BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Moneter 2.1.1 Kebijakan Moneter Kebijakan moneter adalah salah satu kebijakan yang secara langsung dapat dikendalikan oleh pemerintah, serta memiliki dampak langsung pada perekonomian di Indonesia dan suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Kebijakan moneter juga yaitu semua upaya atau tindakan bank sentral untuk mempengaruhi perkembangan moneter (uang beredar, suku bunga, kredit, dan nilai tukar) untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu (Litteboy and Taylor, 2006) dan (Mishkin, 2004). Untuk mencapai atau menjamin berfungsinya sistem moneter secara baik, bisaanya otoritas moneter harus melakukan pengawasan pada keseluruhan sistem. Sektor moneter merupakan jaringan yang penting dan mempengaruhi sektor ekonomi riil. Jadi kebijakan moneter merupakan instrumen penting dari kebijakan publik dalam sistem ekonomi modern. Hal ini juga berlaku dalam sistem ekonomi islam, akan teteapi terdapat perbedaan yang mendasar yaitu terletak pada tujuan dan larangan bungan dalam Islam. Tujuan akhir dari kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya terlihat dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan 11 perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI Rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag). Adapun secara singkat grafis pengaruh langsung dari kebijakan moneter terhadap perekonomian di Indonesia, pengaruh tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.1 Alur Pengaruh Langsung Kebijakan Moneter Kebijakan Moneter Indikator Moneter di Bank Sentral Perekonomian Indonesia (GDP) Inflasi, Tk. Kebijakan Pemerintah Lainnya (Sumber : Setyawan, 2008) Gambar diatas menunjukan bahwa melalui instrumen Operasi Pasar terbuka (OPT), tingkat diskonto, cadangan minimum, himbauan serta indikator moneter (tingkat bunga, jumlah uang beredar), kebijakan di bidang moneter akan mempengaruhi perekonomian, yang terlihat dari perubahan pendapatan nasional 12 (GDP), tingkat inflasi, jumlah pegangguran dan neraca pembayaran). Meskipun demikian, kebijakan pemerintah lainnya juga turut mempengaruhi beberapa indikator perekonomian Indonesia tersebut. Jumlah uang beredar merupakan salah satu indikator kebijakan moneter yang sangat penting dan memiliki peranan yang besar karena dampak langsungnya pada perekonomian Indonesia. Dampak tersebut terjadi melalui beberapa jalur, seperti berikut ini: a. Jalur biaya modal b. Jalur kekayaan c. Jalur harga relative d. Jalur langsung a. Jalur Biaya Modal Secara garis besar, pengaruh JUB terhadap perekonomian melalui jalur biaya modal dapat digambarka sebagai berikut: Gambar 2.2 Jalur Biaya Modal (Sumber : Setyawan, 2008) 13 b. Jalur Kekayaan Secara garis besar, pengaruh JUB terhadap perekonoman melalui jalur kekayaan dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.3 Jalur Kekayaan (Sumber : Setyawan, 2008) c. Jalur Harga Relatif Secara garis besar, pengaruh JUB terhadap perekonomian melalui jalur harga relative dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.4 Jalur Harga Relatif (Sumber : Setyawan, 2008) 14 d. Jalur Langsung Secara garis besar, pengaruh JUB terhadap perekonomian melalui jalur langsung dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.5 Jalur Langsung (Sumber : Setyawan, 2008) 2.1.2 Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia Kerangka operasi kebijakan moneter bermula dari penggunaan instrumen moneter oleh Bank Indonesia dimana instrumen moneter ini berfungsi untuk mempengaruhi sasaran operasional kebijakan moneter yang dapat mencapai sasaran akhir kebijakan moneter. Kerangka tersebut cukup efektif untuk menyerap kembali kelebihan likuiditas dii perbankan yang merupakan dampak dari bantuan likuiditas Bank Indonesia. Dalam hal ini suku bunga sangat berperan penting dalam mempengaruhi variabel ekonomi makro terutama inflasi. Selanjutnya, untuk mendukung efektifitas transmisi kebijakan moneter secara lebih optimal, dan untuk memperkuat kerangka kebijakan moneter yang bersifat antisipatif maka Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter baru yaitu inflation targeting framework (ITF). Dengan ITF, kerangka kerja kebijakan moneter dilakukan secara transparan dan konsisten dalam rangka mencapai sasaran inflasi. 15 2.1.3 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan suatu proses dari kebijakan moneter yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi dan inflasi secara global. tingkat hargat – tingkat hargat-1 x 100 = Rate of Inflation tingkat hargat-1 (Gultom, BIS Paper No. 35, 2007). Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah “the process through which monetary policy decision are transmitted into changes in real GDP and inflation”. Artinya mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan moneter dalam mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter yaitu inflasi. Mekanisme kebijakan moneter digambarkan dengan “black box” pada gambar 2.6. Apabila ingin menggambarkan bagaimana proses mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur-jalur transmisi sejak dari perubahan kebijakan moneter melalui shock instrumen kebijakan moneter hingga terwujudnya tujuan akhir kebijakan moneter, maka gambar 2.6 dikembangkan menjadi gambar 2.7. Pada gambar tersebut terlihat bahwa konsep standar mekanisme transmisi kebijakan moneter dimulai dari ketika bank sentral mengubah instrumen-instrumennya yang selanjutnya mempengaruhi sasaran operasional, sasaran antara dan sasaran akhir. Misalnya bank sentral atau Bank Indonesia meningkatkan suku bunga SBI. Peningkatan tersebut mendorong naiknya suku bunga PUAB, suku bunga deposito, kredit perbankan, harga asset, nilai tukar, dan ekspektasi inflasi di masyarakat. 