EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek’s Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM MUHAMAD SAMSI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul : Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana) Sebagai Imunomodulator dan Antitumor pada Infeksi Marek’s disease virus (MDV) Sertipa 1 Onkogenik pada Ayam adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapa pun serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Bogor, Agustus 2007. Muhamad Samsi NIM. B161030011 ABSTRACT MUHAMAD SAMSI. The Tea Parasite (Scurrula oortiana) Extract as Immunomodulator and Antitumor on the Infection of Marek’s Disease Virus (MDV) Serotype 1 Oncogenic in Chicken. Under supervision of MARTHEN B.M. MALOLE, WASMEN MANALU, and EKOWATI HANDHARYANI. Marek’s disease virus (MDV) is one of oncogenic herpesvirus which has a DNA as nucleic acid. It causes immunosupresion and cancer in chicken. This study was aimed to find out the mechanism of Marek’s disease in layer commercial chickens which administered orally with extract of tea parasite (Scurrula oortiana) in dose of10 mg/kg bw through drinking water, then the chickens were infected by intraperitoneal oncogenic MDV in dose 1,0 x103 TCID50. The study used 60 layer commercial day old chicks (DOC) divided into four group of treatments. The treatments were group A (administered S. oortiana extract and without MDV infection), B (neither S. oortiana nor MDV infection), C(administered S. oortiana extract and whith MDV infection), and D (none administered S. oortiana extract, but whith MDV infection). This study was conducted for 60 days. The analysis showed that MDV oncogenic caused immunosupresion at day post infection (p.i) and recovery to be normal based on relative weight of bursa of Fabricius and thymus, and also diameter of the bursa of Fabricius follicle at 40 of post infection. Moreover, the MDV caused cancer at day 20 of post infection. and increased pathogensity based on the amount of the proventriculus limphocyte, and pathogenesis of liver cancers at day 40 of post infection. The extract of S. oortiana had a capability as an immunomodulator as indicated by the increase of relative weight of bursa of Fabricius and thymus at day 20 of post infection. and the increase of diameter of bursa of Fabricius follicle at day 40 of post infection. . Its effect on nonspesific immunity was indicated with the increase of inducible nitric oxyde shynthase (iNOS) enzyme at 20 of day p.i. Its effect on the humoral immunity was indicated with the increase of antibody titre against MDV at day 20 of post infection. The special property of S. oortiana extract as antivirus was indicated by the inhibition the MDV development on the bursa of Fabricius at day 20 of post infection. The extract also decrease the amount of lymphocyte of submucous proventriculus and liver pathogenesis at day 40 of post infection. Keywords : Marek's disease virus, Scurrula oortiana, inducible nitric oxyde shynthase, and limphocyte RINGKASAN MUHAMAD SAMSI. Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana) Sebagai Imunomodulator dan Antitumor pada Infeksi Marek’s disease virus(MDV) Onkogenik Serotipe 1 pada Ayam. Dibimbing oleh MARTHEN B.M. MALOLE, WASMEN MANALU, dan EKOWATI HANDHARYANI. Ayam dalam kondisi normal memproduksi radikal bebas (prooksidan) sebagai proses fisiologis yang seimbang dengan antioksidan endogen yang tersedia. Infeksi Marek’s disease virus(MDV) onkogenik pada ayam diawali sitolisis pada limfosit B dan limfosit T, ayam memberikan responss imun yang didahului oleh responss imun nonspesifik, yaitu fagositosis oleh mekrofag dan neutrofil yang menghasilkan bahan penghancur mikroorganisme patogen berupa peningkatan produksi radikal bebas yang memiliki efek samping, yaitu kerusakan molekulmolekul pada sel sehingga menimbulkan sitolisis termasuk pada limfosit B dan limfosit T. Radikal bebas merupakan bahan karsinogen yang menimbulkan mutasi gen sehingga dapat menginduksi terjadinya kanker. Virus penyebab tumor disebut virus onkogen dan gen yang ada pada virus disebut viral oncogen (V-onc) yang homolog dengan sekuen DNA pada gen seluler inang, yaitu proto oncogen (C-onc) yang dapat berinteraksi dengan gen virus. Terjadinya transformasi pada gen seluler inang oleh gen virus bergantung pada resistensi seluler inang, virulensi virus penyebab, dan kehadiran substansi kimia penyebab tumor, yaitu bahan karsinogen yang menginduksi terjadinya mutasi. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh ekstrak benalu teh Scurrula oortiana terhadap fenomena imunologis dan risiko kanker pada ayam yang diinfeksi virusherpes MDV onkogenik, sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah: pembuktian secara ilmiah khasiat eksstrak S. oortiana sebagai imunomodulator dan mengurangi risiko kanker, menggunakan parameter imunologi. Menjadikan benalu teh S. oortiana sebagai obat herbal berstandar. Tahap pertama uji penentuan dosis infeksi MDV onkogenik, digunakan 20 ekor ayam dibagi ke dalam lima kelompok perlakuan masing-masing empat ekor yaitu : A. kontrol tanpa infeksi, B. diinfeksi intraperitoneal dengan dosis 0,125 x 1000 EID50, C. 0,250 x 1000 EID50, D 0,500 x 1000 EID50, dan E 1 x 1000 EID50. Sedangkan tahap kedua digunakan 60 ekor ayam dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan yaitu : perlakuan A. diberi ekstrak S. oortiana dengan, tanpa infeksi MDV, B tanpa pemberian ekstrak S. oortiana dan tanpa infeksi MDV, C diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV, dan D tanpa diberi ekstrak S.oortiana, diinfeksi MDV. Ekstrak benalu teh diberikan secara oral (dicekok) sejak ayam berumur 15 hari sampai akhir percobaan, dengan dosis 10 mg/kg bobot badan yang dilarutkan dalam air minum. Ayam diinfeksi dengan virus Marek pada umur 20 hari secara intraperitoneal dengan dosis 1.000 EID50. Parameter yang diamati : Perhitungan antibodi untuk uji imunitas terhadap penyakit Marek dengan teknik enzyme-linked immuno sorbent assay (ELISA) pada 10, 20, dan 30 hari pacainfeksi (p.i). Perhitungan leukosit dan persentase limfosit pada 20 dan 40 hari p.i. Penimbangan dan perhitungan ratio bobot reltif limpa, bursa Fabricius dan timus pada hari 20 dan 40 p.i. Perubahan histopatologi pada bursa Fabricius, hati, dan proventriculus pada 20 dan 40 hari p.i. Uji imunohistokimia terhadap iNOS pada organ hati dan uji imunohistokimia terhadap MDV pada organ bursa Fabricius pada 20 hari p.i. Ekstrak benalu teh (S. oortiana) berkhasiat sebagai imunomodulator ditandai dengan paningkatan rataan bobot relatif bursa Fabricius, bobot relatif timus, dan diameter folikel bursa Fabricius. Hasil tersebut tercermin dari meningkatnya rataan bobot realatif bursa Fabricius pada kelompok ayam yang diberi ekstrak S. oortiana dibanding kelompok yang diberi ekstrak dikombinasi dengan infeksi MDV maupun keleompok ayam yang hanya diinfeksi MDV 20 hari p.i. Bobot relalatif timus pada kelompok ayam yang diberi ektrak S. oortiana dan diinfeksi MDV tidak mengalami penurunan pada 20 hari pascainfeksi, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak S. oortiana mampu menghambat imunosupresi akibat infeksi MDV. Pada pengamatan ini terjadi peningkatan rataan diameter folikel bursa Fabricius 40 hari pascainfeksi pada kelompok ayam perlakuan kombinasi ekstrak S. oortiana dibanding dengan semua kelompok perlakuan. Keberadaan iNOS berdasarkan reaksi positif dengan pewarnaan imunohistokimia pada jaringan hati diduga terkait dengan aktivitas sel-sel dalam hati yang diekspresikan oleh sel-sel Kupffer maupun sel endotel. Kelompok ayam yang diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (A) mengalami peningkatan pembentukan iNOS yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok ayam tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (B). Infeksi MDV mampu meningkatkan jumlah sel yang menghasilkan iNOS baik pada kelompok yang diberi ekstrak maupun tanpa diberi ekstrak S. oortiana dibanding dengan kelompok ayam tanpa infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi MDV mampu meningkatkan produksi iNOS sebagai bagian dari responss imun nonspesifik. Meningkatnya titer antibodi terhadap MDV pada 20 hari kelompok perlakuan pemberian benalu teh dan infeksi MDV (C) lebih tinggi daripada kelompok tanpa pemberian benalu teh dan tanpa infeksi MDV (B). Hal ini disebabkan adanya kombinasi pengaruh imunomodulasi ekstrak S. oortiana dengan faktor imunostimulasi sebagai respons imun akibat tindakan uji tantang. Pemeriksaan imunohistokimia keberadaan MDV pada bursa Fabricius menunjukkan terjadi penurunan pada kelompok ayam yang diinfeksi dengan MDV dan diberi ekstrak S. oortiana. Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang diuji tantang dengan MDV onkogenik mampu menurunkan risiko kanker yang ditandai persentase limfosit pada leukosit 20 hari p.i dan menurunnya jumlah limfosit submukosa proventrikulus 40 hari p.i pada kelompok ayam yang diberi benalu teh dan diinfeksi. Perubahan histopatologi pada 40 hari p.i yang terjadi akibat infeksi MDV adalah infiltrasi sel-sel limfoid dan makrofag pada organ hati. Kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV ternyata mampu menekan pertumbuhan sel-sel limfoid atau sel tumor, yang ditunjukkan dengan jumlah sel limfoid yang lebih sedikit dibandingkan dengan hati pada kelompok ayam tanpa diberi ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV. Kata kunci : Marek's disease virus, Scurrula oortiana, inducible nitric oxyde synthase, dan limfosit. © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek’s disease virus (MDV) SEOTIPE 1 ONKOGENIK PADA AYAM MUHAMAD SAMSI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup : Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D Pada Ujian Terbuka : Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS Dr. Ir. Mas Yedi Sumaryadi, MS. Judul Disertasi : Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana) Sebagai Imunomodulator dan Antitumor pada Infeksi Marek’s Disease virus (MDV) Onkogenik Serotipe 1 pada Ayam Nama NIM : Muhamad Samsi : B161030011 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Drh. Marthen B.M. Malole Ketua Prof. Ir. Wasmen Manalu. Ph.D. Anggota Drh. Ekowati Handharyani MS. Ph.D. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner Dr. drh. B. Ponco Priyosoeryanto MS. Tanggal Ujian : 9 Juli 2007 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Lulus : PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT., atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan penyusunan disertasi, dengan judul “Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana) Sebagai Imunomodulator dan Antitumor pada Infeksi Marek’s disease virus Onkogenik pada Ayam” Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada yang terhormat Dr.Drh. Marthen B.M. Malole, sebagai ketua komisi pembimbing, Prof.Ir. Wasmen Manalu, Ph.D. dan Drh. Ekowati Handaryani, MSi. Ph.D. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah menyediakan waktu, dan dengan penuh kesabaran serta keikhlasan dalam proses pembimbingan selama penulis menempuh pendidikan S3. Ucapan terima kasih penulis juga disampaikan kepada Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Rektor Universitas Jenderal Soedirman, dan pengelola beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan belajar dan bantuan biaya pendidikan dan penelitian kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Direktur PPSDMIPB dan Yayayasan Dana Sejahtera Mandiri Jakarta yang telah mamberikan bantuan biaya penulisan disertasi kepada penulis. Ucapan terimakasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor beserta staf dan pegawai dan Ketua Program Studi Sains Veteriner (SVT) beserta staf dan pegawai atas kelancaran proses penyelenggaraan pendidikan, serta kepada semua pihak yang telah terlibat dalam membantu penyelesaian studi. Penghargaan penulis disampaikan kepada Dr Retno Murwani, Dr. Drh. Marthen B.M. Malole, Dr. Drh. Sri Murtini, MSi, Dr. Drh. Fajar Satrija, MSc. atas bantuan materi penelitian awal, pak Nur, drh Farida, drh. Bongot, drh. Tanti, Kristina, Teti, pak Kasnadi, pak Endang, Anin, dan Elia atas bantuan dan kerjasamanya selama kerja dilaboratorium. Disampaing itu penulis juga menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada sataf dan pegawai di Laboratorium Terpadu, Laboratorium Virologi, Laboratorium Patologi, dan Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedoteran Hewan IPB. Rasa haru dan terima kasih yang tulus disampaikan kepada seluruh keluarga atas bantuan dan dukungan moril maupun materil kepada penulis, serta kepada istri tercinta Siti Elistjanti, S.Sos., ananda tersayang Dhaifina Asmarani (Fina), atas segala do’a, pengertian, kesabaran, dorongan semangat dan kasih sayang yang diberikan selama mendampingi penulis dalam menyelesaikan pendidikan S3. Akhirnya, semoga karya disertasi ini dapat bermanfaat di masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan khususnya dalam bidang kesehatan dan peternakan. . Bogor, Agustus 2007. Muhamad Samsi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 7 Oktober 1957, sebagai anak ke lima dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Munidi Djogosukarto (Alm.) dan Ibu Hj. Salbingah. Pada tahun 1987 menikah dengan Siti Elistiyanti S.Sos, dan dikaruniai seorang anak, yakni Dhaifina Asmarani (Fina). Pendidikan sarjana telah ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjahmada Yogyakarta, lulus sarjana Kedokteran Hewan tahun 1982, lulus dokter hewan pada tahun 1983. Penulis menamatkan Magister Sains di Program Studi Sains Veteriner Program Pascasarjana Universitas Gadjahmada Yogyakarta tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS DIKTI Departemen Pendidikan Nasional. Pada tahun 1985 sampai dengan tahun 1987 penulis berkesempatan bekerja di PT.Bamaindo Feeds Stuft Surabaya. Sejak tahun 1987 sampai dengan sekarang penulis adalah sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dengan bidang kajian yang diminati Ilmu Kesehatan Ternak. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xii DAFTAR GAMBAR . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xiii DAFTAR LAMPIRAN . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xvi PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kerangka Pemikiran …………………………………………………….. Tujuan Penelitian . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 1 4 6 6 TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Imunitas Tubuh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kanker . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Penyakit Marek . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Radikal Bebas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Antioksidan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Benalu Teh sebagai Penurun Risiko Kanker . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 7 9 12 17 20 25 BAHAN DAN METODE. . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tempat dan Waktu Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Bahan dan Alat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Desain Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28 28 28 39 30 HASIL DAN PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Penentuan Uji Dosis Infeksi MDV . . . . . . . . . . . . ………………….. Bobot Relatif Organ Bursa Fabricius, Timus, dan Limpa . . . . . . . . . Ukuran Diameter Folikel Bursa Fabricius . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pemeriksaan Imunohistokimia Enzim Indusible Nitric Oxyd Synthase (iNOS) . . . . …………………………………………………… Uji Tingkat Imunitas pada MDV dengan Metode ELISA . . . . . . . . . . Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Total Leukosit dan Persentase Limfosit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Keberadan MDV pada Bursa Fabricius . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Limfosit pada proventrikulus …………………………………………… Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Patogenesis Marek pada Hati .. 37 37 39 42 PEMBAHASAN UMUM ………………………………………………………. 56 SIMPULAN . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . …... 63 DAFTAR PUSTAKA .. . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64 LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 72 44 46 49 51 52 54 xii DAFTAR TABEL Halaman 1. Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 20 hari p.i. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2. Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 40 hari p.i. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3. Rataan diameter folikel bursa Fabricius (µm) ayam 20 dan 40 Hari pascainfeksi (p.i.) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4. Rataan jumlah reaksi positif iNOS pada hati ayam 20 hari Pascainfeksi (p.i.) . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5. Rataan nilai absorbansi uji ELISA berdasarkan perbedaan Perlakuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6. Rataan nilai absorbansi berdasarkan waktu pascainfeksi (p.i.) MDV . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7. Rataan jumlah leukosit per mililiter dan persentase limfosit(%) Pada ayam 20 hari pascainfeksi . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . .. 8. Rataan jumlah leukosit per mililiter dan proporsi limfosit (%) Pada ayam 40 pascainfeksi (p.i) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9. Rataan jumlah limfosit submukosa proventriculus 20 hari dan 40 hari pascainfeksi (p.i) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40 42 43 46 47 49 50 50 53 xiii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Hubungan keterkaitan MDV, ayam sebagai inang, dan eksktrak benalu teh sebagai antioksidan eksogen . . . . . . . . . …. 5 2. Mekanisme secara umum sistem imun . . . . . . . . . . . . . . . . . …. 8 3. Kemungkinan skenario pada ketidakseimbangan ROS. . . . . ….. 18 4. Senyawa flavonoid . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . …… 21 5. Senyawa fenol . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . . . . . …. 22 6. Diagram alir penelitian . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . . . . . ………. 31 7. Fotomikkrograf hati ayam yang diinfeksi MDV dosis 0,125 x 103EID50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)……………………. 38 Fotomikkrograf hati ayam yang diinfeksi MDV dosis 1 x 103EID50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). ……………………………… 38 Fotomikrograf hati ayam yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap iNOS metode sab dan counterstain hematoksilin ……… 45 Grafik nilai absorbansi titer antibodi MDV uji ELISA 10, 20, dan 30 hari pascainfeksi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……. 48 Fotomikrograf bursa Fabricius ayam yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap MDV, metode SAB dan counterstain Hematoksilin…………………………………………………………… 52 Fotomikrograf hati ayam dengan pewarnaan hematoksilin-Eosin (HE)…………………………………………………………………….. 55 8. 9. 10. 11. 12. xiv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Analisis ragam bobot realif bursa Fabricius, timus, dan limpa 20 hari p.i …………………………………………………………. 72 Analisis ragam bobot realif bursa Fabricius, timus, dan limpa 40 hari p.i .................................................... …………………. 73 3. Analisis ragam diameter folikel bursa Fabricius 20 hari p.i …. 74 4. Analisis ragam diameter folikel bursa Fabricius 40 hari p.i …. 75 5. Analisis ragam reaksi positif iNOS 20 hari p.i ………………… 76 6. Analisis ragam titer antibodi terhadap MDV…………………… 77 7. Analisis ragam sel darah putih dan presentase limfosit pada 20 p.i……………………………………………………………….. 78 Analisis ragam sel darah putih dan presentase limfosit pada 40 ……………………………………………………………….. 79 Analisis ragam jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada 20 p.i. ………………………………………………………. 80 Analisis ragam jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada 40 p.i ............................................................................... 81 2. 8. 9. 