penanggulangn bencana berbasis komunitas

advertisement
PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS
(STUDI KASUS KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DAERAH
RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI DESA KIDANGPANANJUNG
KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG
PROPINSI JAWA BARAT )
M. SAFII NASUTION
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Penanggulangan Bencana
Berbasis Komunitas : Studi Kasus Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas
Daerah Rawan Bencana Alam Tanah Longsor Di Desa Kidangpananjung Kecamatan
Cililin Kabupaten Bandung adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau di kutip dari karya yang diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor,
Oktober 2005
M. Safii Nasution
NIM. A.154040055
© Hak Cipta milik M. Safii Nasution, tahun 2005
Hak Cipta Dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis
dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun
baik cetak, foto copy, mikro film dan sebagainya.
PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS
(STUDI KASUS KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DAERAH
RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI DESA KIDANGPANANJUNG
KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG
PROPINSI JAWA BARAT )
M. SAFII NASUTION
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
Judul Tugas Akhir
: Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas :
Studi Kasus Kesiapsiagaan Bencana Berbasis
Komunitas Daerah Rawan Bencana Alam Tanah
Longsor Di Desa Kidangpananjung Kecamatan
Cililin Kabupaten Bandung Jawa Barat.
Nama
: M. Safii Nasution
NIM
:
A. 154040055
Disetujui
Komisi Pembimbing
M. Fadhil Nurdin, Ph.D
Ketua
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS
Anggota
Ketua Program Studi Magister
Profesional Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 27 Oktober 2005
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia -Nya
sehingga Kajian Pengembangan Masyarakat ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 ini adalah
Manajemen Bencana, dengan judul Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas
Daerah Rawan Be ncana Alam Tanah Longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan
Cililin Kabupaten Bandung Jawa Barat.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi
tingginya kepada :
1. Bapak M. Fadhil Nurdin Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing
2. Bapak Ir. Fredian Tonny, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing
3. Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku Ketua Program Studi Magister
Profesional Pengembangan Masyarakat.
4. Bapak Dr. Marjuki, MSc, selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial
Bandung
5. Bapak Ii Setia Permana, selaku Kepala Desa Kidangpananjung
6. Bapak Tatang, selaku Tokoh Masyarakat Desa Kidangpananjung
7. Bapak Drs. Purnomo Sidik , selaku Direktur Direktorat Bencana Alam
Departemen Sosial RI.
8. Bapak Ir. Surono Direktorat Vulkanologi Bandung
9. Bapak Dady Iskandar, Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat
10. Isteriku tercinta; Dra. Yeni Wipartini, MTi dan anak-anakku tersayang ;
Muhammad Khaidar Nasution dan Ainindita Nasution yang telah memberikan
motivasi dan doanya selama Ayah menempuh pendidikan di IPB.
Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihakpihak yang terkait dalam bidang Manajemen Bencana dan bermanfaat bagi yang akan
meneliti lebih lanjut tentang Manajemen Bencana Berbasis Komunitas.
Bogor,
Oktober 2005
M. Safii Nasution
NIM. A.154040055
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Medan, Propinsi Sumatera Utara pada tangga l 14
Maret 1967 dari pasangan Muhammad Alinafiah Nasution (Alm) dan Zainab Binti
Husin (Almh). Pada tahun 1982, penulis me nyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar
(SD) di Medan. Tahun 1985 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) di Jakarta. Tahun 1988 penulis menyelesaikan pendidikan di
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) di Jakarta. Tahun 1996 penulis
menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.
Tahun 1996 sampai dengan akhir tahun 1999 penulis bekerja pada Direktorat
Bencana Alam Departemen Sosial RI di Jakarta. Penulis mendapatkan kesempatan
bertugas melakukan Pemetaan Daerah Rawan Bencana di beberapa da erah di
Indonesia antara lain : di Wamena Propinsi Papua, Kotamadya Sibolga Propinsi
Sumatera Utara, Kabupaten Sangihe Talaud Propinsi Sulawesi Utara, Kotamadya
Samarinda Propinsi Kalimantan Timur, dan terakhir pada tahun 1999 ditugaskan di
Atambua Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur sebagai Tim Asistensi
Departemen Sosial RI dalam Penanganan Konflik Masyarakat Timor Timur. Pada
tahun 2004 Penulis mewakili Propinsi Jawa Barat mengikuti Jambore Nasional
Penanggulangan Bencana sebagai ajang kompetisi Organisasi Pelaksana
Penanggulangan Bencana Daerah di Seluruh Indonesia.
Sejak tahun 2000 sampai sekarang penulis bekerja pada Lembaga Pengabdian
Masyarakat (LPM) Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung
ABSTRAK
M. SAFII NASUTION, Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas (Studi Kasus
Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas Daerah Rawan Bencana Alam Tanah
Longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung).
Dibimbing oleh M. FADHIL NURDIN sebagai Ketua , FREDIAN TONNY sebagai
Anggota komisi pembimbing
Indonesia rawan terhadap bencana, khususnya Jawa Barat Bagian Selatan
sangat rawan bencana tanah longsor. Dalam tahun 1990 – 2002 telah terjadi Bencana
Alam Tanah Longsor sebanyak 563 kejadian dengan korban jiwa meninggal dunia
389 jiwa. Namun manajemen bencana yang diterapkan oleh Bakornas PBP, Satkorlak
PBP dan Satlak PBP belum menunjukkan hasil yang diharapkan oleh masyarakat
korban bencana. Penyebab lemahnya manajemen bencana di Indonesia adalah
kurangnya dana, otoritas kelembagaan , dan sumberdaya manusia dalam manajemen
bencana. Untuk itu diperlukan suatu paradigma baru manajeman bencana berbasis
komunitas yang dapat memberdayakan potensi masyarakat daerah rawan bencana
dalam mengantisipasi bencana melalui kesiapsiagaan bencana. Tujuan kajian
menemukan suatu strategi Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas dengan cara
mengidentifikasi kondisi budaya komunitas rawan bencana, pengaruh program
penanggulangan bencana terhadap pembangunan masyarakat, faktor -faktor yang
mempengaruhi terjadinya bencana dan pandangan stakeholder dalam bidang bencana.
Metode penelitian yang digunakan dalam kajian adalah Metode Penelitian Kualitatif.
Hasil kajian dari budaya masyarakat menunjukkan bahwa hampir 90 % warga Desa
Kidangpananjung memil iki hubungan darah sangat dekat yang berasal dari keturunan
Kakek Murnasa, Sudinta dan Sanusi. Sistem kekerabatan yang terjalin diantara
sesama anggota masyarakat dan sifat solidaritas yang tinggi untuk saling menolong
merupakan modal sosial yang dapat diberdayakan dalam mewujudkan kesiapsiagaan
bencana berbasis komunitas.
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Karakteristik Tanah Longsor ……………………………………………..
8
2. Jarak Dan Waktu Tempuh Lokasi Kajian ………………………………..
21
3. Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat ………………...
22
4. Rencana Pengumpulan Data ……………………………………………..
24
5. Komposisi Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Kidangpananjung
Tahun 2004. ……………………………………………………………..
29
6. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Kidangpananjung………………….
32
7. Pengaruh Bencana Terhadap Pembangunan Masyarakat ……………….
57
8. Program Bantuan Bencana di Desa Kidangpananjung...............................
58
9. Kebijakan Organis asi Penanggulangan Bencana ......................................
70
10. Permasalahan Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas.....................
74
11. Prioritas Permasalahan Pokok...................................................................
78
12. Analisis Pihak Terkait...............................................................................
81
13. Program Sosialisasi Bencana Tanah Longsor melalui Jaringan
Komunikasi Desa .....................................................................................
87
14. Program Pembuatan Kentongan Tanda Peringatan Dini ...........................
87
15. Program Pembentukan Tim Siaga bencana Desa.......................................
88
16. Program Pembuatan Peraturan Desa...........................................................
89
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Fase Manajemen Bencana ........................................................................
11
2. Hubungan Bencana Dengan Pembangunan ..............................................
15
3. Kerangka Pikir Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas...................
20
4. Garis Keturunan Tokoh Masyarakat Desa Kidangpananjung …………..
55
5. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa ………………………………...
56
6. Sketsa Kejadian Bencana Tanah Longsor ………………………………
62
7. Perkembangan Penduduk yang menyebabkan tanah longsor ……………
63
8. Hubungan kelembagaan dan jejaring dalam Penanggulangan Bencana …
66
9. Peran Pemerintah Terhadap Partisipasi Masyarakat Korban Bencana…..
67
10. Analisis Permasalahan …………………………………………………
77
11. Analisis Tujuan Perancangan Program…………………………………
79
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Leaflet Penyuluhan dan Sosialisasi Bencana Alam Tanah Longsor…….
97
2. Draft Kurikulum Pelatihan Tim Siaga Bencana Desa ………………….
99
3. Proses Pelaksanaan FGD Identifikasi Masalah ………………………...
101
4. Proses Pelaksanaan FGD Penyusunan Program ………………………..
105
5. Perkembangan Organisasi Penanggulangan Bencana Indonesia ............
108
6. Pedoman Wawancara ..............................................................................
112
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
x
xi
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang …...........................................................................................
Rumusan Masalah ..........................................................................................
Tujuan dan Kegunaan ...................................................................................
1
4
5
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Bencana ……………………………………………………………
Konsep Tanah Longsor …………………………………………………….
Konsep Manajemen Bencana ………………………………………………
Konsep Kesiapan …………………………………………………………..
Hubungan Bencana Dengan Pembangunan ………………………………..
Komunitas Daerah Rawan Bencana…………………………………………
7
7
10
14
14
16
METODOLOGI KAJIAN
Kerangka Pemikiran …………………………………………………………
Lokasi dan Waktu Kajian ……………………………………………………
Metode Penelitian …………………………………………………..............
Metode Perancangan Program ………………………………………............
19
21
22
26
PETA SOSIAL DESA KIDANGPANANJUNG
Kependudukan ……………………………………………………….............
Sistem Ekonomi ……………………………………………………………..
Struktur Komunitas ………………………………………………………….
Respon Masyarakat Terhadap Pemimpin .......................................................
Organisasi dan Kelembagaan .........................................................................
Hubungan Masyarakat Desa dengan Ekosistemnya .......................................
Ikhtisar ..........................................................................................................
29
32
34
34
35
36
37
EVALUASI PROGRAM
Program Tanggap Darurat .............................................................................
Program Relokasi Korban Bencana ……………………………………......
Konflik Sosial Dalam Masyarakat Korban Bencana .....................................
Strategi Solusi Konflik Relokasi Pemukiman Masyarakat …………….......
Ikhtisar ........................................................................................................
39
42
45
48
49
ANALISIS KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Desa Kidangpananjung ….....................
Pengaruh Program Penanggulangan Bencana Terhadap Pembangunan
52
57
ix
Masyarakat. ...................................................................................................
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bencana AlamTanah Longsor ……......
Pandangan Stakeholders Penanggulangan Bencana …………………..........
Strategi Rancangan Program Kesiapsiagaan Bencana
Berbasis Komunitas ………………………………………………………...
RANCANGAN PROGRAM KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS
KOMUNITAS.
Analisis Alternatif Program ……………………………………………….
Analisis Pihak Terkait …………………………………………………….
Latar Belakang dan Rancangan Program …………………………………
Tujuan dan Sasaran Program ........................................................................
Program Aksi :
Sosialisasi Bencana Tanah Longsor melalui Jaringan Komunikasi Desa …
Pembuatan Kentongan Tanda Peringatan Dini ……....................................
Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa …..…………………………..........
Pembuatan Peraturan Desa …………………………………………….......
58
64
71
81
81
83
85
87
88
88
89
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Kesimpulan ……………………………………………………….............
Rekomendasi Kebijakan…………………………………………………....
91
92
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
95
LAMPIRAN ....................................................................................................
97
x
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia terletak pada pertemuan
tiga lempeng benua yaitu lempeng
Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng Australia. Konsekuensi dari tumbukan antar
lempeng tersebut , terbentuk Palung Samudera, lipatan, punggungan dan patahan
di busur kepulauan, sebaran gunung api dan sebaran sumber gempa bumi. Dengan
demikian Indonesia rawan terhadap bencana letusan gunung api dan gempa bumi.
Di beberapa pantai di Indonesia, dengan morfologi sedang hingga curam, jika
terjadi gempa bumi dengan sumber berada
di dasar laut/samudera dapat
menimbulkan Tsunami/gelombang pasang. Tanah pelapukan yang berada diatas
batuan kedap air pada perbukitan/pegunungan dengan kemiringan sedang hingga
terjal, jika musim hujan dengan kuantitas tinggi berpotensi terjadi bencana tanah
longsor/gerakan tanah. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar
kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor. Propinsi
Jawa Barat bagian Selatan merupakan kawasan sangat rawan bencana gerakan
tanah. Berdasarkan data kejadian bencana gerakan tanah tahun 1990 – 2002
(Propinsi Jawa Barat + Propinsi Banten) paling sering terlanda bencana tanah
longsor , yaitu 563 kejadian, disusul Propinsi Jawa Tengah 249 kejadian dan
Propinsi Jawa Timur 25 kejadia n. Sedangkan korban jiwa (Meninggal Dunia) akibat
bencana tersebut Propinsi Jawa Barat 389 jiwa, Propinsi Jawa Tengah 217 jiwa dan
Propinsi Jawa Timur 70 jiwa ( Surono 2004).
Salah satu contoh, Bencana alam tanah longsor yang terjadi di Desa
Kidangpananjung Kabupaten Bandung. Bencana ini merupakan kejadian bencana
yang diakibatkan oleh faktor alam dan kelalaian manusia dalam pengelolaa n fungsi
lahan. Bencana yang menimbulkan korban jiwa 15 orang, kerugian harta benda
mencapai 1 Milyar rupiah dan lebih kurang 127 KK harus direlokasi kelokasi yang
aman dari bahaya bencana di Kampung Cikopeng.
Fenomena Penanganan korban bencana
yang dilakukan oleh Pemerintah
melalui Organisasi Bakornas PBP, Satkorlak PBP dan Satlak PBP menunjukkan
belum efektifnya penanganan bencana yang dilakukan oleh Organisasi Tingkat
Pusat, Daerah Tingkat I dan II. Penanganan korban bencana yang dilakukan oleh
Bakornas Penanggulangan Bencana da n Pengungsi (disingkat PBP) bagi korban
bencana Tsunami di Nanggroe Aceh Darusalam (NAG) menur ut Aceh Working
Group (ACW) dinilai kurang efektif karena Bakornas PBP tidak memiliki otoritas
yang bersifat instruktif maupun finasial untuk menggerakkan seluruh lini dan
sektor, kedua hal ini menjadi titik lemah koordinasi Bakornas PBP di Aceh. Selain
hal tersebut belum adanya kebijakan pemerintah yang tegas bagi terlaksananya
program penanganan bencana serta belum adanya kejelasan pihak yang memegang
kepemimpinan (komando di lapangan) dalam penanganan bencana.
Bencana alam gempa bumi dan Tsunami yang terjadi di Nangroe Aceh
Darusalam, Gempa Bumi di Garut, Longsoran sampah di Leuwih Gajah, Banjir di
Bandung Selatan bahkan terbaru adalah gempa di Nias telah membuka kesadaran
bagi kita bersama bahwa manajemen bencana di Negara kita masih sangat jauh dari
yang kita harapkan. Pemahaman terhadap manajemen bencana dirasakan selama ini
semakin luntur, karena dianggap bukan prioritas dan bencana hanya datang
sewaktu-waktu saja. Dapat diasumsikan pemahaman dasar tentang manajemen
bencana belum dikuasai atau dimengerti oleh banyak kalangan baik birokrat,
masyarakat maupun swasta. Penanganan bencana selama ini dapat dikatakan “
Bagaimana nanti saja ” Padahal Negara kita adalah Negara yang memiliki ancaman
bahaya bencana dengan klasifikasi sangat bervariasi dan sangat berat. Suatu ketika
bila terjadi bencana dan menelan korban jiwa dan harta, kita selalu tergaket-kaget
dan mengatakan kecolongan.
Pada umumnya bencana yang terjadi di daerah yang selalu mengakibatkan
terjadinya penderitaan di kalangan masyarakat, korban jiwa manusia dan kerugian
harta benda, disamping rusaknya tatalingkungan serta hasil-hasil pembangunan
yang telah dengan susah payah diupayakan. Menyadari kejadian bencana yang
hampir dipastikan terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak mampu alias
rentan dan lokasinya jauh dari pusat pemerintahan dan sulit dicapai, maka perlu
paradigma baru dalam dalam mengatasi permasalahan tersebut menuju manajemen
bencana berbasis masyarakat yaitu masyarakat yang mampu secara mandiri
mengenali
ancaman
bahaya
di
lingkungannya
dan
mampu
menolong
masyarakatnya.
Pemetaan sosial yang dilakukan peneliti di daerah rawan bencana Desa
Kidangpanjung menujukkan pola hubungan antar anggota masyarakat yang menjadi
korban (terkena bencana) dengan masyarakat yang tidak terkena bencana untuk
2
saling membantu dengan menyediakan rumah mereka sebagai tempat penampungan
sementara. Sistem kekerabatan (Ekstended Family) yang dianut masyarakat, dimana
hubungan pihak keluarga laki-laki dan perempuan dari suatu keluarga memiliki
hubungan darah yang sangat dekat. Hubungan anggota masyarakat dengan aparat
desa selaku koordinator lapangan memungkinkan anggota masyarakat untuk
menyampaikan keluhan dan harapan tentang pelayanan pada saat terjadi bencana
maupun pasca bencana. Pola hubungan ini tercipta karena adanya kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan kepala desa yang terpilih secara demokrasi dari
perwakilan pemuda desa. Hubungan kelembagaan yang terjadi dalam tipe
kelembagaan penanggulangan bencana bersifat vertical dimana kepala desa
berkoordinasi dengan pihak kecamatan, Kabupaten dan Dinas Sosial Jawa Barat
untuk menindaklajuti penanganan bencana pasca bencana.
Evaluasi program penanganan bencana yang telah dilakukan menunjukkan
adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat pada saat terjadi bencana
maupun pasca bencana secara swadaya dan swadana. Pada saat bencana lebih
kurang 500 anggota masyarakat melakukan tindakan-tindakan penyelamatan dan
evakuasi korban dari tertimbun tanah longsor. Para pemuda membantu
terselenggaranya dapur umum lapangan yang menyediakan makanan bagi para
pengungsi yang rumahnya dinyatakan rawan terhadap bahaya bencana tanah
longsor. Ibu-ibu PKK Desa Kidangpanjang melayani para pengungsi melalui
pelayanan kesehatan dan melakukan pencatatan dan laporan tentang jumlah korban
dan penerimaan bantuan yang berasal dari pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Pada pasca bencana untuk merealisasikan program relokasi pemukiman lebih
kurang 400 anggota masyarakat secara bergotong royong kerja bhakti selama satu
minggu untuk meratakan tanah yang berbukit. Selain itu Kepala Desa
Kidangpananju ng (Ii Setia Permana) menyediakan tanahnya seluas 2,8 ha untuk
dijadikan tempat relokasi korban tanah longsor, dengan menjual kepada pemerintah
di bawah harga normal. Selain hal tersebut untuk memasuki pemukiman di lokasi
yang baru di Kampung Cikopeng, masyarakat mempunyai mekanisme penempatan
warga yang telah disepakati dengan memprioritaskan sebanyak 23 KK yang
rumahnya tertimbun, sedangkan sebanyak 104 KK rumah yang terancam tanah
longsor penempatannya dilakukan dengan cara diundi.
Dari hasil Pemetaan Sosial dan Evaluasi Program yang telah dilakukan dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat
daerah rawan bencana memiliki
3
potensi dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan bencana di wilayahnya .
Berkaitan dengan hal tersebut kiranya diperlukan suatu pemikiran untuk
menemukan suatu model penanganan bencana yang melibatkan semua pihak baik
pemerintah , swasta maupun masyarakat. Masyarakat tidak hanya mengandalkan
kemampuan pemerintah saja karena pemerintah memiliki keterbatasan-keterbatasan,
semua pihak harus mampu menjadi pelaku yang utama. Kesiapsiagaan dan
kewaspadaan masyarakat untuk mengurangi atau menghindari ancaman bahaya
yang dapat berpotensi menimbulkan bencana yang merugikan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Berkaitan dengan fakta
tersebut
diata s
muncul
suatu
pertanyaan
penelitian
(Research
Question)
Bagaimana strategi dan program manajemen bencana dalam mewujudkan
kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat di Desa Kidangpananjung ?
Rumusan Masalah
Pada kajian ini, kesiapsiagaan masyarakat daerah rawan bencana alam tanah
longsor yang akan dikaji untuk menyiapkan masyarakat secara partisipatif sebagai
upaya antisipasi me nghadapi bencana secara mandiri dengan mendayagunakan
kemampuan serta sumberdaya yang mereka miliki. Oleh karena itu menarik untuk
dikaji sejauhmana masyarakat menyiapkan diri dan strategi yang tepat untuk
mengantisipasi bahaya bencana agar dapat mengurangi kerugian yang akan dialami
jika terjadi bencana.
Agar dapat menyusun startegi kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas ,
terlebih dahulu harus diketahui kondisi
sosial budaya komunitas Desa
Kidangpananjung ? dari hasil pemetaan ini dapat diketahui gambaran secara
komprehensif tentang komunitas daerah rawan bencana di Desa Kidangpananjung.
Sebelum kajian ini dilakukan Program Tanggap Darurat dan Program
Relokasi bagi korban bencana telah dilaksanakan dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat korban bencana, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap program
tersebut agar dapat dijadikan acua n di dalam program yang akan dirancang sehingga
hasilnya akan lebih baik. Berdasarkan hal tersebut dilakukan analisis dan evaluasi
program pengembangan masyarakat dalam bidang penanggulangan bencana yang
telah dilaksanakan di Desa Kidangpananjung melalui Praktek Lapangan. Dari hasil
evaluasi menunjukkan bahwa program Tanggap Darurat dan Relokasi korban
longsor
ternyata
melibatkan
partisipasi
aktif
masyarakat.
Yang
menja di
4
permasalahan dan pertanyaan dalam kajian adalah Sejauhmana pengaruh Program
Penanggulangan
Bencana
bagi
pembangunan
masyarakat
Desa
Kidangpananjung ?
Terjadinya bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung
menimbulkan kerugian harta benda dan kor ban jiwa bagi masyarakat korban
bencana serta meninggalkan trauma bagi warga masyarakat. Pertumbuhan
penduduk yang cepat dan ketidakmampuan melakukan persaingan dalam memenuhi
kebutuhan hidup memaksa seseorang untuk tinggal di daerah lereng-bukit yang
rawan terhadap bencana alam tanah longsor. Untuk mengetahui lebih dalam tentang
penyebab terjadinya bencana alam
tersebut kiranya yang perlu diketahui adalah
faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya bencana alam tanah longsor di
Desa Kidangpananjung ?
Dalam kebijakan penanganan bencana alam yang dilakukan oleh
pemerintah
melalui organisasi Bakornas PBP di Tingkat Nasional, Satkorlak PBP Tingkat
Propinsi dan Satlak PBP di Tingkat Kabupaten dan pihak swasta serta masyarakat
korban bencana menjadi satu kesatuan untuk mewujudkan Kesiapsiagaan Bencana
Berbasis Komunitas. Berkaitan dengan hal itu perlu diketahui Bagaimana
pandangan stakeholder bidang Penanggulangan Bencana dalam mewujudkan
kesiapsiagaan penanggulanan bencana berbasiskan masyarakat ?
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan pokok kajian ini adalah merumuskan strategi kesiapsiagaan bencana
berbasis masayarakat. Untuk merumuskan strategi tersebut, maka secara khusus
kajian ini bertujuan :
1. Mengidentifikasi kondisi sosial budaya masyarakat Daerah Rawan Bencana
Alam Tanah Longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin.
2. Menganalisis dan mengevaluasi pengaruh program penanggulangan bencana
terhadap pembangunan masyarakat.
3. Menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung.
4. Mengidentifikasi
dan
menganalisis
pandangan
stakeholders
bidang
penanggulangan bencana dalam mewujudkan kesiapsiagaan bencana berbasis
komunitas.
5
Kegunaan kajian kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas antara lain :
1. Bagi Pemerintah yaitu sebagai bahan masukan dalam pembuatan dan penerapan
kebijakan di bidang penanggulangan bencana.
2. Bagi Masyarakat Desa Kidangpananjung yaitu sebagai pengetahuan dalam
mengurangi resiko dampak bencana alam tanah longsor dan menyiapkan
masyarakat agar secara mandiri mendayagunakan potensi untuk meminimalisir
kerugian. tanpa mempunyai ketergantungan kepada pemerintah.
3. Bagi Bidang Penelitian yaitu sebagai bahan rujukan atau acuan penelitian dalam
bidang manajemen bencana khususnya pada fase kesiapsiagaan bencana
berbasis komunitas dimasa depan.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Bencana
Bencana adalah gangguan yang serius dari berfungsinya suatu masyarakat,
yang menyebabkan kerugian-kerugian yang besar terhadap lingkungan, material dan
manusia, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana untuk
menanggulangi dengan hanya menggunakan sumber-sumber daya masyarakat itu
sendiri. Bencana sering diklasifikasikan sesuai dengan cepatnya serangan bencana
tersebut (secara tiba-tiba atau perlahan-lahan), atau sesuai dengan penyebab
bencana itu (secara alami atau karena ulah manusia) (UNDP,1992). Bencana adalah
suatu peristiwa, entah karena perbuatan manusia atau alam, mendadak atau
berangsur yang menyebabkan kerugian yang me luas terhadap kehidupan, materi
dan lingkungan sedemikian rupa melebihi ke mampuan dari masyarakat korban
untuk
menanggulangi
dengan
menggunakan
sumber
dayanya
sendiri
(Pudjiono,2003). Senada dengan definisi tersebut dijelaskan oleh Surono (2003)
Bencana adalah peristiwa yang diakibatkan oleh alam dan atau manusia yang
dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda, kerusakan lingkungan
hidup, sarana dan prasarana, fasilitas umum serta mengganggu tata kehidupan dan
penghidupan masyarakat.
