BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Pembelajaran Fisika Fisika termasuk sains merupakan salah satu bentuk ilmu, sehingga ruang lingkupnya juga terbatas hanya pada dunia empiris, yakni hal-hal yang terjangkau oleh pengalaman manusia. Alam yang menjadi objek kajian fisika ini sebenarnya tersusun atas kumpulan benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang satu dengan lainnya terkait dengan syarat kompleks (Mundilarto, 2010: 4). Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam. Oleh karena itu, hakekat fisika sama dengan hakikat ilmu pengetahuan alam. Menurut Chiapetta & Koballa (2010: 105) hakikat sains/ilmu pengetahuan alam ada 4 yaitu cara berpikir (a way of thinking), cara menginvestigasi (a way of invertigating), kumpulan pengetahuan (a body of knowledge) dan penerapannya dengan teknologi dan masyarakat (application/interaction with technology and society). Adanya a way of thinking akan mengajarkan peserta didik untuk menumbuhkan sikap ilmiah mereka dan adanya a way of investigating mengajarkan peserta didik tentang perlunya metode ilmiah dalam pembelajaran fisika. Kedua hal tersebut jika dikolaborasikan akan membentuk suatu produk ilmiah. Untuk bisa menumbuhkan sikap ilmiah dan metode ilmiah pada diri peserta didik diperlukan suatu proses pembiasaan dan pelatihan. Proses pembiasaan dan 11 pelatihan tersebut kemudian dikemas dalam suatu proses yang lebih kompleks yaitu proses pembelajaran fisika. Tujuan dasar setiap ilmu adalah mencari pengetahuan yang bersifat umum dalam bentuk teori, hukum, kaidah, asas yang dapat diandalkan. Dengan suatu analisa yang tepat dan dapat dipercaya akan didapatkan suatu kesimpulan yang tergeneralisasi dalam wujud hukum, teori, konsep, atau masalah baru yang perlu dipertanggung jawabkan. Fisika sebagai ilmu merupakan landasan pengembangan teknologi, sehingga teori-teori fisika membutuhkan tingkat kecermatan yang tinggi. Oleh karena itu fisika berkembang dari ilmu yang bersifat kualitatif menjadi ilmu yang bersifat kuantitatif. Sifat kuantitatif ini dapat meningkatkan daya prediksi dan kontrol fisika (Mundilarto, 2010: 3). Fisika memiliki karakterisitik bangun ilmu yang terdiri atas fakta, konsep, prinsip, hukum postulat, dan teori. Sebagai ilmu dasar, fisika memenuhi metodologi keilmuan. Metode atau proses ilmiah digunakan dalam fisika sebagai prosedur baku untuk mengkaji objek-objek telaah yang berupa gejala-gejala alam (Mundilarto, 2010: 4). Fisika semakin berkembang seiring berkembangnya zaman. Bukan hanya sebatas pada teori-teori klasik saja, namun sudah menuju pada teori-teori modern. Berkembangnya ilmu fisika ini diimbangi dengan berkembangnya teknologi. Jadi, perkembangan teknologi yang ada sebagian besar menerapkan teori-teori yang ada dalam fisika. 12 Dalam pembelajaran ada dua komponen aktif yang terlibat, yaitu guru yang mengajar dan murid belajar. Dalam proses pembelajaran, guru dan murid bekerja bersama-sama atau bersinergi untuk menemukan dan memahami konsep pokok (esensi) materi pelajaran, serta untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dengan menggunakan media atau objek pembelajaran (Ahmad, 2011: 5). Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam proses pembelajaran guru dan murid memiliki peran yang sama besar dalam keberhasilan pembelajaran. Kegiatan belajar merupakan proses yang aktif bagi peserta didik dan guru untuk mengembangkan potensi peserta didik sehingga mereka akan “tahu” terhadap pengetahuan dan akhirnya “mampu” untuk melakukan sesuatu. Prinsip dasar kegiatan belajar mengajar adalah memberdayakan semua potensi yang dimiliki peserta didik sehingga mereka akan mampu meningkatkan pemahamannya terhadap fakta, konsep, prinsip dan kajian ilmu yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuannya untuk berfikir logis, kritis, dan kreatif. Prinsip dasar kegiatan belajar lain yang perlu diperhatikan menyangkut hal-hal berikut ini: berpusat pada peserta didik, mengembangkan kreativitas peserta didik, menciptakan kondisi yang menyenangkan dan sekaligus mengembangkan berbagai kompetensi yang bermuatan nilai afektif, menyediakan pengalaman yang beragam dan belajar melalui cara-cara berbuat. Prinsip kegiatan belajar mengajar seperti tersebut mencapai hasil maksimal dengan memadukan berbagai 13 metode dan teknik yang memungkinkan semua indra digunakan sesuai dengan karakteristik masingmasing mata pelajaran di dalam sebuah kurikulum (Mundilarto, 2010:4). Jadi, kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna ketika metode dan teknik pembelajaran dipadukan dan peserta didik secara aktif ikut dalam proses pembelajaran. Peserta didik tidak hanya sebagai objek pembelajaran akan tetapi sebagai juga sebagai subjek pembelajaran. Pembelajaran fisika merupakan salah satu cara untuk mengajarkan kepada peserta didik agar memiliki sikap ilmiah dan metode ilmiah untuk memperoleh produk ilmiah. Produk ilmiah tersebut berupa konsep, prinsip, asas, hukum maupun teori fisika. Selain mampu menghasilkan produk ilmiah, melalui pembelajaran fisika peserta didik juga diharapkan mampu menerapkan produk ilmiah tersebut kedalam kehidupan sehari-hari, teknologi, industri maupun untuk jenjeng pendidikan yang lebih tinggi. Pembelajaran fisika akan lebih berkesan jika efek dari pembelajaran fisika tersebut menjadikan peserta didik dapat menumbuhkembangkan pengalaman yang dimilikinya untuk melihat dan memahami dunia nyata dengan menggunakan proses dan prinsip ilmiah. Pada hakekatnya, pembelajaran fisika tidak sebatas mengingat dan memahami konsep, prinsip, asas, hukum dan teori saja, akan tetapi lebih menekankan pada kemampuan peserta didik untuk memanfaatkan ilmu yang mereka peroleh dan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kemaslahatan umat manusia di dunia ini. Pembelajaran fisika sangatlah penting sebab pengetahuan fisika terdiri dari banyak konsep dan prinsip yang 14 pada umumnya bersifat abstrak. Karena hal itulah kesulitan banyak dihadapi oleh sebagian besar peserta didik dalam menginterpretasi berbagai konsep dan prinsip fisika. Kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi dan menginterpretasi konsep-konsep fisika jelas merupakan prasyarat penting bagi penggunaan konsep-konsep untuk membuat inferensi-inferensi yang lebih kompleks atau untuk pemecahan soal fisika yang berkaitan dengan konsep-konsep tersebut. 