1 TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt) SKRIPSI Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : AJI PURNOMO E1A008263 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 2 ABSTRAK TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt) Oleh : AJI PURNOMO E1A008263 Terorisme merupakan tindak pidana yang mengancam nyawa manusia, harta benda dan kedaulatan suatu bangsa serta sering juga menimbulkan korban nyawa dan harta benda yang banyak. Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 wajib melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu Negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negaranya dari setiap ancaman terorisme. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan kebijakan Legislatif dalam upaya menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia. Tindak Pidana Terorisme pada saat ini tidak hanya saja dilakukan oleh orang dewasa namun saat ini anak-anak juga sudah mulai terlibat dalam tindak pidana terorisme. Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, Terdakwa AW (umur 17 tahun) terlibat secara langsung dalam aksi terorisme. Saat ini belum ada Hukum pidana materiil tentang anak, dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, hal tersebut hanya mengatur tentang hukum acara atau Hukum Formil tentang anak, sehingga dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak hukum pidana materiilnya masih menggunakan hukum pidana materiil orang dewasa. Tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak dalam hal ini pengaturannya menggunakan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantansan Tindak Pidana Terorisme. Terdakwa oleh hakim setelah menjalani proses persidangan, hakim memeriksa alat bukti yang diajukan dalam persidangan dan memperoleh keyakinannya, terdakwa terbukti secara memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai rumusan Pasal 15 Jo Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2003. Terdakwa juga tidak mempunyai alasan penghapus pidana, sehingga terdakwa dapat dijatuhi sanksi pidana. Hakim dalam menjatuhkan saksi pidana terhadap tindak pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak memperhatikan rumusan Pasal 19 UU No. 15 Tahun 2003, Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 1997 serta UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindugan Anak, maka dalam hal penjatuhan sanksi terhadap terdakwa berupa pidana penjara selam 2 tahun. 3 Kata Kunci : Terorisme, Anak, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003, UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997. 4 ABSTRACT Terrorism is a crime that threaten human life, property and sovereignty of a nation, and often also lead to loss of life and property are many. The Republic of Indonesia as mandated by the Act of 1945 shall protect the whole Indonesian nation and the entire country of Indonesia. Therefore the State has an obligation to protect all citizens from any threat of terrorism. Law No. 15 of 2003 is the policy of the Legislature in an effort to tackle terrorism in Indonesia. Crime Terrorism today is not only done by adults but now the kids have also begun to engage in criminal acts of terrorism. Research used in this research is normative law using secondary data in the form of primary and secondary legal materials. Based on the results of the decision Case Number: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, Defendant AW (age 17 years) were directly involved in terrorism. Currently there is no substantive criminal law concerning children, the issuance of Law no. 3 of 1997 on Juvenile Justice, it is only the procedural law governing Formal or law about children, so in terms of criminal offenses committed by children are still using the criminal law criminal law materiilnya adult material. The criminal acts of terrorism committed by children in this setting using the Law no. 15 of 2003 on Pemberantansan Criminal Acts of Terrorism. The defendant by a judge after a trial, the judge hears evidence presented at trial and obtained his conviction, the defendant proved meet the elements of criminal acts as defined by Article 15 of Article 9 of Law No. Jo. 15 of 2003. The defendant also has no reason eraser criminal, so that the defendant can be sentenced to criminal sanctions. Judge in imposing criminal witness against terrorism offenses committed by children noticed formulation Article 19 of Law no. 15 of 2003, Article 26 paragraph (1) and (2) Law no. 3 Year 1997 and Law no. 23 Year 2002 on Perlindugan son, then in terms of sanctions against the defendant in the form of imprisonment for 2 years subs. Keywords: Terrorism, Kids, Law No. 15 of 2003, Act No. 3 of 1997 5 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Consideran Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya Dewasa ini kenakalan anak tidaklah dianggap sebagai hal yang luar biasa lagi, saat ini sudah banyak sekali kasus-kasus pidana yang pelakunya adalah anakanak, dalam artikel yang penulis baca di internet menyebutkan bahwa setiap tahun sekitar 6000 anak menjalani hukuman penjara atau tahanan,1 hal tersebut membuktikan bahwa kenakalan anak saat ini bukanlah kenakalan yang biasa nanum kenakalan anak saat ini sudah bersinggungan dengan tindakan kriminal dan hukum, bahkan dalam waktu dekat ini banyak kasus yang melibatkan anak atau remaja usia belasan tahun, tidak hanya kasus perkelahian dan minumminuman keras, tetapi juga kasus pencurian, perampokan perusakan atau pembakaran, seks bebas, narkoba bahkan sampai melakukan tindak pidana Terorisme. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban manusia serta merupakan sebuah ancaman serius terhadap kemanusiaan dan 1 http://google.com//menujusistemperadilananakdiindonesia. Diakses tanggal 3 September 2012. 6 peradaban manusia serta sebuah ancaman serius terhadap keutuhan dan kedaulatan suatu negara. Terorisme pada saat ini bukan saja merupakan suatu kejahatan lokal atau nasional tetapi sudah merupakan kejahatan transnasional bahkan internasional, banyak menimbulkan ancaman atau bahaya terhadap keamanan, perdamaian dan sangat merugikan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.2 Sejarah di Indonesia yang tidak mungkin dapat kita lupakan ialah saat terjadinya Bom Bali 1, dari kasus tersebut memberi gambaran kepada negara atau pemerintah untuk lebih meningkatkan pengamanan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali tersebut, pemerintah berkewajiban untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme, agar nantinya para aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fugsinya ada suatu rambu-rambu yang dijadikan sebagai dasar hukum, hal tersebut sangat perlu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Menyadari Tindak Pidana Terorisme lebih didasarkan pada peraturan yang dijadikan dasar hukum saat itu (sebelum UU No. 15 Tahun 2003) adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah 2 Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Definisi_terorisme&oldid=5609532. tanggal 02 Desember 2012 Diakses pada 7 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal tersebut menjadi bukti konkrit pemerintah, demi menjaga kedaulatan Bangsa dan Negara, melindungi segenap warga negara serta demi terciptanya keamanan dan kesejahteraan rakyat maka pemerintah harus mengambil langkah dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tindak Pidana Terorisme saat ini tidak saja dilakukan oleh orang dewasa, dari kasus-kasus yang telah terungkap oleh publik, baik melalui media cetak maupun elektronik saat ini anak-anak juga mulai terlibat dalam kasus Tindak Pidana Terorisme, seperti halnya dalam Putusan perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, dimana anak-lah yang menjadi pelaku Tindak Pidana Terorisme. Tindak Pidana Terorisme di Indonesia belum ada aturan yang secara khusus mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh Anak, namun dalam UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan ketentuan dalam Pasal 19 yang berbunyi: “Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, uraian bunyi 8 pasal tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak sama dengan ketentuan Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh orang dewasa. Hasil penelitian putusan perakara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak, dalam putusan perkara tersebut pelaku anak memenuhi rumusan Pasal 15 Jo Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, pasal tersebut merumuskan: Pasal 15 “Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.” Pasal 9 “Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Hukum Pidana merupakan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Hal demikian menempatkan hukum pidana dalam hukum materiil. Dalam pengertian yang lengkap dinyatakan oleh Satochid Kartanegara bahwa hukum pidana materiil berisikan peraturan peraturan berikut ini:3 3 Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm 6-7. 9 1. Perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (Starafbare Feiten); 2. Siapa-siapa yang dapat dihukum; 3. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Menurut Moeljatno, pada umumnya hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun ada kalanya dalam suatu peraturan perundang-undangan diatur hukum pidana meteriil yang lazim disebut hukum pidana khusus atau hukum pidana diluar KUHP.4 Dalam praktek berkembang pula istilah tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. KUHP adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana, dimana seharusnya semua tindak pidana dimasukan dalam kodifikasi tersebut. Akan tetapi dalam kenyataanya hal tersebut tidak mungkin karena selalu timbul perbuatanperbuatan yang karena perkembangan zaman dapat menjadi suatu tindak pidana. Buku I KUHP yang memuat azas-azas hukum pidana pada umumnya berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana positif, baik yang termuat didalam KUHP maupun dilar KUHP. Dasar hukum tersebut ada dalam Pasal 103 KUHP, yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII Buku I, juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.5 4 Loc. Cit M. Sudrajat Bassar. 1983. Hukum Pidana (Pelengkap KUHP). CV. Armico. Bandung. Hlm 16 5 10 Pasal 1 Angka (2) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang merumuskan “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Berkaitan dengan hal tersebut juga terdapat dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang yang sama, dimana masing-masing pasal tersebut berbunyi: Pasal 2 Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi : a. b. c. d. non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak. Pasal 3 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Berdasarkan Latar Belakang permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang penerapan unsur-unsur Pasal 15 Jo Pasal 9 UndangUndang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang serta hal-hal yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap Tindak 11 Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak dalam putusan perkara Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak dalam Putusan perkara Nomor : 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah penerapan unsur-unsur Pasal 15 Jo Pasal 9 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang terhadap Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak dalam Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN. Klt? 2. Hal-hal apa yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dalam perkara Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak dalam perkara Nomor: 19/Pid. Sus/2011/PN. Klt? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui penerapan unsur-unsur Pasal 15 Jo Pasal 9 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang dalam Putusan Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN. Klt. 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dalam perkara tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Nomor: 19/Pid. Sus/2011/PN. Klt. 12 D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Dengan adanya penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman mengenai tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak, penerapan unsur-unsur dalam Pasal 15 Jo Pasal 9 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang serta pertimbangan hukum hakim dalam memberikan sanksi pidana terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN. Klt. 2. Kegunaan Praktis Dengan adanya penelitian ini adalah memberikan pemahaman terhadap seluruh aparat penegak hukum dan juga masyarakat, demi terciptanya kepastian hukum maka setiap pelanggaran atau kejahatan harus ditegakan tanpa terkecuali bagi anak. Berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak, hakim dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan sanksi pidana, harus dibedakan dengan orang dewasa dan tetap harus memperhatikan kondisi kejiwaan si anak, karena anak merupakan aset sebuah bangsa untuk tetap melanjutkan cita-cita bangsa dan negara. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Hukum Pidana. 1. Pengertian Hukum Pidana: a. Hukum Hukum adalah peratuan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan hukum adalah menciptakan keselamatan, kebahagiaan dan tata-tertib didalam masyarakat. Adapun pengertian lain dari hukum menurut pendapat para sarjana yang ditulis dalam diktat Pengantaur Hukum Indonesia (PHI) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman adalah : 1) Utrecht, berpendapat hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata-tertib masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. 2) J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku masyarakat yang dibuat oleh badan-badan yang berwajib, pelanggaran mana dalam peraturan-peraturan berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu. 3) Tirtamidjaja, hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti menggati kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan 14 membahayakan diri sendiri, umpamanya akan kehilangan kemerdekaanya, didenda dan sebagainya. Unsur-unsur hukum : 1) Peraturan mengenai tingkah laku dalam pergaulan masyarakat; 2) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib; 3) Peraturan ini bersifat memaksa; 4) Sanksi terhadap pelanggar peraturan adalah tegas. b. Pidana Sudarto, Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, sedangkan menurut Ruslan Saleh, Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik tersebut.6 c. Hukum Pidana Penegrtian hukum pidana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum sebagai berikut:7 1) Mezger, hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikat pada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Jadi pada dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 (dua) hal, ialah: 6 Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni/1992/Bandung. Hlm 2 7 Sudarto, 1990. Hukum Pidana 1A 1B. Purwokerto: fakultas Hukum Unsoed. 15 a) Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu: dimaksudakan perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan jahat (verbrechen atau crime), oleh karena itu dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka mengenai perbuatan tertentu itu dapat diperinci menjadi 2(dua) ialah: perbuatan yang dilarang; dan orang yang melanggar perbuatan itu. b) Pidana, ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Dalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi “tindakan tata tertib (Tuchtmaatregel, Masznahme). 2) Simons, hukum pidana ialah: a) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa, yaitu sanksi pidana apabila tidak ditaati; b) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana; dan c) Keseluruhan peraturan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana. 3) Van Hamel : keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh Negara dalam kewajibannya untuk menegakan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan 16 mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut. Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata pidana berarti adalah yang dipidanakan atau penjatuhan pidana, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan sebagai hal yang tidak sehari-hari dilimpahkannya.8 Tentunya ada alasan melimpahkan pidana ini selayaknya ada hubungan dengan suatu keadaan, yang didalamnya seorang oknum bersangkutan bertindak kurang baik, maka unsur hukuman terhadap suatu pembalasan tersirat dalam kata “pidana”. Hukum pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan peraturan untuk: a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut; b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagimana yang diancam; c. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 9 2. Tujuan Hukum Pidana Sebelum membahas mengenai tujuan hukum pidana, terlebih dahulu dibahas mengenai fungsi dari hukum pidana itu sendiri, adapun fungsi dari hukum 8 Wirjono Prodjodikoro. 2002. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung. hlm 1 9 Andi Hamzah. 1994. Azas-azas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm 1-2. 