistematis.
F. Metode Analisis Data
Metode analisis dalam penelitian ini yaitu normatif kualitatif, yakni
merupakan cara menginterprestasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian
berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta
doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Dari
hasil
penelitian
terhadap
Putusan
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms diperoleh data sebagai berikut:
1. Kasus Posisi
Berawal pada sekitar tahun 2000, Terdakwa dapat mengobati orang
yang sakit melalui pengobatan alternatif. Keberhasilan Terdakwa mengobati
orang sakit tersiar dari mulut ke mulut dari perbincangan antara orang yang
pernah diobati oleh Terdakwa dengan orang lain sehingga kemampuan
Terdakwa mulai dikenal oleh masyarakat. Adapun nama Terdakwa saat
mengobati orang yang sakit dikenal dengan nama RJD. Melihat semakin
banyaknya orang yang datang kepada Terdakwa, akhirnya pada sekitar tahun
2003, Terdakwa mendirikan sebuah saung tempat mengobati orang sakit
sampai kemudaan Terdakwa mendirikan bangunan-bangunan atau saung-saung
lainnya secara bertahap hingga menjadi sebuah padepokan yang kemudian
diberi nama Padepokan Jati Sampurna.
Dalam melakukan pengobatan terhadap pasiennya, Terdakwa
menggunakan metode totok saraf pada bagian kepala, perut, punggung, lutut,
lalu diberi makan mie rebus dengan irisan cabai rawit dan disuruh meminum
kopi hitam. Dalam melakukan pengobatan tersebut, Terdakwa tidak
menetapkan biaya pengobatan secara khusus, akan tetapi pasien-pasien dapat
memberikan sumbangan secara sukarela yang diletakkan di dalam kotak yang
sudah disediakan Terdakwa.
52
Pada bulan Juni sampai dengan bulan Oktober tahun 2005, terdapat
pasangan suami istri, yaitu SA dan W yang datang ke tempat Terdakwa untuk
berobat dan menginap di rumah Terdakwa. Pada saat berobat Terdakwa selalu
mengatakan kepada saksi SA dan W bahwa apabila ingin sembuh, maka kedua
saksi tersebut harus menjalankan perintah Terdakwa, yaitu :
-
Tidak shalat karena shalat merupakan olahraga umat Islam.
-
Tidak wirid.
-
Mengakui bahwa Terdakwa adalah pengganti Kanjeng Nabi Muhammad
SAW.
-
Masjid adalah tempat paguyuban atau tempat ngobrol.
-
Dilarang mengunjungi tempat keramat karena sudah berada di padepokan
Terdakwa.
Pelarangan melaksanakan ibadah tersebut tidak hanya disampaikan
kepada saksi SA dan W, tetapi juga kepada pasien lainnya yang datang
berobat kepada Terdakwa. Hal tersebut dilakukan di saung tempat para pasien
menunggu untuk diobati. Selama saksi SA dan W berada di tempat Terdakwa
keduanya tidak pernah melaksanakan shalat karena dilarang oleh Terdakwa.
Kemudian pada tahun 2007, ada sepasang suami-isteri yang sedang
sakit
mendengar
bahwa
Terdakwa
mempunyai
kelebihan
bisa
menyembuhkan berbagai macam penyakit, sehingga suami-isteri tersebut
yaitu NN dan ES datang ke padepokan milik Terdakwa karena NN menderita
pegal-pegal dan diobati oleh Terdakwa dengan cara dipijat pada bagian
persendian lalu disuruh minum kopi dan makam mie rebus dengan irisan
53
cabai rawit. Pada saat berada di padepokan milik Terdakwa, NN dan
suaminya selalu diingatkan oleh Terdakwa mengenai beberapa hal, yaitu:
-
Untuk apa shalat karena di dalam Al-Qur’an tidak ada perintah praktik
shalat, yang ada hanya tegakkan shalat dan praktik shalat itu hanya ada
dalam hadits dan hadits itu buatan manusia.
-
Untuk apa melaksanakan puasa, jaman dahulu puasa itu karena tidak ada
makanan sedangkan sekarang sudah merdeka dan banyak makanan.
-
Melarang untuk berdzikir/wirid karena hanya memanggil khoddam dan
membuat pusing kepala.
-
Sesama muslim dilarang mengucapkan Assalamu’alaikum karena ucapan
Assalamu’alaikum tidak ada bedanya dengan apa kabar.
-
Dilarang memakai kerudung karena kerudung itu bukan untuk menutupi
aurat tetapi hanya untuk menutupi debu.
-
Untuk apa naik haji, karena haji itu hanya untuk menyembah batu hitam,
tidak ada bedanya dengan umat kristen dan cina yang membakar dupa/hio,
menyembah patung.
-
Dan kalau datang ke padepokannya serta mengikuti ajarannya harus siap
untuk dikucilkan.
Perbuatan Terdakwa membuat larangan tersebut diucapkan di saung
yang berada di tempat Terdakwa. Larangan-larangan tersebut juga disampaikan
kepada setiap pasien lainnya yang datang berobat kepada Terdakwa.
Kemudian pada tahun 2007 pula nama padepokannya berubah
menjadi Padepokan Tri Tunggal.
54
Pada akhir tahun 2010, kegiatan pengobatan yang dilakukan oleh
Terdakwa mulai dibicarakan dan menimbulkan keresahan di masyarakat karena
tersiar kabar kalau dalam melakukan pengobatan tersebut oleh Terdakwa
diselipkan pelarangan beribadah yang bertentangan dengan ajaran agama Islam
hingga muncul di beberapa media massa.
Untuk menanggapi situasi yang berkembang di masyarakat tersebut,
Pemerintah Kabupaten Ciamis melakukan pembinaan dengan Terdakwa oleh
karena Terdakwa masih berstatus sebagai PNS di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Ciamis, yaitu:
-
Pembinaan ke- I, pada hari Rabu tanggal 12 Januari 2011 di Kantor
Sekretariat Daerah Kabupaten Ciamis.
-
Pembinaan ke- II, pada hari Senin tanggal 31 Januari 2011 di Kantor
Kecamatan Cijeungjing.
-
Pembinaan ke- III, pada hari Selasa tanggal 1 Februari 2011 di Kantor
Sekretariat Daerah Kabupaten Ciamis.
Dari tiga kali pembinaan tersebut Terdakwa tetap bersikukuh mempertahankan
keberadaan Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh miliknya tersebut
karena Terdakwa menganggap bahwa dirinya tidak pernah melakukan hal-hal
sebagaimana yang diisukan masyarakat.
Melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat tersebut kemudian
DPD MUI Kab. Ciamis mengirim surat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Ciamis Nomor: 65/DPD MUI/Kab.Cms/2011 tanggal 30 Januari 2011 perihal
permohonan dialog dengan Bupati Kabupaten Ciamis tentang keberadaan
55
Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh. Selanjutnya untuk menjawab
surat tersebut maka kemudian Pemerintah Kabupaten Ciamis telah membuat
surat
Nomor:
222.4/III-Pem-Um.1 tanggal
1 Februari 2011
perihal
Permohonan Dialog kepada Ketua DPD Majelis Ulama Indonesia Kabupaten
Ciamis, dimana dialog tersebut kemudian dialaksanakan di tingkat Kecamatan
dengan dipimpin oleh Camat Cijeungjing yang dilaksanakan tanggal 2 Februari
2011 yang dihadiri oleh MUI, dari unsur pesantren, elemen masyarakat seperti
Front Pembela Islam, LPI, GEMPUR, dan tokoh masyarakat Cijeungjing dan
Terdakwa sendiri, namun dalam pertemuan tersebut tidak ditemukan titik temu,
karena Terdakwa tetap tidak mengakui atas apa yang dituduhkan kepadanya
dan tetap tidak mau menutup padepokan tersebut sehingga situasi menjadi
tidak kondusif.
2. Dakwaan Penuntut Umum
Terdakwa diajukan ke persidangan dengan dakwaan kumulatif sebagai
berikut:
KESATU
Bahwa Terdakwa OJ Alias RJD pada suatu hari yang tidak dapat
ditentukan secara pasti antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2010,
setidaknya dalam suatu waktu antara 2003 sampai dengan 2010, bertempat di
Dusun Timbangwindu, RT 25/08, Desa Pamalayan, Kecamatan Cijeungjing,
Kabupaten Ciamis, setidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Ciamis yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili,
telah dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau
56
perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Perbuatan
Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a KUH Pidana.
DAN
KEDUA
Bahwa Terdakwa OJ Alias RJD pada suatu hari yang tidak dapat
ditentukan secara pasti antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2010,
setidaknya dalam suatu waktu antara 2003 sampai dengan 2010, bertempat di
Dusun Timbangwindu, RT 25/08, Desa Pamalayan, Kecamatan Cijeungjing,
Kabupaten Ciamis, setidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri Ciamis yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili, telah dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi
hutang maupun menghapuskan piutang. Perbuatan Terdakwa diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 378 KUH Pidana.
3. Pembuktian
Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang
bukti dalam persidangan, yaitu :
a. Alat Bukti Keterangan Saksi
57
1. S, di bawah sumpah di persidangan yang pada ppokoknya
menerangkan sebagai berikut:
-
Pada bulan Desember 2010 saksi selaku koordinator LSM
Kabupaten Ciamis mnendengar dan membaca di beberapa media
massa adanya kabar dugaan penodaan agama Islam dan/atau
pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan oleh Terdakwa OJ
selaku pendiri Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh.
-
Kemudian pada awal bulan Januari 2011, saksi bersama elemenelemen ORMAS mendatangi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Ciamis untuk kordinasi dan menanyakan tentang dugaan
tersebut, dan hasil kordinasi adalah sepakat untuk menindaklanjuti
hasil kordinasi tersebut.
-
Pada pertengahan bulan Januari 2011 diadakan pertemuan di rumah
Ketua MUI Kabupaten Ciamis dengan maksud untuk membahas isuisu tersebut. Pada saat itu pertemuan dihadiri Ketua MUI Kabupaten
Ciamis, Ketua MUI Kecamatan cijeungjing, dan ORMAS-ORMAS
Islam diantaranya Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Gempur dan menghasilkan kesepakatan untuk
mencari fakta-fakta tentang adanya dugaan penodaan agama yang
dilakukan Terdakwa OJ.
58
-
Sekitar akhir bulan Januari 2011 diadakan lagi pertemuan di rumah
Penasihat MUI dan hasil pertemuan dengan MUI menyatakan
sepakat membuat surat yang ditujukan kepada Bupati Kabupaten
Ciamis untuk mengadakan dialog 3 (tiga) pihak diantaranya dari
PEMDA, MUI, elemen masyarakat, dan pihak Terdakwa yang
dijadwalkan pada tanggal 2 Februari 2011 yang dilaksanakan di
Kantor Desa Pamalayan Kec. Cijeungjing Kabupaten Ciamis yang
dipimpin Ketua MUI Kab. Ciamis dan dihadiri oleh Camat
Cijeungjing, Kapolsek, elemen masyarakat, warga masyarakat,
aparat desa, anggota Polres Ciamis, anggota KODIM Ciamis, dan
Terdakwa OJ beserta pengurus Padepokan Tri Tunggal Jaya
Sampurna Galuh.
-
Awalnya dialog berjalan lancar namun pada saat MUI menghadirkan
orang yang mengetahui adanya penodaan agama, suasana dialog
menjadi panas dan tidak terkendali sehingga saksi memberhentikan
acara tersebut untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
-
Dalam
pertemuan
tersebut
disepakati
semua
pihak
bahwa
pengusutan masalah ini harus melalui jalur hukum sebelum acara
ditutup oleh Ketua MUI.
-
Kemudian saksi melaporkan kejadian ini ke Polres Ciamis untuk
dijadikan dasar penyidikan sambil membawa tiga orang lainnya yang
mengetahui adanya dugaan penodaan agama tersebut, yaitu SA, W,
dan Drs. E.
59
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan atas
keterangan saksi yang menyatakan bahwa Terdakwa telah melarang
shalat, wirid/dzikir, dan mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad
SAW.
Atas keberatan Terdakwa tersebut, saksi menyatakan tetap pada
keterangannya semula.
2. SA Binti ES, di bawah sumpah di persidangan yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
-
Saksi pernah berobat kepada Terdakwa karena saksi menderita sakit
dalam perut dan suami saksi menderita sesak nafas. Saksi
mengetahui tempat Terdakwa karena suami saksi diberi tahu teman
kerjanya bahwa ada tempat pengobatan alternatif yang letaknya di
daerah Cijeungjing.
-
Pada waktu datang, saksi langsung bertemu dengan Terdakwa dan
Terdakwa mengaku sebagai RJD. Saksi baru mengetahui nama asli
Terdakwa OJ di kemudian hari.
-
Setelah bertemu dengan Terdakwa lalu saksi diajak ke suatu ruangan
kemudian saksi menyampaikan keluhan mengenai penyakit yang
saksi derita. Setelah itu saksi disuruh ke sebuah kamar yang letaknya
di pinggir padepokan bersama suami saksi. Di dalam kamar terdapat
tikar dan bed cover, serta tulisan-tulisan yang ditempel di dinding
kamar yang berbunyi dilarang melaksanakan shalat, dilarang
60
wirid/dzikir, dilarang mendatangi tempat keramat, dilarang minum
air keramat dan ada juga tulisan atas nama RJD.
-
Metode pengobatan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan cara
menarik urat di bagian tangan, punggung dan lutut serta saksi
disuruh minum kopi dan makan mie instan yang dicampur dengan
cabai rawit.
-
Setelah dilakukan pengobatan, saksi disuruh Terdakwa untuk tinggal
di padepokan, katanya karena saksi sedang hamil dan akan
melahirkan yang tidak wajar dan jika melahirkan di luar padepokan
akan ada terjadi hal aneh seperti melahirkan ular.
-
Karena hawatir dan takut atas ucapan Terdakwa maka saksi
sekeluarga
langsung
tinggal
di
padepokan
Terdakwa
dan
ditempatkan di saung bekas kandang ayam yang lokasinya agak jauh
dari rumah Terdakwa.
-
Ketika saksi tinggal di padepokan, pengobatan oleh Terdakwa hanya
diberikan jika saksi merasa sakit dan kemudian diberi minum kopi
namun perut saksi tetap saja merasa sakit dan menurut Terdakwa
bahwa nanti juga akan sembuh asal saksi tetap mengabdi kepada
Terdakwa.
-
Setelah dilakukan pengobatan, kemudian saksi bersama suami saksi
(saksi W bin K) mendengar pengarahan/nasehat Terdakwa yaitu:
a. Tidak boleh shalat karena shalat hanya olahraga agama Islam.
b. Dilarang wirid yang berlebihan karena akan mengundang jin.
61
c. Masjid adalah tempat paguyuban atau tempat ngobrol.
d. Dilarang mengunjungi tempat-tempat keramat karena sudah ada
di padepokan Terdakwa OJ.
e. Terdakwa mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.
-
Perbuatan tersebut dilakukan Terdakwa pada hari Kamis tanggal 16
Juni 2005 sekitar jam 17.00 WIB di tempat/bangunan yang
disediakan untuk pengobatan yang terletak di pinggir rumah
Terdakwa OJ.
-
Saksi tidak pernah melihat ada tempat khusus ibadah seperti
mushola, yang ada hanya saung-saung. Selain itu saksi tidak pernah
melihat orang yang melaksanakan ibadah shalat di padepokan
Terdakwa, kalaupun ada pasien yang melaksanakan ibadah shalat
pasti dipojokkan/dicemooh.
-
Saksi berada di padepokan Terdakwa selama 5 (lima) bulan yaitu
dari bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Oktober 2005.
-
Selama saksi berada di padepokan Terdakwa, saksi hamil dan
melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Raspati oleh
Terdakwa. Bayi saksi lahir di WC yang ada di lokasi pengobatan
pada bulan Oktober 2005. Selanjutnya bayi tersebut dipisahkan
dengan saksi karena Terdakwa mengatakan bahwa bayi saksi
tersebut mempunyai kelainan lalu bayi tersebut disimpan di dalam
kotak kayu dan diletakkan di tempat terbuka dan diberitahukan
kepada orang-orang yang datang ke padepokan bahwa bayi tersebut
62
adalah bayi ajaib. Kemudian di samping kotak penyimpanan bayi
diletakkan kotak tempat penyimpanan uang dan di pinggir kotak
tersebut dibubuhi nama RASPATI dan uangnya diambil oleh
Terdakwa.
