BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP WARTAWAN YANG SEDANG MENJALANKAN TUGAS PROFESI A. Faktor Internal Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Wartawan Yang Sedang Menjalankan Tugas Profesi 1. Lemahnya Regulasi Indonesia merupakan Negara yang media massa dan pers nya berkembang begitu pesat. Kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat akan informasi yang tiada henti menjadi salah satu faktor tumbuh pesat nya media massa dan pers di Indonesia. Dalam sejarah media massa di Indonesia seperti yang dicantumkan dalam buku Pers di masa orde baru karangan.42 Media massa mencapai puncak kejayaannya dan menemukan kembali jati dirinya pada masa era reformasi, setelah melalui masa era orde baru yang telah membredeli media massa secara besar besaran, dimana pada saat itu kontrol media satu satunya dipegang oleh Departemen Penerangan dan PWI, namun masa itu telah lewat setelah masa reformasi pada tahun 1998 yang ditandai dengan diduduki nya gedung MPR RI oleh mahasiswa secara besar besaran pada saat itu. Kebebasan pers pun mulai dikibar dan dikumandangkan oleh insan pers dan jurnalis di Indonesia pada masa reformasi. Kejayaan dan kemerdekaan pers ini tidak di lewati dan di sia sia kan begitu saja oleh insan pers di indonesia, dengan semangat berekspresi dan berkarya jurnalis dan wartawan di seluruh 42 Hill, David T. Pers di Masa Orde Baru. (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 2011), hal 42 35 Universitas Sumatera Utara 36 indonesia menumpahkan seluruh semangat dan jiwa raga nya demi memenuhi kebutuhan masyarakat indonesia akan informasi. Tidak hanya sebagai penyedia dan pemberi informasi pers juga mulai memainkan peran nya sebagai pengontrol sosial kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Undang undang No. 11 Tahun 1996 tentang ketentuan ketentuan pokok pers Bab. II Fungsi, kewajiban dan hak pers pada Pasal 3 Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifatkorektif dan konstruktif. Hak ini pun dilakukan dengan selalu mengangkat isu isu yang berkembang untuk dinilai dan diamati dari berbagai aspek secara universal oleh seluruh masyarakat dan konsumen media di berbagai pelosok tanah air melalui media cetak dan elektronik di seluruh Indonesia. Membicarakan masalah kekerasan bukanlah suatu hal mudah, sebab kekerasan pada dasarnya adalah merupakan tindakan agresif, yang dapat dilakukan oleh setiap orang, misalnya tindakan memukul, menusuk, menendang, menampar, meninju, menggigit, semua itu adalah bentuk-bentuk kekerasan. Selain itu juga, kadang-kadang kekerasan merupakan tindakan yang normal,namun tindakan yang sama pada suatu situasi yang berbeda akan disebut penyimpangan. Misalnya, Mike Tyson yang meninju Lennox Lewis dalam pertandingan tinju, namun tidak ada satu orang pun yang berani mengatakan itu adalah perbuatan kekerasan, bahkan seorang penegak hukum pun asyik menontonnya, akan tetapi jika Mike Tyson melakukannya terhadap istrinya, atau orang lain atau terhadap Lennox Lewis itu di luar ring, maka tindakan itu akan disebut tindakan kekerasan.43 43 Yasmin Anwar Adang. Kriminoligi. (Bandung: Refika Aditama, 2010), hal 410 Universitas Sumatera Utara 37 Kekerasan (geweld) itu adalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang ditunjukkan pada orang yang mengakibatkan orang itu (fisiknya) tidak berdaya. Dalam hal ini bentuk pembuat penyuruh sendiri yang ditujukan pada fisik orang lain (manus manistra), sehingga orang menerima kekerasan fisik ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa yang dikehendaki oleh pembuat penyuruh.44 Pengertian luas, kekerasan kolektif dilakukan oleh segerombolan orang (mob) dan kumpulan orang banyak (crowd) dan dalam pengertian sempitnya dilakukan oleh kelompok. Bentuk kekerasan yang bersifat kolektif maupun individual, oleh Thomas Santoso dimisalkan seperti serangan dengan memukul (assault and battery), pembunuhan (homicide), dan pemerkosaan (rape), dan akhirnya tindak kekerasan individu, seperti bunuh diri (suiside). Namun kekerasan individu menimbulkan permasalahan riset yang agak serius, terutama dalam mengidentifikasi mereka yang melakukannya, karena aktifitas mereka sering kali tidak diketahui kecuali si korban.45 Selain ketidakpahaman pelaku kekerasan terhadap profesi jurnalis, jurnalis dan pemilik media pun berperan terhadap kekerasan yang terjadi. Faktor pertama pelaku kekerasan tidak memahami jurnalis merupakan profesi yang dilindungi dan bekerja menjalankan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. “Dalam arti, jurnalis bekerja mewakili publik dalam hal pencarian informasi dan menyiarkannya kepada masyarakat. Di sini ada kekurangpahaman pelaku. Di sisi 44 Thomas, Santosa, Teori-Teori Kekerasan. (Surabaya: Ghalia Indonesia, 2002, hal 45 Ibid. 9 Universitas Sumatera Utara 38 lain memang, entah itu pejabat atau pelaku sengaja mengabaikan keberadaan undang-undang,” 46 Kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dikatakan demikian sebab kekerasan terhadap wartawan merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers dalam menyampaian informasi secara universal telah diakui dalam Declaration of Human Rights, tepatnya diatur dalam Pasal 19 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan dan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun dengan tidak memandang batas-batas. Tindakan premanisme yang berupa penganiayaan maupun tindak kekerasan lainnya terhadap media masa apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. Sebab dalam menjalankan tugasnya seorang wartawan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya secara tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketentuan mengenai adanya perlindungan terhadap wartawan, secara jelas tercantum dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, yang selengkapnya berbunyi dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Yang dimaksud adalah jaminan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 46 http://kalbar‐online.com/news/metropolitan/banyak‐faktor‐penyebab‐kekerasan‐ terhadap‐jurnalis (diakses tanggal 21 September 2015) Universitas Sumatera Utara 39 Ada banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan terhadap wartawan. Baik itu yang terjadi karena unsur kesengajaan maupun yang tidak disengaja. Tindak kekerasan yang terjadi karena unsur kesengajaan biasanya terkait dengan isi berita yang dibuat oleh wartawan. Misalnya saja dalam hal peliputan yang bersifat kontroversial yang menyangkut masalah isu korupsi, pada kondisi seperti ini wartawan akan banyak menghadapi tantangan dari pihak-pihak yang tidak menginginkan aibnya terbongkar. Selain itu tindakan anarkis yang menimpa wartawan juga disebabkan ketidakpuasan narasumber terhadap isi berita yang dibuat. Untuk menunjukkan ketidakpuasannya itu banyak dari mereka yang melampiaskan dengan melakukan kekerasan terhadap wartawan. Salah satunya dengan melakukan penyerbuan terhadap kantor media massa yang bersangkutan. Peristiwa penyerbuan