Konsep Tanah Longsor/Gerakan Tanah
Gerakan Tanah (Tanah Longsor ) adalah perpindahan material pembentuk
lereng berupa bantuan, bahan rombakan, tanah atau material campuran tersebut,
bergerak kearah bawah dan keluar lereng.(Surono.2004).
Tanah Longsor atau gerakan tanah adalah proses perpindahan massa tanah secara
alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah . Pergerakan tanah ini terjadi
karena perubahan keseimbangan daya dukung tanah dan akan berhenti setelah
mencapai keseimbangan baru. Tanah longsor terjadi apabila tanah sudah tidak
mampu mendukung berat lapisan tanah diatasnya karena ada penambahan beban
pada permukaan lereng, berkurangnya daya ikat antar butiran tanah dan atau
perubahan lereng menjadi lebih terjal. Fa ktor pemicu utama kelongsoran tanah
adalah air hujan. Tabel 1 menjelaskan secara terinci tentang karakteristik bencana
alam tanah longsor :
Tabel 1 : Karakteristik Tanah Longsor
1.
Fenomena sebab akibat
Meluncurnya tanah pada lereng dan bebatuan sebagai
akibat getaran-getaran yang terjadi secara alami,
perubahan-perubahan secara langsung kandungan air,
hilangnya dukungan yang berdekatan, pengisian beban,
pelapukan, atau manipulasi manusia terhadap jalur-jalur
air dan komposisi lereng.
2.
Karakteristik umum
Tanah longsor berbeda-beda dalam tipe gerakannya (
jatuh meluncur, tumbang, menyebar ke samping,
mengalir), dan mungkin pengaruh-pengaruh sekundernya
adalh badai yang kencang, gempa bumi dan letusan
gunung berapi. Tanah longsor lebih menyebar
dibandingkan dengan kejadian geologi lainnya.
3.
Bisa diramalkan
4.
Frekuensi kemunculannya, tingkat dan konsekuensi dari
tanah longsor bisa diperkirakan dan daerah-daerah yang
bersesiko tinggi ditetapkan dengan penggunaan informasi
pada area geolog, geomorphologi, hidrologi &
klimatologi dan vegetasi.
Faktor-faktor
yang Tempat tinggal yang dibangun pada lereng yang terjal,
memberikan kontribusi tanah yang lembek, puncak batu karang.
terhadap kerentanan.
Tempat hunian yang dibangun pada dasar lereng yang
terjal, pada mulut-mulut sungai dari lembah-lembah
gunung.
Jalan-jalan, jalur-jalur komunikasi di daerah-daerah
pegunungan.
Bangunan dengan pondasi lemah.
Jalur-jalur pipa yang ditanam, pipa-pipa yang mudah
patah
Kurangnya pemahaman akan bahaya tanah longsor
5.
Pengaruh-pengaruh
umum yang merugikan
6.
Tindakan pengurangan
resiko
yang
memungkinkan
Tindakan
kesiapan
khusus
Kebutuhan khusus pasca
bencana
7.
8.
9.
Alat-alat
penilaian
dampak
Sumber : UNDP 1992
Kerusakan fisik – Segala sesuatu yang berada diatas atau
pada jalur tanah longsor akan menderita kerusakan .
Puing-puing bisa menutup jalan-jalan, jalur komunikasi
atau jalan-jalan air.
Pengaruh-pengaruh tidak langsung bisa mencakup
kerugian produktivitas pertanian atu lahan-lahan hutan ,
banjir, berkurangnya nilai-nilai proverti.
Korban – Kematian terjadi karena runtuhnya lereng.
Luncuran puing-puing yang hebat atau aliran Lumpur
telah membunuh beribu-ribu orang.
Pemetaan bahaya
Legislasi dan peraturan penggunaan bahaya
Asuransi
Pendidikan komunitas
Monitoring. System peringatan dan system evakuasi
SAR ( penggunaan peralatan untuk memindahkan
tanah)
Bantuan medis, emergensi tempat berlindung bagi yang
tidak memiliki tempat tinggal.
Formulir-formulir pengkajian kerusakan
8
Daerah yang memiliki ciri-ciri di bawah ini merupakan daerah rawan longsor.
Tanah longsor banyak terjadi pada daerah perbukitan dengan ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Lereng lebih dari 30 derajat
2. Curah hujan tinggi
3. Terdapat lapisan tebal (lebih dari 2 M) menumpang diatas tanah atau batuan
yang lebih keras.
4. Tanah lereng terbuka yang dimanfaatkan sebagai permukiman, ladang, sawah
atau kolam, sehingga air hujan leluasa menggerus tanah.
5. Jenis tanaman di permukaan lereng kebanyakan berakar serabut yang hanya bisa
mengikat tanah tidak terlalu dalam sehingga tidak mampu menahan gerakan
tanah.
Jika suatu daerah termasuk dalam kategori daerah rawan longsor, maka kejadian
tanah longsor sering diawali dengan kejadian sebagai berikut :
1. Hujan lebat terus menerus selama 5 jam atau lebih atau hujan tidak lebat tetapi
terjadi terus menerus sampai beberapa hari.
2. Tanah retak diatas lereng dan selalu bertambah lebar dari hari ke hari
3. Pepohonan di lereng terlihat miring ke arah lembah
4. Banyak terdapat rembesan air pada tebing atau kaki tebing terutama pada batas
antara tanah dan batuan di bawahnya.
Kabupaten Bandung yang terletak di Propinsi Jawa Barat Bagian Sela tan
merupakan kawasan sangat rawan bencana gerakan tanah. Direktorat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi membagi Zona Kerentanan Gerakan Tanah
berdasarkan tingkat kerentanan sebagai berikut :
1. Zona kerentanan gerakan tanah tinggi.
Merupakan daerah yang secara umum mempunyai kerentanan tinggi untuk
terjadinya gerakan tanah. Gerakan tanah berukuran besar sampai sangat kecil
telah sering terjadi dan akan cenderung sering terjadi.
2. Zona kerentanan gerakan tanah menengah
Merupakan daerah yang secara umum me mpunyai kerentanan menengah untuk
terjadi gerakan tanah. Gerakan tanah besar maupun kecil dapat terjadi terutama
di daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, tebing pemotongan jalan dan
9
pada lereng yang mengalami gangguan. Gerakan tanah lama masih mungkin
dapat aktif kembali terutama oleh curah hujan yang tinggi.
3. Zona kerentanan gerakan tanah sedang
Merupakan daerah yang secara umum mempunyai kerentanan rendah untuk
terjadi gerakan tanah. Pada zona ini gerakan tanah umumnya jarang terjadi
kecuali jika mengalami gangguan pada lerengnya.
4. Zona kerentanan tanah sangat rendah
Merupakan daerah yang mempunyai kerentanan sangat rendah untuk terjadi
gerakan tanah. Pada zona ini sangat jarang atau hampir tidak pernah terjadi
gerakan tanah. Tidak ditemukan adanya gejala -gejala gerakan tanah lama dan
baru kecuali pada daerah sekitar tebing sungai. Umumnya merupakan daerah
datar sampai landai dan tidak dibentuk oleh onggokan material gerakan tanah
maupun lempung mengembang.
Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah dapat bersifat statis dan dinamis. Statis
merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan
kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan dinamis adalah ulah manusia dari
perubahan tata guna lahan hingga pembentukan gawir yang terjal ta npa
memperhatikan stabilitas lereng.
Pada Hakekatnya bencana tidak terjadi secara mendadak. Semua lokasi
rawan bencana di seluruh dunia termasuk Indonesia telah dipetakan dengan sangat
baik. Bahkan masyarakat awam di daerah telah mengenal kerawanan dae rahnya
terhadap bencana tertentu. Masalah yang dihadapi selama ini adalah kurangnya
langkah kesiapsiagaan, pencegahan dan mitigasi yang memadai (Soetarso, 2004).
Konsep Manajemen Bencana
Manajemen Bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan –
keputusan administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan
dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana. Satu definisi yang lebih
luas dari bencana ciptaan manusia mengakui bahwa semua bencana disebabkan oleh
ulah manusia karena manusia telah memilih, apapun alasannya, untuk berada
dimana fenomena alam terjadi yang menyebabkan pengaruh-pengaruh yang
merugikan manusia.
Bencana -bencana dapat dipandang sebagai serangkaian fase10
fase dari kontinum waktu. Mengidentifisir dan memahami fase-fase ini membantu
untuk menggambarkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan bencana dan
memberi konsep tentang aktivitas-aktivitas manajemen bencana yang memadai.
Gambar 1 : Fase Manajemen Bencana
Fase pengurangan resiko pra bencana
BENCANA
KESIAPAN
BANTUAN
MITIGASI
REHABILI TASI
REKONSTRUKSI
Fase pemulihan pasca bencana
Sumnber: UNDP 1992
Fase Pemulihan adalah periode yang munculnya mengikuti satu bencana yang tiba tiba (atau penemuan yang sudah terlambat dari situasi serangn yang lamban yang
diabaikan) jika tindakan-tindakan pengecualian harus diambil untuk mencari dan
menemukan mereka yang bertahan hidup dan juga memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar untuk tempat berteduh, air, makanan dan perawatan medis.
Rehabilitasi adalah tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan yang diambil
setelah terjadi satu bencana dengan maksud untuk memulihkan kondisi-kondisi
kehidupan sebelumnya dari satu masyarakat yang terkena bencana, sementara
mendorong dan memfasilitasi penyesuaian – penyesuaian seperlunya terhadap
perubahan-perubahan yang disebabkan oleh bencana.
11
Rekonstruksi adalah Tindakan yang dilakukan untuk membangun kembali satu
komunitas setelah satu periode rehabilitasi akibat dari satu bencana. Tindakantindakan mencakup pembangunan rumah yang permanen, pemulihan semua
pelayanan-pelayanan secara penuh, dan memulai kembali secara tuntas dari keadaan
sebelum bencana.
Mitigasi adalah istilah gabungan yang digunakan untuk mencakup semua tindakan
yang dilakukan sebelum munculnya satu bencana (tindakan-tindakan pra bencana)
yang meliputi tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Kesiapan terdiri dari aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk meminimalisir
kerugian dan kerusakan kehidupan, mengorganisir pemindahan sementara orangorang dan properti dari lokasi yang terancam, dan memfasilitasi secara tepat dan
penyelamatan yang efektif.
Penanggulangan
Bencana
terorganisir dan berlanjut
adalah
suatu
proses
dinamis,
terencana,
untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang
berhubungan dengan pengamatan dan analisis bahaya serta pencegahan mitigasi
(pelunakan atau peredaman dampak bencana), kesiapsiagaan, perin gatan dini,
penanganan darurat rehabilitasi dan rekonstruksi.(Soetarso.2004). Senada dengan
hal tersebut Pujiono menjelaskan penanggulangan bencana adalah “ Suatu
kumpulan kegiatan yang meliputi semua aspek dari perencanaan, pencegahan,
pengelolaan resiko, dan tanggapan terhadap kejadian-kejadian bencana, baik
sebelum mapun sesudah bencana. Berkaitan dengan definisi diatas dapat kita lihat
bahwa penanggulangan bencana adalah :
1. Suatu kumpulan kegiatan dan bukan hanya satu jenis kegiatan saja
2. Bukan hanya kegiatan tanggap darurat melainkan meliputi tataran yang luas
mulai dari perencanaan, pencegahan, pengelolaan resiko.
3. Kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan dari sebelum terjadi bencana sampai dengan
sesudah kejadian.
Siklus Penanggulangan bencana dibagi dalam empat tahap yaitu Tahap darurat,
Pasca Darurat, Pencegahan dan Mitigasi serta Tahap Kesiapan.
12
Peristiwa bencana yang terjadi dapat dilihat dari sejauhmana resiko yang diterima
oleh suatu masyarakat korban bencana. Suatu masyarakat memilki resiko sesuai
dengan situasi tempat dan waktu tertentu dan secara situasional. Suatu masyarakat
yang sebelumnya bersiko tinggi, mungkin setelah melakukan beberapa perbaikan
dan upaya -upaya tertentu resikonya untuk tertimpa bencana menjadi lebih rendah.
Atau sebaliknya suatu masyarakat yang tadinya cukup aman, tetapi karena beberapa
perubahan, misalnya kerusakan lingkungan menjadi daerah rawan bencana.
Penggambaran suatu resiko dapat dilakukan dengan menggunakan suatu rumus
yaitu:
R = B x K (m)
Resiko (R) : Kemungkinan timbulnya kerugian (kematian, luka-luka,
kerusakan harta dan gangguan kegiatan perekonomian) karena suatu bahaya
terhadap suatu wilayah dan pada suatu kurun waktu tertentu.
Bahaya (B) : Keadaan atau peristiwa baik alam maupun buatan manusia
yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan atau kerugian .
Misalnya keberadaan suatu gunung berapi, sungai, tebing, perkembangan
teknologi.
Kerentanan (K) : Sekelompok kondisi yang ada dan melekat baik fisik,
ekonomis, social dan tabiat yang melemahkan kemampuan sua tu masyarakat
untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak
dari suatu bahaya. Misalnya suatu masyarakat yang sadar akan bencana
mempunyai kerentanan yang agak kurang serius dibandingkan mereka yang
tidak menyadari ada dan terjadinya suatu bencana.
Kemampuan (m) : Sumberdaya, cara dan kekuatan yang dimilki oleh
seseorang, masyarakat atau Negara yang memungkinkan mereka untuk
menanggulangi,
bertahan
diri,
mempersiapkan
diri,
mencegah
dan
memitigasi atau dengan cepat memulihkan diri dari bencana.
Rumus untuk mengetahui resiko diatas dijadikan sebagai panduan dan pegangan
peneliti untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan yang telah dicapai oleh
masyarakat daerah rawan bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung
dalam kesiapsiagaan mengahadapi bencana.
13
Konsep Kesiapan dalam Manajemen Bencana
Konsep dari kesiapan bencana bertujuan untuk meyakinkan bahwa secara
tepat sistim yang memadai untuk bencana, prosedur dan sumber-sumber daya
berada di tempat kejadian dan bisa membantu mereka yang tertimpa oleh bencana
dan memungkinkan mereka untuk bisa menolong diri mereka sendiri. Tujuan dari
kesiapan bencana adalah untuk meminimalisir pengaruh-pengaruh yang merugikan
dari satu bahaya lewat tindakan-tindakan berjaga-jaga yang efektif, dan untuk
menjamin secara tepat dan efisien dan pengiriman respon emergensi yang
menindaklanjuti dampak dari satu bencana.
Definisi ini menetapkan kerangka kerja yang luas terhadap kesiapan bencana antara
lain :
1. Untuk meminimalisi pengaruh-pengaruh yang merugikan dari satu bahaya.
Pengurangan resiko bencana dimaksudkan untuk meminimalisir pengaruhpengaruh yang merugikan dari satu bahaya dengan menghilangkan kerentanan.
2. Tindakan- tindakan berjaga – jaga yang efektif. Kesiapan bencana harus
dilihat sebagai suatu proses yang aktif dan terus menerus baik rencana -rencana
maupun strategi-strategi yang diperlukan. Hal tersebut merupakan usaha-usaha
yang dinamis, yang sering ditinjau lagi, dimodifikasi, diperbaharui dan
diujicobakan.
3. Organisasi yang efisien. Organisasi yang efisien menyarankan kriteria yang
jelas untuk kesiapan bencana yang efektif. Perencanaan yang sistematis,
distribusi yang dilakukan secara baik, peran yang jelas dan tanggung jawab
adalah sangat vital.
Hubungan Bencana dengan Pembangunan
Kumpulan Ilmu Pengetahuan yang semakin berkembang tentang hubungan
bencana dengan pembangunan memberikan indikasi empat thema dasar sebagai
berikut :
1. Bencana menunda program pembangunan dengan menhancurkan berbagai
inisiatif pembangunan bertahun-tahun. Perbaikan infrastruktur, misalnya
sistim-sistim sarana yang hancur.
2. Pembangunan kembali setelah satu bencana memberikan peluang-peluang
yang signifikan untuk memulai program-program pembangunan. Program
perumahan mandiri untuk membangun kembali rumah yang rusak akibat gempa
14
bumi, mengajarkan keterampilan keterampilan baru, memperkuat kebanggaan
komunitas dan kepemimpinan.
3. Program-program pembangunan dapat meningkatkan kerentanan suatu
daerah terhadap bencana. Peningkatan besar dalam bidang pembangunan
peternakan menyebabkan banyaknya lahan pengembalaan yang berpengaruh
terhadap
desertifikasi
(berubahnya
hutan
menjadi
padang
pasir)
dan
meningkatkan kerentanan terhadap kelaparan.
4. Program-program pembangunan dapat dirancang untuk mengurangi
kerentanan terhadap bencana dan konsekuensi -konsekuensi negatifnya.
Proyek-proyek perumahan yang dibangun dibawah Undang Undang yang
dirancang untuk bisa menahan angin kencang bisa menyebabkan kurangnya
kerusakan selama badai tropis yang akan datang.
Gambar 2 : Hubungan Bencana dengan Pembangunan
+
BIDANG PEMBANGUNAN
3
4
++
Pembangunan bisa
menyebabkan
kerentanan
Pembangunan bisa
mengurangi
kerentanan
Bencana dapat
memundurkan
pembangunan
Bencana dapat
memberikan peluang
pembangunan
--
1
2
BIDANG POSITIF
DARI BENCANA
BIDANG NEGATIF
DARI BENCANA
-+
+BIDANG BENCANA
Sumber : Pembangunan & Bencana.
R.S. Stephenson 1991
-
Gambar di atas memetakan aspek-aspek pembangunan masyarakat dan kerentanan
terhadap bencana. Gambar juga menunjukkan berbagai “orientasi” dalam
15
menganalisa pembangunan dan kerentanan bahaya. Bidang dibagi dalam aspek
positif dan negatif dari bencana, hubungan pembangunan dengan sumbu vertikal.
Separuh bagian kanan menunjukkan sisi posit if atau optimis tentang hubungan dan
sisi kiri dari diagram berhubungan dengan aspek-aspek negatif dari hubungan.
Pernyataan dalam setiap kuadran menyimpulkan konsep dasar yang diambil dari
dua bidang yang saling melengkapi.
Komunitas Daerah Rawan Bencana
Pada umumnya bencana alam tanah longsor di Jawa Barat khusunya
Kabupaten Bandung terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak mampu
alias rentan, berkaiatan dengan hal tersebut Wilkinson (1970) memahami komunitas
sebagai “ Kumpulan orang-orang yang hidup disuatu tempat (lokalitas, dimana
mereka mampu membangun sebuah konfigurasi social budaya, dan secara
bersama -sama menyusun aktivitas-aktivitas kolektif (collective action). Sementara
Warren dalam Fear dan Schwaezweller (1985) mengkonseptualisasikan komunitas
sebagai “ Kombinasi dari lokalitas (kawasan) dan unti-unit social manusia dan
kelembagaan social yang membentuk keteraturan, dimana setiap unit social
menjalankan fungsi-fungsi sosialnya secara konsisten, sehingga tersusun sebuah
tatanan social yang tertata secara tertib”.
Dari dua batasan diatas, beberapa
elemen (aspek ) penting pembentuk komunitas yang selalu melekat pada pengertian
komunitas adalah :
1. Wilayah atau lokalitas (area), atau aspek esamerial dimana sekelompok individu
hidup dan membina kehidupan social mereka. Bersama-sama dengan individuindividu manusia, aspek ini sangat penting dan menjadi syarat mutlak
terbentuknya sebuah komunitas. Karena wilayah menjadi tempat bermukimnya
suatu komunitas. Tanpa wilayah tak akan pernah terbentuk suatu komunitas.
2. Ikatan-ikatan sosial bersama (common ties) yang membentuk jejaring social
(social networking) yang dibangun oleh anggota komunitas. Dalam hal tertentu
jejaring social tersebut membantu individu tertentu untuk secara mudah
menemukan cara mempertahankan hidup (ways to survive).
3. Interaksi social (social interaction) yang terbentuk diantara individu-individu
anggota suatu komunitas.
Ketiga aspek tersebut akan selalu tampil bersama-sama menentukan ciri sebuah
komunitas.
16
Penanganan bencana berbasis komunitas bertujuan untuk memberdayakan
masayarakat daerah rawan bencana agar dapat mengambil inisiatif dan melakukan
tindakan dalam meminimalkan dampak bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi
di wilayahnya. Pemberdayaan masyarakat seperti yang dikemukan seperti yang
dikutip Isbandi dalam Payne (1997:266) digunakan untuk membantu masyarakat
memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan
ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan
pribadi dan social dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui
peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia
miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
Dari hasil Pemetaan Sosial dan Evaluasi Program daerah rawan bencana
alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung Kabupaten Bandung menunjukkan
besarnya partisisipa si masyarakat dalam penanganan bencana tersebut baik pada
saat terjadi bencana mapun pasca bencana. Pada saat terjadinya bencana Lebih
kurang 500 warga secara bersama-sama membantu korban bencana yang tertimbun
longsor dan mengevakuasinya ke rumah kepala desa, peran ibu-ibu yang membuka
pos -pos kesehatan dan melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap korban yang
hilang dan korban yang mengungsi merupakan inisiatif dari masyarakat.
Kekerabatan yang tinggi antara sesama warga membuat korban bencana dapat
mengungsi ke rumah-rumah tetangga dan kerabat terdekat,
Pada pasca bencana
masyarakat secara gotong royong melakukan kerja bakti meratakan tanah untuk
daerah relokasi korban tanah longsor yang berjumlah 127 KK, kepala desa
memberikan tanah miliknya untuk lokasi relokasi dengan harga yang murah untuk
mempermudah proses relokasi korban bencana. Selain itu kepala desa melakukan
koordinasi dengan Bupati Kabupaten Bandung untuk segera merealisasikan
pembangunan rumah untuk relokasi pemukiman masyarakat, hasilnya kepala desa
mendapatkan bantuan sebesar 70 juta rupiah untuk mendukung pembangunan
rumah yang Bahan Bangunan Rumahnya (BBR) berasal dari Dinas Sosial Propinsi
Jawa Barat.
Hal-hal yang dilakukan oleh masyarakat desa dan tokoh masyarakat
tersebut merupakan modal sosial yang dimiliki oleh warga masyarakat desa
Kidangpanjung, Sebagaimana yang dijelaskan oleh Colletta & Collen dalam Fredian
Tonny (2004), dimana modal sos ial memiliki empat dimensi yaitu :
17
1. Integrasi yaitu Ikatan yang kuat antar anggota kerluarga dan keluarga dengan
tetangga sekitar sebagai contoh adalah ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik
dan agama.
2. Pertalian
yaitu ikatan ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal
contohnya jejaring (network), dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan ( civic
associations) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama.
3. Integritas organisasional yaitu kekefektifan dan kemampuan institusi negara
untuk menjalankan fungsinya, et rmasuk menciptakan kepastian hukum
dan
menegakkan peraturan
4. Sinergi yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintah dengan komunitas
(state -community relations). Fokus perhatian dalam sinergi ini adalah apakah
pemerintah memberikan ruang yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya.
18
METODOLOGI KAJIAN
Kerangka Pemikiran
Bencana alam tanah longsor, Gempa Bumi dan Tsunami yang terjadi di
Indonesia secara terus menerus mulai tahun 2004 sampai tahun 2005 telah
menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang cukup banyak. Demikian
pula kejadian bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan
Cililin telah menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa. Dampak bencana
terhadap kehidupan masyarakat, kehilangan kepala keluarga, lokasi bencana yang
tidak dapat dihuni lagi , kondisi trauma akibat kejadian bencana dan kesiapsiagaan
masyarakat dalam rangka menghadapi bencana yang akan datang. Untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang ditimbulkan perlu dilakukan kajian dari berbagai aspek
yang terkait dengan manajemen pena nggulangan bencana yang telah dilaksanakan
di Desa Kidangpananjung.
Analisis kondisi masyarakat pasca bencana dilakukan untuk memperoleh
gambaran tentang potensi masyarakat dalam penanggulangan bencana ( sebelum,
pada saat, dan sesudah bencana ), beberapa aspek yang dikaji meliputi kondisi sosial
budaya masyarakat Desa Kidangpananju ng, Pengaruh program penanggulangan
bencana terhadap pembangunan masyarakat, Faktor -faktor penyebab terjadinya
bencana, serta Pandangan Stakeholders dalam bidang penanggulangan be ncana.
Selain hal tersebut menarik untuk dikaji bagaimana aktivitas atau tindakan
masyarakat dalam menanggulangi bencana melalui sarana yang digunakan, sistem
pengorganisasian dan bagaimana memobilsasi sumber-sumber yang dimiliki oleh
masyarakat. Hal ini akan dijadikan rujukan dalam menciptakan kesiapsiagaan
bencana yang berbasis masyarakat daerah rawan bencana.
Dalam mengkaji keragaan penanggulangan bencana berbasis masyarakat
maka perlu dilihat kemampuan masyarakat korban berncana dalam mengorganisir
anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam penangulangan bencana, sarana dan
teknologi yang digunakan dan sumber-sumber yang dapat diberdayakan. Keragaan
manajemen bencana juga dapat dilihat juga secara empirik melalui faktor Sosial
budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang dapat didayagunakan pada saat dan
pasca
bencana
dan
faktor
politik
berupa
Kebijakan
Pemerintah
dalam
Penanggulangan Bencana. Selanjutnya melalui indikator keberhasilan yang
menyangkut aspek resiko, bahaya , kerentanan dan kemampuan masyarakat melalui
sumberdaya yang dimilki dalam bidang penanganan bencana, maka diperoleh
gambaran faktor -faktor internal dan eksternal.
Selanjutnya dapat dibuat suatu strategi untuk meningkatkan kapasitas masyarakat,
melalui Penguatan Kelembagaan penanggulangan bencana dan Pembentukan
Jejaring dengan Organisasi Penanggulangan Bencana (Bakornas, Satkorlak, Satlak
PBP) dalam rangka kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat. Dengan
kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat diharapkan masyarakat dapat secara
mandiri berkemampuan melalui sumberdaya yang dimiliki untuk meminimalkan
resiko yang ditimbulkan oleh bencana.
