BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Peredaran dan dampak penggunaan senjata konvensional merupakan salah satu isu yang selalu mewarnai konstelasi hubungan internasional. Kepemilikan senjata oleh militer dan polisi negara memang sangat penting untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara. Tetapi, disisi lain meningkatnya jumlah senjata yang beredar di berbagai kalangan, telah menjadi ancaman yang serius bagi keamanan. Senjata konvensional merupakan instrumen utama yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mempercepat pencapaian tujuan, serta menaikkan posisi tawar militer dan polisi, kelompok pemberontak atau separatis, dan kelompok kriminal lainnya. Meningkatnya kejahatan transnasional, gerakan pemberontakan, dan konflik etnoreligi di berbagai negara, serta lemahnya mekanisme internasional untuk mengontrol transfer senjata konvensional, menyebabkan peredaran senjata di pasar gelap dalam jumlah besar, semakin meningkat dan sulit untuk dikendalikan. Senjata konvensional telah lama diketahui sebagai instrumen yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM). Menurut Dewan Uni Eropa (EU Council), senjata konvensional termasuk Small Arms and Light Weapon (SALW) dapat dihubungkan dengan kematian hampir 500.000 jiwa setiap tahun dan senjata tersebut merupakan senjata utama yang digunakan untuk merusak keamanan dan stabilitas dari pemerintah nasional negara-negara yang rentan.1 International Institute of Security Studies dalam pengamatannya akan delapan konflik di Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Caucasus dari Juni - Oktober 2004, menunjukan bahwa senjata api bertanggung jawab akan 60-90% kematian yang disebabkan oleh konflik langsung dan memainkan peranan penting akan kematian akibat konflik tidak langsung. 2 1 Institute For Foreign Policy Analysis, ‘A Comprehensive Approach To Combating Illicit Trafficking,’ A Joint Report by Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Juni 2010, p.32. 2 Small Arms Survey, Small Arms Survey 2005: Weapons at War, Oxford University Press, Oxford, p. 248. 1 Pada tanggal 2 April 2013, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil mengadopsi Arms Trade Treaty (ATT) melalui jalur voting. ATT merupakan perjanjian pertama yang menetapkan standar global untuk mengatur perdagangan senjata konvensional, amunisi, dan suku cadangnya. Pembentukan ATT yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk proses negosiasi, merupakan suatu langkah maju yang berisi komitmen dari negara-negara untuk mengurangi kekerasan dan tindakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) yang diakibatkan oleh lemahnya peraturan transfer dan perdagangan senjata. ATT merupakan perjanjian yang diharapkan mampu memberikan fokus pendekatan yang lebih luas dalam pencegahan konflik bersenjata dan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia akibat penggunaan senjata konvensional. 23 negara menyatakan abstain dalam voting akhir pengadopsian regulasi ATT. Indonesia adalah salah satu negara yang menyatakan sikap abstain. Hingga tahun 2016, setelah 130 negara menandatangani dan 82 negara meratifikasi ATT, Indonesia belum menunjukan keinginan sama sekali untuk menandatangani perjanjian tersebut.3 Dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara yang juga memiliki banyak permasalahan mengenai kepemilikan senjata api dan konflik separatisme yang serupa dengan Indonesia, seperti Thailand dan Filipina, keputusan Indonesia jelas kontradiktif. Thailand dan Filipina telah menandatangani ATT. Negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Kamboja, dan Singapura, juga turut menandatangani perjanjian tersebut. Keputusan Indonesia ini semakin menarik untuk ditelusuri lebih jauh, mengingat Indonesia merupakan negara yang awalnya memberikan dukungan penuh dalam negosiasi pembentukan ATT. Indonesia juga dikenal luas sebagai negara yang selalu mendukung dan menyambut baik kerja sama internasional dalam upaya penegakan HAM dalam lingkup internasional, serta secara konsisten selalu merespon tindakan pelanggaran HAM internasional melalui kecaman yang dikemukakan oleh Pemerintah. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara yang merasakan dampak negatif dari kepemilikan senjata api ilegal. Indonesia menghadapi banyak kasus gerakan separatisme, konflik etnis dan agama, serta 3 ‘The Arms Trade Treaty,’ United Nation Office for Disarmament Affair (UNODA) (daring), <http://www.un.org/disarmament/ATT/> , diakses 19 Maret 2015. 2 aksi terorisme yang menyebabkan penyelundupan dan peredaran senjata api ilegal di daerah-daerah rawan, cukup sering terjadi. Semangat pencegahan peredaran senjata api yang tidak bertanggung jawab yang diusung oleh ATT, setidaknya bisa menjadi pilihan yang dapat membantu pemerintah Indonesia untuk mengkoordinir dan mengurangi transfer senjata konvensional, baik legal maupun illegal, untuk mencegah pelanggaran HAM. Namun kenyataannya, dukungan penuh Indonesia dalam tahapan negosiasi tersebut berubah haluan ketika naskah ATT telah terbentuk dan siap untuk diadopsi. Indonesia malah bersikap abstain dalam voting pada negosiasi akhir ATT dan menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut hingga saat ini. Dari uraian tersebut, maka peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mencari tahu makna apa yang ingin Pemerintah Indonesia nyatakan dibalik keputusan mereka untuk tidak menandatangani ATT dengan judul : "Penolakan Indonesia Menandatangani Arms Trade Treaty (ATT) Tahun 2013". 2. Rumusan Permasalahan Penelitian ini akan membahas faktor-faktor yang melatarbelakangi Pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap untuk tidak menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini akan menjawab pertanyaan sebagai berikut. 1. Bagaimana sikap Pemerintah Indonesia dalam proses negosiasi pembentukan naskah ATT ? 2. Mengapa Indonesia menolak untuk menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty) tahun 2013? 3. Review Literatur Belum ada tulisan ilmiah resmi yang telah diterbitkan yang membahas mengenai keputusan Indonesia yang menolak menandatangani ATT. Oleh karena itu dalam studi literatur kali ini, penulis berfokus pada tulisan ilmiah yang membahas mengenai semangat pencegahan dampak negatif dari tranfer senjata api yang diusung oleh ATT, serta tantangan dan kekurangan dalam ATT yang bisa menyebabkan pemaknaan yang berbeda-beda oleh negara. Literatur-literatur ini 3 akan memudahkan penulis untuk menyusun sebuah hipotesis dan membantu dalam penyusunan kerangka penulisan yang sistematis berdasarkan dengan tujuan penulis. Elli Kytömäki dalam The Arms Trade Treaty’s Interaction with Other Related Agreements menyatakan bahwa ATT memiliki potensi untuk memperkuat efektivitas pengendalian senjata serta meningkatkan transparansi dan tanggung jawab dalam transfer senjata. ATT memungkinkan peningkatan kapasitas nasional dan internasional untuk mengendalikan peredaran senjata api, yang akhirnya akan mampu mengurangi perdagangan gelap, ketidakamanan, dan korupsi yang berhubungan dengan transfer senjata api. Oleh karena itu, untuk lebih melengkapi dan memperkuat dasar instrumen agar mampu lebih efektif, Kytömäki merekomendasikan negara dan departemen-departemen pelaksana agar mengambil langkah-langkah penting untuk mensinergikan aturan ATT dan mengurangi dampak dari bentrokan atau tumpang tindih dengan instrumen dan undang-undang terkait terutama undang-undang domestik negara tersebut. Lebih lanjut, Kytömäki merekomendasikan agar sekretariat ATT dapat membangun partisipasi negara pada instumen lain yang relevan dan kerjasama dengan organisasi seperti World Customs Organization (WCO), Interpol, dan agensi keamanan nasional negara lain dalam menjamin efektifnya pelaksanaan ATT. 4 ATT bukan merupakan perjanjian perlucutan senjata (disarmament), seperti yang ditegaskan oleh Yasuhito Fukui dalam The Arms Trade Treaty: Pursuit for the Effective Control of Arms Transfer. Perlucutan senjata merupakan proses yang mengarah pada semua langkah-langkah pada penghapusan persenjataan atau senjata api tertentu. Menurut Fukui, jika definisi disarmament diaplikasikan langsung pada ATT, maka negara-negara eksportir senjata, tidak akan mau ikut menandatangani perjanjian tersebut. Kenyataannya tidak demikian. ATT melarang transfer atau ekspor senjata api jika diketahui bahwa senjata tersebut akan digunakan dalam melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan sebagainya. Larangan terhadap transfer senjata tersebut 4 E. Kytömäki, ‘The Arms Trade Treaty’s Interaction with Other Related Agreements,’ International Security Department, February 2015, The Royal Institute of International Affairs, Chatham House, p.25 4 memastikan ATT akan mampu menjadi sebuah langkah yang efektif untuk perlucutan senjata dan non-ploriferasi, serta disetujui oleh berbagai negara besar. Lebih dari itu, ATT juga mengatur transfer senjata konvensional yang sering digunakan dalam konflik bersenjata dan mencegah perdagangan gelap senjata api. ATT dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mengendalikan peredaran senjata api konvensional dan mampu memainkan peran penting dalam mengatur transfer senjata api. Jenis senjata konvensional yang diatur perdagangan dan transfernya dalam ATT adalah 7 kategori senjata yang ditetapkan dalam UN Register of Conventional Arms (UNROCA) pada tahun 1997. Ketujuh ruang lingkup senjata konvensional tersebut adalah tank tempur; kendaraan tempur lapis baja; sistem artileri kaliber besar; pesawat tempur; helikopter serang; kapal perang; rudal dan peluncur rudal; dan small arms and light weapons (SALW). Negara yang menandatangani ATT harus mengendalikan transfer senjata tersebut dan mengimplementasi aturan-aturan ATT kedalam regulasi hukum nasional mereka. 5 Sebagai perjanjian pertama yang mengatur peredaran senjata konvensional, ATT masih memiliki banyak pengertian ambigu yang bermasalah. Yasuhito Fukui berpendapat bahwa Pasal 7, yang berkaitan dengan ekspor dan penilaian ekspor adalah unsur yang paling penting untuk ATT. Pasal tersebut menetapkan bahwa setelah melakukan penilaian dan mempertimbangkan langkahlangkah mitigasi yang tersedia, pihak negara pengekspor tidak akan memberikan izin ekspor senjata jika dirasa ada konsekuensi negatif atau resiko (an overriding risk) dari ekspor senjata tersebut, yang akan memicu krisis kemanusiaan dan konflik bersenjata disertai dengan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Akan tetapi, muncul ambiguitas sehubungan dengan kata ‘an overriding risk’ tersebut. Pemaknaan kata tersebut telah menimbulkan perdebatan dan menjadikannya sebagai celah signifikan yang menyebabkan puluhan negara hingga kini belum mau menandatangani perjanjian tersebut. Perbedaaan definisi antara penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan dan hukuman, seringkali sulit untuk dibedakan. Contoh lain adalah kasus yang identik dengan pelanggaran hak asasi manusia dan genosida, yang dapat membawa suatu 5 Y. Fukui, ‘The Arms Trade Treaty: Pursuit for the Effective Control of Arms Transfer,’ Journal of Conflict & Security Law, 9 April 2015, Oxford University Press, Oxford, 2015, pp. 310-312. 5 penilaian atau penghakiman yang berbeda-beda. Pemaknaan yang berbeda akan merugikan salah satu pihak. Celah ambiguitas juga ditunjukkan dengan mengenai kata ‘safeguards’, yakni ‘mana yang perlu dan mungkin’ atau ‘sesuai dengan hukum nasional’. Hal ini dapat melemahkan kewajiban ATT dan dapat menjadikanya celah bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan pelanggaran.6 Salah satu tantangan terbesar bagi pelaksanaan ATT adalah peningkatan transparansi. Paul Holtom dan Mark Bromley dalam karya mereka Implementing an Arms Trade Treaty: Lessons on Reporting and Monitoring from Existing Mechanisms yang diterbitkan oleh SIPRI, menyatakan bahwa laporan nasional dari negara-negara mengenai transfer dan elemen dalam sistem kontrol senjata konvensional mereka baik lingkup regional maupun internasional akan memainkan peran penting dalam kesuksesan ATT. Laporan nasional tersebut penting untuk membantu ATT mencapai tujuan mempromosikan transparansi dan tindakan yang bertanggung jawab oleh pihak negara dalam perdagangan senjata konvensional dan akan dijadikan syarat wajib bagi negara yang meratifikasi ATT.7 Legalitas ATT yang mengikat secara hukum terhadap negara yang meratifikasinya, secara dramatis akan meningkatkan transparansi dalam perdagangan senjata. Tapi transparansi ini juga bisa menjadi salah satu kelemahan ATT, di mana negara menjadikan keamanan nasional dan ketakukan akan hilangnya keunggulan kompetitif produksi senjata