2. Model Problem Based Learnig PBL merupakan model pembelajaran yang dirancang dengan melibatkan masalah dalam kehidupan sehari-sehari yang nyata dan terbuka. Model pembelajaran ini melibatkan peserta didik dalam penyelidikan yang relevan dan memungkinkan peserta didik belajar dari kehidupan (Fogarty, 1997: 2). PBL yaitu model pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk memecahkan permasalahan, mengaktifkan keingintahuan peserta didik, serta fokus pada proses. Selain itu, PBL dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk belajar mandiri, berkomunikasi, berkolaborasi, serta menciptakan sesuatu. Pembelajaran PBL menuntut peserta didik untuk aktif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan permasalahan dan guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Pembelajaran dengan PBL melibatkan peserta didik untuk aktif menggali pengetahuan, aktif mencari informasi baru, 15 mengintegrasikan pengetahuan baru dengan apa yang diketahuinya dan mengorganisasikan informasi yang diketahui. Penerapan PBL dapat membuat peserta didikss berfikir, membuat peserta didik mngajukan pertanyaan, mengaktifkan pengetahuanawal, menguji pemahaman peserta didik, mengelaborasi pengetahuan baru, memperkuat pemahaman peserta didik dan memberikan motivasi untuk belajar. PBL memiliki gagasan bahwa pembelajaran dapat dicapai jika kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugas-tugas atau permasalahan yang autentik, relevan dan dipresentasikan dalam suatu konteks. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa PBL merupakan sebuah model pembelajaran alternatif yang dapat diterapkan oleh para pendidik. Guru perlu mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan pertukaran ide secara terbuka sehingga pembelajaran ini menekankan peserta didik dalam berkomunikasi dengan teman sebayanya maupun dengan lingkungan belajar peserta didik, sehingga membantu peserta didik menjadi lebih mandiri dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan fakta. Fokus pembelajaran ada pada konsep yang dipilih sehingga peserta didik tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Masalah yang dijadikan fokus pembelajaran dapat diselesaikan peserta didik melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada peserta didik seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok. Keadaan tersebut menunjukan bahwa model PBL dapat 16 memberikan pengalaman yang kaya pada peserta didik. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman peserta didik tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan pembelajaran berdasarkan masalah ada tiga, yaitu membantu peserta didik mengembangkan keterampilan-keterampilan penyelidikan dan pemecahan masalah, memberi kesempatan kepada peserta didik mempelajari pengalaman-pengalaman dan peran-peran orang dewasa, dan memungkinkan peserta didik meningkatkan sendiri kemampuan berpikir mereka dan menjadi peserta didik mandiri. Adapun tujuan PBL menurut Rusman (2010: 238) yaitu penguasaan isi belajar dari disiplin heuristik dan pengembangan keterampilan pemecahan masalah. PBL juga berhubungan dengan belajar tentang kehidupan yang lebih luas (lifewide learning), keterampilan memaknai informasi, kolaborasi dan belajar tim, dan keterampilan berpikir reflektif dan evaluatif. Trianto (2010: 94-95) menyatakan bahwa tujuan PBL yaitu membantu peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan mengatasi masalah, belajar peranan orang dewasa yang autentik dan menjadi pembelajar yang mandiri. Sejalan dengan pendapat tersebut, pemecahan masalah merupakan salah satu strategi pengajaran berbasis masalah dimana guru membantu peserta didik untuk belajar memecahkan melalui pengalaman-pengalaman pembelajaran hands-on (Jacobsen et al, 2009: 249), sehingga pernyataan 17 tersebut sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh PBL terhadap kemampuan kognitif C3, C4, dan C5. Arends (2013: 115) menyatakan bahwa sintaks pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari lima fase utama. Fase-fase tersebut merujuk pada tahapan-tahapan yang praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan PBL, sebagaimana disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Sintaks untuk PBL Fase Perilaku guru Fase 1 Guru membahas tujuan pembelajaran, Memberikan orientasi tentang mendeskripsikan berbagai kebutuhan permasalahan kepada peserta logistik penting, dan memotivasi didik peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah. Fase 2. Guru membantu peserta didik untuk Mengorganisasikan peserta mendefinisikan dan mengorganisasikan didik untuk tugas-tugas belajar yang terkait dengan Meneliti permasalahannya Fase 3. Guru mendorong peserta didik untuk Membantu investigasi mandiri mendapatkan informasi yang tepat, dan kelompok melaksanakan eksperimen dan mencari penjelasan dan solusi. Fase 4. Guru membantu peserta didik dalam Mengembangkan dan merencanakan dan menyiapkan artefakmempresentasikan