10. PENDAHULUAN Latar Belakang Neoplasma atau tumor adalah transformasi sejumlah gen yang menyebabkan gen tersebut mengalami mutasi. Gen yang mengalami mutasi disebut proto-onkogen dan gen supresor tumor, yang dapat menimbulkan abnormalitas pada sel somatik. Usia sel normal ada batasnya, sementara sel tumor tidak mengalami kematian sehingga multiplikasi dan pertumbuhan sel berlangsung tanpa kendali. Sel neoplasma mengalami perubahan morfologi, fungsi, dan siklus pertumbuhan, yang akhirnya menimbulkan disintegrasi dan hilangnya komunikasi antarsel. Tumor diklasifikasikan sebagai benigna, yaitu kejadian neoplasma yang bersifat jinak dan tidak menyebar ke jaringan di sekitarnya. Sebaliknya, maligna disinonimkan sebagai tumor yang melakukan metastasis, yaitu menyebar dan menyerang jaringan lain. Kanker adalah penyakit kompleks pada sejumlah besar gen seluler yang telah mengalami perkembangan malignansi. Gen tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai onkogen dan gen supresor tumor. Onkogen dikategorikan sebagai kanker yang disebabkan oleh virus yang terbagi dalam dua grup, yaitu virus tumor DNA dan virus tumor yang mengandung RNA yang disebut juga retrovirus (Benchimol dan Minden 1998). Virusherpes sangat tumorogenik pada hewan yang pada mulanya berada pada episom sel dan tidak terintegrasi pada genom inang. Pada kejadian penyakit tumor biasanya tidak ditemukan adanya virus di dalam sel, dan DNA virus herpes hanya sedikit berada sebagai herpes yang melakukan transformasi pada sel. Hal ini dinyatakan sebagai mekanisme hit and run pada onkogenesis sehingga menyebabkan kerusakan khromosom atau kerusakan lain (Hunt 2003). Herpes virus onkogenik termasuk virus DNA yang menyebabkan penyakit Marek pada ayam, virus herpes karsinoma pada katak, virus herpes saimiri pada primata selain manusia, virus Epstein Bar (limfosarkoma) pada manusia, virus herpes 6 pada yang berasosiasi dengan human Kaposi’s sarcoma (Cheville 1999). Marek’s disease (MD) herpesvirus (MDV) pada unggas diketahui sebagai virus onkogenik alami yang menyebabkan limfoma pada sel T. Identifikasi sel yang mengalami transformasi pada MD memberi kesempatan secara menyeluruh untuk menjelaskan patogenesis MD dan tingginya nilai 2 kegunaan MD sebagai model pada penelitian onkologi virus herpes (Burges dan Davison 2002). Infeksi MDV pada ayam dapat dijadikan sebagai model infeksi virusherpes onkogen untuk hewan lain. Periode infeksi MDV meliputi tiga bentuk, yaitu infeksi akut (produktif) yang menimbulkan lisis sel limfosit B dan limfosit T, infeksi laten yang bersifat nonproduktif, dan infeksi transforming, yaitu transformasi gen pada limfosit T. Pada infeksi produktif terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein yang menghasilkan partikel virus secara lengkap. Virus menginfeksi, merusak, dan membunuh limfosit B maupun limfosit T. Selama infeksi terjadi sitolisis sehingga pada puncak replikasi virus terjadi imunosupresi dan peningkatan sensitivitas inang pada infeksi bersamaan dengan penurunan bobot relatif bursa Fabricius dan timus (Payne dan Venugopal 2000, Islam et al. 2002). Pada infeksi laten tidak terjadi replikasi DNA, transkripsi, maupun sintesis protein. Kejadian ini dialami pada infeksi MDV serotipe 2 dan 3 nononkogen. Sel T yang terinfeksi bisa berubah menjadi infeksi laten atau bisa merespons onkogenesitas gen virus yang mengalami transformasi. Infeksi transforming hanya terjadi pada sel yang terinfeksi oleh MDV serotipe 1. Beberapa subset limfosit T, yaitu CD4 dan CD8 merupakan target transformasi karena bagian tersebut berperan sebagai tempat perlekatan awal infeksi sitolisis (Calnek et al. 1998, Payne dan Venugopal 2000). Virus penyebab tumor disebut virus onkogen dan gen yang ada pada virus disebut viral oncogen (V-onc) yang homolog dengan sekuen DNA pada gen seluler inang, yaitu proto oncogen (C-onc) yang dapat berinteraksi dengan gen virus. Terjadinya transformasi pada gen seluler inang oleh gen virus bergantung pada resistensi seluler inang, virulensi virus penyebab, dan kehadiran substansi kimia penyebab tumor, yaitu bahan karsinogen yang menginduksi terjadinya mutasi. Ayam dalam kondisi normal memproduksi radikal bebas (prooksidan) sebagai proses fisiologis yang seimbang dengan antioksidan endogen yang tersedia. Infeksi MDV pada ayam diawali sitolisis pada limfosit B dan limfosit T, ayam memberikan respons imun yang didahului oleh respons imun nonspesifik, yaitu fagositosis oleh makrofag dan neutrofil yang menghasilkan bahan penghancur mikroorganisme patogen berupa peningkatan produksi radikal bebas yang memiliki efek samping, yaitu kerusakan molekul-molekul pada sel sehingga menimbulkan sitolisis termasuk pada limfosit B dan limfosit T. 3 Radikal bebas merupakan bahan karsinogen yang menimbulkan mutasi gen sehingga dapat menginduksi terjadinya kanker. Tekanan oksidatif diinduksi secara luas oleh faktor lingkungan termasuk sinar ultraviolet, serangan patogen, reaksi hipersensitif, kerja herbisida, dan kekurangan oksigen. Spesies oksigen reaktif (ROS), hidrogen peroksida (H2O2), dan superoksida (O2-) dihasilkan oleh sejumlah reaksi seluler yang dikatalisis oleh besi (Fe-2) dan reaksi enzimatik seperti lipooksigenase, peroksidase, NADPH oksidase, dan santin oksidase. Sejumlah komponen seluler yang peka terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas adalah lipid, yaitu peroksidasi pada asam lemak tidak jenuh pada membran, denaturasi protein dan asam nukleat. Pembentukan ROS dapat dicegah oleh antioksidan. Pada tanaman beberapa senyawa fenolik merupakan antioksidan potensial: flavonoid, tanin, dan lignin merupakan prekursor yang bekerja pada penangkapan senyawa ROS (Blokhina et al. 2003). Mekanisme penyerangan oleh radikal bebas termasuk ROS menginduksi peroksidasi pada asam lemak yang memiliki beberapa ikatan rangkap pada membran sel lipid bilayer yang menyebabkan reaksi berantai peroksidasi lipida sehingga terjadi kerusakan pada membran sel, oksidasi pada lipida membran dan protein, yang menyebabkan kerusakan pada bagianbagian dari sel termasuk DNA (Miller 1996). Pada saat ini penggunaan antioksidan sintetik seperti Torlok C, Prowl galat, dan mono-tertiery-butylhidroquinone (TBHQ) sedang mendapat perhatian karena mempunyai efek mengurangi kerusakan oksidatif, namun mempunyai aktivitas yang dapat merugikan konsumen, antara lain gangguan fungsi hati, paru-paru, mukosa usus, dan keracunan. Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya dipilih memanfaatkan antoksidan alami (Manampiring et al. 2001). Sejumlah komponen seluler yang sensitif terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas adalah peroksidasi asam lemak tidak jenuh pada biomembran, denaturasi protein, karbohidrat, dan asam nukleat. Pada tumbuhan beberapa senyawa fenolat yang merupakan antioksidan kuat, yaitu flavonoid, tanin, dan lignin yang berfungsi sebagai prekursor menangkap (scavenger) senyawa radikal oksigen (ROS). Antioksidan bekerja secara bersama-sama dan berurutan pada reaksi redoks (Blokhina et al. 2003). Flavonoid telah menunjukkan perannya sebagai antioksidan, antimutagenik, antineoplastik, dan vasodilatator. Potensi antioksidan flavonoid pada kerusakan 4 oksidatif yang ditimbulkan oleh semua proses penyakit menyebabkan flavonoid layak digunakan untuk pengendalian sejumlah penyakit (Miller 1996). Daun dan batang benalu teh mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, terpenoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin (Nugroho et al. 2000, Santoso 2001, Tambunan et al. 2003). Benalu teh secara tradisional digunakan untuk penyembuhan berbagai penyakit diare, kanker, dan amandel. Beberapa publikasi penelitian telah melaporkan bahwa benalu teh mempunyai efek sebagai antidiare (Saroni et al. 1998), antioksidan (Leswara dan Kartin 1998, Santoso 2001, Susmandiri 2002, Simanjuntak et al. 2004), perbaikan sistem imun (Winarno et al. 2000), dan hambatan pertumbuhan sel tumor (Nugroho et al. 2000, Murwani 2003, Winarno 2003). Sel WEHI-164 diketahui sensitif terhadap Tumour Necrosis Factor-α (TNF-α) dan telah digunakan sebagai model dalam penelitian. Hasil pengujian menunjukkan bahwa baik ekstrak batang maupun daun Scurrula oortiana mampu meningkatkan sensitivitas atau suseptibilitas pada sel WEHI-164 pada TNF-α, peningkatan sensitivitas lebih dari 160 kali dibanding dengan sel kontrol tanpa perlakuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air S. oortiana secara nyata sitotoksik pada sel tumor WEHI-164 dan meningkatnya sensitivitas sel tumor pada TNF-α sehingga mengalami lisis (Murwani 2003). Kerangka Pemikiran Rebusan benalu teh sudah dikenal oleh masayarakat sebagai obat kanker tetapi belum diketahui bagaimana mekanismenya. Karena itu perlu dilakukan studi yang terukur yang dapat mengungkapkan mekanisme antikanker dari benalu teh, seperti yang diuraikan pada penelitian ini. Pertimbangan tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang potensi antioksidan dari ekstrak S. oortiana yang memiliki kemampuan sebagai imunomodulator dan mengurangi risiko tumor pada infeksi virusherpes onkogenik. Marek’s disease virus (MDV) menyebabkan infeksi akut produktif yang mampu memperbanyak diri dan menimbulkan sitolisis pada limfosit B maupun limfosit T sehingga menimbulkan imunosupresi yang ditandai dengan menurunnya bobot relatif organ bursa fabricius dan timus, rendahnya titer antibodi, dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Pada MDV onkogen infeksi berlanjut pada mutasi gen sehingga terjadi transformasi limfosit T baik 5 pada subset CD4 maupun CD8 yang menyebabkan kanker limfosit yang disebut limfoma. Potensi antioksidan benalu teh diharapkan mampu berperan sebagai penghambat oksidasi radikal bebas sehingga mengurangi kerusakan sel-sel pada sistem imun. Potensi antioksidan dalam mengurangi risiko kanker dengan cara menghambat induksi mutasi gen oleh kelebihan produksi radikal bebas akibat infeksi. Pensghambatan induksi mutasi oleh radikal bebas diharapkan dapat mengurangi mutasi yang disebabkan oleh MDV onkogen. Secara ringkas keseluruhan latar belakang di atas dituangkan pada Gambar 1. Keterkaitan MDV, ayam sebagai inang, dan ekstrak benalu teh sebagai antioksidan eksogen Kondisi ayam normal Kondisi ayam terinfeksi MDV 1 1 Keseimbangan produk radikal bebas dengan produk antioksidan internal 3 Peningkatan Imunitas akibat imunomodulasi Produk radikal bebas meningkat dan terjadi kerusakan seluler 2 2 Antioksidan ekstrak benalu teh Menimbulkan sitolisis, imunosupresi, dan transformasi sel. 3 4 Imunomodulasi, imunostimulasi, risiko kanker berkurang Gambar 1 Hubungan keterkaitan MDV, ayam sebagai inang, dan eksktrak benalu teh sebagai antioksidan eksogen 6 Ekstrak benalu teh (Scurrula oortiana) diberikan secara oral, dan bertujuan untuk meningkatkan imunitas tubuh serta mengurangi risiko kanker pada ayam ras petelur betina yang diuji tantang dengan MDV. Ayam yang terinfeksi MDV memberikan respons imun nonspesifik berupa radikal bebas yang merusak sel-sel yang termasuk sel-sel limfosit sehingga menimbulkan sitolisis dan dapat menginduksi kejadian mutasi gen sebagai penyebab awal kejadian kanker. Peningkatan produksi radikal bebas memerlukan peningkatan antioksidan yang disuplai dari luar tubuh, yang disebut antioksidan eksogen. Benalu teh mengandung flavonoid, terpenoid, yang memiliki potensi sebagai antioksidan eksogen yang dapat dijadikan sebagai suplai antioksidan. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh ekstrak benalu teh Scurrula oortiana pada fenomena imunologis dan risiko kanker pada ayam yang diinfeksi virusherpes MDV onkogen, sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1. Pembuktian secara ilmiah khasiat ekstrak S. oortiana sebagai imunomodulator dan mengurangi risiko kanker. 2. Untuk memperjelas mekanisme antitumor dari benalu teh, menggunakan parameter imunologi dari ayam ras petelur yang diinfeksi MDV onkogenik. 3. Menjadikan benalu teh S. oortiana sebagai obat herbal berstandar melalui uji in vivo menggunakan ayam sebagai hewan percobaan. Manfaat Penelitian 1. Metode dan hasil pada kajian imunitas dan onkogenisitas dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengkaji onkogenik virus herpes pada spesies lain. 2. Membuat simulasi ayam sebagai hewan model penanggulangan kanker yang disebabkan oleh virus herpes menggunakan bahan asal tumbuhan lainnya. 3. Meningkatkan kepercayaan masyarakat tentang manfaat benalu teh yang berkhasiat mengurangi risiko kanker. 4. Memperkaya bahan alternatif pengendali tumor dari bahan alam nonpangan yang diaplikasikan menjadi bahan pangan fungsional. TINJAUAN PUSTAKA Imunitas Tubuh Resistensi dan pemulihan pada infeksi virus bergantung pada interaksi antara virus dan inangnya. Pertahanan inang bekerja langsung pada virus atau secara tidak langsung pada replikasi virus untuk merusak atau membunuh sel yang terinfeksi. Fungsi pertahanan nonspesifik inang pada awal infeksi untuk menghancurkan virus adalah mencegah atau mengendalikan infeksi, kemudian adanya fungsi pertahanan spesifik dari inang termasuk pada infeksi virus bervariasi bergantung pada virulensi virus, dosis infeksi, dan jalur masuknya infeksi (Mayer 2003). Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun pada mamalia. Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan sistem seluler secara bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan limfosit T. Makrofag memproses antigen dan menyerahkannya kepada limfosit. Limfosit B, yang berperan sebagai mediator imunitas humoral, yang mengalami transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Limfosit T mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang berbeda sebagai subpopulasi (Sharma 1991). Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis. Antigen-presenting cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan limfosit B merombak antigen eksogen menjadi fragmen peptida melalui jalan endositosis. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD4, untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor Hystocompatablity Complex (MHC) kelas II dan dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi. Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Sebagai contoh adalah protein yang disintesis virus dan protein yang disintesis oleh sel kanker. Antigen endogen dirombak menjadi fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum endoplasma. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD8, mengenali antigen endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan ini dikatakan sebagai MHC kelas I restriksi (Kuby 1999, Tizard 2000). Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu mengenal dan menghancurkan bebagai determinan antigenik yang memiliki dua sifat pada respons imun khusus, yaitu spesifitas dan memori. Limfosit memiliki beberapa subset yang memiliki perbedaan fungsi dan jenis protein 8 yang diproduksi, namun morfologinya sulit dibedakan (Abbas et al. 2000). Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena setiap individu limfosit dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe reseptor antigen. Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan dengan antibodi yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi sel fungsional, yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor antigen pada limfosit T bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang masuk sel inang (Janeway et al. 2001). Mekanisme kerja sistem imun disajikan pada Gambar 2 (Cann 1977). Sumsum Tulang Bursa Fabricius Timus Sel T Sel B Th NK CTL Sel plasma Sel memori < Antibodi Imunitas berperantara sel imunitas humoral Gambar 2 Mekanisme secara umum sistem imun (Cann 1997) Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami pendewasaan pada jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 dan 15%. Setiap limfosit B memiliki 105 B cell receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua tempat pengikatan yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein yang memiliki struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya. Hal ini 9 membedakan antara sel B dan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel (Kresno 2004). Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak memiliki reseptor antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik. Sel ini beredar dalam darah sebagai limfosit besar yang khusus memiliki granula spesifik yang memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler (Janeway et al. 2001). Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan pada infeksi virus dan pertahanan pada serangan infeksi virus. Sel T lebih berperan pada pemulihan infeksi virus. Sitotoksik sel T (CTLs) atau CD8 berperan pada respons imun terhadap antigen virus pada sel yang diinfeksi dengan cara membunuh sel yang terinfeksi untuk mencegah penyebaran infeksi virus. Sel T helper (CD4) adalah subset sel T yang berperan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Limfokin disekresikan oleh sel T untuk mempengaruhi dan mengaktivasi makrofag dan sel NK sehingga meningkat secara nyata pada penyerangan virus (Mayer 2003). Patogen yang mampu dijangkau oleh antibodi adalah hanya antigen yang berada pada peredaran darah dan di luar sel, padahal beberapa bakteri patogen, parasit, dan virus perkembangan replikasinya berada di dalam sel sehingga tidak dapat dideteksi oleh antibodi. Penghancuran patogen ini membutuhkan peran limfosit T sebagai imunitas yang diperantarai oleh sel. Limfosit T mengenal sel yang terinfeksi virus, virus yang menginfeksi sel bereplikasi di dalam sel dengan memanfaatkan sistem biosintesis sel inang. Derivat antigen dari replikasi virus dikenal oleh limfosit T sitotoksik. Sel tersebut mampu mengontrol sel yang terinfeksi sebelum replikasi virus dilangsungkan secara lengkap. Sel T sitotoksik merupakan ekspresi dari molekul CD8 pada permukaannya (Janeway et al. 2001). Kanker Pada keadaan normal pergantian dan peremajaan sel terjadi sesuai kebutuhan melalui proliferasi sel dan apoptosis di bawah pengaruh protoonkogen dan gen supresor tumor (Silalahi 2006). Tumor adalah penyakit kompleks dari berbagai akumulasi mutasi genetik yang manifestasi penyakitnya 10 memerlukan waktu yang lama. Hal inilah yang menyebabkan keterbatasan efektivitas kemoterapi tumor. Fenomena ini akan meningkatkan jumlah kematian (Flora dan Ferguson 2005). Perbedaan pokok antara sel normal dan sel kanker yang teridentifikasi bahwa sel normal usianya terbatas, sedangkan sel kanker adalah immortal. Sel neoplastik tidak berkembang secara terintegrasi dan tidak ada ketergantungan pada populasi. Regulasi pada kontrol mitosis, diferensiasi, dan interaksi antarsel mengalami gangguan (Cheville 1999, Cambel dan Smith 2000). Gen seluler inang yang homolog dengan onkogen virus disebut protoonkogen. Gen tersebut mampu memproduksi protein yang memiliki kemampuan menginduksi transformasi seluler setelah mengalami mutasi, yaitu perubahan di bawah kontrol promotor yang memiliki aktivitas tinggi. Biasanya protoonkogen berperan mengkode produksi protein pada replikasi DNA atau mengontrol perkembangan pada beberapa stadium pertumbuhan normal. Conc adalah gen seluler yang diekspresikan pada beberapa stadium perkembangan sel. Produk onkogen adalah protein inti misalnya myc, myb. (King 2001, Hunt 2003). Gen pengatur dapat mengalami mutasi, menjadikan gen tersebut tidak peka terhadap sinyal regulasi normal. Gen supresor yang mengalami mutasi, mengakibatkan gen tersebut menjadi inaktif. Untuk mengatasi penyakit kompleks diperlukan pertahanan dengan berbagai cara yang strategis dan pencegahan diperlukan untuk mengurangi metastasis pada kanker (Steele dan Kellof 2005). Gen supresor tumor yang mengalami perubahan antara lain gen p53, adalah produk protein yang memiliki bobot molekul 53 kD. Protein tersebut berfungsi sebagai pengatur proliferasi sel dan mediator pada apoptosis, yaitu program kematian sel. Gen ini juga merupakan gen yang menginduksi kerusakan DNA dengan cara menghambat mekanisme atau proses perbaikan kembali DNA. Hilangnya fungsi gen p53 atau terjadinya mutasi gen tersebut menjadikan sel terhindar dari kerusakan DNA, pertumbuhan dan kematian sel tidak terkontrol, pembelahan sel terjadi secara terus menerus tanpa mengalami apoptosis (Williamson et al. 1999, Silalahi 2006). Apoptosis berperan penting pada fisiologi normal pada spesies hewan, termasuk program kematian sel pada perkembangan embrio dan metamorfosis, homeostasis 11 jaringan, pendewasaan sel imun, dan beberapa aspek penuaan (Reed et al. 2004). Apoptosis adalah program kematian sel yang mekanismenya diorganisir secara fisiologis untuk merusak sel abnormal atau mengalami kerusakan. Keadaan ini merupakan respons sel normal yang terjadi selama pertumbuhan dan metamorfosis semua hewan multiseluler, yang merupakan hasil kerja enzim proteolitik, yaitu caspase dimana semua enzim ini memiliki sistin sebagai sisi aktif dan pembelahan protein target pada asam aspartat spesifik sebagai derivat dari sistin aspartase. Sel normal dapat mengalami transformasi oleh onkogen dan proses ini dapat dicegah oleh produk yang dihasilkan gen lainnya yang disebut tumour suppressor genes. Satu di antara gen ini adalah p53 yang menghasilkan 393 residu asam amino inti fosfoprotein yang berikatan dengan DNA yang transkripsinya diaktivasi oleh beberapa promotor. Protein p53 mampu menghambat pertumbuhan sel dan mempengaruhi apoptosis (Cambel dan Smith 2000, Taraphdar et al. 2001). Feng et al. (2003) pertumbuhan dan metastasis tumor bergantung pada bertambahnya suplai darah melalui angiogenesis, ekspresi yang berlebihan dari iNOS dan vascular endothelial growth factor (VEGF) menginduksi angiogenesis pada tumor. P53 menekan angiogenesis dengan cara menurunkan VEGF dan iNOS. Transformasi sering menimbulkan hilangnya kontrol pertumbuhan, kemampuan untuk menginvasi matriks ekstraseluler dan dediferensiasi. Pada karsinoma, beberapa sel epitel mesenchimal epitelial. yang mengalami transformasi adalah Pada transformasi sel sering terjadi kerusakan kromosom. Bagian genom virus yang menyebabkan tumor disebut onkogen. Gen asing ini dapat bergabung pada sel dan menyebabkan sel tidak mengalami kematian sehingga menjadikan pertumbuhan tidak terkendali (Hunt 2003). Fusi genetik dengan kromosom lain dinyatakan sebagai translokasi. Sejumlah translokasi menimbulkan gangguan ekspresi dan fungsi gen yang berkaitan dengan kontrol pertumbuhan sel. Translokasi terkarakterisasi pada reseptor atau lokus sel T terlihat pada tumor sel T. Rearangement ini sering bersamaan dengan translokasi kromosom termasuk pada lokus yang menghasilkan reseptor antigen dan seluler proto-onkogen. Gen seluler 12 penyebab kanker yang menyebabkan fungsi dan ekspresi terganggu sehingga disebut onkogen (Janeway et al. 2001). Onkogen adalah istilah untuk agen aktif oleh gen virus onkogenik, karena pada bentuk kanker yang lain tidak jelas. Selanjutnya ekspresi yang berlebihan pada beberapa proto-onkogen telah ditunjukkan kejadiannya pada transformasi beberapa tipe sel dan kanker, dan level beberapa proto-onkogen ternyata mengalami kenaikan (Cambel dan Smith 2000). Kerusakan oksidatif pada DNA akibat radiasi, radikal bebas, dan senyawa oksigen yang bersifat oksidatif merupakan penyebab terpenting kanker (Silalahi 2006). Transfomasi seluler oleh virus DNA menghasilkan protein yang berinteraksi dengan protein seluler. Terjadinya transformasi DNA biasanya pada sel mengalami infeksi nonproduktif. Pada kejadian ini, DNA virus berintegrasi pada DNA seluler sehingga sel mengalami perkecualian, dan pada kasus ini adalah oleh virus papiloma dan virus herpes yang DNA virus berada pada episom. Virus tumor berinteraksi dengan sel melalui satu dari dua jalan, yaitu 1) infeksi produktif, yaitu virus melakukan siklus replikasi secara lengkap dan menimbulkan lisis sel, 2) infeksi nonproduktif, yaitu transformasi virus pada sel yang melakukan siklus replikasi secara tidak lengkap. Selama infeksi nonproduktif, genom virus atau versi potongannya terintegrasi pada gen seluler, v-onc, yang bertanggung jawab pada perubahan malignan (Murphy et al. 2001, King 2001). Penyakit Marek Intervensi pencegahan kanker secara efektif dapat ditingkatkan dengan cara memilih hewan model yang sesuai sehingga menghasilkan potensi baik dari segi klinik maupun epidemiologi (Hursting et al. 2005). Virus onkogenik penting pada peternakan maupun populasi hewan. dikategorikan dari sejumlah familia virus, termasuk Sumber penyakit retroviridae dan herpesviridae. Peran hewan asal penyakit dapat dijadikan sebagai hewan model pada kejadian penyakit virus pada manusia, baik bertujuan pada imunitas, pengobatan, maupun mekanisme patofisiologi (Lohellt 2006). Marek’s disease (MD) disebabkan oleh virus DNA termasuk pada kelompok virus herpes penyebab kanker pada ayam yang biasanya menimbulkan persoalan ekonomi yang berat. Virus ini tumbuh dan berkembang pada epitelium folikel bulu kemudian menyebar ke udara selanjutnya menular 13 melalui ketombe dan debu (Simonsen 1987, Silva et al. 2004). Marek’s disease virus (MDV) virus herpes pada unggas menimbulkan imunosupresi dan limfoma pada ayam yang peka, biasanya menyerang ayam piaraan yang tersebar meluas pada populasi unggas di seluruh dunia. Infeksi pada spesies lain terjadi pada kalkun dan puyuh. Replikasi MDV sama dengan virus herpes lainnya, yaitu sangat bergantung pada sel. Penyebaran infeksi