mereka, sebagai alasan untuk melalaikan tanggung jawab pelaporan mereka. Untuk mengatasi kekhawatiran mengenai transparansi, negara dapat memisahkan mana informasi yang hanya boleh disebar antar negara dan mana informasi yang bisa disebar ke publik. Akan tetapi, pembedaan akan memakan waktu yang panjang untuk diterapkan. Menurut Holtom dan Bromley, ATT mewakili sebuah kesempatan yang sangat langka untuk meningkatkan transparansi global dalam perdagangan senjata internasional 6 Y. Fukui, pp. 317-319. P. Holtom dan M. Bromley, ‘Implementing an Arms Trade Treaty: Lessons on Reporting and Monitoring from Existing Mechanisms,’ SIPRI Policy Paper, 28 Juli 2011, p. 38. 7 6 dan negara harus mengambil kesempatan ini jika mereka memang serius untuk menanggulangi peredaran gelap dan menstabilkan transfer senjata konvensional. 8 4. Kerangka Pemikiran A. Foreign Policy Decision Making Foreign policy decision making merupakan model skema analisis yang berupaya untuk menelaah keputusan yang diambil oleh negara dalam dinamika politik internasional. Untuk dapat memahami mengapa suatu negara memutuskan suatu kebijakan tertentu, maka kita harus memahami mengapa atau apa yang melatar belakangi pembuat kebijakan membuat keputusan tersebut. Dalam pandangan K. J. Holsti (1983), ketika berbicara mengenai perilaku negara, maka hal itu sebenarnya merujuk kepada tindakan para pembuat kebijakan yang sedang melaksanakan pendefinisian tujuan, melakukan pilihan tindakan, dan memanfaatkan kapabilitas nasional untuk mencapai tujuan atas nama negara. Menurut Holsti, negara sebagai level analisis, berfokus pada ideologi, motivasi, cita-cita, persepsi, nilai-nilai, atau idiosinkretik dari pihak atau orang-orang yang mewakili atau dipilih untuk membuat keputusan bagi negara.9 Oleh karena itu, teori decision making process tepat untuk dijadikan instrumen dalam melakukan analisis alasan dibalik penolakan Indonesia untuk menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty) tahun 2013. Foreign policy decision making mengacu pada pilihan yang diambil oleh individu, kelompok, dan koalisi, yang mempengaruhi tindakan suatu negara dalam kancah internasional. Keputusan kebijakan luar negeri sering ditandai dengan taruhan tinggi, ketidakpastian yang sangat besar, dan banyak resiko.10 Adapun jenis-jenis keputusan luar negeri berbentuk keputusan tunggal (one-shot atau single decisions); keputusan interaktif (keputusan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan aktor lain); keputusan berurutan (sequential decisions); keputusan interaktif – berurutan (sequential-interactive decisions); dan 8 P. Holtom dan M. Bromley, pp. 39-40. K.J. Holsti, dalam L. A. Afinotan, ‘Decision Making inInternational Relations: A theoretical Analysis,’ Canadian Social Science, Vol. 10, No. 5, 2014, p. 250. 10 J. Renshon dan S. Renshon. ‘The Theory and Practice of Foreign Policy Decision Making,’ Political Psychology, Vol. 29, No. 4, 2008, p. 509. 9 7 keputusan kelompok. Pembuatan keputusan luar negeri dapat dilihat dari level analisis individual, kelompok, dan koalisi. 11 Menurut Alex Mintz dan Karl DeRouen Jr., terdapat 4 faktor yang menentukan dipilihnya suatu keputusan luar negeri. 1. Decision environment yang terdiri dari kendala waktu, kendala informasi, ambiguitas, keakraban, akuntabilitas, resiko, tekanan, pengaturan dinamis vs statis, dan pengaturan interaktif. 2. Faktor psikologis yakni kepribadian dan keyakinan dari para pemimpin, gaya kepemimpinan, emosi, citra atau images, konsistensi kognitif, dan penggunaan analogi pengaruh dan membentuk pengambilan keputusan luar negeri. 3. Faktor internasional, seperti pencegahan (deterrence), perlombaan senjata, strategic surprise, pembentukan aliansi, dan regime type of the adversary. 