BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak di Pacific ring of fire atau cincin api Pasifik yang wilayahnya terbentang di khatulistiwa dan secara geologis terletak pada pertemuan tiga lempeng besar dunia yang senantiasa bergerak, yakni lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik. Pertemuan tiga lempeng tersebut menghasilkan aktivitas vulkanologi dan kegempaan yang cukup aktif yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan bencana seperti gempa bumi bawah laut, tsunami, dan letusan gunung berapi (Wati, dkk, 2010). Salah satu bencana yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian yang besar akibat pergerakan lempeng tektonik di Indonesia adalah gempa bumi bawah laut yang menyebabkan tsunami. Salah satu wilayah Indonesia yang berpotensi untuk terjadi tsunami adalah sisi Barat Sumatera dan sisi Selatan Jawa. Selama 300 tahun terakhir tercatat kedua wilayah ini memiliki aktivitas seismik yang tinggi, dimana sisi Barat Sumatera pernah mengalami gempa bumi besar di bawah laut dengan magnitude mencapai >8 Mw, sedangkan sisi Selatan Jawa pernah mengalami gempa bumi besar di bawah laut dengan magnitude mencapai >6,5 Mw. Sisi Selatan Jawa memiliki aktivitas seismik yang lebih rendah dibandingkan dengan yang ada di Sumatera (Coburn, dkk, 1994). Secara historis, aktivitas seismik di sisi Selatan Jawa meningkat dengan interval waktu yang pendek periode 1977 s.d 2007. Pada periode ini, dua gempa bumi bawah laut terjadi di Banyuwangi (Jawa Timur) pada tahun 1994 dan di Pangandaran (Jawa Barat) pada tahun 2006. Kedua gempa bumi bawah laut tersebut memiliki magnitude yang besar dan menyebabkan tsunami dengan ketinggian mencapai 5 s.d 8 m, serta menewaskan lebih dari 800 orang (Fritz, dkk, 2007). Selain itu, pada periode 1978 s.d 2008 USGS mencatat bahwa sisi Selatan Jawa telah mengalami gempa bumi besar di bawah laut dengan magnitude di atas 6,5 Mw sebanyak 20 kali. Berdasarkan keseluruhan jumlah tersebut dua diantaranya menyebabkan tsunami (USGS, 2010). Berdasarkan sejarah, aktivitas seismik di sisi Selatan Jawa lebih kecil dibandingkan sisi Barat Sumatera. Akan tetapi terdapat potensi gempa bumi besar di 1 bawah laut di sisi Selatan Jawa akibat adanya seismic gap (Newcomb dan Mccann, 1987), seperti yang dapat dilihat pada Gambar I.1. Gambar I.1. Visualisasi gempa bumi dan seismic gap sumber: Kongko dan Hidayat (2014) Seismic gap merupakan daerah yang jarang mengalami aktivitas seismik selama ratusan tahun. Energi pergerakan lempeng terakumulasi pada daerah ini dan berpotensi menghasilkan gempa bumi besar di bawah laut yang dapat menimbulkan tsunami di kemudian hari (Newcomb dan Mccann, 1987). Seismic gap yang terdapat di sisi Selatan Jawa merupakan zona subduksi antara lempeng Eurasia dan Australia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Hanifa, dkk (2014), gempa bumi besar di bawah laut dapat timbul di sisi Selatan Jawa Barat dikemudian hari. Hal ini terjadi akibat ketiadaan gempa bumi selama 300 tahun yang menyebabkan akumulasi moment antar lempeng Eurasia dan Australia. Berdasarkan hal tersebut, gempa bawah laut dapat timbul dengan magnitude sekitar 8,3 s.d 8,7 Mw, yang berpotensi memicu tsunami. Hal tersebut dapat mengancam penduduk dan infrastruktur di Pantai Selatan Jawa. Apabila bencana tersebut terjadi maka posisi epicenter dapat mempengaruhi karakteristik tsunami serta landaannya terhadap Pantai Selatan Jawa. Semakin dekat posisi epicenter dengan lokasi pertemuan antar lempeng, maka tsunami yang dihasilkan lebih besar dan begitu pula sebaliknya (Kongko dan Schlurmann, 2011). 2 Di sisi lain, pemerintah Indonesia kini tengah giat mengerjakan program pengembangan infrastruktur transportasi di Pantai Selatan Jawa. Hal ini berguna untuk keseimbangan pertumbuhan ekonomi antara Pantai Utara Jawa dengan Pantai Selatan Jawa. Dalam rangka mendukung program pemerintah tersebut perlu adanya kajian untuk mempelajari potensi dan mitigasi gempa bumi bawah laut yang menyebabkan tsunami di Pantai Selatan Jawa. Kajian tersebut diperlukan karena salah satu faktor yang mempengaruhi banyaknya korban jiwa akibat tsunami adalah kurangnya pemahaman serta kesadaran dari masyarakat dan pemerintah mengenai daerah yang rawan tsunami (Kongko dan Hidayat, 2014). Salah satu infrastruktur yang tergolong baru dan berpotensi untuk dilanda tsunami di Pantai Selatan Jawa adalah Pelabuhan Sadeng yang terletak di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Pelabuhan ini merupakan salah satu infrastruktur vital yang mendukung pertumbuhan ekonomi penduduk di Kawasan Sadeng. Pelabuhan ini berfungsi sebagai tempat pendaratan ikan yang nantinya memasok kebutuhan pangan penduduk di Kabupaten Gunungkidul serta tempat transit bagi nelayan yang berasal dari pelabuhan lain di dekat Pelabuhan Sadeng, contohnya Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Pelabuhan Cilacap (Jawa Tengah), dan Pelabuhan Muncar (Jawa Timur). Kawasan Sadeng memiliki karakteristik topografi yang berbukit dan berlembah, dimana pada bagian lembah