PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini 3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah 4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!! Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh UPT PERPUSTAKAAN UNISBA TUNTUTAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DAN TUNTUTAN PRAPERADILAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Oleh: Rd. Harry Permana 10040099234 Pembimbing Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung 1425 H / 2004 M Bandung, Desember 2004 Disetujui untuk diajukan ke Muka Sidang Panitia Ujian Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Di bawah bimbingan : Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H Di ketahui oleh : Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Nandang Sambas, S.H.,M.H. Bandung, Oktober 2004 Disetujui untuk diajukan dalam seminar proposal Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Menyetujui, Pembimbing Proposal Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H Mengetahui, Ketua Bagian Hukum Pidana Universitas Islam Bandung DR. Edi Setiadi, S.H.,M.H Bandung, Desember 2004 Rd. Harry Permana 10040099234 HASIL REVISI PROPOSAL 27 Oktober 2004 Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unisba Menyetujui Pembimbing Penelaah Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H DR. Edi Setiadi, S.H.,M.H Mengetahui Ketua Bagian Hukum Pidana DR. Edi Setiadi, S.H.,M.H Motto Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,” (QS. An-Nisaa : 105) Kupersembahkan Untuk Ibunda dan Kakakku Tercinta…. Nama : Rd. Harry Permana Npm : 10040099234 Judul : “Tuntutan Praperadilan Terhadap Surat Perintah Penghentian Penyidikan (S.P.3) Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Pajak Bumi dan Bangunan Dihubungkan Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor. 4-PK/Pid/2000” Out Line Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Identifikasi Masalah C. Tujuan Penelitian D. Kegunaan Penelitian E. Kerangka Pemikiran F. Metodologi Penelitian G. Jadwal Penelitian H. Sistematika Penulisan Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. Ketentuan Umum Praperadilan 1. Pengertian dan Dasar Hukum Praperadilan 2. Tujuan Praperadilan 3. Wewenang Praperadilan 4. Proses Pemeriksaan Praperadilan 5. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan B. Ketentuan Umum Tentang Penyidikan 1. Pengertian dan Dasar Hukum Penyidikan dan Penyidik 2. Wewenang Penyidik 3. Pengertian Dan Dasar Hukum Penuntut Umum 4. Wewenang Penuntut Umum 5. Tindak Pidana Korupsi Bab III TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000 A. Kasus Posisi B. Analisis Kasus Bab IV PEMBAHASAN TUNTUTAN PRAPERADILAN TERHADAP SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK BUMI DAN BANGNAN DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4PK/PID/2000. 1. Kekuatan Hukum Surat Perintah Penghentian Penyidikan Yang Dikeluarkan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Peraturan PerundangUndangan Yang Berlaku 2. Kekuatan Hukum Tuntutan Praperadilan Yang Diajukan Oleh Pihak Ketiga Terhadap Surat Perintah Penghentian Penyidikan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pajak Bumi dan Bangunan 3. Pertimbangan Hukum Yang Digunakan Oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Dan Mahkamah Agung Terhadap Putusan Praperadilan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pajak Bumi dan Bangunan Ini Telah Sesuai Dengan Hukum Acara Pidana Bab V PENUTUP A. Kesimpulan. B. Saran-saran. DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA ABSTRAK Wewenang praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Seperti halnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor. 04-PK/PID/2000 tentang surat perintah penghentian penyidikan SP3 dalam kasus tindak pidana korupsi. Dimana dalam kasus ini di duga telah terjadi penyelewengan/ tindak pidana korupsi uang hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dipungut dari wajib pajak pertambangan dan migas Kabupaten Kutai Kalimantan senilai Rp.. 12.814.850.991,09.- yang uangnya oleh oknum pejabat diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu Bank, yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi. Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan penyidikan atas tindak pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan permohonan praperadilan kepada kejaksaan negeri. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, menerbitkan “Surat Perintah Penghentian Penyidikan” SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat khususnya dari Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rahman Hakim, Eksponen 66 Samarinda yang diwakili oleh H. Iskandar Hutualy dan kemudian memberi surat kuasa kepada DPD IKADIN Samarinda untuk mengajukan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Samarinda terhadap Jaksa Agung RI di Jakarta qq Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur qq Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda sebagai Termohon Praperadilan. Dengan menggunakan metode penelitian Deskriptif Analisis, yaitu suatu metode dengan cara mengkaji dan menguji hokum positif yang berkaitan dengan masalah tindak pidana korupsi, serta pendekatan Yuridis Normatif, yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Penelitian dalam skripsi ini dibuat berdasarkan analisis dari Putusan Mahkamah Agung Nomor. 04-PK/PID/2000 tentang Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus tindak pidana korupsi. Dari penelitian diperoleh kesimpulan Surat Perintah Penghentian Penyidikan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur adalah tidak sah, karena dalam putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur hanya melihat dari Pasal 80 KUHAP dan tidak mengartikan secara luas, terutama dalam mencari pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan”, seharusnya dalam mengartikan pihak ketiga yang berkepentingan tidak hanya terbatas saksi korban saja, melainkan seyogyanya diartikan “ setiap orang” (kecuali penyidik dan penuntut umum) termasuk pula warga Negara maupun Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan, kebenaran demi kepentingan umum masyarakat luas. i KATA PENGANTAR Bismillahirohmanirrohim Assalamualaikum wr.wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T karena atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul : “ TUNTUTAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DAN TUNTUTAN PRAPERADILAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000 “ Penulisan skripsi ini sendiri dimaksudkan guna memenuhi salah satu syarat akademis yang dibebankan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, dan memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Hukum Keperdataan. Mengingat akan keterbatasan dan kemampuan penulis, maka penulis sepenuhnya menyadari dan mengakui bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari segi penyusunannya maupun dari segi pembahasannya. Oleh karena itu penulis akan sangat berterima kasih dan menghargai saran-saran dan kritik-kritik yang bersifat membangun dari semua pihak. Secara khusus penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtuaku tercinta Ibunda Niena Marlina , Ayahanda Ir. Dedi juga Kakaku tersayang Rd. Andie Bono Permadi, S.E. yang telah memberikan kasih ii sayang, perhatian dan do`a yang tulus kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih, terutama kepada yang terhormat Ibu Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuk-petunjuk sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Selain itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : 1. Yang terhormat Bapak Prof. DR. E. Saefullah S.H., LLM., selaku Rektor Universitas Islam Bandung. 2. Yang terhormat Bapak Nandang Sambas, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. 3. Yang terhormat Bapak M. Husni Syam, S.H., M.H., LLM. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. 4. Yang terhormat Ibu Lina Jamilah, S.H., M.H.,selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. 5. Yang terhormat Ibu Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. 6. Yang terhormat DR. Edi Setiadi, S.H.,M.H selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. 7. Yang terhormat M. Husni Syam, S.H., M.H., LLM. selaku Dosen Wali iii 8. Segenap Dosen dan Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. 9. Penulis haturkan terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan dan senagkatan di Fakultas Hukum kelas C Unisba, yaitu Agung Ayah. Agung KM, Bayu, Dian, Eming, Ira, Niko, Wempy, Yudha, Santi, Ivan, Fajar, Randi, Dea, Ino, “Terima Kasih atas Do`a, bantuan, dan dukungannya”, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Teman-teman kampus, anak-anak Scocer 98, Lucky Ayumi, S.H, Decky,S.H , Adit Bombom S.H , Baba, S.H, Joye, S.H, Okty, Eastka, S.H, Jack, S.H, Doel, Tomy Ndut, Iwong, Bong`q S.H, Burik S.H, Goro S.H, Aries, Ochi , Alfie, Selud, S.H, Arief S.H , Faruk S.H , Elli S.H , Bayu S.H, Endi S.H, Helmi, Kojek S,H , Dian S.H, Idho Abban, Adi S.H, serta teman-teman yang lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 11. Teman-teman sepermainan, Muckhlis S.H, M.Fikri S.H , Fadly Lumpur, Birin , Wisnu, Dhiemaz, Jack, Daud, Mang Udin (M.U) ,SOVIET Indonesia, MUSICKITA.COM, ANONIM wardrobe, Badger.inv, MNG proud, BLACKJACK, TERNATE crew , BAPTIS crew , JETMAC, Kebon Bibit 19. Akhir kata, harapan penulis semoga Allah S.W.T. selalu memberikan Rakhmat dan kebahagiaan kepada semuanya. Amien. Bandung, Desember 2004 Wasalam, Penulis iv DAFTAR ISI ABSTRAK .................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................. v BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Identifikasi Masalah .............................................................. 5 C. Tujuan Penelitian .................................................................. 6 D. Kegunaan Penelitian ............................................................. 6 E. Kerangka Pemikiran .............................................................. 7 F. Metodologi Penelitian ........................................................... 10 G. Jadwal Penelitian .................................................................... 12 H. Sistematika Penulisan ........................................................... 12 TINJAUAN PUSTAKA A. Ketentuan Umum Praperadilan ............................................. 15 1. Pengertian dan Dasar Hukum Praperadilan ................... 15 2. Tujuan Praperadilan ......................................................... 19 3. Wewenang Praperadilan .................................................... 21 4. Proses Pemeriksaan Praperadilan ...................................... 27 5. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan ................ 38 v BAB III B. Ketentuan Umum Tentang Penyidikan .................................. 43 1. Pengertian dan Dasar Hukum Penyidikan dan Penyidik ... 43 2. Wewenang Penyidikan ...................................................... 45 3. Pengertian dan Dasar Hukum Penuntut Umum ................ 48 4. Wewenang Penuntut Umum .............................................. 49 TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000 BAB IV A. Kasus Posisi .......................................................................... 53 B. Analisis Kasus ........................................................................ 65 PEMBAHASAN TUNTUTAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DAN TUNTUTAN PRAPERADILAN KORUPSI DALAM KASUS DIHUBUNGKAN TINDAK DENGAN PIDANA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000 A. Kekuatan Hukum Surat Perintah Penghentian Penyidikan Yang Dikeluarkan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku ..................................... 68 B. Kekuatan Hukum Tuntutan Praperadilan yang Diajukan Oleh Pihak Ketiga Dengan Adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan Dalam Perkara Ini............................ vi 72 C. Pertimbangan Hukum Yang Digunakan Oleh Judex Facti Terhadap Putusan Praperadilan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Ini Telah Sesuai Dengan KUHAP…………. BAB V 77 PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 82 B. Saran-saran ............................................................................ 83 DAFTAR PUSTAKA vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Maka, segala kehidupan masyarakatnya harus ditentukan oleh hukum yang memberikan kepastian terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang. Hukum bukan semata-mata sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui, melainkan untuk dilaksanakan atau lebih tepat untuk ditaati. Sebagai landasan diberlakukannya hukum bagi setiap warga negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945 terutama Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa: ”Segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap penyelengara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud. Hukum di Indonesia terdiri atas hukum perdata, hukum pidana, dan hukum tata usaha negara, dikenal juga dengan istilah-istilah seperti istilah hukum privat, dan publik. Hukum pidana dikenal juga denga istilah hukum publik karena 1 2 mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan perseorangan. 1 Hukum pidana di Indonesia diartikan sebagai sanksi, kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. 2 Pemidanaan atau pengenaan pidana dapat diartikan juga dengan hukuman yang biasanya dimaksud adalah penderitaan yang diberikan negara kepada orang yang melanggar hukum pidana. Menurut cara mempertahankannya hukum dapat dibagi dalam hukum materil dan hukum formal, hukum materil yaitu hukum yang memuat peraturanperaturan yang mengatur kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud dalam perintah dan larangan. Sedangkan hukum formil (hukum proses atau hukum acara) yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan pertahanan hukum materil atau peraturanperaturan yang mengatur bagaimana caranya mengajukan suatau perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara hakim memberikan putusan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981), tidak dijelaskan apakah hukum acara pidana itu. Hanya dalam beberapa bagian diberi definisi-definisi seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain (Pasal 1 KUHAP). 1 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan Kedelapan, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 75 2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan Kedua, P.T. Eresco, Bandung, 1989, hal 1 3 Hukum acara pidana dapat dijalankan apabila terjadinya tindak pidana (delik), serta dimulainya hukum acara pidana adalah dengan adanya penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan, jika benar telah terbukti melakukan tindak pidana maka hukum acara dapat mulai berjalan.3 Apabila tersangka merasa keberatan terhadap sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, maka tersangka berhak mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri. Wewenang praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum 4 . Seperti halnya dalam kasus yang diteliti dalam skripsi ini, penuntut umum menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan. Dalam kasus ini di duga telah terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil pajak bumi bangunan (PBB) yang dipungut dari wajib pajak pertambangan dan migas Kabupaten Kutai Kalimantan senilai Rp. 12.814.850.991,09.- yang uangnya oleh oknum pejabat diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu Bank, yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi oknum tersebut. Kemudian Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan pengusutan atas tindak pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan 3 4 C. S. T. Kansil, Op.,Cit, hal. 17. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 5. 4 permohonan praperadilan kepada kejaksaan negeri, dengan alasan kejaksaan telah menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut. Pengadilan Negeri Samarinda dalam putusan Praperadilan No.02/Pid/Pra/1998, tanggal 24 Oktober 1998 memberi putusan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh IKADIN cab. Samarinda dinyatakan tidak diterima dengan pertimbangan bahwa pihak kejaksaan negeri tidak menghentikan penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan. Sebulan kemudian setelah putusan Praperadilan tersebut diatas, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, menerbitkan “Surat Perintah Penghentian Penyidikan” terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan tersebut yaitu : SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 terhadap tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah mengembalikan uang pajak bumi bangunan kepada negara, yang disangka telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka tersebut. Ternyata dengan adanya SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat khususnya dari Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rahman Hakim, Eksponen 66 Samarinda yang diwakili oleh H. Iskandar Hutualy dan kemudian memberi surat kuasa kepada DPD IKADIN Samarinda untuk mengajukan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Samarinda terhadap Jaksa Agung RI di Jakarta qq Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur qq Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda sebagai Termohon Praperadilan. 5 Terhadap tuntutan ketua Ikbla H. Iskandar Hutualy/Pemohon Praperadilan memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Samarinda berkenaan memberi putusan mengabulkan permohonan Praperadilan, menyatakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 adalah tidak sah, dan memerintahkan Termohon melanjutkan pemeriksaan para tersangka kasus pajak bumi dan bangunan hingga ada putusan pengadilan yang pasti. Maka berdasarkan permasalahan tersebut diatas, penulis merasa tertarik untuk menganalisisnya berdasarkan ketentuan hukum acara pidana dalam suatu skripsi yang berjudul : “TUNTUTAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DAN TUNTUTAN PRAPERADILAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000” B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah-masalah yang akan dibahas berkaitan dengan judul skripsi ini diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kekuatan hukum surat perintah penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ? 2. Bagaimanakah kekuatan hukum tuntutan praperadilan yang diajukan oleh pihak ketiga dengana adanya surat perintah penghentian penyidikan dalam perkara ini ? 6 3. Apakah pertimbangan hukum yang digunakan oleh judex facti terhadap putusan praperadilan dalam perkara tindak pidana korupsi ini telah sesuai dengan KUHAP ? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Untuk mengetahui dan memahami kekuatan hukum surat perintah penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Untuk mengetahui dan memahami kekuatan hukum tuntutan praperadilan yang diajukan oleh pihak ketiga dengana adanya surat perintah penghentian penyidikan dalam perkara ini. 3. Untuk mengetahui apakah pertimbangan hukum yang digunakan oleh judex facti terhadap putusan praperadilan dalam perkara tindak pidana korupsi ini telah sesuai dengan KUHAP. D. Kegunaan Penelitian Sebagai layaknya setiap orang yang melakukan penelitian, diharapkan akan memperoleh kegunaan atau manfaat dari hasil penelitian tersebut. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah meliputi dua bagian yaitu, kegunaan yang bersifat teoritis dan kegunaan yang bersifat praktis. 1. Kegunaan yang bersifat teroritis a. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum dalam rangka menggerakan pengembangan dibidang hukum khususnya hukum acara pidana. 7 b. Sebagai sumbangsih untuk melengkapi bahan kepustakaan. 2. Kegunaan penelitian yang bersifat praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi pencari keadilan dan pihak-pihak yang tertarik mengenai masalah hukum. b. Penelitian ini kiranya dapat memberikan gambaran kepada orang yang berkompeten dalam bidang hukum dan masyarakat luas mengenai hukum acara pidana. E. Kerangka Pemikiran Praperadilan merupakan lembaga dalam Hukum Acara Pidana Indonesia walaupun dapat dipandang sebagai tiruan lembaga komisaris (rechter commissaris) di negeri Belanda dan juge d’ instruction di Perancis, namun tugas praperadilan di Indonesia berbeda dengan hakim komisaris di Eropa itu. Tugas hakim komisaris di Negara Belanda lebih luas daripada praperadilan di Indonesia. 5 Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau 5 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 188. 8 keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Dalam KUHAP Pasal 77 ditegaskan, bahawa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang : a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Adapun yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang jadi wewenang Jaksa Agung, kemudian dalam Pasal 78 KUHAP menyatakan, bahwa yang melaksanakan wewenag pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah Praperadilan itu. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal ditunjuk oleh pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan meyebutkan alasannya (Pasal 79 KUHAP). Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Ketentuan dalam Pasal 80 KUHAP ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal. 9 Penyidik maupun penuntut umum berwenang untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, alasan penghentian penyidikan mungkin hasil penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan, atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana, sebab tidak mungkin untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. 6 Mungkin juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan penyidik atau penuntut umum disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kedaluwarsa untuk menuntut. Oleh karena itu, apabila dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur kedaluwarsa dalam perkara yang sedang diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan. 7 F. Metodologi Penelitian 1. Metode Pendekatan Skripsi ini penelitiannya menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang menekankan pada ilmu hukum dan juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dalam penelitian ini penulis mengkaji dan menganalisa ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan masalah kewenangan suatu badan pengadilan. 6 7 Ibid, hal. 5. Ibid 10 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penulisan skripsi ini bersifat metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode dengan cara menggambarkan suatu permasalahan hukum kemudian menganalisis data sekunder sebagaimana dalam kasus ini. 3. Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap berikut : a. Penelitian kepustakaan, yaitu mengumpulkan sumber data sekunder, yang terdiri dari: 1) Bahan-bahan hukum primer yaitu berupa peraturan perundangundangan, misalnya: a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana c) Undang-undang No. 20 Tahun 2002 2) Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan hukum primer dan dapat membantu menganalisa bahan hukum sekunder, antara lain, teori-teori dari literatur-literatur, pendapat para ahli, doktrin dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan di atas. 3) Bahan-bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain: varia peradilan, artikel, kamus hukum. b. Penelitian Lapangan 11 Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk menambah kekurang lengkapan data dalam data sekunder, penelitian lapangan dilakukan dengan cara wawancara tidak terpimpin. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu dengan cara studi dokumen. 5. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu analisis yang tidak menggunakan diagram-diagram tertentu atau data statistik. G. Jadwal Penelitian Tahapan Penelitian Waktu a. Tahap Pencarian Data 3 Minggu b. Tahap Penemuan Permasalahan 3 Minggu c. Tahap Pemaparan Obyek Permasalahan 4 Minggu d. Tahap Pembahasan 3 Minggu e. Tahap Kesimpulan dan perolehan 1 Minggu Jawaban Permasalahan Jumlah 14 Minggu 12 H. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang skripsi ini penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pemikiran, tujuan penelitian, metodologi kegunaan penelitian, penelitian, jadwal kerangka penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi ketentuan umum tentang praperadilan, pengertian dan dasar hukum praperadilan, tujuan praperadilan, wewenang praperadilan, proses pemeriksaan praperadilan, upaya hukum terhadap putusan praperadilan, ketentuan umum tentang penyidikan, pengertian dan dasar hukum penyidikan, pengertian dan dasar hukum penyidik, wewenang penyidik, pengertian dan dasar hukum penuntut umum, wewenang penuntut umum, dan tindak pidana korupsi. BAB III TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000 Pada bab ini berisi mengenai kasus posisi, dan analisis kasus. BAB IV PEMBAHASAN TUNTUTAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DAN TUNTUTAN PRAPERADILAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA 13 KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000 Bab ini berisi pembahasan mengenai kekuatan hukum surat perintah penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kekuatan hukum tuntutan praperadilan yang diajukan oleh pihak ketiga dengan adanya surat perintah penghentian penyidikan dalam perkara ini, serta menganalisis pertimbangan hukum yang digunakan oleh judex facti terhadap putusan praperadilan perkara tindak pidana korupsi ini telah sesuai dengan KUHAP. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saransaran. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ketentuan Umum Praperadilan 1. Pengertian dan Dasar Hukum Praperadilan Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum, praperadilan dalam KUHAP ditempatkan dalam BAB X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi pengadilan negeri. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya: 8 a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada pengadilan negeri, dan sebagai lembaga peradilan, hanya dijumpai pada tingkat pengadilan negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari pengadilan negeri. b. Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan pengadilan negeri, tapi hanya merupakan divisi dari pengadilan negeri, c. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri. 8 M. Yahya Harahap, Op., Cit, hal. 1. 14 15 Eksistensi dan kehadiran praperadilan, bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan pengadilan negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan fungsi pengadilan negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghnetian penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan. Menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP yang dimaksud dengan praperadilan adalah Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus : - Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, - Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, - Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP, di pertegas dalam Pasal 77 KUHAP, yang menjelaskan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini tentang: - Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, - Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 16 Untuk kelancaran tugas dan tanggung jawab praperadilan, ketua pengadilan negeri setempat dapat memilih alternatif yang paling sesuai dengan keadaan yang dihadapinya secara nyata, dengan memperhatikan faktor beban kerja dan tenaga teknis yang terdapat pada pengadilan negeri yang bersangkutan. Maka berdasarkan pertimbangan keadaan dan faktor inilah ketua pengadilan negeri memilih alternatif yang paling tepat berupa : a. Membentuk satuan tugas praperadilan yang permanen Apabila pihak pengadilan dalam menghadapi kasus praperadilan sedemikian banyak, maka dalam penyelesaian pemeriksaannya tidak dapat dijadikan sebagai tugas sampingan bagi para hakim, tetapi dalam keadaan seperti ini lebih tepat ketua pengadilan negeri menetapkan satuan tugas yang permanen, yang khususnya berfungsi melayani tugas praperadilan. Pembentukan satuan tugas permanen ini dimaksudkan untuk : 1) Mengangkat dan menetapkan seorang atau beberapa orang hakim dan panitera yang khusus bertugas untuk melayani pemeriksaan dan penyelesaian kasus-kasus yang diajukan kepada praperadilan, 2) Hakim dan panitera tersebut, diangkat dan ditetapkan untuk jangka waktu tertentu, misalnya untuk masa enam bulan atau untuk masa satu tahun, 3) Selama jangka waktu itu, hakim dan panitera yang bersangkutan, dibebaskan dari fungsi mengadili perkara. Semata-mata mereka hanya bertugas menghadapi praperadilan. penyelesaian kasus yang diajukan kepada 17 Pilihan atas alternatif ini didasarkan sesuai dengan laju dan volume kasus yang diajukan kepada praperadilan, jika ternyata beban kerja yang diajukan relatif banyak serta tenaga hakim yang ada cukup tersedia, maka cukup beralasan untuk memilih pembentukan satuan tugas praperadilan yang permanen. Akan tetapi jika persoalan yang diajukan kepada praperadilan hanya bersifat insidentil serta tenaga hakim yang ada tidak cukup memadai, maka ketua pengadilan negeri lebih baik memilih alternatif yang kedua. b. Bentuk tugas rangkap Pilihan alternatif yang kedua ini, ketua pengadilan negeri tidak perlu membentuk satuan tugas permanen. Penyelesaian pemeriksaan kasus yang diajukan ke praperadilan dilayani dan dilaksanakan secara insidentil dan rangkap. Setiap hakim dan panitera yang ada, sewaktu-waktu dapat ditunjuk untuk memeriksa dan memutus kasus yang diajukan. Dalam bentuk tugas rangkap yang seperti ini : 1) Hakim dan panitera yang akan melayani tugas pemeriksaan praperadilan, ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri pada setiap ada kasus yang diajukan. Tidak ditetapkan hakim dan panitera yang khusus untuk menanganinya dalam suatu jangka waktu tertentu, 2) Dengan demikian setiap hakim dan panitera, dapat ditunjuk melaksanakan fungsi praperadilan tanpa membebaskan dari tugas pokok memeriksa dan memutus perkara pidana dan perdata. Penunjukan mereka dilakukan secara kasus per kasus tanpa menyampingkan tugas pokok mengadili perkara. 18 2. Tujuan Praperadilan Maksud dan tujuan dari lembaga praperadilan adalah untuk menegakan hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Maka untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik dan penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat : - tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka, - sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka. 9 Tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan penyelewengan terhadap hak asasi tersangka. Maka setiap tindakan penyelewengan yang ditimpakan kepada tersangka adalah 9 Ibid, hal. 3. 19 tindakan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum dan undang-undang (ilegal). Untuk mengawasi dan menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum maka perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang dikenakan kepada tersangka. Menguji dan menilai sah atau tidaknya tindakan paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, maka harus dilimpahkan kewenangannya kepada praperadilan. Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan benarbenar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pelembagaan yang memberi wewenang pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat dalam taraf proses pemeriksaan penyidikan atau penuntutan inilah yang dilimpahkan KUHAP kepada praperadilan. Maka pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP, adalah untuk melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. 10 10 Ibid, hal. 4. 20 3. Wewenang Praperadilan Undang-undang memberikan wewenang kepada praperadilan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP dan di pertegas dalam Pasal 77 KUHAP, yang menjelaskan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini tentang: - Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, - Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Kasus apa sajakah yang dapat diperiksa dan diputus oleh praperadilan sehubungan dengan tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka. Ada beberapa wewenang yang diberikan undang-undang kepada praperadilan yaitu : a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa Wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada praperadilan memeriksa dan memutus sah atau tidaknya : 1) Penangkapan 2) Penahanan Seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan, bahwa tindakan 21 penahanan yang dikenakan pejabat penyidik bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, atau penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP. Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya, hakim praperadilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahaan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan dan tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. 11 b. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan Kasus lain yang termasuk ke dalam ruang lingkup kewenangan praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Hakim praperadilan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai sah atau tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh pejabat penyidik atau penuntut umum. 12 Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum 11 12 Andi Hamzah ,Op., Cit, hal. 189. Ibid, hal. 190. 22 atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. 13 Baik penyidik maupun penuntut umum mempunyai wewenang untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan mengenai penghentian penyidikan diantaranya, apabila hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana. Sebab itu tidak mungkin untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Mungkin juga dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh pejabat penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan telah mempunyai putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kedaluawarsa untuk menuntut, oleh karena itu, apabila dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur kedaluawrsa dalam perkara yang sedang diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan, apabila penyidikan atau penuntutan dihentikan, maka perkara yang bersangkutan tidak diteruskan ke sidang pengadilan. 14 13 14 C. S. T. Kansil, Op., Cit, hal. 377. M. Yahya Harahap, Op., Cit, hal. 5. 23 Akan tetapi, apakah selamanya alasan penghentian penyidikan atau penuntutan sudah tepat dan benar menurut ketentuan undang-undang, mungkin saja alasan penghentian ditafsirkan secara tidak tepat. Bisa juga penghentian sama sekali tidak beralasan atau penghentian itu dilakukan untuk kepentingan pribadi pejabat yang bersangkutan. Oleh karena itu, bagaimanapun mestia ada lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, supaya tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun untuk mengawasi tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of authority). Terhadap penghentian penyidikan, undang-undang memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan tersebut. Demikian juga sebaliknya, penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan kepada praperadilan. 15 c. Berwenang memeriksa tuntutan ganti kerugian Menurut Pasal 81 KUHAP menyebutkan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya. 15 Ibid, hal. 6. 24 Dalam Pasal 95 KUHAP yang mengatur tentang tuntutan ganti kerugian dapat diajukan tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya kepada praperadilan. Di mana tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka harus berdasarkan alasan yaitu : 1) Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah, 2) Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang, 3) Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa. d. Memeriksa permintaan rehabilitasi Praperadilan juga berwenang untuk memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau penasihat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undangundang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. Apabila proses tingkat pemeriksaan perkara masih dalam taraf penyidikan atau penuntutan, kemudian pemeriksaan dihentikan baik pada tingkat penyidikan atau penuntutan sehingga perkara yang bersangkutan tidak diajukan ke pengadilan, maka dalam peristiwa semacam ini, yang berwenang untuk memeriksa permintaan rehabilitasi adalah praperadilan. e. Praperadilan terhadap tindakan penyitaan Tindakan upaya paksa apabila ditinjau dari standar universal maupun dalam KUHAP merupakan perampasan hak asasi manusia atau hak privasi 25 perseorangan (personel privacy right) yang dilakukan penguasa (aparat penegak hukum) dalam melaksanakan fungsi peradilan dalam system peradilan pidana (criminal justice system), yang dapat diklasifikasikan, meliputi : 1) Penangkapan (arrest), 2) Penahanan (detention), 3) Penggeledahan (searching), dan 4) Penyitaan, perampasan, pembeslahan (seizure). Menurut KUHAP penerapan upaya paksa tersebut diatur dalam dua sistem yaitu 16 : a) mengenai tindakan upaya paksa yang berkenaan dengan penangkapan (Pasal 16 KUHAP) dan penahanan (Pasal 20 dan seterusnya, KUHAP) merupakan kewenangan inheren dari setiap aparat penegak hukum berdasar diferensiasi fungsional secara instansional tanpa campur tangan atau bantuan dari aparat penegak hukum lain, b) sebaliknya mengenai tindakan upaya paksa penggeledahan (Pasal 32 KUHAP) dan penyitaan (Pasal 38 KUHAP), memerlukan izin ketua pengadilan negeri setempat. Perbedaan sistem pelaksanaan upaya paksa tersebut, telah menimbulkan permasalahan hukum dan perbedaan pendapat dalam penerapan yaitu : 1. Ada yang berpendirian, bahwa tindakan upaya paksa yang masuk yurisdiksi praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan 16 Ibid, hal. 7. 26 penangkapan dan penahanan atas alasan undue process atau orang yang ditahan atau ditangkap tidak tepat (error in person). 2. Sedangkan tindakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap berada diluar yurisdiksi praperadilan atas alasan dalam penggeledahan atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa : - dalam proses biasa harus lebih dahulu mendapat surat izin dari ketua pengadilan negeri (Pasal 32 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 1 KUHAP), dan - dalam keadaan mendesak boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus meminta persetujuan ketua pengadilan negeri (Pasal 34 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 2 KUHAP). 17 4. Proses Pemeriksaan Praperadilan Tata cara atau proses pemeriksaan dalam sidang praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab X, Bagian Kesatu, mulai dari Pasal 79 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Menurut ketentuan pasal-pasal tersebut, telah diatur tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan di sidang praperadilan. a. Pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan Sudah dijelaskan, bahwa praperadilan adalah salah satu kesatuan dan merupakan bagian yang tak terpisah dengan pengadilan negeri. Semua kegiatan dan tata laksana praperdailan tidak terlepas dari struktur dan administrasi yustisial pengadilan negeri, segala sesuatu yang menyangkut administrasi dan pelaksanaan tugas parperadilan, berada dibawah ruang lingkup kebijaksanaan dan tata laksana 17 Ibid. 27 ketua pengadilan negeri. Berdasarkan kenyataan ini, apa pun yang hendak diajukan kepada praperadilan, tidak terlepas dari tubuh pengadilan negeri, semua yang diajukan kepada praperadilan harus melalui ketua pengadilan negeri. Sehubungan dengan itu, pengajuan permintaan pemeriksaan praperadilan, dapat diuraikan seperti berikut ini yaitu : 1) Permohonan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh praperadilan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang meliputi daerah hukum tempat di mana penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan itu dilakukan. Atau diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat di mana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan berkedudukan. 2) Permohonan diregister dalam perkara praperadilan Kemudian setelah panitera menerima permohonan, diregister dalam perkara praperadilan. Segala permohonan yang ditujukan ke praperadilan harus dipisahkan registarsinya dari perkara pidana biasa dan administarsi yustisial praperadilan harus dibuat tersendiri, terpisah dari administrasi perkara biasa. 3) Ketua pengadilan negeri segera menunjuk hakim dan panitera Setelah permohonan diregister, kemudian ketua pengadilan negeri menunjuk hakim dan panitera yang akan memeriksa permohonan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 82 ayat 1 huruf a, yang menegaskan bahwa dalam waktu tiga hari setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. 28 4) Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang parperadilan adalah hakim tunggal. Semua permohonan yang diajukan kepada praperadilan, diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 78 ayat 2 yang berbunyi: Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. 5) Tata cara pemeriksaan praperadilan Mengenai tata cara pemeriksaan sidang praperadilan ini diatur dalam Pasal 82 KUHAP serta pasal berikutnya. Menurut Pasal 82 ayat 1 huruf a, yaitu tiga hari sesudah diterima permohonan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. Dalam penghitungan penetapan hari sidang ini, bukan dari tanggal penunjukan hakim oleh ketua pengadilan negeri, akan tetapi dihitung tiga hari dari tanggal penerimaan atau tiga hari dari tanggal registrasi di kepaniteraan. Setelah ditetapkan hari sidang kemudian hakim menyampaikan panggilan, kepada pihak yang bersangkutan yakni pemohon dan pejabat yang bersangkutan yang menimbulkan terjadinya permintaan pemeriksaan praperadilan. Maka yang dipanggil dan yang diperiksa dalam sidang praperadilan bukan hanya pemohon tetapi juga pejabat yang menimbulkan terjadinya alasan permintaan pengajuan pemeriksaan praperadilan. Misalnya dalam kasus yang dibahas oleh penulis dimana penuntut umum menghentikan penyidikan dalam kasus tindak pidana korupsi dengan mengeluarkan surat penghentian penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi. Maka pejabat penuntut umum yang melakukan penghentian penyidikan ikut dipanggil dan diperiksa. 29 Proses pemeriksaan praperadilan mirip dengan sidang pemeriksaan perkara perdata, dimana seolah-olah pemohon bertindak sebagai penggugat, sedang pejabat yang bersangkutan berkedudukan sebagai tergugat. Secara formal kedudukan dan kehadiran pejabat yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang praperadilan, bukan sebagai pihak dalam arti pemeriksaan perkara perdata. Secara formal kedudukan dan kehadiran pejabat, hanya untuk memberi keterangan, keterangan pejabat tersebut didengar oleh hakim dalam sidang sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Maka dengan demikian putusan hakim tidak hanya didasarkan atas permohonan dan keterangan pemohon saja, tetapi didasarkan atas data-data, baik yang dikemukakan pemohon dan pejabat yang bersangkutan. 18 Dalam pemeriksaan praperadilan ini hakim dalam menjatuhkan putusannya, selambat-lambatnya 7 hari, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 82 ayat 1 huruf c yang berbunyi : “Pemeriksaan tersebut dilakukan secara tepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya” Akan tetapi, ketentuan ini sendiri tidak menjelaskan sejak kapan dihitung masa tenggang yang 7 hari tersebut, apakah dihitung dari tanggal penerimaan atau dari tanggal registarsi, tidak dijelaskan. Memperhatikan hal tersebut, ketentuan pasal ini kurang jelas, akibatnya bisa menimbulkan selisih pendapat dalam penerapan. Ada yang berpendapat perhitungan tenggang waktu 7 hari dihitung dari tanggal penetapan hari sidang, sebaliknya pihak pemohon atau penasihat 18 Ibid, hal. 13. 30 hukumnya berpendapat dihitung dari tanggal penerimaan permohonan atau dari tanggal registarsi. Sebagai pedoman dalam menentukan tenggang waktu tersebut, ada dua alternatif yang dikemukakan sama-sama mempunyai dasar alasan yang dapat diterapkan dalam pelaksanaannya, yaitu : i. Putusan dijatuhkan 7 hari dari tanggal penetapan hari sidang Betitik tolak dari pendapat ini, hakim sudah mesti menjatuhkan putusan 7 hari dari tanggal penentapan hari sidang. Berarti penenatpan, pemanggilan, pememriksaan sidang dan penajatuhan putusan berada dalam jangka waktu 7 hari, tanpa diperhitungkan tanggal penerimaan dan pengregisteran. ii. Putusan dijatuhkan 7 hari dari tanggal pencatatan Pendapat ini lebih dekat kepada ketentuan yang digariskan dalam Pasal 82 ayat 1 huruf c, menurut pendapat ini, hakim mesti menjatuhkan putusan 7 hari dari tanggal permohonan diregister di kepaniteraan pengadilan. Pelaksanaan yang demikian bersesuaian dengan prinsip peradilan yang cepat. b. Yang berhak mengajukan permohonan Siapa yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan atau mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atau siapa saja yang dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi ke praperadilan. 31 Para pihak yang berhak mengajukan permintaan yaitu : 1) Tersangka, keluarganya, atau kuasanya Tersangka, keluarganya atau kuasanya berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya, penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan. Menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP, yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, bukan hanya tersangka saja, tetapi dapat diajukan oleh keluarga atau penasihat hukumnya. Namun yang diatur dalam Pasal 79 KUHAP, hanya meliputi pengajuan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan. Ke dalamnya tidak termasuk pengajuan permintaan tentang sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan atau pemasukan rumah. Mengenai sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan termasuk juga dalam kandungan Pasal 79 dihubungkan dengan Pasal 83 ayat 3 huruf (d) KUHAP, sehingga mengenai sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan dapat diajukan oleh tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya atau orang terhadap siapa dilakukan penggeledahan atau penyitaan. 2) Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan Menurut Pasal 80 KUHAP, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Apabila instansi penyidik menghentikan pemeriksaan penyidikan, Pasal 80 memberi hak kepada penuntut umum atau 32 pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Menurut Pasal 80 KUHAP yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam tindakan penghentian penyidikan, tidak dijelaskan lebih lanjut dalam undang-undang. Maka yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam tindakan penghentian penyidikan ialah saksi yang langsung menjadi korban dalam peristiwa pidana. Saksi korbanlah yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan ke praperadilan. Pemberian hak yang demikian kepada saksi, dapat dianggap memenuhi tuntutan kesadaran masyarakat, sebab dengan sistem ini pengawasan atas penghentian penyidikan bukan hanya berada di tangan penuntut umum saja, tetapi diperluas jangkauannya kepada saksi. 3) Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan Kalau dalam penghentian penyidikan penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan yang tampil mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan, dalam penghentian penuntutan penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan yang diberi hak untuk mengajukannya. Maka disini terjadi timbal balik, pada penghentian penyidikan, penuntut umum yang diberi hak untuk mengawasi penyidik, sedang dalam penghentian penuntutan, penyidik yang diberi hak untuk mengawasi. Dengan demikian sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan atau penyidik dapat 33 menyetujuinya, saksi dapat berperan melakukan pengawasan dengan jalan mengajukan permintaan pemeriksaan kepada praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum. 4) Tersangka, ahli warisnya, atau kuasanya Menurut Pasal 95 ayat 2 KUHAP, tersangka, ahli warsinya, atau penasihat hukumnya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas alasan: karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. 5) Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi Menurut ketentuan Pasal 81 KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Kalau praperadilan memutuskan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan sah, putusan yang mengesahkan penghentian itu memberi alasan kepada tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan ganti kerugian kepada praperadilan. Sebaliknya, kalau praperadilan menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, sehingga penyidikan atau penuntutan dilanjutkan, dengan sendirinya menuntup pintu bagi tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti kerugian. 34 c. Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan Mengenai pengertian pihak ketiga yang berkepentingan menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapannya, ada yang menafsirkan secara sempit, hanya terbatas: saksi korban tindak pidana atau pelapor. Sebaliknya, muncul pendapat lain mengenai pengertian pihak ketiga yang berkepentingan harus ditafsirkan secara luas, tidak terbatas hanya saksi korban atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Menurut Pasal 80 KUHAP yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam tindakan penghentian penyidikan, tidak dijelaskan lebih lanjut dalam undang-undang. Menurut M. Yahya Harahap, yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan 19 . Menurut Andi Taher Hamid, yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan (dalam Pasal 80 KUHAP) ialah saksi korban atau yang dirugikan langsung. 20 Maka yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam tindakan penghentian penyidikan ialah saksi yang langsung menjadi korban dalam peristiwa pidana. Saksi korbanlah yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan ke praperadilan. 19 20 Ibid, hal. 9. Andi Taher Hamid, Hukum Acara Pidana Umum dan Khusus, CV. Al-Ichsan, Surabaya, 1989, hal. 85. 35 Sedangkan pertimbangan Mahkamah Agung yang tertuang dalam salah satu Putusan No. 4- PK/Pid/200, yaitu : karena pembentuk Undang-undang tidak memberikan penafsiran otentik istilah hukum “pihak ketiga yang berkepentingan”, maka Majelis Mahkamah Agung berpendirian tidak hanya terbatas saksi korban saja, melainkan seyogyanya diartikan setiap orang (kecuali penyidik dan penuntut umum) termasuk pula seorang warga negara maupun ketua Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan, kebenaran demi kepentingan umum masyarakat luas. Pada dasarnya penyelesaian tindak pidana menyangkut kepentingan umum, apabila bobot kepentingan umum dalam tindak pidana yang bersangkutan sedemikian rupa, sangat layak dan proposional untuk memberi hak kepada masyarakat umum yang diwakili oleh LSM atau organisasi kemasyarakatan untuk mengajukan kepada praperadilan atas penghentian penyidikan atau penuntutan. Memang ditinjau dari disiplin ilmu yurisprudensi perkataan pihak ketiga yang berkepentingan yang dirumuskan dalam Pasal 80 KUHAP, dikategorikan istilah yang mengandung pengertian luas (broard term) atau kurang jelas pengertiannya (unplain meaning). Menghadapi rumusan yang seperti itu, diperlukan kemampuan untuk menemukan makna yang aktual (to discover the actual meaning). Jika tujuan mempraperadilan penghentian penyidikan atau penuntutan untuk mengoreksi atau mengawasi kemungkinan kekeliruan maupun kesewenangan atas penghentian itu secara horizontal, cukup alasan untuk berpendapat, bahwa kehendak pembuat undang-undang dan kehendak publik atas 36 penerapan pihak ketiga yang berkepentingan, meliputi masyarakat lauas yang diwakili LSM atau organisasi kemasyarakatan. Menafsirkan serta menerapkan pihak ketiga yang berkepentingan secara luas sangat bermanfaat untuk mengawasi penghentian penyidikan maupun penuntutan yang dilakukan penuntut umum, misalnya dalam tindak pidana korupsi, penyidikan dilakukan penuntut umum kemudian penyidikan dihentikan sedangkan pelapor tidak peduli atas penghentian atau besar kemungkinan pelapor tidak ada atau tersembunyi, sedang penyidik Polri tidak berhak mengajukan kepada praperadilan. Penuntut umum sebagai penyidik tidak mungkin mengajukan kepada praperadilan atas penghentian itu, karena hal itu mencerminkan dirinya sendiri. Dalam peristiwa yang seperti itu Pasal 80 KUHAP tidak mampu memberi jalan keluar jika pengertian pihak ketiga yang berkepentingan ditafsirkan dan diterapkan secara sempit. Misalnya dalam kasus yang dibahas oleh penulis, dimana Kejaksaan Negeri Samarinda telah menghentikan penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang Pajak Bumi dan Bangunan, kemudian Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dengan adanya SP3 tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat khususnya Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim (IKBLA), maka IKBLA mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Samarinda terhadap Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur. Dari kasus tersebut jaksa tidak mungkin bersedia mempermasalahkan sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan jaksa sendiri, sedangkan 37 Polri tidak dapat mengajukannya kepada praperadilan karena kewenangannya untuk itu terbatas atas penghentian penuntutan atas hasil penyidikan yang dilakukannya. Menghadapi kasus yang seperti itu apakah tidak beralasan untuk menempatkan masyarakat luas sebagai korban atas tindak pidana itu, sehingga mereka dapat diidentikkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang diwakili oleh IKBLA atau organisasi kemasyarakatan. 5. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan Tinjauan tentang masalah upaya hukum terhadap putusan praperadilan, mungkin bisa menimbulkan perbedaan penafsiran, terutama mengenai upaya hukum yang menyangkut permintaan pemeriksaan kasasi. Barangkali ada yang berpendapat terhadap putusan praperadilan dapat dimintakan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Perbedaan pendapat ini timbul disebabkan undang-undang tidak memberi penegasan yang jelas tentang hal ini, lain halnya dengan upaya hukum banding, Pasal 83 KUHAP telah memberi penegasan yang jelas, sehingga pencari keadilan maupun praktisi hukum sudah mengetahui dengan terang putusan mana yang dapat dimintakan pemeriksaan banding. Putusan praperadilan ada yang tidak dapat dilakukan banding dan ada yang bisa dilakukan banding. 38 a. Putusan praperadilan yang tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding Tidak semua putusan praperadilan dapat dimintakan banding, sebaliknya pula tidak seluruhnya putusan praperadilan yang tidak dapat diminta pemeriksaan banding. Menurut ketentuan Pasal 83 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi : “Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding” Boleh dikatakan hampir semua jenis putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding, hal ini sesuai dengan asas acara yang menyangkut tata cara pemeriksaan praperadilan dilakukan dengan acara cepat. Demikian juga dari segi tujuan pelembagaan praperadilan untuk mewujudkan putusan dan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat, sekiranya terhadap putusan praperadilan diperkenankan upaya banding hal itu tidak sejalan dengan sifat dan tujuan maupun dengan cirinya yakni dalam waktu yang singkat putusan dan kepastian hukum sudah dapat diwujudkan. Putusan praperadilan yang tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding, telah disebut satu persatu dalam Pasal 83 ayat 1 KUHAP, yakni putusan praperadilan yang menyangkut jenis kasus yang disebut dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 KUHAP, yaitu : 1) Penetapan sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan 2) Putusan ganti kerugian dan rehabilitasi 39 b. Putusan praperadilan yang dapat dimintakan pemeriksaan banding Mengenai putusan praperadilan yang dapat dimintakan pemeriksaan banding ke pengadilan tinggi diatur dalam Pasal 83 ayat 2, yaitu : “Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan” Putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan saja yang dapat diajukan permintaan banding, menurut pasal ini dibedakan antara putusan yang mengesahkan dengan yang tidak mengesahkan penghentian penyidikan dan penuntutan. Oleh karena itu, tidak terhadap semua putusan praperadilan yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan banding. Maka bertitik tolak dari ketentuan Pasal 83 ayat 2 KUHAP, menyatakan : 1) Terhadap putusan yang menetapkan sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dapat diajukan permintaan banding, 2) Terhadap putusan yang menetapkan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, dapat diajukan permintaan banding, 3) Pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus dalam tingkat akhir. Maka menurut ketentuan Pasal 83 ayat 2 KUHAP, tidak semua terhadap putusan praperadilan yang menyangkut sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan permintaan banding. Hanya terbatas mengenai putusan yang berisi penetapan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau 40 penuntutan. Di samping itu, putusan pengadilan tinggi dalam pemeriksaan ini adalah merupakan putusan akhir bukan putusan tingkat akhir. c. Kasasi terhadap putusan praperadilan Ada putusan praperadilan yang dapat dimintakan banding, di mana pengadilan tinggi bertindak sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat akhir. Bagaimana dengan kasasi, apakah terhadap putusan praperadilan dapat diajukan permintaan kasasi. Masalah kasasi terhadap putusan praperadilan, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendirian permintaan kasasi atas putusan praperadilan tidak dapat dikasasi, dan ada yang berpendapat cukup alasan untuk memperkenankan permintaan kasasi atas putusan praperadilan. Barangkali sumber selisih pendapat ini terjadi, bertitik tolak tentang materi yang diperiksa dan diputus lembaga praperadilan. Ada yang berpendirian apa yang diperiksa dan diputus praperadilan bukan materi perkara pidana, sedangkan menurut Pasal 244 KUHAP, permintaan kasasi hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang berbentuk putusan perkara pidana, oleh karena putusan pengadilan bukan mengenai perkara pidana akan tetapi hanya tentang sah atau tidaknya tindakan pejabat yang terlibat dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, berarti putusan praperadilan benar-benar berada diluar ruang lingkup Pasal 244 KUHAP. Tetapi ada yang mempersoalkan bukan dari segi materi putusan, mereka bertitik tolak dari fungsi yustisial. Ditinjau dari segi fungsi yustisial setiap pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan badan peradilan dengan sendirinya 41 termasuk tindakan yustisial. Setiap putusan yang dijatuhkan badan peradilan tanpa mempersoalkan bentuk dan materi putusan adalah tindakan penyelesaian fungsi peradilan atau fungsi yustisial. Lain halnya jika tindakan badan pengadilan itu tidak dituangkan dalam bentuk putusan dan penetapan, tindakan yang seperti itu belum dapat disebut tindakan yustisial, paling dapat disebut tindakan pelaksanaan administrasi yustisial. Maka praperadilan dalam memeriksa hal-hal yang termasuk ke dalam bidang kewenangannya menjatuhkan putusan yang berbentuk penetapan, tindakan itu tidak terlepas dari pelaksanaan fungsi yustisial, kalau begitu penetapan yang dijatuhkan oleh praperadilan, tercakup ke dalam pengertian penjelasan Pasal 2 Undang-undang No. 14/1970, menyatakan, penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi volunter. Maka putusan penetapan praperadilan masuk juga ke dalam yurisdiksi volunteer, jika terhadap putusan pengadilan yang bersifat volunter dapat diajukan permintaan kasasi, kalau begitu cukup dasar alasan untuk memperbolehkan pengajuan permintaan kasasi atas putusan praperadilan. 21 Menurut pendirian Mahkamah Agung mengenai masalah ini, sampai saat sekarang peradilan tertinggi itu lebih cenderung pada pendirian tidak memperkenankan permintaan kasasi terhadap putusan praperadilan. Sebagaimana ungkapan pertimbangan Mahkamah Agung yang tertuang dalam salah satu putusan tanggal 29 maret 1983, No. 227 K/KR/1982, yaitu : 21 M. Yahya Harahap, Op., Cit, hal.26. 42 - Mahkamah Agung berpendapat terhadap putusan-putusan praperadilan tidak dimungkinkan permintaan kasasi, karena keharusan cepat perkara praperadilan tidak akan terpenuhi kalau masih dimungkinkan pemeriksaan kasasi, - Wewenang pengailan negeri yang dilakukan oleh praperadilan, dimaksudkan hanya sebagai wewenang pengawasan secara horizontal terhadap tindakan pejabat penegak hukum lainnya, - Juga Pasal 244 KUHAP, tidak membuka kemungkinan melakukan pemeriksaan kasasi terhadap putusan praperadilan, karena pemeriksaan kasasi yang diatur Pasal 244 KUHAP hanya mengenai putusan perkara pidana yang benar-benar diperiksa dan diputus pengadilan negeri atau pengadilan selain dari Mahkamah Agung, - Selain dari itu, menurut hukum acara pidana, baik mengenai pihak-pihak maupun acara pemeriksaannya berbeda sifat dan kedudukannya jika dibandingkan dalam pemeriksaan praperadilan. Maka dari pertimbangan Mahkmaah Agung dalam putusan tersebut, permintaan kasasi terhadap putusan praperadilan tidak dapat diterima. B. Ketentuan Umum Tentang Penyidikan 1. Pengertian dan Dasar Hukum Penyidikan dan Penyidik KUHAP membedakan penyidikan dengan penyelidikan, menurut bahasa Belanda penyidikan sejajar dengan pengertian opsporing atau interrogation. Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh 43 pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. 22 Sedangkan pengertian penyidikan menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP, adalah: “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia, KUHAP membedakan antara penyidik dengan penyelidik. Pengertian penyidik menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP, adalah : “Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan” Penyidik itu terdiri dari polisi negara dan pegawai negeri sipil tertentu yang diebri wewenang kkhusus oleh undang-undang, sedangkan penyelidik itu hanya terdiri dari polisi negara saja. Dalam pasal 6 KUHAP ditentukan dua macam badan yang dibebani wewenang penyidikan yaitu, pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidikan dan penyidik diatur dalam Bab XIV Bagian Kesatu KUHAP, Pasal 106 sampai dengan Pasal 136 KUHAP. 22 R. Tresna, Komentar HIR, Jakarta, Pradnya Paramita, hal. 72. 44 2. Wewenang Penyidikan Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah : a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. b. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. c. Pemeriksaan di tempat kejadian. d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. e. Penahanan sementara. f. Penggeledahan. g. Pemeriksaan atau interogasi. h. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat). i. Penyitaan. j. Penyampingan perkara. k.Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. Diketahui terjadinya delik dari empat kemungkinan yaitu : 1) Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP). 2) Karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP). 3) Karena pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP). 4) Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik. Sebelum penyidikan dimulai, harus sudah dapat diperkirakan delik apa yang telah terjadi dan di mana tercantum delik itu dalam perundang-undangan 45 pidana. Hal ini, penting sekali karena penyidikan diarahkan kepada keadaan yang terjadi yang cocok dengan perumusan delik tersebut. 23 Tata cara untuk melakukan tindakan penyidikan diatur dalam Pasal 107 KUHAP, yaitu : (1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. (2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. (3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. Penyidikan delik tertangkap tangan lebih mudah dilakukan karena terjadinya baru saja, berbeda dengan delik biasa yang kejadiannya sudah beberapa waktu berselang, untuk menjaga agar pembuktiannya tidak menjadi kabur. Jika penyidikannya dilakukan sama-sama dengan delik biasa, maka harus diatur secara khusus. Dan banyak kelonggran-kelonggaran yang diberikan kepada penyidik yang lebih membatasi hak asasi manusia daripada delik biasa. Upaya lain untuk mengetahui terjadinya delik bisa dengan laporan yang diajukan baik oleh korban maupun oleh orang lain, sebagaimana menurut ketentuan Pasal 7 ayat 1 butir (a) KUHAP yang mengatur wewenang penyidik yaitu, menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. 23 Andi Hamzah ,Op., Cit, hal. 77. 46 Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik. 24 Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penydiik. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 108 ayat 6, yaitu setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. Apabila penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik harus memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Penyidik dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemebritahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. 24 C. S. T. Kansil, Loc., Cit, hal. 386. 47 3. Pengertian Dan Dasar Hukum Penuntut Umum KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam pengertian umum dan penuntut umum dalam pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara. Menurut Pasal I butir 6 KUHAP, menyebutkan : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Maka melihat perumusan undang-undang tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian jaksa adalah menyangkut jabatan, sedangkan penuntut umum menyangkut fungsi. Penuntut umum dapat melakukan penuntutan, apabila telah menerima hasil penyidikan dari penyidik, kemudian mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum, apabila dalam hasil penyidikannya ternyata belum lengkap, maka penuntut umum dapat mengembalikan berkas perkaranya kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Mengenai penuntut umum diatur di Bagian Ketiga Bab IV KUHAP. 48 4. Wewenang Penuntut Umum Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 7 KUHAP bahwa yang dimaksud dengan Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim sidang pengadilan. Penuntut umum mempunyai wewenang yang menuntut, di mana diatur dalam Pasal 14 KUHAP, yaitu : a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam penyempurnaan penyidikan dan penyidik; c. Memeberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; e. Melimpahka perkara ke pengadilan; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada 49 terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. Melakukan penuntutan; h. Menutup perkara demi kepentingan umum; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum meneurut ketentuan undang-undang ini; j. Melaksanakan penetapan hakim Menurut Andi Hamzah ketentuan Pasal 14 KUHAP ini dapat disebut sistem tertutup, yaitu tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat khususnya dari segi pembuktian dan masalah teknik yuridisnya. 25 Menurut KUHAP, tertutup kemungkinan bagi penuntut umum di Indonesia melakukan penyidikan sendiri dan mengambil alih pemeriksaan yang telah dimulai oleh polisi. Menurut ketentuan Pasal 110 dapat dibandingkan dengan Pasal 138 KUHAP yang berbunyi, apabila penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum, apabila dalam hasil penyidikan ternyata belum lengkap, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam 25 Andi Hamzah, Op., Cit, hal. 70. 50 waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Maka dapat dijelaskan dalam pasal ini hanya mengenai arti meneliti, adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan apakah orang dan atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik. Apabila penuntut umum telah selesai meneliti hasil pemeriksaan penyidik yang dipandang olehnya sudah cukup, tetapi penyidik tidak tepat mencantumkan pasal undang-undang pidana yang didakwakan, maka penuntut umum berwenang mengubah pasal tersebut dengan pasal yang lebih sesuai. Karena penuntut umum bertanggung jawab langsung atas kebijakan penuntutan dan penuntut umum bebas untuk menetapkan peraturan pidana mana yang akan didakwakan dan mana yang tidak. Jika menurut pertimbangan penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke pengadilan ataukah perkara tersebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat suatu ketetapan mengenai hal itu. Dan isi surat ketetapan tersebut harus diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan wajib dibebaskan. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. 51 Wewenang penuntut umum dapat menutup perkara demi hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 140 ayat 2, dan jika kemudian ternyata ada alasan baru untuk menuntut perkara yang telah dikesampingkan karena kurang bukti-bukti maka penuntut umum dapat menuntut tersangka. Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, serta penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. Dan dalam pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambatlambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia harus menyampaikan turunanya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. BAB III TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000 A. Kasus Posisi Melalui pemberitaan media masa daerah, tersiar berita bahwa di PEMDA Tingkat II, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur diduga telah terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dipungut dari Wajib Pajak Pertambangan dan Migas Kabupaten Kutai senilai Rp. 12.814.850.991.09, yang uangnya oleh oknum pejabat setempat telah diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu bank, yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi oknum tersebut. Kejaksaan Negeri Samarinda kemudian mengusut tentang adanya sangkaan terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut. Karena tidak kunjung selesainya tindakan pengusutan atas tindak pidana korupsi, maka IKADIN (Ikatan Advokasi Indonesia) cabang Samarinda mengajukan permohonan praperadilan terhadap kejaksaan negeri, dengan alasan kejaksaan telah menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut. Kemudian pada tanggal 24 Oktober 1998 Pengadilan Negeri Samarinda memberikan putusan praperadilan No. 02/Pid/Pra/1998, yaitu bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh IKADIN cab.Samarinda dinyatakan tidak dapat diterima dengan pertimbangan bahwa pihak kejaksaan negeri tidak menghentikan penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang PBB tersebut. 52 53 Sebulan kemudian, setelah putusan praperadilan tersebut diatas, maka Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur menerbitkan S.P.3 ( Surat Perintah Penghentian Penyidikan ) terhadap kasus penyelewengan uang PBB tersebut yaitu: S.P.3. No.171/R4/F.PK.I/II/1998 tertanggal 3 November 1998 terhadap para tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah mengembalikan uang PBB tersebut kepada negara, yang disangka telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka tersebut. Maka dalam kasus ini menurut Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur tidak ada kerugian terhadap negara atau negara tidak dirugikan oleh para tersangka. Dengan adanya S.P.3. No.171/R4/F.PK.I/II/1998 tertanggal 3 November 1998 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timut tersebut telah menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat khususnya IKBLA ( Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim ), Eksponen 66 Samarinda yang diwakili oleh H Iskandar Hutualy yang menyebut dirinya sebagai ketuanya dan kemudian memberi surat kuasa kepada DPD IKADIN Samarinda untuk mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Samarinda terhadap: Jaksa Agung RI di Jakarta qq Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur qq Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda sebagai Termohon praperadilan. Dengan mengajukan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut : Bukti P2 “Penghentian Penyidikan atas Tindak Pidana Korupsi” terhadap tersangka Drs. H.S Syafrani, Drs. Sukani HR, Drs. H.AM. Sulaiman, Drs. Syafrudin A.H, Drs. Abdullah Sani dan Drs. Hasbullah Haul, yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur berdasarkan pertimbangannya yaitu : 54 “Bahwa uang hasil pengendapan (Jasa Giro/bunga ) dan uang pokok PHP – PBB yang telah diterima oleh tersangka tersebut seluruhnya telah dikembalikan dan disetorkan ke kas negara/daerah sesuai dengan Surat BPKB No. SR 020101468/K/1998 tanggal 15 Juli 1998, sehingga negara tidak dirugikan. Demikian pula denda atas keterlambatan yang dikenakan kepada BNI Cab.Samarinda yang menurut perhitungan BPKP semula berjumlah Rp. 12.814.850.991.09, setelah dikoreksi kembali menjadi Rp. 10.531.362.239.68, telah dihapus berdasarkan Surat Menteri Keuangan RI No.SR.02/MR.2/1997 tanggal 2 Desember 1997. Dengan demikian unsur yang disangkakan dalam pasal 1 (1) sub “a” atau sub “b” Undang-undang No.3/tahun 1971 tidak dapat dibuktikan dan tersangka tidak mendapat keuntungan dari kepentingan pemasukan Pajak PBB dalam sektor Pertambangan Migas. Maka negara tidak dirugikan , sehingga tidak cukup alasan untuk menuntut para tersangka ke persidangan pengadilan. Menurut Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim Eksponen 66 Samarinda yang diwakili oleh H Iskandar Hutualy bahwa pertimbangan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur dengan mengeluarkan “S.P.3” tersebut, yang menyatakan tidak ada kerugian negara oleh perbuatan para tersangka pelaku tindak pidana korupsi PBB Kutai tersebut ex Pasal 1(1) sub “a” atau sub”b” UU No. 3/tahun 1971 tersebut, adalah sangat tidak tepat. Meskipun para tersangka tidak mendapatkan keuntungan bagi dirinya atas penyelewengan dana PBB tersebut, akan tetapi para tersangka telah menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya telah menggunakan dana PBB untuk kepentingan suatu badan 55 tertentu yaitu untuk mendukung kesinambungan Orde Baru di Kalimantan Timur sebesar Rp. 2,5 Milyar dan mendukung kegiatan Golkar Kutai di Kalimantan Timur sebesar Rp. 1,5 Milyar sesuai dengan berita dalam Harian Manuntung 4 Juni 1998. Padahal menurut Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim seharusnya para tersangka setelah memperoleh dan PBB tersebut disetorkan ke kas negara, yang penggunaannya akan diatur oleh pemerintah dan bukan oleh para tersangka. Berdasarkan atas alasan diatas, maka Pemohon Praperadilan memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Samarinda berkenan memberi putusan sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan Praperadilan. 2. Menyatakan “Surat Perintah Penghentian Penyidikan” ( S.P.3) No. Print. 171/R.4/FPK/II/1998, tanggal 3 November 1998 adalah tidak sah 3. Memerintahkan Termohon melanjutkan pemeriksaan para tersangka kasus PBB hingga ada putusan pengadilan yang pasti. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Samarinda Termohon praperadilan – Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur memberi jawaban yang inti pokoknya sebagai berikut : 1. Bahwa Pengadilan Negeri Samarinda tidak tepat memeriksa perkara praperadilan ini, seharusnya diajukan ke pengadilan negeri dimana penyidik /penuntut umum menghentikan penyidikan penuntutan yaitu di Balikpapan. 56 2. Pemohon tidak termasuk Pihak Ketiga yang berhak mengajukan permohonan praperadilan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 80 KUHAP, bahwa “IKBLA” Arief Rahman Hakim Exponen 66 tidak dapat ditafsirkan sebagai subjek hukum serta jauh dari “pengertian saksi korban” ex Pasal 80 KUHAP. 3. Dengan mengatasnamakan DPD Tk. I IKBLA tanpa didasari Rapat Musyawarah Daerah maka gugatan/permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon adalah cacat hukum. 4. Kapasitas Pemohon dalam mengajukan permohonan praperadilan tidak memenuhi syarat Undang-undang ex Pasal 80 KUHAP. 5. DPC IKADIN sebagai Pemohon praperadilan tidak tepat, sebab DPC IKADIN Samarinda bukanlah Lembaga Penegak Hukum yang termasuk dalam sistem hukum mempraperadilankan pejabat penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) dan bukan pula kuasa pihak ketiga yang berkepentingan, tetapi sebagai lembaga jasa hukum. 6. Pemohon praperadilan tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak yang terkait masalah pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Migas Kabupaten Dati II Kutai. 7. Permohonan praperadilan tidak dapat diajukan dua kali dalam tingkat dan alasan yang sama, periksa Pasal 82 (1) sub “e” UU No. 8/tahun 1981KUHAP. Di tingkat Penyidikan telah ada putusan praperadilan yang sudah berkekuatan tetap, yakni: Putusan Pengadilan Negeri Samarinda No. 02/Pid/Pra/1998/PN. Samarinda, tanggal 24 Oktober 1998 yang diajukan oleh IKADIN Cab. Samarinda. Karena menurut Pasal 82 (1) sub”e” KUHAP, 57 permintaan praperadilan dengan alasan yang sama (perkara sekarang ini No. 03/Pid/Pra/1999/PN Smda), harus dinyatakan tidak dapat diterima dan baru dapat diajukan pada tingkat penuntutan . 8. Bukti berupa foto copy guntingan koran menurut hukum tidak dapat dikwalifikasi sebagai alat bukti, sehingga dalil dalam permohonan praperadilan tersebut tidak dapat diterima sebagai bukti hukum . 9. Terwujudnya tindak pidana harus terpenuhinya semua unsur delik secara komulatif, bilamana tidak maka sesuai dengan Pasal 109 (2) jo Pasal 7 (1) sub” i” jo Pasal 284 (2) KUHAP jo Pasal 17 P.P No. 27 tahun 1983, maka Termohon (Kejaksaan ) berhak melakukan “Penghentian Penyidikan” Atas permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon ‘IKBLA’ tersebut, maka pada tanggal 5 Juni 1999 Pengadilan Negeri Samarinda memberi putusan No. 03/Pid//Pra/1999/PN. Smda, yang amarnya sebagai berikut : 1. Menetapkan “Surat Perintah Penghentian Penyidikan “ No. Print. 171/R.4/FPK.1/II/1999, tanggal 3 November 1998 adalah tidak sah. 2. Memerintahkan penyidikan terhadap tersangka : 1. Drs. Syafrani, 2. Drs. Syaukani. HR, 3. Drs. HAM. Sulaiman, 4. Drs. Syafrudin AH, 5. Drs. Abdullah Sani, dan 6. Drs. Abdullah Haul, wajib dilanjutkan. 3. Membebankan kepada termohon membayar biaya perkara Rp. 7.500,Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Samarinda tersebut pihak Termohon menolak dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur 58 Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur memberi Putusan tanggal 30 Juni 1999 Reg. No. 30/Pid/1999/PT. Smda, yang amarnya: Menolak permohonan praperadilan untuk seluruhnya. Di mana putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur tersebut didasari oleh pertimbangan hukumnya yaitu: a. Bahwa Pemohon tidak dapat dikategorikan mewakili masyarakat IKBLA Kalimantan Timur, karena tidak menerima kuasa dari masyarakat IKBLA Kalimantan Timur, melainkan hanya menerima kuasa dari ketua DPD Tk I IKBLA (H. Iskandar Hutualy). b. Pemohon bukan sebagai pihak yang mempunyai kualitas untuk mengajukan permohonan praperadilan. c. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa akibat perbuatan para pejabat tersebut, maka Pemohon IKBLA Kalimantan Timur secara langsung/tidak langsung telah dirugikan tetapi kerugian tersebut tidak diperinci jelas oleh Pemohon, sehingga pengadilan tinggi berpendapat bahwa praperadilan yang diajukan oleh Pemohon tidak terbukti, sehingga permohonan praperadilan harus ditolak oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur. Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Kuasa Pemohon menolak putusan tersebut dan pada tanggal 28 September 1999 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Samarinda mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI agar Putusan Pengadilan Tinggi 59 Kalimantan Timur tentang praperadilan tersebut dapat ditinjau kembali, dengan mengemukakan keberatan-keberatan yang pokoknya sebagai berikut : 1) Bahwa Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur dalam putusannya tersebut telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata yakni : dalam pertimbangan hukum putusannya tersebut terdapat pertentangan satu sama lainnya. 2) Bahwa Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur dalam putusannya tersebut terdapat kekeliruan yang nyata, karena pengadilan tinggi hanya menggunakan doktrin hukum yang terpaku atas pendapat pakar hukum dan tidak menggali realitas dalam masyarakat serta tidak mengikuti perasaan hukum dan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat. 3) Sudah benar dan tepat pertimbangan hukum dan keputusan Praperadilan dari Pengadilan Negeri Samarinda No. 03/Pid/Pra/1999/PN. Smda tanggal 5 Januari 1999 yang telah menerima Pemohon sebagai pihak ketiga yang mewakili masyarakat Kalimantan Timur yang menjadi saksi korban karena perbuatan para tersangka tersebut. 4) Pendapat pengadilan tinggi yang menyatakan bahwa Pemohon bukan merupakan pihak ketiga yang berkepentingan adalah pendapat yang salah, karena itu putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur tersebut harus dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Menurut Majelis Mahkamah Agung yang mengadili perkara Peninjauan Kembali atas putusan praperadilan yang diberikan oleh Pengadilan Tinggi 60 Kalimantan Timur tersebut, maka Mahkamah Agung dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum yang inti sarinya sebagai berikut : Permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, ex Pasal 80 KUHAP terhadap SP3 No. Print. 171/R.4/F.P.K.I/II/1998, yang diterbitkan oleh Termohon PK (Kejaksaan Tinggi) apakah dapat diterima? Menurut Mahkamah Agung pembentuk Undang-undang tidak memberi tafsiran otentik tentang pengertian “Pihak Ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP, sebagaimana penafsiran otentik mengenai Penyidik Pasal 1 angka 3 dan Penuntut Umum Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP, maka secara “a contrario in terminis” istilah Penyidik dan Penuntut Umum ditempatkan pada posisi mendahului istilah “Pihak ketiga yang berkepentingan “seyogyanya berarti : adalah setiap orang, kecuali Penyidik dan Penuntut Umum dan atau orang yang memperoleh hak darinya (bandingkan Pasal 176 sub 2 Rv), termasuk Pemohon Praperadilan baik selaku seorang warga negara maupun ketua lembaga masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan dan kebenaran demi kepentingan masyarakat luas/umum. Pasal 263 (1) KUHAP yang tegar menentukan Pemohon PK hanya terpidana atau ahli warisnya dan bukan lainnya. Menurut Mahkamah Agung berdasar asas legalitas dan asas pengawasan horizontal serta ketentuan Pasal 79 dari Undang-undang No. 14/tahun 1985, maka Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap tentang cara menyelesaikan suatu soal yang tidak atau belum diatur Undang-undang. Untuk 61 mengisi kekurangan atau kekosongan hukum, maka Pasal 263 (1) KUHAP mengenai Pemohon PK oleh hanya terpidana atau ahli warisnya dalam mengadili perkara ini, mesti dilenturkan berdasarkan kekurangan atau kekosongan hukum sekaligus suatu kebutuhan dalam acara, sehingga mencakup juga Pemohon PK oleh Pihak Ketiga yang berkepentingan sebagamana yang telah ditentukan dalam Pasal 80 KUHAP atau Pihak Ketiga Yang berkepentingan dalam Pasal 26 UU No. 14 tahun 1970 atau Jaksa Agung atau pihak yang berkepentingan dalam Pasal 10 (1) PERMA No. 1 tahun 1980. Selanjutnya mengenai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam formalitas permintaan Peninjauan Kembali. Berdasar atas asas legalitas dan atas pengawasan horizontal dalam Pasal 80 KUHAP serta ketentuan Pasal 79 UU No. 14 tahun 1985, maka acara pemeriksaan permintaan PK untuk memeriksa dan mengadili permohonan praperadilan ini, maka Mahkamah Agung berlandaskan kebutuhan dan kekosongan hukum, sekaligus merupakan kebutuhan hukum dalam acara pemeriksaan permohonan PK atas putusan praperadilan, maka ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai istilah putusan pengadilan meski dilenturkan kembali sehingga mencakup : Keputusan pengadilan (dalam Pasal 156 (1) KUHAP, Pasal 81 KUHAP), Putusan Praperadilan dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP, dan bukan sekedar Putusan Pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap. 62 Oleh karena itu permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon H. Iskandar Hutualy, baik sebagai pribadi maupun selaku Ketua DPD I IKBLA A.R Hakim Exponen 66 Samarinda secara formal mesti diterima . Maka pertimbangan hukum putusan praperadilan dari judex facti (pengadilan tinggi) merupakan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dari hakim, karena judex facti (pengadilan tinggi) mencampur adukan antara konsepsi class action dengan konsepsi permohonan praperadilan yang pertama berada dalam ruang lingkup Hukum Acara Perdata, sedangkan yang terakhir dalam Hukum Acara Pidana, yang masing-masing memiliki karakteristik tidak sama, baik dalam hukum gugatan maupun dalam hukum pembuktian dan bila yang pertama terkait dengan kerugian yang dialami (conrete injured parties), dimana anggota-anggota memberi penegasan adalah bagian dari gugatan perwakilan atau menyatakan keluar dari gugatan perwakilan. Sedangkan bila tidak terkait dengan tuntutan ganti rugi (monetary damages) pemberitahuan (notice) terhadap anggota kelas tidak perlu dilakukan oleh pengadilan, sedangkan yang disebut terakhir yaitu permohonan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penuntutan ini, tidak diminta sama sekali ganti kerugian, melainkan tuntutan deklaratif atau injuction (putusan sementara), sehingga mempertimbangkan, mengkaji tuntutan a’quo menjadi tidak bermanfaat (overbodig), meskipun ketentuan Pasal 77 jo Pasal 81 KUHAP memberi peluang. Berdasarkan alasan tersebut, maka putusan Praperadilan Judex facti (pengadilan tinggi) tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan, sehingga Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan mengambil alih 63 pertimbangan hukum dan amar putusan praperadilan pengadilan negeri, sebab dinilai sudah benar dan tepat. Akhirnya Majelis Mahkamah Agung memberi putusan yang amarnya sebagai berikut : Mengadili : - Mengabulkan permohonan PK dari IKBLA AR. Hakim Exponen 66 Kalimantan Timur, yang diwakili oleh DPD IKADIN Cab.Samarinda. - Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan No. 30/Pid/1999.PT. Smda, yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Samarinda No. 03/Pid/Pra/1999/PN. Smda Mengadili Sendiri : - Menetapkan Surat Penghentian Penyidikan No. Print. 171/R.4/F.PK.1/II/1998, tanggal 3 November 1998 tidak sah. - Memerintahkan Penyidikan terhadap Tersangka 1. Drs HS Syafran, 2. Drs Syaukani HR, 3. Drs. HAM Sulaiman, 4. Drs. Syafrudin AH, 5. Drs. Abdullah Sani, 6. Drs. Hasbullah Haul wajib dilanjutkan. 64 B. Analisis Kasus Analisis yang dapat diangkat dari kasus diatas adalah, bahwa yang terurai dalam Pasal 80 KUHAP yang mengatur permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidik atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Karena pembentuk Undang-undang tidak memberikan penafsiran otentik istilah hukum pihak ketiga yang berkepentingan tersebut. Maka yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan tersebut, tidak hanya terbatas saksi korban saja, melainkan seyogyanya diartikan setiap orang (kecuali Penyidik dan Penuntut Umum) termasuk pula seorang warga negara maupun ketua lembaga swadaya masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan, kebenaran demi kepentingan umum masyarakat luas. Sedangkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai istilah Putusan Pengadilan menurut Majelis Mahkamah Agung meski dilenturkan sehingga mencakup: Putusan pengadilan ex pasal 156 (1) KUHAP dan Pasal 81 KUHPidana, Putusan Praperadilan dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP, sehingga bukan hanya putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap saja yang dapat dimohon Peninjauan Kembali. Pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur terhadap Surat Perintah Penghentian Penyidikan yang menyatakan tidak ada kerugian negara oleh perbuatan para tersangka pelaku Tindak Pidana Korupsi PBB Kutai tersebut ex 65 Pasal 1 (1) sub a atau sub b UU No. 3 tahun 1971 tersebut, adalah sangat tidak tepat, oleh karena apabila dihubungkan dengan uraian Pasal 1 ayat (1) Undangundang No. 3 tahun 1971 menyatakan: “Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan negara atau perekonomian negara” Meskipun para tersangka tidak mendapatkan keuntungan bagi dirinya atas penyelewengan dana PBB tersebut, akan tetapi para tersangka telah meyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya telah menggunakan dana PBB untuk kepentingan suatu Badan tertentu yakni: untuk mendukung kesinambungan Orde Baru di Kalimantan Timur sebesar Rp. 2,5 Milyar dan mendukung kegiatan Golkar Kutai di Kalimantan Timur sebesar Rp. 1,5 Milyar sesuai dengan berita dalam Harian Manuntung 4 Juni 1998. Padahal seharusnya para tersangka setelah memperoleh dana PBB tersebut harus disetorkan ke kas negara yang penggunaannya akan diatur oleh pemerintah dan bukan oleh para tersangka. Mengenai tuntutan praperadilan terhadap surat perintah penghentian penyidikan yang dilakukan oleh pihak ketiga, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 80 KUHAP yaitu, Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau 66 penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Permohonan tuntutan praperadilan yang dilakukan oleh IKBLA terhadap surat perintah penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur dapat diterima oleh pengadilan, karena mengenai pengertian pihak ketiga yang berkepentingan dalam KUHAP sama sekali tidak dijelaskan Pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, mengenai pihak ketiga yang berkepentingan, hanya membatasi pengertian pihak ketiga terletak kepada saksi korban dalam peristiwa pidana dan yang dirugikan secara langsung, padahal pendapat pakar hukum tersebut dapat disimpulkan sebagai pengertiannya dalam lingkup tindak pidana umum. Sedangkan dalam kasus ini yang menjadi obyek surat perintah penghentian penyidikan (S.P.3) adalah tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi yang salah satu unsurnya adalah kerugian negara. Maka dengan kerugian negara atas S.P.3 pajak bumi dan bangunan Kutai tersebut kedudukan Pemohon selaku sebagian dari rakyat Kalimantan Timur adalah sangat erat, dengan demikian kerugian negara adalah kerugian masyarakat, juga Pemohon sebagian dari masyarakat Kalimantan Timur. BAB IV PEMBAHASAN TUNTUTAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DAN TUNTUTAN PRAPERADILAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000 A. Kekuatan Hukum Surat Perintah Penghentian Penyidikan Yang Dikeluarkan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Peraturan PerundangUndangan Yang Berlaku. Hukum acara pidana dapat dijalankan apabila terjadinya tindak pidana/delik dan dimulainya hukum acara pidana adalah dengan adanya penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan, jika benar telah terbukti melakukan tindak pidana maka hukum acara dapat mulai berjalan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tugas penyidik adalah untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dimana dengan diketahui alat bukti itu akan membuat terang apakah benar-benar sudah terjadinya delik atau tindak pidana dan dengan alat bukti itu dapat menemukan tersangkanya. Baik penyidik maupun penuntut umum mempunyai wewenang untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan mengenai 67 68 penghentian penyidikan diantaranya, apabila hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana. Sebab itu tidak mungkin untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Mungkin juga dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh pejabat penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan telah mempunyai putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kedaluawarsa untuk menuntut, oleh karena itu, apabila dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur kedaluawrsa dalam perkara yang sedang diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan, apabila penyidikan atau penuntutan dihentikan, maka perkara yang bersangkutan tidak diteruskan ke sidang pengadilan. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik harus memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 80 KUHAP bahwa permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan 69 dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Penyidik dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. Apabila tersangka merasa keberatan terhadap sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, yang dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum, maka tersangka berhak mengajukan tuntutan terhadap penyidik atau penuntut umum ke praperadilan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 79 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dihubungkan dengan kasus yang dibahas oleh penulis, di mana telah terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil pajak bumi dan bangunan yang dipungut dari wajib pajak pertambangan dan migas Kabupaten Kutai Kalimantan Timur senilai Rp. 12.814.850.991.- yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi. Kemudian Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan pengusutan atas tindak pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan permohonan praperadilan kepada kejaksaan negeri, dengan alasan kejaksaan telah menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut. 70 Pengadilan Negeri Samarinda dalam putusan Praperadilan No.02/Pid/Pra/1998, tanggal 24 Oktober 1998 memberi putusan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh IKADIN cab. Samarinda dinyatakan tidak diterima dengan pertimbangan bahwa pihak kejaksaan negeri tidak menghentikan penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan. Sebulan kemudian setelah putusan Praperadilan tersebut diatas, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, menerbitkan “Surat Perintah Penghentian Penyidikan” terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan tersebut yaitu : SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 terhadap tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah mengembalikan uang pajak bumi bangunan kepada negara, yang disangka telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka tersebut. Menurut pendapat penulis apabila menganilis dan membahas tentang surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur yaitu, SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 terhadap tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, adalah tidak tepat dan batal demi hukum, serta tidak mencerminkan rasa keadilan dan tidak mengakomodir kepentingan hukum para pihak. Karena para tersangka telah menyimpan uang pajak bumi dan bangunan pada suatu bank yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi dan telah merugikan negara. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 20 Tahun 2002 menyatakan, dihukum karena tindak pidana korupsi ialah barang dengan siapa dengan tujuan 71 menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Para tersangka meskipun tidak mendapatkan keuntungan bagi dirinya atas penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan tersebut, akan tetapi para tersangka telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya telah menggunakan uang pajak bumi dan bangunan untuk kepentingan suatu badan tertentu. Menurut pendapat penulis dalam kasus diatas bahwa surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur dalam kasus tindak pidana korupsi adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. B. Kekuatan Hukum Tuntutan Praperadilan Yang Diajukan Oleh Pihak Ketiga Dengan Adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan Dalam Perkara Ini Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau 72 keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Apabila tersangka merasa keberatan terhadap sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, maka tersangka berhak mengajukan praperadilan ke pengadilan negeri. Yang dapat mengajukan permohonan pemeriksaan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan atau mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yaitu: tersangka, keluarganya, atau kuasanya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 79 KUHAP. Menurut Pasal 80 KUHAP, bahwa permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Apabila instansi penyidik menghentikan pemeriksaan penyidikan, Pasal 80 KUHAP memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Mengenai pihak ketiga yang berkepentingan tidak dijelaskan lebih lanjut dalam undang-undang, dalam tindakan penghentian penyidikan. Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapan, ada yang menafsirkan secara sempit, hanya terbatas saksi korban tindak pidana atau pelapor. 73 Secara umum pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan, bahwa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam tindakan penghentian penyidikan ialah saksi yang langsung menjadi korban dalam peristiwa pidana serta saksi korbanlah yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan ke praperadilan. Menurut pendapat penulis pengertian pihak ketiga yang berkepentingan harus ditafsirkan secara luas, tidak terbatas hanya saksi korban saja atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat. Karena pada dasarnya penyelesaian tindak pidana menyangkut kepentingan umum. Dihubungkan dengan kasus yang dibahas oleh penulis, mengenai tuntutan praperadilan yang diajukan oleh pihak ketiga terhadap surat perintah penghentian penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi. Di mana dalam kasus tersebut, yang terjadi di Kabupaten Kutai Kalimantan Timur, di duga telah terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil pajak bumi dan bangunan yang dipungut dari wajib pajak pertambangan dan migas Kabupaten Kutai senilai Rp. 12.814.650.991,- yang uangnya oleh oknum Pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai setempat, diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu bank, dimana yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi oknum tersebut. Kemudian Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri 74 Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan pengusutan atas tindak pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan permohonan praperadilan kepada kejaksaan negeri, dengan alasan kejaksaan telah menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut. Namun oleh Pengadilan Negeri Samarinda dalam Putusan Praperadilan No.02/Pid/Pra/1998, tanggal 24 Oktober 1998 memberi putusan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh IKADIN dinyatakan tidak dapat diterima dengan pertimbangan bahwa Kejaksaan Negeri Samarinda tidak menghentikan pentyidikan terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan tersebut. Sebulan kemudian setelah putusan praperadilan tersebut maka Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yaitu, SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/1998 tanggal 3 November 1998 terhadap para tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah mengembalikan kepada negara uang pajak bumi dan bangunan tersebut, yang disangka telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka dan menurut kejaksaan bahwa dalam kasus ini tidak ada kerugian negara atau negara tidak dirugikan oleh para tersangka. Maka dengan adanya SP3 tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat Kalimantan Timur khususnya Ikatan Keluarga Besar Ampera Arief Rachman Hakim merasa tidak puas dengan adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur terhadap para tersangka tindak pidana korupsi, kemudian Ikatan Keluarga Besar Ampera Arief 75 Rachman Hakim memberi surat kuasa kepada DPD IKADIN Samarinda untuk mengajukan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Samarinda. Di mana dalam kasus diatas, menurut pendapat penulis bahwa Ikatan Keluarga Besar Ampera Arief Rachman Hakim yang memberi surat kuasa kepada DPD IKADIN Samarinda bisa dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal Pasal 80 KUHAP. Karena dalam KUHAP pengertian pihak ketiga yang berkepentingan sama sekali tidak dijelaskan, dengan demikian dalam mendefenisikan hal tersebut diserahkan kepada hakim yang mengadili perkara tersebut. Dari kasus tersebut jaksa tidak mungkin bersedia mempermasalahkan sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan jaksa sendiri, sedangkan Polri tidak dapat mengajukannya kepada praperadilan karena kewenangannya untuk itu terbatas atas penghentian penuntutan atas hasil penyidikan yang dilakukannya. Menghadapi kasus yang seperti itu apakah tidak beralasan untuk menempatkan masyarakat luas sebagai korban atas tindak pidana itu, sehingga mereka dapat diidentikkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang diwakili oleh IKBLA atau oraganisasi kemasyarakatan. Menurut pendapat penulis, permohonan praperadilan yang diajukan oleh DPD IKADIN sebagai pihak ketiga terhadap adanya surat perintah penghentian penyidikan dapat diterima oleh Pengadilan Negeri Kalimantan Timur serta mempunyai kekuatan hukum. Karena yang menjadi obyek SP3 tersebut adalah tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi yang salah satu unsurnya adalah adanya kerugian negara. Sehubungan dengan kerugian negara atas SP3 pajak 76 bumi dan bangunan Kutai tersebut kedudukan DPD IKADIN/Pemohon selaku bagian dari rakyat Kalimantan Timur, dengan demikian kerugian negara adalah kerugian masyarakat, serta Pemohon juga bagian dari masyarakat tersebut. C. Pertimbangan Hukum Yang Digunakan Oleh Judex Facti Terhadap Putusan Praperadilan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Ini Telah Sesuai Dengan KUHAP C.1. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Majelis Hakim Pengadilan Negeri Samarinda dengan melihat kasus di atas, yang di duga telah terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil pajak bumi bangunan (PBB) yang dipungut dari wajib pajak pertambangan dan migas Kabupaten Kutai Kalimantan senilai Rp. 12.814.850.991,09.- yang uangnya oleh oknum pejabat diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu Bank, yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi oknum tersebut. Kemudian Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan pengusutan atas tindak pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan permohonan praperadilan kepada kejaksaan negeri, dengan alasan kejaksaan telah menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut. Pengadilan Negeri Samarinda dalam putusan Praperadilan No.02/Pid/Pra/1998, tanggal 24 Oktober 1998 memberi putusan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh IKADIN cab. Samarinda dinyatakan 77 tidak diterima dengan pertimbangan bahwa pihak kejaksaan negeri tidak menghentikan penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan. Sebulan kemudian, setelah putusan Praperadilan tersebut diatas, maka Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, menerbitkan “Surat Perintah Penghentian Penyidikan” terhadap kasus penyelewengan uang pajak bumi dan bangunan tersebut yaitu : SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 terhadap tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah mengembalikan uang pajak bumi bangunan kepada negara, yang disangka telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka tersebut. Ternyata dengan adanya SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat khususnya dari Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rahman Hakim, Eksponen 66 Samarinda yang diwakili oleh H. Iskandar Hutualy dan kemudian memberi surat kuasa kepada DPD IKADIN Samarinda untuk mengajukan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Samarinda terhadap Jaksa Agung RI di Jakarta qq Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur qq Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda sebagai Termohon Praperadilan. Terhadap tuntutan ketua Ikbla H. Iskandar Hutualy/Pemohon Praperadilan memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Samarinda berkenaan memberi putusan mengabulkan permohonan Praperadilan, menyatakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 adalah tidak sah, dan memerintahkan Termohon melanjutkan 78 pemeriksaan para tersangka kasus pajak bumi dan bangunan hingga ada putusan pengadilan yang pasti. Dalam pertimbanganya Majelis Hakim Pengadilan Negeri atas permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon ‘IKBLA’ tersebut, maka pada tanggal 5 Juni 1999 Pengadilan Negeri Samarinda memberi putusan No. 03/Pid//Pra/1999/PN. Smda, yang amarnya: Menetapkan “Surat Perintah Penghentian Penyidikan “ No. Print. 171/R.4/FPK.1/II/1999, tanggal 3 November 1998 adalah tidak sah; Memerintahkan penyidikan terhadap tersangka : 1. Drs. Syafrani, 2. Drs. Syaukani. HR, 3. Drs. HAM. Sulaiman, 4. Drs. Syafrudin AH, 5. Drs. Abdullah Sani, dan 6. Drs. Abdullah Haul, wajib dilanjutkan. Menurut penulis pertimbangan hukum putusan Praperadilan dari judex facti (Pengadilan Negeri) telah benar menerapkan hukum acara pidana, karena Pengadilan Negeri Samarinda dalam putusannya mempertimbangkan bahwa masyarakat luas yang berkepentingan diwakili oleh Pemohon dapat disebut sebagai saksi atau korban, yang kalau perkara ini tidak diperoses akan menderita kerugian atau bagian orang yang menjadi korban. Pengadilan Negeri Samarinda dalam mengartikan “pihak ketiga yang berkepentingan” yang terdapat dalam Pasal 80 KUHAP, mengartikan secara luas bukan hanya mencakup saksi yang menjadi korban atau pelapor saja, akan tetapi mencakup juga warga negara dan ketua lembaga swadaya masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan, kebenaran demi kepentingan umum masyarakat luas. 79 C.2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam memutuskan perkara penyelewengan atau tindak pidana korupsi dana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut. Bahwa Pemohon tidak dapat dikategorikan mewakili masyarakat IKBLA Kalimantan Timur, karena tidak menerima kuasa dari masyarakat IKBLA Kalimantan Timur, melainkan hanya menerima kuasa dari ketua DPD Tk I IKBLA (H. Iskandar Hutualy). Pemohon bukan sebagai pihak yang mempunyai kualitas untuk mengajukan permohonan praperadilan. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa akibat perbuatan para pejabat tersebut, maka Pemohon IKBLA Kalimantan Timur secara langsung/tidak langsung telah dirugikan tetapi kerugian tersebut tidak diperinci jelas oleh Pemohon, sehingga pengadilan tinggi berpendapat bahwa praperadilan yang diajukan oleh Pemohon tidak terbukti, sehingga permohonan praperadilan harus ditolak oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur. Menurut pendapat penulis Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur dalam putusannya tersebut terdapat kekeliruan yang nyata, karena pengadilan tinggi hanya menggunakan doktrin hukum yang terpaku atas pendapat pakar hukum dan tidak menggali realitas dalam masyarakat serta tidak mengikuti perasaan hukum dan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat. Bahwa Pengadilan tinggi dalam putusannya telah sependapat dengan dua pendapat pakar hukum pidana yaitu Andi Taher Hamid dan M. Yahya Harahap yang membatasi 80 pengertian pihak ketiga hanya terletak kepada saksi korban dalam peristiwa pidana dan yang dirugikan secara langsung. Padahal pendapat pakar hukum tersebut dapat disimpulkan sebagai pengertiannya dalam lingkup tindak pidana umum, sedangkan dalam perkara yang menjadi obyek SP3 tersebut adalah tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi, yang salah satu unsurnya adalah kerugian negara. Sehubungan dengan kerugian negara atas SP3 Kutai tersebut kedudukan Pemohon selaku bagian dari rakyat Kalimantan Timur adalah sangat erat, dengan demikain kerugian negara adalah kerugian masyarakat, juga Pemohon bagian dari masyarakat tersebut. Pendapat pengadilan tinggi yang menyatakan bahwa Pemohon bukan merupakan pihak ketiga yang berkepentingan adalah pendapat yang salah, karena itu putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur tersebut harus dibatalkan. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu penyelewengan dana pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, karena dengan adanya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, maka kasus tentang penyelewengan dana PBB yang merugikan rakyat banyak harus dihentikan, sedangkan para tersangka telah menyimpan uang pajak bumi dan bangunan pada suatu bank yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi dan telah merugikan negara. 2. Tuntutan Praperadilan yang diajukan oleh pihak ketiga dengan adanya surat perintah penghentian penyidikan dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum sebab untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau “pihak ketiga yang berkepentingan” kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. 3. Pertimbangan hukum Pengadilan Negeri telah sesuai dengan hukum acara pidana, dimana pengadilan negeri dalam mengartikan pihak ketiga yang berkepentingan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 80 KUHAP diartikan secara luas, tidak hanya saksi yang menjadai korban atau pelapor melainkan mencakup juga warga negara dan ketua lembaga swadaya 81 82 masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakan hukum, keadilan, kebenaran demi kepentingan umum masyarakat luas. Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur tidak sesuai dengan hukum acara pidana, dimana Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur telah melakukan kekeliruan dalam putusannya, hanya menggunakan doktrin hukum yang terpaku atas pendapat pakar hukum dan tidak menggali realitas dalam masyarakat serta tidak mengikuti perasaan hukum dan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat. B. SARAN-SARAN 1. Kejaksaan dalam mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) tindak pidana korupsi seharusnya sesuai dengan prosuder hukum yang berlaku, sehingga negara dan masyarakat tidak dirugikan. 2. Badan yang berwenang untuk membuat undang-undang dalam hal ini pemerintah, seharusnya menjabarkan dengan kongkrit istilah-istilah hukum yang dibuat agar tidak menjadi salah arti bagi para hakim dalam memutuskan perkara. 3. Hakim sebagai penegak hukum seharusnya menggali lebih dalam, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat serta mengintegrasikan diri dalam masyarakat untuk benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayom. DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1979. ……………., Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1980. Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Andi Taher Hamid, Hukum Acara Pidana Umum dan Khusus, CV. Al-Ichsan, Surabaya, 1989. Atang Ranumihardja, Hukum Acara Pidana, Bandung, Tarsito, 1983. C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan Kedelapan, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1989. Hadari Djanawi Tahir, Pokok-pokok Pikiran Dalam KUHAP, Penerbit Alumni Bandung, 1981. Harris, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat Dalam H.I.R, Cetakan Pertama, Binacipta, Bandung, 1978. Oemar Seno Adji, Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, 1976. …………….Perkembangan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Sekarang dan di Masa Yang Akan Datang, Pantjuran Tudjuh, Jakarta, 1981. Martiman Prodjohamidjojo, Penyelidikan dan Penyidikan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta, 1983. R. Soesilo, Menangkap, Menahan, dan Pembebanan Ganti Rugi, Politia Bogor, 1979. R. Tresna, Komentar HIR, Jakarta, Pradnya Paramita. S. Tanusubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983. Sutjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1977. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan Kedua, P.T. Eresco, Bandung, 1989. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Undang-undang No. 20 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Varia Peradilan, XVII. No. 201. Juni. 2002. A. Latar Belakang Masalah Manusia di dalam pergaulan hidup bermasyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat itu. Ia seringkali dihadapkan pada berbagai konflik kepentingan antar sesamanya, yang pada akhirnya sering menimbulkan persengketaan. Dalam keadaan yang demikian ini hukum sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan ketertiban dalam masyarakat. Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal berarti hukum yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, agar terciptanya suatu masyarakat yang adil dan aman. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Apabila tersangka merasa keberatan terhadap sah tidaknya penagkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, maka tersangka berhak mengajukan ke praperadilan. Seperti halnya dalam kasus ini di duga telah terjadi penyelewengan/tindak pidana korupsi uang hasil pajak bumi bangunan (PBB) yang dipungut dari wajib pajak pertambangan dan migas Kabupaten Kutai Kalimantan senilai Rp. 12.814.850.991,09.- yang uangnya oleh oknum pejabat diendapkan/disimpan sebagai jasa giro pada suatu Bank, yang hasilnya/bunganya untuk kepentingan pribadi oknum tersebut. Kemudian Kejaksaan Negeri Samarinda mengusut adanya sangkaan terjadinya penyelewengan uang pajak PBB tersebut, ternyata Kejaksaan Negeri Samarinda tidak mampu untuk menyelesaikan tindakan pengusutan atas tindak pidana korupsi tersebut. Maka Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengajukan permohonan Pra Peradilan terhadap kejaksaan Negeri, dengan alasan kejaksaan telah menghentikan penyidikan atas kasus tindak pidana korupsi tersebut. Pengadilan Negeri Samarinda dalam putusan Pra peradilan No.02/Pid/Pra/1998, tanggal 24 Oktober 1998 memberi putusan bahwa permohonan Pra Peradilan yang diajukan oleh IKADIN cab. Samarinda dinyatakan tidak diterima dengan pertimbangan bahwa pihak kejaksaan negeri tidak menghentikan penyidikan terhadap kasus penyelewengan uang PBB. Sebulan kemudian, setelah putusan Pra Peradilan tersebut diatas, maka Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, menerbitkan “Surat Perintah Penghentian Penyidikan” terhadap kasus penyelewengan uang PBB tersebut yaitu : SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 terhadap tersangka Drs. H. S. Sjafrani dkk, dengan alasan para tersangka telah mengembalikan uang PBB kepada Negara, yang disangka telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi para tersangka tersebut. Ternyata dengan adanya SP3 No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Tinggi Kaltim tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat khususnya dari Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rahman Hakim, Eksponen 66 Samarinda yang diwakili oleh H. Iskandar Hutualy dan kemudian memberi surat kuasa kepada DPD IKADIN Samarinda untuk mengajukan permohonan Pra Peradilan di Pengadilan Negeri Samarinda terhadap Jaksa Agung RI di Jakarta qq Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur qq Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda sebagai Termohon Pra Peradilan. Terhadap tuntutan ketua Ikbla H. Iskandar Hutualy/Pemohon Pra Peradilan memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Samarinda berkenaan memberi putusan mengabulkan permohonan Pra Peradilan, menyatakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) No. Print.171/R4/F.PK.I/II/ 1998 tertanggal 3 November 1998 adalah tidak sah, dan memerintahkan Termohon melanjutkan pemeriksaan para tersangka kasus PBB hingga ada putusan pengadilan yang pasti. Maka berdasarkan permasalahan tersebut diatas, penulis merasa tertarik untuk menganalisisnya berdasarkan ketentuan hukum acara pidana dalam suatu skripsi yang berjudul : “TUNTUTAN PRA PERADILAN TERHADAP SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000” B. Identifikasi Masalah 1. Bagaimanakah kekuatan hukum surat perintah penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ? 2. Bagaimanakah kekuatan hukum tuntutan pra peradilan yang diajukan oleh pihak ketiga dengan adanya surat perintah penghentian penyidikan dalam perkara ini ? 3. Apakah pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terhadap putusan Pra Peradilan dalam perkara ini telah sesuai dengan hukum acara pidana ? Perihal : Pengajuan Judul Proposal/Skripsi Kepada Yth. Dekan C.q. Ketua bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unisba Di Bandung Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum. Wr. Wb. Sesuai dengan keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Nomor. 104/B-I/SK/DEK-FH/II/1999 Tentang Tata Tertib Pengajuan Judul Proposal/Skripsi, dengan ini saya : Nama : Rd. Harry Permana Nomor Pokok : 10040099234 Bagian : Hukum Pidana Mengajukan Tentatif Proposal/Skripsi dengan judul sebagai berikut : “TUNTUTAN PRA PERADILAN TERHADAP SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (S.P.3) DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 4-PK/PID/2000” Demikian pengajuan ini saya sampaikan, atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bandung, Juni 2004 Pemohon, Disposisi ketua Bagian, dengan ini 1. Menolak Judul dengan alasan : 2. Menunjuk : a. Pembimbing Utama :……………………………… b. Pembimbing Pendamping :……………………………… Bandung, Juni 2004 Ketua Bagian Hukum Keperdataan