4. Faktor domestik, seperti kondisi ekonomi (taktik pengalihan), kepentingan ekonomi, opini publik, siklus pemilu, dan two-level games.12 William D. Coplin menyatakan bahwa para pembuat kebijakan luar negeri adalah sekelompok orang yang dihadapkan pada situasi tertentu, bertanggung jawab kepada orang lain, ditekan oleh beragam situasi, dan diharuskan mengambil sebuah keputusan. Mereka dianggap sebagai pemecah masalah yang rasional dan tidak bertindak sembarangan. Pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam politik internasional bisa dipandang sebagai proses intelektual, proses psikologis, dan proses organisasional. Proses intelektual melibatkan penetapan situasi, pemilihan tujuan, pencarian alternatif, dan pemilihan alternatif. Proses psikologis melibatkan konsep citra atau image, karakteristik, dan pengalaman-pengalaman pribadi pembuat keputusan yang berkaitan dengan persepsi dan kalkulasi terhadap suatu kebijakan luar negeri. Proses organisasional berkaitan dengan permasalahan birokrasi para pengambil keputusan kebijakan luar negeri dalam menyaring dan memberikan informasi-informasi yang sesuai dengan berbagai citra atau image yang ada tentang lingkungan internasional. 11 A. Mintz dan K. DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, Cambridge University Press, Cambridge, 2010, pp. 15-18. 12 A. Mintz dan K. DeRouen Jr., pp. 97-130. 8 Menurut Coplin, terdapat tiga faktor yang setidaknya dapat mempengaruhi para pembuat kebijakan dalam proses pengambilan keputusan luar negeri. 13 1. Kondisi politik domestik yaitu hubungan antara para pengambil kebijakan luar negeri dengan aktor-aktor politik dalam negeri. Coplin menamakan hubungan ini dengan sebutan policy influence system dan aktor-aktor politik dalam negeri tersebut disebut policy influencer. Lebih lanjut, Coplin membedakan policy influencer menjadi empat kategori. Bureaucratic influencer yakni berbagai individu serta organisasi di dalam lembaga-lembaga eksekutif pemerintah yang membantu para pengambilan kebijakan dalam memutuskan dan melaksanakan kebijakan luar negeri. Anggota birokrasi yang bertindak sebagai policy influencer juga terkadang bertindak sebagai pengambil keputusan. Bureaucratic influencer memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan luar negeri karena mereka memiliki akses langsung kepada para pembuat kebijakan dengan memberikan informasi-informasi penting bagi pembuatan suatu keputusan luar negeri dan kemudian melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pengambil keputusan tesebut. Partisan influencer yakni partai-partai politik dalam sistem politik terbuka, atau kelompok politik yang melanggar hukum maupun bagian dalam sistem satu partai dalam sistem politik tertutup. Influencer ini bertujuan untuk menerjemahkan tuntutan-tuntutan dari masyarakat menjadi tuntutantuntutan politis kepada para pengambil keputusan sehubungan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Interest influencer, yakni sekelompok orang yang bergabung karena memiliki kepentingan yang sama, yang tidak sebesar kelompok partai politik. Kebanyakan motif kelompok ini adalah ekonomi, walaupun terkadang kepentingan-kepentingan non-ekonomi juga biasa digunakan sebagai dasar tindakan, terutama jika terdapat ikatan etnis atau geografi. Mereka menggunakan metode seperti kampanye dengan menulis surat yang tidak hanya diarahkan kepada para pengambil keputusan, tapi juga 13 W. D. Coplin, Introduction to International Politics, edisi Bahasa Indonesia Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis edisi ke-2, Sinar Baru, Bandung, 1992, p. 30. 9 bureaucratic dan partisan influencer, pendanaan atau dukungan finansial, serta memberikan kritik atau kecaman, untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan luar negeri. Mass influencer yakni pengaruh yang terwujud dalam opini publik yang dibentuk oleh media massa. Opini publik digunakan sebagai alat oleh pengambil keputusan dan policy influencers yang lain untuk memberikan dukungan atau tekanan untuk mengarahkan pada pengambilan keputusan. Para pengambil keputusan menggunakan opini publik bukan untuk membentuk kebijakan luar negeri tapi untuk merasionalisasinya. Pendapat dari kelompok ini sering menjadi pertimbangan para pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan luar negeri. 14 Bagan 1 Proses Pengambilan Keputusan Politik Luar Negeri Policy Influencers Lingkungan Internasional Interaksi Bidang Isu Politik Luar Negeri Pengambilan Keputusan Luar Negeri Sumber : William D. Coplin, Introduction to International Politics, edisi Bahasa Indonesia Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis edisi ke-2, Sinar Baru, Bandung, 1992, p. 101. 