BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Pembelajaran Fisika

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
1.
Pembelajaran Fisika
Fisika termasuk sains merupakan salah satu bentuk ilmu, sehingga
ruang lingkupnya juga terbatas hanya pada dunia empiris, yakni hal-hal yang
terjangkau oleh pengalaman manusia. Alam yang menjadi objek kajian fisika
ini sebenarnya tersusun atas kumpulan benda-benda dan peristiwa-peristiwa
yang satu dengan lainnya terkait dengan syarat kompleks (Mundilarto, 2010:
4). Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam. Oleh karena itu,
hakekat fisika sama dengan hakikat ilmu pengetahuan alam.
Menurut Chiapetta & Koballa (2010: 105) hakikat sains/ilmu
pengetahuan alam ada 4 yaitu cara berpikir (a way of thinking), cara
menginvestigasi (a way of invertigating), kumpulan pengetahuan (a body of
knowledge)
dan
penerapannya
dengan
teknologi
dan
masyarakat
(application/interaction with technology and society). Adanya a way of
thinking akan mengajarkan peserta didik untuk menumbuhkan sikap ilmiah
mereka dan adanya a way of investigating mengajarkan peserta didik tentang
perlunya metode ilmiah dalam pembelajaran fisika. Kedua hal tersebut jika
dikolaborasikan akan membentuk suatu produk ilmiah. Untuk bisa
menumbuhkan sikap ilmiah dan metode ilmiah pada diri peserta didik
diperlukan suatu proses pembiasaan dan pelatihan. Proses pembiasaan dan
11
pelatihan tersebut kemudian dikemas dalam suatu proses yang lebih
kompleks yaitu proses pembelajaran fisika.
Tujuan dasar setiap ilmu adalah mencari pengetahuan yang bersifat
umum dalam bentuk teori, hukum, kaidah, asas yang dapat diandalkan.
Dengan suatu analisa yang tepat dan dapat dipercaya akan didapatkan suatu
kesimpulan yang tergeneralisasi dalam wujud hukum, teori, konsep, atau
masalah baru yang perlu dipertanggung jawabkan.
Fisika sebagai ilmu merupakan landasan pengembangan teknologi,
sehingga teori-teori fisika membutuhkan tingkat kecermatan yang tinggi.
Oleh karena itu fisika berkembang dari ilmu yang bersifat kualitatif menjadi
ilmu yang bersifat kuantitatif. Sifat kuantitatif ini dapat meningkatkan daya
prediksi dan kontrol fisika (Mundilarto, 2010: 3). Fisika memiliki
karakterisitik bangun ilmu yang terdiri atas fakta, konsep, prinsip, hukum
postulat, dan teori. Sebagai ilmu dasar, fisika memenuhi metodologi
keilmuan.
Metode atau proses ilmiah digunakan dalam fisika sebagai prosedur
baku untuk mengkaji objek-objek telaah yang berupa gejala-gejala alam
(Mundilarto, 2010: 4). Fisika semakin berkembang seiring berkembangnya
zaman. Bukan hanya sebatas pada teori-teori klasik saja, namun sudah
menuju pada teori-teori modern. Berkembangnya ilmu fisika ini diimbangi
dengan berkembangnya teknologi. Jadi, perkembangan teknologi yang ada
sebagian besar menerapkan teori-teori yang ada dalam fisika.
12
Dalam pembelajaran ada dua komponen aktif yang terlibat, yaitu guru
yang mengajar dan murid belajar. Dalam proses pembelajaran, guru dan
murid bekerja bersama-sama atau bersinergi untuk menemukan dan
memahami konsep pokok (esensi) materi pelajaran, serta untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dengan menggunakan media atau
objek pembelajaran (Ahmad, 2011: 5). Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam
proses pembelajaran guru dan murid memiliki peran yang sama besar dalam
keberhasilan pembelajaran.
Kegiatan belajar merupakan proses yang aktif bagi peserta didik dan
guru untuk mengembangkan potensi peserta didik sehingga mereka akan
“tahu” terhadap pengetahuan dan akhirnya “mampu” untuk melakukan
sesuatu. Prinsip dasar kegiatan belajar mengajar adalah memberdayakan
semua potensi yang dimiliki peserta didik sehingga mereka akan mampu
meningkatkan pemahamannya terhadap fakta, konsep, prinsip dan kajian ilmu
yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuannya untuk berfikir
logis, kritis, dan kreatif.
Prinsip dasar kegiatan belajar lain yang perlu diperhatikan menyangkut
hal-hal berikut ini: berpusat pada peserta didik, mengembangkan kreativitas
peserta didik, menciptakan kondisi yang menyenangkan dan sekaligus
mengembangkan berbagai kompetensi yang bermuatan nilai afektif,
menyediakan pengalaman yang beragam dan belajar melalui cara-cara
berbuat. Prinsip kegiatan belajar mengajar seperti tersebut mencapai hasil
maksimal
dengan
memadukan
berbagai
13
metode
dan
teknik
yang
memungkinkan semua indra digunakan sesuai dengan karakteristik masingmasing mata pelajaran di dalam sebuah kurikulum (Mundilarto, 2010:4). Jadi,
kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna ketika metode dan teknik
pembelajaran dipadukan dan peserta didik secara aktif ikut dalam proses
pembelajaran. Peserta didik tidak hanya sebagai objek pembelajaran akan
tetapi sebagai juga sebagai subjek pembelajaran.
Pembelajaran fisika merupakan salah satu cara untuk mengajarkan
kepada peserta didik agar memiliki sikap ilmiah dan metode ilmiah untuk
memperoleh produk ilmiah. Produk ilmiah tersebut berupa konsep, prinsip,
asas, hukum maupun teori fisika. Selain mampu menghasilkan produk ilmiah,
melalui pembelajaran fisika peserta didik juga diharapkan mampu
menerapkan produk ilmiah tersebut kedalam kehidupan sehari-hari, teknologi,
industri maupun untuk jenjeng pendidikan yang lebih tinggi. Pembelajaran
fisika akan lebih berkesan jika efek dari pembelajaran fisika tersebut
menjadikan peserta didik dapat menumbuhkembangkan pengalaman yang
dimilikinya untuk melihat dan memahami dunia nyata dengan menggunakan
proses dan prinsip ilmiah.