dengan mengerahkan masa terhadap kantor media massa tampaknya menjadi kebiasaan baru bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan pers. Dalam aksinya, mereka tidak hanya sekedar memprotes pemberitaan dari media tersebut, tak jarang juga disertai dengan aksi pengrusakan dan penyerangan terhadap para wartawan. Padahal dalam buku Himpunan Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang ada kaitannya Dengan Media Massa, setiap orang yang merasa dirugikan dalam pemberitaan pers (Cetak, Elektronika) agar menggunakan hak jawab maupun jalur hukum bukan dengan melakukan tindakan “Main Hakim Sendiri” 2. Perubahan Undang-Undang Pers Perubahan UU Pers manakala ketentuan yang diakomodir dalam peraturan Dewan Pers ini telah cukup baik namun lemah dalam penegakannya, maka Universitas Sumatera Utara 40 antitesis atas hal ini adalah membuat ketentuan di dalam peraturan tersebut menjadi lebih efektif lagi implementatif. Salah satu cara adalah dengan memasukkan ketentuan tersebut ke dalam perubahan UU Pers, sebuah proses yang dalam sudut pandang hukum ketatanegaraan tak pelak akan melibatkan dua lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Jika aspirasi ini berhasil menjadi muatan perubahan UU Pers, maka perlindungan profesi wartawan akan lebih kokoh ditegakkan guna meminimalisir kekerasan dan kecelakaan yang menimpa wartawan. Serangkaian tindakan, pelatihan, dan pemberian fasilitas terhadap wartawan yang ditujukan untuk melindungi wartawan misalnya, nantinya tidak lagi digantungkan semata pada kebaikan hati maupun kesepakatan yang kerapkali bercorak ‘David dan Goliath’, akan tetapi lebih kepada topangan sanksi (pidana) oleh negara yang tak mengenakkan lagi menjerakan. Dukungan segenap insan jurnalistik dalam mendorong ke arah proses perubahan UU Pers yang lebih fasilitatif terhadap jurnalis ini menjadi hal yang harus ada, terlebih mengingat bahwa dalam perspektif hukum kritis, upaya ini sangat boleh jadi akan mengundang ‘perlawanan’ terutama dari para pemodal media. 3. Ketidakprofesionalan Wartawan Pemicu kekerasan ini kekerasan terhadap wartawan pula bisa jadi diakibatkan karena kejenuhan masyarakat atas buruknya kinerja jurnalistik selama ini. Masyarakat terprovokasi dengan kerja jurnalistik yang bombastik, tidak akurat, jauh dari realita, maupun terlalu mencampuri privasi seseorang. Universitas Sumatera Utara 41 Terlepas dari persoalan di atas, tulisan ini pula meyakini bahwa kekerasan terhadap wartawan pula bisa jadi diakibatkan karena kejenuhan masyarakat atas buruknya kinerja jurnalistik selama ini. Pernyataan Dewan Pers Nomor 06/PDP/IV/2011 Tentang Penyelesaian Masalah antara Global TV dan Ahmad Dhani seolah mengonfirmasi keterkaitan antara profesionalisme wartawan dan kekerasan terhadap jurnalis. Terungkap dalam pernyataan tersebut bahwa kedua pihak memiliki andil yang sama dalam terjadinya kekerasan terhadap wartawan Global. Secara spesifik, Dewan Pers menyoroti tidak ditaatinya kode etik jurnalistik oleh Global TV dalam pemberitaan mengenai Ahmad Dhani sebelumnya selain tindakan Ahmad Dhani yang dapat dikategorikan menghalang-halangi kinerja wartawan dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Bahwa dalam hal terjadinya kekeliruan maupun kesalahan dalam pemberitaan, orang tidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri. 47 Alih-alih demikian, mekanisme sebagaimana dikenal dalam dunia jurnalistik yang telah diakomodir dalam UU Pers berupa hak jawab dan hak koreksi haruslah ditempuh. Akan tetapi, dua mekanisme itu juga tak memiliki pembenarannya manakala digunakan sebagai tameng dilakukannya kinerja jurnalistik yang serampangan. Hak jawab dan hak koreksi berangkat dari asumsi dasar bahwa kinerja jurnalistik betapapun hati-hatinya dilakukan tetaplah memiliki kemungkinan terjadinya kesalahan. Namun, kesalahan dimaksud bukanlah sesuatu yang disengaja, apalagi dilakukan dengan sadar untuk mendayagunakan power atas informasi yang dimilikinya guna semata untuk 47 http://www.academia.edu/1478679/Kekerasan_Terhadap_Jurnalis_Perlindungan_Prof esi_Wartawan_dan_Kemerdekaan_Pers_di_Indonesia (diakses tanggal19 Februari 2016) Universitas Sumatera Utara 42 mengejar keuntungam bisnis maupun untuk dipertukarkan dengan power lain berupa jabatan maupun uang. Kerja jurnalistik sesungguhnya ialah resultante dari berbagai faktor yang teramat kompleks meliputi kecakapan dan skill jurnalistik seorang wartawan, kondisi perusahaan yang menaunginya, pula regulasi yang mengaturnya. Seorang wartawan yang tak memiliki tak memiliki bekal pengetahuan jurnalistik yang memadai akan lebih mudah melakukan pelanggaran kode etik. Sementara itu, seorang wartawan kendati memiliki pengetahuan jurnalistik namun bekerja dalam atmosfir perusahaan yang kapitalistik, mengejar pemberitaan tanpa mengindahkan etika jurnalistik, akan bekerja di luar koridor etika jurnalis yang pada akhirnya bermuara pada kekerasan wartawan. 4. Standar Kompetensi Wartawan terhadap perubahan UU Pers Perubahan UU Pers adalah jawaban yang bisa diberikan untuk mereduksi kekerasan terhadap wartawan sebagai akibat lemahnya regulasi, maka Standar Kompetensi Wartawan (SKW) menemukan relevansinya untuk diterapkan guna meminimalisir kekerasan yang diakibatkan karena kurangnya kompetensi seorang wartawan. SKW yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/PeraturanDP/II/2010 mengenai Standar Kompetensi Wartawan ini menjadi penting di tengah semakin menjamurnya media seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan begitu mudahnya setiap orang untuk menyandang profesi wartawan. Namun demikian, publik juga berhak untuk mengetahui informasi yang akurat dan benar. Demikian peraturan dewan pers menyatakan, diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Namun tulisan ini pula meyakini bahwa SKW pula diperlukan oleh wartawan itu sendiri guna Universitas Sumatera Utara 43 meminimalisir kesalahan maupun kerusakan yang tak perlu yang diakibatkan oleh kerja jurnalistik. Dengan memenuhi kecakapan minimal sebagaimana telah dirumuskan dari dalam insan pers sendiri, maka hasil kerja jurnalis yang memiliki dampak publik amat tinggi itu dapat diandalkan keahlian maupun keterandalannya. SKW memungkinkan seorang jurnalis memiliki pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang relevan dengan tugasnya sebagai jurnalis. B. Faktor Eksternal Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Wartawan Yang Sedang Menjalankan Tugas Profesi 1. Pelaku penganiayaan tidak memahami jurnalis adalah profesi yang dilindungi hukum dan konstitusi. Pasal 8 undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers mengungkapkan perlindungan hukum berupa jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Praktik impunitas bagi pembunuh dan pelaku kekerasan terhadap jurnalis membuat pelakunya, termasuk aparat hukum, tidak memahami bahwa profesi jurnalis di lindungi hukum dan konstitusi. Akibatnya kasus kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi.48 Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 bahwa adanya hak jawab dan hak koreksi yang dapat dijadikan langkah bagi 48 http://www.beritasatu.com/politik/46004‐aji‐hukum‐pelaku‐kekerasan‐terhadap‐ jurnalis.html diakses tanggal 12 Februari 2016. Universitas Sumatera Utara 44 masyarakat atau warga yang dirugikan oleh pemberitaan dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi. yakni hak untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan atas suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh wartawan, maka dari itu dalam memberitakan peristiwa dan opini harus menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta praduga tak bersalah, dan melayani hak jawab dan hak tolak sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 5 ayat (1),(2),(3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. 