2. Kapabilitas ekonomi dan militer domestik yakni pertimbangan kekuatan militer dan ekomoni, serta kelemahan negara ketika membuat suatu keputusan di kancah luar negeri. Penafsiran kapasitas ekonomi harus mencakup analisis tentang kemakmuran negara, sejauh mana negara mampu memenuhi 14 W. D. Coplin, pp. 82-91. 10 kebutuhan masyarakatnya dan pertumbuhan ekonomi. Untuk bidang militer, Coplin mengemukakan tiga aspek kekuatan dan kelemahan militer yang penting untuk dianalisis, yakni kapasitas relatif negara-negara untuk menggunakan kekuatan militer (senjata dan kelengkapan, serta jumlah dan keahlian militer); tingkat kebergantungan negara pada sumber-sumber luar negeri dalam perlengkapan militer; dan kestabilan militer dalam negeri. 3. Konteks internasional. Menurut Coplin, tiga elemen penting sehubungan dengan konteks internasional terhadap kebijakan luar negeri suatu negara adalah geografi, ekonomis, dan politis. Coplin kemudian menggambarkan dalam diagram, keterkaitan antara faktor-faktor determinan dengan para pembuat kebijakan dalam pengambilan sebuah kebijakan atau keputusan luar negeri. Bagan 2 Empat Determinan Mempengaruhi Tindakan Politik Luar Negeri Kondisi Politik Domestik Pengambil Kebijakan Kapabilitas ekonomi dan militer Tindakan keputusan luar negeri Konteks internasional : (suatu produk tindakan politik luar negeri seluruh negara - pada masa lampau, sekarang, dan masa mendatang – yang mungkin atau yang hendak diantisipasi Sumber : William D. Coplin, Introduction to International Politics, edisi Bahasa Indonesia Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis edisi ke-2, Sinar Baru, Bandung, 1992, p. 30. 11 B. Rezim Internasional Rezim mulai diperhitungkan sebagai aktor internasional yang memiliki peran signifikan pada tahun 1990-an, walaupun rezim telah ada jauh sebelum tahun tersebut. Arms Trade Treaty (ATT) merupakan salah satu bentuk rezim internasional yang bertujuan untuk mengatur peredaran persenjataan global. Menurut Stephen D. Krasner rezim internasional adalah sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actors’ expectations converge in a given area of international relations. Prinsip adalah keyakinan akan fakta, sebab-akibat, dan kejujuran. Norma adalah standar perilaku dalam terminology hak dan kewajiban. Peraturan adalah rumusan atau larangan tindakan yang spesifik. Prosedur pengambilan keputusan adalah praktek yang dilakukan untuk membuat dan menerapkan pilihan bersama. 15 Cakupan rezim internasional tidak seluas struktur internasional dan tidak sesempit organisasi internasional. Beberapa ahli memberikan definisi yang lebih terbatas dengan memperlakukan rezim sebagai perjanjian multilateral antara negara-negara yang bertujuan untuk mengatur tindakan nasional dalam suatu isu tertentu. Rezim menetapkan kisaran dari tindakan negara yang diperbolehkan dengan menguraikan perintah-perintah eksplisit. Rezim mengandung peraturan yang mengatur atau menentukan perubahan dari perilaku negara-negara.16 Pengertian rezim pada aspek ini lebih sesuai untuk mendefinisikan ATT. ATT merupakan rezim berbentuk perjanjian multilateral antar negara yang berisi peraturan eksplisit untuk mengatur perilaku negara dalam perdagangan dan transfer senjata api global. Rezim kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu berdasarkan empat aspek yakni kekuatan, bentuk organisasional, ruang lingkup, dan mode alokasi. Kekuatan dapat diukur dengan tingkat kepatuhan terhadap ketentuan rezim, terutama dalam kasus di mana self-interest jangka pendek negara berbenturan dengan peraturan rezim. Bentuk organisasional berhubungan dengan 15 S. D. Krasner, ‘Structural Causes and Regime Consequence: Regimes As Intervening Variables’, in Stephen D., Krasner, ed., International Regimes, p.2. 16 S. Haggard dan B.A. Simmons, ‘Theories of international regimes,’ International Organizatiol, Vol. 41, No. 3, 1987, p. 495. 