17 pidana dibagi menjadi 2(dua) fungsi, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus, penjelasan dari masing-masimg fungsi tersebut adalah: a. Fungsi umum dari hukum pidana adalah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang sozialrelevant, arinya ada sangkut pautnya dengan masyarakat. Hukum pada dasarnya tidak mengatur sikap batin seseorang yang bersangkutan dengan tata susila, demikian juga denga hukum pidana. b. Fungsi khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (Rechtguterchutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam dibanding dengan cabang-cabang hukum lainnya.10 Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan, diantara para sarjana hukum diutarakan tujuan hukum pidana ialah: a. Untuk menakut-nakuti seseorang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak maupun orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi; atau 10 Sudarto. Op.cit.hlm 5 18 b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.11 3. Berlakunya Hukum Pidana a. Azas Legalitas Azas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan ketentuan perundangundangan pidana yang mendahuluinya” Moeljatno menulis bahwa azas legalitas mengandung 3 (tiga) pengertian, antara lain : 1) Tiada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undangundang. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.12 Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut diatas, jika diperinci berisi 2(dua) hal, yaitu: 1) Suatu tindak pidana harus dirumuskan dan disebutkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, mengenai hal ini ada 2(dua) konsekuensi: 11 12 Wirjono Prodjodikoro. Op.cit. hlm 18 Ibid. hlmn 42 19 Pertama, bahwa perbuatan orang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapat dipidana. Jadi dengan adanya azas legalitas hukum yang tidak tertulis tidak mempunyai kekuatan untuk diterapkan. Kedua, ada pendapat tentang larangan menggunakan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Analogi artinya memperluas sauatu aturan dengan mengabstraksikan menjadi aturan hukum yang menjadi dasar dari aturan itu dan kemudaian menerapkan aturan yang bersifat umum kepada perbuatan konkrit yang tidak diatur dalam undang-undang. Penerapan analogi ini dilakukan apabila terjadi kekosongan undang-undang untuk perbuatan yang mirip dengan apa yang diatur oleh undang-undang. 2) Peraturan perundang-undangan harus ada sebelum terjadinya tindak pidana, yang menjadi dasar pemikiran ini adalah: a) Seperti hal yang pertama, menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa atau pengadilan; b) Pidana juga sebagai paksaan, dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana penguasa berusaha mempengaruhi jiwa pelaku tindak pidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Ancama pidana harus ada pada saat tindak pidana dilakukan sehingga dengan demikian dapat tercegahnya suatu tindak pidana. 20 b. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat Pembentuk undang-undang menetapkan berlakunya undang-undang terhadap tindak pidana yang terjadi didalam atau diluar wilayah negara dalam beberapa azas, antara lain: 1) Azas teritorial atau wilayah;. 2) Azaz nasionalitas pasif atau Perlindungan; 3) Azas Personalitas atau Azas Nasionalitas Aktif; 4) Azas Universal.13 Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian mengenai azas-azas tersebut dalam bukunya, yaitu sebagai berikut:14 1) Prinsip Teritorialitas Prinsip ini menganggap hukum pidana berlaku diwilayah hukum Republik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana, ditegaskan dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan, bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana didalam wilayah Negara Indonesia, dengan demikian orang-orang asing yang berada diwilayah RI takluk kepada hukum pidana Indonesia. Prinsip teritorialitas diperluas dalam Pasal 3 KUHP, sampai kapal-kapal Indonesia, meskipun berada diluar wilayah Indonesia, maka dengan demikian siapa saja juga orang asing dalam kapal-kapal laut Indonesia, meskipun sedang berada atau berlayar diwilayah negara lain takluk pada hukum pidana Indonesia. 13 14 Andi hamzah. Op.cit. hlm 32 Wirjono. Op.cit. hlm 47-54 21 2) Prinsip Nasional Aktif Prinsip ini dimuat dalam Pasal 5 KUHP yang berbunyi: (1) Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi Warga Negara Indonesia, yang diluar wilayah negara Indonesia bersalah melakukan: Kesatu : salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam Titel 1 dan 2 Buku II dan dalam Pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 4451. Kedua : suatu tindak pidana yang menurut hukum pidana Indonesia masuk golongan “kejahatan”, dan menurut hukum pidana dari tempat pidana itu dilakukan, diancam pula dengan hukuman pidana. (2) Penuntutan kejahatan-kejahatan tersebut dalam sub kedua juga dapat dilakukan apabila si tersangka baru setelah melakukan tindak pidana menjadi Warga Negara Indonesia. Prinsip tersebut sedikit terdapat pembatasan, yaitu termuat dalam Pasal 6 KUHP, yang menentukan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan oleh pengadilan di Indonesia apabila kejahatan yang bersangkutan, menurut hukum pidana negara asing yang bersangkutan, tidak diancam dengan hukuman mati. 3) Prinsip Nasional Pasif Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia, berdasar atas kerugian nasional amat besar yang diakibatkan oleh beberapaa kejahatan sehingga siapa saja, termasuk orang asing yang melakukannya dimana saja, pantas dapat dihukum oleh Pengadilan Negara Indonesia. Prinsip ini termuat dalam Pasal 4 ke-1, ke-2 dan ke-3 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, yang diluar wilayah Indonesia telah melakukan: 22 Ke-1 : salah satu dari kejahatan yang termuat dalam Pasalpasal 104-108, 110, 111 bis sub 1, 127, 130-133; Ke-2 : suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas atau mengenai segel atau mengenai merk yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia; Ke-3 : suatu pemalsuan surat-surat hutang (schuldbrieven) atas beban Indonesia atau daerah dari Indonesia, atau pemalsuan dalam tanda-tanda deviden atau bunga dari suratsurat hutang itu, atau dengan sengaja mempergunaka suratsurat berharga itu. 4) Prinsip Universalitas Prinsip ini melihat dalam suatu tata hukum Internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua negara di dunia, maka jika ada suatu tindak pidana yang merugikan bersama dari semua negara itu, adalah layak bahwa tindak pidana dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap negara, dengan tidak dipedulikan, siapa saja yang melakukannya dan dimana saja. B. Tindak Pidana Terorisme dan Dasar Hukum di Indonesia Pengertian Tindak Pidana Terorisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan: “Teror adalah perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis dan sebagainya), usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seorang atau golongan. Menteror (meneror) adalah berbuat kejam (sewenang-wenang dan sebagainya) untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik-praktik tindakan teror”15 15 Farkhatul Aula. 2004. Perluasan Yurisdiksi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Terorisme Internasional. Universitas Jendderal Soedirman. Purwokerto. Hlm 42 23 Terorisme mengandung arti sebagai pengunaan atau ancaman, dengan ciri-ciri sebagai berikut:16 1) Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan atau menggangu sitem elektronik; 2) Penggunaan ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; 3) Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau ideologi; 4) Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak. Pemerintah Indonesia sejalan dengan amanat sebagaimana ditentukan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, berkewajiban untuk melindungi warganya 16 http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Definisi_terorisme&oldid=5609532. tanggal 02 Desember 2012 Diakses pada 24 dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional, transnasional, maupun bersifat internasional. Pemerintah juga berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan serta memelihara keutuhan dan integritas nasional dari setiap bentuk ancaman baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk itu, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan. Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme, serta untuk memberi landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi masalah yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Presiden Republik Indonesia menetapkan Peraturan yang dijadikan sebagai hukum positif di Indonesia tentang tindak pidana terorisme kedalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. UU No. 15 Tahun 2003, menyebutkan bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, 25 lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional. Pengertian Tindak Pidana Terorisme yang disebutkan di atas, adalah merupakan hasil daripada menyimpulkan dari bunyi beberapa pasal dalam UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 18 Bab III (Tindak Pidana Terorisme) dan Pasal 20 sampai dengan Pasal 24 Bab IV (Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Terorisme) dalam UU No. 15 Tahun 2003 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Adapun rumusan tersebut diringkas dalam beberapa pasal, antara lain: Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 9 Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 26 Pasal 12 Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan : a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda; b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya; c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya; d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi; e. mengancam : 1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau 2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c; dan g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f. Pasal 13 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan : a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme; 27 b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 15 Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya. Berdasarkan dari penjabaran pasal-pasal tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme adalah: 1. setiap bentuk penggunaan kekerasan yang menimbulkan ketakutan secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal; 2. setiap kejahatan permufakatan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme; 3. setiap kepemilikan yang tidak sah dan/atau penggunaan secara melawan hukum senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, radio aktif atau komponennya; 4. setiap perencanaan dan/atau pemberian bantuan atau kemudahan untuk pelaku Tindak Pidana Terorisme.17 Tindak Pidana Terorisme terdapat beberapa karakteristik, antara lain: 1. Karakteristik Organisasi: a. Rekuitment anggota yaitu terhadap orang-orang yang sepaham dengan mereka akan mendapat pelatihan-pelatihan atau semacam pencucian otak; 17 Farkhatul Aula. Op.cit. hlm 46 28 b. Pendanaan bersifat sangat terselubung, hasil penyidikan terhadap hambali yang dilakukan badan Intelejen Amerika jelas menunjukan bahwa ada sumber-sumber tertentu yang menyumbang dana untuk mereka; c. Hubungan internasional, mereka mempunyai akses keluar negeri yang cukup bagus, mereka tergolong penjahat yang memanfaatkan teknologi untuk memperbesar jaringan serta pengaruhnya. 2. Karakteristik Perilaku: a. Motivasi, motif terorisme meliputi motif rasional, seperti adanya kebencian dari para pelaku terorisme terhadap orang-orang tertentu atau kelompok tertentu; motif psikologi yaitu dengan menimbulkan ketakutan masyarakat luas; dan motif budaya yaitu budaya yang ada dalam masyarakat seperi budaya kumpul kebo dan lain sebagainya. b. Dedikasi (kesetiaan), para terorisme mempunyai kesetiaan yang sangat tinggi, mereka tidak punya rasa takut, termasuk terhadap aparat keamanan, militansi mereka tinggi, bahkan ada yang bersedia mati dalam menjalankan pekerjaan. 3. Karakteristik sumberdaya, meliputi latihan kemampuan, pengalaman perorangan dan lain-lain. Para terorisme sebelum melakukan aksinya telah memiliki kemampuan yang telah teruji karena mereka telah menjalani latihan secara intensif dan pengalaman yang memadai.18 18 Ibid. hlm 48-49 29 C. Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak Beberapa pengertian atau definisi Anak yang disebutkan undang-undang, antara lain: a. UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak memberikan definisi tentang anak adalah anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8(delapan)tahun tetapi belum mencapai umru 18(delapan belas) tahun atau belum kawin. b. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak : anak adalah “seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. c. UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme walaupun tidak menjelaskan pengertian anak namun dalam Pasal 19 yang berbunyi: “Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun”. Mengenai pengertian Anak nakal dalam UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 Butir 2 menjelaskan, “anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.” Bambang Waluyo, menyebutkan bahwa sebagai pengaruh kemajuan IPTEK, kemajuan budaya, dan perkembangan pembangunan pada umumnya bukan hanya dewasa, tetapi anak-anak juga terjebak melanggar norma terutama norma hukum. Anak-anak terjebak dalam pola konsemerisme dan asosial yang makin lama dapat menjurus ketindakan kriminal seperti ekstasi, narkotika, 30 pemerasan, pencurian, penganiayaan, perkosaan dan sebagainya. Apalagi saat ini banyak orang tua yang terlalu disibukan mengurus kebutuhan duniawi sebagai upaya mengejar kekayaan, jabatan ataupun gengsi. Keadaan demikian anak sebagai buah hati sering dilupakan kasih sayang, bimbingan, pengembangan sikap dan perilaku serta pengawasan dari orang tua.19 Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak, ketentuannya sama dengan ketentuan tindak pidana terorisme yang dilakukan orang dewasa, yang menjadi perbedaan adalah dalam penjatuhan sanksi pidana, hal tersebut tertuang dalam bunyi Pasal 19 dan Pasal 24 Undang-Undang tersebut, dimana masingmasing pasal tersebut berbunyi: Pasal 19 Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Pasal 24 Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Hakim dalam memeriksa Perakara Tindak pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak harus sadar bahwa anak bukanlah orang dewasa sehingga perlu pendekatan yang khusus dalam penanganannya. Dalam hal ini Muladi dan 19 Bambang Waluyo. Op.cit. Hlm 3 31 Barda Nawawi Arief memberi peringatan, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan mengenai perkara anak:20 1. Anak yang melakukan tindak pidana atau kejahatan jangan dianggap sebagi penjahat (criminal), tetapi harus dipandang sebagai seorang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang. 2. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan (psikologis) yang berarti menghukum, yang bersifat degradasi mental dan penurunan semangat serta menghindari proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan dan kemandirian anak dalam arti wajar. Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan Tindak Pidana Terorisme, selain harus memperhatikan Pasal 19 dan 24 UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga harus memperhatikan Pasal 26 UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, bunyi Pasal tersebut adalah: (1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. (2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (duabelas) tahun melakukan 20 Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Hlm 123-124 32 tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. (4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (duabelas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. D. Pidana dan Pemidanaan 1. Istilah Pidana dan Pemidanaan van Hamel memberikan pengertian pidana atau straf dalam bahasa Belanda yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh P.A.F. Lamintang yaitu: “suatu penderitaan yang bersifat khusus oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung-jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh negara.”21 Hal terjadinya suatu delik atau tindak pidana, tidak dapat langsung dikatakan bahwa orang yang melakukan suatu delik tersebut adalah bersalah dan perbuatannya dapat dipertanngungjawaban secara hukum, namun harus melihat terlebih dahulu unsur-unsur tindak pidana, adapun unsur-unsur Tindak Pidana antara lain:22 a. Subjek Tindak Pidana; b. Perbuatan Tindak Pidana; 21 22 P.A.F. Lamintang. 