metoda pengolahan data keandalan komponen - Digilib

advertisement
Siti Nurhayati, Ali Rahayu
ISSN 0216 - 3128
185
POTENSI TEKNIK NUKLIR DALAM PENGENDALIAN
NYAMUK Aedes aegypti SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT
DEMAM BERDARAH DENGUE
Siti Nurhayati
Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN
Ali Rahayu
Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi – BATAN
ABSTRAK
POTENSI TEKNIK NUKLIR DALAM PENGENDALIAN NYAMUK Aedes aegypti SEBAGAI VEKTOR
PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD). Pengendalian nyamuk A. aegypti sebagai vektor
penyakit DBD dapat dilakukan dengan Teknik Serangga Mandul (TSM). Penelitian ini bertujuan untuk
melakukan pengendalian vektor DBD menggunakan teknik nuklir dengan radiasi gamma. Irradiasi
dilakukan dengan variasi dosis terhadap berbagai stadium perkembangan nyamuk. Sebanyak 200 telur
umur sehari, 100 jentik instar tiga atau empat dan 100 pupa umur nol hari masing-masing diiradiasi sinar
gamma 60Co dengan dosis 0, 65, 70, 75, 80 dan 85 Gy dengan laju dosis 1.369,77 Gy/jam. Semua stadium
nyamuk tersebut kemudian dipelihara dan diamati perkembangannya di laboratorium. Dari hasil
pengamatan diketahui bahwa pasca irradiasi stadium telur dan jentik tidak dapat berkembang ke stadium
berikutnya, sedangkan stadium pupa dapat diamati perkembangannya lebih lanjut. Dosis 65 Gy pada
stadium pupa dapat memandulkan 98,53% populasi nyamuk dan dosis 70 Gy kemandulannya mencapai
100%. Teknik penggunaan radiasi gamma sangat berpotensi untuk pengendalian nyamuk, namun demikian
masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut seperti daya saing kawin nyamuk pasca irradiasi dan
bionomik vektor menggunakan senyawa bertanda.
ABSTRACT
POTENTION OF NUCLEAR TECHNIQUE FOR CONTROLLING Aedes aegypti MOSQUETO AS
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) VECTOR. Controlling Aedes aegypti as vector of Dengue
hemorrhagic fever (DHF) can be carried out by sterile insect technique. This research aimed to control
DBD vector with nuclear technique using gamma radiation. Irradiation was done with dose variations to
several stadiums of mosquito development. Each of a number of 200 eggs with the age of 1 day, 100 larvas
of third or fourth instars and 100 of pupa with the age of 0 day was irradiated with gamma rays of 60Co at
doses of 0, 65, 70, 75, 80 and 85 Gy with the dose rate of 1,369.77 Gy/hour. The development cycles of all
stadiums were maintained and observed in laboratory. It was known that the egg and larva stadiums were
failed to develop to the next stadium, whereas the pupa could develop to the next stadium. The dose of 65 Gy
given to pupa could sterilize 98.0% of mosquito population and dose of 70 Gy could sterilize up to 100%.
The utilization of nuclear technique with gamma radiation is very potential for controlling mosquito, but it
needs a further research such as mating competition of post irradiated mosquito and the bionomic of vector
using labeled compound.
I. PENDAHULUAN
P
enyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia yang belum dapat terpecahkan karena
morbiditas yang tinggi dan penyebaran yang
semakin luas. Pengobatan spesifik terhadap DBD
sampai saat ini belum ada sehingga pemberantasan
salah
satunya
dapat
dilakukan
dengan
mengendalikan vektornya. Pemberantasan nyamuk
vektor DBD
dilakukan dengan menggunakan
insektisida temefos 1% untuk stadium larva dan
pengasapan (fogging) dengan malation 4% untuk
nyamuk dewasa. Selain cara tersebut, telah
dilakukan program Pemberantasan sarang Nyamuk
secara lebih intensif dengan 3M (menguras, menutup
dan mengubur). Upaya ini belum memberikan hasil
yang baik karena jumlah kasus DBD tetap tinggi dan
wilayah yang terjangkit semakin luas. Berdasarkan
penelitian, jenis nyamuk yang paling berperan
sebagai vektor dalam penularan penyakit ini adalah
Aedes aegypti yang hidup di dalam dan sekitar
rumah [1].