terdapat Sungai Purba yang diapit oleh bukit yang tinggi. Sungai Purba tersebut dulunya merupakan muara bagi Sungai Bengawan Solo. Saat ini, Sungai Purba tersebut telah dihuni oleh penduduk yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan juga berdiri beberapa infrastruktur penting selain Pelabuhan Sadeng, seperti kawasan peti es penyimpanan ikan, pos polisi air, pos BNPB, dan pos TNI Angkatan Laut. Sungai Purba, Kawasan Sadeng, sangat berpotensi untuk dilanda tsunami dengan jangkauan yang jauh dan luas yang besar akibat dari karakteristik topografi dari kawasan tersebut yang memiliki lembah memanjang dari utara ke selatan. Penyediaan informasi area yang rawan dan aman dari landaan gelombang tsunami di daratan diperlukan dalam usaha untuk mengurangi dampak tsunami di Kawasan Sadeng. Landaan tsunami adalah istilah untuk menggambarkan jangkauan genangan gelombang tsunami di daratan (USGS, 2004). Landaan tsunami dapat diprediksi dengan menggunakan pemodelan numerik. Banyak model numerik yang 3 dapat digunakan untuk memprediksi landaan tsunami, salah satunya adalah model numerik Tohoku University’s Numerical Analysis Model for Investigation of Nearfield tsunamis (TUNAMI-N3). Pemilihan Kawasan Sadeng sebagai fokus dari penelitian ini karena terdapat infrastrukur fisik, pusat ekonomi, dan juga permukiman penduduk yang berpotensi dilanda tsunami, serta belum pernah ada penelitian sebelumnya yang membahas pemodelan landaan tsunami di kawasan ini. Selain itu alasan kawasan ini dipilih sebagai bahan penelitian karena data yang digunakan sebagai bahan untuk melakukan pemodelan landaan tsunami telah tersedia. Data yang tersedia merupakan data Digital Terrain Model (DTM) dan Digital Surface Model (DSM) dengan resolusi spasial yang tinggi, baik daratan dan lautan di Kawasan Sadeng. Data tersebut didapatkan dari survei topografi Real Time Kinematic (RTK) GNSS, foto udara Unmanned Aerial Vehicle (UAV), dan survei batimetri. Pemodelan landaan tsunami yang mengakomodasi variasi parameter gempa yang pernah terjadi sebelumnya (posisi epicenter dan magnitude) dan variasi kekasaran permukaan (tutupan lahan) di Kawasan Sadeng perlu dilakukan untuk mengetahui ketinggian gelombang, waktu tempuh penjalaran gelombang, jangkauan maksimum, dan luas landaan tsunami yang berpotensi terjadi. I.1.1. Perumusan Masalah Terdapat ancaman gempa bumi besar di bawah laut yang berpotensi tsunami di sisi Selatan Jawa yang dapat menimpa Kawasan Sadeng, serta belum adanya penelitian dan kajian mengenai pemodelan landaan tsunami di kawasan ini menjadi alasan perlu dilakukannya studi landaan tsunami di kawasan tersebut. Permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah bagaimana menentukan karakteristik gelombang tsunami baik ketinggian gelombang, waktu tempuh penjalaran gelombang, jangkauan maksimum, dan luas landaan di Kawasan Sadeng berdasarkan variasi parameter gempa (posisi epicenter dan magnitude) dan variasi kekasaran permukaan (tutupan lahan). I.1.2. Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Pemodelan landaan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI-N3. 4 2. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data DTM dan DSM di Kawasan Sadeng. 3. Variasi kekasaran permukaan yang digunakan adalah seragam dan tak seragam (lahan terbuka, vegetasi, dan permukiman) yang diturunkan dari mosaik foto tutupan lahan Kawasan Sadeng hasil foto udara UAV. 4. Pemodelan tsunami menggunakan tiga variasi posisi epicenter (dari yang paling dekat dengan zona subduksi hingga yang paling jauh dari zona subduksi) dan lima variasi magnitude gempa bumi bawah laut dari patahan naik (thrust) sebesar 7 Mw; 7,5 Mw; 8 Mw; 8,5 Mw; 9 Mw. Rentang magnitude tersebut mengacu pada penelitian Hanifa, dkk (2014) yang mengakomodasi kemungkinan magnitude gempa bumi bawah laut di sisi Selatan Jawa Tengah dengan besar magnitude 8,3 s.d. 8,7 Mw. I.2. Tujuan dan Manfaat I.2.1. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah pemodelan numerik penjalaran gelombang tsunami di Kawasan Sadeng. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah, sebagai berikut: 1. Diperoleh hasil validasi data geometrik (topografi dan batimetri) melalui perhitungan uji signifikansi parameter dua arah t dan perhitungan nilai RMSE serta NRMSE. 2. Diperoleh pengaruh variasi magnitude terhadap ketinggian gelombang, waktu tempuh penjalaran gelombang, jangkauan maksimum, dan luas landaan tsunami di Kawasan Sadeng. 3. Diperoleh pengaruh variasi posisi epicenter terhadap ketinggian gelombang, waktu tempuh penjalaran gelombang, jangkauan maksimum, dan luas landaan tsunami di Kawasan Sadeng. 4. Diperoleh pengaruh variasi koefisien kekasaran terhadap jangkauan maksimum dan luas landaan tsunami di Kawasan Sadeng. 5 I.2.2. Manfaat Penelitian Bagi pemerintah dan masyarakat, manfaat penelitian ini yaitu memberikan solusi khususnya dalam upaya mitigasi bencana tsunami di Kawasan Sadeng yang terdapat infrastruktur fisik, pusat ekonomi, dan juga permukiman penduduk untuk mempersiapkan diri dari bencana tsunami. 6