Pada hakekatnya, pembelajaran fisika tidak sebatas mengingat dan
memahami konsep, prinsip, asas, hukum dan teori saja, akan tetapi lebih
menekankan pada kemampuan peserta didik untuk memanfaatkan ilmu yang
mereka peroleh dan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk
kemaslahatan umat manusia di dunia ini. Pembelajaran fisika sangatlah
penting sebab pengetahuan fisika terdiri dari banyak konsep dan prinsip yang
14
pada umumnya bersifat abstrak. Karena hal itulah kesulitan banyak dihadapi
oleh sebagian besar peserta didik dalam menginterpretasi berbagai konsep
dan prinsip fisika. Kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi dan
menginterpretasi konsep-konsep fisika jelas merupakan prasyarat penting
bagi penggunaan konsep-konsep untuk membuat inferensi-inferensi yang
lebih kompleks atau untuk pemecahan soal fisika yang berkaitan dengan
konsep-konsep tersebut.
2.
Model Problem Based Learnig
PBL merupakan model pembelajaran
yang dirancang dengan
melibatkan masalah dalam kehidupan sehari-sehari yang nyata dan terbuka.
Model pembelajaran ini melibatkan peserta didik dalam penyelidikan yang
relevan dan memungkinkan peserta didik belajar dari kehidupan (Fogarty,
1997: 2). PBL yaitu model pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk
mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk memecahkan
permasalahan, mengaktifkan keingintahuan peserta didik, serta fokus pada
proses. Selain itu, PBL dapat mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk belajar mandiri, berkomunikasi, berkolaborasi, serta menciptakan
sesuatu.
Pembelajaran PBL menuntut peserta didik untuk aktif melakukan
penyelidikan dalam menyelesaikan permasalahan dan guru berperan sebagai
fasilitator atau pembimbing. Pembelajaran dengan PBL melibatkan peserta
didik untuk aktif menggali pengetahuan, aktif mencari informasi baru,
15
mengintegrasikan pengetahuan baru dengan apa yang diketahuinya dan
mengorganisasikan informasi yang diketahui. Penerapan PBL dapat membuat
peserta didikss berfikir, membuat peserta didik mngajukan pertanyaan,
mengaktifkan
pengetahuanawal,
menguji
pemahaman
peserta
didik,
mengelaborasi pengetahuan baru, memperkuat pemahaman peserta didik dan
memberikan motivasi untuk belajar.
PBL memiliki gagasan bahwa pembelajaran dapat dicapai jika kegiatan
pendidikan dipusatkan pada tugas-tugas atau permasalahan yang autentik,
relevan dan dipresentasikan dalam suatu konteks. Berdasarkan pendapat
tersebut dapat dinyatakan bahwa PBL merupakan sebuah model pembelajaran
alternatif
yang dapat
diterapkan
oleh
para
pendidik.
Guru
perlu
mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan pertukaran ide secara
terbuka sehingga pembelajaran ini menekankan peserta didik dalam
berkomunikasi dengan teman sebayanya maupun dengan lingkungan belajar
peserta didik, sehingga membantu peserta didik menjadi lebih mandiri dalam
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan fakta.
Fokus pembelajaran ada pada konsep yang dipilih sehingga peserta
didik tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan
masalah tetapi juga metode ilmiah untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Masalah yang dijadikan fokus pembelajaran dapat diselesaikan peserta didik
melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman
belajar yang beragam pada peserta didik seperti kerjasama dan interaksi
dalam kelompok. Keadaan tersebut menunjukan bahwa model PBL dapat
16
memberikan pengalaman yang kaya pada peserta didik. Dengan kata lain,
penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman peserta didik tentang apa
yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya
dalam kondisi yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan pembelajaran berdasarkan masalah ada tiga, yaitu membantu
peserta didik mengembangkan keterampilan-keterampilan penyelidikan dan
pemecahan masalah, memberi kesempatan kepada peserta didik mempelajari
pengalaman-pengalaman dan peran-peran orang dewasa, dan memungkinkan
peserta didik meningkatkan sendiri kemampuan berpikir mereka dan menjadi
peserta didik mandiri.
Adapun tujuan PBL menurut Rusman (2010: 238) yaitu penguasaan isi
belajar dari disiplin heuristik dan pengembangan keterampilan pemecahan
masalah. PBL juga berhubungan dengan belajar tentang kehidupan yang lebih
luas (lifewide learning), keterampilan memaknai informasi, kolaborasi dan
belajar tim, dan keterampilan berpikir reflektif dan evaluatif. Trianto (2010:
94-95) menyatakan bahwa tujuan PBL yaitu membantu peserta didik
mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan mengatasi masalah,
belajar peranan orang dewasa yang autentik dan menjadi pembelajar yang
mandiri. Sejalan dengan pendapat tersebut, pemecahan masalah merupakan
salah satu strategi pengajaran berbasis masalah dimana guru membantu
peserta didik untuk belajar memecahkan melalui pengalaman-pengalaman
pembelajaran hands-on (Jacobsen et al, 2009: 249), sehingga pernyataan
17
tersebut sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui
pengaruh PBL terhadap kemampuan kognitif C3, C4, dan C5.
Arends
(2013:
115)
menyatakan bahwa
sintaks
pembelajaran
berdasarkan masalah terdiri dari lima fase utama. Fase-fase tersebut merujuk
pada tahapan-tahapan yang praktis yang dilakukan dalam kegiatan
pembelajaran dengan PBL, sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Sintaks untuk PBL
Fase
Perilaku guru
Fase 1
Guru membahas tujuan pembelajaran,
Memberikan orientasi tentang
mendeskripsikan berbagai kebutuhan
permasalahan kepada peserta logistik penting, dan memotivasi
didik
peserta didik untuk terlibat dalam
kegiatan mengatasi masalah.
Fase 2.
Guru membantu peserta didik untuk
Mengorganisasikan peserta
mendefinisikan dan mengorganisasikan
didik untuk
tugas-tugas belajar yang terkait dengan
Meneliti
permasalahannya
Fase 3.
Guru mendorong peserta didik untuk
Membantu investigasi mandiri
mendapatkan informasi yang tepat,
dan kelompok
melaksanakan eksperimen dan mencari
penjelasan dan solusi.
Fase 4.