pada sel yang lain terjadi melalui kontak langsung dari sel yang terinfeksi, dan pemindahan virus antarsel terjadi melalui jembatan sitoplasmik (Payne dan Venugopal 2000, Anobile et al. 2006). MDV menginduksi paralisis dan limfoma secara cepat dan pada fase transformasi tidak ditemukan virus secara utuh. Penyakit Marek adalah penyakit limfoproliferatif dan neurotropik pada ayam piaraan, yang disebabkan oleh virus herpes alfa. Jozsef Marek menemukan penyakit tersebut pada tahun 1907. Simtom penyakit tersebut ditandai dengan paralisis pada leher dan sayap, yang bersamaan dengan inflamasi pada syaraf perifer yang dikenal sebagi polyneuritis. Duapuluh tahun kemudian penyakit tersebut ditemukan di Amerika dan Belanda, dan namanya berubah menjadi fowl paralysis (Parcells et al. 1999, Payne dan Venagupol 2000). Segera setelah infeksi melalui alat pernafasan virus menyebar ke organ limfoid primer bursa Fabricius dan timus. Target pertama diantaranya adalah derivat bursa Fabricius (limfosit B), namun sejumlah derivat timus (limfosit T) juga mengalami infeksi. Selama 3 sampai 6 atau 7 hari pascainfeksi (p.i.) terjadi infeksi sitolisis, dan sering juga terjadi limforetikulitis, dan pembesaran limpa yang disertai nekrosis dan atrofi bursa Fabricius dan timus (Calnek et al.1998). MDV isolat Austalia MPV 57 menimbulkan imunosupresi pada ayam pedaging bersamaan dengan penurunan bobot relatif bursa Fabricius dan timus, penurunan jumlah limfosit B dan limfosit T, dan penurunan titer antibodi pada infeksius bronchitis (IB), dan peningkatan kepekaan pada infeksi Escherichia colli pada hari ketiga sampai dengan hari ke-35 setelah dilakukan uji tantang (Islam et al. 2002). Dalam perjalanan waktu, virulensi MDV mengalami peningkatan. Infeksi virus secara umum menjadi lebih akut dan lebih bervariasi dalam kejadian secara alami dan spektrum penyebarannya pada inang. Sejak dekade tahun 1990, virus MDV menjadi lebih patogen dengan munculnya strain vvMDV dan vv+MDV. Strain baru tersebut bukan saja menyebabkan peningkatan virulensi 14 tetapi juga gejala klinis yang baru (bervariasi). Keragaman gejala klinis terlihat dari neoplastik MD sebelumnya yang terjadi hanya pada ayam bibit umur di bawah 16 minggu. Dengan isolat baru, kejadian neoplastik MD tersebut tetap terjadi pada umur di atas 20 minggu walaupun telah dilakukan vaksinasi (Zavala 1997, Witter 1998). Peningkatan virulensi virus lebih cepat daripada strategi intervensi pengembangan teknologi vaksin (Witter 1998). Terdapat tiga bentuk infeksi MDV. Infeksi awal adalah infeksi akut yang terjadi pada epitelium folikel bulu, yang menghasilkan virion beramplop yang sangat infektif. Infeksi restriktif- produktif terjadi juga pada organ limfoid. Limfosit adalah sel target khusus siklus kehidupan virus. Genom MDV dapat masuk ke dalam limfosit muda pada saat pembelahan sel. Virion MDV juga dapat pindah antarsel melalui jembatan sitoplasma. Infeksi MDV pada limfosit menimbulkan imunosupresi sehingga ayam menjadi lebih rentan terhadap patogen dan pengembangan tumor. Pada infeksi transforming, tumor hanya terjadi pada limfosit T dan penyebabnya adalah MDV serotipe 1 (Davison 1997, Fadly 1997). Periode infeksi akut (produktif) ditandai dengan terjadinya lisis sel, dilanjutkan dengan infeksi laten yang bersifat nonproduktif, dan infeksi transforming. Pada infeksi produktif terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein, dan menghasilkan partikel virus. Virus menginfeksi dan merusak limfosit B maupun limfosit T. Selama infeksi produktif terjadi lisis pada puncak replikasi virus sehingga menyebabkan imunosupresi, dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi, bersamaan dengan turunnya bobot relatif bursa Fabricius dan timus. Penyakit imunosupresi pada unggas berpengaruh nyata secara ekonomis pada faktor produksi (Calnek et al. 1998, Payne dan Venugopal 2000, Islam et al. 2002). Replikasi produktif virusherpes pada bursa fabricius dan timus menimbulkan imunosupresi transien (sementara) dan perubahan akut sitolitik pada organ ini yang ditandai dengan atropi. Infeksi eksperimental menyebabkan lesi pada bursa fabricius dalam bentuk lesi folikuler, nekrosis limfoid sehingga mengalami penipisan, dan pembentukan kista. Timus mengalami atropi dan limfosit hilang baik pada korteks maupun medula. Badan inklusi intrafolikuler dapat muncul pada sel yang mengalami lesi degeneratif (Fadly 2000). 15 Pada sel yang menerima masuknya virus secara keseluruhan yang seluruh bagian gen virus terekspresi, menjadikan virus mampu melakukan replikasi, sel inang lisis dan mengalami kematian. Bila sel tidak bisa menerima virus secara keseluruhan untuk replikasi, sebagian DNA virus berintegrasi pada bagian kromosom sel inang secara acak. Pada keadaan ini hanya sebagian genom virus yang terekspresi, protein virus tidak terbentuk dan tidak dihasilkan virus anakan (Hunt 2003). Pada infeksi laten tidak terjadi replikasi DNA, transkripsi, maupun sintesis protein. Kejadian ini dialami pada infeksi MDV serotipe 2 dan 3 nononkogen. Sel limfosit T yang terinfeksi bisa berubah menjadi infeksi laten atau sel T bisa merespons onkogenesitas gen virus dan selanjutnya mengalami transformasi. Infeksi transforming hanya terjadi pada sel T yang terinfeksi oleh MDV serotipe 1. Beberapa subset sel T, yaitu CD4 dan CD8 merupakan target transformasi karena bagian tersebut berperan sebagai tempat perlekatan pada awal infeksi sitolisis (Calnek et al. 1998, Payne dan Venugopal 2000). Infeksi transforming ditandai oleh marker permukaan spesifik yang hanya ditemukan pada sel yang mengalami tumor. Marker tersebut ditandai dengan 2 antigen potensial, yaitu Marek’s Disease Tumour-assciated Surface Antigen (MATSA) yang dideteksi pada sel limfomas dan limfoblastoid. Antigen kedua yang dideteksi dengan menggunakan antibodi monoklonal AV37, ditemukan pada CD4+ yang mengalami transformasi. Limfokin yang disekresikan oleh Antigen Presenting Cell (APC) merangsang aktivitas fungsional CD4 sel T. CD8 sel T yang terinfeksi MDV selanjutnya akan mengenal antigen yang berikatan dengan molekul MHC-1 pada respons imun normal, MHC-1 yang sudah berikatan tersebut menghasilkan nukleated. Jika MHC-1 berikatan dengan fragmen antigen MDV, atau jika MHC-1 mengalami transformasi neoplastik, CD-8 (cytotoxic) sel T akan mengalami hambatan imunitas. Hal ini diketahui bahwa limfosit T adalah sel target untuk transformasi pada neoplastik (tumoral) sel pada infeksi MDV (Zavalo 1997, Payne dan Venugopal 2000). MDV memiliki fosfoprotein unik, yaitu pp38, yang merupakan penanda yang berperan penting dalam patogenesis penyakit Marek. pp38 diperlukan pada infeksi sitolisis pada limfosit B, namun bukan pada feather folicle epithelium (FFE), untuk mencukupi pada saat infeksi laten pada sel T dan untuk memelihara status transformasi pada limfosit T dari kejadian apoptosis. 16 Disimpulkan bahwa pp38 potensial digunakan pada tingkat kejadian tumor dan respons imun terhadap MDV (Barrow et al. 2003, Gimeno et al. 2005). Deteksi fosfoprotein spesifik MDV pp38, identifikasi pp38 pada limfosit menggunakan antibodi monoklonal tarhadap marker permukaan limfosit. Ekspresi pp38 pada limpa ditunjukkan pada saat fase infeksi sitolitik. Proporsi pp38 pada limfosit saat 4 hari p.i adalah sebesar 0.43%. Dari jumlah tersebut 95% berada pada limfosit B dan hanya 4% berada pada limfosit T baik pada CD4 maupun CD8. (Baigent et al. 1996). Potensi yang nyata menunjukkan tidak lengkapnya blok gen pada internal repeat HVT seperti yang ada pada MDV-1. Disini termasuk pp38 dan meq gene. Dengan implikasi bahwa MDV-1 manginduksi limfoma. Ada kemungkinan munculnya gen lain pada sisi ini, tetapi tidak muncul pada HVT, mungkin memiliki peran panting yang mempengaruhi potensi biologis dari virus (Kingham et al. 2001). Kejadian pada kelompok ayam resisten dan peka, terjadi pertambahan virus sampai hari ke-10 pascainfeksi (pi), setelah itu terjadi penambahan virus pada kelompok ayam peka dan terjadi penurunan pada ayam resisten. Untuk dua sitokin ada perbedaan antar galur, yaitu interleukin-6 (IL-6) dan IL-18. Splenosit ayam yang peka mengekspresikan tingginya level transkipsi kedua interleukin yang mengakibatkan sitolitik. Sebaliknya pada splenosit ayam resisten hal itu tidak terjadi. Keadaan ini menunjukkan adanya indikasi bahwa dua sitokin dapat berperan dalam perbedaan respons imun, yaitu galur resisten menunjukkan adanya infeksi laten dan pada galur peka menghasilkan limfoma (Kaiser et al. 2003). Beberapa subset sel T, yaitu CD4 dan CD8, berperan sebagai target transformasi karena bagian tersebut merupakan target infeksi sitolisis. Sel-sel T yang terinfeksi bisa berubah menjadi infeksi laten atau sel T merespons onkogenesitas gen virus dan selanjutnya terjadi transformasi (Calnek et al. 1998). Pada sistem imun, tumor diklasifikasikan pada limfoma dan leukemia. Limfoma adalah proliferasi tumor pada jaringan limfoid, yaitu sumsum tulang, limfonodus, atau timus. Leukemia cenderung menyebabkan proliferasi pada sel tunggal dan terdeteksi oleh adanya peningkatan jumlah aliran darah atau cairan limfe. Leukemia dapat berkembang pada jalur limfoid maupun mieloid (Kuby 1999). Limfoma dapat terjadi pada satu atau lebih sejumlah organ atau jaringan. Lesi limfomatus dapat terjadi pada gonad khususnya ovarium, paruparu, kelenjar adrenal, ginjal, limpa, bursa Fabricius, timus, otot, dan kulit. Baik 17 genetik strain ayam maupun virus dapat mempengaruhi distribusi lesi yang terjadi. Pada limfoma pada MD, kebanyakan organ viseral mengalami pembesaran yang difus, beberapa yang lain berukuran normal dan perubahan warna menjadi pucat atau kecokelatan (Fadly 2000). Dalam hal ini kasus penyakit Marek, ditandai dengan lesi limfomatus dan infiltrasi limfosit pada proventrikulus, sel limfoblas dan sel retikuler pada sel-sel kelenjar (Larbier dan Leclerco 1992). Antibodi terhadap MDV dan HVT dapat dideteksi pada serum dengan berbagai uji serologis termasuk imunofluresensi, agar gel presipitasi, netralisasi virus, atau enzyme-linked immuno sorbant assay (ELISA). Polymerase chain reaction (PCR) juga dapat digunakan untuk mendeteksi adanya 132 pasang basa yang terulang dari MDV pada ekstraksi DNA dari limfoma MD, tetapi tidak terdapat pada induksi limfoma oleh avian leucosis virus (ALV) atau reticulo endothelialis virus (REV). Limfoma dari MD biasanya mengandung lebih sering sel terinfeksi, dan lebih banyak kopi DNA virus per sel yang terinfeksi pada jaringan yang tidak mengalami tumor pada ayam (Fadly 1997). Peran Radikal Bebas Oksigen merupakan unsur penting bagi kehidupan organisme. Sebagai kekuatan oksidan, oksigen molekuler di satu pihak bermanfaat sebagai kemampuan dasar degradasi oksidatif, yaitu sebagai substrat pada respirasi.. Di pihak lain, oksigen dapat menimbulkan kerusakan karena berperan sebagai prekursor pada spesies oksigen reaktif (reactive oxygen spescies, ROS) yang menimbulkan kerusakan komponen intraseluler termasuk DNA. Untuk mengurangi pengaruh kerusakan yang ditimbulkan oleh ROS, organisme hidup mampu menjalankan mekanisme multisistem antiROS, namun pada saat tertentu ROS diperlukan untuk kepentingan biologis. ROS berperan sebagai pertahanan biologis, yaitu fagositosis dan pesan jelek apoptosis, yaitu prgogram kematian sel, dan mungkin sebagai komponen yang diduga berperan pada sistem mutator dengan meningkatnya penyimpangan genetik pada populasi (Skulachev 2000). Walaupun oksigen (O2) esensial untuk kebanyakan proses kehidupan, molekul tersebut dapat berubah menjadi molekul yang memiliki toksisitas tinggi. Satu dari kebanyakan senyawa reaktif adalah superoksida anion (O2- ) yang merupakan radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang 18 mengandung elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Molekul terdiri atas atom dengan elektron yang berpasangan pada kulit terluarnya, namun pada suatu kondisi, molekul atau atom yang memiliki elektron yang tidak berpasangan biasanya mengambil elektron lain dari sekitarnya untuk dijadikan sebagai pasangannya. Radikal bebas umumnya merusak molekul lain, misalnya molekul pada sel (Noguchi dan Niki 1999, Cambel dan Smith 2000). Perubahan pada kondisi lingkungan Memperburuk kondisi intraseluler Ketidakseimbangan antara terbentuknya ROS dan proses penangkapan ROS [ROS] Peningkatan pada mutasi dan proliferasi Gambar 3 Kemungkinan skenario pada ketidakseimbangan ROS (Skulachev 2000). Spesies oksigen reaktif selalu dihasilkan secara normal dalam proses produksi energi, sintesis senyawa biologis, dan fagositosis pada sistem imun. Di lain pihak peningkatan aktivitas spesies oksigen reaktif bisa menyebabkan sejumlah penyakit termasuk penyakit jantung, kanker, dan penuaan (Noguchi dan Niki 1999). Asam lemak tidak jenuh mengakibatkan lemak peka terhadap serangan oksigen sehingga menimbulkan perubahan struktur kimia. Dalam sistem seluler peroksidasi terjadi pada biomembran di mana kandungan asam lemak tidak jenuh yang ada menjadi sangat reaktif. Peroksidasi lemak adalah proses reaksi kimia yang sangat kompleks termasuk melibatkan radikal bebas, ion logam, dan sistem biologik (Jadhav et al. 1996). Ada beberapa hubungan saling mempengaruhi antara kesehatan diet antioksidan dan ROS, mungkin bergantung pada status kesehatan, secara individual dan mungkin juga kepekaan secara genetik. Pada penelitian secara klinik pada suplementasi antioksidan terjadi perubahan baik pada status oksidatif, risiko 19 penyakit atau kejadian penyakit yang telah mempengaruhi kesehatan individu, risiko sejumlah penyakit pada populasi atau pasien yang sedang menjalani pengobatan (Seifried et al. 2003). Pada saat fagositosis, makrofag dan neutrofil sebagai sel efektor juga memproduksi oksigen toksik gabungan fagosom dan lisosom menjadi fagololisosom yang bertugas membantu membunuh dan menelan mikroorganisme. Kebanyakan kejadian yang penting di antaranya adalah kerja hidrogen peroksida (H2O2), superoksida anion (O2-), dan nitrogen oksida (NO), secara langsung toksik pada bakteri. Semuanya ini dihasilkan melalui oksidasi oleh NADPH dan enzim yang lain dalam proses yang dinamakan respiratory burst, sebagai akibat dari naiknya jumlah konsumsi oksigen sementara. Aktivitas makrofag sangat efisien dalam menghancurkan patogen, aktivitas ini secara in vivo biasanya bersamaan dengan kerusakan jaringan secara lokal yang disebabkan oleh keluarnya mediator antimikrobial sebagai radikal bebas, NO dan protease, yang juga toksik terhadap sel inang. Kemampuan aktivitas makrofag untuk mengeluarkan mediator toksik adalah pada pertahanan inang karena kemampuannya melawan patogen ekstraseluler yang tidak tertelan (Abbas et al. 2000, Janeway et al. 2001). Nitrogen oksida adalah molekul yang penting yang mempengaruhi sistem kardiovaskuler, NO merupakan senyawa yang bersifat toksik dan berumur pendek, berupa molekul gas yang diproduksi oleh enzim NO synthase, dengan cara mengubah asam amino arginin menjadi NO dan sitrulin (Becker et al. 2000). Molekul NO berperan penting sebagai regulator kardiovaskuler bertindak untuk mengatur tekanan darah. Molekul ini diproduksi oleh neuron dan makrofag, memiliki jumlah elektron ganjil dan sebagai radikal bebas.. Molekul ini relatif stabil namun bereaksi cepat bila bertemu dengan senyawa yang mengandung elektron yang tidak berpasangan, misalnya molekul oksigen misalnya anion superoksida dan ion logam (Cambel dan Smith 2001). Penelitian terahir menggambarkan bahwa inducible nitric oxyde synthase (iNOS) terlibat dalam kelainan metabolik yang dihubungkan dengan inflamasi kronis tingkat ringan, aterosklerosis, dan peningkatan tumour necrosis factor (TNF) (Muntalib 2003). Peran sitokin pada patogenesis dan imunitas terhadap MD, yang diinduksi oleh virus herpes menyebabkan limfoma pada sel T. Pada ayam umur 21 hari yang diinfeksi MDV, peningkatan transkipsi IF-Y setelah 3 hari p.i 20 sampai akhir percobaan, yaitu 15 hari p.i, dimana iNOS dan IL-1ß mengalami peningkatan antara 6 sampai 15 hari p.i. Pada ayam umur 1 hari p.i mRNA untuk untuk mengekspresikan IF-Y dan iNOS, antara 16 sampai dengan 64 kali pada 9 hari p.i. Kesimpulan dapat diambil dimana iNOS berperan pada patogenesis MD (Xing dan Schat 2000). Radikal bebas diproduksi secara normal pada fungsi imunitas, diperlukan oleh sel imun untuk membunuh patogen dan mengeluarkannya, dalam keadaan overproduksi pada kondisi patogenik menyebabkan kerusakan sel imun dan menimbulkan imunosupresi. Eritrofagositosis juga terjadi pada penyakit Marek oleh makrofag. Dibutuhkan keseimbangan oksidan-antioksidan untuk mengatur fungsi sistem imun dalam menjaga integritas dan fungsi lipida membran, protein seluler, asam nukleat serta mengatur ekspresi gen (Wu dan Meydani 1999, Gilka dan Spencer 1995). Antioksidan Antioksidan yang berasal dari tanaman telah lama dikenal potensinya dan telah lama diketahui untuk menstabilkan senyawa radikal yang dapat diukur aktivitas antioksidan tersebut (Kim et al. 2002). Berbeda kondisinya dengan hewan, tumbuh-tumbuhan tingkat tinggi sebagai mahluk hidup yang tidak bergerak, mampu menghindar dari serangan predator maupun patogen dan juga efek tekanan kuat dari kondisi lingkungan. Tanaman menghasilkan sejumlah senyawa kimia kompleks yang biasanya merupakan bagian dari sel yang disebut “metabolit sekunder” yang kandungannya bukan bahan dasar biokimia untuk hidup, tetapi sebagai bagian yang berinteraksi dengan lingkungan. Manusia memilih makanan yang dihasilkan tanaman dan bahan kimia pertahanan tanaman tersebut bisa dimanfaatkan untuk diet dan kesehatan (Houghton dan Raman 1998, Williamson et al. 1999). Fito-kimia (bahan kimia dari tanaman) mempunyai efek biologi yang efektif menghambat pertumbuhan kanker, sebagai antioksidan, menghambat pertumbuhan mikroba, menurunkan kolesterol darah, dan menurunkan glukosa darah (Amelia 2006). Flavonoid merupakan suatu metabolit sekunder pada tanaman yang terdapat pada semua bagian tanaman tersebut dan struktur kimianya secara umum adalah kerangka C6C3C6. Penamaan sub-grup dan klasifikasi berdasar pada subsitusi pada bagaian cincin C dan posisi pada cincin B. Sebagian besar subgrup adalah flavonol, flavon, isoflavon, katehin, proantosianidin, dan 21 antosianin (Larbier dan Leclerco 1992, Rajalkshmi dan Narasimhan 1996). Potensi flavonoid sebagai antioksidan dan kemampuannya mengurangi aktivitas radikal hidroksi, anion superoksida, dan radikal peroksida lemak menjadikan flavonoid bereperan penting. Kerusakan sangat erat kaitannya dengan proses dan epidemiologi penyakit. Uji klinik dan laboratorium pada flavonoid dan antioksidan yang lain menjadikan penggunaan senyawa ini penting pada pencegahan dan pengobatan sejumlah kasus penyakit. Flavonoid telah diketahui sebagai antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik, antitrombotik, dan aktivitas vasodilatasi (Larbier dan Leclerco 1992, Miller 1996). Gambar 4 Senyawa flavonoid (Miller 2004) Sejumlah senyawa fenolat berperan sebagai bahan baku pangan yang berasal dari tanaman, di antaranya asam fenolat, flavonoid tanin, dan lignin. Perbedaan kultivar beberapa tanaman menunjukkan variasi yang luas baik pada kandungan fenolat maupun kapasitas antioksidan secara in vitro (Larbier dan Leclerco 1992, Imeh dan Khokhar 2002). Fenolat penting diketahui sebagai substansi yang terbaik yang berperan sebagai antioksidan sebagai kelompok donor elektron dari fenol, meningkatkan aktivitas antioksidan melalui efek induksi. Namun aktivitas kimia sejumlah antioksidan bergantung pada sejumlah faktor, yaitu stabilitas dan reaktivitas. Antioksidan primer membentuk ikatan dengan radikal setelah pemindahan hidrogen lebih penting daripada faktor lainnya (Jadav et al. 1996). Senyawa fenol mencakup sejumlah senyawa yang umumnya mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol cenderung untuk larut dalam air karena paling sering terdapat bergabung dengan gula glukosida dan biasanya terdapat dalam rongga sel. Di antara senyawa fenol alami yang telah diketahui, lebih dari seribu struktur, flavonoid merupakan golongan yang terbesar (Suradikusumah 1989). 22 Gambar 5 Senyawa fenol (Cann 1997) Penelitian terakhir telah menunjukkan adanya kemampuan ekstrak apel menghambat proliferasi sel tumor secara in vitro karena diduga mengandung senyawa fenolat atau flavonoid sebagai antioksidan. Hasil penelitian menunjukkan hambatan secara tidak langsung, yaitu pada H2O2 setelah berinteraksi dengan senyawa fenolat pada kultur sel, flavonoid berguna untuk perbaikan kondisi kesehatan. Senyawa polifenolat yang diisolasi dari teh hijau 6 sendok teh per-hari, mampu menghambat perkembangan dan mestastasis kanker prostat pada manusia (Murphy 2003, Adhami et al. 2003). Antioksidan adalah senyawa kimia yang memilki kemampuan untuk memberikan hidrogen radikal. Sebagai akibatnya, senyawa tersebut mampu mengubah sifat radikal menjadi nonradikal dan terjadi perubahan oksidasi radikal oleh antioksidan. Struktur molekul antioksidan bukan hanya memiliki kemampuan melepas atom hidrogen tetapi juga mengubah radikal menjadi reaktivitas rendah sehingga tidak terjadi reaksi dengan lemak. Antioksidan terdiri atas antioksidan endogen yang dihasilkan oleh tubuh sendiri dan antioksidan eksogen yang berasal dari makanan (Jadav et al. 1996, Manampiring et al. 2000). Antioksidan menjadi bentuk aktif pada oksigen reaktif termasuk pada step inisiasi oksidasi, atau dapat memecah rantai reaksi oksidatif dengan cara bereaksi dengan radikal peroksida membentuk ikatan antioksidan-radikal yang stabil sehingga tidak terjadi reaksi selanjutnya atau bentuk nonradikal (Howell dan Saeed 1999). Pertahanan antioksidan pada sel mampu mencegah terjadinya peroksidasi lipida dan beberapa molekul biologi yang mengalami kerusakan. Dalam hal ini ada tiga level pertahanan sebagai dasar pada sistem eliminasi kerusakan dengan cara menghambat inisiasi atau propagasi dan perbaikan kembali. Level pertahanan antioksidan pada enzim termasuk lipolitik (fosfolipase), proteolitik (peptidase atau protease), dan enzim yang lain, yaitu DNA repair (ligase, nuklease, polimerase), dan sejumlah transferase (Noguchi 23 dan Niki 1996). Hambatan terhadap enzim bergantung pada reaktivitas senyawa fenol terhadap sisi rantai asam amino enzim (Rohn et al. 2002). Diet dan antioksidan eksogen mencegah kerusakan seluler melalui reaksi yang dilakukan oleh radikal bebas. Ayam yang diberi pakan diet semisintetik rendah antioksidan menunjukkan penurunan yang nyata stabilitas eritrosit terhadap H2O2 atau 2,2’-azobis (2-amidinopropan) dihidrokhlorid (AAPH), tetapi peningkatan pada aktivitas katalase pada hepar, karbonil pada protein otot tak larut, dan peningkatan oksidasi lemak pada perlakuan pemanasan pada hepar dibandingkan dengan ayam yang diberi pakan konvensional. Pada percobaan ini, ayam model menjadi lebih peka terhadap perubahan oksidatif daripada ayam yang diberi pakan konvensional, yang ditunjukkan oleh rendahnya pertahanan antioksidan (Young et al. 2002). Aktivitas antioksidan dapat diukur dengan metode tiosianat dengan cara melihat jumlah peroksida yang terbentuk pada emulsi selama inkubasi sampel yang diukur secara spektrofotometri, yaitu mengukur absorbansi pada panjang gelombang 500 nm. Tingginya nilai absorbansi mengindikasikan tingginya konsentrasi peroksida (Yildirim et al. 2001). Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode tiosianat berdasarkan kemampuan terbentuknya senyawa-senyawa radikal yang bersifat reaktif. Proses terjadinya senyawa radikal bebas ini disebabkan oleh oksidasi senyawa asam linoleat dalam buffer yang diinkubasi pada suhu 40oC selama beberapa jam. Asam linoleat pada uji ini berperan sebagi substrat yang dioksidasi. Setiap periode tertentu aborbans hasil oksidasi diukur dengan menggunakan FeCl2 dan amonium thiosinat (NH4CN). Besi (Fe2+) berperan sebagai mediator mengkatalisisi peroksidasi lipida telah banyak diketahui, juga berperan meningkatkan absorbsi dan transport lipida intraseluler (Osborn dan Casimir 2003). Degradasi isoflavon dan flavonoid dalam saluran pencernaan menjadi senyawa monofenolat memiliki daya tarik karena beberapa monofenolat memiliki sifat berefek sebagai antiproliferatif, misalnya senyawa metil phidroksifenolat dapat menghambat sel MCF-7 secara in-vitro (Hendrich et al. 1999). Setelah diabsorbsi pada saluran pencernaan, antioksidan masuk ke dalam peredaran darah. Ikatan dengan protein menghasilkan pelapisan substansi yang merupakan kapasitas antioksidan flavonoid. Laporan terakhir menunjukkan kapasitas antioksidan berkorelasi positif dengan proses fisiologis, 24 misalnya kemampuan melawan peroksidasi lemak. Ikatannya juga menurun dengan tidak adanya antioksidan. Pada kejadian ini penambahan aktivitas intrinsik dari senyawa, metabolisme, ikatan terhadap protein juga menentukan untuk mempengaruhi efek pemberian flavonoid secara invivo (Arts et al. 2002). Aktivitas antioksidan ekstrak Pomegranate (Punica granatum) memproteksi hati terhadap efek tosik CCl4 secara histologi menjadi normal dan mampu memperbaiki fungsi enzimatik akibat serangan ROS (Murthy et al. 2002). Ekspresi berlebihan antioksidan tidak selalu menghasilkan pertahanan antioksidan dan bila ditingkatkan kapasitas antioksidan tidak selalu berkorelasi positif dengan tingkat ketahanan. Dalam hal ini perlu diperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemanjuran dan proteksi antioksidan terhadap penghapusan oksigen dan juga tekanan lingkungan (Blokhina et al 2003). Tampaknya sangat beralasan untuk mempertimbangkan antara potensi, risiko, dan manfaat antioksidan dosis tinggi secara kasus per kasus dan konsumsi antioksidan supleman tunggal dosis tinggi harus dihindari (Silalahi 2006). Aktivitas benalu teh sebagai antioksidan yang terkandung dalam ekstrak ditandai dengan daya mereduksi kaliumferisianida [K3Fe (CN)6], menghambat oksidasi asam linoleat, kemampuan eliminasi terhadap H2O2 (Leswara dan Kartin 1998, Santoso 2001, Susmandari 2002). Seduhan daun S. artopurpurea mengandung antioksidan yang tinggi dan ternyata mampu menurunkan konsentrasi H2O2. Seduhan tersebut mengandung senyawa penurun risiko kanker, karena radikal bebas dalam tubuh dapat menimbulkan reaksi berantai yang menyebabkan kerusakan membran sel, asam nukleat, protein, dan lipid (Sudihartini 2003). Uji antioksidan benalu teh (Scurrula oortiana) dengan oksidator 1,1-diphenyl 2-pyrohidrxyl (DPPH), menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak metanol dengan daya hambat sebesar 93.59 ppm (Simanjuntak et al. 2004). Benalu Teh sebagai Penurun Risiko Kanker Kanker merupakan hasil proses jangka panjang yang mengakibatkan efek penyimpangan genetik dan perubahan molekuler yang proses perubahannya berjalan secara berangsur-angsur. Biasanya diperlukan waktu lama untuk perubahan dari normal ke peningkatan level puncaknya, displasia, yaitu invasi dan metastasis secara fenotip. Akumulasi perubahan secara genetik dan molekuler dalam waktu yang lama memberikan kesempatan untuk 25 intervensi bidang klinik untuk pencegahan inisiasi kanker dan tindakan sebelum lesi premalignan (Crowel 2005). Tumorogenesis atau karsinogenesis adalah proses yang berkepanjangan yang awalnya diinduksi oleh karsinogen untuk menumbuhkan kanker. Penelitian secara ekstensif selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa individu yang mengkonsumsi secara teratur sejumlah buah-buahan dan sayuran dapat menurunkan risiko kejadian kanker. Fitokimia yang berasal dari kelompok buah-buahan dan sayuran mengandung agen kemopreventif termasuk genistin, alisin, likopen, curcumin, katekhin, dan eugenol. Karena agen tersebut telah menunjukkan kemampuannya dalam menekan proliferasi sel kanker, menghambat faktor pertumbuhan, menginduksi apoptosis, menghambat angiogenesis, dan menekan ekspresi protein antiapopotosis. Agen kemopreventif berpotensi digunakan sebagai terapi kanker di masa datang (Dorai dan Aggarwal 2004). Data epidemiologi memberikan nilai tambah yang didapat pada pencegahan kanker dan penyakit kronis lainnya, yaitu data pada mekanisme kejadian penyakit seperti kerusakan DNA, tekanan oksidatif, dan peradangan kronis. Pendekatan ini merupakan jalan untuk mengenal risiko penyakit. Sebagai strategi komplementer memungkinkan individu menjadi resisten terhadap mutagen dan atau menghambat kejadian kanker dengan cara memberikan agen kemopreventif (Flora dan Fergusson 2005). Kemopreventif adalah area inovatif pada penelitian kanker yang bertujuan pada pengembangan farmakologi, biologi, dan interferensi nutrisi untuk mencegah, memperbaiki, dan memperlambat karsigonesis. Tindakan ini sekarang mencakup agen preklinik dan identifikasi molekuler, skrining in vitro dan in vivo, dampak farmakologi, dan sintesis kimia (Crowel 2005). Identifikasi dan penggunaaan agen kemopreventif yang efektif pada kanker menjadi isu penting pada penelitian kesehatan masyarakat. Untuk mengidentifikasi potensi kemoprevensi pada kanker dilakukan uji in vitro yang relevan untuk pencegahan secara in vivo (Gerhäuser 2002). Kemoprevensi pada kanker termasuk pada beberapa konsep tentang imhibisi, perbalikan, restriksi, dan perlambatan proses kanker. Proses karsinogenesis membutuhkan waktu 20 sampai 40 tahun untuk mencapai invasi kanker. Hal ini penting untuk mengidentifikasi jalannya evolusi pada sel kanker sehingga dapat menahan proses karsinogenesis. Dasar pengujian pada lesi genetik dan proses 26 epigenetik bersamaan dengan gerak maju dari prekanker menjadi penyakit yang bersifat invasif. Kombinasi terapi dan pencegahan yang strategis sangat penting untuk menurunkan morbiditas kanker. Pada setiap bentuk kanker, lokasi organ atau latar belakang genetik secara individual adalah diperlukan untuk strategi pencegahan secara kombinasi agar berhasil (Tarapdhar et al. 2001, Steel dan Kellof 2005). Peluang adanya agen antitumor yang berasal dari bahan alam, sejumlah substansi alam dikenal memiliki kemampuan menginduksi apoptosis pada sejumlah sel tumor, yaitu senyawa kimia yang terdapat pada tanaman buah-buahan dan sayuran. Konsumen dan pasien kanker menggunakan sejumlah produk alternatif untuk mempertahankan dirinya dari serangan kanker. Tanaman dan produk natural digunakan untuk mencegah pertumbuhan kanker. Masyarakat Indonesia dengan latar belakang budaya dan etniknya, lazim menggunakan obat tradisional (OT) atau disebut jamu, dengan memanfaatkan alam Indonesia (Supandiman at al. 2000, Tarapdhar et al. 2001, Ito 2002, Montbriand 2004). Benalu teh S. artopurpurea adalah tumbuhan liar yang hidup sebagai parasit menumpang pada tumbuhan teh dan menghisap makanan dari tumbuhan inang untuk kelangsungan hidupnya. Tanaman ini digunakan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di daerah-daerah di Indonesia sebagai obat alternatif antitumor atau antikanker. Daun dan batang tanaman ini mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin yang berperan sebagai antioksidan. Di Eropa dan Amerika ada jenis benalu yang digunakan untuk mengobati tumor atau kanker, yaitu ada beberapa tanaman misalnya benalu teh (Viscum album L) yang dalam percobaan bersifat imunomodulator melalui pengaktivan sel granulosit dan makrofag yang memberi sifat antitumor (Windardi dan Rahajoe 1998, Achi 2005). Infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor kelenjar susu (Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh tersebut kemungkinan diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan saponin yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000). Hasil penapisan fisiokimiawi terhadap simplisia menunjukkan bahwa benalu teh mengandung kelompok senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid, dan terpenoid (Tambunan et al. 2003). Jenis benalu dan inang yang berbeda 27 memberikan pola spektrum yang sama, walaupun nilai serapannya berbeda (Leswara dan Kartin 1988). Tanaman benalu teh S. artopurpurea secara empirik digunakan untuk mengobati penyakit tumor atau kanker. Aktivitasnya sebagai antitumor atau antikanker adalah secara tidak langsung, yaitu melalui sistem kekebalan dengan cara meningkatkan konsentrasi imunoglobulin G (IgG). Pemakaiannya sebagai obat antitumor atau antikanker menimbulkan dugaan bahwa bahan tersebut bersifat imunostimulator, yaitu meningkatkan konsentrasi IgG (Winarno et al. 2000). Daun dan batang benalu teh mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, terpenoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin (Nugroho et al. 2000, Santoso 2001, Tambunan et al. 2003). Flavonoid telah menunjukkan perannya sebagai antioksidan, antimutagenik, antineoplastik, dan aktivitas vasodilatator. Potensi antioksidan flavonoid untuk mencegah kerusakan oksidatif yang ditunjukan oleh semua proses penyakit membuatnya layak digunakan pada pengendalian sejumlah penyakit (Miller1996). Tiga senyawa flavonoid alam telah diisolasi menggunakan etil asetat, yang berasal dari fraksinasi S. feruginosa, yaitu kuersetin, kuersetrin, dan flavonol glikosida 4-O-asetl kuersetrin. Evaluasi daya sitotoksik pada kultur jaringan kanker glioblastoma manusia menunjukkan bahwa kuersetin memiliki aktivitas tertinggi (Le Dévéhat et al. 2002). Senyawa polifenolat alam, termasuk flavonoid yang disintesis oleh tanaman, mampu memperbaiki kesehatan. Kuersetin dan kuersetin glikosida yang tersebar pada flavonoid yang dikonsumsi terdapat pada buah dan sayur. Senyawa ini secara luas berperan pada perbaikan kesehatan sehingga menjadi penting dan menarik (Boyer et al. 2005, Lila et al. 2005). Ekstraksi 500 mg daun benalu teh S. oortiana yang dilkukan secara bertingkat memperoleh ekstrak n-heksan 8.47 g (1.69%), etil asetat 18.71 g (3.74%), Metanol 7.38 g (1.48%), dan ekstrak air 32.86 g (6.57%) (Simanjuntak et al. 2004). Berdasarkan kelarutan bahan kandungan benalu teh dalam air panas yang digunakan secara tradisional, kemudian air rebusannya diminum,. dilakukan isolasi dan identifikasi S. junghuni yang diekstraksi dengan pelarut air (Tambunan et al. 2003). BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kandang percobaan unggas Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan efek perubahan patologis dilaksanakan di Laboratorium Patologi FKH-IPB. Penghitungan jumlah leukosit dan deferensiasi leukosit dilakukan di Laboratorium Fisiologi FKH-IPB. Pemeriksaan antibodi Marek dengan metode ELISA dilaksanakan di Laboratorium terpadu FKH-IPB. Penelitian dimulai bulan Mei 2004 sampai dengan Agustus 2006. Bahan dan Alat Hewan percobaan Penelitian menggunakan 80 ekor ayam ras petelur betina berumur satu hari (DOC). Ayam percobaan adalah ayam ras petelur strain Isa Brown yang diperoleh dari peternakan pembibitan “Manggis Farm” desa Tenjoayu Sukabumi, Jawa Barat. Kandang percobaan yang digunakan adalah sistem multiple cages berukuran 60 x 45 x 30 cm, masing-masing unit terdiri atas 3 ekor sehingga jumlah kandang seluruhnya 20 unit. Setiap kandang dilengkapi tempat makan, minum, dan lampu kandang dipakai secara bersama-sama sebagai alat penerangan, cages ditempatkan dalam satu ruangan kandang. Peralatan lain yang digunakan adalah alat pengukur temperatur ruangan, higrometer, plastik wadah ransum, ember, tirai penutup kandang, timbangan, tabung penampung darah, spuit, rak telur, dan peralatan tulis. Ekstrak benalu teh Benalu teh (Scurrula oortiana) diperoleh dari Perkebunan Teh PTP Rancabuli, Cibuni, Bandung dan ekstraksi dilakukan di Laboratorium Bahan Makanan Ternak, Universitas Diponegoro, Telukawur Jepara Jawa Tengah. Ekstrak S. oortiana yang digunakan sebagai bahan uji adalah dari hasil ekstraksi dengan metode reflux menggunakan air sebagai pelarut. 29 Virus Marek Virus Marek serotipe 1 yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Balai Besar Pengawasan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Gunung Sindur Bogor. Desain Penelitian Ayam ras petelur betina umur 3 minggu yang tidak divaksin Marek diberi perlakuan infeksi MDV secara intraperitoneal sehingga dimungkinkan terjadi imunosupresi akibat infeksi produktif, kemudian dilanjutkan infeksi laten atau terjadi tranformasi limfosit T (sel T) sehingga terjadi limfoma. Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak benalu teh (S. oortiana) pada peningkatan imunitas, dan hambatan onkogenesitas penyakit Marek dilakukan dua tahapan percobaan. Tahap pertama uji adalah penentuan dosis infeksi MDV. Pada tahap ini digunakan 20 ekor ayam yang dibagi ke dalam lima kelompok perlakuan, masing-masing empat ekor, yaitu A. kontrol tanpa infeksi, B. diinfeksi intraperitoneal dengan dosis 0,125 x 1000 EID50, C. 0,250 x 1000 EID50, D 0,500 x 1000 EID50, dan E 1 x 1000 EID50. Pada penelitian tahap kedua digunakan 60 ekor ayam yang dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan, yaitu perlakuan A. diberi ekstrak S. oortiana dengan, tanpa infeksi MDV, B tanpa pemberian ekstrak S. oortiana dan tanpa infeksi MDV, C diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV, dan D tanpa diberi ekstrak S.oortiana, diinfeksi MDV. Ekstrak benalu teh diberikan secara oral (dicekok) sejak ayam berumur 15 hari sampai akhir percobaan, dengan dosis 10 mg/kg bobot badan yang dilarutkan dalam air minum. Ayam diinfeksi dengan virus Marek pada umur 20 hari secara intraperitoneal (Cho et al. 1999) dengan dosis 1.000 EID50. Pengaruh pemberian ekstrak S. oortiana sebagai imunomodulator diukur berdasarkan bobot relatif bursa Fabricius dan timus, ukuran diameter folikel bursa Fabricius, imunoreaktivitas terhadap iNOS, dan titer antibodi terhadap MDV. Kemampuan daya hambat atas keberadaan MDV pada bursa Fabricius diukur dengan metode imunohistokimia. Kemampuan menurunkan risiko kanker diukur dengan pemeriksaan histopatologi berdasarkan jumlah limfosit pada mukosa proventrikulus dan perubahan histopatologi pada organ hati. 30 Metode Penelitian Ayam percobaan secara acak ditempatkan dalam kandang yang sudah dilengkapi tempat makan, minum, dan lampu penerangan. Adaptasi ayam percobaan tidak dilakukan karena menggunakan ayam umur satu hari (day old chicken – DOC). Desain percobaan yang digunakan untuk penentuan titer antibodi pada MDV, jumlah leukosit per ml dan proporsi limfosit, jumlah limfosit submukosa proventrikulus, diameter folikel bursa Fabricius, dan jumlah iNOS positif pada hati. Metode statistika yang digunakan pada percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap, dan bila terdapat beda nyata antara perlakuan akan dilanjutkan dengan Uji Kontras Ortogonal (Steel dan Torrie, 1991). Penghitungan analisis statistika dilakukan dengan bantuan Microsoft Exell 2000 dan SPSS 13 for Windows Model statistika RAL adalah : Yij = µ + τi + Єij Yij µ τi Єij i j = Respons percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j = Rataan umum = Pengaruh perlakuan ke-i = Galat percobaan = 1,2,3,4 (perlakuan) = 1,2,3,4 (ulangan) Tahap I. Uji penentuan dosis infeksi Marek’s disease virus (MDV) Infeksi MDV dilakukan secara intraperitoneal terhadap ayam umur 21 hari, pada lima kelompok perlakuan, masing-masing terdiri atas empat ekor ayam, dengan dosis sebagai berikut : Kelompok A : kontrol, hanya diberi akuades sebagai plasebo Kelompok B : diinfeksi MDV dengan dosis 1.103 EID50 Kelompok C : diinfeksi MDV dengan dosis 0,5.103 EID50 Kelompok D : diinfeksi MDV dengan dosis 0,25.103 EID50 Kelompok E : diinfeksi MDV dengan dosis 0,125.103 EID50 Parameter yang diukur adalah : perubahan histopatologi pada bursa Fabricius, hati, dan proventriculus pada 20 dan 40 hari p.i. 31 Tahap II. Uji ekstrak S. oortiana sebagai imunomodulator dan menurunkan risiko ksnker . Pemberian ekstrak S. oortiana dengan dosis 10 mg/kg bobot badan, diberikan secara oral dengan cara dicekok pada umur 15 hari sampai akhir percobaan, yaitu 60 hari, infeksi MDV diberikan pada umur 20 hari secara intraperitoneal dengan dosis 1.103 EID50. Kelompok A : diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV Kelompok B : tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV Kelompok C : diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV Kelompok D : tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Diagram alir penelitian ini disajikan pada Gambar 6. Ayam ras petelur betina (60 ekor) Ulangan (15 ekor) 1 2 3 Ulangan (15 ekor) 1 2 3 Ulangan (15 ekor) 1 2 3 1 Ulangan (15 ekor) 2 3 A B C D Diberi ekstrak S.oortiana + Tidak diinfeksi MDV Tidak diberi ekstrak S.oortiana + Tidak diinfeksi MDV Diberi ekstrak S.oortiana + Diinfeksi MDV Tidak diberi ekstrak S.oortiana + Diinfeksi MDV 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perlakuan selama 45 hari (umur ayam 15 – 60 hari) Peubah yang diamati : Perhitungan antibodi untuk uji imunitas terhadap penyakit Marek dengan metode Elisa pada 10, 20, dan 30 hari pacainfeksi (p.i). Perhitungan leukosit dan persentase limfosit pada 20 dan 40 hari p.i. Penimbangan dan perhitungan ratio bobot relatif limfa, bursa Fabricius dan timus pada hari 20 dan 40 p.i. Perubahan histopatologi pada bursa Fabricius, hati, dan proventriculus pada 20 dan 40 hari p.i. Uji imunohistokimia terhadap iNOS pada organ hati. Uji imunohistokimia terhadap MDV pada organ bursa Fabricius. Gambar 6 Diagram alir penelitian 32 Pengukuran titer antibodi terhadap MDV dengan teknik enzyme-linked immuno sorbent assay (ELISA) Bahan dan alat. Mikroplat, pipet mikro, antigen MDV, serum ayam, PBS- TW20 0,05%, carbonate bicarbonate buffer pH 9,6, Bovine Serum Albumin (BSA) 1%, conjugate (Rabbit anti Chicken), substrat 2-2’-azino-bis(3-ethylbenzthiazo-line6-sulphonic acid) (ABTS), Microplate Reader, dan inkubator. Prosedur kerja. 1. Coating antigen MDV 1/200 dalam carbonate bicarbonate buffer pH 9,6 yaitu antigen 50 μl dilarutkan pada carbonate bicarbonate buffer 9950 μl. Tiap sumur diisi 100 μl kemudian diinkubasikan 4o C semalam. Antigen terabsorbsi secara pasif ke matriks padat melalui interaksi hidrofobik, interaksi ini dapat meningkatkan pengikatan. Mikroplate dicuci 3 sampai 4 kali dengan PBS-TW20 0,05% 200 μl sampai dengan 250 μl. Pencucian dengan larutan bufer dilakukan untuk menghilangkan materi nonpengikatan dan yang berikatan longgar pada fase padat . 2. Selanjutnya dilakukan blocking dengan Bovine Serum Albumin (BSA) 1% (100 μg BSA dalam 10 ml PBS) tiap sumur diisi 200 μl kemudian diinkubasi selama 45 menit pada suhu 37oC. Perlakuan blocking bertujuan untuk mengisi tempat yang belum tertutup (coated) antigen pada fase padat sehingga menghambat pengikatan non-spesifik reagent berikutnya, BSA mudah mengikat pada fase padat. Kemudian dicuci 3 sampai 4 kali dengan PBS-TW20 0,05%. 3. Sebanyak 100 μl serum ayam dengan konsentrasi 1/100 (10 ul dalam 1 ml larutan PBS) dimasukkan ke dalam tiap sumur, kemudian diinkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC. Mikroplate dicuci 3 sampai 4 kali dengan PBS-TW20 0,05%. 4. Kemudian ditambahkan 100 μl conjugat (Rabbit anti Chicken, Sigma®) dengan konsentrasi 1/2000 dalam larutan PBS, dan diinkubasi selama 1 jampada suhu 37oC. Mikroplate dicuci kembali 3 sampai 4 kali dengan PBSTW20 0,05%. Kemudian disiapkan substrat yang terdiri atas 10 μl citrat bufer pH 4,2, H2O2 5 μl., substrat 2-2’-azino-bis(3-ethylbenzthiazo-line-6-sulphonic acid) 200 μl. Sebanyak 100 μl.substrat tersebut dimasukkan ke dalam tiap sumur yang dilanjutkan dengan inkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC. Setelah itu, nilai absorbansi segera dibaca pada Microplate Reader (Birad®) pada panjang gelombang 415 nm. 33 Perhitungan jumlah leukosit Bahan dan alat. Pipet, kamar hitung, larutan Turk, EDTA, tabung reaksi, alkohol 70%, dan kapas. Prosedur kerja. Secara hati-hati bagian badan dan kaki ayam dipegang sehingga tidak meronta. Jarum suntik dimasukkan ke bagian sayap (vena brachialis) yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol. Darah diambil sebanyak 2 ml, kemudian ditampung dalam tabung reaksi yang telah diisi antikoagulan EDTA dengan tujuan mencegah pembekuan darah. Tabung reaksi yang berisi darah ditutup dengan parafin untuk mencegah kontaminasi. Darah yang dicampur dengan antikoagulans EDTA dihisap dengan pipet hingga tanda 0,5 dan ujung pipet dibersihkan, kemudian pipet diletakkan pada larutan pengencer leukosit (larutan Turk) dan diisi perlahan-lahan hingga tanda angka 11 sehingga didapat konsentrasi menjadi 1 : 20. Pipet yang berisi darah ini dikocok selama 3 menit hingga tercampur homogen, setelah itu sebanyak 2 atau 3 tetes larutan diteteskan dari pipet dibuang sebelum mengisi kamar hitung. Setelah itu, larutan diteteskan ke dalam kamar hitung dan dibiarkan selama 1 menit . Dengan perbesaran rendah jumlah leukosit dihitung dalam 4 kotak sudut kamar hitung darah. Rumus perhitungan yang dipakai adalah : leukosit/cu.mm atau jumlah sel leukosit = Jumlah sel x 200 (larutan 1 : 20x10) 4 dalam kotak sudut kamar hitung x 50 = leukosit/cu.mm. Diferensiasi leukosit Pemeriksaan dilakukan dengan membuat preparat ulas darah dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa 10% selama 30 menit. Sampel darah di campur homogen sebelum diambil dengan pipet kapiler, kemudian satu tetes kecil darah diletakkan dekat ujung gelas obyek posisi permukaan datar. Gelas obyek yang kedua ditempatkan dengan ujung menyentuh permukaan gelas obyek pertama sehingga membentuk sudut 30-45o. Gelas obyek kedua ditarik ke samping dan di biarkan darah mengalir dengan daya kapiler sehingga mencapai luasan 2/3 gelas obyek pertama. Gelas obyek kedua didorong dengan sudut yang sama sehingga membentuk lapisa tipis. Preparat apus dibiarkan mengering di udara terbuka. 