artefak dan artefak yang sesuai seperti laporan, exhibit. rekaman video, dan model-model, serta membantu mereka untuk menyampaikannya kepada orang lain. Fase 5. Guru membantu peserta didik untuk Menganalisis dan mengevaluasi melakukan refleksi terhadap proses mengatasi masalah. investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan. (sumber: Arends, 2013: 115) Fase 1. Memberikan Orientasi tentang Permasalahannya kepada Peserta didik. Pada awal pelajaran PBL, seperti semua tipe pelajaran lainnya, guru seharusnya mengkomunikasikan dengan jelas maksud pelajarannya, membangun sikap positif terhadap pelajaran itu, dan mendeskripsikan 18 sesuatu yang diharapkan untuk dilakukan oleh peserta didik. Guru perlu menyodorkan situasi bermasalah dengan hati-hati atau memiliki prosedur yang jelas untuk melibatkan peserta didik dalam identifikasi permasalahan. Guru seharusnya menyuguhkan situasi bermasalah itu kepada peserta didik dengan semenarik mungkin. Fase 2. Mengorganisasikan Peserta didik untuk Meneliti. PBL mengharuskan guru untuk mengembangkan keterampilan kolaborasi di antara peserta didik dan membantu mereka untuk menginvestigasi masalah secara bersama-sama. PBL juga mengharuskan guru untuk membantu peserta didik untuk merencanakan tugas investigatif dan pelaporannya. Fase 3. Membantu Investigasi Mandiri dan Kelompok. Investigasi yang dilakukan secara mandiri, berpasangan, atau dalam tim-tim studi kecil adalah inti PBL. Meskipun setiap situasi masalah membutuhkan teknik investigatif yang agak berbeda, kebanyakan melibatkan proses mengumpulkan data dan eksperimentasi, pembuatan hipotesis dan penjelasan, dan memberikan solusi. Fase 4. Mengembangkan dan Mempresentasikan Artefak dan Exhibits. Fase investigatif diikuti dengan pembuatan artefak dan exhibits. Artefak lebih dari sekedar laporan tertulis. Artefak termasuk hal-hal seperti rekaman video yang memperlihatkan situasi yang bermasalah dan solusi yang diusulkan, model-model yang mencakup representasi fisik dari situasi masalah atau solusinya, dan pemrograman komputer serta presentasi multimedia. Setelah artefak dikembangkan, guru sering 19 mengorganisasikan exhibits untuk memamerkan hasil karya peserta didik di depan umum. Exhibits dapat berupa pekan ilmu pengetahuan tradisional, yang masing-masing peserta didik memamerkan hasil karyanya untuk diobservasi dan dinilai oleh orang lain. Fase 5. Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Mengatasi Masalah. Fase terakhir PBL melibatkan kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu peserta didik menganalisis dan mengevaluasi proses berpikirnya sendiri maupun keterampilan investigatif dan keterampilan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini, guru meminta peserta didik untuk merekontruksikan pikiran dan kegiatan mereka selama berbagai fase pelajaran. 3. Hasil Belajar Belajar dan mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur yang dapat dibedakan, yakni tujuan pengajaran (intruksional), pengalaman (proses) belajar mengajar, dan hasil belajar (Nana Sudjana, 2009: 2). Setiap kegiatan pembelajaran tidak lepas dari kegiatan pengevaluasian terhadap rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Untuk mengukur taraf keberhasilan guru dalam mengajar dan peserta didik dalam belajar secara tepat diperlukan data yang objektif dan memadai tentang perubahan perilaku peserta didik. Perubahan tersebut dapat diamati dalam hasil belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasilhasil belajar yang dicapai peserta didik dengan kriteria tertentu. Hasil belajar 20 adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Nana, 2009: 22). Pengertian hasil belajar tidak dapat dipisahkan dari apa yang terjadi dalam kegiatan belajar baik di kelas, di sekolah maupun di luar sekolah. Hasil belajar merupakan suatu nilai yang menunjukkan hasil tertinggi dalam belajar yang dicapai menurut kemampuan peserta didik dalam mengerjakan sesuatu pada saat tertentu. Pada umumnya, dalam suatu kelas peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya cenderung memiliki hasil belajar yang berbeda-beda. Hal itu dapat terjadi karena latar belakang, heterogenitas, karakteristik dan kemampuan akademiknya. Biasanya di semua jenjang pendidikan, hasil belajar dinyatakan dengan suatu angka atau bilangan. Hasil belajar fisika peserta didik dapat diperoleh guru dengan melakukan proses evaluasi, pengukuran, dan penilaian. Pada proses pembelajaran fisika, penilaian dilakukan terhadap pokok bahasan maupun terhadap proses. Penilaian proses merupakan penilaian terhadap kegiatan dan kemajuan peserta didik pada saat berlangsung kegiatan pembelajaran di kelas. Penilaian penguasaan materi pokok merupakan pengetahuan untuk mengetahui hasil belajar peserta didik setelah proses pembelajaran. Menurut Syaiful (2010:105) proses pembelajaran terdapat beberapa indikator keberhasilan. Adapun indikator yang menjadi petunjuk bahwa suatu proses belajar mengajar dianggap berhasil adalah sebagai berikut: a. Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai hasil tinggi, baik secara individual maupun kelompok. 21 b. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran telah dicapai oleh peserta didik, baik secara individual maupun kelompok. Hasil belajar yang dicapai peserta didik dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri peserta didik itu sendiri dan faktor yang datang dari luar diri peserta didik atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri peserta didik terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan peserta didik besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik antara lain motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis(Nana, 2009: 39). Faktor tersebut banyak menarik perhatian para ahli pendidikan untuk diteliti, seberapa jauh kontribusi/sumbangan yang diberikan oleh faktor tersebut terhadap hasil belajar peserta didik. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang dapat menentukan atau mempengaruhi hasil belajar peserta didik di antaranya ialah kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran ialah tinggi rendahnya atau efektif tidaknya proses pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, hasil belajar peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh kemampuan peserta didik dan kualitas pembelajaran. Hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotor. 22 a. Fungsi penilaian hasil belajar Penilaian hasil dan proses belajar saling berkaitan satu sama lain sebab hasil belajar yang dicapai peserta didik merupakan akibat dari proses pembelajaran yang ditempuh, maka penilaian berfungsi sebagai berikut: 1) Alat untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran. 2) Umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar. 3) Dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar peserta didik kepada para orang tuanya. b. Tujuan penilaian hasil belajar Sejalan dengan fungsi penilaian maka tujuan dari penilaian hasil belajar adalah untuk : a) Mendeskripsikan kecakapan hasil belajar para peserta didik sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang studi yang ditempuh. b) Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran disekolah, dalam aspek intelektual, sosial, emosional, moral, dan keterampilan yakni seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para peserta didik kearah tujuan pendidikan yang diharapkan. c) Menentukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pembelajaran serta strategi pelaksanaannya. 23 d) Memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak sekolah ke pihak-pihak yang berkepentingan. Bukti bahwa seseorang telah belajar ialah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tingkah laku manusia terdiri dari sejumlah aspek. Hasil belajar akan tampak pada setiap perubahan pada aspek-aspek tersebut. Adapun aspek-aspek itu adalah: pengetahuan, pengertian, kabiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti, sikap. Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya itu berpendapat bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan itu harus mengacu pada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: (1) Ranah proses berpikir (cognitive domain), (2) Ranah nilai atau sikap (affective domain), dan (3) Ranah Keterampilan (psycomotor domain) (Sudijono, 2006:49). a. Ranah Kognitif Ranah kognitif adalah ranah yang mencangkup kegiatan yang mencangkup mental (otak). Menurut Krathwohl (2001: 216) yang merevisi taksonomi Bloom, bahwa kemampuan kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu: 1) Tingkat Mengingat (Remember) 2) Tingkat Memahami (Understand) 3) Tingkat Menerapkan (Apply) 24 4) Tingkat Menganalisis (Analyze) 5) Tingkat Mengevaluasi (Evaluate) 6) Tingkat Menciptakan (Create) Secara grafis taksonomi Anderson-Karthwohl ditunjukkan dalam Gambar 1. Tingkat Menciptakan (Create) Tingkat Mengevaluasi (Evaluate) Tingkat Menganalisis (Analyze) Tingkat Menerapkan (Apply) Tingkat Memahami (Understand) Tingkat Mengingat (Remember) Gambar 1. Taksonomi Kognitif Anderson-Karthwortl Penjelasan untuk tingatan-tingkatan hasil belajar Anderson dan Krathwohl menurut Leslie Owen Wilson (2013: 2) adalah sebagai berikut: 1) Tingkat Mengingat (Remember) Mengenali atau mengingat pengetahuan dari memori. Mengingat adalah saat memori digunakan untuk mendefinisikan, menyatakan, menyebutkan daftar, membaca atau mengingat kembali sebuah materi. 25 2) Tingkat Memahami (Understand) Tipe hasil belajar yang lebih tinggi daripada pengetahuan adalah mengingat. Membangun makna dari berbagai jenis fungsi menjadi kalimat tertulis atau grafis seperti menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasi, meringkas, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan. 3) Tingkat Mengaplikasi (Apply) Melaksanakan atau menggunakan prosedur melalui mengeksekusi, atau melaksanakan. Menerapkan di sini mengacu pada situasi di mana bahan belajar diimplementasikan dalam produk-produk seperti model, presentasi, wawancara atau simulasi. 4) Tingkat Menganalisis (Analyze) Memecah atau memilah-milah materi atau konsep menjadi beberapa bagian, menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut saling berhubungan satu sama lain hingga menjadi struktur atau tujuan yang utuh. Tahap ini termasuk mencakup membedakan, mengorganisir, dan menghubungkan, serta mampu membedakan antara komponen atau bagian. Ketika seseorang menganalisis ia dapat sampai di tahap ini dengan menciptakan spreadsheet, survei, grafik, atau diagram, atau representasi grafis. 5) Tingkat Mengevaluasi (Evaluate) Membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar melalui pemeriksaan dan mengkritisi. Kritik, rekomendasi, dan laporan adalah 26 beberapa produk yang dapat dibuat untuk menunjukkan proses evaluasi. Dalam taksonomi yang lebih baru daripada taksonomi Bloom (Taksonomi Anderson – Kartwohl) tahap evaluasi terlebih dahulu daripada tahap menciptakan sebagaimana halnya bahwa memeriksa (mengevaluasi) adalah hal yang penting untuk dilaksanakan sebelum menciptakan sesuatu. 