BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1.Agresivitas Pajak Agresivitas pajak merupakan hal yang sekarang sangat umum terjadi dikalangan perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia. Tindakan ini bertujuan untuk meminimalkan pajak perusahaan yang kini menjadi perhatian publik karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan juga merugikan pemerintah. Hal ini sama yang dikatakan Balakrishnan, et al., (2011) bahwa perusahaan terlibat dalam berbagai bentuk perencanaan pajak untuk mengurangi kewajiban pajak yang diperkirakan. Pajak suatu perusahaan dapat dikaitkan dengan perhatian publik jika pembayaran pajak yang dilakukan memiliki implikasi dengan masyarakat luas yang sekarang di pertentangkan karena hanya menjadi biaya operasi perusahaan. Menurut Avi-Yonah (2008) tujuan meminimalkan jumlah pajak perusahaan yang akan dibayar menjadi salah satu hal yang harus dipahami dan melibatkan beberapa etika, masyarakat atau adanya pertimbangan dari pemangku kepentingan perusahaan. Namun, di sisi lain pembayaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan memiliki implikasi penting bagi masyarakat dalam hal pendanaan barang publik seperti pendidikan, pertahanan nasional, kesehatan masyarakat, dan hukum (Freedman, 2003; Landolf, 2006; Freise, et al., 2008; Landolf dan Symons, 2008; Sikka, 2010) dalam Lanis dan Richardson (2013). Agresivitas pajak adalah strategi perusahaan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat 13 14 (Christenen dan Murphy, 2004; Sikka, 2010) dalam Lanis dan Richardson (2013). Hlaing (2012) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai kegiatan perencanan pajak semua perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi tingkat pajak yang efektif. Cara untuk mengukur perusahaan yang melakukan agresivitas pajak yaitu dengan menggunakan proksi Effective Tax Rates (ETR). Menurut Lanis dan Richardson (2012) menyatakan bahwa ETR merupakan proksi yang paling banyak digunakan pada penelitian terdahulu. Proksi ETR dinilai menjadi indikator adanya agresivias pajak apabila memiliki ETR yang mendekati nol. Semakin rendah nilai ETR yang dimiliki perusahaan maka semakin tinggi tingkat agresivitas pajak. ETR yang rendah menunjukkan beban pajak penghasilan lebih kecil dari pendapatan sebelum pajak. 2.1.2.Corporate Social Responsibility (CSR) 2.1.2.1. Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Nor Hadi (2011:47), The World Business Council for Suistantable Development memberikan rumusan CSR sebagai berikut: “Continuing commitment by business to behave ethically and contributed to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”. Definisi tersebut menunjukkan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) merupakan satu bentuk tindakan yang berangkat dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi, 15 yang bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan berikut keluarganya, serta sekaligus peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas (Nor Hadi, 2011:48). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Bab 1 Pasal 1 Nomor 3 CSR didefinisikan sebagai: “Komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.” Corporate Social Responsibility (CSR) adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan (Nuryana, 2005). Dalam hal ini, CSR merupakan bentuk timbal balik terhadap masyarakat sekitar terhadap aktivitas operasi perusahaan agar mendapatkan tanggapan baik dari masyarakat. Implementasi CSR merupakan suatu wujud komitmen yang dibentuk oleh perusahaan untuk memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan (Susiloadi, 2008). Lanis dan Richardson (2012) menyatakan bahwa CSR merupakan faktor kunci dalam keberhasilan dan kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan menurut Milton Friedman (1989) dalam Solihin (2009) tanggung jawab sosial perusahaan adalah menjalankan bisnis sesuai dengan keinginan pemilik perusahaan (owners), biasanya dalam bentuk menghasilkan uang sebanyak mungkin dengan senantiasa menghindarkan aturan dasar yang digariskan dalam suatu masyarakat sebagaimana diatur oleh hukum dan perundang-undangan. Namun, menurut Harsanti (2011) CSR merupakan sebuah 16 gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi menganut pada prinsip single bottom line yaitu nilai perusahaan hanya berfokus pada kondisi keuangannya saja dan kewajiban ekonomi pada pemegang saham (shareholder) melainkan kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan. Oleh karena itu, CSR menganut prinsip triple bottom line (Elkington, 1997) yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial yang terkenal dengan istilah “3P” yaitu people, planet, and profit. 