12 proses pertukaran informasi, pengaturan tingkah laku, proses penyelesaian masalah oleh aparat administrasi, dan prinsip-prinsip pengambilan keputusan. Ruang lingkup berkenaan dengan cakupan isu yang bisa di cover oleh rezim dan mode alokasi berhubungan dengan dukungan mekanisme sosial yang berbeda untuk alokasi sumber daya.17 Rezim internasional juga dapat diintepretasikan berdasarkan kategori types of order. Beberapa rezim dikategorikan sebagai spontaneous order di mana rezim ini tidak melibatkan koordinasi yang disengaja antar para anggota, tidak membutuhkan persetujuan eksplisit dari subjek anggota atau calon anggota, dan bersifat sangat tahan terhadap upaya rekayasa atau manipulasi sosial. Rezim ini memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi signifikan bagi pencapaian tujuan walaupun tidak ada proses transaksi tinggi atau pembatasan kebebasan dari anggota-anggotanya. Sedikit berbeda, rezim negotiated order ditandai dengan adanya upaya sadar untuk menyetujui ketentuan utama dalam rezim, persetujuan eksplisit bagi anggota individual, dan pernyataan resmi akan hasil keputusan rezim. Pada kategori ini, penting untuk membedakan beberapa tipe negotiated order yang terjadi pada sistem internasional, apakah proses tawar-menawar berbentuk kontrak konstitusional atau tawar-menawar legislatif, ataupun negosiasi komprehensif yang merupakan proses negosiasi yang lebih berhati-hati dan tertib.18 Kategori ketiga adalah imposed orders. Kategori ini berbeda dengan spontaneous order dalam artian bahwa rezim dikembangkan secara sengaja oleh kekuatan-kekuatan dominan atau konsorsium dari aktor dominan. Order ini tidak melibatkan persetujuan eksplisit dari aktor sub-ordinate dan beroperasi efektif pada keadaan ketiadaan ekpresi formal. Atau dengan kata lain, rezim ini secara sengaja didirikan oleh aktor dominan yang berhasil membuat aktor lainnya untuk memenuhi persyaratan dan ketentuan dalam rezim melalui kombinasi langkah paksaan, kooptasi, dan manipulation of incentive.19 17 S. Haggard dan B.A. Simmons, pp. 496-498. O.R. Young, ‘Regime Dynamics: The Rise and Fall of International Regimes,’ International Organization, Vol. 36, No. 2, 1982, pp. 282-284 19 O.R. Young, p. 284. 18 13 Untuk kategori types of order, ATT berbentuk negotiated order, di mana negara-negara calon anggota perjanjian memiliki upaya secara sadar atau sengaja dilakukan untuk memberikan persetujuan akan ketentuan rezim. Persetujuan berupa penandatangan perjanjian dan kemudian dikembangkan dengan meratifikasi untuk kemudian diadopsi dalam hukum dan undang-undang domestik negara anggota. Negara juga memiliki kesadaran untuk tidak setuju akan peraturan rezim, sehingga PBB sebagai pihak yang memfasilitasi ATT akan melakukan proses negosiasi komprehensif untuk meyakinkan negara yang tidak setuju agar mau masuk menjadi bagian dari ATT. Dalam prakteknya, walaupun pelaksanaan suatu rezim memiliki banyak tantangan dan hambatan serta rawan akan politisasi terutama dari aktor-aktor dominan, sulit untuk menyatakan bahwa suatu rezim memiliki arti yang negatif dalam masyarakat internasional. Beberapa rezim memberikan bukti bahwa mereka berhasil mempengaruhi bahkan mengubah perilaku aktor-aktor internasional. Adanya negara seperti Indonesia yang tidak setuju untuk menandatangani ATT, menunjukkan bahwa pelaksanaan suatu rezim tidaklah sempurna. Setidaknya ada dua pelajaran yang dapat diambil dari implementasi politik suatu rezim. Pelajaran pertama adalah kompleksitas rezim internasional berkontribusi pada munculnya fragmentasi hukum internasional dan ambiguitas peraturan yang menyebakan pilihan negara yang berbeda-beda. Pilihan yang sama dengan tujuan rezim, akan berkoordinasi menciptakan seperangkat aturan yang jelas. Pada pilihan yang berbeda, ambiguitas akan bertahan, memungkinkan negara untuk memilih interpretasi yang lebih mereka sukai. Pelajaran kedua, karena negara-negara dapat memilih aturan mana yang hendak diikuti dan masing-masing international venue membolehkan proses politik aktor berbeda-beda, implementasi politik akan berakhir pada definisi dan arti perjanjian internasional mana yang paling menonjol atau sesuai keinginan aktor.20 20 K. J. Alter dan S. Meunier, ‘The Politics of International Regime Complexity,’ Symposium of International Regime Complexity, Vol. 7, No. 1, Maret 2009, p. 16. 