1 TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

advertisement
1
TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor:
19/Pid.Sus/2011/PN.Klt)
SKRIPSI
Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
AJI PURNOMO
E1A008263
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
2
ABSTRAK
TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor:
19/Pid.Sus/2011/PN.Klt)
Oleh :
AJI PURNOMO
E1A008263
Terorisme merupakan tindak pidana yang mengancam nyawa manusia, harta
benda dan kedaulatan suatu bangsa serta sering juga menimbulkan korban nyawa
dan harta benda yang banyak. Negara Republik Indonesia sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 wajib melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu Negara
berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negaranya dari setiap ancaman
terorisme. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan kebijakan
Legislatif dalam upaya menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia.
Tindak Pidana Terorisme pada saat ini tidak hanya saja dilakukan oleh orang
dewasa namun saat ini anak-anak juga sudah mulai terlibat dalam tindak pidana
terorisme. Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang berupa bahan hukum
primer dan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan perkara
Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, Terdakwa AW (umur 17 tahun) terlibat secara
langsung dalam aksi terorisme. Saat ini belum ada Hukum pidana materiil tentang
anak, dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, hal
tersebut hanya mengatur tentang hukum acara atau Hukum Formil tentang anak,
sehingga dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak hukum pidana
materiilnya masih menggunakan hukum pidana materiil orang dewasa. Tindak
pidana terorisme yang dilakukan oleh anak dalam hal ini pengaturannya
menggunakan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantansan Tindak Pidana
Terorisme. Terdakwa oleh hakim setelah menjalani proses persidangan, hakim
memeriksa alat bukti yang diajukan dalam persidangan dan memperoleh
keyakinannya, terdakwa terbukti secara memenuhi unsur-unsur tindak pidana
sesuai rumusan Pasal 15 Jo Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2003. Terdakwa juga tidak
mempunyai alasan penghapus pidana, sehingga terdakwa dapat dijatuhi sanksi
pidana. Hakim dalam menjatuhkan saksi pidana terhadap tindak pidana Terorisme
yang dilakukan oleh anak memperhatikan rumusan Pasal 19 UU No. 15 Tahun
2003, Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 1997 serta UU No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindugan Anak, maka dalam hal penjatuhan sanksi terhadap
terdakwa berupa pidana penjara selam 2 tahun.
3
Kata Kunci : Terorisme, Anak, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003, UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997.
4
ABSTRACT
Terrorism is a crime that threaten human life, property and sovereignty of a
nation, and often also lead to loss of life and property are many. The Republic of
Indonesia as mandated by the Act of 1945 shall protect the whole Indonesian
nation and the entire country of Indonesia. Therefore the State has an obligation to
protect all citizens from any threat of terrorism. Law No. 15 of 2003 is the policy
of the Legislature in an effort to tackle terrorism in Indonesia. Crime Terrorism
today is not only done by adults but now the kids have also begun to engage in
criminal acts of terrorism. Research used in this research is normative law using
secondary data in the form of primary and secondary legal materials. Based on the
results of the decision Case Number: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, Defendant AW
(age 17 years) were directly involved in terrorism. Currently there is no
substantive criminal law concerning children, the issuance of Law no. 3 of 1997
on Juvenile Justice, it is only the procedural law governing Formal or law about
children, so in terms of criminal offenses committed by children are still using the
criminal law criminal law materiilnya adult material. The criminal acts of
terrorism committed by children in this setting using the Law no. 15 of 2003 on
Pemberantansan Criminal Acts of Terrorism. The defendant by a judge after a
trial, the judge hears evidence presented at trial and obtained his conviction, the
defendant proved meet the elements of criminal acts as defined by Article 15 of
Article 9 of Law No. Jo. 15 of 2003. The defendant also has no reason eraser
criminal, so that the defendant can be sentenced to criminal sanctions. Judge in
imposing criminal witness against terrorism offenses committed by children
noticed formulation Article 19 of Law no. 15 of 2003, Article 26 paragraph (1)
and (2) Law no. 3 Year 1997 and Law no. 23 Year 2002 on Perlindugan son, then
in terms of sanctions against the defendant in the form of imprisonment for 2
years subs.
Keywords: Terrorism, Kids, Law No. 15 of 2003, Act No. 3 of 1997
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Consideran Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menyebutkan anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri
dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan
dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin
pelaksanaannya
Dewasa ini kenakalan anak tidaklah dianggap sebagai hal yang luar biasa
lagi, saat ini sudah banyak sekali kasus-kasus pidana yang pelakunya adalah anakanak, dalam artikel yang penulis baca di internet menyebutkan bahwa setiap tahun
sekitar 6000 anak menjalani hukuman penjara atau tahanan,1 hal tersebut
membuktikan bahwa kenakalan anak saat ini bukanlah kenakalan yang biasa
nanum kenakalan anak saat ini sudah bersinggungan dengan tindakan kriminal
dan hukum, bahkan dalam waktu dekat ini banyak kasus yang melibatkan anak
atau remaja usia belasan tahun, tidak hanya kasus perkelahian dan minumminuman keras, tetapi juga kasus pencurian, perampokan perusakan atau
pembakaran, seks bebas, narkoba bahkan sampai melakukan tindak pidana
Terorisme.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban
manusia serta merupakan sebuah ancaman serius terhadap kemanusiaan dan
1
http://google.com//menujusistemperadilananakdiindonesia. Diakses tanggal 3 September 2012.
6
peradaban manusia serta sebuah ancaman serius terhadap keutuhan dan
kedaulatan suatu negara. Terorisme pada saat ini bukan saja merupakan suatu
kejahatan lokal atau nasional tetapi sudah merupakan kejahatan transnasional
bahkan internasional, banyak menimbulkan ancaman atau bahaya terhadap
keamanan, perdamaian dan sangat merugikan kesejahteraan masyarakat dan
bangsa.2
Sejarah di Indonesia yang tidak mungkin dapat kita lupakan ialah saat
terjadinya Bom Bali 1, dari kasus tersebut memberi gambaran kepada negara atau
pemerintah untuk lebih meningkatkan pengamanan terhadap pelaku tindak pidana
terorisme. Sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali tersebut, pemerintah
berkewajiban untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme dengan
memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi
prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan,
diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme,
agar nantinya para aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fugsinya
ada suatu rambu-rambu yang dijadikan sebagai dasar hukum, hal tersebut sangat
perlu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Menyadari Tindak Pidana Terorisme lebih didasarkan pada peraturan
yang dijadikan dasar hukum saat itu (sebelum UU No. 15 Tahun 2003) adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus
serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme,
Pemerintah
2
Indonesia
merasa
perlu
untuk
membentuk
Undang-Undang
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Definisi_terorisme&oldid=5609532.
tanggal 02 Desember 2012
Diakses
pada
7
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002, yang
pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15
tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal tersebut
menjadi bukti konkrit pemerintah, demi menjaga kedaulatan Bangsa dan Negara,
melindungi segenap warga negara serta demi terciptanya keamanan dan
kesejahteraan rakyat maka pemerintah harus mengambil langkah dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Tindak Pidana Terorisme saat ini tidak saja dilakukan oleh orang dewasa,
dari kasus-kasus yang telah terungkap oleh publik, baik melalui media cetak
maupun elektronik saat ini anak-anak juga mulai terlibat dalam kasus Tindak
Pidana
Terorisme,
seperti
halnya
dalam
Putusan
perkara
Nomor:
19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, dimana anak-lah yang menjadi pelaku Tindak Pidana
Terorisme.
Tindak Pidana Terorisme di Indonesia belum ada aturan yang secara
khusus mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh Anak,
namun dalam UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme memberikan ketentuan dalam Pasal 19 yang berbunyi: “Ketentuan
mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal
16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak
pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, uraian bunyi
8
pasal tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan Tindak Pidana
Terorisme yang dilakukan oleh anak sama dengan ketentuan Tindak Pidana
Terorisme yang dilakukan oleh orang dewasa.
Hasil penelitian putusan perakara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt,
Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak, dalam putusan perkara
tersebut pelaku anak memenuhi rumusan Pasal 15 Jo Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Menjadi Undang-Undang, pasal tersebut merumuskan:
Pasal 15 “Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat,
percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai
pelaku tindak pidananya.”
Pasal 9 “Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke
Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan
atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan
ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu
bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan
maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Hukum Pidana merupakan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan
kepada pelaku. Hal demikian menempatkan hukum pidana dalam hukum materiil.
Dalam pengertian yang lengkap dinyatakan oleh Satochid Kartanegara bahwa
hukum pidana materiil berisikan peraturan peraturan berikut ini:3
3
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm 6-7.
9
1. Perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (Starafbare Feiten);
2. Siapa-siapa yang dapat dihukum;
3. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.
Menurut Moeljatno, pada umumnya hukum pidana materiil diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun ada kalanya dalam suatu
peraturan perundang-undangan diatur hukum pidana meteriil yang lazim disebut
hukum pidana khusus atau hukum pidana diluar KUHP.4 Dalam praktek
berkembang pula istilah tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
KUHP adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana, dimana
seharusnya semua tindak pidana dimasukan dalam kodifikasi tersebut. Akan tetapi
dalam kenyataanya hal tersebut tidak mungkin karena selalu timbul perbuatanperbuatan yang karena perkembangan zaman dapat menjadi suatu tindak pidana.
Buku I KUHP yang memuat azas-azas hukum pidana pada umumnya berlaku bagi
seluruh bidang hukum pidana positif, baik yang termuat didalam KUHP maupun
dilar KUHP. Dasar hukum tersebut ada dalam Pasal 103 KUHP, yang menyatakan
bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII Buku I, juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang
ditentukan lain.5
4
Loc. Cit
M. Sudrajat Bassar. 1983. Hukum Pidana (Pelengkap KUHP). CV. Armico. Bandung. Hlm 16
5
10
Pasal 1 Angka (2) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
yang merumuskan “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Berkaitan dengan hal tersebut juga terdapat dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang yang sama, dimana masing-masing pasal tersebut berbunyi:
Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak
meliputi :
a.
b.
c.
d.
non diskriminasi;
kepentingan yang terbaik bagi anak;
hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
penghargaan terhadap pendapat anak.
Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan
sejahtera.
Berdasarkan Latar Belakang permasalahan tersebut, maka penulis tertarik
untuk meneliti tentang penerapan unsur-unsur Pasal 15 Jo Pasal 9 UndangUndang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang serta hal-hal yang menjadi
pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap Tindak
11
Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak dalam putusan perkara Tindak Pidana
Terorisme yang dilakukan oleh anak dalam Putusan perkara Nomor :
19/Pid.Sus/2011/PN.Klt.
B. Perumusan Masalah
1.
Bagaimanakah penerapan unsur-unsur Pasal 15 Jo Pasal 9 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang terhadap Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak
dalam Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN. Klt?
2.
Hal-hal apa yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan sanksi pidana dalam perkara Tindak Pidana Terorisme yang
dilakukan oleh anak dalam perkara Nomor: 19/Pid. Sus/2011/PN. Klt?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui penerapan unsur-unsur Pasal 15 Jo Pasal 9 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang dalam Putusan Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN. Klt.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi
pidana dalam perkara tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak
dalam Putusan Nomor: 19/Pid. Sus/2011/PN. Klt.
12
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Dengan
adanya
penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
memberikan
pemahaman mengenai tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak,
penerapan unsur-unsur dalam Pasal 15 Jo Pasal 9 Undang-undang Nomor
15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang serta pertimbangan hukum
hakim dalam memberikan sanksi pidana terhadap tindak pidana terorisme
yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.
Klt.
2. Kegunaan Praktis
Dengan adanya penelitian ini adalah memberikan pemahaman terhadap
seluruh aparat penegak hukum dan juga masyarakat, demi terciptanya
kepastian hukum maka setiap pelanggaran atau kejahatan harus ditegakan
tanpa terkecuali bagi anak. Berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme
yang dilakukan oleh anak, hakim dalam memeriksa perkara dan
menjatuhkan sanksi pidana, harus dibedakan dengan orang dewasa dan
tetap harus memperhatikan kondisi kejiwaan si anak, karena anak
merupakan aset sebuah bangsa untuk tetap melanjutkan cita-cita bangsa
dan negara.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Pidana.
1.
Pengertian Hukum Pidana:
a.
Hukum
Hukum adalah peratuan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang
sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan hukum adalah
menciptakan keselamatan, kebahagiaan dan tata-tertib didalam masyarakat.
Adapun pengertian lain dari hukum menurut pendapat para sarjana yang ditulis
dalam diktat Pengantaur Hukum Indonesia (PHI) Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman adalah :
1) Utrecht, berpendapat hukum adalah himpunan peraturan-peraturan
(perintah dan larangan) yang mengurus tata-tertib masyarakat dan
oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
2) J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah
laku masyarakat yang dibuat oleh badan-badan yang berwajib,
pelanggaran mana dalam peraturan-peraturan berakibat diambilnya
tindakan yaitu dengan hukuman tertentu.
3) Tirtamidjaja, hukum adalah semua aturan (norma) yang harus
dituruti dalam tingkah laku dalam pergaulan hidup dengan ancaman
mesti menggati kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan
14
membahayakan
diri
sendiri,
umpamanya
akan
kehilangan
kemerdekaanya, didenda dan sebagainya.
Unsur-unsur hukum :
1) Peraturan mengenai tingkah laku dalam pergaulan masyarakat;
2) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3) Peraturan ini bersifat memaksa;
4) Sanksi terhadap pelanggar peraturan adalah tegas.
b. Pidana
Sudarto, Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu,
sedangkan menurut Ruslan Saleh, Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat
delik tersebut.6
c.
Hukum Pidana
Penegrtian hukum pidana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum
sebagai berikut:7
1) Mezger, hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikat pada
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat
berupa pidana. Jadi pada dasarnya hukum pidana berpokok pada 2
(dua) hal, ialah:
6
Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni/1992/Bandung.
Hlm 2
7
Sudarto, 1990. Hukum Pidana 1A 1B. Purwokerto: fakultas Hukum Unsoed.
15
a) Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu: dimaksudakan
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan
adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut
perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan jahat (verbrechen
atau crime), oleh karena itu dalam perbuatan jahat ini harus ada
orang yang melakukannya, maka mengenai perbuatan tertentu
itu dapat diperinci menjadi 2(dua) ialah: perbuatan yang
dilarang; dan orang yang melanggar perbuatan itu.
b) Pidana, ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu itu. Dalam hukum pidana modern, pidana ini juga
meliputi “tindakan tata tertib (Tuchtmaatregel, Masznahme).
2) Simons, hukum pidana ialah:
a) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam
dengan nestapa, yaitu sanksi pidana apabila tidak ditaati;
b) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk
penjatuhan pidana; dan
c) Keseluruhan
peraturan
yang
memberikan
dasar
untuk
penjatuhan dan penerapan pidana.
3) Van Hamel : keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh Negara
dalam kewajibannya untuk menegakan hukum, yakni dengan
melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan
16
mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar
larangan tersebut.
Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata pidana
berarti adalah yang dipidanakan atau penjatuhan pidana, yaitu yang oleh instansi
yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak
dirasakannya dan sebagai hal yang tidak sehari-hari dilimpahkannya.8 Tentunya
ada alasan melimpahkan pidana ini selayaknya ada hubungan dengan suatu
keadaan, yang didalamnya seorang oknum bersangkutan bertindak kurang baik,
maka unsur hukuman terhadap suatu pembalasan tersirat dalam kata “pidana”.
Hukum pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan peraturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut;
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagimana yang diancam;
c. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 9
2.
Tujuan Hukum Pidana
Sebelum membahas mengenai tujuan hukum pidana, terlebih dahulu
dibahas mengenai fungsi dari hukum pidana itu sendiri, adapun fungsi dari hukum
8
Wirjono Prodjodikoro. 2002. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia. PT Refika Aditama.
Bandung. hlm 1
9
Andi Hamzah. 1994. Azas-azas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm 1-2.
17
pidana dibagi menjadi 2(dua) fungsi, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus,
penjelasan dari masing-masimg fungsi tersebut adalah:
a.
Fungsi
umum
dari
hukum
pidana
adalah
mengatur
hidup
kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
Hukum
hanya
memperhatikan
perbuatan-perbuatan
yang
sozialrelevant, arinya ada sangkut pautnya dengan masyarakat.
Hukum pada dasarnya tidak mengatur sikap batin seseorang yang
bersangkutan dengan tata susila, demikian juga denga hukum pidana.
b.
Fungsi khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan
hukum
terhadap
perbuatan
yang
hendak
memperkosanya
(Rechtguterchutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya
lebih tajam dibanding dengan cabang-cabang hukum lainnya.10
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan dari hukum pidana ialah untuk
memenuhi rasa keadilan, diantara para sarjana hukum diutarakan tujuan hukum
pidana ialah:
a.
Untuk menakut-nakuti seseorang jangan sampai melakukan kejahatan
baik secara menakut-nakuti orang banyak maupun orang tertentu yang
sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan
kejahatan lagi; atau
10
Sudarto. Op.cit.hlm 5
18
b.
Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah
menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik
tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.11
3.
Berlakunya Hukum Pidana
a.
Azas Legalitas
Azas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP “tiada suatu
perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan ketentuan perundangundangan pidana yang mendahuluinya”
Moeljatno menulis bahwa azas legalitas mengandung 3 (tiga) pengertian,
antara lain :
1) Tiada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undangundang.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.12
Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut diatas, jika diperinci berisi 2(dua) hal,
yaitu:
1) Suatu tindak pidana harus dirumuskan dan disebutkan dalam suatu
peraturan perundang-undangan, mengenai hal ini ada 2(dua)
konsekuensi:
11
12
Wirjono Prodjodikoro. Op.cit. hlm 18
Ibid. hlmn 42
19
Pertama, bahwa perbuatan orang yang tidak tercantum dalam
undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapat dipidana. Jadi
dengan adanya azas legalitas hukum yang tidak tertulis tidak mempunyai
kekuatan untuk diterapkan.
Kedua, ada pendapat tentang larangan menggunakan analogi untuk
membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana sebagaimana dirumuskan
dalam undang-undang. Analogi artinya memperluas sauatu aturan dengan
mengabstraksikan menjadi aturan hukum yang menjadi dasar dari aturan
itu dan kemudaian menerapkan aturan yang bersifat umum kepada
perbuatan konkrit yang tidak diatur dalam undang-undang. Penerapan
analogi ini dilakukan apabila terjadi kekosongan undang-undang untuk
perbuatan yang mirip dengan apa yang diatur oleh undang-undang.
2) Peraturan perundang-undangan harus ada sebelum terjadinya tindak
pidana, yang menjadi dasar pemikiran ini adalah:
a) Seperti hal yang pertama, menjamin kebebasan individu
terhadap kesewenang-wenangan penguasa atau pengadilan;
b) Pidana juga sebagai paksaan, dengan adanya ancaman pidana
terhadap orang yang melakukan tindak pidana penguasa
berusaha mempengaruhi jiwa pelaku tindak pidana untuk tidak
melakukan tindak pidana. Ancama pidana harus ada pada saat
tindak pidana dilakukan sehingga dengan demikian dapat
tercegahnya suatu tindak pidana.