1984. Hukum Penintensier Indonesia. CV. Armico. Bandung. Hlm 47 Wirjono Prodjodikoro. Op.cit. Hlm 55-61 33 c. Hubungan Sebab-Musabab; d. Sifat Melanggar Hukum; e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana. a. Subjek Tindak Pidana Dalam pandang KUHP, yang dapat menjadi Subjek Tindak Pidana adalah seorang manusia sebagai oknum, hal ini dapat terlihat dari rumusanrumusan tindak pidana dalam KUHP, yang menampakan daya berpikir sebagai syarat menjadi subjek tindak pidana itu, juga terlihat dalam wujud hukuman atau pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda. b. Perbuatan dari Tindak Pidana Perbuatan pertama-tama harus melihat pada perumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana. Perumusan ini dalam bahasa Belanda dinamakan delict-omschrijving. Misalnya dalam tindak pidana “pencurian”, perbuatannya dirumuskan sebagai “mengambil barang milik orang lain, sebagian atau seluruhnya”, ini merupakan perumusan secara formal, yaitu benar-benar disebutkan wujud suatu gerakan tertentu dari badan seorang manusia. Perbuatan biasanya bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif, yaitu terjadi apabila orang tidak melakukan suatu perbuatan tertentu yang ia wajib melakukan sehingga suatu peristiwa terjadi, yang tidak terjadi apabila perbuatan tertenti itu dilakukan, sebagai contoh dalam hal ini adalah seorang ibu yang tidak memberi makan kepada anaknya padahal anaknya masih bayi sehingga anak 34 tersebut meninggal, maka dengan ini si ibu dapat dikenakan Pasal 338 KUHP yaitu pembunuhan. c. Hubungan Sebab-Musabab Tindak pidana sebagai unsur pokoknya adalah ada suatu akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan bahwa harus ada hubungan sebab-musabab atas perbuatan si pelaku dengan kerugian yang diderita orang lain tersebut. Menurut Wirjono Prodjodikoro, menyebutkan adanya dua teori mengenai sebab-musabab ini, diman kedau teori ini satu sama lain saling bertentangan, adapaun teori tersebut adalah: Kesatu : dari Von Buri (tahun 1869) yang disebut teori conditio sine qua non (teori syarat mutlak) yang mengatakan, suatu hal adalah sebab dari akibat apabila akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan demikian dalam teori ini mengenal banyak sebab dari satu akibat. Kedua : dari von Bar (tahun 1870) diteruskan kemudian oleh Van Kriese yang dainamakan teori adequate veroorzaking (penyebab yang bersifat dapat dikira-kirakan), dan yang mengajarkan bahwa suatu hal baru daat dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menururt pengalaman manusiadapat dikira-kirakan, bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat itu. d. Sifat Melanggar Hukum Sifat penting dari suatu tindak pidana ialah onrechtmatigheid atau sifat melanggar hukum dari suatu pidana itu. Tindak pidana adalah perumusan dari hukum pidana yang memuat ancaman hukuman pidana atas pelanggaran norma- 35 norma hukumyang ada dibidang hukum lain, dengan adanya hukum pidana dengan tindak-tindak pidana yang dirumuskan didalamnya, bersumber dari pelanggara-pelanggaran dibidang hukum lain itu, jadi dengan sendirinya dalam tiap tindak pidana harus ada sifat melanggar hukum. e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana Si pelaku adalah seorang manusia, maka hubungan ini adalah mengenai kebatinan, yaitu hal kesalahan pelaku tindak pidana (schuld-verband). Hanya dengan hubungan batin ini perbuatan yang dialarang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana, jika hal itu benar-benar terjadi maka baru dapat dikatakan ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman pidana. Dalam unsur kesalahan terbagi menjadi dua macam, yaitu kesengajaan (opzet) dan kurang hati-hati (culpa), adapun yang dimaksud dengan hal itu adalah: 1) Kesengajaan. Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet bukan unsur culpa, hal ini layak oleh karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam hal ini kesengajaan harus mengenai ketiga unsur tindak pidana yang telah disebutkan diatas, yaitu: perbuatan yang dilarang; akibat yang menjadi pokok diadakannya larangan itu; dan perbuatan itu melanggar hukum. 36 Terdapat 3(tiga) macam kesengajaan, antara lain:23 a) Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk); bahwa dengan senagaja yang bersifat tujuan pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan, mudah dapat dimengerti oleh khalyak banyak. Maka apabila kesengajaan ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada yang menyangkal, bahwa pellaku dapat dikenakan hukuman pidana. Lebih nampak bila dikemukakan bahwa adanya pebuatan yang besifat tujuan ini, bahwa dapat dikatakan bahwa pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alsan diadakannya ancaman hukuman pidana. b) kesengajaan yang tidak mengandung suatu tujuan melainkan disertai keinsafan, bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheid bewustzijn atau kesengajaan secara keinsafan kepastian); kesengajaan semacam ini ada apabila pelaku tindak pidana dengan perbuatannya tidak menghendaki tujuan mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu akan mengikuti perbuatannya itu. Menurut teori kehendak menganggap akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku. Hal ini mrip dengan kesengajaan bersifat tujuan namun yang membedakan hanya akibat yang dikehendakki oleh pelaku hanya dapat digambarkan atau dibayangkan dalam gagasan pelaku. 23 Ibid. hlm 61-66 37 c) kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan disertai keinsafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian), bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij mogelijkheid bewustzijn atau kesengajaan secara keinsafan kemungkinan); menurut van Dijck dan Pompe mengatakan bahwa dengan adanya keinsafan kemungkinan, tidak ada kesengajaan melainkan hanya mungkin ada culpa atau kurang berhati-hati. 2) Kurang berhati-hati (culpa). Arti kata dari Culpa ialah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan pelaku tindak pidana yang tidak seberat dengan kesengajaan, yaitu karena kurang berhaiti-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi. Berkaitan dengan hukuman pidana nantinya terhadap pelaku tindak pidana karena kurang hati-hati lebih ringan daripada pelaku tinda pidana yang melakukan tindak pidana dengan sengaja. Menurut Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa Culpa sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu: a) Culpa Khusus; ditentukan tidak untuk akibat dari tindak pidana melainkan hal yang menyertai akibat itu. b) Culpa yang disamakan dengan Kelalaian. D. Simons, memberikan rumusan mengenai unsur-unsur tindak pidana (stafbaar Feit), yaitu: 38 a. Perbuatan manusia (positif atau negatif); berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan; b. Diancam dengan pidana; c. Melawan hukum; d. Dilakukan dengan kesalahan; e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (teorekeningsverbaar persoon). Dari unsur diatas Simons, menyebut adanya unsur objektif dan unsur subejktif dari strabaar feit, adapun unsur objektif yaitu: perbuatan orang; akibat yang dilihat dari perbuatan itu; mungkin ada perbuatan-perbuatan tertentu yang mengikuti hal itu, sedangkan unsur subjektif: orangnya mampu bertanggungjawab; ada kesalahan (dolus atau culpa). 2. Teori-Teori Pidana dan Pemidanaan Syarat pertama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Rumusan delik sangat penting sebagai prinsip kepastian, undang-undang pidana harus bersifat pasti, didalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang dan apa yang diperintahnya. a. Teori Absolut (absolute teorieen) Menurut teori ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidana oleh karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul 39 dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan apa dengan demikian masyarakat akan dirugikan, hanya dilihat ke masa lampau tidak ke masa depan. Dapat dimasukan kedalam teori-teori absolut yaitu teori-toeri dari Kant, Hegel, Herbart, Stahl, von Bar, Kohler dan Polak yang dikenal sebagai objectiveringstheorieen, yang masing berpendapat sebagai berikut:24 Menurut teori dari Kant, dasar pembenaran dari suatu pidana itu terdapat dalam apa yang disebut kategorischen imperativ, yakni yang menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas. Keharusan itu menurut keadilan dan menurut hukum tersebut, merupakan suatu keahrusan yang bersifat mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan. Hegel, hak yang dipandang sebagai sutu kebebasan yang sifatnya nyata, sedang sesuatu yang sifatnya melawan hak itu sebenarnya bersifat tidak nyata. Dilanggarnya suatu hak oleh sesuatu kejahatan itu secara lahiriah memang suatu segi yang sifatnya positif, akan tetapi yang menurut sifat kejahhatannya itu sendiri segi positifnya batal. Perbuatan yang sifatnya melawan hak itu harus ditiadakan dengan suatu pidana sebagai suatu pembalasan. Herbart, pembalasan itu harus dipandang sebagai suatu yang sifatnya aestetis. Kejahatan yang tidak dibalas itu merupakan suatu ketidak-adilan. Disamping melihat pidana sebagai suatu pembalasan juga telah melihat 24 P.A.F. Lamintang. Op.cit. Hlm 25-26 40 pencapaian dari beberapa tujuan untuk kepentingan masyarakat itu ssebagai motif yang lain dari suatu pidana. Stahl, azas pembalasan itu adalah sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Azas keadilan abadi telah menghendaki agar pidana itu dijatuhkan bagi setiap orang yang telah berbuat jahat. Negara merupakan suatu pengaturan yang nyata dari Tuhan di atas bumi, yang karena dilakukannya suatu kejahatan telah membuat azas-azas dasarnya menjadi tercemar, untuk menegakkan wibawanya, negara harus melakukan tindakan-tindakan terhadap perbuatan-perbuatan jahat. b. Teori Tujuan (doeltheorieen) Teori ini berasal dari Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, yakni teori-teori yang berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana itu semata-mata pada satu tujuan tertentu, dimana tujuan itu dapat berupa: tujuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan; atau tujuan untuk mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Teori ini dibagi menjadi 2(dua) macam teori, yakni : 1) Teori pencegahan umum atau alagemen preventive theorieen, yang ingin dicapai tujuan dari pidana yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar mereka tidak melakukan kejahatan-kejahatan. 2) Teori pencegahan khusus atau bijzondere preventive theorieen, yang ingin mencapai tujuan pidana iu dengan membuat jera, dengan 41 memperbaiki dan dengan membuat penjahatnya itu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lagi.25 c. Teori Relatip (relatieve theorieen) Teori ini dimaksudkan mencari dasar pembenaran dari pidana pada suatu tujuan yang sifatnya umum, yaitu untuk mengamankan tertib hukum. Dapat dimasukan kedalam teori ini adalah pendapat-pendapat dari penganut mazhab antropologi kriminal atau dari para penganut poligische school, yang mengatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk melindungi masyarakat. Menurut Teori von LISZT, hukum itu gunanya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan hidup manusia, yang oleh hukum telah diakui sebagai kepentingan-kepentingan hukum dan mempunyai tugas untuk menentukan dan menetapkan batas-batas dari kepentingan-kepantingan hukum yang dimiliki oleh orang yang satu dengan orang yang lain. Untuk dapat melaksanakan fungsinya seperti itu, hukum telah menetapkan norma-norma yang harus ditegakan oleh negara dan negara harus menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang telah melanggar norma-norma tersebut.26 van Hamel, berpendapat mengenai teori dari von LISZT, bahwa suatu pidana itu dapat dibenarkan yaitu apabila pidana tersebut: 1) Tujuannya adalah untuk menegakan tertib hukum; 2) Diputuskan dalam batas-batas kebutuhan; 3) Dapat mencegah kemungkinan dilakukannya kejahatan lain oleh pelaku; dan 25 26 Ibid. hlm 27 Ibid. hlm 30-31 42 4) Dijatuhkan berdasarkan suatu penelitian yang tuntas menurut criminele aeteologie dan menghormati kepentingan-kepantingan yang sifatnya hakiki dari terpidana.27 d. Teori Kumpulan (gingstheorieen) Teori kumpulan ini pada dasarnya adalah menggabungkan dari teori-teori tersebut di atas. Kumpulan seperti yang dimaksud dalam teori ini adalah : 1) Dengan mencari dasar pembenaran dari suatu pidana, baik pada azas kebenaran maupun pada kebutuhan masyarakat akan perlunya suatu pidana, yakni untuk menentukan apakah benar bahwa pembalasan itu menghendaki suatu kesalahan harus dibalas dengan suatu kesalahan; 2) Dengan menganggap bahwa dengan terjadinya suatu tindak pidana itu, timbulah hak pada negara unuk menjatuhkan pidana, dimana orang harus membuat perbedaan antara apa yang disebut hak dengan apa yang disebut kewajiban, karena kewajiban itu sendiri baru timbul kemudian setelah adanya tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan; 3) Dengan mencari dasar pembenaran dari pidana pada tujuannya yakni untuk mempertahankan tertib hukum, dengan catatan bahwa tujuan tersebut tidak mungkin akan dicapai apabila tujuan itu ternyata telah tidak sesuai dengan kesadaran hukum, bahwa pidana itu sebenarnya merupakan suatu pembalasan yang dapat dibenarkan oleh hukum. 27 Loc. Cit. 43 Alasan penghapus pidana, menurut Ilmu hukum pidana menyebutkan bahwa alasan penghapus pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuat, maka dibedakan mennjadi 2 (dua) jenis alasan penghapus pidana, yaitu: a. Alasan Pembenar Menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Alasan pembenar yang ada dalam KUHP adalah Pasal 49 ayat (1) yaitu Pembelaan Terpaksa; Pasal 50 yaitu menurut peraturan undang-undang; dan Pasal 51 ayat (1) yaitu karena perintah jabatan. b. Alasan Pemaaf atau alasan penghapus kesalahan Menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti orang ini tidak dapat dicela menurut hukum, dengan kata lain tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggung-jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Alasan Pemaaf dalam KUHP ialah Pasal 44 yaitu tidak mampu bertanggung-jawab; Pasal 49 ayat (2) yaitu noodweerexcees; Pasal 51 ayat (2) yaitu dengan ikhtikad baik melaksanakan peringatan jabatan yang tidak sah. 3. Jenis-jenis Pidana Sebelum membahas mengenai jenis-jenis pidana, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang tujuan dari pemidanaa itu sendiri, adapun tujan dari pemidanaan pada dasarnya terdapat 3(tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: umtuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri; membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan- 44 kejahatan; dan membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.28 Kitab Undang-Undanng Hukum Pidana (KUHP) telah menetapkan jenisjenis pidana yang termuat dalam Pasal 10, didalamnya mengatur ada dua pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut: 1) Pidana pokok meliputi : a) Pidana mati; b) Pidana penjara; c) Pidana kurungan; d) Pidana denda. 2) Pidana tambahan meliputi : a) Pencabutan beberapa hak tertentu; b) Perampasan barang-barang tertentu; c) Pengumuman putusan hakim. Adapun pengertian atau penjabaran dari masing-masing jenis pidana tersebut di atas, antara lain: a. Pidana Mati Undang-undang telah menentukan bahwa hakim itu hanya dapat menjauthkan pidana mati yaitu apabila keamanan negara benar-benar telah menghendakinya. Tentang bagaimana pelaksanaan pidana mati dalam lingkup 28 P.F.A Lamintang. Op.Cit. hlm 35 45 Peradillan Umum, hal mana telah diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU No. 2 Pnps Tahun 1964 sebagaimana yang dimaksud menentukan ketentuanketentuan sebagai berikut: 1) Dalam waktu 3x24(tiga kali dupuluh empat) jam sebelum saat pidana mati dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahu kepada terpidana tentag akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan tersebut; 2) Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan dari pidana mati harus ditunda hingga anak yang dikandungannya itu telah lahir; 3) Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni didaerah hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati yang bersangkutan; 4) Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar pidana mati dari jaksa tinggi atau jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama; 5) Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak polisi dibawah pimpinan seorang perwira polisi; 6) Kepala polisi dari daerah bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) harus menghindari pelaksanaan pidana mati itu, sedang pembela diri 46 terpidana atas permintaanya sendiri atau atas permintaan terpidana dapat menghadirinya; 7) Pelaksanaan dari pidana mati itu tidak boleh dilakukan dimuka umum; 8) Penguburan jenazah dari terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat-sahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksaan dari penguburan yang sifat demontratif, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tingi atau jaksa yang bersangkutan dapat menentukan lain; 9) Setelah pelaksanaan dari pidana mati itu dikerjakan, maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksaan dari pidana mati tersebut, dimana isi dari berita acara tersebut harus dicantumkan didalam Surat Keputusan dari Pengadilan yang bersangkutan.29 Pidana Mati dalam Rancangan KUHP, disebut bersifat khusus. Dalam membahas pidana mati bila melihat dari Naskah Rancangan KUHP sebagai jus constittuendum. Hal-hal yang perlu diketahui adalah sebagai berikut: 1) Pidana mati dilakukan oleh regu tembak dengan menebak terpidana sampai mati; 2) Pelaksanaan pidana mati tidak dilakukan dimuka umum; 3) Pidana mati tidak dapat dilakukan kepada anak dibawah umur 18(delapanbelas) tahun; 29 P.A.F. Lamintang. Op.cit. hlm 64-65 47 4) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita itu melahirkan atau orang yang sakit jiwa itu sembuh; 5) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan presiden atau penolakan grasi dari presiden; 6) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10(sepuluh) tahun, jika: a) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b) terpidana menunjukan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki; c) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak teralalu penting; d) ada alasan yang meringankan. 7) Jika terpidana selama masa percobaan menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20(duapuluh) tahun dengan keputusan Menteri Kehakiman; 8) Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji sera tidak ada harapan untuk memperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung; 9) Jika setelah permohonan grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakkan selama 10(sepuluh) tahun bukan karena terpidana 48 melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan Menteri Kehakiman.30 Dari aturan pidana mati tersebut, terlihat adanya perubahan dan inovasi yang selama ini dianut. Misalnya, adanya masa percobaan selama 10 tahun sebagai penundaan pelaksanaan pidana mati, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup attau 20 tahun dengan Keputusan Menteri Kehakiman dna sebagainya. b. Pidana Penjara Adapun yang dimaksud dengan pidana penjara itu adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut untuk mentaati semua perraturan tata tertib yang berlaku didalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar tata tertib tersebut. Menurut sistem penentuan ancaman pidana KUHP, pada dasarnya pidana penjara itu merupakan satu-satunya ancaman pidana bagi apa yang disebut opzettelijk gepleegde misdrijven atau bagi kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan dengan sengaja, sedangkan bagi apa yang disebut culpose misdrijven atau bagi kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan dengan tidak sengaja itu hampir pidana penjara diatur secara alternatif dengan pidana kurungan. 