-
Setelah bayi saksi lahir, Terdakwa mengatakan tidak perlu untuk diAdzan-in serta saksi tidak diberi kesempatan untuk menyusui atau
mengurus bayi karena Terdakwa mengatakan bahwa bayi tersebut
ada kelainan dan saksi dianggap Terdakwa tidak akan kuat karena
kalau dirawat sendiri oleh saksi bayi tersebut bisa berubah jadi ular.
Bayi tersebut hanya diberi minum air gula aren oleh D dan E. Bayi
saksi dipisahkan oleh Terdakwa dari saksi selama 14 (empat belas)
hari. Setelah itu saksi mengambil paksa bayi tersebut sebab saksi
sudah melihat keadaan bayi yang menderita. Selanjutnya saksi keluar
dari padepokan.
-
Selama saksi tinggal di padepokan saksi juga disuruh membuat
sebuah saung oleh Terdakwa agar penyakit saksi sembuh. Untuk
membangun saung tersebut saksi mengeluarkan uang sebesar Rp.
8.000.000,- (delapan juta rupiah).
-
Penyakit yang saksi derita tidak sembuh hingga sekarang.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa menyatakan keberatan,
yaitu:
63
-
Terdakwa tidak menyuruh saksi tinggal di tempat Terdakwa, tetapi
saksi sendiri yang minta kepada Terdakwa untuk tinggal di tempat
Terdakwa.
-
Tidak benar Terdakwa melarang untuk shalat, wirid, dan mengaku
sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.
-
Tidak benar di dalam kamar ada tulisan-tulisan yang berisi larangan
shalat.
-
Tidak benar Terdakwa melarang untuk menyusui bayi saksi, tetapi
saksi
sendiri
yang
mengatakan
kepada
Terdakwa
bahwa
payudaranya tidak ada air susunya.
-
Terdakwa tidak pernah menyuruh saksi untuk membangun saung,
tetapi saksi sendiri yang meminta untuk ikut membangun.
-
Tidak benar di padepokan Terdakwa tidak ada mushola, tetapi ada
saung yang bisa dipakai shalat.
Atas
bantahan
Terdakwa
tersebut
saksi
tetap
pada
keterangannya.
3. Saksi W Bin K, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan
keterangan sama dengan yang diterangkan isti saksi, yaitu SA Binti ES
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan karena
Terdakwa tidak pernah melarang untuk melaksanakan shalat, melarang
melakukan wirid, dan tidak pernah mengaku sebagai pengganti Nabi
Muhammad SAW.
64
Bahwa atas keberatan Terdakwa tersebut, saksi menyatakan
tetap pada keterangannya.
4. EI Bin IR, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut:
-
Saksi mempunyai hubungan keluarga akan tetapi tidak ada hubungan
pekerjaan dengan Terdakwa OJ.
-
Saksi pernah kedatangan I dan H yang menceritakan kepada saksi
bahwa sewaktu silaturahmi Idul Fitri bahwa mereka pernah berobat
kepada Terdakwa tetapi tidak sembuh.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak merasa keberatan
dan menerima keterangan saksi tersebut.
5. DS Bin M, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut:
-
Saksi mulai mengenal Terdakwa sejak tahun 2005, ketika berobat
kepada Terdakwa karena menderita sakit pegal-pegal di rumah
Terdakwa karena diberitahu oleh S bahwa Terdakwa suka
mengobati.
-
Saksi langsung bertemu dengan Terdakwa dan saksi langsung
diobati Terdakwa dengan cara ditotok bagian syaraf dan setelah
ditotok saksi langsung disuruh minum kopi dan yang memberikan
kopi adalah istri Terdakwa namun hingga saat ini belum sembuh.
65
-
Setelah berobat kepada Terdakwa saksi tidak dimintai biaya
pengobatan namun setelah selesai berobat saksi langsung ikut
Terdakwa sebagai balas jasa atas kebaikannya terhadap saksi.
-
Saksi ikut Terdakwa sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007
dengan alasan setelah saksi ikut Terdakwa hidup saksi menjadi lebih
tenang. Saksi sering konsultasi dengan Terdakwa, dimana dalam
pembicaraan tersebut saksi sering disuruh untuk berlaku sabar.
-
Saksi sampai sekarang masih sesekali datang ke padepokan dan
selama 2 tahun saksi bersama Terdakwa, Terdakwa tidap pernah
mangajak saksi untuk shalat.
-
Pada waktu saksi SA melahirkan yang membantu melahirkan adalah
suaminya. Setelah dilahirkan, yang merawat bayi tersebut adalah
saksi sendiri karena disuruh Terdakwa. Bayi tersebut kemudian
diberi nama RESPATI dan tidak dirawat sendiri oleh ibu
kandungnya yaitu saksi SA karena Terdakwa melarang ibunya untuk
merawatnya.
-
Setelah bayi dilahirkan, saksi disuruh Terdakwa agar menyimpan
bayi tersebut di atas kotak karena Terdakwa mengatakan kepada
saksi bahwa bayi tersebut merupakan bayi istimewa yang akan
mengangkat martabat dan derajat padepokan.
-
Setiap pasien yang melihat bayi tersebut menyimpan uang ke dalam
kotak yang sudah disediakan di samping kotak bayi atas perintah
Terdakwa tetapi uangnya kemudian diambil sendiri oleh Terdakwa.
66
-
Bayi tersebut berada di padepokan selama 2 minggu karena setelah
itu bayi tersebut diambil oleh ibunya. Selama dua minggu berada di
padepokan, bayi tersebut oleh saksi hanya diberi air gula sesuai
perintah Terdakwa.
-
Selama di padepokan yang sering dikatakan Terdakwa kepada saksi
adalah bahwa shalat lima waktu itu hanya olahraganya orang Islam,
bedzikir/wirid itu hanya akan menimbulkan rasa sakit dan pusing di
kepada, serta melarang untuk membaca Al-Qur’an yang juga
disampaikan Terdakwa kepada para pasien lain yang datang.
-
Saksi keluar dari padepokan karena saksi ingat keluarga dan
keluarga juga menyuruh saksi keluar dari padepokan, selain itu saksi
merasakan bahwa padepokan sudah menyimpang oleh karena itu
saksi tidak kembali lagi ke padepokan.
-
Saksi sempat kenal dengan saksi U yang datang ke padepokan untuk
mengobati anaknya dan pernah membangun saung di lingkungan
padepokan. Setahu saksi setelah saung dibangun anak U tidak
sembuh.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan karena tidak
pernah melarang shalat dan wirid.
Atas keberatan Terdakwa tersebut, saksi menyatakan tetap pada
keterangannya.
6. EN Bin H. ME, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan
keterangan sebagai berikut:
67
-
Saksi adalah Kepala Dusun Timbangwindu .
-
Terdakwa adalah PNS pada Kantor Kecamatan Cijeungjing Kab.
Ciamis dan Terdakwa membuka praktik pengobatan alternatif di
rumahnya atau padepokannya.
-
Saksi tidak pernah menerima laporan atas berdirinya padepokan
tersebut. Saksi baru tahu pada tahun 2008 ketika saksi menjabat
sebagai Kepala Dusun.
-
Dengan adanya padepokan tersebut warga sekitar menjadi resah
setelah ada kabar karena ajaran di padepokan tersebut telah
menyimpang dari ajaran agama Islam yaitu melarang untuk
melaksanakan shalat, dzikir, dan membaca syahadat kepada para
pasiennya.
-
Kemudian saksi selaku kepala dusun pernah meredam gejolak yang
terjadi di dusun Timbangwindu yang dilakukan oleh para pemuda
sehubungan dengan keresahan yang disebabkan oleh perbuatan
Terdakwa dengan cara diadakan rapat musyawarah di desa untuk
menutup padepokan tersebut.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan karena
Terdakwa tidak pernah melarang untuk melaksanakan shalat dan
melarang melakukan wirid.
Atas keberatan Terdakwa tersebut, saksi menyatakan tetap pada
keterangannya.
68
7. OSQ, S. Ag. Bin D, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan
keterangan sebagai berikut:
-
Saksi mengenal Terdakwa sejak tahun 2004 karena adik ipar saksi
(saksi DS bin M) pernah tinggal di padepokan milik Terdakwa untuk
berguru ilmu hikmah.
-
Saksi pernah datang ke padepokan tersebut dengan maksud dan
tujuan ingin mengetahui bahwa di padepokan tersebut terdapat
indikasi yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, yaitu tidak
boleh mendirikan shalat. Saksi datang ketempat tersebut antara
waktu Dzuhur sampai Ashar dan disana tidak ada kegiatan Shalat.
-
Saksi pernah berdialog tentang Islam dengan Terdakwa dan
Terdakwa mengatakan kalau kita melaksanakan amalan harus
dengan penuh keikhlasan, apakah artinya shalat dengan gerakangerakan shalat sementara kita tidak ikhlas dan mendekatkan diri
kepada Allah SWT itu sia-sia.
-
Terdakwa mengatakan tidak perlu shalat yang penting berbuat baik,
malah Terdakwa mengatakan kepada saksi bahwa KH. IH pimpinan
Pondok Pesantren Darussalam ketika shalat sendiri sering menengok
ke atas dan ke bawah, ke belakang, ke kiri, dan ke kanan oleh karena
itu
dia
telah
membodohi
murid-muridnya.
Terdakwa
pun
mengatakan bahwa KH. ASM itu tidak benar karena dia punya hijib
untuk kekayaan.
69
-
Saksi pernah berdialog dengan Terdakwa mengenai kelebihan yang
Terdakwa punya dan Terdakwa mengatakan suatu ketika Terdakwa
menyendiri kemudian seolah-olah ada kekuatan yang memaksa
dengan membentur-benturkan kepala ke dinding sampai muntah
seperti Rosul dibersihkan dari kotoran oleh malaikat, oleh karena itu
setelah kejadian tersebut Terdakwa diberi kelebihan seperti itu.
-
Cara pengobatan yang dilakukan Terdakwa adalah dengan cara
ditotok kemudian pasien disuruh minum kopi hitam dan makan mie
instan pedas.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa merasa keberatan,
yaitu:
a. Saksi DS datang ke Padepokan bukan untuk berguru ilmu Hikmah,
tetapi saksi DS datang untuk berobat karena ia ketergantungan
obat.
b. Terdakwa tidak pernah melarang untuk melaksanakan shalat.
c. Terdakwa tidak pernah menjelekan KH. IH dan KH. ASM.
Atas keberatan Terdakwa tersebut, saksi menyatakan tetap pada
keterangannya.
8. U Bin S, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut:
-
Saksi pernah membawa anaknya yang benrnama N atau Y untuk
berobat kepada Terdakwa sekitar tahun 2005 karena saksi
mengetahui Terdakwa bisa melakukan pengobatan alternatif dari O.
70
-
Setibanya di tempat Terdakwa, saksi tidak langsung bertemu dengan
Terdakwa tetapi ditemui oleh pegawainya. Setelah menunggu sekitar
3 (tiga) jam baru saksi bertemu dengan Terdakwa.
-
Setelah bertemu dengan Terdakwa saksi menyampaikan tentang
penyakit anak saksi dan Terdakwa mengatakan penyakit anak saksi
gampang disembuhkan dan tidak akan lama diobati kemudian saksi
mengatakan insyaAllah mudah-mudahan sembuh, lalu Terdakwa
mengatakan kepada saksi jangan mengatakan InsyaAllah dan jangan
mengucapkan asma Allah dan mengucapkan istigfar.
-
Pengobatan yang dilakukan oleh Terdakwa adalah dengan cara
menotok bagian tubuh kemudian setelah selesai disuruh minum kopi
hitam dan makan mie instan pedas.
-
Setelah dilakukan pengobatan saksi dan anak saksi langsung pulang
dan oleh Terdakwa saksi disuruh kembali lagi pada malam Jum’at,
sehingga pada hari Kamis siang saksi datang lagi bersama anak saksi
ke tempat Terdakwa dan langsung bertemu dengan Terdakwa.
-
Anak saksi diobati pada malam hari karena katanya pada malam itu
akan datang yang ghoib yang akan menyembuhkan anak saksi.
-
Pada malam hari saksi dan anak saksi dibawa tempat yang berada di
belakang rumah Terdakwa, kemudian Terdakwa mengatakan bahwa
saksi harus membangun saung di tempat tersebut agar anak saksi
sembuh.
71
-
Saksi menyanggupi permintaan Terdakwa itu. 5 (lima) hari
kemudian saksi datang lagi ke tempat Terdakwa untuk membangun
saung di tempat Terdakwa dan selesai kurang lebih selama 1 (satu)
minggu dengan biaya sekitar Rp. 11.000.000,- (sebelas juta rupiah).
-
Saksi membangun saung tersebut pada saat bulan puasa, dan saksi
memperhatikan bahwa orang-orang yang ada di padepokan
Terdakwa tidak ada yang melaksanakan shalat termasuk shalat
tarawih.
-
Setelah saung tersebut selesai dibangun ternyata anak saksi tetap
tidak sembuh sebagaimana yang dijanjikan oleh Terdakwa.
-
Terdakwa tidak pernah melarangnya untuk melaksanakan shalat atau
berdzikir, tetapi menurut pengamatannya memang disana tidak ada
aktifitas shalat atau dzikir, bahkan waktu itu ada pasien dari
Majalengka yang sedang melaksanakan shalat tetapi disana malah
dibunyikan musik dengan suara keras.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan yaitu
mengenai
pembangunan
saung,
tujuan
Terdakwa
menyuruh
membangun saung adalah untuk ditempati saksi dan anaknya selama
berobat ditempat Terdakwa, selain itu Terdakwa tidak penah melarang
untuk mengucapkan insyaAllah, mudah-mudahan, membaca istighfar
dan Asmaul husna .
Atas keberatan Terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada
keterangannya.
72
9. E Bin A, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut:
-
Saksi kenal dengan Terdakwa karena saksi pernah berobat ke rumah
Terdakwa sekitar tahun 2003 karena sakit pegal-pegal. Ketika saksi
datang saksi langsung bertemu dengan Terdakwa. Saat itu saksi
langsung disuruh masuk kamar dan setelah berada dikamar saksi
disuruh berbaring kemudian dipijit oleh Terdakwa. Setelah selesai
dipijit saksi disuruh kembali lagi ke paviliun dan diberi minum air
aqua.
-
Ketika di paviliun itu Terdakwa menceritakan bahwa di dalam kamar
tadi Terdakwa pernah dibelah dadanya oleh malaikat seperti Nabi
Muhammad SAW dan mengaku bahwa Terdakwa adalah pengganti
Nabi Muhammad SAW. Kemudian Terdakwa melarang saksi untuk
melaksanakan shalat, berdzikir, dan shalat tahajud. Terdakwa pun
mengatakan bahwa KH. IH (pimpinan Ponpes Darussalam) ketika
sedang berdakwah itu bukan suaranya.
-
Ketika itu saksi langsung pulang karena saksi tidak percaya atas
segala kata-kata yang diucapkan Terdakwa.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan yaitu
Terdakwa tidak pernah mengatakan mengaku sebagai pengganti Nabi
Muhammad SAW dan tidak pernah melarang shalat, wirid/dzikir dan
shalat tahajud juga tidak pernah mengatakan KH. IH kalau sedang
berdakwah itu bukan suaranya .
73
Atas keberatan Terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada
keterangannya.
10. ETR Bin S, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut:
-
Saksi adalah Ketua RT di Dusun Timbangwindu, Desa Pamalayan,
Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
-
Terdakwa adalah PNS pada Kantor Kecamatan Cijeungjing, Kab.
Ciamis, dan Terdakwa juga membuka praktik pengobatan alternatif
di rumahnya atau padepokannya yang bernama Tri Tunggal Jaya
Sampurna Galuh sejak tahun 2000.
-
Saksi mengetahui praktik Terdakwa tersebut dari warga sekitar
padepokan.