20
b. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat
Pembentuk undang-undang menetapkan berlakunya undang-undang
terhadap tindak pidana yang terjadi didalam atau diluar wilayah negara dalam
beberapa azas, antara lain:
1) Azas teritorial atau wilayah;.
2) Azaz nasionalitas pasif atau Perlindungan;
3) Azas Personalitas atau Azas Nasionalitas Aktif;
4) Azas Universal.13
Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian mengenai azas-azas
tersebut dalam bukunya, yaitu sebagai berikut:14
1) Prinsip Teritorialitas
Prinsip ini menganggap hukum pidana berlaku diwilayah hukum
Republik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana, ditegaskan dalam
Pasal 2 KUHP yang menyatakan, bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana didalam wilayah
Negara Indonesia, dengan demikian orang-orang asing yang berada diwilayah RI
takluk kepada hukum pidana Indonesia.
Prinsip teritorialitas diperluas dalam Pasal 3 KUHP, sampai kapal-kapal
Indonesia, meskipun berada diluar wilayah Indonesia, maka dengan demikian
siapa saja juga orang asing dalam kapal-kapal laut Indonesia, meskipun sedang
berada atau berlayar diwilayah negara lain takluk pada hukum pidana Indonesia.
13
14
Andi hamzah. Op.cit. hlm 32
Wirjono. Op.cit. hlm 47-54
21
2) Prinsip Nasional Aktif
Prinsip ini dimuat dalam Pasal 5 KUHP yang berbunyi:
(1) Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku
bagi Warga Negara Indonesia, yang diluar wilayah negara
Indonesia bersalah melakukan:
Kesatu : salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat
dalam Titel 1 dan 2 Buku II dan dalam Pasal-pasal 160,
161, 240, 279, 450 dan 4451.
Kedua : suatu tindak pidana yang menurut hukum pidana
Indonesia masuk golongan “kejahatan”, dan menurut
hukum pidana dari tempat pidana itu dilakukan, diancam
pula dengan hukuman pidana.
(2) Penuntutan kejahatan-kejahatan tersebut dalam sub kedua
juga dapat dilakukan apabila si tersangka baru setelah
melakukan tindak pidana menjadi Warga Negara
Indonesia.
Prinsip tersebut sedikit terdapat pembatasan, yaitu termuat
dalam Pasal 6 KUHP, yang menentukan bahwa hukuman mati tidak
boleh dijatuhkan oleh pengadilan di Indonesia apabila kejahatan yang
bersangkutan,
menurut
hukum
pidana
negara
asing
yang
bersangkutan, tidak diancam dengan hukuman mati.
3) Prinsip Nasional Pasif
Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum
pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia, berdasar atas kerugian
nasional amat besar yang diakibatkan oleh beberapaa kejahatan
sehingga siapa saja, termasuk orang asing yang melakukannya dimana
saja, pantas dapat dihukum oleh Pengadilan Negara Indonesia.
Prinsip ini termuat dalam Pasal 4 ke-1, ke-2 dan ke-3 KUHP
yang berbunyi sebagai berikut:
Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi
siapa saja, yang diluar wilayah Indonesia telah melakukan:
22
Ke-1 : salah satu dari kejahatan yang termuat dalam Pasalpasal 104-108, 110, 111 bis sub 1, 127, 130-133;
Ke-2 : suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas
atau mengenai segel atau mengenai merk yang dikeluarkan
oleh pemerintah Indonesia;
Ke-3 : suatu pemalsuan surat-surat hutang (schuldbrieven)
atas beban Indonesia atau daerah dari Indonesia, atau
pemalsuan dalam tanda-tanda deviden atau bunga dari suratsurat hutang itu, atau dengan sengaja mempergunaka suratsurat berharga itu.
4) Prinsip Universalitas
Prinsip ini melihat dalam suatu tata hukum Internasional,
dimana terlibat kepentingan bersama dari semua negara di dunia,
maka jika ada suatu tindak pidana yang merugikan bersama dari
semua negara itu, adalah layak bahwa tindak pidana dapat dituntut dan
dihukum oleh pengadilan setiap negara, dengan tidak dipedulikan,
siapa saja yang melakukannya dan dimana saja.
B. Tindak Pidana Terorisme dan Dasar Hukum di Indonesia
Pengertian Tindak Pidana Terorisme, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia menyatakan:
“Teror adalah perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang
sewenang-wenang (kejam, bengis dan sebagainya), usaha
menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seorang
atau golongan. Menteror (meneror) adalah berbuat kejam
(sewenang-wenang dan sebagainya) untuk menimbulkan rasa takut,
biasanya untuk tujuan politik. Terorisme diartikan sebagai
penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha
untuk mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik-praktik
tindakan teror”15
15
Farkhatul Aula. 2004. Perluasan Yurisdiksi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Terorisme
Internasional. Universitas Jendderal Soedirman. Purwokerto. Hlm 42
23
Terorisme mengandung arti sebagai pengunaan atau ancaman, dengan
ciri-ciri sebagai berikut:16
1) Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian
terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan
kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius
bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi tertentu yang
didesain secara serius untuk campur tangan atau menggangu sitem
elektronik;
2) Penggunaan ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau
untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik;
3) Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau
ideologi;
4) Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang
melibatkan senjata api dan bahan peledak.
Pemerintah Indonesia sejalan dengan amanat sebagaimana ditentukan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan
perdamaian abadi dan keadilan sosial, berkewajiban untuk melindungi warganya
16
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Definisi_terorisme&oldid=5609532.
tanggal 02 Desember 2012
Diakses
pada
24
dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional, transnasional, maupun
bersifat internasional.
Pemerintah juga berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan serta
memelihara keutuhan dan integritas nasional dari setiap bentuk ancaman baik
yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk itu, maka mutlak diperlukan
penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan. Untuk
menciptakan suasana tertib dan aman, maka dengan mengacu pada konvensi
internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
terorisme, serta untuk memberi landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum
dalam mengatasi masalah yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana
terorisme.
Presiden Republik Indonesia menetapkan Peraturan yang dijadikan
sebagai hukum positif di Indonesia tentang tindak pidana terorisme kedalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentan Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang.
UU No. 15 Tahun 2003, menyebutkan bahwa terorisme adalah perbuatan
melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan
kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral,
harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi
kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat,
25
lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan,
perekonomian,
teknologi,
perindustrian,
fasilitas
umum
atau
fasilitas
internasional.
Pengertian Tindak Pidana Terorisme yang disebutkan di atas, adalah
merupakan hasil daripada menyimpulkan dari bunyi beberapa pasal dalam UU
No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu dalam
Pasal 6 sampai dengan Pasal 18 Bab III (Tindak Pidana Terorisme) dan Pasal 20
sampai dengan Pasal 24 Bab IV (Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan
Tindak Pidana Terorisme) dalam UU No. 15 Tahun 2003 Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Adapun rumusan tersebut diringkas dalam beberapa pasal,
antara lain:
Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta
benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 9
Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia,
membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau
mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan
padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau
dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak
dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk
melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
26
Pasal 12
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau
patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk
melakukan :
a.
tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki,
menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir,
senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,
radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat
mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan
kerusakan harta benda;
b.
mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya;
c.
penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir,
senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,
radioaktif atau komponennya;
d.
meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi,
mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau
ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;
e.
mengancam :
1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,
radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya
untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan
harta benda; atau
2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf
b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi
internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.
f.
mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, atau huruf c; dan
g.
ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf f.
Pasal 13
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau
kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :
a.
memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta
kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;
27
b.
menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau
c.
menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau
pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidananya.
Berdasarkan dari penjabaran pasal-pasal tersebut di atas, dapat diambil
kesimpulan unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme adalah:
1. setiap bentuk penggunaan kekerasan yang menimbulkan ketakutan
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal;
2. setiap kejahatan permufakatan untuk melakukan Tindak Pidana
Terorisme;
3. setiap kepemilikan yang tidak sah dan/atau penggunaan secara melawan
hukum senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, radio
aktif atau komponennya;
4. setiap perencanaan dan/atau pemberian bantuan atau kemudahan untuk
pelaku Tindak Pidana Terorisme.17
Tindak Pidana Terorisme terdapat beberapa karakteristik, antara lain:
1. Karakteristik Organisasi:
a. Rekuitment anggota yaitu terhadap orang-orang yang sepaham
dengan mereka akan mendapat pelatihan-pelatihan atau semacam
pencucian otak;
17
Farkhatul Aula. Op.cit. hlm 46
28
b. Pendanaan bersifat sangat terselubung, hasil penyidikan terhadap
hambali yang dilakukan badan Intelejen Amerika jelas menunjukan
bahwa ada sumber-sumber tertentu yang menyumbang dana untuk
mereka;
c. Hubungan internasional, mereka mempunyai akses keluar negeri
yang cukup bagus, mereka tergolong penjahat yang memanfaatkan
teknologi untuk memperbesar jaringan serta pengaruhnya.
2. Karakteristik Perilaku:
a. Motivasi, motif terorisme meliputi motif rasional, seperti adanya
kebencian dari para pelaku terorisme terhadap orang-orang tertentu
atau kelompok tertentu; motif psikologi yaitu dengan menimbulkan
ketakutan masyarakat luas; dan motif budaya yaitu budaya yang ada
dalam masyarakat seperi budaya kumpul kebo dan lain sebagainya.
b. Dedikasi (kesetiaan), para terorisme mempunyai kesetiaan yang
sangat tinggi, mereka tidak punya rasa takut, termasuk terhadap
aparat keamanan, militansi mereka tinggi, bahkan ada yang bersedia
mati dalam menjalankan pekerjaan.
3. Karakteristik sumberdaya, meliputi latihan kemampuan, pengalaman
perorangan dan lain-lain. Para terorisme sebelum melakukan aksinya
telah memiliki kemampuan yang telah teruji karena mereka telah
menjalani latihan secara intensif dan pengalaman yang memadai.18
18
Ibid. hlm 48-49
29
C. Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak
Beberapa pengertian atau definisi Anak yang disebutkan undang-undang,
antara lain:
a. UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak memberikan
definisi tentang anak adalah anak adalah orang yang dalam perkara
anak nakal telah mencapai umur 8(delapan)tahun tetapi belum
mencapai umru 18(delapan belas) tahun atau belum kawin.
b. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak : anak adalah
“seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan”.
c. UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme walaupun tidak menjelaskan pengertian anak namun
dalam Pasal 19 yang berbunyi: “Ketentuan mengenai penjatuhan
pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15,
Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun”.
Mengenai pengertian Anak nakal dalam UU No. 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak, Pasal 1 Butir 2 menjelaskan, “anak nakal adalah anak yang
melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.”
Bambang Waluyo, menyebutkan bahwa sebagai pengaruh kemajuan
IPTEK, kemajuan budaya, dan perkembangan pembangunan pada umumnya
bukan hanya dewasa, tetapi anak-anak juga terjebak melanggar norma terutama
norma hukum. Anak-anak terjebak dalam pola konsemerisme dan asosial yang
makin lama dapat menjurus ketindakan kriminal seperti ekstasi, narkotika,
30
pemerasan, pencurian, penganiayaan, perkosaan dan sebagainya. Apalagi saat ini
banyak orang tua yang terlalu disibukan mengurus kebutuhan duniawi sebagai
upaya mengejar kekayaan, jabatan ataupun gengsi. Keadaan demikian anak
sebagai buah hati sering dilupakan kasih sayang, bimbingan, pengembangan sikap
dan perilaku serta pengawasan dari orang tua.19
Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak, ketentuannya sama
dengan ketentuan tindak pidana terorisme yang dilakukan orang dewasa, yang
menjadi perbedaan adalah dalam penjatuhan sanksi pidana, hal tersebut tertuang
dalam bunyi Pasal 19 dan Pasal 24 Undang-Undang tersebut, dimana masingmasing pasal tersebut berbunyi:
Pasal 19
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 24
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk
pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan
belas) tahun.
Hakim dalam memeriksa Perakara Tindak pidana Terorisme yang
dilakukan oleh anak harus sadar bahwa anak bukanlah orang dewasa sehingga
perlu pendekatan yang khusus dalam penanganannya. Dalam hal ini Muladi dan
19
Bambang Waluyo. Op.cit. Hlm 3
31
Barda Nawawi Arief memberi peringatan, beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam penanganan mengenai perkara anak:20
1. Anak yang melakukan tindak pidana atau kejahatan jangan dianggap
sebagi penjahat (criminal), tetapi harus dipandang sebagai seorang yang
memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang.
2. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan
pendekatan persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan (psikologis)
yang berarti menghukum, yang bersifat degradasi mental dan
penurunan semangat serta menghindari proses stigmatisasi yang dapat
menghambat proses perkembangan, kematangan dan kemandirian anak
dalam arti wajar.
Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan
Tindak Pidana Terorisme, selain harus memperhatikan Pasal 19 dan 24 UU No.
15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga harus
memperhatikan Pasal 26 UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, bunyi
Pasal tersebut adalah:
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama
1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang
dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, belum mencapai umur 12 (duabelas) tahun melakukan
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Hlm
123-124
32
tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat
dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, belum mencapai umur 12 (duabelas) tahun melakukan
tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam
pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut
dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24.
D. Pidana dan Pemidanaan
1. Istilah Pidana dan Pemidanaan
van Hamel memberikan pengertian pidana atau straf dalam bahasa
Belanda yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh P.A.F. Lamintang
yaitu: “suatu penderitaan yang bersifat khusus oleh kekuasaan yang berwenang
untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung-jawab dari
ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang
tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh
negara.”21
Hal terjadinya suatu delik atau tindak pidana, tidak dapat langsung
dikatakan bahwa orang yang melakukan suatu delik tersebut adalah bersalah dan
perbuatannya dapat dipertanngungjawaban secara hukum, namun harus melihat
terlebih dahulu unsur-unsur tindak pidana, adapun unsur-unsur Tindak Pidana
antara lain:22
a. Subjek Tindak Pidana;
b. Perbuatan Tindak Pidana;
21
22
P.A.F. Lamintang. 1984. Hukum Penintensier Indonesia. CV. Armico. Bandung. Hlm 47
Wirjono Prodjodikoro. Op.cit. Hlm 55-61
33
c. Hubungan Sebab-Musabab;
d. Sifat Melanggar Hukum;
e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana.
a.
Subjek Tindak Pidana
Dalam pandang KUHP, yang dapat menjadi Subjek Tindak Pidana
adalah seorang manusia sebagai oknum, hal ini dapat terlihat dari rumusanrumusan tindak pidana dalam KUHP, yang menampakan daya berpikir sebagai
syarat menjadi subjek tindak pidana itu, juga terlihat dalam wujud hukuman atau
pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan
dan denda.
b. Perbuatan dari Tindak Pidana
Perbuatan pertama-tama harus melihat pada perumusan tindak pidana
dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana. Perumusan ini dalam bahasa
Belanda
dinamakan
delict-omschrijving.
Misalnya
dalam
tindak
pidana
“pencurian”, perbuatannya dirumuskan sebagai “mengambil barang milik orang
lain, sebagian atau seluruhnya”, ini merupakan perumusan secara formal, yaitu
benar-benar disebutkan wujud suatu gerakan tertentu dari badan seorang manusia.
Perbuatan biasanya bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif,
yaitu terjadi apabila orang tidak melakukan suatu perbuatan tertentu yang ia wajib
melakukan sehingga suatu peristiwa terjadi, yang tidak terjadi apabila perbuatan
tertenti itu dilakukan, sebagai contoh dalam hal ini adalah seorang ibu yang tidak
memberi makan kepada anaknya padahal anaknya masih bayi sehingga anak
34
tersebut meninggal, maka dengan ini si ibu dapat dikenakan Pasal 338 KUHP
yaitu pembunuhan.
c.
Hubungan Sebab-Musabab
Tindak pidana sebagai unsur pokoknya adalah ada suatu akibat tertentu
dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan
bahwa harus ada hubungan sebab-musabab atas perbuatan si pelaku dengan
kerugian yang diderita orang lain tersebut.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, menyebutkan adanya dua teori
mengenai sebab-musabab ini, diman kedau teori ini satu sama lain saling
bertentangan, adapaun teori tersebut adalah:
Kesatu : dari Von Buri (tahun 1869) yang disebut teori conditio sine qua
non (teori syarat mutlak) yang mengatakan, suatu hal adalah sebab dari akibat
apabila akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan demikian
dalam teori ini mengenal banyak sebab dari satu akibat.
Kedua : dari von Bar (tahun 1870) diteruskan kemudian oleh Van
Kriese yang dainamakan teori adequate veroorzaking (penyebab yang bersifat
dapat dikira-kirakan), dan yang mengajarkan bahwa suatu hal baru daat
dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menururt pengalaman manusiadapat
dikira-kirakan, bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat itu.
d. Sifat Melanggar Hukum
Sifat penting dari suatu tindak pidana ialah onrechtmatigheid atau sifat
melanggar hukum dari suatu pidana itu. Tindak pidana adalah perumusan dari
hukum pidana yang memuat ancaman hukuman pidana atas pelanggaran norma-
35
norma hukumyang ada dibidang hukum lain, dengan adanya hukum pidana
dengan tindak-tindak pidana yang dirumuskan didalamnya, bersumber dari
pelanggara-pelanggaran dibidang hukum lain itu, jadi dengan sendirinya dalam
tiap tindak pidana harus ada sifat melanggar hukum.
e.
Kesalahan Pelaku Tindak Pidana
Si pelaku adalah seorang manusia, maka hubungan ini adalah mengenai
kebatinan, yaitu hal kesalahan pelaku tindak pidana (schuld-verband). Hanya
dengan
hubungan
batin
ini
perbuatan
yang
dialarang
dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana, jika hal itu benar-benar
terjadi maka baru dapat dikatakan ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat
dijatuhi hukuman pidana. Dalam unsur kesalahan terbagi menjadi dua macam,
yaitu kesengajaan (opzet) dan kurang hati-hati (culpa), adapun yang dimaksud
dengan hal itu adalah:
1) Kesengajaan.
Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet
bukan unsur culpa, hal ini layak oleh karena biasanya yang pantas mendapat
hukuman pidana ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam hal
ini kesengajaan harus mengenai ketiga unsur tindak pidana yang telah disebutkan
diatas, yaitu: perbuatan yang dilarang; akibat yang menjadi pokok diadakannya
larangan itu; dan perbuatan itu melanggar hukum.
36
Terdapat 3(tiga) macam kesengajaan, antara lain:23
a) Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu
(opzet als oogmerk); bahwa dengan senagaja yang bersifat tujuan
pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan, mudah dapat
dimengerti oleh khalyak banyak. Maka apabila kesengajaan ini ada
pada suatu tindak pidana, tidak ada yang menyangkal, bahwa pellaku
dapat dikenakan hukuman pidana. Lebih nampak bila dikemukakan
bahwa adanya pebuatan yang besifat tujuan ini, bahwa dapat
dikatakan bahwa pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat
yang menjadi pokok alsan diadakannya ancaman hukuman pidana.
b) kesengajaan yang tidak mengandung suatu tujuan melainkan disertai
keinsafan, bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheid
bewustzijn
atau
kesengajaan
secara
keinsafan
kepastian);
kesengajaan semacam ini ada apabila pelaku tindak pidana dengan
perbuatannya tidak menghendaki tujuan mencapai akibat yang
menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu akan
mengikuti perbuatannya itu. Menurut teori kehendak menganggap
akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku. Hal ini mrip dengan
kesengajaan bersifat tujuan namun yang membedakan hanya akibat
yang dikehendakki oleh pelaku hanya dapat digambarkan atau
dibayangkan dalam gagasan pelaku.