30 Bambang Waluyo. Op.cit. hlm 15 49 c. Pidana Kurungan Pidana kurungan sama halnya dengan pidana penjara, merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku didalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar tata tertib tersebut. Menurut penjelasan Memorie van Toelichting (MvT), dimasukan pidana kurungan kedalam KUHP itu terdorong dari 2(dua) macam kebutuhan, masing-masing yaitu: a. Oleh kebutuhan akan suatu bentuk pidana yang sangat sederhana berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak yang sifatnya sangat sederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan; dan b. Oleh kebutuhan akan perlunya bentuk pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak yang sifatnya tida begitu mmengenkang bagi delikdelik yang sifatnya tidak menunjukan adanya suatu kebobrokan mental atau adanya suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelakunya ataupun sebagai suatu custodia honesa belaka.31 Lamanya pidana kurungan itu sekurang-kurangnya satu hari dan selamalamaya satu tahun. Akan tetapi lamanya kurungan dapat diperpanjang selama satu tahun empat bulan, karena tindak pidana bersangkutan telah dilakukan oleh seorang pegawai negeri dengan menodai jabatannya yang bersiifat khusus, atau 31 P.A.F. Lamintang. Op.cit. hlm 85 50 karena pegawai negeri tersebut melakukan tidak pidana dengan menggunakan kekuasaanya, kesempatan atau sarana yang ia peroleh karena jabatannya. Pidana kurang sebagai pengganti pidana denda, lamanya adalah sekuragkurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan, akan tetapi dapat diperberat selama-lamanya delapan bulan, yakni apabila tindak pidana telah dilakukan oleh terpidana itu ada hubungannya dengan suatu somenloop van strafbare feiten dengan suatu recidive atau dengan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 52 KUHP. d. Pidana Denda Pidana denda merupakan jenis pidana pokok ada dalam hukum pidana Indonesia, yang pada dasarnya hanya dapat dikenakan kepada orang dewasa, atau dengan kata lain biasanya tidak dikenakan kepada anak. Pasal 82 ayat (1) KUHP, orang-orang yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran, yang oleh undangundang telah diancam dengan pidana pokok berupa pidana denda saja, setiap waktu mereka itu dapat membebaskan diri mereka dari kemungkinan dituntut oleh Jaksa didepan pengadilan, yakni baik sebelum mereka dituntut maupun setelah mereka dituntut didepan pengadilan, dengan cara membayar uang denda tertinggi yang telah diancamkan bagi pelanggaran-pelanggaran yang telah mereka lakukan dan ditambah dengan biaya-biaya perkara apabila mereka itu telah dituntut didepan pengadilan. Apabila para pelanggar itu secara sukarela telah membayar uang denda tertinggi kepada jaka bagi pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan dengan 51 sendirinya jaksa juga tidak akan menuntut mereka didepan pengadilan. Apabila mereka tidak dituntut di pengadilan dengan sendirinya mereka tidak perlu menghadap ke sidang pengadilan.32 e. Pencabutan Hak-hak Tertentu Hak-hak yang boleh dicabut oleh hakim dengan putusan pengadilan terdapat dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, dimana pasal tersebut merumuskan: (1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: 1. Hak untuk menduduki jabatan-jabatan atau jabatan-jabatan tertentu; 2. Hak bekerja pada Angkata Bersenjata; 3. Hak untuk memilih dan hak untu dipilih didalam pemilhanpemilihan yang diselengarakan menurut peraturan-peraturan umum; 4. Hak untuk mmenjadi seorang penasehat atau kuasa yang diangkat oleh hakim, hak untuk menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, kecuali dari anakanaknya sendiri; 5. Hak orang tua, hak perwalian dan hak pengampuan atas diri dari anak-anaknya sendiri; dan 6. Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Mengenai berapa lama pencabutan hak-hak tersebut, dapat dilakukan oleh hakim, Pasal 38 ayat (1) KUHP telah menentukan sebagai berikut: 1) Jika hakim telah menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan hak itu adalah untuk seumur hidup; 2) Jika hakim telah menjatuhkan pidana penjara sementara atau pidana kurungan, maka lamanya pencabutan hak itu sama dengan lamanya 32 Ibid. Hlm 95 52 pidana pokok, yakni sekurang-kurangnya selama 2(dua) tahun lebih lama dari pidana pokoknya; 3) Jika hakim telah menjatuhkan pidana denda, maka lamanya pencabutan hak itu sekurang-kurangnya adalah 2(dua) tahun dan selama-lamanya 5(lima) tahun. f. Perampasan Barang-barang Tertentu Salah satu ketentuan yang sangat menarik ialah dapat dijatuhkannya pidana tambahan ini tanpa adanya penjatuhan pidana pokok. Pidana ini dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan. Adapun barang-barang yang dapat dirampas adalah: 1) Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau sebagian besar diperoleh dari tindak pidana; 2) Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana; 3) Barang yang digunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana; 4) Barang yang digunakan untuk menghalang-halangi tindak pidana; 5) Barang yang dibuat atau diperuntukan bagi terwujudnya tindak pidana. E. Pemidanaan Terhadap Anak Batas minimal usia anak untuk dapat diajukan ke sidang pengadilan anak sebagaimana diatur dalam UU pengadilan anak adalah berumur 8(delapan) tahun. Patokan umur 8(delapan) tahun sebagai minimal usia ke pemeriksaan sidang anak, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU No. 3 Tahun 1997 53 Tentang Pengadilan Anak. Apabila anak belum mencapai umur 8(delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut sebatas dilakukan pemeriksaan oleh penyidik saja. Selanjutnya anak tersebut diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya, dan dapat diserahkan kepada Departemen Sosial apabila anak tersebut tidak dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.33 Batas usia anak yang dapat dipertanggungjawabkan (dalam arti dapat dikenakan pidana atau tindakan), menurut UU Pengadilan Anak dibagi dalam dua kelompok, yaitu usia anak yang dapat dijatuhi sanksi tindakan dan usia anak yang dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan. Anak yang melakukan tindak pidana berusia antara 8(delapan) tahun tetapi belum mencapai 12(duabelas) tahun hanya dapat dijatuhi sanksi tindakan, adapun anak yang berusia 12(duabelas) tahun tetapi belum mencapai 18(delapanbelas) tahun, dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan. Batas maksimal untuk pertanggungjawaban pidana anak, yaitu apabila anak telah mencapai umur 18(delapanbelas) tahun.34 Pembahasan sebelumnya telah menjelaskan megenai pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak hakim dalam menjauthkan sanksi pidana harus memperhatikan Pasal 23 Undang-Undang No. 33 Setya Wahyudi. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Genta Publishing. Yogyakarta. Hlm 51 34 Loc. Cit. 54 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dimana pasal tersebut merumuskan sebagai berikut: Pasal 23 : (1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah: a. Pidana penjara; b. Pidana kurungan; c. Pidana denda; atau d. Pidana pengawasan. (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. (4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 1. Pidana Penjara. Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal lamanya adalah ½ (satu per dua) dari ancaman pidana bagi orang dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun, kecuali itu pidana mati dan seumur hidup tidak dapat dijutuhkan kepada anak. Hal tersebut dengan maksud untuk melindungi dan mengayom anak agar dapat menyongsong masa depan yang masih panjang. Selain itu pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar melalui proses pembinaan akan memperoleh jatidirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. 2. Pidana Kurungan. Pasal 27 UU No. 3 Tahun 1997, menyebutkan bahwa kurungan yang dapat dijauhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, paling lama ½ (satu per dua) bagi maksimum ancaman kurungan terhadap orang dewasa. Mengeanai 55 apakah yang dimaksud maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa, adalah maksimum ancaman pidana kurungan terhadap pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP dan Undang-undang lainnya. 3. Pidana Denda. Kaitannya dengan Pidana Denda seperti pidana penjara dan pidana kurungan, pidana denda terhadap anak nakal paling banyak juga ½ (satu per dua) dari maksimum pidana denda yang diancamkan kepada orang dewasa. Undangundang Pengadilan Anak mengatur pula ketentuan yang relatif baru yaitu apabila pidana denda tersebut ternyata tidak dapat dibayarkan maka diganti dengan wajib latihan kerja, hal tersebut dimaksudkan agar mendidik anak yang bersangkutan supaya memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya. Berkaitan dengan wajib latihan kerja, perlu diciptakan koordinasi efektif dengan pekerja sosial dari Departemen Sosial maupun pekerja sosial sukarela dari organisasi sosial kemasyarakatan, bahwa pekerja sosial bertugas membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Lama wajib latihan kerja sebagai penganti denda paling lama 90(sembilanpuluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4(empat) jam setiap hari serta tidak dilakukan pada malam hari. Hal demikian mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan anak. 56 4. Pidana Pengawasan. Pidana pengawasan kepada anak yang melakukan tindak pidana, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Lamanya, paling singkat 3(tiga) bulan, paling lama 2(dua) tahun. b. Pengawasan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari dirumah tersebut dilakukan oleh Jaksa. c. Pemberian bimbingan dilaksanakan oleh pembimbing kemasyarakatan. Jenis pidana lain yang dapat dijatuhkan oleh Hakim adalah Pidana Tindakan, hal tersebut tertuang dalam Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dimana Pasal tersebut berbunyi: (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. 57 BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya.35 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan atau gejala dari objek yang akan diteliti juga dengan keyakinan-keyakinan tertentu, mengambil kesimpulan dari bahan-bahan atau literatur tentang obyek-obyek masalah yang akan diteliti dengan keyakinankeyakinan tertentu.36 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan Pencarian bahan hukum dilakukan di PII Fakultas Hukum UNSOED dan UPT Perpustakaan UNSOED. 35 Johny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Publishing. Malang. Hlm. 57. 36 Loc.cit. Banyumedia 58 4. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder, adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini mencakup:37 a. Bahan hukum primair yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak; UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang; dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primair yang berupa, buku-buku, literatur-literatur, artikel, laporan penelitian dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya serta Putusan Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt 5. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode kepustakaan terhadap data sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian, kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh serta Putusan Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt. 37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Hlm 12-13 59 6. Metode Penyajian Data Bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara pemilihan bahan-bahan hukum yang sesuai dengan obyek penelitian, kemudian merangkum dan memfokuskannya pada Hal-Hal yang pokok, untuk kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh. Dan selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis. 7. Metode Analisis Data Analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yaitu suatu cara menginterpretasikan hasil penelitian dengan mendasarkan pada norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin-doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. 60 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian terdahap Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, diperoleh : 1. Identitas Terdakwa Berdasarkan pemeriksaan identitas terdakwa diperoleh hasil: Nama lengkap: Ahmad bin Partono alias AW; Tempat lahir: Klaten; Umur atau tanggal lahir: 17 Tahun; Jenis kelamin: Laki-laki; Kebangsaan: Indonesia; Tempat tinggal: Klaten; Agama: Islam; Pekerjaan: Pelajar; Pendidikan: SMK. 2. Duduk Perkara Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, Terdakwa adalah seorang anak bernama Ahmad bin Partono alias AW (17 tahun) sesuai dengan identitas yang disebut dalam putusan perkara tersebut. Terdakwa ditahan dengan jenis penahanan Rutan oleh: a. Penyidik, berdasarkan Surat Perintah Penahanan tanggal 26 Januari 2011, No. SP.Han/01/I/2011/Densus, terhitung mulai Sejak tanggal 26 Januari 2011 sampai dengan tanggal 15 Pebruari 2011; b. Perpanjangan Perpanjangan Penuntut Penahanan, Umum tanggal berdasarkan 09 Surat Pebruari Perintah 2011, No. 61 28/0.3.19/Ep.2/02/2011, sejak tanggal 16 Pebuari 2011 sampai dengan tanggal 25 Pebruari 2011; c. Penuntut Umum berdasarkan Surat Perintah Penahanan, tanggal 24 Pebruari 2011, No. PRINT-245/0.3.19/Ep.2/02/2011, Sejak tanggal 24 Pebruari 2011 sampai dengan tanggal 01 Maret 2011; d. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten, berdasarkan Penetapan penahanan, tanggal 01 Maret 2011 Nomor : 69/Pen.Pid.Sus/2011/PN.Klt, terhitung Sejak tanggal 01 Maret 2011 sampai dengan tanggal 15 Maret 2011; e. Perpanjangan oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Klaten tanggal 08 Maret 2011 Nomor : 19/Pen.Pid.Sus/2011/PN.Klt, Sejak tanggal 16 Maret 2011 sampai dengan tanggal 14 April 2011; Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Klaten telah membacakan Surat Tuntutan Pidana, sebagaimana tersebut dalam suratnya tertanggal 31 Maret 2011, No : PDM-32/Klaten/Ep.2/2011. Terdakwa atas Tuntutan Tersebut, melalui Penasihat Hukumnya mengajukan Nota Pembelaan dalam persidangan tanggal 5 April 2011, atas Nota Pembelaan tersebut, Penuntut Umum telah menyatakan secara lisan didalam persidangan, bahwa ia tetap pada tuntutan semula, demikian pula Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya menyatakan pula tetap pada Nota Pembelaannya. Petugas Pembimbing Kemasyarakatan pada BAPAS Surakarta telah menyampaikan Laporan Hasil penelitian Kemasyarakatan sebagaimana, pada akhir pemeriksaan telah pula menyampaikan hal-hal yang pada pokoknya sebagai berikut: 62 a. Bahwa putusan Hakim akan sangat berpengaruh terhadap Kehidupan Terdakwa selanjutnya karena terdakwa masih anak-anak, masih memerlukan pembinaan dan pembimbingan, oleh karena itu putusan hakim diharapkan Terdakwa dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar Terdakwa menuju masa depan yang lebih bak; b. Bahwa oleh karena itu memohon apabila Terdakwa dinyatakan bersalah agar diberikan hukuman pidana yang seringan-ringannya dalam arti kurang apa yang ditutut oleh Jaksa Penuntut umum. Hakim telah memperoleh keyakinannya setelah memeriksa alat-alat bukti yang diajukan dipersidangan, menyatakan bahwa terdakwa anak AW, terbukti secara sah melakukan Tindak Pidana Terorisme. Hakim dalam perkara ini atas pertimbangan-pertimbangannya menjatuhkan Hukuman pidana penjara selama 2(dua) tahun, hal tersebut lebih ringan dari tuntutan pidana yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu pidana penjara selama 4(empat) tahun. 3. Dakwaan Jasa Penuntut Umum (JPU) Terdakwa Anak: AW, dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Anak, oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa melakukan Tindak sebagai berikut: a. DAKWAAN KESATU: 1) PRIMAIR Bahwa terdakwa AW, bersama-sama dengan antara lain YUDA ANGGORO, JOKO LELONO, AGUNG JATI SANTOSO, NUGROHO 63 BUDI SANTOSO, TRI BUDI SANTOSO, ROKI APRISDIANTO alias ATOK (masing-masing dalam berkas perkara terpisah). Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 15 Jo. Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. 2) SUBSIDIAIR Bahwa terdakwa AW, bersama-sama dengan antaralain YUDA ANGGORO, JOKO LELONO, AGUNG JATI SANTOSO, NUGROHO BUDI SANTOSO, TRI BUDI SANTOSO, ROKI APRISDIANTO alias ATOK (masing-masing dalam berkas perkara terpisah). Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 15 Jo. Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia No.