Guru membantu peserta didik dalam
Mengembangkan dan
merencanakan dan menyiapkan artefakmempresentasikan artefak dan
artefak yang sesuai seperti laporan,
exhibit.
rekaman video, dan model-model, serta
membantu
mereka
untuk
menyampaikannya kepada orang lain.
Fase 5.
Guru membantu peserta didik untuk
Menganalisis dan mengevaluasi melakukan
refleksi
terhadap
proses mengatasi masalah.
investigasinya dan proses-proses yang
mereka gunakan.
(sumber: Arends, 2013: 115)
Fase 1. Memberikan Orientasi tentang Permasalahannya kepada Peserta
didik. Pada awal pelajaran PBL, seperti semua tipe pelajaran lainnya, guru
seharusnya mengkomunikasikan dengan jelas maksud pelajarannya,
membangun sikap positif terhadap pelajaran itu, dan mendeskripsikan
18
sesuatu yang diharapkan untuk dilakukan oleh peserta didik. Guru perlu
menyodorkan situasi bermasalah dengan hati-hati atau memiliki prosedur
yang
jelas
untuk
melibatkan
peserta
didik
dalam
identifikasi
permasalahan. Guru seharusnya menyuguhkan situasi bermasalah itu
kepada peserta didik dengan semenarik mungkin.
Fase 2. Mengorganisasikan Peserta didik
untuk Meneliti. PBL
mengharuskan guru untuk mengembangkan keterampilan kolaborasi di
antara peserta didik dan membantu mereka untuk menginvestigasi masalah
secara bersama-sama. PBL juga mengharuskan guru untuk membantu
peserta didik untuk merencanakan tugas investigatif dan pelaporannya.
Fase 3. Membantu Investigasi Mandiri dan Kelompok. Investigasi yang
dilakukan secara mandiri, berpasangan, atau dalam tim-tim studi kecil
adalah inti PBL. Meskipun setiap situasi masalah membutuhkan teknik
investigatif
yang
agak
berbeda,
kebanyakan
melibatkan
proses
mengumpulkan data dan eksperimentasi, pembuatan hipotesis dan
penjelasan, dan memberikan solusi.
Fase 4. Mengembangkan dan Mempresentasikan Artefak dan Exhibits.
Fase investigatif diikuti dengan pembuatan artefak dan exhibits. Artefak
lebih dari sekedar laporan tertulis. Artefak termasuk hal-hal seperti
rekaman video yang memperlihatkan situasi yang bermasalah dan solusi
yang diusulkan, model-model yang mencakup representasi fisik dari
situasi masalah atau solusinya, dan pemrograman komputer serta
presentasi multimedia. Setelah artefak dikembangkan, guru sering
19
mengorganisasikan exhibits untuk memamerkan hasil karya peserta didik
di depan umum. Exhibits dapat berupa pekan ilmu pengetahuan
tradisional, yang masing-masing peserta didik memamerkan hasil
karyanya untuk diobservasi dan dinilai oleh orang lain.
Fase 5. Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Mengatasi Masalah. Fase
terakhir PBL melibatkan kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk
membantu
peserta
didik
menganalisis
dan
mengevaluasi
proses
berpikirnya sendiri maupun keterampilan investigatif dan keterampilan
intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini, guru meminta peserta
didik untuk merekontruksikan pikiran dan kegiatan mereka selama
berbagai fase pelajaran.
3.
Hasil Belajar
Belajar dan mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur yang
dapat dibedakan, yakni tujuan pengajaran (intruksional), pengalaman (proses)
belajar mengajar, dan hasil belajar (Nana Sudjana, 2009: 2). Setiap kegiatan
pembelajaran tidak lepas dari kegiatan pengevaluasian terhadap rencana dan
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Untuk mengukur taraf keberhasilan
guru dalam mengajar dan peserta didik dalam belajar secara tepat diperlukan
data yang objektif dan memadai tentang perubahan perilaku peserta didik.
Perubahan tersebut dapat diamati dalam hasil belajar peserta didik.
Penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasilhasil belajar yang dicapai peserta didik dengan kriteria tertentu. Hasil belajar
20
adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia
menerima pengalaman belajarnya (Nana, 2009: 22). Pengertian hasil belajar
tidak dapat dipisahkan dari apa yang terjadi dalam kegiatan belajar baik di
kelas, di sekolah maupun di luar sekolah. Hasil belajar merupakan suatu nilai
yang menunjukkan hasil tertinggi dalam belajar yang dicapai menurut
kemampuan peserta didik dalam mengerjakan sesuatu pada saat tertentu. Pada
umumnya, dalam suatu kelas peserta didik yang satu dengan peserta didik
yang lainnya cenderung memiliki hasil belajar yang berbeda-beda. Hal itu
dapat terjadi karena latar belakang, heterogenitas, karakteristik dan
kemampuan akademiknya. Biasanya di semua jenjang pendidikan, hasil
belajar dinyatakan dengan suatu angka atau bilangan.
Hasil belajar fisika peserta didik dapat diperoleh guru dengan
melakukan proses evaluasi, pengukuran, dan penilaian. Pada proses
pembelajaran fisika, penilaian dilakukan terhadap pokok bahasan maupun
terhadap proses. Penilaian proses merupakan penilaian terhadap kegiatan dan
kemajuan peserta didik pada saat berlangsung kegiatan pembelajaran di kelas.
Penilaian
penguasaan
materi
pokok
merupakan
pengetahuan
untuk
mengetahui hasil belajar peserta didik setelah proses pembelajaran.
Menurut Syaiful (2010:105) proses pembelajaran terdapat beberapa
indikator keberhasilan. Adapun indikator yang menjadi petunjuk bahwa suatu
proses belajar mengajar dianggap berhasil adalah sebagai berikut:
a.
Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai hasil
tinggi, baik secara individual maupun kelompok.
21
b.
Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran telah dicapai oleh
peserta didik, baik secara individual maupun kelompok.
Hasil belajar yang dicapai peserta didik dipengaruhi oleh dua faktor
utama yakni faktor dari dalam diri peserta didik itu sendiri dan faktor yang
datang dari luar diri peserta didik atau faktor lingkungan. Faktor yang datang
dari diri peserta didik terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor
kemampuan peserta didik besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar
yang dicapai. Faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik
antara lain motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar,
ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis(Nana, 2009: 39). Faktor
tersebut banyak menarik perhatian para ahli pendidikan untuk diteliti,
seberapa jauh kontribusi/sumbangan yang diberikan oleh faktor tersebut
terhadap hasil belajar peserta didik.