-
Dengan adanya padepokan tersebut warga sekitar menjadi resah
setelah ada kabar karena ajaran di padepokan tersebut telah
menyimpang dari ajaran agama Islam karena Terdakwa melarang
untuk melaksanakan Shalat, Dzikir, dan membaca Syahadat kepada
para pasiennya.
-
Sekarang ini praktik pengobatan Terdakwa ditutup setelah ada
gejolak di masyarakat dan setelah diberitakan di media massa .
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan karena
Terdakwa tidak pernah melarang shalat dan wirid/ dzikir.
Atas keberatan Terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada
keterangannya.
74
11. NN Binti H, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut:
-
Saksi datang ke padepokan milik Terdakwa pada sekitar tahun 2008
bersama suami saksi yaitu saksi ES dengan tujuan untuk berobat
karena saksi sakit maag dan suami saksi sakit reumatik/sakit pada
lutut. Ketika itu Terdakwa mengobati saksi di dalam kamar dengan
cara dipijit urat dan sendi-sendi tubuh saksi kemudian setelah selesai
saksi disuruh Terdakwa minum kopi dan makan mie instan yang
ditambah cabai rawit. Saksi berobat seminggu sekali selama kurang
lebih 4 bulan.
-
Sewaktu saksi berobat kepada Terdakwa di padepokan milik
Terdakwa, Terdakwa pernah mengatakan kepada saksi dan suami
saksi yaitu:
a. Untuk apa melaksanakan Shalat karena di dalam Al Qur’an
tidak ada perintah praktik shalat, yang ada hanya tegakan
shalat dan praktik shalat itu hanya ada dalam hadist dan
hadist itu hanya buatan manusia.
b. Untuk apa melaksanakan puasa, jaman dahulu puasa itu
karena tidak ada makanan sedangkan sekarang sudah
merdeka dan banyak makanan.
c. Melarang untuk berdzikir/wirid karena berdzikir/wirid itu
hanya memanggil khodam dan membuat pusing kepala.
75
d. Sesama
muslim
dilarang
untuk
mengucapkan
Assalamualaikum karena ucapan Assalamualaikum itu tidak
ada bedanya dengan apa kabar.
e. Dilarang
untuk
memakai
kerudung
karena
memakai
kerudung itu bukan untuk menutupi aurat tetapi hanya untuk
menutup debu.
f. Untuk apa naik haji karena naik haji itu hanya untuk
menyembah batu hitam, tidak ada bedanya dengan umat
Kristen dan Cina yang membakar dupa/hio, menyembah
patung.
g. Terdakwa juga mengatakan kalau datang ke padepokan serta
mengikuti ajaran Terdakwa harus siap untuk dikucilkan.
-
Setelah diobati Terdakwa sakit maag yang saksi derita memang
sembuh tetapi sakit suami saksi tetap tetap tidak sembuh.
-
Saksi percaya dengan ucapan Terdakwa karena ternyata penyakit
saksi sembuh, sehingga saksi takut jika shalat penyakit saksi kambuh
lagi namun kemudian saksi sadar bahwa hal tersebut salah dan tidak
berobat lagi kepada Terdakwa.
-
Selama saksi berobat Terdakwa tidak pernah meminta biaya
pengobatan, tetapi memberi alakadarnya dan dimasukan kedalam
kotak yang sudah disediakan.
-
Setelah perkara ini ditangani oleh Polisi saksi pernah bertemu
kembali dengan Terdakwa di Polres Ciamis, dan saat itu Terdakwa
76
berkata, “Ibu Enung, sekarang kita tidak usah melawan arus. Saya
juga sekarang sudah Shalat Jum’at, karena sudah dibicarakan banyak
orang jadi ikut-ikutan saja”.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan yaitu
Terdakwa tidak pernah melarang shalat, puasa, dzikir, mengucap salam,
memakai kerudung dan naik haji.
Atas keberatan Terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada
keterangannya.
12. ES Bin MS, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
yang sama dengan saksi NN.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan yaitu
Terdakwa tidak pernah melarang shalat, puasa, dzikir, mengucap salam,
memakai kerudung dan naik haji.
Atas keberatan Terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada
keterangannya.
13. M, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai
berikut :
-
Saksi kenal dengan Terdakwa karena sama-sama sebagai PNS di
lingkungan Pemda Kab. Ciamis dimana Terdakwa adalah seorang
PNS pada kantor Kecamatan Cijeungjing Kab. Ciamis sedangkan
saksi adalah sebagai Asisten Daerah Bidang Pemerintahan.
-
Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis telah membuat Surat Nomor :
223.4/III-Pem-Um.1 tanggal 1 Februari 2011 perihal Permohonan
77
Dialog kepada Ketua DPD Majelis Ulama Indonesia Kabupaten
Ciamis yang maksud dan tujuan surat tersebut yaitu untuk membalas
surat
dari
DPD
MUI
Kab.
Ciamis
No:
65/DPD
MUI/Kab.Cms/I/2011 tanggal 30 Januari 2011 perihal permohonan
dialog dengan Bapak Bupati Kabupaten Ciamis tentang keberadaan
Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh.
-
Dialog tersebut dilaksanakan di tingkat Kecamatan dipimpin oleh
Camat Cijeungjing yang dilaksanakan tanggal 02 Februari 2011.
Berdasarkan laporan dari Camat Cijeungjing kesimpulannya adalah
dalam pertemuan tersebut tidak ditemukan titik temu karena
Terdakwa tetap tidak mengakui atas apa yang dituduhkan
kepadanya. Karena situasi menjadi tidak kondusif akhirnya
pertemuan diputuskan bahwa Terdakwa akan diajukan melalui
proses hukum dan padepokan Terdakwa ditutup.
-
Pembinaan yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah, Asisten
Pemerintahan Setda Kab. Ciamis serta Kepala SKPD terhadap
Terdakwa pada waktu itu sebatas pembinaan sebagai PNS dan
apabila dalam praktik pengobatan yang dilakukan oleh Terdakwa
sudah menimbulkan atau mengganggu ketertiban umum lebih baik
praktik pengobatan tersebut dihentikan saja.
-
Pembinaan tersebut dilakukan pada :
a. Pembinaan ke-I pada hari Rabu tanggal 12 Januari 2011 di
Kantor Sekretariat Daerah Kab. Ciamis yang dihadiri oleh
78
Sekretaris Daerah, Para Asisten Setda kab. Ciamis, Kepala
Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kab. Ciamis, Kepala
Kesbangpolinmas Kab. Ciamis, Kepala Bagian Umum, Camat
Cijeungjing dan Terdakwa.
b. Pembinaan ke-II pada hari Senin tanggal 31 Januari 2011 di
Kantor Kecamatan Cijeungjing yang dihadairi oleh Kepala
Bagian Pemerintahan Umum, Camat Cijeungjing, Sekretaris
Camat, Kasubag Tata Pemerintahan dan Terdakwa.
c. Pembinaan ke-III pada hari Selasa tanggal 1 Februari 2011 di
Kantor Sekretariat Daerah Kab. Ciamis yang dihadiri oleh
Sekretaris Daerah Kab. Ciamis, Para Asisten Setda Kab. Ciamis,
Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kab. Ciamis,
Kepala Kesbangpolinmas Kab. Ciamis, Kepala Bagian Umum,
Camat Cijeungjing dan Terdakwa.
-
Dari 3 (tiga) kali pembinaan tersebut Terdakwa tetap bersikukuh
mempertahankan
keberadaan
padepokan
tersebut
karena
menganggap bahwa dirinya tidak pernah melakukan hal-hal
sebagaimana yang diisukan masyarakat.
-
Saksi mengetahui mengenai surat yang dikirimkan Terdakwa kepada
elemen masyarakat seperti FPI, LPI, Ormas Gempur dan MUI yang
inti surat tersebut berisi permohonan maaf dari Terdakwa dan
kesediaan untuk mengucapkan dua kalimah syahadat.
79
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa membenarkan dan
tidak keberatan.
14. Drs. US Bin CS, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan
keterangan yang sama dengan saksi M.
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut Terdakwa
membenarkan dan tidak keberatan.
15. I Bin E, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut :
-
Saksi pernah bertemu dengan Terdakwa di Kantor Kecamatan
Cijeungjing pada saat saksi akan membuat KTP, lalu Terdakwa
memanggil saksi dan menanyakan kabar saksi dan dijawab oleh
saksi bahwa sakit rematik karena sudah tua.
-
Terdakwa mengatakan kalau ingin sehat seperti Terdakwa,
Terdakwa mengatakan kepadanya agar tidak Shalat, tidak boleh
Wudhlu, tidak membaca sholawat dan tidak berziarah ke daerah
Pamijahan Tasikmalaya karena dulunya Terdakwa juga punya sakit,
tetapi bisa sembuh karena Terdakwa tidak wudhlu, tidak shalat, dan
tidak dzikir.
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut Terdakwa
keberatan karena tidak pernah mengatakan hal-hal seperti itu kepada
saksi pada saat bertemu di Kantor Kecamatan Cijeungjing.
Menimbang, bahwa atas keberatan tersebut saksi menyatakan
tetap pada keterangannya.
80
b. Alat Bukti Keterangan Ahli
Drs. KH. AHMAD HIDAYAT, SH. Bin KH. MUH. SIROD selaku
Ketua MUI Kabupaten Ciamis, yang telah memberikan keterangan
dibawah sumpah, pada pokoknya sebagai berikut :
- Ahli pernah mendapat laporan dari LSMdan berdasarkan laporan LSM
tersebut perbuatan Terdakwa yang dikatagorikan telah menodai Agama
Islam adalah Terdakwa melarang untuk melaksanakan shalat 5 (lima)
waktu, melarang membaca Sholawat, melarang membaca ayat Qursy,
melarang berdzikir, dan mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad
SAW.
- Perbuatan Terdakwa tersebut menurut pandangan Islam adalah bahwa
pokok-pokok ajaran Agama Islam bersumber dari Al Qur’an dan Al
Hadist (Sunnah Rosululloh Saw) dan setiap muslim berkewajiban untuk
melaksanakan Akidah Islamiyah dan Syariat Islam.
- Yang dimaksud dengan Akidah Islamiyah adalah keimanan yang
bersumber kepada tauhid diantaranya Rukun Islam sedangkan yang
dimaksud dengan Syariat Islam tertuang dalam rukun Islam, jadi
perbuatan Terdakwa dapat dikatagorikan sebagai orang yang telah
melakukan penodaan terhadap Agama Islam karena telah melanggar
Rukun Iman dan Rukun Islam, melanggar Rukun Iman karena telah
mengaku sebagai pengganti Nabi, melanggar Rukun Islam karena
Terdakwa telah melarang untuk melaksanakan shalat, melarang
81
membaca ayat-ayat Al-Qur’an, melarang berdzikir dan melarang untuk
melaksanakan aktifitas ibadah Agama Islam.
- Dampak dari perbuatan Terdakwa tersebut akan mengganggu segi-segi
kehidupan umat beragama dan dapat juga menimbulkan permusuhan
sesama pemeluk Agama Islam dan menggangu Ukhuwah Islamiah.
- Pengobatan yang dilakukan oleh Terdakwa tidak menjadi masalah.
- Oleh karena melarang shalat bertentangan dengan ajaran agama Islam
maka orang yang melarang shalat adalah kafir.
- Dengan adanya perbuatan tersebut bagi umat Islam berdampak sebagai
berikut :
a. Merupakan penghinaan terhadap kehidupan beragama Islam;
b. Merupakan penyimpangan dari fungsi agama Islam itu sendiri.
c. Merupakan penodaan terhadap hakekat ajaran agama Islam yang
diturunkan berdasarkan wahyu/Al-Qur’an/Sunnah Rosul.
d. Ditinjau dari segi kehidupan umat beragama mengganggu
kerukunan intern umat beragama.
e. Dapat menimbulkan permusuhan sesama pemeluk agama Islam
yang mengganggu Ukuwah Islamiyah.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa keberatan bahwa
Terdakwa tidak pernah melakukan perbuatan yang dituduhkan
kepadanya yaitu melarang untuk melaksanakan shalat, melarang
membaca ayat-ayat Al Qur’an, melarang berdzikir dan melarang untuk
melaksanakan aktifitas ibadah Agama Islam.
82
Atas keberatan Terdakwa tersebut ahli menyatakan tetap pada
keterangannya.
c. Alat Bukti Keterangan Saksi Yang Meringankan Bagi Terdakwa
Adapun saksi yang meringankan bagi Terdakwa yang berasal dari
pengajuan Penuntut Umum, yaitu:
1. IHA Bin S, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut :
-
Saksi mengenal dengan Terdakwa sejak tahun 2003 sejak saksi
mulai berobat kepada Terdakwa karena menderita sakit radang otak
dan ambeian.
-
Ketika pertama kali saksi datang langsung bertemu Terdakwa dan
langsung diobati dengan cara dipijit pada bagian yang sakit
kemudian disuruh minum kopi hitam dan makan mie instan rebus
yang dibubuhi dengan irisan cabai.
-
Saksi datang berobat kepada Terdakwa sebanyak 4 (empat) kali dan
setelah berobat kepada Terdakwa penyakit saksi langsung sembuh
kemudian ikut Terdakwa sampai dengan sekarang untuk membantu.
-
Selain membantu saksi juga membuka warung di samping rumah
Terdakwa tetapi saksi tidak menetap di tempat Terdakwa.
-
Menurut Terdakwa minum kopi dan makan mie rebus hanya sekedar
tes saja apakah sudah sembuh atau belum.
-
Dalam melakukan pengobatan Terdakwa dibantu oleh saksi Y, tetapi
pengobatan lebih banyak dilakukan oleh Terdakwa.
83
-
Selain saksi yang membantu di rumah Terdakwa ada DS, I, J dan E.
-
Di sebelah warung milik saksi terdapat sebuah saung yang ditempati
oleh saksi U dan anaknya yang dibuat oleh saksi U.
-
Terdakwa mengobati pasiennya di ruang tertutup dan jarang ada
pasien yang menginap kecuali saksi SA dan saksi W, serta saksi U.
-
Saksi SA pernah melahirkan seorang bayi yang diberi nama
RASPATI.
-
Di padepokan milik Terdakwa, terdapat sebuah mushola, tetapi tidak
pernah ada pengajian serta saksi tidak pernah mendengar adanya
larangan beribadah atau tulisan yang berisi larangan beribadah.
-
Padepokan milik Terdakwa adalah padepokan yang terbuka dan
boleh didatangi oleh siapapun.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan
keberatan dan membenarkannya.
2. TM Binti D, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan
keterangan sebagai berikut :
-
Saksi adalah istri Terdakwa.
-
Cara pengobatan yang dilakukan Terdakwa adalah dengan cara
ditotok dibagian tubuh pasien yang sakit, setelah ditotok kemudian
disuruh minum air putih, selanjutnya disuruh minum kopi pahit,
kemudian makan mie instan yang pedas.
-
Ssaksi tidak mengetahui mengenai nasehat, ajaran atau pelarangan
ibadah yang disampaikan Terdakwa kepada pasiennya.
84
-
Saksi
mulai
mengetahui
adanya
tuduhan
kepada
suami
saksi/Terdakwa telah melakukan penodaan Agama setelah membaca
dari Media Massa dan setelah itu banyak gunjingan di masyarakat
pada sekitar akhir tahun 2010.
-
Atas adanya berita tersebut dari keluarga tidak ada reaksi apa-apa
karena merasa tidak pernah melakukan hal-hal yang jadi berita
tersebut.
-
Saksi pernah menanyakannya kepada suami saksi/Terdakwa atas
berita tersebut, tetapi suami saksi/Terdakwa menjawab tidak pernah
melakukannya hal yang dituduhkan tersebut.
-
Terdakwa pernah dipanggil ke PEMDA sebanyak 2 (dua) kali serta
pernah juga ada pertemuan sebanyak 2 (dua) kali di Balai Desa
Pamalayan sehubungan dengan tuduhan tersebut dan disuruh untuk
menutup padepokan.
-
Setelah pertemuan tersebut, padepokan tempat pengobatan ditutup.
-
Tempat dilakukan pengobatan tersebut adalah di suatu tempat di
dalam padepokan dan apabila ada pasien datang untuk berobat atau
setelah berobat kemudian berkonsultasi dengan Terdakwa.
-
Padepokan tersebut hanya dipergunakan untuk balai pengobatan saja
dan dapat dikunjungi oleh siapa saja/umum.