23
Ibid. hlm 61-66
37
c) kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan disertai keinsafan hanya
ada kemungkinan (bukan kepastian), bahwa suatu akibat pasti
akan terjadi (opzet bij mogelijkheid bewustzijn atau kesengajaan
secara keinsafan kemungkinan); menurut van Dijck dan Pompe
mengatakan bahwa dengan adanya keinsafan kemungkinan, tidak
ada kesengajaan melainkan hanya mungkin ada culpa atau kurang
berhati-hati.
2) Kurang berhati-hati (culpa).
Arti kata dari Culpa ialah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu
pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan pelaku
tindak pidana yang tidak seberat dengan kesengajaan, yaitu karena kurang
berhaiti-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi. Berkaitan dengan
hukuman pidana nantinya terhadap pelaku tindak pidana karena kurang hati-hati
lebih ringan daripada pelaku tinda pidana yang melakukan tindak pidana dengan
sengaja.
Menurut Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa Culpa sendiri
dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a) Culpa Khusus; ditentukan tidak untuk akibat dari tindak pidana
melainkan hal yang menyertai akibat itu.
b) Culpa yang disamakan dengan Kelalaian.
D. Simons, memberikan rumusan mengenai unsur-unsur tindak pidana
(stafbaar Feit), yaitu:
38
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif); berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan;
b. Diancam dengan pidana;
c. Melawan hukum;
d. Dilakukan dengan kesalahan;
e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (teorekeningsverbaar
persoon).
Dari unsur diatas Simons, menyebut adanya unsur objektif dan unsur
subejktif dari strabaar feit, adapun unsur objektif yaitu: perbuatan orang; akibat
yang dilihat dari perbuatan itu; mungkin ada perbuatan-perbuatan tertentu yang
mengikuti hal itu, sedangkan unsur subjektif: orangnya mampu bertanggungjawab; ada kesalahan (dolus atau culpa).
2. Teori-Teori Pidana dan Pemidanaan
Syarat pertama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah
perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Rumusan delik
sangat penting sebagai prinsip kepastian, undang-undang pidana harus bersifat
pasti, didalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang dan apa
yang diperintahnya.
a. Teori Absolut (absolute teorieen)
Menurut teori ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak
boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidana oleh karena telah
melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul
39
dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan apa dengan demikian masyarakat
akan dirugikan, hanya dilihat ke masa lampau tidak ke masa depan.
Dapat dimasukan kedalam teori-teori absolut yaitu teori-toeri dari Kant,
Hegel, Herbart, Stahl, von Bar, Kohler dan Polak yang dikenal sebagai
objectiveringstheorieen, yang masing berpendapat sebagai berikut:24
Menurut teori dari Kant, dasar pembenaran dari suatu pidana itu terdapat
dalam apa yang disebut kategorischen imperativ, yakni yang menghendaki agar
setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas. Keharusan itu menurut
keadilan dan menurut hukum tersebut, merupakan suatu keahrusan yang bersifat
mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata
didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan.
Hegel, hak yang dipandang sebagai sutu kebebasan yang sifatnya nyata,
sedang sesuatu yang sifatnya melawan hak itu sebenarnya bersifat tidak nyata.
Dilanggarnya suatu hak oleh sesuatu kejahatan itu secara lahiriah memang suatu
segi yang sifatnya positif, akan tetapi yang menurut sifat kejahhatannya itu sendiri
segi positifnya batal. Perbuatan yang sifatnya melawan hak itu harus ditiadakan
dengan suatu pidana sebagai suatu pembalasan.
Herbart, pembalasan itu harus dipandang sebagai suatu yang sifatnya
aestetis. Kejahatan yang tidak dibalas itu merupakan suatu ketidak-adilan.
Disamping melihat pidana sebagai suatu pembalasan juga telah melihat
24
P.A.F. Lamintang. Op.cit. Hlm 25-26
40
pencapaian dari beberapa tujuan untuk kepentingan masyarakat itu ssebagai motif
yang lain dari suatu pidana.
Stahl, azas pembalasan itu adalah sesuai dengan kehendak Tuhan Yang
Maha Esa. Azas keadilan abadi telah menghendaki agar pidana itu dijatuhkan bagi
setiap orang yang telah berbuat jahat. Negara merupakan suatu pengaturan yang
nyata dari Tuhan di atas bumi, yang karena dilakukannya suatu kejahatan telah
membuat azas-azas dasarnya menjadi tercemar, untuk menegakkan wibawanya,
negara harus melakukan tindakan-tindakan terhadap perbuatan-perbuatan jahat.
b. Teori Tujuan (doeltheorieen)
Teori ini berasal dari Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, yakni teori-teori
yang berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana itu semata-mata pada
satu tujuan tertentu, dimana tujuan itu dapat berupa: tujuan untuk memulihkan
kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan; atau tujuan untuk mencegah agar
orang lain tidak melakukan kejahatan. Teori ini dibagi menjadi 2(dua) macam
teori, yakni :
1) Teori pencegahan umum atau alagemen preventive theorieen, yang
ingin dicapai tujuan dari pidana yaitu semata-mata dengan membuat
jera setiap orang agar mereka tidak melakukan kejahatan-kejahatan.
2) Teori pencegahan khusus atau bijzondere preventive theorieen, yang
ingin mencapai tujuan pidana iu dengan membuat jera, dengan
41
memperbaiki dan dengan membuat penjahatnya itu menjadi tidak
mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lagi.25
c. Teori Relatip (relatieve theorieen)
Teori ini dimaksudkan mencari dasar pembenaran dari pidana pada suatu
tujuan yang sifatnya umum, yaitu untuk mengamankan tertib hukum. Dapat
dimasukan kedalam teori ini adalah pendapat-pendapat dari penganut mazhab
antropologi kriminal atau dari para penganut poligische school, yang mengatakan
bahwa tujuan pidana adalah untuk melindungi masyarakat.
Menurut Teori von LISZT, hukum itu gunanya adalah untuk melindungi
kepentingan-kepentingan hidup manusia, yang oleh hukum telah diakui sebagai
kepentingan-kepentingan hukum dan mempunyai tugas untuk menentukan dan
menetapkan batas-batas dari kepentingan-kepantingan hukum yang dimiliki oleh
orang yang satu dengan orang yang lain. Untuk dapat melaksanakan fungsinya
seperti itu, hukum telah menetapkan norma-norma yang harus ditegakan oleh
negara dan negara harus menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang telah
melanggar norma-norma tersebut.26
van Hamel, berpendapat mengenai teori dari von LISZT, bahwa suatu
pidana itu dapat dibenarkan yaitu apabila pidana tersebut:
1) Tujuannya adalah untuk menegakan tertib hukum;
2) Diputuskan dalam batas-batas kebutuhan;
3) Dapat mencegah kemungkinan dilakukannya kejahatan lain oleh
pelaku; dan
25
26
Ibid. hlm 27
Ibid. hlm 30-31
42
4) Dijatuhkan berdasarkan suatu penelitian yang tuntas menurut criminele
aeteologie dan menghormati kepentingan-kepantingan yang sifatnya
hakiki dari terpidana.27
d. Teori Kumpulan (gingstheorieen)
Teori kumpulan ini pada dasarnya adalah menggabungkan dari teori-teori
tersebut di atas. Kumpulan seperti yang dimaksud dalam teori ini adalah :
1) Dengan mencari dasar pembenaran dari suatu pidana, baik pada azas
kebenaran maupun pada kebutuhan masyarakat akan perlunya suatu
pidana, yakni untuk menentukan apakah benar bahwa pembalasan itu
menghendaki suatu kesalahan harus dibalas dengan suatu kesalahan;
2) Dengan menganggap bahwa dengan terjadinya suatu tindak pidana itu,
timbulah hak pada negara unuk menjatuhkan pidana, dimana orang
harus membuat perbedaan antara apa yang disebut hak dengan apa yang
disebut kewajiban, karena kewajiban itu sendiri baru timbul kemudian
setelah adanya tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan;
3) Dengan mencari dasar pembenaran dari pidana pada tujuannya yakni
untuk mempertahankan tertib hukum, dengan catatan bahwa tujuan
tersebut tidak mungkin akan dicapai apabila tujuan itu ternyata telah
tidak sesuai dengan kesadaran hukum, bahwa pidana itu sebenarnya
merupakan suatu pembalasan yang dapat dibenarkan oleh hukum.
27
Loc. Cit.
43
Alasan penghapus pidana, menurut Ilmu hukum pidana menyebutkan
bahwa alasan penghapus pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuat, maka
dibedakan mennjadi 2 (dua) jenis alasan penghapus pidana, yaitu:
a. Alasan Pembenar
Menghapus
sifat
melawan
hukumnya
perbuatan,
meskipun
perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang.
Alasan pembenar yang ada dalam KUHP adalah Pasal 49 ayat (1)
yaitu Pembelaan Terpaksa; Pasal 50 yaitu menurut peraturan
undang-undang; dan Pasal 51 ayat (1) yaitu karena perintah jabatan.
b. Alasan Pemaaf atau alasan penghapus kesalahan
Menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti orang ini tidak dapat
dicela menurut hukum, dengan kata lain tidak bersalah atau tidak
dapat dipertanggung-jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat
melawan hukum. Alasan Pemaaf dalam KUHP ialah Pasal 44 yaitu
tidak mampu bertanggung-jawab; Pasal 49 ayat (2) yaitu
noodweerexcees; Pasal 51 ayat (2) yaitu dengan ikhtikad baik
melaksanakan peringatan jabatan yang tidak sah.
3. Jenis-jenis Pidana
Sebelum membahas mengenai jenis-jenis pidana, terlebih dahulu kita
harus mengetahui tentang tujuan dari pemidanaa itu sendiri, adapun tujan dari
pemidanaan pada dasarnya terdapat 3(tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang
ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: umtuk memperbaiki pribadi dari
penjahatnya itu sendiri; membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-
44
kejahatan; dan membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu
melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan
cara lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.28
Kitab Undang-Undanng Hukum Pidana (KUHP) telah menetapkan jenisjenis pidana yang termuat dalam Pasal 10, didalamnya mengatur ada dua pidana,
yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut:
1) Pidana pokok meliputi :
a) Pidana mati;
b) Pidana penjara;
c) Pidana kurungan;
d) Pidana denda.
2) Pidana tambahan meliputi :
a) Pencabutan beberapa hak tertentu;
b) Perampasan barang-barang tertentu;
c) Pengumuman putusan hakim.
Adapun pengertian atau penjabaran dari masing-masing jenis pidana
tersebut di atas, antara lain:
a. Pidana Mati
Undang-undang telah menentukan bahwa hakim itu hanya dapat
menjauthkan pidana mati yaitu apabila keamanan negara benar-benar telah
menghendakinya. Tentang bagaimana pelaksanaan pidana mati dalam lingkup
28
P.F.A Lamintang. Op.Cit. hlm 35
45
Peradillan Umum, hal mana telah diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16
UU No. 2 Pnps Tahun 1964 sebagaimana yang dimaksud menentukan ketentuanketentuan sebagai berikut:
1) Dalam waktu 3x24(tiga kali dupuluh empat) jam sebelum saat pidana
mati dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus
memberitahu kepada terpidana tentag akan dilaksanakannya pidana
mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan mengemukakan sesuatu,
maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa
yang bersangkutan tersebut;
2) Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka
pelaksanaan dari pidana mati harus ditunda hingga anak yang
dikandungannya itu telah lahir;
3) Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman,
yakni didaerah hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah
memutuskan pidana mati yang bersangkutan;
4) Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggungjawab
mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar pidana
mati dari jaksa tinggi atau jaksa yang telah melakukan penuntutan
pidana mati pada peradilan tingkat pertama;
5) Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak polisi
dibawah pimpinan seorang perwira polisi;
6) Kepala polisi dari daerah bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk)
harus menghindari pelaksanaan pidana mati itu, sedang pembela diri
46
terpidana atas permintaanya sendiri atau atas permintaan terpidana
dapat menghadirinya;
7) Pelaksanaan dari pidana mati itu tidak boleh dilakukan dimuka umum;
8) Penguburan jenazah dari terpidana diserahkan kepada keluarga atau
kepada sahabat-sahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksaan dari
penguburan yang sifat demontratif, kecuali demi kepentingan umum
maka jaksa tingi atau jaksa yang bersangkutan dapat menentukan lain;
9) Setelah pelaksanaan dari pidana mati itu dikerjakan, maka jaksa tinggi
atau jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai
pelaksaan dari pidana mati tersebut, dimana isi dari berita acara tersebut
harus dicantumkan didalam Surat Keputusan dari Pengadilan yang
bersangkutan.29
Pidana Mati dalam Rancangan KUHP, disebut bersifat khusus. Dalam
membahas pidana mati bila melihat dari Naskah Rancangan KUHP sebagai jus
constittuendum. Hal-hal yang perlu diketahui adalah sebagai berikut:
1) Pidana mati dilakukan oleh regu tembak dengan menebak terpidana
sampai mati;
2) Pelaksanaan pidana mati tidak dilakukan dimuka umum;
3) Pidana mati tidak dapat dilakukan kepada anak dibawah umur
18(delapanbelas) tahun;
29
P.A.F. Lamintang. Op.cit. hlm 64-65
47
4) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa
ditunda sampai wanita itu melahirkan atau orang yang sakit jiwa itu
sembuh;
5) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan presiden
atau penolakan grasi dari presiden;
6) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama
10(sepuluh) tahun, jika:
a) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
b) terpidana menunjukan rasa menyesal dan ada harapan untuk
memperbaiki;
c) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak
teralalu penting;
d) ada alasan yang meringankan.
7) Jika terpidana selama masa percobaan menunjukan sikap dan perbuatan
yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur
hidup atau pidana penjara paling lama 20(duapuluh) tahun dengan
keputusan Menteri Kehakiman;
8) Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukan sikap dan
perbuatan yang terpuji sera tidak ada harapan untuk memperbaiki maka
pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung;
9) Jika setelah permohonan grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak
dilaksanakkan selama 10(sepuluh) tahun bukan karena terpidana
48
melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana
seumur hidup dengan keputusan Menteri Kehakiman.30
Dari aturan pidana mati tersebut, terlihat adanya perubahan dan inovasi
yang selama ini dianut. Misalnya, adanya masa percobaan selama 10 tahun
sebagai penundaan pelaksanaan pidana mati, pidana mati dapat diubah menjadi
pidana penjara seumur hidup attau 20 tahun dengan Keputusan Menteri
Kehakiman dna sebagainya.
b. Pidana Penjara
Adapun yang dimaksud dengan pidana penjara itu adalah suatu pidana
berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana, yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan
mewajibkan orang tersebut untuk mentaati semua perraturan tata tertib yang
berlaku didalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan
tata tertib bagi mereka yang telah melanggar tata tertib tersebut.
Menurut sistem penentuan ancaman pidana KUHP, pada dasarnya pidana
penjara itu merupakan satu-satunya ancaman pidana bagi apa yang disebut
opzettelijk gepleegde misdrijven atau bagi kejahatan-kejahatan yang telah
dilakukan dengan sengaja, sedangkan bagi apa yang disebut culpose misdrijven
atau bagi kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan dengan tidak sengaja itu
hampir pidana penjara diatur secara alternatif dengan pidana kurungan.
30
Bambang Waluyo. Op.cit. hlm 15
49
c. Pidana Kurungan
Pidana kurungan sama halnya dengan pidana penjara, merupakan suatu
pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang
dilakukan
dengan
menutup
orang
tersebut
didalam
sebuah
lembaga
pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut untuk mentaati semua
peraturan tata tertib yang berlaku didalam lembaga pemasyarakatan, yang
dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar tata
tertib tersebut. Menurut penjelasan Memorie van Toelichting (MvT), dimasukan
pidana kurungan kedalam KUHP itu terdorong dari 2(dua) macam kebutuhan,
masing-masing yaitu:
a. Oleh kebutuhan akan suatu bentuk pidana yang sangat sederhana
berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak yang sifatnya sangat
sederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan; dan
b. Oleh kebutuhan akan perlunya bentuk pidana berupa pembatasan
kebebasan bergerak yang sifatnya tida begitu mmengenkang bagi delikdelik yang sifatnya tidak menunjukan adanya suatu kebobrokan mental
atau adanya suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelakunya ataupun
sebagai suatu custodia honesa belaka.31
Lamanya pidana kurungan itu sekurang-kurangnya satu hari dan selamalamaya satu tahun. Akan tetapi lamanya kurungan dapat diperpanjang selama satu
tahun empat bulan, karena tindak pidana bersangkutan telah dilakukan oleh
seorang pegawai negeri dengan menodai jabatannya yang bersiifat khusus, atau
31
P.A.F. Lamintang. Op.cit. hlm 85
50
karena pegawai negeri tersebut melakukan tidak pidana dengan menggunakan
kekuasaanya, kesempatan atau sarana yang ia peroleh karena jabatannya.
Pidana kurang sebagai pengganti pidana denda, lamanya adalah sekuragkurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan, akan tetapi dapat diperberat
selama-lamanya delapan bulan, yakni apabila tindak pidana telah dilakukan oleh
terpidana itu ada hubungannya dengan suatu somenloop van strafbare feiten
dengan suatu recidive atau dengan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 52
KUHP.
d. Pidana Denda
Pidana denda merupakan jenis pidana pokok ada dalam hukum pidana
Indonesia, yang pada dasarnya hanya dapat dikenakan kepada orang dewasa, atau
dengan kata lain biasanya tidak dikenakan kepada anak. Pasal 82 ayat (1) KUHP,
orang-orang yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran, yang oleh undangundang telah diancam dengan pidana pokok berupa pidana denda saja, setiap
waktu mereka itu dapat membebaskan diri mereka dari kemungkinan dituntut oleh
Jaksa didepan pengadilan, yakni baik sebelum mereka dituntut maupun setelah
mereka dituntut didepan pengadilan, dengan cara membayar uang denda tertinggi
yang telah diancamkan bagi pelanggaran-pelanggaran yang telah mereka lakukan
dan ditambah dengan biaya-biaya perkara apabila mereka itu telah dituntut
didepan pengadilan.