2.1.2.2. Pengungkapan Corporate Social Responsibility Pengungkapan dapat diartikan secara berbeda dan dalam keadan yang berbeda pula. Menurut Wolk, et al., (2004) dalam buku Accounting Theory, A Conceptual and Institusional Approach, pengungkapan didefinisikan: “… …disclosure is concerned with information in both the financial statements and supplementary communications-including footnotes, postatement event, management’s analysis of operation for the fortcoming, financial and operating forecasts, and additional financial statemens covering segmental disclosure and etentions beyond historical cost.” Mathews (1997:483) mendefinisikan pengungkapan sosial dan lingkungan sebagai berikut: “Voluntary disclosures of information, both qualitative, and quantitative made by organizations to inform or influence a range of audiences. The quantitative disclosures may be in financial or non-financial terms”. Definisi tersebut menerangkan bahwa pengungkapan sosial dan lingkungan merupakan informasi sukarela, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang dibuat oleh organisasi untuk menginformasikan atau mempengaruhi investor, dimana pengungkapan kuantitatif dapat berupa informasi keuangan maupun non- 17 keuangan. Sedangkan menurut Hackston dan Milne (1996) pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility) adalah: “Proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan.” Pengungkapan laporan keuangan dapat dikelompokkan menjadi pengungkapan yang bersifat wajib (mandatory), yaitu pengungkapan informasi yang wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar yang berlaku, da nada yang bersifat sukarela (voluntary) yang merupakan pengungkapan informasi secara sukarela yang tidak diisyaratkan oleh standar, namun memberikan nilai tambah bagi perusahaan yang melakukannya. Selain itu Deegan, et al., (2002) menyatakan bahwa pengungkapan CSR dipandang sebagai sarana yang digunakan oleh managemen perusahaan dalam berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi persepsi. Pengungkapan CSR dengan cara tesebut sama halnya pengungkapan CSR dengan konsep dari GRI (Global Reporting Initiative) sebagai acuan dalam penyusunan pelaporan CSR. Konsep ini merupakan konsep sustainability report yang muncul sebagai akibat adanya konsep sustainability development. 2.1.2.3. Teori Pengungkapan Corporate Social Responsibility Gray, et al., (1995) merangkum berbagai teori yang dipergunakan oleh para peneliti untuk menjelaskan kecenderungan pengungkapan CSR, yaitu: 1. Economic Theory Studies 18 Dasar teori ini adalah Agency Theory yang dikemukakan Watts dan Zimmerman’s. Untuk menghindari tekanan pemerintah melalui aturan yang dikeluarkan, maka perusahaan melakukan pengungkapan sosial dan lingkungan seperti yang dikemukakan Belkaoui dan Karpik (1989). 2. Social and Political Theory Studies Teori ini termasuk Stakeholder Theory, Legitimacy Theory, dan Political Economic Theory. Teori ini mencoba menjelaskan bahwa perusahaan mengungkaplan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan bukan hanya karena kepentingan ekonomis perusahaan saja tetapi juga dikarenakan adanya tekanan dari pekerja, konsumen, aktivis lingkungan, dan sebagainya. Dengan melakukan pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan merasa masyarakat telah mengubah prioritas, dan dampak sosial perusahaan menjadi penting bagi masyarakat. 3. Decision-Usefulnes Studies Perusahaan mengemukakan informasi sosial dan lingkungan karena informasi tersebut dibutuhkan oleh para users (shareholders dan kreditur) untuk pengambilan keputusan investasi. Penelitian ini meminta agar para analis, banker, dan pihak lain yang dilibatkan dalam penelitian tersebut melakukan peningkatan terhadap informasi akuntansi, dimana informasi akuntansi ini tidak terbatas pada informasi akuntansi tradisional saja, namun juga informasi lain yang relatif baru dalam wacana akuntansi. Mereka menempatkan informasi aktivitas sosial dan perusahaan pada posisi yang “moderately important”. lingkungan 19 2.1.2.3.1. Teori Legitimasi Teori legitimasi mengatakan bahwa organisasi secara terus menerus mencoba untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai dengan batasan dan norma-norma masyarakat dimana mereka berada. Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going concern) (O'Donovan, 2002). Deegan, Robin, dan Tobin (2002) dalam Nor Hadi (2011:89) menyatakan legitimasi dapat diperoleh apabila terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan tidak mengganggu atau sesuai dengan eksistensi nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran yang menuju ketidaksesuaian tersebut, maka pada saat itu keberlangsungan perusahaan dapat terancam. Hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran investor dalam berinvestasi di perusahaan tersebut yang pada akhirnya dapat menurunkan harga saham perusahaan di pasar modal. Tilt (1994) seperti yang dikutip Haniffa and Cooke (2005) menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Oleh karena itu, pengungkapan sosial dan lingkungan merupakan media yang digunakan untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat (Chariri, 2008). 20 Dowling dan Preffer (1975) dalam Nor Hadi (2011:91) menyatakan bahwa terdapat dua dimensi agar perusahaan memperoleh dukungan legitimasi, yaitu (1) aktivitas organisasi perusahaan harus sesuai (congruence) dengan sistem nilai di masyarakat dan (2) pelaporan aktivitas perusahaan juga hendaknya mencerminkan nilai sosial. 2.1.2.3.2. Teori Stakeholder Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). Dengan kata lain, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Chariri, 2008). Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut. Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi komsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan. Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang memuaskan keinginan stakeholder (Chariri, 2008). 21 Strategi yang digunakan untuk menjaga hubungan tersebut salah satunya adalah dengan pengungkapan informasi sosial dan lingkungan. Pengungkapan informasi keuangan, sosial, dan lingkungan merupakan dialog antara perusahaan dengan stakeholder-nya dan menyediakan informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat mengubah persepsi dan ekspektasi para stakeholders-nya (Michelon dan Parbonetti, 2010). 2.1.2.3.3. Teori Agensi Teori agensi menjelaskan tentang hubungan antara dua pihak dimana salah satu pihak menjadi agen dan pihak yang lain bertindak sebagai prinsipal (Hendriksen dan Van Breda, 2000:221). Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Saleh (2008:38), teori ini menyatakan bahwa hubungan keagenan timbul ketika salah satu pihak (prinsipal) menyewa pihak lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingannya yang melibatkan pendelegasian beberapa otoritas pembuatan keputusan kepada agen. Selain itu, teori agensi juga menjelaskan mengenai masalah asimetri informasi (information asymmetric). Teori keagenan memfokuskan pada masalahmasalah yang ditimbulkan oleh informasi yang tidak lengkap, yaitu, ketika tidak semua keadaan diketahui oleh kedua belah pihak, dan sebagai akibatnya, ketika konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh pihak-pihak tersebut. Informasi yang tidak lengkap dalam teori keagenan terjadi bila pemilik tidak mengamati semua aksi manajer. Aksi-aksi ini mungkin berbeda dari aksi yang lebih disukai pemilik, entah entah karena manajer mempunyai tingkat preferensi yang berbeda, atau karena manajer sengaja mencoba untuk melalaikan 22 tugas atau menipu pemilik. Situasi ini menciptakan masalah kekacauan moral (moral hazard) (Hendriksen dan Van Breda, 200:222). Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Mahmud, dkk., (2012) bahwa pengungkapan laporan keuangan yang lengkap akan mengurangi asimetri informasi tersebut. 2.1.2.4. Alasan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terdapat berbagai alasan yang memotivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan CSR. Menurut Anggraini dan Retno (2006) perusahaan melakukan pengungkapan informasi sosial dengan tujuan untuk membangun image perusahaan dan mendapatkan perhatian dari masyarakat. Ketika perusahaan mengahadapi biaya pengawasan yang rendah dan visibilitas politis yang tinggi akan cenderung untuk mengungkapkan informasi sosial. Menurut Deegan yang dikutip oleh Chariri (2008), alasan pengungkapan tanggung jawab sosial oleh perusahaan antara lain: 1. Keinginan untuk mematuhi persyaratan yang ada dalam undang-undang. 2. Pertimbangan rasionalisasi ekonomi (economic rationality). Atas dasar alasan ini, praktik pengungkapan tanggung jawab sosial dianggap dapat memberikan keuntungan bisnis, dan alasan ini dipandang motivasi utama. 