Aedes aegypti adalah nyamuk dengan
ukuran tubuh kecil, berwarna hitam dan berbintikbintik putih.Penyebaran nyamuk ini hampir di
Prosiding PPI - PDIPTN 2006
Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN
Yogyakarta, 10 Juli 2006
186
ISSN 0216 - 3128
seluruh wilayah Indonesia, kecuali di daerah dengan
ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan
laut. Nyamuk betina biasanya terinfeksi virus dengue
pada saat menghisap darah orang yang sedang dalam
fase demam akut. Setelah melalui periode inkubasi
ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar ludah
nyamuk tersebut akan terinfeksi virus dengue yang
akan ditularkan lagi ketika nyamuk tersebut
menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke
dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa
inkubasi dalam tubuh manusia selama 3-14 hari
(rerata 4-6 hari) akan timbul gejala awal penyakit
DBD berupa demam, pusing, nyeri otot, hilang nafsu
makan, dan berbagai tanda atau gejala non spesifik
seperti mual, muntah dan ruam pada kulit [2].
Di Indonesia, jumlah penderita DBD
cenderung meningkat dan menyebar luas. Penyakit
ini pertama kali berjangkit di Jakarta dan Surabaya
pada tahun 1968. Dua puluh tahun kemudian, DBD
telah berjangkit di 201 Dati II di seluruh Indonesia.
Data terakhir menyebutkan bahwa tinggal
seperempat bagian wilayah Indonesia yang belum
terkena DBD. Peningkatan jumlah penderita terjadi
secara periodik tiap lima tahun, bahkan beberapa
kali menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB)
dimana jumlah pasien yang terkena sangat banyak,
baik di perkotaan maupun pelosok pedesaan dengan
angka kematian mencapai 2-4%. Meskipun saat ini
angka kematian akibat DBD menunjukkan
penurunan, namun angka kesakitan (morbiditas) dan
sebarannya masih tinggi [3-5].
Pengendalian
vektor
dengan
cara
konvensional menggunakan insektisida diketahui
kurang efektif karena dapat mengakibatkan matinya
flora maupun fauna non target, serta timbulnya
pencemaran lingkungan dan resistensi terhadap
insektisida, bahkan sering terjadi resistensi silang
(cross resistance), yang mengurangi efektivitas
pengendalian. Karena upaya pengendalian DBD
belum memberikan hasil yang memadai, maka
diperlukan cara lain untuk membantu pemberantasan
vektor DBD, antara lain dengan Teknik Serangga
Mandul (TSM) [6-8].
Pelaksanaan TSM dapat dilakukan dengan 2
metoda yaitu metoda yang meliputi pembiakan
massal di laboratorium, pemandulan dan pelepasan
serangga mandul ke lapangan dan metoda
pemandulan langsung terhadap serangga di
lapangan. Pada metoda pertama, jika ke dalam suatu
populasi serangga di lapangan dilepaskan serangga
mandul, maka kemampuan populasi tersebut untuk
berkembang biak akan menurun. Apabila nilai
kemandulan serangga radiasi mencapai 100% dan
daya saing kawinnya mencapai nilai 1,0 (sama
dengan jantan normal) dan jumlah serangga radiasi
yang dilepas sama dengan jumlah serangga normal
Siti Nurhayati, Ali Rahayu
(perbandingan 1:1), maka kemampuan berkembang
biak populasi tersebut akan turun sebesar 50%. Jika
perbandingan tersebut dinaikkan menjadi 9:1
(jumlah serangga radiasi yang dilepas 9 kali dari
jumlah serangga lapangan), maka kemampuan
populasi tersebut untuk berkembang biak akan turun
sebesar 90%. Metoda kedua, yaitu metoda tanpa
pelepasan serangga yang dimandulkan. Metoda ini
dilaksanakan dengan prinsip pemandulan langsung
terhadap serangga lapangan yang dapat dilakukan
dengan menggunakan senyawa kemosterilan, baik
pada jantan maupun betina. Dengan metoda kedua
ini akan diperoleh dua macam pengaruh terhadap
kemampuan kembangbiak populasi serangga. Kedua
pengaruh tersebut adalah mandulnya sebagian
serangga lapangan sebagai akibat langsung dari
kemosterilan dan pengaruh berikutnya dari serangga
yang telah mandul terhadap serangga sisanya yang
masih fertil. Kemosterilan merupakan senyawa
kimia yang bersifat mutagenik dan karsinogenik
pada hewan maupun manusia sehingga teknologi ini
tidak direkomendasikan untuk pengendalian vektor
[9,10]
.