34 Preparat apus darah difiksasi dengan metil alkohol selama 3-5 menit, preparat diambil dan dibiarkan kering di udara. Setelah kering preparat direndam dengan pewarna Giemsa yang baru selama 15-60 menit. Preparat dicuci dengan air berkali-kali dan dibiarkan mengering di rak. Penghitungan persentase limfosit dilakukan perbesaran obyektif 100 x, klasifikasi leukosit pada beberapa lapang pandang dan dihitung per 100 leukosit. Pembuatan Preparat Histopatologi Bahan dan alat. 10% buffered neutral formalin, parafin, Mayer, hematoxylin, eusin, alkohol konsentrasi 100% (absolut), 96%, 80%, 50%, xylol, perkat neofren, aquades, cover glass, obyect glass, pisau bedah, inkubator suhu 52oC, mikrotom, almari pendingin, mikroskop, dan kaset. Prosedur kerja. Pembuatan preparat histologi dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain; pemilihan jaringan yang pelu diamati, fiksasi jaringan, pemrosesan jaringan (dehidrasi, clearing, infiltrasi dan embeding dengan parafin), pemotongan jaringan, dan pewarnaan. Kadaver ayam yang difiksasi pada penelitian penyakit Marek diambil organ bursa Fabricius, timus, limpa, hati dan proventrikulus. Kemudian organ difiksasi di dalam larutan buffered neutral formalin (BNF) 10% selama 3 x 24 jam, selanjutnya dilakukan embedding pada parafin. Sebelum dilakukan pemotongan, blok parafin disimpan terlebih dahulu dalam lemari es agar parafin menjadi lebih keras sehingga memudahkan pemotongan. Jaringan kemudian dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-5 µm. Sayatan jaringan diapungkan pada air hangat dengan suhu 60oC, dan selanjutnya dilekatkan pada gelas obyek. Untuk memudahkan pengamatan di bawah mikroskop, jaringan yang telah dipotong diwarnai. Proses pewarnaan diawali dengan penghilangan parafin menggunakan xylol. Setelah jaringan bebas parafin direndam dalam alkohol dengan konsentrasi menurun. Dimulai dari alkohol konsentrasi 100% (absolut), 96%, 80%, dan seterusnya sampai alkohol 50%. Kemudian irisan jaringan direndam dalam air, dan jaringan siap diwarnai dengan Hematoksilin dan Eosin (HE). Untuk membedakan ikatan terhadap warna dilakukan dengan menggunakan zat warna alam dan zat warna sintetis. Zat warna alam yang digunakan adalah hematoksilin dan zat warna sintetis yng digunakan adalah 35 eusin. Hematoksilin mewarnai inti sel menjadi biru sedangkan eosin mewarnai sitoplasma menjadi merah. Pembuatan preparat imunohistokimia Bahan dan alat. Inkubator, xylol, alkohol absolut III, II, I, 95%, 90%, 80%, dan 70%, diionize water (DW), H2O2, metanol, PBS, serum normal, Inducible Nitric Oxyd Synthase (INOS), antibodi primer, antibodi sekunder (biotinilasi), 3,3’diaminobenzidine (DAB), hematoksilin, Prosedur kerja. Jaringan dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-5 µm. Deparafinisasi dilkukan dengan larutan xylol (III, II, dan I) masing-masing larutan 5 menit. Kemudian dilakukan rehidrasi dengan alkohol bertingkat, dimulai dari alkohol absolut III, II, I, 95%, 90%, 80%, dan 70% pada masingmasing larutan selama 5 menit. Selanjutnya pencucian dilakukan dengan menggunakan diionize water (DW) selama 15 menit. Penghilangan peroksidase endogen menggunakan (0,5 ml H2O2 ditambah 50 ml metanol) selama 15 menit. Pembilasan dilakukan dengan menggunakan DW selama 7 menit dua kali dan PBS selama 7 menit dua kali. Kemudian preparat ditetesi dengan serum normal pada gelas obyek secara merata, dimasukkan ke dalam kotak preparat (humidity chamber) ditambah kertas tissue dan ditetesi dengan PBS untuk menjaga kelembaban. Selanjutnya preparat dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 37ºC selama 45 menit. Pencucian dengan PBS masingmasing 5 menit dilakukan 3 kali, yaitu : 1. Jaringan ditetesi dengan antibodi primer terhadap enzim Inducible Nitric Oxyde Synthase (iNOS), kemudian diinkubasi pada suhu 4ºC selama 1 malam. Kemudian dilakukan pencucian dengan PBS masing-masing 5 menit sebanyak 3 kali. 2. Selanjutnya preparat ditetesi dengan antibodi sekunder (biotinilasi), diinkubasi pada suhu 37ºC selama 35 menit. masing-masing 5 menit sebanyak 3 kali. Pencucian dengan PBS Ditetesi dengan peroksidase inkubasikan pada suhu 37ºC selama 30 menit. Pencucian dengan PBS masing-masing 5 menit 3 kali. 3. Pemberian chromogen dilakukan dengan cara penetesan larutan 3,3’diaminobenzidine (DAB), diinkubasikan pada suhu 370C selama 35 menit. Pencucian dengan PBS masing-masing 5 menit sebanyak 3 kali. 36 Counterstain menggunakan hematoksilin dilakukan dengan cara meneteskan sampai rata dan dibiarkan 15 detik lalu dicuci dengan DW. Dehidrasi dilakukan dengan larutan alkohol berseri 70%, 80%, 90%, dan 100% serta alkohol absolut I, II, dan III. Pada masing-masing larutan dibiarkan selama 1 menit. Clearing dilakukan dengan Xylol (I, II, dan III). Penutupan preparat (mounting) dilaksanakan dengan segera ditutup dengan cover glass. Evaluasi pewarnaan imunohistokimia dilakukan dengan dua metode. dilanjutkan Pewarnaan menggunakan antibodi primer terhadap iNOS dengan penghitungan secara kuantitatif, yaitu dengan menghitung imunoreaktivitas positif menggunakan lensa obyektif 40 x pada 5 lapang pandang, kemudian menghitung rataan. Sedangkan hasil pewarnaan menggunakan antibodi primer MDV dievaluasi secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Dosis Infeksi MDV Pengamatan histopatologi dilakukan terhadap lima kelompok perlakuan, yaitu kontrol (A), 1 x 103 EID50 (B), 0.5 x 103 EID50 (C), 0.25 x 103 EID50 (D) dan 0.125 x 103 EID50 (E). Evaluasi dilakukan secara kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh dosis yang tepat untuk uji tantang yang akan digunakan pada tahap penelitian selanjutnya. Adapun waktu pengamatan adalah 20 dan 40 hari pascainfeksi (p.i.), dan organ yang dievaluasi di antaranya hati, limpa, proventrikulus, bursa Fabricius dan paru-paru. Pengamatan khusus dilakukan dengan menghitung jumlah sel-sel neoplasma (limfoblast dan limfosit) dengan memberikan nilai sebagai berikut : + : jumlah sel-sel limfoid kurang dari 50 dalam satu kelompok ++ : jumlah sel-sel limfoid 51 - 100 dalam satu kelompok +++ : jumlah sel-sel limfoid lebih dari 100 dalam satu kelompok. Infeksi MDV pada organ hati menyebabkan lesio berupa dilatasi sinusoid, peningkatan jumlah sel Kupffer, degenerasi sel-sel hati serta infiltrasi sel-sel limfoid sebagai indikasi kejadian infeksi. Kelompok D dan E menunjukkan perubahan yang sangat minimal pada infiltrasi sel-sel limfoid pada 20 dan 40 hari p.i. Hasil evaluasi infiltrasi sel-sel limfoid pada kelompok C adalah positif 1 (+) pada 40 hari p.i., sedangkan B menunjukkan reaksi yang lebih banyak, yaitu positif 2 (++). Sel-sel tersebut ditemukan pada sinusoid yang mengalami dilatasi, dan jumlah sel yang terus bertambah akan menyebabkan hemoragi regional. Daerah infiltrasi sel-sel limfoid ditemukan di daerah portal atau di dekat vena sentralis. 38 Gambar 7 Fotomikrograf hati ayam yang diinfeksi virus Marek (MDV) dosis 0.125 x 103 EID50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Perubahan histopatologi organ hati menunjukkan adanya ) dilatasi sinusoid dan infiltrasi limfosit dan limfoblast ( Gambar 8 Fotomikrograf hati ayam yang diinfeksi virus Marek (MDV) dosis 1 x 103 EID50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Menunjukkan adanya infiltrasi sel-sel mononuklear ( ) di antara segitiga Kiernen di daerah lobulus. Pemeriksaan organ limpa menunjukkan bahwa pada tahap awal infeksi ditemukan infiltrasi sel-sel makrofag dan limfosit yang minimal pada pulpa 39 putih. Pada beberapa pulpa putih maupun pulpa merah ditemukan sel-sel limfoid yang mengalami karioreksis, yaitu inti terpecah menjadi fragmenfragmen kecil. Jumlah sel-sel tumor sangat jelas pada kelompok B terutama pada 40 hari p.i., yaitu positif 3 (+++) dan keberadaan sel-sel tersebut dapat ditemukan pada pulpa putih, pulpa merah, dan daerah sinus. Pengamatan yang lebih intensif pada pulpa putih menunjukkan reaksi degenerasi dan nekrosis pada sel-sel mononuklear pada bagian sentral. Pengamatan pada proventrikulus, bursa Fabricius, dan paru-paru menunjukkan reaksi yang sama, yaitu infiltrasi sel-sel limfoid ditemukan secara dominan pada dosis infeksi MDV 1 x 103 EID50 (B). Hasil yang diperoleh pada tahapan uji ini dapat ditentukan bahwa untuk penelitian selanjutnya akan digunakan dosis 1 x 103 EID50. Bobot Relatif Organ Bursa Fabricius, Timus, dan Limpa Kinerja sistem imun juga dapat diukur dari bobot relatif organ limfoid. Bursa Fabricius berperan pada pematangan limfosit B dan timus berperan pada pematangan limfosit T, yang merupakan organ limfoid primer. Infeksi MDV pada ayam diawali dengan periode infeksi sitolisis produktif, MDV menginfeksi limfosit B pada bursa Fabricius maupun limfosit T pada timus, dan terjadi replikasi DNA, sintesis protein, dan perbanyakan partikel virus. Pada puncak infeksi terjadi sitolisis dan kematian sel, atropi pada bursa Fabricius dan timus sehingga terjadi imunosupresi, penurunan bobot relatif organ limfoid bursa Fabricius, dan timus yang dapat dijadikan sebagai indikator imunosupresi sebagai akibat dari infeksi MDV. Periode infeksi MDV meliputi 3 bentuk, yaitu infeksi akut (produktif) yang menimbulkan lisis sel, dilanjutkan infeksi laten yang bersifat nonproduktif, dan infeksi transforming. Pada infeksi produktif terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein, dan menghasilkan partikel virus. Virus menginfeksi dan merusak limfosit B maupun limfosit T. Selama infeksi terjadi sitolisis pada puncak replikasi virus sehingga menyebabkan imunosupresi, dan meningkat kepekaan terhadap infeksi, bersamaan dengan turunnya bobot relatif bursa Fabricius dan timus (Davison 1997, Calnek et al 1998, Payne dan Venagupol 2000, dan Islam et al. 2002). Replikasi virus herpes pada bursa Fabricius dan timus menimbulkan imunosupresi transien, perubahan sitolitik akut pada organ 40 ini ditandai dengan atropi. Pada infeksi eksperimental terjadi lesi bursa Fabricius mengalami degenerasi folikuler, nekrosis limfoid sehingga mengalami atrofi, dan pembentukan kista. Timus mengalami atrofi, limfosit hilang baik pada korteks maupun medula. Benda inklusi intranuklear dapat muncul pada sel yang mengalami degenerasi (Fadly 2000). Rataan bobot relatif organ bursa Fabricius pada berbagai kelompok perlakuan benalu teh dan infeksi MDV disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 20 hari p.i. Peubah Perlakuan A B Bursa Faricius 0,0037 ± 0,0003 a Timus 0,0054 ± 0,0007 a Limpa 0,0039 ± 0,0007 a 0,0031 ± 0,0002 C ab 0,0053 ± 0,0003 D 0,0022 ± 0,0008 a 0,0034 ± 0,0004 a b 0,0021 ± 0,0009 b ab 0,0019 ± 0,0003 b a 0,0029 ± 0,0010 a 0,0033 ±0,0025 0,0042 ± 0,0011 Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Hasil analisis statistik bobot relatif bursa Fabricius menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok perlakuan dengan pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki nilai tertinggi sebesar 0,0037 dan berbeda dari kelompok dari pemberian benalu dan infeksi MDV (C) yang memiliki nilai 0,0022, dan juga berbeda dari perlakuan yang tanpa diberi benalu teh dan diinfeksi MDV (D), yaitu 0,0021. Tingginya ratio bobot bursa Fabricius disebabkan oleh pengaruh imunomodulator dari ekstrak S. oortiana 10 mg/kg bobot badan. Rendahnya bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok perlakuan C dan D disebabkan oleh infeksi produktif yang menimbulkan sitolisis MDV pada 20 p.i. Adanya imunomodulasi pemberian ekstrak S. oortiana pada kelompok ayam tanpa infeksi MDV perlakuan A ditandai dengan perbaikan performan bursa Fabricius berdasarkan bobot relatif organ tersebut, dan terjadinya imunosupresi pada kelompok ayam yang diinfeksi MDV baik yang diberi ekstrak S. oortiana maupun tanpa diberi ekstrak S. oortiana. Kelompok perlakuan B, yaitu tanpa diberi benalu dan tanpa infeksi MDV adalah 0,031 tidak berbeda dengan semua kelompok perlakuan. 41 Hasil analisis statistik bobot relatif timus menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara kelompok perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok perlakuan yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki nilai tertinggi sebesar 0,0054 yang tidak berbeda dari kelompok yang diberi perlakuan tanpa diberi benalu dan tanpa infeksi MDV (B) sebesar 0,0053. Kelompok A dan B berbeda dari perlakuan D, yaitu tanpa diberi benalu teh diinfeksi MDV (0,0019). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan infeksi MDV menimbulkan imunosupresi dilihat dari turunnya bobot relatif timus. Imunodefisiensi mungkin disebabkan oleh cacat pada pendewasaan limfosit atau aktivasinya atau gangguan pada mekanisme efektor imunitas alami maupun imunitas perolehan. Proses pendewasaan limfosit dari sel stem ke komponen sel fungsional limfosit dewasa termasuk proliferasi, ekspresi reseptor antigen, seleksi sel sehingga memiliki spesifitas, dan perubahan pada ekspresi sejumlah gen (Abbas et al. 2000). Kriteria dari imunosupresif meliputi 1) kejadian awal infeksi sitolisis, 2) atropi bursa Fabricius dan timus yang diukur dari persentase bobot organ limfoid terhadap bobot tubuh pada 8-14 pascainfeksi (p.i), 3) perubahan histopatologi, yaitu nekrosis dan atropi organ limfoid. Disimpulkan bahwa tingkat imunosupresi adalah berhubungan dengan virulensi dan ukuran organ yang mengalami perubahan atropi bursa Fabricius dan timus dapat digunakan sebagai pengukuran patotipe pada isolat baru MDV (Calneck et al. 1998). Kelompok dengan pemberian benalu teh dan diinfeksi MDV (C) memiliki nilai 0,0033 yang tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan baik A, B, maupun D. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ekstrak benalu teh mampu menghambat proses terjadinya sitolisis pada timus akibat infeksi sitolitik MDV. Perlakuan C tidak terpengaruh oleh adanya imunosupresi yang disebabkan oleh MDV yang diimbangi oleh pengaruh imunomodulasi oleh ekstrak benalu teh (S. oortiana). Adanya imunomodulator berdasarkan bobot relatif bursa Fabricius pada pemberian ekstrak benalu teh tanpa infeksi MDV dan imunomodulator berdasarkan bobot relatif timus pada kombinasi pemberian benalu teh dan disertai infeksi.MDV. Dengan demikian ekstrak benalu teh (S. oortiana) mampu memperbaiki performan sistem imun organ limfoid primer baik pada bursa Fabricius maupun timus pada 20 hari p.i. 42 Hasil pengukuran bobot relatif limpa pada 20 p.i. tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara keempat kelompok perlakuan. tersebut Kondisi menjelaskan tidak ada pengaruh perlakuan yang diberikan pada bobot relatif organ atau tidak terjadi imunosupresi. Pada akhir masa perlakuan, yaitu pada 40 p.i., bobot relatif organ bursa Fabricius, timus, maupun limpa tidak berbeda di antara keempat kelompok perlakuan (Tabel 2). Hal ini dimungkinkan sudah berakhirnya masa imunosupresi sebagai tahapan awal infeksi MDV yang bersifat transien, yaitu bersifat sementara. Ayam komersial mengandung antibodi maternal MDV dan kejadian imunosupresi sebagai akibat infeksi MDV bergantung pada variabel yang diukur, efek supresi pada sistem imun dapat terjadi dari awal infeksi, yaitu hari ketiga sampai dengan 35 pascainfeksi (Islam 2002, dan Fadly 2000). Replikasi virus herpes yang produktif pada bursa Fabricius dan timus yang menimbulkan transien imunosupresi, perubahan sitolitik akut pada organ ini ditandai dengan atropi. Tabel 2 Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 40 hari p.i. Perlakuan Peubah A B C Bursa Fabricius 0,0009 ± 0,0003 a 0,0009 ± 0,0001 Timus 0,0059 ± 0,0016 a 0,0058 ± 0,0027 Limpa 0,0031 ± 0,0005 a 0,0029 ± 0,0004 D a 0,0011 ± 0,0002 a 0,0010 ± 0,0002 a a 0,0047 ± 0,0001 a 0,0063 ± 0,0008 a 0,0027 ± 0,0009 a 0,0028 ± 0,0013 a a Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Ukuran Diameter Folikel Bursa Fabricius Rataan ukuran folikel organ bursa Fabricius pada berbagai kelompok perlakuan benalu teh dan infeksi MDV disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis statistik pada hari ke 20 p.i menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki ukuran 392,694 μm, yang tidak berbeda dari perlakuan B, yaitu memiliki ukuran 393,666 μm. Perlakuan A dan B berbeda dengan perlakuan dengan pemberian benalu teh dan infeksi MDV (C) yang memiliki ukuran 252,580 μm, juga berbeda dari 43 perlakuan tanpa diberi benalu teh dan diinfeksi MDV (D) yang memiliki ukuran 214,207 μm. Rendahnya ukuran diameter folikel bursa Fabricius sebagai akibat perlakuan infeksi baik yang diberi ekstrak S. oortiana maupun tidak. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa ekstrak S. oortiana belum mampu berperan sebagi imunomodulator mencegah infeksi produktif MDV yang menimbulkan sitolisis pada hari ke 20 p.i berdasarkan ukuran diameter folikel bursa Fabricius dengan cara mencegah imunosupresi pada 20 hari p.i. Sesuai dengan Fadly (2000) bahwa replikasi virus herpes yang produktif pada bursa Fabricius menyebabkan perubahan sitolitik akut pada organ ini yang ditandai dengan atropi. Infeksi eksperimental menyebabkan lesi bursa Fabricius mengalami degenerasi folikuler, nekrosis limfoid sehingga bursa mengalami atropi, dan terjadi pembentukan kista. Tabel 3 Rataan diameter folikel bursa Fabricius (µm) ayam 20 dan 40 hari pascainfeksi (p.i.) Pascainfeksi Rataan diameter folikel bursa Fabricius (μm) (hari) A B C 20 hari p.i 392,69 ± 15,48 a a 393,67 ± 15,34 40 hari p.i 187,13 ± 10,64b 201,47 ± 5,94b D 252,58 ± 34,58 b 258,33 ± 27,89a b 214,283 ± 17,29 224,367 ± 22,30ab Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Hasil analisis ukuran diameter folikel bursa Fabricius pada 40 hari p.i. menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antarkelompok perlakuan (p<0.05). Kelompok perlakuan A memilki ukuran 187,133 μm yang tidak berbeda dari perlakuan B yang memiliki ukuran 201,466 μm. Kelompok perlakuan C yang memiliki ukuran 258,333 μm berbeda dari perlakuan A, perlakuan B, maupun perlakuan D. Kelompok perlakuan D memiliki ukuran 217,825 μm yang tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan baik A, B, maupun C. Rendahnya diameter folikel bursa Fabricius pada kelompok perlakuan tanpa infeksi (A dan B) adalah akibat involusi organ bursa Fabricius sesuai dengan bertambahnya umur. Pembesaran folikel bursa Fabricius 40 hari p.i pada kelompok perlakuan C disebabkan telah terlewatinya masa infeksi produktif yang menyebabkan imunosupresi dan adanya pengaruh 44 imunomodulator dari efeki kombinasi antara ekstrak S. oortiana 10 mg/kg bobot badan dengan imunostimulator akibat infeksi MDV. Pemeriksaan Imunohistokimia Enzim Inducible Nitric Oxyde Synthase (iNOS) pada Jaringan Pada saat fagositosis, makrofag dan neutrofil juga memproduksi oksigen toksik yang bertugas membantu membunuh dan menelan mikroorganisme. Nitrit oksida (NO) yang diproduksi oleh enzim Inducible Nitric Oxyde Synthase (iNOS), secara langsung toksik terhadap bakteri. Kemampuan aktivitas makrofag untuk mengeluarkan mediator toksik adalah pada pertahanan inang karena kemampuannya melawan ekstra seluler patogen yang tidak tertelan (Janeway et al. 2001). Imunoreaktivitas terhadap iNOS pada jaringan hati dapat dilihat pada Gambar 7. Pengamatan hasil pewarnaan imunohistokimia iNOS menunjukkan bahwa pemberian ekstrak S. oortiana dan uji tantang dengan MDV onkogen menyebabkan peningkatan (p<0.05) pembentukan iNOS dalam jaringan hati. Keberadaan iNOS berdasarkan reaksi positif dengan pewarnaan imunohistokimia pada jaringan hati diduga terkait dengan aktivitas sel-sel makrofag dalam hati yang diekspresikan oleh sel-sel sinusoid. Kelompok ayam yang diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (A = 3,464) memicu peningkatan (p<0.05) pembentukan iNOS lebih banyak jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (B = 1,227 ). Ekstrak benalu teh mampu meningkatkan produksi iNOS setelah pemberian 20 hari p.i pada ayam. Pengaruh tindakan pemberian ekstrak S. oortiana terjadi pada ayam tanpa infeksi. Daun dan batang benalu teh mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin yang berperan sebagi antioksidan. Di Eropa dan Amerika ada jenis benalu yang digunakan untuk mengobati tumor atau kanker, yaitu ada beberapa tanaman misalnya benalu teh (Viscum album L) yang dalam percobaan bersifat imunomodulator melalui pengaktifan sel granulosit dan makrofag yang memberi sifat antitumor (Windardi dan Rahajoe. 1998, Achi 2000). 45 E A B E M M M E C D Gambar 9 Fotomikrograf hati ayam yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap iNOS metode SAB dan counterstain Hematoksilin. Imunoreaktivitas positif terhadap iNOS ( ) pada organ hati ditemukan pada endotel (E) dan makrofag (M), 20 hari p.i. (A) Kelompok ekstrak benalu teh, (B) Kelompok kontrol, (C) Kelompok ekstrak benalu teh dan infeksi MDV, (D) infeksi MDV. Bar = 30 µm. 46 Saat fagositosis, makrofag dan neutrofil sebagai sel efektor juga memproduksi oksigen toksik gabungan fagosom dan lisosom menjadi fagololisosom yang bertugas membantu membunuh dan menelan mikroorganisme. Kejadian yang penting di antaranya adalah kerja hidrogen peroksida (H2O2), superoksida anion (O2-), dan Nitrogen oksida (NO), secara langsung toksik terhadap bakteri (Abbas et al. 2000, Janeway et al. 2001). Tabel 4 Rataan jumlah reaksi positif terhadap iNOS pada hati ayam 20 hari pascainfeksi (p.i.) Perlakuan Rataan jumlah iNOS per lapang pandang A B C D 3,464 ± 0,208b 1,227 ± 0,271c 6,633 ± 0,305a 6,400 ± 0,265a Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang mengalami infeksi MDV (C = 6,633) tidak mengalami peningkatan jika dibanding kelompok ayam yang diberi perlakuan tanpa diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV (D) sebesar 6,400. Kedua kelompok ayam perlakuan baik kelompok C maupun D mengalami peningkatan (p<0.05) pembentukan iNOS lebih banyak jika dibanding dengan kelompok perlakuan A maupun perlakuan B. Penelitian terahir menggambarkan bahwa inducible nitric oxyde synthase (iNOS) terlibat dalam kelainan metabolik yang dihubungkan dengan inflamasi kronis tingkat ringan, aterosklerosis, dan peningkatan tumor necrosis factor (TNF) (Muntalib 2003). Infeksi MDV memiliki pengaruh lebih kuat meningkatkan jumlah sel yang menghasilkan iNOS jika dibandingkan dengan pengaruh pemberian ekstrak S. oortiana. Namun jika tindakan infeksi MDV dikombinasikan dengan pemberian ekstrak S. oortiana tidak terjadi peningkatan produksi iNOS akibat perlakuan kombinasi tersebut. Uji Tingkat Imunitas pada MDV dengan Metode ELISA Untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan ekstrak benalu teh dalam mempengaruhi respons imun humoral terhadap MDV, dilakukan pengamatan 47 terhadap titer antibodi Marek’s secara kuantitatif dengan cara membandingkan tingginya titer antibodi antarperlakuan. Respons peningkatan maupun penurunan titer antibodi terhadap penyakit Marek pada penelitian ini dipengaruhi oleh pemberian ekstrak S. oortiana maupun uji tantang infeksi MDV. Pengambilan serum darah dilakukan secara bertahap, yaitu pada 10, 20, dan 30 hari p.i., titer antibodi diukur secara kuantitatif berdasarkan tinggi rendahnya antibodi terhadap MDV menggunakan metoda enzyme linkage immuno sorbant assay (ELISA). Teknik ELISA memungkinkan pengujian secara kuantitatif kemampuan aktivitas netralisasi antibodi spesifik antigen pada MDV. Pada penelitian ini digunakan ayam ras petelur betina yang tidak divaksin MDV, antibodi yang terdapat pada ayam percobaan yang tidak diuji tantang dengan MDV (A dan B) berasal dari induk berupa antibodi maternal. Rendahnya titer antibodi ayam perlakuan uji tantang menggunakan MDV pada 10 hari p.i. merupakan akibat dari imunosupresi. Islam (2002) dan Fadly (2000) menyatakan bahwa ayam komersial mengandung antibodi maternal MDV dan kejadian imunosupresi sebagai akibat infeksi MDV bergantung pada variabel yang diukur, efek supresi pada sistem imun dapat terjadi dari awal infeksi. Tabel 5 Rataan nilai absorbansi uji ELISA berdasarkan perbedaan perlakuan Pascainfeksi (hari) 10 Perlakuan 0,587 ± 0,032 20 0,530 ± 0,035 30 0,656 ± 0,077 A B C D a 0,562 ± 0,063 a 0,549 ± 0,039 a 0,487 ± 0,077 ab 0,485 ± 0,044 b 1,156 ± 0,540 a 0,890 ± 0,069 a 0,577 ± 0,116 a 0,660 ± 0,069 a 0,714 ± 0,106 a ab a Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan. Nilai absorban pada 10 p.i. tidak menunjukkan perbedaan nyata di antara keempat kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan tidak adanya pengaruh imunosupresi yang terlihat pada waktu tersebut, walaupun ada kecenderungan rendahnya titer antibodi pada kelompok perlakuan uji tantang MDV, yaitu kelompok C dan D. 48 Pada hari ke 20 p.i. kelompok perlakuan, A, yaitu pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai sebesar 0,530, tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan B, yaitu tanpa pemberian ekstrak benalu teh tanpa uji tantang MDV memiliki nilai terendah sebesar 0,485 yang berbeda (p<0.05) dari kelompok perlakuan C, yaitu yang diberi ekstrak benalu teh dan diuji tantang MDV memiliki nilai tertinggi sebesar 1,156, dan kelompok perlakuan D, yaitu tanpa pemberian benalu dan diuji tantang MDV menunjukkan tidak adanya perbedaan dan semua kelompok perlakuan dengan nilai 0,890. Tingginya titer antibodi pada 20 hari pada kelompok perlakuan C adalah disebabkan adanya kombinasi pengaruh imunomodulasi ekstrak S. oortiana dengan faktor imunostimulasi sebagai respons imun akibat tindakan uji tantang. Tizard (2000) menyatakan bahwa antibodi menjaga sel dari infeksi virus Error! Nilai Absorbansi (415 nm) 1.4 1.2 1 A B C D 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 5 10 15 20 25 30 35 Pascainfeksi (hari) Gambar 10 Grafik rataan nilai absorbansi titer antibodi MDV uji ELISA 10, 20, dan 30 hari pascainfeksi Keterangan : A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV dengan cara memblok pelekatan virus pada sel target, pada infeksi virus antibodi sebagai mediator penghancuran virus. Antibodi diproduksi oleh sistem 49 imun spesifik primer pada rekaveri pada infeksi virus dan pertahanan terhadap serangan infeksi virus (Mayer 2003). Kandungan Mistletoe (benalu teh) yang sebagian besar kandungannya adalah lektin, yaitu karbohidrat pengikat protein, yang memiliki profil farmakologik dengan dua sifat, yaitu pada dosis rendah benalu teh bekerja sebagai imunomodulator dan pada dosis tinggi sebagai antitumor (Achi 2005). Tabel 6 Rataan nilai absorbansi berdasarkan waktu pascainfeksi (p.i) MDV Pascainfeksi (hari) 10 20 30 Absorbansi 0,546 ± 0,066b 0,765 ± 0,460a 0,651 ± 0,095ab Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Terjadi perbedaan yang nyata (p<0.05) titer antibodi pada MDV berdasarkan waktu pascainfeksi, yaitu pada hari ke 10 dan 20 hari p.i., pada 10 hari p.i. mengalami penurunan atau imunosupresi akibat infeksi MDV dan kenaikan antibodi pada 20 hari pascainfeksi merupakan respons imun spesifik pada tubuh ayam sebagai reaksi tubuh inang untuk infeksi virus tersebut. Joklik (2000) menyatakan bahwa tubuh inang melakukan eliminasi infeksi virus dengan melakukan serangan balik, virus mengekspresikan gen asing, pada saat virus melakukan replikasi, pada saat yang sama tubuh melakukan netralisasi sebagai mekanisme pertahanan tubuh. Menurut Ada (2000) antibodi secara spesifik dapat memberikan kontribusi untuk mengendalikan infeksi ekstraseluler, memiliki kemampuan netralisasi infektivitas agen infeksi secara spesifik. Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Total Leukosit dan Persentase Limfosit Leukosit adalah sel yang yang berperan pada ketahanan tubuh yang diproduksi pada sumsum tulang kemudian melakukan pendewasaan pada bursa Fabricius dan timus. 50 Tabel 7 Rataan jumlah leukosit per mililiter dan persentase limfosit (%) pada ayam 20 hari pascainfeksi 20 hari pascainfeksi Total Leukosit (per ml) Persentase limfosit (%) Perlakuan A B C a 20,300 ± 20,224 b 46,67 ± 15,044 16.757 ± 9,122 40,67 ± 25,007 b a D a 45,817 ± 21,355 ab 87,666 ± 25,516 19,900 ± 8,150 65,333 ± 87,666 a a Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Hasil uji laboratorium yang disajikan pada Tabel 7 dapat dilihat jumlah leukosit per mililiter pada kelompok perlakuan yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, persentase limfosit menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) di antara fraksi pada kelompok perlakuan pada ke 20 p.i. Kelompok perlakuan A, yaitu yaitu ayam yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai terendah sebesar 40,67% dan perlakuan B yaitu ayam tanpa pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai sebesar 46,67%, keduanya berbeda dari kelompok D, yaitu ayam tanpa pemberian benalu teh dan infeksi MDV yang memiliki nilai sebesar 87,666%. Ayam yang diberi benalu teh dan infeksi MDV memiliki nilai sebesar 65,333% tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan. Tingginya jumlah limfosit pada kelompok ayam yang diberi perlakuan D disebabkan oleh kelanjutan dari infeksi MDV produktif menuju infeksi transforming yang menimbulkan limfoma yang ditandai dengan peningkatan jumlah limfosit pada 20 hari p.i. Tabel 8 Rataan jumlah leukosit per mililiter dan persentase limfosit (%) pada ayam 40 pascainfeksi (p.i.) 40 hari Pasca infeksi Perlakuan A B C D Total Leukosit a a a a 27,067 ± 9,738 23,067 ± 5,900 34,433 ± 10,110 29,633 ± 9,767 (per ml) Persentase a a a a 63,000 ± 7,816 42,667 ± 13,051 64,000 ± 27,221 68,667 ± 8,717 limfosit (%) Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV 51 Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah leukosit per ml pada semua kelompok ayam perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata, walaupun terdapat kecenderungan meningkat secara numerik pada kelompok ayam yang mendapat uji tantang dengan MDV dan diberi ekstrak benalu teh S. oortiana. Persentase limfosit pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata, walaupun terdapat kecenderungan meningkat secara numerik pada kelompok ayam yang diuji tantang dengan MDV dan tanpa diberi ekstrak benalu teh S. oortiana. Rataan jumlah leukosit pada kelompok ayam yang diuji tantang MDV tanpa diberi ekstrak S. oortiana (D) selalu menunjukkan angka yang paling tinggi, selanjutnya diikuti oleh kelompok perlakuan C, B, dan A, baik pada 20 hari maupun 40 hari p.i, pada 40 hari p.i persentase limfosit secara numerik mengalami peningkatan dibanding dengan pada 20 pasca infeksi pada semua kelompok perlakuan. Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Keberadaan MDV pada Bursa Fabricius Hasil pemeriksaan imunohistokimia keberadaan MDV pada bursa Fabricius menunjukkan bahwa pada ayam yang diinfeksi dengan MDV tanpa diberi ekstrak S. oortiana jumlah virusnya lebih banyak terutama pada daerah korteks folikel limfoid dan daerah intrafolikuler kelompok ayam yang diinfeksi dengan MDV dan diberi ekstrak S. oortiana. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak 10 mg/kg bb mampu menekan perkembangan virus MDV pada 20 hari p.i. Kejadian pada kelompok ayam resisten dan peka terhadap MDV, terjadi pertambahan virus sampai hari ke -10 paskainfeksi (pi), setelah itu terjadi penambahan virus pada kelompok ayam peka dan terjadi penurunan pada ayam resisten (Kaiser et al. 2003). Flavonoid telah diketahui sebagai antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik, antitrombotik, dan aktivitas vasodilatasi (Miller 1996). 52 D C Gambar 11 Fotomikrograf bursa Fabricius ayam yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap MDV, metode SAB dan counterstain Hematoksilin. (C) kelompok yang diberikan ekstrak benalu teh dan infeksi MDV menunjukkan reaksi positif minimal terhadap keberadaan virus ( (D) Reaksi positif ditunjukkan juga pada kelompok tanpa diberi ekstrak benalu teh dan infeksi MDV menunjukkan jumlah yang lebih banyak. Bar = 16 µm. ). Limfosit pada Proventrikulus Untuk mengamati seberapa jauh kemampuan ekstrak S. oortiana menurunkan risiko neoplasma berdasarkan peubah jumlah limfosit pada submukosa proventrikulus, dilakukan pengamatan dengan membandingkan jumlah limfosit pada submukosa proventrikulus pada berbagai kelompok perlakuan pada 20 dan 40 hari p.i. Dalam hal ini kasus penyakit Marek, ditandai dengan lesi limfomatus dan infiltrasi limfosit pada proventrikulus, sel limfoblas dan sel retikuler pada sel-sel kelenjar (Larbier dan Leclerco 1992). Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok ayam perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok perlakuan, A, yaitu ayam yang dibenalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai terendah sebesar 42,40 yang berbeda dari kelompok D, yaitu ayam tanpa pemberian benalu dan infeksi MDV yang memiliki nilai sebesar 59,53. Rendahnya jumlah limfosit pada kelompok perlakuan A ada kecenderungan sebagi efek dari ekstrak S. oortiana menurunkan jumlah limfosit. Tingginya jumlah limfosit pada kelompok perlakuan D disebabkan oleh 53 kelanjutan dari infeksi MDV produktif menuju infeksi transforming yang menimbulkan limfoma yang ditandai dengan peningkatan jumlah limfosit pada 20 hari p.i. Kelompok perlakuan B, yaitu ayam tanpa pemberian ekstrak benalu teh tanpa uji tantang MDV memiliki nilai 44,67 tidak berbeda dengan kelompok perlakuan C, yaitu ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diuji tantang yang meiliki nilai 56,33. Kedua kelompok perlakuan B dan C tidak berbeda baik dari kelompok A maupun D. Hasil ini menunjukkan bahwa gejala infeksi tranforming yang menimbulkan limfoma pada proventrikulus dan pengaruh pemberian ekstrak S. oortiana belum mampu mempengaruhi risiko neoplasma yang disebabkan oleh tindakan uji tantang MDV onkogenik pada 20 hari p.i. Tabel 9 Rataan jumlah limfosit submukosa proventrikulus 20 hari dan 40 hari pascainfeksi (p.i) Jumlah limfosit 20 hari p.i Perlakuan A a 42,40 ± 9,974 B ab 44,333 ± 7,204 C ab 56,333 ± 6,986 D b 59,533 ± 9,752 40 hari p.i 53,400 ± 2,107a 59,800 ± 8,108a 67,000± 11,152a 93,800± 22,303b Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 40 p.i. Kelompok perlakuan, A, yaitu pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai terendah sebesar 53,40, tidak berbeda dengan kelompok perlakuan B, yaitu tanpa pemberian ekstrak benalu teh tanpa uji tantang MDV memiliki nilai 59,80 yang tidak berbeda dari kelompok perlakuan C, yaitu ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diuji tantang memiliki nilai 67,00. Kelompok ayam perlakuan A, B, dan C berbeda dari kelompok D (p<0.05), yaitu tanpa pemberian benalu dan diuji tantang MDV, memiliki nilai 59,53. Terjadi peningkatan jumlah limfosit pada kelompok ayam perlakuan D sebagai penanda peningkatan patogenesis neoplasma pada penyakit Marek yaitu berupa limfositosis yang disebabkan oleh uji tantang menggunakan MDV onkogenik pada 40 hari p.i. Tingginya jumlah limfosit pada submukosa proventrikulus pada tindakan infeksi MDV onkogenik tanpa diberi ekstrak S. 54 oortiana. Infeksi MDV onkogen diawali infeksi akut produktif, infeksi laten, kemudian dilanjutkan infeksi tranforming berupa limfomatosis pada organ limfoid maupun diluar organ limfoid. Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang diuji tantang dengan MDV onkogenik mampu menurunkan risiko neoplasma, yang ditandai dengan menurunnya jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada kelompok ayam perlakuan C yang berbeda dengan kelompok perlakuan D. Infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor kelenjar susu (Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh tersebut kemungkinan diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan saponin yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000). Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada patogenesis Marek pada Hati Hati merupakan salah satu organ viseral yang sangat spesifik dan sering digunakan di dalam melakukan diagnosis secara makroskopik terhadap infeksi MDV. Perubahan yang khas ditandai oleh nodul-nodul tumor yang berwarna putih dan berbentuk seperti kancing dengan permukaan yang cembung pada lobus hati. Pada penelitian ini perubahan tersebut tidak dapat ditemukan secara makroskopik, karena belum terjadi pembentukan tumor. Hal kedua adalah pelaksanaan penelitian untuk menciptakan tumor dengan infeksi MDV ini dilakukan pada periode yang sangat singkat. Pemeriksaan hati secara histologik menunjukkan hasil bahwa pemberian ekstrak benalu teh saja akan meningkatkan jumlah sel Kupfer atau dapat bertindak sebagai imunostimulator. Namun temuan secara histologi ini masih perlu dikonfirmasi dengan penelitian lanjut dengan lebih mendalam atau diperlukan dukungan dari data yang lain. Perubahan yang terjadi akibat infeksi MDV adalah infiltrasi sel-sel limfoid dan makrofag pada organ hati. Pada kelompok C, yaitu ayam yang diberi ekstrak benalu teh, ternyata mampu menekan pertumbuhan sel-sel limfoid atau sel tumor, yang ditunjukkan dengan jumlah sel limfoid yang lebih sedikit dibandingkan dengan hati pada kelompok D (infeksi MDV). Sebagai ilustrasi hasil-hasil tersebut dijelaskan pada Gambar 10. Infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor kelenjar susu (Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh 55 tersebut kemungkinan diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan saponin yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000). A B C D Gambar 12 Fotomikrograf hati ayam dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). (A) kelompok yang diberikan ekstrak benalu teh terjadi peningkatan jumlah sel-sel Kupfer dan sel limfoid ( ), (B) kelompok kontrol, (C) diberikan ekstrak benalu teh dan infeksi MDV terjadi penekanan pada pertumbuhan sel tumor, (D) infeksi MDV menyebabkan infiltrasi sel-sel limfosit dalam jumlah yang melimpah (+++) di daerah portal. Bar = 30 µm. 56 PEMBAHASAN UMUM Pada infeksi produktif MDV terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein yang menghasilkan partikel virus secara lengkap. Virus menginfeksi, merusak, dan membunuh limfosit B maupun limfosit T. Selama infeksi, terjadi sitolisis sehingga pada puncak replikasi virus terjadi imunosupresi dan peningkatan sensitivitas inang pada infeksi bersamaan dengan turunnya bobot relatif bursa Fabricius dan timus (Payne dan Venugopal 2000, Islam et al. 2002). Kerusakan jaringan sebagai konsekuensi infeksi pada umumnya disebabkan oleh respons imun inang terhadap mikroba serta produknya dan bukan disebabkan oleh mikroba bersangkutan (Kresno 2004). Radikal bebas diproduksi secara normal pada fungsi imunitas, yang diperlukan oleh sel imun untuk membunuh patogen dan mengeluarkannya. Dalam keadaan produksi yang berlebihan, yaitu pada kondisi patogenik, radikal bebas menyebabkan kerusakan sel imun dan menimbulkan imunosupresi. Eritrofagositosis juga terjadi pada penyakit Marek oleh makrofag. Dalam kondisi ini dibutuhkan keseimbangan oksidan-antioksidan untuk mengatur fungsi sistem imun dalam menjaga integritas dan fungsi lipida membran, protein seluler, asam nukleat serta mengatur ekspresi gen (Gilka dan Spencer 1995, Wu dan Meydani 1999). Struktur molekul antioksidan bukan hanya memiliki kemampuan melepas atom hidrogen tetapi juga mengubah radikal menjadi reaktivitas rendah sehingga tidak terjadi reaksi dengan lemak. Antioksidan terdiri atas antioksidan endogen yang dihasilkan oleh tubuh sendiri dan antioksidan eksogen yang berasal dari makanan (Jadav et al. 1996, Manampiring et al. 2000). Diet antioksidan eksogen mencegah kerusakan seluler melalui reaksi yang dilakukan oleh radikal bebas. Ayam yang diberi pakan diet semisintetik rendah antioksidan menunjukkan penurunan stabilitas eritrosit terhadap H2O2 atau 2,2’-azobis (2-amidinopropan) dihidrokhlorid (AAPH), tetapi peningkatan pada aktivitas katalase pada hepar, karbonil pada protein otot tak larut, dan peningkatan oksidasi lemak pada perlakuan pemanasan pada hepar dibandingkan dengan ayam yang diberi pakan konvensional. Pada percobaan ini, ayam model menjadi lebih peka terhadap perubahan oksidatif daripada ayam yang diberi pakan konvensional, yang ditunjukkan oleh rendahnya pertahanan antioksidan (Young et al. 2002). 57 Aktivitas benalu teh sebagai antioksidan yang terkandung dalam ekstrak ditandai dengan daya mereduksi kaliumferisianida [K3Fe (CN)6], menghambat oksidasi asam linoleat, kemampuan eliminasi terhadap H2O2 ((Leswara dan Kartin 1998, Santoso 2001, Susmandari 2002). Uji aktivitas antioksidan menggunakan radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), dilakukan pada ekstrak daun benalu teh S. oortiana (ekstrak n-heksan, etilasetat, metanol, dan air). Aktivitas antioksidan ditentukan dengan nilai IC50 (ug/ml). Berdasarkan kurva konsentrasi (ug/ml) dengan peredaman radikal bebas (%) terlihat bahwa vitamin C sebagai kontrol positif memiliki potensi antioksidan tertinggi dengan nilai IC50 65,51, artinya dengan konsentrasi 65,51 ug/ml dapat menghambat 50% kerja radikal bebas DPPH. Semakin rendah nilai IC50 semakin tinggi potensi antioksidannya. Nilai IC50 ekstrak n-heksan adalah 697,68 ug/ml, ekstrak etilasetat adalah 617,03 ug/ml, ekstrak metanol 93,59 ug/ml, dan ekstrak air adalah 121,17 ug/ml (Simanjuntak 2004). Pada penelitian ini digunakan ekstrak benalu teh S. oortiana dengan dosis 10 mg/kg bb pada ayam yang diinfeksi MDV onkogenik. Dosis ini digunakan untuk mencegah sitolisis bursa Fabricius dan timus yang diukur berdasarkan bobot relatif organ tersebut dan ukuran diameter folikel bursa Fabricius pada 20 dan 40 hari p.i. Menurut Fadly (2000) replikasi virus herpes pada bursa Fabricius dan timus menimbulkan imunosupresi transien, perubahan sitolitik akut pada organ ini ditandai dengan atropi. Pada infeksi eksperimental terjadi lesi bursa Fabricius yang mengalami degenerasi folikuler, nekrosis limfoid sehingga mengalami atropi, dan pembentukan kista. Ekstrak benalu teh (S. oortiana) berkhasiat sebagai imunomodulator karena mampu meningkatkan rataan bobot relatif bursa Fabricius, bobot relatif timus, dan diameter folikel bursa Fabricius. Hasil tersebut tercermin dari peningkatan rataan bobot realatif bursa Fabricius pada kelompok ayam yang diberi ekstrak S. oortiana dibanding kelompok yang diberi ekstrak dikombinasi dengan infeksi MDV maupun kelompok ayam yang hanya diinfeksi MDV 20 hari p.i. Bobot relatif timus pada kelompok ayam yang diberi ektrak S. oortiana dan diinfeksi MDV tidak mengalami penurunan pada 20 hari pascainfeksi. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak S. oortiana mampu menghambat imunosupresi akibat infeksi MDV. Pada pengamatan ini terjadi peningkatan rataan diameter 58 folikel bursa Fabricius 40 hari pascainfeksi pada kelompok ayam perlakuan kombinasi ekstrak S. oortiana dibanding dengan semua kelompok perlakuan. Ekstrak benalu teh spesies Scurrula atropurpurea mengandung 16 bahan bioaktif yang terdiri atas dari enam senyawa asam lemak, dua santin, dua glikosida flavonol, satu glikosida monoterpen, satu glikosida lignan, dan empat flavon (Ohashi et al. 2003). Kemampuan benalu teh menghambat kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas berkaitan dengan aktivitas bahan aktif pada benalu teh sebagai antioksidan. Daun dan batang tanaman ini mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin yang berperan sebagi antioksidan (Windardi dan Rahajoe 1998, Achi 2005). Potensi flavonoid sebagai antioksidan dan kemampuannya mengurangi aktivitas radikal hidroksi, anion superoksida, dan radikal peroksida lemak menjadikan flavonoid bereperan penting dan sangat erat kaitannya dengan proses dan epidemiologi penyakit (Larbier dan Leclerco 1992, Miller 1996). Pada imunitas nonspesifik hewan mengaktivasi makrofag untuk memproduksi agen penghancur produk mikroba dengan cara mensintesis nitric oxyde synthase. Enzim ini menggunakan NADPH dan oksigen untuk mengaktivasi L-arginin untuk memproduksi nitrit oksida (NO) dan sitrulin (Tizzard 2000). Keberadaan iNOS berdasarkan reaksi positif dengan pewarnaan imunohistokimia pada jaringan hati diduga terkait dengan aktivitas sel-sel dalam hati yang diekspresikan oleh sel-sel Kupffer maupun sel endotel. Kelompok ayam yang diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (A) mengalami peningkatan pembentukan iNOS yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok ayam tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (B). Nitrit oksida merupakan molekul yang penting yang mempengaruhi sistem kardiovaskuler. Nitrit oksida merupakan senyawa yang bersifat toksik dan berumur pendek, berupa molekul gas yang diproduksi oleh enzim inducible NO synthase, dengan cara mengubah asam amino arginin menjadi NO dan sitrulin (Beccker et al. 2000). Molekul NO berperan penting sebagai regulator kardiovaskuler, meningkatkan tekanan darah, diproduksi oleh neuron dan makrofag. Nitrit oksida memiliki jumlah elektron ganjil dan sebagai radikal bebas, molekul ini relatif stabil namun bereaksi cepat bila bertemu dengan senyawa yang mengandung elektron yang tidak berpasangan, misalnya 59 molekul oksigen, anion superoksida dan ion logam (Cambel dan Smith 2001). Flavonoid telah diketahui sebagai antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik, antitrombotik, dan aktivitas vasodilatasi (Larbier dan Leclerco 1992, Miller 1996). Infeksi MDV mampu meningkatkan jumlah sel yang menghasilkan iNOS baik pada kelompok yang diberi ekstrak maupun tanpa diberi ekstrak S. oortiana dibanding dengan kelompok ayam tanpa infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi MDV mampu meningkatkan produksi iNOS sebagai bagian dari respons imun nonspesifik. Feng et al. (2002) menyatakan pertumbuhan dan metastasis tumor bergantung pada bertambahnya suplai darah melalui angiogenesis, ekspresi yang berlebihan dari iNOS dan vascular endothelial growth factor (VEGF) menginduksi angiogenesis pada tumor. P53 menekan angiogenesis dengan cara menurunkan VEGF dan iNOS. Sesuai dengan pendapat Xing dan Schat (2000) peran sitokin pada patogenesis dan imunitas terhadap MD, yang diinduksi oleh virus herpes menyebabkan limfoma pada sel T. Pada ayam umur 21 hari yang diinfeksi MDV, dilaporkan terjadi peningkatan transkipsi IF-Y setelah 3 hari p.i sampai akhir percobaan, yaitu 15 hari p.i, ketika iNOS dan IL-1ß mengalami peningkatan antara 6 sampai 15 hari p.i. Pada ayam umur 1 hari p.i mRNA untuk mengekspresikan IF-Y dan iNOS, meningkat antara 16 sampai dengan 64 kali pada 9 hari p.i. Kesimpulan dapat diambil bahwa iNOS berperan pada patogenesis MD. Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun pada mamalia. Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan sistem seluler secara bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan limfosit T. Makrofag memproses antigen dan menyerahkannya kepada limfosit. Limfosit B, yang berperan sebagai mediator imunitas humoral, yang mengalami transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi (Sharma 1991). Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan pada infeksi virus dan pertahanan pada serangan infeksi virus (Mayer 2003). Pengambilan serum darah dilakukan secara bertahap, yaitu pada 10, 20, dan 30 hari p.i., titer antibodi diukur secara kuantitatif berdasarkan tinggi rendahnya antibodi terhadap MDV menggunakan metoda enzyme linkage immunosorbent assay (ELISA). 60 Meningkatnya titer antibodi terhadap MDV pada 20 hari kelompok perlakuan pemberian benalu teh dan infeksi MDV (C) lebih tinggi daripada kelompok tanpa pemberian benalu teh dan tanpa infeksi MDV (B). Hal ini disebabkan adanya kombinasi pengaruh imunomodulasi ekstrak S. oortiana dengan faktor imunostimulasi sebagai respon imun akibat tindakan uji tantang. Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan infeksi virus dan pertahanan terhadap serangan infeksi virus (Mayer 2003). Tanaman benalu teh S. artopurpurea secara empirik digunakan untuk mengobati penyakit kanker. Aktivitasnya sebagai antikanker adalah secara tidak langsung, yaitu melalui sistem kekebalan dengan cara meningkatkan konsentrasi imunoglobulin G (IgG). Pemakaiannya sebagai obat antitumor atau antikanker menimbulkan dugaan bahwa bahan tersebut bersifat imunostimulator, yaitu meningkatkan konsentrasi IgG (Winarno et al. 2000). Pemeriksaan imunohistokimia keberadaan MDV pada bursa Fabricius menunjukkan terjadi penurunan pada kelompok ayam yang diinfeksi dengan MDV dan diberi ekstrak S. oortiana. Secara umum jika antigen diinjeksikan pada hewan, kemudian hewan tersebut akan memproduksi antibodi untuk menangkap antigen tersebut dan menghancurkannya. Antibodi bersifat spesifik dan hanya berikatan dengan antigen yang menstimulasi produksi antibodi tersebut. Produksi antibodi membutuhkan waktu interval beberapa hari setelah injeksi, dan puncak tertinggi tercapai pada 10-14 kemudian mengalami penurunan (Tizzard 2000). Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang diuji tantang dengan MDV onkogen mampu menurunkan risiko kanker yang ditandai dengan penurunan persentase limfosit pada leukosit ayam yang diberi benalu teh dan diinfeksi MDV pada 20 hari p.i dan jumlah limfosit submukosa proventrikulus 40 hari p.i pada kelompok ayam yang diberi benalu teh dan diinfeksi yang berbeda dengan kelompok ayam tanpa diberi benalu teh dan diinfeksi. Perubahan histopatologi pada 40 hari p.i yang terjadi akibat infeksi MDV adalah infiltrasi sel-sel limfoid dan makrofag pada organ hati. Kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV ternyata mampu menekan pertumbuhan sel-sel limfoid atau sel tumor, yang ditunjukkan dengan jumlah sel limfoid yang lebih sedikit dibandingkan dengan hati ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV. pada kelompok ayam tanpa diberi 61 Induksi apoptosis pada sel tumor adalah sangat penting dalam manajemen baik pada pencegahan maupun terapi kanker (Trapdhar et al. 2001). Katehin efektif menghambat proliferasi sel Hela sampai dengan 60% dengan cara meningkatkan adesi sel dan meningkatkan apoptosis (Fernandez 2006). Katehin adalah salah satu komponen utama yang terdapat dalam teh dan benalu teh yang mempunyai daya aktivitas menghambat kanker. Teh memiliki kandungan katehin paling tinggi dibanding dengan semua benalu teh, yaitu sebesar 3,1735% dan yang paling tinggi di antara benalu teh adalah S. oortiana bagian daun sebesar 1,3692%, S. junghunii sebesar 1,1497%, Lepeostegeres gemmiflorus sebesar 0,8631%, dan Dendropthoe pentandra sebesar 0,7437% (Simanjuntak et al. 2006). Dua struktur fenol, yaitu lignan dan flavonoid, memiliki peran sebagai antioksidan dan juga mencegah perubahan dari prokarsinogen menjadi karsinogen atau mengeliminasi radikal bebas, dan pada usus mereduksi risiko kanker di bagian kolon (Aldercreutz 1996). Hasil isolasi dan eludasi struktur kimia benalu teh Scurrula artopurpurea (Lorantaceae) diperoleh senyawa berikatan rangkap tiga, asam oktadeka 8,10,12 tryonat (1) yang telah diuji terhadap sel kanker dan mempunyai inhibisi sebesar 94,9% pada konsentrasi 5 µg/ml. Sementara itu kandungan senyawa flavonoid, katehin (2) dan epikatehin (3) yang terlebih dahulu dikenal sebagai pencegah serangan kanker mempunyai daya inhibisi sebesar 34% pada 10 µg/ml (Ohashi et al, 2003) Tiga senyawa flavonoid alam telah diisolasi menggunakan etil asetat yang berasal dari fraksinasi S. feruginosa. Flavonoid tersebut kuersetin, kuersetrin, dan flavonol glikosida 4-O-asetil kuersetrin. terdiri atas Evaluasi daya sitotoksik pada kultur jaringan kanker glioblastoma manusia menunjukkan bahwa kuersetin memiliki aktivitas tertinggi (Le Dévéhat et al. 2002). Senyawa polifenolat alam, termasuk flavonoid yang disintesis oleh tanaman, mampu memperbaiki kesehatan. Kuersetin dan kuersetin glikosida yang tersebar pada flavonoid banyak ditemukan pada buah dan sayur. Senyawa ini secara luas berperan pada perbaikan kesehatan sehingga menjadi penting dan menarik (Boyer et al. 2005, Lila et al. 2005). Degradasi isoflavon dan flavonoid dalam saluran pencernaan menjadi senyawa monofenolat memiliki daya tarik karena beberapa monofenolat memiliki sifat berefek sebagai antiproliferatif, misalnya senyawa metil p-hidroksifenolat dapat menghambat sel MCF-7 secara in-vitro 62 (Hendrich et al. 1999). Ikatan dengan protein menghasilkan pelapisan substansi yang merupakan kapasitas antioksidan flavonoid. Pada kejadian ini penambahan aktivitas intrinsik dari senyawa, metabolisme, ikatan terhadap protein juga menentukan untuk mempengaruhi efek pemberian flavonoid secara invivo (Arts et al. 2002). Infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor kelenjar susu (Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh tersebut kemungkinan diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan saponin yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000). Ekstrak batang maupun daun Scurrula oortiana mampu meningkatkan sensitivitas atau suseptibilitas pada sel WEHI-164 pada TNF-α, peningkatan sensitivitas lebih dari 160 kali dibanding dengan sel kontrol tanpa perlakuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air S. oortiana secara nyata bersifat sitotoksik pada sel tumor WEHI-164 dan meningkatkan sensitivitas sel tumor pada TNF-α sehingga mengalami lisis (Murwani 2003). Potensi ekstrak benalu teh S. oortiana sebagai imunomodulator ditandai dengan peningkatan bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh tanpa infeksi dan bobot relatif timus pada kelompok ayam yang diberi benalu teh MDV tidak mengalami penurunan akibat infeksi MDV pada 20 hari p.i. Terjadi peningkatan diameter folikel bursa Fabricius pada kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV, pada 40 hari p.i. Imunitas nonspesifik berdasarkan hasil pemeriksaan imunohistokimia memperlihatkan peningkatan pembentukan iNOS pada ayam yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV, pada 20 hari p.i. Imunitas humoral, yaitu titer antibodi terhadap MDV terjadi peningkatan pada kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV, pada 20 hari p.i. Ekstrak benalu teh S. oortiana mampu menurunkan jumlah virus MDV pada kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diinfeksi MDV pada 20 hari p.i. Kemampuan menurunkan risiko kanker ditandai dengan menurunnya persentase limfosit pada leukosit 20 hari p.i, jumlah sel-sel limfosit pada submukosa proventrikulus dan perubahan histopatologi pada organ hati menunjukkan penurunan jumlah sel-sel limfoid pada kelompok ayam yang diberi benalu teh dan diinfeksi MDV, pada 40 hari p.i. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahui ada interaksi antara pemberian ekstrak benalu teh Scurrula oortiana dengan perkembangan (uji tantang) infeksi Marek Disease Virus (MDV) onkogenik pada ayam petelur: Infeksi (uji tantang) MDV onkogenik dengan dosis 1.0 X 103 TCID50 pada ayam ras petelur betina menimbulkan imunosupresi pada 20 hari pascainfeksi (p.i.) dan terjadi pemulihan menjadi normal pada 40 hari p.i.; berdasarkan bobot relatif bursa Fabricius dan timus serta ukuran diameter folikel bursa Fabricius. Infeksi MDV mampu menimbulkan neoplasma pada 20 hari p.i dan terjadi peningkatan patogenitas berdasarkan jumlah limfosit yang ditemukan pada proventrikulus dan organ hati 40 hari p.i. Pemberian ekstrak S. oortiana dosis 10 mg/kg bb pada ayam ras petelur betina berpotensi sebagai imunomodulator, yang ditandai dengan peningkatan bobot relatif bursa Fabricius dan timus pada 20 hari p.i, dan meningkatkan diameter folikel bursa Fabricius pada 40 p.i. Pengaruh pada imunitas nonspesifik ditandai dengan meningkatnya kadar inducible Nitric Oxide Syntase (iNOS) pada organ hati 20 hari p.i. Pengaruh pemanfaatan ekstrak benalu teh terhadap imunitas humoral ditandai dengan meningkatnya titer antibodi terhadap MDV pada kombinasi pemberian ekstrak benalu teh dengan uji tantang MDV 20 hari p.i. Khasiat ekstrak S. oortiana memiliki potensi sebagai antivirus, yang ditandai dengan kemampuannya menghambat perkembangan MDV pada bursa Fabricius 20 hari p.i. Ekstrak S. oortiana juga mampu mengurangi risiko neoplasma, yang ditandai dengan menurunnya persentase limfosit pada leukosit 20 hari p.i. dan jumlah limfosit pada proventrikulus dan organ hati 40 hari p.i. DAFTAR PUSTAKA Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. 2000. Celluler and Molecular Immunologi. 4th Ed. W.B. Ssaunders Company. Harcourt Health Science Company. Achi AA. 2000. Misletoe and Clinical Use. US Pharm 30101: 12-18. Ada GL. 2000. Challenges of Chronic Persisting Infection of Global Importance for Vaccine Developers. Biosciece. Ed. CA. Pasternak. Imperial College Press. Adhami M, Nihal A, Hasan M. 2003. Targets for green tea in prostate cancer prevention. J Nutr 133: 2417S-2424S. Agapov II. et al. 1999. Mistletoe lectin dissociates into catalytic and binding subunits before translocation across the membrane to the cytoplasm. FEBS Letters (452): 211-214. Aldercreutz H. 1996. Lignan and isoflavonoids: epidemiology and possible role in prevention of cancer. Natural antioxidants and food quality in atherosclerosis and cancer prevention. Edited by Kumpulainen JT and Salonen JT. The Royal Scociety of Chemistry Information. Arnelia 2006. Fito-kimia komponen ajaib cegah PJK, DM dan kanker. Puslitbang Gizi. Lmbaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. File:///E:/[email protected]. [Januari 2007]. Anobile JM et al. 2006. Marek’s oncogene. J Virol 80 (3): 1160-166. Arts MJ, et al. 2002. Interaction between flavonoids and proteins: Effect on the total antioxidant capacity. J Agric Food Chem 50:1184-1187. Baigent SJ, RossLJN, Davison TF. 1996. A flow cytometric method for identifying Marek’s disease virus pp38 expression in lymphocyte subpopulation. Avian pathol 25: 255-267. Barrow AD, Burgess SC, Howes K, Nair VK. 2003. Monocytosis is associated with the onset of leukocyte and viral infiltration of the brain in chickens infected with the very virulent Marek’s disease virus starin C12/130. Avian Pathol (32): 183-191. Becker, Maydani. 1984. dalam Benedict AA. 1999. Immunology role of Antioxidant Vitamine. CAB International Antioxidant Human in Health (eds TK. Basu. N.I. Temple and M.L.Garg). Becker WM, Kleinsmith LJ, Hardin J. 2000. The Word of the Cell. The Benjamin/Coming Publishing Company. Benedich A. 1999. Immunological role of antioxidant vitamins. Antioxidant in human health and disease. Edited : Basu TK, Temple NJ, Garg ML. University of Newcastle Collaghan, NSW Australia. Cabi Publishing. Benchimol S dan Minden MD. 1998. Virus, oncogenes, and tumor supressor genes. The basic science oncology. 3rd edition. Editor Tannock IF dan Hill RP. McGraw-Hill Healt Preofesion Devision. Blokhina O, Kleinsmith LJ, Hardin J. 2003. Antioxidant, Oxidative Damage and Oxygent Deprevation Stress. Ann Bot 91: 179-194. 65 Boyer J, Brown D, Liu RH. 2005. Invitro digestion and lactase treatment Influence uptake of quercetin and quercetin glukosida by the caco-2 cell monolayer. Nutr J Doi 10.1186: 1491. Buhler DR. 2003. Antioxidant Activities of Flavonoids. Departement of Environmental and Molecular Toxicology Oregon State University. Ipi @oregontate.edu [12 Oktober 2005] Burgess SC, Davison TF. 2002. Identification of the Neoplastically Transformed Cells in Marek’s Disease Herpesvirus-Induced Lymphomas : Recognition by the Monoclonal Antibody AV37. J Virol 7276-7292 Cann A.J. 1997. Principle of Molecular Virology. Acdemic Press. 2nd Edition Capter 6. Calnek BW, Harris RW, Bucaglia C, Schat KA, Lucio B. 1998. Relationship between the immunosuppressive Potential and the pathotype of marek’s disease virus isolates. Avian disease 42:124-132. Cambell PN, Smith AD. 2000. Biochemistry Illustrated. 4th Edition. Churchill Livingstone. Chevile NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. 2nd. Ed. Iovastate University Press/AMS. Cho K-O, Ohashi K, Onuma M. 1999. Electron microcopic and immunohistochemical localization of Marek’s disease (MD) herpesvirus particles in MD Skin Lymphomas. Vet Pathol 36: 314-320. Crowell JA. 2005. The chemopreventive agent development research program in the Division of Cancer Prevention of the US National Cancer Institute : An overview. www.ejconline.com. [ 6 July 2005]. Davison F. 1997. The immunology of marek’s disease. World Poultry Dec. 1997: 15-16. Devehat Fl, Tomasi S, Fontanel, Boustie J. 2002. Flavonoid from Scurrula ferruginosa Danser Lorantaceae). Djeraba A, et al. 2002. Protective Effect of Avian Myelomonocytic Growth Factor in Infection with Marek’s DiseaseVirus.File:///D:/SAMSI%20(G) /Protective%20 Effect%20of%20Avian%. [14 Agustus 2006] Dohms JE. 1991. Mekanisms of Immunosupresssion. Vet Immunol and Immunopathol 30: 19-30. Dorai T, Agrawal BB. 2004. Role of chemopreventive agents in cancer therapy. www.sciencedirect.com. [ 14 Agustus 2006]. Fadly AM. 1997. The etiology and pathology of marek’s disease. World Poultry December 1997: 8-9. Fadly AM. 2000. Neoplastic disease. Disease of Poultry. Ed. Saif YM. Iowa State Pr. A Blackwell Publishing Company. Feng et al. 2002. Expression of p53, inducible nitric oxide synthase and vascular endothelium growt factor in gastric cancerous lesions : corelation whith clinical features. BMC Cancer 20: 2-8. 66 Fernandez XA et al. 2006. Chemopreventive Activity of Polyphenolics from Black Jamapa Bean (Phaseolus vulgaris L.) on HeLa and HaCaT Cells. J Agric Food Chem 54: 2116-2122. Flora SD, Ferguson LR. 2005. Overviuw of mechanisms of cancer chemopreventive agents. Mutation reseach 591: 8-15. Gerhäuser C. et al. 2005. Mechanism-based in vitro screening of potential cancer chemopreventive agents. www.elsevier .com/locate/molmut. [ 14 Augustus 2006]. Gilka F, Spencer JL. 1995. Extravascular haemolytic anameimia in chicks infected with highly pathogenic marek’s disease viruses. Avian Pathol (2) : 393410. Gimeno IM. Et al. 2005. The pp38 gene of marek’s disease virus (MDV) is necessary for cytolytic Infection of B cells and maintanance of the transformed state but not for cytolytic infection of the feather follicle epithelium and horizontal spread of MDV. J Virol 4545-4549. Hendrich S, Wang G-J, Lin H-K, Xu X, T B-Y, Wang H-J, dan Murphy P.1999 Isoflavon Metabolism and Bioavalability. Antioxidant Status, Diet, Nutrition, and Health. Edited by Papas A m. CRC Pr. Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts. First edition. Published by Chapman and Hall, London. Howell NK, Saeed S. 1999. The effect of Antioxidants on the Prduction of lipid Oxidation Product and Transfer of Free Radicals Oxidazed Lipid-Protein Systems. CAB International Antioxidant Human in Health (eds TK. Basu. N.I. Temple and M.L.Garg). Hunt RC. 2003. Virology Chapter Six “Oncogenic Virus” Microbiology and Immunology. University of South Carolina. Hursting SD. et al. 2005. The utility of genetically altered mouse models for nutrition and cancer chemoprevention research. www.elsevier .com/locate/molmut. [ 14 Augustus 2006]. Imeh U, Khokhar S. 2002. Distribution of conjugated and free phenols in fruits : antioxidant activity and cultivar variations. J Agric Food Chem (50): 63016306. Islam AMFMF et al. 2002. Immunosuppresive effects of marek’s disease virus MDV) and herpesvirus of turkey (HVT) in broiler chickens and protective efect of HVT vaccination challenge. Avian Pathol 31: 449-461. Ito H. et al. 2002. Antitumor activity of compounds isolated from leaves of eryobotrya japonica. J Agric Food Chem (50): 2400-2403. Jadav SJ, Nimbakar SS, Kalkuni AD, dan Madhavi. 1996. Lipid oxidation in biological and food systems. Food Antioxidant. Marchel Dekker Inc. Janeway CA, Paul T, Mark W, Mark JS. 2001. Immuno Biology. Fifth Edition. Garland Publishing, New York. Joklik WK. 2000. The way ahead for virology : Molecular pathogenesis. Bioscience Ed. C.A. Pasternak. Imperial College Press. 67 Kamdem RE, Shengmin S, Chi TH. 2002. Mechanism of the superoxide scavenging activity of neoandrographolide-A natural product from andrographis paniculata Nees. J Agric Food Chem. (50): 4662-4665. Kaiser P, Underwood G, Davison F. 2003. Differential cytokine responses following Marek’s disease virus infection in chickens differing in resistance to Marek’s disease. J Virol Jan: 762-768. Khokhar S, Magnusdottir SGM. 2002. Total phenol, catechin, and caffeine contents of teas commonly consumed in the united kingdom. J Agric Food Chem (50): 565-570. Kim DO, Lee KW, Lee HJ, Lee CY. 2002. Vitamin C Equivalent Antioxidant Capacity VCEAC) of Phenolic Phytochemicals. J AgricFood Chem 50: 37133715. Kingham BF, Vladimir Z, Juraj K, Vladimir M, Erik N. 2001. The genome of herpesvirus of turkeys : comparative analysis with Marek’s disease viruses. J General Virol (82): 1123-1135. King MW. 2001. Proto-oncogenes and Cancer. Return to Medical Bichemistry Page. IU School Medicine. Kresno SB. 2004. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi keempat. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta. Krishnamachari V, Lanfang HL, Paul WP. 2002. Flavonoid oxidation by the radical geberator AIBN : A unified mechanism for quercetin radical scavenging. J Agric Food Chem (50) : 4357-4363. Kuby 1999. Immunology. W.H. Freemasn Company. New York 3rd Edition. Kuhnlein U, Ni L, Weigend S, Gavora JS, Fairfull w, Zanworny D. 1997. DNA polymorphisms in the chicken growth hormone gene : response to selection for diseae resistance and association with egg production. Anim Genetics (28): 116-123. Larbrier M dan Loeclerco B. 1992. Nutrition and Feeding Poultry. Nottingham University Press. Lesourd BM, Mazari L, Ferry M. 1998. The role of nutrition in immunity in the aged. Nutr Rev 56, 1. S113-125. Leswara DN, Kartin. 1998. Perbandingan daya antioksidan bebrapa jenis benalu menggunakan metode spektrofotometri. Warta Tumbuhan Obat Indones 4: 10-12. Lila MA, Gad GY, Yong J, Connie MW. 2005. Sorting out bioactivity in flavonoid mixtures. Symposium : Relative Bioactivity of Functional Foods and Related Dietary Supplements. J Nutr 135: 1231-1235. Lohellt TU. 2006. Relevant oncogen viruses in Vetinary Medicine original pathogens and animal model for human disease. Mic Basel 13:101-103. Maillard MNP, Cuvelier ME, Berset C. 2003. Antioxidant activity of phenolic compounds in 2,2’-Azobis (2-amidinopropane) dihydrochloride (AAPH)induced oxidation: Synergistic and Antagonistic Effects. Paper no. J10513 in JAOCS 80. 1007-1012. 68 Manampiring AE, Asyari SR, dan Arifin Z. 2001. Pengaruh kebiasaan menonsumsi tempe dan kebiasaan mengonsumsi ikan terhadap kadar molandinoldehida dan vitamin E plasma darah. Sains Kesehatan. 14(2). Mei: 208-219. Marinetti GV. 1990. Disorders of Lipid Metabolism. University of Rochester Medical Center Rochester, New York. Plenum Press. New York and London. Mayer G. 2003. Virology Chapter Twelve “Virus Host Interactions” University of South Caorlina. Merry et al. 1989. dalam Benedict AA. 1999. Immunology role of Antioxidant Vitamine. CAB International Antioxidant Human in Health (eds TK. Basu. N.I. Temple and M.L.Garg). Miller AL.1996. Antioxidant Flavonoids: Structure, Function and Clinical Usage. File://C: Documents and Settings/jurnal Flavonoids. 8/24/2004. Montbriand MJ. 2004. Herb or natural product that protect againt cancers Growth. Oncol Noursh Forum 31. 6: E127. Morpho S. 2006. Genomic cancer therapy to become reality. Decision news media. File:///D:/SAMSI%20(G)/A%20genomic.htm. [21 Desember 2006]. Mulyono AW, Muhtadi A. 2001. Penapisan Aktivitas Antioksidan in vitro dari Berbagai Tumbuhan Obat. Laporan Penelitian Dasar. Fakultas Farmasi Universitas padjadjaran. Muntalib KS. 2003. Sintesis NO dan sindrom chaos. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Murwani R. 2003. Indonesian tea misletoe (Scurrula oortiana) stem exstract increase tumour cell sensitivity to tomour necrosis factor (TNFalpha).Laboratory of Nutritional Biochemistry, Faculty of Animal Agriculture, Center for Traditional Food Studies, Research Institute, Diponegoro University, Kampus Tembalang, Semarang 50275, Indonesia. [email protected] [21 Desember 2006] Murphy KJ. et al. 2003. Dietary flavanols and procyanidin oligomers from cocoa (Theobroma cacao) inhibit platelet function1-3. Am J Clin Nutr (77): 14661473. Murthy KNC, Jayaprakasha GK, Singh RP. 2002. Studies on antioxidant activity of pomegranate (Punica granatum) peel extract using in vivo models. J Agric Food Chem (50): 4791-4795. Noguchi N dan Niki E (1999). Chemistry of Active Oxygen Species and Antioxidant. Antioxidant Status, Diet, Nutrition, and Health. Edited by Papas A M. CRC Press Boca Roton, London, New York, Washington DC. Nugroho YA, Nuratmi B, Suhardi. 