PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS (STUDI KASUS KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DAERAH RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI DESA KIDANGPANANJUNG KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG PROPINSI JAWA BARAT ) M. SAFII NASUTION SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas : Studi Kasus Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas Daerah Rawan Bencana Alam Tanah Longsor Di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau di kutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini. Bogor, Oktober 2005 M. Safii Nasution NIM. A.154040055 © Hak Cipta milik M. Safii Nasution, tahun 2005 Hak Cipta Dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, foto copy, mikro film dan sebagainya. PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS (STUDI KASUS KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DAERAH RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI DESA KIDANGPANANJUNG KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG PROPINSI JAWA BARAT ) M. SAFII NASUTION Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 Judul Tugas Akhir : Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas : Studi Kasus Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas Daerah Rawan Bencana Alam Tanah Longsor Di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Jawa Barat. Nama : M. Safii Nasution NIM : A. 154040055 Disetujui Komisi Pembimbing M. Fadhil Nurdin, Ph.D Ketua Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian : 27 Oktober 2005 Tanggal Lulus : PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia -Nya sehingga Kajian Pengembangan Masyarakat ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 ini adalah Manajemen Bencana, dengan judul Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas Daerah Rawan Be ncana Alam Tanah Longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Jawa Barat. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi tingginya kepada : 1. Bapak M. Fadhil Nurdin Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing 2. Bapak Ir. Fredian Tonny, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing 3. Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. 4. Bapak Dr. Marjuki, MSc, selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung 5. Bapak Ii Setia Permana, selaku Kepala Desa Kidangpananjung 6. Bapak Tatang, selaku Tokoh Masyarakat Desa Kidangpananjung 7. Bapak Drs. Purnomo Sidik , selaku Direktur Direktorat Bencana Alam Departemen Sosial RI. 8. Bapak Ir. Surono Direktorat Vulkanologi Bandung 9. Bapak Dady Iskandar, Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat 10. Isteriku tercinta; Dra. Yeni Wipartini, MTi dan anak-anakku tersayang ; Muhammad Khaidar Nasution dan Ainindita Nasution yang telah memberikan motivasi dan doanya selama Ayah menempuh pendidikan di IPB. Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihakpihak yang terkait dalam bidang Manajemen Bencana dan bermanfaat bagi yang akan meneliti lebih lanjut tentang Manajemen Bencana Berbasis Komunitas. Bogor, Oktober 2005 M. Safii Nasution NIM. A.154040055 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Medan, Propinsi Sumatera Utara pada tangga l 14 Maret 1967 dari pasangan Muhammad Alinafiah Nasution (Alm) dan Zainab Binti Husin (Almh). Pada tahun 1982, penulis me nyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Medan. Tahun 1985 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Jakarta. Tahun 1988 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Jakarta. Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Tahun 1996 sampai dengan akhir tahun 1999 penulis bekerja pada Direktorat Bencana Alam Departemen Sosial RI di Jakarta. Penulis mendapatkan kesempatan bertugas melakukan Pemetaan Daerah Rawan Bencana di beberapa da erah di Indonesia antara lain : di Wamena Propinsi Papua, Kotamadya Sibolga Propinsi Sumatera Utara, Kabupaten Sangihe Talaud Propinsi Sulawesi Utara, Kotamadya Samarinda Propinsi Kalimantan Timur, dan terakhir pada tahun 1999 ditugaskan di Atambua Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur sebagai Tim Asistensi Departemen Sosial RI dalam Penanganan Konflik Masyarakat Timor Timur. Pada tahun 2004 Penulis mewakili Propinsi Jawa Barat mengikuti Jambore Nasional Penanggulangan Bencana sebagai ajang kompetisi Organisasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Daerah di Seluruh Indonesia. Sejak tahun 2000 sampai sekarang penulis bekerja pada Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung ABSTRAK M. SAFII NASUTION, Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas (Studi Kasus Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas Daerah Rawan Bencana Alam Tanah Longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung). Dibimbing oleh M. FADHIL NURDIN sebagai Ketua , FREDIAN TONNY sebagai Anggota komisi pembimbing Indonesia rawan terhadap bencana, khususnya Jawa Barat Bagian Selatan sangat rawan bencana tanah longsor. Dalam tahun 1990 – 2002 telah terjadi Bencana Alam Tanah Longsor sebanyak 563 kejadian dengan korban jiwa meninggal dunia 389 jiwa. Namun manajemen bencana yang diterapkan oleh Bakornas PBP, Satkorlak PBP dan Satlak PBP belum menunjukkan hasil yang diharapkan oleh masyarakat korban bencana. Penyebab lemahnya manajemen bencana di Indonesia adalah kurangnya dana, otoritas kelembagaan , dan sumberdaya manusia dalam manajemen bencana. Untuk itu diperlukan suatu paradigma baru manajeman bencana berbasis komunitas yang dapat memberdayakan potensi masyarakat daerah rawan bencana dalam mengantisipasi bencana melalui kesiapsiagaan bencana. Tujuan kajian menemukan suatu strategi Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas dengan cara mengidentifikasi kondisi budaya komunitas rawan bencana, pengaruh program penanggulangan bencana terhadap pembangunan masyarakat, faktor -faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana dan pandangan stakeholder dalam bidang bencana. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian adalah Metode Penelitian Kualitatif. Hasil kajian dari budaya masyarakat menunjukkan bahwa hampir 90 % warga Desa Kidangpananjung memil iki hubungan darah sangat dekat yang berasal dari keturunan Kakek Murnasa, Sudinta dan Sanusi. Sistem kekerabatan yang terjalin diantara sesama anggota masyarakat dan sifat solidaritas yang tinggi untuk saling menolong merupakan modal sosial yang dapat diberdayakan dalam mewujudkan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik Tanah Longsor …………………………………………….. 8 2. Jarak Dan Waktu Tempuh Lokasi Kajian ……………………………….. 21 3. Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat ………………... 22 4. Rencana Pengumpulan Data …………………………………………….. 24 5. Komposisi Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Kidangpananjung Tahun 2004. …………………………………………………………….. 29 6. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Kidangpananjung…………………. 32 7. Pengaruh Bencana Terhadap Pembangunan Masyarakat ………………. 57 8. Program Bantuan Bencana di Desa Kidangpananjung............................... 58 9. Kebijakan Organis asi Penanggulangan Bencana ...................................... 70 10. Permasalahan Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas..................... 74 11. Prioritas Permasalahan Pokok................................................................... 78 12. Analisis Pihak Terkait............................................................................... 81 13. Program Sosialisasi Bencana Tanah Longsor melalui Jaringan Komunikasi Desa ..................................................................................... 87 14. Program Pembuatan Kentongan Tanda Peringatan Dini ........................... 87 15. Program Pembentukan Tim Siaga bencana Desa....................................... 88 16. Program Pembuatan Peraturan Desa........................................................... 89 xi DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Fase Manajemen Bencana ........................................................................ 11 2. Hubungan Bencana Dengan Pembangunan .............................................. 15 3. Kerangka Pikir Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas................... 20 4. Garis Keturunan Tokoh Masyarakat Desa Kidangpananjung ………….. 55 5. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa ………………………………... 56 6. Sketsa Kejadian Bencana Tanah Longsor ……………………………… 62 7. Perkembangan Penduduk yang menyebabkan tanah longsor …………… 63 8. Hubungan kelembagaan dan jejaring dalam Penanggulangan Bencana … 66 9. Peran Pemerintah Terhadap Partisipasi Masyarakat Korban Bencana….. 67 10. Analisis Permasalahan ………………………………………………… 77 11. Analisis Tujuan Perancangan Program………………………………… 79 xii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Leaflet Penyuluhan dan Sosialisasi Bencana Alam Tanah Longsor……. 97 2. Draft Kurikulum Pelatihan Tim Siaga Bencana Desa …………………. 99 3. Proses Pelaksanaan FGD Identifikasi Masalah ………………………... 101 4. Proses Pelaksanaan FGD Penyusunan Program ……………………….. 105 5. Perkembangan Organisasi Penanggulangan Bencana Indonesia ............ 108 6. Pedoman Wawancara .............................................................................. 112 xiii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... x xi xii PENDAHULUAN Latar Belakang …........................................................................................... Rumusan Masalah .......................................................................................... Tujuan dan Kegunaan ................................................................................... 1 4 5 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Bencana …………………………………………………………… Konsep Tanah Longsor ……………………………………………………. Konsep Manajemen Bencana ……………………………………………… Konsep Kesiapan ………………………………………………………….. Hubungan Bencana Dengan Pembangunan ……………………………….. Komunitas Daerah Rawan Bencana………………………………………… 7 7 10 14 14 16 METODOLOGI KAJIAN Kerangka Pemikiran ………………………………………………………… Lokasi dan Waktu Kajian …………………………………………………… Metode Penelitian ………………………………………………….............. Metode Perancangan Program ………………………………………............ 19 21 22 26 PETA SOSIAL DESA KIDANGPANANJUNG Kependudukan ………………………………………………………............. Sistem Ekonomi …………………………………………………………….. Struktur Komunitas …………………………………………………………. Respon Masyarakat Terhadap Pemimpin ....................................................... Organisasi dan Kelembagaan ......................................................................... Hubungan Masyarakat Desa dengan Ekosistemnya ....................................... Ikhtisar .......................................................................................................... 29 32 34 34 35 36 37 EVALUASI PROGRAM Program Tanggap Darurat ............................................................................. Program Relokasi Korban Bencana ……………………………………...... Konflik Sosial Dalam Masyarakat Korban Bencana ..................................... Strategi Solusi Konflik Relokasi Pemukiman Masyarakat ……………....... Ikhtisar ........................................................................................................ 39 42 45 48 49 ANALISIS KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Desa Kidangpananjung …..................... Pengaruh Program Penanggulangan Bencana Terhadap Pembangunan 52 57 ix Masyarakat. ................................................................................................... Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bencana AlamTanah Longsor ……...... Pandangan Stakeholders Penanggulangan Bencana ………………….......... Strategi Rancangan Program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas ………………………………………………………... RANCANGAN PROGRAM KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS. Analisis Alternatif Program ………………………………………………. Analisis Pihak Terkait ……………………………………………………. Latar Belakang dan Rancangan Program ………………………………… Tujuan dan Sasaran Program ........................................................................ Program Aksi : Sosialisasi Bencana Tanah Longsor melalui Jaringan Komunikasi Desa … Pembuatan Kentongan Tanda Peringatan Dini …….................................... Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa …..………………………….......... Pembuatan Peraturan Desa ……………………………………………....... 58 64 71 81 81 83 85 87 88 88 89 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Kesimpulan ………………………………………………………............. Rekomendasi Kebijakan………………………………………………….... 91 92 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 95 LAMPIRAN .................................................................................................... 97 x PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng benua yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng Australia. Konsekuensi dari tumbukan antar lempeng tersebut , terbentuk Palung Samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur kepulauan, sebaran gunung api dan sebaran sumber gempa bumi. Dengan demikian Indonesia rawan terhadap bencana letusan gunung api dan gempa bumi. Di beberapa pantai di Indonesia, dengan morfologi sedang hingga curam, jika terjadi gempa bumi dengan sumber berada di dasar laut/samudera dapat menimbulkan Tsunami/gelombang pasang. Tanah pelapukan yang berada diatas batuan kedap air pada perbukitan/pegunungan dengan kemiringan sedang hingga terjal, jika musim hujan dengan kuantitas tinggi berpotensi terjadi bencana tanah longsor/gerakan tanah. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor. Propinsi Jawa Barat bagian Selatan merupakan kawasan sangat rawan bencana gerakan tanah. Berdasarkan data kejadian bencana gerakan tanah tahun 1990 – 2002 (Propinsi Jawa Barat + Propinsi Banten) paling sering terlanda bencana tanah longsor , yaitu 563 kejadian, disusul Propinsi Jawa Tengah 249 kejadian dan Propinsi Jawa Timur 25 kejadia n. Sedangkan korban jiwa (Meninggal Dunia) akibat bencana tersebut Propinsi Jawa Barat 389 jiwa, Propinsi Jawa Tengah 217 jiwa dan Propinsi Jawa Timur 70 jiwa ( Surono 2004). Salah satu contoh, Bencana alam tanah longsor yang terjadi di Desa Kidangpananjung Kabupaten Bandung. Bencana ini merupakan kejadian bencana yang diakibatkan oleh faktor alam dan kelalaian manusia dalam pengelolaa n fungsi lahan. Bencana yang menimbulkan korban jiwa 15 orang, kerugian harta benda mencapai 1 Milyar rupiah dan lebih kurang 127 KK harus direlokasi kelokasi yang aman dari bahaya bencana di Kampung Cikopeng. Fenomena Penanganan korban bencana yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Organisasi Bakornas PBP, Satkorlak PBP dan Satlak PBP menunjukkan belum efektifnya penanganan bencana yang dilakukan oleh Organisasi Tingkat Pusat, Daerah Tingkat I dan II. Penanganan korban bencana yang dilakukan oleh Bakornas Penanggulangan Bencana da n Pengungsi (disingkat PBP) bagi korban bencana Tsunami di Nanggroe Aceh Darusalam (NAG) menur ut Aceh Working Group (ACW) dinilai kurang efektif karena Bakornas PBP tidak memiliki otoritas yang bersifat instruktif maupun finasial untuk menggerakkan seluruh lini dan sektor, kedua hal ini menjadi titik lemah koordinasi Bakornas PBP di Aceh. Selain hal tersebut belum adanya kebijakan pemerintah yang tegas bagi terlaksananya program penanganan bencana serta belum adanya kejelasan pihak yang memegang kepemimpinan (komando di lapangan) dalam penanganan bencana. Bencana alam gempa bumi dan Tsunami yang terjadi di Nangroe Aceh Darusalam, Gempa Bumi di Garut, Longsoran sampah di Leuwih Gajah, Banjir di Bandung Selatan bahkan terbaru adalah gempa di Nias telah membuka kesadaran bagi kita bersama bahwa manajemen bencana di Negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Pemahaman terhadap manajemen bencana dirasakan selama ini semakin luntur, karena dianggap bukan prioritas dan bencana hanya datang sewaktu-waktu saja. Dapat diasumsikan pemahaman dasar tentang manajemen bencana belum dikuasai atau dimengerti oleh banyak kalangan baik birokrat, masyarakat maupun swasta. Penanganan bencana selama ini dapat dikatakan “ Bagaimana nanti saja ” Padahal Negara kita adalah Negara yang memiliki ancaman bahaya bencana dengan klasifikasi sangat bervariasi dan sangat berat. Suatu ketika bila terjadi bencana dan menelan korban jiwa dan harta, kita selalu tergaket-kaget dan mengatakan kecolongan. Pada umumnya bencana yang terjadi di daerah yang selalu mengakibatkan terjadinya penderitaan di kalangan masyarakat, korban jiwa manusia dan kerugian harta benda, disamping rusaknya tatalingkungan serta hasil-hasil pembangunan yang telah dengan susah payah diupayakan. Menyadari kejadian bencana yang hampir dipastikan terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak mampu alias rentan dan lokasinya jauh dari pusat pemerintahan dan sulit dicapai, maka perlu paradigma baru dalam dalam mengatasi permasalahan tersebut menuju manajemen bencana berbasis masyarakat yaitu masyarakat yang mampu secara mandiri mengenali ancaman bahaya di lingkungannya dan mampu menolong masyarakatnya. Pemetaan sosial yang dilakukan peneliti di daerah rawan bencana Desa Kidangpanjung menujukkan pola hubungan antar anggota masyarakat yang menjadi korban (terkena bencana) dengan masyarakat yang tidak terkena bencana untuk 2 saling membantu dengan menyediakan rumah mereka sebagai tempat penampungan sementara. Sistem kekerabatan (Ekstended Family) yang dianut masyarakat, dimana hubungan pihak keluarga laki-laki dan perempuan dari suatu keluarga memiliki hubungan darah yang sangat dekat. Hubungan anggota masyarakat dengan aparat desa selaku koordinator lapangan memungkinkan anggota masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan harapan tentang pelayanan pada saat terjadi bencana maupun pasca bencana. Pola hubungan ini tercipta karena adanya kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan kepala desa yang terpilih secara demokrasi dari perwakilan pemuda desa. Hubungan kelembagaan yang terjadi dalam tipe kelembagaan penanggulangan bencana bersifat vertical dimana kepala desa berkoordinasi dengan pihak kecamatan, Kabupaten dan Dinas Sosial Jawa Barat untuk menindaklajuti penanganan bencana pasca bencana. Evaluasi program penanganan bencana yang telah dilakukan menunjukkan adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat pada saat terjadi bencana maupun pasca bencana secara swadaya dan swadana. Pada saat bencana lebih kurang 500 anggota masyarakat melakukan tindakan-tindakan penyelamatan dan evakuasi korban dari tertimbun tanah longsor. Para pemuda membantu terselenggaranya dapur umum lapangan yang menyediakan makanan bagi para pengungsi yang rumahnya dinyatakan rawan terhadap bahaya bencana tanah longsor. Ibu-ibu PKK Desa Kidangpanjang melayani para pengungsi melalui pelayanan kesehatan dan melakukan pencatatan dan laporan tentang jumlah korban dan penerimaan bantuan yang berasal dari pemerintah, swasta maupun masyarakat. Pada pasca bencana untuk merealisasikan program relokasi pemukiman lebih kurang 400 anggota masyarakat secara bergotong royong kerja bhakti selama satu minggu untuk meratakan tanah yang berbukit. Selain itu Kepala Desa Kidangpananju ng (Ii Setia Permana) menyediakan tanahnya seluas 2,8 ha untuk dijadikan tempat relokasi korban tanah longsor, dengan menjual kepada pemerintah di bawah harga normal. Selain hal tersebut untuk memasuki pemukiman di lokasi yang baru di Kampung Cikopeng, masyarakat mempunyai mekanisme penempatan warga yang telah disepakati dengan memprioritaskan sebanyak 23 KK yang rumahnya tertimbun, sedangkan sebanyak 104 KK rumah yang terancam tanah longsor penempatannya dilakukan dengan cara diundi. Dari hasil Pemetaan Sosial dan Evaluasi Program yang telah dilakukan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat daerah rawan bencana memiliki 3 potensi dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan bencana di wilayahnya . Berkaitan dengan hal tersebut kiranya diperlukan suatu pemikiran untuk menemukan suatu model penanganan bencana yang melibatkan semua pihak baik pemerintah , swasta maupun masyarakat. Masyarakat tidak hanya mengandalkan kemampuan pemerintah saja karena pemerintah memiliki keterbatasan-keterbatasan, semua pihak harus mampu menjadi pelaku yang utama. Kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat untuk mengurangi atau menghindari ancaman bahaya yang dapat berpotensi menimbulkan bencana yang merugikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Berkaitan dengan fakta tersebut diata s muncul suatu pertanyaan penelitian (Research Question) Bagaimana strategi dan program manajemen bencana dalam mewujudkan kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat di Desa Kidangpananjung ? Rumusan Masalah Pada kajian ini, kesiapsiagaan masyarakat daerah rawan bencana alam tanah longsor yang akan dikaji untuk menyiapkan masyarakat secara partisipatif sebagai upaya antisipasi me nghadapi bencana secara mandiri dengan mendayagunakan kemampuan serta sumberdaya yang mereka miliki. Oleh karena itu menarik untuk dikaji sejauhmana masyarakat menyiapkan diri dan strategi yang tepat untuk mengantisipasi bahaya bencana agar dapat mengurangi kerugian yang akan dialami jika terjadi bencana. Agar dapat menyusun startegi kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas , terlebih dahulu harus diketahui kondisi sosial budaya komunitas Desa Kidangpananjung ? dari hasil pemetaan ini dapat diketahui gambaran secara komprehensif tentang komunitas daerah rawan bencana di Desa Kidangpananjung. Sebelum kajian ini dilakukan Program Tanggap Darurat dan Program Relokasi bagi korban bencana telah dilaksanakan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat korban bencana, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap program tersebut agar dapat dijadikan acua n di dalam program yang akan dirancang sehingga hasilnya akan lebih baik. Berdasarkan hal tersebut dilakukan analisis dan evaluasi program pengembangan masyarakat dalam bidang penanggulangan bencana yang telah dilaksanakan di Desa Kidangpananjung melalui Praktek Lapangan. Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa program Tanggap Darurat dan Relokasi korban longsor ternyata melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Yang menja di 4 permasalahan dan pertanyaan dalam kajian adalah Sejauhmana pengaruh Program Penanggulangan Bencana bagi pembangunan masyarakat Desa Kidangpananjung ? Terjadinya bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung menimbulkan kerugian harta benda dan kor ban jiwa bagi masyarakat korban bencana serta meninggalkan trauma bagi warga masyarakat. Pertumbuhan penduduk yang cepat dan ketidakmampuan melakukan persaingan dalam memenuhi kebutuhan hidup memaksa seseorang untuk tinggal di daerah lereng-bukit yang rawan terhadap bencana alam tanah longsor. Untuk mengetahui lebih dalam tentang penyebab terjadinya bencana alam tersebut kiranya yang perlu diketahui adalah faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung ? Dalam kebijakan penanganan bencana alam yang dilakukan oleh pemerintah melalui organisasi Bakornas PBP di Tingkat Nasional, Satkorlak PBP Tingkat Propinsi dan Satlak PBP di Tingkat Kabupaten dan pihak swasta serta masyarakat korban bencana menjadi satu kesatuan untuk mewujudkan Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas. Berkaitan dengan hal itu perlu diketahui Bagaimana pandangan stakeholder bidang Penanggulangan Bencana dalam mewujudkan kesiapsiagaan penanggulanan bencana berbasiskan masyarakat ? Tujuan dan Kegunaan Tujuan pokok kajian ini adalah merumuskan strategi kesiapsiagaan bencana berbasis masayarakat. Untuk merumuskan strategi tersebut, maka secara khusus kajian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi kondisi sosial budaya masyarakat Daerah Rawan Bencana Alam Tanah Longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin. 2. Menganalisis dan mengevaluasi pengaruh program penanggulangan bencana terhadap pembangunan masyarakat. 3. Menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung. 4. Mengidentifikasi dan menganalisis pandangan stakeholders bidang penanggulangan bencana dalam mewujudkan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. 5 Kegunaan kajian kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas antara lain : 1. Bagi Pemerintah yaitu sebagai bahan masukan dalam pembuatan dan penerapan kebijakan di bidang penanggulangan bencana. 2. Bagi Masyarakat Desa Kidangpananjung yaitu sebagai pengetahuan dalam mengurangi resiko dampak bencana alam tanah longsor dan menyiapkan masyarakat agar secara mandiri mendayagunakan potensi untuk meminimalisir kerugian. tanpa mempunyai ketergantungan kepada pemerintah. 3. Bagi Bidang Penelitian yaitu sebagai bahan rujukan atau acuan penelitian dalam bidang manajemen bencana khususnya pada fase kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas dimasa depan. 6 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Bencana Bencana adalah gangguan yang serius dari berfungsinya suatu masyarakat, yang menyebabkan kerugian-kerugian yang besar terhadap lingkungan, material dan manusia, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana untuk menanggulangi dengan hanya menggunakan sumber-sumber daya masyarakat itu sendiri. Bencana sering diklasifikasikan sesuai dengan cepatnya serangan bencana tersebut (secara tiba-tiba atau perlahan-lahan), atau sesuai dengan penyebab bencana itu (secara alami atau karena ulah manusia) (UNDP,1992). Bencana adalah suatu peristiwa, entah karena perbuatan manusia atau alam, mendadak atau berangsur yang menyebabkan kerugian yang me luas terhadap kehidupan, materi dan lingkungan sedemikian rupa melebihi ke mampuan dari masyarakat korban untuk menanggulangi dengan menggunakan sumber dayanya sendiri (Pudjiono,2003). Senada dengan definisi tersebut dijelaskan oleh Surono (2003) Bencana adalah peristiwa yang diakibatkan oleh alam dan atau manusia yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda, kerusakan lingkungan hidup, sarana dan prasarana, fasilitas umum serta mengganggu tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Konsep Tanah Longsor/Gerakan Tanah Gerakan Tanah (Tanah Longsor ) adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa bantuan, bahan rombakan, tanah atau material campuran tersebut, bergerak kearah bawah dan keluar lereng.(Surono.2004). Tanah Longsor atau gerakan tanah adalah proses perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah . Pergerakan tanah ini terjadi karena perubahan keseimbangan daya dukung tanah dan akan berhenti setelah mencapai keseimbangan baru. Tanah longsor terjadi apabila tanah sudah tidak mampu mendukung berat lapisan tanah diatasnya karena ada penambahan beban pada permukaan lereng, berkurangnya daya ikat antar butiran tanah dan atau perubahan lereng menjadi lebih terjal. Fa ktor pemicu utama kelongsoran tanah adalah air hujan. Tabel 1 menjelaskan secara terinci tentang karakteristik bencana alam tanah longsor : Tabel 1 : Karakteristik Tanah Longsor 1. Fenomena sebab akibat Meluncurnya tanah pada lereng dan bebatuan sebagai akibat getaran-getaran yang terjadi secara alami, perubahan-perubahan secara langsung kandungan air, hilangnya dukungan yang berdekatan, pengisian beban, pelapukan, atau manipulasi manusia terhadap jalur-jalur air dan komposisi lereng. 2. Karakteristik umum Tanah longsor berbeda-beda dalam tipe gerakannya ( jatuh meluncur, tumbang, menyebar ke samping, mengalir), dan mungkin pengaruh-pengaruh sekundernya adalh badai yang kencang, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Tanah longsor lebih menyebar dibandingkan dengan kejadian geologi lainnya. 3. Bisa diramalkan 4. Frekuensi kemunculannya, tingkat dan konsekuensi dari tanah longsor bisa diperkirakan dan daerah-daerah yang bersesiko tinggi ditetapkan dengan penggunaan informasi pada area geolog, geomorphologi, hidrologi & klimatologi dan vegetasi. Faktor-faktor yang Tempat tinggal yang dibangun pada lereng yang terjal, memberikan kontribusi tanah yang lembek, puncak batu karang. terhadap kerentanan. Tempat hunian yang dibangun pada dasar lereng yang terjal, pada mulut-mulut sungai dari lembah-lembah gunung. Jalan-jalan, jalur-jalur komunikasi di daerah-daerah pegunungan. Bangunan dengan pondasi lemah. Jalur-jalur pipa yang ditanam, pipa-pipa yang mudah patah Kurangnya pemahaman akan bahaya tanah longsor 5. Pengaruh-pengaruh umum yang merugikan 6. Tindakan pengurangan resiko yang memungkinkan Tindakan kesiapan khusus Kebutuhan khusus pasca bencana 7. 8. 9. Alat-alat penilaian dampak Sumber : UNDP 1992 Kerusakan fisik – Segala sesuatu yang berada diatas atau pada jalur tanah longsor akan menderita kerusakan . Puing-puing bisa menutup jalan-jalan, jalur komunikasi atau jalan-jalan air. Pengaruh-pengaruh tidak langsung bisa mencakup kerugian produktivitas pertanian atu lahan-lahan hutan , banjir, berkurangnya nilai-nilai proverti. Korban – Kematian terjadi karena runtuhnya lereng. Luncuran puing-puing yang hebat atau aliran Lumpur telah membunuh beribu-ribu orang. Pemetaan bahaya Legislasi dan peraturan penggunaan bahaya Asuransi Pendidikan komunitas Monitoring. System peringatan dan system evakuasi SAR ( penggunaan peralatan untuk memindahkan tanah) Bantuan medis, emergensi tempat berlindung bagi yang tidak memiliki tempat tinggal. Formulir-formulir pengkajian kerusakan 8 Daerah yang memiliki ciri-ciri di bawah ini merupakan daerah rawan longsor. Tanah longsor banyak terjadi pada daerah perbukitan dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Lereng lebih dari 30 derajat 2. Curah hujan tinggi 3. Terdapat lapisan tebal (lebih dari 2 M) menumpang diatas tanah atau batuan yang lebih keras. 4. Tanah lereng terbuka yang dimanfaatkan sebagai permukiman, ladang, sawah atau kolam, sehingga air hujan leluasa menggerus tanah. 5. Jenis tanaman di permukaan lereng kebanyakan berakar serabut yang hanya bisa mengikat tanah tidak terlalu dalam sehingga tidak mampu menahan gerakan tanah. Jika suatu daerah termasuk dalam kategori daerah rawan longsor, maka kejadian tanah longsor sering diawali dengan kejadian sebagai berikut : 1. Hujan lebat terus menerus selama 5 jam atau lebih atau hujan tidak lebat tetapi terjadi terus menerus sampai beberapa hari. 2. Tanah retak diatas lereng dan selalu bertambah lebar dari hari ke hari 3. Pepohonan di lereng terlihat miring ke arah lembah 4. Banyak terdapat rembesan air pada tebing atau kaki tebing terutama pada batas antara tanah dan batuan di bawahnya. Kabupaten Bandung yang terletak di Propinsi Jawa Barat Bagian Sela tan merupakan kawasan sangat rawan bencana gerakan tanah. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi membagi Zona Kerentanan Gerakan Tanah berdasarkan tingkat kerentanan sebagai berikut : 1. Zona kerentanan gerakan tanah tinggi. Merupakan daerah yang secara umum mempunyai kerentanan tinggi untuk terjadinya gerakan tanah. Gerakan tanah berukuran besar sampai sangat kecil telah sering terjadi dan akan cenderung sering terjadi. 2. Zona kerentanan gerakan tanah menengah Merupakan daerah yang secara umum me mpunyai kerentanan menengah untuk terjadi gerakan tanah. Gerakan tanah besar maupun kecil dapat terjadi terutama di daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, tebing pemotongan jalan dan 9 pada lereng yang mengalami gangguan. Gerakan tanah lama masih mungkin dapat aktif kembali terutama oleh curah hujan yang tinggi. 3. Zona kerentanan gerakan tanah sedang Merupakan daerah yang secara umum mempunyai kerentanan rendah untuk terjadi gerakan tanah. Pada zona ini gerakan tanah umumnya jarang terjadi kecuali jika mengalami gangguan pada lerengnya. 4. Zona kerentanan tanah sangat rendah Merupakan daerah yang mempunyai kerentanan sangat rendah untuk terjadi gerakan tanah. Pada zona ini sangat jarang atau hampir tidak pernah terjadi gerakan tanah. Tidak ditemukan adanya gejala -gejala gerakan tanah lama dan baru kecuali pada daerah sekitar tebing sungai. Umumnya merupakan daerah datar sampai landai dan tidak dibentuk oleh onggokan material gerakan tanah maupun lempung mengembang. Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah dapat bersifat statis dan dinamis. Statis merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan dinamis adalah ulah manusia dari perubahan tata guna lahan hingga pembentukan gawir yang terjal ta npa memperhatikan stabilitas lereng. Pada Hakekatnya bencana tidak terjadi secara mendadak. Semua lokasi rawan bencana di seluruh dunia termasuk Indonesia telah dipetakan dengan sangat baik. Bahkan masyarakat awam di daerah telah mengenal kerawanan dae rahnya terhadap bencana tertentu. Masalah yang dihadapi selama ini adalah kurangnya langkah kesiapsiagaan, pencegahan dan mitigasi yang memadai (Soetarso, 2004). Konsep Manajemen Bencana Manajemen Bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan – keputusan administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana. Satu definisi yang lebih luas dari bencana ciptaan manusia mengakui bahwa semua bencana disebabkan oleh ulah manusia karena manusia telah memilih, apapun alasannya, untuk berada dimana fenomena alam terjadi yang menyebabkan pengaruh-pengaruh yang merugikan manusia. Bencana -bencana dapat dipandang sebagai serangkaian fase10 fase dari kontinum waktu. Mengidentifisir dan memahami fase-fase ini membantu untuk menggambarkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan bencana dan memberi konsep tentang aktivitas-aktivitas manajemen bencana yang memadai. Gambar 1 : Fase Manajemen Bencana Fase pengurangan resiko pra bencana BENCANA KESIAPAN BANTUAN MITIGASI REHABILI TASI REKONSTRUKSI Fase pemulihan pasca bencana Sumnber: UNDP 1992 Fase Pemulihan adalah periode yang munculnya mengikuti satu bencana yang tiba tiba (atau penemuan yang sudah terlambat dari situasi serangn yang lamban yang diabaikan) jika tindakan-tindakan pengecualian harus diambil untuk mencari dan menemukan mereka yang bertahan hidup dan juga memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar untuk tempat berteduh, air, makanan dan perawatan medis. Rehabilitasi adalah tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan yang diambil setelah terjadi satu bencana dengan maksud untuk memulihkan kondisi-kondisi kehidupan sebelumnya dari satu masyarakat yang terkena bencana, sementara mendorong dan memfasilitasi penyesuaian – penyesuaian seperlunya terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan oleh bencana. 11 Rekonstruksi adalah Tindakan yang dilakukan untuk membangun kembali satu komunitas setelah satu periode rehabilitasi akibat dari satu bencana. Tindakantindakan mencakup pembangunan rumah yang permanen, pemulihan semua pelayanan-pelayanan secara penuh, dan memulai kembali secara tuntas dari keadaan sebelum bencana. Mitigasi adalah istilah gabungan yang digunakan untuk mencakup semua tindakan yang dilakukan sebelum munculnya satu bencana (tindakan-tindakan pra bencana) yang meliputi tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Kesiapan terdiri dari aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk meminimalisir kerugian dan kerusakan kehidupan, mengorganisir pemindahan sementara orangorang dan properti dari lokasi yang terancam, dan memfasilitasi secara tepat dan penyelamatan yang efektif. Penanggulangan Bencana terorganisir dan berlanjut adalah suatu proses dinamis, terencana, untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan pengamatan dan analisis bahaya serta pencegahan mitigasi (pelunakan atau peredaman dampak bencana), kesiapsiagaan, perin gatan dini, penanganan darurat rehabilitasi dan rekonstruksi.(Soetarso.2004). Senada dengan hal tersebut Pujiono menjelaskan penanggulangan bencana adalah “ Suatu kumpulan kegiatan yang meliputi semua aspek dari perencanaan, pencegahan, pengelolaan resiko, dan tanggapan terhadap kejadian-kejadian bencana, baik sebelum mapun sesudah bencana. Berkaitan dengan definisi diatas dapat kita lihat bahwa penanggulangan bencana adalah : 1. Suatu kumpulan kegiatan dan bukan hanya satu jenis kegiatan saja 2. Bukan hanya kegiatan tanggap darurat melainkan meliputi tataran yang luas mulai dari perencanaan, pencegahan, pengelolaan resiko. 3. Kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan dari sebelum terjadi bencana sampai dengan sesudah kejadian. Siklus Penanggulangan bencana dibagi dalam empat tahap yaitu Tahap darurat, Pasca Darurat, Pencegahan dan Mitigasi serta Tahap Kesiapan. 12 Peristiwa bencana yang terjadi dapat dilihat dari sejauhmana resiko yang diterima oleh suatu masyarakat korban bencana. Suatu masyarakat memilki resiko sesuai dengan situasi tempat dan waktu tertentu dan secara situasional. Suatu masyarakat yang sebelumnya bersiko tinggi, mungkin setelah melakukan beberapa perbaikan dan upaya -upaya tertentu resikonya untuk tertimpa bencana menjadi lebih rendah. Atau sebaliknya suatu masyarakat yang tadinya cukup aman, tetapi karena beberapa perubahan, misalnya kerusakan lingkungan menjadi daerah rawan bencana. Penggambaran suatu resiko dapat dilakukan dengan menggunakan suatu rumus yaitu: R = B x K (m) Resiko (R) : Kemungkinan timbulnya kerugian (kematian, luka-luka, kerusakan harta dan gangguan kegiatan perekonomian) karena suatu bahaya terhadap suatu wilayah dan pada suatu kurun waktu tertentu. Bahaya (B) : Keadaan atau peristiwa baik alam maupun buatan manusia yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan atau kerugian . Misalnya keberadaan suatu gunung berapi, sungai, tebing, perkembangan teknologi. Kerentanan (K) : Sekelompok kondisi yang ada dan melekat baik fisik, ekonomis, social dan tabiat yang melemahkan kemampuan sua tu masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak dari suatu bahaya. Misalnya suatu masyarakat yang sadar akan bencana mempunyai kerentanan yang agak kurang serius dibandingkan mereka yang tidak menyadari ada dan terjadinya suatu bencana. Kemampuan (m) : Sumberdaya, cara dan kekuatan yang dimilki oleh seseorang, masyarakat atau Negara yang memungkinkan mereka untuk menanggulangi, bertahan diri, mempersiapkan diri, mencegah dan memitigasi atau dengan cepat memulihkan diri dari bencana. Rumus untuk mengetahui resiko diatas dijadikan sebagai panduan dan pegangan peneliti untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan yang telah dicapai oleh masyarakat daerah rawan bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung dalam kesiapsiagaan mengahadapi bencana. 13 Konsep Kesiapan dalam Manajemen Bencana Konsep dari kesiapan bencana bertujuan untuk meyakinkan bahwa secara tepat sistim yang memadai untuk bencana, prosedur dan sumber-sumber daya berada di tempat kejadian dan bisa membantu mereka yang tertimpa oleh bencana dan memungkinkan mereka untuk bisa menolong diri mereka sendiri. Tujuan dari kesiapan bencana adalah untuk meminimalisir pengaruh-pengaruh yang merugikan dari satu bahaya lewat tindakan-tindakan berjaga-jaga yang efektif, dan untuk menjamin secara tepat dan efisien dan pengiriman respon emergensi yang menindaklanjuti dampak dari satu bencana. Definisi ini menetapkan kerangka kerja yang luas terhadap kesiapan bencana antara lain : 1. Untuk meminimalisi pengaruh-pengaruh yang merugikan dari satu bahaya. Pengurangan resiko bencana dimaksudkan untuk meminimalisir pengaruhpengaruh yang merugikan dari satu bahaya dengan menghilangkan kerentanan. 2. Tindakan- tindakan berjaga – jaga yang efektif. Kesiapan bencana harus dilihat sebagai suatu proses yang aktif dan terus menerus baik rencana -rencana maupun strategi-strategi yang diperlukan. Hal tersebut merupakan usaha-usaha yang dinamis, yang sering ditinjau lagi, dimodifikasi, diperbaharui dan diujicobakan. 3. Organisasi yang efisien. Organisasi yang efisien menyarankan kriteria yang jelas untuk kesiapan bencana yang efektif. Perencanaan yang sistematis, distribusi yang dilakukan secara baik, peran yang jelas dan tanggung jawab adalah sangat vital. Hubungan Bencana dengan Pembangunan Kumpulan Ilmu Pengetahuan yang semakin berkembang tentang hubungan bencana dengan pembangunan memberikan indikasi empat thema dasar sebagai berikut : 1. Bencana menunda program pembangunan dengan menhancurkan berbagai inisiatif pembangunan bertahun-tahun. Perbaikan infrastruktur, misalnya sistim-sistim sarana yang hancur. 2. Pembangunan kembali setelah satu bencana memberikan peluang-peluang yang signifikan untuk memulai program-program pembangunan. Program perumahan mandiri untuk membangun kembali rumah yang rusak akibat gempa 14 bumi, mengajarkan keterampilan keterampilan baru, memperkuat kebanggaan komunitas dan kepemimpinan. 3. Program-program pembangunan dapat meningkatkan kerentanan suatu daerah terhadap bencana. Peningkatan besar dalam bidang pembangunan peternakan menyebabkan banyaknya lahan pengembalaan yang berpengaruh terhadap desertifikasi (berubahnya hutan menjadi padang pasir) dan meningkatkan kerentanan terhadap kelaparan. 4. Program-program pembangunan dapat dirancang untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana dan konsekuensi -konsekuensi negatifnya. Proyek-proyek perumahan yang dibangun dibawah Undang Undang yang dirancang untuk bisa menahan angin kencang bisa menyebabkan kurangnya kerusakan selama badai tropis yang akan datang. Gambar 2 : Hubungan Bencana dengan Pembangunan + BIDANG PEMBANGUNAN 3 4 ++ Pembangunan bisa menyebabkan kerentanan Pembangunan bisa mengurangi kerentanan Bencana dapat memundurkan pembangunan Bencana dapat memberikan peluang pembangunan -- 1 2 BIDANG POSITIF DARI BENCANA BIDANG NEGATIF DARI BENCANA -+ +BIDANG BENCANA Sumber : Pembangunan & Bencana. R.S. Stephenson 1991 - Gambar di atas memetakan aspek-aspek pembangunan masyarakat dan kerentanan terhadap bencana. Gambar juga menunjukkan berbagai “orientasi” dalam 15 menganalisa pembangunan dan kerentanan bahaya. Bidang dibagi dalam aspek positif dan negatif dari bencana, hubungan pembangunan dengan sumbu vertikal. Separuh bagian kanan menunjukkan sisi posit if atau optimis tentang hubungan dan sisi kiri dari diagram berhubungan dengan aspek-aspek negatif dari hubungan. Pernyataan dalam setiap kuadran menyimpulkan konsep dasar yang diambil dari dua bidang yang saling melengkapi. Komunitas Daerah Rawan Bencana Pada umumnya bencana alam tanah longsor di Jawa Barat khusunya Kabupaten Bandung terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak mampu alias rentan, berkaiatan dengan hal tersebut Wilkinson (1970) memahami komunitas sebagai “ Kumpulan orang-orang yang hidup disuatu tempat (lokalitas, dimana mereka mampu membangun sebuah konfigurasi social budaya, dan secara bersama -sama menyusun aktivitas-aktivitas kolektif (collective action). Sementara Warren dalam Fear dan Schwaezweller (1985) mengkonseptualisasikan komunitas sebagai “ Kombinasi dari lokalitas (kawasan) dan unti-unit social manusia dan kelembagaan social yang membentuk keteraturan, dimana setiap unit social menjalankan fungsi-fungsi sosialnya secara konsisten, sehingga tersusun sebuah tatanan social yang tertata secara tertib”. Dari dua batasan diatas, beberapa elemen (aspek ) penting pembentuk komunitas yang selalu melekat pada pengertian komunitas adalah : 1. Wilayah atau lokalitas (area), atau aspek esamerial dimana sekelompok individu hidup dan membina kehidupan social mereka. Bersama-sama dengan individuindividu manusia, aspek ini sangat penting dan menjadi syarat mutlak terbentuknya sebuah komunitas. Karena wilayah menjadi tempat bermukimnya suatu komunitas. Tanpa wilayah tak akan pernah terbentuk suatu komunitas. 2. Ikatan-ikatan sosial bersama (common ties) yang membentuk jejaring social (social networking) yang dibangun oleh anggota komunitas. Dalam hal tertentu jejaring social tersebut membantu individu tertentu untuk secara mudah menemukan cara mempertahankan hidup (ways to survive). 3. Interaksi social (social interaction) yang terbentuk diantara individu-individu anggota suatu komunitas. Ketiga aspek tersebut akan selalu tampil bersama-sama menentukan ciri sebuah komunitas. 16 Penanganan bencana berbasis komunitas bertujuan untuk memberdayakan masayarakat daerah rawan bencana agar dapat mengambil inisiatif dan melakukan tindakan dalam meminimalkan dampak bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi di wilayahnya. Pemberdayaan masyarakat seperti yang dikemukan seperti yang dikutip Isbandi dalam Payne (1997:266) digunakan untuk membantu masyarakat memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan social dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Dari hasil Pemetaan Sosial dan Evaluasi Program daerah rawan bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung Kabupaten Bandung menunjukkan besarnya partisisipa si masyarakat dalam penanganan bencana tersebut baik pada saat terjadi bencana mapun pasca bencana. Pada saat terjadinya bencana Lebih kurang 500 warga secara bersama-sama membantu korban bencana yang tertimbun longsor dan mengevakuasinya ke rumah kepala desa, peran ibu-ibu yang membuka pos -pos kesehatan dan melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap korban yang hilang dan korban yang mengungsi merupakan inisiatif dari masyarakat. Kekerabatan yang tinggi antara sesama warga membuat korban bencana dapat mengungsi ke rumah-rumah tetangga dan kerabat terdekat, Pada pasca bencana masyarakat secara gotong royong melakukan kerja bakti meratakan tanah untuk daerah relokasi korban tanah longsor yang berjumlah 127 KK, kepala desa memberikan tanah miliknya untuk lokasi relokasi dengan harga yang murah untuk mempermudah proses relokasi korban bencana. Selain itu kepala desa melakukan koordinasi dengan Bupati Kabupaten Bandung untuk segera merealisasikan pembangunan rumah untuk relokasi pemukiman masyarakat, hasilnya kepala desa mendapatkan bantuan sebesar 70 juta rupiah untuk mendukung pembangunan rumah yang Bahan Bangunan Rumahnya (BBR) berasal dari Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat. Hal-hal yang dilakukan oleh masyarakat desa dan tokoh masyarakat tersebut merupakan modal sosial yang dimiliki oleh warga masyarakat desa Kidangpanjung, Sebagaimana yang dijelaskan oleh Colletta & Collen dalam Fredian Tonny (2004), dimana modal sos ial memiliki empat dimensi yaitu : 17 1. Integrasi yaitu Ikatan yang kuat antar anggota kerluarga dan keluarga dengan tetangga sekitar sebagai contoh adalah ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik dan agama. 