Gambar 3 :
Kerangka Pikir Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas
INDIKATOR KEBERHASILAN
• Resiko
• Bahaya
• Kerentanan
• Kemampuan (Sumberdaya)
FAKTOR INTERNAL
Struktur Sosial :
• Sosial Budaya
• Kelembagaan
• Modal Sosial
• Pengorga
nisasian.
Budaya :
• Nilai- Nilai
• Norma
Kera
gaan
CBDM
• Sarana
• Teknologi
FAKTOR EKSTERNAL :
• UU PB (dlm proses)
• Kepres No 3/ 2001
• Kep. Mendagri No.331/
tahun 2003
• KepGub Jabar No.11
tahun 2001
• Sumber
Rencana
Strategi
Program :
• Penguatan
Kapasitas
Masyarakat
• Penguatan
Kelembagaan
PB.
• Pembentukan
Jejaring dengan
Org. PB
Kesiapsiagaa
n Bencana
Berbasis
Komunitas
20
Lokasi dan Waktu Kajian
Kajian dilaks anakan
di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin
Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat dengan pertimbangan lokasi penelitian
sebagai daerah rawan bencana. Secara geografis Desa Kidangpananjung diapit oleh
tiga perbukitan yang masing-masing Bukit Gedungan, Pasirmala dan Gunung
Sembung, perbukitan ini mengandung batuan andesit yang telah mengalami
pelapukan menjadi lempung dan bersifat gembur dengan ketebalan 0,5 – 1,5 meter.
Desa Kidangpananjung merupakan daerah rawan bencana yang terletak pada
kemiringan antara 15 derajat - 45 derajat, dengan ketinggian tempat 1000 – 1100
meter diatas permukaan laut. Apabila curah hujan cukup tinggi dan tidak adanya
akar tanaman yang kuat untuk menahan, maka akan terjadi longsor. Titik longsor
terletak pada lereng bagian atas dengan kemiringan lereng sekitar 35 derajat. (Dr.
Surono dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Jawa Barat)
Secara adminisitratif letak wilayah Desa Kidangpananjung sebagai berikut :
a. Batas sebelah t imur : Desa Situwangi
b. Batas sebelah barat : Desa Mukapayung
c. Batas sebelah selatan : Kecamatan Soreang
d. Batas sebelah utara : Desa Tanjungwangi
Luas wilayah Desa Kidangpananjung adalah 510 Ha, 166 Ha diantaranya
merupakan hutan pinus milik Perhutani yang terletak disebelah Barat Desa. Desa
Kidangpananung terbagi atas 2 Kampung yaitu Walahir 3 RW dan Kampung Budi
Asih 3 RW. Jarak fisik l Desa Kidangpananjung dengan beberapa wilayah dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2
Jarak dan waktu tempuh
NO
Jarak dan waktu Tempuh
Keterangan
1.
Jarak ke Ibukota Kecamatan
13 Km
2.
Jarak ke Ibukota Kabupaten
28 Km
3.
Jarak ke Ibukota Propinsi
30 Km
4.
Waktu Tempuh ke Ibukota Kecamatan
1 jam
5.
Waktu Tempuh ke Ibukota Kabupaten
1,5 jam
6.
Waktu Tempuh ke Ibukota Propinsi
1,5 jam
7.
Waktu tempuh ke FasilitasKesehatan ( Puskesmas )
45 menit
Data : Monografi Desa 2004
21
Sebagai alat transportasi masuk dan keluar dari Desa Kidangpananjung
menggunakan ojek dengan ongkos Rp. 4000 – 5000,-.sampai dengan batas desa
Tanjungwangi dan dilanjutkan dengan ojek untuk menuju jalan raya Kecamatan
Cililin dengan ongkos Rp. 4000 – Rp. 5000,-. Masyarakat Desa yang tidak memilki
kenderaan harus menyediakan uang minimal sebesar Rp. 20.000,- untuk biaya
tranportasi apabila mereka berniat untuk bepergian mencari nafkah dan keperluan
lain. Pada saat terjadi bencana alam tanah longsor ongkos ojek ini mengalami
kenaikan bisa mencapai Rp. 20.000 – Rp. 30.000,-.,bahkan pada saat kunjungan
Menteri Sosial ke lokasi bencana biaya transportasi tersebut bisa melonjak sampai
Rp. 50.000,- ( Bapak Tatang tokoh masyarakat)
Kajian kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas ini dilakukan dalam tiga
tahap yaitu pemetaan sosial daerah rawan bencana yang dilakukan pada tanggal 3 –
30 Nopember 2004. Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat yang berkaitan
dengan program penanganan darurat dan pasca bencana yang dilakukan pada
tanggal 21 Ferbruari – 5 Maret 2005, dan kajian pengembangan masyarakat
dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan Agustus 2005. Rincian jadwal pada
tabel 2 berikut :
Tabel 3. Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat
Desa Kidangpananjung Tahun 2004/2005
Jenis Kegiatan
2004
11
12
2005
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Pemetaan Sosial
2. Evaluasi Program
3. Kolokium
4. Kajian Pengembangan Masyarakat.
5. Seminar Kajian
6. Ujian Sidang
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam kajian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan topik kajian “ Kesiapsiagaan Bencana Berbasis
komunitas : Kasus Masyarakat Daerah Rawan Bencana di Desa Kidangpananjung.
Kajian ini lebih merupakan suatu kajian kualitatif yang bersifat partisipatif, dengan
syarat pertimbangan peneliti dekat dengan orang/situasi yang diteliti dan peneliti
dapat menangkap hal aktual yang terjadi dan dikatakan subyek penelitiaan.
22
Sampling
Populasi Kajian adalah masyarakat korban bencana alam tanah longsor di
Desa Kidangpananjung, sedangkan pengambilan sample responden dilakukan
berdasarkan sampling bertujuan (Purposive sampling), yakni hanya ditujukan
kepada warga masyarakat baik sebagai responden maupun sebagai informan yang
langsung
berkenaan
dengan
kegiatan
penanggulangan
bencana
di
Desa
Kidangpananjung pada saat terjadinya bencana alam tanah longsor sebagai berikut :
1.
Masyarakat korban bencana di relokasi pemukiman
2.
Tokoh Agama
3.
Tokoh Masyarakat
4.
Aparat Desa Kidangpananjung
5.
Tokoh Pemuda
6.
Ibu-Ibu PKK
Metode Pengumpulan Data
Kajian menggunakan metode pengumpulan data kualitatif yaitu data
deskriptif berupa kata -kata lisan/tulisan dan subyek kajian yaitu responden dan
informan, dengan menggunakan cara sebagai berikut :
1. Pengamatan berperan serta
Pengamatan berperanserta mempersyaratkan interaksi social peneliti dan subyek
penelitian secara langsung dalam lingkungan subyek penelitian, dalam hal ini
peneliti pernah terlibat langsung dalam penanganan korban bencana di lokasi
penelitian.
Pengamatan
berperan
serta
digunakan
karena
membuka
kemungkinan untuk melihat dan merasakan dan memaknai peristiwa dan gejala
social menurut subyek penelitian dan pemebentukan pengetahuan bersama
(Intersubyektifitas). Dalam pengamatan berperanserta, untuk keperluan efisiensi
dan efektivitas, maka perlu pembatasan sasaran pengamatan dan membangun
kerangka pemikiran sebagai pengarah bagi proses pengumpulan data.
2. Wawancara mendalam.
Wawancara mendalam merupakan proses temu muka berulang antara peneliti
dan subyek peneliti. Melalui cara itu peneliti hendak memahami pandangan
subyek peneliti tentang pengalamannya sebelum bencana, pada saat dan pasca
bencana. Wawancara mendalam berlangsung dalam suasana kesetaraan, akrab
dan informal.
23
Wawancara mendalam sesuai diterapkan sebagai metode pengumpulan data
pada situasi- situasi berikut :
a. Aspek penelitian sudah dirumuskan secara jelas dan tepat
b. Ajang dan subyek penelitian tidak terjangkau
c. Terdapat kendala waktu
d. Penelitian tergantung pada ajang atau orang dalam skala luas
e. Terdapat keperluan untuk menjelaskan pengalaman manusia.
3. Kajian Dokumen
Kajian terha dap data dan laporan tentang proses penanganan pada saat dan
pasca bencana yang berasal dari aparat desa Kidangpananjung, Satlak PBP,
PMI, Dinas Sosial, dan Direktorat Vulkanologi Bandung. Adapun rencana
pengumpulan data seperti tertera pada tabel di bawah ini :
Tabel 4 : Rencana Pengumpulan Data
No
Tujuan
Jenis Data
Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data
Observ
WW
C
Studi
Dokumen
FGD
Mengidentifikasi kondisi
Sosial
Budaya
Komunitas
Desa
Kidangpannjung
Primer
•
•
•
•
Masyarakat.
Tomas
Toga
Pemuda
Ibu-ibu PKK
2.
Mengidentifikasi
dan
Mengevaluasi keberhasilan
Program Penanggulangan
Bencana
terhadap
pembangunan Masyarakat .
Primer
•
•
•
•
•
Masyarakat.
Tomas
Toga
Aparat Desa
Ibu-ibu PKK
ü
ü
ü
ü
3.
Menganalisis faktor-faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya bencana tanah
longsor.
Primer
•
•
•
•
•
Masyarakat.
Tomas
T okoh agama
Aparat Desa
Satlak PBP
Dit. Vulklogi
ü
ü
ü
ü
4.
Mengidentifikasi
dan
menganalisis
pandangan
stakeholders dalam bidang
penanggulangan bencana.
Sekunder
•
•
•
•
Bakornas PBP
Satkorlak PBP
Satlak PBP
PMI
LSM PB
ü
ü
ü
ü
1.
ü
ü
24
ü
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Cara mengolah dan menganalisis data kualitatif menurut Miles dan Hubermen
(1992) ada tiga jalur analisis yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.
1. Reduksi Data
Reduksi data dima ksudkan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dalam catatan-catatan tertulis dilapangan. Proses ini berlangsung secara terus
menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar
terkumpul. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan-kegiatan :
1. Meringkas Data
2. Mengkode
3. Menelusur Tema
4. Membuat gugus-gugus
5. Membuat Partisi
6. Menulis Memo
Kegiatan ini berlangsung sejak pengumpulan data sampai dengan penyusunan
laporan.
Reduksi
data
merupakan
bentuk
analisis
yang
menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi
data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat
diambil.
2. Penyajian Data
Penyaijian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian
data dilakukan dengan Matriks, grafik, jaringan dan bagan. Bentuk-bentuk seperti
ini akan menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang terpadu
dan mudah diraih, sehingga memudahkan melihat apa yang sedang terjadi dan dapat
menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah
melakukan analisis.
3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan mencakup juga verifikasi atas kesimpulan itu, dari
permulaan pengumpulan data seorang penganalisis kualitatif mencari arti bendabenda, mencatat keteraturan pola -pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang
mungkin, alur sebab akibat dan proposisi.
25
Kesimpulan-kesimpulan ini ditangani secara loriggar, tetap terbuka dan skeptis,
tetapi kesimpulan sudah disediakan. Mula -mula belum jelas dan kemudian
meningkat menjadi rinci dan mengaka r dengan kokoh (Glasen & Strauss.1967).
Kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan cara :
1. Memikir ulang selama penulisan
2. Tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan
3. Peninjauan
kembali
dan
tukar
pikiran
antar
teman
sejawat
untuk
mengembangkan “ Kesepakatan intersubyektif”.
4. Upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam
seperangkat data yang lain.
Ketiga kegiatan analisis dan pengumpulan data kualitatif merupakan proses siklus
dan interaktif. Peneliti bergerak diantara empat sumbu komponen selama
pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara kegiatan reduksi,
penyajian
dan
pe narikan
kesimpulan/Verifikasi. “Analisis data kualitatif
merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus.”
Metode Perancangan Program
Dalam merancang program penanganan bencana berbasis komunitas ini, peneliti
berorientasi pada program yang memiliki aktivitas yang berkesinambungan dan
terus dikembangkan dari suatu aspek ke aspek yang lain. Beberapa pertimbangan
peneliti dalam merangcang program ini sebagai berikut :
1. Kondisi lingkungan sekitar dimana program akan dilaksanakan yaitu masyarakat
daerah rawan bencana alam tanah longsor.
2. Tujuan yang ingin dicapai yaitu meningkatkan kapasitas
kesiapsigan
masyarakat dalam menghadapi bencana yang akan datang.
3. Kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan agar tujuan dapat tercapai yaitu
pemetan daerah rawan bencana, penyadaran warga masyarakat tentang kondisi
geografis wilayah mereka, dan pembentukan tim siaga bencana melalui
pelatihan manajemen bencana, analisis kebijakan berupa pembuatan peraturan
desa.
4. Pihak-pihak terkait yang akan dilibatkan yaitu Aparat Desa, Tokoh Agama,
Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Ibu-ibu PKK, PMI dan Dinas Sosial, PMI
Kabupaten Bandung, Direktorat Vulkanologi Bandung.
26
5. Jangka waktu pelaksanaan program secara berkelanjutan tidak membatasi
aktivitas warga pada kurun waktu tertentu saja.
Metode perancangan program dalam kajian ini menggunakan motode Logical
Framework Analysis (LFA) seperti dikemukakan oleh Sumadjo dan Saharudin
(2004) dengan tahapan yang dilakukan sebagai berikut :
TAHAP PERTAMA :
Melaksanakan analisis masalah melalui wawancara mendalam, diskusi
kelompok dan Focus Group Discution (FGD) yang menghasilkan prioritas masalah.
Pada tahap ini dilakukan identifikasi potensi dan permasalahan yang dihadapi
masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Hasilnya berupa data
perkembangan kesiapsiagaan masyarakat yang dapat mendorong dan menghambat
keberlanjutan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Faktor pendorong maupun
penghambat merupakan potensi dala m mewujudkan kesiapsiagaan berbasis
komunitas. Data dan potensi permasalahan dikonfirmasikan melalui diskusi
kelompok dengan peserta yang berasal dari responden dan informan yang
sebelumnya telah diwawancarai. Hasil diskusi diolah berulang-ulang dalam pros es
pengujian data melalui klarifikasi data, yang dilakukan melalui diskusi kelompok
secara parsial kepada masyarakat potensial serta mengidentifikasi jaringan sosial
antara masyarakat dan masyarakat dengan kelembagaan jaringan penanggulangan
bencana.
TAHAP KEDUA :
Melaksanakan analisis tujuan. Berdasarkan analisis masalah yang telah
dirumuskan dan telah menghasilkan prioritas masalah, langkah selanjutnya adalah
melaksanakan analisi tujuan melalui Focus Group Discustion (FGD) dan diskusi
kelompok parsial serta diskusi kelompok seluruh masyarakat yang terlibat dalam
penanggulangan bencana, sehingga diperoleh analisis tujuan berdasarkan analisis
masalah yang telah dirumuskan.
27
TAHAP KETIGA :
Melaksanakan analisis alternatif berdasarkan analisis tujuan yang telah
dirumuskan pada tahap pendahuluan. Pada tahap ini dirancang bersama komunitas
daerah rawan bencana , analisis alternatif untuk memilih beberapa kegiatan dari
beberapa alternatif yang ada. Dilakukan melalui diskusi kelompok.
TAHAP KEEMPAT :
Menyusun analisis pihak terkait berdasarkan identifikasi yang telah
dilakukan pada tahap pendahulu an. Pada tahap ini disusun matrik mengenai siapa
saja pihak terkait yang dapat diberdayakan dalam perancangan program
kesiapsiagaan berbasis komunitas serta dianalisis mengenai kekauatan dan
keterbatasan masing-masing pihak.
28
PETA SOSIAL DESA KIDANGPANANJUNG
Kependudukan
Penduduk desa Kidangpananjung berdasarkan data
desa ( Mei 2004 )
termasuk dalam katagori struktur penduduk usia kerja. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah penduduk 3.217 Jiwa sebanyak 1505 jiwa adalah penduduk usia angkatan
kerja. Komposisi jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.589 jiwa dan jumlah
penduduk perempuan sebanyak 1.628 jiwa. Untuk lebih jelasnya komposisi umur
penduduk dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel. 5
Komposisi Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Tahun 2004
NO.
KOMPOSISI
UMUR
JENIS KELAMIN
JUMLAH
%
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
21
20
41
1,27
1.
0 – 12 bulan
2.
13 bulan – 4 th
120
136
256
7,95
3.
5 – 6 Tahun
142
156
298
9,26
4.
7 -12 Tahun
185
187
372
11,56
5.
13 – 15 Tahun
173
174
347
10,78
6.
16 -18 Tahun
132
133
265
7,95
7.
19 – 25 Tahun
165
166
331
10,28
8.
26 – 35 Tahun
145
151
296
9,20
9.
36 – 45 Tahun
124
128
252
7,83
10.
46 – 50 Tahun
127
130
257
7,98
11.
51 – 60 Tahun
114
122
236
7,33
12.
61 – 75 Tahun
101
81
182
5,65
13.
Diatas 75 Tahun
40
44
84
2,61
1.589
1.628
3.217
100 %
JUMLAH
Sumber : Monografi Desa Tahun 2004
Dari jumlah penduduk sebanyak 3.217 jiwa Tidak tamat SD : 211 jiwa, Tamat
SD : 1.651 jiwa, Tamat SLTP 45 jiwa, Tamat SLTA 23 Jiwa, Tamat Kejar Paket A ;
14 orang dan Tamat Perguruan Tinggi 14 jiwa. Menurut informasi yang kami
dapatkan dari Bapak Unan sebagai guru dan tokoh masyarakat tingkat pendidikan
masyarakat yang mayoritas tamat SD sebesar 51, 32 % lebih disebabkan karena tidak
terdapatnya Pendidikan SMP di Desa Kidangpananjung. Untuk melanjutkan
kejenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu SLTP masyarakat harus ke Kecamatan
Cililin yang ditempuh sejauh 13 KM dengan uang transport sebesar Rp. 20.000,/harinya. Beberapa anggota masyarakat yang mempunyai keinginan yang keras untuk
melanjutkan pendidikan akan tetapi tidak mempunyai biaya yang cukup, dapat
berjalan kaki seperti yang diceritakan Bapak Tatang “ Saya dulu pada saat
melanjutkan pendidikan ke SMP berangkat pada pukul 05.00 subuh dan kembali ke
rumah pada jam 18.00 WIB “.
Jumlah kelahiran pada tahun 2002 sebanyak 66 jiwa dan penduduk yang
datang/masuk ke Desa kidangpanajung pada tahun 2002 sebanyak 32 jiwa sehingga
angka fertilitas sebanyak 98 jiwa. Jumlah kematian sebanyak 29 jiwa dan jumlah
penduduk yang pindah atau meninggalkan Desa Kidangpananjung sebanyak 107 jiwa
sehingga jumlah Mortalitas sebanyak 136 jiwa. Angka pertumbuhan penduduk pada
tahun 2002 adalah 98 Jiwa - 136 Jiwa = -38 jiwa. Besarnya jumlah penduduk yang
pindah atau menin ggalkan desa disebabkan mata pencaharian penduduk yang
berjualan keliling selama 7 – 10 hari. Hal ini sudah menjadi tradisi masyarakat Desa
Kidangpananjung yang tidak menyerah dengan kondisi alam yang rawan bencana
dan minimnya lahan pertanian, masyarakat berusaha dan bekerja keras untuk
memenuhi kebutuhan hidup, walaupun harus meninggalkan keluarga.
Tekanan penduduk mendorong petani untuk memperluas lahan garapannya
atau untuk keluar dari desanya ketempat lain. Keterbatasan lahan pertanian dan
keterbatasan kesempatan kerja di luar sektor
pertanian menyebabkan terjadinya
tekanan penduduk yang apabila terjadi di wilayah dekat hutan maka akan terjadi
penggundulan hutan, dan apabila tekanan penduduk terjadi di desa dekat kota dengan
sarana perhubungan yang baik maka akan terjadi migrasi desa kota. Hal ini terjadi
pada masyarakat Desa Kidangpananjung yaitu pada masa reformasi tahun 1997-1998
masyarakat secara sengaja menebang kayu secara besar-besaran di hutan pinus,
sehingga terjadi penggundulan hutan. Peril aku masyarakat yang terdesak dalam
memenuhi kebutuhan hidup dan kurangnya pengetahuan tentang dampak yang
ditimbulkan akibat penebangan pohon pinus merupakan penomena yang terjadi pada
masyarakat. Sebagain besar masyarakat Desa beranggapan bahwa bencana yang
terjadi merupakan suatu musibah dari Allah SWT seperti yang dikatakan oleh Bapak
Aik Ketua RW 02 sebagai berikut :
Menurut saya bencana tanah longsor yang terjadi di Desa Kidangpannjung
merupakan suatu musibah dari Allah SWT yang harus kita terima dengan
ikhlas dan dengan cara berserah diri kepadanya “
30
Pandangan sedikit berbeda diutarakan oleh Bapak Asep Rusmana selaku Ketua BPD
tentang bencana yang terjadi :
“ Saya mempunyai pemikiran bahwa bencana yang terjadi selain memang
musibah yang harus kita terima, akan tetapi juga disebabkan oleh gundulnya
hutan pinus yang sudah berubah fungsi menjadi tanaman lain. Hal yang lebih
penting adalah bagaimana bencana yang terjadi menjadikan pelajaran bagi
kita untuk semua untuk berupaya agar bencana yang sama tidak terulang
kembal di Desa Kidangpananjung.
Mengenai pengalaman dalam penanggulangan bencana dikemukakan oleh Bapak
Tatang salah seorang Tokoh Masyarakat sebagai berikut :
“Pengalaman saya pada saat terjadi bencana tanah longsor yang lalu yaitu
saya melihat kepanikan yang luar biasa karena padamnya listrik disertai
hujan terus menerus. Setelah melakukan koordinasi dengan Kepala Desa dan
Camat Cililin kami membentuk kepengurusan Penanggulangan Bencana yang
terdiri dari Penasehat Pak Camat, Koordinator lapangan Kepala Desa, Seksi
Humas saya sendrii, Seksi Kesehatan, Bendahara dan Seksi Administrasi
yang mecatat laporan korban bencana.Pengalaman lainnya adalah banyak
sekali bantuan yang datang ke lokasi bencana baik dari masyarakat maupun
organisasi politik yang langsung mendirikan posko bantuan di lokasi bencana.
yang terkadang menimbulkan miskomunikasi mengenai data bantuan yang
diterima maupun yang disalurkan oleh panitia desa yang telah dibentuk.
Salah satu contoh bantuan yang tercatat di Posko kami berbeda dengan
keterangan yang disampaikan oleh salah satu partai politik kepada media
sehingga menimbulkan interpretasi yang tidak baik. Hal ini sudah kami
konfirmasikan kepada media yang bersangkutan.
Pengalaman mengenai penanggulangan bencana juga disampaikan oleh Bapak Ujun
salah seorang Guru di Sekolah Dasar Walahir sebagai berikut :
“ Saya melihat antisipasi aparat desa dan warga masyarakat pada saat
terjadinya bencana cukup baik, hal ini terlihat dengan sikap spontanitas dari
warga untuk memberikan pertolongan kepada korban bencana dan saya juga
melihat sistem pendistribusian bantuan tidak hanya diberikan kepada korban
bencana akan tetapi masyarakat yang tidak terkena bencana juga
mendapatkan bantuan sehingga tidak menimbulkan kecemburuan.Kebijakan
ini diambil atas musyawarah bersama antara kepala desa dengan tokoh
masyarakat karena banyaknya bantuan yang diterima dan sebagai
penghargaan atas sikap solidaritas anatara sesama warga masyarakat
terhadap warga masyarakat yang terkena musibah bencana tanah longsor.”
Berkaitan dengan Penanggulangan Bencana khususnya pendirian Posko Kesehatan
dan Penyelenggaraan Dapur Umum Lapangan dikemukakan oleh isteri Kepala Desa
Yang juga berpropesi sebagai PLKB Kecamatan Cililin sebagai berikut :
“ Ibu-ibu PKK turut membantu mendirikan Posko Kesehatan pada pasca
bencana dan melanjutkan Dapur Umum Lapangan setelah petugas dari
31
Palang Merah Indonesia Kabupaten Bandung meninggalkan lokasi bencana
pada H+10, Hal ini kami lakukan karena para pengungsi yang berada di SD
Walahir masih membutuhkan bantuan permakanan dan kesehatan.
Lebih lanjut Kepala Desa menjelaskan pandangan masyarakat Desa Kidangpananjung
yang tinggal di daerah perbukitan yang rawan terhadap bencana sebagai berikut :
“ Di Desa Kidangpananjung sering terjadi longsor, namun longsor yang
terjadi belum pernah seperti sekarang ini, masyarakat sebenarnya sudah
mengetahui adanya tanda-tanda longsor seperti tanah retak-retak, pohon
yang tumbuh di lereng bukit mengalami kemiringan, akan tetapi menganggap
hal ters ebut suatu yang biasa.
Sistem Ekonomi
Mata pencaharian pokok penduduk Desa Kidangpananjung sebagian besar
sebagai buruh tani dan pedagang keliling. Hanya sebagian kecil yang berprofesi
sebagai pegawai pemerintah. Adapun rinciannya dapat dilihat pada table berikut :
Tabel 6 :
Mata Pencaharian Masyarakat Desa Kidangpananjung
NO
Mata Pencaharian
Jumlah
1.
PNS PLKB
2
2.
PNS Dinas Kesehatan
1
3.
PNS Dinas Kantor Agama
2
4.
Guru
12
5.
Petani
278
6.
Buruh Tani
307
7.
Pedagang Keliling
903
Jumlah
1505
Data : Monografi Desa 2004
Sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai pedagang keliling
baik pedagang buah maupun pedagang tape singkong yang dijual Pasar di Kecamatan
Cihampelas bahkan sampai ke pasar -pasar di Kota Bandung. “Menurut Bapak Tatang
Tokoh Masyarakat Desa Kidangpananjung “
Masyarakat disini sangat dikenal dengan pedagangnya yang berjualan sampai ke
Sukabumi, Cianjur, Padalarang, Ciamis dan derah lainnya. Kekhasan pedagang
32
warga Desa Kidangpananjung berjualan dengan cara memikul dagangannya”.