14 5. Hipotesis Indonesia menolak untuk menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty) tahun 2013 karena adanya beberapa ketentuan dalam ATT yang memiliki makna yang ambigu dan seolah tidak memberikan keseimbangan antara kepentingan negara eksportir dan importir. Salah satunya adalah pasal 7 yang berkaitan dengan ekspor dan penilaian ekspor. Pasal ini memberikan kewenangan kepada negara eksportir untuk melakukan penilaian, sehingga negara pengekspor berhak untuk menghentikan atau tidak memberikan izin transfer jika dinilai senjata tersebut memiliki potensi akan dipakai atau memfasilitasi tindakan kekerasan dan pelanggaran akan hak asasi manusia. Parameter pelanggaran hukum humaniter dan hak asasi manusia menitikberatkan pada penilaian negara eksportir. Pemerintah Indonesia menilai bahwa tidak adanya parameter atau ketentuan yang jelas mengenai pembelian senjata guna memerangi kelompok separatis atau untuk melindungi batas kedaulatan territorial, akan menyebabkan ATT lebih berpihak pada kepentingan negara pengekspor dan dirasa akan sangat merugikan negara importir seperti Indonesia. 6. Metode Penelitian A. Teknik Pengumpulan Data Penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif yakni riset yang menekankan pada pemahaman secara mendalam terhadap suatu fenomena, dengan berfokus pada peristiwa dan proses dari fenomena tersebut. Dalam pengumpulan data, penulis akan menggunakan studi kepustakaan (library reseach) dan wawancara. Metode library reseach dilakukan dengan mengumpulkan dokumen dan literatur yang berisi penjelasan proses pembuatan dan isi perjanjian ATT, kelemahan ATT, alasan dibalik abstainnya beberapa negara, dan pernyataan dari pejabat resmi mengenai alasan Indonesia untuk tidak ikut menandatangani ATT. Dokumen berupa teks-teks tertulis seperti buku, artikel, jurnal, koran, tabloid, situs-situs resmi pemerintah yang diakses melalui internet, serta sumber-sumber lain yang relevan. 15 Wawancara dilakukan untuk pengumpulan data (primer) dan juga penunjang teknik pengumpulan data lainnya. Dalam wawancara, penulis menggunakan teknik wawancara bebas, dimana peneliti memberikan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan berupaya mengundang jawaban atau komentar subjek wawancara secara bebas. Wawancara langsung dilakukan terhadap pihak yang terkait dengan penelitian ini, yakni Ibu Yuniar, Kepala Subbidang Hukum Internasional, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemhan RI). Penulis juga melakukan pengumpulan data primer melalui wawancara via email dan Whatsapp dengan Nanda Avalist, S.IP, M.Si., Head of Section, Conventional Weapons, Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI). B. Pengolahan Data Dalam pengolahan data, penulis akan menggunakan metode deskriptif analitis yang bertujuan untuk menguji suatu teori atau hipotesis guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesis hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya. Dalam proses ini, penulis akan melakukan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan cara menggolongkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data yang telah dikumpulkan. Setelah direduksi, data-data tersebut kemudian disajikan atau disusun secara sistematis sehingga memungkinan adanya penarikan kesimpulan yang logis terhadap permasalahan dalam penelitian ini. 7. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang disesuaikan dengan proses pembahasan yang diperlukan. Penelitian ini akan disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut. Bab 1 : Pendahuluan. Bab ini menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, review literatur, kerangka pemikiran, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 16 Bab II : Bab ini berisi penggambaran akan dampak negatif transfer dan penggunaan senjata, pembentukan ATT, ketentuan utama draf ATT, nilai yang diusung ATT, serta kelemahan dan ambiguitas ATT. Bab III : Objek Penelitian. Bab ini berisi pemaparan akan negosiasi awal pembentukan ATT, keterlibatan Indonesia dalam negosiasi awal ATT, kepentingan Indonesia dalam negosiasi pembentukan ATT, perubahan sikap Indonesia, dan dinamika politik domestik akibat penolakan Indonesia menandatangani ATT. Bab IV : Pembahasan. Bab ini berisi analisis penulis yakni alasan dibalik keputusan Pemerintah Indonesia untuk tidak menandatangani ATT dan analisis potensi Indonesia untuk menandatangani ATT. Bab V : Kesimpulan. 17