16 Perkembangan ini mencerminkan bekerjanya jalur-jalur transmisi kebijakan moneter yanga akan selanjutnya berpengaruh terhadap konsumsi dan investasi, ekspor dan impor yang merupakan komponen permintaan eksternal dan keseluruhan permintaan agregat. Gambar 2.6 MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER SEBAGAI ”BLACK BOX” (Sumber : Mishkin, 2004: 604 dalam Natsir, 2008) Secara empiris, besarnya permintaan agregat tidak selalu sama dengan penawaran agregat. Jika terjadi selisih antara permintaan dan penawaran atau terjadi output gap maka akan member tekanan terhadap kenaikan harga-harga (inflasi) dari sisi domestik. Proses ini yang disebut sebagai indirect exchange rate pass-through (Natsir, 2007). \ 17 Gambar 2.7 MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER MELALUI JALUR SUKU BUNGA (Sumber : Warjiyo (2004: 20)) Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalaui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ketujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga asset, dan jalur ekspektasi. Pada jalur bunga, perubahan BI rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelemahan, Bank Indonesia dapat menggunaka kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan untuk melakukan investasi, ini semua akan meningkatkan aktivitas 18 konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin maju. Sebaliknya apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkna suku bunga BI rate untuk menghentikan aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi. Perubahan suku bunga BI rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negri. Dengan meluasnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini akan mendorong nilai tukar rupiah. Hal ini dapat mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita menjadi mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunya nilai ekspor akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian. Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga asset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga asset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penrunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja ntuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga. 19 Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar bisaanya bekerja lebih cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan transmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan meliaht risiko perekonomian cukup tinggi respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI Rate bisaanya sangat lambat. Apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatkan permintaan kredit belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang tidak stabil. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter. 2.1.4 Tujuan Kebijakan Moneter Kebijakan moneter dalam ekonomi islam akan mencoba menyelesaikan atau mencapai tujuan bahwa Islam tegak dalam sektor sosio-ekonomi. Beberapa tujuan penting yang dapat dirumuskan di sini, menurut Iqbal dan Khan, diantaranya : a. Economic well being with full employment and optimum rate of economic growth, b. Sosio economic justice and equitable distribution of income and wealth, c. Stability in the value of money Hal ini dapat dijelaskan bahwa keadilan social-ekonomi dan kesesuian distribusi pendapatan serta kesejahteraan merupakan tujuan yang sangat penting bagi kebijakan moneter hanya dalam kerangka islam.tujuan yang ppertama dan ketiga yang dirumuskan diatas akan nampak sama dipermukaan dan akan sangat kelihatan perbedaannya dari dua sistem ekonomi yang ada. Sistem ekonomi islam adalah satu sistem yang didasarkan pada moral, sementara kapitalisme adalah sistem secular dan netral moral. 20 Pengurangan kesenjangan pendapatan dan kekayaan jarang disebutkan dalam tujuan kebijakan moneter di literatur ekonomi. Sebaliknya, menurut Chapra (1983) menekankan tujuan ini karena kebijakan moneter termasuk salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi distribusi dan pendapatan dan kekayaan. Kebijakan moneter dapat hanya mengejar satu saja dari tujuan di atas (single objective) atau beberapa tujuan sekaligus (multiple objective). Multiple objective menghadapi kendala jika terdapat konflik antara tujuan. Sebagian tujuan bisa dicapai bersamaan, missal antara stabilitas tingkat imbal dan stabilitas keuangan, atau antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran. Sebagian tujuan lain saling bertentangan, seperti antara pertumbuhan dan inflasi dalam jangka pendek. Chapra berpendapat bahwa pertentangan antara tujuan pengendalian inflasi dan pengurangan pengangguran bisa dihindari dengan adonan kebijakan ( policy mix) yang tepat. Literatur moneter belakangan ini juga mengarah pada kesimpulan bahwa inflasi dapat menghambat pertumbuhan dalam jangka panjang karena menciptakan ketidakpastian. Bank Indonesia memiliki lebih dari satu tujuan, selain stabilitas harga juga pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran. Yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan nstrumen-instrumen. 21 Instrumen pengendalian moneter merupakan alat-alat atau media operasi moneter yang dapat digunakan oleh bank sentral dalam mempengaruhi sasaran operasional dan sasaran akhir yang telah ditetapkan (Warjoyo, 2005: 14) dan (Ascarya, 2002: 51). Untuk mencapai tujuan kebijakan moneter bank sentral akan memilih alat yang paling cocok di antara berbagai alat kebijakan yang tersedia, mencakup: (1). Operasi Pasar Terbuka (OPT), (2). Standing Facility (SF), (3). Giro Wajib Minimum (GWM), (4). Anjuran Moral, (5). Pembiyaan defisit anggaran, (6). Penyaluran wajib DPK untuk pemerintah, (7). Pagu Kredit. 