Lebih lanjut dikatakan hampir 60 % dari masyarakat Desa bermata pencaharian
sebagai pedagang keliling,mereka pergi dalam jangka waktu 7 – 10 hari dan
kemudian membawa hasil keuntungannya pulang kerumah untuk kebutuhan
sehari-hari. Pengahasilan rata-rata pedagang keliling diperkirakan mencapai Rp.
100.000/hari”
Kondisi alam yang berbukit dan lahan pertanian yang sedikit membuat
masyarakat harus mencari alternatif mata pencaharian lain, salah satu alternatif
tersebut terbentuklah kelembagaan pedagang keliling. Dalam menjalankan operasinya
anggota masyarakat membeli buah-buahan di Pasar Caringin yang kemudian dijual ke
berbagai daerah diJawa barat antara lain Cianjur, Sukabumi, Ciamis, Pangandaran dan
daerah lainnya. Pola hubungan antar pedagang dalam melakukan aktivitasnya secara
berkelompok dan selama 7 – 10 hari meninggalkan rumah mereka. Pada saat
kelompok meninggalkan keluarganya, maka kelompok yang lain yang bertanggung
jawab terhadap pengasuhan anak dan keluarga yang ditinggalkan, hal ini sudah
menjadi kewajiban dari tiap individu.
Hubungan kelembagan yang terjadi adalah antara anggota kelompok pedagang
keliling dengan Pedagang pasar Caringin dimana terjadi transaksi jual beli, dalam
hubungan ini terjadi interaksi secara terus menerus dan berpola. Pedagang di Pasar
Caringin memerlukan pedagang keliling untuk pemasaran produknya sedangkan
pedagang keliling mendapatkan keuntungan dari hasil selisih penjualan yang
dilakukannya. Norma dan nilai yang dianut antara pedagang buah di Pasar caringin
dan pedagang keliling adalah menetapkan harga yang lebih murah dari harga pasar,
hal ini mengingat buah tersebut akan dijual kembali oleh si pedagang keliling. Setiap
Pedagang di Pasar telah mempunyai langganan tetap bagi pedagang keliling sehingga
telah menjadi kesepakatan yang tidak tertulis apabila terjadi kenaikan harga buah
maupun penurunan harga.
Perubahan kelembagaan berkorelasi dengan perubahan frekuensi dan intensitas
interaksi antara pedagang
di Pasar dengan Pedagang Kelililing, Apabila seorang
pedagang keliling dalam waktu yang cukup lama tidak melakukan transaksi jual beli,
maka akan terjadi penyesuaian kembali dalam penetapan harga.
Selain hal tersebut
juga berkorelasi terhadap perubahan musim. Dengan berubahnya musim maka buah
yang akan dijualpun akan mengalami perubahan baik dari segi harga maupun
pemasarannya.
33
Struktur Komunitas
Berbicara mengenai struktur komunitas, maka hal pertama yang harus
dipahami adalah gejala pelapisan sosial masyarakat. Hal ini merupakan fenomena
yang penting untuk mengetahui bagaimana masyarakat
lokal membangun suatu
komunikasi satu dengan lainnya. Fenomena tersebut timbul karena adanya sesuatu
yang dihargai dalam kelompok social masyarakat. Demikian halnya dengan
masyarakat Desa Kidangpananjung, sistem pelapisan sosial yang ada relatif terbuka
artinya seseorang berada pada lapisan atas tidak semata-mata dilihat dari pemilikan
harta, tetapi lebih dilihat dari peran-peran yang diberikan dan diakui masyarakat.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh BapakTatang :
“ Masyarakat lebih melihat seseorang dari ketokohan dan peran yang
dilakukannya dalam pergaulan di masyarakat bukan kepada kepemilikan
harta. Masyarakat disini sangat mempercayai pemimpin mereka, akan tetapi
mereka juga dapat menjadi tidak percaya pada seorang pemimpin apabila
pemimpin tersebut telah melakukan suatu kesalahan yang dilakukakannya
terhadap masyarakat “.
Sistem pelapisan sosial masyarakat Desa Kidangpananjung dapat diamati dari
simbol yang diberikan diberikan masyarakat. Lapisan sosial pertama adalah lapisan
sosial yang memegang kedudukan tokoh masayarakat. Pada lapisan ini suara dan
ajakan tokoh sangat besar pengaruhnya dalam memberikan persetujuan terhadap suatu
kegiatan program. Tokoh masyarakat ini terdiri dari Guru, tokoh masyarakat pada
level desa, dusun, RW dan pegawai negeri. Peran mereka sangat terlihat pada saat
pertemuan antar warga dan pertemuan dengan perangkat desa, serta dalam
menyelesaikan konflik antar warga. Lapisan kedua adalah mereka yang masuk dalam
kelompok tokoh agama (Ketua DKM, Ustazd). Suara kelompok ini sangat
berpengaruh dilingkungan dalam menentukan hal-hal yang berkaitan dengan
keagamaan. Kelompok lapisan ini relatif berperan dalam menciptakn keharmonisan
dan dinamika kehidupan beragama, dan umumnya mer eka
akan terlihat dalam
aktivitas pengajian dan majelis taklim serta apabila ada warga yang mengalami
musibah.
Respon Masyarakat Terhadap Pemimpin
Respon masyarakat terhadap kepemimpinan menurut informasi yang
dikemukakan oleh Bapak Tatang
“ Masyarakat lebih mengakui ketokohan seseorang dalam masyarakat,
karena di desa Kidangpananjung hampir semua masyarakat sangat
34
mempercayai tokoh-tokoh masyarakat yang mempimpin mereka. Akan tetapi
masyarakat menjadi tidak akan mempercayai dan menerima tokoh yang
melak ukan penyimpangan moral”.
Desa Kidangpananjung dipimpin oleh seorang kepala desa sejak tahun 1984 dimana
terjadi pemekaran desa, dari awalnya Desa Cisalak menjadi dua desa yaitu Desa
Tanjungwangi dan Desa Kidangpananjung. Sampai dengan Tahun 2004 telah terjadi 3
periode kepemimpinan desa, saat ini dijabat oleh Bapak Ii Setia Permana yang
berasal dari tokoh pemuda untuk melanjutkan kepemimpinannya pada periode ketiga.
Pada masa kepemimpinan kepala desa ini masyarakat menaruh kepercayaan yang
sangat besar terhadap pemimpinnya, hal ini disebabkan keputusan keputusan yang
diambil selalu melibatkan BPD sebagai mitra kerja kepala desa yang akhirnya
menja di keputusan desa. Hal lain yang membuat masyarakat menaruh kepercayaan
yang tinggi terhadap kepala desa untuk melanjutkan kepemimpinannya adalah
terdapatnya kemajuan pembangunan dan pelebaran
jalan desa jalan desa sebagai
satu-satunya saran yang menghubungkan desa dengan dunia luar. Faktor penting
lainnya respon masyarakat terhadap pemimpinnya adalah pada saat terjadi bencana
alam tanah longsor dimana kepala desa menyediakan rumahnya sebagai pos
Kesehatan dan Penampungan warga yang terkena bencana. Disamping hal tersebut
kepala desa juga membantu masyarakat yang terkena bencana untuk mengusahakan
dan menyediakan tanah
untuk relokasi warga yang terkena bencana alam tanah
longsor yang berjumlah 127 KK. Jejaring Sosial dalam komunitas Desa
Kidangpananjung sudah terbentuk sedemikian baik, hal ini nampak pada saat adanya
suatu program desa. Mulai dari pembuatan keputusan desa yang melibatkan BPD
sampai dengan dengan sosialisasi program yang melibatkan tokoh masyarakat.
Jejaring Sosial luar komunitas juga dibangun oleh kepala desa yang mewakili warga
untuk merealisasikan relokasi 127 KK korban bencana alam tanah longsor yang
mendapatkan bantuan dana dari Bupati Kabupaten Bandung, Dinas Sosial, Kimtawil
dan PMI.
Organisasi dan kelembagaan
Organisasi dan Kelembagaan Di Desa Kidangpananjung terdapat lembaga
formal Desa seperti Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Ketahanan Masyarakat
Desa (LKMD), selain lembaga formal tersebut juga terdapat Dewan Kesejahteraan
Mesjid (DKM) dan Organisasi Karang Taruna. Jaringan lembaga formal desa dengan
35
lembaga lain di luar desa sudah terbentuk pada saat bencana terjadi dan berlanjut
dengan program-program pasca bencana antara lain program pembangunan rumah
bagi 127 KK yang akan direlokasi ke Kampung Cikopeng. Jaringan dengan lembaga
lain di luar Komunitas adalah Dinas Sosial Propinsi dan Kabupaten, Kimtawil, PMI
dan Pihak Kecamatan Cililin. Sebagian besar masyarakat Desa Kidangpananjung
memiliki pola pengasuhan yang masih kuat. Hal ini terlihat peran saudara dari pihak
perempuan maupun pihak laki-laki yang ikut membantu dan mendidik anak-anak.
Sistem kekerabatan juga masih tradisional, hal ini dibuktikan dengan sistem
pemukiman yang disekelilingnya merupakan bagian dari keluarga baik dari pihak
laki-laki maupun dari pihak perempuan.
Beberapa kelembagaan terbentuk karena
dirasakan adanya suatu kebutuhan yang dapat mewadahi aspirasi-aspirasi warga
masyarakat. Dalam hal ini terbentuknya kelembagaan terutama disadari untuk
mengantisipasi bencana alam yang akan datang. Menurut hasil pengamatan pada saat
kejadian bencana Karang Taruna, Ibu-bu PKK dan warga masyarakat ikut terlibat
langs ung dalam penanganan korban bencana.
Hubungan Masyarakat Dengan Ekosistemnya
Hubungan masyarakat desa
Masyarakat Desa Kidangpananjung dengan
ekosistemnya sangat bergantung pada Hutan Pinus milik Perhutani seluas 166 Ha,
hutan pinus sangat berfungsi sebagai penahan longsor apabila terjadi musim hujan .
Seperti yang dikatakan Bapak Tatang sebagai berikut :
“ sebelum tahun 1997 hutan pinus ini sangat lebat dan masyarakat banyak
mencari kayu untuk kebutuhan rumah tangga. Tahun 1997 ke atas terjadi
pencurian kayu oleh oknum perhutani dan masyarakat sehingga menyebabkan
penggundulan hutan. Awal tahun 2000 dilakukan penanaman kembali hutan
pinus oleh pihak Perhutani dengan menyediakan bibit tanaman keras dan
masyarakat membantu proses penanaman tersebut. Sampai saat ini usia hutan
pinus rata -rata pada saat kejadian bencana baru 3-4 tahun yang belum mampu
mengikat tanah diatas perbukitan “
Lebih lanjut dikemukakan oleh bapak Tatang mengenai kebiasaan masyarakat Desa
dalam memperlakukan beberapa tumbuhan se bagai berikut :
“ Masyarakat Desa Kidangpananjung seperti masyarakat Sunda lainnya
mungkin tidak akan berani menebang menebang pohon Caringin atau pohon
Kiara. Hal ini dianggap oleh masyarakat sebagai pohon yang angker, yang
apabila menebangnya akan berakibat kecelakaan atau sakit. Pohon ini banyak
tumbuh di lereng -lereng dekat sungai dan sangat rindang sehingga muncul
kesan angker.”
36
Selain hutan pinus masyarakat juga memanfaatkan pohon Albasia
untuk
pembangunan rumah yang tumbuh disekitar lereng-lereng bukit, menurut Kepala
Desa Ii Setia Permana seperti dituturkannya :
“ Masyarakat kurang menyadari pentingnya tanaman keras yang tumbuh
pada lereng sebagai tanaman pencegah longsor, kami sebagai aparat desa
sudah melakukan sosialisasi akan pentingnya pemeliharaan lingkungan.
Namun masih ada saja masyarakat yang tidak menghiraukan himbauan kami,
akan tetapi kami juga memahami sikap tersebut merupakan alasan
keterpaksaan untuk mencari kehidupan “
Data Monografi Desa Kidangpananjung menyebutkan terdapat 63 orang warga
desa yang memiliki tanah lebih dari 1 Ha, 730 orang memiliki tanah dibawah 1 ha dan
241 orang berstatus tidak memilki tanah. Data ini memunjukkan bahwa aset tanah
yang ada di Desa Kidangpannjung seluruhnya dimilki oleh warga desa dan tidak ada
pihak luar desa yang memilki tanah di desa tersebut. Dari hasil wawancara dengan
tokoh masyarakat, belum ditemukan adanya nilai- nilai lokal yang dianut oleh
masyarakat Desa dalam memelihara lingkungan. Namun demikian ada semacam
kebiasaan bagi masyarakat untuk tidak menebang pohon caringin karena dianggap
keramat.
Ikhtisar
Dari hasil pemetaan sosial di Desa Kidangpananjung yang telah diuraikan
diatas baik dari lokasi, kependudukan, struktur sosial, hubungan masyarakat dengan
ekosistemnya serta organisasi dan kelembagaan menunjukkan bahwa masyarakat
memilki potensi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di
Desa Kidangpananjung. Jika dikaitkan dengan dengan topik kajian ini yaitu “
Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat “ beberapa faktor yang mempengaruhi
kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan bencana baik faktor pendorong
maupun faktor penghambat dapat diketahui dari hasil pemetaan sosial ini. Sistem
kekeluargaan dan gotong royong yang sangat tinggi, solidaritas, kepercayaan serta
kepemimpinan komunitas merupakan faktor pendukung keberlanjutan program
kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Sedangkan sebagai faktor penghambat
adalah adanya oknum-oknum yang merusak lingkungan dan pengaruh budaya dari
luar komunitas yang mempengaruhi budaya lokal.
37
Kondisi geografis Desa Kidangpananjung sebagai daerah rawan bencana alam
tanah longsor menuntut masyarakat untuk selalu waspada dan melakukan kesiapan
dalam menghadapi bencana yang sewaktu-waktu akan datang. Untuk itu sangat
diperlukan kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan dan perlunya
informasi kepada masyarakat tentang langkah-langkah kesiapsiagaan mengantisipasi
bencana. Penyadaran akan bahaya bencana bagi masyarakat dapat dilakukan melalui
kelembagaan yang ada dalam masyarakat melalui Pengajian, Hajatan dan Perayaan
perayaan yang menampilkan kesenian wayang golek, cara ini sangat efektif dilakukan
mengingat kondisi budaya masyarakat yang masih tradisional.
38
EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Program Tanggap Darurat
Salah satu program dalam Penanggulangan Bencana adalah Kegiatan
Tanggap Darurat yang merupakan tahapan kegiatan pada saat terjadinya bencana,
yang didalamnya meliputi penyela matan korban (evakuasi), penyelenggaraan dapur
umum lapangan (Dumlap), pelayanan kesehatan dan penampungan sementara kepada
pengungsi. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Sosial Propinsi Jabar, Dinas Sosial
Kabupaten Bandung, PMI Kabupaten Bandung yang tergabung dala m organisasi
SATKORLAK dan SATLAK PBP serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat
Desa Kidangpananjung. Pendanaan dari kegiatan ini bersumber dari APBN dan
APBD Jawa Barat dan bantuan dari masyarakat yang peduli terhadap korban bencana
serta dana swadaya masyarakat. Dalam pelaksanaan kegiatan penaganan korban
bencana tanah longsor Brimob, Wanadri, Karang Taruna , Ibu-ibu PKK, Pemerintah
Desa
dan masyarakat bekerjasama untuk melakukan tindakan penyelamatan,
penyelenggaraan Dapur Umum lapangan dan pelaya nan kepada para pengungsi yang
menjadi korban bencana.
Kegiatan tanggap darurat yang dilakukan pada saat kejadian bencana menuntut
tindakan yang tepat dan sesegera mungkin serta terpadu dengan mengerahkan
kemampuan TNI, POLRI dan Masyarakat. Berkaiatan de ngan hal tersebut
(Pujiono.2002 UNHCR) mendefinisikan Keadaan Darurat sebagai berikut :
Kedaruratan sebagai Suatu situasi dimana kehidupan atau kesejahteraan
masyarakat akan terancam kalau tindakan yang tepat dan segera tidak
secepatnya diambil, dan dimana situasi tersebut menuntut tanggapan besarbesaran dan juga cara-cara yang luar biasa.
Sementara itu Dinas Sosial Jawa Barat memberikan pengertian tanggap
darurat sebagai suatu upaya menolong dan menyelamatkan korban bencana alam
melalui bantuan darurat dan pemulihan kembali fungsi sosial perorangan keluarga,
maupun masyarakat untuk hidup normal.
Pada situasi bencana banyak pihak-pihak yang turut serta memberi bantuan kepada
korban bencana di Desa Kidangpananjung, bant uan tersebut berasal dari dari Instansi
Pemerintah, Organisasi sosial , Badan Usaha Pemerintah, Parti Politik, Perusahaan
swasta, Perguruan Tinggi dan Perorangan. Bantuan yang diberikan berupa uang tunai
dan bahan makanan.
Terjadinya bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung secara
tidak langsung telah mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat. Banyaknya
masyarakat luar yang datang untuk menyaksikan kejadian bencana memberikan
kesempatan kepada masyarakat lokal untuk menjual produk lokal mereka dan
menawarkan jasa transportasi menuju lokasi bencana. Munculnya warung-warung
dadakan yang
menyediakan makanan dan minuman bagi masyarakat luar dan
penyediaan jasa ojek
menuju lokasi bencana mengalami peningkatan, hal ini
merupakan fenomena yang terjadi dari suatu bencana dan hal ini sangat
mempengaruhi peningkatan ekonomi ekonomi masyarakat.
Kegiatan Tanggap Darurat yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Organisasi
Sosial dan Masyarakat dalam penyela matan korban, penyelenggaraan dapur umum
dan pelayanan kesehatan bagi pengungsi dapat berjalan dengan lancar dengan
memanfaatkan potensi lokal yang dimilki oleh masyarakat. Seperti yang dikataka n
Kepala Desa Kidangpananjung Ii Setia Permana sebagai berikut :
“ Lebih kurang 500 orang warga masyarakat ikut teribat kejadian bencana
mereka bekerja tidak kenal lelah dalam pencarian korban bencana tanah
longsor yang masih tertimbun, Ibu-ibu PKK melaksanakan dapur umu m
lapangan dan melayani korban yang luka-luka. Penyediaan gedung sekolah
SD Walahir dan rumah-rumah warga dimanfaatkan sebagai sebagai tempat
penampungan sementara. Selain itu beberapa anggota warga masyarakat
yang berprofesi serbagai Pegawai Negeri Departemen Kesehatan dan
Departemen Agama turut memberikan bantuan sesuai dengan profesinya.
Banyaknya korban yang luka-luka dan meninggal dapat ditangani secara
profesional oleh masyarakat yang berprofesi sebagai ulama dan petugas
kesehatan.”
Dalam keadaan darurat tersebut atas inisiatif kepada desa membentuk kepanitian
dalam menangani situasi yang serba darurat dengan tujuan untuk mena ngani
pencatatan dan pelaporan jumlah korban dan banyaknya bantuan yang terus
berdatangan.
Bencana alam tanah longsor yang terjadi di
Desa Kidangpanajung
menjadikan desa sebagai prioritas pelaksanaan program-program pembangunan dari
Pemerintah. Sala h satu program yang telah diselesaikan pada awal 2005 ini yaitu
40
program pengerasan jalan desa sepanjang 3 km dari Dinas Pekerjaan Umum Jawa
Barat. Sebelum pembangunan jalan
dilaksanakan masyarakat sangat sulit untuk
mengakses fasilitas di luar desa seperti Pasar Caringin untuk pemasaran produk
lokal. Pembangunan jalan ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
ekonomi masyarakat dimasa yang akan datang. Pemasaran produk lokal yang
sebelumnya hanya dapat diangkut dengan kenderaan ojek, sekarang da pat diangkut
dengan menggunakan kenderaan roda empat yang dapat membawa muatan yang
lebih besar. Hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat dari hasil
penjualan produk lokal mereka berupa tape ketan dan tape singkong yang cukup
dikenal oleh masyarakat Jawa Barat.
Pengorganiasaian masyarakat dalam kegiatan tanggap darurat dipimpin oleh
Kepala Desa Kidangpananjung dengan memanfaatkan organisasi yang terdapat di
desa antara lain Karang Taruna, PKK, DKM dan Partisipasi masyarakat. Pelaksanaan
kegiatan Penyelamatan, Dapur Umum dan Pelayanan kepada pengungsi korban
bencana sebagai berikut :
1. Pembagian tugas dipimpin Kepala Desa bekerjasama dengan
BPD, Karang
Taruna dan masyarakat yang berjumlah 500 orang dengan memanfaatkan
perlatan cangkul melakukan penggalian terhadap korban yang tertimbun akibat
longsor. Selain itu masyarakat secara terorganisir melakukan pengamanan
terhadap barang-barang milik korban dan berupaya menghubungi pihak pihak
terkait dalam bidang penanggulangan bencana antara lain :Kecamatan Cililin,
Kabupaten Bandung, Kodim Cimahi dan Dinas Sosial Jawa Barat.
2. Ibu-ibu PKK
Desa dan Karang Taruna membantu penyelenggaraan Dapur
Umum untuk mempersiapkan dan mendistribusikan
makanan bagi korban
bencana di tempat pengungsian SD Walahir yang berjumlah 420 jiwa. .
3. Pengurus Desa beserta warga masyarakat mendirikan posko bencana yang
berlokasi di rumah kepala desa, posko ini berfungsi sebagai pusat informasi
(pencatatan dan pelaporan) tentang akibat yang ditimbulkan bencana dan
menampung bantuan-bantuan yang datang dari pemerintah maupun masyarakat.
4. Masyarakat yang tidak menjadi korban memberikan bantuan kepada korban
untuk menempati rumah mereka sebagi tempat penampungan sementara. Hal ini
41
dilakukan masyarakat karena warga memilki ikatan kekerabatan yang sangat kuat
diantara sesama anggota masyarakat.
Aparat desa beserta masyarakat berpartisipasi aktif melakukan tindakan-tindakan
yang bertujuan untuk mengurangi atau meluasnya dampak bencana. Melalui
kepemimpinan kepala desa masyarakat diorganisir untuk melakukan tindakan
penyelamatan terhadap korban yang tertimbun, melakukan pengamanan terhadap
barang-barang korban dan melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang terkait
dalam penanggulangan bencana.
Aparat desa beserta masyarakat
berpartisipasi aktif melakukan tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk mengurangi atau meluasnya dampak bencana. Melalui
kepemimpinan kepala desa masyarakat diorganisir untuk melakukan tindakan
penyelamatan terhadap korban yang tertimbun, melakukan pengamanan terhadap
barang-barang korban dan melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang terkait
dalam penanggulangan bencana. Kesamaan etnis dan hubungan kekerabatan yang
sangat kuat diantara sesama anggota masyarakat desa serta kepercayaan terhadap
kepemimpinan ke pala desa menjadikan masyarakat berperan secara aktif untuk
melakukan tindakan dalam kegiatan tanggap darurat. Jejaring antara pemerintahan
desa dengan pihak-pihak terkait dalam penangulangan bencana dapat berkolaborasi
untuk melakukan suatu upaya yang be rtujuan untuk mengurangi penderitaan korban
bencana.
Program Relokasi Korban Bencana Alam Tanah Longsor
Kegiatan Relokasi merupakan tahapan kegiatan
yang dilakukan setelah
terjadinya bencana (Pasca bencana ). Kegiatan ini dilakukan disesuaikan dengan
program pemerintah dalam rangka memindahkan rumah penduduk yang terkena
bencana maupun yang terancam, karena lokasi pemukiman penduduk yang sekarang
dinilai sangat berbahaya atau potensial terjadinya bahaya longsor. Untuk itu perlu
dicari suatu lokasi pemukiman yang aman dan layak huni bagi masyarakat korban
bencana , sebagai lokasi bagi korban bencana telah ditetapkan oleh Direktorat
Vulkanologi Bandung yaitu di RW 01 Kampung Cikopeng. Program relokasi ini
diawali dengan arahan Bupati Bandung yang meninjau lokasi bencana pada H+3
setelah terjadinya bencana , adapun perumahan yang direlokasi sebanyak 127 KK
42
dengan rincian : Tertimbun 21 rumah, Rusak Berat 22 rumah Rusak Ringan 19
rumah, Terancam 65 rumah. Relokasi dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan
lokasi bencana oleh Tim Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(DVMBG) yang bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari hasil
rekomendasi DVMBG tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung kemudian
menetapkan relokasi di RW 01 Kampung Cikopeng Desa Kidangpananjung yang
dianggap layak huni dan aman dari aspek kebencanaan. Untuk Program relokasi ini
aspek pembebasan tanahnya ditanggung sepenuhnya oleh Pemda Kabupaten
Bandung dan pengadaan Bahan Bangunan Rumah berasal dari Dinas Sosial dan
Kimtawil serta bantuan dari ICRC.
Foto : Relokasi Pemukiman Korban Bencana di Kampung Cikopeng RW.01
Kegiatan program Relokasi
dalam pelaksanaannya melibatkan
warga
masyarakat dan Pemerintah Desa, khususnya warga RW 03 yang menjadi korban
bencana.
1. Pertama didahului pengerahan masyarakat sebayak 400 orang selama 1 minggu
untuk meratakan tanah secara gotong royong untuk
lokasi relokasi korban
bencana.
43
2. Kepala desa memanfaatkan jejaring yang telah dirintis sebelumnya untuk melobi
pihak-pihak terkait guna merealisasikan pengadaan bangunan perumahan di
relokasi korban bencana. Hasil dari lobi tersebut bantuan yang diterima antara
lain dari Kimtawil 50 rumah, Dinas Sosial 127 KK berupa Bahan Bangunan
rumah dan PMI 50 juta rupiah dalam bentuk rumah sebanyak 5 buah.