3. Keyakinan dalam akuntabilitas proses pelaporan. Artinya, manajer berkeyakinan bahwa orang memiliki hak untuk memperoleh informasi yang memuaskan dengan tidak memperhitungkan hanya yang diperlukan untuk menyajikan informasi tersebut, namun pandangan ini tidak dianut oleh mayoritas organisasi bisnis yang beroperasi di lingkungan kapitalis. 23 4. Keinginan untuk memenuhi persyaratan pinjaman. Lembaga pemberi pinjaman, sebagai bagian dari kebijakan manajemen risiko, cenderung menghendaki peminjam untuk secara periodik memberikan berbagai item informasi tentang kinerja serta kebijakan sosial dan lingkungannya. 5. Untuk memenuhi harapan masyarakat yang didasarkan pada pandangan bahwa kepatuhan terhadap izin yang diberikan masyarakat untuk beroperasi (kontrak sosial) bergantung pada penyediaan informasi berkaitan dengan kinerja sosial dan lingkungannya. 6. Sebagai konsekuensi dari ancaman terhadap legitimasi perusahaan. Misalnya pelaporan mungkin dipandang sebagai respon atas pemberitaan media yang bersifat negatif, kejadian sosial atau dampak lingkungan tertentu, atau barangkali sebagai akibat dari rating jelek yang diberikan oleh lembaga pemberi peringkat perusahaan. 7. Untuk mengelola kelompok stakeholder yang powerful. 8. Untuk menarik dana investasi. Pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan peningkatan organisasi tertentu untuk tujuan analisis portofolio menggunakan informasi dari sejumlah sumber termasuk informasi yang dikelurkan oleh organisasi tersebut. 9. Untuk mematuhi persyaratan industri, atau code of conduct tertentu. Misalnya di Australia, industri pertambangan memiliki Code for Environmental Management. Jadi, ada tekanan tertentu untuk mematuhi aturan tersebut. Aturan dapat mempengaruhi persyaratan pelaporan. 24 10. Untuk memenangkan penghargaan pelaporan tertentu. Ada beberapa penghargaan yang diberikan pada beberapa negara kepada perusahaan yang melaporkan kegiatannya termasuk kegiatan yang berkaitan dengan aspek sosial dan dampak lingkungan. 2.1.2.5. Manfaat Corporate Social Responsibility Untung (2008:6) mengungkapkan manfaat kegiatan CSR bagi perusahaan sebagai berikut: 1. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merk perusahaan. 2. Mendapat lisensi untuk beroperasi secara sosial. 3. Mereduksi resiko bisnis perusahaan. 4. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha. 5. Membuka peluang pasar yang lebih luas. 6. Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah. 7. Memperbaiki hubungan dengan stakeholder. 8. Memperbaiki hubungan dengan regulator. 9. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. 10. Peluang mendapatkan penghargaan. Sementara itu, menurut Philip dan Nancy (2005) dalam Solihin (2009:32), terdapat 6 manfaat bisnis yang dapat diperoleh perusahaan yang melaksanakan CSR: 1. Meningkatkan pengaruh dan image perusahaan. 2. Meningkatkan pangsa pasar dan penjualan perusahaan. 25 3. Memperkuat brand positioning perusahaan. 4. Meningkatkan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan, memotivasi, dan mempertahankan loyalitas para pekerja. 5. Menurunkan biaya operasional. 6. Meningkatkan daya tarik investor, kreditor, dan analis keuangan. Menurut A.B. Susanto (2009), manfaat yang diperoleh dalam penerapan CSR adalah: 1. Mengurangi risiko dan tuduhan terhadap perilaku tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya secara konsisten akan mendapatkan dukungan luas dari komunitas yang telah merasakan manfaat dari berbagai aktivitas yang dijalankannya. CSR akan mendongkrak citra perusahaan, yang untuk rentang waktu panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan. Manakala terdapat pihak-pihak tertentu yang menuduh perusahaan menjalankan perilaku serta praktik-praktik yang tidak pantas, masyarakat akan menunjukkan pembelaannya. Karyawan pun akan berdiri di belakang perusahaan, membela institusi tempat mereka bekerja. 2. CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Demikian pula ketika perusahaan diterpa kabar miring atau bahkan ketika perusahaan melakukan kesalahan, memaafkannya. masyarakat lebih mudah memahami dan 26 3. Keterlibatan dan kebanggan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebanggaan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas, sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja keras demi kemajuan perusahaan. Hal ini akan berujung pada peningkatan kinerja dan produktivitas. 4. CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubugan antarperusahaan dengan para stakeholder-nya. Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak yang selama ini berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka raih. Hal ini mengakibatkan para stakeholder senang dan merasa nyaman dalam menjalin hubungan dengan perusahaan. 5. Meningkatnya penjualan seperti yang terungkap dalam riset Roper Search Worldwide, yaitu bahwa konsumen akan lebih menyukai produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang konsisten menjalankan tanggung jawab sosialnya sehingga memiliki reputasi yang baik (sertifikasi kualitas, sertifikasi halal, dan lain-lain). 6. Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya. Hal ini perlu dipikirkan guna mendorong perusahaan agar lebih giat lagi menjalankan tanggung jawab sosialnya. 27 2.1.2.6. Prinsip-Prinsip Corporate Social Responsibility Crowther David (2008) dalam Nor Hadi (2011:59), menguraikan prinsipprinsip CSR menjadi tiga, yaitu: 1. Sustainability Sustainability berkaitan dengan bagaimana perusahaan dalam melakukan aktivitas tetap memperhitungkan keberlanjutan sumber daya di masa depan. Keberlanjutan juga memberikan alasan bagaimana penggunan sumber daya sekarang tetap memperhatikan dan memperhitungkan kemampuan generasi masa depan. Dengan demikian, Sustainability berputar pada keberpihakan dan upaya bagaimana society memanfaatkan sumber daya agar tetap memperhatikan generasi mendatang. 2. Accountability Accountability merupakan upaya perusahaan terbuka dan bertanggung jawab atas aktivitas yang telah dilakukan. Akuntabilitas dibutuhkan, ketika aktivitas perusahaan mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan eksternal. Konsep ini menjelaskan pengaruh kuantitatif aktivitas perusahaan terhadap pihak internal dan eksternal. Akuntabilitas dapat dijadikan sebagai media bagi perusahaan membangun image dan network terhadap para pemangku kepentingan. Tingkat akuntabilitas dan tanggung jawab perusahaan menentukan legitimasi stakeholder, serta meningkatkan transaksi dalam perusahaan. 3. Transparancy 28 Transparancy merupakan prinsip penting bagi pihak eksternal. Transaparansi bersinggungan dengan pelaporan aktivitas perusahaan berikut dampak terhadap pihak eksternal. Transparansi merupakan satu hal yang amat penting bagi pihak eksternal, berperan untuk mengurangi asimetri informasi, kesalahpahaman, khususnya informasi, dan pertanggungjawaban sebagai dampak dari lingkungan. Prinsip-prinsip dasar corporate social responsibility yang menjadi bagi pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan menurut ISO 26000 dalam Daniri (2008) meliputi: 1. Kepatuhan terhadap hukum. 2. Menghormati instrumen/badan-badan Internasional. 3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya. 4. Akuntabilitas. 5. Transparansi. 6. Perilaku yang beretika. 7. Melakukan tindakan pencegahan. 8. Menghormati dasar-dasar HAM. 2.1.3.Leverage (LEV) Definisi leverage menurut Irawati (2006:172): “Leverage merupakan suatu kebijakan yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam hal menginvestasikan dana atau memperoleh sumber dana yang disertai dengan adanya beban atau biaya tetap yang harus ditanggung perusahaan”. 29 Sementara menurut Bringham dan Houston (2006:101) mendefinisikan leverage sebagai berikut: “Leverage adalah seberapa jauh perusahaan menggunakan pendanaan melalui hutang”. Menurut Kasmir (2012:153) terdapat beberapa tujuan perusahaan menggunakan rasio leverage: 1. Untuk mengetahui posisi perusahaan terhadap kewajiban kepada pihak lainnya (kreditor). 2. Untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang bersifat tetap (seperti angsuran pinjaman termasuk bunga). 3. Untuk menilai keseimbangan antara nilai aktiva khususnya aktiva tetap dengan modal. 4. Untuk menilai seberapa besar aktiva perusahaan yang dibiayai oleh utang. 5. Untuk menilai seberapa besar pengaruh utang perusahaan terhadap penggelolaan aktiva. Beberapa jenis rasio leverage menurut Kasmir (2010:112), adalah sebagai berikut: 1. Debt To Assets Ratio (debt ratio) 2. Long Term Debt to Equity Ratio (LTDtER) 3. Times Interest Earned Ratio 4. Debt to Equity Ratio 30 Rasio leverage menggambarkan hubungan antara utang perusahaan terhadap modal maupun aset. Dalam penelitian ini rasio pengukuran yang digunakan adalah Debt to Asset Ratio di mana Debt To Asset Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan total aset. Rasio ini dicari dengan cara membandingkan antara seluruh hutang, termasuk hutang lancar dengan seluruh total aset. Dengan kata lain, seberapa besar aset perusahaan dibiayai oleh utang atau seberapa besar utang perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva (Kasmir, 2012:156). 