2. Pertalian yaitu ikatan ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal contohnya jejaring (network), dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan ( civic associations) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama. 3. Integritas organisasional yaitu kekefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, et rmasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan 4. Sinergi yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintah dengan komunitas (state -community relations). Fokus perhatian dalam sinergi ini adalah apakah pemerintah memberikan ruang yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya. 18 METODOLOGI KAJIAN Kerangka Pemikiran Bencana alam tanah longsor, Gempa Bumi dan Tsunami yang terjadi di Indonesia secara terus menerus mulai tahun 2004 sampai tahun 2005 telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang cukup banyak. Demikian pula kejadian bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin telah menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa. Dampak bencana terhadap kehidupan masyarakat, kehilangan kepala keluarga, lokasi bencana yang tidak dapat dihuni lagi , kondisi trauma akibat kejadian bencana dan kesiapsiagaan masyarakat dalam rangka menghadapi bencana yang akan datang. Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ditimbulkan perlu dilakukan kajian dari berbagai aspek yang terkait dengan manajemen pena nggulangan bencana yang telah dilaksanakan di Desa Kidangpananjung. Analisis kondisi masyarakat pasca bencana dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang potensi masyarakat dalam penanggulangan bencana ( sebelum, pada saat, dan sesudah bencana ), beberapa aspek yang dikaji meliputi kondisi sosial budaya masyarakat Desa Kidangpananju ng, Pengaruh program penanggulangan bencana terhadap pembangunan masyarakat, Faktor -faktor penyebab terjadinya bencana, serta Pandangan Stakeholders dalam bidang penanggulangan be ncana. Selain hal tersebut menarik untuk dikaji bagaimana aktivitas atau tindakan masyarakat dalam menanggulangi bencana melalui sarana yang digunakan, sistem pengorganisasian dan bagaimana memobilsasi sumber-sumber yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini akan dijadikan rujukan dalam menciptakan kesiapsiagaan bencana yang berbasis masyarakat daerah rawan bencana. Dalam mengkaji keragaan penanggulangan bencana berbasis masyarakat maka perlu dilihat kemampuan masyarakat korban berncana dalam mengorganisir anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam penangulangan bencana, sarana dan teknologi yang digunakan dan sumber-sumber yang dapat diberdayakan. Keragaan manajemen bencana juga dapat dilihat juga secara empirik melalui faktor Sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang dapat didayagunakan pada saat dan pasca bencana dan faktor politik berupa Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Selanjutnya melalui indikator keberhasilan yang menyangkut aspek resiko, bahaya , kerentanan dan kemampuan masyarakat melalui sumberdaya yang dimilki dalam bidang penanganan bencana, maka diperoleh gambaran faktor -faktor internal dan eksternal. Selanjutnya dapat dibuat suatu strategi untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, melalui Penguatan Kelembagaan penanggulangan bencana dan Pembentukan Jejaring dengan Organisasi Penanggulangan Bencana (Bakornas, Satkorlak, Satlak PBP) dalam rangka kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat. Dengan kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat diharapkan masyarakat dapat secara mandiri berkemampuan melalui sumberdaya yang dimiliki untuk meminimalkan resiko yang ditimbulkan oleh bencana. Gambar 3 : Kerangka Pikir Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas INDIKATOR KEBERHASILAN • Resiko • Bahaya • Kerentanan • Kemampuan (Sumberdaya) FAKTOR INTERNAL Struktur Sosial : • Sosial Budaya • Kelembagaan • Modal Sosial • Pengorga nisasian. Budaya : • Nilai- Nilai • Norma Kera gaan CBDM • Sarana • Teknologi FAKTOR EKSTERNAL : • UU PB (dlm proses) • Kepres No 3/ 2001 • Kep. Mendagri No.331/ tahun 2003 • KepGub Jabar No.11 tahun 2001 • Sumber Rencana Strategi Program : • Penguatan Kapasitas Masyarakat • Penguatan Kelembagaan PB. • Pembentukan Jejaring dengan Org. PB Kesiapsiagaa n Bencana Berbasis Komunitas 20 Lokasi dan Waktu Kajian Kajian dilaks anakan di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat dengan pertimbangan lokasi penelitian sebagai daerah rawan bencana. Secara geografis Desa Kidangpananjung diapit oleh tiga perbukitan yang masing-masing Bukit Gedungan, Pasirmala dan Gunung Sembung, perbukitan ini mengandung batuan andesit yang telah mengalami pelapukan menjadi lempung dan bersifat gembur dengan ketebalan 0,5 – 1,5 meter. Desa Kidangpananjung merupakan daerah rawan bencana yang terletak pada kemiringan antara 15 derajat - 45 derajat, dengan ketinggian tempat 1000 – 1100 meter diatas permukaan laut. Apabila curah hujan cukup tinggi dan tidak adanya akar tanaman yang kuat untuk menahan, maka akan terjadi longsor. Titik longsor terletak pada lereng bagian atas dengan kemiringan lereng sekitar 35 derajat. (Dr. Surono dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Jawa Barat) Secara adminisitratif letak wilayah Desa Kidangpananjung sebagai berikut : a. Batas sebelah t imur : Desa Situwangi b. Batas sebelah barat : Desa Mukapayung c. Batas sebelah selatan : Kecamatan Soreang d. Batas sebelah utara : Desa Tanjungwangi Luas wilayah Desa Kidangpananjung adalah 510 Ha, 166 Ha diantaranya merupakan hutan pinus milik Perhutani yang terletak disebelah Barat Desa. Desa Kidangpananung terbagi atas 2 Kampung yaitu Walahir 3 RW dan Kampung Budi Asih 3 RW. Jarak fisik l Desa Kidangpananjung dengan beberapa wilayah dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2 Jarak dan waktu tempuh NO Jarak dan waktu Tempuh Keterangan 1. Jarak ke Ibukota Kecamatan 13 Km 2. Jarak ke Ibukota Kabupaten 28 Km 3. Jarak ke Ibukota Propinsi 30 Km 4. Waktu Tempuh ke Ibukota Kecamatan 1 jam 5. Waktu Tempuh ke Ibukota Kabupaten 1,5 jam 6. Waktu Tempuh ke Ibukota Propinsi 1,5 jam 7. Waktu tempuh ke FasilitasKesehatan ( Puskesmas ) 45 menit Data : Monografi Desa 2004 21 Sebagai alat transportasi masuk dan keluar dari Desa Kidangpananjung menggunakan ojek dengan ongkos Rp. 4000 – 5000,-.sampai dengan batas desa Tanjungwangi dan dilanjutkan dengan ojek untuk menuju jalan raya Kecamatan Cililin dengan ongkos Rp. 4000 – Rp. 5000,-. Masyarakat Desa yang tidak memilki kenderaan harus menyediakan uang minimal sebesar Rp. 20.000,- untuk biaya tranportasi apabila mereka berniat untuk bepergian mencari nafkah dan keperluan lain. Pada saat terjadi bencana alam tanah longsor ongkos ojek ini mengalami kenaikan bisa mencapai Rp. 20.000 – Rp. 30.000,-.,bahkan pada saat kunjungan Menteri Sosial ke lokasi bencana biaya transportasi tersebut bisa melonjak sampai Rp. 50.000,- ( Bapak Tatang tokoh masyarakat) Kajian kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu pemetaan sosial daerah rawan bencana yang dilakukan pada tanggal 3 – 30 Nopember 2004. Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat yang berkaitan dengan program penanganan darurat dan pasca bencana yang dilakukan pada tanggal 21 Ferbruari – 5 Maret 2005, dan kajian pengembangan masyarakat dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan Agustus 2005. Rincian jadwal pada tabel 2 berikut : Tabel 3. Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat Desa Kidangpananjung Tahun 2004/2005 Jenis Kegiatan 2004 11 12 2005 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1. Pemetaan Sosial 2. Evaluasi Program 3. Kolokium 4. Kajian Pengembangan Masyarakat. 5. Seminar Kajian 6. Ujian Sidang Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan topik kajian “ Kesiapsiagaan Bencana Berbasis komunitas : Kasus Masyarakat Daerah Rawan Bencana di Desa Kidangpananjung. Kajian ini lebih merupakan suatu kajian kualitatif yang bersifat partisipatif, dengan syarat pertimbangan peneliti dekat dengan orang/situasi yang diteliti dan peneliti dapat menangkap hal aktual yang terjadi dan dikatakan subyek penelitiaan. 22 Sampling Populasi Kajian adalah masyarakat korban bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung, sedangkan pengambilan sample responden dilakukan berdasarkan sampling bertujuan (Purposive sampling), yakni hanya ditujukan kepada warga masyarakat baik sebagai responden maupun sebagai informan yang langsung berkenaan dengan kegiatan penanggulangan bencana di Desa Kidangpananjung pada saat terjadinya bencana alam tanah longsor sebagai berikut : 1. Masyarakat korban bencana di relokasi pemukiman 2. Tokoh Agama 3. Tokoh Masyarakat 4. Aparat Desa Kidangpananjung 5. Tokoh Pemuda 6. Ibu-Ibu PKK Metode Pengumpulan Data Kajian menggunakan metode pengumpulan data kualitatif yaitu data deskriptif berupa kata -kata lisan/tulisan dan subyek kajian yaitu responden dan informan, dengan menggunakan cara sebagai berikut : 1. Pengamatan berperan serta Pengamatan berperanserta mempersyaratkan interaksi social peneliti dan subyek penelitian secara langsung dalam lingkungan subyek penelitian, dalam hal ini peneliti pernah terlibat langsung dalam penanganan korban bencana di lokasi penelitian. Pengamatan berperan serta digunakan karena membuka kemungkinan untuk melihat dan merasakan dan memaknai peristiwa dan gejala social menurut subyek penelitian dan pemebentukan pengetahuan bersama (Intersubyektifitas). Dalam pengamatan berperanserta, untuk keperluan efisiensi dan efektivitas, maka perlu pembatasan sasaran pengamatan dan membangun kerangka pemikiran sebagai pengarah bagi proses pengumpulan data. 2. Wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan proses temu muka berulang antara peneliti dan subyek peneliti. Melalui cara itu peneliti hendak memahami pandangan subyek peneliti tentang pengalamannya sebelum bencana, pada saat dan pasca bencana. Wawancara mendalam berlangsung dalam suasana kesetaraan, akrab dan informal. 23 Wawancara mendalam sesuai diterapkan sebagai metode pengumpulan data pada situasi- situasi berikut : a. Aspek penelitian sudah dirumuskan secara jelas dan tepat b. Ajang dan subyek penelitian tidak terjangkau c. Terdapat kendala waktu d. Penelitian tergantung pada ajang atau orang dalam skala luas e. Terdapat keperluan untuk menjelaskan pengalaman manusia. 3. Kajian Dokumen Kajian terha dap data dan laporan tentang proses penanganan pada saat dan pasca bencana yang berasal dari aparat desa Kidangpananjung, Satlak PBP, PMI, Dinas Sosial, dan Direktorat Vulkanologi Bandung. Adapun rencana pengumpulan data seperti tertera pada tabel di bawah ini : Tabel 4 : Rencana Pengumpulan Data No Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Observ WW C Studi Dokumen FGD Mengidentifikasi kondisi Sosial Budaya Komunitas Desa Kidangpannjung Primer • • • • Masyarakat. Tomas Toga Pemuda Ibu-ibu PKK 2. Mengidentifikasi dan Mengevaluasi keberhasilan Program Penanggulangan Bencana terhadap pembangunan Masyarakat . Primer • • • • • Masyarakat. Tomas Toga Aparat Desa Ibu-ibu PKK ü ü ü ü 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana tanah longsor. Primer • • • • • Masyarakat. Tomas T okoh agama Aparat Desa Satlak PBP Dit. Vulklogi ü ü ü ü 4. Mengidentifikasi dan menganalisis pandangan stakeholders dalam bidang penanggulangan bencana. Sekunder • • • • Bakornas PBP Satkorlak PBP Satlak PBP PMI LSM PB ü ü ü ü 1. ü ü 24 ü Metode Pengolahan dan Analisis Data Cara mengolah dan menganalisis data kualitatif menurut Miles dan Hubermen (1992) ada tiga jalur analisis yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. 1. Reduksi Data Reduksi data dima ksudkan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dalam catatan-catatan tertulis dilapangan. Proses ini berlangsung secara terus menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan-kegiatan : 1. Meringkas Data 2. Mengkode 3. Menelusur Tema 4. Membuat gugus-gugus 5. Membuat Partisi 6. Menulis Memo Kegiatan ini berlangsung sejak pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat diambil. 2. Penyajian Data Penyaijian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dilakukan dengan Matriks, grafik, jaringan dan bagan. Bentuk-bentuk seperti ini akan menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang terpadu dan mudah diraih, sehingga memudahkan melihat apa yang sedang terjadi dan dapat menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah melakukan analisis. 3. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan mencakup juga verifikasi atas kesimpulan itu, dari permulaan pengumpulan data seorang penganalisis kualitatif mencari arti bendabenda, mencatat keteraturan pola -pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi. 25 Kesimpulan-kesimpulan ini ditangani secara loriggar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan. Mula -mula belum jelas dan kemudian meningkat menjadi rinci dan mengaka r dengan kokoh (Glasen & Strauss.1967). Kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan cara : 1. Memikir ulang selama penulisan 2. Tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan 3. Peninjauan kembali dan tukar pikiran antar teman sejawat untuk mengembangkan “ Kesepakatan intersubyektif”. 4. Upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Ketiga kegiatan analisis dan pengumpulan data kualitatif merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti bergerak diantara empat sumbu komponen selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara kegiatan reduksi, penyajian dan pe narikan kesimpulan/Verifikasi. “Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus.” Metode Perancangan Program Dalam merancang program penanganan bencana berbasis komunitas ini, peneliti berorientasi pada program yang memiliki aktivitas yang berkesinambungan dan terus dikembangkan dari suatu aspek ke aspek yang lain. Beberapa pertimbangan peneliti dalam merangcang program ini sebagai berikut : 1. Kondisi lingkungan sekitar dimana program akan dilaksanakan yaitu masyarakat daerah rawan bencana alam tanah longsor. 2. Tujuan yang ingin dicapai yaitu meningkatkan kapasitas kesiapsigan masyarakat dalam menghadapi bencana yang akan datang. 3. Kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan agar tujuan dapat tercapai yaitu pemetan daerah rawan bencana, penyadaran warga masyarakat tentang kondisi geografis wilayah mereka, dan pembentukan tim siaga bencana melalui pelatihan manajemen bencana, analisis kebijakan berupa pembuatan peraturan desa. 4. Pihak-pihak terkait yang akan dilibatkan yaitu Aparat Desa, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Ibu-ibu PKK, PMI dan Dinas Sosial, PMI Kabupaten Bandung, Direktorat Vulkanologi Bandung. 26 5. Jangka waktu pelaksanaan program secara berkelanjutan tidak membatasi aktivitas warga pada kurun waktu tertentu saja. Metode perancangan program dalam kajian ini menggunakan motode Logical Framework Analysis (LFA) seperti dikemukakan oleh Sumadjo dan Saharudin (2004) dengan tahapan yang dilakukan sebagai berikut : TAHAP PERTAMA : Melaksanakan analisis masalah melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok dan Focus Group Discution (FGD) yang menghasilkan prioritas masalah. Pada tahap ini dilakukan identifikasi potensi dan permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Hasilnya berupa data perkembangan kesiapsiagaan masyarakat yang dapat mendorong dan menghambat keberlanjutan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Faktor pendorong maupun penghambat merupakan potensi dala m mewujudkan kesiapsiagaan berbasis komunitas. Data dan potensi permasalahan dikonfirmasikan melalui diskusi kelompok dengan peserta yang berasal dari responden dan informan yang sebelumnya telah diwawancarai. Hasil diskusi diolah berulang-ulang dalam pros es pengujian data melalui klarifikasi data, yang dilakukan melalui diskusi kelompok secara parsial kepada masyarakat potensial serta mengidentifikasi jaringan sosial antara masyarakat dan masyarakat dengan kelembagaan jaringan penanggulangan bencana. TAHAP KEDUA : Melaksanakan analisis tujuan. Berdasarkan analisis masalah yang telah dirumuskan dan telah menghasilkan prioritas masalah, langkah selanjutnya adalah melaksanakan analisi tujuan melalui Focus Group Discustion (FGD) dan diskusi kelompok parsial serta diskusi kelompok seluruh masyarakat yang terlibat dalam penanggulangan bencana, sehingga diperoleh analisis tujuan berdasarkan analisis masalah yang telah dirumuskan. 27 TAHAP KETIGA : Melaksanakan analisis alternatif berdasarkan analisis tujuan yang telah dirumuskan pada tahap pendahuluan. Pada tahap ini dirancang bersama komunitas daerah rawan bencana , analisis alternatif untuk memilih beberapa kegiatan dari beberapa alternatif yang ada. Dilakukan melalui diskusi kelompok. TAHAP KEEMPAT : Menyusun analisis pihak terkait berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan pada tahap pendahulu an. Pada tahap ini disusun matrik mengenai siapa saja pihak terkait yang dapat diberdayakan dalam perancangan program kesiapsiagaan berbasis komunitas serta dianalisis mengenai kekauatan dan keterbatasan masing-masing pihak. 28 PETA SOSIAL DESA KIDANGPANANJUNG Kependudukan Penduduk desa Kidangpananjung berdasarkan data desa ( Mei 2004 ) termasuk dalam katagori struktur penduduk usia kerja. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk 3.217 Jiwa sebanyak 1505 jiwa adalah penduduk usia angkatan kerja. Komposisi jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.589 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 1.628 jiwa. Untuk lebih jelasnya komposisi umur penduduk dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel. 5 Komposisi Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Tahun 2004 NO. KOMPOSISI UMUR JENIS KELAMIN JUMLAH % LAKI-LAKI PEREMPUAN 21 20 41 1,27 1. 0 – 12 bulan 2. 13 bulan – 4 th 120 136 256 7,95 3. 5 – 6 Tahun 142 156 298 9,26 4. 7 -12 Tahun 185 187 372 11,56 5. 13 – 15 Tahun 173 174 347 10,78 6. 16 -18 Tahun 132 133 265 7,95 7. 19 – 25 Tahun 165 166 331 10,28 8. 26 – 35 Tahun 145 151 296 9,20 9. 36 – 45 Tahun 124 128 252 7,83 10. 46 – 50 Tahun 127 130 257 7,98 11. 51 – 60 Tahun 114 122 236 7,33 12. 61 – 75 Tahun 101 81 182 5,65 13. Diatas 75 Tahun 40 44 84 2,61 1.589 1.628 3.217 100 % JUMLAH Sumber : Monografi Desa Tahun 2004 Dari jumlah penduduk sebanyak 3.217 jiwa Tidak tamat SD : 211 jiwa, Tamat SD : 1.651 jiwa, Tamat SLTP 45 jiwa, Tamat SLTA 23 Jiwa, Tamat Kejar Paket A ; 14 orang dan Tamat Perguruan Tinggi 14 jiwa. Menurut informasi yang kami dapatkan dari Bapak Unan sebagai guru dan tokoh masyarakat tingkat pendidikan masyarakat yang mayoritas tamat SD sebesar 51, 32 % lebih disebabkan karena tidak terdapatnya Pendidikan SMP di Desa Kidangpananjung. Untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu SLTP masyarakat harus ke Kecamatan Cililin yang ditempuh sejauh 13 KM dengan uang transport sebesar Rp. 20.000,/harinya. Beberapa anggota masyarakat yang mempunyai keinginan yang keras untuk melanjutkan pendidikan akan tetapi tidak mempunyai biaya yang cukup, dapat berjalan kaki seperti yang diceritakan Bapak Tatang “ Saya dulu pada saat melanjutkan pendidikan ke SMP berangkat pada pukul 05.00 subuh dan kembali ke rumah pada jam 18.00 WIB “. Jumlah kelahiran pada tahun 2002 sebanyak 66 jiwa dan penduduk yang datang/masuk ke Desa kidangpanajung pada tahun 2002 sebanyak 32 jiwa sehingga angka fertilitas sebanyak 98 jiwa. Jumlah kematian sebanyak 29 jiwa dan jumlah penduduk yang pindah atau meninggalkan Desa Kidangpananjung sebanyak 107 jiwa sehingga jumlah Mortalitas sebanyak 136 jiwa. Angka pertumbuhan penduduk pada tahun 2002 adalah 98 Jiwa - 136 Jiwa = -38 jiwa. Besarnya jumlah penduduk yang pindah atau menin ggalkan desa disebabkan mata pencaharian penduduk yang berjualan keliling selama 7 – 10 hari. Hal ini sudah menjadi tradisi masyarakat Desa Kidangpananjung yang tidak menyerah dengan kondisi alam yang rawan bencana dan minimnya lahan pertanian, masyarakat berusaha dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, walaupun harus meninggalkan keluarga. Tekanan penduduk mendorong petani untuk memperluas lahan garapannya atau untuk keluar dari desanya ketempat lain. Keterbatasan lahan pertanian dan keterbatasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian menyebabkan terjadinya tekanan penduduk yang apabila terjadi di wilayah dekat hutan maka akan terjadi penggundulan hutan, dan apabila tekanan penduduk terjadi di desa dekat kota dengan sarana perhubungan yang baik maka akan terjadi migrasi desa kota. Hal ini terjadi pada masyarakat Desa Kidangpananjung yaitu pada masa reformasi tahun 1997-1998 masyarakat secara sengaja menebang kayu secara besar-besaran di hutan pinus, sehingga terjadi penggundulan hutan. Peril aku masyarakat yang terdesak dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kurangnya pengetahuan tentang dampak yang ditimbulkan akibat penebangan pohon pinus merupakan penomena yang terjadi pada masyarakat. Sebagain besar masyarakat Desa beranggapan bahwa bencana yang terjadi merupakan suatu musibah dari Allah SWT seperti yang dikatakan oleh Bapak Aik Ketua RW 02 sebagai berikut : Menurut saya bencana tanah longsor yang terjadi di Desa Kidangpannjung merupakan suatu musibah dari Allah SWT yang harus kita terima dengan ikhlas dan dengan cara berserah diri kepadanya “ 30 Pandangan sedikit berbeda diutarakan oleh Bapak Asep Rusmana selaku Ketua BPD tentang bencana yang terjadi : “ Saya mempunyai pemikiran bahwa bencana yang terjadi selain memang musibah yang harus kita terima, akan tetapi juga disebabkan oleh gundulnya hutan pinus yang sudah berubah fungsi menjadi tanaman lain. Hal yang lebih penting adalah bagaimana bencana yang terjadi menjadikan pelajaran bagi kita untuk semua untuk berupaya agar bencana yang sama tidak terulang kembal di Desa Kidangpananjung. Mengenai pengalaman dalam penanggulangan bencana dikemukakan oleh Bapak Tatang salah seorang Tokoh Masyarakat sebagai berikut : “Pengalaman saya pada saat terjadi bencana tanah longsor yang lalu yaitu saya melihat kepanikan yang luar biasa karena padamnya listrik disertai hujan terus menerus. Setelah melakukan koordinasi dengan Kepala Desa dan Camat Cililin kami membentuk kepengurusan Penanggulangan Bencana yang terdiri dari Penasehat Pak Camat, Koordinator lapangan Kepala Desa, Seksi Humas saya sendrii, Seksi Kesehatan, Bendahara dan Seksi Administrasi yang mecatat laporan korban bencana.Pengalaman lainnya adalah banyak sekali bantuan yang datang ke lokasi bencana baik dari masyarakat maupun organisasi politik yang langsung mendirikan posko bantuan di lokasi bencana. yang terkadang menimbulkan miskomunikasi mengenai data bantuan yang diterima maupun yang disalurkan oleh panitia desa yang telah dibentuk. Salah satu contoh bantuan yang tercatat di Posko kami berbeda dengan keterangan yang disampaikan oleh salah satu partai politik kepada media sehingga menimbulkan interpretasi yang tidak baik. Hal ini sudah kami konfirmasikan kepada media yang bersangkutan. Pengalaman mengenai penanggulangan bencana juga disampaikan oleh Bapak Ujun salah seorang Guru di Sekolah Dasar Walahir sebagai berikut : “ Saya melihat antisipasi aparat desa dan warga masyarakat pada saat terjadinya bencana cukup baik, hal ini terlihat dengan sikap spontanitas dari warga untuk memberikan pertolongan kepada korban bencana dan saya juga melihat sistem pendistribusian bantuan tidak hanya diberikan kepada korban bencana akan tetapi masyarakat yang tidak terkena bencana juga mendapatkan bantuan sehingga tidak menimbulkan kecemburuan.Kebijakan ini diambil atas musyawarah bersama antara kepala desa dengan tokoh masyarakat karena banyaknya bantuan yang diterima dan sebagai penghargaan atas sikap solidaritas anatara sesama warga masyarakat terhadap