3. Kegiatan
menanam 10.000 bibit pohon tanaman keras untuk reboisasi yang
berasal dari Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. Kegiatan ini melibatkan
seluruh unsur masyarakat.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengorganisasian masyarakat melalui
kegiatan ini adalah memberikan
pengertian dan pemahaman tentang pentingnya
menolong sesama warga masyarakat yang tertimpa musibah. Selain itu Kepala Desa
tetap
melakukan
konsultasi
kepada
Asisten
II
Bupati
Bandung
untuk
menginformasikan perkembangan pembangunan relokasi pemukiman yang masih
dalam tahap pembangunan selanjutnya.
Pengorganisasian kegiatan relokasi dengan memanfaatkan modal sosial yang
ada dalam masyarakat. Penyediaan tanah untuk relokasi seluas 3600 M merupakan
tanah milik Kepala Desa yang dijual kepada Pemerintah dengan harga yang sangat
rendah dari harga pasaran, hal ini menurut Bapak Ii Setia Permana
sebagai
partisipasi kepala desa kepada warga masyarakatnya. Pekerjaan pembangunan
pemukiman dilaksanakan oleh sebagian besar masyaraka t melalui kerja bhakti
dengan bekerja secara bergantian selama 3 hari selama satu minggu. pencetus ide
yang juga sebagai kepala desa terjun langsung ke masyarakat dalam memberikan
penyuluhan, pemahaman, dan pengertian tentang pentingnya membantu sesama
warga masyarakat untuk relokasi korban bencana. Hubungan kekerabatan yang
sangat kuat diantara anggota masyarakat desa menjadikan mereka untuk meluangkan
waktu secara bersama -sama membangun lokasi pemukiman baru untuk korban
bencana.
Program relokasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap korban bencana
dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di daerah rawan benacana tidak
mengalami bencana serupa pada waktu mendatang. Untuk itu perlu dilakukan
relokasi ke tempat yang layak huni dan aman dari bencana. Namun pada
44
pelaksanaannya daerah relokasi di Kampung Cikopeng seluas + 2,8 Ha berdasarkan
hasil rekomendasi Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana dapat menampung
sekitar 40 rumah, pada kenyataannya Dinas Sosial melalui Anggaran APBN
menetapkan pembangunan 127 Unit untuk korban bencana. Hal ini menunjukkan
belum adanya koordinasi antara rekomendasi yang diberikan oleh Dit. Vulkanologi
dengan Dinas Sosial tentang pembangunan perumahan bagi masyarakat korban
bencana di lokasi yang baru.
Konflik Sosial Dalam Masyarakat Korban Bencana
Pelaksanaan kegiatan Program Tanggap Darurat dan Relokasi Korban
Bencana tidak menimbulkan konflik sosial. Namun, dari hasil pengamatan di
lapangan ada indikasi terjadinya konflik dalam melaksanakan program Relokasi
Masyarakat korban bencana yang berjumlah 127 KK, yaitu antara warga masyarakat
korban bencana di RW.03 Kampung Walahir dengan Pemerintah. Potensi konflik ini
diawali dengan ucapan Bupati Kabupaten Bandung yang datang ke lokasi bencana
pasca kejadian bencana dan menjanjikan kepada masyarakat korban bencana bahwa
relokasi akan dilaksanakan secepat mungkin yaitu pada bulan Mei 2004. Namun
pada kenyataannya sampai dengan Hari Raya idul Fitri Masyarakat belum dapat
menempati lokasi yang baru, hal ini menimbulkan potensi konflik yang bersifat
vertikal antara masyarakat dengan pemerintah. Dari Sisi Pemerintah ternyata tidak
mudah untuk mencairkan anggaran unt uk pembangunan relokasi
dan hal itu
membutuhkan suatu proses yang panjang pada Dirjen Anggaran. Dari sisi
masyarakat korba n bencana yang sudah tidak mempunyai tempat tinggal dan karena
kondisi keterpaksaan menuntut haknya dan tidak mau tahu tentang proses yang
dilakukan pemerintah. Tokoh masyarakat telah memberikan pengertian dan
mengajak kepada masyarakat korban bencana untuk mau memahami upaya yang
sedang dilakukan oleh pemerintah, namun Masyarakat sudah hilang kepercayaan
kepada pemerintah. Wujud dari rasa ketidakpuasan masyarakat korban bencana
yanitu dengan mendiami rumah mereka yang berlokasi di daerah bekas longsoran,
hal ini sangat membahayakan bagi masyarakat apabila curah hujan yang tinggi turun
dan potensial akan terjadi longsor.
45
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, dalam memahami konflik sosial yang
terjadi, penulis mencoba menganalisis potensi konflik melalui tiga macam alat
analisis konflik, yaitu Pemetaan Konflik, Analogi Bawang Bombay, dan Pohon
Konflik. Pemetaan konflik dimaksudkan untuk mengidentifikasi semua kelompok
yang terlibat, tidak hanya kelompok yang menonjol saja. Analogi Bawang Bombay
dimaksudkan untuk memahami pandangan kelompok-kelompok yang berkonflik dan
mengetahui hubungan satu sama lain. Pohon Konflik dimaksudkan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik.
Pemetaan Konflik
Pihak Luar
Rekanan
Warga
Korban
Kepala
Desa
Masyarakat
Pemerintah
Potensi Konflik:
Proses
Relokasi
Pihak Luar
Keterangan:
: ada hubungan.
: hubungan tidak baik
: dukungan.
: saling mendukung.
: konflik.
Berdasarkan pemetaan konflik, diperoleh gambaran bahwa pihak-pihak yang terlibat
potensi konflik adalah Pemerintahan Desa, warga masyarakat korban bencana, Pihak
ke tiga (Rekanan) yang melaksanakan pembangunan di daerah relokasi, Pemerintah
dalam hal ini Dinas Sosial, Kimtawil dan Palang Merah Indonesia (PMI). Pihakpihak luar dalam kasus ini seperti pihak Kecamatan Cililin, Pemda Kabupaten
Bandung diindikasikan tidak terlibat dalam hal memberikan dukungan atau kontra
kepada salah satu pihak.
46
Analogi Bawang Bombay
Warga Masyarkat Korban Bencana
Tidak memiliki perumahan
dan tidak punya masa
depan sebagai warga
korban bencana
Mengharapkan bantuan
pemerintah yang menjadi
hak bagi korban bencana
Berupaya untuk mendapatkan
perumahan yang layak
Pemerintah
Posisi
Pelaksana Program
Relokasi Korban Bencana
Tanah Longsor
Kepentingan
Kebutuhan
Berkewajiban untuk
membantu korban dengan
lokasi yang aman
Meringankan penderitaaan
korban bencana agar
ber ungsi secara normal
Berdasarkan analogy bawang Bombay terlihat bahwa masing-masing pihak
yaitu masyarakat korban bencana dan pemerintah mempunyai kebutuhan yang sama
yaitu sama -sama segera dapat merealisasikan pemukiman yang baru agar masyarakat
korban bencana dapat bermukim di lokasi yang aman dari bencana. Masing-masing
pihak menunjukkan bahwa adanya kepentingan-kepentingan yang harus dilakukan
dalam kegiatan relokasi tersebut sehingga, dituntut pemahaman
dan pengertian
diantara ke dua belah pihak.
47
Analogi Pohon Konflik
Curiga
Masalah
meluas
Membebani
tetangga/saudara
Aksi Protes
Kembali ke
lokasi lama
Tidak dapat
merayakan Idul
Fitri
Menumpang
Efek
Potensi konflik
vertikal
Terlantar
Ketidakpercaya
an kepada
aparat
Masalah Inti
Terlambatnya Proses
Relokasi
Janji Bupati
Kab. Bandung
Kebutuhan akan
tempat tinggal
Tidak Proaktif
Penyebab
Kurang Sosialisasi
program
Lemahnya
Koordinasi
Proses
Anggaran
Mental Birokrat
48
Strategi Solusi Konflik Masyarakat di Relokasi Pemukiman
Dari analisis yang telah dilakukan di atas , maka disusun suatu strategi
manajemen konflik untuk memberikan solusi yang te pat dalam realisasi relokasi
pemukiman masayarakat korban bencana. Menurut Fisher hasil analisis dengan
menggunakan alat bantu merupakan langkah yang sangat menentukan dalam
menyusun strategi yang dapat mengungkapan berbagai kemungkinan tindakan yang
dapat dilakukan. Tiap orang atau tiap kelompok akan memiliki peluang tertentu,
bergantung pada posisinya dalam situasi itu dan kemampuan khusus mereka. Alat
bantu untuk melakukan analisis mengungkapkan aspek-aspek masalah yang sekarang
dapat dijadikan dasar unt uk menyusun strategi.
Teori yang ditawarkan dalam solusi konflik ini adalah Teori Hubungan
Masyarakat yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus
terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam
suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
1. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian anatar kelompok-kelompok
yang mengalami konflik.
2. Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima
keragaman yang ada di dalamnya.
Selain itu teori yang juga relevan terhadap penanganan konflik di atas adalah Teori
Negosiasi Prinsip yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi
yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang
mengalami konf lik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
1. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan
pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk
melakukan negoisasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada
posisi tertentu yang sudah tetap.
2. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua
belah pihak atau semua pihak.
49
Ikhtisar
Penanggulangan Bencana khususnya Kegiatan Tanggap Darurat
yang
diluncurkan pemerintah untuk membantu mas yarakat korban bencana sebetulnya
mempunyai tujuan untuk meringankan penderitaan korban bencana, program ini
merupakan kebijakan yang tepat dari pemerintah. Namun demikian dalam proses
pelaksanaannya sering menimbulkan masalah, terutama dalam pengelolaan
penyaluran bantuan dari masyarakat kepada korban bencana yang sering
disalahgunakan, bahkan ada pihak-pihak yang memanfaatkan bantuan-bantuan
tersebut untuk kepentingan organisasi dan pribadi masing-masing. Untuk
menghindari hal tersebut, program penyaluran bantuan hendaknya dilaksanakan
secara transparan dengan melibatkan konsultan audit, agar dana yang berasal dari
masyarakat dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh korban bencana.
Pelayanan yang dilakukan
pemerintah sebagai unsur dari Organisasi
Satkorlak PBP kepada masyarakat korban bencana masih pada tahap saat terjadinya
bencana dan Pasca Bencana saja, belum kepada tahap kesiapsiagaan dan mitigasi
bencana yang dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Pemerintah cenderung lebih memilki program yang bersifat menanggulangi bencana
yang telah terjadi daripada melakukan pencegahan atau menyiapkan masyarakat
untuk menghadapi bencana. Hal ini terlihat dari belum adanya program-program
yang dirancang bagi pemberdayaan masyarakat di lokasi daerah rawan bencana.
Pengalaman menunjukkan adanya efektifitas dan lebih memberikan dampak
yang sangat positif dari pendekatan partisipatif dalam memobilisasi masyarakat local
untuk pengembangan kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana. Dalam prakteknya,
pada saat terjadi bencana masyarakat dimotivasi untuk belajar mengorganisir dirinya
sendiri sebagai responden yang melakukan tanggap darurat pada saat bencana.
Sebelum Bencana, mereka dimobilisasi untuk bersama -sama melakukan upaya upaya pemberdayaan dan pengembangfan kapasitas yang memfokus pada
masyarakat, pendidikan masyarakat, pengorganisasian masyarakat dan perencanaan
secara partisipatif.
50
Memberikan pengetahuan tentang bahaya bencana tanah longsor kepada
masyarakat merupakan uapaya yang sangat penting dalam menunjang kesiapsiagaan
bencana berbassis komunitas. Kesiapsiagaan ini harus mampu membuat masyarakat
sadar bahwa mereka hidup di daerah rawan bencana. Mereka rentan karena terus
menerus mengalami dampak dari bahaya dan resiko bencana. Masyarakat harus
diberikan kesadaran pula bahwa tidak seorangpun yang mampu membantu
mengurangi kerentanannya kecuali mereka sendiri yang harus melakukan upayaupaya bagaimana mengurangi tingkat kerentanannya tersebut. Untuk itulah
diperlukan upaya bagaimana menumbuhkan awareness (kesadaran) masyarakat
dalam mengenali dan menganalisis sendiri tingkat kerentanan, bahaya resiko dampak
bencana. Dari kesadaran dan kemampuan analisis tersebut masyarakat diharapkan
mampu mencari sendiri upaya-upaya mengurangi tingkat bahaya dan resiko yang
ditimbulkan bencana. Kemampuan menganalisis ini sebagai bagian dari upaya
pemberdayaan dan penguatan kapasitas masyarakat agar mampu melakukan caracara penyelamatan, pertolongan dan penanggulangan bencana secara mandiri.
51
ANALISIS KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS
MASYARAKAT DAERAH RAWAN BENCANA
Konsep dari kesiapan bencana sangat jelas. Tujuannya adalah untuk
meyakinkan bahwa secara tepat sistim yang memadai untuk bencana, prosedur dan
sumber-sumber daya berada di tempat kejadian dan bisa membantu mereka ya ng
tertimpa oleh bencana dan memungkinkan mereka untuk bisa menolong diri mereka
sendiri.
Tujuan dari kesiapan bencana adalah untuk meminimalisir pengaruh-pengaruh
yang merugikan dari satu bahaya lewat tindaka n-tindakan berjaga-jaga yang efektif,
dan untuk menjamin secara tepat, organisasi yang tepat dan efisien dan pengiriman
respon emergensi yang menindaklanjuti dampak dari suatu bencana. Dari definisi
tersebut dapat diambil suatu kesimpulan tentang kesiapan bencana sebagi berikut :
1. Untuk meminimalisir pengaruh-pengaruh yang merugikan
dari satu bahaya.
Pengurangan resiko bencana dimaksudkan untuk meminimalisir pengaruhpengaruh yang merugikan dari satu bahaya dengan menghilangkan kerentanan
dimana kalau tidak melakukannya bahaya akan terbuka dan secara langsung
mengurangi potensi dampak satu bahaya sebelum bahaya tersebut menyerang.
2. Tindakan berjaga-jaga yang efektif.
bahwa istilah yang digunakan “tindakan
berjaga-jaga” sebagai suatu proses yang aktif dan terus menerus baik rencana rencana maupun strategi-strategi yang diperlukan. Hal ini merupakan usaha-usaha
yang dinamis, yang sering ditinjau lagi, dimodifikasi, diperbaharui dan
diujicobakan.
3. Organisasi yang efisien. Organisasi yang efisien menyarankan krite ria yang jelas
untuk kesiapan bencana yang efektif. Perencanaan yang sistematis, distribusi yang
dilakukan secara baik, peran yang jelas dan tanggung jawab adalah sangat vital.
Rencana kesiapan harus mengantisisipasi sumber-sumber kekacauan dan sama
pentingnya harus juga mencoba mengantisipasi apa yang harus dilakukan pada
saat rencana menjadi serba salah. Dalam situasi bantuan bencana tidak ada sistim
atau struktur yang sudah dibentuk untuk menjamin bahwa mereka yang paling
membutuhkan adalah memang yang paling berhak. Pada akhirnya, uji coba yang
paling penting dari efisiensi adalah bahwa mereka-mereka yang membutuhkan
benar-benar diberikan bantuan secara memadai.
Kesiapsiagaan
bencana
sebatas
mempersiapkan
masyarakat
dalam
menghadapi bencana yang sewaktu-waktu akan datang, tujuannya sangat jelas yaitu
untuk meminimalisir kerugian yang diakibatkan bencana. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan dengan adanya kesadaran masyarakat yang tinggal di daerah
rawan bencana dan mau belajar dari kejadian bencana sebelumnya merupakan upaya
untuk melakukan kesiapsiagaan menghadapi bencana iotu sendiri.
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Desa Kidangpananjung
Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan
kebudayaan. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai
kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah
pendukungnya. Segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya
oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Kemudian Herskovits dalam
Soekanto memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang super organinc, karena
kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus, walaupun
orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan
kematian dan kelahiran. E.B. Tylor seperti yang dikutip Soekanto mengatakan bahwa
“Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan perkataan lain,
kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
Penduduk Desa Kidangpananjung memiliki nilai nilai kegotongroyongan yang
sangat tinggi, saling tolong menolong, kebersamaan dan mempunyai nilai-nilai
kekerabatan yang tinggi diantara sesama warga masyarakat. Hasil wawancara dengan
tokoh masyarakat setempat menunjukkan bahwa hampir 90 % warga mempunyai
hubungan keluarga yang sangat dekat, para tokoh masyarakat, tokoh agama dan
Kepala Desa yang saat ini menjabat berasal dari keturunan Kakek Murnasa, Kakek
Sudinta dan Kakek Sanusi. Seperti yang dikatakan oleh Kepala desa Bapak Ii Setia
Permana sebagai berikut :
“ Masyarakat Desa Kidangpananjung hampir 90 % memiliki hubungan darah
satu sama lain, bahkan di pemerintahan desa yang menjabat sekarang ada
yang masih satu ketuturan dari Kakek Murnasa. Kadang-kadang saya berpikir
ini KKN, akan tetapi mau diapain lagi memang begitu kenyataannya.
Masyarakat Desa kadang-kadang tidak pernah merasa khawatir apabila
53
meninggalkan keluarganya selama dua minggu untuk berdagang ke luar desa.
Mereka yakin sepenuhnya bahwa keluarganya akan dijaga oleh masyarakat,
tanpa harus menitipkannya kepada tetangga terdekat. Masyarakat akan
secara spontan memberikan pertolongan apabila terdapat musibah yang
menimpa salah satu anggota dari masyarakat.”. Memang pada kenyataannya
rata-rata Untuk lebih jelasnya dapat dilihat seperti gambar berikut ini.
Hal yang sama dikemukakan oleh Asep Rusmana sebagai Ketua BPD Desa
Kidangpananjung sebagai berikut :
“ Masyarakat Desa Kidangpananjung memilki solodaritas yang sangat tinggi
diantara sesamanya, hal ini terbukti apabila salah satu anggota masyarakat
bermaksud untuk bepergian melakukan aktivitas di luar desa seperti
berjualan, maka mereka yang tinggal di desa secara otomatis menjaga
keluarganya. Mereka yang bekerja di luar desa tidak pernah merasa khawatir
meninggalkan keluarganya, karena mereka yakin sepenuhnya kepada
masyarakat yang ada di Desa Kidangpananjung untuk menjaga keluarganya.
Kondisi sosial budaya seperti yang dikemukakan di atas tidak terlepas dari hubungan
kekeluargaan yang sangat dekat diantara sesama warga masyarakat Desa
Kidangpananjung. Hubungan silsilah keluarga tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut :
54
Gambar 4 :
Garis Keturunan Tokoh Masyarakat Desa Kidangpananjung
Desa Cisalak
Desa Tanjungwangi
Tahun 1985 terjadi
pemekaran
Desa Tanjung Wangi
MURNASA
II Setia Permana
(Kepala Desa )
Asep Rusmana
(Ketua BPD)
Desa Kidangpananjung
SANUSI
SUDINTA
Pak Uan
(Pengusaha
penggergajian
kayu)
Tatang
Tomas , PLKB
Kec. Cililin
Isteri Pak
Undang Ketua
LKMD
Dede Wahidin
Pegawai KUA
Soreang
Adin
Pembantu
Penghulu (Lebe)
Uju Sutisna
Ketua Dewan
Sekolah SD
Walahir
Undang Jani
Ketua LKMD
Ajo
Kaur Keuangan
Desa
Adin
Kaur Kesra Desa
AIK
Ketua RW. 02
Yuyu Yuheni
PLKB Kecamatan Cililin
(Isteri Kades)
: Garis Keturunan
Hubungan kekeluargaan yang sangat dekat yang terjadi di Desa Kidangpa nanjung
merupakan suatu modal sosial untuk menciptakan kesiapsiagaan bencana berbasis
komunitas, yang dapat meminimalisir resiko bencana secara mandiri.
55
GAMBAR 5 :
STRUKTUR ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA KIDANGPANANJUNG
Ketua LKMD
Undang Zani
SEKDES
E. KARMANA
KEPALA DESA
II SETIA PERMANA
KAUR PEMERINTAHAN
MEMED
Ketua BPD
Asep Rusmana
KADUS I
IRI
KADUS II
SUMA
KAUR KEUANGAN
AJO
KAUR KESRA
ADIN
KAUR EKBANG
EMED
RT / RW
MASYARAKAT
Gambar diatas menunjukkan bahwa kepemimpinan yang ada di Desa
Kidangpananjung baik yang bersifat formal melalui Struktur Pemerintahan Desa
maupun kepemimpinan yang bersifat informal melalui hubungan persaudaraan yang
kuat memiliki potensi yang cukup besar dalam mengembangkan program-program
yang berbasiskan masyarakat. Faktor Kepercayaan (Trust) yang sangat tinggi yang
diberikan warga masyarakat terhadap pemimpin Desa dan Tokoh-tokoh masyarakat
yang saat ini memegang peranan penting di Pemerintahan Desa seperti Ketua BPD,
Ketua LKMD, Kepala Desa dan Kepala Ur usan Kesejahteraan rakyat memiliki
keturunan yang memiliki hubungan darah yang kuat. Kepercayaan masyarakat kepada
pemimpin mereka dalam melaksanakan amanah dari warga masyarakat merupakan
potensi modal sosial yang dapat dikembangkan dalam menyiapkan masyarakat
menghadapi bencana.
56
Kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada pemimpin desa
dimanfaatkan Kepala Desa untuk memperjuangkan pembangunan masyarakat
terutama pada saat bencana dan pasca bencana tanah longsor dengan membangun
jaringan (Networking)
dengan Pihak Kecamatan Cililin, Desa Tetangga sebagai
lokasi evakuasi apabila terjadi bencana dan Organisasi Penanggulangan Bencana se
kabupaten Bandung seperti : PMI Kabupaten Bandung, Dinas Sosial Propinsi Jawa
Barat dan Organisasai Kemasyarakat.
Pengaruh Program
Masyarakat .
Penanggulangan
Bencana
Terhadap
Pembangunan
Bencana secara serius dapat mengganggu inisiatif-inisiatif pembangunan
dalam beberapa hal antara lain : Hilangnya sumber-sumber daya; Gangguan terhadap
program-program ; Pengaruh iklim investasi; Pengaruh pada sektor informal dan
Destabilisaasi politik. Terganggunya pembangunan karena
bencana seperti disajikan
pada tabel berikut :
Tabel 7 :
Pengaruh Bencana Terhadap Pembangunan
No
1.
Dampak Bencana terhadap
pembangunan
Hilangnya Sumberdaya
Penjelasan
2.
Gangguan terhadap program
3.
Pengaruh pada iklim investasi
4.
Pengaruh pada sektor informal
Bencana menekan ekonomi non formal lewat biayabiaya langsung dari hilangnya peralatan dan
perumahan (yang sering juga menjadi tempattempat bisnis). Biaya-biaya tidak langsung dari
bencana termasuk hilangnya pekerjaan, dan
hilangnya pendapatan.
5.
Destabilisasi Politik
Tekanan pada suatu negara yang disebabkan oleh
bencana menenyebabkan destabilisasi pemerintah.
Sebagai contoh Pemerintah mungkin saja telah
salah mengelola dana bantuan pemulihan bencana,
yang menyebabkan ketidakpuasan pada anggota
masyarakat yang terkena bencana.
Sumber-sumber daya pembangunan hilang ketika
suatu bencana menghapus produk-produk investasi.
Bencana mengganggu program-program yang
sedang berlangsung dan membelokan sumbersumber daya dari penggunaan yang direncanakan
sebelumnya.
Bencana yang sering terjadi secara berulang-ulang
dalam suatu periode jangka pendek, memiliki
pengaruh negatif pada investasi lebih lanjut.
57
Dari penjelasan di atas dikaitkan dengan dampak bencana yang terjadi di Desa
Kidangpananjung mengalami sedikit perbedaan, bencana yang terjadi justru menjadi
hikmah bagi pembangunan fasilitas masyarakat. Yang semula desa tersebut tidak
begitu dikenal oleh masyarakat luas, setelah terjadi bencana seluruh media masa
memberitakannya bahkan banyak program-program bantuan penanggulangan bencana
yang berasal dari instansi pemerintah dan swasta serta masyarakat yang masuk ke
masyarakat. Hal ini
menjadikan Desa Kidangpananjung lebih baik kondisi
pembangunannya dibandingkan sebelum terjadi bencana. Untuk melihat hasil
pembangunan pasca bencana seperti pada tabel berikut :
Tabel 8 :
Program B antuan Bencana di Desa Kidangpananjung
NO
1.
Nama Instansi
Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat
Bentuk Bantuan
Bantuan Bahan Rumah untuk 127
KK.
2.
ICRC ( Palang Merah Internasional )
5 buah rumah siap huni
3.
Kimpraswil
Pengerasan jalan sepanjang 3 Km
4.
Dinas Pendidikan
Penambahan lokal Sekolah Dasar
Walahir sebanyak 3 kelas.
5.
Dinas Pertanian
Pemberian Tanaman Keras sebanyak
10 ribu bibit tanaman.
6.
Dinas Kesehatan
Pembangunan sarana air bersih
Data : Hasil kajian lapangan 2004
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bencana Alam Tanah Longsor
Penyebab terjadinya bencana alam tanah longsor Desa Kidangpananjung
berdasarkan hasil penelitian Direktorat Vulkanologi Bandung bahwa terdapat batuan
andesit pada
bukit Gedugan dengan ketebalan 1 – 1,5 meter yang mengalami
pelapukan menjadi lempung, sehingga
tana h tersebut tidak mampu untuk
menampung tingginya curah hujan yang terjadi secara terus menerus selama dua hari
(Surono, 2004), sedangkan faktor kelalaian masyarakat adalah penebangan hutan
pinus yang dilakukan oleh masyarakat dan oknum Perhutani terhadap lahan Perhutani
seluas 166 Ha.
Bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan Cililin
yang terjadi pada tanggal 21 April 2004 yang lalu telah menimbulkan kerugian jiwa
58
dan harta benda yang jumlahnya mencapai milyaran rupiah serta meninggalkan
trauma yang yang mendalam bagi warga masyarakat. Longsor yang terjadi
disebabkan adanya hujan deras secara terus menerus selama dua hari dan akibat bukit
gedugan yang gundul, sehingga tidak mampu menahan tingginya curah hujan. Hal ini
dikemukakan oleh Bapak Ii Setia Permana sebagai berikut :
“Kejadian bencana di Desa Kidangpananjung sebenarnya sudah sering
terjadi, namun baru kali ini yang menimbulkan korban jiwa. Penyebabnya
menurut saya adalah pada tahun 1997 pada masa krisis ekonomi terjadi
penebangan hutan pinus secara besar -besaran oleh oknum Perhutani dan
warga masyarakat Desa Kidangpananjung yang memanfaatkan pohon pinus
sebagai bahan baku cata dan sumpit. Memang setelah itu warga melakukan
penanaman kembali, akan tetapi tidak dapat mengganti pohon yang ditebang
yang sudah cukup besar dan mampu menahan air saat musim penghujan ,
sehinga pada tahun 2004 terjadilah longsor tersebut.”
Lebih lanjut Bapak Tatang sebagai tokoh masyarakat juga menyampaikan
pendapatnya berkaitan dengan penyebab terjadinya longsor :
“ Sebelum terjadinya bencana dan sebelum hutan pinus yang ada di Bukit
Gedugan ditebang oleh anggota masyarakat pada masa reformasi tahun 1997,
saya masih ingat betul pada saat masih kecil bermain dan mencari kayu bakar
di hutan pinus tersebut. Akan tetapi setelah dilakukan penebangan oleh
Oknum Perhutani dan warga masyarakat berdampak kepada terjadinya
bencana ini.”
Direktorat Vulkanologi yang melakukan pantauan langsung di lokasi bencana
mengataakan bahawa penyebab terjadinya longsor adalh karena faktor alam dan factor
ulah manusia yang tidak memelihara lingkungan, sebagaimana yang diuangkapkan
oleh Dr. Surono sebagai berkut :
“ Penyebab terjadinya gerakan tanah dapat bersifat statis dan dinamis.
Statis merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng
dengan kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan dinamis adalah ulah
manusia. Ulah manusia banyak jenisnya dari perubahan tata guna lahan
hingga pembentukan gawir yang terjal tanpa memperhatikan stabilitas lereng.
Kabupaten Bandung khusunya bagian selatan longsor dapat terjadi terutama
pada daerah yang berbatasan dengan lembah, sungai, gawir, tebing atau
lereng. Terlebih bila lokasi –lokasi itu mengalami gangguan (gundul). Bahkan
longsor yang pernah terjadi sebelumnya dapat aktif kembali akibat curah
hujan yang tinggi. Untuk itu setiap memasuki musim hujan harus diwaspadai
akan terjadinya bencana alam tanah longsor.
Penyebab Kabupaten Bandung khusunya Bagian Selatan termasuk daearah
paling rawan tanah longsor karena didaerah itu banyak terdapat perbukitan.
Lebih parah lagi, kondisinya sangat memprihatinkan. Bahkan lereng bukit
yang terjal sudah dijadikan lahan pertanian dan pemukiman. Akibatnya pada
saat hujan deras mengguyur kawasan tersebut akan terjadi tanah longsor”.
59
Dari penjelasan masyarakat faktor penyebab terjadinya bencana disebabkan
penebangan hutan pinus oleh anggota masyarakat dan oknum Perhutani yang
dilakukan 7 tahun yang lalu pada saat bergulirnya reformasi. Sedangkan menurut para
ahli, longsor yang terjadi selain disebabkan oleh manusia juga factor alam dimana
bukit Gedugan mengandung batuan andesit yang mengalami pelapukan menjadi
lempung. Kedua pendapat ini apabila disenergikan akan menjadi suatu pengetahuan
bagi masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya bencana longsor kembali. Untuk
lebih jelasnya proses terjadinya bencana alam tanah longsor tersebut dapat dilihat
pada foto berikut ini :
Foto :
Pemukiman Penduduk Yang Tinggal Pada Lereng Bukit dan kondisi
hutan pinus yang semakin gundul.
60
Foto : Bencana alam tanah longsor melanda pemukiman penduduk dan ladang
serta sawah yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda milyaran
rupiah.
61
Peristiwa bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpananjung terjadi pada 3 lokasi
yang berdekatan dan kejadiannya selang sekitar 1 (satu) jam. Gerakan tanah pertama
dan kedua tidak begitu luas hanya menimpa daerah persawahan, sedangkan gerakan
tanah yang ketiga cukup besar dan materialnya cukup banyak. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada peta sketsa berikut ini :
Gambar 6 : Sketsa Kejadian Bencana Tanah Longsor
62
Selain beberapa fa ktor penyebab terjadinya tana h longsor seperti yang
diuraikan diatas, terdapat hubungan yang jelas antara meningkatnya kerugiankerugian dari satu bencana dan meningkatnya populasi. Jika ada lebih banyak orang
atau bangun dimana satu bencana terjadi, kemudia n hal ini memberi kemungkinan
akan adanya lebih banyak pengaruh. Pertumbuhan populasi sudah sebegitu
spektakuler sehingga tidak bisa dihindari lagi bahwa lebih banyak orang akan terkena
pengaruh dari bencana karena lebih banyak akan dipaksa untuk hidup dan bekerja di
daerah-daerah yang tidak aman. Bertambahnya jumlah penduduk akan menimbulkan
perebutan jumlah sumberdaya yang terbatas ( seperti kesempatan kerja dan lahan)
yang dapat menyebabkan terjadinya konflik.
Banyak tanah longsor atau bencana banjir terkait erat dengan urbanisasi yang cepat
dan tidak terkendali yang memaksa keluarga-keluarga berpenghasilan rendah untuk
menetap pada lereng-lereng bukit yang terjal atau jurang-jurang, atau sepanjang
tepian sungai yang cenderung mengalami banjir.
Gambar 7 :
Perkembangan Penduduk Yang Tidak Seimbang
Lereng yang
tidak stabil
Sungai
Lereng yang
tidak stabil
Sungai
63
Gambar diatas menunjukkan proses perkembangan penduduk pada pola pemukiman
di Kabupaten Bandung yang bersifat horizontal yang pada akhirnya menempati
wilayah lereng-lereng bukit rawan bencana longsor, yang sebelumnya ditumbuhi
tanaman keras. Penduduk terus berkembang dan tempat hunian menyebar ke daerah
marginal yang tidak aman.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya kesadaran dan
informasi. Bencana-bencana dapat juga terjadi karena orang-orang yang rentan
terhadap bahaya-bahaya itu memang tidak tahu bagaimana lepas dari cara yang
merusak itu atau mengambil tindakan-tindakan perlindungan. Ketidaktahuan ini
seharusnya tidak menjadi satu fungsi dari kemiskinan, tetapi kurangnya kesadaran
atas tindakan-tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mendirikan bangunanbangunan yang aman di lokasi-lokasi yang aman juga. Barangkali sebagian orang
tidak tahu tentang rute -rute evakuasi dan prosedur -prosedur yang aman. Penduduk
lain mungkin tidak tahu dimana meminta pertolongan pada saat mengalami tekanan
berat.
Masyarakat desa Kidangpananjung merasakan kurangnya informasi tentang bahaya
bencana tanah longsor dan langakah-langkah apa yang dilakukan untuk tindakan
penyelamatan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ketua BPD Bapak Asep
Rusmana sebagai berikut :
“ Kami sebetulnya sudah lupa akan terjadinya bencana alam tanah longsor di
daerah kami, mengapa terjadi longsor dan gejala -gejala apa yang dapat
diamati sebelum terjadinya longsor kami belum mendapatkan informasi yang
jelas. Pada saat kejadian bencana banyak warga yang panik dan tidak tahu
apa yang harus dilakukan , hal ini disebabkan kurangnya informasi yang kami
terima tentang bahaya bencana di daerah kami”.
Pandangan Stakeholders Penanggulangan Bencana
Pandangan Stakeholders dalam penanggulangan bencana tidak terlepas dari
kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia yang ditetapkan melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. Berkaitan dengan kebijakan
tersebut dikemukakan oleh Edi Suharto (2005) , bahwa untuk memahami kebijakan
publik ada baiknya membahas beberapa konsep yang termuat dalam kebijakan publik
antara lain :
64
1. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang
dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memilki kewenangan
hukum, politis dan finansil untuk melakukannya.
2. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata, Kebijakan publik
berupaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di
masyarakat.
3. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya
bukanlah sebuah keputusan tunggal melainkan terdiri dari beberapa pilihan
tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi
kepentingan orang banyak.
4. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan
publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah
sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan
bahwa masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah
ada dan karenanya tidak memerlukan tindakan tertentu.
5. Sebuah justifikasi yang dibuat ole h seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan
publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau
rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang
belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa
dibuat oleh sebuah badan pemerintah maupun oleh beberapa perwakilan lembaga
pemerintah.
Pada Tingkat Propinsi Jawa Barat Penanggulangan Bencana diatur melalui
Keputusan Gubernur Jawa Barat No.21 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi
(Satkorlak PB). Adapun unsur Organisasi Satkorlak BPB terdiri dari forum dengan
susunan organisasi sebagai berikut :
1. Ketua
: Gubernur Jawa Barat
2. Wakil Ketua I
: Pangdam III Siliwangi
3. Wakil Ketua II
: Kapolda Jawa Barat
4. Pelaksana harian
: Wagub Bidang Kesra
5. Wakil Pelaksana
: Asisten Kesejahteraan Sosial Setda
6. Sekretaris I
: Kepala Biro Pengembangan Sosial
7. Sekretaris II
: Kepala Dinas Sosial Propinsi Jabar
8. Anggota
: - Unsur Dinas, Badan, Lembaga Tk. Prop. Jabar
65
- Unsur satuan TNI dan POLRI
- Unsur pimpinan Perguruan Tinggi
- Unsur Organisasi Kemasyarakat dan PMI
- Unsur LSM
- Unsur Dunia Usaha
- Unsur Tokoh Masyarakat
- Unsur pakar/cendikiawan
Untuk mewujudkan kesiapsiagaan penanggulangan bencana yang berbasis
komunitas diharapkan dapat melibatkan stakeholders yang lain (kelembagaan
kolaboratif), organisasi pemerintah, swasta
dan berbagai organisasi internasional.
Keberhasilan jejaring sebagai media untuk perumusan policy menjadi sangat penting,
akan tetapi semua bergantung pada komitmen semua stakeholders dalam jejaring
tersebut. Hubungan kelembagaan pena nggulangan bencana dan jejaring sosial yang
diciptakan
antara
penanggulangan
masyarakat
bencana
akan
daerah
rawan
menghasilkan
bencana
dengan
komitmen
untuk
organisasi
menyiapkan
masyarakat dalam mengantisipasi bencana di wilayahnya. Hubungan kelembagaan
dan Jejaring sos ial tersebut seperti pada gambar berikut :
Gambar 8 :
Hubungan Kelembagaan dan Jejaring Dalam Penanggulanagan Bencana
Collective Action Sector
Pengusaha/Masya
rakat Peduli
Bencana
Private Sector
Jaringan
Kelembagaan
Penanggulangan
Bencana
Masyarakat Korban
Bencana atau
Masyarakat Daerah
Rawan Bencana
Bakornas PBP
Satkorlak PBP
Satlak PBP
Publik Sector
66
Kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas akan sulit diwujudkan apabila ketiga
unsur stakeholders dalam bidang penanggulangan be ncana belum memberikan
kontribusi yang memadai dan belum memiliki komitmen yang jelas.
Peran pemerintah dalam penanggulangan bencana di Indonesia selama ini
dirasakan masih dominan untuk menagani kejadian bencana di Indonesia, masyarakat
korban bencana dianggap sebagai korban yang tak berdaya yang membutuhkan
pertolongan dan bantuan tanpa berupaya untuk memberdayakan masyarakat yang
terkena bencana. Program Tanggap Darurat, Relokasi Korban Bencana adalah salah
satu program yang dirumuskan dari Pemerintah untuk mengani korban bencana.
Seiring dengan keterbatasan Dana yang dimilki oleh pemerintah dan lokasi bencana
yang umumnya sulit dijangkau, sudah saatnya pemerintah dapat mengurangi perannya
dalam menangai korban bencana dan memberdayakan masyarakat korban bencana
melalui kesisiapsiagaan bencana berbasis masyarakat. Adapun besar kecilnya
Program pemerintah bagi masyarakat daerah rawan bencana tentunya dengan melihat
sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat korban bencana, seperti terlihat pada grafik
berikut :
Gambar 9 : Peran Pemerintah Terhadap Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat
Community
G1
C1
Goverment
to
T1 T2
T3
Waktu
Titik keseimbangan terjadi dimana tingkat partisipasi masya rakat cukup tinggi sementara
pemerintah memfasilitasi program masyarakat dalam rangka kesiapsiagaan bencana berbasis
komunitas.
67
Peran pemerintah dalam program Penanggulangan Bencana
Berbasis
Komunitas berjalan sesuai dengan waktu yang akan diikuti dengan proses partisipasi
warga masyarakat korban bencana dalam pemanfaatan potensi yang dimilki.
Hasil wawancara dengan stakeholders penanggulangan bencana yang menangani
kejadian bencana di Desa Kidangpananjung anatara lain Direktorat Vulkanologi Jawa
Barat, Dinas Sosial Jawa Barat, PMI Kabupaten Bandung dan Satkorlak Jawa Barat,
masing-masing instansi memilki program Penanggulangan Bencana sesuai dengan
Kebijakan instansinya. Menurut analisa kami seharusnya Satkorlak PB sebagai unsur
Organisasi Bencana dapat mengakomodir kepentingan instansi tersebut sehingga
tercipta suatu keterpaduan tindakan dalam menanggulangi bencana. Adapun hasil
wawancara sebagai berikut :
Peneliti menetapkan stakeholders berdasarkan kepada pihak-pihak yang melakukan
intervensi pada saat kejadian bencana antara lain Dinas Sosial Jawa Barat, Direktorat
Vulkanologi Bandung, dan PMI Kabupaten Bandung. Dari hasil wawancara tersebut
peneliti menarik kesimpulan sementara bahwa mereka sangat mendukung adanya
program kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat untuk menanggulangi bencana,
namun ada beberapa kendala yang dihadapi dilapangan untuk mewujudkan program
tersebut yaitu belum adanya dana taktis atau anggaran yang disiapkan untuk
mengahadapi bencana yang akan datang. Selain itu belum terpadunya penanganan
bencana membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merehabilitasi dan
merekonstruksi sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana.
Dinas Sosial Jawa Barat melalui Bapak Dady Iskandar sebagai Kepala Seksi Urusan
Korban Bencana menjelaskan sebagai tentang peran Dinas Sosial dalam Penanganan
korban bencana Cililin sebagai berikut :
“Pada sat terjadinya bencana alam tanah longsor kami telah melakukan
bantuan darurat melalui bantuan beras dan lauk dan mendirikan dapur umum
lapangan. Sedangkan pasca bencana kami telah memberikan bantuan Bahan
Bangunan Rumah untuk korban bencana sebanyak 127 KK yang direlokasi ke
Kampung Cikopeng melalui dana Departemen Sosial RI.
Berkaitan dengan program yang akan datang, Dinas Sosial Propinsi Jawa
Barat melalui program Taruna Siaga Bencana (Tagana) bertujuan untuk
membangun menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana melalui
Organisasi Karang Taruna yang ada di daerah bencana”.
Lebih lanjut dikatakan berkaitan dengan kesiapsiagaan berbasis komunitas sebagai
berikut :
68
“Pada dasarnya rencana Program Taruna Siaga Bencana ini nantinya
dimaksudkan untuk mendidik dan melatih organisasi-organisasi Karang
Taruna di Propinsi Jawa Barat yang daerahnya termasuk kategori daerah
bencana. Program ini bertujuan untuk memberikan motivasi kepada anggota
Karang Taruna untuk peduli dan aktif dalam penanggulanagan bencana dan
menyiapkan anggota Karang Taruna yang terlatih dalam Penanggulangan
Bencana. Pada prinsipnya kami sangat mendukung upaya penanggulangan
bencana yang berbassis masyarakat, karena program kamipun mengarah
kesana melalui program Tagana ini”.
Berkaitan dengan penganan bencana yang dilakukan oleh Direktorat Vulakanologi
dijelaskan oleh Bapak Tigor MHL Tobing tentang kebijakan penanganan bencana
yang selama ini dilaksanakan sebagi ber ikut :
“Kami telah membuat peta daerah rawan bencana di seluruh jawa Barat
termasuk Jawa Barat Bagian Selatan yang memiliki kawasan sangat rawan
longsor. Menurut kami penanggulangan bencana tidak dapat dilaksanakan
secara sektoral saja akan tepai secara terpadu pihak -pihak yang terkait
dengan penbanggulangan bencana seperti Dinas Sosial, PMI, dan
Masyarakat harus terintegrasi sehingga penanganan bencana dapat
meminimalisir kerugian yang diderita.
Penanganan bencana sering menghadapi kendala terbatasnya dana pada saat
terjadinya bencana, belum ada dana pada pemerintah yang dialokasikan
untuk penanganan bencana apabila terjadi bencana. Hal ini mengalami
kendala di Ditjen Anggaran yang belum menyetujui adanya anggaran taktis
untuk bencana, masalahnya masih ada pos-pos lain yang membutuhkan
anggaran secara mendesak. Penanganan bencana idealnya dilaksanakan
secara terpadu apakah dalm bentuk Badan Penanggulanagan Bencana yang
didalamnya terdapat dana dari Sebelum terjadi bencana , Tanggap darurat
dan Pasca Bencana. Kejadian Bencana Tsunami di NAD yang terjadi pada 26
Desember 2004 yang lalu, dimana kami sudah menutup anggaran terpaksa
menggunakan dana pribadi untuk berangkat menuju lokasi bencana. Ini
sekedar contoh pentingnya dana taktis dalam menangani penananganan
bencana,
Kami sangat setuju dengan adanya penanggulangan bencana yang berbasis
komunitas, karena masyarakatlah yang lebih tahu daerahnya rawan bencana
dan masyarakatlah yang menerima akibat dari bencana itu. Untuk itu perlu
upaya untuk memberikan pengetahuan dan pelatihan tentang upaya
mengantisipasi bencana di daerah rawan bencana”.
Palang Merah Indonesia Kabupaten Bandung Bapak Supriyadi selaku Koordinator
Satgana PMI, yang menangani bencana tanah longsor di Desa Kidangpananjung
mengemukakan pendapatnya tentang kebijakan Penanggulangan Bencana yang
selama ini dilaksanakan oleh PMI sebagai berikut :
69
“PMI melalui Satuan Tugas Penanggulangan bencana melakukan penaganan
darurat apabila terjadi bencana dengan mendirikan dapur umu m lapangan,
melakukan evakuasi korban selama 10 hari terhitung sejak terjadinya
bencana. Setelah itu PMI akan menarik anggotanya dan dilanjutkan
penanganannya oleh masyarakat.
PMI juga sedang menyusun suatu program untuk melatih masyarakat dalam
menghadapi bencana yang akan datang melalui program mengevakuasi
korban dan mendirikan dapur umum lapangan. Permasalahannya sekarang
adalah setelah petugas PMI selesai melaksanakan bantuan darurat di daerah
bencana, sedangkan masyarakat belum siap untuk mengoperasionalkan
peralatan penanggulangan bencana, maka korban bencana yang masih
membutuhkan bantuan akan terlantar. Untuk itulah diperlukan suatu kesiapan
masyarakat dalam pengetahuan dan keterampilan dalam bidang bencana
terutama masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana seperti di Desa
Kidangpananjung ini”.
Hampir seluruh stakeholders sepakat bahwa penanggulangan bencana berbasis
komunitas sangat relevan dengan kondisi saat ini yaitu letak lokasi bencana yang
sangat terisolir sehingga sulit dijangkau oleh alat transportasi dan keterbatasan dana
serta personil instansi yang menangani bencana. Pada saat bencana terjadi
masyarakatlah yang pertama sekali yang akan terkena dampak dari bencana tersebut “
The First Responder “. Untuk melihat kebijakan dan tujuan kelembagaan
penanggulangan bencana yang ada selama ini dilaksanakan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 :
Kebijakan Organisasi Penanggulangan Bencana
NO
NAMA INSTANSI
BENTUK BANTUAN
TUJUAN
KELEMBAGAAN
SASARAN
BANTUAN
1.
BAKORNAS PB P
(
Kepres
No.3
tahun 2001 )
Bersifat koordinatif Non
Struktural dalam skala
Nasional.
Mengkoordinasikan
upaya
dan
usaha
penanggulangan
bencana dan pengungsi
di Indonesia baik pada
saat terjadi, sebelum dan
pasca bencana.
Masyarakat
yang
terkena
bencana
yang
dinyatakan
sebagai
bencana
nasional
oleh
Presiden.
2.
SATKORLAK
PBP ( KepGub.
Jawa Barat No. 21
tahun 2001)
Bersifat koordinatif Non
Struktural dalam skala
Propinsi.
Mengkoordinasikan dan
mengendalikan
pelaksanaan
kegiatan
penanggulangan
bencana dan pengungsi
didaerah.
Masyarakat korban
bencana
pada
Tingkat Propinsi.
3.
Depdagri
(
Kepmendagri
No.131
Tahun
2003
Memberikan
pedoman
kepada aparat pemerintah
dan masyarakat di daerah
dalam
penyelenggaraan
Untuk
memantapkan
keterpaduan langkh dan
tindakan bagi aparat
pemerintah
dan
§
§
§
§
Gubernur
Bupati
Camat
Desa/Kelurahan
70
penanggulangn bencana
dan
penanganan
pengungsi
4.
Departemen Sosial
melalui
Dinas
Sosial
Propinsi
Jawa Barat ( Juklak
dan juknis Dit.
Bencana Alam)
§ Bantuan Darurat dalam
bentuk Beras dan lauk
pauk
dan
Dapur
Umum Lapangan.
§ Relokasi
korban
bencana dalam bentuk
Bahan
bangunan
rumah
5.
PMI
Bantuan Darurat dalam
bentuk
:
Evakuasi
korban, Tim Medis dan
Dapur Umum Lapangan.
(Pelaksanaan di lokasi
bencana selama 10 hari)
6.
Direktorat
Vulaknologi Sub.
Direktorat Mitigasi
Bencana Geologi
Melakukan pemeriksaan
penyebab
terjadinya
bencana( gerakan tanah)
Daerah yang terkena
bencana
dan
melaporkannya kepada
instansi terkait.
masyarakat di daerah
dalam penanggulangan
bencana dan pengungsi
yang bertumpu pad
kemandirian
dan
keswadayaan
masyarakat
secara
berdayagun
dan
berhasilguna.
§ Meringankan
penderitaan korban
bencana.
§ M emotivasi
masyarakat
secara
swadaya
untuk
membangun rumah
korban bencana yang
telah rusak total.
§ Sebagai
organisasi
kemasyarakatan
membantu
dan
bekerjasama
dgn
pemerintah
dalam
penanggulangan
bencana
terutama
dalam
mengani
masalah manusianya
yaitu para korban
bencana.
§ Menyelenggarakan
penanggulangan
korban bencana guna
meringankan derita
korban baik fisik,
mental dan sosial.
§ Hasil
pemeriksaan
lokasi bencana yang
dilakukan
Dit.
Mitigasi
Bencana
dan Geologi menjadi
bahan pertimbangan
dan
rekomendasi
dalam
penanggulangan
bencana dan relokasi
oleh Pemerintah.
§ Melakukan
pemetaan
daerah
rawan Bencana di
Daerah J awa Barat.
Masyarakat korban
bencana alam.
Masyarakat korban
bencana alam
Lokasi daerah rawan
longsor.
Data : Hasil Kajian Dokumen 2004
Strategi Perancangan Program Kesiapsiag aan Bencana Berbasis Komunitas
Secara Partisipatif.
Strategi di dalam kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas secara partisipatif
digunakan tiga elemen penguatan kapasitas yaitu :
71
1. Pembangunan kapasitas masyarakat daerah rawan bencana
2. Penguatan kelembagaan di lokasi bencana
3. Pembentukan jejaring antara masyarakat dengan organisasi Penanggulangan
Bencana.
Dari hasil penggalian data untuk menentukan prioritas kebutuhan masyarakat
dalam rangka kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas, dapat terindentifikasi
permasalahan dan kebutuhan masyarakat.
Dalam perancangan program yang partisipatif harus melibatkan semua unsur yang
terkait yang ada di Desa Kidangpananjung yaitu Kepala Desa, Ketua LKMD, Ketua
BPD, Tokoh Masyarakat, Ketua RW dan Ibu-ibu PKK. Berdasarkan permasalahan
pokok tersebut dilakukan Focus Group Discussion (FGD) yaitu diskusi kelompok
terarah yang bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai permasalahan
pokok yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap
anggota masyarakat, tokoh masyarakat dan aparat desa.
Dari hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan, diperoleh gambaran mengenai
permasalahan tentang pentingnya upaya pencegahan terhadap bencana dripada
menanggulanginya. Selama ini masyarakat hanya beranggapan bahwa bencana yang
terjadi
merupakan
musibah
yang
menimpa
warga
masyarakat
di
Desa
Kidangpananjung, namun penjelasan mengenai penyebab terjadinya tanah longsor
telah memberikan wawasan baru bagi warga masyarakat.
Diskusi kelompok dalam rangka identifikasi masalah berlangsung atas
undangan dari Kepala Desa yang bertepatan dengan perayaan 17 Agustusan, dimana
terdapat kesenian jaipongan dan wayang golek yang waktu pelaksanaannya selesai
sampaidengan pagi hari. Pertimbangan kepala Desa mengundang peneliti karena
hampir semua tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan Aparat Desa hadir apabila ada
perayaan yang sama, hal ini merupakan kesempatan untuk bertemu dan bertatap muka
kepada masyarakat. Diskusi kelompok ini diawali dengan penjelasan fasilitator
tentang kejadian bencana tanah longsor yang terjadi pada tanggal 21 April 2004 yang
lalu, dengan memperlihatkan beberapa foto-foto bencana, matrik dan potensi yang
dimiliki oleh masyarakat. Tanggapan peserta diskusi sangat antusias terhadap
penjelasan peneliti dan menyambut baik rencana yang akan dilaksanakan. Berikut
foto suasana diskusi yang dilaksanakan di rumah Kepala Desa Kidangpananjung pada
tanggal 24 Agustus 2004 dari Jam 20.00 – 11.00 WIB.