6) Tingkat Menciptakan (Create) Menempatkan elemen bersama-sama untuk membentuk satu kesatuan yang koheren atau utuh ; menyusun kembali unsure-unsur ke dalam pola atau struktur yang baru dengan menghasilkan, merencanakan, atau memproduksi. Menciptakan mengharuskan peserta didik untuk menempatkan bagian-bagian menjadi satu dengan cara baru atau mensintesis bagian-bagian tersebut menjadi sesuatu yang baru dan berbeda bentuk atau produk yang baru. Proses ini adalah tahapan yang paling sulit dalam taksonomi ini. b. Ranah Afektif Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah ini oleh Krathwohl dan kawan-kawan ditaksonomi menjadi lebih rinci lagi dalam lima jenjang, yaitu 1) Receiving atau Attending Receiving atau attending yaitu kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada peserta didik dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain (Sudijono, 2006: 27 54). Pada jenjang ini berhubungan erat dengan keinginan serta kemauan peserta didik dalam memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. 2) Responding (menanggapi) Responding (menanggapi) mengandung arti adanya partisipasi aktif. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara (Sudijono, 2006: 55). Pada tahap ini peserta didik tidak hanya sebagai penerima informasi atau memperhatikan penjelasan dari guru akan tetapi peserta didik juga ikut aktif dan memberikan reaksi dalam pembelajaran. Jenjang ini setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang receiving. 3) Valuing (menilai/menghargai) Valuing adalah memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan (Sudijono, 2006: 55). Valuing adalah merupakan tingkatan afektif yang lebih tinggi dari pada receiving dan responding. 4) Organization (mengatur/mengorganisasikan) Organization adalah memepertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa perbaikan umum. Mengatur atau 28 mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam suatu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan suatu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Mengatur dan mengorganisasikan merupakan jenjang sikap atau nilai yang lebih tinggi lagi ketimbang receiving, responding dan valuing. 5) Characterization by a value orvalue complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai) Characterization by a value orvalue complex adalah keterpaduan semua sistem yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya disini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Jenjang adalah merupakan tingkatan afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana (Sudijono, 2006:55). Jadi pada tahap ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang lama, sehingga membentuk tingkah laku yang menetap. c. Ranah Psikomotor Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Simpson dalam buku Anas Susijono menyatakan bahwa hasil belajar psikomtor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan 29 kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif (Sudijono, 2006:57). Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya. Seperti halnya hasil belajar konitif dan afektif, hasil belajar psikomotor juga memiliki beberapa jenjang. Shimpson mengemukakan tujuh jenjang, yaitu persepsi, set/persiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, aadaptasi dan kreativitas (Oemar Hamalik, 2005: 82). Penjelasan dari masing-masing tingkatan tersebut sebagai berikut: 1) Persepsi (perseption) yaitu berkenaan dengan organ indra untuk menangkap isyarat yang membimbing aktivitas gerak. Kategori itu bergerak dari stimulus sensori (kesadaran terhadap stimulus) melalui pemilihan isyarat (pemilihan tugas yang relevan) hingga penerjemahan dari persepsi isyarat ke tindakan (Sukiman, 2012: 73). Jadi, persepsi adalah kemampuan membedakan suatu gejala dengan gejala lain. 2) Kesiapan (set) yaitu menunjukan pada kesiapan untuk melakukan tindakan tertentu. Kategori ini meliputi perangkat mental (kesiapan mental untuk bertindak), perangkat fisik (kesiapan fisik untuk bertindak), dan perangkat emosi (kesediaan untuk bertindak) 30 (Sukiman, 2012: 73). Jadi, kesiapan adalah kemampuan menempatkan diri untuk memulai suatu gerakan. 3) Gerakan terbimbing (guided response) yaitu tahapan awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks. Hal ini meliputi peniruan (mengulang suatu perbuatan yang telah didemonstrasikan oleh instruktur) dan trail and error (menggunakan pendekatan ragam respon untuk mengidentifikasikan respons yang tepat) (Sukiman, 2012: 73). Jadi, gerakan terbimbing adalah kemampuan melakukan gerakan meniru model yang telah dicontohkan. 4) Gerakan terbiasa (mechanism) yaitu berkenaan dengan kinerja dimana respons peserta didik telah menjadi terbiasa dan gerakan-gerakan dilakukan dengan penuh keyakinan dan kecakapan. Hasil belajar level ini berkenaan dengan keterampilan berbagai tipe kinerja, tetapi tingkat kompleksitas gerakannya lebih rendah dari level berikutnya (Sukiman, 2012: 74). Jadi, gerakan terbiasa adalah kemampuan melakukan gerakan tanpa ada contoh model. 5) Gerakan kompleks (complex overt respons) yaitu gerakan yang sangat terampil degan pola-pola gerakan yang sangat kompleks. Keahlian terindikasi dari dengan gerakan yang cepat, lancar, akurat, dan menghabiskan energi yang minimum (Sukiman, 2012: 74). Jadi, gerakan kompleks adalah kemampuan melakukan serangkaian gerakan dengan cara urutan yang tepat. 31 6) Gerakan pola penyesuaian (adaptation) yaitu berkenaan dengan keterampilan yang dikembangkan dengan baik sehingga seorang dapat memodifikasi pola-pola gerakan untuk menyesuaikan situasi tertentu (Sukiman, 2012: 74). Pada jenjang ini keterampilanya sudah berkembang, sehingga dapat disesuaikan dengan sitasi atau permasalahan tertentu. 