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang; ATAU : b. KEDUA : Bahwa Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951; 64 4. Keterangan Saksi Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan 34 orang saksi, masing-masing dibawah sumpah. Berdasarkan Judul dan rumusan masalah dari Penelitian ini Penulis hanya menuliskan 5 dari 34 keterangan saksi, diantara ke-lima saksi tersebut adalah saksi mahkota yang diajukan oleh JPU dan diterima oleh majelis hakim, masing-masing saksi memberikan keterangan sebagai berikut: a. Saksi ROKI APRISDIANTO als. ATOK als. ABU IBRAHIM als. HERUCOKRO Bin NOVE GINIYANTO - Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa, Yuda Anggoro, Joko Lelono, Nugroho, Agung Jati dan Tri Budi, kira-kira akhir 2008 awal 2009 karena sering bertemu dalam pengajian-pengajian di Masjid Jami’ Krapyak yang disampaikan oleh USTAD ABU UMAR ABDILLAH; - Bahwa dari berita-berita di TV, saksi melihat adanya penangkapanpenangkapan mujahidin yang disebut teroris oleh Densus 88, kemudian saksi mengundang teman-teman kelompok pengajian tersebut, termasuk Terdakwa untuk memastikan rencana jihad; - Bahwa pada waktu itu saksi katakan kepada anak-anak, “tidak usah tergesa-gesa setuju” tetapi dipikirkan dulu dan satu minggu lagi yang setuju untuk bergabung, diminta datang kepada saksi; - Bahwa selang seminggu anak-anak datang kerumah Saksi dan dikumpulkan ke Masjid dekat rumah saksi yaitu Masjid Madinatun Nabawiyah di Desa Cangakan, Kecamatan Gatak, Kab. Sukoharjo; 65 - Bahwa pada waktu itu yang datang untuk bergabung ada sekitar 12 orang anak dan 1 anak mahasiswa, antara lain, Terdakwa Agung, Nugroho, Yuda, Joko lelono, Eko, dan lain-lain; - Bahwa kemudian saksi membentuk tim kecil bernama Ightiyalat artinya pembunuhan misterius karena kata itu sering muncul dikajian; - Bahwa kelompok Ightiyalat ketuanya adalah saksi karena yang dituakan oleh yang lain, IRFAN koordinator untuk wilayah Klaten dan Terdakwa dan yang lainnya sebagai anggota biasa; - Bahwa istilah Ightiyalat adalah sesuai dengan kajian dalam buku yang menyebutkan bahwa amaliyah utama di Negara yang tidak tampak konflinya yaitu dengan cara Ightiyalat dan Indonesia memenuhi syarat seperti doktrin dalam buku kajian dari Ustad Musab; - Bahwa kemudian saksi menugaskan Irfan yang tahu elektro muridnya Dr. Azhari yang mempunyai kepandaian membuat bom dan dia itu pernah juga mengisi pengajian di Solo dan saat itu saksi hadir; - Bahwa kemudian saksi mendapat sms dari Irfan katanya ada roti baru mau belajar tidak lalu saksi datang kerumah Irfan belajar rangkaian elektro memakai alat Projek bord dan membuat detonator, sedang mengenai bumbunya/bahan-bahan untuk membuat bom, hanya teori saja; - Bahwa saksi kerumah Irfan untk belajar membuat bom ada 5-6 kali pertemuan; - Bahwa, kemudian saksi memerintahkan kepada Irfan untuk mengajari anak-anak membuat bom; 66 - Bahwa kemudian Irfan memilih untuk mengajari Eko dan Tribudi, sedangkan pengetahuan untuk bumbu bom didapat dari internet kebetulan yang mendapat Eko, saksi tidak tahu alamat situsnya karena saksi tidak tahu cara membuka internet; - Bahwa untuk membuat peledak bahan-bahannya terisi KNO3/potasium Nirat, didalam KNO3 ada unsur potasiumnnya atau unsur sedawanya banyak; - Bahwa saksi menyuruh Agung dan Nugroho untuk membeli pupuk merk Traktor Pak Tani karena mengandung KNO3; - Bahwa sebagai amaliyah yang pertama saksi menyuruh Nugroho dan kepada anak-anak untuk membuat dan meletakkan bom disuatu tempat, dan tidak perlu menunggu perintah saksi dan diletakkan dimana tanpa ijin saksi bisa dilakukan semua anggota kelompok; - Bahwa saksi menggunakan metode komando militer untuk memberikan perintah kerja oleh karena itu apabila salah seorang sudah saksi peritah, maka yang lainnya akan melaksanakannya; - Bahwa selanjutnya Nugroho yang mengatur mekanisme peletakan bom, serta kelompok sudah terbangun suatu kesepakatan; - Bahwa setelah aksi pelaksanaan peletakan bom-bom, bom Molotov tersebut, kemudian Nugroho melaporkan kembali tapi saksi sendiri belum pernah lihat bentuk bomnya; 67 - Bahwa penempatan bom masing-masing diletakkan dipos Polisi ada dua tempat, gereja ada dua tempat dan 1 bom lagi diletakkan di Sendang Sriningsih; - Bahwa menurut laporan Nugroho, bahwa terdakwa meletkan bom di Pos Polisi Delanggu sendirian dan lain hari Terdakwa datang kerumah saksi, lalu bercerita kalau telah meletakan bom sendirian di Pos Polisi Delanggu; - Bahwa selain itu bom ditempatkan di Perayaan Penyebaran apem Ya Qowiyyu di Jatinom terdakwa juga yang meletakannya; - Bahwa mengenai perbuatan terdakwa bersama Hogan meletakan bom di Alun-alun Utara Solo dekat Kantor Polisi, adalah atas perintah langsung dari saksi; - Bahwa saksi menilai terdakwa yang paling berani karena memasang bom sendirian, dan di alun-alun Solo bersama dengan Hogan dari tim Hisbah meletakkan bom yang paling besar; - Bahwa bom yang di alun-alun Solo yang membuat saksi dan beberapa orang dari tim Hisbah dan saksi memerintahkan Terdakwa dan Hogan untuk dipasang diwilayah sekitar kraton; - Bahwa selain itu, saksi memberikan amplop berisi surat ancaman yang saksi tulis tangan sendiri dan memenyuruh Terdakwa untuk menyebarkan surat ancaman tersebut di sekitar alun-alun Keraton; - Bahwa bunyi surat ancaman itu kira-kira intinya:“wahai presiden NKRI, Obama....kami para teroris akan senantiasa datang untuk melakukan 68 penyembelihan, kami sangat bangga melampiaskan dan menumpahkan darah kalian.....”; - Bahwa ketika menulis surat itu saksi bersemangat dan meyakini benar dan menggambar juga gambar pedang dengan tinta merah, dan menulis terbunuh atan dibunuh ancaman agar tidak melakukan kemusyrikan lagi; - Bahwa kemudian saksi memerintah kepada anak-anak untuk memasang bom tersebut ketempat perayaan penyebaran apem dan tempat dekat makam ki Ageng Gribig; - Bahwa kemudian setahu saksi Terdakwa AW bersama Joko dan Nugroho bersama Andi memasang bom ditempat itu; - Bahwa senjata api saksi dipinjamkan kepada Terdakwa untuk membunuh orang kafir dan akan mendapat pahala dan menurut Terdakwa sempat di tembakkan ke kebaktian orang Kristen tapi karena suara terlalu keras jadi dikembalikan lagi kepada saksi; - Bahwa dari 10 tempat sasaran bom, terdakwa menempatkan 3 bom sedangkan saksi belum pernah sekalipun ikut memasang bom; - Bahwa saksi tidak tahu barang bukti ada di Terdakwa karena setahu saksi barang bukti semua ada di Agung, anggota kelompok tidak ada yang melapor kalau ada yang menyimpan barang bukti; - Bahwa setelah kejadian seperti ini, saksi merasa meyesal telah melibatkan anak-anak sekolah dan berjanji demi Allah tidak akan melakukan provokasi lagi. Atas keterangan saksi tersebut diatas, terdakwa membenarkan keterangannya; 69 b. Saksi NUGROHO BUDI SANTOSO als. UMAR bin NARTO SUMARTO - Bahwa saksi kenal terdakwa, karena satu sekolah di Sekolah SMK II Klaten; - Bahwa selain itu saksi dan terdakwa ikut bersama dalam kegiatan ROHIS disekolah dan mengikuti kegiatan CDS (Corps Dakwah Sekolah) yang merupakan kegiatan diluar Sekolah; - Bahwa saksi mewakili anggota tim klaten untuk di Bai’at mati oleh pimpinan Hisbah Solo yang bernama SIGIT QORDOWI pada bulan Ramadhan, karena ada rencana perang kota; - Bahwa maksud dibai’at mati, saksi dan Eko sebagai perwakilan dari klaten untuk siap membantu dan taat kepada amir selama amir tidak melakukan maksiat dan siap mati dalam perang kota membantu hisbah solo; - Bahwa ketika Mas Irfan lari karena ada penggrebekan dan oleh Mas Atok saksi disuruh menggantikan posisi Irfan sebagai koordinator Klaten; - Bahwa sekitar awal September 2010, saksi dan Eko belajar meracik bom dari Irfan dan Eko bilang agar mencari info diinternet; - Bahwa kemudian saksi mencari diinternet mengenai cara membuat bahan peledak yang disebut dengan black powder dengan mencampurkan KNO3, belerang dan arang semuanya dihaluskan kemudian disampaikan ke Eko; 70 - Bahwa kemudian sekitar selama 2 bulan dalam 10 kali pertemuan, saksi dan Eko belajar membuat cara membuat bom; - Bahwa bahan-bahan yang dipersiapkan adalah pipa aluminium, lampu natal putih, kabel, serbuk korek api, semen putih, lem castol dan jam weker; - Bahwa bom yang dirakit menggunakan kaleng biscuit, diisi black powder, diberi paku lalu detonator dimasukkan ketengah-tengah bubuk tadi; - Bahwa saksi sudah merakit bom dengan menggunakan black powder sebanyak 2 kali; - Bahwa selain itu saksi bersama dengan Terdakwa, Agung, Tribudi dan Yuda juga membuat bom Molotov memakai bensin dimasukkan dalam botol-botol diikat jadi satu kemudian detonator ditaruh ditengahnya; - Bahwa Terdakwa dan Joko ditugaskan meletakkan bom black powder didekat menara penyebaran apem sedangkan saksi dan Mas Andi meletakkan bom didekat kuburan Ki Ageng Gribig; - Bahwa selain bom saksi juga menulis surat ancaman untuk diletakkan disebaran apem Jatinom yang intinya agar kaum muslimin menghentikan acara sebaran apem kalau tidak akan diberi hadiah yang lebih besar lagi; - Bahwa bom Molotov dibuat sebanyak 5 rangkaian dan kemudian disebarkan masing-masing oleh saksi dan Tribudi disendang Sriningsih dan di Pos polisi Ketandan dekat RSI sekitar jam setengah1 malam; - Bahwa bom yang lain diletkkan digereja Manjung dan gereja Polanharjo; 71 - Bahwa Terdakwa sendirian ditugaskan meletakkan bom di Pospol Delanggu; - Bahwa semuanya dilaksanakan pada hari/malam yang sama dan ternyata bom yang meledak hanya yang diletakkan di Gereja Manjung saja, sedangkan yang lainnya tidak ada yang meledak; - Bahwa kemudian saksi disuruh Mas Atok ketempat Pak Dhe Punjul di Solo bersama dengan Terdakwa, Agung, Yuda dan Tribudi dan disana sudah ada Mas Atok, eko dan Nanang ndut, bom sudah mau selesai lalu dibagi tugas; - Bahwa Terdakwa dan Hogan bertugas meletakkan bom disekitar kraton/ alun-alun pasar kliwon; - Bahwa saksi tahu Terdakwa diberi mas Atok tiga amplop-amplop kecil; - Bahwa Eko disuruh cari target sendiri tetapi tidak dapat akhirnya bersama saksi disuruh ditaruh di gereja Dawok; - Bahwa saksi ditangkap dijalan ketika sedang berjualan parfum; - Bahwa sekarang saksi merasa menyesali perbuatannya dan setelah ditangkap saksi diberikan arahan tentang orangtua dan masa depan, kalau dulu hanya semangat saja tidak pernah berpikir apa-apa hanya mengejar surga; - Bahwa saksi berjanji demi Allah tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Atas keterangan saksi tersebut, terdakwa membenarkan keterangannya; 72 c. Saksi JOKO LELONO bin ROHMAT - Bahwa saksi kenal dengan terdakwa sejak kelas 2 di Sekolah SMK II Klaten; - Bahwa selain itu saksi dan terdakwa ikut bersama dan mengikuti kegiatan CDS (Corps Dakwah Sekolah) yang merupakan kegiatan diluar Sekolah; - Bahwa untuk persiapan berjihad Saksi bersama-sama teman-teman lainnya termasuk Terdakwa dalam kelompok IGHTIYALAT adalah latihan fisik dan menembak; - Bahwa tindakan berjihad yang pernah dilakukan saksi dan terdakwa antara lain adalah sekitar bulan November 2010 meletakkan bom palsu berupa kotoran sapi di Masjid Baitul Makmur didaerah Solo Baru dan Masjid At’tawun didaerah Delanggu Klaten serta meletakkan rangkaian bom dilokasi acara Perayaan Budaya menebar Apem yang terletak di Jatinom Kab. Klaten; - Bahwa saksi juga meletakan bom di Sendang Sriningsih didaerah Prambanan, Sleman; di Gereja Manjung, Klaten; di Pos Polisi Ketandan, dekat dengan Rumah Sakit Islam (RSI) Klaten; di Pos Polisi di Delanggu; di alun-alun keraton solo didepan Polsek Pasar Kliwon Solo; di Gereja didaerah Gawok, Sukoharjo dan di Gereja didaerah Polanharjo; - Bahwa Maksud menaruh/meletakkan Bom Rakitan dilokasi Perayaan Budaya penebaran Apem didaerah Jatinom karena Perayaan Budaya menyebar Apem merupakan kegiatan yang bersifat Syirik dan melanggar 73 aturan atau bertentangan dengan Syariah Agama Islam; Maksud menaruh bom palsu kotoran sapi masjid, untuk menimbulkan adu domba antara kaum muslim dan orang Nasrani, seakan-akan yang menaruh/meletakkan bom kotoran sapi tersebut dilakukan orang Nasrani; - Bahwa saksi masih berusia 18 dan merasa menyesal dengan perbuatan saksi, dan mau berubah pemikirannya tentang Negara dan pemerintahan dengan berjalannya waktu; - Bahwa saksi berjanji demi Allah tidak akan mengulangi perbuatan seperti menteror orang dan ihktialat. Atas keterangan saksi Joko Lelono bin Rohmat, terdakwa membenarkan keterangan saksi. d. Saksi TRIBUDI SANTOSO Bin SUTOMO - Bahwa saksi kenal dengan terdakwa dan rekan lainnya karena satu sekolah dan ikut ROHIS serta pengajian-pengajian dan bedah buku di Krapyak di masjid An-Nur dan pengajian tentang jihad dirumah ustad Musab; - Bahwa suatu ketika saksi mendapat sms untuk datang kerumah Agung di Krapyak bersama Nugroho, Terdakwa dan Yuda disana sudah ada perlengkapan membuat bom, ada botol air mineral, jam beker, lakban, kabel dan detonator untuk membuat 5 paket bom molotov yang akan disebarkan pada malam itu juga; - Bahwa setahu saksi yang paling pandai membuat bom adalah Eko tapi kalau dalam aksi Eko tidak banyak berperan karena mengalami 74 kecelakaan akibat bahan-bahan peledak meledak dan Eko terbakar lalu dirawat di rumah sakit; - Bahwa tugas saksi adalah membuat rangkaian elektro setelah mendapat gambar dari Eko dan Terdakwa bertugas meracik bomnya; - Bahwa semua teman saling membantu membuat bom tapi Nugroho yang paling ahli, selesai sekitar malam hari tanggal 1 Desember 2010 dan langsung bagi tempat sasaran tapi saksi tidak tahu siapa yang menentukan; - Bahwa kemudian saksi dan nugroho berboncengan membawa 2 paket untuk diletakkan di Gua Maria Sendang Sriningsih Sleman; - Bahwa bom yang lain diletakkan di Pos Polisi Ketandan dekat RSI, saksi sendiri yang meletakkannya dibawah meja; - Bahwa satu paket dibawa Terdakwa untuk ditaruh di Pos Polisi Delanggu dan dua paket lagi dibawa Agung dan Yuda untuk gereja Manjung dan Polanharjo, setelah itu semua pulang krumah masing-masing dan berkomunikasi hanya lewat sms; - Bahwa bom yang diletakkan oleh Terdakwa yaitu di Pos Polisi Delanggu, tempat acara penyebaran Apem di Jatinom dan yang diletakkan di alunalun sekitar Keraton Solo didepan Polsek Pasar Kliwon, semuanya tidak ada yang meledak; - Bahwa selain itu Yuda dan Agung meletakkan bom palsu Masjid At ta’wun dan Joko meletakkan di Masjid Baitul Makmur, Solo Baru Sukoharjo; 75 - Bahwa saksi pernah latihan meracik bom digunung dan memahami bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bom yaitu bahan peledak, bensin, belerang, kno3, arang, detonator, saklar switch, timer, lakban, resistor dan lampu LED; - Bahwa ketika itu saksi beranggapan meletakkan bom termasuk panggilan jihad tetapi sekarang saksi merasakan banyak negatifnya, baik untuk keluarga dan masyarakat. Atas keterangan saksi Tribudi Santoso bin Sutomo, terdakwa membenarkan keterangan saksi. e. Saksi YUDA ANGGORO al. BILAL bin SRIYANTA - Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa, karena satu sekolahan di SMK 2 Klaten dan sekarang saksi duduk dikelas 4; - Bahwa saksi ikut kegiatan disekolah yaitu Rohani Islam (ROHIS), sama seperti Terdakwa dan, ikut CDS (Corps Dakwah Sekolah) yaitu, kegiatan keagaman diluar sekolah bersama dengan beberapa teman lainnya, termasuk Terdakwa; - Bahwa saksi bersama dengan Terdakwa, Agung, dan Nugroho belajar membuat bom sekitar bulan September 2010 yang diajari oleh Eko Suryanto untuk melakukan amaliyah Jihad memerangi Thogut dan orangorang kafir sebagaimana yang saksi pahami setelah mengikuti taklim yang disampaikan oleh Ustad MUS’AB adapun sasaran bom adalah rumah ibadah, pos polisi dan tempat kemusyirkan; 76 - Bahwa saksi bersama-sama dengan Terdakwa, Agung Jati Santoso, Nugroho, Tribudi pernah membuat bom molotov di daerah Buntalan Klaten; - Bahwa tugas Terdakwa pada waktu itu memasukkan bensin kedalam botol Aqua yang dijadikan bom molotov; dan dilengkapi dengan timer, berisi bensin; - Bahwa kemudian saksi tahu, Terdakwa sendirian meletakkan 1(satu) bom molotov tersebut di Pos Polisi Delanggu pada sekitar jam 00.30 Wib; - Bahwa saksi tahu, NUGROHO bersama TRIBUDI meletakkan 1 buah bom di Goa Maria daerah Prambanan perbatasan Klaten-Yogyakarta dan 1buah bom lagi di Pos Polisi ketandan dekat RSI Klaten; - Bahwa saksi bersama AGUNG JATI SANTOSO meletakkan 2 buah bom yaitu di Gereja Jawa Manjung dan Gereja Polanharjo Klaten; - Bahwa tujuan dari peletakan bom-bom tersebut adalah untuk balas dendam atau qisosh terhadap polisi yang selama ini telah menangkap para mujahidin dan mengganggap sebagai teroris. Bom yang diletakkan digereja adalah untuk meneror orang-orang kafir supaya takut beribadah di Gereja. Selain itu juga sebagai pembalasan atas kristenisasi yang dilakukan orang-orang Nasrani selama ini; - Bahwa bom diletakkan di Jatinom karena banyak orang melakukan kemusyrikan disana dengan mencari berkah dimakam dan dimasjid Pancasila karena bukan masjid umat Islam; 77 - Bahwa saksi bersama dengan Joko Lelono pernah menaruh bom kotoran sapi, dimasjid Baitul Makmur dan Masjid At Ta’aawun/Masjid Pancasila yang terletak di Dk. Kaliwingko, Ds. Banaran, Kec. Delanggu, Kab. Klaten, dengan tujuan untuk adu domba antar umat Bergama; - Bahwa ide membuat bom dari Mas Atok dan Mas Irfan, Mas Atok juga yang memberikan arahan untuk menyerang pos polisi dan merusak fasilitas umum agar terjadi teror; - Bahwa saksi pernah bertemu dengan Ust. Sigit dipengajian dirumahnya di Solo Baru bersama 4 rekan lainnya dan di Solo bersama dengan Nugroho, saksi pernah dibai’at sumpah mati tapi kurang tahu untuk apa; - Bahwa sekarang pandangan saksi sudah berubah dan saksi mengakui kalau apa yang saksi lakukan merugikan baik waktu dan juga pendidikan saksi. Atas keterangan saksi Yuda Anggoro als. Bilal bin Sriyanta, terdakwa membenarkan keterangan saksi. 