2.1.5 Sasaran Akhir (Final Target) Sasaran akhir kebijakan moneter BI di masa depan pada dasarnya lebih diarahkan untuk menjaga inflasi. Pemilihan inflasi sebagai sasaran akhir ini sejalan pula dengan kecenderungan perkembangan terakhir bank-bank sentral di dunia, dimana banyak bank sentral yang beralih untuk lebih memfokuskan diri pada upaya pengendalian inflasi. Alasan yang mendasari perubahan tersebut adalah, pertama, bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi tingkat inflasi, kebijakan moneter tidak dapat mempengaruhi variabel riil, seperti pertumbuhan output ataupun tingkat pengangguran. Kedua, pencapaian inflasi rendah merupakan prasyarat bagi tercapainya sasaran makroekonomi lainnya, seperti pertumbuhan pada tingkat kapasitas penuh (full employment) dan penyediaan lapangan kerja yang seluasluasnya. Ketiga, yang terpenting, penetapan tingkat inflasi rendah sebagai tujuan akhir kebijakan moneter akan menjadi nominal anchor berbagai kegiatan ekonomi. Strategi yang digunakan oleh BI dalam mencapai sasaran inflasi yang rendah adalah : Mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan moneter Menentukan sasaran akhir kebijakan moneter Mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi 22 Memformulasikan respon kebijakan moneter. Dapat ditambahkan bahwa laju inflasi yang diperoleh dari indeks harga konsumen (IHK) sebagai sasaran akhir dan laju inflasi inti (core atau underlying inflation) sebagai sasaran operasional. Pada hal ini sasaran akhir kebijakan moneter yang ingin dicapai oleh bank sentral tergantung pada tujuan yang dimandatkan oleh UU bank sentral suatu Negara. Tujuan akhir kebijakan moneter di Indonesia mengacu pada Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2004 yang secara eksplisit mencantumkan bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah ( stabilitas moneter). Efektifitas kebijakan moneter diukur dengan dua indikator yaitu : 1. Berapa besar kecepatan atau tenggat waktu (time lag) dan 2. Berapa kekuatan variable-variabel pada masing-masing jalur merespos adanya perubahan (shock) instrumen kebijakan mmoneter (SBI dan SBIS) dan variable lainnya hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter. (Natsir, 2008). Dalam hal ini kestabilan nilai rupiah merupakan tujuan dari kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai pedoman dalam membuat ekspektasi inflasi. ITF cukup berhasil di terapkan di beberapa Negara, kinerja dan manfaat ITF dapat berbeda tergantung pada kondisi spesifik Negara yang bersangkutan, pada umumnya Negara yang menerapkan ITF memperoleh sejumlah keuntungan, yaitu: 1. Sukses dalam menurunkan inflasi, 2. Kebijakan moneter lebih secara terfokus, 3. Komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas secara bersama diperkuat, 4. Membantu dalam menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih baik dalam mengatasi kejutan inflasi, 23 5. Kebijakan moneter relatif fleksibel dalam mengakomodasi kejutan inflasi temporer yang tidak mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka menengah, dan Independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter diperkuat. Tetapi dalam hal ini penerapan ITF tidak berarti bahwa kebijakan moneter tidak memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Paradigma dasar kebijakan moneter untuk menjaga keseimbangan (striking the optimal balance) antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi tetap dipertahankan, baik dalam penetapan sasaran inflasi maupun respon kebijakan moneter, dengan mengarahkan pada pencapaian inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka menengah panjang (www.bi.go.id/moneter). 1.2 Implementasi Kebijakan Moneter di Indonesia Sesuai amanat Undang-undang No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 3 tahun 2004. Bank Indonesia mempunyai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah dapat dicapai melalui dua hal, yaiitu : 1. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin dari tingkat inflasi. 2. Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang asing yang tercermin dari nilai tukar . Sejak Juli 2005, Bank Indonesia telah mengimplementasikan penguatan kerangka kerja kebijakan moneter konsisten dengan inflation Targeting Framework (ITF), yang mencakup empat elemen dasar: 1. Penggunaan suku bunga BI rate sebagai policy reference rate 2. Proses perumusan kebijakan moneter yang antisipatif 3. Strategi komunikasi yang lebih transparan 4. Penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah Sejak diterapkannya ITF, para pakar perbankan percaya bahwa dengan menetapkan besaran target inflasi sebagai target akhir dari kebijakan moneter dapat 24 meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitas bank sentral. Selain itu, keberhasilan bank sentral dalam mencapai dan menjaga laju inflasi daam level yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, sehingga tujuan lainnya seperti penciptaan lapangan kerja juga dapat tercapai (Prastowo, 2007:12) Terkait dengan sistem ekonomi islam, Chapra (1985) berpendapat bahwa stabiltas nilai uang harus merupakan fungsi penting dari bank sentral untuk mengaktualisasikan pertumbuhan perekonomian Islam yang berkesinambungan dan menjamin keadilan social ekonomi. Dari ungkapan Chapra tersebut, penerapan ITF membuat tujuan kebijakan moneter baik dari sisi konvensional maupun syariah menjadi selaras (Prastowo, 2007:12). Dengan kerangka ITF ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang di tetapkan oleh pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melalui evaluasi apakah perkembangan inflasi kedepan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam sistem syariah, pelaksanaan kebijakan moneter syariah dapat difokuskan pada pengeruhya terhadap likuiditas perbankan syariah dan pasar keuangan syariah (Prastowo, 2007:13). Untuk mengarahkan pasar agar sesuai dengan BI Rate, Bank Indonesia saat ini menggunakan beberapa instrumen kebijakan untuk mengontrol likuiditas perbankan dan mempengaruhi likuiditas pasar keuangan (www.bi.go.id). Instrumen-instrumen kebijakan moneter tersebut yaitu : 1. Operasi Pasar Terbuka Dalam rangka menerapkan dan melaksanakan kebijakan moneter tersebut, bank Indonesia berwenang untuk menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan 25 memperhatikan laju inflasi melakukan pengendalian moneter salah satnya dengan menerapkan Operasi Pasar Terbuka (OPT) di pasar uang. Operasi Pasar Terbuka (OPT) merupakan bagian dari kegiatan Operasi Moneter (OM) yang berfungsi untuk mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga di PUAB. OPT terdiri dari 2 jenis, yaitu: Absorpsi a. OPT OPT absorpsi dilakukan apabila dari perkiraan perhitungan likuiditas maupun dari indikator suku bunga di PUAB, pasar uang diperkirakan mengalami kelebihan likuiditas. Salah satu indikatornya adalah suku bunga PUAB yang turun tajam. Instrumen yang digunakan dalam OPT absorpsi ini adalah (i) Lelang SBI, (ii) Term Deposit, (iii) SBN outright jual, (iv) Reverse Repo SBN serta (v) sterilisasi valas dengan menjual USD/IDR ataupun melakukan swap jual USD/IDR. b. OPT Injeksi OPT injeksi dilakukan apabila dari perkiraan perhitungan likuiditas maupun dari indikator suku bunga di PUAB, pasar uang diperkirakan mengalami kekurangan likuiditas. Salah satu indikatornya adalah suku bunga PUAB yang naik tajam. Instrumen yang digunakan dalam OPT injeksi ini adalah (i) Repo, (ii) SBN outright beli serta (iii) sterilisasi valas dengan membeli USD/IDR ataupun melakukan swap beli USD/IDR. 26 Tabel 2.1 Jenis Instrumen OPT Dan Dampaknya Terhadap Likuiditas ( sumber : Bank Indonesia, diolah sendiri) Keterangan : - VRT (Variable Rate Tender) - FRT (Fixed Rate Tender) - FX (foreign exchange) - SBI (Sertifikat Bank Indonesia) - SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah) - SUN (Surat Utang Negara) 2. Standing Facility (SF) Standing Facility (SF) yaitu dimana Bank sentral menerima simpanan atau memberikan pinjaman atas dasar permintaan bank Standing Facility ini menjadi alat manajemen likuiditas bagi Bank. Bank dapat menaruh kelebihan likuiditas mereka di Standing Facility (SF) simpanan. Sementara jika mengalami kekurangan likuiditas Bank dapat meminjamdi Standing Facility (SF) pinjaman. Bank Indonesia 27 memiliki Standing Facility (SF) simpanan/pinjaman baik yang memberikan bunga maupun yang berbasis syariah. imbalan pinjaman dari bank sentral bisaanya ditetapkan lebih tinggi daripada tingkat imbalan pasar agar bank hanya mengakses fasilitas ini jika terdesak. Namun beberapa waktu yang lalu, Bank Indonesia pernah menyalurkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia pada bank agar menyalurkan lebih banyak kredit perekonomian. 3. Giro Wajib Minimun (GWM) Giro Wajib Minimum (GWM), di mana bank sentral mewajibkan bank untuk menyimpan minimal proporsi tertentu dari dana pihak ketiga pada rekening giro di bank sentral. Giro ini bisa diberikan imbalan maupun tidak. Pemberian imbalan pada GWM dapat mengurangi dampak kebijakan GWM pada tingkat imbal pasar. Bank juga dapat diberikan kebebasan untuk mengatur rasio harian giro-DPK selama rataratanya pada periode tertentu, misalnya bulanan. 4. Anjuran Moral Anjuran moral, di mana bank sentral hanya menganjurkan agar bank-bank melakukan langkah tertentu untuk kepentingan bersama. Pada tahun 2009, Bank Indonesia menganjurkan bank agar menurunkan tingkat bunga kreditnya yang saat itu terus meningkat walaupun bank sentral telah banyak mengurangi tingkat bunga SBI. Efektifitas anjuran moral ini bergangtung pada kredibilitas bank sentral. 5. Pembiyaan defisit anggaran Pembiayaan deficit anggaran, dimana bank sentral menyuntikan uang keperekonomian bukan melalui pasar uang dan perbankan, melainkan melalui anggaran pemerintah sebagai pembiayaan deficit. Pembiayaan deficit dapat dilakukan tidak langsung melalui pasar uang dengan membeli surat utang pemerintah dari pasar, yaitu melalui instrumen Oerasi Pasar terbuka (OPT). 28 6. Penyaluran wajib DPK untuk pemerintah Penyaluran wajib DPK untuk pembiayaan pemerintah. Chapra (1983) menggagas instrumen ini untuk mendayagunakan bagian DPK yang sering menganggur di bank dan sekaligus menyediakan pembiyaan murah, bahkan tanpa imbalan, untuk keperluan pembagunan. Instrumen ini hamper tidak pernah diterapkan. 7. Pagu Kredit Pagu kredit. Bank sentral membatasi maksimal kredit yang bisa disalurkan bank untuk mencegah bank terlalu banyak menciptakan uang. Sebelum liberalisasi keuangan tahun 1988, instrumen pagu kredit pernah digunakan pemerintah Indonesia. Dalam sistem non bunga, surat berharga yang diterbitkan bank sentral serta simpanan SF dan giro di bank sentral hanya dapat memberikan imbalan jika bank sentral juga memiliki sumber pendapatan non bunga, misalnya dari imbalan surat berharga syariah yang dimiliki ban sentral, atau dari bagi hasil penanaman modal ke proyek-proyek pemerintah dan swasta. Namun karena neraca moneter justru pada posisi kelebiha likuiditas, tidak mungkin Bank Indonesia memberikan likuiditas dengan membeli surat berharga di pasar ataupun menanam modal langsung di perusahaan dan proyek demi memperoleh pendapatan non bunga. Penggunaan imbalan basis ju‟alah nampaknya merupakan alternatif sementara selama Bank Indonesia belum bisa mengembalikan kondisi likuiditas dari berlebih menjadi kekurangan. Likuiditas sangat penting dalam operasional perbankan, prioritas pertama sebelum dana disalurkan kembali kepada masyarakat adalah menentukan alat likuid, bank yang tercermin sebagai kas ataupun dalam Giro pada Bank Indonesia. Pengalokasian dana dalam pos Kas dan Giro Wajib Minimum (GWM) ini sematamata untuk memenuhi penarikan dana oleh nasabah. Ketentuan ini sering disebut 29 dengan reserve requirement atau cash ratio, yang dihitung berdadsarkan prosentase tertentu dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun. 2.3 Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang tujuan Bank Indonesia adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7 ayat (2) ). Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia memiliki tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan, dan tetap mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter tersebut, Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan sasaaran-sasaraan moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada Operasi Pasar Terbuka (OPT) di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. (http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Kebijakan+Moneter/). Dan Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah (Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004). Ketentuan tentang Sertifikat bank Indonesia Syariah ini diterbitakan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) Syariah dalam upaya mendukung tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang berpusat pada terpenuhinya tujuan Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan rupiah (Frequently Asked Questios (FAQS) atas Peraturan bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat bank Indonesia Syariah dan 30 Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 Operasi Moneter syariah). Penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini mempunyai dasar pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 63/DSN-MUI/XII/2007 tentang Sertifikat bank Indonesia Syariah (SBI Syariah) dan Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional Majrlis Ulama Indonesia Nomor 64/DSN-MUI.XII/2007tentang Sertifikat bank Indonesia Syariah Ju‟alah untuk menerbitkan Sertifikat bank Indonesia Syariah (SBI Syariah) berdasarkan akad Ju‟alah. Hal ini ditegaskan kembali pada Peraturan bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter syariah pada Pasal 4 ayat (22) menjelaskan bahwa “Pemenuhan prinsip Syariah sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan /atau opni Syariah oleh otoritas fatwa yang berwenang”. SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju‟alah. Akad Ju‟alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Di dalam Fatwa Dewan Syaariah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 64/DSNMUI/XII/2007 tentang Sertifikat bank Indonesia Syariah Ju‟alah menerangkan secara rinci sistem akad Ju‟alah yang digunakan pada penerbitan sertifikat Bank Indonesia Syariah yaitu: Bank Indonesia bertindak sebagai Ja‟il (pemberi pekerjan), Bannk Syariah bertindak sebagaii Maj‟ul laah (penerima pekerjaan) dan objek underlying Ju‟alah (mahall al-„aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu. SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut : a. Satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); 31 b. Berjangka waktu palng kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan; c. Diterbitkan tanpa warkat; d. Dapat digunakan kepada Bank Indonesia; dan e. Tidak dapat diperdagangakan di pasar sekunder. Pelelangan awal Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) berjangka waktu 1 hari) mendapatkan imbal hasil 7,97%. Lelang tersebut berbarengan dengan bulan (28 lelang SBI satu dari tiga bulan. Perhitungan besaran imbalan tingkat imbalan yang diberikan pada Sertifikat Bank Indonesia Syariah mengacu kepada tingkat diskonto hasil lelang Sertifikat bank Indonesia Syariah dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Dalam hal lelang SBI menggunakan metode fixed rate tender, maka imbalan Sertifikat Bank Indonesia Syariah ditetapkan sama dengan diskonto hasil lelang SBI. 2. Dalam hal lelang SBI menggunakan metode variable rate tender, maka imbalan Sertifikat Bank Indonesia Syariah ditetapkan sama dengan rata-rata tertimbang tingkat diskonto hasil lelang SBI. Dalam hal ppada saat bersamaan tidak terdapat lelang SBI, tingkat imbalan yang diberikan mengacu pada data terkini antara tingkatimbalan Sertifikat bank Indonesia Syariah atau diskonto SBI berjangka waktu sama. Perhitungan Sertifikat Bannk Indonesia Syariah dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : Nilai Imbalan SBIS = Nilai Nominal SBIS x (Jangka Waktu SBIS/360) x Tingkat Imbalan SBIS (Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia No 10//16/DPM Tahun 2008) Dalam pasal 9 ayat (1) Peraturan bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat bank Indonesia Syariah menjelaskan bahwa Bank Syariah dan unit 32 Usaha Syariah bias me-Repo-kan Sertifikat bank Indonesia Syariahnya kepada Bank Indonesia dan menggunakan akad qard yang diikuti rahn. Qard dalam ketentuan ini adalah pinjaman dana tanpa imbalan dengan kewaiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus dalam jangka waktu tertentu. Yang dimaksud dengan rahn dalam ketentuan ini adalah penyerahan agunan dari BUS atau UUS (rahin) kepada bank Indonnesia (Murtahin) sebagai jaminan untuk mendapatkan qard. Sedangkan pengertian Repo Sertifikat Bank Indonesia Syariah sendiri adalah Transaksi Repurchase Agreement Sertifikat bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut Repo sertifikat bank Indonesia Syariah adalah transaksi pemberian pinjaman oeh Bank Indonesia kepada Bank Syariah atau unit Usaha Syariah. 