warga masyarakat yang terkena musibah bencana tanah longsor.” Berkaitan dengan Penanggulangan Bencana khususnya pendirian Posko Kesehatan dan Penyelenggaraan Dapur Umum Lapangan dikemukakan oleh isteri Kepala Desa Yang juga berpropesi sebagai PLKB Kecamatan Cililin sebagai berikut : “ Ibu-ibu PKK turut membantu mendirikan Posko Kesehatan pada pasca bencana dan melanjutkan Dapur Umum Lapangan setelah petugas dari 31 Palang Merah Indonesia Kabupaten Bandung meninggalkan lokasi bencana pada H+10, Hal ini kami lakukan karena para pengungsi yang berada di SD Walahir masih membutuhkan bantuan permakanan dan kesehatan. Lebih lanjut Kepala Desa menjelaskan pandangan masyarakat Desa Kidangpananjung yang tinggal di daerah perbukitan yang rawan terhadap bencana sebagai berikut : “ Di Desa Kidangpananjung sering terjadi longsor, namun longsor yang terjadi belum pernah seperti sekarang ini, masyarakat sebenarnya sudah mengetahui adanya tanda-tanda longsor seperti tanah retak-retak, pohon yang tumbuh di lereng bukit mengalami kemiringan, akan tetapi menganggap hal ters ebut suatu yang biasa. Sistem Ekonomi Mata pencaharian pokok penduduk Desa Kidangpananjung sebagian besar sebagai buruh tani dan pedagang keliling. Hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai pegawai pemerintah. Adapun rinciannya dapat dilihat pada table berikut : Tabel 6 : Mata Pencaharian Masyarakat Desa Kidangpananjung NO Mata Pencaharian Jumlah 1. PNS PLKB 2 2. PNS Dinas Kesehatan 1 3. PNS Dinas Kantor Agama 2 4. Guru 12 5. Petani 278 6. Buruh Tani 307 7. Pedagang Keliling 903 Jumlah 1505 Data : Monografi Desa 2004 Sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai pedagang keliling baik pedagang buah maupun pedagang tape singkong yang dijual Pasar di Kecamatan Cihampelas bahkan sampai ke pasar -pasar di Kota Bandung. “Menurut Bapak Tatang Tokoh Masyarakat Desa Kidangpananjung “ Masyarakat disini sangat dikenal dengan pedagangnya yang berjualan sampai ke Sukabumi, Cianjur, Padalarang, Ciamis dan derah lainnya. Kekhasan pedagang 32 warga Desa Kidangpananjung berjualan dengan cara memikul dagangannya”. Lebih lanjut dikatakan hampir 60 % dari masyarakat Desa bermata pencaharian sebagai pedagang keliling,mereka pergi dalam jangka waktu 7 – 10 hari dan kemudian membawa hasil keuntungannya pulang kerumah untuk kebutuhan sehari-hari. Pengahasilan rata-rata pedagang keliling diperkirakan mencapai Rp. 100.000/hari” Kondisi alam yang berbukit dan lahan pertanian yang sedikit membuat masyarakat harus mencari alternatif mata pencaharian lain, salah satu alternatif tersebut terbentuklah kelembagaan pedagang keliling. Dalam menjalankan operasinya anggota masyarakat membeli buah-buahan di Pasar Caringin yang kemudian dijual ke berbagai daerah diJawa barat antara lain Cianjur, Sukabumi, Ciamis, Pangandaran dan daerah lainnya. Pola hubungan antar pedagang dalam melakukan aktivitasnya secara berkelompok dan selama 7 – 10 hari meninggalkan rumah mereka. Pada saat kelompok meninggalkan keluarganya, maka kelompok yang lain yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak dan keluarga yang ditinggalkan, hal ini sudah menjadi kewajiban dari tiap individu. Hubungan kelembagan yang terjadi adalah antara anggota kelompok pedagang keliling dengan Pedagang pasar Caringin dimana terjadi transaksi jual beli, dalam hubungan ini terjadi interaksi secara terus menerus dan berpola. Pedagang di Pasar Caringin memerlukan pedagang keliling untuk pemasaran produknya sedangkan pedagang keliling mendapatkan keuntungan dari hasil selisih penjualan yang dilakukannya. Norma dan nilai yang dianut antara pedagang buah di Pasar caringin dan pedagang keliling adalah menetapkan harga yang lebih murah dari harga pasar, hal ini mengingat buah tersebut akan dijual kembali oleh si pedagang keliling. Setiap Pedagang di Pasar telah mempunyai langganan tetap bagi pedagang keliling sehingga telah menjadi kesepakatan yang tidak tertulis apabila terjadi kenaikan harga buah maupun penurunan harga. Perubahan kelembagaan berkorelasi dengan perubahan frekuensi dan intensitas interaksi antara pedagang di Pasar dengan Pedagang Kelililing, Apabila seorang pedagang keliling dalam waktu yang cukup lama tidak melakukan transaksi jual beli, maka akan terjadi penyesuaian kembali dalam penetapan harga. Selain hal tersebut juga berkorelasi terhadap perubahan musim. Dengan berubahnya musim maka buah yang akan dijualpun akan mengalami perubahan baik dari segi harga maupun pemasarannya. 33 Struktur Komunitas Berbicara mengenai struktur komunitas, maka hal pertama yang harus dipahami adalah gejala pelapisan sosial masyarakat. Hal ini merupakan fenomena yang penting untuk mengetahui bagaimana masyarakat lokal membangun suatu komunikasi satu dengan lainnya. Fenomena tersebut timbul karena adanya sesuatu yang dihargai dalam kelompok social masyarakat. Demikian halnya dengan masyarakat Desa Kidangpananjung, sistem pelapisan sosial yang ada relatif terbuka artinya seseorang berada pada lapisan atas tidak semata-mata dilihat dari pemilikan harta, tetapi lebih dilihat dari peran-peran yang diberikan dan diakui masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh BapakTatang : “ Masyarakat lebih melihat seseorang dari ketokohan dan peran yang dilakukannya dalam pergaulan di masyarakat bukan kepada kepemilikan harta. Masyarakat disini sangat mempercayai pemimpin mereka, akan tetapi mereka juga dapat menjadi tidak percaya pada seorang pemimpin apabila pemimpin tersebut telah melakukan suatu kesalahan yang dilakukakannya terhadap masyarakat “. Sistem pelapisan sosial masyarakat Desa Kidangpananjung dapat diamati dari simbol yang diberikan diberikan masyarakat. Lapisan sosial pertama adalah lapisan sosial yang memegang kedudukan tokoh masayarakat. Pada lapisan ini suara dan ajakan tokoh sangat besar pengaruhnya dalam memberikan persetujuan terhadap suatu kegiatan program. Tokoh masyarakat ini terdiri dari Guru, tokoh masyarakat pada level desa, dusun, RW dan pegawai negeri. Peran mereka sangat terlihat pada saat pertemuan antar warga dan pertemuan dengan perangkat desa, serta dalam menyelesaikan konflik antar warga. Lapisan kedua adalah mereka yang masuk dalam kelompok tokoh agama (Ketua DKM, Ustazd). Suara kelompok ini sangat berpengaruh dilingkungan dalam menentukan hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan. Kelompok lapisan ini relatif berperan dalam menciptakn keharmonisan dan dinamika kehidupan beragama, dan umumnya mer eka akan terlihat dalam aktivitas pengajian dan majelis taklim serta apabila ada warga yang mengalami musibah. Respon Masyarakat Terhadap Pemimpin Respon masyarakat terhadap kepemimpinan menurut informasi yang dikemukakan oleh Bapak Tatang “ Masyarakat lebih mengakui ketokohan seseorang dalam masyarakat, karena di desa Kidangpananjung hampir semua masyarakat sangat 34 mempercayai tokoh-tokoh masyarakat yang mempimpin mereka. Akan tetapi masyarakat menjadi tidak akan mempercayai dan menerima tokoh yang melak ukan penyimpangan moral”. Desa Kidangpananjung dipimpin oleh seorang kepala desa sejak tahun 1984 dimana terjadi pemekaran desa, dari awalnya Desa Cisalak menjadi dua desa yaitu Desa Tanjungwangi dan Desa Kidangpananjung. Sampai dengan Tahun 2004 telah terjadi 3 periode kepemimpinan desa, saat ini dijabat oleh Bapak Ii Setia Permana yang berasal dari tokoh pemuda untuk melanjutkan kepemimpinannya pada periode ketiga. Pada masa kepemimpinan kepala desa ini masyarakat menaruh kepercayaan yang sangat besar terhadap pemimpinnya, hal ini disebabkan keputusan keputusan yang diambil selalu melibatkan BPD sebagai mitra kerja kepala desa yang akhirnya menja di keputusan desa. Hal lain yang membuat masyarakat menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap kepala desa untuk melanjutkan kepemimpinannya adalah terdapatnya kemajuan pembangunan dan pelebaran jalan desa jalan desa sebagai satu-satunya saran yang menghubungkan desa dengan dunia luar. Faktor penting lainnya respon masyarakat terhadap pemimpinnya adalah pada saat terjadi bencana alam tanah longsor dimana kepala desa menyediakan rumahnya sebagai pos Kesehatan dan Penampungan warga yang terkena bencana. Disamping hal tersebut kepala desa juga membantu masyarakat yang terkena bencana untuk mengusahakan dan menyediakan tanah untuk relokasi warga yang terkena bencana alam tanah longsor yang berjumlah 127 KK. Jejaring Sosial dalam komunitas Desa Kidangpananjung sudah terbentuk sedemikian baik, hal ini nampak pada saat adanya suatu program desa. Mulai dari pembuatan keputusan desa yang melibatkan BPD sampai dengan dengan sosialisasi program yang melibatkan tokoh masyarakat. Jejaring Sosial luar komunitas juga dibangun oleh kepala desa yang mewakili warga untuk merealisasikan relokasi 127 KK korban bencana alam tanah longsor yang mendapatkan bantuan dana dari Bupati Kabupaten Bandung, Dinas Sosial, Kimtawil dan PMI. Organisasi dan kelembagaan Organisasi dan Kelembagaan Di Desa Kidangpananjung terdapat lembaga formal Desa seperti Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), selain lembaga formal tersebut juga terdapat Dewan Kesejahteraan Mesjid (DKM) dan Organisasi Karang Taruna. Jaringan lembaga formal desa dengan 35 lembaga lain di luar desa sudah terbentuk pada saat bencana terjadi dan berlanjut dengan program-program pasca bencana antara lain program pembangunan rumah bagi 127 KK yang akan direlokasi ke Kampung Cikopeng. Jaringan dengan lembaga lain di luar Komunitas adalah Dinas Sosial Propinsi dan Kabupaten, Kimtawil, PMI dan Pihak Kecamatan Cililin. Sebagian besar masyarakat Desa Kidangpananjung memiliki pola pengasuhan yang masih kuat. Hal ini terlihat peran saudara dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki yang ikut membantu dan mendidik anak-anak. Sistem kekerabatan juga masih tradisional, hal ini dibuktikan dengan sistem pemukiman yang disekelilingnya merupakan bagian dari keluarga baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Beberapa kelembagaan terbentuk karena dirasakan adanya suatu kebutuhan yang dapat mewadahi aspirasi-aspirasi warga masyarakat. Dalam hal ini terbentuknya kelembagaan terutama disadari untuk mengantisipasi bencana alam yang akan datang. Menurut hasil pengamatan pada saat kejadian bencana Karang Taruna, Ibu-bu PKK dan warga masyarakat ikut terlibat langs ung dalam penanganan korban bencana. Hubungan Masyarakat Dengan Ekosistemnya Hubungan masyarakat desa Masyarakat Desa Kidangpananjung dengan ekosistemnya sangat bergantung pada Hutan Pinus milik Perhutani seluas 166 Ha, hutan pinus sangat berfungsi sebagai penahan longsor apabila terjadi musim hujan . Seperti yang dikatakan Bapak Tatang sebagai berikut : “ sebelum tahun 1997 hutan pinus ini sangat lebat dan masyarakat banyak mencari kayu untuk kebutuhan rumah tangga. Tahun 1997 ke atas terjadi pencurian kayu oleh oknum perhutani dan masyarakat sehingga menyebabkan penggundulan hutan. Awal tahun 2000 dilakukan penanaman kembali hutan pinus oleh pihak Perhutani dengan menyediakan bibit tanaman keras dan masyarakat membantu proses penanaman tersebut. Sampai saat ini usia hutan pinus rata -rata pada saat kejadian bencana baru 3-4 tahun yang belum mampu mengikat tanah diatas perbukitan “ Lebih lanjut dikemukakan oleh bapak Tatang mengenai kebiasaan masyarakat Desa dalam memperlakukan beberapa tumbuhan se bagai berikut : “ Masyarakat Desa Kidangpananjung seperti masyarakat Sunda lainnya mungkin tidak akan berani menebang menebang pohon Caringin atau pohon Kiara. Hal ini dianggap oleh masyarakat sebagai pohon yang angker, yang apabila menebangnya akan berakibat kecelakaan atau sakit. Pohon ini banyak tumbuh di lereng -lereng dekat sungai dan sangat rindang sehingga muncul kesan angker.” 36 Selain hutan pinus masyarakat juga memanfaatkan pohon Albasia untuk pembangunan rumah yang tumbuh disekitar lereng-lereng bukit, menurut Kepala Desa Ii Setia Permana seperti dituturkannya : “ Masyarakat kurang menyadari pentingnya tanaman keras yang tumbuh pada lereng sebagai tanaman pencegah longsor, kami sebagai aparat desa sudah melakukan sosialisasi akan pentingnya pemeliharaan lingkungan. Namun masih ada saja masyarakat yang tidak menghiraukan himbauan kami, akan tetapi kami juga memahami sikap tersebut merupakan alasan keterpaksaan untuk mencari kehidupan “ Data Monografi Desa Kidangpananjung menyebutkan terdapat 63 orang warga desa yang memiliki tanah lebih dari 1 Ha, 730 orang memiliki tanah dibawah 1 ha dan 241 orang berstatus tidak memilki tanah. Data ini memunjukkan bahwa aset tanah yang ada di Desa Kidangpannjung seluruhnya dimilki oleh warga desa dan tidak ada pihak luar desa yang memilki tanah di desa tersebut. Dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, belum ditemukan adanya nilai- nilai lokal yang dianut oleh masyarakat Desa dalam memelihara lingkungan. Namun demikian ada semacam kebiasaan bagi masyarakat untuk tidak menebang pohon caringin karena dianggap keramat. Ikhtisar Dari hasil pemetaan sosial di Desa Kidangpananjung yang telah diuraikan diatas baik dari lokasi, kependudukan, struktur sosial, hubungan masyarakat dengan ekosistemnya serta organisasi dan kelembagaan menunjukkan bahwa masyarakat memilki potensi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di Desa Kidangpananjung. Jika dikaitkan dengan dengan topik kajian ini yaitu “ Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat “ beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan bencana baik faktor pendorong maupun faktor penghambat dapat diketahui dari hasil pemetaan sosial ini. Sistem kekeluargaan dan gotong royong yang sangat tinggi, solidaritas, kepercayaan serta kepemimpinan komunitas merupakan faktor pendukung keberlanjutan program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Sedangkan sebagai faktor penghambat adalah adanya oknum-oknum yang merusak lingkungan dan pengaruh budaya dari luar komunitas yang mempengaruhi budaya lokal. 37 Kondisi geografis Desa Kidangpananjung sebagai daerah rawan bencana alam tanah longsor menuntut masyarakat untuk selalu waspada dan melakukan kesiapan dalam menghadapi bencana yang sewaktu-waktu akan datang. Untuk itu sangat diperlukan kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan dan perlunya informasi kepada masyarakat tentang langkah-langkah kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Penyadaran akan bahaya bencana bagi masyarakat dapat dilakukan melalui kelembagaan yang ada dalam masyarakat melalui Pengajian, Hajatan dan Perayaan perayaan yang menampilkan kesenian wayang golek, cara ini sangat efektif dilakukan mengingat kondisi budaya masyarakat yang masih tradisional. 38 EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT Program Tanggap Darurat Salah satu program dalam Penanggulangan Bencana adalah Kegiatan Tanggap Darurat yang merupakan tahapan kegiatan pada saat terjadinya bencana, yang didalamnya meliputi penyela matan korban (evakuasi), penyelenggaraan dapur umum lapangan (Dumlap), pelayanan kesehatan dan penampungan sementara kepada pengungsi. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Sosial Propinsi Jabar, Dinas Sosial Kabupaten Bandung, PMI Kabupaten Bandung yang tergabung dala m organisasi SATKORLAK dan SATLAK PBP serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat Desa Kidangpananjung. Pendanaan dari kegiatan ini bersumber dari APBN dan APBD Jawa Barat dan bantuan dari masyarakat yang peduli terhadap korban bencana serta dana swadaya masyarakat. Dalam pelaksanaan kegiatan penaganan korban bencana tanah longsor Brimob, Wanadri, Karang Taruna , Ibu-ibu PKK, Pemerintah Desa dan masyarakat bekerjasama untuk melakukan tindakan penyelamatan, penyelenggaraan Dapur Umum lapangan dan pelaya nan kepada para pengungsi yang menjadi korban bencana. Kegiatan tanggap darurat yang dilakukan pada saat kejadian bencana menuntut tindakan yang tepat dan sesegera mungkin serta terpadu dengan mengerahkan kemampuan TNI, POLRI dan Masyarakat. Berkaiatan de ngan hal tersebut (Pujiono.2002 UNHCR) mendefinisikan Keadaan Darurat sebagai berikut : Kedaruratan sebagai Suatu situasi dimana kehidupan atau kesejahteraan masyarakat akan terancam kalau tindakan yang tepat dan segera tidak secepatnya diambil, dan dimana situasi tersebut menuntut tanggapan besarbesaran dan juga cara-cara yang luar biasa. Sementara itu Dinas Sosial Jawa Barat memberikan pengertian tanggap darurat sebagai suatu upaya menolong dan menyelamatkan korban bencana alam melalui bantuan darurat dan pemulihan kembali fungsi sosial perorangan keluarga, maupun masyarakat untuk hidup normal. Pada situasi bencana banyak pihak-pihak yang turut serta memberi bantuan kepada korban bencana di Desa Kidangpananjung, bant uan tersebut berasal dari dari Instansi Pemerintah, Organisasi sosial , Badan Usaha Pemerintah, Parti Politik, Perusahaan swasta, Perguruan Tinggi dan Perorangan. Bantuan yang diberikan berupa uang tunai dan bahan makanan. Terjadinya bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung secara tidak langsung telah mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat. Banyaknya masyarakat luar yang datang untuk menyaksikan kejadian bencana memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk menjual produk lokal mereka dan menawarkan jasa transportasi menuju lokasi bencana. Munculnya warung-warung dadakan yang menyediakan makanan dan minuman bagi masyarakat luar dan penyediaan jasa ojek menuju lokasi bencana mengalami peningkatan, hal ini merupakan fenomena yang terjadi dari suatu bencana dan hal ini sangat mempengaruhi peningkatan ekonomi ekonomi masyarakat. Kegiatan Tanggap Darurat yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Organisasi Sosial dan Masyarakat dalam penyela matan korban, penyelenggaraan dapur umum dan pelayanan kesehatan bagi pengungsi dapat berjalan dengan lancar dengan memanfaatkan potensi lokal yang dimilki oleh masyarakat. Seperti yang dikataka n Kepala Desa Kidangpananjung Ii Setia Permana sebagai berikut : “ Lebih kurang 500 orang warga masyarakat ikut teribat kejadian bencana mereka bekerja tidak kenal lelah dalam pencarian korban bencana tanah longsor yang masih tertimbun, Ibu-ibu PKK melaksanakan dapur umu m lapangan dan melayani korban yang luka-luka. Penyediaan gedung sekolah SD Walahir dan rumah-rumah warga dimanfaatkan sebagai sebagai tempat penampungan sementara. Selain itu beberapa anggota warga masyarakat yang berprofesi serbagai Pegawai Negeri Departemen Kesehatan dan Departemen Agama turut memberikan bantuan sesuai dengan profesinya. Banyaknya korban yang luka-luka dan meninggal dapat ditangani secara profesional oleh masyarakat yang berprofesi sebagai ulama dan petugas kesehatan.” Dalam keadaan darurat tersebut atas inisiatif kepada desa membentuk kepanitian dalam menangani situasi yang serba darurat dengan tujuan untuk mena ngani pencatatan dan pelaporan jumlah korban dan banyaknya bantuan yang terus berdatangan. Bencana alam tanah longsor yang terjadi di Desa Kidangpanajung menjadikan desa sebagai prioritas pelaksanaan program-program pembangunan dari Pemerintah. Sala h satu program yang telah diselesaikan pada awal 2005 ini yaitu 40 program pengerasan jalan desa sepanjang 3 km dari Dinas Pekerjaan Umum Jawa Barat. Sebelum pembangunan jalan dilaksanakan masyarakat sangat sulit untuk mengakses fasilitas di luar desa seperti Pasar Caringin untuk pemasaran produk lokal. Pembangunan jalan ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat dimasa yang akan datang. Pemasaran produk lokal yang sebelumnya hanya dapat diangkut dengan kenderaan ojek, sekarang da pat diangkut dengan menggunakan kenderaan roda empat yang dapat membawa muatan yang lebih besar. Hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat dari hasil penjualan produk lokal mereka berupa tape ketan dan tape singkong yang cukup dikenal oleh masyarakat Jawa Barat. Pengorganiasaian masyarakat dalam kegiatan tanggap darurat dipimpin oleh Kepala Desa Kidangpananjung dengan memanfaatkan organisasi yang terdapat di desa antara lain Karang Taruna, PKK, DKM dan Partisipasi masyarakat. Pelaksanaan kegiatan Penyelamatan, Dapur Umum dan Pelayanan kepada pengungsi korban bencana sebagai berikut : 1. Pembagian tugas dipimpin Kepala Desa bekerjasama dengan BPD, Karang Taruna dan masyarakat yang berjumlah 500 orang dengan memanfaatkan perlatan cangkul melakukan penggalian terhadap korban yang tertimbun akibat longsor. Selain itu masyarakat secara terorganisir melakukan pengamanan terhadap barang-barang milik korban dan berupaya menghubungi pihak pihak terkait dalam bidang penanggulangan bencana antara lain :Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Kodim Cimahi dan Dinas Sosial Jawa Barat. 2. Ibu-ibu PKK Desa dan Karang Taruna membantu penyelenggaraan Dapur Umum untuk mempersiapkan dan mendistribusikan makanan bagi korban bencana di tempat pengungsian SD Walahir yang berjumlah 420 jiwa. . 3. Pengurus Desa beserta warga masyarakat mendirikan posko bencana yang berlokasi di rumah kepala desa, posko ini berfungsi sebagai pusat informasi (pencatatan dan pelaporan) tentang akibat yang ditimbulkan bencana dan menampung bantuan-bantuan yang datang dari pemerintah maupun masyarakat. 4. Masyarakat yang tidak menjadi korban memberikan bantuan kepada korban untuk menempati rumah mereka sebagi tempat penampungan sementara. Hal ini 41 dilakukan masyarakat karena warga memilki ikatan kekerabatan yang sangat kuat diantara sesama anggota masyarakat. Aparat desa beserta masyarakat berpartisipasi aktif melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengurangi atau meluasnya dampak bencana. Melalui kepemimpinan kepala desa masyarakat diorganisir untuk melakukan tindakan penyelamatan terhadap korban yang tertimbun, melakukan pengamanan terhadap barang-barang korban dan melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam penanggulangan bencana. Aparat desa beserta masyarakat berpartisipasi aktif melakukan tindakan- tindakan yang bertujuan untuk mengurangi atau meluasnya dampak bencana. Melalui kepemimpinan kepala desa masyarakat diorganisir untuk melakukan tindakan penyelamatan terhadap korban yang tertimbun, melakukan pengamanan terhadap barang-barang korban dan melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam penanggulangan bencana. Kesamaan etnis dan hubungan kekerabatan yang sangat kuat diantara sesama anggota masyarakat desa serta kepercayaan terhadap kepemimpinan ke pala desa menjadikan masyarakat berperan secara aktif untuk melakukan tindakan dalam kegiatan tanggap darurat. Jejaring antara pemerintahan desa dengan pihak-pihak terkait dalam penangulangan bencana dapat berkolaborasi untuk melakukan suatu upaya yang be rtujuan untuk mengurangi penderitaan korban bencana. Program Relokasi Korban Bencana Alam Tanah Longsor Kegiatan Relokasi merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan setelah terjadinya bencana (Pasca bencana ). Kegiatan ini dilakukan disesuaikan dengan program pemerintah dalam rangka memindahkan rumah penduduk yang terkena bencana maupun yang terancam, karena lokasi pemukiman penduduk yang sekarang dinilai sangat berbahaya atau potensial terjadinya bahaya longsor. Untuk itu perlu dicari suatu lokasi pemukiman yang aman dan layak huni bagi masyarakat korban bencana , sebagai lokasi bagi korban bencana telah ditetapkan oleh Direktorat Vulkanologi Bandung yaitu di RW 01 Kampung Cikopeng. Program relokasi ini diawali dengan arahan Bupati Bandung yang meninjau lokasi bencana pada H+3 setelah terjadinya bencana , adapun perumahan yang direlokasi sebanyak 127 KK 42 dengan rincian : Tertimbun 21 rumah, Rusak Berat 22 rumah Rusak Ringan 19 rumah, Terancam 65 rumah. Relokasi dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan lokasi bencana oleh Tim Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) yang bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari hasil rekomendasi DVMBG tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung kemudian menetapkan relokasi di RW 01 Kampung Cikopeng Desa Kidangpananjung yang dianggap layak huni dan aman dari aspek kebencanaan. Untuk Program relokasi ini aspek pembebasan tanahnya ditanggung sepenuhnya oleh Pemda Kabupaten Bandung dan pengadaan Bahan Bangunan Rumah berasal dari Dinas Sosial dan Kimtawil serta bantuan dari ICRC. Foto : Relokasi Pemukiman Korban Bencana di Kampung Cikopeng RW.01 Kegiatan program Relokasi dalam pelaksanaannya melibatkan warga masyarakat dan Pemerintah Desa, khususnya warga RW 03 yang menjadi korban bencana. 