Faktor-faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang dapat
menentukan atau mempengaruhi hasil belajar peserta didik di antaranya ialah
kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran ialah tinggi rendahnya atau
efektif tidaknya proses pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Oleh karena itu, hasil belajar peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh
kemampuan peserta didik dan kualitas pembelajaran.
Hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah
laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup bidang
kognitif, afektif, dan psikomotor.
22
a.
Fungsi penilaian hasil belajar
Penilaian hasil dan proses belajar saling berkaitan satu sama lain sebab
hasil belajar yang dicapai peserta didik merupakan akibat dari proses
pembelajaran yang ditempuh, maka penilaian berfungsi sebagai berikut:
1)
Alat untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran.
2)
Umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar.
3)
Dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar peserta didik
kepada para orang tuanya.
b.
Tujuan penilaian hasil belajar
Sejalan dengan fungsi penilaian maka tujuan dari penilaian hasil belajar
adalah untuk :
a) Mendeskripsikan kecakapan hasil belajar para peserta didik sehingga
dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang
studi yang ditempuh.
b) Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran
disekolah, dalam aspek intelektual, sosial, emosional, moral, dan
keterampilan yakni seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah
tingkah laku para peserta didik kearah tujuan pendidikan yang
diharapkan.
c) Menentukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan
perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan
pembelajaran serta strategi pelaksanaannya.
23
d) Memberikan
pertanggungjawaban
(accountability)
dari
pihak
sekolah ke pihak-pihak yang berkepentingan.
Bukti bahwa seseorang telah belajar ialah terjadinya perubahan tingkah
laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari
tidak mengerti menjadi mengerti. Tingkah laku manusia terdiri dari sejumlah
aspek. Hasil belajar akan tampak pada setiap perubahan pada aspek-aspek
tersebut. Adapun aspek-aspek itu adalah: pengetahuan, pengertian, kabiasaan,
keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi
pekerti, sikap.
Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya itu berpendapat bahwa
taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan itu harus mengacu pada tiga
jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik,
yaitu: (1) Ranah proses berpikir (cognitive domain), (2) Ranah nilai atau
sikap (affective domain), dan (3) Ranah Keterampilan (psycomotor domain)
(Sudijono, 2006:49).
a.
Ranah Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencangkup kegiatan yang
mencangkup mental (otak). Menurut Krathwohl (2001: 216) yang
merevisi taksonomi Bloom, bahwa kemampuan kognitif terdiri dari enam
tingkatan, yaitu:
1) Tingkat Mengingat (Remember)
2) Tingkat Memahami (Understand)
3) Tingkat Menerapkan (Apply)
24
4) Tingkat Menganalisis (Analyze)
5) Tingkat Mengevaluasi (Evaluate)
6) Tingkat Menciptakan (Create)
Secara grafis taksonomi Anderson-Karthwohl ditunjukkan dalam
Gambar 1.
Tingkat
Menciptakan
(Create)
Tingkat
Mengevaluasi
(Evaluate)
Tingkat Menganalisis (Analyze)
Tingkat Menerapkan (Apply)
Tingkat Memahami (Understand)
Tingkat Mengingat (Remember)
Gambar 1. Taksonomi Kognitif Anderson-Karthwortl
Penjelasan untuk tingatan-tingkatan hasil belajar Anderson dan
Krathwohl menurut Leslie Owen Wilson (2013: 2) adalah sebagai berikut:
1) Tingkat Mengingat (Remember)
Mengenali atau mengingat pengetahuan dari memori. Mengingat
adalah saat memori digunakan untuk mendefinisikan, menyatakan,
menyebutkan daftar, membaca atau mengingat kembali sebuah materi.
25
2) Tingkat Memahami (Understand)
Tipe hasil belajar yang lebih tinggi daripada pengetahuan adalah
mengingat. Membangun makna dari berbagai jenis fungsi menjadi
kalimat tertulis atau grafis seperti menafsirkan, mencontohkan,
mengklasifikasi, meringkas, menyimpulkan, membandingkan, dan
menjelaskan.
3) Tingkat Mengaplikasi (Apply)
Melaksanakan atau menggunakan prosedur melalui mengeksekusi,
atau melaksanakan. Menerapkan di sini mengacu pada situasi di mana
bahan belajar diimplementasikan dalam produk-produk seperti model,
presentasi, wawancara atau simulasi.
4) Tingkat Menganalisis (Analyze)
Memecah atau memilah-milah materi atau konsep menjadi beberapa
bagian, menentukan
bagaimana bagian-bagian tersebut
saling
berhubungan satu sama lain hingga menjadi struktur atau tujuan yang
utuh. Tahap ini termasuk mencakup membedakan, mengorganisir, dan
menghubungkan, serta mampu membedakan antara komponen atau
bagian. Ketika seseorang menganalisis ia dapat sampai di tahap ini
dengan menciptakan spreadsheet, survei, grafik, atau diagram, atau
representasi grafis.
5) Tingkat Mengevaluasi (Evaluate)
Membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar melalui
pemeriksaan dan mengkritisi. Kritik, rekomendasi, dan laporan adalah
26
beberapa produk yang dapat dibuat untuk menunjukkan proses
evaluasi. Dalam taksonomi yang lebih baru daripada taksonomi
Bloom (Taksonomi Anderson – Kartwohl) tahap evaluasi terlebih
dahulu daripada tahap menciptakan sebagaimana halnya bahwa
memeriksa
(mengevaluasi)
adalah
hal
yang
penting
untuk
dilaksanakan sebelum menciptakan sesuatu.