Apabila para pelanggar itu secara sukarela telah membayar uang denda
tertinggi kepada jaka bagi pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan dengan
51
sendirinya jaksa juga tidak akan menuntut mereka didepan pengadilan. Apabila
mereka tidak dituntut di pengadilan dengan sendirinya mereka tidak perlu
menghadap ke sidang pengadilan.32
e. Pencabutan Hak-hak Tertentu
Hak-hak yang boleh dicabut oleh hakim dengan putusan pengadilan
terdapat dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, dimana pasal tersebut
merumuskan:
(1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam
hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam
aturan umum lainnya ialah:
1. Hak untuk menduduki jabatan-jabatan atau jabatan-jabatan
tertentu;
2. Hak bekerja pada Angkata Bersenjata;
3. Hak untuk memilih dan hak untu dipilih didalam pemilhanpemilihan yang diselengarakan menurut peraturan-peraturan
umum;
4. Hak untuk mmenjadi seorang penasehat atau kuasa yang
diangkat oleh hakim, hak untuk menjadi wali, wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawas, kecuali dari anakanaknya sendiri;
5. Hak orang tua, hak perwalian dan hak pengampuan atas diri
dari anak-anaknya sendiri; dan
6. Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Mengenai berapa lama pencabutan hak-hak tersebut, dapat dilakukan
oleh hakim, Pasal 38 ayat (1) KUHP telah menentukan sebagai berikut:
1) Jika hakim telah menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, maka lamanya pencabutan hak itu adalah untuk seumur hidup;
2) Jika hakim telah menjatuhkan pidana penjara sementara atau pidana
kurungan, maka lamanya pencabutan hak itu sama dengan lamanya
32
Ibid. Hlm 95
52
pidana pokok, yakni sekurang-kurangnya selama 2(dua) tahun lebih
lama dari pidana pokoknya;
3) Jika hakim telah menjatuhkan pidana denda, maka lamanya pencabutan
hak itu sekurang-kurangnya adalah 2(dua) tahun dan selama-lamanya
5(lima) tahun.
f. Perampasan Barang-barang Tertentu
Salah satu ketentuan yang sangat menarik ialah dapat dijatuhkannya
pidana tambahan ini tanpa adanya penjatuhan pidana pokok. Pidana ini dapat
dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika
terpidana hanya dikenakan tindakan. Adapun barang-barang yang dapat dirampas
adalah:
1) Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau sebagian
besar diperoleh dari tindak pidana;
2) Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana;
3) Barang yang digunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak
pidana;
4) Barang yang digunakan untuk menghalang-halangi tindak pidana;
5) Barang yang dibuat atau diperuntukan bagi terwujudnya tindak pidana.
E. Pemidanaan Terhadap Anak
Batas minimal usia anak untuk dapat diajukan ke sidang pengadilan
anak sebagaimana diatur dalam UU pengadilan anak adalah berumur 8(delapan)
tahun. Patokan umur 8(delapan) tahun sebagai minimal usia ke pemeriksaan
sidang anak, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU No. 3 Tahun 1997
53
Tentang Pengadilan Anak. Apabila anak belum mencapai umur 8(delapan)
tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak
tersebut sebatas dilakukan pemeriksaan oleh penyidik saja. Selanjutnya anak
tersebut diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya, dan dapat
diserahkan kepada Departemen Sosial apabila anak tersebut tidak dapat dibina
oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.33
Batas usia anak yang dapat dipertanggungjawabkan (dalam arti dapat
dikenakan pidana atau tindakan), menurut UU Pengadilan Anak dibagi dalam
dua kelompok, yaitu usia anak yang dapat dijatuhi sanksi tindakan dan usia
anak yang dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan. Anak yang melakukan
tindak pidana berusia antara 8(delapan) tahun tetapi belum mencapai
12(duabelas) tahun hanya dapat dijatuhi sanksi tindakan, adapun anak yang
berusia 12(duabelas) tahun tetapi belum mencapai 18(delapanbelas) tahun,
dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan. Batas maksimal untuk pertanggungjawaban pidana anak, yaitu apabila anak telah mencapai umur 18(delapanbelas)
tahun.34
Pembahasan sebelumnya telah menjelaskan megenai pemidanaan yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang diatur dalam Pasal 10
KUHP, dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak hakim dalam
menjauthkan sanksi pidana harus memperhatikan Pasal 23 Undang-Undang No.
33
Setya Wahyudi. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia. Genta Publishing. Yogyakarta. Hlm 51
34
Loc. Cit.
54
3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dimana pasal tersebut merumuskan
sebagai berikut:
Pasal 23 :
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok
dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah:
a. Pidana penjara;
b. Pidana kurungan;
c. Pidana denda; atau
d. Pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap
Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa
perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
1. Pidana Penjara.
Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal lamanya
adalah ½ (satu per dua) dari ancaman pidana bagi orang dewasa atau paling lama
10 (sepuluh) tahun, kecuali itu pidana mati dan seumur hidup tidak dapat
dijutuhkan kepada anak. Hal tersebut dengan maksud untuk melindungi dan
mengayom anak agar dapat menyongsong masa depan yang masih panjang. Selain
itu pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak
agar melalui proses pembinaan akan memperoleh jatidirinya untuk menjadi
manusia yang mandiri, bertanggungjawab, berguna bagi diri, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara.
2. Pidana Kurungan.
Pasal 27 UU No. 3 Tahun 1997, menyebutkan bahwa kurungan yang
dapat dijauhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, paling lama ½ (satu
per dua) bagi maksimum ancaman kurungan terhadap orang dewasa. Mengeanai
55
apakah yang dimaksud maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa,
adalah maksimum ancaman pidana kurungan terhadap pidana yang dilakukan
sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP dan Undang-undang lainnya.
3. Pidana Denda.
Kaitannya dengan Pidana Denda seperti pidana penjara dan pidana
kurungan, pidana denda terhadap anak nakal paling banyak juga ½ (satu per dua)
dari maksimum pidana denda yang diancamkan kepada orang dewasa. Undangundang Pengadilan Anak mengatur pula ketentuan yang relatif baru yaitu apabila
pidana denda tersebut ternyata tidak dapat dibayarkan maka diganti dengan wajib
latihan kerja, hal tersebut dimaksudkan agar mendidik anak yang bersangkutan
supaya memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya.
Berkaitan dengan wajib latihan kerja, perlu diciptakan koordinasi efektif
dengan pekerja sosial dari Departemen Sosial maupun pekerja sosial sukarela dari
organisasi sosial kemasyarakatan, bahwa pekerja sosial bertugas membimbing,
membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja.
Lama wajib latihan kerja sebagai penganti denda paling lama
90(sembilanpuluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4(empat) jam
setiap hari serta tidak dilakukan pada malam hari. Hal demikian mengingat
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan anak.
56
4. Pidana Pengawasan.
Pidana pengawasan kepada anak yang melakukan tindak pidana, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Lamanya, paling singkat 3(tiga) bulan, paling lama 2(dua) tahun.
b. Pengawasan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari
dirumah tersebut dilakukan oleh Jaksa.
c. Pemberian bimbingan dilaksanakan oleh pembimbing kemasyarakatan.
Jenis pidana lain yang dapat dijatuhkan oleh Hakim adalah Pidana
Tindakan, hal tersebut tertuang dalam Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak, dimana Pasal tersebut berbunyi:
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan
teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
57
BAB III
METODE PENELITIAN
1.
Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis
normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini,
hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai
sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara sistem
hukum dengan sistem lainnya.35
2.
Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
spesifikasi
penelitian
deskriptif
analisis,
yaitu
suatu
penelitian
yang
menggambarkan keadaan atau gejala dari objek yang akan diteliti juga dengan
keyakinan-keyakinan tertentu, mengambil kesimpulan dari bahan-bahan atau
literatur tentang obyek-obyek masalah yang akan diteliti dengan keyakinankeyakinan tertentu.36
3.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan Pencarian bahan hukum dilakukan di PII
Fakultas Hukum UNSOED dan UPT Perpustakaan UNSOED.
35
Johny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Publishing. Malang. Hlm. 57.
36
Loc.cit.
Banyumedia
58
4.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder, adalah
data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini mencakup:37
a. Bahan hukum primair yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang
berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak; UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang; dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primair yang berupa, buku-buku,
literatur-literatur, artikel, laporan penelitian dan berbagai karya tulis
ilmiah lainnya serta Putusan Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt
5.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode kepustakaan
terhadap data sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian, kemudian
dikaji
sebagai
satu
kesatuan
yang
utuh
serta
Putusan
Nomor:
19/Pid.Sus/2011/PN.Klt.
37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. PT RajaGrafindo
Persada. Jakarta. Hlm 12-13
59
6.
Metode Penyajian Data
Bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara pemilihan
bahan-bahan hukum yang sesuai dengan obyek penelitian, kemudian merangkum
dan memfokuskannya pada Hal-Hal yang pokok, untuk kemudian dikaji sebagai
satu kesatuan yang utuh. Dan selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian yang
disusun secara sistematis.
7.
Metode Analisis Data
Analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode analisis
normatif kualitatif, yaitu suatu cara menginterpretasikan hasil penelitian dengan
mendasarkan pada norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin-doktrin yang
berkaitan dengan pokok permasalahan.
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian terdahap Putusan Perkara Nomor:
19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, diperoleh :
1.
Identitas Terdakwa
Berdasarkan pemeriksaan identitas terdakwa diperoleh hasil: Nama
lengkap: Ahmad bin Partono alias AW; Tempat lahir: Klaten; Umur atau tanggal
lahir: 17 Tahun; Jenis kelamin: Laki-laki; Kebangsaan: Indonesia; Tempat
tinggal: Klaten; Agama: Islam; Pekerjaan: Pelajar; Pendidikan: SMK.
2.
Duduk Perkara
Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, Terdakwa adalah
seorang anak bernama Ahmad bin Partono alias AW (17 tahun) sesuai dengan
identitas yang disebut dalam putusan perkara tersebut. Terdakwa ditahan dengan
jenis penahanan Rutan oleh:
a. Penyidik, berdasarkan Surat Perintah Penahanan tanggal 26 Januari
2011, No. SP.Han/01/I/2011/Densus, terhitung mulai Sejak tanggal 26
Januari 2011 sampai dengan tanggal 15 Pebruari 2011;
b. Perpanjangan
Perpanjangan
Penuntut
Penahanan,
Umum
tanggal
berdasarkan
09
Surat
Pebruari
Perintah
2011,
No.
61
28/0.3.19/Ep.2/02/2011, sejak tanggal 16 Pebuari 2011 sampai dengan
tanggal 25 Pebruari 2011;
c. Penuntut Umum berdasarkan Surat Perintah Penahanan, tanggal 24
Pebruari 2011, No. PRINT-245/0.3.19/Ep.2/02/2011, Sejak tanggal 24
Pebruari 2011 sampai dengan tanggal 01 Maret 2011;
d. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten, berdasarkan Penetapan
penahanan,
tanggal
01
Maret
2011
Nomor
:
69/Pen.Pid.Sus/2011/PN.Klt, terhitung Sejak tanggal 01 Maret 2011
sampai dengan tanggal 15 Maret 2011;
e. Perpanjangan oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Klaten tanggal 08
Maret 2011 Nomor : 19/Pen.Pid.Sus/2011/PN.Klt, Sejak tanggal 16
Maret 2011 sampai dengan tanggal 14 April 2011;
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Klaten telah membacakan
Surat Tuntutan Pidana, sebagaimana tersebut dalam suratnya tertanggal 31 Maret
2011, No : PDM-32/Klaten/Ep.2/2011. Terdakwa atas Tuntutan Tersebut, melalui
Penasihat Hukumnya mengajukan Nota Pembelaan dalam persidangan tanggal 5
April 2011, atas Nota Pembelaan tersebut, Penuntut Umum telah menyatakan
secara lisan didalam persidangan, bahwa ia tetap pada tuntutan semula, demikian
pula Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya menyatakan pula tetap pada Nota
Pembelaannya. Petugas Pembimbing Kemasyarakatan pada BAPAS Surakarta
telah menyampaikan Laporan Hasil penelitian Kemasyarakatan sebagaimana,
pada akhir pemeriksaan telah pula menyampaikan hal-hal yang pada pokoknya
sebagai berikut:
62
a. Bahwa putusan Hakim akan sangat berpengaruh terhadap Kehidupan
Terdakwa selanjutnya karena terdakwa masih anak-anak, masih
memerlukan pembinaan dan pembimbingan, oleh karena itu putusan
hakim diharapkan Terdakwa dapat menjadi salah satu dasar yang kuat
untuk mengembalikan dan mengantar Terdakwa menuju masa depan
yang lebih bak;
b. Bahwa oleh karena itu memohon apabila Terdakwa dinyatakan bersalah
agar diberikan hukuman pidana yang seringan-ringannya dalam arti
kurang apa yang ditutut oleh Jaksa Penuntut umum.
Hakim telah memperoleh keyakinannya setelah memeriksa alat-alat bukti
yang diajukan dipersidangan, menyatakan bahwa terdakwa anak AW, terbukti
secara sah melakukan Tindak Pidana Terorisme. Hakim dalam perkara ini atas
pertimbangan-pertimbangannya menjatuhkan Hukuman pidana penjara selama
2(dua) tahun, hal tersebut lebih ringan dari tuntutan pidana yang disampaikan oleh
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu pidana penjara selama 4(empat) tahun.
3.
Dakwaan Jasa Penuntut Umum (JPU)
Terdakwa Anak: AW, dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Anak,
oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa melakukan Tindak sebagai berikut:
a. DAKWAAN KESATU:
1) PRIMAIR
Bahwa terdakwa AW, bersama-sama dengan antara lain YUDA
ANGGORO, JOKO LELONO, AGUNG JATI SANTOSO, NUGROHO
63
BUDI SANTOSO, TRI BUDI SANTOSO, ROKI APRISDIANTO alias
ATOK (masing-masing dalam berkas perkara terpisah). Perbuatan Terdakwa
sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 15 Jo. Pasal 9
Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
2) SUBSIDIAIR
Bahwa terdakwa AW, bersama-sama dengan antaralain YUDA
ANGGORO, JOKO LELONO, AGUNG JATI SANTOSO, NUGROHO
BUDI SANTOSO, TRI BUDI SANTOSO, ROKI APRISDIANTO alias
ATOK (masing-masing dalam berkas perkara terpisah). Perbuatan Terdakwa
sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 15 Jo. Pasal 7
Undang-Undang Republik Indonesia No.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang;
ATAU :
b. KEDUA :
Bahwa Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951;
64
4.
Keterangan Saksi
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan 34 orang saksi, masing-masing
dibawah sumpah. Berdasarkan Judul dan rumusan masalah dari Penelitian ini
Penulis hanya menuliskan 5 dari 34 keterangan saksi, diantara ke-lima saksi
tersebut adalah saksi mahkota yang diajukan oleh JPU dan diterima oleh majelis
hakim, masing-masing saksi memberikan keterangan sebagai berikut:
a.
Saksi ROKI APRISDIANTO als. ATOK als. ABU IBRAHIM als.
HERUCOKRO Bin NOVE GINIYANTO
-
Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa, Yuda Anggoro, Joko Lelono,
Nugroho, Agung Jati dan Tri Budi, kira-kira akhir 2008 awal 2009
karena sering bertemu dalam pengajian-pengajian di Masjid Jami’
Krapyak yang disampaikan oleh USTAD ABU UMAR ABDILLAH;
-
Bahwa dari berita-berita di TV, saksi melihat adanya penangkapanpenangkapan mujahidin yang disebut teroris oleh Densus 88, kemudian
saksi mengundang teman-teman kelompok pengajian tersebut, termasuk
Terdakwa untuk memastikan rencana jihad;
-
Bahwa pada waktu itu saksi katakan kepada anak-anak, “tidak usah
tergesa-gesa setuju” tetapi dipikirkan dulu dan satu minggu lagi yang
setuju untuk bergabung, diminta datang kepada saksi;
-
Bahwa selang seminggu anak-anak datang kerumah Saksi dan
dikumpulkan ke Masjid dekat rumah saksi yaitu Masjid Madinatun
Nabawiyah di Desa Cangakan, Kecamatan Gatak, Kab. Sukoharjo;
65
-
Bahwa pada waktu itu yang datang untuk bergabung ada sekitar 12 orang
anak dan 1 anak mahasiswa, antara lain, Terdakwa Agung, Nugroho,
Yuda, Joko lelono, Eko, dan lain-lain;
-
Bahwa kemudian saksi membentuk tim kecil bernama Ightiyalat artinya
pembunuhan misterius karena kata itu sering muncul dikajian;
-
Bahwa kelompok Ightiyalat ketuanya adalah saksi karena yang dituakan
oleh yang lain, IRFAN koordinator untuk wilayah Klaten dan Terdakwa
dan yang lainnya sebagai anggota biasa;
-
Bahwa istilah Ightiyalat adalah sesuai dengan kajian dalam buku yang
menyebutkan bahwa amaliyah utama di Negara yang tidak tampak
konflinya yaitu dengan cara Ightiyalat dan Indonesia memenuhi syarat
seperti doktrin dalam buku kajian dari Ustad Musab;
-
Bahwa kemudian saksi menugaskan Irfan yang tahu elektro muridnya Dr.