-
Pasien yang datang berobat, setelah berobat memberikan balas jasa
semampunya.
85
-
Ada pasien yang tinggal menetap di padepokan tersebut yaitu
diantaranya saksi SA dan suaminya, yaitu saksi W dan menetap
selama 5 (lima) bulan pada tahun 2005 karena saksi SA hamil dan
kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki di padepokan yang
kemudian diberi nama RASPATI dan disimpan di dalam kotak kayu
dan berada di dalam padepokan selama kurang lebih 2 (dua) minggu
dan bayi tersebut tidak dirawat sendiri oleh saksi SA.
-
Selama berada di padepokan, saksi SA tinggal di sebuah saung milik
Terdakwa. Saksi SA pernah memperbaiki saung tersebut, karena
saung tersebut akan dijadikan tempat tinggal oleh saksi SA, yaitu
membeli biliknya.
-
Selain saksi SA, ada pasien lain yang pernah membangun saung di
lingkungan padepokan, yaitu saksi U. Saung yang dibangun oleh
saksi U berada di atas kolam ikan.
-
Terdakwa telah membuat surat pernyataan tertanggal 7 Maret 2011
yang dikirimkan ke beberapa elemen masyarakat, yang isinya pada
pokoknya berupa permohonan maaf dari Terdakwa kepada seluruh
lapisan masyarakat.
-
Setiap harinya suami saksi melaksanakan shalat, masalah membaca
wirid, menurut suami saksi/ Terdakwa bahwa Terdakwa mengatakan
kalau membaca wirid jangan karena ada yang diharapkan tapi kalau
membaca wirid itu harus ikhlas karena Allah jadi pasien-pasiennya
menerima nasehat dari Terdakwa hanya setengah-setengah.
86
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan
keberatan dan membenarkannya
3. ES Binti S, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut :
-
Saksi mengenal Terdakwa pada sekitar tahun 2003 karena saksi
pernah berobat kepada Terdakwa karena kram usus.
-
Terdakwa mengobati penyakit saksi dengan cara ditotok dibagian
perut dan setelah diobati kurang lebih sebanyak 3 (tiga) kali penyakit
saksi menjadi sembuh.
-
Sebelum dan sesudahnya saksi berkonsultasi dengan Terdakwa di
balai saung yang berada di samping rumah Terdakwa.
-
Setelah sembuh, saksi sering datang ke rumah Terdakwa untuk
silaturahmi dan membantu pekerjaan mengasuh anak-anak Terdakwa
dan sekarang di padepokan saksi ikut berjualan dengan membuka
warung.
-
Ada pasien yang tinggal menetap di padepokan tersebut yaitu
diantaranya saksi SA dan suaminya, yaitu saksi W dan menetap
selama 4 bulan pada tahun 2005.
-
Sewaktu menetap saksi SA melahirkan seorang bayi laki-laki di
sebuah WC yang kemudian diberi nama “Raden Raspati” dan yang
menolong kelahirannya adalah saksi karena dimintai tolong
Terdakwa.
87
-
Bayi tersebut diurus oleh saksi dan saksi D atas perintah Terdakwa
kurang lebih selama 14 hari karena setelah itu dibawa pergi saksi
SA.
-
Bayi tersebut tidak dipertontonkan kepada pasien yang datang, tapi
bayi tersebut disimpan ditempat terbuka di dalam saung.
-
Yang bekerja di tempat Terdakwa adalah :
a. D, T, dan E mengurus anak-anak
b. J : membantu Terdakwa mengobati pasien dan mengurus sawah
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan
keberatan dan membenarkannya.
4. JS Bin J, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut :
-
Saksi mengenal dengan Terdakwa sekitar tahun 2003 ketika saksi
berobat kepada Terdakwa karena sakit maag yang saksi derita
selama kurang lebih 30 tahun.
-
Cara pengobatan yang dilakukan Terdakwa yaitu dengan cara
ditotok di bagian perut kemudian makan pisang muli dan disuruh
minum kopi serta makan mie instan ditambah irisan cabai dan
setelah diobati penyakitnya menjadi sembuh.
-
Setelah diobati saksi tidak diminta untuk membayar biaya
pengobatan, tapi saksi memberi seikhlasnya dan dimasukan dalam
kotak yang disediakan.
88
-
Sejak penyakit saksi sembuh sampai sekarang saksi terkadang
datang di padepokan Terdakwa ikut membantu pekerjaan misalnya
mencangkul di sawah atau pekerjaan lainnya.
-
Selain membantu mencangkul disawah saksi juga membantu
Terdakwa melakukan penotokan kepada para pasien yang datang
karena disuruh oleh Terdakwa. Saksi dapat melakukan hal tersebut
karena saksi melihat cara Terdakwa melakukan totokan pada pasien.
-
Padepokan milik Terdakwa adalah padepokan yang terbuka dan bisa
didatangi oleh siapa saja.
-
Saksi tidak pernah mendengar bahwa Terdakwa suka melarang
shalat atau melarang dzikir baik kepada saksi maupun kepada pasien
yang berobat.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan
keberatan dan membenarkannya.
5. SS Bin D, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut :
-
Saksi mengenal Terdakwa sekitar tahun 2003. Ketika itu saksi
pertama kali datang berobat kepada Terdakwa karena sakit gula.
-
Ketika saksi berobat tempat pengobatan Terdakwa belum merupakan
padepokan.
-
Cara Terdakwa mengobati pasiennya dengan cara ditotok dibagian
urat syaraf kemudian setelah dua kali berobat saksi disuruh minum
89
kopi dan makan mie instan ditambah irisan cabai. Setelah berobat
sebanyak 3 (tiga) kali penyakit saksi menjadi sembuh.
-
Setelah diobati saksi tidak diminta untuk membayar biaya
pengobatan, tetapi saksi memberi seikhlasnya dan dimasukan dalam
kotak yang disediakan.
-
Setelah diobati, saksi pernah datang ke tempat Terdakwa untuk
membantu jika saksi pulang kerja, itupun tidak lama.
-
Selama di padepokan, saksi juga shalat sebagaimana biasanya.
-
Padepokan milik saksi adalah padepokan yang bisa didatangi oleh
siapa saja
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan
keberatan dan membenarkannya.
6. YK Bin S, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut :
-
Saksi mengenal Terdakwa sekitar tahun 2005. Ketika itu saksi
pertama kali datang berobat kepada Terdakwa karena sakit hernia.
-
Saksi datang berobat kepada Terdakwa dua kali dan penyakit saksi
menjadi sembuh.
-
Cara Terdakwa mengobati pasiennya dengan cara ditotok dibagian
kening, dada, di atas kemaluan, dan di bagian kaki. Setelah ditotok
saksi hanya disuruh untuk minum kopi tidak disuruh makan mie
instan pedas.
90
-
Pada waktu Terdakwa mengobatai saksi Terdakwa tidak pernah
mengatakan tentang larangan shalat shalat agar penyakit saksi
sembuh.
-
Setelah sembuh saksi pernah datang lagi ke tempat Terdakwa untuk
mengantar saksi SA dan suaminya, yaitu saksi W, dengan maksud
mau berobat, karena saksi SA menderita sakit pada perutnya.
-
Setelah mengantar mereka saksi langsung pulang, tetapi kemudian
saksi mendengar bahwa kedua orang itu menetap di tempat
Terdakwa bahkan sampai SA melahirkan.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan
keberatan dan membenarkannya.
Adapun saksi yang meringankan bagi Terdakwa yang diajukan oleh
Penasihat Hukum Terdakwa, yaitu:
1. CSM, SPd,MM., di bawah sumpah pada pokoknya memberikan
keterangan sebagai berikut :
-
Saksi pertama kali mengenal Terdakwa sejak pertama kali datang
berobat ke tempat Terdakwa pada tanggal 10 November 2010 karena
saksi menderita sakit maag akut karena diajak oleh teman yang
pernah berobat kepada Terdakwa.
-
Saksi datang bersama dengan isteri yang juga ikut berobat seminggu
sekali.
-
Saksi datang berobat kepada Terdakwa sebanyak 3 kali, sedangkan
isteri saksi berobat sebanyak 4 kali. Ketika datang yang keempat
91
kalinya itu sekaligus saksi membawa adik ipar saksi yang menderita
sakit gula.
-
Cara pengobatan yang dilakukan Terdakwa dengan cara ditotok di
bagian urat syaraf. Setelah itu disuruh minum kopi dimana menurut
Terdakwa minum kopi itu bukan bagian dari pengobatan tapi hanya
untuk mendeteksi saja.
-
Setelah beberapa kali berobat kepada Terdakwa akhirnya penyakit
saksi dan istri saksi sembuh.
-
Setelah selesai diobati tidak ada paksaan dari Terdakwa untuk
membayar biaya pengobatan, tetapi saksi memberi secara suka rela.
-
Selama saksi berobat kepada Terdakwa tidak pernah melarang saksi
untuk melaksanakan shalat, hanya saja pada waktu Terdakwa
melihat saksi memakai cincin, Terdakwa pernah melarang untuk
menggunakannya karena katanya memakai perhiasan seperti itu riya
hukumnya dan saksi pernah menerima nasehat dari Terdakwa
katanya bahwa “kita itu kalau hidup harus jujur, bageur dan cageur”.
-
Saksi
tidak
pernah
mendengar
Terdakwa
melarang
untuk
melaksanakan shalat lima waktu.
-
Mengenai wirid Terdakwa pernah cerita kepada saksi katanya jika
melakukan wirid itu harus dengan ikhlas jangan dibarengi dengan
keinginan yang lain.
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut Terdakwa
tidak mengajukan keberatan dan membenarkannya.
92
2. C, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai
berikut :
-
Saksi pertama kali mengenal Terdakwa sejak pertama kali datang
berobat ke tempat Terdakwa pada sekitar bulan Oktober 2010 karena
isteri saksi menderita sakit rheumatik dan anak saksi menderita sakit
maag.
-
Cara pengobatan yang dilakukan Terdakwa dengan cara ditotok dan
setelah ditotok lalu disuruh minum kopi dan makan mie rebus
memakai irisan cabai.
-
Saksi, isteri serta anak saksi datang berobat kepada sebanyak 6
(enam) kali, datang dua minggu sekali.
-
Untuk biaya pengobatan tidak ada tarif khusus, tapi memberi secara
suka rela dan dimasukan kedalam kotak yang tersedia.
-
Saksi
tidak
pernah
mendengar
Terdakwa
melarang
untuk
melaksanakan shalat.
-
Padepokan milik Terdakwa terbuka untuk siapa saja yang mau
berobat kepada Terdakwa.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan
keberatan dan membenarkannya.
3. TAW, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai
berikut :
93
-
Saksi mengenal Terdakwa sejak tahun 2006 ketika saksi datang
berobat kepada Terdakwa karena sakit migran dengan ditemani
suami saksi.
-
Saksi mengetahui Terdakwa membuka praktik pengobatan alternatif
dari saudara saksi yang pernah berobat kepada Terdakwa.
-
Cara pengeobatan yang dilakukan Terdakwa dengan cara ditotok dan
setelah ditotok lalu disuruh minum kopi dan makan mie instan pedas.
-
Menurut Terdakwa minum kopi dan makan mie itu hanya untuk
menetralkan karena makanan itu akan menimbulkan penyakit.
-
Selama pengobatan Terdakwa hanya menyampaikan laranganlarangan agar jangan makan obat-obat kimia.
-
Setelah melakukan pengobatan saksi suka berbincang dengan
Terdakwa, mengenai falsafah hidup Terdakwa, yaitu Terdakwa
mengatakan bahwa “hidup itu harus jujur, bener dan bageur dan
jangan jadikan Agama sebagai suatu perbedaan”.
-
Saksi pertama kali berobat di balai-balai terbuka dan saung milik
Terdakwa boleh didatangi oleh siapa saja.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan
keberatan dan membenarkannya.
4. AM, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai
berikut :
94
-
Saksi mengenal Terdakwa sekitar bulan Februari 2010 ketika saksi
datang berobat ke tempat pengobatan Terdakwa di Padepokan
Terdakwa karena diberi tahu oleh S yang perobat kepada terdalwa.
-
Saksi menderita sakit maag, sakit jantung, sakit lambung, dan sesak
napas.
-
Saksi datang berobat kepada Terdakwa sebanyak 5 kali dengan
datang seminggu sekali.
-
Setelah berobat kepada Terdakwa sakit saksi menjadi sembuh.
-
Selama saksi berobat kepada Terdakwa tidak pernah mendengar
Terdakwa mengatakan hal-hal seperti itu.
-
Selama berobat ke Terdakwa, saksi membayar hanya sekadarnya
saja.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan
keberatan dan membenarkannya.
5. DZM, di bawah sumpah pada pokoknya memberikan keterangan sebagai
berikut :
-
Saksi mengenal Terdakwa pada tahun 2003 sejak saksi pertama kali
berobat kepada Terdakwa karena sakit maag karena diberitahu oleh
orang tua saksi yaitu saksi S dan dan saksi E yang sebelumnya
pernah berobat kepada Terdakwa.
-
Saksi datang berobat kepada Terdakwa sebanyak 4 (empat) kali dan
datang seminggu sekali.
95
-
Terdakwa melakukan pengobatan dengan cara ditotok pada bagian
syaraf dan disuruh minum kopi.
-
Menurut Terdakwa minum kopi dan makan mie pedas bukan
merupakan bagian dari pengobatan tapi hanya untuk mendeteksi
pengaruh kopi dan mie pedas kepada penyakit yang diderita pasien.
-
Terdakwa tidak pernah melarang shalat kepada saksi.
-
Setelah saksi sembuh saksi setiap hari datang ke tempat Terdakwa
karena saksi bekerja ditempat Terdakwa sebagai pembantu rumah
tangga
dengan
tugas
mengasuh
anak-anak
Terdakwa
dan
mengantarkan ke sekolah dengan bayaran per-minggu.
-
Ketika berobat, saksi tidak pernah membayar biaya pengobatan.
-
Baru sekitar tahun 2004 ada padepokan.
-
Ketika saksi tinggal di tempat Terdakwa saksi pernah mengenal
pasien yang hamil dan melahirkan ditempat Terdakwa yaitu saksi SA
yang ditemani suaminya yang bernama W.
-
Saksi SA berada di padepokan Terdakwa sampai melahirkan
anaknya kurang lebih 4 (empat ) bulan.
-
Saksi mengetahui saksi U ikut membangun saung karena diberitahu
oleh Terdakwa, kata Terdakwa untuk istirahat saksi U ketika kontrol
dan sampai sekarang masih ada dan masih dipakai jika ada tamu
yang menginap.
-
Saung tersebut tidak dikunci dan digembok karena suka ada yang
memakai.
96
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa tidak mengajukan
keberatan dan membenarkannya.
d. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Di persidangan telah pula didengar keterangan Terdakwa yang
pada pokoknya sebagai berikut :
-
Terdakwa belum pernah dihukum atau terlibat tindak pidana lainnya
sebelumnya.
-
Terdakwa bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor
Kecamatan Cijeungjing dan membuka praktik pengobatan alternatif
setelah menyelesaikan jam kerja di kantor.
-
Terdakwa membuka praktik pengobatan alternatif sejak tahun 2000,
pada awalnya Terdakwa membuka pengobatan di rumah Terdakwa
sendiri, namun kemudian Terdakwa membuat tempat padepokan
setelah banyak orang yang datang yaitu sejak tahun 2003.
-
Semenjak tahun 2003 padepokan Terdakwa diberi nama Jati
Sampurna, kemudian tahun 2007 berubah menjadi Tri Tunggal
kemudian pada tahun 2010 berubah lagi menjadi Tri Tunggal Jaya
Sampurna Galuh yang berarti bahwa hati, ucapan dan perbuatan
harus seiring dan sejalan.
-
Di padepokan Terdakwa memakai nama RJD dan biasa dipanggil
“Kang Aden”, dengan maksud hanya untuk lebih dikenal saja.
-
Tempat pengobatan Terdakwa sudah terdata di Kantor Kejaksaan
Negeri Ciamis sejak tanggal 23 Maret 2003 dibawah Nomor : B-
97
24/0.2.24/Dsb.I/03/2010
dan
sudah
pula
mempunyai
akta
pendiriannya yaitu Akta Notaris No.13 tanggal 20 Oktober 2010
yang dibuat oleh Notaris IS ,S.H.