6) Tingkat Menciptakan (Create)
Menempatkan elemen bersama-sama untuk membentuk satu kesatuan
yang koheren atau utuh ; menyusun kembali unsure-unsur ke dalam
pola atau struktur yang baru dengan menghasilkan, merencanakan,
atau memproduksi. Menciptakan mengharuskan peserta didik untuk
menempatkan bagian-bagian menjadi satu dengan cara baru atau
mensintesis bagian-bagian tersebut menjadi sesuatu yang baru dan
berbeda bentuk atau produk yang baru. Proses ini adalah tahapan yang
paling sulit dalam taksonomi ini.
b. Ranah Afektif
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah
ini oleh Krathwohl dan kawan-kawan ditaksonomi menjadi lebih rinci lagi
dalam lima jenjang, yaitu
1)
Receiving atau Attending
Receiving
atau
attending
yaitu
kepekaan
dalam
menerima
rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada peserta didik
dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain (Sudijono, 2006:
27
54). Pada jenjang ini berhubungan erat dengan keinginan serta
kemauan peserta didik dalam memperhatikan suatu kegiatan atau
suatu objek.
2)
Responding (menanggapi)
Responding (menanggapi) mengandung arti adanya partisipasi aktif.
Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam
fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah
satu cara (Sudijono, 2006: 55). Pada tahap ini peserta didik tidak
hanya sebagai penerima informasi atau memperhatikan penjelasan
dari guru akan tetapi peserta didik juga ikut aktif dan memberikan
reaksi dalam pembelajaran. Jenjang ini setingkat lebih tinggi
ketimbang jenjang receiving.
3)
Valuing (menilai/menghargai)
Valuing adalah memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan
atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan
akan
membawa kerugian atau penyesalan (Sudijono, 2006: 55).
Valuing adalah merupakan tingkatan afektif yang lebih tinggi dari
pada receiving dan responding.
4)
Organization (mengatur/mengorganisasikan)
Organization adalah memepertemukan perbedaan nilai sehingga
terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa perbaikan
umum.
Mengatur
atau
28
mengorganisasikan
merupakan
pengembangan dari nilai kedalam suatu sistem organisasi, termasuk
didalamnya hubungan suatu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan
prioritas
nilai
yang
telah
dimilikinya.
Mengatur
dan
mengorganisasikan merupakan jenjang sikap atau nilai yang lebih
tinggi lagi ketimbang receiving, responding dan valuing.
5)
Characterization by a value orvalue complex (karakterisasi dengan
suatu nilai atau komplek nilai)
Characterization by a value orvalue complex adalah keterpaduan
semua sistem yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi
pola kepribadian dan tingkah lakunya disini proses internalisasi nilai
telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu
telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah
mempengaruhi emosinya. Jenjang adalah merupakan tingkatan
afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar
bijaksana (Sudijono, 2006:55). Jadi pada tahap ini peserta didik telah
memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk
suatu waktu yang lama, sehingga membentuk tingkah laku yang
menetap.
c. Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan
(skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman
belajar tertentu. Simpson dalam buku Anas Susijono menyatakan bahwa
hasil belajar psikomtor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan
29
kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya
merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif
(Sudijono, 2006:57). Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan
menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan
perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung
dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya.
Seperti halnya hasil belajar konitif dan afektif, hasil belajar
psikomotor juga memiliki beberapa jenjang. Shimpson mengemukakan
tujuh jenjang, yaitu persepsi, set/persiapan, gerakan terbimbing, gerakan
terbiasa, gerakan kompleks, aadaptasi dan kreativitas (Oemar Hamalik,
2005: 82). Penjelasan dari masing-masing tingkatan tersebut sebagai
berikut:
1) Persepsi (perseption) yaitu berkenaan dengan organ indra untuk
menangkap isyarat yang membimbing aktivitas gerak. Kategori itu
bergerak dari stimulus sensori (kesadaran terhadap stimulus) melalui
pemilihan
isyarat
(pemilihan
tugas
yang
relevan)
hingga
penerjemahan dari persepsi isyarat ke tindakan (Sukiman, 2012: 73).
Jadi, persepsi adalah kemampuan membedakan suatu gejala dengan
gejala lain.
2) Kesiapan (set) yaitu menunjukan pada kesiapan untuk melakukan
tindakan tertentu. Kategori ini meliputi perangkat mental (kesiapan
mental untuk bertindak), perangkat fisik (kesiapan fisik untuk
bertindak), dan perangkat emosi (kesediaan untuk bertindak)
30
(Sukiman, 2012: 73). Jadi, kesiapan adalah kemampuan menempatkan
diri untuk memulai suatu gerakan.
3) Gerakan terbimbing (guided response) yaitu tahapan awal dalam
mempelajari keterampilan yang kompleks. Hal ini meliputi peniruan
(mengulang suatu perbuatan yang telah didemonstrasikan oleh
instruktur) dan trail and error (menggunakan pendekatan ragam
respon untuk mengidentifikasikan respons yang tepat) (Sukiman,
2012: 73). Jadi, gerakan terbimbing adalah kemampuan melakukan
gerakan meniru model yang telah dicontohkan.
4) Gerakan terbiasa (mechanism) yaitu berkenaan dengan kinerja dimana
respons peserta didik telah menjadi terbiasa dan gerakan-gerakan
dilakukan dengan penuh keyakinan dan kecakapan. Hasil belajar level
ini berkenaan dengan keterampilan berbagai tipe kinerja, tetapi tingkat
kompleksitas gerakannya lebih rendah dari level berikutnya (Sukiman,
2012: 74). Jadi, gerakan terbiasa adalah kemampuan melakukan
gerakan tanpa ada contoh model.
5) Gerakan kompleks (complex overt respons) yaitu gerakan yang sangat
terampil degan pola-pola gerakan yang sangat kompleks. Keahlian
terindikasi dari dengan gerakan yang cepat, lancar, akurat, dan
menghabiskan energi yang minimum (Sukiman, 2012: 74). Jadi,
gerakan kompleks adalah kemampuan melakukan serangkaian
gerakan dengan cara urutan yang tepat.
31
6) Gerakan pola penyesuaian (adaptation) yaitu berkenaan dengan
keterampilan yang dikembangkan dengan baik sehingga seorang dapat
memodifikasi pola-pola gerakan untuk menyesuaikan situasi tertentu
(Sukiman, 2012: 74). Pada jenjang ini keterampilanya sudah
berkembang,
sehingga
dapat
disesuaikan
dengan
sitasi
atau
permasalahan tertentu.
7) Kreativitas (origination) yaitu menunjukan kepada penciptaan polapola gerakan baru untuk menyesuaikan situasi tertentu atau problem
khusus. Hasil belajar untuk level ini menekankan kreativitas yang
didasarkan pada keterampilan yang sangat hebat (Sukiman, 2012: 74).