5. Keterangan Terdakwa Terdakwa AW alias AHMAD bin PARTONO telah memberi keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut: - Bahwa terdakwa, berstatus sebagai siswa SMKN 2 Klaten kelas 4; - Bahwa disekolah terdakwa aktif di organisasi keagamaan, Rohani Islam (ROHIS), dan kegiatan keagaman diluar sekolah Terdakwa ikut Organiasasi CDS (Corp Dakwah Sekolah); 78 - Bahwa Terdakwa, selain itu juga mengikuti Pengajin-pengajian dirumah Ustad MUS’AB di Gergunung Klaten Utara yang diikuti oleh kurang lebih 20 Orang peserta diantaranya, saksi ROKI APRISDIANTO Alias Mas Atok, Saksi YUDA ANGGORO, Saksi JOKO LELONO, Saksi NUGROHO BUDI SANTOSO, Saksi TRI BUDI SANTOSO, AGUNG JATI SANTOSO, IRFAN dan yang lainnya; - Bahwa menurut pemahaman Terdakwa cara Ust. Mus’ab menyampaikan kajin terkesan provokatif dan semangat, pada bagian yang disemangati, khususnya mengenai jihad; - Bahwa dalam pengajian tersebut awalnya tentang aqidah Islam selanjutnya tauhid lalu penekanan pada jihad melawan orang-orang kafir, kajian tersebut merasuk dalam diri terdakwa; - Bahwa suatu ketika terdakwa diajak Eko kerumah Mas Atok, dirumah Mas Atok, Eko membuat rangkaian elektro, katanya itu untuk membuat bom, kemudian Terdakwa diajak belajar membuat rangkaian elektro oleh Mas Atok dan Eko namun terdakwa tidak bisa; - Bahwa kemudian terdakwa tahu bahan untuk membuat bom antaralain KNO3, lalu diberitahu Nugroho bil KNO3 ada didalam pupuk, yaitu pupuk merk traktor pak tani dan bahan lainnya yaitu arang dan belerang; - Bahwa senua bahan membuat bom tersebut sudah siap tinggal bawa tang, lalu bersama dengan Agung, Tribudi, Eko, Nugroho dan Yuda pergi kegunung tumpang untuk mencoba bahannya dan mencari perbandingan yang paling cepat menimbulkan api yaitu 1:1:1; 79 - Bahwa pertama semua bahan dihaluskan menjadi black powder tapi tidak tahu cara menggabungkan, lalu dengan prinsip petasan dibuat granat tangan dengan menggunakan selongsong baterai ABC besar, dilubangi atasnya, isi dikeluarkan, kemudian diisi bubuk petasan black powder, bawahnya diperkuat dengan semen putih dan lem, selanjutnya petasan dimasukkan yang fungsinya sebagai detonator; - Bahwa percobaan pertama gagal, kemudian AGUNG membawa sendawa lalu dicampurkan ke black powder sehingga dapat menimbulkan api lebih cepat; - Bahwa sekitar bulan November 2010, terdakwa bersama dengan Nugroho, Agung, Tribudi dan Yuda diinstruksikan dipanggil ROKI APRISDIANTO alias ATOK ke Sukoharjo kemudian disuruh untuk membuat bom Molotov sebanyak 5 buah dengan target bulan November harus sudah disebarkan; - Bahwa kemuadian Terdakwa dan teman-temannya mempersiapkan dan mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat bom Molotov, yaitu berupa botol aqua, jam weker, kabel, dahulu; - Bahwa kemudian terdakwa dan saksi Yuda ditugaskan mengisi botol aqua dengan bensin ¾ botol, dan untuk setiap satu rangkaian bom terdiri dari 5 botol, sehingga semuanya ada 25 botol aqua; - Bahwa pada awal Desember 2010 sekitar jam 00.30 Wib terdakwa kemudian meletakkan Bom Molotov dipasang Timer yang telah dibuat tersebut di Pos Polantas Delanggu dekat Sub Terminal Delanggu Klaten; 80 - Bahwa ketika terdakwa sampai disasaran, Pos Polantas dalam keadaan terkunci, lalu terdakwa memecah 2 kaca nako pakai tangan kemudian menaruh bom dilantai; - Bahwa bom yang lain diletakkan NUGROHO dan TRIBUDI ke Gua Maria dan Pos Polantas Ketandan, dua bom lagi dibawa AGUNG dan Saksi YUDA ke-gereja di Polanharjo dan di Gereja Manjung Bahwa Terdakwa, pada pagi harinya sempat mengecek peletakan Bom di Gereja Manjung dan ternyata meledak karena ada bekas terbakar sedangkan bom molotov lainnya tidak meledak; - Bahwa kemudian Terdakwa dengan diboncengkan oleh Hogan berangkat mencari mencari lokasi yang sepi disekitar kawasan kraton dan menemukan lokasi di alun-alun utara Pasar Kliwon didepan Kantor Polisi lalu bom diletak kan ditrotoar; - Bahwa selain membawa bom terdakwa juga diperintah oleh ROKI APRISDIANTO alias ATOK untuk menaruh 3buah surat ancaman, namun terdakwa tidak membaca isinya; - Bahwa setelah meletakkan bom, semua kecuali Eko, berkumpul dimasjid Al-Huda Ngruki dan laporan ke ROKI APRISDIANTO alias ATOK; - Bahwa terdakwa sekitar akhir Desember 2010 sekitar jam 22.00 Wib, pernah melempar Bom Molotov di Masjid Asy-syifa kebakaran; - Bahwa terdakwa pada sekitar pertengahan Januari 2011 diberitahu oleh Agung untuk kerumah kontrakan Mas Atok untuk membuat bom lagi 81 yang akan diletakkan diacara Saparan di Kyai Gribig, disana sudah ada Nugroho; - Bahwa kemudian terdakwa disuruh membeli KNO3 di Pedan, arang di Mlinjon lalu buat bom dalam bentuk kaleng dirumah Agung; - Bahwa kemudian Terdakwa sekitar jam 09.00Wib, bersama Joko dengan mengenakan seragam pramuka membawa bom dalam tas sekolah, lalu meletakkan 1(satu) rangkain Bom yang dipasang Timer berikut surat ancaman yang ditulis Saksi Nugroho di Tanah Lapang dibawah tower untuk sebar apem didekat Makam Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten yang dipergunakan untuk upacara tradisi Sebar Apem atau Saparan atau Yaaqowiyyu, dengan maksud BOM meledak dan mengacaukan Upacara tersebut; - Bahwa bom yang diletakkan di Kyai Gribig tidak meledak lalu memberitahu Nugroho melalui sms dengan bahasa sandi “luwih enak maneh”; - Bahwa terdakwa bersama dengan Agung, Yuda dan Tribudi pernah pula disuruh Mas Atok untuk membuat bom pura-pura atau bom palsu yang diberi timer berupa bom kotoran sapi; - Bahwa kemudian bom kotoran sapi tersebut dibawa oleh Joko ke Solo baru, Yuda dan Agung membawa ke Pakis tapi masjid terkunci akhirnya ditaruh untuk diletakkan di Masjid At Ta’aawun Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila yang terletak di Dk. Kaliwingko, Ds. Banaran, Kec. Delanggu, Kab. Klaten; 82 - Bahwa Terdakwa bersama dengan AGUNG JATI SANTOSO datang kerumah ROKI APRISDIANTO alias ATOK di Sukoharjo, terdakwa diberi 1(satu) pucuk Pen gun berikut pelurunya sebanyak 19 (Sembilanbelas butir) diperintah untuk digunakan Ightiyalat (membunuh orang secara diam-diam); - Bahwa empat hari kemudian Terdakwa bersama NUGROHO BUDI SANTOSO dengan mengendarai sepeda motor Honda Impressa warna hitam miliknya mencari Target yaitu polisi atau orang kafir untuk ditembak; - Bahwa ketika PEN GUN dicoba ditembakkan ternyata macet, lalu dicoba lagi dipinggir jalan, meletus dengan suara keras, selanjutnya ketika lewat didaerah Bramen disebuah rumah ada acara pernikahan orang Kristen lalu terdakwa menembakkan tapi tidak kena sasaran; - Bahwa kemudian pada pagi harinya sekitar jam 09.00 Wib di Waru Baki Sukoharjo, namun pelurunya sebanyak 17(tujuhbelas) butir Terdakwa simpan dirumah; - Bahwa benar barang-barang yang ditemukan dirumah terdakwa merupakan sisa pembuatan bom yang belum sempat dibuang, KNO3 tadinya dirumah Agung tapi penuh, arang memang disimpan dirumah terdakwa dan korek api untuk detonator yang menyuruh Eko; - Bahwa sekarang terdakwa merasa sangat menyesal dan bertobat dari hati yang paling dalam tidak akan mengulangi lagi, menyadari kalau perbuatan terdakwa salah dan sangat merepotkan semua pihak, sekolah 83 dan polisi terutama kedua orangtua, melawan orang tua dan menjadi anak durhaka terutama kepada ibu; Bahwa terdakwa bersumpah demi Allah tidak akan mengulangi teror dan jihad seperti itu lagi dan semoga hal ini menjadi pelajaran buat diri terdakwa. 6. Alat Bukti Surat Alat bukti yang diajukan didepan persidangan dalam perkara ini adalah bukti-bukti surat sebagai berikut: a. Berkas Perkara Nomor: BP/ II/2011/Densus tanggal 17 Pebuari 2011. b. Hasil Labfor Cabang Semarang sesuai Berita Acara No. Lab:109/BHF/I/2011, terhadap barang bukti yang dilaksegel Nomor Bukti BB-0247/2011 s/d BB-0257/2011. c. Hasil Lab (hasil swab, positif mengandung senyawa oksidator/senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai pembentuk bahan peledak, sesuai Berita Acara Labfor Cab. Semarang No. Lab:109/BHF/I/2011, romawi IV. Kesimpulan angka 1). Hasil lab terhadap 1 (satu) buah tas jinjing warna hitam tanpa merk. d. Hasil Lab (hasil swab, positif mengandung senyawa oksidator/senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai pembentuk bahan peledak, sesuai Berita Acara Labfor Cab. Semarang No. Lab:109/BHF/I/2011, romawi IV. Kesimpulan angka 1) hasil lab terhadap 1 (satu) buah tas ransel warna hitam tanpa merk 84 e. Hasil Labfor Cab. Semarang, sesuai Berita Acara No. Lab:1360/BHF/XII/2010, terhadap barang bukti yang dilaksegel Labfor Nomor Bukti:BB-2787/2010 BB-2790/2010 f. Hasil Lab oleh Labfor Cab. Semarang, sesuai Berita Acara No. Lab:1398/BHF/XII/2 010, terhadap barang bukti yang dilaksegel Labfor Nomor Bukti:BB-2902/2010s/d BB-2906/2010. g. Hasil Labfor Cab. Semarang, sesuai Berita Acara No. Lab:140 /BHF/ II/2011, terhadap barang bukti yang dilaksegel Labfor Nomor Bukti:BB-0330/2011s/d BB-0337/2011. 7. Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang, bahwa Terdakwa didakwa dengan dakwaan yang disusun secara alternative yang dikombinasikan dengan subsidairitas, yakni: Kesatu Primair: Melanggar dan diancam pidana dalam Pasal 15 Jo. Pasal 9 UndangUndang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang; Subsidiair: Melanggar dan diancam pidana dalam Pasal 15 Jo. Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang; Atau Melanggar dan diancam pidana dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951; Menimbang, bahwa dalam dakwaan alternatif pertama/Kesatu Primair, terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam 85 pidana dalam Pasal 15 Jo. Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, dengan unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur: Setiap orang; b. Unsur: Melakukan permufakatan jahat; c. Unsur: secara melawan hukum, memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia, sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya; d. Unsur: dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme Menimbang, bahwa untuk itu sebelum Hakim Majelis, menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan halhal sebagai berikut: Hal - hal yang memberatkan: a. Bahwa Perbuatan terdakwa telah menimbulkan rasa takut di masyarakat; b. Bahwa Perbuatan terdakwa dapat menimbulkan rasa permusuhan antar umat beragama; 86 c. Bahwa Perbuatan terdakwa dapat mengancam jiwa orang lain; Hal-hal yang meringankan: a. Bahwa Perbuatan Terdakwa didorong oleh jiwa muda yang orangorang yang tidak bertanggungjawab, termasuk dalam hal ini oleh Ustad Mus’ab maupun oleh Saksi ROKI APRISDIANTO alias ATOK; b. Bahwa Terdakwa masih berusia anak-anak sehingga masih dapat diharapkan untuk memperbaiki kehidupannya; c. Bahwa Orang tua terdakwa sangat mengharapkan agar terdakwa kembali dapat menjalankan kehidupan yang baik sehingga dapat meraih masa depan yang lebih baik; d. Terdakwa sopan dipersidangan; e. Bahwa Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya; f. Bahwa Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi; g. Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum. Menimbang, bahwa selain hal-hal tersebut diatas, Hakim Majelis perlu mempertimbangkan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan yang antara lain, mengemukakan: a. Terdakwa masih muda usia, masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri, pintar dan diharapkan bisa menjadi salah satu asset bangsa; b. Terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi; 87 c. Selama proses hukum berjalan, terdakwa bersikap baik dan jujur; d. Terdakwa sebagai anak tertua dalam keluarga dan kehadirannya sangat dibutuhkan orang tua dan adik-adiknya; e. Pentingnya penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan perlindungan Anak, pasal 64 ayat (2) huruf d) Menimbang bahwa selanjunya Pembimbing Kemasyarakatan menyimpulkan bahwa apabila dalam persidangan AW terbukti bersalah, maka agar dituntut dan dijatuhi pidana penjara dengan memperhatikan hal-hal yang meringankan dengan berpedoman pada pasal 26 ayat (1) UU No. 3 tahun 1997, agar secepatnya AW kembali kepada orang tua, melanjutkan pendidikan demi masa depan dirinya dan keluarga serta negara; Menimbang, bahwa sebagaimana tersebut dalam pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa Pidana penjara, yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa anak paling lama atau paling banyak adalah ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa; Menimbang, bahwa menurut hemat Hakim Majelis ketentuan dalam pasal 26 ayat (1) tersebut diberlakukan pula dalam hal batas minimum khusus ancaman pidana bagi anak. Pemberlakuan ½(satu per dua) dari batas minimum pidana orang dewasa bagi terdakwa anak, telah pula dipertegas oleh Mahkamah Agung, dalam K/Pid.sus/2010; putusannya tertanggal 22 September 2010 No. 1956 88 Menimbang bahwa khusus untuk tindak pidana Terorisme, pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 8, pasal 9, pasal 10. Pasal 11, pasal 12, pasal 13,pasal 15 dan pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sebagaimana dimaksud dalam pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia dibawah 18(delapan belas) tahun; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dihubungkan dengan pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, maka menurut hemat Hakim Majelis ancaman pidana terhadap terdakwa anak dalam perkara tindak pidana teroris paling lama adalah 10tahun penjara dan mengesampingkan ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus. 8. Amar Putusan Mengadili: a. Menyatakan Terdakwa Anak AW, sebagaimana tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kejahatan: TERORISME 89 b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada diri Terdakwa anak tersebut, dengan pidana penjara selama 2(dua) tahun; c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa anak tersebut, dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya; d. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan; e. Menetapkan barang bukti yang diajukan dalam persidangana dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain; f. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp5.000,- ( limaribu rupiah); B. Pembahasan 1. Penerapan unsur-unsur Pasal 15 Jo Pasal 9 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 dalam putusan perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau diterapkan lewat putusan. dalam hubungan tersebut jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya. Pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana, 90 dengan pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila pembuktian dengan alatalat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman, sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat bukti kepadanya akan dijatuhkan hukuman.38 Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada beberapa sistem atau teori membuktikan teori yang didakwakan, antara lain:39 a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasrakan Undang-undang Secara Positif (positief wttelijk bewijstheorie). Dalam sistem pembuktian ini yang dijadikan dasar bagi hakim dalm mengambil putusan hanya didasarkan pada pembuktian alat-alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak dibutuhkan sama sekali. b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu. Hakim dalam mengambil putusan apabila berdasarkan teori ini maka tidak dibutuhkan alat bukti yang ada dalam undang-undang, hanya membutuhkan keyakinan hakim saja. 38 Mohhamad Taufik Makarao dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm 102-103 39 Ibid. hlm 245-250 91 c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee). Hakim dapat memutus seorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandasan pada peraturan-peraturan pembuktian. d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang secara Negatif (negatief wettelijk). Pembuktian harus didasarkan pada undang-undang, yaitu alat bukti yang sah yang ada dalam undang-undang disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Berkaitan dengan macam-macam teori pembuktian di atas, Indonesia menganut sistem pembuktian Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang secara Negatif (negatief wettelijk), hal ini dapat terlihat dalam Bunyi Pasal 183 KUHAP, dimana pasal tersebut merumuskan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang benar-benar melakukannya”. Pasal 183 KUHAP berkaitan erat dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengenai macam-macam alat bukti, adapun macam-macam alat bukti tersebut ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; 92 d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Berkaitan dengan pembahasan di atas, dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam menerepkan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, dalam hal ini hakim sebelum menjatuhkan sanksi pidana maka hakim harus terlebih dahulu membuktikan unsur-unsur yang terpenuhi dalam tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dengan memeriksa alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Hasil penelitian Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak dalam putusan perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, alat bukti yang diajukan dalam persidangan antara lain: Keterangan Saksi; Alat Bukti Surat; Keterangan Terdakwa. Hasil penelitian dalam putusan tersebut Terdakwa didakwa oleh JPU dan diputus oleh Hakim sesuai dengan dakwaan oleh JPU melakukan Tindak Pidana Terorisme sesuai dengan Tindak Pidana yang dirumuskan dalam Pasal 15 Jo Pasal 9 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, adapun pasal tersebut mengatur sebagai berikut: Pasal 15 yang merumuskan:“Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.” 