2.4 Inflasi a. Pengertian Inflasi Inflasi dinyatakan sebagai kenaikan harga secara umum, jadi tingkat inflasi adalah tingkat pertubahan harga secara umum (Samuelson dan Nordhaus, 1998: 578603). Inflasi dalam prospektif Islam selalu menjadi pembahasan oleh pemerintah karena berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap makroekonomi agregat: pertumbuhan ekonomi, stablitas ekonomi, daya saing, tingkat bunga, dan bahkan distribusi pendapatan. Inflasi juga berperan dalam mempengaruhi mobilisasi dana lewat lembaga keuangan formal. Inflasi ini merupakan fenomena moneter karena inflasi menyebabkan penurunan nilau unit penghitungan moneter terhadap suatu komoditas jasa (Friedman,2002). Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi karena permintaan bertambah lebih besar dibandingkan dengan penawaran barang di pasar, hal ini disebabkan oleh kebijakan ekspansi moneter yang juga merefleksikan deficit anggaran yang berlebihan dan cara pembiayaannya. Cost push inflation, disebabkan 33 oleh kenaikan biaya-biaya yang bisa terjadi walaupun pada saat tingkat engangguran tinggi dan tingkat penggunaan kapasitas produk rendah. Demand pull inflation, disebabkan oleh permintaan agregat yang berlebihan yang mendorong kenaikan tingkat harga umum. Jika inflasi terus bertahan dan tingkat ini diantisipasi dalam bentuk kontrak finansial dan upah, keniakan inflasi akan terus berlanjut. penyebab inflasi menurut Sukirno (2004: 333) penyebab inflasi dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu : 1. Inflasi tarikan permintaan, inflasi ini biasanya terjadi ketika perekonomian sedang berkembang pesat 2. Inflasi desakan biaya, inflasi ini terjadi ketika perekonomian sedang berkembang pesat dan tingkat pengangguran sangat rendah. 3. Inflasi diimpor, inflasi ini terjadi apabila barang-barang yang diimpor mengalami kenaikan harga ynag mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan pengeluaran di perusahaan-perusahaan. Berdasarkan pengertiannya, ada 2 konsep dalam pengertian inflasi inti. Pertama, inflasi inti sebagai komponen inflasi yang cenderung 'menetap' atau persisten (persistent component) di dalam setiap pergerakan laju inflasi. Kedua, inflasi inti sebagai kecenderungan perubahan harga-harga secara umum (generalized component). Core inflation pada beberapa literatur disebut juga dengan underlying inflation. Inflasi inti inilah yang dapat dipengaruhi atau dikendalikan oleh BI. Di dalam operasionalnya, BI tidak menggunakan inflasi IHK sebagai acuan dalam mengambil kebijakan moneter, namun menggunakan inflasi inti. Penggunaan inflasi inti sebagai sasaran operasional dikarenakan inflasi inti dapat memberikan signal yang tepat dalam memformulasikan kebijakan moneter. Sebagai contoh, dalam hal terjadi gangguan permintaan (demand shock) yang mengakibatkan inflasi tinggi, respon bank sentral akan mengetatkan uang beredar sehingga tingkat inflasi dapat ditekan. Disamping itu, kebijakan tersebut dapat juga untuk menyesuaikan kembali 34 pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang sesuai dengan kapasitas perekonomian. Sebaliknya, jika inflasi meningkat karena terjadinya gangguan penurunan di sisi penawaran (supply side), misalnya kenaikan harga makanan karena musim kering maka kebijakan uang ketat justru dapat memperburuk tingkat harga dan pertumbuhan ekonomi. Respon yang dapat dilakukan oleh bank sentral adalah kebijakan melonggarkan likuiditas perkonomian justru diperlukan untuk menstimulir peningkatan penawaran (www.bi.go.id/moneter). Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi sangat penting untuk diketahui sebelum menentukan kebijakan yang akan diambil untuk mengatasi inflasi tersebut. Sehingga inflasi dapat dibedakan berdasarkan kepada sumber penyebabnya. Menurut Sukirno (2007), berdasarkan kepada sumber penyebabnya inflasi dibedakan kepada tiga bentuk, yaitu: Inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation) Inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation) merupakan inflasi yang diakibatkan oleh perkembangan yang tidak seimbang antara permintaan dan penawaran barang dalam perekonomian. Setiap masyarakat tidak dapat secara mendadak menaikkan produksi berbagaai macam barang pada saat permintaannya meningkat. Dalam keadaan seperti ini, apabila permintaan meningkat dengan pesat, misalnya sebagai akibat pertambahan penawaran uang yang berlebihan, maka akan menimbulkan inflasi. Inflasi desakan biaya (cost-push inflation) Inflasi desakan biaya (cost-push inflation) merupakan inflasi yang diakibatkan kenaikan biaya produksi sebagai akibat dari berbagai faktor, misalnya kenaikan gaji dan upah atau kenaikan harga bahan mentah, yang mendorong para pengusaha menaikkan harga-harga barang diproduksinya. Keadaan ini menimbulkan inflasi desakan biaya. 35 yang Inflasi diimpor (imported inflation) Inflasi diimpor (imported inflation) merupakan inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga (yaitu inflasi) di luar negeri atau di negara negara langganan berdagang kita, baik impor maupun ekspor Adapun dampak inflasi menurut para ekonom Islam, Inflasi berakibat sangat buruk bagi perekonomian karena: 1. Menimbulkan gangguan dalam fungsi uang 2. Melemahkan semangat menabung (MPS) 3. Meningkatkan kecenderungan menjadi konsumtif (MPC) 4. Inflasi cenderung meredristribusi pendapatan ke atas sehingga menimbulkan ketidakseimbangan terhadap sasaran keadialan sosio-ekonomi. 5. Inflasi menyebabkan kurs menjadi overnilai yang diadopsi pemerintah untuk menahan tekanan-tekanan inflasioner b. Komponen Inflasi Ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan telah terjadi inflasi, Prathama dan Mandala (2001:203) 1. Kenaikan harga Harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi daripada periode sebelumnya. 