Kreatifitas adalah level tertinggi dalam jenjang ini. Jadi, kreativitas
adalah
kemampuan
menciptakan
gerakan-gerakan
baru
yang
sebelumnya tidak ada atau mengombinasikan gerakan yang ada
menjadi kombinasi gerakan baru.
4.
Metode Eksperimen
Metode eksperimen merupakan suatu metode pembelajaran yang
memberi peluang kepada guru dan peserta didik untuk melakukan percobaan
terhadap sesuatu serta mengamati proses dan hasil percobaan itu. Peserta
didik dalam melakukan percobaan untuk memecahkan masalah yang ada. Hal
ini sesuai dengan pendapat dari Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan (1994:
94)
yang menyatakan
bahwa eksperimen
adalah percobaan untuk
membuktikan suatu pertanyaan atau hipotesis tertentu. Eksperimen bisa
32
dilakukan di sebuah laboratorium dan dapat juga dilakukan di luar
laboratorium. Pekerjaan eksperimen mengandung makna belajar untuk
berbuat, karena itu dapat dimasukkan ke dalam metode mengajar dan belajar.
Metode eksperimen pada dasarnya merupakan salah satu cara
pembelajaran yang meniru aktivitas para fisikawan terdahulu, namun pada
pelaksanaannya eksperimen yang dilakukan di sekolah-sekolah berbeda
dengan eksperimen yang dilakukan oleh para fisikawan terdahulu. Para
fisikawan
terdahulu,
dalam
melakukan
eksperimen
mereka
tidak
menggunakan petunjuk eksperimen dan hanya mengandalkan sikap ilmiahnya
untuk memperoleh produk ilmiah yang diharapkan melalui proses ilmiah.
Berbeda dengan eksperimen yang dilakukan oleh para fisikawan, dalam
pelaksanaan metode eksperimen untuk peserta didik diperlukan sebuah
petunjuk
atau
pedoman
untuk
mengarahkan
peserta
didik
dalam
melaksanakan suatu percobaan. Petunjuk tersebut biasanya disebut dengan
petunjuk praktikum. Petunjuk praktikum biasanya berisi langkah-langkah
kerja yang melibatkan proses berfikir, prosedur kerja, kreativitas dan
kemandirian peserta didik dalam proses percobaan untuk menemukan konsep,
prinsip, teori, asas, atau hukum-hukum fisika. Petunjuk yang berisi langkahlangkah percobaan tersebut dimuat dalam sebuah worksheet atau lembar
kegiatan peserta didik (LKPD).
Eksperimen dibagi menjadi dua macam yaitu, eksperimen berbasis
inkuiri dan eksperimen berbasis verifikasi. Pertama, eksperimen berbasis
inkuiri, dengan proses ini peserta didik diharapkan dapat memahami dan
33
terampil terhadap suatu permasalahan yang diberikan oleh guru. Peserta didik
dapat merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan, dan
menganalisis data serta menarik sebuah kesimpulan. Kedua, eksperimen
berbasis verifikasi yaitu melakukan proses penelitian untuk memberikan
pengertian kepada peserta didik terhadap teori atau konsep yang telah guru
berikan melalui eksperimen sehingga peserta didik dapat mengerti dan
memahami konsep dan teori tersebut.
Dengan metode eksperimen peserta didik dapat menemukan sendiri
jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik. Di awal proses
ini guru bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing. Selanjutnya peserta
didik diharapkan dapat menemukan solusi dari masalah yang dihadapi secara
mandiri.
Menurut Srimulyani Sumantri & Johar Permana (2001: 136), tujuan
dari metode eksperimen yang ditonjolkan sebagai berikut:
a. Agar peserta didik mampu menyimpulkan fakta-fakta, informasi atau
data yang diperoleh.
b. Melatih peserta didik merancang, mempersiapkan, melaksanakan dan
melakukan percobaan.
c. Melatih peserta didik menggunakan logika berpikir induktif untuk
menarik kesimpulan dari fakta, informasi atau data yang terkumpul dari
percobaan.
34
Kelebihan metode eksperimen menurut Cece Wijaya dan A. Tabrani
Rusyan (1994: 95-96) sebagai berikut:
a.
Metode ini dapat menerapkan prinsip learning by experiencing dalam
belajar. Melalui metode eksperimen, peserta didik mengalami baik
langsung maupun tidak langsung suatu peristiwa atau kejadian yang
dihadapinya sebagai pengalaman dalam belajar. Melalui pengalaman
tersebut peserta didik dapat mengidentifikasi gejala secara menyeluruh,
yang dipelajarinya tidak terbatas pada unsur pengetahuan, tetapi
menyangkut sikap dan keterampilan-keterampilan tertentu.
b.
Metode ini dapat menerapkan prinsip belajar dengan cara peserta didik
belajar aktif secara utuh dimana keterlibatan proses-proses inkuiri dan
discoveri akan berlaku sepenuhnya tanpa bimbingan guru. Proses mental,
intelektual, dan emosional berjalan semestinya yang menghasilkan
produk pikiran yang konseptual dan realistis peserta didik.
c.
Metode ini bersifat student-centered, artinya pusat pembelajaran ada
pada peserta didik dan peserta didik mengolah bahan pembelajaran
sendiri. Guru berperan hanya sebagai pembimbing dan pengarah dalam
proses belajar. Peserta didik diminta untuk belajar berbuat, bekerja, dan
berusaha.
d.
Metode ini dapat mengembangkan sikap berpikir ilmiah, mengarahkan
peserta didik menjadi seorang ilmuwan murni yang menggunakan segala
cara untuk menemukan konsep, dalil, atau aksioma yang diperlukan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dan
35
e.
Metode ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri peserta didik terhadap
masalah yang akan dipecahkannya. Peserta didik berusaha menjelajah
lingkungan yang menjadi objek penelitiannya, dan akhirnya dari
pengalamannya peserta didik memperoleh segala faktor yang membuat
dirinya penuh kepercayaan dan keyakinan.
Adapun kelemahan-kelemahannya menurut Cece Wijaya dan A.
Tabrani Rusyan (1994: 95-96) antara lain sebagai berikut:
a.