-
Terdakwa mendapatkan ilmu pengobatan tersebut merupakan
anugrah dari Allah SWT karena keprihatinan hidup Terdakwa.
-
Terdakwa melakukan pengobatan kepada pasien-pasiennya dengan
cara ditotok pada bagian syaraf atau bagian yang sakit dan minum
kopi dan makan mie instan rebus yang dicampur irisan cabai, akan
tetapi minum kopi dan makan mie pedas bukan suatu keharusan,
hanya merupakan anjuran saja.
-
Manfaat dari kopi dan cabai, intinya adalah cabai untuk membuka
aliran darah yang beku, sedangkan kopi fungsinya untuk membuka
peredaran darah.
-
Terdakwa kenal dengan saksi SA ketika yang bersangkutan datang
ke tempat pengobatan milik Terdakwa untuk keperluan berobat kirakira pada tahun 2005 karena menderita sakit perut yang tidak
kunjung sembuh yang berkunjung bersama dengan suaminya yaitu
saksi W.
-
Metode pengobatan yang dilakukan untuk mengobati penyakit saksi
SA dengan cara mengelus/mengusap pada bagian perut yang sakit
kemudian diberi air putih untuk diminum dan diusapkan pada bagian
perut yang sakit.
98
-
Terdakwa mengobati sakit perut saksi SA kurang lebih sekitar 3
bulan sampai yang bersangkutan melahirkan anak laki-laki di tempat
pengobatan miliknya dan setelah saksi SA obati selama kurang lebih
3 bulan penyakit sakit perut berhasil Terdakwa sembuhkan.
-
Terdakwa tidak pernah mengatakan kepada pasien-pasien bahwa
Terdakwa sebagai penganti Nabi Muhammad SAW dan tidak pernah
melarang shalat dan dzikir terhadap pasien SA dan saksi W.
-
Terdakwa tidak pernah melarang saksi SA untuk keluar padepokan
dan juga tidak pernah mengintimidasi atau menakut-nakuti apabila
keluar padepokan akan terjadi sesuatu.
-
Saksi SA melahirkan anak laki-laki, tetapi tidak benar Terdakwa
akan mengambil bayi tersebut dan tidak benar Terdakwa menjadikan
bayi tersebut sebagai tontonan di padepokan.
-
Bayi itu ditaruh disebelah tempat praktik pengobatan ditaruh di
dalam tempat bayi terbuat dari kayu yang dikelilingi oleh kelambu
atas keinginan saksi SA sendiri.
-
Saksi E Bin A pernah berobat kepadanya tetapi Terdakwa tidak
pernah melarang untuk melakukan shalat, dzikir, shalat tahajud dan
juga tidak pernah mengaku sebagai nabi.
-
Saksi U datang ke padepokan milik Terdakwa untuk mengobati
anaknya pada tahun 2005 yang menderita temperamen atau
gangguan jiwa dan menginap satu malam.
99
-
Terdakwa mengobati anaknya saksi U dengan cara ditotok di bagian
kepala dan bagian perut kemudian disuruh minum air putih yang
sudah diberi doa-doa olehnya.
-
Pada waktu itu anaknya saksi U belum sembuh karena memaksa
untuk pulang.
-
Saksi U membuat bangunan yang terbuat dari kayu disekitar
padepokan miliknya bukan atas perintahnya dan Terdakwa pun tidak
pernah menjanjikan kepada saksi U bahwa anaknya pasti sembuh
asal saksi U membuat bangunan tersebut.
-
Bangunan saung yang dibangun oleh saksi U hanya khusus untuk
saksi U dan ketika saksi U pulang maka saung tersebut tidak
dipergunakan sampai saat ini dan digembok sejak U pulang dari
padepokan Terdakwa.
-
Terdakwa kenal dengan saksi ES karena pernah datang berobat ke
padepokan miliknya bersama-sama dengan isterinya (saksi N) dan
datang ke padepokan milik Terdakwa untuk berobat pada tahun 2007
karena menderita reumatik dan maag sedangkan penyakit yang
diderita oleh isterinya yaitu reumatik dan Terdakwa mengobati saksi
ES dan isterinya dengan cara ditotok di bagian lutut, bagian perut,
dan bagian kepala kemudian disuruh minum kopi dan makan mie
instan ditambah irisan cabai rawit.
-
Terdakwa mengetahui adanya tuduhan penodaan agama kepada
dirinya setelah membaca media massa sekitar akhir Desember 2010.
100
-
Dengan adanya keresahan di masyarakat tersebut Terdakwa selaku
PNS pernah dipanggil oleh SEKDA di Kantor SEKDA yang dihadiri
oleh SEKDA, Asda Bidang Pemerintahan, Kabag Pemerintahan,
Kepala BKD, Camat Cijeungjing, dan Terdakwa sendiri dengan
tujuan menanyakan kepada Terdakwa mengenai kebenaran terhadap
apa yang diberitakan dalam media massa dan Terdakwa menolak
atas apa yang dituduhkan kepada Terdakwa karena Terdakwa merasa
tidak melakukan hal-hal yang dituduhkan kepada dirinya.
-
Dalam pertemuan itu SEKDA menyarankan kepada Terdakwa agar
menghentikan kegiatan pengobatan di padepokan Terdakwa, namun
Terdakwa tidak melaksanakan saran dari SEKDA tersebut karena
kasihan banyak pasien yang datang dari jauh.
-
Setelah pertemuan pertama Terdakwa kemudian dipanggil lagi oleh
SEKDA,
yang
dibicarakan
dalam
pertemuan
kedua
hanya
mempertegas isi pertemuan pertama dan masalah gejolak yang
ditimbul di masyarakat akan tetapi Terdakwa tetap menolak apa
yang dituduhkan bahwa dirinya telah melakukan penodaan agama.
-
Kemudian Terdakwa membuat surat pernyataan yang di tujukan
kepada pemerintah daerah yang pada pokoknya berisi bahwa
Terdakwa lebih baik keluar dari Pegawai Negeri Sipil daripada harus
berhenti menolong orang yang sakit.
-
Setelah pertemuan dengan Pemerintah Daerah kemudian Terdakwa
mendapat undangan untuk melakukan dialog di Kantor Desa
101
Pamalayan yang diselenggarakan pada tanggal 2 Februari 2011, yang
dihadiri oleh MUI Kabupaten Ciamis, Camat Cijeungjing Kepala
Desa Pamalayan, elemen masyarakat seperti FPI, LPI, HMI, PMII,
dan Ormas Gempur.
-
Dialog tersebut tidak menghasilkan apa-apa karena terjadi deadlock
dimana masing-masing pihak mempertahankan sikapnya dan terlalu
memaksakan kehendak dan akhirnya diputuskan bahwa masalahnya
diselesaikan melalui jalur hukum dan Terdakwa langsung dilaporkan
kepada pihak Kepolisian dengan tuduhan bahwa Terdakwa telah
melakukan penodaan agama.
-
Terdakwa tidak pernah mengatakan melarang shalat karena shalat
hanya olah raga orang Muslim, tetapi Terdakwa hanya mengatakan
bahwa shalat itu mengandung unsur oleh raga serta Terdakwa tidak
pernah melarang melakukan wirid, yang pernah Terdakwa katakan
bahwa kalau wirid itu harus dilakukan secara ikhlas, jangan
dilakukan karena ada yang diharapkan.
-
Terdakwa tidak pernah mengatakan bahwa Terdakwa sebagai
pengganti Nabi Muhammad SAW, tetapi Terdakwa mengatakan
bahwa kita sebagai pengikut nabi kita harus melaksanakan segala
ajarannya secara konsekwen.
-
Terdakwa mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan agama tersebut
karena mereka menanyakan kepada Terdakwa masalah sumbersumber penyakit.
102
-
Perkataan tersebut disampaikan untuk menjawab pertanyaan dari
saksi ES saja.
-
Terdakwa memang pernah melarang wirid kepada saksi ES, karena
pada waktu itu saksi ES mengatakan bahwa dia suka wirid di atas
kuburan, waktu itu Terdakwa melarangnya karena wirid di kuburan
hanya akan memanggil khodam.
-
Tujuan Terdakwa mendirikan padepokan adalah untuk menyediakan
tempat bagi orang-orang yang berobat dan terbuka untuk umum.
-
Setiap orang yang datang dicatat dan ada buku tamunya.
-
Terdakwa tidak pernah mengatakan kepada saksi ES bahwa
Terdakwa telah dibelah dada untuk dibersihkan seperti halnya Nabi
Muhammad SAW.
-
Terhadap saksi NN Terdakwa tidak pernah melarang shalat dan tidak
pernah melarang memakai kerudung dan tidak pernah mengatakan
memakai kerudung itu bukan untuk menutup aurat tapi hanya
menghalangi dari debu.
-
Terdakwa tidak pernah melarang puasa, tapi Terdakwa pernah
mengatakan bahwa kalau melaksanakan puasa itu harus sabar dan
ikhlas.
-
Saksi U membangun saung atas kemauannya sendiri.
103
4. Tuntutan Penuntut Umum
Setelah mendengar keterangan para saksi, keterangan ahli, dan
keterangan Terdakwa yang diajukan dipersidangan, maka Jaksa Penuntut
Umum mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa OJ Alias RJS Bin M, telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja
dimuka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada
pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dan tindak pidana
“penipuan” sebagaimana dalam pasal 156a huruf a KUHP dan pasal
378 KUHP.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut di atas dengan pidana
penjara selama 5 (lima) tahun dikurangi selama Terdakwa berada
dalam tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap ditahan.
3. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar
Rp.1.000,- (seribu rupiah).
5. Putusan Pengadilan
a. Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan
keterangan Terdakwa yang telah didengar di persidangan, maka Majelis
Hakim telah memperoleh fakta-fakta yuridis yang pada pokoknya
sebagai berikut :
104
-
Bahwa saat ini Terdakwa bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di
Kantor Kecamatan Cijeungjing.
-
Bahwa selain menjadi PNS Terdakwa membuka praktik pengobatan
Alternatif setelah menyelesaikan jam kerja di Kantor yang bertempat
di rumah Terdakwa yang beralamat di di Dsn. Timbangwindu Ds.
Pamalayan Kec. Cijeungjing Kab.Ciamis atau sekarang dikenal
dengan nama Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh.
-
Bahwa Terdakwa membuka praktik pengobatan Alternatif sejak
tahun 2000, pada awalnya Terdakwa membuka pengobatan di rumah
Terdakwa sendiri, namun kemudian Terdakwa membuat tempat
padepokan setelah banyak orang yang datang dengan mendirikan
beberapa saung.
-
Bahwa Terdakwa membuat saung-saung sejak tahun 2003, awalnya
Terdakwa membuat satu buah saung untuk khusus melayani
pengobatan kemudian Terdakwa mendirikan bangunan-bangunan
atau saung-saung lainnya secara bertahap.
-
Bahwa pada awal membuka praktik belum ada namanya, namun
sejak tahun 2003 diberi nama Jati sampurna, kemudian tahun 2007
berubah menjadi Tri Tunggal kemudian pada tahun 2010 berubah
lagi menjadi Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh.
-
Bahwa nama tersebut berubah-rubah maksudnya tahapan-tahapan
karena semakin banyak orang/pasien yang datang.
105
-
Bahwa di padepokan Terdakwa memakai nama RJD dan biasa
dipanggil “Kang Aden”, dengan maksud hanya untuk lebih dikenal
saja.
-
Bahwa tempat pengobatan Terdakwa sudah terdata di Kantor
Kejaksaan Negeri Ciamis sejak tanggal 23 Maret 2003 dibawah
Nomor: B-24/0.2.24/Dsb.I/03/2010 dan sudah pula mempunyai akta
pendiriannya yaitu Akta Notaris No.13 tanggal 20 Oktober 2010
yang dibuat oleh Notaris IS ,S.H.
-
Bahwa Terdakwa melakukan pengobatan kepada pasien-pasiennya
dengan cara di totok pada bagian syaraf atau bagian yang sakit.
-
Bahwa setelah melakukan pengobatan Terdakwa menyuruh pasienpasiennya untuk minum kopi dan makan mie instan rebus yang
dicampur irisan cabai.
-
Bahwa pada saat Terdakwa mengobati pasiennya, berdasarkan
keterangan saksi-saksi yang diajukan Penuntut Umum yang
merupakan pasien-pasien Terdakwa, pada saat Terdakwa melakukan
pengobatan di padepokan miliknya, Terdakwa juga memberikan
ajaran kepada pasiennya yang isinya adalah:
a. Untuk apa shalat karena di dalam Al-Qur’an tidak ada perintah
praktik shalat, yang ada hanya tegakkan shalat dan praktik
shalat itu hanya ada dalam hadist dan hadist itu buatan
manusia.
106
b. Untuk apa melaksanakan puasa, jaman dahulu puasa itu karena
tidak ada makanan sedangkan sekarang sudah merdeka dan
banyak makanan.
c. Melarang untuk berdzikir/wirid karena itu hanya memanggil
khoddam.
d. Dilarang untuk memakai kerudung karena kerudung itu bukan
untuk menutupi aurat tetapi hanya untuk menutupi debu.
e. Untuk apa naik haji, karena naik haji itu hanya untuk
menyembah batu hitam, tidak ada bedanya dengan umat
kristen dan cina yang membakar dupa/hio, menyembah patung.
f. Dan kalau datang ke padepokannya serta mengikuti ajarannya
harus siap untuk dikucilkan.
-
Bahwa ajaran tersebut disampaikan Terdakwa kepada pasiennya di
padepokan dan pernah juga dilakukan di kantor kecamatan
Cijeunjing.
-
Bahwa padepokan milik Terdakwa bersifat terbuka kepada semua
orang dan bisa didatangi oleh siapa saja.
-
Bahwa pada bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Oktober tahun
2005, ada pasangan suami istri yaitu saksi SA Binti ES dan saksi W
Bin K, yang datang ke padepokan Terdakwa untuk berobat dan
menginap di padepokan Terdakwa.
107
-
Bahwa pada saat berobat, Terdakwa menjanjikan kepada saksi SA
dan saksi W akan sembuh apabila mereka tinggal di padepokan dan
membuat sebuah saung di padepokan Terdakwa.
-
Bahwa saksi SA dan saksi W percaya dengan kata-kata dan janjijanji Terdakwa sehingga saksi SA dan saksi W membuat sebuah
saung sebagaimana permintaan Terdakwa.
-
Bahwa setelah saung tersebut berdiri, sakit yang diderita oleh SA
dan saksi W tidak kunjung sembuh dan keduanya hendak
meninggalkan rumah Terdakwa, tetapi dilarang oleh Terdakwa
dengan alasan apabila keluar dari areal padepokan, maka akan terjadi
sesuatu pada diri saksi SA Binti ES dan saksi W Bin K.
-
Bahwa selain saksi SA dan saksi W, juga terdapat pasien bernama Y
yang dibawa oleh orangtuanya yaitu saksi U Bin S untuk berobat
kepada Terdakwa karena suka menyendiri dan tidak bisa diatur.
-
Bahwa pada saat berobat kepada Terdakwa, Terdakwa mengatakan
bahwa sakit yang diderita oleh Y akan sembuh apabila saksi U Bin S
mendirikan sebuah saung di padepokan Terdakwa.
-
Bahwa mendengar kata-kata dan janji-janji Terdakwa tersebut, saksi
U Bin S menjawabnya dengan kata-kata, “Insya Allah mudahmudahan anak saya cepat sembuh”, tetapi ucapan saksi U Bin S
tersebut dipotong oleh Terdakwa dengan mengatakan bahwa Allah
sudah menentukan segala-galanya dan InsyaAllah itu merupakan
suatu ketidakpastian.
108
-
Bahwa mendengar kata-kata dan janji-janji Terdakwa serta didorong
oleh keinginan untuk melihat anaknya cepat sembuh, akhirnya saksi
U Bin S mendirikan sebuah saung di atas kolam ikan di dalam
padepokan Terdakwa.