Prinsip dasar TSM adalah penggunaan radiasi
ionisasi untuk pengendalian serangga, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Cara langsung
biasa disebut Teknik Disinfestasi Radiasi (TDR)
yang sering digunakan untuk memberantas serangga
gudang yang merusak komodite dalam penyimpanan
di gudang, sedang cara tidak langsung yaitu radiasi
digunakan untuk memandulkan baik serangga jantan
maupun betina untuk kemudian dilepaskan ke
lapangan agar kawin dengan serangga normal di
lapangan, yang dikenal dengan TSM. Ini merupakan
teknik pengendalian vektor yang potensial, ramah
lingkungan, efektif, spesies spesifik dan kompartibel
dengan teknik lain. Prinsip dasar TSM sangat
sederhana, yaitu membunuh serangga dengan
serangga itu sendiri (autocidal technique). Teknik
ini meliputi iradiasi terhadap koloni nyamuk vektor
pada berbagai stadium dan kemudian secara periodik
dilepas ke lapangan sehingga tingkat kebolehjadian
perkawinan antara serangga mandul dan serangga
fertil menjadi makin besar dari generasi pertama ke
generasi berikutnya. Hal ini
berakibat makin
menurunnya prosentase fertilitas populasi serangga
di lapangan yang secara teoritis terjadi pada generasi
ke-4 atau ke-5 yaitu titik terendah dimana populasi
serangga menjadi nol. Gejala kemandulan akibat
radiasi pada nyamuk jantan disebabkan karena
terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal
dominan dan ketidakmampuan kawin [11].
Dalam makalah ini disajikan hasil penelitian
mengenai pengaruh berbagai dosis iradiasi sinar
gamma untuk memandulkan nyamuk Aedes aegypti
Prosiding PPI - PDIPTN 2005
Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN
Yogyakarta, 10 Juli 2006
Siti Nurhayati, Ali Rahayu
187
ISSN 0216 - 3128
sebagai vektor penyakit DBD, sehingga rantai
perkembangan penyakit ini dapat diputus.
TATA KERJA
Rearing (Pemeliharaan nyamuk)
Rearing nyamuk dilakukan di laboratorium
Bidang Biomedika, Pusat Teknologi Keselamatan
dan Metrologi Radiasi – BATAN Pasar Jum’at.
Nyamuk Aedes aegypti dalam perkembangbiakannya
mengalami metamorfose sempurna, mulai dari
stadium telur, jentik, pupa dan dewasa. Stadium
telur, jentik dan pupa hidup di dalam air, sedangkan
stadium dewasa hidup beterbangan. Sebelum
dilakukan irradiasi, disiapkan setiap stadium
perkembangan nyamuk dengan jumlah sesuai
kebutuhan untuk diiradiasi.
Irradiasi
Masing-masing sampel ditempatkan dalam
wadah plastik berukuran tinggi 7 cm dan diameter 4
cm yang berisi 20 ml air. Secara terpisah, irradiasi
dilakukan terhadap 200 butir telur berumur kurang
lebih satu hari, 100 ekor jentik instar tiga atau
empat, dan 100 ekor pupa umur nol hari
menggunakan irradiator Gamma Cell-220 dosis 0,
65, 70, 75, 80 dan 85 Gy dengan laju dosis
1.369,77 Gy/jam.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap setiap
stadium nyamuk sampai 25 hari pasca iradiasi yakni
perkembangan, persentase penetasan telur dan
pemeriksaan embrio telur. Sebanyak 10 ekor
nyamuk jantan dan betina yang terbentuk pada awal
pasca irradiasi dikawinkan dengan nyamuk normal
(tidak diiradiasi) yang berasal dari stok untuk
diamati jumlah telur yang dihasilkan, persentase
penetasan telur menjadi jentik/tingkat sterilitas
akibat radiasi dan pemeriksaan embrio terhadap telur
yang tidak menetas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini telah dikembangkan
metoda pemandulan vektor DBD menggunakan
teknik nuklir. Pemandulan ini dapat dilakukan
dengan sinar gamma, sinar X atau berkas neutron,
namun dari ketiga sinar tersebut yang umum
digunakan adalah sinar gamma seperti yang
dilakukan dalam penelitian ini [6]. Untuk
mendapatkan vektor mandul, iradiasi dapat
dilakukan pada stadium telur, larva, pupa atau
dewasa. Namun demikian untuk lebih praktis dan
efektif, harus dipilih stadium yang paling tepat untuk
diiradiasi. Radiasi yang paling umum dilakukan
adalah pada stadium pupa yang merupakan stadium
perkembangan
dimana
terjadi
transformasi/perkembangan organ muda menjadi
organ dewasa [7]. Pada stadium ini umumnya
spermatogenesis dan oogenesis sedang berlangsung,
sehingga dengan radiasi dosis rendah sudah dapat
menimbulkan kemandulan. Umur pupa pada saat
diradiasi memiliki kepekaan terhadap radiasi yang
berbeda-beda, semakin tua, kepekaannya terhadap
radiasi semakin menurun
Pada penelitian ini ternyata irradiasi pada
stadium pupa juga diperoleh data yang paling baik.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa paparan
radiasi pada stadium telur dan jentik tidak
memberikan data yang baik karena tidak ada yang
berkembang ke stadium lebih lanjut pasca irradiasi.