2. Wartawan yang Tidak Bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Wartawan memiliki etika profesinya sendiri, yaitu kode etik jurnalistik, secara sederhana kode etik jurnalistik ini mengisyaratkan tanggung jawab yang besar dikalangan wartawan, artinya wartawan yang bertanggung jawab adalah wartawan yang menggunakan kebebasan menyajikan berita untuk kepentingan masyarakat luas, tidak untuk kepentingan diri sendiri. Karena itu, cara yang dianggap konstruktif menggunakan kebebasan menyajikan berita adalah penggunaan kebebasan secara etis.49(Ana Nadhya Abrar, 1995:26) Kemerdekaan pers merupakan sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, untuk mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman masyarakat. Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak 49 Ana Nadhya Abrar, Mengurangi Permasalahan Jurnalisme, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 1995, hal 26. Universitas Sumatera Utara 45 masyarakat diperlukan suatu landasan moral/etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Menyandang gelar wartawan di masa depan diprioritaskan dedikasi dalam mengabdi mengemban tugas negara. Idealnya kaum jurnalis menjalankan fungsinya sepatutnya mengindahkan koridor-koridor elegan. “Wartawan itu sudah memiliki kebebasan pers, makanya harus dilengkapi rasa tanggung jawab, artinya kalau membuat berita harus berdasarkan fakta obyektivitas, lalu patuh pada standar dan etika jurnalistik.50 Tantangan dalam menjalankan jurnalistik kerap tersandung delik pers. Sekalipun perkembangan di awal reformasi cukup pesat, namun kebebasan pers juga diwarnai oleh inflasi media cetak yang wartawanya banyak mengabaikan prinsip dan ketentuan hukum dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik. Karena inilah, tidak sedikit pula media-media yang kurang profesional dalam menjalankan mandat jurnalistiknya justru merugi dan ‘gulung tikar’ dengan sendirinya. Selain itu, akibat jurnalisme yang kurang memenuhi kaidah kode etik, menyebabkan pula sejumlah kekerasan yang menimpa wartawan. Dalam konteks demikian, media-media yang bertahan merupakan media yang menjunjung tinggi profesionalisme pers dan pula media yang kuat secara politik dan ekonomi, karena dukungan elit pemodal yang mengembangkan bisnis melalui media cetak maupun siar. 50 http://www.beritaekspres.com/2015/06/15/sanksi‐pidana‐menghalangi‐pers‐dan‐ pentingnya‐jurnalis‐taati‐kode‐etik‐jurnalistik‐pers/(diakses tanggal 1 Maret 2016) Universitas Sumatera Utara 46 3. Perusahaan pers yang belum total dalam membela wartawan Wartawan adalah orang yang bekerja mencari segala informasi dan berita atau segala bentuk kegiatan jurnalistik yang diberikan kepada perusahaan pers agar berita yang disiarkan atau diberitakan mempunyai nama penerbit yaitu perusahaan pers, maka dari itu hak wartawan untuk mendapatkan pembelaan dan jaminan perlindungan hukum pertama kali diberikan oleh perusahaan pers yang mempekerjakan wartawan tersebut. Pada kenyataannya perusahaan pers banyak yang kurang memperdulikan nasib pembelaan hak kebebasan pers dalam menjalankan tugas profesi wartawan itu sendiri, dari tindak pidana kekerasan yang sering mereka alami dalam menjalankan tugas profesi. 51 51 Ibid Universitas Sumatera Utara BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARTAWAN DALAM MENJALANKAN TUGAS PROFESI A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Wartawan Dalam Menjalankan Tugas Profesi Beberapa dekade terakhir berkembang ide-ide perbuatan tanpa pidana, artinya tidak semua tindak pidana menurut undang-undang pidana dijatuhkan pidana, serentetan pendapat dan beberapa hasil penelitian menemukan bahwa pemidanaan tidak memiliki kemanfaatan ataupun tujuan, pemidaan tidak menjadikan lebih baik. Karena itulah perlunya sarana non penal diintensifkan dan diefektifkan, disamping beberapa alasan tersebut, juga masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktorfaktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisikondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB mengenai “The Prevention of 47 Crime and Treatment of Universitas Sumatera Utara 48 Offenders” ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan sebabsebab timbulnya kejahatan. 1. Upaya Penal Pengkajian mengenai perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan dikemukakan oleh Muladi dengan alasan-alasan sebagai berikut : 52 a. Proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian umum dan konkrit. Dalam arti umum, proses pemidanaan diartikan sebagai wewenang sesuai asas legalitas, yaitu poena dan crimen harus ditetapkan lebih dulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri pelaku tindak pidana. Dalam arti konkrit, proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pemidanaan melalui infrasruktur penitensier (hakim, petugas lembaga pemasyarakatan). Disini terkandung tuntutan moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis di lain pihak dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat sebagai “system of institusional trust” / sistem kepercayaan yang melembaga dan terpadu melalui norma yang diekspresikan dalam struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut, sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut masalah korban berfungsi sebagai sarana pengembalian terhadap sistem kepercayaan tersebut 52 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: UNDIP, 1997), hal. 176-177 Universitas Sumatera Utara 49 b. Adanya argumen kontrak sosial yaitu negara memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi, sehingga bila terjadi kejahatan dan membawa korban, dalam hal ini negara harus bertanggungjawab memperhatikan kebutuhan korban. Argumen solidaritas sosial, dimana negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warga negara mengalami kesulitan, melalui kerjasama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. c. Perlindungan korban kejahatan dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan yaitu menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan karena adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Hal ini juga diadopsi dalam Rancangan Konsep KUHP Nasional yang baru. Ada