Azhari yang mempunyai kepandaian membuat bom dan dia itu pernah
juga mengisi pengajian di Solo dan saat itu saksi hadir;
-
Bahwa kemudian saksi mendapat sms dari Irfan katanya ada roti baru
mau belajar tidak lalu saksi datang kerumah Irfan belajar rangkaian
elektro memakai alat Projek bord dan membuat detonator, sedang
mengenai bumbunya/bahan-bahan untuk membuat bom, hanya teori saja;
-
Bahwa saksi kerumah Irfan untk belajar membuat bom ada 5-6 kali
pertemuan;
-
Bahwa, kemudian saksi memerintahkan kepada Irfan untuk mengajari
anak-anak membuat bom;
66
-
Bahwa kemudian Irfan memilih untuk mengajari Eko dan Tribudi,
sedangkan pengetahuan untuk bumbu bom didapat dari internet
kebetulan yang mendapat Eko, saksi tidak tahu alamat situsnya karena
saksi tidak tahu cara membuka internet;
-
Bahwa untuk membuat peledak bahan-bahannya terisi KNO3/potasium
Nirat, didalam KNO3 ada unsur potasiumnnya atau unsur sedawanya
banyak;
-
Bahwa saksi menyuruh Agung dan Nugroho untuk membeli pupuk merk
Traktor Pak Tani karena mengandung KNO3;
-
Bahwa sebagai amaliyah yang pertama saksi menyuruh Nugroho dan
kepada anak-anak untuk membuat dan meletakkan bom disuatu tempat,
dan tidak perlu menunggu perintah saksi dan diletakkan dimana tanpa
ijin saksi bisa dilakukan semua anggota kelompok;
-
Bahwa saksi menggunakan metode komando militer untuk memberikan
perintah kerja oleh karena itu apabila salah seorang sudah saksi peritah,
maka yang lainnya akan melaksanakannya;
-
Bahwa selanjutnya Nugroho yang mengatur mekanisme peletakan bom,
serta kelompok sudah terbangun suatu kesepakatan;
-
Bahwa setelah aksi pelaksanaan peletakan bom-bom, bom Molotov
tersebut, kemudian Nugroho melaporkan kembali tapi saksi sendiri
belum pernah lihat bentuk bomnya;
67
-
Bahwa penempatan bom masing-masing diletakkan dipos Polisi ada dua
tempat, gereja ada dua tempat dan 1 bom lagi diletakkan di Sendang
Sriningsih;
-
Bahwa menurut laporan Nugroho, bahwa terdakwa meletkan bom di Pos
Polisi Delanggu sendirian dan lain hari Terdakwa datang kerumah saksi,
lalu bercerita kalau telah meletakan bom sendirian di Pos Polisi
Delanggu;
-
Bahwa selain itu bom ditempatkan di Perayaan Penyebaran apem Ya
Qowiyyu di Jatinom terdakwa juga yang meletakannya;
-
Bahwa mengenai perbuatan terdakwa bersama Hogan meletakan bom di
Alun-alun Utara Solo dekat Kantor Polisi, adalah atas perintah langsung
dari saksi;
-
Bahwa saksi menilai terdakwa yang paling berani karena memasang bom
sendirian, dan di alun-alun Solo bersama dengan Hogan dari tim Hisbah
meletakkan bom yang paling besar;
-
Bahwa bom yang di alun-alun Solo yang membuat saksi dan beberapa
orang dari tim Hisbah dan saksi memerintahkan Terdakwa dan Hogan
untuk dipasang diwilayah sekitar kraton;
-
Bahwa selain itu, saksi memberikan amplop berisi surat ancaman yang
saksi tulis tangan sendiri dan memenyuruh Terdakwa untuk menyebarkan
surat ancaman tersebut di sekitar alun-alun Keraton;
-
Bahwa bunyi surat ancaman itu kira-kira intinya:“wahai presiden NKRI,
Obama....kami para teroris akan senantiasa datang untuk melakukan
68
penyembelihan, kami sangat bangga melampiaskan dan menumpahkan
darah kalian.....”;
-
Bahwa ketika menulis surat itu saksi bersemangat dan meyakini benar
dan menggambar juga gambar pedang dengan tinta merah, dan menulis
terbunuh atan dibunuh ancaman agar tidak melakukan kemusyrikan lagi;
-
Bahwa kemudian saksi memerintah kepada anak-anak untuk memasang
bom tersebut ketempat perayaan penyebaran apem dan tempat dekat
makam ki Ageng Gribig;
-
Bahwa kemudian setahu saksi Terdakwa AW bersama Joko dan Nugroho
bersama Andi memasang bom ditempat itu;
-
Bahwa senjata api saksi dipinjamkan kepada Terdakwa untuk membunuh
orang kafir dan akan mendapat pahala dan menurut Terdakwa sempat di
tembakkan ke kebaktian orang Kristen tapi karena suara terlalu keras jadi
dikembalikan lagi kepada saksi;
-
Bahwa dari 10 tempat sasaran bom, terdakwa menempatkan 3 bom
sedangkan saksi belum pernah sekalipun ikut memasang bom;
-
Bahwa saksi tidak tahu barang bukti ada di Terdakwa karena setahu saksi
barang bukti semua ada di Agung, anggota kelompok tidak ada yang
melapor kalau ada yang menyimpan barang bukti;
-
Bahwa setelah kejadian seperti ini, saksi merasa meyesal telah
melibatkan anak-anak sekolah dan berjanji demi Allah tidak akan
melakukan provokasi lagi.
Atas keterangan saksi tersebut diatas, terdakwa membenarkan keterangannya;
69
b. Saksi NUGROHO BUDI SANTOSO als. UMAR bin NARTO
SUMARTO
-
Bahwa saksi kenal terdakwa, karena satu sekolah di Sekolah SMK II
Klaten;
-
Bahwa selain itu saksi dan terdakwa ikut bersama dalam kegiatan ROHIS
disekolah dan mengikuti kegiatan CDS (Corps Dakwah Sekolah) yang
merupakan kegiatan diluar Sekolah;
-
Bahwa saksi mewakili anggota tim klaten untuk di Bai’at mati oleh
pimpinan Hisbah Solo yang bernama SIGIT QORDOWI pada bulan
Ramadhan, karena ada rencana perang kota;
-
Bahwa maksud dibai’at mati, saksi dan Eko sebagai perwakilan dari
klaten untuk siap membantu dan taat kepada amir selama amir tidak
melakukan maksiat dan siap mati dalam perang kota membantu hisbah
solo;
-
Bahwa ketika Mas Irfan lari karena ada penggrebekan dan oleh Mas Atok
saksi disuruh menggantikan posisi Irfan sebagai koordinator Klaten;
-
Bahwa sekitar awal September 2010, saksi dan Eko belajar meracik bom
dari Irfan dan Eko bilang agar mencari info diinternet;
-
Bahwa kemudian saksi mencari diinternet mengenai cara membuat bahan
peledak yang disebut dengan black powder dengan mencampurkan
KNO3, belerang dan arang semuanya dihaluskan kemudian disampaikan
ke Eko;
70
-
Bahwa kemudian sekitar selama 2 bulan dalam 10 kali pertemuan, saksi
dan Eko belajar membuat cara membuat bom;
-
Bahwa bahan-bahan yang dipersiapkan adalah pipa aluminium, lampu
natal putih, kabel, serbuk korek api, semen putih, lem castol dan jam
weker;
-
Bahwa bom yang dirakit menggunakan kaleng biscuit, diisi black
powder, diberi paku lalu detonator dimasukkan ketengah-tengah bubuk
tadi;
-
Bahwa saksi sudah merakit bom dengan menggunakan black powder
sebanyak 2 kali;
-
Bahwa selain itu saksi bersama dengan Terdakwa, Agung, Tribudi dan
Yuda juga membuat bom Molotov memakai bensin dimasukkan dalam
botol-botol diikat jadi satu kemudian detonator ditaruh ditengahnya;
-
Bahwa Terdakwa dan Joko ditugaskan meletakkan bom black powder
didekat menara penyebaran apem sedangkan saksi dan Mas Andi
meletakkan bom didekat kuburan Ki Ageng Gribig;
-
Bahwa selain bom saksi juga menulis surat ancaman untuk diletakkan
disebaran apem Jatinom yang intinya agar kaum muslimin menghentikan
acara sebaran apem kalau tidak akan diberi hadiah yang lebih besar lagi;
-
Bahwa bom Molotov dibuat sebanyak 5 rangkaian dan kemudian
disebarkan masing-masing oleh saksi dan Tribudi disendang Sriningsih
dan di Pos polisi Ketandan dekat RSI sekitar jam setengah1 malam;
-
Bahwa bom yang lain diletkkan digereja Manjung dan gereja Polanharjo;
71
-
Bahwa Terdakwa sendirian ditugaskan meletakkan bom di Pospol
Delanggu;
-
Bahwa semuanya dilaksanakan pada hari/malam yang sama dan ternyata
bom yang meledak hanya yang diletakkan di Gereja Manjung saja,
sedangkan yang lainnya tidak ada yang meledak;
-
Bahwa kemudian saksi disuruh Mas Atok ketempat Pak Dhe Punjul di
Solo bersama dengan Terdakwa, Agung, Yuda dan Tribudi dan disana
sudah ada Mas Atok, eko dan Nanang ndut, bom sudah mau selesai lalu
dibagi tugas;
-
Bahwa Terdakwa dan Hogan bertugas meletakkan bom disekitar kraton/
alun-alun pasar kliwon;
-
Bahwa saksi tahu Terdakwa diberi mas Atok tiga amplop-amplop kecil;
-
Bahwa Eko disuruh cari target sendiri tetapi tidak dapat akhirnya
bersama saksi disuruh ditaruh di gereja Dawok;
-
Bahwa saksi ditangkap dijalan ketika sedang berjualan parfum;
-
Bahwa sekarang saksi merasa menyesali perbuatannya dan setelah
ditangkap saksi diberikan arahan tentang orangtua dan masa depan, kalau
dulu hanya semangat saja tidak pernah berpikir apa-apa hanya mengejar
surga;
-
Bahwa saksi berjanji demi Allah tidak akan mengulangi lagi
perbuatannya.
Atas keterangan saksi tersebut, terdakwa membenarkan keterangannya;
72
c.
Saksi JOKO LELONO bin ROHMAT
-
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa sejak kelas 2 di Sekolah SMK II
Klaten;
-
Bahwa selain itu saksi dan terdakwa ikut bersama dan mengikuti
kegiatan CDS (Corps Dakwah Sekolah) yang merupakan kegiatan diluar
Sekolah;
-
Bahwa untuk persiapan berjihad Saksi bersama-sama teman-teman
lainnya termasuk Terdakwa dalam kelompok IGHTIYALAT adalah
latihan fisik dan menembak;
-
Bahwa tindakan berjihad yang pernah dilakukan saksi dan terdakwa
antara lain adalah sekitar bulan November 2010 meletakkan bom palsu
berupa kotoran sapi di Masjid Baitul Makmur didaerah Solo Baru dan
Masjid At’tawun didaerah Delanggu Klaten serta meletakkan rangkaian
bom dilokasi acara Perayaan Budaya menebar Apem yang terletak di
Jatinom Kab. Klaten;
-
Bahwa saksi juga meletakan bom di Sendang Sriningsih didaerah
Prambanan, Sleman; di Gereja Manjung, Klaten; di Pos Polisi Ketandan,
dekat dengan Rumah Sakit Islam (RSI) Klaten; di Pos Polisi di
Delanggu; di alun-alun keraton solo didepan Polsek Pasar Kliwon Solo;
di Gereja didaerah Gawok, Sukoharjo dan di Gereja didaerah Polanharjo;
-
Bahwa Maksud menaruh/meletakkan Bom Rakitan dilokasi Perayaan
Budaya penebaran Apem didaerah Jatinom karena Perayaan Budaya
menyebar Apem merupakan kegiatan yang bersifat Syirik dan melanggar
73
aturan atau bertentangan dengan Syariah Agama Islam; Maksud menaruh
bom palsu kotoran sapi masjid, untuk menimbulkan adu domba antara
kaum muslim dan orang Nasrani, seakan-akan yang menaruh/meletakkan
bom kotoran sapi tersebut dilakukan orang Nasrani;
-
Bahwa saksi masih berusia 18 dan merasa menyesal dengan perbuatan
saksi, dan mau berubah pemikirannya tentang Negara dan pemerintahan
dengan berjalannya waktu;
-
Bahwa saksi berjanji demi Allah tidak akan mengulangi perbuatan seperti
menteror orang dan ihktialat.
Atas keterangan saksi Joko Lelono bin Rohmat, terdakwa membenarkan
keterangan saksi.
d. Saksi TRIBUDI SANTOSO Bin SUTOMO
-
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa dan rekan lainnya karena satu
sekolah dan ikut ROHIS serta pengajian-pengajian dan bedah buku di
Krapyak di masjid An-Nur dan pengajian tentang jihad dirumah ustad
Musab;
-
Bahwa suatu ketika saksi mendapat sms untuk datang kerumah Agung di
Krapyak bersama Nugroho, Terdakwa dan Yuda disana sudah ada
perlengkapan membuat bom, ada botol air mineral, jam beker, lakban,
kabel dan detonator untuk membuat 5 paket bom molotov yang akan
disebarkan pada malam itu juga;
-
Bahwa setahu saksi yang paling pandai membuat bom adalah Eko tapi
kalau dalam aksi Eko tidak banyak berperan karena mengalami
74
kecelakaan akibat bahan-bahan peledak meledak dan Eko terbakar lalu
dirawat di rumah sakit;
-
Bahwa tugas saksi adalah membuat rangkaian elektro setelah mendapat
gambar dari Eko dan Terdakwa bertugas meracik bomnya;
-
Bahwa semua teman saling membantu membuat bom tapi Nugroho yang
paling ahli, selesai sekitar malam hari tanggal 1 Desember 2010 dan
langsung bagi tempat sasaran tapi saksi tidak tahu siapa yang
menentukan;
-
Bahwa kemudian saksi dan nugroho berboncengan membawa 2 paket
untuk diletakkan di Gua Maria Sendang Sriningsih Sleman;
-
Bahwa bom yang lain diletakkan di Pos Polisi Ketandan dekat RSI, saksi
sendiri yang meletakkannya dibawah meja;
-
Bahwa satu paket dibawa Terdakwa untuk ditaruh di Pos Polisi Delanggu
dan dua paket lagi dibawa Agung dan Yuda untuk gereja Manjung dan
Polanharjo, setelah itu semua pulang krumah masing-masing dan
berkomunikasi hanya lewat sms;
-
Bahwa bom yang diletakkan oleh Terdakwa yaitu di Pos Polisi Delanggu,
tempat acara penyebaran Apem di Jatinom dan yang diletakkan di alunalun sekitar Keraton Solo didepan Polsek Pasar Kliwon, semuanya tidak
ada yang meledak;
-
Bahwa selain itu Yuda dan Agung meletakkan bom palsu Masjid At
ta’wun dan Joko meletakkan di Masjid Baitul Makmur, Solo Baru
Sukoharjo;
75
-
Bahwa saksi pernah latihan meracik bom digunung dan memahami
bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bom yaitu bahan peledak,
bensin, belerang, kno3, arang, detonator, saklar switch, timer, lakban,
resistor dan lampu LED;
-
Bahwa ketika itu saksi beranggapan meletakkan bom termasuk
panggilan jihad tetapi sekarang saksi merasakan banyak negatifnya, baik
untuk keluarga dan masyarakat.
Atas keterangan saksi Tribudi Santoso bin Sutomo, terdakwa membenarkan
keterangan saksi.
e.
Saksi YUDA ANGGORO al. BILAL bin SRIYANTA
-
Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa, karena satu sekolahan di SMK 2
Klaten dan sekarang saksi duduk dikelas 4;
-
Bahwa saksi ikut kegiatan disekolah yaitu Rohani Islam (ROHIS), sama
seperti Terdakwa dan, ikut CDS (Corps Dakwah Sekolah) yaitu, kegiatan
keagaman diluar sekolah bersama dengan beberapa teman lainnya,
termasuk Terdakwa;
-
Bahwa saksi bersama dengan Terdakwa, Agung, dan Nugroho belajar
membuat bom sekitar bulan September 2010 yang diajari oleh Eko
Suryanto untuk melakukan amaliyah Jihad memerangi Thogut dan orangorang kafir sebagaimana yang saksi pahami setelah mengikuti taklim
yang disampaikan oleh Ustad MUS’AB adapun sasaran bom adalah
rumah ibadah, pos polisi dan tempat kemusyirkan;
76
-
Bahwa saksi bersama-sama dengan Terdakwa, Agung Jati Santoso,
Nugroho, Tribudi pernah membuat bom molotov di daerah Buntalan
Klaten;
-
Bahwa tugas Terdakwa pada waktu itu memasukkan bensin kedalam
botol Aqua yang dijadikan bom molotov; dan dilengkapi dengan timer,
berisi bensin;
-
Bahwa kemudian saksi tahu, Terdakwa sendirian meletakkan 1(satu) bom
molotov tersebut di Pos Polisi Delanggu pada sekitar jam 00.30 Wib;
-
Bahwa saksi tahu, NUGROHO bersama TRIBUDI meletakkan 1 buah
bom di Goa Maria daerah Prambanan perbatasan Klaten-Yogyakarta dan
1buah bom lagi di Pos Polisi ketandan dekat RSI Klaten;
-
Bahwa saksi bersama AGUNG JATI SANTOSO meletakkan 2 buah bom
yaitu di Gereja Jawa Manjung dan Gereja Polanharjo Klaten;
-
Bahwa tujuan dari peletakan bom-bom tersebut adalah untuk balas
dendam atau qisosh terhadap polisi yang selama ini telah menangkap
para mujahidin dan mengganggap sebagai teroris. Bom yang diletakkan
digereja adalah untuk meneror orang-orang kafir supaya takut beribadah
di Gereja. Selain itu juga sebagai pembalasan atas kristenisasi yang
dilakukan orang-orang Nasrani selama ini;
-
Bahwa bom diletakkan di Jatinom karena banyak orang melakukan
kemusyrikan disana dengan mencari berkah dimakam dan dimasjid
Pancasila karena bukan masjid umat Islam;
77
-
Bahwa saksi bersama dengan Joko Lelono pernah menaruh bom kotoran
sapi, dimasjid Baitul Makmur dan Masjid At Ta’aawun/Masjid Pancasila
yang terletak di Dk. Kaliwingko, Ds. Banaran, Kec. Delanggu, Kab.
Klaten, dengan tujuan untuk adu domba antar umat Bergama;
-
Bahwa ide membuat bom dari Mas Atok dan Mas Irfan, Mas Atok juga
yang memberikan arahan untuk menyerang pos polisi dan merusak
fasilitas umum agar terjadi teror;
-
Bahwa saksi pernah bertemu dengan Ust. Sigit dipengajian dirumahnya
di Solo Baru bersama 4 rekan lainnya dan di Solo bersama dengan
Nugroho, saksi pernah dibai’at sumpah mati tapi kurang tahu untuk apa;
-
Bahwa sekarang pandangan saksi sudah berubah dan saksi mengakui
kalau apa yang saksi lakukan merugikan baik waktu dan juga pendidikan
saksi.
Atas keterangan saksi Yuda Anggoro als. Bilal bin Sriyanta, terdakwa
membenarkan keterangan saksi.