Pada stadium pupa hasil yang diperoleh cukup baik,
karena bisa diamati perkembangannya. Dilakukan
juga pengamatan ada tidaknya embrio dalam telur
yang tidak menetas dengan cara membelah telur
untuk mengetahui prosentase kemandulan. Jika
didalam telur terdapat embrio maka telur dianggap
fertil dan jika kosong telur dianggap steril
Sepuluh ekor nyamuk yang terbentuk paling
awal setelah irradiasi pada pupa dikawinkan dengan
nyamuk stok yang tidak diiradiasi. Dilakukan
pengamatan F1 terhadap jumlah telur, jentik, pupa
dan nyamuk dewasa yang terbentuk (Tabel 1).
Tabel 1. Persentase jentik yang terbentuk dari
hasil perkawinan antara nyamuk
jantan yang berasal dari pupa
diiradiasi dengan betina normal (tidak
diiradiasi)
Dosis
(Gy)
Jenis
Kelamin
Jumlah
Telur
Jentik
(%)
0
0
65
65
70
70
75
75
80
80
85
85
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
1880
684
2067
0
332
0
268
0
203
0
0
0
89,71
77,94
1,47
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Pada penelitian ini tidak dilakukan
pengamatan terhadap perkembangan semua pupa
yang diiradiasi
menjadi
nyamuk dewasa.
Prosiding PPI - PDIPTN 2006
Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN
Yogyakarta, 10 Juli 2006
188
ISSN 0216 - 3128
Pengamatan hanya dilakukan terhadap 10 ekor
nyamuk yang pertama kali terbentuk dari semua
pupa yang diiradiasi dengan variasi dosis. Ternyata
semua nyamuk yang muncul pertama hanya berjenis
kelamin jantan kecuali kontrol, sedangkan nyamuk
betina tidak muncul, sehingga perkawinan hanya
dilakukan terhadap nyamuk jantan irradiasi dengan
nyamuk betina kontrol. Data tersebut menunjukkan
bahwa jantan dan betina dapat terseleksi akibat
paparan radiasi. Sehingga bisa dianggap teknik
pemandulan ini menjadi Teknil Jantan Mandul.
Pada telur yang tidak menetas, dilakukan
pengamatan ada tidakya embrio dengan cara
membelah telur untuk mengetahui persentase
kemandulan. Jika di dalam telur terdapat embrio
maka telur dianggap fertil dan jika kosong maka
telur dianggap steril. Hasil pengamatan terhadap
telur yang setelah 7 hari tidak menetas, diketahui
bahwa jumlah embrio yang ditemukan berturut-turut
adalah 7, 16, 6 dan 6 embrio masing-masing untuk
dosis 65, 70, 75 dan 80 Gy. Hasil selengkapnya
disajikan dalam Tabel 2. Namun demikian embrio
ini belum tentu dapat berkembang ke stadium
berikutnya.