7) Kreativitas (origination) yaitu menunjukan kepada penciptaan polapola gerakan baru untuk menyesuaikan situasi tertentu atau problem khusus. Hasil belajar untuk level ini menekankan kreativitas yang didasarkan pada keterampilan yang sangat hebat (Sukiman, 2012: 74). Kreatifitas adalah level tertinggi dalam jenjang ini. Jadi, kreativitas adalah kemampuan menciptakan gerakan-gerakan baru yang sebelumnya tidak ada atau mengombinasikan gerakan yang ada menjadi kombinasi gerakan baru. 4. Metode Eksperimen Metode eksperimen merupakan suatu metode pembelajaran yang memberi peluang kepada guru dan peserta didik untuk melakukan percobaan terhadap sesuatu serta mengamati proses dan hasil percobaan itu. Peserta didik dalam melakukan percobaan untuk memecahkan masalah yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan (1994: 94) yang menyatakan bahwa eksperimen adalah percobaan untuk membuktikan suatu pertanyaan atau hipotesis tertentu. Eksperimen bisa 32 dilakukan di sebuah laboratorium dan dapat juga dilakukan di luar laboratorium. Pekerjaan eksperimen mengandung makna belajar untuk berbuat, karena itu dapat dimasukkan ke dalam metode mengajar dan belajar. Metode eksperimen pada dasarnya merupakan salah satu cara pembelajaran yang meniru aktivitas para fisikawan terdahulu, namun pada pelaksanaannya eksperimen yang dilakukan di sekolah-sekolah berbeda dengan eksperimen yang dilakukan oleh para fisikawan terdahulu. Para fisikawan terdahulu, dalam melakukan eksperimen mereka tidak menggunakan petunjuk eksperimen dan hanya mengandalkan sikap ilmiahnya untuk memperoleh produk ilmiah yang diharapkan melalui proses ilmiah. Berbeda dengan eksperimen yang dilakukan oleh para fisikawan, dalam pelaksanaan metode eksperimen untuk peserta didik diperlukan sebuah petunjuk atau pedoman untuk mengarahkan peserta didik dalam melaksanakan suatu percobaan. Petunjuk tersebut biasanya disebut dengan petunjuk praktikum. Petunjuk praktikum biasanya berisi langkah-langkah kerja yang melibatkan proses berfikir, prosedur kerja, kreativitas dan kemandirian peserta didik dalam proses percobaan untuk menemukan konsep, prinsip, teori, asas, atau hukum-hukum fisika. Petunjuk yang berisi langkahlangkah percobaan tersebut dimuat dalam sebuah worksheet atau lembar kegiatan peserta didik (LKPD). Eksperimen dibagi menjadi dua macam yaitu, eksperimen berbasis inkuiri dan eksperimen berbasis verifikasi. Pertama, eksperimen berbasis inkuiri, dengan proses ini peserta didik diharapkan dapat memahami dan 33 terampil terhadap suatu permasalahan yang diberikan oleh guru. Peserta didik dapat merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan, dan menganalisis data serta menarik sebuah kesimpulan. Kedua, eksperimen berbasis verifikasi yaitu melakukan proses penelitian untuk memberikan pengertian kepada peserta didik terhadap teori atau konsep yang telah guru berikan melalui eksperimen sehingga peserta didik dapat mengerti dan memahami konsep dan teori tersebut. Dengan metode eksperimen peserta didik dapat menemukan sendiri jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik. Di awal proses ini guru bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing. Selanjutnya peserta didik diharapkan dapat menemukan solusi dari masalah yang dihadapi secara mandiri. Menurut Srimulyani Sumantri & Johar Permana (2001: 136), tujuan dari metode eksperimen yang ditonjolkan sebagai berikut: a. Agar peserta didik mampu menyimpulkan fakta-fakta, informasi atau data yang diperoleh. b. Melatih peserta didik merancang, mempersiapkan, melaksanakan dan melakukan percobaan. c. Melatih peserta didik menggunakan logika berpikir induktif untuk menarik kesimpulan dari fakta, informasi atau data yang terkumpul dari percobaan. 34 Kelebihan metode eksperimen menurut Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan (1994: 95-96) sebagai berikut: a. Metode ini dapat menerapkan prinsip learning by experiencing dalam belajar. Melalui metode eksperimen, peserta didik mengalami baik langsung maupun tidak langsung suatu peristiwa atau kejadian yang dihadapinya sebagai pengalaman dalam belajar. Melalui pengalaman tersebut peserta didik dapat mengidentifikasi gejala secara menyeluruh, yang dipelajarinya tidak terbatas pada unsur pengetahuan, tetapi menyangkut sikap dan keterampilan-keterampilan tertentu. b. Metode ini dapat menerapkan prinsip belajar dengan cara peserta didik belajar aktif secara utuh dimana keterlibatan proses-proses inkuiri dan discoveri akan berlaku sepenuhnya tanpa bimbingan guru. Proses mental, intelektual, dan emosional berjalan semestinya yang menghasilkan produk pikiran yang konseptual dan realistis peserta didik. c. Metode ini bersifat student-centered, artinya pusat pembelajaran ada pada peserta didik dan peserta didik mengolah bahan pembelajaran sendiri. Guru berperan hanya sebagai pembimbing dan pengarah dalam proses belajar. Peserta didik diminta untuk belajar berbuat, bekerja, dan berusaha. d. Metode ini dapat mengembangkan sikap berpikir ilmiah, mengarahkan peserta didik menjadi seorang ilmuwan murni yang menggunakan segala cara untuk menemukan konsep, dalil, atau aksioma yang diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dan 35 e. Metode ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri peserta didik terhadap masalah yang akan dipecahkannya. Peserta didik berusaha menjelajah lingkungan yang menjadi objek penelitiannya, dan akhirnya dari pengalamannya peserta didik memperoleh segala faktor yang membuat dirinya penuh kepercayaan dan keyakinan. Adapun kelemahan-kelemahannya menurut Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan (1994: 95-96) antara lain sebagai berikut: a. Metode ini menghabiskan waktu yang banyak. Apabila diterapkan dalam pembelajaran di sekolah, metode ini dapat menyerap waktu pelajaran lainnya. b. Metode