beberapa hal yang perlu dikembangkan dari hal-hal tersebut di atas, yaitu bahwa perlindungan terhadap korban diartikan sebagai apabila pelaku telah dipidana dan diproses. Padahal proses pemidanaan tidak hanya pada saat hakim mulai bekerja, namun mulai tingkat pemeriksaan di kepolisian proses pemidanaan tersebut telah imulai dan dalam hal ini korban terlibat di dalamnya. Oleh karena itu perwujudan perlindungan korban perlu ditekankan perhatian terhadap bagaimana bekerjanya proses peradilan pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari tingkat kepolisian. Apakah bekerjanya aparat penegak hukum tersebut justru menimbulkan “second victimization” terhadap korban. Universitas Sumatera Utara 50 Korban kejahatan hadir dalam proses peradilan pidana dengan dua kapasitas yang berbeda. Pertama, korban hadir sebagai saksi. Dalam hal ini korban memberikan kesaksian mengenai peristiwa yang pernah ia alami dalam rangka mengungkapkan kejahatan yang sedang dalam proses pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan. Kedua, korban hadir sebagai pihak yang dirugikan. Fungsi korban dalam hal ini adalah mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap pelaku tindak pidana yang telah menimbulkan kerugian atau penderitaan pada dirinya (korban). Upaya perlindungan korban melalui peradilan pidana selama ini belum terwujud atau terlaksana dengan baik. Masalah kejahatan selalu difokuskan pada apa yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana dan tidak memperhatikan apa yang dapat dilakukan untuk korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban adalah dengan menangkap pelaku tindak pidana dan seakanakan pelaku tindak pidana adalah satu-satunya sumber penderitaan bagi korban. Konsep modern social defence Marc Ancel diinterpretasikan sebagai “The prevention of crime and the treatment of offenders”. Dikemukakan oleh Marc Ancel bahwa konsekuensi dari konsep modern social defence adalah tujuan dari politik hukum pidana adalah ‘systematic resocialization of offenders’. Konsep ini berusaha menjaga hak-hak sebagai manusia dari pelaku tindak pidana, meskipun ia harus membayar kejahatan dengan hukumannya.53 Terlihat dari pendapat MarcAncel di atas, bahwa konsep perlindungan masyarakat diasumsikan sebagai pencegahan kejahatan dan pembinaan pelaku 53 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal 83. Universitas Sumatera Utara 51 tindak pidana, hal ini mengindifikasikan bahwa korban kurang mendapat perhatian dari konsep ini. Perlindungan korban hanya diartikan secara tidak langsung dengan pencegahan terjadinya kejahatan, yang seolah sudah tercapai bila pelakunya telah dipidana. Padahal dengan dijatuhinya pelaku dengan pidana seberat apapun, korban tetap menderita kerugian atas kejahatan yang dilakukan pelaku. Perlindungan korban menjadi teranulir dan limitatif dalam konsep ini dan tidak memberikan wawasan bagi upaya pencarian ‘acces to justice fair treatment to the victim’, maupun pemikiran terhadap kompensasi, restitusi maupun bantuan hukum Perspektif perlindungan korban sebagai unsur dalam kebijakan perlindungan masyarakat dicantumkan pula dalam hasil Konggres di Milan yang menyatakan bahwa korban tindak pidana berhak menjadi bagian integral dari sistem peradilan pidana. Oleh karena itu ditegaskan bahwa perhatian tehadap hakhak korban harus dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan kebijakan kriminal. 54 Praktek penegakan hukum pidana, korban diposisikan sebagai saksi (saksi korban) yang seringkali mengabaikan posisi korban sebagai pencari keadilan. Dalam persidangan, kedudukan/posisi korban diwakili penegak hukum, dimana reaksi terhadap pelaku tindak pidana menjadi hak penuh negara untuk diselesaikan. Dalam hal ini pelanggaran atas suatu hak (kepentingan hukum) seorang warga ditindak oleh negara karena pertama, pelanggaran tersebut dianggap sebagai ‘serangan’ terhadap masyarakat, kedua, tindakan negara tersebut dianggap sebagai reaksi negara terhadap kejahatan untuk mengambil alih 54 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 19-20 Universitas Sumatera Utara 52 kepentingan dan kebutuhan korban untuk memuaskan keinginan balas dendam. Tindakan negara ini seringkali tidak mengikut sertakan korban (dalam arti minta pendapat korban tentang pelanggaran haknya) untuk menentukan pengambilan keputusan badan penegak hukum. Pasal 98 KUHAP memberi kesempatan kepada korban untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam proses peradilan pidana, dimana ganti kerugian ini dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana. Penggabungan gugatan ganti kerugian alam perkara pidana akan memudahkan korban atau keluarganya karena tidak perlu mengajukan gugatan tersendiri. Gugatan ganti rugi ini tetap bersifat keperdataan walaupun diberikan melalui proses pidana. Di samping itu KUHAP tidak mengatur bagaimana bila pelaku tidak mau atau tidak mampu membayar ganti rugi tersebut kepada korban. Proses penggabungan perkara ganti kerugian ini pun bersifat fakultatif, dimana dalam Pasal 99 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa hakim dapat menolak atau menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh korban atau keluarganya. Pasal 99 ayat (1) KUHAP mengadakan pembatasan, dimana ganti kerugian yang diajukan ganti kerugian terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan korban atau ganti kerugian yang bersifat materiil, sedang kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat diterima. Kerugian immaterial tersebut harus diajukan dalam perkara perdata. Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi. Universitas Sumatera Utara 53 2. Upaya Non Penal Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers mengungkapkan perlindungan hukum berupa jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku Eksistensi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 berlandaskan legal formal kebebasan pers, belum seutuhnya menjamin perlindungan wartawan dalam menjalankan fungsi jurnalistiknya. Euforia politik & kebebasan, malah menggiring institusi-institusi pers dan organisasi-organisasi wartawan tak berfungsi optimal. Dalam situasi tidak kondusif setiap terjadi permasalahan, larilah ke hukum. Tetapi apakah hukum mampu memberikan perlindungan maksimal bagi insan jurnalis. Pasal 1 angka (11) dan angka (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 bahwa adanya hak jawab dan hak koreksi yang dapat dijadikan langkah bagi masyarakat atau warga yang dirugikan oleh pemberitaan dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi. yakni hak untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan atas suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh wartawan maka dari itu dalam memberitakan peristiwa dan opini harus menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta praduga tak bersalah, dan melayani hak jawab dan hak tolak sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Universitas Sumatera Utara 54 Sesuai dengan UU Pers, Pasal 18 menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Kalangan Pers hendaknya bersama-sama pro-aktif dalam memberikan informasi terkini tentang hal tersebut ke publik, agar aksi kekerasan yang menimpa insan pers tidak berulang terjadi. Menelisik faktor intern dalam menghindari delik pers, seyogyanya insan jurnalis pun harus kembali pada penegakan kode etik jurnalistik. Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya berusaha mentaati ketentuan kode etik, ketentuan hukum dan profesionalisme. Ketidakjelasan mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada wartawan membuat wartawan sering menjadi sasaran tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh sumber berita maupun yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung wartawan pada saat menjalankan tugas jurnalistiknya di lapangan. Selama ini yang aktif melakukan pembelaan apabila terjadi tindak kekerasan terhadap jurnalis ialah rekan-rekan seprofesi wartawan yang merasa senasib dan sependeritaan dengan rekan wartawan yang teraniaya. Para wartawan atau jurnalis segera beraksi dengan melakukan demo di depan instansi pelaku tindak penganiayaan terhadap rekannya. Beberapa Kutipan berita berikut ini adalah refleksi solidaritas rekan-rekan seprofesi wartawan dalam melakukan pembelaan atas tindak kekerasan terhadap wartawan. Universitas Sumatera Utara 55 Organisasi profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Dewan Pers termasuk yang pro-aktif menyikapi tindakan kekerasan terhadap wartawan, sebagaimana pernyataan-pernyataan yang segera dirilis oleh lembaga tersebut apabila terjadi tindak kekerasan terhadap wartawan. Sebaliknya organisasi perusahaan pers tempat wartawan bekerja ternyata kurang peduli atau terkesan sangat lamban dalam menyikapi terjadinya peristiwa kekerasan terhadap jurnalis. Biasanya kalau ada kekerasan terhadap wartawan, maka yang akan segera memberikan pernyataan pers adalah organisasi profesi wartawan seperti AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) atau PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), begitu juga LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers. Perusahaan persnya kemana? Kadang setelah enam bulan peristiwa berlalu, baru perusahaan pers ada pernyataan. Padahal, saat terjadinya kekerasan pada wartawan, perusahaan pers seharusnya berada di posisi paling depan untuk melindungi wartawannya. Padahal tanpa wartawan, maka perusahaan pers tidak akan menjadi lembaga sosial dan wahana komunikasi masa yang terpercaya dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan saluran lainnya. Wartawan bukan hanya melakukan peliputan, mencari atau melakukan wawancara semata, tetapi juga orang yang melakukan perencanaan (Koordinator Liputan), pengolah atau pengeditan (redaktur). Pemimpin redaksi juga disebut wartawan. Mereka sangat berharap Universitas Sumatera Utara 56 bahwa Undang-Undang Pers dapat menjadi sarana perlindungan bagi mereka dalam menjalankan profesi jurnalistik. Dengan demikian perlindungan hukum terhadap wartawan merupakan kewajiban Negara yang seharusnya dilaksanakan secara tegas oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia khususnya sesuai ketentuan hukum yang diatur dalam UU No.40 Tahun 1999 sebagai lex specialist derogate lex generalist. Bila perlu harus dilakukan revisi terhadap UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers disesuaikan dengan perkembangan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat Indonesia sekarang. Perlindungan terhadap wartawan secara eksplisit diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Namun ketentuan dalam Undang-undangini sepertinya bersifat represif (penindakan) tidak bersifat preventif (pencegahan), Seharusnya ada aturan pelaksanaan yang secara tegas memberikan jaminan perlindungan terhadap wartawan dalam arti yang preventif, yaitu yang dapat mencegah ataupun meminimalisir terjadinya tindak kekerasan atau pelanggaran hukum terhadap wartawan. Demikian juga Dewan Pers dalam Peraturan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan yang dikeluarkan bulan Desember 2012 ada 9 butir ketentuan tentang standard penanganan perlindungan wartawan, namun demikian selama tidak adanya sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran atau tindak kekerasan terhadap wartawan maka efektifitas perlindungan terhadap wartawan masih menjadi impian bagi insan-insan pers. Jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventif” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) Universitas Sumatera Utara 57 sebelum kejahatan terjadi. Upaya non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat (secara materiil dan immateriil) dari faktor - faktor kriminogen. B. Analisis Kasus Terhadap Putusan Nomor 315/PID/B/2011/PN.PMS 1. Kronologis Rusli Sarmauli Simbolon B.Sc selaku petugas di Kapolresta kota P. Siantar, memberitahukan kepada Briptu Rudianto selaku ajudan Kapolres (Fatori SIK) melaporkan kepada Kapolres P. Siantar (Fatori SIK) bahwa Andi Rianto SP (wartawan Trans Tv) selaku tahanan atas kasus penganiayaan anak dibawah umur menolak untuk dipindahkan dari kamar tahanan 4 ke kamar 2. Mendengar laporan ajudannya Fatori SIK langsung mendatangi Andi Rianto SP yang sedang berada di ruang olahraga tahanan Polresta P. Siantar dan langsung memanggil Andi Rianto SP serta menanyakan kepada Andi kenapa dia tidak mau dipindahkan ke kamar tahanan 2. Kemudian Andi berkata “Aku tidak mau”, sehingga dengan emosi tanpa mendengar alasan Andi lalu Fatori SIK langsung memukul bibir Andi Rianto SP dengan menggunakan sarung tinju sebelah kiri yang diambil nya dari narapidana yang sedang melakukan olahraga tinju di ruang olahraga tersebut. setelah memukul bibir Andi, kemudian Fatori memukul ke arah rusuk Andi sebanyak dua kali yang mengenai bagian perut nya. Akibat dari pukulan tersebut, Andi terbentur ke dinding ruangan olahraga tahanan hingga jatuh terduduk dan muntah-muntah akibatnya Andi mengalami bengkak pada kepala bagian belakang sebelah kanan sepanjang 1 cm x 0,5 cm x 0,5 cm dan luka lecet pada bibir bawah Universitas Sumatera Utara 58 bagian bawah selebar 0,2 cm x 0,3 cm sesuai Visum et Repertum Nomor 4702/VI/UPM/XII/2010 Tanggal 3 Desember 2010 atas nama Andi Rianto SP. 2. Dakwaan Atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 Ayat (1) KUHP. 3. Tuntutan Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pematang Siantar tanggal 4 Januari 2012 sebagai berikut: a. Menyatakan terdakwa Fatori SIK terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan” sebagaimana dalam Surat Dakwaan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP; b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Fatori SIK dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dengan perintah Terdakwa supaya ditahan; c. Menyatakan barang bukti berupa: - 1 (satu) pasang sarung tinju warna merah merek “Rocky”: Dirampas untuk dimusnahkan; d. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah); 4. Pertimbangan Hakim Universitas Sumatera Utara 59 Bahwa sebelum menjatuhkan putusan terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan ; Hal-hal yang memberatkan : Terdakwa sebagai Pimpinan tertinggi di Polresta Pematang Siantar seyogianya mengayomi dan memberi contoh yang baik dengan cara menghindari perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Hal-hal yang meringankan : a. Terdakwa sopan dipersidangan. b. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya serta menyesalinya. c. Terdakwa dan saksi korban dipersidangan telah saling memaafkan. d. Terdakwa belum pernah dihukum. Putusan Pengadilan Negeri P. Siantar Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor: 315/PID/B/2011/PN.PMS, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana penjara selama 8 bulan dengan perintah supaya terdakwa ditahan. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 226/PID/2012/PT/MDN, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan perintah pidana tersebut tidak perlu dijalani dijalani oleh terdakwa, kecuali sebelum lewat masa percobaan selama 8 (delapan) bulan terdakwa atas putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana. Putusan Mahkamah Universitas Sumatera Utara 60 Memperhatikan Pasal 351 ayat (1) KUHP, serta peraturan lain yang berhubungan dengan perkara ini; a. Menyatakan bahwa Terdakwa FATORI SIK, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENGANIAYAAN”; b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa FATORI SIK, dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan; c. Menyatakan barang bukti berupa: - 1 (satu) pasang sarung tinju warna merah merek “Rocky”. Dirampas untuk dimusnahkan. d. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). 5. Analisis Kasus a. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor: 315/PID/B/2011/PN.PMS, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana penjara selama 8 bulan dengan perintah supaya terdakwa ditahan. b. Berdasarkan Medan Nomor: putusan 226/PID/2012/PT/MDN, Pengadilan terdakwa FATORI Tinggi SIK dijatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan perintah pidana tersebut tidak perlu dijalani dijalani oleh terdakwa, kecuali sebelum lewat masa percobaan selama 8 (delapan) bulan terdakwa atas putusan hakim Universitas Sumatera Utara 61 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana. c. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor: 1992 K/Pid/2012, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana kepada Terdakwa FATORI SIK dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan. Menurut penulis, hukuman yang dijatuhkan dari awal banding sampai kasasi sudah pantas diterima oleh Fatori SIK. Karena terdakwa mengakui dan menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan nya, serta terdakwa juga dicopot jabatan nya sebagai Kapolresta Pematang Siantar dan di mutasikan di Polda Sumatera Utara dengan tidak ada jabatan lagi. Hal ini lah yang menjadi pertimbangan penulis untuk mengatakan hukuman pidana penjara 2 (dua) bulan sudah pantas untuk terdakwa Fatori SIK. Karena pasti atas kejadian tersebut, Fatori akan bisa berfikir dua kali sebelum melakukan tindak pidana kekerasan atau tindak pidana lainnya mengingat terdakwa adalah Polisi yang tugasnya sebagai pelindung dan panutan masyarakat bukan sebagai pelaku tindak pidana. Unsur Barang Siapa Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “barangsiapa” adalah siapa saja yang berkedudukan sebagai subyek hukum pendukung hak dan kewajiban dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya; Menimbang bahwa dalam perkara ini yang disangka atau diduga sebagai pelaku adalah terdakwa FATORI,SIK yang identitas lengkap telah dinyatakan Universitas Sumatera Utara 62 oleh Majelis Hakim dan ternyata sama dengan identitas terdakwa yang termuat dalam surat dakwaan oleh karenanya unsur barang siapa telah terpenuhinya; Unsur Melakukan Penganiayaan Menimbang, banhwa Undang-Undang tidak memberi pengertian atau penjelasan apa yang dimaksud dengan penganiayaan, namun Menurut Yurisprudensi Penganiayaan diartikan dengan “ sengaja menyebabkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit atau luka”. Menimbang, bahwa menurut Memorie van Teolichting kata “Dengan Sengaja” (opzettelijk) 9 kata ini terdapat dalam banyak Pasala-Pasal KUHPidana) adalah sama dengan willens en wetens” artinya dikehendaki dan diketahui; Menimbang, bahwa apakah dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit atau luka ada pada diri terdakwa dalam hal ini terhadap saksi korban Andi rianto siahaan? Majelis akan mempertimbangkan sebagai berikut: Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap dipersidangan, berawal dari perintah terdakwa kepada Briptu Rudianto (ajudannya) pada tanggal 29 Nopember 2010 agar tahanan bernama andi irianto siahaan di pindahkan ke ruangan 2, lalu perintah tersebut diteruskan kepada Kasat Tahanan dan Barang Bukti (Tahti) saksi Rusli Sarmauli Simbolon kemudian saksi Rusli Sarmauli Simbolon menyampaikan kepada korban agar nanti pindah ruangna ke ruang 2, namun korban tidak mau pindah. Universitas Sumatera Utara 63 Menimbang, bahwa besok harinya sekitar pukul 16.00 WIB ketika para tahanan sedang olah raga sore, Briptu Rudianto menjumpai Rusli Sarmauli Simbolon lagi dan mengatakan “ kenapa andi Irianto Siahaan belum dipindahkan?” “perintah Bapak Kapolres harus dilaksanakan”, lalu saksi Rusli Sarmauli Simbolon menyuruh tahanan untuk mengangkati sebagian alat-alat pengendalian massa (Dalmas) yang ada di ruangan kamar 2, dan mengatakan kepada korban (Andi Irianto) bahwa setelah selesai olahraga sore, pindah keruangan tahanan 2, namun korban tidak tidak mau dengan mengatakan “saya tidak mau, mengapa saya harus pindah?, kemudian saksi Rusli Sarmauli Simbolon menjumpai Briptu Rudianto dan mengatakan bahwa Andi Irianto tidak mau pindah ruangan; Menimbang, bahwa tidak berapa lama kemudian terdakwa turun dari ruangan kerjanya dan langsung menuju ruangan olahraga dan mengatakan “mana orangnya yang tidak mau pindah” lalu saksi Rusli Sarmauli Simbolon menunjuk ke arah korban, kemudian terdakwa langsung meninju saksi korban dan mengenai bibir sebelah bawah dan selanjutnya meminta sarung tinju dari saksi Marupa Sotarduga Siahaan dan memakainya ditangan sebelah kiri kemudian langsung meninju korban beberapa kali dengan menggunakan kedua tangannya sambil mendorong tubuh korban ke dinding dan korban pun terduduk di lantai, dalam keadaan emosi terdakwa mengucapkan kata-kata kepada korban “disini ada atura, ikuti aturan disini, bukan kau yang mengatur disini, makanya kau jangan bikin masalah diluar sana yah, saya yang berkuasa disini biar tau kau, jangan macammacam kau ya”, kemudian terdakwa memukul karung apsir dan baerkata : “ ini Universitas Sumatera Utara 64 baru uppercut, saya pernah ikut polda tinju” dan terdakwa pun keluar meninggalkan ruang olah raga tahanan; Menimbang, bahwa setelah kejadian tersebut kemudian terdakwa memerintah polisi jaga untuk memanggil dokter agar korban diperiksa, dan dokter Saiden Saragih didampingi oleh perawat Anita Br Turnip melakukan pemeriksaan terhadap korban dimana tekanan darah koraban normal, namun korban mengatakan perut dan kepalanya sakit, dan ketika perut korban mau diperiksa dengan cara menekan perutnya, korban mengatakan “jangan-jangan sakit”, lalu dokter mau menyuntik korban untuk menghilangkan rasa sakit akan tetapi korban tidak mau. Menimbang, bahwa dari tindakan terdakwa yang memerintah polisi jaga agar menyuruh dokter untuk memeriksa saksi korban, adalah suatu tindakan yang dapat dimaknai bahwa terdakwa telah menyadari perbuatannya yaitu akibat pukulannya tersebut akan menyebabkan rasa sakit yang memerlukan pengobatan medis. Menimbang, bahwa ternyata tiga hari setelah terdakwa memukul saksi korban yaitu pada tanggal 2 Desember 2011, saksi korban akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah untuk di visum, dan hasil Visum et repertum No. 4702/VI/UPM/VER/XII/2010, yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. Juliana K.R Saragih, dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Kota Pematang Siantar adalah sebagai berikut : Hasil pemeriksaan : Universitas Sumatera Utara 65 - Bengkak pada kepala bagian belakang sebelah kanan kira 1 cm x 0,5 cm x 0,5 cm - Luka lecet pada bibir bawah bagian dalam kira-kira 0,2 cm x 0,3 cm Kesimpulan : Perubahan-perubahan pada tubuh korban disebabkan oleh karena adanya luka paksa tumpul Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut diatas, maka unsur dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit atau luka telah terpenuhi pula; Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan pembelaan terdakwa dan Penasehat Hukum terdakwa yang pada pokoknya memohon agar Majelis yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan bahwa terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan dengan alasan sebagai berikut : Pembelaan Terdakwa Intinya: 1. Bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak memenuhi unsur Pasal 351 (1) KUHP 2. Bahwa tuntutan Jaksa hanya berdasarkan keterangan 1 (satu) orang saja dan visum dilakukan setelah 3 hari kejadian 3. Bahwa tuntutan Jaksa hanya berdasarkan kepentingan sepihak diluar hukum, baik dari tekanan dari pejabat atas ataupun media yang seolah-olah membenarkan keterangan korban Universitas Sumatera Utara 66 4. Bahwa perbuatan terdakwa dilakukan terhadap orang yang telah melakukan berapa kali pidana, dan tidak punya sopan santun terhadap pejabat negara, menekan pimpinan. Pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa Intinya: 1. Bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak mencantumkan secara lengkap keterangan saksi dan fakta. Saksi Dr. Saiden Saragih yang diberikan dibawah sumpah. 2. Bahwa saksi Marupa Sotarduga Siahaan telah dnyatakan keterangannya dipenyidikan di cabut 3. Bahwa yang perlu dibuktikan bukan hanya akibat yang dirasakan namun harus dibuktikan juga apa yang menimbulkan rasa sakit atau cedera tersebut. 4. Bahwa yang melihat terdakwa meninju bibir korban hanyalah saksi Suarto dan Roy Pratama Nainggolan, dan keterangan tersebut sangatlah subjektif mengingat kedua saksi tersebut adalah rekan saksi korban sesama tahana sel Polres 5. Bahwa visum dilakukan setelah 3 (tiga) hari kejadian dan tidak menutup kemungkinan seseorang melakukan berbagai hal termasuk melukai diri sendiri dengan tujuan tertentu. 6. Bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa haruslah didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti dan keyakinan, dan dari fakta dipersidangan terdakwa tidak melakukan penganiayaan berhubung pukulan yang dilakukan Universitas Sumatera Utara 67 terdakwa hanya pada bagian lengan tidak menimbulkan rasa sakit, atau menyebabkan cedera. Menimbang, bahwa terhadap pembelaan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa Majelis Hakim akan mempertimbangkan sekaligus sebagai berikut: Menimbang, bahwa tuntutan Jaksa tidak memenuhi unsur Pasal 351 ayat (1) KUHP, hal ini tidak perlu dipertimbangkan lagi, karena telah diuraikan dalam pertimbangan unsur diatas, dan telah pula terpenuhi; Menimbang, bahwa tuntutan Jaksa hanya berdasarkan keterangan satu orang saja, dan visum dilakukan setelah 3 hari dari kejadian. Menimbang, bahwa dari semua keterangan saksi-saksi yang disengar dipersidangan bahwa ketika terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban saksi-saksi mana melihat secara langsung peristiwa tersebut dan visum yang dilakukan terhadap saksi korban dilakukan 3 hari kemudian, hal tersebut dilakukan karena saksi korban berada dalam sel dan tentunya untuk dapat keluar dari sel harus memenuhi beberapa syarat yang membutuhkan waktu, dan dari hasil visum menunjukkan bahwa bengkak pada kepala dan luka lecet pada bibir adalah bersesuaian dengan keterangan saks-saksi yang melihat langsung peristiwa tersebut oleh karenanya visum tersebut dapat diterima; Menimbang, bahwa Tuntutan Jaksa hanya berdasarkan kepentingan sepihak diluar hukum, berdasarkan tekanan dari Pejabat atas ataupun media yang seolah-olah membenarkan keterangan korban; Menimbang, bahwa selama persidangan berlangsung tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa ada pengaruh media atau orang lain dalam perkara ini ; Universitas Sumatera Utara 68 Menimbang, bahwa terdakwa melakukan perbuatan terhadap orang yang telah melakukan beberapa kali pidana dan orang tersebut tidak memiliki sopan santun terhadap pejabat negara; Menimbang, bahwa terdakwa melakukan perbuatannya yaitu dengan cara memukul saksi korban dengan alasan saksi korban yang telah melakukan beberapa kali perbuatan pidana, alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena tindakan terdakwa dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan perbuatan saksi korban yang di tahan di dalam sel, dan dalam fakta jelas terlihat, bahwa terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban adalah karena saksi korban tidak melaksanakan perintahnya yaitu pindah ruangan; Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Penasihat Hukum terdakwa hal tersebut telah di pertimbangkan sekaligus kecuali yang menyatakan bahwa dari fakta dipersidangan terdakwa tidak melakukan penganiayaan berhubung pukulan yang dilakukan terdakwa hanya pada bagian lengan tidak menimbulkan rasa sakit atau menyebabkan cedera. Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap dipersidangan bahwa yang dituju oleh terdakwa bukanlah lengan saku korban dan dalam pertimbangan unsur-unsur sudah lengkap diuraikan dibagian mana yang dipukul oleh terdakwa dan telah pula di nyatakan dalam visum et repertum atau nama saksi korban Andi Irianto Siahaan; Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut diatas, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa pembelaan terdakwa dan Penasihat Hukum terdakwa tidak beralasan dan haruslah ditolak; Universitas Sumatera Utara 69 Menimbang, bahwa dari uraian tersebut diatas, maka Majelis berkesimpulan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi dakwaan Jaksa Penuntut Umum; Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah trpenuhi maka terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka pengadilan akan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang dirasa pantas dan adil sesuai dengan perbuatannya; Menimbang, bahwa selama persidangan berlangsung tidak ditemukan alasan yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa atau alasan pema’af maka terdakwa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya; Menimbang, bahwa Jaksa Penuntut Umum yang menuntut agar terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 8 (delapan) bulan dengan perintah supaya terdakwa ditahan, Majelis Hakim tidak sependapat, karena hukuman yang demikian terhadap terdakwa sangat berat mengingat, akibat perbuatannya tersebut terdakwa telah mendapat sanksi kedinasan berupa mutasi dan demosi dan pemukulan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi korban Andi Irianto Siahaan tidak terjadi dengan tiba-tiba, tetapi mempunyai kaitan dengan perintah terdakwa selaku pimpinan di Ploresta yang memerintahkan saksi korban dipindahkan ruangannya, namun saksi korban tidak mau dan bahkan sebelumnya saksi korban pernah mengucapkan kata-kata tidak pantas terhadap terdakwa di depan anggota Universitas Sumatera Utara 70 polisi lainnya dimana saksi korban berkata “ini muka Fatori” sambil meninju karung pasir, yang juga memicu emosi terdakwa; Menimbang, bahwa dihubungkan pula dengan tujuan pemidanaan adalah bukan merupakan suatu balas dendam melainkan untuk membuat seseorang menjadi jera atau tidak melakukannya lagi; Menimbang, bahwa oleh karena tujuan pemidanaan bukan semata-mata balas dendam, namun untuk pembelajaran dan untuk memberikan efek jera, maka hukuman yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa nantinya, Majelis berpendapat sudah adil dan pantas untuk kesalahan terdakwa; Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum agar terdakwa segera ditahan, Majelis Hakim juga tidak sependapat, mengingat selama persidangan berlangsung terdakwa sangat proaktif dan tidak ada menunjukkan perilaku yang dapat menghambat persidangan dan Majelis Hakim pula meyakini bahwa tugas dan jabatan terdakwa menjadi jaminan untuk melarikan diri; Menimbang, bahwa mengenai barang bukti yang diajukan dalam persidangan ini yaitu 2 (dua) buah sarung tinju, karena barang bukti tersebut dipergunakan terdakwa untuk melakukan kejahatan maka terhadap barang bukti tersebut Majelis Hakim berpendapat akan dirampas untuk dimusnahkan; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah serta akan dijatuhi pidana maka sebagaimana diatur dalam Pasal 222 KUHAP, kepadanya pula dibebankan untuk membayar biaya perkara; Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan; Universitas Sumatera Utara 71 Hal-hal yang memberatkan Terdakwa sebagai pimpinan tertinggi di Polresta Siantar seyogianya mengayomi dan memberi contoh yang baik dengan menghindari perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Hal-hal yang meringankan 1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya serta menyesalinya. 2. Terdakwa dan saksi korban dipersidangan telah saling memaafkan 3. Terdakwa belum pernah dihukum Setelah membaca kronologis dari kasus tersebut penulis berkesimpulan bahwa kasus yang dialami oleh Andi dan Fatori berdasarkan isu yang berkembang dikarenakan profesi dari Andi sebagai wartawan. Sehingga membuat Fatori langsung cepat emosi dan geram karena dari sikap Andi yang langsung menolak dipindahkan keruangan kamar tahanan dan langsung memukulnya dengan menggunakan sarung tinju Rocky di tangan sebelah kirinya. Kenyataan yang sering terjadi, memang benar bahwa wartawan sering menerbitkan pemberitaan yang berlebihan dari fakta kasus yang terjadi. Sehingga wartawan sering menjadi sasaran pemukulan dan penganiayaan oleh orang-orang yang merasa terganggu atas aib mereka yang ditulis secara berlebihan bahkan tidak jarang dipalsukan pemberitaan tentang mereka. Tetapi, bukan berarti semua wartawan melakukan hal yang seperti itu. Tergantung dari masing-masing pihak wartawan itu sendiri, apakah dia menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik jurnalistik atau tidak. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan hukum terhadap wartawan dari tindak pidana kekerasan dalam menjalankan tugas profesi: a. Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun c. Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum 2. Faktor penyebab terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas profesi, yaitu : a. Faktor internal 72 Universitas Sumatera Utara 73 1) Lemahnya Regulasi 2) Perubahan peraturan perundang-undangan 3) Ketidakprofesionalan wartawan 4) Standar kompetensi wartawan terhadap perubahan undang-undang pers b. Faktor eksternal 1) Pelaku Penganiayaan Tidak Memahami Jurnalis adalah Profesi yang Dilindungi Hukum dan Konstitusi. 2) Wartawan yang tidak bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 3) Perusahaan pers yang belum total dalam membela wartawan 3. Kebijakan hukum pidana terhadap wartawan dalam menjalankan tugas profesi, yaitu : a. Penal Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application). b. Non Penal Jalur non penal yaitu dilakukan dengan cara, yaitu : 1) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administratif dan sanksi pidana serta perdata. Universitas Sumatera Utara 74 2) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment) B. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat disarankan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap wartawan yang mengalami kekerasan dalam melakukan kegiatan jurnalistik, sebagai berikut: 1. Penegak hukum lebih tegas dalam menerapkan Undang-Undang nomor 40 Tahun 1999, khususnya Pasal 4 dan Pasal 8 yang berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum terhadap wartawan, khususnya dalam hal kekerasan. Perlunya ada revisi Pasal 18 ayat (1) tentang ketentuan pidana yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) seharusnya lebih diperberat karena terkadang dibeberapa kasus kekerasan yang terjadi menimbulkan kerugian yang sangat besar dan agar dapat memberi efek jera kepada pelaku kekerasan terhadap wartawan dan perlu adanya revisi pada penjelasan Pasal 18 ayat (1) yaitu untuk kriteria tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kegiatan jurnalistik. 2. Kebebasan pers yang bertanggungjawab harus diterapkan secara nyata karena kebebasan tersebut telah dilindungi oleh Undang-Undang maka para jurnalis dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus mendapatkan perlindungan yang telah diatur didalam Undang-Undang tersebut sehingga tidak terjadi lagi kekerasan terhadap wartawan. Universitas Sumatera Utara 75 3. Perlu adanya dukungan dan kerjasama dengan pemerintah, warga masyarakat, dan aparat penegak hukum untuk mengindari terjadinya kekerasan terhadap wartawan sehingga wartawan dalam menjalankan tugas dapat berjalan sebagaimana mestinya. Universitas Sumatera Utara