72
Foto : Kegiatan Diskusi Identifikasi Masalah
Penjelasan peneliti kepada masyarakat tentang kejadian bencana tanah longsor tahun 2004
dengan menampilkan gambar dan sketsa.
Tanggapan dari Kepala Desa Kidangpananjung tentang permasalahan yang dihadapi
masyarakat berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana.
Sumber masalah kurangnya kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan
bencana adalah kondisi masyarakat yang beranggapan bahwa bencana tanah longsor
yang terjadi merupakan suatu musibah yang datangnya dari Allah SWT, jadi diterima
73
dengan keikhlasan. Selain itu belum adanya sosialisasi pengetahuan tentang penyebab
terjadinya longsor dan apa yang harus dilakukan oleh masyarakat bila terjadi bencana.
Tabel 10 menunjukkan permasalahan pokok Kesiapsiagaan bencana berbasis
komunitas yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Kidangpananjung.
Tabel 10 :
Permasalahan Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas
NO
Permasalahan
Penyebab
Upaya Pemecahan
Masalah
1.
Kurangnya kewaspadaan dan
kesiapsiagaan masyarakat
Anggapan
masyarakat
terhadap bencana sebagai
suatu musibah
2.
Kurangnya
pen getahuan
tentang bahaya tanah longsor
dan manajemen evakuasi.
Belum adanya instansi yang
memberikan informasi tentang
bahaya tanah longsor dan
manajemen evakuasi.
Penyuluhan oleh tokoh agama
dan Ketua LKMD tentang
upaya
masyarakat
untuk
menjaga
keseimbangan
lingkungan yang berada diatas
bukit.
Melakukan penyuluhan dan
pemetaan
Daerah
rawan
Bencana dan lokasi yang
aman bagi evakuasi.
3.
Masyarakat sangat terancam
dengan adanya bahaya tanah
longsor pada musim hujan
Masyarakat tinggal di daerah
rawan bencana, yang sewaktuwaktu dapat terjadi kembali.
Penyuluhan dan memberikan
leaflet tentang bahaya longsor
dan langkah-langkah yang
dilakukan.
4.
Belum
adanya
alat
komunikasi dan informasi
dalam rangka peringatan dini
dan
yang
dapat
menghubungkan satu RW
dengan RW yang rawan
terhadap bencana.
Belum adanya alat komunikasi
dan informasi
yang efektif
apabila terjadi bencana yang
tidak tergantung pada listrik.
Pengadaan alat komunikasi
yang membutuhkan biaya
mencapai Rp. 15 juta.
Pembuatan kentongan pada
tiap
RT
sebagai
tanda
peringatan dini. Melakukan
koordinasi dengan Organisas
RAPI sebagai Stakeholders
PB
5.
Perlunya
dibentuk
tim
penanggulangan
bencana
sampai dengan tingkat RT
Tingkat
pendidikan
masyarakat yang rendah untuk
dapat menerima informasi
tentang bahaya bencana dan
upaya mengantisipasi bila
terjadi bencana.
Pembentukan
Tim
Penanggulangan
Bencana
dengan anggota Ketua RW,
Ketua RT, Tokoh Masyarakat.
Setiap Tim terdiri dari 10
orang
sesuai
dengan
kompetensi masing-masing.
6.
Perlunya
memberikan
informasi bagi anak-anak
yang berada di Sekolah Dasar
Memberikan
informasi
bencana tanah longsor pada
kurikulum muatan local.
7.
Adanya anggota masyarakat
merusak lingkungan dengan
cara
menebang pohon
sembarangan.
Pentingnya kejadian bencana
sebagai bahan pelajaran untuk
generasi penerus diberikan
sejak dini.
Kurangnya
pengetahuan
pentingnya
pohon
sebagi
penahn air hujan pada lereng
di sekitar bukit.
Menciptakan peraturn desa
yang memberikan sangsi bagi
siapa saja yang merusak
lingkungan.
Dari masalah yang dikemukakan oleh para peserta hampir semuanya berkaitan
dengan upaya masyarakat desa Kidangpananjung dalam rangka kesiapsiagaan
menghadapi bencana yang akan datang. Seluruh peserta diskusi sepakat untuk
merealisasikan kegiatan tersebut melalui sumberdaya yang ada.
74
Para peserta sadar sepenuhnya bahwa mereka tinggal di daerah rawan bencana alam
tanah longsor dan harus dapat menerima keadaan tersebut, tinggal bagaimana cara
atau upaya dari warga masyarkat untuk menyiapkan diri dalam menghadapi bencana
yang akan datang. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Desa Kidangpananjung “ Bapak
Ii Setia Permana “ sebagai berikut :
“ Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Syafii Nasution
yang sudah mau memfasilitasi pertemuan ini dalam rangka kesiapsiagaan
masyarakat menghadapi bencana. Bapak sebagai orang luar desa saja mau
memperhatikan kami, apalagi kami warga desa akan sangat terbantu dengan
adanya rencana ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami tinggal
didaerah rawan bencana dan mustahil bagi kami untuk dapat menghindar
dari keadaan ini, misalnya seluruh warga desa dipindahkan ke tempat lain,
tentunya itu bukanlah cara yang mudah dalam melaksanakannya. Akhirnya
saya sebagai kepala desa mengajak seluruh warga saya yang hadir disini
untuk bersama-sama melakukan upaya pencegahan agar peristiwa yang lalu
tidak terulang kembali. Apa yang kita lakukan sekarang adalah untuk masa
depan anak cucu kita dikemudian hari,”
Pada kesempatan yang sama Pak Lurah juga menyampaikan usulan tentang perlunya
alat komunikasi yang dapat menghubungkan antara RW 01 sampai dengan RW 06
sehingga dapat dengan mudah mendeteksi masalah yang ada baik bencana maupun
tindak criminal :
“ Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Kidangpananjung
adalah tidak adanya informasi yang dapat diketahui pada saat kejadian, saya
baru dapat menerima informasi sehari setelah kejadian. Untuk itu saya
mengusulkan perlu adanya suatu alat komunikasi yang dapat menghubungkan
antar RW dan antar RW dengan Kepala Desa sehingga informasi dapat
diterima dengan cepat dan dapat diambil suatu tindakan untuk meminimalisir
dampak yang terjadi. Namun demikian apabila alat komunikasi tersebut
bergantung kepada listrik maka pada saat kejadian bencana yang lalu listrik
padam, maka alat tersebut kurang efektif digunakan. Untuk mengantisipasi
hal ini saya mengusulkan untuk membuat kentongan pada tiap RT yang
kentongan tersebut dipukul secara terus menerus apabaila terjadi bencana
sehingga membuat masyarakat terhindar dari bahaya yang akan
ditimbulkan.”
Pendapat yang sama diutarkan oleh Ketua BPD Bapak Asep Rusmana tentang
perlunya upaya pencegahan daripada upaya menanggulangi bencana :
“ Saya berpendapat bahwa upaya pencegahan lebih berarti daripada upaya
menanggulangi bencana. Pengalaman yang lalu apabila terjadi bencana
semua yang sudah kita lakukan menjadi tidak ada artinya, untuk itu lebih baik
kita lakukan upaya-upaya pencegahan melalui RW, RT dan warga masyarakat
sehingga masyarakat sadar akan bahaya yang ditimbulkan akibat menebang
pohon sembarangan. Apabila masyarakat masih membandel tetap menebang
pohon mungkin bisa diberikan terguran oleh RT setempat atau oleh Ketua RW
yang bersangkutan.
75
Berkaitan dengan pentingnya memelihara lingkungan disekitar wilayah pemukiman
dikemukakan oleh E. Karmana sebagai Sekretaris Desa Kidangpananjung :
“ Saya menghimbau bagi para ketua RW untuk bisa menyampaikan kepada
RT dan Warganya agar menjaga ta naman yang ada diatas bukit untuk dijaga,
karena seperti penjelasan Bapak Syafii tadi bahwa apabila tidak ada pohon
yang mampu menahan dan curah hujan cukup tinggi besar kemungkinan akan
terjadi longsor kembali. Saya akan membantu sepenuhnya untuk
mensosialisasikan dari hasil pertemuan ini ketiap-tiap RW.
Pentingnya kebersamaan untuk menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana
dikemukakan oleh Bapak Tatang salah seorang tokoh masyarakat yang juga sebagai
PLKB Kecamatan Cililin :
“ Apa yang disampaikan oleh bapak -bapak semua sebelumnya adalah untuk
menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana yang akan datang, akan
tetapi saya ingin menggarisbawahi pertemuan ini, bahwa tanpa adanya
kebersamaan diantara kita untuk merealisasikan ini semua maka akan
percuma. Untuk itu pertemuan ini hendaknya ditindaklanjuti dengan
pertemuan berikutnya yang akan membahas lebih detail tentang penanganan
masalah -masalah seperti yang disampaikan berkaitan dengan kesiapan
masyarakat dalam menghadapi bencana.”
Senada dengan pernyataan Kepala Desa tentang perlunya alat komunikasi Ketua
LKMD memberikan saran yang berkaitan dengan peringatan dini seperti yang
dikemukakannya :
“ Di Desa Kidangpananjung memiliki 2 buah mesjid di tiap RW yang
mempunyai pengeras suara apabila ada gejala akan terjadi longsor, pengeras
suara ini dapat dipergunakan untuk mengingatkan warga masyarakat. Saya
berpendapat selain peringatan juga harus ada pengorganisasian orang-orang
yang ditunjuk untuk mengkoordinir masyarakat untuk menuju daerah yang
aman dari bahaya longsor. Saya setuju kalau kita menetapkan terlebih dahulu
daerah yang aman pada tiap RW untuk melakukan evakuasi warga
masyarakat.”
Salah seorang tokoh masyarakat yang juga seorang guru di SD Walahir yaitu Bapak
Kunan mengemukakan pentingnya peristiwa bencana ini diberikan di sekolah melalui
pelajaran muatan lokal seperti yang diungkapkannya :
“ Saya menyimak dari apa yang disampaikan dalam diskusi tadi bahwa perlu
juga kiranya anak sekolah mengetahui peristiwa bencana yang pernah terjadi
di desa mereka. Pelajaran ini akan saya coba usulkan untuk dimasukkan
dalam muatan local seperti yang ada di kurikulum SD Walahir, tujuannya
adalah agar sejak kecil atau sejak di bangku sekolah mereka sudah
memahami akanbahaya bencana alam tanah longsor dan pentingnya
memelihara lingkungan yang ada disekitar mereka. “
76
Dari tujuh masalah yang berhasil diidentifikasi oleh peserta diskusi, kemudian
dilaksanakan analisis permasalahan yang betul-betul dianggap sebagai penyebab
masalah
yang
menimbulkan
akibat
dan
pengaruh
terhadap
keberlanjutan
kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Keempat permasalahan pokok tersebut
dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 10 :
Analisis Permasalahan Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas
Menimbulkan
korban jiwa dan
kerugian harta
benda
Ma syarakat kurang
waspada terhadap
bencana
Masyarakat
Kurang
Termotivasi
Gundulnya hutan
pinus yang
mengakibatkan
tanah longsor
A
K
I
B
A
T
Kurangnya pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat
terhadap bahaya tanah longsor
Kurangnya
informasi tentang
bahaya tanah
longsor dan langkah
antisipasi
Belum adanya
tanda
peringatan dini
Belum adanya Tim
Siaga Bencana Desa
Adanya anggota
masyarakat dan oknum
Perhutani yang
merusak lingkungan
Dari analisis permasalahan, maka dapat ditetapkan skala prioritas permasalahan
pokok kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Tahapan analisis permasalahan
dilaksanakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat
Desa Kidangpananjung dalam rangka mencegah terjadinya bahaya tanah longsor dan
upaya mengatisipasinya. Oleh karena itu melalui analisis permasalahan kesiapsiagaan
bencana yang diilakukan melalui diskusi kelompok dapat ditentukan prioritas masalah
sebagaimana terlihat pada tabel :
77
S
E
B
A
B
Tabel 11 :
Prioritas Permasalahan Pokok Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas
NO
1
Permasalahan
Kurangnya
pengetahuan
tentang bahaya tanah longsor
dan manajemen evakuasi.
Penyebab
Belum adanya instansi yang
memberikan informasi tentang
manajemen evakuasi.
Upaya Pemecahan Masalah
Melakukan penyuluhan dan
pemetaan
Daerah
rawan
Bencana dan lokasi yang
aman bagi evakuasi.
2.
Belum
adanya
alat
komunikasi dan informasi
dalam rangka peringatan dini
dan
yang
dapat
menghubungkan satu RW
dengan RW yang rawan
terhadap bencana.
Perlunya dibentuk tim siaga
bencana desa sampai dengan
tingkat RT
Belum adanya alat komunikasi
dan informasi
yang efektif
apabila terjadi bencana yang
tidak tergantung pada listrik.
Pengadaan alat komunikasi
yang membutuhkan biaya
mencapai Rp. 15 juta.
Tingkat
pendidikan
masyarakat yang rendah untuk
dapat menerima informasi
tentang bahaya bencana dan
upaya mengantisipasi bila
terjadi bencana.
Pembuatan kentongan pada
tiap
RT
sebagai
tanda
peringatan dini. Melakukan
koordinasi dengan Organisas
RAPI sebagai Stakeholders
PB
Adanya anggota masyarakat
merusak lingkungan dengan
cara
menebang pohon
sembarangan.
Kurangnya
pengetahuan
pentingnya pohon sebagai
penahan air hujan pada lereng
di sekitar bukit.
Menciptakan peraturan desa
yang memberikan sangsi bagi
siapa saja yang merusak
lingkungan.
3.
4.
Pembentukan
Tim
Penanggulangan
Bencana
dengan anggota Ketua RW,
Ketua RT, Tokoh Masyarakat.
Setiap Tim terdiri dari 10
orang
sesuai
dengan
kompetensi masing-masing.
Sumber : Hasil Kajian Lapangan
Masalah lainnya tidak menjadi prioritas karena masalah-masalah tersebut
dapat diselesaikan melalui Tim yang nantinya akan dibentuk yang terdiri dari para
tokoh masyarakat yang dipercaya oleh masyarakat sebagi pemimpin masyarakat.
Berdasarkan analisis permasalahan, langkah selanjutnya dilaksanakan analisis
tujuan yang dapat dijadikan pedoman didalam membuat rancangan program
kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas, sehinga rancangan program yang dibuat
mempunyai tujuan dan sasaran yang tepat. Pelaksanaan analisis tujuan dilakukan
melalui diskusi kelompok, adapun hasil dari analisis tujuan sebagai berikut :
78
Gambar 11 :
Analisis Tujuan Perancangan Program Secara Partisipatif
Meningkatnya
pengetahuan dan
kesadaran
masyarakat
Meningkatnya
kewaspadaan
masyarakat
Agar program
dapat
berkelanjutan
Memberikan
sangsi yang
jelas dan tegas
Kesiapsiagaan Bencana Berbasis
Komunitas
Sosialisasi Bencana
Longsor melalui
Jaringan
Komunikasi Desa
Pembuatan
kentongan sbg
tanda peringatan
dini
Pembentukan Tim
Penanggulangan
Bencana Desa
Pembuatan
Peraturan Desa
Dari hasil analisis tujuan dihasilkan rancangan tindakan berupa rancangan
program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Berikut adalah ungkapan yang
dikemukakan oleh peserta diskusi kelompok :
Bapak Tatang :
“ Mari kita secara bersama-sama menyadari bahwa kita semua tinggal di
daerah rawan bencana tanah longsor, dan yang harus kita lakukan adalah
menjaga rasa kebersamaan untuk dapat memberikan penyadaran kepada
warga masyarakat untuk selalu waspada terhadap bencana yang datang dan
mensosialisasikan pentingnya
pemeliharaan lingkungan di Desa
Kidangpananjung”.
Setelah diskusi kelompok dilakukan, langkah selanjutnya dilakukan diskusi
secara parsial kepada tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat secara aktif pada saat
terjadi bencana alam tanah longsor. Tujuan dilakukannya diskusi lanjutan secara
parsial untuk klarifikasi hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan, mengingat pada
saat diskusi kelompok yang pertama hanya beberapa tokoh masyarakat dan aparat
desa yang mendominasi jalannya diskusi, sehingga dianggap perlu untuk menggali
data lebih mendalam aspirasi masyarakat yang telah disampaikan kepada tokoh-tokoh
masayarakat yang ada.
79
H
A
S
I
L
T
I
N
D
A
K
A
N
Dari hasil diskusi secara parsial dilanjutkan dengan diskusi kelompok seluruh
warga masyarakat Desa Kidangpananjung yang diwakili oleh Kepala Desa, Aparat
Desa, Tokoh Masyarakat, Ketua RW 1, Ketua RW 2, Ketua RW 3, Ketua RW 4,
Ketua RW 5, Ketua RW 6, Ketua LKMD dan Ketua BPD. Hasilnya adalah
kesepakatan bersama mengenai perancangan program kesiapsiagaan bencana berbasis
komunitas yang akan melibatkan seluruh partisipasi masyarakat.
Rumusan analisis tujuan dibuat berdasarkan rumusan analisis masalah yang
tujuannya adalah untuk mengidentifikasi tujuan dan sasaran dari rancangan program
yang akan dibuat secara partisisipatif. Dari tinda kan-tindakan yang akan dilakukan
melalui perancangan program yaitu
Sosialisasi proses terjadinya tanah longsor
melalui Jaringan komunikasi desa, pembuatan dan pengadaan kentongan sebagai
tanda peringatan dini, pembentukan tim penanggulangan bencana desa dan pembuatan
peraturan desa. Semua rancangan program tersebut bertujuan untuk memberikan
kesadaran kepada warga masyarakat tentang kondisi wilayah mereka yang termasuk
daerah rawan akan bencana tanah longsor dan apa yang harus dilakukan untuk
meminimalisir kerugian yang dia kibatkan oleh bencana, dengan kata lain menyiapkan
masyarakat dalam menghadapi bencana alam tanah longsor yang akan terjadi.
Tahapan berikutnya yang dilakukan adalah melaksanakan analisis alternatif
program berdasarkan rumusan analisis tujuan yang telah dibuat, melalui tinda kan
memilih beberapa alternatif dari alternatif yang ada. Tahapan ini dilakukan melalui
diskusi kelompok dan Participatory Assesment Method ( Metode Partisipasi
Assesment ).
80
RANCANGAN PROGRAM KESIAPSIAGAAN BENCANA
BERBASIS KOMUNITAS
Analisis Alternatif Program
Sebelum dibuat rancangan program kesiapsiagaan masyarakat berbasis
komunitas terlebih dahulu dilaksanakan analisis alternatif, yang bertujuan untuk
memilih beberapa program dan beberapa alternatif program yang ada. Hal ini
dilakukan agar program yang dirancang betul-betul merupakan program dari aspirasi
seluruh warga masyarakat, sehingga program kesiapsiagaan bencana berbasis
komunitas merupakan program partisisipatif. Berdasarkan analisis alternatif yang
telah dilakukan bersama masyarakat seluruh program saling terkait satu sama lain dan
saling memberikan kontribusi, dengan perkataan lain seluruh program dari
Penyuluhan, Pembuatan kentongan, Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa dan
Pembuatan Peraturan Desa memilki kelebihan dan kekurangannya. Namun demikian
apabila program ini dapat terealisasikan secara bersamaan akan menciptakan
kesiapsiagaan
masyarakat
daerah
rawan
bencana
yang
kuat
dan
mampu
mengantisipasi bencana tanah longsor di wilayah Desa Kidangpananjung.
Analisis Pihak Terkait (Stakeholders)
Analisis pihak terkait dilaksanakan sebagai bagian dari tahapan metode
Logical Frame Work analysis (LFA) di dalam membuat rancangan program
kesiapsiagaan bencana. Dari analisis pihak terkait dapat dilihat peran dari masingmasing pihak terkait serta kekuatan dan keterbatasannya agar dapat meningkatkan
peranan pihak-pihak terkait ini secara optimal. Tabel 12 merupakan matriks analisis
pihak terkait. Seperti halnya pada tahapan-tahapan sebelumnya, proses pelaksanaan
analisis pihak terkaitpun melalui diskusi kelompok.
Langkah selanjutnya adalah menyusun matrik analisis pihak terkait. Hasil
penyusunan analisis pihak terkait ini dapat teridentifikasi pihak-pihak yang terlibat
langsung dengan program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Dalam
merancang program kelembagaan local yang ada di desa melakukan koordinasi dan
kerjasama dengan pihak pemerintah terutama dalam merancang program-program
yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan peraturan dan sistem peringatan dini.
Dalam hal ini pihak yang terlibat tidak hanya terbatas pada pemerintah akan tetapi
juga berkoordinasi dengan Organisasi-organisasi dalam bidang manajmen bencana.
Tabel 12 : Analisis Pihak Terkait
NO
Peran yang
Kekuatan
Kelemahan
diharapkan
Kesiapsiagaan
1.
Warga
Masyarakat
Daerah
rawan
bencana tanah longsor
Rw. 03, 04, 05 dan
06.
Kemauan yang kuat untuk
terbebas
dari
bahaya
bencana. Nilai -nilai budaya
yang melekat.
2.
Para Ketua RT dan
Ketua
RW
yang
wilayahnya termasuk
daerah rawan bencana
dan Organisasi RAPI
Mendapatkan kepercayaan
dari Masyarakat
3.
Tokoh
Masyarakat,
Tokoh Pemuda, Ketua
LKMD
dan Ketua
RW yang wilayahnya
rawan bencana
Memiliki
pengetahuan
tentang bencana, kesehatan
dan jejaring.
4.
Ketua BPD, Kepala
Desa,
Kapolsek
Cililin dan Pihak
Perhutani.
Memiliki
kewenangan
menegakkan
aturan
penebangan liar.
5.
Camat Cililin
Memiliki legalitas formal
6.
PMI
Bandung
Kabupaten
Memiliki
Program
Penanggulangan Bencana.
Kurang menyerap
informasi
7.
Direktorat
Vulkanologi
dan
Mitigasi
bencana
Jawa Barat.
Dinas Sosial Propinsi
Jawa Barat
Memiliki
Program
Pemetaan Daearah Rawan
Bencana
Kurang menyerap
informasi
Memiliki
Pelatihan
Bencana
Kurang menyerap
informasi
8.
Upaya
Program
Taruna Siaga
Kurangnya
informasi tentang
bahaya
bencana
dan
Tingkat
pendidikan yang
rendah
Belum memiliki
Tanda peringatan
dini
terjadinya
bencana
Sosialisasi
bahaya
bencana longsor dan
langkah-langkah
antisipasi masyarakat.
Belum
adanya
Tim
Penanggulangan
Desa
untuk
memotivasi
masyarakat
dan
Tanggap Darurat
Belum
adanya
aturan dan sangsi
yang jelas bagi
masyarakat
dan
oknum
yang
terbukti
melakukan
penebangan liar.
Pembentukan
Tim
Siaga Bencana Desa
Pembuatan kentongan
dalam
rangka
peringatan dini.
Pembuatan Peraturan
Desa
Memantau
keberlanjutan
program
kesiapsiagaan
bencana.
Melakukan
Pembinaan Tim Siaga
Bencana
yang
dibentuk Desa
Memberikan
Data
kondisi
geografis
Desa.
Mengikutsertakan
Tim Bencana Desa
dalam
Pelatihan
Tingkat Propinsi.
82
Latar Belakang Rancangan Program
Dalam rangka menjawab masalah pokok kajian ini yaitu Bagaimana Strategi
Program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas ?, telah dilakukan
serangkaian kajian mulai dari pemetaan sosial Desa serta pemetaan sosial tingkat RW
yang menjadi korban bencana tanah longsor dan RW yang menjadi daerah relokasi
korban bencana. Kemudian dilakukan evaluasi dan analisis program pengembangan
masyarakat serta analisis faktor -faktor penyebab terjadi bencana berkaitan dengan
kesiapsiagaan bencana be rbasis komunitas. Hasil dari kajian tersebut dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan yang mengakibatkan kerugian harta benda dan
korban jiwa bagi masyarakat yang terkena bencana. Oleh karena itu perlu dirancang
program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas yang akan memberdayakan
sumberdaya yang dimilki oleh masyarakat.
Dalam rangka penyelesaian masalah yang ada, terdapat beberapa upaya yang
dapat dilakukan, baik oleh warga masyarakat daerah rawan bencana maupun oleh
pihak luar, dalam hal ini masyarakat dan stakeholder atau pihak yang berkepentingan
lainnya. Dari upaya pemecahan masalah yang ada dapat dipilah mana yang harus
segera dilakukan dan pemecahan masalah mana yang harus terus menerus dilakukan.
Apabila seluruh upaya pemecahan masalah tersebut dapat dilkukan secara simultan,
maka dapat dipatikan tujuan kajian ini akan tercapai.
Dari upaya pemecahan masalah yang ada, hal yang dapat segera dilakukan
adalah seperti yang dikemukakan oleh Fredian Tonny, dkk (2004) bahwa dalam
penegembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas dan
unik untuk setiap komunitas dan modal sosial, yaitu : (1) Kepemimpinan komunitas
(Community leader), (2) Dana komunitas (Community Fund) , (3) Sumber daya
material (Community material), (4) Pengetahuan komunitas (Community knowledge),
(5) Proses pengambilan keputusan oleh komunitas (Community Deciton Making), (6)
Teknologi Komunitas ( Community Technology), dan (7) Organisasi Komunitas
(Community Organisation).
Berdasarkan
pendekatan tersebut, diidentifikasi
modal
sosial
dalam
pengembangan masyarakat sangat dipengaruhi oleh adanya kepercayaan (Trust) yang
dimiliki warga terhadap para pemimpin masyarakat baik formal maupun informal,
sehingga faktor kepemimpinan informal dapat digunakan untuk turut be rperan dalam
penyelesaian masalah dalam kesiapan masyarakat menghadapi bencana. Selanjutnya
83
penghimpunan dana masyarakat berupa kebersamaan dan kekerabatan yang kuat
diantara sesama warga masyarakat telah memunculkan solidaritas yang tinggi yang
mendorong masyarakat untuk memiliki rasa senasib sepenanggungan dalam
mengahadapi bencana yang akan datang.