Metode ini menghabiskan waktu yang banyak. Apabila diterapkan dalam
pembelajaran di sekolah, metode ini dapat menyerap waktu pelajaran
lainnya.
b.
Metode ini cocok diterapkan pada pelajaran sains dan teknologi, kurang
cocok diterapkan pada pelajaran-pelajaran yang lainnya, terutama bidang
ilmu pengetahuan sosial.
c.
Metode ini memerlukan alat dan fasilitas yang lengkap. Jika kurang salah
satu daripadanya, eksperimen akan gagal, dan
d.
Pada eksperimen tertentu, seperti pada eksperimen bahan-bahan kimia,
kemungkinan menghadapi bahaya selalu ada. Keselamatan kerja pada
metode ini perlu diperhatikan.
Kelas yang menggunakan metode eksperimen diketahui dapat
meningkatkan nilai kinerja produk dan nilai kinerja proses pada pembelajaran
(Septi, 2012: 210). Peserta didik lebih senang terlibat aktif dalam melakukan
kegiatan eksperimen, sehingga kemampuan science process skill dapat
36
dimunculkan dalam pembelajaran. Dengan metode eksperimen maka dapat
dihindari pembelajaran fisika yang hanya menghapal rumus dan materi,
namun juga dapat menumbuhkan sikap ilmiah pada peserta didik.
5.
Hukum Hooke
Sifat elastis atau elastisitas adalah kemampuan suatu benda untuk
kembali ke bentuk awalnya segera setelah gaya luar yang diberikan kepada
benda itu dihilangkan (dibebaskan). Contohnya adalah ketika kita menarik
sebuah pegas, maka pegas akan berubah bentuk, yaitu makin panjang. Ketika
tarikan pada pegas dilepaskan, pegas segera kembali ke bentuk awalnya.
Beberapa benda seperti tanah liat (lempung), adonan kue dan plastisin
tidak kembali ke bentuk awalnya segera setelah gaya luar dihilangkan.
Benda-benda seperti ini disebut benda tak elastis atau benda plastis.
Pegas adalah benda berbentuk spiral yang terbuat dari logam.
Gambar 2. Pegas (belajar.kemdikbud.go.id)
Selisih panjang pegas ketika diberi gaya tarik dengan panjang awalnya x 0
disebut pertambahan panjang ∆x. Jika dibuat garfik gaya tarik terhadap
37
pertambahan panjang, maka didapat bahwa titik-titik itu membentuk garis
lurus.
Gambar 3. Grafik Hubungan antara Gaya dan Perubahan
Panjang
Tetapan gaya k adalah gradien dari grafik tersebut. Untuk pegas
yang lebih kaku, tetapan gayanya besar karena diperlukan gaya yang lebih
besar untuk menghasilkan pertambahan panjang yang sama. Untuk semua
pegas berlaku rumus:
............................................................................ (1)
Jika gaya tarik tidak melampaui batas elastis pegas, maka pertambahan
panjang pegas berbanding lurus (sebanding) dengan gaya tariknya.
Pernyataan ini dikemukakan oleh Robert Hooke yang selanjutnya disebut
hukum Hooke.
a. Tetapan Gaya Benda Elastis
Sebelumnya telah didapat persamaan
........................................................................
38
(2)
Kemudian dari hukum Hooke didapat persamaan
...........................................................................
(3)
Dengan menyamakan ruas kanan dan ruas kanan kedua persamaan di
atas, diperoleh rumus umum tetapan gaya k untuk suatu benda elastis,
yaitu
................................................................................
(4)
b. Hukum Hooke untuk Susunan Pegas
Apabila beberapa pegas disusun seri, paralel, atau gabungan, susunan
ini dapat diganti dengan sebuah pegas pengganti.
1) Susunan Seri Pegas
Gambar 4. Susunan Pegas Seri (belajar.kemdikbud.go.id)
Prinsip susunan seri sebuah pegas adalah sebgai berikut:

Gaya tarik yang dialami tiap pegas sama besarnya, dan gaya
tarik ini sama dengan gaya tarik yang dialami pegas pengganti.
Misalkan gaya tarik yang dialami tiap pegas adalah F1 dan F2,
maka gaya tarik pegas pengganti adalah F.
39
F1 = F2 = F............................................................

(5)
Pertambahan panjang pegas pengganti seri ∆x, sama dengan
total pertambahan panjang tiap-tiap pegas.
∆x = ∆x1 +∆x2 .........................................................
(6)
Dengan menggunakan hukum Hooke dan kedua prinsip susunan
seri, kita dapat menentukan hubungan antara tetapan pegas
pengganti seri ks dengan tetapan tiap-tiap pegas (k1 dan k2).
F = ks ∆x
∆x =
................................................ (7)
F1 = k1 ∆x1
F = k1 ∆x1
∆x1 =
......... (8)
F2 = k2 ∆x2
F = k2 ∆x2
∆x2 =
.......... (9)
Dengan memasukkan nilai ∆x, ∆x1 dan ∆x2 di atas ke persamaan
∆x = ∆x1 +∆x2 ...............................................................(10)
......................................................................... (11)
..........................................................................(12)
Dapat dinyatakan bahwa kebalikan tetapan pegas pengganti seri
sama dengan total dari kebalikan tiap-tiap tetapan pegas.
........................................(13)
Untuk n buah pegas identik dengan tiap pegas memiliki tetapan k,
tetapan pegas pengganti seri ks dapat dihitung dengan rumus
...................................................................................(14)
40
2) Susunan Paralel Pegas
Gambar 5. Susunan Pegas Paralel (belajar.kemdikbud.go.id)
Prinsip susunan parallel sebuah pegas adalah sebagai berikut:

Gaya tarik pada pegas pengganti F sama dengan total gaya
tarik pada tiap pegas (F1 dan F2).
F = F1 + F2 ................................................................(15)

Pertambahan panjang tiap pegas sama besarnya, pertambahan
panjang ini sana dengan pertambahan panjang pegas pengganti.
∆x1 +∆x2 = ∆x ........................................................... (16)
Dengan menggunakan hukum Hooke dan kedua prinsip susunan
paralel, kita dapat menentukan hubungan antara tetapan pegas
pengganti seri ks dengan tetapan tiap-tiap pegas (k1 dan k2).