93 Pasal 9 Undang-undang tersebut merumuskan:“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.” Berdasarkan rumusan pasal tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur yang ada dalam pasal tersebut antara lain: a. Setiap orang; b. Melakukan permufakatan jahat; c. Secara melawan hukum, memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia, sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya; d. Dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme. Add. a) Setiap Orang Setiap orang adalah Subjek hukum pendukung hak dan kewajiban baik perseorangan (persoonlijke) kewajiban yang melakukan perbuatan pidana dan mampu bertanggungjawab yang identitasnya sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada 94 alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak mempunyai defence, ketika melakukan suatu tindak pidana.40 Hasil penelitian Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, diperoleh identitas dari terdakwa adalah: Ahmad bin Partono alias AW; tempat lahir : Klaten; Umur : 17 Tahun; Tempat tinggal : Klaten. Berdasarkan identitas Terdakwa, sesuai dengan batas minimal usia anak untuk dapat diajukan ke sidang pengadilan anak sebagaimana diatur dalam UU pengadilan anak adalah berumur 8(delapan) tahun. Patokan umur 8(delapan) tahun sebagai minimal usia ke pemeriksaan sidang anak, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Apabila anak belum mencapai umur 8(delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut sebatas dilakukan pemeriksaan oleh penyidik saja. Selanjutnya anak tersebut diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya, dan dapat diserahkan kepada Departemen Sosial apabila anak tersebut tidak dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.41 Batas usia anak yang dapat dipertanggungjawabkan (dalam arti dapat dikenakan pidana atau tindakan), menurut UU Pengadilan Anak dibagi dalam dua kelompok, yaitu usia anak yang dapat dijatuhi sanksi tindakan dan usia anak yang dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan. Anak yang melakukan tindak pidana berusia antara 8(delapan) tahun tetapi belum mencapai 40 Chairul Huda. 2006. “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’ . Prenada Media. Jakarta. Hlm 62. 41 Setya Wahyudi. Op. Cit. Hlm 51 95 12(duabelas) tahun hanya dapat dijatuhi sanksi tindakan, adapun anak yang berusia 12(duabelas) tahun tetapi belum mencapai 18(delapanbelas) tahun, dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan. Batas maksimal untuk pertanggungjawaban pidana anak, yaitu apabila anak telah mencapai umur 18(delapanbelas) tahun.42 Add. b) Melakukan Permufakatan jahat Pasal 15 UU No. 15 Tahun 2003, pada pokoknya mengatur ada 3(tiga) macam bentuk tindak pidana, antara lain: permufakatan jahat; percobaan; atau pembantuan dalam melakukan tindak pidana, dan dalam pasal tersebut semua bentuk tindak pidana tersebut pemidanaannya sama dengan pelaku tindak pidana. Melakukan Permufakatan Jahat, menurut Pasal 88 KUHP “dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”. Jadi permufakatan jahat mengadung unsur-unsur sebagai berikut: 1) adanya dua orang atau lebih (pembantuan); 2) adanya kesepakatan; 3) akan melakukan kejahatan.43 Percobaan dalam Pasal 53 KUHP yang merumuskan: “mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya 42 Loc. Cit. Adami Chazawi. 2002. Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm 38 43 96 permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Pasal tersebut tidak menyebutkan apa percobaan itu, tetapi hanya menetapkan dalam keadaan apa percobaan dapat dipidana, yaitu apabila memenuhi syarat-syarat:44 1) harus ada niat dari pelaku; 2) harus ada permulaan pelaksanaan; 3) pengunduran diri yang tidak suka rela. Penjelasan Pasal 15 UU No. 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Pembantuan dalam Pasal ini adalah Pembantuan sebelum, selama, dan setelah kejahatan dilakukan”. Pembantuan dalam Pasal 56 KUHP dirumuskan sebagai berikut: “dipidana karena pembantuan kejahatan”: 1) mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2) mereka yang dengan sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Berdasarkan hasil pemeriksaan sidang pengadilan dalam putusan perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, hakim setelah mendengar keterangan dari saksi dan keterangan terdakwa, hal yang dilakukan oleh terdakwa bersama teman-teman kelompoknya lebih cenderung kearah Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana, hakim memperoleh keyakinan tentang adanya unsur permufakatan dituangkan dalam pertimbangan hakim, dimana ringkasan mengenai pertimbangan hakim tersebut adalah sebagai berikut: 44 D. Scaffmeister, dkk, penerjemahan J.E Sahetapy. 1995. Hukum Pidana. Liberty. Yogyakarta. Hlm 214-215 97 Berdasarkan fakta yang terungkap didalam persidangan persiapanpersiapan yang dilakukan oleh kelompok Roki Aprisdianto alias ATOK, bersamasama dengan Terdakwa (AW), Budi Santoso, Joko Lelono, Irfan dan Yuda Anggoro dan yang lainnya adalah menyusun team dengan susunan organisasi sebagai berikut: Roki Aprisdianto alias ATOK sebagai Amir atau pemimpin kelompok: 1) Terdakwa AW alias AHMAD Bin PARTONO, sebagai anggota 2) YUDA ANGGORO, sebagai Bendarahara. 3) NUGROHO BUDI SANTOSO, sebagai anggota. 4) JOKO LELONO Bin ROHMAT, sebagai anggota. 5) TRI BUDI SANTOSO, sebagai anggota. 6) IRFAN, sebagai Koordinator wilayah Klaten 7) AGUNG JATI SANTOSO, sebagai anggota. 8) SARJIANTO, sebagai anggota. 9) ROSYID ARIFIN, sebagai anggota 10) MUNCAR, sebagai angota. 11) EKO SURYANTO, sebagai anggota. Setelah mereka dapat memahami cara atau teknik membuat bom, kemudian atas perintah Roki Aprisdianto alias ATOK, masing-masing, termasuk Terdakwa berbagi tugas belajar membuat rangkaian bom dan menempatkan diberbagai tempat seperti: 98 1) Sekitar bulan akhir Nopember-awal Desember 2010 Terdakwa dan teman-temannya mulai belajar dan membuat rangkaian Bom dan telah berhasil membuat 5 (lima) buah rangkaian bom molotov, kemudian bom dibagikan kepada masing-masing anggota team untuk diletakkan diberbagai sasaran target pada malam itu juga sekitar jam 24.00 Wib, terdakwa dan anggota yang lain mulai melakukan aksinya; 2) Pada awal Desember 2010 sekitar jam 00.30 Wib Terdakwa Meletakkan Bom Molotov, yang dipasang Timer di Pos Polantas Delanggu dekat Sub Terminal Delanggu Klaten; 3) Yuda Anggro dan Nugroho Budi Santoso membawa 2 (dua) buah bom molotov dan meletakkan bom molotoov tersebut didepan Gereja Kristen Jawa Manjung, Dukuh Tuban Kulon Kec. Ngawen Kab. Klaten dan didepan Pintu Kapel Santa Ancilla Dukuh Plumbon Desa Karanglo, Kec. Polanharjo, Kab. Klaten; 4) 2 (dua) buah bom molotov lainnya dibawa oleh di Gua Bunda Maria di Sendang Sri Ningsih, Perbatasan Klaten-Yogyakarta, dan juga di Pos Polisi Ketandan dekat Rumah Sakit Islam (RSI) Jl. Raya SoloYogyakarta; 5) Pada pertengahan Desember 2010 sekitar jam 00.15 Wib, atas perintah langsung dari Roki Aprisdianto alias ATOK, Terdakwa meletakkan 1(satu) Unit BOM Rakitan yang dipasang Timer diatas Trotoar Depan Polsek Pasar Kliwon dan menyebarkan tiga buah amlop yang brisi surat ancaman; 99 6) Pada sekitar akhir Desember 2010 sekitar jam 22.00 Wib, Terdakwa melempar Bom Molotov di Masjid Asy-syifa Pancasila Klaten diatas genting; 7) Pada pertengahan Januari 2011 sekitar jam 10.00 Wib, Terdakwa meletakkan 1(satu) Unit Bom Rakitan yang dipasang Timer didekat Makam Ki Ageng Gribig Tatinom Klaten yang sedang dipergunakan untuk upacara tradisi Sebar Apem atau Saparan atau Yaaqowiyyu. Add. c) Melawan Hukum, memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia, sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya Tindak pidana adalah perumusan dari hukum pidana yang memuat ancaman hukuman pidana atas pelanggaran norma-norma hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum tata negara serta hukum administrasi negara, maka degan adanya hukum pidana dengan tindak-tindak pidana yang ada didalamnya bersumber pada pelanggaran-pelanggaran hukum lain, jadi dengan sendirinya dalam tiap tindak pidana ada sifat melanggar hukum atau onrectmatigheid.45 Melawan hukum adalah salah satu unsur tindak pidana, melawan hukum merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan, dan bukan 45 Wirjono Prodjodikoro. Op. Cit. Hlm 59 100 terhadap si pembuat. Sifat melawan hukum suatu perbuatan Sudarto mengemukakan ada 2 (dua) jenis yaitu: 1) sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang; 2) sifat melawan hukum materiil adalah suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila, perbuatan tersebut tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang saja, akan tetapi juga harus melihat azas-azas hukum yang tidak tertulis.46 Berdasarkan uraian penjelasan mengenai melawan hukum di atas, keyakinan hakim dalam menerapkan unsur melawan hukum dalam perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, setelah memeriksa alat bukti yang diajukan di persidangan, menurut pendapat hakim dalam menerapkan unsur melawan hukum dituangkan dalam pertimbangan hakim yang penulis ringkas sebagai berikut yaitu: Fakta yang telah terungkap pada awal Desember 2010, sekitar jam 05.0006.00 WIB dibeberapa tempat di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kalten telah ditemukan 5 (lima) rangkaian Bom dalam waktu yang hampir bersamaan, antara lain yaitu: 1) di Pos Jaga Polantas 03 Dukuh Sukorame Desa Karang Kecamatan Delanggu Kab. Klaten; 46 Sudarto. Op. Cit. Hlm 70 101 2) di depan Gereja Kristen Jawa Manjung, Dukuh Tuban Kulon Kec. Ngawen Kab. Klaten; 3) di depan Pintu Kapel Santa Ancilla Dukuh Plumbon Desa Karanglo, Kec. Polanharjo, Kab. Klaten; 4) di Gua Bunda Maria di Sendang Sri Ningsih, Perbatasan KlatenYogyakarta; 5) di Pos Polisi Simpang Empat Rumah Sakit Islam (RSI) Jl. Raya SoloYogyakarta Dukuh Kerun Baru Desa Belang Wetan Kec. Klaten Utara Kab. Klaten. Terdakwa kemudian membawa dan meletakkan Bom di Pos Polantas Delanggu dekat Sub Terminal Delanggu, Agung dan Yuda berboncengan sepeda motor menuju ke Gereja Manjung dan Gereja di Polanharjo untuk meletakkan ditempat tersebut, Nugroho dan Tri Budi mengambil Target di Gua Maria Sendang Sriningsih Prambanan dan Pos Polisi Ketandan. Pada malam akhir bulan Desember 2010 sekitar jam 20.00 Wib Terdakwa bersama dengan Tri Budi Santoso membawa Bom Molotov tersebut berangkat menuju ke Masjid Pancasila Asy-syifa, lalu melemparkannya keatas masjid Pancasila Asy-syifa di Klaten, dan botol pecah serta menimbulkan kobaran api tapi tidak merembet dan langsung padam, sedangkan BOM palsu yang dibuat dari kotoran sapi dan dipasang Timer palsu diletakkan di Masjid Pancasila Atta’awun Delanggu oleh Agung Budi Santoso dan Yuda Anggoro sedangkan Joko Lelono sendirian meletakknya di Masjid Baitul Makmur Solo Baru Sukoharjo. 102 Pada hari jumat sekitar jam 09.15 Wib Terdakwa bersama dengan Joko Lelono dengan membawa 1(satu) Unit Bom Rakitan yang sudah disetel untuk meledak sekitar jam 13.00 Wib, naik Sepeda motor berangkat menuju ke Komplek makam Ki Ageng Gribig di Jatinom Klaten yang akan diselenggarakan upacara Saparan atau sebar apem Yaa Qowiyyu, begitu juga Nugroho Budi Santoso bersama Andi dengan naik sepeda motor berangkat ke Komplek makam Ki Ageng gribig Jatinom Klaten dengan membawa 1(satu) unit Bom rakitan. Selanjutnya sekitar jam 10.00 Wib, terdakwa meletakkan Bom rakitan tersebut dibawah tower/panggung tempat pelemparan Apem pada Upacara Saparan atau Yaa-Qowiyyu dengan maksud agar Bom rakitan meledak sesuai dengan waktu yang ditentukan pada Timer yaitu sekitar jam 13.00 Wib dan selain itu terdakwa juga meletakkan lembar kertas yang berisi ancaman yang ditulis oleh Nugroho Budi Santoso diletakkan disekitar Komplek makam Ki Ageng Gribig di Jatinom Klaten tersebut, ternyata bom tersebut tidak meledak dan berhasil diamankan oleh petugas. Add. d) Melakukan Tidak Pidana Terorisme Berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan: “Teror adalah perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis dan sebagainya), usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seorang atau golongan. Menteror (meneror) adalah berbuat kejam (sewenang-wenang dan sebagainya) untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha 103 untuk mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik-praktik tindakan teror”47 Terorisme mengandung arti sebagai pengunaan atau ancaman, dengan ciri-ciri sebagai berikut:48 1) Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan atau menggangu sitem elektronik; 2) Penggunaan ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; 3) Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau ideologi; 4) Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak. Hakim dalam perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.klt, dalam menerapkan unsur “melakukan tindak pidana terorisme” yang dilakukan oleh terdakwa bersama dengan teman-temannya setelah hakim melihat fakta yang terungkap dalam persidangan setelah memeriksa alat bukti yang diajukan dalam 47 Farkhatul Aula. Op. Cit. Hlm 42 http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Definisi_terorisme&oldid=5609532. tanggal 02 Desember 2012 48 Diakses pada 104 persidangan, dimana hal ini dituangkan dalam pertimbangan hakim dalam putusan perkara tersebut, penulis ringkas sebagai berikut: Terdakwa bersama teman-teman Kolompok Ightiyalat, pada sekitar akhir Nopember-awal Desember 2010 telah membuat 5 (lima) rangkaian Bom Molotov dan kemudian dalam waktu yang hampir bersamaan telah diltakkan untuk diledakkan: di Pos Jaga Polantas 03 Dukuh Sukorame Desa Karang Kecamatan Delanggu Kab. Klaten; didepan Gereja Kristen Jawa Manjung, Dukuh Tuban Kulon Kec. Ngawen Kab. Klaten; didepan Pintu Kapel Santa Ancilla Dukuh Plumbon Desa Karanglo, Kec. Sri Ningsih, Perbatasan Klaten-Yogyakarta; di Pos Polisi Simpang Empat Rumah Sakit islam (RSI) Jl. Raya Solo-Yogyakarta Dukuh Kerun Baru Desa Belang Wetan Kec. Klaten Utara Kab. Klaten. Tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa dan kelompoknya dilakukan dengan penuh kesadaran untuk memperjuangkan norma-norma yang dianggap benar oleh kelompoknya, antara lain Kelompok yang diikuti Terdakwa meyakini bahwa: “jihad yang paling besar adalah melawan orang kafir”; “Jihad adalah sama dengan teror”; “siapa yang dengan jihadnya melakukan pembunuhan orang kafir akan mendapatkan pahala.” Pandangan-pandangan atau pemahaman tentang jihad tersebut yang disampaikan oleh Ustad MUS’AB dalam setiap kajian-kajiannya kemudian menjadi pemahaman kelompok yang diikuti terdakwa tersebut, telah memprovokasi dan membuat semangat bagi anggotanya untuk mempratekkan amaliyah-amaliyah dengan tujuan menteror orang lain, menimbulkan ketidaknyamanan atau gangguan terhadap publik, dengan mengabaikan akibat yang timbul dari teror tersebut. 105 Tindakan Terdakwa bersama dengan kelompoknya telah menimbulkan perasaan cemas, ketakutan dan perasaan was-was, bagi masyarakat dan atau bagi orang-orang yang bekerja dilingkungan tempat dimana rangkaian bom atau surat ancaman tersebut ditemukan. Ternyata baik Terdakwa maupun teman-teman kelompoknya termasuk pemimpin kelompok Roki Aprisdianto alias ATOK, tidak pernah mempersoalkan apakah Bom akan meledak atau tidak dan juga tidak pernah memperhitungkan, apabila bom benar-benar meledak apakah akan menimbulkan korban bagi orang-orang yang tidak berdosa termasuk ibu hamil maupun anak-anak. Hakim sebelum menjatuhkan putusan juga harus mempertimbangkan hal-hal mengenai dapat atau tidaknya seorang dipertanggungjawabkan mnurut hukum, hal-hal atau alasan penghapusan pidana tersebut adalah menurut Ilmu hukum pidana menyebutkan bahwa alasan penghapus pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuat, maka dibedakan mennjadi 2(dua) jenis alasan penghapus pidana, yaitu: a. Alasan Pembenar Menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Alasan pembenar yang ada dalam KUHP adalah Pasal 49 ayat (1) yaitu Pembelaan Terpaksa; Pasal 50 yaitu menurut peraturan undang-undang; dan Pasal 51 ayat (1) yaitu karena perintah jabatan. b. Alasan Pemaaf atau alasan penghapus kesalahan 106 Menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti orang ini tidak dapat dicela menurut hukum, dengan kata lain tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggung-jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Alasan Pemaaf dalam KUHP ialah Pasal 44 yaitu tidak mampu bertanggung-jawab; Pasal 49 ayat (2) yaitu noodweerexcees; Pasal 51 ayat (2) yaitu dengan ikhtikad baik melaksanakan peringatan jabatan yang tidak sah. Berdasarkan uraian diatas, apabila unsur-unsur telah terbukti secara sah dengan memeriksa alat bukti yang diajukan dalam persidangan dan hakim telah memperoleh keyakinannya serta terdakwa tidak memiliki alasan pengahapus pidana maka dalam hal ini terdakwa dinyatakan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang telah didakwakan kepadanya dan terdakwa dapat dikenakan sanksi pidana sesaui dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. 2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Pemberian Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt Pidana dipandang sebagai suatau nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik, hal tersut bukan merupakan tujuan akhir dari hukum pidana melainkan tujuan terdekat. Adapun tujuan akhir hukum pidana adalah memperbaiki pembuat. Jika pelaku tindak pidana adalah seorang anak maka ia dimasukan kedalam pendidikan paksa untuk memperbaiki tingkah lakunya yang buruk. 107 Dalam literatur berbahasa Inggris, tujuan hukum pidan disingkat dengan tiga R dan satu D yaitu: Reformation; Restraint; Restribution serta Deterrence, penjelasan dari masing-masing tersebut sebgai berikut: a. Reformation yaitu memperbaiki atau merehabilitasi pelaku tindak pidana agar ia menjadi baik dan berguna bagi masyarakat, dalam hal ini masyarakat tidak akan rugi karena pelaku tindak pidana tersebut berubah menjadi orang yang baik dan berguna bagi masyarakat. b. Restraint yaitu mengasingkan pelanggar atau pelaku tindak pidana dari masyarakat. Dengan pengasingan tersebut maka masyarakat akan menjadi lebih aman. c. Retribution ialah pembalasan bagi pelaggar karena telah melakukan kejahatan. Sistem yang banyak dikritik sebagai sistem yang tidak sesuai dengan masyarakat yang beradab. d. Deterrence yaitu menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa atau orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan.49 Pelaku tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, dan dalam hal pelaku tindak pidana tersebut tidak mempunyai alasan penghapus pidana, maka pelaku tindak pidana tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termuat dalam Pasal 10, didalamnya mengatur ada dua pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. 