-
Bahwa setelah saung selesai dibuat dan menghabiskan dana sebesar
Rp 11.000.000,00 (sebelas juta rupiah), sakit yang diderita Y tidak
sembuh sebagaimana yang dijanjikan oleh Terdakwa sehingga saksi
U Bin S merasa kecewa dan dibohongi.
-
Bahwa saung yang dibangun oleh saksi U tersebut, setelah ditinggal
pulang oleh saksi U, saung tersebut tetap dipergunakan oleh
Terdakwa dalam kegiatan sehari-hari padepokan, yaitu digunakan
sebagai tempat istirahat pasien Terdakwa.
-
Bahwa pada akhir tahun 2010, kegiatan pengobatan yang dilakukan
oleh Terdakwa mulai meresahkan masyarakat karena masyarakat
mendengar kabar kalau dalam pengobatan tersebut oleh Terdakwa
diselipkan pelarangan beribadah yang bertentangan dengan ajaran
Agama Islam sehingga berita mengenai perbuatan Terdakwa tersebut
muncul di beberapa media massa.
-
Bahwa karena melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat
maka kemudian Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis telah
membuat Surat Nomor : 223.4/III-Pem-Um.1 tanggal 1 Februari
2011 perihal Permohonan Dialog kepada Ketua DPD Majelis Ulama
Indonesia Kabupaten Ciamis yang maksud dan tujuan surat tersebut
109
yaitu untuk membalas surat dari DPD MUI Kab. Ciamis No :
65/DPD MUI/Kab.Cms/I/2011 tanggal 30 Januari 2011 perihal
permohonan dialog dengan Bapak Bupati Kabupaten Ciamis
(tentang keberadaan Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna Galuh).
-
Bahwa dialog tersebut dilaksanakan di tingkat Kecamatan dipimpin
oleh Camat Cijeungjing yang dilaksanakan tanggal 02 Februari 2011
yang dihadiri oleh MUI, dari unsur pesantren, elemen masyarakat
seperti FPI, LPI, Gempur, dan tokoh masyarakat Cijeungjing dan
Terdakwa sendiri, namun dalam pertemuan tersebut tidak ditemukan
titik temu, karena Terdakwa tetap tidak mengakui atas apa yang
dituduhkan kepadanya, karena situasi menjadi tidak kondusif
akhirnya pertemuan diputuskan bahwa Terdakwa akan diajukan
melalui proses hukum dan Padepokan Terdakwa ditutup.
-
Bahwa menanggapi situasi yang berkembang di masyarakat Pemkab
Ciamis juga telah melakukan pembinaan/ dialog dengan Terdakwa
yaitu :
a. Pembinaan ke I pada hari Rabu tanggal 12 Januari 2011 di
Kantor Sekretariat Daerah Kab. Ciamis yang dihadiri oleh
Sekretaris Daerah, Para Asisten Setda Kab. Ciamis, Kepala
Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kab. Ciamis, Kepala
Kesbangpolinmas Kab. Ciamis, Kepala Bagian Umum, Camat
Cijeungjing dan Terdakwa.
110
b. Pembinaan ke II pada hari Senin tanggal 31 Januari 2011 di
Kantor Kecamatan Cijeungjing yang dihadairi oleh Kepala
Bagian Pemerintahan Umum, Camat Cijeungjing, Sekretaris
Camat, Kasubag Tata Pemerintahan dan Terdakwa.
c. Pembinaan ke III pada hari Selasa tanggal 1 Februari 2011 di
Kantor Sekretariat Daerah Kab. Ciamis yang dihadiri oleh
Sekretaris Daerah Kab. Ciamis, Para Asisten Setda Kab. Ciamis,
Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kab. Ciamis,
Kepala Kesbangpolinmas Kab. Ciamis, Kepala Bagian Umum,
Camat Cijeungjing dan Terdakwa.
-
Bahwa dari tiga kali pembinaan tersebut Terdakwa tetap bersikukuh
mempertahankan keberadaan padepokan.
-
Bahwa pada tanggal 7 Maret 2011, Terdakwa membuat surat
pernyataan yang berisi tentang pernyataan membubarkan padepokan
milik Terdakwa.
-
Bahwa pada tanggal 9 Maret 2011, Terdakwa juga mengirimkan
surat kepada Ketua MUI dan beberapa organisasi lainnya di
Kabupaten Ciamis yang berisi tentang permohonan maaf Terdakwa.
Menimbang,
bahwa untuk
menentukan seseorang dapat
dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suatu
tindak pidana yang didakwakan kepadanya adalah apabila seluruh
unsur-unsur dari ketentuan pidana yang didakwakan kepadanya telah
terbukti secara sah dan meyakinkan. Oleh karena itulah kini
111
dipertimbangkan, apakah dengan fakta-fakta hukum tersebut di atas,
Terdakwa sudah dapat dinyatakan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan pasalpasal tindak pidana yang didakwakan kepadanya;
Menimbang, bahwa karena Dakwaan Penuntut Umum disusun
secara Komulatif, maka konsekuensi yuridis pembuktiannya adalah
Majelis Hakim harus mempertimbangkan kedua dakwaan Komulatif
tersebut untuk dibuktikan;
Menimbang, bahwa oleh karena itu Majelis Hakim akan
membuktikan terlebih dahulu Dakwaan PERTAMA yaitu apakah
Terdakwa telah melakukan perbuatan atau tindak pidana sebagimana
dirumuskan dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a KUHP, yang
unsur-unsurnya sebagai berikut :
Ad. 1. Barangsiapa;
Ad. 2. Dengan Sengaja di muka Umum Mengeluarkan Perasaan
atau
Perbuatan
yang pada
pokoknya
bersifat
Permusuhan,
Penyalahgunaan atau Penodaan terhadap suatu agama yang dianut
di Indonesia;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yuridis yang
dihasilkan berdasarkan pembuktian maka Majelis Hakim berpendapat
seluruh unsur-unsur dari dakwaan KESATU Penuntut Umum telah
terpenuhi. Selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dan
membuktikan dakwaan KEDUA yang pada pokoknya perbuatan
112
Terdakwa sebagimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang unsurunsurnya sebagai berikut :
Ad. 1. Barangsiapa.
Ad. 2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yuridis yang
dihasilkan berdasarkan pembuktian maka Majelis Hakim berpendapat
seluruh unsur-unsur dari dakwaan KEDUA Penuntut Umum telah
terpenuhi.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berpendapat bahwa
seluruh unsur dari dakwaan PERTAMA dan KEDUA telah terpenuhi
dan terbukti sebagaimana telah dipertimbangkan Majelis Hakim secara
cermat maka terhadap Pembelaan/Pledooi Terdakwa/Penasihat Hukum
Terdakwa dengan semua analisanya yang pada pokoknya memohon
kepada Majelis Hakim agar Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan
Penuntut Umum tidak beralasan sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap diri Terdakwa
pernah dikenakan penahanan yang sah dengan jenis Penahanan Rutan
maka sesuai dengan ketentuan pasal 22 ayat (4) KUHAP, beralasan
113
hukum untuk menetapkan agar lamanya masa penahanan yang pernah
dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka
harus pula dibebani untuk membayar biaya perkara sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 197 ayat (1) huruf (i) KUHAP yang besarnya
sebagaimana ditentukan dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana atas diri
Terdakwa, terlebih dahulu akan dipertimbangkan mengenai hal-hal
yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan bagi Terdakwa
sebagaimana ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) huruf (f) KUHAP,
yaitu :
Hal-hal yang meringankan :
-
Terdakwa belum pernah dihukum;
-
Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga.
Hal-hal yang memberatkan :
-
Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat;
-
Terdakwa berbelit-belit di persidangan dan tidak mengakui
perbuatannya.
b. Amar Putusan Pengadilan
1. Menyatakan Terdakwa OJ Alias RJD Bin M telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “
PENODAAN AGAMA DAN PENIPUAN”;
114
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 5 (lima) tahun;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.1.000,- (seribu rupiah).
B. Pembahasan
1) Alat-alat bukti yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana
perkosaan dan pencurian dengan kekerasan dalam Putusan Nomor :
157/Pid.B/2011/PN.Cms
Proses persidangan hasilnya adalah sebuah putusan yang
menyatakan Terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Dalam proses
persidangan tersebut akan dilakukan pembuktian untuk membuktikan
apakah Terdakwa bersalah atau tidak. Pembuktian untuk menyatakan
Terdakwa bersalah atau tidak bersalah dilakukan dengan memeriksa alatalat bukti dan barang bukti yang ada. M. Yahya Harahap mengemukakan
pendapatnya mengenai pembuktian sebagai berikut:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang yang didakwakan kepada Terdakwa.”52
52
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan. Banding. Kasasi. dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta. 2009. hlm 273.
115
Pengertian pembuktian juga dikemukakan Leden Marpaung yang
mengatakan bahwa:
“Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak
dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak
bersalah” (presumption of innocence.). Untuk menyatakan seseorang
“melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran”
diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu
peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk menentukan
“kebenaran”.53
Pengertian yang dikemukakan oleh Leden Marpaung berarti dalam
mencari kebenaran diperlukan bukti-bukti. Hal itu seperti yang dijelaskan
oleh Darwan Prinst yang mengatakan bahwa:
“Pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
Terdakwalah
yang
bersalah
melakukannya,
sehingga
harus
mempertanggungjawabkannya. Untuk membuktikan kesalahan Terdakwa
pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan pembuktian
sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Pembuktian yang sah harus
dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa Terdakwa.
Pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang
pengadilan.”54
Berdasarkan pendapat di atas pembuktian merupakan proses yang
terjadi di dalam sidang pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidaknya
Terdakwa berdasarkan dakwaan yang diajukan penuntut umum. Pembuktian
juga meupakan hal yang sangat penting karena di sinilah ditentukannya
nasib Terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada Terdakwa, Terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Sebaliknya, kalau kesalahan yang didakwakan Terdakwa dapat dibuktikan
53
Leden Marpaung. Proses Penangan Perkara Pidana(Penyelidikan & Penyidikan) Bagian Pertama
Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 2009. hlm 22-23.
54
Darwan Prinst. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Djambatan. Jakarta. 2002. hlm 137.
116
dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP),
Terdakwa
harus
dinyatakan
bersalah.
Hakim
dalam
melaksanakan tugasnya untuk mengadili segala perkara tindak pidana yang
dilakukan
di
daerah
hukumnya
mempertimbangkan
hal-hal
yang
berhubungan dengan terjadinya tindak pidana tersebut, sehingga hakim
secara arif dan bijaksana menentukan alat-alat bukti yang secara limitatif
telah ditentukan oleh undang-undang yang dengan alat-alat bukti tersebut
hakim memperoleh keyakinan bahwa Terdakwa secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan suatu tindak pidana yangdidakwakan kepadanya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana kita menganut sistem pembuktian secara
negatif hal itu diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Selanjutnya dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 diatur mengenai alat-alat bukti yang telah ditentukan secara
limitatif yang dirumuskan:
“ (1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan Terdakwa.”
117
Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor : 157/ Pid.B/ 2011/ PN.
Cms yang menjadi dasar OJ Alias RJD Bin M menjadi Terdakwa adalah alat
bukti keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa
sebagaimana akan diuraikan sebagai berikut:
a. Alat Bukti Keterangan Saksi
Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/ Pid.B/ 2011/ PN.
Cms di dalam proses persidangan pada saat pembuktian dihadirkan 26 saksi
termasuk 5 orang saksi yang diajukan Terdakwa yang memberikan
keterangannya di bawah sumpah di persidangan. Keterangan saksi adalah
alat bukti urutan pertama dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Keterangan saksi memiliki pengertian dalam Pasal 1 angka 27 UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang merumuskan:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Penting untuk diketahui tidak semua alat bukti keterangan saksi
adalah alat bukti yang sah, keterangan saksi harus memenuhi ketentuan agar
dapat menjadi alat bukti yang sah. Ketentuan tersebut yaitu:
1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.
Saksi harus mengucapkan sumpah agar keterangannya dapat
menjadi alat bukti yang sah. Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
118
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan:
“ (3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada
yang sebenarnya,.”
Jika saksi tidak mau mengucapkan sumpah maka akibat hukumnya
keterangan saksi tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti. Hal ini diatur
dalam Pasal 185 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan:
“(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai
dengan satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun
apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang
disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain.”
Saksi-saksi dihadirkan dalam proses pembuktian perkara tindak
pidana penistaan agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms., yaitu saksi S, SA Binti ES, W Bin K, EI Bin IR,
DS Bin M, EN Bin H. ME, OSQ, S. Ag. Bin D, U Bin S, E Bin A, ETR
Bin S, NN Bin H, ES Bin MS, M, US Bin CS, I Bin E, IHA Bin S, TM
Binti D, ES Binti S, JS Bin J, SS Bin D, dan YK Bin S yang dihadirkan
oleh Penuntut Umum dan saksi CSM, C, TAW, AM, dan DZM yang
dihadirkan oleh Penasihat Hukum dalam memberikan keterangannya
tersebut berada di bawah sumpah.
119
2. Keterangan saksi harus diberikan di dalam persidangan.
Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang merumuskan:
“(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di sidang pengadilan.”
Saksi-saksi yang dihadirkan dalam proses pembuktian perkara
tindak pidana penistaan agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis
Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms berupa 21 orang saksi yang dihadirkan
oleh Penuntut Umum dan 5 orang saksi yang dihadirkan oleh Penasihat
Hukum dalam memberikan keterangan tersebut dilakukan di dalam
persidangan.
a. Keterangan tersebut adalah keterangan tentang apa yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri yang berkaitan dengan peristiwa pidana.
Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti adalah keterangan
saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu
keterangan yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami
sendiri.
Saksi-saksi dihadirkan dalam proses pembuktian perkara tindak
pidana penistaan agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms., yaitu saksi S, SA Binti ES, W Bin K, EI Bin IR,
DS Bin M, EN Bin H. ME, OSQ, S. Ag. Bin D, U Bin S, E Bin A, ETR
Bin S, NN Bin H, ES Bin MS, M, US Bin CS, I Bin E, IHA Bin S, TM
120
Binti D, ES Binti S, JS Bin J, SS Bin D, dan YK Bin S yang dihadirkan
oleh Penuntut Umum dan saksi CSM, C, TAW, AM, dan DZM yang
dihadirkan oleh Penasihat Hukum yang diberikan di bawah sumpah di dalam
persidangan isi keterangannya sesuai dengan sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan tersebut yaitu apa yang
ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri.
Seperti apa yang dinyatakan oleh saksi SA Binti ES yang
menyatakan bahwa setelah dilakukan pengobatan, kemudian saksi bersama
suami saksi (saksi W bin K) mendengar pengarahan/nasehat Terdakwa
yaitu:
a. Tidak boleh shalat karena shalat hanya olahraga agama Islam.
b. Dilarang wirid yang berlebihan karena akan mengundang jin.
c. Masjid adalah tempat paguyuban atau tempat ngobrol.
d. Dilarang mengunjungi tempat-tempat keramat karena sudah ada di
padepokan Terdakwa OJ.
e. Terdakwa mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.
Kemudian yang diterangkan oleh NN Binti H, sewaktu saksi
berobat kepada Terdakwa di padepokan milik Terdakwa, Terdakwa pernah
mengatakan kepada saksi dan suami saksi yaitu:
a. Untuk apa melaksanakan Shalat karena di dalam Al Qur’an tidak ada
perintah praktik shalat, yang ada hanya tegakan shalat dan praktik shalat
itu hanya ada dalam hadist dan hadist itu hanya buatan manusia.
121
b. Untuk apa melaksanakan puasa, jaman dahulu puasa itu karena tidak ada
makanan sedangkan sekarang sudah merdeka dan banyak makanan.
c. Melarang untuk berdzikir/wirid karena berdzikir/wirid itu hanya
memanggil khodam dan membuat pusing kepala.
d. Sesama muslim dilarang untuk mengucapkan Assalamualaikum karena
ucapan Assalamualaikum itu tidak ada bedanya dengan apa kabar.
e. Dilarang untuk memakai kerudung karena memakai kerudung itu bukan
untuk menutupi aurat tetapi hanya untuk menutup debu.
f. Untuk apa naik haji karena naik haji itu hanya untuk menyembah batu
hitam, tidak ada bedanya dengan umat Kristen dan Cina yang membakar
dupa/hio, menyembah patung.
g. Terdakwa juga mengatakan kalau datang ke padepokan serta mengikuti
ajaran Terdakwa harus siap untuk dikucilkan.