1. Pertama didahului pengerahan masyarakat sebayak 400 orang selama 1 minggu untuk meratakan tanah secara gotong royong untuk lokasi relokasi korban bencana. 43 2. Kepala desa memanfaatkan jejaring yang telah dirintis sebelumnya untuk melobi pihak-pihak terkait guna merealisasikan pengadaan bangunan perumahan di relokasi korban bencana. Hasil dari lobi tersebut bantuan yang diterima antara lain dari Kimtawil 50 rumah, Dinas Sosial 127 KK berupa Bahan Bangunan rumah dan PMI 50 juta rupiah dalam bentuk rumah sebanyak 5 buah. 3. Kegiatan menanam 10.000 bibit pohon tanaman keras untuk reboisasi yang berasal dari Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. Kegiatan ini melibatkan seluruh unsur masyarakat. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengorganisasian masyarakat melalui kegiatan ini adalah memberikan pengertian dan pemahaman tentang pentingnya menolong sesama warga masyarakat yang tertimpa musibah. Selain itu Kepala Desa tetap melakukan konsultasi kepada Asisten II Bupati Bandung untuk menginformasikan perkembangan pembangunan relokasi pemukiman yang masih dalam tahap pembangunan selanjutnya. Pengorganisasian kegiatan relokasi dengan memanfaatkan modal sosial yang ada dalam masyarakat. Penyediaan tanah untuk relokasi seluas 3600 M merupakan tanah milik Kepala Desa yang dijual kepada Pemerintah dengan harga yang sangat rendah dari harga pasaran, hal ini menurut Bapak Ii Setia Permana sebagai partisipasi kepala desa kepada warga masyarakatnya. Pekerjaan pembangunan pemukiman dilaksanakan oleh sebagian besar masyaraka t melalui kerja bhakti dengan bekerja secara bergantian selama 3 hari selama satu minggu. pencetus ide yang juga sebagai kepala desa terjun langsung ke masyarakat dalam memberikan penyuluhan, pemahaman, dan pengertian tentang pentingnya membantu sesama warga masyarakat untuk relokasi korban bencana. Hubungan kekerabatan yang sangat kuat diantara anggota masyarakat desa menjadikan mereka untuk meluangkan waktu secara bersama -sama membangun lokasi pemukiman baru untuk korban bencana. Program relokasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap korban bencana dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di daerah rawan benacana tidak mengalami bencana serupa pada waktu mendatang. Untuk itu perlu dilakukan relokasi ke tempat yang layak huni dan aman dari bencana. Namun pada 44 pelaksanaannya daerah relokasi di Kampung Cikopeng seluas + 2,8 Ha berdasarkan hasil rekomendasi Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana dapat menampung sekitar 40 rumah, pada kenyataannya Dinas Sosial melalui Anggaran APBN menetapkan pembangunan 127 Unit untuk korban bencana. Hal ini menunjukkan belum adanya koordinasi antara rekomendasi yang diberikan oleh Dit. Vulkanologi dengan Dinas Sosial tentang pembangunan perumahan bagi masyarakat korban bencana di lokasi yang baru. Konflik Sosial Dalam Masyarakat Korban Bencana Pelaksanaan kegiatan Program Tanggap Darurat dan Relokasi Korban Bencana tidak menimbulkan konflik sosial. Namun, dari hasil pengamatan di lapangan ada indikasi terjadinya konflik dalam melaksanakan program Relokasi Masyarakat korban bencana yang berjumlah 127 KK, yaitu antara warga masyarakat korban bencana di RW.03 Kampung Walahir dengan Pemerintah. Potensi konflik ini diawali dengan ucapan Bupati Kabupaten Bandung yang datang ke lokasi bencana pasca kejadian bencana dan menjanjikan kepada masyarakat korban bencana bahwa relokasi akan dilaksanakan secepat mungkin yaitu pada bulan Mei 2004. Namun pada kenyataannya sampai dengan Hari Raya idul Fitri Masyarakat belum dapat menempati lokasi yang baru, hal ini menimbulkan potensi konflik yang bersifat vertikal antara masyarakat dengan pemerintah. Dari Sisi Pemerintah ternyata tidak mudah untuk mencairkan anggaran unt uk pembangunan relokasi dan hal itu membutuhkan suatu proses yang panjang pada Dirjen Anggaran. Dari sisi masyarakat korba n bencana yang sudah tidak mempunyai tempat tinggal dan karena kondisi keterpaksaan menuntut haknya dan tidak mau tahu tentang proses yang dilakukan pemerintah. Tokoh masyarakat telah memberikan pengertian dan mengajak kepada masyarakat korban bencana untuk mau memahami upaya yang sedang dilakukan oleh pemerintah, namun Masyarakat sudah hilang kepercayaan kepada pemerintah. Wujud dari rasa ketidakpuasan masyarakat korban bencana yanitu dengan mendiami rumah mereka yang berlokasi di daerah bekas longsoran, hal ini sangat membahayakan bagi masyarakat apabila curah hujan yang tinggi turun dan potensial akan terjadi longsor. 45 Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, dalam memahami konflik sosial yang terjadi, penulis mencoba menganalisis potensi konflik melalui tiga macam alat analisis konflik, yaitu Pemetaan Konflik, Analogi Bawang Bombay, dan Pohon Konflik. Pemetaan konflik dimaksudkan untuk mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat, tidak hanya kelompok yang menonjol saja. Analogi Bawang Bombay dimaksudkan untuk memahami pandangan kelompok-kelompok yang berkonflik dan mengetahui hubungan satu sama lain. Pohon Konflik dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik. Pemetaan Konflik Pihak Luar Rekanan Warga Korban Kepala Desa Masyarakat Pemerintah Potensi Konflik: Proses Relokasi Pihak Luar Keterangan: : ada hubungan. : hubungan tidak baik : dukungan. : saling mendukung. : konflik. Berdasarkan pemetaan konflik, diperoleh gambaran bahwa pihak-pihak yang terlibat potensi konflik adalah Pemerintahan Desa, warga masyarakat korban bencana, Pihak ke tiga (Rekanan) yang melaksanakan pembangunan di daerah relokasi, Pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial, Kimtawil dan Palang Merah Indonesia (PMI). Pihakpihak luar dalam kasus ini seperti pihak Kecamatan Cililin, Pemda Kabupaten Bandung diindikasikan tidak terlibat dalam hal memberikan dukungan atau kontra kepada salah satu pihak. 46 Analogi Bawang Bombay Warga Masyarkat Korban Bencana Tidak memiliki perumahan dan tidak punya masa depan sebagai warga korban bencana Mengharapkan bantuan pemerintah yang menjadi hak bagi korban bencana Berupaya untuk mendapatkan perumahan yang layak Pemerintah Posisi Pelaksana Program Relokasi Korban Bencana Tanah Longsor Kepentingan Kebutuhan Berkewajiban untuk membantu korban dengan lokasi yang aman Meringankan penderitaaan korban bencana agar ber ungsi secara normal Berdasarkan analogy bawang Bombay terlihat bahwa masing-masing pihak yaitu masyarakat korban bencana dan pemerintah mempunyai kebutuhan yang sama yaitu sama -sama segera dapat merealisasikan pemukiman yang baru agar masyarakat korban bencana dapat bermukim di lokasi yang aman dari bencana. Masing-masing pihak menunjukkan bahwa adanya kepentingan-kepentingan yang harus dilakukan dalam kegiatan relokasi tersebut sehingga, dituntut pemahaman dan pengertian diantara ke dua belah pihak. 47 Analogi Pohon Konflik Curiga Masalah meluas Membebani tetangga/saudara Aksi Protes Kembali ke lokasi lama Tidak dapat merayakan Idul Fitri Menumpang Efek Potensi konflik vertikal Terlantar Ketidakpercaya an kepada aparat Masalah Inti Terlambatnya Proses Relokasi Janji Bupati Kab. Bandung Kebutuhan akan tempat tinggal Tidak Proaktif Penyebab Kurang Sosialisasi program Lemahnya Koordinasi Proses Anggaran Mental Birokrat 48 Strategi Solusi Konflik Masyarakat di Relokasi Pemukiman Dari analisis yang telah dilakukan di atas , maka disusun suatu strategi manajemen konflik untuk memberikan solusi yang te pat dalam realisasi relokasi pemukiman masayarakat korban bencana. Menurut Fisher hasil analisis dengan menggunakan alat bantu merupakan langkah yang sangat menentukan dalam menyusun strategi yang dapat mengungkapan berbagai kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan. Tiap orang atau tiap kelompok akan memiliki peluang tertentu, bergantung pada posisinya dalam situasi itu dan kemampuan khusus mereka. Alat bantu untuk melakukan analisis mengungkapkan aspek-aspek masalah yang sekarang dapat dijadikan dasar unt uk menyusun strategi. Teori yang ditawarkan dalam solusi konflik ini adalah Teori Hubungan Masyarakat yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : 1. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian anatar kelompok-kelompok yang mengalami konflik. 2. Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya. Selain itu teori yang juga relevan terhadap penanganan konflik di atas adalah Teori Negosiasi Prinsip yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konf lik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : 1. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negoisasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. 2. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak. 49 Ikhtisar Penanggulangan Bencana khususnya Kegiatan Tanggap Darurat yang diluncurkan pemerintah untuk membantu mas yarakat korban bencana sebetulnya mempunyai tujuan untuk meringankan penderitaan korban bencana, program ini merupakan kebijakan yang tepat dari pemerintah. Namun demikian dalam proses pelaksanaannya sering menimbulkan masalah, terutama dalam pengelolaan penyaluran bantuan dari masyarakat kepada korban bencana yang sering disalahgunakan, bahkan ada pihak-pihak yang memanfaatkan bantuan-bantuan tersebut untuk kepentingan organisasi dan pribadi masing-masing. Untuk menghindari hal tersebut, program penyaluran bantuan hendaknya dilaksanakan secara transparan dengan melibatkan konsultan audit, agar dana yang berasal dari masyarakat dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh korban bencana. Pelayanan yang dilakukan pemerintah sebagai unsur dari Organisasi Satkorlak PBP kepada masyarakat korban bencana masih pada tahap saat terjadinya bencana dan Pasca Bencana saja, belum kepada tahap kesiapsiagaan dan mitigasi bencana yang dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Pemerintah cenderung lebih memilki program yang bersifat menanggulangi bencana yang telah terjadi daripada melakukan pencegahan atau menyiapkan masyarakat untuk menghadapi bencana. Hal ini terlihat dari belum adanya program-program yang dirancang bagi pemberdayaan masyarakat di lokasi daerah rawan bencana. Pengalaman menunjukkan adanya efektifitas dan lebih memberikan dampak yang sangat positif dari pendekatan partisipatif dalam memobilisasi masyarakat local untuk pengembangan kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana. Dalam prakteknya, pada saat terjadi bencana masyarakat dimotivasi untuk belajar mengorganisir dirinya sendiri sebagai responden yang melakukan tanggap darurat pada saat bencana. Sebelum Bencana, mereka dimobilisasi untuk bersama -sama melakukan upaya upaya pemberdayaan dan pengembangfan kapasitas yang memfokus pada masyarakat, pendidikan masyarakat, pengorganisasian masyarakat dan perencanaan secara partisipatif. 50 Memberikan pengetahuan tentang bahaya bencana tanah longsor kepada masyarakat merupakan uapaya yang sangat penting dalam menunjang kesiapsiagaan bencana berbassis komunitas. Kesiapsiagaan ini harus mampu membuat masyarakat sadar bahwa mereka hidup di daerah rawan bencana. Mereka rentan karena terus menerus mengalami dampak dari bahaya dan resiko bencana. Masyarakat harus diberikan kesadaran pula bahwa tidak seorangpun yang mampu membantu mengurangi kerentanannya kecuali mereka sendiri yang harus melakukan upayaupaya bagaimana mengurangi tingkat kerentanannya tersebut. Untuk itulah diperlukan upaya bagaimana menumbuhkan awareness (kesadaran) masyarakat dalam mengenali dan menganalisis sendiri tingkat kerentanan, bahaya resiko dampak bencana. Dari kesadaran dan kemampuan analisis tersebut masyarakat diharapkan mampu mencari sendiri upaya-upaya mengurangi tingkat bahaya dan resiko yang ditimbulkan bencana. Kemampuan menganalisis ini sebagai bagian dari upaya pemberdayaan dan penguatan kapasitas masyarakat agar mampu melakukan caracara penyelamatan, pertolongan dan penanggulangan bencana secara mandiri. 51 ANALISIS KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS MASYARAKAT DAERAH RAWAN BENCANA Konsep dari kesiapan bencana sangat jelas. Tujuannya adalah untuk meyakinkan bahwa secara tepat sistim yang memadai untuk bencana, prosedur dan sumber-sumber daya berada di tempat kejadian dan bisa membantu mereka ya ng tertimpa oleh bencana dan memungkinkan mereka untuk bisa menolong diri mereka sendiri. Tujuan dari kesiapan bencana adalah untuk meminimalisir pengaruh-pengaruh yang merugikan dari satu bahaya lewat tindaka n-tindakan berjaga-jaga yang efektif, dan untuk menjamin secara tepat, organisasi yang tepat dan efisien dan pengiriman respon emergensi yang menindaklanjuti dampak dari suatu bencana. Dari definisi tersebut dapat diambil suatu kesimpulan tentang kesiapan bencana sebagi berikut : 1. Untuk meminimalisir pengaruh-pengaruh yang merugikan dari satu bahaya. Pengurangan resiko bencana dimaksudkan untuk meminimalisir pengaruhpengaruh yang merugikan dari satu bahaya dengan menghilangkan kerentanan dimana kalau tidak melakukannya bahaya akan terbuka dan secara langsung mengurangi potensi dampak satu bahaya sebelum bahaya tersebut menyerang. 2. Tindakan berjaga-jaga yang efektif. bahwa istilah yang digunakan “tindakan berjaga-jaga” sebagai suatu proses yang aktif dan terus menerus baik rencana rencana maupun strategi-strategi yang diperlukan. Hal ini merupakan usaha-usaha yang dinamis, yang sering ditinjau lagi, dimodifikasi, diperbaharui dan diujicobakan. 3. Organisasi yang efisien. Organisasi yang efisien menyarankan krite ria yang jelas untuk kesiapan bencana yang efektif. Perencanaan yang sistematis, distribusi yang dilakukan secara baik, peran yang jelas dan tanggung jawab adalah sangat vital. Rencana kesiapan harus mengantisisipasi sumber-sumber kekacauan dan sama pentingnya harus juga mencoba mengantisipasi apa yang harus dilakukan pada saat rencana menjadi serba salah. Dalam situasi bantuan bencana tidak ada sistim atau struktur yang sudah dibentuk untuk menjamin bahwa mereka yang paling membutuhkan adalah memang yang paling berhak. Pada akhirnya, uji coba yang paling penting dari efisiensi adalah bahwa mereka-mereka yang membutuhkan benar-benar diberikan bantuan secara memadai. Kesiapsiagaan bencana sebatas mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana yang sewaktu-waktu akan datang, tujuannya sangat jelas yaitu untuk meminimalisir kerugian yang diakibatkan bencana. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan dengan adanya kesadaran masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana dan mau belajar dari kejadian bencana sebelumnya merupakan upaya untuk melakukan kesiapsiagaan menghadapi bencana iotu sendiri. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Desa Kidangpananjung Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Kemudian Herskovits dalam Soekanto memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang super organinc, karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran. E.B. Tylor seperti yang dikutip Soekanto mengatakan bahwa “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Penduduk Desa Kidangpananjung memiliki nilai nilai kegotongroyongan yang sangat tinggi, saling tolong menolong, kebersamaan dan mempunyai nilai-nilai kekerabatan yang tinggi diantara sesama warga masyarakat. Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat menunjukkan bahwa hampir 90 % warga mempunyai hubungan keluarga yang sangat dekat, para tokoh masyarakat, tokoh agama dan Kepala Desa yang saat ini menjabat berasal dari keturunan Kakek Murnasa, Kakek Sudinta dan Kakek Sanusi. Seperti yang dikatakan oleh Kepala desa Bapak Ii Setia Permana sebagai berikut : “ Masyarakat Desa Kidangpananjung hampir 90 % memiliki hubungan darah satu sama lain, bahkan di pemerintahan desa yang menjabat sekarang ada yang masih satu ketuturan dari Kakek Murnasa. Kadang-kadang saya berpikir ini KKN, akan tetapi mau diapain lagi memang begitu kenyataannya. Masyarakat Desa kadang-kadang tidak pernah merasa khawatir apabila 53 meninggalkan keluarganya selama dua minggu untuk berdagang ke luar desa. Mereka yakin sepenuhnya bahwa keluarganya akan dijaga oleh masyarakat, tanpa harus menitipkannya kepada tetangga terdekat. Masyarakat akan secara spontan memberikan pertolongan apabila terdapat musibah yang menimpa salah satu anggota dari masyarakat.”. Memang pada kenyataannya rata-rata Untuk lebih jelasnya dapat dilihat seperti gambar berikut ini. Hal yang sama dikemukakan oleh Asep Rusmana sebagai Ketua BPD Desa Kidangpananjung sebagai berikut : “ Masyarakat Desa Kidangpananjung memilki solodaritas yang sangat tinggi diantara sesamanya, hal ini terbukti apabila salah satu anggota masyarakat bermaksud untuk bepergian melakukan aktivitas di luar desa seperti berjualan, maka mereka yang tinggal di desa secara otomatis menjaga keluarganya. Mereka yang bekerja di luar desa tidak pernah merasa khawatir meninggalkan keluarganya, karena mereka yakin sepenuhnya kepada masyarakat yang ada di Desa Kidangpananjung untuk menjaga keluarganya. Kondisi sosial budaya seperti yang dikemukakan di atas tidak terlepas dari hubungan kekeluargaan yang sangat dekat diantara sesama warga masyarakat Desa Kidangpananjung. Hubungan silsilah keluarga tersebut dapat dilihat pada gambar berikut : 54 Gambar 4 : Garis Keturunan Tokoh Masyarakat Desa Kidangpananjung Desa Cisalak Desa Tanjungwangi Tahun 1985 terjadi pemekaran Desa Tanjung Wangi MURNASA II Setia Permana (Kepala Desa ) Asep Rusmana (Ketua BPD) Desa Kidangpananjung SANUSI SUDINTA Pak Uan (Pengusaha penggergajian kayu) Tatang Tomas , PLKB Kec. Cililin Isteri Pak Undang Ketua LKMD Dede Wahidin Pegawai KUA Soreang Adin Pembantu Penghulu (Lebe) Uju Sutisna Ketua Dewan Sekolah SD Walahir Undang Jani Ketua LKMD Ajo Kaur Keuangan Desa Adin Kaur Kesra Desa AIK Ketua RW. 02 Yuyu Yuheni PLKB Kecamatan Cililin (Isteri Kades) : Garis Keturunan Hubungan kekeluargaan yang sangat dekat yang terjadi di Desa Kidangpa nanjung merupakan suatu modal sosial untuk menciptakan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas, yang dapat meminimalisir resiko bencana secara mandiri. 55 GAMBAR 5 : STRUKTUR ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA KIDANGPANANJUNG Ketua LKMD Undang Zani SEKDES E. KARMANA KEPALA DESA II SETIA PERMANA KAUR PEMERINTAHAN MEMED Ketua BPD Asep Rusmana KADUS I IRI KADUS II SUMA KAUR KEUANGAN AJO KAUR KESRA ADIN KAUR EKBANG EMED RT / RW MASYARAKAT Gambar diatas menunjukkan bahwa kepemimpinan yang ada di Desa Kidangpananjung baik yang bersifat formal melalui Struktur Pemerintahan Desa maupun kepemimpinan yang bersifat informal melalui hubungan persaudaraan yang kuat memiliki potensi yang cukup besar dalam mengembangkan program-program yang berbasiskan masyarakat. Faktor Kepercayaan (Trust) yang sangat tinggi yang diberikan warga masyarakat terhadap pemimpin Desa dan Tokoh-tokoh masyarakat yang saat ini memegang peranan penting di Pemerintahan Desa seperti Ketua BPD, Ketua LKMD, Kepala Desa dan Kepala Ur usan Kesejahteraan rakyat memiliki keturunan yang memiliki hubungan darah yang kuat. Kepercayaan masyarakat kepada pemimpin mereka dalam melaksanakan amanah dari warga masyarakat merupakan potensi modal sosial yang dapat dikembangkan dalam menyiapkan masyarakat menghadapi bencana. 56 Kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada pemimpin desa dimanfaatkan Kepala Desa untuk memperjuangkan pembangunan masyarakat terutama pada saat bencana dan pasca bencana tanah longsor dengan membangun jaringan (Networking) dengan Pihak Kecamatan Cililin, Desa Tetangga sebagai lokasi evakuasi apabila terjadi bencana dan Organisasi Penanggulangan Bencana se kabupaten Bandung seperti : PMI Kabupaten Bandung, Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat dan Organisasai Kemasyarakat. Pengaruh Program Masyarakat . Penanggulangan Bencana Terhadap Pembangunan Bencana secara serius dapat mengganggu inisiatif-inisiatif pembangunan dalam beberapa hal antara lain : Hilangnya sumber-sumber daya; Gangguan terhadap program-program ; Pengaruh iklim investasi; Pengaruh pada sektor informal dan Destabilisaasi politik. Terganggunya pembangunan karena bencana seperti disajikan pada tabel berikut : Tabel 7 : Pengaruh Bencana Terhadap Pembangunan No 1. Dampak Bencana terhadap pembangunan Hilangnya Sumberdaya Penjelasan 2. Gangguan terhadap program 3. Pengaruh pada iklim investasi 4. Pengaruh pada sektor informal Bencana menekan ekonomi non formal lewat biayabiaya langsung dari hilangnya peralatan dan perumahan (yang sering juga menjadi tempattempat bisnis). Biaya-biaya tidak langsung dari bencana termasuk hilangnya pekerjaan, dan hilangnya pendapatan. 5. Destabilisasi Politik Tekanan pada suatu negara yang disebabkan oleh bencana menenyebabkan destabilisasi pemerintah. Sebagai contoh Pemerintah mungkin saja telah salah mengelola dana bantuan pemulihan bencana, yang menyebabkan ketidakpuasan pada anggota masyarakat yang terkena bencana. Sumber-sumber daya pembangunan hilang ketika suatu bencana menghapus produk-produk investasi. Bencana mengganggu program-program yang sedang berlangsung dan membelokan sumbersumber daya dari penggunaan yang direncanakan sebelumnya. Bencana yang sering terjadi secara berulang-ulang dalam suatu periode jangka pendek, memiliki pengaruh negatif pada investasi lebih lanjut. 57 Dari penjelasan di atas dikaitkan dengan dampak bencana yang terjadi di Desa Kidangpananjung mengalami sedikit perbedaan, bencana yang terjadi justru menjadi hikmah bagi pembangunan fasilitas masyarakat. Yang semula desa tersebut tidak begitu dikenal oleh masyarakat luas, setelah terjadi bencana seluruh media masa memberitakannya bahkan banyak program-program bantuan penanggulangan bencana yang berasal dari instansi pemerintah dan swasta serta masyarakat yang masuk ke masyarakat. Hal ini menjadikan Desa Kidangpananjung lebih baik kondisi pembangunannya dibandingkan sebelum terjadi bencana. Untuk melihat hasil pembangunan pasca bencana seperti pada tabel berikut : Tabel 8 : Program B antuan Bencana di Desa Kidangpananjung NO 1. Nama Instansi Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat Bentuk Bantuan Bantuan Bahan Rumah untuk 127 KK. 2. ICRC ( Palang Merah Internasional ) 5 buah rumah siap huni 3. Kimpraswil Pengerasan jalan sepanjang 3 Km 4. Dinas Pendidikan Penambahan lokal Sekolah Dasar Walahir sebanyak 3 kelas. 5. Dinas Pertanian Pemberian Tanaman Keras sebanyak 10 ribu bibit tanaman. 