Lebih lanjut Rahman dalam Fredian Tonny, dkk (2004) mengatakan bahwa
konsep dana pada masyarakat tidak saja mencakup uang sebagai alat tukar yang
umum dipakai sekarang, tetapi juga hubungan yang mereka jalin, kekerabatan dan
kebersamaan juga merupakan sumber dana. Dengan kondisi tersebut dapat digalang
dana masyarakat melalui hubungan kekerabatan diantara sesama warga masyarakat
yang hampir 90 % memiliki hubungan darah.
Dana komunitas yang dilandasi oleh kekerabatan dan kebersamaan dapat
dilakukan untuk program kesiapsiagaan bencana. Sumberdaya Material merupakan
kelengkapan
sarana
administrasi organisasi yang ada di komunitas, melalui
pemanfaatan Posko Pena nggulangan Bencana yang juga Rumah Kepala Desa yang
dapat digunakan secara efektif. Pengetahuan komunitas yang dapat dimanfaatkan
pengetahuannya dengan cara mengangkat anggota tim Penaggulangan Desa
berdasarkan keahlian dan kompetensi dibidangnya.
Proses pengambilan keputusan dilakukan dilakukan dengan mengikutsertakan
seluruh masyarakat yang diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat. Teknologi komunitas
berkaiatan dengan dengan teknologi tepat guna yang dimilki oleh masyarakat untuk
menjalankan program kesiaps iagaan bencana sehingga dapat meminimalisir kerugian
yang diakibatkan terjadinya bencana. Organisasi komunitas merupakan perkumpulan
orang dalam masyarakat yang mengelola kegiatan kesiapsiagaan bencana berbasis
komunitas, pembentukan tim Penanggulanagan bencana Desa yang dikelola
berdasarkan hubungan-hubungan yang bersifat informal dan adanya solidaritas yang
tinggi diantara sesama anggota.
Oleh karena itu diperlukan kebersamaan diantara sesama warga masyarakat
dalam
mengorganisasikan
masyarakat
untuk
kes iapsiagaan
bencana
dengan
memanfaatkan modal sosial yang meliputi kepercayaan (trust), kekerabatan, nilai-nilai
gotong royong yang tinggi. Kepercayaan yang dimil iki warga terhadap para pimpinan
masyarakat baik formal maupun informal dapat digunakan untuk mengajak
masyarakat agar dapat bersama -sama menyelesaikan masalah yang dihadapi berkaitan
dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Selain hal tersebut
Networking dalam Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas sangat diperlukan
84
guna upaya pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia Tim Siaga Bencana
dan pembentukan jaringan komunikasi antar daerah rawn bencana untuk
mengenatisipasi terjadinya bencana.
Tujuan dan Sasaran Program
Tujuan disusunnya rancangan program ini adalah sebagai upaya untuk
kesiapsiagaan bencana bagi masyarakat daerah rawan bencana alam tanah longsor di
Desa Kidangpananjung. Rancangan program ini merupakan rangkaian strategi yang
dapat menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana yang terjadi dengan
mengoptimalkan sumberdaya yang terdapat di masyarakat. Sasaran dalam rancangan
program pada dasarnya adalah masyarakat daerah rawan bencana yang didalamnya
termasuk korban bencana alam tanah longsor yang terjadi tahun 2004 yang lalu.
Program Aksi
Dalam rangka pe ncapain tujuan kajian ini, maka disusun strategi berupa
rancangan program aksi kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas. Program harus
mendapat dukungan dari semua pihak, dalam hal ini dukungan dari masyarakat
Rw.03, 04, 05 dan 06 yang wilayahnya termasuk kategori daerah rawan bencana serta
masyarakat RW.01 dan 02 yang tidak termasuk daerah rawan bencana serta dukungan
dari pihak terkait dalam penanggulangan bencana. Adapun sumber pembiayaan
pelaksanaan program dapat berasal dari swadaya masyarakat dan bantuan stimulan
dari pihak swasta.
Proses perencanaan
program dilakukan melalui diskusi kelompok dengan
mempertimbangkan tahapan analisis-analisis yang telah dilakukan sebelumnya.
Diskusi dilakukan pada tanggal 4 September 2005 yang semula direncanakan di
rumah Kepala Desa, namun karena sesuatu hal akhirnya dilaksanakan di
rumah
Ketua RW 02 yang lokasinya bersebelahan dengan rumah Kepala Desa. Diskusi
dimulai pada pukul 20.00 dan diakhiri pukul 22.00 dan dihadiri oleh 14 orang peserta
yang terdiri dari Ketua BPD, Sekretaris Desa, Para Ketua RW dan Tokoh Pemuda dan
Tokoh Masyarakat.
85
Rancangan Program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas
1. Latar Belakang
Bencana alam tanah longsor yang terjadi pada tanggal 21 April 2004 yang lalu di
Desa Kidangpananjung telah mengakibatkan kerugian harta benda dan hilangnya
sanak keluarga sebagian masyarakat di RW 03. Kondisi wilayah yang berbukit dan
banyaknnya pemukiman penduduk di lereng-lereng bukit menjadikan tempat tinggal
mereka rawan akan bahaya bencana tanah longsor. Kesiapsiagaan bencana berbasis
komunitas sangat dipengaruhi oleh sejauhmana masyarakat menyiapkan diri mereka
dan keluarga dalam menghadapi bencana yang akan datang. Hal ini hanya dapat
dilakukan dengan kesadaran akan pentingnya memelihara lingkungan di sekitar lereng
bukit dan cara-cara menanggulangi bencana tanah longsor dengan sumberdaya yang
dimilki. Sejak bencana tahun 2004 yang lalu ada asumsi bahwa masyarakat hampir
melupakan peristiwa tanah longsor tersebut, tetapi begitu peneliti me masuki Desa
Kidangpananjung dan menjelaskan bahaya yang akan mengancam mereka sewaktuwaktu barulah masyarakat mulai sadar akan pentingnya tindakan kesiapsiagaan.
Berdasarkan kondisi masyarakat yang terancam akan bahaya bencana yang
datang sewaktu-waktu tersebut maka diperlukan program kesiapsiagaan bencana
berbasis komunitas.
2. Tujuan
Agar masyarakat menyadari kondisi mereka yang tinggal di daerah rawan bencana
dan dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat meminimalisir resiko yang
diakibatkan oleh bencana alam tanah longsor , sehingga mereka tidak merasa terancam
dengan adanya bencana atau dengan perkataan lain masyarakat Desa akrab terhadap
bencana itu sendiri.
3. Sasaran
Meningkatkan pengetahuan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang proses
terjadinya dan bahaya yang ditimbulkan bencana alam tanah longsor dan langkahlangkah antisipasi yang dilakukan..
4. Strategi
Strategi
kesiapsiagaan
bencana
yang
dilakukan
adalah
dengan
cara
memberdayakan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Desa Kidangpananjung dalam
penanggulangan bencana dengan menggunakan teknik Diskusi Kelompok Terarah.
86
Dalam kesempatan ini masyarakat diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat
yang berkaitan dengan program yang akan dilaksanakan. Adapun rincian rencana
program sebagai berikut :
1. Program Sosialisasi Bencana Tanah Longsor melalui Jaringan Komunikasi
Desa
Program sosialisasi tentang bahaya bencana alam tanah longsor dan langkahlangkah penanggula ngannya merupakan program atas usulan masyarakat, mengingat
masyarakat tingga l di kawasan daerah rawan bencana dan minimnya informasi yang
didapat. Selain hal tersebut sebagian besar masyarakat ada yang beranggapan bahwa
bencana merupakan suatu musibah dan ada pula yang sudah melupakan kejadian
bencana sebelumnya. Hal ini akan be rakibat kurangnya kewaspadaan masyarakat
terhadap bahaya bencana tanah longsor yang suatu saat bisa saja terjadi. Sosialisasi
tentang bahaya bencana alam tanah longsor
dilakukan oleh Tim Siaga bencana
melalui jaringan informasi yang ada di desa anatara la in sarana pengajian rutin yang
dilaksanakan oleh DKM Desa, Acara Hajatan, Kesenian Wayang Golek dan
Jaipongan. Sosialisasi dengan cara tersebut diatas dimaksudkan untuk lebih
memberikan pendidikan dan lebih mengena dibandingkan penyuluhan yang selama
ini dilaksanakan. Untuk lebih jelasnya seperti ditampilkan pada tabel berikut :
Tabel 13 :
Program Sosialisasi Bencana Tanah Longsor
Latar
Belakang
Tujuan
Sasaran
Strategi
Sarana
yang
digunakan
Kurangnya
Memberikan
Masayarakat
M emberdayakan
Pemberian
Masyarakat
pengetahuan
pengertahuan
yang tinggal
Jaringan
Motivasi
memilki
Masyarakat
dan
di
Informasi
oleh
pengetahuan
tentang
kesadaran
rawan
bahaya
pada
Bencana
bencana
masyarakat
RW. 03, 04,
05 dan 06
tanah
longsor
daerah
di
Desa.
Tim
Hasil yang
diharapkan
dan
Memberdayakan
Siaga
menyadari kondisi
Ketua
Bencana
wilayah
Ketua RT dibantu
melalui
mengetahui
oleh Tim Siaga
Jaringan
langkah-langkah
Bencana Desa.
Komuniasi
kesiapsiagaan.
RW
dan
dan
Desa
87
2. Program Pembuatan Kentongan Tanda Peringatan Dini.
Untuk mengantisipasi resiko yang ditimbulkan dari bahaya bencana
yang
akan diterima oleh masyarakat di daerah rawan longsor, perlu diciptakan suatu sistim
informasi dan peringatan dini berdasarkan budaya yang dimilki oleh masyarakat. Hal
ini guna mencegah terjadinya kerugian yang akan diderita oleh masyarakat baik
korban jiwa maupun harta benda. Untuk itu perlu adanya sistim peringatan dini yang
diprakarsai oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang dimiliki dan
dimengerti oleh masayarakat Desa Kidangpnanjung. Adapun hasil diskusi dengan
masyarakat, tanda peringatan dini dapat diulakukan melalui pengeras suara yang ada
di tiap mesjid apabila listrik tetap menyala pada saat terjadi bencana. Pembuatan
kentongan merupakan alternatif tanda peringatan dini apabila pada saat terjadi
bencana listrik padam atau tidak menyala, pengalaman dari kejadian tanah longsor
sebelumnya listrik akan padam apabila terjadi bencana. Adapun rincian program
sebagai berikut :
Tabel 14 :
Program Pembuatan Kentongan Tanda Peringatan Dini
Latar
Belakang
Tujuan
Sasaran
Strategi
Sarana
yang
digunakan
Hasil yang
diharapkan
Perlunya
Sebagai
Masyarakat
Sosialisasi aturan
Kentongan
Mendidik
tanda bahaya
tanda
yang
tanda
yang
mengingatkan
apabila akan
peringatan
wilayahnya
dini dan
terjadi
dini
akan terjadi
evakuasi.
bencana.
peringatan
lokasi
ada
di tiap RT.
masyarakat
selalu
bencana
dan
waspada
terhadap
yang
untuk
bencan
sewaktu-
waktu akan terjadi.
3. Program Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa
Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa selain untuk mengantisipasi bencana
yang sewaktu-waktu akan terjadi Di Desa Kidangpananjung, juga dimaksudkan
sebagai Tim yang akan memberikan pendidikan bagi warga masyarakat dan
memotivasi
masyarakat
untuk
memberikan
penyadaran
kesiapsiagaan bagi mereka yang tinggal di daerah rawan
akan
pentingnya
bencana. Adapun
pembentukan Tim terdiri dari Tim Evakuasi, Tim Dapur Umum lapangan, Tim
Kesehatan dan Tim Pionir. Penempatan anggota Tim berdasarkan pengalaman
88
kejadian bencana dan kompetensi yang dimilki oleh anggota berdasarkan penilaian
dari Tokoh Masyarakat dan Aparat Desa. Rincian program sebagai berikut :
Tabel 15 :
Program Pembentukan Tim Siaga Bencana Desa
Latar Belakang
Perlunya
Tujuan
Sasaran
Strategi
Memotivasi
Tokoh
Tim
warga
masyarakat,
Penanggulangan
masyarakat
Bencana
membentuk
Tim
Tingkat
Desa
Hasil yang
diharapkan
Peralatan
Pendidikan
Desa terdiri
Kesehatan
masyarakat
tokoh pemuda
dari
yang
tentang
untuk peduli
dan
Kesehatan,
dimilki
penanggulangan
terhadap
masyarakat
Evakuasi,
Desa.
bencana
bencana.
yang
Dumlap dan
anggota
memilki
pengetahuan.
PB
Sarana
yang
digunakan
Tim
bagi
Pionir.
4. Program Pembuatan Peraturan Desa
Berdasarkan faktor penyebab terjadinya bencana yaitu gundulnya hutan pinus,
maka masyarakat melalui Badan Perwakilan Desa menyarankan untuk dibuat suatu
peraturan desa, guna memberikan sangsi yang jelas terhadap warga masyarakat
maupun oknum Perhutani yang melakukan penebangan liar dan merusak lingkungan
desa. Inisiator program ini adalah BPD Desa Kidangpananjung berdasarkan masukanmasukan dari tokoh-tokoh masyarakat Desa yang selanjutnya akan melibatkan pihak
Perhutani dan Kepolisian Sektor Cililin dalam finalisasi dan aturan mainnya.
Masukan dari para Tokoh masyarakat dan warga desa kemudian diplenokan melalui
rapat desa. Pembuatan Peraturan Desa juga dimaksudkan sebagai embrio Peraturan
Daerah dalam rangka pemeliharaan lingkungan di sekitar wilayah daerah rawan
bencana yang ada di kabup[aten Bandung. Rincian program hasil diskusi sebagai
berikut :
89
Tabel 16 :
Program Pembuatan Peraturan Desa
Latar
Belakang
Tujuan
Sasaran
Strategi
Sarana yang
digunakan
Hasil yang
diharapkan
Adanya
anggota
masyarakat
dan oknum
Perhutani
yang
merusak
lingkungan
Memberikan
sangsi yang
jelas terhadap
oknum yang
melakukan
perusakan
lingkungan
Memberikan
kesadaran
kepada
pihak-pihak
yang
melakukan
penebangan
liar
Pembuatan
Peraturan Desa
melalui usulan
Ketua
BPD
berkoordinasi
dengan
pihak
Perhutani
dan
Kepolisian Kec.
Cililin.
Rapat Pleno
Desa
Terciptanya
lingkungan yang
dapat
mencegah
terjadinya bencana
longsor.
90
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan kajian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Secara umum strategi program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas
dilakukan melalui perancangan program penguatan kapasitas masyarakat,
penguatan kapasitas kelembagaan dan pembentukan jejaring dengan pihak terkait
dalam penanggulangan bencana. Secara khsusus Program kesiapsiagaan
masyarakat yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi bencana terbagi dalam
empat kegiatan diantaranya : Penyuluhan dan sosialisasi yang dilakukan Ketua RT
dan RW yang wilayahnya termasuk daearah rawan bencana, Pembuatan
kentongan sebagai tanda peringatan dini bagi masyarakat untuk melakukan
evakuasi ke tempat yang telah ditentukan, Pembentukan Tim Penanggulangan
Bencana Desa yang beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan
Pembuatan peraturan desa guna mengantisipasi terjadinya kerusakan lingkungan
oleh warga masyarakat dan oknum Perhutani. Sumber dana kegiatan berasal dari
swadaya masyarakat dan dari pihak swasta. Sebagai pemantau keberlanjutan
program kesiapsiagaan dilakukan pembinaan oleh Pihak Palang Merah Indonesia
Kabupaten Bandung dan pihak-pihak terkait dalam Penanggulangan Bencana.
2. Kondisi sosial budaya masyarakat Desa Kidangpananjung hampir 90 % memiliki
hubungan kekerabatan dan solidaritas yang sangat tinggi, hal ini merupakan
modal sosial pada masyarakat.
Kepercayaan (Trust) dari warga masyarakat
kepada pemimpin formal maupun informal dapat mendukung terciptanya program
yang partisipatif dalam rangka kesiapan bencana. Kondisi ekonomi penduduk
yang sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai buruh tani dan
pedagang keliling merupakan potensi bagi masyarakat untuk tidak menyerah pada
kondisi alam yang berbukit dan rawan terhadap bencana tanah longsor.
3. Pengaruh Program
Penanggulangan
Bencana
di
Desa
Kidangpananjung
menunjukkan, bahwa dengan adanya bencana membuat Desa Kidangpananjung
memiliki peluang untuk melaksanakan pembangunan selanjutnya dalam berbagai
bidang diantaranya pengerasan ja lan desa sepanjang 3 km, reboisasi, penambahan
ruang kelas SD Walahir dan Pengadaan air bersih.
4. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor
melalui leaflet dan sosialisasi oleh tim siaga bencana dan memahami langkahlangkah antisipasi yang dilakukan oleh masyarakat Dengan terbentuknya program
kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat, memberikan hasil sebagai berikut :
Masyarakat yang tinggal di daerah bencana mempunyai pengetahuan dan
kesadaran akan pentingnya pemeliharaan dan tidak merusak lingkungan yang
rawan terhadap bencana, Masyarakat mempunyai kesadaran akan bahaya tanah
longsor dan memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi
bencana. Dalam rangka evakuasi ke tempat yang aman apabila terjadi bencana
masyarakat telah menetapkan lokasi yang aman untuk evakuasi antara lain :
RW. 01
: Daerah aman bencana Tanah Longsor
RW. 02
: Daerah aman bencana Tanah Longsor
RW. 03
: Daerah Evakuasi rumah Kepala Desa dan Kampung
RW. 04
: Daerah Evakuasi Kantor Desa
RW.05
: Daerah Evakusi Desa Mukapayung
RW.06
: Daerah Evakuasi Desa Sukamulya
Cikopeng
5. Stakeholder Penanggulangan Bencana menyampaikan pentingnya Penaggulangan
Bencana Berbasis Komunitas mengingat lokasi bencana yang terisolir ( Bencana
tanah longsor selalu terjadi pada daerah yang jauh dari sarana transportasi dan
pada masyarakat yang rentan ) , terbatasnya dana, SDM dalam manajemen
bencana yang dimiliki pemerintah. Perlunya Penanggulangan Bencana secara
terpadu dan terorganisir melalui suatu wadah sehin ga dapat menanggulangi
bencana secara cepat dan tepat serta dapat mengurangi kerugian yang lebih besar
bagi masyarakat korban bencana.
6. Dengan
memperhatikan
kondisi
sosial
budaya
masyarakat
Desa
Kidangpananajung, Program-program yang ada pada saat terjadinya bencana,
Faktor-Faktor penyebab terjadinya bencana dan Pandangan Stakeholders
Penanggulangan Bencana, maka kiranya diperlukan suatu penguatan kapasitas dan
kelembagaan pada masyarakat.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
1.
Alternatif kebijakan mengenai penyuluhan da n sosialisasi kepada warga
masyarakat di daerah rawan bencana perlu dilakukan dengan memberdayakan
92
Ketua RT dan Ketua RW yang mengetahui kondisi warga masyarakatnya.
Alasanya karena warga masyarakat yang tinggal di lereng sekitar bukit memilki
resiko cukup besar apabila terjadi bencana. Pentingnya pemberian informasi
tentang bahaya bencana dan langkah-langkah kesiapan dapat dilakukan melalui
pemberian leaflet.
2.
Alternatif kebijakan mengenai pembuatan tanda -tanda peringatan dini dilakukan
dengan mengadakan kentongan yang diasumsikan apabila pada saat kejadian
bencana listrik mati. Namun sarana Toa di mesjid -mesjid yang berjumlah 12
buah yang ada di tiap RW dapat dilakukan sebagai tanda peringatan dini. Hal
lain yang dapat kami rekomendasikan adalah pengadaan seperangkat Handhly
Talky sebanayak 7 buah dan seperangkat Repeater untuk memudahkan
komunikasi anatara RW dengan RW dan RW dengan Kepala Desa serta Kepala
Desa dengan pihak luar. Harga seperangkat HT tersebut berjumlah Rp.
20.000.000,-
3.
Alternatif kebijakan pemebentukan Tim Siaga Bencana Desa dimaksudkan
untuk memberikan pendidikan bagi waraga masyarakat untuk peduli terhadap
kondisi wilayah Desa Kidangpananjung yang rawan terhadap bencana tanah
longsor. Untuk itu perlu adanya pembinaan yang berkelanjutan bagi Tim yang
sudah dibentuk dengan mengikutsertakan dalam program-program pelatihan
penanggulangan bencana yang ada dalam setiap instansi terkait.
4.
Alternatif kebijakan pembuatan peraturan desa yang bertujuan
untuk
memberikan sangsi yang jelas terhadap anggota masyarakat maupun oknum
Perhutani yang melakukan penebangan liar merupakan langkah yang patut
mendapatkan dukungan dari pihak-pihak terkait, dalam hal ini Camat Cililin,
Kapolesek Cililin dan dari Perhutani sendiri. Peraturan ini agar segera
direalisasikan dan disosialisasikan kepada warga masyarakat sehingga tercipta
suatu lingklungan yang terbebas dari penebangan liar. Dengan demikian
diharapkan kejadian bencana yang lalu yang disebabkan gundulnya hutan
Perhutani karena adanya penebangan lira tidak akan terjadi kembali.
5.
Perlu Organisasi berbentuk Badan Penanggulangan Bencana yang menangani
bencana secara komprehensif dalam fase-fase manajemen bencana dari
kesiapan, saat terjadi bencana dan pasca bencana sehingga tidak mengalami
kendala masalah koordinasi antar instansi. Selama ini setiap instansi memiliki
93
program kebijakan Penanggulangan Bencana secara sektoral sehingga terjadi
tumpang tindih dalam implementasi program di lokasi bencana.
6.
Penguatan Kapasitas masyarakat daerah rawan bencana dan penguatan
kelembagaan bencana alam dapat dilakukan melalui pelatihan Siaga Bencana
Tingkat Desa yang materinya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
masyarakat dan karakteristik bencana tanah longsor. ( Draft Materi Pelatihan
Terlampir ).
7.
Berdasarkan Kajian yang telah dilakukan kiranya perlu dibentuk Tim Siaga
Bencana pada Komunitas Daerah Daerah Rawan Bencana dalam rangka
kesiapsiagaan
menghadapi
bencana
dan
memberikan
pendidikan
bagi
masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan oleh bencana. Tim Siaga bencana
terdiri dari :
a. Tim Evakuasi
b. Tim Dapur umum Lapangan
c. Tim Kesehatan
d. Tim Pionir
Setiap Tim dikoordinir oleh Tokoh-Tokoh Masyarakat dan anggotanya diseleksi
oleh Masyarakat berdasarkan kompetensi yang dimiliki dan berdasarkan
pengalaman pada saat terjadi bencana. Tim ini Bertanggung jawab kepada
Masyarakat Desa Kidangpananjung dan melakukan koordinasi dengan instansi
terkait dalam bidang Penanggulangan Bencana antara lain : PMI Kabupaten
Bandung, Satlak PBP, Dinas Sosial, Direktorat Vulkanologi Jawa Barat. Tim
Siaga Bencana dapat berfungi membantu Desa tetangga yang mengalami
bencana sehingga menciptakan sinergi antar desa guna kesiapsiagaan bencana.
8.
Mengingat Kajian Pengembangan Masyarakat yang dilakukan masih terfokus
kepada Fase Kesiapan dalam manajemen bencana, kiranya perlu adanya
penelitian lebih lanjut yang lebih makro dalam fase-fase manajemen bencana
selanjutnya. Adapun yang direkomendasikan peneliti yaitu pada fase Tanggap
Darurat dan Fase Rehabilitasi serta Fase Rekonstruksi.
94
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi
Komunitas, FEUI
Nasdian, Fredian Tonny. 2004. Modul Sosiologi untuk Pengembangan Masyarakat,
Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Program Pasca Sarjana IPB.
Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak. The
British Council.
Gunawan, Agustin Widya, Achmadi Suminar Setiati, Arianti Laksmi. 2004. Pedoman
Penyajian Karya Ilmiah. IPB Press.
Ramdan, Hikmat. 2003. Prosiding Semiloka Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten
Garut. Algaprint Jatinangor Sumedang.
Nasution S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Tarsito Bandung.
Prasojo, Nuraini W. 2004. Pengelolaam Konflik. Magister Program Pengembangan
Masyarakat IPB. Bogor.
Standar Nasional Indonesia. 2004. Pemeriksaan Lokasi Bencana Gerakan Tanah. Badan
Standarisasi Nasional.
Pudjiono. 2003 Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana ( disampaikan pada pelatihan
Kesiapan Penanggulangan Kedaruratan, UNICEF.
Saharuddin. 2005. Modul SEP-523 Metode-Metode Partisipatif dalam Pengembangan
Masyarakat, Magister Profesional Pengembangan Masyarakat IPB.
Sitorus, Felix. 2004. Modul Metodologi Kajian Komunitas. Magister Profesional
Pengembangan Masyarakat Program Pasca Sarjana IPB.
Sumardjo. 2005. Metode-Metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat, Magister
Profesional Pengembangan Masyarakat IPB.
Sobirin. 4 April 2005..Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat. (DPKLTS) Harian
Pikiran Rakyat.
Soetarso, 2004. Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana ( disampaikan pada pertemuan
Sosialisasi dan Evaluasi Program Penanggulangan Bencana Jawa Barat.
Soerjono, Soekanto.1990, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta.
Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta Bandung.
UNDP, 1992. Tinjauan Umum Manajemen Bencana
UNHCR. 2001. Buku Pegangan Kedaruratan. Komisi Tinggi PBB untuk Urusan
Pengungsi..
UNHCR. 2002. Proyek Sphere. Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam
Penanggulangan Bencana.
Yin, Robert.K. 2003. Studi Kasus Desain dan Metode. PT. Raja Grafindo Persada
Jakarta.
96
Download