5. Keterangan Terdakwa
Terdakwa AW alias AHMAD bin PARTONO telah memberi keterangan
yang pada pokoknya sebagai berikut:
-
Bahwa terdakwa, berstatus sebagai siswa SMKN 2 Klaten kelas 4;
-
Bahwa disekolah terdakwa aktif di organisasi keagamaan, Rohani Islam
(ROHIS), dan kegiatan keagaman diluar sekolah Terdakwa ikut
Organiasasi CDS (Corp Dakwah Sekolah);
78
-
Bahwa Terdakwa, selain itu juga mengikuti Pengajin-pengajian dirumah
Ustad MUS’AB di Gergunung Klaten Utara yang diikuti oleh kurang
lebih 20 Orang peserta diantaranya, saksi ROKI APRISDIANTO Alias
Mas Atok, Saksi YUDA ANGGORO, Saksi JOKO LELONO, Saksi
NUGROHO BUDI SANTOSO, Saksi TRI BUDI SANTOSO, AGUNG
JATI SANTOSO, IRFAN dan yang lainnya;
-
Bahwa menurut pemahaman Terdakwa cara Ust. Mus’ab menyampaikan
kajin terkesan provokatif dan semangat, pada bagian yang disemangati,
khususnya mengenai jihad;
-
Bahwa dalam pengajian tersebut awalnya tentang aqidah Islam
selanjutnya tauhid lalu penekanan pada jihad melawan orang-orang kafir,
kajian tersebut merasuk dalam diri terdakwa;
-
Bahwa suatu ketika terdakwa diajak Eko kerumah Mas Atok, dirumah
Mas Atok, Eko membuat rangkaian elektro, katanya itu untuk membuat
bom, kemudian Terdakwa diajak belajar membuat rangkaian elektro oleh
Mas Atok dan Eko namun terdakwa tidak bisa;
-
Bahwa kemudian terdakwa tahu bahan untuk membuat bom antaralain
KNO3, lalu diberitahu Nugroho bil KNO3 ada didalam pupuk, yaitu
pupuk merk traktor pak tani dan bahan lainnya yaitu arang dan belerang;
-
Bahwa senua bahan membuat bom tersebut sudah siap tinggal bawa tang,
lalu bersama dengan Agung, Tribudi, Eko, Nugroho dan Yuda pergi
kegunung tumpang untuk mencoba bahannya dan mencari perbandingan
yang paling cepat menimbulkan api yaitu 1:1:1;
79
-
Bahwa pertama semua bahan dihaluskan menjadi black powder tapi tidak
tahu cara menggabungkan, lalu dengan prinsip petasan dibuat granat
tangan dengan menggunakan selongsong baterai ABC besar, dilubangi
atasnya, isi dikeluarkan, kemudian diisi bubuk petasan black powder,
bawahnya diperkuat dengan semen putih dan lem, selanjutnya petasan
dimasukkan yang fungsinya sebagai detonator;
-
Bahwa percobaan pertama gagal, kemudian AGUNG membawa sendawa
lalu dicampurkan ke black powder sehingga dapat menimbulkan api lebih
cepat;
-
Bahwa sekitar bulan November 2010, terdakwa bersama dengan
Nugroho, Agung, Tribudi dan Yuda diinstruksikan dipanggil ROKI
APRISDIANTO alias ATOK ke Sukoharjo kemudian disuruh untuk
membuat bom Molotov sebanyak 5 buah dengan target bulan November
harus sudah disebarkan;
-
Bahwa kemuadian Terdakwa dan teman-temannya mempersiapkan dan
mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat bom Molotov, yaitu berupa
botol aqua, jam weker, kabel, dahulu;
-
Bahwa kemudian terdakwa dan saksi Yuda ditugaskan mengisi botol
aqua dengan bensin ¾ botol, dan untuk setiap satu rangkaian bom terdiri
dari 5 botol, sehingga semuanya ada 25 botol aqua;
-
Bahwa pada awal Desember 2010 sekitar jam 00.30 Wib terdakwa
kemudian meletakkan Bom Molotov dipasang Timer yang telah dibuat
tersebut di Pos Polantas Delanggu dekat Sub Terminal Delanggu Klaten;
80
-
Bahwa ketika terdakwa sampai disasaran, Pos Polantas dalam keadaan
terkunci, lalu terdakwa memecah 2 kaca nako pakai tangan kemudian
menaruh bom dilantai;
-
Bahwa bom yang lain diletakkan NUGROHO dan TRIBUDI ke Gua
Maria dan Pos Polantas Ketandan, dua bom lagi dibawa AGUNG dan
Saksi YUDA ke-gereja di Polanharjo dan di Gereja Manjung Bahwa
Terdakwa, pada pagi harinya sempat mengecek peletakan Bom di Gereja
Manjung dan ternyata meledak karena ada bekas terbakar sedangkan bom
molotov lainnya tidak meledak;
-
Bahwa kemudian Terdakwa dengan diboncengkan oleh Hogan berangkat
mencari mencari lokasi yang sepi disekitar kawasan kraton dan
menemukan lokasi di alun-alun utara Pasar Kliwon didepan Kantor Polisi
lalu bom diletak kan ditrotoar;
-
Bahwa selain membawa bom terdakwa juga diperintah oleh ROKI
APRISDIANTO alias ATOK untuk menaruh 3buah surat ancaman,
namun terdakwa tidak membaca isinya;
-
Bahwa setelah meletakkan bom, semua kecuali Eko, berkumpul dimasjid
Al-Huda Ngruki dan laporan ke ROKI APRISDIANTO alias ATOK;
-
Bahwa terdakwa sekitar akhir Desember 2010 sekitar jam 22.00 Wib,
pernah melempar Bom Molotov di Masjid Asy-syifa kebakaran;
-
Bahwa terdakwa pada sekitar pertengahan Januari 2011 diberitahu oleh
Agung untuk kerumah kontrakan Mas Atok untuk membuat bom lagi
81
yang akan diletakkan diacara Saparan di Kyai Gribig, disana sudah ada
Nugroho;
-
Bahwa kemudian terdakwa disuruh membeli KNO3 di Pedan, arang di
Mlinjon lalu buat bom dalam bentuk kaleng dirumah Agung;
-
Bahwa kemudian Terdakwa sekitar jam 09.00Wib, bersama Joko dengan
mengenakan seragam pramuka membawa bom dalam tas sekolah, lalu
meletakkan 1(satu) rangkain Bom yang dipasang Timer berikut surat
ancaman yang ditulis Saksi Nugroho di Tanah Lapang dibawah tower
untuk sebar apem didekat Makam Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten yang
dipergunakan untuk upacara tradisi Sebar Apem atau Saparan atau
Yaaqowiyyu, dengan maksud BOM meledak dan mengacaukan Upacara
tersebut;
-
Bahwa bom yang diletakkan di Kyai Gribig tidak meledak lalu
memberitahu Nugroho melalui sms dengan bahasa sandi “luwih enak
maneh”;
-
Bahwa terdakwa bersama dengan Agung, Yuda dan Tribudi pernah pula
disuruh Mas Atok untuk membuat bom pura-pura atau bom palsu yang
diberi timer berupa bom kotoran sapi;
-
Bahwa kemudian bom kotoran sapi tersebut dibawa oleh Joko ke Solo
baru, Yuda dan Agung membawa ke Pakis tapi masjid terkunci akhirnya
ditaruh untuk diletakkan di Masjid At Ta’aawun Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila yang terletak di Dk. Kaliwingko, Ds. Banaran, Kec.
Delanggu, Kab. Klaten;
82
-
Bahwa Terdakwa bersama dengan AGUNG JATI SANTOSO datang
kerumah ROKI APRISDIANTO alias ATOK di Sukoharjo, terdakwa
diberi 1(satu) pucuk Pen gun berikut pelurunya sebanyak 19
(Sembilanbelas butir) diperintah untuk digunakan Ightiyalat (membunuh
orang secara diam-diam);
-
Bahwa empat hari kemudian Terdakwa bersama NUGROHO BUDI
SANTOSO dengan mengendarai sepeda motor Honda Impressa warna
hitam miliknya mencari Target yaitu polisi atau orang kafir untuk
ditembak;
-
Bahwa ketika PEN GUN dicoba ditembakkan ternyata macet, lalu dicoba
lagi dipinggir jalan, meletus dengan suara keras, selanjutnya ketika lewat
didaerah Bramen disebuah rumah ada acara pernikahan orang Kristen
lalu terdakwa menembakkan tapi tidak kena sasaran;
-
Bahwa kemudian pada pagi harinya sekitar jam 09.00 Wib di Waru Baki
Sukoharjo, namun pelurunya sebanyak 17(tujuhbelas) butir Terdakwa
simpan dirumah;
-
Bahwa benar barang-barang yang ditemukan dirumah terdakwa
merupakan sisa pembuatan bom yang belum sempat dibuang, KNO3
tadinya dirumah Agung tapi penuh, arang memang disimpan dirumah
terdakwa dan korek api untuk detonator yang menyuruh Eko;
-
Bahwa sekarang terdakwa merasa sangat menyesal dan bertobat dari hati
yang paling dalam tidak akan mengulangi lagi, menyadari kalau
perbuatan terdakwa salah dan sangat merepotkan semua pihak, sekolah
83
dan polisi terutama kedua orangtua, melawan orang tua dan menjadi anak
durhaka terutama kepada ibu;
Bahwa terdakwa bersumpah demi Allah tidak akan mengulangi teror dan jihad
seperti itu lagi dan semoga hal ini menjadi pelajaran buat diri terdakwa.
6. Alat Bukti Surat
Alat bukti yang diajukan didepan persidangan dalam perkara ini adalah
bukti-bukti surat sebagai berikut:
a. Berkas Perkara Nomor: BP/ II/2011/Densus tanggal 17 Pebuari 2011.
b. Hasil
Labfor
Cabang
Semarang
sesuai
Berita
Acara
No.
Lab:109/BHF/I/2011, terhadap barang bukti yang dilaksegel Nomor
Bukti BB-0247/2011 s/d BB-0257/2011.
c. Hasil Lab (hasil swab, positif mengandung senyawa oksidator/senyawa
kimia yang dapat digunakan sebagai pembentuk bahan peledak, sesuai
Berita Acara Labfor Cab. Semarang No. Lab:109/BHF/I/2011, romawi
IV. Kesimpulan angka 1). Hasil lab terhadap 1 (satu) buah tas jinjing
warna hitam tanpa merk.
d. Hasil Lab (hasil swab, positif mengandung senyawa oksidator/senyawa
kimia yang dapat digunakan sebagai pembentuk bahan peledak, sesuai
Berita Acara Labfor Cab. Semarang No. Lab:109/BHF/I/2011, romawi
IV. Kesimpulan angka 1) hasil lab terhadap 1 (satu) buah tas ransel
warna hitam tanpa merk
84
e. Hasil
Labfor
Cab.
Semarang,
sesuai
Berita
Acara
No.
Lab:1360/BHF/XII/2010, terhadap barang bukti yang dilaksegel Labfor
Nomor Bukti:BB-2787/2010 BB-2790/2010
f. Hasil Lab oleh Labfor Cab. Semarang, sesuai Berita Acara No.
Lab:1398/BHF/XII/2 010, terhadap barang bukti yang dilaksegel
Labfor Nomor Bukti:BB-2902/2010s/d BB-2906/2010.
g. Hasil Labfor Cab. Semarang, sesuai Berita Acara No. Lab:140 /BHF/
II/2011, terhadap barang bukti yang dilaksegel Labfor Nomor
Bukti:BB-0330/2011s/d BB-0337/2011.
7. Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa Terdakwa didakwa dengan dakwaan yang disusun
secara alternative yang dikombinasikan dengan subsidairitas, yakni: Kesatu
Primair: Melanggar dan diancam pidana dalam Pasal 15 Jo. Pasal 9 UndangUndang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
No.
1
Tahun
2002
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang; Subsidiair:
Melanggar dan diancam pidana dalam Pasal 15 Jo. Pasal 7 Undang-Undang
Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang; Atau Melanggar dan diancam pidana
dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951;
Menimbang, bahwa dalam dakwaan alternatif pertama/Kesatu Primair,
terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam
85
pidana dalam Pasal 15 Jo. Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15
Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi
Undang-Undang, dengan unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Unsur: Setiap orang;
b.
Unsur: Melakukan permufakatan jahat;
c.
Unsur: secara melawan hukum, memasukkan ke Indonesia, membuat,
menerima,
mencoba
memperoleh,
menyerahkan
atau
mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya
atau
mempunyai
dalam
miliknya,
menyimpan,
mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari
Indonesia, sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan
bahan-bahan lainnya yang berbahaya;
d.
Unsur: dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme
Menimbang, bahwa untuk itu sebelum Hakim Majelis, menjatuhkan
pidana terhadap diri terdakwa, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan halhal sebagai berikut:
Hal - hal yang memberatkan:
a. Bahwa Perbuatan terdakwa telah menimbulkan rasa takut di
masyarakat;
b. Bahwa Perbuatan terdakwa dapat menimbulkan rasa permusuhan antar
umat beragama;
86
c. Bahwa Perbuatan terdakwa dapat mengancam jiwa orang lain;
Hal-hal yang meringankan:
a. Bahwa Perbuatan Terdakwa didorong oleh jiwa muda yang orangorang yang tidak bertanggungjawab, termasuk dalam hal ini oleh Ustad
Mus’ab maupun oleh Saksi ROKI APRISDIANTO alias ATOK;
b. Bahwa Terdakwa masih berusia anak-anak sehingga masih dapat
diharapkan untuk memperbaiki kehidupannya;
c. Bahwa Orang tua terdakwa sangat mengharapkan agar terdakwa
kembali dapat menjalankan kehidupan yang baik sehingga dapat meraih
masa depan yang lebih baik;
d. Terdakwa sopan dipersidangan;
e. Bahwa Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;
f. Bahwa Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi;
g. Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum.
Menimbang, bahwa selain hal-hal tersebut diatas, Hakim Majelis perlu
mempertimbangkan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan yang antara lain,
mengemukakan:
a. Terdakwa masih muda usia, masih ada kesempatan untuk memperbaiki
diri, pintar dan diharapkan bisa menjadi salah satu asset bangsa;
b. Terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi;
87
c. Selama proses hukum berjalan, terdakwa bersikap baik dan jujur;
d. Terdakwa sebagai anak tertua dalam keluarga dan kehadirannya sangat
dibutuhkan orang tua dan adik-adiknya;
e. Pentingnya
penjatuhan
sanksi
yang
tepat
untuk
kepentingan
perlindungan Anak, pasal 64 ayat (2) huruf d)
Menimbang
bahwa
selanjunya
Pembimbing
Kemasyarakatan
menyimpulkan bahwa apabila dalam persidangan AW terbukti bersalah, maka
agar dituntut dan dijatuhi pidana penjara dengan memperhatikan hal-hal yang
meringankan dengan berpedoman pada pasal 26 ayat (1) UU No. 3 tahun 1997,
agar secepatnya AW kembali kepada orang tua, melanjutkan pendidikan demi
masa depan dirinya dan keluarga serta negara;
Menimbang, bahwa sebagaimana tersebut dalam pasal 26 ayat (1)
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa Pidana
penjara, yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa anak paling lama atau paling
banyak adalah ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa;
Menimbang, bahwa menurut hemat Hakim Majelis ketentuan dalam
pasal 26 ayat (1) tersebut diberlakukan pula dalam hal batas minimum khusus
ancaman pidana bagi anak. Pemberlakuan ½(satu per dua) dari batas minimum
pidana orang dewasa bagi terdakwa anak, telah pula dipertegas oleh Mahkamah
Agung,
dalam
K/Pid.sus/2010;
putusannya
tertanggal
22
September
2010
No.
1956
88
Menimbang bahwa khusus untuk tindak pidana Terorisme, pasal 19
Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang minimum
khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 8, pasal 9, pasal 10. Pasal 11,
pasal 12, pasal 13,pasal 15 dan pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia
dibawah 18(delapan belas) tahun;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU
No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dihubungkan dengan pasal 19
Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, maka
menurut hemat Hakim Majelis ancaman pidana terhadap terdakwa anak dalam
perkara tindak pidana teroris paling lama adalah 10tahun penjara dan
mengesampingkan ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus.
8. Amar Putusan
Mengadili:
a. Menyatakan Terdakwa Anak AW, sebagaimana tersebut di atas, telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
kejahatan: TERORISME
89
b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada diri Terdakwa anak
tersebut, dengan pidana penjara selama 2(dua) tahun;
c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa anak
tersebut, dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya;
d. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
e. Menetapkan barang bukti yang diajukan dalam persidangana
dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan
dalam perkara lain;
f. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp5.000,- ( limaribu rupiah);
B. Pembahasan
1. Penerapan unsur-unsur Pasal 15 Jo Pasal 9 Undang-Undang No. 15
Tahun 2003 dalam putusan perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt
Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses
peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya
kebenaran itu ditentukan atau diterapkan lewat putusan. dalam hubungan tersebut
jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan
keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam
persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai
eksekusinya.
Pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan
yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana,
90
dengan pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila pembuktian dengan alatalat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman,
sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat bukti
kepadanya akan dijatuhkan hukuman.38
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada
beberapa sistem atau teori membuktikan teori yang didakwakan, antara lain:39
a.
Sistem atau Teori Pembuktian Berdasrakan Undang-undang Secara
Positif (positief wttelijk bewijstheorie).
Dalam sistem pembuktian ini yang dijadikan dasar bagi hakim dalm
mengambil putusan hanya didasarkan pada pembuktian alat-alat bukti yang
disebutkan dalam undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan
sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan
hakim tidak dibutuhkan sama sekali.
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu.
Hakim dalam mengambil putusan apabila berdasarkan teori ini maka
tidak dibutuhkan alat bukti yang ada dalam undang-undang, hanya membutuhkan
keyakinan hakim saja.
38
Mohhamad Taufik Makarao dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm 102-103
39
Ibid. hlm 245-250
91
c.
Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas
Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee).
Hakim dapat memutus seorang bersalah berdasarkan keyakinannya,
keyakinan yang didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu
kesimpulan yang berlandasan pada peraturan-peraturan pembuktian.
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang secara Negatif (negatief
wettelijk).
Pembuktian harus didasarkan pada undang-undang, yaitu alat bukti yang
sah yang ada dalam undang-undang disertai dengan keyakinan hakim yang
diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
Berkaitan dengan macam-macam teori pembuktian di atas, Indonesia
menganut sistem pembuktian Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang
secara Negatif (negatief wettelijk), hal ini dapat terlihat dalam Bunyi Pasal 183
KUHAP, dimana pasal tersebut merumuskan hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang benar-benar melakukannya”.
Pasal 183 KUHAP berkaitan erat dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
mengenai macam-macam alat bukti, adapun macam-macam alat bukti tersebut
ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
92
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Berkaitan dengan pembahasan di atas, dapat dijadikan sebagai
pertimbangan hakim dalam menerepkan unsur-unsur tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum, dalam hal ini hakim sebelum menjatuhkan sanksi pidana maka
hakim harus terlebih dahulu membuktikan unsur-unsur yang terpenuhi dalam
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dengan memeriksa alat bukti yang
diajukan dalam persidangan.
Hasil penelitian Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak
dalam putusan perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, alat bukti yang diajukan
dalam persidangan antara lain: Keterangan Saksi; Alat Bukti Surat; Keterangan
Terdakwa. Hasil penelitian dalam putusan tersebut Terdakwa didakwa oleh JPU
dan diputus oleh Hakim sesuai dengan dakwaan oleh JPU melakukan Tindak
Pidana Terorisme sesuai dengan Tindak Pidana yang dirumuskan dalam Pasal 15
Jo Pasal 9 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, adapun pasal
tersebut mengatur sebagai berikut:
Pasal 15 yang merumuskan:“Setiap orang yang melakukan
permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan
tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan
pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.”
93
Pasal 9 Undang-undang tersebut merumuskan:“Setiap orang yang
secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat,
menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya
atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau
dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak
dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk
melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Berdasarkan rumusan pasal tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur
yang ada dalam pasal tersebut antara lain:
a. Setiap orang;
b. Melakukan permufakatan jahat;
c. Secara melawan hukum, memasukkan ke Indonesia, membuat,
menerima,
mencoba
memperoleh,
menyerahkan
atau
mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya
atau
mempunyai
dalam
miliknya,
menyimpan,
mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari
Indonesia, sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan
bahan-bahan lainnya yang berbahaya;
d. Dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Add. a) Setiap Orang
Setiap orang adalah Subjek hukum pendukung hak dan kewajiban baik
perseorangan (persoonlijke) kewajiban yang melakukan perbuatan pidana dan
mampu bertanggungjawab yang identitasnya sebagaimana dalam dakwaan
Jaksa Penuntut Umum. Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada
94
alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat
dilakukan sepanjang pembuat tidak mempunyai defence, ketika melakukan
suatu tindak pidana.40
Hasil penelitian Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt,
diperoleh identitas dari terdakwa adalah: Ahmad bin Partono alias AW; tempat
lahir : Klaten; Umur : 17 Tahun; Tempat tinggal : Klaten. Berdasarkan identitas
Terdakwa, sesuai dengan batas minimal usia anak untuk dapat diajukan ke
sidang pengadilan anak sebagaimana diatur dalam UU pengadilan anak adalah
berumur 8(delapan) tahun. Patokan umur 8(delapan) tahun sebagai minimal
usia ke pemeriksaan sidang anak, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU No.