2.2. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai agresivitas pajak telah banyak dilakukan begitu juga dengan penelitian mengenai CSR. Namun, walaupun penelitian mengenai masingmasing variabel agresivitas pajak dan CSR telah banyak dilakukan tetapi mengaitkan antara agresivitas pajak dan CSR untuk menguji teori legitimasi masih jarang dilakukan di Indonesia. Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan variabel agresivitas pajak dan CSR seperti penelitian yang dilakukan oleh Lanis dan Richardson (2011) yang berjudul “Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness”. Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah agresivitas pajak (ETR) dan variabel independennya adalah CSR. Alat statistik yang digunakan yaitu menggunakan analisis regresi OLS yang memberikan bukti bahwa terdapat hubungan negatif antara CSR dan tarif pajak yang berlaku (ETR). 31 Pada tahun 2012 terdapat penelitian yang dilakukan oleh Tao Zeng yang berjudul “Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness”. Variabel dependen dalam penelitian tersebut adalah CSR dan variabel independen adalah agresivitas pajak. Alat uji statistik yang digunakan adalah menggunakan analisis regresi yang memberikan bukti empiris bahwa perusahaan yang melakukan kegitan agresivitas pajak cenderung kurang tertarik untuk bertanggung jawab melakukan CSR. Selanjutnya terdapat penelitian Lanis dan Richardson (2012) yang berjudul “Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness: An Empirical Analysis”. Pada penelitian tersebut variabel dependen yang digunakan adalah agresivitas pajak (ETR) dan variabel independennya adalah CSR. Alat uji statistik yang digunakan adalah analisis regresi tobit yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR suatu perusahaan, semakin rendah tingkat agresivitas pajak yang dilakukan. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Lanis dan Richardson pada tahun 2013. Namun, pada penelitian terbarunya Lanis dan Richardson menguji teori legitimasi dan penelitiannya berjudul “Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness: a test of legitimacy theory”. Pada penelitian tersebut variabel dependen yang digunakan adalah CSR dan variabel independennya adalah agresivitas pajak menggunakan analisis regresi OLS. Hasil empiris secara konsisten meunjukan hubungan positif dan signifikan agresivitas pajak perusahaan dan pengungkapan CSR yang membenarkan teori legitimasi dalam konteks agresivitas pajak. 32 Penelitian lain dilakukan oleh Maretta Yoehana pada tahun 2013 yang berjudul “Analisis Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Agresivitas Pajak”. Pada penelitian tersebut variabel independen adalah pengungkapan tanggung jawab sosial dan variabel dependennya adalah agresivitas pajak. Alat uji statistik yang digunakan adalah analisis regresi OLS. Hasil empiris menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR suatu perusahaan, semakin rendah tingkat agresivitas pajak. Penelitian lain dilakukan oleh Natasya Elma Octaviana pada tahun 2014 yang berjudul “Pengaruh Agresivitas Pajak terhadap Corporate Social Responsibility: Untuk Menguji Teori Legitimasi”. Pada penelitian tersebut variabel independen adalah agresivitas pajak dan variabel dependennya adalah corporate social responsibility. Alat uji statistik yang digunakan adalah analisis regresi OLS. Hasil penelitian menunjukka bahwa agresivitas pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR. Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No Judul Penelitian Peneliti 1. Corporate Social Grant Responsibility and Richardson Tax Aggressiveness dan Roman Lanis (2011) Variabel Variabel Dependen: Agresivitas Pajak Variabel Independen: CSR Menggunakan Analisis Regresi OLS Hasil Penelitian Hasil penelitiannya memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR maka semakin rendah tingkat agresivitas pajak dan adanya 33 2. Corporate Social Tao Responsibilty and (2012) Tax Aggressiveness Zeng Variabel dependen : CSR Variabel independen : Agresivitas pajak. Menggunakan analisis regresi 3. Corporate Social Responsibilty and Tax Aggressivenes: An Empirical Analysis Lanis dan Richardson (2012) Variabel dependen: Agresivitas pajak (ETR) Variabel independen : CSR. Menggunakan analisis regresi Tobit 4. Corporate Social Lanis dan Responsibilty and Richardson Tax