6. Dinas Kesehatan Pembangunan sarana air bersih Data : Hasil kajian lapangan 2004 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bencana Alam Tanah Longsor Penyebab terjadinya bencana alam tanah longsor Desa Kidangpananjung berdasarkan hasil penelitian Direktorat Vulkanologi Bandung bahwa terdapat batuan andesit pada bukit Gedugan dengan ketebalan 1 – 1,5 meter yang mengalami pelapukan menjadi lempung, sehingga tana h tersebut tidak mampu untuk menampung tingginya curah hujan yang terjadi secara terus menerus selama dua hari (Surono, 2004), sedangkan faktor kelalaian masyarakat adalah penebangan hutan pinus yang dilakukan oleh masyarakat dan oknum Perhutani terhadap lahan Perhutani seluas 166 Ha. Bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin yang terjadi pada tanggal 21 April 2004 yang lalu telah menimbulkan kerugian jiwa 58 dan harta benda yang jumlahnya mencapai milyaran rupiah serta meninggalkan trauma yang yang mendalam bagi warga masyarakat. Longsor yang terjadi disebabkan adanya hujan deras secara terus menerus selama dua hari dan akibat bukit gedugan yang gundul, sehingga tidak mampu menahan tingginya curah hujan. Hal ini dikemukakan oleh Bapak Ii Setia Permana sebagai berikut : “Kejadian bencana di Desa Kidangpananjung sebenarnya sudah sering terjadi, namun baru kali ini yang menimbulkan korban jiwa. Penyebabnya menurut saya adalah pada tahun 1997 pada masa krisis ekonomi terjadi penebangan hutan pinus secara besar -besaran oleh oknum Perhutani dan warga masyarakat Desa Kidangpananjung yang memanfaatkan pohon pinus sebagai bahan baku cata dan sumpit. Memang setelah itu warga melakukan penanaman kembali, akan tetapi tidak dapat mengganti pohon yang ditebang yang sudah cukup besar dan mampu menahan air saat musim penghujan , sehinga pada tahun 2004 terjadilah longsor tersebut.” Lebih lanjut Bapak Tatang sebagai tokoh masyarakat juga menyampaikan pendapatnya berkaitan dengan penyebab terjadinya longsor : “ Sebelum terjadinya bencana dan sebelum hutan pinus yang ada di Bukit Gedugan ditebang oleh anggota masyarakat pada masa reformasi tahun 1997, saya masih ingat betul pada saat masih kecil bermain dan mencari kayu bakar di hutan pinus tersebut. Akan tetapi setelah dilakukan penebangan oleh Oknum Perhutani dan warga masyarakat berdampak kepada terjadinya bencana ini.” Direktorat Vulkanologi yang melakukan pantauan langsung di lokasi bencana mengataakan bahawa penyebab terjadinya longsor adalh karena faktor alam dan factor ulah manusia yang tidak memelihara lingkungan, sebagaimana yang diuangkapkan oleh Dr. Surono sebagai berkut : “ Penyebab terjadinya gerakan tanah dapat bersifat statis dan dinamis. Statis merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan dinamis adalah ulah manusia. Ulah manusia banyak jenisnya dari perubahan tata guna lahan hingga pembentukan gawir yang terjal tanpa memperhatikan stabilitas lereng. Kabupaten Bandung khusunya bagian selatan longsor dapat terjadi terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah, sungai, gawir, tebing atau lereng. Terlebih bila lokasi –lokasi itu mengalami gangguan (gundul). Bahkan longsor yang pernah terjadi sebelumnya dapat aktif kembali akibat curah hujan yang tinggi. Untuk itu setiap memasuki musim hujan harus diwaspadai akan terjadinya bencana alam tanah longsor. Penyebab Kabupaten Bandung khusunya Bagian Selatan termasuk daearah paling rawan tanah longsor karena didaerah itu banyak terdapat perbukitan. Lebih parah lagi, kondisinya sangat memprihatinkan. Bahkan lereng bukit yang terjal sudah dijadikan lahan pertanian dan pemukiman. Akibatnya pada saat hujan deras mengguyur kawasan tersebut akan terjadi tanah longsor”. 59 Dari penjelasan masyarakat faktor penyebab terjadinya bencana disebabkan penebangan hutan pinus oleh anggota masyarakat dan oknum Perhutani yang dilakukan 7 tahun yang lalu pada saat bergulirnya reformasi. Sedangkan menurut para ahli, longsor yang terjadi selain disebabkan oleh manusia juga factor alam dimana bukit Gedugan mengandung batuan andesit yang mengalami pelapukan menjadi lempung. Kedua pendapat ini apabila disenergikan akan menjadi suatu pengetahuan bagi masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya bencana longsor kembali. Untuk lebih jelasnya proses terjadinya bencana alam tanah longsor tersebut dapat dilihat pada foto berikut ini : Foto : Pemukiman Penduduk Yang Tinggal Pada Lereng Bukit dan kondisi hutan pinus yang semakin gundul. 60 Foto : Bencana alam tanah longsor melanda pemukiman penduduk dan ladang serta sawah yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda milyaran rupiah. 61 Peristiwa bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung terjadi pada 3 lokasi yang berdekatan dan kejadiannya selang sekitar 1 (satu) jam. Gerakan tanah pertama dan kedua tidak begitu luas hanya menimpa daerah persawahan, sedangkan gerakan tanah yang ketiga cukup besar dan materialnya cukup banyak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada peta sketsa berikut ini : Gambar 6 : Sketsa Kejadian Bencana Tanah Longsor 62 Selain beberapa fa ktor penyebab terjadinya tana h longsor seperti yang diuraikan diatas, terdapat hubungan yang jelas antara meningkatnya kerugiankerugian dari satu bencana dan meningkatnya populasi. Jika ada lebih banyak orang atau bangun dimana satu bencana terjadi, kemudia n hal ini memberi kemungkinan akan adanya lebih banyak pengaruh. Pertumbuhan populasi sudah sebegitu spektakuler sehingga tidak bisa dihindari lagi bahwa lebih banyak orang akan terkena pengaruh dari bencana karena lebih banyak akan dipaksa untuk hidup dan bekerja di daerah-daerah yang tidak aman. Bertambahnya jumlah penduduk akan menimbulkan perebutan jumlah sumberdaya yang terbatas ( seperti kesempatan kerja dan lahan) yang dapat menyebabkan terjadinya konflik. Banyak tanah longsor atau bencana banjir terkait erat dengan urbanisasi yang cepat dan tidak terkendali yang memaksa keluarga-keluarga berpenghasilan rendah untuk menetap pada lereng-lereng bukit yang terjal atau jurang-jurang, atau sepanjang tepian sungai yang cenderung mengalami banjir. Gambar 7 : Perkembangan Penduduk Yang Tidak Seimbang Lereng yang tidak stabil Sungai Lereng yang tidak stabil Sungai 63 Gambar diatas menunjukkan proses perkembangan penduduk pada pola pemukiman di Kabupaten Bandung yang bersifat horizontal yang pada akhirnya menempati wilayah lereng-lereng bukit rawan bencana longsor, yang sebelumnya ditumbuhi tanaman keras. Penduduk terus berkembang dan tempat hunian menyebar ke daerah marginal yang tidak aman. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya kesadaran dan informasi. Bencana-bencana dapat juga terjadi karena orang-orang yang rentan terhadap bahaya-bahaya itu memang tidak tahu bagaimana lepas dari cara yang merusak itu atau mengambil tindakan-tindakan perlindungan. Ketidaktahuan ini seharusnya tidak menjadi satu fungsi dari kemiskinan, tetapi kurangnya kesadaran atas tindakan-tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mendirikan bangunanbangunan yang aman di lokasi-lokasi yang aman juga. Barangkali sebagian orang tidak tahu tentang rute -rute evakuasi dan prosedur -prosedur yang aman. Penduduk lain mungkin tidak tahu dimana meminta pertolongan pada saat mengalami tekanan berat. Masyarakat desa Kidangpananjung merasakan kurangnya informasi tentang bahaya bencana tanah longsor dan langakah-langkah apa yang dilakukan untuk tindakan penyelamatan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ketua BPD Bapak Asep Rusmana sebagai berikut : “ Kami sebetulnya sudah lupa akan terjadinya bencana alam tanah longsor di daerah kami, mengapa terjadi longsor dan gejala -gejala apa yang dapat diamati sebelum terjadinya longsor kami belum mendapatkan informasi yang jelas. Pada saat kejadian bencana banyak warga yang panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukan , hal ini disebabkan kurangnya informasi yang kami terima tentang bahaya bencana di daerah kami”. Pandangan Stakeholders Penanggulangan Bencana Pandangan Stakeholders dalam penanggulangan bencana tidak terlepas dari kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. Berkaitan dengan kebijakan tersebut dikemukakan oleh Edi Suharto (2005) , bahwa untuk memahami kebijakan publik ada baiknya membahas beberapa konsep yang termuat dalam kebijakan publik antara lain : 64 1. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memilki kewenangan hukum, politis dan finansil untuk melakukannya. 2. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata, Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat. 3. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak. 4. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya tidak memerlukan tindakan tertentu. 5. Sebuah justifikasi yang dibuat ole h seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan pemerintah maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah. Pada Tingkat Propinsi Jawa Barat Penanggulangan Bencana diatur melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat No.21 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (Satkorlak PB). Adapun unsur Organisasi Satkorlak BPB terdiri dari forum dengan susunan organisasi sebagai berikut : 1. Ketua : Gubernur Jawa Barat 2. Wakil Ketua I : Pangdam III Siliwangi 3. Wakil Ketua II : Kapolda Jawa Barat 4. Pelaksana harian : Wagub Bidang Kesra 5. Wakil Pelaksana : Asisten Kesejahteraan Sosial Setda 6. Sekretaris I : Kepala Biro Pengembangan Sosial 7. Sekretaris II : Kepala Dinas Sosial Propinsi Jabar 8. Anggota : - Unsur Dinas, Badan, Lembaga Tk. Prop. Jabar 65 - Unsur satuan TNI dan POLRI - Unsur pimpinan Perguruan Tinggi - Unsur Organisasi Kemasyarakat dan PMI - Unsur LSM - Unsur Dunia Usaha - Unsur Tokoh Masyarakat - Unsur pakar/cendikiawan Untuk mewujudkan kesiapsiagaan penanggulangan bencana yang berbasis komunitas diharapkan dapat melibatkan stakeholders yang lain (kelembagaan kolaboratif), organisasi pemerintah, swasta dan berbagai organisasi internasional. Keberhasilan jejaring sebagai media untuk perumusan policy menjadi sangat penting, akan tetapi semua bergantung pada komitmen semua stakeholders dalam jejaring tersebut. Hubungan kelembagaan pena nggulangan bencana dan jejaring sosial yang diciptakan antara penanggulangan masyarakat bencana akan daerah rawan menghasilkan bencana dengan komitmen untuk organisasi menyiapkan masyarakat dalam mengantisipasi bencana di wilayahnya. Hubungan kelembagaan dan Jejaring sos ial tersebut seperti pada gambar berikut : Gambar 8 : Hubungan Kelembagaan dan Jejaring Dalam Penanggulanagan Bencana Collective Action Sector Pengusaha/Masya rakat Peduli Bencana Private Sector Jaringan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Masyarakat Korban Bencana atau Masyarakat Daerah Rawan Bencana Bakornas PBP Satkorlak PBP Satlak PBP Publik Sector 66 Kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas akan sulit diwujudkan apabila ketiga unsur stakeholders dalam bidang penanggulangan be ncana belum memberikan kontribusi yang memadai dan belum memiliki komitmen yang jelas. Peran pemerintah dalam penanggulangan bencana di Indonesia selama ini dirasakan masih dominan untuk menagani kejadian bencana di Indonesia, masyarakat korban bencana dianggap sebagai korban yang tak berdaya yang membutuhkan pertolongan dan bantuan tanpa berupaya untuk memberdayakan masyarakat yang terkena bencana. Program Tanggap Darurat, Relokasi Korban Bencana adalah salah satu program yang dirumuskan dari Pemerintah untuk mengani korban bencana. Seiring dengan keterbatasan Dana yang dimilki oleh pemerintah dan lokasi bencana yang umumnya sulit dijangkau, sudah saatnya pemerintah dapat mengurangi perannya dalam menangai korban bencana dan memberdayakan masyarakat korban bencana melalui kesisiapsiagaan bencana berbasis masyarakat. Adapun besar kecilnya Program pemerintah bagi masyarakat daerah rawan bencana tentunya dengan melihat sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat korban bencana, seperti terlihat pada grafik berikut : Gambar 9 : Peran Pemerintah Terhadap Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat Community G1 C1 Goverment to T1 T2 T3 Waktu Titik keseimbangan terjadi dimana tingkat partisipasi masya rakat cukup tinggi sementara pemerintah memfasilitasi program masyarakat dalam rangka kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. 67 Peran pemerintah dalam program Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas berjalan sesuai dengan waktu yang akan diikuti dengan proses partisipasi warga masyarakat korban bencana dalam pemanfaatan potensi yang dimilki. Hasil wawancara dengan stakeholders penanggulangan bencana yang menangani kejadian bencana di Desa Kidangpananjung anatara lain Direktorat Vulkanologi Jawa Barat, Dinas Sosial Jawa Barat, PMI Kabupaten Bandung dan Satkorlak Jawa Barat, masing-masing instansi memilki program Penanggulangan Bencana sesuai dengan Kebijakan instansinya. Menurut analisa kami seharusnya Satkorlak PB sebagai unsur Organisasi Bencana dapat mengakomodir kepentingan instansi tersebut sehingga tercipta suatu keterpaduan tindakan dalam menanggulangi bencana. Adapun hasil wawancara sebagai berikut : Peneliti menetapkan stakeholders berdasarkan kepada pihak-pihak yang melakukan intervensi pada saat kejadian bencana antara lain Dinas Sosial Jawa Barat, Direktorat Vulkanologi Bandung, dan PMI Kabupaten Bandung. Dari hasil wawancara tersebut peneliti menarik kesimpulan sementara bahwa mereka sangat mendukung adanya program kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat untuk menanggulangi bencana, namun ada beberapa kendala yang dihadapi dilapangan untuk mewujudkan program tersebut yaitu belum adanya dana taktis atau anggaran yang disiapkan untuk mengahadapi bencana yang akan datang. Selain itu belum terpadunya penanganan bencana membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merehabilitasi dan merekonstruksi sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana. Dinas Sosial Jawa Barat melalui Bapak Dady Iskandar sebagai Kepala Seksi Urusan Korban Bencana menjelaskan sebagai tentang peran Dinas Sosial dalam Penanganan korban bencana Cililin sebagai berikut : “Pada sat terjadinya bencana alam tanah longsor kami telah melakukan bantuan darurat melalui bantuan beras dan lauk dan mendirikan dapur umum lapangan. Sedangkan pasca bencana kami telah memberikan bantuan Bahan Bangunan Rumah untuk korban bencana sebanyak 127 KK yang direlokasi ke Kampung Cikopeng melalui dana Departemen Sosial RI. Berkaitan dengan program yang akan datang, Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat melalui program Taruna Siaga Bencana (Tagana) bertujuan untuk membangun menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana melalui Organisasi Karang Taruna yang ada di daerah bencana”. Lebih lanjut dikatakan berkaitan dengan kesiapsiagaan berbasis komunitas sebagai berikut : 68 “Pada dasarnya rencana Program Taruna Siaga Bencana ini nantinya dimaksudkan untuk mendidik dan melatih organisasi-organisasi Karang Taruna di Propinsi Jawa Barat yang daerahnya termasuk kategori daerah bencana. Program ini bertujuan untuk memberikan motivasi kepada anggota Karang Taruna untuk peduli dan aktif dalam penanggulanagan bencana dan menyiapkan anggota Karang Taruna yang terlatih dalam Penanggulangan Bencana. Pada prinsipnya kami sangat mendukung upaya penanggulangan bencana yang berbassis masyarakat, karena program kamipun mengarah kesana melalui program Tagana ini”. Berkaitan dengan penganan bencana yang dilakukan oleh Direktorat Vulakanologi dijelaskan oleh Bapak Tigor MHL Tobing tentang kebijakan penanganan bencana yang selama ini dilaksanakan sebagi ber ikut : “Kami telah membuat peta daerah rawan bencana di seluruh jawa Barat termasuk Jawa Barat Bagian Selatan yang memiliki kawasan sangat rawan longsor. Menurut kami penanggulangan bencana tidak dapat dilaksanakan secara sektoral saja akan tepai secara terpadu pihak -pihak yang terkait dengan penbanggulangan bencana seperti Dinas Sosial, PMI, dan Masyarakat harus terintegrasi sehingga penanganan bencana dapat meminimalisir kerugian yang diderita. Penanganan bencana sering menghadapi kendala terbatasnya dana pada saat terjadinya bencana, belum ada dana pada pemerintah yang dialokasikan untuk penanganan bencana apabila terjadi bencana. Hal ini mengalami kendala di Ditjen Anggaran yang belum menyetujui adanya anggaran taktis untuk bencana, masalahnya masih ada pos-pos lain yang membutuhkan anggaran secara mendesak. Penanganan bencana idealnya dilaksanakan secara terpadu apakah dalm bentuk Badan Penanggulanagan Bencana yang didalamnya terdapat dana dari Sebelum terjadi bencana , Tanggap darurat dan Pasca Bencana. Kejadian Bencana Tsunami di NAD yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang lalu, dimana kami sudah menutup anggaran terpaksa menggunakan dana pribadi untuk berangkat menuju lokasi bencana. Ini sekedar contoh pentingnya dana taktis dalam menangani penananganan bencana, Kami sangat setuju dengan adanya penanggulangan bencana yang berbasis komunitas, karena masyarakatlah yang lebih tahu daerahnya rawan bencana dan masyarakatlah yang menerima akibat dari bencana itu. Untuk itu perlu upaya untuk memberikan pengetahuan dan pelatihan tentang upaya mengantisipasi bencana di daerah rawan bencana”. Palang Merah Indonesia Kabupaten Bandung Bapak Supriyadi selaku Koordinator Satgana PMI, yang menangani bencana tanah longsor di Desa Kidangpananjung mengemukakan pendapatnya tentang kebijakan Penanggulangan Bencana yang selama ini dilaksanakan oleh PMI sebagai berikut : 69 “PMI melalui Satuan Tugas Penanggulangan bencana melakukan penaganan darurat apabila terjadi bencana dengan mendirikan dapur umu m lapangan, melakukan evakuasi korban selama 10 hari terhitung sejak terjadinya bencana. Setelah itu PMI akan menarik anggotanya dan dilanjutkan penanganannya oleh masyarakat. PMI juga sedang menyusun suatu program untuk melatih masyarakat dalam menghadapi bencana yang akan datang melalui program mengevakuasi korban dan mendirikan dapur umum lapangan. Permasalahannya sekarang adalah setelah petugas PMI selesai melaksanakan bantuan darurat di daerah bencana, sedangkan masyarakat belum siap untuk mengoperasionalkan peralatan penanggulangan bencana, maka korban bencana yang masih membutuhkan bantuan akan terlantar. Untuk itulah diperlukan suatu kesiapan masyarakat dalam pengetahuan dan keterampilan dalam bidang bencana terutama masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana seperti di Desa Kidangpananjung ini”. Hampir seluruh stakeholders sepakat bahwa penanggulangan bencana berbasis komunitas sangat relevan dengan kondisi saat ini yaitu letak lokasi bencana yang sangat terisolir sehingga sulit dijangkau oleh alat transportasi dan keterbatasan dana serta personil instansi yang menangani bencana. Pada saat bencana terjadi masyarakatlah yang pertama sekali yang akan terkena dampak dari bencana tersebut “ The First Responder “. Untuk melihat kebijakan dan tujuan kelembagaan penanggulangan bencana yang ada selama ini dilaksanakan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 : Kebijakan Organisasi Penanggulangan Bencana NO NAMA INSTANSI BENTUK BANTUAN TUJUAN KELEMBAGAAN SASARAN BANTUAN 1. BAKORNAS PB P ( Kepres No.3 tahun 2001 ) Bersifat koordinatif Non Struktural dalam skala Nasional. Mengkoordinasikan upaya dan usaha penanggulangan bencana dan pengungsi di Indonesia baik pada saat terjadi, sebelum dan pasca bencana. Masyarakat yang terkena bencana yang dinyatakan sebagai bencana nasional oleh Presiden. 2. SATKORLAK PBP ( KepGub. Jawa Barat No. 21 tahun 2001) Bersifat koordinatif Non Struktural dalam skala Propinsi. Mengkoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana dan pengungsi didaerah. Masyarakat korban bencana pada Tingkat Propinsi. 3. Depdagri ( Kepmendagri No.131 Tahun 2003 Memberikan pedoman kepada aparat pemerintah dan masyarakat di daerah dalam penyelenggaraan Untuk memantapkan keterpaduan langkh dan tindakan bagi aparat pemerintah dan § § § § Gubernur Bupati Camat Desa/Kelurahan 70 penanggulangn bencana dan penanganan pengungsi 4. Departemen Sosial melalui Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat ( Juklak dan juknis Dit. Bencana Alam) § Bantuan Darurat dalam bentuk Beras dan lauk pauk dan Dapur Umum Lapangan. § Relokasi korban bencana dalam bentuk Bahan bangunan rumah 5. PMI Bantuan Darurat dalam bentuk : Evakuasi korban, Tim Medis dan Dapur Umum Lapangan. (Pelaksanaan di lokasi bencana selama 10 hari) 6. Direktorat Vulaknologi Sub. Direktorat Mitigasi Bencana Geologi Melakukan pemeriksaan penyebab terjadinya bencana( gerakan tanah) Daerah yang terkena bencana dan melaporkannya kepada instansi terkait. masyarakat di daerah dalam penanggulangan bencana dan pengungsi yang bertumpu pad kemandirian dan keswadayaan masyarakat secara berdayagun dan berhasilguna. § Meringankan penderitaan korban bencana. § M emotivasi masyarakat secara swadaya untuk membangun rumah korban bencana yang telah rusak total. § Sebagai organisasi kemasyarakatan membantu dan bekerjasama dgn pemerintah dalam penanggulangan bencana terutama dalam mengani masalah manusianya yaitu para korban bencana. § Menyelenggarakan penanggulangan korban bencana guna meringankan derita korban baik fisik, mental dan sosial. § Hasil pemeriksaan lokasi bencana yang dilakukan Dit. Mitigasi Bencana dan Geologi menjadi bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam penanggulangan bencana dan relokasi oleh Pemerintah. § Melakukan pemetaan daerah rawan Bencana di Daerah J awa Barat. Masyarakat korban bencana alam. Masyarakat korban bencana alam Lokasi daerah rawan longsor. Data : Hasil Kajian Dokumen 2004 Strategi Perancangan Program Kesiapsiag aan Bencana Berbasis Komunitas Secara Partisipatif. Strategi di dalam kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas secara partisipatif digunakan tiga elemen penguatan kapasitas yaitu : 71 1. Pembangunan kapasitas masyarakat daerah rawan bencana 2. Penguatan kelembagaan di lokasi bencana 3. Pembentukan jejaring antara masyarakat dengan organisasi Penanggulangan Bencana. Dari hasil penggalian data untuk menentukan prioritas kebutuhan masyarakat dalam rangka kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas, dapat terindentifikasi permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Dalam perancangan program yang partisipatif harus melibatkan semua unsur yang terkait yang ada di Desa Kidangpananjung yaitu Kepala Desa, Ketua LKMD, Ketua BPD, Tokoh Masyarakat, Ketua RW dan Ibu-ibu PKK. Berdasarkan permasalahan pokok tersebut dilakukan Focus Group Discussion (FGD) yaitu diskusi kelompok terarah yang bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai permasalahan pokok yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap anggota masyarakat, tokoh masyarakat dan aparat desa. Dari hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan, diperoleh gambaran mengenai permasalahan tentang pentingnya upaya pencegahan terhadap bencana dripada menanggulanginya. Selama ini masyarakat hanya beranggapan bahwa bencana yang terjadi merupakan musibah yang menimpa warga masyarakat di Desa Kidangpananjung, namun penjelasan mengenai penyebab terjadinya tanah longsor telah memberikan wawasan baru bagi warga masyarakat. Diskusi kelompok dalam rangka identifikasi masalah berlangsung atas undangan dari Kepala Desa yang bertepatan dengan perayaan 17 Agustusan, dimana terdapat kesenian jaipongan dan wayang golek yang waktu pelaksanaannya selesai sampaidengan pagi hari. Pertimbangan kepala Desa mengundang peneliti karena hampir semua tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan Aparat Desa hadir apabila ada perayaan yang sama, hal ini merupakan kesempatan untuk bertemu dan bertatap muka kepada masyarakat. Diskusi kelompok ini diawali dengan penjelasan fasilitator tentang kejadian bencana tanah longsor yang terjadi pada tanggal 21 April 2004 yang lalu, dengan memperlihatkan beberapa foto-foto bencana, matrik dan potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Tanggapan peserta diskusi sangat antusias terhadap penjelasan peneliti dan menyambut baik rencana yang akan dilaksanakan. Berikut foto suasana diskusi yang dilaksanakan di rumah Kepala Desa Kidangpananjung pada tanggal 24 Agustus 2004 dari Jam 20.00 – 11.00 WIB. 72 Foto : Kegiatan Diskusi Identifikasi Masalah Penjelasan peneliti kepada masyarakat tentang kejadian bencana tanah longsor tahun 2004 dengan menampilkan gambar dan sketsa. Tanggapan dari Kepala Desa Kidangpananjung tentang permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana. Sumber masalah kurangnya kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan bencana adalah kondisi masyarakat yang beranggapan bahwa bencana tanah longsor yang terjadi merupakan suatu musibah yang datangnya dari Allah SWT, jadi diterima 73 dengan keikhlasan. Selain itu belum adanya sosialisasi pengetahuan tentang penyebab terjadinya longsor dan apa yang harus dilakukan oleh masyarakat bila terjadi bencana. Tabel 10 menunjukkan permasalahan pokok Kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Kidangpananjung. Tabel 10 : Permasalahan Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas NO Permasalahan Penyebab Upaya Pemecahan Masalah 1. Kurangnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat Anggapan masyarakat terhadap bencana sebagai suatu musibah 2. Kurangnya pen getahuan tentang bahaya tanah longsor dan manajemen evakuasi. Belum adanya instansi yang memberikan informasi tentang bahaya tanah longsor dan manajemen evakuasi. Penyuluhan oleh tokoh agama dan Ketua LKMD tentang upaya masyarakat untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang berada diatas bukit. Melakukan penyuluhan dan pemetaan Daerah rawan Bencana dan lokasi yang aman bagi evakuasi. 