49 Andi Hamzah. Op Cit. hlm 28-29. 108 Jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut: a. Pidana pokok meliputi : 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda. b. Pidana tambahan meliputi : 1) Pencabutan beberapa hak tertentu; 2) Perampasan barang-barang tertentu; 3) Pengumuman putusan hakim. Jenis-jenis pidana yang diatur dalam KUHP merupakan acuan bagi jenis pidana yang termaktub dalam hukum pidana khusus, kecuali pidana tambahan. Berlakunya UU NO. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang merupakan peraturan khusus, dalam Undang-undang tersebut mengatur tentang pidana terhadap anak nakal terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), adapun macammacam pidana adalah: a. Pidana Pokok: 1) Pidana Penjara; 2) Pidana Kurungan; 3) Pidana Denda; atau 4) Pidana Pengawasan. b. Pidana Tambahan: 1) Perampasan barang-barang tertentu, dan/atau 109 2) Pembayaran ganti rugi. c. Tindakan: 1) Pengembalian kepada orang tua, wali atau orangtua asuh; 2) Menyerahkan kepada negara untuk memngikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau 3) Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Berkaitan dengan anak yang melakukan suatu tindak pidana maka perlu menjadi pertimbangan hakim mengenai kentuan dalam Pasal 4 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana pasal tersebut memuat ketentuan yaitu batas minimal anak dapat diajukan dalam persidangan adalah anak yang berumur 8(delapan) tahun dan belum mencapai umur 18(delapan belas) tahun. Batas minimal anak untuk dapat dipertanggungjawabkan (dalam arti dapat dikenai pidana atau tindakan), menurut Undang-undang Pengadilan Anak dibagi dalam dua kelompok, yaitu usia anak yang hanya dapat dikenai sanksi tindakan dan usia anak yang dapat dikenakan sanksi pidana atau tindakan. Anak yang melakukan tindak pidana berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 12(dua belas) tahun hanya dapat dijatuhi tindakan. Adapun anak berusia 12(dua belas) tahun tetapi belum mencapai 18(delapan belas) tahun dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan. Batas maksimal usia untuk pertanggungjawaban pidana anak, yaitu apabila anak telah mencapai umur 18(delapan belas) tahun.50 50 Setya Wahyudi. Op.Cit. hlm 51 110 Penanggulangan kenakalan anak dengan sistem peradilan pidana anak, sama dengan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana atau sanksi hukum pidana (penal policy). Apabila penanggulangan kejahatan dengan hendak menggunakan sarana kebijakan hukum pidana/penal, maka ditetapkan terlebih dahulu tentang dua masalah sentral, yaitu tentang:51 a. Perbuatan yang seharusnya dijadikan tindak pidana; b. Sanksi yang seharusnya digunakan atau dikenakan. Kontek pencegahan kenakalan anak, maka penetapan masalah sentral tersebut terhadap kenakalan anak (penetapan tindak pidana anak dan sanksi pidana terhadap anak), perlu memperhatikan pendapat Sudarto, dengan mengacu pendapat Sudarto, maka masalah sentral pertama dalam kontek penanggulangan kenakalan anak, sebagai berikut: a. Penggunaan hukum pidana anak harus memperhatikan tujuan pembangunan generasi muda. Sehubungan dengan itu, penggunaan hukum pidana anak harus bertujuan untuk menanggulangi kenakalan anak dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan-tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman anak. b. Perbuatan anak yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggulangi dengan hukum pidana anak harus merupakan perbuatan yang dikehendaki, yaitu perbuatan yang menimbulkan kerugian materiil atau spiritual atas diri anak dan warga masyarakat pada umumnya. 51 Ibid. hlm 51-52 111 c. Penggunaan hukum pidana anak harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil. d. Penggunaan hukum pidana anak harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja penegak hukum.52 Masalah sentral ke dua sanksi apakah yang seharusnya dikenakan kepada pelaku anak, dalam hal ini yang perlu dipertimbangkan secara umum, yaitu: a. Apakah sanksi itu sungguh-sungguh mencegah terjadinya kejahatan anak. b. Apakah sanksi itu tidak berakibat timbulnya keadaan yang lebih merugikan atas diri anak (stigmatisasi), daripada apabila sanksi tidak dikenakan. c. Apakah tidak ada sanksi lain yang dapat mencegah secara efektif dengan kerugian yang lebih kecil.53 Berkaitan Anak yang melakukan tindak pidana Terorisme, hakim dalam pertimbangannya harus mengacu kepada rumusan Pasal 19 Undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang, dimana pasal tersebut merumuskan: “Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun”. 52 53 Loc. Cit Ibid. hlm 53 112 Disamping Pasal tersebut diatas hakim dalam memutus tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak harus memperhatikan rumusan Pasal 26 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dimana pasal tersebut merumuskan sebagai berikut: Pasal 26: (1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. (2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. (4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Berdasarkan uraian di atas, jika dikaitkan dengan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak, dalam putusan perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, terdakwa telah memenuhi unsur-unsur Pasal 15 jo Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sehingga dalam hal ini hakim memutus terdakwa dengan sanksi pidana yaitu berupa pidana penjara selama 2(dua) tahun. Hal tersebut diperoleh hakim setelah memeriksa alat bukti yang diajukan dalam persidangan dan hakim teleh memperoleh keyakinan, adapun pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut dituangkan dalam pertimbangan 113 hakim dalam putusan tersebut yang pada initinya menyebutkan hal-hal sebagai berikut: Menimbang, bahwa untuk itu sebelum Hakim Majelis, menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan halhal sebagai berikut: Hal- hal yang memberatkan: a. Bahwa Perbuatan terdakwa telah menimbulkan rasa takut di masyarakat; b. Bahwa Perbuatan terdakwa dapat menimbulkan rasa permusuhan antar umat beragama; c. Bahwa Perbuatan terdakwa dapat mengancam jiwa orang lain; Hal-hal yang meringankan: a. Bahwa Perbuatan Terdakwa didorong oleh jiwa muda yang orangorang yang tidak bertanggungjawab, termasuk dalam hal ini oleh Ustad Mus’ab maupun oleh Saksi ROKI APRISDIANTO alias ATOK; b. Bahwa Terdakwa masih berusia anak-anak sehingga masih dapat diharapkan untuk memperbaiki kehidupannya; c. Bahwa Orang tua terdakwa sangat mengharapkan agar terdakwa kembali dapat menjalankan kehidupan yang baik sehingga dapat meraih masa depan yang lebih baik; d. Terdakwa sopan dipersidangan; e. Bahwa Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya; 114 f. Bahwa Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi; g. Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum. Menimbang, bahwa selain hal-hal tersebut diatas, Hakim Majelis perlu mempertimbangkan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan yang antara lain, mengemukakan: a. Terdakwa masih muda usia, masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri, pintar dan diharapkan bisa menjadi salah satu asset bangsa; b. Terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi; c. Selama proses hukum berjalan, terdakwa bersikap baik dan jujur; d. Terdakwa sebagai anak tertua dalam keluarga dan kehadirannya sangat dibutuhkan orang tua dan adik-adiknya; e. Pentingnya penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan perlindungan Anak, Pasal 64 ayat (2) huruf d) Menimbang, bahwa sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa Pidana penjara, yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa anak paling lama atau paling banyak adalah ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa; Menimbang, bahwa menurut hemat Hakim Majelis ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) tersebut diberlakukan pula dalam hal batas minimum khusus 115 ancaman pidana bagi anak. Pemberlakuan ½ (satu per dua) dari batas minimum pidana orang dewasa bagi terdakwa anak, telah pula dipertegas oleh Mahkamah Agung, dalam putusannya tertanggal 22 September 2010 No. 1956 K/Pid.sus/2010; Menimbang bahwa khusus untuk tindak pidana Terorisme, Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15 dan Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sebagaimana dimaksud dalam pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia dibawah 18(delapan belas) tahun.; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dihubungkan dengan Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, maka menurut hemat Hakim Majelis ancaman pidana terhadap terdakwa anak dalam perkara tindak pidana teroris paling lama adalah 10 tahun penjara dan mengesampingkan ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus; 116 Menimbang, bahwa selanjutnya bilamana terdakwa harus dijatuhi pidana penjara, sebagaimana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum, maka menurut hemat Hakim Majelis, pidana yang akan dijatuhkan, tidaklah hanya semata-mata dipandang sebagai pembalasan agar terdakwa tidak melakukan perbuatan pidana lagi dikemudian hari, akan tetapi terkandung pula tujuan bahwa pidana tersebut sekaligus sebagai sarana pembelajaran dan pembinaan agar terdakwa menjadi manusia yang lebih baik dan bermartabat di pemidanaannya; Menimbang, bahwa selain dari pada itu, tidak kalah pentingnya adalah bahwa dengan pemidanaan diharapkan mampu mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu (restutitioin integrum) sehingga Hakim Majelis memandang bahwa pidana yang akan dijatuhkan berikut ini adalah cukup adil, baik bagi terdakwa sendiri, maupun bagi Negara dan masyarakat pada umumnya, sebagai akibat perbuatan terdakwa tersebut; Menimbang, bahwa dengan pemikiran yang demikian ini, maka tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut agar terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun, menurut hemat Hakim Majelis masih terlalu berat bagi diri terdakwa yang masih anak-anak dan oleh karena itu pula harus diturunkan, sehingga tujuan dari pemidanaan itu sendiri, khususnya terhadap diri terdakwa akan lebih tepat dan bermanfaat. 117 Bab V Penutup A. Simpulan 1. Penerapan unsur-unsur Pasal 15 Jo 9 UU No. 15 Tahun 2003 dalam Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt. Hukum Positif yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang Hukum Pidana Materiil yang dilakukan oleh anak samapai saat ini belum ada, dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanya mengatur mengenai Hukum Formil atau Hukum Acara tentang anak. Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak saat ini belum ada aturan khusus yang mengaturnya, maka dalam hal Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak hukum yang digunakan adalah UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh Anak, dalam putusan perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, dimana terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan tindak pidana terorisme sesuai dengan rumusan Pasal 15 Jo Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2003. Hakim setelah memeriksa alat bukti yang diajukan dalam persidangan yaitu berupa Keterangan Saksi, Alat Bukti Surat dan Keterangan Terdakwa memperoleh keyakinan bahwa unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 15 Jo Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2003, telah terbukti dilakukan oleh terdakwa, unsur-unsur tersebut antara lain : Setiap orang; Melakukan Permufakatan Jahat; Secara Melawan Hukum memasukkan ke Indonesia, 118 membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia, sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya; Untuk melakukan Terorisme. Hal diterapkaanya Pasal 15 Jo Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2003 terhadap tindak Pidana terorisme yang dilakukan oleh anak adalah dalam rangka kriminalisasi dari Pasal 1 UU Darurat No. 12 Tahun 1951, karena dalam hal tindak pidana Terorisme sangat merugikan bagi Bangsa dan Negara, nyawa manusia, harta benda, dan lain sebagainya maka dalam hal ini tindak pidana terorisme tidak ada toleransi lagi begitu juga terhadap pelaku anak, dalam setiap tindak pidana terorisme apabila tersangka atau terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana terorisme maka ia patut untuk mendapat sanksi pidana. 2. Pertimbang Hukum Hakim dalam Memberikan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt Hakim dalam mewujudkan tujuan Hukum yaitu Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dapat dilihat dari Putusan mengenai sanksi pidana terhadap setiap tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukum.hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana harus memperhatikan beberapa aspek atau pertimbangan yaitu: pertimbangan yuridis; pertimbangan filosofis dan pertimbangan sosiologis. 119 Tindak Pidana yang dilakukan oleh anak, dalam menjatuhkan sanksi pidana hakim dapat mempertimbangkan berdasarkan UU No. 3 Tahun 199 tentang Pengadilan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Hal tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak hakim juga dapat melihat dari ketentuan Pasal 19 UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain pertimbangan tersebut hakim juga harus memperhatikan manfaat dari pemberian sanksi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan juga kondisi psikhis dari anak. Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, dimana yang dijadikan pertimbangan oleh hakim adalah Pasal 19 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Laporan Hasil Penelitian dari BAPAS, hal-hal yang meringankan dan memberatkan Terdakwa. Terdakwa juga tidak mempunyai alasan penghapus pidana, maka dalam hal ini hakim setelah memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana terorisme sesuai rumusan Pasal 15 Jo 9 UU No. 15 Tahun 2003, terdakwa dijatuhkan sanksi pidana penjara selama 2 tahun. Sanksi pidana penjara selama 2 tahun tersebut lebih ringan dari tuntutan yang diajukan oleh JPU yang mengajukan tuntutan pidana penjara selam 4 tahun, maka dalam hal ini hakim telah benar-benar memperhatikan aspek-aspek atau pertimbangan-pertimbangan dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa. 120 B. Saran 1. Kepada aparat penegak hukum mengenai tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak, mensosialisasikan aturan-aturan hukum yang mengatur hal tersebut kepada masyarakat terutama orang tua agar nantinya orang tua dapat memberikan perhatian secara khusus kepada anak-anaknya supaya tidak terjerumus dalam tindak pidana terorisme, serta masyarakat paham akan arti keadilan dalam penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak. 2. Hakim dalam memutus perkara pidana yang dilakukan oleh anak, dalam menjatuhkan sanksi pidana harus memperhatikan rasa keadilan serta manfaat bagi anak dalam penjatuhan sanksi tersebut, dalam hal ini hakim dapat memberikan sanksi seperti sanksi tindakan untuk membina anak yang melakukan tindak pidana. 121 DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Aula, Farkhatul. 2004. Perluasan Yurisdiksi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Terorisme Internasional. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Bassar, M. Sudrajat. 1982. Tindak-Tindak Pidana Tertentu. Ghalia. Bandung. ____________, 1983. Hukum Pidana (Pelengkap KUHP). CV. Armico. Bandung. Chazawi, Adami. 2002. Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hamzah, Andi. 1994. Azas-azas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Huda, Chairul. 2006. “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’ “. Prenada Media. Jakarta. Ibrahim, Johny. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Banyumedia Publishing. Malang. Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penintensier Indonesia. CV. Armico. Bandung. Makarno, Mohhamad Taufik dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia. Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni/1992/Bandung. Prodjodikoro, Wirjono. 2002. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung. Sahetapy, J.E. 1995. Hukum Pidana. Liberty. Yogyakarta. Scaffmeister, D. dkk, penerjemahan J.E Sahetapy. 1995. Hukum Pidana. Liberty. Yogyakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Sudarto, 1990. Hukum Pidana 1A 1B. Purwokerto: fakultas Hukum Unsoed. Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Genta Publishing. Yogyakarta. Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta. 122 B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak __________________, Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. __________________,Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. C. Sumber Lain Internet http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Definisi_terorisme&oldid=5609532. Diakses pada tanggal 2 Desember 2012 http://google.com//menujusistemperadilananakdiindonesia. Diakses tanggal 3 September 2012. http://eprints.unsri.ac.id/606/1/Kritisi_Terhadap_Kebijakan_Formulasi_Sanksi_Ti ndakan_Bagi_Anak_Nakal_Dilihat_dari_Perspektif__AliranMazhab_Utilitis_ (Kemanfaatan). Diakses pada tanggal 23 Januari 2013.