Aggressiveness: (2013) a test of legitimacy theory Variabel dependen: CSR Variabel independen : Agresivitas pajak. Menggunakan analisis regresi OLS hubungan negatif dan signifikan secara statistik. Memberikan bukti empiris bahwa perusahaan yang melakukan kegiatan agresivitas pajak cenderung kurang tertarik untuk bertanggung jawab melakukan CSR Memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR suatu perusahaan, makan semakin rendah tingkat agresivitas pajak yang dilakukan Hasil penelitian secara konsisten menunjukkan hubungan positif dan signifikan agresivitas pajak perusahaan dan pengungkapan CSR yang membenarkan teori legitimasi dalam konteks 34 5. Analisis Pengaruh Maretta Corporate Social Yoehana Responsibility (2013) terhadap Agresivitas Pajak 6. Pengaruh Agresivitas Pajak terhadap Corporate Social Responsibility: Untuk Menguji Teori Legitimasi Variabel independen: pengungkapan tanggung jawab sosial Variabel dependen: agresivitas pajak Menggunakan analisis regresi OLS Natasya Elma Variabel Octaviana independen: (2014) agresivitas pajak Variabel dependen: CSR Menggunakan analisis regresi OLS agresivitas pajak. Hasil empiris menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR suatu perusahaan, semakin rendah tingkat agresivitas pajak. Hasil penelitian menunjukka bahwa agresivitas pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR. Penelitian ini, mereplika penelitian yang dilakukan oleh Lanis dan Richardson tahun 2013 yang berjudul “Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness: a test of legitimacy theory”. Namun, terdapat beberapa perbedaan diantaranya indikator pengungkapan CSR yaitu disesuaikan dengan konteks di Indonesia dengan menggunakan indeks GRI, sampel yang digunakan pada perusahaan pertambangan, dan menggunakan variabel kontrol leverage. Penelitian mengenai topik ini jarang dilakukan di Indonesia serta untuk membuktikan perusahaaan-perusahaan yang terlibat agresivitas pajak akan melakukan pengungkapan CSR untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat. 35 2.3. Kerangka Pemikiran 2.3.1. Pengaruh Agresivitas Pajak terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Kinerja perusahaan dikatakan baik apabila mampu memperoleh laba yang tinggi pada tahun berjalan. Laba perusahaan yang tinggi dapat diperoleh dengan cara meminimalkan beban-beban yang dimiliki oleh perusahaan. Salah satu beban yang dimiliki oleh perusahaan adalah beban dalam membayar pajak. Tindakan meminimalkan beban pajak atau agresivitas pajak di kalangan perusahaanperusahaan besar sering terjadi, terutama di Indonesia. Perusahaan merasa terbebani dengan banyaknya beban yang ditanggung, misalnya kasus yang saat ini terjadi adalah perusahaan berusaha untuk menekan beban CSR perusahaan dengan meminimalkan beban pajaknya, tindakan tersebut pada dasarnya tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan memiliki dampak negatif terhadap masyarakat karena mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam menyediakan barang publik (Lanis dan Richardson, 2013). Kewajiban dalam membayar pajak seharusnya dilaksanakan dengan baik oleh perusahaan. Namun, banyak perusahaan justru melanggar peraturan perundang-undangan pajak dengan mengurangi pajak yang seharusnya dibebankan kepada perusahaan tersebut. Perilaku ini membuat manfaat pajak tidak maksimal dalam menyejahterakan masyarakat. Padahal pajak dipandang sebagai dividen yang dibayar oleh perusahaan kepada masyarakat sebagai imbalan telah menggunakan sumber daya yang tersedia (Harari, et al., 2012). 36 Salah satu bentuk interaksi perusahaan dengan masyarakat ketika dipandang negatif adalah melalui pengungkapan CSR yang sesuai dengan teori legitimasi, bentuk tanggung jawab sosial perusahaan bertujuan menarik perhatian masyarakat agar perusahaan tersebut mendapatkan kesan yang baik dan dapat diterima oleh masyarakat. Perusahaan dituntut untuk melakukan CSR agar dapat memperbaiki legitimasi dari masyarakat dan mendapatkan keuntungan. Perusahaan dikatakan berhasil apabila dapat memenuhi harapan masyarakat melalui pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dan begitu juga sebaliknya. Perusahaan dalam melakukan kinerjanya juga tidak hanya fokus memperhatikan masyarakat dan lingkungannya saja, namun perlu memperhatikan kepentingan stakeholder juga. Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan dalam melakukan kegiatan operasinya harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat dalam aktivitas operasi perusahan. Perusahaan tidak hanya mementingkan kepentingan shareholder saja, akan tetapi juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat, pemerintah, konsumen, supplier, analis, dan lain sebagainya (Chariri, 2008). Terdapat beberapa penelitian yang telah menguji hubungan antara agresivitas pajak dan pengungkapan CSR yaitu penelitian Lanis dan Richardson (2013) berhasil menemukan adanya hubungan yang positif sesuai dengan teori legitimasi. Sementara Tao Zeng (2012) menemukan hubungan negatif antara kedua variabel tersebut. 37 2.3.2. Pengaruh Leverage terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Leverage merupakan proporsi total kewajiban jangka panjang terhadap total aset. Rasio tersebut digunakan untuk memberikan gambaran mengenai aset yang dimiliki perusahaan, sehingga dapat dilihat tingkat tak tertagihnya hutang jangka panjang. Sesuai dengan teori agensi maka manajemen perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi pengungkapan CSR yang dibuatnya agar tidak menjadi sorotan dari para debtholders. Penelitian Belkaoui dan Karpik (1989) menunjukkan hasil bahwa variabel leverage berpengaruh negatif signifikan terhadap pengungkapan CSR. Sementara itu, Scott (2000) dalam Fahrizqi (2010) menyampaikan pendapat yang mengatakan bahwa semakin tinggi leverage kemungkinan besar perusahaan akan mengalami pelanggaran terhadap kontrak utang, maka manajer akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi dibandingkan laba dimasa depan. Perusahaan yang memiliki rasio leverage tinggi akan lebih sedikit mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial, supaya dapat melaporkan laba sekarang yang lebih tinggi (mengurangi biaya pengungkapan). Menurut Meek, et al., (1995) dalam Ismurniati (2010), perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih sedikit informasi. Penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak dan Widiastuti (2004) dan Purnasiwi (2011), menemukan hubungan positif antara kedua variabel tersebut. Sedangkan penelitian Wardani (2013) menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif signifikan terhadap pengungkapan CSR. 38 2.3.3. Pengaruh Agresivitas Pajak dan Leverage terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Perusahaan-perusahaan besar mulai mencari cara untuk meminimalkan beban pajak melalui tindakan agresif pajak. Perusahaan yang agresif pajak akan cenderung mengungkapkan informasi CSR lebih besar dikarenakan beban pajak perusahaan yang seharusnya dikeluarkan dialihkan untuk beban CSR. pengungkapan CSR diperlukan sebagai wujud timbal balik kepada masyarakat yang mana, perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya tidak lepas dari lingkungan dan dukungan dari masyarakat. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan legitimasi positif dari masyarakat. Perusahaan lebih dipandang positif menggunakan modal sendiri dibandingkan dengan menggunakan hutang. Maka dari itu, tingkat leverage yang tinggi dipandang negatif bagi perusahaan sendiri dan perusahaan berusaha mendapatkan pandangan positif yaitu dengan cara mengungkapkan CSR. Menurut Belkaovi dan Karpik (1989) keputusan untuk mengungkapkan informasi sosial akan mengikuti suatu pengeluaran untuk pengungkapan yang menurunkan pendapatan. Penelitian ini menguji Pengaruh Agresivitas Pajak terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility. penelitian ini menggunakan variabel independen, variabel dependen, dan variabel kontrol. Variabel independen yang digunakan adalah agresivitas pajak, variabel dependennya adalah pengungkapan corporate social responsibility, dan variabel kontrolnya adalah leverage. Berikut merupakan skema kerangka pemikiran mengenai Pengaruh Agresivitas Pajak terhadap 39 Pengungkapan Corporate Social Responsibility pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia: Variabel Independen Variabel dependen Agresivitas Pajak (X1) H1 (+) Pengungkapan CSR (Y) H2 (-) Variabel Control Leverage (X2) Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran 2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Berdasarkan kerangka pemikiran 2.1 diatas, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: H1 : Agresivitas Pajak berpengaruh positif terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility H2 : Leverage berpengaruh negatif terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility. H3 : Agresivitas Pajak dan Leverage berpengaruh signifikan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility