tuntutan surat perintah penghentian penyidikan (s

advertisement
PERINGATAN !!!
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan
referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila
Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan
pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
TUNTUTAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3)
DAN TUNTUTAN PRAPERADILAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DIHUBUNGKAN DENGAN
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
Oleh:
Rd. Harry Permana
10040099234
Pembimbing
Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H
Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
1425 H / 2004 M
Bandung,
Desember 2004
Disetujui untuk diajukan ke Muka Sidang
Panitia Ujian Sarjana Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
Di bawah bimbingan :
Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H
Di ketahui oleh :
Dekan
Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
Nandang Sambas, S.H.,M.H.
Bandung, Oktober 2004
Disetujui untuk diajukan dalam seminar proposal
Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
Menyetujui,
Pembimbing Proposal
Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H
Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Pidana
Universitas Islam Bandung
DR. Edi Setiadi, S.H.,M.H
Bandung,
Desember 2004
Rd. Harry Permana
10040099234
HASIL REVISI PROPOSAL
27 Oktober 2004
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Unisba
Menyetujui
Pembimbing
Penelaah
Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H
DR. Edi Setiadi, S.H.,M.H
Mengetahui
Ketua Bagian Hukum Pidana
DR. Edi Setiadi, S.H.,M.H
Motto
Artinya :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,”
(QS. An-Nisaa : 105)
Kupersembahkan Untuk
Ibunda dan Kakakku
Tercinta….
Nama : Rd. Harry Permana
Npm : 10040099234
Judul :
“Tuntutan Praperadilan Terhadap Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(S.P.3) Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Pajak Bumi dan Bangunan
Dihubungkan Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor. 4-PK/Pid/2000”
Out Line
Bab
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Kerangka Pemikiran
F. Metodologi Penelitian
G. Jadwal Penelitian
H. Sistematika Penulisan
Bab
II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ketentuan Umum Praperadilan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Praperadilan
2. Tujuan Praperadilan
3. Wewenang Praperadilan
4. Proses Pemeriksaan Praperadilan
5. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan
B. Ketentuan Umum Tentang Penyidikan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Penyidikan dan Penyidik
2. Wewenang Penyidik
3. Pengertian Dan Dasar Hukum Penuntut Umum
4. Wewenang Penuntut Umum
5. Tindak Pidana Korupsi
Bab III
TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR. 4-PK/PID/2000
A. Kasus Posisi
B. Analisis Kasus
Bab
IV
PEMBAHASAN
TUNTUTAN
PRAPERADILAN
TERHADAP
SURAT
PERINTAH
PENGHENTIAN
PENYIDIKAN (S.P.3) DALAM KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI PAJAK BUMI DAN BANGNAN DIHUBUNGKAN
DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4PK/PID/2000.
1. Kekuatan Hukum Surat Perintah Penghentian Penyidikan Yang
Dikeluarkan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Peraturan PerundangUndangan Yang Berlaku
2. Kekuatan Hukum Tuntutan Praperadilan Yang Diajukan Oleh
Pihak Ketiga Terhadap Surat Perintah Penghentian Penyidikan
Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pajak Bumi dan
Bangunan
3. Pertimbangan Hukum Yang Digunakan Oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Dan Mahkamah Agung
Terhadap Putusan Praperadilan Dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi Pajak Bumi dan Bangunan Ini Telah Sesuai Dengan
Hukum Acara Pidana
Bab
V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
B. Saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA
ABSTRAK
Wewenang praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya
penghentian penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau
tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Seperti
halnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor. 04-PK/PID/2000 tentang surat
perintah penghentian penyidikan SP3 dalam kasus tindak pidana korupsi. Dimana
dalam kasus ini di duga telah terjadi penyelewengan/ tindak pidana korupsi uang
hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dipungut dari wajib pajak
pertambangan dan migas Kabupaten Kutai Kalimantan senilai Rp..
12.814.850.991,09.- yang uangnya oleh oknum pejabat diendapkan/disimpan
sebagai jasa giro pada suatu Bank, yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan
pribadi. Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan terjadinya
penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri Samarinda
tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan penyidikan atas tindak pidana
korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan
permohonan praperadilan kepada kejaksaan negeri. Kejaksaan Tinggi Kalimantan
Timur, menerbitkan “Surat Perintah Penghentian Penyidikan”
SP3 No.
Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 menimbulkan reaksi
dari masyarakat setempat khususnya dari Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera
Arief Rahman Hakim, Eksponen 66 Samarinda yang diwakili oleh H. Iskandar
Hutualy dan kemudian memberi surat kuasa kepada DPD IKADIN Samarinda
untuk mengajukan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Samarinda
terhadap Jaksa Agung RI di Jakarta qq Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan
Timur qq Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda sebagai Termohon Praperadilan.
Dengan menggunakan metode penelitian Deskriptif Analisis, yaitu suatu
metode dengan cara mengkaji dan menguji hokum positif yang berkaitan dengan
masalah tindak pidana korupsi, serta pendekatan Yuridis Normatif, yang
menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga berusaha menelaah
kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Penelitian dalam skripsi ini dibuat berdasarkan analisis dari Putusan
Mahkamah Agung Nomor. 04-PK/PID/2000 tentang Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dalam kasus tindak pidana korupsi. Dari penelitian diperoleh
kesimpulan Surat Perintah Penghentian Penyidikan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur adalah tidak sah, karena dalam putusan
Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur hanya melihat dari Pasal 80 KUHAP dan
tidak mengartikan secara luas, terutama dalam mencari pengertian “pihak ketiga
yang berkepentingan”, seharusnya dalam mengartikan pihak ketiga yang
berkepentingan tidak hanya terbatas saksi korban saja, melainkan seyogyanya
diartikan “ setiap orang” (kecuali penyidik dan penuntut umum) termasuk pula
warga Negara maupun Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki hak
dan kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan, kebenaran demi kepentingan
umum masyarakat luas.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim
Assalamualaikum wr.wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T karena atas berkat
dan rahmatNya,
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang
berjudul :
“ TUNTUTAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3)
DAN TUNTUTAN PRAPERADILAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DIHUBUNGKAN DENGAN
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000 “
Penulisan skripsi ini sendiri dimaksudkan guna memenuhi salah satu
syarat akademis yang dibebankan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi
di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, dan memperoleh gelar
kesarjanaan dalam bidang Hukum Keperdataan.
Mengingat akan keterbatasan dan kemampuan penulis, maka penulis
sepenuhnya menyadari dan mengakui bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi penyusunannya maupun dari segi pembahasannya.
Oleh karena itu penulis akan sangat berterima kasih dan menghargai saran-saran
dan kritik-kritik yang bersifat membangun dari semua pihak.
Secara khusus penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada kedua orangtuaku tercinta Ibunda Niena Marlina , Ayahanda Ir. Dedi juga
Kakaku tersayang Rd. Andie Bono Permadi, S.E. yang telah memberikan kasih
ii
sayang, perhatian dan do`a yang tulus kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan
terima kasih, terutama kepada yang terhormat Ibu Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H
selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan
pikiran untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuk-petunjuk sejak
awal hingga akhir penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini tepat pada waktunya.
Selain itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini pula penulis
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Yang terhormat Bapak Prof. DR. E. Saefullah S.H., LLM., selaku Rektor
Universitas Islam Bandung.
2. Yang terhormat Bapak Nandang Sambas, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Islam Bandung.
3. Yang terhormat Bapak M. Husni Syam, S.H., M.H., LLM. selaku Pembantu
Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
4. Yang terhormat Ibu Lina Jamilah, S.H., M.H.,selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
5. Yang terhormat Ibu Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan
III Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
6. Yang terhormat DR. Edi Setiadi, S.H.,M.H selaku Ketua Jurusan Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
7. Yang terhormat M. Husni Syam, S.H., M.H., LLM. selaku Dosen Wali
iii
8. Segenap Dosen dan Staf
Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Islam
Bandung.
9. Penulis haturkan terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan dan
senagkatan di Fakultas Hukum kelas C Unisba, yaitu Agung Ayah. Agung
KM, Bayu, Dian, Eming, Ira, Niko, Wempy, Yudha, Santi, Ivan, Fajar, Randi,
Dea, Ino,
“Terima Kasih atas Do`a, bantuan, dan dukungannya”, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman kampus, anak-anak Scocer 98, Lucky Ayumi, S.H, Decky,S.H ,
Adit Bombom S.H , Baba, S.H, Joye, S.H, Okty, Eastka, S.H, Jack, S.H, Doel,
Tomy Ndut, Iwong, Bong`q S.H, Burik S.H, Goro S.H, Aries, Ochi , Alfie,
Selud, S.H, Arief S.H , Faruk S.H , Elli S.H , Bayu S.H, Endi S.H, Helmi,
Kojek S,H , Dian S.H, Idho Abban, Adi S.H, serta teman-teman yang lain
yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
11. Teman-teman sepermainan, Muckhlis S.H, M.Fikri S.H , Fadly Lumpur, Birin
, Wisnu, Dhiemaz, Jack, Daud, Mang Udin (M.U) ,SOVIET Indonesia,
MUSICKITA.COM,
ANONIM
wardrobe,
Badger.inv,
MNG
proud,
BLACKJACK, TERNATE crew , BAPTIS crew , JETMAC, Kebon Bibit 19.
Akhir kata, harapan penulis semoga Allah S.W.T. selalu memberikan
Rakhmat dan kebahagiaan kepada semuanya. Amien.
Bandung, Desember 2004
Wasalam,
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ..................................................................................
ii
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..............................................................
5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian .............................................................
6
E. Kerangka Pemikiran ..............................................................
7
F. Metodologi Penelitian ...........................................................
10
G. Jadwal Penelitian ....................................................................
12
H. Sistematika Penulisan ...........................................................
12
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ketentuan Umum Praperadilan .............................................
15
1. Pengertian dan Dasar Hukum Praperadilan ...................
15
2. Tujuan Praperadilan .........................................................
19
3. Wewenang Praperadilan ....................................................
21
4. Proses Pemeriksaan Praperadilan ......................................
27
5. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan ................
38
v
BAB III
B. Ketentuan Umum Tentang Penyidikan ..................................
43
1. Pengertian dan Dasar Hukum Penyidikan dan Penyidik ...
43
2. Wewenang Penyidikan ......................................................
45
3. Pengertian dan Dasar Hukum Penuntut Umum ................
48
4. Wewenang Penuntut Umum ..............................................
49
TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR. 4-PK/PID/2000
BAB IV
A. Kasus Posisi ..........................................................................
53
B. Analisis Kasus ........................................................................
65
PEMBAHASAN
TUNTUTAN
SURAT
PERINTAH
PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DAN TUNTUTAN
PRAPERADILAN
KORUPSI
DALAM
KASUS
DIHUBUNGKAN
TINDAK
DENGAN
PIDANA
PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000
A. Kekuatan Hukum Surat Perintah Penghentian Penyidikan
Yang Dikeluarkan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Berlaku .....................................
68
B. Kekuatan Hukum Tuntutan Praperadilan yang Diajukan
Oleh Pihak Ketiga Dengan Adanya Surat Perintah
Penghentian Penyidikan Dalam Perkara Ini............................
vi
72
C. Pertimbangan Hukum Yang Digunakan Oleh Judex Facti
Terhadap Putusan Praperadilan Dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi Ini Telah Sesuai Dengan KUHAP………….
BAB V
77
PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................
82
B. Saran-saran ............................................................................
83
DAFTAR PUSTAKA
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Maka, segala kehidupan
masyarakatnya harus ditentukan oleh hukum yang memberikan kepastian terhadap
hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang. Hukum bukan semata-mata sebagai
pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui, melainkan untuk dilaksanakan atau
lebih tepat untuk ditaati.
Sebagai landasan diberlakukannya hukum bagi setiap warga negara
Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945 terutama Pasal 27 ayat (1) yang
menyatakan bahwa:
”Segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”.
Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi
manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan
tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap penyelengara negara,
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di
daerah yang perlu terwujud.
Hukum di Indonesia terdiri atas hukum perdata, hukum pidana, dan
hukum tata usaha negara, dikenal juga dengan istilah-istilah seperti istilah hukum
privat, dan publik. Hukum pidana dikenal juga denga istilah hukum publik karena
1
2
mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan
antara negara dengan perseorangan. 1
Hukum pidana di Indonesia diartikan sebagai sanksi, kata “pidana” berarti
hal yang “dipidanakan”, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan
kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal
yang tidak sehari-hari dilimpahkan. 2 Pemidanaan atau pengenaan pidana dapat
diartikan juga dengan hukuman yang biasanya dimaksud adalah penderitaan yang
diberikan negara kepada orang yang melanggar hukum pidana.
Menurut cara mempertahankannya hukum dapat dibagi dalam hukum
materil dan hukum formal, hukum materil yaitu hukum yang memuat peraturanperaturan yang mengatur kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud
dalam perintah dan larangan. Sedangkan hukum formil (hukum proses atau
hukum acara) yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur
bagaimana cara melaksanakan dan pertahanan hukum materil atau peraturanperaturan yang mengatur bagaimana caranya mengajukan suatau perkara ke muka
pengadilan dan bagaimana cara hakim memberikan putusan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun
1981), tidak dijelaskan apakah hukum acara pidana itu. Hanya dalam beberapa
bagian diberi definisi-definisi seperti penyidikan, penuntutan, mengadili,
praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan,
penangkapan, penahanan dan lain-lain (Pasal 1 KUHAP).
1
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan Kedelapan,
Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 75
2
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan Kedua, P.T. Eresco,
Bandung, 1989, hal 1
3
Hukum acara pidana dapat dijalankan apabila terjadinya tindak pidana
(delik), serta dimulainya hukum acara pidana adalah dengan adanya penyidikan
terhadap tindak pidana yang dilakukan, jika benar telah terbukti melakukan tindak
pidana maka hukum acara dapat mulai berjalan.3
Apabila tersangka merasa keberatan terhadap sah tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, maka tersangka
berhak mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri. Wewenang praperadilan
ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang
dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian
penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum 4 . Seperti halnya dalam kasus
yang diteliti dalam skripsi ini, penuntut umum menghentikan penyidikan dengan
mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan. Dalam kasus ini di duga telah
terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil pajak bumi bangunan
(PBB) yang dipungut dari wajib pajak pertambangan dan migas Kabupaten Kutai
Kalimantan senilai Rp. 12.814.850.991,09.- yang uangnya oleh oknum pejabat
diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu Bank, yang hasilnya/bunganya
untuk kepentingan pribadi oknum tersebut.
Kemudian Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan
terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri
Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan pengusutan atas tindak
pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan
3
4
C. S. T. Kansil, Op.,Cit, hal. 17.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Cetakan Kelima,
Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 5.
4
permohonan praperadilan kepada kejaksaan negeri, dengan alasan kejaksaan telah
menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut.
Pengadilan
Negeri
Samarinda
dalam
putusan
Praperadilan
No.02/Pid/Pra/1998, tanggal 24 Oktober 1998 memberi putusan bahwa
permohonan praperadilan yang diajukan oleh IKADIN cab. Samarinda dinyatakan
tidak diterima dengan pertimbangan bahwa pihak kejaksaan negeri tidak
menghentikan penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan
bangunan. Sebulan kemudian setelah putusan Praperadilan tersebut diatas,
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, menerbitkan “Surat Perintah Penghentian
Penyidikan” terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan
tersebut yaitu : SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998
terhadap tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah
mengembalikan uang pajak bumi bangunan kepada negara, yang disangka telah
diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka tersebut.
Ternyata dengan adanya SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal
3 November 1998 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur
tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat khususnya dari Ikatan
Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rahman Hakim, Eksponen 66 Samarinda
yang diwakili oleh H. Iskandar Hutualy dan kemudian memberi surat kuasa
kepada DPD IKADIN Samarinda untuk mengajukan permohonan Praperadilan di
Pengadilan Negeri Samarinda terhadap Jaksa Agung RI di Jakarta qq Kepala
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur qq Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda
sebagai Termohon Praperadilan.
5
Terhadap tuntutan ketua Ikbla H. Iskandar Hutualy/Pemohon Praperadilan
memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Samarinda berkenaan memberi
putusan mengabulkan permohonan Praperadilan, menyatakan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3
November 1998 adalah tidak sah, dan memerintahkan Termohon melanjutkan
pemeriksaan para tersangka kasus pajak bumi dan bangunan hingga ada putusan
pengadilan yang pasti.
Maka berdasarkan permasalahan tersebut diatas, penulis merasa tertarik
untuk menganalisisnya berdasarkan ketentuan hukum acara pidana dalam suatu
skripsi yang berjudul :
“TUNTUTAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3)
DAN TUNTUTAN PRAPERADILAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DIHUBUNGKAN DENGAN
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah-masalah yang akan
dibahas berkaitan dengan judul skripsi ini diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kekuatan hukum surat perintah penghentian penyidikan yang
dikeluarkan oleh kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku ?
2. Bagaimanakah kekuatan hukum tuntutan praperadilan yang diajukan oleh
pihak ketiga dengana adanya surat perintah penghentian penyidikan dalam
perkara ini ?
6
3.
Apakah pertimbangan hukum yang digunakan oleh judex facti terhadap
putusan praperadilan dalam perkara tindak pidana korupsi ini telah sesuai
dengan KUHAP ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Untuk mengetahui dan memahami kekuatan hukum surat perintah penghentian
penyidikan
yang
dikeluarkan
oleh
kejaksaan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Untuk mengetahui dan memahami kekuatan hukum tuntutan praperadilan
yang diajukan oleh pihak ketiga dengana adanya surat perintah penghentian
penyidikan dalam perkara ini.
3. Untuk mengetahui apakah pertimbangan hukum yang digunakan oleh judex
facti terhadap putusan praperadilan dalam perkara tindak pidana korupsi ini
telah sesuai dengan KUHAP.
D. Kegunaan Penelitian
Sebagai layaknya setiap orang yang melakukan penelitian, diharapkan
akan memperoleh kegunaan atau manfaat dari hasil penelitian tersebut. Adapun
kegunaan dari penelitian ini adalah meliputi dua bagian yaitu, kegunaan yang
bersifat teoritis dan kegunaan yang bersifat praktis.
1. Kegunaan yang bersifat teroritis
a. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu
hukum dalam rangka menggerakan pengembangan dibidang hukum
khususnya hukum acara pidana.
7
b. Sebagai sumbangsih untuk melengkapi bahan kepustakaan.
2. Kegunaan penelitian yang bersifat praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi pencari
keadilan dan pihak-pihak yang tertarik mengenai masalah hukum.
b. Penelitian ini kiranya dapat memberikan gambaran kepada orang yang
berkompeten dalam bidang hukum dan masyarakat luas mengenai hukum
acara pidana.
E. Kerangka Pemikiran
Praperadilan merupakan lembaga dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
walaupun
dapat
dipandang
sebagai
tiruan
lembaga
komisaris (rechter
commissaris) di negeri Belanda dan juge d’ instruction di Perancis, namun tugas
praperadilan di Indonesia berbeda dengan hakim komisaris di Eropa itu. Tugas
hakim komisaris di Negara Belanda lebih luas daripada praperadilan di
Indonesia. 5
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau
tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum
dan keadilan; dan permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau
5
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1984, hal. 188.
8
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.
Dalam KUHAP Pasal 77 ditegaskan, bahawa pengadilan negeri berwenang
untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini tentang :
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Adapun yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk
penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang jadi wewenang Jaksa
Agung, kemudian dalam Pasal 78 KUHAP menyatakan, bahwa yang
melaksanakan wewenag pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
adalah Praperadilan itu. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal ditunjuk oleh
pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Permintaan pemeriksaan
tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh
tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
meyebutkan alasannya (Pasal 79 KUHAP).
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum
atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya. Ketentuan dalam Pasal 80 KUHAP ini bermaksud untuk
menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara
horizontal.
9
Penyidik maupun penuntut umum berwenang untuk menghentikan
pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, alasan penghentian penyidikan
mungkin hasil penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan
perkaranya ke sidang pengadilan, atau apa yang disangkakan kepada tersangka
bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana, sebab tidak mungkin
untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. 6
Mungkin juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik
atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena apa yang disangkakan
kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili,
dan putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga
penghentian dilakukan penyidik atau penuntut umum disebabkan dalam perkara
yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kedaluwarsa untuk menuntut.
Oleh karena itu, apabila dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dijumpai
unsur kedaluwarsa dalam perkara yang sedang diperiksa, wajar penyidikan atau
penuntutan dihentikan. 7
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Pendekatan
Skripsi ini penelitiannya menggunakan metode pendekatan yuridis normatif,
yaitu suatu pendekatan yang menekankan pada ilmu hukum dan juga berusaha
menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dalam penelitian
ini penulis mengkaji dan menganalisa ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan
dengan masalah kewenangan suatu badan pengadilan.
6
7
Ibid, hal. 5.
Ibid
10
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penulisan skripsi ini bersifat metode deskriptif
analisis, yaitu suatu metode dengan cara menggambarkan suatu permasalahan
hukum kemudian menganalisis data sekunder sebagaimana dalam kasus ini.
3. Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap berikut :
a. Penelitian kepustakaan, yaitu mengumpulkan sumber data sekunder, yang
terdiri dari:
1) Bahan-bahan hukum primer yaitu berupa peraturan perundangundangan, misalnya:
a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
c) Undang-undang No. 20 Tahun 2002
2) Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berkaitan
dengan hukum primer dan dapat membantu menganalisa bahan hukum
sekunder, antara lain, teori-teori dari literatur-literatur, pendapat para
ahli, doktrin dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan di
atas.
3) Bahan-bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
antara lain: varia peradilan, artikel, kamus hukum.
b. Penelitian Lapangan
11
Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk menambah kekurang
lengkapan data dalam data sekunder, penelitian lapangan dilakukan
dengan cara wawancara tidak terpimpin.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu dengan cara studi
dokumen.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, yaitu analisis yang tidak menggunakan diagram-diagram tertentu atau
data statistik.
G. Jadwal Penelitian
Tahapan Penelitian
Waktu
a. Tahap Pencarian Data
3 Minggu
b. Tahap Penemuan Permasalahan
3 Minggu
c. Tahap Pemaparan Obyek Permasalahan
4 Minggu
d. Tahap Pembahasan
3 Minggu
e. Tahap Kesimpulan dan perolehan
1 Minggu
Jawaban Permasalahan
Jumlah
14 Minggu
12
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang skripsi ini penulis
menyusun sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi mengenai latar belakang masalah, identifikasi
masalah,
pemikiran,
tujuan
penelitian,
metodologi
kegunaan
penelitian,
penelitian,
jadwal
kerangka
penelitian,
dan
sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi ketentuan umum tentang praperadilan, pengertian
dan dasar hukum praperadilan, tujuan praperadilan, wewenang
praperadilan, proses pemeriksaan praperadilan, upaya hukum
terhadap
putusan
praperadilan,
ketentuan
umum
tentang
penyidikan, pengertian dan dasar hukum penyidikan, pengertian
dan dasar hukum penyidik, wewenang penyidik, pengertian dan
dasar hukum penuntut umum, wewenang penuntut umum, dan
tindak pidana korupsi.
BAB III
TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR. 4-PK/PID/2000
Pada bab ini berisi mengenai kasus posisi, dan analisis kasus.
BAB IV
PEMBAHASAN
TUNTUTAN
SURAT
PERINTAH
PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DAN TUNTUTAN
PRAPERADILAN
DALAM
KASUS
TINDAK
PIDANA
13
KORUPSI
DIHUBUNGKAN
DENGAN
PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000
Bab ini berisi pembahasan mengenai kekuatan hukum surat
perintah penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh kejaksaan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,
kekuatan hukum tuntutan praperadilan yang diajukan oleh pihak
ketiga dengan adanya surat perintah penghentian penyidikan dalam
perkara ini, serta menganalisis pertimbangan hukum yang
digunakan oleh judex facti terhadap putusan praperadilan perkara
tindak pidana korupsi ini telah sesuai dengan KUHAP.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saransaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ketentuan Umum Praperadilan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Praperadilan
Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan
KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum, praperadilan dalam
KUHAP ditempatkan dalam BAB X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian
ruang lingkup wewenang mengadili bagi pengadilan negeri.
Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, bukan pula
sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan
akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru
yang ciri dan eksistensinya: 8
a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada pengadilan negeri, dan
sebagai lembaga peradilan, hanya dijumpai pada tingkat pengadilan negeri
sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari pengadilan negeri.
b. Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan
pengadilan negeri, tapi hanya merupakan divisi dari pengadilan negeri,
c. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan
pengadilan negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan
pembinaan ketua pengadilan negeri.
8
M. Yahya Harahap, Op., Cit, hal. 1.
14
15
Eksistensi dan kehadiran praperadilan, bukan merupakan lembaga
peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi
baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai
wewenang dan fungsi tambahan pengadilan negeri yang telah ada selama ini.
Kalau selama ini wewenang dan fungsi pengadilan negeri mengadili dan memutus
perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok maka terhadap tugas
pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan,
penyitaan, penghentian penyidikan atau penghnetian penuntutan yang dilakukan
penyidik atau penuntut umum, yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada
praperadilan.
Menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP yang dimaksud dengan praperadilan
adalah Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus :
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan,
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,
- Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.
Apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP, di pertegas dalam
Pasal 77 KUHAP, yang menjelaskan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini tentang:
-
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan,
-
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
16
Untuk kelancaran tugas dan tanggung jawab praperadilan, ketua
pengadilan negeri setempat dapat memilih alternatif yang paling sesuai dengan
keadaan yang dihadapinya secara nyata, dengan memperhatikan faktor beban
kerja dan tenaga teknis yang terdapat pada pengadilan negeri yang bersangkutan.
Maka berdasarkan pertimbangan keadaan dan faktor inilah ketua
pengadilan negeri memilih alternatif yang paling tepat berupa :
a. Membentuk satuan tugas praperadilan yang permanen
Apabila pihak pengadilan dalam menghadapi kasus praperadilan
sedemikian banyak, maka dalam penyelesaian pemeriksaannya tidak dapat
dijadikan sebagai tugas sampingan bagi para hakim, tetapi dalam keadaan seperti
ini lebih tepat ketua pengadilan negeri menetapkan satuan tugas yang permanen,
yang khususnya berfungsi melayani tugas praperadilan.
Pembentukan satuan tugas permanen ini dimaksudkan untuk :
1) Mengangkat dan menetapkan seorang atau beberapa orang hakim dan
panitera yang khusus bertugas untuk melayani pemeriksaan dan
penyelesaian kasus-kasus yang diajukan kepada praperadilan,
2) Hakim dan panitera tersebut, diangkat dan ditetapkan untuk jangka waktu
tertentu, misalnya untuk masa enam bulan atau untuk masa satu tahun,
3) Selama jangka waktu itu, hakim dan panitera yang bersangkutan,
dibebaskan dari fungsi mengadili perkara. Semata-mata mereka hanya
bertugas
menghadapi
praperadilan.
penyelesaian
kasus
yang
diajukan
kepada
17
Pilihan atas alternatif ini didasarkan sesuai dengan laju dan volume kasus
yang diajukan kepada praperadilan, jika ternyata beban kerja yang diajukan relatif
banyak serta tenaga hakim yang ada cukup tersedia, maka cukup beralasan untuk
memilih pembentukan satuan tugas praperadilan yang permanen. Akan tetapi jika
persoalan yang diajukan kepada praperadilan hanya bersifat insidentil serta tenaga
hakim yang ada tidak cukup memadai, maka ketua pengadilan negeri lebih baik
memilih alternatif yang kedua.
b. Bentuk tugas rangkap
Pilihan alternatif yang kedua ini, ketua pengadilan negeri tidak perlu
membentuk satuan tugas permanen. Penyelesaian pemeriksaan kasus yang
diajukan ke praperadilan dilayani dan dilaksanakan secara insidentil dan rangkap.
Setiap hakim dan panitera yang ada, sewaktu-waktu dapat ditunjuk untuk
memeriksa dan memutus kasus yang diajukan. Dalam bentuk tugas rangkap yang
seperti ini :
1) Hakim dan panitera yang akan melayani tugas pemeriksaan praperadilan,
ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri pada setiap ada kasus yang diajukan.
Tidak ditetapkan hakim dan panitera yang khusus untuk menanganinya
dalam suatu jangka waktu tertentu,
2) Dengan demikian setiap hakim dan panitera, dapat ditunjuk melaksanakan
fungsi praperadilan tanpa membebaskan dari tugas pokok memeriksa dan
memutus perkara pidana dan perdata. Penunjukan mereka dilakukan secara
kasus per kasus tanpa menyampingkan tugas pokok mengadili perkara.
18
2. Tujuan Praperadilan
Maksud dan tujuan dari lembaga praperadilan adalah untuk menegakan
hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan
penyidikan dan penuntutan. Maka untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan
tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan
penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan,
penahanan, penyitaan dan sebagainya.
Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik dan penuntut umum
terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat :
-
tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan
pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka,
-
sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang,
setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan
kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi
tersangka. 9
Tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum
merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka,
tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum
dan undang-undang yang berlaku (due process of law).
Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan
undang-undang merupakan penyelewengan terhadap hak asasi tersangka. Maka
setiap tindakan penyelewengan yang ditimpakan kepada tersangka adalah
9
Ibid, hal. 3.
19
tindakan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum dan undang-undang
(ilegal).
Untuk
mengawasi
dan
menguji
tindakan
paksa
yang
dianggap
bertentangan dengan hukum maka perlu diadakan suatu lembaga yang diberi
wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang dikenakan
kepada tersangka. Menguji dan menilai sah atau tidaknya tindakan paksa yang
dilakukan
penyidik
atau
penuntut
umum,
maka
harus
dilimpahkan
kewenangannya kepada praperadilan.
Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang
dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu
benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan benarbenar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang
bertentangan dengan hukum.
Pelembagaan yang memberi wewenang pengawasan terhadap tindakan
upaya paksa yang dilakukan pejabat dalam taraf proses pemeriksaan penyidikan
atau penuntutan inilah yang dilimpahkan KUHAP kepada praperadilan. Maka
pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP, adalah
untuk melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang
dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan
atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum dan undang-undang. 10
10
Ibid, hal. 4.
20
3. Wewenang Praperadilan
Undang-undang memberikan wewenang kepada praperadilan sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP dan di pertegas dalam Pasal 77
KUHAP, yang menjelaskan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini tentang:
-
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan,
-
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kasus apa sajakah yang dapat diperiksa dan diputus oleh praperadilan
sehubungan dengan tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau
penuntut umum terhadap tersangka. Ada beberapa wewenang yang diberikan
undang-undang kepada praperadilan yaitu :
a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa
Wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada praperadilan
memeriksa dan memutus sah atau tidaknya :
1) Penangkapan
2) Penahanan
Seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada praperadilan untuk
memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya.
Tersangka dapat mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan, bahwa tindakan
21
penahanan yang dikenakan pejabat penyidik bertentangan dengan ketentuan Pasal
21 KUHAP, atau penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas waktu yang
ditentukan Pasal 24 KUHAP.
Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan
melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya, hakim praperadilan
tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahaan, penyitaan dan
seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan dan tidak pula menentukan
apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan
sidang pengadilan. 11
b. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan
Kasus lain yang termasuk ke dalam ruang lingkup kewenangan
praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian
penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya
penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.
Hakim praperadilan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai sah atau
tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh pejabat
penyidik atau penuntut umum. 12
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum
11
12
Andi Hamzah ,Op., Cit, hal. 189.
Ibid, hal. 190.
22
atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya. 13
Baik penyidik maupun penuntut umum mempunyai wewenang untuk
menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan mengenai
penghentian penyidikan diantaranya, apabila hasil pemeriksaan penyidikan atau
penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan
atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau
pelanggaran tindak pidana. Sebab itu tidak mungkin untuk meneruskan
perkaranya ke sidang pengadilan.
Mungkin juga dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang
dilakukan oleh pejabat penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem,
karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana
yang telah pernah dituntut dan diadili, dan telah mempunyai putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bisa juga penghentian dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum,
disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur
kedaluawarsa untuk menuntut, oleh karena itu, apabila dalam pemeriksaan
penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur kedaluawrsa dalam perkara yang
sedang diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan, apabila
penyidikan atau penuntutan dihentikan, maka perkara yang bersangkutan tidak
diteruskan ke sidang pengadilan. 14
13
14
C. S. T. Kansil, Op., Cit, hal. 377.
M. Yahya Harahap, Op., Cit, hal. 5.
23
Akan tetapi, apakah selamanya alasan penghentian penyidikan atau
penuntutan sudah tepat dan benar menurut ketentuan undang-undang, mungkin
saja alasan penghentian ditafsirkan secara tidak tepat. Bisa juga penghentian sama
sekali tidak beralasan atau penghentian itu dilakukan untuk kepentingan pribadi
pejabat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, bagaimanapun mestia ada lembaga yang berwenang
memeriksa dan menilai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan, supaya tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum dan
kepentingan umum maupun untuk mengawasi tindakan penyalahgunaan
wewenang (abuse of authority).
Terhadap penghentian penyidikan, undang-undang memberi hak kepada
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan
pemeriksaan kepada praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian
penyidikan tersebut. Demikian juga sebaliknya, penyidik atau pihak ketiga yang
berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian
penuntutan kepada praperadilan. 15
c. Berwenang memeriksa tuntutan ganti kerugian
Menurut Pasal 81 KUHAP menyebutkan permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau
pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebut alasannya.
15
Ibid, hal. 6.
24
Dalam Pasal 95 KUHAP yang mengatur tentang tuntutan ganti kerugian
dapat diajukan tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya kepada
praperadilan. Di mana tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka harus
berdasarkan alasan yaitu :
1) Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah,
2) Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan
ketentuan hukum dan undang-undang,
3) Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap,
ditahan atau diperiksa.
d. Memeriksa permintaan rehabilitasi
Praperadilan juga berwenang untuk memeriksa dan memutus permintaan
rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau penasihat hukumnya
atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undangundang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.
Apabila proses tingkat pemeriksaan perkara masih dalam taraf penyidikan
atau penuntutan, kemudian pemeriksaan dihentikan baik pada tingkat penyidikan
atau penuntutan sehingga perkara yang bersangkutan tidak diajukan ke
pengadilan, maka dalam peristiwa semacam ini, yang berwenang untuk
memeriksa permintaan rehabilitasi adalah praperadilan.
e. Praperadilan terhadap tindakan penyitaan
Tindakan upaya paksa apabila ditinjau dari standar universal maupun
dalam KUHAP merupakan perampasan hak asasi manusia atau hak privasi
25
perseorangan (personel privacy right) yang dilakukan penguasa (aparat penegak
hukum) dalam melaksanakan fungsi peradilan dalam system peradilan pidana
(criminal justice system), yang dapat diklasifikasikan, meliputi :
1) Penangkapan (arrest),
2) Penahanan (detention),
3) Penggeledahan (searching), dan
4) Penyitaan, perampasan, pembeslahan (seizure).
Menurut KUHAP penerapan upaya paksa tersebut diatur dalam dua sistem
yaitu 16 :
a) mengenai tindakan upaya paksa yang berkenaan dengan penangkapan
(Pasal 16 KUHAP) dan penahanan (Pasal 20 dan seterusnya, KUHAP)
merupakan kewenangan inheren dari setiap aparat penegak hukum
berdasar diferensiasi fungsional secara instansional tanpa campur tangan
atau bantuan dari aparat penegak hukum lain,
b) sebaliknya mengenai tindakan upaya paksa penggeledahan (Pasal 32
KUHAP) dan penyitaan (Pasal 38 KUHAP), memerlukan izin ketua
pengadilan negeri setempat.
Perbedaan sistem pelaksanaan upaya paksa tersebut, telah menimbulkan
permasalahan hukum dan perbedaan pendapat dalam penerapan yaitu :
1. Ada yang berpendirian, bahwa tindakan upaya paksa yang masuk yurisdiksi
praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan
16
Ibid, hal. 7.
26
penangkapan dan penahanan atas alasan undue process atau orang yang
ditahan atau ditangkap tidak tepat (error in person).
2. Sedangkan tindakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap
berada diluar yurisdiksi praperadilan atas alasan dalam penggeledahan
atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa :
-
dalam proses biasa harus lebih dahulu mendapat surat izin dari ketua
pengadilan negeri (Pasal 32 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 1 KUHAP), dan
-
dalam keadaan mendesak boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus
meminta persetujuan ketua pengadilan negeri (Pasal 34 ayat 1 dan Pasal 38
ayat 2 KUHAP). 17
4. Proses Pemeriksaan Praperadilan
Tata cara atau proses pemeriksaan dalam sidang praperadilan diatur oleh
KUHAP dalam Bab X, Bagian Kesatu, mulai dari Pasal 79 sampai dengan Pasal
83 KUHAP. Menurut ketentuan pasal-pasal tersebut, telah diatur tata cara
pengajuan dan proses pemeriksaan di sidang praperadilan.
a. Pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan
Sudah dijelaskan, bahwa praperadilan adalah salah satu kesatuan dan
merupakan bagian yang tak terpisah dengan pengadilan negeri. Semua kegiatan
dan tata laksana praperdailan tidak terlepas dari struktur dan administrasi yustisial
pengadilan negeri, segala sesuatu yang menyangkut administrasi dan pelaksanaan
tugas parperadilan, berada dibawah ruang lingkup kebijaksanaan dan tata laksana
17
Ibid.
27
ketua pengadilan negeri. Berdasarkan kenyataan ini, apa pun yang hendak
diajukan kepada praperadilan, tidak terlepas dari tubuh pengadilan negeri, semua
yang diajukan kepada praperadilan harus melalui ketua pengadilan negeri.
Sehubungan dengan itu, pengajuan permintaan pemeriksaan praperadilan, dapat
diuraikan seperti berikut ini yaitu :
1) Permohonan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri
Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh
praperadilan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang meliputi daerah
hukum tempat di mana penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan
itu dilakukan. Atau diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat di mana
penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan
berkedudukan.
2) Permohonan diregister dalam perkara praperadilan
Kemudian setelah panitera menerima permohonan, diregister dalam
perkara praperadilan. Segala permohonan yang ditujukan ke praperadilan harus
dipisahkan registarsinya dari perkara pidana biasa dan administarsi yustisial
praperadilan harus dibuat tersendiri, terpisah dari administrasi perkara biasa.
3) Ketua pengadilan negeri segera menunjuk hakim dan panitera
Setelah permohonan diregister, kemudian ketua pengadilan negeri
menunjuk hakim dan panitera yang akan memeriksa permohonan, sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 82 ayat 1 huruf a, yang menegaskan bahwa dalam
waktu tiga hari setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari
sidang.
28
4) Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal
Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang parperadilan adalah hakim
tunggal. Semua permohonan yang diajukan kepada praperadilan, diperiksa dan
diputus oleh hakim tunggal, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 78 ayat 2
yang berbunyi: Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh
ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
5) Tata cara pemeriksaan praperadilan
Mengenai tata cara pemeriksaan sidang praperadilan ini diatur dalam Pasal
82 KUHAP serta pasal berikutnya. Menurut Pasal 82 ayat 1 huruf a, yaitu tiga hari
sesudah diterima permohonan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
Dalam penghitungan penetapan hari sidang ini, bukan dari tanggal penunjukan
hakim oleh ketua pengadilan negeri, akan tetapi dihitung tiga hari dari tanggal
penerimaan atau tiga hari dari tanggal registrasi di kepaniteraan.
Setelah ditetapkan hari sidang kemudian hakim menyampaikan panggilan,
kepada pihak yang bersangkutan yakni pemohon dan pejabat yang bersangkutan
yang menimbulkan terjadinya permintaan pemeriksaan praperadilan. Maka yang
dipanggil dan yang diperiksa dalam sidang praperadilan bukan hanya pemohon
tetapi juga pejabat yang menimbulkan terjadinya alasan permintaan pengajuan
pemeriksaan praperadilan. Misalnya dalam kasus yang dibahas oleh penulis
dimana penuntut umum menghentikan penyidikan dalam kasus tindak pidana
korupsi dengan mengeluarkan surat penghentian penyidikan terhadap kasus tindak
pidana korupsi. Maka pejabat penuntut umum yang melakukan penghentian
penyidikan ikut dipanggil dan diperiksa.
29
Proses pemeriksaan praperadilan mirip dengan sidang pemeriksaan
perkara perdata, dimana seolah-olah pemohon bertindak sebagai penggugat,
sedang pejabat yang bersangkutan berkedudukan sebagai tergugat.
Secara formal kedudukan dan kehadiran pejabat yang bersangkutan dalam
pemeriksaan sidang praperadilan, bukan sebagai pihak dalam arti pemeriksaan
perkara perdata. Secara formal kedudukan dan kehadiran pejabat, hanya untuk
memberi keterangan, keterangan pejabat tersebut didengar oleh hakim dalam
sidang sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Maka dengan demikian
putusan hakim tidak hanya didasarkan atas permohonan dan keterangan pemohon
saja, tetapi didasarkan atas data-data, baik yang dikemukakan pemohon dan
pejabat yang bersangkutan. 18
Dalam
pemeriksaan
praperadilan
ini
hakim
dalam
menjatuhkan
putusannya, selambat-lambatnya 7 hari, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
82 ayat 1 huruf c yang berbunyi :
“Pemeriksaan tersebut dilakukan secara tepat dan selambat-lambatnya
tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya”
Akan tetapi, ketentuan ini sendiri tidak menjelaskan sejak kapan dihitung
masa tenggang yang 7 hari tersebut, apakah dihitung dari tanggal penerimaan atau
dari tanggal registarsi, tidak dijelaskan. Memperhatikan hal tersebut, ketentuan
pasal ini kurang jelas, akibatnya bisa menimbulkan selisih pendapat dalam
penerapan. Ada yang berpendapat perhitungan tenggang waktu 7 hari dihitung
dari tanggal penetapan hari sidang, sebaliknya pihak pemohon atau penasihat
18
Ibid, hal. 13.
30
hukumnya berpendapat dihitung dari tanggal penerimaan permohonan atau dari
tanggal registarsi.
Sebagai pedoman dalam menentukan tenggang waktu tersebut, ada dua
alternatif yang dikemukakan sama-sama mempunyai dasar alasan yang dapat
diterapkan dalam pelaksanaannya, yaitu :
i. Putusan dijatuhkan 7 hari dari tanggal penetapan hari sidang
Betitik tolak dari pendapat ini, hakim sudah mesti menjatuhkan putusan 7
hari dari tanggal penentapan hari sidang. Berarti penenatpan, pemanggilan,
pememriksaan sidang dan penajatuhan putusan berada dalam jangka waktu
7 hari, tanpa diperhitungkan tanggal penerimaan dan pengregisteran.
ii. Putusan dijatuhkan 7 hari dari tanggal pencatatan
Pendapat ini lebih dekat kepada ketentuan yang digariskan dalam Pasal 82
ayat 1 huruf c, menurut pendapat ini, hakim mesti menjatuhkan putusan 7
hari dari tanggal permohonan diregister di kepaniteraan pengadilan.
Pelaksanaan yang demikian bersesuaian dengan prinsip peradilan yang
cepat.
b. Yang berhak mengajukan permohonan
Siapa yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan
mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
atau mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atau siapa saja yang dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian atau
rehabilitasi ke praperadilan.
31
Para pihak yang berhak mengajukan permintaan yaitu :
1) Tersangka, keluarganya, atau kuasanya
Tersangka, keluarganya atau kuasanya berhak mengajukan permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya, penangkapan, penahanan, penyitaan dan
penggeledahan.
Menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP, yang berhak mengajukan
permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan,
bukan hanya tersangka saja, tetapi dapat diajukan oleh keluarga atau penasihat
hukumnya. Namun yang diatur dalam Pasal 79 KUHAP, hanya meliputi
pengajuan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan.
Ke dalamnya tidak termasuk pengajuan permintaan tentang sah atau tidaknya
penggeledahan, penyitaan atau pemasukan rumah.
Mengenai sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan termasuk juga
dalam kandungan Pasal 79 dihubungkan dengan Pasal 83 ayat 3 huruf (d)
KUHAP, sehingga mengenai sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan
dapat diajukan oleh tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya atau orang
terhadap siapa dilakukan penggeledahan atau penyitaan.
2) Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan
Menurut Pasal 80 KUHAP, penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya penghentian penyidikan. Apabila instansi penyidik menghentikan
pemeriksaan penyidikan, Pasal 80 memberi hak kepada penuntut umum atau
32
pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan
mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan.
Menurut Pasal 80 KUHAP yang dimaksud dengan pihak ketiga yang
berkepentingan dalam tindakan penghentian penyidikan, tidak dijelaskan lebih
lanjut dalam undang-undang.
Maka yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam
tindakan penghentian penyidikan ialah saksi yang langsung menjadi korban dalam
peristiwa pidana. Saksi korbanlah yang berhak mengajukan permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan ke praperadilan.
Pemberian hak yang demikian kepada saksi, dapat dianggap memenuhi
tuntutan kesadaran masyarakat, sebab dengan sistem ini pengawasan atas
penghentian penyidikan bukan hanya berada di tangan penuntut umum saja, tetapi
diperluas jangkauannya kepada saksi.
3) Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan
Kalau dalam penghentian penyidikan penuntut umum atau pihak ketiga
yang berkepentingan yang tampil mengajukan permintaan pemeriksaan tentang
sah atau tidaknya penghentian penyidikan, dalam penghentian penuntutan
penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan yang diberi hak untuk
mengajukannya.
Maka disini terjadi timbal balik, pada penghentian penyidikan, penuntut
umum yang diberi hak untuk mengawasi penyidik, sedang dalam penghentian
penuntutan, penyidik yang diberi hak untuk mengawasi. Dengan demikian
sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan atau penyidik dapat
33
menyetujuinya, saksi dapat berperan melakukan pengawasan dengan jalan
mengajukan permintaan pemeriksaan kepada praperadilan tentang sah atau
tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum.
4) Tersangka, ahli warisnya, atau kuasanya
Menurut Pasal 95 ayat 2 KUHAP, tersangka, ahli warsinya, atau penasihat
hukumnya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas
alasan: karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau
penyitaan tanpa alasan yang sah, atau karena kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.
5) Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi
Menurut ketentuan Pasal 81 KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan
atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Kalau
praperadilan memutuskan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
sah, putusan yang mengesahkan penghentian itu memberi alasan kepada tersangka
atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan ganti
kerugian kepada praperadilan.
Sebaliknya, kalau praperadilan menyatakan penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan tidak sah, sehingga penyidikan atau penuntutan
dilanjutkan, dengan sendirinya menuntup pintu bagi tersangka atau pihak ketiga
yang berkepentingan menuntut ganti kerugian.
34
c. Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan
Mengenai
pengertian
pihak
ketiga
yang
berkepentingan
menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapannya, ada yang menafsirkan
secara sempit, hanya terbatas: saksi korban tindak pidana atau pelapor.
Sebaliknya, muncul pendapat lain mengenai pengertian pihak ketiga yang
berkepentingan harus ditafsirkan secara luas, tidak terbatas hanya saksi korban
atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).
Menurut Pasal 80 KUHAP yang dimaksud dengan pihak ketiga yang
berkepentingan dalam tindakan penghentian penyidikan, tidak dijelaskan lebih
lanjut dalam undang-undang.
Menurut M. Yahya Harahap, yang dimaksud dengan pihak ketiga yang
berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana ialah saksi yang menjadi
korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan 19 .
Menurut Andi Taher Hamid, yang dimaksud dengan pihak ketiga yang
berkepentingan (dalam Pasal 80 KUHAP) ialah saksi korban atau yang dirugikan
langsung. 20
Maka yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam
tindakan penghentian penyidikan ialah saksi yang langsung menjadi korban dalam
peristiwa pidana. Saksi korbanlah yang berhak mengajukan permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan ke praperadilan.
19
20
Ibid, hal. 9.
Andi Taher Hamid, Hukum Acara Pidana Umum dan Khusus, CV. Al-Ichsan, Surabaya, 1989,
hal. 85.
35
Sedangkan pertimbangan Mahkamah Agung yang tertuang dalam salah
satu Putusan No. 4- PK/Pid/200, yaitu : karena pembentuk Undang-undang tidak
memberikan penafsiran otentik istilah hukum “pihak ketiga yang berkepentingan”,
maka Majelis Mahkamah Agung berpendirian tidak hanya terbatas saksi korban
saja, melainkan seyogyanya diartikan setiap orang (kecuali penyidik dan penuntut
umum) termasuk pula seorang warga negara maupun ketua Lembaga Swadaya
Masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan,
kebenaran demi kepentingan umum masyarakat luas.
Pada dasarnya penyelesaian tindak pidana menyangkut kepentingan
umum, apabila bobot kepentingan umum dalam tindak pidana yang bersangkutan
sedemikian rupa, sangat layak dan proposional untuk memberi hak kepada
masyarakat umum yang diwakili oleh LSM atau organisasi kemasyarakatan untuk
mengajukan kepada praperadilan atas penghentian penyidikan atau penuntutan.
Memang ditinjau dari disiplin ilmu yurisprudensi perkataan pihak ketiga
yang berkepentingan yang dirumuskan dalam Pasal 80 KUHAP, dikategorikan
istilah yang mengandung pengertian luas (broard term) atau kurang jelas
pengertiannya (unplain meaning). Menghadapi rumusan yang seperti itu,
diperlukan kemampuan untuk menemukan makna yang aktual (to discover the
actual meaning).
Jika tujuan mempraperadilan penghentian penyidikan atau penuntutan
untuk
mengoreksi
atau
mengawasi
kemungkinan
kekeliruan
maupun
kesewenangan atas penghentian itu secara horizontal, cukup alasan untuk
berpendapat, bahwa kehendak pembuat undang-undang dan kehendak publik atas
36
penerapan pihak ketiga yang berkepentingan, meliputi masyarakat lauas yang
diwakili LSM atau organisasi kemasyarakatan.
Menafsirkan serta menerapkan pihak ketiga yang berkepentingan secara
luas sangat bermanfaat untuk mengawasi penghentian penyidikan maupun
penuntutan yang dilakukan penuntut umum, misalnya dalam tindak pidana
korupsi, penyidikan dilakukan penuntut umum kemudian penyidikan dihentikan
sedangkan pelapor tidak peduli atas penghentian atau besar kemungkinan pelapor
tidak ada atau tersembunyi, sedang penyidik Polri tidak berhak mengajukan
kepada praperadilan.
Penuntut umum sebagai penyidik tidak mungkin mengajukan kepada
praperadilan atas penghentian itu, karena hal itu mencerminkan dirinya sendiri.
Dalam peristiwa yang seperti itu Pasal 80 KUHAP tidak mampu memberi jalan
keluar jika pengertian pihak ketiga yang berkepentingan ditafsirkan dan
diterapkan secara sempit. Misalnya dalam kasus yang dibahas oleh penulis,
dimana Kejaksaan Negeri Samarinda telah menghentikan penyidikan terhadap
kasus penyelewengan uang Pajak Bumi dan Bangunan, kemudian Kejaksaan
Tinggi Kalimantan Timur menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3). Dengan adanya SP3 tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat
khususnya Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim
(IKBLA), maka IKBLA mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan
Negeri Samarinda terhadap Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.
Dari kasus tersebut jaksa tidak mungkin bersedia mempermasalahkan sah
atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan jaksa sendiri, sedangkan
37
Polri tidak dapat mengajukannya kepada praperadilan karena kewenangannya
untuk itu terbatas atas penghentian penuntutan atas hasil penyidikan yang
dilakukannya.
Menghadapi kasus yang seperti itu apakah tidak beralasan untuk
menempatkan masyarakat luas sebagai korban atas tindak pidana itu, sehingga
mereka dapat diidentikkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang
diwakili oleh IKBLA atau organisasi kemasyarakatan.
5. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan
Tinjauan tentang masalah upaya hukum terhadap putusan praperadilan,
mungkin bisa menimbulkan perbedaan penafsiran, terutama mengenai upaya
hukum yang menyangkut permintaan pemeriksaan kasasi. Barangkali ada yang
berpendapat terhadap putusan praperadilan dapat dimintakan permohonan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
Perbedaan pendapat ini timbul disebabkan undang-undang tidak memberi
penegasan yang jelas tentang hal ini, lain halnya dengan upaya hukum banding,
Pasal 83 KUHAP telah memberi penegasan yang jelas, sehingga pencari keadilan
maupun praktisi hukum sudah mengetahui dengan terang putusan mana yang
dapat dimintakan pemeriksaan banding. Putusan praperadilan ada yang tidak
dapat dilakukan banding dan ada yang bisa dilakukan banding.
38
a. Putusan praperadilan yang tidak dapat dimintakan pemeriksaan
banding
Tidak semua putusan praperadilan dapat dimintakan banding, sebaliknya
pula tidak seluruhnya putusan praperadilan yang tidak dapat diminta pemeriksaan
banding.
Menurut ketentuan Pasal 83 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi :
“Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”
Boleh dikatakan hampir semua jenis putusan praperadilan tidak dapat
dimintakan banding, hal ini sesuai dengan asas acara yang menyangkut tata cara
pemeriksaan praperadilan dilakukan dengan acara cepat. Demikian juga dari segi
tujuan pelembagaan praperadilan untuk mewujudkan putusan dan kepastian
hukum dalam waktu yang relatif singkat, sekiranya terhadap putusan praperadilan
diperkenankan upaya banding hal itu tidak sejalan dengan sifat dan tujuan maupun
dengan cirinya yakni dalam waktu yang singkat putusan dan kepastian hukum
sudah dapat diwujudkan.
Putusan praperadilan yang tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding,
telah disebut satu persatu dalam Pasal 83 ayat 1 KUHAP, yakni putusan
praperadilan yang menyangkut jenis kasus yang disebut dalam Pasal 79, Pasal 80,
dan Pasal 81 KUHAP, yaitu :
1) Penetapan sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan
2) Putusan ganti kerugian dan rehabilitasi
39
b. Putusan praperadilan yang dapat dimintakan pemeriksaan banding
Mengenai putusan praperadilan yang dapat dimintakan pemeriksaan
banding ke pengadilan tinggi diatur dalam Pasal 83 ayat 2, yaitu :
“Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang
untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam
daerah hukum yang bersangkutan”
Putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan saja yang dapat diajukan permintaan banding,
menurut pasal ini dibedakan antara putusan yang mengesahkan dengan yang tidak
mengesahkan penghentian penyidikan dan penuntutan. Oleh karena itu, tidak
terhadap semua putusan praperadilan yang berkenaan dengan sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan banding.
Maka bertitik tolak dari ketentuan Pasal 83 ayat 2 KUHAP, menyatakan :
1) Terhadap putusan yang menetapkan sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak dapat diajukan permintaan banding,
2) Terhadap putusan yang menetapkan tentang tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan, dapat diajukan permintaan banding,
3) Pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding
tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak
sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus dalam tingkat akhir.
Maka menurut ketentuan Pasal 83 ayat 2 KUHAP, tidak semua terhadap
putusan praperadilan yang menyangkut sah atau tidaknya penghentian penyidikan
atau penuntutan dapat diajukan permintaan banding. Hanya terbatas mengenai
putusan yang berisi penetapan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau
40
penuntutan. Di samping itu, putusan pengadilan tinggi dalam pemeriksaan ini
adalah merupakan putusan akhir bukan putusan tingkat akhir.
c. Kasasi terhadap putusan praperadilan
Ada putusan praperadilan yang dapat dimintakan banding, di mana
pengadilan tinggi bertindak sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat
akhir. Bagaimana dengan kasasi, apakah terhadap putusan praperadilan dapat
diajukan permintaan kasasi.
Masalah kasasi terhadap putusan praperadilan, masih terdapat perbedaan
pendapat. Ada yang berpendirian permintaan kasasi atas putusan praperadilan
tidak dapat dikasasi, dan ada yang berpendapat cukup alasan untuk
memperkenankan permintaan kasasi atas putusan praperadilan.
Barangkali sumber selisih pendapat ini terjadi, bertitik tolak tentang materi
yang diperiksa dan diputus lembaga praperadilan. Ada yang berpendirian apa
yang diperiksa dan diputus praperadilan bukan materi perkara pidana, sedangkan
menurut Pasal 244 KUHAP, permintaan kasasi hanya dapat diajukan terhadap
putusan pengadilan yang berbentuk putusan perkara pidana, oleh karena putusan
pengadilan bukan mengenai perkara pidana akan tetapi hanya tentang sah atau
tidaknya tindakan pejabat yang terlibat dalam pemeriksaan penyidikan atau
penuntutan, berarti putusan praperadilan benar-benar berada diluar ruang lingkup
Pasal 244 KUHAP.
Tetapi ada yang mempersoalkan bukan dari segi materi putusan, mereka
bertitik tolak dari fungsi yustisial. Ditinjau dari segi fungsi yustisial setiap
pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan badan peradilan dengan sendirinya
41
termasuk tindakan yustisial. Setiap putusan yang dijatuhkan badan peradilan tanpa
mempersoalkan bentuk dan materi putusan adalah tindakan penyelesaian fungsi
peradilan atau fungsi yustisial.
Lain halnya jika tindakan badan pengadilan itu tidak dituangkan dalam
bentuk putusan dan penetapan, tindakan yang seperti itu belum dapat disebut
tindakan yustisial, paling dapat disebut tindakan pelaksanaan administrasi
yustisial. Maka praperadilan dalam memeriksa hal-hal yang termasuk ke dalam
bidang kewenangannya menjatuhkan putusan yang berbentuk penetapan, tindakan
itu tidak terlepas dari pelaksanaan fungsi yustisial, kalau begitu penetapan yang
dijatuhkan oleh praperadilan, tercakup ke dalam pengertian penjelasan Pasal 2
Undang-undang No. 14/1970, menyatakan, penyelesaian setiap perkara yang
diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya
penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi volunter. Maka
putusan penetapan praperadilan masuk juga ke dalam yurisdiksi volunteer, jika
terhadap putusan pengadilan yang bersifat volunter dapat diajukan permintaan
kasasi, kalau begitu cukup dasar alasan untuk memperbolehkan pengajuan
permintaan kasasi atas putusan praperadilan. 21
Menurut pendirian Mahkamah Agung mengenai masalah ini, sampai saat
sekarang peradilan tertinggi itu lebih cenderung pada pendirian tidak
memperkenankan permintaan kasasi terhadap putusan praperadilan.
Sebagaimana ungkapan pertimbangan Mahkamah Agung yang tertuang
dalam salah satu putusan tanggal 29 maret 1983, No. 227 K/KR/1982, yaitu :
21
M. Yahya Harahap, Op., Cit, hal.26.
42
-
Mahkamah Agung berpendapat terhadap putusan-putusan praperadilan
tidak dimungkinkan permintaan kasasi, karena keharusan cepat perkara
praperadilan tidak akan terpenuhi kalau masih dimungkinkan pemeriksaan
kasasi,
-
Wewenang
pengailan
negeri
yang
dilakukan
oleh
praperadilan,
dimaksudkan hanya sebagai wewenang pengawasan secara horizontal
terhadap tindakan pejabat penegak hukum lainnya,
-
Juga Pasal 244 KUHAP, tidak membuka kemungkinan melakukan
pemeriksaan kasasi terhadap putusan praperadilan, karena pemeriksaan
kasasi yang diatur Pasal 244 KUHAP hanya mengenai putusan perkara
pidana yang benar-benar diperiksa dan diputus pengadilan negeri atau
pengadilan selain dari Mahkamah Agung,
-
Selain dari itu, menurut hukum acara pidana, baik mengenai pihak-pihak
maupun acara pemeriksaannya berbeda sifat dan kedudukannya jika
dibandingkan dalam pemeriksaan praperadilan.
Maka dari pertimbangan Mahkmaah Agung dalam putusan tersebut,
permintaan kasasi terhadap putusan praperadilan tidak dapat diterima.
B. Ketentuan Umum Tentang Penyidikan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Penyidikan dan Penyidik
KUHAP membedakan penyidikan dengan penyelidikan, menurut bahasa
Belanda penyidikan sejajar dengan pengertian opsporing atau interrogation.
Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh
43
pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah
mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada
terjadi sesuatu pelanggaran hukum. 22
Sedangkan pengertian penyidikan menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP,
adalah:
“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya”
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan
jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi
manusia,
KUHAP membedakan antara penyidik dengan penyelidik. Pengertian
penyidik menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP, adalah :
“Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan”
Penyidik itu terdiri dari polisi negara dan pegawai negeri sipil tertentu
yang diebri wewenang kkhusus oleh undang-undang, sedangkan penyelidik itu
hanya terdiri dari polisi negara saja. Dalam pasal 6 KUHAP ditentukan dua
macam badan yang dibebani wewenang penyidikan yaitu, pejabat polisi negara
Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
Penyidikan dan penyidik diatur dalam Bab XIV Bagian Kesatu KUHAP,
Pasal 106 sampai dengan Pasal 136 KUHAP.
22
R. Tresna, Komentar HIR, Jakarta, Pradnya Paramita, hal. 72.
44
2. Wewenang Penyidikan
Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah :
a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
b. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
c. Pemeriksaan di tempat kejadian.
d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
e. Penahanan sementara.
f. Penggeledahan.
g. Pemeriksaan atau interogasi.
h. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat).
i. Penyitaan.
j. Penyampingan perkara.
k.Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada
penyidik untuk disempurnakan.
Diketahui terjadinya delik dari empat kemungkinan yaitu :
1) Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP).
2) Karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP).
3) Karena pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP).
4) Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik
mengetahui terjadinya delik.
Sebelum penyidikan dimulai, harus sudah dapat diperkirakan delik apa
yang telah terjadi dan di mana tercantum delik itu dalam perundang-undangan
45
pidana. Hal ini, penting sekali karena penyidikan diarahkan kepada keadaan yang
terjadi yang cocok dengan perumusan delik tersebut. 23
Tata cara untuk melakukan tindakan penyidikan diatur dalam Pasal 107
KUHAP, yaitu :
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6
ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6
ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk
diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat
(1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6
ayat (1) huruf a.
(3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut
pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada
Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Penyidikan delik tertangkap tangan lebih mudah dilakukan karena
terjadinya baru saja, berbeda dengan delik biasa yang kejadiannya sudah beberapa
waktu berselang, untuk menjaga agar pembuktiannya tidak menjadi kabur. Jika
penyidikannya dilakukan sama-sama dengan delik biasa, maka harus diatur secara
khusus. Dan banyak kelonggran-kelonggaran yang diberikan kepada penyidik
yang lebih membatasi hak asasi manusia daripada delik biasa.
Upaya lain untuk mengetahui terjadinya delik bisa dengan laporan yang
diajukan baik oleh korban maupun oleh orang lain, sebagaimana menurut
ketentuan Pasal 7 ayat 1 butir (a) KUHAP yang mengatur wewenang penyidik
yaitu, menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana.
23
Andi Hamzah ,Op., Cit, hal. 77.
46
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi
korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan
laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun
tertulis. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau
terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada
penyelidik atau penyidik. 24
Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh
penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penydiik.
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 108 ayat 6, yaitu setelah menerima
laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda
penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. Apabila penyidik
telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana,
penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik harus memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Penyidik dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas
waktu tersebut berakhir telah ada pemebritahuan tentang hal itu dari penuntut
umum kepada penyidik.
24
C. S. T. Kansil, Loc., Cit, hal. 386.
47
3. Pengertian Dan Dasar Hukum Penuntut Umum
KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam pengertian umum dan
penuntut umum dalam pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara.
Menurut Pasal I butir 6 KUHAP, menyebutkan :
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
Maka
melihat
perumusan
undang-undang
tersebut,
dapat
ditarik
kesimpulan bahwa pengertian jaksa adalah menyangkut jabatan, sedangkan
penuntut umum menyangkut fungsi.
Penuntut umum dapat melakukan penuntutan, apabila telah menerima hasil
penyidikan dari penyidik, kemudian mempelajari dan menelitinya dan dalam
waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan
itu sudah lengkap atau belum, apabila dalam hasil penyidikannya ternyata belum
lengkap, maka penuntut umum dapat mengembalikan berkas perkaranya kepada
penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan
dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara itu kepada
penuntut umum. Mengenai penuntut umum diatur di Bagian Ketiga Bab IV
KUHAP.
48
4. Wewenang Penuntut Umum
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 7 KUHAP bahwa yang dimaksud dengan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim sidang pengadilan.
Penuntut umum mempunyai wewenang yang menuntut, di mana diatur
dalam Pasal 14 KUHAP, yaitu :
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b.
Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan
memberi petunjuk dalam penyempurnaan penyidikan dan penyidik;
c.
Memeberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
d.
Membuat surat dakwaan;
e.
Melimpahka perkara ke pengadilan;
f.
Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
49
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
g.
Melakukan penuntutan;
h.
Menutup perkara demi kepentingan umum;
i.
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum meneurut ketentuan undang-undang ini;
j.
Melaksanakan penetapan hakim
Menurut Andi Hamzah ketentuan Pasal 14 KUHAP ini dapat disebut
sistem tertutup, yaitu tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan
penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat khususnya
dari segi pembuktian dan masalah teknik yuridisnya. 25
Menurut KUHAP, tertutup kemungkinan bagi penuntut umum di
Indonesia melakukan penyidikan sendiri dan mengambil alih pemeriksaan yang
telah dimulai oleh polisi.
Menurut ketentuan Pasal 110 dapat dibandingkan dengan
Pasal 138
KUHAP yang berbunyi, apabila penuntut umum setelah menerima hasil
penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu
tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu
sudah lengkap atau belum, apabila dalam hasil penyidikan ternyata belum
lengkap, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam
25
Andi Hamzah, Op., Cit, hal. 70.
50
waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Maka dapat dijelaskan dalam pasal ini hanya mengenai arti meneliti,
adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan apakah orang
dan atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah
memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk
kepada penyidik.
Apabila penuntut umum telah selesai meneliti hasil pemeriksaan penyidik
yang dipandang olehnya sudah cukup, tetapi penyidik tidak tepat mencantumkan
pasal undang-undang pidana yang didakwakan, maka penuntut umum berwenang
mengubah pasal tersebut dengan pasal yang lebih sesuai. Karena penuntut umum
bertanggung jawab langsung atas kebijakan penuntutan dan penuntut umum bebas
untuk menetapkan peraturan pidana mana yang akan didakwakan dan mana yang
tidak.
Jika
menurut
pertimbangan
penuntut
umum
memutuskan
untuk
menghentikan penuntutan karena perkara tidak cukup bukti-bukti untuk
diteruskan ke pengadilan ataukah perkara tersebut bukan merupakan suatu delik,
maka penuntut umum membuat suatu ketetapan mengenai hal itu. Dan isi surat
ketetapan tersebut harus diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan wajib
dibebaskan. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau
keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan
hakim.
51
Wewenang penuntut umum dapat menutup perkara demi hukum
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 140 ayat 2, dan jika kemudian ternyata
ada alasan baru untuk menuntut perkara yang telah dikesampingkan karena
kurang bukti-bukti maka penuntut umum dapat menuntut tersangka.
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya
dalam satu surat dakwaan, serta penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan
sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk
menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. Dan dalam
pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambatlambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. Dalam hal penuntut umum
mengubah surat dakwaan ia harus menyampaikan turunanya kepada tersangka
atau penasihat hukum dan penyidik.
BAB III
TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000
A. Kasus Posisi
Melalui pemberitaan media masa daerah, tersiar berita bahwa di PEMDA
Tingkat II, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur diduga telah terjadi
penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) yang dipungut dari Wajib Pajak Pertambangan dan Migas Kabupaten Kutai
senilai Rp. 12.814.850.991.09, yang uangnya oleh oknum pejabat setempat telah
diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu bank, yang hasilnya/bunganya
untuk kepentingan pribadi oknum tersebut.
Kejaksaan Negeri Samarinda kemudian mengusut tentang adanya
sangkaan terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut. Karena tidak
kunjung selesainya tindakan pengusutan atas tindak pidana korupsi, maka
IKADIN
(Ikatan
Advokasi
Indonesia)
cabang
Samarinda
mengajukan
permohonan praperadilan terhadap kejaksaan negeri, dengan alasan kejaksaan
telah menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut.
Kemudian pada tanggal 24 Oktober 1998 Pengadilan Negeri Samarinda
memberikan putusan praperadilan No. 02/Pid/Pra/1998, yaitu bahwa permohonan
praperadilan yang diajukan oleh IKADIN cab.Samarinda dinyatakan tidak dapat
diterima dengan pertimbangan bahwa pihak kejaksaan negeri tidak menghentikan
penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang PBB tersebut.
52
53
Sebulan kemudian, setelah putusan praperadilan tersebut diatas, maka
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur menerbitkan S.P.3 ( Surat Perintah
Penghentian Penyidikan ) terhadap kasus penyelewengan uang PBB tersebut
yaitu: S.P.3. No.171/R4/F.PK.I/II/1998 tertanggal 3 November 1998 terhadap
para tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah
mengembalikan uang PBB tersebut kepada negara, yang disangka telah
diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka tersebut. Maka dalam
kasus ini menurut Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur tidak ada kerugian
terhadap negara atau negara tidak dirugikan oleh para tersangka.
Dengan adanya S.P.3. No.171/R4/F.PK.I/II/1998 tertanggal 3 November
1998 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timut tersebut telah
menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat khususnya IKBLA ( Ikatan
Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim ), Eksponen 66 Samarinda
yang diwakili oleh H Iskandar Hutualy yang menyebut dirinya sebagai ketuanya
dan kemudian memberi surat kuasa kepada DPD IKADIN Samarinda untuk
mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Samarinda terhadap:
Jaksa Agung RI di Jakarta qq Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur qq
Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda sebagai Termohon praperadilan. Dengan
mengajukan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Bukti P2 “Penghentian Penyidikan atas Tindak Pidana Korupsi” terhadap
tersangka
Drs. H.S Syafrani, Drs. Sukani HR, Drs. H.AM. Sulaiman, Drs.
Syafrudin A.H, Drs. Abdullah Sani dan Drs. Hasbullah Haul, yang dilakukan oleh
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur berdasarkan pertimbangannya yaitu :
54
“Bahwa uang hasil pengendapan (Jasa Giro/bunga ) dan uang pokok PHP – PBB
yang telah diterima oleh tersangka tersebut seluruhnya telah dikembalikan dan
disetorkan ke kas negara/daerah sesuai dengan Surat BPKB No. SR 020101468/K/1998 tanggal 15 Juli 1998, sehingga negara tidak dirugikan. Demikian pula
denda atas keterlambatan yang dikenakan kepada BNI Cab.Samarinda yang
menurut perhitungan BPKP semula berjumlah Rp. 12.814.850.991.09, setelah
dikoreksi kembali menjadi Rp. 10.531.362.239.68, telah dihapus berdasarkan
Surat Menteri Keuangan RI No.SR.02/MR.2/1997 tanggal 2 Desember 1997.
Dengan demikian unsur yang disangkakan dalam pasal 1 (1) sub “a” atau sub “b”
Undang-undang No.3/tahun 1971 tidak dapat dibuktikan dan tersangka tidak
mendapat keuntungan dari kepentingan pemasukan Pajak PBB dalam sektor
Pertambangan Migas. Maka negara tidak dirugikan , sehingga tidak cukup alasan
untuk menuntut para tersangka ke persidangan pengadilan.
Menurut Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim
Eksponen 66 Samarinda yang diwakili oleh H Iskandar Hutualy bahwa
pertimbangan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur dengan mengeluarkan “S.P.3”
tersebut, yang menyatakan tidak ada kerugian negara oleh perbuatan para
tersangka pelaku tindak pidana korupsi PBB Kutai tersebut ex Pasal 1(1) sub “a”
atau sub”b” UU No. 3/tahun 1971 tersebut, adalah sangat tidak tepat.
Meskipun para tersangka tidak mendapatkan keuntungan bagi dirinya atas
penyelewengan dana PBB tersebut, akan tetapi para tersangka telah menyalah
gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukannya telah menggunakan dana PBB untuk kepentingan suatu badan
55
tertentu yaitu untuk mendukung kesinambungan Orde Baru di Kalimantan Timur
sebesar Rp. 2,5 Milyar dan mendukung kegiatan Golkar Kutai di Kalimantan
Timur sebesar Rp. 1,5 Milyar sesuai dengan berita dalam Harian Manuntung 4
Juni 1998.
Padahal menurut Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman
Hakim
seharusnya para tersangka setelah memperoleh dan PBB tersebut
disetorkan ke kas negara, yang penggunaannya akan diatur oleh pemerintah dan
bukan oleh para tersangka.
Berdasarkan atas alasan diatas, maka Pemohon Praperadilan memohon
kepada Ketua Pengadilan Negeri Samarinda berkenan memberi putusan sebagai
berikut :
1. Mengabulkan permohonan Praperadilan.
2. Menyatakan
“Surat Perintah Penghentian Penyidikan” ( S.P.3) No. Print.
171/R.4/FPK/II/1998, tanggal 3 November 1998 adalah tidak sah
3. Memerintahkan Termohon melanjutkan pemeriksaan para tersangka kasus PBB
hingga ada putusan pengadilan yang pasti.
Dalam
persidangan
di
Pengadilan
Negeri
Samarinda
Termohon
praperadilan – Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur memberi jawaban yang inti
pokoknya sebagai berikut :
1. Bahwa Pengadilan Negeri Samarinda tidak tepat memeriksa perkara
praperadilan ini, seharusnya diajukan ke pengadilan negeri dimana penyidik
/penuntut umum menghentikan penyidikan penuntutan yaitu di Balikpapan.
56
2. Pemohon tidak termasuk Pihak Ketiga yang berhak mengajukan permohonan
praperadilan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 80 KUHAP, bahwa
“IKBLA” Arief Rahman Hakim Exponen 66 tidak dapat ditafsirkan sebagai
subjek hukum serta jauh dari “pengertian saksi korban” ex Pasal 80 KUHAP.
3. Dengan mengatasnamakan DPD Tk. I IKBLA tanpa didasari Rapat
Musyawarah Daerah maka gugatan/permohonan praperadilan yang diajukan
oleh pemohon adalah cacat hukum.
4. Kapasitas Pemohon dalam mengajukan permohonan praperadilan tidak
memenuhi syarat Undang-undang ex Pasal 80 KUHAP.
5. DPC IKADIN sebagai Pemohon praperadilan tidak tepat, sebab DPC IKADIN
Samarinda bukanlah Lembaga Penegak Hukum yang termasuk dalam sistem
hukum mempraperadilankan pejabat penegak hukum (Kepolisian dan
Kejaksaan) dan bukan pula kuasa pihak ketiga yang berkepentingan, tetapi
sebagai lembaga jasa hukum.
6. Pemohon praperadilan tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak yang
terkait masalah pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Migas
Kabupaten Dati II Kutai.
7. Permohonan praperadilan tidak dapat diajukan dua kali dalam tingkat dan
alasan yang sama, periksa Pasal 82 (1) sub “e” UU No. 8/tahun 1981KUHAP. Di tingkat Penyidikan telah ada putusan praperadilan yang sudah
berkekuatan tetap, yakni: Putusan Pengadilan Negeri Samarinda No.
02/Pid/Pra/1998/PN. Samarinda, tanggal 24 Oktober 1998 yang diajukan oleh
IKADIN Cab. Samarinda. Karena menurut Pasal 82 (1) sub”e” KUHAP,
57
permintaan praperadilan dengan alasan yang sama (perkara sekarang ini No.
03/Pid/Pra/1999/PN Smda), harus dinyatakan tidak dapat diterima dan baru
dapat diajukan pada tingkat penuntutan .
8. Bukti berupa foto copy guntingan koran
menurut hukum tidak dapat
dikwalifikasi sebagai alat bukti, sehingga dalil dalam permohonan
praperadilan tersebut tidak dapat diterima sebagai bukti hukum .
9. Terwujudnya tindak pidana harus terpenuhinya semua unsur delik secara
komulatif, bilamana tidak maka sesuai dengan Pasal 109 (2) jo Pasal 7 (1)
sub” i” jo Pasal 284 (2) KUHAP jo Pasal 17 P.P No. 27 tahun 1983, maka
Termohon (Kejaksaan ) berhak melakukan “Penghentian Penyidikan”
Atas permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon ‘IKBLA’
tersebut, maka pada tanggal 5 Juni 1999 Pengadilan Negeri Samarinda memberi
putusan No. 03/Pid//Pra/1999/PN. Smda, yang amarnya sebagai berikut :
1. Menetapkan “Surat Perintah Penghentian Penyidikan “ No. Print.
171/R.4/FPK.1/II/1999, tanggal 3 November 1998 adalah tidak sah.
2. Memerintahkan penyidikan terhadap tersangka : 1. Drs. Syafrani, 2. Drs.
Syaukani. HR, 3. Drs. HAM. Sulaiman, 4. Drs. Syafrudin AH, 5. Drs.
Abdullah Sani, dan 6. Drs. Abdullah Haul, wajib dilanjutkan.
3. Membebankan kepada termohon membayar biaya perkara Rp. 7.500,Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Samarinda tersebut pihak
Termohon menolak dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kalimantan
Timur
58
Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur memberi
Putusan tanggal 30 Juni 1999 Reg. No. 30/Pid/1999/PT. Smda, yang amarnya:
Menolak permohonan praperadilan untuk seluruhnya.
Di mana putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur tersebut didasari
oleh pertimbangan hukumnya yaitu:
a. Bahwa Pemohon tidak dapat dikategorikan mewakili masyarakat IKBLA
Kalimantan Timur, karena tidak menerima kuasa dari masyarakat IKBLA
Kalimantan Timur, melainkan hanya menerima kuasa dari ketua DPD Tk I
IKBLA (H. Iskandar Hutualy).
b. Pemohon bukan sebagai pihak yang mempunyai kualitas untuk
mengajukan permohonan praperadilan.
c. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa akibat perbuatan
para pejabat tersebut, maka Pemohon IKBLA Kalimantan Timur secara
langsung/tidak langsung telah dirugikan tetapi kerugian tersebut tidak
diperinci jelas oleh Pemohon, sehingga pengadilan tinggi berpendapat
bahwa praperadilan yang diajukan oleh Pemohon tidak terbukti, sehingga
permohonan
praperadilan
harus
ditolak
oleh
Pengadilan
Tinggi
Kalimantan Timur.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Kuasa
Pemohon menolak putusan tersebut dan pada tanggal 28 September 1999 di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Samarinda mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI agar Putusan Pengadilan Tinggi
59
Kalimantan Timur tentang praperadilan tersebut dapat ditinjau kembali, dengan
mengemukakan keberatan-keberatan yang pokoknya sebagai berikut :
1) Bahwa Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur dalam putusannya tersebut
telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata yakni : dalam
pertimbangan hukum putusannya tersebut terdapat pertentangan satu sama
lainnya.
2) Bahwa Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur dalam putusannya tersebut
terdapat kekeliruan yang nyata, karena pengadilan tinggi hanya
menggunakan doktrin hukum yang terpaku atas pendapat pakar hukum
dan tidak menggali realitas dalam masyarakat serta tidak mengikuti
perasaan hukum dan kesadaran hukum yang berkembang dalam
masyarakat.
3) Sudah benar dan tepat pertimbangan hukum dan keputusan Praperadilan
dari Pengadilan Negeri Samarinda No. 03/Pid/Pra/1999/PN. Smda tanggal
5 Januari 1999 yang telah menerima Pemohon sebagai pihak ketiga yang
mewakili masyarakat Kalimantan Timur yang menjadi saksi korban karena
perbuatan para tersangka tersebut.
4) Pendapat pengadilan tinggi yang menyatakan bahwa Pemohon bukan
merupakan pihak ketiga yang berkepentingan adalah pendapat yang salah,
karena itu putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur tersebut harus
dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Menurut Majelis Mahkamah Agung yang mengadili perkara Peninjauan
Kembali atas putusan praperadilan yang diberikan oleh Pengadilan Tinggi
60
Kalimantan Timur tersebut, maka Mahkamah Agung dalam putusannya
memberikan pertimbangan hukum yang inti sarinya sebagai berikut :
Permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon sebagai pihak
ketiga yang berkepentingan, ex Pasal 80 KUHAP terhadap SP3 No. Print.
171/R.4/F.P.K.I/II/1998, yang diterbitkan oleh Termohon PK (Kejaksaan Tinggi)
apakah dapat diterima?
Menurut Mahkamah Agung pembentuk Undang-undang tidak memberi
tafsiran otentik tentang pengertian “Pihak Ketiga yang berkepentingan” dalam
Pasal 80 KUHAP, sebagaimana penafsiran otentik mengenai Penyidik Pasal 1
angka 3 dan Penuntut Umum Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP, maka secara “a
contrario in terminis” istilah Penyidik dan Penuntut Umum ditempatkan pada
posisi mendahului istilah “Pihak ketiga yang berkepentingan “seyogyanya berarti :
adalah setiap orang, kecuali Penyidik dan Penuntut Umum dan atau orang yang
memperoleh hak darinya (bandingkan Pasal 176 sub 2 Rv), termasuk Pemohon
Praperadilan baik selaku seorang warga negara maupun ketua lembaga
masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan
dan kebenaran demi kepentingan masyarakat luas/umum.
Pasal 263 (1) KUHAP yang tegar menentukan Pemohon PK hanya
terpidana atau ahli warisnya dan bukan lainnya.
Menurut Mahkamah Agung berdasar asas legalitas dan asas pengawasan
horizontal serta ketentuan Pasal 79 dari Undang-undang No. 14/tahun 1985, maka
Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap tentang cara
menyelesaikan suatu soal yang tidak atau belum diatur Undang-undang. Untuk
61
mengisi kekurangan atau kekosongan hukum, maka Pasal 263 (1) KUHAP
mengenai Pemohon PK oleh hanya terpidana atau ahli warisnya dalam mengadili
perkara ini, mesti dilenturkan berdasarkan kekurangan atau kekosongan hukum
sekaligus suatu kebutuhan dalam acara, sehingga mencakup juga Pemohon PK
oleh Pihak Ketiga yang berkepentingan sebagamana yang telah ditentukan dalam
Pasal 80 KUHAP atau Pihak Ketiga Yang berkepentingan dalam Pasal 26 UU No.
14 tahun 1970 atau Jaksa Agung atau pihak yang berkepentingan dalam Pasal 10
(1) PERMA No. 1 tahun 1980.
Selanjutnya mengenai putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dalam formalitas permintaan Peninjauan Kembali.
Berdasar atas asas legalitas dan atas pengawasan horizontal dalam Pasal
80 KUHAP serta ketentuan Pasal 79 UU No. 14 tahun 1985, maka acara
pemeriksaan permintaan PK untuk memeriksa dan mengadili permohonan
praperadilan ini, maka Mahkamah Agung berlandaskan kebutuhan dan
kekosongan hukum, sekaligus merupakan kebutuhan hukum dalam acara
pemeriksaan permohonan PK atas putusan praperadilan, maka ketentuan Pasal
263 ayat (1) KUHAP mengenai istilah putusan pengadilan meski dilenturkan
kembali sehingga mencakup : Keputusan pengadilan (dalam Pasal 156 (1)
KUHAP, Pasal 81 KUHAP), Putusan Praperadilan dalam Pasal 77 s/d 83
KUHAP, dan bukan sekedar Putusan Pemidanaan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
62
Oleh karena itu permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon H.
Iskandar Hutualy, baik sebagai pribadi maupun selaku Ketua DPD I IKBLA A.R
Hakim Exponen 66 Samarinda secara formal mesti diterima .
Maka pertimbangan
hukum putusan praperadilan dari judex facti
(pengadilan tinggi) merupakan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dari
hakim, karena
judex
facti (pengadilan tinggi) mencampur adukan antara
konsepsi class action dengan konsepsi permohonan praperadilan yang pertama
berada dalam ruang lingkup Hukum Acara Perdata, sedangkan yang terakhir
dalam Hukum Acara Pidana, yang masing-masing memiliki karakteristik tidak
sama, baik dalam hukum gugatan maupun dalam hukum pembuktian dan bila
yang pertama terkait dengan kerugian yang dialami (conrete injured parties),
dimana anggota-anggota memberi penegasan adalah bagian dari gugatan
perwakilan atau menyatakan keluar dari gugatan perwakilan. Sedangkan bila tidak
terkait dengan tuntutan ganti rugi (monetary damages) pemberitahuan (notice)
terhadap anggota kelas tidak perlu dilakukan oleh pengadilan, sedangkan yang
disebut terakhir yaitu permohonan praperadilan terhadap penghentian penyidikan
atau penuntutan ini, tidak diminta sama sekali ganti kerugian, melainkan tuntutan
deklaratif atau injuction (putusan sementara), sehingga mempertimbangkan,
mengkaji tuntutan a’quo menjadi tidak bermanfaat (overbodig), meskipun
ketentuan Pasal 77 jo Pasal 81 KUHAP memberi peluang.
Berdasarkan alasan tersebut, maka putusan
Praperadilan Judex facti
(pengadilan tinggi) tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan, sehingga
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan mengambil alih
63
pertimbangan hukum dan amar putusan praperadilan pengadilan negeri, sebab
dinilai sudah benar dan tepat.
Akhirnya Majelis Mahkamah Agung memberi putusan yang amarnya
sebagai berikut :
Mengadili :
-
Mengabulkan permohonan PK dari IKBLA AR. Hakim Exponen 66
Kalimantan Timur, yang diwakili oleh DPD IKADIN Cab.Samarinda.
-
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan No. 30/Pid/1999.PT.
Smda, yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Samarinda No.
03/Pid/Pra/1999/PN. Smda
Mengadili Sendiri :
-
Menetapkan
Surat
Penghentian
Penyidikan
No.
Print.
171/R.4/F.PK.1/II/1998, tanggal 3 November 1998 tidak sah.
-
Memerintahkan Penyidikan terhadap Tersangka 1. Drs HS Syafran, 2. Drs
Syaukani HR, 3. Drs. HAM Sulaiman, 4. Drs. Syafrudin AH, 5. Drs.