2000. Daya Hambat Benalu teh (Scurrulla atropurpurea) (Bl.). Danser terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu Mencit (Mus musculus L) C3H. Cermin Dunia Kesehatan. 127: 15-17. Osborn HT, Casimir CA. 2003. Effects of Natural Antioxidants on Iron-Catalysed Lipid Oxidation of Structured Lipid-Based Emulsions. Paper no.J10520 in JAOCS 80, 847-852. 69 Ohashi K, et al. 2003. Cancer cell invasion inhibitory effects of chemical constituents in the parasitic plant Scurrula artopurpurea (Lorantaceae). Chem pharm bull. 51(3): 343-345. Painter FM. 2003. Natural Agents in the Prevention of Cancer Part I : Human Chemoprevention Trials.File:///D:/SAMSI%20(G)/Lymphoma%203 care.htm. [14 Agustus 2006]. Parcells MS, Dienglewicz RL, Anderson AS, Morgan RW. 1999. Recombinant marek’s disease virus (MDV)-derived lymphoblastoid cell lines : Regulation of a marker gene within the context of the MDV genome. J Virol. Feb: 13621373. Parke DV. 1999. Nutritional Antioxidants and Disease Prevention Mechanism of Action. CAB International Antioxidant Human in Health (eds TK. Basu. N.I. Temple and M.L.Garg). Payne LN, Venugopal K. 2000. Neoplastic disease: Marek’s disease, avian leucosis and reticuloendotheliosis. Rev sci tech Int Epiz 19(2): 544-554. Pherson JD. 2001. Proposal to Sequence the Genome of the Chicken. Washington Universirty, Genome Sequencing Center. Rajalaksmi D, Narasimhan S. 1996. Food Antioxidants: Sources and Metthods of Evaluation. Food Antioxidants. Eddited by : Madhawi D>L, Deshpande S.S, Salunkhe D.K. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel, Hong Kong. Redd JC, Kutbuddin SD, Adam G. 2004. The Domains of Apoptosis : A Genomics Perspective. www.stkes.org/cgi/content/full/sigtrans;2004/239/re9 [16 Desember 2006]. Reddy SM, Witter R. 1997. Marek’s disease virus as an evolving pathogen. World Poultry Dec: 13-14. Rohn S, Harshadrai MR, Jurgen K. 2002. Inhibitory effect of plant phenol on the activity of selected enzymes. Institute of Nutritional Science, University of Postdam, Germany. J Agric Food Chem. 50 : 3566-3571 Santoso A. 2001. Isolasi Senyawa Bioaktif yang berpotensi Antioksidan dari Banalu Teh Scurrulla atropurpurea (Bl.) Danser. Skripsi. Jurusan Kimia FMIPA Institut Pertanian Bogor. Saroni, Astuti YN, Adjirni. 1998. Penelitian antidiare infus benalu teh (Scurrulla Atropurpurea (Bl.) dan pada tikus. Warta Tumbuhan Indones. 4.4: 9-10. Seifried HE, McDonald SS, Anderson DE, Greenwald P, Miller JA. 2003. The Antioxidant Conundrum in Cancer. Division of Cancer Prevention, National Cancer Institute, NIH. Maryland, and The Scientific Consulting Group, Inc., Gouthersburg Maryland. 4295-4298. Sharma JM. 1991. Overview of Avian Immune System. Vet Immunol and Immunopathol. 30 : 13-17. Silalahi J. 2006. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis. Cermin Dunia Kedokteran. 153: 42-47. Silva RF, Reddy S, Lupiani B. 2004. Expansion of a unique region in the marek’s disease virus genome occurs concomitantly with attenuation but is not sufficient to cause attenuation. J Virol. 78 (2): 733-740. 70 Simanjuntak P, Parwati T, Lenny LE, Tamat S, Murwani R. 2004. Isolasi dan identifikasi senyawa antioksi dan dari ekstrak benalu teh, Scurrula oortiana (Korth) danser (Lorantaceae). J Ilmu Kefarmasian Indones. 2. 1. April 2004: 6-9. Simanjuntak P, Bustanussalam, Murwani R. 2006. Analisis kandungan katehin dan epikatehin dalam beberapa ekstrak air benalu teh dan daun teh. Studi kimia tanaman benalu teh Scurrula spp. Pusat Penelitian Biotekonologi-LIPI. Simonsen M. 1987. The MHC of the Chicken, Genomic Structure, Gene Products, and Resistance to Oncogenic DNA and RNA Viruses. Elsevier Science Publishers B.V. Amsterdam. Vet Immunol and Immunopathol (17): 243-253. Skulachev VP. 2005. The Dual Role of Oxygen in Aerobic Cells. Biosciece. Ed. CA. Pasternak. Imperial College Press. Steele VE, Kellof GJ. 2005. Development of cancer chemopreventive drugs based on mechanistic approaches. Muta Res (591): 16-23 Steel RGD, Torrie JH., 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika-Suatu Pendekatan Biometrik. Cetakan kedua. PT. Gramedia Pustaka Tama. Jakarta. Sudihartini F. 2003. Analisis Aktifitas Glutation Peroksidase dalam Daun Benalu teh Scurrula atropurpurea yang Difermentasi oleh Acetobacter-Saccharomyces. Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Supandiman I, Muchtar, Sidik. 2000. Keamanan Pemakaian Obat Tradisional dalam Pelayanan Klinik. Proseding Kongres Nasional Obat Tradisional Indonesia (Simposium Penelitian Bahan Obat Alami X). Surabaya 20-22 Nopember. 1-11. Suradikusumah E. 1989. Bahan pengajaran kimia tumbuhan. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikti Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Susmandari M. 2001. Antioksidan Asam Glukoronat dalam Fermentasi Daun Benalu Teh oleh Konsorsium Acetobacter-Sacaromyces. Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Sweeney EC. et al. 1998. Mistletoe lectin I forms a double trefoil structure. FEBS Letters (431): 367-370. Tambunan RM, Bustanussalam, Simanjuntak P, Murwani R. 2003. Isolasi dan Identifikasi Kfein dalam Ekstrak Air daun Benalu the, Scurrula junghuni, Lorantaceae. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 1. 2: 16-18. Tharapdar AK, Roy M dan Bharattacharya RK. 2001. Natural products as inducers of apoptosis: Implication for cancer therapy and prevention. Current Sci. 80. 11: 1387-1397. Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. Sixth Edition. WB Saunders Company. Harcourt Health Sciences Company. Philadelphia, Pennsylvania. Walton NJ, Brown DE. 1999. Chemicals from Perspectives on Plant Secondary Products Plants. Imperial College Press. World Scientific. 71 Williamson G, Rhodes MJ, dan Parr AJ. 1999. Disease prevention and plant dietery substances. Chemical from prospectives on plant scondary product. Imperial College Press. World Science. Wilmot JP. 2006. Lymphoma. File:///D:/SAMSI%20(G)/Lymphoma%20care.htm. [14 Agustus 2006]. Winarno MW, Sundari D, Nurtami B.2000. Penelitian aktivitas biologik infus benalu (Scurrula atropurpurea Bl. Danser) terhadap aktivitas Sistem imun. Cermin Dunia Kesehatan. 127: 11-17. Winarno H. 2003. Senyawa Antikanker dari Benalu Teh. Kompas kamis 30 Oktober: 7. Winarno H, Ohashi K, Mukai M, Simanjuntak P, Shibuya H. 2003. Uji Bioaktivitas terhadap Invasi Sel Kanker dari Beberapa Senyawaan Flavonoid, Santin, Terpen, dan Ligan yang Diisolasi dari Benalu the (Scurrulla atropurpurea) Lorantaceae. Proseding Seminar dan Pameran Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXIV. Pusat Studi Biofarmaka LP-IPB Darmaga, Bogor 19 – 20 September 2003: 141-149. Windardi FI, Rahjoe JS. 1988. Keanekaragaman Banlu Teh di Pulau Jawa. Warta Tumbuhan Obat Indones. 4. 4: 25-29. Witter RL. 1998. The Change of lanscape of Marek’s disease. Avian Pathology 27: S46-S53. Witter RL, Gimeno IM, Reed WM, Bacon LD. 1999. An Acut Form of Transient Paralisis induced by Highly Virulent Strains of marek’s Disease Virus. Avian Disease 43: 704-720. Wu D, Meydani SN. 1999. Antioxidant and Immune Function. Diet, Nutrition, and Health. Edited by Papas A M. CRC Press Boca Roton, London, New York, Washington DC. Xing Z, Schat KA. 2000. Inhibitory effects of nitric oxide and gamma interferon on in vitro and in vivo replication of marek’s disease virus. J Virol Apr: 36053612. Yildirim A. 2001. The Antioxidant Activity of the Leaves of Cyndonia vulgaris. Turk J Med Sci. 31: 23-27. Young JF, Steffensen CL, Neilsen JH, Jensen SK, Stagsted J. 2002. Chicken model for studying dietary antioxidant reveal that apple (Cox’s orange)/Broccoli (Brassica oleracea L. var. italica) stabilizes erythrocytes and reduces oxidation of insoluble muscle proteins and lipids in cooked liver. J Agric Food Chem. 50: 5058-5062. Zavala G. 1997. All Living creatures evolve. World Poultry Dec: 10 - 15. Lampiran 1 Analisis ragam bobot realif bursa Fabricius, timus, dan limpa 20 hari p.i ANOVA Sum of Squares Rasio B Fab Between Groups 5.180E-06 Within Groups 3.067E-06 Total 8.247E-06 Rasio timus Between Groups 2.620E-05 Within Groups 1.455E-05 Total 4.075E-05 Rasio limpa Between Groups 2.923E-06 Within Groups 5.513E-06 Total 8.437E-06 df 3 8 11 3 8 11 3 8 11 Mean Square 1.727E-06 3.833E-07 F 4.504 Sig. .039 8.732E-06 1.819E-06 4.800 .034 9.744E-07 6.892E-07 1.414 .308 Multiple Comparisons Dependent Variable Rasio B Fab LSD Rasio timus LSD Rasio limpa LSD Mean Difference (I) Perlakuan (J) Perlakuan (I-J) BNT NBNT 6.333E-04 BT 1.500E-03* NBT 1.600E-03* NBNT BNT -6.3333E-04 BT 8.667E-04 NBT 9.667E-04 BT BNT -1.5000E-03* NBNT -8.6667E-04 NBT 1.000E-04 NBT BNT -1.6000E-03* NBNT -9.6667E-04 BT -1.0000E-04 BNT NBNT 1.000E-04 BT 2.133E-03 NBT 3.533E-03* NBNT BNT -1.0000E-04 BT 2.033E-03 NBT 3.433E-03* BT BNT -2.1333E-03 NBNT -2.0333E-03 NBT 1.400E-03 NBT BNT -3.5333E-03* NBNT -3.4333E-03* BT -1.4000E-03 BNT NBNT 5.000E-04 BT -3.3333E-04 NBT 9.667E-04 NBNT BNT -5.0000E-04 BT -8.3333E-04 NBT 4.667E-04 BT BNT 3.333E-04 NBNT 8.333E-04 NBT 1.300E-03 NBT BNT -9.6667E-04 NBNT -4.6667E-04 BT -1.3000E-03 Std. Error 5.055E-04 5.055E-04 5.055E-04 5.055E-04 5.055E-04 5.055E-04 5.055E-04 5.055E-04 5.055E-04 5.055E-04 5.055E-04 5.055E-04 1.101E-03 1.101E-03 1.101E-03 1.101E-03 1.101E-03 1.101E-03 1.101E-03 1.101E-03 1.101E-03 1.101E-03 1.101E-03 1.101E-03 6.778E-04 6.778E-04 6.778E-04 6.778E-04 6.778E-04 6.778E-04 6.778E-04 6.778E-04 6.778E-04 6.778E-04 6.778E-04 6.778E-04 Sig. .246 .018 .013 .246 .125 .092 .018 .125 .848 .013 .092 .848 .930 .089 .012 .930 .102 .014 .089 .102 .239 .012 .014 .239 .482 .636 .192 .482 .254 .511 .636 .254 .091 .192 .511 .091 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -5.3241E-04 1.799E-03 3.343E-04 2.666E-03 4.343E-04 2.766E-03 -1.7991E-03 5.324E-04 -2.9908E-04 2.032E-03 -1.9908E-04 2.132E-03 -2.6657E-03 -3.3426E-04 -2.0324E-03 2.991E-04 -1.0657E-03 1.266E-03 -2.7657E-03 -4.3426E-04 -2.1324E-03 1.991E-04 -1.2657E-03 1.066E-03 -2.4395E-03 2.640E-03 -4.0618E-04 4.673E-03 9.938E-04 6.073E-03 -2.6395E-03 2.440E-03 -5.0618E-04 4.573E-03 8.938E-04 5.973E-03 -4.6728E-03 4.062E-04 -4.5728E-03 5.062E-04 -1.1395E-03 3.940E-03 -6.0728E-03 -9.9382E-04 -5.9728E-03 -8.9382E-04 -3.9395E-03 1.140E-03 -1.0631E-03 2.063E-03 -1.8964E-03 1.230E-03 -5.9640E-04 2.530E-03 -2.0631E-03 1.063E-03 -2.3964E-03 7.297E-04 -1.0964E-03 2.030E-03 -1.2297E-03 1.896E-03 -7.2973E-04 2.396E-03 -2.6306E-04 2.863E-03 -2.5297E-03 5.964E-04 -2.0297E-03 1.096E-03 -2.8631E-03 2.631E-04 *. The mean difference is significant at the .05 level. 72 Lampiran 2 Analisis ragam bobot realif bursa Fabricius, timus, dan limpa 40 hari p.i ANOVA Sum of Squares Rasio B Fab Between Groups .000 Within Groups .000 Total .000 Rasio timus Between Groups .000 Within Groups .000 Total .000 Rasio limpa Between Groups .000 Within Groups .000 Total .000 df 3 8 11 3 8 11 3 8 11 Mean Square .000 .000 F .421 Sig. .743 .000 .000 .489 .700 .000 .000 .115 .949 Multiple Comparisons Dependent Variable Rasio B Fab LSD Rasio timus LSD Rasio limpa LSD (I) Perlakuan (J) Perlakuan BNT NBNT BT NBT NBNT BNT BT NBT BT BNT NBNT NBT NBT BNT NBNT BT BNT NBNT BT NBT NBNT BNT BT NBT BT BNT NBNT NBT NBT BNT NBNT BT BNT NBNT BT NBT NBNT BNT BT NBT BT BNT NBNT NBT NBT BNT NBNT BT Mean Difference (I-J) .00001 -.00016 -.00011 -.00001 -.00018 -.00013 .00016 .00018 .00005 .00011 .00013 -.00005 .00005 .00113 -.00042 -.00005 .00107 -.00048 -.00113 -.00107 -.00155 .00042 .00048 .00155 .00024 .00040 .00028 -.00024 .00016 .00003 -.00040 -.00016 -.00012 -.00028 -.00003 .00012 Std. Error .00019 .00019 .00019 .00019 .00019 .00019 .00019 .00019 .00019 .00019 .00019 .00019 .00134 .00134 .00134 .00134 .00134 .00134 .00134 .00134 .00134 .00134 .00134 .00134 .00070 .00070 .00070 .00070 .00070 .00070 .00070 .00070 .00070 .00070 .00070 .00070 Sig. .947 .412 .557 .947 .378 .515 .412 .378 .807 .557 .515 .807 .970 .424 .759 .970 .445 .731 .424 .445 .279 .759 .731 .279 .736 .583 .701 .736 .830 .962 .583 .830 .867 .701 .962 .867 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.0004 .0004 -.0006 .0003 -.0005 .0003 -.0004 .0004 -.0006 .0003 -.0006 .0003 -.0003 .0006 -.0003 .0006 -.0004 .0005 -.0003 .0005 -.0003 .0006 -.0005 .0004 -.0030 .0031 -.0020 .0042 -.0035 .0027 -.0031 .0030 -.0020 .0042 -.0036 .0026 -.0042 .0020 -.0042 .0020 -.0046 .0015 -.0027 .0035 -.0026 .0036 -.0015 .0046 -.0014 .0019 -.0012 .0020 -.0013 .0019 -.0019 .0014 -.0015 .0018 -.0016 .0016 -.0020 .0012 -.0018 .0015 -.0017 .0015 -.0019 .0013 -.0016 .0016 -.0015 .0017 Lampiran 3 Analisis ragam diameter folikel bursa Fabricius 20 hari p.i 73 ANOVA folikel Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 78759.278 3940.200 82699.478 df 3 8 11 Mean Square 26253.093 492.525 F 53.303 Sig. .000 Multiple Comparisons Dependent Variable: folikel LSD Mean Difference (I-J) (I) perlakua (J) perlakua 1.00 2.00 -.97222 3.00 140.11111* 4.00 178.41111* 2.00 1.00 .97222 3.00 141.08333* 4.00 179.38333* 3.00 1.00 -140.11111* 2.00 -141.08333* 4.00 38.30000 4.00 1.00 -178.41111* 2.00 -179.38333* 3.00 -38.30000 Std. Error 18.12043 18.12043 18.12043 18.12043 18.12043 18.12043 18.12043 18.12043 18.12043 18.12043 18.12043 18.12043 Sig. .959 .000 .000 .959 .000 .000 .000 .000 .067 .000 .000 .067 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -42.7580 40.8136 98.3253 181.8969 136.6253 220.1969 -40.8136 42.7580 99.2975 182.8691 137.5975 221.1691 -181.8969 -98.3253 -182.8691 -99.2975 -3.4858 80.0858 -220.1969 -136.6253 -221.1691 -137.5975 -80.0858 3.4858 *. The mean difference is significant at the .05 level. Lampiran 4 Analisis ragam diameter folikel bursa Fabricius 40 hari p.i 74 ANOVA folikel Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 8679.876 3461.457 12141.333 df 3 8 11 Mean Square 2893.292 432.682 F 6.687 Sig. .014 Multiple Comparisons Dependent Variable: folikel LSD (I) perlkuan (J) perlkuan 1.00 2.00 3.00 4.00 2.00 1.00 3.00 4.00 3.00 1.00 2.00 4.00 4.00 1.00 2.00 3.00 Mean Difference (I-J) -14.33333 -71.20000* -37.23333 14.33333 -56.86667* -22.90000 71.20000* 56.86667* 33.96667 37.23333 22.90000 -33.96667 Std. Error 16.98395 16.98395 16.98395 16.98395 16.98395 16.98395 16.98395 16.98395 16.98395 16.98395 16.98395 16.98395 Sig. .423 .003 .060 .423 .010 .214 .003 .010 .081 .060 .214 .081 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -53.4984 24.8317 -110.3651 -32.0349 -76.3984 1.9317 -24.8317 53.4984 -96.0317 -17.7016 -62.0651 16.2651 32.0349 110.3651 17.7016 96.0317 -5.1984 73.1317 -1.9317 76.3984 -16.2651 62.0651 -73.1317 5.1984 *. The mean difference is significant at the .05 level. Lampiran 5 Analisis ragam reaksi positif iNOS 20 hari p.i 75 ANOVA inos Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 59.009 .500 59.509 df 3 8 11 Mean Square 19.670 .063 F 314.716 Sig. .000 Multiple Comparisons Dependent Variable: inos LSD (I) perlakua (J) perlakua 1.00 2.00 3.00 4.00 2.00 1.00 3.00 4.00 3.00 1.00 2.00 4.00 4.00 1.00 2.00 3.00 Mean Difference (I-J) Std. Error 2.20000* .20412 -3.16667* .20412 -2.93333* .20412 -2.20000* .20412 -5.36667* .20412 -5.13333* .20412 3.16667* .20412 5.36667* .20412 .23333 .20412 2.93333* .20412 5.13333* .20412 -.23333 .20412 Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .286 .000 .000 .286 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 1.7293 2.6707 -3.6374 -2.6960 -3.4040 -2.4626 -2.6707 -1.7293 -5.8374 -4.8960 -5.6040 -4.6626 2.6960 3.6374 4.8960 5.8374 -.2374 .7040 2.4626 3.4040 4.6626 5.6040 -.7040 .2374 *. The mean difference is significant at the .05 level. Lampiran 6 Analisis ragam titer antibodi terhadap MDV 76 Tests of Between-Subjects Effects Source Corrected Model Type III Sum of Squares 1.239(a) Intercept 11 Mean Square .113 F 1.764 Sig. .119 Partial Eta Squared .447 Df 15.419 1 15.419 241.431 .000 .910 PERL .329 3 .110 1.718 .190 .177 UMUR .289 2 .144 2.261 .126 .159 1.621 .185 .288 PERL * UMUR .621 6 .104 Error 1.533 24 6.386E-02 Total 18.191 36 Corrected Total 2.772 35 a R Squared = .447 (Adjusted R Squared = .194) Multiple Comparisons Dependent Variable: absorb LSD (I) umur 10 hari 20 hari 30 hari (J) umur 20 hari 30 hari 10 hari 30 hari 10 hari 20 hari Mean Difference (I-J) -.21933* -.10575 .21933* .11358 .10575 -.11358 Std. Error .103170 .103170 .103170 .103170 .103170 .103170 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.43226 -.00640 -.31868 .10718 .00640 .43226 -.09935 .32651 -.10718 .31868 -.32651 .09935 Sig. .044 .316 .044 .282 .316 .282 Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level. Multiple Comparisons Dependent Variable: absorb LSD (I) perl benalu tanpa infeksi tanpa benalu tanpa infeksi benalu infeksi tanpa benalu infeksi (J) perl tanpa benalu tanpa infeksi benalu infeksi tanpa benalu infeksi benalu tanpa infeksi benalu infeksi tanpa benalu infeksi benalu tanpa infeksi tanpa benalu tanpa infeksi tanpa benalu infeksi benalu tanpa infeksi tanpa benalu tanpa infeksi benalu infeksi Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound .04967 .119130 .680 -.19621 .29554 -.19733 -.10611 -.04967 -.24700* -.15578 .19733 .119130 .119130 .119130 .119130 .119130 .119130 .111 .382 .680 .049 .203 .111 -.44321 -.35198 -.29554 -.49287 -.40165 -.04854 .04854 .13976 .19621 -.00113 .09009 .44321 .24700* .119130 .049 .00113 .49287 .09122 .10611 .119130 .119130 .451 .382 -.15465 -.13976 .33709 .35198 Lampiran 7 Analisis ragam sel darah putih dan presentase limfosit pada 20 p.i. .15578 .119130 .203 -.09009 -.09122 .119130 .451 -.33709 .40165 .15465 Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level. 77 ANOVA sdp limposit Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 1521.669 6198.060 7719.729 4529.583 3460.667 7990.250 df 3 8 11 3 8 11 Mean Square 507.223 774.758 F .655 Sig. .602 1509.861 432.583 3.490 .070 Multiple Comparisons Mean Difference Dependent Varia (I) Perlakua (J) Perlakua (I-J) Std. Error sdp LSD BNT NBNT -5.0000022.72675 BT -4.8333322.72675 NBT -28.8666722.72675 NBNT BNT 5.0000022.72675 BT .1666722.72675 NBT -23.8666722.72675 BT BNT 4.8333322.72675 NBNT -.1666722.72675 NBT -24.0333322.72675 NBT BNT 28.8666722.72675 NBNT 23.8666722.72675 BT 24.0333322.72675 limposit LSD BNT NBNT -.66667 6.98202 BT -24.66667 6.98202 NBT -47.00000* 6.98202 NBNT BNT .66667 6.98202 BT -24.00000 6.98202 NBT -46.33333* 6.98202 BT BNT 24.66667 6.98202 NBNT 24.00000 6.98202 NBT -22.33333 6.98202 NBT BNT 47.00000* 6.98202 NBNT 46.33333* 6.98202 BT 22.33333 6.98202 95% Confidence Interval Sig. Lower BoundUpper Bound .831 -57.4080 47.4080 .837 -57.2413 47.5746 .240 -81.2746 23.5413 .831 -47.4080 57.4080 .994 -52.2413 52.5746 .324 -76.2746 28.5413 .837 -47.5746 57.2413 .994 -52.5746 52.2413 .321 -76.4413 28.3746 .240 -23.5413 81.2746 .324 -28.5413 76.2746 .321 -28.3746 76.4413 .970 -39.8273 38.4939 .184 -63.8273 14.4939 .024 -86.1606 -7.8394 .970 -38.4939 39.8273 .195 -63.1606 15.1606 .026 -85.4939 -7.1727 .184 -14.4939 63.8273 .195 -15.1606 63.1606 .225 -61.4939 16.8273 .024 7.8394 86.1606 .026 7.1727 85.4939 .225 -16.8273 61.4939 *.The mean difference is significant at the .05 level. Lampiran 8 Analisis ragam sel darah putih dan presentase limfosit pada 40 p.i. 78 ANOVA sdp limposit Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 201.073 648.207 849.280 1199.583 2645.333 3844.917 df 3 8 11 3 8 11 Mean Square 67.024 81.026 F .827 Sig. .515 399.861 330.667 1.209 .367 Multiple Comparisons Mean Difference Dependent Vari (I) Perlakua(J) Perlakua (I-J) Std. Error sdp LSD BNT NBNT 4.00000 7.34964 BT -7.36667 7.34964 NBT -1.96667 7.34964 NBNT BNT -4.00000 7.34964 BT 11.36667 7.34964 NBT -5.96667 7.34964 BT BNT 7.36667 7.34964 NBNT 11.36667 7.34964 NBT 5.40000 7.34964 NBT BNT 1.96667 7.34964 NBNT 5.96667 7.34964 BT -5.40000 7.34964 limposit LSD BNT NBNT 20.33333 4.84737 BT -1.00000 4.84737 NBT -5.66667 4.84737 NBNT BNT 20.33333 4.84737 BT 21.33333 4.84737 NBT 26.00000 4.84737 BT BNT 1.00000 4.84737 NBNT 21.33333 4.84737 NBT -4.66667 4.84737 NBT BNT 5.66667 4.84737 NBNT 26.00000 4.84737 BT 4.66667 4.84737 95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound .601 -12.9483 20.9483 .346 -24.3150 9.5816 .796 -18.9150 14.9816 .601 -20.9483 12.9483 .161 -28.3150 5.5816 .440 -22.9150 10.9816 .346 -9.5816 24.3150 .161 -5.5816 28.3150 .483 -11.5483 22.3483 .796 -14.9816 18.9150 .440 -10.9816 22.9150 .483 -22.3483 11.5483 .208 -13.9048 54.5714 .948 -35.2381 33.2381 .713 -39.9048 28.5714 .208 -54.5714 13.9048 .189 -55.5714 12.9048 .118 -60.2381 8.2381 .948 -33.2381 35.2381 .189 -12.9048 55.5714 .761 -38.9048 29.5714 .713 -28.5714 39.9048 .118 -8.2381 60.2381 .761 -29.5714 38.9048 Lampiran 9 Analisis ragam jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada 20 p.i. 79 ANOVA limprove Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 652.517 590.560 1243.077 df 3 8 11 Mean Square 217.506 73.820 F 2.946 Sig. .099 Multiple Comparisons Dependent Variable: limprove LSD Mean Difference (I-J) (I) prlkuan (J) prlkuan Std. Error 1.00 2.00 -2.06667 7.01522 3.00 -13.93333 7.01522 4.00 -17.13333* 7.01522 2.00 1.00 2.06667 7.01522 3.00 -11.86667 7.01522 4.00 -15.06667 7.01522 3.00 1.00 13.93333 7.01522 2.00 11.86667 7.01522 4.00 -3.20000 7.01522 4.00 1.00 17.13333* 7.01522 2.00 15.06667 7.01522 3.00 3.20000 7.01522 Sig. .776 .082 .040 .776 .129 .064 .082 .129 .660 .040 .064 .660 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -18.2438 14.1105 -30.1105 2.2438 -33.3105 -.9562 -14.1105 18.2438 -28.0438 4.3105 -31.2438 1.1105 -2.2438 30.1105 -4.3105 28.0438 -19.3771 12.9771 .9562 33.3105 -1.1105 31.2438 -12.9771 19.3771 *. The mean difference is significant at the .05 level. Lampiran 10 Analisis ragam jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada 40 p.i. 80 ANOVA limprov Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 2838.120 1383.760 4221.880 df 3 8 11 Mean Square 946.040 172.970 F 5.469 Sig. .024 Multiple Comparisons Dependent Variable: limprov LSD Mean Difference (I-J) (I) perlkuan (J) perlkuan 1.00 2.00 -6.40000 3.00 -13.60000 4.00 -40.40000* 2.00 1.00 6.40000 3.00 -7.20000 4.00 -34.00000* 3.00 1.00 13.60000 2.00 7.20000 4.00 -26.80000* 4.00 1.00 40.40000* 2.00 34.00000* 3.00 26.80000* Std. Error 10.73840 10.73840 10.73840 10.73840 10.73840 10.73840 10.73840 10.73840 10.73840 10.73840 10.73840 10.73840 Sig. .568 .241 .006 .568 .521 .013 .241 .521 .037 .006 .013 .037 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -31.1628 18.3628 -38.3628 11.1628 -65.1628 -15.6372 -18.3628 31.1628 -31.9628 17.5628 -58.7628 -9.2372 -11.1628 38.3628 -17.5628 31.9628 -51.5628 -2.0372 15.6372 65.1628 9.2372 58.7628 2.0372 51.5628 *. The mean difference is significant at the .05 level. 81