3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Apabila anak belum mencapai umur
8(delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka
terhadap anak tersebut sebatas dilakukan pemeriksaan oleh penyidik saja.
Selanjutnya anak tersebut diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua
asuhnya, dan dapat diserahkan kepada Departemen Sosial apabila anak tersebut
tidak dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.41
Batas usia anak yang dapat dipertanggungjawabkan (dalam arti dapat
dikenakan pidana atau tindakan), menurut UU Pengadilan Anak dibagi dalam
dua kelompok, yaitu usia anak yang dapat dijatuhi sanksi tindakan dan usia
anak yang dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan. Anak yang melakukan
tindak pidana berusia antara 8(delapan) tahun tetapi belum mencapai
40
Chairul Huda. 2006. “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’ . Prenada Media. Jakarta. Hlm 62.
41
Setya Wahyudi. Op. Cit. Hlm 51
95
12(duabelas) tahun hanya dapat dijatuhi sanksi tindakan, adapun anak yang
berusia 12(duabelas) tahun tetapi belum mencapai 18(delapanbelas) tahun,
dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan. Batas maksimal untuk pertanggungjawaban pidana anak, yaitu apabila anak telah mencapai umur 18(delapanbelas)
tahun.42
Add. b) Melakukan Permufakatan jahat
Pasal 15 UU No. 15 Tahun 2003, pada pokoknya mengatur ada 3(tiga)
macam bentuk tindak pidana, antara lain: permufakatan jahat; percobaan; atau
pembantuan dalam melakukan tindak pidana, dan dalam pasal tersebut semua
bentuk tindak pidana tersebut pemidanaannya sama dengan pelaku tindak
pidana.
Melakukan Permufakatan Jahat, menurut Pasal 88 KUHP “dikatakan
ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan
melakukan kejahatan”. Jadi permufakatan jahat mengadung unsur-unsur
sebagai berikut:
1) adanya dua orang atau lebih (pembantuan);
2) adanya kesepakatan;
3) akan melakukan kejahatan.43
Percobaan dalam Pasal 53 KUHP yang merumuskan: “mencoba
melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
42
Loc. Cit.
Adami Chazawi. 2002. Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta. Hlm 38
43
96
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Pasal tersebut tidak menyebutkan
apa percobaan itu, tetapi hanya menetapkan dalam keadaan apa percobaan dapat
dipidana, yaitu apabila memenuhi syarat-syarat:44
1) harus ada niat dari pelaku;
2) harus ada permulaan pelaksanaan;
3) pengunduran diri yang tidak suka rela.
Penjelasan Pasal 15 UU No. 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa:
“Pembantuan dalam Pasal ini adalah Pembantuan sebelum, selama, dan setelah
kejahatan dilakukan”. Pembantuan dalam Pasal 56 KUHP dirumuskan sebagai
berikut: “dipidana karena pembantuan kejahatan”:
1) mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan;
2) mereka yang dengan sengaja memberikan kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sidang pengadilan dalam putusan perkara
Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, hakim setelah mendengar keterangan dari saksi
dan keterangan terdakwa, hal yang dilakukan oleh terdakwa bersama teman-teman
kelompoknya lebih cenderung kearah Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak
pidana, hakim memperoleh keyakinan tentang adanya unsur permufakatan
dituangkan
dalam
pertimbangan
hakim,
dimana
ringkasan
mengenai
pertimbangan hakim tersebut adalah sebagai berikut:
44
D. Scaffmeister, dkk, penerjemahan J.E Sahetapy. 1995. Hukum Pidana. Liberty. Yogyakarta.
Hlm 214-215
97
Berdasarkan fakta yang terungkap didalam persidangan persiapanpersiapan yang dilakukan oleh kelompok Roki Aprisdianto alias ATOK, bersamasama dengan Terdakwa (AW),
Budi Santoso, Joko Lelono, Irfan dan Yuda
Anggoro dan yang lainnya adalah menyusun team dengan susunan organisasi
sebagai berikut: Roki Aprisdianto alias ATOK sebagai Amir atau pemimpin
kelompok:
1) Terdakwa AW alias AHMAD Bin PARTONO, sebagai anggota
2) YUDA ANGGORO, sebagai Bendarahara.
3) NUGROHO BUDI SANTOSO, sebagai anggota.
4) JOKO LELONO Bin ROHMAT, sebagai anggota.
5) TRI BUDI SANTOSO, sebagai anggota.
6) IRFAN, sebagai Koordinator wilayah Klaten
7) AGUNG JATI SANTOSO, sebagai anggota.
8) SARJIANTO, sebagai anggota.
9) ROSYID ARIFIN, sebagai anggota
10) MUNCAR, sebagai angota.
11) EKO SURYANTO, sebagai anggota.
Setelah mereka dapat memahami cara atau teknik membuat bom,
kemudian atas perintah Roki Aprisdianto alias ATOK, masing-masing, termasuk
Terdakwa berbagi tugas belajar membuat rangkaian bom dan menempatkan
diberbagai tempat seperti:
98
1) Sekitar bulan akhir Nopember-awal Desember 2010 Terdakwa dan
teman-temannya mulai belajar dan membuat rangkaian Bom dan telah
berhasil membuat 5 (lima) buah rangkaian bom molotov, kemudian
bom dibagikan kepada masing-masing anggota team untuk diletakkan
diberbagai sasaran target pada malam itu juga sekitar jam 24.00 Wib,
terdakwa dan anggota yang lain mulai melakukan aksinya;
2) Pada awal Desember 2010 sekitar jam 00.30 Wib Terdakwa
Meletakkan Bom Molotov,
yang dipasang Timer di Pos Polantas
Delanggu dekat Sub Terminal Delanggu Klaten;
3) Yuda Anggro dan Nugroho Budi Santoso membawa 2 (dua) buah bom
molotov dan meletakkan bom molotoov tersebut didepan Gereja
Kristen Jawa Manjung, Dukuh Tuban Kulon Kec. Ngawen Kab. Klaten
dan didepan Pintu Kapel Santa Ancilla Dukuh Plumbon Desa Karanglo,
Kec. Polanharjo, Kab. Klaten;
4) 2 (dua) buah bom molotov lainnya dibawa oleh di Gua Bunda Maria di
Sendang Sri Ningsih, Perbatasan Klaten-Yogyakarta, dan juga di Pos
Polisi Ketandan dekat Rumah Sakit Islam (RSI) Jl. Raya SoloYogyakarta;
5) Pada pertengahan Desember 2010 sekitar jam 00.15 Wib, atas perintah
langsung dari Roki Aprisdianto alias ATOK, Terdakwa meletakkan
1(satu) Unit BOM Rakitan yang dipasang Timer diatas Trotoar Depan
Polsek Pasar Kliwon dan menyebarkan tiga buah amlop yang brisi surat
ancaman;
99
6) Pada sekitar akhir Desember 2010 sekitar jam 22.00 Wib, Terdakwa
melempar Bom Molotov di Masjid Asy-syifa Pancasila Klaten diatas
genting;
7) Pada pertengahan Januari 2011 sekitar jam 10.00 Wib, Terdakwa
meletakkan 1(satu) Unit Bom Rakitan yang dipasang Timer didekat
Makam Ki Ageng Gribig Tatinom Klaten yang sedang dipergunakan
untuk upacara tradisi Sebar Apem atau Saparan atau Yaaqowiyyu.
Add. c) Melawan Hukum, memasukkan ke Indonesia, membuat,
menerima,
mencoba
memperoleh,
menyerahkan
atau
mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya
atau
mempunyai
dalam
miliknya,
menyimpan,
mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari
Indonesia, sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan
bahan-bahan lainnya yang berbahaya
Tindak pidana adalah perumusan dari hukum pidana yang memuat
ancaman hukuman pidana atas pelanggaran norma-norma hukum lain, yaitu
hukum perdata, hukum tata negara serta hukum administrasi negara, maka
degan adanya hukum pidana dengan tindak-tindak pidana yang ada didalamnya
bersumber pada pelanggaran-pelanggaran hukum lain, jadi dengan sendirinya
dalam tiap tindak pidana ada sifat melanggar hukum atau onrectmatigheid.45
Melawan hukum adalah salah satu unsur tindak pidana, melawan
hukum merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan, dan bukan
45
Wirjono Prodjodikoro. Op. Cit. Hlm 59
100
terhadap si pembuat. Sifat melawan hukum suatu perbuatan Sudarto
mengemukakan ada 2 (dua) jenis yaitu:
1) sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan
melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan
sebagai suatu delik dalam undang-undang;
2) sifat melawan hukum materiil adalah suatu perbuatan dikatakan
melawan hukum apabila, perbuatan tersebut tidak hanya yang
terdapat dalam undang-undang saja, akan tetapi juga harus melihat
azas-azas hukum yang tidak tertulis.46
Berdasarkan uraian penjelasan mengenai melawan hukum di atas,
keyakinan hakim dalam menerapkan unsur melawan hukum dalam perkara
Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, setelah memeriksa alat bukti yang diajukan di
persidangan, menurut pendapat hakim dalam menerapkan unsur melawan
hukum dituangkan dalam pertimbangan hakim yang penulis ringkas sebagai
berikut yaitu:
Fakta yang telah terungkap pada awal Desember 2010, sekitar jam 05.0006.00 WIB dibeberapa tempat di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kalten telah
ditemukan 5 (lima) rangkaian Bom dalam waktu yang hampir bersamaan, antara
lain yaitu:
1) di Pos Jaga Polantas 03 Dukuh Sukorame Desa Karang Kecamatan
Delanggu Kab. Klaten;
46
Sudarto. Op. Cit. Hlm 70
101
2) di depan Gereja Kristen Jawa Manjung, Dukuh Tuban Kulon Kec.
Ngawen Kab. Klaten;
3) di depan Pintu Kapel Santa Ancilla Dukuh Plumbon Desa Karanglo,
Kec. Polanharjo, Kab. Klaten;
4) di Gua Bunda Maria di Sendang Sri Ningsih, Perbatasan KlatenYogyakarta;
5) di Pos Polisi Simpang Empat Rumah Sakit Islam (RSI) Jl. Raya SoloYogyakarta Dukuh Kerun Baru Desa Belang Wetan Kec. Klaten Utara
Kab. Klaten.
Terdakwa kemudian membawa dan meletakkan Bom di Pos Polantas
Delanggu dekat Sub Terminal Delanggu, Agung dan Yuda berboncengan sepeda
motor menuju ke Gereja Manjung dan Gereja di Polanharjo untuk meletakkan
ditempat tersebut, Nugroho dan Tri Budi mengambil Target di Gua Maria
Sendang Sriningsih Prambanan dan Pos Polisi Ketandan.
Pada malam akhir bulan Desember 2010 sekitar jam 20.00 Wib
Terdakwa bersama dengan Tri Budi Santoso membawa Bom Molotov tersebut
berangkat menuju ke Masjid Pancasila Asy-syifa, lalu melemparkannya keatas
masjid Pancasila Asy-syifa di Klaten, dan botol pecah serta menimbulkan kobaran
api tapi tidak merembet dan langsung padam, sedangkan BOM palsu yang dibuat
dari kotoran sapi dan dipasang Timer palsu diletakkan di Masjid Pancasila Atta’awun Delanggu oleh Agung Budi Santoso dan Yuda Anggoro sedangkan Joko
Lelono sendirian meletakknya di Masjid Baitul Makmur Solo Baru Sukoharjo.
102
Pada hari jumat sekitar jam 09.15 Wib Terdakwa bersama dengan Joko
Lelono dengan membawa 1(satu) Unit Bom Rakitan yang sudah disetel untuk
meledak sekitar jam 13.00 Wib, naik Sepeda motor berangkat menuju ke
Komplek makam Ki Ageng Gribig di Jatinom Klaten yang akan diselenggarakan
upacara Saparan atau sebar apem Yaa Qowiyyu, begitu juga Nugroho Budi
Santoso bersama Andi dengan naik sepeda motor berangkat ke Komplek makam
Ki Ageng gribig Jatinom Klaten dengan membawa 1(satu) unit Bom rakitan.
Selanjutnya sekitar jam 10.00 Wib, terdakwa meletakkan Bom rakitan tersebut
dibawah tower/panggung tempat pelemparan Apem pada Upacara Saparan atau
Yaa-Qowiyyu dengan maksud agar Bom rakitan meledak sesuai dengan waktu
yang ditentukan pada Timer yaitu sekitar jam 13.00 Wib dan selain itu terdakwa
juga meletakkan lembar kertas yang berisi ancaman yang ditulis oleh Nugroho
Budi Santoso diletakkan disekitar Komplek makam Ki Ageng Gribig di Jatinom
Klaten tersebut, ternyata bom tersebut tidak meledak dan berhasil diamankan oleh
petugas.
Add. d) Melakukan Tidak Pidana Terorisme
Berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia menyatakan:
“Teror adalah perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang
sewenang-wenang (kejam, bengis dan sebagainya), usaha
menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seorang
atau golongan. Menteror (meneror) adalah berbuat kejam
(sewenang-wenang dan sebagainya) untuk menimbulkan rasa takut,
biasanya untuk tujuan politik. Terorisme diartikan sebagai
penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha
103
untuk mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik-praktik
tindakan teror”47
Terorisme mengandung arti sebagai pengunaan atau ancaman, dengan
ciri-ciri sebagai berikut:48
1) Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian
terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan
kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius
bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi tertentu yang
didesain secara serius untuk campur tangan atau menggangu sitem
elektronik;
2) Penggunaan ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau
untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik;
3) Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau
ideologi;
4) Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang
melibatkan senjata api dan bahan peledak.
Hakim
dalam
perkara
Nomor:
19/Pid.Sus/2011/PN.klt,
dalam
menerapkan unsur “melakukan tindak pidana terorisme” yang dilakukan oleh
terdakwa bersama dengan teman-temannya setelah hakim melihat fakta yang
terungkap dalam persidangan setelah memeriksa alat bukti yang diajukan dalam
47
Farkhatul Aula. Op. Cit. Hlm 42
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Definisi_terorisme&oldid=5609532.
tanggal 02 Desember 2012
48
Diakses
pada
104
persidangan, dimana hal ini dituangkan dalam pertimbangan hakim dalam putusan
perkara tersebut, penulis ringkas sebagai berikut:
Terdakwa bersama teman-teman Kolompok Ightiyalat, pada sekitar akhir
Nopember-awal Desember 2010 telah membuat 5 (lima) rangkaian Bom Molotov
dan kemudian dalam waktu yang hampir bersamaan telah diltakkan untuk
diledakkan: di Pos Jaga Polantas 03 Dukuh Sukorame Desa Karang Kecamatan
Delanggu Kab. Klaten; didepan Gereja Kristen Jawa Manjung, Dukuh Tuban
Kulon Kec. Ngawen Kab. Klaten; didepan Pintu Kapel Santa Ancilla Dukuh
Plumbon Desa Karanglo, Kec. Sri Ningsih, Perbatasan Klaten-Yogyakarta; di Pos
Polisi Simpang Empat Rumah Sakit islam (RSI) Jl. Raya Solo-Yogyakarta Dukuh
Kerun Baru Desa Belang Wetan Kec. Klaten Utara Kab. Klaten.
Tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa dan kelompoknya dilakukan
dengan penuh kesadaran untuk memperjuangkan norma-norma yang dianggap
benar oleh kelompoknya, antara lain Kelompok yang diikuti Terdakwa meyakini
bahwa: “jihad yang paling besar adalah melawan orang kafir”; “Jihad adalah sama
dengan teror”; “siapa yang dengan jihadnya melakukan pembunuhan orang kafir
akan mendapatkan pahala.” Pandangan-pandangan atau pemahaman tentang jihad
tersebut yang disampaikan oleh Ustad MUS’AB dalam setiap kajian-kajiannya
kemudian menjadi pemahaman kelompok yang diikuti terdakwa tersebut, telah
memprovokasi dan membuat semangat bagi anggotanya untuk mempratekkan
amaliyah-amaliyah
dengan
tujuan
menteror
orang
lain,
menimbulkan
ketidaknyamanan atau gangguan terhadap publik, dengan mengabaikan akibat
yang timbul dari teror tersebut.
105
Tindakan Terdakwa bersama dengan kelompoknya telah menimbulkan
perasaan cemas, ketakutan dan perasaan was-was, bagi masyarakat dan atau bagi
orang-orang yang bekerja dilingkungan tempat dimana rangkaian bom atau surat
ancaman tersebut ditemukan. Ternyata baik Terdakwa maupun teman-teman
kelompoknya termasuk pemimpin kelompok Roki Aprisdianto alias ATOK, tidak
pernah mempersoalkan apakah Bom akan meledak atau tidak dan juga tidak
pernah memperhitungkan, apabila bom benar-benar meledak apakah akan
menimbulkan korban bagi orang-orang yang tidak berdosa termasuk ibu hamil
maupun anak-anak.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan juga harus mempertimbangkan
hal-hal mengenai dapat atau tidaknya seorang dipertanggungjawabkan mnurut
hukum, hal-hal atau alasan penghapusan pidana tersebut adalah menurut Ilmu
hukum pidana menyebutkan bahwa alasan penghapus pidana dapat
menyangkut perbuatan atau pembuat, maka dibedakan mennjadi 2(dua) jenis
alasan penghapus pidana, yaitu:
a. Alasan Pembenar
Menghapus
sifat
melawan
hukumnya
perbuatan,
meskipun
perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang.
Alasan pembenar yang ada dalam KUHP adalah Pasal 49 ayat (1)
yaitu Pembelaan Terpaksa; Pasal 50 yaitu menurut peraturan
undang-undang; dan Pasal 51 ayat (1) yaitu karena perintah jabatan.
b. Alasan Pemaaf atau alasan penghapus kesalahan
106
Menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti orang ini tidak dapat
dicela menurut hukum, dengan kata lain tidak bersalah atau tidak
dapat dipertanggung-jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat
melawan hukum. Alasan Pemaaf dalam KUHP ialah Pasal 44 yaitu
tidak mampu bertanggung-jawab; Pasal 49 ayat (2) yaitu
noodweerexcees; Pasal 51 ayat (2) yaitu dengan ikhtikad baik
melaksanakan peringatan jabatan yang tidak sah.
Berdasarkan uraian diatas, apabila unsur-unsur telah terbukti secara
sah dengan memeriksa alat bukti yang diajukan dalam persidangan dan hakim
telah memperoleh keyakinannya serta terdakwa tidak memiliki alasan
pengahapus pidana maka dalam hal ini terdakwa dinyatakan secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana yang telah didakwakan kepadanya dan
terdakwa dapat dikenakan sanksi pidana sesaui dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa.