F = kp ∆x ..............................................................................(17)
F1 = k1 ∆x1
F1 = k1 ∆x ............................................(18)
F2 = k 2 ∆x2
F2 = k2 ∆x ............................................(19)
41
Dengan memasukkan nilai F, F1 dan F2 di atas ke persamaan
F = F1 + F2 ..................................................................... (20)
kp ∆x = k1 ∆x + k2 ∆x ......................................................... (21)
kp = k1 + k2 ........................................................................ (22)
Dapat dinyatakan bahwa tetapan pegas pengganti seri sama dengan
total dari tiap-tiap tetapan pegas.
kp = ∑ki = k1 + k2 +k3 + . . . ................................................. (23)
c. Energi Potensial Pegas
Energi potensial pegas adalah besarnya gaya pegas untuk meregangkan
sepanjang Δx. Berdasarkan hukum Hooke dapat diketahui grafik
hubungan antara gaya F dengan pertambahan panjang Δx seperti pada
Gambar 6. Besarnya usaha merupakan luasan yang diarsir.
F
B
Δx
O
A
Gambar 6. Grafik Gaya terhadap Pertambahan panjang
W  EP  OAB ............................................................. (24)
1
E P  Fx
2
...................................................................... (25)
Karena F  kx maka,
42
1
E P  (kx)x
2
................................................................. (26)
1
E P  k (x) 2
2
.................................................................. (27)
dengan:
Ep
= energi potensial pegas (J)
k
=konstanta gaya pegas (N/m)
Δx
= pertambahan panjang pegas (m)
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian Riani Dewi Larasati, dengan judul “Pengaruh Model
Problem Based Learning (PBL) Melalui Metode Eksperimen Terhadap
kemampuan Kognitif berdasarkan Ketrampilan Pemecahan Masalah Fisika
Pada Materi Sub Bahasan Asas Black untuk peserta didik kelas X SMA
Negeri 1 Sewon Bantul Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukan bahwa
terdapat pengaruh positif dan signifikan model PBL melalui metode
eksperimen
terhadap
kemampuan
kognitif
berdasarkan
keterampilan
pemecahan masalah fisika yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi
sebesar 0,482 dan sumbangan model PBL dalam hal ini aktivitas eksperimen
peserta didik terhadap kemampuan kognitif peserta didik sebesar 23,2%.
Penelitian Ika Setyaningsih (2010), dengan judul “Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis Peserta didik dengan Penerapan Problem Based
Learning pada Materi Pokok Pencemaran Lingkungan Kelas X-D Semester II
SMA Negeri 4 Yogyakarta”. Hasil penelitian menjelaskan bahwa penerapan
43
problem based learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
peserta didik dari kategori kurang kritis pada siklus I menjadi cukup kritis
pada siklus II setelah diadakan refleksi pada siklus I. Hal ini terlihat dari
persentase rata-rata tiap aspek berpikir kritis yaitu (1) membuat definisi dan
klarifikasi masalah persentasenya sebesar 54%; (2) menilai dan mengolah
informasi persentasenya sebesar 56,67%; (3) merancang solusi masalah/
membuat kesimpulan persentasenya sebesar 50,67%. Rata-rata persentase
dari ketiga aspek tersebut sebesar 53,78%; diketahui bahwa kemampuan
berpikir kritis peserta didik negatif atau peserta didik kurang kritis.
C. Kerangka Berpikir
Proses belajar fisika akan menjadi efektif bila bahan yang dipelajari
dikaitkan dengan tujuan yang akan dicapai dan dihubungkan dengan masalah
kehidupan sehari-hari. Pembelajaran fisika, pada saat ini masih berpusat pada
guru, padahal kurikulum sudah diubah dengan memusatkan pada peserta
didik (student centered), sehingga kurang mengembangkan kemampuan
peserta didik dan hasil belajar yang belum baik.
Untuk meningkatkan hasil belajar fisika peserta didik, perlu
memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Mata pelajaran
fisika memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi, karena peserta didik
dituntut memiliki pemahaman konsep yang baik. Pelajaran fisika merupakan
pelajaran yang mempelajari banyak fenomena gejala alam yang perlu dikaji.
Keberhasilan pembelajaran bergantung pada proses pembelajaran yang terjadi
44
antara peserta didik dan guru. Proses pembelajaran akan berhasil dengan
melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran, sehingga terjadi
interaksi peserta didik dalam kelompok.
Oleh karena itu, sebagai seorang tenaga pendidik perlu mensiasati agar
proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik walaupun pembelajaran
berlangsung di dalam kelas dan dapat membuat peserta didik lebih aktif
dalam mengikuti pembelajaran sehingga pembelajaran tidak hanya berpusat
pada guru (teacher centered). Salah satu model yang dapat diterapkan dalam
pembelajaran dengan mengikutsertakan peserta didik yaitu dengan model
PBL.
Model PBL melalui metode eksperimen dapat dijadikan salah satu
alternatif pembelajaran yang dapat membuat suatu pembelajaran lebih
menarik dan variatif serta dapat membantu peserta didik belajar lebih
mandiri. Model PBL adalah model yang penyampainya dilakukan dengan
cara menyajikan suatu permasalahan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan
memfasilitasi penyelidikan. Pembelajran dengan PBL melibatkan peserta
didik untuk aktif menggali pengetahuan, mencari informasi baru dan
pembelajaran dengan PBL lebih mengeksplor kemampuan peserta didik.
Untuk lebih mudahnya kerangka berfikir di atas dapat dinyatakan dengan
diagram pada Gambar 7.
45
RPP
LKS
Pembelajaran
Berbasis
Masalah
Pencarian
Percobaan
Diskusi
Hasil Belajar
Kognitif Meningkat
Hasil Belajar
Psikomotor
Meningkat
Gambar 7. Kerangka Berfikir
D. Hipotesis
1.
Ada perbedaan peningkatan hasil belajar fisika pada ranah kognitif dan
ranah psikomotor antara peserta didik yang melakukan pembelajaran
dengan model PBL melalui kegiatan eksperimen dengan peserta didik
yang melakukan pembelajaran dengan model direct instruction dengan
metode eksperimen.
2.
Model pembelajaran PBL melalui kegiatan eksperimen efektif untuk
meningkatkan hasil belajar fisika pada ranah kognitif dan ranah
psikomotor.
46
Download