Begiu pula dengan saksi-saksi lainnya yang dihadirkan dalam
persidangan berupa 21 saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum dan 5
orang saksi yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum dalam Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms.
telah
memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang pada
intinya merumuskan bahwa keterangan tersebut berdasarkan apa yang ia
dengar, ia lihat dan ia alami sendiri.
122
b. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Hal ini sesuai dengan prinsip minimum pembuktian bahwa untuk
menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan
sekurang-kurangnya ada dua alat bukti. Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) merumuskan:
“(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.”
Sebenarnya Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan
kembali apa yang dirumuskan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai batas
minimum pembuktian. P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang55 mengatakan
bahwa seperti yang pernah dikatakan di muka, dalam ketentuan yang diatur
dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang mengatakan bahwa keterangan
seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa
terkandung suatu asas yang sangat penting untuk diperhatikan, baik oleh
penyidik, penuntut umum, hakim maupun penasihat hukum, yakni asas unus
testis nullus testis, atau yang di dalam praktik juga sering disebut dengan
perkataan satu saksi bukan saksi.
Putusan Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms dalam persidangan hadir
26 orang saksi termasuk 11 saksi meringankan yang memberikan keterangan
55
Ibid.. hlm.417-418.
123
di bawah sumpah sehingga memenuhi batas minimum pembuktian sesuai
dengan Pasal 183 dan Pasal 185 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Dengan melihat penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
keterangan saksi yang dihadirkan dalam persidangan berupa 26 orang saksi
termasuk 11 saksi meringankan merupakan alat bukti sah yang dapat
digunakan hakim dalam pertimbangan hukumnya untuk menjatuhkan pidana
terhadap Terdakwa OJ Alias RJD Bin M.
b. Keterangan Ahli
Keterangan ahli merupakan alat bukti yang tersebut dalam Pasal
184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana pada urutan kedua. Bukan berarti keterangan
saksi lebih penting daripada keterangan ahli, karena alat-alat bukti yang
terumuskan dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memiliki nilai
kekuatan pembuktian yang sama, yakni nilai kekuatan pembuktian bebas.
Definisi keterangan ahli terdapat di dalam Pasal 1 angka (28)
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan.”
Kemudian dalam Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pun memberikan
definisi mengenai istilah tersebut bahwa keterangan ahli ialah apa yang
124
seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli berdasarkan
penjelasan Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dibuat dalam bentuk
suatu laporan dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau
pekerjaan, dan dapat pula keterangan ahli diberikan di sidang pengadilan
setelah mengucapkan sumpah dihadapan hakim.
Penjelasan Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas dapat dilihat
bahwa alat bukti keterangan ahli memiliki dua bentuk dalam tata cara
pembuktian, yakni dalam bentuk laporan dan ahli memberikan keterangan
secara lisan dan langsung di sidang pengadilan.
Syarat sahnya keterangan ahli, yaitu:
a.
b.
c.
d.
keterangan diberikan oleh ahli;
memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu;
menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya;
diberikan di bawah sumpah.56
Dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms, di dalam proses persidangan pada saat pembuktian
selain dihadirkan beberapa orang saksi, Penuntut Umum juga menghadirkan
seorang ahli yaitu Drs. KH. Ahmad Hidayat, SH. Bin KH. Muh. Sirod
selaku Ketua MUI Kabupaten Ciamis yang memberikan keterangannya di
bawah sumpah di persidangan.
56
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan
Penuntutan). Sinar Grafika. Jakarta. 2002 . hlm. 296
125
Data tersebut di atas perlu diuraikan untuk menentukan termasuk
atau tidaknya keterangan tersebut sebagai keterangan ahli dengan
dihubungkan dengan syarat sahnya keterangan ahli.
Pertama, syarat keterangan diberikan oleh ahli. Perlu diketahui
terlebih dahulu mengenai siapa itu ahli. Berdasarkan Pasal 1 angka 28
KUHAP bahwa seorang ahli adalah orang yang mempunyai keahlian
khusus. Ahli yang memberikan keterangan di persidangan ada dua
kelompok ahli hal itu dapat diketahui dari Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179,
180 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril dari pasalpasal tersebut membagi ahli menjadi dua kelompok. Mohammad Taufik
Makarao dan Suhasril57 mengatakan bahwa:
“Dari pasal-pasal tersebut di atas, maka terlihat ada dua kelompok ahli.
1. Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian dalam kedokteran
kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan,
keracunan, atau pembunuhan.
2. Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian
khusus dalam bidang-bidang tertentu, misalnya notaris, ahli pajak,
pendeta, ulama dan sebagainya.
Bila melihat hal di atas maka ahli yang dihadirkan dalam persidangan
berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms adalah seorang ulama karena berdasarkan identitas
yang diberikan oleh ahli menyebutkan bahwa ahli adalah seorang ulama dari
Majelis Ulama Indonesia. Maka dari hal ini ahli yang dihadirkan dalam
persidangan merupakan kelompok ahli pada umumnya.
57
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. Op.Cit.. hlm.125.
126
Kedua, syarat memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa orang memberikan keterangan selaku
ahli di persidangan menurut Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor
157/Pid.B/2011/PN.Cms memiliki keahlian khusus berupa pengetahuan
mengenai ilmu agama yaitu agama Islam yang merupakan keahliannya
dalam bidang keagamaan sebagai seorang ulama.
Ketiga, syarat menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Dari
data
berupa
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor
157/Pid.B/2011/PN.Cms dapat dilihat bahwa ahli telah memberikan
keterangan berdasarkan pengetahuan dalam bidang keahliannya, yakni
menerangkan mengenai apakah perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa
tersebut telah menyimpang dari akidah-akidah dalam agama Islam atau
berdasarkan pengetahuannya sebagai ulama mengenai keagamaan yaitu
agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan keterangannya yang menilai apa
yang dilakukan oleh Terdakwa berdasarkan kajian Agama yaitu Agama
Islam yaitu bahwa Perbuatan Terdakwa tersebut tidak sesuai dengan
pandangan Islam dan perbuatan Terdakwa dapat dikatagorikan sebagai
orang yang telah melakukan penodaan terhadap Agama Islam karena telah
melanggar Rukun Iman dan Rukun Islam, melanggar Rukun Iman karena
telah mengaku sebagai pengganti Nabi, melanggar Rukun Islam karena
Terdakwa telah melarang untuk melaksanakan shalat, melarang membaca
ayat-ayat Al-Qur’an, melarang berdzikir dan melarang untuk melaksanakan
aktifitas ibadah Agama Islam.
127
Keempat, syarat diberikan di bawah sumpah. Jelas sekali terlihat
berdasarkan hasil penelitian, di dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis
Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms disebutkan bahwa ahli memberikan
keterangannya di dalam persidangan dan berada di bawah sumpah.
Dengan melihat penjelasan di atas, maka syarat-syarat sahnya
keterangan ahli telah terpenuhi, maka dapat dikatakan keterangan ahli dalam
kasus ini merupakan alat bukti sah yang dapat digunakan hakim dalam
pertimbangan hukumnya untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa OJ
Alias RJD Bin M.
c. Alat Bukti Petunjuk
Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdiri
dari tiga ayat yang isinya mengenai definisi petunjuk, sumber diperolehnya
petunjuk, dan cara penggunaannya, yang terumuskan sebagai berikut:
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh
dari:
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan Terdakwa.
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pengertian petunjuk dalam Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
128
memang tidak jelas adanya. Seharusnya pengertian tersebut menjadi seperti
berikut: Petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan,
kejadian atau keadaan di mana isyarat itu mempunyai persesuaian antara
yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian
dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut
melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan
terjadinya suatu tindak pidana dan Terdakwalah pelakunya.
Sumber perolehan petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan
saksi, surat, dan keterangan Terdakwa. Selain dari ketiga hal tersebut
tidaklah dapat dijadikan sumber untuk memperoleh petunjuk karena
ketentuan Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana membatasinya secara limitatif
yang dapat dilihat dari penggunaan kata “hanya” pada ketentuan tersebut.
Penggunaan alat bukti petunjuk jarang sekali digunakan oleh hakim
dalam membuktikan kesalahan Terdakwa karena dalam praktik peradilan
pun penerapannya sering mengalami kesulitan. Apabila kurang hati-hati
mempergunakannya,
putusan
yang
bersangkutan
bisa
mengambang
pertimbangannya dalam suatu keadaan yang samar, sehingga putusan itu
lebih dekat kepada sifat penerapan hukum secara sewenang-wenang.
P.A.F. Lamintang berpendapat mengenai alat bukti petunjuk,
bahwa:
“Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 188 KUHAP tersebut
di atas, kiranya orang dapat mengetahui bahwa pembuktian yang
didasarkan pada petunjuk-petunjuk di dalam berbagai alat bukti itu tidak
mungkin akan diperoleh oleh hakim tanpa mempergunakan suatu
129
redenering atau suatu pemikiran tentang adanya suatu persesuaian antara
kenyataan satu dengan kenyataan lain, atau suatu kenyataan dengan tindak
pidananya sendiri”.58
Berdasarkan data dalam hasil penelitian tidak ditemukan adanya
petunjuk dalam perkara tindak pidana “dengan sengaja dimuka umum
mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya bersifat
permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia” dan tindak pidana “penipuan” pada Putusan Pengadilan
Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, maka dapat dikatakan
hakim tidak menggunakan alat bukti petunjuk dalam membuktikan
kesalahan Terdakwa karena alat-alat bukti lainnya seperti keterangan saksi
dan keterangan ahli yang telah dibahas di atas sudah mencukupi untuk
membuktikan bahwa Terdakwa OJ Alias RJD bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, dan hal tersebut telah memenuhi prinsip
minimum pembuktian, sehingga tidak perlu lagi alat bukti petunjuk.
d. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms, Terdakwa OJ Alias RJD Bin M memberikan
keterangannya. Keterangan Terdakwa merupakan alat bukti terakhir dalam
proses pembuktian. Terdakwa juga dalam memberikan keterangan di
persidangan harus bebas tanpa tekanan. Ketika Terdakwa ditempatkan
sebagai subjek dan bebas dari tekanan dalam memberikan keterangannya
diharapkan Terdakwa akan memberikan keterangan sesuai dengan keadaan
58
P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang. 2010. Op. cit.. hlm. 428
130
yang sebenarnya. Keterangan Terdakwa diberikan tanpa harus mengucapkan
sumpah terlebih dahulu hal itu yang sering membuat keterangan Terdakwa
seringkali diabaikan oleh hakim. Selain itu keterangan Terdakwa seringkali
diabaikan karena ada kecenderungan seseorang untuk mengelak melakukan
kejahatan yang dilakukannya yang disebabkan faktor psikologis. Andi
Hamzah mengatakan bahwa59 psikologi memegang peranan penting. Pada
umumnya manusia takut menerima pidana. Dan walaupun dalam hatinya
terbenih keinginan menerangkan yang sebenarnya, kadang-kadang takut
menerima pidana itu akhirnya yang menang, sehingga pada umumnya
Terdakwa mengkhianati hati nuraninya sendiri. Seperti yang dilakukan oleh
Terdakwa dimana ia selama memberikan keterangannya di persidangan
dinilai Majels Hakim terlalu berbelit-belit dan tidak mengingkari apa yang
dikatakan oleh saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum yang
menyatakan bahwa Terdakwa mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad
SAW, melarang shalat karena hanya merupakan olahraga orang Islam,
melarang dzikir karena hanya memanggil khadam, dan menyatakan buat apa
pergi ibadah Haji karena hanya menyembah batu hitam (Ka’bah) tidak ada
bedanya dengan dengan umat kristen dan cina yang membakar dupa/hio
serta menyembah patung.
Keterangan Terdakwa meskipun demikian, seharusnya hakim
jangan selalu mengabaikan keterangan Terdakwa karena keterangan
Terdakwa merupakan alat bukti yang sah di dalam Undang-Undang Nomor
59
Andi Hamzah. Op.Cit.. hlm.281.
131
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Keterangan Terdakwa memang ditempatkan di posisi terakhir di dalam
Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hal itu salah satu alasan agar dalam
pemeriksaan Terdakwa memberikan keterangannya paling akhir agar
Terdakwa dapat secara jelas mengerti tidak pidana yang didakwakan
kepadanya.
Keterangan Terdakwa sebenarnya memiliki sifat yang sama dengan
keterangan saksi. Menurut Andi Hamzah60 yang mengatakan bahwa
perubahan alat pembuktian dari pengakuan Terdakwa menjadi keterangan
Terdakwa sangat penting dan membawa akibat jauh, bahwa keterangan
Terdakwa itu mempunyai sifat yang sama dengan keterangan saksi.
Alat bukti keterangan Terdakwa diatur dalam Pasal 189 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang terdiri dari empat ayat yang terumuskan sebagai berikut:
1. Keterangan Terdakwa ialah apa yang Terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri.
2. Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3. Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri.
4. Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
60
Ibid. hlm.280.
132
Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas dapat ditarik beberapa
asas untuk menentukan keterangan Terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang
sah menurut undang-undang, yakni di antaranya:
1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan;
2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau alami sendiri.61
Data dari hasil penelitian ditemukan bahwa keterangan Terdakwa
OJ Alias RJD Bin M diberikan di persidangan, maka asas keterangan itu
dinyatakan di sidang pengadilan telah terpenuhi. Kemudian apa yang
Terdakwa terangkan merupakan perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri. Meskipun berdasarkan Putusan
Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms keterangan
Terdakwa OJ ada yang memiliki persesuaian dengan alat bukti keterangan
saksi yang ada dan ada pula yang bertentangan.
Terdakwa tetap tidak mau mengakui bahwa dirinya telah
melakukan hal-hal yang dituduhkan padanya yaitu telah melakukan
penistaan terhadap agama tertentu yaitu agama Islam dan banyak yang
bertentangan dengan keterangan-keterangan para saksi yang dihadirkan,
namun terdapat pula beberapa keterangan Terdakwa yang memiliki
persamaan dengan keterangan beberapa saksi yang diantaranya adalah:
61
M. Yahya Harahap. 2009. Op. cit.. hlm. 319
133
- Bahwa Terdakwa seorang PNS di Kantor Kecamatan Cijeungjing
Kabupaten Ciamis;
- Bahwa Terdakwa membuka sebuah praktik pengobatan alternatif;
- Bahwa Terdakwa adalah pemilik dari Padepokan Tri Tunggal Jaya
Sampurna Galuh yang terletak di Wilayah Dusun Timbangwindu Desa
Pamalayan Kec. Cijeungjing Kab Ciamis;
- Bahwa Terdakwa melakukan pengobatan dengan cara memberikan
makan kepada pasien berupa mie yang telah diberi irisan cabai rawit dan
minuman kopi hitam;
- Bahwa Terdakwa mengenal para saksi;
- Bahwa beberapa saksi merupakan pasien Terdakwa;
- Bahwa saksi SA melahirkan di padepokan Terdakwa;
- Bahwa Terdakwa pernah dipanggil oleh Pemda Kabupaten Ciamis terkait
isu tentang Terdakwa telah melakukan penistaan agama, yaitu agama
Islam;
- Setelah dilakukan perundingan tersebut Terdakwa tetap tidak mau
menutup padepokan tersebut;
- dll.
Keterangan Terdakwa yang tidak sesuai dengan alat bukti lainnya
yaitu:
-
Terdakwa tidak pernah mengatakan kepada pasien-pasien bahwa
Terdakwa sebagai penganti Nabi Muhammad SAW.
134
-
Terdakwa tidak pernah melarang saksi SA untuk keluar padepokan dan
juga tidak pernah mengintimidasi atau menakut-nakuti apabila keluar
padepokan akan terjadi sesuatu.
-
Terdakwa tidak pernah melarang shalat dan dzikir terhadap pasien SA
dan saksi W.
-
Terdakwa tidak pernah menyuruh saksi SA untuk menaruh anaknya di
tempat seperti itu, hal tersebut atas keinginan saksi SA sendiri.