3. Masyarakat sangat terancam dengan adanya bahaya tanah longsor pada musim hujan Masyarakat tinggal di daerah rawan bencana, yang sewaktuwaktu dapat terjadi kembali. Penyuluhan dan memberikan leaflet tentang bahaya longsor dan langkah-langkah yang dilakukan. 4. Belum adanya alat komunikasi dan informasi dalam rangka peringatan dini dan yang dapat menghubungkan satu RW dengan RW yang rawan terhadap bencana. Belum adanya alat komunikasi dan informasi yang efektif apabila terjadi bencana yang tidak tergantung pada listrik. Pengadaan alat komunikasi yang membutuhkan biaya mencapai Rp. 15 juta. Pembuatan kentongan pada tiap RT sebagai tanda peringatan dini. Melakukan koordinasi dengan Organisas RAPI sebagai Stakeholders PB 5. Perlunya dibentuk tim penanggulangan bencana sampai dengan tingkat RT Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah untuk dapat menerima informasi tentang bahaya bencana dan upaya mengantisipasi bila terjadi bencana. Pembentukan Tim Penanggulangan Bencana dengan anggota Ketua RW, Ketua RT, Tokoh Masyarakat. Setiap Tim terdiri dari 10 orang sesuai dengan kompetensi masing-masing. 6. Perlunya memberikan informasi bagi anak-anak yang berada di Sekolah Dasar Memberikan informasi bencana tanah longsor pada kurikulum muatan local. 7. Adanya anggota masyarakat merusak lingkungan dengan cara menebang pohon sembarangan. Pentingnya kejadian bencana sebagai bahan pelajaran untuk generasi penerus diberikan sejak dini. Kurangnya pengetahuan pentingnya pohon sebagi penahn air hujan pada lereng di sekitar bukit. Menciptakan peraturn desa yang memberikan sangsi bagi siapa saja yang merusak lingkungan. Dari masalah yang dikemukakan oleh para peserta hampir semuanya berkaitan dengan upaya masyarakat desa Kidangpananjung dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi bencana yang akan datang. Seluruh peserta diskusi sepakat untuk merealisasikan kegiatan tersebut melalui sumberdaya yang ada. 74 Para peserta sadar sepenuhnya bahwa mereka tinggal di daerah rawan bencana alam tanah longsor dan harus dapat menerima keadaan tersebut, tinggal bagaimana cara atau upaya dari warga masyarkat untuk menyiapkan diri dalam menghadapi bencana yang akan datang. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Desa Kidangpananjung “ Bapak Ii Setia Permana “ sebagai berikut : “ Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Syafii Nasution yang sudah mau memfasilitasi pertemuan ini dalam rangka kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. Bapak sebagai orang luar desa saja mau memperhatikan kami, apalagi kami warga desa akan sangat terbantu dengan adanya rencana ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami tinggal didaerah rawan bencana dan mustahil bagi kami untuk dapat menghindar dari keadaan ini, misalnya seluruh warga desa dipindahkan ke tempat lain, tentunya itu bukanlah cara yang mudah dalam melaksanakannya. Akhirnya saya sebagai kepala desa mengajak seluruh warga saya yang hadir disini untuk bersama-sama melakukan upaya pencegahan agar peristiwa yang lalu tidak terulang kembali. Apa yang kita lakukan sekarang adalah untuk masa depan anak cucu kita dikemudian hari,” Pada kesempatan yang sama Pak Lurah juga menyampaikan usulan tentang perlunya alat komunikasi yang dapat menghubungkan antara RW 01 sampai dengan RW 06 sehingga dapat dengan mudah mendeteksi masalah yang ada baik bencana maupun tindak criminal : “ Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Kidangpananjung adalah tidak adanya informasi yang dapat diketahui pada saat kejadian, saya baru dapat menerima informasi sehari setelah kejadian. Untuk itu saya mengusulkan perlu adanya suatu alat komunikasi yang dapat menghubungkan antar RW dan antar RW dengan Kepala Desa sehingga informasi dapat diterima dengan cepat dan dapat diambil suatu tindakan untuk meminimalisir dampak yang terjadi. Namun demikian apabila alat komunikasi tersebut bergantung kepada listrik maka pada saat kejadian bencana yang lalu listrik padam, maka alat tersebut kurang efektif digunakan. Untuk mengantisipasi hal ini saya mengusulkan untuk membuat kentongan pada tiap RT yang kentongan tersebut dipukul secara terus menerus apabaila terjadi bencana sehingga membuat masyarakat terhindar dari bahaya yang akan ditimbulkan.” Pendapat yang sama diutarkan oleh Ketua BPD Bapak Asep Rusmana tentang perlunya upaya pencegahan daripada upaya menanggulangi bencana : “ Saya berpendapat bahwa upaya pencegahan lebih berarti daripada upaya menanggulangi bencana. Pengalaman yang lalu apabila terjadi bencana semua yang sudah kita lakukan menjadi tidak ada artinya, untuk itu lebih baik kita lakukan upaya-upaya pencegahan melalui RW, RT dan warga masyarakat sehingga masyarakat sadar akan bahaya yang ditimbulkan akibat menebang pohon sembarangan. Apabila masyarakat masih membandel tetap menebang pohon mungkin bisa diberikan terguran oleh RT setempat atau oleh Ketua RW yang bersangkutan. 75 Berkaitan dengan pentingnya memelihara lingkungan disekitar wilayah pemukiman dikemukakan oleh E. Karmana sebagai Sekretaris Desa Kidangpananjung : “ Saya menghimbau bagi para ketua RW untuk bisa menyampaikan kepada RT dan Warganya agar menjaga ta naman yang ada diatas bukit untuk dijaga, karena seperti penjelasan Bapak Syafii tadi bahwa apabila tidak ada pohon yang mampu menahan dan curah hujan cukup tinggi besar kemungkinan akan terjadi longsor kembali. Saya akan membantu sepenuhnya untuk mensosialisasikan dari hasil pertemuan ini ketiap-tiap RW. Pentingnya kebersamaan untuk menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana dikemukakan oleh Bapak Tatang salah seorang tokoh masyarakat yang juga sebagai PLKB Kecamatan Cililin : “ Apa yang disampaikan oleh bapak -bapak semua sebelumnya adalah untuk menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana yang akan datang, akan tetapi saya ingin menggarisbawahi pertemuan ini, bahwa tanpa adanya kebersamaan diantara kita untuk merealisasikan ini semua maka akan percuma. Untuk itu pertemuan ini hendaknya ditindaklanjuti dengan pertemuan berikutnya yang akan membahas lebih detail tentang penanganan masalah -masalah seperti yang disampaikan berkaitan dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana.” Senada dengan pernyataan Kepala Desa tentang perlunya alat komunikasi Ketua LKMD memberikan saran yang berkaitan dengan peringatan dini seperti yang dikemukakannya : “ Di Desa Kidangpananjung memiliki 2 buah mesjid di tiap RW yang mempunyai pengeras suara apabila ada gejala akan terjadi longsor, pengeras suara ini dapat dipergunakan untuk mengingatkan warga masyarakat. Saya berpendapat selain peringatan juga harus ada pengorganisasian orang-orang yang ditunjuk untuk mengkoordinir masyarakat untuk menuju daerah yang aman dari bahaya longsor. Saya setuju kalau kita menetapkan terlebih dahulu daerah yang aman pada tiap RW untuk melakukan evakuasi warga masyarakat.” Salah seorang tokoh masyarakat yang juga seorang guru di SD Walahir yaitu Bapak Kunan mengemukakan pentingnya peristiwa bencana ini diberikan di sekolah melalui pelajaran muatan lokal seperti yang diungkapkannya : “ Saya menyimak dari apa yang disampaikan dalam diskusi tadi bahwa perlu juga kiranya anak sekolah mengetahui peristiwa bencana yang pernah terjadi di desa mereka. Pelajaran ini akan saya coba usulkan untuk dimasukkan dalam muatan local seperti yang ada di kurikulum SD Walahir, tujuannya adalah agar sejak kecil atau sejak di bangku sekolah mereka sudah memahami akanbahaya bencana alam tanah longsor dan pentingnya memelihara lingkungan yang ada disekitar mereka. “ 76 Dari tujuh masalah yang berhasil diidentifikasi oleh peserta diskusi, kemudian dilaksanakan analisis permasalahan yang betul-betul dianggap sebagai penyebab masalah yang menimbulkan akibat dan pengaruh terhadap keberlanjutan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Keempat permasalahan pokok tersebut dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 10 : Analisis Permasalahan Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas Menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda Ma syarakat kurang waspada terhadap bencana Masyarakat Kurang Termotivasi Gundulnya hutan pinus yang mengakibatkan tanah longsor A K I B A T Kurangnya pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat terhadap bahaya tanah longsor Kurangnya informasi tentang bahaya tanah longsor dan langkah antisipasi Belum adanya tanda peringatan dini Belum adanya Tim Siaga Bencana Desa Adanya anggota masyarakat dan oknum Perhutani yang merusak lingkungan Dari analisis permasalahan, maka dapat ditetapkan skala prioritas permasalahan pokok kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Tahapan analisis permasalahan dilaksanakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Desa Kidangpananjung dalam rangka mencegah terjadinya bahaya tanah longsor dan upaya mengatisipasinya. Oleh karena itu melalui analisis permasalahan kesiapsiagaan bencana yang diilakukan melalui diskusi kelompok dapat ditentukan prioritas masalah sebagaimana terlihat pada tabel : 77 S E B A B Tabel 11 : Prioritas Permasalahan Pokok Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas NO 1 Permasalahan Kurangnya pengetahuan tentang bahaya tanah longsor dan manajemen evakuasi. Penyebab Belum adanya instansi yang memberikan informasi tentang manajemen evakuasi. Upaya Pemecahan Masalah Melakukan penyuluhan dan pemetaan Daerah rawan Bencana dan lokasi yang aman bagi evakuasi. 2. Belum adanya alat komunikasi dan informasi dalam rangka peringatan dini dan yang dapat menghubungkan satu RW dengan RW yang rawan terhadap bencana. Perlunya dibentuk tim siaga bencana desa sampai dengan tingkat RT Belum adanya alat komunikasi dan informasi yang efektif apabila terjadi bencana yang tidak tergantung pada listrik. Pengadaan alat komunikasi yang membutuhkan biaya mencapai Rp. 15 juta. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah untuk dapat menerima informasi tentang bahaya bencana dan upaya mengantisipasi bila terjadi bencana. Pembuatan kentongan pada tiap RT sebagai tanda peringatan dini. Melakukan koordinasi dengan Organisas RAPI sebagai Stakeholders PB Adanya anggota masyarakat merusak lingkungan dengan cara menebang pohon sembarangan. Kurangnya pengetahuan pentingnya pohon sebagai penahan air hujan pada lereng di sekitar bukit. Menciptakan peraturan desa yang memberikan sangsi bagi siapa saja yang merusak lingkungan. 3. 4. Pembentukan Tim Penanggulangan Bencana dengan anggota Ketua RW, Ketua RT, Tokoh Masyarakat. Setiap Tim terdiri dari 10 orang sesuai dengan kompetensi masing-masing. Sumber : Hasil Kajian Lapangan Masalah lainnya tidak menjadi prioritas karena masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan melalui Tim yang nantinya akan dibentuk yang terdiri dari para tokoh masyarakat yang dipercaya oleh masyarakat sebagi pemimpin masyarakat. Berdasarkan analisis permasalahan, langkah selanjutnya dilaksanakan analisis tujuan yang dapat dijadikan pedoman didalam membuat rancangan program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas, sehinga rancangan program yang dibuat mempunyai tujuan dan sasaran yang tepat. Pelaksanaan analisis tujuan dilakukan melalui diskusi kelompok, adapun hasil dari analisis tujuan sebagai berikut : 78 Gambar 11 : Analisis Tujuan Perancangan Program Secara Partisipatif Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat Meningkatnya kewaspadaan masyarakat Agar program dapat berkelanjutan Memberikan sangsi yang jelas dan tegas Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas Sosialisasi Bencana Longsor melalui Jaringan Komunikasi Desa Pembuatan kentongan sbg tanda peringatan dini Pembentukan Tim Penanggulangan Bencana Desa Pembuatan Peraturan Desa Dari hasil analisis tujuan dihasilkan rancangan tindakan berupa rancangan program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Berikut adalah ungkapan yang dikemukakan oleh peserta diskusi kelompok : Bapak Tatang : “ Mari kita secara bersama-sama menyadari bahwa kita semua tinggal di daerah rawan bencana tanah longsor, dan yang harus kita lakukan adalah menjaga rasa kebersamaan untuk dapat memberikan penyadaran kepada warga masyarakat untuk selalu waspada terhadap bencana yang datang dan mensosialisasikan pentingnya pemeliharaan lingkungan di Desa Kidangpananjung”. Setelah diskusi kelompok dilakukan, langkah selanjutnya dilakukan diskusi secara parsial kepada tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat secara aktif pada saat terjadi bencana alam tanah longsor. Tujuan dilakukannya diskusi lanjutan secara parsial untuk klarifikasi hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan, mengingat pada saat diskusi kelompok yang pertama hanya beberapa tokoh masyarakat dan aparat desa yang mendominasi jalannya diskusi, sehingga dianggap perlu untuk menggali data lebih mendalam aspirasi masyarakat yang telah disampaikan kepada tokoh-tokoh masayarakat yang ada. 79 H A S I L T I N D A K A N Dari hasil diskusi secara parsial dilanjutkan dengan diskusi kelompok seluruh warga masyarakat Desa Kidangpananjung yang diwakili oleh Kepala Desa, Aparat Desa, Tokoh Masyarakat, Ketua RW 1, Ketua RW 2, Ketua RW 3, Ketua RW 4, Ketua RW 5, Ketua RW 6, Ketua LKMD dan Ketua BPD. Hasilnya adalah kesepakatan bersama mengenai perancangan program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas yang akan melibatkan seluruh partisipasi masyarakat. Rumusan analisis tujuan dibuat berdasarkan rumusan analisis masalah yang tujuannya adalah untuk mengidentifikasi tujuan dan sasaran dari rancangan program yang akan dibuat secara partisisipatif. Dari tinda kan-tindakan yang akan dilakukan melalui perancangan program yaitu Sosialisasi proses terjadinya tanah longsor melalui Jaringan komunikasi desa, pembuatan dan pengadaan kentongan sebagai tanda peringatan dini, pembentukan tim penanggulangan bencana desa dan pembuatan peraturan desa. Semua rancangan program tersebut bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada warga masyarakat tentang kondisi wilayah mereka yang termasuk daerah rawan akan bencana tanah longsor dan apa yang harus dilakukan untuk meminimalisir kerugian yang dia kibatkan oleh bencana, dengan kata lain menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana alam tanah longsor yang akan terjadi. Tahapan berikutnya yang dilakukan adalah melaksanakan analisis alternatif program berdasarkan rumusan analisis tujuan yang telah dibuat, melalui tinda kan memilih beberapa alternatif dari alternatif yang ada. Tahapan ini dilakukan melalui diskusi kelompok dan Participatory Assesment Method ( Metode Partisipasi Assesment ). 80 RANCANGAN PROGRAM KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS Analisis Alternatif Program Sebelum dibuat rancangan program kesiapsiagaan masyarakat berbasis komunitas terlebih dahulu dilaksanakan analisis alternatif, yang bertujuan untuk memilih beberapa program dan beberapa alternatif program yang ada. Hal ini dilakukan agar program yang dirancang betul-betul merupakan program dari aspirasi seluruh warga masyarakat, sehingga program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas merupakan program partisisipatif. Berdasarkan analisis alternatif yang telah dilakukan bersama masyarakat seluruh program saling terkait satu sama lain dan saling memberikan kontribusi, dengan perkataan lain seluruh program dari Penyuluhan, Pembuatan kentongan, Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa dan Pembuatan Peraturan Desa memilki kelebihan dan kekurangannya. Namun demikian apabila program ini dapat terealisasikan secara bersamaan akan menciptakan kesiapsiagaan masyarakat daerah rawan bencana yang kuat dan mampu mengantisipasi bencana tanah longsor di wilayah Desa Kidangpananjung. Analisis Pihak Terkait (Stakeholders) Analisis pihak terkait dilaksanakan sebagai bagian dari tahapan metode Logical Frame Work analysis (LFA) di dalam membuat rancangan program kesiapsiagaan bencana. Dari analisis pihak terkait dapat dilihat peran dari masingmasing pihak terkait serta kekuatan dan keterbatasannya agar dapat meningkatkan peranan pihak-pihak terkait ini secara optimal. Tabel 12 merupakan matriks analisis pihak terkait. Seperti halnya pada tahapan-tahapan sebelumnya, proses pelaksanaan analisis pihak terkaitpun melalui diskusi kelompok. Langkah selanjutnya adalah menyusun matrik analisis pihak terkait. Hasil penyusunan analisis pihak terkait ini dapat teridentifikasi pihak-pihak yang terlibat langsung dengan program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Dalam merancang program kelembagaan local yang ada di desa melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pihak pemerintah terutama dalam merancang program-program yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan peraturan dan sistem peringatan dini. Dalam hal ini pihak yang terlibat tidak hanya terbatas pada pemerintah akan tetapi juga berkoordinasi dengan Organisasi-organisasi dalam bidang manajmen bencana. Tabel 12 : Analisis Pihak Terkait NO Peran yang Kekuatan Kelemahan diharapkan Kesiapsiagaan 1. Warga Masyarakat Daerah rawan bencana tanah longsor Rw. 03, 04, 05 dan 06. Kemauan yang kuat untuk terbebas dari bahaya bencana. Nilai -nilai budaya yang melekat. 2. Para Ketua RT dan Ketua RW yang wilayahnya termasuk daerah rawan bencana dan Organisasi RAPI Mendapatkan kepercayaan dari Masyarakat 3. Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Ketua LKMD dan Ketua RW yang wilayahnya rawan bencana Memiliki pengetahuan tentang bencana, kesehatan dan jejaring. 4. Ketua BPD, Kepala Desa, Kapolsek Cililin dan Pihak Perhutani. Memiliki kewenangan menegakkan aturan penebangan liar. 5. Camat Cililin Memiliki legalitas formal 6. PMI Bandung Kabupaten Memiliki Program Penanggulangan Bencana. Kurang menyerap informasi 7. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi bencana Jawa Barat. Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat Memiliki Program Pemetaan Daearah Rawan Bencana Kurang menyerap informasi Memiliki Pelatihan Bencana Kurang menyerap informasi 8. Upaya Program Taruna Siaga Kurangnya informasi tentang bahaya bencana dan Tingkat pendidikan yang rendah Belum memiliki Tanda peringatan dini terjadinya bencana Sosialisasi bahaya bencana longsor dan langkah-langkah antisipasi masyarakat. Belum adanya Tim Penanggulangan Desa untuk memotivasi masyarakat dan Tanggap Darurat Belum adanya aturan dan sangsi yang jelas bagi masyarakat dan oknum yang terbukti melakukan penebangan liar. Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa Pembuatan kentongan dalam rangka peringatan dini. Pembuatan Peraturan Desa Memantau keberlanjutan program kesiapsiagaan bencana. Melakukan Pembinaan Tim Siaga Bencana yang dibentuk Desa Memberikan Data kondisi geografis Desa. Mengikutsertakan Tim Bencana Desa dalam Pelatihan Tingkat Propinsi. 