Tabel 2. Persentase embrio dalam telur telah 7
hari tidak menetas
Dosis
(Gy)
65
70
75
80
Terdapat
embrio
5,15%
11,76%
4,41%
4,41%
Tidak terdapat
embrio
91,18%
76,47%
87,50%
84,56%
Pada awalnya TSM disebut Teknik Jantan
Mandul (TJM) yakni teknik pemberantasan serangga
dengan jalan memandulkan serangga jantan. Namun
untuk memisahkan nyamuk jantan dan betina yang
akan diradiasi tidak mudah, sehingga serangga
mandul yang diradiasi dan dilepas di lapangan tidak
hanya jantan tetapi juga betina. Dengan pelepasan
serangga betina mandul bersama-sama jantan
mandul, maka diharapkan terjadinya perkawinan
antara jantan fertil dengan betina fertil juga
berkurang. Bila serangga betina hanya kawin satu
kali dengan serangga jantan yang mandul, maka
keturunan tidak akan terbentuk [8]. Serangga jantan
mandul dilepas di lapangan dengan harapan bisa
bersaing dengan jantan normal alam dalam
berkopulasi dengan serangga betina. Serangga betina
yang telah berkopulasi dengan jantan mandul masih
dapat bertelur, tetapi telurnya tidak dapat menetas.
Apabila pelepasan serangga jantan mandul
dilakukan secara terus menerus, maka populasi
serangga dilokasi pelepasan menjadi sangat rendah.
Siti Nurhayati, Ali Rahayu
Kelebihan dari teknik TSM adalah selektif,
artinya yang menjadi sasaran pengendalian hanya
spesies target, tidak merusak lingkungan, tidak
menimbulkan resistensi dan syarat-syarat yang biasa
diperlukan pada pemberantasan secara biologi
dengan menggunakan musuh alami tidak diperlukan
lagi [10]. Namun demikian radiasi ionisasi secara
umum dapat menimbulkan berbagai efek pada
vektor, baik kelainan morfologis maupun kerusakan
genetis. Derajat kelainan atau kerusakan yang terjadi
akibat radiasi ionisasi bergantung kepada berbagai
faktor radiasi (macam sinar, cara pemberian dosis
dan laju dosis), faktor lingkungan (suhu, atmosfir)
dan faktor biologi (perbedaan spesies dan variasi
sel/jaringan) [11]. Gejala-gejala kemandulan akibat
radiasi pada vektor jantan disebabkan karena
terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal
dominan dan ketidakmampuan kawin.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa teknik nuklir sangat bermanfaat dalam proses
pemandulan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
penyakit DBD. Irradiasi yang dilakukan pada
stadium telur dan jentik tidak menunjukkan hasil
yang baik karena tidak terjadi perkembangan lebih
lanjut pasca radiasi. Irradiasi gamma dosis 65 Gy
pada stadium pupa dapat memandulkan 98,0%
populasi dan dosis 70 Gy menyebabkan kemandulan
100%. Teknik pengendalian vektor dengan TSM
sangat
spesifik,
ramah
lingkungan,
tidak
menimbulkan resistensi dan hanya berpengaruh pada
spesies target saja. Hal ini sangat berlainan dengan
pemberantasan vektor konvensional menggunakan
pestisida yang dapat menimbulkan efek pencemaran
lingkungan, timbulnya resistensi terhadap pestisida
tertentu dan matinya hewan non target. TSM
merupakan teknik pilihan yang sangat efektif dan
efisien baik secara tersendiri maupun terintegrasi
dengan teknik lain dan dalam pelaksanaannya akan
lebih baik bila dikombinasikan dengan pengendalian
vektor lain secara terpadu. Data yang diperoleh ini
akan lebih lengkap dan informatif jika dilanjutkan
dengan pemeriksaan bionomik (jarak terbang, pola
pencar, lama hidup di alam dll) dan daya saing
kawin nyamuk Aedes aegypti.
DAFTAR PUSTAKA
1. DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA. Petunjuk Pemberantasan Nyamuk
Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue,
Dirjen PPM dan PLP,1992.
Prosiding PPI - PDIPTN 2005
Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN
Yogyakarta, 10 Juli 2006
Siti Nurhayati, Ali Rahayu
189
ISSN 0216 - 3128
2. WHO, Prevention and Control of Dengue
Haemorrhagic
Fever,
WHO
Regional
Publication. SEARO, No. 29, 2003.
3. SUB
DIREKTORAT
ARBOVIROSIS.
Direktorat P3M, Depatemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta, 1983.
4. DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA. Petunjuk Teknis Penemuan,
Pertolongan dan Pelaporan Penderita Penyakit
Demam Berdarah Dengue, Dirjen PPM & PLP,
1992.
5. SUROSO, T., Demam Berdarah Dengue: Situasi,
Masalah dan Program Pemberantasannya.