2. Bersifat umum Kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga secara umum naik. 3. Berlangsung terus menerus Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan memuncukan inflasi, jika terjadi sesaat, karena itu perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan. 36 c. Jenis inflasi Berdasarkan sifatnya inflasi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (Samuelson, 1998:581): 1. Inflasi merayap (creeping inflation) Laju inflasi yang rendah (dibawah 10% pertahun), kenaikan harga berjalan lambat dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama. 2. Inflasi menengah (galloping Inflation) Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar (10% - 99%) dan kadangkadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi yang artinya harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan yang lalu dan seterusnya. 3. Inflasi tinggi (hyper inflation) Inflasi yang paling parah (diatas 100% pertahun) dengan ditandai kenaikan harga sampai 5 atau 6 kali dan nilai uang merosot dengan tajam. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami deficit anggaran belanja. Sebenarnya kita tidak bisa menentukan parah tidaknya suatu inflasi hanya dari sudut laju inflasinya saja, tanpa mempertimbangkan siapa-siapa yang menanggung beban atau yang memperoleh keuntungan dari inflasi tersebut. Kalau seandainya laju inflasi adalah 20% dan semuanya berasal dari kenaikan harga barangbarang yang dibeli oleh golongan yang berpenghasilan rendah, maka seharusnya kita menamakannya inflasi yang parah. Namun demikian, pembedaan macam inflasi berdasarkan atas parah atau tidaknya ini berguna untuk melihat dampak dari inflasi yang bersangkutan (Suparmoko : 1990). 37 d. Kebijakan Pengendalian Inflasi Dengan terus memahami sifat-sifat inflasi serta kerugian-kerugian yang diakibatkannya, kita akan lebih mudah menemukan bemacam cara dan pilihan untuk merumuskan kebijakan yang komprehensif dan integratif. Inflasi harus dihadapi dan terus diwaspadai karena dampaknya sangat luas dan kerugian yang diakibatkannya sangat besar jika kita lengah dan salah dalam penanganannya. Secara umum terdapat tiga macam cara atau kebijakan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi dan mengendalikan laju pertumbuhan inflasi hingga ke tingkat yang paling rendah dan aman bagi kinerja perekonomian dan struktur ekonomi. Kebijakan itu terdiri dari (Tajul : 2000) : Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal dilakukan dengan cara mengatur pengeluaran pemerintah secara seimbang. Pengeluaran disesuaikan dengan penerimaan sehingga tidak terjadi defisit pada anggaran belanja negara yang dapat pula menjadi sumber terjadinya inflasi. Inilah yang disebut dengan sistem anggaran berimbang. Kebijakan fiskal akan berpengaruh terhadap permintaan agrerat dan pengeluaran pemerintah di samping mempengaruhi harga. Pengurangan permintaan agregat pada batas yang wajar akan melndungi anggaran negara dari defisit, serta dapat menjadi instrumen untuk mencegah atau menekan laju pertumbuhan angka inflasi sampai pada batas yang dinilai aman. Kebijakan Output Apabila jumlah output meningkat, maka dampaknya akan menekan laju inflasi. Untuk meningkatkan jumlah output, banyak cara yang dapat dilakukan. Misalnya dengan menurunkan tarif pajak, mengurangi berbagai pungutan yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi (high cost economic) terhadap output, membebaskan atau menurunkan tarif be amsuk terhadap 38 barang-barang impor, melakukan restrukturisasi ekonomi, debirokratisasi perizinan, deregulasi, dan menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dengan bertambahnya jumlah output, harga dapat ditekan menjadi lebih murah, jumlah uang yang beredar harus sebanding dengan jumlah output. Kondisi demikian akan mencegah timbulnya inflasi atau dapat mengendalikan laju pertumbuhan inflasi. Faktor lain yang harus diingat, meningkatkan output harus diikuti dengan tindakan efisiensi biaya produksi agar harga menjadi lebih murah dan kompetitif dengan produk-produk impor. Kebijakan Harga dan Indexing Kebijakan harga dan indexing dapat dilakukan dengan cara menetukan harga dasar (ceiling price) atau Harga Patokan Setempat ( HPS) terhadap produk-produk tertentu, seperti semen dan 9 bahan pokok yang dilakukan Badan Usaha Logistik (Bulog). Penentuan besarnya gaji dan upah atau penentuan tingkat Upah Minimum Regional (UMR) harus berdasarkan indeks harga barang-barang kebutuhan hidup tertentu atau berdasarkan indeks biaya hidup yang secara berkala dilaporkan oleh Biro Pusat Statistik. Jika indeks harga atau biaya hidup mengalami kenaikan, gaji dan upah juga harus dinaikan sebanding dengan besarnya jumlah kenaikan indeks harga atau indeks biaya hidup tersebut. Tindakan demikian dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mencegah atau mengendalikan laju pertumbuhan inflasi. Meskipun nilai nominal gaji dan upah mengalam kenaikan, namun nilai riil (intrinsik) gaji dan upah tersebut tetap dan daya beli mereka terhadap output tetap stabil. Jika kenaikan gaji dan upah tidak mendorong peningkatan permintaan agrerat. 39 2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian ini dilakukan berdasarkan teori-teori dan data dari penelitian sebelumnya. Hal ini sebagai parameter bagi penulis dalam melakukan penelitian hingga tercapai hasil dan kesimpulan. Berikut ini beberapa peneliti terdahulu yang mendukung penulis dalam melakukan penelitian : 1. “Analisis Efektifitas Jalur Pembiayaan Dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia” oleh Dini Hasanah mahasiswi Politeknik Negeri Bandung pada tahun 2010. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil uji IRF perlu 4 bulan dari perubahan imbal hasil SBIS untuk sampai pada perubahan tingkat inflasi. Dan didalam penelitian ini disebutkan bahwa pembiayaan merupakan jalur alternatif pada mekanisme transmisi kebijakan moneter karena dilihat berdasarkan teori, pembiayaan dapat menyelaraskan antara pertumbuhan sektor riil dan moneter. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa masih perlu penelitian lanjutan mengenai evektifitas mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur lainnya, seperti bagi hasil, nilai tukar dan ekspektasi inflasi sehingga dapat mengetahui jalur mana yang lebih efektif dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter. 2. “Pengaruh SBI Syariah terhadap Tingkat FDR Perbankan Syariah (Analisis Simulasi Kebijakan)” oleh Dian Nuriyah Solissa mahasiswi program pascasarjana UI, 2009 menyimpulkan bahwa tingginya imbal hasil pembiayaan dibandingkan imbal hasil SBIS, yang secara jelas memang lebih besar imbal hasil pembiayaan. Karena adanya batas minimum tingkat FDR perbankan syariah sebesar 80% memicu pihak perbankan untuk lebih banyak menempatkan dananya pada masyarakat. Di dalam penelitian ini dilakukan scenario simulasi kredit terkait penurunan batas minimum tingkat FDR perbankan syariah dari 80% menjadi 75%, 70%, 65%, dan 60%. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan teknik linear programming diperoleh batasan minimum tingkat FDR perbankan syariah yang optimal adalah sebesar 60%. Dan didalam 40 penelitian ini disebutkan bahwa setelah ditentukan batas minimum tingkat FDR dan batas maksimum penempatan dana pada instrumen Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) apakah masih relevan sepanjang waktu atau harus dirubah pada waktu tertentu karena dapat mempengaruhi stabilitas moneter. 3. “Efektifitas Sertifikat bank Indonesia Syariah (SBIS) Terhadap Pengendalian Likuiditas Industri Perbankan Syariah di Indonesia” oleh Adief Razali mahasiswa Universitas Indonesia 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) terhadap pengendalian likuiditas industri perbankan syariah di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis industri dan ekonometri. Analisa industri dilakukan untuk melihat hubungan/ kaitan antara volume SBIS dengan uang beredar, pembiayaan/financing dan suku bunga deposito. Analisis ekonometri dilakukan untuk melihat model manajemen likuiditas untuk operasi moneter syariah. 2.6 Kerangka Pemikiran Dengan melihat dari beberapa penelitian sebelumnya juga dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia dapat melaksanakan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Salah satu ukuran keberhasilan pencapaian tujuan yang dimaksud adalah laju inflasi yang terkendali yang ditetapkan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter. Menurut penjelasan PBI No. 10/36/PBI/2008 disebutkan bahwa Instrumen kebijakan moneter merupakan kebijakan yang diberlakukan Bank Indonesia dalam rangka mencapai tujuan untuk memlihara kestabilan nilai rupiah. Bank Indonesia 41 dapat melaksanakan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah seperti yang terdapat pada Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan telah dirubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti undang Undang Nomor 2 Tahun 2008. Menurut alur dalam kerangka pemikiran Bank Indonesia memiliki target dalam mencapai sasaran kebijakan moneter yaitu inflasi target (inflation targeting). Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah mencerminkan arah ke sistem pasar. Penerapan kebijakan moneter dengan menggunakan target inflasi (inflation targeting) diharapkan dapat memperkuat ekonomi makro. Untuk smencapai sasaran tersebut bank sentral harus memiliki instrumeninstrumen yang dapat mengontrol kestabilan nilai rupiah. Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga). Dalam hal ini bank sentral mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan SBIS (Sertifikat bank Indonesia Syariah) caranya dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang yang beredar.. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) merupakan salah satu instrumen kebijakan moneter yang mendukung tujuan pemerintah dalam mencapai sasaran akhir dari kebijakan yaitu inflasi. Kebijakan moneter memiliki target akhir yaitu inflasi yang dapat dikatakan identik dengan penargetan output, karena tingkat inflasi yang menjadi target akan bersesuaiaan dengan laju pertumbuhan output tertentu (Maski, 2007:65). Pada kerangka pemikiran yang terdapat pada Gambar 2.9 dapat dilihat bahwa SBI dan SBIS yang mengacu pada BI rate harus membantu bank sentral dalam mencapai sasaran akhir dari kebijakan moneter yaitu apabila terjadi kenaikan di BI rate maka dilihat dari segi permintaan (demand) akan timbul kenaikan karena semakin tinggi suku bunga maka semakin tinggi juga minat masyarakat untuk 42 menyimpan uangnya di bank. Begitu pula sebaliknya bila terjadi penawaran, hal ini disebabkan oleh perubahan tingkat suku bunga yang diakibatkan oleh kelebihan tabungan yang menyebabkan investasi merosot. Akibatnya investasi akan semakin lebih tinggi dan tabungan akan semakin lebih rendah. Keadaan ini berarti masyarakat lebih banyak menggunakan pendapatannya untuk konsumsi. Hal tersebut tentu saja akan mempengaruhi tingkat inflasi karena adanya perubahan permintaan dan penawaran uang yang terjadi ketika BI rate dinaikan dan mengalami penurunan. Dalam hal ini penulis memiliki skema dalam kerangka pemikiran, yaitu : Gambar 2.9 Kerangka Pemikiran BI INFLASI TARGET SBIS SBI SUPPLY & DEMAND INFLASI (Sumber: diolah sendiri) 43 44