82 Latar Belakang Rancangan Program Dalam rangka menjawab masalah pokok kajian ini yaitu Bagaimana Strategi Program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas ?, telah dilakukan serangkaian kajian mulai dari pemetaan sosial Desa serta pemetaan sosial tingkat RW yang menjadi korban bencana tanah longsor dan RW yang menjadi daerah relokasi korban bencana. Kemudian dilakukan evaluasi dan analisis program pengembangan masyarakat serta analisis faktor -faktor penyebab terjadi bencana berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana be rbasis komunitas. Hasil dari kajian tersebut dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang mengakibatkan kerugian harta benda dan korban jiwa bagi masyarakat yang terkena bencana. Oleh karena itu perlu dirancang program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas yang akan memberdayakan sumberdaya yang dimilki oleh masyarakat. Dalam rangka penyelesaian masalah yang ada, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan, baik oleh warga masyarakat daerah rawan bencana maupun oleh pihak luar, dalam hal ini masyarakat dan stakeholder atau pihak yang berkepentingan lainnya. Dari upaya pemecahan masalah yang ada dapat dipilah mana yang harus segera dilakukan dan pemecahan masalah mana yang harus terus menerus dilakukan. Apabila seluruh upaya pemecahan masalah tersebut dapat dilkukan secara simultan, maka dapat dipatikan tujuan kajian ini akan tercapai. Dari upaya pemecahan masalah yang ada, hal yang dapat segera dilakukan adalah seperti yang dikemukakan oleh Fredian Tonny, dkk (2004) bahwa dalam penegembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas dan unik untuk setiap komunitas dan modal sosial, yaitu : (1) Kepemimpinan komunitas (Community leader), (2) Dana komunitas (Community Fund) , (3) Sumber daya material (Community material), (4) Pengetahuan komunitas (Community knowledge), (5) Proses pengambilan keputusan oleh komunitas (Community Deciton Making), (6) Teknologi Komunitas ( Community Technology), dan (7) Organisasi Komunitas (Community Organisation). Berdasarkan pendekatan tersebut, diidentifikasi modal sosial dalam pengembangan masyarakat sangat dipengaruhi oleh adanya kepercayaan (Trust) yang dimiliki warga terhadap para pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, sehingga faktor kepemimpinan informal dapat digunakan untuk turut be rperan dalam penyelesaian masalah dalam kesiapan masyarakat menghadapi bencana. Selanjutnya 83 penghimpunan dana masyarakat berupa kebersamaan dan kekerabatan yang kuat diantara sesama warga masyarakat telah memunculkan solidaritas yang tinggi yang mendorong masyarakat untuk memiliki rasa senasib sepenanggungan dalam mengahadapi bencana yang akan datang. Lebih lanjut Rahman dalam Fredian Tonny, dkk (2004) mengatakan bahwa konsep dana pada masyarakat tidak saja mencakup uang sebagai alat tukar yang umum dipakai sekarang, tetapi juga hubungan yang mereka jalin, kekerabatan dan kebersamaan juga merupakan sumber dana. Dengan kondisi tersebut dapat digalang dana masyarakat melalui hubungan kekerabatan diantara sesama warga masyarakat yang hampir 90 % memiliki hubungan darah. Dana komunitas yang dilandasi oleh kekerabatan dan kebersamaan dapat dilakukan untuk program kesiapsiagaan bencana. Sumberdaya Material merupakan kelengkapan sarana administrasi organisasi yang ada di komunitas, melalui pemanfaatan Posko Pena nggulangan Bencana yang juga Rumah Kepala Desa yang dapat digunakan secara efektif. Pengetahuan komunitas yang dapat dimanfaatkan pengetahuannya dengan cara mengangkat anggota tim Penaggulangan Desa berdasarkan keahlian dan kompetensi dibidangnya. Proses pengambilan keputusan dilakukan dilakukan dengan mengikutsertakan seluruh masyarakat yang diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat. Teknologi komunitas berkaiatan dengan dengan teknologi tepat guna yang dimilki oleh masyarakat untuk menjalankan program kesiaps iagaan bencana sehingga dapat meminimalisir kerugian yang diakibatkan terjadinya bencana. Organisasi komunitas merupakan perkumpulan orang dalam masyarakat yang mengelola kegiatan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas, pembentukan tim Penanggulanagan bencana Desa yang dikelola berdasarkan hubungan-hubungan yang bersifat informal dan adanya solidaritas yang tinggi diantara sesama anggota. Oleh karena itu diperlukan kebersamaan diantara sesama warga masyarakat dalam mengorganisasikan masyarakat untuk kes iapsiagaan bencana dengan memanfaatkan modal sosial yang meliputi kepercayaan (trust), kekerabatan, nilai-nilai gotong royong yang tinggi. Kepercayaan yang dimil iki warga terhadap para pimpinan masyarakat baik formal maupun informal dapat digunakan untuk mengajak masyarakat agar dapat bersama -sama menyelesaikan masalah yang dihadapi berkaitan dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Selain hal tersebut Networking dalam Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas sangat diperlukan 84 guna upaya pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia Tim Siaga Bencana dan pembentukan jaringan komunikasi antar daerah rawn bencana untuk mengenatisipasi terjadinya bencana. Tujuan dan Sasaran Program Tujuan disusunnya rancangan program ini adalah sebagai upaya untuk kesiapsiagaan bencana bagi masyarakat daerah rawan bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung. Rancangan program ini merupakan rangkaian strategi yang dapat menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana yang terjadi dengan mengoptimalkan sumberdaya yang terdapat di masyarakat. Sasaran dalam rancangan program pada dasarnya adalah masyarakat daerah rawan bencana yang didalamnya termasuk korban bencana alam tanah longsor yang terjadi tahun 2004 yang lalu. Program Aksi Dalam rangka pe ncapain tujuan kajian ini, maka disusun strategi berupa rancangan program aksi kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Program harus mendapat dukungan dari semua pihak, dalam hal ini dukungan dari masyarakat Rw.03, 04, 05 dan 06 yang wilayahnya termasuk kategori daerah rawan bencana serta masyarakat RW.01 dan 02 yang tidak termasuk daerah rawan bencana serta dukungan dari pihak terkait dalam penanggulangan bencana. Adapun sumber pembiayaan pelaksanaan program dapat berasal dari swadaya masyarakat dan bantuan stimulan dari pihak swasta. Proses perencanaan program dilakukan melalui diskusi kelompok dengan mempertimbangkan tahapan analisis-analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Diskusi dilakukan pada tanggal 4 September 2005 yang semula direncanakan di rumah Kepala Desa, namun karena sesuatu hal akhirnya dilaksanakan di rumah Ketua RW 02 yang lokasinya bersebelahan dengan rumah Kepala Desa. Diskusi dimulai pada pukul 20.00 dan diakhiri pukul 22.00 dan dihadiri oleh 14 orang peserta yang terdiri dari Ketua BPD, Sekretaris Desa, Para Ketua RW dan Tokoh Pemuda dan Tokoh Masyarakat. 85 Rancangan Program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas 1. Latar Belakang Bencana alam tanah longsor yang terjadi pada tanggal 21 April 2004 yang lalu di Desa Kidangpananjung telah mengakibatkan kerugian harta benda dan hilangnya sanak keluarga sebagian masyarakat di RW 03. Kondisi wilayah yang berbukit dan banyaknnya pemukiman penduduk di lereng-lereng bukit menjadikan tempat tinggal mereka rawan akan bahaya bencana tanah longsor. Kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas sangat dipengaruhi oleh sejauhmana masyarakat menyiapkan diri mereka dan keluarga dalam menghadapi bencana yang akan datang. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan kesadaran akan pentingnya memelihara lingkungan di sekitar lereng bukit dan cara-cara menanggulangi bencana tanah longsor dengan sumberdaya yang dimilki. Sejak bencana tahun 2004 yang lalu ada asumsi bahwa masyarakat hampir melupakan peristiwa tanah longsor tersebut, tetapi begitu peneliti me masuki Desa Kidangpananjung dan menjelaskan bahaya yang akan mengancam mereka sewaktuwaktu barulah masyarakat mulai sadar akan pentingnya tindakan kesiapsiagaan. Berdasarkan kondisi masyarakat yang terancam akan bahaya bencana yang datang sewaktu-waktu tersebut maka diperlukan program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. 2. Tujuan Agar masyarakat menyadari kondisi mereka yang tinggal di daerah rawan bencana dan dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat meminimalisir resiko yang diakibatkan oleh bencana alam tanah longsor , sehingga mereka tidak merasa terancam dengan adanya bencana atau dengan perkataan lain masyarakat Desa akrab terhadap bencana itu sendiri. 3. Sasaran Meningkatkan pengetahuan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang proses terjadinya dan bahaya yang ditimbulkan bencana alam tanah longsor dan langkahlangkah antisipasi yang dilakukan.. 4. Strategi Strategi kesiapsiagaan bencana yang dilakukan adalah dengan cara memberdayakan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Desa Kidangpananjung dalam penanggulangan bencana dengan menggunakan teknik Diskusi Kelompok Terarah. 86 Dalam kesempatan ini masyarakat diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat yang berkaitan dengan program yang akan dilaksanakan. Adapun rincian rencana program sebagai berikut : 1. Program Sosialisasi Bencana Tanah Longsor melalui Jaringan Komunikasi Desa Program sosialisasi tentang bahaya bencana alam tanah longsor dan langkahlangkah penanggula ngannya merupakan program atas usulan masyarakat, mengingat masyarakat tingga l di kawasan daerah rawan bencana dan minimnya informasi yang didapat. Selain hal tersebut sebagian besar masyarakat ada yang beranggapan bahwa bencana merupakan suatu musibah dan ada pula yang sudah melupakan kejadian bencana sebelumnya. Hal ini akan be rakibat kurangnya kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya bencana tanah longsor yang suatu saat bisa saja terjadi. Sosialisasi tentang bahaya bencana alam tanah longsor dilakukan oleh Tim Siaga bencana melalui jaringan informasi yang ada di desa anatara la in sarana pengajian rutin yang dilaksanakan oleh DKM Desa, Acara Hajatan, Kesenian Wayang Golek dan Jaipongan. Sosialisasi dengan cara tersebut diatas dimaksudkan untuk lebih memberikan pendidikan dan lebih mengena dibandingkan penyuluhan yang selama ini dilaksanakan. Untuk lebih jelasnya seperti ditampilkan pada tabel berikut : Tabel 13 : Program Sosialisasi Bencana Tanah Longsor Latar Belakang Tujuan Sasaran Strategi Sarana yang digunakan Kurangnya Memberikan Masayarakat M emberdayakan Pemberian Masyarakat pengetahuan pengertahuan yang tinggal Jaringan Motivasi memilki Masyarakat dan di Informasi oleh pengetahuan tentang kesadaran rawan bahaya pada Bencana bencana masyarakat RW. 03, 04, 05 dan 06 tanah longsor daerah di Desa. Tim Hasil yang diharapkan dan Memberdayakan Siaga menyadari kondisi Ketua Bencana wilayah Ketua RT dibantu melalui mengetahui oleh Tim Siaga Jaringan langkah-langkah Bencana Desa. Komuniasi kesiapsiagaan. RW dan dan Desa 87 2. Program Pembuatan Kentongan Tanda Peringatan Dini. Untuk mengantisipasi resiko yang ditimbulkan dari bahaya bencana yang akan diterima oleh masyarakat di daerah rawan longsor, perlu diciptakan suatu sistim informasi dan peringatan dini berdasarkan budaya yang dimilki oleh masyarakat. Hal ini guna mencegah terjadinya kerugian yang akan diderita oleh masyarakat baik korban jiwa maupun harta benda. Untuk itu perlu adanya sistim peringatan dini yang diprakarsai oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang dimiliki dan dimengerti oleh masayarakat Desa Kidangpnanjung. Adapun hasil diskusi dengan masyarakat, tanda peringatan dini dapat diulakukan melalui pengeras suara yang ada di tiap mesjid apabila listrik tetap menyala pada saat terjadi bencana. Pembuatan kentongan merupakan alternatif tanda peringatan dini apabila pada saat terjadi bencana listrik padam atau tidak menyala, pengalaman dari kejadian tanah longsor sebelumnya listrik akan padam apabila terjadi bencana. Adapun rincian program sebagai berikut : Tabel 14 : Program Pembuatan Kentongan Tanda Peringatan Dini Latar Belakang Tujuan Sasaran Strategi Sarana yang digunakan Hasil yang diharapkan Perlunya Sebagai Masyarakat Sosialisasi aturan Kentongan Mendidik tanda bahaya tanda yang tanda yang mengingatkan apabila akan peringatan wilayahnya dini dan terjadi dini akan terjadi evakuasi. bencana. peringatan lokasi ada di tiap RT. masyarakat selalu bencana dan waspada terhadap yang untuk bencan sewaktu- waktu akan terjadi. 3. Program Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa selain untuk mengantisipasi bencana yang sewaktu-waktu akan terjadi Di Desa Kidangpananjung, juga dimaksudkan sebagai Tim yang akan memberikan pendidikan bagi warga masyarakat dan memotivasi masyarakat untuk memberikan penyadaran kesiapsiagaan bagi mereka yang tinggal di daerah rawan akan pentingnya bencana. Adapun pembentukan Tim terdiri dari Tim Evakuasi, Tim Dapur Umum lapangan, Tim Kesehatan dan Tim Pionir. Penempatan anggota Tim berdasarkan pengalaman 88 kejadian bencana dan kompetensi yang dimilki oleh anggota berdasarkan penilaian dari Tokoh Masyarakat dan Aparat Desa. Rincian program sebagai berikut : Tabel 15 : Program Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa Latar Belakang Perlunya Tujuan Sasaran Strategi Memotivasi Tokoh Tim warga masyarakat, Penanggulangan masyarakat Bencana membentuk Tim Tingkat Desa Hasil yang diharapkan Peralatan Pendidikan Desa terdiri Kesehatan masyarakat tokoh pemuda dari yang tentang untuk peduli dan Kesehatan, dimilki penanggulangan terhadap masyarakat Evakuasi, Desa. bencana bencana. yang Dumlap dan anggota memilki pengetahuan. PB Sarana yang digunakan Tim bagi Pionir. 4. Program Pembuatan Peraturan Desa Berdasarkan faktor penyebab terjadinya bencana yaitu gundulnya hutan pinus, maka masyarakat melalui Badan Perwakilan Desa menyarankan untuk dibuat suatu peraturan desa, guna memberikan sangsi yang jelas terhadap warga masyarakat maupun oknum Perhutani yang melakukan penebangan liar dan merusak lingkungan desa. Inisiator program ini adalah BPD Desa Kidangpananjung berdasarkan masukanmasukan dari tokoh-tokoh masyarakat Desa yang selanjutnya akan melibatkan pihak Perhutani dan Kepolisian Sektor Cililin dalam finalisasi dan aturan mainnya. Masukan dari para Tokoh masyarakat dan warga desa kemudian diplenokan melalui rapat desa. Pembuatan Peraturan Desa juga dimaksudkan sebagai embrio Peraturan Daerah dalam rangka pemeliharaan lingkungan di sekitar wilayah daerah rawan bencana yang ada di kabup[aten Bandung. Rincian program hasil diskusi sebagai berikut : 89 Tabel 16 : Program Pembuatan Peraturan Desa Latar Belakang Tujuan Sasaran Strategi Sarana yang digunakan Hasil yang diharapkan Adanya anggota masyarakat dan oknum Perhutani yang merusak lingkungan Memberikan sangsi yang jelas terhadap oknum yang melakukan perusakan lingkungan Memberikan kesadaran kepada pihak-pihak yang melakukan penebangan liar Pembuatan Peraturan Desa melalui usulan Ketua BPD berkoordinasi dengan pihak Perhutani dan Kepolisian Kec. Cililin. Rapat Pleno Desa Terciptanya lingkungan yang dapat mencegah terjadinya bencana longsor. 90 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN KESIMPULAN Dari hasil pembahasan kajian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Secara umum strategi program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas dilakukan melalui perancangan program penguatan kapasitas masyarakat, penguatan kapasitas kelembagaan dan pembentukan jejaring dengan pihak terkait dalam penanggulangan bencana. Secara khsusus Program kesiapsiagaan masyarakat yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi bencana terbagi dalam empat kegiatan diantaranya : Penyuluhan dan sosialisasi yang dilakukan Ketua RT dan RW yang wilayahnya termasuk daearah rawan bencana, Pembuatan kentongan sebagai tanda peringatan dini bagi masyarakat untuk melakukan evakuasi ke tempat yang telah ditentukan, Pembentukan Tim Penanggulangan Bencana Desa yang beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan Pembuatan peraturan desa guna mengantisipasi terjadinya kerusakan lingkungan oleh warga masyarakat dan oknum Perhutani. Sumber dana kegiatan berasal dari swadaya masyarakat dan dari pihak swasta. Sebagai pemantau keberlanjutan program kesiapsiagaan dilakukan pembinaan oleh Pihak Palang Merah Indonesia Kabupaten Bandung dan pihak-pihak terkait dalam Penanggulangan Bencana. 2. Kondisi sosial budaya masyarakat Desa Kidangpananjung hampir 90 % memiliki hubungan kekerabatan dan solidaritas yang sangat tinggi, hal ini merupakan modal sosial pada masyarakat. Kepercayaan (Trust) dari warga masyarakat kepada pemimpin formal maupun informal dapat mendukung terciptanya program yang partisipatif dalam rangka kesiapan bencana. Kondisi ekonomi penduduk yang sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai buruh tani dan pedagang keliling merupakan potensi bagi masyarakat untuk tidak menyerah pada kondisi alam yang berbukit dan rawan terhadap bencana tanah longsor. 3. Pengaruh Program Penanggulangan Bencana di Desa Kidangpananjung menunjukkan, bahwa dengan adanya bencana membuat Desa Kidangpananjung memiliki peluang untuk melaksanakan pembangunan selanjutnya dalam berbagai bidang diantaranya pengerasan ja lan desa sepanjang 3 km, reboisasi, penambahan ruang kelas SD Walahir dan Pengadaan air bersih. 4. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor melalui leaflet dan sosialisasi oleh tim siaga bencana dan memahami langkahlangkah antisipasi yang dilakukan oleh masyarakat Dengan terbentuknya program kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat, memberikan hasil sebagai berikut : Masyarakat yang tinggal di daerah bencana mempunyai pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pemeliharaan dan tidak merusak lingkungan yang rawan terhadap bencana, Masyarakat mempunyai kesadaran akan bahaya tanah longsor dan memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi bencana. Dalam rangka evakuasi ke tempat yang aman apabila terjadi bencana masyarakat telah menetapkan lokasi yang aman untuk evakuasi antara lain : RW. 01 : Daerah aman bencana Tanah Longsor RW. 02 : Daerah aman bencana Tanah Longsor RW. 03 : Daerah Evakuasi rumah Kepala Desa dan Kampung RW. 04 : Daerah Evakuasi Kantor Desa RW.05 : Daerah Evakusi Desa Mukapayung RW.06 : Daerah Evakuasi Desa Sukamulya Cikopeng 5. Stakeholder Penanggulangan Bencana menyampaikan pentingnya Penaggulangan Bencana Berbasis Komunitas mengingat lokasi bencana yang terisolir ( Bencana tanah longsor selalu terjadi pada daerah yang jauh dari sarana transportasi dan pada masyarakat yang rentan ) , terbatasnya dana, SDM dalam manajemen bencana yang dimiliki pemerintah. Perlunya Penanggulangan Bencana secara terpadu dan terorganisir melalui suatu wadah sehin ga dapat menanggulangi bencana secara cepat dan tepat serta dapat mengurangi kerugian yang lebih besar bagi masyarakat korban bencana. 6. Dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Kidangpananajung, Program-program yang ada pada saat terjadinya bencana, Faktor-Faktor penyebab terjadinya bencana dan Pandangan Stakeholders Penanggulangan Bencana, maka kiranya diperlukan suatu penguatan kapasitas dan kelembagaan pada masyarakat. REKOMENDASI KEBIJAKAN 1. Alternatif kebijakan mengenai penyuluhan da n sosialisasi kepada warga masyarakat di daerah rawan bencana perlu dilakukan dengan memberdayakan 92 Ketua RT dan Ketua RW yang mengetahui kondisi warga masyarakatnya. Alasanya karena warga masyarakat yang tinggal di lereng sekitar bukit memilki resiko cukup besar apabila terjadi bencana. Pentingnya pemberian informasi tentang bahaya bencana dan langkah-langkah kesiapan dapat dilakukan melalui pemberian leaflet. 2. Alternatif kebijakan mengenai pembuatan tanda -tanda peringatan dini dilakukan dengan mengadakan kentongan yang diasumsikan apabila pada saat kejadian bencana listrik mati. Namun sarana Toa di mesjid -mesjid yang berjumlah 12 buah yang ada di tiap RW dapat dilakukan sebagai tanda peringatan dini. Hal lain yang dapat kami rekomendasikan adalah pengadaan seperangkat Handhly Talky sebanayak 7 buah dan seperangkat Repeater untuk memudahkan komunikasi anatara RW dengan RW dan RW dengan Kepala Desa serta Kepala Desa dengan pihak luar. Harga seperangkat HT tersebut berjumlah Rp. 20.000.000,- 3. Alternatif kebijakan pemebentukan Tim Siaga Bencana Desa dimaksudkan untuk memberikan pendidikan bagi waraga masyarakat untuk peduli terhadap kondisi wilayah Desa Kidangpananjung yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Untuk itu perlu adanya pembinaan yang berkelanjutan bagi Tim yang sudah dibentuk dengan mengikutsertakan dalam program-program pelatihan penanggulangan bencana yang ada dalam setiap instansi terkait. 4. Alternatif kebijakan pembuatan peraturan desa yang bertujuan untuk memberikan sangsi yang jelas terhadap anggota masyarakat maupun oknum Perhutani yang melakukan penebangan liar merupakan langkah yang patut mendapatkan dukungan dari pihak-pihak terkait, dalam hal ini Camat Cililin, Kapolesek Cililin dan dari Perhutani sendiri. Peraturan ini agar segera direalisasikan dan disosialisasikan kepada warga masyarakat sehingga tercipta suatu lingklungan yang terbebas dari penebangan liar. Dengan demikian diharapkan kejadian bencana yang lalu yang disebabkan gundulnya hutan Perhutani karena adanya penebangan lira tidak akan terjadi kembali. 5. Perlu Organisasi berbentuk Badan Penanggulangan Bencana yang menangani bencana secara komprehensif dalam fase-fase manajemen bencana dari kesiapan, saat terjadi bencana dan pasca bencana sehingga tidak mengalami kendala masalah koordinasi antar instansi. Selama ini setiap instansi memiliki 93 program kebijakan Penanggulangan Bencana secara sektoral sehingga terjadi tumpang tindih dalam implementasi program di lokasi bencana. 6. Penguatan Kapasitas masyarakat daerah rawan bencana dan penguatan kelembagaan bencana alam dapat dilakukan melalui pelatihan Siaga Bencana Tingkat Desa yang materinya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat dan karakteristik bencana tanah longsor. ( Draft Materi Pelatihan Terlampir ). 7. Berdasarkan Kajian yang telah dilakukan kiranya perlu dibentuk Tim Siaga Bencana pada Komunitas Daerah Daerah Rawan Bencana dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi bencana dan memberikan pendidikan bagi masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan oleh bencana. Tim Siaga bencana terdiri dari : a. Tim Evakuasi b. Tim Dapur umum Lapangan c. Tim Kesehatan d. Tim Pionir Setiap Tim dikoordinir oleh Tokoh-Tokoh Masyarakat dan anggotanya diseleksi oleh Masyarakat berdasarkan kompetensi yang dimiliki dan berdasarkan pengalaman pada saat terjadi bencana. Tim ini Bertanggung jawab kepada Masyarakat Desa Kidangpananjung dan melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam bidang Penanggulangan Bencana antara lain : PMI Kabupaten Bandung, Satlak PBP, Dinas Sosial, Direktorat Vulkanologi Jawa Barat. Tim Siaga Bencana dapat berfungi membantu Desa tetangga yang mengalami bencana sehingga menciptakan sinergi antar desa guna kesiapsiagaan bencana. 8. Mengingat Kajian Pengembangan Masyarakat yang dilakukan masih terfokus kepada Fase Kesiapan dalam manajemen bencana, kiranya perlu adanya penelitian lebih lanjut yang lebih makro dalam fase-fase manajemen bencana selanjutnya. Adapun yang direkomendasikan peneliti yaitu pada fase Tanggap Darurat dan Fase Rehabilitasi serta Fase Rekonstruksi. 94 DAFTAR PUSTAKA Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, FEUI Nasdian, Fredian Tonny. 2004. Modul Sosiologi untuk Pengembangan Masyarakat, Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Program Pasca Sarjana IPB. Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak. The British Council. Gunawan, Agustin Widya, Achmadi Suminar Setiati, Arianti Laksmi. 2004. Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. IPB Press. Ramdan, Hikmat. 2003. Prosiding Semiloka Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Algaprint Jatinangor Sumedang. Nasution S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Tarsito Bandung. Prasojo, Nuraini W. 2004. Pengelolaam Konflik. Magister Program Pengembangan Masyarakat IPB. Bogor. Standar Nasional Indonesia. 2004. Pemeriksaan Lokasi Bencana Gerakan Tanah. Badan Standarisasi Nasional. Pudjiono. 2003 Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana ( disampaikan pada pelatihan Kesiapan Penanggulangan Kedaruratan, UNICEF. Saharuddin. 2005. Modul SEP-523 Metode-Metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat, Magister Profesional Pengembangan Masyarakat IPB. Sitorus, Felix. 2004. Modul Metodologi Kajian Komunitas. Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Program Pasca Sarjana IPB. Sumardjo. 2005. Metode-Metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat, Magister Profesional Pengembangan Masyarakat IPB. Sobirin. 4 April 2005..Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat. (DPKLTS) Harian Pikiran Rakyat. Soetarso, 2004. Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana ( disampaikan pada pertemuan Sosialisasi dan Evaluasi Program Penanggulangan Bencana Jawa Barat. Soerjono, Soekanto.1990, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta Bandung. UNDP, 1992. Tinjauan Umum Manajemen Bencana UNHCR. 2001. Buku Pegangan Kedaruratan. Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi.. UNHCR. 2002. Proyek Sphere. Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Penanggulangan Bencana. Yin, Robert.K. 2003. Studi Kasus Desain dan Metode. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. 96