Laporan Seminar Demam Berdarah Dengue,
Jakarta, 8 Juni 1991, hal 9. Sub. Din Pencegahan
Penyakit Dinkes Prop Dati I Jateng, 1995.
6. WHITE, R.D., KAMASKI, H., RALSTON,
D.F., HUTT, R.B and PETERSON, H.D.V.
Longevity and Reproduction of Codling Moth
Irradiated with Cobalt-60 or Cesium 137. J.
Econ. Entomol. 65, 692 – 697, 1972.
7. HOPER, G.H.S., Competitiveness of Gamma
Sterilized Males of the Mediteranean Fruit Fly :
Effect of Irradiating Pupae or Adult Stage and of
Irradiating Pupae in Nitrogen. J. Econ. Entomol.,
64, 464 – 368, 1976.
8. La-CHANGE, L.E., SCHMITH, C.H. and
BUSHLAND,
R.C.,
Radiation
Induced
Sterilization. Dalam: Kilgore, W.W. and Dout
R.L. Pest Control : Biological, Physical and
Selected Chemical Methods, Academic Press,
New York & London, 1967, hal 146-196.
9. KNIPLING, E.F., Possibilities of Insect Control
or Eradication Through the Use of Sexuality
Sterile, J. Econ. Entomol. 48, 459 – 462, 1955.
10. WEIDHASS D.E., SCHMIDT C.H. and
SEABROOK E.L., Field Studies on the Release
of Sterile Males for Control of Cx. p. fatigans.
Mosquito News. 22, 283-291, 1962.
11. O’BRIENT R.D. and WOLF L.S., Radiation,
radioactivity and Insect. Academic Press. New
York – London, 1976.
− Sama saj, namun demikian ternyata nyamuk
betina lebih sensitive terhadap radiasi, sehingga
walaupun radiasi dilakukan terhadap kedua jenis
nyamuk(jantan dan betina) ternyata jantan lebih
survive. las yang telah ditetapkan berdasar
produk/ manufaktur yang ada.
H. Muryono
− Bagaimana membedakan nyamuk jantan dan
nyamuk betina?
− Bagaimana
mandul?
mengetahui
bahwa
nyamuk
itu
− Bagaimana implementasi jaminan mutu pada
penelitian ini?
Siti Nurhayati
− Secara anatomis sangat mudah dibedakan dari
ukuran tubuh dan bentuk proboksisnya
(moncongnya).
− Dengan cara membedah tubuh nyamuk dan
telurnya
dibuka
ada/tidakada
embrio
didalamnya.
− Belum
dilakukan/diterapkan,karena
masih
memerlukan data pendukung seperti biotonik,
pola pencar, jarak terbang, dll.
Eddy Sumadi
− Metode merubah betina jadi jantan dan sebaliknya
dengan metode apa?
− Ap abukan sifat nya saja yang berubah?
Siti Nurhayati
− Tidak bias merubah jenis nyamuk jantan menjadi
betina atau sebaliknay, tetapi yang dimaksud
adalah
dengan
perlakuan
“temperature
sensitivitas lethal”, maka stadium nyamuk
dengan
perlakuan
tersebut
akan
mematikannyamuk betina, sehingga yang hidup
terus adalah nyamuk jantan.
− Nyamuk yang masih hidup benar-benar nyamuk
jantan.
TANYA JAWAB
Ir. Pudjianto
Sugili Putra
− Apakah ada cara/metode, bagaimana membuat
nyamuk
menjadi
jenis
kelamin
jantan
semua/betina semua?
− Lebih efektif
jantan/betina?
manakah
teknik
pemandulan
Siti Nurhayati
Siti Nurhayati
Prosiding PPI - PDIPTN 2006
Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN
Yogyakarta, 10 Juli 2006
190
ISSN 0216 - 3128
− Ada, yaitu dengan teknik dengan perlakuan
“temperature sensitivitas lethal”, maka stadium
nyamuk dengan perlakuan tersebut akan
mematikannyamuk betina, sehingga yang hidup
terus adalah nyamuk jantan.
Utaya
Siti Nurhayati, Ali Rahayu
− Berapa kali nyamuk jantan membuahi nyamuk
betina?
Siti Nurhayati
− Hanya satu kali seumur hidupnya, dan dia
akanmati setelah membuahi nyamuk betina.
Prosiding PPI - PDIPTN 2005
Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN
Yogyakarta, 10 Juli 2006
Download