ini cocok diterapkan pada pelajaran sains dan teknologi, kurang cocok diterapkan pada pelajaran-pelajaran yang lainnya, terutama bidang ilmu pengetahuan sosial. c. Metode ini memerlukan alat dan fasilitas yang lengkap. Jika kurang salah satu daripadanya, eksperimen akan gagal, dan d. Pada eksperimen tertentu, seperti pada eksperimen bahan-bahan kimia, kemungkinan menghadapi bahaya selalu ada. Keselamatan kerja pada metode ini perlu diperhatikan. Kelas yang menggunakan metode eksperimen diketahui dapat meningkatkan nilai kinerja produk dan nilai kinerja proses pada pembelajaran (Septi, 2012: 210). Peserta didik lebih senang terlibat aktif dalam melakukan kegiatan eksperimen, sehingga kemampuan science process skill dapat 36 dimunculkan dalam pembelajaran. Dengan metode eksperimen maka dapat dihindari pembelajaran fisika yang hanya menghapal rumus dan materi, namun juga dapat menumbuhkan sikap ilmiah pada peserta didik. 5. Hukum Hooke Sifat elastis atau elastisitas adalah kemampuan suatu benda untuk kembali ke bentuk awalnya segera setelah gaya luar yang diberikan kepada benda itu dihilangkan (dibebaskan). Contohnya adalah ketika kita menarik sebuah pegas, maka pegas akan berubah bentuk, yaitu makin panjang. Ketika tarikan pada pegas dilepaskan, pegas segera kembali ke bentuk awalnya. Beberapa benda seperti tanah liat (lempung), adonan kue dan plastisin tidak kembali ke bentuk awalnya segera setelah gaya luar dihilangkan. Benda-benda seperti ini disebut benda tak elastis atau benda plastis. Pegas adalah benda berbentuk spiral yang terbuat dari logam. Gambar 2. Pegas (belajar.kemdikbud.go.id) Selisih panjang pegas ketika diberi gaya tarik dengan panjang awalnya x 0 disebut pertambahan panjang ∆x. Jika dibuat garfik gaya tarik terhadap 37 pertambahan panjang, maka didapat bahwa titik-titik itu membentuk garis lurus. Gambar 3. Grafik Hubungan antara Gaya dan Perubahan Panjang Tetapan gaya k adalah gradien dari grafik tersebut. Untuk pegas yang lebih kaku, tetapan gayanya besar karena diperlukan gaya yang lebih besar untuk menghasilkan pertambahan panjang yang sama. Untuk semua pegas berlaku rumus: ............................................................................ (1) Jika gaya tarik tidak melampaui batas elastis pegas, maka pertambahan panjang pegas berbanding lurus (sebanding) dengan gaya tariknya. Pernyataan ini dikemukakan oleh Robert Hooke yang selanjutnya disebut hukum Hooke. a. Tetapan Gaya Benda Elastis Sebelumnya telah didapat persamaan ........................................................................ 38 (2) Kemudian dari hukum Hooke didapat persamaan ........................................................................... (3) Dengan menyamakan ruas kanan dan ruas kanan kedua persamaan di atas, diperoleh rumus umum tetapan gaya k untuk suatu benda elastis, yaitu ................................................................................ (4) b. Hukum Hooke untuk Susunan Pegas Apabila beberapa pegas disusun seri, paralel, atau gabungan, susunan ini dapat diganti dengan sebuah pegas pengganti. 1) Susunan Seri Pegas Gambar 4. Susunan Pegas Seri (belajar.kemdikbud.go.id) Prinsip susunan seri sebuah pegas adalah sebgai berikut: Gaya tarik yang dialami tiap pegas sama besarnya, dan gaya tarik ini sama dengan gaya tarik yang dialami pegas pengganti. Misalkan gaya tarik yang dialami tiap pegas adalah F1 dan F2, maka gaya tarik pegas pengganti adalah F. 39 F1 = F2 = F............................................................ (5) Pertambahan panjang pegas pengganti seri ∆x, sama dengan total pertambahan panjang tiap-tiap pegas. ∆x = ∆x1 +∆x2 ......................................................... (6) Dengan menggunakan hukum Hooke dan kedua prinsip susunan seri, kita dapat menentukan hubungan antara tetapan pegas pengganti seri ks dengan tetapan tiap-tiap pegas (k1 dan k2). F = ks ∆x ∆x = ................................................ (7) F1 = k1 ∆x1 F = k1 ∆x1 ∆x1 = ......... (8) F2 = k2 ∆x2 F = k2 ∆x2 ∆x2 = .......... (9) Dengan memasukkan nilai ∆x, ∆x1 dan ∆x2 di atas ke persamaan ∆x = ∆x1 +∆x2 ...............................................................(10) ......................................................................... (11) ..........................................................................(12) Dapat dinyatakan bahwa kebalikan tetapan pegas pengganti seri sama dengan total dari kebalikan tiap-tiap tetapan pegas. ........................................(13) Untuk n buah pegas identik dengan tiap pegas memiliki tetapan k, tetapan pegas pengganti seri ks dapat dihitung dengan rumus ...................................................................................(14) 40 2) Susunan Paralel Pegas Gambar 5. Susunan Pegas Paralel (belajar.kemdikbud.go.id) Prinsip susunan parallel sebuah pegas adalah sebagai berikut: Gaya tarik pada pegas pengganti F sama dengan total gaya tarik pada tiap pegas (F1 dan F2). F = F1 + F2 ................................................................(15) Pertambahan panjang tiap pegas sama besarnya, pertambahan panjang ini sana dengan pertambahan panjang pegas pengganti. ∆x1 +∆x2 = ∆x ........................................................... (16) Dengan menggunakan hukum Hooke dan kedua prinsip susunan paralel, kita dapat menentukan hubungan antara tetapan pegas pengganti seri ks dengan tetapan tiap-tiap pegas (k1 dan k2). F = kp ∆x ..............................................................................(17) F1 = k1 ∆x1 F1 = k1 ∆x ............................................(18) F2 = k 2 ∆x2 F2 = k2 ∆x ............................................