Abdullah Sani, 6. Drs. Hasbullah Haul wajib dilanjutkan.
64
B. Analisis Kasus
Analisis yang dapat diangkat dari kasus diatas adalah, bahwa yang terurai
dalam Pasal 80 KUHAP yang mengatur permintaan untuk memeriksa sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidik atau penuntutan dapat diajukan oleh
penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada
ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Karena pembentuk
Undang-undang tidak memberikan penafsiran otentik istilah hukum pihak ketiga
yang berkepentingan tersebut.
Maka yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan tersebut,
tidak hanya terbatas saksi korban saja, melainkan seyogyanya diartikan setiap
orang (kecuali Penyidik dan Penuntut Umum) termasuk pula seorang warga
negara maupun ketua lembaga swadaya masyarakat yang memiliki hak dan
kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan, kebenaran demi kepentingan
umum masyarakat luas.
Sedangkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai istilah Putusan
Pengadilan
menurut Majelis Mahkamah Agung meski dilenturkan sehingga
mencakup: Putusan pengadilan ex pasal 156 (1) KUHAP dan Pasal 81
KUHPidana, Putusan Praperadilan dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83
KUHAP, sehingga bukan hanya putusan pemidanaan yang telah berkekuatan
hukum tetap saja yang dapat dimohon Peninjauan Kembali.
Pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur terhadap Surat
Perintah Penghentian Penyidikan yang menyatakan tidak ada kerugian negara oleh
perbuatan para tersangka pelaku Tindak Pidana Korupsi PBB Kutai tersebut ex
65
Pasal 1 (1) sub a atau sub b UU No. 3 tahun 1971 tersebut, adalah sangat tidak
tepat, oleh karena apabila dihubungkan dengan uraian Pasal 1 ayat (1) Undangundang No. 3 tahun 1971 menyatakan: “Barang
siapa dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan negara
atau perekonomian negara”
Meskipun para tersangka tidak mendapatkan keuntungan bagi dirinya atas
penyelewengan dana PBB tersebut, akan tetapi para tersangka telah meyalah
gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukannya telah menggunakan dana PBB untuk kepentingan suatu
Badan tertentu yakni: untuk mendukung kesinambungan Orde Baru
di
Kalimantan Timur sebesar Rp. 2,5 Milyar dan mendukung kegiatan Golkar Kutai
di Kalimantan Timur sebesar Rp. 1,5 Milyar sesuai dengan berita dalam Harian
Manuntung 4 Juni 1998.
Padahal seharusnya para tersangka setelah memperoleh dana PBB tersebut
harus disetorkan ke kas negara yang penggunaannya akan diatur oleh pemerintah
dan bukan oleh para tersangka.
Mengenai tuntutan praperadilan terhadap surat perintah penghentian
penyidikan yang dilakukan oleh pihak ketiga, sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 80 KUHAP yaitu, Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau
66
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan
negeri dengan menyebutkan alasannya.
Permohonan tuntutan praperadilan yang dilakukan oleh IKBLA terhadap
surat perintah penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Timur dapat diterima oleh pengadilan, karena mengenai pengertian
pihak ketiga yang berkepentingan dalam KUHAP sama sekali tidak dijelaskan
Pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, mengenai
pihak ketiga yang berkepentingan, hanya membatasi pengertian pihak ketiga
terletak kepada saksi korban dalam peristiwa pidana dan yang dirugikan secara
langsung, padahal pendapat pakar hukum tersebut dapat disimpulkan sebagai
pengertiannya dalam lingkup tindak pidana umum.
Sedangkan dalam kasus ini yang menjadi obyek surat perintah penghentian
penyidikan (S.P.3) adalah tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi yang
salah satu unsurnya adalah kerugian negara. Maka dengan kerugian negara atas
S.P.3 pajak bumi dan bangunan Kutai tersebut kedudukan Pemohon selaku
sebagian dari rakyat Kalimantan Timur adalah sangat erat, dengan demikian
kerugian negara adalah kerugian masyarakat, juga Pemohon sebagian dari
masyarakat Kalimantan Timur.
BAB IV
PEMBAHASAN TUNTUTAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN
PENYIDIKAN (S.P.3) DAN TUNTUTAN PRAPERADILAN DALAM
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000
A. Kekuatan Hukum Surat Perintah Penghentian Penyidikan Yang
Dikeluarkan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Peraturan PerundangUndangan Yang Berlaku.
Hukum acara pidana dapat dijalankan apabila terjadinya tindak
pidana/delik dan dimulainya hukum acara pidana adalah dengan adanya
penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan, jika benar telah terbukti
melakukan tindak pidana maka hukum acara dapat mulai berjalan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
tata cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Tugas penyidik adalah untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dimana
dengan diketahui alat bukti itu akan membuat terang apakah benar-benar sudah
terjadinya delik atau tindak pidana dan dengan alat bukti itu dapat menemukan
tersangkanya.
Baik penyidik maupun penuntut umum mempunyai wewenang untuk
menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan mengenai
67
68
penghentian penyidikan diantaranya, apabila hasil pemeriksaan penyidikan atau
penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan
atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau
pelanggaran tindak pidana. Sebab itu tidak mungkin untuk meneruskan
perkaranya ke sidang pengadilan.
Mungkin juga dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang
dilakukan oleh pejabat penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem,
karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana
yang telah pernah dituntut dan diadili, dan telah mempunyai putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan oleh
penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang disangkakan
kepada tersangka terdapat unsur kedaluawarsa untuk menuntut, oleh karena itu,
apabila dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur
kedaluawrsa dalam perkara yang sedang diperiksa, wajar penyidikan atau
penuntutan dihentikan, apabila penyidikan atau penuntutan dihentikan, maka
perkara yang bersangkutan tidak diteruskan ke sidang pengadilan.
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik harus memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 80 KUHAP bahwa permintaan
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
69
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Penyidik dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas
waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut
umum kepada penyidik.
Apabila tersangka merasa keberatan terhadap sah tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, yang dilakukan
oleh penyidik maupun penuntut umum, maka tersangka berhak mengajukan
tuntutan terhadap penyidik atau penuntut umum ke praperadilan, sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 79 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Dihubungkan dengan kasus yang dibahas oleh penulis, di mana telah
terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil pajak bumi dan bangunan
yang dipungut dari wajib pajak pertambangan dan migas Kabupaten Kutai
Kalimantan Timur senilai Rp. 12.814.850.991.- yang hasilnya/bunganya untuk
kepentingan pribadi.
Kemudian Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan
terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri
Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan pengusutan atas tindak
pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan
permohonan praperadilan kepada kejaksaan negeri, dengan alasan kejaksaan telah
menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut.
70
Pengadilan
Negeri
Samarinda
dalam
putusan
Praperadilan
No.02/Pid/Pra/1998, tanggal 24 Oktober 1998 memberi putusan bahwa
permohonan praperadilan yang diajukan oleh IKADIN cab. Samarinda dinyatakan
tidak diterima dengan pertimbangan bahwa pihak kejaksaan negeri tidak
menghentikan penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan
bangunan. Sebulan kemudian setelah putusan Praperadilan tersebut diatas,
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, menerbitkan “Surat Perintah Penghentian
Penyidikan” terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan
tersebut yaitu : SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998
terhadap tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah
mengembalikan uang pajak bumi bangunan kepada negara, yang disangka telah
diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka tersebut.
Menurut pendapat penulis apabila menganilis dan membahas tentang surat
perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus tindak pidana korupsi
yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur yaitu, SP3 No.
Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 terhadap tersangka Drs.
H. S. Sjafrani dkk, adalah tidak tepat dan batal demi hukum, serta tidak
mencerminkan rasa keadilan dan tidak mengakomodir kepentingan hukum para
pihak. Karena para tersangka telah menyimpan uang pajak bumi dan bangunan
pada suatu bank yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi dan telah
merugikan negara.
Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 20 Tahun 2002 menyatakan,
dihukum karena tindak pidana korupsi ialah barang dengan siapa dengan tujuan
71
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan negara
atau perekonomian negara.
Para tersangka meskipun tidak mendapatkan keuntungan bagi dirinya atas
penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan tersebut, akan tetapi para
tersangka telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukannya telah menggunakan uang pajak bumi
dan bangunan untuk kepentingan suatu badan tertentu.
Menurut pendapat penulis dalam kasus diatas bahwa surat perintah
penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Timur dalam kasus tindak pidana korupsi adalah tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
B. Kekuatan Hukum Tuntutan Praperadilan Yang Diajukan Oleh Pihak
Ketiga Dengan Adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan Dalam
Perkara Ini
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau
tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum
dan keadilan; dan permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau
72
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.
Apabila tersangka merasa keberatan terhadap sah tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, maka tersangka
berhak mengajukan praperadilan ke pengadilan negeri. Yang dapat mengajukan
permohonan pemeriksaan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan atau mengenai sah atau tidaknya
penghentian
penyidikan
atau
penghentian
penuntutan
yaitu:
tersangka,
keluarganya, atau kuasanya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 79
KUHAP.
Menurut Pasal 80 KUHAP, bahwa permintaan untuk memeriksa sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh
penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada
ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Apabila instansi penyidik menghentikan pemeriksaan penyidikan, Pasal 80
KUHAP memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan mengenai sah atau
tidaknya penghentian penyidikan.
Mengenai pihak ketiga yang berkepentingan tidak dijelaskan lebih lanjut
dalam undang-undang, dalam tindakan penghentian penyidikan. Pengertian pihak
ketiga yang berkepentingan menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapan,
ada yang menafsirkan secara sempit, hanya terbatas saksi korban tindak pidana
atau pelapor.
73
Secara umum pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan
perkara pidana ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang
bersangkutan, bahwa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan
dalam tindakan penghentian penyidikan ialah saksi yang langsung menjadi korban
dalam peristiwa pidana serta saksi korbanlah yang berhak mengajukan permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan ke praperadilan.
Menurut pendapat penulis pengertian pihak ketiga yang berkepentingan
harus ditafsirkan secara luas, tidak terbatas hanya saksi korban saja atau pelapor,
tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat.
Karena pada dasarnya penyelesaian tindak pidana menyangkut kepentingan
umum.
Dihubungkan dengan kasus yang dibahas oleh penulis, mengenai tuntutan
praperadilan yang diajukan oleh pihak ketiga terhadap surat perintah penghentian
penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Di mana dalam kasus tersebut, yang terjadi di Kabupaten Kutai
Kalimantan Timur, di duga telah terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi
uang hasil pajak bumi dan bangunan yang dipungut dari wajib pajak
pertambangan dan migas Kabupaten Kutai senilai Rp. 12.814.650.991,- yang
uangnya oleh oknum Pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai
setempat, diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu bank, dimana yang
hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi oknum tersebut.
Kemudian Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan
terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri
74
Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan pengusutan atas tindak
pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan
permohonan praperadilan kepada kejaksaan negeri, dengan alasan kejaksaan telah
menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut. Namun oleh
Pengadilan Negeri Samarinda dalam Putusan Praperadilan No.02/Pid/Pra/1998,
tanggal 24 Oktober 1998 memberi putusan bahwa permohonan praperadilan yang
diajukan oleh IKADIN dinyatakan tidak dapat diterima dengan pertimbangan
bahwa Kejaksaan Negeri Samarinda tidak menghentikan pentyidikan terhadap
kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan tersebut.
Sebulan kemudian setelah putusan praperadilan tersebut maka Kejaksaan
Tinggi Kalimantan Timur menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) yaitu, SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/1998 tanggal 3 November 1998
terhadap para tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka
telah mengembalikan kepada negara uang pajak bumi dan bangunan tersebut,
yang disangka telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka dan
menurut kejaksaan bahwa dalam kasus ini tidak ada kerugian negara atau negara
tidak dirugikan oleh para tersangka.
Maka dengan adanya SP3 tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat
Kalimantan Timur khususnya Ikatan Keluarga Besar Ampera Arief Rachman
Hakim merasa tidak puas dengan adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur terhadap para
tersangka tindak pidana korupsi, kemudian Ikatan Keluarga Besar Ampera Arief
75
Rachman Hakim memberi surat kuasa kepada DPD IKADIN Samarinda untuk
mengajukan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Samarinda.
Di mana dalam kasus diatas, menurut pendapat penulis bahwa Ikatan
Keluarga Besar Ampera Arief Rachman Hakim yang memberi surat kuasa kepada
DPD IKADIN Samarinda bisa dikategorikan sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal Pasal 80 KUHAP.
Karena dalam KUHAP pengertian pihak ketiga yang berkepentingan sama sekali
tidak dijelaskan, dengan demikian dalam mendefenisikan hal tersebut diserahkan
kepada hakim yang mengadili perkara tersebut.
Dari kasus tersebut jaksa tidak mungkin bersedia mempermasalahkan sah
atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan jaksa sendiri, sedangkan
Polri tidak dapat mengajukannya kepada praperadilan karena kewenangannya
untuk itu terbatas atas penghentian penuntutan atas hasil penyidikan yang
dilakukannya. Menghadapi kasus yang seperti itu apakah tidak beralasan untuk
menempatkan masyarakat luas sebagai korban atas tindak pidana itu, sehingga
mereka dapat diidentikkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang
diwakili oleh IKBLA atau oraganisasi kemasyarakatan.
Menurut pendapat penulis, permohonan praperadilan yang diajukan oleh
DPD IKADIN sebagai pihak ketiga terhadap adanya surat perintah penghentian
penyidikan dapat diterima oleh Pengadilan Negeri Kalimantan Timur serta
mempunyai kekuatan hukum. Karena yang menjadi obyek SP3 tersebut adalah
tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi yang salah satu unsurnya adalah
adanya kerugian negara. Sehubungan dengan kerugian negara atas SP3 pajak
76
bumi dan bangunan Kutai tersebut kedudukan DPD IKADIN/Pemohon selaku
bagian dari rakyat Kalimantan Timur, dengan demikian kerugian negara adalah
kerugian masyarakat, serta Pemohon juga bagian dari masyarakat tersebut.
C. Pertimbangan Hukum Yang Digunakan Oleh Judex Facti Terhadap
Putusan Praperadilan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Ini Telah
Sesuai Dengan KUHAP
C.1. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Samarinda dengan melihat kasus di
atas, yang di duga telah terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil
pajak bumi bangunan (PBB) yang dipungut dari wajib pajak pertambangan dan
migas Kabupaten Kutai Kalimantan senilai Rp. 12.814.850.991,09.- yang uangnya
oleh oknum pejabat diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu Bank, yang
hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi oknum tersebut.