2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Pemberian Sanksi Pidana
Terhadap Tindak Pidana Terorisme Yang Dilakukan Oleh Anak
Dalam Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt
Pidana dipandang sebagai suatau nestapa yang dikenakan kepada pembuat
karena melakukan suatu delik, hal tersut bukan merupakan tujuan akhir dari
hukum pidana melainkan tujuan terdekat. Adapun tujuan akhir hukum pidana
adalah memperbaiki pembuat. Jika pelaku tindak pidana adalah seorang anak
maka ia dimasukan kedalam pendidikan paksa untuk memperbaiki tingkah
lakunya yang buruk.
107
Dalam literatur berbahasa Inggris, tujuan hukum pidan disingkat dengan
tiga R dan satu D yaitu: Reformation; Restraint; Restribution serta Deterrence,
penjelasan dari masing-masing tersebut sebgai berikut:
a. Reformation yaitu memperbaiki atau merehabilitasi pelaku tindak
pidana agar ia menjadi baik dan berguna bagi masyarakat, dalam hal
ini masyarakat tidak akan rugi karena pelaku tindak pidana tersebut
berubah menjadi orang yang baik dan berguna bagi masyarakat.
b. Restraint yaitu mengasingkan pelanggar atau pelaku tindak pidana dari
masyarakat. Dengan pengasingan tersebut maka masyarakat akan
menjadi lebih aman.
c. Retribution ialah pembalasan bagi pelaggar karena telah melakukan
kejahatan. Sistem yang banyak dikritik sebagai sistem yang tidak
sesuai dengan masyarakat yang beradab.
d. Deterrence yaitu menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa atau
orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk
melakukan pelanggaran atau kejahatan.49
Pelaku tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana,
dan dalam hal pelaku tindak pidana tersebut tidak mempunyai alasan penghapus
pidana, maka pelaku tindak pidana tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana
yang termuat dalam Pasal 10, didalamnya mengatur ada dua pidana, yaitu pidana
pokok dan pidana tambahan.
49
Andi Hamzah. Op Cit. hlm 28-29.
108
Jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut:
a. Pidana pokok meliputi :
1) Pidana mati;
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda.
b. Pidana tambahan meliputi :
1) Pencabutan beberapa hak tertentu;
2) Perampasan barang-barang tertentu;
3) Pengumuman putusan hakim.
Jenis-jenis pidana yang diatur dalam KUHP merupakan acuan bagi jenis
pidana yang termaktub dalam hukum pidana khusus, kecuali pidana tambahan.
Berlakunya UU NO. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang merupakan
peraturan khusus, dalam Undang-undang tersebut mengatur tentang pidana
terhadap anak nakal terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), adapun macammacam pidana adalah:
a. Pidana Pokok:
1) Pidana Penjara;
2) Pidana Kurungan;
3) Pidana Denda; atau
4) Pidana Pengawasan.
b. Pidana Tambahan:
1) Perampasan barang-barang tertentu, dan/atau
109
2) Pembayaran ganti rugi.
c. Tindakan:
1) Pengembalian kepada orang tua, wali atau orangtua asuh;
2) Menyerahkan kepada negara untuk memngikuti pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja, atau
3) Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja.
Berkaitan dengan anak yang melakukan suatu tindak pidana maka perlu
menjadi pertimbangan hakim mengenai kentuan dalam Pasal 4 UU No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, dimana pasal tersebut memuat ketentuan yaitu
batas minimal anak dapat diajukan dalam persidangan adalah anak yang berumur
8(delapan) tahun dan belum mencapai umur 18(delapan belas) tahun.
Batas minimal anak untuk dapat dipertanggungjawabkan (dalam arti
dapat dikenai pidana atau tindakan), menurut Undang-undang Pengadilan Anak
dibagi dalam dua kelompok, yaitu usia anak yang hanya dapat dikenai sanksi
tindakan dan usia anak yang dapat dikenakan sanksi pidana atau tindakan. Anak
yang melakukan tindak pidana berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
usia 12(dua belas) tahun hanya dapat dijatuhi tindakan. Adapun anak berusia
12(dua belas) tahun tetapi belum mencapai 18(delapan belas) tahun dapat dijatuhi
sanksi pidana atau tindakan. Batas maksimal usia untuk pertanggungjawaban
pidana anak, yaitu apabila anak telah mencapai umur 18(delapan belas) tahun.50
50
Setya Wahyudi. Op.Cit. hlm 51
110
Penanggulangan kenakalan anak dengan sistem peradilan pidana anak,
sama dengan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana atau sanksi hukum
pidana (penal policy). Apabila penanggulangan kejahatan dengan hendak
menggunakan sarana kebijakan hukum pidana/penal, maka ditetapkan terlebih
dahulu tentang dua masalah sentral, yaitu tentang:51
a. Perbuatan yang seharusnya dijadikan tindak pidana;
b. Sanksi yang seharusnya digunakan atau dikenakan.
Kontek pencegahan kenakalan anak, maka penetapan masalah sentral
tersebut terhadap kenakalan anak (penetapan tindak pidana anak dan sanksi
pidana terhadap anak), perlu memperhatikan pendapat Sudarto, dengan mengacu
pendapat Sudarto, maka masalah sentral pertama dalam kontek penanggulangan
kenakalan anak, sebagai berikut:
a.
Penggunaan hukum pidana anak harus memperhatikan tujuan
pembangunan generasi muda. Sehubungan dengan itu, penggunaan
hukum pidana anak harus bertujuan untuk menanggulangi kenakalan
anak dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan-tindakan
penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman anak.
b.
Perbuatan anak yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggulangi
dengan hukum pidana anak harus merupakan perbuatan yang
dikehendaki, yaitu perbuatan yang menimbulkan kerugian materiil
atau spiritual atas diri anak dan warga masyarakat pada umumnya.
51
Ibid. hlm 51-52
111
c.
Penggunaan hukum pidana anak harus pula memperhitungkan prinsip
biaya dan hasil.
d.
Penggunaan hukum pidana anak harus memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja penegak hukum.52
Masalah sentral ke dua sanksi apakah yang seharusnya dikenakan kepada
pelaku anak, dalam hal ini yang perlu dipertimbangkan secara umum, yaitu:
a.
Apakah sanksi itu sungguh-sungguh mencegah terjadinya kejahatan
anak.
b.
Apakah sanksi itu tidak berakibat timbulnya keadaan yang lebih
merugikan atas diri anak (stigmatisasi), daripada apabila sanksi tidak
dikenakan.
c.
Apakah tidak ada sanksi lain yang dapat mencegah secara efektif
dengan kerugian yang lebih kecil.53
Berkaitan Anak yang melakukan tindak pidana Terorisme, hakim dalam
pertimbangannya harus mengacu kepada rumusan Pasal 19 Undang-undang No.
15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-undang, dimana pasal tersebut merumuskan:
“Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai
penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku
tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun”.
52
53
Loc. Cit
Ibid. hlm 53
112
Disamping Pasal tersebut diatas hakim dalam memutus tindak pidana
terorisme yang dilakukan oleh anak harus memperhatikan rumusan Pasal 26
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dimana pasal
tersebut merumuskan sebagai berikut:
Pasal 26:
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua)
dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf
a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf
a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana
yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf
a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana
yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara
seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Berdasarkan uraian di atas, jika dikaitkan dengan pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap tindak pidana terorisme yang
dilakukan oleh anak, dalam putusan perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt,
terdakwa telah memenuhi unsur-unsur Pasal 15 jo Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sehingga dalam hal ini hakim
memutus terdakwa dengan sanksi pidana yaitu berupa pidana penjara selama
2(dua) tahun. Hal tersebut diperoleh hakim setelah memeriksa alat bukti yang
diajukan dalam persidangan dan hakim teleh memperoleh keyakinan, adapun
pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut dituangkan dalam pertimbangan
113
hakim dalam putusan tersebut yang pada initinya menyebutkan hal-hal sebagai
berikut:
Menimbang, bahwa untuk itu sebelum Hakim Majelis, menjatuhkan
pidana terhadap diri terdakwa, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan halhal sebagai berikut:
Hal- hal yang memberatkan:
a. Bahwa Perbuatan terdakwa telah menimbulkan rasa takut di
masyarakat;
b. Bahwa Perbuatan terdakwa dapat menimbulkan rasa permusuhan antar
umat beragama;
c. Bahwa Perbuatan terdakwa dapat mengancam jiwa orang lain;
Hal-hal yang meringankan:
a. Bahwa Perbuatan Terdakwa didorong oleh jiwa muda yang orangorang yang tidak bertanggungjawab, termasuk dalam hal ini oleh Ustad
Mus’ab maupun oleh Saksi ROKI APRISDIANTO alias ATOK;
b. Bahwa Terdakwa masih berusia anak-anak sehingga masih dapat
diharapkan untuk memperbaiki kehidupannya;
c. Bahwa Orang tua terdakwa sangat mengharapkan agar terdakwa
kembali dapat menjalankan kehidupan yang baik sehingga dapat meraih
masa depan yang lebih baik;
d. Terdakwa sopan dipersidangan;
e. Bahwa Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;
114
f. Bahwa Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi;
g. Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum.
Menimbang, bahwa selain hal-hal tersebut diatas, Hakim Majelis perlu
mempertimbangkan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan yang antara lain,
mengemukakan:
a. Terdakwa masih muda usia, masih ada kesempatan untuk memperbaiki
diri, pintar dan diharapkan bisa menjadi salah satu asset bangsa;
b. Terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi;
c. Selama proses hukum berjalan, terdakwa bersikap baik dan jujur;
d. Terdakwa sebagai anak tertua dalam keluarga dan kehadirannya sangat
dibutuhkan orang tua dan adik-adiknya;
e. Pentingnya
penjatuhan
sanksi
yang
tepat
untuk
kepentingan
perlindungan Anak, Pasal 64 ayat (2) huruf d)
Menimbang, bahwa sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 ayat (1)
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa Pidana
penjara, yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa anak paling lama atau paling
banyak adalah ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa;
Menimbang, bahwa menurut hemat Hakim Majelis ketentuan dalam
Pasal 26 ayat (1) tersebut diberlakukan pula dalam hal batas minimum khusus
115
ancaman pidana bagi anak. Pemberlakuan ½ (satu per dua) dari batas minimum
pidana orang dewasa bagi terdakwa anak, telah pula dipertegas oleh Mahkamah
Agung,
dalam
putusannya
tertanggal
22
September
2010
No.
1956
K/Pid.sus/2010;
Menimbang bahwa khusus untuk tindak pidana Terorisme, Pasal 19
Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang minimum
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15 dan Pasal 16
dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, sebagaimana dimaksud dalam pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak
pidana terorisme yang berusia dibawah 18(delapan belas) tahun.;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas dan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU
No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dihubungkan dengan Pasal 19
Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, maka
menurut hemat Hakim Majelis ancaman pidana terhadap terdakwa anak dalam
perkara tindak pidana teroris paling lama adalah 10 tahun penjara dan
mengesampingkan ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus;
116
Menimbang, bahwa selanjutnya bilamana terdakwa harus dijatuhi pidana
penjara, sebagaimana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum, maka menurut
hemat Hakim Majelis, pidana yang akan dijatuhkan, tidaklah hanya semata-mata
dipandang sebagai pembalasan agar terdakwa tidak melakukan perbuatan pidana
lagi dikemudian hari, akan tetapi terkandung pula tujuan bahwa pidana tersebut
sekaligus sebagai sarana pembelajaran dan pembinaan agar terdakwa menjadi
manusia yang lebih baik dan bermartabat di pemidanaannya;
Menimbang, bahwa selain dari pada itu, tidak kalah pentingnya adalah
bahwa dengan pemidanaan diharapkan mampu mengembalikan keseimbangan
masyarakat yang terganggu (restutitioin integrum) sehingga Hakim Majelis
memandang bahwa pidana yang akan dijatuhkan berikut ini adalah cukup adil,
baik bagi terdakwa sendiri, maupun bagi Negara dan masyarakat pada umumnya,
sebagai akibat perbuatan terdakwa tersebut;
Menimbang, bahwa dengan pemikiran yang demikian ini, maka tuntutan
Jaksa Penuntut Umum yang menuntut agar terdakwa dijatuhi pidana penjara
selama 4 (empat) tahun, menurut hemat Hakim Majelis masih terlalu berat bagi
diri terdakwa yang masih anak-anak dan oleh karena itu pula harus diturunkan,
sehingga tujuan dari pemidanaan itu sendiri, khususnya terhadap diri terdakwa
akan lebih tepat dan bermanfaat.
117
Bab V
Penutup
A. Simpulan
1.
Penerapan unsur-unsur Pasal 15 Jo 9 UU No. 15 Tahun 2003 dalam
Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt.
Hukum Positif yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang Hukum
Pidana Materiil yang dilakukan oleh anak samapai saat ini belum ada,
dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanya mengatur
mengenai Hukum Formil atau Hukum Acara tentang anak. Tindak Pidana
Terorisme yang dilakukan oleh anak saat ini belum ada aturan khusus yang
mengaturnya, maka dalam hal Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak
hukum yang digunakan adalah UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh Anak, dalam putusan
perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, dimana terdakwa didakwa oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) melakukan tindak pidana terorisme sesuai dengan rumusan
Pasal 15 Jo Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2003. Hakim setelah memeriksa alat bukti
yang diajukan dalam persidangan yaitu berupa Keterangan Saksi, Alat Bukti Surat
dan Keterangan Terdakwa memperoleh keyakinan bahwa unsur-unsur tindak
pidana dalam Pasal 15 Jo Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2003, telah terbukti dilakukan
oleh terdakwa, unsur-unsur tersebut antara lain : Setiap orang; Melakukan
Permufakatan Jahat; Secara Melawan Hukum memasukkan ke Indonesia,
118
membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau
mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,
mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia, sesuatu senjata
api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang
berbahaya; Untuk melakukan Terorisme.
Hal diterapkaanya Pasal 15 Jo Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2003 terhadap
tindak Pidana terorisme yang dilakukan oleh anak adalah dalam rangka
kriminalisasi dari Pasal 1 UU Darurat No. 12 Tahun 1951, karena dalam hal
tindak pidana Terorisme sangat merugikan bagi Bangsa dan Negara, nyawa
manusia, harta benda, dan lain sebagainya maka dalam hal ini tindak pidana
terorisme tidak ada toleransi lagi begitu juga terhadap pelaku anak, dalam setiap
tindak pidana terorisme apabila tersangka atau terdakwa telah terbukti melakukan
tindak pidana terorisme maka ia patut untuk mendapat sanksi pidana.
2.
Pertimbang Hukum Hakim dalam Memberikan Sanksi Pidana
Terhadap Tindak Pidana Terorisme Yang Dilakukan Oleh Anak
Dalam Putusan Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt
Hakim dalam mewujudkan tujuan Hukum yaitu Kepastian Hukum,
Keadilan dan Kemanfaatan dapat dilihat dari Putusan mengenai sanksi pidana
terhadap setiap tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukum.hakim dalam
menjatuhkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana harus memperhatikan
beberapa aspek atau pertimbangan yaitu: pertimbangan yuridis; pertimbangan
filosofis dan pertimbangan sosiologis.
119
Tindak Pidana yang dilakukan oleh anak, dalam menjatuhkan sanksi
pidana hakim dapat mempertimbangkan berdasarkan UU No. 3 Tahun 199
tentang Pengadilan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Hal tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak hakim juga dapat melihat
dari ketentuan Pasal 19 UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana
Terorisme.
Selain
pertimbangan
tersebut
hakim
juga
harus
memperhatikan manfaat dari pemberian sanksi terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dan juga kondisi psikhis dari anak.
Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak dalam Putusan
Perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, dimana yang dijadikan pertimbangan
oleh hakim adalah Pasal 19 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, Laporan Hasil Penelitian dari BAPAS, hal-hal yang
meringankan dan memberatkan Terdakwa. Terdakwa juga tidak mempunyai
alasan penghapus pidana, maka dalam hal ini hakim setelah memperoleh
keyakinan bahwa terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana
terorisme sesuai rumusan Pasal 15 Jo 9 UU No. 15 Tahun 2003, terdakwa
dijatuhkan sanksi pidana penjara selama 2 tahun.
Sanksi pidana penjara selama 2 tahun tersebut lebih ringan dari
tuntutan yang diajukan oleh JPU yang mengajukan tuntutan pidana penjara
selam 4 tahun, maka dalam hal ini hakim telah benar-benar memperhatikan
aspek-aspek atau pertimbangan-pertimbangan dalam menjatuhkan sanksi
pidana terhadap terdakwa.
120
B. Saran
1.
Kepada aparat penegak hukum mengenai tindak pidana terorisme yang
dilakukan oleh anak, mensosialisasikan aturan-aturan hukum yang
mengatur hal tersebut kepada masyarakat terutama orang tua agar
nantinya orang tua dapat memberikan perhatian secara khusus kepada
anak-anaknya supaya tidak terjerumus dalam tindak pidana terorisme,
serta masyarakat paham akan arti keadilan dalam penjatuhan sanksi
pidana kepada pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
2.
Hakim dalam memutus perkara pidana yang dilakukan oleh anak, dalam
menjatuhkan sanksi pidana harus memperhatikan rasa keadilan serta
manfaat bagi anak dalam penjatuhan sanksi tersebut, dalam hal ini hakim
dapat memberikan sanksi seperti sanksi tindakan untuk membina anak
yang melakukan tindak pidana.
121
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Aula, Farkhatul. 2004. Perluasan Yurisdiksi Kriminal Terhadap Tindak Pidana
Terorisme Internasional. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Bassar, M. Sudrajat. 1982. Tindak-Tindak Pidana Tertentu. Ghalia. Bandung.
____________, 1983. Hukum Pidana (Pelengkap KUHP). CV. Armico. Bandung.
Chazawi, Adami. 2002. Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan
Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Hamzah, Andi. 1994. Azas-azas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.
Huda, Chairul. 2006. “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada
‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’ “. Prenada Media.
Jakarta.
Ibrahim, Johny. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Banyumedia Publishing. Malang.
Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penintensier Indonesia. CV. Armico. Bandung.
Makarno, Mohhamad Taufik dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam
Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Alumni/1992/Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono. 2002. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia. PT Refika
Aditama. Bandung.
Sahetapy, J.E. 1995. Hukum Pidana. Liberty. Yogyakarta.
Scaffmeister, D. dkk, penerjemahan J.E Sahetapy. 1995. Hukum Pidana. Liberty.
Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. PT
RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Sudarto, 1990. Hukum Pidana 1A 1B. Purwokerto: fakultas Hukum Unsoed.
Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Genta Publishing. Yogyakarta.
Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta.
122
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak
__________________, Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
__________________,Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang.
C. Sumber Lain
Internet
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Definisi_terorisme&oldid=5609532.
Diakses pada tanggal 2 Desember 2012
http://google.com//menujusistemperadilananakdiindonesia. Diakses tanggal 3 September
2012.
http://eprints.unsri.ac.id/606/1/Kritisi_Terhadap_Kebijakan_Formulasi_Sanksi_Ti
ndakan_Bagi_Anak_Nakal_Dilihat_dari_Perspektif__AliranMazhab_Utilitis_
(Kemanfaatan). Diakses pada tanggal 23 Januari 2013.
Download