-
Terdakwa tidak pernah menyuruh atau menganjurkan sesuatu kepada
saksi U atau anaknya selain dari cara-cara pengobatan yang Terdakwa
lakukan.
-
Bangunan saung yang dibangun oleh saksi U hanya khusus untuk saksi
U dan ketika saksi U pulang maka saung tersebut tidak dipergunakan
sampai saat ini.
-
dll.
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan Terdakwa
menurut Yahya Harahap adalah sebagai berikut:
1. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya bebas
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti
keterangan Terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang
terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau
menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan
alasan-alasannya.
2. Harus memenuhi batas minimum pembuktian
Adanya keharusan untuk mencukupkan alat bukti keterangan
Terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain,
baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup.
3. Harus memenuhi asas keyakinan hakim.
Kendati kesalahan Terdakwa telah terbukti memenuhi asas batas minimum
pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan keyakinan hakim,
bahwa memang Terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana
135
yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan hakim harus melekat
pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang
dianut Pasal 183 KUHAP.62
Dengan melihat penjelasan di atas maka Majelis Hakim dapat menilai
bahwa beberapa dari keterangan Terdakwa memiliki keterkaitan dengan alat
bukti lainnya yaitu keterangan saksi sesuai dengan keyakinan hakim, maka
keterangan Terdakwa tersebut dapat diambil sebagai alat bukti yang sah untuk
memutus perkara tersebut di dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis
Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms.
Alat-alat bukti pada Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
diuraikan di atas yang telah dihubungkan dengan alat-alat bukti yang terdapat
dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms,
diperoleh alat-alat bukti yang sah dalam putusan tersebut yang telah
memenuhi syarat-syarat dikatakan sebagai alat bukti yang sah, yakni
keterangan saksi (26 saksi yang diajukan berupa 15 orang saksi yang
memberatkan dan 11 orang saksi meringankan), keterangan ahli berupa
keterangan langsung ahli di dalam persidangan, dan keterangan Terdakwa OJ
Alias RJD.
62
M. Yahya Harahap. 2009. Op. cit.. hlm. 332-333.
136
2) Sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan agama terhadap
Terdakwa dalam Putusan Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms
Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana ada bermacam-macam.
Setiap negara menganut sistem pembuktian yang berbeda tergantung dengan
sistem hukum yang dianut di negara tersebut.
Pengertian tentang pembuktian diperoleh dari doktrin. Beberapa
pengertian tentang pembuktian diantaranya diperoleh menurut M. Yahya
Harahap yang mengatakan:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang yang didakwakan kepada Terdakwa.”63
Pengertian pembuktian juga dikemukakan Leden Marpaung yang
mengatakan bahwa:
“Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak
dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak
bersalah” (presumption of innocence.). Untuk menyatakan seseorang
“melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran”
diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu
peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk menentukan
“kebenaran”.64
Pengertian yang dikemukakan oleh Leden Marpaung berarti dalam
mencari kebenaran diperlukan bukti-bukti. Hal itu seperti yang dijelaskan oleh
Darwan Prinst yang mengatakan bahwa:
“Pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
Terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya. Untuk membuktikan kesalahan Terdakwa
pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan pembuktian
sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Pembuktian yang sah
63
64
M. Yahya Harahap. 2009. Op. Cit. hlm 273.
Leden Marpaung. Op. Cit. hlm 22-23.
137
harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa Terdakwa.
Pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang
pengadilan.”65
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah
ditentukan nasib Terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada Terdakwa, Terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Sebaliknya, kalau kesalahan yang didakwakan Terdakwa dapat dibuktikan
dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Terdakwa harus dinyatakan bersalah. Seperti yang terdapat dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms,
Terdakwa OJ Alias RJD yang dinyatakan bersalah setelah melewati proses
persidangan yang didasarkan atas hal-hal yang diajukan baik oleh pihak
Penasihat Hukum dan Terdakwa maupun yang diajukan oleh pihak Penuntut
Umum.
Sedangkan sistem sendiri juga memiliki pengertian. Menurut Tatang
M. Amirin dalam Hibnu Nugroho menyatakan bahwa:
“....sistem dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian skema atau
metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu, atau model tata cara.
Dapat juga dalam arti suatu bentuk atau pola pengaturan, pelaksanaan,
atau pemrosesan; dan juga dalam pengertian metode pengelompokan,
pengkodifikasian dan sebagainya....”66
65
Darwan Prinst. Op. Cit. hlm 137.
66
Hibnu Nugroho. Op.Cit.hlm. 9.
138
Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu adalah:
a. Menurut undang-undang artinya hakim tidak dapat secara bebas
menentukan jenis alat bukti apa saja yang dapat digunakan dalam
pembuktian di persidangan maupun minimal banyaknya alat bukti yang
harus ada untuk membuktikan kesalahan Terdakwa.
Hal ini juga diungkapkan oleh Andi Hamzah yang mengatakan :
“Indonesia sendiri menganut sistem atau teori pembuktian
berdasarkan undang-undang negative (negatief wettelijk). Hal tersebut
dapat disimpulkan dari Pasal 183 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dapat disimpulkan bahwa
pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu
alat bukti yang sah tersebut dalam PAsal 184 KUHAP, disertai
dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti
tersebut.”67
Hal itu juga dikemukakan oleh P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang
bahwa:
“wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian,
undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat
bukti yang harus ada”.68
Dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms, hakim tidak menentukan alat bukti apa saja yang
harus diajukan di persidangan. Dalam persidangan tersebut digunakan alat
bukti yang bersifat limitatif berdasarkan Pasal 184
ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana dan masalah pengajuan alat bukti diserahkan kepada kedua
pihak yaitu Penasihat Hukum dan Terdakwa serta Penuntut Umum.
67
Andi Hamzah. Op. Cit. hlm 254.
68
Loc.Cit.
139
b. Negatif artinya meskipun telah memenuhi minimal alat bukti yang telah
ditentukan undang-undang, tetapi belum dapat dijatuhkan pidana apabila
hal tersebut belum dapat menimbulkan keyakinan hakim. Jadi di samping
dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah jua harus
dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa Terdakwalah yang bersalah
melakukan tindak pidana yang telah didakwakan kepadanya.
Menurut M Yahya Harahap, Untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang Terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara
negatif, terdapat dua komponen 69:
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang
b. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Adami Chazawi yang
mengatakan:
“Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan Terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak
sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara
yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus
disertai pula keyakinan bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas faktafakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undangundang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alatalat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan,
yang tidak berdiri sendiri-sendiri.”70
Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalamnya
terkandung dua hal, yakni :
69
M. Yahya Harahap. 2009. Op. Cit. hal. 279
70
Adami Chazawi. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : P.T Alumni. 2008. hlm 26
140
1. Batas minimum pembuktian
Terdakwa dinyatakan bersalah apabila telah memenuhi dua alat bukti
yang sah dan baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Dalam hal ini
alat bukti yang sah didefinisikan sebagai alat bukti yang tercantum di dalam
Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms telah diajukan alat bukti yaitu keterangan saksi
sejumlah 26 orang saksi yang terbagi dalam 15 orang saksi yang
memberatkan (saksi S, SA Binti ES, W Bin K, EI Bin IR, DS Bin M, EN
Bin H. ME, OSQ, S. Ag. Bin D, U Bin S, E Bin A, ETR Bin S, NN Bin
H, ES Bin MS, M, US Bin CS, dan I Bin E yang dihadirkan oleh Penuntut
Umum) dan 11 orang saksi meringankan (saksi IHA Bin S, TM Binti D,
ES Binti S, JS Bin J, SS Bin D, dan YK Bin S yang dihadirkan oleh
Penuntut Umum dan saksi CSM, C, TAW, AM, dan DZM yang dihadirkan
oleh Penasihat Hukum), keterangan ahli (Drs. KH. Ahmad Hidayat, SH. Bin
KH. Muh. Sirod), dan keterangan Terdakwa OJ Alias RJD. Dengan
demikian pembuktian tersebut telah memenuhi batas minimum pembuktian.
2. Asas keyakinan hakim
Menurut Lilik Mulyadi71, Asas keyakinan hakim harus melekat pada
putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut
Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
71
Mulyadi. Lilik. Op. Cit. hal : 199
141
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
Terdakwalah yang bersalah melakukannya.” adalah pembuktian menurut
undang-undang secara negatif. Artinya di samping dipenuhi batas minimum
pembuktian dengan alat bukti yang sah maka dalam pembuktian yang cukup
tersebut harus dibarengi dengan hakim memperoleh “keyakinan” bahwa
tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa
telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Dengan diajukannya alat bukti berupa 15 orang saksi yang
memberatkan (saksi S, SA Binti ES, W Bin K, EI Bin IR, DS Bin M, EN
Bin H. ME, OSQ, S. Ag. Bin D, U Bin S, E Bin A, ETR Bin S, NN Bin
H, ES Bin MS, M, US Bin CS, dan I Bin E yang dihadirkan oleh Penuntut
Umum) dan 11 orang saksi meringankan (saksi IHA Bin S, TM Binti D,
ES Binti S, JS Bin J, SS Bin D, dan YK Bin S yang dihadirkan oleh
Penuntut Umum dan saksi CSM, C, TAW, AM, dan DZM yang
dihadirkan oleh Penasihat Hukum), keterangan ahli (Drs. KH. Ahmad
Hidayat, SH. Bin KH. Muh. Sirod), dan keterangan Terdakwa OJ Alias RJD
berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms hakim telah mendapatkan keyakinan bahwa
Terdakwalah bersalah telah melakukan tindak pidana penistaan agama
dengan adanya kalimat dalam Amar Putusan berupa:
142
“Menyatakan Terdakwa ONDON JUHANA Alias RADEN
JAYADININGRAT Bin MANSUR telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ PENODAAN
AGAMA DAN PENIPUAN”72
Dengan melihat penjelasan di atas, maka berdasarkan hasil penelitian
terhadap Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms,
hakim dalam menjatuhkan putusan atas suatu tindak pidana yang didakwakan
kepada Terdakwa telah memenuhi asas minimal pembuktian yang sah di
persidangan dan hakim telah memperoleh keyakinan atas kesalahan Terdakwa
dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini menjelaskan
bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yang
diterapkan terhadap kasus tindak pidana penistaan agama dalam Putusan
Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms dengan alat bukti
berupa keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa yang
diajukan di persidangan.
72
Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms. hlm. 85.
143
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Ciamis Nomor: 157/Pid.B/2011/PN.Cms, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Alat-alat bukti yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana penistaan
agama
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor:
157/Pid.B/2011/PN.Cms, yakni:
a. keterangan saksi. Terdiri dari 26 orang saksi berupa 15 orang saksi yang
memberatkan dan 11 orang saksi yang meringankan yang dihadirkan di
persidangan. Dari keterangan beberapa saksi diperoleh keterangan
bahwa Terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana penistaan agama
berupa melarang shalat karena shalat hanya olahraga agama Islam,
dilarang wirid yang berlebihan karena akan mengundang jin, masjid
adalah tempat paguyuban atau tempat ngobrol, dilarang mengunjungi
tempat-tempat keramat karena sudah ada di padepokan Terdakwa OJ,
dan Terdakwa mengaku sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.
b. keterangan ahli. Berupa keterangan seorang ahli yang merupakan
seorang ulama dari Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Ciamis yang
bernama Drs. KH. Ahmad Hidayat, SH. Bin KH. Muh. Sirod yang
menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa merupakan
bertentangan dengan akidah dan syariat dalam agama Islam. Bahwa
perbuatan Terdakwa tersebut dapat berakibat : Merupakan penghinaan
terhadap kehidupan beragama Islam, merupakan penyimpangan dari
144
fungsi agama Islam itu sendiri, merupakan penodaan terhadap hakekat
ajaran
agama
Islam
yang
diturunkan
berdasarkan
wahyu/Al
Qur’an/Sunnah Rosul, ditinjau dari segi kehidupan umat beragama
mengganggu kerukunan intern umat beragama, dan dapat menimbulkan
permusuhan sesama pemeluk agama Islam yang mengganggu Ukuwah
Islamiyah.
c. keterangan Terdakwa. Adapun Keterangan Terdakwa yang menjadi
pertimbangan hakim dalam memberikan putusan, yaitu:
1) Terdakwa membenarkan identitasnya pada saat pemeriksaan
identitas di sidang pengadilan dan membenarkan bahwa Terdakwa
adalah pemilik dari Padepokan Tri Tunggal Jaya Sampurna;
2) Terdakwa seorang PNS di Kantor Kecamatan Cijeungjing
Kabupaten Ciamis;
3) Terdakwa membuka sebuah praktik pengobatan alternatif;
4) Terdakwa melakukan pengobatan dengan cara memberikan makan
kepada pasien berupa mie yang telah diberi irisan cabai rawit dan
minuman kopi hitam;
5) Terdakwa pernah diundang untuk dilakukan pembicaraan terkait
isu yang beredar bahwa Terdakwa telah melakukan penodaan
agama; Hingga akhir pertemuan Terdakwa tetap tidak mau
menutup padepokan tersebut.
2. Sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan agama terhadap
Terdakwa dalam Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms B.
145
a. Menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa dan untuk
menjatuhkan pidana kepada Terdakwa harus:
1) Kesalahannya terbukti sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang
sah”;
2) Dan atas terbuktinya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah.
b. Dalam membuktikan kesalahan Terdakwa, Majelis Hakim telah
menerapkan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif dengan alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, dan
keterangan Terdakwa yang diajukan di persidangan.
B. Saran
Hakim di dalam proses pembuktian hendaknya cermat dalam
menggunakan alat-alat bukti yang berkaitan dengan perbuatan yang
didakwakan oleh penuntut umum serta alat-alat bukti tersebut harus saling
berkesinambungan dengan pertimbangan dan penjatuhan pidananya. Dalam
kasus penistaan agama ini hendaknya dikuatkan dengan barang bukti agar tidak
menimbulkan persepsi bahwa tindak pidana penistaan agama yang dilakukan
oleh Terdakwa hanyalah isu semata yang berkembang di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
PUTUSAN :
Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 157/Pid.B/2011/PN.Cms
BUKU :
Abdoel, R. Djamali. 2010. Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Asikin, Zainal & Amiruddin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
______________________. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Chanur, A. Arrasjid. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung :
P.T Alumni.
Hamzah, Andi. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Ibrahim, Johny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi
Revisi). Malang: Bayu Media Publishing
____________. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayu Media Publishing
Lamintang, P.A.F & Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika
Mahmud, Peter Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencara Media
Group
___________________. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Cetakan Keempat, Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup
Marpaung, Leden. 2009. Proses Penangan Perkara Pidana(Penyelidikan &
Penyidikan) Bagian Pertama Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika
Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Normatif, Teeoritis, Praktik dan
Permasalahannya. Bandung : P.T. ALUMNI
Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara
Prinst, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan
Pudjosewojo, Kusumadi. 2004. Pedoman Pelajaran Tata Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika
Taufik, Mohammad Makarao & Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam
Teori Dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia
Tiena, Yulies Masriani. 2008. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Wisnubroto. 2002. Praktek Peradilan Pidana Proses Persidangan Perkara Pidana.
Jakarta: Galaxy Puspa Mega
Yahya, M. Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika
________________. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali. Jakarta : Sinar Grafika.
JURNAL :
Diane, Zulfi Zaini. 2011. Implementasi Pendekatan Yuridis Normatif dan
Pendekatan Normatif Sosiologis Dalam Penelitian Ilmu Hukum, Jurnal
Ilmu Hukum Pranata Hukum, Juli 2011 volume 6 no.2
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
tentang
Pencegahan
________, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
________, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
________, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
________, Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama
SUMBER INTERNET :
Ismuhadi. 2008. Analisa Pidana Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana
di Indonesia.
www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12134/1/09E02103.pdf.
diakses pada 22 Mei 2013
Syarof, Uwais Rifqon. 2012. Pengertian Tindak Pidana.
http://kakpanda.blogspot.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana.html,
diakses pada 7 Mei 2013
Sangatta. 2013. Hukum Acara Pidana. http://www. http://statushukum.com.
diakses pada 7 Mei 2013
Anonim. 2012. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Menurut Para Ahli.
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-danunsur.html, diakses pada 7 Mei 2013
Download