Kemudian Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan
terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri
Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan pengusutan atas tindak
pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan
permohonan praperadilan kepada kejaksaan negeri, dengan alasan kejaksaan telah
menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut.
Pengadilan
Negeri
Samarinda
dalam
putusan
Praperadilan
No.02/Pid/Pra/1998, tanggal 24 Oktober 1998 memberi putusan bahwa
permohonan praperadilan yang diajukan oleh IKADIN cab. Samarinda dinyatakan
77
tidak diterima dengan pertimbangan bahwa pihak kejaksaan negeri tidak
menghentikan penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan
bangunan. Sebulan kemudian, setelah putusan Praperadilan tersebut diatas, maka
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, menerbitkan “Surat Perintah Penghentian
Penyidikan” terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan
tersebut yaitu : SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998
terhadap tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah
mengembalikan uang pajak bumi bangunan kepada negara, yang disangka telah
diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka tersebut.
Ternyata dengan adanya SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal
3 November 1998 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur
tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat khususnya dari Ikatan
Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rahman Hakim, Eksponen 66 Samarinda
yang diwakili oleh H. Iskandar Hutualy dan kemudian memberi surat kuasa
kepada DPD IKADIN Samarinda untuk mengajukan permohonan Praperadilan di
Pengadilan Negeri Samarinda terhadap Jaksa Agung RI di Jakarta qq Kepala
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur qq Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda
sebagai Termohon Praperadilan.
Terhadap tuntutan ketua Ikbla H. Iskandar Hutualy/Pemohon Praperadilan
memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Samarinda berkenaan memberi
putusan mengabulkan permohonan Praperadilan, menyatakan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3
November 1998 adalah tidak sah, dan memerintahkan Termohon melanjutkan
78
pemeriksaan para tersangka kasus pajak bumi dan bangunan hingga ada putusan
pengadilan yang pasti.
Dalam
pertimbanganya
Majelis
Hakim
Pengadilan
Negeri
atas
permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon ‘IKBLA’ tersebut, maka
pada tanggal 5 Juni 1999 Pengadilan Negeri Samarinda memberi putusan No.
03/Pid//Pra/1999/PN. Smda, yang amarnya: Menetapkan “Surat Perintah
Penghentian Penyidikan “ No. Print. 171/R.4/FPK.1/II/1999, tanggal 3 November
1998 adalah tidak sah; Memerintahkan penyidikan terhadap tersangka : 1. Drs.
Syafrani, 2. Drs. Syaukani. HR, 3. Drs. HAM. Sulaiman, 4. Drs. Syafrudin AH, 5.
Drs. Abdullah Sani, dan 6. Drs. Abdullah Haul, wajib dilanjutkan.
Menurut penulis pertimbangan hukum putusan Praperadilan dari judex
facti (Pengadilan Negeri) telah benar menerapkan hukum acara pidana, karena
Pengadilan Negeri Samarinda dalam putusannya mempertimbangkan bahwa
masyarakat luas yang berkepentingan diwakili oleh Pemohon dapat disebut
sebagai saksi atau korban, yang kalau perkara ini tidak diperoses akan menderita
kerugian atau bagian orang yang menjadi korban.
Pengadilan Negeri Samarinda dalam mengartikan “pihak ketiga yang
berkepentingan” yang terdapat dalam Pasal 80 KUHAP, mengartikan secara luas
bukan hanya mencakup saksi yang menjadi korban atau pelapor saja, akan tetapi
mencakup juga warga negara dan ketua lembaga swadaya masyarakat yang
memiliki hak dan kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan, kebenaran demi
kepentingan umum masyarakat luas.
79
C.2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Majelis
Hakim
Pengadilan
Tinggi
dalam
memutuskan
perkara
penyelewengan atau tindak pidana korupsi dana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut.
Bahwa Pemohon tidak dapat dikategorikan mewakili masyarakat IKBLA
Kalimantan Timur, karena tidak menerima kuasa dari masyarakat IKBLA
Kalimantan Timur, melainkan hanya menerima kuasa dari ketua DPD Tk I
IKBLA (H. Iskandar Hutualy).
Pemohon bukan sebagai pihak yang mempunyai kualitas untuk
mengajukan permohonan praperadilan. Dalam permohonannya, Pemohon
mendalilkan bahwa akibat perbuatan para pejabat tersebut, maka Pemohon
IKBLA Kalimantan Timur secara langsung/tidak langsung telah dirugikan tetapi
kerugian tersebut tidak diperinci jelas oleh Pemohon, sehingga pengadilan tinggi
berpendapat bahwa praperadilan yang diajukan oleh Pemohon tidak terbukti,
sehingga permohonan praperadilan harus ditolak oleh Pengadilan Tinggi
Kalimantan Timur.
Menurut pendapat penulis Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur dalam
putusannya tersebut terdapat kekeliruan yang nyata, karena pengadilan tinggi
hanya menggunakan doktrin hukum yang terpaku atas pendapat pakar hukum dan
tidak menggali realitas dalam masyarakat serta tidak mengikuti perasaan hukum
dan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat. Bahwa Pengadilan
tinggi dalam putusannya telah sependapat dengan dua pendapat pakar hukum
pidana yaitu Andi Taher Hamid dan M. Yahya Harahap yang membatasi
80
pengertian pihak ketiga hanya terletak kepada saksi korban dalam peristiwa
pidana dan yang dirugikan secara langsung. Padahal pendapat pakar hukum
tersebut dapat disimpulkan sebagai pengertiannya dalam lingkup tindak pidana
umum, sedangkan dalam perkara yang menjadi obyek SP3 tersebut adalah tindak
pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi, yang salah satu unsurnya adalah
kerugian negara. Sehubungan dengan kerugian negara atas SP3 Kutai tersebut
kedudukan Pemohon selaku bagian dari rakyat Kalimantan Timur adalah sangat
erat, dengan demikain kerugian negara adalah kerugian masyarakat, juga
Pemohon bagian dari masyarakat tersebut.
Pendapat pengadilan tinggi yang menyatakan bahwa Pemohon bukan
merupakan pihak ketiga yang berkepentingan adalah pendapat yang salah, karena
itu putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur tersebut harus dibatalkan.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan
Tinggi Kalimantan Timur dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu
penyelewengan dana pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum, karena dengan adanya surat perintah
penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Timur, maka kasus tentang penyelewengan dana PBB yang
merugikan rakyat banyak harus dihentikan, sedangkan para tersangka telah
menyimpan uang pajak bumi dan bangunan pada suatu bank yang
hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi dan telah merugikan negara.
2. Tuntutan Praperadilan yang diajukan oleh pihak ketiga dengan adanya surat
perintah penghentian penyidikan dalam perkara ini mempunyai kekuatan
hukum sebab untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum
atau “pihak ketiga yang berkepentingan” kepada ketua Pengadilan Negeri
dengan menyebutkan alasannya.
3. Pertimbangan hukum Pengadilan Negeri telah sesuai dengan hukum acara
pidana, dimana pengadilan negeri dalam mengartikan pihak ketiga yang
berkepentingan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 80 KUHAP
diartikan secara luas, tidak hanya saksi yang menjadai korban atau pelapor
melainkan mencakup juga warga negara dan ketua lembaga swadaya
81
82
masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakan hukum,
keadilan, kebenaran demi kepentingan umum masyarakat luas.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur
tidak sesuai dengan hukum acara pidana, dimana Pengadilan Tinggi
Kalimantan Timur telah melakukan kekeliruan dalam putusannya, hanya
menggunakan doktrin hukum yang terpaku atas pendapat pakar hukum dan
tidak menggali realitas dalam masyarakat serta tidak mengikuti perasaan
hukum dan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat.
B. SARAN-SARAN
1. Kejaksaan dalam mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan
(SP3) tindak pidana korupsi seharusnya sesuai dengan prosuder hukum
yang berlaku, sehingga negara dan masyarakat tidak dirugikan.
2. Badan yang berwenang untuk membuat undang-undang dalam hal ini
pemerintah, seharusnya menjabarkan dengan kongkrit istilah-istilah
hukum yang dibuat agar tidak menjadi salah arti bagi para hakim dalam
memutuskan perkara.
3. Hakim sebagai penegak hukum seharusnya menggali lebih dalam,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat
serta mengintegrasikan diri dalam masyarakat untuk benar-benar
mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayom.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan Indonesia, Penerbit
Alumni, Bandung, 1979.
……………., Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia,
Penerbit Alumni, Bandung, 1980.
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Pertama,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.
Andi Taher Hamid, Hukum Acara Pidana Umum dan Khusus, CV. Al-Ichsan,
Surabaya, 1989.
Atang Ranumihardja, Hukum Acara Pidana, Bandung, Tarsito, 1983.
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan
Kedelapan, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
Hadari Djanawi Tahir, Pokok-pokok Pikiran Dalam KUHAP, Penerbit Alumni
Bandung, 1981.
Harris, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat Dalam H.I.R, Cetakan
Pertama, Binacipta, Bandung, 1978.
Oemar Seno Adji, Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta,
1976.
…………….Perkembangan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Sekarang
dan di Masa Yang Akan Datang, Pantjuran Tudjuh, Jakarta, 1981.
Martiman Prodjohamidjojo, Penyelidikan dan Penyidikan, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1982.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru,
Jakarta, 1983.
R. Soesilo, Menangkap, Menahan, dan Pembebanan Ganti Rugi, Politia Bogor,
1979.
R. Tresna, Komentar HIR, Jakarta, Pradnya Paramita.
S. Tanusubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni,
Bandung, 1983.
Sutjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1977.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan Kedua,
P.T. Eresco, Bandung, 1989.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Undang-undang No. 20 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Varia Peradilan, XVII. No. 201. Juni. 2002.
A. Latar Belakang Masalah
Manusia di dalam pergaulan hidup bermasyarakat tidak selamanya
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat itu. Ia seringkali
dihadapkan pada berbagai konflik kepentingan antar sesamanya, yang pada
akhirnya sering menimbulkan persengketaan. Dalam keadaan yang demikian ini
hukum sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan ketertiban dalam
masyarakat.
Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal berarti hukum
yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya
untuk memidana dan menjatuhkan pidana, agar terciptanya suatu masyarakat yang
adil dan aman.
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau
tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum
dan keadilan; dan permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.
Apabila tersangka merasa keberatan terhadap sah tidaknya penagkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, maka tersangka
berhak mengajukan ke praperadilan. Seperti halnya dalam kasus ini di duga telah
terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil pajak bumi bangunan
(PBB) yang dipungut dari wajib pajak pertambangan dan migas Kabupaten Kutai
Kalimantan senilai Rp. 12.814.850.991,09.- yang uangnya oleh oknum pejabat
diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu Bank, yang hasilnya/bunganya
untuk kepentingan pribadi oknum tersebut.
Kemudian Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan
terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri
Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan pengusutan atas tindak
pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan
permohonan Pra Peradilan terhadap kejaksaan Negeri, dengan alasan kejaksaan
telah menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut.
Pengadilan Negeri Samarinda dalam putusan Pra peradilan
No.02/Pid/Pra/1998, tanggal 24 Oktober 1998 memberi putusan bahwa
permohonan Pra Peradilan yang diajukan oleh IKADIN cab. Samarinda
dinyatakan tidak diterima dengan pertimbangan bahwa pihak kejaksaan negeri
tidak menghentikan penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang PBB.
Sebulan kemudian, setelah putusan Pra Peradilan tersebut diatas, maka
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, menerbitkan “Surat Perintah Penghentian
Penyidikan” terhadap kasus penyelewengan uang PBB tersebut yaitu : SP3 No.
Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 terhadap tersangka Drs.
H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah mengembalikan uang PBB
kepada Negara, yang disangka telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi
para tersangka tersebut.
Ternyata dengan adanya SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal
3 November 1998 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Tinggi Kaltim tersebut
menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat khususnya dari Ikatan Keluarga
Besar Laskar Ampera Arief Rahman Hakim, Eksponen 66 Samarinda yang
diwakili oleh H. Iskandar Hutualy dan kemudian memberi surat kuasa kepada
DPD IKADIN Samarinda untuk mengajukan permohonan Pra Peradilan di
Pengadilan Negeri Samarinda terhadap Jaksa Agung RI di Jakarta qq Kepala
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur qq Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda
sebagai Termohon Pra Peradilan.
Terhadap tuntutan ketua Ikbla H. Iskandar Hutualy/Pemohon Pra Peradilan
memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Samarinda berkenaan memberi
putusan mengabulkan permohonan Pra Peradilan, menyatakan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3
November 1998 adalah tidak sah, dan memerintahkan Termohon melanjutkan
pemeriksaan para tersangka kasus PBB hingga ada putusan pengadilan yang pasti.
Maka berdasarkan permasalahan tersebut diatas, penulis merasa tertarik
untuk menganalisisnya berdasarkan ketentuan hukum acara pidana dalam suatu
skripsi yang berjudul :
“TUNTUTAN PRA PERADILAN TERHADAP SURAT PERINTAH
PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DALAM KASUS TINDAK
PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000”
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah kekuatan hukum surat perintah penghentian penyidikan yang
dikeluarkan oleh kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku ?
2. Bagaimanakah kekuatan hukum tuntutan pra peradilan yang diajukan oleh
pihak ketiga dengan adanya surat perintah penghentian penyidikan dalam
perkara ini ?
3. Apakah pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim pengadilan
negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terhadap putusan Pra
Peradilan dalam perkara ini telah sesuai dengan hukum acara pidana ?
Perihal
: Pengajuan Judul Proposal/Skripsi
Kepada Yth.
Dekan
C.q. Ketua bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unisba
Di Bandung
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Sesuai dengan keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
Nomor. 104/B-I/SK/DEK-FH/II/1999 Tentang Tata Tertib Pengajuan Judul
Proposal/Skripsi, dengan ini saya :
Nama
: Rd. Harry Permana
Nomor Pokok : 10040099234
Bagian
: Hukum Pidana
Mengajukan Tentatif Proposal/Skripsi dengan judul sebagai berikut :
“TUNTUTAN PRA PERADILAN TERHADAP SURAT PERINTAH
PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DALAM KASUS TINDAK
PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000”
Demikian pengajuan ini saya sampaikan, atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu
saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bandung,
Juni 2004
Pemohon,
Disposisi ketua Bagian, dengan ini
1. Menolak Judul dengan alasan :
2. Menunjuk :
a. Pembimbing Utama
:………………………………
b. Pembimbing Pendamping :………………………………
Bandung,
Juni 2004
Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Download