(19) 41 Dengan memasukkan nilai F, F1 dan F2 di atas ke persamaan F = F1 + F2 ..................................................................... (20) kp ∆x = k1 ∆x + k2 ∆x ......................................................... (21) kp = k1 + k2 ........................................................................ (22) Dapat dinyatakan bahwa tetapan pegas pengganti seri sama dengan total dari tiap-tiap tetapan pegas. kp = ∑ki = k1 + k2 +k3 + . . . ................................................. (23) c. Energi Potensial Pegas Energi potensial pegas adalah besarnya gaya pegas untuk meregangkan sepanjang Δx. Berdasarkan hukum Hooke dapat diketahui grafik hubungan antara gaya F dengan pertambahan panjang Δx seperti pada Gambar 6. Besarnya usaha merupakan luasan yang diarsir. F B Δx O A Gambar 6. Grafik Gaya terhadap Pertambahan panjang W EP OAB ............................................................. (24) 1 E P Fx 2 ...................................................................... (25) Karena F kx maka, 42 1 E P (kx)x 2 ................................................................. (26) 1 E P k (x) 2 2 .................................................................. (27) dengan: Ep = energi potensial pegas (J) k =konstanta gaya pegas (N/m) Δx = pertambahan panjang pegas (m) B. Penelitian yang Relevan Penelitian Riani Dewi Larasati, dengan judul “Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) Melalui Metode Eksperimen Terhadap kemampuan Kognitif berdasarkan Ketrampilan Pemecahan Masalah Fisika Pada Materi Sub Bahasan Asas Black untuk peserta didik kelas X SMA Negeri 1 Sewon Bantul Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan model PBL melalui metode eksperimen terhadap kemampuan kognitif berdasarkan keterampilan pemecahan masalah fisika yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,482 dan sumbangan model PBL dalam hal ini aktivitas eksperimen peserta didik terhadap kemampuan kognitif peserta didik sebesar 23,2%. Penelitian Ika Setyaningsih (2010), dengan judul “Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta didik dengan Penerapan Problem Based Learning pada Materi Pokok Pencemaran Lingkungan Kelas X-D Semester II SMA Negeri 4 Yogyakarta”. Hasil penelitian menjelaskan bahwa penerapan 43 problem based learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dari kategori kurang kritis pada siklus I menjadi cukup kritis pada siklus II setelah diadakan refleksi pada siklus I. Hal ini terlihat dari persentase rata-rata tiap aspek berpikir kritis yaitu (1) membuat definisi dan klarifikasi masalah persentasenya sebesar 54%; (2) menilai dan mengolah informasi persentasenya sebesar 56,67%; (3) merancang solusi masalah/ membuat kesimpulan persentasenya sebesar 50,67%. Rata-rata persentase dari ketiga aspek tersebut sebesar 53,78%; diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik negatif atau peserta didik kurang kritis. C. Kerangka Berpikir Proses belajar fisika akan menjadi efektif bila bahan yang dipelajari dikaitkan dengan tujuan yang akan dicapai dan dihubungkan dengan masalah kehidupan sehari-hari. Pembelajaran fisika, pada saat ini masih berpusat pada guru, padahal kurikulum sudah diubah dengan memusatkan pada peserta didik (student centered), sehingga kurang mengembangkan kemampuan peserta didik dan hasil belajar yang belum baik. Untuk meningkatkan hasil belajar fisika peserta didik, perlu memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Mata pelajaran fisika memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi, karena peserta didik dituntut memiliki pemahaman konsep yang baik. Pelajaran fisika merupakan pelajaran yang mempelajari banyak fenomena gejala alam yang perlu dikaji. Keberhasilan pembelajaran bergantung pada proses pembelajaran yang terjadi 44 antara peserta didik dan guru. Proses pembelajaran akan berhasil dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran, sehingga terjadi interaksi peserta didik dalam kelompok. Oleh karena itu, sebagai seorang tenaga pendidik perlu mensiasati agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik walaupun pembelajaran berlangsung di dalam kelas dan dapat membuat peserta didik lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran sehingga pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru (teacher centered). Salah satu model yang dapat diterapkan dalam pembelajaran dengan mengikutsertakan peserta didik yaitu dengan model PBL. Model PBL melalui metode eksperimen dapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran yang dapat membuat suatu pembelajaran lebih menarik dan variatif serta dapat membantu peserta didik belajar lebih mandiri. Model PBL adalah model yang penyampainya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan. Pembelajran dengan PBL melibatkan peserta didik untuk aktif menggali pengetahuan, mencari informasi baru dan pembelajaran dengan PBL lebih mengeksplor kemampuan peserta didik. Untuk lebih mudahnya kerangka berfikir di atas dapat dinyatakan dengan diagram pada Gambar 7. 45 RPP LKS Pembelajaran Berbasis Masalah Pencarian Percobaan Diskusi Hasil Belajar Kognitif Meningkat Hasil Belajar Psikomotor Meningkat Gambar 7. Kerangka Berfikir D. Hipotesis 1. Ada perbedaan peningkatan hasil belajar fisika pada ranah kognitif dan ranah psikomotor antara peserta didik yang melakukan pembelajaran dengan model PBL melalui kegiatan eksperimen dengan peserta didik yang melakukan pembelajaran dengan model direct instruction dengan metode eksperimen. 2. Model pembelajaran PBL melalui kegiatan eksperimen efektif untuk meningkatkan hasil belajar fisika pada ranah kognitif dan ranah psikomotor. 46